Oleh
Kasjim Salenda
NIM : 02.3.00.1.01.01.0069
PROMOTOR
Prof. Dr. Masykuri Abdillah
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
ii
LEMBAR PERNYATAAN
KASJIM SALENDA
iii
LEMBAR PERSETUJUAN II
: Kasjim Salenda
No. Pokok
: 02.3.00.1.01.01.0069
Pembimbing/merangkap Penguji
iv
LEMBAR PERSETUJUAN II
: Kasjim Salenda
No. Pokok
: 02.3.00.1.01.01.0069
Penguji
Dr. Jamhari, MA
Tanggal:
LEMBAR PERSETUJUAN
Disertasi berjudul TERORISME DAN JIHAD DALAM
PERSPERKTIF HUKUM ISLAM yang ditulis oleh Kasjim
Salenda, NIM: 02.3.00.1.01.01.0069 telah lulus dalam ujian Promosi
Doktor yang dilaksanakan pada hari Selasa, 18 November 2008 dan
telah diperbaiki sesuai dengan saran Tim Penguji. Selanjutnya
Disertasi ini disahkan oleh Tim Penguji Promosi Doktor.
Tim Penguji:
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
(Ketua Sidang/Penguji)
........................../..
........................../..
........................../..
........................../..
........................../..
Dr. Jamhari, MA
(Penguji)
........................../..
........................../..
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
(ARAB-LATIN)
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
b
t
tidak dilambangkan
be
te
ts
j
te dan es
je
h
kh
d
dz
de
de dan zet
r
z
er
zet
s
sy
es
es dan ye
s
d
t
z
gh
f
q
ef
ki
k
l
ka
el
m
n
em
en
w
h
we
ha
apostrof
ye
vii
Vokal Pendek
Tanda Vokal Arab
Keterangan
__________
fathah
__________
kasrah
__________
dammah
Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab
Keterangan
Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab
Keterangan
a dan i
au
a dan u
viii
KATA PENGANTAR
.
Tulisan ini merupakan upaya memenuhi salah satu persyaratan
penyelesaian studi pada program S3. Penulis menyadari, tanpa bantuan dan
partisipasi dari berbagai pihak, baik dorongan moril maupun bantuan materiil,
disertasi ini tidak mungkin dapat terwujud sebagaimana mestinya. Karena itu,
sepatutnyalah penulis menyampaikan penghahargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak.
Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada yang tidak sempat
disebutkan satu persatu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak
Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, MA, Dr. H. Ambo Asse, M.Ag, dan Prof. Dr. H.
Baso Midong, M. Ag., masing-masing sebagai Rektor, Dekan dan mantan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar yang telah
memberikan izin dan bantuan dana studi di Universitas Islam Negeri (UIN)
Jakarta.
Ucapan terima kasih yang sama disampaikan kepada Bapak Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, MA (Rektor UIN Jakarta), Prof. Dr. Azyumardi Azra,
MA, Dr. Fuad Jabali, MA, Dr. H. Udjang Thalib, MA dan Prof. Dr. Suwito, MA
(masing-masing sebagai Direktur, Deputi Direktur Bidang Akademik dan
Kerjasama, Deputi Direktur Bidang Administrasi dan
Kemahasiswaan, dan
ix
Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H.
Ahmad Thib Raya, MA, Prof. Dr. H. Abd. Qadir Gassing, M.Sc., Drs. H. Lomba
Sultan, M.Ag, yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan Program
Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Juga Pemda Tkt. I
Propensi Sulawesi Tenggara dan kanda Dra. Mihra serta kawan-kawan
mahasiswa Program S3 senasib dan seperjuangan khususnya rekan-rekan yang
berasal dari Sulawesi, telah banyak membantu penulis.
Penghargaan yang sangat tulus penulis persembahkan kepada ayahanda
(alm) Pong Salenda (w. Oktober 1989), Ibunda (almh) Hj. Kamaria (w. 22
Januari 2008), dan Kakanda Burhanuddin Salenda yang telah mendidik dan
membina penulis sehingga dapat menempuh pendidikan tinggi. Demikian pula
ucapan terima kasih kepada kakanda (almh) Salenda, Liling, M. Jufri Jannang,
Hj. Kullu, (almh) Salmiah, Hadenariah, M. Hasyim, dan (alm) Idris (para
saudara penulis) yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun
materiil kepada penulis.
Penghargaan yang khusus dan terima kasih yang tulus kepada isteri
tercinta Siti Aisyah H. Kara yang dengan penuh kesabaran dan kesetiaan dalam
suka dan duka menemani penulis. Penghargaan yang sama disampaikan kepada
anakda tercinta Ahmad Jawwad (santri Program Khusus Pondok Modern Gontor
I), Ahmad Anshari (siswa kelas IX SMPN II Ciputat), Ahmad Fauzan (santri
kelas I Pondok Modern Gontor I), dan Nailatush Shafi (siswi kelas III SDN
Legoso) yang dalam banyak hal memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kesalahan dan
kekeliruan, oleh karena itu kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan guna
perbaikan selanjutnya. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu-persatu atas segala bantuannya,
semoga Allh rabb al-lamn membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.
Amin.
Kasjim Salenda
xvii
ABSTRAK
Kesimpulan besar disertasi ini membuktikan bahwa terdapat distorsi
pemahaman keagamaan oleh sebagian gerakan Islam terutama Muslim radikal
dengan mengaktualisasikan jihad dalam bentuk tindakan kekerasan (teror). Hal
ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Secara internal, berkaitan
dengan pemahaman keislaman yang sempit dan cenderung tekstual, sedangkan
secara eksternal, tindakan teror tersebut disebabkan oleh faktor sosio kultural
dan politik masyarakat atau komunitas Muslim.
Disertasi ini memiliki kesamaan dengan Asad al-Sahamrn, La li alIrhb, Naam li al-Jihd (Beirut: Dr al-Nafis, 2003); Aql Ibn Abdirrahman,
Ibn Muhmmad al-Aql, Al-Irhb fat al-Asr: Mdz Qla Anhu al-Ulam
wa al-Masyyikhu wa al-Mufakkirun wa al-Tarbawiyyun wa bimdz
Wasafhu, Cet. I (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, 2004) dan
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat
Imam Samudra & Kelompok Islam Radikal, Cet. I (Jakarta: Grafindo Hazanah
Ilmu, 2007) bahwa Islam tidak membenarkan aksi terorisme. Kajian ini
memiliki perbedaan yang signifikan dengan pandangan yang dikemukan aktor
teroris seperti Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera,
2004) dan Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom , Cet. I (Jakarta: Republika,
2007) yang mengklaim bahwa aksi teror yang dilakukannya sebagai bentuk
aplikasi jihad. Perbedaan disertasi ini dengan pandangan Asad al-Sahamrn,
al-Aql dan Haniff Hassan adalah disertasi ini dielaborasi secara komprehensif
dan sistematis dengan mengkaji teks-teks yang berkaitan dengan terorisme dan
jihad dengan menggunakan pendekatan yuridis, historis dan sosiologis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Pertama, terorisme dan jihad secara signifikan berbeda. Terorisme
bersifat destruktif (ifsd), menimbulkan kepanikan, dan dilakukan tanpa aturan
yang jelas. Sementara jihad bertujuan mewujudkan perbaikan (islh), membela
hak-hak individu dan masyarakat, serta memiliki kode etik yang jelas.
Kedua, terjadi evolusi pemaknaan jihad sejak zaman Rasulullah sampai
sekarang dalam tiga kategorisasi yakni jihad dalam makna bukan perang, perang
dan kombinasi antara makna perang dan non perang. Namun di era kontemporer
pemaknaan jihad lebih mengedepankan makna non perang terkecuali dalam
kondisi tertentu.
Ketiga, istilah terorisme dalam hukum Islam dikenal dengan istilah: alirhb (irhabiyah), al-hirbah (perampokan). Ulama mengkiyaskan hukuman
jarmah al-irhb (irhabiyah) dengan al-hirbah (perampokan) sehingga pelaku
jarmah tersebut dijatuhi hukuman sesuai dengan pelanggarannya antara lain
dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang, dan diasingkan atau
diserahkan kepada pemerintah (hakim) untuk menentukan hukuman yang pantas
(tazr). Dalam perspektif hukum Islam, terorisme hukumnya haram,
sedangkan jihad hukumnya wajib tetapi kalau dilakukan secara revolusionir dan
destruktif serta melanggar kode etik yang digariskan Islam maka hukumnya
haram.
Sumber utama disertasi ini antara lain: Muhammad Haniff Hassan,
Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra & Kelompok
xvii
Islam Radikal, Cet. I (Jakarta: Grafindo Hazanah Ilmu, 2007); Imam Samudra,
Aku Melawan Teroris (2004) dan Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom (2007).
Selain itu, kitab-kitab fiqh klasik seperti Abd Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh
ala al-Mazhib al-Arbaah , (1999) dan kitab fiqh kontemporer seperti Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah (1998), Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa
Adillatuhu (1997) dan buku-buku yang berkaitan dengan pemikiran kontemporer
tentang jihad. Sumber-sumber tersebut dibaca dengan menggunakan pendekatan
hukum Islam.
xvii
)( . .
.
) :
(2003 :
) :
(2004 :
) : (2007
.
: (2004
.
.
:
: .
.
.
:
)( .
.
: "" )(
. )(
.
xvii
.
: :
) :
,(2007 :(2004
) .(2007 :
) (1999 :
) (1998 ) (1997
. .
xvii
ABSTRACT
The main conclusion of this dissertation is that Islamic teachings have
been distorted by some Muslims, particularly radical Muslims, in which they
commit terrorism as an actualization of jihad. This is due to internal and external
factors. Internally, it is related to their limited understanding towards Islamic
texts in which they use textual approach. Externally, socio cultural and political
factors of Muslim community lead terrorists to commit terrorism
The dissertation is similar to Asad al-Sahamrn, La li al-Irhb, Naam
Li al-Jihd (Beirut: Dr al-Nafis, 2003); Aql Ibn Abdirrahman, Ibn Muhmmad
al-Aql, Al-Irhb fat al-Asr: Mdz Qla Anhu al-Ulam wa al-Masyyikhu
wa al-Muwafakkirun wa al-Tarbawiyyun wa Bimdz wa Safhu, 1st edt.
(Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, 2004) and Muhammad Haniff
Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra &
Kelompok Islam Radikal, Cet. I (Jakarta: Grafindo Hazanah Ilmu, 2007) which
highlight that Islam oppose terrorism. This dissertation has a significant
difference with terrorists claim such as Imam Samudra, Aku Melawan Teroris,
Cet. II (Solo: Jazera, 2004) and Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom, Cet. I
(Jakarta: Republika, 2007) that what they have done is as jihad. However, the
dissertation elaborates and explores issues in relation to terrorism and jihad
comprehensively and systematically within Islamic law perspective compared to
the books of Asad al-Sahamrn, al-Aql and Haniff Hassan.
The dissertation shows the following findings:
Firstly, terrorism and jihad substantially differ. Terrorism tends to be
revolutionary, destructive which cause panics and fears, and it acts with no clear
principles, while jihad tends to improve humans safety and welfare personally
or collectively, and it conducts within clear principles.
Secondly, there have been changes in the meanings of jihad since the
Prophet Muhammad era for three categories namely non physical (internal
jihad), war and the combination of internal jihad and war. However, the
meaning of jihad in the contemporary society prefers to use internal jihad rather
than war unless within certain conditions.
Finally, the concepts of terrorism in the Islamic law are al-irhb
(irhbiyah), al-hirbah. The classical ulama include punishments for al-irhb
(irhabiyah) into al-hirbah in which offenders can be punished in different ways
such as death, crucifixion, amputation of hand and foot from opposite sides,
banishment and based on government decision to formulate punishments for
community justice (tazr). From Islamic law perspective, terrorism is not
allowed (haram) whereas jihad is obligated (wajib), but if the application of the
jihad is revolutionary and destructive or against Islamic law principles so such
jihad is forbidden (haram).
The main references of the dissertation are books of Muhammad Haniff
Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra &
Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Hazanah Ilmu, 2007), Imam
Samudra, Aku Melawan Teroris(2004) and Ali Imron, Ali Imron Sang
Pengebom (2007). In addition, classical books such as Abd Rahman al-Jaziri,
Kitab al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arbaah (1999) as well as contemporary
xvii
Islamic law books like Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (1998), Wahbah alZuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (1997) and other books in relation to
terrorism and jihad are used as references. These references are analysed using
Islamic law approach.
xx
DAFTAR ISI
SAMPUL...i
PERNYATAAN...ii
PERSETUJUAN.....iii
TRANSLITERASI..................................................................................x
KATA PENGANTAR.......xii
ABSTRAK.xiv
DAFTAR ISI......xx
BAB I
A.
B.
C.
D.
E.
F.
BAB II
PENDAHULUAN.
Latar Belakang Masalah......1
Permasalahan.........18
Tujuan dan Signifikansi Penelitian....19
Penelitian Terdahulu Yang Relevan......20
Metodologi Penelitian...22
Sistematika Penulisan....23
HUKUM ISLAM
A.
B.
C.
D.
E.
xxi
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.262
B. Saran-Saran.....267
DAFTAR PUSTAKA....269
BAB I
PENDAHULUAN
Terdapat sejumlah ayat Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad
antara lain: Q.S. al-Baqarah (2): 191; Q.S. al-Taubah (9): 5; dan Q.S. al-Tahrim (66): 9
menjadi saksi di pengadilan, bahkan ada di antara mereka yang dipenjara seperti
Ahmad bin Hambal. Sebaliknya, ketika al-Mutawakkil menjadi khalifah yang
cenderung berpaham ahl hadis, maka paham kaum Mutazilah dianggap sesat.7
Sekitar tahun 1980an, aksi kekerasan kembali dipraktekkan kelompok
sempalan Ikhwanul Muslimin (Tanzm al-Jihd) di Mesir dengan membunuh
Presiden Anwar Sadat pada tanggal 6 Oktober 1981 karena mereka tidak
menyetujui perdamaian Arab-Israel yang digagas Sadat.8 Selanjutnya, pada
tahun 1993 jaringan kelompok Islam radikal antara lain Tanzm al-Jihd
mengebom lantai dasar World Trade Centre (WTC) di New York, dan pada
tanggal 7 Agustus 1998 Al-Qaeda melakukan pengeboman Kedutaan Besar
Amerika di Nairobi, Kenya, dan Darus Salam, Tanzania menewaskan sekitar
200 jiwa dan melukai lebih 4.000 orang. Sebagian besar dari mereka yang
terbunuh dan terluka dalam pengeboman di Nairobi, Kenya, dan Darus Salam
adalah warga Kenya dan Tanzania.9 Tanggal 11 September 2001, kelompok AlQaeda juga diduga melakukan pengeboman gedung kebanggaan Amerika WTC
dan Pentagon di Washington DC. Pengebom kali ini menggunakan metode yang
spektakuler yakni menabrakkan pesawat ke gedung tersebut.10
7
Tragedi pembunuhan Presiden Mesir, Anwar Sadat pada tanggal 6 Oktober 1981
bertepatan dengan hari parade militer. Pembunuhan tersebut merupakan balasan atas perdamaian
Mesir-Israel yang digagas Anwar Sadat pasca kekalahan pihak Arab dalam perang Arab-Israel.
Lihat: Sebuah Wajah Teduh, http://elqudsy.blogspot.com/2006/02/sebuah-wajah-teduh.html
diakses tanggal 10 Juli 2008
9
Jumlah korban dalam pengeboman di Kedutaan Besar Amerika di Nairobi, Kenya dan
Darus Salam (Afrika) dapat dilihat pada http://www.usembassyjakarta.org/terrornet/13.html
diakses tanggal 26 September 2008
10
Pesawat yang menabrak menara utara WTC New York adalah boeing 767 American
Airlines dengan nomor penerbangan 11, jurusan Boston-Los Angeles (LA) pada pukul 08.48,
menewaskan 92 orang termasuk 9 kru dan 2 pilot, sementara pesawat yang menabrak menara
selatan WTC yakni boeing 757 United Airlines dengan nomor penerbangan 175 jurusan Bandara
Dulles, Washington DC menuju Los Angeles pada pukul 09.05, menewaskan 65 orang termasuk
7 kru dan 2 pilot. Adapun pesawat yang menabrak sisi barat Pentagon, Washington DC pada
pukul 09.40 adalah American Airlines dengan nomor penerbangan 77 jurusan Virginia-Los
Angeles, menewaskan 64 orang termasuk 4 kru dan 2 pilot. Sebuah pesawat lainnya, United
Airlines dengan nomor penerbangan 93 jurusan New Jersey-San Francisco diarahkan ke Gedung
Putih namun terjatuh di Stony Creek, Pennsylvania menewaskan 45 orang termasuk 5 kru dan 2
pilot. Lihat: Ready Susanto, Osama bin Laden: Jihad Sepanjang Hayat , Cet. II (Bandung: PT
Kiblat Buku Utama, 2001), h. 27-44
11
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 107-109. Lihat
juga wawancara Asep Adisaputra dengan Imam Samudra pada tanggal 2 Maret 2003 dalam
Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad, Cet. I (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 62
12
antara
lain:
dimasudkan dalam kajian ini adalah jihad dalam arti sempit yakni yang
mengarah kepada makna peperangan (kekerasan). Selain itu term hukum Islam
dibatasi dalam ruang lingkup fiqh.
Aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama telah terjadi sejak era
Khulafa al-Rasyidin hingga sekarang yang dilancarkan oleh kelompok
fundamental dan radikal seperti pembunuhan khalifah Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abi Talib.13 Gerakan fundamentalisme14 dan radikalisme15 tersebut tidak
segan-segan menyerang pihak lain yang dianggap berbeda dengan paham
keagamaan mereka. Gerakan fundamentalisme yang dinakodai Muhammad bin
Abdul Wahab (1703-1792) dikenal dengan gerakan Wahabi, mengusung tematema sentral dalam pemurnian ajaran Islam. Dengan semboyan memurnikan
ajaran Islam dan purifikasi tauhid, gerakan ini terbagi dua yakni gerakan
Wahabi Haraki dan gerakan Wahabi Tarbawi. Dalam rangka purifikasi ajaran
Islam, Wahabi Haraki mengumandangkan jihad dengan cara yang destruktif dan
ofensif, antara lain dengan terjadinya pertumpahan darah di Makkah dan di
Madinah berbarengan dengan penghancuran monumen historis yang dianggap
sebagai penyimpangan ajaran agama yang murni.16 Sedangkan gerakan Wahabi
Tarbawi melaksanakan jihad melalui pengadaan sarana dan prasarana
13
Khalifah Utsman bin Affn terbunuh di tangan pemberontak, dan Al bin Ab Tlib
dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, salah seorang tokoh Khawarij. Lihat: Rasul Jafariyan,
The History of Caliphs, diterjemahkan oleh Anna Farida, Nailul Aksa dan Khalid Sitaba
dengan judul Sejarah Khilafah 11 H.-15 H., Cet. I (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 140-160; Ab
Jafar Muhammad ibn Jarr al-Tabar, Trkh al-Tabar: Trkh al-Rasl wa al-Muluk , Juz IV,
(Al-Qhirah: Dr al-Marif, 1963), h. 450-465
14
Fundamentalisme (al- Usliyah) adalah faham atau ideologi yang cenderung untuk
memperjuangkan sesusatu secara radikal. Dalam pengertian yang lebih sempit disebut
fundamentalisme agama yakni suatu penegasan bahwa kitab suci yang diterima terdiri dari
seperangkat kebenaran hidup yang abadi dan bebas dari kesalahan. Lihat: B.N. Marbun, Kamus
Politik, Edisi Baru (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h. 173; Abu Ridho, Terorisme
(Jakarta: Pustaka Terbiatuna, 2003), h. 101
15
Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara, Dunia Islam Dalam Benturan Kepentingan dan
Peradaban dalam A. Maftuh Abegebriel dkk. (ed.), Negara Tuhan The Thematic
Encyclopaedia, Cet. I (Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 451
secara
ilmiah
terhadap
justifikasi
jihad
19
Salah satu prinsip universal dalam Islam adalah al-Adlah (justice) mengandung arti
honesty, fairness, dan integrity bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa diskriminasi, penuh
kejujuran, ketulusan dan igtegritas. Hans Webr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut:
Librairie Du Liban, 1980), h. 596
20
Wilkinson).
Adanya
faktor-faktor
subyektif
pada
perorangan
double
22
standard
(standard
ganda)
dalam
menangani
masalah
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme, dalam Tabrani Sabirin, (ed), Menggugat
Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 1423 H/2002 M), h. 68-69. Bandingkan dengan
Abu Rido, Terorisme (Jakarta: Pustaka Terbiatuna, 2003), h. 21
Lihat: Adam Kuper and Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia , Second
Edition (London: Routledge, 1996), h. 872
25
10
Peter Soderberg bahwa teror adalah upaya menempuh cara-cara kekerasan untuk
suatu target-target politis yang dilakukan pihak-pihak yang tidak mempunyai
kekuasaan. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan kemarahan atau penentangan
secara politis terhadap pemerintah resmi karena negara dianggap tidak
memenuhi tuntutan-tuntutan kelompok tertentu.27 Baik Kuper, Badawi maupun
Peter Soderberg memiliki kesamaan tentang pelaku aksi teror yakni kelompok
non pemerintahan yang bertujuan merongrong kewibawaan penguasa.
Sekalipun terjadi perbedaan pengertian terorisme di atas, penulis
membatasi pengertian terorisme yaitu mencakup aksi teror yang umumnya
memiliki tujuan politis baik dilakukan oleh individu maupun kolektif ataupun
negara yang mengakibatkan ketakutan dan kehancuran manusia serta fasilitas
umum lainnya. Jadi, tindakan teror yang umumnya dilakukan dengan motivasi
politik untuk mewujudkan ketakutan, kecemasan masyarakat dan perusakan
sarana dan prasana umum dikategorikan sebagai terorisme.
Beberapa term yang ada keterkaitannya dengan terorisme dalam Islam
antara lain al-irhb (irhabiyah), al-hirbah (perampokan), qtiu al-tariq atau
quttu al-tarq (pembegal), al-baghyu (pemberontakan), al-unf (lawan dari
kelemahlembutan).28 Term al-irhb, terambil dari kata arhaba-yurhibu yang
berakar kata rahiba (ra-hi-ba) berarti intimidasi atau ancaman.29 Dapat juga
bermakna
akhfa
(menciptakan
ketakutan)
atau
fazzaa
(membuat
30
kengerian/kegetaran). Makna bahasa ini terdapat dalam Q.S. al-Anfal (8): 60.31
27
Peter Soderberg, Astir Irhbiyah baina al Wahm wa al Mughlah wa al-Wqi ,
terjemahan Affaf Maruf (Kairo: Dr Nasyr, 1992), h. 47
28
Ab al-Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr al-Afriq al-Misr, Lisn
al-Arab, Jilid III Cet. I (Beirut: Dr Sdir, 1410 H/1990 M), h. 97
29
Ab al-Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr al-Afriq al-Misr, Lisn
al-Arab, Jilid I, Cet. I (Beirut: Dr Sdir, 1410 H/1990 M), 436; Luis Malf, al-Munjid fi alLugah wa al- Alm , Cet. XXXIX (Beirut: Dr al- Masyriq, t. th.), h. 282
31
11
Al-Irhb
adalah
tindakan
intimidasi,
teror
yang
mengganggu
ketenteraman warga seperti merampas harta dan merenggut jiwa mereka serta
membuat kerusakan di muka bumi. 32 Term ini dipahami sebagai terorisme
karena teroris dalam beraksi bersikap keras dan kasar. Dalam literatur fiqh
klasik istilah terorisme disebut al-hirbah (perampokan). Dalam beraksi,
penyamun atau pembegal mengangkat senjata berupa batu, kayu maupun besi
untuk merampok harta orang lain atau membunuh. Sanksi hukuman bagi mereka
berupa dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau
diasingkan sesuai dengan ayat 33 surat al-Maidah (5).33 Tetapi jika tidak
bersenjata maka mereka tidak termasuk muhrib menurut jumhur ulama. 34
Istilah hirbah identik dengan terorisme karena pembegal dalam beraksi selalu
menggunakan kekerasan dan terkadang melakukan pembunuhan. Peristiwa
seperti ini berakibat mengganggu ketentraman individu dan masyarakat.
Demikian halnya term al-Baghyu yang bermakna bertindak sewenang-wenang.35
Sikap sewenang-wenang senantiasa melekat pada tindakan terorisme. Pelaku alBaghyu disebut al-Bghi atau dalam bentuk pluralnya al-Bught yakni orang-
32
Zaid bin Muhammad bin Hdi al-Madkhali, al-Irhb wa Atsaruhu ala al-Afrd wa
al-Umam (Madinah: Dr al-Sabl al-Muminn, 1417 H), h. 1
33
Allah swt berfirman:
.
(Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat berdiamnya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama
Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya , Edisi Baru (Semarang: CV. Toha Putra, 1989),
h. 164
34
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III
(Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2002), h. 104-105. Penjelasan selanjutnya lihat: Abdul Qadir Audah,
al-Tasyri al-Jini al-Islmi, Muqran bi al-Qnun al-Wadi , Juz II, Cet. XIV (T. tp: Muassasah
al-Risalah, 1418 H/1997 M), h. 638. Masalah ini akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan
bab V.
35
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir, Cet. XIV (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 98
12
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III
(Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2002), h. 47
37
Q.S. al-Maidah (5): 33 menerangkan sanksi bagi pelaku hirbah (muhrib) yakni
dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang, dan diasingkan.
38
Abdurrahman al-Jazir, Al-Fiqh Al al-Madzhib al-Arbaah, Juz V (Beirut: Dr alKutb al-Ilmiyah, 1999), h. 360-361
39
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar (keluar dari kelompok
Ali),yakni orang-orang yang keluar dari barisan Ali karena tidak menerima arbitrase (tahkim)
13
mereka karena dianggap keluar dari Islam. Demikian juga Sekte Assassin yang
merupakan sempalan kelompok ekstrim dari sekte Syiah Ismailiyah dipimpin
Hassan al-Shabah membolehkan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik
mereka dari Bani Saljuq pada abad ke- 11 dan ke- 13. Tindakan mereka ini oleh
sebagian sejarawan dikategorikan sebagai aksi terorisme.40
Tindakan terorisme terkadang diasosiasikan oleh kalangan tertentu
sebagai bagian dari kegiatan jihad karena term jihad dalam Islam mengandung
pengertian yang sangat luas, antara lain sebagai usaha yang sungguh-sungguh
dilakukan dengan keras dan tekun; upaya pengendalian hawa nafsu; keluar
rumah mencari nafkah untuk keluarga; meninggalkan kampung halaman demi
mencari ilmu pengetahuan; perang membela agama; melawan hawa nafsu dalam
rangka mentaati Allah; menguras kemampuan dalam memerangi musuh.
Pengertian yang terakhir terkadang identik dengan aksi terorisme. Moh Guntur
Romli dan A Fawaid Sjadzili berpendapat bahwa term jihad mengandung
multimakna, multitafsir dan multibentuk.41 Misalnya pembakuan makna jihad
dengan mujhadah (olah spriritual) dalam tradisi sufi, makna ijtihd (olah
lalu mengangkat Abdullah bin Wahhab al-Rasibi sebagai pemimpin mereka. Ada juga yang
mengatakan bahwa kata khawarij itu didasarkan pada pengertian dalam surat Q.S. al-Nisa (4):
100 yang pengertiannya keluar dari rumah untuk berjuang di jalan Allah. Selain nama
Khawarij, terdapat beberapa nama lain yang diberikan kepada kelompok ini, yakni alMuhakkimah, Syurah, Haruriyah, dan al-Mariqah. Lihat: Abu Zahra, Trikh Madzhib alIslmiyah, Mesir: Dr al-Fikr al-Arab, 1989, h. 60-124; Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), h. 47
40
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme, dalam Tabrani Sabirin (ed.), Menggugat
Terorisme (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 73; M.Qasim Mathar, Makalah disampaikan
dalam Seminar bertema: Kejahatan Internasional dan Antisipasi Hukumnya dilaksanakan oleh
Fakultas Syariat IAIN Makassar, 29 Oktober 2001 di kampus IAIN Makassar, h. 2
41
Terdapat lima (5) macam jihad yakni: jihad melawan nafsu dalam menjalankan
ketaatan kepada Allah swt; jihad melawan setan yang selalu mengajak kepada kemaksiatan
dan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; jihad melawan para pelaku maksiat
dengan cara beramar maruf nahi mungkar; jihad melawan orang-orang munafik yang berpurapura beriman sedangkan hatinya menyimpan kekafiran kepada Allah swt; dan jihad melawan
orang-orang kafir yang lebih dikenal dengan jihad fi sabilillah (perang). Lihat: Ab al-Asybal
Ahmad bin Slim al-Misri, Fatwa al-Ulama al-Kibr fi al-Irhb wa al-Tadmr wa Dawbit alJihd wa al-Takfr wa Mumalat al-Kuffr , Cet. I (Al-Riyd: Dr al-Kiyn, 2005), h. 292-296
14
nalar) dalam tradisi intelektual, dan makna jihd (olah fisik) dalam tradisi
perang.42
Pemikir Islam progresif, Khaled Abou El-Fadl, mengkritisi pemahaman
jihad yang sempit dari beberapa kelompok Muslim yang hanya ditujukan pada
makna berperang. Menurutnya, jihad dalam Alquran adalah segala komitmen
yang berimplikasi pada perjuangan mendapatkan ilmu pengetahuan, konsern
terhadap manusia yang lemah (termasuk manusia yang sakit dan miskin),
membela kebenaran dan keadilan. Jadi, jihad tidak semata-mata di artikan
perang (holy war), sebab istilah perang suci dalam bahasa Arab disebut
dengan al-harb al-muqaddasah. Alquran menggunakan term al-qitl untuk
makna berperang. Islam tidak merekomendasikan perang sebagai solusi dari
suatu konflik termasuk dengan kelompok non Muslim yang tidak tunduk pada
supremasi politik negara Islam, tetapi melalui fase-fase alternatif yakni menjadi
Muslim, membayar pajak (jizyah), dan terakhir adalah resolusi serangan.
Alquran juga menggarisbawahi bahwa dalam proses negosiasi dan resolusi
tersebut mengutamakan perdamaian (peace) dengan cara memaafkan dan
dilakukan dengan lemah lembut, bukan dengan kekerasan.43 Pandangan Abou
El-Fadl ini mempresentasikan Islam yang humanis dan toleran dan tidak
mengkategorikan jihad dalam arti yang sempit.
Ulama klasik dari kalangan Imm mazhab cenderung mengklasifikasikan
jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap musuh agama (orang kafir). Dalam
pandangan mazhab Hanaf, jihad adalah mengajak manusia kepada agama yang
benar, jika orang tersebut menolak ajakan, maka mereka bisa diperangi dengan
harta dan jiwa. Pandangan serupa dikemukakan mazhab Syfi bahwa orangorang kafir itu perlu diperangi untuk memenangkan Islam. Pandangan ulama
mazhab klasik ini sekalipun mengarah pada pemahaman jihad dengan perang
42
Moh Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I
(Jakarta: LSIP, 2004), h. 2-3
43
Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, (New
York: Harper SanFrancisco, 2005), h. 221-225; Selain al-qitl, jihad dalam arti perang dalam
Alquran disebut juga al-harb dan al-ghazwah. Lihat: Q.S. al-Maidah (5): 33 dan Q.S. al-Taubah
(9): 107 di dalamnya terdapat kata al-harb. Sedang kata al-ghazwah terdapat dalam Q.S. Ali
Imran (3): 156
15
tapi masih dalam konteks mempertahankan diri (defensif) dan ini merupakan
kewajiban kolektif (fard kifyah).44
Kelompok-kelompok
radikal
Muslim
cenderung
menggunakan
16
48
Tim Penerbit Ababil Press (ed.), Deklarasi Perang: Karya Asli, Fatwa dan
Wawancara Usamah bin Ladin, Cet. I. (Jakarta: Ababil Press, 2001), h. 61-62
47
Allah berfirman:
(193 : )
(Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya
untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orng-orang yang zalim (al-Baqarah: 193). Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya ,
Edisi Baru (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 47
(75 : ) ...
(Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah
baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak ). Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQuran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya , Edisi Baru
(Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 131
48
Tim Penerbit Ababil Press (ed.), Deklarasi Perang, Karya Asli, Fatwa dan
Wawancara Usamah bin Ladin, Cet. I. (Jakarta: Babil Press, 2001), h. 63
17
dengan ketentuan dilarang membunuh anak-anak, wanita dan usia lanjut bahkan
tidak diperkenankan menebang pepohonan. Membandingkan objek sasaran
perang dalam Islam dengan fatwa jihad di atas mengilustrasikan betapa sadis
dan kejamnya syariat Islam. Efek dari seruan jihad tersebut akan mencederai
citra Islam sebagai agama humanis, kasih sayang dan toleran sehingga tujuan
jihad untuk meninggikan kalimatullah (li ilai kalimatillah) akan sulit terwujud.
Kedua, mempersoalkan keberadaan militer Amerika dan sekutu-sekutunya di
wilayah Saudi Arabia yang merupakan wewenang pemerintah Kerajaan Saudi.
Sebagai warga negara yang baik, selayaknya Usamah melobi pihak Kerajaan
secara persuasif sambil mengutarakan keprihatinannya akan keberadaan militer
Amerika dan sekutu-sekutunya di Jazirah Arab. Upaya semacam itu kiranya
termasuk bagian dari jihad. Ketiga, aksi bom yang dilakukan oleh anggota atau
simpatisan kelompok Al-Qaeda pada umumnya lebih banyak mengorbankan
warga sipil non Amerika bahkan tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang
turut jadi korban. Misalnya, peledakan bom di kota Riyadh dan Khubar.49
Keempat, menyaksikan agresi militer Amerika dan sekutu-sekutunya ke negaranegara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Irak dan Afganistan, maka
hukum jihad saat ini menurut Usamah adalah fardu ain. Sebenarnya yang
berwenang menetapkan hukum kewajiban jihad adalah penguasa dan majlis
ulama, sehingga penentuan kewajiban jihad oleh selain kedua lembaga tersebut
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Seruan jihad yang dimotori Usamah bin
Ladin memungkinkan untuk mendorong para Muslim radikal dan fundamentalis
melakukan aksi jihad yang destruktif dan revolusioner yang tampaknya
bertentangan dengan misi Islam yang humanis, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, kasih sayang, kedamaian, dan ketentraman hidup.
Oleh karena itu, kajian tentang terorisme dan jihad dalam perspektif
hukum Islam perlu dikaji secara khusus dan komprehensif karena terjadi
distorsi pemahaman dan penyalahgunaan antara kedua terminologi tersebut:
terorisme dan jihad. Di satu sisi, pengamat terorisme terutama dari Barat
49
Luqman bin Muhammad Baabduh, Sebuah Tinjauan Syariat: Mereka adalah
Teroris: Bantahan Terhadap Buku Aku Melawan Teroris, (Malang: Pustaka Qaulan Sadida,
2005), h. 251
18
mengklaim bahwa kasus teror yang terjadi pada dekade terakhir dimotori oleh
kelompok fundamentalis Muslim, namun di sisi lain kelompok fundamentalis
Muslim melakukan aksi teror sebagai bentuk perwujudan doktrin jihad yang
menurut mereka mendapat legitimasi agama. Kajian ini mengelaborasi tentang
terorisme dan jihad dalam Islam (hukum Islam) untuk memberikan jawaban
terhadap klaim dari kedua pihak tersebut atau orang-orang yang memiliki
argumentasi yang sama dengan mereka untuk menjelaskan bahwa Islam bukan
agama teror.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu
membatasi permasalahan kajian ini pada pembahasan sekitar diskursus tentang
terorisme dan jihad dalam perspektif hukum Islam. Pembahasan ini sangat urgen
mengingat gencarnya argumentasi yang kadang-kadang mengidentikkan
terorisme dengan Islam (jihad), dan bahkan pelaku teror itu sendiri
memproklamirkan bahwa aksi teror yang dilancarkannya mendapat legitimasi
agama sebagai pengamalan doktrin jihad. Dari permasalahan pokok tersebut,
penulis rumuskan ke dalam dua sub masalah sebagai berikut:
a. Mengapa sebagian gerakan Islam mengaktualisasikan jihad dalam
bentuk kekerasan (teror)?
b. Bagaimana pandangan fuqaha tentang terorisme dan jihad?
19
ini
diharapkan
dapat
memberikan kontribusi
dalam
20
terdapat dalam pasal atau bab tersendiri. Biasanya kajian tentang terorisme
ditemukan pada pasal atau bab tentang pembegal (qtiu al-tarq atau quttu altarq), bab perampokan (al-hirbah), dan bab pemberontakan (al-baghyu) serta
selalu berkenaan dengan hukuman atas pelakunya. Di antara kitab-kitab klasik
tersebut adalah kitab al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah, karya Abdurrahman
al-Jazir, Kitab al-Umm karya Imm Muhammad Idris al-Syfi (w. 204 H), dan
Ab Muhammad Al ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya
al-Muhall, menguraikan antara lain persamaan persepsi para ulama klasik
yang mengidentikkan perampokan (qtiu al-tarq) dengan hirbah atau term
terorisme lainnya, tetapi ulama mazhab berbeda pendapat tentang had (sanksi)
yang akan diberikan bagi perampok.50 Kitab-kitab tersebut hanya menjelaskan
konsep qtiu al-tarq, al-hirbah dan al-baghyu secara tekstual baik dari segi
bentuknya, sanksi hukumannya dan mengacu pada pendapat ulama klasik serta
tidak mengembangkan pemahaman kontekstual dalam kaitannya dengan
terorisme.
Ulama kontemporer seperti Wahbah al-Zuhail dalam al-Fiqh al-Islm
wa Adillatuhu, Abdul Qadir Audah dalam al-Tasyr al-Jin al-Islm
Muqran al-Qnn al-Wad hanya menjelaskan informasi yang sama seperti
yang tertera dalam karya ulama klasik. Bahkan ada ulama kontemporer yang
secara ekstrem mengumandangkan perlunya jihad secara revolusioner dan ini
bisa dikategorikan sebagai bentuk terorisme bila disalahgunakan seperti
argumentasi Sayyid Qutb (w. 1966 M) dalam bukunya Malim f al-Tarq.
Menurutnya, kemunduran umat Islam lebih disebabkan oleh kolonialisasi dan
modernisasi Barat yang berorientasi pada materialisme dan hedonisme, karena
itu diperlukan upaya strategis untuk melawannya antara lain: Pertama,
masyarakat Islam perlu memiliki sense of crisis dan melakukan perubahan
fundamental dan radikal. Dalam hal ini, komunitas Muslim dibekali dengan
50
Abdurrahmn al-Jazir, al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V (Beirut: Dr alKutub al- Ilmiyah, 1420 H/1999 M), h. 360-361; Al-Imm Muhammad ibn Idris al-Syfi, alUmm, Juz IX, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1993 M), h. 280; Ab
Muhammad Al ibn Ahmad ibn Sad ibn Hazm, al-Muhall, Juz XI (T.t: Dr al-Fikr, t.th.), h.
300-319
21
pengetahuan tentang nilai-nilai dasar, moral dan etika Islam, sehingga jika
terjadi penguasaan (dominasi) atas manusia lainnya, maka harus dikembalikan
pada konsep dasar yakni hanya Allah yang berhak berkuasa. Kedua, jihad
dijadikan sebagai sarana strategis untuk mengeliminasi hegemoni dan dominasi
Barat. Karenanya, gerakan al-Ikhwan al-Muslimun pimpinan Sayyid Qutub
melakukan serangan secara menyeluruh dan sistematis terhadap dominasi
modernitas atas nama jihad dalam rangka membangun kembali Negara
Tuhan.51
Lain halnya dengan pemikir Islam kontemporer seperti Khaled Abou ElFadl, dalam bukunya The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists,
meluruskan pemahaman jihad dengan makna berperang. Menurutnya, jihad
dalam Alquran adalah segala komitmen yang berimplikasi pada perjuangan
mendapatkan ilmu pengetahuan, konsern terhadap manusia yang lemah
(termasuk manusia yang sakit dan miskin), membela kebenaran dan keadilan.
Jadi, jihad tidak semata-mata di artikan perang (holy war), sebab istilah perang
suci dalam bahasa Arab disebut dengan al-harb al-muqaddasah. Alquran
menggunakan
term
al-qitl
untuk
makna
berperang.
Alquran
juga
51
52
Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New
York: Harper San Francisco, 2005), h. 221-225
53
22
interpretasi
data
menggunakan
analisa
induktif
seperti
54
23
berkaitan
dengannya,
mengkategorisasi,
menggabungkan,
dan
Ketiga
mengemukakan
Terorisme
di
Era
Kontemporer.
24
tersebut
sekaligus
mengidentifikasi kemungkinan
terjadinya
BAB II
HUKUM ISLAM
Hukum Islam diyakini sebagai peraturan yang disyariatkan kepada
manusia yang mukallaf1 baik secara eksplisit dijelaskan dalam Alquran dan
hadis maupun hasil interpretasi atau ijtihad manusia yang berdasarkan kepada
kedua sumber tersebut. Karena kombinasi antara dua unsur yang signifikan
yakni syariat dan fiqh, maka hukum Islam memiliki nilai-nilai universal,
komprehensif dan fleksibilitas sehingga tidak akan mengalami keterbatasan dan
penyempitan fungsi secara aplikatif.
Pemahaman akan urgensi dan nilai-nilai hukum Islam belum terlalu
tersosialisasikan terutama terhadap komunitas yang kurang memahami hukum
Islam dan mungkin juga termasuk kalangan umat Islam sendiri. Implikasinya
adalah terjadi distorsi pemahaman bahwa hukum Islam itu tidak humanis, kejam
dan diskriminatif karena klaim seperti itu semata-mata melihat hukum Islam
dalam perspektif yang sangat sempit yaitu pada tataran hukum potong tangan
untuk jarimah pencurian, hukum rajam untuk penzina yang pernah menikah
(muhsan),2 dan bagian warisan dua bagi laki-laki dan satu bagi perempuan (2:1).
1
Term mukallaf berarti orang yang dibebani melaksanakan ajaran Islam karena telah
memenuhi syarat antara lain: dewasa, berakal sehat, merdeka, dan telah sampai kepadanya
ajaran Islam. Mereka yang termasuk dalam kategori ini akan mendapat sanksi jika tidak
melaksanakan ajaran Islam. Sebaliknya, mereka akan memperoleh ganjaran bila
melaksanakannya. Karena itu, bagi orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut belum bisa
digolongkan dalam mukallaf. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM,
Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 220
2
Istilah muhsan adalah lafal muzakkar (laki-laki), maksudnya laki-laki yang sudah
pernah menikah, sedang perempuan yang telah menikah disebut muhsanah. Ulama berbeda
pendapat mengenai hukuman bagi seseorang yang telah menikah baik laki-laki maupun
perempuan lalu berzina (melakukan hubungan badan luar nikah). Menurut Imam al-Hasan,
Ishak, ibn Munzir, golongan Zahiriyah, dan Syiah Zaidiyah hukuman pezina muhsan dan
muhsanah adalah jilid (dera) seratus kali dan rajam (ditanam setengah badan, kemudian
dilempari batu hingga mati). Sedang menurut Imam mazhab (Mlik, Syfi, Abu Hanfah, dan
Ahmad ibn Hambal) hukumannya cukup rajam tanpa jilid (dera). Lihat: Ahmad Wardi Muslich,
Hukum Pidana Islam, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 34-35. Demikian halnya pelaku
sodomi yang dilakukan baik muhsan maupun gair muhsan (belum menikah) menurut Mlik dan
Ahmad hukumannya rajam, sementara bagi Syafii, muhsan dihukum rajam dan gair muhsan
cukup didera seratus kali. Adapun pelaku lesbian, mayoritas pakar hukum mengatakan
hukumannya berupa tazir bukan hadd. Lihat: Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana
26
Oleh karena itu, pembahasan tentang segala aspek yang berkaitan dengan
hukum Islam termasuk sifat, prinsip-prinsip dan tujuannya sangat urgen untuk
mempresentasikan
hukum
Islam
secara
komprehensif,
paling
tidak
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999) h. 11
4
Kata hukum Allah hanya terdapat dua kali dalam Alquran yakni Q.S. al-Mumtahanah
(60): 10 ( demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu) dan
Q.S. al-Maidah (5): 43 ( mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya
terdapat hukum Allah). Lihat: Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz
al-Qurn al-Karm , Cet. III (al-Qhirah: Dr al-Hadts, 1991), h. 270
27
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), h. 1
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 1-
h. 14
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 1
28
sinonim dengan term agama11 dan makna ini sejalan dengan ayat-ayat Alquran
yang disebutkan di atas.12 Hal senada dikemukakan oleh Amir Syarifuddin
bahwa syariat adalah agama yang diturunkan Allah swt untuk umat manusia,
dengan mengelaborasi lebih jauh tentang makna syariat Islam. Menurutnya,
syariat Islam memiliki kesamaan dengan jalan air dan ini menunjukkan bahwa
orang-orang yang konsisten menjalankan syariat memiliki hati atau jiwa yang
bersih dan tetap eksis (dalam masyarakat) sebab Allah menjadikan air sebagai
sumber kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. 13 Sedangkan Ibn
Manzr dalam bukunya Lisan al-Arab, mengemukakan syariat berarti sumber
mata air sebagai tempat pengambilan air baik untuk diminum maupun untuk
pemanfaatan lainnya.14 Jadi, syariat secara etimologi mengarah pada jalan lurus
yang diperpegangi khususnya yang berkaitan dengan agama.
Secara terminologi, definisi syariat diberikan oleh Mann al-Qattn
yakni segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya,
baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.15 Pengertian ini
sejalan dengan definisi yang diberikan Faruq Nabhn yakni segala sesuatu yang
disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang meliputi beberapa aspek,
seperti akidah, akhlak, dan amaliah. Bahkan menurutnya, syariat sering
dikonotasikan dengan fiqh (norma-norma amaliah).16 Pandangan Faruq di atas
sejalan dengan pendapat Mohammad Akram Laldin bahwa syariat itu terdiri dari
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
14
Ab al-Fadl Jamluddin Muhammad ibn Mukrim ibn Mandzr, Lisn al-Arab, Juz
VIII, Cet. I (Beirut: Dr Sdir , 1990), h. 175
15
29
tiga aspek hukum yakni yang mengatur tentang akidah; akhlak; dan fiqh
(amaliah).17 Sedangkan menurut Mahmud Syaltut (w. 1963 M), syariat berarti
hukum-hukum yang ditetapkan Allah, atau dasar-dasar hukum yang digariskan
Allah untuk dijadikan pedoman bagi manusia dalam berinteraksi dengan Tuhan,
dengan sesama manusia, dengan alam dan dalam menata kehidupan.18
Dari ketiga definisi di atas, tampaknya pengertian yang dikemukakan
Syaltut lebih jelas dibanding dengan kedua definisi sebelumnya karena
mencakup ketentuan yang ditetapkan Allah atau hasil interpretasi dari ketentuan
tersebut yang berfungsi sebagai pedoman bagi manusia dalam berhubungan
dengan Tuhan, sesama manusia, alam, dan dalam menata kehidupan. Sedangkan
definisi yang diberikan Mann al-Qattn kurang mengakomodir hasil
pemahaman ulama (mujtahid). Adapun definisi Faruq Nabhan belum
membedakan antara syariat dengan fiqh secara jelas.19
Selain itu, definisi Syaltut lebih terinci mencakup ketentuan-ketentuan
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya yang direalisasikan dengan
melaksanakan kewajiban religius seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.
Selanjutnya hubungan manusia dengan sesamanya dalam bentuk tolongmenolong dan jual-beli. Adapun hubungan manusia dengan alam sekitarnya
diwujudkan dengan kewajiban manusia menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup sebagai sumber alam (natural resources) yang dapat diolah untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Berdasarkan ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa syariat
dalam arti luas dapat dipahami identik dengan agama yang mengandung semua
persoalan (akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah). Adapun syariat dalam arti
sempit berarti hukum amaliah. Pengkhususan makna syariat dengan hukum
amaliah karena agama pada prinsipnya adalah satu dan berlaku secara universal,
17
Mahmud Syaltut, Al-Islm Aqdat wa Syarah , Cet. III (T.tp: Dr al-Qalam, 1966), h.
12
19
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial , Cet V (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 3-4
30
sedangkan syariat dapat berbeda antara satu umat dengan lainnya.20 Oleh karena
itu, semua agama samawi yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul pada
hakekatnya sama yaitu mengajarkan risalah ketauhidan, akan tetapi dalam
tataran syariatnya dimungkinkan adanya perbedaan antara satu kerasulan dengan
kerasulan lainnya. Misalnya, syariat puasa yang dipraktekkan oleh Nabi Isa as
bersama umatnya (selama 40 hari) berbeda dengan syariat puasa yang
dilaksanakan Nabi Muhammad saw bersama umatnya (30/29 hari).
Istilah syariat erat kaitannya dengan term tasyr. Keduanya berasal dari
akar kata yang sama ( - -) . Kata tasyr merupakan masdar dari fiil tsults
mazd sewazan (setimbang) dengan tafl berarti membuat atau menetapkan
syariat.21 Oleh karena syariat merupakan hukum atau tata aturan, maka
penetapan hukum dan tata aturannya baik oleh Allah swt maupun Rasul-Nya
tentang perbuatan manusia disebut tasyr. Syariat adalah materi hukumnya
sedangkan tasyr penetapan materi tersebut.22 Mempelajari syariat berarti ingin
mengetahui hakekat dan rahasia yang terkandung dalam hukum syara yang
terdapat dalam Alquran dan hadis. Demikian halnya mengkaji tasyr
dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai metode dan tujuan
Allah menetapkan hukum bagi hamba-Nya.
b. Pengertian Fiqh
Secara semantis term fiqh ( ) berakar kata pada fiil ( - -)
berarti mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik.23 Kata dengan
segala derivasinya disebutkan sebanyak 20 kali dalam Alquran,24 19 di
20
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 2
21
Lihat: Ab al-Fadl Jamluddin Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr, Lisan al-Arab,
Juz VIII, Cet. I (Beirut: Dr Sdir , 1990), h. 175
22
Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad
Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1999), h. 13
23
Ab al-Husain Ahmad ibn Fris ibn Zakariya, Mujam Maqyi al-Lughah , Juz IV, Cet.
II (Mesir: Syirkat al-Maktabah wa al-Matbaah Mustafa al-Bb al-Halab wa Aulduh, 1971), h.
442
24
Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn al-Karm,
Cet. III (al- Qhirah: Dr al-Hadts, 1991), h. 666-667
31
antaranya berarti bentuk tertentu dari kedalaman paham dan kedalaman ilmu
yang dapat diambil manfaat darinya.25 Manfaat itu dapat berupa pencerahan
pengetahuan masyarakat terutama dalam bidang keagamaan. Sedangkan
terminologi fiqh berarti
25
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 2
26
Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (al- Qhirah: Dr al-Fikr al-Arab, 1958), h.
5; Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhael, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu, Juz. II, Cet. III
(Damsyiq: Dr al-Fikr, 1989), h. 410
27
Tjuddn Abd Wahb al-Subk, Jamu al-Jawmi (Mesir: Mustaf al-Bb al-Halab,
1937), h. 42
28
32
adalah wahyu baik yang matl (Alquran) maupun yang gair al-matl (alSunnah).30 Syariat (hukum Allah) yang tertuang dalam Alquran ada yang secara
eksplisit (tertulis jelas) dan implisit (tidak tertulis). Hukum Allah yang terdapat
dalam Alquran banyak yang mujmal (umum), 31 muhkam (jelas hukumnya)32 dan
ada pula yang masih samara-samar (mutasybih).33 Terhadap ayat-ayat yang
mujmal dan mutasybih serta hukum yang tidak tertulis dalam ayat Alquran
diperlukan pengkajian yang mendalam untuk menemukan hukum.
Meskipun Hadis Nabi telah menjelaskan ayat-ayat mujmal dan
mutasybih, namun penjelasan Nabi tersebut mungkin saja hanya relevan
dengan kondisi ketika itu sementara perkembangan dinamika masyarakat
berbeda sehingga memerlukan solusi hukum yang baru. Oleh karena itu
diperlukan kajian-kajian mendalam terhadap persoalan yang belum tersentuh
30
Jaenal Aripin dan Azharudin Latif, Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syari , Cet. I
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 8
31
Mujmal adalah lafal yang tidak bisa difahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran
dari syri (Allah dan Rasul-Nya), maksudnya diperlukan penjelasan lebih lanjut dari Alquran
dan hadis bukan penjelasan berdasarkan hasil ijtihad. Contoh lafal shalat masih mujmal sehingga
diperlukan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaannya dari hadis Nabi. Lihat: Ab Bakr
Ahmad ibn Ab Sahal al-Sarakhs, Usl al-Sarakhs, Juz I, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1993), h. 65; Bandingkan dengan Ab al-Mal Abdul Malik ibn Abdullah alJuwan, al-Burhn f Usl al-Fiqh, Juz I (al- Qhirah: Dr al-Ansr, t.th.), 419
32
Muhkm bermakna lafal yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas, jelas, dan
qat serta tidak memungkinkan untuk di-tawl, di-takhss, dan di-nasakh baik di era Nabi
maupun sesudahnya. Misalnya, Q.S. al- Nr (24): 35 ( dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu). Pengertian ayat ini sangat jelas, tegas, dan tidak mungkin diubah.
Menurut al- Sarakhs (w. 490 H) muhkm artinya menolak adanya upaya tawil dan naskh.
Lihat: Ab Bakr Ahmad ibn Ab Sahal al-Sarakhs, Usl al-Sarakhs, Juz I, Cet. I (Beirut: Dr alKutub al-Ilmiyah, 1993), h. 168
33
Mutasybih berarti lafal yang maknanya tidak jelas dan tidak ada penjelasan dari
syara baik Alquran maupun Sunnah sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang kecuali
orang-orang yang mendalam ilmunya. Seperti lafal huruf hijaiyah pada awal surat - -
Lihat: Ab Bakr Ahmad ibn Ab Sahal al-Sarakhs, Usl al-Sarakhs, Juz I, Cet. I (Beirut: Dr alKutub al-Ilmiyah, 1993), h. 169. Para ulama sepakat bahwa dalam Alquran terdapat ayat-ayat
mutasybih, akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tempat-tempatnya. Ibn Hazm (w.
456 H) menyatakan hanya dua tempat ayat mutasybih dalam Alquran yakni huruf hijaiyah pada
awal surat dan qasam (sumpah) Allah. Sementara ulama lainnya menambahkan ayat-ayat yang
mempunyai makna penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, seperti dalam Q.S. al-Fath (48): 10
... ( Tangan Allah di atas tangan mereka). Lihat: Ab Muhammad Al ibn
Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Andals, al-Ihkm f Usl al-Ahkm, Jilid VI (t.d.), h. 48
33
baik oleh Alquran maupun hadis. Hasil penemuan hukum secara ijtihadi dari
kedua sumber tersebut itulah yang dikategorikan fiqh.
Berdasarkan uraian mengenai syariat dan fiqh di atas, dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara keduanya sangat erat, tetapi memiliki perbedaan yang
signifikan diantaranya: Pertama, dari segi sumbernya, syariat merupakan produk
Allah sehingga kebenarannya bersifat mutlak karena tidak ada intervensi
manusia, sedangkan fiqh merupakan hasil penalaran dan pemikiran mujtahid
terhadap syariat sehingga validitasnya nisbi (relatif) dan memungkinkan
terjadinya kesalahan dan kekeliruan. Kedua, dari segi objek kajian, syariat
memiliki ruang lingkup yang lebih luas meliputi permasalahan yang berkaitan
dengan keyakinan (akidah) dan etika atau moralitas (akhlak), sementara fiqh
terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia. Ketiga, dari segi
eksistensinya, syariat dalam kaitannya dengan makna agama, hanya satu dan
tidak mengalami perubahan, sedangkan fiqh bervariasi misalnya dengan
munculnya berbagai mazhab fiqh sebagai bentuk perwujudan ijtihad manusia,
sehingga eksistensi fiqh memungkinkan berubah-ubah sesuai dengan kondisi
dan tuntutan sosial budaya masyarakat.
Penjelasan dari beberapa term di atas menunjukkan bahwa terjadi
sinkronisasi antara term syariat, fiqh dan hukum Islam. Untuk lebih jelasnya
term hukum Islam dielaborasi secara terinci juga. Hukum Islam (yang
merupakan transliterasi dari Islamic Law34 dalam konsep Barat) terdiri dari dua
rangkaian kata yakni hukum dan Islam. Untuk mendapatkan pemahaman tentang
pengertian hukum Islam, perlu diketahui terlebih dahulu arti kata hukum. Dalam
bahasa Arab kata berakar kata pada fiil ( - - )berarti menetapkan
atau memutuskan. 35 Kata al-hukm merupakan bentuk mufrad (tunggal) dan
jamaknya (plural) adalah al-ahkm. Terdapat kesulitan dalam merumuskan arti
34
Dalam literatur Barat, misalnya Joseph Schacht mendefinisikan hukum Islam sebagai
the totality of Allahs commands that regulate the life of every Muslim in all its aspects.
(keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya).
Definisi ini cenderung menyamakan hukum Islam dengan syariat. Lihat: Joseph Schacht, An
Introoduction to Islamic Law (Oxford: University Press, 1964), h. 1
35
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet. XIV
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 286
34
hukum, sehingga tidak didapatkan suatu definisi yang bisa disepakati oleh para
pakar hukum.36 Meskipun setiap definisi yang diberikan mengandung
kelemahan atau tidak sempurna, akan tetapi dianggap perlu memberikan batasan
tentang hukum untuk dapat dipahami. Secara sederhana hukum diartikan sebagai
seperangkat peraturan norma tentang tingkah laku manusia yang berlaku dalam
suatu masyarakat, baik tumbuh dan berkembang dengan sendirinya (living law)
maupun yang disusun oleh sekelompok masyarakat yang diberi wewenang
(eksekutif dan legislatif).37 Jika kata hukum dihubungkan dengan Islam, maka
hukum Islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
mengikat untuk semua yang beragama Islam.38 Pengertian tersebut mirip
dengan definisi yang diberikan Said Agil Husin Al-Munawar yakni hukum
yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nas Alquran dan alSunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal dan
relevan dengan setiap ruang dan waktu.39
Berdasarkan pengertian dan argumentasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud hukum Islam (Islamic Law) merupakan sinergis antara
hukum syariat dan hukum fiqh karena keduanya tercakup di dalamnya
(didasarkan pada petunjuk Alquran dan al-Sunnah). Lebih jelasnya, hukum
Islam tampaknya mengandung hukum syariat yang ditetapkan oleh Allah swt
dan Rasulullah saw melalui Alquran dan hadis kepada manusia yang telah
memiliki persyaratan untuk menjadi mukallaf, sementara hukum fiqh
merupakan hasil pengkajian dan analisis yang sistematis mujtahid (juga
36
Van Apeldoorn, seorang ahli hukum Barat mengatakan: No suchen die juristen any
definition zu ihren van rech (tidak ada definisi hukum yang dapat disepakati oleh pakar hukum).
Lihat: E. Utrech, Pengantar dalam Hukum Indonesia , Cet. IX (Jakarta: PT. Penerbitan
Universitas, 1966), h. 7
37
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, Cet. VIII (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 38
38
Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad
Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1999), h. 17-18
39
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet. I (Jakarta:
Penamadani, 2004), h. 6
35
Ibadah ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya dapat kekelompokkan ke dalam 5
kategori: a) ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, seperti berzikir, membaca Alquran; b)
ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, misalnya menolong orang lain;
c) ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, antara lain: puasa,
zakat, dan haji; d) ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti itikaf
dan ihram; dan e) ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, misalnya memaafkan orang yang
bersalah. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1997), h. 143
41
Term Jinyah merupakan bentuk mufrad dari jinyt berarti perbuatan dosa, maksiat
atau kejahatan. Dalam istilah fiqh, kata tersebut diartikan perbuatan yang dilarang oleh syara.
Perbuatan jinyah dapat menimbulkan jarmah (pidana) hudd, qiss diat, dan tazr terhadap
pelakunya. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih,
Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 141
43
Siysah, hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi
permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang universal
demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, meskipun pengaturan tersebut tidak ditegaskan
36
Ibdah mahdah atau khassah adalah ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah
ditetapkan oleh nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah swt seperti salat dan puasa. Lihat:
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1997), h. 144
45
Ibdah gair mahdah atau ammah merupakan semua perbuatan yang mendapatkan
kebaikan dan dilakukan dengan niat yang ikhlas kepada Allah swt misalnya makan, minum, dan
menyingkirkan duri dan semacamnya di jalan. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), h. 145
46
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, Cet. VIII (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 50.
37
jarmah
Jarmah Tazr adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman tazr. Secara
etimologi, tazr berarti tadb (memberi pelajaran), juga berarti al-raddu wa al-manu (menolak
38
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, Cet. VIII (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 51; Bandingkan dengan
pembagian hukum oleh Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia , Cet. II (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 24-25
53
Jarmah qiss dan diat yaitu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman qisas
atau diat. Hukuman ini merupakan hak manusia (individu). Karenanya hukuman bisa dimaafkan
atau digugurkan oleh korban atau keluarganya. Yang termasuk tindak pidana qiss dan diat yaitu
pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan,
penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja. Lihat: Muhammad Ab Zahrah, alJarmah wa al-Uqbah f al-Fiqh al-Islm (T.tp: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 380
39
40
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet. I (Jakarta:
Penamadani, 2004), h. 7
57
199
58
Dasar keuniversalan kerasulan Nabi Muhammad saw dapat ditemukan dalam Q.S.
Saba (34): 28 ( Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira
dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Lihat: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya
(Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 688
41
bedakan manusia atas dasar keturunan, bangsa, dan warna kulit. Islam
mengajarkan prinsip persamaan dan persaudaraan di antara manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah. Bahkan Alquran menegaskan bahwa jati diri manusia
ditentukan berdasarkan tingkat ketaqwaannya masing-masing.59
Selain itu, nilai keuniversalan hukum Islam dapat dilihat dari aspek
historisnya. Pada masa Rasulullah saw telah berhasil didirikan suatu
pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah. Ketika itu perundang-undangan
yang diterapkan adalah hukum Islam dan ternyata dapat mengakomodir
kepentingan warga negara non Muslim seperti kebebasan menjalankan agama
dan kepercayaannya. Selain itu para non Muslim yang terdiri dari orang-orang
Yahudi dan Arab dilindungi jiwa dan hartanya serta hak-hak lainnya dan
dibebaskan dari kewajiban membela Negara dari serangan musuh dengan
membayar jizyah60 yang dibebankan kepada mereka yang termasuk golongan
ahl al-zimmi 61 sebagai konsekuensi logis atas jaminan keamanan bagi mereka.62
Realitas ini menunjukkan bahwa sifat keuniversalan hukum Islam dapat
diaplikasikan dalam suatu tatanan masyarakat yang multilateral.
59
Dalam pandangan Tuhan, tidak ada perbedaan di antara manusia, sementara yang
dapat membedakannya hanyalah tingkat kedekatannya dengan Tuhan. Adapun perbedaan etnis,
bangsa, warna kulit, dan agama merupakan sunnatullah agar mereka dapat berinteraksi dan
sekaligus ber-fastabiqul khair dalam meraih keridaan Allah. Lihat: Q.S. al- Hujurt (49): 13
...
(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 847
60
Istilah jizyah berarti upeti atau pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari
orang-orang non Muslim (kafir) sebagai imbalan bagi jaminan keamanan mereka. Besarnya
jizyah sangat variatif, bagi yang kaya 48 dirham, yang kondisi ekonominya sedang dikenakan 24
dirham dan bagi yang fakir 12 dirham, (Jizyah tersebut dibayar setiap akhir tahun). Lihat: M.
Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002), h. 141-142
61
Kata Ahl al-Zimmi merupakan mufrat (tunggal) dari ahl al-zimmah yakni orang-orang
kafir yang berdomisili dalam suatu wilayah yang dikuasai Islam. Keamanan dan hak-hak religius
mereka dijamin dengan catatan mereka harus membayar pajak (jizyah). Lihat: M. Abdul Mujieb,
Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002), h. 9
62
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 50
42
63
Q.S. al-Baqarah (2): 275 menerangkan kebolehan jual beli dan larang memakan riba:
... ... (Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba).
Keharusan adanya kerelaan kedua belah pihak disebutkan dalam Q.S. al-Nisa (4): 29 ...
... ( janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang belaku dengan suka
sama suka di antara kamu). Adapun larangan jual beli pada waktu azan Jumat disebutkan dalam
Q.S. al-Jumah (62): 9 ... ... (apabila diseru
untuk menunaikan sembahyang pada hari jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jualbeli).
64
43
66
Lihat: Muhammad Said Mursi, Uzamu al-Islm Abra Arbaata Asyara Qarnan
min al- Zamn diterjemahkan oleh Khairul Amru Harahap dengan judul: Tokoh-tokoh Besar
Islam Sepanjang Sejarah, Cet. III (Jakarta: Pustaka al-Kauttsar, 2007), h. 337-346
67
Istilah QaulQadm dilekatkan pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan Imm Syfi pada
periode pertumbuhan madzhabnya di Baghdad. Diantara fatwa-fatwa tersebut yakni: hubungan
utang dengan zakat, orang yang berutang tidak dikenakan zakat; mengganti untuk mayit, wali
dapat melakukan puasa pengganti atas nama orang yang telah meninggal; penyaksian rujuk,
rujuk harus dinyatakan dihadapan para saksi. Lihat: Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum
Islam Dalam Mazhab Syafii, Cet. I (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h.198 -215
68
Adapun term QaulJadd adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan Imm Syfi pada
periode pertumbuhan madzhabnya ketika berdomisili di Mesir. Misalnya, orang yang berutang
tetap wajib mengeluarkan zakatnya tanpa membedakan jenis harta dan jenis utangnya;
mengganti puasa untuk mayit, harta si mayit harus dikeluarkan kaffarat berupa makanan bagi
orang miskin, satu mud untuk setiap hari puasa yang tertinggal; penyaksian rujuk, rujuk tidak
44
harus dinyatakan dihadapan para saksi. Lihat: Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam
Dalam Mazhab Syafii, Cet. I (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h.198 -215
69
Term illat berarti sifat yang terdapat pada hukum asal yang dipakai sebagai dasar
hukum untuk mengetahui hukum cabang. Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada
khamar yang dijadikan sebagai dasar keharaman khamar. Dengan illat itu dapat diketahui
keharaman setiap minuman yang memabukkan. Abd Wahab Khallaf, Ilm Usl al-Fiqh (T.tp.:
Maktabah al- Dawah al- Islmiyah, t.th.), h. 63
70
Q.S. al-Maidah (5): 3 secara eksplisit menerangkan sifat kesempurnaan hukum Islam:
... ... ( Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu ). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 157.
Ayat ini menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang terakhir diwahyukan Allah dan
sebagai penyempurna bagi agama-agama sebelumnya.
45
bersangkutpaut dengan salat (tata cara dan bacaan salat), tentang zakat, haji, dan
puasa. Aturan itulah yang biasa diistilahkan dengan ibadah mahdah. Sedangkan
konsep hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya
adalah peraturan mengenai pengelolaan harta benda (hak, obligasi, kontrak),
pernikahan dan perceraian, hubungan bilateral dan multilateral. Juga, hukum
Islam menetapkan acuan dasar dalam menjelaskan hubungan manusia dengan
lingkungannya seperti peringatan (warning) kepada seluruh umat manusia
bahwa akan terjadi degradasi lingkungan (environmental
degradation) jika
manusia tidak mampu memanage lingkungannya, dilukiskan dalam Q.S. alRm (30): 41. 71
Namun perlu ditegaskan bahwa hukum Islam hanya memuat aturan dan
konsep yang bersifat umum yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam
penetapan hukum terhadap persoalan-persoalan yang merupakan penjabaran dari
konsep dasar tersebut. Hal tersebut memberikan ruang gerak bagi manusia (para
mujtahid atau ilmuan) untuk menganalisa persoalan komunitas mereka dengan
menggunakan referensi konsep dasar itu. Pengelolaan lingkungan, misalnya,
diserahkan sepenuhnya kepada manusia terutama pakar lingkungan agar mampu
menawarkan beberapa solusi demi terwujudnya konsep Islam tersebut di atas
(mereformasi upaya kondusif yang ramah lingkungan). Salah satu usaha untuk
melestarikan lingkungan adalah mengeliminasi pemakaian bahan atau alat-alat
yang menyebabkan polusi, mereboisasi hutan untuk menghindari banjir dan
tanah longsor, serta mengelola sampah. Selain sifatnya yang sempurna, hukum
Islam juga memiliki sifat sistematis.
71
46
adalah
72
208-209
73
Lafal al-salt dibarengi dengan lafal al-zakt disebutkan sebanyak 20 kali. Lihat:
Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn al-Karm , Cet. III
(al-Qhirah: Dr al-Hadts, 1991), h. 524-525
74
Q.S. al-Nisa (3): 6; al-Anm (6): 141 dan al-Arf (7): 31 menjelaskan larangan
makan secara berlebih-lebihan.
Larangan makan secara berlebih-lebihan terdapat dalam tiga ayat:
dan al-Arf (7): 31
75
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h.51
47
76
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h.51
77
48
Bentuk solidaritas sosial non material dalam hukum Islam antara lain
tentang ajaran untuk memberikan dorongan moral atau nasehat dan bimbingan78
kepada orang yang membutuhkannya sehingga mereka tidak merasa bersalah,
berdosa, dan mungkin terisolasi jika mereka memiliki problema. Membuka
sarana konseling dalam rangka memberikan penguatan terhadap manusia
lainnya atau memberdayakan mereka dengan bimbingan dan arahan yang
konstruktif sehingga mereka berdaya dan mandiri itu juga merupakan misi
kemanusian yang diajarkan dalam Islam. Oleh karena itu, hukum Islam
menjunjung tinggi konsep kemanusiaan (humanity) dan kebersamaan.
Disamping konsern terhadap aspek kemanusiaan, hukum Islam juga
mengedepankan nilai-nilai moral dalam menetapkan hukum. Persoalan moral
bukan hanya dalam tataran retorika melainkan lebih dipentingkan pada
aplikasinya. Hal itu dapat dilihat misalnya kewajiban berlaku adil dan jujur
meskipun tehadap orang yang dibenci.79 Maksudnya, janganlah kebencian
terhadap seseorang menjadi penghalang dalam menegakkan keadilan dan
kejujuran dalam penerapan hukum Islam. Etika moral juga ditunjukkan dalam
hukum perang yakni larangan bagi pasukan perang untuk membakar atau
menghancurkan bangunan, merusak tanaman, membantai lawan secara keji,
membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam perang (warga sipil) seperti
kaum perempuan, anak-anak, lanjut usia, tenaga medis, dan rohaniawan.
Pengamalan etika semacam ini telah mengangkat derajat dan mengharumkan
nama baik pasukan perang muslim seperti yang diungkapkan oleh seorang
filosof dan sejarawan Prancis, Gustave Lebon yang dikutip dari Yusuf al-
78
79
49
Qardwi: Sejarah tidak pernah mengenal sang Penakluk yang lebih adil dan
santun kecuali Islam (kaum Muslimin).80
Dimensi akhlakiyah dalam hukum Islam tidak hanya ditunjukkan dalam
interaksi manusia dengan sesamanya, tetapi juga dalam hubungannya dengan
binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dalam hubungan dengan binatang misalnya,
manusia diwajibkan untuk memperlakukan binatang dengan baik, melindungi,
dan tidak menyakitinya. Bagi orang yang memiliki binatang seperti kucing dan
anjing sebagai hewan peliharaan diwajibkan untuk merawat, memberi makan
dan minum serta tidak menyiksanya. Dalam suatu riwayat disebutkan, tatkala
Rasulullah berjalan bersama serombongan berkuda, beliau melihat seekor unta
dibebani muatan yang melebihi hingga perutnya mengerut. Rasulullah berkata:
Takut dan waspadalah terhadap binatang yang tidak berdaya ini, tunggangilah ia
dengan baik dan berilah ia makanan.81
Berdasarkan keterangan di atas, tampak bagaimana hukum Islam
memperhatikan masalah moralitas manusia dalam berinteraksi dengan
sesamanya maupun dengan kehidupan dan alam sekitarnya. Manusia bebas
menggunakan segala fasilitas yang tersedia di bumi berupa sumber alam nabati
dan hewani tetapi juga harus memperhatikan etika (moral) seperti yang diatur
dalam hukum Islam.
5. Bersifat Taaqqul dan Taabbud
Syariat Islam meliputi bidang ibadah dan muamalah. Dalam bidang
ibadah terdapat nilai-nilai ) ( 82 atau irrasional. Artinya
manusia tidak boleh menggunakan rasionya dalam menilai (menambah atau
80
Yusuf Al-Qardw, diterjemahkan oleh Muhammad Zakki dan Yasir Tajid dengan
judul: Membumikan Syariat Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 121
81
Yusuf Al-Qardw, diterjemahkan oleh Muhammad Zakki dan Yasir Tajid dengan
judul: Membumikan Syariat Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 125
82
Perintah dan larangan yang bersifat taabbud terdpat dalam bidang ibadah dan pada
umumnya manusia tidak mampu mengetahui makna dan rahasia yang terkandung di dalamnya
kecuali hanya mengikuti contoh yang pernah dipraktekkan Nabi seperti mencium hajar aswad
tatkala tawaf. Berbeda halnya dengan masalah-masalah muamalah yang umumnya reasonable
(maqlat al-mana ), karena itu menjadi lapangan ijtihad.
50
83
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h.52
84
Term taaqqul berarti dapat dicerna oleh akal (reasonable). Artinya, manusia
khususnya mujtahid dapat menganalisa rahasia dibalik suatu perintah atau larangan yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Di antara obyek hukum Islam yang sifatnya taaqqul
umumnya dalam bidang muamalah, karenanya aspek ini merupakan obyek kajian ijtihad.
85
Q.S. al-Baqarah (2): 282 menjelaskan perintah pembukuan ketika terjadi transaksi
utang piutang: ... ( Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
51
Kebutuhan yang sifatnya darriyat yakni sesuatu yang mutlak adanya bagi kehidupan
manusia untuk mencapai kemaslahatan. Tanpa adanya hal tersebut, maka kemaslahatan sulit
terwujud, sebaliknya kemungkinan kemudaratan akan muncul. Hal-hal yang sifatnya darriyat
dalam kehidupan manusia dikenal dengan istilah al-darriyt al-khamsah yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Lihat: Ab Ishq al-Sytib, al-Muwfaqt f Usl al-Syarat, Juz II
(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 7
87
Kebutuhan hjiyat (sekunder) adalah sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka
kemudahan dan kenyamanan hidup. Apabila hal itu tidak terpenuhi, kehidupan manusia tetap
eksis namun akan mengalami kesusitan. Lihat: Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (alQhirah: Dr al-Fikr al-Arab, 1958), h. 371
88
Kebutuhan tahsiniyat (komplementer) yaitu sesuatu yang diperlukan dalam norma dan
tatanan hidup. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, tidak berdampak pada keharmonisan
kehidupan dan juga tidak berpengaruh pada kenyamanan hidup hanya saja bertentangan dengan
akal sehat dan naluri yang suci. Lihat: Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (al-Qhirah: Dr
al-Fikr al-Arab, 1958), h. 372
89
Ab al- Mal Abd Malik ibn Abdillah al-Juwan, al-Burhn f Usl al-Fiqh, Juz I
(al-Qhirah: Dr al-Ansr, t.th.), h.478
52
90
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 67
91
53
Kedua,
dalam ayat-ayat Alquran yang membahas tentang aspek hukum hanya sedikit,93
itupun pada umumnya dalam bentuk yang mujmal (global), yakni hanya
memberi garis besarnya saja tanpa perincian. Khusus menyangkut ibadah,
meskipun pada umumnya disebutkan pokok-pokoknya saja, namun dijelaskan
secara rinci oleh Rasulullah saw dalam hadis. Lain halnya dalam bidang
muamalah (kemasyarakatan) yang lebih banyak jumlahnya dan hanya sebagian
kecil yang dinyatakan secara tegas dan rinci. Prinsip ini sangat logis karena jika
ayat-ayat hukum sudah terinci akan menjadi kaku dan manusia sangat terikat
serta tidak dapat berkembang mengikuti perubahan zaman dan kehidupan
masyarakat yang semakin kompleks. Selain itu, ayat-ayat hukum di bidang
muamalah pada umumnya diisyaratkan dengan hikmah dan illat (sebab)
hukumnya. Dengan demikian ayat-ayat hukum tersebut senantiasa terbuka bagi
kajian-kajian ilmiah melalui berbagai metode ijtihad sepertiijm, qiys, istihsn,
dan istislh (maslahat mursalah).94 Melalui metode ijtihad tersebut berbagai
problema hukum yang timbul seiring dengan perkembangan kehidupan manusia
dapat diselesaikan.
Ketiga, ( penetapan hukum secara bertahap). Salah satu
tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan ketentraman manusia, dan
dalam
rangka
mencapai
tujuan
tersebut
penerapan
hukum
Islam
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet. I (Jakarta:
Penamadani, 2004), h. 24
54
terhadap peraturan yang baru. Sebagai ilustrasi dari penetapan hukum secara
bertahap yakni ayat yang berhubungan dengan keharaman minuman keras
(khamar). Keharaman khamar dan perjudian tidak dinyatakan secara tegas dalam
satu ayat sekaligus tetapi melalui prosedur yakni dengan tiga tahap. Ayat
pertama (Q.S. al-Baqarah (2): 21995 menjelaskan tentang manfaat dan mudarat
yang terdapat dalam mengkonsumsi khamar, tetapi lebih lanjut ayat itu
menyatakan bahwa efek negatifnya lebih banyak dari pada manfaatnya.
Kemudian pada tahap kedua (Q.S. al-Nisa (4): 43 96 menyangkut larangan
menunaikan salat dalam keadaan mabuk. Selanjutnya tahapan ketiga (Q.S. alMaidah (5): 9097 menegaskan tentang keharaman khamar. Tahapan-tahapan
penetapan hukum khamar itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa khamar
merupakan kebiasaan masyarakat Arab secara turun temurun sehingga sulit
dieliminir secara drastis.
Tampaknya Alquran memahami kondisi obyektif komunitas tersebut
sehingga diawali dengan suatu pernyataan bahwa khamar itu mengandung
manfaat (kegunaan) dan mudarat (bahaya) tetapi bahayanya lebih banyak.
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa Alquran memberikan peringatan
(warning) terhadap dampak negatif (bahaya) khamar lebih signifikan sekalipun
di sisi lain ada juga kegunaanya. Peringatan itu memberi peluang bagi pengguna
khamar termasuk masyarakat secara keseluruhan untuk memikirkan dan
mengevaluasi kebiasaan tersebut sekaligus memberikan kebebasan manusia
untuk tetap melaksanakan kebiasan tersebut atau tidak. Setelah itu, Alquran
95
Tahap kedua pelarangan khamar dalam Alquran yakni Q.S. al-Nisa (4): 43
... ( Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk).
97
55
98
Syamsuddn Ab Abdillh Muhammad ibn Ab Bakr al-Marf bi ibn Qayym alJauziyah, Ilm al-Muwaqqin an Rabb al-lamn , Juz III (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiah,
1996), h. 11
56
Ab al-Mal Abd Malik ibn Abdillah al-Juwain, al-Burhn f Usl al-Fiqh, Juz I
(Kairo, Dr al-Ansr, t.th.), h. 295
100
57
102
Diat adalah sejumlah harta yang diberikan sebagai ganti kerugian bagi tindakan
seseorang membunuh atau melukai orang lain. Hal-hal yang mewajibkan diat yaitu: jika wali
atau ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh; pembunuhan yang tidak disengaja; dan
pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan
Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 60
103
Kaffarat merupakan denda atau tebusan yang diwajibkan dalam Islam bagi pelaku
kesalahan atau dosa. Adapaun yang menimbulkan kaffarat antara lain: melanggar sumpah; tidak
melakukan nazar; menzihar isteri, mengila isteri; membunuh orang Islam tanpa sengaja;
berhubungan suami isteri di siang hari bulan Ramadan; melanggar larangan dalam haji atau
meninggalkan sesuatu yang diperintahkan dalam haji. Lihat: : M. Abdul Mujieb, Mabruri
Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 149
104
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet XII (Bandung: Mizan, 2001), h. 403
58
pentingnya
pemeliharaan
akal
antara
lain
pelarangan
105
106
Muhammad Ab Zahrah, Usul al-Fiqh (T.tp.: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 367368; Bandingkan dengan: Abdul Wahhb Khallf, Ilmu Usul al-Fiqh, Cet. VIII (T.tp.:
Maktabah al-Dawah al-Islmiyah, 1990), h. 200-202
59
107
Qazaf adalah tuduhan zina terhadap seseorang secara eksplisit maupun implisit.
Lihat: Abd ar-Rahmn al-Jazar, al-Fiqh al al-Mazhib al-Arbaah, Juz V, Cet. I (Beirut: Dr
al-Fikr, t.th.), h. 212
108
Abdul Wahhb Khallf, Ilmu Usl al-Fiqh, Cet. VIII (T.tp.: Maktabah al-Dawah
al-Islmiyah, 1990), h. 200
60
(mudrabah), serta
mengemukakan kaedah umum dalam aqad seperti aqad pesanan, jual beli secara
wafa, pemesanan pembuatan hasil kerajian atau industri dan penggarapan
pertanian dan pengairan untuk memenuhi kebutuhan primer manusia. Demikian
juga dalam bidang pidana, Islam memberikan alternatif atau kemungkinan tidak
terlaksananya hukuman qisas terhadap pembunuh jika pihak keluarga korban
memaafkan pembunuh, dan hukumannya digantikan dengan membayar denda
(diyat).109 Contoh lain kebutuhan sekunder adalah larangan transaksi jual beli
khamar sebagai upaya preventif meminimalisasi penggunaan khamar.110 Jadi,
kebutuhan sekunder itu sebagai upaya untuk memudahkan kelancaran pelaksaan
kebutuhan yang bersifat primer.
Tujuan hukum Islam yang terakhir adalah pemenuhan kebutuhan yang
bersifat pelengkap (tahsniyt) yang berorientasi pada pemenuhan yang
dilandasi oleh norma, tradisi dan kebiasaan yang terjadi dalam suatu masyarakat
untuk memperoleh kenyamanan, ketertiban dan keindahan manusia. Pensucian,
pembersihan diri dan penggunaan pakaian yang baik dan bersih sebelum
pelaksanaan salat dianjurkan dalam Islam. Sebaliknya, larangan penipuan,
pemalsuan, sifat rakus dan kikir serta kesewenang-wenangan sebagai bentuk
tahsniyt dalam bidang muamalah. Adapun larangan mutilasi, pembakaran
109
Abdul Wahhb Khallf, Ilmu Usl al-Fiqh, Cet. VIII (T.tp.: Maktabah al-Dawah alIslmiyah, 1990), h. 201; Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (T.tp.: Dr al-Fikr al-Arab,
t.th.), h. 371
110
61
mayat dan pembunuhan terhadap orang yang tidak memiliki senjata termasuk
tahsniyt dalam lapangan pidana.111
Dengan demikian, darriyt itu suatu kebutuhan yang fundamental dan
kalau diabaikan akan mengancam eksistensi kelima kebutuhan yang terdapat
dalam kebutuhan primer, tetapi dalam hjiyt, jika kebutuhan diabaikan tidak
akan mengancam eksistensi darriyt hanya saja akan mempersulit dan
mempersempit kehidupan manusia. Tahsniyt dikatakan sebagai pelengkap
(komplementer) sebab kalau tidak dilaksanakan tidak akan mengancam
eksistensi darriyt dan tidak mempersulit manusia tetapi sebagai bentuk etika
atau kepatutan saja. Ilustrasi yang komprehensif tentang kelima pokok
kemaslahatan disertai dengan penjelasan tentang kebutuhan darriyt, hjiyt
dan tahsniyt dari masing-masing persoalan tersebut dikemukakan oleh al-Bt
dalam bukunya Dawbit al-Maslaht fi al-Syariat al-Islmiyyt .112
Memelihara agama (hifz al-dn) ditinjau dari sudut urgensinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga tingkatan: Pertama, pada level darryat (primer)
misalnya melaksanakan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan demi menjaga
agama sebab jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan akan dapat mereduksi
keberagamaan seseorang. Kedua, tingkat hjiyatnya (sekunder) adalah
menghindari kesulitan dalam melaksanakan perintah puasa tersebut seperti
adanya keringanan mengkada puasa bagi musafir. Pada prinsipnya meskipun
ketentuan ini diabaikan, tidak akan berdampak pada eksistensi agama, hanya
saja kemungkinan menyulitkan bagi orang yang sedang melakukan perjalanan.
Ketiga, pada tingkat tahsiniyat yakni unsur pelengkap dalam melaksanakan
kewajiban agama dengan berpedoman pada etika moral yang berlaku dalam
masyarakat. Contoh, menghindari perkataan yang dapat menyinggung perasaan
orang lain.
111
Abdul Wahhab Khallf, Ilmu Usl al-Fiqh, Cet. VIII (T.tp.: Maktabah al-Dawah alIslmiyyah, 1990), h. 203; Muhammad Ab Zahrah, Usl al-Fiqh (T.tp.: Dr al-Fikr al-Arab,
t.th.), h. 372
112
62
63
113
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 130; Mahar mitsl adalah mahar yang diukur sepadan dengan mahar yang pernah
diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dan tetangga sekitarnya dengan mengingat misalnya
status sosial dan keturunan. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus
Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 185
114
Jual beli salam dilakukan dengan cara menjual sesuatu yang barangnya belum ada,
tetapi penjual cukup menyebutkan sifat dan kualitas barang. Setelah terjadi kesepakatan kedua
belah pihak mengenai misalnya harga barang, kualitas, dan tempat penerimaan barang, pembeli
menyerahkan sejumlah uang sebagai harga barang sedang penjual memberikan bukti
pembayaran berupa kwitansi. Dalam hal ini unsur terpenting adalah saling kepercayaan antara
penjual dan pembeli. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus
Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 308
115
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 131
64
BAB III
TERORISME DI ERA KONTEMPORER
di kalangan kelompok-kelompok
yang berbasis
keagamaan seperti Islam, Kristen, Yahudi, dan Sikh, tetapi juga menjadi
perbincangan dalam kaitan dengan politik dalam suatu pemerintahan. Kajian
teorisme secara global sangat krusial sebagai acuan dalam pembahasan pada
bab-bab selanjutnya dalam disertasi ini. Dalam bab ini, kajian tentang
pengertian, kriteria dan bentuk-bentuk terorisme, lintasan sejarah terorisme,
faktor-faktor terjadinya terorisme serta terorisme dalam konteks dunia modern
menjadi kajian yang utama sehingga dapat ditarik benang merah keterkaitan atau
tidaknya isu terorisme dengan jihad dalam perspektif hukum Islam.
65
66
1. Pengertian Terorisme
Walaupun wacana tentang terorisme telah muncul sejak ribuan tahun
silam dan menjadi legenda dunia, 1 akan tetapi hingga kini belum ada satu
kesepakatan dari semua pihak tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan
terorisme, baik dalam hukum internasional atau berbagai organisasi yang
berskala internasional maupun regional. Kendati demikian, para pakar politik,
hukum dan sosiologi mengemukakan rumusan istilah terorisme sesuai dengan
persepsi dan latar belakang ilmunya. Akibatnya, perbedaan persepsi dan visi
dalam memandang masalah ini melahirkan keragaman terminologi terorisme.
Persoalan berikutnya adalah intervensi subyekivitas kepentingan masing-masing
pihak ketika mendefinisikan term terorisme. Selain itu sebagian pihak ada yang
merumuskan pengertian terorisme dalam makna sangat luas dan ada pula yang
dalam arti sempit. 2 Dengan demikian, adanya perbedaan kepentingan dan sudut
pandang masing-masing negara dalam memahami terorisme mengakibatkan
sulitnya merumuskan suatu definisi yang dapat disepakati oleh semua pihak.
Dalam rangka menyatukan visi dan misi mengenai isu terorisme,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
melalui
dewan
khusus
terorisme
Praktek aksi tetorisme telah eksis sejak kekaisaran Romawi, masa kekuasaan Tiberius
(14-37 M) dan Caligula (37-41 M) dengan cara membunuh, mengintimidasi, mengasingkan, dan
merampas harta milik para oposan. Lihat: Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005), h. 1
2
67
perbedaan tersebut untuk melahirkan suatu kesepakatan, namun masih jauh dari
harapan. Ketidakmampuan PBB melahirkan definisi terorisme membuktikan
betapa lemahnya pimpinan PBB.
Bervariasinya rumusan makna terorisme yang diberikan oleh berbagai
kalangan disebabkan beberapa faktor. Menurut al-Juhani, tidak adanya rumusan
terorisme yang dapat disepakati oleh bangsa-bangsa di dunia disebabkan antara
lain banyaknya perbedaan pendapat mereka dalam membicarakan persoalan ini.
Selain itu, perbedaan cara pandang mereka dalam menyikapi suatu tindakan
teror, sebagian mereka menganggapnya benar-benar sebuah tindakan teror,
sedang yang lain justru melihatnya sebagai sesuatu yang dapat digolongkan
justifiable (dibenarkan), yakni tidak dikategorikan sebagai tindakan terorisme.
Selanjutnya, perbedaan juga disebabkan adanya istilah-istilah lain yang
mempunyai makna sangat dekat dengan istilah terorisme misalnya istilah
kekerasan politik dan kejahatan terorganisasi. Persoalan yang turut memberikan
kontribusi perbedaan pemahaman tentang terorisme adalah adanya perbedaan
motivasi, tempat, waktu dan budaya. 4
Argumen yang sama juga dikemukakan Ahmad Jalal Izuddin.
Menurutnya, perbedaan pemaknaan konsep terorisme diakibatkan karena
beberapa faktor antara lain: Pertama, perbedaan persepsi tentang suatu tindakan
yang dilakukan perorangan atau kelompok apakah dianggap legal dan bisa
dibenarkan atau tidak. Kedua, perbedaan tentang tujuan dan cakupan yang harus
dimasukkan dalam rumusan yang disepakati. Persoalan ini disebabkan
perbedaan kepentingan tiap negara. Ketiga, kemiripan berbagai tindak kekerasan
politik dengan aksi teror, sehingga sulit membedakan antara tindakan teror,
kejahatan politik, kriminal terorganisasi dan kediktatoran suatu pemerintah.
Keempat, kerancuan pemahaman tentang makna teror sebagai sebuah aksi
dengan jenis tindak kekerasan lainnya yang juga mempunyai hubungan erat
dengan konflik-konflik yang bernuansa politik. Hal tersebut berimplikasi pada
kesulitan membedakan antara gerakan separatis, pembangkang atau gerakan
Ali Fiz al-Juhani, Al-Fahm al-Mafrd li al-Irhb al-Marfd , Cet. I (Riyad: t.tp, 1421
H/2001 M), h. 14
68
aksi
terorisme,
misalnya
tindakan
kriminal
biasa
walaupun
69
tindak kekerasan politik, aksi teror, dan kriminal terorganisasi sehingga sulit
membedakannya. Pada intinya, sulitnya memformulasikan definisi terorisme
disebabkan karena tidak ada kriteria yang dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam merumuskan definisi terorisme.
Terlepas dari kesulitan-kesulitan mendefinisikan terorisme, terdapat
sejumlah definisi antara lain:
Secara etimologis, terorisme memiliki beberapa pengertian yakni:
-
A.S. Hornby, Oxford Advanced Dictionary of Current English (Oxford Drill: Oxford
University Press, 1987), h. 892
10
B.N. Marbun, Kamus Politik, Edisi Baru (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h.
530
11
12
T.P. Thomas Thornton, Terror as a Weapon of Political Agitation , Cet. I ( T. tp: t.p,
1964), h. 73-74
70
14
Soderberg bermaksud menjelaskan aksi teror yang dilakukan kelompokkelompok oposisi untuk menekan pemerintah agar tujuan yang mereka inginkan
dapat terwujud. Namun jika pertentangan itu terjadi antara dua kubu meskipun
non-militer maka ia tidak lagi menyebutnya sebagai tindakan teror melainkan
sebuah peperangan. 15 Pengertian Soderberg ini mirip dengan pemikiran
Thornton di atas, hanya saja sifatnya terbatas pada tindakan kekerasan yang
ditujukan untuk mengganggu kebijakan pemerintah secara politis. Adapun
tindak kekerasan yang dimaksud mencakup semua bentuk kekerasan baik yang
dilakukan seseorang atau beberapa orang dan berdampak pada pihak lain baik
secara psychic (kejiwaan) maupun physic (jasmani) misalnya intimidasi,
menakut-nakuti, penindasan, pembungkaman lembaga pers, pengancaman, dan
pembunuhan dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme.
Terminologi lain tentang terorisme dikemukakan oleh Majma al- Buhts
al-Islmiyah al-Azhar al-Syarf (Organisasi Pembahasan Fiqh dan Ilmiah alAzhar) seperti yang dikutip al-Sahamran yaitu tindakan yang dapat
mengganggu stabilitas keamanan masyarakat, kepentingan umum, kebebasan
dan kemanusiaan serta merusak harta dan kehormatan karena ingin berbuat
13
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme dalam Tabrani Sabirin, (ed), Menggugat
Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 70
14
71
72
2. Kriteria Terorisme
Kriteria yang dimaksud disini adalah unsur-unsur yang terdapat dalam
suatu perbuatan sehingga tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana terorisme. Unsur-unsur tersebut dapat ditemukan dalam definisi yang
telah dikemukakan sebelumnya misalnya, adanya unsur kesengajaan dalam
bertindak dan mengandung tujuan politis
atau
aspek lainnya
yang
19
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15&16 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidanna Terorisme & Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa
Peledakan Bom di Bali tanggal 12-10-2002 Beserta Penjelasannya (Bandung: Citra Umbara,
t.th.), h. 20
73
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme dalam Tabrani Sabirin, (ed), Menggugat
Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 71
74
75
3. Bentuk-Bentuk Terorisme
Menurut Wilkinson, terorisme terbagi dalam tiga tipe (bentuk) yakni
terorisme revolusioner (revolutionary terrorism), terorisme sub-revolutioner
(sub-revolutionary terrorism) dan terorisme represif (repressive terrorism).
Dalam pandangan Wilkinson, terorisme revolusioner dan sub revolusioner
dilakukan oleh warga sipil, sedangkan terorisme represif dilakukan oleh negara.
Perbedaan antara terorisme revolusioner dan sub revolusioner adalah dari segi
tujuannya. Terorisme revolusioner bertujuan untuk merubah secara totalitas
tatanan sosial dan politik yang sudah ada, tetapi terorisme sub revolusioner
bertujuan untuk mengubah kebijakan atau balas dendam atau menghukum
pejabat pemerintahan yang tidak sejalan. 22 Berdasarkan pembagian ini maka
penulis akan membagi bentuk terorisme dalam dua hal ditinjau dari pelakunya
yakni sipil dan negara. Jadi hanya terfokus pada terorisme yang diperankan oleh
individual atau kelompok dan negara.
Terorisme yang dilakukan secara individu atau kelompok adalah aksi
teror tersebut biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dari kelompok
tertentu baik itu ditujukan pada komunitas tertentu ataupun negara yang
berdaulat. Aksi teror yang diperankan kelompok atau individu atas nama
kelompok suatu organisasi dapat ditemukan di berbagai negara dan agama
dengan tujuan politis ataupun agama. Hal ini terjadi misalnya terorisme yang
dilakukan kelompok radikal agama Hindu, Sikh, di India, sebagai ancaman
ditujukan kepada pemerintahan India dan menuntut pendirian pemerintahanan
22
Grant Wardlaw, Political Terrorism (New York: Cambridge University Press, 1986),
h. 14-15
76
otonomi.23 Rev. Paul Hill (kelompok ekstrimis Kristen) menembak mati Dr.
John Britton dan pengawal pribadinya di klinik aborsi di Pensacola Florida
sebagai bentuk penolakan terhadap praktek aborsi dan mendukung pro-life. 24
Pengeboman di Bali, Mesir, Riyad, gedung WTC tahun 1993 dilakukan oleh
kelompok radikal Muslim dan salah satu tujuannya adalah melawan
kolonialisasi dan hegemoni Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya).
Sedangkan terorisme negara ( state terrorism) adalah aksi teror yang
dilakukan oleh pemerintah, mengatasnamakan atas dasar hukum, ditujukan baik
terhadap kelompok oposisi yang ada dibawah pemerintahannya maupun
terhadap kelompok di wilayah lainnya. 25 Terorisme negara bersifat sistematis
untuk menekan, mengintimidasi, membatasi bahkan mengeliminasi kelompok
oposisi dan atau yang tidak sejalan dengan kebijakan mereka. Biasanya
terorisme negara memberikan argumentasi bahwa aksi teror yang dilakukannya
adalah legal karena pemerintah mengacu atas perundang-undangan yang mereka
undangkan. 26 Oleh sebab itu, negara yang bersangkutan tidak akan pernah
mengklaim dirinya sebagai teroris. Misalnya, pemerintahan Perancis (17931794) melakukan aksi pembunuhan dan menjatuhkan hukuman terhadap para
pembangkang pemerintahan, yang menyebabkan korban yang tidak sedikit.
Penguasa lainnya seperti Adolf Hitler di Jerman, membantai orang Yahudi,
kaum gipsi, homoseksual, saingan politik dan musuh-musuh negara lainnya.
Selanjutnya Stalin di Uni Soviet, Pol Pot di Kamboja melakukan pembantaian,
23
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 74-78
24
Mark Jurgensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious
Violence (California: University of California Press, 2001), h. 14
25
Thomas Sunaryo menamakan state terrorism dengan kekerasan struktural yakni
kekerasan atau aksi teror yang dimainkan oleh aparatur pemerintahan dalam suatu negara. Lebih
jauh lihat: Thomas Sunaryo, Aspek Sosio-Kultural Pencegahan Terorisme, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol. 33 No. 2, Juni 2003, h. 308-310
26
Donny Gahral Adian, Mencegah Lahirnya Terorisme Negara: Indonesia Pasca Bom
Bali, Analisis CSIS, Vol. 32, No. 1, 2003h. 82
77
30
27
Rikard Bagun, Terorisme, Gejala Global ?, dalam Farid Muttaqin & Sukidi (ed),
Teroris Serang Isla: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Babak Baru Benturan Barat-Islam , Cet.
I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 34
28
Haitsam al-Kailani, Al-Irhb Yuassisu Daulat Namdzaj Isril diterjemahkan oleh
Muhammad Zainal Arifin dengan judul: Siapa Teroris Dunia , Cet. I (Jakarta: CV. Pustaka alKautsar, 2001), h. 30
29
Aksi tersebut dilakukan dengan alasan keamanan Nasional ( state security). Lihat:
Donny Gahral Adian, Mencegah Lahirnya Terorisme Negara: Indonesia Pasca Bom Bali,
Analisis CSIS, Vol. 32, No. 1, 2003, h. 80-81
30
T. Yulinti, Terorisme yang Disponsori Negara, dalam Farid Muttaqin & Sukidi
(ed), Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Babak Baru Benturan BaratIslam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 71
78
pemerintahan
Iran. 31
State-sponsored
terrorism
umumnya
bersenjata
yang
melancarkan
gerakan
revolusi
melawan
T. Yulinti, Terorisme yang Disponsori Negara dalam Farid Muttaqin & Sukidi (ed),
Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Babak Baru Benturan Barat-Islam ,
Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 71-72
32
Haitsam al-Kailani, Al-Irhb Yuassisu Daulat Namudzaj Isrl, diterjemahkan oleh
Muhammad Zainal Arifin, dengan judul: Siapa Teroris Dunia , Cet. I (Jakarta: CV. Pustaka alKautsar, 2001), h. 29
79
33
Agresi militer
34
Aksi terorisme yang berkelanjutan itu diduga mendapat restu dari Amerika
Serikat, sebab Amerika hanya mampu bersuara mengutuk tindakan Israel tanpa
berpartisipasi dalam membela perjuangan warga Palestina. Keengganan
Amerika itu boleh jadi mereka tidak memiliki hubungan politik yang urgen
dengan Palestina, dan bergandengan tangan dengan Israel.
Kalau saja Amerika memiliki kepentingan politis, maka sebagai polisi
dunia mereka akan segera melakukan ekspansi besar-besaran sekalipun
menghabiskan dana, dan mengorbankan manusia yang tidak sedikit. Lain halnya
dengan invansi militer Amerika ke Irak pada tahun 2003, ditandai dengan
tumbangnya Presiden Saddam Husain dan hancurnya peradaban Bagdad,
menunjukkan begitu besarnya unsur politis Amerika. Dasar utama penyerbuan
tersebut, menurut versi Bush, adalah membasmi jaringan terorisme dan
menyelamatkan rakyat Irak dari kediktatoran menuju negara yang demokratis.
Jadi terorisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok dan negara
tetap saja dikategorikan sebagai terorisme terlepas dari perbedaan antara kedua
33
80
aktor teroris tersebut. Aksi teror yang dilakukan individu atau kelompok tidak
memperoleh legitimasi hukum, tetapi aksi teror atas nama negara biasanya
negara atau pemerintah tersebut menggunakan perangkat-perangkat hukum yang
ada dalam negara itu untuk melegitimasi aksi mereka seperti invasi Amerika di
Irak dengan dalil memberantas terorisme. Pembahasan selanjutnya akan
menganalisis lintasan sejarah terorisme untuk mengidentifikasi kapan dan
dimana saja aksi teror itu eksis dalam konteks historis.
Xenophon
(430-349
SM)
mengungkapkan
bahwa
penggunaan
35
Robert Mc. Henry, (ed.), The New Encyclopaedia Britannica , Jilid 11, Edisi ke-15
(Chicago: t.p, 1993), h. 651; Maj. Gen. S Mohindra, AVSM (Retd), Terrorism: A Historical
Heritage, Terrorist Games Nations Plays (New Delhi: Lancer Publisher Pvt. Ltd, 1993), h. 16
36
Lihat: Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 1.
Bandingkan dengan Abu Ridho, Terorisme, Cet. I (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h. 129
81
Ide
Darwin tersebut
37
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme, dalam Tabrani Sabirin, (ed), Menggugat
Terorisme, Cet. I (Jakarta: CV. Karsa Rezeki, 2002), h. 72-73. Sekte Assassin sering juga
disebut al-Hasyasyin, dalam bidang politik kelompok ini berafiliasi kepada Daulah Fatimiyah di
Mesir. Lihat: Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara, Dunia Islam dalam Benturan Kepentingan dan
Peradaban, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed), Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia ,
Cet. I (Semarang: SR-Ins Publishing, 2005), h. 470. Khawarij berasal dari kata kharaja yang
berarti keluar (keluar dari kelompok Ali bin Abi Thalib), ada juga yang mengatakan bahwa kata
khawarij itu didasarkan pada pengertian dalam surat Q.S. al-Nisa (4): 100 Barang siapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian
meninggal, maka sesungguhnya is telah memperoleh pahala di sisi Allah. Keterangan lebih
lanjut tentang Khawarij lihat: Ab Zahrah, Trkh Madzhib al-Islmiyah (Mesir: Dr al-Fikr
al-Arab, 1989), h. 60-124
38
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997), h. 49
39
Harun Yahya, Islam Denounces Terrorism diterjemahkan oleh S. Agung Wibowo
dengan judul: Menguak Akar Terorisme , Cet. I (Jakarta: Iqra Insan Press, 2003), h.168-185
82
bertentangan dengan agama manapun karena pada dasarnya semua agama yang
ada membawa nilai-nilai universal misalnya perdamaian, toleransi dan
persaudaraan.
Secara umum, terorisme merupakan salah satu fenomena pergolakan
politik dunia era modern. Istilah ini telah menjadi istilah yang popular dalam
pembahasan politik dewasa ini. Sebenarnya term terorisme berasal dari Eropa
dan Amerika, sebab Eropa dan Amerika merupakan tempat lahirnya term ini lalu
memberikan beragam pengertian yang diambil dari filosofi yang dipraktekkan
dalam gerakan sejumlah kelompok atau organisasi yang melegalkan tindakan
kekerasan sebagai sarana perjuangan. Penggunaan terminologi terorisme
internasional berkembang pasca perang dunia kedua, ditandai dengan runtuhnya
kekuasaan kekaisaran dan bangkitnya negara-negara terjajah dengan semangat
patriotisme mengadakan perlawanan untuk memperoleh kemerdekaan. Akan
tetapi gerakan perlawanan mereka dianggap sebagai tindakan terorisme,
pemberontakan, menciptakan instabilitas dan melanggar hukum.
Dari sinilah awal permasalahan pencampuradukan antara pengertian
terorisme di satu sisi dan perlawanan kemerdekaan suatu bangsa untuk
menentukan nasibnya sendiri di sisi lain. Persoalan ini semakin kompleks karena
didukung oleh sebagian media massa dan lembaga kebudayaan Barat (Eropa dan
Amerika). 40 Akibatnya, tidak heran jika terkadang timbul persepsi yang
menyamakan antara tindakan kekerasan yang dilakukan suatu bangsa dalam
memperjuangkan kemerdekaannya dengan terorisme. Padahal dalam perjanjian
PBB dan deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional tentang hubungan
persahabatan dan kerja sama internasional ditegaskan bahwa setiap bangsa
terjajah memiliki hak penuh untuk berjuang dengan segenap sarana yang
dimiliki melawan negara penjajah dan dominasi kekuatan asing demi
40
Haitsam al-Kailani, Al-Irhb Yuassisu Daulat Namdzaj Isril diterjemahkan oleh
Muhammad Zainal Arifin, dengan judul: Siapa Terorisme Dunia , Cet. I (Jakara: CV. PustakaalKautsar, 2001), h. 19
83
menentukan nasib sendiri. Pernyataan itu dicetuskan dalam sidang umum PBB
tanggal 12 Desember 1973 melalui resolusi nomor 3103. 41
Selanjutnya Maximilien Roberspiere seorang tokoh Revolusi Prancis
dianggap sebagai peletak dasar terorisme modern. Ia merupakan pelopor
pemerintahan teror ( Reign of Terror) antara 5 September 1793 hingga 27 Juli
1794.42 Pada masa pemerintahannya kurang lebih 300.000 orang diculik, sekitar
17.000 orang di antaranya dieksekusi mati dan selebihnya mati dalam penjara
tanpa proses pengadilan. 43 Teror para penguasa selalu dilakukan terutama di
negara-negara yang hukum dan sistem demokrasinya tidak efektif. Tindakan
intimidsi dan kesewenang-wenangan dimaksudkan untuk membungkam para
penentang kebijakan penguasa. Akibatnya kelompok oposisi tidak dapat
mengkritisi pemerintah yang berlaku diktator dan teroris. Misalnya, Hitler (w.
1945 M) dari Jerman, Vladimir Lenin (w. 1924 M) dan Yoseph Stalin (w. 1953
M) dari Rusia. Stalin yang mendapat gelar master executive of terror (1924)
berpendapat kaum Komunis dapat bertahan dan berkuasa hanya dengan
kekuatan kekerasan. Oleh sebab itu, Stalin mendesak agar tindakan teror
dilegalkan melalui undang-undang yang berlaku di negara Uni Soviet.
Akibatnya, jutaan rakyat terbunuh sebagai korban perundang-undangan.
Selanjutnya dibelahan Asia dikenal Pol Pot dengan Khmer Merahnya di
Kamboja, Mao
44
Juhaya S. Praja, Islam Globalisasi & Kontra Terorisme (Bandung: Kaki Langit,
2003), h. 31
84
sehingga jika hal tersebut masih eksis dalam masyarakat tidak menutup
kemungkinan dapat menggeser ideologi negara yang ingin ditegakkan Tung.
Di Amerika misalnya, terorisme telah eksis sejak abad ke tujuh belas,
dan ini menunjukkan bahwa Amerika sudah terbiasa dengan aksi-aksi yang
berkaitan dengan terorisme. Bahkan menurut sumber yang ada, negara Amerika
lahir dari hasil kejahatan this nation was as one historian note, conceived and
born in violence.45 Oleh sebab itu jika Amerika sangat antusias memerangi
terorisme pada dekade sekarang, pada dasarnya ia memerangi diri sendiri atau
paling tidak merupakan bagian dari kultur teroristiknya. Berdasarkan data
historis tersebut menunjukkan bahwa aksi teror sudah mewarnai kancah
perpolitikan umat manusia sejak dulu dan terus berlanjut sampai sekarang dan
bahkan mungkin akan tetap eksis pada generasi-generasi selanjutnya.
Jika dibandingkan aksi terorisme era klasik dengan masa kontemporer,
dapat disimpulkan adanya perbedaan dan persamaan antara keduanya sebagai
berikut:
Di antara perbedaannya adalah: a) metode, pelaku tindakan kekerasan
terorisme pada masa klasik menggunakan peralatan yang masih sederhana
seperti pisau belati atau pedang dalam menyerang target. Sementara pelaku aksi
terorisme era modern menggunakan alat yang canggih seperti bom, pesawat
terbang, dan senjata kimia; b) objek, pada masa klasik umumnya yang menjadi
target teroris adalah seorang pemimpin yang sangat penting baik dalam bidang
politik, negara atau pemerintahan maupun agama yang dianggap telah
melakukan penyelewengan. Adapun sasaran teroris dewasa ini umumnya dapat
dikatakan tidak terkait langsung dengan teroris sehingga hanya merupakan
sasaran perantara berupa pasilitas umum seperti pasar, gedung perkantoran, dan
objek wisata untuk lebih menimbulkan kepanikan publik dan pemberitaan
masmedia; c) pelaku, eksekutor dalam tindak kekerasan terorisme era klasik
meyakini dirinya akan dieksekusi oleh para pengawal pemimpin yang dibunuh
atau oleh pihak yang berwenang. Sementara pelaku aksi terorisme di era
45
Richard Maxwell Brown, Historical Pattern of American Violence (T. tp: Sage
Publication, 1979), h. 20
85
46
Bernard Lewis, The Crisis Of Islam: Holy War and Unholy Terror alih bahasa
Ahmad Lukman dengan judul: Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji (Jakarta: PT Ina
Publikatama, 2004), h. 138-144
86
1. Faktor ideologis.
Alasan ideologis kadangkala dijadikan motivasi bagi pelaku teror untuk
melegitimasi aksi teror mereka. Mainstream dari faktor ideologis ini biasanya
dikaitkan dengan isu fanatisme keagamaan, yang ditandai dengan radikalisme
dan fundamentalisme keagamaan. Radikalisme dan fundamentalisme tidak
hanya dikenal dalam sejarah dan dunia Islam, tetapi bisa juga ada di agama lain
selain Islam. Kelompok radikal Sikh di kalangan agama Hindu, misalnya,
menyatakan perang terhadap pemerintah India sehingga salah seorang
anggotanya bernama Lal Singh dituduh sebagai pelaku peledakan jet Air India
yang menewaskan seluruh penumpangnya (329 orang) dalam penerbangan dari
Toronto ke London.47 Kelompok Sikh juga melancarkan aksi teror dan gerakan
gerilya melawan pemerintah India untuk menuntut pendirian pemerintahanan
otonomi.48 Dari kalangan Kristen, Rev. Paul Hill menembak mati Dr. John
Britton dan pengawal pribadinya di klinik aborsi di Pensacola Florida, dengan
dalih bahwa ajaran Bible membolehkan membunuhnya karena telah melakukan
praktek aborsi dengan membunuh calon-calon bayi. Pembunuhan tersebut
disambut gembira para pengikut Kristen militant yang pro life. Selain itu,
penembakan sebuah pusat kesehatan Yahudi di California pada tanggal 10
Agustus 1999 dilakukan oleh aktivis Kristen. Seperti halnya kekerasan aksi
terorisme di Irlandia Utara dijustifikasi oleh pandangan teologis baik Katolik
maupun Protestan. 49 Juga, kelompok anti Tuhan (atheis dan komunis)
melancarkan aksi teror terhadap kelompok agama yang diduga sebagai
47
Lal Singh adalah alumnus Sekolah Teroris di Alabama (Negara Bagian Amerika
Serikat). Sekolah tersebut diasuh oleh seorang yang dijuluki Profesor Terorisbernama Franklin
Camper. Materi perkuliahannya meliputi: teknik/seni membunuh secara brutal, mengkonsumsi
semut baker, dan tidur di atas pohon. Sejak 1982 mahasiswa yang menimba ilmu pengetahuan
pada Camper sekitar 600 orang berasal dari kurang lebih 20 negara. Lama studi berlangsung dua
minggu dengan biaya sekitar US $ 350 (Rp. 350. 000. 000). Lihat: David Austen: Membongkar
Jaringan Teroris Internasional (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 267271
48
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 74-78
49
Mark Jurgensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious
Violence (California: University of California Press, 2001), h. 14-15
87
50
Dari kelompok
Islam Indonesia, aksi teror di Diskotik Paddys Caf dan Sari Club (Legian Kuta
Bali) dan beberapa tempat lainnya di Indonesia dilancarkan oleh para radikalis
sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni Amerika dan sekutunya di
negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Afghanistan dan
Irak. 51
Fundamentalisme mencakup paham yang konsern memperjuangkan
sesuatu ideologi yang dianggap fundamental (mendasar). Terminologi
fundamental (isme) awalnya digunakan untuk sekelompok penganut Kristen
ortodoks yang memiliki lima keyakinan dasar, yakni ke-Allah-an Yesus Kristus;
kelahiran Yesus Kristus dari seorang perawan; kemutlakan karya penebusan
Yesus Kristus di kayu salib menurut model tertentu; kebenaran mukjizatmukzijat yang dilaporkan dalam Alkitab secara harfiah termasuk kebangkitan,
kenaikan ke surga dan kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali; dan
kewibawaan Alkitab dalam arti tidak dapat disalahkan. Umat Kristen yang
menyakini kelima konsep ini disebut fundamentalis sedang yang tidak
meyakininya dianggap liberalis. 52
Menurut
versi
lain,
lima
dasar
pemahaman
Kristen
yang
Rikard Bagun Terorisme, Gejala Global? dalam Farid Muttaqin dan Sukidi (ed.)
Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah,
2001), h. 35
51
Aksi-aksi teror yang terjadi di berbagai pelosok Indonesia pada umumnya bermotif
jihad menurut pelakunya sebagai manifestasi dari pemahaman keagamaan yang radikal. Lihat:
Imam Samudra, Aku Melawan Terorisme, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 109; Bandingkan
dengan: Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad , Cet. I (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 6269; Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra dan Kelompok Islam Radikal Cet I (Jakarta: Grafindi Khazanah Ilmu, 2007), h. 11-12;
Wawan H. Purwanto, Terorisme Ancaman Tiada Akhir: Bahaya dan Strategi Pemberantasan
Terorisme di Indonesia , Cet. II (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2004), h. 53-55
52
Gerrit Singgih, Fundamentalisme Dalam Agama Kristen (Perspektif Sejarah),
dalam Eko Prasetyo dkk (ed.) Memahami Wajah Para Pembela Tuhan (Yakyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), h. 90-91
88
Christ); Yesus dilahirkan dari rahim Maria yang perawan ( The virgin birth);
Yesus dibangkitkan secara jasmaniah dari kematian ( the physical resurrection of
the body); Yesus datang menebus dosa seluruh manusia ( the substitutionary
atonement); dan manusia pada dasarnya sangat buruk karena sejak kejadianya
dalam kondisi berdosa (the total depravity of man-original sin). Pemahaman
dasar tersebut sangat berpengaruh terhadap keyakinan dan pola pikir sebagian
penganut Kristen dan berupaya mempertahankannya sehingga tidak menutup
kemungkinan mereka tidak toleran dan bahkan bermusuhan dengan kelompok
yang berseberangan dengan mereka. 53 Pemahaman konsep keberagamaan yang
fundamen tersebut berimplikasi lahirnya fundamentalis Kristen.
Fundamentalisme selalu diasumsikan pada hal-hal yang berkaitan
dengan agama, sehingga Scott Bidstrup mengemukakan definisi agama
fundamentalis dengan any religion, that when confronted with a conflict
between love, compassion and caring, and conformity to doctrine, will almost
invariably choose the latter regardless of the effect it has on its followers or on
the society of which it is a part. 54 (Jika terjadi konflik antara cinta, kasih
sayang dan kepedulian serta ketaatan pada doktrin agama, maka setiap agama
akan memilih doktrin agama tanpa memperhatikan apakah tindakan (yang
bersumber dari agama) itu membahayakan pengikut dan masyarakat sekitarnya
atau tidak). Bagi Bidstrup, fundamentalis agama lebih mengutamakan doktrin
agama dari pada toleransi yang berdasar pada cinta, kasih sayang untuk
mengimplementasikan aktivitas dan ideologi keagamaan mereka.
Salah satu ciri fundamentalis adalah militan dan tidak toleran ( intolerant)
terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyelewengan dan
penyimpangan terhadap doktrin agama. Untuk meluruskan penyimpangan
tersebut kadangkala mereka menggunakan cara-cara kekerasan. 55 Secara umum,
53
Harry Mc Mullan, Understanding Christian Fundamentalism, dalam
http://www.ubfellowship.org/archive/readers/doc176.htm. Akses tanggal 29 April 2008
54
89
sosial
di
masyarakat.
Orang
Kristen
yang
terdidik
dari
90
91
Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara, Dunia Islam Dalam Benturan Kepentingan dan
Peradaban, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.), Negara Tuhan: The Thematic
Encyclopaedia (Jokjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 480
61
Martyn E. Marty, What is Fundamentalism? Teological Perspective dalam Hans
Kung dan Jurgen Moltman (ed.), Fundamentalist as a Ecumenical Challenge (London: t.p.
1992), h. 3-13
92
tema sentral dalam pemurnian ajaran Islam. Gerakan ini mengedepankan isu
tahayul, bidah dan khurafat yang menyebabkan merusaknya akidah umat Islam.
Dengan semboyan memurnikan ajaran Islam dan purifikasi tauhid, gerakan ini
mengumandangkan jihad dengan cara yang destruktif dan ofensif, antara lain
dengan terjadinya pertumpahan darah di Makkah dan di Madinah berbarengan
dengan penghancuran monumen historis yang dianggap sebagai penyimpangan
ajaran agama yang murni. 62 Tujuan gerakan Islam fundamentalis ini adalah baik
yakni pemurnian ajaran Islam, namun cara dan pendekatannya ( approach) yang
cenderung memaksa dan destruktif.
Konsep jihad yang disinyalir oleh kelompok Islam fundamentalis
Indonesia juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam melaksanakan aksi
yang militan dan ofensif. Imam Samudra dan kawan-kawannya mengakui bahwa
aksi bom Bali yang menghancurkan sarana dan fasilitas umum dan melukai
bahkan mematikan ratusan manusia tak berdosa sebagai bentuk ekspresi jihad
yang menjadi ideologi mereka. Imam Samudra memberikan argumen tentang
jihad yang memotivasinya melakukan aksi teror sebagai berikut:
[M]enurut pandangan saya, jihad adalah, pertama, dari segi
bahasa, artinya bersungguh-sungguh. Kedua, jihad secara istilah,
bersungguh-sungguh menegakkan Islam. Ketiga, secara syariat
adalah berperang melawan kafir dan sekutunya, terutama jihad
terbesar sekarang ini yaitu jihad memerangi teroris Amerika dan
sekutunya yang terlibat perang salib memerangi umat Islam
seluruh dunia. Terutama dengan menjatuhkan ribuan ton bom di
Afghanistan pada September 2001, tepatnya Ramadhan 1422 H,
terhadap kurang lebih 200.000 lelaki tua, muslimah dan anakanak kecil yang tidak berdosa. Orang yang telah berjihad secara
bahasa, dia masih berkewajiban untuk melaksanakan jihad secara
istilah dan syariat. 63
Kedua model ilustrasi jihad, menurut para fundamentalis Muslim diatas,
menggunakan argumentasi agama sebagai alasan dogmatis dalam melakukan
62
Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara, Dunia Islam Dalam Benturan Kepentingan dan
Peradaban, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.), Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia
(Jokjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 451-452
63
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris , Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 108;
Wawancara Asep Adisaputra dengan Imam Samudra pada tanggal 2 Maret 2003. Lihat: Asep
Adisaputra, Imam Samudra Berjihad, Cet. I (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 62.
93
2. Faktor Politik
Kelompok teroris kadangkala menggunakan alasan politik yang dapat
memberikan kontribusi yang signifikan untuk melancarkan aksi teror dan aksi
dehumanisasi lainnya. Pembajakan pesawat, penyanderaan, pembakaran,
pemboman, penganiayaan, intimidasi, penculikan dan pembunuhan serta
sejumlah tindakan kriminalitas lainnya merupakan bentuk skenario politik untuk
mencapai tujuan politis tertentu. Berbagai aksi teror yang memiliki tujuan
politik bisa dilakukan oleh individu atau kelompok dan negara. Aksi teror yang
dilakukan individu atau kelompok seperti pengeboman, penyanderaan,
pembunuhan dan lainnya menginginkan agar kelompok atau negara yang
dijadikan sasaran dapat mengubah keputusan politiknya sesuai dengan tuntutan
pelaku teror. Misalnya, serangan bom WTC dan Pentagon, 11 September 2001
secara politis ingin membuktikan ketidakberdayaan Amerika Serikat ( super
power) menangkis serangan teroris. Fenomena ini berimplikasi pada masyarakat
dunia (internasional) bahwa negara adidaya saja dapat diserang, apalagi negara
lain. Akibatnya, masyarakat internasional tidak dapat hidup dalam ketenangan
dan keamanan dari serangan teroris yang setiap saat mungkin terjadi.
64
Lihat: Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 116
94
Amerika Serikat di Jerman Barat sekitar tahun 1980an. Selain itu mereka
membunuh dan menculik para politisi, jaksa dan anggota pemerintahan yang
memiliki fungsi strategis di pemerintahan Jerman. Aksi teror tersebut bertujuan
politis yakni menekan pemerintah Jerman Barat dan Amerika Serikat untuk
memenuhi tuntutan mereka antara lain membebaskan anggota kelompok mereka
yang ditahan dan memberikan peringatan kepada pemerintah Jerman untuk tidak
bekerjasama dengan Amerika. 66 Gerakan lainnya yang memiliki visi yang sama
adalah Clara Elizabeth Ramirez Front (CERF) di San Salvador yang melakukan
aksi kekerasan terhadap fasilitas dan kepentingan Amerika Serikat serta
membuat kekacauan terhadap pemerintahan di El-Salvador. 67 Ilustrasi di atas
65
Usamah bin Ladin, Deklarasi Perang: Karya Asli, Fatwa dan Wawancara Usamah
bin Ladin, Cet. I (Jakarta: Ababil Press, 2001), h.61-62
66
95
3. Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya dalam memicu
terjadinya tindakan teror. Sukawarsini Djelantik mengemukakan beberapa
penelitian yang menunjukkan bakwa terjadi korelasi antara faktor ekonomi atau
67
68
Donny Gahral Adian, Mencegah Lahirnya Terorisme Negara Indonesia Pasca Bom
Bali, Analisis CSIS, Vol. 32, No. 1, 2003, h. 80-81
96
Alesina, Ozler, Roubini dan Swagel, Political Instability and Economic Growth,
Journal of Economic Growth, Vol. I, 1996, h. 189-211
70
Collier dan Hoeffler, Greed and Grievance in Civil War,Oxford Economic Paper,
Vol. 56, 2004, h. 563-595
71
Sukawarsini Djelantik, Terorisme dan Kemiskinan, Jurnal Ilmiah Hubungan
Internasional, Vol. 2 No. 6, September 2006, h. 479-482
72
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 17-18
97
Kelompok teroris Abu Nidal yang lebih dikenal dengan nama ANO
berdiri 1974 dibawah pimpinan Sabri Khalil al-Banna, motivasi pendiriannya
sebenarnya disebabkan oleh faktor politik,73 akan tetapi dalam perjalanan
karirnya lebih mengutamakan financial (uang), dalam artian gerakan-gerakan
yang dilancarkan telah melenceng dari khittahnya dengan mengedepankan
faktor materiil. Bisnis penyewaan dan pelayanan teroris yang digeluti ANO
mampu menjadikan organisasi tersebut memiliki aset yang signifikan dan
diinvestasikan dalam bentuk real estate dan kepemilikan perusahaan
perdagangan senjata yang berbasis di Polandia. 74 Sama halnya dengan kelompok
JRA didirikan oleh mahasiswa Jepang Fusako Shigenobu 1971 bermarkas di
Lembah Bekaa. Motivasi berdirinya kelompok tersebut adalah politik, namun
dalam perkembangannya cenderung komersial seperti ketika menyerang klub
malam di Berlin Barat yang dipadati serdadu Amerika 1986 dan Kedutaan
Amerika Serikat masing-masing di Madrid (Spanyol), Roma (Italia), dan
London (Inggeris) pada tahun yang sama atas pesanan Libya. 75 Aksi teror yang
dilakukan para teroris untuk komersialisi tidak terlalu populer dan mendunia
sebab hanya kelompok yang memiliki anggota yang punya komitmen untuk
kemajuan organisasi dan memiliki seperangkat alat-alat canggih dapat
mempekerjakan dan menyewakan jasanya untuk tujuan-tujuan bersifat
ekonomis. Selain faktor ekonomi, terorisme juga bisa terjadi disebabkan oleh
faktor sosial.
73
74
Sabri Khalil al-Banna adalah seorang pemimpin teroris Palestina versi Amerika
Serikat. Kelompok ini sangat terkenal dan menakutkan serta memiliki daerah operasi yang
demikian luas. Ia pernah disewa oleh Suriah, Irak, dan Libya. Investasi yang dimiliki berupa real
estate dan bisnis senjata yang berpusat di Polandia. Diperkirakan total asetnya kurng lebih US $
400 juta. Lihat: T. Yulianti, Terorisme yang Disponsori Negara dalam Farid Muttaqin &
Sukidi (ed.), Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001), h. 74
75
98
4. Faktor Sosial
Aksi teror kadangkala juga dilatarbelakangi oleh faktor kondisi sosial
masyarakat, dan ini biasanya diekspresikan sebagai bentuk frustrasi,
kekecewaan dan ketidakberdayaan para teroris melihat kondisi di masyarakat
sebagai akibat ketidakadilan baik dari pemerintahnya sendiri maupun dari
negara lainnya. Menurut Ali Khan seperti yang dikutip Sudirman H.N, semakin
marginal, tertekan, dan dirugikan suatu masyarakat akan berdampak semakin
gigihnya melakukan perlawanan dalam bentuk tindakan kekerasan sebagai
wujud pembalasan terhadap siapa yang dianggap sebagai agresor. Keadaan
seperti ini tampaknya dialami oleh masyarakat Palestina, Irak, dan
Afghanistan. 76 Lebih lanjut John E Mack menegaskan bahwa terorisme tidak
akan dapat dilacak apalagi dibasmi jika penderitaan jutaan orang di Timur
Tengah masih berlangsung sebagai dampak perlakuan ketidakadilan oleh negara
adikuasa dan sekutu-sekutunya. Sehingga solusinya terletak pada kemauan
pemerintah Amerika Serikat untuk meninjau ulang kebijakannya yang terlalu
memihak kepada Israel dalam hubungannya dengan Palestina.
77
Kondisi
semacam ini dapat juga terjadi dalam suatu komunitas masyarakat yang merasa
diperlakukan tidak fair atau tidak adil oleh pemerintahnya. Mereka tidak
berdaya dan tidak dapat menyalurkan aspirasi sehingga mereka mengalami
keputusasaan (hopeless) yang pada akhirnya mendorong untuk menempuh jalur
kekerasan, seperti tindakan teror demi mencapai tujuan. 78
Perkembangan radikal Muslim di seluruh dunia sejak revolusi Iran tahun
1979 bukan lagi didasari pada alasan teologi atau dogma agama tapi lebih
disebabkan oleh kegagalan pemerintah negara yang bersangkutan dalam
76
Ali Khan merupakan pakar teroris internasional dari Washborn University School Of
Law Amerika Serikat. Ia mengemukakan pihak yang terkait dalam tindakan terorisme yakni
kelompok yang dirugikan (the aggrieved groups ) dan agresor (the supporter or suppressive
states). Lihat: Sudirman H.N, Terorisme dan Lingkaran Dendam Kesumat dalam Farid
Muttaqin & Sukidi (ed.), Teroris Serang Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 4849
77
A. Dwi Hendro Sunarko, Ideologi Teroris Indonesia , Cet. I (Jakarta: Pensil, 2006), h.
31
99
79
Zachary Abuza, Militant Islam in Southest Asia: Crucible of Terror (London: Lynne
Rienner Publishers, 2003), h. 16
80
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h.245
100
sangat
membahayakan karena
kemampuannya
81
membuat
dan
81
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 81-82; Lihat juga: Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara:
PustakaSinar Harapan, 2005), h. 291
82
Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 283
101
102
kelompok
bersenjata
Colombia
bernama
Fuerzas
Armadas
84
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism (London: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), h. 84
85
Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 388 dan
391
103
Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakara: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 410-413
88
Rikard Bagun, Terorisme, Gejala Global?, dalam Farid Muttaqin dan Sukidi,
Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah,
2001), h. 34
104
90
Aksi
89
A. Maftuh Abegebriel, Ada Apa dengan Dokumen JI? Sebuah Penghampiran
Hermeneutik dalam A. Maftuh Abegebriel dkk., Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia ,
(Jokjakarta: SR-Ins Publshing, 2004), h. 875; Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakarta:
PustakaSinar Harapan, 2005), h. 282
90
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 135-147
105
91
91
K.M. Sajad Ibrahim The Question of Terrorism: Hamas and Islamic Jihad in the
Middle East Peace Process, India Quarterly: A Journal of International Affairs, Vol. LIX No.
3 & 4, 2003, h. 242
92
Rikard Bagun, Terorisme, Gejala Global? dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, Teroris
Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h.
36
106
Spanyol.93 Kelompok sayap kiri Colombia, FARC, juga mendapat suntikan dana
yang besar dari jaringan perdagangan obat terlarang yang bertaraf international
di Colombia, memperoleh latihan pembuatan bom dan skill lainnya untuk
peningkatan pengoperasiannya dari kelompok eksternal seperti IRA dan JRA
tahun 2002. 94 Beberapa ilustrasi di atas menunjukkan bahwa globalisasi
terorisme yang menjalin networking untuk mensosialisasikan kemampuan
(skills) dan saling memberikan dukungan finansial, memiliki kesamaan perspesi
dan tujuan dapat terjadi secara global tanpa terikat oleh geografis tertentu.
Jadi, terorisme merupakan aksi kekerasan yang berimplikasi pada
kepanikan dan ketakutan massal baik pada masyarakat atau negara yang menjadi
sasaran teror maupun yang mengetahui aksi teror tersebut melalui mass media.
Aksi teror sudah merupakan isu global dan bisa terjadi kapan dan dimana saja
dengan latar belakang yang berbeda misalnya faktor agama atau ideologi,
politik, ekonomi dan sosial. Terorisme bisa dilakukan secara personal, kelompok
dan didukung oleh negara yang berdaulat. Karena luasnya aspek-aspek yang
memicu terjadinya terorisme, maka uraian selanjutnya secara spesifik membahas
tentang akar-akar terorisme di dunia Islam untuk menjelaskan bahwa dalam
Islam sebenarnya ada juga aksi terorisme dengan menelusuri aspek historis.
93
ETA or Basque Fatherland and Liberty (didirikan tahun 1959) merupakan kelompok
teroris tertua di Eropa Barat dan tetap eksis hingga sekarang. ETA memiliki tujuan politik dalam
melakukan aksinya yakni mewujudkan kemerdekaan negara Euskadi dan berpaham Marxis, dan
bertujuan menciptakan krisis ekonomi di provinsi Basque melalui sabotase dan berbagai aksi
ekonomi lainnya. ETA memberlakukan revolutionary tax (pajak perjuangan) kepada mereka
yang memiliki assets (orang kaya) untuk menggalang dana perjuangannya. Menurutnya, seluruh
masyarakat Basque memiliki kewajiban moral dan legal untuk melawan pemerintah yang
berkuasa. Karena kebijakan ETA tersebut menyebabkan resesi ekonomi di daerah tersebut
ditandai dengan tertutupnya beberapa industri. Loretta Napoleoni, Modern Jihad: Tracing the
Dollars Behind the Terror Networks (London: Pluto Press, 2003), h. 36-37; Adjie Suradji,
Terorisme Cet. I (Jakara: PustakaSinar Harapan, 2005), h.133-134
94
Rikard Bagun, Terorisme, Gejala Global? dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, Teroris
Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam , Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h.
36
107
Wisyah,
Abdullah ibn
Saba
lebih memperkokoh
propagandanya dengan memunculkan satu istilah lagi yang disebut Hak Ilahi
yakni Allah yang berhak diangkat sebagai khalifah pasca Rasulullah saw
sesuai ketentuan Allah swt, sehingga khalifah sebelumnya (Abu Bakar AshShiddiq, Umar bin Khatt b dan Utsman bin Affn) dianggap telah merampas
kekhalifahan dari Al ibn Ab T lib. Hasutan tersebut mampu melahirkan
semangat pendukung Al dan orang-orang yang tidak senang dengan model
pemerintahan Utsman sehingga akhirnya mereka menyerbu Madinah dan
berhasil membunuh khalifah Utsman, sekalipun Al beserta puteranya Hasan
dan Husein membendung pemberontak di pintu gerbang kediaman Utsman. 95
Benih-benih ekstrimis mulai muncul dengan memancing kelompok yang fanatik
kepada Al untuk melakukan perlawanan dan aksi kekerasan terhadap
pemerintahan Utsman bin Affn.
95
Ab Jafar Muhammad ibn Jarr al-Tabar, Trkh al-Tabar: Trkh al-Rasl wa alMuluk, Juz Juz III (Al-Qhirah: Dr al-Marif, 1963), h. 450-465
108
96
antara Aisyah dan Al ibn Ab T lib, dan peperangan shiffin antara Al dan
Muawiyah. Pada perang shiffin inilah sumber perpecahan antara umat Islam
karena Al menerima tahkim97 dalam menyelesaikan perseteruan tersebut.
Kelompok Khawarij menyatakan diri keluar dari golongan Al karena Al
menerima tahkim dengan Muawiyah. 98 Hal itu mereka tempuh karena menurut
mereka Al dan Muawiyah telah melakukan dosa besar bahkan bisa dikatakan
sudah kafir sebab kedua orang tersebut tidak bertahkim dengan Alquran. 99
Selanjutnya, dalam sejarah Islam dikenal pula adanya pemaksaan
keyakinan terhadap orang lain dengan dalih agama seperti
mihnah atau
100
96
Peperangan yang terjadi antara pasukan Al bin Ab T lib melawan pasukan Siti
Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq (isteri Rasulullah saw) dinamakan perang Jamal karena Siti
Aisyah ketika itu mengendarai unta. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
perang Jasmal antara lain: adanya ketegangan antara Al bin Ab T lib dan Siti Aisyah yang
mungkin disebabkan Al menyudutkan posisi Aisyah dalam peristiwa hadts al-ifki (berita
dusta); Aisyah kurang senang jika Al menjadi khalifah karena ia pernah bersaing dengan Abu
Bakar as-Shiddiq (ayah Aisyah); Aisyah mendukung Abdullah bin Zubair yang berambisi
menjadi khalifah. Lihat: A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I alih bahasa Mukhtar
Yahya dan M. Sanusi Latief, Cet. IV (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 2000), h. 288
97
Tahkm merupakan suatu institusi pra Islam yang digunakan dalam menyelesaikan
perselisihan yang terjadi dalam masyarakat. Lihat: Machasin, Fundamentalisme dan Terorisme
dalam A. Maftuh Abegebriel dkk., Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia (Jokjakarta: SRIns Publshing, 2004), h. 792
98
Ab Jafar Muhammad ibn Jarr al-Tabar, Trkh al-Tabar: Trkh al-Rasl wa alMuluk, Juz Juz III (Al-Qhirah: Dr al-Marif, 1963), h. 540-543
99
100
109
Perpecahan dan ektrimisme bukan saja dalam ruang politik tetapi merambah
pada ruang teologi. Gerakan fundamentalis dalam sejaran Islam mulai
menyebar.
Gerakan fundamentalisme radikal merupakan kelompok terorganisir
yang militan, agresif, siap berjuang secara fisik terutama untuk mewujudkan
obsesi dan keyakinan mereka. Kelompok fundamentalisme radikal ini di
antaranya al-Muhakkimah 101
103
Najdah
(Khawarij),
(Khawarij), al-Sufriyah,
Maturidiyah
105
al-Azariqah 102
(Khawarij), al-
104
101
Aliran al-Maturidiyah dipimpin Ab Musa al-Murdar (w. 226 H). Sekte ini
mengkafirkan orang Islam di luar mereka dan sepaham dengan Syiah Ismiliyah bahwa hanya
ahl al-bait yang berhak atas immah. Ajaran al-Maturidiyah berpengaruh pada Daulah
Abbasiyah. Al-Makmun menjadikan paham Mutazilah sebagai mazhab negara, melahirkan
ujian (mihnah atau inquisition) seputar ke-qadim-an Alquran bagi tokoh politik dan agama.
Lihat: A. Maftuh Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Doktrinal
Fundamentalisme Islam di Era Khalifah, dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro
Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 247-250
106
Gerakan Ikhwan al-Saf (persaudaraan suci) merupakan gerakan bawah tanah yang
memperjuangkan gerakan moral dalam menghadapi ketimpangan sosial, agama, dan politik era
kekhalifahan al-Makmun. Dimotori pemikir Islam sekte Syiah Ismiliyah. Lihat: A. Maftuh
Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Doktrinal Fundamentalisme Islam di
Era Khalifah, dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The Thematic
Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 250-254
110
111
110
yang ada
di masyarakat.
hanya
Abd al-Qhir ibn Thir ibn Muhammad al-Baghdd, Al-Farq Baina al-Firaq (AlQhirah: Dr al-Turts, t.th.), h. 103-106
111
A. Maftuh Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Dokrinal
Fundamentalisme Islam di Era Khilafah, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.) Negara Tuhan:
The Thematic Encyclopedia (Jokjakarta: SR-Ins Publshing, 2004), h. 271-272
112
suatu negara yang berdaulat, dan keanggotaanya biasanya bersifat temporal. 112
keempat ciri fundamental ini kelihatannya masih akan mewarnai kelompok garis
keras Islam pada dekade kekinian.
Gerakan radikal Islam tersebut merupakan preseden dalam aksi radikal
dalam bentuk terorisme di dunia Islam sekarang ini. Pembahasan selanjutnya
adalah menjelaskan tentang konsep jihad dan prakteknya di era kontemporer
mencakup elaborasi tentang definisi dan motivasi jihad dalam Islam serta
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan jihad dalam konteks terorisme. Dalam
pembahasan ini juga akan dikemukakan makna jihad baik dalam arti makro
maupun dalam pengertian mikro (jihad dalam pemaknaan perang).
112
A. Maftuh Abegebriel dan M. Ishom El-Saha, Survai Historis dan Dokrinal
Fundamentalisme Islam di Era Khilafah, dalam A. Maftuh Abegebriel dkk (ed.), Negara
Tuhan: The Thematic Encyclopedia (Jokjakarta: SR-Ins Publshing, 2004), h. 272
BAB IV
KONSEP JIHAD DAN PRAKTEKNYA
PADA MASA KONTEMPORER
Kerancuan pemahaman antara term terorisme dengan jihad kadangkala
terjadi di masyarakat Muslim maupun non Muslim.1 Secara konseptual, terdapat
perbedaan yang signifikan antara terorisme dengan jihad sebab kedua term
tersebut memiliki misi dan ideologi yang berbeda. Terorisme bersifat destruktif
dan berdampak sosiologis dan psikologis terhadap sasaran aksi teror, sedangkan
jihad (dalam pengertian peperangan fisik) memiliki kode etik antara lain
kooperatif dan meminimalisasi efek terhadap warga sipil dan konsern pada
kerusakan lingkungan. Namun, dalam prakteknya jihad kadangkala tidak
berlandaskan pada prinsip-prinsip yang Islami, sehingga bisa dikategorikan
sebagai terorisme.
Istilah jihad dalam Islam dipahami sebagai makna yang kontroversial.
Pada dasarnya term ini memiliki multimakna, tetapi dalam penggunaan
keseharian selalu mengarah pada satu makna yakni perlawanan fisik dan
peperangan. Akibatnya terjadi limitasi pengertian, misalnya ketika orang
menyebut kata jihad maka yang terbayang adalah pedang yang terhunus,
pertempuran, agresi militer, dan aksi-aksi kekerasan lainnya. Kalau demikian
halnya, Islam yang melegalkan jihad akan dipahami sebagai agama yang identik
dengan kekerasan.
1
Kerancuan pemahaman tentang terorisme dan jihad dalam masyarakat Muslim
dikarenakan perbedaan interpretasi terhadap teks-teks yang berhubungan dengan kedua term
tersebut. Bagi sebagian umat Islam khususnya Islam radikal memahami makna jihad adalah
perang saja sehingga terkadang mereka keliru dalam mengaktualisasikan pengamalan jihad,
akibatnya terjerumus dalam praktek-praktek tindakan kekerasan yang dapat dikategorikan
sebagai aksi terorisme. Sementara masyarakat non Muslim menjeneralisasi tindakan tersebut
sebagai bentuk pengamalan syariat Islam, konsekuensinya melahirkan asumsi yang fatal yakni
Islam agama teroris. Konklusi semacam ini sangat kontradiktif dengan esensi ajaran Islam
yang humanis, damai dan anti kekerasan. Lihat misalnya, Q.S. Ali Imran (3): 159; al- Araf (7):
56
114
jihad
dalam
Islam
sebab
kalau
jihad
diimplementasikan
bertentangan dengan kode etik tersebut maka itu tidak dikategorikan sebagai
jihad.
1. Pengertian Jihad
Pengertian jihad dalam Alquran dan hadis memiliki makna bervariasi,
tetapi dalam tradisi fiqh terjadi ortodoksi dan penyempitan (meminjam istilah
2
Di antara ayat-ayat Alquran yang menerangkan ganjaran bagi orang-orang yang mati
syahid (syuhada) di jalan Allah (f sabl Allah) berupa surga antara lain: Q.S. al- Tabah (9):
111; al- Safft (61): 11-12. Pejelasan lebih lanjut lihat: Muhammad ibn Al ibn Muhammad alSyaukn, Fath al-Qadr al-Jmi Baina Fann al-Riwyah wa al-Diryah min Ilm al-Tafsr ,
Juz II, Cet. III (Beirt: Dr al- Marifah, 1417 H/1997 M), h. 510-511
115
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili) makna jihad dalam arti perang.
Pada umumnya bahkan boleh dikatakan seluruh kitab fiqh yang membahas
tentang jihad akan berkisar pada kajian perang dan harta rampasan perang (alharb wa al-ghanmah). Sedangkan arti lain dari jihad seperti perjuangan
intelektual, dalam tradisi fiqh dikenal dengan istilah al-ijtihd (kesungguhan
mengerahkan kemampuan daya nalar). Ulama klasik telah melakukan polarisasi
makna dan pembakuan istilah mengenai jihad, misalnya jihad spiritual dalam
tradisi sufi dinamai mujhadah, dan jihad nalar dalam tradisi intelektual disebut
ijtihd serta jihad dalam bentuk fisik menghadapi musuh diartikan sebagai
jihad.3 Pengkaplingan makna jihad seperti ini dapat menimbulkan kekeliruan
umat khususnya uamt Islam dalam memahami doktrin jihad karena ketika term
jihad disebut maka yang muncul dalam pikiran seseorang adalah pedang, senjata
dan pembunuhan, akhirnya makna jihad yang lain telah dinafikan.
Term jihad (dalam bahasa Arab) adalah sighat (bentuk) masdar dari
- -( yang berakar kata dengan huruf-huruf jim h dan dal).
Lafal al-jahd berarti al-masyaqqah (kesulitan) sementara al-juhd berarti altqah (kemampuan, kekuatan). Al-Laits tidak membedakan makna keduanya
yakni ma jhada al-insn min marad in wa amrin syqin (segala sesuatu yang
diusahakan seseorang dari penderitaan dan kesulitan). Akan tetapi Ibn Arafah
membedakannya, yakni al-jahd diartikan badzlu al-wusi (mencurahkan segala
kekuatan, kemampuan), sedang al-juhd dimaknai al-mublaghah wa al-ghyah
(berlebihan dan tujuan).4 Selanjutnya Louis Maluf mengartikan kedua lafal
tersebut dengan mencurahkan segala kemampuan dalam menghadapi kesulitan.5
Secara etimologi, makna jihad adalah kesungguhan dalam mencurahkan segala
keampuan untuk mencapai tujuan.
3
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I (Jakarta:
LSIP, 2004), h. 3
4
Ab al-Fadl Jamluddin Muhammad ibn Mukrim ibn Mandzr, Lisn al-Arab, Juz I,
Cet. I (Beirut: Dr Sdir , 1990), h. 521
5
106
116
perang melawan hawa nafsu. Adapun secara mikro, jihad diartikan pada
peperangan saja. Al-Rghib al-Asfahn, misalnya, mengartikan jihad secara
makro yakni berjuang melawan musuh yang dengan terang-terangan menyerang;
berjuang menghadapi setan; serta berjuang menghadapi hawa nafsu. Perjuangan
tersebut bisa dilakukan dengan tangan (kekuasaan) dan lisan.6 Pengertian alAsfahn mirip dengan tarif yang diberikan oleh Kamil Salamah yakni jihad
tidak hanya bermakna perang fisik, melainkan juga mengandung arti
membelanjakan harta dan segala upaya yang dilakukan dalam rangka
melestarikan dan memajukan agama Allah; berjuang mengendalikan nafsu dan
godaan setan.7
Dengan demikian, jihad dalam arti perang saja belum sempurna, sebab
pemberian suatu definisi harus mencakup dua hal yakni jmi (mencakup,
meliputi) dan mni (membatasi). Kalau jihad hanya dimaknai perang saja, maka
bagaimana dengan bentuk jihad non perang (damai) yang juga diakui dalam
syariat Islam. Sekalipun dalam menghadapi musuh, tidah harus dengan cara
perang atau tindakan kekerasan tetapi bisa dengan aksi-aksi damai tanpa
kekerasan. Oleh karena itu, definisi jihad yang dapat mencakup kedua syarat di
atas yakni kesungguhan dalam mengarahkan segala kemampuan baik dalam
peperangan, perkataan maupun dalam melakukan segala sesuatu yang
disanggupi.8
Slih ibn Abdullh al-Fauzn mengemukakan lima sasaran jihad yaitu:
Pertama, jihad melawan nafsu, meliputi pengendalian diri dalam menjalankan
6
Kamil Salamah al-Daqs, al-Jihd f Sabl Allah , Cet. II (Beirut: Muassasat Ulm alQuran, 1409 H/1988 M), h. 10. Bandingkan dengan Ab Lubbah Husain, Al-Islm wa alHarb, Cet. I (Riyd: Dr al-Liwu wa al-Tauz, 1399 H/1979 M), h. 16
8
Ab al-Fadl Jamluddin Muhammad ibn Mukrim ibn Mandzr, Lisn al-Arab, Juz I,
Cet. I (Beirut: Dr Sdir , 1990), h. 521
117
perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya. Jihad melawan hawa nafsu
merupakan perjuangan yang amat berat (jihd akbar). Meskipun jihad ini berat
dilakukan, akan tetapi sangat diperlukan adanya sepanjang hayat, sebab jika
seseorang tidak sanggup mengendalikan hawa nafsunya maka sulit diharapkan
untuk dapat berjihad menghadapi orang lain dan segala macam rintangan hidup.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu merupakan
kunci dari segala macam bentuk jihad lainnya.
Kedua, berjihad melawan setan yang merupakan musuh bagi umat
manusia. Setan mempunyai komitmen untuk senantiasa menggoda dan
memalingkan manusia agar berbuat keji dan segala yang dilarang Allah swt
serta menjauhi dan membangkang terhadap perintah-perintah-Nya.9 Setan
berjanji akan menghampiri manusia dari berbagai penjuru untuk dapat
menggolkan konsep tipu daya muslihatnya.10 Manusia yang tidak sanggup
menghadapi serangan setan akan berubah menjadi setan dalam bentuk manusia.
Ketiga, jihad menghadapi orang-orang yang senang berbuat maksiat
(orang-orang yang durhaka) dan orang-orang yang menyimpang dari kalangan
mukmin. Metode jihad yang dipergunakan dalam menghadapi orang-orang
seperti ini adalah amar maruf nahi mungkar . Penggunaan cara ini memerlukan
ketabahan dan kesabaran serta hendaknya disesuaikan dengan kemampuan
orang yang berjihad (mujahid) dan kondisi obyek dakwah. Hal ini perlu
diperhatikan agar supaya aplikasi jihad dapat berlangsung dan berdaya guna.
Iblis (setan) bertekat untuk senantiasa menghalang-halangi manusia dari jalan yang
benar sebagai kompensasi atas kesesatannya. Lihat: Q.S. 7 (al- Arf): 16.
(Iblis menjawab: Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar
akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus). Lihat: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya
(Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 223
10
Setan akan mendatangi manusia dari segala penjuru untuk menggoda mereka agar
manusia tersesat seperti setan. Lihat: Q.S. 7 (al- Arf): 17.
.
(Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan
dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). Lihat:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 223
118
11
Slih ibn Abdullh al-Fauzn, Dawbit al-Jihd dalam Ab al-Asybl Ahmad ibn
Slim al-Misr, Fatw al-Ulam al-Kibr f al-Irhb wa al-Tadmr wa D awbit al-Jihd wa
al-Takfr wa Mumalat al-Kuffr , Cet. I (Al-Riyd: Dr al-Kiyn, 1426 H/ 2005 M), h. 292-296
119
Syamsuddn Ab Abdillh Muhammad Ibn Ab Bakr al-Zar al-Damsyiq, Dzt alMad f Hady Khar al-Ibd li Ibn Qayyim al-Jauziyah , Juz III, Cet. III (Beirut: Muassasat alRislah, 1419 H/1998 M), h. 9
13
Syamsuddn Ab Abdillah Muhammad Ibn Ab Bakr al-Zar al-Damsyiq, Dzt alMad f Hady Khar al-Ibd li Ibn Qayyim al-Jauziyah , Juz III, Cet. III (Beirut: Muassasat alRislah, 1419 H/1998 M), h. 10; Bandingkan juga dengan: Majalah As-Sunnah: Upaya
Menghidupkan Sunnah, Edisi 05/IX (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2005), h. 25
14
Dalam salah satu hadis Nabi dikatakan bahwa barangsiapa melihat suatu
kemungkaran, hendaklah mencegah dengan tangan (kekuasaan), jika tidak sanggup maka dengan
lisannya (nasehat), dan bila dengan itupun tidak mampu maka yang bersangkutan dapat
mencegahnya dengan hati yakni menghindari sambil berdoa semoga kemungkaran yang terjadi
tidak berkepanjangan. Hanya saja cara terakhir ini pertanda betapa lemahnya iman yang
bersangkutan. Hadis tersebut berbunyi: : :
.
Lihat: Al-Imm al-Hfiz Ab al-Ul Muhammad Abdurrahmn ibn Abdurrahm alMubrakafr, Tuhfat al-Ahwadz bi Syarh Jmi al-Tirmidz, Kitb al-Fitn, Bb M Ja f
Taghyr al-Mungkar bi al-Yad aw bi al-Lisn aw bi al-Qalb , Juz VI, Cet. I (Beirut: Dr alKutub al-Ilmiyah, 1410 H/11990 M), h. 327; Dalam kitab al-Syaekhain (Bukhari-Muslim)
menggunakan redaksi
120
setan merupakan jihad dalam bentuk non fisik, sedangkan dua yang terakhir
dapat berupa fisik dan non fisik.
Klasifikasi itu sejalan dengan argumentasi A.G. Noorani yang
mengatakan bahwa jihad terbagi menjadi dua yakni jihad besar (primer) dan
jihad kecil (sekunder). Jihad yang primer mencakup perjuangan melawan
perbuatan dosa dan setan (jihad ini bersifat spiritual dan internal dalam diri
seorang muslim), sedangkan jihad sekunder adalah perjuangan di medan perang
dalam bentuk fisik. Jihad kecil itu bersifat eksternal.15 Dari kedua macam jihad
tersebut dapat ditarik benang merah yakni jihad besar bersifat permanen
sepanjang masa, sedangkan jihad kecil hanya berlaku temporal.
Pembagian jihad di atas lebih menekankan pada target atau sasaran jihad.
Berbeda halnya dengan pembagian yang diberikan Imm Mlik dalam
Muqaddimah Ibn Rusyd lebih menitikberatkan pada metode jihad yakni jihad
dapat dilakukan dengan hati, lisan, tangan (kekuasaan), dan pedang (perang).
Jihad atau perjuangan dengan hati dipergunakan dalam rangka menghadapi
godaan dan rayuan setan dan kehendak hawa nafsu, sedangkan jihad dengan
lisan diterapkan untuk menghadapi orang-orang munafik dalam bentuk amar
maruf nahi mungkar. Selanjutnya, jihad dengan tangan (kekuasaan)
diaplikasikan untuk memberantas atau mencegah orang-orang melakukan
kemaksiatan dan meninggalkan kewajiban-kewajibannya, misalnya penegakan
hukum terhadap pelaku zina dan peminum minuman keras (alkohol). Sedangkan
jihad melalui penggunaan pedang (perang) diterapkan dalam menghadapi orangorang musyrik dan kafir.16 Pembagian ini tampaknya tidak terlalu fleksibel
dalam pengaplikasian pemaknaan jihad sebab jihad dengan lisan, misalnya,
tidak hanya dapat diterapkan dalam menghadapi orang-orang munafik saja,
melainkan juga terhadap orang-orang musyrik dan kafir. Demikian halnya
15
A.G.Noorani, Islam & Jihad: Prejudice versus Reality (London: Zed Books Ltd,
2002), h. 45-46
16
Ab al-Wald Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, Muqaddimt ibn Rusyd li Bayn ma
Iqtadathu al-Mudawwanah min al-Ah km, Juz V, Cet. I (Beirut: Dr al- Kutub al-Ilmiyah, 1415
H/1994 M), h. 178
121
sebaliknya, jihad dengan pedang tidak hanya diperuntukkan terhadap orangorang musyrik dan kafir, tetapi sangat mungkin juga diberlakukan ketika
menghadapi orang-orang munafik.
Pengertian jihad secara khusus dikemukakan oleh Muhammad Said
Ramadn al-Bt, meliputi perjuangan dan upaya yang dilakukan pada masa
Nabi Muhammad saw. Menurutnya, jihad adalah berdakwah mengajak kaum
Muslim ataupun musyrik Mekkah kepada jalan Allah, dan menghilangkan taklid
buta yang melanda umat manusia; keteguhan hati Nabi dan sahabatnya dalam
mempertahankan kebenaran, sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan
dan penyiksaan; kesabaran dan ketekunan memahami Alquran dan menerapkan
hukum-hukum Islam tanpa memperdulikan bahaya dan ancaman akibat
diterapkannya hukum-hukum tersebut.17 Definisi ini tidak jauh berbeda dengan
pengertian yang diberikan Departemen Agama Republik Indonesia bahwa jihad
berarti: berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam;
memerangi hawa nafsu; mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan
umat Islam; dan memberantas yang batil dan menegakkan yang hak.18
Para ulama fiqh (fuqaha) klasik mengartikan jihad sebagai peperangan
melawan non Muslim yang secara eksplisit memusuhi Islam. Menurut mazhab
Syfi, jihad adalah memerangi orang kafir untuk kejayaan Islam (qitl alkuffr li nasr al-Islm).19 Definisi ini memiliki kesamaan dengan makna yang
diberikan mazhab lain misalnya mazhab Hanaf. Menurut mazhab Hanaf, jihad
adalah ajakan kepada seseorang atau komunitas untuk menganut agama yang
hak (Islam), bila mereka tidak menerima atau merespon ajakan tersebut, maka
harus diperangi dengan harta dan jiwa (al-duu il al-dn al-h aq wa qitl man
17
122
lam yaqbalhu bi al-ml wa al-nafs ).20 Jadi, dalam perspektif mazhab Hanaf,
pernyataan perang terhadap sekelompok orang yang menolak masuk Islam
dilakukan dengan harta dan jiwa.
Sejalan dengan pengertian ulama klasik di atas, sebagian ulama
kontemporer seperti Wahbah al-Zuhail memahami jihad sebagai suatu bentuk
pengarahan kemampuan dan kekuatan dalam memerangi dan melawan orangorang kafir dengan jiwa, harta dan lidah.21 Maksud jihad dengan lidah dalam
definisi ini adalah dakwah mengajak orang-orang kafir masuk Islam atau paling
tidak tunduk pada syariat Islam tanpa harus menganut agama Islam (ahl alzimm).
Jihad dalam arti perjuangan antara lain: berjuang mengatasi kesulitan
dan kerumitan untuk menjalani kehidupan yang baik; berjuang melawan hawa
nafsu di dalam diri sendiri dalam rangka mencapai keutamaan hidup dan akhlak
terpuji; dan melakukan upaya-upaya yang sungguh-sungguh untuk berbuat
kebajikan dan membantu memperbaiki masyarakat. Selain itu, jihad juga dapat
berarti perang melawan kezaliman dan penindasan, membela Islam dari pihakpihak yang ingin merusaknya. Kedua makna jihad yang luas ini, dapat
direalisasikan dalam bentuk damai dan perang. Hal ini senada dengan ungkapan
yang mengatakan: ( kita kembali dari jihad
kecil menuju jihad yang lebih besar). Jihad yang lebih besar (al-jihd al-akbar)
ini lebih sulit dan merupakan perjuangan yang amat penting melawan nafsu
pribadi, sikap mementingkan diri sendiri, ketamakan, iri hati, dengki, hasad, dan
kejahatan.
Berdasarkan beberapa definisi jihad yang telah dikemukakan dapat
disimpulkan bahwa istilah jihad mengandung makna yang bervariasi akan tetapi
secara sederhana dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni jihad
20
Wahbah al-Zuhail, al Fiqh al-Islm wa Adillatuhu , Juz VIII, Cet. IV (T.tp, t.p, 1418
H/1997 M), h. 5846
21
Wahbah al-Zuhail, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu , Juz VIII, Cet. IV (T.tp, t.p, 1418
H/1997 M), h. 5846; Sayyid Sabiq dalam mendefinisikan jihad hanya mengidentikkannya
dengan al-harb (perang). Lihat: Al-Sayyid Sbiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Cet. I (Al-Qhirah:
Dr al-Fath li Ilm al-Arab, 1418 H/1998 M), h. 400
123
internal (al-jihd al-akbar) merupakan perjuangan mengendalikan diri dari sifatsifat negatif dan perjuangan untuk peningkatan kualitas intelektualitas dan
integritas kepribadian individu dan masyarakat. Dalam hal ini termasuk juga
kesungguhan seorang mahasiswa dalam menyelesaikan studinya; kerja keras
seorang ayah mencari rezki untuk menafkahi keluarganya; berjuang untuk
mewujudkan kehidupan Islami berdasarkan petunjuk Alquran dan hadis; dan
kritik konstruktif terhadap penguasa yang memperlakukan rakyatnya dengan
semena-mena. Selain itu, ada juga jihad eksternal (al-jihd al-asghar) meliputi
perjuangan dengan fisik di medan pertempuran. Dalam pemaknaan jihad dengan
perjuangan fisik di medan pertempuran diperlukan pemahaman etika perang
dalam Islam sehingga para pelaku jihad tidak semena-mena dalam
melaksanakan jihad.
2. Etika Jihad
Kalau jihad dimaksudkan dengan peperangan di medan pertempuran,
maka Islam memuat aturan dan kode etik bagi para pejuang, karena tujuan
peperangan dalam Islam adalah untuk menyebarkan Islam (li ili kalimatillh),
menegakkan kebenaran dan keadilan.22 Beberapa etika peperangan yang bisa
dijadikan sebagai
petunjuk (guidance)
pembunuhan orang-orang
yang
tidak
tersebut misalnya
terlibat
menghindari
dalam peperangan
dan
Jamat Amn, Qadiyat al-Irhb: al-Ruyat wa al-Ilj (T.tp.: Dr al-Tawz wa alNasyr al-Islmiyah, 1998), h. 79-80
23
Lihat: Ab Muhammad ibn Ahmad ibn Sad ibn Hazm al-Andalus, al-Muhall bi alAtsr, Juz VII (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah), h. 294
124
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu , Juz VIII, Cet. IV (T.tp, t.p, 1418
H/1997 M), h. 5853
25
Allah swt berfirman dalam Q.S. 17 (al-Isra): 15 . ...
( dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul). Lihat: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan
Terjemahnya ( Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 426. Pernyataan ini mengindikasikan tidak
etis menyerang suatu komunitas yang sama sekali belum pernah dijadikan sasaran dakwah. Akan
tetapi menurut Hambal hal itu tidak mutlak adanya. Lihat: Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh alIslam wa Adillatuhu, Juz VIII, Cet. IV (T.tp, t.p, 1418 H/1997 M), h. 5853
26
Ab al-Hasan Al ibn Muhammad ibn Habb al-Basr al-Baghdd al-Mward, alAkm al-Sultniyah (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 46
27
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh , Juz VIII, Cet. IV (T.tp: tp, 1418
H/1997 M), h. 5853
125
Al-Sayyid Sbiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Cet. I (al-Qhirah: Dr al-Fath, 1418
H/1998 M), h. 430
30
Lihat: Ahmad Abdurrahmn al- Naba, al- Fath al- Rabbn Tartib Musnad al-Imm Ahmad ibn
Hambal al-Syaebn, Kitb al-Jihd, Bb al-Dawah il al-Islm qabla al-Qitl wa Was iyyat alImm li Amr al-Jaesy, Juz XIV (al-Qhirah: Dr al-Syahab, t.th.), h. 46
31
32
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh , Juz VIII, Cet. IV (t.tp: tp, 1418
H/1997 M), h. 5853
33
126
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh , Juz VIII, Cet. IV (t.tp: tp, 1418
H/1997 M), h. 5854-5855
Hadis tentang larangan berbantah-bantahan diriwayatkan oleh al-Bukhr :
35
.
Lihat: Ab Abdillh al-Bukhr, Sahh al-Bukhr, Kitb al-Jihd wa al-Siyar, Bb Qauluh
Taala: wa l Tanza Fatafsyal wa Tazhaba Rhhukum, Juz II (T.tp.: Dr Ihya al- Kutub alArabiyah, t.th.), h. 175
36
127
peluang bagi mereka untuk berbuat tidak adil termasuk membunuh musuh
secara sadis. Keempat, dilarang membunuh wanita, anak-anak,37 orang lanjut
usia dan pendeta.38 Pembunuhan keempat kelompok tersebut dibolehkan kalau
anak-anak itu dijadikan umpan, sedangkan wanita, orang lanjut usia dan pendeta
menfasilitasi, berpartisipasi dan menjadi supporter dalam peperangan, menjadi
bahagian dari keluarga musuh dan berada di medan pertempuran. Kelima,
larangan lainnya yang perlu dihindari adalah membunuh delegasi musuh, dan
memotong-motong tubuh musuh (mutilasi), membakar dan menyerang wajah
musuh, mencari harta rampasan, menyalahi perjanjian dan merusak lingkungan
hidup.39 Penerapan kode etik jihad tersebut, menunjukkan bahwa Islam bersifat
hati-hati tentang kebolehan peperangan secara fisik dan ini menunjukkan bahwa
Islam sebenarnya adalah agama yang humanis dan ekologis.
Selain kode etik yang diperlakukan terhadap lawan, terdapat juga
beberapa persyaratan bagi mujahid (pejuang) dalam berjihad terutama sebelum
terjun di medan pertempuran. Mujahid hendaknya memiliki kredibilitas seperti
beriman, dewasa, niat yang baik (karena Allah semata), berakal sehat, dan bukan
seorang pesimis dan mundur ketika berhadapan dengan musuh. Persyaratan
lainnya ialah mujahid harus memiliki kemapanan ekonomi untuk menunjang
kesejahteraan keluarga yang ditinggalkannya dan juga untuk keperluan dirinya
sendiri selama dalam peperangan. Pejuang juga disyaratkan memperoleh izin
dari orang tua terkecuali dalam serangan mendadak, dan memiliki loyal yang
37
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh , Juz VIII, Cet. IV (T.tp: tp, 1418
H/1997 M), h. 5855
39
Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom (Jakarta: Penerbit Republika, 2007), h. 184-200
128
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (New Jersey: The Lawbook
Exchange, LTD, 2006), h. 84-86. Ibn Quddmah mensyaratkan tujuh hal yang harus dipenuhi
bagi seorang mujahid untuk dapat terjun ke medan pertempuran yaitu: Islam, balik (dewasa),
berakal sehat, merdeka, laki-laki, sehat jasmani, dan kemampuan ekonomi. Lihat: Ab
Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Quddmah al-Maqdis, al-Mughn al
Mukhtasar al-Kharq , Juz VIII, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H/1994 M), h.
240-241
41
Lihat misalnya Q.S. al-Baqarah (2): 190, 193; Ali Imran (3): 167; dan al-Hajj (22): 78
42
Ab Abdillh Muhammad ibn Idris al-Syfii, al-Umm, Juz IV, Cet. II (Beirut: Dr alFikr, 1403 H/1983 M), h. 170-171
43
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (New Jersey: The Lawbook
Exchange, LTD, 2006), h. 85-86
129
Allah menyuruh Nabi dan umat Islam untuk bersabar menghadapi cacian dan
intimidasi kafir Quraisy: ( bersabarlah kamu dengan sabar yang yang baik.
130
individual (fardu ain) dan komunal (fardu kifayah) terhadap kaum musyrik
Mekkah. Perjuangan ini mulai diperluas dalam bentuk pengorbanan harta benda
(Q.S. al-Taubah (9): 41, 45 psikis dan spiritual. Pengorbanan ini merupakan
konsekuensi logis dari perintah berhijrah. Ketiga, setelah itu jihad berkembang
menjadi makna berperang (al-harb) terhadap kaum musyrikin yang ingin
menyerang eksistensi umat Islam Madinah. Keempat, pada masa penaklukan
kota Mekkah (Fath Makkah) dan sesudahnya, jihad dalam makna perang
terhadap kaum musyrikin Mekkah sehingga mereka beriman dan mengakui
eksistensi Rasulullah saw. Kelima, makna jihad dalam bentuk peperangan
terhadap orang-orang yang mengingkari ajaran agamanya dari kalangan Ahlu
Kitab dan terhadap mereka yang berkhianat dan melanggar perjanjian piagam
Madinah.46 Hal tersebut disebabkan kelompok Yahudi tidak konsisten terhadap
perjanjian yang disepakati dengan Nabi dan umat Islam sebelum penaklukan
Mekkah. Peperangan ini dilaksanakan sampai mereka bersedia membayar upeti
(jizyah) sebagai bentuk jaminan keamanan dan kelompok ini dinamai dengan
ahl dzimmah. Keenam, selanjutnya makna jihad mengalami perubahan makna
lagi sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu yakni perjuangan spiritual dan
moral dalam menghadapi problema dan permasalahan hidup. Perang atau
pengorbanan harta hanya ditujukan dalam rangka merealisasikan perjuangan
spiritual dan moral karena pengorbanan harta dan jiwa merupakan bukti autentik
dari proses perjuangan tersebut.47 Pandangan ini merupakan acuan dalam
menguraikan perkembangan arti jihad dalam Islam.
45
Isi Piagam Madinah antara lain: barang siapa dari golongan Quraisy menyeberang
kepada Muhammad tanpa seizin walinya, maka harus dikembalikan kepada mereka, sementara
jika pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy tidak dikembalikan; anggota
masyarakat boleh mengadakan kerja sama dengan Muhammad, demikian halnya dengan
Quraisy; Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak boleh berhaji tahun ini dan bisa
melakukannya pada tahun berikutnya. Lihat: Muhammad Husain Haekal, Hayt Muhammad
diterjemahkan Ali Audah dengan judul: Sejarah hidup Muhammad , Cet. XXXIV (Jakarta: PT.
Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 410-411
47
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I
(JakartaL LSIP, 2004), h. 14-15; Bandingkan dengan: Reuven Firestone, Jihad: The Origin of
Holy War in Islam, (New York: Oxford University Press, 1999), h. 106-114
131
49
50
51
52
132
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan perang Nabi apakah bersifat defensif
atau ofensif. Ulama klasik seperti Ibn Taimiyah dan ulama kontemporer, Wahbah al-Zuhaeli
berpendapat defensif (al-harb al-hujm), sementara ulama lainnya mensifati peperangan
Rasulullah sebagai ofensif atau ekspansif (al-harb al-tawassuiyah ). Lihat: Muhammad Khair
Haekal, Al-Jihd wa al-Qitl f al-Siysah al-Syariyah diterjemahkan A. Fakhri dengan judul:
Jihad dan Perang Menurut Syariat Islam , Cet. I (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), h. 165173; Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I (Jakarta:
LSIP, 2004), h. 79; Louay Fatoohi, Jihad in the Quran: The Truth from the Source (Kuala
Lumpur: As. Noordeen, 2002), h. 104-105
54
55
56
57
133
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I
(Jakarta: LSIP, 2004), h. 42-43
134
60
135
batas. Teks Alquran (Q.S. al-Hajj (22): 39)62 merupakan ayat yang pertama yang
memberikan izin tentang disyariatkannya jihad dalam makna peperangan.
Kemudian diikuti oleh ayat-ayat lain diantaranya (Q.S. al-Baqarah (2): 190;63 alTaubah (9): 111). 64 Berdasarkan argumentasi naqli tersebut, secara garis besar
alasan disyariatkan jihad itu adalah untuk mempertahankan agama dan
kedaulatan umat atau negara Islam.
Ayat yang membolehan mengangkat senjata untuk pertama kali bagi kaum Muslimin:
: .
63
64
136
137
akan tetapi hanyalah sarana yang disyariatkan Allah guna mewujudkan berbagai
tujuan lain. Di antara tujuan jihad di jalan Allah adalah untuk memperoleh
keridaan Allah swt. Pada umumnya umat Islam meyakini bahwa berjihad di
jalan Allah merupakan tugas suci bagi mukallaf yang memiliki kemampuan fisik
dan mental. Orang yang berjuang di jalan Allah akan memperoleh ganjaran
pahala yang besar dan kemuliaan di sisi Allah.68 Seorang mujahid yang gugur
dalam pertempuran mendapat gelar kehormatan sebagai syahid (tunggal) atau
syuhada69 (plural). Allah menyediakan kemuliaan, keutamaan dan derajat yang
tinggi bagi para mujahidin dan syuhada di jalan-Nya yang tidak dapat diraih
dengan ibadah lain, bahkan ibadah salat, zakat, puasa, dan haji sekalipun tidak
bisa menandingi keutamaan dan kemuliaan jihad di jalan Allah. Di antara
kemuliaan dan keutamaan tersebut antara lain: mereka memperoleh pahala
besar,70 kebaikan mereka tetap eksis sekalipun sudah meninggal dan berjihad
merupakan amalan yang terbaik, mereka tetap hidup sekalipun jasad mereka
mati,71 syuhada selamat dari siksaan api neraka, amalan mereka dilipatgandakan
beribu kali, mereka adalah tamu Allah dan dimuliakan, Malaikat memberi
naungan dan menancapkan mahkota kepada syuhada, mereka akan disuguhkan
bidadari di syurga.72 Jadi, jihad dalam rangka mempertahankan agama
68
69
Berdasarkan beberapa hadis sahih, term syuhada tidak hanya dimaknai dengan
orang yang gugur di medan pertempuran, melainkan juga orang yang meninggal di jalan Allah,
meninggal karena tenggelam, perempuan yang meninggal karena melahirkan. Dalam sebuah
hadis Nabi bersabda:
()
(Barangsiapa yang terbunuh karena melindungi harta, diri, agama, dan keluarganya maka ia
mati syahid)
70
Rasulullah bersabda:
( )
(Berperang sesaat di jalan Allah lebih baik dari pada beribadah pada malam lailatul
qadar dekat hajar aswad)
71
Pembahasan tentang beberapa kemuliaan dan kelebihan yang bakal diperoleh syuhada
diuraian secara detail disertai kutipan hadis-hadis yang mendukung argumentasinya. Lihat:
138
memberikan
izin
berjihad
(berperang)
dalam
rangka
Abdul Bq Ramdn Al-Jihdu Sablun, diterjemahkan oleh Darsim Ermaya dan Imam
Fajaruddin dengan judul, Jihad Jalan Kami, Cet. I (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 266-293
73
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Virginia,USA: The William
Byrd Press, 1955), h. 59-62
139
(Q.S. Al-Baqarah (2): 193; Ali Imran (3): 139; Al-Nisa (4): 75; Al-Anfal (8): 24;
Al-Taubah (9): 5, 36, 38-39). 74
Dalam pandangan Usamah bin Ladin, membunuh orang-orang Amerika
dan sekutunya baik sipil maupun militer adalah wajib individual (fardu ain)
bagi umat Islam yang mampu melaksanakan kewajiban tersebut dimanapun
tanpa dibatasi oleh teritorial dan geografis tertentu. Kewajiban jihad tersebut
tetap eksis sampai Amerika dan kaum kafir lainnya meninggalkan dan tidak
mengintervensi di Mesjid Al-Aqsa dan Mesjidil Haram dan tidak lagi
memecahbelah negara dan komunitas Muslim seperti Saudi Arabia, Irak, Mesir
dan Sudan. Selain seruan kewajiban pembunuhan, Usamah bin Ladin juga
menyerukan umat Islam yang beriman dan mengharapkan pahala dari Allah
untuk merampas harta benda dan melancarkan serangan terhadap Amerika dan
sekutunya kapan dan dimana saja.75 Agresi dan kebiadaban Amerika dan aliansi
74
Ayat-ayat yang dijadikan dasar kewajiban jihad oleh Usamah bin Ladin:
( : ) ...
(Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah).
( : )
(Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu kamu orang-orang yang beriman).
( : ) ...
(Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik
laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak).
( : ) ...
(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya ).
( : ) ...
(Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana
saja kamu jumpai mereka).
( : ) ... ...
(Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya ).
( : ) ...
(Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: Berangkatlah
untuk berperang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu).
( : ) ...
(Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang
pedih).
75
Tim Penerbit Ababil Press, Dekalarasi Perang Karya Asli, Fatwa dan Wawancara
Usamah bin Ladin (Jakarta: Ababil Press, 2001), h. 60-64
140
76
Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 62-63;
Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom , Cet. I (Jakarta: Republika, 2007), h. 41-42; Adjie Suradji,
Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 283
77
Center for Islam, Indonesia and Political Studies, Demokrasi dan Kaitannya dengan
Terorisme di Indonesia, http://cispos.blogspot.com/2008/05/demokrasi-dan -kaitannyadengan.html, diakses tanggal 13 Agustus 2008
141
78
142
tidak senonoh.80 Dari beberapa kasus di Asia Tenggara ini sebenarnya ada
keterkaitan antara motivasi sosial yang bersifat global dengan kondisi lokal.
Aksi jihad di atas lebih kepada penggunaan kekerasan dalam membentuk
solidaritas sosial terhadap penderitaan umat Islam di Afghanistan, Palestina dan
berbagai daerah konflik lainnya, tetapi ada analisa yang menarik bahwa
pembalasan yang bersifat koperatif dan asimilatif ditakuti oleh Barat. Salah satu
contoh adalah keikutsertaan Abdul Rahman Alamoudi (ketua American Muslim
Council tahun 1990-2000) diberbagai kegiatan sosial yang dilakukan di Amerika
Serikat antara lain bertemu dengan Presiden Bill Clinton dan Wakil Presiden AlGore, menjadi duta Amerika ke luar negeri sebagai representasi Muslim
moderat. Dia tertangkap tahun 2003 dengan tuduhan sebagai donatur penting
pengeoperasian Al-Qaeda dan Hamas. Dalam pandangan Steven Emerson,
penyamaran Abdul Rahman Alamoudi atas keterlibatannya dalam tataran
birokrasi Amerika sebagai bentuk cultural Jihad (perjuangan melalui jalur
sosial budaya) membahayakan Amerika sendiri. Sisi lain dari upaya jihad
pada tataran budaya tersebut adalah keikutsertaan kelompok umat Islam dalam
menuntut hak-hak masyarakat (civil rights) bekerja sama dengan kelompok
minoritas lainnya akibat diskrimasi dan rasisme yang dilakukan pemerintah.81
Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa jihad dimotivasi oleh
solidaritas sosial terhadap penderitaan umat Islam di negara atau komunitas lain,
dan sebagai perwujudan dari mempertahankan kedaulatan masyarakat dan
negara Islam.
Bentuk lain dari mempertahankan kedaulatan Islam adalah keinginan
untuk mewujudkan kedaulatan atau negara Islam (daulah Islamiyah). Secara
historis, umat Islam (bahkan sejak zaman Rasulullah) sudah mewujudkan
keinginan untuk mendirikan khilafah dan perluasan wilayah kekuasaan dengan
menggunakan metode jihad. Khalifah Umar bin Khattab (w. 644 M.) misalnya,
pada awal pemerintahannya tidak terlalu agresif dalam melakukan invasi ke
80
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, II (Solo: Jazera, 2004), h. 108-109; Ali Imron,
Ali Imron Sang Pengebom , Cet. I (Jakarta: Republika, 2007), h. 41-71
81
67
Steven Emerson, Jihadism: Where Is It?, The Sydney Papers, Vol. 18 No. 2, h. 66 -
143
Negara seperti Roma dan Persia, tetapi akhirnya hal tersebut dilakukannya
dalam rangka melindungi Islam dan komunitas Muslim dari serangan musuh.82
Perluasan daerah yang dilakukan khalifah Umar bin Khattab termasuk khalifah
lainnya pada dasarnya adalah untuk penyebaran Islam yang humanis dan toleran
yakni memberikan opsi kepada masyarakat tersebut dengan menerima Islam
atau membayar jizyah. Jadi, invasi tersebut untuk kepentingan Islam dan
komunitas Muslim pada masa itu.
Tetapi, Mohammad Said Al-Ashmawy mengkritisi bahwa kebijakan
pemerintah (khalifah) menginvasi negara lain adalah untuk memperoleh
kekuasaan, harta, rakyat atau untuk melindungi apa yang mereka telah peroleh
dari harta rampasan. Mereka menggunakan konsep jihad dalam menginvasi di
bawah panji Islam dan atas nama Tuhan untuk memberikan kekuasaan lebih
besar kepada Islam dan membimbing manusia kepada kebenaran. Tujuan
mereka hanya bersifat temporal. Peperangan itu untuk kepentingan khalifah
sendiri, keluarga dan bangsawan sekalipun terselubung tujuan untuk
menyebarkan Islam. Jihad dalam makna politik ditentukan oleh sejarah dan
bermakna pembelaan diri. 83 Kritikan ini tidak sepenuhnya diterima karena tidak
ada bukti autentik yang membuktikan bahwa perluasan wilayah adalah untuk
kepentingan khalifah dan keluarganya. Misalnya, pendistribusian harta
rampasan perang tidak dinikmati oleh khalifah sendiri tapi telah ada
ketentuannya dalam Islam (Q.S. Al-Anfal (8): 41).
Selain kritikan di atas, ada juga asumsi bahwa mujahid terlibat dalam
peperangan karena ada keinginan untuk memperoleh keuntungan finansial.
Dalam sejarah Islam, terindentifikasi beberapa kasus yang mengindikasikan
bahwa sebahagian mujahid yang terlibat dalam perluasan wilayah Islam atau
jihad termotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi
82
144
mereka. Di antara kasus tersebut terjadi pada masa Rasulullah saw. Nabi saw
pernah mengutus angkatan perang yang di dalamnya ada Harits bin Muslim bin
Harits. Ketika rombongan tersebut sudah mendekati wilayah di medan
peperangan, tiba-tiba Harits bin Muslim bin Harits memacu kudanya sehingga
mendahului rombongannya dan ia tiba lebih awal di suatu perkampungan.
Penduduk mengerumuni Harits sambil berteriak-teriak, dah Harits menyambut
teriakan mereka dengan suatu permintaan: Hai sekalian manusia, katakanlah
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah maka kalian akan selamat. Mereka
menerima ajakannya sehingga tidak terjadi pertempuran. Karena tidak terjadi
pertempuran, sebahagian sahabat dari pasukan Islam mengkritisi dan tidak
menyetujui tindakan Harits bahkan mereka menganggap Harits telah
menghalangi rezeki mereka untuk mendapatkan ghanmah (harta rampasan). 84
Peristiwa ini mengindikasikan bahwa ada juga sahabat yang berperang dengan
tujuan untuk memperoleh harta di samping mungkin terselip tujuan membela
Islam.
Selain itu, komandan perang terutama dalam penaklukan Damaskus dan
Iran, memberikan apresiasi kepada tentara yang berekonomi lemah. Islam
memberikan kontribusi lebih terhadap mujahid yang miskin dan selalu ikut di
medan pertempuran dari perolehan harta rampasan ( ghanmah)85 sebagai
penopang hidup keluarga yang ditinggalkan.86 Dalam hal ini, harta rampasan
bukan saja untuk kesejahteraan para personil angkatan perang tetapi juga untuk
kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan. Kemungkinan porsi pembagian
tersebut dimaksudkan untuk mendorong semangat juang kaum Muslimin agar
84
Ghanmah adalah harta yang didapat dari musuh melalui peperangan, sedangkan
harta yang diperoleh tanpa perang disebut fai. Yang termasuk ghanmah meliputi: tentara
tawanan, perempuan, anak-anak, harta bergerak dan tidak bergerak. Harta bergerak dibagi lima
bagian: 1/5 bagi tentara perjalan kaki, 3/5 untuk tentara berkendaraan (1/5 bagi tentara dan 2/5
untuk kendaraannya), sisa 1/5 dibagi lima bagian (1/25 untuk Raulullah, 1/25 bagi keluarga
Rasul dari Bani Hasyim dan Bani Mutalib, 1/25 untuk anak yatim, 1/25 untuk orang miskin dan
1/25 untuk ibnu sabil). Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus
Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 84-85; Q.S. al- Anfal (8): 41
86
Rasul Jafariyan, The History of Caliphs, diterjemahkan oleh Anna Farida, Nailul
Aksa dan Khalid Sitaba dengan judul Sejarah Khilafah (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 143
145
tidak surut dalam menghadapi serangan musuh baik dalam arti jihad defensif
atau ofensif. Meskipun materi bukan satu-satunya tujuan disyariatkannya jihad,
akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari peperangan adalah menang atau
kalah. Bagi yang kalah akan mengalami kerugian yang berlipat ganda yakni
kemungkinan kehilangan jiwa dan harta, sementara bagi pemenang walau
mungkin kehilangan personil yang gugur dalam pertempuran akan tetapi masih
mendapatkan sejumlah harta rampasan dari musuh yang dikalahkan. Motivasi
untuk memperoleh dukungan ekonomi bukanlah sebagai motivasi utama dalam
berperang karena mungkin hal itu hanya bersifat kasuistik dan temporal saja.
Tetapi mujahidin pada masa Rasulullah umumnya berjihad termotivasi untuk
memperthankan agama dan kedaulatan negara.
Di era kontemporer, munculnya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir
terobsesi untuk membebaskan wilayah teritorial umat Islam dari kekuasaan atau
intervensi asing dan mewujudkan sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam.
Kedaulatan dan kemandirian politik gerakan Ikhawanul Muslim tersebut dalam
rangka mewujudkan keadilan sosial dan kemaslahatan yang menyeluruh kepada
masyarakat.87 Gerakan Islam lainnya yang mengusung ide pembentukan daulah
Islamiyah atau khilafah Islamiyah adalah Hizbut Tahrir (HT). Dalam perspektif
Hizbut Tahrir, daulah Islamiyah merupakan suatu keharusan sebagai solusi
terhadap persoalan krisis ekonomi, sosial, politik yang oportunistik serta model
pendidikan yang materialistik, dan pelaksaan syariat Islam akan efektif jika
terwujud daulah Islamiyah.88 Daulah Islamiyah adalah sistem kekuasaan
tertinggi yang mengurus dan mengatur kehidupan umat Islam, dan pemegang
kekuasaan tertinggi tersebut adalah khalifah.89 Sistem kekuasaan khilafah tidak
87
146
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), 61-62
147
148
sangat tidak rasional dan tidak memiliki justifikasi legal formal dalam Islam,
sebab Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi aspek kemanusiaan
(humanis),93 toleran94 dan mengutamakan perdamaian 95 dan kesejahteraan umat
manusia secara keseluruhan.96
Di era modern ini umat Islam perlu mereproduksi tradisi pemahaman
makna jihad yang sudah berakar pada masa klasik yang dapat melahirkan taklid
dan kejumudan intelektual, dan memerlukan pemikiran kreatif dan inovatif
dalam rangka memunculkan fleksibiltas hukum Islam terutama yang berkaitan
dengan jihad. Hal ini bukan menunjukkan arogansi keintelektualan seorang
Muslim pada masa sekarang dan seolah-olah menafikan eksistensi dan
perjuangan pakar hukum Islam klasik, tetapi lebih karena berkeinginan untuk
membuka peluang berijtihad dan memaknai jihad sehingga maknanya tidak
secara eksklusif bermuara pada makna perang.
Jihad merupakan konsep perjuangan dalam Islam yang mencakup dua
dimensi yakni perjuangan bersifat internal97 (al-jihad al-akbar) dan perjuangan
yang bersifat external98 (al-jihad al-asghar). Perjuangan secara internal artinya
seorang Muslim berjuang dan berusaha untuk meningkatkan kemapanan dan
kesejahteraan yang bersifat individual, sedangkan perjuangan yang bersifat
external yakni perjuangan yang bersifat komunal dan ini biasa diistilahkan
dengan perang. Kedua model perjuangan ini memiliki tujuan yang sama yakni
dalam rangka meninggikan agama Allah dan mencari keridhaan-Nya. Dalam
93
Lihat misalnya: Q.S. al- Nisa (4): 29; al- Hujurat (49): 11-13
94
95
96
97
Jihad internal dimaksudkan sebagai perjuangan menjalani kehidupan yang lebih baik,
perjuangan melawan hawa nafsu dalam rangka mencapai keutamaan kepribadian luhur serta
perjuangan meningkatkan kualitas dan integritas diri.
98
149
150
Pemerintah Iran tersebut adalah bentuk jihad yang nyata selain dari pada
mengoperasikan atau melegalkan pengeboman yang destruktif untuk melawan
Amerika.
Bentuk jihad yang lainnya adalah penegakkan keadilan dan kebersamaan
termasuk dengan kelompok non Muslim. Islam mengajarkan untuk tetap berlaku
adil dan memaafkan sekalipun orang tersebut telah menghianati umat Islam
(Q.S. al-Maidah (5): 2 dan 8. Keadilan mencakup makna yang luas termasuk
adil terhadap diri sendiri dan keluarga (Q.S. al-Anam (6): 152 dan adil ketika
menjadi pemimpin. M. Quraish Shihab mengemukakan empat makna adil
(keadilan) yaitu memperlakukan manusia sama antara satu dengan yang lainnya
(Q.S. al-Nisa (4): 58, keseimbangan atau proporsional sesuai dengan fungsi dan
tujuannya (Q.S. al-Infitar (82): 6-7 dan al-Mulk (67): 3, perhatian terhadap hakhak individu dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya, dan adil yang
disandarkan kepada Ilahi.100 Keadilan yang dipresentasikan di atas merupakan
pengaplikasian jihad dalam arti sejauhmana manusia mampu bersabar dalam
mewujudkan keadilan sesuai dengan petunjuk nas tersebut.
Salah satu implikasi dari penegakkan keadilan tersebut adalah dapat
mewujudkan kebersamaan dan kesejahteraan sosial dan dapat dimulai dengan
Islam yakni penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah swt.101 Membangun
jiwa kebersamaan antara individu, keluarga dan masyarakat sehingga tercipta
hubungan yang serasi antara anggota masyarakat dan manusia lainnya dan
penjabarannya bisa dalam bentuk pemberian bantuan
terhadap
yang
102
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet. XII (Bandung: Mizan, 2001), h. 114-
116
101
102
Q.S. al-Hasyr (59): 9, ayat ini menjelaskan bagaimana pertolongan yang diberikan
penduduk Madinah (kaum Ansr) kepada kaum Muhajirin Mekah. Golongan Ansr rela dan
ikhlas menyerahkan harta bendanya kepada saudara-saudaranya pendatang baru meskipun
sebenarnya mereka masih butuh. Bahkan di antara kaum Ansr yang memiliki isteri lebih dari
satu bersedia memberikan kepada saudaranya (muhajirin) untuk dinikahi.
151
dan non fisik, serta makna jihad mengalami evolusi sesuai dengan kondisi
masyarakat. Di era kontemporer, pemaknaan jihad lebih difokuskan pada makna
non fisik yakni perjuangan untuk meningkatkan intelektual, integritas dan
kesejahteraan manusia baik secara individu maupun kolektif. Namun pada
kondisi tertentu makna jihad bisa saja dipahami dengan makna peperangan di
medan pertempuran tetapi dalam pengaplikasian makna tersebut sesuai dengan
kode etik yang ditekankan dalam Islam yakni menyampaikan dakwah atau
pemberitahuan tentang Islam sebelum peperangan, larangan berbantah-bantahan,
larangan mengarahkan senjata ke perkampungan Muslim, dan larangan untuk
membunuh anak-anak, perempuan, orang tua jompo dan pendeta terkecuali
mereka memilki andil dalam peperangan tersebut. Pembahasan selanjutnya
adalah seputar persoalan yang berkaitan dengan jihad dan gerakan radikal di
dunia Islam untuk mengidentifikasi berbagai gerakan radikal dalam rangka
mengaktualisasikan jihad mereka.
yaitu
fundamentalisme
radikal
dan
fundamentalisme
puritan.
152
104
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Ahmad ibn Abdul Halim ibn Abdussalam ibn
Abdullah ibn Taimiyah. Lahir 661 H di Harran kota Syam. Sejak kecil Ibn Taimiyah berguru
pada bapaknya bernama Syihabuddin Abdul Halim mempelajari bahasa, ilmu hadits dan fiqh
mazhab Hambal. Dia berpindah ke Mesir selama tujuh tahun guna memerangi bidah, khurafat
dan penyelewengan dalam penafsiran Alquran dan hadits. Di antara karya-karyanya: al-Fatwa
al-Kubra, al-Sarim al-Maslul an Syatmi al-Rasul, al-Siysah al-Syariyah f Is lh al-R wa
al-Raiyah. Wafat 728 H dalam usia 67 tahun. Lihat: Muhammad Said Mursi, Uzamu alIslm Abra Arbaata Asyara Qarnan min al-Zamn, diterjemahkan Khoirul Amru Harahap dan
Achmad Faozan dengan judul: Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang sejarah , Cet. III Jakarta:
Pustaka al- Kautsar, 2007), h. 364-366
105
153
1. Mesir
Gerakan Ikhwanul Muslimin (persaudaraan kaum Muslimin) yang
didirikan oleh Hasan al-Banna (w. 1949 M.)107 pada tahun 1928 merupakan
gerakan yang cukup terkenal di Mesir. Lahirnya gerakan ini disebabkan oleh
kondisi masyarakat Mesir yang dijajah oleh pemerintah Inggeris, mereka
ditindas dan menjadi pekerja kasar sementara para penjajah bersenang-senang.
Kristenisasi dan sekulerisasi terjadi di masyarakat Mesir sehingga menodai
akidah umat Islam. Gerakan Ikhwanul Muslimin bertujuan memperbaiki nasib
bangsa Mesir dari kolonialisasi dan meluruskan akidah mereka yang sudah
mulai terkontaminasi sekulerisasi. Al-Banna membentuk Tanzm al-Khas (Korps
Pasukan Khusus) tahun 1940, merupakan jaringan bawah tanah dan bertujuan
untuk menghadapi kekuatan penjajah Inggeris dan ancaman zionis Israel. Banna
mengirimkan pasukannya (relawan Mujahidin) yang sudah terlatih ke medan
pertempuran Palestina-Israel tahun 1948 dan berhasil mengalahkan tentara
Israel.108 Karena komitmen politiknya tersebut, Banna menekankan bahwa
107
Perang Arab-Israel yang pertama terjadi pada tahun 1948, yang kedua tahun 1956,
sementara yang ketiga tahun 1967 ditandai dengan kemenangan Israel. Kemengangan Arab atas
Israel pada perang pertama memberikan kesan atas keberanian dan kegagahan Mujahidin
Ikhwanul Muslimin di medan pertempuran. Hal ini diakui oleh Presiden Gamal Abdul Nasser
dan tentara Mesir yang turut dalam pertempuran 1948. Lihat: A. Yani Abeveiro, Bermula Dari
Al-Ikhawan Al-Muslimun: Menyeru Jihad Menebar Teror, dalam A. Maftuh Abegebriel, A.
Yani Abeveiro Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004),
h. 289
154
Nama lengkapnya, Hasan Ismail al-Hudaibi. Lahir di Syibin al-Qanatir (Mesir) 1891
M. Ia berprofesi pengacara lalu menjadi hakim Pengadilan Mesir kemudian mengundurkan diri
setelah dipercayakan sebagai pengganti al-Banna 1950. Masa rezim Nasser, ia dipenjara dengan
tuduhan makar dan dijatuhi hukuman mati lalu diganti hukuman seumur hidup. Ia wafat,
Nopember 1973 M. Lihat: Muhammad Said Mursi, Uzamu al-Islm Abra Arbaata Asyara
Qarnan min al-Zamn, diterjemahkan Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan dengan judul:
Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang sejarah , Cet. III Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2007), h. 321324
111
Lihat: Sebuah Wajah Teduh, http://elqudsy.blogspot.com/2006/02/sebuah-wajahteduh.html diakses tanggal 10 Juli 2008
112
Nama lengkapnya, Sayyid Qutb Ibrhim Hasan al-Sydzil. Lahir di Asyut (Mesir)
1906 M. Ia telah menghafal Alquran sejak berusia 10 tahun dan menyelesaikan studinya pada
Fakultas Dr al-Ulm, Universitas Kairo kemudian menjabat penilik pada Departemen
Pendidikan dan Pengajaran Mesir dan diutus bersama delegasi Kebudayaan Mesir ke Amerika
tahun 1949 selama dua setengah tahun. Ia tinggalkan pekerjaannya dan memilih menjadi jurnalis
sibuk menulis di koran dan majalah dan memimpin majalah Ikhwanul Muslimin. Tahun 1954 ia
ditangkap dengan tuduhan merencanakan pembunuhan Nasser dan tahun 1965 ia dijatuhi hukum
mati atas tuduhan kudeta. Setahun kemudian (1966) ia dieksekusi gantung oleh rezim Gamal
Abd Nasser. Lihat: Muhammad Said Mursi, Uzamu al-Islm Abra Arbaata Asyara
Qarnan min al-Zamn, diterjemahkan Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan dengan judul:
Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang sejarah , Cet. III Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2007), h. 249254
155
115
156
yang
dihadapi
116
Gerakan al-Najun min al-Nr tidak dibahas secara terperinci karena tidak
diketemukan pembahasan. Lihat: Diyu Rusywn, Dall al-Harakt al-Islmiyah f al-Alam ,
157
158
berkeinginan untuk menjadikan negara Islam yang memiliki otonomi sendiri dan
membebaskan masyarakat Muslim dari segala pengaruh yang merusak akidah,
moral terutama dari pengaruh hegemoni Barat (Kristen).
Kedua, gerakan radikal al-Takfir wa al-Hijrah dibawah pimpinan Syukri
Ahmad Mustafa. Penamaan organisasinya dengan al-Takfir wa al-Hijrah
sebenarnya diberikan oleh masyarakat dan media massa, sementara Syukri
sendiri lebih menyukai penyebutan Jamaah al-Muslimin atau dengan sebutan
al-Ikhwan al-Muslimun. Gerakan ini mengkafirkan semua orang Islam yang
berbuat maksiat dan telah menerima dakwah tetapi tidak menjadi anggota
gerakan ini. Tujuan gerakan al-Takfir wa al-Hijrah adalah memperjuangkan
tegaknya negara Islam (khilafah Islamiyah) yang di dalamnya berlaku syariat
Islam. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mereka menempuh tiga tahapan
yakni dakwah secara terbuka (terang-terangan), al-Srah (Uzlah atau
berkhalwat) dan perbaikan komunitas. Pada tahapan pertama, aktivis gerakan ini
memulai dakwah secara terang-terangan dalam rangka li ili kalimatillh.
Mereka menyadari bahwa berbagai tantangan akan dihadapi para juru dakwah
seperti tekanan, cercaan dan hinaan sebagaimana yang pernah dialami
Rasulullah saw pada awal dakwahnya menyebarkan Islam. Mereka disarankan
untuk bersabar mengahadapi rintangan-rintangan tersebut dan diberikan
dukungan moral dan keyakinan bahwa dengan kesabaran dan ketabahan akan
melahirkan
simpati
(respect)
dari
orang-orang
yang
benar-benar
122
159
123
124
160
pembahasan
tentang
gerakan
radikal
Islam
di
Saudi
126
Dasar legitimasi revolusi jihad bagi Umar Abdurrahman yakni Q.S. al-Maidah (5):
44
( : ) ...
(Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orangkafir); Selanjutnya Q.S. al-Anfal (8): 39
: ) .
(Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata bagi
Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan).
127
A Yani Abeveiro, Bermula Dari Al-Ikhawan Al-Muslimun: Menyeru Jihad
Menebar Teror, dalam dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The
Thematic Encyclopedia (Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004), h. 370
161
2. Saudi Arabia/Afghanistan
Di Saudi Arabia terdapat gerakan keagamaan yang bersifat konservatif
reformis dari kalangan Islam Sunni yang disebut Wahabi (Wahhbiyah). Nama
ini diambil dari nama pendirinya Muhammad ibn Abd Wahhb pada sekitar
akhir abad 18 dan awal abad 19 bertujuan melakukan purifikasi agama.
Sekalipun gerakan ini tidak di akui eksistensinya pada masa pemerintahan
Ottoman tahun 1920an, namun sejak tahun 1920, gerakan Wahabi berkembang
dengan pesat dan dianut di Saudi Arabia.
Perkembangan gerakan Wahabi dapat diklasifikasikan pada dua aspek
yakni tarbawi dan haraki. Wahabi Tarbawi lebih memusatkan perhatiannya pada
bidang pendidikan, sementara Wahabi Haraki menitikberatkan aktivitasnya pada
dimensi amar maruf nahi mungkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran). Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia
(SDM), pemerintah Wahabi-Saudi dengan dukungan kekayaan sumber mineral
berupa minyak mampu membangun sarana pendidikan tidak hanya di negara
Saudi tetapi juga di negara-negara Muslim di dunia. Selain itu, menyebarluaskan
buku-buku Wahabi ke seluruh pelosok dunia. Pasca Perang Dunia II, pemerintah
Saudi menerapkan kurukulum pendidikan dasar berbasis pengajaran doktrin
Wahabi.128 Juga seperti kurikulum di sekolah, universitas, dan lembaga
pendidikan diseragamkan. Demikian halnya buku-buku yang masuk ke Saudi
diseleksi secara ketat, hanya buku yang sesuai dengan paham Wahabi saja yang
diperbolehkan, sementara pengajaran mazhab dan pemikiran Islam diawasi
ketat. Sejumlah gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir,
Jamaah Tabligh, dan Tanzim al-Jihad dilarang eksis di Saudi.129
Paham
128
Stephen Schwartz, Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in
Terrorism, Ist ed. (New York: Doubleday, 2003), h. 120
129
Lihat: http://elqudsy.blogspot.com/2006/01/akibat_kesepakatan_mekah.html, diakses
15 Agustus 2008
162
doktrin Wahabi,130 dan lewat jamaah haji yang datang ke Tanah suci (Mekah
dan Madinah) dari berbagai penjuru dunia setiap tahun. Misalnya, di Indonesia
nampak pada pengamalan keagamaan persyarikatan Muhammadiyah.131
Adapun Wahabi Haraki lebih mengarah pada kepedulian sosial seperti
penggalangan dana untuk membantu penderitaan yang dialami sesama umat
Islam seperti perang Afghanistan dan perlawanan rakyat Palestina terhadap
agresor Israel. Pemberian bantuan lebih diperioritaskan pada bantuan
sukarelawan mujahidin Arab yang berjuang di Afghanistan. Usamah bin Ladin
mendirikan organisasi Al-Qaeda pada 1988 di Afghanistan dalam rangka
menggalang dana sosial (fundraising) dari donatur Muslim lainnya terutama
yang berada di Saudi Arabia.132 Selanjutnya ia merekrut dan membawa
sukarelawan ke kamp latihan di Peshawar (Pakistan) kemudian menyalurkan
mereka ke faksi-faksi pejuang Afghanistan. Jadi organisasi Al-Qaeda pada awal
berdirinya hanyalah merupakan sebuah lembaga kecil yang bertujuan untuk
merekrut dan membiayai para sukarelawan Arab (mujahidin) baik yang akan
diberangkatkan ke medan pertempuran maupun yang tewas dan luka-luka dalam
perang melawan serdadu Uni Soviet di Afghanistan. Usamah menghabiskan
anggaran pribadi sekitar US $25,000 perbulan untuk pendanaan mujahidin
disamping dana sosial.133 Di samping sebagai donatur yang signifikan, Usamah
130
Lihat: Wahhabism, http://en.wikipedia.org/wiki/Wahhabi, diakses tanggal, 18
Agustus 2008
131
Ready Susanto, Osama Bin Laden: Jihad Sepanjang Hayat , Cet. II (Bandung: PT
Kiblat Buku Utama, 2001), h. 77-78; Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia (London:
Lynne Rienner, 2003), h. 5
133
Lihat: Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia (London: Lynne Rienner,
2003), h. 6
163
juga dijadikan sebagai konsultan dan planner gerakan dan bahkan membangun
kamp pelatihan militer dekat Peshawar.134
Pasca perang Afghanistan melawan Uni Soviet yang dimenangkan
mujahidin Afghanistan, Usamah bin Ladin semakin kritis terhadap kebijakan
pemerintah Kerajaan Saudi Arabia seperti mempertanyakan keberadaan pasukan
tempur Amerika dan sekutunya di Jazirah Arab. Sebenarnya Usamah bin Ladin
pada awalnya hidup harmonis dengan keluarga Kerajaan yang ditandai dengan
pelaksanaan beberapa proyek di Saudi seperti pelebaran bangunan masjidil
Haram oleh perusahaan bin Ladin. Akan tetapi setelah pemerintah Kerajaan
mengizinkan serdadu Amerika dan sekutunya berpangkalan di Saudi maka
Usamah bin Ladin tidak dapat menerimanya. Karena sikap kritisnya tersebut
sehingga pemerintah kerajaan mencabut kewarganegaraannya dan selanjutnya
Usamah hijrah ke Sudan. Di tempat yang baru ini, ia memperlebar visi gerakan
jihadnya di berbagai negara dengan cara menjalin kerjasama internasional
dengan gerakan Islam lainnya, dan bahkan sudah eksis di Eropa dan Kanada.135
Karena gerakan Al-Qaeda dinilai berpotensi membahayakan pihak non Islam
terutama Amerika Serikat, maka Amerika mendesak pemerintah Sudan untuk
mengusirnya. Setelah diusir dari Sudan tahun 1996, Usamah bergabung dengan
gerakan radikal Taliban. Dia menggunakan kekuatan diplomatik dan
ekonominya untuk pembanguan Taliban termasuk membangun infrastruktur,
serta menghabiskan dana sekitar $100 juta pertahun.136 Pengorbanan yang
dilakukan
Usamah
tersebut
terimotivasi
oleh
suatu
keinginan
untuk
134
Menurut catatan polisi Jerman, jumlah umat Islam yang ditraining di Kamp ini
70.000 orang, sementara the US Central Intelligence Agency (CIA) mengestimasi 15.000 20.000 orang. Dari Indonesia tercatat kurang lebih 272 orang yang pernah di training di kamp
ini diantaranya Jafar Umar Thalib, Ridwan Isamuddin (Hambali), Imam Samudra, Amrozi.
Lihat: Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia (London: Lynne Rienner, 2003), h. 6-10
135
Steven Emerson, Jihadism: Where is it?, The Sydney Papers, Vol. 18 No. 2, 2006, h.
66
136
Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia (London: Lynne Rienner, 2003), h.
5-6
164
137
Ready Susanto, Osama Bin Laden: Jihad Sepanjang Hayat , Cet. II (Bandung: PT
Kiblat Buku Utama, 2001), h. 77-78; Bandingkan dengan: Sukawarsini Djelantik, Terorisme
dan Kerjasama Internasional, JurnalIlmiah Hubungan Internasional, Vol. 3 No. 7, 2007, h. 591
138
Mengenai isi fatwa jihad Usama bin Ladin dapat dilihat pada pembahasan
sebelumnya.
165
3. Palestina
Salah satu gerakan Islam di Palestina adalah Hamas (Harakat alMuqwamah al-Islmiyah atau Islamic Resistance Movement). Gerakan ini
didirikan oleh Syeikh Ahmed Yassin dan Muhammad Tha pada tahun 1987
dengan tujuan untuk mewujudkan kemerdekaan negara Palestina dan menolak
invasi Israel ke negara tersebut.140 Gerakan ini tidak dikategorisasikan sebagai
kelompok radikal (teroris) seperti yang diklaim oleh Amerika dan Israel141 tetapi
gerakan yang memperjuangan kemerdekaan Palestina dari kolonialisasi Zionis
Israel sejak 1948.142 Gerakan Hamas pada dasarnya adalah perluasan gerakan
Ikhawanul Muslimin yang dibentuk Hasan Al-Banna di Mesir yang berbasis di
Jalur Gaza dan West Bank. Mereka membantu korban perang dengan Israel dan
139
141
166
kadangkala terlibat dalam perlawanan melawan Israel. Sejak tahun 1967, fungsi
gerakan Ikhwanul Muslimin ini diambil alih oleh Mujama (organisasi sosial)
pimpinan Ahamed Yassin, dan anggota kelompok ini berkiprah di intifada
(tahun 1987) dengan nama Hamas dan didukung oleh Ikhwanul Muslimin.
Selama intifada tersebut, Hamas telah memberikan konstribusi yang
signifikan untuk peningkatan kondisi sosial dan keagamaan masyarakat,
peningkatan infrastuktur di bidang pendidikan dan kebudayaan di Jalur Gaza
dan West Bank, dan berimplikasi kepada penguatan politik pada kedua wilayah
tersebut. Gerakan Hamas sangat dikenal dengan usaha Badan amal (charity)
untuk kemanusiaan termasuk membangun fasilitas ibadah serta pengadaan
sarana pendidikan dan kesehatan. Bagi komunitas Jalur Gaza dan West Bank,
termasuk pengungsi, Hamas merupakan gerakan penyelamat karena ideologi
dan gebrakan sosialnya. Antara ide dan aksi dijalankan secara bersamaan di
Hamas sehingga eksistensinya berakar di masyarakat.143 Dalam hal ini, Hamas
mendapat simpati dari kalangan grassroot, tetapi tidak sejalan dengan PLO.
Hamas berseberangan dengan Palestinian League Organization (PLO)
pimpinan Yasser Arafat yang mengakui sebagai satu-satunya organisasi
representasi rakyat Palestina. Hamas mengadakan perlawanan terhadap Israel
dengan menggunakan gerakan bawah tanah dan melancarkan serangan bom
bunuh diri ke Militer Israel dan Yahudi. Aksi bom bunuh diri meningkat ketika
Israel melancarkan pengeboman terhadap Hamas dengan alasan melawan
jaringan teroris setelah bom WTC 2001.144 Alasan pengeboman Israel tersebut
tampaknya sebagai justifikasi aksi bom yang dilakukannya sehingga tidak
dikecam.
Hamas juga berpartisipasi aktif di arena politik dan memperoleh
keberhasilan
terutama
sejak
meninggalnya
Yasser
Arafat.
Mereka
K.M. Sajad Ibrahim, The Question of Terrorism: Hamas and Islamic Jihad in the
Middle East Peace Process, India Quarterly: A Journal of International Affairs, Vol. LIX No.
3 & 4, 2003, h. 243-244
144
K.M. Sajad Ibrahim, The Question of Terrorism: Hamas and Islamic Jihad in the
Middle East Peace Process, India Quarterly: A Journal of International Affairs, Vol. LIX No.
3 & 4, 2003, h. 247-248
167
145
146
Country Report on Terrorism. Lihat:
http://www.nps.edu/Library/Research/SubjectGuides/SpecialTopics/TerroristProfile/Current/HA
MAS.html, diakses tanggal 11 Oktober 2008
147
Nama tersebut terambil dari nama pejuang Arab, syaikh Izz al-Din al-Qassam, dan
dibunuh oleh pasukan Inggeris pada tahun 1935
148
168
149
169
4. Indonesia
Di Indonesia, ditemukan kelompok-kelompok umat Islam yang dianggap
sebagai radikal dan mereka kadangkala berbeda dalam melakukan aksi untuk
mencapai tujuannya. Menurut Jamhari dan Jajang Jahroni, terdapat beberapa
kelompok masyarakat Islam Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai
kelompok salafi radikal Islam antara lain: Majlis Mujahidin Indonesia (MMI),
Hizbuttahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad, dan Front Pembela Islam (FPI).152
Namun, ada juga yang keberatan dikategorikan sebagai radikal seperti HTI
karena mereka tidak melakukan aksi kekerasan di masyarakat.
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), didirikan 7 Agustus 2000 dalam
Kongres Majelis Mujahidin Indonesia I di Yogyakarta, bertujuan membentuk
negara Islam (Daulah Islmiyah) karena aktivis MMI berkeyakinan bahwa
Islam itu adalah agama dan negara (al-dn wa al-dawlah). Dalam perspektif
MMI, penegakkan syariat Islam merupakan solusi dalam menjawab persoalan
multikrisis di Indonesia. Oleh karena itu, latar belakang terbentuknya MMI
antara lain: Pertama, keinginan sebagian umat Islam untuk membentuk negara
Islam baik pada level nasional maupun internasional. Kedua, keprihatinan
151
170
Biro Pusat Statistik (BPS), Jumlah Penduduk Menurut Agama Tahun 2005 (Jakarta:
2005.
154
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 50-51
171
155
Muhammad Iqbal Ahnaf, MMI dan HTI: The Image of the Others, dalam A.
Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro, Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SRIns Publishing, 2004), h. 701-704
156
Muhammad Iqbal Ahnaf, MMI dan HTI: The Image of the Others, dalam A.
Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia (Jakarta: SRIns Publishing, 2004), h.711-718
172
khusus dengan Abu Bakar Baasyir, Abdullah Sungkar.157 Sekalipun MMI dan
JI tidak pernah mengakui akan adanya keterkaitan kelompok mereka dengan AlQaeda tetapi indikasi pertemanan kelompok tersebut menunjukkan bahwa
mereka memiliki ikatan emosional dan ideologi terutama ketika anggota
kelompok tersebut di training di Peshawar (Pakistan) dan bahkan terlibat
peperangan di Afghanistan.
Kelompok radikal salafi Indonesia yang kedua adalah Hizbuttahrir
Indonesia (HTI). HTI memiliki kesamaan dengan MMI terutama berkaitan
dengan keinginan mereka mendirikan negara Islam. HTI mengusung ide Pannasionalisme
yang
bertujuan
mewujudkan
kembali
masa
keemasan
pemerintahan Islam (khilafah Islamiyah )158 pada abad pertama hingga awal abad
pertengahan. Basis HTI adalah Hiszuttahrir (HT) dibentuk oleh Taqiyuddin AlNabhani tahun 1953 di Amman dan organisasi ini merupakan organisasi
transnasional dan eksis di berbagai negara antara lain Inggris, Jerman, Amerika
termasuk negara bekas jajahan Uni Soviet.159
Dasar pendirian kelompok politik ini didasarkan pada Alquran (Q.S. Ali
Imran (3): 104) yang berwenang mengajak kepada kebaikan dan melarang
berbuat kemungkaran (amar maruf nahi munkar). Partai politik Islam adalah
partai yang berasaskan akidah Islam dan menetapkan pemikiran, hukum serta
menyelesaikan
berbagai
persoalan
dengan Islami.
Metode
160
(tharqah)
157
Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of Terror (London:
Lynne Rienner Publishers, 2003), h. 164-165
158
Lihat: Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Daulah al-Islmiyyah, diterjemahkan oleh Umar
Faruq dengan Judul Daulah Islam, Cet. III (Jakarta: HTI Press, 2007), h. 273-279
159
173
ke
masyarakat
sehingga
mereka
mau
menerima
dan
anggotanya memiliki
komitemen
yang
sama
dalam
Islam,
berkepribadian (akal dan jiwa) Islami. Konsentrasi tahap awal ini adalah
perbanyak anggota dan simpatisan HT. Tahapan kedua adalah melakukan
interaksi dengan masyarakat dan membentuk partai yang terdiri dari anggota
yang memiliki kesamaan visi. Tahapan terakhir adalah membentuk suatu
kekuatan untuk tidak toleran terhadap dominasi Barat (Kristen), pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat negara dan masyarakat Muslim lainnya. Oleh
karena itu, mereka cenderung berseberangan dengan pemerintah atau
penguasa.161 Prinsip dan komitmen tersebut juga diadopsi oleh Hizbuttahrir
Indonesia (HTI) yang hadir di Indonesia sekitar tahun 1980an. Gerakan ini
terkenal di kalangan akademisi dengan kelompok tariyah dan usrah. Sekalipun
gerakan ini tidak terlalu popular karena tidak adanya tokoh sentralnya, gerakan
ini
174
162
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 165
163
Mohammad Shoelhi, Laskar Jihad: Kambing Hitam Konflik Maluku (Jakarta: Puzam,
2002), h. 12
164
David Michael, Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in
Indonesia, Contemporary SouthEast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs,
Vol. 24 No. 1, 2002, h. 16; Bandingkan dengan (seperti dikutip dari David): George Aditjondro,
Guns, Pamphlets and Handie-Talkies: How the Military Exploited Local Etno-Religious
Tensions in Maluku to Preserve Their Political and Economic Privileges, Makalah di
presentasikan pada Confrence on Conflicts and Violence in Indonesia, Universitas Humboltd
Jerman, 3-5 Juli 2000
175
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 86
166
Penjelasan tentang fatwa dari beberapa ulama dapat dilihat dalam Ustadz Jafar Umar
Thalib Menepis Rekayasa Fatwa Seputar Jihad di Maluku dalam Salafy, edisi 34, 2000, h. 6-7.
Dikutip dari: Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 100-104
167
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 104
168
David Michael, Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in
Indonesia, Contemporary SouthEast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs,
Vol. 24 No. 1, 2002, h. 19
176
169
David Michael, Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in
Indonesia, Contemporary SouthEast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs,
Vol. 24 No. 1, 2002, h. 15
171
2008
177
172
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 146-147
173
Ide yang diusung FPI adalah formalisasi syariat Islam dalam konteks negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Untuk mewujudkan cita-cita itu FPI melakukan sejumlah upaya
antara lain: menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi,
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menambahkan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya pada amandemen UUD 1945 yang di
bahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa.
Lihat: Front Pembela Islam tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam,
diakses tanggal, 15 Agustus 2008
178
174
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia , Cet. I (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 141-142
175
BAB V
HUKUM ISLAM TENTANG TERORISME DAN JIHAD
Salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
umat manusia dengan senantiasa memelihara kepentingan hidup mereka dan
menghidarkannya dari segala yang dapat mendatangkan mafsadat (kerusakan)
sebagai konsekuensi dari perbuatan mereka baik yang bersifat personal
(individu) maupun kolektif (masyarakat).1 Secara spesifik, hukum Islam
mencakup tiga tujuan yang signifikan dalam kehidupan manusia yaitu penyucian
jiwa, penegakkan keadilan dan merealisasikan kemaslahatan.2
Karena
Ab Ishaq al-Sytib, al-Muwfaqt f Usl al-Syarah, Juz II (Beirut: Dr al-Kutb alIlmiyah, t.th.), h. 4; Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Cet. VIII (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 54-55;
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 65-66
2
180
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 109
4
Muhammad Syadd, al-Jihd f al-Islm, Cet. VII (Beirut: Muassasat al-Rislah, 1405
H/1985 M), h. 139
181
melindunginya
dari
berbagai
intervensi
pihak-pihak
yang
ingin
182
Adjie Suradji, Terorisme, Cet. I (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 50-51
183
lainnya.
Sebaliknya,
apabila
kemungkaran
telah
berhasil
Salah satu tujuan jihad adalah melindungi pihak-pihak yang lemah dan terzalimi, Q.S.
4 (al- Nisa): 75
... ( Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya
berdoa: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 131
10
Al Abdul Halm Mahmd, F Fiqh al-Islh wa al-Tajdd Inda al-Imm H asan alBann: Rukn al-Jihd aw al-Rukn allaz l Tah y al-Dawah ill bih, Cet. I (Jakarta: al- Itism
Cahaya Umat, 2001), h. 77
184
yang meninggal
11
Larangan menyerang warga sipil dan pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam
pertempuran dapat dilihat dalam hadis Nabi tentang larangan membunuh wanita dan anak-anak:
:
.
Lihat: Ab Abdillh al-Bukhr, Sahh al-Bukhr, Kitb al-Jihd wa al-Siyar, Bb Qatl alNis f al-Harb, Juz II (T.tp.: Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 172; Ab Isa Muhammad
185
Selain itu, dampak kerugian tindakan kekerasan terorisme yang terdiri dari
korban jiwa dan harta benda cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat misalnya
pada serangan 11 September 2001 yang meruntuhkan dua menara kembar (WTC
dan Pentagon) di Amerika Serikat.
Selain korban jiwa dan materiil, yang tak kalah pentingnya juga adalah
munculnya gejala psychologis (kejiwaan) dalam masyarakat. Warga masyarakat
traumatis akibat aksi kekerasan terorisme. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh
warga negara Amerika, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat seluruh dunia,
sebab mereka beranggapan bahwa serangan serupa dapat saja terjadi pada
mereka tanpa diprediksi sebelunya. Pemikiran seperti itu sangat rasional karena
Amerika saja yang dikenal sebagai negara super power, dengan peralatan serba
canggih dan dapat mendeteksi gejala-gejala awal tindak kriminal, namun masih
juga kebobolan, apatah lagi negara-negara yang tingkat kemampuannya berada
di bawah Amerika. Anggapan semacam inilah yang sering menghantui kejiwaan
masyarakat international bahwa serangan teroris dapat saja terjadi pada mereka
setiap saat tanpa diprediksi sebelumnya (unpredictable).
Pemandangan seperti di atas kontradiktif dengan norma-norma jihad
yang bertujuan melindungi warga masyarakat dari segala gangguan pihak-pihak
yang tidak menginginkan adanya ketentraman dan kedamaian hidup masyarakat.
Karena itu jihad disyariatkan dalam Islam antara lain untuk menumpas aksi-aksi
kekerasan dan kezaliman yang terjadi dalam masyarakat demi terwujudnya
kehidupan yang aman dan tentram.12
Ketiga unsur (sifat, tujuan, dan aksi) tersebut sangat jelas membedakan
antara terorisme dan jihad sehingga tidak sulit dalam menilai suatu tindakan
apakah termasuk aksi teror atau jihad. Hanya saja terkadang timbul anggapan
dalam masyarakat terutama dari kelompok tertentu
yang mengklaim
tindakannya sebagai aplikasi jihad tetapi menyalahi kode etik jihad, misalnya
ibn Isa ibn Saorah, Sunan al-Tirmudz, Kitb al-Siyar, Bb M Ja f al-Nahy an Qatl al-Nis
wa al-Sibyn, Juz III (Beirut: Dr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 207
12
L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional , Cet. I (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 58-59
186
sebelumnya
menjelaskan
secara
eksplisit
tentang
pemahaman jihad dalam Islam baik yang menyangkut pengertian, kode etik dan
sasarannya. Islam memang mengakui bahwa jihad itu bisa dalam bentuk
13
Bom meledak sekitar pukul 23.15 WIT di daerah wisata Paddys Club dan Sari Club
Legian, Kuta, Bali. Lihat: Bambang Abimayu, Teror Bom di Indonesia, Cet. I (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2005), h.51-52.
187
peperangan fisik dan perjuangan non fisik atau jihad melawan hawa nafsu, tetapi
Islam (berdasarkan hadis Nabi saw) sangat konsern terhadap jihad dalam bentuk
non fisik sehingga dikategorisasikan dengan jihad akbar (jihad primer). Dengan
demikian, inti konsep jihad dalam Islam adalah penekanan terhadap nilai-nilai
atau aturan-aturan yang mengarahkan umat manusia, khususnya umat Islam
untuk memiliki komitmen meningkatkan kredibilitas kepribadian termasuk
kredibilitas keumatan dalam rangka mencapai tujuan jihad yakni li ili
kalimatillh.
Peningkatan kredibilitas individu adalah mengaplikasikan kemampuan
untuk melawan hawa nafsu dan keinginan melakukan hal-hal yang merugikan
atau bahkan menghancurkan keimanan dan keberagamaan, seperti menipu,
berdusta, korupsi, konspirasi politik dan lain-lain yang akan merugikan dirinya
dan orang lain. Sebaliknya, peningkatan kredibilitas personal untuk menunjang
keimanan dan keberagamaan juga termasuk jihad seperti mencari nafkah,
menuntut ilmu pengetahuan, berprilaku jujur dan amanah. Bentuk perlawanan
terhadap perbudakan hawa nafsu dan upaya untuk meningkatkan ekonomi,
kesejahteraan pribadi dan keluarga serta peningkatan intelektualitas adalah jihad
yang paling utama. Kalau saja peningkatan kredibilitas kepribadian dan
intelektual bisa mendominasi kehidupan mayoritas umat Islam, maka komunitas
madani akan terwujud. Pemimpin atau masyarakat yang memiliki wawasan
keilmuan yang luas dan memiliki hati nurani lebih mengedepankan
kemaslahatan umat, perdamaian dan toleransi dalam bersosialisai dengan yang
lainnya terutama dalam menjalin hubungan dengan agama atau negara lainnya.
Jadi, jihad atau kemampuan seperti di atas yang dipesankan oleh Islam.
Namun pemahaman jihad tersebut tidak dipahami secara komprehensif
oleh sebahagian umat Islam, dan cenderung mengadopsi konsep yang
konservatif yakni jihad itu adalah semata-mata peperangan fisik melawan
musuh atau melawan orang-orang yang tidak seide dengan mereka bahkan
melalui tindakan teror. Imam Samudra, misalnya merumuskan definisi jihad dari
segi istilah dan syari dalam bukunya Aku Melawan Teroris. Menurutnya, dari
segi istilah jihad bermakna bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum
188
berkaitan dengan Islam seperti fiqh terutama yang secara detail menerangkan
daerah aman (dr al-amn) dan daerah perang (dr al-harb).15 Pemahaman
keagamaan yang sempit tersebut yang menyebabkan Imam Samudra dan kawankawannya
berani
melakukan aksi
terorisme"
karena
mereka
hanya
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazera, 2004), h. 108-109. Ayat yang
dijadikan dasar hukum Imam Samudra melakukan bom Bali: ...
: ( ) dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama
Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya ( Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 284
15
Sayyid Qutb, Maalim fi al-Tarq, Cet. X (Beirut: Dar al-Syuruq, 1983), h. 68; Imam
Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 120
189
Untuk lebih jelasnya, Ali Imron dalam bukunya Ali Imron Sang
Pengebom mengemukakan beberapa alasan aksi pengeboman di Bali termasuk
pengeboman di berbagai tempat di Indonesia antara lain:
Pertama, tidak puas dengan pemerintah yang ada disebabkan oleh tidak
adanya Imamah dan tidak diberlakukannya syariat Islam secara menyeluruh.
Menurutnya, Imamah itu sangat diperlukan sebagai pusat pengendali yang
mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara yang berkaitan dengan masalah
agama dan dunia. Tidak adanya imamah berdampak pada munculnya berbagai
problem dan fitnah diantaranya: perpecahan antar kelompok kaum Muslimin,
setiap kelompok membanggakan kelompoknya, tumbuh suburnya berbagai
macam aliran sesat, kaum Muslimin tidak bisa membedakan kawan ataupun
lawan dan mereka dipimpin oleh kaum non Muslim, tidak adanya keadilan yang
sebenarnya, terjadi kesenjangan ekonomi masyarakat yang terlalu tajam,
masyarakat belum merasa dilindungi oleh negara serta munculnya krisis
multidimensi.
Kedua, terjadi kerusakan yang merajalela yakni kerusakan akidah dan
pemikiran serta kerusakan akhlak. Kerusakan akidah dan pemikiran misalnya
tercampurnya ajaran Islam dengan syirik, tahayyul, khurafat, bidah dan dengan
ajaran agama lain; adanya sekelompok Muslim yang sekuler, memanipulasi
ajaran Islam, meragukan eksistensi Alquran dan hadis serta menyamakan Islam
dengan agama-agama lain. Kerusakan akhlak diantaranya menyia-nyiakan
amanat, mengikuti budaya non Islam, pergaulan bebas, pelacuran, perzinaan,
minuman dan makanan haram, pembunuhan dan penganiayaan, pemerkosaan,
perampokan dan penipuan, premanisme, perjudian, hiburan dan musik serta
pakaian yang kurang senonoh.
Ketiga, harapan dibukanya jihad f sablillh. Menurut Ali Imron, jihad
merupakan perang suci yang bertujuan untuk menegakkan kalimat Allah,
menghilangkan kemusyrikan, melindungi Islam dan umat Islam, menegakkan
kebenaran dan keadilan, serta memperluas dan mempertahankan wilayah
190
Islam.17 Aksi yang paling efektif sebagai jawaban atas persoalan sosial, politik
dan ekonomi yang melanda Indonesia termasuk negara Muslim lainnya adalah
jihad yakni peperangan terbuka antara kebenaran dan kebatilan terutama di
tempat yang di anggap sebagai sarang kemaksiatan. Peperangan dan pedang
Mujahidin membuat ketakutan pada pelaku kemaksiatan sehingga kemaksiatan
dapat tereliminir sedikit demi sedikit. Oleh karena itu, pengeboman di Bali
adalah dalam rangka melaksanakan kewajiban jihad di jalan Allah sehingga
Allah membuka medan perang antara kaum Muslimin dan kafir dan semakin
jelaslah mana yang baik dan buruk, yang rusak moralnya dan tidak. Keterlibatan
Ali Imron dalam pengeboman Bali diyakininya sebagai salah satu kewajiban
pelaksanaan jihad di jalan Allah.
Keempat, pembalasan terhadap kaum kafir yang telah membunuh dan
melakukan kesewenangan terhadap kaum Muslimin. Kesengsaraan dan korban
jiwa umat Islam akibat peperangan di Palestina, Somalia, Chechnya, Kashmir,
Moro serta kerusuhan Ambon dan Poso yang dilancarkan non Muslim menjadi
salah satu faktor mengapa Ali Imron dan kawan-kawanya melancarkan serangan
bom di rumah Dubes Philipina (1 Agustus 2000) dan sejumlah gereja di
Indonesia (Gereja Allah Baik, Gereja Bethani dan Gereja Eben Heizer di
Mojokerto, 24 Desember 2000), serta pengeboman Saris dan Paddys club di
Bali (12 Oktober 2002). Menurutnya, pengeboman tersebut sebagai bentuk
ekspresi pembalasan terhadap kebiadaban Israel, Amerika dan musuh-musuh
Islam yang melakukan serangan terhadap orang-orang Islam.18 Pernyataan yang
sama juga dikemukakan oleh Imam Samudra bahwa jihad yang terbesar pada
saat sekarang adalah jihad memerangi teroris Amerika dan sekutunya yang
terlibat dalam perang Salib melawan umat Islam terutama pengeboman terhadap
kependudukan Afghanistan, September 2001 bertepatan dengan bulan Ramadan
1422 H. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengaktualisasikan pembalasan
17
Bandingkan dengan tujuan jihad menurut versi Jamat Amin. Lihat: Jamat Amin,
Qadiyat al-Irhb: al-Ruyat wa al-Ilj (T.tp.: Dr al-Tawz wa al-Nasyr al-Islmiyah, 1998), h.
98-102
18
Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom , Cet. I (Jakarta: Republika, 2007), h. 41-71
191
Adisaputra
dalam
bukunya
Imam
Samudra
Berjihad
mengemukakan dua motivasi peledakan bom Bali yakni politik dan balas
dendam. Untuk motivasi politik, Imam Samudra dan kawan-kawannya
19
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 107-109
20
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 120
192
Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad, (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 65-67
23
24
Lihat: Pasal 48, Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 57-58 Basic Rules of
International Humanitarian Law in Armed Conflicts, http://www. icrc.org (8 Juni 2005)
193
istilah
Samudra)
karena
mereka
melanggar
kesepakatan
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 116
26
194
Nasir Abas, Melawan Pemikiran Aksi Bom Imam Samudra & Noordin M. Top , Cet. I
(Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 144
29
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 136
30
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra & Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 207
31
32
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 136
33
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra & Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 208
195
melakukan suatu survei yang cermat dan akurat sebelum mengambil keputusan
untuk bertindak. Sebab jika tidak, maka akibatnya akan fatal karena dapat
mengorbankan banyak orang yang seharusnya tidak pantas menjadi korban.
Menganggap turis manca negara yang berkunjung ke Bali sebagai pejuang dari
negara
masing-masing
merupakan
kesalahan
menjeneralisir
(faulty
34
Tentang perlindungan terhadap warga sipil diatur dalam Pasal 158 Geneva
Convention relative to the protection of civilian persons in time of war , 12 Agustus 1949.
38
39
196
gerakan perlawanan;40 serta populasi warga sipil terdiri dari semua orang yang
warga sipil.41
Terdapat sedikit perbedaan antara warga sipil dengan yang bukan
pejuang (non combatant ) dalam Hukum Kemanusiaan Internasional. Bukan
pejuang (non combatant) dapat diartikan sebagai anggota angkatan bersenjata
tetapi tidak terlibat dalam pertempuran,42 misalnya menjadi tenaga medis dari
angkatan bersenjata43 atau rohaniawan militer.44 Juga dapat berarti tidak lagi
berperan dalam pertempuran ( hors de combat),45 seperti tawanan perang,46
terluka yang tidak memungkinkan bertempur, dan korban dari kapal yang rusak.
Semua yang termasuk dalam kategori tersebut mendapat perlindungan dalam
Hukum Kemanusiaan Internasional untuk tidak diserang. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa semua warga sipil adalah bukan pejuang, akan tetapi tidak
semua yang bukan pejuang termasuk warga sipil karena status warga sipil hanya
diberikan kepada mereka yang bukan anggota angkatan bersenjata.47
Meskipun tenaga medis dan rohaniawan militer serta tawanan perang
termasuk anggota angkatan bersenjata tetapi Hukum Kemanusiaan Internasional
tidak membolehkan penyerangan militer terhadap mereka. Demikian halnya
dengan warga sipil, jurnalis, pekerja kemanusiaan, wanita, anak-anak, dan
40
Pasal 50, Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 4, Protokol Tambahan II, 8 Juni
1977
41
Pasal 50, Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 4, Protokol Tambahan II, 8 Juni
1977
42
43
Pasal 8 (c), Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 9, Protokol Tambahan II, 8 Juni
1977
44
Pasal 8 (d) Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977; Pasal 24 Konvensi Jenewa I, 12
Agustus 1949
45
Seseorang dapat digolongkan sebagai hors de combat (tidak berperan langsung dalam
pertempuran) apabila: dia berada di bawah kekuasaan musuh; menyerahkan diri; berada dalam
keadaan tidak sadar atau tidak berdaya karena luka atau sakit sehingga tidak bisa membela diri;
tidak berbuat kejahatan; tidak mencoba melarikan diri. Lihat: Pasal 41 Konvensi Jenewa I, 12
Agustus 1949
46
47
197
48
Pasal 15, 61-64, 70-71, 76-77, 79, 81 Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977
49
50
51
Sekurang-kurang terdapat lima hal yang sangat esensial (the five fundamental points )
untuk dilindungi agar kehidupan manusia dapat stabil. Kelima hal tersebut lebih dikenal dengan
al-darriyt al-khams, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda dalam maqsid alsyariah. Lihat: Ab Ishaq al-Sytib, al-Muwfaqat f Usl al-Syariah, Juz II (Beirut: Dr alKutub al- Ilmiyah, t.th.), h. 8; Anwarullah, The Criminal Law of Islam, 1st edt. (Kuala Lumpur:
A.S. Noordeen, 1997), h. viii
52
198
sakit,
pabrik-pabrik,
jembatan-jembatan,
gudang-gudang
199
Kedua,
sebelum
dieksekusi,
tertuduh
haruslah
terlebih
dahulu
Qaidah Fiqhiyah adalah ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagianbagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut. Lihat: Jalluddn al-Suyt, alAsybah wa al-Nazir (Indonesia: Dr al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 2; Di antara qaidah
fiqhiyah yang dijadikan dasar MUI antara lain: ( bahaya yang
bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindari bahaya yang bersifat umum atau lebih
luas). Juga kaidah: ( apabila terdapat dua
mafsadat yang saling bertentangan maka harus diperhatikan salah satunya dengan mengambil
bahaya yang lebih ringan). Lihat: Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa
200
Timur, Fatwa MUI tentang Terorisme Cet. I (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur,
2007), h. 1-6
57
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur, Fatwa MUI tentang
Terorisme Cet. I (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, 2007), h. 1-6
58
59
60
201
menyerang umat Islam.62 Ulama lain, seperti Majlis Ulama Saudi Arabia
memberikan tanggapan tentang terorisme. Menurutnya terorisme adalah
tindakan pengrusakan, pengeboman, dan pembunuhan yang dilakukan para
perusak (teroris) bukan merupakan jihad dan orang yang mengidentikkan
tindakan kekerasan dengan jihad adalah termasuk orang-orang jahil, karena hal
itu dilarang dalam Islam.63 Pemikiran Ulama Besar Saudi ini sejalan dengan
fatwa MUI yang tidak mengakui tindakan kekerasan sebagai pengamalan jihad.
Jelasnya, secara institusi maupun individu umat Islam menolak terorisme dalam
Islam sekalipun dilakukan atas nama jihad. Selanjutnya persoalan penting dalam
melaksanakan teror adalah bom bunuh diri, dan ulama menjelaskan tentang
61
Lihat: Ab al-Asybl Ahmad bin Slim al-Misr, Fatw al-Ulama al-Kibr fi alIrhb wa al-Tadmr wa Dawbit al-Jihd wa al-Takfr wa Mumalat al-Kuffr, Cet. I (AlRiyd: Dr al-Kiyn, 2005), h. 87
202
boleh atau tidaknya dalam Islam, karena Imam Samudra dan teroris lainnya
mengatakan bahwa bom bunuh diri yang dilakukannya adalah bom Syahid.
MUI dalam fatwanya menjelaskan tentang perbedaan antara bom bunuh
diri dan amaliyah istisyhdiyah (operasi mati syahid). Pelaku bom bunuh diri
adalah orang yang bunuh diri bersifat individu dan frustrasi dari ketentuan
Allah,
sedangkan amaliyah
istisyhdiyah
pelakunya
bertujuan
untuk
mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya serta untuk
mencari rahmat dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selanjutnya menurut
MUI, bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk
tindakan keputusasaan (al-yasu) dan mencelakakan diri sendiri (ihlk al-nafs),
baik dilakukan di daerah damai (dr al-shulh/dr al-salm /dr al-dawah )
maupun di daerah perang (dr al-harb).64 Sedangkan amaliyah istisyhdiyah
dibolehkan karena merupakan bagian dari jihd bi al-nafs yang dilakukan di
daerah perang (dr al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk
menimbulkan rasa takut (irhb) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh
Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya
diri sendiri.65
Mencermati fatwa MUI tentang bom bunuh diri, tampaknya lebih
difokuskan pada pencegahan tindakan tersebut di Indonesia dengan menghukum
pelakunya sebagai orang yang frustrasi dan mencelakakan diri sendiri. Adapun
tindakan sebahagian kecil orang Islam yang melakukan bom bunuh diri di
Indonesia hanyalah mendatangkan mala petaka bagi masyarakat akibat tindakan
64
Istilah dr al-harb (wilayah perang) ditujukan pada wilayah yang keamanannya tidak
dilindungi oleh pemerintahan Islam, sedangkan dr al-Islm atau dr al-Amn (wilayah damai)
merupakan wilayah dimana Islam dan hukum-hukumnya dilindungi. Suatu wilayah
dikategorikan sebagai dr al-Islm jika umat Islam memperoleh jaminan keamanan dan bisa
melakukan kegiatan keagamaanya dalam wilayah tersebut, dan atau wilayah tersebut merupakan
daerah kekuasaan Islam. Lihat: Cyril Glasse, The Concise Encyclopaedia of Islam,
diterjemahkan oleh Ghufron A. Masadi dengan judul Ensiklopedi Islam (Ringkas), Cet. II
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 71; Mahmud Abd Fattah Mahmud Yusuf, Min
Ahkm al-Harb F al- Sayriah al-Islmiyyah wa al-Qnn, (Kairo: Dr al-Fikr al-Arabi, t.th),
h. 31-32; Bandingkan dengan: http://en.wikipedia.org/wiki/Dar_al-Islam#Dar_al-Islam, diakses
tanggal tanggal 21 November 2008
65
Lihat: Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur, Fatwa MUI
Tentang Terorisme No. 3 Tahun 2004 , Cet. I (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur,
2007), h. 7-9
203
Lihat: Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur, Fatwa MUI
Tentang Terorisme No. 3 Tahun 2004 , Cet. I (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur,
2007), h. 7-9
67
Adapun dasar larangan bom bunuh diri (self defeating) adalah Q.S. al-Baqarah (2):
195 ... ... (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan).
68
204
bahwa
penggunaan
aksi
amaliyah
istisyhdiyah
masih
69
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Cet. II (Solo: Jazera, 2004), h. 171-172
70
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam: Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra & Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 176
71
205
ada harapan untuk hidup. Dalam merespon persoalan ini para ulama
mengklasifikasikannya ke dalam tiga hal:
Pertama, al-tahlukah (membinasakan diri). Penyerangan terhadap musuh
yang berakibat matinya penyerang dianggap sebagai tindakan membinasakan
diri. Hal ini dilarang dalam Islam (Q.S. al-Baqarah (2): 195).73 Menurut Ibn alArab, kata al-tahlukah mengandung beberapa makna antara lain menolak
untuk berbuat karena Allah; melaksanakan jihad tanpa ketentuan; melalaikan
jihad; menyerang musuh tanpa peralatan; dan hilangnya harapan pengampunan
dari Allah.74
Kedua, al-Izzah (kemuliaan diri). Pada dasarnya melarikan diri dari
pertempuran merupakan dosa bahkan bagi al-Izz ibn Abd Salm, tindakan
seperti itu termasuk dosa besar. Akan tetapi langkah tersebut dapat dibenarkan
jika diyakini bahwa resiko bertahan hanya akan berdampak kematian tanpa
meraih kemenangan atau perhitungan yang bisa merugikan pihak musuh. Jadi,
yang diperbolehkan dalam Islam itu adalah seorang prajurit bisa saja
mengorbankan diri menghadapi suatu kematian jika kematiannya itu berdampak
pada kemenangan pihak umat Islam dan kerugian pihak musuh. Kalaupun hal
tersebut tidak dicapai, maka paling tidak operasi mati syahid dapat
memotivasi pejuang Muslim lainnya untuk berani terlibat dalam kancah
peperangan dan memberikan efek ketakutan pihak musuh.75 Dalam hal ini
merupakan suatu kemuliaan bagi pejuang Muslim jika mereka dapat
mengorbankan dirinya, bila diperlukan, dengan catatan dapat memberikan
keberuntungan pihak umat Islam dan ketakutan pihak lawan.
73
Ab Bakr Muhammad ibn Abdillah al-Marf bi ibn al-Arab, Ahkm al-Qurn, Juz
I (T.tp: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 116; Bandingkan dengan: Ab Bakr Ahmad ibn Al alRz al-Jasss, Ahkm al-Qurn, Juz I (Beirut: Dr al-Kutub al-Imiyah, t.th.), 318; M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran , Cet. VIII (Jakarta: Lentera
Hati, 2006), h. 425-426
75
Nawaf Hayil Takruri, al-Amaliyah al-Istisyhdiyah f al-Mzn al-Fiqh (Damaskus,
Dr al-Fikr, 2003), h. 73-74
206
207
gugur.77 Akan tetapi para ulama masih berselisih pendapat dalam menyikapi
aksi sahabat tersebut dan tindakan semacamnya seperti bom bunuh diri (operasi
mati syahid), sebagian dapat menerimanya dan yang lainnya menolak.
Diantara ulama yang membenarkan tindakan sahabat tersebut adalah Ibn
Arab, ulama Andalusia (Spanyol) abad IV H, Imam Hasan al-Syaibani, alSyaukani, al- Suyut, al- Qurtub, Ibn Taimiyah, dan Ibn Katsr.78 Selanjutnya
dalam kasus konflik Palestina-Israel, ulama kontemporer yang membenarkan
operasi mati syahid (bom bunuh diri) antara lain: Wahbah al- Zuhail dan Ysuf
al-Qardw.79 Mereka memiliki paling tidak empat alasan tentang kebolehannya:
orang-orang Yahudi merupakan agresor (penjajah) dan perampas tanah muslim
Palestina; warga sipil Israel berpotensi menjadi serdadu jika terjadi
pertempuran; mayoritas warga sipil Israel mendukung kebijakan pemerintahnya
menyangkut soal Palestina; dan warga sipil Israel bekerjasama dengan tentara
dalam menyiksa dan mengusir rakyat Palestina.80 Tampaknya bom bunuh diri
yang dilegalkan diatas hanya terjadi pada daerah-daerah atau negara-negara
yang sedang konflik dan belum ada tanda-tanda perdamaian.
Adapun ulama yang menentang operasi mati syahid dan menganggapnya
sebagai perbuatan bunuh diri adalah Syekh Abd Aziz Ibn Abdillah Alu AlSyaikh. Menurutnya, meledakkan diri sendiri di tengah musuh atau dalam
istilahnya suatu cara bunuh diri, tidak terdapat dalil yang memperbolehkannya,
sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai jihad di jalan Allah. Melawan dan
membunuh musuh memang diperlukan, bahkan terkadang diwajibkan kepada
setiap pribadi, tetapi caranya sepatutnya disesuaikan dengan aturan yang
77
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra dan Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 171173
80
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra dan Kelompok Islam Radikal , Cet. I (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 170173
208
209
82
84
Terdapat sejumlah ayat yang melarang membunuh antara lain: Q.S. al-Maidah (5): 32
... ... ( barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya ); Q.S.
al-Anm (6): 151 ... ... ( dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar ).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: CV.Toha Putra, 1989), h. 164 & 214
210
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran , Vol.
III, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 77
86
Lihat: Ab Jafar Muhammad ibn Jarir al-Tabar, Jmi al-Bayn f Tawl al-Quran ,
Jilid IV, Cet. III (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiah, 1420 H/1999 M), 542; Bandingkan dengan alHfiz Imnuddin Ab al-Fid Ismil ibn Katsr, Tafsir al-Quran al-Azm, Juz II (t.tp: Dr
Misra li al-Tibah, t.th.), 48
87
211
212
warga sipil.89 Jadi, serangan bom di kedua tempat tersebut bertentangan dengan
etika peperangan dalam Islam yang melarang menjadikan warga sipil sebagai
sasaran perang atau kekerasan peperangan.
Berbagai pelanggaran pengeboman di Bali sebenarnya sama dengan
pelanggaran pengeboman gedung WTC di New York dan Pentagon di
Washington DC yakni pelanggaran dalam kaitan dengan objek serangan, metode
pengeboman bunuh diri dan lokasi pengeboman. Pengeboman Pentagon bisa
saja diklaim sebagai justifikasi kebolehan melakukannya oleh Muslim radikal
terutama Al-Qaeda sebagai tertuduh pelaku pengeboman karena sasarannya
adalah instalasi militer Amerika Serikat, tetapi persoalannya adalah tidak terjadi
peperangan secara terbuka antara Amerika dengan umat Islam (dunia Islam)
sehingga pengeboman tersebut tetap dikategorikan sebagai aksi teror dan bukan
dalam rangka aktualisasi jihad.
Uraian di atas menegaskan bahwa terorisme tidak identik dengan jihad.
Terorisme memiliki karakteristik menghancurkan fasilitas dan prasarana umum
tanpa membedakan sasarannya dan tidak hanya ditujukan pada pasukan militer,
sedangkan jihad (dalam makna peperangan) menurut konsep Islam pada
dasarnya dilaksanakan untuk kemasalahatan umat, mengutamakan perdamaian
dan toleransi dan sasarannya hanya tertuju pada instalasi militer dan pasukan
perang. Kalaupun ada sekelompok komunitas Muslim yang mengklaim bahwa
pengeboman atau penghancuran atas nama bom jihad padahal tidak selaras
dengan prinsip-prinsip tersebut, maka aksi itu dikategorikan sebagai
terorisme. Pembahasan selanjutnya adalah menganalisis hukum Islam tentang
terorisme disertai identifikasi teks yang berkaitan dengan persoalan terorisme
disertai pendapat para fuqaha.
C. Hukum Islam Tentang Terorisme
Term-term terorisme dalam hukum Islam bervariasi antara lain al-irhb
(irhbiyah), al-hirbah (perampokan), al-baghyu (pemberontakan), qtiu altarq
atau
89
quttu
al-tarq
(pembegal),
dan
al-unf
Lihat: Pasal 52 (2) & Pasal 53 (3) Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977
(lawan
dari
213
dilakukan
dengan
aksi
kekerasan,
menimbulkan
kepanikan
masyarakat, menimbulkan kerugian jiwa dan materi lainnya dan memiliki tujuan
politik.
akhfa
(menciptakan
ketakutan)
atau
fazzaa
(membuat
ditimbulkan
akibat
aksi-aksi
kekerasan,
misalnya
pembunuhan,
Abd al-Hayy al-Farmw, Islam Melawan Terorisme: Interview,Jurnal Studi AlQuran, Vol. I, No. I Januari 2006, h. 101-104
91
Ab al-Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr al-Afriq al-Misr, Lisn
al-Arab, Jilid I, Cet. I (Beirut: Dr Sdir, 1990), 436; Luis Maluf, al-Munjid fi al-Lugah wa alAlm, Cet. 39 (Beirut: Dar al-Masyriq, t. th.), h. 282
93
214
215
Imm Syfi tidak keberatan atas penggunaan hewan tersebut sebagai sarana
peperangan berdasarkan suatu riwayat dari ibn Umar.98 Penyebutan
(kuda) dalam ayat ini merupakan bukti betapa pentingnya mempersiapkan diri
dengan segala peralatan perang, dimana kuda sebagai andalan perang ketika
itu.99 Dengan demikian dapat dipahami bahwa mempersiapkan diri dengan
berbagai peralatan untuk menghadapi serangan musuh adalah suatu keniscayaan,
demi membela agama dan negara.
Ayat ini pada dasarnya memerintahkan orang-orang Islam untuk
mempersiapkan diri dengan segala peralatan yang diperlukan dalam peperangan
sehingga dapat membuat musuh dalam ketakutan dan kegetaran. Al-Rzi (w.
606 H) berpendapat bahwa kesiapan menghadapi musuh dengan berbagai
perlengkapan memberi manfaat bagi orang Islam antara lain: orang-orang kafir
akan takut menyerang kaum Muslimin; ketakutan orang-orang kafir tersebut
mendorong mereka untuk tunduk dibawa pemerintahan Islam dengan
membayar jizyah;100 bahkan tidak menutup kemungkinan mereka akan beriman;
mereka tidak akan menolong orang-orang kafir lainnya; dan kondisi seperti ini
akan menambah wibawah dr al-Islam.101
Mempersiapkan diri dengan segala peralatan tempur baik berupa senjata,
amunisi, personil yang terlatih, maupun segala penunjang yang diperlukan
dalam membela diri bukanlah suatu larangan selama tidak digunakan untuk
meneror orang lain. Berbeda halnya dengan kelompok teroris yang
98
Ab Abdillh Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtb, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz VIII (Beirut: Dr al-Kutub al- Ilmiyah, t.th.), h. 26
99
Jizyah adalah upeti atau pajak yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang
non Muslim (Kafir) sebagai imbalan atas jaminan keamanan diri dan harta mereka. Pemungutan
jizyah dilakukan setiap akhir tahun Qamariyah dalam jumlah yang bervariasi, 48 dirham bagi
mereka yang mampu, 24 dirham bagi kelas menengah, dan 12 dirham bagi kelas bawah
(miskin). Adapun dasar hukumnya adalah Q.S. al-Taubah (9): 29. Lihat: M. Abdul Mujieb,
Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqh, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002), h.141-142
101
Muhammad Rasyid Rida, Tafsr al-Manr, Juz X, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1999), h. 53-55
216
Sebenarnya jumlah tukang sihir Firaun bervariasi dalam kitab tafsir. Menurut
Muhammad ibn Ishaq, jumlahnya sekitar lima belas ribu, sementara al-Sad jumlahnya kurang
lebih tiga puluh ribu orang, sedangkan al-Qsim ibn Ab Barrah menyebutkan tujuh puluh ribu
orang penyihir, akan tetapi hal ini dianggap sebagai bagian dari cerita-cerita Israeliyat. Lihat:
Imnuddn Ab al-Fid Ismal ibn Katsr, Tafsr al-Qurn al-Azm, Juz II (T.tp: Dr Misra li
al-Tibah, t.th.), h. 242-243
103
Muhammad Rasyid Rida, Tafsr al-Manr, Juz X, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1999), h. 56-57
104
217
Ab Jafar Muhammad ibn Jarr al-Tabar, Tafsr Jmi al-Bayn f Tawl alQurn, Jilid XII, Cet. III (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999),h. 45
106
Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr alFikr al-Muasir, 1997), h. 5462
107
Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz.
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasat al-Islmiyah, 1997), h. 638
218
lahan pertanian dan peternakan serta menolak eksistensi paraturan perundangundangan. Ada dua aspek yang melatarbelakangi munculnya aksi kejahatan
tersebut yakni ekonomi dan politik. Aksi yang bertendensi ekonomi dilakukan
melalui aksi penodongan dan perampokan baik di rumah, fasilitas umum
maupun di jalanan. Sedangkan secara politis aksinya berbentuk resistensi
terhadap undang-undang atau peraturan yang sah dan menggerakkan aksi teror
dalam rangka mengacaukan ketentraman dan stabilitas politik dan sosial.108
Selain itu, ulama fiqh mendefinisikan al-hirbah dengan konsepsi yang agak
berbeda.
Secara etimologi diartikan perampokan atau penyamun atau pencurian
besar.109 Lafal ini diartikan perampokan karena mengambil harta orang lain
secara terang-terangan, meskipun perampok juga bersembunyi dari aparat
pemerintah
dan
security
(keamanan).
Secara
terminologi,
al-hirbah
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Cet. V (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 90-91
109
Ab al- Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzr al-Afriq al-Misr,
Lisn al-Arab, Jilid III, Cet. I (Beirut: Dr Sdir, 1990), h. 203
110
Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 639-641; Bandingkan dengan: Abd
Rahman al-Jazir, Kitb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah, Juz V (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1999), h. 360
219
111
Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 640
112
Abdul Qdir Audah, Al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 640
113
Abdur Rahman I Doi, Syariah: The Islamic Law (Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd,
1984), h. 250-251
220
Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 641; Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh alIslm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dar al-Fikr al-Muasir, 1997), h. 5464; Ab
Umar Muhammad ibn Ahmad ibn Quddmah, al-Syarhu al-Kabr, Juz V (t.d.), h. 472
116
Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 641; Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh alIslm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr al-Fikr al-Muasir, 1997), h. 5464
221
Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr alFikr al-Muasir, 1997), h. 5464
118
Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr alFikr al-Muasir, 1997), h. 5465; Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran alQnn al-Wad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 642
222
nisb dalam tindak pidana perampokan, sedangkan Imm Ahmad dan Syiah
Zaidiyah memberikan argumentasi bahwa nisb119 barang yang dirampok itu
ada dan penghitungannya adalah keseluruhan jumlah yang diambil oleh
kelompok tersebut (jumlah kolektif), dan bukan nisb yang diambil secara
personal. Pendapat Imm Ahmad dan Syiah Zaidiyah ini berbeda dengan Imm
Ab Hanfah dan sebagian Syfiiyah tentang penghitungan nisb-nya harus
sesuai dengan jumlah yang diperoleh secara individual bukan kolektif.120 Dalam
hal ini, perbedaan argumentasi tentang ada atau tidaknya nisb tampaknya
memiliki perspektif yang berbeda yakni yang mengatakan tidak ada nisb
(Imm Mlik dan sebahagian Syfiiyah) karena penekanannya adalah aksi
perampokan, sesuai definisinya, dan implikasi yang ditimbulkan, Sedangkan
yang mengatakan ada nisb kelihatannya tidak memperhatikan implikasinya.
Jadi, persyaratan yang berhubungan dengan pelaku perampokan (almuhrib) yang dikategorisasikan sebagai al-muhrib antara lain adalah:
penggunaan senjata baik berupa senjata dan peralatan lainya, strategi dan taktik,
serta kemampuan beladiri; dilakukan secara langsung maupun tidak langsung;
pelakunya bisa laki-laki dan perempuan; dan barang yang dirampok mencapai
nisb atau belum. Selain persyaratan yang berkaitan dengan pelaku perampokan,
persyaratan tentang wilayah operasinalisasinya juga diperdebatkan.
Pertama, jarmah perampokan terjadi di wilayah negara Islam (daulah
Islmiyah). Mayoritas ulama termasuk Imm Mlik, Imm Syfi, Imm
Ahmad dan Zahiriyah tidak mensyaratkan perampokan itu harus terjadi di
negara Islam, bisa saja terjadi di luar kedaulatan Islam (dr al-harb) sehingga
pelakunya tetap dikenakan hukuman had. Berbeda dengan pendapat yang
dikemukakan oleh kelompok Hanafiyah bahwa perampokan harus terjadi di
119
Muhammad Idris al-Syfii, Al-Umm, Juz IX, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1993), 280. Bandingkan dengan: Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh,
Juz VII, Cet. IV (Beirut: Dr al-Fikr al-Musir, 1997), h. 5468; Abd Rahman al-Jazir, Kitb
al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah, Juz V (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 362
223
negara Islam (daulah Islmiyah) dan kalau terjadi selain di negara Islam maka
pelaku perampokan tidak diberi sanksi (hukuman) had.
Kedua, perampokan itu terjadi di tempat yang terisolasi, jauh dari
keramaian. Kelompok Mlikiyah, Syfiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
perampokan tidak harus terjadi di lokasi yang terisolasi, sedangkan golongan
Hanafiyah mensyaratkan harus terjadi di tempat yang jauh dari keramaian. Oleh
karena itu, menurut kelompok yang pertama, perampokan bisa saja terjadi baik
di keramaian maupun di tempat sepi dan pelakunya sama-sama diberi hukuman.
Ketiga, ada indikasi sulitnya diberi pertolongan. Golongan Mlikiyah
dan Syfiiyah mengatakan harus ada unsur bahwa orang sulit meminta
pertolongan disebabkan oleh beberapa hal yaitu kasus itu terjadi di daerah yang
jauh dari keramaian, tidak efektifnya petugas keamanan, ancaman perampok
sehingga korban tidak berani meminta pertolongan. Menurut mereka, kalau ada
pertolongan pada kasus tersebut berarti bukan termasuk jarmah hirbah dan ini
berimplikasi pada tidak dijatuhkan sanksi hukum bagi pelakunya.121 Perbedaan
tersebut sebenarnya ada keterkaitannya dengan perbedaan definisi yang
diberikan oleh pakar hukum Islam seperti yang dikemukakan di awal
pembahasan ini. Perbedaan paling tidak akan berimplikasi pada penetapan
hukuman terhadap pelaku perampokan.
Hukuman bagi pelaku al-hirbah (al-muhrib) nampaknya bervariasi
tergantung tingkat kejahatan yang dilakukan muhrib seperti yang dijelaskan
dalam Q.S. al-Midah (5): 33.122 Ayat ini turun berkaitan dengan hukuman yang
121
Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn al-Wad , Juz
II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 644-645. Bandingkan dengan: Ab
Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, Juz VI
(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
122
Balasan bagi muhrib dijelaskan dalam ayat 33 surat al- Midah (5):
.
(Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang bear). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama
RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 164
224
ditetapkan Nabi dalam kasus suku al-Uraniyin. Abu Daud meriwayatkan dari
Imm Mlik bahwa sekelompok dari suku Ukal dan al-Uraniyin datang kepada
Nabi mengadu tentang persoalan kesulitan yang mereka hadapi khususnya
berkenaan dengan masalah kekurangan pangan dan mereka menyatakan diri
masuk Islam. Nabi lalu memberikan mereka sejumlah unta untuk dapat
dimanfaatkan, tetapi dalam perjalanan pulang, mereka membunuh pengembala
unta tersebut bahkan mereka murtad. Mendengar berita tersebut, Nabi mengirim
pasukan tentara untuk menangkap mereka, lalu mengeksekusinya dengan
memotong tangan dan kaki mereka, mencungkil mata mereka dengan besi panas
dan melemparkan mereka ke padang pasir hingga meninggal, maka turunlah
ayat ini menegur tindakan mereka.123
Terdapat perbedaan ulama dalam menyikapi sanksi hukum untuk jarimah
hirbah. Menurut Imm Ab Hanfah, Imm Syfi, Ahmad bin Hambal, dan
Syiah Zaidiyah, hukuman bagi muhrib (perampok) berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan jenis jarmah yang dilakukan. Adapun jenis jarmah hirbah
adalah: Pertama, menakut-nakuti orang yang lewat, tanpa membunuh dan
mengambil harta. Kedua, mengambil harta tanpa membunuh. Ketiga,
membunuh tanpa mengambil harta. Keempat, mengambil harta dan membunuh
pemiliknya.124 Menurut mereka, penerapan hukuman terhadap jenis-jenis
jarmah hirbah ini didasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Q.S. alMaidah (5): 33. Berbeda halnya dengan Imm Mlik dan Zhiriyah yang
menyerahkan kepada ijtihad hakim (penguasa) dalam menentukan jenis sanksi
yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 33 tersebut. Hanya saja Imm Mlik
membatasi hukuman pilihan tersebut untuk selain pembunuhan. Menurutnya,
hukuman bagi jarmah pembunuhan adalah dibunuh atau disalib. Sementara
123
Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz VI (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 97
124
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 647
225
perbedaan
ulama
di
atas,
kelihatannya
ulama
125
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 647
126
Syamsuddn Ab Abdillah Muhammad ibn Farhn, Tabsirat al-Hukkm f Usl alAqdiyah wa Manhij al-Ahkm, Juz I, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 207
127
Abd Rahmn al-Jazir, Kitb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah, Juz V (Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 362
226
hirarki hukuman sesuai yang tertera dalam ayat 33 surat al-Maidah. Meskipun
golongan Zhiriyah dan Imm Mlik menyerahkan sepenuhnya penentuan
hukuman kepada hakim (ul al-amri), tidak berarti bahwa hukuman yang akan
dijatuhkan kepada pelaku jarmah hirbah lebih ringan karena bisa saja hakim
menjatuhkan hukuman berlapis, misalnya hukuman denda dan penjara seumur
hidup.
Pada dasarnya perbedaan penafsiran ulama terhadap ayat tersebut
terletak pada huruf aw () . Jumhur ulama berpendapat bahwa huruf aw ()
dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk bayn (penjelasan) dan tafsl (rincian).
Oleh karena itu, bagi mereka hukuman yang tercantum dalam ayat itu ditetapkan
sesuai dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
perampokan. Sementara menurut Imm Mlik dan Zhiriyah huruf aw ()
tersebut berfungsi sebagai takhyr (pilihan). Dengan demikian, menurut mereka
ayat tersebut mengandung arti bahwa hakim memiliki kewenangan dalam
menentukan hukuman yang dianggap paling sesuai dengan jenis perbuatan
jarmah yang dilakukan oleh muhrib (perampok). Hanya saja Imm Mlik
membatasi pilihan sanksi jarmah pembunuhan antara hukuman mati (qiss) dan
salib. Adapun alasannya adalah karena pada awalnya setiap pembunuhan
sanksinya adalah dibunuh (hukuman mati), sehingga tidak tepat jika jarimah
pembunuhan dalam perampokan dihukum dengan potong tangan dan kaki atau
pengasingan. Sementara Zahiriyah menerapkan takhyr (pilihan) dari huruf aw
( ) dalam ayat tersebut secara mutlak tanpa batasan, sehingga hakim memiliki
otoritas secara mutlak dalam menentukan hukuman-hukuman tersebut guna
diterapkan pada jenis perbuatan perampokan yang dilakukan oleh pelaku.128
Menurut Ibn Hazm, huruf aw ( ) tersebut menunjukkan pilihan artinya tidak
ada penggabungan hukuman sehingga hakim dalam berijtihad dapat memilih
dan menetapkan salah satu dari hukuman-hukuman tersebut. Misalnya, jika
hukuman mati dilaksanakan maka hukuman salib, potong, dan pengasingan
128
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 647
227
tidak berlaku laku (gugur).129 Pendapat Ibn Hazm ini kelihatannya mewakili
ulama Zhiriyah dalam memahami ayat mengenai hirbah tersebut.
Adapun bentuk hukuman bagi pelaku tindak pidana perampokan
disesuaikan dengan jenis tindakannya sebagai berikut: Pertama, tindak pidana
(jarmah) menakut-nakuti adalah pengasingan (al-nafyu).130 Pandangan ini
dikemukakan oleh Imm Ab Hanfah dan Imm Ahmad. Mereka beralasan
dengan frase ayat ( atau diasingkan dari tempat domisilinya).
Sedangkan bagi Imm Syfi dan Syiah Zaidiyah, sanksinya adalahtazr131
atau pengasingan. Alasannya, karena kedua jenis hukuman itu dianggap sama.132
Para ulama tidak sepakat dalam memaknai lafal al-nafyu (pengasingan).
Ulama Mlikiyah dan Hanafiyah mengartikannya dengan penjara. Hanya saja
Mlikiyah mensyaratkan di tempat lain, bukan ditempat peristiwa perampokan
terjadi, sementara Hanafiyah tidak mutlak di tempat lain. Adapun Syfiiyah
mengartikannya dengan penahanan (al-habs) dimana saja, sedangkan Imm
Ahmad memaknainya dengan pengusiran ketempat lain. Ada juga yang
menekankan pada substansi hukuman bahwa hukuman tersebut bertujuan
menghalangi pelaku kejahatan mengganggu masyarakat, sehingga cara apapun
yang ditempuh guna mencapai tujuan dapat dibenarkan.133 Pendapat ini lebih
129
Ab Muhammad Al ibn Ahmad ibn Sad ibn Hazm, al-Isl f al-Muhall bi alAtsr, Juz XII (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 295; Bandingkan dengan: Ab
Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, Juz VI
(Beirut: Dr al-Kutub al- lmiyah, t.th.), h. 100
130
Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz VI (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
131
Lafal tazr adalah bentuk masdar (asal kata) dari fiil md berarti mendidik
atau mencegah dan menolak. Artinya mendidik pelaku tindak kejahatan agar menyadari
pelanggarannya dan diharapkan dapat menghentikannya. Juga berarti mencegah pelaku
kejahatan agar supaya tidak mengulangi perbuatannya. Lihat: Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh alIslm wa Adillatuh, Juz VII, Cet. VI (Beirut: Dr al-Fikr al-Musir, 1997), h. 1197. Secara
terminologi, diartikan hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jarmah yang tidak
dikenakan hukum had. Lihat: Ab al-Hasan Al ibn Muhammad ibn Habb al-Basr al-Baghdd
al-Mward, Al-Ahkm al-Sultniyah wa al-Wilyt al-Dniyah (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyah, t.th.), h. 293
132
Lihat: Abdul Qdir Audah, Al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 648
133
228
menekankan pada esensi suatu sanksi bukan pada metode, karena itu metode
apapun yang diterapkan dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai dapat
dibenarkan.
Kedua, hukuman bagi pelaku perampokan yang hanya mengambil harta
tanpa membunuh, menurut jumhur ulama (Imm Ab H anfah, Imm Syfi,
Imm Ahmad bin Hambal, dan Syiah Zaidiyah), hukumannya adalah potong
tangan dan kaki secara bersilang (tangan kanan dan kaki kiri). Alasannya yakni
frase ayat: ( atau dipotong tangan dan kaki mereka
secara bersilang).134
Ketiga, hukuman bagi yang membunuh tanpa mengambil harta, menurut
Imm Ab Hanfah, Imm Syfi dan satu riwayat dari Imm Ahmad,
hukumannya yakni dibunuh (hukuman mati) tanpa disalib. Sementara riwayat
lain dari Imm Ahmad dan salah satu pendapat Syiah Zaidiyah, selain hukuman
mati juga disalib.135
Keempat, hukuman bagi yang membunuh dan mengambil harta, manurut
Imm Syfi, Imm Ahmad, Syiah Zaidiyah, Imm Ab Ysuf, dan Imm
Muhammad dari golongan Hanafiyah, hukumannya adalah dibunuh (hukuman
mati) dan disalib tanpa potong tangan dan kaki.136 Sementara Imm Ab
Hanfah berpendapat bahwa hakim boleh memilih salah satu dari tiga: potong
tangan dan kaki lalu dibunuh atau disalib; dibunuh tanpa disalib dan tanpa
potong tangan dan kaki; dan disalib kemudian dibunuh.137 Perbedaan pendapat
tersebut pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan dalam memahami teks-teks
134
Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al- Jmi li Ahkm alQurn, Juz VI (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
135
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 652; Bandingkan dengan:
Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, Juz VI
(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
136
Ab Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansr al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz VI (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 99
137
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 652
229
pemberontakan
memiliki
kesamaan
dengan
jarmah
138
Badar bin Nasir al-Badar, Al-Irhb Haqiqatuh Asbbuh, Mauqif al-Islm minhu,
Cet. I, (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, 1426H.), h. 57
139
Lihat: Abd Rahmn al- Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz
V(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 418; Bandingkan dengan: M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran, Vol. XIII, Cet. I (Ciputat: Lentera
Hati, 2003), h. 245
230
140
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 673
143
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 673
144
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 673
231
145
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 674
146
Perbedaan definisi yang diberikan ulama mengenai bught dapat ditemui dalam
redaksi dan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tindak pidana pemberontakan. Ulama
Mlikiyah misalnya, mencantumkan penolakan terhadap kepala negara dengan tujuan merebut
kekuasaan, sementara ulama Hanafiyah hanya menyebutkan penolakan terhadap kepala negara
dengan cara yang tidak benar. Adapun ulama Syfiiyah dan Hambaliyah menyebutkan selain
pembangkangan juga adanya seorang pemimpin yang menggerakkannya. Pada intinya kudeta
bertujuan menggulingkan pemimpin negara.
232
terhadap
rakyatnya,
pada
hakekatnya
bukanlah
termasuk
keagamaan
dan
kenegaraan.
Walaupun
sebagian pakar
147
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Cet. II (Jakata: Sinar Grafika Offset,
2005), h. 111
148
Lihat: Ab al-Hasan Al ibn Muhammad ibn Habb al-Basr al-Baghdd alMward, Al-Ahkm al-Sultniyah wa al-Wilyt al-Dniyah (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.), h. 5
233
Istilah fasik ditujukan kepada orang yang mempercayai adanya Tuhan tetapi tidak
melaksanakan perintah-perintah-Nya, bahkan selalu berbuat dosa kecil dan terkadang melakukan
dosa besar. Fasik juga berarti orang Islam yang berbuat jahat atau tidak taat kepada Allah swt. .
Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 75-76
151
Lihat: Abdul Qdir Audah, Al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 677
234
negara dewasa ini (Amerika Serikat dan Indonesia); pemilihan yang dilakukan
oleh ahl al-halli wa al-aqdi (semacam lembaga legislatif), seperti pengangkatan
Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah pasca wafatnya Rasulullah saw;
penunjukan langsung oleh imam (pemimpin) sebelumnya, misalnya penunjukan
Khalifah Abu Bakar terhadap penggantinya Umar bin Khattb; Imm
(pemimpin) terdahulu membentuk Majelis permusyawaratan yang terdiri dari
orang-orang tertentu bertugas memilih kepala negara yang baru, misalnya
penunjukan Khalifah Umar bin Khattb terhadap enam orang sahabat untuk
bermusyawarah memilih pemimpin baru dan akhirnya mereka berhasil memilih
Utsman bin Affn; melalui kudeta atau perebutan kekuasaan oleh pemimpin
baru terhadap pemimpin yang lama, seperti kudeta yang dilakukan Abdul Malik
bin Marwan terhadap Abdullah bin Zubair.152 Metode suksesi pertama dan
kedua menggambarkan sistim demokrasi, sementara cara ketiga dan keempat
menunjukkan sistim demokrasi terpimpin.
Apabila terjadi pertengkaran antara dua kelompok misalnya terjadi
kudeta terhadap pemerintahan yang sah, menurut ulama mazhab para
pemberontak tersebut harus dilawan, akan tetapi sebelum diadakan perlawanan
terlebih dahulu dilakukan klarifikasi mengenai latar belakang mereka melakukan
pemberontakan, untuk mencari solusi penyelesaiannya seperti yang tertera
dalam Q.S. al-Hujurt (49): 9.153 Ayat ini memberikan pedoman mengenai cara
penanganan kasus pemberontakan yakni melalui metode islh (rekonsiliasi).
Jika dengan cara ini tidak tercapai suatu penyelesaian maka pihak yang
melakukan pemberontakan harus ditindak. Quraish Shihab lebih cenderung
menafsirkan kata dengan arti tindaklah bukan perangilah seperti yang
152
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 676-677
153
Metode penyelesaian sengketa diantara kaum muslimin dijelaskan dalam ayat ini.
(Dan jika ada dua golongan dari orang mumin berperang maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah ). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran Departemen Agama RI, Alquran
dan Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 846
235
biasa dipahami mufassir lain. Menurutnya, kata iqtatal tidak mesti berarti
berperang tetapi bisa juga bermakna berkelahi, bertengkar. Dalam konteks
ayat ini makna yang lebih netral adalah tindaklah mereka yang bertengkar.154
Penerapan metode islh (perdamaian) dalam menyelesaikan suatu
perselisihan bertujuan untuk memperbaiki keretakan atau kerusakan hubungan
antara dua kelompok dengan cara menghentikan kerusakan dan meningkatkan
manfaat yang dapat dirasakan antara kedua golongan yang berselisih tersebut.
Jika metode islh tidak memberikan penyelesaian, maka pihak yang
membangkan terhadap perdamaian harus ditindak baik dengan cara perang
maupun dengan cara lainnya. Ab Bakr al-Siddiq pernah memerangi para
pembangkang yang tidak mau membayar zakat setelah mereka dihimbau dengan
cara bijaksana.155
Menurut riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik
bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa pertengkaran antara suku Aus
daan Hazraj. Kejadian itu bermula ketika Rasulullah saw mengendarai seekor
keledai melewati kelompok Abdullah bin Ubay bin Salul (pemimpin kaum
munafik), tiba-tiba keledai Rasulullah buang air lalu Abdullah menegur karena
merasa terganggu dengan baunya. Tampillah Abdullah bin Rawahah ra.
menegur Abdullah bin Ubay sambil berkata: Demi Allah, sesungguhnya bau air
seni keledai Rasul lebih wangi dari pada minyak wangimu, sehingga terjadilah
pertengkaran antara kelompok, Abdullah bin Rawahah dan kelompok
Abdullah bin Ubay bin Salul.156
154
236
strategi perang.
Adapun orang-orang yang membangkang terhadap pemimpin yang sah
dengan kekuatan tanpa alasan, oleh golongan Hanafiyah dan Imm Ahmad dan
sebahagian dari kalangan mazhab Hambali tidak dilategorikan sebagai
pemberontak. Akan tetapi sebagian lainnya berpendapat bahwa mereka yang
membangkang terhadap pemimpin disertai alasan, walaupun tidak mempunyai
kekuatan mereka itu tetap dikategorikan sebagai pemberontak.159 Pendapat yang
terakhir ini tampaknya kurang tepat sebab pemberontakan mustahil efektif kalau
tidak sidukung oleh kekuatan.
Dalam sejarah kekhalifahan Islam, ketika Ab Bakar al-Siddq dibaiat
oleh kaum muslimin sebagai khalifah, ternyata sahabat Al bin Ab Tlib tidak
157
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islmiyah, 1997), h. 680
159
Ab Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Quddmah, al-Mughn
al Mukhtsar al-Kharq, Juz VIII (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 105
237
dengan
pemberontakan,
seperti
membunuh
para
pejabat,
160
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h. 115
238
akan
dihukum
dengan
hukuman
hudd. 162
Sedangkan
Syfi,
akan
tetapi
sebagian
Syfiiyah mengharuskan
pemberontak untuk bertanggungjawab atas semua harta yang hancur baik yang
ada kaitannya dengan pemberontakan atau tidak, karena tindakan mereka
tersebut melawan hukum. 163
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sanksi bagi pelaku tindak
pidana pemberontakan dapat berupa hukuman hudd dan hukuman tazr.
Apabila pemberontak melakukan pelanggaran yang diancam dengan sanksi
pidana (jarmah hudd) ketika pemberontakan berlangsung misalnya jarmah
zina, jarmah pencurian, maka mereka akan menerima hukuman hudd.
Sedangkan jika para pemberontak menyerahkan diri maka mereka dikenakan
hukuman tazr. Selain pembahasan hukum Islam tentang terorisme, maka akan
terjadi keseimbangan informasi kalau ditinjau juga tentang hukum Islam yang
berkaitan dengan jihad.
161
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 698
162
Hukuman hudd adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan merupakan
hak Allah. Karenanya, hukuman tersebut bersifat terbatas yakni tidak ada batas minimal dan
maksimal, serta hak Allah lebih domonan dari pada hak manusia. Lihat: M. Abdul Mujieb,
Mabruri Tholhah dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002), h. 106
163
Lihat: Abdul Qdir Audah, al-Tasyr al-Jin al-Islm Muqran al-Qnn alWad, Juz II, Cet. XIV (Beirut: Muassasah al-Islamiyah, 1997), h. 702-703
239
164
Lihat: Abdullah Yusuf Al, The Holy Qur-an, Text, Translation and Commentary
(Qatar: Qatar National Printing Press, 1946), h. 1048
165
Lihat: Abdullah Yusuf Al, The Holy Qur-an, Text, Translation and Commentary
(Qatar: Qatar National Printing Press, 1946), h. 939
166
Lihat: Abdullah Yusuf Al, The Holy Qur-an, Text, Translation and Commentary , h.
1030
240
Madinah. Menurut al-Biq (w. 885 H), kata jihad dalam ayat ini berarti
mujhadah yakni upaya sungguh-sungguh melawan dorongan hawa nafsu,
karena itu tidak disebut obyeknya dan karena itu pula maka yang disebut meraih
manfaatnya adalah kata nafs sebab ia selalu mendorong kepada kejahatan.167
Senada dengan pendapat Wahbah al-Zuhail, makna jihad dalam ayat ini yakni
barang siapa yang bersungguh-sungguh melawan pengaruh hawa nafsunya
dengan melaksanakan segenap perintah Allah dan menghindari segala laranganNya, maka hasil mujhadah-nya akan ia rasakan, demikian pula manfaat dari
perbuatannya akan kembali kepadanya dan akan ia nikmati sendiri bukan orang
lain.168 Selanjutnya Sayyid Qutb (w.1966 M) mengomentarinya bahwa jihad
berarti meningkatkan kualitas sang mujahid dan kalbunya serta memperluas
wawasannya dan cakrawala pandangannya. Hal yang demikian itu membuatnya
sanggup mengalahkan kekikiran jiwa dan harta bendanya serta dapat
mengundang lahirnya potensi-potensi positif yang terdapat dalam dirinya.
Prilaku semacam itu akan mewujudkan kebenaran yang dapat mengalahkan
kejahatan.169 Orang yang bersungguh-sungguh (berjihad) mengontrol dan
mengendalikan nafsunya akan menampakkan pribadi yang luhur, memiliki
prilaku terpuji seperti gemar menolong yang lemah dan menghindari budi
pekerti tercela, misalnya iri hati, dengki, hasad, dan takabbur.
Selanjutnya kata yang terdapat dalam Q.S. al- Ankabut (29): 69
oleh
al-Als
(w.127H)
diartikan
sebagai
kesungguhan
seseorang
Lihat: Wahbah al-Zuhal, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa alManhaj, Juz XX (Beirut: Dr al-Fikr al- Muasir, 1998), h.192
169
Lihat: Sayyid Qutb, F Zill al-Qurn, Juz XVII, Cet. I (T.tp.: Dr Ihya al-Kutub alArabiyah Is al-Bb al-Halab wa Syurakhu, t.th.), h. 102
170
Ab al-Fadl Syihbuddn al-Sayyid Mahmd al-Als al-Baghdd, Rh al-Man f
Tafsral- Qurn al-Azm wa Sabu al-Matsn , Juz XI, Cet. I (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah,
2001), h. 15
241
musuh
dengan
bahwa
senjata.
menghadapi
Pada
akhirnya
musuh
yang
Quraish
dengan
Shihab
sengaja
242
Alquran dinamai jihad yang besar (jihdan kabran ). Pernyataan ini hendaknya
menyadarkan kaum Muslimin akan urgennya jihad dalam arti non perang, sebab
di antara orang Islam ada yang hanya memahami makna jihad dalam arti
perang. Pemahaman seperti keliru karena jihad dalam perang hanyalah salah
sati makna dari term jihad, bahkan merupakan jihad kecil (al-jihd al-asghar).
Adapun jihad yang lebih besar (al-jihd al-akbar) adalah jihad dalam rangka
pengendalian diri (nafs) dan penguasaan informasi (meminjam istilah Quraish
Shihab) menuju kehidupan yang lebih baik.
Semua ayat di atas secara harfiyah menyebut lafal jihd yang berarti non
tempur, membuktikan bahwa istilah jihad tidak selamanya berkonotasi dengan
perang akan tetapi memiliki multi makna seperti kesungguhan melawan hawa
nafsu, kesungguhan (berjuang) meningkatkan kualitas diri, berjuang mencari
keridaan Allah swt dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Selain itu, ayat-ayat di atas tidak menggunakan lafal qitl,
sebagaiman ditemukan pada ayat-ayat lain yang lebih identik dengan makna
perang, meskipun tidak semua lafal qitl dimaknai perang. Misalnya term
yang terdapat dalam Q.S. al-Hujurt (49): 9 oleh mufassir kontemporer Quraish
Shihab lebih dipahami dengan makna berkelahi atau bertengkar sehingga lafal
pada lanjutan ayat tersebut tidak diartikan maka perangilah melainkan
tindaklah karena makna ini lebih sesuai dengan konteks ayat tersebut,
sementara maka perang dianggap terlalu jauh dari konteks ayat.174 Penafsiran
makna semacam ini sangat urgen diketahui oleh umat Islam pada umumnya dan
kelompok Islam radikal pada khususnya dalam rangka mengkanter jastifikasi
aksi-aksi kekerasan dalam mengaktualisasikan jihad.
Istilah qitl dalam arti perang baru disyariatkan setelah turun Q.S. alHajj (22): 39.175 Dengan demikian ayat ini merupakan yang pertama kali turun
174
Kebolehan berperang dalam Islam dimulai setelah turun Q.S. al-Hajj (22): 39
.
(Telah diizinkan (berperang) bagi orang0orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka
243
tentang perang. Setelah itu terjadilah perang antara kaum Muslimin dengan
kaum Quraisy disuatu tempat bernama Badar, tanggal 17 Ramadan tahun kedua
hijriah.176 Terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai ayat pertama yang
turun yang berkaitan dengan kebolehan berperang. Menurut jumhur ulama salaf
seperti ibn Abbas, Aisyah, Mujahid, Qatadah bahwa ayat yang pertama turun
berkenaan dengan izin perang adalah ayat 39 dalam surat al-Hajj (22), sementara
menurut al-Hakim yaitu ayat 111 surat al-Taubah (9) dan ulama lainnya
berpendapat bahwa ayat pertama mengenai perang adalah ayat 190 surah alBaqarah (2). 177
Dalam merespon perbedaan tersebut, Quraish Shihab sependapat dengan
jumhur ulama, alasannya ayat 39 surat al-Hajj (22) baru merupakan izin
berperang disertai alasan mengapa izin diberikan, sementara ayat 111 surat alTaubah (9) berbicara mengenai balasan bagi para syuhada di medan perang
berupa surga, dan ayat 190 surat al-Baqarah (2) merupakan perintah
berperang.178 Salah satu alasan diizinkannya berperang pada awalnya adalah
karena umat Islam dalam keadaan teraniaya kemudian Allah swt mengizinkan
mereka untuk bangkit membela hak-haknya seperti hak memilih agama dan
beribadah menurut keyakinannya tanpa ancaman dari siapapun. Selain itu,
dengan adanya kebolehan berperang tersebut, Allah ingin menguji sejauhmana
itu. Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama Republik
Indonesia, Alquran dan Terjemahnya ( Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 518
176
Badar adalah sebuah desa sekitar 82 km sebelah barat daya Madinah, sebuah
pangkalan air terkenal yang terletak antara Madinah dengan Mekkah, tak jauh dari pantai laut
Merah. Lihat: Muhammad Husain Haekal, Hayt Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah
dengan judul: Sejarah Hidup Muhammad , Cet. XXXIV (Jakarta: PT. Mitra Kerjaya Indonesia,
2007), h. 246
177
Ayat 111 Q.S. al- Taubah (9) berbunyi:
...( Sesungguhnya Allah telah memberi dari orang-orang mumin,
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh ). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Al-Quran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra,
1989), h. 299. Sedang ayat 190 Q.S. al-Baqarah (2) berbunyi:
...( Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan kamu
melampaui batas). Lihat: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama
RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 46
178
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan &Keserasian Al-Quran, Vol.
IX, Cet. I (Ciputat: Lentera Hati, 2002), h. 66
244
179
245
182
Lihat: John L. Esposito, Unholy War diterjemahkan oleh Syafruddin Hasani dengan
judul: Teror Atas Nama Islam, Cet. I (Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2003), h. 78
246
23-24
184
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (T.tp: John Hopkins Press,
1955), h. 74
185
Muhammad Fud Abd al-Bq, al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Qurn alKarm (t.tp, Dr al-Fikr, 1981), h. 196
187
247
dapat dibagi dalam dua kelompok kajian yakni term jihad yang terdapat dalam
ayat-ayat yang diturunkan sewaktu Nabi saw berada di Mekkah (fase
Makkiyah), dan kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat yang diturunkan pada
waktu Nabi saw telah berhijrah ke Madinah (fase Madaniyah). Pengelompokkan
ini menjadi sangat penting mengingat pada kurun Mekkah, tak satupun ayat
yang berisi perintah untuk melakukan peperangan walaupun Nabi saw dan umat
Islam lainnya dalam keadaan tertindas.
Ayat-ayat jihad yang diturunkan di Mekkah ternyata memiliki arti yang
bevariasi antara lain: Pertama, usaha yang keras dan sungguh-sungguh untuk
mendakwahkan Alquran terhadap orang-orang Mekkah yang masih kafir, Q.S.
al-Furqan (19): 52. Para mufassir berbeda pendapat mengenai dengan apa
berjihad. Menurut sebahagian mufassir misalnya Ibn Abbs, konotasi makna
jihad pada kata ganti (damr) ha dalam kata bihi (dengannya) menunjukkan
Alquran berdasarkan korelasi dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Jadi jihad
akbar (utama) dalam ayat tersebut adalah mendakwahkan dan mensosialisasikan
Alquran terhadap orang-orang kafir. 189 Sedangkan menurut Ibn Zaid, konotasi
makna jihad dalam ayat ini dengan Islam dan ada juga yang berpendapat
dengan pedang Akan tetapi al-Qurtub menolak pendapat terakhir dengan
alasan bahwa ayat ini turun di Mekkah sebelum adanya perintah perang.190
Sedangkan makna jihad yang besar (jihdan kabran) menurut al-Zamakhsyar
adalah mencakup segala bentuk perjuangan (jmian li kulli mujhadah ).191
Kedua, memberikan sifat sungguh-sungguh untuk sebuah sumpah, Q.S. Ftir
(35): 42; al-Anam (6): 109. Ketiga, menunjukkan sikap orang-orang Islam
Mekkah yang memiliki kesabaran, antusiasme dan komitmen yang tinggi untuk
berjuang menghadapi paksaan orang kafir terhadap pengingkaran Tuhan, Q.S.
189
Ab Abdillh Muhammad ibn Ahmad al-Ansar al-Qurtub, al-Jmi li Ahkm alQurn, Juz XIII (t.d.), h. 58
191
Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyar, Tafsir al-Kasysyf, vol. III (Beirut: Dr alKutub al-Ilmiyah, 1995), h. 278
248
al-Nahl (16): 110. Keempat, sikap orang tua yang memaksa anaknya untuk
melakukan syirik, Q.S. Luqman (31): 15. Kelima, berjuang dengan segenap
daya dan tenaga, Q.S. al-Ankabt (29): 6 dan 69. Berdasarkan ayat-ayat tersebut
menunjukkan bahwa pemaknaan jihad sebagai peperangan fisik, khususnya pada
periode Mekkah, belum eksis meskipun istilah jihad telah muncul beberapa kali.
Berbeda halnya dengan fase Madinah, pemaknaan jihad sudah mengarah
pada pemahaman peperangan fisik, tetapi awalnya masih bersifat defensif
kemudian
menjadi
ofensif
seperti
dipresentasikan
dalam
beberapa
Mahmud Tsabit al-Faudi, Dirat al-Maarif al-Islmiyah , Juz VII (T.d.), h. 188-189
249
193
Hadis tentang jihad dalam arti berbakti terhadap kedua orang tua:
: :
. : :
Lihat: Ab Abdillh al-Bukhr, Sahh al-Bukhr, Kitb al-Jihd, Bb al-Jihd bi Idzn alAbwan, Juz II (t.tp: Dr Ihy al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 170; Dalam riwayat Abu Daud dan
al-Tirmidz terdapat redaksi yang sedikit berbeda alaka wlidka. Lihat: Ab Dud Sulaeman
al-Asyats al-Sajastan, Sunan Ab Dud , Kitb al-Jihd, Bb f al-Rajul Yaghz wa Abwhu
Krihni, Juz I (Beirut: Dr ibn Hazm, 1419 H/1998 M), h. 390; Ab Isa Muhammad ibn Isa ibn
Saorah, Sunan al-Tirmidz, Kitb al-Jihd, Bb M Ja f Man Kharaja il al-Ghazwi wa
Taraka Abawaihi, Juz III (Beirut: Dr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 255
194
195
Lihat: Ab Isa Muhammad ibn Isa ibn Saorah al- Tirmidz, al- Jmi al- Sahh Sunan alTirmidz, Kitb al-Jihd, Bb Afdal al-Jihd Kalimat Adl Inda Sult n Jirin, Juz III, Cet I
(Beirut: Dr al- Kutub al- Ilmiyah, 1421 H/2000 M), 212
250
Ungkapan yang mengkategorisasikan jihad pada dua bagian yaitu jihad asghar dan
jihad akbar:
-
197
Kaml al-Haidar, al-Tarbiyah al-Rhiyah: Buhts f Jihd al-Nafs diterjemahkan
oleh Iwan Kurniawan dengan judul: Jihad Akbar: Menempa Jiwa, Membina Ruhani , Cet. I
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), h. 169-171
251
198
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I
(Jakarta: LSIP, 2004), h. 44
201
Abd Rahmn al-Jazar, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V(Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 360-373; Sayyid Sbiq, Fiqhu al-Sunnah, Cet. I, Juz III
(Kairo: Dr al-Fath, 1998), h. 402-403; Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz
VIII, Cet. IV (Beirut: Dr al-Fikr al-Muasir, 1997), h. 5848; Abi Muhammad Abdullah Ibn
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Quddmah, Al-Mughn ala Mukhtas ar al-Kharq, Juz VIII, Cet. I
(Beirut: Dr al-Kurb al-Ilmiyah, 1994), h. 239
252
peperangan. Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang belum terkena fardu ain
(misalnya anak-anak) tidak diperbolehkan ikut dalam peperangan terkecuali
mereka mendapat izin dari orang tuanya (kalau keduanya Muslim), serta orang
yang masih memiliki hutang harus mendapat izin dari pemberi hutang
(kreditor).202 Pendapat lainnya seperti Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa
syarat wajibnya jihad itu ada tujuh yaitu Islam, baliq, berakal, merdeka, lakilaki, sehat jasmani dan memiliki nafkah.203 Syarat kewajiban jihad yang
mengharuskan laki-laki kelihatannya sarat dengan bias jender sehingga kurang
relevan untuk diterapkan di era modern karena tidak sesuai dengan realita
kehidupan dimana laki-laki dan perempuan setara (kesetaraan jender). Para
ulama juga sepakat dalam hal larangan membunuh perempuan, orang buta,
orang tua jompo dan orang cacat terkecuali mereka itu memberikan kontribusi
dalam peperangan tersebut. 204 Selama mereka tidak ikut berperang dalam
pertempuran, maka tidak ada alasan menyerang apalagi membunuh mereka.
Selain itu jumhur ulama juga melarang melarikan diri ketika berhadapan
dengan musuh. Ada tiga hal yang menyebabkan umat Islam harus berjihad yakni
ketika berhadapan dengan musuh Q.S. al-Anfal (8): 15, 16, 45-46; musuh sudah
menyerang, dan atas perintah kepala Negara Q.S. al-Taubah (9): 38.205
Melarikan diri dari musuh tidak dibenarkan terkecuali dengan tujuan
mengecohkan musuh atau mau mencari pertahanan yang lebih strategis untuk
mengadakan perlawanan. Tetapi jika kondisi umat Islam dalam keadaan
emergency (darurat) dan secara perhitungan yang cermat pasukan mereka jauh
202
Abd Rahmn al-Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V(Beirut:
Dr al- Kutub al- Ilmiyah, 1999), h. 367
203
Abd Rahmn al-Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V(Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h.
205
Sayyid Sbiq, Fiqhu al-Sunnah, Cet. I, Juz III (Kairo: Dar al-Fath, 1998), h. 404;
Wahbah al-Zuhail, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Juz VIII, Cet. IV (Beirut: Dr al-Fikr alMuasir, 1997), h. 5850; Abi Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Quddmah
al-Muqaddas, al-Mughn ala Mukhtas ar al-Kharq, Juz VIII, Cet. I (Beirut: Dar al-Kurb alIlmiyyah, 1994), h. 240
253
Abd Rahmn al-Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V (Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 269
207
Abd Rahmn al-Jazir, Ktb al-Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah , Juz V (Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 370-371
254
208
Jalluddn Abdurrahmn ibn Ab Bakr al-Suyt, Al-Asybah wa al-Nazir f alFur (Beirut: Dr al-Fikr, 1415 H/1995 M), h. 32
209
Perlu dicatat bahwa tidak semua lafal yang menggunakan sighat amr itu wajib. Dari
segi dilalah (penunjukkan) dan tuntutannya sighat amr bisa mengandung hukum selain wajib
yakni nadb (sunnat) seperti (Q.S. al-Nur (24):33), mendidik (Q.S. al-Baqarah (2): 282),
kebolehan atau mubah (Q.S. al-Baqarah (2): 60, menakut-nakuti atau tahdd (Q.S. Ibrahim (14):
30), memotivasi (Q.S. al-Anam (6): 142), memuliakan yang disuruh (Q.S. al-Hijr (15): 46),
menghina (Q.S. al-Baqarah (2); 65, menantang seseorang atau tajz (Q.S. al-Baqarah (2): 23),
mengejek dan menganggap remeh atau ihnah (Q.S. al-Dukhan (44): 49), menyamakan dua hal
sebagai perbandingan atau taswiah (Q.S. al-Thur (52): 16), doa atau harapan (Q.S. Ibrahim (14):
41), menganggap enteng sesuatu yang disuruh (Q.S. al-Syuara (26): 43, menciptakan atau
takwin (Q.S. Yasin (36): 82. Lihat: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2001), h. 166-171
255
berpendapat bahwa hukum asal amr adalah nadb (sunnah). Dalam pandangan
Mutazilah, amr merupakan suatu tuntutan melaksanakan sesuatu hal kepada
orang yang diperintah dan amr bisa saja dalam bentuk mengharuskan melakukan
sesuatu (wajib) dan atau dalam bentuk nadb (sunnah). Memilih alternatif yang
paling kecil (nadb) lebih baik sampai ada keterangan atau qarnah yang
menunjukkan wajibnya suatu perintah tersebut. Ulama Mutazilah juga
mengemukakan hadis Nabi saw yang menjelaskan bahwa jika seseorang
diperintahkan untuk melakukan sesuatu perbuatan, maka laksanakan sesuai
dengan kemampuannya. Oleh karena itu Mutazilah berkesimpulan bahwa
melaksanakan amalan yang diperintahkan disesuaikan dengan kemampuan
manusia, dan ini mengindikasikan amr bukan sesuatu keharusan (wajib) tetapi
sunnah saja.210 Sekalipun terjadi perbedaan persepsi antara jumhur ulama dan
ulama Mutazilah, tampaknya penulis cenderung menyetujui argumentasi yang
dikemukakan oleh jumhur ulama tentang hukum dasar amr adalah wajib
terkecuali ada penjelasan yang merubah hukum tersebut.
Persoalannya adalah apakah hukum wajibnya jihad melawan orangorang kafir dan membunuh mereka dalam ayat-ayat yang dikemukakan di atas
merupakan kewajiban setiap Muslim (fard ain) atau kewajiban kolektif (fard
kifyah)?. Kewajiban tersebut tampaknya hanya bersifat kolektif ditujukan
kepada umat Islam yang memiliki kapabilitas dan persyaratan untuk terlibat
dalam peperangan misalnya kesehatan fisik, pengalaman perang, memiliki visi
dan strategi perang dan memiliki persenjataan perang.211 Kewajiban kolektif
tersebut kelihatannya berlaku dalam kondisi kalau peperangan tersebut
dilakukan berdasarkan perencanaan dan strategi yang matang.
Tetapi kalau umat Islam diserang secara tiba-tiba oleh musuh, maka
umat Islam secara individu berkewajiban untuk mempertahankan wilayah dan
identitas umat Islam sesuai dengan kemampuan mereka. Dalam kondisi
demikian, jihad merupakan fardu ain bagi seluruh umat Islam yang tinggal di
210
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 173-
174
211
Abdul Baqi Ramdhun, Al-Jihd Sablun, diterjemahkan oleh Darsim Ermaya dan
Imam Fajaruddin dengan judul Jihad Jalan Kami, (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 139-140
256
jihad
fisik
212
Jalluddn Abdurrahmn ibn Ab Bakr al-Suyt, Al-Asybah wa al-Nazir f alFur (Beirut: Dr al-Fikr, 1415 H/1995 M), h. 53
257
dimasukkan dalam ketegori kebutuhan hidup manusia yang esensial yang harus
dilindungi dan dipelihara eksistensinya (al-dharuriyat al-khamsah ) yakni
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.213
Jika merujuk kepada makna etimologi dari jihad, seperti yang
diungkapkan dalam pembahasan sebelumnya, maka jihad itu adalah sesuatu
yang sulit dan meletihkan serta memerlukan kemampuan untuk melakukannya.
Ungkapan dalam Alquran yang menggunakan kata jihad (Q.S. Ali Imran (3):
142 yang mempersoalkan dugaan umat manusia untuk masuk syurga padahal
belum nyata bagi Allah swt antara orang-orang yang betul-betul berjihad dan
sabar. Ini menunjukkan bahwa jihad ditetapkan kadangkala dalam rangka
menguji manusia sejauhmana kesabaran dan ketabahan mereka sebab jihad
adalah sesuatu yang sulit. Selain makna kesabaran, jihad juga bermakna
kemampuan yang menuntut pelakunya (mujahid) untuk menggunakan segala
potensi diri dan pengorbanan demi terwujudnya tujuan jihad tersebut. Dengan
demikian, menurut M. Quraish Shihab, seorang mujahid yang memiliki
kapasitas untuk melakukan jihad tidak akan pernah menuntut dan mengambil
sesuatu
dari
orang
lain
(secara
berlebihan)
karena
mereka
terus
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet. XII (Jakarta: Mizan, 2001), h. 502
258
yang sangat sempit yakni dalam arti peperangan atau perlawanan fisik.
Keimanan yang kokoh bahwa Allah swt penguasa (al-malik, al-qadr) dan
pemberi rezeki dan kasih sayang (Razzq, Rahmn dan Rahm) misalnya
merupakan sentral keyakinan dalam menjalankan lini kehidupan manusia
sehingga apapun yang dilakukannya selalu optimis, toleran dan bersifat kasih
dan sayang terhadap yang lainnya termasuk pada binatang dan lingkungan
sekitarnya. Peningkatan ilmu pengetahuan (pendidikan) juga unsur penting
karena dengan ilmu pengetahuan manusia dapat tetap eksis dan mampu
meningkatkan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan. Orang yang memiliki
kualifikasi pendidikan rendah misalnya sangat sulit bagi mereka untuk
berkompetisi baik dalam taraf kualitas intelektualnya maupun untuk hal-hal
yang berkaitan dengan ekonomi dan kesejahteraan. Dalam penyelesaian kasus
konflik Palestina - Israel, orang Islam yang memiliki ilmu pengetahuan (politik
Islam) dengan yang tidak memiliki pengetahuan tersebut berbeda dalam
menyikapinya. Manusia yang berilmu cenderung memberikan alternatif dan
memikirkan kemungkinan melakukan diplomasi, negosiasi dan berbagai
manuver politis yang selalu mengarahkan pada perdamaian. Sebaliknya, orang
yang tidak memiliki pengetahuan hanya bisa berargumentasi melawannya
dengan kekerasan ke perkampungan Israel, bahkan bentuk perlawanan itu
diarahkan di luar teritorial daerah konflik seperti pengeboman di Pasar.
Peristiwa kekerasan yang sama juga terjadi Bali dan sejumlah tempat di Jakarta
(hotel Marriot, kedutaan Australia) sebagai ungkapan pembalasan terhadap
penderitaan dan peperangan di Palestina. Ilustrasi ini mungindikasikan
pentingnya peningkatan pemahaman atau pendidikan sehingga manusia selalu
melihat persoalan dengan bijaksana dan penuh pertimbangan.
Jadi, jihad non fisik dalam rangka meningkatkan keimanan dan
ketakwaan, pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan sebagai aplikasi bentuk
jihad adalah wajib hukumnya baik pada tataran personal maupun kolektif.
Kedua, jihad dalam arti perang juga wajib, sekalipun ini sangat terbatas dalam
konteks kekinian.
259
216
215
260
lainnya berarti telah melanggar hak-hak dasar manusia lainnya (human rights).
Ketiga,
terorisme
bertentangan
dengan
prinsip-prinsip
kemanusiaan,
217
Penggunaan sighat nahy memiliki berbagai dalalah atau penunjukkan hukum antara
lain haram, makruh seperti hadis Nabi yang melarang memegang kemaluan dengan tangan
kanan ketika kencing, mendidik (irsyd) seperti ayat (Q.S. al-Maidah (5): 10), doa (Q.S. Ali
Imran (3): 8), merendahkan atau tahqr (Q.S. al-Hijr (15): 88), menjelaskan akibat atau bayn
al-Aqibat (Q.S. Ibrahim (14): 42), mengungkapkan keputusasaan atau yasi (Q.S. al-Tahrim
(66): 7). Lihat: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h.
196-197)
218
219
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet. XII (Jakarta: Mizan, 2001), h. 473-274
261
mereka untuk tidak berlaku adil.220 Oleh karena itu, prinsip kemanusiaan,
musyawarah (dialog) dan keadilan perlu ditegakkan sekalipun ketika berhadapan
dengan komunitas lainnya termasuk non Muslim, sehingga aksi teror tidak
dibenarkan dalam Islam. Ketiga pertimbangan di atas mempertegas bahwa
hukum terorisme ataupun penyalahgunaan konsep jihad dengan menggunakan
aksi teror dalam Islam adalah haram hukumnya.
Berdasarkan pembahasan dalam bab ini maka terorisme dan jihad
merupakan dua fenomena yang berbeda secara normatif tetapi kadang
ditemukan penyalahgunaan konsep jihad yang cenderung bersifat destruktif dan
merusak sehingga pelaksanaan jihad serupa dengan aksi teror. Oleh karena itu,
kalau pelaksanaan jihad sudah sama dengan terorisme berarti konsep jihad yang
sebenarnya telah mengalami distorsi makna.
220
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet. XII (Jakarta: Mizan, 2001), h. 119
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disertasi ini membuktikan bahwa terdapat distorsi pemahaman
keagamaan oleh sebagian gerakan Islam terutama Muslim radikal dengan
mengaktualisasikan jihad dalam bentuk tindakan kekerasan (teror), dan hal
tersebut berimplikasi pada munculnya radikalis baru. Distorsi pemahaman
keagamaan tersebut disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Secara
internal adalah berkaitan dengan pemahaman Islam yang sempit dan cenderung
tekstual dari para pelaku teror, sedangkan secara eksternal bahwa tindakan teror
tersebut disebabkan oleh faktor sosio kultural dan politik masyarakat atau
komunitas Muslim. Sebagian umat Islam terutama kelompok radikal Muslim
cenderung memahami nas-nas (Alquran dan al-Sunnah) secara tekstual sehingga
terkadang melahirkan pemikiran yang kaku tidak fleksibel. Adapun faktor sosio
kultural yang dapat mendorong lahirnya tindakan kekerasan terorisme adalah
pengaruh modernitas yang terkadang dianggap berbenturan dengan budaya suatu
komunitas tertentu, sehingga menimbulkan perlawanan dari komunitas tersebut.
Selain itu, politik hegemoni Amerika (Barat) juga turut membangkitkan adanya
tindakan terorisme secara signifikan terutama dari kalangan radikal Muslim.
Kelompok tersebut menganggap bahwa modernisme yang terjadi di
negara-negara Muslim dimotori oleh Barat dan telah merusak tatanan kehidupan
yang Islami, misalnya eksisnya pergaulan bebas dikalangan generasi muda dan
prostitusi berdampak pada munculnya penyakit HIV dan AIDS. Oleh karena itu,
kelompok Islam terutama radikal Muslim berasumsi bahwa modernisasi dan
hegemoni Amerika (Barat) terhadap negara-negara Muslim merupakan bentuk
kolonialisme dan imperialisme yang perlu dilawan dan disingkirkan dalam
rangka mewujudkan kemandirian umat Islam. Bagi mereka yang menganut
doktrin Qutubism, jalan atau upaya yang dapat ditempuh untuk melawan
pengaruh modernisme dan hegemoni tersebut adalah dengan jalan jihad.
263
Berbagai aksi teror dilakukan oleh sebagian umat Islam atas nama jihad
telah ada sejak era Khulafa al-Rasyidin sampai sekarang seperti kelompok
Tanzm al-Jihd, al-Takfr wa al-Hijrah (Mesir), Al-Qaeda (Saudi Arabia) serta
Jamaah Islamiyah senantiasa merujuk pada teks-teks yang mengandung ajakan
jihad (perang) termasuk keutamaan orang-orang yang berjihad (Q.S. Ali Imran
(3): 142; An-Nisa (4): 95; al-Tahrim (66): 9 dan al-Mumtahanah (60): 1).
Pandangan eksklusif terhadap teks-teks yang berkaitan dengan jihad
disertai dengan aksi teror dari kalangan fundamentalis Muslim terutama sejak
1990an membentuk opini masyarakat Barat atau non Islam bahwa Islam
memberikan justifikasi terorisme. Asumsi tersebut bertentangan dengan ajaran
Islam yang mengajarkan toleransi, humanisme dan mengutamakan kemaslahatan
dan kedamaian termasuk terhadap non Muslim.
Jihad memiliki makna makro dan mikro. Pendefinisian secara makro
mencakup makna yang luas yang tidak semata-mata diartikan perang dengan
perjuangan fisik, tetapi juga mencakup non fisik misalnya perang melawan hawa
nafsu, melawan rayuan dan bujukan setan, melawan kezaliman dan perbaikan
masyarakat dan individu. Jihad juga termasuk segala aktifitas yang dilakukan
manusia dalam rangka peningkatan kredibiltas dan intergritas kepribadian baik
secara individu maupun masyarakat. Jihad yang semacam ini bersifat permanen.
Adapun secara mikro, jihad diartikan pada peperangan saja, dan ini bersifat
temporal. Dari berbagai bukti sejarah mengindikasikan bahwa terjadi evolusi
pemaknaan jihad dari makna yang makro (bukan peperangan) terutama pada
periode Mekkah, kemudian di perkenalkan pada pemahaman dalam makna
mikro (perang) pada periode Madinah ditandai dengan turunnya ayat-ayat
tentang perang (qital). Sayangnya, pemahaman mikro tersebut menjadi titik
sentral pada awal-awal perkembangan dan perluasan wilayah Islam bahkan
sampai sekarang terutama dimotori fundamentalis Islam. Sejak munculnya
klaim bahwa Islam identik dengan teroris yang disebabkan oleh asumsi dari
ajaran jihad, maka pada masa kontemporer, pakar hukum Islam, cendekiawan
dan intelektual Muslim mulai menformulasikan dan mensosialisasikan kembali
pemaknaan jihad yang pernah eksis pada periode Mekkah dan dilakukan
264
pencerahan yang berkaitan dengan makna yang mikro. Makna jihad dalam Islam
bervariasi dan menunjukkan pada makna perjuangan yang bersifat fisik dan non
fisik, serta makna jihad mengalami evolusi sesuai dengan kondisi masyarakat.
Namun dalam melaksanakan jihad dalam bentuk peperangan terdapat
kode etik yang ditekankan dalam Islam yakni menyampaikan dakwah atau
pemberitahuan tentang Islam sebelum peperangan, larangan berbantah-bantahan,
larangan mengarahkan senjata ke perkampungan Muslim, dan larangan untuk
membunuh anak-anak, perempuan, orang tua jompo dan pendeta terkecuali
mereka memilki andil dalam peperangan tersebut. Jihad dalam makna perang
atau kekerasan disyariatkan dalam Islam dalam rangka mempertahankan agama
dan kedaulatan negara Islam dan umat Islam. Alasan terhadap kebolehan
tersebut kadangkala didistorsi oleh sebagian umat Islam terutama kelompok
radikal Muslim di dunia Islam seperti Tanzm al-Jihd, al-Takfr wa al-Hijrah
(Mesir), Al-Qaeda (Saudi Arabia) serta Jamaah Islamiyah (Asia Tenggara) dan
FPI (Indonesia).
Hukum Islam yang memiliki nilai universal, fleksible, elastis dan
komprehensif mencoba mengelaborasi persoalan terorisme dan jihad dengan
berbagai aspeknya. Hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis
bertujuan
untuk
keadilan,
rahmat
serta
memenuhi
kebutuhan
dan
265
266
eksistensi agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan Tetapi, kalau jihad tersebut
dilaksanakan secara destruktif dan menyalahi etika jihad dalam Islam maka
kewajiban tersebut menjadi haram.
Jumhur ulama klasik menjelaskan hukuman terhadap jenis-jenis jarimah
tersebut dengan penetapan hukum yang berbeda. Jarimah al-irhb sebenarnya
tidak ditetapkan hukumannya secara khusus karena bisa dikategorikan dalam
jarmah
(quttu
al-tariq)
sanksi
hukumannya
berbeda
tergantung
pelanggarannya. Jumhur ulama (Hanaf, Syfi, Ahmad bin Hambal dan Syiah
Zaidiyyah) menetapkan hukuman sesuai dengan
dalam Q.S. al- Maidah (5): 33 yaitu diasingkan jika pelanggarannya hanya
menakut-nakuti seseorang tanpa melakukan pembunuhan dan pengambilan
harta. Hukuman lainnya adalah dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika
pelakunya mengambil harta saja dan tidak membunuh, atau dibunuh (tanpa
disalib) jika pelakunya membunuh tetapi tidak mengambil harta. Kalau
pelakunya membunuh dan mengambil harta maka dia dibunuh dan disalib.
Berbeda halnya dengan pendapat Imm Mlik dan Zahiriyah yang menyerahkan
kepada ijtihad hakim (tazr) dalam menentukan jenis sanksi yang terdapat
dalam Q.S. al- Maidah (5): 33 tersebut. Hanya saja Imm Mlik membatasi
hukuman pilihan tersebut untuk selain pembunuhan. Baginya hukuman bagi
jarmah pembunuhan adalah dibunuh atau disalib. Sementara Zahiriyah
menyerahkan sepenuhnya kepada hakim untuk memilih bentuk apapun hukuman
yang akan diberikan kepada pelaku perampokan tersebut.
Dalam kaitan dengan jarmah al-baghyu (pemberontakan), jumhur ulama
berpendapat
bahwa
tindak
pindana
sebelum
dan
sesudah
terjadinya
pemberontakan dikenakan jarmah biasa, tetapi kalau tindak pidana itu terjadi
ketika pemberontakan berlangsung dan pelanggaran tersebut dikategorisasikan
dengan tindak pidana pemberontakan maka bisa dikenakan hukum hudud atau
tazr. Sebaliknya, kalau tidak berkaitan langsung dengan
jarmah
267
B. Saran-Saran
Persoalan terorisme dan jihad merupakan persoalan yang kontroversial
terutama jika persoalan terorisme itu dikaitkan dengan fundamentalisme
Muslim. Diharapkan pada cendekiawan dan intelektual Muslim untuk terus
mengkaji persoalan terorisme dan jihad dan mensosialisasikannya atau
mempublikasikannya sehingga komunitas Muslim termasuk masyarakat
internasional memahami bahwa persoalan terorisme tidaklah sama dengan jihad,
serta terorisme tidak memperoleh justifikasi dari Islam.
Selain itu, umat Islam terutama kalangan radikal, fundamentalis dan
puritan tidak melakukan dan mempraktekan jihad dengan tindakan yang
268