Anda di halaman 1dari 285

TERORISME DAN JIHAD

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Disertasi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Doktor Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh
Kasjim Salenda
NIM : 02.3.00.1.01.01.0069
PROMOTOR
Prof. Dr. Masykuri Abdillah
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Disertasi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Doktor di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam tulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berupa pembatalan gelar yang diperoleh.

Ciputat, 27 Agustus 2008


Yang membuat pernyataan

KASJIM SALENDA

iii

LEMBAR PERSETUJUAN II

Disertasi dengan judul:


TERORISME DAN JIHAD DALAM PERSPERKTIF HUKUM
ISLAM yang ditulis oleh:
Nama

: Kasjim Salenda

No. Pokok

: 02.3.00.1.01.01.0069

sudah dinilai laik untuk diajukan dalam ujian promosi disertasi


setelah dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan disertasi.

Pembimbing/merangkap Penguji

Prof. Dr. Masykuri Abdillah


Tanggal:

iv

LEMBAR PERSETUJUAN II

Disertasi dengan judul:


TERORISME DAN JIHAD DALAM PERSPERKTIF HUKUM
ISLAM yang ditulis oleh:
Nama

: Kasjim Salenda

No. Pokok

: 02.3.00.1.01.01.0069

sudah dinilai laik untuk diajukan dalam ujian promosi disertasi


setelah dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan disertasi.

Penguji

Dr. Jamhari, MA
Tanggal:

LEMBAR PERSETUJUAN
Disertasi berjudul TERORISME DAN JIHAD DALAM
PERSPERKTIF HUKUM ISLAM yang ditulis oleh Kasjim
Salenda, NIM: 02.3.00.1.01.01.0069 telah lulus dalam ujian Promosi
Doktor yang dilaksanakan pada hari Selasa, 18 November 2008 dan
telah diperbaiki sesuai dengan saran Tim Penguji. Selanjutnya
Disertasi ini disahkan oleh Tim Penguji Promosi Doktor.
Tim Penguji:
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
(Ketua Sidang/Penguji)

........................../..

Prof. Dr. Masykuri Abdillah


(Pembimbing/Penguji)

........................../..

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA


(Pembimbing/Penguji)

........................../..

Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA


(Penguji)

........................../..

Prof. Dr. Suriani


(Penguji)

........................../..

Dr. Jamhari, MA
(Penguji)

........................../..

Dr. Fuad Jabali, MA


(Sekretaris Sidang)

........................../..

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI
(ARAB-LATIN)
Huruf Arab

Huruf Latin

Keterangan

b
t

tidak dilambangkan
be
te

ts
j

te dan es
je

h
kh

h dengan garis di bawah


ka dan ha

d
dz

de
de dan zet

r
z

er
zet

s
sy

es
es dan ye

s
d

es dengan garis di bawah


de dengan garis di bawah

t
z

te dengan garis di bawah


zet dengan garis di bawah

gh

koma terbalik di atas hadap kanan


ge dan ha

f
q

ef
ki

k
l

ka
el

m
n

em
en

w
h

we
ha

apostrof
ye

vii

Vokal Pendek
Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

__________

fathah

__________

kasrah

__________

dammah

Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

a dengan topi di atas

i dengan topi di atas

u dengan topi di atas

Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin


ai

Keterangan
a dan i

au

a dan u

viii

KATA PENGANTAR

.
Tulisan ini merupakan upaya memenuhi salah satu persyaratan
penyelesaian studi pada program S3. Penulis menyadari, tanpa bantuan dan
partisipasi dari berbagai pihak, baik dorongan moril maupun bantuan materiil,
disertasi ini tidak mungkin dapat terwujud sebagaimana mestinya. Karena itu,
sepatutnyalah penulis menyampaikan penghahargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak.
Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada yang tidak sempat
disebutkan satu persatu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak
Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, MA, Dr. H. Ambo Asse, M.Ag, dan Prof. Dr. H.
Baso Midong, M. Ag., masing-masing sebagai Rektor, Dekan dan mantan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar yang telah
memberikan izin dan bantuan dana studi di Universitas Islam Negeri (UIN)
Jakarta.
Ucapan terima kasih yang sama disampaikan kepada Bapak Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, MA (Rektor UIN Jakarta), Prof. Dr. Azyumardi Azra,
MA, Dr. Fuad Jabali, MA, Dr. H. Udjang Thalib, MA dan Prof. Dr. Suwito, MA
(masing-masing sebagai Direktur, Deputi Direktur Bidang Akademik dan
Kerjasama, Deputi Direktur Bidang Administrasi dan

Kemahasiswaan, dan

Deputi Direktur Bidang Pengembangan Kelembagaan) dan staf sekretariat


Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah memberi pelayanan yang simpatik
dan kemudahan dalam rangka penyelesaian studi penulis.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus disampaikan kepada
Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah dan Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA, masingmasing sebagai pembimbing penulis, yang dengan segala ketulusan mengoreksi,
mengarahkan, dan membimbing dalam penyelesaian disertasi ini.

ix

Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H.
Ahmad Thib Raya, MA, Prof. Dr. H. Abd. Qadir Gassing, M.Sc., Drs. H. Lomba
Sultan, M.Ag, yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan Program
Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Juga Pemda Tkt. I
Propensi Sulawesi Tenggara dan kanda Dra. Mihra serta kawan-kawan
mahasiswa Program S3 senasib dan seperjuangan khususnya rekan-rekan yang
berasal dari Sulawesi, telah banyak membantu penulis.
Penghargaan yang sangat tulus penulis persembahkan kepada ayahanda
(alm) Pong Salenda (w. Oktober 1989), Ibunda (almh) Hj. Kamaria (w. 22
Januari 2008), dan Kakanda Burhanuddin Salenda yang telah mendidik dan
membina penulis sehingga dapat menempuh pendidikan tinggi. Demikian pula
ucapan terima kasih kepada kakanda (almh) Salenda, Liling, M. Jufri Jannang,
Hj. Kullu, (almh) Salmiah, Hadenariah, M. Hasyim, dan (alm) Idris (para
saudara penulis) yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun
materiil kepada penulis.
Penghargaan yang khusus dan terima kasih yang tulus kepada isteri
tercinta Siti Aisyah H. Kara yang dengan penuh kesabaran dan kesetiaan dalam
suka dan duka menemani penulis. Penghargaan yang sama disampaikan kepada
anakda tercinta Ahmad Jawwad (santri Program Khusus Pondok Modern Gontor
I), Ahmad Anshari (siswa kelas IX SMPN II Ciputat), Ahmad Fauzan (santri
kelas I Pondok Modern Gontor I), dan Nailatush Shafi (siswi kelas III SDN
Legoso) yang dalam banyak hal memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kesalahan dan
kekeliruan, oleh karena itu kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan guna
perbaikan selanjutnya. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu-persatu atas segala bantuannya,
semoga Allh rabb al-lamn membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.
Amin.
Kasjim Salenda

xvii

ABSTRAK
Kesimpulan besar disertasi ini membuktikan bahwa terdapat distorsi
pemahaman keagamaan oleh sebagian gerakan Islam terutama Muslim radikal
dengan mengaktualisasikan jihad dalam bentuk tindakan kekerasan (teror). Hal
ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Secara internal, berkaitan
dengan pemahaman keislaman yang sempit dan cenderung tekstual, sedangkan
secara eksternal, tindakan teror tersebut disebabkan oleh faktor sosio kultural
dan politik masyarakat atau komunitas Muslim.
Disertasi ini memiliki kesamaan dengan Asad al-Sahamrn, La li alIrhb, Naam li al-Jihd (Beirut: Dr al-Nafis, 2003); Aql Ibn Abdirrahman,
Ibn Muhmmad al-Aql, Al-Irhb fat al-Asr: Mdz Qla Anhu al-Ulam
wa al-Masyyikhu wa al-Mufakkirun wa al-Tarbawiyyun wa bimdz
Wasafhu, Cet. I (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, 2004) dan
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat
Imam Samudra & Kelompok Islam Radikal, Cet. I (Jakarta: Grafindo Hazanah
Ilmu, 2007) bahwa Islam tidak membenarkan aksi terorisme. Kajian ini
memiliki perbedaan yang signifikan dengan pandangan yang dikemukan aktor
teroris seperti Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera,
2004) dan Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom , Cet. I (Jakarta: Republika,
2007) yang mengklaim bahwa aksi teror yang dilakukannya sebagai bentuk
aplikasi jihad. Perbedaan disertasi ini dengan pandangan Asad al-Sahamrn,
al-Aql dan Haniff Hassan adalah disertasi ini dielaborasi secara komprehensif
dan sistematis dengan mengkaji teks-teks yang berkaitan dengan terorisme dan
jihad dengan menggunakan pendekatan yuridis, historis dan sosiologis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Pertama, terorisme dan jihad secara signifikan berbeda. Terorisme
bersifat destruktif (ifsd), menimbulkan kepanikan, dan dilakukan tanpa aturan
yang jelas. Sementara jihad bertujuan mewujudkan perbaikan (islh), membela
hak-hak individu dan masyarakat, serta memiliki kode etik yang jelas.
Kedua, terjadi evolusi pemaknaan jihad sejak zaman Rasulullah sampai
sekarang dalam tiga kategorisasi yakni jihad dalam makna bukan perang, perang
dan kombinasi antara makna perang dan non perang. Namun di era kontemporer
pemaknaan jihad lebih mengedepankan makna non perang terkecuali dalam
kondisi tertentu.
Ketiga, istilah terorisme dalam hukum Islam dikenal dengan istilah: alirhb (irhabiyah), al-hirbah (perampokan). Ulama mengkiyaskan hukuman
jarmah al-irhb (irhabiyah) dengan al-hirbah (perampokan) sehingga pelaku
jarmah tersebut dijatuhi hukuman sesuai dengan pelanggarannya antara lain
dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang, dan diasingkan atau
diserahkan kepada pemerintah (hakim) untuk menentukan hukuman yang pantas
(tazr). Dalam perspektif hukum Islam, terorisme hukumnya haram,
sedangkan jihad hukumnya wajib tetapi kalau dilakukan secara revolusionir dan
destruktif serta melanggar kode etik yang digariskan Islam maka hukumnya
haram.
Sumber utama disertasi ini antara lain: Muhammad Haniff Hassan,
Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra & Kelompok

xvii

Islam Radikal, Cet. I (Jakarta: Grafindo Hazanah Ilmu, 2007); Imam Samudra,
Aku Melawan Teroris (2004) dan Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom (2007).
Selain itu, kitab-kitab fiqh klasik seperti Abd Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh
ala al-Mazhib al-Arbaah , (1999) dan kitab fiqh kontemporer seperti Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah (1998), Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa
Adillatuhu (1997) dan buku-buku yang berkaitan dengan pemikiran kontemporer
tentang jihad. Sumber-sumber tersebut dibaca dengan menggunakan pendekatan
hukum Islam.

xvii



)( . .

.
) :
(2003 :
) :
(2004 :
) : (2007
.
: (2004
.

.
:
: .
.
.
:
)( .
.
: "" )(
. )(

.

xvii


.
: :
) :
,(2007 :(2004
) .(2007 :
) (1999 :
) (1998 ) (1997
. .

xvii

ABSTRACT
The main conclusion of this dissertation is that Islamic teachings have
been distorted by some Muslims, particularly radical Muslims, in which they
commit terrorism as an actualization of jihad. This is due to internal and external
factors. Internally, it is related to their limited understanding towards Islamic
texts in which they use textual approach. Externally, socio cultural and political
factors of Muslim community lead terrorists to commit terrorism
The dissertation is similar to Asad al-Sahamrn, La li al-Irhb, Naam
Li al-Jihd (Beirut: Dr al-Nafis, 2003); Aql Ibn Abdirrahman, Ibn Muhmmad
al-Aql, Al-Irhb fat al-Asr: Mdz Qla Anhu al-Ulam wa al-Masyyikhu
wa al-Muwafakkirun wa al-Tarbawiyyun wa Bimdz wa Safhu, 1st edt.
(Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, 2004) and Muhammad Haniff
Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra &
Kelompok Islam Radikal, Cet. I (Jakarta: Grafindo Hazanah Ilmu, 2007) which
highlight that Islam oppose terrorism. This dissertation has a significant
difference with terrorists claim such as Imam Samudra, Aku Melawan Teroris,
Cet. II (Solo: Jazera, 2004) and Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom, Cet. I
(Jakarta: Republika, 2007) that what they have done is as jihad. However, the
dissertation elaborates and explores issues in relation to terrorism and jihad
comprehensively and systematically within Islamic law perspective compared to
the books of Asad al-Sahamrn, al-Aql and Haniff Hassan.
The dissertation shows the following findings:
Firstly, terrorism and jihad substantially differ. Terrorism tends to be
revolutionary, destructive which cause panics and fears, and it acts with no clear
principles, while jihad tends to improve humans safety and welfare personally
or collectively, and it conducts within clear principles.
Secondly, there have been changes in the meanings of jihad since the
Prophet Muhammad era for three categories namely non physical (internal
jihad), war and the combination of internal jihad and war. However, the
meaning of jihad in the contemporary society prefers to use internal jihad rather
than war unless within certain conditions.
Finally, the concepts of terrorism in the Islamic law are al-irhb
(irhbiyah), al-hirbah. The classical ulama include punishments for al-irhb
(irhabiyah) into al-hirbah in which offenders can be punished in different ways
such as death, crucifixion, amputation of hand and foot from opposite sides,
banishment and based on government decision to formulate punishments for
community justice (tazr). From Islamic law perspective, terrorism is not
allowed (haram) whereas jihad is obligated (wajib), but if the application of the
jihad is revolutionary and destructive or against Islamic law principles so such
jihad is forbidden (haram).
The main references of the dissertation are books of Muhammad Haniff
Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra &
Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Hazanah Ilmu, 2007), Imam
Samudra, Aku Melawan Teroris(2004) and Ali Imron, Ali Imron Sang
Pengebom (2007). In addition, classical books such as Abd Rahman al-Jaziri,
Kitab al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arbaah (1999) as well as contemporary

xvii

Islamic law books like Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (1998), Wahbah alZuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (1997) and other books in relation to
terrorism and jihad are used as references. These references are analysed using
Islamic law approach.

xx

DAFTAR ISI
SAMPUL...i
PERNYATAAN...ii
PERSETUJUAN.....iii
TRANSLITERASI..................................................................................x
KATA PENGANTAR.......xii
ABSTRAK.xiv
DAFTAR ISI......xx
BAB I
A.
B.
C.
D.
E.
F.
BAB II

PENDAHULUAN.
Latar Belakang Masalah......1
Permasalahan.........18
Tujuan dan Signifikansi Penelitian....19
Penelitian Terdahulu Yang Relevan......20
Metodologi Penelitian...22
Sistematika Penulisan....23
HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Islam......26


B. Sifat dan Karakteristik Hukum Islam....39
C. Prinsip-Prinsip dan Tujuan Hukum Dalam Islam.............51
BAB III TERORISME DI ERA KONTEMPORER
A.
B.
C.
D.
E.
BAB IV

Pengertian, Kriteria dan Bentuk-Bentuk Terorisme ....65


Lintasan Sejarah Terorisme..80
Faktor-Faktor Terjadinya Terorisme....85
Terorisme dalam Konteks Globalisasi..........99
Akar-Akar Terjadinya Terorisme di Dunia Islam..107
KONSEP JIHAD DAN PRAKTEKNYA PADA MASA
KONTEMPORER

A.
B.
C.
D.
E.

Pengertian dan Etika Jihad 114


Menelusuri Makna Jihad Dalam Sejarah....129
Alasan Disyariatkannya jihad.134
Reinterpretasi Jihad Dalam Konteks Kekinian...147
Jihad dan Gerakan Radikal di Dunia Islam.....151

xxi

BAB V

HUKUM ISLAM TENTANG TERORISME DAN


JIHAD

A. Perbedaan Terorisme dan Jihad...180


B. Penyalahgunaan Konsep Jihad dalam Praktek
Terorisme.186
C. Hukum Islam tentang Terorisme.212
D. Hukum Islam tentang Jihad.............239
E. Analisis Hukum Terorisme dan Jihad .254
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan.262
B. Saran-Saran.....267
DAFTAR PUSTAKA....269

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Diskursus terorisme dan jihad semakin aktual pasca peristiwa 11
September 2001 (September 11), pengeboman World Trade Center (WTC),
Menhattan, New York dan Gedung Pentagon, Washington DC. WTC adalah
simbol supremasi ekonomi Amerika, sementara Pentagon merupakan ikon
keperkasaan militer negeri Paman Sam tersebut. Peristiwa itu telah
menimbulkan dampak psikologis1, perekonomian dunia2 dan ketegangan
hubungan antara Amerika (Barat) dengan dunia Islam karena Presiden Amerika
Serikat, George W. Bush mengklaim bahwa pelaku pengeboman adalah jaringan
Islam radikal (Al-Qaeda) pimpinan Usamah bin Ladin.3 Sebaliknya, kalangan
Islam radikal meyakini bahwa perbuatan mereka merupakan aktualisasi doktrin
jihad yang diperintahkan dalam Islam.4
Perdebatan terorisme dan jihad eksis ketika para pakar terorisme, media
massa dan teroris, terutama dari kalangan fundamentalis Muslim, memberikan
1

Efek psikologis yang ditimbulkan oleh peristiwa 11 September berupa ketakutan


(fear), kepanikan (panic), kemarahan (angry) dan traumatis yang tidak hanya dirasakan oleh
warga negara Amerika saja melainkan juga penduduk dunia secara global. Di Malaysia
misalnya, terjadi kepanikan dengan menghentikan segala aktifitas selama beberapa jam di
Menara Kembar Petronas di jantung kota Kuala Lumpur. Lihat: Yasraf Amir Piliang
Hiperterorisme dan Hiperteknonologi dalam Farid Muttaqin & Sukardi (ed.) Teroris Serang
Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 63-64
2
Bambang Abimanyu, Teror Bom Di Indonesia (Jakarta: Grafindo Khasanah Ilmu, Cet.
I, 2005), h. 47-48
3
Melalui media massa internasional, Presiden Amerika Serikat, Goerge W. Bush
menuding Usamah bin Ladin sebagai otak di balik tragedi 11 September. Klaim tersebut
memperkuat legitimasi penilaian miring Barat terhadap Islam sebagai agama agresif, militant,
dan teror. Lihat: Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, Cet. I (Jakarta:
LSIP (Lembaga Studi Islam Progresif), 2004), h. 66-67. Bandingkan dengan: M. Hilaly Basya
dan David K. Alka, Amerika Perangi Teroris Bukan Islam, Cet. I (Jakarta: Center For Moderate
Moslem (CMM), 2004), h. 9
4

Terdapat sejumlah ayat Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad
antara lain: Q.S. al-Baqarah (2): 191; Q.S. al-Taubah (9): 5; dan Q.S. al-Tahrim (66): 9

argumentasi yang kontroversial tentang paradigma terorisme dan jihad. Kajian


terorisme dan jihad pada disertasi ini terinspirasi oleh aksi kekerasan yang
terjadi sepanjang peradaban umat manusia khususnya di dunia Islam. Misalnya
dalam sejarah Islam dikenal kaum Khawarij,5 sempalan pengikut khalifah Al
bin Ab Tlib yang keluar dari golongan Al karena kecewa atas penyelesaian
sengketa antara Al bin Ab Tlib dan Muawiyah bin Ab Sofyan dengan cara
tahkm (arbitrase). Kaum Khawarij mengkafirkan Al bin Ab Tlib dan
Muawiyah bin Ab Sofyan serta semua orang yang menyetujui cara tahkm
tersebut dengan konsekuensi kehalalan darah mereka untuk dibunuh sebagai
lawan politik.
Demikian juga Sekte Assassin6 yang merupakan sempalan kelompok
ekstrim dari sekte Syiah Ismailiyah dipimpin Hassan al-Shabah membolehkan
pembunuhan terhadap lawan-lawan politik mereka dari Bani Saljuq pada abad
ke- 11 dan ke- 13. Selanjutnya aksi kekerasan berupa pemaksaan keyakinan atas
orang lain dengan dalih agama juga terjadi pada masa dinasti Abbasiyah
khususnya era khalifah al-Mamun (813-833 H), al-Mutasim (833-842 H), dan
al-Wtsiq (842-847 H). Ketika itu kaum Mutazilah di Baghdad memaksakan
pelaksanaan paham mereka mengenai kemakhlukan Alquran yang dikenal
dengan istilah mihnah atau inquisition (pengujian). Bagi orang-orang yang tidak
sepaham dengan Mutazilah bahwa Alquran adalah ciptaan, tidak diperbolehkan
5
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar (keluar dari kelompok
Ali),yakni orang-orang yang keluar dari barisan Ali karena tidak menerima arbitrase (tahkim)
lalu mengangkat Abdullah bin Wahhab al-Rasibi sebagai pemimpin mereka. Ada juga yang
mengatakan bahwa kata khawarij itu didasarkan pada pengertian dalam surat Q.S. al-Nisa (4):
100 yang pengertiannya keluar dari rumah untuk berjuang di jalan Allah. Selain nama
Khawarij, terdapat beberapa nama lain yang diberikan kepada kelompok ini, yakni alMuhakkimah, Syurah, Haruriyah, dan al-Mariqah. Lihat: Abu Zahra, Trikh Madzhib alIslmiyah, Mesir: Dr al-Fikr al-Arab, 1989, h. 60-124; Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), h. 47
6
Kata Assassins dalam bahasa Arab hassasin identik dengan hasis berarti
ketagihan atau kecanduan. Lihat: Ns. Saksena, Terrorism History and Faceds in the World
and in India (New Delhi: Abinav Publications, 1985), h. 39. Selain itu terdapat arti lain yakni
pembunuhan (assassination) , berasal dari kalimat has asin - hasis berarti pemakan. Lihat:
DP. Sharma, Countering Terrorism (New Delhi: Lancers Books, 1992), h. 21. Sekte Assassin
sering juga disebut al-Hasyasyin, dalam dunia politik berafiliasi kepada Daulah Fathimiyah di
Mesir. Lihat: Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara, Dunia Islam Dalam Benturan Kepentingan
dan Peradaban, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.), Negara Tuhan The Thematic
Encyclopaedia, Cet. I (Semarang: SR-Ins Publishing, 2005), h. 470

menjadi saksi di pengadilan, bahkan ada di antara mereka yang dipenjara seperti
Ahmad bin Hambal. Sebaliknya, ketika al-Mutawakkil menjadi khalifah yang
cenderung berpaham ahl hadis, maka paham kaum Mutazilah dianggap sesat.7
Sekitar tahun 1980an, aksi kekerasan kembali dipraktekkan kelompok
sempalan Ikhwanul Muslimin (Tanzm al-Jihd) di Mesir dengan membunuh
Presiden Anwar Sadat pada tanggal 6 Oktober 1981 karena mereka tidak
menyetujui perdamaian Arab-Israel yang digagas Sadat.8 Selanjutnya, pada
tahun 1993 jaringan kelompok Islam radikal antara lain Tanzm al-Jihd
mengebom lantai dasar World Trade Centre (WTC) di New York, dan pada
tanggal 7 Agustus 1998 Al-Qaeda melakukan pengeboman Kedutaan Besar
Amerika di Nairobi, Kenya, dan Darus Salam, Tanzania menewaskan sekitar
200 jiwa dan melukai lebih 4.000 orang. Sebagian besar dari mereka yang
terbunuh dan terluka dalam pengeboman di Nairobi, Kenya, dan Darus Salam
adalah warga Kenya dan Tanzania.9 Tanggal 11 September 2001, kelompok AlQaeda juga diduga melakukan pengeboman gedung kebanggaan Amerika WTC
dan Pentagon di Washington DC. Pengebom kali ini menggunakan metode yang
spektakuler yakni menabrakkan pesawat ke gedung tersebut.10
7

Lihat: Machasin, Fundamentalisme dan Terorisme dalam A. Maftuh Abegebriel


dkk., Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia (Jokjakarta: SR-Ins Publshing, 2004), h. 792
8

Tragedi pembunuhan Presiden Mesir, Anwar Sadat pada tanggal 6 Oktober 1981
bertepatan dengan hari parade militer. Pembunuhan tersebut merupakan balasan atas perdamaian
Mesir-Israel yang digagas Anwar Sadat pasca kekalahan pihak Arab dalam perang Arab-Israel.
Lihat: Sebuah Wajah Teduh, http://elqudsy.blogspot.com/2006/02/sebuah-wajah-teduh.html
diakses tanggal 10 Juli 2008
9

Jumlah korban dalam pengeboman di Kedutaan Besar Amerika di Nairobi, Kenya dan
Darus Salam (Afrika) dapat dilihat pada http://www.usembassyjakarta.org/terrornet/13.html
diakses tanggal 26 September 2008
10

Pesawat yang menabrak menara utara WTC New York adalah boeing 767 American
Airlines dengan nomor penerbangan 11, jurusan Boston-Los Angeles (LA) pada pukul 08.48,
menewaskan 92 orang termasuk 9 kru dan 2 pilot, sementara pesawat yang menabrak menara
selatan WTC yakni boeing 757 United Airlines dengan nomor penerbangan 175 jurusan Bandara
Dulles, Washington DC menuju Los Angeles pada pukul 09.05, menewaskan 65 orang termasuk
7 kru dan 2 pilot. Adapun pesawat yang menabrak sisi barat Pentagon, Washington DC pada
pukul 09.40 adalah American Airlines dengan nomor penerbangan 77 jurusan Virginia-Los
Angeles, menewaskan 64 orang termasuk 4 kru dan 2 pilot. Sebuah pesawat lainnya, United
Airlines dengan nomor penerbangan 93 jurusan New Jersey-San Francisco diarahkan ke Gedung
Putih namun terjatuh di Stony Creek, Pennsylvania menewaskan 45 orang termasuk 5 kru dan 2
pilot. Lihat: Ready Susanto, Osama bin Laden: Jihad Sepanjang Hayat , Cet. II (Bandung: PT
Kiblat Buku Utama, 2001), h. 27-44

Setahun kemudian (12 Oktober 2002) kelompok radikal Islam Indonesia,


Imam Samudra dan kawan-kawannya, melakukan pengeboman di Sari Club dan
Paddys Pub, Legian Kuta (Bali), sebagai bentuk ekspresi jihad melawan kaum
kafir (Amerika dan sekutunya) yang telah memerangi Islam dan kaum
Muslimin.11 Oleh karena itu. pengeboman yang dilakukan oleh Imam Samudra
dan kawan-kawannya merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap
serangan bom Amerika dan sekutunya pada negara yang berpenduduk mayoritas
Muslim seperti Irak dan Afganistan.
Peritiwa pengeboman yang masih aktual terjadi di hotel Marriot
Islamabad (Pakistan) pada tanggal 20 September 2008 dan menewaskan kurang
lebih 60 orang termasuk Duta Besar Republik Cekoslowakia, Ivo Zdare serta
melukai sekitar 260 orang yang sebagian besar warga Pakistan. Pemerintah
Pakistan mengklaim kelompok militan Taliban dan Al-Qaeda berada dibalik
peristiwa tersebut.12 Mencermati beberapa peristiwa pengeboman tersebut yang
merupakan preseden buruk bagi kelompok Islam terutama kelompok radikal
sebagai bentuk aktualilasi jihad diperlukan kajian yang komprehensif. Persoalan
yang fundamental adalah apakah aksi kekerasan seperti itu dijustifikasi oleh
Islam dan mendapat persetujuan dari umat Islam mainstream atau tidak.
Sekalipun para pakar terorisme dan hukum Islam memberikan
pengertian yang bervariasi tentang terorisme dan jihad, tetapi penulis perlu
memberikan penekanan lebih awal tentang kedua kata tersebut sebagai acuan
dalam memahami disertasi ini. Terorisme yang dimaksud dalam disertasi ini
yaitu mencakup aksi teror yang umumnya memiliki tujuan politis baik dilakukan
oleh individu maupun kolektif ataupun negara yang mengakibatkan ketakutan
dan kehancuran manusia serta fasilitas umum lainnya. Sedangkan jihad yang

11

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 107-109. Lihat
juga wawancara Asep Adisaputra dengan Imam Samudra pada tanggal 2 Maret 2003 dalam
Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad, Cet. I (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 62
12

Berita mengenai bom Marriot Pakistan dapat diakses


http://suarapembaruan.com/news/2008/09/22/internas/int01.htm ;
http://tempointeraktif.com/hg/asia/2008/09/21/brk,20080921-136644,id.html ;
http://mediaindonesia.com/index.php?ar-id=MzbdMDQ=

antara

lain:

dimasudkan dalam kajian ini adalah jihad dalam arti sempit yakni yang
mengarah kepada makna peperangan (kekerasan). Selain itu term hukum Islam
dibatasi dalam ruang lingkup fiqh.
Aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama telah terjadi sejak era
Khulafa al-Rasyidin hingga sekarang yang dilancarkan oleh kelompok
fundamental dan radikal seperti pembunuhan khalifah Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abi Talib.13 Gerakan fundamentalisme14 dan radikalisme15 tersebut tidak
segan-segan menyerang pihak lain yang dianggap berbeda dengan paham
keagamaan mereka. Gerakan fundamentalisme yang dinakodai Muhammad bin
Abdul Wahab (1703-1792) dikenal dengan gerakan Wahabi, mengusung tematema sentral dalam pemurnian ajaran Islam. Dengan semboyan memurnikan
ajaran Islam dan purifikasi tauhid, gerakan ini terbagi dua yakni gerakan
Wahabi Haraki dan gerakan Wahabi Tarbawi. Dalam rangka purifikasi ajaran
Islam, Wahabi Haraki mengumandangkan jihad dengan cara yang destruktif dan
ofensif, antara lain dengan terjadinya pertumpahan darah di Makkah dan di
Madinah berbarengan dengan penghancuran monumen historis yang dianggap
sebagai penyimpangan ajaran agama yang murni.16 Sedangkan gerakan Wahabi
Tarbawi melaksanakan jihad melalui pengadaan sarana dan prasarana
13
Khalifah Utsman bin Affn terbunuh di tangan pemberontak, dan Al bin Ab Tlib
dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, salah seorang tokoh Khawarij. Lihat: Rasul Jafariyan,
The History of Caliphs, diterjemahkan oleh Anna Farida, Nailul Aksa dan Khalid Sitaba
dengan judul Sejarah Khilafah 11 H.-15 H., Cet. I (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 140-160; Ab
Jafar Muhammad ibn Jarr al-Tabar, Trkh al-Tabar: Trkh al-Rasl wa al-Muluk , Juz IV,
(Al-Qhirah: Dr al-Marif, 1963), h. 450-465
14

Fundamentalisme (al- Usliyah) adalah faham atau ideologi yang cenderung untuk
memperjuangkan sesusatu secara radikal. Dalam pengertian yang lebih sempit disebut
fundamentalisme agama yakni suatu penegasan bahwa kitab suci yang diterima terdiri dari
seperangkat kebenaran hidup yang abadi dan bebas dari kesalahan. Lihat: B.N. Marbun, Kamus
Politik, Edisi Baru (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h. 173; Abu Ridho, Terorisme
(Jakarta: Pustaka Terbiatuna, 2003), h. 101
15

Radikalisme (al- Judzriyah) merupakan paham atau aliran yang menginginkan


perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Faham ini
menolak aksi-aksi yang sifatnya bertahap dalam melakukan perbaikan kondisi ekonomi, sosial
dan politik. Lihat: Abu Ridho, Terorisme (Jakarta: Pustaka Terbiatuna, 2003), h. 97.
16

Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara, Dunia Islam Dalam Benturan Kepentingan dan
Peradaban dalam A. Maftuh Abegebriel dkk. (ed.), Negara Tuhan The Thematic
Encyclopaedia, Cet. I (Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 451

pendidikan, ibadah, pengadaan buku dan brosur untuk mensosialisasikan dan


berdakwah tentang ide dan pemahaman mereka.
Di sisi lain, pakar teroris dan media massa, terutama dari kalangan Barat,
senantiasa mengklaim bahwa aksi kekerasan terorisme yang terjadi di era
kontemporer, seperti pengeboman dua menara kembar pencakar langit WTC
(World Trade Center) sebagai lambang kebanggaan ekonomi di New York dan
Gedung Pertahanan Pentagon yang merupakan simbol superioritas Pertahanan
Amerika di Washington DC pada hari Selasa, 11 September 2001, diduga
dilancarkan oleh radikal Muslim yang dikomandoi Usamah bin Ladin.17
Menurut mereka, aksi teror itu memiliki kaitan yang erat dengan gerakan
fundamentalisme Islam,18 dan ini memberikan implikasi dalam membentuk
opini masyarakat (public opinion) bahwa seolah-olah terorisme dijustifikasi
oleh Islam.
Ideologi fundamentalis Muslim atas legitimasi agama terhadap aksi
kekerasan sebagai konsep jihad perlu dikaji lebih mendalam dengan
menggunakan berbagai perangkat ilmu-ilmu keislaman terutama dengan
pendekatan fiqh untuk memperoleh informasi yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan

secara

ilmiah

terhadap

justifikasi

jihad

fundamentalisme Islam. Konsep jihad dari kalangan ulama klasik dan


kontemporer, antara lain diprakarsai oleh Imm mazhab, dianggap sebagai hal
17
Presiden Amerika Serikat, Goerge W. Bush telah mengumumkan pihak yang
bertanggungjawab atas peristiwa pengeboman WTC dan Pentagon pasca kejadian tersebut yaitu
organisasi Al-Qaeda. Berbagai versi nama Usamah: Osama bin Laden, Usamah bin Ladin, dan
orang Barat menyebutnya dengan Osama bin Laden. Usamah adalah putra millioner Muhammad
Awad bin Laden, anak ke 17 dari 50 bersaudara (dari 11 istri). Ia lahir di Riyadh Saudi Arabia
pada tahun 1954. Terjadi perbedaan pendapat tentang tahun kelahiran Usamah. Ada yang
berpendapat 1954, 1957 dan 1959, namun kemungkinan besar ia lahir tahun 1954 sebab ketika
ayahnya meninggal tahun 1967 karena kecelakaan pesawat, usamah berumur 13 tahun. Lihat:
Achmad dkk, Osama Vs Bush Perang Jihad (Jakarta: PT Gria Media Prima, 2001), h. 93-94
18
Ungkapan politis presiden Amerika George W. Bush bahwa pasca perang dingin (cold
war) jaringan teroris mulai menggandeng dan memanfaatkan gerakan radikal muslim dengan
menggunakan teknologi canggih. Kelompok Islam yang dimaksud adalah jaringan Al-Qaeda.
Pernyataan Bush ini senada dengan analisis David Zaidan bahwa fundamentalisme Muslim
berada di balik aksi teror di WTC dan Pentagon tersebut. Lihat: Murba Abu, Memahami
Terorisme di Indonesia, dalam A Maftuh Abegerbriel dkk (ed.) Negara Tuhan: The Thematic
Encyclopedia, Cet. I (Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 731-732; Bandingkan dengan
Achmad Jainuri dkk, Terorisme dan Fundamentalisme Agama: Sebuah Tafsir Sosial (Malang:
Bayumedia Publishing, 2003), h. 164

yang krusial untuk ditelaah dalam rangka menemukan konsep-konsep jihad


dalam Islam, kondisi sosial politik dari konsep jihad, dan selanjutnya dianalisis
dan diinterpretasikan dengan aksi kekerasan kontemporer. Hal ini dimaksudkan
untuk mengelaborasi ada atau tidaknya keterkaitan antara jihad dalam Islam dan
aksi teror, sekaligus menjawab asumsi bahwa Islam seolah-olah menjustifikasi
terorisme. Pada prinsipnya, Islam merupakan agama yang mengandung ajaran
dan norma untuk dijadikan dasar kehidupan bagi umatnya seperti kasih sayang
(rahman dan rahim), perdamaian (salm), persaudaraan (ukhuwah), persamaan
(muswat), toleransi (tasmuh), keadilan (adlah), keseimbangan (tawzun),
kebebasan (hurriyah),19 dan mengharamkan bunuh diri (tahlukah).20
Selain itu, diskursus tentang terorisme sangat variatif dan terjadi
perbedaan baik dalam mendefinisikan maupun mengkategorisasikannya.
Perbedaan dalam memberikan batasan dan pengertian istilah tersebut disebabkan
beberapa faktor antara lain: Pertama, faktor eksternal yang sulit dihindari ketika
mencoba merumuskan batasan pengertian terorisme. Kedua, adanya perbedaan
kepentingan tiap negara lebih dominan berpengaruh pada rumusan dan tujuan
yang akan dicantumkan dalam konsensus. Ketiga, sulitnya membedakan antara
tindakan teror, kejahatan politik, kriminal terorganisasi, dan kediktatoran suatu
pemerintah. Keempat, kerancuan pemaknaan teror sebagai aksi dan tindak
kekerasan lainnya, sehingga sulit membedakan antara gerakan revolusi, gerakan
separatis atau pembangkang.21

19

Salah satu prinsip universal dalam Islam adalah al-Adlah (justice) mengandung arti
honesty, fairness, dan integrity bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa diskriminasi, penuh
kejujuran, ketulusan dan igtegritas. Hans Webr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut:
Librairie Du Liban, 1980), h. 596
20

Terdapat beberapa ayat yang menerangkan pentingnya menjalin kasih sayang di


antara sesama umat manusia tanpa membedakan suku, agama,dan ras, misalnya Q.S. al-Anbiya
(21): 107, Q.S. al-Hasyar (59): 9, Q.S. al-Balad (90): 17-18; perdamaian, Q.S. al-Baqarah (2):
105, Q.S. al-Araf (7): 56; persaudaraan, Q.S. al-Hujurat (49): 10; persamaan, Q.S. al-Hujurat
(49): 13; toleransi, Q.S. al-Kafirun (109): 1-6; keadilan, Q.S. al-Nisa (4): 58 dan 135, Q.S. alNahl (16): 90; keseimbangan, Q.S. al-Qasas (28): 77; kebebasan, Q.S. al-Baqarah (2): 256; dan
larangan bunuh diri Q.S. al-Baqarah (2): 195, Q.S. al-Nisa (4): 29.
21
Asad al-Sahamrn, L li al-Irhb, Naam li al-Jihd , Cet. I (Beirut: Dr al-Nafis,
2003), h. 17

Persoalan serupa juga dikemukakan Azyumardi Azra bahwa terdapat


kesulitan dalam mendefinisikan terorisme yang dapat disepakati secara
universal. Di antara penyebab kesulitan itu adalah: Pertama, terorisme
merupakan masalah moral, sehingga dalam mendefinisikannya terkadang
didasarkan pada asumsi adanya tindakan kekerasan terutama yang menyangkut
politik ada yang dapat dibenarkan sifatnya (justifiable) dan ada yang tidak dapat
dibenarkan (unjustifiable). Tindakan yang tidak dapat dibenarkan inilah yang
kemudian dikategorikan sebagai aksi teror atau aksi terorisme. Namun cara
pandang seperti ini mengandung kelemahan dalam pengelompokan suatu aksi
apakah termasuk justifiable atau unjustifiable sangat relatif tergantung siapa
yang menentukan, dari sudut mana ia memandang, standard apa yang
dipergunakan, nilai apa yang dijadikan dasar menentukan dibenarkan atau
tidaknya suatu aksi kekerasan. Kedua, sifat subyektifitas suatu aksi (meminjam
istilah

Wilkinson).

Adanya

faktor-faktor

subyektif

pada

perorangan

mengakibatkan perumusan makna terorisme kurang akurat dan ilmiah. Ketiga,


pelabelan aksi terorisme hanya diperuntukkan pada tindakan kekerasan yang
dilakukan pihak-pihak tertentu misalnya kelompok oposan.22
Persoalan di atas dapat dipahami karena beragamnya latar belakang
ideologi, kepentingan, dan tujuan yang ingin diwujudkan masing-masing negara.
Oleh sebab itu jika rumusan yang ditawarkan untuk disepakati bertentangan
dengan kepentingan suatu negara maka yang bersangkutan akan menolaknya,
sebaliknya bila sesuai dengan kepentingannya tentu disepakati. Sebenarnya bila
semua negara di dunia benar-benar ingin memberantas aksi terorisme,
seharusnya terlebih dahulu menyamakan persepsi tentang hakekat terorisme dan
menempatkan kepentingan bersama secara internasional di atas kepentingan
nasionalnya. Selain itu, unsur terpenting yang turut berperan melahirkan
tindakan terorisme adalah hegemoni internasional Amerika dan sekutunya
(Barat) dan ketidakadilan pihak dominan dalam hubungan internasional seperti
sikap

double
22

standard

(standard

ganda)

dalam

menangani

masalah

Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme, dalam Tabrani Sabirin, (ed), Menggugat
Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 1423 H/2002 M), h. 68-69. Bandingkan dengan
Abu Rido, Terorisme (Jakarta: Pustaka Terbiatuna, 2003), h. 21

internasional.23 Misalnya, sikap Amerika menyikapi konflik Palestina-Israel dan


agresi Irak terhadap Kuwait. Jika persoalan pokok (core problem) terorisme
tersebut dapat terselesaikan maka diharapkan upaya pemberantasan tindak
kekerasan terorisme akan terlaksana dalam rangka terwujudnya perdamaian
dunia.
Meskipun tidak terdapat rumusan terorisme yang disepakati secara
universal, dipandang perlu mengemukakan beberapa definisi yang diberikan
para pakar untuk menggambarkan istilah terorisme tersebut. Adam Kuper dan
Jessica Kuper dalam The Social Science Encyclopedia mengemukakan bahwa
terorisme adalah kegiatan (aksi) yang bertujuan untuk mengintimidasi, membuat
kepanikan, dan kehancuran dalam suatu masyarakat. Aksi tersebut bisa
dilakukan baik secara personal atau kelompok dengan tujuan melawan
pemerintah.24 Pengertian ini mirip dengan definisi yang diberikan A. Zaki
Badawi bahwa terorisme merupakan kegiatan menyebar ketakutan yang
menimbulkan dampak pada tubuh dan akal, dilakukan kelompok terorganisasi
untuk mewujudkan tujuannya dengan cara kekerasan.25 Pengertian tersebut
tampaknya lebih menitikberatkan pada tindakan kekerasan yang dilakukan
perorangan atau kelompok tertentu diluar pemerintahan. Rumusan tersebut
mengabaikan kemungkinan suatu pemerintahan melakukan aksi terorisme (state
terrorism). Sedikit berbeda dengan pengertian Abu Ridho mengenai terorisme
yakni setiap tindakan yang menimbulkan suasana ketakutan dan keputusasaan
(fear and despair).26 Pengertian Ridho ini mengindikasikan setiap tindakan
kekerasan seperti pembunuhan, perampokan, intimidasi, dan penindasan dapat
dikategorikan sebagai aksi terorisme tanpa klasifikasi pelakunya dan tujuannya.
Pemahaman Kuper dan Badawi tentang terorisme lebih mirip dengan pemikiran
23

Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme


&Pluralitas, Cet. I (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 84
24

Lihat: Adam Kuper and Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia , Second
Edition (London: Routledge, 1996), h. 872
25

A. Zaki Badawi, Mujam Mustalaht al-Ulm al-Ijtimiyah (Beirut: Librairie du


Liban, 1978), h. 342
26

Abu Ridho, Terorisme (Jakarta: Pustaka Terbiatuna, 2003), h. 9

10

Peter Soderberg bahwa teror adalah upaya menempuh cara-cara kekerasan untuk
suatu target-target politis yang dilakukan pihak-pihak yang tidak mempunyai
kekuasaan. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan kemarahan atau penentangan
secara politis terhadap pemerintah resmi karena negara dianggap tidak
memenuhi tuntutan-tuntutan kelompok tertentu.27 Baik Kuper, Badawi maupun
Peter Soderberg memiliki kesamaan tentang pelaku aksi teror yakni kelompok
non pemerintahan yang bertujuan merongrong kewibawaan penguasa.
Sekalipun terjadi perbedaan pengertian terorisme di atas, penulis
membatasi pengertian terorisme yaitu mencakup aksi teror yang umumnya
memiliki tujuan politis baik dilakukan oleh individu maupun kolektif ataupun
negara yang mengakibatkan ketakutan dan kehancuran manusia serta fasilitas
umum lainnya. Jadi, tindakan teror yang umumnya dilakukan dengan motivasi
politik untuk mewujudkan ketakutan, kecemasan masyarakat dan perusakan
sarana dan prasana umum dikategorikan sebagai terorisme.
Beberapa term yang ada keterkaitannya dengan terorisme dalam Islam
antara lain al-irhb (irhabiyah), al-hirbah (perampokan), qtiu al-tariq atau
quttu al-tarq (pembegal), al-baghyu (pemberontakan), al-unf (lawan dari
kelemahlembutan).28 Term al-irhb, terambil dari kata arhaba-yurhibu yang
berakar kata rahiba (ra-hi-ba) berarti intimidasi atau ancaman.29 Dapat juga
bermakna

akhfa

(menciptakan

ketakutan)

atau

fazzaa

(membuat

30

kengerian/kegetaran). Makna bahasa ini terdapat dalam Q.S. al-Anfal (8): 60.31

27
Peter Soderberg, Astir Irhbiyah baina al Wahm wa al Mughlah wa al-Wqi ,
terjemahan Affaf Maruf (Kairo: Dr Nasyr, 1992), h. 47
28

Ab al-Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr al-Afriq al-Misr, Lisn
al-Arab, Jilid III Cet. I (Beirut: Dr Sdir, 1410 H/1990 M), h. 97
29

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif,


1997), h. 539
30

Ab al-Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr al-Afriq al-Misr, Lisn
al-Arab, Jilid I, Cet. I (Beirut: Dr Sdir, 1410 H/1990 M), 436; Luis Malf, al-Munjid fi alLugah wa al- Alm , Cet. XXXIX (Beirut: Dr al- Masyriq, t. th.), h. 282
31

Allah swt berfirman: ... ... ( kamu menggetarkan musuh Allah


dan musuhmu ). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama
Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya , Edisi Baru (Semarang: CV. Toha Putra, 1989),
h. 271

11

Al-Irhb

adalah

tindakan

intimidasi,

teror

yang

mengganggu

ketenteraman warga seperti merampas harta dan merenggut jiwa mereka serta
membuat kerusakan di muka bumi. 32 Term ini dipahami sebagai terorisme
karena teroris dalam beraksi bersikap keras dan kasar. Dalam literatur fiqh
klasik istilah terorisme disebut al-hirbah (perampokan). Dalam beraksi,
penyamun atau pembegal mengangkat senjata berupa batu, kayu maupun besi
untuk merampok harta orang lain atau membunuh. Sanksi hukuman bagi mereka
berupa dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau
diasingkan sesuai dengan ayat 33 surat al-Maidah (5).33 Tetapi jika tidak
bersenjata maka mereka tidak termasuk muhrib menurut jumhur ulama. 34
Istilah hirbah identik dengan terorisme karena pembegal dalam beraksi selalu
menggunakan kekerasan dan terkadang melakukan pembunuhan. Peristiwa
seperti ini berakibat mengganggu ketentraman individu dan masyarakat.
Demikian halnya term al-Baghyu yang bermakna bertindak sewenang-wenang.35
Sikap sewenang-wenang senantiasa melekat pada tindakan terorisme. Pelaku alBaghyu disebut al-Bghi atau dalam bentuk pluralnya al-Bught yakni orang-

32
Zaid bin Muhammad bin Hdi al-Madkhali, al-Irhb wa Atsaruhu ala al-Afrd wa
al-Umam (Madinah: Dr al-Sabl al-Muminn, 1417 H), h. 1
33
Allah swt berfirman:
.
(Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat berdiamnya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama
Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya , Edisi Baru (Semarang: CV. Toha Putra, 1989),
h. 164
34
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III
(Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2002), h. 104-105. Penjelasan selanjutnya lihat: Abdul Qadir Audah,
al-Tasyri al-Jini al-Islmi, Muqran bi al-Qnun al-Wadi , Juz II, Cet. XIV (T. tp: Muassasah
al-Risalah, 1418 H/1997 M), h. 638. Masalah ini akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan
bab V.
35
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir, Cet. XIV (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 98

12

orang yang mengadakan perlawanan pemberontakan (kudeta) terhadap


pemerintahan yang sah karena terjadi kesalahpahaman politik.36
Dalam kitab-kitab fiqh klasik, pembahasan tentang terorisme biasanya
dikaitkan dengan istilah al-hirabah, qtiu al-tarq (quttu al-tarq), al-unf,
dan al-baghyu. Keempat term tersebut maksudnya adalah upaya untuk menakutnakuti orang lain dengan menggunakan senjata atau peralatan lainnya. Imm
mazhab yang empat (Mlik, Hanbal, Syfi dan Ab Hanfah) sependapat
tentang pendefinisian tersebut, hanya saja mereka berbeda dalam pemberian
hukuman bagi pelaku teror. Menurut Hanaf, Syfi , dan Hanbal , sanksi yang
diberikan kepada para teroris harus sesuai dengan tertib urutan yang tersebut
dalam Alquran,37 sedangkan menurut Mlik, tidak mesti sesuai dengan urutan
yang tertera dalam Alquran tetapi diserahkan pada ijtihad hakim apakah sanksi
hukumannya dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara bersilang
atau diasingkan (dipenjarakan).38
Semua istilah tersebut di atas (al-irhb, al- h irbah, qtiu al-tarq, albaghyu, dan al-unf ) pada dasarnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut yakni:
menggunakan kekerasan, mengganggu keamanan dan kenyamanan individu dan
masyarakat; merampas hak-hak orang lain berupa hak kehormatan, kebebasan,
kemerdekaan, harta benda dan jiwa; pelakunya dapat berupa perorangan atau
kelompok dan negara; serta bernuansa politik.
Mengidentikkan terorisme dengan al-irhb dapat berdampak pada
pemahaman kebolehan melakukan tindakan terorisme dalam Islam dengan dalih
memerangi musuh-musuh Allah dan kaum Muslimin. Misalnya, kaum
Khawarij39 membolehkan memerangi pihak lain yang tidak sepaham dengan
36

M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III
(Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2002), h. 47
37

Q.S. al-Maidah (5): 33 menerangkan sanksi bagi pelaku hirbah (muhrib) yakni
dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang, dan diasingkan.
38

Abdurrahman al-Jazir, Al-Fiqh Al al-Madzhib al-Arbaah, Juz V (Beirut: Dr alKutb al-Ilmiyah, 1999), h. 360-361
39

Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar (keluar dari kelompok
Ali),yakni orang-orang yang keluar dari barisan Ali karena tidak menerima arbitrase (tahkim)

13

mereka karena dianggap keluar dari Islam. Demikian juga Sekte Assassin yang
merupakan sempalan kelompok ekstrim dari sekte Syiah Ismailiyah dipimpin
Hassan al-Shabah membolehkan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik
mereka dari Bani Saljuq pada abad ke- 11 dan ke- 13. Tindakan mereka ini oleh
sebagian sejarawan dikategorikan sebagai aksi terorisme.40
Tindakan terorisme terkadang diasosiasikan oleh kalangan tertentu
sebagai bagian dari kegiatan jihad karena term jihad dalam Islam mengandung
pengertian yang sangat luas, antara lain sebagai usaha yang sungguh-sungguh
dilakukan dengan keras dan tekun; upaya pengendalian hawa nafsu; keluar
rumah mencari nafkah untuk keluarga; meninggalkan kampung halaman demi
mencari ilmu pengetahuan; perang membela agama; melawan hawa nafsu dalam
rangka mentaati Allah; menguras kemampuan dalam memerangi musuh.
Pengertian yang terakhir terkadang identik dengan aksi terorisme. Moh Guntur
Romli dan A Fawaid Sjadzili berpendapat bahwa term jihad mengandung
multimakna, multitafsir dan multibentuk.41 Misalnya pembakuan makna jihad
dengan mujhadah (olah spriritual) dalam tradisi sufi, makna ijtihd (olah

lalu mengangkat Abdullah bin Wahhab al-Rasibi sebagai pemimpin mereka. Ada juga yang
mengatakan bahwa kata khawarij itu didasarkan pada pengertian dalam surat Q.S. al-Nisa (4):
100 yang pengertiannya keluar dari rumah untuk berjuang di jalan Allah. Selain nama
Khawarij, terdapat beberapa nama lain yang diberikan kepada kelompok ini, yakni alMuhakkimah, Syurah, Haruriyah, dan al-Mariqah. Lihat: Abu Zahra, Trikh Madzhib alIslmiyah, Mesir: Dr al-Fikr al-Arab, 1989, h. 60-124; Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), h. 47
40

Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme, dalam Tabrani Sabirin (ed.), Menggugat
Terorisme (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 73; M.Qasim Mathar, Makalah disampaikan
dalam Seminar bertema: Kejahatan Internasional dan Antisipasi Hukumnya dilaksanakan oleh
Fakultas Syariat IAIN Makassar, 29 Oktober 2001 di kampus IAIN Makassar, h. 2
41

Terdapat lima (5) macam jihad yakni: jihad melawan nafsu dalam menjalankan
ketaatan kepada Allah swt; jihad melawan setan yang selalu mengajak kepada kemaksiatan
dan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; jihad melawan para pelaku maksiat
dengan cara beramar maruf nahi mungkar; jihad melawan orang-orang munafik yang berpurapura beriman sedangkan hatinya menyimpan kekafiran kepada Allah swt; dan jihad melawan
orang-orang kafir yang lebih dikenal dengan jihad fi sabilillah (perang). Lihat: Ab al-Asybal
Ahmad bin Slim al-Misri, Fatwa al-Ulama al-Kibr fi al-Irhb wa al-Tadmr wa Dawbit alJihd wa al-Takfr wa Mumalat al-Kuffr , Cet. I (Al-Riyd: Dr al-Kiyn, 2005), h. 292-296

14

nalar) dalam tradisi intelektual, dan makna jihd (olah fisik) dalam tradisi
perang.42
Pemikir Islam progresif, Khaled Abou El-Fadl, mengkritisi pemahaman
jihad yang sempit dari beberapa kelompok Muslim yang hanya ditujukan pada
makna berperang. Menurutnya, jihad dalam Alquran adalah segala komitmen
yang berimplikasi pada perjuangan mendapatkan ilmu pengetahuan, konsern
terhadap manusia yang lemah (termasuk manusia yang sakit dan miskin),
membela kebenaran dan keadilan. Jadi, jihad tidak semata-mata di artikan
perang (holy war), sebab istilah perang suci dalam bahasa Arab disebut
dengan al-harb al-muqaddasah. Alquran menggunakan term al-qitl untuk
makna berperang. Islam tidak merekomendasikan perang sebagai solusi dari
suatu konflik termasuk dengan kelompok non Muslim yang tidak tunduk pada
supremasi politik negara Islam, tetapi melalui fase-fase alternatif yakni menjadi
Muslim, membayar pajak (jizyah), dan terakhir adalah resolusi serangan.
Alquran juga menggarisbawahi bahwa dalam proses negosiasi dan resolusi
tersebut mengutamakan perdamaian (peace) dengan cara memaafkan dan
dilakukan dengan lemah lembut, bukan dengan kekerasan.43 Pandangan Abou
El-Fadl ini mempresentasikan Islam yang humanis dan toleran dan tidak
mengkategorikan jihad dalam arti yang sempit.
Ulama klasik dari kalangan Imm mazhab cenderung mengklasifikasikan
jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap musuh agama (orang kafir). Dalam
pandangan mazhab Hanaf, jihad adalah mengajak manusia kepada agama yang
benar, jika orang tersebut menolak ajakan, maka mereka bisa diperangi dengan
harta dan jiwa. Pandangan serupa dikemukakan mazhab Syfi bahwa orangorang kafir itu perlu diperangi untuk memenangkan Islam. Pandangan ulama
mazhab klasik ini sekalipun mengarah pada pemahaman jihad dengan perang

42

Moh Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I
(Jakarta: LSIP, 2004), h. 2-3
43

Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, (New
York: Harper SanFrancisco, 2005), h. 221-225; Selain al-qitl, jihad dalam arti perang dalam
Alquran disebut juga al-harb dan al-ghazwah. Lihat: Q.S. al-Maidah (5): 33 dan Q.S. al-Taubah
(9): 107 di dalamnya terdapat kata al-harb. Sedang kata al-ghazwah terdapat dalam Q.S. Ali
Imran (3): 156

15

tapi masih dalam konteks mempertahankan diri (defensif) dan ini merupakan
kewajiban kolektif (fard kifyah).44
Kelompok-kelompok

radikal

Muslim

cenderung

menggunakan

legitimasi agama dalam bertindak. Militansi keberagamaan mereka dapat


berdampak positif dan negatif. Secara internal, mereka akan bertindak positif
terhadap teman dan seperjuangan yang direfleksikan dalam bentuk pembelaan.
Sebaliknya, secara eksternal mereka cenderung bersikap negatif yakni
memandang kelompok lain sebagai musuh dan ancaman yang harus diwaspadai
bahkan jika diserang sebagai refleksi konsep jihad yang dipahami. Tindakan
kekerasan yang dilakukan mereka terhadap kelompok lain dapat dikategorikan
sebagai aksi terorisme,45 seperti yang dikemukakan oleh kalangan luar Islam dan
sebagian umat Islam (kelompok moderat) yang tidak setuju dengan cara-cara
mereka. Bagi kelompok moderat, Islam adalah agama rahmatan li al-lamn,
Islam tidak mengajarkan dan menyuruh umatnya untuk melakukan tindakantindakan destruktif dan kekerasan. Bagi mereka, tindakan kekerasan atas nama
agama hanyalah kamuflase dari suatu ambisi politik yang dilegitimasi dengan
dalil-dalil agama.
Kelompok Islam garis keras, dalam gerakan jihadnya seringkali
menempuh cara-cara destruktif misalnya pengeboman, penyanderaan sampai
pada bom bunuh diri. Mereka berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya
adalah jihad dalam rangka membela Islam (li ilai kalimatillah) seperti yang
diungkapkan Usamah bin Ladin, pemimpin Al-Qaeda. Menurutnya, setidaknya
terdapat tiga alasan aqliyah ditunjang dalil-dalil naqliyah mengapa ia
menfatwakan seruan jihad melawan Yahudi dan tentara salib (Amerika dan
sekutu-sekutunya): Pertama, Amerika menduduki jazirah Arabia termasuk tanah
suci Mekah dan Madinah lebih dari tujuh tahun, menjarah harta kekayaannya,
44

Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu (Damaskus: Dr al-Fikr, 1989),


h. 413-414
45

Di antara unsur-unsur terorisme adalah: adanya tindakan atau ancaman kekerasan;


adanya reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau calon
korban; dan dampak sosial yang mengikuti kekerasan (atau ancaman) dan rasa ketakutan yang
muncul kemudian. Lihat: Azyumardi Azra, Terorisme, Jihad dan Islam, dalam Tabrani
Sabirin, Menggugat Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 71

16

mendikte pemerintahnya dan menteror negara-negara tetangganya. Kedua,


Amerika dengan aliansi pasukan Salib-Zionis telah menghancurkan bangsa Irak
dan membunuh lebih satu juta orang. Ketiga, tujuan kedatangan Amerika di
negara-negara Islam disamping misi keagamaan dan ekonomi, juga untuk
melayani negara kecil bangsa Yahudi. Agresi Amerika ke negara-negara Islam
tersebut merupakan deklarasi perang terhadap Allah, Rasul-Nya dan kaum
Muslimin.46 Selain itu perintah Allah swt dalam Alquran untuk berjihad di jalan
Allah antara lain: Q.S. al-Baqarah (2): 193 dan Q.S. al-Nisa (4): 75.47
Berdasarkan dalil di atas, kelompok Islam garis keras yang dipelopori
kelompok Usamah mengeluarkan fatwa kepada seluruh kaum Muslimin bahwa
hukum membunuh orang-orang Amerika dan sekutunya baik sipil maupun
militer adalah fardu ain (wajib individual) bagi setiap Muslim yang mampu
melakukannya di manapun berada, sampai
Haram bebas dari cengkraman mereka.

masjid al-Aqsha dan masjid al-

48

Mencermati seruan jihad yang disampaikan oleh pimpinan Al-Qaeda


(Usamah bin Ladin) tersebut, tampaknya mengandung beberapa hal yang perlu
dikritisi antara lain: Pertama, menurut fatwa tersebut hukum membunuh orangorang Amerika dan sekutu-sekutunya baik sipil maupun militer adalah fardu
ain. Statemen ini tampaknya terlalu mengeneralisasi dalam beraksi sehingga
melebihi sasaran perang sebab dalam perang sasarannya jelas yakni musuh
46

Tim Penerbit Ababil Press (ed.), Deklarasi Perang: Karya Asli, Fatwa dan
Wawancara Usamah bin Ladin, Cet. I. (Jakarta: Ababil Press, 2001), h. 61-62
47

Allah berfirman:

(193 : )
(Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya
untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orng-orang yang zalim (al-Baqarah: 193). Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya ,
Edisi Baru (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 47
(75 : ) ...
(Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah
baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak ). Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQuran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya , Edisi Baru
(Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 131
48

Tim Penerbit Ababil Press (ed.), Deklarasi Perang, Karya Asli, Fatwa dan
Wawancara Usamah bin Ladin, Cet. I. (Jakarta: Babil Press, 2001), h. 63

17

dengan ketentuan dilarang membunuh anak-anak, wanita dan usia lanjut bahkan
tidak diperkenankan menebang pepohonan. Membandingkan objek sasaran
perang dalam Islam dengan fatwa jihad di atas mengilustrasikan betapa sadis
dan kejamnya syariat Islam. Efek dari seruan jihad tersebut akan mencederai
citra Islam sebagai agama humanis, kasih sayang dan toleran sehingga tujuan
jihad untuk meninggikan kalimatullah (li ilai kalimatillah) akan sulit terwujud.
Kedua, mempersoalkan keberadaan militer Amerika dan sekutu-sekutunya di
wilayah Saudi Arabia yang merupakan wewenang pemerintah Kerajaan Saudi.
Sebagai warga negara yang baik, selayaknya Usamah melobi pihak Kerajaan
secara persuasif sambil mengutarakan keprihatinannya akan keberadaan militer
Amerika dan sekutu-sekutunya di Jazirah Arab. Upaya semacam itu kiranya
termasuk bagian dari jihad. Ketiga, aksi bom yang dilakukan oleh anggota atau
simpatisan kelompok Al-Qaeda pada umumnya lebih banyak mengorbankan
warga sipil non Amerika bahkan tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang
turut jadi korban. Misalnya, peledakan bom di kota Riyadh dan Khubar.49
Keempat, menyaksikan agresi militer Amerika dan sekutu-sekutunya ke negaranegara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Irak dan Afganistan, maka
hukum jihad saat ini menurut Usamah adalah fardu ain. Sebenarnya yang
berwenang menetapkan hukum kewajiban jihad adalah penguasa dan majlis
ulama, sehingga penentuan kewajiban jihad oleh selain kedua lembaga tersebut
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Seruan jihad yang dimotori Usamah bin
Ladin memungkinkan untuk mendorong para Muslim radikal dan fundamentalis
melakukan aksi jihad yang destruktif dan revolusioner yang tampaknya
bertentangan dengan misi Islam yang humanis, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, kasih sayang, kedamaian, dan ketentraman hidup.
Oleh karena itu, kajian tentang terorisme dan jihad dalam perspektif
hukum Islam perlu dikaji secara khusus dan komprehensif karena terjadi
distorsi pemahaman dan penyalahgunaan antara kedua terminologi tersebut:
terorisme dan jihad. Di satu sisi, pengamat terorisme terutama dari Barat
49
Luqman bin Muhammad Baabduh, Sebuah Tinjauan Syariat: Mereka adalah
Teroris: Bantahan Terhadap Buku Aku Melawan Teroris, (Malang: Pustaka Qaulan Sadida,
2005), h. 251

18

mengklaim bahwa kasus teror yang terjadi pada dekade terakhir dimotori oleh
kelompok fundamentalis Muslim, namun di sisi lain kelompok fundamentalis
Muslim melakukan aksi teror sebagai bentuk perwujudan doktrin jihad yang
menurut mereka mendapat legitimasi agama. Kajian ini mengelaborasi tentang
terorisme dan jihad dalam Islam (hukum Islam) untuk memberikan jawaban
terhadap klaim dari kedua pihak tersebut atau orang-orang yang memiliki
argumentasi yang sama dengan mereka untuk menjelaskan bahwa Islam bukan
agama teror.

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu
membatasi permasalahan kajian ini pada pembahasan sekitar diskursus tentang
terorisme dan jihad dalam perspektif hukum Islam. Pembahasan ini sangat urgen
mengingat gencarnya argumentasi yang kadang-kadang mengidentikkan
terorisme dengan Islam (jihad), dan bahkan pelaku teror itu sendiri
memproklamirkan bahwa aksi teror yang dilancarkannya mendapat legitimasi
agama sebagai pengamalan doktrin jihad. Dari permasalahan pokok tersebut,
penulis rumuskan ke dalam dua sub masalah sebagai berikut:
a. Mengapa sebagian gerakan Islam mengaktualisasikan jihad dalam
bentuk kekerasan (teror)?
b. Bagaimana pandangan fuqaha tentang terorisme dan jihad?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian


Penulis mengangkat kajian ini dilatarbelakangi oleh munculnya
kejahatan terorisme pada dekade terakhir, dan ironisnya para teroris
menggunakan justifikasi agama (jihad) atas aksi mereka yang destruktif. Di sisi
lain, adanya asumsi terutama dari Barat, bahwa teroris umumnya berasal dari
kelompok-kelompok Muslim radikal, dan menarik kesimpulan yang tidak valid

19

yakni Islam melegitimasi terorisme. Karena itu, penulis termotivasi untuk


mengkaji dan menguji keabsahan argumentasi yang kontroversi tersebut. Kajian
ini bertujuan:
1. Mengelaborasi berbagai alasan dan argumentasi yang dikemukakan
oleh sebagian umat Islam yang melakukan aksi terorisme atas nama
agama (jihad) disertai bantahannya (counter argument).
2. Memaparkan pandangan ulama fiqh mengenai diskursus terorisme
dan jihad baik dari kalangan ulama klasik maupun kontemporer.
Sedangkan kegunaan penulisan disertasi ini antara lain:
1. Untuk kepentingan pengembangan intelektual penulis dalam kajian
Hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan terorisme dan jihad.
2. Kajian

ini

diharapkan

dapat

memberikan kontribusi

dalam

pengembangan khazanah ilmu pengetahuan dan turut memperkaya


wacana pemikiran hukum, khususnya hukum Islam sebagai salah
satu bidang studi yang banyak diminati mahasiswa di Perguruan
Tinggi.
3. Hasil kajian ini diharapkan pula sebagai bahan pertimbangan yang
dapat memberikan konstribusi pemikiran hukum Islam bagi
penyelenggara negara dalam membangun negara dan bangsa
terutama dalam mewujudkan negara Indonesia yang bebas dari
unsur-unsur terorisme.

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Salah satu motivasi penulis mengkaji Terorisme dan Jihad dalam
Perspektif Hukum Islam dikarenakan penelitian atau kajian terdahulu belum
secara khusus membahas tentang terorisme dan kaitannya dengan jihad dalam
pandangan hukum Islam. Beberapa referensi dan karya-karya ilmiah yang ada
umumnya membahas mengenai terorisme secara parsial, misalnya dalam kitabkitab fiqh klasik pembahasannya seputar masalah terorisme secara umum, hanya

20

terdapat dalam pasal atau bab tersendiri. Biasanya kajian tentang terorisme
ditemukan pada pasal atau bab tentang pembegal (qtiu al-tarq atau quttu altarq), bab perampokan (al-hirbah), dan bab pemberontakan (al-baghyu) serta
selalu berkenaan dengan hukuman atas pelakunya. Di antara kitab-kitab klasik
tersebut adalah kitab al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah, karya Abdurrahman
al-Jazir, Kitab al-Umm karya Imm Muhammad Idris al-Syfi (w. 204 H), dan
Ab Muhammad Al ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya
al-Muhall, menguraikan antara lain persamaan persepsi para ulama klasik
yang mengidentikkan perampokan (qtiu al-tarq) dengan hirbah atau term
terorisme lainnya, tetapi ulama mazhab berbeda pendapat tentang had (sanksi)
yang akan diberikan bagi perampok.50 Kitab-kitab tersebut hanya menjelaskan
konsep qtiu al-tarq, al-hirbah dan al-baghyu secara tekstual baik dari segi
bentuknya, sanksi hukumannya dan mengacu pada pendapat ulama klasik serta
tidak mengembangkan pemahaman kontekstual dalam kaitannya dengan
terorisme.
Ulama kontemporer seperti Wahbah al-Zuhail dalam al-Fiqh al-Islm
wa Adillatuhu, Abdul Qadir Audah dalam al-Tasyr al-Jin al-Islm
Muqran al-Qnn al-Wad hanya menjelaskan informasi yang sama seperti
yang tertera dalam karya ulama klasik. Bahkan ada ulama kontemporer yang
secara ekstrem mengumandangkan perlunya jihad secara revolusioner dan ini
bisa dikategorikan sebagai bentuk terorisme bila disalahgunakan seperti
argumentasi Sayyid Qutb (w. 1966 M) dalam bukunya Malim f al-Tarq.
Menurutnya, kemunduran umat Islam lebih disebabkan oleh kolonialisasi dan
modernisasi Barat yang berorientasi pada materialisme dan hedonisme, karena
itu diperlukan upaya strategis untuk melawannya antara lain: Pertama,
masyarakat Islam perlu memiliki sense of crisis dan melakukan perubahan
fundamental dan radikal. Dalam hal ini, komunitas Muslim dibekali dengan
50

Abdurrahmn al-Jazir, al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V (Beirut: Dr alKutub al- Ilmiyah, 1420 H/1999 M), h. 360-361; Al-Imm Muhammad ibn Idris al-Syfi, alUmm, Juz IX, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1993 M), h. 280; Ab
Muhammad Al ibn Ahmad ibn Sad ibn Hazm, al-Muhall, Juz XI (T.t: Dr al-Fikr, t.th.), h.
300-319

21

pengetahuan tentang nilai-nilai dasar, moral dan etika Islam, sehingga jika
terjadi penguasaan (dominasi) atas manusia lainnya, maka harus dikembalikan
pada konsep dasar yakni hanya Allah yang berhak berkuasa. Kedua, jihad
dijadikan sebagai sarana strategis untuk mengeliminasi hegemoni dan dominasi
Barat. Karenanya, gerakan al-Ikhwan al-Muslimun pimpinan Sayyid Qutub
melakukan serangan secara menyeluruh dan sistematis terhadap dominasi
modernitas atas nama jihad dalam rangka membangun kembali Negara
Tuhan.51
Lain halnya dengan pemikir Islam kontemporer seperti Khaled Abou ElFadl, dalam bukunya The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists,
meluruskan pemahaman jihad dengan makna berperang. Menurutnya, jihad
dalam Alquran adalah segala komitmen yang berimplikasi pada perjuangan
mendapatkan ilmu pengetahuan, konsern terhadap manusia yang lemah
(termasuk manusia yang sakit dan miskin), membela kebenaran dan keadilan.
Jadi, jihad tidak semata-mata di artikan perang (holy war), sebab istilah perang
suci dalam bahasa Arab disebut dengan al-harb al-muqaddasah. Alquran
menggunakan

term

al-qitl

untuk

makna

berperang.

Alquran

juga

menggarisbawahi bahwa dalam proses negosiasi dan resolusi tersebut


mengutamakan perdamaian (peace) dengan cara memaafkan dan dilakukan
dengan lemah lembut, bukan dengan kekerasan.52
Demikian juga penulis-penulis Indonesia belum menjelaskan secara
komprehensif antara terorisme dan jihad dalam perspektif hukum Islam. Tulisan
tersebut antara lain buku Terorisme karangan Adjie Suradji mengeksplorasi
terorisme dalam bentuk taktik dan aplikasi teroris serta knonologis kasus teror
baik berskala nasional maupun internasional.53 Kajian lain adalah dampak
terorisme terhadap keterlibatan alumni dan pimpinan pondok pesantren Ngruki
Solo karya Muchammad Tholchah berjudul The Impact of Terrorism Issue on

51

Sayyid Qutb, Malim fi al-Tarq (Beirut: t.tp., 1981), h. 71-75

52

Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New
York: Harper San Francisco, 2005), h. 221-225
53

Adjie Suradji, Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 53-54

22

Parents Trust (A Study of Ngruki Pesantren, Surakarta Central Java). 54


Berdasarkan beberapa buku dan penelitian tersebut, penelitian ini lebih
mengarah pada penganalisaan dan pengujian persoalan terorisme dan jihad
dalam perspektif hukum Islam secara komprehensif dengan mengemukakan
teks-teks dasar terutama al-Quran dan hadis, sekaligus memberikan
argumentasi yang melahirkan suatu hukum yang tercakup dalam al-Ahkamul alKhamsah. Tetapi perlu dicatat, bahwa literatur di atas akan dijadikan acuan
dalam penelitian ini.
E. Metodologi Penelitian
Pada dasarnya, penelitian ini bersifat kualitatif yang menitikberatkan
pada kajian kepustakaan (library research) dan akan menghasilkan data
deskriptif55 sehingga memerlukan pendekatan deskriptif analisis. Dengan
demikian, kajian ini hanya berorientasi pada referensi hasil karya pakar hukum
Islam termasuk mufassir dan orang-orang yang berkompetensi di bidang
terorisme dan jihad. Penelitian deskriptif ini lebih berfokus pada studi teks-teks
yang memerlukan olahan uji empirik di lapangan melalui hasil penelitian yang
telah ada, dan studi pustaka yang menekankan olahan filosofik dan teoritik dari
pada uji empirik. Kedua model penelitian pustaka ini digunakan untuk
menganalisa teks (content analysis) yang diharapkan bisa memenuhi tiga
persyaratan yakni obyektifitas, sistematis dan generalisasi. Obyektifitas
didasarkan pada aturan yang dirumuskan secara eksplisit. Dikatakan sistematis
jika kajian itu menggunakan kriteria tertentu, sedangkan generalisasi maksudnya
hasil suatu kajian bisa memberikan kontribusi teoritik.
Teknik

interpretasi

data

menggunakan

analisa

induktif

seperti

argumentasi, kausalitas atau perbandingan dan berpikir deduktif seperti analogi

54

Muchammad Tholchah, The Impact of Terrorism Issue on Parents Trust (A Study of


Ngruki Pesantren, Surakarta Central Java The Impact of Terrorism Issue on Parents Trust (A
Study of Ngruki Pesantren, Surakarta Central Java), Thesis S2, (Jakarta: Uinversitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 2007), h. 70-72
55

Lihat: Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif , Cet. VIII (Bandung:


Remaja Rosdakarya, 1997), h. 3

23

yang terjadi secara reflektif yang berkesinambungan selama proses menuangkan


hasil pemikiran dan hasil bacaan berlangsung. Namun refleksi intelektual dan
kemampuan berargumentasi secara logis perlu didukung dengan data empirik
yang relevan sehingga hasil pemikiran bersifat rasional.56
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penulisan disertasi ini adalah
menginventarisir konsep terorisme dan jihad dalam hukum Islam dan hal-hal
yang

berkaitan

dengannya,

mengkategorisasi,

menggabungkan,

dan

mendiskripsikan data. Setelah itu, data dianalisa dan disimpulkan berdasarkan


pemahaman penulis.
F. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri dari enam bab yaitu:
Bab Pertama mencakup Pendahuluan yang menguraikan pemikiran
Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan Rumusan Masalah, Tujuan dan
Kegunaan Penelitian, Identifikasi Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan,
Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab pertama merupakan
gambaran awal tentang penulisan disertasi ini.
Bab Kedua membahas Seputar Hukum Islam. Pembahasannya meliputi:
Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Islam, Sifat dan Karakteristik Hukum
Islam, serta Prinsip-Prinsip dan Tujuan Hukum dalam Islam.
Bab

Ketiga

mengemukakan

Terorisme

di

Era

Kontemporer.

Pembahasannya lebih mengarah pada Pengertian, Kriteria dan Bentuk-Bentuk


Terorisme, Lintasan Sejarah Terorisme, Faktor-Faktor Lahirnya Terorisme,
Terorisme dalam Konteks Globalisasi, dan Akar-Akar Terjadinya Terorisme di
Dunia Islam. Uraian yang ada dalam bab ini diharapkan dapat mengetahui dan
mengidentifikasi persoalan yang berkaitan dengan terorisme, historisnya serta
keterkaitannya dengan globalisasi dan modernisasi.
Bab Keempat adalah Konsep Jihad dan Prakteknya pada Masa
Kontemporer. Pembahasan ini mencakup Pengertian dan Etika Jihad,
56
Azhar Arsyad, Pokok-Pokok Manajemen (Montreal Canada: McGill Executive
Institute, 1996), h. 55

24

Menelusuri Makna Jihad Dalam Sejarah, Alasan Disyariatkan Jihad,


Reinterpretasi Jihad Dalam Konteks Kekinian, serta Jihad dan Gerakan Radikal
di Dunia Islam. Pembahasan ini mengidentifikasi persoalan seputar jihad serta
prinsip-prinsipnya terutama yang berkaitan dengan evolusi pemaknaan jihad
dalam Islam.
Bab Kelima adalah Hukum Islam tentang Terorisme dan Jihad.
Pembahasannya meliputi Hukum Islam tentang Terorisme dan Jihad, Perbedaan
Terorisme dan Jihad, Penyalahgunaan Konsep Jihad dalam Praktek Terorisme,
Hukum Islam tentang Terorisme, Hukum Islam tentang Jihad serta Analisis
Hukum tentang Terorisme dan Jihad. Pembahasan ini menelaah secara kritis
persoalan yang berkaitan dengan terorisme dan jihad dalam perspektif hukum
Islam serta mencoba menjelaskan perbedaan yang signifikan antara kedua
persoalan

tersebut

sekaligus

mengidentifikasi kemungkinan

terjadinya

penyalahgunaan konsep jihad dalam praktek terorisme.


Bab Keenam merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan
penelitian ini dan saran-saran yang bisa direkomendasikan.

BAB II
HUKUM ISLAM
Hukum Islam diyakini sebagai peraturan yang disyariatkan kepada
manusia yang mukallaf1 baik secara eksplisit dijelaskan dalam Alquran dan
hadis maupun hasil interpretasi atau ijtihad manusia yang berdasarkan kepada
kedua sumber tersebut. Karena kombinasi antara dua unsur yang signifikan
yakni syariat dan fiqh, maka hukum Islam memiliki nilai-nilai universal,
komprehensif dan fleksibilitas sehingga tidak akan mengalami keterbatasan dan
penyempitan fungsi secara aplikatif.
Pemahaman akan urgensi dan nilai-nilai hukum Islam belum terlalu
tersosialisasikan terutama terhadap komunitas yang kurang memahami hukum
Islam dan mungkin juga termasuk kalangan umat Islam sendiri. Implikasinya
adalah terjadi distorsi pemahaman bahwa hukum Islam itu tidak humanis, kejam
dan diskriminatif karena klaim seperti itu semata-mata melihat hukum Islam
dalam perspektif yang sangat sempit yaitu pada tataran hukum potong tangan
untuk jarimah pencurian, hukum rajam untuk penzina yang pernah menikah
(muhsan),2 dan bagian warisan dua bagi laki-laki dan satu bagi perempuan (2:1).
1

Term mukallaf berarti orang yang dibebani melaksanakan ajaran Islam karena telah
memenuhi syarat antara lain: dewasa, berakal sehat, merdeka, dan telah sampai kepadanya
ajaran Islam. Mereka yang termasuk dalam kategori ini akan mendapat sanksi jika tidak
melaksanakan ajaran Islam. Sebaliknya, mereka akan memperoleh ganjaran bila
melaksanakannya. Karena itu, bagi orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut belum bisa
digolongkan dalam mukallaf. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM,
Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 220
2
Istilah muhsan adalah lafal muzakkar (laki-laki), maksudnya laki-laki yang sudah
pernah menikah, sedang perempuan yang telah menikah disebut muhsanah. Ulama berbeda
pendapat mengenai hukuman bagi seseorang yang telah menikah baik laki-laki maupun
perempuan lalu berzina (melakukan hubungan badan luar nikah). Menurut Imam al-Hasan,
Ishak, ibn Munzir, golongan Zahiriyah, dan Syiah Zaidiyah hukuman pezina muhsan dan
muhsanah adalah jilid (dera) seratus kali dan rajam (ditanam setengah badan, kemudian
dilempari batu hingga mati). Sedang menurut Imam mazhab (Mlik, Syfi, Abu Hanfah, dan
Ahmad ibn Hambal) hukumannya cukup rajam tanpa jilid (dera). Lihat: Ahmad Wardi Muslich,
Hukum Pidana Islam, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 34-35. Demikian halnya pelaku
sodomi yang dilakukan baik muhsan maupun gair muhsan (belum menikah) menurut Mlik dan
Ahmad hukumannya rajam, sementara bagi Syafii, muhsan dihukum rajam dan gair muhsan
cukup didera seratus kali. Adapun pelaku lesbian, mayoritas pakar hukum mengatakan
hukumannya berupa tazir bukan hadd. Lihat: Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana

26

Oleh karena itu, pembahasan tentang segala aspek yang berkaitan dengan
hukum Islam termasuk sifat, prinsip-prinsip dan tujuannya sangat urgen untuk
mempresentasikan

hukum

Islam

secara

komprehensif,

paling

tidak

mengeliminasi terjadinya distorsi pemahaman seperti yang dikemukakan di atas.


Pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan hukum Islam sangat relevan
dengan kajian Terorisme dan Jihad dalam Perspektif hukum Islam untuk
meletakkan kedua persoalan itu secara proporsional dalam rangka menganalisa
lebih detail tentang status hukumnya dalam Islam.

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Islam


Ada dua pembahasan inti pada bagian ini yaitu pengertian dan ruang
lingkup hukum Islam. Karena term hukum Islam tidak dikenal dalam tradisi
kajian keislaman seperti Alquran, hadis dan fiqh, maka diperlukan perkenalan
beberapa istilah yang erat kaitannya dengan hukum Islam misalnya term syariat
dan fiqh dengan harapan tidak akan terjadi kekaburan makna dari berbagai
istilah-istilah tersebut.
1. Pengertian Hukum Islam
Umat Islam meyakini bahwa hukum Islam merupakan hukum yang
bersumber dari wahyu sekalipun istilah hukum Islam tidak dikemukakan secara
eksplisit didalam Alquran, hadis dan literatur hukum dalam Islam,3 yang ada
adalah term-term syariat, fiqh dan hukum Allah. 4 Hukum Islam tampaknya
sebagai istilah yang umum digunakan di Indonesia yang merupakan terjemahan
dari kata al-fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syariat al-Islm.
Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda , Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press,
2003), h. 25
3

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999) h. 11
4

Kata hukum Allah hanya terdapat dua kali dalam Alquran yakni Q.S. al-Mumtahanah
(60): 10 ( demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu) dan
Q.S. al-Maidah (5): 43 ( mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya
terdapat hukum Allah). Lihat: Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz
al-Qurn al-Karm , Cet. III (al-Qhirah: Dr al-Hadts, 1991), h. 270

27

Dalam wacana cendekiawan Barat, hukum Islam diterjemahkan dengan Islamic


Law.5 Karena penggunaan kata hukum Islam tidak disebutkan secara eksplisit
dalam pembahasan Alquran dan Hadis termasuk kitab-kitab fiqh klasik lainnya,
maka dipandang perlu untuk memahami term-term yang berkaitan dengan
pembahasan tersebut misalnya term syariat dan fiqh. Pengertian hukum Islam
sangat erat hubungannya dengan fiqh atau ilmu fiqh, karena hukum Islam pada
hakekatnya fiqh itu sendiri dalam literatur Islam yang berbahsa Arab.
Selanjutnya, fiqh pada dasarnya merupakan aplikasi dari syariat.6 Oleh karena
itu, sebelum menguraikan hukum dan fiqh terlebih dahulu dikemukakan
penjelasan tentang syariat.
a. Pengertian Syariat
Ditinjau dari sudut pandang bahasa (lughaw), syariat dalam bahasa Arab
berakar kata - - berarti jalan tempat keluarnya air untuk minum.7
Dalam pengertian lain, syariat juga berarti jalan lurus yang harus diikuti.8
Kata syariat dengan segala derivasinya disebutkan sebanyak 5 kali dalam
Alquran,9 3 di antaranya yakni dalam Q.S. al-Midah (5): 48; al-Syr (42): 13;
dan al-Jatsiyah (45): 18 bermakna jalan yang jelas yang membawa kepada
kemenangan.10 Interpretasi dan penerjemahan makna syariat secara etimologi
tersebut bervariasi. Fathurrahman Djamil misalnya, mengatakan bahwa syariat

Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), h. 1
6

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 1-

Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyr al-Islm , Jilid VIII (Beirut: Dr


al- Sdir, t.th.), h. 10
8

Mann al-Qattn, al-Tasyr wa al-Fiqh f al-Islm (T.tp: Muassasat al-Rislah, t.th.),

h. 14
9

Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn al-Karm,


Cet. III (al- Qhirah: Dr al-Hadts, 1991), h. 480
10

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 1

28

sinonim dengan term agama11 dan makna ini sejalan dengan ayat-ayat Alquran
yang disebutkan di atas.12 Hal senada dikemukakan oleh Amir Syarifuddin
bahwa syariat adalah agama yang diturunkan Allah swt untuk umat manusia,
dengan mengelaborasi lebih jauh tentang makna syariat Islam. Menurutnya,
syariat Islam memiliki kesamaan dengan jalan air dan ini menunjukkan bahwa
orang-orang yang konsisten menjalankan syariat memiliki hati atau jiwa yang
bersih dan tetap eksis (dalam masyarakat) sebab Allah menjadikan air sebagai
sumber kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. 13 Sedangkan Ibn
Manzr dalam bukunya Lisan al-Arab, mengemukakan syariat berarti sumber
mata air sebagai tempat pengambilan air baik untuk diminum maupun untuk
pemanfaatan lainnya.14 Jadi, syariat secara etimologi mengarah pada jalan lurus
yang diperpegangi khususnya yang berkaitan dengan agama.
Secara terminologi, definisi syariat diberikan oleh Mann al-Qattn
yakni segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya,
baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.15 Pengertian ini
sejalan dengan definisi yang diberikan Faruq Nabhn yakni segala sesuatu yang
disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang meliputi beberapa aspek,
seperti akidah, akhlak, dan amaliah. Bahkan menurutnya, syariat sering
dikonotasikan dengan fiqh (norma-norma amaliah).16 Pandangan Faruq di atas
sejalan dengan pendapat Mohammad Akram Laldin bahwa syariat itu terdiri dari
11

Q.S. al-Midah (5): 48 ( aturan-aturan dan jalan yang terang)


mengindikasikan beragamnya agama yang diturunkan Allah ke muka bumi; al-Syra (42): 13
( mensyariatkan bagi kamu) bahwa tiap Rasul yang diutus membawa agama yang sama;
al-Jatsiyah (45): 18 ( Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat) yakni
perintah mengikuti aturan-aturan agama.
12
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 7
13

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.

14

Ab al-Fadl Jamluddin Muhammad ibn Mukrim ibn Mandzr, Lisn al-Arab, Juz
VIII, Cet. I (Beirut: Dr Sdir , 1990), h. 175
15

Mann al-Qattn, al-Tasyr wa al-Fiqh f al-Islm (T.tp: Muassasat al-Rislah,


t.th.), h. 15
16

Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyr al-Islam , Jilid VIII (Beirut: Dr


al-Sdir, t.th.), h. 10-13

29

tiga aspek hukum yakni yang mengatur tentang akidah; akhlak; dan fiqh
(amaliah).17 Sedangkan menurut Mahmud Syaltut (w. 1963 M), syariat berarti
hukum-hukum yang ditetapkan Allah, atau dasar-dasar hukum yang digariskan
Allah untuk dijadikan pedoman bagi manusia dalam berinteraksi dengan Tuhan,
dengan sesama manusia, dengan alam dan dalam menata kehidupan.18
Dari ketiga definisi di atas, tampaknya pengertian yang dikemukakan
Syaltut lebih jelas dibanding dengan kedua definisi sebelumnya karena
mencakup ketentuan yang ditetapkan Allah atau hasil interpretasi dari ketentuan
tersebut yang berfungsi sebagai pedoman bagi manusia dalam berhubungan
dengan Tuhan, sesama manusia, alam, dan dalam menata kehidupan. Sedangkan
definisi yang diberikan Mann al-Qattn kurang mengakomodir hasil
pemahaman ulama (mujtahid). Adapun definisi Faruq Nabhan belum
membedakan antara syariat dengan fiqh secara jelas.19
Selain itu, definisi Syaltut lebih terinci mencakup ketentuan-ketentuan
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya yang direalisasikan dengan
melaksanakan kewajiban religius seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.
Selanjutnya hubungan manusia dengan sesamanya dalam bentuk tolongmenolong dan jual-beli. Adapun hubungan manusia dengan alam sekitarnya
diwujudkan dengan kewajiban manusia menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup sebagai sumber alam (natural resources) yang dapat diolah untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Berdasarkan ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa syariat
dalam arti luas dapat dipahami identik dengan agama yang mengandung semua
persoalan (akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah). Adapun syariat dalam arti
sempit berarti hukum amaliah. Pengkhususan makna syariat dengan hukum
amaliah karena agama pada prinsipnya adalah satu dan berlaku secara universal,
17

Mohammad Akram Laldin, Introduction to Shariah and Islamic Jurisprudence,


(Kuala Lumpur: CERT Publications, 2006), h. 4
18

Mahmud Syaltut, Al-Islm Aqdat wa Syarah , Cet. III (T.tp: Dr al-Qalam, 1966), h.

12
19
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial , Cet V (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 3-4

30

sedangkan syariat dapat berbeda antara satu umat dengan lainnya.20 Oleh karena
itu, semua agama samawi yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul pada
hakekatnya sama yaitu mengajarkan risalah ketauhidan, akan tetapi dalam
tataran syariatnya dimungkinkan adanya perbedaan antara satu kerasulan dengan
kerasulan lainnya. Misalnya, syariat puasa yang dipraktekkan oleh Nabi Isa as
bersama umatnya (selama 40 hari) berbeda dengan syariat puasa yang
dilaksanakan Nabi Muhammad saw bersama umatnya (30/29 hari).
Istilah syariat erat kaitannya dengan term tasyr. Keduanya berasal dari
akar kata yang sama ( - -) . Kata tasyr merupakan masdar dari fiil tsults
mazd sewazan (setimbang) dengan tafl berarti membuat atau menetapkan
syariat.21 Oleh karena syariat merupakan hukum atau tata aturan, maka
penetapan hukum dan tata aturannya baik oleh Allah swt maupun Rasul-Nya
tentang perbuatan manusia disebut tasyr. Syariat adalah materi hukumnya
sedangkan tasyr penetapan materi tersebut.22 Mempelajari syariat berarti ingin
mengetahui hakekat dan rahasia yang terkandung dalam hukum syara yang
terdapat dalam Alquran dan hadis. Demikian halnya mengkaji tasyr
dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai metode dan tujuan
Allah menetapkan hukum bagi hamba-Nya.
b. Pengertian Fiqh
Secara semantis term fiqh ( ) berakar kata pada fiil ( - -)
berarti mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik.23 Kata dengan
segala derivasinya disebutkan sebanyak 20 kali dalam Alquran,24 19 di
20

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 2

21

Lihat: Ab al-Fadl Jamluddin Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr, Lisan al-Arab,
Juz VIII, Cet. I (Beirut: Dr Sdir , 1990), h. 175
22

Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad
Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1999), h. 13
23

Ab al-Husain Ahmad ibn Fris ibn Zakariya, Mujam Maqyi al-Lughah , Juz IV, Cet.
II (Mesir: Syirkat al-Maktabah wa al-Matbaah Mustafa al-Bb al-Halab wa Aulduh, 1971), h.
442
24
Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn al-Karm,
Cet. III (al- Qhirah: Dr al-Hadts, 1991), h. 666-667

31

antaranya berarti bentuk tertentu dari kedalaman paham dan kedalaman ilmu
yang dapat diambil manfaat darinya.25 Manfaat itu dapat berupa pencerahan
pengetahuan masyarakat terutama dalam bidang keagamaan. Sedangkan
terminologi fiqh berarti

pengetahuan mengenai hukum-hukum syara yang

bersifat amaliah, dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci.26 Pengertian tersebut


mirip dengan definisi yang diberikan al-Subk (w. 771 H), menurutnya fiqh
adalah ilmu tentang hukum-hukum syara yang bersifat amaliah, digali dan
ditemukan dari dalil-dalil yang tafsil.27 Definisi lainnya dikemukakan al-Amid
(w. 631 H), fiqh dimaknai dengan ilmu tentang seperangkat ilmu syara yang
bersifat furuiyah yang diperoleh melalui penalaran dan istidll.28
Pengertian di atas mengindikasikan dua obyek kajian fiqh yakni hukumhukum syara yang bersifat amaliah furiyah seperti shalat, puasa, dan haji,
serta dalil-dalil yang terinci dari Alquran dan hadis yang diperoleh melalui
penalaran dan istidll. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa fiqh bukanlah
hukum syara itu sendiri, melainkan hasil penalaran dan analisis kritis terhadap
hukum syara yang dilakukan para mujtahid.
Hubungan antara syariat dan fiqh sangat erat. Syariat mengandung
berbagai ketentuan Allah (hukum Allah) dan diperuntukkan kepada manusia
agar dijadikan pedoman demi terciptanya kemaslahatan dan keselamatan
manusia di dunia dan di akhirat. Karena itu, tujuan Allah menurunkan syariatNya adalah untuk kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan umat manusia itu
sendiri bukan untuk kepentingan Allah swt.29 Syariat dalam pengertian ini

25

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 2

26
Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (al- Qhirah: Dr al-Fikr al-Arab, 1958), h.
5; Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhael, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu, Juz. II, Cet. III
(Damsyiq: Dr al-Fikr, 1989), h. 410
27

Tjuddn Abd Wahb al-Subk, Jamu al-Jawmi (Mesir: Mustaf al-Bb al-Halab,
1937), h. 42
28

Saefuddn Ab al-Hasan Al ibn Ab Al ibn Muhammad al-Amid, al-Ihkm f Usl


al-Ahkm, Juz I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), h. 7
29
Ab Ishq al-Sytib, al-Muwfaqt f Usl al-Syarah, Juz II (Beirut: Dr al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), h. 4

32

adalah wahyu baik yang matl (Alquran) maupun yang gair al-matl (alSunnah).30 Syariat (hukum Allah) yang tertuang dalam Alquran ada yang secara
eksplisit (tertulis jelas) dan implisit (tidak tertulis). Hukum Allah yang terdapat
dalam Alquran banyak yang mujmal (umum), 31 muhkam (jelas hukumnya)32 dan
ada pula yang masih samara-samar (mutasybih).33 Terhadap ayat-ayat yang
mujmal dan mutasybih serta hukum yang tidak tertulis dalam ayat Alquran
diperlukan pengkajian yang mendalam untuk menemukan hukum.
Meskipun Hadis Nabi telah menjelaskan ayat-ayat mujmal dan
mutasybih, namun penjelasan Nabi tersebut mungkin saja hanya relevan
dengan kondisi ketika itu sementara perkembangan dinamika masyarakat
berbeda sehingga memerlukan solusi hukum yang baru. Oleh karena itu
diperlukan kajian-kajian mendalam terhadap persoalan yang belum tersentuh

30
Jaenal Aripin dan Azharudin Latif, Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syari , Cet. I
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 8
31
Mujmal adalah lafal yang tidak bisa difahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran
dari syri (Allah dan Rasul-Nya), maksudnya diperlukan penjelasan lebih lanjut dari Alquran
dan hadis bukan penjelasan berdasarkan hasil ijtihad. Contoh lafal shalat masih mujmal sehingga
diperlukan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaannya dari hadis Nabi. Lihat: Ab Bakr
Ahmad ibn Ab Sahal al-Sarakhs, Usl al-Sarakhs, Juz I, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1993), h. 65; Bandingkan dengan Ab al-Mal Abdul Malik ibn Abdullah alJuwan, al-Burhn f Usl al-Fiqh, Juz I (al- Qhirah: Dr al-Ansr, t.th.), 419
32

Muhkm bermakna lafal yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas, jelas, dan
qat serta tidak memungkinkan untuk di-tawl, di-takhss, dan di-nasakh baik di era Nabi
maupun sesudahnya. Misalnya, Q.S. al- Nr (24): 35 ( dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu). Pengertian ayat ini sangat jelas, tegas, dan tidak mungkin diubah.
Menurut al- Sarakhs (w. 490 H) muhkm artinya menolak adanya upaya tawil dan naskh.
Lihat: Ab Bakr Ahmad ibn Ab Sahal al-Sarakhs, Usl al-Sarakhs, Juz I, Cet. I (Beirut: Dr alKutub al-Ilmiyah, 1993), h. 168
33

Mutasybih berarti lafal yang maknanya tidak jelas dan tidak ada penjelasan dari
syara baik Alquran maupun Sunnah sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang kecuali
orang-orang yang mendalam ilmunya. Seperti lafal huruf hijaiyah pada awal surat - -
Lihat: Ab Bakr Ahmad ibn Ab Sahal al-Sarakhs, Usl al-Sarakhs, Juz I, Cet. I (Beirut: Dr alKutub al-Ilmiyah, 1993), h. 169. Para ulama sepakat bahwa dalam Alquran terdapat ayat-ayat
mutasybih, akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tempat-tempatnya. Ibn Hazm (w.
456 H) menyatakan hanya dua tempat ayat mutasybih dalam Alquran yakni huruf hijaiyah pada
awal surat dan qasam (sumpah) Allah. Sementara ulama lainnya menambahkan ayat-ayat yang
mempunyai makna penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, seperti dalam Q.S. al-Fath (48): 10
... ( Tangan Allah di atas tangan mereka). Lihat: Ab Muhammad Al ibn
Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Andals, al-Ihkm f Usl al-Ahkm, Jilid VI (t.d.), h. 48

33

baik oleh Alquran maupun hadis. Hasil penemuan hukum secara ijtihadi dari
kedua sumber tersebut itulah yang dikategorikan fiqh.
Berdasarkan uraian mengenai syariat dan fiqh di atas, dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara keduanya sangat erat, tetapi memiliki perbedaan yang
signifikan diantaranya: Pertama, dari segi sumbernya, syariat merupakan produk
Allah sehingga kebenarannya bersifat mutlak karena tidak ada intervensi
manusia, sedangkan fiqh merupakan hasil penalaran dan pemikiran mujtahid
terhadap syariat sehingga validitasnya nisbi (relatif) dan memungkinkan
terjadinya kesalahan dan kekeliruan. Kedua, dari segi objek kajian, syariat
memiliki ruang lingkup yang lebih luas meliputi permasalahan yang berkaitan
dengan keyakinan (akidah) dan etika atau moralitas (akhlak), sementara fiqh
terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia. Ketiga, dari segi
eksistensinya, syariat dalam kaitannya dengan makna agama, hanya satu dan
tidak mengalami perubahan, sedangkan fiqh bervariasi misalnya dengan
munculnya berbagai mazhab fiqh sebagai bentuk perwujudan ijtihad manusia,
sehingga eksistensi fiqh memungkinkan berubah-ubah sesuai dengan kondisi
dan tuntutan sosial budaya masyarakat.
Penjelasan dari beberapa term di atas menunjukkan bahwa terjadi
sinkronisasi antara term syariat, fiqh dan hukum Islam. Untuk lebih jelasnya
term hukum Islam dielaborasi secara terinci juga. Hukum Islam (yang
merupakan transliterasi dari Islamic Law34 dalam konsep Barat) terdiri dari dua
rangkaian kata yakni hukum dan Islam. Untuk mendapatkan pemahaman tentang
pengertian hukum Islam, perlu diketahui terlebih dahulu arti kata hukum. Dalam
bahasa Arab kata berakar kata pada fiil ( - - )berarti menetapkan
atau memutuskan. 35 Kata al-hukm merupakan bentuk mufrad (tunggal) dan
jamaknya (plural) adalah al-ahkm. Terdapat kesulitan dalam merumuskan arti
34

Dalam literatur Barat, misalnya Joseph Schacht mendefinisikan hukum Islam sebagai
the totality of Allahs commands that regulate the life of every Muslim in all its aspects.
(keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya).
Definisi ini cenderung menyamakan hukum Islam dengan syariat. Lihat: Joseph Schacht, An
Introoduction to Islamic Law (Oxford: University Press, 1964), h. 1
35
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet. XIV
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 286

34

hukum, sehingga tidak didapatkan suatu definisi yang bisa disepakati oleh para
pakar hukum.36 Meskipun setiap definisi yang diberikan mengandung
kelemahan atau tidak sempurna, akan tetapi dianggap perlu memberikan batasan
tentang hukum untuk dapat dipahami. Secara sederhana hukum diartikan sebagai
seperangkat peraturan norma tentang tingkah laku manusia yang berlaku dalam
suatu masyarakat, baik tumbuh dan berkembang dengan sendirinya (living law)
maupun yang disusun oleh sekelompok masyarakat yang diberi wewenang
(eksekutif dan legislatif).37 Jika kata hukum dihubungkan dengan Islam, maka
hukum Islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
mengikat untuk semua yang beragama Islam.38 Pengertian tersebut mirip
dengan definisi yang diberikan Said Agil Husin Al-Munawar yakni hukum
yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nas Alquran dan alSunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal dan
relevan dengan setiap ruang dan waktu.39
Berdasarkan pengertian dan argumentasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud hukum Islam (Islamic Law) merupakan sinergis antara
hukum syariat dan hukum fiqh karena keduanya tercakup di dalamnya
(didasarkan pada petunjuk Alquran dan al-Sunnah). Lebih jelasnya, hukum
Islam tampaknya mengandung hukum syariat yang ditetapkan oleh Allah swt
dan Rasulullah saw melalui Alquran dan hadis kepada manusia yang telah
memiliki persyaratan untuk menjadi mukallaf, sementara hukum fiqh
merupakan hasil pengkajian dan analisis yang sistematis mujtahid (juga

36
Van Apeldoorn, seorang ahli hukum Barat mengatakan: No suchen die juristen any
definition zu ihren van rech (tidak ada definisi hukum yang dapat disepakati oleh pakar hukum).
Lihat: E. Utrech, Pengantar dalam Hukum Indonesia , Cet. IX (Jakarta: PT. Penerbitan
Universitas, 1966), h. 7
37

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, Cet. VIII (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 38
38

Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad
Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1999), h. 17-18
39

Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet. I (Jakarta:
Penamadani, 2004), h. 6

35

menggunakan referensi Alquran dan hadis) untuk mewujudkan kemaslahatan


dan kesejahteraan umat manusia.
2. Ruang Lingkup Hukum Islam
Berdasarkan pengertian hukum Islam yang dikemukakan sebelumnya,
maka ruang lingkup cakupannya meliputi: Pertama, Aspek ibadah40 yaitu
ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
(dimensi vertikal). Hubungan tersebut dijabarkan dalam rukun Islam yang terdiri
dari syahadatain, shalat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu dalam berbagai
aspek, misalnya biaya, kesehatan, dan keamanan. Selain ibadah tersebut masih
terdapat media yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya yaitu
melalui ibadah tatawwu (tambahan)41 seperti umrah, zikir, infaq, dan sadaqah.
Kedua, Muamalah yakni peraturan yang mengatur interaksi manusia dengan
sesamanya, misalnya dalam melakukan transaksi jual beli, pembagian harta
warisan, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam. Ketiga, Jinyah,42 yaitu
peraturan yang menyangkut pidana Islam seperti pembunuhan, zina, pencurian,
dan murtad. Keempat, Siysah43 yakni ketentuan menyangkut masalah-masalah
40

Ibadah ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya dapat kekelompokkan ke dalam 5
kategori: a) ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, seperti berzikir, membaca Alquran; b)
ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, misalnya menolong orang lain;
c) ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, antara lain: puasa,
zakat, dan haji; d) ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti itikaf
dan ihram; dan e) ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, misalnya memaafkan orang yang
bersalah. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1997), h. 143
41

Tatawwu berarti mengerjakan perkara-perkara sunnah yang mendatangkan pahala


dengan suka rela seperti mengerjakan puasa sunnah, amal shalih, dan shalat-shalat sunnah untuk
meningkatkan kepatutan dan pendekatan diri kepada Allah. Term ini disebutkan dua kali dalam
Alquran masing-masing dalam Q.S. al-Baqarah (2): 158 dan 184. Lihat: M. Abdul Mujieb,
Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002), h. 376
42

Term Jinyah merupakan bentuk mufrad dari jinyt berarti perbuatan dosa, maksiat
atau kejahatan. Dalam istilah fiqh, kata tersebut diartikan perbuatan yang dilarang oleh syara.
Perbuatan jinyah dapat menimbulkan jarmah (pidana) hudd, qiss diat, dan tazr terhadap
pelakunya. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih,
Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 141
43
Siysah, hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi
permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang universal
demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, meskipun pengaturan tersebut tidak ditegaskan

36

kemasyarakatan, misalnya pemerintahan, kepemimpinan, dan kebebasan.


Kelima, Akhlak yaitu norma-norma yang mengatur tingkah laku pribadi seperti
rendah hati, pemaaf, suka menolong, dan sabar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada intinya ruang lingkup
hukum Islam dapat disederhanakan menjadi dua bahagian saja yakni ibadah dan
muamalah. Hanya saja sulit dibedakan secara dikotomi karena keduanya
mempunyai ikatan yang erat. Ibadah misalnya, pada dasarnya berdimensi
Ilahiyah tetapi juga tidak terlepas dari dimensi insaniyah. Dimensi Ilahiyah
diwujudkan dalam bentuk pengabdian seseorang terhadap Tuhannya yang
dikenal dengan ibdah mahdah (ibdah khassah),44 mencakup semua rukun
Islam. Sedangkan ibadah yang berdimensi insaniyah diwujudkan dalam bentuk
interaksi manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya yang biasa disebut
ibdah ghair mahdah 45 atau ibdah ammah atau biasa juga disebut mumalat
maa al-khalq .46 Contohnya, ibadah zakat merupakan aplikasi dari ibdah
mahdah yang juga memiliki unsur sosial, demikian juga sebaliknya.
Dalam versi yang lain, Mohammad Daud Ali47 misalnya, mengatakan
bahwa hukum Islam tidak mengenal adanya dikotomi antara hukum privat
(hukum perdata) dengan hukum publik, karena dalam sistem hukum Islam
baik dalam Alquran maupun al-Sunnah. Oleh karena itu syariat meliputi: a) pengaturan masalahmasalah kehidupan manusia; b) pengaturan tersebut dilakukan oleh penguasa (ul al-amri); c)
tujuan pengaturan dimaksudkan untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan
(jalb al-maslih wa daru al-mafsid ); d) pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan
semangat syariat yang universal. Lihat: Abdurrahman Taj, al-Siysah al-Syariyah wa al-Fiqh
al-Islm (Mesir: Dr al-Talf, 1993), h. 10; Bandingkan dengan Abdul Aziz Dahlan (et al.),
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, Cet. I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 1626-1627
44

Ibdah mahdah atau khassah adalah ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah
ditetapkan oleh nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah swt seperti salat dan puasa. Lihat:
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1997), h. 144
45
Ibdah gair mahdah atau ammah merupakan semua perbuatan yang mendapatkan
kebaikan dan dilakukan dengan niat yang ikhlas kepada Allah swt misalnya makan, minum, dan
menyingkirkan duri dan semacamnya di jalan. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), h. 145
46

Mumalat maa al-khalq yaitu interaksi manusia dengan sesamanya (tanpa


membedakan ras dan agama) dan hubungan manusia dengan alam dan kehidupan sekitarnya.
47

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, Cet. VIII (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 50.

37

perkara yang berkaitan dengan keperdataan tidak dapat dipisahkan dari


persoalan publik, demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu dalam hukum Islam
tidak dibedakan kedua bidang hukum tersebut, tetapi hanya menyebutkan atau
mengklasifikasikan bagian-bagiannya saja, misalnya permasalahan yang
berkaitan dengan munkaht (perkawinan),48 wirtsah (kewarisan),49 jinyat
(pidana). Menurutnya, jika materi hukum Islam disusun berdasarkan sistimatika
hukum Barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik,
maka susunannya sebagai berikut:
Hukum Perdata (Islam) terdiri dari: a) munkahat mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian dan akibathukumnya; b) wirtsah atau farid mengatur masalah-masalah yang
menyangkut pewaris, ahli waris, harta warisan, dan pembagian harta warisan; c)
mumalt dalam arti khusus mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas
benda antara lain: tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, dan perserikatan.
Hukum publik (Islam) meliputi: d) jinyat yang mengatur mengenai
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam

jarmah

hudd,50 maupun dalam jarmah tazr;51 e) al-ahkm al-sultaniyah mengatur


48
Istilah munkahat merupakan bagian dari hukum-hukum fiqh yang berkaitan dengan
masalah perkawinan, misalnya nikah, talak (cerai), ruju(rekonsiliasi pasca cekcok), khitbah
(lamaran pernikahan), syarat dan kewajiban suami-isteri. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), h. 224
49

Wirtsah berarti ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kewarisan, meliputi


pewaris (orang yang meninggal), ahli waris (orang yang berhak mendapat harta pusaka dari
seseorang yang meninggal dunia), dan harta warisan (harta benda dan segala yang bernilai
seperti hak cipta yang ditinggalkan oleh pewaris. Persoalan ini dibahas dalam satu cabang ilmu
tertentu yang disebut ilmu farid .
50
Jarmah hudd adalah jarmah (perbuatan pidana) yang diancam dengan hukuman
had (hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan merupakan hak Allah). Yang termasuk
jarmah hudd yaitu zina, qazaf (menuduh berzina), minum-minuman keras, pencurian, hirbah
(mengganggu keamanan), riddah (murtad), dan al-baghyu (pemberontakan). Berdasarkan
definisi ini dapat dipahami bahwa jarmah hudd mempunyai hukuman yang tertentu dan
terbatas karena ditentukan oleh syara serta ada batas minimal dan maksimalnya. Selain itu,
hukuman tersebut merupakan hak Allah semata dan seseorang tidak dapat mengubahnya. Hudd
bentuk jamak dari had berarti batasan. Uraian lebih lanjut lihat: Abd Qdir Audah, al-Tasyr
al-Jin al- Islm Muqranan bi al-Qnn al-Wad , Juz I (Beirut: Muassasat al-Rislah, 1418
H/1997 M), h. 609
51

Jarmah Tazr adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman tazr. Secara
etimologi, tazr berarti tadb (memberi pelajaran), juga berarti al-raddu wa al-manu (menolak

38

urusan yang berhubungan dengan ketatanegaraan misalnya kepala negara,


pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah, angkatan bersenjata, dan
pajak; f) siyr mengatur urusan peperangan dan perdamaian, hubungan dengan
pemeluk agama dan negara lain; g) mukhsamat mengatur soal peradilan,
kehakiman, dan hukum acara.52
Bila diperhatikan pembagian bidang hukum Islam di atas, maka pada
intinya dapat kelompokkan ke dalam hukum privat atau hukum perdata
(mumalt) dan hukum publik atau hukum pidana (jinyat). Hanya saja
klasifikasi semacam ini kurang tepat karena dalam sistem hukum Islam
persoalan keperdataan pada dasarnya juga mencakup unsur-unsur publik.
Misalnya, persoalan munkaht (perkawinan) dengan segala konsekwensi
hukumnya yang termasuk yurisdiksi hukum privat tidak dapat dipisahkan dari
hukum publik terutama jika terjadi perceraian di Pengadilan Agama.
Selanjutnya pembagian kategorisasi hukum jinyah yang diberikan oleh
Daud Ali dianggap masih kurang karena tidak memasukkan jarmah qiss diat53
yang juga termasuk dalam pembahasan jinyah. Jarmah qiss diat pada garis
besarnya terbagi dua yakni pembunuhan dan penganiayaan. Kategorisasi
pembunuhan adalah pembunuhan sengaja () , pembunuhan menyerupai
sengaja ( ) dan pembunuhan karena kesalahan () . Adapun
dan mencegah). Lihat: Abd Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqranan bi al-Qnn
al-Wad, Juz I, Cet. XIV (Beirut: Muassasat al-Rislah, 2000), h. 127; Abd Azz Amir, alTazr f al-Syarah al-Islmiyah , Cet. IV(T.tp: Dr al-Fikr al-Arab, 1969), h. 52. Adapun
secara terminologi, tazr berarti hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum
ditentukan hukumannya oleh syara. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa tindak pidana ini
hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas serta penentuan hukuman diserahkan kepada
penguasa (ulil amri). Lihat: Ab al-Hasan Al ibn Muhammad ibn Habb al-Basr al- Baghdd
al-Mward, al-Ahkm al-Sultniyah wa al-Wilyt al-Dniyah (Beirut: Dr al-Kutub al-lmiyah,
T.th.), h. 293
52

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, Cet. VIII (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 51; Bandingkan dengan
pembagian hukum oleh Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia , Cet. II (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 24-25
53

Jarmah qiss dan diat yaitu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman qisas
atau diat. Hukuman ini merupakan hak manusia (individu). Karenanya hukuman bisa dimaafkan
atau digugurkan oleh korban atau keluarganya. Yang termasuk tindak pidana qiss dan diat yaitu
pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan,
penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja. Lihat: Muhammad Ab Zahrah, alJarmah wa al-Uqbah f al-Fiqh al-Islm (T.tp: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 380

39

penganiayaan meliputi dua aspek yaitu penganiayaan sengaja )


( dan penganiayaan tidak sengaja ( ) .54
Pengelompokkan ini sebenarnya untuk lebih memudahkan dalam memahami
jarmah dalam Islam yakni jarmah hudd, jarmah qiss diyat, jarmah tazr.
Pembahasan lebih lanjut akan menjelaskan tentang sifat dan karakteristik hukum
Islam sebagai dasar dalam mengevaluasi hukum Islam kalau terjadi
penyalahgunaan.

B. Sifat dan Karakteristik Hukum Islam


Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan yang digali dari nas baik
yang terdapat dalam wahyu Allah (Alquran) maupun sunnah Rasul (hadis)
mengenai perbuatan manusia mukallaf memiliki sifat dan karakteristik yang
tidak terdapat pada peraturan-peraturan produk manusia lainnya. Hal itu
disebabkan karena hukum Islam meskipun hasil kajian para mujtahid, namun
semuanya didasarkan pada sumber utama (Alquran dan hadis) 55 yang diyakini
kebenarannya oleh kaum muslimin. Menurut kaum muslimin, wahyu baik yang
matlu (Alquran) maupun yang gair matlu (hadis) mempunyai tingkat akurasi
yang mutlak, berbeda dengan hasil pemikiran manusia yang tidak bersumber
pada wahyu sehingga kebenarannya bersifat nisbi (relatif).
54
Abd Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqranan bi al-Qnn al-Wad ,
Juz I (Beirut: Muassasat al-Rislah, 1418 H/1997 M), h. 609
55
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum Islam dalam mengklasifikasikan
sumber hukum Islam. Mohammad Akram Laldin mengelompokkannya dalam dua kategori
yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer mencakup Alquran, sunnah, ijma,
qiyas (analogical deduction ), sedangkan yang menjadi sumber sekunder ada enam yakni istihsn
(juristic preference), maslahah mursalah (consideration of public interest ), sadd al-dzari
(blocking the means to evil), urf (customary practice), istishb (preassumption of continuity )
dan perbuatan atau kebiasaan komunitas Madinah. Namun pakar hukum Islam seperti Ismail
Muhammad Syah dan Fathurrahman sumber hukum Islam itu dua saja yakni Alquran dan hadis,
sedangkan ijma dan lain-lainnya dinamai dalil-dalil syari (al-adillah al-syariyah). Lihat:
Mohammad Akram Laldin, Introduction to Shariah and Islamic Jurisprudence (Kuala Lumpur:
CERT Publications, 2006), h. 55; Bandingkan dengan: Mustafa Ahmad al-Zarq, al-Istislh wa
al-Maslih al-Mursalah f al-Syarah al-Islmiyah wa Usl al-Fiqh diterjemahkan oleh Ade
Dedi Rohayana dengan judul: Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komperatif Delapan
Mazhab Fiqh), Cet. I (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2000), h. 1-28; Ismail Muhammad Syah,
Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 19-20; Fathurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 82

40

Di antara sifat dan karakteristik hukum Islam yang bernilai plus


dibanding dengan peraturan lainnya adalah:
1. Universal
Salah satu dimensi spesifikasi hukum Islam adalah keuniversalannya
yakni hukum tersebut relevan dengan semua

umat manusia tanpa adanya

diskriminasi baik yang berhubungan dengan geografis, agama maupun etnis.


Keuniversalan hukum Islam ini sebagai konsekwensi logis dari hakikat Islam
sebagai agama universal, yakni agama yang substansi ajarannya tidak mengenal
batasan ruang dan waktu, sehingga memungkinkan berlaku bagi semua umat
manusia kapan dan dimanapun berada.56 Dengan demikian, hukum Islam tidak
hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja sehingga jika ada yang mengklaim
bahwa hukum Islam secara eksklusif milik orang Islam dan hanya berlaku bagi
umat Islam perlu dibantah, seperti klaim dari Joseph Schacht. Menurutnya,
hukum Islam itu khusus untuk umat Islam bukan untuk non Muslim.57Memang
Islam tidak memaksa non Muslim untuk merubah keyakinannya menjadi
Muslim, akan tetapi tidak berarti bahwa hukum tidak Islam mengayomi warga
masyarakat non Muslim. Bagi mereka juga berlaku hukum Islam seperti
kewajiban membayar jizyah (pajak) atas jaminan keamanan jiwa dan harta
mereka. Argumentasi tentang keuniversalan hukum Islam tersebut berdasarkan
petunjuk Alquran dan beberapa indikasi historis seperti pada masa awal
pemerintahan Islam.
Alquran menegaskan bahwa Nabi saw diutus sebagai pembawa rahmat
bagi seluruh alam.58 Di antara misi ajaran Alquran adalah tidak membeda56

Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet. I (Jakarta:
Penamadani, 2004), h. 7
57

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: University Press, 1964), h.

199

58

Dasar keuniversalan kerasulan Nabi Muhammad saw dapat ditemukan dalam Q.S.
Saba (34): 28 ( Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira
dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Lihat: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya
(Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 688

41

bedakan manusia atas dasar keturunan, bangsa, dan warna kulit. Islam
mengajarkan prinsip persamaan dan persaudaraan di antara manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah. Bahkan Alquran menegaskan bahwa jati diri manusia
ditentukan berdasarkan tingkat ketaqwaannya masing-masing.59
Selain itu, nilai keuniversalan hukum Islam dapat dilihat dari aspek
historisnya. Pada masa Rasulullah saw telah berhasil didirikan suatu
pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah. Ketika itu perundang-undangan
yang diterapkan adalah hukum Islam dan ternyata dapat mengakomodir
kepentingan warga negara non Muslim seperti kebebasan menjalankan agama
dan kepercayaannya. Selain itu para non Muslim yang terdiri dari orang-orang
Yahudi dan Arab dilindungi jiwa dan hartanya serta hak-hak lainnya dan
dibebaskan dari kewajiban membela Negara dari serangan musuh dengan
membayar jizyah60 yang dibebankan kepada mereka yang termasuk golongan
ahl al-zimmi 61 sebagai konsekuensi logis atas jaminan keamanan bagi mereka.62
Realitas ini menunjukkan bahwa sifat keuniversalan hukum Islam dapat
diaplikasikan dalam suatu tatanan masyarakat yang multilateral.
59
Dalam pandangan Tuhan, tidak ada perbedaan di antara manusia, sementara yang
dapat membedakannya hanyalah tingkat kedekatannya dengan Tuhan. Adapun perbedaan etnis,
bangsa, warna kulit, dan agama merupakan sunnatullah agar mereka dapat berinteraksi dan
sekaligus ber-fastabiqul khair dalam meraih keridaan Allah. Lihat: Q.S. al- Hujurt (49): 13
...
(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 847
60

Istilah jizyah berarti upeti atau pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari
orang-orang non Muslim (kafir) sebagai imbalan bagi jaminan keamanan mereka. Besarnya
jizyah sangat variatif, bagi yang kaya 48 dirham, yang kondisi ekonominya sedang dikenakan 24
dirham dan bagi yang fakir 12 dirham, (Jizyah tersebut dibayar setiap akhir tahun). Lihat: M.
Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002), h. 141-142
61

Kata Ahl al-Zimmi merupakan mufrat (tunggal) dari ahl al-zimmah yakni orang-orang
kafir yang berdomisili dalam suatu wilayah yang dikuasai Islam. Keamanan dan hak-hak religius
mereka dijamin dengan catatan mereka harus membayar pajak (jizyah). Lihat: M. Abdul Mujieb,
Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002), h. 9
62
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 50

42

2. Elastis dan Dinamis


Keelastisan hukum Islam sangat urgen untuk merespon berbagai
persoalan hukum yang muncul dalam kehidupan manusia baik dalam
berinteraksi dengan sesama manusia, hubungannya dengan penciptanya (Allah
rabb al-alamin) dan dengan alam semesta. Karena itu hukum Islam konsern
terhadap berbagai aspek kehidupan seperti bidang ibadah, muamalah, akhlak,
jinayah, dan siyasah. Dalam bidang muamalah misalnya, urusan jual beli hanya
disebutkan secara garis besarnya dalam Alquran antara lain: kebolehan jual beli
dan larangan memakan riba; adanya kerelaan antara penjual dan pembeli; dan
larangan jual beli pada waktu azan Jumat.63 Demikian halnya hadis hanya
menjelaskan perkara jual beli secara global, misalnya larangan menawar barang
yang telah ditawar orang lain dan larangan berbuat curang (menipu).64
Prinsip-prinsip jual beli tersebut masih tetap relevan untuk dijadikan
pedoman dalam melakukan kegiatan bisnis di era modern dewasa ini dan masa
yang akan datang. Bagaimanapun canggihnya kemajuan sains dan teknologi
yang dipergunakan dalam mengelola bisnis seperti jual beli, seharusnya tetap
sesuai dengan rambu-rambu yang digariskan baik dalam Alquran maupun hadis.
Menurut Fathurrahman Djamil, prinsip-prinsip jual beli itu hendaknya
senantiasa dijadikan dasar dalam melakukan aktifitas jual beli modern seperti di
Mall atau Supermarket agar terhindar dari perbuatan yang dilarang Allah saw.65

63
Q.S. al-Baqarah (2): 275 menerangkan kebolehan jual beli dan larang memakan riba:
... ... (Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba).
Keharusan adanya kerelaan kedua belah pihak disebutkan dalam Q.S. al-Nisa (4): 29 ...
... ( janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang belaku dengan suka
sama suka di antara kamu). Adapun larangan jual beli pada waktu azan Jumat disebutkan dalam
Q.S. al-Jumah (62): 9 ... ... (apabila diseru
untuk menunaikan sembahyang pada hari jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jualbeli).
64

Rasulullah saw bersabda: ( janganlah kamu menawar barang


yang sudah ditawar orang lain). Dalam hadis yang lain dikatakan: ( tidaklah
termasuk kelompok kami orang yang suka menipu dalam jual beli).
65
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 48

43

Adapun sifat dinamis hukum Islam ditandai dengan kemampuannya


beradaptasi dengan perkembangan zaman melalui penalaran ilmiah terhadap
nas-nas syara. Para ulama terutama fuqaha dari Imm-Imm mazhab seperti
Ab Hanfah (80-150 H), Mlik bin Anas (93-179 H), Muhammad Idris alSyfi (150-204 H), dan Ahmad bin Hambal (164-241 H) 66 telah mampu
menunjukkan kedinamisan hukum Islam pada masanya berkat pemikiran brillian
mereka yang kemudian diabadikan dalam karya mereka masing-masing. Mereka
dapat menyelesaikan problema hukum yang muncul dalam masyarakat yang
tidak ditemukan solusinya baik dalam Alquran maupun hadis di era mereka
dapat diselesaikan dengan jalan ijtihad.
Metode ijtihad yang merupakan interpretasi dan penalaran terhadap nasnas (Alquran dan hadis) sangat urgen dilakukan secara kontinyu dan
berkesinambungan sesuai dengan perubahan dan perkembangan persoalan
kemasyarakatan yang memerlukan respon dari hukum Islam (taghayyur alahkm bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah ). Jadi, hukum Islam senantiasa
mengikuti perkembangan zaman, tidak rigid dan eksklusif pada periodesasi
tertentu. Selain itu, kedinamisan hukum Islam dapat dibuktikan dengan
kesesuaiannya di segala tempat dan waktu (mulimun likulli maknin wa
zamnin). Imm Syfi misalnya memiliki dua model penetapan hukum pada
persoalan yang sama karena perbedaan kondisi dan geografis masyarakat yang
dihadapinya yang dikenal dengan qaul qadim 67 dan qaul jadid. 68 Hal tersebut

66

Lihat: Muhammad Said Mursi, Uzamu al-Islm Abra Arbaata Asyara Qarnan
min al- Zamn diterjemahkan oleh Khairul Amru Harahap dengan judul: Tokoh-tokoh Besar
Islam Sepanjang Sejarah, Cet. III (Jakarta: Pustaka al-Kauttsar, 2007), h. 337-346
67

Istilah QaulQadm dilekatkan pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan Imm Syfi pada
periode pertumbuhan madzhabnya di Baghdad. Diantara fatwa-fatwa tersebut yakni: hubungan
utang dengan zakat, orang yang berutang tidak dikenakan zakat; mengganti untuk mayit, wali
dapat melakukan puasa pengganti atas nama orang yang telah meninggal; penyaksian rujuk,
rujuk harus dinyatakan dihadapan para saksi. Lihat: Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum
Islam Dalam Mazhab Syafii, Cet. I (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h.198 -215
68

Adapun term QaulJadd adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan Imm Syfi pada
periode pertumbuhan madzhabnya ketika berdomisili di Mesir. Misalnya, orang yang berutang
tetap wajib mengeluarkan zakatnya tanpa membedakan jenis harta dan jenis utangnya;
mengganti puasa untuk mayit, harta si mayit harus dikeluarkan kaffarat berupa makanan bagi
orang miskin, satu mud untuk setiap hari puasa yang tertinggal; penyaksian rujuk, rujuk tidak

44

menunjukkan bahwa kedinamisan hukum Islam kelihatannya tergantung pada


kemampuan dan kapabilitas para mujtahid dalam menginterpretasikan,
menganalogikan dan menganalisis nas-nas Alquran dan hadis untuk merespon
persoalan masyarakat.
Kedinamisan hukum Islam memang dimungkinkan dalam rangka
menjamin terwujudnya tujuan utama syariat yaitu kemaslahatan umat manusia.
Oleh karena itu sangat dimungkinkan perubahan hukum berdasarkan adanya
illat69 yang melatarbelakangi suatu peristwa seperti kondisi riil budaya
masyarakat tertentu. Peristiwa semacam ini sejalan dengan salah satu kaedah
usl al-hukmu yadru maa al-illat wujdan wa adaman (penerapan hukum
didasarkan pada illatnya).
3. Sempurna (Takmul) dan Sitematis
Salah satu ciri ajaran Islam adalah komprehensif (sempurna) yakni
mengandung prinsip-prinsip fundamental yang mencakup seluruh dimensi
kehidupan umat manusia yang ditetapkan dalam bentuk global (umum) yakni
yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah),
hubungan manusia dengan manusia (hablun min al-nas ) serta hubungan manusia
dengan lingkungannya. Sifat kesempurnaan hukum Islam secara eksplisit
dikemukakan dalam Q.S. al-Maidah (5): 3.70 Salah satu contoh konsep hukum
Islam yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya adalah aturan yang

harus dinyatakan dihadapan para saksi. Lihat: Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam
Dalam Mazhab Syafii, Cet. I (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h.198 -215
69

Term illat berarti sifat yang terdapat pada hukum asal yang dipakai sebagai dasar
hukum untuk mengetahui hukum cabang. Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada
khamar yang dijadikan sebagai dasar keharaman khamar. Dengan illat itu dapat diketahui
keharaman setiap minuman yang memabukkan. Abd Wahab Khallaf, Ilm Usl al-Fiqh (T.tp.:
Maktabah al- Dawah al- Islmiyah, t.th.), h. 63
70

Q.S. al-Maidah (5): 3 secara eksplisit menerangkan sifat kesempurnaan hukum Islam:
... ... ( Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu ). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 157.
Ayat ini menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang terakhir diwahyukan Allah dan
sebagai penyempurna bagi agama-agama sebelumnya.

45

bersangkutpaut dengan salat (tata cara dan bacaan salat), tentang zakat, haji, dan
puasa. Aturan itulah yang biasa diistilahkan dengan ibadah mahdah. Sedangkan
konsep hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya
adalah peraturan mengenai pengelolaan harta benda (hak, obligasi, kontrak),
pernikahan dan perceraian, hubungan bilateral dan multilateral. Juga, hukum
Islam menetapkan acuan dasar dalam menjelaskan hubungan manusia dengan
lingkungannya seperti peringatan (warning) kepada seluruh umat manusia
bahwa akan terjadi degradasi lingkungan (environmental

degradation) jika

manusia tidak mampu memanage lingkungannya, dilukiskan dalam Q.S. alRm (30): 41. 71
Namun perlu ditegaskan bahwa hukum Islam hanya memuat aturan dan
konsep yang bersifat umum yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam
penetapan hukum terhadap persoalan-persoalan yang merupakan penjabaran dari
konsep dasar tersebut. Hal tersebut memberikan ruang gerak bagi manusia (para
mujtahid atau ilmuan) untuk menganalisa persoalan komunitas mereka dengan
menggunakan referensi konsep dasar itu. Pengelolaan lingkungan, misalnya,
diserahkan sepenuhnya kepada manusia terutama pakar lingkungan agar mampu
menawarkan beberapa solusi demi terwujudnya konsep Islam tersebut di atas
(mereformasi upaya kondusif yang ramah lingkungan). Salah satu usaha untuk
melestarikan lingkungan adalah mengeliminasi pemakaian bahan atau alat-alat
yang menyebabkan polusi, mereboisasi hutan untuk menghindari banjir dan
tanah longsor, serta mengelola sampah. Selain sifatnya yang sempurna, hukum
Islam juga memiliki sifat sistematis.

71

Q.S. al-Rm (30): 41 menggambarkan penyebab kerusakan lingkungan:


( Telah nampak kerusskan di darat dan di
bumi disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Lihat:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 647.

46

Yang dimaksud sistematis adalah hukum Islam itu baik ajarannnya


maupun kelembagaannya memiliki keterkaitan yang logis dan rasional.72
Fathurrahman Djamil mempresentasikan indikasi sistematisnya hukum Islam
dengan menjelaskan bahwa perintah salat dalam Alquran selalu diikuti dengan
perintah mengeluarkan zakat,73 serta perintah makan dan minum dengan
pembatasan pelarangan berlebih-lebihan.74 Menurutnya, hukum Islam tidak
mengajarkan spiritual yang mandul yakni semata-mata mengandung dimensi
spiritual saja tetapi juga mengandung aspek sosial kemasyarakatan.75 Dari
ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa sistematisnya hukum Islam

adalah

pemantapan aspek keagamaan yang bersifat individu (terutama dalam kaitan


dengan salat) untuk memenuhi kebutuhan spiritual manusia terhadap Tuhannya
diprioritaskan, selanjutnya di jabarkan secara horizontal dalam hubungan sosial
kemasyarakatan terhadap sesama manusia melalui aktifitas zakat. Jadi,
pemberdayaan spiritual bersifat personal yang mapan akan melahirkan
solidaritas kemanusiaan yang tinggi. Inilah salah satu aspek sistematisnya
hukum Islam. Sama halnya dengan perintah makan dan minumlah tetapi jangan
berlebih-lebihan. Hukum Islam memahami bahwa manusia membutuhkan
energi untuk tetap hidup dan melakukan aktifitasnya melalui makanan dan
minuman. Tetapi kebolehan makan dan minum tersebut dibarengi dengan
peringatan jangan berlebih-lebihan karena secara medis menunjukkan bahwa
kelebihan mengkonsumsi makanan dan minuman memungkinkan akan terjadi

72

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: University Press, 1964), h.

208-209
73
Lafal al-salt dibarengi dengan lafal al-zakt disebutkan sebanyak 20 kali. Lihat:
Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn al-Karm , Cet. III
(al-Qhirah: Dr al-Hadts, 1991), h. 524-525
74

Q.S. al-Nisa (3): 6; al-Anm (6): 141 dan al-Arf (7): 31 menjelaskan larangan
makan secara berlebih-lebihan.
Larangan makan secara berlebih-lebihan terdapat dalam tiga ayat:
dan al-Arf (7): 31

al-Anm (6): 141

75
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h.51

47

kerusakan pada pencernaan manusia dan berimplikasi pada munculnya berbagai


gangguan kesehatan.
Secara institusi, hukum Islam juga bersifat sistematis yakni keputusan
pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan senantiasa mempertimbangkan kondisi
sosial, ekonomi, politik dan etika (budaya) masyarakat atau oknum yang
bersangkutan. Contoh yang dikemukakan oleh Fatchurrahman Djamil bahwa
pengadilan Islam tidak akan menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap
pencuri yang berada dalam kondisi kelaparan dan kemiskinan.76 Tampaknya
pengadilan agama atau institusi yang menjatuhkan vonis kepada pelaku tindak
pidana atau jarmah apapun seharusnya memperhatikan kondisi eksternal yang
menyebabkan pelanggaran tersebut sehingga tidak semata-mata melihat
kejahatan secara parsial. Hukum Islam juga mencakup nilai-nilai kemanusian
dan mengutamakan moralitas.
4. Kemanusiaan dan Akhlaki (moralitas)
Selain ciri yang telah disebutkan di atas, hukum Islam juga bercirikan
kemanusiaan dan akhlaki (moralitas). Dari sudut pandang kemanusiaan, hukum
Islam mengandung solidaritas sosial (social solidarity) yang mengajarkan
kebajikan yang langsung bersentuhan dengan hajat manusia baik yang bersifat
material maupun non material. Bantuan dan dukungan materiil berupa
pelaksanaan zakat, waqaf, infaq, dan sedekah77 yang diberikan kepada orang
yang membutuhkannya baik secara individu maupun secara kolektif seperti
kelompok fakir, miskin, badan amil, muallaf, pembebas hamba sahaya, piutang
dan ibnu sabil. Aksi-aksi tersebut sebagai bentuk kepedulian sosial dan konsern
dengan kondisi sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
sehingga sifat-sifat individualistik dan materialistik bisa dieliminasi karena
dalam kepemilikan harta benda terdapat hak-hak orang lain untuk dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab.

76

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h.51
77

Q.S.Al-Baqarah (2): 43, 83, 110

48

Bentuk solidaritas sosial non material dalam hukum Islam antara lain
tentang ajaran untuk memberikan dorongan moral atau nasehat dan bimbingan78
kepada orang yang membutuhkannya sehingga mereka tidak merasa bersalah,
berdosa, dan mungkin terisolasi jika mereka memiliki problema. Membuka
sarana konseling dalam rangka memberikan penguatan terhadap manusia
lainnya atau memberdayakan mereka dengan bimbingan dan arahan yang
konstruktif sehingga mereka berdaya dan mandiri itu juga merupakan misi
kemanusian yang diajarkan dalam Islam. Oleh karena itu, hukum Islam
menjunjung tinggi konsep kemanusiaan (humanity) dan kebersamaan.
Disamping konsern terhadap aspek kemanusiaan, hukum Islam juga
mengedepankan nilai-nilai moral dalam menetapkan hukum. Persoalan moral
bukan hanya dalam tataran retorika melainkan lebih dipentingkan pada
aplikasinya. Hal itu dapat dilihat misalnya kewajiban berlaku adil dan jujur
meskipun tehadap orang yang dibenci.79 Maksudnya, janganlah kebencian
terhadap seseorang menjadi penghalang dalam menegakkan keadilan dan
kejujuran dalam penerapan hukum Islam. Etika moral juga ditunjukkan dalam
hukum perang yakni larangan bagi pasukan perang untuk membakar atau
menghancurkan bangunan, merusak tanaman, membantai lawan secara keji,
membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam perang (warga sipil) seperti
kaum perempuan, anak-anak, lanjut usia, tenaga medis, dan rohaniawan.
Pengamalan etika semacam ini telah mengangkat derajat dan mengharumkan
nama baik pasukan perang muslim seperti yang diungkapkan oleh seorang
filosof dan sejarawan Prancis, Gustave Lebon yang dikutip dari Yusuf al-

78

Q.S. al-Asr (30): 3 dan al-Midah (5): 2

79

Q.S. al-Maidah (5): 8 menginstruksikan orang-orang beriman untuk memperhatikan


norma keadilan dan kejujuran:
... (Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena (Allah), menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil ). Lihat: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya
(Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 159

49

Qardwi: Sejarah tidak pernah mengenal sang Penakluk yang lebih adil dan
santun kecuali Islam (kaum Muslimin).80
Dimensi akhlakiyah dalam hukum Islam tidak hanya ditunjukkan dalam
interaksi manusia dengan sesamanya, tetapi juga dalam hubungannya dengan
binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dalam hubungan dengan binatang misalnya,
manusia diwajibkan untuk memperlakukan binatang dengan baik, melindungi,
dan tidak menyakitinya. Bagi orang yang memiliki binatang seperti kucing dan
anjing sebagai hewan peliharaan diwajibkan untuk merawat, memberi makan
dan minum serta tidak menyiksanya. Dalam suatu riwayat disebutkan, tatkala
Rasulullah berjalan bersama serombongan berkuda, beliau melihat seekor unta
dibebani muatan yang melebihi hingga perutnya mengerut. Rasulullah berkata:
Takut dan waspadalah terhadap binatang yang tidak berdaya ini, tunggangilah ia
dengan baik dan berilah ia makanan.81
Berdasarkan keterangan di atas, tampak bagaimana hukum Islam
memperhatikan masalah moralitas manusia dalam berinteraksi dengan
sesamanya maupun dengan kehidupan dan alam sekitarnya. Manusia bebas
menggunakan segala fasilitas yang tersedia di bumi berupa sumber alam nabati
dan hewani tetapi juga harus memperhatikan etika (moral) seperti yang diatur
dalam hukum Islam.
5. Bersifat Taaqqul dan Taabbud
Syariat Islam meliputi bidang ibadah dan muamalah. Dalam bidang
ibadah terdapat nilai-nilai ) ( 82 atau irrasional. Artinya
manusia tidak boleh menggunakan rasionya dalam menilai (menambah atau
80

Yusuf Al-Qardw, diterjemahkan oleh Muhammad Zakki dan Yasir Tajid dengan
judul: Membumikan Syariat Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 121
81

Yusuf Al-Qardw, diterjemahkan oleh Muhammad Zakki dan Yasir Tajid dengan
judul: Membumikan Syariat Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 125
82

Perintah dan larangan yang bersifat taabbud terdpat dalam bidang ibadah dan pada
umumnya manusia tidak mampu mengetahui makna dan rahasia yang terkandung di dalamnya
kecuali hanya mengikuti contoh yang pernah dipraktekkan Nabi seperti mencium hajar aswad
tatkala tawaf. Berbeda halnya dengan masalah-masalah muamalah yang umumnya reasonable
(maqlat al-mana ), karena itu menjadi lapangan ijtihad.

50

mengurangi) suatu ibadah yang telah disyariatkan Allah dan Rasul-Nya,


misalnya jumlah rakaat dalam shalat fardu yang berbeda antara subuh, zuhur,
dan maghrib. Dalam hal ini seseorang tidak boleh melakukan kegiatan ibadah
kecuali yang diperintahkan dan mengikuti contoh yang telah dipraktekkan Nabi.
Karena itu bidang ini bukan termasuk kawasan ijtihad, sehingga tidak ada
peluang untuk berijtihad. Contoh lain dari ibadah yang irrasional adalah
mencium Hajar Aswad ketika tawaf mengelilingi kabah. Khalifah Umar bin
Khattab bahkan pernah mengatakan, sekiranya Rasulullah tidak menciumnya,
niscaya akupun tidak akan melakukannya.83
Pelaksanaan aktifitas dalam bidang ibadah semata-mata didasarkan pada
prinsip taabbudi, yakni hanya mengikuti contoh yang pernah dilakukan oleh
Nabi. Sebab jika pelaksanaan rutinitas ibadah dilaksanakan atas dasar prinsip
taaqquli kemungkinan besar tidak akan pernah dilakukan. Kalaupun terdapat
upaya rasionalisasi terhadap bidang ibadah, namun usaha semacam itu hanyalah
bersifat temporer, sebab hasil ijtihad seseorang sangat dimungkinkan mengalami
perubahan seiring dengan perubahan waktu dan tempat.
Adapun hukum Islam yang bersifat taaqqul () 84 dapat ditemukan
dalam bidang muamalah, bahkan bidang ini merupakan lahan ijtihad. Artinya,
dalam bidang muamalah ini terdapat nilai-nilai taaqquli (maqlat al-mana )
atau rasional. Oleh karena itu, setiap orang yang memiliki kapasitas dan
kapabilitas berijtihad dituntut untuk senantiasa menggali dan menemukan
rahasia yang terkandung dibalik suatu perintah atau larangan. Misalnya,
mengapa Tuhan menyuruh pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi utang
piutang untuk membukukannya,85 dan larangan berbuat curang ketika

83

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h.52
84

Term taaqqul berarti dapat dicerna oleh akal (reasonable). Artinya, manusia
khususnya mujtahid dapat menganalisa rahasia dibalik suatu perintah atau larangan yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Di antara obyek hukum Islam yang sifatnya taaqqul
umumnya dalam bidang muamalah, karenanya aspek ini merupakan obyek kajian ijtihad.
85
Q.S. al-Baqarah (2): 282 menjelaskan perintah pembukuan ketika terjadi transaksi
utang piutang: ... ( Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

51

melakukan jual beli. Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan prinsip-prinsip


dan tujuan hukum dalam Islam.

C. Prinsip-Prinsip dan Tujuan Hukum Dalam Islam


Tujuan syri menetapkan syariat-Nya adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia dengan menjamin kebutuhan primer (darriyat)86
dan kebutuhan sekunder (hjiyat)87 serta kebutuhan pelengkap (tahsiniyat)88
mereka. 89 Oleh karena itu penetapan syariat (hukum) Islam senantiasa
mempertimbangkan terpenuhinya ketiga unsur tersebut dan terhindarnya
manusia dari mudarat (bahaya). Memelihara kemaslahatan dan menghindari
bahaya merupakan dua hal yang saling terkait. Maksudnya, menjaga maslahat
adalah suatu keharusan dalam rangka meniadakan mafsadat (kerusakan),
sebaliknya menolak dan mengantisipasi timbulnya mafsadat (kerusakan)
merupakan kewajiban guna menegakkan kemaslahatan. Untuk merealisasikan
kedua unsur tersebut, penerapan hukum dalam Islam memiliki prinsip-prinsip
dasar demi tercapainya tujuan hukum Islam. Prinsip-prinsip yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
menuliskannya ). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama
RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 70
86

Kebutuhan yang sifatnya darriyat yakni sesuatu yang mutlak adanya bagi kehidupan
manusia untuk mencapai kemaslahatan. Tanpa adanya hal tersebut, maka kemaslahatan sulit
terwujud, sebaliknya kemungkinan kemudaratan akan muncul. Hal-hal yang sifatnya darriyat
dalam kehidupan manusia dikenal dengan istilah al-darriyt al-khamsah yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Lihat: Ab Ishq al-Sytib, al-Muwfaqt f Usl al-Syarat, Juz II
(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 7
87

Kebutuhan hjiyat (sekunder) adalah sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka
kemudahan dan kenyamanan hidup. Apabila hal itu tidak terpenuhi, kehidupan manusia tetap
eksis namun akan mengalami kesusitan. Lihat: Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (alQhirah: Dr al-Fikr al-Arab, 1958), h. 371
88

Kebutuhan tahsiniyat (komplementer) yaitu sesuatu yang diperlukan dalam norma dan
tatanan hidup. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, tidak berdampak pada keharmonisan
kehidupan dan juga tidak berpengaruh pada kenyamanan hidup hanya saja bertentangan dengan
akal sehat dan naluri yang suci. Lihat: Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (al-Qhirah: Dr
al-Fikr al-Arab, 1958), h. 372
89
Ab al- Mal Abd Malik ibn Abdillah al-Juwan, al-Burhn f Usl al-Fiqh, Juz I
(al-Qhirah: Dr al-Ansr, t.th.), h.478

52

Pertama, ( tidak memberatkan). Hukum Islam pada hakekatnya


bersifat manusiawi, yakni semua perintah dan larangan yang terkandung
didalamnya dapat dilaksanakan oleh manusia. Kemungkinan itu dikarenakan
karakter hukum Islam yang selalu memberikan kemudahan dan menghindari
kesulitan.90 Sebaliknya, jika isi kandungan hukum Islam ternyata menyusahkan
manusia (mukallaf) atau bahkan tidak mungkin untuk dilaksanakan, maka
kemungkinannya akan tetap ditaati walaupun secara terpaksa atau sama sekali
akan ditinggalkan, sehingga keberadaannya sama dengan ketiadaannya
(wujduhu kaadamihi ).
Kemungkinan yang terakhir ini agaknya sulit terwujud karena di dalam
hukum Islam dikenal adanya rukhsah (keringanan atau dispensasi) hukum.
Misalnya, kebolehan menjamak salat antara zuhur dan asar atau antara maghrib
dan isya bagi musafir atau bagi yang mengalami kesulitan melaksanakan salat
secara rutin sekalipun ia mukim.91 Selain itu, dalam hukum Islam dikenal juga
istilah darrah (keadaan terpaksa), seperti kebolehan tayammum bila tidak ada
air; kebolehan tayammum bagi orang sakit yang tidak bisa bersentuhan air; dan
kebolehan salat sambil duduk bila tidak memungkinkan untuk berdiri. Keadaan
semacam ini dimungkinkan dalam hukum Islam berdasarkan kaidah usul fiqh:
92

( Keadaan terpaksa menjadikan sesuatu yang awalnya

terlarang diperbolehkan). Adanya konsep rukhsah dan darrah dalam


pelaksanaan hukum Islam membuktikan bahwa salah satu misi hukum Islam
adalah tidak mempersulit mukallaf dalam mengaktualisasikan ajaran Islam.

90

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 67
91

Terdapat beberapa ayat Alquran yang mengindikasikan adanya keringanan bagi


mukallaf dalam melaksanakan suatu kewajiban, antara lain: Q.S. al-Baqarah (2): 286
... ( Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya);
Q.S. al-Baqarah (2):185 ... ... (Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu); Q.S. al-Maidah (5): 6
... ( Allah tidak menghendaki untuk menjadikan sesuatu kesempitan bagimu).
92

Jalluddn al-Suyt, al-Asybah wa al-Nazir (Indonesia: Dr al-Kutub al-Arabiyah,


t.th.), h. 42

53

Kedua,

(menyedikitkan beban). Prinsip ini dapat dilihat

dalam ayat-ayat Alquran yang membahas tentang aspek hukum hanya sedikit,93
itupun pada umumnya dalam bentuk yang mujmal (global), yakni hanya
memberi garis besarnya saja tanpa perincian. Khusus menyangkut ibadah,
meskipun pada umumnya disebutkan pokok-pokoknya saja, namun dijelaskan
secara rinci oleh Rasulullah saw dalam hadis. Lain halnya dalam bidang
muamalah (kemasyarakatan) yang lebih banyak jumlahnya dan hanya sebagian
kecil yang dinyatakan secara tegas dan rinci. Prinsip ini sangat logis karena jika
ayat-ayat hukum sudah terinci akan menjadi kaku dan manusia sangat terikat
serta tidak dapat berkembang mengikuti perubahan zaman dan kehidupan
masyarakat yang semakin kompleks. Selain itu, ayat-ayat hukum di bidang
muamalah pada umumnya diisyaratkan dengan hikmah dan illat (sebab)
hukumnya. Dengan demikian ayat-ayat hukum tersebut senantiasa terbuka bagi
kajian-kajian ilmiah melalui berbagai metode ijtihad sepertiijm, qiys, istihsn,
dan istislh (maslahat mursalah).94 Melalui metode ijtihad tersebut berbagai
problema hukum yang timbul seiring dengan perkembangan kehidupan manusia
dapat diselesaikan.
Ketiga, ( penetapan hukum secara bertahap). Salah satu
tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan ketentraman manusia, dan
dalam

rangka

mencapai

tujuan

tersebut

penerapan

hukum

Islam

mempertimbangkan kebiasan dan tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat


sebelum penerapan suatu hukum. Dengan kata lain, hukum Islam tidak
memaksakan pengaplikasian suatu aturan secara revolusioner melainkan melalui
proses evolusi sehingga masyarakat tidak mengalami shock dan resistan
93
Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat Alquran, menurut Departemen
Agama 6666 sedang bagi Harun Nasution sekitar 6360 ayat Alquran. Dari jumlah tersebut hanya
sekitar 5,8 persen yang digolongkan ayat-ayat hukum baik mengenai ibadat maupun muamalat.
Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya , Jilid II (Jakarta: UI-Press,
2002), h. 1. Lebih lanjut Abd Wahhb Khallf memperincikan yakni sekitar 70 ayat tentang
hukum kekeluargaan, 70 ayat berhubungan dengan perekonomian, 30 ayat membicarakan
persoalan kriminalitas, 13 ayat tentang pengadilan, 10 ayat membahas soal kenegaraan, 25 ayat
mengenai hubungan negara Islam dengan negara lain, dan 10 ayat tentang hubungan kaya dan
miskin. Lihat: Abd Wahhb Khallf, Ilmu Usl al-Fiqh (T.tp.: Maktabat al-Dawah alIslmiyah, 1990), h. 32-33
94

Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet. I (Jakarta:
Penamadani, 2004), h. 24

54

terhadap peraturan yang baru. Sebagai ilustrasi dari penetapan hukum secara
bertahap yakni ayat yang berhubungan dengan keharaman minuman keras
(khamar). Keharaman khamar dan perjudian tidak dinyatakan secara tegas dalam
satu ayat sekaligus tetapi melalui prosedur yakni dengan tiga tahap. Ayat
pertama (Q.S. al-Baqarah (2): 21995 menjelaskan tentang manfaat dan mudarat
yang terdapat dalam mengkonsumsi khamar, tetapi lebih lanjut ayat itu
menyatakan bahwa efek negatifnya lebih banyak dari pada manfaatnya.
Kemudian pada tahap kedua (Q.S. al-Nisa (4): 43 96 menyangkut larangan
menunaikan salat dalam keadaan mabuk. Selanjutnya tahapan ketiga (Q.S. alMaidah (5): 9097 menegaskan tentang keharaman khamar. Tahapan-tahapan
penetapan hukum khamar itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa khamar
merupakan kebiasaan masyarakat Arab secara turun temurun sehingga sulit
dieliminir secara drastis.
Tampaknya Alquran memahami kondisi obyektif komunitas tersebut
sehingga diawali dengan suatu pernyataan bahwa khamar itu mengandung
manfaat (kegunaan) dan mudarat (bahaya) tetapi bahayanya lebih banyak.
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa Alquran memberikan peringatan
(warning) terhadap dampak negatif (bahaya) khamar lebih signifikan sekalipun
di sisi lain ada juga kegunaanya. Peringatan itu memberi peluang bagi pengguna
khamar termasuk masyarakat secara keseluruhan untuk memikirkan dan
mengevaluasi kebiasaan tersebut sekaligus memberikan kebebasan manusia
untuk tetap melaksanakan kebiasan tersebut atau tidak. Setelah itu, Alquran
95

Tahap pertaman larangan khamar dalam Q.S. al-Baqarah (2): 219


... ( Mereka bertanya
kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya ). Lihat:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 53
96

Tahap kedua pelarangan khamar dalam Alquran yakni Q.S. al-Nisa (4): 43
... ( Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk).
97

Tahap ketiga merupakan penegasan larangan khamar, Q.S. al-Maidah (5): 90


...
(Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi,menyembah berhala,
mangundi nasib dangan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah
perbuatan itu).

55

meningkatkan upaya pengharaman khamar itu dengan limitasi larangan


melaksanakan salat bagi orang yang sedang mabuk. Dalam hal ini, ruang gerak
pengkonsumsi khamar mulai dibatasi dengan tidak dizinkan salat yang
merupakan aspek yang sangat urgen dalam Islam. Selanjutnya, Alquran secara
tegas menyatakan bahwa khamar itu haram. Dari ilustrasi di atas menunjukkan
bahwa para mujtahid perlu memperhatikan kondisi suatu masyarakat ataupun
individu ketika menetapkan suatu hukum sehingga sangat memungkinkan terjadi
penetapan hukum yang berbeda dalam persoalan yang sama. Pemaksaan dan
penetapan hukum secara revolusioner yang bertentangan dengan budaya dan
kebiasaan masyarakat senantiasa dihindari melalui proses sosialisasi dan
pendekatan sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi.
Secara umum, prinsip hukum Islam yakni meniadakan kesulitan,
meminimalisasi beban dan penahapan dalam menetapkan hukum sehingga akan
terwujud suatu hukum yang bisa di terima (acceptable), fleksibel dan humanis.
Pembahasan selanjutnya tentang tujuan hukum Islam adalah sinkronisasi antara
prinsip-prinsip dan tujuan hukum Islam sehingga menjadi bahagian yang
sinergis.
Tujuan hukum Islam (maqsid al-syarah) adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan kebahagiaan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat
melalui upaya menolak segala kemudaratan dan kerusakan (mafsadt). Karena
itu, hukum Islam bertujuan merealisasikan keadilan, rahmat (kasih sayang), dan
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.98 Pembahasan ini sangat signifikan
terutama bagi para mujtahid sebab dengan memahami tujuan hukum Islam akan
memudahkan mereka dalam mengkaji dan menganalisis suatu nas dan
kemungkinan dikaitkannya dengan kasus yang dihadapi. Al-Juwain (w. 478 H)
mengatakan bahwa kapasitas mujtahid diakui eksistensinya kalau dia mampu
memahami tujuan disyariatkan suatu hukum baik yang berhubungan dengan

98

Syamsuddn Ab Abdillh Muhammad ibn Ab Bakr al-Marf bi ibn Qayym alJauziyah, Ilm al-Muwaqqin an Rabb al-lamn , Juz III (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiah,
1996), h. 11

56

perintah maupun larangan.99 Tanpa memahami akan esensi disyariatkannya


hukum dalam Islam, seseorang dapat keliru dalam menyelesaikan masalah yang
timbul dalam masyarakat.
Menurut Al-Sytib (w. 450 H), kemasalahatan dapat terealisir dengan
memenuhi tiga kebutuhan yakni kebutuhan primer (darriyt), sekunder
(hjiyt) dan pelengkap (tahsniyt).100 Penetapan hukum Islam yang menyalahi
salah satu dari ketiga unsur tersebut sulit mewujudkan tujuan hukum Islam yang
membawa kemaslahatan bagi manusia. Kebutuhan primer (darriyt) yaitu
suatu kebutuhan yang sangat fundamental dalam memenuhi kemaslahatan
manusia dan kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi maka malapetaka, kekacauan,
ketidaknyamanan bagi manusia akan terjadi. Hal-hal yang dikelompokkan
dalam kebutuhan primer itu ialah memelihara agama (hifdz al-dn), jiwa (hifdz
al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan memelihara harta
(hifdz al-ml). Kelima aspek tersebut dalam usul fiqh dikenal dengan istilah aldarriyt al-khamsah. 101 Bentuk pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut
dengan jalan memelihara kelangsungannya melalui penetapan hukum Islam.
Kebutuhan terhadap agama penting karena agama memberikan petunjuk
mengenai kebaikan dan keburukan (Q.S. al-Syura (42): 13. Agama yang
mengandung aspek akidah, ibadah, hukum dan undang-undang yang
disyariatkan Allah swt untuk mengatur dan mangarahkan hubungan manusia
dengan penciptanya serta hubungan manusia dengan sesamanya. Untuk
mempertahankan agama dalam kehidupan manusia, Islam menganjurkan agar
konsisten dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama atau dikenal dengan istilah
al-jihd al-akbar yakni kemampuan untuk membentengi diri dari pengaruh yang
merusak agama dan keimanan manusia. Demikian juga dalam rangka
memelihara agama, mempertahankan eksistensinya dan mempertahankan diri,
99

Ab al-Mal Abd Malik ibn Abdillah al-Juwain, al-Burhn f Usl al-Fiqh, Juz I
(Kairo, Dr al-Ansr, t.th.), h. 295
100

Ab Ishq al-Sytib, al-Muwfaqt f Usl al-Syarat, Juz II (Beirut: Dar al-Kutub


al-Ilmiyyah, t.th.), h. 7; Bandingkan dengan: Abdul Wahhb Khallf, Ilmu Usul al-Fiqh, Cet.
VIII (T.tp.: Maktabah al-Dawah al-Islmiyah), 1990), h. 197
101

Ab Ishq al-Sytib, al-Muwfaqt f Usl al-Syarah, Juz II (Beirut: Dr al-Kutub


al-Ilmiyah, t.th.), h. 3

57

Islam membolehkan terlibat dalam peperangan (al-jihd al-asghar) tetapi


dengan persyaratan dan kriteria jihad antara lain jihad dalam rangka defensif dan
tidak merusak sarana dan prasarana umum, tidak merusak lingkungan, tidak
membunuh warga sipil termasuk pemuka agama terkecuali mereka ikut
berpartisipasi dan mendukung dalam peperangan.
Tujuan lain dari hukum Islam terutama yang berkaitan dengan kebutuhan
primer adalah memelihara jiwa, keturunan dan harta. Ketiga kebutuhan ini
saling terkait antara satu sama lainnya. Berbagai bentuk perlindungan atau
pemeliharaan jiwa, keturunan dan harta, Islam mensyariatkan pernikahan,
pencarian nafkah, dan pelaksanaan hukum qisas, diat102 serta kaffarat.103
Pernikahan dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan, melestarikan kehidupan
manusia dalam satu keluarga yang memiliki tanggung jawab yang optimal untuk
melindungi jiwa, kebahagiaan dan keselamatan keluarga (Q.S. al-Rum (30): 21.
Selain itu, Islam juga menganjurkan agar manusia mencari nafkah dalam rangka
meningkatkan perekonomian keluarga sehingga mereka tidak mengalami
kelaparan dan kekurangan gizi yang akan mengancam kelangsungan jiwa
manusia (Q.S. al-Jumah (62): 10 dan bahkan Islam melarang membunuh anakanak (keturunan) dikarenakan takut kemiskinan (Q.S. al-Isra (17): 31. Anjuran
pencarian nafkah bukan saja untuk kemaslahatan keluarga saja tetapi Islam juga
mengajak manusia agar konsern pada peningkatan perekenomian masyarakat.104
Bentuk pemeliharaan jiwa lainnya dalam Islam adalah larangan membunuh dan
menyia-nyiakan jiwa manusia baik dalam bentuk melukai ataupun membunuh

102

Diat adalah sejumlah harta yang diberikan sebagai ganti kerugian bagi tindakan
seseorang membunuh atau melukai orang lain. Hal-hal yang mewajibkan diat yaitu: jika wali
atau ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh; pembunuhan yang tidak disengaja; dan
pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan
Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 60
103

Kaffarat merupakan denda atau tebusan yang diwajibkan dalam Islam bagi pelaku
kesalahan atau dosa. Adapaun yang menimbulkan kaffarat antara lain: melanggar sumpah; tidak
melakukan nazar; menzihar isteri, mengila isteri; membunuh orang Islam tanpa sengaja;
berhubungan suami isteri di siang hari bulan Ramadan; melanggar larangan dalam haji atau
meninggalkan sesuatu yang diperintahkan dalam haji. Lihat: : M. Abdul Mujieb, Mabruri
Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 149
104

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet XII (Bandung: Mizan, 2001), h. 403

58

dengan ancaman hukuman yang tegas terhadap manusia yang melakukan


pelanggaran tersebut. Pelaku jarmah pembunuhan akan dibunuh (qisas) atau
membayar diyat atau kaffarat (Q.S. al-Baqarah (2): 178-179, sedangkan kalau
melukai maka dia akan dilukai juga kecuali dimaafkan oleh korban. Hukuman
tersebut menunjukkan bahwa Islam menghargai nilai dari nyawa manusia
sehingga manusia tidak mudah dalam melukai dan membunuh sesamanya
terkecuali yang dibolehkan dalam agama seperti dalam rangka qisas.105 Jadi,
pemeliharaan jiwa dapat dilakukan melalui pernikahan, peningkatan ekonomi,
dan penetapan hukuman jarmah pembunuhan dan pencideraan.
Kebutuhan primer (darriyt) yang lainnya adalah pemeliharaan akal.
Akal merupakan unsur yang urgen untuk membedakan antara manusia dan
binatang dan dapat digunakan dalam rangka memikirkan dan menganalisa
segala kejadian dan persoalan dalam kehidupan. Oleh karena itu, Islam
mensyariatkan

pentingnya

pemeliharaan

akal

antara

lain

pelarangan

pengkonsumsian dan penggunaan minuman keras (khamar) dan aktifitas lainnya


yang dapat merusak fungsi akal.106 Di era kontemporer, penggunaan obat-obatan
terlarang (drugs) seperti morphin, marijuana, ekstasi dan semacamnya juga akan
merusak struktur dan fungsi akal (otak). Jelasnya, hukum Islam bertujuan
menetapkan atau memelihara lima kebutuhan primer yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
Pakar hukum Islam lainnya, al-Qarf (w. 684 H), berpendapat bahwa
terdapat penambahan satu lagi tujuan hukum Islam selain yang dikemukakan alSytib di atas yaitu memelihara kehormatan diriatau harga diri (hifd al-ird).
Salah satu penjabaran pemeliharaan harga diri adalah adanya kode etik Islam
dalam melakukan sosialisasi dengan komunitas lain, misalnya tuduhan terhadap

105

Q.S. al-Baqarah (2): 178; al-Maidah (5): 45

106

Muhammad Ab Zahrah, Usul al-Fiqh (T.tp.: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 367368; Bandingkan dengan: Abdul Wahhb Khallf, Ilmu Usul al-Fiqh, Cet. VIII (T.tp.:
Maktabah al-Dawah al-Islmiyah, 1990), h. 200-202

59

seseorang melakukan tindak pidana perzinahan (qazaf).107 Tuduhan zina atau


perselingkuhan tanpa didasari pembuktian yang valid dikategorikan sebagai
bentuk pelecehan dan merusak harga diri tertuduh, sehingga hukum Islam
menetapkan hukuman had berupa penderaan sebanyak 80 kali (Q.S. al-Nr (24):
4. Pencacimakian seseorang juga termasuk perbuatan yang dapat mengurangi
harga diri korban dan Islam memberikan tanggung jawab kepada pemerintah
untuk menghukum pelakunya dengan hukuman tazir. Menurut al-Qarf (w.
684 H), karena hukum Islam menetapkan hukuman had bagi penuduh termasuk
hukuman tazr terhadap orang yang mencaci maki sehingga merusak
kehormatan dan harga diri seseorang maka kehormatan dan harga diri
dikategorikan dalam kebutuhan primer (darriyt).
Disamping pemenuhan kebutuhan primer, hukum Islam juga bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan sekunder (hjiyt). Dalam pandangan Abdul
Wahhb Khallf (w. 1974 M.), hjiyt adalah segala aktifitas yang dilakukan
dalam rangka menunjang dan meringankan tugas-tugas dan kegiatan yang
bersifat primer. Jika kebutuhan sekunder tersebut tidak terpenuhi, maka tidak
berimplikasi pada rusaknya tatanan kehidupan manusia seperti yang terjadi pada
pemenuhan kebutuhan primer. Pada prinsipnya kebutuhan sekunder berupaya
menghilangkan kesempitan, meringankan beban yang menyulitkan serta
memudahkan proses muamalah, jinyat dan transaksi (Q.S. al-Baqarah (2): 185;
an-Nisa (4): 28; al-Midah (5): 6 dan al-Hajj (22): 78.108
Dalam pelaksanaan ibadah salat, manusia diberi dispensasi untuk
mengqasar dan menjama salatnya saat musafir atau dalam kondisi sakit yang
tidak memungkinnya untuk melaksanakan salat 5 kali dan dengan jumlah rakaat
yang telah ditetapkan. Demikian juga tentang kebolehan bertanyamum bagi
orang yang tidak memperoleh air atau tidak memungkinkan menggunakan air
misalnya karena sakit, juga kebolehan tidak menghadap kiblat dalam salat ketika

107

Qazaf adalah tuduhan zina terhadap seseorang secara eksplisit maupun implisit.
Lihat: Abd ar-Rahmn al-Jazar, al-Fiqh al al-Mazhib al-Arbaah, Juz V, Cet. I (Beirut: Dr
al-Fikr, t.th.), h. 212
108

Abdul Wahhb Khallf, Ilmu Usl al-Fiqh, Cet. VIII (T.tp.: Maktabah al-Dawah
al-Islmiyah, 1990), h. 200

60

dalam kendaraan. Keringanan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan umat


Islam agar tetap melaksanakan salatnya dalam kondisi apapun. Ini menunjukkan
fleksibilitas dalam pelaksaan ibadah dalam Islam.
Dalam bidang muamalah, Islam menetapkan berbagai bentuk aqad
(kontrak) ketika akan melakukan transaksi jual beli, persewaan, perseroan
(syirkat) dan berniaga

dengan harta orang lain

(mudrabah), serta

mengemukakan kaedah umum dalam aqad seperti aqad pesanan, jual beli secara
wafa, pemesanan pembuatan hasil kerajian atau industri dan penggarapan
pertanian dan pengairan untuk memenuhi kebutuhan primer manusia. Demikian
juga dalam bidang pidana, Islam memberikan alternatif atau kemungkinan tidak
terlaksananya hukuman qisas terhadap pembunuh jika pihak keluarga korban
memaafkan pembunuh, dan hukumannya digantikan dengan membayar denda
(diyat).109 Contoh lain kebutuhan sekunder adalah larangan transaksi jual beli
khamar sebagai upaya preventif meminimalisasi penggunaan khamar.110 Jadi,
kebutuhan sekunder itu sebagai upaya untuk memudahkan kelancaran pelaksaan
kebutuhan yang bersifat primer.
Tujuan hukum Islam yang terakhir adalah pemenuhan kebutuhan yang
bersifat pelengkap (tahsniyt) yang berorientasi pada pemenuhan yang
dilandasi oleh norma, tradisi dan kebiasaan yang terjadi dalam suatu masyarakat
untuk memperoleh kenyamanan, ketertiban dan keindahan manusia. Pensucian,
pembersihan diri dan penggunaan pakaian yang baik dan bersih sebelum
pelaksanaan salat dianjurkan dalam Islam. Sebaliknya, larangan penipuan,
pemalsuan, sifat rakus dan kikir serta kesewenang-wenangan sebagai bentuk
tahsniyt dalam bidang muamalah. Adapun larangan mutilasi, pembakaran

109

Abdul Wahhb Khallf, Ilmu Usl al-Fiqh, Cet. VIII (T.tp.: Maktabah al-Dawah alIslmiyah, 1990), h. 201; Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (T.tp.: Dr al-Fikr al-Arab,
t.th.), h. 371
110

Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (T.tp.: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 371

61

mayat dan pembunuhan terhadap orang yang tidak memiliki senjata termasuk
tahsniyt dalam lapangan pidana.111
Dengan demikian, darriyt itu suatu kebutuhan yang fundamental dan
kalau diabaikan akan mengancam eksistensi kelima kebutuhan yang terdapat
dalam kebutuhan primer, tetapi dalam hjiyt, jika kebutuhan diabaikan tidak
akan mengancam eksistensi darriyt hanya saja akan mempersulit dan
mempersempit kehidupan manusia. Tahsniyt dikatakan sebagai pelengkap
(komplementer) sebab kalau tidak dilaksanakan tidak akan mengancam
eksistensi darriyt dan tidak mempersulit manusia tetapi sebagai bentuk etika
atau kepatutan saja. Ilustrasi yang komprehensif tentang kelima pokok
kemaslahatan disertai dengan penjelasan tentang kebutuhan darriyt, hjiyt
dan tahsniyt dari masing-masing persoalan tersebut dikemukakan oleh al-Bt
dalam bukunya Dawbit al-Maslaht fi al-Syariat al-Islmiyyt .112
Memelihara agama (hifz al-dn) ditinjau dari sudut urgensinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga tingkatan: Pertama, pada level darryat (primer)
misalnya melaksanakan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan demi menjaga
agama sebab jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan akan dapat mereduksi
keberagamaan seseorang. Kedua, tingkat hjiyatnya (sekunder) adalah
menghindari kesulitan dalam melaksanakan perintah puasa tersebut seperti
adanya keringanan mengkada puasa bagi musafir. Pada prinsipnya meskipun
ketentuan ini diabaikan, tidak akan berdampak pada eksistensi agama, hanya
saja kemungkinan menyulitkan bagi orang yang sedang melakukan perjalanan.
Ketiga, pada tingkat tahsiniyat yakni unsur pelengkap dalam melaksanakan
kewajiban agama dengan berpedoman pada etika moral yang berlaku dalam
masyarakat. Contoh, menghindari perkataan yang dapat menyinggung perasaan
orang lain.

111

Abdul Wahhab Khallf, Ilmu Usl al-Fiqh, Cet. VIII (T.tp.: Maktabah al-Dawah alIslmiyyah, 1990), h. 203; Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (T.tp.: Dr al-Fikr al-Arab,
t.th.), h. 372
112

Muhammad Said al-Bt, Dawbit al-Maslaht fi al-Syariah al-Islmiyh (Beirut:


Muassasat, t.th.), h. 249-254

62

Memelihara jiwa (hifz al-nafs) pada level darryat (primer) misalnya


terpenuhinya kebutuhan pokok berupa tempat tinggal yang dapat melindungi
manusia dari cuaca panas dan dingin. Kebutuhan akan tempat tinggal bagi
kelangsungan hidup manusia sifatnya darryat (primer) karena jika hal ini
terabaikan akan mengancam jiwa manusia. Selanjutnya tingkat kebutuhan
hjiyat-nya (sekunder) terletak pada adanya kenyamanan tempat tinggal tersebut
berupa tersedianya jendela dan ventilasi udara. Kalaupun rumah (tempat tinggal)
tidak dilengkapi dengan jendela dan ventilasi udara, maka tidak akan
mengancam jiwa manusia, hanya saja dapat menyulitkan hidupnya karena
sangat berpotensi terserang penyakit seperti sesak napas (asma). Adapun
kebutuhan tahsiniyat yaitu kalau tempat tinggal itu diperindah dengan dekorasi
dan dilengkapi dengan perkakas serta sarana peristirahatan. Sebenarnya
walaupun unsur pelengkap itu tidak dapat diadakan, maka tidak akan
mengancam jiwa dan bahkan juga tidak akan mempersulit seseorang dalam
hidupnya.
Memelihara akal (hifz al-aqal) pada tingkat darryat (primer) dapat
berupa larangan mengkonsumsi khamar dan sejenisnya yang dapat mengganggu
kestabilan berpikir seseorang. Jika hal ini terjadi maka akal sebagai alat untuk
berpikir tidak akan berfungsi secara normal dan bahkan dapat berdampak pada
akal seperti munculnya prilaku orang mabuk yang sering melakukan tindakan
kriminal. Pada tahapan tingkat kebutuhan hjiyat (sekunder), akal dapat
ditingkatkan daya nalarnya dengan menambah keterampilan (skill) dan ilmu
pengetahuan. Tetapi jika seseorang tidak ingin meningkatkan ilmu pengetahuan
dan keterampilannya, maka akalnya tidak akan terganggu atau rusak, melainkan
ia hanya akan mengalami kesulitan dalam memperoleh pekerjaan untuk
menunjang hidupnya. Sedangkan kebutuhan pada level tahsiniyat berupa
menghindarkan diri dari menonton film-film porno walaupun tidak berdampak
langsung pada eksistensi akal, namun secara etika kurang pantas dilakukan.
Memelihara keturunan (hifz al-nasl) pada peringkat darryat (primer)
dapat berupa perintah untuk melangsungkan pernikahan dan larangan
melakukan perzinahan. Jika perintah dan larangan itu tidak diindahkan oleh

63

manusia maka akan mengancam kelanjutan keturunan. Selanjutnya pada tingkat


hjiyat (sekunder), mempelai laki-laki menyebutkan jumlah mahar yang
diberikan kepada mempelai perempuan saat ikrar ijab kabul berlangsung. Kalau
jumlah mahar tidak disebutkan pada waktu akad nikah maka akan menyulitkan
bagi suami untuk membayar mahar mitsl.113 Pada peringkat tahsiniyat, biasanya
diadakan resepsi yang dihadiri sanak keluarga dan handai tolan. Meskipun
kegiatan ini tidak diadakan, juga tidak akan berpengaruh pada kelanjutan atau
kepunahan keturunan, demikian halnya pada sahnya akad nikah.
Memelihara harta (hifz al-ml). Pada peringkat darryat (primer)
pemeliharaan harta dapat berupa cara mendapatkan harta dengan jalan benar dan
sebaliknya larangan memperoleh harta dengan cara tidak sah (halal). Jika aturan
itu tidak diindahkan maka akan mengancam keberadaan harta yang dimiliki.
Sementara pada tataran hjiyat (sekunder), untuk mendapatkan harta dapat
dilakukan jual beli dengan cara salam.114 Sekalipun cara ini tidak dipraktekkan,
maka tidak akan mengganggu eksistensi harta, hanya saja menyulitkan bagi
orang yang butuh modal. Adapun memelihara harta pada tataran tahsiniyat, bisa
dilakukan dengan menghindarkan diri dari praktek manipulasi, sebab hal ini
sangat mempengaruhi keabsahan suatu transaksi jual beli. Oleh karena itu level
ketiga ini adalah syarat terwujudnya peringkat kedua dan pertama.115
Tampaknya contoh tahsiniyat dalam persoalan ini bukan saja sebagai
komplementer tetapi justru sebagai penentuan sahnya jual beli. Ketiga aspek

113
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 130; Mahar mitsl adalah mahar yang diukur sepadan dengan mahar yang pernah
diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dan tetangga sekitarnya dengan mengingat misalnya
status sosial dan keturunan. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus
Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 185
114

Jual beli salam dilakukan dengan cara menjual sesuatu yang barangnya belum ada,
tetapi penjual cukup menyebutkan sifat dan kualitas barang. Setelah terjadi kesepakatan kedua
belah pihak mengenai misalnya harga barang, kualitas, dan tempat penerimaan barang, pembeli
menyerahkan sejumlah uang sebagai harga barang sedang penjual memberikan bukti
pembayaran berupa kwitansi. Dalam hal ini unsur terpenting adalah saling kepercayaan antara
penjual dan pembeli. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus
Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 308
115
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 131

64

kebutuhan tersebut (darryat, hjiyat dan tahsiniyat) merupakan dasar


pertimbangan bagi syari dan juga mujtahid dalam menetapkan hukum pada
persoalan yang dihadapi umat manusia dalam rangka terwujudnya kemaslahatan
dan terhindar dari mudarat (bahaya).
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka hukum Islam merupakan
hukum yang bersumber dari nas-nas Alquran dan hadis, bertujuan mengatur
kehidupan atau perbuatan mukallaf yang mencakup bidang ibadah dan
muamalah secara umum. Hukum Islam bersifat universal, elastis dan dinamis,
sempurna dan sistematis, kemanusiaan dan menjunjung tinggi moralitas, serta
bersifat taaqquli dan taabbudi, sedangkan prinsip hukum Islam adalah
meringankan dan menyedikitkan beban dan tanggung jawab manusia, serta
menetapkan hukum secara bertahap (periodik). Karena karakteristik dan prinsip
tersebut, maka hukum Islam mengandung tujuan yang humanis dan toleran yang
mensejahterakan manusia dalam memenuhi tiga kebutuhan yakni kebutuhan
primer (darriyt), sekunder (hjiyt) dan pelengkap (tahsniyt).

BAB III
TERORISME DI ERA KONTEMPORER

Terorisme merupakan diskursus global, dapat terjadi di negara yang


memiliki kemajuan teknologi dan komunikasi yang canggih seperti Amerika
Serikat ataupun di negara terbelakang dan tradisional seperti Afrika. Aksi teror
tidak mengenal letak geografis suatu masyarakat atau negara. Juga, pembahasan
tentang terorisme bukan saja diskursus khusus yang menyangkut radikalisme
dan fundamentalisme

di kalangan kelompok-kelompok

yang berbasis

keagamaan seperti Islam, Kristen, Yahudi, dan Sikh, tetapi juga menjadi
perbincangan dalam kaitan dengan politik dalam suatu pemerintahan. Kajian
teorisme secara global sangat krusial sebagai acuan dalam pembahasan pada
bab-bab selanjutnya dalam disertasi ini. Dalam bab ini, kajian tentang
pengertian, kriteria dan bentuk-bentuk terorisme, lintasan sejarah terorisme,
faktor-faktor terjadinya terorisme serta terorisme dalam konteks dunia modern
menjadi kajian yang utama sehingga dapat ditarik benang merah keterkaitan atau
tidaknya isu terorisme dengan jihad dalam perspektif hukum Islam.

A. Pengertian, Kriteria dan Bentuk-Bentuk Terorisme


Pada bahagian ini akan dielaborasi tentang pengertian, kriteria dan
bentuk-bentuk terorisme sehingga tidak akan terjadi kerancuan dalam
memahami konsep terorisme karena persoalan itu masih menjadi perdebatan
dari berbagai pakar terorisme termasuk para elit politik dalam suatu negara
disebabkan perbedaan kepentingan.

65

66

1. Pengertian Terorisme
Walaupun wacana tentang terorisme telah muncul sejak ribuan tahun
silam dan menjadi legenda dunia, 1 akan tetapi hingga kini belum ada satu
kesepakatan dari semua pihak tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan
terorisme, baik dalam hukum internasional atau berbagai organisasi yang
berskala internasional maupun regional. Kendati demikian, para pakar politik,
hukum dan sosiologi mengemukakan rumusan istilah terorisme sesuai dengan
persepsi dan latar belakang ilmunya. Akibatnya, perbedaan persepsi dan visi
dalam memandang masalah ini melahirkan keragaman terminologi terorisme.
Persoalan berikutnya adalah intervensi subyekivitas kepentingan masing-masing
pihak ketika mendefinisikan term terorisme. Selain itu sebagian pihak ada yang
merumuskan pengertian terorisme dalam makna sangat luas dan ada pula yang
dalam arti sempit. 2 Dengan demikian, adanya perbedaan kepentingan dan sudut
pandang masing-masing negara dalam memahami terorisme mengakibatkan
sulitnya merumuskan suatu definisi yang dapat disepakati oleh semua pihak.
Dalam rangka menyatukan visi dan misi mengenai isu terorisme,
Perserikatan

Bangsa-Bangsa

(PBB)

melalui

dewan

khusus

terorisme

internasional telah membahasnya sejak 1972, namun terjadi perdebatan di antara


anggota PBB seputar definisi terorisme. Akhirnya sidang memandang tidak
mungkin dapat memutuskan sebuah definisi yang bisa disepakati bersama dan
mengakomodasi berbagai perbedaan persepsi yang ada, karena dibalik fenomena
terorisme tersembunyi beragam kepentingan politik, sosial, perundang-undangan
dan ideologi yang saling berbenturan. 3 PBB sebagai wadah yang menghimpun
kepentingan negara-negara di dunia diharapkan dapat mengakomodir berbagai
1

Praktek aksi tetorisme telah eksis sejak kekaisaran Romawi, masa kekuasaan Tiberius
(14-37 M) dan Caligula (37-41 M) dengan cara membunuh, mengintimidasi, mengasingkan, dan
merampas harta milik para oposan. Lihat: Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005), h. 1
2

Haitsam al-Kailani, Al-Irhb Yuassisu Daulat Namdzaj Isril, diterjemahkan oleh


Muhammad Zainal Arifin, dengan judul: Siapa Terorisme Dunia, Cet. I (Jakarta: CV. Pustaka
al-Kautsar, 2001), h. 16; Abu Ridho, Terorisme, Cet. I (Jakarta: Pustaka Tarbiauna, 2003), h. 9
3
Lihat: Haitsam al-Kailani, Al-Irhb Yuassisu Daulat Namudzaj Isril diterjemahkan
oleh Muhammad Zainal Arifin, dengan judul: Siapa Teroris Dunia, Cet. I (Jakarta: CV. Pustaka
al-Kautsar, 2001), h. 16

67

perbedaan tersebut untuk melahirkan suatu kesepakatan, namun masih jauh dari
harapan. Ketidakmampuan PBB melahirkan definisi terorisme membuktikan
betapa lemahnya pimpinan PBB.
Bervariasinya rumusan makna terorisme yang diberikan oleh berbagai
kalangan disebabkan beberapa faktor. Menurut al-Juhani, tidak adanya rumusan
terorisme yang dapat disepakati oleh bangsa-bangsa di dunia disebabkan antara
lain banyaknya perbedaan pendapat mereka dalam membicarakan persoalan ini.
Selain itu, perbedaan cara pandang mereka dalam menyikapi suatu tindakan
teror, sebagian mereka menganggapnya benar-benar sebuah tindakan teror,
sedang yang lain justru melihatnya sebagai sesuatu yang dapat digolongkan
justifiable (dibenarkan), yakni tidak dikategorikan sebagai tindakan terorisme.
Selanjutnya, perbedaan juga disebabkan adanya istilah-istilah lain yang
mempunyai makna sangat dekat dengan istilah terorisme misalnya istilah
kekerasan politik dan kejahatan terorganisasi. Persoalan yang turut memberikan
kontribusi perbedaan pemahaman tentang terorisme adalah adanya perbedaan
motivasi, tempat, waktu dan budaya. 4
Argumen yang sama juga dikemukakan Ahmad Jalal Izuddin.
Menurutnya, perbedaan pemaknaan konsep terorisme diakibatkan karena
beberapa faktor antara lain: Pertama, perbedaan persepsi tentang suatu tindakan
yang dilakukan perorangan atau kelompok apakah dianggap legal dan bisa
dibenarkan atau tidak. Kedua, perbedaan tentang tujuan dan cakupan yang harus
dimasukkan dalam rumusan yang disepakati. Persoalan ini disebabkan
perbedaan kepentingan tiap negara. Ketiga, kemiripan berbagai tindak kekerasan
politik dengan aksi teror, sehingga sulit membedakan antara tindakan teror,
kejahatan politik, kriminal terorganisasi dan kediktatoran suatu pemerintah.
Keempat, kerancuan pemahaman tentang makna teror sebagai sebuah aksi
dengan jenis tindak kekerasan lainnya yang juga mempunyai hubungan erat
dengan konflik-konflik yang bernuansa politik. Hal tersebut berimplikasi pada
kesulitan membedakan antara gerakan separatis, pembangkang atau gerakan

Ali Fiz al-Juhani, Al-Fahm al-Mafrd li al-Irhb al-Marfd , Cet. I (Riyad: t.tp, 1421
H/2001 M), h. 14

68

revolusi.5 Baik al-Juhani maupun Izuddin, keduanya mengemukakan beberapa


alasan yang sama mengenai sulitnya melahirkan kesepakatan dalam
mendefinisikan terorisme. Misalnya, karena ketidaksepakatan mengenai
kategorisasi tindakan kekerasan yang dapat dikelompokkan sebagai tindakan
terorisme.
Pakar lainnya, seperti Azyumardi Azra, mengakui bahwa sekalipun
terjadi kesulitan dalam mendefinisikan makna terorisme, tetapi terdapat prinsipprinsip dasar yang perlu diperhatikan yakni perbedaan antara teror dengan
terorisme sebab penggunaan teror tidak otomatis merupakan terorisme
karena teror dapat dilakukan untuk tujuan-tujuan kriminal dan personal.

Tampaknya bagi Azra, tidak semua tindakan kekerasan dapat dikategorikan


sebagai

aksi

terorisme,

misalnya

tindakan

kriminal

biasa

walaupun

menimbulkan ketakutan orang lain.


Bagi Loretta Napoleoni, selama terorisme masih berada dalam ruang
lingkup (domain) politik, maka akan sulit mewujudkan konsensus dalam
mendefinisikan terorisme. 7 Pandangan Loretta Napoleoni tersebut cukup
beralasan karena tiap-tiap negara berusaha untuk mempertahankan kepentingan
politiknya sehingga jika definisi terorisme yang dirumuskan tidak sejalan
dengan tujuan politik suatu negara maka negara yang bersangkutan akan
menolaknya.
Argumentasi yang dikemukakan beberapa ahli di atas mengindikasikan
bahwa tidak terdapat konsensus dalam merumuskan makna terorisme
disebabkan beberapa faktor di antaranya terjadi perbedaan kepentingan yang
saling berbenturan baik dari segi politik, sosial, perundang-undangan maupun
ideologi; tidak terjadi keseragaman persepsi dalam menyikapi suatu tindakan
teror, apakah justifiable atau unjustifiable; dan terdapat kemiripan konsep antara
5
Ahmad Jall Izzuddn, Al-Irhb wa al-Unf al-Siys , Cet. I (Kairo: Dr al-Hurriyah,
1986), h. 24
6
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme, dalam Tabrani Sabirin (ed), Menggugat
Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 70
7
Loretta Napoleoni, Modern Jihad: Tracing the Dollars Behind the Terror Networks
(London: Pluto Press, 2003), h. xv

69

tindak kekerasan politik, aksi teror, dan kriminal terorganisasi sehingga sulit
membedakannya. Pada intinya, sulitnya memformulasikan definisi terorisme
disebabkan karena tidak ada kriteria yang dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam merumuskan definisi terorisme.
Terlepas dari kesulitan-kesulitan mendefinisikan terorisme, terdapat
sejumlah definisi antara lain:
Secara etimologis, terorisme memiliki beberapa pengertian yakni:
-

Attitude dintimidation 8 (sikap menakut-nakuti).

Use of violence and intimidation, especially for political


purposes9 (penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk
tujuan-tujuan politik.

Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam


usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktek-praktek
tindakan teror. 10

Setiap tindakan yang menimbulkan suasana ketakutan dan


keputus-asaan (fear and dispear).11

Adapun pengertian terorisme secara terminologis dikemukakan para


pakar sebagai berikut:
Menurut Thornton: Terrorism is a symbolic act designed to influence
political behaviour by extra normal means, entailing the use of threat or force .12
Terorisme adalah penggunaan teror sebagai tindakan simbolik yang dirancang
untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara
ekstranormal khususnya penggunaan ancaman atau kekerasan. Selanjutnya
Azra mengomentari pengertian ini dengan membedakan dua kategori
8
Le Nouveau Petit Robert, Dictionnaire de la Langue Francaise (Montreal: Dicorobert
Inc, 1996), h. 2238
9

A.S. Hornby, Oxford Advanced Dictionary of Current English (Oxford Drill: Oxford
University Press, 1987), h. 892
10

B.N. Marbun, Kamus Politik, Edisi Baru (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h.

530
11

Abu Ridho, Terorisme, Cet. I (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h. 9

12

T.P. Thomas Thornton, Terror as a Weapon of Political Agitation , Cet. I ( T. tp: t.p,
1964), h. 73-74

70

penggunaan teror yakni enforcement terror sebagai alat penguasa untuk


menindas pihak-pihak yang beroposisi dengannya. Penggunaan teror yang lain
yaitu agitational terror sebagai upaya merongrong kewibawaan pemerintah
yang berkuasa.13
Sejalan dengan definisi di atas, Soderberg merumuskan bahwa terorisme
adalah upaya menempuh cara-cara kekerasan untuk suatu target-target politis,
dilakukan pihak-pihak yang tidak memiliki kekuasaan. Metode kekerasan
bertujuan sebagai ungkapan kemarahan atau penentangan secara politis terhadap
pemerintah resmi disebabkan negara tidak memenuhi tuntutan mereka.

14

Soderberg bermaksud menjelaskan aksi teror yang dilakukan kelompokkelompok oposisi untuk menekan pemerintah agar tujuan yang mereka inginkan
dapat terwujud. Namun jika pertentangan itu terjadi antara dua kubu meskipun
non-militer maka ia tidak lagi menyebutnya sebagai tindakan teror melainkan
sebuah peperangan. 15 Pengertian Soderberg ini mirip dengan pemikiran
Thornton di atas, hanya saja sifatnya terbatas pada tindakan kekerasan yang
ditujukan untuk mengganggu kebijakan pemerintah secara politis. Adapun
tindak kekerasan yang dimaksud mencakup semua bentuk kekerasan baik yang
dilakukan seseorang atau beberapa orang dan berdampak pada pihak lain baik
secara psychic (kejiwaan) maupun physic (jasmani) misalnya intimidasi,
menakut-nakuti, penindasan, pembungkaman lembaga pers, pengancaman, dan
pembunuhan dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme.
Terminologi lain tentang terorisme dikemukakan oleh Majma al- Buhts
al-Islmiyah al-Azhar al-Syarf (Organisasi Pembahasan Fiqh dan Ilmiah alAzhar) seperti yang dikutip al-Sahamran yaitu tindakan yang dapat
mengganggu stabilitas keamanan masyarakat, kepentingan umum, kebebasan
dan kemanusiaan serta merusak harta dan kehormatan karena ingin berbuat
13
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme dalam Tabrani Sabirin, (ed), Menggugat
Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 70
14

Peter Soderberg, Astir Irhbiyah baina al-Wahm wa al-Mugalat wa al-Wqi


diterjemahkan oleh Affaf Maruf (Kairo: Dr Nasyr, 1992), h. 47
15

Peter Soderberg, Astir Irhbiyah baina al-Wahm wa al-Mugalat wa al-Wqi ,


terjemahan Affaf Maruf (Kairo: Dr Nasyr, 1992), h. 56

71

kerusakan di muka bumi. 16 Rumusan ini bersifat umum, mencakup semua


bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok
terorganisir seperti gangguan keamanan, pengrusakan harta benda dan gangguan
kebebasan dan kemerdekaan manusia. Dengan demikian apapun bentuk aksi
kekerasan dan dilakukan oleh siapapun maka hal itu dapat disebut tindakan
terorisme yang harus dikecam dan dibasmi seperti layaknya kasus kriminal.
Menurut versi FBI (Federal Bureau of Investigation) atau Biro
Penyelidikan Federal: Terrorism is the unlawful use of force or violence
against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian
population, or any segment threreof, in furtherance of political or social
objectives17 (Terorisme adalah tindakan kekerasan yang melanggar hukum
dilakukan terhadap orang atau properti untuk mengintimidasi pemerintah,
penduduk sipil atau segmen lainnya dalam rangka mencapai tujuan politik dan
sosial). Tampaknya pengertian FBI ini lebih mengedepankan faktor hukum dan
politik yang berlaku dalam suatu negara. Dikatakan unlawful use of force sebab
ada instansi di dalam negara yang memiliki kewenangan menggunakan caracara kekerasan (force) dalam menjalankan tugasnya. Polisi misalnya, dibenarkan
membubarkan demonstran yang anarkis dengan semprotan gas air mata, peluru
karet, bahkan peluru tajam sesuai protab yang berlaku jika aksi-aksi demo
tersebut telah membahayakan keselamatan orang banyak. 18
Pengertian terorisme juga disebutkan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 6 berbunyi: setiap orang
yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang besifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan
16
Asad al-Sahamrn, L li al-Irhb, Naam li al-Jihd , Cet. I (Beirut: Dr al-Nafis,
2003), h. 19
17

Federal Bureau of Investigation (FBI), Terrorism, http://denver.fbi.gov/nfip.htm,


diakses tanggal 18 Agustus 2008-08-21
18

Tjipta Lesmana, Membangun Masyarakat yang Resistence terhadap Terorisme,


dalam Tabrani Sabirin, Menggugat Terorisme , Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 114

72

kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau


lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Dalam pasal 7
disebutkan hukuman bagi teroris adalah pidana penjara paling lama seumur
hidup.19 Penyertaan kata ancaman dalam definisi ini merupakan upaya
preventif (mencegah) aksi kekerasan, sebab jangankan melakukan tindakan
kekerasan, baru berupa ancaman yang mengakibatkan timbulnya suasana
ketakutan pada publik telah dikategorikan sebagai aksi terorisme. Sementara
dalam definisi lain hanya Thornton yang mencantumkan kata ancaman
kekerasan yang dapat diklasifikasikan sebagai aksi terorisme. Dengan demikian
definisi terorisme persi UU RI N0. 15 & 16 Tahun 2003 memiliki nilai tambah
dibanding definisi lain karena mengandung peringatan atau warning bagi
teroris untuk tidak melakukan suatu ancaman kekerasan yang berdampak pada
ketakutan publik.
Berdasarkan beberapa definisi terorisme yang dikemukakan di atas,
dapat ditarik suatu pengertian secara operasional bahwa terorisme adalah setiap
tindakan atau ancaman yang dapat mengganggu keamanan orang banyak baik
jiwa, harta, maupun kemerdekaannya yang dilakukan oleh perorangan,
kelompok ataupun negara. Untuk memperjelas cakupan terorisme, maka
pembahasan kriteria terorisme perlu dielaborasi lebih lanjut.

2. Kriteria Terorisme
Kriteria yang dimaksud disini adalah unsur-unsur yang terdapat dalam
suatu perbuatan sehingga tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana terorisme. Unsur-unsur tersebut dapat ditemukan dalam definisi yang
telah dikemukakan sebelumnya misalnya, adanya unsur kesengajaan dalam
bertindak dan mengandung tujuan politis

atau

aspek lainnya

yang

19
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15&16 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidanna Terorisme & Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa
Peledakan Bom di Bali tanggal 12-10-2002 Beserta Penjelasannya (Bandung: Citra Umbara,
t.th.), h. 20

73

memungkinkan munculnya rasa ketakutan dan kepanikan massal, sehingga


tindakan tertentu yang tidak disengaja yang menyebabkan ketakutan terhadap
orang lain tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan teror. Beberapa ilustrasi
yang tidak dikategorikan sebagai tindakan terorisme misalnya peraturan atau
hukum yang mengandung ancaman dan sanksi hukuman; materi dakwah yang
menakut-nakuti audience tentang ancaman hukuman bagi orang yang tidak
mematuhi ajaran agama; gertakan orang tua terhadap anaknya yang tidak
mendengarkan nasehat orang tua. Oleh karena itu, tindakan dapat dikategorikan
sebagai tindakan terorisme bila mencakup unsur-unsur tertentu.
Federal Bureau of Investigation (FBI) mendiskripsikan 4 unsur-unsur
terorisme yaitu menggunakan tindakan pemaksaan atau tindak kekerasan secara
tidak sah; sasarannya adalah orang atau harta benda; mengintimidasi atau
menekan pemerintah, masyarakat atau komunitas tertentu dalam suatu
masyarakat; serta memiliki tujuan spesifik seperti politik dan sosial. 20
Pengklasifikasian FBI tentang unsur-unsur tersebut tidak mempertimbangkan
unsur implikasi atau efek dari tindakan terorisme terhadap suatu masyarakat atau
negara seperti yang dikemukakan oleh pengamat terorisme lainnya.
Menurut Walter, seperti yang dikutip Azra, bahwa terorisme sebagai
proses teror memiliki 3 unsur yakni: tindakan atau ancaman kekerasan; reaksi
emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau calon
korban; dan dampak sosial yang mengikuti kekerasan (ancaman) dan rasa
ketakutan yang muncul setelah aksi teror terjadi. 21
Ketiga unsur tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tak
terpisahkan sebab jika dipahami secara terpisah akan berdampak pada
kekeliruan menentukan apakah suatu tindakan termasuk aksi kekerasan yang
dapat dibenarkan atau sebaliknya. Rumusan Walter ini bersifat umum tanpa
merinci tujuan dan pelaku aksi kekerasan. Dalam definisi sebelumnya
dinyatakan bahwa tujuan pelaku tindakan kekerasan adalah untuk merongrong
20

Tjipta Lesmana, Membangun Masyarakat yang Resistence Terhadap Terorisme


dalam Tabrani Sabirin, Menggugat Terorisme (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h.111
21

Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme dalam Tabrani Sabirin, (ed), Menggugat
Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 71

74

kewibawaan pemerintah secara politis. Sedangkan perbuatan tindakan kekerasan


hanyalah sarana yang dipergunakan dalam merealisasikan tujuannya untuk
mengambil alih kekuasaan secara illegal. Demikian halnya pelakunya tidak
disebutkan secara transparan apakah pihak penguasa yang melakukan tindakan
kekerasan terhadap setiap orang atau kelompok yang menjadi oposisi, ataukah
pihak yang dizalimi hak-haknya sehingga bangkit melawan kediktatoran
pemerintah.
Memperhatikan definisi yang telah disebutkan di atas, maka ketiga unsur
terorisme yang dikemukakan Walter masih dianggap kurang mengakomodir
aspek-aspek lain yang turut terlibat dalam suatu tindakan kekerasan seperti
unsur kesengajaan dalam berbuat, tujuan atau alasan melakukan tindakan
kekerasan, dan subyek pelakunya. Kriteria tersebut perlu disebutkan untuk
memudahkan dalam mengidentifikasi apakah suatu tindakan kekerasan termasuk
aksi terorisme atau bukan. Secara ekplisit, suatu tindakan kejahatan yang
dikategorisasikan sebagai tindakan terorisme jika memenuhi kriteria antara lain:
a. Adanya tindakan berupa ancaman ataupun kekerasan yang illegal.
b. Tindakan tersebut berdampak pada masyarakat baik fisik, psikis,
harta benda mereka maupun fasilitas umum baik yang berskala
domestik maupun internasional.
c. Menimbulkan ketakutan dan kepanikan suatu kelompok atau
masyarakat.
d. Adanya tujuan atau kepentingan yang ingin dicapai pelaku, pada
umumnya bernuansa politik.
e. Korban tindakan tidak selalu berkaitan langsung dengan tujuan yang
hendak dicapai.
f. Pelakunya dapat berupa perorangan, kelompok terorganisir ataupun
penguasa dalam suatu pemerintahan yang sah.
Berdasarkan definisi, pemahaman dan pengklasifikasian kriteria
terorisme yang dikemukakan di atas, maka dapat dikategorikan lebih spesifik
tentang macam-macam teroris, pengklasifikasian terorisme ditinjau dari sisi
aksinya. Pelaku aksi teror bervariasi, ada terorisme yang dilakukan oleh

75

perorangan, kelompok terorganisir dan dilakukan negara (pemerintah) yang sah.


Sedangkan aksi teror dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni penculikan,
pembunuhan, intimidasi, pengeboman, pembajakan dan pembakaran. Terorisme
juga bisa bersifat domestik dan international. Kajian selanjutnya hanya berkaitan
dengan bentuk-bentuk terorisme sehingga teridentifikasi siapa saja atau
kelompok mana saja yang dikategorikan sebagai teroris.

3. Bentuk-Bentuk Terorisme
Menurut Wilkinson, terorisme terbagi dalam tiga tipe (bentuk) yakni
terorisme revolusioner (revolutionary terrorism), terorisme sub-revolutioner
(sub-revolutionary terrorism) dan terorisme represif (repressive terrorism).
Dalam pandangan Wilkinson, terorisme revolusioner dan sub revolusioner
dilakukan oleh warga sipil, sedangkan terorisme represif dilakukan oleh negara.
Perbedaan antara terorisme revolusioner dan sub revolusioner adalah dari segi
tujuannya. Terorisme revolusioner bertujuan untuk merubah secara totalitas
tatanan sosial dan politik yang sudah ada, tetapi terorisme sub revolusioner
bertujuan untuk mengubah kebijakan atau balas dendam atau menghukum
pejabat pemerintahan yang tidak sejalan. 22 Berdasarkan pembagian ini maka
penulis akan membagi bentuk terorisme dalam dua hal ditinjau dari pelakunya
yakni sipil dan negara. Jadi hanya terfokus pada terorisme yang diperankan oleh
individual atau kelompok dan negara.
Terorisme yang dilakukan secara individu atau kelompok adalah aksi
teror tersebut biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dari kelompok
tertentu baik itu ditujukan pada komunitas tertentu ataupun negara yang
berdaulat. Aksi teror yang diperankan kelompok atau individu atas nama
kelompok suatu organisasi dapat ditemukan di berbagai negara dan agama
dengan tujuan politis ataupun agama. Hal ini terjadi misalnya terorisme yang
dilakukan kelompok radikal agama Hindu, Sikh, di India, sebagai ancaman
ditujukan kepada pemerintahan India dan menuntut pendirian pemerintahanan
22

Grant Wardlaw, Political Terrorism (New York: Cambridge University Press, 1986),

h. 14-15

76

otonomi.23 Rev. Paul Hill (kelompok ekstrimis Kristen) menembak mati Dr.
John Britton dan pengawal pribadinya di klinik aborsi di Pensacola Florida
sebagai bentuk penolakan terhadap praktek aborsi dan mendukung pro-life. 24
Pengeboman di Bali, Mesir, Riyad, gedung WTC tahun 1993 dilakukan oleh
kelompok radikal Muslim dan salah satu tujuannya adalah melawan
kolonialisasi dan hegemoni Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya).
Sedangkan terorisme negara ( state terrorism) adalah aksi teror yang
dilakukan oleh pemerintah, mengatasnamakan atas dasar hukum, ditujukan baik
terhadap kelompok oposisi yang ada dibawah pemerintahannya maupun
terhadap kelompok di wilayah lainnya. 25 Terorisme negara bersifat sistematis
untuk menekan, mengintimidasi, membatasi bahkan mengeliminasi kelompok
oposisi dan atau yang tidak sejalan dengan kebijakan mereka. Biasanya
terorisme negara memberikan argumentasi bahwa aksi teror yang dilakukannya
adalah legal karena pemerintah mengacu atas perundang-undangan yang mereka
undangkan. 26 Oleh sebab itu, negara yang bersangkutan tidak akan pernah
mengklaim dirinya sebagai teroris. Misalnya, pemerintahan Perancis (17931794) melakukan aksi pembunuhan dan menjatuhkan hukuman terhadap para
pembangkang pemerintahan, yang menyebabkan korban yang tidak sedikit.
Penguasa lainnya seperti Adolf Hitler di Jerman, membantai orang Yahudi,
kaum gipsi, homoseksual, saingan politik dan musuh-musuh negara lainnya.
Selanjutnya Stalin di Uni Soviet, Pol Pot di Kamboja melakukan pembantaian,

23
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 74-78
24
Mark Jurgensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious
Violence (California: University of California Press, 2001), h. 14
25
Thomas Sunaryo menamakan state terrorism dengan kekerasan struktural yakni
kekerasan atau aksi teror yang dimainkan oleh aparatur pemerintahan dalam suatu negara. Lebih
jauh lihat: Thomas Sunaryo, Aspek Sosio-Kultural Pencegahan Terorisme, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol. 33 No. 2, Juni 2003, h. 308-310
26
Donny Gahral Adian, Mencegah Lahirnya Terorisme Negara: Indonesia Pasca Bom
Bali, Analisis CSIS, Vol. 32, No. 1, 2003h. 82

77

penyiksaan dan menakut-nakuti lawan politiknya. 27 Contoh lain terorisme


negara adalah pembajakan yang dilakukan pemerintah Prancis terhadap sebuah
pesawat terbang sipil milik Maroko yang mengangkut penumpang antara lain 5
orang pemimpin revolusi Aljazair pada tahun 1956. 28 Di Indonesia, berbagai
kasus teror atas nama negara terjadi misalnya kasus pembantaian para kader dan
simpatisan Partai Komunis Indonesia, PKI (1965-1968), peristiwa Tanjung
Periuk, pembunuhan tokoh-tokoh masyarakat di Papua, pemberlakuan daerah
operasi militer di Aceh. 29 State terrorism biasanya aksi teror itu diperankan
langsung oleh pemerintah yang berkuasa.
Terorisme negara dapat juga dalam bentuk state-sponsored terrorism
atau terorisme yang disponsori oleh negara, terutama dalam kaitannya dengan
politik luar negeri negara yang bersangkutan. Menurut Bruce Hoffman, yang
dikutip dari T. Yulianti, s tate-sponsored terrorism yakni apabila suatu negara
menggunakan cara-cara kekerasan atau teror dalam melaksanakan kebijakan luar
negerinya, dengan menyewa, membayar, melatih, dan melindungi teroris atau
kelompok teroris dalam rangka melancarkan perang rahasia atau gerakan
gerilya untuk melumpuhkan musuhnya baik di dalam maupun di luar negeri.

30

Aksi teror yang disponsori negara tersebut cenderung memanfaatkan kelompok


teroris yang ada diluar struktur pemerintahan untuk melakukan tindakan
kekerasan atau menteror pihak lain di luar wilayah otoritas negara sponsor,
termasuk teror diwilayahnya sendiri. Ini biasanya mengarah pada intervensi
politik terhadap negara atau pemerintah lain. Dukungan itu diberikan baik secara

27

Rikard Bagun, Terorisme, Gejala Global ?, dalam Farid Muttaqin & Sukidi (ed),
Teroris Serang Isla: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Babak Baru Benturan Barat-Islam , Cet.
I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 34
28
Haitsam al-Kailani, Al-Irhb Yuassisu Daulat Namdzaj Isril diterjemahkan oleh
Muhammad Zainal Arifin dengan judul: Siapa Teroris Dunia , Cet. I (Jakarta: CV. Pustaka alKautsar, 2001), h. 30
29

Aksi tersebut dilakukan dengan alasan keamanan Nasional ( state security). Lihat:
Donny Gahral Adian, Mencegah Lahirnya Terorisme Negara: Indonesia Pasca Bom Bali,
Analisis CSIS, Vol. 32, No. 1, 2003, h. 80-81
30
T. Yulinti, Terorisme yang Disponsori Negara, dalam Farid Muttaqin & Sukidi
(ed), Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Babak Baru Benturan BaratIslam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 71

78

sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, seperti kasus penyanderaan 52


warga Amerika di Kedubes Amerika Serikat di Teheran oleh mahasiswa militan
Iran pada bulan November 1979 selama 444 hari. Meskipun menurut pengakuan
para penyandera dari kalangan mahasiswa, bahwa penyanderaan bersifat
independen dan tidak ada intervensi atau support dari pemerintah, dan
penyanderaan itu diwarnai muatan politis karena mampu membuat kepanikan
pemerintah Amerika saat itu. Penahanan tersebut mengindikasikan adanya
keterlibatan

pemerintahan

Iran. 31

State-sponsored

terrorism

umumnya

memanfaatkan pihak ketiga dalam melancarkan aksi teror mereka.


Tetapi beberapa pakar teroris seperti Haitsam al-Kailani, cenderung
menyamakan antara state terrorism dan state-sponsored terrorism, dengan
mengemukakan beberapa karakteristik terorisme yang dilancarkan oleh suatu
negara sebagai berikut: Pertama, negara yang bersangkutan berperan aktif
memberikan bantuan kepada pemerintahan yang menganut paham imperialis,
kolonialis, rasis dan fasis. Kedua, memberikan bantuan kepada kelompokkelompok

bersenjata

yang

melancarkan

gerakan

revolusi

melawan

pemerintahnya. Ketiga, menentang gerakan-gerakan kemerdekaan nasional yang


berjuang demi kemerdekaan bangsanya untuk menentukan nasibnya sendiri.
Keempat, menerapkan sistem politik tertentu terhadap suatu pemerintahan yang
bertentangan dengan kehendak rakyatnya. 32 Keempat ketegorisasi terorisme
yang disponsori oleh negara tersebut pada hakikatnya mengarah pada intervensi
suatu negara terhadap kebijakan ( policy) negara lain, termasuk urusan internal
negara tersebut, sesuai dengan kepentingan politik ( political advantages) negara
donor.
Di era modern dewasa ini, state terrorism bisa dikembangkan lebih luas
dengan mencakup tindakan non militer yang dilancarkan pada negara lain
seperti embargo pendistribusian kebutuhan pokok, menjatuhkan sanksi ekonomi
31

T. Yulinti, Terorisme yang Disponsori Negara dalam Farid Muttaqin & Sukidi (ed),
Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Babak Baru Benturan Barat-Islam ,
Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 71-72
32
Haitsam al-Kailani, Al-Irhb Yuassisu Daulat Namudzaj Isrl, diterjemahkan oleh
Muhammad Zainal Arifin, dengan judul: Siapa Teroris Dunia , Cet. I (Jakarta: CV. Pustaka alKautsar, 2001), h. 29

79

terhadap negara sekutu, dan menetapkan persyaratan yang ketat sebelum


dikucurkan bantuan dana dan aktifitas ekonomi lainnya. Contoh konkrit dari
terorisme negara tersebut adalah pemberlakuan embargo oleh Israel terhadap
bangsa Palestina Maret 1996. Untuk mencapai ambisi pemgembangan negara
Israel di wilayah Palestina, pemimpin Israel melakukan agresi militer,
penyanderaan aktifis pejuang Palestina termasuk pengusiran warga sipilnya.
PBB mengeluarkan resolusi bahwa tindakan kekejian Israel tersebut melanggar
prinsip-prinsip Hukum Internasional dan hak-hak asasi manusia.

33

Agresi militer

dan intimidasi pemerintah Israel terhadap Palestina sampai sekarang masih


berlangsung tanpa mengindahkan resolusi PBB dan negara-negara lainnya.

34

Aksi terorisme yang berkelanjutan itu diduga mendapat restu dari Amerika
Serikat, sebab Amerika hanya mampu bersuara mengutuk tindakan Israel tanpa
berpartisipasi dalam membela perjuangan warga Palestina. Keengganan
Amerika itu boleh jadi mereka tidak memiliki hubungan politik yang urgen
dengan Palestina, dan bergandengan tangan dengan Israel.
Kalau saja Amerika memiliki kepentingan politis, maka sebagai polisi
dunia mereka akan segera melakukan ekspansi besar-besaran sekalipun
menghabiskan dana, dan mengorbankan manusia yang tidak sedikit. Lain halnya
dengan invansi militer Amerika ke Irak pada tahun 2003, ditandai dengan
tumbangnya Presiden Saddam Husain dan hancurnya peradaban Bagdad,
menunjukkan begitu besarnya unsur politis Amerika. Dasar utama penyerbuan
tersebut, menurut versi Bush, adalah membasmi jaringan terorisme dan
menyelamatkan rakyat Irak dari kediktatoran menuju negara yang demokratis.
Jadi terorisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok dan negara
tetap saja dikategorikan sebagai terorisme terlepas dari perbedaan antara kedua
33

Haitsam al-Kailani, Al-Irhb Yuassisu Daulat Namudzaj Isrl, diterjemahkan oleh


Muhammad Zainal Arifin, dengan judul: Siapa Teroris Dunia , Cet. I (Jakarta: CV. Pustaka alKautsar, 2001), h. 31-33
34
Meskipun Israel terang-terangan melakukan aksi teerorisme di wilayah Palestina
dengan mengintimidasi dan membunuh rakyat Palestina kemudian merampas tanah milik
mereka akan tetapi Amerika Serikat tidak pernah menganggap Israel sebagai negara terorisme.
Suatu kejanggalan dari kebijakan pemerintah Amerika Serikat, pada hal nyata-nyata Israel
merupakan negara teroris terbesar di dunia. Lihat: Slim al-Bahnasw, Al-Tatarruf wa al-Irhb
f al-Manzr al-Islm wa al-Duwal, Cet. I (T.tp.: Dr al-Waf, 2004), h. 48

80

aktor teroris tersebut. Aksi teror yang dilakukan individu atau kelompok tidak
memperoleh legitimasi hukum, tetapi aksi teror atas nama negara biasanya
negara atau pemerintah tersebut menggunakan perangkat-perangkat hukum yang
ada dalam negara itu untuk melegitimasi aksi mereka seperti invasi Amerika di
Irak dengan dalil memberantas terorisme. Pembahasan selanjutnya akan
menganalisis lintasan sejarah terorisme untuk mengidentifikasi kapan dan
dimana saja aksi teror itu eksis dalam konteks historis.

B. Lintasan Sejarah Terorisme


Diskursus tentang kapan terorisme mulai muncul kepermukaan
menimbulkan berbagai pendapat. Ada yang mengatakan bahwa keberadaan
terorisme sebenarnya telah ada sepanjang peradaban umat manusia, hanya saja
ketika itu istilah terorisme belum dikenal tetapi aksi kekerasan yang terjadi saat
itu identik dengan apa yang disebut terorisme dewasa ini. Ahli sejarah Yunani
kuno,

Xenophon

(430-349

SM)

mengungkapkan

bahwa

penggunaan

psychological warface (perang secara diam-diam) telah dipraktekkan Kaisar


Romawi melawan musuhnya dianggap sebagai aksi terorisme ketika itu. 35
Misalnya, Kaisar Tiberius (14-37 M) dan raja Caligula (37-41 M) dalam
kekaisaran Romawi melakukan tindakan kekerasan antara lain pemberlakuan
hukuman mati, pengasingan, penyiksaan, dan penyitaan harta benda untuk
meredam gerakan oposisi. 36 Selanjutnya di Mesir, Firaun telah melancarkan
teror yang sangat mengerikan dengan membunuh anak laki-laki dan
membiarkan hidup anak perempuan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dalam sejarah Islam dikenal kelompok sempalan sekte Assassin pecahan
kelompok dari Syiah Ismailiyah yang ekstrim di bawa pimpinan Hassan alShabbah (1057 M) digelar The Old Man of Mountain in Alamut (dekat laut

35

Robert Mc. Henry, (ed.), The New Encyclopaedia Britannica , Jilid 11, Edisi ke-15
(Chicago: t.p, 1993), h. 651; Maj. Gen. S Mohindra, AVSM (Retd), Terrorism: A Historical
Heritage, Terrorist Games Nations Plays (New Delhi: Lancer Publisher Pvt. Ltd, 1993), h. 16
36
Lihat: Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 1.
Bandingkan dengan Abu Ridho, Terorisme, Cet. I (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h. 129

81

Kaspia). Kelompok ini membolehkan pembunuhan terhadap lawan-lawan


politiknya dari Bani Saljuq yang mereka klaim telah sesat pada abad ke- 11 dan
ke- 13. Tindakan mereka ini oleh sebagian sejarawan dikategorikan sebagai aksi
terorisme. Perkembangan selanjutnya sekte ini dihancurkan oleh laskar Mongol.
Demikian halnya golongan Kawarij sering melakukan tindakan kekerasan
terhadap pihak lain yang tidak sepaham baik dalam bidang keagamaan maupun
politik.37 Kelompok al-Azriqah (terbentuk akhir abad ke 7 M), misalnya,
menganut paham bahwa orang yang tidak mau mengikuti ajaran dan menolak
hidup di komunitas mereka di dr al-Islam, dianggap musyrik (sekalipun
mereka beragama Islam) sehingga mereka diperbolehkan untuk ditawan dan
dibunuh termasuk anak dan istrinya. 38
Di era modern, ideologi terorisme menurut Harun Yahya pada umumnya
dinisbatkan kepada Teori Evolusi Darwin stuggle for survival between the
races (pertarungan untuk bertahan hidup antar ras) dan teori natural
selection(seleksi alamiah). Menurut teori Darwin, kehidupan akan selalu
diwarnai dengan persaingan dan konflik, karenanya orang-orang yang memiliki
kekuatan (power) akan dapat bertahan dan mendominasi, sedangkan orangorang yang lemah akan tereliminasi dan disepelehkan. Ide ini menegaskan
bahwa agar masyarakat tumbuh menjadi kuat, maka pertarungan dan
pertumpahan darah adalah sebuah keharusan. 39

Ide

Darwin tersebut

37
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme, dalam Tabrani Sabirin, (ed), Menggugat
Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 72-73. Sekte Assassin sering juga
disebut al-Hasyasyin, dalam bidang politik kelompok ini berafiliasi kepada Daulah Fatimiyah di
Mesir. Lihat: Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara, Dunia Islam dalam Benturan Kepentingan dan
Peradaban, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed), Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia ,
Cet. I (Semarang: SR-Ins Publishing, 2005), h. 470. Khawarij berasal dari kata kharaja yang
berarti keluar (keluar dari kelompok Ali bin Abi Thalib), ada juga yang mengatakan bahwa kata
khawarij itu didasarkan pada pengertian dalam surat Q.S. al-Nisa (4): 100 Barang siapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian
meninggal, maka sesungguhnya is telah memperoleh pahala di sisi Allah. Keterangan lebih
lanjut tentang Khawarij lihat: Ab Zahrah, Trkh Madzhib al-Islmiyah (Mesir: Dr al-Fikr
al-Arab, 1989), h. 60-124
38
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997), h. 49
39
Harun Yahya, Islam Denounces Terrorism diterjemahkan oleh S. Agung Wibowo
dengan judul: Menguak Akar Terorisme , Cet. I (Jakarta: Iqra Insan Press, 2003), h.168-185

Comment [A1]: jelaskan lebih jauh


tentang syiah Islamiah (ideology)

82

bertentangan dengan agama manapun karena pada dasarnya semua agama yang
ada membawa nilai-nilai universal misalnya perdamaian, toleransi dan
persaudaraan.
Secara umum, terorisme merupakan salah satu fenomena pergolakan
politik dunia era modern. Istilah ini telah menjadi istilah yang popular dalam
pembahasan politik dewasa ini. Sebenarnya term terorisme berasal dari Eropa
dan Amerika, sebab Eropa dan Amerika merupakan tempat lahirnya term ini lalu
memberikan beragam pengertian yang diambil dari filosofi yang dipraktekkan
dalam gerakan sejumlah kelompok atau organisasi yang melegalkan tindakan
kekerasan sebagai sarana perjuangan. Penggunaan terminologi terorisme
internasional berkembang pasca perang dunia kedua, ditandai dengan runtuhnya
kekuasaan kekaisaran dan bangkitnya negara-negara terjajah dengan semangat
patriotisme mengadakan perlawanan untuk memperoleh kemerdekaan. Akan
tetapi gerakan perlawanan mereka dianggap sebagai tindakan terorisme,
pemberontakan, menciptakan instabilitas dan melanggar hukum.
Dari sinilah awal permasalahan pencampuradukan antara pengertian
terorisme di satu sisi dan perlawanan kemerdekaan suatu bangsa untuk
menentukan nasibnya sendiri di sisi lain. Persoalan ini semakin kompleks karena
didukung oleh sebagian media massa dan lembaga kebudayaan Barat (Eropa dan
Amerika). 40 Akibatnya, tidak heran jika terkadang timbul persepsi yang
menyamakan antara tindakan kekerasan yang dilakukan suatu bangsa dalam
memperjuangkan kemerdekaannya dengan terorisme. Padahal dalam perjanjian
PBB dan deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional tentang hubungan
persahabatan dan kerja sama internasional ditegaskan bahwa setiap bangsa
terjajah memiliki hak penuh untuk berjuang dengan segenap sarana yang
dimiliki melawan negara penjajah dan dominasi kekuatan asing demi

40
Haitsam al-Kailani, Al-Irhb Yuassisu Daulat Namdzaj Isril diterjemahkan oleh
Muhammad Zainal Arifin, dengan judul: Siapa Terorisme Dunia , Cet. I (Jakara: CV. PustakaalKautsar, 2001), h. 19

Comment [A2]: contoh dari berbagai


agam

83

menentukan nasib sendiri. Pernyataan itu dicetuskan dalam sidang umum PBB
tanggal 12 Desember 1973 melalui resolusi nomor 3103. 41
Selanjutnya Maximilien Roberspiere seorang tokoh Revolusi Prancis
dianggap sebagai peletak dasar terorisme modern. Ia merupakan pelopor
pemerintahan teror ( Reign of Terror) antara 5 September 1793 hingga 27 Juli
1794.42 Pada masa pemerintahannya kurang lebih 300.000 orang diculik, sekitar
17.000 orang di antaranya dieksekusi mati dan selebihnya mati dalam penjara
tanpa proses pengadilan. 43 Teror para penguasa selalu dilakukan terutama di
negara-negara yang hukum dan sistem demokrasinya tidak efektif. Tindakan
intimidsi dan kesewenang-wenangan dimaksudkan untuk membungkam para
penentang kebijakan penguasa. Akibatnya kelompok oposisi tidak dapat
mengkritisi pemerintah yang berlaku diktator dan teroris. Misalnya, Hitler (w.
1945 M) dari Jerman, Vladimir Lenin (w. 1924 M) dan Yoseph Stalin (w. 1953
M) dari Rusia. Stalin yang mendapat gelar master executive of terror (1924)
berpendapat kaum Komunis dapat bertahan dan berkuasa hanya dengan
kekuatan kekerasan. Oleh sebab itu, Stalin mendesak agar tindakan teror
dilegalkan melalui undang-undang yang berlaku di negara Uni Soviet.
Akibatnya, jutaan rakyat terbunuh sebagai korban perundang-undangan.
Selanjutnya dibelahan Asia dikenal Pol Pot dengan Khmer Merahnya di
Kamboja, Mao

Tse Tung dari Cina melakukan teror dengan cara

menghancurkan institusi keluarga dan agama untuk menjamin kesetiaan rakyat


kepada negara. 44 Langkah yang ditempuh Tung ini tampaknya lebih efektif
untuk menggalang emosi kenegaraan rakyat karena mereka tidak lagi memiliki
ikatan emosional dengan keluarga dan agama. Kedua institusi ini banyak
berpengaruh pada rakyat dalam pembentukan karakter dan ideologi mereka
41
Lihat: Resolusi PBB no. 3103 di http://daccessods.un.org/access.nsf/Get?Open&DS=A/RES/3103(XXVIII)&Lang=E&Area=RESOLUTION
akses tanggal 29 April 2008
42

Bruce Hoffman, Inside Terrorism , http://www.mytimes.com/books/first/h/hoffmanterrorism-html askes tanggal 10 Maret 2008


43

Abu Ridho, Terorisme, Cet. I (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h. 130

44

Juhaya S. Praja, Islam Globalisasi & Kontra Terorisme (Bandung: Kaki Langit,
2003), h. 31

84

sehingga jika hal tersebut masih eksis dalam masyarakat tidak menutup
kemungkinan dapat menggeser ideologi negara yang ingin ditegakkan Tung.
Di Amerika misalnya, terorisme telah eksis sejak abad ke tujuh belas,
dan ini menunjukkan bahwa Amerika sudah terbiasa dengan aksi-aksi yang
berkaitan dengan terorisme. Bahkan menurut sumber yang ada, negara Amerika
lahir dari hasil kejahatan this nation was as one historian note, conceived and
born in violence.45 Oleh sebab itu jika Amerika sangat antusias memerangi
terorisme pada dekade sekarang, pada dasarnya ia memerangi diri sendiri atau
paling tidak merupakan bagian dari kultur teroristiknya. Berdasarkan data
historis tersebut menunjukkan bahwa aksi teror sudah mewarnai kancah
perpolitikan umat manusia sejak dulu dan terus berlanjut sampai sekarang dan
bahkan mungkin akan tetap eksis pada generasi-generasi selanjutnya.
Jika dibandingkan aksi terorisme era klasik dengan masa kontemporer,
dapat disimpulkan adanya perbedaan dan persamaan antara keduanya sebagai
berikut:
Di antara perbedaannya adalah: a) metode, pelaku tindakan kekerasan
terorisme pada masa klasik menggunakan peralatan yang masih sederhana
seperti pisau belati atau pedang dalam menyerang target. Sementara pelaku aksi
terorisme era modern menggunakan alat yang canggih seperti bom, pesawat
terbang, dan senjata kimia; b) objek, pada masa klasik umumnya yang menjadi
target teroris adalah seorang pemimpin yang sangat penting baik dalam bidang
politik, negara atau pemerintahan maupun agama yang dianggap telah
melakukan penyelewengan. Adapun sasaran teroris dewasa ini umumnya dapat
dikatakan tidak terkait langsung dengan teroris sehingga hanya merupakan
sasaran perantara berupa pasilitas umum seperti pasar, gedung perkantoran, dan
objek wisata untuk lebih menimbulkan kepanikan publik dan pemberitaan
masmedia; c) pelaku, eksekutor dalam tindak kekerasan terorisme era klasik
meyakini dirinya akan dieksekusi oleh para pengawal pemimpin yang dibunuh
atau oleh pihak yang berwenang. Sementara pelaku aksi terorisme di era

45

Richard Maxwell Brown, Historical Pattern of American Violence (T. tp: Sage
Publication, 1979), h. 20

85

kontemporer meyakini dirinya akan terbunuh oleh aksinya sendiri, misalnya


karena bom yang dipasang pada badannya. 46
Adapun persamaan yang dapat ditarik dari peristiwa aksi terorisme pada
masa klasik dengan era modern yakni: a) dampak, baik aksi terorisme masa
klasik maupun era modern, keduanya berdampak pada gangguan keamanan
dalam masyarakat. Meskipun pembunuhan terhadap seorang pemimpin politik
atau agama hanya seorang diri diri akan tetapi cukup menimbulkan ketegangan
yang signifikan dalam suatu masyarakat. Hal itu sama dengan dampak yang
ditimbulkan akibat pembunuhan massal yang dilakukan oleh teroris; b) motivasi,
baik aksi terorisme masa klasik maupun era modern keduanya mempunyai
tujuan yang sama yakni tujuan politik. Petanyaan selanjutnya adalah faktorfaktor apa saja yang melatarbelakangi munculnya terorisme.

C. Faktor-Faktor Terjadinya Terorisme


Aksi teror memberi dampak yang signifikan dalam segala dimensi
kehidupan manusia dan peradaban dunia. Warga sipil menjadi korban
kebiadaban aksi terorisme dan berbagai fasilitas umum ikut hancur. Karena itu,
kajian tentang aspek-aspek yang mendorong teroris dalam melakukan aksinya
sangat diperlukan dalam rangka memperoleh gambaran yang sistematis dan
akurat.
Beberapa argumentasi dari berbagai pakar dan pemerhati masalah
terorisme mencoba mengungkapkan faktor-faktor terjadinya aksi teror, antara
lain ideologis, politis, ekonomi, dan sosial. Secara umum, keempat aspek ini
paling tidak dijadikan acuan atau dasar dalam mendeskripsikan hal-hal yang
menyebabkan munculnya terorisme.

46
Bernard Lewis, The Crisis Of Islam: Holy War and Unholy Terror alih bahasa
Ahmad Lukman dengan judul: Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji (Jakarta: PT Ina
Publikatama, 2004), h. 138-144

86

1. Faktor ideologis.
Alasan ideologis kadangkala dijadikan motivasi bagi pelaku teror untuk
melegitimasi aksi teror mereka. Mainstream dari faktor ideologis ini biasanya
dikaitkan dengan isu fanatisme keagamaan, yang ditandai dengan radikalisme
dan fundamentalisme keagamaan. Radikalisme dan fundamentalisme tidak
hanya dikenal dalam sejarah dan dunia Islam, tetapi bisa juga ada di agama lain
selain Islam. Kelompok radikal Sikh di kalangan agama Hindu, misalnya,
menyatakan perang terhadap pemerintah India sehingga salah seorang
anggotanya bernama Lal Singh dituduh sebagai pelaku peledakan jet Air India
yang menewaskan seluruh penumpangnya (329 orang) dalam penerbangan dari
Toronto ke London.47 Kelompok Sikh juga melancarkan aksi teror dan gerakan
gerilya melawan pemerintah India untuk menuntut pendirian pemerintahanan
otonomi.48 Dari kalangan Kristen, Rev. Paul Hill menembak mati Dr. John
Britton dan pengawal pribadinya di klinik aborsi di Pensacola Florida, dengan
dalih bahwa ajaran Bible membolehkan membunuhnya karena telah melakukan
praktek aborsi dengan membunuh calon-calon bayi. Pembunuhan tersebut
disambut gembira para pengikut Kristen militant yang pro life. Selain itu,
penembakan sebuah pusat kesehatan Yahudi di California pada tanggal 10
Agustus 1999 dilakukan oleh aktivis Kristen. Seperti halnya kekerasan aksi
terorisme di Irlandia Utara dijustifikasi oleh pandangan teologis baik Katolik
maupun Protestan. 49 Juga, kelompok anti Tuhan (atheis dan komunis)
melancarkan aksi teror terhadap kelompok agama yang diduga sebagai

47
Lal Singh adalah alumnus Sekolah Teroris di Alabama (Negara Bagian Amerika
Serikat). Sekolah tersebut diasuh oleh seorang yang dijuluki Profesor Terorisbernama Franklin
Camper. Materi perkuliahannya meliputi: teknik/seni membunuh secara brutal, mengkonsumsi
semut baker, dan tidur di atas pohon. Sejak 1982 mahasiswa yang menimba ilmu pengetahuan
pada Camper sekitar 600 orang berasal dari kurang lebih 20 negara. Lama studi berlangsung dua
minggu dengan biaya sekitar US $ 350 (Rp. 350. 000. 000). Lihat: David Austen: Membongkar
Jaringan Teroris Internasional (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 267271
48
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 74-78
49
Mark Jurgensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious
Violence (California: University of California Press, 2001), h. 14-15

87

penghambat dalam meraih kepentingan dan cita-cita mereka.

50

Dari kelompok

Islam Indonesia, aksi teror di Diskotik Paddys Caf dan Sari Club (Legian Kuta
Bali) dan beberapa tempat lainnya di Indonesia dilancarkan oleh para radikalis
sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni Amerika dan sekutunya di
negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Afghanistan dan
Irak. 51
Fundamentalisme mencakup paham yang konsern memperjuangkan
sesuatu ideologi yang dianggap fundamental (mendasar). Terminologi
fundamental (isme) awalnya digunakan untuk sekelompok penganut Kristen
ortodoks yang memiliki lima keyakinan dasar, yakni ke-Allah-an Yesus Kristus;
kelahiran Yesus Kristus dari seorang perawan; kemutlakan karya penebusan
Yesus Kristus di kayu salib menurut model tertentu; kebenaran mukjizatmukzijat yang dilaporkan dalam Alkitab secara harfiah termasuk kebangkitan,
kenaikan ke surga dan kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali; dan
kewibawaan Alkitab dalam arti tidak dapat disalahkan. Umat Kristen yang
menyakini kelima konsep ini disebut fundamentalis sedang yang tidak
meyakininya dianggap liberalis. 52
Menurut

versi

lain,

lima

dasar

pemahaman

Kristen

yang

dikategorisasikan sebagai ajaran fundamental adalah kitab Suci secara harfiah


sama sekali tidak mengandung kesalahan ( the literal innnerrancy of the
Scriptures); Yesus akan datang kembali ke dunia ( the second coming of Jesus
50

Rikard Bagun Terorisme, Gejala Global? dalam Farid Muttaqin dan Sukidi (ed.)
Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah,
2001), h. 35
51
Aksi-aksi teror yang terjadi di berbagai pelosok Indonesia pada umumnya bermotif
jihad menurut pelakunya sebagai manifestasi dari pemahaman keagamaan yang radikal. Lihat:
Imam Samudra, Aku Melawan Terorisme, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 109; Bandingkan
dengan: Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad , Cet. I (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 6269; Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra dan Kelompok Islam Radikal Cet I (Jakarta: Grafindi Khazanah Ilmu, 2007), h. 11-12;
Wawan H. Purwanto, Terorisme Ancaman Tiada Akhir: Bahaya dan Strategi Pemberantasan
Terorisme di Indonesia , Cet. II (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2004), h. 53-55
52
Gerrit Singgih, Fundamentalisme Dalam Agama Kristen (Perspektif Sejarah),
dalam Eko Prasetyo dkk (ed.) Memahami Wajah Para Pembela Tuhan (Yakyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), h. 90-91

88

Christ); Yesus dilahirkan dari rahim Maria yang perawan ( The virgin birth);
Yesus dibangkitkan secara jasmaniah dari kematian ( the physical resurrection of
the body); Yesus datang menebus dosa seluruh manusia ( the substitutionary
atonement); dan manusia pada dasarnya sangat buruk karena sejak kejadianya
dalam kondisi berdosa (the total depravity of man-original sin). Pemahaman
dasar tersebut sangat berpengaruh terhadap keyakinan dan pola pikir sebagian
penganut Kristen dan berupaya mempertahankannya sehingga tidak menutup
kemungkinan mereka tidak toleran dan bahkan bermusuhan dengan kelompok
yang berseberangan dengan mereka. 53 Pemahaman konsep keberagamaan yang
fundamen tersebut berimplikasi lahirnya fundamentalis Kristen.
Fundamentalisme selalu diasumsikan pada hal-hal yang berkaitan
dengan agama, sehingga Scott Bidstrup mengemukakan definisi agama
fundamentalis dengan any religion, that when confronted with a conflict
between love, compassion and caring, and conformity to doctrine, will almost
invariably choose the latter regardless of the effect it has on its followers or on
the society of which it is a part. 54 (Jika terjadi konflik antara cinta, kasih
sayang dan kepedulian serta ketaatan pada doktrin agama, maka setiap agama
akan memilih doktrin agama tanpa memperhatikan apakah tindakan (yang
bersumber dari agama) itu membahayakan pengikut dan masyarakat sekitarnya
atau tidak). Bagi Bidstrup, fundamentalis agama lebih mengutamakan doktrin
agama dari pada toleransi yang berdasar pada cinta, kasih sayang untuk
mengimplementasikan aktivitas dan ideologi keagamaan mereka.
Salah satu ciri fundamentalis adalah militan dan tidak toleran ( intolerant)
terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyelewengan dan
penyimpangan terhadap doktrin agama. Untuk meluruskan penyimpangan
tersebut kadangkala mereka menggunakan cara-cara kekerasan. 55 Secara umum,
53
Harry Mc Mullan, Understanding Christian Fundamentalism, dalam
http://www.ubfellowship.org/archive/readers/doc176.htm. Akses tanggal 29 April 2008
54

Scott Bidstrup, Why the Fundamentalist approach to Religion Must Be Wrong,


dalam http://www.bdistrup.com/religion .htm. Akses tanggal 29 April 2008
55

Machasin, Fundamentalisme dan Terorisme, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.)


Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia (Jokjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 798

89

Sumartana mengidentifikasi lima ciri-ciri fundamentalisme pada agama Kristen,


termasuk Islam dan agama-agama lainnya, yakni teologis, misiologis, hirarki
institusional, penafsiran tektual, dan eksklusif. 56
Dalam aspek teologis, fundamentalis agama cenderung mengklaim
bahwa kebenaran itu dimiliki oleh komunitas tertentu. Dalam Islam, misalnya,
terdapat suatu kelompok yang mengkafirkan kelompok Islam lainnya, dan ini
bersifat sektarian. Sektarianisme dapat berimplikasi pada sifat eksklusif, tidak
toleran dan juga curiga terhadap kelompok yang berbeda dengan mereka. 57
Lebih lanjut Sumartana berargumen bahwa fundamentalis agama biasanya
sangat anti terhadap isu-isu yang berkaitan dengan sekulerisasi dan cenderung
mempertahankan keaslian (puritanisme) keberagamaan. Isu kontemporer seperti
homo seksual, aborsi, euthanasia, pornografi dianggap sebagai aktivitas yang
melanggar ketentuan agama. Fundamentalisme agama juga bersifat misiologis
yakni fundamentalis berupaya mensosialisasikan agama dengan agresif dan
ekspansif, dan bahkan memurtadkan orang lain untuk memeluk agama yang
dianut mereka. Menurut Sumartana, kelompok ini kadangkala menghalalkan
darah orang yang tidak seakidah dengan mereka untuk dibunuh. Yang menarik
dalam kajian Sumartana adalah terjadi pergeseran model misi penyebaran agama
yang dilakukan oleh fundamentalis secara penyelundupan dalam melakukan
aktivitas

sosial

di

masyarakat.

Orang

Kristen

yang

terdidik

dari

fundamentalisme Amerika, misalnya, meremehkan keyakinan kelompok selain


mereka dan berupaya untuk memurtadkan kelompok tersebut. Ketika suatu
komunitas membutuhkan fasilitas air bersih misalnya, mereka menyuplai
kebutuhan tersebut dan memyelipkan misi Kristen dalam pengadaan itu. 58
Selain aspek teologis dan misiologis, fundamentalisme agama juga
bersifat hirarki institusional. Segala aktivitas dan keputusan yang dilakukan para
56
Sumartana Kebangkitan Fundamentalisme Dalam Agama dalam Eko Prasety dkk
(ed.) Memahami Wajah Para Pembela Tuhan (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 121-127
57
Badr ibn Nsir al-Badr, Al-Irhb: Haqqatuhu, Asbbuhu, Mawqif al-Islmi minhu ,
Cet. I (T.tp: Tp, 1426 H), h. 97-98
58
Sumartana Kebangkitan Fundamentalisme Dalam Agama dalam Eko Prasety dkk.
(ed.) Memahami Wajah Para Pembela Tuhan (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 123-124

90

fundamentalis agama selalu bermuara pada perintah atau keputusan pemimpin,


sehingga kepatuhan terhadapnya sebagai sesuatu yang mutlak. Pemimpin
pemegang kendali dan bersifat absolut dan arus bawah (anak buah) tidak
memiliki otoritas untuk menyampaikan aspirasi. Kepatuhan ini disebabkan oleh
fungsi dan kedudukan pemimpin sebagai pembuat keputusan ( decision maker)
yang berkaitan dengan ideologi, penyuplai dana dan personil. Jadi, pemegang
pucuk pimpinan saja yang memiliki inisiatif dalam melaksanakan roda
organisasi sedangkan anggotanya terbatas pada pelaksana tugas. Ciri
fundamentalisme agama yang lain adalah penafsiran kitab-kitab suci bersifat
tekstual dan menafikan pertimbangan perkembangan budaya dan lain-lain.
Mereka lebih eksklusif dalam memahami teks-teks kitab suci mereka, dan
cenderung mengutamakan peningkatan integritas kepribadian yang bersifat
individu dalam kelompoknya dari pada peningkatan masyarakat secara luas.
Salah satu implikasinya adalah fundamentalis agama bersifat eksklusif,
komunalistik, sektarian dan tidak bersosialisasi dan berkomunikasi secara intens
dengan komunitas di luar. 59 Sekalipun Sumartana mengakui bahwa ciri-ciri
fundamentalisme agama diatas tidak hanya dimiliki oleh kelompok Kristen dan
juga agama-agama lain, tetapi penulis lebih mengklasifikansikannya pada
kelompok fundamentalisme Kristen.
Fundamentalisme keberagamaan dalam Islam tidak jauh berbeda dengan
eksklusifme kelompok Kristen, karena fundamentalis Muslim juga memiliki
obsesi untuk pemurnian dan menjaga validitas ajaran agamanya dari berbagai
pendekatan dan kajian yang diduga mengacaukan dan melencengkan ajaran
Islam yang sesungguhnya. Oleh karena itu, mereka cenderung bersifat eksklusif
dan mengklaim diri mereka memiliki otoritas untuk memurnikan ajaran-ajaran
Islam. Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara mengomentari bahwa fundamentalis
Islam tidak hanya terfokus pada teologi skripturalistik, mereka juga tetap
berpegang teguh pada sikap militan dalam beragama. Militansi keberagamaan
inilah terkadang melahirkan sikap dan pandangan baik yang positif maupun
negatif. Secara positif, para militan memiliki sifat empati, simpati dan toleran
59

Sumartana Kebangkitan Fundamentalisme Dalam Agama dalam Eko Prasety dkk


(ed.) Memahami Wajah Para Pembela Tuhan (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 125-127

91

terhadap sesama anggotanya. Sebaliknya, mereka berpikiran negatif ( negative


thinking), tidak bersahabat dengan kelompok eksternal dan dianggap sebagai
musuh dan ancaman yang membahayakan cita-cita dan obsesi mereka, sehingga
eksistensinya perlu dieliminasi. 60
Martyn E. Marty dalam bukunya What is Fundamentalism? Teological
Perspective lebih jauh mengidentifikasi ciri dan karateristik yang dimiliki
gerakan Islam fundamentalis antara lain: Pertama, menginterpretasikan teks-teks
Alquran dan al- Hadis secara harfiah (literal) dan menolak penafsiran
hermeneutik karena dianggap akan menafikan kesucian agama. Jadi, pendekatan
yang digunakan adalah interpretasi tekstual dan traditional, dan tidak memahami
nas-nas secara kontektual. Kedua, gerakan kaum fundamentalis pada umumnya
bersifat fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme.
Ketiga, menekankan aspek purifikasi (pembersihan agama) dari isme-isme
modern seperti liberalisme, modernisme, dan humanisme. Keempat , menurut
mereka penafsiran yang benar terhadap nas-nas agama hanya versi mereka
sehingga argumentasi lainnya dianggap salah. Kelima, fundamentalis Muslim
beranggapan bahwa pluralisme merupakan hasil pemahaman yang keliru
terhadap nas-nas agama. 61 Gerakan Islam fundamental kelihatannya memiliki
obsesi pemurnian ajaran-ajaran Islam dari segala penafsiran, pemahaman dan
bahkan penyusupan yang menyebabkan kemurnian ajaran Islam terkontaminasi.
Salah satu upaya yang dilakukannya adalah menafsirkan teks-teks Alquran dan
hadis secara tekstual dan menafikan pendekatan kontemporer seperti humanisme
dan pluralisme, serta mengklaim pendapatnya yang benar dan dianggap sebagai
kebenaran absolut. Implikasinya adalah kelompok-kelompok fundamentalis
tersebut cenderung bersifat eksklusif, fanatik dan radikal.
Gerakan fundamentalisme yang dinakodai Muhammad bin Abdul
Wahab (1703-1792), yang dikenal dengan gerakan Wahabi, mengusung tema60

Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara, Dunia Islam Dalam Benturan Kepentingan dan
Peradaban, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.), Negara Tuhan: The Thematic
Encyclopaedia (Jokjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 480
61
Martyn E. Marty, What is Fundamentalism? Teological Perspective dalam Hans
Kung dan Jurgen Moltman (ed.), Fundamentalist as a Ecumenical Challenge (London: t.p.
1992), h. 3-13

92

tema sentral dalam pemurnian ajaran Islam. Gerakan ini mengedepankan isu
tahayul, bidah dan khurafat yang menyebabkan merusaknya akidah umat Islam.
Dengan semboyan memurnikan ajaran Islam dan purifikasi tauhid, gerakan ini
mengumandangkan jihad dengan cara yang destruktif dan ofensif, antara lain
dengan terjadinya pertumpahan darah di Makkah dan di Madinah berbarengan
dengan penghancuran monumen historis yang dianggap sebagai penyimpangan
ajaran agama yang murni. 62 Tujuan gerakan Islam fundamentalis ini adalah baik
yakni pemurnian ajaran Islam, namun cara dan pendekatannya ( approach) yang
cenderung memaksa dan destruktif.
Konsep jihad yang disinyalir oleh kelompok Islam fundamentalis
Indonesia juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam melaksanakan aksi
yang militan dan ofensif. Imam Samudra dan kawan-kawannya mengakui bahwa
aksi bom Bali yang menghancurkan sarana dan fasilitas umum dan melukai
bahkan mematikan ratusan manusia tak berdosa sebagai bentuk ekspresi jihad
yang menjadi ideologi mereka. Imam Samudra memberikan argumen tentang
jihad yang memotivasinya melakukan aksi teror sebagai berikut:
[M]enurut pandangan saya, jihad adalah, pertama, dari segi
bahasa, artinya bersungguh-sungguh. Kedua, jihad secara istilah,
bersungguh-sungguh menegakkan Islam. Ketiga, secara syariat
adalah berperang melawan kafir dan sekutunya, terutama jihad
terbesar sekarang ini yaitu jihad memerangi teroris Amerika dan
sekutunya yang terlibat perang salib memerangi umat Islam
seluruh dunia. Terutama dengan menjatuhkan ribuan ton bom di
Afghanistan pada September 2001, tepatnya Ramadhan 1422 H,
terhadap kurang lebih 200.000 lelaki tua, muslimah dan anakanak kecil yang tidak berdosa. Orang yang telah berjihad secara
bahasa, dia masih berkewajiban untuk melaksanakan jihad secara
istilah dan syariat. 63
Kedua model ilustrasi jihad, menurut para fundamentalis Muslim diatas,
menggunakan argumentasi agama sebagai alasan dogmatis dalam melakukan
62
Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara, Dunia Islam Dalam Benturan Kepentingan dan
Peradaban, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.), Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia
(Jokjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 451-452
63
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris , Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 108;
Wawancara Asep Adisaputra dengan Imam Samudra pada tanggal 2 Maret 2003. Lihat: Asep
Adisaputra, Imam Samudra Berjihad, Cet. I (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 62.

93

tindakan kekerasan atau terorisme. Perbedaanya adalah gerakan Wahabi bersifat


internal yakni pemurnian pelaksanaan ajaran Islam yang orisinal, dan objeknya
adalah penganut Islam itu sendiri (umat Islam). Sedangkan pemahaman jihad
versi Imam Samudra dan kelompoknya bersifat eksternal, dimana sasaran
jihadnya adalah komunitas Amerika dan sekutu-sekutunya yang berpartisipasi
melancarkan serangan terhadap penduduk Afghanistan dan Irak. Menurut
mereka, membalas serangan Amerika dalam rangka membentuk solidarits
Muslim dengan masyarakat Afghanistan merupakan jihad yang sangat
fundamental dan urgen. 64 Jadi, argumen teologis digunakan untuk menjustifikasi
aksi teror bagi fundamentalis agama, termasuk Islam. Selain alasan ideologis,
alasan politis juga berperan dalam memotivasi para teroris untuk berbuat
anarkis.

2. Faktor Politik
Kelompok teroris kadangkala menggunakan alasan politik yang dapat
memberikan kontribusi yang signifikan untuk melancarkan aksi teror dan aksi
dehumanisasi lainnya. Pembajakan pesawat, penyanderaan, pembakaran,
pemboman, penganiayaan, intimidasi, penculikan dan pembunuhan serta
sejumlah tindakan kriminalitas lainnya merupakan bentuk skenario politik untuk
mencapai tujuan politis tertentu. Berbagai aksi teror yang memiliki tujuan
politik bisa dilakukan oleh individu atau kelompok dan negara. Aksi teror yang
dilakukan individu atau kelompok seperti pengeboman, penyanderaan,
pembunuhan dan lainnya menginginkan agar kelompok atau negara yang
dijadikan sasaran dapat mengubah keputusan politiknya sesuai dengan tuntutan
pelaku teror. Misalnya, serangan bom WTC dan Pentagon, 11 September 2001
secara politis ingin membuktikan ketidakberdayaan Amerika Serikat ( super
power) menangkis serangan teroris. Fenomena ini berimplikasi pada masyarakat
dunia (internasional) bahwa negara adidaya saja dapat diserang, apalagi negara
lain. Akibatnya, masyarakat internasional tidak dapat hidup dalam ketenangan
dan keamanan dari serangan teroris yang setiap saat mungkin terjadi.
64

Lihat: Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 116

94

Demikian halnya pengeboman di Bali tanggal 12 Oktober 2002


bertujuan politis yakni memberikan peringatan kepada Amerika, Australia dan
negara sekutu Amerika agar mereka meninggalkan invasi mereka ke beberapa
negara Islam termasuk di Palestina. Umat Muslim lain seperti Usamah bin Ladin
mengeluarkan fatwa jihad ditujukan kepada seluruh umat Islam untuk melawan
Amerika dan sekutunya karena kebijakan politik luar negeri negara tersebut
dianggap berlawanan dengan kepentingan umat Islam seperti nampak pada
persoalan Palestina Israel. Selain itu, agresi Amerika dan sekutunya terhadap
Irak dan Afghanistan dipandang oleh kelompok radikal Muslim sebagai babak
baru dari perang Salib ( crusade), sehingga umat Islam harus bersatu melawan
agresi mereka. 65 Dengan demikian, faktor politik yang melatarbelakangi
perlawanan radikal Muslim terhadap Amerika dan sekutunya beralih ke faktor
ideologi (agama). Hal ini dimungkinkan karena dengan mengangkat isu
keagamaan (perang Salib) diharapkan respon masyarakat internasional
khususnya umat Islam akan semakin nampak.
Perlawanan atas dominasi Amerika juga dilakukan oleh Red Army
Faction (RAF) di Jerman. Kelompok tersebut melakukan aksi pengeboman,
pembunuhan dan penyerangan

instalasi militer dan industri strategis milik

Amerika Serikat di Jerman Barat sekitar tahun 1980an. Selain itu mereka
membunuh dan menculik para politisi, jaksa dan anggota pemerintahan yang
memiliki fungsi strategis di pemerintahan Jerman. Aksi teror tersebut bertujuan
politis yakni menekan pemerintah Jerman Barat dan Amerika Serikat untuk
memenuhi tuntutan mereka antara lain membebaskan anggota kelompok mereka
yang ditahan dan memberikan peringatan kepada pemerintah Jerman untuk tidak
bekerjasama dengan Amerika. 66 Gerakan lainnya yang memiliki visi yang sama
adalah Clara Elizabeth Ramirez Front (CERF) di San Salvador yang melakukan
aksi kekerasan terhadap fasilitas dan kepentingan Amerika Serikat serta
membuat kekacauan terhadap pemerintahan di El-Salvador. 67 Ilustrasi di atas
65

Usamah bin Ladin, Deklarasi Perang: Karya Asli, Fatwa dan Wawancara Usamah
bin Ladin, Cet. I (Jakarta: Ababil Press, 2001), h.61-62
66

Adjie Suradji, Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 164-165

95

menunjukkan bahwa aksi pengeboman dan kekerasan yang ditujukan kepada


hegemoni Amerika Serikat tetapi masih berada di daerah teritorial pelaku
pengeboman atau pelaku kekerasan. Latar belakang politik yang dilakukan oleh
negara secara legal juga dapat terjadi.
Aksi teror yang dilatarbelakangi faktor politik bisa diperankan oleh
pemerintah dalam suatu negara yang berdaulat dan menjadi sasarannya adalah
negara teritorial teroris itu sendiri ataupun negara lain dalam bentuk intervensi
politik luar negeri negara yang bersangkutan. Suatu contoh adalah invasi
Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 merupakan aksi terorisme diprakarsai oleh
Amerika secara terbuka mengatakan bahwa pengerahan angkatan bersenjata ke
Irak dalam rangka membebaskan rakyat Irak dari kediktatoran Saddam Husein
dan dilakukan dalam bingkai memerangi terorisme. Dalam hal ini, Amerika
melakukan aksi teror yang memiliki tujuan politis apakah itu benar-benar untuk
menyelamatkan rakyat Irak ataukah ada motivasi lain yang tersembunyi yakni
ketakutan Amerika terhadap keberanian Saddam Husein yang secara terangterangan menentang kebijakan Amerika.
Aksi teror yang dilakukan pemerintahan Suharto (Orde Baru) terhadap
simpatisan PKI dan kelompok umat Islam yang bertentangan dengan pemerintah
baik dengan memenjarakan ataupun membunuhnya dengan alasan subversif.
Penekanan dan intimidasi tersebut sebenarnya bernuansa politis yakni
membungkam aktivitas mereka yang akan mengancam eksistensi pemerintah. 68
Selain alasan ideologis dan politik, terorisme juga disebabkan oleh faktor
ekonomi

3. Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya dalam memicu
terjadinya tindakan teror. Sukawarsini Djelantik mengemukakan beberapa
penelitian yang menunjukkan bakwa terjadi korelasi antara faktor ekonomi atau
67

Adjie Suradji, Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 185-186

68
Donny Gahral Adian, Mencegah Lahirnya Terorisme Negara Indonesia Pasca Bom
Bali, Analisis CSIS, Vol. 32, No. 1, 2003, h. 80-81

96

kemiskinan dengan terorisme. Menurutnya, penelitian yang dilakukan Alesia


dan kawan-kawannya, 69 Collier dan Hoeffler,70 mengindikasikan adanya
keterkaitan antara kemiskinan dan terjadinya tingkat konflik dan terorisme.
Faktor ekonomi atau kemiskinan yang dimaksud bukan saja kemiskinan bagi
pelaku teroris saja tetapi juga kemiskinan yang menimpa masyarakat atau
komunitas dimana teroris tersebut berdomisili. 71
Terorisme kadangkala dilancarkan karena terjadi ketimpangan ekonomi
atau sistem eksploitasi ekonomi dalam suatu negara. Kemungkinan salah satu
sebabnya adalah terjadinya globalisasi ekonomi yang berimplikasi pada
ketimpangan dan ketidakadilan, termasuk dalam penanganan ekonomi maupun
dalam pendistribusiannya, baik yang terjadi di internal negara tersebut maupun
di negara-negara berskala international. Globalisasi ekonomi, disamping
memberikan kontribusi perbaikan kondisi ekonomi negara tertentu, bisa juga
menyebabkan terjadinya resesi ekonomi termasuk menurunnya lowongan
pekerjaan. Hal ini akan mengakibatkan kecemasan dan ketakutan suatu
kelompok sehingga memungkinkan terjadinya aksi teror. 72 Secara internal,
kelompok yang merasa didiskriminasi dalam suatu negara mencoba melakukan
berbagai aksi kekerasan untuk menuntut perbaikan ekonomi.
Aspek lain dari faktor ekonomi yang melatarbelakangi lahirnya aksi teror
dapat dijabarkan dalam teror yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan
finansial. Sebagai sumber income, aksi teror bisa saja dilakukan oleh organisasi
atau negara tertentu yang memiliki professionalisme yang dapat disewa untuk
melakukan terorisme, seperti ANO (Abu Nidal Organization) dan JRA
(Japanese Red Army).
69

Alesina, Ozler, Roubini dan Swagel, Political Instability and Economic Growth,
Journal of Economic Growth, Vol. I, 1996, h. 189-211
70
Collier dan Hoeffler, Greed and Grievance in Civil War,Oxford Economic Paper,
Vol. 56, 2004, h. 563-595
71
Sukawarsini Djelantik, Terorisme dan Kemiskinan, Jurnal Ilmiah Hubungan
Internasional, Vol. 2 No. 6, September 2006, h. 479-482
72
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 17-18

97

Kelompok teroris Abu Nidal yang lebih dikenal dengan nama ANO
berdiri 1974 dibawah pimpinan Sabri Khalil al-Banna, motivasi pendiriannya
sebenarnya disebabkan oleh faktor politik,73 akan tetapi dalam perjalanan
karirnya lebih mengutamakan financial (uang), dalam artian gerakan-gerakan
yang dilancarkan telah melenceng dari khittahnya dengan mengedepankan
faktor materiil. Bisnis penyewaan dan pelayanan teroris yang digeluti ANO
mampu menjadikan organisasi tersebut memiliki aset yang signifikan dan
diinvestasikan dalam bentuk real estate dan kepemilikan perusahaan
perdagangan senjata yang berbasis di Polandia. 74 Sama halnya dengan kelompok
JRA didirikan oleh mahasiswa Jepang Fusako Shigenobu 1971 bermarkas di
Lembah Bekaa. Motivasi berdirinya kelompok tersebut adalah politik, namun
dalam perkembangannya cenderung komersial seperti ketika menyerang klub
malam di Berlin Barat yang dipadati serdadu Amerika 1986 dan Kedutaan
Amerika Serikat masing-masing di Madrid (Spanyol), Roma (Italia), dan
London (Inggeris) pada tahun yang sama atas pesanan Libya. 75 Aksi teror yang
dilakukan para teroris untuk komersialisi tidak terlalu populer dan mendunia
sebab hanya kelompok yang memiliki anggota yang punya komitmen untuk
kemajuan organisasi dan memiliki seperangkat alat-alat canggih dapat
mempekerjakan dan menyewakan jasanya untuk tujuan-tujuan bersifat
ekonomis. Selain faktor ekonomi, terorisme juga bisa terjadi disebabkan oleh
faktor sosial.

73

Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 98

74
Sabri Khalil al-Banna adalah seorang pemimpin teroris Palestina versi Amerika
Serikat. Kelompok ini sangat terkenal dan menakutkan serta memiliki daerah operasi yang
demikian luas. Ia pernah disewa oleh Suriah, Irak, dan Libya. Investasi yang dimiliki berupa real
estate dan bisnis senjata yang berpusat di Polandia. Diperkirakan total asetnya kurng lebih US $
400 juta. Lihat: T. Yulianti, Terorisme yang Disponsori Negara dalam Farid Muttaqin &
Sukidi (ed.), Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001), h. 74
75

Pemimpin Libya Muammar Khaddafy menyewa JRA untuk menyerang fasilitas


Amerika Serikat sebagai pembalasan terhadap serangan Amerika Serikat yang menggempur
Tripoli dan Benghazi 1986. Lihat: T. Yulianti, Terorisme yang Disponsori Negara dalam Farid
Muttaqin & Sukidi (ed.), Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Cet. I
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 74

98

4. Faktor Sosial
Aksi teror kadangkala juga dilatarbelakangi oleh faktor kondisi sosial
masyarakat, dan ini biasanya diekspresikan sebagai bentuk frustrasi,
kekecewaan dan ketidakberdayaan para teroris melihat kondisi di masyarakat
sebagai akibat ketidakadilan baik dari pemerintahnya sendiri maupun dari
negara lainnya. Menurut Ali Khan seperti yang dikutip Sudirman H.N, semakin
marginal, tertekan, dan dirugikan suatu masyarakat akan berdampak semakin
gigihnya melakukan perlawanan dalam bentuk tindakan kekerasan sebagai
wujud pembalasan terhadap siapa yang dianggap sebagai agresor. Keadaan
seperti ini tampaknya dialami oleh masyarakat Palestina, Irak, dan
Afghanistan. 76 Lebih lanjut John E Mack menegaskan bahwa terorisme tidak
akan dapat dilacak apalagi dibasmi jika penderitaan jutaan orang di Timur
Tengah masih berlangsung sebagai dampak perlakuan ketidakadilan oleh negara
adikuasa dan sekutu-sekutunya. Sehingga solusinya terletak pada kemauan
pemerintah Amerika Serikat untuk meninjau ulang kebijakannya yang terlalu
memihak kepada Israel dalam hubungannya dengan Palestina.

77

Kondisi

semacam ini dapat juga terjadi dalam suatu komunitas masyarakat yang merasa
diperlakukan tidak fair atau tidak adil oleh pemerintahnya. Mereka tidak
berdaya dan tidak dapat menyalurkan aspirasi sehingga mereka mengalami
keputusasaan (hopeless) yang pada akhirnya mendorong untuk menempuh jalur
kekerasan, seperti tindakan teror demi mencapai tujuan. 78
Perkembangan radikal Muslim di seluruh dunia sejak revolusi Iran tahun
1979 bukan lagi didasari pada alasan teologi atau dogma agama tapi lebih
disebabkan oleh kegagalan pemerintah negara yang bersangkutan dalam
76

Ali Khan merupakan pakar teroris internasional dari Washborn University School Of
Law Amerika Serikat. Ia mengemukakan pihak yang terkait dalam tindakan terorisme yakni
kelompok yang dirugikan (the aggrieved groups ) dan agresor (the supporter or suppressive
states). Lihat: Sudirman H.N, Terorisme dan Lingkaran Dendam Kesumat dalam Farid
Muttaqin & Sukidi (ed.), Teroris Serang Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 4849
77

John E. Mack, Looking Beyond Terrorism: Transcending the Mind of Enemity,


Psychology of Terrorism , Jilid I (T.d), h. 175
78

A. Dwi Hendro Sunarko, Ideologi Teroris Indonesia , Cet. I (Jakarta: Pensil, 2006), h.

31

99

memanage masalah politik dan ekonomi. Perbedaan sosial yang signifikan


antara kaya dan miskin, meningkatnya angka pengangguran, korupsi, tidak
adilnya pendistribusian ekonomi dan laju pembangunan yang tidak merata,
menyebabkan lahirnya ekstrimis muslim di berbagai belahan dunia termasuk
Indonesia. 79 Kondisi masyarakat yang demikian terpuruk dapat saja mendorong
mereka untuk menempuh jalan pintas menurut cara mereka sendiri seperti
melakukan aksi kekerasan. Jadi, faktor ideologi atau agama, politik, ekonomi
dan sosial berpotensi menyebabkan munculnya aksi teror. Pembahasan berikut
akan memaparkan permasalahan yang berkaitan dengan terorisme dalam
konteks globalisasi.

D. Terorisme dalam Konteks Globalisasi


Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa faktor yang mendorong
terjadinya terorisme bervariasi dan sulit dijustifikasi sebagai satu-satunya faktor
yang dianggap paling valid. Tetapi paling tidak, ada tiga faktor dominan yang
biasanya memicu aksi teror yakni faktor ideologi atau agama, faktor politik dan
ekonomi. Perlu dicatat bahwa faktor politik sebenarnya yang paling eksis yang
merupakan sentral dan dapat memicu faktor ideologi dan ekonomi. Ketiga aspek
tersebut berimplikasi pada terjadinya terorisme yang terus berkelanjutan dan
sulit dihentikan secara signifikan terutama di era globalisasi dan modernisasi.
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz dalam bukunya Global Terrorism
mengemukakan bahwa globalisasi dan modernisasi menyebabkab kepanikan dan
ketidakstabilan masyarakat karena berbagai perubahan yang kadangkala
mungkin tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Efeknya, terjadi dua
kekuatan yakni kelompok pemenang dan kelompok yang kalah. Kelompok yang
tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan akan berusaha meraih
keinginan dengan menggunakan kekerasan. 80 Jadi, kekerasan sebagai solusi

79

Zachary Abuza, Militant Islam in Southest Asia: Crucible of Terror (London: Lynne
Rienner Publishers, 2003), h. 16
80

James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h.245

100

dalam menyelesaikan persoalan mengatasi ketidak berdayaan suatu masyarakat


atau negara menghadapi globalisasi dan modernisasi.
Sekte keagamaan Aum Shinrikyo Jepang, misalnya, melancarkan aksi
teror di terowongan bawah tanah 20 Maret 1995 dengan menggunakan gas
beracun (nerve agent sarin) yang mematikan ratusan orang serta melukai ribuan
manusia. Aksi tersebut sebagai respon ketidakpuasan terhadap pemerintah
Jepang yang tidak memberi kebebasan beragama bagi kelompok tersebut
termasuk sekte keagamaan lainnya. Mereka mengklaim bahwa ajaran mereka
merupakan kebenaran mutlak, dan pemerintah yang berkuasa perlu dieliminasi
demi terwujudnya pemerintahan baru yang berorientasi keagamaan ( theocratic
state). Berbagai aksi kekerasan dan konfrontasi antara kelompok Aum dengan
pemerintahan Jepang terus berlanjut terutama dalam proses peradilan aktifis
Aum yang tertangkap, sementara pemerintah berprinsip bahwa kelompok
tersebut

sangat

membahayakan karena

kemampuannya

menggunakan senjata kimia dan biologi.

81

membuat

dan

Penggunaan senjata yang

membahayakan kesehatan manusia tersebut tampaknya merupakan ekspresi


kekecewaan kelompok representasi agama di Jepang terhadap pemerintahan
yang dianggap sekuler karena menekan pelaksanaan agama mereka.
Ada juga kelompok lain yang melakukan aksi teror yang berpengaruh
pada kepanikan berbagai pihak baik berskala domestik maupun international.
Kelompok yang dimaksud adalah Al-Qaeda pimpinan Usamah bin Ladin.
Presiden Amerika Serikat, George W. Bush menuduh Al-Qaeda sebagai aktor
peledakan gedung WTC dan Pentagon yang merupakan bangunan simbol
kedirgantaraan dan kekuatan ekonomi negara tersebut. Selain itu, beberapa aksi
teror seperti peledakan bom di hotel Mombasa Kenya (28 November 2002),
mendukung bom Bali (12 Oktober 2002), penyerangan ke USS Cole (12
Oktober 2000) di Port Aden Yaman, 82 sebagai bentuk perlawanan terhadap

81

James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 81-82; Lihat juga: Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara:
PustakaSinar Harapan, 2005), h. 291
82

Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 283

101

hegemoni Amerika Serikat atau Barat yang memotori terjadinya globalisasi


politik, ekonomi dan budaya.
Usamah bin Ladin, yang diduga sebagai dalang terorisme dari kelompok
Muslim, beralih memusuhi Amerika dan dianggap sebagai ancaman bagi Islam,
terutama setelah Soviet dinyatakan kalah dalam konflik bersenjata dengan
Afghanistan sekalipun Amerika memberikan dukungan finansial dan berafiliasi
dengan Afghanistan saat pertempuran tersebut. Sikap antipati dan permusuhan
Usamah bin Ladin dan kelompoknya terhadap Amerika disebabkan oleh
beberapa asumsi: Amerika diduga sebagai sumber utama yang menyebabkan
budaya di dunia Islam terkontaminasi; Al-Qaeda beranggapan bahwa
perjuangan mereka sebagai perjuangan melawan ked aliman dan kebatilan
terhadap representasi budaya sekuler di Barat; Usamah bin Ladin dan kelompok
militan lainnya beranggapan bahwa Amerika yang paling bertanggungjawab
dalam hal penyerangan terhadap komunitas Muslim di beberapa negara di dunia
seperti Bosnia, Lebanon dan Chechnya; Amerika secara eksplisit mendukung
Israel terhadap penyerangan di Palestina; kedatangan militer Amerika dan
sekutu-sekutunya di Saudi Arabia (1990) sebagai tempat suci umat Islam dalam
rangka mengamankan Saudi Arabia dari ancaman serangan di Timur Tengah
khususnya Kuwait dan Irak. Aktivitas tersebut, menurut Usamah bin Ladin dan
kelompok militan lainnya, sebagai bentuk konspirasi Kristen yang dikoordinir
Amerika Serikat untuk melemahkan dan bahkan mengeliminasi kekuatan
Islam.83 Fenomena ini sebagai bentuk perlawanan kelompok fundamentalis
Muslim terhadap dominasi dan hegemoni Amerika sebagai representasi Barat.
Aksi teror dan perlawanan kelompok tersebut berkeinginan agar
Amerika Serikat dan negara Barat lainnya merubah kebijakan luar negerinya
terutama terhadap negara-negara Muslim dengan berbagai aksi nyata antara lain
menarik pasukan militernya dari Timur Tengah, mengakhiri dukungan ke Israel,
dan memberhentikan membantu pemerintahan lokal terhadap kebijakan yang
tidak diinginkannya. Penarikan mundur pasukan Amerika dan sekutu-sekutunya
83
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 84; Lihat juga: Ready Susanto, Osama bin Ladin (Jakarta: PT. Kiblat
Buku Utama, 2001), h. 70

102

dari Timur Tengah memungkinkan masyarakat untuk membangun kembali


negara yang berorientasi Islam dan mengandung nilai budaya dan sosial yang
serba Islami, atau bahkan mengganti negara sekuler menjadi negara Islam
seperti Mesir, Algeria dan Irak. 84 Al-Qaeda mencoba melimitasi dan menangkal
pengaruh budaya luar (Barat) dan kontaminasi hegemoni lainnya di Timur
Tengah.
Sebenarnya perlawanan terhadap dominasi Amerika bukan saja
dilakukan oleh aktivis Islam fundamentalis, tetapi juga oleh kelompok lainnya
seperti

kelompok

bersenjata

Colombia

bernama

Fuerzas

Armadas

Revolucionaries de Colombia (FARC) atau Revolutionary Armed Forces of


Colombia.85 Kelompok ini meledakkan jalur rel angkutan batubara milik
perusahaan multinasional Amerika Serikat Drummond di Cesar Colombia pada
tanggal 2 Februari 2001. Setahun kemudian (Mei 2002), terjadi pula peledakkan
6 buah bom di sepanjang jaringan pipa minyak di Cano Limon-Covenas,
menyebabkan 6 buah kereta pengangkut minyak mentah tumpah di area
tersebut. Menurut data yang dikumpulkan Adjie Suradji dalam bukunya
Terorisme, terdapat 152 serangan terhadap instalasi pipa minyak pada tahun
2000 dan 178 kali tahun 2001. Kelompok ini juga menyandera dan membunuh 4
pelaku bisnis Amerika ketika pesawat mereka jatuh di Colombia Februari
2003.86 Peledakan, pembunuhan dan penyanderaan tersebut sebagai bentuk

84
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 84
85

Fuerzas Armadas Revolucionaries de Colombia (FARC) didirikan tahun 1966 yang


bermarkas besar di La Urive, Meta berideologi Marxisme-Leninisme dan anti Amerika. FARC
memiliki tujuan politik dalam gerakannya, yang memiliki misi menentang semua kebijakan
pemerintah Colombia dan menggantinya dengan peraturan mereka yang anti Amerika. Misi
lainnya adalah mewujudkan anti monopoli, anti imperialis dan mengadakan sinergis dengan
kelompok sayap kiri lainnya untuk melakukan gerakan politik, serta menekan Amerika Serikat
dan kelompok imperialis lainnya untuk meninggalkan Colombia. Kelompok FARC menjalin
networking dengan kelompok perdagangan narkotik dan menjadi sumber dana untuk
pengoperasiannya termasuk pengadaan senjata. Dana pengeoperasian kelompok ini juga
diperoleh dari perampokan bank dan penculikan. Lebih lanjut lihat: Adjie Suradji, Terorisme,
Cet. I (Jakara: PustakaSinar Harapan, 2005), h. 209-213; James M. Lutz dan Brenda J. Lutz,
Global Terrorism (London: Routledge Taylor & Francis Group, 2004), h. 180
86

Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 388 dan

391

103

perlawanan imperialisme Amerika dimana pemerintahan yang berkuasa


dianggap sebagai perpanjangan tangan pihak Amerika.
Beberapa aksi pengeboman terhadap icon bisnis Amerika di berbagai
negara juga terjadi sebagai bentuk ketidaksenangan terhadap globalisasi
ekonomi yang diperankan Amerikat Serikat. Antara tahun 2002-2003 saja,
terjadi pengeboman di counter Fast Food Kentucky Fried Chicken (KFC) dan
Mc Donald di Libanon, Guayaquil (Ekuador), Moscow (Rusia), Athena
(Yunani), Istambul (Turki), Bombay (India) dan Makassar (Indonesia). Selain
itu, sasaran aksi bom juga ditujukan ke perbankan milik Amerika Serikat di
Chile Santiago dan pengeboman agen mobil Jaguar dan Ford produk Amerika di
Roma (Italia). 87 Aksi teror tampaknya saling berkesinambungan dan memiliki
tujuan yang sama serta terjadi dalam jangka waktu yang hampir bersamaan
karena akses informasi yang cepat melalui kecanggihan teknologi.
Tidak dapat disangkal bahwa kemajuan sains dan teknologi dewasa ini
turut memberikan andil bagi pertumbuhan, perkembangan dan kontinuitas aksi
terorisme. Ruang gerak kaum teroris tidak lagi terbatas pada pola klasik
misalnya penculikan, pembunuhan, dan peledakan, tetapi semakin luas akibat
kemajuan transportasi dan komunikasi. Organisasi terorisme telah bermunculan
di seluruh pelosok dunia dengan berbagai alasan seperti faktor politik, ideologi,
ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Gerakan kelompok yang terdahulu
seringkali memberi inspirasi bagi pembentukan dan kegiatan kelompok yang
muncul berikutnya. Lebih dari itu terdapat networking (hubungan kerjasama)
antar sindikat teroris berkat kecanggihan sistem komunikasi internasional yang
lancar, cepat dan massal. 88 Implikasi lainnya adalah jangkauan gerakan
terorisme terus meluas melampaui zona wilayah satu negara sehingga terbentuk
jaringan terorisme baik regional maupun internasional.
Jaringan teroris Al-Qaeda atau Qaidat al-Jihd yang didirikan Usamah
bin Ladin akhir tahun 1980-an, di Afghanistan misalnya, telah berpengaruh pada
87

Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 410-413

88
Rikard Bagun, Terorisme, Gejala Global?, dalam Farid Muttaqin dan Sukidi,
Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah,
2001), h. 34

104

anggota Jamaah Islamiayah (JI) di Indonesia dan Asia Tenggara. Meskipun


tidak terdapat ikatan organisatoris secara formal antara Al-Qaeda dengan
Jamaah Islamiyah, akan tetapi keduanya mempunyai tujuan politik yang sama
yakni terwujudnya suatu Daulah Islamiyah menuju Khilfah ala Minhaj alNubuwwah atau Pan-Islamic Caliphate.89 Kesamaan visi dan misi perjuangan
mendorong semangat kaum militan Islam khususnya di Indonesia dan Asia
Tenggara pada umumnya untuk turut bergabung dalam progam Al-Qaeda seperti
training ala militer di Peshawar (Pakistan) termasuk terlibat peperangan di
Afghanistan.
Mereka yang telah mengikuti penggemblengan kemiliteran di Peshawar
(Pakistan) diterjunkan ke medan pertempuran di Afghanistan melawan serdadu
Soviet. Pasca perang yang dimenangkan tantara mujahidin Afghanistan, para
sukarelawan mujahidin yang datang dari berbagai negara kembali ke negara
masing-masing dan melanjutkan perjuangan mereka menentang hegemoni
Amerika terutama serangannya terhadap Afghanistan dan Irak. Di Indonesia
misalnya, alumnus Universitas Peshawar, Imam Samudra dan kelompoknya
melakukan perlawanan terhadap Amerika dan sekutunya karena menyerang
Afghanistan dan Irak sebagai simbol negara berpenduduk mayoritas muslim.
Bentuk perlawanan Imam Samudra dan kelompoknya berupa pengeboman di
beberapa tempat seperti di Paddys Club, Sari Club di Bali (kedua tempat ini
ramai dikunjungi para turis manca negara) dan Kedutaan Besar Australia di
Jakarta. Menurut mereka, membunuh warga negara Amerika dan sekutunya
merupakan jihd f Sablillah (berjuang di jalan Allah) karena Amerika dan
sekutunya telah membantai ribuan umat Islam yang terdiri dari wanita, anakanak, dan orang tua jompo yang tak berdosa di Afghanistan dan Irak.

90

Aksi

terorisme yang dilakukan radikal Muslim termasuk Imam Samudra sebenarnya


hasil design dari Amerika sendiri.

89
A. Maftuh Abegebriel, Ada Apa dengan Dokumen JI? Sebuah Penghampiran
Hermeneutik dalam A. Maftuh Abegebriel dkk., Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia ,
(Jokjakarta: SR-Ins Publshing, 2004), h. 875; Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakarta:
PustakaSinar Harapan, 2005), h. 282
90

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 135-147

105

K.M. Sajad Ibrahim mengemukakan dalam artikelnya The Question of


Terrorism: Hamas and Islamic Jihad in the Middle East Peace Process bahwa
sejak pertengahan abad 20 Amerika Serikat sudah memberikan konstribusi
signifikan dalam pembentukan dan perkembangan ekstrimis di dunia Islam.
Selama perang Dingin, Amerika Serikat mendukung pasukan militer,
keprofessionalan dan dukungan dana terhadap kelompok fundamental Islam di
Afghanistan, Pakistan dan Timur Tengah untuk melawan Uni Soviet.

91

Kemampuan kemiliteran dan strategi perang didikan Amerika tersebut sebagai


modal dasar dalam pengembangan jaringan Islam radikal di dunia terutama di
negara Islam dan ini menjadi boomerang bagi Amerika karena kelompok
tersebut balik menyerangnya setelah runtuhnya Uni Soviet. Inilah yang mungkin
disebutkan sebagai senjata makan tuan karena para teroris umumnya, paling
tidak sebagai kordinator atau mastermind-nya, pernah ditraining di Kamp
Afghanistan.
Kerjasama antar kelompok teroris juga pernah terjadi antara kelompok
teroris Sekigum (Tentara Merah Jepang- JRA) dengan kelompok perjuangan
gerilyawan Palestina. Pada tahun 1971 Sekigum mengirim Nona Fusako
Shigenobu ke Palestina untuk memfasilitasi bentuk kerjasama antara
keduanya.92 Selain itu, jaringan teroris Baader-Meinhof di Eropa pernah
menjalin hubungan kerjasama dengan gerilyawan Palestina sekitar tahun 19701972. Bentuk kerjasama tersebut direalisasikan dengan pengiriman anggota
Baader-Meinhof ke kamp gerilyawan Palestina untuk mempelajari metode
penggunaan bahan peledak. Demikian halnya gerilyawan Palestina pernah
menjalin networking dengan kelompok teroris IRA (Irish Republican Army) di
Irlandia Utara dan kelompok teroris ETA ( Euskadi Ta Askatasuna) di Basque,

91
K.M. Sajad Ibrahim The Question of Terrorism: Hamas and Islamic Jihad in the
Middle East Peace Process, India Quarterly: A Journal of International Affairs, Vol. LIX No.
3 & 4, 2003, h. 242
92
Rikard Bagun, Terorisme, Gejala Global? dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, Teroris
Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h.
36

106

Spanyol.93 Kelompok sayap kiri Colombia, FARC, juga mendapat suntikan dana
yang besar dari jaringan perdagangan obat terlarang yang bertaraf international
di Colombia, memperoleh latihan pembuatan bom dan skill lainnya untuk
peningkatan pengoperasiannya dari kelompok eksternal seperti IRA dan JRA
tahun 2002. 94 Beberapa ilustrasi di atas menunjukkan bahwa globalisasi
terorisme yang menjalin networking untuk mensosialisasikan kemampuan
(skills) dan saling memberikan dukungan finansial, memiliki kesamaan perspesi
dan tujuan dapat terjadi secara global tanpa terikat oleh geografis tertentu.
Jadi, terorisme merupakan aksi kekerasan yang berimplikasi pada
kepanikan dan ketakutan massal baik pada masyarakat atau negara yang menjadi
sasaran teror maupun yang mengetahui aksi teror tersebut melalui mass media.
Aksi teror sudah merupakan isu global dan bisa terjadi kapan dan dimana saja
dengan latar belakang yang berbeda misalnya faktor agama atau ideologi,
politik, ekonomi dan sosial. Terorisme bisa dilakukan secara personal, kelompok
dan didukung oleh negara yang berdaulat. Karena luasnya aspek-aspek yang
memicu terjadinya terorisme, maka uraian selanjutnya secara spesifik membahas
tentang akar-akar terorisme di dunia Islam untuk menjelaskan bahwa dalam
Islam sebenarnya ada juga aksi terorisme dengan menelusuri aspek historis.

93
ETA or Basque Fatherland and Liberty (didirikan tahun 1959) merupakan kelompok
teroris tertua di Eropa Barat dan tetap eksis hingga sekarang. ETA memiliki tujuan politik dalam
melakukan aksinya yakni mewujudkan kemerdekaan negara Euskadi dan berpaham Marxis, dan
bertujuan menciptakan krisis ekonomi di provinsi Basque melalui sabotase dan berbagai aksi
ekonomi lainnya. ETA memberlakukan revolutionary tax (pajak perjuangan) kepada mereka
yang memiliki assets (orang kaya) untuk menggalang dana perjuangannya. Menurutnya, seluruh
masyarakat Basque memiliki kewajiban moral dan legal untuk melawan pemerintah yang
berkuasa. Karena kebijakan ETA tersebut menyebabkan resesi ekonomi di daerah tersebut
ditandai dengan tertutupnya beberapa industri. Loretta Napoleoni, Modern Jihad: Tracing the
Dollars Behind the Terror Networks (London: Pluto Press, 2003), h. 36-37; Adjie Suradji,
Terorisme Cet. I (Jakara: PustakaSinar Harapan, 2005), h.133-134
94
Rikard Bagun, Terorisme, Gejala Global? dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, Teroris
Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam , Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h.
36

107

E. Akar-Akar Terorisme di Dunia Islam


Sejak masa pemerintahan khulafaur Rasyidin, terutama era pemerintahan
Utsman bin Affan, benih kekerasan dan terorisme sudah eksis. Berbagai
pemberontakan di wilayah kekuasaan Islam seperti di Kufah, Basrah dan Mesir
muncul sebagai bentuk protes dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Utsman
bin Affan. Khalifah Utsman dinilai terlalu boros dalam menggunakan harta di
Baitulmal termasuk untuk kepentingan pribadi, cenderung memberikan
kepercayaan kepada keluarganya dari keturunan Umayah tanpa adanya
koordinasi lagi dengan Khalifah yang menyebabkan mereka berbuat semenamena terhadap masyarakat atas nama Khalifah. Abdullah bin Saba, pemeluk
Islam dari Yahudi, mempropagandakan aliran Mazhab Wis yah kepada
komunitas pendukung Al bin Ab T lib dan mengatakan bahwa menurut wasiat
Nabi saw, Allah yang berhak menjadi khalifah sesudah wafatnya Nabi. Selain
teori Mazhab

Wisyah,

Abdullah ibn

Saba

lebih memperkokoh

propagandanya dengan memunculkan satu istilah lagi yang disebut Hak Ilahi
yakni Allah yang berhak diangkat sebagai khalifah pasca Rasulullah saw
sesuai ketentuan Allah swt, sehingga khalifah sebelumnya (Abu Bakar AshShiddiq, Umar bin Khatt b dan Utsman bin Affn) dianggap telah merampas
kekhalifahan dari Al ibn Ab T lib. Hasutan tersebut mampu melahirkan
semangat pendukung Al dan orang-orang yang tidak senang dengan model
pemerintahan Utsman sehingga akhirnya mereka menyerbu Madinah dan
berhasil membunuh khalifah Utsman, sekalipun Al beserta puteranya Hasan
dan Husein membendung pemberontak di pintu gerbang kediaman Utsman. 95
Benih-benih ekstrimis mulai muncul dengan memancing kelompok yang fanatik
kepada Al untuk melakukan perlawanan dan aksi kekerasan terhadap
pemerintahan Utsman bin Affn.

95

Ab Jafar Muhammad ibn Jarr al-Tabar, Trkh al-Tabar: Trkh al-Rasl wa alMuluk, Juz Juz III (Al-Qhirah: Dr al-Marif, 1963), h. 450-465

108

Kelanjutan sikap ekstrimis tersebut eksis lagi ketika Al ibn Ab T lib


sebagai khalifah. Pada masa itu, perpecahan diawali dengan peperangan Jamal

96

antara Aisyah dan Al ibn Ab T lib, dan peperangan shiffin antara Al dan
Muawiyah. Pada perang shiffin inilah sumber perpecahan antara umat Islam
karena Al menerima tahkim97 dalam menyelesaikan perseteruan tersebut.
Kelompok Khawarij menyatakan diri keluar dari golongan Al karena Al
menerima tahkim dengan Muawiyah. 98 Hal itu mereka tempuh karena menurut
mereka Al dan Muawiyah telah melakukan dosa besar bahkan bisa dikatakan
sudah kafir sebab kedua orang tersebut tidak bertahkim dengan Alquran. 99
Selanjutnya, dalam sejarah Islam dikenal pula adanya pemaksaan
keyakinan terhadap orang lain dengan dalih agama seperti

mihnah atau

inquisition (pengujian) tentang kemakhlukan Alquran yang dipraktekkan kaum


Mutazilah di Baghdad pada masa khalifah al-Mamun (813-833 H), alMutasim (833-842 H), dan al-Wtsiq (842-847 H). Bagi orang-orang yang tidak
sepaham dengan Mutazilah bahwa Alquran adalah ciptaan, tidak diperbolehkan
menjadi saksi di pengadilan, bahkan ada yang dipenjara seperti Ahmad bin
Hambal. Sebaliknya, ketika al-Mutawakkil menjadi khalifah yang cenderung
berpaham ahl hadis, maka paham kaum Mutazilah dianggap sesat.

100

96
Peperangan yang terjadi antara pasukan Al bin Ab T lib melawan pasukan Siti
Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq (isteri Rasulullah saw) dinamakan perang Jamal karena Siti
Aisyah ketika itu mengendarai unta. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
perang Jasmal antara lain: adanya ketegangan antara Al bin Ab T lib dan Siti Aisyah yang
mungkin disebabkan Al menyudutkan posisi Aisyah dalam peristiwa hadts al-ifki (berita
dusta); Aisyah kurang senang jika Al menjadi khalifah karena ia pernah bersaing dengan Abu
Bakar as-Shiddiq (ayah Aisyah); Aisyah mendukung Abdullah bin Zubair yang berambisi
menjadi khalifah. Lihat: A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I alih bahasa Mukhtar
Yahya dan M. Sanusi Latief, Cet. IV (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 2000), h. 288
97
Tahkm merupakan suatu institusi pra Islam yang digunakan dalam menyelesaikan
perselisihan yang terjadi dalam masyarakat. Lihat: Machasin, Fundamentalisme dan Terorisme
dalam A. Maftuh Abegebriel dkk., Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia (Jokjakarta: SRIns Publshing, 2004), h. 792
98
Ab Jafar Muhammad ibn Jarr al-Tabar, Trkh al-Tabar: Trkh al-Rasl wa alMuluk, Juz Juz III (Al-Qhirah: Dr al-Marif, 1963), h. 540-543
99

Q.S. al-Maidah (5): 44:


. ...

100

Lihat: Machasin, Fundamentalisme dan Terorisme dalam A. Maftuh Abegebriel


dkk., Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia (Jokjakarta: SR-Ins Publshing, 2004), h. 792

109

Perpecahan dan ektrimisme bukan saja dalam ruang politik tetapi merambah
pada ruang teologi. Gerakan fundamentalis dalam sejaran Islam mulai
menyebar.
Gerakan fundamentalisme radikal merupakan kelompok terorganisir
yang militan, agresif, siap berjuang secara fisik terutama untuk mewujudkan
obsesi dan keyakinan mereka. Kelompok fundamentalisme radikal ini di
antaranya al-Muhakkimah 101
103

Najdah

(Khawarij),

(Khawarij), al-Sufriyah,

Maturidiyah

105

al-Azariqah 102

(Khawarij), al-

104

. Selain Khawarij, ada kelompok al-

(Mutazilah), Ikhwan al-S afa106 (Syiah Ismiliyah) dan

101

Sekte al-Muhakkimah merupakan sempalan golongan Khawarij dipimpin oleh


Abdullah bin Saba. Mereka menamakan diri al-Muhakkimah karena menganggap dirinya
sebagai pihak yang paling benar dalam menjalankan hukum-hukum Allah, khususnya dalam
masalah tahkm antara Al bin Ab Tlib dan Muawiyah bin Ab Sufyan. Semua yang
menerima arbitrase bersalah dan kafir. Semboyan mereka: la hukma illa li Allah atau la hakama
illa Allah. Lihat: Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan ,
Cet. V (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 13-14
102
Sekte al-Azariqah merupakan generasi ke dua Khawarij, dipimpin Nfi bin alAzraq. Mereka membagi dua wilayah Islam yakni dr al-Islm untuk mereka dan dr al-harb
untuk selain mereka. Lihat: Abd al-Qhir ibn Thir Muhammad al-Baghdad, Al-Farq bain alFiraq (Al-Qhirah: Maktabah Dr al-Turats, t.th.), h. 101-104
103
Nama al-Najdah diambil dari pelopornya, Najdah bin Umair al-Hanaf. Mereka
tidak sependapat dengan al-Azariqah yang memusyrikkan orang selain anggotanya dan
menghalalkan darah orang lain. Lihat: Muhammad Ab Zahrah, Trkh al-Madzhib alIslmiyah (T.tp.: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 53
104
Al-Sufriyah dipelopori oleh Zaid bin al-Asfar. Mereka tidak memakai jargon kafir
dan musyrik bagi orang lain dan tidak memakai istilah dr al-harb bagi orang luar serta tidak
menghalalkan pembunuhan terhadap kelompok lain, bahkan mereka membolehkan pengikut
wanitanya kawin dengan pria muslim yang tidak sepaham dengan mereka. Lihat: Muhammad
ibn Abd Karm al-Syahrastn, Al-Milal wa al-Nihal, Juz I (Kairo: tp, 1951), h. 137
105

Aliran al-Maturidiyah dipimpin Ab Musa al-Murdar (w. 226 H). Sekte ini
mengkafirkan orang Islam di luar mereka dan sepaham dengan Syiah Ismiliyah bahwa hanya
ahl al-bait yang berhak atas immah. Ajaran al-Maturidiyah berpengaruh pada Daulah
Abbasiyah. Al-Makmun menjadikan paham Mutazilah sebagai mazhab negara, melahirkan
ujian (mihnah atau inquisition) seputar ke-qadim-an Alquran bagi tokoh politik dan agama.
Lihat: A. Maftuh Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Doktrinal
Fundamentalisme Islam di Era Khalifah, dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro
Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 247-250
106
Gerakan Ikhwan al-Saf (persaudaraan suci) merupakan gerakan bawah tanah yang
memperjuangkan gerakan moral dalam menghadapi ketimpangan sosial, agama, dan politik era
kekhalifahan al-Makmun. Dimotori pemikir Islam sekte Syiah Ismiliyah. Lihat: A. Maftuh
Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Doktrinal Fundamentalisme Islam di
Era Khalifah, dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The Thematic
Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 250-254

110

kelompok Qaramitah107 (sempalan Syiah Ismiliyah). Juga, sekte Assasin,


sempalan dari sekte Ismiliyah (pimpinan Hassan al-Shabah) memiliki
fanatisme kelompok dan bahkan menghalalkan darah lawan politiknya dari Bani
Saljuq sekitar abad ke-11 dan ke-13. Kasus ini oleh sebahagian pakar sejarah
dikategorikan sebagai aksi terorisme. 108
Selain terorisme yang didukung oleh institusi resmi seperti negara, aksi
teror yang berlatarbelakang politik dapat juga dilakukan oleh kelompok tertentu
yang memiliki tujuan politik. Secara historis, gerakan fundamentalisme Islam
pada era khilafah, termasuk Syiah, Khawarij, Qadariyah dan Mutazilah juga
memiliki ciri khas antara lain:
Pertama, tertutup dan eksklusif. Mereka cenderung melakukan aksi
gerilya atau gerakan bawah tanah, tertutup dan tersembunyi dalam melakukan
aksinya. Strategi dan siasat yang digunakan adalah siasat ganda, yakni di satu
sisi bersikap eksklusif, anti pluralisme, sektarian diwilayah teritorial sendiri,
sementara di sisi lain memakai siasat penyelubungan ( taqiyah) terhadap
wilayah diluar teritorialnya agar cita-cita mereka tidak terdeteksi oleh negara
tujuannya.
Kedua, hidup secara bergerombolan, berkoloni dan tidak permanen.
Model kehidupan mereka berpindah-pindah tergantung kondisinya kondusif atau
tidak dalam membangun pertahanan teritorialnya, dan mereka menggunakan
manajemen yang ketat di sekitar pertahanan untuk membentuk komunitas sosial,
seperti menjatuhkan sanksi berat terhadap kelompok yang tidak tunduk pada
sistem mereka. Oleh karena itu, para fundamentalis Islam pada era ini
membangun teologi tanah dalam rangka mempertahankan eksklusifitas
teritorialnya, dan dikenal dengan dr al-hijr. Setiap komunitas memiliki
perkampungan hijrah, seperti kelompok Qarmit ah mengklaim wilayah
107
Sekte Qaramitah dipelopori Hamdan Qarmat. Gerakan ini banyak melakukan aksi
teror terhadap rezim Abbasiyah. Lihat: A. Maftuh Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai
Historis dan Doktrinal Fundamentalisme Islam di Era Khalifah, dalam A. Maftuh Abegebriel,
A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing,
2004), h. 255-256
108
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme, dalam Tabrani Sabirin (ed.) Menggugat
Terorisme (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 73

111

Ukhaidir-Kufah, Hajar-Asha, Multan-Sind utara sebagai dr al-hijr;109 golongan


al-Azariqah dan al-Sufriyah dengan Ahwaz dan Kirwannya; dan sekte al-Najdah
di Sajistan sebagai bentengnya. Untuk memperkokoh eksistensi dr al-hijr nya,
mereka mengklaim kafir dan musyrik terhadap kelompok yang tidak
mengakui kedaulatan mereka, sehingga darah dan harta benda pembangkang
dihalalkan untuk dibunuh dan diambil alih.

110

Ketiga, memiliki komitmen untuk mendirikan negara Islam. Tidak


terjadi keseragaman konsep negara Islam yang dicita-citakan oleh masingmasing kelompok Muslim pada dekade tersebut. Dasar Pemikiran politik
Khawarij dan Syiah Ismiliyah, misalnya, membentuk tatanan sosial politik
berbasis konsep dasar yang ada dalam syari yakni pemikiran politiknya
ditentukan oleh teks ayat-ayat, dengan tidak mempertimbangkan konsensus para
politikus

yang ada

di masyarakat.

Kecenderungan ini tidak

hanya

mengatasnamakan agama tetapi juga mengatasnamakan kedaulatan Tuhan


(devine sovereignity) sehingga mereka mengintegrasikan agama dan kekuasaan.
Menurut perspektif kelompok ini, karena kekuasaan itu merupakan kedaulatan
Tuhan, tentunya Tuhan telah menunjukkan sekelompok pemimpin ( maula)
menuju terwujudnya dr al-Salm. Karena itu, negara yang dipimpin Dinasti
Umayah dan Abbasiyah tidak memenuhi kualifikasi pemimpin yang diinginkan
sehingga eksistensinya perlu di eliminasi. 111
Keempat, menginginkan perubahan secara revolusioner. Gerakan alMuhakkimah dan al-Azariqah merupakan salah satu contoh gerakan
fundamentalisme Islam yang menghendaki perubahan radikal terhadap suatu
pemerintahan. Perekruitan anggotanya tidak terlalu terikat oleh letak geografis,
tetapi lebih pada integritas dan komitmen yang sama untuk merubah sistem
109
Louis Massignon, Al-Hallaj, Mystic and Martyr, diterjemahkan oleh Dewi
Cadraningrum dengan judul Al-Hallaj: Sang Sufi Syahid (Yokyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2001), h. 133
110

Abd al-Qhir ibn Thir ibn Muhammad al-Baghdd, Al-Farq Baina al-Firaq (AlQhirah: Dr al-Turts, t.th.), h. 103-106
111
A. Maftuh Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Dokrinal
Fundamentalisme Islam di Era Khilafah, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.) Negara Tuhan:
The Thematic Encyclopedia (Jokjakarta: SR-Ins Publshing, 2004), h. 271-272

112

suatu negara yang berdaulat, dan keanggotaanya biasanya bersifat temporal. 112
keempat ciri fundamental ini kelihatannya masih akan mewarnai kelompok garis
keras Islam pada dekade kekinian.
Gerakan radikal Islam tersebut merupakan preseden dalam aksi radikal
dalam bentuk terorisme di dunia Islam sekarang ini. Pembahasan selanjutnya
adalah menjelaskan tentang konsep jihad dan prakteknya di era kontemporer
mencakup elaborasi tentang definisi dan motivasi jihad dalam Islam serta
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan jihad dalam konteks terorisme. Dalam
pembahasan ini juga akan dikemukakan makna jihad baik dalam arti makro
maupun dalam pengertian mikro (jihad dalam pemaknaan perang).

112
A. Maftuh Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Dokrinal
Fundamentalisme Islam di Era Khilafah, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.), Negara
Tuhan: The Thematic Encyclopedia (Jokjakarta: SR-Ins Publshing, 2004), h. 272

BAB IV
KONSEP JIHAD DAN PRAKTEKNYA
PADA MASA KONTEMPORER
Kerancuan pemahaman antara term terorisme dengan jihad kadangkala
terjadi di masyarakat Muslim maupun non Muslim.1 Secara konseptual, terdapat
perbedaan yang signifikan antara terorisme dengan jihad sebab kedua term
tersebut memiliki misi dan ideologi yang berbeda. Terorisme bersifat destruktif
dan berdampak sosiologis dan psikologis terhadap sasaran aksi teror, sedangkan
jihad (dalam pengertian peperangan fisik) memiliki kode etik antara lain
kooperatif dan meminimalisasi efek terhadap warga sipil dan konsern pada
kerusakan lingkungan. Namun, dalam prakteknya jihad kadangkala tidak
berlandaskan pada prinsip-prinsip yang Islami, sehingga bisa dikategorikan
sebagai terorisme.
Istilah jihad dalam Islam dipahami sebagai makna yang kontroversial.
Pada dasarnya term ini memiliki multimakna, tetapi dalam penggunaan
keseharian selalu mengarah pada satu makna yakni perlawanan fisik dan
peperangan. Akibatnya terjadi limitasi pengertian, misalnya ketika orang
menyebut kata jihad maka yang terbayang adalah pedang yang terhunus,
pertempuran, agresi militer, dan aksi-aksi kekerasan lainnya. Kalau demikian
halnya, Islam yang melegalkan jihad akan dipahami sebagai agama yang identik
dengan kekerasan.

1
Kerancuan pemahaman tentang terorisme dan jihad dalam masyarakat Muslim
dikarenakan perbedaan interpretasi terhadap teks-teks yang berhubungan dengan kedua term
tersebut. Bagi sebagian umat Islam khususnya Islam radikal memahami makna jihad adalah
perang saja sehingga terkadang mereka keliru dalam mengaktualisasikan pengamalan jihad,
akibatnya terjerumus dalam praktek-praktek tindakan kekerasan yang dapat dikategorikan
sebagai aksi terorisme. Sementara masyarakat non Muslim menjeneralisasi tindakan tersebut
sebagai bentuk pengamalan syariat Islam, konsekuensinya melahirkan asumsi yang fatal yakni
Islam agama teroris. Konklusi semacam ini sangat kontradiktif dengan esensi ajaran Islam
yang humanis, damai dan anti kekerasan. Lihat misalnya, Q.S. Ali Imran (3): 159; al- Araf (7):
56

114

Asumsi seperti itu mungkin muncul karena pembahasan ulama klasik


tentang jihad selalu diartikan peperangan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kitabkitab fiqh klasik yang menguraikan jihad identik dengan al-harb (peperangan)
disertai dengan penjelasannya seperti pembagian harta rampasan perang,
ganjaran bagi orang yang gugur dalam berjihad (syuhada), kewajiban dan
keutamaan berjihad. Bagi sebahagian orang Islam, jihad merupakan ajaran
fundamental dan diimplementasikan dalam bentuk perang suci (holy war).
Seseorang yang mati karena berjihad di jalan Allah diyakini mati syahid dan
akan masuk surga, 2 sehingga tidak mengherankan bila umat Islam termotivasi
untuk menjalankan ajaran ini. Sebaliknya bagi non Muslim, jihad adalah
ancaman sekaligus teror, sebab jihad ditujukan terhadap mereka yang
mengingkari ajaran Islam. Pembahasan ini akan menjelaskan pengertian dan
etika jihad, menelusuri makna jihad dalam sejarah, alasan disyariatkannya jihad,
reinterpretasi jihad dalam konteks kekinian, serta jihad dan gerakan radikal di
dunia Islam.

A. Pengertian dan Etika Jihad


Pembahasan ini bertujuan untuk mengeksplorasi tentang beberapa
pengertian jihad serta prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai acuan dalam
melaksanakan jihad. Uraian tersebut sangat signifikan dalam rangka penetapan
pemaknaan

jihad

dalam

Islam

sebab

kalau

jihad

diimplementasikan

bertentangan dengan kode etik tersebut maka itu tidak dikategorikan sebagai
jihad.

1. Pengertian Jihad
Pengertian jihad dalam Alquran dan hadis memiliki makna bervariasi,
tetapi dalam tradisi fiqh terjadi ortodoksi dan penyempitan (meminjam istilah
2

Di antara ayat-ayat Alquran yang menerangkan ganjaran bagi orang-orang yang mati
syahid (syuhada) di jalan Allah (f sabl Allah) berupa surga antara lain: Q.S. al- Tabah (9):
111; al- Safft (61): 11-12. Pejelasan lebih lanjut lihat: Muhammad ibn Al ibn Muhammad alSyaukn, Fath al-Qadr al-Jmi Baina Fann al-Riwyah wa al-Diryah min Ilm al-Tafsr ,
Juz II, Cet. III (Beirt: Dr al- Marifah, 1417 H/1997 M), h. 510-511

115

Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili) makna jihad dalam arti perang.
Pada umumnya bahkan boleh dikatakan seluruh kitab fiqh yang membahas
tentang jihad akan berkisar pada kajian perang dan harta rampasan perang (alharb wa al-ghanmah). Sedangkan arti lain dari jihad seperti perjuangan
intelektual, dalam tradisi fiqh dikenal dengan istilah al-ijtihd (kesungguhan
mengerahkan kemampuan daya nalar). Ulama klasik telah melakukan polarisasi
makna dan pembakuan istilah mengenai jihad, misalnya jihad spiritual dalam
tradisi sufi dinamai mujhadah, dan jihad nalar dalam tradisi intelektual disebut
ijtihd serta jihad dalam bentuk fisik menghadapi musuh diartikan sebagai
jihad.3 Pengkaplingan makna jihad seperti ini dapat menimbulkan kekeliruan
umat khususnya uamt Islam dalam memahami doktrin jihad karena ketika term
jihad disebut maka yang muncul dalam pikiran seseorang adalah pedang, senjata
dan pembunuhan, akhirnya makna jihad yang lain telah dinafikan.
Term jihad (dalam bahasa Arab) adalah sighat (bentuk) masdar dari
- -( yang berakar kata dengan huruf-huruf jim h dan dal).
Lafal al-jahd berarti al-masyaqqah (kesulitan) sementara al-juhd berarti altqah (kemampuan, kekuatan). Al-Laits tidak membedakan makna keduanya
yakni ma jhada al-insn min marad in wa amrin syqin (segala sesuatu yang
diusahakan seseorang dari penderitaan dan kesulitan). Akan tetapi Ibn Arafah
membedakannya, yakni al-jahd diartikan badzlu al-wusi (mencurahkan segala
kekuatan, kemampuan), sedang al-juhd dimaknai al-mublaghah wa al-ghyah
(berlebihan dan tujuan).4 Selanjutnya Louis Maluf mengartikan kedua lafal
tersebut dengan mencurahkan segala kemampuan dalam menghadapi kesulitan.5
Secara etimologi, makna jihad adalah kesungguhan dalam mencurahkan segala
keampuan untuk mencapai tujuan.
3
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I (Jakarta:
LSIP, 2004), h. 3
4

Ab al-Fadl Jamluddin Muhammad ibn Mukrim ibn Mandzr, Lisn al-Arab, Juz I,
Cet. I (Beirut: Dr Sdir , 1990), h. 521
5

Louis Maluf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-Alam (Bairut: Dr al-Masyriq, 1986), h.

106

116

Secara terminologi, jihad memiliki makna makro dan mikro. Pengertian


secara makro mencakup makna yang luas yang tidak semata-mata diartikan
perang dengan

perjuangan fisik, tetapi juga mencakup non-fisik misalnya

perang melawan hawa nafsu. Adapun secara mikro, jihad diartikan pada
peperangan saja. Al-Rghib al-Asfahn, misalnya, mengartikan jihad secara
makro yakni berjuang melawan musuh yang dengan terang-terangan menyerang;
berjuang menghadapi setan; serta berjuang menghadapi hawa nafsu. Perjuangan
tersebut bisa dilakukan dengan tangan (kekuasaan) dan lisan.6 Pengertian alAsfahn mirip dengan tarif yang diberikan oleh Kamil Salamah yakni jihad
tidak hanya bermakna perang fisik, melainkan juga mengandung arti
membelanjakan harta dan segala upaya yang dilakukan dalam rangka
melestarikan dan memajukan agama Allah; berjuang mengendalikan nafsu dan
godaan setan.7
Dengan demikian, jihad dalam arti perang saja belum sempurna, sebab
pemberian suatu definisi harus mencakup dua hal yakni jmi (mencakup,
meliputi) dan mni (membatasi). Kalau jihad hanya dimaknai perang saja, maka
bagaimana dengan bentuk jihad non perang (damai) yang juga diakui dalam
syariat Islam. Sekalipun dalam menghadapi musuh, tidah harus dengan cara
perang atau tindakan kekerasan tetapi bisa dengan aksi-aksi damai tanpa
kekerasan. Oleh karena itu, definisi jihad yang dapat mencakup kedua syarat di
atas yakni kesungguhan dalam mengarahkan segala kemampuan baik dalam
peperangan, perkataan maupun dalam melakukan segala sesuatu yang
disanggupi.8
Slih ibn Abdullh al-Fauzn mengemukakan lima sasaran jihad yaitu:
Pertama, jihad melawan nafsu, meliputi pengendalian diri dalam menjalankan
6

Al-Rghib al-Asfahn, Al-Mufradt f Gharb al-Qurn (T.d.), h. 100

Kamil Salamah al-Daqs, al-Jihd f Sabl Allah , Cet. II (Beirut: Muassasat Ulm alQuran, 1409 H/1988 M), h. 10. Bandingkan dengan Ab Lubbah Husain, Al-Islm wa alHarb, Cet. I (Riyd: Dr al-Liwu wa al-Tauz, 1399 H/1979 M), h. 16
8

Ab al-Fadl Jamluddin Muhammad ibn Mukrim ibn Mandzr, Lisn al-Arab, Juz I,
Cet. I (Beirut: Dr Sdir , 1990), h. 521

117

perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya. Jihad melawan hawa nafsu
merupakan perjuangan yang amat berat (jihd akbar). Meskipun jihad ini berat
dilakukan, akan tetapi sangat diperlukan adanya sepanjang hayat, sebab jika
seseorang tidak sanggup mengendalikan hawa nafsunya maka sulit diharapkan
untuk dapat berjihad menghadapi orang lain dan segala macam rintangan hidup.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu merupakan
kunci dari segala macam bentuk jihad lainnya.
Kedua, berjihad melawan setan yang merupakan musuh bagi umat
manusia. Setan mempunyai komitmen untuk senantiasa menggoda dan
memalingkan manusia agar berbuat keji dan segala yang dilarang Allah swt
serta menjauhi dan membangkang terhadap perintah-perintah-Nya.9 Setan
berjanji akan menghampiri manusia dari berbagai penjuru untuk dapat
menggolkan konsep tipu daya muslihatnya.10 Manusia yang tidak sanggup
menghadapi serangan setan akan berubah menjadi setan dalam bentuk manusia.
Ketiga, jihad menghadapi orang-orang yang senang berbuat maksiat
(orang-orang yang durhaka) dan orang-orang yang menyimpang dari kalangan
mukmin. Metode jihad yang dipergunakan dalam menghadapi orang-orang
seperti ini adalah amar maruf nahi mungkar . Penggunaan cara ini memerlukan
ketabahan dan kesabaran serta hendaknya disesuaikan dengan kemampuan
orang yang berjihad (mujahid) dan kondisi obyek dakwah. Hal ini perlu
diperhatikan agar supaya aplikasi jihad dapat berlangsung dan berdaya guna.

Iblis (setan) bertekat untuk senantiasa menghalang-halangi manusia dari jalan yang
benar sebagai kompensasi atas kesesatannya. Lihat: Q.S. 7 (al- Arf): 16.

(Iblis menjawab: Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar
akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus). Lihat: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya
(Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 223
10

Setan akan mendatangi manusia dari segala penjuru untuk menggoda mereka agar
manusia tersesat seperti setan. Lihat: Q.S. 7 (al- Arf): 17.
.
(Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan
dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). Lihat:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 223

118

Keempat, Jihad melawan orang-orang munafik, yaitu mereka yang


berpura-pura masuk Islam dan beriman tetapi hati mereka sebenarnya masih
mengingkari keesaan Allah swt dan kerasulan Muhammad saw. Perjuangan
menghadapi orang-orang munafik tidak mudah karena mereka memiliki
kemampuan retorika dalam melakukan provokasi dan menyebar fitnah
dikalangan orang-orang beriman. Perilaku munafik sangat berbahaya sehingga
diperlukan keteguhan jihad menghadapi mereka agar tidak terjadi malapetaka di
kalangan orang-orang mukmin.
Kelima, jihad melawan orang-orang kafir. Model jihad yang digunakan
menghadapi mereka adalah metode perang. Ketika Nabi saw bersama orangorang Islam di Mekkah belum ada perintah jihad dalam arti perang, sebab saat
itu jumlah mereka masih sedikit dan lemah. Selama kurang lebih 13 tahun
berdomisili di Mekkah, Nabi dan pengikutnya hanya diperintahkan untuk
berdakwah mengajak penduduk Mekkah masuk Islam. Setelah berhijrah ke
Madinah, kuantitas pengikut Nabi Muhammad saw meningkat dan kekuatan
mereka bertambah, saat itulah baru turun perintah perang melawan orang-orang
kafir.11
Mencermati pembagian jihad yang diberikan al-Fauzn di atas dapat
disederhanakan menjadi dua bagian yakni jihad secara fisik dan non fisik. Jihad
dalam bentuk fisik dapat diterapkan tatkala menghadapi para pelaku
kemaksiatan, orang-orang munafik, dan kafir. Akan tetapi tidak berarti bahwa
jihad non fisik (jihad dengan hati) tidak berlaku, sebab sebaiknya jihad dalam
bentuk fisik diawali dengan penerapan jihad non fisik dalam bentuk kesabaran
menghadapi mereka. Demikian halnya dalam melaksanakan jihad melawan
nafsu dan setan tentu hanya dapat digunakan jihad secara non fisik.
Kategorisasi jihad di atas, mirip dengan yang dikemukakan Ibn Qayyim
al-Jauziyah (w. 751 H) bahwa jihad mencakup pengertian sebagai berikut: jihad
melawan hawa nafsu; jihad melawan setan; jihad melawan orang-orang kafir,

11

Slih ibn Abdullh al-Fauzn, Dawbit al-Jihd dalam Ab al-Asybl Ahmad ibn
Slim al-Misr, Fatw al-Ulam al-Kibr f al-Irhb wa al-Tadmr wa D awbit al-Jihd wa
al-Takfr wa Mumalat al-Kuffr , Cet. I (Al-Riyd: Dr al-Kiyn, 1426 H/ 2005 M), h. 292-296

119

dan orang-orang munafik; jihad melawan kezaliman, dan bidah.12 Jihad


melawan hawa nafsu adalah bentuk jihad yang berkaitan dengan upaya
meningkatkan kualitas intelektual baik untuk pendalaman ilmu pengetahuan
umum (non agama) dan ilmu-ilmu keagamaan dalam rangka mencari dan
mempresentasikan kebenaran agama; jihad melawan hawa nafsu juga dalam
kaitannya dengan pengamalan dan pengaplikasian ilmu pengetahuan yang
diperoleh serta mensosialisasikannya (mendakwahkannya) kepada orang lain.
Ketabahan dan kesabaran dalam menuntut ilmu pengetahuan, mengamalkan dan
mensosialisasikannya dikategorikan pula sebagai jihad melawan hawa nafsu.
Selanjutnya jihad melawan setan meliputi segala bentuk upaya untuk
menolak berbagai bentuk godaan dan tantangan yang mencoba mengarahkan
manusia pada hal-hal yang berhubungan dengan syubhat dan keraguan dalam
keyakinan keberagamaan, serta godaan hawa nafsu yang membahayakan
manusia selain keimanan.13 Adapun jihad melawan orang kafir, munafik,
kezaliman, dan bidah dapat dilakukan melalui tiga tahapan yakni dengan tangan
(kekuasaan), lisan, dan hati. Jihad dengan hati (doa) dapat dilakukan setiap
orang kapan dan dimanapun berada. Akan tetapi jihad semacam ini
menunjukkan betapa lemahnya iman yang dimiliki orang tersebut.14 Pembagian
ini dapat dikategorikan ke dalam dua bagian yakni jihad melawan nafsu dan
12

Syamsuddn Ab Abdillh Muhammad Ibn Ab Bakr al-Zar al-Damsyiq, Dzt alMad f Hady Khar al-Ibd li Ibn Qayyim al-Jauziyah , Juz III, Cet. III (Beirut: Muassasat alRislah, 1419 H/1998 M), h. 9
13

Syamsuddn Ab Abdillah Muhammad Ibn Ab Bakr al-Zar al-Damsyiq, Dzt alMad f Hady Khar al-Ibd li Ibn Qayyim al-Jauziyah , Juz III, Cet. III (Beirut: Muassasat alRislah, 1419 H/1998 M), h. 10; Bandingkan juga dengan: Majalah As-Sunnah: Upaya
Menghidupkan Sunnah, Edisi 05/IX (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2005), h. 25
14
Dalam salah satu hadis Nabi dikatakan bahwa barangsiapa melihat suatu
kemungkaran, hendaklah mencegah dengan tangan (kekuasaan), jika tidak sanggup maka dengan
lisannya (nasehat), dan bila dengan itupun tidak mampu maka yang bersangkutan dapat
mencegahnya dengan hati yakni menghindari sambil berdoa semoga kemungkaran yang terjadi
tidak berkepanjangan. Hanya saja cara terakhir ini pertanda betapa lemahnya iman yang
bersangkutan. Hadis tersebut berbunyi: : :
.
Lihat: Al-Imm al-Hfiz Ab al-Ul Muhammad Abdurrahmn ibn Abdurrahm alMubrakafr, Tuhfat al-Ahwadz bi Syarh Jmi al-Tirmidz, Kitb al-Fitn, Bb M Ja f
Taghyr al-Mungkar bi al-Yad aw bi al-Lisn aw bi al-Qalb , Juz VI, Cet. I (Beirut: Dr alKutub al-Ilmiyah, 1410 H/11990 M), h. 327; Dalam kitab al-Syaekhain (Bukhari-Muslim)
menggunakan redaksi

120

setan merupakan jihad dalam bentuk non fisik, sedangkan dua yang terakhir
dapat berupa fisik dan non fisik.
Klasifikasi itu sejalan dengan argumentasi A.G. Noorani yang
mengatakan bahwa jihad terbagi menjadi dua yakni jihad besar (primer) dan
jihad kecil (sekunder). Jihad yang primer mencakup perjuangan melawan
perbuatan dosa dan setan (jihad ini bersifat spiritual dan internal dalam diri
seorang muslim), sedangkan jihad sekunder adalah perjuangan di medan perang
dalam bentuk fisik. Jihad kecil itu bersifat eksternal.15 Dari kedua macam jihad
tersebut dapat ditarik benang merah yakni jihad besar bersifat permanen
sepanjang masa, sedangkan jihad kecil hanya berlaku temporal.
Pembagian jihad di atas lebih menekankan pada target atau sasaran jihad.
Berbeda halnya dengan pembagian yang diberikan Imm Mlik dalam
Muqaddimah Ibn Rusyd lebih menitikberatkan pada metode jihad yakni jihad
dapat dilakukan dengan hati, lisan, tangan (kekuasaan), dan pedang (perang).
Jihad atau perjuangan dengan hati dipergunakan dalam rangka menghadapi
godaan dan rayuan setan dan kehendak hawa nafsu, sedangkan jihad dengan
lisan diterapkan untuk menghadapi orang-orang munafik dalam bentuk amar
maruf nahi mungkar. Selanjutnya, jihad dengan tangan (kekuasaan)
diaplikasikan untuk memberantas atau mencegah orang-orang melakukan
kemaksiatan dan meninggalkan kewajiban-kewajibannya, misalnya penegakan
hukum terhadap pelaku zina dan peminum minuman keras (alkohol). Sedangkan
jihad melalui penggunaan pedang (perang) diterapkan dalam menghadapi orangorang musyrik dan kafir.16 Pembagian ini tampaknya tidak terlalu fleksibel
dalam pengaplikasian pemaknaan jihad sebab jihad dengan lisan, misalnya,
tidak hanya dapat diterapkan dalam menghadapi orang-orang munafik saja,
melainkan juga terhadap orang-orang musyrik dan kafir. Demikian halnya
15

A.G.Noorani, Islam & Jihad: Prejudice versus Reality (London: Zed Books Ltd,
2002), h. 45-46
16

Ab al-Wald Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, Muqaddimt ibn Rusyd li Bayn ma
Iqtadathu al-Mudawwanah min al-Ah km, Juz V, Cet. I (Beirut: Dr al- Kutub al-Ilmiyah, 1415
H/1994 M), h. 178

121

sebaliknya, jihad dengan pedang tidak hanya diperuntukkan terhadap orangorang musyrik dan kafir, tetapi sangat mungkin juga diberlakukan ketika
menghadapi orang-orang munafik.
Pengertian jihad secara khusus dikemukakan oleh Muhammad Said
Ramadn al-Bt, meliputi perjuangan dan upaya yang dilakukan pada masa
Nabi Muhammad saw. Menurutnya, jihad adalah berdakwah mengajak kaum
Muslim ataupun musyrik Mekkah kepada jalan Allah, dan menghilangkan taklid
buta yang melanda umat manusia; keteguhan hati Nabi dan sahabatnya dalam
mempertahankan kebenaran, sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan
dan penyiksaan; kesabaran dan ketekunan memahami Alquran dan menerapkan
hukum-hukum Islam tanpa memperdulikan bahaya dan ancaman akibat
diterapkannya hukum-hukum tersebut.17 Definisi ini tidak jauh berbeda dengan
pengertian yang diberikan Departemen Agama Republik Indonesia bahwa jihad
berarti: berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam;
memerangi hawa nafsu; mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan
umat Islam; dan memberantas yang batil dan menegakkan yang hak.18
Para ulama fiqh (fuqaha) klasik mengartikan jihad sebagai peperangan
melawan non Muslim yang secara eksplisit memusuhi Islam. Menurut mazhab
Syfi, jihad adalah memerangi orang kafir untuk kejayaan Islam (qitl alkuffr li nasr al-Islm).19 Definisi ini memiliki kesamaan dengan makna yang
diberikan mazhab lain misalnya mazhab Hanaf. Menurut mazhab Hanaf, jihad
adalah ajakan kepada seseorang atau komunitas untuk menganut agama yang
hak (Islam), bila mereka tidak menerima atau merespon ajakan tersebut, maka
harus diperangi dengan harta dan jiwa (al-duu il al-dn al-h aq wa qitl man

17

M. Said Ramdhn al-Bt, Al-Jihd fi al-Islm Kaifa Nafhamuhu? wa Kaifa


Numrisuhu? (Beirt: Dr al Fikr al-Masir, 1993), h. 3-4
18

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama Republik


Indonesia, Alquran dan Terjemahnya ( Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 99
19
Ab Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafii, al-Um, Juz VIII, Cet. II (T.tp: Dr alFikr, 1403 H/1983 M), h. 376

122

lam yaqbalhu bi al-ml wa al-nafs ).20 Jadi, dalam perspektif mazhab Hanaf,
pernyataan perang terhadap sekelompok orang yang menolak masuk Islam
dilakukan dengan harta dan jiwa.
Sejalan dengan pengertian ulama klasik di atas, sebagian ulama
kontemporer seperti Wahbah al-Zuhail memahami jihad sebagai suatu bentuk
pengarahan kemampuan dan kekuatan dalam memerangi dan melawan orangorang kafir dengan jiwa, harta dan lidah.21 Maksud jihad dengan lidah dalam
definisi ini adalah dakwah mengajak orang-orang kafir masuk Islam atau paling
tidak tunduk pada syariat Islam tanpa harus menganut agama Islam (ahl alzimm).
Jihad dalam arti perjuangan antara lain: berjuang mengatasi kesulitan
dan kerumitan untuk menjalani kehidupan yang baik; berjuang melawan hawa
nafsu di dalam diri sendiri dalam rangka mencapai keutamaan hidup dan akhlak
terpuji; dan melakukan upaya-upaya yang sungguh-sungguh untuk berbuat
kebajikan dan membantu memperbaiki masyarakat. Selain itu, jihad juga dapat
berarti perang melawan kezaliman dan penindasan, membela Islam dari pihakpihak yang ingin merusaknya. Kedua makna jihad yang luas ini, dapat
direalisasikan dalam bentuk damai dan perang. Hal ini senada dengan ungkapan
yang mengatakan: ( kita kembali dari jihad
kecil menuju jihad yang lebih besar). Jihad yang lebih besar (al-jihd al-akbar)
ini lebih sulit dan merupakan perjuangan yang amat penting melawan nafsu
pribadi, sikap mementingkan diri sendiri, ketamakan, iri hati, dengki, hasad, dan
kejahatan.
Berdasarkan beberapa definisi jihad yang telah dikemukakan dapat
disimpulkan bahwa istilah jihad mengandung makna yang bervariasi akan tetapi
secara sederhana dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni jihad

20

Wahbah al-Zuhail, al Fiqh al-Islm wa Adillatuhu , Juz VIII, Cet. IV (T.tp, t.p, 1418
H/1997 M), h. 5846
21

Wahbah al-Zuhail, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu , Juz VIII, Cet. IV (T.tp, t.p, 1418
H/1997 M), h. 5846; Sayyid Sabiq dalam mendefinisikan jihad hanya mengidentikkannya
dengan al-harb (perang). Lihat: Al-Sayyid Sbiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Cet. I (Al-Qhirah:
Dr al-Fath li Ilm al-Arab, 1418 H/1998 M), h. 400

123

internal (al-jihd al-akbar) merupakan perjuangan mengendalikan diri dari sifatsifat negatif dan perjuangan untuk peningkatan kualitas intelektualitas dan
integritas kepribadian individu dan masyarakat. Dalam hal ini termasuk juga
kesungguhan seorang mahasiswa dalam menyelesaikan studinya; kerja keras
seorang ayah mencari rezki untuk menafkahi keluarganya; berjuang untuk
mewujudkan kehidupan Islami berdasarkan petunjuk Alquran dan hadis; dan
kritik konstruktif terhadap penguasa yang memperlakukan rakyatnya dengan
semena-mena. Selain itu, ada juga jihad eksternal (al-jihd al-asghar) meliputi
perjuangan dengan fisik di medan pertempuran. Dalam pemaknaan jihad dengan
perjuangan fisik di medan pertempuran diperlukan pemahaman etika perang
dalam Islam sehingga para pelaku jihad tidak semena-mena dalam
melaksanakan jihad.

2. Etika Jihad
Kalau jihad dimaksudkan dengan peperangan di medan pertempuran,
maka Islam memuat aturan dan kode etik bagi para pejuang, karena tujuan
peperangan dalam Islam adalah untuk menyebarkan Islam (li ili kalimatillh),
menegakkan kebenaran dan keadilan.22 Beberapa etika peperangan yang bisa
dijadikan sebagai

petunjuk (guidance)

pembunuhan orang-orang

yang

tidak

tersebut misalnya
terlibat

menghindari

dalam peperangan

dan

penghancuran fasilitas umum dan kerusakan lingkungan. Ulama mazhab


memberikan beberapa penjelasan tentang etika dalam peperangan. Imm Mlik
melarang membunuh binatang dan menebang atau merusak tumbuh-tumbuhan,
sedangkan Imm Syfi membolehkan membunuh binatang jika binatang
tersebut dipakai pihak lawan untuk memperkokoh pasukan mereka. 23 Ini
menunjukkan bahwa binatang yang dijadikan sarana berperang bisa dibunuh
dalam rangka melumpuhkan kekuatan lawan terutama binatang terlatih untuk
22

Jamat Amn, Qadiyat al-Irhb: al-Ruyat wa al-Ilj (T.tp.: Dr al-Tawz wa alNasyr al-Islmiyah, 1998), h. 79-80
23
Lihat: Ab Muhammad ibn Ahmad ibn Sad ibn Hazm al-Andalus, al-Muhall bi alAtsr, Juz VII (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah), h. 294

124

menyerang dan mengintai pihak lawan (kaum Muslimin). Jadi, larangan


membunuh binatang tersebut ditujukan pada binatang ternak atau piaraan dan
binatang disekitar arena peperangan yang tidak digunakan sebagai fasilitas dan
alat perang.
Para jihadis perlu memperhatikan beberapa etika jihad antara lain:
Pertama, memberi dakwah dan peringatan sebelum menyerang kepada lawan
yakni dengan mengajak mereka untuk memeluk Islam atau tunduk pada aturan
(pemerintahan) Islam, dan menjelaskan alasan-alasan penyerangan kepada pihak
musuh. Fuqaha berbeda pendapat dalam merespon urgensinya dakwah.
Menurut Imm Mlik, Hdawiyah, dan Zaidiyah dakwah Islam harus
disampaikan kepada pihak musuh sebelum diserang, baik pihak musuh telah
menerima dakwah sebelumnya ataupun belum.24 Unsur urgensinya dakwah
sebelum musuh diperangi juga berdasarkan petunjuk Alquran yang menjelaskan
bahwa Allah swt tidak akan menghukum suatu kaum sebelum mereka menerima
seruan dari Rasul-Nya.25 Pandangan ini mirip dengan pendapat al-Mward (w.
450 H) bahwa tidak boleh menyerang suatu kaum yang belum pernah menerima
dakwah Islam, belum memperoleh penjelaskan tentang kemukjizatan dan
kerasulan Nabi Muhammad saw dan terdapat indikasi bahwa komunitas
merespon ajakan (dakwah) tersebut. 26 Sedikit berbeda dengan pendapat jumhur
ulama fuqaha, Syiah Immiyah dan Ibdiyah yang tidak mewajibkan adanya
dakwah jika pihak musuh sudah pernah menerima dakwah sebelumnya. Jadi,
dakwah kedua kalinya terhadap mereka merupakan sunnah saja.27
24

Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu , Juz VIII, Cet. IV (T.tp, t.p, 1418
H/1997 M), h. 5853
25
Allah swt berfirman dalam Q.S. 17 (al-Isra): 15 . ...
( dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul). Lihat: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan
Terjemahnya ( Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 426. Pernyataan ini mengindikasikan tidak
etis menyerang suatu komunitas yang sama sekali belum pernah dijadikan sasaran dakwah. Akan
tetapi menurut Hambal hal itu tidak mutlak adanya. Lihat: Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh alIslam wa Adillatuhu, Juz VIII, Cet. IV (T.tp, t.p, 1418 H/1997 M), h. 5853
26

Ab al-Hasan Al ibn Muhammad ibn Habb al-Basr al-Baghdd al-Mward, alAkm al-Sultniyah (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 46
27

Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh , Juz VIII, Cet. IV (T.tp: tp, 1418
H/1997 M), h. 5853

125

Lebih lanjut al-Sarakhs (w. 490 H) menambahkan bahwa sebaiknya


tidak langsung menyerang lawan sesudah mereka menerima dakwah, tetapi
memberikan kesempatan kepada mereka untuk mempertimbangkan yang terbaik
baginya sebelum mengambil keputusan.28 Lebih ditegaskan lagi oleh Ab Ysuf
bahwa Nabi saw tidak pernah menyerang suatu kaum hingga Rasul mengajak
mereka untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.29 Pendapat mereka
didasarkan pada hadis Nabi saw yang menerangkan bahwa Nabi tidak pernah
menyerang suatu kaum sebelum mengajak mereka beriman.30 Pernyataan yang
mengharuskan dakwah sebelum perang mengindikasikan betapa pentingnya
penjelasan tentang ajaran Islam bagi orang-orang kafir sebelum peperangan
dilaksanakan. Selain itu, dengan memberikan kesempatan berpikir kepada lawan
untuk suatu pengambilan keputusan (decision making) sebelum serangan
menunjukkan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.31
Berbeda dengan berbagai argumentasi di atas tentang perlunya dakwah
sebelum penyerbuan, mazhab Hambali justru tidak mewajibkan dakwah Islam
sebelum pertempuran. 32 Pendapat ini didukung hadis Nabi saw yang
diriwayatkan Ahmad dari Abdurrahman bin Auf bahwa Rasulullah saw
menyerbu Bani Mustaliq ketika mereka belum mengetahui tentang Islam.33
Perbedaan argumentasi dari hadis-hadis tentang wajib dan tidaknya dakwah
28

Ab Bakr Muhammad Ibn Ahmad Ab Sahl al-Sarakhs al-Hanaf, Kitab al-Mabst,


Juz X (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 3-4
29

Al-Sayyid Sbiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Cet. I (al-Qhirah: Dr al-Fath, 1418
H/1998 M), h. 430
30

Hadis mengenai perlunya dakwah pra-peperangan:


. :

Lihat: Ahmad Abdurrahmn al- Naba, al- Fath al- Rabbn Tartib Musnad al-Imm Ahmad ibn
Hambal al-Syaebn, Kitb al-Jihd, Bb al-Dawah il al-Islm qabla al-Qitl wa Was iyyat alImm li Amr al-Jaesy, Juz XIV (al-Qhirah: Dr al-Syahab, t.th.), h. 46
31

Q.S. al- Baqarah (2): 256

32

Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh , Juz VIII, Cet. IV (t.tp: tp, 1418
H/1997 M), h. 5853
33

Hadis tentang peperangan tanpa didahului dengan dakwah:



.

126

sebelum penyerbuan bisa diselesaikan dengan metode nasikh wa mansukh dan


kompromi (al-jamu wa al-taufq ). Hadis yang mewajibkan dakwah terlebih
dahulu dihapuskan hukumnya (di nasakh) oleh hadis yang tidak mengharuskan
dakwah. Adapun metode kompromi yakni, hadis yang mewajibkan dakwah itu
hanya berlaku pada zaman Rasulullah saw saja sebab pihak musuh sebenarnya
sudah mengetahui dan memperoleh informasi (dakwah) tentang Islam sejak
lama, sehingga penyampaian dakwah tidak diperlukan lagi untuk kedua
kalinya.34 Jika dikontektualisasikan, maka term dakwah tidak hanya dipahami
secara tekstual dalam menyebarluaskan Islam atau amar makruf nahi mungkar,
tetapi dapat dipahami secara makro yakni Islam merekomendasikan untuk
mentaati prosedur peperangan yang humanis misalnya perjanjian kesepakatan
dengan musuh.
Kedua, larangan berbantah-bantahan berlandaskan pada Q.S. al-Anfl
(8):46 dan hadis Nabi saw. 35 Larangan tersebut dapat dimaklumi karena jika
terjadi pertentangan di kalangan umat Islam yang terlibat dalam peperangan
dapat mengganggu keutuhan dan kekuatan pasukan perang. Ketiga, dilarang
mengarahkan sasaran senjata ke sesama Muslim, dan dilarang memiliki
antusiasme untuk bertemu musuh. 36 Larangan ini mencakup kehati-hatian untuk
tidak membabi buta dalam menyerang musuh apalagi terhadap kependudukan
Muslim. Selain itu, pasukan Islam tidak dibenarkan berambisi mencari-cari
musuh apalagi disertai emosi yang tidak terkendali karena hal tersebut memberi
34

Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh , Juz VIII, Cet. IV (t.tp: tp, 1418
H/1997 M), h. 5854-5855
Hadis tentang larangan berbantah-bantahan diriwayatkan oleh al-Bukhr :

35


.
Lihat: Ab Abdillh al-Bukhr, Sahh al-Bukhr, Kitb al-Jihd wa al-Siyar, Bb Qauluh
Taala: wa l Tanza Fatafsyal wa Tazhaba Rhhukum, Juz II (T.tp.: Dr Ihya al- Kutub alArabiyah, t.th.), h. 175
36

Hadis tentang larangan antusiasme berhadapan musuh:


. :

Lihat: Ab Abdillh al-Bukhr, Sahh al-Bukhr, Kitb al-Jihd wa al-Siyar, Bb L
Tamannaw Liq al-Adwwi, Juz II (T.tp.: Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 174

127

peluang bagi mereka untuk berbuat tidak adil termasuk membunuh musuh
secara sadis. Keempat, dilarang membunuh wanita, anak-anak,37 orang lanjut
usia dan pendeta.38 Pembunuhan keempat kelompok tersebut dibolehkan kalau
anak-anak itu dijadikan umpan, sedangkan wanita, orang lanjut usia dan pendeta
menfasilitasi, berpartisipasi dan menjadi supporter dalam peperangan, menjadi
bahagian dari keluarga musuh dan berada di medan pertempuran. Kelima,
larangan lainnya yang perlu dihindari adalah membunuh delegasi musuh, dan
memotong-motong tubuh musuh (mutilasi), membakar dan menyerang wajah
musuh, mencari harta rampasan, menyalahi perjanjian dan merusak lingkungan
hidup.39 Penerapan kode etik jihad tersebut, menunjukkan bahwa Islam bersifat
hati-hati tentang kebolehan peperangan secara fisik dan ini menunjukkan bahwa
Islam sebenarnya adalah agama yang humanis dan ekologis.
Selain kode etik yang diperlakukan terhadap lawan, terdapat juga
beberapa persyaratan bagi mujahid (pejuang) dalam berjihad terutama sebelum
terjun di medan pertempuran. Mujahid hendaknya memiliki kredibilitas seperti
beriman, dewasa, niat yang baik (karena Allah semata), berakal sehat, dan bukan
seorang pesimis dan mundur ketika berhadapan dengan musuh. Persyaratan
lainnya ialah mujahid harus memiliki kemapanan ekonomi untuk menunjang
kesejahteraan keluarga yang ditinggalkannya dan juga untuk keperluan dirinya
sendiri selama dalam peperangan. Pejuang juga disyaratkan memperoleh izin
dari orang tua terkecuali dalam serangan mendadak, dan memiliki loyal yang

37

Hadis tentang larangan membunuh wanita dan anak-anak:


:
.
Lihat: Ab Abdillh al-Bukhr, Sahh al-Bukhr, Kitb al-Jihd wa al-Siyar, Bb Qatl alNis f al-Harb, Juz II (T.tp.: Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 172; Ab Isa Muhammad
ibn Isa ibn Saorah, Sunan al-Tirmudz, Kitb al-Siyar, Bb M Ja f al-Nahy an Qatl al-Nis
wa al-Sibyn, Juz III (Beirut: Dr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 207
38

Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh , Juz VIII, Cet. IV (T.tp: tp, 1418
H/1997 M), h. 5855
39

Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom (Jakarta: Penerbit Republika, 2007), h. 184-200

128

tinggi terhadap pemimpinnya.40 Loyalitas terhadap komando ini berdasarkan


Q.S. al-Anfl (8): 46. Selanjutnya pejuang juga disyaratkan laki-laki. Menurut
petunjuk Alquran bahwa ajakan berjihad itu hanya diperuntukkan kepada lakilaki karena Alquran menggunakan term muzakkar (laki-laki) sehingga yang
diwajibkan berjihad hanyalah kaum pria.41 Alasan ini kurang tepat karena
perintah, larangan ataupun anjuran yang menggunakan redaksi muzakkar tidak
berarti hanya diperuntukkan bagi laki-laki, akan tetapi juga termasuk
perempuan. Misalnya, perintah makan dan minum ( ) menggunakan
lafal muzakkar namun bukan berarti perempuan tidak termasuk didalamnya.
Memang terkadang didapati lafal muannats disebutkan dalam Alquran tetapi
itu hanyalah untuk memberi tekanan atau takid (stressing point) pada kalimat
tersebut.
Para ulama membolehkan perempuan dan mengakui keterlibatan mereka
di medan perang dalam kapasitas sebagai juru rawat (palang merah) yang
bertugas merawat dan menjaga pejuang yang luka atau sakit.42 Persyaratan
terakhir ini berbias jender dan menafikan partisipasi perempuan dalam
peperangan sepanjang sejarah Islam, seperti penaklukan Irak dan Syiria.43
Keterlibatan perempuan dalam peperangan seharusnya diakui tanpa adanya
pengotakan fungsi antara laki-laki dan perempuan, karena peranan dan fungsi
mereka sangat signifikan. Pada dasarnya semenjak pengangkatan Muhammad
sebagai Nabi, perempuan telah berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan
dan politik. Aisyah ra misalnya, banyak memberikan andil dalam periwayatan
40

Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (New Jersey: The Lawbook
Exchange, LTD, 2006), h. 84-86. Ibn Quddmah mensyaratkan tujuh hal yang harus dipenuhi
bagi seorang mujahid untuk dapat terjun ke medan pertempuran yaitu: Islam, balik (dewasa),
berakal sehat, merdeka, laki-laki, sehat jasmani, dan kemampuan ekonomi. Lihat: Ab
Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Quddmah al-Maqdis, al-Mughn al
Mukhtasar al-Kharq , Juz VIII, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H/1994 M), h.
240-241
41

Lihat misalnya Q.S. al-Baqarah (2): 190, 193; Ali Imran (3): 167; dan al-Hajj (22): 78

42

Ab Abdillh Muhammad ibn Idris al-Syfii, al-Umm, Juz IV, Cet. II (Beirut: Dr alFikr, 1403 H/1983 M), h. 170-171
43
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (New Jersey: The Lawbook
Exchange, LTD, 2006), h. 85-86

129

hadis-hadis Nabi khususnya yang berkaitan dengan kehidupan pribadi Rasul.


Demikian halnya Khadijah (isteri pertama Nabi) memberikan bantuan yang
signifikan bagi Nabi dalam menyukseskan pengembangan syiar Islam kepada
penduduk jazirah Arabia. Jadi, keterlibatan laki-laki dan perempuan di medan
pertempuran memiliki kontribusi yang sama dalam rangka menegakkan kalimat
Allah.
Uraian di atas secara eksplisit menegaskan bahwa Islam telah
menggariskan prinsip-prinsip atau kode etik sebagai petunjuk bagi pejuang
Muslim kalau berperang di medan pertempuran sebagai suatu solusi yang harus
ditempuh. Pemberitahuan atau maklumat perang terutama terhadap musuh yang
telah menerima dakwah Islam perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum
peperangan, hindari pengrusakan lingkungan, tidak membunuh binatang
peliharaan, tidak merusak rumah dan fasilitas umum warga sipil dan
menghindari jatuhnya korban warga sipil termasuk anak-anak, perempuan,
orang tua, pemuka agama. Pemahaman terhadap definisi dan etika jihad dalam
Islam tersebut akan membantu dalam kajian selanjutnya yang berkaitan dengan
elaborasi pemaknaan jihad pada awal perkembangan Islam di era Rasulullah saw
sehingga pemahaman tentang jihad dalam Islam tidak selalu tertuju pada
pamahaman secara sempit yakni terbatas pada jihad di medan pertempuran.

B. Menelusuri Makna Jihad dalam Sejarah


Pembahasan ini diawali dengan pandangan progressif dari pemikir
Muslim Mesir, Muhammad Said al-Asymawi, yang dikutip dari Moh. Guntur
Romli dan A. Fawaid Sjadzili tentang evolusi pemaknaan jihad dalam Islam dan
diklasifikasikan dalam enam makna. Pertama, ketika fase Mekkah (610-622 M.)
jihad berarti perjuangan individual, atau perjuangan menghadapi kondisi umat
Islam yang sulit disebabkan perbuatan musuh-musuh Islam. Pada masa ini umat
Islam diperintah untuk bersabar menghadapi siksaan orang kafir Quraisy (Q.S.
al-Marij (70): 5.44 Kedua, makna jihad berkembang menjadi perjuangan
44

Allah menyuruh Nabi dan umat Islam untuk bersabar menghadapi cacian dan
intimidasi kafir Quraisy: ( bersabarlah kamu dengan sabar yang yang baik.

130

individual (fardu ain) dan komunal (fardu kifayah) terhadap kaum musyrik
Mekkah. Perjuangan ini mulai diperluas dalam bentuk pengorbanan harta benda
(Q.S. al-Taubah (9): 41, 45 psikis dan spiritual. Pengorbanan ini merupakan
konsekuensi logis dari perintah berhijrah. Ketiga, setelah itu jihad berkembang
menjadi makna berperang (al-harb) terhadap kaum musyrikin yang ingin
menyerang eksistensi umat Islam Madinah. Keempat, pada masa penaklukan
kota Mekkah (Fath Makkah) dan sesudahnya, jihad dalam makna perang
terhadap kaum musyrikin Mekkah sehingga mereka beriman dan mengakui
eksistensi Rasulullah saw. Kelima, makna jihad dalam bentuk peperangan
terhadap orang-orang yang mengingkari ajaran agamanya dari kalangan Ahlu
Kitab dan terhadap mereka yang berkhianat dan melanggar perjanjian piagam
Madinah.46 Hal tersebut disebabkan kelompok Yahudi tidak konsisten terhadap
perjanjian yang disepakati dengan Nabi dan umat Islam sebelum penaklukan
Mekkah. Peperangan ini dilaksanakan sampai mereka bersedia membayar upeti
(jizyah) sebagai bentuk jaminan keamanan dan kelompok ini dinamai dengan
ahl dzimmah. Keenam, selanjutnya makna jihad mengalami perubahan makna
lagi sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu yakni perjuangan spiritual dan
moral dalam menghadapi problema dan permasalahan hidup. Perang atau
pengorbanan harta hanya ditujukan dalam rangka merealisasikan perjuangan
spiritual dan moral karena pengorbanan harta dan jiwa merupakan bukti autentik
dari proses perjuangan tersebut.47 Pandangan ini merupakan acuan dalam
menguraikan perkembangan arti jihad dalam Islam.

45

Perintah jihad dengan harta dan jiwa: ... ... (dan


berjihatlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah).
46

Isi Piagam Madinah antara lain: barang siapa dari golongan Quraisy menyeberang
kepada Muhammad tanpa seizin walinya, maka harus dikembalikan kepada mereka, sementara
jika pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy tidak dikembalikan; anggota
masyarakat boleh mengadakan kerja sama dengan Muhammad, demikian halnya dengan
Quraisy; Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak boleh berhaji tahun ini dan bisa
melakukannya pada tahun berikutnya. Lihat: Muhammad Husain Haekal, Hayt Muhammad
diterjemahkan Ali Audah dengan judul: Sejarah hidup Muhammad , Cet. XXXIV (Jakarta: PT.
Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 410-411
47
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I
(JakartaL LSIP, 2004), h. 14-15; Bandingkan dengan: Reuven Firestone, Jihad: The Origin of
Holy War in Islam, (New York: Oxford University Press, 1999), h. 106-114

131

Makna jihad mengalami evolusi yakni terjadi perbedaan konsepsi antara


pemaknaan jihad pada periode Mekkah dan Madinah. Pada periode Mekkah,
makna jihad yang dipresentasikan dalam Alquran belum menunjukkan pada
makna perang karena konsentrasi nas-nas masih pada pembinaan mental
spiritual masyarakat Muslim dalam berbagai dimensi. Diantaranya adalah
pembinaan persuasif dan semata-mata memberikan dukungan moral dan
spiritual kepada kaum Muslimin untuk konsisten mendakwakan dan
mensosialisasikan Islam kepada masyarakat Mekkah yang pada saat itu masih
mayoritas kafir dan musyrik,48 mengajarkan mereka untuk setia dalam suatu
perjanjian,49 menyingkap kesabaran dan ketabahan masyarakat Muslim Mekkah
dalam menghadapi ancaman dan siksaan dari kafir Quraisy,50 menyinggung
sikap pemaksaan orang tua terhadap anaknya untuk kafir,51 serta perintah
berjuang dengan penuh daya dan tenaga.52 Berdasarkan bukti-bukti autentik
tersebut menunjukkan bahwa ayat-ayat yang mewajibkan dan memaknai jihad
dalam bentuk perang fisik di medan pertempuan belum ada pada periodesasi
Mekkah.
Kenyataan ini memang logis karena kondisi komunitas Muslim saat itu
masih pada tataran pemantapan iman dan akidah karena mereka baru masuk
Islam. Pada sisi lain, mereka menghadapi berbagai cemohan, ancaman
masyarakat kafir di sekitarnya sebagai konsekuensi munculnya Islam yang
diakui sebagai agama baru dalam masyarakat Mekkah. Islam dianggap sebagai
ancaman akan eksistensi agama nenek moyang bangsa Arab yang sudah berakar
di masyarakat tersebut. Jadi, sangat manusiawi kalau nas-nas Alquran yang
turun pada periode ini masih merupakan dukungan moral dan apresiasi terhadap
upaya kaum Muslimin menyiarkan Islam.
48

Q.S. al-Furqan (25): 52:

49

Q.S. al-Fatir (35): 42:

50

Q.S. al-Nahl (16): 110: ...

51

Q.S. Luqman (31): 15: ...

52

Q.S. al-Ankabut (29): 6: ... dan 69: ...

132

Namun pada periode Madinah nas-nas Alquran tentang jihad mulai


mengarah kepada pemaknaan yang berorientasi pada peperangan fisik di medan
pertempuran dan dimulai dengan pemaknaan pada peperangan yang bersifat
defensif (al-harb al-hujm) dan diikuti dengan peperangan yang bersifat ofensif
atau ekspansif (al-harb al-tawassuiyah).53 Pergeseran pemaknaan jihad ini
dikarenakan kondisi kesadaran religi umat Islam sudah kokoh dan mereka telah
memiliki kemampuan dalam peperangan. Beberapa bukti tentang pernyataan
Alquran yang mulai memperkenalkan sekaligus mensyariatkan peperangan fisik
ini misalnya ayat yang berkaitan dengan peperangan Uhud,54 apresiasi terhadap
mereka yang berjihad di medan pertempuran,55 perintah memerangi orang-orang
kafir dan munafik,56 dan larangan berkolaborasi dengan musuh ketika berjihad
dalam peperangan.57 Hal tersebut menunjukkan bahwa makna jihad dengan
perang diintrodusir oleh Alquran di saat kondisi umat Islam sudah mapan yakni
ketika periode Madinah.
Pada perkembangan selanjutnya terutama setelah periode Nabi saw
terjadi pendominasian makna jihad dengan peperangan fisik atau dalam konteks
al-qital atau al-harb, dan ini berimplikasi pada distorsi pemaknaan jihad dalam
nas-nas yang tidak semata-mata menunjukkan makna perang. Distorsi makna
jihad tampaknya bukan suatu kesengajaan dari kalangan ulama fiqh klasik
seperti Imm Ab Hanfah (w. 148 H.), Imm Mlik (w. 155 H.), Imm Syfi
(w. 204 H.) dan Imm Ahmad bin Hambal (w. 234 H.) dengan mengemukakan
53

Ulama berbeda pendapat dalam menentukan perang Nabi apakah bersifat defensif
atau ofensif. Ulama klasik seperti Ibn Taimiyah dan ulama kontemporer, Wahbah al-Zuhaeli
berpendapat defensif (al-harb al-hujm), sementara ulama lainnya mensifati peperangan
Rasulullah sebagai ofensif atau ekspansif (al-harb al-tawassuiyah ). Lihat: Muhammad Khair
Haekal, Al-Jihd wa al-Qitl f al-Siysah al-Syariyah diterjemahkan A. Fakhri dengan judul:
Jihad dan Perang Menurut Syariat Islam , Cet. I (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), h. 165173; Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I (Jakarta:
LSIP, 2004), h. 79; Louay Fatoohi, Jihad in the Quran: The Truth from the Source (Kuala
Lumpur: As. Noordeen, 2002), h. 104-105
54

Q.S. li Imrn (3): 142: .

55

Q.S. al-Nisa (4): 95: ... ...

56

Q.S. al-Tahrm (66): 9: ...

57

Q.S. al-Mumtahanah (60): 1: ...

133

pendapat mereka ketika mendiskusikan tentang jihad senantiasa berkonotasi


pada peperangan fisik,58 melainkan sebagai akibat yang dipengaruhi oleh
kondisi sosio politik masyarakat saat itu yang diwarnai dengan perdebatan dan
pertentangan antara satu kelompok Muslim terhadap kelompok Muslim lainnya,
sehingga bermuncullah fanatisme kelompok atau aliran-aliran tertentu
(asabiyyah).
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili dalam buku Dari Jihad
Menuju Ijtihad menyatakan bahwa dilemma fiqh klasik yang paling serius
adalah pembahasan doktrin jihad dalam perspektif fiqh selalu mengarah kepada
doktrin peperangan sehingga buku-buku atau argumentasi ulama fiqh klasik
dijadikan referensi yang signifikan oleh penganut Islam fundamental.
Menurutnya, kitab-kitab klasik tidak pernah serius dalam memberikan gagasan
tentang fiqh jihad tetapi justru memproduksikan fiqh perang dengan
menggunakan metodologi ibadah ritual yang rigit, mutlak dan tidak ada ruang
untuk berijtihad dan menganalisa dalam persepktif yang berbeda. Penjelasan
tentang perang juga di modifikasi dengan pendekatan keagamaan dan
ketuhanan.59
Pemaknaan jihad yang sempit tersebut sebenarnya erat kaitannya dengan
kondisi politik umat Islam baik pada awal perkembangan politik Islam maupun
sampai era kontemporer yang mempersoalkan perluasan wilayah atau kekuasaan
Islam (daulah Islmiyah). Pada masa khulafa al-Rasyidin, jihad yang
dilancarkan politikus Islam saat itu, misalnya kelompok Khawarij, bisa dilihat
dalam dua hal yaitu jihad dalam mengadakan ekspansi ke berbagai wilayah dan
jihad secara internal umat Islam sendiri. Secara eksternal, munculnya Islam
ekstrimis atau Islam radikal yang berobsesi mengembangkan wilayah kedaulatan
ke berbagai negara non Muslim, sedangkan secara internal mereka melakukan
puritanisme ajaran Islam, dengan upaya mengoreksi kesalahan pemimpin
58

Abd Rahmn al-Jazir, Ktb al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah , Juz V (Beirut:


Dr al- Kutub al- Ilmiyah, 1999), h. 205; Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah , Juz III, Cet. I (Kairo:
Dr al-Fath, 1998), h. 402-403; Wahbah Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz VIII,
Cet. IV (Beirut: Dr al-Fikr al-Muasir, 1997), h. 5848
59

Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I
(Jakarta: LSIP, 2004), h. 42-43

134

yang menurut mereka telah melakukan pelanggaran, tetapi pada masa


selanjutnya mereka bahkan berani membunuh lawan-lawan politik yang
berseberangan dengan mereka.60 Reaksi atau perlawanan fisik kaum Khawarij
dengan membunuh dan mengisolasi umat Islam yang bertentangan dengan
ideologi mereka sebagai salah satu indikator pemahaman jihad (perjuangan)
yang sudah terinternalisasi dalam ideologi mereka. Perkembangan pemaknaan
jihad dalam arti peperangan seperti yang disebutkan di atas terus terinternalisasi
pada beberapa kelompok fundamentalis Muslim sesudah era khalifah Rasyidin
bahkan termasuk pada era kontemporer, seperti lahirnya kelompok alMuhakkimah (khawarij), kelompok radikal Wahabiyah, sempalan Ikhwanul
Muslimin, Al-Qaeda dan Front Pembela Islam (FPI).61
Dari berbagai bukti sejarah di atas mengindikasikan bahwa terjadi
evolusi pemaknaan jihad dari makna yang makro (bukan peperangan) terutama
pada periode Mekkah, kemudian di perkenalkan pada pemahaman dalam makna
mikro (perang) pada periode Madinah ditandai dengan turunnya ayat-ayat
tentang perang (qitl). Sayangnya, pemahaman mikro tersebut menjadi titik
sentral pada awal-awal perkembangan dan perluasan wilayah Islam bahkan
sampai sekarang terutama dimotori fundamentalis Islam. Sejak munculnya
klaim bahwa Islam identik dengan teroris yang disebabkan oleh ajaran jihad,
maka diperlukan kajian tentang alasan disyariatkannya jihad sehingga tidak
mencampuradukan antara jihad dan terorisme.

C. Alasan Disyariatkannya Jihad


Islam memang memberikan izin untuk melaksanakan jihad dalam arti
berperang tetapi Islam menekankan pula prinsip-prinsip yang perlu dijadikan
acuan dalam melakukan perang tersebut seperti yang dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya sehingga perang tidak dilakukan dengan melampaui

60

A. Maftuh Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Doktrinal


Fundamentalisme Islam di Era Khalifah, dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro
Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 237
61

Lihat Pembahasan pada sub bab selanjutnya.

135

batas. Teks Alquran (Q.S. al-Hajj (22): 39)62 merupakan ayat yang pertama yang
memberikan izin tentang disyariatkannya jihad dalam makna peperangan.
Kemudian diikuti oleh ayat-ayat lain diantaranya (Q.S. al-Baqarah (2): 190;63 alTaubah (9): 111). 64 Berdasarkan argumentasi naqli tersebut, secara garis besar
alasan disyariatkan jihad itu adalah untuk mempertahankan agama dan
kedaulatan umat atau negara Islam.

1. Mempertahankan Agama (ideologi)


Salah satu alasan dilegalkan jihad dalam makna perang adalah untuk
mempertahankan agama (ideologi). Beberapa pendapat yang berkaitan dengan
ketegorisasi dalam mempertahankan agama. Muhammad Khair Haikal, misalnya
mengatakan bahwa mempertahankan agama termasuk kegiatan penyebarluasan
dakwah Islam kepada wilayah-wilayah lain atau mempertahankan eksistensi
agama dari gangguan musuh.65 Pendapat lainnya dikemukakan oleh Abdul Bq
Ramdn, menjelaskan bahwa mempertahankan agama adalah membersihkan
dan memperbaiki akidah manusia dari segala bentuk kemusyrikan, kepatuhan
dan ketaatan kepada manusia terutama terhadap mereka yang berusaha
mendominasi dan mengontrol manusia lainnya, serta melawan kelaliman dan
kesewenang-wenangan.66 Dari berbagai argumentasi tersebut menunjukkan
bahwa jihad dibenarkan untuk mempertahankan agama dan ini bisa dijabarkan
dalam hal-hal yang berkaitan dengan mengembalikan umat Islam kepada akidah
62

Ayat yang membolehan mengangkat senjata untuk pertama kali bagi kaum Muslimin:
: .

63

Kebolehan melawan agresor:


: .

64

Penghargaan Allah terhadap para syuhada yang gugur dalam pertempuran:


: ...
65
Muhammad Khair Haikal, Al-Jihd wa al-Qitl f al-Siysat al-Syariyah
diterjemahkan oleh A. Fakhri dengan judul: Jihad dan Perang Menurut Syariat Islam , Cet. I
(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), h. 222
66
Abdul Bq Ramdn Al-Jihdu Sablun, diterjemahkan oleh Darsim Ermaya dan
Imam Fajaruddin dengan judul: Jihad Jalan Kami, Cet. I (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 129131

136

Islam, mensosialisasikan ajaran Islam serta mempertahankan eksistensi agama


dari berbagai bentuk gangguan dan intervensi yang bisa menodai Islam.
Dalam kaitan dengan alasan kebolehan jihad tersebut, maka sebagian
umat Islam termasuk Imam Samudra dan kawannya melakukan jihad karena
umat Islam mengalami krisis akidah dan moral. Salah satu indikasi krisis
tersebut adalah mewabahnya tahayul, bidah, khurafat, dan syirik, lunturnya
keyakinan dan komitmen terhadap ajaran Islam dan kebenaran Alquran dan
hadis, serta banyaknya orang yang tidak memegang amanah baik sebagai
pemegang tampuk pemerintahan, tokoh masyarakat dan orang tua. Selain itu,
sebahagian umat Islam telah dipengaruhi oleh ajaran sekularisasi dan pluralisme
keberagamaan sehingga keyakinan akan kebenaran Alquran luntur serta
mengakui bahwa semua agama itu sama saja.
Selain kerusakan aqidah, umat Islam, menurut Imam Samudra dan
kawan-kawannya, telah mengalami krisis moral dan etika dan tidak lagi
berorientasi pada akhlak Islam tetapi berdasar pada etika Barat. Implikasinya
adalah terjadinya kebiasaan mengkonsumsi minuman keras, pergaulan bebas
dan merajalelanya pelacuran yang berakibat mewabahnya penyakit kelamin
seperti AIDS. Jadi, pengeboman di Bali dan beberapa tempat di Indonesia
diantaranya termotivasi oleh kerusakan akidah dan moral umat Islam Indonesia,
dan pengeboman ini bertujuan untuk memberikan peringatan kepada umat Islam
termasuk pemerintah agar menjadikan Islam sebagai landasan akidah dan moral.
Menurut Imam Samudra dan para eksekutor bom Bali, pengeboman tersebut
dianggap sebagai bentuk jihad mereka karena dalam rangka meninggikan
kalimat Allah (agama Allah) dan dikategorikan sebagai perjuangan fi
sabilillah.67 Asumsi dan motivasi jihad mereka dibenarkan, namun aksi
melakukan jihad dalam bentuk teror itu yang tidak dapat ditolerir.
Tujuan akhir jihad adalah untuk memperoleh keridaan, kemuliaan dan
pahala dari Allah swt. Abd al-Bq Ramdn mengomentari mengenai tujuan
jihd f sablillh dalam Islam, menurutnya jihad di jalan Allah bukanlah tujuan
67
Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom , Cet. I (Jakarta: Republika, 2007), h. 41-71;
Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 62-63

137

akan tetapi hanyalah sarana yang disyariatkan Allah guna mewujudkan berbagai
tujuan lain. Di antara tujuan jihad di jalan Allah adalah untuk memperoleh
keridaan Allah swt. Pada umumnya umat Islam meyakini bahwa berjihad di
jalan Allah merupakan tugas suci bagi mukallaf yang memiliki kemampuan fisik
dan mental. Orang yang berjuang di jalan Allah akan memperoleh ganjaran
pahala yang besar dan kemuliaan di sisi Allah.68 Seorang mujahid yang gugur
dalam pertempuran mendapat gelar kehormatan sebagai syahid (tunggal) atau
syuhada69 (plural). Allah menyediakan kemuliaan, keutamaan dan derajat yang
tinggi bagi para mujahidin dan syuhada di jalan-Nya yang tidak dapat diraih
dengan ibadah lain, bahkan ibadah salat, zakat, puasa, dan haji sekalipun tidak
bisa menandingi keutamaan dan kemuliaan jihad di jalan Allah. Di antara
kemuliaan dan keutamaan tersebut antara lain: mereka memperoleh pahala
besar,70 kebaikan mereka tetap eksis sekalipun sudah meninggal dan berjihad
merupakan amalan yang terbaik, mereka tetap hidup sekalipun jasad mereka
mati,71 syuhada selamat dari siksaan api neraka, amalan mereka dilipatgandakan
beribu kali, mereka adalah tamu Allah dan dimuliakan, Malaikat memberi
naungan dan menancapkan mahkota kepada syuhada, mereka akan disuguhkan
bidadari di syurga.72 Jadi, jihad dalam rangka mempertahankan agama

68

Q.S. al- Nisa (4): 74

69
Berdasarkan beberapa hadis sahih, term syuhada tidak hanya dimaknai dengan
orang yang gugur di medan pertempuran, melainkan juga orang yang meninggal di jalan Allah,
meninggal karena tenggelam, perempuan yang meninggal karena melahirkan. Dalam sebuah
hadis Nabi bersabda:

()
(Barangsiapa yang terbunuh karena melindungi harta, diri, agama, dan keluarganya maka ia
mati syahid)
70

Rasulullah bersabda:
( )
(Berperang sesaat di jalan Allah lebih baik dari pada beribadah pada malam lailatul
qadar dekat hajar aswad)
71

Q.S. Ali Imran (3): 169:


(Janganlah kamu mengira orang yang gugur di jalan Allah itu mati, melainkan mereka itu hidup
disisi Tuhannya dengan mendapat rezki).
72

Pembahasan tentang beberapa kemuliaan dan kelebihan yang bakal diperoleh syuhada
diuraian secara detail disertai kutipan hadis-hadis yang mendukung argumentasinya. Lihat:

138

merupakan bahagian terpenting dalam jihd f sablillh tetapi pelaksanaannya


disesuaikan dengan petunjuk syariat Islam. Alasan lain diperbolehkannya jihad
atau berperang dalam Islam adalah demi mempertahankan kedaulatan negara.

2. Mempertahankan Kedaulatan Negara


Islam

memberikan

izin

berjihad

(berperang)

dalam

rangka

mempertahankan kedaulatan negara. Mempertahankan kedaulatan negara


kadangkala dalam bentuk mempertahankan kedaulatan dari intervensi asing
(penjajah) atau dalam bentuk memperluas dakwah dan wilayah kekuasaan Islam.
Hal ini termasuk juga dari serangan umat Islam yang merongrong keutuhan
negara. Kewajiban jihad dalam pandangan jumhur ulama merupakan fardu
kifayah (kewajiban kolektif) bagi seluruh masyarakat Islam selain perempuan
dan anak-anak. Akan tetapi jika masyarakat Islam diserang musuh maka seluruh
anggota masyarakat termasuk perempuan dan anak-anak berkewajiban
mempertahankan kedaulatan negara.73
Kebolehan berjihad dengan alasan mempertahankan negara dari
intervensi asing terutama jika umat Islam tertindas atau diserang. Diskursus ini
menginspirasi sebagian umat Islam untuk berjihad, seperti adanya invasi
Amerika (sebagai representasi Kristen) dan antek-anteknya di negara atau
komunitas Muslim. Salah satu contoh adalah Usamah bin Ladin yang
mengeluarkan fatwa tentang wajibnya jihad melawan orang kafir yang telah
berbuat semena-mena terhadap umat Islam dengan mengintervensi wilayah
kekuasaan Islam, memecah belah persatuan umat Islam, membunuh umat Islam
dan merampas harta kekayaan mereka seperti yang dilakukan Amerika Serikat
terhadap wilayah Saudi Arabia, Palestina, Afghanistan, dan Irak. Kewajiban
jihad tersebut berdasarkan perintah yang terkandung dalam teks-teks Alquran

Abdul Bq Ramdn Al-Jihdu Sablun, diterjemahkan oleh Darsim Ermaya dan Imam
Fajaruddin dengan judul, Jihad Jalan Kami, Cet. I (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 266-293
73

Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Virginia,USA: The William
Byrd Press, 1955), h. 59-62

139

(Q.S. Al-Baqarah (2): 193; Ali Imran (3): 139; Al-Nisa (4): 75; Al-Anfal (8): 24;
Al-Taubah (9): 5, 36, 38-39). 74
Dalam pandangan Usamah bin Ladin, membunuh orang-orang Amerika
dan sekutunya baik sipil maupun militer adalah wajib individual (fardu ain)
bagi umat Islam yang mampu melaksanakan kewajiban tersebut dimanapun
tanpa dibatasi oleh teritorial dan geografis tertentu. Kewajiban jihad tersebut
tetap eksis sampai Amerika dan kaum kafir lainnya meninggalkan dan tidak
mengintervensi di Mesjid Al-Aqsa dan Mesjidil Haram dan tidak lagi
memecahbelah negara dan komunitas Muslim seperti Saudi Arabia, Irak, Mesir
dan Sudan. Selain seruan kewajiban pembunuhan, Usamah bin Ladin juga
menyerukan umat Islam yang beriman dan mengharapkan pahala dari Allah
untuk merampas harta benda dan melancarkan serangan terhadap Amerika dan
sekutunya kapan dan dimana saja.75 Agresi dan kebiadaban Amerika dan aliansi
74

Ayat-ayat yang dijadikan dasar kewajiban jihad oleh Usamah bin Ladin:
( : ) ...
(Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah).
( : )
(Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu kamu orang-orang yang beriman).
( : ) ...
(Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik
laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak).
( : ) ...
(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya ).
( : ) ...
(Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana
saja kamu jumpai mereka).
( : ) ... ...
(Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya ).
( : ) ...
(Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: Berangkatlah
untuk berperang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu).
( : ) ...
(Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang
pedih).
75
Tim Penerbit Ababil Press, Dekalarasi Perang Karya Asli, Fatwa dan Wawancara
Usamah bin Ladin (Jakarta: Ababil Press, 2001), h. 60-64

140

pasukan Salib-Zionis terhadap negara dan komunitas Muslim menjadikan


Usamah bin Ladin mengeluarkan fatwa tentang kewajiban jihad bagi setiap
individu umat Islam dengan mengutip berbagai nas-nas di atas.
Dalam kaitan dengan hal di atas, jihad yang dilakukan sebagai bentuk
perwujudan dari solidaritas sosial mujahid atas penderitaan dan pembunuhan
yang ditujukan kepada umat Islam di negara konflik seperti Afghanistan,
Bosnia, serta persoalan sosial di masyarakat lokal menjadi motivasi para
mujahidin. Inilah yang dikategorisasikan dengan solidaritas sosial yang bersifat
global dan lokal.
Sebagai bentuk solidaritas yang bersifat global, aksi jihad yang terjadi
di beberapa negara seperti pembajakan pesawat komersial Amerika (1990),
pengeboman lantai dasar WTC (1993), serangan USS Cole di Port Aden Yaman
(2000), pengeboman di Bali (2002), pengeboman sejumlah kereta api di Madrid,
Spanyol (12 Maret 2004), pengeboman Sharm El-Syekh Mesir (2005),
pengeboman di Stasiun Kereta London (2005) sebagai aksi solidaritas sosial
sebahagian umat Islam untuk membalas serangan Zionis Israel, Amerika Serikat
dan sekutunya terhadap umat Islam antara lain di Afghanistan, Palestina dan
Irak. Amerika dan antek-anteknya bukan saja menginvasi ke negara Islam
tersebut, tetapi mereka juga telah menyebarluaskan sekularisme, materialisme
dan hedonisme.76 Penderitaan dan pembunuhan yang terjadi di wailayh konflik
tersebut memberikan stimulasi bagi sebahagian umat Islam untuk mengatakan
perang terhadap Amerika dan sekutunya dimana saja. Persoalan sosial lainnya
yang menyebabkan timbulnya gerakan jihad adalah kondisi kemiskinan global
yang dialami negara-negara selatan sebagai mayoritas umat Islam,77 tampaknya
diasumsikan sebagai efek dari globalisasi ekonomi dan ketidakadilan
pendistribusian ekonomi dan menafikan kesejahteraan masyarakat oleh

76

Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 62-63;
Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom , Cet. I (Jakarta: Republika, 2007), h. 41-42; Adjie Suradji,
Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 283
77
Center for Islam, Indonesia and Political Studies, Demokrasi dan Kaitannya dengan
Terorisme di Indonesia, http://cispos.blogspot.com/2008/05/demokrasi-dan -kaitannyadengan.html, diakses tanggal 13 Agustus 2008

141

pemerintah. Selain faktor global tersebut, para jihadis menggandengkan faktor


global dengan lokal dalam melakukan aksi jihad mereka.
Motivasi solidaritas sosial yang bersifat lokal sebagai pemicu jihad
bervariasi di berbagai negara. Jihad sebagai respon terhadap kondisi sosial yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam seperti jihad yang dilakukan gerakan
radikal Tanzm al-Jihd (Jamaah Tanzm al-Jihd atau Jihd Islm) salah satu
sempalan dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mereka membunuh kurang
lebih 68 orang turis asing dan melukai sekitar 24 orang lainnya berlokasi di delta
Sungai Nil dekat Piramid Ratu Hatshepsut, tanggal 17 November 1997. Bagi
mereka, para turis asing tersebut merupakan sumber kemerosotan moral
terutama pada generasi muda Mesir seperti praktek free sex (kebebasan seksual),
minuman beralkohol, dan kehidupan malam di night club. Gaya hidup seperti ini
dapat berdampak pada menularnya penyakit AIDS di kalangan masyarakat.78
Di Asia Tenggara juga terjadi jihad sebagai respon sosial. Kelompok
Islam di Mindanao (Philipina) melalui Moro Islamic Liberation Front (MILF)
dan Muslim di Rohingya Myanmar melakukan berbagai aksi terutama ditujukan
kepada pemerintah karena intimidasi dan diskriminasi terhadap Muslim
minoritas, kristenisasi dan mewabahnya korupsi. Kelompok Muslim minoritas di
negara tersebut didiskriminasi dan cenderung dijadikan sebagai second class
citizens.79 Di Indonesia, aksi jihad di beberapa tempat (Bali, kedutaan Besar
Australia dan Philipina) sebagai eskalasi kondisi sosial dan kerusakan akhlak di
Indonesia diantaranya tidak melaksanakan amanat dengan sebaik-baiknya,
mengadopsi budaya non Islam, pergaulan bebas, pelacuran, perzinaan, minuman
dan makanan haram, pembunuhan dan penganiayaan, pemerkosaan, perampokan
dan penipuan, premanisme, perjudian, hiburan dan musik serta pakaian yang

78

Sebuah Wajah Teduh, http://elqudsy.blogspot.com/2006/02/sebuah-wajah-teduh.html


diakses tanggal 10 Juli 2008
79

Kumar Ramakrishna, Delegimizing Global Jihadi Ideology in Southeast Asia,


Contemporary Southeast Asia A Journal of International and Strategic Affairs, Vol. 22, No. 3,
December 2005, h. 363-364

142

tidak senonoh.80 Dari beberapa kasus di Asia Tenggara ini sebenarnya ada
keterkaitan antara motivasi sosial yang bersifat global dengan kondisi lokal.
Aksi jihad di atas lebih kepada penggunaan kekerasan dalam membentuk
solidaritas sosial terhadap penderitaan umat Islam di Afghanistan, Palestina dan
berbagai daerah konflik lainnya, tetapi ada analisa yang menarik bahwa
pembalasan yang bersifat koperatif dan asimilatif ditakuti oleh Barat. Salah satu
contoh adalah keikutsertaan Abdul Rahman Alamoudi (ketua American Muslim
Council tahun 1990-2000) diberbagai kegiatan sosial yang dilakukan di Amerika
Serikat antara lain bertemu dengan Presiden Bill Clinton dan Wakil Presiden AlGore, menjadi duta Amerika ke luar negeri sebagai representasi Muslim
moderat. Dia tertangkap tahun 2003 dengan tuduhan sebagai donatur penting
pengeoperasian Al-Qaeda dan Hamas. Dalam pandangan Steven Emerson,
penyamaran Abdul Rahman Alamoudi atas keterlibatannya dalam tataran
birokrasi Amerika sebagai bentuk cultural Jihad (perjuangan melalui jalur
sosial budaya) membahayakan Amerika sendiri. Sisi lain dari upaya jihad
pada tataran budaya tersebut adalah keikutsertaan kelompok umat Islam dalam
menuntut hak-hak masyarakat (civil rights) bekerja sama dengan kelompok
minoritas lainnya akibat diskrimasi dan rasisme yang dilakukan pemerintah.81
Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa jihad dimotivasi oleh
solidaritas sosial terhadap penderitaan umat Islam di negara atau komunitas lain,
dan sebagai perwujudan dari mempertahankan kedaulatan masyarakat dan
negara Islam.
Bentuk lain dari mempertahankan kedaulatan Islam adalah keinginan
untuk mewujudkan kedaulatan atau negara Islam (daulah Islamiyah). Secara
historis, umat Islam (bahkan sejak zaman Rasulullah) sudah mewujudkan
keinginan untuk mendirikan khilafah dan perluasan wilayah kekuasaan dengan
menggunakan metode jihad. Khalifah Umar bin Khattab (w. 644 M.) misalnya,
pada awal pemerintahannya tidak terlalu agresif dalam melakukan invasi ke
80

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, II (Solo: Jazera, 2004), h. 108-109; Ali Imron,
Ali Imron Sang Pengebom , Cet. I (Jakarta: Republika, 2007), h. 41-71
81

67

Steven Emerson, Jihadism: Where Is It?, The Sydney Papers, Vol. 18 No. 2, h. 66 -

143

Negara seperti Roma dan Persia, tetapi akhirnya hal tersebut dilakukannya
dalam rangka melindungi Islam dan komunitas Muslim dari serangan musuh.82
Perluasan daerah yang dilakukan khalifah Umar bin Khattab termasuk khalifah
lainnya pada dasarnya adalah untuk penyebaran Islam yang humanis dan toleran
yakni memberikan opsi kepada masyarakat tersebut dengan menerima Islam
atau membayar jizyah. Jadi, invasi tersebut untuk kepentingan Islam dan
komunitas Muslim pada masa itu.
Tetapi, Mohammad Said Al-Ashmawy mengkritisi bahwa kebijakan
pemerintah (khalifah) menginvasi negara lain adalah untuk memperoleh
kekuasaan, harta, rakyat atau untuk melindungi apa yang mereka telah peroleh
dari harta rampasan. Mereka menggunakan konsep jihad dalam menginvasi di
bawah panji Islam dan atas nama Tuhan untuk memberikan kekuasaan lebih
besar kepada Islam dan membimbing manusia kepada kebenaran. Tujuan
mereka hanya bersifat temporal. Peperangan itu untuk kepentingan khalifah
sendiri, keluarga dan bangsawan sekalipun terselubung tujuan untuk
menyebarkan Islam. Jihad dalam makna politik ditentukan oleh sejarah dan
bermakna pembelaan diri. 83 Kritikan ini tidak sepenuhnya diterima karena tidak
ada bukti autentik yang membuktikan bahwa perluasan wilayah adalah untuk
kepentingan khalifah dan keluarganya. Misalnya, pendistribusian harta
rampasan perang tidak dinikmati oleh khalifah sendiri tapi telah ada
ketentuannya dalam Islam (Q.S. Al-Anfal (8): 41).
Selain kritikan di atas, ada juga asumsi bahwa mujahid terlibat dalam
peperangan karena ada keinginan untuk memperoleh keuntungan finansial.
Dalam sejarah Islam, terindentifikasi beberapa kasus yang mengindikasikan
bahwa sebahagian mujahid yang terlibat dalam perluasan wilayah Islam atau
jihad termotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi

82

Mohammad Said Al-Ashmawy, Against Islamic Extremism, diterjemahkan oleh


Hery Haryanto Azumi dengan judul Jihad Melawan Islam Ekstrim (Jakarta: Desantara Pustaka
Utama, 2002), h. 190-191
83

Mohammad Said Al-Ashmawy, Against Islamic Extremism, diterjemahkan oleh


Hery Haryanto Azumi dengan judul Jihad Melawan Islam Ekstrim (Jakarta: Desantara Pustaka
Utama, 2002), h. 190-191

144

mereka. Di antara kasus tersebut terjadi pada masa Rasulullah saw. Nabi saw
pernah mengutus angkatan perang yang di dalamnya ada Harits bin Muslim bin
Harits. Ketika rombongan tersebut sudah mendekati wilayah di medan
peperangan, tiba-tiba Harits bin Muslim bin Harits memacu kudanya sehingga
mendahului rombongannya dan ia tiba lebih awal di suatu perkampungan.
Penduduk mengerumuni Harits sambil berteriak-teriak, dah Harits menyambut
teriakan mereka dengan suatu permintaan: Hai sekalian manusia, katakanlah
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah maka kalian akan selamat. Mereka
menerima ajakannya sehingga tidak terjadi pertempuran. Karena tidak terjadi
pertempuran, sebahagian sahabat dari pasukan Islam mengkritisi dan tidak
menyetujui tindakan Harits bahkan mereka menganggap Harits telah
menghalangi rezeki mereka untuk mendapatkan ghanmah (harta rampasan). 84
Peristiwa ini mengindikasikan bahwa ada juga sahabat yang berperang dengan
tujuan untuk memperoleh harta di samping mungkin terselip tujuan membela
Islam.
Selain itu, komandan perang terutama dalam penaklukan Damaskus dan
Iran, memberikan apresiasi kepada tentara yang berekonomi lemah. Islam
memberikan kontribusi lebih terhadap mujahid yang miskin dan selalu ikut di
medan pertempuran dari perolehan harta rampasan ( ghanmah)85 sebagai
penopang hidup keluarga yang ditinggalkan.86 Dalam hal ini, harta rampasan
bukan saja untuk kesejahteraan para personil angkatan perang tetapi juga untuk
kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan. Kemungkinan porsi pembagian
tersebut dimaksudkan untuk mendorong semangat juang kaum Muslimin agar
84

Abdul Bq Ramdn Al-Jihdu Sablun, diterjemahkan oleh Darsim Ermaya dan


Imam Fajaruddin dengan judul: Jihad Jalan Kami, Cet. I (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 128
85

Ghanmah adalah harta yang didapat dari musuh melalui peperangan, sedangkan
harta yang diperoleh tanpa perang disebut fai. Yang termasuk ghanmah meliputi: tentara
tawanan, perempuan, anak-anak, harta bergerak dan tidak bergerak. Harta bergerak dibagi lima
bagian: 1/5 bagi tentara perjalan kaki, 3/5 untuk tentara berkendaraan (1/5 bagi tentara dan 2/5
untuk kendaraannya), sisa 1/5 dibagi lima bagian (1/25 untuk Raulullah, 1/25 bagi keluarga
Rasul dari Bani Hasyim dan Bani Mutalib, 1/25 untuk anak yatim, 1/25 untuk orang miskin dan
1/25 untuk ibnu sabil). Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus
Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 84-85; Q.S. al- Anfal (8): 41
86

Rasul Jafariyan, The History of Caliphs, diterjemahkan oleh Anna Farida, Nailul
Aksa dan Khalid Sitaba dengan judul Sejarah Khilafah (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 143

145

tidak surut dalam menghadapi serangan musuh baik dalam arti jihad defensif
atau ofensif. Meskipun materi bukan satu-satunya tujuan disyariatkannya jihad,
akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari peperangan adalah menang atau
kalah. Bagi yang kalah akan mengalami kerugian yang berlipat ganda yakni
kemungkinan kehilangan jiwa dan harta, sementara bagi pemenang walau
mungkin kehilangan personil yang gugur dalam pertempuran akan tetapi masih
mendapatkan sejumlah harta rampasan dari musuh yang dikalahkan. Motivasi
untuk memperoleh dukungan ekonomi bukanlah sebagai motivasi utama dalam
berperang karena mungkin hal itu hanya bersifat kasuistik dan temporal saja.
Tetapi mujahidin pada masa Rasulullah umumnya berjihad termotivasi untuk
memperthankan agama dan kedaulatan negara.
Di era kontemporer, munculnya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir
terobsesi untuk membebaskan wilayah teritorial umat Islam dari kekuasaan atau
intervensi asing dan mewujudkan sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam.
Kedaulatan dan kemandirian politik gerakan Ikhawanul Muslim tersebut dalam
rangka mewujudkan keadilan sosial dan kemaslahatan yang menyeluruh kepada
masyarakat.87 Gerakan Islam lainnya yang mengusung ide pembentukan daulah
Islamiyah atau khilafah Islamiyah adalah Hizbut Tahrir (HT). Dalam perspektif
Hizbut Tahrir, daulah Islamiyah merupakan suatu keharusan sebagai solusi
terhadap persoalan krisis ekonomi, sosial, politik yang oportunistik serta model
pendidikan yang materialistik, dan pelaksaan syariat Islam akan efektif jika
terwujud daulah Islamiyah.88 Daulah Islamiyah adalah sistem kekuasaan
tertinggi yang mengurus dan mengatur kehidupan umat Islam, dan pemegang
kekuasaan tertinggi tersebut adalah khalifah.89 Sistem kekuasaan khilafah tidak

87

Diya Rusywan, Dall al-Harakah al-Islmiyyah fi al-Alam Cet. I (Al-Ahram:


Markaz al-Dirasat al-Siyasiyah wa al-Istirtijiyah, 2006), h. 36
88

M. Ismail Yusanto, Menuju Penerapan Syariah: Di Antara Peluang dan Tantangan


(Suara Hizbut Tahrir Indonsia), dalam Muhammad Zain (ed.) Formalisasi Syariat Islam Di
Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas , Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 297300
89
Secara leksikal, khalifah merupakan respresentasi Tuhan di bumi. Ia menjalani roda
pemerintahan berdasarkan petunjuk Alquran dan hadis, dan pemilihannya dilakukan oleh
Majelis Syura (Dewan Musyawarah) yang terdiri dari orang-orang yang memiliki integritas
intelektual dan kredibilitas yang tinggi. Khalifah berkewajiban melindungi warganya dari segala

146

jauh berbeda dengan sistem demokrasi modern terutama dalam kaitannya


dengan pembagian tugas antara khalifah dan Majlis Syura. Kekuasaan eksekutif
ada di tangan khalifah sedangkan kekuasaan legislatif di Majlis Syura, dan
mereka bekerja sama untuk menunjuk hakim. Perbedaan khilafah dengan
demokrasi adalah pada tataran acuannnya yakni kalau khilafah berdasarkan
agama, tetapi demokrasi berdasarkan pada keputusan publik. 90 Oleh karena itu,
jihad dalam konteks kekinian kelihatannya lebih terfokus pada pembebasan
wilayah kaum Muslimin dari segala bentuk kolonialisasi dan pelaksanaan syariat
Islam dibandingkan dengan awal perkembangan wilayah Islam. Persoalannya
adalah apakah keinginan untuk mendirikan khilafah itu masih eksis di era
modern ini?
Diskurus ini masih saja diperdebatkan sampai sekarang. Keinginan untuk
mendirikan khilafah tersendiri oleh sebahagian umat Islam mungkin tidak terlalu
signifikan karena Islam bukan saja mengandung sistem teologi dan moral tetapi
mengandung semua aspek kehidupan. Persoalannya adalah tidak semua umat
Islam mampu mengaplikasikan holistiknya Islam pada tataran praktis. Menurut
Bahtiar Effendy, ketidakmampuan itu disebabkan karena sebahagian umat Islam
cenderung memahami holistik Islam dengan cara organik dan substansialistik.
Pemahaman yang organik maksudnya adalah bahwa hubungan antara Islam dan
segala aspek kehidupan perlu dibangun dalam bentuk legal formal,91 sedangkan
pemahaman yang substansialistik yakni hubungan antara Islam dan segala aspek
kehdupan tidak diperlukan dengan cara legal formal tetapi cukup secara
substansi saja.
Salah satu ilustrasi pemahaman organik tersebut adalah keinginan
sebahagian umat Islam Indonesia untuk memformalisasikan syariat Islam dalam
sistem hukum ketatanegaraan. Dalam pandangan Masykuri Abdillah, terdapat
tiga macam ide dalam upaya menjadikan syariat Islam sebagai legal formal di
ancaman dan gangguan tanpa ada diskriminasi agama maupun jender. Lihat: Jamhari dan Jajang
Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h.187
90
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h.188
91

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), 61-62

147

Negara RI yakni kelompok yang menginginkan penerapan syariat Islam secara


formal dalam hukum positif; kelompok yang menolak formalisasi dan
keterlibatan agama dalam kancah kehidupan bernegara tetapi menerima syariat
sebagai religio-ethics (moral agama); dan kelompok yang mendukung
formalisasi syariat Islam untuk beberapa hukum privat, sementara untuk lainnya
cukup sebagai religio-ethics (moral agama) dalam kehidupan bernegara. Dalam
perspektif Abdillah, wacana ketiga lebih realistik dan relevan untuk diterapkan
di Indonesia dewasa ini.92 Mencermati ketiga kelompok tersebut, kelihatannya
pemikiran terakhir memang lebih moderat karena dapat mengakomodasi kedua
pendapat yang berbeda. Juga sebenarnya yang lebih esensial adalah pelaksanaan
ajaran Islam secara substansial sehingga apabila perundang-undangan yang
berlaku tidak bertentangan dengan syariat Islam maka bagi penulis tidak perlu
diberi label (syariat).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa alasan disyariatkan
jihad dalam Islam adalah untuk mempertahankan Islam dan kedaulatannya
termasuk perluasan wilayah Islam dari berbagai intervensi dan kolonialisasi
asing dan mungkin dari intervensi atau gangguan dari umat Islam sendiri.
Namun kebolehan jihad (berperang) dibatasi oleh berbagai aturan atau etika
perang dalan Islam seperti menghindari pembunuhan masyarakat sipil, anakanak dan merusak fasilitas umum, serta dilakukan dalam kondisi tertentu seperti
karena diserang. Oleh karena itu, pembahasan tentang reinterpretasi jihad dalam
konteks kekinian merupakan hal yang signifikan untuk memperoleh gambaran
bahwa Islam tidak semata-mata memaknai jihad dalam arti perang atau
kekerasan fisik.

D. Reinterpretasi Jihad dalam Konteks Kekinian


Di era globalisasi dan transformasi nilai seperti sekarang, jihad perlu
dikembangkan secara proporsional sehingga klaim bahwa jihad selalu identik
dengan perang dan Islam melegalkan perang dapat dieliminasi. Klaim tersebut
92
Masykuri Abdillah, Wacana Formalisasi Syariat Islam dalam Muhammad Zain (ed.)
Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas , Cet. I
(Jakarta: Renaisan, 2005), h. 7

148

sangat tidak rasional dan tidak memiliki justifikasi legal formal dalam Islam,
sebab Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi aspek kemanusiaan
(humanis),93 toleran94 dan mengutamakan perdamaian 95 dan kesejahteraan umat
manusia secara keseluruhan.96
Di era modern ini umat Islam perlu mereproduksi tradisi pemahaman
makna jihad yang sudah berakar pada masa klasik yang dapat melahirkan taklid
dan kejumudan intelektual, dan memerlukan pemikiran kreatif dan inovatif
dalam rangka memunculkan fleksibiltas hukum Islam terutama yang berkaitan
dengan jihad. Hal ini bukan menunjukkan arogansi keintelektualan seorang
Muslim pada masa sekarang dan seolah-olah menafikan eksistensi dan
perjuangan pakar hukum Islam klasik, tetapi lebih karena berkeinginan untuk
membuka peluang berijtihad dan memaknai jihad sehingga maknanya tidak
secara eksklusif bermuara pada makna perang.
Jihad merupakan konsep perjuangan dalam Islam yang mencakup dua
dimensi yakni perjuangan bersifat internal97 (al-jihad al-akbar) dan perjuangan
yang bersifat external98 (al-jihad al-asghar). Perjuangan secara internal artinya
seorang Muslim berjuang dan berusaha untuk meningkatkan kemapanan dan
kesejahteraan yang bersifat individual, sedangkan perjuangan yang bersifat
external yakni perjuangan yang bersifat komunal dan ini biasa diistilahkan
dengan perang. Kedua model perjuangan ini memiliki tujuan yang sama yakni
dalam rangka meninggikan agama Allah dan mencari keridhaan-Nya. Dalam

93

Lihat misalnya: Q.S. al- Nisa (4): 29; al- Hujurat (49): 11-13

94

Q.S. al- Kafirun (109): 1-6

95

Q.S. al- Hujurat (49): 9-10

96

Q.S. al- Anbiya (21): 107

97

Jihad internal dimaksudkan sebagai perjuangan menjalani kehidupan yang lebih baik,
perjuangan melawan hawa nafsu dalam rangka mencapai keutamaan kepribadian luhur serta
perjuangan meningkatkan kualitas dan integritas diri.
98

Jihad eksternal yakni perjuangan melawan kezaliman dan penindasan, mendakwakan


Islam dalam rangka mewujudkan masyarakat madani yang dapat dilakukan tanpa harus
mengangkat senjata. Lihat: John L. Esposito, Unholy War : Terror in the Name of Islam
diterjemahkan oleh Syafruddin Hasani dengan judul: Teror Atas Nama Islam, Cet. I
(Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), h. 31

149

menjalani kedua perjuangan tersebut dibutuhkan suatu modal dasar yakni


kesabaran dan komitmen yang tinggi. Dengan demikian, jihad mana yang paling
urgen dalam kehidupan manusia dalam era kontemporer sekarang?
Secara umum, jihad internal itu yang paling signifikan sebab jihad
semacam ini jangkauannya luas, sedangkan jihad dalam makna perang
kemungkinan terjadi hanya sekali-kali ketika daerah atau negara dalam kondisi
terancam. Jihad yang bermakna perang pada awal perkembangan Islam
sebagai pondasi dalam melaksanakan dan mempertahankan jihad non perang
dan jihad inilah yang perlu diperhatikan umat Islam sebagai bentuk apresiasi
atas perjuangan pejuang Islam dahulu. Di antara agenda jihad sekarang adalah
pemberantasan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan yang banyak
melanda dunia Islam.
Salah satu upaya jihad sebagai bentuk pemberdayaan komunitas Muslim
tersebut adalah melalui peningkatan pendidikan dan memperkenalkan berbagai
pendekatan dalam mengkaji Islam dan atau memberikan kesempatan
pengembangan potensi manusia di bidang ekonomi, politik, astronomi dan
pengetahuan lainnya. Ide pengadopsian ilmu pengetahuan dari non Muslim oleh
sebahagian kelompok ekstrim Muslim dilarang terutama ilmu pengetahuan yang
bernuansa Islam di beberapa Universitas negara Barat dengan alasan akan
mengacaukan pemahaman keagamaan mereka. 99 Namun demikian, belajar dari
non Muslim bisa saja dilakukan sebab akan berimplikasi melahirkan generasi
Muslim yang open-minded, tidak eksklusif dan mampu bersaing secara terbuka
dengan kelompok manapun di luar Islam. Selain itu, mereka tidak bisa dijadikan
sebagai antek-antek non Muslim dan menjadi Muslim yang mandiri. Salah satu
contoh adalah keberanian Presiden Iran yang menentang kebijakan Amerika dan
sekutunya tentang pengembangan tenaga nuklir yang bertujuan untuk sumber
tenaga listrik dan pemanfaatan lainnya. Amerika Serikat dan sekutunya
menggunakan berbagai cara untuk menghentikan pengayaan tenaga nuklir Iran
tersebut, tetapi Iran tidak pernah mundur. Langkah kemandirian yang dimiliki
99
Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New
York: HarperSanFrancisco, 2007), h. 172

150

Pemerintah Iran tersebut adalah bentuk jihad yang nyata selain dari pada
mengoperasikan atau melegalkan pengeboman yang destruktif untuk melawan
Amerika.
Bentuk jihad yang lainnya adalah penegakkan keadilan dan kebersamaan
termasuk dengan kelompok non Muslim. Islam mengajarkan untuk tetap berlaku
adil dan memaafkan sekalipun orang tersebut telah menghianati umat Islam
(Q.S. al-Maidah (5): 2 dan 8. Keadilan mencakup makna yang luas termasuk
adil terhadap diri sendiri dan keluarga (Q.S. al-Anam (6): 152 dan adil ketika
menjadi pemimpin. M. Quraish Shihab mengemukakan empat makna adil
(keadilan) yaitu memperlakukan manusia sama antara satu dengan yang lainnya
(Q.S. al-Nisa (4): 58, keseimbangan atau proporsional sesuai dengan fungsi dan
tujuannya (Q.S. al-Infitar (82): 6-7 dan al-Mulk (67): 3, perhatian terhadap hakhak individu dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya, dan adil yang
disandarkan kepada Ilahi.100 Keadilan yang dipresentasikan di atas merupakan
pengaplikasian jihad dalam arti sejauhmana manusia mampu bersabar dalam
mewujudkan keadilan sesuai dengan petunjuk nas tersebut.
Salah satu implikasi dari penegakkan keadilan tersebut adalah dapat
mewujudkan kebersamaan dan kesejahteraan sosial dan dapat dimulai dengan
Islam yakni penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah swt.101 Membangun
jiwa kebersamaan antara individu, keluarga dan masyarakat sehingga tercipta
hubungan yang serasi antara anggota masyarakat dan manusia lainnya dan
penjabarannya bisa dalam bentuk pemberian bantuan

terhadap

yang

102

membutuhkannya dan berkorban untuk kepentingan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa makna jihad dalam


Islam bervariasi dan menunjukkan pada makna perjuangan yang bersifat fisik
100

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet. XII (Bandung: Mizan, 2001), h. 114-

116
101

Q.S. Luqman (31): 22

102

Q.S. al-Hasyr (59): 9, ayat ini menjelaskan bagaimana pertolongan yang diberikan
penduduk Madinah (kaum Ansr) kepada kaum Muhajirin Mekah. Golongan Ansr rela dan
ikhlas menyerahkan harta bendanya kepada saudara-saudaranya pendatang baru meskipun
sebenarnya mereka masih butuh. Bahkan di antara kaum Ansr yang memiliki isteri lebih dari
satu bersedia memberikan kepada saudaranya (muhajirin) untuk dinikahi.

151

dan non fisik, serta makna jihad mengalami evolusi sesuai dengan kondisi
masyarakat. Di era kontemporer, pemaknaan jihad lebih difokuskan pada makna
non fisik yakni perjuangan untuk meningkatkan intelektual, integritas dan
kesejahteraan manusia baik secara individu maupun kolektif. Namun pada
kondisi tertentu makna jihad bisa saja dipahami dengan makna peperangan di
medan pertempuran tetapi dalam pengaplikasian makna tersebut sesuai dengan
kode etik yang ditekankan dalam Islam yakni menyampaikan dakwah atau
pemberitahuan tentang Islam sebelum peperangan, larangan berbantah-bantahan,
larangan mengarahkan senjata ke perkampungan Muslim, dan larangan untuk
membunuh anak-anak, perempuan, orang tua jompo dan pendeta terkecuali
mereka memilki andil dalam peperangan tersebut. Pembahasan selanjutnya
adalah seputar persoalan yang berkaitan dengan jihad dan gerakan radikal di
dunia Islam untuk mengidentifikasi berbagai gerakan radikal dalam rangka
mengaktualisasikan jihad mereka.

E. Jihad dan Gerakan Radikal di Dunia Islam


Dalam sejarah Islam, terdapat dua kelompok fundamentalis yang
melakukan jihad dalam bentuk perjuangan fisik sesuai dengan misi dan ideologi
mereka

yaitu

fundamentalisme

radikal

dan

fundamentalisme

puritan.

Fundamentalisme radikal merupakan gerakan Islam ekstrim dengan melakukan


perlawanan baik secara nyata maupun tersembunyi terhadap segala bentuk
ancaman yang membahayakan eksistensi keberagamaan mereka.
Sedangkan fundamentalisme puritan merupakan kelompok Muslim
fundamental yang menjunjung tinggi dan memahami teks-teks agama secara
tekstual, dan menolak pendekatan kontekstual. Dalam framework puritan, teks
nas itu hendaknya dipahami sesuai bunyi teks karena sudah jelas dan tidak
memerlukan interpretasi dan pemikiran yang logis.103 Fundamentalisme puritan
pada umumnya bersifat anti historis dan anti sosiologis dengan menolak
pemikiran yang inovatif dan rekayasa adaptasibilitas agama dengan budaya dan
103
Lihat: Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists
(New York: HarperSanFrancisco, 2007), h. 96

152

kebiasaan masyarakat karena kesemuanya itu dianggap sebagai bidah, takhayul


dan khurafat. Jadi, kelompok fundamentalisme puritan tidak memiliki muatan
politis dalam jihad mereka sebab tujuan utamanya adalah pembersihan agama
dari segala penafsiran yang bersifat kontekstual. Kelompok yang termasuk
gerakan fundamentalisme puritan ini atau gerakan salafi antara lain kelompok
Hambaliyah yang dinahkodai Ibn Taimiyah,104 termasuk pemikiran Ahmad bin
Hambal yang memprakarsai gerakan salafi yang beraliran Wahab pada abad ke
19 M.105 Kelompok ini melancarkan jihad terhadap umat Islam yang dianggap
telah menodai akidah mereka dengan khurafat, takhayul dan bidah bahkan
pemberantasannnya dengan pertumpahan darah. 106 Sejak awal abad ke 2 M
sampai abad ke 18 M, eksistensi kelompok fundamentalisme radikal dan puritan
masih dominan jihad fisik (pertumpahan darah) dalam melaksanakan jihad
mereka. Pembahasan berikutnya akan menjelaskan tentang gerakan radikal di
Mesir, Saudi Arabia/Afghanistan, Palestina dan Indonesia sebagai representasi
dari gerakan di negara tersebut dan merupakan negara yang selalu dikaitkan
dengan aktifitas radikal Muslim.

104

Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Ahmad ibn Abdul Halim ibn Abdussalam ibn
Abdullah ibn Taimiyah. Lahir 661 H di Harran kota Syam. Sejak kecil Ibn Taimiyah berguru
pada bapaknya bernama Syihabuddin Abdul Halim mempelajari bahasa, ilmu hadits dan fiqh
mazhab Hambal. Dia berpindah ke Mesir selama tujuh tahun guna memerangi bidah, khurafat
dan penyelewengan dalam penafsiran Alquran dan hadits. Di antara karya-karyanya: al-Fatwa
al-Kubra, al-Sarim al-Maslul an Syatmi al-Rasul, al-Siysah al-Syariyah f Is lh al-R wa
al-Raiyah. Wafat 728 H dalam usia 67 tahun. Lihat: Muhammad Said Mursi, Uzamu alIslm Abra Arbaata Asyara Qarnan min al-Zamn, diterjemahkan Khoirul Amru Harahap dan
Achmad Faozan dengan judul: Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang sejarah , Cet. III Jakarta:
Pustaka al- Kautsar, 2007), h. 364-366
105

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, 2004), h. vi
106

A. Maftuh Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Doktrinal


Fundamentalisme Islam di Era Khalifah, dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro
Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 258-260

153

1. Mesir
Gerakan Ikhwanul Muslimin (persaudaraan kaum Muslimin) yang
didirikan oleh Hasan al-Banna (w. 1949 M.)107 pada tahun 1928 merupakan
gerakan yang cukup terkenal di Mesir. Lahirnya gerakan ini disebabkan oleh
kondisi masyarakat Mesir yang dijajah oleh pemerintah Inggeris, mereka
ditindas dan menjadi pekerja kasar sementara para penjajah bersenang-senang.
Kristenisasi dan sekulerisasi terjadi di masyarakat Mesir sehingga menodai
akidah umat Islam. Gerakan Ikhwanul Muslimin bertujuan memperbaiki nasib
bangsa Mesir dari kolonialisasi dan meluruskan akidah mereka yang sudah
mulai terkontaminasi sekulerisasi. Al-Banna membentuk Tanzm al-Khas (Korps
Pasukan Khusus) tahun 1940, merupakan jaringan bawah tanah dan bertujuan
untuk menghadapi kekuatan penjajah Inggeris dan ancaman zionis Israel. Banna
mengirimkan pasukannya (relawan Mujahidin) yang sudah terlatih ke medan
pertempuran Palestina-Israel tahun 1948 dan berhasil mengalahkan tentara
Israel.108 Karena komitmen politiknya tersebut, Banna menekankan bahwa

107

Hasan al-Banna lahir di al-Buhairah, distrik Mahmdiyah, Mesir pada tanggal, 17


Oktober 1906 M/1323 H. Ayahnya bernama Ahmad Abd Rahman Banna (biasa dipanggil Saati
atau tukang jam), ahli ilmu hadis, aqidah, dan fiqh. Sejak kecil, Hasan al-Banna terbiasa hidup
zuhud, salat tahajjud, puasa sunnat senin-kamis. Berkat bimbingan ayahnya, ia tumbuh dewasa
dengan memiliki prinsip yang tangguh bahwa jalan satu-satunya keluar dari keterpurukan umat
Islam sebagai dampak kolonialisme, liberalisme, dan sekularisme adalah meniru pola kehidupan
Rasulullah saw. Ketika remaja, ia sudah aktif dalam organisasi pengkaderan Islam, demikian
halnya tatkala di sekolah keguruan, ia bersama teman-temannya mendirikan organisasi
Muhrabah al-Munkart (Organisasi Pemberantas Kemungkaran) dan ia dipercayai sebagai
ketua. Ia melanjutkan pendidikannya ke Dr al-Ulm Kairo, disini ia berkenalan dengan
Rasyd Rid dan Muhammad Abduh. Setelah menyelesaikan studi di Dr al-Ulm dengan
predikat Summa Cumlaude, ia diangkat oleh pemerintah sebagai guru Madrasah di Provinsi
Ismailiyah. Lihat: Muhammad Syauqi Zaki, al-Ikhwn al-Muslimn wa al-Mujtama al-Mis r
(Kairo: Dr al-Ansr, 1980), h. 48-50
108

Perang Arab-Israel yang pertama terjadi pada tahun 1948, yang kedua tahun 1956,
sementara yang ketiga tahun 1967 ditandai dengan kemenangan Israel. Kemengangan Arab atas
Israel pada perang pertama memberikan kesan atas keberanian dan kegagahan Mujahidin
Ikhwanul Muslimin di medan pertempuran. Hal ini diakui oleh Presiden Gamal Abdul Nasser
dan tentara Mesir yang turut dalam pertempuran 1948. Lihat: A. Yani Abeveiro, Bermula Dari
Al-Ikhawan Al-Muslimun: Menyeru Jihad Menebar Teror, dalam A. Maftuh Abegebriel, A.
Yani Abeveiro Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004),
h. 289

154

perlawanan terhadap penjajahan tidak cukup dengan mengemis dan negosiasi


tetapi harus melalui jihad dan dengan cara yang legal.109
Setelah Al-Banna tertembak mati tanggal 12 Februari 1949, digantikan
oleh Hasan al-Hudaibi110 pada tahun 1950. Di bawah kepemimpinan al-Hudaibi
(w. 1973 M.), Ikhwanul Muslimin berhasil bekerja sama dengan pasukan Nasser
(w. 1970 M.) dalam menggulingkan Raja Faruq, 26 Juli 1952. Hanya saja
keharmonisan antara kedua belah pihak tidak dapat berlangsung lama karena
pasca revolusi, ternyata Nasser mengingkari janji untuk melibatkan Ikhwan alMuslimin dalam pemerintahan. Kekecewaan sejumlah anggota Ikhwanul
Muslimin dilampiaskan dengan sikap kritis terhadap pemerintah terutama
kecenderungan militerisme Nasser (w. 1970 M.) sehingga beberapa tokohnya
seperti Sayyid Qutb (w.1966 M) dipenjara. 111
Keadaan ini tidak menyurutkan semangat perjuangan gerakan Ikhwan alMuslimin, bahkan sebaliknya justru semakin meningkatkan semangat jihad para
anggotanya berkat motivasi yang diberikan oleh Sayyid Qutb (w.1966 M) 112
109

A Yani Abeveiro, Bermula Dari Al-Ikhawan Al-Muslimun: Menyeru Jihad


Menebar Teror, dalam dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The
Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 289-306
110

Nama lengkapnya, Hasan Ismail al-Hudaibi. Lahir di Syibin al-Qanatir (Mesir) 1891
M. Ia berprofesi pengacara lalu menjadi hakim Pengadilan Mesir kemudian mengundurkan diri
setelah dipercayakan sebagai pengganti al-Banna 1950. Masa rezim Nasser, ia dipenjara dengan
tuduhan makar dan dijatuhi hukuman mati lalu diganti hukuman seumur hidup. Ia wafat,
Nopember 1973 M. Lihat: Muhammad Said Mursi, Uzamu al-Islm Abra Arbaata Asyara
Qarnan min al-Zamn, diterjemahkan Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan dengan judul:
Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang sejarah , Cet. III Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2007), h. 321324
111
Lihat: Sebuah Wajah Teduh, http://elqudsy.blogspot.com/2006/02/sebuah-wajahteduh.html diakses tanggal 10 Juli 2008
112
Nama lengkapnya, Sayyid Qutb Ibrhim Hasan al-Sydzil. Lahir di Asyut (Mesir)
1906 M. Ia telah menghafal Alquran sejak berusia 10 tahun dan menyelesaikan studinya pada
Fakultas Dr al-Ulm, Universitas Kairo kemudian menjabat penilik pada Departemen
Pendidikan dan Pengajaran Mesir dan diutus bersama delegasi Kebudayaan Mesir ke Amerika
tahun 1949 selama dua setengah tahun. Ia tinggalkan pekerjaannya dan memilih menjadi jurnalis
sibuk menulis di koran dan majalah dan memimpin majalah Ikhwanul Muslimin. Tahun 1954 ia
ditangkap dengan tuduhan merencanakan pembunuhan Nasser dan tahun 1965 ia dijatuhi hukum
mati atas tuduhan kudeta. Setahun kemudian (1966) ia dieksekusi gantung oleh rezim Gamal
Abd Nasser. Lihat: Muhammad Said Mursi, Uzamu al-Islm Abra Arbaata Asyara
Qarnan min al-Zamn, diterjemahkan Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan dengan judul:
Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang sejarah , Cet. III Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2007), h. 249254

155

lewat tulisan-tulisannya. Qutb merupakan pemikir gerakan Ikhwanul Muslimin,


inspirator kepada calon-calon gerakan Islam lainnya dengan memberikan pesan
moral bahwa hanya melalui jihad perjuangan menegakkan Islam dapat
terwujud.113 Pemaknaan jihad lebih mengarah pada jihad secara fisik (perang).
Salah satu indikasinya adalah pemikiran tentang metode kudeta berdarah atas
pemerintahan kafir yang telah mengebiri umat Islam, oleh sebab itu darah
mereka halal untuk dibunuh.114 Gerakan Ikhwanul Muslimin yang diinginkan
oleh Al-Banna pada dasarnya bukan kelompok radikal.
Pada masa pemerintahan Anwar Sadat (w. 1981 M.), bahkan menurut
sumber lain sejak pemerintahan Nasser, Ikhwanul Muslimin yang dibangun oleh
Hasan Al-Banna memilih jalur pendidikan dan dakwah dalam mewujudkan citacitanya. Sadat yang menggantikan Nasser, mengambil kebijakan agak lunak
terhadap Ikhwanul Muslimin dengan membebaskan semua tahanan politik.
Meskipun Sadat menjalin hubungan yang baik dengan Ikhwanul Muslimin,
namun sejumlah anggota Ikhwanul Muslimin merasa tidak puas yang pada
gilirannya melahirkan kelompok ekstrimis sempalan Ikhawanul Muslimin. Hal
itu disebabkan tidak tegasnya perlawanan dan kritikan dari kalangan elite
Ikhawanul Muslimin terhadap kebijakan pemerintah Mesir yang mengadakan
resolusi perdamaian dengan Israel. Akibatnya, presiden Anwar Sadat
memenjarakan para aktivis dan ekstrimis sempalan Ikhawanul Muslimin
termasuk tokoh kharismatik Omar Abd Rahman (aktivist Al-Jihad).115 Ikhwanul
Muslimin lebih konsern melalui jalur pendidikan dan dakwah dalam mencapai
cita-cita oragnisasinya dibandingkan dengan gerakan sempalan yang memilih
jalur kekerasan.
113

A. Maftuh Abegebriel, Al-Qaidah: Arabists or Islamists, dalam A. Maftuh


Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins
Publishing, 2004), h. 560
114

Sayyid Qutb, Malim fi al-Tarq, Cet. X (Beirut: Dr al-Syurq, 1983), h. 65

115

A Yani Abeveiro, Bermula Dari Al-Ikhawan Al-Muslimun: Menyeru Jihad


Menebar Teror, dalam dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The
Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 355; Bandingkan dengan: Sebuah
Wajah Teduh, http://elqudsy.blogspot.com/2006/02/sebuah-wajah-teduh.html, diakses tanggal
10 Juli 2008

156

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola perjuangan Ikhawanul


Muslimin terbagi dua, yakni kelompok Ikhawanul Muslimin versi Hudaibism
menempuh jalur parlemen, sementara kelompok Ikhawanul Muslimin versi
Qutbism memilih cara radikal. Pada masa pemerintahan Husni Mubarak, versi
Hudaibism telah berhasil masuk dalam parlemen.116 Menurut Abdul Fatah
(politikus Ikhawanul Muslimin), gerakan Ikhwanul Muslimin dewasa ini
berpaling dari kekerasan dan lebih memusatkan perjuangannya lewat
parlementer dengan keyakinan bahwa menjadi anggota lembaga tersebut
memungkinkan bagi para anggota Ikhwanul Muslimin untuk dapat merubah
sistem perundang-undangan Mesir dan akan semakin mudah bagi mereka
mengetahui kelemahan-kelemahan pemerintah. Anggota parlemen dari kalangan
Ikhawanul Muslimin pada masa pemerintahan Husni Mubarak ini berjumlah 15
orang yang merupakan suatu prestasi yang menggembirakan dibandingkan
dengan partai oposisi lain seperti partai Hizb al-Ahrr dan partai Nasserist.
Ikhwanul Muslimin memiliki anggota yang terdiri dari intelektual dan
professional menfokuskan perhatiannya pada kegiatan sosial kemasyarakatan
dan sebagai pioner dalam mengatasi bencana dan korbannya termasuk
memberikan beasiswa kepada pelajar.117 Partisipasi dan sikap kritis terhadap
pemerintah serta konsern terhadap persoalan-persoalan

yang

dihadapi

masyarakat menjadikan masyarakat dari berbagai level simpatik terhadap


kelompok Ikhawanul Muslimin.
Berbeda halnya dengan kelompok sempalan Ikhwanul Muslimin yang
lebih banyak terinspirasi ajaran Qutbism, mereka lebih cenderung memilih jalur
kekerasan. Di antara kelompok sempalan tersebut adalah Tanzm al-Jihd
(Jamah Tanzm al-Jihd atau Jihd Islm ), al-Takfr wa al-Hijrah, alJamah Islamiyah, dan al-Najun min al-Nr.118 Gerakan tersebut melancarkan

116

Diya Rusywan, Dall al-Harakah al-Islmiyyah fi al-Alam Cet. I (Al-Ahram:


Markaz al-Dirasat al-Siyasiyah wa al-Istirtijiyah, 2006), h. 41-42
117

Sebuah Wajah Teduh, http://elqudsy.blogspot.com/2006/02/sebuah-wajah-teduh.html


diakses tanggal 10 Juli 2008
118

Gerakan al-Najun min al-Nr tidak dibahas secara terperinci karena tidak
diketemukan pembahasan. Lihat: Diyu Rusywn, Dall al-Harakt al-Islmiyah f al-Alam ,

157

serangan di berbagai ikon penting negara atau komunitas yang dijadikan


sasaran, yang menurut mereka, sebagai jihad.
Pertama, Tanzm al-Jihd (Jamaah Tanzm al-Jihd, dipimpin oleh
Muhammad Abd Salam Faraj. Missi utamanya adalah melakukan revolusi jihad
dalam rangka menentang kejahiliyahan, zionisme Yahudi dan Kristen untuk
mewujudkan al-khilfah al-Islmiyah (negara Islam). Untuk mencapai tujuan
tersebut, organisasi ini mengagendakan program jangka pendek dan jangka
panjang. Program jangka pendek adalah mengkritisi dan meluruskan para
penguasa Muslim yang menjadi agen imperialisme Salib, Zionisme dan
Komunisme dari penyimpangannya terhadap syariat Islam. Bagi organisasi
Tanzm al-Jihd, para penguasa Muslim tersebut walaupun mereka salat, puasa
namun pada hakekatnya mereka adalah kafir karena tidak melaksanakan syariat
Islam dan juga bekerjasama dengan Zionis dan imperialis.119
Adapun program jangka panjangnya yakni mengusir imperialis dari
wilayah Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan revolusi jihad, sebab
hanya dengan cara inilah cita-cita untuk mewujudkan khilafah Islamiyah dapat
tercapai.120 Di samping itu, gerakan ini juga melakukan sejumlah aksi kekerasan
seperti menyerang toko-toko orang kafir dan merampas barang-barangnya untuk
dijadikan ghanimah; membunuh Presiden Mesir, Anwar Sadat (w. 1981 M);
membajak dan mengebom pesawat komersial Amerika Serikat pada tahun 1990;
dituduh sebagai pengebom lantai dasar WTC tahun 1993; membakar dua bus
Turis asing dikawasan Sungai Nil pada tahun 1997 karena diyakini berpotensi
menyebarkan virus AIDS, melakukan transaksi narkoba, dan seks komersial.121
Dalam hal ini, gerakan sempalan Ikhwanul Muslimin, Tanzm al-Jihd,
Cet. I (Al-Ahrm: Markaz al-Dirst al-Siysah wa al-Istirtjiyah, 2006), h. 81-85; Bandingkan
dengan: Sebuah Wajah Teduh, http://elqudsy.blogspot.com/2006/02/sebuah-wajah-teduh.html
diakses tanggal 10 Juli 2008
119

Diyu Rusywn, Dall al-Harakt al-Islmiyah f al-Alam , Cet. I (Al-Ahrm:


Markaz al-Dirst al-Siysah wa al-Istirtjiyah, 2006), h. 137-138
120

Diyu Rusywn, Dall al-Harakt al-Islmiyah f al-Alam , Cet. I (Al-Ahrm:


Markaz al-Dirst al-Siysah wa al-Istirtjiyah, 2006), h. 137-138
121
Sebuah Wajah Teduh, http://elqudsy.blogspot.com/2006/02/sebuah-wajah-teduh.html
diakses tanggal 10 Juli 2008

158

berkeinginan untuk menjadikan negara Islam yang memiliki otonomi sendiri dan
membebaskan masyarakat Muslim dari segala pengaruh yang merusak akidah,
moral terutama dari pengaruh hegemoni Barat (Kristen).
Kedua, gerakan radikal al-Takfir wa al-Hijrah dibawah pimpinan Syukri
Ahmad Mustafa. Penamaan organisasinya dengan al-Takfir wa al-Hijrah
sebenarnya diberikan oleh masyarakat dan media massa, sementara Syukri
sendiri lebih menyukai penyebutan Jamaah al-Muslimin atau dengan sebutan
al-Ikhwan al-Muslimun. Gerakan ini mengkafirkan semua orang Islam yang
berbuat maksiat dan telah menerima dakwah tetapi tidak menjadi anggota
gerakan ini. Tujuan gerakan al-Takfir wa al-Hijrah adalah memperjuangkan
tegaknya negara Islam (khilafah Islamiyah) yang di dalamnya berlaku syariat
Islam. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mereka menempuh tiga tahapan
yakni dakwah secara terbuka (terang-terangan), al-Srah (Uzlah atau
berkhalwat) dan perbaikan komunitas. Pada tahapan pertama, aktivis gerakan ini
memulai dakwah secara terang-terangan dalam rangka li ili kalimatillh.
Mereka menyadari bahwa berbagai tantangan akan dihadapi para juru dakwah
seperti tekanan, cercaan dan hinaan sebagaimana yang pernah dialami
Rasulullah saw pada awal dakwahnya menyebarkan Islam. Mereka disarankan
untuk bersabar mengahadapi rintangan-rintangan tersebut dan diberikan
dukungan moral dan keyakinan bahwa dengan kesabaran dan ketabahan akan
melahirkan

simpati

(respect)

dari

orang-orang

yang

benar-benar

memperjuangkan tegaknya Islam. Pada tahapan ini juga akan teridentifikasi


orang-orang beriman dan munafik122
Tahap selanjutnya adalah al-Srah (pertarungan untuk mensucikan diri).
Pada tahap ini dimaksudkan untuk peningkatan integritas diri melalui khalwat
atau menjauhkan diri dari masyarakat jahiliyah. Tahapan ini merupakan
persiapan mental spiritual untuk lebih istiqamah dalam memperbaiki
masyarakat. Langkah terakhir yaitu kembali ke masyarakat setelah melalui masa
pensucian diri untuk merubah tatanan masyarakat jahiliyah menjadi islami.

Adil Hamdah, al- Hijrah il al-Unf (Kairo: Dr al-Itism, 1987), h. 228-229

122

159

Menurut kelompok ini, pola kehidupan masyarakat mereka dapat dikatakan


berada dalam kondisi jahiliyah modern karena jauh dari ketentuan kitab suci.123
Selain ketiga langkah di atas, gerakan sempalan Ikhawanul MusliminalTakfir wa al-Hijrah juga memperkenalkan strategi perjuangannya pada tataran
konsep dan aksi. Konsep perjuangan gerakan ini adalah penegakan syariat Islam
dengan jalan jihad; hijrah dari kehidupan publik untuk mensucikan diri; qif wa
tabayyan dalam arti kesempurnaan keislaman seseorang tidak diukur dari
pelaksanaan kelima rukun Islam. Bagi mereka, meskipun seseorang telah
melaksanakan kelima rukun Islam tetapi masih melanggar perintah Allah dan
melaksanakan larangan-Nya maka yang bersangkutan dianggap kafir; Alquran
dan Sunnah adalah satu-satunya hukum dan perundang-undangan.124 Adapun
bentuk aksi yang diimplementasikan organisasi al-Takfir wa al-Hijrah yakni:
membentuk struktur organisasi mulai dari pusat sampai daerah; penerapan
gerakan organisasi bawah tanah (rahasia); melakukan uzlah (hijrah pensucian
diri) dan merekrut personil militer.125 Semua langkah dan strategi yang
ditempuh kelompok radikal ini bertujuan untuk mewujudkan khilafah Islamiyah
(negara Islam).
Ketiga, gerakan sempalan Ikhawanul Muslimin Mesir lainnya adalah alJamah al-Islmiyah . Organisasi ini bersifat militan, diprakarsai oleh Umar
Abdurrahman (berdiri 1973). Dasar pemikirannya adalah mengkafirkan (altakfr) para pemimpin masyarakat yang tidak mampu mendirikan negara Islam
dan mengimplementasikan syariat Islam secara kaffah. Oleh karena itu, Jamaah
al-Islamiyah berkeyakinan bahwa al-Hkimiyah al-Ilhiyah (hukum Tuhan)
mutlak diaplikasikan dalam kehidupan bernegara. Karena itu, segala bentuk
perundang-undangan buatan manusia mesti diganti dengan syatiat Islam yang
bersumber dari Alquran dan Sunnah. Konsekuensinya adalah negara yang

123

Adil Hamdah, Al- Hijrah il al-Unf (Kairo: Dr al-Itism, 1987), h. 230

124

A Yani Abeveiro, Bermula Dari Al-Ikhawan Al-Muslimun: Menyeru Jihad


Menebar Teror, dalam dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The
Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 363-363
125

Adil Hamdah, Al- Hijrah il al-Unf (Kairo: Dr al-Itism, 1987), h. 231

160

menolak ketentuan (hukum) Tuhan tersebut dikategorikan kafir dan wajib


hukumnya diperangi melalui jihad.126
Bagi al-Jamah al-Islmiyah , yang paling prinsipil adalah pembentukan
negara Islam sebab kalau bukan dalam bentuk formal negara Islam, maka negara
itu dikategorikan sebagai kafir sekalipun penguasa dan rakyatnya melaksanakan
amalan-amalan seperti salat, zakat, puasa, dan haji. Terlebih lagi jika negara
tersebut menerima faham liberalisme dan sistem demokrasi Barat. Selain itu,
gerakan ini tidak mengenal keberadaan partai politik sebab baginya hanya ada
dua partai yakni hizbullh (partai yang berdasarkan ketentuan Allah) dan hizb
al-syaitn (partai berdasarkan kehendak setan).127 Dalam hal ini hanya ada dua
kelompok pembeda yakni kelompok mereka (baik) dan oposisi (musuh).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa gerakan sempalan
Ikhwanul Muslimin di atas memiliki kesamaan misi yakni terbentuknya khilafah
Islamiyah sehingga pelaksaan syariat Islam betul-betul dapat terwujud.
Umumnya perjuangan mereka lebih reaksional dan agresif dengan melakukan
pembunuhan dan penyanderaan terhadap pemerintah atau orang-orang yang
dianggap bertentangan dengan keyakinan dan ideologi mereka, bahkan mereka
tidak segan-segan merusak fasilitas yang dianggap sebagai ikon hegemoni Barat.
Selanjutnya,

pembahasan

tentang

gerakan

radikal

Islam

di

Saudi

Arabia/Afghanistan diperlukan untuk membandingkan dengan gerakan Islam di


Mesir.

126

Dasar legitimasi revolusi jihad bagi Umar Abdurrahman yakni Q.S. al-Maidah (5):

44
( : ) ...
(Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orangkafir); Selanjutnya Q.S. al-Anfal (8): 39
: ) .
(Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata bagi
Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan).
127
A Yani Abeveiro, Bermula Dari Al-Ikhawan Al-Muslimun: Menyeru Jihad
Menebar Teror, dalam dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The
Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 370

161

2. Saudi Arabia/Afghanistan
Di Saudi Arabia terdapat gerakan keagamaan yang bersifat konservatif
reformis dari kalangan Islam Sunni yang disebut Wahabi (Wahhbiyah). Nama
ini diambil dari nama pendirinya Muhammad ibn Abd Wahhb pada sekitar
akhir abad 18 dan awal abad 19 bertujuan melakukan purifikasi agama.
Sekalipun gerakan ini tidak di akui eksistensinya pada masa pemerintahan
Ottoman tahun 1920an, namun sejak tahun 1920, gerakan Wahabi berkembang
dengan pesat dan dianut di Saudi Arabia.
Perkembangan gerakan Wahabi dapat diklasifikasikan pada dua aspek
yakni tarbawi dan haraki. Wahabi Tarbawi lebih memusatkan perhatiannya pada
bidang pendidikan, sementara Wahabi Haraki menitikberatkan aktivitasnya pada
dimensi amar maruf nahi mungkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran). Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia
(SDM), pemerintah Wahabi-Saudi dengan dukungan kekayaan sumber mineral
berupa minyak mampu membangun sarana pendidikan tidak hanya di negara
Saudi tetapi juga di negara-negara Muslim di dunia. Selain itu, menyebarluaskan
buku-buku Wahabi ke seluruh pelosok dunia. Pasca Perang Dunia II, pemerintah
Saudi menerapkan kurukulum pendidikan dasar berbasis pengajaran doktrin
Wahabi.128 Juga seperti kurikulum di sekolah, universitas, dan lembaga
pendidikan diseragamkan. Demikian halnya buku-buku yang masuk ke Saudi
diseleksi secara ketat, hanya buku yang sesuai dengan paham Wahabi saja yang
diperbolehkan, sementara pengajaran mazhab dan pemikiran Islam diawasi
ketat. Sejumlah gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir,
Jamaah Tabligh, dan Tanzim al-Jihad dilarang eksis di Saudi.129

Paham

Wahabi juga dikembangkan melalui pemberian beasiswa kepada mahasiswa


asing, pembangunan sejumlah mesjid, pendistribusian sejumlah buku mengenai

128

Stephen Schwartz, Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in
Terrorism, Ist ed. (New York: Doubleday, 2003), h. 120
129
Lihat: http://elqudsy.blogspot.com/2006/01/akibat_kesepakatan_mekah.html, diakses
15 Agustus 2008

162

doktrin Wahabi,130 dan lewat jamaah haji yang datang ke Tanah suci (Mekah
dan Madinah) dari berbagai penjuru dunia setiap tahun. Misalnya, di Indonesia
nampak pada pengamalan keagamaan persyarikatan Muhammadiyah.131
Adapun Wahabi Haraki lebih mengarah pada kepedulian sosial seperti
penggalangan dana untuk membantu penderitaan yang dialami sesama umat
Islam seperti perang Afghanistan dan perlawanan rakyat Palestina terhadap
agresor Israel. Pemberian bantuan lebih diperioritaskan pada bantuan
sukarelawan mujahidin Arab yang berjuang di Afghanistan. Usamah bin Ladin
mendirikan organisasi Al-Qaeda pada 1988 di Afghanistan dalam rangka
menggalang dana sosial (fundraising) dari donatur Muslim lainnya terutama
yang berada di Saudi Arabia.132 Selanjutnya ia merekrut dan membawa
sukarelawan ke kamp latihan di Peshawar (Pakistan) kemudian menyalurkan
mereka ke faksi-faksi pejuang Afghanistan. Jadi organisasi Al-Qaeda pada awal
berdirinya hanyalah merupakan sebuah lembaga kecil yang bertujuan untuk
merekrut dan membiayai para sukarelawan Arab (mujahidin) baik yang akan
diberangkatkan ke medan pertempuran maupun yang tewas dan luka-luka dalam
perang melawan serdadu Uni Soviet di Afghanistan. Usamah menghabiskan
anggaran pribadi sekitar US $25,000 perbulan untuk pendanaan mujahidin
disamping dana sosial.133 Di samping sebagai donatur yang signifikan, Usamah

130
Lihat: Wahhabism, http://en.wikipedia.org/wiki/Wahhabi, diakses tanggal, 18
Agustus 2008
131

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta,18 November 1912 oleh KH.


Ahmad Dahlan. Salah satu tema sentral yang diusung adalah purifikasi ajaran Islam dari TBC
(Takhayul, Bidah dan Churafat-dalam ejaan lama) dengan meniru semboyan Muhammad
Abduh al-rujuu ila al-Quran wa al-sunnah (kembali kepada Alquran dan al-Sunnah).
Kemiripan isu-isu yang usung antara Wahabiyah dan Muhammadiyah dapat dipahami karena
keduanya banyak merujuk kepada pemikiran pembaharu Islam seperti Ibn Taimiyah.
132

Ready Susanto, Osama Bin Laden: Jihad Sepanjang Hayat , Cet. II (Bandung: PT
Kiblat Buku Utama, 2001), h. 77-78; Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia (London:
Lynne Rienner, 2003), h. 5
133

Lihat: Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia (London: Lynne Rienner,

2003), h. 6

163

juga dijadikan sebagai konsultan dan planner gerakan dan bahkan membangun
kamp pelatihan militer dekat Peshawar.134
Pasca perang Afghanistan melawan Uni Soviet yang dimenangkan
mujahidin Afghanistan, Usamah bin Ladin semakin kritis terhadap kebijakan
pemerintah Kerajaan Saudi Arabia seperti mempertanyakan keberadaan pasukan
tempur Amerika dan sekutunya di Jazirah Arab. Sebenarnya Usamah bin Ladin
pada awalnya hidup harmonis dengan keluarga Kerajaan yang ditandai dengan
pelaksanaan beberapa proyek di Saudi seperti pelebaran bangunan masjidil
Haram oleh perusahaan bin Ladin. Akan tetapi setelah pemerintah Kerajaan
mengizinkan serdadu Amerika dan sekutunya berpangkalan di Saudi maka
Usamah bin Ladin tidak dapat menerimanya. Karena sikap kritisnya tersebut
sehingga pemerintah kerajaan mencabut kewarganegaraannya dan selanjutnya
Usamah hijrah ke Sudan. Di tempat yang baru ini, ia memperlebar visi gerakan
jihadnya di berbagai negara dengan cara menjalin kerjasama internasional
dengan gerakan Islam lainnya, dan bahkan sudah eksis di Eropa dan Kanada.135
Karena gerakan Al-Qaeda dinilai berpotensi membahayakan pihak non Islam
terutama Amerika Serikat, maka Amerika mendesak pemerintah Sudan untuk
mengusirnya. Setelah diusir dari Sudan tahun 1996, Usamah bergabung dengan
gerakan radikal Taliban. Dia menggunakan kekuatan diplomatik dan
ekonominya untuk pembanguan Taliban termasuk membangun infrastruktur,
serta menghabiskan dana sekitar $100 juta pertahun.136 Pengorbanan yang
dilakukan

Usamah

tersebut

terimotivasi

oleh

suatu

keinginan

untuk

membebaskan umat Islam dari kolonialisasi dan westernisasi yang terjadi di


sejumlah negara Muslim.

134

Menurut catatan polisi Jerman, jumlah umat Islam yang ditraining di Kamp ini
70.000 orang, sementara the US Central Intelligence Agency (CIA) mengestimasi 15.000 20.000 orang. Dari Indonesia tercatat kurang lebih 272 orang yang pernah di training di kamp
ini diantaranya Jafar Umar Thalib, Ridwan Isamuddin (Hambali), Imam Samudra, Amrozi.
Lihat: Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia (London: Lynne Rienner, 2003), h. 6-10
135

Steven Emerson, Jihadism: Where is it?, The Sydney Papers, Vol. 18 No. 2, 2006, h.

66
136

Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia (London: Lynne Rienner, 2003), h.

5-6

164

Kebesaran nama Al-Qaeda tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya


menjalin aliansi dengan organisasi Islam lainnya seperti Tanzm al-Jihd
(Jamaah Tanzm al-Jihd) biasa disingkat al-Jihd (Mesir), Hizbullah (Iran),
Front Nasional Islam (Sudan), Harakatul Mujahidin (Pakistan), kelompok Abu
Sayyaf (Philipina), dan Jamaah Islamiyah (Asia Tenggara). Selain itu, citra AlQaeda semakin terkenal berkat pemberitaan media Barat terutama pasca
serangan bom mobil ke WTC pada Februari 1993 dan pengeboman WTC dan
Pentagon pada 11 September 2001 dimana AS menuduh Al-Qaeda berada
dibelakang aksi tersebut.137
Sejalan dengan perkembangan zaman, obsesi Al-Qaeda berkembang dari
penopang dana mujahidin Afganistan menjadi organisasi radikal Islam yang
konsern terhadap kondisi umat Islam di seluruh dunia. Bentuk kepeduliannya
dibuktikan dengan mengajak dunia Islam untuk bangkit melawan hegemoni
Barat melalui jihad (perang). Bagi Usamah, Barat telah menginjak-injak harkat
dan martabat umat Islam seperti invasi Amerika ke Irak dan Afganistan serta
keberadaan tentara Amerika di tanah suci (Mekah dan Madinah). Untuk itu
semua maka Usamah bin Ladin mengeluarkan fatwa kewajiban jihad bagi setiap
Muslim yang mampu.138
Resolusi jihad yang dikomandokan Usamah bin Ladin tersebut
dimaksudkan untuk membebaskan umat Islam dari kolonialisasi, sekulerisasi
dan hegemoni Barat dalam rangka menjadikan umat Islam bersifat otonomi dan
independen dari pengaruh Barat. Seruan jihad tersebut disertai dukungan dana
yang cukup signifikan berdampak pada kekhawatiran Amerika dan antekanteknya terhadap keseriusan perjuangan gerakan Al-Qaeda. Kekhawatiran
semacam itu cukup beralasan karena Amerika menyadari bahwa komitmen jihad
Usamah bin Ladin tidak dapat disepelehkan melihat traekrekordnya ketika
mereka beraliansi melawan Uni Soviet di Afghanistan. Implikasinya adalah aksi

137

Ready Susanto, Osama Bin Laden: Jihad Sepanjang Hayat , Cet. II (Bandung: PT
Kiblat Buku Utama, 2001), h. 77-78; Bandingkan dengan: Sukawarsini Djelantik, Terorisme
dan Kerjasama Internasional, JurnalIlmiah Hubungan Internasional, Vol. 3 No. 7, 2007, h. 591
138

Mengenai isi fatwa jihad Usama bin Ladin dapat dilihat pada pembahasan
sebelumnya.

165

teror yang terjadi di negara Amerika termasuk sekutu-sekutunya senantiasa


dituduhkan pada Al-Qaeda sebagai otak dibalik aksi kekerasan tersebut seperti
pengeboman WTC dan Pentagon 11 September 2001 yang sampai sekarang
belum ada ketetapan tentang kebenaran tuduhan tersebut. Kemarahan Amerika
terhadap pengeboman itu dijadikan sebagai salah satu alasan melakukan invasi
ke Irak dengan jargon perang terhadap terorisme (war on terror) karena ada
kaitannya antara Irak dan Al-Qaeda. Padahal, serangan Amerika ke Irak atas
dasar memerangi terorisme itu tidak relevan karena tidak ada kaitan antara Irak
dengan organisasi Al-Qaeda.139 Al-Qaeda, bagi Amerika, merupakan gerakan
yang menakutkan. Selain di Afghanistan/Saudi Arabia, perlu juga ditelusuri
gerakan Islam yang dianggap radikal di Palestina.

3. Palestina
Salah satu gerakan Islam di Palestina adalah Hamas (Harakat alMuqwamah al-Islmiyah atau Islamic Resistance Movement). Gerakan ini
didirikan oleh Syeikh Ahmed Yassin dan Muhammad Tha pada tahun 1987
dengan tujuan untuk mewujudkan kemerdekaan negara Palestina dan menolak
invasi Israel ke negara tersebut.140 Gerakan ini tidak dikategorisasikan sebagai
kelompok radikal (teroris) seperti yang diklaim oleh Amerika dan Israel141 tetapi
gerakan yang memperjuangan kemerdekaan Palestina dari kolonialisasi Zionis
Israel sejak 1948.142 Gerakan Hamas pada dasarnya adalah perluasan gerakan
Ikhawanul Muslimin yang dibentuk Hasan Al-Banna di Mesir yang berbasis di
Jalur Gaza dan West Bank. Mereka membantu korban perang dengan Israel dan
139

Sukawarsini Djelantik, Terorisme dan Kerjasama Internasional, JurnalIlmiah


Hubungan Internasional, Vol. 3 No. 7, 2007, h. 587
140

Lihat Hamas: http://en.wikipedia.org/wiki/Hamas, diakses tanggal 11 Oktober 2008

141

Hamas: The Organizations, Goals and Tactics of a Militant Palestinian Organization.


Lihat: http://www.fas.org/irp/crs/931014-hamas.htm, diaskes tanggal 11 Oktober 2008-10-12
142
K.M. Sajad Ibrahim, The Question of Terrorism: Hamas and Islamic Jihad in the
Middle East Peace Process, India Quarterly: A Journal of International Affairs, Vol. LIX No.
3 & 4, 2003, h. 239-240

166

kadangkala terlibat dalam perlawanan melawan Israel. Sejak tahun 1967, fungsi
gerakan Ikhwanul Muslimin ini diambil alih oleh Mujama (organisasi sosial)
pimpinan Ahamed Yassin, dan anggota kelompok ini berkiprah di intifada
(tahun 1987) dengan nama Hamas dan didukung oleh Ikhwanul Muslimin.
Selama intifada tersebut, Hamas telah memberikan konstribusi yang
signifikan untuk peningkatan kondisi sosial dan keagamaan masyarakat,
peningkatan infrastuktur di bidang pendidikan dan kebudayaan di Jalur Gaza
dan West Bank, dan berimplikasi kepada penguatan politik pada kedua wilayah
tersebut. Gerakan Hamas sangat dikenal dengan usaha Badan amal (charity)
untuk kemanusiaan termasuk membangun fasilitas ibadah serta pengadaan
sarana pendidikan dan kesehatan. Bagi komunitas Jalur Gaza dan West Bank,
termasuk pengungsi, Hamas merupakan gerakan penyelamat karena ideologi
dan gebrakan sosialnya. Antara ide dan aksi dijalankan secara bersamaan di
Hamas sehingga eksistensinya berakar di masyarakat.143 Dalam hal ini, Hamas
mendapat simpati dari kalangan grassroot, tetapi tidak sejalan dengan PLO.
Hamas berseberangan dengan Palestinian League Organization (PLO)
pimpinan Yasser Arafat yang mengakui sebagai satu-satunya organisasi
representasi rakyat Palestina. Hamas mengadakan perlawanan terhadap Israel
dengan menggunakan gerakan bawah tanah dan melancarkan serangan bom
bunuh diri ke Militer Israel dan Yahudi. Aksi bom bunuh diri meningkat ketika
Israel melancarkan pengeboman terhadap Hamas dengan alasan melawan
jaringan teroris setelah bom WTC 2001.144 Alasan pengeboman Israel tersebut
tampaknya sebagai justifikasi aksi bom yang dilakukannya sehingga tidak
dikecam.
Hamas juga berpartisipasi aktif di arena politik dan memperoleh
keberhasilan

terutama

sejak

meninggalnya

Yasser

Arafat.

Mereka

memenangkan pemilihan umum di daerah Gaza, Qalqilya dan Nablus, dan


143

K.M. Sajad Ibrahim, The Question of Terrorism: Hamas and Islamic Jihad in the
Middle East Peace Process, India Quarterly: A Journal of International Affairs, Vol. LIX No.
3 & 4, 2003, h. 243-244
144
K.M. Sajad Ibrahim, The Question of Terrorism: Hamas and Islamic Jihad in the
Middle East Peace Process, India Quarterly: A Journal of International Affairs, Vol. LIX No.
3 & 4, 2003, h. 247-248

167

bahkan mendominasi anggota di parlemen Palestina dengan meraih 76 kursi dari


132 pada Januari 2006. Salah satu sebab keberhasilan Hamas dalam pemilihan
tersebut adalah hilangnya kepercayaan masyarakat Palestina terhadap kelompok
Fatah yang dinilai korupsi dan tidak efektif dalam menangani kasus Palestina.
Selain itu, Hamas mensosialisasikan semboyan persoalan Palestina tidak bisa
diselesaikan kecuali dengan jihad.145 Keberhasilan menguasai kursi di
parlemen tersebut mengantarkan Ismail Haniyah sebagai Perdana Menteri
Palestina tetapi kepemimpinan Ismail tidak berhasil menyelesaikan tugasnya
karena pergolakan politik dan perselisihan antara faksi Hamas dan Fatah serta
intervensi Amerika dengan melakukan embargo ekonomi terhadap pemerintahan
Palestina.146 Jadi, kegagalan Hamas dalam memimpin Palestina disebabkan oleh
faktor internal dan ekternal.
Selain aktif di bidang politik, Hamas juga memiliki basis militer yang
dinamai dengan Izz al-Din al-Qassam 147 dan dibentuk pada tahun 1992.
Berbagai aksi kekerasan dan perlawanan dilancarkan Hamas dalam rangka
membebaskan Palestina dari kolonialisasi Israel antara lain dengan peledakan
bom bunuh diri di Dolphinarium, Hebron West Bank.
Hamas juga terus berseberangan dengan kelompok Islam Fatah di Jalur
Gaza, namun dalam beberapa tahun terakhir upaya perdamaian antara kedua
kelompok tersebut terus diupayakan. Inisiatif rekonsiliasi dicetus tanggal 27 Juni
2006, dan penandatanganan perjanjian tersebut dilaksanakan tanggal 2 Februari
2007. Penandatanganan tersebut tidak berlangsung lama karena perselisihan
muncul lagi ketika Fatah mengambilalih kekuasaan dan memecat anggota
Hamas dari jajaran pemerintahan tanggal 14 Juni 2007.148 Penjelasan di atas

145

Lihat Hamas: http://en.wikipedia.org/wiki/Hamas, diakses tanggal 11 Oktober 2008

146
Country Report on Terrorism. Lihat:
http://www.nps.edu/Library/Research/SubjectGuides/SpecialTopics/TerroristProfile/Current/HA
MAS.html, diakses tanggal 11 Oktober 2008
147

Nama tersebut terambil dari nama pejuang Arab, syaikh Izz al-Din al-Qassam, dan
dibunuh oleh pasukan Inggeris pada tahun 1935
148

Lihat Hamas: http://en.wikipedia.org/wiki/Hamas, diakses tanggal 11 Oktober 2008

168

menunjukkan bahwa kelompok Islam di Palestina memiliki problem yang serius


yakni perlawanan dan perjuangan untuk memerdekakan Palestina dari
kolonialisasi Israel dan persoalan internal umat Islam dalam rangka
memperebutkan kekuasaan.
Selain Hamas, kelompok Islam lainnya di Palestina adalah gerakan Jihad
Islam Palestina (Harakat al-Jihad al-Islami al-Falastini atau Palestinian Islamic
Jihad-PIJ). Gerakan ini dibangun oleh fundamentalis Muslim, Fathi Syaqaqi dan
Abd Aziz Auda (pelajar) di Kairo pada tahun 1979. Gerakan tersebut merupakan
sempalan dari Ikhwanul Muslimin cabang Jalur Gaza karena kecewa dengan
sikap elit Ikhwanul Muslimin yang menurut mereka tidak terlalu tegas dalam
berjuang. Aktivis gerakan ini mengoperasikan kelompoknya masih berbasis di
Kairo sampai tahun 1981 karena dilarang di Kairo akibat keterlibatan mereka
terhadap pembunuhan Anwar Sadat. Kemudian gerakan tersebut eksis di Jalur
Gaza sampai 1987 dan setelah itu basis gerakan itu berpindah-pindah
dikarenakan keterlibatan mereka dalam berbagai aksi teror diantaranya bom
mobil turis tahun1994, bom supermarket Tel Aviv tahun 1996, bom bunuh diri
di restoran Haifa tahun 2003 dan di Eliat Bakery tahun 2007.
Salah satu tujuan gerakan ini adalah mendirikan negara Islam Palestina
dan menghancurkan negara Israel karena mereka menduduki wilayah teritorial
Palestina.149 Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, gerakan jihad Islam
Palestina memiliki komitmen bahwa kekerasan merupakan satu-satunya cara
untuk memerdekakan Palestina serta mereka menolak mengadakan negosiasi
atau cara diplomatis lainnya dengan Israel.150 Gerakan jihad Palestina lebih
berafliasi dan memiliki hubungan yang intens dengan kelompok-kelompok
radikal di Iran, Lebanon karena mereka memiliki ideologi yang sama yakni
syiah. Mereka juga bekerja sama dengan Tandzm al-Jihd di Mesir.151

149

Alden Oreck, Palestinian Islamic Jihad. Lihat:


http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/Terrorism/PIJ.html, diakses tanggal 11 Oktober
2008
150

Palestinian Islamic Jihad. Lihat:


http://www.cfr.org/publication/15984/palestinian_islamic_jihad.html, diakses tanggal 10
Oktober 2008

169

Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa Hamas dan PIJ merupakan dua


organisasi yang memiliki kesamaan cita-cita yakni memerdekakan Palestina dari
penjajahan Israel. Perbedaannya adalah kalau Hamas lebih luas ruang geraknya
mencakup bidang politik dan militer sedangkan PIJ merupakan organisasi yang
tidak terlibat dalam kedua bidang tersebut, mereka hanya melalukan kekerasan
yang bersifat insidentil. Perbedaan lainnya adalah Hamas beraliran Sunni
sementara PIJ adalah Syiah.
Pembahasan selanjutnya adalah gerakan radikal Islam di Indonesia
terutama gerakan di era kontemporer, yang diduga, memberikan stimulasi
terhadap munculnya aksi kekerasan di Indonesia.

4. Indonesia
Di Indonesia, ditemukan kelompok-kelompok umat Islam yang dianggap
sebagai radikal dan mereka kadangkala berbeda dalam melakukan aksi untuk
mencapai tujuannya. Menurut Jamhari dan Jajang Jahroni, terdapat beberapa
kelompok masyarakat Islam Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai
kelompok salafi radikal Islam antara lain: Majlis Mujahidin Indonesia (MMI),
Hizbuttahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad, dan Front Pembela Islam (FPI).152
Namun, ada juga yang keberatan dikategorikan sebagai radikal seperti HTI
karena mereka tidak melakukan aksi kekerasan di masyarakat.
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), didirikan 7 Agustus 2000 dalam
Kongres Majelis Mujahidin Indonesia I di Yogyakarta, bertujuan membentuk
negara Islam (Daulah Islmiyah) karena aktivis MMI berkeyakinan bahwa
Islam itu adalah agama dan negara (al-dn wa al-dawlah). Dalam perspektif
MMI, penegakkan syariat Islam merupakan solusi dalam menjawab persoalan
multikrisis di Indonesia. Oleh karena itu, latar belakang terbentuknya MMI
antara lain: Pertama, keinginan sebagian umat Islam untuk membentuk negara
Islam baik pada level nasional maupun internasional. Kedua, keprihatinan
151

Michael Donovan, Palestinian Islamic Jihad. Lihat:


http://www.cdi.org/terrorism/pij.cfm, diakses tanggal 11 Oktober 2008
152
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 47-189

170

terhadap gerakan Islam yang

mempunyai misi pembentukan negara Islam

termasuk penegakan syariat Islam karena mereka dicurigai, dimata-matai


sebagai gerakan yang memiliki keterikatan dengan kelompok pemberontak
DI/TII Kartosuwiryo. Ketiga, keprihatinan terhadap dinafikannya eksistensi
Islam dan umat Islam serta dibatasi ruang geraknya dalam mengaplikasikan
ajaran Islam padahal umat Islam merupakan penduduk dominan di Indonesia
(87.2 %), 153 serta hak-hak sosial, politik dan keagamaan umat Islam diambilalih
oleh golongan minoritas dalam kurun waktu yang lama. Keempat, berbagai
krisis di Indonesia tidak akan teratasi dengan baik karena pemerintah tidak
memiliki komitmen keislaman yang kuat. Lemahnya komitmen tersebut
terindikasi dengan rendahnya moral dan lemahnya akidah umat Islam karena
mereka tidak menerapkan syariat Islam dalam pembentukan hukum positif di
Indonesia serta adanya konspirasi Barat-Zionis yang disambut baik terutama
pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid ditandai dengan diangkatnya
Geroge Soros, Henry Kissinger dan Lee Kuan Yew sebagai penasehatnya.
Dalam pandangan MMI, para penasehat tersebut menginginkan agar Indonesia
bercerai-berai dengan memprovokasi komunitas di daerah untuk mengangkat
hal-hal yang berkaitan dengan kekayaan dan sumber daya alam.154 Faktor
internal dan eksternal tersebut yang melatarbelakangi terbentuknya MMI.
Gerakan MMI pimpinan Abu Bakar Baasyir, sekarang diberitakan
mengundurkan diri karena perbedaan pendapat dengan para petinggi MMI,
dalam melaksanakan jihadnya (cita-citanya) cenderung bersifat prosedural,
persuasif dan menghindari kekerasan. MMI misalnya mengajukan usulan
amandemen UUD 1945 dan usulan Undang-Undang Hukum Pidana Republik
Indonesia disesuaikan dengan syariat Islam kepada pemerintah, DPR dan MPR.
Draft tersebut juga memuat aturan-aturan khusus seperti kepemimpinan
dipegang oleh umat Islam, pelaksanaan hukuman mati bagi Muslim yang murtad
dan mengajak non Muslim untuk masuk Islam. Di sisi lain, MMI memiliki sifat
153

Biro Pusat Statistik (BPS), Jumlah Penduduk Menurut Agama Tahun 2005 (Jakarta:

2005.
154

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 50-51

171

antagonisme terhadap kelompok non Muslim melalui berbagai tulisan dan


wacana mereka dalam berdakwah dan termasuk pada pertemuan resmi dalam
kongres Mujahidin II di Solo, misalnya dengan mengucapkan al-salmu
alaikum (keselamatan bagimu) bagi muslim dan al-sammu alaikum (celaka
bagimu) untuk non Muslim.155
Selain itu, MMI juga mensosialisasikan pemahaman antara lain bahwa
konflik Aceh, Poso dan perang Israel-Palestina merupakan rekayasa Barat
sebagai representasi Kristen dan Yahudi; membentuk opini dan kemarahan
pengikutnya dengan membeberkan foto atau dokumentasi penyiksaan
sebahagian umat Islam oleh orang-orang kafir; serta memotivasi mereka bahwa
Islam akan meraih suatu kemenangan kelak dan akan menghancurkan dominasi
Barat (Kristen). Menurut mereka jihad dalam arti peperangan fisik hanya
berlaku di medan jihad seperti Ambon, Poso dan Palestina.156 Karena sikapnya
tersebut, maka pemimpin MMI Abu Bakar Baasyir misalnya diduga sebagai
otak dalam aksi pengeboman di Indonesia seperti di Hotel J.W. Marriot dan
kedubes Australia di Jakarta.
Dugaan keterlibatan tersebut sebagai implikasi hubungan networking
antara pelaku pengeboman dengan Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar
dimana mereka sebagai anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang memiliki
networking dengan kelompok Al-Qaeda. Jamaah Islamiyah merupakan jaringan
transnasional terutama di Asia Tenggara seperti Malaysia, Philipina dan
Indonesia. Pengeboman Bali I dan beberapa pengeboman di tempat atau sarana
Barat (Australia dan Amerika), Stock Exchange, dan kedutaan Philipina di
Jakarta yang dilakukan oleh anggota kelompok fundamentalisme Muslim yang
pernah direkrut dan ditraining oleh Jamaah Islamiyah memiliki hubungan

155

Muhammad Iqbal Ahnaf, MMI dan HTI: The Image of the Others, dalam A.
Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro, Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SRIns Publishing, 2004), h. 701-704
156

Muhammad Iqbal Ahnaf, MMI dan HTI: The Image of the Others, dalam A.
Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SRIns Publishing, 2004), h.711-718

172

khusus dengan Abu Bakar Baasyir, Abdullah Sungkar.157 Sekalipun MMI dan
JI tidak pernah mengakui akan adanya keterkaitan kelompok mereka dengan AlQaeda tetapi indikasi pertemanan kelompok tersebut menunjukkan bahwa
mereka memiliki ikatan emosional dan ideologi terutama ketika anggota
kelompok tersebut di training di Peshawar (Pakistan) dan bahkan terlibat
peperangan di Afghanistan.
Kelompok radikal salafi Indonesia yang kedua adalah Hizbuttahrir
Indonesia (HTI). HTI memiliki kesamaan dengan MMI terutama berkaitan
dengan keinginan mereka mendirikan negara Islam. HTI mengusung ide Pannasionalisme

yang

bertujuan

mewujudkan

kembali

masa

keemasan

pemerintahan Islam (khilafah Islamiyah )158 pada abad pertama hingga awal abad
pertengahan. Basis HTI adalah Hiszuttahrir (HT) dibentuk oleh Taqiyuddin AlNabhani tahun 1953 di Amman dan organisasi ini merupakan organisasi
transnasional dan eksis di berbagai negara antara lain Inggris, Jerman, Amerika
termasuk negara bekas jajahan Uni Soviet.159
Dasar pendirian kelompok politik ini didasarkan pada Alquran (Q.S. Ali
Imran (3): 104) yang berwenang mengajak kepada kebaikan dan melarang
berbuat kemungkaran (amar maruf nahi munkar). Partai politik Islam adalah
partai yang berasaskan akidah Islam dan menetapkan pemikiran, hukum serta
menyelesaikan

berbagai

persoalan

dengan Islami.

Metode
160

operasionalisasinya adalah mencontohi metode Rasulullah.

(tharqah)

Jadi, dua konsep

yang menyebabkan HT diterima oleh berbagai simpatisan dalam melaksanakan


misinya adalah fikrah (pemikiran) tharqah (metode).

157
Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of Terror (London:
Lynne Rienner Publishers, 2003), h. 164-165
158
Lihat: Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Daulah al-Islmiyyah, diterjemahkan oleh Umar
Faruq dengan Judul Daulah Islam, Cet. III (Jakarta: HTI Press, 2007), h. 273-279
159

Hizbuttahrir, Hizb al-Tahrir wa Manhaj Hizb al-Tahrir fi Taghyr diterjemahkan


oleh Abu Afif dan Nur Khalish dengan Judul Mengenal Hizbu Tahrir dan Strategi Dakwah
Hizbut Tahrir Cet. II (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), h. 8
160
Hizbuttahrir, Hizb al-Tahrir wa Manhaj Hizb al-Tahrir fi Taghyr diterjemahkan
oleh Abu Afif dan Nur Khalish dengan Judul Mengenal Hizbu Tahrir dan Strategi Dakwah
Hizbut Tahrir Cet. II (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), h. 8

173

Pada tataran fikrah, HT menawarkan konsep-konsep yang berbeda


dengan kelompok politik Islam konvensional. HT mengadakan kajian, penelitian
terhadap persoalan umat kemudian membandingkan dengan kondisi yang terjadi
pada masa Rasulullah, Khulafa Rasyidin dan masa tabiin kemudian dicarikan
dan ditetapkan solusinya semata-mata berdasarkan kepada akidah dan syariat
Islam (Alquran, hadis, ijma sahabat dan qiyas). Pemikiran dan hukum yang
sudah menjadi konsensus dituangkan dan disosialisasikan di berbagai media
terutama buku-buku dan selebaran yang diterbitkannya sendiri, kemudian
didistribusikan

ke

masyarakat

sehingga

mereka

mau

menerima

dan

mengamalkannya serta mensosialisasikannya agar bisa diaplikasikan dalam


pengelolaan pemerintahan.
Sedangkan pada tataran tharqah (metode), HT melakukan dakwah
dengan mencontohi metode Nabi saw dengan tiga tahap yaitu pembinaan dan
pengkaderan, interaksi dan pengembangan jaringan. Pembinaan dilakukan
secara intensif dalam halaqah-halaqah Hizb untuk menyampaikan ide-ide
sehingga

anggotanya memiliki

komitemen

yang

sama

dalam

Islam,

berkepribadian (akal dan jiwa) Islami. Konsentrasi tahap awal ini adalah
perbanyak anggota dan simpatisan HT. Tahapan kedua adalah melakukan
interaksi dengan masyarakat dan membentuk partai yang terdiri dari anggota
yang memiliki kesamaan visi. Tahapan terakhir adalah membentuk suatu
kekuatan untuk tidak toleran terhadap dominasi Barat (Kristen), pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat negara dan masyarakat Muslim lainnya. Oleh
karena itu, mereka cenderung berseberangan dengan pemerintah atau
penguasa.161 Prinsip dan komitmen tersebut juga diadopsi oleh Hizbuttahrir
Indonesia (HTI) yang hadir di Indonesia sekitar tahun 1980an. Gerakan ini
terkenal di kalangan akademisi dengan kelompok tariyah dan usrah. Sekalipun
gerakan ini tidak terlalu popular karena tidak adanya tokoh sentralnya, gerakan
ini

lebih konsern pada pembangunan infrastruktur, pengkaderan dan

pembentukan cabang-cabang yang diperkirakan sebagai basis pengembangan


161
Hizbuttahrir, Hizb al-Tahrir wa Manhaj Hizb al-Tahrir fi Taghyr diterjemahkan
oleh Abu Afif dan Nur Khalish dengan Judul Mengenal Hizbu Tahrir dan Strategi Dakwah
Hizbut Tahrir Cet. II (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), h. 35-45

174

HT.162 Jadi, HT menggunakan wacana strategis antara lain mempromosikan


metodologi HT, mengkritisi sistem sekuler termasuk tidak toleran terhadap
pemimpin Muslim yang melanggar syariat Islam, serta mereka tidak konservatif
dan revolusioner dalam melaksanakan misinya.
Gerakan Islam lain di Indonesia adalah Laskar Jihad (dibentuk di Solo
tanggal 14 Februari 1999 oleh Jafar Umar Thalib). Gerakan ini dibentuk
sebagai respon terhadap kelambanan pemerintah menangani kasus kerusuhan di
Ambon (19 Januari 1999) yang berimplikasi pada korban jiwa dan hancurnya
sarana dan prasarana umum dan pemukiman penduduk. Efek dari kerusuhan
tersebut menurut Kapolri, adalah 22 orang meninggal dunia, 102 luka serius dan
45 luka ringan. Kerusuhan juga menyebabkan rusaknya 107 rumah penduduk, 7
tempat ibadah, 2 pasar, 2 bank, 33 toko, 12 kios, 22 mobil, 25 sepeda motor dan
216 becak. 163 Pada dasarnya kerusuhan tersebut diawali konflik etnis untuk
mengusir pendatang terutama etnis yang dikenal dengan BBM (Bugis, Buton
dan Makassar) karena etnis ini tampaknya mendominasi perekonomian di pasarpasar tradisional Ambon. Kerusuhan atas dasar etnis ini dikembangkan menjadi
kerusuhan yang bernuansa agama karena terjadi pembantaian terhadap umat
Islam. Pengalihan konflik etnis menjadi konflik syara dimungkinkan karena
pada umumnya etnis BBM beragama Islam, sementara entis asli Ambon
beragama Kristen. Analisis lain mengungkapkan bahwa konflik Ambon sebagai
implikasi konflik elit politik dan TNI di Jakarta yang mencoba memperjuangkan
kepentingan masing-masing pihak untuk memperjuangkan perolehan kekuasaan
di tingkat komunitas.164

162
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 165
163
Mohammad Shoelhi, Laskar Jihad: Kambing Hitam Konflik Maluku (Jakarta: Puzam,
2002), h. 12
164

David Michael, Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in
Indonesia, Contemporary SouthEast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs,
Vol. 24 No. 1, 2002, h. 16; Bandingkan dengan (seperti dikutip dari David): George Aditjondro,
Guns, Pamphlets and Handie-Talkies: How the Military Exploited Local Etno-Religious
Tensions in Maluku to Preserve Their Political and Economic Privileges, Makalah di
presentasikan pada Confrence on Conflicts and Violence in Indonesia, Universitas Humboltd
Jerman, 3-5 Juli 2000

175

Dalam analisis Jamhari dan Jajang Jahroni, pembentukan Laskar Jihad


dilatarabelakangi oleh kondisi sosial dan penderitaan umat Islam dalam konflik
Ambon, dan kondisi sosial politik Indonesia dengan terbukanya pintu reformasi
yang menuntut perbaikan secara menyeluruh sehingga memungkinkan gerakan
tersebut, termasuk gerakan Islam lainnya, mengekspresikan ideologi mereka.165
Sebagai langkah awal, Laskar Jihad mengirim utusan yang terdiri dari tujuh
orang untuk melihat secara langsung kondisi konflik Ambon, dan selanjutnya
dilaporkan ke dewan pimpinan. Laporan Tim Tujuh ini dikonsultasikan dengan
Ahlu Sunnah wal Jamaah (ASWJ) di Saudi Arabia dalam rangka meminta fatwa
tentang jihad di Ambon. Fatwa tersebut menetapkan kewajiban individu (fardu
ain) untuk berjihad di Ambon.166
Pendelegasian anggota Laskar Jihad ke Ambon dalam rangka jihad tidak
saja dilakukan secara fisik, tetapi juga terlibat dalam aktifitas sosial seperti
pengajian, pendidikan dan membuka klinik.167 Pengadaan sarana tersebut
tentunya bersifat sementara untuk menolong warga Ambon. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa ketrampilan militer (perlawanan fisik) pasukan Laskar Jihad
ini karena ada kerja sama dengan green military (TNI) dan polisi yang
berbasis agama. Gerakan ini juga diduga memperoleh dukungan dana dari
berbagai negara antara lain New Jersey (Amerika), Malaysia dan Singapura
termasuk dari kalangan Cendana. Menurut sumber tersebut, pihak Cendana
menghendaki agar pemerintahan Abdurrrahman Wahid dan Megawati Sukarno
Putri tidak stabil sekalipun klaim tersebut dibantah oleh Jafar Umar Thalib.168
Sumber dana tersebut bisa saja dijadikan modal untuk pergerakan tersebut.
165

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 86
166

Penjelasan tentang fatwa dari beberapa ulama dapat dilihat dalam Ustadz Jafar Umar
Thalib Menepis Rekayasa Fatwa Seputar Jihad di Maluku dalam Salafy, edisi 34, 2000, h. 6-7.
Dikutip dari: Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 100-104
167

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 104
168
David Michael, Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in
Indonesia, Contemporary SouthEast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs,
Vol. 24 No. 1, 2002, h. 19

176

Keterlibatan Laskar Jihad di daerah konflik baik di Ambon maupun di


Maluku sebenarnya bukanlah aksi sesaat tapi itu merupakan embrio dari
implikasi pemahaman Jafar Umar Thalib yang terobsesi untuk menerapkan
syariat Islam di Indonesia. Jafar Umar Thalib pernah mengemukakan visi
tersebut saat bertemu dengan Usamah bin Ladin pada tahun 1987 dan
berkunjung ke Kamp Usamah,169 bahkan ada yang mengatakan sebagai
mujahidin di Afghanistan saat perang dengan Uni Soviet.170 Pertemuan tersebut
diduga bahwa Laskar Jihad memiliki keterkaitan dengan Al-Qaeda, tetapi
Laskar Jihad tidak mengakuinya. Secara formal, Laskar Jihad bertujuan untuk
menerapkan syariat Islam di Indonesia dan tidak berkeinginan untuk mendirikan
sebuah negara Islam (daulah Islamiyah), dan ini sejalan dengan gerakan Front
Pembela Islam (FPI).
Selain gerakan salafi radikal di atas, Front Pembela Islam (FPI) juga
merupakan suatu gerakan Islam yang dalam aktivitasnya sering bertindak
anarkis (main hakim sendiri). FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 oleh
sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim di Pondok Pesantren Al
Um, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta Selatan. Di antara ulama yang hadir yaitu
Habib Muhammad Habib Rizieq, K.H. Misbahul Anam, K.H. Damanhuri, dan
K.H. Cecep Bustomi, selanjutnya memberikan amanah kepemimpinan kepada
Habib Muhammad Habib Rizieq. Adapun latar belakang pendirian FPI adalah:
adanya penderitaan panjang yang dialami umat Islam di Indonesia akibat
tindakan represif penguasa, baik era Orde Lama mapun Orde Baru;
merajalelanya kemaksiatan dan kemungkaran dalam kehidupan masyarakat; dan
adanya rasa tanggungjawab memelihara harkat dan martabat Islam dan umat
Islam.171

169

Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of Terror (London:


Lynne Rienner Publishers, 2003), h. 147
170

David Michael, Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in
Indonesia, Contemporary SouthEast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs,
Vol. 24 No. 1, 2002, h. 15
171

Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam, diakses tanggal 15 Agustus

2008

177

Sedangkan asas perjuangan FPI berlandaskan pada doktrin ahl al-sunnah


wa al-jamah yakni menjadikan Alquran dan hadis serta ijma dan qiyas,
sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam
masyarakat. Metode amar marf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran) yang dipraktekkan dalam menyikapi kondisi
masyarakat lebih ditekankan pada metode amar maruf yang dilakukan dengan
lemah lembut, sedangkan dalam pelaksanaan nahi munkar ditempuh cara yang
keras dan tegas.172 Prinsip dakwah model ini memberikan ciri khas pada FPI
dalam berdakwa, mengajak umat kepada kebaikan dan memberantas hal-hal
yang dianggap mungkar. Mungkin hanya organisasi inilah di Indonesia yang
benar-benar bertindak secara keras dan tegas tanpa kompromi terhadap segala
perbuatan yang melanggar ajaran agama (Islam). Hanya saja langkah seperti ini
terkadang menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Terlepas dari pro-kontra
tersebut, yang jelas FPI telah membuktikan kepeduliaannya terhadap perbaikan
bangsa melalui aktivitasnya. Karena itu, mungkin tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa FPI telah menampakkan jati dirinya sebagai suatu kekuatan
yang cukup signifikan dalam upayanya melakukan perubahan sistem sosial dan
kenegaraan bangsa Indonesia dengan mengedepankan simbol-simbol keislaman.
Inti perjuangan FPI adalah terwujudnya kehidupan bernegara yang
religius dengan pelaksanaan syariat Islam secara formal,173 sehingga bagi
anggota FPI tidak ada cara yang dapat ditempuh selain menggunakan metode
amar marf nahi munkar . Istilah ini mengandung dua hal yakni amar marf
(memerintahkan kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemungkaran) yang

172

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 146-147
173

Ide yang diusung FPI adalah formalisasi syariat Islam dalam konteks negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Untuk mewujudkan cita-cita itu FPI melakukan sejumlah upaya
antara lain: menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi,
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menambahkan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya pada amandemen UUD 1945 yang di
bahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa.
Lihat: Front Pembela Islam tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam,
diakses tanggal, 15 Agustus 2008

178

keduanya harus berjalan paralel, dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat


religius seperti yang diinginkan.174 Untuk mewujudkan opsesi tersebut, FPI
tidak segan-segan menggunakan cara anarkis terutama dalam persoalan nahy
munkar, misalnya ketika merazia tempat-tempat hiburan (night club, diskotik,
kafe, kasino) dan menindak tempat hiburan yang buka selama Bulan Ramadhan.
Keempat gerakan Salafi radikal sebenarnya memiliki kesamaan untuk
formalisasi syariat Islam di negara Republik Indonesia, tetapi perbedaannya
adalah pada tataran pelaksaan keinginan tersebut. HT dan MMI misalnya lebih
mengedepankan pembentukan khilafah Islamiyah. Perlu dicatat bahwa pelabelan
radikal itu tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian umat Islam terutama
gerakan yang tidak melakukan hal-hal yang anarkis.175 Pembahasan pada bab
selanjutnya tentang persoalan seputar hukum Islam sebagai kerangka acuan
apakah terorisme dan jihad relevan dengan beberapa prinsip dan nilai yang
terkandung dalam hukum Islam atau tidak.

174

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 141-142
175

Lihat: Hizbuttahrir Britain, Radicalisation, Ekstrimism and Islamisim: Realties and


Myths in the War on Terror, diterjemahkan oleh MR Adhi dengan judul Khilafah, Radikalisme
dan Ekstrimisme: Laporan Hizbuttahrir Inngris tentang Fakta dan Mitos Perang Melawan
Terorisme (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), h. 35-38

BAB V
HUKUM ISLAM TENTANG TERORISME DAN JIHAD
Salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
umat manusia dengan senantiasa memelihara kepentingan hidup mereka dan
menghidarkannya dari segala yang dapat mendatangkan mafsadat (kerusakan)
sebagai konsekuensi dari perbuatan mereka baik yang bersifat personal
(individu) maupun kolektif (masyarakat).1 Secara spesifik, hukum Islam
mencakup tiga tujuan yang signifikan dalam kehidupan manusia yaitu penyucian
jiwa, penegakkan keadilan dan merealisasikan kemaslahatan.2

Karena

komprehensifnya misi hukum Islam tersebut, maka pengkajian teks-teks


Alquran ataupun hadis yang merupakan landasan dalam melakukan kajian
hukum Islam sangat urgen terutama terhadap masalah yang berkaitan dengan
terorisme dan jihad.
Terorisme dan jihad sebenarnya merupakan persoalan yang berbeda
secara konseptual, namun kadangkala terjadi kerancuan pemahaman terutama
bagi sekelompok orang (seperti Imam Samudra dan kawan-kawannya) yang
mengklaim bahwa mereka melaksanakan perintah jihad dalam melakukan
tindakan kekerasan. Pelaksanaan jihad mereka bersifat destruktif dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip jihad yang disyariatkan, sehingga bisa saja
dikategorikan sebagai terorisme. Oleh karena itu, pembahasan bab ini bertujuan
untuk mengidentifikasi teks-teks yang berhubungan dengan terorisme dan jihad
dalam Islam (Alquran dan hadis) disertai pendapat fuqaha klasik maupun
kontemporer. Kajian diawali dengan mengelaborasi perbedaan antara terorisme
dan jihad dan mengkritisi penyalahgunaan konsep jihad dalam aksi teror.
1

Ab Ishaq al-Sytib, al-Muwfaqt f Usl al-Syarah, Juz II (Beirut: Dr al-Kutb alIlmiyah, t.th.), h. 4; Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Cet. VIII (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 54-55;
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 65-66
2

Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (T.tp.: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 364-366

180

A. Perbedaan Terorisme dan Jihad


Pembahasan ini bertujuan mengidentifikasi perbedaan antara terorisme
dan jihad pada tataran konseptual sebab pada dasarnya kedua term tersebut tidak
memiliki kesamaan. Terorisme lebih mengarah pada aksi yang destruktif dan
melanggar hak-hak asasi manusia seperti serangan terhadap gedung WTC dan
Pentagon di Amerika Serikat dan serangan terhadap kependudukan Palestina
yang telah berlangsung lama oleh militer Israel. Berbeda halnya dengan jihad
yang memiliki prinsip membumikan agama Allah, sehingga secara teoritis
aplikasinya bersifat toleran, mengutamakan kemaslahatan manusia dari pada
kerusakan dan kehancuran.
Perbedaan kedua term (terorisme dan jihad) tersebut dijelaskan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam merespon fenomena kontemporer
dimana sebagian orang Islam cenderung menduga bahwa tindakan kekerasan
(teror) yang dilakukan merupakan implementasi dari jihad. Misalnya, pengakuan
aktor pengeboman Bali, Imam Samudra dan kawan-kawanya bahwa yang
mendorong mereka melakukan pengeboman adalah motivasi jihad.3 Klaim
tindakan mereka sebagai gerakan jihad itu justru dianggap oleh berbagai pihak
sebagai aksi terorisme. Dengan demikian, MUI membedakan antara terorisme
dan jihad dalam aspek-aspek yang berkaitan dengan sifat, tujuan dan operasional
(aksi):
Pertama, dari segi sifatnya, terorisme selalu mendatangkan kerusakan
(ifsd) dan anarkis atau chaos (faudha) yang berdampak signifikan terhadap
masyarakat baik moril maupun materiil. Sedangkan jihad bersifat melakukan
upaya-upaya menuju perbaikan (islh) sekalipun dalam bentuk peperangan.
Oleh karena itu perang yang dilakukan dalam rangka aplikasi jihad lebih
menekankan pada kemaslahatan umat dan meminimalisasi kerusakan sarana dan
prasarana serta lingkungan di wilayah yang menjadi sasaran perang.4

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 109

4
Muhammad Syadd, al-Jihd f al-Islm, Cet. VII (Beirut: Muassasat al-Rislah, 1405
H/1985 M), h. 139

181

Beberapa tindakan kekerasan terorisme seperti pembajakan pesawat,


peledakan gedung WTC dan Pentagon, pengeboman rel kereta api bawah tanah
di London, pengeboman stasiun kereta di Madrid (Spanyol), pengeboman di
Legean (Bali), hotel JW Marriott dan Kedubes Australia (keduanya di Jakarta)
semuanya menyisahkan duka dalam karena korban jiwa berjatuhan dan kerugian
materiil cukup besar. Disamping itu, pengeboman yang sering terjadi di
Indonesia hingga pertengahan tahun 20055 telah berdampak pada sektor
perekonomian, ditandai dengan berkurangnya minat investor luar menanamkan
modal di Indonesia dengan alasan tidak ada jaminan keamanan.
Keadaan seperti ini membawa dampak yang sangat serius pada
minimnya neraca pertumbuhan ekonomi ditandai dengan bertambahnya angka
pengangguran dan kemiskinan. Memang diakui bahwa kemerosotan disektor
ekonomi di Indonesia khususnya, bukan satu-satunya diakibatkan oleh tindak
kekerasan terorisme, tetapi aksi kekerasan tersebut turut memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap merosotnya dunia bisnis. Di Bali misalnya, perusahaan
maskapai Air Paradise yang melayani penerbangan Denpasar Australia
terpaksa berhenti beroperasi karena minimnya turis asal negara Kanguru yang
berkunjung ke Bali pasca peristiwa bom Bali. Selain itu, para pengusaha yang
terjun dibidang jasa seperti restoran, hotel merasakan betapa merosotnya
penghasilan mereka, bahkan para pedagang berbagai kerajinan tangan, aksesoris
banyak yang terpaksa menghentikan usahanya disebabkan berkurangnya turis
manca negara yang berkunjung ke Bali. Secara umum, Produk Domestic
Regional Bruto (PDRB) di Bali mengalami penurunan dari 59.95 % tahun 2000
menjadi 47.42 % tahun 2002, dan penurunan jumlah turis mencapai 57 %. 6
Kedua, ditinjau dari segi tujuannya, terorisme memiliki karakteristik
untuk menciptakan dan membangkitkan kepanikan dalam masyarakat dan
pemerintah. Sebaliknya jihad semata-mata berupaya menegakkan agama Allah
dan

melindunginya

dari

berbagai

intervensi

pihak-pihak

yang

ingin

Lihat: Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia, Cet. I (Jakarta: Grafindo


Khazanah Ilmu, 2005), h. 81-90
6

Dampak Ekonomi Pasca Bom, Bali Pos, tanggal 31 Juli 2003

182

mendiskreditkan, menodai dan bahkan mungkin menghancurkan agama


tersebut. Jihad juga mempunyai misi membela hak-hak individu maupun
masyarakat yang terzalimi, terdiskriminasi, dan tertindas oleh kelompok
dominan atau imperialis.
Upaya yang biasa ditempuh teroris dalam menciptakan rasa takut
masyarakat dan sekaligus tekanan pada pemerintah adalah melakukan
pembunuhan, penculikan, dan penyanderaan serta mengintimidasi aparat
pemerintah khususnya pejabat. Selain itu, teroris juga terkadang melakukan
sabotase fasilitas umum seperti sumber air minum, tenaga listrik, transportasi
sehingga memaksa pemerintah untuk menurunkan aparat keamanan dalam
rangka melindungi aset negara tersebut. Strategi teroris semacam ini telah
dipraktekkan oleh teroris Yahudi pimpinan Irgun Zavi Leuni tahun 1945.
Mereka menyerang pemerintah Inggeris mengakibatkan jatuhnya korban jiwa,
harta milik pribadi, fasilitas umum dan pemerintah. Kejadian ini memaksa
pemerintah Inggeris mengerahkan serdadu secara besar-besaran disertai
dukungan logistik perang dalam jumlah besar, mengakibatkan perekonomian
kerajaan Inggris merosot.7
Jika aksi teroris seperti di atas terjadi pada suatu negara dalam jangka
waktu lama, dapat diprediksi akan mempengaruhi opini publik sehingga timbul
ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Masyarakat merasa pemerintah
tidak lagi dapat menjamin perlindungan keamanan terhadap warganya.
Akibatnya, rakyat senantiasa dihinggapi perasaan khawatir, was-was, janganjangan mereka jadi korban aksi kekerasan teroris, akhirnya mereka tidak bebas
melakukan aktivitas kesehariannya. Jika situasi seperti ini berlanjut terus
menerus, dapat dikatakan pemerintah akan sulit melaksanakan pembangunan
untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Berbeda halnya dengan jihad yang bertujuan mengakhiri segala bentuk
penganiayaan dan intimidasi dalam rangka menjamin terwujudnya perdamaian
dan ketertiban hidup masyarakat, agar setiap individu merasakan kehidupan
yang damai dan tentram sehingga dapat mengamalkan agamanya tanpa
7

Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 50-51

183

hambatan dari siapapun. Dengan hilangnya berbagai intimidasi tersebut, hukum


dan keadilan dapat ditegakkan supaya anggota masyarakat mendapatkan
keadilan dan menikmati hak-hak mereka atas dasar persamaan tanpa pilih
kasih.8
Selain itu, jihad juga bertujuan menjunjung tinggi kalimatullah (Islam)
dan memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang lemah dan tertindas
serta mengamankan aqidah, jiwa, harta dan anak-anak mereka dari
penganiayaan dan permusuhan.9 Oleh karena itu, konsep amar maruf yang
mengajak orang mentaati dan melaksanakan setiap yang diperintahkan Allah
swt, jika dijalankan dengan penuh ketaatan maka akan berimplikasi terwujudnya
suatu masyarakat

yang aman sentosa. Selanjutnya, dalam masyarakat yang

aman sentosa tersebut terdapat keutamaan, kebajikan, dan kemanfaatan,


sehingga setiap warga masyarakat merasakan kedamaian dan perlindungan
terhadap jiwa, harta, kehormatan, dan hak-haknya.
Adapun konsep nahi munkar adalah menjauhi segala yang dilarang oleh
Allah swt. Jika masih terdapat orang yang melakukan kemungkaran maka harus
dicegah karena bila tidak, virus kemungkaran itu akan menjangkiti anggota
masyarakat

lainnya.

Sebaliknya,

apabila

kemungkaran

telah

berhasil

ditanggulangi maka masyarakat akan merasakan keamanan dalam kehidupan


kesehariannya.10 Dalam hal ini yang penting diperhatikan adalah bukan
bagaimana memberantas kemungkarannya akan tetapi mencegah segala sesuatu
yang dapat mengarah kepada timbulnya perbuatan mungkar tersebut.

Afzalur Rahmn, Muhammad as a Military Leader, diterjemahkan oleh Muhammad


Hasyim Assagaf dengan judul: Muhammad Sebagai Pemimpin Militer , Cet. I (Jakarta: YAPI,
1990), h. 26-27
9

Salah satu tujuan jihad adalah melindungi pihak-pihak yang lemah dan terzalimi, Q.S.
4 (al- Nisa): 75
... ( Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya
berdoa: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 131
10
Al Abdul Halm Mahmd, F Fiqh al-Islh wa al-Tajdd Inda al-Imm H asan alBann: Rukn al-Jihd aw al-Rukn allaz l Tah y al-Dawah ill bih, Cet. I (Jakarta: al- Itism
Cahaya Umat, 2001), h. 77

184

Ketiga, dari segi aksinya (operasionalisasi), tindakan kekerasan


terorisme biasanya dilancarkan tanpa mempertimbangkan aturan dan nilai-nilai
normatif serta tidak memiliki misi dan sasaran yang jelas tentang obyek atau
sasaran serangan. Berbeda halnya dengan operasional jihad yang memuat
aturan-aturan dan prinsip-prinsip peperangan, diantaranya sasaran serangan
harus jelas yakni dilimitasi terhadap musuh yang menyerang, sehingga bisa
menghindari korban dari kelompok yang memiliki hak perlindungan keamanan
antara lain, warga sipil dan yang bukan pejuang, perempuan, anak-anak, pendeta
dan manula (manusia lanjut usia).
Biasanya teroris dalam melancarkan serangan pengeboman misalnya,
tidak menghiraukan korbannya apakah serdadu, warga sipil, anak-anak,
perempuan ataupun orang tua jompo, semuanya menjadi obyek sasaran. Bahkan
tolok ukur keberhasilan suatu serangan teroris dapat dilihat dari seberapa banyak
orang dan harta benda yang jadi korban. Dengan kata lain, semakin besar jumlah
korban, semakin dianggap berhasil suatu serangan, misalnya peledakan gedung
WTC di Washington DC dan gedung Pentagon di New York menelan ribuan
korban baik

yang meninggal

maupun cedera. Peristiwa ini sempat

menggemparkan seluruh dunia karena banyaknya korban, namun yang paling


menarik adalah kejadiannya di pusat jantung negara yang terkenal dengan
kecanggihan sains dan ilmu pengetahuannya sehingga bisa mendeteksi lebih
awal kemungkinan akan terjadinya suatu serangan teroris.
Dalam setiap aksi kekerasan terorisme ditemukan adanya pelanggaran
terhadap nilai-nilai normatif baik yang terdapat dalam Hukum Kemanusiaan
Internasional (International Humanitarian Law ) maupun Hukum Islam.
Misalnya, menjadikan sasaran terhadap non militer yakni warga sipil dan yang
bukan pejuang. Mengorbankan mereka yang tidak terlibat dalam pertempuran
merupakan pelanggaran berat dalam hukum internasional dan hukum Islam.11

11

Larangan menyerang warga sipil dan pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam
pertempuran dapat dilihat dalam hadis Nabi tentang larangan membunuh wanita dan anak-anak:
:
.
Lihat: Ab Abdillh al-Bukhr, Sahh al-Bukhr, Kitb al-Jihd wa al-Siyar, Bb Qatl alNis f al-Harb, Juz II (T.tp.: Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 172; Ab Isa Muhammad

185

Selain itu, dampak kerugian tindakan kekerasan terorisme yang terdiri dari
korban jiwa dan harta benda cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat misalnya
pada serangan 11 September 2001 yang meruntuhkan dua menara kembar (WTC
dan Pentagon) di Amerika Serikat.
Selain korban jiwa dan materiil, yang tak kalah pentingnya juga adalah
munculnya gejala psychologis (kejiwaan) dalam masyarakat. Warga masyarakat
traumatis akibat aksi kekerasan terorisme. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh
warga negara Amerika, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat seluruh dunia,
sebab mereka beranggapan bahwa serangan serupa dapat saja terjadi pada
mereka tanpa diprediksi sebelunya. Pemikiran seperti itu sangat rasional karena
Amerika saja yang dikenal sebagai negara super power, dengan peralatan serba
canggih dan dapat mendeteksi gejala-gejala awal tindak kriminal, namun masih
juga kebobolan, apatah lagi negara-negara yang tingkat kemampuannya berada
di bawah Amerika. Anggapan semacam inilah yang sering menghantui kejiwaan
masyarakat international bahwa serangan teroris dapat saja terjadi pada mereka
setiap saat tanpa diprediksi sebelumnya (unpredictable).
Pemandangan seperti di atas kontradiktif dengan norma-norma jihad
yang bertujuan melindungi warga masyarakat dari segala gangguan pihak-pihak
yang tidak menginginkan adanya ketentraman dan kedamaian hidup masyarakat.
Karena itu jihad disyariatkan dalam Islam antara lain untuk menumpas aksi-aksi
kekerasan dan kezaliman yang terjadi dalam masyarakat demi terwujudnya
kehidupan yang aman dan tentram.12
Ketiga unsur (sifat, tujuan, dan aksi) tersebut sangat jelas membedakan
antara terorisme dan jihad sehingga tidak sulit dalam menilai suatu tindakan
apakah termasuk aksi teror atau jihad. Hanya saja terkadang timbul anggapan
dalam masyarakat terutama dari kelompok tertentu

yang mengklaim

tindakannya sebagai aplikasi jihad tetapi menyalahi kode etik jihad, misalnya

ibn Isa ibn Saorah, Sunan al-Tirmudz, Kitb al-Siyar, Bb M Ja f al-Nahy an Qatl al-Nis
wa al-Sibyn, Juz III (Beirut: Dr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 207
12
L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional , Cet. I (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 58-59

186

mengakibatkan timbulnya kerusakan dan trauma dalam masyarakat serta


sasarannya tidak terbatas. Tindakan seperti ini tidak relevan disebut sebagai
bahagian dari pelaksanaan jihad, tetapi lebih mencerminkan tindakan kekerasan
terorisme. Persoalan ini tampaknya menarik untuk dikaji lebih lanjut karena
dewasa ini bermunculan aksi kekerasan yang dilakukan kelompok Islam garis
keras seperti Al-Qaeda dan jaraingan terorisme lainnya yang mengatasnamakan
jihad.
Kiranya tidak berlebihan jika sebahagian kalangan Islam, khususnya
Islam moderat mempertanyakan keabsahan gerakan jihad yang dilancarkan
kelompok tersebut. Di antara aksi kekerasan yang dilakukan kelompok jaringan
Al-Qaeda adalah pengeboman kereta bawah tanah dan bus angkutan umum di
London, pengeboman stasiun kereta di Madrid telah menelan banyak korban
baik yang meninggal maupun cedera. Demikian halnya tindakan kekerasan yang
dilakukan kelompok Islam garis keras di kawasan Asia Tenggara seperti di
Indonesia. Peristiwa bom Bali (12 Oktober 2002) misalnya, menewaskan kurang
lebih 202 jiwa (88 orang berkewarganegaraan Australia) dan hampir 400 orang
luka-luka merupakan bukti kekejaman aksi terorisme tersebut.13
Uraian di atas mengindikasikan terjadi perbedaan yang prinsipil antara
terorisme dan jihad. Terorisme cenderung destruktif sedangkan jihad bersifat
islh (perbaikan) dan toleran. Pembahasan selanjutnya adalah penyalahgunaan
konsep jihad dalam praktek terorisme untuk memperdalam analisis bahwa
konsep jihad bisa saja didistorsi oleh sebagian umat pada aksi-aksi yang
mengarah kepada tindakan terorisme.

B. Penyalahgunaan Konsep Jihad dalam Praktek Terorisme


Pembahasan

sebelumnya

menjelaskan

secara

eksplisit

tentang

pemahaman jihad dalam Islam baik yang menyangkut pengertian, kode etik dan
sasarannya. Islam memang mengakui bahwa jihad itu bisa dalam bentuk
13

Bom meledak sekitar pukul 23.15 WIT di daerah wisata Paddys Club dan Sari Club
Legian, Kuta, Bali. Lihat: Bambang Abimayu, Teror Bom di Indonesia, Cet. I (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2005), h.51-52.

187

peperangan fisik dan perjuangan non fisik atau jihad melawan hawa nafsu, tetapi
Islam (berdasarkan hadis Nabi saw) sangat konsern terhadap jihad dalam bentuk
non fisik sehingga dikategorisasikan dengan jihad akbar (jihad primer). Dengan
demikian, inti konsep jihad dalam Islam adalah penekanan terhadap nilai-nilai
atau aturan-aturan yang mengarahkan umat manusia, khususnya umat Islam
untuk memiliki komitmen meningkatkan kredibilitas kepribadian termasuk
kredibilitas keumatan dalam rangka mencapai tujuan jihad yakni li ili
kalimatillh.
Peningkatan kredibilitas individu adalah mengaplikasikan kemampuan
untuk melawan hawa nafsu dan keinginan melakukan hal-hal yang merugikan
atau bahkan menghancurkan keimanan dan keberagamaan, seperti menipu,
berdusta, korupsi, konspirasi politik dan lain-lain yang akan merugikan dirinya
dan orang lain. Sebaliknya, peningkatan kredibilitas personal untuk menunjang
keimanan dan keberagamaan juga termasuk jihad seperti mencari nafkah,
menuntut ilmu pengetahuan, berprilaku jujur dan amanah. Bentuk perlawanan
terhadap perbudakan hawa nafsu dan upaya untuk meningkatkan ekonomi,
kesejahteraan pribadi dan keluarga serta peningkatan intelektualitas adalah jihad
yang paling utama. Kalau saja peningkatan kredibilitas kepribadian dan
intelektual bisa mendominasi kehidupan mayoritas umat Islam, maka komunitas
madani akan terwujud. Pemimpin atau masyarakat yang memiliki wawasan
keilmuan yang luas dan memiliki hati nurani lebih mengedepankan
kemaslahatan umat, perdamaian dan toleransi dalam bersosialisai dengan yang
lainnya terutama dalam menjalin hubungan dengan agama atau negara lainnya.
Jadi, jihad atau kemampuan seperti di atas yang dipesankan oleh Islam.
Namun pemahaman jihad tersebut tidak dipahami secara komprehensif
oleh sebahagian umat Islam, dan cenderung mengadopsi konsep yang
konservatif yakni jihad itu adalah semata-mata peperangan fisik melawan
musuh atau melawan orang-orang yang tidak seide dengan mereka bahkan
melalui tindakan teror. Imam Samudra, misalnya merumuskan definisi jihad dari
segi istilah dan syari dalam bukunya Aku Melawan Teroris. Menurutnya, dari
segi istilah jihad bermakna bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum

188

Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya. Sedangkan dari segi syari


jihad berarti jihad fi sabilillah yakni berperang melawan kaum kafir yang
memerangi umat Islam dan kaum Muslimin. Pemahaman jihad semacam ini
menurut Imam Samudra, sudah menjadi konsensus (ijma) ulama Salafus Shaleh
dan Imam Mazhab (Syfi, Hambal, Mlik dan Hanaf).14 Doktrin jihad
sebagai pencucian otak (brain washing) terhadap beberapa komunitas Muslim
terutama mereka yang ilmu keagamaannya terbatas kadangkala ditemukan.
Maruf Amin berpendapat bahwa wawasan keberagamaan yang sempit
dan penyalahgunaan simbol agama sebagai penyebab aksi teror. Aksi teror
sebagai bentuk jihad dilakukan oleh sebahagian umat Islam yang tidak memiliki
dasar ilmu keagamaan yang diperoleh secara formal, tetapi hanya berbekal
pengajian dan pertemuan di Mesjid-Mesjid. Akibatnya, mereka tidak memahami
Islam secara komprehensif. Lebih kanjut Maruf Amin menjelaskan bahwa
secara sosiologis terjadi korelasi antara militansi keagamaan dan pemahaman
agama yang sempit

karena mereka tidak mempelajari ilmu-ilmu lain yang

berkaitan dengan Islam seperti fiqh terutama yang secara detail menerangkan
daerah aman (dr al-amn) dan daerah perang (dr al-harb).15 Pemahaman
keagamaan yang sempit tersebut yang menyebabkan Imam Samudra dan kawankawannya

berani

melakukan aksi

terorisme"

karena

mereka

hanya

mendengarkan fatwa-fatwa dari kelompok eksklusif mereka saja. Selain alasan


yang bersifat internal tersebut, sebagian umat Islam melakukan aksi teror atas
nama jihad dikarenakan faktor external antara lain hegemoni Barat (Amerika)
terutama terhadap komunitas atau negara Islam yang melahirkan liberalisme,
sekulerisme dan pluralisme yang merusak tatanan kehidupan umat Islam.16
14

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazera, 2004), h. 108-109. Ayat yang
dijadikan dasar hukum Imam Samudra melakukan bom Bali: ...
: ( ) dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama
Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya ( Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 284
15

KH Maruf Amin, Melawan Terorisme dengan Iman (Jakarta: Tim Penanggulangan


Terorisme, 2007), h. 211-212
16

Sayyid Qutb, Maalim fi al-Tarq, Cet. X (Beirut: Dar al-Syuruq, 1983), h. 68; Imam
Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 120

189

Untuk lebih jelasnya, Ali Imron dalam bukunya Ali Imron Sang
Pengebom mengemukakan beberapa alasan aksi pengeboman di Bali termasuk
pengeboman di berbagai tempat di Indonesia antara lain:
Pertama, tidak puas dengan pemerintah yang ada disebabkan oleh tidak
adanya Imamah dan tidak diberlakukannya syariat Islam secara menyeluruh.
Menurutnya, Imamah itu sangat diperlukan sebagai pusat pengendali yang
mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara yang berkaitan dengan masalah
agama dan dunia. Tidak adanya imamah berdampak pada munculnya berbagai
problem dan fitnah diantaranya: perpecahan antar kelompok kaum Muslimin,
setiap kelompok membanggakan kelompoknya, tumbuh suburnya berbagai
macam aliran sesat, kaum Muslimin tidak bisa membedakan kawan ataupun
lawan dan mereka dipimpin oleh kaum non Muslim, tidak adanya keadilan yang
sebenarnya, terjadi kesenjangan ekonomi masyarakat yang terlalu tajam,
masyarakat belum merasa dilindungi oleh negara serta munculnya krisis
multidimensi.
Kedua, terjadi kerusakan yang merajalela yakni kerusakan akidah dan
pemikiran serta kerusakan akhlak. Kerusakan akidah dan pemikiran misalnya
tercampurnya ajaran Islam dengan syirik, tahayyul, khurafat, bidah dan dengan
ajaran agama lain; adanya sekelompok Muslim yang sekuler, memanipulasi
ajaran Islam, meragukan eksistensi Alquran dan hadis serta menyamakan Islam
dengan agama-agama lain. Kerusakan akhlak diantaranya menyia-nyiakan
amanat, mengikuti budaya non Islam, pergaulan bebas, pelacuran, perzinaan,
minuman dan makanan haram, pembunuhan dan penganiayaan, pemerkosaan,
perampokan dan penipuan, premanisme, perjudian, hiburan dan musik serta
pakaian yang kurang senonoh.
Ketiga, harapan dibukanya jihad f sablillh. Menurut Ali Imron, jihad
merupakan perang suci yang bertujuan untuk menegakkan kalimat Allah,
menghilangkan kemusyrikan, melindungi Islam dan umat Islam, menegakkan
kebenaran dan keadilan, serta memperluas dan mempertahankan wilayah

190

Islam.17 Aksi yang paling efektif sebagai jawaban atas persoalan sosial, politik
dan ekonomi yang melanda Indonesia termasuk negara Muslim lainnya adalah
jihad yakni peperangan terbuka antara kebenaran dan kebatilan terutama di
tempat yang di anggap sebagai sarang kemaksiatan. Peperangan dan pedang
Mujahidin membuat ketakutan pada pelaku kemaksiatan sehingga kemaksiatan
dapat tereliminir sedikit demi sedikit. Oleh karena itu, pengeboman di Bali
adalah dalam rangka melaksanakan kewajiban jihad di jalan Allah sehingga
Allah membuka medan perang antara kaum Muslimin dan kafir dan semakin
jelaslah mana yang baik dan buruk, yang rusak moralnya dan tidak. Keterlibatan
Ali Imron dalam pengeboman Bali diyakininya sebagai salah satu kewajiban
pelaksanaan jihad di jalan Allah.
Keempat, pembalasan terhadap kaum kafir yang telah membunuh dan
melakukan kesewenangan terhadap kaum Muslimin. Kesengsaraan dan korban
jiwa umat Islam akibat peperangan di Palestina, Somalia, Chechnya, Kashmir,
Moro serta kerusuhan Ambon dan Poso yang dilancarkan non Muslim menjadi
salah satu faktor mengapa Ali Imron dan kawan-kawanya melancarkan serangan
bom di rumah Dubes Philipina (1 Agustus 2000) dan sejumlah gereja di
Indonesia (Gereja Allah Baik, Gereja Bethani dan Gereja Eben Heizer di
Mojokerto, 24 Desember 2000), serta pengeboman Saris dan Paddys club di
Bali (12 Oktober 2002). Menurutnya, pengeboman tersebut sebagai bentuk
ekspresi pembalasan terhadap kebiadaban Israel, Amerika dan musuh-musuh
Islam yang melakukan serangan terhadap orang-orang Islam.18 Pernyataan yang
sama juga dikemukakan oleh Imam Samudra bahwa jihad yang terbesar pada
saat sekarang adalah jihad memerangi teroris Amerika dan sekutunya yang
terlibat dalam perang Salib melawan umat Islam terutama pengeboman terhadap
kependudukan Afghanistan, September 2001 bertepatan dengan bulan Ramadan
1422 H. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengaktualisasikan pembalasan

17

Bandingkan dengan tujuan jihad menurut versi Jamat Amin. Lihat: Jamat Amin,
Qadiyat al-Irhb: al-Ruyat wa al-Ilj (T.tp.: Dr al-Tawz wa al-Nasyr al-Islmiyah, 1998), h.
98-102
18

Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom , Cet. I (Jakarta: Republika, 2007), h. 41-71

191

tersebut adalah dengan melakukan pengeboman di Bali dan mereka menganggap


bahwa pengeboman tersebut sebagai jihd f sablillh dalam rangka
melaksanakan perintah Allah (Q.S. al-Taubah (9): 36).19 Keempat hal tersebut
yang menjadi faktor yang melatarbelakangi Ali Imron, Imam Samudra dan
kawan-kawannya melakukan aksi teror di Indonesia. Persoalannya adalah
mengapa Imam Samudra dan kawan-kawanya melakukan pengeboman di Bali
sebagai bentuk jihad dan bukan dilakukan di Afghanistan dan lainnya?
Imam Samudra dalam bukunya Aku Melawan Teroris mengemukakan
beberapa alasan pengeboman di Bali. Menurutnya, pengeboman di Bali itu
targetnya adalah individu atau manusianya yakni memerangi orang kafir
(Amerika dan sekutu-sekutunya), dan mereka tidak mempersoalkan tempatnya.
Asumsi ini berdasarkan perintah nas Q.S. al-Baqarah (2): 191.20 Menurut
mereka, ayat tersebut tidak membatasi teritorial untuk memerangi orang kafir
dan oleh karena itu bisa saja menyerang orang kafir di Amerika, Jepang, Jakarta,
Bandung dan dimana saja. Imam Samudra juga menjelaskan bahwa menyerang
target yang homogen (Amerika dan sekutunya) yang berkumpul dalam satu
tempat akan lebih efektif dan efisien, karena Sari Club dan Paddys Pub di Bali
merupakan target homogen terbesar (tempat berkumpulnya turis dari berbagai
negara (Amerika dan sekutunya).21 Pernyataan Imam Samudra tersebut
termotivasi untuk menyerang Amerika dan sekutunya, namun pertimbangan
tersebut tidak rasional.
Asep

Adisaputra

dalam

bukunya

Imam

Samudra

Berjihad

mengemukakan dua motivasi peledakan bom Bali yakni politik dan balas
dendam. Untuk motivasi politik, Imam Samudra dan kawan-kawannya
19

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 107-109

20

Q.S. al-Baqarah (2): 191:


.
(Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekah), dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.
Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi
kamu di tempat itu, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orangkafir). Lihat:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 46
21

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 120

192

memproklamirkan ke seluruh dunia termasuk Amerika Serikat dan sekutunya


bahwa mereka merupakan representasi umat Islam yang tertindas mampu
melawan kesewenang-wenangan agresor, dan bentuk perlawanan awal adalah
peringatan melalui aksi bom. Sedangkan motivasi balas dendam yakni
peledakan bom Bali (Paddys Club dan Sari Club) sebagai bentuk pembalasan
terhadap kekejaman Amerika Serikat dan koleganya terhadap kaum Muslimin
khususnya aksi bom di Afghanistan yang terjadi pada bulan Ramadhan 1422 H
(Sepetember 2001). 22 Pengeboman Bali tampaknya lebih bernuansa politis dan
pembalasan sakit hati dari pada pencapaian tujuan yang digariskan Islam.
Secara garis besarnya, bom Bali dapat dikategorikan sebagai tindakan
kekerasan terorisme, sekalipun para eksekutornya mengakui sebagai Bom
Jihad, karena beberapa pertimbangan:

1. Pelanggaran Terhadap Sasaran atau Obyek Serangan.


Sasaran bom Bali adalah warga sipil dan bukan pejuang (non-combatant)
yang kebanyakan dari mereka adalah para turis manca negara yang sedang
menikmati liburan (holiday) di Bali. Pengeboman tersebut kontradiktif dengan
etika dan aturan peperangan dalam Islam yang menekankan untuk menghindari
serangan terhadap warga sipil dan pemuka agama termasuk pendeta yang tidak
terlibat langsung dalam peperangan.23 Aturan peperangan dalam Islam tersebut
sangat relevan dengan aturan Hukum International dalam mengatur hubungan
terhadap negara-negara konflik, yang mewajibkan pihak yang berkonflik untuk
tidak menjadikan sasaran terhadap warga sipil dan bukan pejuang serta harta
benda mereka. Dalam aturan itu dijelaskan bahwa untuk menjamin kehormatan
dan perlindungan warga sipil dan hartanya, pihak yang berkonflik harus
senantiasa memisahkan antara warga sipil dan militer dan antara harta benda
mereka serta serangan hanya ditujukan kepada militer.24
22

Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad, (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 65-67

23

Lihat: Lihat pembahasan sebelumnya mengenai prinsip-perinsip jihad dalam Islam.

24

Lihat: Pasal 48, Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 57-58 Basic Rules of
International Humanitarian Law in Armed Conflicts, http://www. icrc.org (8 Juni 2005)

193

Sebenarnya Imam Samudra mengakui bahwa hukum asal menjadikan


sasaran terhadap waga sipil adalah haram. Akan tetapi menurutnya bangsabangsa penjajah (Amerika dan sekutu-sekutunya) telah melampaui batas dalam
pembantaian penduduk sipil di Afganistan dan Irak, sehingga ia menganalogikan
kebolehan memerangi warga sipil bangsa penjajah tersebut.25 Selanjutnya secara
emosional Imam Samudra mengatakan bahwa perang hendaknya dibalas dengan
perang, nyawa dan darah orang-orang Islam korban pembantaian tentara
Amerika dan sekutunya mutlak harus dibalas dengan nyawa dan darah bangsa
penjajah tersebut, dan kesewenang-wenangan mereka selayaknya dibalas dengan
setimpal agar seimbang (balance) dan adil.26 Pernyataan seperti ini lebih
menonjolkan sakit hati, rasa benci, dan permusuhan terhadap bangsa penjajah
(meminjam

istilah

Samudra)

karena

mereka

melanggar

kesepakatan

internasional dalam melaksanakan perang. Namun alasan tersebut tidak dapat


dijadikan dasar bagi orang Islam untuk melakukan hal yang sama karena Islam
justru menekankan perlunya berlaku adil terhadap siapapun termasuk kepada
orang yang dibenci sekalipun.27 Selain itu, masih diragukan apakah semua
warga asing yang berkunjung ke Bali setuju atau mendukung atau bahkan
sebaliknya anti dengan tindakan pemerintah mereka menyerang Afghanistan dan
25

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 116

26

Argumen Samudra didasarkan pada firman Allah sw: ...


(194 : )... ( oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu ) dan ...
(126 :( )Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu ). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQuran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989),
h. 47 & h. 421. Pada ayat pertama sebenarnya berbicara tentang pelanggaran dalam situasi
perang pada wilayah perang (dr al-harb), sementara aksi Samudra dkk. tidak dalam keadaan
dan wilayah peperangan. Selanjutnya pada ayat kedua hanya dikutip sepenggal, padahal lanjutan
ayat tersebut mempunyai makna penting yakni kesabaran merupakan sikap yang terbaik untuk
diambil ( ) .
27

Q.S. al-Midah (5): 8:


. ( Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk
tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (apa yang kamu kerjakan). Lihat: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al- Quran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya
(Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 159

194

Irak. Terbukti kebohongan alasan pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya


menyerang Irak diungkapkan sendiri oleh warganya sendiri.28
Lebih jauh, Imam Samudra berargumentasi bahwa warga asing yang
berkunjung ke Paddys Pub dan Sari Club berasal dari Amerika, Australia,
Thailand, dan Singapura bukan berstatus warga sipil sebab negara mereka
memberlakukan wajib militer sehingga mereka dapat berperan sebagai militer.29
Argumentasi Imam Samudra tersebut kurang didukung fakta yang otentik, sebab
Amerika Serikat dan Australia tidak memberlakukan wajib militer. Warga
negara dari kedua negara tersebut boleh menjadi anggota militer aktif atau
cadangan atas dasar sukarela. Hanya Singapura yang memberlakukan wajib
militer tetapi dengan beberapa persyaratan, misalnya pria berbadan sehat dan
usia minimal 18 tahun. Akan tetapi wajib militer yang diberlakukan di
Singapura selama 24-30 bulan tidak hanya menjadi tentara, mereka dapat terjun
ke Kepolisian dan Pertahanan Sipil.30 Sedangkan Hukum Kemanusian
Internasional mengatakan mereka yang menjadi pasukan pertahanan sipil tidak
dikategorikan sebagai pejuang yang dapat diserang.31
Selanjutnya, Imam Samudra juga keliru dalam menilai status turis asing
yang datang ke Bali sebagai personil yang telah terlatih secara militer sehingga
mereka berani menentang resiko setelah mengetahui adanya peringatan akan
kemungkinan terjadinya serangan terorisme di Indonesia.32 Argumen seperti ini
tampaknya kurang tepat sebab terbukti banyak bahkan ribuan warga sipil dari
negara lain yang berada di suatu wilayah yang sedang dilanda konflik
bersenjata.33 Dalam menghadapi kasus semacam ini seharusnya Imam Samudra
28

Nasir Abas, Melawan Pemikiran Aksi Bom Imam Samudra & Noordin M. Top , Cet. I
(Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 144
29

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 136

30

Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra & Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 207
31

Lihat: Pasal 61, Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977

32

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 136

33

Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra & Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 208

195

melakukan suatu survei yang cermat dan akurat sebelum mengambil keputusan
untuk bertindak. Sebab jika tidak, maka akibatnya akan fatal karena dapat
mengorbankan banyak orang yang seharusnya tidak pantas menjadi korban.
Menganggap turis manca negara yang berkunjung ke Bali sebagai pejuang dari
negara

masing-masing

merupakan

kesalahan

menjeneralisir

(faulty

generalization) dan langkah yang sangat gegabah serta bertentangan dengan


kaedah-kaedah hukum Islam. Di antara kaedah tersebut menjelaskan bahwa
setiap orang harus dianggap bebas dari segala macam tuntutan sampai ada bukti
sebaliknya (al-asl bart al-zimmah).34
Beberapa hadis telah disebutkan sebelumnya menguraikan tentang
larangan membunuh warga sipil dalam peperangan. Selain itu disebutkan juga
dalam konvensi Jenewa I - IV (1949)35 serta hukum adat36 tentang konflik
bersenjata. Hukum Kemanusiaan Internasional (Intenational Humanitarian
Law) mengatur tentang pihak-pihak yang berperang dalam hal metode dan
senjata yang digunakan serta perlindungan terhadap warga sipil.37 Menurut
Hukum Kemanusiaan Internasional, warga sipil mencakup orang yang tidak
berperan aktif dalam peperangan38 dan tidak melakukan pekerjaan militer;39
seseorang yang tidak memihak dengan menjadi anggota angkatan bersenjata,
militan, korps sukarela, membentuk kelompok sejenis angkatan bersenjata dan

34

Jalluddn Abdurrahmn ibn Ab Bakr al-Suyt, al-Asybah wa al-Nazir f al-Fur


(Beirut: Dr al-Fikr, 1415 H/1995 M), h. 39
35

Informasi tentang Konvensi Jenewa bisa di akses melalui


http://www.genevaconventions.org diakses tanggal 21 Maret 2008
36
Prinsip-prinsip hukum Islam mengakui hukum adat atau kebiasaan (urf) dan normanorma antar bangsa sebagai sumber hukum sekunder selama tidak bertentangan dengan syariat.
Lihat: Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge UK: The
Islamic Texts Society, 1997), h.283-295; Mengenai Undang-Undang Adat Kemanusiaan Antar
Bangsa (Customary International Humanitarian Law ) lihat: The Preamble, The Regulations
Respecting the Laws and Customs of the War on Land (36 Stat. 2295)
37

Tentang perlindungan terhadap warga sipil diatur dalam Pasal 158 Geneva
Convention relative to the protection of civilian persons in time of war , 12 Agustus 1949.
38

Pasal 3, Konvensi Jenewa, 12 Agustus 1949

39

Pasal 15 (b), Konvensi Jenewa IV, 12 Agustus 1949

196

gerakan perlawanan;40 serta populasi warga sipil terdiri dari semua orang yang
warga sipil.41
Terdapat sedikit perbedaan antara warga sipil dengan yang bukan
pejuang (non combatant ) dalam Hukum Kemanusiaan Internasional. Bukan
pejuang (non combatant) dapat diartikan sebagai anggota angkatan bersenjata
tetapi tidak terlibat dalam pertempuran,42 misalnya menjadi tenaga medis dari
angkatan bersenjata43 atau rohaniawan militer.44 Juga dapat berarti tidak lagi
berperan dalam pertempuran ( hors de combat),45 seperti tawanan perang,46
terluka yang tidak memungkinkan bertempur, dan korban dari kapal yang rusak.
Semua yang termasuk dalam kategori tersebut mendapat perlindungan dalam
Hukum Kemanusiaan Internasional untuk tidak diserang. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa semua warga sipil adalah bukan pejuang, akan tetapi tidak
semua yang bukan pejuang termasuk warga sipil karena status warga sipil hanya
diberikan kepada mereka yang bukan anggota angkatan bersenjata.47
Meskipun tenaga medis dan rohaniawan militer serta tawanan perang
termasuk anggota angkatan bersenjata tetapi Hukum Kemanusiaan Internasional
tidak membolehkan penyerangan militer terhadap mereka. Demikian halnya
dengan warga sipil, jurnalis, pekerja kemanusiaan, wanita, anak-anak, dan
40

Pasal 50, Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 4, Protokol Tambahan II, 8 Juni

1977

41

Pasal 50, Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 4, Protokol Tambahan II, 8 Juni

1977
42

Pasal 4, Protokol Tambahan II, 8 Juni 1977

43

Pasal 8 (c), Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 9, Protokol Tambahan II, 8 Juni

1977
44
Pasal 8 (d) Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 24 Konvensi Jenewa I, 12
Agustus 1949
45

Seseorang dapat digolongkan sebagai hors de combat (tidak berperan langsung dalam
pertempuran) apabila: dia berada di bawah kekuasaan musuh; menyerahkan diri; berada dalam
keadaan tidak sadar atau tidak berdaya karena luka atau sakit sehingga tidak bisa membela diri;
tidak berbuat kejahatan; tidak mencoba melarikan diri. Lihat: Pasal 41 Konvensi Jenewa I, 12
Agustus 1949
46

Pasal 44 Konvensi Jenewa I, 12 Agustus 1949

47

Pasal Umum Konvensi Jenewa, 12 Agustus 1949

197

anggota organisasi pertahanan (anggota perdamaian) mendapat perlindungan


dari serangan militer.48 Akan tetapi status warga sipil dan bukan pejuang akan
kehilangan hak perlindungannya jika mereka turut berpartisipasi dalam
peperangan. 49 Apabila terdapat keraguan terhadap status seseorang, maka yang
bersangkutan harus dianggap sebagai warga sipil.50
Berdasarkan Alquran dan hadis yang telah dikutip sebelumnya, Islam
melarang pembunuhan warga sipil yang tak berdosa dan orang yang telah diberi
jaminan keselamatan (ahl al-zimmi). Dalam pandangan Islam, perlindungan
keamanan terhadap diri sendiri, keluarga, harta benda, agama dan hak-hak
lainnya yang seharusnya dilindungi merupakan hak asasi yang prinsipil.51
Dalam merespon kajian tentang persoalan status warga sipil dalam
konflik bersenjata, Ysuf al-Qardw berpendapat bahwa mengorbankan warga
sipil walaupun terdiri dari non Muslim dalam konflik bersenjata adalah haram,
atas dasar apapun. Oleh karena itu dalam pandangan Islam, membunuh warga
sipil yang tidak berperan sama sekali dalam peperangan merupakan tindak
kriminal yang sangat keji.52 Jadi menjadikan warga sipil sebagai sasaran dalam
perang dan jihad merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional
(International Humanitarian Law ) dan hukum Islam. Selama mereka tidak
terlibat dalam peperangan, mereka memiliki hak perlindungan keamanan
terhadap jiwa dan harta benda mereka.

48

Pasal 15, 61-64, 70-71, 76-77, 79, 81 Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977

49

Pasal 13,41, 44 (5), 65 Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977

50

Pasal 50 (3) Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977

51

Sekurang-kurang terdapat lima hal yang sangat esensial (the five fundamental points )
untuk dilindungi agar kehidupan manusia dapat stabil. Kelima hal tersebut lebih dikenal dengan
al-darriyt al-khams, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda dalam maqsid alsyariah. Lihat: Ab Ishaq al-Sytib, al-Muwfaqat f Usl al-Syariah, Juz II (Beirut: Dr alKutub al- Ilmiyah, t.th.), h. 8; Anwarullah, The Criminal Law of Islam, 1st edt. (Kuala Lumpur:
A.S. Noordeen, 1997), h. viii
52

Lihat: Komentar al-Qardw mengenai serangan bom terhadap isntalasi militer


Amerika Serikat dan sekutunya yang bermarkas di Riyd. Dalam peristiwa itu korban terdiri dari
tantara Amerika Serikat dan sekutunya dan juga warga sipil. Riyd bomb attacks haram:
Qardw, Islam Online, 11 November 2003 tersedia di http://www. islam
online.net/English/News/2003/11/11 article 01 (24 Juni 2005)

198

2. Pelanggaran Metode Bom Bunuh Diri


Pelanggaran lainnya dalam bom Bali adalah metode jihad dengan
menggunakan bom bunuh diri. Syafii Maarif berargumen bahwa bom bunuh
diri yang bertujuan membunuh orang lain padahal orang itu belum tentu
memiliki kesalahan

yang dilegitimasi agama, merupakan pelanggaran

kemanusiaan yang bertentangan dengan hati nurani.53 Meskipun Imam Samudra


alias Abdul Aziz menolak penggunaan kata bunuh diri tetapi lebih memilih
istilah amaliyat istisyhdiyah (operasi mati syahid). Penggunaan term operasi
bunuh diri dan operasi mati syahid terkadang dipahami sinonim dalam konteks
jihad, padahal antara satu dengan lainnya berbeda dalam pandangan hukum
Islam. Dalam prakteknya, terkadang orang melakukan operasi bunuh diri namun
menganggap dirinya mengamalkan operasi mati syahid yang dasar hukumnya
masih diperdebatkan di kalangan ulama. Sebelum pembahasan tentang hukum
bom bunuh diri menurut pendapat ulama, maka terlebih dahulu akan diuraikan
tentang hukum terorisme.
Melihat dampak yang ditimbulkan oleh aksi terorisme berupa korban
jiwa orang-orang tak berdosa, penghancuran fasilitas umum seperti perkantoran,
rumah sakit, transporatsi baik darat, udara maupun laut, hilangnya rasa aman
masyarakat, maka Majelis Ulama Saudi Arabia dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai representasi Institusi dan fatwa personal dari Imam lainnya
seperti Al-Qardawi menetapkan fatwa mengenai terorisme. Majelis Ulama Saudi
Arabia misalnya, berfatwa sebagai berikut:
Pertama, barangsiapa yang melakukan pengrusakan di muka bumi,
seperti penghancuran rumah-rumah tinggal, masjid-masjid, sekolah-sekolah,
rumah-rumah

sakit,

pabrik-pabrik,

jembatan-jembatan,

gudang-gudang

penyimpanan persenjataan, air, sumber-sumber umum bagi baitul mal seperti


pipa-pipa minyak, menghancurkan pesawat atau membajaknya dan semacamnya
maka hukumannya adalah dibunuh berdasarkan firman Allah swt. Q.S. alMaidah (5): 33.
53
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Bahaya Radikalisme Beragama dalam
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra &
Kelompok Islam Radikal, Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. xix

199

Kedua,

sebelum

dieksekusi,

tertuduh

haruslah

terlebih

dahulu

diinvestigasi sebagai pelaksanaan asas praduga tak bersalah, dan hendalah


dilakukan sesuai prosedur syariat dalam menetapkan kebenaran tentang
kejahatan tersangka dan hukuman yang akan diterimanya. Ketiga, Majelis
memandang agar pengumuman hukuman tersebut lewat media massa dan media
elektronik.54
Fatwa Majelis Ulama Saudi tersebut menjelaskan pengertian terorisme
disertai sanksi hukuman berupa kehalalan darah bagi perusak (teroris)
mengingat akibat yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan baik moril
maupun materiil. Senada dengan fatwa Saudi Arabia, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) juga menetapkan fatwa tentang terorisme dengan terlebih dahulu
menguraikan dasar pemikiran yang dijadikan landasan objektif penetapan fatwa
baik aqliyah, naqliyah, maupun kaedah-kaedah fiqhiyah. Dalam perspektif MUI,
terorisme telah menimbulkan kerugian harta dan jiwa serta rasa tidak aman di
kalangan masyarakat, karena itu termasuk tindak pidana (jarmah) hirbah
dalam khazanah fiqih Islam. Para fuqaha mendefinisikan al-muhrib (pelaku
hirbah) sebagai pembegal yakni pelaku perampokan disertai dengan
pembunuhan. Aksi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Alquran dalam
Q.S. al-Maidah (5): 32-33; Q.S. al-Hajj (22): 39-40; Q.S. al-Anfal (8): 60; Q.S.
al- Nisa (4): 29-30; Q.S. al-Baqarah (2):195, ketentuan-ketentuan hadis, 55 dan
tidak relevan dengan qaidah fiqhiyah 56 yang menganjurkan untuk mengeliminir
kerusakan dan kemudharatan.
54

Ab al-Asybl Ahmad bin Slim al-Misr, Fatw al-Ulam al-Kibr f al-Irhb wa


al-Tadmr wa Dawbit al-Jihd wa al-Takfr wa Mumalat al-Kuffr, Cet. I (Al-Riyd: Dr alKiyn, 2005), h. 78-79
55

Misalnya hadis yang tidak menghalalkan seorang Muslim menakut-nakuti Muslim


lainnya dan hadis yng memberi ancaman terhadap seorang Muslim yang mengacungkan senjata
tajam terhadap Muslim lainnya akan dilaknat Malaikat.
56

Qaidah Fiqhiyah adalah ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagianbagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut. Lihat: Jalluddn al-Suyt, alAsybah wa al-Nazir (Indonesia: Dr al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 2; Di antara qaidah
fiqhiyah yang dijadikan dasar MUI antara lain: ( bahaya yang
bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindari bahaya yang bersifat umum atau lebih
luas). Juga kaidah: ( apabila terdapat dua
mafsadat yang saling bertentangan maka harus diperhatikan salah satunya dengan mengambil
bahaya yang lebih ringan). Lihat: Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa

200

Selain itu, MUI membedakan antara terorisme dan jihad. Terorisme


adalah kejahatan transnasional, merupakan tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap
keamanan dan kedaulatan negara,

perdamaian dunia serta merugikan

kesejahteraan masyarakat. Sedangkan jihad secara khusus dimaksudkan untuk


mempertahankan diri dari agresi musuh, dan ini termasuk kategorisasi al-qitl
atau al-harb. Jihad dalam pengertian umum adalah segala upaya yang sungguhsungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li
ili kalimatillh). Jelasnya, terorisme bersifat merusak dan anarkis,
menciptakan rasa takut atau menghancurkan pihak lain, dan sasarannya tidak
terbatas. Sebaliknya, jihad sifatnya untuk perbaikan (islh) sekalipun dengan
cara peperangan, untuk menegakkan agama Allah atau membela hak-hak pihak
yang terzalimi, dan mempunyai sasaran yang jelas.57
Perbedaan yang menonjol antara fatwa Majlis Ulama Saudi Arabia dan
fatwa MUI yakni Fatwa Majlis Ulama Saudi lebih menitik beratkan pada sanksi
(hukuman) sementara fatwa MUI pada hukumnya tanpa menyebutkan hukuman
bagi terpidana. Selain itu, Majelis Agama Islam Amerika Utara mengeluarkan
fatwa tentang terorisme. Fatwa tersebut didasarkan pada nas-nas Alquran (Q.S.
al-Baqarah (2): 143,58 Ali Imran (3): 104,59 al-Maidah (5): 3260 dan hadis-hadis
yang menjelaskan untuk selalu berbuat kebaikan sekalipun orang lain berbuat
tidak baik terhadap kita. Berdasarkan nas-nas tersebut, maka Majelis Agama
Islam Amerika Utara memutuskan bahwa semua aksi terorisme yang
menjadikan sasarannya terhadap warga sipil adalah haram; haram bagi Muslim
untuk bekerjasama dengan teroris dan keharusan bekerjasama dengan penegak

Timur, Fatwa MUI tentang Terorisme Cet. I (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur,
2007), h. 1-6
57

Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur, Fatwa MUI tentang
Terorisme Cet. I (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, 2007), h. 1-6
58

Q.S. al-Baqarah (2): 143: ...

59

Q.S. Ali Imran (3): 104: ...

60

Q.S. al-Maidah (5): 32: ... ...

201

hukum dalam rangka pemberantasan terorisme. 61 Fatwa Majelis Ulama Saudi


Arabia, MUI dan Fatwa Majlis Agama Islam Amerika Utara sebagai
reprensentasi Institusi. Selanjutnya fatwa atau argumentasi ulama secara
individu juga dikeluarkan.
Ysuf al-Qardw misalnya merepon pengeboman Bali. Menurutnya,
bom Bali yang mengorbankan manusia yang tidak sedikit merupakan kejahatan
yang keji dan termasuk dalam kategori hirbah karena menyebarkan kehancuran
di muka bumi dan hukumannya berdasarkan ayat (Al-Maidah (5): 33).
Pengeboman di Bali tidak dapat dijustifikasi karena sasarannya adalah warga
sipil dan melanggar lima tujuan utama syariat yakni menjaga agama, nyawa,
harta benda, keturunan dan intelektualitas. Bila penyerangan di Bali dilakukan
oleh orang Islam, tetap tidak bisa dikaitkan dengan Islam, sebab perbuatan
tersebut bertentangan dengan Islam yang melarang melakukan aksi kekerasan.
Hal itu hanya dilakukan oleh Muslim yang memiliki pemikiran yang dangkal
tentang

Islam. Islam juga melarang menyerang non Muslim yang tidak

menyerang umat Islam.62 Ulama lain, seperti Majlis Ulama Saudi Arabia
memberikan tanggapan tentang terorisme. Menurutnya terorisme adalah
tindakan pengrusakan, pengeboman, dan pembunuhan yang dilakukan para
perusak (teroris) bukan merupakan jihad dan orang yang mengidentikkan
tindakan kekerasan dengan jihad adalah termasuk orang-orang jahil, karena hal
itu dilarang dalam Islam.63 Pemikiran Ulama Besar Saudi ini sejalan dengan
fatwa MUI yang tidak mengakui tindakan kekerasan sebagai pengamalan jihad.
Jelasnya, secara institusi maupun individu umat Islam menolak terorisme dalam
Islam sekalipun dilakukan atas nama jihad. Selanjutnya persoalan penting dalam
melaksanakan teror adalah bom bunuh diri, dan ulama menjelaskan tentang
61

Fatwa Majlis Agama Islam Amerika Utara,


http://www.cair_net.org/downloads/fatwa.htm, diakses 15 September 2007
62

Bali Attack: Jurist Approach di


http://www.islamonline.net/fatwa/english/FatwaDisplay.asp?hFatwaID=83718, diakses tanggal
5 Juli 2007
63

Lihat: Ab al-Asybl Ahmad bin Slim al-Misr, Fatw al-Ulama al-Kibr fi alIrhb wa al-Tadmr wa Dawbit al-Jihd wa al-Takfr wa Mumalat al-Kuffr, Cet. I (AlRiyd: Dr al-Kiyn, 2005), h. 87

202

boleh atau tidaknya dalam Islam, karena Imam Samudra dan teroris lainnya
mengatakan bahwa bom bunuh diri yang dilakukannya adalah bom Syahid.
MUI dalam fatwanya menjelaskan tentang perbedaan antara bom bunuh
diri dan amaliyah istisyhdiyah (operasi mati syahid). Pelaku bom bunuh diri
adalah orang yang bunuh diri bersifat individu dan frustrasi dari ketentuan
Allah,

sedangkan amaliyah

istisyhdiyah

pelakunya

bertujuan

untuk

mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya serta untuk
mencari rahmat dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selanjutnya menurut
MUI, bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk
tindakan keputusasaan (al-yasu) dan mencelakakan diri sendiri (ihlk al-nafs),
baik dilakukan di daerah damai (dr al-shulh/dr al-salm /dr al-dawah )
maupun di daerah perang (dr al-harb).64 Sedangkan amaliyah istisyhdiyah
dibolehkan karena merupakan bagian dari jihd bi al-nafs yang dilakukan di
daerah perang (dr al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk
menimbulkan rasa takut (irhb) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh
Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya
diri sendiri.65
Mencermati fatwa MUI tentang bom bunuh diri, tampaknya lebih
difokuskan pada pencegahan tindakan tersebut di Indonesia dengan menghukum
pelakunya sebagai orang yang frustrasi dan mencelakakan diri sendiri. Adapun
tindakan sebahagian kecil orang Islam yang melakukan bom bunuh diri di
Indonesia hanyalah mendatangkan mala petaka bagi masyarakat akibat tindakan

64

Istilah dr al-harb (wilayah perang) ditujukan pada wilayah yang keamanannya tidak
dilindungi oleh pemerintahan Islam, sedangkan dr al-Islm atau dr al-Amn (wilayah damai)
merupakan wilayah dimana Islam dan hukum-hukumnya dilindungi. Suatu wilayah
dikategorikan sebagai dr al-Islm jika umat Islam memperoleh jaminan keamanan dan bisa
melakukan kegiatan keagamaanya dalam wilayah tersebut, dan atau wilayah tersebut merupakan
daerah kekuasaan Islam. Lihat: Cyril Glasse, The Concise Encyclopaedia of Islam,
diterjemahkan oleh Ghufron A. Masadi dengan judul Ensiklopedi Islam (Ringkas), Cet. II
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 71; Mahmud Abd Fattah Mahmud Yusuf, Min
Ahkm al-Harb F al- Sayriah al-Islmiyyah wa al-Qnn, (Kairo: Dr al-Fikr al-Arabi, t.th),
h. 31-32; Bandingkan dengan: http://en.wikipedia.org/wiki/Dar_al-Islam#Dar_al-Islam, diakses
tanggal tanggal 21 November 2008
65
Lihat: Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur, Fatwa MUI
Tentang Terorisme No. 3 Tahun 2004 , Cet. I (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur,
2007), h. 7-9

203

yang anarkis, bertujuan untuk mengganggu ketenteraman masyarakat dan


dilakukan tanpa aturan dan sasaran yang tidak jelas. Selain itu bom bunuh diri
dilakukan di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim dan dalam
kondisi stabil tanpa perang. Menurut Komisi Fatwa MUI, bom bunuh diri
bukanlah termasuk perkara yang disyariatkan dalam Islam, sebab bom bunuh
diri menghancurkan diri pelakunya yang terlarang dalam Islam.66 Membunuh
orang lain yang tidak bersalah apalagi dengan bom merupakan tindakan yang
tidak berprikemanusiaan.67
Argumentasi yang dikemukakan MUI di atas sejalan dengan hasil
musyawarah ulama Nahdlatul Ulama (bahtsul Masil) 25-28 Juli 2002
menegaskan bahwa bom bunuh diri dalam Islam diharamkan oleh agama dan
termasuk dosa besar. Akan tetapi jika mengorbankan jiwa dan mati dalam
melawan kezaliman, maka dapat dibenarkan bahkan bisa dianggap sebagai mati
syahid dengan tiga syarat: diniatkan benar-benar semata-mata untuk melindungi
dan memperjuangkan hak-hak dasar (al-darriyt al-khamsah) dan bukan
dengan maksud mencelakakan diri (ihlk al-nafs); diyakini tidak tersedia cara
lain yang lebih efektif dan lebih ringan resikonya; serta menjadikan sasaran
terhadap pihak-pihak yang diyakini menjadi otak dan pelaku kezaliman
tersebut.68 Pandangan Ulama Nahdlatul Ulama ini menegaskan keharaman bom
bunuh diri kecuali dengan memenuhi persyaratan tersebut. Metode istimbat
hukum tersebut sejalan dengan kaedah usl fiqh:

66

Lihat: Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur, Fatwa MUI
Tentang Terorisme No. 3 Tahun 2004 , Cet. I (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur,
2007), h. 7-9
67

Adapun dasar larangan bom bunuh diri (self defeating) adalah Q.S. al-Baqarah (2):
195 ... ... (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan).
68

Pada waktu perang kemerdekaan, Mohammad Toha (dari Bandung Selatan)


menghancurkan tempat amunisi musuh sehingga ia tewas bersama penjaganya. Sekilas tindakan
tersebut termasuk bom bunuh diri, akan tetapi oleh pemerintah RI diberi tanda penghargaan
sebagai pahlawan nasional. Lihat: Nahdlatul Ulama, Bahtsu al-Masil (Hasil-Hasil Musyawarah
Nasional Alim Ulama) & Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 25-28 Juli 2002 Asrama Haji
Pondok Gede Jakarta (Jakarta: Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2002), h.
21

204

(menghindari mafsadat yang lebih besar resikonya dengan melakukan mafsadat


yang lebih ringan resikonya) dan kaedah:

(keadaan darurat membolehkan melakukan yang terlarang).


Dalam konteks bom Bali, Imam Samudra lebih memilih menggunakan
istilah amaliyah istisyhdiyah (operasi mati syahid) dari pada bunuh diri. Dia
menyadari

bahwa

penggunaan

aksi

amaliyah

istisyhdiyah

masih

diperselisihkan dikalangan ulama, tetapi dia memilih pendapat ulama yang


membolehkan pelaksanaan operasi mati syahid dalam berjihad.69 Istilah bom
bunuh diri dalam pembahasan ini adalah operasi mati syahid karena orang
yang melakukan bom bunuh diri dalam berjihad bertujuan untuk meraih prestasi
syahid dan pelakunya terbunuh oleh senjatanya sendiri. Jika ditelusuri makna
term operasi mati syahid pada era klasik dan kontemporer, maka
perbedaannya terletak pada cara terbunuhnya pelaku yakni pada masa klasik
pelaku operasi mati syahid terbunuh oleh tangan musuh, sementara dewasa ini
pelakunya terbunuh oleh tangan sendiri.70
Secara historis, operasi mati syahid pada masa Nabi dan Khulafaur
Rasyidin memiliki ciri diantaranya: motivasi untuk meraih kemenangan atas
musuh seperti tindakan al-Barr bin Mlik dalam perang Yammah dan perang
al-Jisr; memiliki tujuan untuk syahid di jalan Allah;71 serta untuk melindungi
Nabi dalam perang Uhud.72 Ketiga hal tersebut pada intinya bertujuan untuk
meraih kemenangan dan mati syahid dengan dilandasi niat li ili kalimatillh,
bukan untuk meraih popularitas dan ekonomi.
Persoalan lain yang urgen dikemukakan dalam kaitan dengan operasi
mati syahid adalah pandangan ulama mengenai aksi menyerang musuh tanpa

69

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 171-172

70

Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra & Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 176
71

Nawaf Hayil Takruri, Al-Amaliyah al-Istisyhdiyah f al-Mzn al-Fiqh (Damaskus,


Dr al-Fikr, 2003), h. 66-68
72
Saifurrahmn al-Mubrakfuri, Al-Raheq al-Makhtum (Riyad: Maktabat Dr al- Salm,
1995), h. 269-274

205

ada harapan untuk hidup. Dalam merespon persoalan ini para ulama
mengklasifikasikannya ke dalam tiga hal:
Pertama, al-tahlukah (membinasakan diri). Penyerangan terhadap musuh
yang berakibat matinya penyerang dianggap sebagai tindakan membinasakan
diri. Hal ini dilarang dalam Islam (Q.S. al-Baqarah (2): 195).73 Menurut Ibn alArab, kata al-tahlukah mengandung beberapa makna antara lain menolak
untuk berbuat karena Allah; melaksanakan jihad tanpa ketentuan; melalaikan
jihad; menyerang musuh tanpa peralatan; dan hilangnya harapan pengampunan
dari Allah.74
Kedua, al-Izzah (kemuliaan diri). Pada dasarnya melarikan diri dari
pertempuran merupakan dosa bahkan bagi al-Izz ibn Abd Salm, tindakan
seperti itu termasuk dosa besar. Akan tetapi langkah tersebut dapat dibenarkan
jika diyakini bahwa resiko bertahan hanya akan berdampak kematian tanpa
meraih kemenangan atau perhitungan yang bisa merugikan pihak musuh. Jadi,
yang diperbolehkan dalam Islam itu adalah seorang prajurit bisa saja
mengorbankan diri menghadapi suatu kematian jika kematiannya itu berdampak
pada kemenangan pihak umat Islam dan kerugian pihak musuh. Kalaupun hal
tersebut tidak dicapai, maka paling tidak operasi mati syahid dapat
memotivasi pejuang Muslim lainnya untuk berani terlibat dalam kancah
peperangan dan memberikan efek ketakutan pihak musuh.75 Dalam hal ini
merupakan suatu kemuliaan bagi pejuang Muslim jika mereka dapat
mengorbankan dirinya, bila diperlukan, dengan catatan dapat memberikan
keberuntungan pihak umat Islam dan ketakutan pihak lawan.

73

Larangan membinasakan diri dijelaskan dalam ayat:


... ... (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan)
74

Ab Bakr Muhammad ibn Abdillah al-Marf bi ibn al-Arab, Ahkm al-Qurn, Juz
I (T.tp: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 116; Bandingkan dengan: Ab Bakr Ahmad ibn Al alRz al-Jasss, Ahkm al-Qurn, Juz I (Beirut: Dr al-Kutub al-Imiyah, t.th.), 318; M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran , Cet. VIII (Jakarta: Lentera
Hati, 2006), h. 425-426
75
Nawaf Hayil Takruri, al-Amaliyah al-Istisyhdiyah f al-Mzn al-Fiqh (Damaskus,
Dr al-Fikr, 2003), h. 73-74

206

Ketiga, al-Itr (berkorban untuk kepentingan orang lain). Yang


dimaksud al-Itr dalam konsep ini adalah seorang mengorbankan dirinya untuk
menghalangi terbunuhnya orang lain. Hal ini terjadi dalam kasus Ab Thalhah
yang terbunuh karena melindungi Nabi saw dari serangan musuh dalam
peperangan Uhud.76 Persoalannya adalah apakah kondisi seperti ini masih
relevan atau tidak sebab kasus itu terjadi dalam rangka melindungi Rasulullah.
Untuk merespon ini ada beberapa pertimbangan: Pertama, al-Itr dapat saja
dibenarkan di era kontemporer untuk melindungi panglima perang atau personel
yang memiliki kredibilitas dan intergritas yang tinggi dan eksistensinya sangat
dibutuhkan oleh angkatan perang umat Islam atau komunitas Muslim umumnya.
Tetapi kalau panglima atau personel tersebut tidak terlalu memberikan
kontribusi yang signifikan bagi Islam dan umat Islam, maka al-Itr tidak
diperlukan (dibenarkan). Kedua, tentara yang melakukan al-Itr benar-benar
karena Allah dan perkembangan Islam bukan atas tendensi ekonomi, politik dan
lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bom bunuh
diri atau operasi mati syahid memiliki terminologi yang bervariasi dan pada
umumnya diperbolehkan jika aksi bom bunuh diri bertujuan untuk melindungi
panglima perang atau personel yang memiliki intergritas dan kredibilitas yang
signifikan bagi Islam dan umat Islam, dilaksanakan dengan niat karena Allah
semata, dan atau memberikan keberuntungan bagi pihak Islam. Kesemuanya ini
hanya terjadi dalam kondisi perang dan tidak akan terjadi di luar perang.
Bom bunuh diri di tempat lain di luar dr al-harb (kawasan perang),
mungkin sulit dikategorikan sebagai kegiatan operasi mati syahid, sebab
pelakunya memasang bom di badannya dengan penuh kesadaran bahwa
tubuhnya akan hancur berkeping-keping jika bom yang terpasang meledak.
Tetapi pelaksanaan bom bunuh diri bisa saja terjadi dalam keadaan perang
atau di wilayah musuh dan dapat dibenarkan oleh sebahagian ulama, sebab
kasus yang serupa pernah dipraktekkan beberapa sahabat Nabi dengan maksud
melindungi Rasul dari serangan musuh dalam perang Uhud, dan ternyata mereka
76

Nawaf Hayil Takruri, al-Amaliyah al-Istisyhdiyah f al-Mzn al-Fiqh (Damaskus,


Dr al-Fikr, 2003), h. 75

207

gugur.77 Akan tetapi para ulama masih berselisih pendapat dalam menyikapi
aksi sahabat tersebut dan tindakan semacamnya seperti bom bunuh diri (operasi
mati syahid), sebagian dapat menerimanya dan yang lainnya menolak.
Diantara ulama yang membenarkan tindakan sahabat tersebut adalah Ibn
Arab, ulama Andalusia (Spanyol) abad IV H, Imam Hasan al-Syaibani, alSyaukani, al- Suyut, al- Qurtub, Ibn Taimiyah, dan Ibn Katsr.78 Selanjutnya
dalam kasus konflik Palestina-Israel, ulama kontemporer yang membenarkan
operasi mati syahid (bom bunuh diri) antara lain: Wahbah al- Zuhail dan Ysuf
al-Qardw.79 Mereka memiliki paling tidak empat alasan tentang kebolehannya:
orang-orang Yahudi merupakan agresor (penjajah) dan perampas tanah muslim
Palestina; warga sipil Israel berpotensi menjadi serdadu jika terjadi
pertempuran; mayoritas warga sipil Israel mendukung kebijakan pemerintahnya
menyangkut soal Palestina; dan warga sipil Israel bekerjasama dengan tentara
dalam menyiksa dan mengusir rakyat Palestina.80 Tampaknya bom bunuh diri
yang dilegalkan diatas hanya terjadi pada daerah-daerah atau negara-negara
yang sedang konflik dan belum ada tanda-tanda perdamaian.
Adapun ulama yang menentang operasi mati syahid dan menganggapnya
sebagai perbuatan bunuh diri adalah Syekh Abd Aziz Ibn Abdillah Alu AlSyaikh. Menurutnya, meledakkan diri sendiri di tengah musuh atau dalam
istilahnya suatu cara bunuh diri, tidak terdapat dalil yang memperbolehkannya,
sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai jihad di jalan Allah. Melawan dan
membunuh musuh memang diperlukan, bahkan terkadang diwajibkan kepada
setiap pribadi, tetapi caranya sepatutnya disesuaikan dengan aturan yang

77

Safiurrahmn al-Mubrakfur, Al-Raheq al-Makhtum (Riyad: Maktabat Dr al- Salm,


1995), h. 269
78

M. Qasim Mathar, Makalah Seminar bertema Kejahatan Internasional dan Antisipasi


Hukumnya, Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar, 29 Oktober 2001, h. 8
79

Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra dan Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 171173
80
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra dan Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 170173

208

digariskan syariat,81 misalnya menembak, melancarkan rudal jarak jauh tetapi


tetap dilimitasi pada pasukan musuh.
Mencermati pandangan ulama (klasik dan kontemporer) baik yang
membenarkan operasi mati syahid atau bom bunuh diri maupun yang tidak,
kemudian dianalogikan dengan bom bunuh diri Palestina dan bom Bali, dapat
ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, terdapat generalisasi yang salah (faulty generalization) baik
pada sasaran bom bunuh diri yang dilakukan para pejuang kemerdekaan
Palestina di wilayah Israel maupun sasaran bom bunuh diri yang dilakukan
Imam Samudra dan kawan-kawannya di Bali. Generalisasi warga sipil Israel
sebagai anggota potensial yang dapat dijadikan serdadu jika terjadi perang
sepertinya terlalu dipaksakan sebab tidak mungkin anak-anak kecil dan orang
tua jompo (manula) mampu berperan sebagai tentara mengangkat senjata.
Demikian halnya generalisasi Samudra terhadap para turis asing yang datang
liburan (holiday) di Bali dianggap sebagai serdadu jika terjadi perang.
Pandangan generalisasi tersebut akan melahirkan suatu pemikiran stereotype
yang pada hakekatnya ditolak oleh mainstream masyarakat Islam sendiri.
Misalnya, anggapan sebagian masyarakat Barat yang mengatakan bahwa semua
Muslim identik dengan radikalis, fundamentalis, dan teroris. Jadi bagaimana
mungkin umat Islam dapat menolak stereotype Barat terhadap mereka,
sedangkan pada saat yang sama mereka juga berpikiran negatif terhadap non
Muslim. Standar ganda seperti itu akan menghilangkan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam.
Selain itu, anggapan Imam Samudra bahwa semua turis asing khususnya
yang berasal dari Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Thailand sebagai
pejuang mengandung syubhat (keragu-raguan) yakni belum dapat dibuktikan
kebenarannya. Suatu tindakan yang dilakukan atas dasar sangkaan apalagi
menyangkut jiwa orang banyak tidak dapat diterima dalam Islam. Alquran telah
81

Majelis Ulama Saudi mengadakan pertemuan khusus di Riyad, 13 Rabiul Awwal


1424 H untuk merespon terjadinya aksi terorisme di Riyad berupa bom bunuh diri yang
merugikan baik Muslim maupun non Muslim. Lihat: Ab al-Asybal Ahmad Ibn Slim al-Misr,
Fatw al-ulam al-Kibr f al-Irhb wa al-Tadmr wa Dawbit al-Jihd wa al-Takfr wa
Mumalat al-Kuffr, Cet. I (Riyad: Dar al-Kiyn, 2005), h. 377-379

209

memberikan warning agar manusia menjauhi asumsi dalam mengambil


keputusan.82 Apabila terdapat keraguan terhadap status seseorang apakah
termasuk warga sipil atau tentara, dalam Hukum Kemanusiaan Internasional
disebutkan bahwa yang bersangkutan harus dianggap sebagai warga sipil yang
mempunyai hak perlindungan.83 Jadi, pengeneralisasian terhadap aksi-aksi
kelompok tertentu sebagai representasi dari suatu komunitas tidak dapat
diterima sepanjang tidak ada indikasi dan penelitian atau pernyataan akurat
tentang keterlibatannya.
Kedua, tidak terdapat qarnah (petunjuk) yang dapat membenarkan
pelaksanaan bom bunuh diri di Bali, sebab yang dihadapi bukan musuh (tentara)
melainkan warga sipil bahkan yang menjadi korban adalah warga negara
Indonesia (WNI) sendiri, dan yang lebih tragis lagi adalah sesama muslim.
Tidak ada satupun agama di dunia ini baik Islam maupun Kristen dan lainnya
membolehkan pembunuhan manusia tanpa alasan yang dapat dibenarkan.
Membunuh seseorang tanpa alasan merupakan perbuatan yang digolongkan dosa
besar (Q.S.al-Maidah (5): 32. 84 Selain memperoleh dosa besar, membunuh
seorang manusia sama dengan membunuh manusia secara keseluruhan. Quraish
Shihab mengomentari frase ayat ini dengan mengatakan bahwa dalam
pandangan Alquran semua manusia adalah sama dari segi kemanusiaan tanpa
membedakan ras, keturunan dan agamanya. Ide ini membantah adanya
keistimewaan satu ras atas ras yang lain, baik dengan mengatasnamakan agama

82

Larangan tersebut dapat dilihat misalnya dalam Q.S. al-Najm (53): 28



(Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun
terhadap kebenaran). Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI,
Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV.Toha Putra, 1989), h. 873
83

Lihat: Pasal 50 (3) Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977.

84

Terdapat sejumlah ayat yang melarang membunuh antara lain: Q.S. al-Maidah (5): 32
... ... ( barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya ); Q.S.
al-Anm (6): 151 ... ... ( dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar ).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: CV.Toha Putra, 1989), h. 164 & 214

210

sebagai anak-anak kekasih Tuhan seperti orang-orang Yahudi maupun atas


nama ilmu seperti pandangan kelompok rasialis Nazi.85
Selanjutnya Mujahid mengomentari bahwa membunuh seorang manusia
sama dengan membunuh manusia semua dan balasan bagi pembunuh tanpa
alasan adalah kemurkaan Allah dan azab yang pedih di dalam neraka.86 Dengan
demikian, perlu ditegaskan bahwa bom bunuh diri di daerah non konflik seperti
Bali tidak dibenarkan dalam Islam. Kalau bom bunuh diri itu terjadi di daerah
konflik seperti di Palestina maka dibolehkan dengan beberapa persyaratan:
motivasi atau niatnya karena Allah, diarahkan langsung kepada pasukan perang
(combatant), menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap musuh dan
sebagai satu-satunya cara untuk melumpuhkan lawan. Selain pelanggaran bom
bunuh diri, pelanggaran lain dalam pengeboman Bali adalah pelanggaran dalam
kaitan dengan lokasi pengeboman.

3.Pelanggaran tentang Lokasi Pengeboman.


Persoalan ketiga dari pelanggaran bom Bali adalah tempatnya bukan di
wilayah musuh atau instalasi militer, melainkan tempat hiburan dan restoran
(Paddys Club dan Sari Club). Pemilihan lokasi sasaran pada tempat seperti ini
sangat bertentangan dengan syariat karena tidak mengindahkan aturan khusus
yang mengatur piha-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Aturan
tersebut berbunyi:
Untuk menjamin kehormatan dan perlindungan warga sipil dan
hartanya, pihak yang berkonflik harus selalu memisahkan antara
warga sipil dan pejuang dan antara harta benda warga sipil dan
militer serta mengharuskan mengarahkan sasaran hanya kepada
militer.87
85

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran , Vol.
III, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 77
86

Lihat: Ab Jafar Muhammad ibn Jarir al-Tabar, Jmi al-Bayn f Tawl al-Quran ,
Jilid IV, Cet. III (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiah, 1420 H/1999 M), 542; Bandingkan dengan alHfiz Imnuddin Ab al-Fid Ismil ibn Katsr, Tafsir al-Quran al-Azm, Juz II (t.tp: Dr
Misra li al-Tibah, t.th.), 48
87

Lihat: Pasal 48, Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977

211

Dalam aturan tersebut terkandung makna bahwa pihak-pihak yang


terlibat konflik harus menghindari tindakan yang dapat merugikan baik terhadap
warga sipil dan bukan pejuang maupun terhadap harta benda mereka. Dengan
demikian, penentuan pilihan sasaran pada tempat hiburan dan restoran misalnya
jelas menyalahi aturan di atas. Lebih jauh dijelaskan dalam Protokol Tambahan
pasal 52 ayat 4 dan 5 sebagai berikut:
Pasal 4: Larangan terhadap serangan yang tidak mendiskriminasi.
Serangan yang dapat dikategorikan tidak mendiskriminasi adalah: serangan yang
tidak diarahkan kepada sasaran militer secara khusus; serangan yang
menggunakan metode pertempuran yang tidak diarahkan kepada sasaran militer
secara khusus; atau serangan yang menggunakan metode pertempuran yang
efeknya tidak bisa dibatasi sebagaimana yang dituntut oleh Protokol ini, yang
nantinya dalam setiap kasus berlaku serangan yang tidak membedakan sasaran
militer dan warga sipil atau harta benda sipil.
Pasal 5: Bentuk-bentuk serangan berikut ini dianggap sebagai serangan
yang membabibuta (indiscriminate) antara lain: sebuah serangan yang tidak
membedakan sasaran terhadap militer dan warga sipil atau harta benda sipil baik
yang berlokasi di kota, desa atau daerah lain; serangan yang dapat
mengakibatkan kerugian insidental terhadap nyawa warga sipil atau luka-luka,
kehancuran harta benda warga sipil atau kombinasi semuanya yang melampaui
manfaat militer yang hendak dicapai.88
Memperhatikan fungsi Paddys Club dan Sari Club sebagai tempat
hiburan malam sekaligus restoran maka tidak dapat dikelompokkan dalam target
sasaran operasi militer yang harus dimusnahkan. Selain itu pemusnahan lokasi
tersebut tidak akan memberi manfaat militer sama sekali pada pelaku serangan,
sehingga tidak terdapat alasan kuat untuk menjadikan Paddy Club dan Sari
Club sebagai sasaran penyerangan. Kalaupun terdapat keraguan tentang status
lokasi yang biasanya dipergunakan warga sipil telah beralih fungsi sebagai
instalasi militer karena dipergunakan untuk keperluan kegiatan operasional
militer, maka status hukumnya harus dianggap sebagai tempat beraktivitas
88

Lihat: Pasal 51 (4) & (5) Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977

212

warga sipil.89 Jadi, serangan bom di kedua tempat tersebut bertentangan dengan
etika peperangan dalam Islam yang melarang menjadikan warga sipil sebagai
sasaran perang atau kekerasan peperangan.
Berbagai pelanggaran pengeboman di Bali sebenarnya sama dengan
pelanggaran pengeboman gedung WTC di New York dan Pentagon di
Washington DC yakni pelanggaran dalam kaitan dengan objek serangan, metode
pengeboman bunuh diri dan lokasi pengeboman. Pengeboman Pentagon bisa
saja diklaim sebagai justifikasi kebolehan melakukannya oleh Muslim radikal
terutama Al-Qaeda sebagai tertuduh pelaku pengeboman karena sasarannya
adalah instalasi militer Amerika Serikat, tetapi persoalannya adalah tidak terjadi
peperangan secara terbuka antara Amerika dengan umat Islam (dunia Islam)
sehingga pengeboman tersebut tetap dikategorikan sebagai aksi teror dan bukan
dalam rangka aktualisasi jihad.
Uraian di atas menegaskan bahwa terorisme tidak identik dengan jihad.
Terorisme memiliki karakteristik menghancurkan fasilitas dan prasarana umum
tanpa membedakan sasarannya dan tidak hanya ditujukan pada pasukan militer,
sedangkan jihad (dalam makna peperangan) menurut konsep Islam pada
dasarnya dilaksanakan untuk kemasalahatan umat, mengutamakan perdamaian
dan toleransi dan sasarannya hanya tertuju pada instalasi militer dan pasukan
perang. Kalaupun ada sekelompok komunitas Muslim yang mengklaim bahwa
pengeboman atau penghancuran atas nama bom jihad padahal tidak selaras
dengan prinsip-prinsip tersebut, maka aksi itu dikategorikan sebagai
terorisme. Pembahasan selanjutnya adalah menganalisis hukum Islam tentang
terorisme disertai identifikasi teks yang berkaitan dengan persoalan terorisme
disertai pendapat para fuqaha.
C. Hukum Islam Tentang Terorisme
Term-term terorisme dalam hukum Islam bervariasi antara lain al-irhb
(irhbiyah), al-hirbah (perampokan), al-baghyu (pemberontakan), qtiu altarq

atau
89

quttu

al-tarq

(pembegal),

dan

al-unf

Lihat: Pasal 52 (2) & Pasal 53 (3) Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977

(lawan

dari

213

kelemahlembutan). Menurut Abd al-Hayy al-Farmwi term-term yang semakna


dengan terorisme disebutkan sebanyak 80 kali, antara lain: al-baghyu, altughyn, kesewenang-wenangan atau melampaui batas (Q.S. al-Hud (11): 112,
al-zulm, kezaliman (Q.S. al-Furqan (25): 19, al-itida, melampaui batas (Q.S.
al-Baqarah (2): 190; al- Midah (5): 87, al-qatl, pembunuhan (Q.S. al- Midah
(5): 32, al-harb, peperangan (Q.S. al- Midah (5): 33-34. 90 Penulis hanya
menjelaskan tiga istilah saja seperti yang akan diuraikan nanti sebab
pembahasan ini yang banyak disebutkan dalam kitab-kitab fiqh baik yang klasik
maupun kontemporer. Perlu ditegaskan bahwa al-hirbah (perampokan), albaghyu (pemberontakan), qtiu al-tarq atau quttu al-tarq (pembegal)
dikategorisasikan sebagai terorisme jika memenuhi kriteria atau unsur terorisme
misalnya

dilakukan

dengan

aksi

kekerasan,

menimbulkan

kepanikan

masyarakat, menimbulkan kerugian jiwa dan materi lainnya dan memiliki tujuan
politik.

1. Al- Irhb (Irhbiyah)


Secara etimologi, istilah al-irhb terambil dari kata arhaba-yurhibu yang
berakar kata rahiba (ra-hi-ba) berarti intimidasi atau ancaman.91 Dapat juga
bermakna

akhfa

(menciptakan

ketakutan)

atau

fazzaa

(membuat

kengerian/kegetaran).92 Pengertian terminologi dari al-irhb yaitu rasa takut


yang

ditimbulkan

akibat

aksi-aksi

kekerasan,

misalnya

pembunuhan,

pengeboman, dan perusakan. Sedangkan al-irhb berarti orang yang menempuh


jalan teror dan kekerasan.93 Adapun al-hukm al-irhb berarti bentuk
90

Abd al-Hayy al-Farmw, Islam Melawan Terorisme: Interview,Jurnal Studi AlQuran, Vol. I, No. I Januari 2006, h. 101-104
91

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif,


1997), h. 539
92

Ab al-Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr al-Afriq al-Misr, Lisn
al-Arab, Jilid I, Cet. I (Beirut: Dr Sdir, 1990), 436; Luis Maluf, al-Munjid fi al-Lugah wa alAlm, Cet. 39 (Beirut: Dar al-Masyriq, t. th.), h. 282
93

Asad al-Sahamrn, L li al-Irhb Naam li al-Jihd , Cet. I (Beirt: Dr al-Nafis,


2003), h. 12

214

pemerintahan yang memerintah rakyat dengan sewenang-wenang, kekerasan


dalam rangka mengatasi berbagai perselisihan yang terjadi dalam masyarakat
dan juga bertujuan memberantas gerakatan-gerakan separatis.
Term al-irhb dalam berbagai derivasinya yang dapat diidentikkan
dengan makna terorisme dapat ditemukan dalam berbagai teks-teks Alquran
antara lain: Q.S. al- Anfl (8): 60;94 Q.S. al- Arf (7): 116; 95 dan Q.S. al- Hasyr
(59): 13.96 Pada ayat pertama, kata terambil dari kata yang berarti
takut atau gentar. Kata ini tidak berarti melakukan teror, meskipun terorisme
dalam bahasa Arab terdapat dalam kata yang seakar dengan lafal tersebut yakni
irhb (terorisme). Akan tetapi pengertian semantiknya bukan seperti yang
dimaksud oleh kata itu dewasa ini. Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud
oleh ayat ini bukan menggetarkan masyarakat umum, orang-orang yang tidak
bersalah, dan bahkan bukan semua orang yang bersalah, tetapi hanyalah
ditujukan kepada musuh-musuh Allah dan musuh-musuh masyarakat umum
yang ingin menimbulkan mudarat.97 Allah memerintahkan kaum muslimin
untuk senantiasa dalam keadaan siap siaga menghadapi musuh Allah dan musuh
umat Islam. Persiapan itu dapat berupa persiapan militer secara menyeluruh
antara lain meningkatkan kuantitas dan kualitas pasukan tempur, peralatan
tempur: pedang, tombak, dan kuda-kuda yang tangguh, serta menjaga pos
perbatasan. Dengan persiapan seperti itu akan memberikan dampak psikologis
bagi musuh agar tidak meremehkan umat Islam dan bahkan bisa menimbulkan
ketakutan pihak musuh.
Ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan hewan seperti kuda dan
unta dalam peperangan. Imm Ab Hanfah tidak memperbolehkan, sementara
94

Ayat 60 surat al-Anfl (8) berbunyi: ... ... (kamu menggetarkan


musuh Allah dan musuhmu).
95

Surat al-Arf (7): 116: ... ( maka tatkala mereka


melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut).
96

Surat al-Hasyar (59): 13: ... ( sesungguhnya kamu


dalam hati mereka lebih ditakuti dari pada Allah).
97
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Quran , Vol.
V, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 461

215

Imm Syfi tidak keberatan atas penggunaan hewan tersebut sebagai sarana
peperangan berdasarkan suatu riwayat dari ibn Umar.98 Penyebutan
(kuda) dalam ayat ini merupakan bukti betapa pentingnya mempersiapkan diri
dengan segala peralatan perang, dimana kuda sebagai andalan perang ketika
itu.99 Dengan demikian dapat dipahami bahwa mempersiapkan diri dengan
berbagai peralatan untuk menghadapi serangan musuh adalah suatu keniscayaan,
demi membela agama dan negara.
Ayat ini pada dasarnya memerintahkan orang-orang Islam untuk
mempersiapkan diri dengan segala peralatan yang diperlukan dalam peperangan
sehingga dapat membuat musuh dalam ketakutan dan kegetaran. Al-Rzi (w.
606 H) berpendapat bahwa kesiapan menghadapi musuh dengan berbagai
perlengkapan memberi manfaat bagi orang Islam antara lain: orang-orang kafir
akan takut menyerang kaum Muslimin; ketakutan orang-orang kafir tersebut
mendorong mereka untuk tunduk dibawa pemerintahan Islam dengan
membayar jizyah;100 bahkan tidak menutup kemungkinan mereka akan beriman;
mereka tidak akan menolong orang-orang kafir lainnya; dan kondisi seperti ini
akan menambah wibawah dr al-Islam.101
Mempersiapkan diri dengan segala peralatan tempur baik berupa senjata,
amunisi, personil yang terlatih, maupun segala penunjang yang diperlukan
dalam membela diri bukanlah suatu larangan selama tidak digunakan untuk
meneror orang lain. Berbeda halnya dengan kelompok teroris yang

98

Ab Abdillh Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtb, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz VIII (Beirut: Dr al-Kutub al- Ilmiyah, t.th.), h. 26
99

Wahbah al- Zuhal, Al-Tafsr al-Munr fi al-Aqdah wa al-Syarah wa al-Manhaj ,


Juz IX (Beirut: Dr al-Fikr al-Musir, 1998), h. 50
100

Jizyah adalah upeti atau pajak yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang
non Muslim (Kafir) sebagai imbalan atas jaminan keamanan diri dan harta mereka. Pemungutan
jizyah dilakukan setiap akhir tahun Qamariyah dalam jumlah yang bervariasi, 48 dirham bagi
mereka yang mampu, 24 dirham bagi kelas menengah, dan 12 dirham bagi kelas bawah
(miskin). Adapun dasar hukumnya adalah Q.S. al-Taubah (9): 29. Lihat: M. Abdul Mujieb,
Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqh, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002), h.141-142
101
Muhammad Rasyid Rida, Tafsr al-Manr, Juz X, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1999), h. 53-55

216

mempersenjatai diri untuk tujuan teror, sehingga menimbulkan ketakutan pihak


yang dijadikan sasaran. Oleh karena itu, ayat ini memberikan petunjuk kepada
umat Islam mengenai cara melindungi diri dari ancaman musuh.
Ayat kedua menjelaskan kasus Nabi Musa as dan para tukang sihir
Firaun. Aksi tukang sihir menakutkan orang yang menyaksikan demonstrasi
sihir tersebut, karena itu Allah swt memerintahkan Nabi Musa as untuk
melemparkan tongkatnya dan tongkat tersebut berubah menjadi ular raksasa dan
mengalahkan atau membunuh ular-ular tukang sihir. Penonton pertunjukan
tersebut merasa ketakutan terhadap aksi ular-ular itu.102 Menurut Rasyid Rida,
sebenarnya peristiwa ini hanyalah merupakan khayalan belaka (ilusi) akibat
pengaruh sihir, bukan sebagai kenyataan dalam bentuk ular sungguhan.103
Tujuan tukang sihir adalah untuk memperlihatkan kehebatan mereka dan
sekaligus menakut-nakuti masyarakat agar tidak melakukan pembangkangan
terhadap Tuhan mereka, Firaun. Akan tetapi Allah mengalahkan arogansi ahli
sihir dengan mengubah tongkat Nabi Musa menjadi seekor ular raksasa.
Tampaknya Allah tidak menginginkan kehendak tukang sihir untuk membuat
orang banyak dalam ketakutan dan kengerian. Karenanya dapat dipahami bahwa
membuat orang takut, tidak tenteram, dan was-was merupakan perbuatan yang
tidak baik dan melanggar Hak-Hak Asasi Manusia (HAM).
Ayat ketiga mengemukakan tentang keadaan kaum Muslimin dalam
menghadapi kaum Yahudi yang sering melakukan makar terhadap Rasulullah
saw. di Madinah, sekaligus menggambarkan bahwa pada hakekatnya kaum
munafik dan Yahudi lebih takut kepada kaum Muslimin dari pada kepada Allah
swt.104 Sikap orang-orang Yahudi lebih menakuti kaum Muslimin dari pada
102

Sebenarnya jumlah tukang sihir Firaun bervariasi dalam kitab tafsir. Menurut
Muhammad ibn Ishaq, jumlahnya sekitar lima belas ribu, sementara al-Sad jumlahnya kurang
lebih tiga puluh ribu orang, sedangkan al-Qsim ibn Ab Barrah menyebutkan tujuh puluh ribu
orang penyihir, akan tetapi hal ini dianggap sebagai bagian dari cerita-cerita Israeliyat. Lihat:
Imnuddn Ab al-Fid Ismal ibn Katsr, Tafsr al-Qurn al-Azm, Juz II (T.tp: Dr Misra li
al-Tibah, t.th.), h. 242-243
103

Muhammad Rasyid Rida, Tafsr al-Manr, Juz X, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1999), h. 56-57
104

Asad al- Sahamrn, L li al-Irhb Naam li al-Jihd , Cet. I (Beirt: Dr al-Nafis,


2003), h. 14-1

217

Allah disebabkan orang-orang Yahudi tidak mengetahui kebesaran kekuasaan


Allah swt. Selain itu mereka memandang enteng berbuat maksiat tanpa
memperhitungkan akibatnya atau balasannya.105
Berdasarkan penjelasan ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa yang
dimaksud al-irhb di sini adalah menumbuhkan rasa takut dalam hati musuh,
yang pada akhirnya mendorong musuh untuk menyerah baik sebelum maupun
setelah terjadi pertempuran. Sebagai contoh adalah peristiwa penaklukan kota
Mekkah yang terjadi tanpa peperangan berarti, sehingga Nabi bersabda: Aku
dimenangkan dengan rasa takut. Maksudnya, kemenangan yang diraih Nabi
bersama kaum Muslimin bukanlah murni hasil pertempuran, akan tetapi
dikarenakan Allah swt menimbulkan rasa takut di hati musuh. Persoalan lain
yang berkaitan dengan terorisme dalam hukum Islam adalah al-hirbah.

2. Al- Hirbah (perampokan)


Lafal al-hirbah (highway robbery or brigandage ) identik dengan qitu
al-tarq atau qatu al-tarq (pembegal). Terjadi perbedaan penggunaan dalam
kedua term tersebut. Wahbah al-Zuhail, misalnya, menggunakan istilah alhirbah dan qitu al-tarq ketika membahas tentang pembegalan.106 Tetapi
Abdul Qdir Audah memakai istilah al-hirbah. 107 Sekalipun mereka berbeda
dalam memberikan penamaan atau headlines, namun pada prinsipnya kedua
istilah tersebut sama yakni aktifitas yang berkaitan dengan perampokan.
Al-hirbah termasuk tindak pidana kriminal karena mengganggu
stabilitas keamanan dan ketertiban dalam suatu masyarakat. Aksi tersebut
biasanya ditandai dengan penggunaan senjata yang bertujuan menciptakan
kekacauan, membunuh, merusak dan merampas harta benda, menghancurkan
105

Ab Jafar Muhammad ibn Jarr al-Tabar, Tafsr Jmi al-Bayn f Tawl alQurn, Jilid XII, Cet. III (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999),h. 45
106

Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr alFikr al-Muasir, 1997), h. 5462
107
Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz.
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasat al-Islmiyah, 1997), h. 638

218

lahan pertanian dan peternakan serta menolak eksistensi paraturan perundangundangan. Ada dua aspek yang melatarbelakangi munculnya aksi kejahatan
tersebut yakni ekonomi dan politik. Aksi yang bertendensi ekonomi dilakukan
melalui aksi penodongan dan perampokan baik di rumah, fasilitas umum
maupun di jalanan. Sedangkan secara politis aksinya berbentuk resistensi
terhadap undang-undang atau peraturan yang sah dan menggerakkan aksi teror
dalam rangka mengacaukan ketentraman dan stabilitas politik dan sosial.108
Selain itu, ulama fiqh mendefinisikan al-hirbah dengan konsepsi yang agak
berbeda.
Secara etimologi diartikan perampokan atau penyamun atau pencurian
besar.109 Lafal ini diartikan perampokan karena mengambil harta orang lain
secara terang-terangan, meskipun perampok juga bersembunyi dari aparat
pemerintah

dan

security

(keamanan).

Secara

terminologi,

al-hirbah

diekspresikan dengan redaksi yang bervariasi seperti Abdul Qdir Audah


menjelaskan pandangan berbagai mazahab. Menurutnya, dalam pandangan
Hanafiyah, al-hirbah adalah keluar untuk mengambil harta disertai dengan
kekerasan, menakut-nakuti atau mengancam pengguna jalan akan membunuh
mereka atau merampas harta benda mereka.
Sedangkan menurut Syfiiyah, al-hirbah yakni keluar untuk
memperoleh harta atau membunuh atau menakut-nakuti dengan menggunakan
kekerasan atau kekuatan (power) di tempat sepi. Imm Mlik memberikan
pengertian al-hirbah dengan bahasa yang jelas yaitu mengambil harta dengan
tipu muslihat, baik menggunakan kekuatan maupun tidak.110 Sekalipun
pengertian yang diberikan Hanafiyah, Syfiiyah dan Imm Mlik menggunakan
redaksi yang berbeda namun pada dasarnya al-hirbah merupakan aktifitas
108

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Cet. V (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 90-91
109

Ab al- Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr al-Afriq al-Misr,
Lisn al-Arab, Jilid III, Cet. I (Beirut: Dr Sdir, 1990), h. 203
110

Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 639-641; Bandingkan dengan: Abd
Rahman al-Jazir, Kitb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah, Juz V (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1999), h. 360

219

pengambilalihan barang-barang atau harta benda pengguna jalan, di rumah atau


dimana saja dengan cara kekerasan atau kekuasaan baik itu hanya sekedar
mengancam maupun membunuhnya. Lebih umum lagi, golongan Zahiriyah
mendefinisikan al-muhrb (perampok) secara makro yakni orang yang
melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta
melakukan kerusakan di muka bumi.111 Definisi yang terakhir ini menunjukkan
bahwa al-hirbah itu termasuk kekerasan dan intimidasi di jalanan, mengganggu
stabilitas keamanan dalam suatu masyarakat atau negara karena secara ekplisit
tidak menjelaskan tujuan hanya semata-mata untuk mengambil harta.112
Tampaknya al-hirbah atau qitu al-tarq diartikan sebagai pengambil
alihan harta benda milik orang lain secara terang-terangan dan dengan
menggunakan kekerasan.113 Perampokan dianggap sebagai tindak pidana serius,
dilakukan baik secara perorangan ataupun kelompok dan sasarannya para
pelancong, pengguna jalan atau terhadap siapa saja dan dapat terjadi dimanapun.
Jadi, korbannya adalah setiap orang baik yang tidak bersalah maupun yang ada
masalah atau perselisihan dengan pelakunya. Pelaku perampokan mengambil
barang-barang korban dengan menggunakan kekerasan.114 Jadi, berdasarkan
definisi yang dikemukakan berbagai pakar di atas mengindikasikan bahwa
penjabaran tindak pidana al-hirbah (perampokan) mencakup empat kriteria:
a. Keluar dengan motif untuk memperoleh harta dengan cara kekerasan
dan melakukan intimidasi, baik pelakunya tidak mengambil harta
atau tidak membunuh.

111

Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 640
112

Abdul Qdir Audah, Al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 640
113

Dalam pemaknaan seperti itu tampaknya perampokan dikategorikan sebagai tindak


pidana pencurian, dimana perampokan dianggap sebagai sirqah kubra (pencurian berat) karena
dilakukan secara terang-terangan disertai kekerasan sedangkan pencurian biasa dikelompokkan
sebagai sirqah sughra karena aksinya secara sembunyi. Lihat: Ahmad Wardi Muslich, Hukum
Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 93
114

Abdur Rahman I Doi, Syariah: The Islamic Law (Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd,
1984), h. 250-251

220

b. Keluar dengan motif untuk memperoleh harta dengan cara kekerasan


dan melakukan intimidasi, pelakunya hanya mengambil harta tetapi
tidak membunuh.
c. Keluar dengan motif untuk memperoleh harta dengan cara kekerasan
dan melakukan intimidasi, pelakunya tidak mengambil harta tetapi
membunuh.
d. Keluar dengan motif untuk memperoleh harta dengan cara kekerasan
dan melakukan intimidasi, pelakunya mengambil harta dan
membunuh.
Disamping kriteria di atas, tindak pidana perampokan setidaknya
memenuhi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan pelaku, dan wilayah
operasionalnya. Pelaku perampokan disyaratkan memiliki kemampuan baik
kemampuan kepemilikan senjata atau peralatan (fasilitas) yang digunakan untuk
melakukan perampokan atau strategi dan tehnis perampokan. Imm Ahmad dan
Imm Ab Hanifah mensyaratkan bahwa perampok diharuskan memiliki senjata
atau semisalnya untuk dipergunakan dalam perampokan seperti tongkat, kayu
atau batu.115 Namun Imm Malik, Imm Syfi, Zhiriyah dan Syiah Zaidiyah
berpendapat bahwa kepemilikan senjata dan semacamnya tidak diperlukan, yang
penting adalah kemampuan fisik (seperti beladiri), bahkan Imm Malik
mengatakan kemampuan tipu daya, taktik dan strategi dalam melakukan
perampokan termasuk persyaratan dalam kategori kemampuan. 116 Jadi
persyaratan kemampuan bagi perampok adalah kemampuan memiliki senjata
dan semacamnya serta kemampuan taktik dan strategis dalam melumpuhkan
lawannya untuk memudahkan aksinya.
Persyaratan kedua adalah kategorisasi pelaku perampokan yakni terlibat
langsung maupun tidak langsung. Jumhur ulama fiqh (kecuali Imm Syfi)
115

Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 641; Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh alIslm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dar al-Fikr al-Muasir, 1997), h. 5464; Ab
Umar Muhammad ibn Ahmad ibn Quddmah, al-Syarhu al-Kabr, Juz V (t.d.), h. 472
116

Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 641; Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh alIslm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr al-Fikr al-Muasir, 1997), h. 5464

221

berargumen bahwa pelaku yang terlibat langsung seperti mengintimidasi,


mengambil harta dan membunuh, dan yang terlibat secara tidak langsung
misalnya perencanaan dan pengkonstruksian (mastermind), menfasilitasi
dikategorisasikan sebagai perampok. Sebaliknya, Imam Syfi mengatakan
bahwa hanya orang-orang yang terlibat langsung dalam aksi perampokan yang
termasuk perampok, sedangkan yang tidak terlibat secara langsung dalam
perampokan, sekalipun hadir di tempat tersebut, tidak termasuk perampok,
mereka hanya pembantu. Oleh karena itu menurut Imm Syfi, mereka tidak
dihukum seperti perampok tetapi dihukum tazir.117 Jadi, persyaratan kedua
adalah pelaku yang terlibat secara langsung dan tidak langsung tetap
digolongkan sebagai perampok terkecuali pendapat yang dikemukakan Imm
Syfi.
Persyaratan ketiga adalah dari segi jender. Pada umumnya pandangan
berbagai pakar hukum Islam klasik seperti Imm Malik, Imm Syfi, Imm
Ahmad, Zhiriyah dan Syiah Zaidiyah termasuk Imm al-Tahawi, tidak
membedakan isu jender dalam persyaratan pelaku jarmah perampokan.
Perempuan (berakal dan mukallaf) yang terlibat dalam perampokan tetap
dihukum sebagaimana perampok laki-laki. Tetapi Imm Ab Hanfah
berpendapat lain yakni jarmah perampokan itu hanya untuk laki-laki saja bukan
perempuan. 118 Bagi penulis, setiap orang yang berakal sehat dan melakukan
perampokan dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan dan tekanan, baik laki-laki
maupun perempuan sama saja dalam pengkategorisasian perampokan dan
dikenakan hukuman yang sama. Sebab tidak menutup kemungkinan perempuan
justru menjadi mastermind (perencana) suatu tindak pidana perampokan,
sehingga tidak fair (adil) jika yang bersangkutan tidak dikenai hukuman.
Persyaratan yang keempat adalah tentang batas (nisb) barang hasil
perampokan. Imm Malik dan sebahagian Syfiiyah berpendapat tidak ada
117

Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr alFikr al-Muasir, 1997), h. 5464
118

Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr alFikr al-Muasir, 1997), h. 5465; Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran alQnn al-Wad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 642

222

nisb dalam tindak pidana perampokan, sedangkan Imm Ahmad dan Syiah
Zaidiyah memberikan argumentasi bahwa nisb119 barang yang dirampok itu
ada dan penghitungannya adalah keseluruhan jumlah yang diambil oleh
kelompok tersebut (jumlah kolektif), dan bukan nisb yang diambil secara
personal. Pendapat Imm Ahmad dan Syiah Zaidiyah ini berbeda dengan Imm
Ab Hanfah dan sebagian Syfiiyah tentang penghitungan nisb-nya harus
sesuai dengan jumlah yang diperoleh secara individual bukan kolektif.120 Dalam
hal ini, perbedaan argumentasi tentang ada atau tidaknya nisb tampaknya
memiliki perspektif yang berbeda yakni yang mengatakan tidak ada nisb
(Imm Mlik dan sebahagian Syfiiyah) karena penekanannya adalah aksi
perampokan, sesuai definisinya, dan implikasi yang ditimbulkan, Sedangkan
yang mengatakan ada nisb kelihatannya tidak memperhatikan implikasinya.
Jadi, persyaratan yang berhubungan dengan pelaku perampokan (almuhrib) yang dikategorisasikan sebagai al-muhrib antara lain adalah:
penggunaan senjata baik berupa senjata dan peralatan lainya, strategi dan taktik,
serta kemampuan beladiri; dilakukan secara langsung maupun tidak langsung;
pelakunya bisa laki-laki dan perempuan; dan barang yang dirampok mencapai
nisb atau belum. Selain persyaratan yang berkaitan dengan pelaku perampokan,
persyaratan tentang wilayah operasinalisasinya juga diperdebatkan.
Pertama, jarmah perampokan terjadi di wilayah negara Islam (daulah
Islmiyah). Mayoritas ulama termasuk Imm Mlik, Imm Syfi, Imm
Ahmad dan Zahiriyah tidak mensyaratkan perampokan itu harus terjadi di
negara Islam, bisa saja terjadi di luar kedaulatan Islam (dr al-harb) sehingga
pelakunya tetap dikenakan hukuman had. Berbeda dengan pendapat yang
dikemukakan oleh kelompok Hanafiyah bahwa perampokan harus terjadi di
119

Menurut mazhab Syfiyah, nisb-nya dianalogikan kepada nisb pencurian yakni 4


dinar keatas; Mazhab Hanafiyah berpendapat nisb-nya adalah satu dinar atau sepuluh dirham
atau yang seharga dengannya; Adapun menurut mazhab Hambaliyah nisabnya yakni empat dinar
atau tiga dirham. Lihat: Abd Rahmn al- Jazir, Ktb al-Fiqh ala al Madzhib al-Arbaah , Juz
V(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 362
120

Muhammad Idris al-Syfii, Al-Umm, Juz IX, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1993), 280. Bandingkan dengan: Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh,
Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr al-Fikr al-Musir, 1997), h. 5468; Abd Rahman al-Jazir, Kitb
al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah, Juz V (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 362

223

negara Islam (daulah Islmiyah) dan kalau terjadi selain di negara Islam maka
pelaku perampokan tidak diberi sanksi (hukuman) had.
Kedua, perampokan itu terjadi di tempat yang terisolasi, jauh dari
keramaian. Kelompok Mlikiyah, Syfiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
perampokan tidak harus terjadi di lokasi yang terisolasi, sedangkan golongan
Hanafiyah mensyaratkan harus terjadi di tempat yang jauh dari keramaian. Oleh
karena itu, menurut kelompok yang pertama, perampokan bisa saja terjadi baik
di keramaian maupun di tempat sepi dan pelakunya sama-sama diberi hukuman.
Ketiga, ada indikasi sulitnya diberi pertolongan. Golongan Mlikiyah
dan Syfiiyah mengatakan harus ada unsur bahwa orang sulit meminta
pertolongan disebabkan oleh beberapa hal yaitu kasus itu terjadi di daerah yang
jauh dari keramaian, tidak efektifnya petugas keamanan, ancaman perampok
sehingga korban tidak berani meminta pertolongan. Menurut mereka, kalau ada
pertolongan pada kasus tersebut berarti bukan termasuk jarmah hirbah dan ini
berimplikasi pada tidak dijatuhkan sanksi hukum bagi pelakunya.121 Perbedaan
tersebut sebenarnya ada keterkaitannya dengan perbedaan definisi yang
diberikan oleh pakar hukum Islam seperti yang dikemukakan di awal
pembahasan ini. Perbedaan paling tidak akan berimplikasi pada penetapan
hukuman terhadap pelaku perampokan.
Hukuman bagi pelaku al-hirbah (al-muhrib) nampaknya bervariasi
tergantung tingkat kejahatan yang dilakukan muhrib seperti yang dijelaskan
dalam Q.S. al-Midah (5): 33.122 Ayat ini turun berkaitan dengan hukuman yang

121

Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 644-645. Bandingkan dengan: Ab
Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, Juz VI
(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
122

Balasan bagi muhrib dijelaskan dalam ayat 33 surat al- Midah (5):

.
(Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang bear). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama
RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 164

224

ditetapkan Nabi dalam kasus suku al-Uraniyin. Abu Daud meriwayatkan dari
Imm Mlik bahwa sekelompok dari suku Ukal dan al-Uraniyin datang kepada
Nabi mengadu tentang persoalan kesulitan yang mereka hadapi khususnya
berkenaan dengan masalah kekurangan pangan dan mereka menyatakan diri
masuk Islam. Nabi lalu memberikan mereka sejumlah unta untuk dapat
dimanfaatkan, tetapi dalam perjalanan pulang, mereka membunuh pengembala
unta tersebut bahkan mereka murtad. Mendengar berita tersebut, Nabi mengirim
pasukan tentara untuk menangkap mereka, lalu mengeksekusinya dengan
memotong tangan dan kaki mereka, mencungkil mata mereka dengan besi panas
dan melemparkan mereka ke padang pasir hingga meninggal, maka turunlah
ayat ini menegur tindakan mereka.123
Terdapat perbedaan ulama dalam menyikapi sanksi hukum untuk jarimah
hirbah. Menurut Imm Ab Hanfah, Imm Syfi, Ahmad bin Hambal, dan
Syiah Zaidiyah, hukuman bagi muhrib (perampok) berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan jenis jarmah yang dilakukan. Adapun jenis jarmah hirbah
adalah: Pertama, menakut-nakuti orang yang lewat, tanpa membunuh dan
mengambil harta. Kedua, mengambil harta tanpa membunuh. Ketiga,
membunuh tanpa mengambil harta. Keempat, mengambil harta dan membunuh
pemiliknya.124 Menurut mereka, penerapan hukuman terhadap jenis-jenis
jarmah hirbah ini didasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Q.S. alMaidah (5): 33. Berbeda halnya dengan Imm Mlik dan Zhiriyah yang
menyerahkan kepada ijtihad hakim (penguasa) dalam menentukan jenis sanksi
yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 33 tersebut. Hanya saja Imm Mlik
membatasi hukuman pilihan tersebut untuk selain pembunuhan. Menurutnya,
hukuman bagi jarmah pembunuhan adalah dibunuh atau disalib. Sementara

123

Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz VI (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 97
124
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 647

225

Zhiriyah menyerahkan sepenuhnya kepada hakim untuk memilih bentuk


apapun hukuman yang akan diberikan kepada pelaku perampokan tersebut.125
Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika pelaku tindak pidana
perampokan terdiri lebih dari satu orang atau kelompok lalu dalam aksinya
tersebut salah seorang diantara mereka membunuh. Menurut Ibn Qsim, semua
anggota kelompoknya dibunuh meskipun jumlahnya mencapai seratus ribu
orang. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ibn Farhn dan ditambahkan
bahwa walaupun pembunuhan tersebut hanya dilakukan seorang anggota
kelompok tanpa bantuan dari anggota lainnya, hukumannya tetap harus dihukum
mati semuanya.126 Argumentasi yang senada juga dikemukakan oleh Imm
Mazhab. Menurut Imm Ab Hanfah, Imm Mlik, Imm Hambal, hukuman
sama untuk semua anggota kelompok meskipun satu atau sebagian yang
membunuh sebab yang lainnya paling tidak memiliki keterlibatan, sedangkan
Imm Syfi berpendapat bahwa pembunuh di jatuhi hukuman had dan
pembantu (yang tidak terlibat langsung) dalam pembunuhan dikenakan
hukuman tazr (dipenjara atau diasingkan atau hukuman lainnya).127
Tampaknya Ibn Farhn ingin memberikan pelajaran kepada masyarakat bahwa
kejahatan yang dilakukan anggota suatu kelompok berdampak pada anggota
lainnya karena mereka beraksi atas nama kelompok sehingga patutlah jika
seluruh anggota menerima sanksi yang sama.
Memperhatikan

perbedaan

ulama

di

atas,

kelihatannya

ulama

Zhiriyahlah yang paling fleksibel (longgar) dalam menjatuhkan sanksi bagi


semua jenis jarmah hirbah, hanya mengikuti kehendak hakim. Sementara
Imm Mlik masih membatasi kebijakan penentuan hukuman oleh hakin yakni
selain jarmah pembunuhan. Adapun Imm Ab Hanfah, Imm Syfi, Imm
Ahmad bin Hambal, dan Syiah Zaidiyah, mengharuskan hakim mengikuti

125

Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 647
126

Syamsuddn Ab Abdillah Muhammad ibn Farhn, Tabsirat al-Hukkm f Usl alAqdiyah wa Manhij al-Ahkm, Juz I, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 207
127

Abd Rahmn al-Jazir, Kitb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah, Juz V (Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 362

226

hirarki hukuman sesuai yang tertera dalam ayat 33 surat al-Maidah. Meskipun
golongan Zhiriyah dan Imm Mlik menyerahkan sepenuhnya penentuan
hukuman kepada hakim (ul al-amri), tidak berarti bahwa hukuman yang akan
dijatuhkan kepada pelaku jarmah hirbah lebih ringan karena bisa saja hakim
menjatuhkan hukuman berlapis, misalnya hukuman denda dan penjara seumur
hidup.
Pada dasarnya perbedaan penafsiran ulama terhadap ayat tersebut
terletak pada huruf aw () . Jumhur ulama berpendapat bahwa huruf aw ()
dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk bayn (penjelasan) dan tafsl (rincian).
Oleh karena itu, bagi mereka hukuman yang tercantum dalam ayat itu ditetapkan
sesuai dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
perampokan. Sementara menurut Imm Mlik dan Zhiriyah huruf aw ()
tersebut berfungsi sebagai takhyr (pilihan). Dengan demikian, menurut mereka
ayat tersebut mengandung arti bahwa hakim memiliki kewenangan dalam
menentukan hukuman yang dianggap paling sesuai dengan jenis perbuatan
jarmah yang dilakukan oleh muhrib (perampok). Hanya saja Imm Mlik
membatasi pilihan sanksi jarmah pembunuhan antara hukuman mati (qiss) dan
salib. Adapun alasannya adalah karena pada awalnya setiap pembunuhan
sanksinya adalah dibunuh (hukuman mati), sehingga tidak tepat jika jarimah
pembunuhan dalam perampokan dihukum dengan potong tangan dan kaki atau
pengasingan. Sementara Zahiriyah menerapkan takhyr (pilihan) dari huruf aw
( ) dalam ayat tersebut secara mutlak tanpa batasan, sehingga hakim memiliki
otoritas secara mutlak dalam menentukan hukuman-hukuman tersebut guna
diterapkan pada jenis perbuatan perampokan yang dilakukan oleh pelaku.128
Menurut Ibn Hazm, huruf aw ( ) tersebut menunjukkan pilihan artinya tidak
ada penggabungan hukuman sehingga hakim dalam berijtihad dapat memilih
dan menetapkan salah satu dari hukuman-hukuman tersebut. Misalnya, jika
hukuman mati dilaksanakan maka hukuman salib, potong, dan pengasingan

128
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 647

227

tidak berlaku laku (gugur).129 Pendapat Ibn Hazm ini kelihatannya mewakili
ulama Zhiriyah dalam memahami ayat mengenai hirbah tersebut.
Adapun bentuk hukuman bagi pelaku tindak pidana perampokan
disesuaikan dengan jenis tindakannya sebagai berikut: Pertama, tindak pidana
(jarmah) menakut-nakuti adalah pengasingan (al-nafyu).130 Pandangan ini
dikemukakan oleh Imm Ab Hanfah dan Imm Ahmad. Mereka beralasan
dengan frase ayat ( atau diasingkan dari tempat domisilinya).
Sedangkan bagi Imm Syfi dan Syiah Zaidiyah, sanksinya adalahtazr131
atau pengasingan. Alasannya, karena kedua jenis hukuman itu dianggap sama.132
Para ulama tidak sepakat dalam memaknai lafal al-nafyu (pengasingan).
Ulama Mlikiyah dan Hanafiyah mengartikannya dengan penjara. Hanya saja
Mlikiyah mensyaratkan di tempat lain, bukan ditempat peristiwa perampokan
terjadi, sementara Hanafiyah tidak mutlak di tempat lain. Adapun Syfiiyah
mengartikannya dengan penahanan (al-habs) dimana saja, sedangkan Imm
Ahmad memaknainya dengan pengusiran ketempat lain. Ada juga yang
menekankan pada substansi hukuman bahwa hukuman tersebut bertujuan
menghalangi pelaku kejahatan mengganggu masyarakat, sehingga cara apapun
yang ditempuh guna mencapai tujuan dapat dibenarkan.133 Pendapat ini lebih
129
Ab Muhammad Al ibn Ahmad ibn Sad ibn Hazm, al-Isl f al-Muhall bi alAtsr, Juz XII (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 295; Bandingkan dengan: Ab
Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, Juz VI
(Beirut: Dr al-Kutub al- lmiyah, t.th.), h. 100
130

Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz VI (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
131

Lafal tazr adalah bentuk masdar (asal kata) dari fiil md berarti mendidik
atau mencegah dan menolak. Artinya mendidik pelaku tindak kejahatan agar menyadari
pelanggarannya dan diharapkan dapat menghentikannya. Juga berarti mencegah pelaku
kejahatan agar supaya tidak mengulangi perbuatannya. Lihat: Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh alIslm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. VI (Beirut: Dr al-Fikr al-Musir, 1997), h. 1197. Secara
terminologi, diartikan hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jarmah yang tidak
dikenakan hukum had. Lihat: Ab al-Hasan Al ibn Muhammad ibn Habb al-Basr al-Baghdd
al-Mward, Al-Ahkm al-Sultniyah wa al-Wilyt al-Dniyah (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, t.th.), h. 293
132

Lihat: Abdul Qdir Audah, Al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 648
133

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran, Vol.


III, Cet. I (Ciputat: Lentera Hati, 2001), h. 80

228

menekankan pada esensi suatu sanksi bukan pada metode, karena itu metode
apapun yang diterapkan dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai dapat
dibenarkan.
Kedua, hukuman bagi pelaku perampokan yang hanya mengambil harta
tanpa membunuh, menurut jumhur ulama (Imm Ab H anfah, Imm Syfi,
Imm Ahmad bin Hambal, dan Syiah Zaidiyah), hukumannya adalah potong
tangan dan kaki secara bersilang (tangan kanan dan kaki kiri). Alasannya yakni
frase ayat: ( atau dipotong tangan dan kaki mereka
secara bersilang).134
Ketiga, hukuman bagi yang membunuh tanpa mengambil harta, menurut
Imm Ab Hanfah, Imm Syfi dan satu riwayat dari Imm Ahmad,
hukumannya yakni dibunuh (hukuman mati) tanpa disalib. Sementara riwayat
lain dari Imm Ahmad dan salah satu pendapat Syiah Zaidiyah, selain hukuman
mati juga disalib.135
Keempat, hukuman bagi yang membunuh dan mengambil harta, manurut
Imm Syfi, Imm Ahmad, Syiah Zaidiyah, Imm Ab Ysuf, dan Imm
Muhammad dari golongan Hanafiyah, hukumannya adalah dibunuh (hukuman
mati) dan disalib tanpa potong tangan dan kaki.136 Sementara Imm Ab
Hanfah berpendapat bahwa hakim boleh memilih salah satu dari tiga: potong
tangan dan kaki lalu dibunuh atau disalib; dibunuh tanpa disalib dan tanpa
potong tangan dan kaki; dan disalib kemudian dibunuh.137 Perbedaan pendapat
tersebut pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan dalam memahami teks-teks

134

Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al- Jmi li Ahkm alQurn, Juz VI (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
135

Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 652; Bandingkan dengan:
Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, Juz VI
(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
136

Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz VI (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
137
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 652

229

ayat di atas. Selanjutnya akan dibahas mengenai tindak pidana (jarmah)


pemberontakan () .

3. Al- Baghyu (pemberontakan)


Perlu ditegaskan bahwa al-baghyu (pemberontakan) dikategorikan
sebagai terorisme jika dilakukan dengan kekerasan, menimbulkan kepanikan
dan kerusakan tatanan kehidupan masyarakat. Jadi tidak semua aksi
pemberontakan dapat dikelompokkan sebagai terorisme. Sekalipun tidak
terdapat kesepakatan tentang memasukkan al-baghyu (pemberontakan) sebagai
bagian dari terminologi terorisme dalam Islam, tetapi Badar Nasir justru
berpendapat bahwa al-baghyu (pemberontakan) merupakan terorisme. 138
Jarmah

pemberontakan

memiliki

kesamaan

dengan

jarmah

perampokan, sehingga sejumlah penulis menggabungkan pembahasan antara


kedua jarmah tersebut dalam satu bab, meskipun uraiannya tetap terpisah. 139
Diantara kesamaan antara pemberontakan dan perampokan adalah keduanya
menimbulkan gangguan stabilitas keamanan, sedangkan perbedaannya terletak
pada tujuannya. Tujuan perampokan pada intinya adalah merampok harta orang
lain dengan tindakan kekerasan, sementara tujuan pemberontakan ialah
pengambilalihan kekuasaan dari pemerintahan yang sah melalui kudeta. Dengan
demikian, munculnya tindak pidana perampokan pada umumnya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, sedangkan tindak pidana pemberontakan lebih
didorong faktor politik.
Menurut bahasa, kata merupakan bentuk kata jadian dari fiil mdi
(kata kerja bentuk lampau) ) ( berarti mencari atau menuntut

138

Badar bin Nasir al-Badar, Al-Irhb Haqiqatuh Asbbuh, Mauqif al-Islm minhu,
Cet. I, (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, 1426H.), h. 57
139

Lihat: Abd Rahmn al- Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz
V(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 418; Bandingkan dengan: M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran, Vol. XIII, Cet. I (Ciputat: Lentera
Hati, 2003), h. 245

230

sesuatu.140 Juga berarti berkehendak, tetapi karena maknanya berkembang


sehingga dapat berarti kehendak yang bukan pada tempatnya seperti melampaui
batas. Dalam politik hukum Islam, para pakar menamai kelompok yang
melanggar hukum dan ingin merebut kekuasaan dengan lafal ( tunggal)
dan ( plural) artinya yang lalim, bertindak sewenang-wenang.141 Pengertian
ini terkenal digunakan untuk mencari dan menuntut sesuatu melalui cara
kelaliman dan perbuatan kesewenang-wenangan. Adapun menurut terminologi,
didefinisikan oleh para ulama dalam redaksi yang bervariasi, antara lain:
Ulama Mlikiyah memaknainya dengan:
142

Pemberontakan adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada kepala


pemerintahan yang sah dengan cara kudeta untuk menggulingkannya).
Pengertian ini menunjukkan bahwa bught ( ) menurut Mlikiyah adalah
kelompok kaum muslimin yang bersebrangan dengan kepala Negara (kepala
pemerintahan) dengan menolak hak dan kewajibannya atau bermaksud
menggulingkannya.143 Sementara ulama Hanafiyah mendefinisikan:
144

(Pemberontakan adalah pembangkangan terhadap kepala Negara (kepala


pemerintahan) yang sah dan benar dengan cara yang tidak benar). Adapun
Syfiiyah dan Hambaliyah (Hanabilah) mendefinisikan bught ( ) sebagai
berikut:

140

Ab al-Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr al-Afriq al-Misr,


Lisn al-Arab, Juz I, (T.TP.: Dr al-Marif, t.th.), h. 321
141

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif,


1997), h. 98
142

Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 673
143

Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 673
144
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 673

231

145

(Pemberontakan adalah pembangkangan suatu kelompok yang memiliki


kekuatan dan pemimpin yang ditaati, terhadap kepala negara dengan
menggunakan alasan yang tidak benar).
Jika diteliti secara seksama definisi yang dikemukakan oleh para ulama
di atas, menunjukkan bahwa pada prinsipnya perbedaan tersebut tidak prinsipil,
karena hanya perbedaan redaksi dan persyaratan yang harus terpenuhi dalam
jarmah pemberontakan. 146 Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa
pemberontakan adalah pembangkangan yang dilakukan oleh sekelompok warga
Negara terhadap kepala Negara (kepala pemerintahan) dengan menggunakan
kekuatan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Selain itu, berdasarkan
pengertian di atas, dapat diketahui unsur-unsur yang terdapat dalam jarmah
pemberontakan antara lain: Pertama, Adanya pembangkangan yang dilakukan
oleh anggota masyarakat yang dipimpin oleh seorang pemimpin. Kedua,
menggunakan kekuatan (power). Ketiga, terdapat tujuan yang ingin dicapai
yakni pengambilalihan kekuasaan.
Tindak pidana pemberontakan terjadi jika terdapat keinginan untuk
membangkang terhadap pemerintah yang sah yang diekspresikan dalam bentuk
unjuk kekuatan (show of power). Pada umumnya keinginan membangkang itu
muncul disebabkan oleh kepincangan yang terjadi dalam pelaksanaan tugastugas pemerintahan, misalnya penguasa berlaku sewenang-wenang terhadap
rakyat, merosotnya bahkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah karena instabilitas keamanan, prilaku korupsi mewabah dalam
insntansi pemerintahan, dan kondisi perekonomian yang anjlok menyebabkan
grafik jumlah pengangguran naik tajam. Apabila gejala seperti ini terjadi pada
145

Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 674
146

Perbedaan definisi yang diberikan ulama mengenai bught dapat ditemui dalam
redaksi dan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tindak pidana pemberontakan. Ulama
Mlikiyah misalnya, mencantumkan penolakan terhadap kepala negara dengan tujuan merebut
kekuasaan, sementara ulama Hanafiyah hanya menyebutkan penolakan terhadap kepala negara
dengan cara yang tidak benar. Adapun ulama Syfiiyah dan Hambaliyah menyebutkan selain
pembangkangan juga adanya seorang pemimpin yang menggerakkannya. Pada intinya kudeta
bertujuan menggulingkan pemimpin negara.

232

suatu negara, maka peluang timbulnya gerakan pengambilalihan kekuasaan


terbuka lebar.
Menurut jumhur ulama, suatu aksi dapat dikategorikan sebagai
pembangkangan (pemberontakan) jika gerakan tersebut ditujukan kepada
penguasa yang adil, jujur, dan berwibawa.147 Sedangkan pemberontakan yang
ditujukan kepada pemerintahan yang lalim, korup, dan bertindak sewenangwenang

terhadap

rakyatnya,

pada

hakekatnya

bukanlah

termasuk

pemberontakan melainkan suatu keharusan untuk menegakkan amar marf


nahi mungkar. Karena itu kriteria suatu gerakan termasuk kategori
pemberontakan atau tidak, dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain:
tujuannya dan sasarannya. Adapun pembangkangan terhadap penguasa dapat
berupa penolakan terhadap pelaksanaan kewajiban seperti penolakan untuk
membayar pajak, penolakan untuk melaksanakan putusan hakim, dan penolakan
terhadap kewajiban-kewajiban lainnya baik sebagai individu maupun sebagai
warga masyarakat secara kolektif.
Pembentukan imamah atau pemerintahan merupakan bagian dari fardu
kifayah seperti kewajiban jihad dan menuntut ilmu. Keberadaan kepala negara
(kepala pemerintahan) merupakan suatu kemutlakan dalam rangka menjalankan
urusan-urusan

keagamaan

dan

kenegaraan.

Walaupun

sebagian pakar

berpendapat mengenai keberadaan imamah (pemerintahan) sebagai suatu


keharusan secara akal, namun sebagian lainnya mengharuskan adanya secara
syara.148 Terlepas dari perbedaan tersebut, namun yang terpenting adalah
keberadaan kepala negara yang legitimatif diperlukan untuk melaksanakan
urusan pemerintahan demi mewujudkan kemaslahatan warga negara. Untuk
dapat merealisasikan tugas tersebut, al-Mward (w. 450 H) memberikan
beberapa kriteria bagi seorang kepala negara yaitu: adil; mempunyai ilmu
pengetahuan; memiliki panca indera yang sempurna; sehat fisik; memiliki jiwa

147

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Cet. II (Jakata: Sinar Grafika Offset,
2005), h. 111
148
Lihat: Ab al-Hasan Al ibn Muhammad ibn Habb al-Basr al-Baghdd alMward, Al-Ahkm al-Sultniyah wa al-Wilyt al-Dniyah (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.), h. 5

233

kepemimpinan (leadership); memiliki keberanian atau ketegasan; dan keturunan


atau kewibawaan.149 Kriteria tersebut bukanlah suatu kemutlakan, dalam artian
dapat saja ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan suatu bangsa.
Karena yang terpenting adalah kemampuan (skill) seseorang dalam memimpin
tanpa melihat postur tubuh atau jenis kelamin. Demikian halnya dengan faktor
keturunan pada dasarnya tidak bisa memberikan jaminan (guarantee) bahwa
hanya keturunan atau ras tertentu yang bisa memimpin dengan baik.
Menurut Imm mazhab yang empat (Imm Ab Hanfah w. 150 H,
Imm Mlik w. 179 H, Imm Syfi w. 204 H, dan Imm Ahmad bin Hambal
w. 241 H) dan Syiah Zaidiyah tidak boleh melakukan pembangkangan terhadap
pemimpin yang fasik150 selama ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik,
walaupun dengan tujuan amar maruf nahi mungkar . Alasannya, karena dampak
yang ditimbulkan oleh suatu aksi pemberontakan jauh lebih besar mudaratnya
dari pada manfaatnya, misalnya terjadinya pertumpahan darah, kekacauan dan
kengerian yang dirasakan warga masyarakat, serta tidak kondusifnya keamanan
dan ketertiban. Akan tetapi menurut pendapat yang lemah (marjh), jika seorang
pemimpin fasik, zalim, dan mengabaikan hak-hak masyarakat maka ia harus
diberhentikan dari jabatannya.151 Pemberhentian seorang pemimpin tidak harus
dengan cara inkonstitusional (kudeta) melainkan bisa dilakukan dengan cara
yang konstitusional seperti impeachment (minta pertanggungjawaban).
Selain kriteria tersebut, tata cara pengangkatan seorang kepala negara
juga penting diperhatikan agar eksistensinya legitimatif. Terdapat beberapa
metode yang bisa ditempuh antara lain: pemilihan secara langsung oleh seluruh
warga negara yang memenuhi syarat. Misalnya yang dipraktekkan di beberapa
149
Lihat: Ab al-Hasan Al ibn Muhammad ibn Habb al-Basr al-Baghdd alMward, al-Ahkm al-Sultniyah wa al-Wilyt al-Dniyah (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.), h. 6
150

Istilah fasik ditujukan kepada orang yang mempercayai adanya Tuhan tetapi tidak
melaksanakan perintah-perintah-Nya, bahkan selalu berbuat dosa kecil dan terkadang melakukan
dosa besar. Fasik juga berarti orang Islam yang berbuat jahat atau tidak taat kepada Allah swt. .
Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 75-76
151
Lihat: Abdul Qdir Audah, Al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 677

234

negara dewasa ini (Amerika Serikat dan Indonesia); pemilihan yang dilakukan
oleh ahl al-halli wa al-aqdi (semacam lembaga legislatif), seperti pengangkatan
Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah pasca wafatnya Rasulullah saw;
penunjukan langsung oleh imam (pemimpin) sebelumnya, misalnya penunjukan
Khalifah Abu Bakar terhadap penggantinya Umar bin Khattb; Imm
(pemimpin) terdahulu membentuk Majelis permusyawaratan yang terdiri dari
orang-orang tertentu bertugas memilih kepala negara yang baru, misalnya
penunjukan Khalifah Umar bin Khattb terhadap enam orang sahabat untuk
bermusyawarah memilih pemimpin baru dan akhirnya mereka berhasil memilih
Utsman bin Affn; melalui kudeta atau perebutan kekuasaan oleh pemimpin
baru terhadap pemimpin yang lama, seperti kudeta yang dilakukan Abdul Malik
bin Marwan terhadap Abdullah bin Zubair.152 Metode suksesi pertama dan
kedua menggambarkan sistim demokrasi, sementara cara ketiga dan keempat
menunjukkan sistim demokrasi terpimpin.
Apabila terjadi pertengkaran antara dua kelompok misalnya terjadi
kudeta terhadap pemerintahan yang sah, menurut ulama mazhab para
pemberontak tersebut harus dilawan, akan tetapi sebelum diadakan perlawanan
terlebih dahulu dilakukan klarifikasi mengenai latar belakang mereka melakukan
pemberontakan, untuk mencari solusi penyelesaiannya seperti yang tertera
dalam Q.S. al-Hujurt (49): 9.153 Ayat ini memberikan pedoman mengenai cara
penanganan kasus pemberontakan yakni melalui metode islh (rekonsiliasi).
Jika dengan cara ini tidak tercapai suatu penyelesaian maka pihak yang
melakukan pemberontakan harus ditindak. Quraish Shihab lebih cenderung
menafsirkan kata dengan arti tindaklah bukan perangilah seperti yang
152

Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 676-677
153

Metode penyelesaian sengketa diantara kaum muslimin dijelaskan dalam ayat ini.

(Dan jika ada dua golongan dari orang mumin berperang maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah ). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI, Alquran
dan Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 846

235

biasa dipahami mufassir lain. Menurutnya, kata iqtatal tidak mesti berarti
berperang tetapi bisa juga bermakna berkelahi, bertengkar. Dalam konteks
ayat ini makna yang lebih netral adalah tindaklah mereka yang bertengkar.154
Penerapan metode islh (perdamaian) dalam menyelesaikan suatu
perselisihan bertujuan untuk memperbaiki keretakan atau kerusakan hubungan
antara dua kelompok dengan cara menghentikan kerusakan dan meningkatkan
manfaat yang dapat dirasakan antara kedua golongan yang berselisih tersebut.
Jika metode islh tidak memberikan penyelesaian, maka pihak yang
membangkan terhadap perdamaian harus ditindak baik dengan cara perang
maupun dengan cara lainnya. Ab Bakr al-Siddiq pernah memerangi para
pembangkang yang tidak mau membayar zakat setelah mereka dihimbau dengan
cara bijaksana.155
Menurut riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik
bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa pertengkaran antara suku Aus
daan Hazraj. Kejadian itu bermula ketika Rasulullah saw mengendarai seekor
keledai melewati kelompok Abdullah bin Ubay bin Salul (pemimpin kaum
munafik), tiba-tiba keledai Rasulullah buang air lalu Abdullah menegur karena
merasa terganggu dengan baunya. Tampillah Abdullah bin Rawahah ra.
menegur Abdullah bin Ubay sambil berkata: Demi Allah, sesungguhnya bau air
seni keledai Rasul lebih wangi dari pada minyak wangimu, sehingga terjadilah
pertengkaran antara kelompok, Abdullah bin Rawahah dan kelompok
Abdullah bin Ubay bin Salul.156

154

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran, Vol.


XIII, Cet. I (Ciputat: Lentera Hati, 2003), h. 244
155

Ab Bakr Muhammad ibn Abdullah al-Maruf bi ibn al-Arabi, Ahkm al-Quran,


Juz IV (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), h. 153; Lihat juga: Ab Abdillah Muhammad
ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, Juz XVI (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, t.th.), h. 208
156

Wahbah al-Zuhal, al-Tafsr al-Munr fi al-Aqdah wa al-Syarah wa al-Manhaj ,


Juz XXVI (Beirut: Dr al-Fikr al-Muasir, 1998), h. 236; Bandingkan dengan: M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran , Vol. XIII, Cet. I (Ciputat:
Lentera Hati, 2003), h. 246 Wahbah al- Zuhal, al-Tafsr al-Munr fi al-Aqdah wa al-Syariah
wa al Manhaj, Juz IX (Beirut: Dr al-Fikr al-Musir, 1998), h. 50

236

Selanjutnya suatu kudeta tidak akan terealisir apabila personil


pemberontak tidak memiliki kekuatan baik dari segi jumlah personil, peralatan
persenjataan, maupun dukungan logistik dan dana yang memungkinkan mereka
melakukan perlawanan. Kekuatan, menurut perspektif Hanabilah, adalah
perpaduan antara jumlah personil dan persenjataan.157 Sementara Syfiiyah
menambahkan dengan keberadaan seorang pemimpin yang kharismatik dan
ditaati, karena jumlah personil yang banyak ditambah dengan kekuatan
perlengkapan persenjaan yang memadai, belumlah dianggap sempurna jika tidak
ada seorang pemimpin yang mempunyai jiwa leadership (kepemimpinan) dan
ditaati.158 Penambahan Syfiiyah tentang pemimpin yang ditaati tersebut cukup
beralasan karena betapapun besarnya jumlah angkatan perang dan persenjataan
yang memadai dimiliki, belumlah dianggap mempunyai kekuatan untuk dapat
meraih kemenangan tanpa kehadiran seorang pemimpin yang kharismatik.
Karena itu, suatu kekuatan yang tangguh harus mencakup beberapa unsur yaitu
angkatan perang, persenjataan, dan

pemimpin yang menguasai taktik dan

strategi perang.
Adapun orang-orang yang membangkang terhadap pemimpin yang sah
dengan kekuatan tanpa alasan, oleh golongan Hanafiyah dan Imm Ahmad dan
sebahagian dari kalangan mazhab Hambali tidak dilategorikan sebagai
pemberontak. Akan tetapi sebagian lainnya berpendapat bahwa mereka yang
membangkang terhadap pemimpin disertai alasan, walaupun tidak mempunyai
kekuatan mereka itu tetap dikategorikan sebagai pemberontak.159 Pendapat yang
terakhir ini tampaknya kurang tepat sebab pemberontakan mustahil efektif kalau
tidak sidukung oleh kekuatan.
Dalam sejarah kekhalifahan Islam, ketika Ab Bakar al-Siddq dibaiat
oleh kaum muslimin sebagai khalifah, ternyata sahabat Al bin Ab Tlib tidak
157

Ab Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Quddmah, al-Mughn


al Mukhtsar al-Kharq, Juz VIII (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 451
158

Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 680
159
Ab Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Quddmah, al-Mughn
al Mukhtsar al-Kharq, Juz VIII (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 105

237

ikut membaiat Ab Bakar al- Siddq. Tindakan Al bin Ab Tlib itu


mengindikasikan penolakan terhadap kekhalifahan Ab Bakar al- Siddq dengan
alasan Al bin Ab Tlib lebih berhak untuk menjadi khalifah pasca kematian
Rasulullah saw karena ia termasuk rumpun ahl al-bait (keturunan Rasulullah
saw). Akan tetapi Al bin Ab Tlib tidak dikategorikan sebagai seorang
pemberontak karena tidak menggunakan kekuatan massa, meskipun pada
akhirnya Al bin Ab Tlib turut membaiat Ab Bakar al-Siddq sebagai
khalifah.160 Dengan demikian suatu gerakan dapat digolongkan sebagai tindak
pidana pemberontakan jika memenuhi beberapa unsur seperti alasan bertindak
dan penggunaan kekuatan. Sementara dalam kasus Al bin Ab Tlib hanya
memenuhi unsur alasan tanpa pengarahan kekuatan.
Mengenai pertanggungjawaban tindak pidana pemberontakan dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni pertanggungjawaban sebelum
pemberontakan dan pertanggung-jawaban setelah pemberontakan. Orang yang
melakukan pemberontakan akan dibebani pertanggungjawaban atas semua
pelanggaran yang dilakukan sebelum pertempuran baik tindak pidana maupun
perdata dikenakan sanksi sebagai jarmah biasa. Demikian halnya jarmah yang
terjadi pasca selesainya pertempuran, misalnya membunuh maka hukumannya
adalah qiss (hukuman mati).
Adapun tindak pidana yang terjadi pada saat terjadinya pemberontakan
dapat dibedakan menjadi dua macam yakni tindak pidana yang berkaitan
langsung dengan pemberontakan dan yang kedua, tindak pidana yang tidak
berkaitan langsung dengan pemberontakan. Tindak pidana yang berkaitan
langsung

dengan

pemberontakan,

seperti

membunuh

para

pejabat,

menghancurkan gedung, jembatan, maka sanksinya dikenakan hukuman


jarmah pemberontakan, yaitu hukuman mati bila tidak ada amnesti
(pengampunan). Jika para pemberontak menyerah dan meletakkan senjata, maka
jiwa dan harta mereka dijamin keselamatannya, selanjutnya diserahkan kepada

160

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),

h. 115

238

pemerintah apakah diampuni atau dihukum tazr atas pemberontakan mereka


bukan karena tindakan yang dilakukan pada saat pemberontakan terjadi.161
Selanjutnya, tindak pidana yang terjadi pada saat berlangsungnya
pertempuran yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan, misalnya
pemerkosaan dan minum minuman keras dianggap sebagai jarmah biasa dan
pelakunya

akan

dihukum

dengan

hukuman

hudd. 162

Sedangkan

pertanggungjawaban perdata bila terdapat aset-aset negara yang hancur selama


pertempuran tidak dikenakan terhadap pemberontak. Sementara harta individu
yang dihancurkan oleh para pemberontak harus diganti menurut mazhab Ab
Hanfah dan

Syfi,

akan

tetapi

sebagian

Syfiiyah mengharuskan

pemberontak untuk bertanggungjawab atas semua harta yang hancur baik yang
ada kaitannya dengan pemberontakan atau tidak, karena tindakan mereka
tersebut melawan hukum. 163
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sanksi bagi pelaku tindak
pidana pemberontakan dapat berupa hukuman hudd dan hukuman tazr.
Apabila pemberontak melakukan pelanggaran yang diancam dengan sanksi
pidana (jarmah hudd) ketika pemberontakan berlangsung misalnya jarmah
zina, jarmah pencurian, maka mereka akan menerima hukuman hudd.
Sedangkan jika para pemberontak menyerahkan diri maka mereka dikenakan
hukuman tazr. Selain pembahasan hukum Islam tentang terorisme, maka akan
terjadi keseimbangan informasi kalau ditinjau juga tentang hukum Islam yang
berkaitan dengan jihad.

161

Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 698
162

Hukuman hudd adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan merupakan
hak Allah. Karenanya, hukuman tersebut bersifat terbatas yakni tidak ada batas minimal dan
maksimal, serta hak Allah lebih domonan dari pada hak manusia. Lihat: M. Abdul Mujieb,
Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002), h. 106
163
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 702-703

239

D. Hukum Islam Tentang Jihad


Pakar hukum Islam secara umum berasumsi bahwa jihad dalam Islam itu
terbatas pada makna yang sempit yakni terbatas pada peperangan fisik. Hal ini
terlihat dalam pembahasan mereka tentang hal-hal yang berhubungan dengan
jihad selalu diarahkan pada persoalan peperangan fisik (di medan perang).
Namun pembahasan ini akan diawali dengan identifikasi term-term jihad dalam
Alquran dan hadis untuk memperoleh penjelasan tentang ekistensi jihad dalam
perspektif hukum Islam.
Jihad bukanlah semata-mata berarti berjuang di medan perang,
melainkan dapat bermakna setiap usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh
seseorang dalam rangka meraih keridaan Allah swt. Term dalam Q.S. alAnkabut (29): 6 dan lafal dalam surat yang sama ayat 69 oleh Abdullah
Yusuf Al diartikan sebagai usaha yang sungguh-sungguh mencari keridaan
Allah. Barangsiapa berusaha dengan sungguh-sungguh mencarinya, maka ia
akan mendapat petunjuk dan rahmat Allah swt.164 Demikian halnya kata
dalam Q.S. al-Furqan (25): 52 dimaknai dengan perjuangan menghadapi
orang-orang kafir dengan penjelasan dari Alquran yang argumentatif.165
Selanjutnya kata

- dalam Q.S. al-Ankabut (29): 6 diartikan sebagai

usaha, bahwa setiap usaha manusia mencari kebaikan akan menguntungkan


dirinya sendiri, sebaliknya tanpa usaha yang sungguh-sungguh dan menyerah
kepada nafsu yang selalu mendorong berbuat kejahatan (nafs ammrat bi assi)
maka akan berbahaya terhadap dirinya sendiri.166
Jihad yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah dalam pengertian
mengangkat senjata karena ayat ini bahkan surat ini termasuk Makkiyah sedang
perintah perang disyariatkan setelah Nabi dan kaum Muslimin berhijrah ke

164

Lihat: Abdullah Yusuf Al, The Holy Qur-an, Text, Translation and Commentary
(Qatar: Qatar National Printing Press, 1946), h. 1048
165

Lihat: Abdullah Yusuf Al, The Holy Qur-an, Text, Translation and Commentary
(Qatar: Qatar National Printing Press, 1946), h. 939
166

Lihat: Abdullah Yusuf Al, The Holy Qur-an, Text, Translation and Commentary , h.

1030

240

Madinah. Menurut al-Biq (w. 885 H), kata jihad dalam ayat ini berarti
mujhadah yakni upaya sungguh-sungguh melawan dorongan hawa nafsu,
karena itu tidak disebut obyeknya dan karena itu pula maka yang disebut meraih
manfaatnya adalah kata nafs sebab ia selalu mendorong kepada kejahatan.167
Senada dengan pendapat Wahbah al-Zuhail, makna jihad dalam ayat ini yakni
barang siapa yang bersungguh-sungguh melawan pengaruh hawa nafsunya
dengan melaksanakan segenap perintah Allah dan menghindari segala laranganNya, maka hasil mujhadah-nya akan ia rasakan, demikian pula manfaat dari
perbuatannya akan kembali kepadanya dan akan ia nikmati sendiri bukan orang
lain.168 Selanjutnya Sayyid Qutb (w.1966 M) mengomentarinya bahwa jihad
berarti meningkatkan kualitas sang mujahid dan kalbunya serta memperluas
wawasannya dan cakrawala pandangannya. Hal yang demikian itu membuatnya
sanggup mengalahkan kekikiran jiwa dan harta bendanya serta dapat
mengundang lahirnya potensi-potensi positif yang terdapat dalam dirinya.
Prilaku semacam itu akan mewujudkan kebenaran yang dapat mengalahkan
kejahatan.169 Orang yang bersungguh-sungguh (berjihad) mengontrol dan
mengendalikan nafsunya akan menampakkan pribadi yang luhur, memiliki
prilaku terpuji seperti gemar menolong yang lemah dan menghindari budi
pekerti tercela, misalnya iri hati, dengki, hasad, dan takabbur.
Selanjutnya kata yang terdapat dalam Q.S. al- Ankabut (29): 69
oleh

al-Als

(w.127H)

diartikan

sebagai

kesungguhan

seseorang

mempertahankan keberadaan iman dalam dirinya sehingga dengan demikian ia


akan dapat mengontrol hawa nafsunya agar tidak melanggar larangan Allah
swt.170 Jihad yang demikian itu tidak terlepas dari beban menanggung berbagai
kesulitan demi meraih keridaan Allah, maka balasan bagi para mujahid adalah
167

Lihat: Burhnuddn Ab al-Hasan Ibrhm ibn Umar al-Biq, Nazmu al-Durar f


Tansub al-Ayt wa al-Suwar , Juz V, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 538
168

Lihat: Wahbah al-Zuhal, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa alManhaj, Juz XX (Beirut: Dr al-Fikr al- Muasir, 1998), h.192
169

Lihat: Sayyid Qutb, F Zill al-Qurn, Juz XVII, Cet. I (T.tp.: Dr Ihya al-Kutub alArabiyah Is al-Bb al-Halab wa Syurakhu, t.th.), h. 102
170
Ab al-Fadl Syihbuddn al-Sayyid Mahmd al-Als al-Baghdd, Rh al-Man f
Tafsral- Qurn al-Azm wa Sabu al-Matsn , Juz XI, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah,
2001), h. 15

241

kesediaan Allah mengantarkan mereka kejalan kedamaian dan kebahagiaan.171


Allah menjanjikan orang-orang yang senantiasa berupaya dengan sungguhsungguh mempertahankan dan meningkatkan kualitas keimanannya dengan
kehidupan yang damai penuh kebahagiaan. Selanjutnya, Allah juga akan
menunjukkan jalan yang lurus bagi orang yang taat dan ikhlas dalam
beribadah.172 Ketaatan dan keikhlasan beribadah tersebut tidak terlepas dari
suatu perjuangan (jihad) menundukkan segala godaan baik bersifat internal
maupun eksternal.
Pengertian jihad yang sama dengan term dalam Q.S. al- Furqan
(25): 52 oleh Quraish Shihab ditegaskan bahwa ayat ini mengindikasikan betapa
pentingnya berdakwa melawan musuh-musuh agama Islam. Metode ini sangat
relevan dengan kondisi kekinian dimana informasi menempati posisi yang
strategis dan paling ampuh dipergunakan guna menghadapi lawan. Banyak
tuduhan yang miring dialamatkan kepada Islam oleh kalangan yang anti Islam
baik yang disebabkan karena kesalahpahaman terhadap Islam (miss understood
toward Islam) maupun karena kebenciannya terhadap Islam. Fenomena seperti
ini memerlukan respon dari kalangan umat Islam melalui informasi yang akurat
dan juga ketauladanan yang baik. Dengan demikian, berjihad dengan Alquran
dalam pengertian ini jauh lebih penting daripada berjihad dengan senjata, sebab
setiap saat umat Islam menghadapi informasi tetapi tidak setiap waktu
menghadapi
berkesimpulan

musuh

dengan

bahwa

senjata.

menghadapi

Pada

akhirnya

musuh

yang

Quraish
dengan

Shihab
sengaja

memutarbalikkan fakta atau karena ketidaktahuannya tentang Islam, jauh lebih


berat daripada peperangan dengan senjata. 173 Oleh karena itu jihad dengan
171

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran, Vol.


X, Cet. I (Ciputat: Lentera Hati, 2002), h. 545
172

Muhammad al-Sayyid Tantw, Al-Tafsr al-Wast li al-Qurn al-Karm, Jilid XI


(Al-Qhirah: Dr Nahdah Misr li al-Tibaah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1998), h. 58
173
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran, Vol.
IX, Cet. I (Ciputat: Lentera Hati, 2002), h. 496-497; Bandingkan dengan: Wahbah al-Zuhal,
Al-Tafsr al-Munr fi al-Aqdah wa al-Syarah wa al-Manhaj , Juz XIX (Beirut: Dr al-Fikr alMuasir, 1998), h. 78; Ab al-Qsim Jrullh Muhammad ibn Umar ibn Muhammad alZamakhsyar, al-Kasysyf an Haqiq Ghiwmid al-Tanzl wa Uyn al-Aqwl f Wujh alTawl, Juz III, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), 278

242

Alquran dinamai jihad yang besar (jihdan kabran ). Pernyataan ini hendaknya
menyadarkan kaum Muslimin akan urgennya jihad dalam arti non perang, sebab
di antara orang Islam ada yang hanya memahami makna jihad dalam arti
perang. Pemahaman seperti keliru karena jihad dalam perang hanyalah salah
sati makna dari term jihad, bahkan merupakan jihad kecil (al-jihd al-asghar).
Adapun jihad yang lebih besar (al-jihd al-akbar) adalah jihad dalam rangka
pengendalian diri (nafs) dan penguasaan informasi (meminjam istilah Quraish
Shihab) menuju kehidupan yang lebih baik.
Semua ayat di atas secara harfiyah menyebut lafal jihd yang berarti non
tempur, membuktikan bahwa istilah jihad tidak selamanya berkonotasi dengan
perang akan tetapi memiliki multi makna seperti kesungguhan melawan hawa
nafsu, kesungguhan (berjuang) meningkatkan kualitas diri, berjuang mencari
keridaan Allah swt dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Selain itu, ayat-ayat di atas tidak menggunakan lafal qitl,
sebagaiman ditemukan pada ayat-ayat lain yang lebih identik dengan makna
perang, meskipun tidak semua lafal qitl dimaknai perang. Misalnya term
yang terdapat dalam Q.S. al-Hujurt (49): 9 oleh mufassir kontemporer Quraish
Shihab lebih dipahami dengan makna berkelahi atau bertengkar sehingga lafal
pada lanjutan ayat tersebut tidak diartikan maka perangilah melainkan
tindaklah karena makna ini lebih sesuai dengan konteks ayat tersebut,
sementara maka perang dianggap terlalu jauh dari konteks ayat.174 Penafsiran
makna semacam ini sangat urgen diketahui oleh umat Islam pada umumnya dan
kelompok Islam radikal pada khususnya dalam rangka mengkanter jastifikasi
aksi-aksi kekerasan dalam mengaktualisasikan jihad.
Istilah qitl dalam arti perang baru disyariatkan setelah turun Q.S. alHajj (22): 39.175 Dengan demikian ayat ini merupakan yang pertama kali turun

174

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran , Vol.


XIII, Cet. I (Ciputat: Lentera Hati, 2003), h. 244
175

Kebolehan berperang dalam Islam dimulai setelah turun Q.S. al-Hajj (22): 39
.
(Telah diizinkan (berperang) bagi orang0orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka

243

tentang perang. Setelah itu terjadilah perang antara kaum Muslimin dengan
kaum Quraisy disuatu tempat bernama Badar, tanggal 17 Ramadan tahun kedua
hijriah.176 Terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai ayat pertama yang
turun yang berkaitan dengan kebolehan berperang. Menurut jumhur ulama salaf
seperti ibn Abbas, Aisyah, Mujahid, Qatadah bahwa ayat yang pertama turun
berkenaan dengan izin perang adalah ayat 39 dalam surat al-Hajj (22), sementara
menurut al-Hakim yaitu ayat 111 surat al-Taubah (9) dan ulama lainnya
berpendapat bahwa ayat pertama mengenai perang adalah ayat 190 surah alBaqarah (2). 177
Dalam merespon perbedaan tersebut, Quraish Shihab sependapat dengan
jumhur ulama, alasannya ayat 39 surat al-Hajj (22) baru merupakan izin
berperang disertai alasan mengapa izin diberikan, sementara ayat 111 surat alTaubah (9) berbicara mengenai balasan bagi para syuhada di medan perang
berupa surga, dan ayat 190 surat al-Baqarah (2) merupakan perintah
berperang.178 Salah satu alasan diizinkannya berperang pada awalnya adalah
karena umat Islam dalam keadaan teraniaya kemudian Allah swt mengizinkan
mereka untuk bangkit membela hak-haknya seperti hak memilih agama dan
beribadah menurut keyakinannya tanpa ancaman dari siapapun. Selain itu,
dengan adanya kebolehan berperang tersebut, Allah ingin menguji sejauhmana
itu. Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama Republik
Indonesia, Alquran dan Terjemahnya ( Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 518
176

Badar adalah sebuah desa sekitar 82 km sebelah barat daya Madinah, sebuah
pangkalan air terkenal yang terletak antara Madinah dengan Mekkah, tak jauh dari pantai laut
Merah. Lihat: Muhammad Husain Haekal, Hayt Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah
dengan judul: Sejarah Hidup Muhammad , Cet. XXXIV (Jakarta: PT. Mitra Kerjaya Indonesia,
2007), h. 246
177
Ayat 111 Q.S. al- Taubah (9) berbunyi:
...( Sesungguhnya Allah telah memberi dari orang-orang mumin,
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh ). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Al-Quran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra,
1989), h. 299. Sedang ayat 190 Q.S. al-Baqarah (2) berbunyi:
...( Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan kamu
melampaui batas). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama
RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 46
178
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran, Vol.
IX, Cet. I (Ciputat: Lentera Hati, 2002), h. 66

244

upaya mereka mempertahankan diri dalam membela hak-haknya dengan


menggunakan berbagai potensi yang dianugerahkan kepada mereka. Sayyidina
Ali ra. mengatakan: Allah tidak menurunkan bantuan-Nya kepada kami
melainkan setelah Allah mengetahui dan melihat kesungguhan kami berjuang
sehingga terkadang kami mengorbankan keluarga kami dan melanggar perintahNya. Alasan lainya berupa keinginan Allah swt mengangkat mereka sebagai
syuhada yang merupakan predikat yang termulia di sisi Allah swt.179
Berdasarkan ketiga argument tersebut lalu Allah swt mengizinkan Rasulullah
saw beserta umatnya untuk melawan kezaliman orang-orang kafir atas mereka.
Selanjutnya terminologi jihad dalam hadis tidak selalu berkonotasi
perang, misalnya sabda Nabi mengenai pelaksanaan ibadah haji sebagai
bahagian dari jihad. Dimasukkannya haji sebagai kategori jihad berdasarkan
hadis yang diriwayatkan al-Bukhar dari Aisyah ra. yang meminta izin kepada
Nabi saw untuk turut serta berjihad (berperang). Nabi merespon permohonan
Aisyah tersebut dengan mengatakan bahwa jihad kamu (kaum perempuan)
adalah haji.180 Pernyataan Rasulullah saw tersebut mengkanter pemahaman
makna jihad yang terbatas pada arti peperangan (qitl). Ini menunjukkan bahwa
jihad tidak selamanya identik dengan perang (qitl), sebab jihad telah
diperintahkan ketika Nabi dan kaum muslimin masih berdomisili di Mekkah,
sementara perang baru diperintahkan sesudah bermukim di Madinah yakni pada
tahun kedua hijriyah.
Membedakan istilah jihad dan qitl (perang) sangat penting karena
pencampuradukan antara keduanya merupakan sebab utama kesalahan
sebahagian umat Islam dan non Islam dalam memahami doktrin jihad sehingga

179

Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran ,


Vol. IX, Cet. I (Ciputat: Lentera Hati, 2002), h. 44; Lihat juga: Wahbah al-Zuhal, al-Tafsir alMunir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj , Juz XVII (Beirut: Dr al-Fikr al-Muasir,
1998), h. 227-228
180

Lafal hadis tersebut berbunyi:




Lihat: Ab Abdillh al-Bukhr, Sahh al-Bukhr bi H syiyat al-Sind , Kitab al-Jihd wa
Siyar, Bab Jihd al-Nis , Juz II (t.tp: Dr Ihy al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 149

245

selalu mengidentikkannya dengan peperangan (qitl).181 Jihad jika diartikan


secara makro sesuai dengan konteks perubahan sosial yang dialami umat Islam,
maka ia tidak akan pernah mengalami penyempitan makna bahkan sebaliknya
justru merupakan upaya kontekstualisasi aplikasi doktrin jihad.
Jihad seringkali diinterpretasikan secara sederhana identik dengan
perang suci(al-harb al-quds) yang agresif. Pemahaman seperti ini berdampak
pada timbulnya pemahaman kalangan Barat yang melambangkan Islam sebagai
agama kekerasan. Hal ini diperkuat dengan tindakan para ekstrimis dan teroris
religious yang menjustifikasi tindakan kekerasan mereka dengan aplikasi jihad
terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka. Ayat-ayat Alquran
yang membahas tentang jihad sebagai perjuangan bersenjata bermuara pada dua
kategori yakni defensif (ayat-ayat yang menekankan peperangan melawan
agresi) dengan menggunakan kata al-qitl (peperangan), qtil (berperanglah),
dan yuqtiln (berperang). Kedua, ofensif atau ekspansionis (perintah yang
bersifat umum untuk memerangi semua orang kafir dan menyiarkan syiar
Islam), dengan memakai lafal uqtul (bunuhlah).182
Terdapat perbedaan makna secara mendasar dari kedua bentuk kata
tersebut. Lafal qtil dan yuqtiln dalam bahasa Arab (ilmu saraf)
menggunakan wazan fala-yufilu, menunjukkan adanya keterlibatan kedua
belah pihak dalam satu perbuatan (al-musyrakah baynal-itsnayn ). Dengan
demikian makna qtil dan yuqtiln adalah keterlibatan dua pihak dalam
peperangan (saling berperang), sehingga sifatnya defensif. Jadi, perang
dibolehkan dalam Alquran dalam rangka mempertahankan diri (self defence),
Q.S. al-Baqarah (2): 167-168 dan 192; perdamaian, Q.S. al-Baqarah (2):193.
Sedangkan uqtul berarti membunuh, menyerang, dan menyerbu (agresi) yang
sifatnya ofensif.
Bagi Maulana Maududi, jihad pada saat yang bersamaan bersifat defensif
dan ofensif. Jihad menjadi ofensif karena prinsip-prinsip dan ideologi-ideologi
yang berlawanan (bukan negeri-negeri para penentang yang harus diserang).
181

Lihat: Jaml al-Banna, al-Jihd (Kairo: Dr al-Fikr al-Islm, 2002), h. 5

182

Lihat: John L. Esposito, Unholy War diterjemahkan oleh Syafruddin Hasani dengan
judul: Teror Atas Nama Islam, Cet. I (Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2003), h. 78

246

Sedangkan jihad dapat bersifat defensif karena kaum muslimin harus


mempertahankan kekuasaannya dalam rangka mengimplementasikan ideologi
baru mereka. 183 Secara eksplisit Majid Khadduri berpendapat bahwa salah satu
ciri jihad yang bersifat defensif terhadap perlawanan kaum musyrik atau
kelompok non Muslim lainnya adalah semata-mata bertujuan menegakkan
kedaulatan negara Islam. Oleh karena itu seruan jihad atau perlawanan
hendaknya berdasarkan instruksi pejabat pemerintah yang sah.184
Jadi, term-term jihad dalam Alquran tidak saja menunjukkan pada makna
peperangan secara fisik, tetapi juga dapat berarti perjuangan non fisik. Adapun
istilah lain yang sepadan dengan jihad dalam arti perang yaitu qitl (perang),
harb (peperangan atau pertempuran), dan ghazw (penyerbuan atau invasi). Kata
qitl disebut sebanyak sebelas belas kali (tidak termasuk derivasinya),185
sedangkan kata harb disebut enam kali (Q.S. al-Baqarah (2): 279; al-Maidah (5):
33&64; al-Anfal (8): 57; al-Taubah (9): 107 dan Muhammad (47): 4). 186 Adapun
kata ghazw digunakan sebanyak satu kali dalam bentuk isim masdar (ghuzan)
(Q.S. Ali Imran (3): 156). 187
Untuk menunjukkan bahwa jihad tidak senantiasa identik dengan qitl
(perang), dipandang perlu menelusuri pengertian jihad dalam Alquran dan hadis.
Istilah jihad dalam Alquran disebut sebanyak empat puluh satu kali188 dalam
berbagai derivasinya dengan arti yang agak bervariasi yang pada prinsipnya
183

S. Ab al-Ala al-Maudd, Jihad in Islam (Pakistan: Islamic Publications, 1998), h.

23-24
184

Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (T.tp: John Hopkins Press,

1955), h. 74
185

Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn al-Karm


(t.tp, Dr al-Fikr, 1981), h. 535
186

Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn alKarm (t.tp, Dr al-Fikr, 1981), h. 196
187

Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn al-Karm


(t.tp, Dr al-Fikr, 1981), h. 498. Istilah gazwah (plural gazawt) berarti perang yang dipimpin
langsung oleh Nabi, sedang perang yang Nabi tidak terlibat di dalamnya disebut sariyah (plural
sary).
188
Muhammad Fud Abd al-Bq, Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn al-Karm
(t.tp, Dr al-Fikr, 1981), h. 182-183

247

dapat dibagi dalam dua kelompok kajian yakni term jihad yang terdapat dalam
ayat-ayat yang diturunkan sewaktu Nabi saw berada di Mekkah (fase
Makkiyah), dan kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat yang diturunkan pada
waktu Nabi saw telah berhijrah ke Madinah (fase Madaniyah). Pengelompokkan
ini menjadi sangat penting mengingat pada kurun Mekkah, tak satupun ayat
yang berisi perintah untuk melakukan peperangan walaupun Nabi saw dan umat
Islam lainnya dalam keadaan tertindas.
Ayat-ayat jihad yang diturunkan di Mekkah ternyata memiliki arti yang
bevariasi antara lain: Pertama, usaha yang keras dan sungguh-sungguh untuk
mendakwahkan Alquran terhadap orang-orang Mekkah yang masih kafir, Q.S.
al-Furqan (19): 52. Para mufassir berbeda pendapat mengenai dengan apa
berjihad. Menurut sebahagian mufassir misalnya Ibn Abbs, konotasi makna
jihad pada kata ganti (damr) ha dalam kata bihi (dengannya) menunjukkan
Alquran berdasarkan korelasi dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Jadi jihad
akbar (utama) dalam ayat tersebut adalah mendakwahkan dan mensosialisasikan
Alquran terhadap orang-orang kafir. 189 Sedangkan menurut Ibn Zaid, konotasi
makna jihad dalam ayat ini dengan Islam dan ada juga yang berpendapat
dengan pedang Akan tetapi al-Qurtub menolak pendapat terakhir dengan
alasan bahwa ayat ini turun di Mekkah sebelum adanya perintah perang.190
Sedangkan makna jihad yang besar (jihdan kabran) menurut al-Zamakhsyar
adalah mencakup segala bentuk perjuangan (jmian li kulli mujhadah ).191
Kedua, memberikan sifat sungguh-sungguh untuk sebuah sumpah, Q.S. Ftir
(35): 42; al-Anam (6): 109. Ketiga, menunjukkan sikap orang-orang Islam
Mekkah yang memiliki kesabaran, antusiasme dan komitmen yang tinggi untuk
berjuang menghadapi paksaan orang kafir terhadap pengingkaran Tuhan, Q.S.
189

Menghadapi musuh dengan Alquran, maksudnya menjelaskan isi kandungan Alquran


kepada mereka. Lihat: Muhammad Husain al-Tabatab, al-Mizn f Tafsr al-Quran, Jilid XV
(t.d.), h. 228-229.
190

Ab Abdillh Muhammad ibn Ahmad al-Ansar al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz XIII (t.d.), h. 58
191
Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyar, Tafsir al-Kasysyf, vol. III (Beirut: Dr alKutub al-Ilmiyah, 1995), h. 278

248

al-Nahl (16): 110. Keempat, sikap orang tua yang memaksa anaknya untuk
melakukan syirik, Q.S. Luqman (31): 15. Kelima, berjuang dengan segenap
daya dan tenaga, Q.S. al-Ankabt (29): 6 dan 69. Berdasarkan ayat-ayat tersebut
menunjukkan bahwa pemaknaan jihad sebagai peperangan fisik, khususnya pada
periode Mekkah, belum eksis meskipun istilah jihad telah muncul beberapa kali.
Berbeda halnya dengan fase Madinah, pemaknaan jihad sudah mengarah
pada pemahaman peperangan fisik, tetapi awalnya masih bersifat defensif
kemudian

menjadi

ofensif

seperti

dipresentasikan

dalam

beberapa

pengungkapan teks-teks Alquran antara lain: ayat yang berkenaan dengan


perang Uhud, Q.S. Ali Imran (3): 142; harapan orang-orang yang berjihad di
jalan Allah berupa rahmat dari Allah, Q.S. al-Baqarah (2): 218; kelebihan
derajat orang yang berjihad dari yang tidak berjihad tanpa uzur, Q.S. al-Nisa (4):
95; perintah bersikap tegas terhadap orang-orang kafir dan munafik, Q.S. alTaubah (9): 73, al- Tahrim(66): 9; larangan berteman dengan musuh Allah
dalam berjihad, Q.S. al-Mumtahanah (60): 1; serta perintah berjihad dengan
harta dan jiwa, Q.S. al-Taubah (9): 41.
Selanjutnya menurut Mahmud Tsabit al-Faudi, perbedaan antaran ayatayat jihad periode Mekkah dan Madinah adalah ayat jihad era Mekkah pada
umumnya menyeru untuk bersabar terhadap tindakan-tindakan musuh karena
tiada pilihan lain bagi Nabi saw dan kaum muslimin selain itu, disamping
mereka terus menyiarkan Islam secara lisan di kalangan umat manusia. Akan
tetapi ayat-ayat jihad periode Madinah memerintahkan umat Islam ketika itu
untuk berperang secara konfrontatif. 192 Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa
ayat-ayat Makkiyah berisi anjuran kepada umat Islam untuk senantiasa
mewaspadai setiap ancaman musuh yang bisa muncul setiap saat tanpa tindakan
secara konfrontatif. Sedangkan ayat-ayat jihad fase Madinah memberikan
peluang kepada umat Islam menghadapi musuh secara konfrontasi bahkan
memerintahkan mereka menyerang musuh.
Jika dalam Alquran dikenal adanya periodesasi turunnya wahyu (ayatayat Makkiyah dan Madaniyah), maka dalam kajian hadis-hadis Nabi para ahli
192

Mahmud Tsabit al-Faudi, Dirat al-Maarif al-Islmiyah , Juz VII (T.d.), h. 188-189

249

hadis (muhadditsn) tidak mengelompokkan hadis berdasarkan periode wurd


al-hadts (dikeluarkanya hadis) melainkan berdasarkan obyek pembahasannya
misalnya kitb al-tahrah (bab tentang bersuci), kitb al-salt (bab tentang
salat), kitb al-siym (bab tentang puasa), dan kitb al-imn (bab tentang
keimanan). Namun demikian, tidaklah sulit untuk menelusuri hadis-hadis Nabi
tentang jihad baik yang memberikan makna perang maupun selain perang.
Adapun hadis-hadis yang berarti selain perang antara lain: Pertama, hadis Nabi
mengenai berbakti kepada orang tua merupakan jihad, seperti hadis yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang permintaan seorang lakilaki kepada Rasul untuk diikutkan dalam peperangan, tetapi permohonan itu
ditolak karena dia masih memiliki orang tua dan disuruh berbakti kepada
keduanya. Pengabdian terhadap ke dua orang tua termasuk bahagian dari
jihad.193 Kedua, hadis Nabi mengenai jihad bagi perempuan adalah haji.194
Ketiga, hadis Rasul tentang kritik konstruktif terhadap pemimpin yang zalim
sebagai jihad.195 Berdasarkan hadis-hadis Nabi tersebut menunjukkan adanya
beberapa model atau aktifitas jihad selain kategorisasi peperangan. Menurut
ungkapan yang masyhur, jihad dalam bentuk pertempuran justru dikelompokkan
sebagai jihad terkecil (al-jihd al-asghar), sedangkan jihad menghadapi diri

193

Hadis tentang jihad dalam arti berbakti terhadap kedua orang tua:
: :
. : :
Lihat: Ab Abdillh al-Bukhr, Sahh al-Bukhr, Kitb al-Jihd, Bb al-Jihd bi Idzn alAbwan, Juz II (t.tp: Dr Ihy al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 170; Dalam riwayat Abu Daud dan
al-Tirmidz terdapat redaksi yang sedikit berbeda alaka wlidka. Lihat: Ab Dud Sulaeman
al-Asyats al-Sajastan, Sunan Ab Dud , Kitb al-Jihd, Bb f al-Rajul Yaghz wa Abwhu
Krihni, Juz I (Beirut: Dr ibn Hazm, 1419 H/1998 M), h. 390; Ab Isa Muhammad ibn Isa ibn
Saorah, Sunan al-Tirmidz, Kitb al-Jihd, Bb M Ja f Man Kharaja il al-Ghazwi wa
Taraka Abawaihi, Juz III (Beirut: Dr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 255
194

Lihat: Pembahasan sebelumnya.

195

Lihat: Hadis tentang mengkritik pemimpin yang zalim adalah jihad:


. :

Lihat: Ab Isa Muhammad ibn Isa ibn Saorah al- Tirmidz, al- Jmi al- Sahh Sunan alTirmidz, Kitb al-Jihd, Bb Afdal al-Jihd Kalimat Adl Inda Sult n Jirin, Juz III, Cet I
(Beirut: Dr al- Kutub al- Ilmiyah, 1421 H/2000 M), 212

250

sendiri adalah jihad terbesar (al-jihd al-akbar) sebagaimana ungkapan yang


masyhur di kalangan umat Islam sekembali dari perang Badar.196
Mencermati ungkapan tersebut, manarik untuk ditelusuri lebih jauh
mengapa jihad melawan musuh yang diwujudkan dalam peperangan fisik justru
dianggap sebagai jihad yang terkecil (jihd asghar), sedangkan jihad melawan
hawa nafsu (non fisik) malah diklaim sebagai jihad terbesar (jihd akbar).
Mungkin hal itu disebabkan sumber inspirasi yang mendorong seseorang untuk
terjun ke medan perang adalah jiwanya yang selalu dibayang-bayangi hawa
nafsu. Akibatnya, bila yang bersangkutan telah mampu mengendalikan hawa
nafsunya maka tidak ada lagi kendala utama baginya untuk turut serta dalam
pertempuran melawan musuh. Sebaliknya, jika seseorang tidak sanggup
menguasai nafsunya, tampaknya sangat sulit untuk dapat ikut bertempur
melawan musuh. Sehingga dapat dikatakan bahwa keikutsertaan seseorang
dalam suatu pertempuran ditentukan setelah ia sanggup mengendalikan
nafsunya, karena hawa nafsu selalu mendistorsi sistim keseimbangan alamiah
seseorang, dimana pada kondisi alami, kecenderungan seseorang biasanya
berlaku seimbang. Akan tetapi jika hawa nafsu datang mengganggu, apalagi
mendominasi keinginan maka kecenderungan orang akan selalu mengarah
kepada dimensi subyektif dan negatif saja dan bahkan relatif tidak terkontrol.
Kaml al-Haidari mengungkapkan bahwa jihad melawan musuh disebut
jihad asghar karena sifatnya eksternal dan temporal. Selain itu dapat diprediksi
beberapa hal tentang musuh misalnya kekuatan, perlengkapan, arah kedatangan
dan serangannya. Sedangkan jihad melawan nafsu dinamai jihad akbar sebab
sifatnya internal dan permanen (berlangsung selama manusia masih hidup).
Selanjutnya, terdapat banyak perkara yang tidak diketahui seseorang dari musuh
internalnya tersebut. Misalnya, seberapa besar kekuatan dan perlengkapan
musuh serta dari arah mana musuh akan datang. 197
196

Ungkapan yang mengkategorisasikan jihad pada dua bagian yaitu jihad asghar dan
jihad akbar:
-
197
Kaml al-Haidar, al-Tarbiyah al-Rhiyah: Buhts f Jihd al-Nafs diterjemahkan
oleh Iwan Kurniawan dengan judul: Jihad Akbar: Menempa Jiwa, Membina Ruhani , Cet. I
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), h. 169-171

251

Mencermati penjelasan tentang teks-teks jihad dapat diketahui bahwa


jihad tidak hanya bermakna atau menunjukkan makna peperangan fisik tetapi
juga makna yang lebih luas jangkauannya yakni perjuangan non fisik.
Sedangkan term-term jihad yang menunjukkan makna perang, Alquran
menggunakan lafal al-qitl 198 atau dengan berbagai derivasinya, al-harb 199 dan
ghazw. Tetapi kalau dilihat dalam perspektif fiqh, jihad itu berkaitan dengan
makna peperangan fisik. Hal tersebut disebabkan karena ulama fiqh lebih
menonjolkan doktrin Islam era Madinah ketimbang doktrin Islam fase Mekkah.
Idealnya, pembahasan doktrin jihad lebih komprehensif meliputi ajaran jihad
baik di Mekkah maupun di Madinah.200 Sementara yang ditemukan dalam
karya-karya fiqh klasik adalah jihad era Madinah, akibatnya jihad yang
dipahami masyarakat umum hanyalah jihad dalam arti peperangan.
Dalam buku Fiqih Empat Mazhab, beberapa persoalan yang berkaitan
dengan hukum jihad, persyaratan jihad, melarikan diri dalam peperangan, harta
rampasan dielaborasi secara terperinci yang mengarah pada makna peperangan.
Mayoritas ulama sepakat bahwa jihad itu merupakan kewajiban kolektif (fardu
kifyat)201 terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan untuk
mempertahankan diri dari serangan orang-orang kafir dan musuh lainnya. Jika
pertahanan mereka terancam dan melemah maka penduduk yang tinggal di dekat
perbatasan bisa membantu mereka. Dalam kaitan dengan persyaratan jihad, ada
dua persoalan yakni siapa yang wajib ikut berperang dan sasaran dalam

198

Al-qitl adalah berperang melawan musuh (dalam rangka defensif) dengan


menggunakan senjata. Lihat: Muhammad Rawas Qalaji dan Hamid Sadiq Qunaibi,
MujamLughah al-Fuqah, Cet. I (Baerut: Dar al-Nafais , 1405 H/1985 M), h. 357
199
Al-harb adalah menggunakan segala potensi yang ada baik berupa jiwa, harta dan
lisan untuk berperang di jalan Allah. Mahmud Abd Fattah Mahmud Yusuf, Min Ahkm al-Harb
F al- Sayriah al-Islmiyyah wa al-Qnn, (Kairo: Dr al-Fikr al-Arabi, t.th), h. 23
200

Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I
(Jakarta: LSIP, 2004), h. 44
201

Abd Rahmn al-Jazar, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V(Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 360-373; Sayyid Sbiq, Fiqhu al-Sunnah, Cet. I, Juz III
(Kairo: Dr al-Fath, 1998), h. 402-403; Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz
VIII, Cet. IV (Beirut: Dr al-Fikr al-Muasir, 1997), h. 5848; Abi Muhammad Abdullah Ibn
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Quddmah, Al-Mughn ala Mukhtas ar al-Kharq, Juz VIII, Cet. I
(Beirut: Dr al-Kurb al-Ilmiyah, 1994), h. 239

252

peperangan. Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang belum terkena fardu ain
(misalnya anak-anak) tidak diperbolehkan ikut dalam peperangan terkecuali
mereka mendapat izin dari orang tuanya (kalau keduanya Muslim), serta orang
yang masih memiliki hutang harus mendapat izin dari pemberi hutang
(kreditor).202 Pendapat lainnya seperti Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa
syarat wajibnya jihad itu ada tujuh yaitu Islam, baliq, berakal, merdeka, lakilaki, sehat jasmani dan memiliki nafkah.203 Syarat kewajiban jihad yang
mengharuskan laki-laki kelihatannya sarat dengan bias jender sehingga kurang
relevan untuk diterapkan di era modern karena tidak sesuai dengan realita
kehidupan dimana laki-laki dan perempuan setara (kesetaraan jender). Para
ulama juga sepakat dalam hal larangan membunuh perempuan, orang buta,
orang tua jompo dan orang cacat terkecuali mereka itu memberikan kontribusi
dalam peperangan tersebut. 204 Selama mereka tidak ikut berperang dalam
pertempuran, maka tidak ada alasan menyerang apalagi membunuh mereka.
Selain itu jumhur ulama juga melarang melarikan diri ketika berhadapan
dengan musuh. Ada tiga hal yang menyebabkan umat Islam harus berjihad yakni
ketika berhadapan dengan musuh Q.S. al-Anfal (8): 15, 16, 45-46; musuh sudah
menyerang, dan atas perintah kepala Negara Q.S. al-Taubah (9): 38.205
Melarikan diri dari musuh tidak dibenarkan terkecuali dengan tujuan
mengecohkan musuh atau mau mencari pertahanan yang lebih strategis untuk
mengadakan perlawanan. Tetapi jika kondisi umat Islam dalam keadaan
emergency (darurat) dan secara perhitungan yang cermat pasukan mereka jauh

202

Abd Rahmn al-Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V(Beirut:
Dr al- Kutub al- Ilmiyah, 1999), h. 367
203

Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz VIII, Cet. IV (Beirut: Dr


al-Fikr al-Muasir, 1997), h. 5851
204

Abd Rahmn al-Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V(Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h.
205

Sayyid Sbiq, Fiqhu al-Sunnah, Cet. I, Juz III (Kairo: Dar al-Fath, 1998), h. 404;
Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz VIII, Cet. IV (Beirut: Dr al-Fikr alMuasir, 1997), h. 5850; Abi Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Quddmah
al-Muqaddas, al-Mughn ala Mukhtas ar al-Kharq, Juz VIII, Cet. I (Beirut: Dar al-Kurb alIlmiyyah, 1994), h. 240

253

lebih sedikit dibanding dengan kekuatan musuh, maka pasukan Muslim


diperbolehkan melarikan diri.206 Dalam hal ini berlaku konsep darurat yakni
melanggar larangan lari dari pertempuran karena keadaan terpaksa misalnya
kekuatan tidak berimbang.
Pesoalan lain yang didiskusikan dalam hal yang berkaitan dengan jihad
adalah harta rampasan perang terutama aset yang tidak memungkinkan untuk
dibawa ke Negara Muslim karena dikhawatirkan akan diambil alih lagi oleh
musuh setelah mereka tinggalkan tempat pertempuran tersebut. Imm Hanaf
dan Imm Mlik berpendapat bahwa dibolehkan umat Islam memanfaatkan
barang-barang tersebut antara lain dengan disembelih binatang peliharaannya,
dibakar harta benda dan dihancurkan peralatan perang mereka. Sedangkan Imm
Syfi dan Imm Hambal mengatakan boleh dimiliki barang-barang tersebut
tetapi tidak dibenarkan untuk dirusak atau dihancurkan.207 Kelihatannya
pendapat Imm Syfi dan Imm Hambal lebih humanis dan fleksibel dalam
memberikan argumentasi sebab kalau harta benda musuh itu tidak bisa diambil
alih oleh umat Islam sebaiknya dibiarkan saja ditempatnya sehingga bisa
dimanfaatkan oleh orang lain termasuk mungkin pihak musuh sehingga mereka
merasa kagum dan simpati terhadap pasukan Muslim.
Jadi, jihad dalam hukum Islam mengandung dua pespektif yakni jihad
non fisik dan fisik, tetapi jihad dalam konteks peperangan biasanya
menggunakan istilah yang spesifik misalnyaal-qitl, al-harb dan al-gazw. Jihad
secara makro (non fisik) itu lebih diutamakan dibandingkan jihad fisik (perang).
Ulama fiqh selalu membahas jihad dalam konteks mikro (perang) dan mereka
mengatakan bahwa jihad itu merupakan kewajiban kolektif.
Namun dalam konteks kekinian sebagian kelompok Muslim terutama
kelompok fundamentalis cenderung melaksanakan tindakan dan aksi-aksi yang
destruktif dalam memaknai konsep jihad. Menurut mereka, jihad itu sematamata perlawanan fisik terhadap musuh atau siapa saja yang tidak seide dengan
206

Abd Rahmn al-Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V (Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 269
207

Abd Rahmn al-Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V (Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 370-371

254

mereka. Dengan demikian, telah terjadi distorsi pemahaman keagamaan


khususnya yang berkaitan dengan jihad dan berimplikasi pada aksi yang bersifat
destruktif dan revolusioner sehingga tujuan disyariatkannya jihad untuk
kemaslahatan umat diabaikan. Pembahasan selanjutnya menganalisa persoalan
terorisme dan jihad dalam kajian hukum Islam.

E. Analisis Hukum Terorisme dan Jihad


Pembahasan sebelumnya menjelaskan bahwa sebagian umat Islam
terutama kelompok radikal melakukan berbagai aksi teror yang teridentifikasi
dalam sejarah umat Islam sejak era khalifah sampai sekarang sebagai salah satu
bentuk aktualisasi jihad. Dalam persepktif mereka, jihad merupakan suatu
kewajiban baik itu kewajiban individu (fardu ain) maupun kewajiban kolektif
(fardu kifayah). Hukum jihad pada dasarnya memang wajib karena teks-teks
Alquran yang menjelaskan tentang jihad dipresentasikan dalam bentuk (sighat)
amr (perintah) seperti term-term jhid (Q.S. Ali Imran (3): 142), qtil (Q.S.
al-Baqarah (2): 190, 193), faqtul (Q.S. al-Taubah (9): 5). Hal tersebut sesuai
dengan kaedah ushul fiqh 208 (hukum dasar dari suatu
perintah (amr) adalah wajib).
Berdasarkan kaedah ushul tersebut menunjukkan bahwa hukum asal
jihad adalah wajib209 terkecuali ada alasan atau qarnah yang mengalihkan dan
merubah hukum asal tersebut. Argumentasi tersebut diperpegangi oleh jumhur
ulama. Berbeda halnya dengan ulama dari kelompok Mutazilah, mereka

208

Jalluddn Abdurrahmn ibn Ab Bakr al-Suyt, Al-Asybah wa al-Nazir f alFur (Beirut: Dr al-Fikr, 1415 H/1995 M), h. 32
209

Perlu dicatat bahwa tidak semua lafal yang menggunakan sighat amr itu wajib. Dari
segi dilalah (penunjukkan) dan tuntutannya sighat amr bisa mengandung hukum selain wajib
yakni nadb (sunnat) seperti (Q.S. al-Nur (24):33), mendidik (Q.S. al-Baqarah (2): 282),
kebolehan atau mubah (Q.S. al-Baqarah (2): 60, menakut-nakuti atau tahdd (Q.S. Ibrahim (14):
30), memotivasi (Q.S. al-Anam (6): 142), memuliakan yang disuruh (Q.S. al-Hijr (15): 46),
menghina (Q.S. al-Baqarah (2); 65, menantang seseorang atau tajz (Q.S. al-Baqarah (2): 23),
mengejek dan menganggap remeh atau ihnah (Q.S. al-Dukhan (44): 49), menyamakan dua hal
sebagai perbandingan atau taswiah (Q.S. al-Thur (52): 16), doa atau harapan (Q.S. Ibrahim (14):
41), menganggap enteng sesuatu yang disuruh (Q.S. al-Syuara (26): 43, menciptakan atau
takwin (Q.S. Yasin (36): 82. Lihat: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2001), h. 166-171

255

berpendapat bahwa hukum asal amr adalah nadb (sunnah). Dalam pandangan
Mutazilah, amr merupakan suatu tuntutan melaksanakan sesuatu hal kepada
orang yang diperintah dan amr bisa saja dalam bentuk mengharuskan melakukan
sesuatu (wajib) dan atau dalam bentuk nadb (sunnah). Memilih alternatif yang
paling kecil (nadb) lebih baik sampai ada keterangan atau qarnah yang
menunjukkan wajibnya suatu perintah tersebut. Ulama Mutazilah juga
mengemukakan hadis Nabi saw yang menjelaskan bahwa jika seseorang
diperintahkan untuk melakukan sesuatu perbuatan, maka laksanakan sesuai
dengan kemampuannya. Oleh karena itu Mutazilah berkesimpulan bahwa
melaksanakan amalan yang diperintahkan disesuaikan dengan kemampuan
manusia, dan ini mengindikasikan amr bukan sesuatu keharusan (wajib) tetapi
sunnah saja.210 Sekalipun terjadi perbedaan persepsi antara jumhur ulama dan
ulama Mutazilah, tampaknya penulis cenderung menyetujui argumentasi yang
dikemukakan oleh jumhur ulama tentang hukum dasar amr adalah wajib
terkecuali ada penjelasan yang merubah hukum tersebut.
Persoalannya adalah apakah hukum wajibnya jihad melawan orangorang kafir dan membunuh mereka dalam ayat-ayat yang dikemukakan di atas
merupakan kewajiban setiap Muslim (fard ain) atau kewajiban kolektif (fard
kifyah)?. Kewajiban tersebut tampaknya hanya bersifat kolektif ditujukan
kepada umat Islam yang memiliki kapabilitas dan persyaratan untuk terlibat
dalam peperangan misalnya kesehatan fisik, pengalaman perang, memiliki visi
dan strategi perang dan memiliki persenjataan perang.211 Kewajiban kolektif
tersebut kelihatannya berlaku dalam kondisi kalau peperangan tersebut
dilakukan berdasarkan perencanaan dan strategi yang matang.
Tetapi kalau umat Islam diserang secara tiba-tiba oleh musuh, maka
umat Islam secara individu berkewajiban untuk mempertahankan wilayah dan
identitas umat Islam sesuai dengan kemampuan mereka. Dalam kondisi
demikian, jihad merupakan fardu ain bagi seluruh umat Islam yang tinggal di
210

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 173-

174
211

Abdul Baqi Ramdhun, Al-Jihd Sablun, diterjemahkan oleh Darsim Ermaya dan
Imam Fajaruddin dengan judul Jihad Jalan Kami, (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 139-140

256

wilayah tersebut termasuk komunitas yang tinggal berdekatan dengan wilayah


yang diserang. Kewajiban individu itu juga sejalan dengan kaedah ushul yaitu
212 (hukum itu berlaku berdasarkan illatnya).
Selain alasan penggunaan sighat amr pada term-term jihad yang
menunjukkan wajibnya jihad, alasan memenuhi al-darriyyt al-khams,
kebutuhan manusia yang lima yakni mempertahankan eksistensi agama, jiwa,
akal, harta dan kehormatan juga mengindikasikan wajib hukumnya berjihad.
Jadi, dalam hal ini kaum Muslim wajib mengadakan perlawanan terhadap
gempuran Israel, misalnya, dalam rangka mempertahankan diri (defensif) dan
sesuai dengan kode etik perang dalam Islam antara lain tidak membunuh anakanak, perempuan, orang tua jompo, pendeta (pemuka agama) dan tidak merusak
fasilitas umum dan lingkungan hidup.
Uraian di atas menunjukkan bahwa jihad di medan pertempuran dalam
rangka memberikan perlawanan terhadap serangan musuh adalah wajib karena
teks-teks Alquran mengemukakannya dalam bentuk amr (perintah) dan sesuai
dengan tuntutan al-darriyyt al-khams. Kewajiban tersebut dilaksanakan sesuai
dengan etika jihad dalam Islam. Tetapi kalau jihad dalam makna makro secara
garis besarnya hukum fard ain.
Jihad yang dapat dikategorisasikan sebagai hal yang wajib dan menjadi
suatu keharusan (fard ain) apabila berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
Pertama,

jihad

dalam artian non

fisik

yang bertujuan baik untuk

mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan


(Q.S. al-Baqarah (2): 62, 177, Ali-Imran (3): 102, al-Maidah (5): 2 & 8, alTaubah (9): 108, al-Hajj (22) 32; menyangkut persoalan pendidikan (Q.S. alBaqarah (2): 38, 112, 262, 274, 277 & 286, al-Alaq (96): 1-5, al-Mujadalah
(58): 11; perekonomian dan kesejahteraan (Q.S.al-Baqarah (2): 268; al- Taubah
(9): 105, al-Qasas (28): 77, al-Najm (53): 39, al-Mumtahanah (60): 3, alJumuah (62): 10 yang bersifat personal atau kolektif. Kesemuanya ini

212

Jalluddn Abdurrahmn ibn Ab Bakr al-Suyt, Al-Asybah wa al-Nazir f alFur (Beirut: Dr al-Fikr, 1415 H/1995 M), h. 53

257

dimasukkan dalam ketegori kebutuhan hidup manusia yang esensial yang harus
dilindungi dan dipelihara eksistensinya (al-dharuriyat al-khamsah ) yakni
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.213
Jika merujuk kepada makna etimologi dari jihad, seperti yang
diungkapkan dalam pembahasan sebelumnya, maka jihad itu adalah sesuatu
yang sulit dan meletihkan serta memerlukan kemampuan untuk melakukannya.
Ungkapan dalam Alquran yang menggunakan kata jihad (Q.S. Ali Imran (3):
142 yang mempersoalkan dugaan umat manusia untuk masuk syurga padahal
belum nyata bagi Allah swt antara orang-orang yang betul-betul berjihad dan
sabar. Ini menunjukkan bahwa jihad ditetapkan kadangkala dalam rangka
menguji manusia sejauhmana kesabaran dan ketabahan mereka sebab jihad
adalah sesuatu yang sulit. Selain makna kesabaran, jihad juga bermakna
kemampuan yang menuntut pelakunya (mujahid) untuk menggunakan segala
potensi diri dan pengorbanan demi terwujudnya tujuan jihad tersebut. Dengan
demikian, menurut M. Quraish Shihab, seorang mujahid yang memiliki
kapasitas untuk melakukan jihad tidak akan pernah menuntut dan mengambil
sesuatu

dari

orang

lain

(secara

berlebihan)

karena

mereka

terus

melaksanakannnya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.214


Setiap mukmin adalah mujahid sebab jihad merupakan perwujudan
identitas kepribadian Muslim (Q.S. al-Taubah (9): 44 & 81: al-Ankabut (29): 6
dan tidak akan pernah dijustifikasi pelaksanaan jihad yang bertentangan dengan
fitrah kemanusian sehingga tidak ada ruang untuk pemaksaan dan sifat kebatilan
lainnya (Q.S. Luqman (31): 15. Orang Mukmin yang terus berjihad tidak
memiliki sifat pesimis, emosional dan brutal sebab mereka akan selalu dibekali
dua dasar pemaknaan jihad yakni kesabaran dan kemampuan atau kapasitas
(paling tidak dalam hal bidang keimanan, pendidikan, ekonomi dan
kesejahteraan).
Mencari solusi untuk meningkatkan kualitas individu dan komunitas
dalam hal tersebut jauh lebih urgen dari pada pemaknaan jihad dalam konsep
213

Ab Ishq al-Sytib, al-Muwfaqt f Usl al-Syarat, Juz II (Beirut: Dar al-Kutub


al-Ilmiyyah, t.th.), h. 3
214

M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet. XII (Jakarta: Mizan, 2001), h. 502

258

yang sangat sempit yakni dalam arti peperangan atau perlawanan fisik.
Keimanan yang kokoh bahwa Allah swt penguasa (al-malik, al-qadr) dan
pemberi rezeki dan kasih sayang (Razzq, Rahmn dan Rahm) misalnya
merupakan sentral keyakinan dalam menjalankan lini kehidupan manusia
sehingga apapun yang dilakukannya selalu optimis, toleran dan bersifat kasih
dan sayang terhadap yang lainnya termasuk pada binatang dan lingkungan
sekitarnya. Peningkatan ilmu pengetahuan (pendidikan) juga unsur penting
karena dengan ilmu pengetahuan manusia dapat tetap eksis dan mampu
meningkatkan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan. Orang yang memiliki
kualifikasi pendidikan rendah misalnya sangat sulit bagi mereka untuk
berkompetisi baik dalam taraf kualitas intelektualnya maupun untuk hal-hal
yang berkaitan dengan ekonomi dan kesejahteraan. Dalam penyelesaian kasus
konflik Palestina - Israel, orang Islam yang memiliki ilmu pengetahuan (politik
Islam) dengan yang tidak memiliki pengetahuan tersebut berbeda dalam
menyikapinya. Manusia yang berilmu cenderung memberikan alternatif dan
memikirkan kemungkinan melakukan diplomasi, negosiasi dan berbagai
manuver politis yang selalu mengarahkan pada perdamaian. Sebaliknya, orang
yang tidak memiliki pengetahuan hanya bisa berargumentasi melawannya
dengan kekerasan ke perkampungan Israel, bahkan bentuk perlawanan itu
diarahkan di luar teritorial daerah konflik seperti pengeboman di Pasar.
Peristiwa kekerasan yang sama juga terjadi Bali dan sejumlah tempat di Jakarta
(hotel Marriot, kedutaan Australia) sebagai ungkapan pembalasan terhadap
penderitaan dan peperangan di Palestina. Ilustrasi ini mungindikasikan
pentingnya peningkatan pemahaman atau pendidikan sehingga manusia selalu
melihat persoalan dengan bijaksana dan penuh pertimbangan.
Jadi, jihad non fisik dalam rangka meningkatkan keimanan dan
ketakwaan, pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan sebagai aplikasi bentuk
jihad adalah wajib hukumnya baik pada tataran personal maupun kolektif.
Kedua, jihad dalam arti perang juga wajib, sekalipun ini sangat terbatas dalam
konteks kekinian.

259

Dalam tataran tertentu, Abd al-Hayy al-Farmw berpendapat bahwa


terorisme itu diwajibkan terutama dalam kaitannya dengan pemberian ancaman
terhadap musuh untuk menjadikannya takut dan khawatir terhadap umat Islam.
Al- Farmw mencontohkan tentang nas-nas (Q. S. al-Araf (7): 116 dan alAnfal (8): 60 yang mengisahkan aktivitas Nabi Musa yang melemparkan
tongkatnya menjadi Ular ketika berhadapan dengan tukang sihir Fira'un serta
persiapan peperangan yang mantap dari kalangan umat Islam, kesemuanya
mampu menggetarkan hati lawan-lawan mereka. Menurut al-Farmw, teror
semacam ini wajib karena mampu mensosialisasikan akidah dan menjaga
kehormatan dan kesucian Islam tetapi hendaknya disertai dengan kemampuan
dan potensi yang dimiliki umat Islam dalam berbagai bidang.215 Aksi teror
semacam ini hanya teror psikologis bukan teror yang berbentuk fisik dan
kehancuran fasilitas umum.
Sebaliknya, penyalahgunaan konsep jihad dengan melakukan tindakan
destruktif, pembunuhan, perampokan, pembajakan dan pengintimidasian sebagai
bahagian dari tindakan terorisme hukumnya haram. Hal tersebut berdasarkan
pada beberapa pertimbangan. Pertama, terorisme bertentangan dengan nas-nas
yang melarang berbuat kerusakan dan menghancurkan.sesuatu di bumi (Q.S. alBaqarah (2): 11; al-Anam (6): 151; al-Araf (7): 56, 85; al-Qas as (28): 77).
Teks-teks yang menjelaskan larangan berbuat kerusakan di bumi baik kerusakan
fisik maupun psikis menggunakan sighat nahy (larangan), sedangkan setiap
larangan memiliki hukum asal haram terkecuali ada keterangan atau penjelasan
yang mengubah hukum dasar tersebut. Ini sejalan dengan kaedah ushul yakni

216

(asal dari larangan itu hukumnya haram). Kedua,

terorisme bertentangan dengan prinsip al-darriyyt al-khams yang menegaskan


bahwa umat Islam berkewajiban melindungi lima kebutuhan manusia. Kalau
sesorang melakukan pembunuhan, 217 menciderai dan pengrusakan harta manusia

215

Abd al-Hayy al-Farmw, Islam Melawan Terorisme,Jurnal Studi Al-Quran, Vol.


I, No. 1, Januari 2006, h. 100-101
216
Jalluddn Abdurrahmn ibn Ab Bakr al-Suyt, Al-Asybah wa al-Nazir f al- Fur
(Beirut: Dr al-Fikr, 1415 H/1995 M), h. 42

260

lainnya berarti telah melanggar hak-hak dasar manusia lainnya (human rights).
Ketiga,

terorisme

bertentangan

dengan

prinsip-prinsip

kemanusiaan,

permusyawaratan dan keadilan dalam Islam. Prinsip kemanusiaan yang


diajarkan Islam antara lain memiliki sifat kepedulian terhadap manusia lainnya
seperti dalam bentuk finansial melalui kewajiban zakat, sadaqah (Q.S. alBaqarah (2): 177, 188, 236-241; al-Nisa (4): 36, al-Taubah (6): 6, dan
sumbangan pengetahuan misalnya (Q.S. al-Baqarah (2): 269, Ali Imran (3): 81
dan 164, al-Maidah (5): 69 dan 76. Dengan konsern terhadap kondisi
kemanusiaan, manusia akan senantiasa bekerja sama dan saling membutuhkan
satu sama lainnya, sehingga sifat permusuhan dan bahkan pembunuhan tidak
akan terjadi. Inilah yang dimaksud oleh Harun Nasution sebagai sifat
humanistarianisme yakni sifat kasih sayang terhadap sesama manusia dan
makhluk lainnya.218 Prinsip musyawarah (Q.S. al-Baqarah (2): 233; Ali Imran
(3): 159; al-Syura (42): 38 diutamakan baik dalam hubungan pada level terkecil
keluarga maupun pada tataran hubungan internasional. Tiga prinsip penting
dalam melakukan musyawarah adalah bersikap lemah lembut, pemberian maaf
atau pengampunan terutama mereka yang berbuat salah dan permohonan ampun
kepada Allah swt.219 Prinsip keadilan (Q.S. al-Hujurat (49): 9 juga diprioritaskan
dalam Islam meskipun terhadap orang atau sekelompok yang menghianati kita.
Perintah berbuat adil dalam ayat ini adalah untuk mengadakan perdamaian
setelah mereka bertindak tegas terhadap kelompok pembangkang karena
kemungkinan mereka mengalami kerugian baik harta maupun jiwa atau paling
tidak harga diri akibat ulah pembangkang. Efek tersebut bisa saja mempengaruhi

217

Penggunaan sighat nahy memiliki berbagai dalalah atau penunjukkan hukum antara
lain haram, makruh seperti hadis Nabi yang melarang memegang kemaluan dengan tangan
kanan ketika kencing, mendidik (irsyd) seperti ayat (Q.S. al-Maidah (5): 10), doa (Q.S. Ali
Imran (3): 8), merendahkan atau tahqr (Q.S. al-Hijr (15): 88), menjelaskan akibat atau bayn
al-Aqibat (Q.S. Ibrahim (14): 42), mengungkapkan keputusasaan atau yasi (Q.S. al-Tahrim
(66): 7). Lihat: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h.
196-197)
218

Harun Nasution, Islam Rasional, Cet. IV (Jakarta: Mizan, 1996), 211

219

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet. XII (Jakarta: Mizan, 2001), h. 473-274

261

mereka untuk tidak berlaku adil.220 Oleh karena itu, prinsip kemanusiaan,
musyawarah (dialog) dan keadilan perlu ditegakkan sekalipun ketika berhadapan
dengan komunitas lainnya termasuk non Muslim, sehingga aksi teror tidak
dibenarkan dalam Islam. Ketiga pertimbangan di atas mempertegas bahwa
hukum terorisme ataupun penyalahgunaan konsep jihad dengan menggunakan
aksi teror dalam Islam adalah haram hukumnya.
Berdasarkan pembahasan dalam bab ini maka terorisme dan jihad
merupakan dua fenomena yang berbeda secara normatif tetapi kadang
ditemukan penyalahgunaan konsep jihad yang cenderung bersifat destruktif dan
merusak sehingga pelaksanaan jihad serupa dengan aksi teror. Oleh karena itu,
kalau pelaksanaan jihad sudah sama dengan terorisme berarti konsep jihad yang
sebenarnya telah mengalami distorsi makna.

220

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet. XII (Jakarta: Mizan, 2001), h. 119

BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disertasi ini membuktikan bahwa terdapat distorsi pemahaman
keagamaan oleh sebagian gerakan Islam terutama Muslim radikal dengan
mengaktualisasikan jihad dalam bentuk tindakan kekerasan (teror), dan hal
tersebut berimplikasi pada munculnya radikalis baru. Distorsi pemahaman
keagamaan tersebut disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Secara
internal adalah berkaitan dengan pemahaman Islam yang sempit dan cenderung
tekstual dari para pelaku teror, sedangkan secara eksternal bahwa tindakan teror
tersebut disebabkan oleh faktor sosio kultural dan politik masyarakat atau
komunitas Muslim. Sebagian umat Islam terutama kelompok radikal Muslim
cenderung memahami nas-nas (Alquran dan al-Sunnah) secara tekstual sehingga
terkadang melahirkan pemikiran yang kaku tidak fleksibel. Adapun faktor sosio
kultural yang dapat mendorong lahirnya tindakan kekerasan terorisme adalah
pengaruh modernitas yang terkadang dianggap berbenturan dengan budaya suatu
komunitas tertentu, sehingga menimbulkan perlawanan dari komunitas tersebut.
Selain itu, politik hegemoni Amerika (Barat) juga turut membangkitkan adanya
tindakan terorisme secara signifikan terutama dari kalangan radikal Muslim.
Kelompok tersebut menganggap bahwa modernisme yang terjadi di
negara-negara Muslim dimotori oleh Barat dan telah merusak tatanan kehidupan
yang Islami, misalnya eksisnya pergaulan bebas dikalangan generasi muda dan
prostitusi berdampak pada munculnya penyakit HIV dan AIDS. Oleh karena itu,
kelompok Islam terutama radikal Muslim berasumsi bahwa modernisasi dan
hegemoni Amerika (Barat) terhadap negara-negara Muslim merupakan bentuk
kolonialisme dan imperialisme yang perlu dilawan dan disingkirkan dalam
rangka mewujudkan kemandirian umat Islam. Bagi mereka yang menganut
doktrin Qutubism, jalan atau upaya yang dapat ditempuh untuk melawan
pengaruh modernisme dan hegemoni tersebut adalah dengan jalan jihad.

263

Berbagai aksi teror dilakukan oleh sebagian umat Islam atas nama jihad
telah ada sejak era Khulafa al-Rasyidin sampai sekarang seperti kelompok
Tanzm al-Jihd, al-Takfr wa al-Hijrah (Mesir), Al-Qaeda (Saudi Arabia) serta
Jamaah Islamiyah senantiasa merujuk pada teks-teks yang mengandung ajakan
jihad (perang) termasuk keutamaan orang-orang yang berjihad (Q.S. Ali Imran
(3): 142; An-Nisa (4): 95; al-Tahrim (66): 9 dan al-Mumtahanah (60): 1).
Pandangan eksklusif terhadap teks-teks yang berkaitan dengan jihad
disertai dengan aksi teror dari kalangan fundamentalis Muslim terutama sejak
1990an membentuk opini masyarakat Barat atau non Islam bahwa Islam
memberikan justifikasi terorisme. Asumsi tersebut bertentangan dengan ajaran
Islam yang mengajarkan toleransi, humanisme dan mengutamakan kemaslahatan
dan kedamaian termasuk terhadap non Muslim.
Jihad memiliki makna makro dan mikro. Pendefinisian secara makro
mencakup makna yang luas yang tidak semata-mata diartikan perang dengan
perjuangan fisik, tetapi juga mencakup non fisik misalnya perang melawan hawa
nafsu, melawan rayuan dan bujukan setan, melawan kezaliman dan perbaikan
masyarakat dan individu. Jihad juga termasuk segala aktifitas yang dilakukan
manusia dalam rangka peningkatan kredibiltas dan intergritas kepribadian baik
secara individu maupun masyarakat. Jihad yang semacam ini bersifat permanen.
Adapun secara mikro, jihad diartikan pada peperangan saja, dan ini bersifat
temporal. Dari berbagai bukti sejarah mengindikasikan bahwa terjadi evolusi
pemaknaan jihad dari makna yang makro (bukan peperangan) terutama pada
periode Mekkah, kemudian di perkenalkan pada pemahaman dalam makna
mikro (perang) pada periode Madinah ditandai dengan turunnya ayat-ayat
tentang perang (qital). Sayangnya, pemahaman mikro tersebut menjadi titik
sentral pada awal-awal perkembangan dan perluasan wilayah Islam bahkan
sampai sekarang terutama dimotori fundamentalis Islam. Sejak munculnya
klaim bahwa Islam identik dengan teroris yang disebabkan oleh asumsi dari
ajaran jihad, maka pada masa kontemporer, pakar hukum Islam, cendekiawan
dan intelektual Muslim mulai menformulasikan dan mensosialisasikan kembali
pemaknaan jihad yang pernah eksis pada periode Mekkah dan dilakukan

264

pencerahan yang berkaitan dengan makna yang mikro. Makna jihad dalam Islam
bervariasi dan menunjukkan pada makna perjuangan yang bersifat fisik dan non
fisik, serta makna jihad mengalami evolusi sesuai dengan kondisi masyarakat.
Namun dalam melaksanakan jihad dalam bentuk peperangan terdapat
kode etik yang ditekankan dalam Islam yakni menyampaikan dakwah atau
pemberitahuan tentang Islam sebelum peperangan, larangan berbantah-bantahan,
larangan mengarahkan senjata ke perkampungan Muslim, dan larangan untuk
membunuh anak-anak, perempuan, orang tua jompo dan pendeta terkecuali
mereka memilki andil dalam peperangan tersebut. Jihad dalam makna perang
atau kekerasan disyariatkan dalam Islam dalam rangka mempertahankan agama
dan kedaulatan negara Islam dan umat Islam. Alasan terhadap kebolehan
tersebut kadangkala didistorsi oleh sebagian umat Islam terutama kelompok
radikal Muslim di dunia Islam seperti Tanzm al-Jihd, al-Takfr wa al-Hijrah
(Mesir), Al-Qaeda (Saudi Arabia) serta Jamaah Islamiyah (Asia Tenggara) dan
FPI (Indonesia).
Hukum Islam yang memiliki nilai universal, fleksible, elastis dan
komprehensif mencoba mengelaborasi persoalan terorisme dan jihad dengan
berbagai aspeknya. Hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis
bertujuan

untuk

keadilan,

rahmat

serta

memenuhi

kebutuhan

dan

mensejahterakan manusia dengan tiga kebutuhan yakni kebutuhan primer


(darriyyt), sekunder (hjiyyt) dan pelengkap (tahsniyyt). Kebutuhan primer
(darriyyt) yaitu suatu kebutuhan yang sangat fundamental dalam memenuhi
kemaslahatan manusia dan kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi maka
malapetaka, kekacauan, ketidaknyamanan bagi manusia akan terjadi. Hal-hal
yang dikelompokkan dalam kebutuhan primer itu ialah memelihara agama (hifdz
al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan
memelihara harta (hifdz al-ml). Kebutuhan sekunder (hjiyyt) adalah segala
aktifitas yang dilakukan dalam rangka menunjang dan meringankan tugas-tugas
dan kegiatan yang bersifat primer. Jika kebutuhan sekunder tersebut tidak
terpenuhi, maka tidak berimplikasi pada merusaknya tatanan kehidupan manusia
seperti yang terjadi pada pemenuhan kebutuhan primer. Sedangkan kebutuhan

265

pelengkap (tahsniyyt) yang berorientasi pada pemenuhan yang dilandasi oleh


norma, tradisi dan kebiasaan yang terjadi dalam suatu masyarakat untuk
memperoleh kenyamanan, ketertiban dan keindahan manusia.
Karena kebutuhan itu diprioritaskan dalam penetapan hukum Islam,
maka terorisme dan jihad yang destruktif dilarang dalam Islam. Dalam hukum
Islam, terorisme diistilahkan dengan term-term al-irhb (irhabiyah), al-hirbah
(perampokan). Tetapi ada juga pendapat yang mengkategorisasikan al-baghyu
(pemberontakan), qtiu al-tariq (pembegal) sebagai terorisme dengan catatan
bahwa kedua jarimah tersebut dilakukan dengan kekerasan, menimbulkan
ketakutan dan tekanan psikologis masyarakat, menimbulkan korban jiwa dan
materil serta dilakukan untuk tujuan politis. Oleh karena itu, terorisme
hukumnya haram karena bertentangan dengan nas-nas yang melarang berbuat
kerusakan di bumi (Q.S. al-Baqarah (2): 11; al-Anam (6): 151; al-Araf (7): 56,
85; al-Qasas (28): 77), bertentangan dengan prinsip al-darriyyt al-khams yang
menegaskan bahwa umat Islam berkewajiban melindungi lima kebutuhan
manusia, serta berlawanan dengan ajaran Islam yang memprioritaskan keadilan
dan kemanusiaan (Q.S. al-Nisa (4): 58, al-Maidah (5): 8, al-Nahl (16): 90, alBaqarah (2): 177, 188, 236-241; al-Taubah (9): 6, Ali Imran (3): 81 dan 164).
Teks-teks yang dipergunakan dalam melarang aksi teror dan berbagai aksi
kekerasan dan kerusakan lainnya menggunakan sighat nahy, dan dalam
pandangan hukum Islam penggunaan bentuk tersebut mengandung hukum asal
haram.
Di sisi lain, hukum jihad yang dilakukan untuk mempertahankan agama
dan kedaulatan negara adalah wajib (kewajiban kolektif atau fard kifyah).
Kewajiban tersebut dikarenakan teks-teks Alquran yang menjelaskan tentang
jihad dipresentasikan dalam bentuk (sighat) amr (perintah) seperti term-term
jhid (Q.S. Ali Imran (3): 142), qtil (Q.S. al-Baqarah (2): 190, 193), faqtul
(Q.S. al-Taubah (9): 5). Hukum dasar dari teks-teks tersebut bermakna wajib
karena kaedah ushul fiqh . Selain itu, jihad itu hukumnya
wajib disebabkan terjadi kesesuaian antara jihad dan perintah untuk memenuhi
al-darriyyt al-khams, kebutuhan manusia yang lima yakni mempertahankan

266

eksistensi agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan Tetapi, kalau jihad tersebut
dilaksanakan secara destruktif dan menyalahi etika jihad dalam Islam maka
kewajiban tersebut menjadi haram.
Jumhur ulama klasik menjelaskan hukuman terhadap jenis-jenis jarimah
tersebut dengan penetapan hukum yang berbeda. Jarimah al-irhb sebenarnya
tidak ditetapkan hukumannya secara khusus karena bisa dikategorikan dalam
jarmah

al-hirbah dan al-baghyu. Ini mengindikasikan bahwa keputusan

penetapan hukumnya tergantung pada pelanggarannya dan hakim memutuskan


hukum sesuai pelanggaran tersebut. Sedangkan jarmah al-hirbah atau qtiu
al-tariq

(quttu

al-tariq)

sanksi

hukumannya

berbeda

tergantung

pelanggarannya. Jumhur ulama (Hanaf, Syfi, Ahmad bin Hambal dan Syiah
Zaidiyyah) menetapkan hukuman sesuai dengan

ketentuan yang tercantum

dalam Q.S. al- Maidah (5): 33 yaitu diasingkan jika pelanggarannya hanya
menakut-nakuti seseorang tanpa melakukan pembunuhan dan pengambilan
harta. Hukuman lainnya adalah dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika
pelakunya mengambil harta saja dan tidak membunuh, atau dibunuh (tanpa
disalib) jika pelakunya membunuh tetapi tidak mengambil harta. Kalau
pelakunya membunuh dan mengambil harta maka dia dibunuh dan disalib.
Berbeda halnya dengan pendapat Imm Mlik dan Zahiriyah yang menyerahkan
kepada ijtihad hakim (tazr) dalam menentukan jenis sanksi yang terdapat
dalam Q.S. al- Maidah (5): 33 tersebut. Hanya saja Imm Mlik membatasi
hukuman pilihan tersebut untuk selain pembunuhan. Baginya hukuman bagi
jarmah pembunuhan adalah dibunuh atau disalib. Sementara Zahiriyah
menyerahkan sepenuhnya kepada hakim untuk memilih bentuk apapun hukuman
yang akan diberikan kepada pelaku perampokan tersebut.
Dalam kaitan dengan jarmah al-baghyu (pemberontakan), jumhur ulama
berpendapat

bahwa

tindak

pindana

sebelum

dan

sesudah

terjadinya

pemberontakan dikenakan jarmah biasa, tetapi kalau tindak pidana itu terjadi
ketika pemberontakan berlangsung dan pelanggaran tersebut dikategorisasikan
dengan tindak pidana pemberontakan maka bisa dikenakan hukum hudud atau
tazr. Sebaliknya, kalau tidak berkaitan langsung dengan

jarmah

267

pemberontakan tetapi pelanggarannya berhubungan dengan tindak pidana


pemerkosaan atau pembunuhan misalnya, maka sanksi hukumannya disesuaikan
dengan pelanggarannya.
Ulama kontemporer seperti Wahbah Zuhail dan Abdul Qadir Audah
memiliki kesamaan dengan argumentasi yang dikemukakan ulama klasik dan
mereka cenderung mereproduksi pendapat ulama klasik. Sekalipun ulama klasik
dan ulama kontemporer cenderung sepaham dalam menetapkan hukuman yang
menyangkut berbagai bentuk tindak pidana tersebut di atas, tetapi hukum Islam
memberikan otoritas kepada pemerintah untuk menetapkan sesuatu hukuman
sesuai dengan pelanggaran atau jarimah baik itu sebagai implementasi dari
hukuman hudud atau tazr. Yang perlu dicatat adalah pemerintah (hakim)
seyogianya melaksanakan hukuman tersebut demi terwujudnya rasa keadilan
dan ketentraman dalam suatu komunitas karena esensi dari hukuman termasuk
hudud adalah menjadikan masyarakat jera dan memiliki komitmen untuk tidak
melakukan pelanggaran lagi.
Kalau pelaksanaan aksi teror dan jihad mengandung unsur-unsur yang
tertera dalam konsep al-irhb (irhabiyah), al-hirbah (perampokan) atau qtiu
al-tariq (pembegal), dan al-baghyu (pemberontakan) maka pelakunya akan
dihukum sesuai dengan ketentuan yang dikemukakan ulama di atas, dan
kegiatan teror dan jihad semacam ini dilarang dalam Islam.

B. Saran-Saran
Persoalan terorisme dan jihad merupakan persoalan yang kontroversial
terutama jika persoalan terorisme itu dikaitkan dengan fundamentalisme
Muslim. Diharapkan pada cendekiawan dan intelektual Muslim untuk terus
mengkaji persoalan terorisme dan jihad dan mensosialisasikannya atau
mempublikasikannya sehingga komunitas Muslim termasuk masyarakat
internasional memahami bahwa persoalan terorisme tidaklah sama dengan jihad,
serta terorisme tidak memperoleh justifikasi dari Islam.
Selain itu, umat Islam terutama kalangan radikal, fundamentalis dan
puritan tidak melakukan dan mempraktekan jihad dengan tindakan yang

268

destruktif (terorisme) sebab Islam merupakan agama humanis dan toleran.


Pemaknaan jihad perlu direaktualisasi dengan jihad non fisik yang bertujuan
untuk peningkatan intelektual, ekonomi, politik dan kesejahteraan umat Islam
khususnya dan jihad seperti ini bersifat permanen dan universal.
Perlu juga disadari bahwa terorisme dalam perspektif kultural bisa terjadi
dan oleh karena itu disarankan agar masyarakat Muslim atau masyarakat dunia
tidak memberikan stimulasi sehingga teroris tidak terpanggil untuk melakukan
aksi teror. Sebaliknya teroris tidak semata-mata melihat kerusakan atau
ketimpangan dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang bisa menjustifikasi
aksi teror.

Anda mungkin juga menyukai