PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
JAKARTA
2017
Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi i
Tim Penyunting Prosiding
SEMINAR NASIONAL ISLAM DAN DEMOKRASI,
Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa
Penasehat
Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesin, SH, MH
Prof. M. Taufik Makarao, SH, MH
Dr. A. Ilyas Ismail, MA
Ketua
Slamet Riyanto, SH, MH
Anggota
Dr. Ir. Atifah Thaha, MSc., M.Ec.Dev.
Dr. Efridani Lubis, SH, MH
Rohmat Adi Yulianto, Lc., MDLS
Euis Nurhidayati, SPd, M.Psi
Arifudin, SH, MH
Diterbitkan Oleh :
Program PASCA SARJANA
Universitas Islam As-Syafi‘iyah
Jl. Jatiwaringin No. 12 Pondok Gede, Jakarta Timur 17411
ISBN : 978-602-72544-3-5
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadlirat Ilahi Rabbi, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya buku prosiding ini dapat diterbitkan oleh Program Pascasarjana
Universitas Islam As-Syafi‘iyah (UIA). Buku prosiding ini berisi kumpulan makalah yang
merupakan pemikiran kritis para ulama, pakar/ahli, dan cendekiawan muslim, serta tulisan para
dosen dan mahasiswa Program Pascasarjana dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang
disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan di Jakarta oleh Program Pascasarjana
Universitas Islam As-Syafi‘iyah pada tanggal 25-26 Juli 2017.
Materi dalam prosiding ini dikelompokkan dalam dua bagian utama. Pertama, pemikiran
para ulama, pakar/ahli, dan cendekiawan muslim yang merupakan materi utama dan diletakkan
pada bab kedua sampai bab kelima. Dan kedua, pemikiran para dosen dan mahasiswa Program
Pascasarjana dari perguruan tinggi di seluruh wilayah Indonesia yang disampaikan sebagai call
for paper seminar.
Materi utama prosiding dibagi dalam enam bab, yang masing-masing menunjukkan
pengelompokan tema yang dibahas dalam seminar. Bab pertama memuat gambaran umum pokok
permasalahan, yakni relasi antara Islam dan demokrasi, dengan perspektif pada pengembangan
model demokrasi berketuhanan yang maha esa. Bab kedua menyajikan konsep permikiran
mengenai paradigma, konseptualisasi, dan konvergensiIislam dan demokrasi dalam model
demokrasi berketuhanan yang maha esa. Ada dua tulisan yang disajikan, yakni Islam dan
Demokrasi Dalam Konstitusi Indonesia yang dtulis oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH,
M.Sc. dan Islam dan Demokrasi, oleh Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, MA.
Bab ketiga menyajikan pembahasan penting mengenai pengembangan pemikiran dan
pelembagaan model demokrasi berketuhanan yang maha esa. Dua tulisan ulama dan ahli menjadi
sajian utama, yakni Islam dan Demokrasi: Pengembangan Pemikiran Kenegaraan Dalam Islam
yang disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Ma‘ruf Amin, MA, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dan Islam, Nomokrasi, Demokrasi, dan Teokrasi, yang ditulis Guru Besar Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH, MH.
Bab keempat berisi pembahasan mengenai Islam dan demokrasi dalam perspektif teologi
politik sebagai model demokrasi berketuhanan yang maha esa, yang menyajikan berbagai tulisan
dari tiga pakar/ahli kajian keislaman, yakni Prof. Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA, Prof. Dr.
Tim Penyunting
BAB II:
PARADIGMA, KONSEPTUALISASI, DAN KONVERGENSI ISLAM DAN DEMOKRASI
DALAM MODEL DEMOKRASI BERKETUHANAN YANG MAHA ESA
1. Islam Dan Demokrasi Dalam Konstitusi Indonesia .............................................. 9 - 16
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, M.Sc.
2. Islam dan Demokrasi, .............................................................................................. 17 - 34
Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, MA
BAB III :
PENGEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PELEMBAGAAN MODEL DEMOKRASI
BERKETUHANAN YANG MAHA ESA
1. Islam dan Demokrasi: Pengembangan Pemikiran Kenegaraan Dalam Islam, .. 35 - 38
Prof. Dr. KH. Ma‘ruf Amin, MA
2. Islam, Nomokrasi, Demokrasi, dan Teokrasi, ....................................................... 39 - 56
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, MH
BAB IV :
ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI POLITIK SEBAGAI
MODEL DEMOKRASI BERKETUHANAN YANG MAHA ESA.
1. BAGIAN SATU : Negara Pancasila, Negara Perjanjian dan Kesaksian (Darul Ahdi was
Syahadah) ................................................................................................................. 57 - 64
Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,
Bagian Dua : Viable Islamic State In The Modern Era, ...................................... 65 - 74
Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,
Bagian Tiga : Islam, Pluralism, and Democracy, .................................................. 75 - 80
Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,
Bagian Empat: Islam and Democracy in Indonesia, ............................................ 81 - 84
Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,
Bagian Lima: Perspective On The Caliphate Today, ........................................... 85 - 88
Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,
2. Islam dan Demokrasi : Perspektif Teologi Politik Sebagai Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, .............................................................................. 89 - 100
Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA
3. Perkembangan Islam dan Demokrasi Di Indonesia, ............................................ 101 - 106
Dr. Fachry Aly, MA Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi iii
BAB VI:
ISLAM DAN DEMOKRASI DARI BERBAGAI PERSPEKTIF (CALL FOR PAPER)
1. Musyawarah dan Demokrasi Menurut Perspektif Al Qur’an, ............................ 151 - 192
Dr. Baharudin Husin, MA (Dosen Program Pascasarjana Magister Komunikasi Islam
Universitas Islam As-Syafi‘iyah – Jakarta)
2. Islam dan Demokrasi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah Untuk Mengembangkan Model
Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa, .......................................................... 193 - 204
Dr. Zahratul Idami, SH, MH (Dosen Universitas Negeri Syiah Kuala – Banda Aceh)
3. Apa Kesalahan Islam terhadap Demokrasi ........................................................... 205 - 222
Abdul Hadi, Lc, MA (Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam As-
Syafi‘iyah- Jakarta)
4. Kontribusi Islam Dalam Perwujudan Paradigmatik Demokrasi Berketuhanan Yang
Maha Esa, ................................................................................................................. 223 - 240
Damrah Mamang, SH, MH (Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum/Mahasiswa
Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi‘iyah - Jakarta)
5. Demokrasi Deliberatif Yang Berketuhanan: Sebuah Konsep Konvergensi Islam dan
Demokrasi ................................................................................................................. 241 - 254
Ahmad Baihaki, SHI, MH,, Adi Nur Rohman, S.H.I., M.Ag, dan Rahmat Ferdian Andi Rosidi,
S.H.I, M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Raya)
6. Islam dan Konstitusi: Studi Terhadap Perkembangan Amandemen Konstitusi Republik
Arab Mesir Tahun 2011-2014 ................................................................................. 255 - 274
Rohmat Adi Yulianto, Lc, MDLS (Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
UIA/Mahasiswa Program Doktor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga - Yogyakarta)
7. Demokrasi Ekonomi Dalam Islam .......................................................................... 275 - 286
Dr. Atifah Thaha, M.Ec. (Ketuan Program Studi Program Pascasarjana Magister Manajemen
Universitas Islam As-Syafi‘iyah - Jakarta)
8. Sistem Ekonomi Kerakyatan Sebagai Pengembangan Pemikiran dan Perkembangan
Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa, .......................................................... 287 - 308
Dr. Efridani Lubis, SH, MH (Dosen Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas
Islam As-Syafi‘iyah - Jakarta)
9. Kepemimpinan Etik : Studi Kasus Kepemimpinan Presiden Soeharto Dalam Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia ................................................................... 309 - 318
Gunawan Wibisono
10. Wacana Pemikiran Islam Pada Masa Orde Baru................................................ 319 - 338
Saipudin dan Ika Kartika
Dalam perspektif konstitusi negara RI, agama mendapatkan posisi yang terhormat, karena
secara tegas diatur baik dalam Pembukaan UUD maupun dalam batang tubuh. Dalam perspektif
ini maka dasar Ketuhanan Yang Maha Esa (agama) telah ditempatkan sebagai bagian dari
landasan bernegara dan pembetukan hukum negara. Implikasi terhadap pemahaman cita hukum,
maka rumusan Pasal 29 UUD 1945 dapat dilihat dari dua sisi yaitu persuasive source dan
authoritative source. Persuasive source, diartikan sebagai sumber yang orang harus diyakinkan
untuk menerimanya dan authoritative source, diartikan sebagai sumber yang otoritatif yaitu
sumber yang mempunyai kekuasaan (authority).
Demokrasi sebagai suatu gagasan yang memiliki nilai universalitas dan moralitas, selalu
merujuk pada sumber otoritas pemiliknya yakni rakyat itu sendiri. Nilai universalitas memberikan
dasar pembenar bagi berlakunya kebebasan manusia dan pengakuan hak-hak dasar manusia
dalam kehidupan negara. Demikian pula nilai moralitas merupakan prinsip-prinsip moral yang
bersifat umum dan dapat ditelaah oleh akal manusia. Kedua nilai tersebut merupakan esensi yang
tetap yang dijadikan ide dasar tentang perumusan hakekat demokrasi yang berkeadilan. Oleh
karena itu, Islam dan demokrasi sama-sama memiliki nilai universalitas dan moralitas.
Dalam perspektif Pasal 29 UUD 1945, maka nilai universalitas dan moralitas Islam dan
negara memiliki sumber yang sama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Paradigma demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa merupakan esensi dari demokrasi ideal yang dirumuskan dalam
Pembukaan dan ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Nilai Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa
akan menjadi perdebatan akademik dan praksis, karena dari segi ontologis belum dirumuskan
secara utuh makna substansi demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula secara
praksis belum pernah dirumuskan baik segi konsep operasional, kelembagaan maupun
parketknya.Seminar Nasional ini berniat untuk menggali dan mengexplor tentang gagasan Islam
dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan
konstitusi Indonesia (UUD 1945).
Mudah-mudahan buku hasil seminar nasional ini bermanfaat untuk kemajuan islam dan
demokrasi di indonesia.
Jakarta, 25 Agustus 2017
Direktur Pascasarjana
Universitas Islam As-Syafi’iyah
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
Bapak-bapak dan ibu-ibu, peserta hadirin yang saya muliakan. Izinkan saya
menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang sub tema yang dibahas dalam seminar ini mengenai
demokrasi kaitannya dengan islam, baik dalam teori maupun praktik di negara-negara modern
sekarang ini. Saya akan beritik tolak membahas masalah ini dari premis di dalam al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 185 yang mengatakan:
Artinya:” Di bulan Ramadhan itu Allah menurunkan al-Qur‟an untuk dijadikan sebagai petunjuk
bagi ummat manusia dan penjelasan atas petunjuk itu sesuatu yang akan membedakan (antara
yang benar dan yang batil) (al-Baqarah: 185)
Dari konteks ini kita bisa memahami bahwa sesungguhnya Al-Qur‟an adalah sebuah
petunjuk universal untuk semua ummat manusia, dan penjelasan atas petunjuk itu serta sesuatu
yang membedakan, al-Qur‟an memberikan petunjuk sesuatu dan menjelaskan segala sesuatu dan
tidak ada satu persoalan yang tidak dicakup oleh al-Qur‟an. Tetapi meskipun demikian cakupan
al-Qur‟an terhadap persoalan-persoalan manusia, masyarakat, dunia internasional, maupun
tentang alam semesta ini tidak bersifat detail tetapi memberikan penjelasan yang bersifat umum
dengan menekankan kepada aspek-aspek tertentu.
Kata-kata al-Qur‟an jelas mengandung suatu sejarah tetapi al-Qur‟an bukanlah suatu
teksbook yang mengandung sejarah. al-Qur‟anberkisah tentang Lukman yang tidak dijelaskan
kapan dan dimana dia hidup, tetapi yang ditekankan di dalam al-Qur‟an bahwa Lukman
merupakan prototype sebagai seorang ayah yang baik dan bijaksana. Ketika diangkat sebagai
prototype seorang yang bijak, maka tema Lukman menjadi tema moral yang bersifat universal
dan berlaku kapan pun dan dimana pun, dan dia juga menjadi contoh tauladan begi semua ummat
manusia.
Dalam konteks kehidupan politik dan negara, jauh sebelum Islam, negara-negara itu
sudah ada, kekuatan politik dunia pun sudah ada. Maka kalau kita melihatnya dalam perspektif
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-27 Juli 2017.
2
Guru Besar Hukum Tata Negara pada Universitas Indonesia dan Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA)
Pada awal abad 21, ketika Indonesia mengalami poses demokratisasi, sebagai misi utama
gerakan reformasi setelah mengalami zerim otoriter di masa Ode Baru, yang ketika itu terjadi
juga di semua negara ASEAN, maka telah timbul suatu pendapat dari kalangan cendekiawan
Muslim liberal, bahwa Islam itu tidak kompatibel dengan demokrasi. Pernyataan itu didasarkan
pada realitas Dunia Islam yang pada umumnya menempuh rezim otoritarianisme, dengan
beberapa pengecualian. Ada pula negara Islam yang secara formal menganut sistem demokrasi,
bahkan sistem demokrasi multi-partai, seperti Pakistan, tetapi secara substantif, tidak sempurna
(flawed democracy) atau disebut oleh Fareed Zakaria, sebagai sistem demokrasi yang tidak liberal
(illiberal democracy). Sedangkan Demokrasi Terpimpin di masa Orde Lama, dan
Demokrasi Pancasila di masa Orde Baru. disebut sebagai "demokrasi yang tidak lazim"
(unusuall democracy). Tetapi secara substansial teoritis Islam dinilai tidak kompatibel dengan
demokrasi, karena demokrasi itu adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada prinsip
kedaulatan rakyat, sedangkan Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan Tuhan yang absolut. Dua
prinsip itu dianggap tidak bisa dipertemukan (irriconcialbe). Karena itu di Timur Tengah dan
Afrika Utara, kaum militer melakukan sekularisasi, walaupun tidak diikuti oleh proses
demokratisasi juga.
Sistem demokrasi pertama di dunia dijalankan oleh negara kota Athena di Yunani Kuno pada
sekitar tahun 300 SM. Tetapi sesudah mampu bertahan selama 200 tahun, walaupun hanya
dalam skala negara kota (city state) maka dengan runtuhnya Athena, yang diganti dengan rezim
Makedonia di bawah Alexander the Great (Iskandar Zulkarnain), yang menguasai wilayah
Barat dan Timur itu, maka seluruh dunia mengikuti satu dan lain bentuk pemerintahan otoriter.
Sistem demokrasi dalam sebuah negara bangsa (nation state) baru hidup kembali pada awal abad
18 dengan berdirinya Negara Amerika Serikat (1776) yang diikuti oleh berbagai negara-negara
Eropa. Itulah yang disebut oleh Samuel Huntington dari Universitas Harvard dalam bukunya
"The Third Wave of Democracy" (1991) sebagai gelombang pertama demokratisisasi skala global
yang berlangsung dari tahun 1820-an hingga 1922.
Walaupun Yunani Kuno pernah memiliki pemerintahan demokratis, tetapi filsuf Yunani
terbesar Plato maupun Aristoteles tidak menyetujui demokrasi. Bagi Plato, guna menciptakan
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Guru Besar dan Ketua Pusat Kajian Ekonomi Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA)
Kedua, dalam konteks ayat dalam surat al Baqarah, al shura merupakan cara yang harus
dilakukan dalam tanggung jawab bersama antara ibu dan bapak dalam menyapih anak yang
masih dalam masa penyusuan. Menurut al Qurtubi musyawarah merupakan bagian dari ijtihad
atau upaya berfikir mengenai hal-hal yang tidak jelas diatur dalam al Qur'an, misalnya apalah
seorang ibu itu harus menyusui seorang anak hingga dua tahun sesuai dengan hukum alam.
Masalah seperti ini harus dimusyawarahkan antara kedua orang tua. Menurut ahli tafsir modern
Syed Rashid Ridha, dalam tafsir al Manar yang melanjutkan tafsir Mohammad Abduh,
mengatakan bahwa musyawarah mengadung unsur pendidikan dalam keluarga dalam mengambil
keputusan. Karena itu maka ajaran musyawarah bisa di kontektualisasikan melampaui batas
keluarga, misalnya dalam suatu negara, sehingga musyawarah merupakan bagian dari paham
kekeluargaan (brotherhood) dalam kehidupan bernegara. Ketiga, dalam surat Ali Imran
musyawarah diartikan dalam konteks komunikasi antara Nabi dengan sebagian
sahabat-sahabatnya yang menyalahi perintah Nabi, sehingga mengalami kekalahan dalam Perang
Uhud agar tidak bersikap keras, melainkan dengan berbicara baik-baik dan lemah lembut dalam
bentuk musyawarah sehingga para sahabat Nabi tidak menjauh darinya, karena takut.
Musyawarah dalam hal ini merupakan sikap seorang pemimpin yang bijaksana terhadap rakyat,
sebagai metode komunikasi dari atas ke bawah.
Berbagai makna dari musyawarah itu menggambarkann apa yang diebut sebagai komunikasi
aktif yang diteorikan oleh Jurgen Habermas, sehingga Frans Budi Hardiman menyimpulkan
sebuah model demokrasi yang khas yang disebutnya "Demokrasi Musyawarah" sebagai
terjemahan dari istilah "Deliberative democracy" oleh Habermas. Karena itu adalah tepat
pendekatan Fazlul Rahman yang memulai suatu diskursus menganai demokrasi Islam dengan
bertolak dari konsep al shura dalam al Qur'an.
Titik tolak yang lain untuk mencari konsep demokrasi adalah kata al khalifah atau al
khilafah. Ada tiga istilah pokok, yaitu al khilaf yang artinya lupa atau keliru , al khalifa artinya
pengganti dan al khalafa artinya mengganti. Al Khalaf dan kata turunannya disebut dalam al
Qur’an sebanyak 127 kali sedangkan al khalifa sendiri disebut hanya 2 kali, pada Qs al Baqarah
(2): 30 dan Q.s.Shad (38): 26. Selain dalam bentuk mufrad atau tunggal kata khalifah muncul
dalam dua bentuk jama'. Yaitu al khalaif dan al khulafa, Khalif dijumpai 4 kali dan khulafa 3 kali.
Kata khalifa disebut dalam al Qur’an pertama dalam konteks pembicaraan mengenai Adam
as. Nabiullah pertama. Konteks ayat ini menunjukkan bahwa manusia yang dijadikan khalifa di
muka bumi ini untuk memakmurkannya atau membangunnya sesuai dengan konsep yang
----------------------------------------------
Bapak moderator terima kasih. Karena saya bukan yang ahli ketata negaraan, karena
ketatanegaraan disini ahlinya adalah Prof. Jimly, jadi dalam pembahasan ini saya menggunakan
pendekatan keislamannya. Pada kesempatan ini juga saya tidak terlalu panjang, tetapi hanya
sedikit saja.
Di dalam islam itu ada 3 (tiga) mahzab pendekatan pemikiran. Di dalam 3 (tiga)
pemikiran itu, pertama, ada yang tekstual. Selalu berpegang pada nash selamanya, jadi kalau
tidak ada nash dianggap tidak bisa. Kata Imam al-Qārāfī itu namanya al-Jumūd ʻala al-manqūlāti
Abadan ( )الجوىد على الونقىالت أبدا, yang selalu berpegang taktis pada nash teks-teks nya saja. Lanjut
menurut Imam al-Qharafi cara berfikir seperti demikian merupakan kesesatan dalam agama. Jadi
pemikiran ini sangat konservatif.
Kedua adalah mahzab pemikiran yang sangat liberal. Para pemikir ini melakukan ijtihad
secara berlebihan, tanpa batas atau tanpa patokan Ijtihād bi lā Ẓawābiṭ ()اجتهاد بال ضىابط. Jadi
kalau menurutnya jika ada maslahah (kemasahatan), nash juga bisa diabaikannya. Oleh karena itu
ada pemikiran dari kelompok ini adalah melawan nash untuk maslahah. Menurut para ulama,
apabila maslahah itu berlawanan dengan nash maka itu bukan maslahah yang sesunggguhnya,
atau maslahah yang haqīqīyah (sejati), tetapi hanya maslahah mauhumah atau artinya adalah
maslahat yang hanya sekedar asumsi-asumsi saja.
Kelompok ketiga adalah kelompok moderat, adalahkelompok yang berpegang pada nash,
tetapi juga melakukan ijtihad-ijtihad. Imam al-Qārāfī mengatakan bahwa syariah itu memang ada
2 (dua), yaitu ada yang manṣūṣah ()الونصىصة, yaitu yang ada nash-nya, dan ada yang ijtihādiyah
()اجتهادية, yang beum ada nash nya. Bahkan kalau menurut beliau kebanyakan syariah itu lahir dari
ijtihad, sebab nash itu terbatas, namun segala persoalan-persoalan sifatnya tidak terbatas, al-
Nuṣūṣ mutanāhiyah wa al-Waqāiʻ ghairu mutanāhiyah ()النصىص هتناهية والىقائع غير هتناهية.
Sehingga pada kelompok ini, ijtihad lebih sering dilakukan daripada hanya bersandar pada nash
(teks agama).
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2016-2021
Terima kasih,
wa Allahu aʻlam bisshawab.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
NOMOKRASI ISLAM
Prof. Tahir Azhary, SH, dalam disertasi yang kemudian ditulisnya menjadi buku dengan
judul Nomokrasi Islam, mendalilkan bahwa ide kenegaraan yang di diidealkan dalam Islam
adalah gagasan negara hokum atau nomokrasi. Dengan fasih, bukunya bercerita tentang konsep
nomokrasi yang diidealkan oleh Islam sebagai kunci yang dapat ditawarkan sebagai solusi bagi
kehidupan kenegaraan dalam tradisi Islam itu memang bersifat nomokratis. Namun, tentu saja,
ide nomokrasi itu hanya lah salah satu prinsip yang dianut dalam tradisi Islam. Di samping
nomokrasi, menurut saya, Islam juga menganut paham demokrasi dan bahkan teokrasi dalam
hubungan yang bersifat seimbang.
Memang dapat dimengerti banyak orang yang salah paham seakan Islam sama sekali
menolak ide demokrasi. Demokrasi dipandang sebagai produk impor dari peradaban barat yang
didasarkan atas paham liberalism dan individualism yang bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam. Islam menolak individualism dan liberalism yang mengagungkan pemungutan suara
mayoritas. Islam lebih mengutamaan prinsip musyawarah untuk mufakat. Karena itu, diyakini
oleh banyak kalangan bahwa Islam hanya mengidealkan prinsip nomokrasi, bukan demokrasi
seperti yang secara umum diterima di zaman sekarang. Demokrasi yang diidentikkan dengan
paham liberalism hanya mengutamakan kebebasan individu di atas kepentingan bersama, yang
oleh karena itu dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Namun, sebenarnya, pandangan seperti itu, menurut saya, disebabkan oleh
kesalahpahaman saja. Demokrasi diartikan secara sangat sempit seakan hanya terkait dengan
sistem pengambilan keputusan berdasarkan prinsip „one-man-one-vote‟. Atas pengertian
demikian itu, demokrasi dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam tentang
permusyawaratan dan permufakatan. Konsep musyawarah dalam tradisi Islam, harus lah
dipahami secara lebih mendalam, tidak sekedar bersifat teknis procedural. Prinsip
permusyawaratan itu sebenarnya lebih mengutamakan kualitas substansi keputusan, bukan
prosedur kuantitatif berdasarkan suara mayoritas.
Memang benar, Islam mengajarkan gagasan dan praktik-praktik sistem kekuasaan yang
serupa atau bahkan jauh lebih maju dari ide nomokrasi yang pertama kali berkembang di antara
para filosof Yunani kuno. Adalah Plato yang pertama kali memperkenalkan istilah nomokrasi
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MK RI) 2003-2007, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2012-2017.
GAGASAN DEMOKRASI
Banyak orang Islam mempersoalkan bahwa Islam tidak menghendaki ide demokrasi yang
bersifat liberal dan mengajarkan prinsip satu orang satu suara. Kesimpulan demikian jelas keliru.
Orang mengeritik ide demokrasi karena kelemahan bawaan yang terdapat dalam prinsip satu
orang satu suara tidak membayangkan bahwa kesimpulan mengenai kelemahan itu, sudah
menjadi pembicaraan semua ahli sejak dulu sampai sekarang. Semua penganjur ide demokrasi
tahu bahwa hal itulah salah satu kelemahan sistem demokrasi. Karena itu, sistem demokrasi
Sampai zaman nabi Muhammad, belum pernah ada proses pergantian kepemimpinan
seperti yang dipraktikkan oleh umat Islam ketika itu. Negara kaum Muslimin pertama kali
didirikan oleh nabi Muhammad bukan berbekal warisan. Nabi Muhammad lahir sebagai seorang
anak yatim dan piatu. Modalnya hanya kepercayaan masyarakat atau „social trust‟, sehingga ia
dikenal sebagai “al-amin”. Kepercayaan masyarakat atau rakyatnya itulah menyebabkan
Muhammad menjadi pemimpin, sebagai kepala negara/pemerintahan di Madinah. Syarat
keterpercayaan itu jugalah yang menjadi elemen pokok dalam sistem pemilihan umum dalam
sistem demokrasi modern. Dalam bentuknya yang sangat sederhana, nabi Muhammad menjadi
kepala negara atau pemerintahan karena dipilih langsung oleh rakyat karena kepercayaan yang
terbentuk dari bawah dalam waktu lama. Setelah nabi Muhammad wafat, penggantinya
ditentukan bersama melalui proses pemilihan yang bersifat umum dan terbuka. Demikian pula
pergantian kepemimpinan dari Abubakar Siddik ke Umar ibn Khattab, dari Umar ibn Khattab ke
Usman ibn „Affan, dan dari Usman ibn „Affan ke Ali ibn Abi Thalib, serta dari Ali ibn Abi
Thalib ke Mu‟awiyah ibn Abi Sofyan, tidak satupun mempertimbangkan faktor hubungan darah
dengan para pendahulunya seperti di zaman jahiliyah sebelumnya. Mekanisme pergantian
kekuasaan yang demikian itu tidak lain merupakan bentuk pemerintahan republik yang biasa
dipraktikkan dalam sistem demokrasi modern. Karena itu, dapat dipahami bahwa sistem khilafah
dalam tradisi Islam itu bukanlah berbentuk kerajaan, tetapi republik, dimana kepala negara atau
kepala pemerintahannya tidak turun temurun.
Sistem kerajaan itu baru kembali lagi muncul setelah wafatnya Mu‟awiyah ibn Abi
Sofyan yang kekuasaannya diteruskan oleh anaknya, dan seterusnya sesudah itu, tradisi zaman
jahiliyah kembali dipraktikkan secara luas dalam sejarah. Padahal, jika saja, prinsip hubungan
darah itulah yang menjadi factor penentu suksesi kekuasaan, niscaya para sahabat akan memilih
Ali ibn Abi Thalib sebagai pengganti nabi Muhammad. Tetapi atas prakarsa Umar ibn Khattab,
IDE TEOKRASI
Islam sebagai agama tentu selalu dikaitkan dengan persoalan ke-Tuhanan yang apabila
dilihat dalam konteks sistem kekuasaan, berhubungan erat dengan gagasan teokrasi yang berasal
dari perkataan “theo” yang berarti Tuhan, dan “cracy” yang berarti kekuasaan. Ide teokrasi ini,
semula digunakan untuk menggambarkan praktik mengenai sistem kekuasaan raja yang sekaligus
mengklaim dirinya sebagai utusan Tuhan, jelmaan Tuhan, atau jelmaan para dewa yang bersifat
supranatural. Akibatnya luar biasa, semua perkataan raja dianggap identik dengan perkataan
Tuhan yang tidak boleh dibantah. Raja dan keluarga menjadi subjek yang suci yang tidak
mungkin melakukan kesalahan sekecil apapun, “the King can do no wrong”. Hal demikian inilah
yang berkembang di Eropah dan juga di seluruh dunia seperti dengan munculnya konsep „raja-
dewa‟ dalam tradisi Hindu di India, dan raja-pendeta dalam tradisi bangsa-bangsa Eropah yang
apabila diilmiahkan biasa dikaitkan dengan doktrin teokrasi yang berlumur kekejaman dan
penindasan terhadap rakyat.
Dalam sejarah Islam, konsep raja yang tercampur dengan ide tentang perwakilan Tuhan
ini juga berkembang luas. Bahkan, dapat dikatakan bahwa periode republik dalam pengertian
modern yang memperkenalkan sistem peralihan kekuasaan tidak berdasarkan garis keturunan
darah, hanya dipraktikkan sejak masa nabi Muhammad SAW sampai dengan Khalifah Ali ibn
Abi Thalib. Sesudahnya, Mu‟awiyah ibn Abi Sofyan memegang kekuasaan sebagai kepala negara
melalui kudeta, dan seterusnya kekuasaanpara khalifah diwariskan secara turun temurun. Para
khalifah itu mengklaim dirinya tidak saja sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai kepala
agama. Padahal, kedudukan Nabi Muhammad yang digantikan oleh para penerusnya, seperti
TENTANG KHALIFAH
Sekarang orang sedang sibuk membicarakan tentang ide khilafah. Hizbuttahrir Tahrir
Indonesia (HTI) yang mengusung dan memperjuangkan ide khilafah ini dibubarkan oleh
Pemerintah berdasarkan Perpu yang dipandang kontroversial. Organisasi HTI dianggap sebagai
organisasi politik yang berusaha mewujudkan impiannya untuk melawan dan mengganti
Pancasila, prinsip Bhinneka-Tunggal-Ika, NKRI, dan UUD 1945. Kalau sekedar berpendapat
(freedom of thought and freedom of expression), tetapi jika pikiran-pikiran bebas itu diwujudkan
dalam bentuk organisasi yang mengajak orang lain, maka diperlukan pengaturan agar tidak
timbul permusuhan di antara sesame warga bangsa. Misalnya, setiap orang boleh saja tidak
percaya pada Tuhan, tetapi jika mengorganisasikan diri dengan mengajak orang lain untuk
bersikap anti Tuhan, tentu tidak boleh. Mendirikan Partai Komunis harus dilarang. Demikian pula
organisasi yang hendak mendirikan Khilafah Islamiyah juga dilarang.
Namun, terlepas dari hal itu, yang menjadi masalah adalah mengapa banyak orang
bermimpi tentang negara khilafah yang dipahami seakan-akan merupakan perintah agama?
Sebabnya adalah kesalahpahaman akan makna khalifah dan sejarah kenegaraan dalam sejarah
Islam serta salah paham pula terhadap konsep-konsep kenegaraan yang tumbuh dan berkembang
dalam sejarah modern, yaitu konsep negara demokrasi dan negara hukum yanh di anggap
bertentangan dengan Islam. Pertama, khilafah, seperti yang sudah diuraikan di atas, sepanjang
menyangkut penyebutannya dalam al-Quran bukanlah mengenai konsepsi kekuasaan negara,
melainkan mengenai konsepsi kemanusiaan universal. Setiap manusia disebut oleh Allah sebagai
“khalifatullah fi al-ardhi”. Hal ini sangat berbeda dan harus dibedakan dari pengertian tentang
“khalifaturrasul” yang berarti sebagai pengganti rasul sebagai kepala pemerintahan negara.
Keduanya tidak boleh dikacaukan seperti pernah dipraktikkan ketika Suthan Hamengkubuwono
dianugerahi gelar sebagai “Khalifatullah ing Tanah Jawa”.
Dengan demikian, ketiga, dalam sejarah awal pemerintahan menurut tradisi Islam,
memang belum ada sistem pengaturan kekuasaan yang bersifat baku. Namun, sejarah peradaban
Islam itu dapat dilihat juga sebagai referensi mengenai hukum-hukum Allah yang tercermin
dalam pengertian tentang sunnatullah. Misalnya, tentang sistem pergantian kekuasaan, tentang
bentuk dan susunan organisasi pemerintahan, dan lain-lain sebagainya. Dari praktik-praktik yang
tumbuh dalam dinamika sejarah, kita dapat menafsirkan adalah konsepsi tentang republik
(jumhuriyah) versus kerajaan dalam praktik, mengenai bentuk susunan organisasi berdasarkan
cirri-ciri kebangsaan, konsepsi-konsepsi politik kenegaraan berdasarkan mazhab-mazhab
Bismillahirrahmanirrahim
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia terjadi pada Jum’at, 17 Agustus 1945 bertepatan
dengan 9 Ramadhan 1364 Hijriah. Peristiwa ini mungkin dapat menggambarkan suasana
kebatinan bangsa, khususnya umat Islam, yang sedang khusyuk menunaikan ibadah puasa,
sementara mereka harus berjuang menegakkan kemerdekaan.Hal ini analog dengan suasana
kebatinan Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya kala Perang Badar yang juga
berlangsung pada bulan suci Ramadhan. Kedua peristiwa itu adalah bentuk nyata pemaduan
antara al-jihad al-asgar (jihad kecil atau perang) dan al-jihad al-akbar (jihad besar yaitu menahan
hawa nafsu melalui puasa).
Koinsidensi sejarah kemerdekaan tadi menunjukkan bahwa pada penghayatan para pendiri
bangsa (the founding fathers) tidak ada batas antara wawasan kebangsaan dan wawasan
keagamaan. Keduanya menyatu dan terpadu secara selaras dan serasi dengan cita- cita bersama
tentang Indonesia masa depan. Bagi mereka, perjuangan memerdekakan bangsa dan negara
adalah kewajiban keagamaan, dan bahwa Indonesia merdeka adalah cita-cita bangsa sekaligus
cita-cita agama.
Pembentukan Negara Indonesia bertumpu pada dua konsensus bangsa, yaitu Cita-cita
Bangsa dan Ideologi Negara. Keduanya termaktub jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Yang
pertama terumuskan sebagai “Trilogi Cita-cita Nasional”, yaitu terwujudnya (1) Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Perikehidupan kebangsaan
yang bebas; dan (3) Pemerintahan Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan
seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang kedua terumuskan
dalam lima butir falsafah dan ideologi negara yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. Naskah serupa pernah disampaikan sebagai Pidato Kebangsaan
Ketua Umum PP Muhammadiyah17 Agustus 2011.
2
Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat
Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016.
Bismillahirrahmanirrahim
Introduction
The Muslim World, in the last a few decades, has been facing a problem of how to respond to the
stream of democratization that is sweeping many parts of the globe. The thesis that democracy is
the best and even final form of human governance, which is believed by many in the West, has
influenced Muslims and many Muslim countries, and has created both pros and cons groups.
Arab Spring that hit the Middle East and North Africa region in the last two years, for instance,
may well be perceived as a political drive to democratization. This is a part of inevitable process
of political liberalization in this globalized world.
The other feature of the global society remains in its very nature of being multicultural. The
global society embedding diversity of race, nationality, ethnicity, religion, culture, and language
is now inevitably pushed to maintain multiculturalism. Multiculturalism has now become a world
ideology, any country or religious community must engage in. Multiculturalism is closely related
reciprocally to the emergence of borderless global society. This, in turn, has paved the way for
not only liberalization of trade and economy that created free trade areas, but also liberalization
of religion and culture that created free areas of religion and culture. Together with the imposition
of the principles of Universal Declaration of Human Rights, implementation of multiculturalism
has imposed the exercising of political freedom and freedom of expression.
It is in this backdrop that there is need to discuss a sustainable and viable Islamic state in the
modern era. Though the concept of the ―state‖ or ―nation-state‖ is a modern concept since post-
colonial period, and has no exemplary precedent in the Muslim history of political authority, but
the making of a nation-state based on Islamic principles may well be in lines with Islam. By the
same token, though an Islamic concept of ―shura‖ is not identical with democracy, yet exercising
democracy, of course based on Islamic ethical and moral values, may be perceived as an
application of ―shura‖ in the modern era. Thus, our problem now is more on the methodology
rather then substances. Therefore, it is relevant to raise a question of how to establish viable and
sustainable Islamic state?
1
Paper pelengkap, disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‘iyah (UIA), di
Auditorium Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. Paper ini pernah disampaikan pada Konperensi Alul
Bayt Academy of Islamic Sciences, Amman, Juli, 2012
2
Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat
Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016.
3
Jordan Nathaniel Branch, ―Mapping the Sovereign State: Technology, Authority, and Systemic Change‖, in International
Organization, Volume 65, Issue 1, Winter 2011
4
M. Sirajuddin Syamsuddin, Islam and Politics in Indonesia’s New Order: The Case Muhammadiyah’s Allocative Politics,
PhD Dissertation, University of California Los Angeles, 1991, p.154.
5
ibid., p 157.
6
Muhammad Abduh, al- Islam wa al- Nasraniyyah ma’a al- ‘ilm wa al- Madaniyyah, n.d, p 65.
7
Malcolm Kerr, p. 149-150.
8
Muhammad ‗Imarah, al- A‘mal al- Kamilah li al- Imam Muhammad ‗Abduh, Vol. 1, p 339.
9
Malcolm Kerr, op.cit., p. 133.
10
‗Ali ‗Abd al- Raziq‘s reply to the Bourse Egyptienne‘s reporter who interviewed him after his dismissal from his
occupation as a judge by the Council of the Greatest Ulama; Quoted from Leonard Binder, Islamic Liberalism, 1988, p. 131;
See also Muhammad ‗Imarah, al- Islam wa Usul al- Hukm li ‘Ali ‘Abd al- Raziq, 1972, p. 92.
11
Quoted from John J. Donahue and John L. Esposito, (eds), Islam in Transition, 1982, p. 30.
12
‗Abd al- Raziq, op.cit., p. 81-83.
13
‗Abd al- Raziq, op.cit., p 201; English translation is quoted from Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, op.cit.,
p. 65.
14
Abul Ala Mawdudi, ―Political Theory of Islam‖ in his Islamic Law and Constitution, edited by Khurshid Ahmad, 1967, p.
165-168.
15
Mawdudi, op.cit., p. 148.
16
Pew Research Center, ―Most Muslims Want Democracy, Personal Freedoms, and Islam in Political Life
Few Believe U.S. Backs Democracy‖, Global Attitude Project, July 10, 2012, p. 14.
Concluding Remarks
The creation of the state is important as an instrument by which the Muslim community can
achieve their social ideal that is the establishment of the best Islamic community (khayru
ummah). The state is a manifestation of the Prophetic exemplary in order to protect religion and
to govern mundane life (al- Mawardi: al- imamah mawdu’atun li khilafat al- nubuwwah li
harathat al- din wa siyasat al- dunya).T17 There is a symbiotic relationship between Islam and
politics and the state. The state, in this regard, is more as a mean rather that an end.
Since there are no clear-cut explanations from the Qur‘an and the hadith, the creation of the state
as instrumental to the achievement of Islam‘s social ideal --the establishment of the best society--
is a matter of sustainable innovations and adjustment to the given socio-historical, cultural, and
political setting of respective Muslim countries. The form of government and mode of
bureaucracy are, thus, optional based on consensus of the community and their historical
background. The existence of the nation-state based on a particular primordial orientation in
various Muslim societies is realistic, as far as those Muslim nation-states need to be bound in a
global network, and universal cooperation.
17
Abu Hasan al- Mawardi, al- Ahkam al- Sultaniyyah,
M. Din Syamsuddin2
Background
01. Democracy is not new in Indonesia. In the post-independence period, Indonesia adopted a
parliamentary democracy system until 1957. However, democracy was on a long ―vacation‖ from
1957 to 1998, when the successive Sukarno and Suharto governments imposed a form of
authoritarian rule. So, what Indonesia has been experiencing since 1998 is an experiment to
restore democracy. In the year 2004 Indonesia experienced for the first time in its history direct
presidential and vice presidential elections. These elections, held in two rounds, underwent
smoothly and successfully. This marked further process of democratization that, indeed, had
begun in this fourth most-populous country in the world with about 220 millions population since
the era of reform in 1998. The collapse of Suharto regime in 1998 has given the Indonesian
people one of the most expensive ingredients of democracy that is freedom. Even, excessive use
of this freedom has led the nation to political euphoria that prolongs until now.
02. Of course, the current democratic experiment is being carried out within a new domestic
context. Indonesia’s society has evolved tremendously over the last four decades. The state of
economic development, even though it is still unsatisfactorily, has improved the life of millions
of Indonesians. More and more Indonesian has access to education and health service.
03. One thing, however, has not changed. Indonesia is still one of the most heterogeneous
nations on earth. Diversity –especially in terms of religion, ethnicity and ideology—remains the
most important feature of the country. In other words, Indonesia is a very pluralistic country.
And, within that plurality, Muslims serve as a majority (88,2 percent of about 220 millions
Indonesian population)
04. The key question is: can democracy flourish in a country as diverse as Indonesia? And,
what is the role of Islam in ensuring both democracy and pluralism can reinforce each other? It is
precisely democracy that could preserve and manage the very diversity of the Indonesian society.
1
Paper pelengkap, disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di
Auditorium Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
Paper presented at The European Union-Indonesia Day on ―Pluralism and Democracy: Indonesian Perspectives‖, Brussels,
Belgium, 7 December 2006
2
Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat
Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016
05. Political fragility in transitioning Indonesia was further added by an international factor
mainly war on terror followed 911 terror attacks on the United States, when the war has implied
generalization and eventually stigmatization to Islam. In the Indonesian context, these domestic
and global factors have created a sort of political shock and anomaly within the society. It is in
this context current trends in Indonesian Islam should be observed.
The rise of ―new‖ Islamic groups, which often display a degree of radicalism in
expressing their social and political agendas, for example Laskar Jihad (Fighters Corp) Front
Pembela Islam (Islamic Defense Front or FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (Indonesian Council
of Fighters or MMI, or Hizbut Tahrir Indonesia (Liberation Party of Indonesia or HTI), and
others, should be understood within the context of political openness in Indonesia. Firstly, Islamic
expressions in politics had been oppressed by the New Order government, and the fall of New
Order brought the long-oppressed voices to the fore. Secondly, some of radical voices have been
expressed towards the rampant social ills within both the state and the society, especially on
corruptions and the rise vices such as prostitutions, gambling, and crimes. In other words, it is a
direct response to inability of the state to create a society based on morality and religious ethics.
Thirdly, the rise of Islamic radicalism should also be understood within the context of
contemporary world politics. For example, there is a deep-seated feeling among the Muslim
community worldwide, including in Indonesia, that the U.S has not been balance in its policy
towards the Middle East and the Islamic World. So, the rise of radicalism is primarily more a
function as a reaction against this global injustice and the way the world power handles global
issues. If this unbalance and injustice continues it will encourage radicalization among certain
Muslim groups.
07. The second trend in Indonesian Islam is also the continuation of what had begun in the
1980s that is the emergence of spiritual orientation among Muslim community. This trend has
clearly been evinced by the coming into being of many Muslims stick to spiritual values of Islam
through significant rise of religious gatherings like majelis taklim or pengajian (religious circle)
and the emphasis of Islamic symbolism and practice in daily life.
On this second trend, some observers often make a mistake by equating the growing piety
among Muslims in Indonesia as a sign of growing radicalism. We have now witnessed more
people are flocking to mosques during Friday prayers, more women wearing jilbab/headscarf,
and more people attending religious gathering. These should not be seen as signs of growing
radicalism. It is simply a sign for growing piousness among Muslim who have become aware
about the importance of religion and religious duties in their life. As Indonesia has increasingly
08. The third trend of Indonesian Islam is the mainstream; this trend belongs to the
established Islam, represented mainly by the two largest Islamic organizations, Muhammadiyah
and Nahdhatul Ulama or NU, who have been struggling since the beginning of the twentieth
century to establish a modern and moderate Indonesian Islam. The importance of Muhammadiyah
and NU has been a continuation of the trend over the last 15 years. The two groups have played a
considerable role not only as moderating force in Indonesia’s society, but also as a moral force
that persistently strive for a betterment of social life. We can aware that in the context of
globalization, religious organizations can play an important role in managing globalization, both
in tapping the benefits of the process and in addressing the negative aspects of it. Muhamnadiyah,
for instance, has been at the forefront to promote education, provides social and health services,
empower economic level of live, and push for democracy and good governance. It has also been
instrumental in promoting dialogues not only among religious groups but also between different
civilizations would guarantee harmony, peace and justice in contemporary world.
09. If the first trend, radical Islam, has a political inclination in its strict sense and the second
trend, spiritual Islam, practices a nonpolitical and even anti political orientation, the third trend,
the mainstream, maintain a cultural approach and strategy for social change. This Islamic
mainstream keeps balance between spiritualism and political activism on the one hand, and
between spiritualism and rationalism on the other. If certain radical groups often engage in
violent actions and lean to extremism, the mainstream elements maintain moderation. It is still the
fact, and will continue to be the fact, that the majority of Muslims in Indonesia are moderate, who
despises violence as a means to resolve differences. As a mainstream, Muhammadiyah and NU
will continue to ensure that Indonesia will remain a moderate Muslim country.
11. Muhammadiyah and NU are committed to ensure that democratization in Indonesia will
consolidate. Islam in Indonesia is committed to ensure a pluralistic democracy within with Islam
plays a prominent role in ensuring that democracy. They should be recognized as pillars of
democracy. Muhamadiyah and NU have played important role as a ―super‖ civil society group, a
mega-NGO, in campaigning for good governance. Muhammadiyah and NU, for example,
established since three years ago a national moral movement for anti corruption. Through
thousands of its schools and higher learning institutions Muhammadiyah included civic education
in the curricula, and through its autonomous youth organizations Muhammadiyah teach
nonviolence education. All these works contribute to the strengthening of democracy in
Indonesia.
12. In short, the roles of Islam in strengthening democracy in Indonesia have been performed
through various ways, including asserting compatibility of Islamic values to democracy,
supporting legal or judicial reform, encouraging good governance, strengthening cultural base for
democracy, taking part in conflict resolution, and promoting interfaith and intercultural dialogues.
13. As the religion of the majority, Islam clearly respects pluralism and, in fact, celebrates it
as a fact of life. Muslims in Indonesia have long practiced the ideology of tolerance as a way to
ensure that differences are respected. Islam has always been at the forefront in ensuring that the
rights of the minority are guaranteed, and the freedom of religion is upheld. In other words,
pluralism –and the need to respect it—is not new for Islam.
14. As a diverse nation where Islam is a majority within a pluralistic society, Indonesia is
now seeking to create a pluralistic democracy within which Islam plays a great responsibility to
preserve the very pluralistic nature of that democracy. Democracy in Indonesia will not flourish
unless the Muslim community participates in the process. And, the best way to ensure that
participation is to treat Islamic political forces as legitimate political forces in the democratization
process.
Possible Obstacle
Concluding Remarks
16. Islam is compatible to democracy and the Indonesian experience has clearly shown that
compatibility. The new Indonesian democracy is primarily based on the inherence of democratic
values in Islam as well as the existence of democratic practices by Muslim societies in certain
areas across the archipelago. Islam recognizes pluralism and respects plurality. It is empirical that
Muslims in Indonesia have celebrated pluralism as a fact of life.
17. The future of democracy as well as pluralism in Indonesia is guaranteed by the significant
and strategic roles of two largest Islamic organizations, Muhammadiyah and NU, who have
worked and are still working to encourage democratization process through mainly strengthening
cultural base within the Indonesian society.
18. The emergence of pluralistic democracy in Indonesia will bring about to the world a
novel model of democracy in practice in the Muslim world. As Indonesia is the largest Muslim
country in the world, then democratizing Indonesia could give significant impact on the
emergence of democracy in the Muslim world.
19. True, that there is a possible obstacle of democracy and pluralism, often described by the
emergence of fundamentalist or extremist groups that could pose a threat to democracy. However,
it is important to remember that the use of force, or oppression, will never solve the problem.
There have been many cases around the world, including in Indonesia, where oppression
encourage more radicalization within the Muslim community. The only way to deal with the
problem is demonstrate the state’s capability to deliver economic prosperity and social justice.
Soft power often succeeds, whereas hard power always fails.
1 1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat
Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016.
M. Din Syamsuddin2
1. Struggle for unity and authority has been an universal phenomenon in Islamic history as
shown by the rise and the down of Muslims’ political authority, and the quest for power by
Muslims in the context of nation-states today. Islamic political thought, indeed, reflects a
longstanding and continuing intellectual inquiry into the nature and role of government as an
indispensable instrument to secure both religious and temporal affairs and to implement
Islamic ideals within a society. It was the result of serious efforts to explore Islamic
injunctions, or ijtihad, and to domesticate them into a particular realpolitics in any given time.
The inherent link between Islam and politics is not only a manifestation of historical reality,
but also a manifestation of the realm of religion.
2. One of the still discussed topics in the Muslim world is Islam-politics relationship. This is not
because of the fact that Islam and politics seem to be inseparable, but as such is part of the
ijtihad of the Muslims to find a proper format of the relationship in a rapidly changing
situation. Put, differently, this is part of the Muslims effort to find the proper place for Islam
in our daily lives. In the old days, during the classical period of Islam, the idea of nation-state
is quite unheard of. Since the defeat of colonialism in the early twentieth century, we
witnessed the emergence of the so-called nation-state. This is a state in which nation plays a
very important role in its configuration. This feet alone has changed the situation quite
considerably. If we add culture, economy, and other variables of life into the equation, we
have more than sufficient reasons to undertake the renewed ijtihad on this matter.
3. In spite of this, it is important to note that in general there are three different schools of
thought adhered by Muslims. First, those who believed that Islam should be the basis of all
political activities; that shari'a ought to be adopted as the formal and legal guiding principles.
Second, there are those who argue that Islam should be "separated" from politics, as Islam
does not provide any clear pattern of political theory to be followed by the Muslim
community. And third, there are those who stand in between these two positions. Basically,
1
Paper pelengkap, disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di
Auditorium Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
Pointers presented at Wilton Park Conference on “The Struggle for Unity and Authority in Islam: Reviving the Caliphate?” 3-5 May 2007, Ussex, United
Kingdom.
2
Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat
4. So, there are both religious as well as historical factors that have shaped and influenced the
recent surge of political Islam. What have come to the fore are not some thing of novelty, but
simply a resurrection of the long phenomenon. This is to say that Islam-politics relations will
always become a recurrent theme that needs to be treated accordingly. But, there is some
thing of great important to observe in the recent development of Islam-politics relations. In
the early twentieth century endeavors, attention had primarily been given to the idea of Islam
as the basis of state regardless of the latter's construct. Whether a state is constructed in a
republican or monarchic structure is not terribly significant in these efforts. In today's twenty
first century, some Muslim political thinkers and activists are entertaining the idea of
Caliphate as a possible alternative to the existing political leadership of any given states.
5. Hizb al-Tahrir (Party of Independence) is the most notable institution to champion this idea.
Indonesia's political development could not escape this "predicament." The country's Hizb al-
Tahrir has relentlessly endeavored to promote the idea of caliphate, regardless of its
vagueness both in terms of concept and practice. Besides the Hizb al- Tahrir, the most
notable advocates for the Caliphate are Osama bin Laden’s al- Qaeda, and the Taliban of
Afghanistan. The latter’s leader, Mohammad Omar, was called “Commander of the Faithful”,
a caliphic title. Ayman Zawahiri, Bin Laden’s deputy, ever declared that terror attacks would
be “nothing more than disturbing acts, regardless of their magnitude” unless they led to a
caliphate in “the heart of the Islamic world”.Al-Qaeda named its internet newscast, which
debuted in September, “The Voice of the Caliphate”. It is assumed that the fear of the U.S
leaving Iraq now is partly based on a myth that some radicals would use this country as a
foot-step for establishing Caliphate. In language evoking the Cold War, George W. Bush has
cast the conflict in Iraq as the pivotal battleground in a larger context between advocates of
freedom and those who seek to establish “a radical Islamic empire that spans from Spain to
Indonesia”.
6. Now the question is how viable is the caliphate-style of state or leadership in today's political
configuration. Democracy recognizes any ideas and interests to be articulated freely. Yet, at
the same time, democracy allows any given ideas and interests to be scrutinized and
Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016
8. Yet, the idealization of the Caliphate was not without criticism. A vocal Sunni theologian, Ibn
Taymiya (d. 1327), considered that the corrupt rulers were the most immoral, and therefore
obedience to them were not necessary. He suggested that the Caliphate was not necessary.
Critical observation on the nature of the Caliphate became more penetrating when Ibn
Khaldun (d. 1406) came to a conclusion that the Caliphate after the four Rightly-Guided
Caliphs was no longer Islamic in nature because they were transformed into a form of
kingship.
9. In the modern time, the idea for the Caliphate revivalism emerged especially after the
abolition of the Caliphate institution by Kem,al Atatturk in Turkey in 1924. Among these
revivalists was Rashid Rida who tends to reform the Islamic legal system and to restore an
Islamic government, i.e. the Caliphate. To Rida, “the true Islamic political system is based
upon consultation between the Caliphs and the ulama who are the guardians interpreters of
Islamic law.. Through his treatise on the Caliphate, al-Khilafat aw al- Imamat al- Uzma (the
10. It seems that the modern proponents of the Caliphate had sought to reconcile between pre-
modern Islamic political theories and modern Western theories, though with only a few
modification. This traditionalist political paradigm asserted the unity of religion and politics
in Islam, as the central tenet, in addition to its emphasis on the important role of the ulama as
safeguardians of the community. As adherents to the institution of the Caliphate the
traditionalists maintain that the Caliphate is the only form of Islamic government. Therefore,
this traditionalist political paradigm, i.e., the idea of the Caliphate, can not be projected to
contemporary political terms. Because in the eye of the beholders the existing form of
government, namely the Western democracy, was invalid and the source of the many
problems of the world today.
11. Yet, the proponents of the idea of reviving the Caliphate are minor minority in the Muslim
world. It is clearly evinced by the existence of non-theocratic and even secular states in many
Muslim countries, and that majority of Muslims are consent with the existing forms of
government. According to a recent survey in Indonesia, the most populous Muslim country in
the world, for example, more than 85% of Indonesian Muslims agreed with the current
Pancasila State, which is neither Islamic nor secular. And it is widely recognized that Islam
has become the prime mover of democratizing Indonesia.
Pendahuluan
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang selalu mempertanyakan tentang dirinya. Dari
satu generasi ke genrasi yang lain manusia selalu berusaha menemukan jawaban tentang manusia
itu sesungguhnya apa. Meski perenungan tentang manusia telah berlangsung sepanjang sejarah
manusia, tetapi pembicaraan tentang manusia hingga kini, dan masa mendatang masih akan tetap
menarik. Daya tarik pembicaraan tentang manusia antara lain seperti yang dikatakan oleh Dr.
Alexis Careel dalam bukunya Man The Unknown, adalah karena pengetahuan tentang makhluk
hidup, terutamanya tentang manusia yang belum mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai
dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Kata Careel, pertanyaan tentang manusia pada
hakikatnya hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
Di satu sisi manusia menurut al Qur an adalah makhluk yang memiliki potensi besar yang
membuatnya sangat berpeluang untuk menggapai martabat yang sangat tinggi dan terhormat (fi
ahsani taqwim, Q/95:4-5). Tetapi di sisi lain manusia juga sangat potensil terjerembab ke
tingkatan yang rendah, bahkan lebih rendah dari binatang (asfala safilin). Gagasan demokrasi
sepanjang sejarah manusia sesungguhnya merupakan upaya manusia menggapai kehormatan
dalam kehidupan social politik.
Manusia adalah perwujudan atau tajalli dari kebesaran Tuhan sang Pencipta, oleh karena itu
kajian tentang manusia tak pernah mencapai tingkat final, karena sisi-sisi manusia sangat unik,
rumit, lembut, menakjubkan, indah, sistemik dan memiliki keluasan seluas alam semesta . Sisi-
sisi manusia sebagai indifidu, sebagai makhluk social, sebagai makhluk budaya, sebagai makhluk
politik,sebagai makhluk psikologis dan sebagai makhluk yang berketuhanan memunculkan
kesamaan dan perbedaan karakteristik perilaku mereka dalam kehidupan.. Kenyataan
menunjukkan bahwa katakanlah lima ribu tahun lalu , dikenal ada orang baik dan sangat baik di
samping ada orang jahat dan yang sangat jahat. Kini di era IT pun pola itu tetap ada, yakni ada
orang baik dan yang sangat baik disamping banyak orang jahat dan yang sangat jahat.. Gagasan
demokrasi yang diciptakan lebih dari sekali dan di banyak tempat sejak awal sesungguhnya
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Guru Besar Psikologi Islam dan Ketua Program Studi Doktor Komunikasi dan Penyiaran Islam pada Universitas Islam As-
Syafi’iyah (UIA).
Teologi Politik
Manusia disebut sebagai makhluk budaya, sementara pengertian budaya adalah konsep,
gagasan, dan keyakinan yang dianut oleh orang dalam waktu lama dan konsep itu memandu
tingkahlaku mereka dalam kegiatan sehari-hari. Ketika manusia memilih A, maka dalam
fikirannya sudah ada konsep bahwa A adalah sesuatu yang mempunyai arti yang oleh karena itu
maka ia pilih.. Politik adalah bagian dari budaya, dan politik berhubungan dengan kekuasaan.
Ketika seseorang mengambil keputusan mencalonkan diri sebagai gubernur misalnya, maka
dalam fikirannya sudah terbayang satu konsep bahwa jabatan gubernur akan membawa implikasi
kekuasaan yang membuatnya memiliki nilai lebih. Oleh karena itu ia mulai dengan melakukan
kalkulasi positip negatip dan kemudian mengambil keputusan.
Dalam Islam, berpolitik merupakan bagian dari dakwah, karena obyek dakwaah itu ada yang
bersifat indifidual, keluarga, regional, nasional dan universal. Dakwah politik adalah upaya
membangun tatanan social politik agar setiap orang dalam wilayah regional atau nasional
terlindungi dari ketidak adilan dan lebih jauhnya masyarakat dapat mencapai kesejahteraan serta
hidup bermartabat. Karena masalah kepemimpinan sebagaimana juga tugas dakwah itu
merupakan keahlian maka hanya sekelompok kecil (thoifah) yang di dorong untuk terjun ke
spesialisasi dan profesionalisasi politik (Q/9:122). Dakwah politik merupakan ekpressi
tanggung jawab manusia sebagai khalifatulloh, yakni memelihara anugerah Tuhan agar manusia
(bangsa) bisa menjalani hidup berkualitas dan bermartabat. Dalam satu perespektip, politik adalah
juga merupakan upaya menghidayahi manusia menuju Alloh (kesempurnaan hidup) bukan
semata-mata upaya untuk meraih kekuasaan.
Dalam perspektip filsafat politik, kebahagiaan puncak adalah manakala kebahagiaan itu
terwujud melalui terbentuknya pemerintahan yang sempurna atau istilah lain kota utama
(madinatul fadhilah) dengan keberadaan pemimpin yang adil. Konsep madinatul fadhilah
sesungguhnya terapan ijtihadiyah dari konsep madinah al munawwaroh.
Pengalaman Berdemokrasi
Usia demokrasi sudah sangat panjang, dan dalam rentang sejarah sepanjang itu peradaban
manusia mencari model-model demokrasi yang dipandang sesuai. Demokrasi memang tidak bisa
diklaim sebagai yang terbaik, tetapi terseleksi oleh alam politik sehingga bisa tampil sebagai
suatu sistem politik terbaik diantara yang buruk-buruk. Kini demokrasi membuktikan dirinya
amat dibutuhkan.
Indonesia juga tidak luput dari kehendak memilih demokrasi. Eksperimen demokrasi
berkali-kali dicoba sejak awal kemerdekaan. Pemilihan bentuk Negara Republik Indonesia
membawa konsekwensi untuk berdemokrasi. Bung Karno mencoba dua model demokrasi, yaitu
demokrasi liberal (1950-1959) dan demokrasi Terpimpin (1959-1966)). Presiden Suharto
menawarkan model demokrasi Panca Sila (1966-1998) Ketiga model demokrasi itu
I
Mengapa judul makalah ini diawali dengan kata “perkembangan”? Jawabannya adalah
karena kita perlu menemukan “jejak awal” bagaimana Islam di Indonesia berinteraksi secara
kreatif dengan demokrasi. Di sini, pada 1916, kita bertemu dengan pidato pemimpinan Sarekat
Islam (SI) HOS Tjokroaminoto:
In order to reach our objectives, to facilitate our work, and to realize our great plan,
it is neessary to create legislation giving us native the right to cooperate in the
contruction of all these regulations of which we are thinking at present. ... It should
no longer be allowed that laws and regulations are made for us, that one governs
without us, without any participation from outside. Although we strongly desire and
hope for change, we have never dreamt about the coming of Ratu Adil and other
absurd impossible things.
Agar supaya mencapai tujuan-tujuan kita, untuk membantu kerja kita dan
merealisasikan rencana besar kita, sangat penting menciptakan badan legislasi yang
memberikan kaum pribumi hak bekerjasama dalam membangun semua regulasi yang
kita pikirkan sekarang. Kini tak lagi dimungkinkan hukum-hukum dan peraturan-
peraturan dibuat untuk kita, bahwa seseorang memerintah tanpa kita, tanpa
partisipasi dari luar. Kendatipun kita berkeinginan kuat dan berharap akan
perubahan, kita tak pernah berhayal tentang datangnya Ratu Adil dan hal-hal tak
masuk akal lainnya.2
Tjokroaminoto pada 1916 itu memang tidak menyebut frasa “demokrasi”. Namun,
gagasannya tentang partisipasi rakyat dalam memerintah dan ketidakabasahan sebuah
pemerintahan tanpa partisipasi rakyat dalam pembuatan undang-undang bukan saja terdengar
“revolusioner” pada masa itu, melainkan juga memenuhi kriteria “demokrasi” seperti dirumuskan
Stephan Haggard and Robert R. Kaufman.3 Maka, sejauh dokumen sejarah yang saya ketahui,
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Tjokroaminoto, “Speech at the Sarikat Islam Congress, 1916”, dalam Chr. L. M. Penders, (translator and editor),
Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism, 1830-1942 (Queensland: University of Queensland Press,
1977), hlm. 256.
3
Stephan Haggard and Robert R. Kaufman, Dictators and Democrats: Masses, Elites and Regime Change (Princeton and
Oxford: Princeton University Press, 2016). Lihat terutama catatan kaki no 22, hlm. 6.
II
Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, preseden demokrasi terpaksa terhenti dalam
jangka waktu yang panjang. Pertama, ini terjadi karena pertarungan politik nasional pasca Pemilu
1955 dimenangkan, menggunakan frasa Hebert Feith, kaum solidarity makers di bawah
kepemimpinan Soekarno. Kemenangan ini bukan saja membuat kaum administrators di bawah
pimpinan Hatta tersingkir dari panggung politik, melainkan juga merosotnya praktek demokrasi
konstitusional. Melalui Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno bukan saja mengembalikan UUD 1945,
4
Mohammad Natsir, “Restoring Confidence in Democracy”, dalam Herbert Feith and Lance Castles, (eds.), Indonesian
Political Thinking, 1945-1965 (Ithaca and New York: Cornell University Press, 1970), hlm. 89-94.
5
Sukarno, “Let Us Bury the Parties” (1956), dalam Hebert Feith and Lance Castles, (eds.), Indonesia Political Thinking,
hlm. 81-83.
6
Tentang percaturan politik di masa ini, lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca,
New York: Cornell University Press, 1964).
7
Audrey Kahin, Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of Mohammad Natsir (Singapore: National
University of Singapore, 2012), hlm. 92.
8
Bradly R. Simpson, Economists with Guns: Authoritarian Development and the US-Indonesian Relations, 1960-1968
(Standford, California: Standford University Press, 2008).
III
Dalam fase inilah terjadi “perkembangan” demokrasi di kalangan Islam Indonesia secara
spesifik. Benar, bahwa berbagai kalangan Islam pasca Orde Baru berhasil dan mampu
membangun partai-partai politik tersendiri; benar bahwa secara individual maupun kelompok
telah terjadi transformasi dan mobilitas vertikal beberapa kalangan Islam melalui jalan
pengintegrasian diri ke dalam partai-partai politik tersebut. Akan tetapi, esensinya, aktor-aktor
utama di dalam sistem demokrasi pasca Orde Baru ini adalah kaum oligark ―yang secara
finansial dan kapital telah terlanjur besar di masa Orde Baru. Dan ini mendorong terjadi migrasi
modal (capital migration) ke dalam dunia politik, ketika kalangan kaya menginvestasikan daya
keuangannya ke dalam partai-partai politik secara langsung atau tidak. Kemelut politik yang
berlangsung dewasa ini ―pertentangan antara DPR dengan KPK, dominannya kelompok tertentu
di dalam kepemimpinan DPR, walau terkena persoalan hukum― adalah refleksi nyata dari
migrasi modal ke dalam dunia politik.
Ini mendorong massa Islam berkembang menjadi ―meminjam frasa Ariel Heryanto― a
new kind of disempowerment (jenis baru ketakberdayaan). Sejatinya, apa yang dimasud Ariel
Heryanto dengan disempowerment ini adalah sebuah situasi kontestasi politik pasca Soeharto
yang didominasi oleh entertainment (tontonan atau pertunjukan) dan kompetisi sengit sesama
9
Richard Robison and Andrew Rosser, “Surviving the Meltdown: Liberal Reform and political oligarchy in Indonesia”,
dalam Richard Robison, Mark Beeson, Kanishka Jayasuriya and Hyuk-Rae Kim, (eds.), Politics and Markets in the Wake of
the Asian Crisis (London and New York: Roudledge, 2000), hlm. 173.
10
Ariel Heryanto, “Entertainment, Domestication and Dispersal: Street Politics and Popular Culture”, dalam Edward
Aspinall and Marcus Mietzner, (eds.), Problems of Democratizsation in Indonesia: Elections, Institutions and Society
(Singapoe: ISEAS), 2010), hlm. 181-182.
11
Ariel Heryanto, “Entertainment, Domestification and Dispersal”, hlm. 182.
IV
Sebagai kesimpulan, jika pidato tokoh Islam HOS Tjokroaminoto pada 1916 memberikan
preseden interaksi Islam Indonesia dengan sistem politik demokrasi, maka aksi Natsir pada 1956
mempertahankan demokrasi yang mulai merosot di tangan Soekarno adalah usaha memelihara
preseden demokrasi tersebut. Keduanya, walau menggunakan logika-logika modern (dan tanpa
menyebut secuil ayat Al-Qur’an), berusaha mendamaikan Islam Indonesia dengan demokrasi.
“Gerakan Islam jalanan” pada 2016-2017 bukanlah usaha mendamaikan Islam dengan demokrasi.
(Sebab, bagi mereka sistem demokrasi telah bersifat taken for granted, bahwa seorang pemimpin
publik haruslah tampil melalui kontestasi pemilihan terbuka). Melainkan, sebuah usaha
menjadikan agama sebagai sumber kekuatan politik di alam demokrasi ―ketika secara struktural
disadari bahwa kalangan Islam Indonesia tidak mempunyai sumberdaya material untuk
menyokong aksi politik mereka.
12
Tentang hal ini, Tony Milligan, Civil Disobidience: Protest, Justification, and the Law (New York, London, New Delhi
and Sydney: Bloomsbury, 2013), hlm. 1-13.
A. Latar Belakang
Pembicaraan tentang Islam dan demokrasi dan penerapanya merupakan isu yang
terus menjadi pembahasan baik pada tataaran akademis maupun parktis. Terlebih apabila ada
momentum yang memicunya. Seperti pada seminar yang diselenggarakan oleh Universitas
Assafi‟yah ini, merupakan respon atas siatuasi kontemporer dimana muncul pemikiran-
pemikiran pengembangan sistem pemerintahan khilafah, diantaranya yang banyak
disuarakan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pada saat
yang sama suasana hubungan pemerintah dengan umat Islam juga mengalami fase yang
dinamis, termasuk munculnya keinginan membubarkan ormas Islam yang dianggap tidak
sejalan dengan Pancasila melalui Perpu tentang Ormas.
Pada tulisan ini, sesuai dengan dengan tema yang diminta panitia akan membahas
model penerapan demokrasi di beberapa negara Islam. Fokus permasalahan yang akan
didalami adalah melihat penerapan sistem pemerintah negara-negara Islam, atau negara-
negara yang mayoritas penduduknya muslim. Selanjutnya akan ditelaah dengan melihat
kesesuaian dengan model pemerintahan demokratis. Diharapkan diperoleh gambaran secara
empiris bagaimana kompabilitas Islam dan demokrasi, sekaligus apakah memang sistem
demokrasi membawa kebaikan bagi negara-negara Islam.
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati Bandung dan Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA).
3
Maskuri Abdilah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, PT Gramedia Utama, Jakarta, 2011.
4
Sarja, Negara Hukum Dalam Teori dan Praktek. Thafamedia, Yogyakarta, 2016, halaman 37.
5
M Daul Ali, M. Thahir Azhary, dan Habibah Daud, Islam Disiplin ilmu Hukum Sosial dan Politik, Jakarta, PT. Bulan
Bintang.
6
Trubus Rahardiansah, Sistem pemerintahan Indonesia; Teori dan Praktek dalam Perspektif politik dan hokum, Penerbit
Universitas Trisakti, Jakarta, 2010.
7
Ibid. halaman 117
8
Opcit. Maskury Abdilah. Halaman 36.
9
Opcit. Halaman 37
10
Opcit. Halaman 43
11
Steven Fish, sebagaiaman dikutip oleh Arief Mudasir Mandan, dalam Islam dan Nasionalisme, Sebuah Tinjauan Teoritis
dan Empiris, dalam buku Islam dan Nasionalisme dan Masa Depan negarqa Bangsa Indonesia, Fraksi FPPP MPR-RI,
Cetakan pertama, Jakarta, 2011.
12
Arab Spring adalah gerakan pro demokrasi yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, yang dimulai pada
tahun 2010 -2011. Hal ini dipicu oleh peristiwa penjual buah di Tunisia yang membakar diri sebagai protes kepada penguasa
dan kemudian menimbulkan gelombang demonstrasi besar (people power) di Tunisia, yang kemudian segera merambat ke
Mesir, Bahraian, yaman, Libya, bahkan Negara-negara yang mapan seperti Arab Saudi juga terpengaruh. Efek domino dari
esklakasi konflik perlawanan terhadap pemerintahan otoriter inilah yang kemudian dinamakan sebagai Arab Spring (Musim
Semi Arab/kebangkitan Arab) oleh media barat.
13
Lihat Wikipedia.org.
5. Qatar (Emirat)
Qatar dapat dianggap sebagai negara monarki konstitusional maupun monarki
absolut yang dipimpin oleh keluarga Al Thani. Dinasti Al Thani telah memimpin
Qatar sejak 1825. Tahun 2003, Qatar mengadopsi konstitusi yang memilih
langsung 30 dari 45 anggota Dewan Legislatif. Konstitusi ini disetujui mutlak
dalam referendum dengan angka 98%. Emir kedelapan Qatar adalah Tamim bin
Hamad Al Thani, ayahnya adalah Hamad bin Khalifa Al Thani yang
menyerahkan kekuasaan padanya 25 Juni 2013. Kanselir tertinggi memiliki
kekuasaan eksklusif untuk memilih dan mencopot perdana menteri dan menteri
kabinet yang semuanya membentuk Dewan Menteri. Dewan Menteri adalah
otoritas eksekutif tertinggi di negara ini. Dewan Menteri juga memulai legislasi.
Hukum dan dekrit yang diusulkan Dewan Menteri akan dirujuk ke Dewan
Penasihat (Majilis Al Shura) untuk didiskusikan kemudian diberikan ke Emir
untuk diratifikasi. Majelis Konsultatif memiliki otoritas legislatif terbatas untuk
menyusun dan menyetujui hukum, tapi Emir yang menentukan semuanya di
akhir. Anggota dewan saat ini terdiri dari anggota yang ditunjuk oleh Emir,
karena tidak ada pemilihan legislatif sejak 1970. Pemilihan legislatif ditunda
sampai paling tidak tahun 2019.
Menurut konstitusi Qatar, hukum Syariat adalah sumber semua kebijakan Qatar.
Dalam prakteknya, sistem hukum Qatar merupakan campuran antara hukum sipil
dan hukum Syariat Hukum Syariat diberlakukan ke hukum keluarga, keturunan,
dan beberapa tindakan kriminal (termasuk zina, perampokan, dan pembunuhan).
Dalam beberapa kasus, sidang pengadilan keluarga memperlakukan testimoni
14
Studi ini dikutip oleh, Arif Mudasir Mandan, Islam dan Nasionalisme, Sebuah Tinjauan Teoritis dan Empiris, dalam buku
Islam dan Nasionalisme dan Masa Depan negarqa Bangsa Indonesia, Fraksi FPPP MPR-RI, Cetakan pertama, Jakarta, 2011.
15
Ibid. Arif Mudasir, halaman 113.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mudasir Mandan, Islam dan Nasionalisme Sebuah Tinjauan Teoritisdan Empiris, dalam
Islam , Nasionalisme dan Masa Depan Negara Bangsa Indonesia, Frkasi FPPP MPR-RI,
Jakarta, 2011.
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, PT Gramedia Pustaka
Utama, Cetakan pertama, Jakarta 2011.
Nurkholis Madjid, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan, Mizan Pustaka, Bandung, 2008,
Trubus Rahadiansah, Sistem Pemerintahan Indonesia Teoridan Praktek Dalam perspektif
Politikdan Hukum, PenerbitTrisakti, Jakarta, 2011.
Pengantar
Referendum rakyat Turki terhadap amendemen Konstitusi pada 16 April 2017, telah menandai
perubahan mendasar sistem politik Turki, dari sistem parlementer menjadi sistem presidensiil.
Hasil resmi referendum yang diumumkan oleh Dewan Pemilihan Tinggi (Yüksek Seçim Kurulu –
YSK) pada 27 April 2017 menunjukkan bahwa yang setuju perubahan berjumlah 51,41 %,
sedangkan yang menolak perubahan berjumlah 48,59 %.1 Ada 18 point perubahan yang diusulkan
pada referendum waktu itu. Hasil tersebut akan diberlakukan mulai November 2019. Satu hal
yang tidak berubah sejak Turki berdiri adalah mereka menyatakan dirinya sebagai negara
demokrasi yang sekular.2
Negara Turki yang berdiri pada tahun 1923 itu memang sekular. Negara itu terbentuk dari
sisa wilayah Dinasti Usmaniyah (Ottoman Empire). Pendiri Turki, Mustafa Kemal Attaturk,
adalah pemimpin gerakan nasionalis Turki yang menginginkan „Turki adalah Turki‟. Kekalahan
Dinasti Usmaniyah dalam Perang Dunia I dimanfaatkan oleh Kemal Attaturk untuk mendirikan
negara Turki modern. Dia berusaha menghilangkan berbagai hal yang berkaitan dengan Dinasti
Usmaniyah, terutama, lambang keislaman. Pemakaian torbus dilarang. Adzan atau shalat dilarang
menggunakan bahasa Arab. Attaturk ingin menghapus berbagai hal non-Turki. Dia mau
mengubah negara Turki yang berbeda dengan dinasti sebelumnya. Sistem negara sekular dipilih
untuk menggantikan sistem Islami.
Sebagai seorang presiden, Attaturk melakukan serangkaian reformasi kehidupan
bermasyarakat di Turki. Dia melakukan sekularisasi dan industrialisasi, untuk menuju negara
modern. Di bawah kepemimpinannya, Turki mengadopsi nilai sosial yang lebih luas, hukum
formal, dan melakukan reformasi politik. Sejak saat itu, di Turki terjadi pemerintahan demokratis.
*
Tulisan untuk Seminar Nasional dengan tema “Islam dan Demokrasi: Mencari Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa”, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah, Jakarta, 25-26 Juli 2017 di
Auditorium Lantai 3 Gedung Bukopin. Sebagian bahan tulisan diambil dari buku penulis yang berjudul Pertarungan dalam
Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel (Jakarta: UI Press, 2015).
**
Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI); Dosen Program
Studi Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia (PSTTI-UI).
1
Lihat, antara lain, http://aa.com.tr/en/turkey/-turkey-official-referendum-results-announced-/806935. Diakses
pada 7 Juli 2017.
2
Dalam Konstitusi Turki, pasal 2 disebutkan: “The Republic of Turkey is a democratic, secular and social state
governed by rule of law, within the notions of public peace, national solidarity and justice, respecting human rights, loyal to
the nationalism of Atatürk, and based on the fundamental tenets set forth in the preamble.” Lihat Türkiye Büyük Millet
Meclisi, Constitution of the Republic of Turkey dalam https://global.tbmm.gov.tr/docs/constitution_en.pdf. Diakses pada 7
Juli 2017.
Ajaran Kemalisme
Mustafa Kemal Attaturk mengubah tatanan kehidupan yang ada di Turki. Dia mengadakan
serangkaian reformasi radikal yang bertujuan untuk mengubah Turki menjadi negara sekular.
Para pendukung gerakan Kemal Attaturk berusaha membatasi peran agama hanya sebagai sistem
kepercayaan pribadi yang terpisah dari ruang publik. Ideologi baru ini dimplementasikan melalui
serangkaian kebijakan dan hukum antara tahun 1922 dan 1935. Pada tahun 1924, Attaturk
melakukan penghapuskan sistem kekhalifahan, penutupan sekolah Islam tradisional (madrasah),
dan pembubaran pengadilan agama. Kemudian, pada tahun 1925, rezim itu mulai membubarkan
3
Setelah Partai Refah dibubarkan, para pendukungnya membuat Fezilat Party.Tetapi partai itupun akhirnya
dibubarkan. Maka, pada tahun 2001, kalangan “muda” mendirikan AKP, sedangkan kalangan “tua” mendirikan Saadat
Party.
4
Lihat Prof. Dr. Türkkaya ATAÖV, “The Principles of Kemalism”, dalam The Turkish Yearbook, 1980-1981,
VOL. XX.
5
Lihat, antara lain, Dankwart A. Rustow, “Political Parties in Turkey: An Overview”, dalam Metin Heper dan
Jacob M. Landau (Eds.), Political Parties and Democracy in Turkey (London: I.B. Tauris & Co Ltd., 1991), hlm. 13.
6
Geoffrey Lewis, The Turkish Language Reform: A Catastrophic Success (Oxford: Oxford University Press,
2002).
7
Erik J Zurcher, Sejarah Modern Turki (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 217.
8
Dalam Konstitusi Turki disebutkan bahwa negara itu menganut sistem demokrasi yang memberikan ruang politik
bagi seluruh masyarakat.
9
Lihat, antara lain, Ali Yasar Saribay, “The Democratic Party, 1946-1960”, dalam Metin Heper and Jacob M.
Landau (Eds.), Political Parties and Democracy in Turkey (London: I.B. Tauris & Co Ltd., 1991), hlm. 191.
10
Ibid., hlm 121-122.
11
Erik J. Zurcher, Sejarah Modern Turki (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 292.
12
Lihat, antara lain, M. Hakan Yavuz, Secularism and Muslim Democracy in Turkey (New York: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 64-65.
13
Lihat, antara lain, https://m.tempo.co/read/news/2016/07/18/117788383/otak-pelaku-kudeta-turki-ditahan.
Diakses pada 18 Juli 2016.
14
Lihat http://dunia.vivanews.com/news/read/177302-turki-amandemen-sistem-peradilan
15
Apa yang disebut sebagai “post-Islamisme” oleh Asef Bayat mencakup sejumlah fenomena politik di berbagai
belahan dunia Islam, mulai dari gerakan reformasi di Iran pada akhir 1990-an di bawah Mullah Muhammad Khatami (ia
dikenal karena gagasannya yang masyhur tentang “dialog peradaban” [hiwar al-hadarat]), hingga ke fenomena partai-partai
“tengah” seperti PKS di Indonesia, AKP di Turki, Ennahda di Tunisia, Partai Keadilan dan Pembangunan di Maroko, dan
Partai Tengah (Hizb al-Wasat) di Mesir. Ciri utama gerakan post-Islamisme adalah kecenderungan mereka yang pragmatis,
realistis, bersedia untuk kompromi dengan realitas politik yang tidak sepenuhnya ideal dan sesuai dengan skema ideologis
murni yang mereka yakini dan bayangkan. Post-Islamisme sama sekali tidak sekular, bahkan tetap menunjukkan sentimen
negatif kepada setiap bentuk ekspresi sekularisme, tetapi dia juga menolak teokrasi dan penerapan platform ideologis-
keagamaan, seperti hukum syariah, secara kaku dalam kenyataan politik sehari-hari. Lihat Ulil Abshar-Abdalla, “Revolusi
Post-Islamis di Dunia Islam,” dalam http://islamlib.com/id/artikel/revolusi-post-islamis-di-dunia-islam.
16
Pada tahun 2015, ada dua pemilu parlemen Turki. Pada pemilu 7 Juni 2015, AKP tidak berhasil memperoleh
kursi mayoritas. Untuk membentuk pemerintahan, diperlukan koalisi dengan partai. Akan tetapi koalisi mengalami deadlock
dan tidak berhasil membentuk pemerintahan. Kemudian Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, menetapkan pemilu dini
pada 1 November 2015. Hasil pemilu November 2015, AKP memperoleh kursi mayoritas dan dapat membentuk
pemerintahan sendiri.
17
Lihat M. Hakan Yavuz, Islamic Political Identity in Turkey (New York: Oxford University Press, 2003), hlm. 9
18
Pada kenyataannya, yang memimpin Partai Kemakmuran (SP) adalah pemimpin di belakang layar, yaitu
Necmettin Erbakan.
19
Turgut Özal adalah pimpinan Partai Tanah Air (Anavatan Partisi), Perdana Menteri Turki (1983-1989), dan
Presiden Turki ke-8 (1989-1993). Ia adalah tokoh politik dari Kurdi.
20
Lihat M. Hakan Yavuz, Islamic Political Identity in Turkey (New York: Oxford University Press, 2003), hlm 89.
21
Ibid., hlm. 142.
22
Ibid., hlm. 94.
23
Lihat http://www.musiad.org.tr/
24
Perubahan orientasi MUSIAD terhadap Eropa dapat dilihat, antara lain, pada Dilek Yankaya, “The
Europeanization of MÜSİAD: Political opportunism, Economic Europeanization, Islamic Euroscepticism,” dalam European
Journal of Turkish Studies, 9 (2009).
25
Wilayah Sulaemaniyah adalah provinsi tempat tinggal kaum Halidi Naqshabandiyyah.
26
Lihat antara lain, Serif Mardin, “The Nakshibendi Order of Turkey”, dalam Martin E. Marty dan R. Scott
Appleby (Eds.), Fundamendalisms and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance (Chicago: The University of
Chicago Press, 1993), hlm. 213.
27
Ibid., hlm. 218.
28
Lihat Yildis Atasoy, Turkey, Islamists and Democracy: Transition and Globalization in a Muslim State
(London: I.B. Tauris & Co. Ltd, 2005), hlm. 123-124.
29
Ibid.
30
Serif Mardin, “The Nakshibendi Order of Turkey”, dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby (Eds.),
Fundamendalisms and the State:…., hlm. 219-220.
31
Lihat Halil Necatioglu, “The Undisputable Value and Superiority of Islamic Scholars,” in Islam, no. 77, January
1990, p. 6, yang dikutip dari Ibid., hlm. 227.
Bila memperhatikan isi jurnal “Islam”, maka akan dijumpai seluruh isinya mengarah pada
konsep „syuro‟, suatu konsep „demokrasi‟ dalam politik Islam. Tetapi, dalam perkembangannya
keretakan hubungan antara kaum Naqshabandiyyah dengan Partai Refah semakin nyata pada Juli
1990. Hal itu terlihat dalam wawancara dengan tokoh Naqshabandiyyah yang dimuat dalam
“Islam”, dengan judul “A Political Party and Us.”33
Tarik ulur kepentingan kaum Nurcu dan partai politik selalu terjadi di Turki. Partai Refah
terus berjuang untuk merebut suara masyarakat Turki. Akhirnya pada pemilu 1995, mereka dapat
memperoleh suara yang banyak dan Erbakan menjadi Perdana Menteri Turki. Tetapi, pada 21
Mei 1997, Partai Refah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan tuduhan melanggar
sekularisasi di Turki. Akhirnya, pada 16 Januari 1998, secara resmi Refah dilarang hidup di
Turki. Sebagai antisipasi pelarangan terhadap partai Refah, Erbakan mendirikan partai baru yang
bernama „Partai Kebajikan‟ (Fazilet Partisi – FP), pada 1997. Partai inipun kemudian dilarang
oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2001. Necmettin Erbakan juga dilarang dalam kehidupan
berpolitik.
Setelah pelarangan FP, maka partai politik “pro-Islam” terpecah menjadi dua kelompok,
yaitu „Partai Kemakmuran‟ (Saadet Partisi – SP) pimpinan Recai Kutan,34 dan „Partai Keadilan
dan Pembangunan‟ (Adalet ve Kalkìnma Partisi – AKP), pimpinan Recep Tayyip Erdogan. SP
32
Lihat Islam, June 1990, hlm. 7.
33
Lihat Serif Mardin, “The Nakshibendi Order of Turkey”, dalam dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby
(Eds.), Fundamendalisms and the State:........, hlm. 228.
34
Pada kenyataannya, yang memimpin Partai Kemakmuran (SP) adalah pemimpin di belakang layar, yaitu
Necmettin Erbakan.
35
Erdogan terus berusaha mendekati Uni Eropa (UE), agar Turki diterima menjadi anggota UE. Keanggotaan Turki
terkendala oleh masalah demokratisasi di sana. Kudeta militer dan aturan yang “mengistimewakan” militer di Turki
menghambat keanggotaannya di UE. Selain itu, masalah hubungan Turki dan Cyprus yang tidak harmonis, ikut menambah
hambatan itu. Negara yang ingin menjadi anggota UE harus mengikuti kriteria yang telah dibuat. Kriteria keanggotaan itu,
harus memenuhi norma dan nilai politik yang dianut UE, yaitu: “stability of institutions guaranteeing democracy, the rule of
law, human rights and respect for and protection of minorities; a functioning market economy, as well as the capacity to
cope with competitive pressure and market forces within the Union.” Lihat “Conclusions of the European Council,”
(Copenhagen, Denmark, June 1993). Mengenai perkembangan negosiasi keanggotaan Turki di UE dapat dilihat, antara lain,
pada Vincent Morelli, “European Union Enlargement: A Status Report on Turkey‟s Accession Negotiations” (Congressional
Research Service, September 9, 2011).
36
Lihat Yildis Atasoy, Turkey, Islamists and Democracy:…., hlm. 158.
37
Ibid.
38
Pada tahun 1996, ketika berkunjung ke Istanbul dan Ankara, penulis memperoleh informasi bahwa mahasiswa
yang tinggal di Nur evleri tidak dipungut biaya. Mereka juga dapat makan gratis di sana. Kuliah juga tidak membayar.
Selain itu, mereka mendapatkan beasiswa sebesar 50 dollar AS per bulan sebagai uang saku.
39
Dersanes adalah kursus atau bimbingan belajar sebelum masuk ke universitas.
Penutup
Kehidupan perpolitikan di Turki pernah mengalami perubahan. Mereka pernah menganut partai
tunggal. Mereka cukup lama memberlakukan multi partai dalam sistem demokrasi parlementer.
Kini, mereka ingin berubah menjadi sistem demokrasi presidensiil. Akan tetapi, ada satu hal yang
tidak berubah sejak Turki berdiri sampai saat ini, yaitu mereka menyatakan dirinya sebagai
negara demokrasi yang sekular. Dalam Konstitusi Turki pasal 2 tertulis penegasan itu.
Mustafa Kemal Attaturk menerapkan demokrasi sekular dengan menetapkan enam
prinsip, yaitu: republicanism, nationalism, populism, secularism, reformism (or revolutionism),
and statism. Keenam prinsip tersebut dimasukkan ke dalam Konstitusi Turki. Prinsip ajaran itu
dikenal dengan sebutan “Kemalisme”. Dalam faham Attaturk, sekularisme itu adalah kekuasaan
negara didesain dapat mengontrol agama, tidak sekedar memasukkan agama ke dalam ranah
pribadi dan menyingkirkannya dari ruang publik.
Dalam kondisi seperti itu, masyarakat Muslim Turki berkiprah sesuai dengan keadaan.
Kiprah Muslim di Turki dapat dikelompokkan ke dalam empat masa gerakan. Pertama, „gerakan
Islam spiritual‟ (a spiritual ethical Islamic movement). Gerakan ini berusaha untuk menemukan
keimanan dan keislaman, sebagai sumber norma kehidupan keseharian. Secara hati-hati, mereka
berusaha melakukan dan menunjukkan identitas komunal sebagai seorang muslim. Gerakan ini
berjalan sekitar seperempat abad (1925-1950). Kedua, „gerakan Islam budaya‟ (a cultural Islamic
movement). Gerakan ini menyadari Islam sebagai bentuk suatu peradaban dan mereka mencari
pengaruh secara budaya dan sosial. Gerakan ini berjalan sekitar 20 tahun (1950-1970). Ketiga,
„gerakan Islam politik‟ (a political Islamic movement). Gerakan ini berusaha mencapai kekuasaan
politik, baik dengan cara meningkatkan posisi tawar mereka secara ekonomi, maupun
mentrasformasikan diri mereka ke dalam lembaga politik negara. Gerakan itu dilakukan sejak
tahun 1970 sampai sekarang. Keempat, „gerakan Islam sosial-ekonomi‟ (a socioecomic Islamic
movement). Gerakan itu menekankan pada peran pasar, asosiasi, dan lingkungan publik, sebagai
jalan untuk mentransformasikan masyarakat Islam. Gerakan ini sudah berjalan sejak tahun 1983.
40
Pendidikan cara Gulen tersebut diajarkan ke berbagai negara lain, termasuk di Indonesia. Di Jakarta, misalnya,
ada Fethullah Gulen Chair di Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah. Bekerjasama dengan Universitas Indonesia dan
UIN Jakarta, Fethullah Gulen Chair pernah mengadakan International Fethullah Gulen Conference, pada 19-21 Oktober
2010, di Jakarta.
Daftar Bacaan
Abshar-Abdalla, Ulil. “Revolusi Post-Islamis di Dunia Islam,” dalam
http://islamlib.com/id/artikel/revolusi-post-islamis-di-dunia-islam.
ATAÖV, Türkkaya. “The Principles of Kemalism”, dalam The Turkish Yearbook, 1980-1981,
VOL. XX.
Atasoy, Yildis. Turkey, Islamists and Democracy: Transition and Globalization in a Muslim
State (London: I.B. Tauris & Co. Ltd, 2005).
Basyar, M. Hamdan. Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel
(Jakarta: UI Press, 2015).
Islam (June 1990).
Lewis, Geoffrey. The Turkish Language Reform: A Catastrophic Success (Oxford: Oxford
University Press, 2002).
Mardin, Serif. “The Nakshibendi Order of Turkey”, dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby
(Eds.), Fundamendalisms and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance
(Chicago: The University of Chicago Press, 1993).
Morelli, Vincent., “European Union Enlargement: A Status Report on Turkey‟s Accession
Negotiations” (Congressional Research Service, September 9, 2011).
Rustow, Dankwart A. “Political Parties in Turkey: An Overview”, dalam Metin Heper dan Jacob
M. Landau (Eds.), Political Parties and Democracy in Turkey (London: I.B. Tauris & Co
Ltd., 1991).
Saribay, Ali Yasar. “The Democratic Party, 1946-1960”, dalam Metin Heper and Jacob M.
Landau (Eds.), Political Parties and Democracy in Turkey (London: I.B. Tauris & Co
Ltd., 1991).
Türkiye Büyük Millet Meclisi, Constitution of the Republic of Turkey dalam
https://global.tbmm.gov.tr/docs/constitution_en.pdf. Diakses pada 7 Juli 2017.
Yankaya, Dilek. “The Europeanization of MÜSİAD: Political opportunism, Economic
Europeanization, Islamic Euroscepticism,” dalam European Journal of Turkish Studies, 9
(2009).
Yavuz, M. Hakan. Islamic Political Identity in Turkey (New York: Oxford University Press,
2003).
1. Abad baru ditandai oleh munguatnya tuntutan terhadap demokrasi politik, penegakan Hak-
hak Asasi Manuisa (HAM), kesetaraan dan keadilan gender, serta kesadaran tentang ancaman
kerusakan lingkungan global. Inilah 4 issu utama yang mengemuka sejak penghujung abad
yang lalu, dan makin fenomenal belakangan ini. Reformasi tahun 1998 yang terjadi di negeri
kita dan terus bergulir hingga kini, sesungguhnya merupakan dampak langsung dari tuntutan
global demokratisasi politik ini. Demikian pula gerakan dan reformasi politik yang
mengguncang negeri-negeri Islam dan Arab dimulai dari Tunisia, Mesir, Lybia, Suriah,
Jordania, Yaman, Arab Saudi, dan beberapa negara Monarchi di Teluk, menjadi saksi nyata
menguatnya demokratisasi politik. Pergolakan ini, seperti kita saksikan, terus berlangsung
hinggga kini, dan belum ada yang bisa memprediksi kapan akan berakhir. Dalam tesis
Francis Fukuyama, dengan background jatuhnya Uni Soviet dan berakhirnya perang dingin,
tuntutan terhadap demokrasi politik itu tidak pernah akan berakhir. Ia dipandang justru
sebagai akhir dari sejarah yang bisa diperjuangkan oleh umat manusia unuk mencapai
keadaban. (Fukuyama, The End of History and the Last Man: 1997). Ini berarti gerakan
demokrasi akan terus menguat seiring dengan lahirnya gerakan kebebasan (liberalisme)
dalam semua lapangan kehidupan yang menyertai globalisasi saat ini. Seperti pernah
diramalkan Huntington, gerakan demokratisasi atau apa yang ia namakan “the fourth wave
democracy” (demokrasi gelombang keempat) dipastikan menguat dan akan menyapu seluruh
negeri dan bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali negeri-negeri Arab dan Afrika Utara.
2. Sampai titik ini, tesis Fukuyama dan Huntington mengandung segi-segi kebenaran. Gerakan
demokrasi yang mengguncang negeri-ngeri Arab (Arab Spring) menjadi saksi nyata
kebangkitan gelombang demokrasi itu. Namun, seperti diketahui, gerakan demokrasi Arab itu
kini menemui jalan buntu. Malahan banyak pakar menilai bahwa gerakan demokrasi Arab itu
dipandang telah gagal, terlebih lagi setelah munculnya gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and
Suriah) yang notabene-nya anti Barat dan anti demokrasi, malahan memandang demokrasi
sebagai ajaran setan yang merusak dan melemahkan Islam. ISIS tampil pada saat yang tepat
1
Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium
Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) dan Wakil I Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA).
Pendahuluan
Al-Qur‟anul Karim merupakan kitab suci terakhir diturunkan kepada Nabi penutup berisi
pedoman hidup paling lurus (Q.S 17/Al-Isra: 9) mencakup semua aspek kehidupan (Q.S 6/Al-
An‟am: 38). Siapa saja yang mengikuti pasti benar dan hidupnya bahagia dunia-akhirat. Satu-
satunya kitab yang dijamin keorisinilannya sampai kiamat (Q.S 15/Al-Hijr: 9).
Rasyid Ridha merinci tujuan al-Qur‟an ada sepuluh, yaitu: 1). Menerangkan hakekat
agama, meliputi: Iman kepada Allah, iman kepada hari berbangkit, dan pembalasan serta amal-
amal shaleh; 2). Menjelaskan tentang kenabian, kerasulan, tugas dan fungsinya; 3). Menjelaskan
Islam sebagai agama fitrah yang sesuai dengan akal fikiran, sejalan dengan ilmu pengetahuan dan
cocok dengan kata hati dan intuisi; 4). Membina dan memperbaiki masyarakat manusia dalam
satu kesatuan meliputi; kesatuan bangsa, hukum, dan bahasa; 5). Menjelaskan keistimewaan-
keistimewaan Islam dalam hal pembeban kewajiban-kewajiban kepada manusia, meliputi rohani
dan jasmani, material spiritual, membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, mudah
dikerjakan, gampang difahami, dsb; 6). Menjelaskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar berpolitik
dan beragama; 7). Menata kehidupan material (harta) manusia; 8). Memberikan pedoman umum
mengenai perang dan cara-cara mempertahankan diri dari agresi musuh; 9). Mengatur dan
memberikan hak-hak perempuan dalam bidang agama, sosial, dan kemanusiaan pada umumnya;
10). Memberikan petunjuk-petunjuk dalam pembebasan budak dan memerdekakannya. 3
Musyawarah merupakan perintah Alla swt (Q.S. Ali Imran 3:159, Q.S. Al-Syura: 38).
Kedua ayat diatas merupakan dasar utama tentang perinsip musyawarah yang harus difahami dan
dijalankan umat islam dalam menggapai kemaslahatan hidup dunia dan akhirat.
Rasulullah saw dengan segala keagungan dan ketinggian kedudukannya beliau sering
sekali minta pendapat kepada para sahabatnya baik dalam situasi perang maupun damai, baik
dalam urusan rumah tangga maupun dalam urusan umum, sehingga ulama mengatakan: “Tidak
ada orang yang paling banyak musyawarah dengan sahabatnya kecuali Rasulullah saw.”4
Musyawarah merupakan mabda‟ (prinsip) qur‟ani dan asas universal mencakup seluruh
urusan masyarakat. Musyawarah dalam pengertian ini memiliki cabang dan kaidah yang cukup
variatif, berbagai ketentuan dan hukum yang mewujudkan sistem sosial, politik, dan ekonomi
1
Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di
Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Ketua Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (MKPI) Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA).
3
Rasyid Ridha, al Wahyu al-Muhammad, Cairo: Maktabah al-Qahirah. 1960M/1380H, h, 126-268
4
Ibnu Taimiyah, al-siyasah al-Syar‟iyah, (Saudi Arabia: Departemen Urusan ke Islaman dan Wakaf, 1419), h. 126
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
Ayat di atas termasuk kategori surat Makkiyah, dan menjadi dasar dinamakan dengan
nama al-Syura. Surat al-Syura ada 53 ayat (lihat hal. 6)
5
Taufiq sl-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. Ke-1, h. 18
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar".
3. Surat Al-Naml/27: 32
Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah Aku pertimbangan dalam urusanku
(ini) Aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majelis(ku)".
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan
Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka.
sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu
Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Adapun pelajaran yang bisa kita ambil dari surat al-Syura adalah, al:
1. Musyawarah merupakan salah satu sifat yang istimewa bagi kaum muslimin dalam
semua kondisi disamping percaya kepada Allah swt, mendirikan sholat, dan saling
menjamin dalam infaq. Sehingga seandainya tidak ada manajemen politik,
pemerintahan, ataupun negara, musyawarah tetap berlaku.
2. Musyawarah diperintahkan sesudah iman dan sholat. Hal ini berarti bahwa musyawarah
salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan sholat dan zakat. Hal-hal yang
dimusyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan urusan bersama ialah perkara jama‟ah.
3. Saat ayat ini diturunkan kaum muslim masih merupakan individu-individu yang hanya
disatukan dengan kalimat “bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah swt dan bahwa
Muhammad saw adalah utusan-Nya” sementara mereka berkumpul untuk menunaikan
sholat dalam keadaan takut dan khawatir. Maka Allah swt menghendaki agar
musyawarah dan tukar pendapat diantara mereka sebagai permulaan menuju masyarakat
baru yang berbeda dengan masyarakat jahiliyah. Sekaligus menumbuhkan rasa
solidaritas dan gotong royong.
Para ulama menafsirkan ayat “maa dzaa” dengan “maa tasyiir” yang artinya apa pendapatmu
tentang mimpi tersebut?10 Musyawarah, kategori ayat-ayat Makiyah juga terdapat dalam surat
al-Naml/27: 3211
Ayat diatas mengungkapkan kisah ratu Bilqis dari kerajaan Saba di Yaman bahwa ketika Nabi
Sulaiman as mengirim surat agar ia masuk agama Allah swt dan berserah diri kepada Rabb al-
Alamin, ia tidak memutuskan sendiri menolak ajakan nabi Sulaiman as tersebut, melainkan ia
bermusyawarah dengan pemuka kerajaan.
Dalam ayat diatas kalimat “aftuunii” yang mengandung makna berikanlah fatwa atau pendapat
kalian kepadaku. Ayat ini merupakan dalil atas dibenarkannya musyawarah12. Jika perempuan
6
(Maksudnya bahwa umat mempunyai kewajiban mengeluarkan pendapat dalam masalah-masalah umum dan
mempublikasikannya, kendati tidak diminta oleh pihak penguasa. Lihat Abd al-Qadir Audah, al-Islam wa audhaun al-
Siasiah, h. 120. dan hal itu dianggap menjalankan amar mar‟ruf nahi anil munkar
7
Taufiq al-Syawi, Musyawarah Bukan Demokrasi, op. cit. h. 67-69
8
Lihat footnote no. 2, h.15
9
Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al-Husaini al-Aludi, Ruh al-Ma‟ani fi Tafsir al-Qur‟an al-Azhim wa Sab‟i al-
Ma‟ani, (Mauqi‟u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid. 17, h. 200
10
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad as-Anshari al-Qurtubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, (Dar al-Kitab al-„Araby, t.th),
jilid. 15, h. 103, lihat juga al-Syaukani Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadir, op. cit. , jilid 4 h. 404
11
Surat ini merupakan surat Makiyah yang diturunkan setelah surat al-Syu‟ara, lihat al-Qur‟an dan terjemahnya, (Majma‟
Malik Fahd, t.t.), h. 591
Surat al-Baqarah ayat 233 termasuk surat dan ayat Madaniyah karena sebagian besar ayat
turun pada permulaan hijrah nabi saw ke Madinah14. Ayat ini merupakan dalil musyawarah
dalam sebuah keluarga buat kemaslahatan si bayi15, apabila kedua orang tua nya ingin
menyapih sebelum dua tahun masa menyusui16.
Musyawarah disini dalam rangka mencari pendapat yang baik untuk kemaslahatan si bayi, dan
orang tua boleh meminta pendapat orang lain ketika akan menyapih bayinya sebelum habis
masa menyusui yaitu usia dua tahun17.
Ayat-ayat Madaniyah lain yang membahas musyawarah adalah : (Q.S Ali-Imran 3: 159). Al-
Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa surat Ali-Imran termasuk surat Madaniyah18.
Ahmad Musthafa al-Maraghi19 mengatakan: Ayat ini diturunkan seusai perang Uhud. Ketika
itu sebagian sahabat ada yang melanggar perintah nabi saw, akibatnya menyeret kau muslimin
kepada kegagalan dan Rasulullah saw sendiri mengalami luka. Namun Rasulullah saw tetap
bersikap lemah-lembut, tidak mencela kesalahan para sahabatnya20.
Selanjutnya beliau menfsirkan ayat ini (wa syaawirhum fil amr) tempuhlah jalan musyawarah
dengan mereka, yang seperti biasanya engkau lakukan dalam kejadian-kejadian seperti ini, dan
berpegang teguhlah padanya. Sebab mereka itu meski berpendapat salah dalam musyawarah
memang hal ini merupakan suatu konsekuensi untuk mendidik mereka, jangan sampai hanya
menuruti pendapat seorang pemimpin saja, meski pendapat pemimpin itu benar dan
bermanfaat pada permulaan dan masa depan pemerintah mereka. Selagi mereka mau
berpegang pada sistem musyawarah itu, insya-Allah akan selamat dan membawa
kemaslahatan bagi semua21.
12
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, op. cit., jilid. 13, h. 194
13
Muhammad Abd al-Qadir Abi Fariz, Sistem Politi Islam, op. cit., h. 55
14
al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Majma‟ Malik Fadh. t.th), h. 7
15
al-Qurthubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, op. cit., jilid 3, h. 172
16
Abu Ja‟far al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta‟wil al-Qur‟an, (Muasasah al-Risalah, 1420H/2000M/
www.qurancomplex.com) cet. Ke-1, jilid 5, h.70
17
Abu Hayan, Tafsir Bahr al-Muhith,(Mauqi‟u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid 2 h. 430
18
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Jami‟ liahkam al-Qur‟an,op. ct., jilid 4, h. 1
19
Ahmad Musthafa al-Maraghi, ahli tafsir, pendidikan beliau: Dar al-Ulum th 1909 M kemudian diangkat guru syari‟ah
ditempatnya belajar, diantara karangannya, Tafsir al-Maraghi, al-Hisbah fi al-islam, beliau meninggal dunia di Kairo th
1952, liha Zarekli, al-A‟lam, op.cit., jilid. 1, h. 258
20
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), jilid. 4. h. 193, lihat juga Sayyid
Qutub, Fi Zhilal al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1400H/1980M), Cet. Ke-9, j.1, h.500
21
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, op. cit., j.4, h.195
Maka Rasulullah saw, menuruti usulan mayoritas. Kebetulan hasil pertempuran itu
merupakan malapetaka bagi kaum muslim, maka orang-orang khawatir dan menduga hal
itu akan terjadi sebab Rasulullah saw, tidak mau lagi bermusyawarah dan tidak mau lagi
menyetujui pendapat mereka23, oleh karenanya datanglah nash ayat yang mulia untuk
menghilangkan keraguan ini dengan mewajibkan Nabi saw, agar mengampuni apa yang
terjadi dari kelompok terbanyak, dan agar terus menjalankan musyawarah dan konsisten
dengannya. Nashnyapun tegas dan mantap, karena datang dalam bentuk perintah dan
menetapkan. Yaitu firman Allah: (Q.S Ali-Imran 3: 159)
Maksudnya ialah bahwa musyawarah itu wajib dan ditetapkan24, meskipun ada
kemungkinan bahwa pendapat mayoritas itu keliru atau berbahaya. Karena bahaya yang
timbul dari kekeliruan mayoritas itu lebih ringan daripada bahaya yang timbul akibat
meninggalkan musyawarah dan akibat sikap egois para penguasa yang tidak mau menuruti
pendapat mayoritas manusia. Maka untuk mengokohkan mabda ini Allah swt
memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menetapi musyawarah, kendati beliau menerima
22
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zad al Ma‟ad Fi Khair al-„Ibad, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1987M/1407H ), cet. Ke-15,
jilid.3, h. 193
23
Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur‟an, op. cit,. jilid.1, h. 461
24
Karena perintah itu artinya wajib, selagi tidak ada yang memalingkannya, sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu ushul.
dalam hal ini memang tidak ada yang memalingkannya
B. Pengertian Musyawarah
25
Taufiq al-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, op.cit., h. 69-70
26
Ibnu Mandzur, lisan al-„Arab,op.cit., jilid. 5, h. 227
27
Ibid, lihat juga Munawir Warson Ahmad, al-Munawir(Karapyak Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku ilmiyah
keagamaan pondok pesantren al-Munawir)h. 802.
28
Ibnu Mandzur, lisan al-„Arab, (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2003), jilid. 5, h. 225
29
al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut Libanon: Dar al-Masyriq), cet. Ke-17, h. 407
30
Ibnu Zakaria Abu al-Husen Ibnu Faris, Mu‟jam Maqayis al-Lughat, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1972), jilid. 3, h.
542.
31
Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al-Husaini, beliau lahir di Baghdad 1217 H, ahli fikih, tafsir, hadits, meninggal dunia
di Baghdad 1270H. (Global Arsbic Encyclopedia. http://www.mawsoah.net
32
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, loc.cit., jilid.1, h.20
33
Ibnu Zakaria Abu al-Husein Ibnu Faris, Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazweni al-Razi, abu al-Husen. Lahir tahun 329
H dan meninggal th 395 H, beliau adalah termasuk salah seorang ulama bahasa dan adab di jamannya. Likat Zakerli, al-
„Alam, op.cit., jilid. 1, h. 193. Mu‟jam al-Lughat, op.cit., jilid. 3, h. 227
34
al-Munjid Fi al-Lughah,(Beirut Libanon: Dar al-Masyriq), cet. Ke-17, h. 407
35
Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Indonesia: Balai
Pustaka, 1995), edisi.2, cet.Ke-4, h. 477
36
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qutrhubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, op.cit., jilid. 3, h. 172
37
Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribath bin Ali bin Abi Bakar al-Baqa‟i, beliau berasal dari baqa‟I, Suriyah, lahir th 809 H,
meninggal th 885 H di Damaskus, lihat Zarekli, al-A‟lam, op.cit., j.1, h. 56
38
Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribath bin Ali bin Abi Bakar al-Baqa‟i, Nudzum al-durur fi Tanasubi Ayat wa al-Suwar,
(Mauqi‟u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid.1 h. 360-361
39
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit. h. 54
Dr. Artani Hasbi menyimpulkan definisi musyawarah adalah: “ Pertemuan para ahli
untuk membahas suatu permasalahan dengan saling mengemukakan pendapat para
anggota, diminta atau tidak agar diperoleh kesimpulan yang comfortable dan
berdasarkan niat tawakal kepada Allah swt.”44
Dalam kamus besar bahasa Indonesia musyawarah diartikan: “Pembahasan bersama
dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah”45
Jadi musyawarah adalah : Pertemuan para pemimpin atau para ulama dan para pakar
untuk membahas suatu masalah secara sungguh-sunguh dengan tujuan medapatkan
jalan atau solusi yang terbaik dan dapat dipertanggungjawabkan.
40
Abd al-Rahman Abd al-Khaliq, al-Syura Fi Zhili Nizham al-Hukum al-Islami, (Kuwait: al-Dar al-Salafiyah, 1975), h.
14.
41
Muhammad bin Abdillah bin Muhammad al-Ma‟arifi, Abu Bakar bin al-„Arabi, beliau salah seorang ulama Malikiyah,
ahli fikih, hadits, tafsir, ushul. Lahir di Isbelia th 462 H, meninggal dunia di Maraqis pas th 543 H. Global Arabic
encyclopedia. http://www.mawsoah.net
42
Mahmud Muhammad Babali, al-Syura Suluk wa-Iltizam, (Makkah: Maktabah al-Tsaqafah, 1986), h. 19
43
Isma‟il al-Badawi, Mabda‟ al-Syura Fi Syariat al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi), jilid. 1, h. 7
44
Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Kitab Ahkam bab Ma Jaa Fi al-Qadli Yushibu wa Yukhitu
no. 1248 (dalam Mausu‟ah), lihat juga Imam Malik, al-Muntaqa Syarh al-Muwatha‟ no. 1261
45
Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, no 17157
46
Lihat halaman 2
47
Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, op.cit., jilid. 4, h. 197
48
Sa‟id bin Ali al-Qathani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), cet. Ke-1, h. 407, dilain pihak
disyariatkan berjama‟ah pada sholat, karena sholat berjama‟ah lebih utama dapi pada sholat sendirian dengan 27
derajat(Dja‟far Amir, Ilmu Fiqih, (Solo: Cv. Ramadhani, 1991), cet. Ke-2. H. 64
49
Ibnu al-Arabi, Ahkam al-Qur‟an, (Mauqiu al-Islam: Maktabah Syamilah), jilid 7. H. 86
50
Hasan al-Bashri, nama lengkapnya adalah Abu Sa‟id al-Hasan ibnu Abi al-Hasan Yassar al-Bashri. Ia dilahirkan pada
tahun 21 H/ 642M di Madinah, ayahnya bernama Yassar, Maula Zaid bin Tsabit, ibunya bernama Khairah Maulat Ummu al-
Mu‟minin Ummu Salamah. Ia meninggal dinia di Bashrah pada tahun 110H/ 729M. Ia bertemu dengan 70 ahli Badar dan
300 orang sahabat Rasulullah saw,dan belajar ilmu kepada mereka, Hasan Bashri adalah orang yang selalu takut dan berduka
sepanjang hari, hidup zuhud dan wara. Lihat Ahmad Barmawi, 118 Tokoh Muslim Genius Dunia,(Jakarta: Restu Agung,
2006), h. 99
51
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, op.cit., jilid.4, h. 250
Ibnu al-„Athiyah54 mengatakan :“Musyawarah adalah bagian dari kaidah syari’ah dan sendi
hukum, barangsiapa tidak mau bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka
menjauhinya wajib.”55
Syaikh Syaltut56 berkata, “musyawarah merupakan asas pemerintahan yang baik dan
merupakan jalan menuju jelasnya kebenaran dan mengetahui pendapat yang matang. Al-
Qur‟an memerintahkan hal tersebut dan menjadikannya sebagai salah satu unsur dari unsur-
unsur yang menjadi penopang pemerintahan. Di dalam al-Qur‟an ada sebuah surat yang
dinamakan dengan surat “al-Syura” ia dinamakan demikian karena ia satu-satunya surat yang
menetapkan musyawarah sebagai unsur dari unsur kepribadian muslim yang hakiki.
Kehidupannya tergantung dari kejernihan hati yang berisi keimanan dan tawakal, serta
bersihnya anggota tubuh dari dosa dan kekejian. Dan senantiasa takut pada Allah swt dengan
senantiasa menegakkan shalat dan saling membantu57
D. Hukum Musyawarah
Bermusyawarahlah terjemahan dari kata “Syawirhum” (QS. Ali Imran/3: 159) bentuknya
perintah dimana hukum asal dari perintah menunjukan hukum wajib. Jadi hukum
musyawarah? Dari istimbat ayat di atas hukumnya wajib. Hukum ini akan tetap pada asalnya
selama tidak ada dalil yang merobahnya menjadi sunah. Dan tidak ada satu dalilpun yang
mengubahnya menjadi sunah. Bahkan sebaliknya, ada nash-nash lain dari kitab dan sunah
yang menguatkan wajibnya musyawarah ini58.
52
Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam bin Abdillah bin Abd al-Qasim al-Dimasyqi al-Hambali, Abu al-Abbas
Taqiuddin ibnu taimiyah, lahir di Huran, wafat di Damaskus th 728 H, lihat Zarekli, al-A‟lam, op.cit., jilid. 1, h. 44
53
Ibnu Taimiyah, al-Kalim al-Thayyib(Al-Maktabah al-Islami, 1399 H), cet. 4, h. 71
54
Dia bernama „abdu al-Haq bin Ghalib bin Abd al-Rahman bin Abd al-Ra‟uf bin Tamam bin Athiyyah, dia dipanggil Abu
Muhammad, dia berasal dari keturunan Zaid bin Muharrib. Dikenal sebagai sosok yang fakih dan alim, sangat mengerti
tafsir, hukum-hukum fikin, hadits, nahwi, bahasa, dia meninggal pada tahun 546. Lihat Ibnu Farhun, al-Dibaj al-Mudzhib
Lima‟rifati Ulama al-Madzahib, (Mauqi al-Warraq: Maktabah Syamilah), jilid. 1, h. 103
55
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an,)op.cit., jilid. 4, h. 249
56
Dia adalah salah seorang ulama Mesir yang sangat terkenal, Syaikh Azhar. Dia memliki sekian banyak karangan dalam
fikih, tafsir, dan pengetahuan umum. Meninggal pada tahun 1964M. Lihat Ali Muhammad al-Ahalabi, Fikih Kemenangan
dan Kejayaan, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 605
57
Ibid
58
Ali Muhammad al-Shalabi, Fikih Kemenangan dan Kejayan,, op.cit., h.608).
59
Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Husen bin Ali al-Tamimy al-Bakry al-Razi al-Ayafi‟I, lahir th 544, beliau ahli
tafsir, fikih, bahasa, mantiq, wafat th 604H. Lihat Mukadimah al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, 2004M/
1425H) cet. Ke II, j.1
60
Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Husen bin Ali al-Tamimy al-Bakry al-Razi al-Ayafi‟I, lahir th 544, beliau ahli
tafsir, fikih, bahasa, mantiq, wafat th 604H. Lihat Mukadimah al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah,
2004M/1425H), cet. Ke II. J.9, h.55.
61
Dia bernama Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi. Dikenal sebagai sosok yang zuhud dan wara dan dia laksana samudera
ilmu. Banyak orang yang belajar padanya. Dia meninggal pada tahun 370H. Lihat al-Taqi al-Ghazi, al-Thabaqat al-
Sunniyah Fi Tarajum al-Hanafiyyah, (Mauqi‟u al-Warrak: Maktabah Syamilah, t.th) jilid.1, h.122./ www.alwarraq.com
62
Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi, ahkam al-Qur‟an, (Beirut: Dar Ihyau al-Turats al-„Araby, 1985M/1405H), jilid. 5.
H.263
63
Muhammad bin Thahir bin Muhammad al-Syadzali bin Abd al-Qadir bin Muhammad bin A‟syur, beliau adalah pemimpin
para ulama di Tunusia pada masa Muhammad Shahiq Basya dan menjadi Qadli di jamannya, th 1268H, kemudian menjadi
mufti th 1277H, wafat di Tunisia. Lihat Zarekli, al-„Alam, op.cit., jilid.6, h.173) berkata, “Dari apa yang diungkapkan al-
Jashash menunjukan bahwa madzhab Abu Hanifah mewajibkannya(Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, (Mauqi‟u al-
Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid.3, h.263.
64
Yahya bin Syarf bin Muri bin Hasan bin Husen bin Muhammad bin Jam‟ah bin Huzam al-Nawawi al-Syafi‟I, lahir di
Nawa, Syam th 631H, diantara kitab yang beliau tulus: al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim, Arba‟in al-Nawawiyah, wafat th
676H. Lihat Zarekli, al-„Alam, op.cit., jilid.8 h.149
65
Imam al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Qalam, 1987M/1408H), cet.Ke-1, jilid.4, h.318.
66
Dia dilahirkan pada tahun 1880 di Kufr Ziyat dan masuk al-Azhar pada tahun 1900 setelah hafal al-Qur‟an dan belajar di
Madrasah Qadha Syar‟i pada tahun 1915M,kemudian ia diangkat menjadi pengajar di sekolah ini. Dia ikut melakukan
perjuangan revolusi pada tahun 1919 maka tampaklah bakat orasi dan kepenulisannya. Dia aktif dalam melakukan Qadha dia
mengajar di fakultas Hukum di Universitas Kairo selama 22 tahun. Dia meninggal pada tahun 1956, Mukadimah bukunya
Ushul Fiqh. Lihat Ali Muhammad al-Shalabi, Fikih Kemenangan dan Kejayaan), op.cit., h.607
E. Khitab Musyawarah
Perintah musyawarah bukan hanya ditujukan kepada Rasulullah saw tetapi juga ditujukan
kepada umat Islam karena pada hakekatnya al-Qur‟an diturunkan untuk menjadi petunjuk
bagi umat manusia (2:185), disamping itu seluruh perintah dalam al-Qur‟an berlaku umum
kecuali bila ada dalil yang menunjukan bahwa perintah tersebut khusus untuk Rasulullah
saw. Dalam hal ini tidak terdapat satupun dalil yang menunjukan bahwa perintah
musyawarah hanya diwajibkan kepada Rasulullah saw bahkan berdasarkan dalil-dalil yang
ada justru menunjukkan sebaliknya68.
67
Ali Muhammad al-Shalabi, Fikih Kemenangan dan Kejayaan, op.cit., h.606-607
68
lihat pembahasan hadits tentang syura h.27-3
69
Ali Muhammad al-Shalabi, Fikih kemenangan dan Kejayaan, op.cit., h.603-604
70
Imam Muslim Abul Husen Muslim bin Hajaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-
Qalam, 1408H/1987M), cet. Ke-1, h.281
71
Sa‟ad bin Mu‟adz bin Nu‟man al-Alusi al-Anshari, pemimpin kabilah Aus di Madinah, masuk Islam pada usia 31 th dan
wafat pada usia 37 th, beliau termasuk syuhada Khandak, lihat Khalid M Khalid, Karekteristik 60 Sahabat, op.cit., h.561
72
Sa‟ad bin Ubadah bin Dalim bin Haritsah, al-Khazraji, pemimpin kabilah Khazraj pada masa jahiliyah dan Islam, hidup
sampai masa Khalifah Umar bin Khatab, beliau termasuk orang yang masuk Islam dengan dakwahnya Mush‟ab bin Umeir,
wafat ketika dalam perjalanan menuju Syiria. Lihat Khalid M Khalid, Karekteristik 60 Sahabat, op.cit., h.571
73
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan binHusen al-Taimi al-Razi, Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Gaib,
(Mauqi‟u al Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid.9, h.67.
74
Abdul Karim Zaidan, Ushul al-Da‟wah (Muasasah al-Risalah, th 2001M/1421H), cet.Ke-9,h.217-218. Lihat juga Ibnu
Taimiyah, al-Siyasyah al-Syar‟iyah, (Saudi Arabia : Departemen Wakaf dan Da‟wah), h.169
75
Dia bernama abd al-Haq bin Ghalib bin Abd al-Rahman bin Abd al-Ra‟uf bin Tamam bin Athiyyah, dia dipanggil Abu
Muhammad, dia berasal dari keturunan Zaid bin Muharrib. Dikenal sebagai sosok yang fakih dan „alim, sangat mengerti
tafsir, hukum-hukum, fikih, hadits, nahwu, bahasa, dia meninggal pada tahun 546. Lihat Ibnu Farhun, al-dibaj al-mudzhib
Lima‟rifati Ulama al-Madzahib, op.cit., jilid.1, h.103
76
Ibnu athiyah al-Muharaby, al-Muharrir al-Wajiz, (Mauqi‟u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid.2, h.35.
77
lihat h.36
78
Ibnu Taimiyah, al-Siyasyah al-Syar‟iyah, op.cit., h.126
79
Ibnu Khuwaizimandad adalah termasuk ulama Malikiyah yang terkenal dalam setiap periwayatan hadits, dan tidak
majhul,... lihat Qadli Iyadl, Tartib al-Madzarik wa Tarqib al-Masalik, (Mauqi‟i al-Warrak: Maktabah Syamilah/
www.alwarraq.com), jilid.1h.5
80
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami liahkam al-Qur‟an, op.cit., jilid.4, h.250).
81
Hasan bin Ahmad bin Abd al-Rahman al-Banna, semoga Allah merahmatinya, lahir pada 1906M, di kota Mahmudiyah,
sebuah kawasan dekat Iskandariyah, setelah menyelesaikan kuliahya di dar al-Ulum, kairo, beliau menjadi guru yang
berpindah dari satu kota ke kota yang lain untuk menyeru umat adar mengamalkan al-Qur‟an dan perpegang teguh pada
sunah nabi saw, lewat tangan beliau, Allah swt memberi petunjuk kepada ribuan mahasiswa, buruh, petani, dan berbagai
golongan masyarakat lainnya, beliau merupakan pendiri Ikhwan al-Muslimin di Mesir, beliau wafat setelah ditembak di
depan kantor al-Syubban al-muslimun, saat itu th 1949M. Lihat Hasan al-Banna, Majmu‟atu al-Rasail, (Kairo: Dar al-
Tiba‟ah wa al-Nashr wa al-Tauji), h.5
82
Hasan al-Banna, Majmu‟atu al-Rasail, op.cit., h.31
83
Abu al-A‟la dilahirkan pada tanggal 13 Rajab 1321/ 25 Septermber 1903, di Aurangadad, India, beliau adalah penulis
yang handal, pada awal th 1940-an beliau mendirikan gerakan Jama‟ah Islam, th 1947 beliau pindah ke Pakistan, dan
memusatkan pikirannya untuk mendirikan negara Islam, beliau wafat pada usia 60 tahunan, lihat Abu al-A‟la al-Maududi,
Khilafah dan Kerajaan,(Bandung: Mizan, 1990), cet. Ke-3, h.7
84
Abu al-A‟la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, op.cit., cet Ke-3 h.99
F. Lingkup Musyawarah
Yang dimusyawarahkan berlaku umum tidak hanya berlaku dalam urusan perang dengan
alasan:
Pertama: Kalimat “fil amr” yang artinya “dalam urusan itu” menunjukan urusan yang
sifatnya umum, al-Sa‟di menafsirkan “fil amr” dengan mengatakan segala urusan yang butuh
dimusyawarahkan87.
Kedua : kaedah mengatakan : “Pelajaran itu berdasarkan keumuman lafadznya bukan
kekhususan sebabnya”88. Contoh ayat tentang dzihar89 (Q.S al-Mujadilah 58:2)
Meskipun ayat tersebut diturunkan terkait peristiwa yang dilakukan oleh Aus bin Shamit90
tetapi hukum tersebut bukan hanya berlaku pada dia tetapi berlaku umum. Artinya siapapun
yang melakukan perbuatan (dzihar) seperti yang pernah dilakukan Aus bin Shamit dia
terkena hukum yang sama91.
Namun demikian,meskipun makna urusan itu bersifat umum, tetapi tetap ada batas-batas
yang tidak boleh dilampaui yaitu urusan yang qath‟i (sudah ditetapkan hukumnya oleh
Allah swt dan Rasul-Nya) tidak boleh lagi dimusyawarahkan. Artinya akal manusia tidak
boleh meribah ketetapan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, betapapun
dilakukan dengan musyawarah. Dengan ungkapan lain akal tidak boleh mendahului wahyu.
85
Abdul Karim Zaidan, ia adalah seorang ulama Bagdad, ahli dibidang ilmu fikih dan juga beliau adalah seorang pengacara,
beliau juga guru besar di Perguruan tinggi Bagdad, guru besar di Perguruan Tinggi Shan‟a. Lihat Abdul Karim Zaidan,
Ushul al-Dakwah, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 2001), cet. Ke-9, h.1
86
Al-Shalabi Ali Muhammad, Fikih Kemenangan dan Kejayaan, op.cit., h.603-607
87
Abd al-Rahman bin Nashir bin Sa‟di, Tafsir al-Karim al-Rahman Fi Tafsiri Kalam al-Mannan, (Saudi: Muasasah al-
Risalah, 2000), jilid.1, h.154.
88
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqon Fi Ulum al-Qut‟an, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid.1, h,30.Wasathiyah wa Daf‟i al-Ghuluw,
(Saudi: Kementrian Wakaf dan Da‟wah wal Irsyad, 1425 , cet Ke-2, jilid.1, h.92
89
Artinya perkataan seorang laki-laki kepada isterinya: “engkau seperti punggung ibuku” untuk hukumnya lebih luas lagi
dibahas dikitab fikih, lihat Abd al-Rahman al-Juzairi,al-Fiqhu „Ala al-Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut: Syarikat Dar al-
Arqam bin Abi al-Arqam, t.th , jilid.4, h.467
90
Aus bi Shamit bin Qais bin Ashram bin Fihr bin Tsa‟labah bin Hganim bin Salim bin Auf bin Khazraj al-Anshari, sahabat
nabi yang ikut dalam perang Badar, Uhud, ia adalah saudara kandung dari Ubadah bin Shamit, ia wafat pada masa Khalifah
Utsman bin Affan. Lihat Ibnu Abdil Bar, al-Isti‟abFi Ma‟rifati al-Ashhab, (www.alwarraq.com: maktabah syamilah), jilid.1
h.37. lihat juga al-Khatib al-Bagdadi, al-Asma al-Mubhamah Fi al-Anbai al-Muhkamah, (www.alwarraq.com: maktabah
ayamilah , jilid.1 h.2
91
M. Ali al-Shabunyi, Rawai‟u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), jilid.2, h.526
Berangkat dari pijakan ini pila dapat dipahami bahwa tekad Abu Bakar memerangi kaum
murtad yang menolak membayar zakat karena masalah ini ditamukan nashnya sehinggan ia
memahami bahwa ini bukan masalah ijtihad, sebagaimana firman Allah swt (Q.S al-Taubah
9:5)
Oleh sebab itu Umar ra, segera menerima sikap Abu Bakar ra, ini ketika ayat ini disebutkan.
Sebab Shalat adalah salah satu rukun Islam, begitu pula zakat103.
98
Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, (Mauqi‟u al-Islam: Maktabah Syamilah), jilid.2 h.223.
99
Terjadi th 6 H..., Lihat Muhammad bin Abd al-Wahab, Mukhtashar Siratu al-Rasul saw,(Saudi: Kementrian Wakaf,
1418H), cet. Ke-1, jilid.1 h.265
100
Umar bin Khaththab adalah sahabat nabi saw yang bergelar al-Faruq (pembeda antara benar dan yang bathil) ia juga
khalifah kedua setelah Rasulullah saw wafat, dia terkenal dengan khalifah yang adil, kecerdasannya sangat luar biasa,
banyak ulama menulis buku tentangnya, ia wafat setelah ditikam oleh Bau Lu‟luah, lihat Abbas Mahmud Aqqad, Menyusuri
Jejak Manusia Pilihan, Umar bin Khaththab, (Solo: Tiga Serangkai, 2003., cet. Ke-1, h.255
101
Abdullah bin Abi Kuhafah, beliau merupakan khalifah pertama setelah Rasulullah saw wafat, beliau diberi gelar al-
shiddiq, ia adalah orang pertama masuk Islam dari kalangan orang dewasa yang bukan hamba sahaya, wafat pada usia 63 th,
lihat Ibnu Abdil Bar, al-Isti‟abfi Ma‟rifati al-Ashhab, (Mauqi‟u am-Warrak), jilid.2, h.13
102
Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam), op.cit.,jilid.2, h.316
103
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Potitik Islam, op.cit., h.72
G. Syarat-syarat al-Syûrâ
Dalam kajian ushul fiqh syarat berarti: sesuatu yang menentukan adanya hukum, tidak
adanya sesuatu itu berarti tidak adanya hukum, tetapi adanya sesuatu itu tidak otomatis
adanya hukum.104
Contoh wudlu merupakan syarat sahnya shalat, tidak adanya wudhu otomatis tidak sah
shalatnya, tetapi adanya wudhu tidak secara otomatis harus melakukan shalat. Demikian juga
saksi dalam akad nikah. Tidak adanya saksi otomatis tidak sah nikahnya tetapi adanya saksi
tidak secara otomatis harus melakukan nikah.
Terkait dengan ahlu al-syûrâ syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :
1. Baligh
Baligh artinya sampai.105 Dalam istilah fiqh adalah cukup umur untuk menerima
kewajiban agama (mukallaf) yang ditandai dengan mimpi basah untuk laki-laki dan haid
untuk perempuan.
Baligh merupakan salah satu syarat orang itu menjadi mukallaf, karena ketika seseorang
belum baligh maka ia belum menjadi mukallaf atau bebas kewajiban. Sebagaimana dalam
hadits disebutkan :
ٓ٘قظ ٗ عِ اىَعثٞغزثٝ ٚجيغ ٗ عِ اىزبئٌ ززٝ ٚ ززٜٔ ٗعيٌ سفع اىقيٌ عِ ثالثخ عِ اىصجٞ هللا عيٚقبه سع٘ه هللا صي
)جشا (سٗآ أث٘ داٗدٝ ٚزز
"Rasulullah Saw bersabda: diangkat pena dari tiga orang: anak kecil sampai baligh,
orang yang tidur sampai bangun, dan orang gila hingga sembuh" (HR. Abu Daud)106
Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda:
عقو (سٗآ ازَذ ٗاصسبةٝ ٚسزيٌ ٗعِ اىَدُْ٘ خزٝ ٚ ززٜفظ ٗ عِ اىصئجٞغزٝ ٚسفع اىقيٌ عِ ثالس عِ اىْبئٌ زز
)ٌاىغِْ ٗاىسبم
"Rasulullah Saw bersabda: diangkat pena dari tiga orang: orang yang tidur sampai
bangun, anak kecil sampai mimpi basah, dan orang gola hingga sadar. (HR. Ahmad,
Ashhabu Sunan dan Hakim)107
104
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 59
105
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, op.cit., jilid 1, h. 498
106
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mausu'ah Hadits) no. 3824
107
Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, op.cit., 23003
2. Sehat Akal
Orang gila tidak berhak menjadi anggota majlis al-syûrâ, karena akal adalah prasyarat
bagi beban syariah. Maka keutuhan yang dikaruniakan oleh Allah SWT apabila tidak ada
seseorang berarti menjatuhkan apa yang menjadikan kewajiban. Di sisi lain mengurusi
dan menangani masalah-masalah kepentingan umum membutuhkan daya nalar yang kuat.
Untuk menjadi anggota majlis al-syûrâ tidak hanya dituntut adanya akal yang diperlukan
sebagai prasyarat beban agama, melainkan lebih dari itu, juga dituntut akal yang melebihi
rata-rat, jauh dari kelengahan dan keterlenaan, cerdas dan mencapai tingkat prima.109
Di samping itu pula akal sehat akan memudahkan seseorang untuk menelaah dan meneliti
dan menyampaikan pemikirannya, Ibnu Khaldun110 dalam bukunya mengatakan bahwa
Rasulullah Saw dalam berdakwah untuk meyakinkan pengikutnya yang masih baru dia
menempuh jalan pemikiran, dia mengubah cara berpikir tradisional.111
3. Beragama Islam
Tidak dibenarkan non muslim menjadi anggota majlis al-syûrâ. Allah SWT berfirman :
ٌْ األ ٍْ ِش ٍِ ْْ ُنِٜعُ٘ا اى َّشعُ٘ َه َٗأُٗىٞهللاَ َٗأَ ِغ
َّ عُ٘اَِٞ آ ٍَُْ٘ا أَ ِغَُّٖٝب اىَّ ِزََٝب أٝ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu" (QS. An-Nisa/4: 59)
Ayat ini berbicara kepada orang-orang yang beriman, maka pemerintahan bergantung
kepada mereka. Tidak dibenarkan keluar dari batasan ini, yakni non muslim. Dalam
108
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam (Jakarta: Rabbany Press), h. 80
109
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 80
110
Abu Zaid Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun, lahir di Tunisia th. 732 H/1332 M, dalam perjalanan hidupnya ia
mengabdi ke pemerintahan yang satu ke yang lain sehingga akhirnya ia lelah kemudian ia meninggalkan dunia politik dan
kemudian ia menulis buku Muqadimah yang terkenal sampai sekarang, ia wafat th. 808 H/1406 M, lihat Fuad Bali & Ali
Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. Ke-2, h. 15
111
Fuad Bali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, op.cit, h. 110
Sementara bagi non muslim dalam majlis al-syûrâ seandainya memegang urusan kaum
muslimin, menangani masalah harta, potensi jiwa mereka, adalah salah satu jalan
(kekuasaan) paling besar. Jadi pada ayat ini Allah SWT secara tegas menafikan
kewenangan dan kekuasaan orang-orang kafir atas orang-orang mukmin, pengakuan atas
keanggotaan mereka dalam majlis al-syûrâ dengan demikian juga bertentangan dengan
ayat ini.112
Perlu dikemukakan di sini bahwa non muslim seperti ahli dzimmah (warga non muslim di
bawah pemerintahan Islam) tidak boleh menjadi ahli al-syûrâ. Bukti paling kuat yang
mendukung penegasan ini adalah bahwa tidak ditemukan pada masa Nabi Saw maupun
Khulafa al-Rasyidin, umpamanya, satu bukti yang menunjukkan adanya seseorang dari
ahli dzimmah yang dipilih menjadi anggota majlis al-syûrâ, atau gubernur, atau penguasa
di wilayah tertentu Negara Islam, atau qadli (jaksa), atau menteri yang memimpin salah
satu departemen pemerintahan, atau panglima perang, atau diizinkan memberikan suara
bagi pemilihan khalifah. Namun demikian hingga pada masa Rasulullah Saw pun tidak
pernah kosong dari warga dzimmi. Bahkan pada masa khilafah rasyidah jumlah warga
dzimmi diperkirakan mencapai tiga juta orang. Seandainya peran serta dalam masalah-
masalah ini ada hak mereka tentu Rasulullah Saw tidak akan pernah mengabaikan hak
mereka.113
Zaman sekarang atau di Negara yang tidak mayoritas Islam maka mengajak
bermusyawarah kaum non muslim dan mengakomodir pendapat mereka adalah tidak
dilarang. Bahkan, ia bisa menjadi keharusan jika terdapat kemaslahatan bagi umat.
Karena kemashlahatan adalah dasar bagi seluruh hukum dunia. Hingga sebagian ulama
ada yang berkata, "kamaslahatan harus didahulukan dari teks jika bertentangan
dengannya114
112
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit, h 79
113
Abu al-A'a al-Maududi, Nazharah al-Islam wa Hadyuh, h. 302
114
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Maqasid Syariah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. Ke-1 h. 244
115
Muhammad Abd al-Qadir Abu Faris, al-Qadli fi Al-Islam, h. 34
116
Abdullah bin Qasim al-Wasyli, Syarah Ushul 'Isyrin Menyelami Samudra 20 Prinsip Hasan al Banna (Solo, Era
Intermedia, 2005), cet. Ke-2, h. 86-87
ََُُ٘ ََ ْعيٝ َِ الَٝ ْعيَ ََُُ٘ َٗاىَّ ِزٝ َِٝ اىَّ ِزَِٛ٘ َ ْغزٝ ْقُوْ َٕو
"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?" (QS. Al-Zumar/39: 9)
Dijelaskan pula bahwa ketaqwaan dan rasa takut kepada Allah SWT yang sebenarnya
hanya dicapai oleh para ulama. Sebagaimana firman Allah SWT:
هللاَ ٍِ ِْ ِعجَب ِد ِٓ ْاى ُعيَ ََب ُء
َّ َٚ ْخ َشٝ ئَِّّ ََب
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama"
(QS. Fathir/35: 28)
Dijelaskan pula bahwa ahli ilmulah yang menjadi saksi atas orang-orang yang berbuat
durhaka. Sebagaimana firman Allah SWT
ِ َْ ُن ٌْ َٗ ٍَ ِْ ِع ْْ َذُٓ ِع ْي ٌُ ْاى ِنزَبْٞ َ َٗثِْْٜٞ َذًا ثِٖٞ بَّللِ َش
ة َّ ِ ثَٚقُوْ َمف
"Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu, dan antara orang yang
mempunyai ilmu Al Kitab"
Dengan ilmu orang bisa mengetahui hakikat-hakikat sesuatu, sebagaimana firman Allah
SWT
ََُُ٘ َِ ْعقِيَُٖب ئِال ْاى َعبىٝ بط َٗ ٍَب َ َٗرِ ْي
ِ َّْل األ ٍْثَب ُه َّعْ ِشثَُٖب ىِي
"dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (QS. Al-Ankabut/29: 43)
117
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Mausu'ah Hadits), No. 220
118
Imam Bukhari, Shahih Bukhari (Mausu'ah Hadits), No. 69
119
Beliau termasuk ulama kontemporer yang masih hidup, yang banyak memberikan konstribusi pemikiran untuk umat pada
jaman sekarang, ia menguasai ilmu fikih dan berbagai keilmuan Islam yang lainnya sehingga ia diangkat menjadi mufti dan
beliau sekarang tinggal di Suria
120
Yusuf Al-Qardhawi, Fikih Prioritas, (Jakarta: Rabbani Press, 1996), cet. Ke-1, h. 63)
Sebagian ulama berkata: pengetahuan yang menjadi prasyarat bagi ahli al-syûrâ tidak
harus mencapai tingkat ijtihad.121
7. Laki-laki
Laki-laki menjadi syarat, sementara perempuan tidak dibenarkan menjadi anggota majlis
al-syûrâ. Terkait perempuan tidak boleh menjadi anggota majlis al-syûrâ, para ulama
berbeda pendapat dalam hal itu.
Dengan demikian perempuan tidak didahulukan atas laki-laki dan tidak pula dijadikan
pemimpin. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan
kepemimpinan keluarga atau tanggungjawab rumah tangga, bukan kepemimpinan
umum. Hujah (dalil) ini tetap berlaku demikian. Jika perempuan tidak mampu
mengurus kepemimpinan keluarga yang tidak lebih dari bilangan jari maka lebih tidak
mampu menangani urusan masyarakat manusia.122 rasulullah Saw bersabda:
)ٛفير قً٘ ٗى٘ا أٍشٌٕ اٍشاح (سٗآ اىجخبسٝ ِى
121
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 81
122
Lihat al-Qadli fi al-Islam, op.cit., h. 35
Hadits ini merupakan penegasan statemen dari Nabi Saw mengenai ketidak
beruntungan bagi suatu kaum yang mengandalkan perempuan untuk memimpin
urusan umum dan penting seperti keanggotaan majlis al-syûrâ. Kaum Muslimin
diperintahkan melakukan upaya yang mengantarkan pada keberuntungan dan dilarang
melakukan perbuatan yang mengantarkan kepada kerugian.124
2) Wanita tidak boleh keluar rumah melainkan untuk urusan yang penting
Allah SWT berfirman:
َِّ ُ٘رِ ُنُٞ ثَِٜٗقَشْ َُ ف
"dan hendaklah kamu tetap di rumahmu" (QS. Al-Ahzab/33: 33)
Dengan begitu, seorang wanita tidak boleh keluar rumah kecuali untuk suatu
keperluan yang penting.
4) Tindakan Preventif
Ketika wanita dicalonkan atau duduk di parlemen atau Dewan Perwakilan, maka dia
dituntut untuk bercampur dengan kaum laki-laki dan bahkan kadang-kadang
berkhalwat125 dengan seorang laki-laki. Tentu saja hal ini haram. Sebab sesuatu yang
bisa menjurus kepada perbuatan haram, hukumnya juga haram.
123
Imam Bukhari, Shahih Bukhari (Mausu'ah Hadits: Maktabah Syamilah), kitab al Maghazi, No. 4073
124
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 81
125
Berduaan laki dan perempuan yang bukan mahram
2) Perintah dalam ayat ini bersifat umum, ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak
ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Musyawarah merupakan salah satu prinsipi pengelolaan bidang-bidang kehidupan
bersama menurut Al-Qur'an, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga
masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan
musyawarah. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan
memiliki hak tersebut.128
3) Dasar hukum secara umum, wanita sama seperti laki-laki dalam melaksanakan
pembebanan, kecuali ada pengecualian. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT
126
Musthafa Dieb al-Bugha Muhyiddin Mistu, al-Wafi Syarah Kitab Arba'in Al-Nawawiyah (Jakarta: al-I'tishom Cahaya
Umat, 2003), cet. Ke-1, h. 3002
127
Hindun binti Abi Umayah, ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam, ia pernah ikut hijrah ke Habasyah dua kali
sebelum akhirnya hijrah ke Madinah, setelah suaminya meninggal ia dilamar Rasulullah Saw dan akhirnya menikah
dengannya, ia wafat th. 62 H, beliau adalah isteri Rasulullah yang terakhir sekali meninggal. Lihat M. Ali Usman, Partisipasi
Keluarga Rasulullah Saw dalam Merubah Sosial Budaya Dunia , (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet. Ke-1, h. 86.
128
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1993), cet. Ke-3, h. 273-274
Dalam kesempatan ini Al-Qur'an juga menyebutkan beberapa ciri orang-orang yang
beriman, setelah menyebutkan beberapa ciri orang-orang munafik, sebagai berikut:
ِ َ َْْْٖ٘ َُ َع ِِ ْاى ََ ْعشَٝٗ َأْ ٍُشَُُٗ ثِ ْبى َُ ْْ َن ِشٝ ْط
ُٗف ٍ عُٖ ٌْ ٍِ ِْ ثَع ُ َْاى ََُْبفِقَُُ٘ َٗ ْاى ََُْبفِق
ُ بد ثَ ْع
"orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain
adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang
ma'ruf ". (QS. At-Taubah/9: 67)
129
Khadijah binti Khuwailid, beliau di jaman jahiliyah bergelar "al-Thahirah" artinya "yang suci bersih" beliau adalah janda
kaya yang kemudian menikah dengan Rasulullah Saw, ia termasuk orang yang banyak membantu Rasulullah Saw dalam
berdakwah dengan hartanya, ia juga isteri pertama Rasulullah Saw, ia wafat tahun 10 dari kenabian Muhammad Saw. lihat
M. Ali Usman, Partisipasi Keluarga Rasulullah Saw dalam merubah Sosial Budaya Dunia, op.cit., h. 32
Jawaban :
Pihak yang membolehkan, memberikan jawaban terhadap alasan yang diajukan oleh
pihak yang melarang, ringkasnya sebagaimana berikut:
1. Terkait dengan ayat yang menyebutkan kepemimpinan laki-laki atas wanita
berdasarkan firman Allah SWT:
ٌْ ِٖ ِْط َٗثِ ََب أَ ّْفَقُ٘ا ٍِ ِْ أَ ٍْ َ٘اى
ٍ ثَعَٚعُٖ ٌْ َعي َّ ع َو
َ هللاُ ثَ ْع َّ َ اىِّْ َغب ِء ثِ ََب فَٚاى ِّش َخب ُه قََّ٘ا ٍَُُ٘ َعي
"kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka" (QS. An-
Nisa/4: 34)
Ayat ini dalam dalam kaitannya dengan kehidupan rumah tangga. Seorang laki-laki
merupakan pemimpin rumah tangga dan bertanggungjawab atas kelangsungannya
sesuai dengan QS. An-Nisa/4: 34 tersebut.
Hal ini menunjukan bahwa maksud kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan atas
rumah tangga. Derajat inilah yang diberikan kepada kaum laki-laki, seperti Firman
Allah SWT:
ٌٌ ٞ ٌض َز ِنَٝض
ِ هللاُ ع ِ ِٖ َِّ ثِ ْبى ََ ْعشْٞ َ َعيَٛٗىَٖ َُِّ ٍِ ْث ُو اىَّ ِز
َّ َٗ ٌ ِٖ َِّ َد َس َخخْٞ َُٗف َٗىِي ِّش َخب ِه َعي
"dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-
Baqarah/2: 228)
130
Yusuf Al-Qardhawi, Fikih Daulah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), cet. Ke-4, h. 227-229)
2. Terkait dengan wanita tidak boleh keluar rumah melainkan untuk urusan penting
berdasarkan firman Allah SWT: artinya: "Dan hendaklah kalian tetap di rumah
kalian" (QS. Al-Ahzab/33: 33)
Ayat ini secara khusus tertuju kepada isteri-isteri Nabi Saw, seperti yang dipahami
dari susunan bahasanya. Sebagaimana yang sudah diketahui, mereka mempunyai
kehormatan dan perlu penekanan tersendiri dari pada wanita-wanita lain. Oleh karena
itu balasan untuk mereka menjadi berlipat jika mereka berbuat buruk.
Sekalipun sudah ada ayat ini, 'Aisyah ra tetap keluar dan ikut bergabung dalam
perang al-Jamal, sebagai reaksinya untuk memenuhi kewajiban agama, yaitu
menuntut balas atas terbunuhnya Utsman bin Affan ra. Tapi ketetapan takdir
meletakannya di tempat yang salah, karena apa yang dilakukannya itu.
Bagaimana pun juga wanita harus keluar rumahnya, pergi ke sekolah, perguruan
tinggi, andil dalam berbagai medan kehidupan sebagai dokter, guru, pengawas dan
lain-lainnya, sebagai tuntutan kerja di luar rumah, yang tentu saja dengan beberapa
syarat yang harus dipenuhi.
Para wanita muslimat yang komitmen dituntut untuk terjun dalam kancah pemilihan
umum, dalam rangka menghadapi wanita-wanita permisivis dan sekuler yang
berambisi memegang kendali peranan wanita secara umum. Terkadang kebutuhan
sosial dan politik lebih besar daripada kebutuhan individu, yang kemudian
memperbolehkan wanita untuk ambil bagian dalam kehidupan secara umum.
Menahan wanita di dalam rumah tidak dikenal kecuali hanya dalam jangka waktu
tertentu, sebagai hukuman atas kekejian yang dilakukannya dan sebelum ada
ketetapan hukum tentang dirinya, sebagaimana firman Allah SWT:
131
Ibid, h. 232-233
3. Terkait dengan tindakan preventif, tidak dapat diragukan, tindakan preventif memang
sangat diperlukan. Tetapi para ulama menetapkan bahwa preventifitas yang berlebih-
lebihan atau terlalu longgar, bisa menghilangkan sekian banyak kemaslahatan, lalu
membuka kerusakan yang justru lebih besar dan banyak, yang tadinya dikhawatirkan
akan terjadi.
Misalnya wanita dilarang memberikan suara dalam pemilihan umum, karena
dikhawatirkan akan menimbulkan cobaan dan kerusakan. Lalu berapa banyak suara
yang seharusnya dimiliki kalangan muslim yang hilang karenanya? Padahal
pengumpulan suara ini sangat penting untuk menghadapi kalangan sekuler. Terlebih
lagi mereka lebih banyak memanfaatkan suara para wanita yang tidak komitmen
terhadap agama.
Dahulu ada seorang ulama yang menolak untuk mengajari para wanita dan tidak
setuju jika mereka masuk ke sekolah dan perguruan tinggi, dengan alasan sebagai
tindakan preventif. Sebagian ulama ada yang memperbolehkan para wanita belajar
membaca dan melarang mereka belajar menulis, agar mereka tidak menulis surat-
surat cinta atau sejenisnya. Tetapi arus kehidupan pada masa sekarang
memperlihatkan bahwa belajar itu bukan merupakan keburukan, bahkan membawa
kepada kebaikan yang amat banyak.
Dari sini dapat kami katakana bahwa wanita muslimah yang komitmen, harus pandai-
pandai menjaga diri saat berhadapan dengan kaum laki-laki, jika dia dicalonkan atau
dipilih dalam dewan perwakilan, harus menghindari hal-hal yang bertentangan
dengan hukum-hukum Islam, seperti berkata genit, berpakaian mencolok mata,
bersolek, berkhalwat dengan seorang laki-laki. Ini perbuatan yang harus dihindari.132
Mereka yang melarang wanita dicalonkan dan duduk di dewan perwakilan beralasan
bahwa kedudukan ini merupakan kepemimpinan terhadap kaum laki-laki, yang berarti
dilarang. Sebab ditetapkan di dalam Al-Qur'an, kaum laki-laki harus menjadi
132
Ibid, h. 231-232
133
Ibid, h. 236-237
SEBUAH PANDANGAN
Mencermati diskusi di atas, Penulis menilai kedua belah fihak bermaksud untuk
menjaga kesucian agama dan menjaga kemuliaan wanita. Keduanya memiliki
dasar ayat dan hadits serta penjelasan yang cukup logis. Sudut pandang mereka
yang berbeda dan selama sebuah masalah merupakan masalah ijtihadiyah dan
bukan masalah qath'iyah, wajar saja terjadi sebuah sudut pandang yang berbeda
dan menghasilkan solusi ijtihadi yang berbeda pula. Disinilah dibutuhkan sebuah
kearifan dan kedalaman ilmiah dalam mensikapi perbedaan seperti ini sehingga
ruh musyawarah yang menjadi ciri kehidupan orang beriman tidak sirna karena
perbedaan pandangan dalam syarat menjadi ahli al-syûrâ.
Penulis sendiri sependapat dengan pihak yang membolehkan wanita menjadi
anggota majlis al-syûrâ, atau sekarang disebut dengan anggota parlemen, tetapi
dengan beberapa catatan:
Memiliki latar belakang pendidikan yang dapat mendukung tugasnya di
parlemen
Memiliki keberanian dan kecakapan menyampaikan pendapatnya
Menghiasi diri dengan adab dan akhlak islami
Menjaga diri dari pergaulan yang dapat menodai kepribadian seorang
muslimah
Tidak menyebabkan mudharat di rumah tangganya
134
Ibid, h. 244
"Kami tidak memberi jabatan kepada orang-orang yang memintanya dan tidak pula
kepada orang-orang yang berambisi padanya" (HR. Muslim)135
135
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Qalam, 1408 H/1987 M), cet. I j.12, h. 449
136
Abd al-Rahman bin Samrah bin Habib bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al-Qurasyi, masuk Islam pada Fath Makkah,
sahabat Nabi Saw, ikut perang Khurasan bersama Utsman bin Affan, ia juga pembuka Sajistan dan Kabul, pada th. 42 H, ia
pindah ke Sajistan, meninggal di Bashrah th. 51 H, lihat Ibnu Abdil Bar, al-Isti'ab Fi Ma'rifati al-Ashhab, op.cit., jilid 1, h.
252
137
Imam Muslim, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, op.cit., j. 12, h. 448
Perintah shalat dalam ayat ini sifatnya global kemudian Rasulullah Saw jelaskan bagaimana
pelaksanaannya dengan ucapan dan perbuatan beliau sebagaimana dalam hadits Rasulullah
Saw bersabda:
)ٛ (سٗآ اىجخبسٚ أصيَّٜ٘زٝ صي٘ا مَب سأ... قبه... ٌٔ ٗ عيٞ هللا عيٚ صيٜ اىْجْٚب ئىٞزذثْب ٍبىل أر
"Diceritakan oleh Malik bahwasanya ia telah datang kepada Rasulullah Saw … beliau
bersabda: … Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat" (HR. Bukhari)139
Contoh lain perintah Allah SWT yang bersifat global adalah perintah haji,140 sebagaimana
firman Allah SWT:
ٍ َِٞ َِ ٍِ ِْ ُم ِّو فَ ٍّح َعَِٞأْرٝ ظب ٍِ ٍش
ق َ َُ٘أْرٝ بط ثِ ْبى َس ِّح
َ ُم ِّوَٚك ِس َخبال َٗ َعي ِ َّْ اىَِٜٗأَ ِّر ُْ ف
"dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari
segenap penjuru yang jauh" (QS. Al-Hajj/22: 27)
Kemudian Rasulullah Saw menjelaskan bagaimana pelaksanaan haji dan beliau bersabda:
"Dari Jureij … berkata Jabir: saya telah melihat Rasulullah Saw melempar jumrah di atas
kendarannya pada hari nahar dan beliau bersabda: ambillah manasik kalian dariku karena
sesungguhnya aku tidak tahu apa bisa haji setelah tahun ini. (HR. Ahmad)141
Demikian pula dengan perintah musyawarah sebagaimana firman Allah SWT:
ِ َٗ َش
األ ٍْ ِشِٜبٗسْ ُٕ ٌْ ف
"dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu" (QS. Ali Imran/3: 159)
138
Dalam istilah ushul fiqh disebut mujmal (lafadz yang maksudnya tidak dapat ditentukan melainkan mesti ada yang
menentukannya), lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-'Araby, t.th), h. 131, lihat juga Abd Al-
Qadir Hasan, Ushul Fikh, (Surabaya: Al-Muslimun, 1971), cet ke-3, h. 54
139
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, op.cit., jilid I, h. 163, Kitab Adzan bab Adzan lil Musafir
140
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikh, op.cit, h. 131
141
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, (Mesir: Dar Al-Ma'arif, 1980), no 13899 (dalam Mausu'ah Hadits)
Ini yang dimaksud fleksibilitas Islam, karena ia meletakan kaidah-kaidah tetapi membiarkan
bidang yang sangat luas bagi sarana-sarana yang dapat mewujudkan kaidah-kaidah ini untuk
menyingkirkan kesulitan dari umat. Allah SWT menghendaki kemudahan dan tidak
menghendaki kesulitan.143
Allah SWT berfirman:
ُذ ثِ ُن ٌُ ْاى ُع ْغ َشٝ ُِشٝ ُ ْغ َش َٗالٞهللاُ ثِ ُن ٌُ ْاى
َّ ُذٝ ُِشٝ
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS.
Al-Baqarah/2: 185)
Namun demikian ia harus merupakan nilai yang tumbuh dari keimanan yang tertancap dalam
hati sanubari, Sayyid Quthub145 memberi komentar bahwa sebagai bentuk peraturan Islam
142
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 72
143
Ibid, h. 73
144
Imam Muslim, Shahih Muslim (Mausu'ah Hadits), no. 4358
145
Sayyid Quthub, Fi Zhilal Al-Qur'an, op.cit., jilid VII, h. 299, Sayyid Quthub, nama lengkapnya adalah Sayyid bin Haji
Quthub bin Ibrahim, lahir pada tahun 1906 di Kaha, Assyut, Mesir Selatan. Ia masuk Ibtida'iyah pada tahun 1912 dan lulu
pada tahun 1916 berhenti sekolah 2 tahun karena revolusi tahun 1919, sekolah menengahnya di Kairo, dan perguruan
tingginya di Dar al 'Ulum Kairo. Bergabung denga gerakan Ikhwanul al-Muslimin pada tahun …., Sayyid Quthub meninggal
dunia pada 22 Juli 1966 dengan hukuman mati. Diantara karangan beliau yang terkenal adalah al-'Adalah al-Ijtima'iyyah fi
al-Islam, Fi Dzilal Al-Qur'an, Nahwa Mujtama'. Lihat Ahmad Barmawi, 118 Tokoh Muslim Genius Dunia, op.cit, h. 41
146
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi. op.cit., h. 12-13
147
Abu Abdillah Al-Farisi al-Romhurmzi al-Ashbahani, orang pertama-tama masuk Islam dari Persia, sahabat nabi dan
menjadi pembantu Rasulullah Saw, ia adalah yang mengusulkan membuat parit pada perang Khandak, wafat th. 34 H, lihat
al-Shafdli, al-Wafi bi al-Wafiyat (Mauqi'ul Warrak: Maktabah Syamilah), jilid 5, h. 99
148
Shafiyu al-Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, op.cit., h. 390
149
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit, h. 73
150
Sufyan bin Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badar al-Fauzari, masuk Islam sebelum Fathu Makkah, dan ia ikut
Fathu Makkah, lihat Ibnu Abdil Bar, al-Ishti'ab Fi Ma'rifati Ashhab, op.cit., jilid I, h. 387
Mereka lalu pulang untuk berbicara dengan para tetua mereka. Kemudian setelah itu mereka
kembali menemui Rasulullah Saw dan memberitahukan bahwa mereka telah berbaik hati dan
merelakan semuanya.153 Dari sini dapat dimengerti bahwa kaum muslimin tidak terikat
dengan cara bagaimana pelaksanaan musyawarah itu atau berapa jumlah ahli al-syûrâ.
Dengan demikian terbuka bagi akal manusia untuk menggunakan sarana-sarana modern
dalam pelaksanaan musyawarah dan anggota majlis al-syûrâ. Boleh menggunakan jalan
pemberian suara secara rahasia yang melibatkan semua umat Islam yang telah dewasa dan
sehat mental, dengan berbagai sarana yang belum ada di masa lalu.
Pemberian saran dapat melalui dua majlis:
a. Majlis terpilih melalui pemilihan langsung dari masyarakat
b. Majlis lain yang ditentukan dari penguasa, mencakup ulama, teknokrat dan kaum
professional. Majlis ini berperan memberi saran teknis kepada majlis al-syûrâ tanpa
memaksakan atau campur tangan dalam urusan Negara. Sebab para anggota majlis rakyat
banyak dihadapkan pada masalah-masalah teknis operasional yang tidak menjadi bidang
keahlian mereka, seperti menyetujui perjanjian hukum atau pembangunan proyek nuklir,
atau masalah operasional apapun, atau proyek yang membutuhkan adanya pandangan
yang bersifat masukan teknis khusus atau tidak.
Karena ilmuan atau pakar di bidang tertentu tidak memiliki waktu cukup untuk
menggeluti politik atau berkomunikasi dengan masa agar mereka memiliki basis rakyat
yang dapat menyambungkan mereka dengan majlis al-syûrâ yang terdiri dari majlis rakyat
terpilih dan majlis teknik operasional yang dengan demikian menggabungkan antara basis
masa rakyat dengan keahlian ilmiah dalam satu waktu, tidak merugikan salah satu dari
keduanya dengan mengorbankan yang lain.154
151
Ibnu Katsir, Sirah Ibnu Katsir, op.cit., jilid 3, h. 668, Shofiyu al-Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, op.cit., h.
556
152
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, op.cit., jilid 3, h. 145
153
Ibid
154
Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 74
Kembalikan kepada nash-nash yang substansinya sesuai dengan persoalan yang dihadapi,
jika tidak terdapat, maka kembalikan kepada prinsip umum dalam manhaj dan syariah.156
Inilah diantara keistimewaan manhaj Allah SWT, di satu sisi membimbing dan
melindungi manusia dan di sisi lainnya ia memuliakan dan menghargai manusia serta
menjadikan akalnya pada kedudukan untuk bekerja dalam manhaj, kedudukan untuk
bekerja dengan sungguh-sungguh (berijtihad) dalam memahami nash-nash (dalil-dalil)
yang ada dan berijtihad untuk mengembalikan hal-hal yang tidak ada dalilnya kepada
dalil dan prinsip umum dalam agama.157
Penulis melihat salah satu hikmah perintah mengembalikan persoalan kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya disaat terjadi perbedaan pandangan adalah agar para ahli al-syûrâ dapat
terhindar dari hawa nafsu yang mendorong untuk mencari menang sendiri dan bukan
solusi yang terbaik. Oleh karena itu dalam penutup ayat tersebut iman menjadi
persyaratannya.
155
Ibnu Katsir, Sirah Ibnu Katsir, op.cit, jilid 2, h. 198
156
Sayyid Quthub, Fi Zhilal Al-Qur'an, op.cit, h. 691
157
Ibid
Ketika Allah SWT memerintahkan kepada pemimpin untuk berlaku adil terhadap rakyat,
Allah SWT juga memerintahkan kepada rakyat untuk mentaati pemimpin. Oleh karena itu
Ali bin Abi Thalib berkata: Kewajiban pemimpin adalah menegakkan hukum yang
diturunkan oleh Allah SWT dan melaksanakan amanah. Bila hal itu sudah ditegakkan maka
kewajiban rakyat adalah mendengar dan mentaati pemimpin.159
Tentu saja kewajiban mentaati pemimpin tersebut selama kebijakan, keputusan ataupun
tuntutannya tidak bersebrangan dengan ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh karena
ituu lafadz "Athi'u" disebutkan pada lafadz Allah SWT dan Rasul Saw tapi tidak disebut
pada uli al-Amri, mengandung makna, kepatuhan kepada uli al-amri kepatuhan bersyarat
yaitu selama uli al amri tetap dalam koridor hukum Allah SWT dan Rasul-Nya.160
Rasulullah Saw bersabda:
)ٛ اىَعشٗف (سٗآ اىجخبسٚ اَّب اىطبعخ ف:ٌٔ ٗعيٞ هللا عيٚ صيٜ هللا عْٔ قبه اىْجٜ سظٚعِ عي
"Dari Ali ra. Telah bersabda Nabi Saw: "Sesungguhnya ketaatan itu hanya berlaku pada
kebaikan (HR. Bukhari).161
J. Kesimpulan
1. Musyawarah merupakan salah satu perintah Allah SWT yang sangat mendasar dalam
berbagai skala (dalam keluarga, masyarakat, dan negara)
2. Lingkup musyawarah adalah semua urusan yang terkait dengan kehidupan manusia
yang belum ada nash Qathie
3. Hasil musyawarah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ilahi
4. Ahli al-Syura/Ahlu al Halhi wa al-Aqli/Ahlu al-Ikhtiyar adalah para pakar
dibidangnya para politisi, para komandan militer, yang beriman dan takwa kepada
Allah SWT.
5. Musyawarah merupakan urung rembug para ulama, para pemimpin dan para pakar
membahas suatu atau berbagai masalah secara serius dengan tujuan memperoleh jasa
158
Diriwayatkan oleh Imam BUkhari dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun pada Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin 'Adi
ketika Rasulullah Saw mengutusnya dalam sariyah… lihat M. Nasib al Rifa'i, Tafsir al-'Aliyi al-Qadir Likhtishar Tafsir Ibnu
Katsir, (Riyad: Maktabah al-Ma'arif, 1988), cet. Ke-5, jilid 1, h. 404
159
Fakhruddin al-Razi, al Tafsir al-Kabir, op.cit., jilid 10, h. 115
160
Sayyid Quthub, Fi Zhilal Al-Qur'an (Beirut: Dar al-Syuruq, 1980), cet. Ke-9, jilid 2, h. 691
161
Imam Bukhari, Shahih Bukhari (Al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2004), Kitab al-Ahkam, bab al-Sam'i wa al-Tha'at li al-Imam
Ma lam takun ma'shiyah, jilid 4, h. 360
Abstrak
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang telah dipilih oleh semua negara di dunia,
Indonesia sebagai negara yang banyak penduduk muslimnya, dermokrasi yang didasarkan pada
Pancasila, tentu dalam menerapkan demokrasi akan dipengaruhi oleh agama yang dianut, dan
nilai-nilai Pancasilan tersebut, akan tetapi Islam sangat mengedepankan kepada keadilan dan
kebenaran sehingga tujuan dari tulisan ini adalah mengkaji bagaimana sebenarnya Islam dan
Demokrasi dalam perspektif fiqh siyasah yang nantinya akan dikembangkan menjadi model
demokrasi berketuhanan Yang Maha Esa
1. Pendahuluan
Demokrasi sudah dikenal pada zaman Yunani kuno dengan sebutan direct
democration yang dipraktekkan di negara kota (city-state). Sebagaimana yang dipahami,
bahwa di negara kota ini hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan
secara langsung tanpa melalui mekanisme perwakilan yang dilakukan sekelompok orang.
Demokrasi berdasarkan konstitusi atau demokrasi konstitusional (constituonal
democracy) adalah sebuah frasa yang hadir dengan sejarah sangat panjang. Di zaman
kekaisaran Romawi kata constitution mula-mula digunakan sebagai bahasa teknis untuk
menyebut the acts of legislation by the Emperor.3
Demokrasi konstitusional adalah pemerintahan yang kekuasaan politik dan
kekuasaan pemerintahannya dibatasi oleh konstitusi. Dalam penegrtian itu Almon Leroy
memiliki dua subtansi esensial, yaitu a constitutional and a democratic ingredient. Lebih
jauh Almon L. Way, menjelaskan bahwa the contitutional ingredient of modern
constitutional democracy is called “contitutionalism” or “constitutional goverment.”
Sementara itu, the democratic ingredient of modern contitutional democracy is
representative democracy and relates to: who holds and exercises political authority, how
political authority is acquired and retained, and siqnificance of the latter or regards
1
Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di
Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi danb Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas hukum UI, 2004, hal. 2
2. Metode Penelitian
Tulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan data
sekunder dari berbagai literatur dan jurnal, makalah serta berbagai tulisan yang berkaiatn
dengan judul yang akan dikaji. Setelah data terkumpul maka akan dianalisis dengan
menggunakan teori yang ada dan akan disajikan dengan pendekatan kualitatif.
3. Hasil dan Pembahasan
Pengertian demokrasi secara harfiah sudah tidak asing lagi, hampir sebagian
besar umat manusia dimuka bumi ini telah menggunakan dan menghayati demokrasi
ini. Istilah-istilah demokrasi berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan krata.
Demos artinya rakyat, sedangkan Krata artinya pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah:
4
http://www.proconservative.net/CUNAPo/Sci201PartTWOA.shtml, diakses 25 September 2012
5
Lailah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Palanta, t.th) hlm.116
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma‟afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
ََّ ََُِۡصَِ ٰۡةَ ََأَمۡ ُزُُمۡ َُۡ َر ٰى بَ ۡظنَُُمۡ ََ ِم هما َرس َۡقنَ ٰـهُمۡ ُُن ْ ُْۡ لِ َزب ِىُمۡ ََأَقَا ُم
ْۡ ٱل ه ْ ٱََۡ َجاب
ۡ َََٱله ِذُن
Menurut Muhammad Iqbal, dari segi prinsip, konsep syura itu berasal dari
Allah swt. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan demokrasi
adalah konsep ciptaan manusia yang lahir dari Barat. Adapun dari segi aplikatif,
pelaksanaan demokrasi tidak terlepas dari budaya Barat yang beberapa hal dalam
beberapa sisi jelas berbeda dengan nilai ajaran Islam. meskipun tidak ada
perbedaan yang principal antara Syura dan Demokrasi, tetapi apabila dilihat lebih
jauh dalam praktik demokrasi yang dilakukan di negara-negara Barat maka perlu
diberi catatan agar tidak segera mengidentikkan syura dengan demokrasi.
Bagaimanapun kedua hal tersebut merupakan dua konsep yang berbeda, baik
secara prinsip maupun aplikatif.
Islam, menurut Iqbal, jelas menolak segala bentuk otoritarianisme dan
1. Kekuasaan majelis syura dalam Islam terbatas sejauh tidak bertentangan dengan
nash. Sementara demokrasi yang menekankan kekuasaan mutlak manusia tidak
mempunyai batas yang boleh dan tidak boleh dimusyawarahkan, sejauh anggota
dan masyarakat menghendaki.
2. Hak dan kewajiban manusia dalam syura dibatasi oleh kewajiban sosial dan
agama. Sedangkan dalam demokrasi, kebebasan manusia berada diatas segalanya.
3. Syura dalam Islam ditegakkan atas dasar akhlak yang berasal dari agama,
sementara demokrasi modern berdasarkan suara mayoritas.
Islam yang merupakan agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia
tentunya akan memegang peranan yang besar dalam praktek berdemokrasi. Adapun
sistem pemerintahan yang pernah dipraktekkan dalam Islam sangat terkait dengan
kondisi konstektual yang dialami oleh masing-masing umat. Dalam rentang waktu
yang sangat panjang sejak abad ke 7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah
mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan
khilafah (khilafah berdasarkan syura dan khilafah monarki), imamah, monarki dan
demokrasi, sistem tersebut adalah:
1. Sistem Pemerintahan Khilafah
6
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Prenada Media Grup,
5. Demokrasi
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan
penting pemerintah di belakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung atau
tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas
masyarakat dewasa yang berada dalam posisi diperintah.
6. Monarki
Monarki adalah sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dimana yang
berhak menggantikan sang raja adalah keturunannya. Rakyat tidak memiliki hak
untuk menggantikan kekuasaan.7
b. Demokrasi di Indonesia
7
Mujar Ibnu Syarif, Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta:Erlangga, 2008, hal.
219.
Dikutip dari majalah Repulika on line bahwa Menteri luar Negeri Retno LP
Marsudi pada acara Bali Democracy Forum (BDF) IX di Nusa Dua, Kamis
(8/12/2016)" mengatakan bahwa Demokrasi dan Islam di Indonesia menjadi aset
pluralisme dunia." Banyak sekali negara membahas tentang Islam dan demokrasi
yang ada di Indonesia, sehingga Islam dan Demokrasi di Indonesia menjadi aset
dunia karena banyak negara selalu membahas keduanya dalam berbagai forum
demokrasi. Di Indonesia, kehidupan berdemokrasi tercermin dengan adanya situasi
dan suasana nyaman di mana semua orang bisa menyampaikan pendapat dan
pengalaman masing-masing. Sejak berabad lalu agama memainkan peran penting
bagi kehidupan manusia, sosial, ekonomi, dan politik di tatanan nasional, regional dan
global, hal ini dikatakan oleh Presiden Joko Widodo juga dalam acara tersebut.
Selanjutnya Presiden juga mengatakan bahwa selain agama, budaya dan toleransi
menjadi benang merah yang mempersatukan dunia yang berbeda. "Pemerintah perlu
aktif mendorong sinergi agama, demokrasi, dan toleransi di mana semuanya
terefleksikan dalam kebijakan nasional," kata Jokowi. Caranya adalah dengan
melakukan pendekatan top down, baik itu terkait praktik good governance, supremasi
hukum, dan demokrasi di tingkat akar rumput. Jokowi meyakini bahwa seluruh
negara di dunia sepakat akan pentingnya arti demokrasi bagi kehidupan bernegara,
serta hubungan antarnegara di dunia. Selanjutnya beliau juga mengatakan "Tugas kita
semua adalah memastikan bagaimana demokrasi berjalan baik, mendukung stabilitas
dan perdamaian, serta mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat," katanya. Mantan
Sekretaris Jenderal PBB 1997-2006, Kofi Annan mengatakan dirinya percaya bahwa
8
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/08/ohupuq359-islam-dan-demokrasi-di-
indonesia-jadi-aset-dunia
9
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 21.
10
Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), 40.
11
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah,..., hal. 21.
Demokrasi Berketuhanan yang Maha Esa ini dapat diwujudkan dengan cara
mengembalikan semua keputusan yang diambil oleh rakyat berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sila Pertama dari Pancasila ini harus menjadi dasar dalam
berdemokrasi karena jika tidak didasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa bisa
menimbulkan kedaulatan yang bebas, absolut, tidak terbatas dan akan mengakibatkan
tidak ada lagi kontrol terhadap demokrasi yang dijalankan. Demokrasi Pancasila yang
merupakan demokrasi negara Indonesia harus dibangun dan didasarkan pada lima sila
akan tetapi pada awal dari kelima dasar tersebut adalah sila Ketuhanan Yang Maha
Esa. Oleh sebab itu jika kedaulatan rakyat tidak didasarkan pada sila pertama, maka
demokrasi menjadi tidak ada pegangan.
Dengan demikian model dari demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa antara
lain adalah:
1. Menjunjung tinggi agama yang dianut oleh pelaku demokrasi dalam bernegara
dan berdemokrasi
2. Menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan karena Allah itu Maha Benar dan
Maha Adil, maka pelaku demokrasi harus selalu membela kebenaran dan
mewujudkan keadilan bagi masyarakat secara keseluruhan.
12
Imam al-Ghazali, Al-Iqtishad fil „Itiqad, cet. 1988 , hal. 147
4. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka Dalam Islam ada pembatasan terhadap demokrasi karena
Islam sangat menjunjung tinggi nilai Ketuhanan sehingga demokrasi yang dimaksud
harus demokrasi yang berlandaskan pada kebenaran yang berasal dari Allah bukan
dengan kedaulatan manusia. Model demokrasi berketuhanan Yang Maha Esa harus bisa
diterapkan di Indonesia dengan menjunjung tinggi sila pertama dari Pancasila pelaku
demokrasi harus tetap bersandar pada agama karena agama menghendaki kepada
kebaikan manusia secara keseluruhan bukan kepada sebagian oreang atau golongan.
5. Daftar Pustaka
Abstract:
Muslim don’t like democracy or Islam isn’t compatible with democracy, that what is often
spewed by some of Islam’s biggist critics. But look at the picture–a world where much of the
Muslim population lives whithin democratic countries and most Muslims support democracy
prove otherwise. Islam with its misson for human being goodness here and after should not in
comparing with democracy, the first as distinguish civilatation, and the second as path of another
civilatation.
The aim of this paper to disclose some complicated issue of Islam and Democacy, especially how
it point of view in toch with democracy, political system and goverment, and people authority and
so on.The Islamic political system of the country consist of tree componen; Charectristic ,
media/tool, goal. In the chracteristic of Islamic politcal system much semilar with democracy
syistem such as peopel authority, oppositin legitimate,etc. When we talk abaut the tool/media of
this system we have As Syura system which mean freedom which its all variaties, expression,
religion, and politic. The last goal of this Islamic political system is how to achieve justice which
is considered as the main gool of islamic message and vision.
Accountabilitas, Keadilan, As Syura, legal, kebebasan, HAM
Pendahuluan
Demokrasi dan Islam sebuah discourse yang tidak pernah selesai baik ditingkat local maupun
internasional, lebih-lebih pasca tumbangyanya Arab Spring 2012 yang lalu, yang semakin
memperkuat argumenbahwa dunia Arab dan Islam tidak bisa menganut system demokrasi seperti
dunia Barat yang mengklaim sebagai Negara pengusung dan penganut system demokrasi.
Media masa barat dan sekuler turut memberikan andil besar dalam membangun image tersebut,
sebagai contoh ketika Pilkub DKI 2017 dimenangkan oleh Paslon yang beragama Islam melawan
Paslon yang beragama Kristen, CNN dan BBC pada tgl 20 April 2017 dalam siaranya
menyebutkan bahwa kaum konservativ dan radikal Islam telah menang melawan klompok pro
demokrasi di ibukota sebuah Negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar dunia.
Ketika kelompok Islamis semakin menunjukkan kiprahnya dalam percaturan politikakhir akhir
ini, dan berhasil memperoleh dukungan yang cukup siqnikan dalam pemilu, fenomena ini
menjadi perhatian besar di sejumlah mediadan lembaga penelitian, mengenai hal ikhwal korelasi
Islam dan demokrasi, ditambah dengan segudang kebijakan politik dibeberapa Negara yang
mengkaitan Islam dan kaum Muslimin dengan teroris, Isis, Tandhimul Kaidah,dll.
Dari ribuan hasil studi dan penelitian selama ini, lembaga riset dan studi yang menyimpulkan
bahwa Islam anti demokrasi, jauh lebih dominan dibandingkan dengan yang
menyatakansejalandengan demokrasi.Persepsi negative mereka terhadap Islam dapat kita
1
Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di
Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Dosen pada Program Studi Pendidikan Agama Islam - Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam As Syafiiyah.
3
. Fahmi Huwaide (Al IslamWa Demokratiyah)Maktabah El Ahram li tarjemah wannasyr, Cairo pg.95
4
. Jun l Asbusito, James. Biskatori (Al-Islam Wa demokratiyah)Midle Est Journal, volume 3,pg 45.
5
. Fahmi Huwaidi (Al Qur‟an Wassultah)Maktabah El Ahram li tarjemah wannasyr, Cairo pg.65
6
. Al Baghdadi (Usuluddakwah) pg 279
7
. Dr.Muhammad Yusuf Musa (Nidhomil Hukmi fil Islam) pg 124
88
. Dr.Muhammad Yusuf Musa (ibid)pg. 116
9
. Abu Hamid Al Ghazali (Ihya‟ Ulumuddin) Juz 2, pg 306
10
. Dr. Mustafa As Sibaii (Min Rawaee Hadaratina) pg 115.
11
. Muhammad Asad (Manhajul Islam Fil Hukmi) translating Moh. Mansur Madhi, pg. 19
12
. Dr.Sayyid Mustofa (Huququl el Insan fil Islam) pg.24 Teheran
13
. Dr. Muhammad Salim El Awa (Finnidham siyasi liddaulah Islamiyah) pg.251
4. Persamaan/ kesetaraan.
Islam memandang manusia berasal dari nabi Adam sebagai pertama semua manusia dan
diciptakan dari jenis yang sama pula, setiap manusia memiliki perlindungan dan kemulian yang
diakui oleh Alquran, tanpa melihat ras dan agamanya, seperti yang telah disampaikan Oleh
Rasulullah pada haji wada‟, mengenai kesatuan asal dan penciptaan manusia. Dalam Alquran
disebutkan: QS Alhujurat 13.
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ayat diatas secara tersurat ditujukan pada seluruh ummat manusia, dalam hal ini komentar
Mohammad Izzah Daruzzah menyebutkan: Dari ayat tersebut dimaksudkan tidak boleh
mengakui adanya perlakuan diskriminatif pada manusia mesti apapun landasanya.Kelebihan
manusia pada hal ketaqwaan seperti yang disebutkan sebenarnya tidak merusak pada prinsip
kesamaanya, karena ukuran taqwa tersebut hanya ada di akhirat bukan di dunia, di mata Allah
bukan di mata manusia, kelebihan dalam hal taqwa tidak berdampak dalam implementasi kiadah
syareah atau prinsip kesetaraan dalam undang-undang negara.(15) Prinsip kesamaan yang telah
dikenal oleh semua orang dewasa ini, seharusnya tetap ada dalam ingatan disaat Islam pertama
kali menyebarkan konsep ini sejak 14 abad yang lalu, pada saat itu negara Syam yang berdekatan
dengan jazirah arab menganut ajaran Romawi, sesuai dengan ajaranya manusia di bagi menjadi
dua: Pertama kaum yang merdeka, yang kedua kaum hamba sahaya; yang pertama dibagi dua
lagi; kaum yang merdeka penuh mereka dari keturunan Romawi, dan merdeka tidak sepenuhnya
dari keturunan Latin. Sedangkan kaum yang tidak merdeka terdiri dari 4 macam; budak asli,
budak yang di merdekakan, setengah merdeka, kelompok bumi.Dalam sejarah pemerintahan
Romawi hanya kaum yang merdeka asli yang memiliki hak politik, sedangkan kaum lainya tidak
memilikinya. (16) Hendaknya menjadi catatan, di masa Bani Abbasiyah ummat Islam banyak
mengambil dari tradisi klasik Romawi yang dianggap baik, namun tidak mengambil sdikitpun
14
. Dr. Muhammad Salim El Awa (Ibid) pg.190
15
. Dr. Muhammad Salim El Awa (Ibid) pg. 229.
16
. Dr. Makruf Addwalisi (Al Huquq Rumaniyah) pg. 464
17
. D. Ibrahim Dasuqi Sata (Ettadlil Demokrty) Jaridah el Hayat 20/7/92
18
. Ibnu Hazam al Andalusi (Atturuq Al Hakimiyah) pg.14
19
. Dr.Mohammad Thoha Badawi (Bahs Finnidam syiyasi Islami) pg. 127
20
. Dr.Taufiq Syadi (Fighu syura wal istisyarah) p.459
21
. Fahmi Huwaidi (Ibid)pg. 116
22
. Fahmi Huwaidi (Ibid)pg.
23
. Mohammad Assad (Ibid) pg.89
24
. Dhohir Al Qosimi (Nidhomil Hukmi Fi syareahWattarekh Islamiyah) Juz1 pg. 85
Akuntabilitas pemerintah
Akuntabilitas pemerintah menjadi alat/media kedua dalam sistem politik Islam, masalah ini
bukan hanya saja hak ummat dalam mendukung atau menolaknya, namun lebih karena kewajiban
syariat yang akan dipertanyakan kelak di akhirat jika mereka lalai melakukanya.
QS: Hud 113
“Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah:
"(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah,
jika kamu memang orang-orang yang benar".
Dalam Hadits Rasulullah bersabda: Jika manusia melihat kedholiman namun tidak melakukan
sebuah tindakan, maka Allah tidak lama lagi akan menurunkan adzab bagi mereka.
Tugas ummat mengawasi pemerintah terus menerus, mereka perlu menegakkan amar makruf nahi
munkar, memiliki hak bermusyawarah, dan memberi nasehat, mereka sebagai pihak pertama
yang menganggkat seorang imam,karenanyamemiliki hak berkuasa dan memperpanjang
kekuasaanya, dia hanya wakil dari ummat dan ummat berhak mempertanyakan kinerjanya.(26)
Kholifah Abu Bakar menyadari hal tersebut sehingga ketika beliau dilantik langsung
mengumumkan pada ummatnya sebagaimana berikut:
Aku menjadi pemimpin kalian dan aku bukanlah yang terbaik diantara kalian, jika aku berbuat
baik maka dukunglah, dan jika berbuat salah maka luruskanlah. Umar bin Khattab dalam maksud
yang sama didepan ummatnya menyatakan: Bagi mereka terhadap Umar hak taat yang sesuai
dengan perintah Allah, dan bagi Umar terhadap mereka hak memberikan nasehat meskipun
menyakitkan umar. Pada suatu hari umar bin Khaatab meminta mereka agar menunjukkan
kekeliruanya; Salah satu diantara mereka berkata; demi Allah andaikan aku mendapatkanmu
dalam kekeliruan niscaya aku akan luruskan dengan pedangku, Umar bin Khattab menjawab
25
. Syaikh Mahmud Syaltut (Islam,akidah wa syareah )pg.440
26
. Dr.Mohammad Bahauddin Arrayies (an nadzariyah siyasiyah Islamiyah)pg.339
27
. Dr.Taufiq As Syadi(Ibid)pg. 331
1
Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di
Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Mahasiswa Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum UIA Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA).
3
Kompas, Edisi: 20 Juli 2017
4
Republika, Edisi 20 Juli 2017
5
Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen, Editor: Amir, 2008, Trans Wacana, Hal. 11
6
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, 2000, Yogyakarta, UII Press, Hal. 1
7
Ibid, hal. 27-28
8
Yusril Ihza mahendra, Ensiklopedia Pemikiran Yusril Ihza Mahendra Buku IV, Editor Hafidz Abbas dkk, 2016, Jakarta,
Pro Deleader, hal. 240-241.
9
Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, 2016, Jakarta, Konpress, hal. 187
10
Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, 2011, Jakarta, Kencana,hal. 169.
11
Ibid, hal. 170.
12
Ibid, hal. 171.
13
Ibid, hal. 189.
14
Ibid, hal. 190
15
Damrah Mamang, Jurnal Veritas, September 2016, Jakarta, Program Pascasarjana Ilmu Hukum UIA, hal. 21-22.
16
Thahir Azhary dalam Nimatul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan MK, 2011, Jakarta,FH UII Press
Hal. 2.
17
Ibid, Hal. 3.
18
Ibid, Hal.4
19
Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen, 2008, Jakarta, Trans Wacana, Hal. 11-13
20
Zainal Arifin Hoessein, Hukum dan Dinamika Sosial, 2014, Jakarta, CV. Ramzy, hal. 280.
21
Abdul Ghofur,Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, 2002, Yogyakarta Walisongo Press dan Pustaka
Pelajar, hal. 3-6.
22
Ibid, Hal.6
23
Ibid, hal. 6
24
A. Ahsin Thahry, Hak Konstitusional dalam Hukum Tata Negara Indonesia, 2016, Jakarta, Erlangga, Hal. 155-17
25
Kompas, 22 April 2017.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, Studi atas
Pemikiran Gusdur, 2002, Yogyakarta,Walisongo Press dan Pustaka Pelajar.
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, 2000, Yogyakarta, UII
Press.
A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional Dalam HTN, 2016, Jakarta, Penerbit Erlangga.
Artidjo Al-Kostar, Negara tanpa Hukum, Catatan Pengacara Jalanan, 2000,
Yogyakarta,Pustaka Pelajar.
Damrah Mamang, Mewujudkan Negara Hukum Demokratis Konstitusional Berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, Jakarta, Jurnal Veritas, Edisi September, 2016.
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 2000, Bandung, Mizan.
Frans Magnis Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, 1995,
Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama.
Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, 2016, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.
Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam, 2015, Depok Gema Insani.
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, 2008, Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan MK.
M. Sally Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Edisi 2, 2011, Jakarta, Soft Media.
Makmur Amir, dan Reni Dwi Purnowati, Lembaga Perwakilan Rakyat, 2005, Jakarta,
Pusat Studi HTN FH UI.
Oleh: Ahmad Baihaki, S.H.I, M.H, Adi Nur Rohman, S.H.I., M.Ag, dan
Rahmat Ferdian Andi Rosidi, S.H.I, M.H.2
Abstrak
Islam dan demokrasi ibarat sisi koin mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan apalagi
dipertentangkan satu dengan lainnya. Prinsip musyawarah yang tertuang dalam nash al-Qur’an
untuk menyelesaikan suatu perkara, merupakan asas penting dalam demokrasi. Belum lagi prinsip
demokrasi yang menekankan adanya prinsip kesamaan juga mengonfirmasi adanya keselarasan
dengan prinsip Islam. Namun kini yang menjadi tantangan dalam praktik demokrasi di berbagai
belahan negara, termasuk di Indonesia tentang dorongan adanya praktik demokrasi substansial.
Demokrasi yang tidak terjebak pada sisi prosedural an sich namun harus memperhatikan sisi
substansial yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi publik. Islam sebagai ajaran
agama yang universal mengatur hubungan masyarakat dan pemerintah dalam bingkai demokrasi
seperti perumusan kebijakan publik. Partisipasi publik dalam sistem demokrasi menjadi unsur
penting dan elementer. Keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan publik akan mendekatkan
produk kebijakan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi publik. Indonesia harus mampu
mewujudkan suatu sistem politik pemerintahan yang memberi ruang bebas kepada warga negara
untuk beraspirasi di ruang publik yang bersifat bebas, terbuka dan transparan. Diskusi-diskusi
publik seyogyanya mendapatkan ruang terbuka dalam kehidupan bernegara demi tercapainya
kebijakan publik yang asppiratif. Walhasil, terdapat titik temu antara demokrasi deliberatif dan
Islam dimana keduanya meletakkan prinsip musyawarah untuk mufakat sebagai pemikiran dasar
dalam pengambilan keputusan.
1. Pendahuluan
Isu demokrasi kini telah bergeser tidak lagi dalam taraf pertentangan antara demokrasi
dengan sistem politik lainnya. Karena di berbagai belahan dunia, demokrasi telah menjadi sistem
yang dipilih dalam mengelola sebuah negara. Fenoemana Arab Spring beberapa tahun lalu
menjadi salah satu contoh, gelombang demokrasi juga menyasar ke negara-negara di Timur
Tengah.
Meski tidak dimungkiri, belakangan ada gugatan atas perjalanan demokrasi di berbagai
negara. Tawaran sistem dalam pengelolaan bernegara juga bermunculan sebagai sistem antitesa
dari demokrasi yang dinilai tidak sesuai dengan apa yang diidealkan seperti medium untuk
mensejahterakan masyarakat. Alih-alih demokrasi menjadi cara untuk menghadirkan kebijakan
yang pro publik, demokrasi justru menjadi alat legitimasi pada tirani mayoritas.
1
Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di
Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya,
Email: adi.nur@dsn.ubharajaya.ac.id, rfar.jember@gmail.com
2. Demokrasi Indonesia
Secara etimologis, demokrasi (dari bahasa Yunani) adalah bentukan dari dua kata demos
(rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan) yang secara umum istilah demokrasi
diartikan sebagai sebuah bentuk pemerintahan rakyat (government of the people) dimana
kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan secara langsung oleh rakyat atau
melalui para wakil mereka melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung secara bebas.
(Ubaidillah dan Abdul Rozak, 2003: 66). Demokrasi dikembangkan untuk menumbuhkan
partisipasi rakyat, bukan partisipasi seseorang atau kelompok. Peran rakyat (baca : publik) lebih
dihargai karena berperan penting dalam mengambil keputusan untuk kepentingan publik. Sebut
saja, dalam menentukan seorang Kepala Daerah, Bupati, Gubernur, dan Presiden sebagai kepala
negara dalam system demokrasi harus dipilih oleh rakyat. (Jailani, 2015: 136).
Berkaitan dengan pemerintahan rakyat, ada trademark yang sangat terkenal sampai saat ini
yang dinyatakan oleh salah satu presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, presiden Amerika
Serikat yang ke 16. Presiden Amerika tersebut menyatakan bahwa demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mengacu kepada pernyataan tersebut di
atas demokrasi diakui banyak orang dan Negara sebagai sebuah system nilai kemanusiaan yang
paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari system lainnya (Gadug
Kurniawan, 2015: 97)
Perubahan Indonesia menuju demokrasi, menurut Azyumardi Azra (dalam Ubaedillah, 2003:
xiii) adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Setelah kekuasaan orde baru di bawah
Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, Indonesia tercatat di antara negara dalam gerbong
yang disebut banyak ahli sebagai the third wave of democracy (gelombang demokrasi ketiga)
yang terjadi pada dasawarsa 1990-an. Gelombang demokrasi ini ditandai dengan meningkatnya
jumlah negara-negara yang secara formal menganut sistem demokrasi.
Azra (2002: 8) menilai bahwa perkembangan Indonesia menuju demokrasi dalam tiga tahun
terkahir ini agaknya tidak mungkin lagi dimundurkan (point of no return). Perubahan Indonesia
menuju demokrasi jelas sangat dramatis, dan Indonesia mulai disebut-sebut sebagai salah satu
demokrasi terbesar. Perubahan Indonesia menuju demokrasi tidak bisa lain mengikuti
kecenderungan pertumbuhan dramatis demokrasi pada tingkat internasional secara keseluruhan.
Meskipun demikian, demokrasi murni (Barat) bukanlah sistem yang tepat bagi bangsa
Indonesia. Terdapat perbedaan yang mendasar dalam kultur dan budaya masyarakat Indonesia
4. Al-„Adalah, adalah konsep keadilan yang berintikan kepada pemenuhan hak-hak manusia
sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat. Allah berfirman dalam Surat al-
Ma’idah (5) ayat 8:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
5. Al-syura, musyawarah, dimana setiap warga masyarakat berhak atas partisipasi dalam
urusan publik yang menyangkut kepen-tingan bersama. Dalam hal ini mengutamakan
prinsip musyawarah sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Syura (42) ayat 38:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
6. Al-Mas‟uliyyah/responsibility, prinsip pertanggungjawaban yang dipikul oleh setiap
pemegang kekuasaan. Perlu dipahami bahwa kekuasaan merupakan amanah yang harus
diwaspadai dan bukan nikmat yang harus disyukuri. Khusus bagi penguasa, pengertian
amanah berarti fungsi ganda yakni amanat Allah dan amanat rakyat
Daftar Pustaka
Buku
Al-Jufri, Salim Segaf, dkk. 2004. Penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: PT.
Globalmedia Cipta Publishing.
Azra, Azyumardi. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi.
Jakarta: Kompas.
Budiardjo, Miriam. 2008.Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dahl,Robert A. Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat.
2001.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghofur, Abdul. 2002. Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia: Studi atas
Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hardiman, F. Budi. Demokrasi Dilberatif, Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam
Teori Diskursus Jurgen Habermas. Cet ke-5.2013.Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Huntington, Samuel P. 1983.Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang Berubah (Buku
Kesatu). Terj. Sahat Simamora dan Suryatim. Jakarta: CV Rajawali Pers.
Jurnal Tercetak
Malik, Maszlee. 2017. “Politik Islam (Siyasah Syar’iyyah) dan Demokrasi Parlementer di
Malaysia,” dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. XI, No.
1(Februari). Jakarta: INSIST
Shubhi, Tri, dkk. 2017. “Islam dan Negara: Perspektif Pak Natsir,” dalam Jurnal Pemikiran dan
Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. XI, No. 1. (Februari). Jakarta: INSIST
Jurnal Online
Jauhar, Najid. 2007. “Islam, Demokrasi, dan HAM Sebuah Benturan Filosofis dan Teologis,”
Jurnal Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Vol. 11, No. 1, (Juli). (hlm. 31-62)
Jailani, 2015. “Sistem Demokrasi di Indonesia Ditinjau Dari Sudut Hukum Ketatanegaraan,”
Jurnal Inovatif, Vol. VIII, No. I. (Januari)
Kurniawan, Gadug. 2015. “Kebebasan Sebagai Hakekat Demokrasi,” dalam Jurnal Inovatif, Vol.
VIII, No. I, (Januari).
Abstrak
Kajian antara Islam dan konstitusi negara selalu mempunyai ruang negosiasi dialektis yang
sangat fluktuatif. Hubungan antara Islam dan sistem negara dapat mengalami pasang surut yang
dipengaruhi oleh kebijakan rezim penguasa terhadap nilai Islam di dalam aturan ketatanegaraan.
Bagaimana konstruk Islam terhadap konstitusi di dalam kajian fiqih siyasah atau siyasah
syar’iyah nya, sehingga dapat menemukan titik temu teoretis di dalam praksis aturan
ketatanegaraan antara tujuan dari syari‟ah Islam dengan tujuan dari konstitusi negara di dalam
konsep negara-bangsa modern yang dalam pembahasan makalah ini menempatkan Mesir sebagai
obyek kajian. Mesir adalah negara dengan sistem republik presidentil parlementer dengan
populasi penduduknya berlatar belakang multikultur, plural, mengakui keberagaman keyakinan
dan sekte keagamaan yang didominasi oleh penganut Islam Sunni multivarian mazhab fiqih.
Kajian terhadap Mesir ini dapat menjadi perbandingan bagi negara-negara muslim modern
lainnya yang mempunyai kemiripan dari sisi hukum, sosial, politik, dan keagamaan. Tulisan ini
secara khusus menempatkan penggantian konstitusi Mesir tahun 2012 dengan konstitusi 2014
sebagai studi kasus dianalisa dari sudut pandang politik Islam global dengan menelaah lebih
dalam hubungan antara Islam sebagai sebuah keyakinan masyarakat dengan perkembangan
konstitusi yang notabene adalah sebuah perkembangan sosiologis yuridis dari tatanan masyarakat
negara-bangsa modern. Konstitusi Mesir 2012 dan 2014 menarik sebagai obyek studi dalam
kajian antara Islam dan konstitusi, karena di dalam penggantian tersebut mengandung perdebatan
antara kelompok Islam konservatif yang direpresentasikan oleh Konstitusi 2012 dengan
kelompok nasionalis sekuler yang dicerminkan di dalam kandungan konstitusi 2014.
1
Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di
Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Universitas Islam Negeri Yogjakarta,
Email: adiyulianto@yahoo.com
3
Muhammad Nur Farhat, Al-Dīn wa al-Dustūr fī Misr.
4
Mesir mengakui agama abrahamik (Yahudi, Nasrani, dan Islam) sebagai agama yang sah dengan memberikan
perlindungan kepada setiap pemeluknya, mengayomi hak-hak, dan mengakui partisipasi setiap pemeluk agama-agama
tersebut di dalam membangun dan mempertahankan kedaulatan negara.
Pendahuluan di dalam konstitusi Republik Arab Mesir..
Pasal ini menjadi kontroversial karena memberikan prioritas kepada kaedah pembuktian,
penentuan legalitas yang bersumber dari khasanah literaur Islam Sunni sebagai bagian dari aturan
negara. Hal ini dianggap mengabaikan nilai-nilai keberagamaan dari keyakinan lain untuk
berperan sejajar dengan kelompok Islam Sunni di dalam konstitusi. Selain itu, pasal ini juga
mendapat sorotan dari kalangan Islam moderat, termasuk dari institusi al-Azhar, karena dianggap
hanya mengadopsi sudut pandang Islam Sunni sehingga menutup akses sumber hukum dari
literatur kelompok Islam lainnya yang juga menjadi bagian diksi keumatan Islam dan kebangsaan
Mesir. Dari sudut kebahasaan, pasal ini juga menjadi bahan kritik karena bahasa yang digunakan
tidak sederhana dan terjadi pengulangan, karena sejatinya komponen Islam sebagai sumber
kaedah hukum negara telah dimuat di dalam pasal 2 konstitusi 1971 dalam amandemen tahun
1980 yang kemudian tetap diadopsi di dalam konstitusi 2012 yang berbunyi:
Terdapat anggapan bahwa pasal 219 merupakan masukan dari kelompok salafi/wahabi
yang ingin memasukkan dominasi Islam Sunni model Arab Saudi ke dalam sistem tata negara
Mesir. Pandangan tersebut dianggap oleh publik Mesir sebagai bentuk politik transaksional antara
pemerintah Mursi dengan kelompok Wahabi, karena pada pemilihan presiden Mei-Juni 2012
kelompok ini merupakan kantong suara yang diperhitungkan bagi pencalonan Mursi. Selain itu,
pemerintah Mursi dianggap negara-negara Barat bertanggung jawab atas merosotnya proses
perdamaian Israel-Palestina dengan memboikot jalur transaksi gas alam dari Mesir menuju Israel.
Tekanan politik terhadap pemerintahan Mursi, yang terpilih secara demokratis, semakin
meningkat baik dari berbagai faksi-faksi nasional, militer, kelompok agama minoritas, kelompok
Islam moderat, dan negara-negara Barat seperti Amerika yang terancam kepentingannya di
Timur-tangah dengan merenggangnya hubungan Mesir-Israel pasca terpilihnya Mursi. Keadaan
tersebut memicu kekacauan pada tingkat masyarakat bawah yang secara umum terbagi menjadi
dua kubu, kelompok pro presiden Mursi dan kelompok penolak Mursi yang didukung oleh
kelompok militer. Kepentingan internasional cenderung mendukung lengsernya Mursi yang
dianggap Barat sebagai kemunduran demokrasi Mesir karena terpilihnya presiden dari kelompok
Ikhwanul Muslimin yang dianggap radikal konservatif. Kondisi tersebut menjadi momentum baik
bagi kelompok militer untuk melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Mursi. Dewan militer
menunjuk Abdel Fattah al-Sisi sebagai calon presiden menggantikan Mohammed Mursi yang
digulingkan melalui kudeta.
Mengevaluasi konstitusi 2012 yang dianggap sektarian dengan mengabaikan hak-hak
kelompok minoritas, pemerintahan al-Sisi mengganti dengan konstitusi 2014. Terdapat beberapa
poin mendasar yang menjadi titik singgung antara konstitusi 2012 era Mursi dengan konstitusi
2014, diantaranya adalah tentang kekuasaan militer di dalam pemerintahan, masalah keagamaan,
sistem pemerintahan, hak-hak fundamental dan kebebasan berpendapat, serta kewenangan hakim
konstitusi. Dalam hal kemiliteran, konstitusi 2014 memberi ruang kepada militer lebih luas dalam
mengatur pemerintahan, termasuk melakukan pengadilan militer terhadap warga sipil yang
dianggap melakukan tindak kriminal terhadap militer dan negara (pasal 204 Konstitusi Mesir
2014). Dalam hal keagamaan, konstitusi 2014 menghilangkan pasal 219 dari konstitusi 2012 yang
dianggap sektarian dan mengesampingkan hak-hak keyakinan minoritas dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dari pembahasan historis perkembangan perubahan konstitusi Mesir dari tahun 1923, 1956,
1971, 2012 dan 2014, dapat diidentifikasi bahwa pembahasan antara Islam dan konstitusi negara
C. Pembahasan.
1. Konstitusi: Fungsi, Tujuan, dan Perkembangannya
Dalam bahasa Arab konstitusi dikenal dengan istilah dustur ()دستىر. Dustur adalah istilah
Persia yang berarti catatan yang merekam aturan kerajaan. Kata dustur adalah gabungan dari
kata dust yang berarti kaedah dan ur yang berarti pembuat kaedah tersebut. Kata dustur
mengalami proses arabisasi melalui perjumpaan dengan istilah Qanun yang juga berasal dari
Persia. Qanun ( )قبوىنadalah istilah berasal dari tradisi Yunani yang mengalami peresapan ke
dalam bahasa Persia yang berarti asal-muasal dari segala sesuatu. Kedua istilah tersebut, qanun
dan dustur, meresap menjadi istilah yang jamak digunakan dalam bahasa Arab secara berangsur-
angsur sejak era pemerintahan khilafah Abbasiyah (1261 M – 1517 M) yang banyak
menempatkan kalangan Persia muslim sebagai wazir dan juru tulis istana, khususnya dari klan
Baramak. Hingga saat ini penggabungan kata Qanun dan Dustur dengan awalan bentuk definitif
atau adawat al ta’rif (al) dan imbuhan (iy) di akhir kata (al-Qanun al-Dusturiy – )القبوىن الدستىري
sebagai bentuk sifat digunakan untuk menyebut konstitusi yang memuat aturan perundang-
undangan dasar sebuah negara yang memuat bentuk negara, sistem pemerintahan dan
kekuasaannya, mekanisme pembagian kekuasaan antara badan eksekutif yudikatif dan legislatif,
serta mengatur hak dan kewajiban warga negara.5
Thomas Paine mendefiniskan konstitusi sebagai :
5
Tawfiq Abd al-Aziz al-Sudairy, Al-Islām wa al-Dustūr, bentuk terbitan buku yang dirangkum dari tesis pada
Fakultas Syari‟ah, Universitas Al-Imam bin Sa‟ud, Riyadh, 1407 H. Hlm. 9 dan 25.
Dari definisi tersebut Paine menjelaskan bahwa konstitusi bukan hanya sebagai bentuk
formal sebuah aturan dasar yang mengatur bentuk, sistem, dan pembagian kekuasaan negara
semata, tetapi konstitusi merupakan sesuatu yang sudah ada sebelum adanya negara, adalah nilai-
nilai yang hidup dan menjadi kesepakatan bersama di dalam kehidupan masyarakat. Heller
menyatakan bahwa konstitusi bukan hanya diartikan sebagai naskah teks undang-undang dasar
suatu negara yang hanya bersifat yuridis, tetapi konstitusi juga mempunyai pengaruh timbal balik
dengan faktor sosiologis masyarakat di dalam negara. Telah banyak kajian yang membahas
fungsi dan tujuan konstitusi di dalam kehidupan bernegara yang di antaranya adalah untuk
mengatur pembagian kekuasaan setiap lembaga negara, menjamin hak-hak setiap warganegara,
mayoritas maupun minoritas, sebagai dasar hukum dari semua aturan perundang-undangan di
negara.
Konstitusi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang baku maupun yang fleksibel,
federal maupun kesatuan, sentralisasi kekuasaan maupun desentralisasi kekuasaan, berbentuk
republik maupun monarki, semuanya mempunyai tujuan memberikan kemaslahatan tertinggi bagi
kehidupan bernegara suatu bangsa. Untuk mencapai kemaslahatan bernegara tersebut sangat
mungkin konstitusi mengalami penangguhan, perubahan, penghapusan, penggantian yang dapat
terjadi berkali-kali, karena pembuatan konstitusi merupakan proses yang tidak ada akhirnya (an
open ended process). Perlu pengujian keberhasilan atau kegagalannya pada tingkat praktik yang
dapat terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang dan setiap negara memmiliki pengalaman
konstitusi yang berbeda. Semakin beragam identitas bangsa dalam satu negara, semakin
bervariasi motif dan landasan konstitusi yang diinginkan.7
Konstitusi diupayakan menjadi pijakan bagi aktor negara dalam menjawab berbagai
permasalahan yang timbul di masa-masa setelah penerbitannya. Persetujuan rakyat terhadap
sebuah naskah konstitusi menjadi landasan utama dalam mengesahkannya menjadi dasar negara,
tetapi tidak berarti bahwa naskah konstitusi harus mendapat persetujuan dari seluruh rakyat.
Adanya kelompok pro dan kontra terhadap isi sebuah konstitusi adalah keniscayaan
keberagaman. Persetujuan terhadap konstitusi dicerminkan dengan keikutsertaan di dalam proses
penerbitan baik yang dilakukan melalui wakil rakyat, maupun dilakukan secara demokratis
6
Lihat pada Hilaire Barnett, Constitutional dan Administrative Law,(New York: Routledge-Cavendish, 2006),
hlm. 6.
7
Abdullahi Ahmed An-Na‟im, „The Legitimacy of Constitution Making Process in the Arab World: An Islamic
Perspective‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press,
2016, 29.
8
Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‟a, (Harvard: Harvard
University Press, 2010), 86 – 88.
9
Ratno Lukito, „Islamic Law and Adat Encounter : The Experience of Indonesia‟, Tesis, Institute of Islamic
Studies, McGill University, Montreal, 1997.
10
Baudouin Dupret, „The Relationship between Constitutions, Politics, and Islam: A Comparative Analysis of the
North African Countries‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford
University Press, 2016, 233.
11
Ferhat Horchani, „Islam and the Constitutional State: Are They in Contradiction?‟ dalam El-Haj, et. al.,
Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016, 199.
12
Clark Benner Lombardi, „The Formation of the Classical Sunni Legal Tradition‟, dalam Lombardi , State Law as
Islamic Law in Modern Egypt: the Incorporation of the shari’a into Egyptian Constitutional Law, (Boston: Brill, 2006), hlm.
11.
13
Jasser Auda, Maqashid al-syari’ah falsafah al-Tasyri’ al-Islamiy: Ru’yah manzumiyah, (London: al-ma‟had al-
„Alamiy li al-Fikr al-Islamiy, 2007).
14
An-Na‟im, „The Legitimacy of Constitution-Making Process in the Arab World: an Islamic Perspective‟,
dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016, 35.
15
Rainer Grote, „Constitutional Review in arab Countries: Dawn of New Era?‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution,
Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016, 677.
Pasal 4 konstitusi 2012 menyatakan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan syari‟ah Islam
harus dikonsultasikan dengan institusi Al-Azhar sebagai institusi Islam independen.
وٌؤخذ رأي هٍئخ كجبر العلمبء ثبألسهز الشزٌف فى الشؤون المتعلقخ ثبلشزٌعخ االسالمٍخ
Al-Azhar senior scholars are to be consulted in matters pertaining to Islamic law
Pasal 219 konstitusi 2012 menjelaskan bahwa maksud syari‟ah Islam yang dinyatakan di
dalam pasal 2 konstitusi adalah prinsip-prinsip dasar syari‟ah Islam, termasuk dalil-dalil umum
(bukti tekstual non tekstual), kaedah-kaedah dasar (ushuliyah) dan yurisprudensi (fiqhiyah) serta
sumber-sumber hukum Islam yang diakui oleh aliran ahli sunnah wal jama‟ah.
مجبدئ الشزٌعخ االسالمٍخ تشمل أدلتهب الكلٍخ وقىاعدهب األصىلٍخ والفقهٍخ ومصبدرهب المعتجزح فى مذاهت أهل
السىخ والجمبعخ
The principle of Islamic Shari’a include general evidence, foundational rules, rules of
jurisprudence, and credible sources accepted in Sunni doctrines and by the larger
community
Pasal 2 konstitusi 2012 mengadopsi dari konstitusi 1971. Awalnya pasal tersebut merupakan
inisiasi dari pemerintahan Anwar Sadat yang ingin merangkul kembali faksi-faksi Islamis yang
sebelumnya dimarjinalkan oleh presiden Gamal Abdel Nasser. Keberhasilan Sadat meraih simpati
16
Saad Eddin Ibrahim, „anatomy of Egypt‟s militan Islamic Groups: Methodological Notes and Preliminary
Findings‟, dalam Egypt, Islam and Democracy: Twelve Critical Essays, (Cairo: American University in Cairo Press, 1996) 8
– 14. Lihat juga: Lombardi , State Law as Islamic Law in Modern Egypt: the Incorporation of the shari’a into Egyptian
Constitutional Law, (Boston: Brill, 2006), 125.
17
Nathan J. Brown dan Clark B. Lombardi, „Constesting Islamic Constitutionalism after the Arab Spring: Islam in
Egypt‟s Post-Mubarak Constitutions‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring,
Oxford University Press, 2016, 245.
18
Tamir Moustafa, „Amending the Egyptian Constitution: 6 Critical Articles that Test the Military Commitment to
Democracy‟, diakses dari www.huffpost.com pada, Ahad, 16 Juli 2017.
26
Ahmad al-Raysuni, Muhāḍarāt fī Maqāṣid al-Syarī’ah..., hlm. 9.
27
Maurits S. Berger, Applying Shari’a in the West, (Amsterdan: Leiden University Press, 2013), hlm. 9-10.
28
Jasser Auda, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, (Herndon & London:
IIIT, 2007), hlm. 232-233.
29
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī’ah: Dalīl lil Mubtadi’, (Herndon: IIIT, 2011), hlm. 28.
30
Al-Juwaini merupakan tokoh pendahulu yang menggunakan istilah maqāṣid dalam karyanya, tetapi juga
menggunakan istilah maṣālih al-„āmmah sebagai padanan kata untuk maqāṣid, dan menggunakan kedua istilah tersebut
secara bergantian di dalam karya-karya. Lihat: Al-Imām al-Ḥaramain Abū al-Ma‟āli „Abd al-Malik ibn „Abd Allah al-
Juwainī, Ghiyāṡ al-Umam fī Iltiyāṡ al-Ẓulam, Mustafa Helmy dan Fouad „Abd al Mon‟eim Ahmed (eds.), (Alexandria: Dār
al-Da‟wah, 1979), hlm. 253.
31
Al-Ghazali menggunakan istilah maṣlahah untuk menjelaskan tujuan dari syari‟at, bahwa yang dimaksud
dengan maṣlahah oleh al-Ghazali adalah menjaga tujuan syari‟ah. Menurutnya, tujuan syari‟ah ada lima, yaitu menjaga
agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Menurutnya, maslaha bukan bagian dari
tingkatan sumber hukum Islam yang ke lima, setelah al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟, dan „Aql, tetapi maṣlaha merupakan metode
penentuan hukum yang terkandung sebagai tujuan dari hukum-hukum di dalam sumber-sumber yang empat tersebut. Lihat:
Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghazalī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, Vol. 2, (Lebanon: Dār al-Huda, 1994), hlm. 481. Vol. 2.,
hlm. 257.
32
Al-Syātibi menegaskan bahwa seseorang tidak akan sampai pada derajat ijtihad kecuali dengan mengetahui
maqāṣid syarī’ah dan menggunakannya sebagai dasar istinbāṭ hukum. Lihat: Abū Isḥāq al-Syāṭibī, Al-muwāfaqāt fī Uṣūl al-
Syarīʻah, (Kairo: al-Hay΄ah al-Miṣriyyah al-ʻĀmmah li al-Kitāb, 2006), hlm. 784.
33
Ibnu „Āsyūr memaknai maqāṣid syarī’ah dengan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh syara‟
dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Maka, masuklah segala macam sifat, tujuan umum, dan makna syari‟at yang
terkandung dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan
tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum. Ibnu „Āsyūr juga mengusulkan bahwa tujuan dari hukum Islam adalah
memelihara keteraturan, kesetaraan, kebebasan, kemudahan, dan fitrah. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai utama yang
patut dijadikan dasar kemanusiaan. Lihat: Muhammad al-Ṭāhir Ibnu „Āsyūr, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyah, Muhammad
Ṭāhir al-Mesāwī (ed.), (Yordan: Dār al-Nafāis, 2001), hlm. 183, 246, 405.
34
Tujuan dari syari‟ah adalah kemaslahatan manusia yang tercermin di dalam nilai-nilai kemanusiaan yang
universal, maqāṣid didefinisikan oleh al-Fāsī dengan sesuatu yang tersembunyi dan kearifan yang diberikan oleh syāri‟
kepada manusia sebagai upaya untuk melaksanakan syari‟ah. Lihat: „Allāl al-Fāsī, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyah wa
Makārimuhā, (Casabanca: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1993), hlm. 10.
35
Al-Raysūnī meletakkan maqāṣid al-syarī‟ah sebagai metode dalam memahami teks-teks sumber hukum Islam,
bahwa berijtihad menggunakan maqāṣid (tujuan) syari‟ah sebagai landasan penentuan hukum dapat ditemukan penguatannya
secara metodologi dengan meletakkan nash-nash umum di dalam sumber hukum Islam sebagai tujuan syari‟ah. Lihat:
Ahmad al-Raysūnī, al-Fikr al-Maqāṣidī Qawā’iduhu wa Fawāiduhu, (Rabat: al-Zaman, 1999), hlm. 37.
36
Dalam karyanya Gamal al-Din „Attiya menawarkan metode pengembangan dalam menggunakan maqāṣid
syarīʻah, dari yang semula dimaknai sebagai konsep yang menjadi tujuan hukum Islam menuju relisasi dan pelaksanaan di
dalam kehidupan sehari-hari bertujuan memberikan solusi atas permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan
D. Penutup
Dari pemaparan makalah ini dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai nilai yang diyakini
oleh pemeluknya mempunyai pengaruh di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perdebatan seputar islamisasi konstitusi atu syari‟ahisasi undang-undang selalu menjadi materi
di dalam pembahasan dasar negara dan hukum di mana penduduknya didominasi oleh penganut
Islam. Keinginan untuk mengejawantahkan nilai keyakinan di dalam kehidupan sehari-hari
menjadi motif utama, kehidupan beragama yang tidak hanya terbatas pada ruang privat, namun
juga pada ruang publik yang dapat dikontestasikan dengan nilai-nilai yang mendasari aturan
hukum seperti adat dan model hukum Eropa. Di sisi lain perlu difahami bahwa sebuah aturan
perundang-undangan, termasuk konstitusi negara, adalah sebuah konsensus sekelompok
masyarakat masyarakat yang hidup di dalam lingkup kebersamaan yang disebut bangsa, maka
nilai keyakinan tidak serta merta dapat diterapkan di dalam aturan positif tetapi perlu adanya
menggunakan metode ijtihad berbasis pada maqāṣid syarīʻah. Lihat: Gamal al-Din „Attiya, Naḥwā Taf’īl Maqāṣid al-
Syarī’ah, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2003), hlm. 185-192.
37
Jasser Audah menggunakan pendekatan sistem untuk melihat permasalahan hukum Islam secara holistik, ia
menempatkan maqāṣid syarīʻah sebagai dasar metodologi ijtihad, menurutnya metode tersebut lebih dapat merespon
problematika yang berhubungan dengan keterbatasan ijtihad linguistik atau ijtihad rasional yang berdasarkan pada hukum
sebab-akibat. Konsep maqāṣid ia kembangkan dari yang sebelumnya hanya bersifat proteksi dan preservasi menuju
pengembangan. Lihat: Jasser Auda, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, a system Apparoach, (Herndon:
The International Institute of Islamic Thought, 2007), hlm. 21-22.
38
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, hlm. 307-308.
39
Jhering 48 (pdf)
Daftar Pustaka
Buku:
„Āsyūr, Muhammad al-Ṭāhir Ibnu, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyah, Muhammad Ṭāhir al-
Mesāwī (ed.), (Yordan: Dār al-Nafāis, 2001)
al-Fāsī, „Allāl, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyah wa Makārimuhā, (Casabanca: Dār al-Gharb al-
Islāmī, 1993)
Al-Ghazali, Abū Ḥāmid Muḥammad, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, Vol. 2, (Lebanon: Dār al-
Huda, 1994), hlm. 481. Vol. 2.
Al-Juwaini, Al-Imām al-Ḥaramain Abū al-Ma‟āli „Abd al-Malik ibn „Abd Allah, Ghiyāṡ al-
Umam fī Iltiyāṡ al-Ẓulam, Mustafa Helmy dan Fouad „Abd al Mon‟eim Ahmed (eds.),
(Alexandria: Dār al-Da‟wah, 1979).
Al-Raysūnī, Ahmad, al-Fikr al-Maqāṣidī Qawā’iduhu wa Fawāiduhu, (Rabat: al-Zaman, 1999)
Al-Raysūnī, Ahmad, Muhāḍarāt fī Maqāṣid al-Syarī’ah, (Kairo: Dar al-Kalima li Nasr wa al-
tawzī‟, 2013), hlm. 9.
Al-Sudairy, Tawfiq Abd al-Aziz, Al-Islam wa al-Dustur, bentuk terbitan buku yang dirangkum
dari tesis pada fakultas syari‟ah Universitas al-Imam bin Saud, Riyadh, 1407 H.
Al-Syāṭibī, Abū Isḥāq, Al-muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarīʻah, (Kairo: al-Hay΄ah al-Miṣriyyah al-
ʻĀmmah li al-Kitāb, 2006)
An-Na‟im, Abdullahi Ahmed, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a,
(Harvard: Harvard University Press, 2010).
Attiya, Gamal al-Din, Naḥwā Taf’īl Maqāṣid al-Syarī’ah, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2003)
Auda, Jasser, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, a system Apparoach,
(Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 2007)
Auda, Jasser, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, (Herndon
& London: IIIT, 2007).
Auda, Jasser, Maqashid al-syari’ah falsafah al-Tasyri’ al-Islamiy: Ru’yah manzumiyah,
(London: al-ma‟had al-„Alamiy li al-Fikr al-Islamiy, 2007).
Auda, Jasser, Maqāṣid al-Syarī’ah: Dalīl lil Mubtadi’, (Herndon: IIIT, 2011).
Barnett, Hilaire , Constittional dan Administrative Law,(New York: Routledge-Cavendish, 2006).
Berger, Maurits S., Applying Shari’a in the West, (Amsterdan: Leiden University Press, 2013).
Farhat, Muhammed Nur, Al-Din wa al-Dustur fi Misr.
Artikel:
Moustafa, Tamir, „Amending the Egyptian Constitution: 6 Critical Articles that Test the Military
Commitment to Democracy‟, diakses dari www.huffpost.com pada, Ahad, 16 Juli 2017.
An-Na‟im, „The Legitimacy of Constitution-Making Process in the Arab World: an Islamic
Perspective‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab
Spring, Oxford University Press, 2016.
Brown, Nathan J., dan Clark B. Lombardi, „Constesting Islamic Constitutionalism after the Arab
Spring: Islam in Egypt‟s Post-Mubarak Constitutions‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution,
Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016.
Dupret, Baudouin, „The Relationship between Constitutions, Politics, and Islam: A Comparative
Analysis of the North African Countries‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human
Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016.
Grote, Rainer , „Constitutional Review in arab Countries: Dawn of New Era?‟, dalam El-Haj, et.
al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University
Press, 2016.
Horchani, Ferhat, „Islam and the Constitutional State: Are They in Contradiction?‟ dalam El-Haj,
et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University
Press, 2016.
Ibrahim, Saad Eddin, „anatomy of Egypt‟s militan Islamic Groups: Methodological Notes and
Preliminary Findings‟, dalam Egypt, Islam and Democracy: Twelve Critical Essays,
(Cairo: American University in Cairo Press, 1996).
Lombardi, Clark Benner, „The Formation of the Classical Sunni Legal Tradition‟, dalam
Lombardi , State Law as Islamic Law in Modern Egypt: the Incorporation of the shari’a
into Egyptian Constitutional Law, (Boston: Brill, 2006).
1. Latar Belakang
Pembahasan tentang Islam dan demokrasi serta penerapannya merupakan isu yang terus
menjadi pembicaraan baik pada tataran akdemis maupun praktis, seperti pada seminar
yang diselenggarakan oleh Universitas Islam As-Syafi‟Iyah (UIA) ini.3 Pembahasan
tentang Islam dan tentang demokrasi mencakup berbagai aspek kehidupan. Tulisan ini
dibatasi pada aspek ekonomi, membahas demokrasi ekonomi dalam Islam.4
Terdapat tiga kata kunci dalam tulisan ini yaitu demokrasi, ekonomi dan Islam. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi diartikan sebagai gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan
yang sama bagi warga Negara. Demokrasi juga dapat diartikan bentuk atau sistem
pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan
wakilnya yang disebut dengan pemerintah rakyat.5 Negara-negara yang menganut paham
demokrasi dalam pelaksanaan demokrasi tersebut sangat bervariasi dari satu negara ke
negara lainnya, Demokrasi ekonomi di buat dan diawasi semata oleh manusia dalam hal
ini Negara/pemerintah dimana demokrasi ekonomi itu dilaksanakan..
Dalam Al-Qur‟an maupun sunnah tidak ada kata demokrasi, gagasan demokrasi dalam
Islam terkandung dalam istilah “al shura”.6 Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA
mengemukakan pendapat serupa dengan Prof. Dawam Raharjo yaitu dalam Al-Qur‟an
lebih menekankan bentuk masyawarah dibanding demokrasi. Tetapi perilaku politik Nabi
dan sahabat pada generasi pertama memberikan contoh peradaban “demokrasi” yang
sangat tinggi. Tulisan ini tidak membahas filosofi demokrasi, tetapi fokus pada praktek-
praktek kandungan demokrasi dalam ekonomi Islam. Demokrasi dalam ekonomi Islam
bersifat universal mengglobal karena mengacu pada Al Qur‟an dan sunnah dan
pelaksanaannya diawasi langsung oleh Allah SWT.
1
Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di
Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Ketua Program Studi Magister Manajemen (MM) Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA).
3
Deddy Ismatulah, Seminar Islam dan Demokrasi : Penerapan Dalam Sistem Pemerintahan di
beberapa Negara Islam, UIA, 2017
4
Call Paper pada Seminar Nasional” Islam dan Demokrasi, diselenggarakan oleh pasca Sarjana UIA 25-26 Juli
2017 oleh Atifah Tahah, Ketua Prodi MM UIA.
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
6
M. Dawan Raharjo, Seminar Islam dan Demokrasi: Islam dan Demokrasi, UIA, 2017
Paul A. Samueson menyatakan bahwa ekonomi adalah suatu cara yang dipakai oleh
seseorang atau kumpulan orang dalam memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas
untuk memperoleh berbagai macam komodit dan produk serta menyalurkannya supaya
dapat dikonsumsi oleh masyarakat banyak. Ditinjau dari sisi demokrasi, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi ekonomi diartikan sebagai gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan
yang sama bagi warga negara di bidang ekonomi. Menurut Khursid Ahmad ekonomi
adalah suatu usaha yang mengsistematiskan dan memahami segala permasalahan
perekonomian dan segala macam perilaku manusia dengan permasalahan tersebut
berdasarkan perspektif Islam.7
Dikaitkan konsep demokrasi ekonomi dan ekonomi menurut Paul A. Samueson maka
setiap orang atau kumpulan orang haruslah mempunyai hak dan kewajiban, serta
perlakuan yang sama dalam memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas. Dengan
demikian sebenarnya konsep ekonomi dan konsep demokrasi ekonomi sejalan. Dalam
prakteknya, negara-negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi, dalam praktek
penyelenggaraan perekonomian sebagaimana dikemukakan di atas sangat variatif karena
dipengaruhi oleh tatanan negara, pemerintah, dan kelompok masyarakat yang
7
Kurshid Ahmad, Studies in Islamic Economics, International Center for Research in Islamics Economics King
Abdul Aziz University, Jeddah and The Islamic Foundation, U. K. The Islamic Foundation : Leicester, U.K, 1981
Sistem sosialis/ komunis menganut konsep sama rata sama rasa. Pada kenyataannya,
setiap individu mempunyai potensi dan keinginan yang berbeda-beda sehingga
masyarakat menuntut adanya perubahan, menuntut individu dihargai sesuai dengan
potensi dan aktualisasi dirinya. Sistem sosialis di Rusia runtuh ditandai dengan telah
dibongkarnya tembok pembatas antara Jerman Barat dengan Jerman Timur. Selanjutnya,
sistem ekonomi sosialis di RRC runtuh setelah adanya tuntutan yang besar dari rakyat
untuk menghapuskan system sosialis yang dikenal dengan peristiwa Tiamen Square.
Namun kebebasan masyarakat/ pelaku bisnis di kedua negara tersebut tetap di batasi oleh
negara/pemerintah dengan peraturan-peraturan yang cukup ketat.9
Sistem ekonomi kapitalis atau liberal yang umumnya berlaku di negara – negara barat
juga tidak dapat diterima oleh masyarakat luas. Sistem ekonomi kapitalis atau liberal
cendrung bersifat demokrasi namun melampaui batas – batas keadilan. Perlombaan
pemanfaatan potensi manusia terbuka seluas-luasnya Pada system kapitalis, setiap
individu memiliki hak yang sama terhadap sumber daya tetapi akses berbeda dipengaruhi
oleh capital dan power yang dimiliki oleh individu atau sekelompok orang. Sehingga
terjadi akumulasi kapital pada sekelompok orang yang memiliki potensi baik capital,
sumber daya maupun jaringan. Pergolakan di negara – Negara yang menganut system
8
Atifah Thaha, Islamic Economic System Leading the World Economy : A Challence, Global Syar‟I, Jurnal
Manajemen dan Bisnis Syariah, Vol.4 No.8, 2014
9
Pengalaman penulis pada waktu mengadakan kunjungan kerja ke RRC tahun 2012
10
M. Dawam Raharjo, Seminar Islam dan Demokrasi: Islam dan Demokrasi, UIA, 2017
11
Ma‟ruf Amin, Pembaharuan Hukum Ekonomi Syariah dalam Pengembangan Produk Keuangan
temporer : Tranformasi Fikih Muamalat dalam Pengembangan Ekonomi Syari‟ah, Yayasan An-Nawawi
Tanara, 2013, h. 34
Sistem ekonomi menurut Islam ada tiga prinsip dasar (Chapra dalam Imamudin Yuliadi.
2000) yaitu Tawhid, Khilafah, dan „Adalah. Dalam Sistem Ekonomi Syariah, ada
landasan etika dan moral dalam melaksanakan semua kegiatan termasuk kegiatan
ekonomi, selain harus adanya keseimbangan antara peran pemerintah, swasta,
kepentingan dunia dan semuanya bermuara pada kepentingan akhirat dalam setiap
aktivitas ekonomi yang dilakukan. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme
dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat
sekaligus yaitu : Kesatuan (unity), Keseimbangan (equilibrium), Kebebasan (free will),
dan Tanggungjawab (responsibility)
12
M. Dawam Raharjo, Seminar Islam dan Demokrasi: Islam dan Demokrasi, UIA, 2017, h. 6
13
Beberapa pendapat tentang ekonomi Islam : Defenisi lain yang lebih lengkap bahwa Ekonomi
Islam adalah ilmu, teori, model, kebijakan serta praktik ekonomi yang bersendi dan berlandaskan
jaran Islam, dengan Al Qur‟an dan Al Hadits sebagai rujukan utama serta ijtihad sebagai rujukan
tambahan.
Dua hal utama yang tidak sama antara musyawarah dalam ekonomi Islam dan demokrasi
ekonomi adalah dalam demokrasi ekonomi tidak ada konsep halal dan haram yang
berdampak pada kehidupan akhirat. Kedua konsep ini memiliki implikasi penting dalam
mencapai kesejahteraan umat/rakyat secara berkeadilan baik di dunia maupun akhirat.
Misalnya produksi mininuman keras merusak manusia di dunia dan akhirat karena
memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras hukumnya haram. Satu hal yang
sangat membedakan antara demokrasi ekonomi dengan demokrasi ekonomi dalam Islam,
adalah sistem pengawasan. Dalam demokrasi ekonomi selaku pengawas adalah manusia
melalui perwakilan rakyat dan pemerintah dimana demokrasi ekonomi dilaksanakan. .
Dalam (ekonomi) Islam penagwas utama adalah Allah SWT yang keberadaan-Nya
dengan manusia tanpa jarak. Pengawasan oleh manusia tetap dilaksanakan sebagaimana
pengawasan pada demokrasi ekonomi.
Kepatuhan umat Islam dalam melaksanakan perekonomian secara Islami, baik selaku
produsen ataupun konsumen atau keduanya ataupun selaku pembuat kebijakan ekonomi
14
Ibnu Rusyd, Islamic (syariah) Economic Thought : Ibn Rusyd Point of View, Gobal Syar‟Ii, Jurnal
Manajemen dan Bisnis Syariah, 2014
15
Tafsir Al Quran
16
Atifah Thaha, Karnaen A. Perwataatmadja, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, UIA, 2012
17
https://muslim.or.id/299-antara-tawakkal-dan-usaha-mencari-rizki-yang-halal.html, diakses 1 Juli 2017
18
Kecuali untuk maksud manipulasi guna mendongkrak harga dan kemudian baru barang tersebut di lepas
ke pasar.
19
Iqbal Ahmad khan Suhail, What is Riba, New Delhi, Pharos media & Publishing Pvt Ltd, 2005
PENUTUP
Tidak terdapat kata-kata demokrasi dalam Al Qur‟an dan sunnah yang merupakan acuan dalam
ekonomi Islam. Gagasan demokrasi dalam Islam terkandung dalam istilah “al shura” atau
musyawarah. Ada bagian dari demokrasi ekonomi yang menjadi bagian dalam ekonomi Islam
dan ada juga yang tidak ada. Artinya ada sub set/ irisan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi
dalam ekonomi Islam. Demokrasi ekonomi bersifat lokal karena buatan manusia/pemerintah
dimana kegiatan ekonomi berlangsung. Demokrasi dalam ekonomi Islam bersifat universal dan
transnasional, melampaui batas-batas Negara karena memiliki acuan yang sama yaitu Qur‟an dan
sunnah dan diawasi oleh Allah SWT.
Dalam demokrasi ekonomi dan demokrasi dalam ekonomi Islam, setiap orang atau kumpulan
orang haruslah mempunyai hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama dalam memanfaatkan
sumber-sumber yang terbatas untuk kemakmuran individu, keluarga dan masyarakat. Konsep
kewajiban yang membatasi hak pelaku ekonomi. Dalam demokrai ekonomi, hak dan kewajiban
tersebut diatur oleh manusia/ negara dan peraturan dapat berubah-rubah sejalan dengan system
pemerintah, keberpihakan pemerintah, pemahaman dan kepentingan pemerintah serta kekuatan
kekuatan yang mempunyai pengaruh terhadap pemerintah. Dalam ekonomi Islam, juga mengikuti
peraturan-peraturan dimana kegiatan ekonomi dilakukan dengan acuan utama ketentuan yang
ada dalam Al Qur‟an dan sunnah dan diawasi langsung oleh Allah SWT. Dalam ekonomi Islam
harus misalnya amanah (dapat dipercaya), sidiq (jujur), bisnis yang dilakukan bisnis yang halal
toyiban,adanya ketentuan zakat dan infaq. Pada hari Raya Idul Ftri dan hari raya qurban insya
Allah seluruh umat mendapat rezeki yang halal toyiban. Bagi konsumen, konsep halal toyiban
harus menjadi acuan utama. Dalam ekonomi Islam, bisnis harus untung sama untung rugi sama
rugi, artinya tidak boleh menghitung modal dengan suku bunga tetapi dilakukan dengan
musyawarah sesuai syariat Islam. Instrument – instrument tersebut merupakan bentuk untuk
mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera .
20
Lihat Khursyid
--------------------00000000------------------------
I. Pendahuluan
Perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mengubah paradigma ketatanegaraan
Indonesia adalah pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: ”Kedaulatan di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penegasan ini
menunjukkan bahwa demokrasi sebagai paradigma, tidak berdiri sendiri, tetapi paradigma
demokrasi yang dibangun harus dikawal bahkan harus didasarkan pada nilai hukum, sehingga
produk demokrasi dapat dikontrol secara normatif oleh paradigma hukum. Hal ini berarti
paradigma demokrasi yang dibangun adalah berbanding lurus dengan paradigma hukum dan
inilah paradigma Negara demokrasi berdasar atas hukum atau negara hukum yang
demokratis. Paradigma ini berimplikasi pada kelembagaan Negara, model kekuasaan Negara,
prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances, serta kontrol normatif yang
pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga peradilan. Oleh karena itu paradigma tersebut
mengubah paradigma supremasi parlemen menjadi prinsip supremasi konstitusi/supremasi
hukum.
Dalam perspektif pemahaman hukum secara holistik, maka hukum tidak dipahami
sekedar dalam teks-teks hukum, atau hanya sekedar memenuhi kepentingan sesaat bahkan
kepentingan kelompok tertentu, melainkan harus menempatkannya pada konteks yang lebih
besar, yaitu masyarakat Indonesia. Dengan demikian, hukum tidak dilihat sebagai skema-
skema abstrak, melainkan sebagai sesuatu yang utuh dan nyata. Hal ini berarti hukum tidak
hanya dipandang sebagai peraturan (rules) melainkan juga sebagai perilaku manusia yang
terorganisir (organic behavior). Oleh karena itu, mengembangkan hukum melalui
pembentukan hukum baru harus memperhatikan terhadap nilai yang diyakini masyarakat,
sistem sosial, dan lingkungan yang mempengaruhi. Dalam perspektif ini, maka hukum selalu
konteksual dengan persoalan dan perkembangan masyarakat, serta memperhatikan,
melindungi dan memenuhi hak-hak dasar warga negara.
1
Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di
Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
Dosen Program Pascasarjana Magister/Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA).
3
Hoesein, Lubis, Arifuddin, Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Sistem Ekonomi Kerakyatan, Makalah, 2016.
4
Lihat Sri Edi Swasono, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Kebudayaan dalam Prosidin Kongres Pancasila VI: Penguatan,
Sinkronisasi, Harmonisasi, Integrasi Pelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan
Bangsa, Ambon, 31 Mei-01 Juni 2014, h. 89.
5
Swasono, Ibid.
Pasal 33 UUD 1945 berada di bawah Bab XIV dengan perubahan judul pada
Amendemen keempat menjadi „Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial‟. Merujuk
kepada judul dimaksud terlihat jelas bahwa sistem perekonomian nasional Indonesia
ditujukan untuk kesejahteraan sosial. Hal ini senada dengan pendapat Dawam Rahardjo yang
membahas Pasal 33 dari perspektif ekonomi. Menurut Rahardjo, jika dilihat dengan seksama,
maka Pasal 33 bertujuan untuk mecapai kesejahteraan sosial. (Rahardjo, 2016: xxvii). Dalam
konsteks kesejahteraan, UUD 1945 menggunakan dua istilah, yaitu kesejahteraan umum dan
kesejahteraan sosial. Istilah kesejahteraan umum dapat ditemui dalam Alinea IV Pembukaan
(Preambule) UUD 1945; sedangkan istilah kesejahteraan sosial terdapat pada judul Bab XIV
tersebut di atas. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kedua istilah dimaksud. Menurut
6
Lihat Bambang Ismawan, Memberdayakan Perekonomian Rakyat dalam Transformasi Kesejahteraan: Pemenuhan Hak
Ekonomi dan Kesehatan Semesta, Jakarta: LP3ES, 2016, h.1-4.
7
Ismawan, Ibid, h.2
8
Lihat pula Putusan MahkamahKonstitusiNomor002/PUU-
I/2003sebagaimanadiimuatdalamBeritaNegaraRepublikIndonesiaNomor01Tahun2005, tanggal04Januari2005, hal. 208–209.
Tabel 1: Penguasaan Negara atas SDAdan Cabang Produksi yang Menguasai Hajat
Hidup Orang Banyak
No SDA/Cabang Produksi Hajat Hidup Masyarakat Kekuasaan Negara
1 Bumi Tidak mensyaratkan Dikuasai Negara
2 Air Tidak mensyaratkan Dikuasai Negara
3 Kekayaan alam dalam Tidak mensyaratkan Dikuasai Negara
bumi/air
4 Penting/strategis bagi Menguasai hajat hidup Dikuasai Negara
negara orang banyak
5 Penting Bagi Negara Tidak menguasai hajat hidup Dikuasai Negara
orang banyak
6 Tidak penting bagi Menguasai hajat hidup Dikuasai Negara
Negara orang banyak
7 Tidak penting bagi Tidak menguasai hajat hidup Tidak dikuasai
Negara orang banyak Negara
9
Efridani Lubis (2009), Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Berdasarkan Penerapan Konsep Sovereign
Right dan Hak Kekayaan Intelektual, h. 127.
Menurut Mahmud Abu Saud, prinsip-prinsip ekonomi Islam itu paling sedikit memuat:
1. Nilai Keimanan menjadi dasar ekonomi dalam Islam
Prinsip ini ditemukan di berbagai ayat, antara lain:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan utuk kamu agamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu... (Al Maidah:3).
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-
Jumu‟ah:10).
10
Lihat selengkapnya dalam: Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqâshid al Syarî'ah oleh Anwar Abbas,
2010, Bogor: Grafika Mardi Yuana.
11
VOC sebagai agen yang memperkenalkan sistem ekonomi modern di Hindia Belanda dulu memperdagangkan rempah-
rempah yang merupkah hasil alam Indonesia. Hal ini kemudian berkembang menjadi perusahaan-perusahaan perkebunan,
yang sebagian masih bertahan sampai hari ini berdasarkan naionalisasi dan dikelola oleh PTPN yang merupakan BUMN.
Penerapan ekonomi kerakyatan terkait erat dengan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Sebagaimana disebutkan dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999,
salah satu kekuatan ekonomi kerakyatan adalah pengusaha kecil dan menengah,
disamping koperasi. Tulisan ini berfokus pada implementasi sistem ekonomi kerakyatan
untuk pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah semata. Alasan untuk itu adalah
pada saat ini lebih banyak sektor usaha mikro, kecil, dan menengah yang ambil peran
dalam dunia usaha nasional. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah, pada tahun 2012, ada sebanyak 56.534.592 usaha mikro, kecil dan
menengah yang menempati 99,99% dari unit usaha yang ada di pasar. Angka ini
walaupun meningkat jumlahnya pada tahun 2013 menjadi 57.895.721, namun
Skala 1997 1998 1999 2000 2001 2003 2004 2005 2006
Usaha
UK 39.704 36.761 37.804 39.705 39.883 43.372 44.684 47.006 48.822
UM 60 51 51 78 81 87 93 96 106
UB 2 1 1 5 5 6 6 6 7
Total 39.766 36.813 37.856 39.788 39.969 43.465 44.783 47.108 49.035
Sumber: BPS
Dari data di atas terlihat bahwa sebagian besar koperasi diterapkan untuk usaha kecil;
sehingga upaya untuk mendorong UMKM dengan menggunakan koperasi sebetulnya
12
Lihat April 2015, Seluruh Koperasi di Indonesia Diharapkan Aktif, http://www.inspeksianews.com/berita/april-2015-
seluruh-koperasi-di-indonesia-diharapkan-aktif, diunduh 7 Agustus 2016, 21:34.
Tabel 4
Kriteria Kinerja Koperasi Menurut Kepmen No. 129/Kep/M.KUKM/XI/2002
No Prinsip dan Faktor Bobot
1 Keanggotaan sukarela dan terbuka 8
a. Rasio peningkatan jumlah anggota (4)
b. Rasio pencatatan keanggotaan dalam buku daftar anggota (4)
2 Pengendalian oleh anggota secara demokratis 20
a. Penyelenggaraan RAT (4)
b. Rasio kehadiran anggota dalam RAT (4)
c. Rencana kegiatan (RK) dalam rencana anggaran pendapatan dan
belanja koperasi (2)
d. Realisasi anggaran pendapatan koperasi (2)
e. Realisasi anggaran belanja koperasi (2)
f. Realisasi surplus hasil usaha koperasi (2)
g. Pemeriksaan (4)
3 Partisipasi ekonomi anggota 15
a. Pelunasan simpanan pokok anggota (3)
b. Pelunasan simpanan wajib anggota (3)
c. Keterkaitan usaha koperasi dengan usaha anggota (3)
d. Transaksi usaha koperasi dengan usaha anggota (3)
e. Pengembalian piutang (3)
4 Otonomi dan kemandirian 21
a. Rentabilitas modal sendiri (3)
b. Return on asset (ROA) (3)
13
Lihat Ichwan Marisan dan Purwo Adi Wibowo, Penelitian Survei Penerapan Prinsip-Prinsip Koperasi
Pada Koperasi Simpan Pinjam Di Kab. Jepara, The 3rd University Research Colloquium 2016, h. 279.
VI. Penutup
Berdasarkan paparan di atas, sesungguhnya sistem ekonomi kerakyatan sebagai model
demokrasi Berketuhanan yang Maha Esa sangat relevan dengan sistem ekonomi demokrasi
ideal Indonesia; walaupun sampai saat ini belum pernah diterapkan secara praktis.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pemberdayaan UMKM melalui koperasi, dan
lagi-lagi masih sangat relevan untuk kondisi Indonesia sekarang ini dan ini didukung oleh
perangkat legislasi yang memadai. Memang diakui bahwa praktik pelaksanaan koperasi
masih kurang memuaskan; namun kekurangpuasan itu lebih dipicu karena kurangnya
peningkatan kapasitas baik anggota maupun pengelola koperasi. Koperasi seringkali
diasumsikan dan dianggap sebagai bentuk badan usaha lain seperti PT atau CV yang
anggotanya tidak dituntut bertindak aktif. Sementara di koperasi kunci utama dari
keberhasilan koperasi terletak pada aktif tidaknya anggota. Hasil evaluasi yang dilakukan
oleh Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan bahwa kebanyakan koperasi yang
tidak aktif itu karena salah urus disebabkan anggotanya tidak aktif secara berkelanjutan;
aktifnya anggota hanya pada saat pendirian saja.
UMKM secara proporsi, menempati jumlah terbesar untuk skala usaha di Indonesia.
Berdasarkan 8 kriteria ekonomi kerakyatan yang dikemukakan Tjakrawerdaja, UMKM
sangat strategis jika diberdayakan dengan menggunakan pendekatan ekonomi kerakyatan;
namun demikian dengan persyaratan Negara berperan aktif untuk mengatasi hambatan-
hambatan pelaksanaan ekonomi kerakyatan dalam praktiknya. Dengan menggunakan
prinsip pembinaan dalam manajemen secara umum, maka Kementerian Koperasi dan
UMKM perlu melakukan upaya pembinaan secara berkesinambungan dalam bentuk antara
lain sosialisasi, penelitian, koordinasi, maupun bimbingan serta pendampingan untuk bisa
mendorong 56.534.592 UMKM lebih efektif dan pada akhirnya dapat berkontribusi kepada
pembangunan di Indonesia.
ABSTRACT
The integrity of President Soeharto's ethical behavior as a Head of State shows the
sophisticated features, using simple, authoritarian language to realize the stability of his
obsession is economic development.Suharto's high-risk decision making and high-risk actions in
his decision-making tend to be represented as a leader who is more concerned with economic
development than other sectors of development. President Suharto was portrayed as an
authoritarian leader, who adopted a coercive leadership style, who always wanted his command
and instruction to be obeyed immediately. The relevance of communication and the use of
information media of President Suharto in his leadership interaction activities by showing the
content of President Soeharto's message serves to entertain, provide encouragement and
guidance and invite constructive criticism as generally democratic leaders are relatively small.
The integrity of President Soeharto's ethical behavior as a Head of State shows the sophisticated
features, using simple, authoritarian language to realize the stability of his obsession is economic
development. General TNI Soeharto, born in Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, June 8, year
1921, and died in Jakarta, January 27, year 2008 at the age of year 86) was the second President
of Indonesia (1967-1998), replacing Sukarno. Before becoming president, Suharto was the
military leader during the Japanese and Dutch occupation, with the last rank of Major General.
After the September 30th Movement, Suharto declared that the PKI was the responsible party
and led the operation to crush it. This operation killed more than 500,000 people. Soeharto then
took power from Sukarno, and officially became president in 1968. He was re-elected by the
MPR in 1973, 1978, 1983, 1988, 19993, and 1998. In 1998, his term ended after resigning on 21
May That year, following the May 1998 riots and the occupation of the DPR / MPR building by
thousands of students. He is the longest Indonesian in his post as president. Soeharto was
replaced by B.J. Habibie.
A. Pendahuluan
Jendral Besar TNI Purn. Soeharto, lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni
1921, dan meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden
Indonesia yang kedua (1967-1998), menggantikan Soekarno. Sebelum menjadi presiden,
Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat
terakhir Mayor Jenderal.Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI
adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya.Operasi ini
menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
1
Call for paper untuk Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha
Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium Gedung
Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.
2
1. Landasan Teori
a. Pengertian Kepemimpinan
Para pakar memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang arti kepemimpinan, Burns
berpendapat, “kepemimpinan adalah pemimpin menbujuk pengikut untuk mencapai tujuan
bersama.tujuan ini merefleksikan nilai-nilai, motivasi, keinginan, kebutuhan, aspirasi yang
diharapkan oleh pemimpin dan pengikut.”3 Sedangkan Harold W. Boles mendefinisikan
kepemimpinan adalah sebagai proses atau seperangkat tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan menggunkan pengaruh, wewenang atau kekuasaan seseorang
atau sekelompok orang untuk menggerakan sistem sosial untuk mencapai satu atau banyak
tujuan. Adapun tujuan sistem sosial menurut Bowles adalah memenuhi kebutuhan,
produktivitas, inovasi, dan kebutuhan sistem sosial.4Sistem sosial dimaksud adalah sekelompok
orang yang membentuk subsistem-subsistem sosial yang berkerja secara sinergis untuk
mencapai tujuan sistem sosial.5
Berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud dengan kepemimipinan adalah sebagai
proses pemimpin menciptakan visi, mempengaruhi sikap, perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma,
dan sebagainya dari pengikut untuk merealisir visi. Dalam kaita ini bahwa kepemimpinan
merupakan suatu proses bukan sesuatu yang terjadi seketika. Sehingga kepemimpinan
merupakan hasil proses yang didasarkan pada masukan untuk mencapai keluaran.
b. Kepemimpinan Etik
KepemimpinanetikdidefinisikanolehBrownsebagai“the demonstration of normatively
appropriate conduct through personal actions and interpersonal relationships and the
promotion of such conduct to followers throughtwo-
waycommunication,reinforcementanddecisionmaking”.6Oleh
yangdemikian,definisitersebutmengandungitiga(3)elemenyaitu: (1) menonjolkanperlakuan
yang betul secara normatifnya melalui tindak tanduk individu, (2) menonjolkan perlakuan
yang betul secara normatifnya melalui tindak-tanduk interpersonal; dan (3) promosi
perlakuan yang betul kepada ahli-ahli menerusi medium komunikasi duahal, penegasan
(reinforcement) dan pembuatan keputusan.
3
Wirawan, 2003.Kapita Selekta Teori Kepemimpinan: Pengantar Untuk Praktek dan Penelitian, Jilid I. Jakarta : Yayasan
Bangun Indonesia & UHAMKA Press, h. 34-35
4
Ibid., h. 17
5
Ibid., h. 15
6
Brown, M. E, Trevino, L. K. &Harrison, D. A. 2005. Ethical leadership: a social learning perspective for contruct
development and testing.Organizational behavior and human decision process, h. 117-134.
7
Spangenberg,H.&Theron,C.C.2000.Promotingethicalfollowerbehaviorthrough leadership of ethics: the development of
the ethical leadership inventory(ELI).South African Journal of Business Management, p. 36
8
Trevino, Op. Cit. h. 24.
9
Ibid.
10
S.P.Robbins, 2005. Organizational Behavior. Ed.ke-8. Upper Saddel River, NewJersey: Pearson Education
International. h. 76
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
The discourse of Islamic thought in the New Order, to show a pattern of "hegemonic," which is a
form of relationship where the bureaucracy in order to realize a stable and strong government.
Modernization policy aims to get support and assistance from Western countries and the political
legitimacy of the people. But the implications for the society, especially Muslims as majorities.
For the Muslims, modernization is a relatively new issue. Because it is a reaction or response
which is different among different Islamic groups. There are refused because modernization is
rated as westernization and secularization. Renewal Movement of Islamic Thought in the 1970s
that spearheaded by number of Muslim intellectuals, with the main characters Nurcholish Madjid.
Movement addressed differently by the Islamic community itself. For those who agree, Renewal
Movement of Islamic Thought is a form responin telektual honest and creative the development
of new social and political under the new Order government, which has received the support of
the people. Intellectual response was necessary because some Islamic circles, especially the older
generation too obsessive modernist faction in partisan political activities that require
rehabilitation Masjumi or the realization of "Islamic party" as the desired new Masjumi
metamorphosis. Intellectual response is required because the Muslims, because the experience of
the history and objective conditions themselves are in stagnation thinking, reactive, and not able
to bring alternative ideas in response to changing social and political community as a result of
modernization. For those who do not agree Renewal Movement of Islamic Thought is one form
accommodationist attitude toward political thought and modernization of the New Order. They
consider Renewal Movement of Islamic Thought no more than the efforts of a group of young
people of Islam were swept up by the thoughts that have been "westernized" and "
secularization," thus reducing the teachings and Islam is standard doctrinal views. Renewal
Movement of Islamic Thought also accused of having "stuck" in the framework of the New
Order political strategies that are considered marginalized the Muslim political power. Discourse
thinking intellectual Muslims at the time of order with the birth of the movement of new thinking
Islam is the thinking on the analysis of objective, political impact movement new thinking Islam
is stimulating intellectual discourse (intellectual discourse) in order to seek the cohesion of a
"tension conceptual" between political modernization New Order Muslim aspirations.
A. Pendahuluan
Wacana pemikiran Islam pada masa Orde Baru merupakan realitas social dan cultural
yang menarik untuk mengkaji dan menganalisis tentang hubungan Islam dan politik dalam
persfektif sejarah politik Indonesia pada masa Orde Baru di bawah rezim Suharto. Orde Baru pun
tampil ke panggung politik dan kekuasaan, pada awalnya, mendapat dukungan dari kelompok-
kelompok organisasi Islam yang bangkit kembali setelah rezim Orde Lama runtuh. Kelompok
mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan
KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia)—yang nota bene para anggotanya
1
Call for paper untuk Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha
Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium Gedung
Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017
2
3
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikian Muslim Masa orde Baru,
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 17
4
Ibid. h. 17
5
Ibid. h. 18
6
Ibid.
7
Ibid. h. 18
8
Fachry Ali dan Bahtiar Ef fendy, Merambah JalanBaru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru
(Bandung: Mizan, 1986), h. 294.
9
Ibid. h. 122
10
Ibid. h. 123
11
Ibid. h.123
12
M. Dawam Rahardjo, "Basis Sosial Pemikiran Islam di Indonesia Sejak Orde Baru," Prisma, No.3, Tahun XX, Maret
1991, h.18-19.
13
Ibid.
14
M. Kamal Hassan, Respon Intelektual Muslim Terhadap Politik Modernisasi Orde Baru, (Bandung Mizan, 1989), h. 13-14.
15
Ibid. h. 17-18.
16
Ibid.,h. 20.
17
Fachry Ali dan Bahtiar Ef fendy, Op. Cit. ,h. 16-17.
18
.Ibid.,h. 207-211. '
19
.Nurcholish Madjid, Islam,Kemodernan, dan Keindonesiaan. (Bandung Mizan, 1987), h. 171-203.
20
. Ibid.,h. 174-175.
21
. M. Kamal Hassan, op. cit., h. 21-30.
22
. Fachry All dan Bahtiar Effendy, op. cit., h.142-143.
23
Ibid.,h. 204.
24
.Ibid., h.205
Dengan uraiannya tentang sekularisasi itu, Nurcholish bermaksud membedakan, dan bukan
memisahkan, persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi. Pembedaan ini diperlukan karena ia
melihat banyak umat Islam yang tidak bisa melihat dan memahami persoalan secara proporsional.
Parameter yang digunakan untuk memberikan penilaian tentang nilai-nilai yang"Islami"
seringkali dikaitkan dengan tradisi yang sudah dianggap mapan.Sehingga Islam disejajarkan
dengan tradisi, dan menjadi Islamis disederajatkan dengan menjadi tradisionalis. Karena
membela Islam sama dengan membela tradisi, maka sering muncul kesan bahwa kekuatan Islam
adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Ini menyebabkan mereka kurang mampu
memberikan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia saat ini.
25
Ibid, h.207.
26
. Endang Saefuddin Anshary, Kritik atas Paham dan Gerakan "Pembaruan " Drs. Nurcholish Madjid (Bandung: Bulan
Sabit, 1973), h. 2.
27
. Ibid., h. 9.83.
28
. Abdul Qadir Djaelani, "Pokok-pokok Pikiran tentang Tulisan Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat oleh Nurcholish Madjid" dalam Pembaruan Pemikiran Islam (Jakarta: Islamic Research Centre, 1970), h. 17.
29
. H.M Rasyidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholisb Madjid Tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h. 15.
30
Ibid.,h. 83-84
31
Ibid.,h. 83-84
32
Mohammad Natsir, Menyelamatkan Umat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 11-13.
33
.Hamka, Beberapa Tantangan Terhadap Umat Islam di Masa Kini, Qakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 7-23.
34
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, op. cit., h, 142-143.
35
.Fachry All dan Bahtiar Effendy, op. cit., h.142-143.
36
.M. Kamal Hassan, op. cit., h. 72-77.
C. Penutup
Wacana pemikiran Islam pada masa Orde Baru, menampilkan pola "hegemonik," yakni
suatu bentuk hubungan dimana birokrasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang stabil
dan kuat, secara cultural dan struktural berada dalam posisi yang dominan dibanding dengan
kekuatan-kekuatan sosial-politiklainnya. Posisihegemonik ini erat kaitannya dengan strategi dan
kebijakan untuk mengamankan pembangunan dan modernisasi, dengan tujuan memperbaiki
keterpurukan ekonomi dan politik.
Kebijakan politik modernisasi bertujuan untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dari
negara-negara Barat serta legitimasi politik darirakyat. Tetapi membawa implikasi terhadap
masyarakat luas, khususnya umat Islam sebagai golongan mayoritas. Bagi kalangan
Islam,modernisasi merupakan persoalan yang relatif baru. Karena itu muncul reaksi atau respon
yang berbeda diantara berbagai kelompok Islam. Ada yang menolak karena modernisasi dinilai
sebagai westernisasi dan sekularisasi. Ada yang apologi, tetapi diikuti dengan penyesuaian diri
dan adaptasi. Tetapi ada pula yang menempuh pendekatan dialogis dan intelektual dalam
merespon modernisasi.
Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam" (GPPI) pada dekade 1970-an yang dipelopori oleh
sejumlah intelektual muda Islam, dengan tokoh utamanya Nurcholish Madjid. Gerakan
ditanggapi secara berbeda oleh kalangan Islam sendiri. Bagimereka yang setuju, GPPI adalah
suatu bentuk respon intelektual yang jujur dan kreatif terhadap perkembangan social politik yang
baru dibawah pemerintahan Orde Baru yang telah mendapatkan dukungan rakyat. Respon
intelektual itu diperlukan karena sebagian kalangan Islam, terutama angkatan tua golongan
modernister lalu obsesif dalam kegiatan-kegiatan politik partisan yang menuntut rehabilitasi
Masyumi atau terwujudnya "partai Islam" baru yang dikehendaki sebagai metamorfosa partai
Masyumi.
Kelompok-kelompok lain bersikap proktif terhadap modernisasi dan pembangunan serta
berusaha mencari akses danakomodatif terhadap Orde Baru. Respon intelektual diperlukan sebab
umat Islam, karena pengalaman sejarah dan kondisi obyektifnya sendiri berada dalam kejumu dan
berpikir, bersikapreaktif, dan tidak mampu melahirkan pemikiran-pemikiran alternatif sebagai
respon terhadap perubahan social kemasyarakatan dan politik sebagai dampak modernisasi. Bagi
yang tidak setuju GPPI adalah satu bentuk sikap akomodasionis terhadap pemikiran dan politik
modernisasi Orde Baru. Mereka menganggap GPPI taklebih dari sekedar upaya-upaya
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fachry dan Bahtiar Ef fendy, Merambah JalanBaru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986.
Anshary, Endang Saefuddin, Kritik atas Paham dan Gerakan "Pembaruan " Drs. Nurcholish
Madjid, Bandung: Bulan Sabit, 1973.
Anwar, M. Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendikian Muslim Masa orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.
Djaelani, Abdul Qadir, "Pokok-pokok Pikiran tentang Tulisan Keharusan Pembaruan Pemikiran
Islam dan Masalah Integrasi Umat oleh Nurcholish Madjid" dalam Pembaruan Pemikiran
Islam Jakarta: Islamic Research Centre, 1970.
H.M Rasyidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholisb Madjid Tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972.
Hamka, Beberapa Tantangan Terhadap Umat Islam di Masa Kini, Qakarta: Bulan Bintang, 1973.
Hassan, M. Kamal, Respon Intelektual Muslim Terhadap Politik Modernisasi Orde Baru,
Bandung Mizan, 1989
Madjid, Nurcholish, Islam,Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung Mizan, 1987
Rahardjo, M. Dawam, "Basis Sosial Pemikiran Islam di Indonesia Sejak Orde Baru," Prisma,
No.3, Tahun XX, Maret 1991.