Anda di halaman 1dari 110

Demi Kebebasan, Membela Kebathilan!

Oleh: Adian Husaini

Masih ingat Lia Eden? Dia mendakwahkan dirinya sebagai Jibril Ruhul Kudus. Lia, yang mengaku
mendapat wahyu dari Allah, pada 25 November 2007, berkirim surat kepada sejumlah pejabat
negara. Kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, Lia berkirim surat yang bernada amarah.
Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan
Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku, tulis Lia dalam surat
berkop Gods Kingdom: Tahta Suci Kerajaan Eden.

Jadi, mungkin hanya ada di Indonesia, Malaikat Jibril berkirim surat lengkap dengan kop surat dan
tanda tangannya, serta berganti tugas sebagai pencabut nyawa.

Maka, saat ditanya tentang status aliran semacam ini, MUI dengan tegas menyatakan, Itu sesat.
Mengaku dan menyebarkan ajaran yang menyatakan bahwa seseorang telah mendapat wahyu dari
Malaikat Jibril, apalagi menjadi jelmaan Jibril adalah tindakan munkar yang wajib dicegah dan
ditanggulangi. (Kata Nabi saw: Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah
dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan itulah
selemah-lemah iman).

Ada sejumlah fatwa yang telah dikeluarkan MUI tentang aliran sesat ini. Ahmadiyah dinyatakan sesat
sejak tahun 1980. Pada tahun 2005, keluar juga fatwa MUI yang menyatakan bahwa paham
Sekularisme, Pluralisme Agama dan Liberalisme, bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam
memeluknya. Tugas ulama, sejak dulu, memang memberikan fatwa. Tugas ulama adalah
menunjukkan mana yang sesat dan mana yang tidak; mana yang haq dan mana yang bathil.

Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengelarkan fatwa sesat terhadap kelompok-
kelompok seperti Lia Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang bilang MUI
tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di IAIN Semarang menurunkan laporan utama: Majelis
Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan. Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, MUI bisa dijerat
KUHP Provokator. Seorang staf dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (PBHI), dalam wawancaranya dengan jurnal keagamaan ini menyatakan, bahwa:

MUI kan hanya semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakan-akan mendapatkan legitimasi
Tuhan untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal, dia sendiri tidak
mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau persoalan agama, biarkan Tuhan yang menentukan.
Ketika ia ditanya, Menurut Anda, Sekarang MUI mau diapakan? dia jawab: Ya paling ideal
dibubarkan. (Jurnal Justisia, edisi 28 Th.XIII, 2005)
Majalah ADIL (edisi 29/II/24 Januari-20 Februari 2008), memuat wawancara dengan Abdurrahman
Wahid (AW):

Adil: Apa alasan Gus Dur menyatakan MUI harus dibubarkan?

AW: Karena MUI itu melanggar UUD 1945. Padahal, di dalam UUD itu menjamin kebebasan
mengeluarkan pendapat dan kemerdekaan berbicara..

Adil: Mengapa MUI tidak melakukan peninjauan atas konstitusi yang isinya begitu gamblang itu?

AW: Karena mereka itu goblok. Itu saja. Mestinya mereka mengerti. Mereka hanya melihat Islam itu
sebatas institusi saja. Padahal Islam itu adalah ajaran.

Adil: Apa seharusnya sikap MUI terhadap kelompok-kelompok Islam sempalan itu?

AW: Dibiarkan saja. Karena itu sudah jaminan UUD. Harus ingat itu.

Perlu dicatat, bahwa Ketua Umum MUI saat ini adalah K.H. Sahal Mahfudz yang juga Rais Am PBNU.
Wakil Ketua Umumnya adalah Din Syamsuddin, yang juga ketua PP Muhammadiyah. Hingga kini,
salah satu ketua MUI yang sangat vokal dalam menyuarakan kesesatan Ahmadiyah dan sebagainya
adalah KH Maruf Amin yang juga salah satu ulama NU terkemuka.

Sejak keluarnya fatwa MUI tentang Ahmadiyah dan paham Sepilis tahun 2005, berbagai kelompok
juga telah datang ke Komnas HAM, menuntut pembubaran MUI. Salah satunya adalah Kontras, yang
kini dikomandani oleh Asmara Nababan. Kelompok-kelompok ini selalu mengusung paham
kebebasan beragama. Puncak aksi mereka dalam aksi dukungan terhadap Ahmadiyah dilakukan
pada 1 Juni 2008 di kawasan Monas Jakarta, yang kemudian berujung bentrokan dengan massa
Islam yang berdemonstrasi di tempat yang sama.

Dasar kaum pemuja kebebasan untuk menghujat MUI adalah HAM dan paham kebebasan. Bagi
kaum liberal ini, pasal-pasal dalam HAM dipandang sebagai hal yang suci dan harus diimani dan
diaplikasikan. Dalam soal kebebasan beragama, mereka biasanya mengacu pada pasal 18 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan: Setiap orang mempunyai hak kebebasan
berpendapat, keyakinan dan agama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau
keyakinan, dan kebebasan baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain dan dalam
ruang publik atau privat untuk memanifestasikan agama dan keyakinannya dalam menghargai,
memperingati, mempraktekkan dan mengajarkan.
Deklarasi ini sudah ditetapkan sejak tahun 1948. Para pendiri negara Indonesia juga paham akan hal
ini. Tetapi, sangatlah naif jika pasal itu kemudian dijadikan dasar pijakan untuk membebaskan
seseorang/sekelompok orang membuat tafsir agama tertentu seenaknya sendiri. Khususnya Islam.
Sebab, Islam adalah agama wahyu (revealed religion) yang telah sempurna sejak awal (QS 5:3). Umat
Islam bersepakat dalam banyak hal, termasuk dalam soal kenabian Muhammad saw sebagai nabi
terakhir. Karena itu, sehebat apa pun seorang Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu anhum, mereka tidak terpikir sama sekali untuk mengaku
menerima wahyu dari Allah. Bahkan, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq telah bertindak tegas
terhadap para nabi palsu dan para pengikutnya.

Ada batas

Masalah semacam ini sudah sangat jelas, sebagaimana jelasnya ketentuan Islam, bahwa shalat
subuh adalah dua rakaat, zuhur empat rakaat, haji harus dilakukan di Tanah Suci, dan sebagainya.
Karena itulah, dunia Islam tidak pernah berbeda dalam soal kenabian. Begitu juga umat Islam di
Indonesia. Karena itulah, setiap penafsiran yang menyimpang dari ajaran pokok Islam, bisa dikatakan
sebagai bentuk kesesatan. Meskipun bukan negara Islam, tetapi Indonesia adalah negara dengan
mayoritas pemeluk Islam. Keberadaan dan kehormatan agama Islam dijamin oleh negara. Sejak lama
pendiri negara ini paham akan hal ini. Bahkan, KUHP pun masih memuat pasal-pasal tentang
penodaan agama. UU No 1/PNPS/1965 yang sebelumnya merupakan Penpres No 1/1965 juga
ditetapkan untuk menjaga agama-agama yang diakui di Indonesia.

Bangsa mana pun paham, bahwa kebebasan dalam hal apa pun tidak dapat diterapkan tanpa batas.
Ada peraturan yang harus ditaati dalam menjalankan kebebasan. Seorang pengendara motor kaum
liberal atau tidak tidak bisa berkata kepada polisi, Bapak melanggar HAM, karena memaksa saya
mengenakan helm. Soal kepala saya mau pecah atau tidak, itu urusan saya. Yang penting saya tidak
mengganggu orang lain.

Namun, simaklah, betapa ributnya sebagian kalangan ketika Pemda Sumbar mewajibkan siswi-siswi
muslimah mengenakan kerudung di sekolah. Kalangan non-Muslim juga ikut meributkan masalah ini.
Ketika ada pemaksaan untuk mengenakan helm oleh polisi mereka tidak protes. Tapi, ketika ada
pemaksaan oleh pemeritah untuk mengenakan pakaian yang baik, seperti mengenakan kerudung,
maka mereka protes. Padahal, itu sama-sama menyangkut hak pribadinya. Dalam 1 Korintus 11:5-6
dikatakan:

Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung,
menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika
perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi
jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia
menudungi kepalanya.
Orang-orang Barat, meskipun beragama Kristen, tidak mau mewajibkan kerudung. Bahkan, karena
pengaruh paham sekularisme, banyak sekolah di Barat termasuk di Turki yang melarang siswanya
mengenakan kerudung. Untuk itulah mereka kemudian membuat berbagai penafsiran yang ujung-
ujungnya menghilangkan kewajiban megenakan kerudung bagi wanita.

Jadi, karena ingin menerapkan paham kebebasan, maka mereka menolak aturan-aturan agama.
Konsep kebebasan antara Barat dan Islam sangatlah berbeda. Islam memiliki konsep ikhtiyar yakni,
memilih diantara yang baik. Umat Islam tidak bebas memilih yang jahat. Sedangkan Barat tidak
punya batasan yang pasti untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua
diserahkan kepada dinamika sosial. Perbedaan yang mendasar ini akan terus menyebabkan
terjadinya clash of worldview dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dua konsep yang
kontradiktif ini tidak bisa dipertemukan. Maka seorang harus menentukan, ia memilih konsep yang
mana.

Kaum Muslim yang masih memegang teguh aqidahnya, pasti akan marah membaca novel The
Satanic Verses-nya Salman Rushdie. Novel ini sangat biadab; misalnya menggambarkan sebuah
komplek pelacuran di zaman jahiliyah yang dihuni para pelacur yang diberi nama istri-istri Nabi
Muhammad saw. Bagi Islam, ini penghinaan. Bagi kaum liberal, itu kebebasan berekspresi. Bagi
Islam, pemretelan ayat-ayat al-Quran dalam Tadzkirah-nya kaum Ahmadiyah, adalah penghinaan,
tapi bagi kaum liberal, itu kebebasan beragama. Berbagai ucapan Mirza Ghulam Ahmad juga bisa
dikategorikan sebagai penghinaan dan penodaan terhadap Islam. Sebaliknya, bagi kaum liberal,
Ahmadiyah adalah bagian dari kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bagi Islam, beraksi porno
dalam dunia seni adalah tercela dan dosa. Bagi kaum liberal, itu bagian dari seni dan kebebasan
berekspresi, yang harus bebas dari campur tangan agama.

Kaum liberal, sebagaimana orang Barat pada umumnya, menjadikan faktor mengganggu orang lain
sebagai batas kebebasan. Seseorang beragama apa pun, berkeyakinan apa pun, berperilaku dan
berorientasi seksual apa pun, selama tidak mengganggu orang lain, maka perilaku itu harus
dibiarkan, dan negara tidak boleh campur tangan. Bagi kaum liberal, tidak ada bedanya seorang
menjadi ateis atau beriman, orang boleh menjadi pelacur, pemabok, menikahi kaum sejenis
(homo/lesbi), kawin dengan binatang, dan sebagainya. Yang penting tidak mengganggu orang lain.
Maka, dalam sistem politik mereka, suara ulama dengan penjahat sama nilainya.

Bagi kaum pemuja paham kebebasan, pelacur yang taat hukum (tidak berkeliaran di jalan dan ada
ijin praktik) bisa dikatakan berjasa bagi kemanusiaan, karena tidak mengganggu orang lain. Bahkan
ada yang menganggap berjasa karena menyenangkan orang lain. Tidak heran, jika sejumlah aktivis
AKKBB, kini sibuk berkampanye perlunya perkawinan sesama jenis dilegalkan di Indonesia. Dalihnya,
juga kebebasan melaksanakan perkawinan tanpa memandang orientasi seksual. Mereka sering
merujuk pada Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) tentang Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik. Maka, tidak heran, jika seorang aktivis liberal seperti Musdah Mulia membuat
pernyataan: Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini. Juga, ia
katakan, bahwa Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan
memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi
seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya. (Jurnal Perempuan, Maret 2008).

Apakah kaum liberal juga memberi kebebasan kepada orang lain? Tentu tidak! Mereka juga
memaksa orang lain untuk menjadi liberal, sekular. Mereka marah ketika ada daerah yang
menerapkan syariah. Mungkin, mereka akan sangat tersinggung jika lagu Indonesia Raya dicampur
aduk dengan lagu Gundhul-gundhul Pacul. Mereka juga akan marah jika lambang negara RI burung
garuda diganti dengan burung emprit. Tapi, anehnya, mereka tidak mau terima jika umat Islam
tersinggung karena Nabinya diperhinakan, Al-Quran diacak-acak, dan ajaran Islam dipalsukan. Untuk
semua itu, mereka menuntut umat Islam agar toleran,dewasa, dan tidak emosi. Demi
kebebasan!, kata mereka.

Logika kelompok liberal seperti Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKKBB) dalam membela habis-habisan kelompok Ahmadiyah dengan alasan kebebasan beragama
dan berkeyakinan sangatlah absurd dan naif. Mereka tidak mau memahami, bahwa soal Ahmadiyah
adalah persoalan aqidah. Sebab, Ahmadiyah sendiri juga berdiri atas dasar aqidah Ahmadiyah yang
bertumpu pada soal klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Karena memandang semua agama sama
posisinya, maka mereka tidak bisa atau tidak mau membedakan mana yang sesat dan mana yang
benar. Semuanya, menurut mereka, harus diperlakukan sama.

Cara pandang kaum pemuja kebebasan semacam itulah yang secara diametral bertentangan
dengan cara pandang Islam. Islam jelas membedakan antara Mumin dan kafir, antara yang adil dan
fasiq. Masing-masing ada tempatnya sendiri-sendiri. Orang kafir kuburannya dibedakan dari orang
Islam. Kaum Muslim diperintahkan, jangan mudah percaya pada berita yang dibawa orang fasiq,
seperti orang yang kacau shalat lima waktunya, para pemabok, pezina, pendusta, dan sebagainya.
Jadi, dalam pandangan Islam, manusia memang dibedakan berdasarkan takwa nya.

Jadi, itulah cara pandang para pemuja kebebasan. Jika ditelaah, misi mereka sebenarnya adalah ingin
mengecilkan arti agama dan menghapus agama dari kehidupan manusia. Mereka maunya manusia
bebas dari agama dalam kehidupan. Untuk memahami misi kelompok semacam AKKBB ini, cobalah
simak misi dan tujuan kelompok-kelompok persaudaraan lintas-agama seperti Free Mason yang
berslogan liberty, fraternity, dan egality, atau kaum Theosofie yang bersemboyan: There is no
religion higher than Truth. Jadi, kaum seperti ini punya sandar kebenaran sendiri yang mereka
klaim berada di atas agama-agama yang ada. [Depok, 13 Juni 2008/www.hidayatullah.com]
Tamsil Anjing untuk Penjual Kebenaran

Oleh: Adian Husaini

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami,
kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu
jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka
dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga).

Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah
kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS al-Araf:175-176)

Menarik untuk merenungkan ayat Al-Quran tersebut. Ayat 175 surat al-Araf ini menceritakan
tentang orang-orang yang telah didatangkan ayat-ayat Allah kepada mereka, tetapi dia kemudian
melepaskan diri dari ayat-ayat itu.

Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka menjelaskan, bahwa orang-orang ini sudah terhitung pakar
atau ahli dalam mengenal ayat-ayat Allah. Tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat Allah saja,
kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu, maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu
satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas dari ayat-ayat itu. Ayat-ayat itu
tanggal atau copot dari dirinya.

Dalam ayat ini, kata digunakan lafazh insalakha, arti asalnya ialah menyilih (ganti kulit. Bahasa Jawa:
mlungsungi untuk ular). Atau, ketika orang menyembelih kambing, maka dia kuliti dan dia
tanggalkan kulit kambing, sehingga tinggal badannya saja. Ini juga disebut insalakha.

Masih tulis Hamka dalam tafsirnya: Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti
ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir,
tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.

Maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat.

Kata Buya Hamka, rupanya karena hawa nafsu, maka ayat-ayat yang telah diketahui itu tidak lagi
membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuat jadi gelap.

Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut syaitan, sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia
hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun bertambah lama bertambah sesat.
Seumpama ada seorang yang lama berdiam di Makkah dan telah disangka alim besar, tetapi karena
disesatkan oleh syaitan, dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bersembahyang lagi.

Maka, karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Quran yang dia hafal itu untuk mempertahankan
kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat dan hadits itu, tetapi ayat dan
hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia tinggal dalam keadaan telanjang. Naudzubillah min
dzalik, demikian tulis Hamka dalam tafsir terkenalnya.

Terhadap manusia jenis ini, al-Quran menggunakan perumpamaan dan sebutan yang sangat buruk,
yaitu mereka diumpakan sebagai anjing. Hamka memberi uraian terhadap tamsil orang yang
menukar kebenaran dengan kekufuran ini: Laksana anjing, selalu kehausan saja, selalu lidahnya
terulur karena tidak puas-puas karena tamaknya.

Walaupun dia sudah dihalaukan pergi, lidahnya masih terulur, karena masih haus, karena masih
merasa belum kenyang, dan walaupun dibiarkan saja, lidahnya diulurkannya juga.

Cobalah pelajari dengan seksama, mengapa maka binatang yang satu itu, anjing, selalu mengulurkan
lidah? Sebabnya ialah karena tidak pernah merasa puas. Lebih-lebih pada siang hari, di kala panas
mendenting-denting.

Anjing mengulurkan lidah terus, karena selalu merasa belum kenyang, karena hawanafsunya belum
juga terpenuhi.

Tamsil Al-Quran tentang anjing untuk orang-orang yang membuang kebenaran dan mengikuti
kebatilan ini sangat penting untuk kita renungkan, mengingat kita melihat satu fenomena aneh di
Indonesia, banyaknya orang-orang yang dulunya belajar agama di institusi-institusi pendidikan Islam,
mengerti ayat-ayat Allah, tetapi akhirnya justru menjadi garda terdepan dalam melawan dan
melecehkan ayat-ayat Allah sendiri.

Ini tidak bisa disalahkan pada lembaga pendidikannya begitu saja, tetapi perlu ditanyakan, mengapa
ada manusia yang menjual kebenaran, membuang kebenaran yang telah diketahuinya, dan
kemudian memilih menjadi anjing sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran.

Peringatan Allah SWT tersebut sangat penting untuk direnungkan oleh siapa saja. Oleh kita semua.
Agar kita tidak masuk ke dalam kategori anjing yang menjulur-julurkan lidahnya.

Kita mengingatkan saudara-saudara kita, yang mungkin lupa akan peringatan Allah tersebut. Agar
kita tidak mudah menjual ayat-ayat Allah, membuangnya, bahkan tak segan-segan menjadi garda
terdepan dalam menghujat dan memutarbalikkan kebenaran.
Kita, misalnya, berkewajiban mengingatkan orang yang mengerti ayat-ayat Allah, malah menjadi
penghujat ayat-ayat Allah itu sendiri, hanya karena terpesona dan terkagum-kagum oleh satu atau
dua tulisan kaum orientalis yang melakukan studi Al-Quran.

Belum lama ini (5 Juli 2005), seorang yang mengaku Islam Liberal yang berasal dari satu pelosok
kampung di wilayah Bekasi meluncurkan tulisan yang memuji-muji habis-habisan orientalis dalam
studi Al-Quran. Tulisan itu dia beri judul AI-Qur'an dan Orientalisme.

Bagi yang mengikuti studi Al-Quran dengan cermat, tulisan ini sebenarnya berkualitas sampah, tidak
ada data-data ilmiah yang ditampilkan, tetapi hanya berupa puji-pujian tanpa bukti terhadap kaum
orientalis.

Tulisan ini sebenarnya sangat memalukan, bagi seorang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi
di Timur Tengah. Tapi, tampak, bahwa rasa malu itu sudah hilang dari dirinya.

Tentang studi para orientalis terhadap Al-Quran, si penulis itu menyatakan:

Studi mereka tentang sejarah Alquran misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-
sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu
kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik.

Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah
pembentukan Alquran.

Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum muslim adalah bahwa para orientalis
itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan.

Saya pernah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor
Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Alquran.

Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan
mengagumkan.

Cobalah kita simak kata-kata penulis yang juga dosen pemikiran Islam di Universitas
Paramadinamulya ini. Begitu tinggi dia menghargai orientalis dan sebaliknya mencurigai para ulama
Islam.
Padahal, kita sudah diajarkan oleh Rasulullah saw untuk bersikap kritis terhadap sumber-sumber dari
kaum Yahudi dan Kristen. Kita tidak boleh menolak atau menerima begitu saja.

Tetapi, bukti-bukti menunjukkan, banyak orientalis yang memang melakukan studinya dengan tidak
jujur.

Justru orientalis yang disebut oleh penulis itu termasuk ke dalam daftar orientalis yang licik dalam
studi Al-Quran. Bahkan, sebagian orientalis sudah mengritik kajian mereka.

Sebutlah contoh John Wansbrough. Seorang orientalis bernama Juynboll secara mendasar telah
mengkritik Wansbrough karena terlalu selektif dalam memilih sumber-sumber rujukan yang sesuai
dengan pra-anggapan penelitiannya.

Wansbrough berpendapat, bahwa tidak ada teks Al-Quran yang fixed sebelum akhir abad ke-2
Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah. Tetapi, Juynboll membuktikan, bahwa Wansbrough berlaku
curang karena tidak memasukkan literatur Islam sebelum abad ke-2 yang dapat menggoyahkan
teorinya, seperti Kitab Al- Alim wa al-Mutaallim and Risala ila Utsman al-Baitti yang keduanya ditulis
oleh Abu Hanifah (150 H.).

Estelle Whellan juga telah meruntuhkan kesimpulan Wansbrough, dengan membuktikan bahwa teks
Al Quran telah menjadi teks yang tetap pada abad pertama Hijrah.

Karena itu, kita heran, bagaimana si penulis artikel tersebut berani menyatakan bahwa Sejauh
menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan
mengagumkan. Jelas kesimpulan yang ngawur.

Para orientalis sendiri tentu tertawa melihat kesimpulan penulis yang terlalu panjang dalam
menjulurkan lidahnya. Apalagi, dia sendiri mengaku baru membaca sebagian karya para orientalis
tersebut.

Belum tamat membacanya sudah memuji setinggi langit, dan taklid buta terhadap kajian orientalis.

Dalam film-film tentang zaman penjajahan Belanda, kita menyaksikan kaum pribumi para kaki
tangan Belanda (londo ireng), tak jarang melakukan kekejaman melebihi orang Belanda sendiri
terhadap kaum pribumi.

Biasanya, para londo ireng itu ingin, agar kesetiaanya kepada sang tuan tidak diragukan.
Untuk itu, ia menguliti dirinya sendiri, membuang seluruh identitas pribuminya, agar ia benar-benar
tampak lebih Belanda ketimbang orang Belanda sendiri.

Disamping rajin memuji-muji tuannya, ia juga tak segan-segan memasok informasi tentang orang-
orang yang dianggap membahayakan kepentingan sang penjajah. Tentu saja, semua itu ada
imbalannya.

Tentang Arthur Jeffery, Adnin Armas, kandidat doktor di ISTAC Kuala Lumpur, yang baru
menerbitkan bukunya, Metode Bibel dalam Studi Al-Quran membuktikan ketidakjujuran orientalis
yang satu ini dalam melakukan studi Al-Quran.

Misalnya, dikatakan Jeffery, bahwa ketika Uthman r.a. mengirim teks standar ke Kufah dan
memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Masud menolak menyerahkan mushafnya.

Dia marah karena teks yang dibuat Zaid ibn Thabit yang lebih muda, lebih diprioritaskan
dibandingkan mushafnya.

Padahal ketika Ibn Masud sudah menjadi Muslim, Zaid masih berada dalam pelukan orang-orang
kafir.

Di sini tampak jelas kekeliruan atau ketidakjujuran Jeffery dalam menulis sejarah Al-Quran. Ia tidak
mengkaji secara menyeluruh sikap Abdullah ibn Masud.

Padahal, Kitab al-Mashaahif yang diedit sendiri oleh Jeffery -- menunjukkan bahwa Ibn Masud
meridhai kodifikasi yang dilakukan Uthman bin Affan. Ibnu Masud mempertimbangkan kembali
pendapatnya yang awal dan kembali kepada pendapat Uthman dan para Sahabat lainnya.

Ibnu Masud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya. Jadi, pendapat Jeffery
menjadi naf karena justru dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, Ibnu Masud pada akhirnya
menyetujui kebijakan Utsman, yang disokong oleh para Sahabat lainnya.

Bukti-bukti kekeliruan orientalis dalam melakukan studi Islam sudah banyak ditunjukkan oleh para
cendekiawan Muslim atau oleh para orientalis sendiri.
Kaum Muslim juga maklum, bahwa tidak semua hasil studi mereka ditolak begitu saja. Ada yang
bermanfaat untuk kaum Muslim. Tetapi, memuji mereka tanpa ilmu pengetahuan yang memadai
adalah sikap naif yang tidak perlu dilakukan.

Tamsil Al-Quran tentang anjing yang menjulur-julurkan lidahnya perlu kita renungkan secara
mendalam. sebagai Muslim tentu kita tidak menginginkan diri kita sendiri termasuk kategori anjing
sebagaimana digambarkan dalam surat al-Araf tersebut.

Jika kita sudah memahami ayat-ayat Allah SWT, seyogyanya kita berusaha memahami dan
mengamalkannya.

Dan sebagai orang yang berakal sehat, kita tentu sangat khawatir jika diri kita sampai masuk kategori
anjing. Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang bangga menduduki posisi 'anjing'.
Na'udzubillah min dzalika. (Jakarta, 8 Juli 2005).
SYAFII MAARIF BERGURU PADA IBLIS?

Wartapilihan.com Dalam sebuah diskusi buku Islam, Sejarah Pemikiran dan Peradaban karya
Fazlur Rahman yang digelar di UIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta, Jumat pekan lalu, Ahmad Syafii Maarif
melontarkan pernyataan yang cukup berani. Kalau ada iblis buka sekolah tinggi dengan kurikulum
yang hebat, saya masuk ke sana, sebagaimana dilansir oleh Rimanews yang dikutip oleh Repelita
Online, 25 Maret 2017.

Pernyataan itu terlontar setelah Syafii Maarif melakukan kritik terhadap umat Islam. Menurutnya,
Islam itu tidak hanya Arab. Paham Islam-Arab ini mengarahkan orang untuk bersikap anti terhadap
Barat, katanya. Inilah, menurut Syafii, yang dikritik oleh Fazlur Rahman. Bagi Syafii, Fazlur Rahman
adalah maha guru ke-Islam-an ketika ia menimba ilmu di Universitas Chicago, Amerika Serikat, di
awal tahun 1980-an. Selain Syafii, Nurcholish Majid dan Amien Rais adalah orang Indonesia angkatan
pertama yang mengikuti kelas-kelas Fazlur Rahman di Universitas Chicago.

Fazlur Rahman(September 1919 26 Juli 1988) adalah seorang cendekiawan asal Pakistan. Ia
menempuh pendidikan tradisional di Pakistan dan pendidikan tinggi sampai mendapat gelar doktor
dengan disertasi tentang Ibnu Sina dari Universitas Oxford, Inggris. Tapi, pemikiran-pemikirannya
yang cenderung liberal membuatnya ia mendapat tentangan dari para ulama di Pakistan.

Akhirnya, pada 1968, setelah melalui gelombang unjuk rasa yang melibatkan berbagai kalangan
masyarakat Muslim Pakistan, Fazlur Rahman meninggalkan Pakistan dan mengajar di Universitas
California, Los Angeles. Setahun kemudian ia mengajar di Universitas Chicago sampai akhir hayatnya.

Apa yang menyebabkan Fazlur Rahman terusir dari negerinya sendiri? Salah satunya adalah
pendapatnya yang mengatakan bahwa, Al-Quran secara keseluruhan adalah kalam Allah dan dalam
pengertian biasa juga seluruhya merupakan perkataan Muhammad.

Padahal, bagi umat Islam, Al-Quran adalah murni kalam Ilahi.

Ke-orisinilan Al-Quran dijaga langsung oleh Allah Subhanahu wataala sebagaimana firman-Nya:

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Quran), dan sesungguhnya Kami benar-
benar akan menjaganya. [QS. al-Hijr:9]

Untuk membuktikan bahwa Al-Quran bukan buatan manusia atau buatan Nabi Muhammad
Shalallahu alaihi wa sallam, coba kita baca firman Allah dalam surah Attaubah ayat 43:

Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi
berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu
ketahui orang-orang yang berdusta?
Masuk akalkah, jika seseorang yang membuat ayat-ayat Al-Quran lalu dia menegur dirinya sendiri?
Orang-orang liberal selama ini menafsirkan Al-Quran tanpa memperhatikan metodologi dan adab,
sebagaimana dilakukan oleh para shalafus shalih. Bagi kalangan liberal, siapa saja berhak untuk
menafsirkan Al-Quran.

Akibatnya, kerancuan mewarnainya. Bahkan, dengan pendekatan hermeneutika, mereka seakan


lebih paham akan tafsir teks dari si penciptanya. Ini jelas tidak bisa diterapkan pada Al-Quran,
dimana yang paling tahu makna dari isi teks adalah Allah Subhanahu wa taala, yang menurunkan Al-
Quran kepada Nabi muhammad Shalallahu alaihi wa sallam melalui Malaikat Jibril.

Jika Syafii Maarif membela Fazlur Rahman yang pernah menjadi gurunya di Universitas Chicago itu,
bisa difahami. Pepatah mengatakan, Guru kencing berdiri, murid kencing berlari nampaknya
dipegang oleh sang murid. Jika Fazlur Rahman berpendapat bahwa ada campur tangan manusia
dalam isi Al-Quran, maka sang murid lebih seru lagi, Berguru pada Iblis.

Padahal, kita tahu, Iblis, makhluk Allah yang bahan bakunya api yang panas itu, punya sifat angkuh
dan sombong, serta selalu membangkang terhadap perintah Allah. Lalu, kurikulum hebat yang
bagaimana jika sang Iblis membuat sekolah tinggi? Bisa jadi, kurikulumnya tidak jauh-jauh dari
pernyataan Iblis kepada Allah ketika ia diberi dispensasi berupa umur yang panjang sampai hari
kiamat, lalu bersumpah untuk menyesatkan umat manusia, sebagaimana diabadikan dalam surah
Shaad ayat 82-83:

Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,

kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.

Menjadi murid Iblis, betapa pun hebat kurikulumnya, tetap saja menyesatkan umat manusia dan
tujuan akhirnya mengantarkan mereka ke neraka. Naudzubillahi mindzalik! Semoga Allah
membukakan pintu hidayah dan kembali ke jalan yang lurus untuk Ahmad Syafii Maarif yang pada
31 Mei nanti memasuki usia 82 tahun. Wallahu Alam.

Penulis: Herry M. Joesoef


Hamka dan Pluralisme Agama

Oleh: Adian Husaini

Pada Selasa, 21 Nopember 2006, Syafii Maarif menulis kolom resonansi di Republika yang berjudul
Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi
acara kajian tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi
hingga malam hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan Syafii Maarif
tersebut. Rabu paginya, setibanya di Jakarta, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif.
Setelah saya cek ke Tafsir al-Azhar, karya Buya Hamka, seperti yang dirujuk Syafii Maarif, memang
ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang
keliru terhadap sosok Prof. Hamka, ulama terkenal yang legendaris.

Pluralisme Agama tampaknya memang sudah menjadi alat penghancur aqidah Islam yang sangat
intensif disebarkan ke berbagai pelosok. Kamis (30 November 2006), malam, seseorang yang tinggal
di satu kota kecil di propinsi Banten, menelepon saya dan meminta untuk datang ke kota itu karena
baru saja diselenggarakan satu seminar yang menyebarkan paham Pluralisme Agama.

Ayat Al-Quran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan
oleh kalangan pendukung paham Pluralisme Agama untuk menjustifikasi paham Pluralisme Agama,
bahwa semua agama adalah merupakan jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang satu. Tidak
peduli siapa pun nama dan sifat Tuhan itu ; dan tidak peduli bagaimana pun cara menyembah Tuhan
itu.

Dalam bahasa Nurcholish Madjid: bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan
terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan
dari berbagai Agama. Dalam bukunya, The Worlds Religions, Huston Smith juga menulis satu sub-bab
berjudul Many Paths to the Same Summit. Ia menulis: Truth is one; sages call it by different names.
(Kebenaran memang satu; orang-orang bijak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda).

Jadi, dalam pandangan Pluralisme Agama versi transendentalisme ini, tidak ada agama yang salah,
dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-
satunya menuju Tuhan. Kalangan Pluralis kemudian mencari-cari dalil dalam kitab sucinya masing-
masing untuk mendukung paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan
5:69 untuk menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip
Bagawad Gita IV:11: Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.

Tentu saja, legitimasi paham Pluralisme Agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci masing-
masing agama mendapatkan perlawanan keras dari masing-masing agama. Tahun 2000, Vatikan
telah menolak Paham Pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus.
Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham Pluralisme
Agama berjudul: Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi
Kristen Masa Kini. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham Pluralisme
Agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul Semua Agama Tidak
Sama. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung
paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham Universalisme Radikal.

Penyalahgunaan

Di kalangan kaum Pluralis agama yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan
legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asalkan beriman kepada Tuhan dan
Hari Akhir, serta berbuat baik terhadap sesama manusia, maka dia akan mendapat pahala dari Allah
dan masuk sorga. Tidak pandang agamanya apa, Tuhannya siapa, dan bagaimana cara menyembah
Tuhannya. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen,
misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad saw. Untuk mencari legitimasi, yang sering
dijadikan rujukan adalah Tafsir al-Manar-nya yang ditulis oleh Rasyid Ridha.

Prof. Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul Is Islamic Revelation an
Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic self-identification, menyatakan: Rasyid Ridha
tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang
berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab
Yahudi dan Kristen.

Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip Tafsir al-
Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas
tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah
membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka yang dakwah Nabi Muhammad saw
tidak sampai. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS
3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, diantaranya: (1) beriman kepada Allah
dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan
ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada Al-Quran yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

Al-Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al-fathrah,
yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan pemaaf yang bisa membebaskan
mereka dari hukuman (l 'udzr lahum dn al-'uqbah), karena mereka masih dapat mengenali ajaran
kenabian yang benar.

Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat "beriman kepada
Allah" dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, sebagaimana disyaratkan
dalam QS 2:62-dan 5:69, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw, yaitu Nabi
Muhammad saw. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat
mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi
Muhammad saw, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar. Jika
tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw, mustahil manusia dapat mengenal Allah dan beribadah
degan benar, karena Allah SWT hanya memberi penjelasan tentang semua itu melalui rasul-Nya.

Pendapat Hamka

Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga
tidak berbeda dengan para mufassir terkemuka yang lain. Termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan
5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan:
"Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan
diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak
menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.

Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif
bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan
memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada
Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk
percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih."

Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala
dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Al-Quran, dan
beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika seseorang beriman
kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad saw, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam.
Dengan kata lain, dalam pandangan Hamka, siapa pun yang tidak beriman kepada Allah, Al-Quran,
dan Nabi Muhammad saw, meskipun dia mengaku secara formal beragama Islam, tetap tidak akan
mendapatkan keselamatan. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.

Soal keimanan kepada Nabi Muhammad saw dan Al-Quran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh
kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw.
Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kaum Muslim
mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad saw, sebagai penutup para Nabi.

Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih
mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya
merayakan Natal Bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok
Hamka sangat jauh bedanya dengan para pengusung paham Pluralisme Agama. Hamka sangat tegas
dalam masalah keimanan.

Dalam catatan ini, kita pernah mengutip satu tulisan Buya Hamka yang berjudul: Toleransi,
Sekulerisme, atau Sinkretisme. Di situ, Prof. Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama
Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tetapi akan menyuburkan
kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka memberikan komentar tentang usulan akan perlunya
diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan.

Hamka menulis: Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu bahwa Tuhan Allah beranak, dan
Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi
Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi
Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku
karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur
mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah
satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka
percayai dan tidak dapat mereka terima Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi.
Mereka, kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang
dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau
keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian
Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak,
sebab kalau diterima, kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara
sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di
atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta
dalam Yesus.

Kita perlu menggarisbawahi ungkapan Buya Hamka, bahwa dalam hal kepercayaan tidak ada
toleransi.

Ya, tentu kita maklum, bahwa dalam soal keyakinan memang tidak ada kompromi. Jika kita yakin
bahwa Iblis adalah musuh yang nyata, maka tidak mungkin kita juga mengakuinya sebagai teman
akrab. Jika seorang Muslim yakin bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib, maka tidak mungkin pada
saat yang sama dia juga meyakini konsep trinitas dalam Kristen. Lakum dinukum waliya din. Bagi
kami agama kami, bagi anda agama anda. Demikianlah sikap yang diajarkan dalam Al-Quran. Kita
menghormati keyakinan orang lain, tanpa mengurangi keyakinan kita sebagai seorang Muslim.
(Depok, 1 Desember 2006).
Mengapa Tega Mencaci al-Quran dan Sahabat Nabi?

Oleh: Adian Husaini

Sebagian pendukung paham sekularisme dan liberalisme mungkin tidak sadar, bahwa penyebaran
paham ini sejatinya bagaikan membuka sebuah kotak pandora. Saat kotak itu terbuka, maka
terjadilah peristiwa-peristiwa tragis yang susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit
dikendalikan lagi. Paham ini yang biasanya berlindung dibalik jargon pencerahan dan kebebasan
berpikir menyimpan agenda-agenda dahsyat berupa penghancuran agama itu sendiri. Liberalisasi
yang tanpa kendali telah terbukti menjadi senjata pemusnah masal buat agama-agama.

Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema sekularisasi dan liberalisasi Islam di
Indonesia saat ini adalah tema dekonstruksi Kitab Suci. Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan
lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan
keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya
Kitab Suci yang suci, yang bebas dari kesalahan. Sebagaimana kita bahas dua pekan lalu, sekarang
sudah banyak orang dari kalangan Muslim sendiri yang bekerja keras untuk meruntuhkan otentisitas
al-Quran sebagai Kitab Suci umat Islam. Ibarat dalam satu peperangan, para penghujat al-Quran ini
laksana menikam kaum Muslimin dari belakang.

Diantara tulisan-tulisan itu ada yang dikemas halus dan cukup ilmiah, sehingga tidak mudah bagi
kebanyakan kaum Muslim untuk mengkritiknya. Tapi, ada juga penulis yang menggunakan bahasa
yang kasar dan caci maki terhadap al-Quran, para sahabat, dan para ulama Islam.

Dalam acara bedah buku Prof. Musthafa Azhami, The History of The Quranic Text, di Universitas
Islam Negeri Jakarta, 12 Mei 2005, saya menunjukkan beberapa buku yang kini tersebar bebas dan
secara terang-terangan menyerang kesucian al-Quran. Beberapa diantaranya sudah kita ungkap
dalam catatan terdahulu. Ada satu buku lagi berjudul Lobang Hitam Agama (2005) yang secara
terbuka mencaci maki al-Quran dan

para sahabat Nabi.

Di dalam buku ini tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:

Bahkan sesungguhnya hakikat al-Quran bukanlah teks verbal yang terdiri atas 6666 ayat bikinan
Usman itu melainkan gumpalan-gumpalan gagasan. (hal. 42).

Al-Quran bagi saya hanyalah berisi semacam spirit ketuhanan yang kemudian dirumuskan
redaksinya oleh Nabi. (hal. 42).
Oleh karena itu, Nabi, sahabat, dan pengalaman komunitas Mekkah dan Madinah (tajribatul
madinah wa makkah) pada hakikatnya adalah co-author karena ikut menciptakan al-Quran.
(hal. 43).

Seandainya (sekali lagi seandainya) Pak Harto berkuasa ratusan tahun, saya yakin Pancasila ini bisa
menyaingi al-Quran dalam hal keangkerannya tentunya. (hal. 64).

Al-Quran, sehingga menjadi Kitab Suci (sengaja saya pakai tanda kutip) juga tidak lepas dari peran
serta tangan-tangan gaib yang bekerja di balik layar maupun diatas panggung politik kekuasaan
untuk memapankan status al-Quran. Dengan kata lain, ada proses historis yang amat pelik dalam
sejarah pembukuan al-Quran hingga teks ini menjadi sebuah korpus resmi yang diakui secara
konsensus oleh semua umat Islam. Proses otorisasi sepanjang masa terhadap al-Quran menjadikan
kitab ini sebuah scripto sacra yang disanjung, dihormati, diagungkan, disakralkan dan dimitoskan.
Padahal sebagian dari proses otorisasi itu berjalan dan berkelindan dengan persoalan-persoalan
politik yang murni milik Bangsa Arab. Bahkan proses turunnya ayat-ayat al-Quran sendiri tidak lepas
dari intervensi Quraisy sebagai suku mayoritas Arab. (hal. 65)

Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika dikatakan, al-Quran, dalam batas tertentu, adalah
perangkap yang dipasang bangsa Quraisy (a trap of Quraisy). (hal. 65).

Kita tahu, al-Quran yang dibaca oleh jutaan umat Islam sekarang ini adalah teks hasil kodifikasi
untuk tidak menyebut kesepakatan terselubung antara Khalifah Usman (644-656M) dengan
panitia pengumpul yang dipimpin Zaid bin Tsabit, sehingga teks ini disebut Mushaf Usmani. (hal.
65).

Maka, penjelasan mengenai al-Quran sebagai Firman Allah sungguh tidak memadai justru dari
sudut pandang internal, yakni proses kesejarahan terbentuknya teks al-Quran (dari komunikasi lisan
ke komunikasi tulisan) maupun aspek material dari al-Quran sendiri yang dipenuhi ambivalensi.
Karena itu tidak pada tempatnya, jika ia disebut Kitab Suci yang disakralkan, dimitoskan. (hal. 66)

Dalam konteks ini, anggapan bahwa al-Quran itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada
al-Quran (juga kitab lain) adalah kesucian palsu pseudo sacra. Tidak ada teks yang secara
ontologis itu suci. (hal. 67).

Setiap teks memiliki keterbatasan sejarah. Karena itu, setiap generasi selalu muncul agen-agen
sejarah yang merestorasi sebuah teks. Musa, Jesus, Muhammad Sidharta, Lao Tze, Konfusius,
Zarasthutra, Martin Luther, dan lainnya adalah sebagian kecil dari contoh agen-agen sejarah yang
melakukan restorasi teks. Tapi produk restorasi teks yang mereka lakukan bukanlah sebuah resep
universal yang shalih likulli zaman wa makaan (kompatibel di setiap waktu dan ruang). Mereka tidak
hadir di ruang hampa, mereka datang di tengah-tengah kehidupan manusia yang beragam dengan
cita rasa yang berlainan pula. Jika mereka sudah melakukan restorasi teks atas teks sebelumnya,
maka generasi pasca mereka mestinya melakukan hal yang sama dengan apa yang telah mereka
lakukan: restorasi teks. Berpegang teguh secara utuh terhadap sebuah teks sama saja dengan
berpegangan barang rongsokan yang sudah usang. (hal. 70-71).

Begitulah tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku yang terbit di Yogyakarta tersebut. Ajaibnya,
buku seperti ini mendapat pujian berbagai tokoh. Dr. Moeslim Abdurrahman, cendekiawan
Muhammadiyah menulis bahwa buku ini, perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin ber-taqarrub untuk
mencari kebenaran.

Ahmad Tohari, budayawan, penulis kolom resonansi di Harian Republika, juga menulis, Buku ini
menawarkan ruang luas bagi pemahaman agama yang manusiawi karena asas pluralisme yang
diusungnya. Penulis buku ini juga disebut dibagian awal buku sebagai pemikir muda Indonesia
paling menonjol saat ini, terutama dalam bidang sosiologi agama. Dalam pengantar buku, seorang
Direktur Freedom Institute, menyebutkan, bahwa buku ini perlu diapresiasi dan disambut dengan
baik. Tentu saja, kita patut mengapresiasi dan menyambut baik semua karya-karya ilmiah yang
bermutu tinggi, yang didukung dengan data-data yang baik dan jujur.

Tetapi, kita juga wajib menguji dan menilai, apakah memang buku semacam ini merupakan buku
ilmiah yang layak diperhitungkan. Jika ditelaah secara cermat, banyak isi buku ini yang lebih
merupakan khayalan, luapan emosi, dendam, dan kemarahan penulisnya.

Misalnya, di bagian awal bukunya, penulis menyebutkan: Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas
diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang
mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat
Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!

Bukankah cerita seperti ini hanya sebuah khayalan dan fantasi? Sorga yang sudah dikunjungi si
penulis? Lihatlah, juga, dalam memandang al-Quran, penulis menggunakan nada-nada kecaman
keras dan penghinaan kepada Sayyidina Usman r.a. Padahal, tindakan beliau dalam memprakarsai
penghimpunan al-Quran diakui dan dihormati oleh kaum Muslimin. Semua sahabat Nabi ketika itu
menyetujuinya. Bahkan, Sayyidina Ali r.a. yang memiliki Mushaf pribadi juga menyatakan: Demi
Allah, dia (Utsman r.a.) tidak melakukan apa-apa dengan Mushaf tersebut, kecuali dengan
persetujuan kami semua.

Ulama besar Abu Ubayd juga pernah berkata: Usaha Utsman (r.a.) mengkodifikasi al-Quran akan
tetap dan sentiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar.
Memang dikalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan
merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.
Jika memang Mushaf Utsmani terkait dengan rekayasa politik Utsman r.a. untuk mengokohkan
kedudukannya dan kedudukan kaum Quraisy, maka logikanya, sepeninggal beliau, tentunya akan
datang silih berganti penguasa-penguasa yang membuat Mushaf baru. Sepeninggal Bani Umayyah,
mestinya Bani Abbasiyah juga membuat al-Quran baru. Begitu juga Bani Batimiyah, Bani
Utsmaniyah, dan seterusnya. Tapi, semua ini tidak terjadi dalam sejarah kaum Muslimin. Bagaimana
pun kerasnya pertentangan politik, tidak sampai mereka terpikir untuk membuat al-Quran baru,
menghujat Sayyidina Utsman, apalagi menghinanya.

Ketika kita mendiskusikan buku Prof. Azhami yang begitu serius dan berkualitas ilmiah tinggi, lalu
kita membaca buku Lobang Hitam Agama ini, tampak dengan jelas, bagaimana rendahnya kualitas
ilmiah buku ini. Entah apa yang menyebabkan penulis buku ini seperti menyimpan dendam dan
kebencian yang begitu besar terhadap al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw yang mulia.
Padahal, penulis yang alumnus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini begitu hormat terhadap
seorang orientalis bidang al-Quran bernama Arthur Jeffery, dan mengutip pendapatnya tanpa kritis.
(hal. 65).

Jika dengan Jeffery dia begitu hormat, ternyata tidak sebaliknya dengan para sahabat, khususnya
Sayyidina Utsman. Padahal, sudah begitu banyak kajian kritis terhadap karya-karya Arthur Jeffery
tentang al-Quran. Prof. Azhami sendiri dalam bukunya banyak memberikan kritik-kritik dan
membongkar kekeliruan Jeffery. Tetapi, penulis yang dipuji-puji sebagai pemikir muda yang
menonjol ini tidak mempedulikan studi kritis semacam itu, dan lebih suka melampiaskan hawa
nafsunya untuk menghabisi Mushaf Usmani.

Kita sebenarnya sangat berharap munculnya pemikir-pemikir muda muslim yang jujur, ikhlas,
tawadhu, dan serius dalam kajiannya. Jika penulis ini berpendapat bahwa Rasulullah saw adalah
yang menyusun redaksi al-Quran, mestinya dia menyertakan bukti-buktinya. Bukankah pendapat ini
adalah tidak lebih dari sebuah khayalan?

Berwacana memang tidak dilarang. Tetapi, menyebarkan pemikiran-pemikiran yang salah,


mengandung konsekuensi tanggung jawab yang berat di akhirat nanti. Karena itu, kita
mengingatkan, semoga penulis buku itu bertobat dan mengaji yang serius dan ikhlas tentang Islam.
Sayang sekali jika potensi akal cerdas yang diberikan oleh Allah SWT justru digunakan untuk
menyesatkan umat manusia. Kasihan dirinya, kasihan orang tuanya yang nantinya hanya
mengharapkan doa dari anak yang shalih, bukan anak yang salah. Jika ada gagasan baru, sebaiknya
gagasan ini didiskusikan secara terbatas, dikaji mendalam, dikonsultasikan dengan para ulama yang
otoritatif dalam keilmuan, sebelum dilemparkan keluar. Wallahu alam. (Jakarta, 13 Mei 2005)
HUTANG BARAT TERHADAP ISLAM

Oleh: Adian Husaini

Hutang Barat terhadap Islam (The Wesst Debt to Islam). Itulah tajuk satu bab dari sebuah buku
berjudul What Islam Did For Us: Understanding Islams Contribution to Western Civilization
(London: Watkins Publishing, 2006), karya Tim Wallace-Murphy. Di tengah gencarnya berbagai
serangan terhadap Islam melalui berbagai media di Barat saat ini, buku seperti ini sangat patut
dibaca. Selain banyak menyajikan data sejarah hubungan Islam-Barat di masa lalu, buku ini
memberikan arus lain dalam menilai Islam dari kacamata Barat.

Berbeda dengan manusia-manusia Barat yang fobia dan antipati terhadap Islam seperti sutradara
film Fitna, Geert Wilders penulis buku ini memberikan gambaran yang lumayan indah tentang
sejarah Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya hutang
mereka terhadap Islam. Hutang Barat terhadap Islam, kata, Tim Wallace-Murphy, adalah hal yang
tak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun. Katanya, We in
the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid.

Pengakuan Wallace-Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu, sangatlah penting,
baik bagi Barat maupun bagi Islam. Di mana letak hutang budi Barat terhadap Islam? Buku ini banyak
memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada
zaman yang dikenal di Barat sebagai Zaman Pertengahan (the Middle Ages). Sejak beberapa bulan
lalu, setiap hari, Harian Republika, juga memuat rubrik khusus tentang khazanah peradaban Islam di
masa lalu, yang memberikan pengaruh besar terhadap para ilmuwan di Barat.

Di Zaman Pertengahan itulah, tulis Wallace-Murphy, Andalusia yang dipimpin kaum Muslim menjadi
pusat kebudayaan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh kawasan Laut
Tengah. Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. Bagi
mayoritas masyarakat di dunia Kristen Eropa, zaman itu, kehidupan adalah singkat, brutal dan
barbar, dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di
Spanyol-Islam.

Saat itu, Barat banyak sekali belajar pada dunia Islam. Para tokoh agama dan ilmuwan mereka
berlomba-lomba mempelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum Muslim dan Yahudi yang hidup
nyaman dalam perlindungan masyarakat Muslim. Barat dapat menguasai ilmu pengetahuan modern
seperti sekarang ini, karena mereka berhasil mentransfer dan mengembangkan sains dari para
ilmuwan Muslim.

Tim Wallace-Murphy menekankan perlunya Barat mengakui bahwa mereka mewarisi sains Yunani
dan lain-lain, adalah atas`jasa para ilmuwan dan penguasa Muslim. Di masa kegelapan Eropa
tersebut, orang-orang Barat secara bebas menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab tanpa perlu
membayar Hak Cipta. Sejarawan Louis Cochran menjelaskan, bahwa Adelard of Bath (c.1080-c.1150),
yang dijuluki sebagai the first English scientist, berkeliling ke Syria dan Sicilia selama tujuh tahun,
pada awal abad ke-12. Ia belajar bahasa Arab dan mendapatkan banyak sekali buku-buku para
sarjana. Ia menerjemahkan Elements karya Euclidus, dan dengan demikian mengenalkan Eropa
pada buku tentang geometri yang paling berpengaruh di sana. Buku ini menjadi standar pengajaran
geometri selama 800 tahun kemudian. Adelard dengan menerjemahkan buku table asronomi, Zijj,
karya al-Khawarizmi (d. 840) yang direvisi oleh Maslama al-Majriti of Madrid (d.1007). Buku itu
merupakan pengatahuan astronomi termodern pada zamannya.
Seorang penerjemah yang sangat fenomenal bernama Gerard of Cremona. Selama hampir 50 tahun
tinggal di Toledo (1140-1187), dia menerjemahkan sekitar 90 buku dari bahasa Arab ke bahasa Latin.
Separoh lebih berkaitan dengan matematika, astronomi, dan bidang sains lainnya; sepertiga
berkaitan dengan kedokteran dan sisanya tentang filsafat dan logika. Bidang-bidang keilmuan inilah
yang memberikan fondasi bagi munculnya renaissance (kelahiran kembali peradaban Barat) di Eropa
pada abad ke-12 dan ke-13 M.

Bukan hanya dalam bidang penerjemahan Barat sangat aktif. Dalam Pendidikan Tinggi, Oxford
University yang berdiri tahun 1263 dan Cambridge University tak lama sesudah itu, juga menjiplak
model kampus-kampus ternama di Andalusia.

Dengan bukti-bukti sejarah tentang kejayaan Islam dan karakter Islam itu sendiri, Wallace-Murphy
mengajak koleganya di dunia Barat untuk mengakui jasa-jasa besar Islam terhadap Barat. Lebih dari
itu, dia mengimbau, agar Barat mampu melihat Islam dengan lebih jernih dan jangan bernafsu untuk
mengintervensi urusan dunia Islam. Termasuk dalam soal toleransi dan penghormatan terhadap
budaya dan pemeluk agama lain. Terhadap pertanyaan, Can the world of Islam solve its own
problems?, apakah dunia Islam mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, Wallace-Murphy
menjawab tegas: Itu telah terbukti di masa lalu, dan berkat prinsip-prinsip ajaran Islam yang penuh
toleransi terhadap budaya dan agama lain, maka Islam akan mampu menyelesaikan masalahnya
sendiri.

Bahkan, ditambahkannya, karena keyakinan kaum Muslim yang tidak tergoyahkan dan hasrat besar
akan kemerdekaan, maka Siapa atau apa yang akan mampu menghentikan mereka? Agama Islam,
katanya, telah memberikan inspirasi yang begitu besar di masa lalu, dan mereka akan meraih
kejayaan kembali di masa depan di berbagai bidang yang mereka telah memiliki pengalaman hebat
di banding yang lain, dalam soal toleransi, kreativitas, dan penghormatan. Lalu, ia menutup bukunya
dengan sebuah imbauan kepada masyarakat Barat: Berikanlah penghormatan kepada kaum
Muslim, sebagaimana mereka telah memperlihatkan kepada kita, saat mereka tanpa syarat
membagi buah kebudayaan mereka kepada kita. Kata Wallace-Murphy, Grant them the same
respect that they have shown to us when they, unconditionally, shared the fruits of their culture
with us.

Sains Islam

Ilmu pengetahuan senantiasa berkembang dari masa ke masa. Dan dunia Islam ketika itu berhasil
mentransfer dan mengembangkan ilmu pengatahuan yang dikembangkan oleh peradaban lain,
seperti Yunani, India, Cina, Persia, Babilonia, dan sebagainya. Tetapi, para ilmuwan Muslim tidak
begitu saja menjiplak karya-karya ilmuwan Yunani atau yang lain. Bahkan, menurut pakar sains
Islam, Prof. Cemil Akdogan, ilmuwan Muslim berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang
khas Islam, yang berbeda dengan tradisi ilmu pengetahuan Yunani atau peradaban lain.

Dalam bukunya, Science in Islam and the West, (ISTAC-IIUM, 2008), Cemil Akdogan menjelaskan,
bahwa sains Islam adalah produk dari pendekatan tauhidik, sedangkan sains Barat modern adalah
produk dari pendekatan dualistik. Dalam Islam, sains tidak terpisahkan dari Islam. Sedangkan di
Barat, sains bersifat bebas Tuhan (godless).

Ironisnya, ketika Barat modern mengambil sains dari dunia Islam, mereka mensekularkan sains
tersebut dan membebaskan sains dari campur tangan agama. Ini adalah salah satu produk
sekulerisme yang memandang alam sebagai hal yang semata-mata profane dan tidak terkait
dengan unsur ketuhanan. Karena itulah, mereka memandang bahwa manusia boleh memperlakukan
alam sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Prof. Naquib al-Attas menilai, sains sekular Barat
inilah sumber kerusakan terhadap dunia saat ini, bukan hanya kerusakan manusia tetapi juga dunia
binatang, tumbuhan, dan alam mineral.

Prestasi-prestasi besar kaum Muslim di bidang kehidupan dan keilmuan tidaklah terpisah dari
dorongan besar yang diberikan Kitab Suci al-Quran dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Al-
Quran adalah Kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Ini,
misalnya, tergambar dari penyebutan kata al-ilm dan derivasinya yang mencapai 823 kali.
Ditegaskan dalam QS 3:18-19, orang-orang yang berilmu harus mampu menemukan dua kesimpulan:
(1) Tidak ada Tuhan selain Allah, (2) ad-Din (agama) dalam pandangan Allah hanyalah Islam.

Dengan semangat inilah, kaum Muslim mampu menaklukkan dunia ilmu. Sepenggal sejarah
peradaban Islam yang digambarkan oleh Tim Wallace-Murphy dalam bukunya, memperlihatkan
bagaimana rahmatan lil-alamin memang pernah terwujudkan ketika umat Islam mengikuti dan
menerapkan perintah al-Quran untuk belajar dan bekerja keras. Umat Islam menjadi umat yang
disegani dan dicontoh oleh peradaban lain.

Satu pelajaran penting yang dapat kita ambil dari buku Tim Wallace-Murphy itu adalah kesadaran
akan hakekat ajaran Islam itu sendiri, yang berhasil diserap dan diaplikasikan oleh kaum Muslim,
sehingga menghasilkan sebuah peradaban yang tinggi. Umat Islam tidak pernah menutup diri dari
peradaban lain. Unsur-unsur positif dari mana pun bisa diambil. Tetapi, bukan pandangan hidup
syirik yang bertentangan dengan ajaran Tauhid.

Dalam kaitan inilah, kita tidak habis pikir dengan banyaknya cendekiawan yang silau dengan
peradaban Barat; yang bangga dan rajin melantunkan lagu-lagu sekularisme, liberalisme, feminisme,
pluralisme agama, dan isme-isme lain yang hanya menyeret kaum Muslim menjadi satelit Barat.
Karena itulah, sangatlah ajaib, bahwa banyak perguruan Tinggi Islam saat ini, misalnya, lebih bangga
menerapkan metode hermeneutika Barat dalam menafsirkan al-Quran ketimbang menggunakan
Ilmu Tafsir al-Quran itu sendiri. (Depok, 2 Rabiulakhir 1429 H/9 April 2008).
"Hati-hati Belajar Filsafat Ilmu Sekular

Oleh: Dr. Adian Husaini

Di berbagai perguruan tinggi, khususnya di tingkat Pasca Sarjana, para mahasiswa biasanya diajarkan
mata kuliah Filsafat Ilmu. Sejauh ini, sudah banyak diterbitkan buku tentang Filsafat Ilmu. Sayangnya,
kuatnya dominasi sekularisme yang menolak campur tangan agama -- dalam bidang keilmuan
kontemporer turut berpengaruh dalam perumusan konsep Filsafat Ilmu yang diajarkan di perguruan
tinggi saat ini. Beberapa kutipan isi buku Filsafat Ilmu berikut ini bisa disimak.

Sebagai contoh, sebuah buku yang sangat terkenal berjudul Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, cetakan kesembilan), mengutip pendapat Auguste
Comte (1798-1857) yang membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan manusia, yaitu religius,
metafisik, dan positif. Selanjutnya, diuraikan:

Dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan
deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai berspekulasi tentang metafisika
(keberadaan) wujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan
mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap
ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara
positif dalam proses verifikasi yang obyektif. (hal. 25).

Karakteristik berpikir filsafat dijelaskan dalam buku ini, yaitu: pertama, menyeluruh; kedua,
mendasar; ketiga, spekulatif. Tentang bidang telaah filsafat, ditulis dalam buku ini: Selaras dengan
dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh
manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok:
terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain. (hlm. 23-25).

Ada lagi sebuah buku berjudul Filafat Ilmu yang disusun Tim Dosen Filsafat Ilmu sebuah Universitas
terkenal di Yogyakarta (1996, cetakan pertama). Ditulis dalam pendahuluan buku ini:

Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah, dan menghayati dunia
beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan agama.
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya
Filsafat berusaha untuk menyatukan hasil-hasil ilmu dan pemahaman tentang moral, estetika, dan
agama. Para filsuf telah mencari suatu pandangan tentang hidup secara terpadu, menemukan
maknanya serta mencoba memberikan suatu konsepsi yang beralasan tentang alam semesta dan
tempat manusia di dalamnya. (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 1.)

****

Itulah beberapa contoh materi kuliah Filsafat Ilmu yang diajarkan kepada para mahasiswa. Jika
ditelaah beberapa uraian pada dua buku Filsafat Ilmu tersebut, akan dijumpai problematika yang
serius. Teori positivisme Comte dalam perspektif Islam jelas sangat bermasalah. Sebab, ia
meletakkan agama sebagai jenis pengetahuan yang paling primitif dan akan punah saat manusia
memasuki era positivisme atau empirisisme, dimana yang diakui sebagai ilmu hanyalah pengetahuan
yang didapat dari panca indera manusia. Teori Comte ini pun sekarang tak terbukti. Sebab, manusia
di Barat dan di Timur di tengah perkembangan yang fantastis dari sains dan teknologi tetap
memegang kepercayaan pada hal-hal yang metafisik dan juga agama. Di negara-negara Barat sendiri,
banyak manusia percaya kepada dukun ramal (fortune teller).

Juga, faktanya, saat ini, dunia ilmu pengetahuan pun sudah menerima kebenaran di luar positivisme.
Seorang mahasiswa tidak mungkin mengklarifikasi semua pernyataan keilmuan yang diajarkan
kepadanya oleh dosennya. Misalnya, saat dosen menjelaskan, bahwa kecepatan cahaya adalah
sekitar 270.000 km/detik, maka si mahasiswa hanya diminta untuk percaya, tanpa perlu
membuktikan secara empiris. Ketika si dosen menjelaskan, bahwa suatu rumus adalah rumus buatan
Phytagoras, maka si mahassiwa juga harus percaya saja, dan tidak mungkin membuktikan secara
empiris.

Bahkan, seorang Profesor filsafat akan puas menjadi muqallid (pentaqlid); hanya percaya saja
kepada segala macam penjelasan pramugari, saat bepergian menggunakan pesawat terbang. Ia
begitu mudah percaya kepada orang yang mungkin sama sekali tidak pernah dikenalinya. Ia percaya
kepada orang yang dikatakan sebagai pilot, meskipun ia sama sekali tidak kenal. Sang profesor tadi
juga tidak minta pembuktian, apa benar pilot pesawat itu, benar-benar seorang pilot. Ia hanya
percaya pada cerita orang yang mungkin tak dikenalnya. Alhasil, si professor menerima kebenaran
ilmiah, bukan berdasarkan metode empiris, tetapi menerima kebenaran ilmiah dari jalur
pemberitaan. Inilah yang dalam konsep epistemologi Islam disebut sebagai jalur kebenaran ilmiah
melalui khabar shadiq (true report).

Bagi seorang Muslim, pengetahuan yang didapat dari jalur khabar shadiq ini juga merupakan ilmu.
Sebab, ia diperoleh dari sumber-sumber terpercaya, semisal al-Quran dan hadits Nabi Muhammad
SAW. Ilmu yang diraih dari jalur khabar shadiq ini juga diterima secara universal. Misal, dalam soal
pengakuan anak terhadap kedua orang tuanya. Sangat jarang terjadi, ada anak yang meminta
pembuktian secara rasional dan empiris berkenaan dengan status hubungannya dengan kedua orang
tuanya. Misalnya, anak meminta bukti ilmiah berupa tes DNA. Kita biasanya menerima saja cerita-
cerita dari orang yang kita percayai, bahwa orang tua kita adalah A dan B. Pengetahuan semacam ini
dalam konsep epistemologi Islam juga disebut sebagai ilmu, yang juga diraih dengan metode ilmiah.

Karena itu, dalam perspektif Islam, tidaklah tepat jika dikatakan, suatu ilmu hanya dapat diraih dari
metode empiris dan rasional. Pengetahuan tentang Allah, tentang para Nabi, tentang akhirat,
tentang keutamaan bulan Ramadhan, keutamaan ibadah haji, dan sebagainya, juga dikatakan
sebagai ilmu sebab didapatkan dari sumber-sumber terpercaya (khabar shadiq), meskipun hal itu di
atas jangkauan akal (supra rasional). Masalah cara-cara meraih ilmu (epistemologi) saat ini telah
banyak dibahas oleh para pakar keilmuan Islam.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Direktur Center for Advanced Studies on Islam, Science, and
Civilization -- Universiti Teknologi Malaysia, dalam makalahnya yang berjudul Konsep Ilmu dalam
Tinjauan Islam, menjelaskan, bahwa dalam Tradisi Islam, ilmu pengetahuan tiba melalui pelbagai
saluran, yaitu pancaindera (al-hawass al-khamsah), akal fikiran sihat (al-aql al-salim), berita yang
benar (al-khabar al-sadiq), dan intuisi (ilham).

Tentang akal fikiran sehat, Prof. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa aspek akal manusia merupakan
saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas, yaitu
perkara yang dapat difahami dan dikuasai oleh akal, dan tentang sesuatu yang dapat dicerap dengan
indera. Akal fikiran (al-Aql) bukan hanya rasio. Akal adalah fakultas mental yang mensistematisasikan
dan mentafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman
inderawi menjadi sesuatu yang dapat difahami. Akal adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati
(al-qalb), yaitu menjadi tempat intuisi. Dengan demikian, akal adalah perantara yang
menghubungkan akal-fikiran dengan intuisi.

Oleh sebab itu, sesiapa yang membatasi fungsi akal-fikiran sebagai aspek yang rasional dan dapat
dicerap oleh indera, maka ia telah menyelewengkan akal fikiran daripada kualiti yang sebenarnya
dan, dengan demikian, menjadikan akal fikirannya tidak sihat. Perlu diketahui bahwa hati yang
dikatakan sebagai sumber intuisi bukanlah hati fisik, melainkan realiti yang terdapat di alam roh yang
menggunakan semua daya yang lain sebagai instrument, tulis Prof. Wan Mohd Nor.

Berita yang benar, jelas Prof. Wan Mohd Nor, adalah sumber lain ilmu pengetahuan yang terdiri
daripada dua jenis. Jenis yang pertama adalah berita yang terbukti secara terus-menerus dan
disampaikan oleh mereka yang kebaikan akhlaknya tidak mengizinkan akal fikiran kita untuk
membayangkan bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan. Hadis mutawatir
adalah contoh yang sangat tepat tentang jenis berita ini. Kesepakatan umum para ahli, ilmuwan, dan
sarjana juga dianggap sebagai bahagian daripada jenis ini. Meskipun memiliki autoriti, kesepakatan
tersebut masih dapat dipersoalkan menurut kaedah rasional dan empirikal, sebagaimana yang
terjadi dalam kes laporan sejarah, geografi, dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak, yang
dibawa oleh Nabi berdasarkan wahyu.

Demikian paparan Prof. Wan Mohd Nor tentang sumber-sumber ilmu dalam Islam, yang tidak
membatasi hanya dari sumber panca indera (empiris) dan akal (rasional). Pandangan Islam tentang
sumber ilmu yang bisa disebut sebagai metode ilmiah ini berbeda dengan penjelasan pada
sebagian buku Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian sekular yang membatasi kategori ilmiah hanya
pada hal-hal yang rasional dan empiris. (Dikutip dari Makalah yang pernah dibentangkan oleh Prof
Wan Mohd Nor Wan Daud saat bertindak sebagai Pembicara Utama dalam Workshop Dasar-Dasar
Epistemologis Dalam Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta,
Indonesia, 11 April 2005. Dengan sedikit editing, makalah ini telah dipublikasikan di Jurnal Tadibuna,
Jurnal Program Doktor Pendidikan Islam, UIKA Bogor, Nomor 2, Vol. I, 2012.)

****
Konsep ilmu dalam Islam itu berbeda dengan banyak buku Filsafat Ilmu yang kini diajarkan kepada
para mahasiswa. Dalam buku Filsafat Ilmu yang telah disebut terdahulu, dinyatakan: Dapat
disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan
kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian
dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut
melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
(1995:131-132).

Jika konsep dan definisi ilmu itu diterapkan untuk Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tafsir al-Quran, atau Ilmu
Ushul Fiqih, maka akan menimbulkan kerancuan yang sangat serius. Sebab, pengetahuan bahwa
Allah itu Satu adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada sumber yang mutlak benar, yaitu al-
Quran. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina, dan khamr, adalah ilmu yang mutlak juga.
Penafsiran bahwa Nabi Isa a.s. tidak wafat di tiang salib, juga merupakan ilmu yang mutlak benarnya,
yang tidak akan berubah sampai Akhir Zaman.

Adalah sangat keliru jika orang belajar ilmu bukan untuk meyakini kebenaran suatu ajaran, atau
bahkan tidak ditujukan untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya. Prof. Wan Mohd Nor, dalam
makalahnya yang dirujuk pada bagian terdahulu, menjelaskan, bahwa dari segi linguistik, perkataan
ilm berasal daripada akar kata ain-lam-mim yang diambil daripada perkataan alamah, yaitu tanda,
penunjuk, atau petunjuk yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri;
petunjuk; tanda. Dengan demikian, malam (jamak: maalim) berarti tanda jalan atau sesuatu yang
dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang. Seiring
dengan itu, alam juga dapat diartikan sebagai penunjuk jalan. Maka bukan tanpa alasan jika
penggunaan istilah yah (jamak: ayat) dalam al-Quran yang secara literal berarti tanda merujuk pada
ayat-ayat al-Quran dan fenomena alam.

Demikian, penjelasan Prof. Wan Mohd Nor. Dan memang, kata ilmu, alam, dan ilm (ilm dengan
makna yakin), memiliki akar kata yang sama. Ini menarik, karena alam jika dipahami sebagai ayat
Allah, maka akan menghasilkan ilmu yang mengantarkan manusia kepada keyakinan pada Allah SWT.
Karena itulah, Allah SWT memperingatkan bahwa nanti di akhirat, neraka jahanam akan dijejali
dengan manusia-manusia dan jin yang mereka memiliki mata tetapi tidak sampai dapat memahami
ayat-ayat Allah; juga telinga dan akal mereka tak sampai mengantarkan mereka kepada pemahaman
dan keimanan kepada Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. (QS al-Araf:
179).

Orang yang berilmu diletakkan pada derajat yang tinggi, karena dengan ilmunya itu dia mengenal
Tuhannya dan mengenal agama Tuhan yang sebenarnya. Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan demikian). Tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang
telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan (ilm) kepada mereka, karena kedengkian
(yang ada) diantara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya
Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS 3:18-19).
Tentu, agar manusia menjadi mulia, tidak boleh ia sembarangan menerima ilmu. Ilmu-ilmu yang
baiklah yang perlu dipelajari. Sebab, ilmu-ilmu yang baik itulah yang akan mengantarkan manusia
kepada keimanan dan kebahagiaan. Sangatlah keliru, jika manusia justru bangga dengan ilmu yang
mengantarkan kepada keraguan dan pengingkaran kepada al-Khaliq. Imam Malik rahimahullah
berkata: Haqqun alaa man thalaba al-ilma an-yakuuna lahuu waqaarun wa-sakiinatun wa-
khasyyatun. (Orang yang mencari ilmu seharusnya memiliki sifat ketenangan, ketenteraman, dan
rasa takut kepada Allah SWT). (Dikutip dari buku, Mengapa Saya Harus Mondok, terbitan Pesantren
Sidogiri, Pasuruan, 1431 H).

Karena begitu penting dan strategisnya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seyogyanya Perguruan
Tinggi tidak lagi mengajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu yang sekular, yang menafikan wahyu sebagai
sumber ilmu. Kini, menjadi tugas berat dan mulia bagi para cendekiawan Muslim untuk merumuskan
mata kuliah Filsafat Ilmu yang benar. Wallaahu alam bil-shawab. (Jakarta, 11 Januari 2013).
TOLERANSI DAN KERUKUNAN

Oleh: Dr. Adian Husaini

Umat Islam di wilayah Jabodetabek tidak toleran! Itu salah satu kesimpulan yang dimunculkan
sebuah lembaga survei di Jakarta. Lembaga yang mengusung jargon Institute for Democracy and
Peace ini dalam buku terbitannya yang berjudul Wajah Para Pembela Islam, menyimpulkan bahwa
kelompok Islam fundamentalis atau Islam radikal sering mengganggu kebebasan
beragama/berkeyakinan warga masyarakat lain.

Salah satu kriteria untuk mengukur kadar toleransi suatu masyarakat adalah kesediaan untuk
menerima perpindahan agama dan penerimaan terhadap pernikahan beda agama. Hasil survei
kelompok ini di Jabotabek, menunjukkan ada 84,13 persen masyarakat tidak menyukai pernikahan
beda agama. Lalu disimpulkan: Dari temuan survei ini terlihat bahwa untuk perbedaan identitas
dalam lingkup relasi sosial yang lebih luas (berorganisasi, bertetangga, dan berteman) masyarakat
Jabodetabek secara umum lebih memperlihatkan sikap toleran. Namun, dalam lingkup relasi yang
lebih personal dan menyangkut keyakinan (anggota keluarga menikah dengan pemeluk agama lain
atau pindah ke agama lain) sikap mereka cenderung kurang toleran.

Survei itu juga menunjukkan data, bahwa orang yang beragama Islam menunjukkan penolakan yang
lebih tinggi (82,6 persen) terhadap anggota keluarganya yang berpindah agama. Sementara, di
kalangan pemeluk agama selain Islam ada 45,4 persen yang menyatakan dapat menerima anggota
keluarganya berpindah agama, karena soal agama adalah urusan pribadi. Terhadap orang yang tidak
beragama, hanya 25,2 persen responden yang menyatakan dapat menerima, karena menganggap
agama hanyalah urusan pribadi.

Terhadap fenomena ini, disimpulkan: Singkatnya, secara umum tidak ada toleransi atas orang-orang
yang tidak beragama. Tidak beragama masih dianggap sebagai sebuah tabu yang tidak dapat
ditoleransi di mata kaum urban Jabodetabek.

Sikap responden terhadap aliran Ahmadiyah, hanya 28,7 persen yang berpendapat Ahmadiyah
memiliki hak untuk menganut keyakinan mereka. Sedangkan 40,3 persen menganggap Ahmadiyah
sesat, dan 45,4 persen menyatakan, sebaiknya Ahmadiyah dibubarkan oleh pemerintah.

Terhadap data tersebut, ditariklah sebuah kesimpulan: Temuan ini mengindikasikan adanya
kecenderungan sikap keagamaan yang intoleran pada masyarakat Jabodetabek. Agar tidak
mengakibatkan kerancuan pemahaman, maka perlu digarisbawahi bahwa kecenderungan toleran
untuk beberapa hal, namun intoleran untuk sejumlah hal lain sebagaimana ditunjukkan oleh temuan
survei ini, tetap harus dinyatakan sebagai ekspresi sikap intoleran. Hal ini didasarkan atas pengertian
toleransi sebagai kemampuan dan kerelaan untuk menerima segala bentuk perbedaan identitas
pihak lain secara penuh. Atas dasar itu, kegagalan untuk dapat menerima perbedaan identitas secara
utuh sama maknanya dengan sikap intoleran.

Orang yang dikategorikan tidak toleran, lalu diberi cap radikal, yang direkomendasikan untuk
dilakukan proses deradikalisasi terhadap mereka. . Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam
radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukan oleh negara untuk menghapus intoleransi dan
diskriminasi agama/keyakinan. Menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan
diskriminasi serta melakukan deradikalisasi pandangan, perilaku dan orientasi keagamaan melalui
kanal politik dan ekonomi adalah rekomendasi utama penelitian ini.
Toleransi: fakta dan opini.

Ingat kasus Dr. Marwa El-Sherbini? Muslimah Jerman asal Mesir ini, pada 1 Juli 2009, dibunuh
dengan sangat sadis oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa saat itu
sedang hamil 3 bulan. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang. Dr.
Marwa hadir di sidang pengadilan, mengadukan seorang pemuda Jerman bernama Alex W. yang
menjulukinya sebagai teroris karena ia mengenakan jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah
berusaha melepas jilbab Marwa, Muslimah asal Mesir itu. Di persidangan itulah, Alex justru
membunuh Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya justru terkena
tembakan petugas.

Entah mengapa, peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional di Indonesia, juga di dunia
internasional. Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku dijual oleh media
internasional. Juga, tidak terdengar gegap gempita tanggapan pejabat Tinggi Indonesia yang
mengecam keras peristiwa tersebut.

Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di Ciketing Bekasi, akibat
bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa.
Menlu AS Hilary Clinton sampai ikut berkomentar. Situs berita www.reformata.com, pada 20
September 2010, menurunkan berita: Menlu AS Prihatin soal HKBP Ciketing.

Menyusul kasus Ciketing tersebut, International Crisis Group (ICG), dalam situsnya,
(www.crisisgroup.org) juga membuat gambaran buruk terhadap kondisi toleransi beragama di
Indonesia: Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in recent years,
particularly where hardline Islamists and Christian evangelicals compete for the same ground.

Benarkah kerukunan umat beragama hancur di Indonesia setelah kasus Ciketing tersebut? Itu adalah
citra yang sengaja dibentuk oleh sebagian kalangan untuk memberikan gambaran yang tidak
proporsional tentang kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia. Padahal, kasus Ciketing adalah
satu kasus yang muncul dari kondisi kerukunan umat beragama yang secara umum berjalan dengan
baik.

Situs kompas.com, Sabtu, 25 September 2010, menyiarkan satu artikel berjudul Robohnya
Kerukunan Beragama. Ditulis dalam artikel tersebut: Penganiayaan terhadap pengurus Gereja Huria
Kristen Batak Protestan, Asia Lumban Toruan, tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga luka
pada bangunan kerukunan beragama di Indonesia. Negara yang dibangun di atas fondasi perbedaan-
mengambil bentuk kalimat klasik Majapahit "Bhinneka Tunggal Ika"-ternyata begitu rapuh.
Perbedaan tidak lagi menjadi perekat persatuan, tetapi penyebab gesekan sosial di masyarakat.
Inilah masalah yang dihadapi Indonesia kekinian.

Itulah sejumlah contoh penggambaran yang tidak proporsional terhadap gambaran kehiduan
beragama di Indonesia. Satu kasus diangkat untuk kemudian dipotret secara khusus, menutupi
gambaran kerukunan agama yang sebenarnya. Opini yang sengaja hendak dicipta adalah bahwa
Kerukunan umat Beragama di Indonesia sudah roboh, sudah hancur; dan bahwa kaum Muslim
sebagai mayoritas tidak punya rasa toleransi terhadap kaum minoritas.

Benarkah demikian? Tentu saja opini harus didudukkan sebagai opini. Opini adalah upaya
pembentukan citra melalui penampilan sebagian fakta. Tidak mungkin seluruh fakta dan dimensinya
ditampilkan di media massa. Padahal, antara opini dan fakta bisa sangat berbeda. Kekuatan media
sangat berperan dalam pembentukan opini. Berikut ini sebuah contoh, bagaimana kontrasnya
perbedaan antara fakta dan opini.
Di era 1990-an, dunia dihebohkan oleh suatu opini adanya Islamisasi di Timor Timur yang ketika itu
sangat rajin diangkat oleh Uskup Belo ke luar negeri. Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa
integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi! Bukan Islamisasi! Hasil penelitian Prof. Bilver
Singh dari Singapore National University, menunjukkan, pada 1972, orang Katolik Timtim hanya
berjumlah 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang
Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di
Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik
Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu
mengkatolikkan 27,8% orang Timtim. Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis
itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di
Bangkok, menyatakan, Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain
mana pun di dunia. (Lihat, Bilveer Singh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan
(Jakarta: IPS, 1998).

Tetap cantik.

Kasus-kasus konflik yang terjadi di Indonesia, baik antar atau intern umat beragama, seyogyanya
tetap dilihat sebagai kasus. Kasus-kasus seperti itu terjadi di mana-mana; di negara-negara Barat, di
dunia Islam, maupun di berbagai belahan dunia lainnya. Kasus-kasus itu memang mencoreng wajah
kerukunan umat beragama, tetapi kasus-kasus itu sampai saat ini tidak menghancurkan gambar
besar kerukunan umat beragama itu sendiri. Sehari-hari masing-masing umat beragama di
Indonesia, secara umum, masih bebas menjalankan agamanya masing-masing. Bahkan, saat terjadi
konflik yang hebat antara komunitas Muslim dan Kristen di Maluku, konflik itu tidak menjalar di
wilayah-wilayah Indonesia lainnya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya
memiliki daya resistensi yang tinggi untuk memelihara kerukunan umat beragama.

Kaum Muslim di Indonesia terbiasa melihat orang-orang non-Muslim menduduki jabatan-jabatan


strategis dalam kenegaraan sesuatu yang tidak dinikmati kaum Muslim di AS atau banyak Negara
Eropa. Kaum Muslim bisa melihat semarak Natal yang luar biasa di media massa pusat-pusat
perbelanjaan. Di tengah-tengah isu robohnya kerukunan beragama, kaum non-Muslim di Indonesia
juga bebas memiliki tanah seluas-luasnya di Jabodetabek, tanpa ada diskriminasi.

Walhasil, secara umum, wajah kerukunan umat beragama di Indonesia tetap cantik. Kasus-kasus
yang muncul bisa diibaratkan laksana jerawat yang muncul di wajah yang cantik. Pandanglah wajah
yang cantik itu secara keseluruhan; jangan hanya memandangi dan membesar-besarkan jerawat
yang muncul. Tentu saja, jerawat itu mengganggu dan jika tidak diobati, bisa menimbulkan infeksi
yang dapat merusak wajah cantik secara keseluruhan. Upaya sejumlah untuk menonjol-nonjolkan
kasus dengan menutup wajah kerukunan umat beragama yang harmonis, justru bisa menjadi
sumber masalah kerukunan umat beragama yang baru.

Dalam soal opini, umat Islam diperintahkan untuk berhati-hati dalam menerima informasi,
khususnya yang berasal dari orang-orang fasik. "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang
kepada kamu orang fasik yang membawa berita, maka lakukanlah penelitian (tabayyun); agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum dengan tidak mengatahui (fakta yang
sebenarnya), sehingga jadilah kamu menyesal atas perbuatanmu itu" (QS Al Hujurat:6). (***)
Kecerobohan Intelektual

Oleh: Adian Husaini

Dunia intelektual Indonesia, sejak beberapa waktu lalu, dikenalkan dengan munculnya sebuah
kelompok bernama ?Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah?, disingkat JIMM. Adalah sesuatu
yang menggembirakan, bahwa di kalangan organisasi Islam, muncul semangat ilmiah, semangat
untuk mengkaji ilmu dan menyebarkan ilmu ke tengah masyarakat. Termasuk di lingkungan
Muhammadiyah. Sebab, kita tahu, masalah ilmu sangatlah mendasar dalam pandangan Islam.
Banyak ayat al-Quran dan hadith Nabi Muhammad saw yang menekankan pentingnya peran ilmu
dalam kehidupan manusia. Karena itu, kaum Muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang
hayat. Orang-orang yang berilmu, yang disebut ulama, sangat dihormati posisinya. Ulama bukan
hanya orang yang pintar tetapi yang juga bertaqwa kepada Allah. (QS 35:28). Ulama-ulama yang
jahat (ulamaa? al-suu?), sangatlah berbahaya bagi masyarakat. Baik ulama yang ilmunya salah,
maupun ulama yang perilakunya jahat.

Sebab itu, orang yang ingin menyebut atau disebut dirinya ulama, cendekiawan, intelektual, dan
sebagainya, yang ingin pendapat-pendapatnya didengar dan dituruti masyarakat, perlu sangat
berhati-hati, senantiasa bersikap cermat, teliti, dan tidak mudah menyebarkan pendapatnya kepada
masyarakat. Apalagi, ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ad Darimy, yang menyatakan
Orang yang terlalu mudah berfatwa (ceroboh) dalam berfatwa diantara kamu, akan masuk neraka.?
(Lihat al-Faidhul Qadir, Jld 1, hadith no.183).

Diceritakan dalam buku Biografi Empat Imam Mazhab, karya Munawar Khalil, bawa Imam Malik
guru Imam Syafii dikenal sangat berhati-hati dalam berpendapat dan bahkan lebih banyak
menjawab saya belum tahu ketika ditanya pendapatnya tentang berbagai hal. Imam Syafii
menceritakan, Sungguh aku telah menyaksikan pada Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya
masalah-masalah sebanyak 48 masalah. Beliau menjawab 32 masalah dengan perkataan, Saya
belum tahu.

Imam Abu Mashab juga menceritakan, Aku belum pernah memberi fatwa tentang satu masalah,
sehingga aku mengambil saksi dengan 70 orang ulama, bahwa aku memang ahli dalam soal yang
demikian itu. Imam Abu Musa juga menceritakan, bahwa ketika berkunjung ke Iraq, Imam Malik
ditanya 40 masalah, dan hanya 5 yang dijawabnya. Tidak ada perkara yang lebih berat atas diriku,
selain daripada ditanya tentang hukum-hukum halal dan haram, kata Imam Malik. Terkadang,
untuk menemukan jawaban atas sesuatu, Imam Malik sampai tidak dapat makan dan tidur pulas.
Kehati-hatian para imam besar itu, sangat perlu menjadi pelajaran. Sebab, jika seseorang salah
dalam menyebarkan pendapat, maka ia akan bertanggungjawab terhadap kesalahan yang timbul
akibat perbuatannya.

Karena itu, pada satu sisi kita gembira dengan bersemangatnya kaum muda muslim melakukan
kajian-kajian keislaman. Namun, pada sisi lain, kita juga perlu prihatin jika kajian-kajian itu dilakukan
dengan tidak serius dan sepintas tanpa mendalami akar persoalannya. Sebagai contoh, adalah
tulisan yang dibuat oleh Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM),
pada 21 Mei 2004, di Republika, yang berjudul ?Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam?.

Kita bisa menyimak berbagai kecerobohan dan kekeliruan fakta dan pendapat yang cukup fatal
dalam tulisan tersebut:

1. Ditulis: ?Banyak yang mengganggap dan mempercayai, bahwa Islam yang otentik dan paling benar
adalah Islam yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad semasa hidup.?
Kita bertanya: ?Apakah ada orang lain, termasuk di lingkungan Muhammadiyah, yang memahami
dan mempraktikkan Islam lebih baik dari apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw?
Bukankah kuam Muslim pasti meyakini, bahwa Nabi saw adalah uswatun hasanah; contoh yang
baik??

Kita sungguh sulit memahami, jika ada yang menyebut dirinya intelektual Muslim, tetapi berani
melakukan gugatan terhadap keislaman Nabi Muhammad saw, dengan alasan apa pun, termasuk
dengan menyatakan, bahwa ?pemahaman dan pelaksanaan Islam di masa Nabi SAW itu, hanya
cocok untuk zaman dan tempatnya saja. ?Nabi hidup di zaman onta, kita hidup di zaman pesawat
terbang, katanya.

Simaklah sebuah tulisan karya seorang dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadina Mulya, di
website islam liberal, 17 Mei 2004, yang menyatakan sebagai berikut: ?Beranikah kita, misalnya,
menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai
sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan
pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi,
Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-
Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.?

Begitulah kata-kata calon doktor yang merupakan alumnus pesantren terkenal di Bekasi. Bayangkan,
ada dosen pemikiran Islam, yang tetap mengaku Muslim, yang berani mengkategorikan, pemikiran-
pemikiran Ibn Taimiyah, al-Ghazali, Imam al-Syafii, para sahabat, bahkan pemikiran Nabi
Muhammad SAW, dan mengajak kita untuk berani mengkritik mereka. Sementara, di tulisan yang
sama, dia mengutip pendapat seorang Immanuel Kant, tanpa kritik apa pun!

Sebagai Muslim kita wajib beriman bahwa Nabi Muhammad adalah ma?shum, terjaga dari
kesalahan. Jika ada meragukan akan hal ini, konsekuensinya, jelas akan meragukan al-Quran dan
hadits Nabi sebagai sumber kebenaran. Jika hal itu terjadi, maka apakah lagi yang tersisa dari Islam?
Padahal, Allah SWT berfirman: ?Dan dia (Muhammad SAW) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali
(dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.? (QS, Al-Najm: 3).

Nabi Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia
lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6). Bahkan, dalam surat al-Haaqqah ayat 44-
46, Allah memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad SAW: ?Seandainya dia (Muhammad)
mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan
kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.?

Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu, dan beliau adalah yang paling memahami
makna yang terkandung dalam wahyu tersebut. Kita sungguh sulit memahami, jika ada manusia yang
merasa lebih pandai dari Nabi SAW dalam menafsirkan al-Quran.

2. Ditulis: ?Bila kita lihat ke belakang, hal itu berawal dari intensnya persentuhan umat Islam dengan
politik dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca dinasti Abbasiyah dan Umayyah. Secara
simbolik, mungkin saat itu bisa dikatakan Islam mencapai zaman keagungan. Namun, perkembangan
Islam secara substansial sebetulnya menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam
banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Sebab,
saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad dihentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman
keagamaan dibiarkan terus berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara.

Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab; Hambali, Maliki,
Hanafi, dan Syafii. Sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asyariah. Dan
tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.? Begitulah
kutipan dari penulis artikel tersebut.

Kita sebenarnya sulit memahami logika penulis dari kelompok intelektual yang mengusung nama
Muhammadiyah ini. Sejak berdirinya daulah Madinah, dengan Konstitusi Madinah-nya, yang sangat
terkenal dan diakui sebagai ?Konstitusi tertulis pertama di dunia?, maka sejak itu pula umat Islam
sudah intens dengan politik. Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara. Begitu juga para
khulafaurrasyidin. Jadi, apa yang aneh dengan persentuhan yang intens antara umat Islam dengan
politik? Apakah karena itu, kemudian terjadi penyimpangan dalam penafsiran ajaran Islam? Logika
ini hanya muncul, jika kata ?politik? dipahami dalam kerangka pikir Machiavelis.

Kita bertanya kepada penulis artikel itu: ?Siapakah ulama yang menyerukan ijtihad dihentikan?
Ketika Perang Salib bermula, tahun 1095, dan mulai menduduki sebagian wilayah Suria, tahun 1097,
umat Islam masih mengalami zaman kegemilangan secara peradaban, termasuk dalam bidang
intelektual. Hanya sebagian kecil wilayah Islam yang jatuh ke tangan pasukan Salib. Literatur tentang
masalah ini melimpah ruah.

Pada saat-saat itu pula, al-Ghazali menulis karya besarnya, Ihya? Ulum al-Diin. Berabad-abad
kemudian, masih bermunculan ulama-ulama besar, seperti Ibn Taimiyah, Imam Fakhruddin al-Razi,
dan sebagainya, dengan karya-karya agung mereka, yang hingga kini masih dijadikan bahan kajian
para intelektual ?-muslim dan non-muslim-? di berbagai dunia. Pintu Ijtihad tidak pernah tertutup.
Tidak ada yang bisa menutup pintu ijtihad itu. Hanya saja, seseorang mestilah ?berkaca diri?, apakah
dirinya memang layak mengaku mujtahid, padahal belum memahami al-Quran, hadith, serta
berbagai perangkat ijtihad lainnya. Imam dan pemikir besar seperti al-Ghazali, al-Bukhari, dan
sebagainya, tetaplah mengakui mengikuti Imam al-Syafii dalam bidang ushul fiqih. Jika Imam al-
Bukhari saja mau mengakui keagungan Imam al-Syafii, apakah ada intelektual dari Muhammadiyah
yang bisa menyusun hadith sendiri, tanpa mengikuti koleksi hadith al-Bukhari? Bahkan, tokoh
Mu?tazilah, Qadhi Abdul Jabbar pun juga bermazhab al-Syafii. Imam Ibn Taimiyah yang telah menulis
ratusan Kitab juga mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam al-Ghazali, meskipun beliau menulis kitab Ushul Fiqih, tetapi beliau pun tetap mengakui
otoritas al-Syafii. Itulah sikap para ilmuwan Muslim, tahu adab, tahu diri, tawadhu?, mengakui
otoritas ilmuwan lain, yang diakuinya lebih hebat dari dirinya.

Jika penulis artikel dari intelektual Muhammadiyah itu lebih mau bersikap cermat, maka akan
paham, bahwa mazhab fiqih dalam Islam tidak hanya empat itu saja. Ada mazhab Ja?fary, Dawud al-
Dhahiry, dan sebagainya. Sudah banyak kajian, mengapa empat mazhab itu yang kemudian lebih
berkembang di dunia Islam. Tidak ada yang membatasi bahwa mazhab fiqih yang boleh berkembang
hanya empat mazhab itu saja.

3. Ditulis juga: ?Pembakuan penafsiran dan corak keber-Islam-an itu, sebetulnya justru malah
membuat umat Islam tidak kreatif, apologetis, serta senantiasa memuja masa lalu. Mereka seringkali
tidak berusaha untuk mencari makna agama dengan berpikir mandiri dan kritis, soalnya semua
urusan senantiasa dikembalikan ke otoritas teks dan masa lalu. Padahal, menurut Nasr Hamid Abu
Zaid (2003), antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Artinya, Islam sebagai wahyu
Tuhan adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi, untuk mewujudkan wahyu
Islam yang universal itu dalam tatanan kehidupan yang nyata, membutuhkan sebuah pemahaman.
Dan pemahaman itu, tentu sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman
yang terjadi.?
Mencermati tulisan intelelektual muda Muhammadiyah ini, kita patut prihatin, karena pada
akhirnya, ia pun merujuk dan memuja masa lalu, dengan menokohkan Nasr Hamid Abu Zaid, yang
banyak memuji aliran Mu?tazilah. Padahal, jika kita telaah buku Mafhum al-Nash, dan karya-karya
Nasr Hamid yang lain, banyak masalah yang bisa kita kritisi. Dr. Anis Malik Toha, dosen di Universitas
Islam Internasional Malaysia, dalam kajiannya terhadap buku Nasr Hamid yang berjudul ?Naqd al-
Khitab al-Diiniy?, membuktikan, bahwa adanya dominasi pola pikir sekulerisme dalam diri Nasr
Hamid. Karena itu, sebelum seseorang menolak dan membuang karya-karya besar ulama Islam
terdahulu, dan mengadopsi pemikir modern seperti Nasr Hamid, mestinya dilakukan kajian yang
serius dulu. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah berbagai berbagai ironi.

Bisa-bisa muncul apa yang disebut sebagai ?mujtahidun jahilun?, mujtahid bodoh, yang ingin disebut
mujtahid, tetapi sejatinya tidak tahu apa-apa.

Jika kita melakukan kajian peradaban dengan serius, maka kita akan menjumpai, bahwa Umat Islam
mencapai kegemilangan selama ratusan tahun, dengan menggunakan pola pendekatan yang
dicontohkan Rasulullah, para sahabat, tabi?in, para ulama besar, seperti Maliki, al-Syafii, al-Asy?ari,
al-Ghazali, dan sebagainya. Contoh yang jelas, adalah bagaimana keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi
dalam mengembalikan kejayaan Islam dan mengalahkan Pasukan Salib, serta merebut Jerusalem
pada tahun 1187. Buku yang ditulis Carole Hillenbrand, berjudul ?The Crusades: Islamic
Perspectives? ( Edinburgh University Press, 1999), menggambarkan bagaimana pengaruh pemikiran
Islam mazhab Asy?ari, Syafii, dan peran para ulama Ahlus Sunnah lainnya, dalam kebangkitan para
pemimpin Muslim ketika itu, termasuk dalam diri Shalahuddin al-Ayyubi.

Tentang masalah geografi dan waktu, sebenarnya juga hal yang sangat jelas dalam Islam. Kita bisa
melihat, bahwa dalam banyak aspek, ajaran Islam bersifat universal, tidak melihat tempat dan
waktu. Kapanpun, di mana pun, kaum Muslim akan sholat dalam bahasa Arab, Azan dalam bahasa
Arab, meskipun masyarakat tidak mengerti makna azan itu. Tidak boleh diubah. Apakah terpikir, jika
di kalangan JIMM ada yang tidak mengerti bahasa Arab lalu mengubah azan dalam bahasa Jawa,
agar Islam cocok untuk setiap tempat? Tentu tidak, sampai kapan pun!

Sebab itu, kita sebenarnya sangat prihatin, jika pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak cermat,
ceroboh, keliru, dan tidak mendalam, disebarkan ke tengah masyarakat dengan mengatasnamakan
?intelektual? dari organisasi Islam tertentu. Masalah kekeliruan pemikiran ini sangat penting, tidak
kalah pentingnya dengan pemilihan Presiden. Sebab, jika Presiden yang kita pilih berpikir salah
tentang Islam atau dikelilingi oleh orang-orang yang berpikir salah, maka dampaknya akan sangat
besar buat Islam, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Wallahu a?lam. (KL, 26 Mei 2004).
Pluralisme dan Islam

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan Pluralisme Agama, tidak banyak yang
protes, kecuali beberapa gelintir penganut pluralis liberal. Sayang, protes itu tidak ditanggapi Majelis
Ulama Indonesia dengan penjelasan yang ilmiah, detail dan dapat dipertahankan.

Mungkin itulah sebabnya mereka yang protes itu kini terus mengembangkan paham ini melalui
berbagai proyek. Untuk itu penjelasan mengenai apa hakekat pluralisme agama itu perlu dihadirkan
sekali lagi.

Sebelum Majelis Ulama Indonesia menghasilkan fatwa itu, Jurnal pemikiran dan peradaban ISLAMIA
pada edisi 3 dan 4 telah membahas panjang lebar paham ini. KH. Salahuddin Wahid menantang para
pengkritik fatwa untuk menjelaskan maksud mereka, apakah seperti yang dimaksud ISLAMIA atau
makna yang lain. Namun, hingga pihak pengkritik fatwa itu juga tidak tegas pluralisme apa yang
mereka bela itu.

Sebenarnya, paham Pluralisme Agama lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat pluralisme memiliki akar
yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme
Barat postmodern.

Dari berbagai kamus pluralisme dapat bermakna dua hal: Pertama, Pengakuan terhadap kualitas
majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, Doktrin yang berisi a) Pengakuan terhadap
kemajemukan prinsip tertinggi, b) Pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang
tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah c) Ancaman bahwa tidak ada pendapat
yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. d) Teori yang seirama dengan relativisme dan
sikap curiga terhadap kebenaran (truth). e) Pandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar
atau semua pendapat adalah sama benarnya. (No view is true, or that all view are equally true).
(Lihat, The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of Philosophy;
Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English).

Jadi dari makna pluralisme saja sudah terdapat ide yang mencurigai kebenaran atau paham
relativitas kebenaran.

Pluralisme dalam pengertian pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan
kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan
orang lain.

Pluralisme dalam arti kedua sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapan. Masyarakat, harus
menerima kenyataan bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal artinya semua benar, atau
masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau
paling benar. Bahkan dalam satu pengertian pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran
itu tidak ada.

Sebenarnya wacana pluralisme tidak bisa lepas dari pemikiran Barat postmodern. Sebab menurut
Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam postmodernisme diwarnai oleh doktrin
pluralisme. Selain itu postmodernisme selalu menjadikan fundamentalisme sebagai musuh
utamanya dan cara menghadapinya adalah menebar pluralisme. Doktrin utamanya adalah nihilisme
dan relativisme.

Jadi, target utama pluralisme sebenarnya adalah agama dan kepercayaan. Sebab begitu seseorang
berbicara masalah pluralisme secara sosiologis, ia otomatis membahas teologi atau agama juga.
Di antara tokoh pendukung paham pluralisme adalah Peter Ludwig Berger, seorang sosiolog Amerika
dan juga teolog Lutheran. Dalam bukunya The Desecularization of the World Peter menyatakan
bahwa sekularisasi telah gagal, sebab praktek keagamaan ternyata justru bertambah subur dan
desekularisasi malah dominan. Oleh sebab itu dalam The Social Construction of Reality ia
mengusulkan gantinya yaitu penyebaran paham pluralisme.

Berger beralasan bahwa meskipun agama masih sebagai faktor sosial yang kuat, namun pluralisme
dan dunia yang global telah merubah pengalaman keberagamaan individu. Pluralisme yang
dihidupkan, disebarkan dan diperkuat oleh globalisasi itu menjadi fakta kehidupan sosial dan
kesadaran individual.

Pada tingkat institusional, agama tidak lagi punya otoritas. Dan dalam masyarakat demokrasi liberal
dimana kebebasan beragama dijamin, agama tidak bisa lagi menjadikan negara sebagai sandaran.
Sejalan dengan kapitalisme otoritas itu seperti pasar, siapa saja bebas memiliki otoritas. Bahkan
masyarakat akan lebih kuat menganut doktrin pluralisme daripada menganut suatu agama, tegas
Berger.

Lebih ekstrim dari Berger, Diana L. Eck dalam The Challenge of Pluralism, tegas-tegas menyatakan
bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima
pluralitas (diversity).

Dalam bukunya From Diversity to Pluralism ia membayangkan bahwa pluralisme adalah


peleburan agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang plural. Pada
pemikiran Diana ini, nampak sekali muatan relativismenya. Sebab ia juga menyarankan agar agama-
agama bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada pada agama lain.

Alasannya karena setiap agama mengandung porsi kebenaran. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa
Diana sependapat dengan ide bahwa semua agama itu sama benarnya dan tidak ada agama yang
lebih benar dari agama lain.

Dari definisi dan penjabaran singkat diatas, pluralisme sudah mengandung makna relativisme. Jadi
klaim bahwa pluralisme adalah sebuah doktrin sosial ternyata menyentuh aspek teologis. Maka dari
itu pluralisme dan pluralisme agama, seperti yang akan dijelaskan berikut ini, ternyata tidak beda.
Kecuali jika ada yang memahami pluralisme hanya setingkat toleransi.

Paham pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar yaitu teologi global (global theology) atau
teologi dunia (world theology) dan kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of
religions). Yang pertama dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith, sedangkan yang
kedua oleh Fritjhof Schuon.

Pertama yaitu teologi global berambisi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi proyek
globalisasi Barat. Pendekatan yang dipakai aliran teologi global terhadap agama-agama awalnya
bersifat sosiologis, kultural dan ideologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang
ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural.
Ideologis sebab ia telah menjadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas
memasarkan ideologi Barat.

Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah
membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan
lainnya.
Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar
semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat seperti
demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme. (Lihat Dr. Amir al-
Roubaie, Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam, dalam Jurnal pemikiran dan peradaban Islam
ISLAMIA, Edisi 4, 2004 )

Jadi globalisasi Barat itu seakan-akan berdiri didepan semua agama dan memberi instruksinya Ikut
globalisasi Barat atau tertinggal dan ditinggal. Posisi seperti inilah yang disampaikan oleh Peter
Berger. Semua penganut agama, katanya, hanya ada tiga pilihan: menolak pluralisme, menarik diri
daripadanya atau terlibat dengannya. Semua pilihan memiliki kesulitan dan resiko masing-masing,
tapi hanya dengan terlibat dalam suatu agama akan menjadi sejalan dengan demokrasi liberal.

Setelah menggunakan pendekatan sosiologis, kultural dan ideologis aliran ini menggunakan
pendekatan filosofis, terutamanya doktrin relativisme. Doktrin relativisme kebenaran digunakan
oleh John Hick dan juga Diana L. Eck untuk melebur batas agama-agama (eksklusifisme).

Dalam bukunya an Interpretation of Religion Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif yang
absolut hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami
manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif. Selain itu Hick juga mengadopsi teori Copernican
Revolution yaitu yang merevolusi prinsip geosentris menjadi heliosentris. Jika Copernicus
memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi
dari agama-agama kepada Tuhan (Religion-centredness to God centredness).

Kalau dulu setiap agama menjadi pusat yang dikelilingi tuhan, maka kini dirubah tuhanlah yang
dikelilingi agama-agama. Artinya dari banyak agama banyak tuhan menjadi banyak agama satu
Tuhan.

Berbeda dari Hick yang mengusung globalisasi, doktrin kesatuan agama-agama Schuon menebarkan
ide bahwa agama dibagi menjadi dua: tingkat eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah).

Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada
tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki tuhan yang sama yang abstrak dan tidak
terbatas.

Doktrin pluralisme agama ini kini disebarkan kedalam wacana pemikiran Islam. Pengikut pertama
doktrin teologi global dari Islam adalah Hasan Askari, sedangkan pengikut doktrin kesatuan
transenden agama-agama adalah S.H. Nasr, namun pencetusnya sendiri Schuon yang dulunya Yahudi
itu konon telah masuk Islam dan tetap pluralis.

Para cendekiawan Muslim yang mengadopsi paham ini sekurangnya ada tiga kelompok. Pertama,
Mereka yang memahami doktrin dan mempunyai agenda tersendiri. Kedua, Mereka yang tidak
memahami doktrin ini karena pemikirannya terbaratkan. Ketiga, Mereka yang tidak memahami
doktrin ini dan terbawa oleh wacana umum. Dari kelompok pertama dan kedua inilah muncul istilah-
istilah asing seperti Islam inklusif, Islam pluralis, pluralisme dalam Islam dan sebagainya.

Selain itu mereka juga mencari-cari justifikasi dari al-Quran dan Hadis. Cara yang mereka gunakan
adalah dengan mendekonstruksi makna ayat dan hadis untuk disesuaikan dengan tujuan mereka.

Jadi prinsip pluralisme ala Peter L. Berger, Diana L. Eck atau lainnya atau doktrin pluralisme agama
ala John Hick dan Schuon tidak berbeda. Pluralisme bukan prinsip mengenai toleransi, tapi
relativisme kebenaran yang mengajarkan bahwa Semua agama adalah sama.
Di Barat pluralisme telah meresahkan dan merugikan pihak gereja, seperti yang akan dibahas
sebentar lagi. Tapi di negeri ini para aktifis LSM menganggapnya berkah melimpah. Para
cendekiawan dan beberapa ulama menerimanya dalam domain ijtihad, karena dianggap baru
dan berdimensi universal meski asing bagi umat.

Ijtihad pendukung pluralisme (baca: liberalisme) di negeri ini lebih maju dari wacana para teolog
Barat. Mereka telah sampai tahap berani membuka pintu-pintu surga bagi semua umat
beragama. Tapi mereka lupa ketika membuka pintu surga lebar-lebar, mereka belum menunjukkan
jalan-jalan menuju pintu-pintu itu secara pasti, karena semua jalan adalah relatif.

Boleh jadi, demi pluralism agama di satu saat nanti menjelang ajal seorang Kyai boleh dibaptis, dan
setelah dikubur seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa ada alternatif surga yang
menurut mereka sangat plural itu.

Lagenhausen seorang Muslim mengkritik keras faham ini, Tujuan pluralisme untuk membangun
toleransi itu baik tapi terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah, tulisnya (Dr Muhammad
Legenhausen, Islam and Religious Pluralism Journal Al-Tawhid, Vol. XIV, No. 3 ). Menurut HAMKA
orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama.
Jika ini makna pluralisme yang dimaksud kelompok pluralis liberal, maka fatwa Majelis Ulama
Indonesia itu sungguh benar adanya.
LIBERALISASI POLITIK

Oleh: Dr. Adian Husaini

(Peneliti INSISTS)

Politik adalah sekedar seni meraih dan mempertahankan kekuasaan, dengan segala cara. Politik
harus dibebaskan dari moralitas. Yang penting kuasa. Demi meraih kuasa, tipu sana tipu sini, bukan
soal lagi. Bahkan, jika perlu, teror pun digunakan, demi kekuasaan. Pertahankan dan rebut
kekuasaan, dengan cara apa pun!

Itulah politik bebas nilai. Sebuah bentuk politik yang secara sistematis diteorikan oleh Niccolo
Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Dalam sejarah pemikiran politik,
nama Machiavelli memang monumental. Oleh para pemikir di Barat kemudian, karya Machiaveli,
The Prince, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam social politik
umat manusia. Sebuah buku berjudul World Masterpieces yang diterbitkan oleh WW
Norton&Company, New York, tahun 1974 (cetakan kelima) menempatkan karya Machiaveli ini
sebagai salah satu karya besar dalam sejarah umat manusia yang muncul di zaman renaissance.

Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan disiksa. Ia dituduh
melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The Prince pada umur 44 tahun, dan baru
dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu
pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan
melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang
memberikan predikat sebagai amoral. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah survival
(mempertahankan kekuasaan).

Politik semacam itu melampaui nilai-nilai moral keagamaan. Dengan membuang faktor baik dan
buruk dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa boleh
menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. Penguasa-penguasa yang sukses, kata
dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan. Maka, kata Machiavelli lagi,
Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan
kekejaman dan terror. Ditulis dalam The Prince: It is necessary for a prince, who wishes to maintain
himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the
necessity of the case. Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat
persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.

Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New York:
Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya
melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan
ilmuwan politik. In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a trend of thought
that we recognized as distinctly modern, tulis Perry. Jadi, sumbangan terbesar Machiavelli adalah
menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara,
semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern.

Trauma sejarah

Apa yang dilakukan Machiaveli yang kemudian disebut sebagai politik modern tentu saja tak lepas
dari arus besar renaissance (kelahiran kembali) masyarakat Eropa, yang selama hamper 1.000 tahun
hidup di bawah sstem politik teokrasi (kekuasaan Tuhan). Tuhan melalui wakilnya di bumi
mendominasi segala aspek kehidupan, termasuk politik. Pemerintahan dianggap tidak sah, jika tidak
disahkan oleh wakil Tuhan.
Contoh yang menarik terjadi pada konflik antara Paus Gregory VII dan Raja Henry IV pada paruh
abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregory melarang keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat
gereja. Paus berargumen, bahwa konsep Gereja sebagai monarkhi berasal dari tradisi Imperium
Romawi. Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan
suatu Sidang Umum dan mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan. Jika Paus mengucilkan
seorang penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh Kekristenan, dan karena itu
ia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (Christendom). Raja Henry IV menolak klaim Paus
tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari Tuhan. Menghadapi
tentangan itu, Paus menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan, Henry
IV takluk dan dipaksa menemui Gregory di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan
hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya. Kasus ini menunjukkan keefektivan
kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu melakukan
pengucilan terhadap Raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa.

Dominasi kekuasaan kaum agamawan dalam politik kemudian menyulut berbagai protes. Tahun
1887, Lord Acton seperti menyindir hegemoni kekuasaan agama dan menulis surat kepada Bishop
Mandell Creighton. Isinya antara lain: All power tends to corrupt; absolute power corrupts
absolutely. (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press,
1991)).

Berbagai penyimpangan system teokrasi kemudian melahirkan semangat pemberontakan terhadap


agama. Revolusi Perancis (1789) yang mengusung jargon Liberty, Egality, Fraternity, secara terbuka
menyingkirkan bukan hanya system monarkhi tetapi juga dominasi kaum agamawan dalam politik.
Sebelumnya, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para
bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal,
jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Perancis.

Kekeliruan sebagian tokoh agama dalam politik yang menindas rakyat akhirnya memunculkan
trauma masyarakat Barat terhadap peran agama dalam politik. Bahkan, kemudian muncul fenomena
anti-clericalism di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu: Berhati-hatilah, jika
anda berada didepan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-
hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta. (Beware of a women if you are in front of her,
a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind). (Owen Chadwick, The
Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University
Press, 1975)).

Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama itulah yang memunculkan paham
sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan,
bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi politisasi agama; agama haruslah
dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah
publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.

Tradisi Islam

Di Eropa, trauma sistem teokrasi kemudian memunculkan tradisi politik sekular-liberal. Fenomena ini
sebenarnya tidak terjadi dalam dunia Islam. Kaum Muslim selalu melihat politik sebagai bagian dari
agama. Politik adalah ibadah. Tujuan utama politik adalah untuk menyebarkan kebenaran, dan
menjaga agama melalui kekuasaan. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus
mulia pula. Tujuan tidak menghalalkan segala cara.
Pengalaman sejarah dan trauma Barat terhadap hegemoni sistem teokrasi mengharuskan
dilakukannya sekularisasi di Barat. Tetapi, Islam tidak mengalami hal semacam itu. Islam tidak
mengenal sistem teokrasi dan tradisi Inquisisi. Bernard Lewis, professor di Princeton University
mengakui, bahwa kaum Muslim memang tidak mengembangkan tradisi sekular dalam sejarah
mereka. Bahkan, kaum Muslim akan selalu menentang keras tradisi secular tersebut. Ini berbeda
dengan tradisi Kristen di Barat. From the beginning, Christians were taught both by precept and
practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of
the two. Muslims received no such instruction, tulis Lewis dalam bukunya, What Went Wrong?
Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002).

Karena itu, memang, sejatinya, politik sekular dan liberal, apalagi politik machiavellis harusnya tidak
dikenal dalam tradisi Islam. Namun, pada akhirnya, para politisi Muslim sendiri yang harus
membuktikan, bahwa politik mereka memang bertujuan untuk ibadah dan bukan refleksi dari
syahwat mencintai dunia (hubbud-dunya). Jika mereka gagal membuktikan politik Islam sebagai
rahmat bagi masyarakat, maka bukan mustahil akan muncul gerakan anti-ulama dan anti-agama,
sebagaimana munculnya gerakan anti-crericalism di Eropa. Masyarakat bukan hanya muak pada
politisi Muslim dan partai yang mengusung nama Islam, tetapi juga makin jauh dari agama. Mudah-
mudahan ini tidak terjadi! (***)
KHASANAH ISLAM DI NUSANTARA

Oleh: Dr Adian Husaini

Hari Kamis (27/8/2015) lalu, sebuah masjid di kawasan perkantoran Jalan Gatot Subroto Jakarta
meminta saya mengisi kajian dhuhur dengan tema mengkaji isu Fikih Kebinekaan dan Islam
Nusantara. Tidak dinafikan, dua isu tersebut menyita perhatian banyak kalangan muslim sejak awal
Agustus lalu, sejalan dengan digelarnya Muktamar NU dan Muhammadiyah, Agustus 2015. Bahkan,
kedua isu itu sudah menjadi bahan diskusi yang hangat dan panas di berbagai media massa.

Setelah membaca sejumlah artikel dan buku yang mempromosikan gagasan Islam Nusantara saya
memahami bahwa ada sejumlah maksud dan gagasan yang baik untuk menjaga keberlangsungan
dakwah dan mengembangkan eksistensi Islam di bumi Nusantara. Itu terlepas dari penggunaan
istilah yang kontroversial. Saya menyarankan, istilah Islam Nusantara diganti dengan Islam di
Nusantara atau Budaya/Peradaban Islam Nusantara.

Sebab, Islam dalam makna khusus (istilahan) adalah nama satu agama tertentu. Prof. Syed
Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995), menjelaskan, bahwa dalam soal makna Islam, hanya ada satu agama wahyu
yang otentik, dan namanya sudah diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Kata al-Attas: Islam, then, is not
merely a verbal noun signifying submission; it is also the name of particular religion descriptive of
true submission, as well as the definition of religion: submission to God.

Karena langsung diberikan oleh Allah Subhanahu Wataala, maka nama Islam tidak bisa diganti-
ganti dengan nama lain, seperti Mohamedanism, Arabism, Hagarism, dan sebagainya, sebagaimana
yang telah diupayakan oleh para orientalis selama ratusan tahun. Itulah kenapa nama Islam berbeda
dengan nama-nama adama lain, seperti Judaism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, Protestantism,
Confucianism, Jainism, Shintoism, dan sebagainya.

Sesuai dengan sifat ajaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam yang lintas zaman dan
lintas budaya, sampai Hari Kiamat, maka aqidah dan ritual dalam Islam pun tidak tunduk oleh
budaya, meskipun kaum Muslim ada yang berusaha melakukan proses Islamisasi budaya. Itu bisa
dibuktikan hingga kini. Di mana saja, umat Islam bisa shalat dengan cara yang sama. Umat Islam bisa
shalat di masjid mana saja. Mereka bisa saling makmum, satu dengan lainnya. Kecuali, tentu saja,
masjid pengikut aliran sesat yang menganggap kaum Muslim di luar kelompoknya merupakan kaum
sesat.

Bukan nama SOTO

Karena merupakan genuine revealed religion, maka selama ini para cendekiawan Muslim sedunia,
pada umumnya, tidak menggunakan istilah Islam Indonesia, Islam Amerika, Islam China, Islam
Timor Leste, Islam Kutub Utara dan sebagainya. Sebab, kaum Muslim memang merupakan umat
dengan satu al-Quran, satu kiblat, dan satu panutan (uswah hasanah). Kaum Muslim di mana pun
menyelenggarakan jenazah dengan cara yang sama; baik di daerah yang harga tanahnya murah atau
yang teramat mahal. Muslim AS tidak mengkafani jenazah muslim dengan bendera AS, dan
menyanyikan lagu kebangsaan negaranya saat menurunkan jezanah ke liang lahat. Hingga kini,
belum ditemukan, kaum Muslim jualan kain kafan bercorak batik Pekalongan.

Jadi, karena Islam merupakan nama agama yang langsung diberikan oleh Allah, menurut hemat saya,
sebaiknya kita berhati-hati dalam memberikan istilah. Itu sekedar pikiran dan saran. Toh, selama ini,
sudah ratusan tahun, kita terbiasa menggunakan istilah Islam untuk menyebut nama agama kita.
Tidak perlu nantinya berbagai daerah di Nusantara ini tergerak hatinya menggunakan istilah Islam
yang beraneka ragam, seperti Islam Betawi, Islam Lamongan, Islam Madura, Islam Makassar,
Islam Medan, dan sebagainya, seperti nama-nama SOTO yang terkenal di Nusantara. Nama Islam
tidak bisa disamakan kedudukannya dengan nama-nama SOTO di Nusantara, yang terus berkembang
aneka jenisnya.

Jadi, sekali lagi, Islam dalam makna khusus (bukan makna bahasa/lughatan), adalah nama satu
agama. Dan nama itu tidak dibuat oleh manusia, tetapi sudah diwahyukan (revealed). Karena
merupakan nama agama, maka sangatlah riskan jika nama itu diubah-ubah atau ditambah-
tambah. Makna Islam, secara istilahan, juga disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-
nya yang terkenal, al-Arbain al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: Islam
adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa
sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat,
melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika engkau
berkemampuan melaksanakannya. (HR Muslim).

Jika mengacu pada kisah sukses dakwah Islam Wali Songo, maka para Wali Songo itu pun tidak
menggunakan istilah Islam Jawa atau Islam Nusantara agar Islam diterima oleh masyarakat luas.
Sebab, para Wali itu mengembangkan Islam, bukan Islam Arab, Islam India, Islam Turki, atau Islam
Persia. Para Wali itu tidak menolak budaya lokal begitu saja, tetapi kadangkala mengubah budaya itu
agar sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti budaya selametan, dan sejenisnya. Masjid Menara
Kudus yang arsitekturnya mirip dengan pura Hindu masih bisa kita saksikan saat ini. Sunan Kudus
pun meminta umat Islam tidak menyembelih sapi untuk qurban, diganti kerbau. Hingga kini, tradisi
itu masih dipegang oleh sebagian umat Islam.

Kisah suksesnya dakwah para Wali Songo bukan dilakukan dengan berwacana tentang Islam
Nusantara atau Islam Arab, tetapi dilakukan dengan strategi dan rencana yang matang,
kesungguhan, keikhlasan, dan keteladanan akhlak mulia. Maka, terlepas dari pro-kontra istilah
Islam Nusantara, ada satu tugas besar dari para cendekiawan Muslim Nusantara untuk menggali
dan mengaktualkan kembali khazanah Islam di Nusantara. Tujuannya agar Islam tidak diposisikan
sebagai barang asing di Indonesia, sehingga masyarakat Nusantara dihasut untuk menjauhi Islam,
karena dianggap budaya asing yang tidak cocok dengan budaya Nusantara.

Khazanah Nusantara

Saya sempat mengambil mata kuliah Reading in Malay Metaphysical Literature di ISTAC, tahun
2004. Ketika itu profesornya meminta mahasiswa membaca Kitab Hujjah al-Shadiq li-Dafi al-Zindiq,
karya Syekh Nuruddin al-Raniri, yang ditulis dalam bahasa Melayu tulisan Arab Melayu/Jawi. Ada
juga mahasiswa dari Turki yang mengambil mata kuliah itu. Ketika itulah saya merasa bersyukur,
bahwa sejak kecil sudah terbiasa dengan tradisi membaca Arab Melayu (Pegon), baik di Madrasah
Diniyah maupun di Pesantren Salafiyyah.

Beberapa tahun kemudian, saya semakin banyak berinteraksi dengan pemikiran Prof. Syed
Muhammad Naquib al-Attas tentang sejarah dan peradaban Islam Melayu-Nusantara ini. Buku klasik
Prof. al-Attas adalah Islam dalam Sejarah Kebudayaan Budaya Melayu yang sudah diterbitkan di
Indonesia tahun awal 1990-an.

Puncaknya, tahun 2013, Prof. al-Attas menerbitkan beliau Historical Fact and Fiction,yang
memberikan perspektif dan fakta yang kuat tentang sejarah keagungan peradaban Melayu Islam itu.
Perspektif (worldview) inilah yang sangat menentukan produk kajian tentang khazanah Islam di
Nusantara. Jika menggunakan perspektif orientalis yang mengecilkan peranan Islam dalam sejarah
Nusantara, maka akan lahirlah ilmuwan-ilmuwan yang justru tidak bangga dengan keagungan
sejarah Islam Melayu itu sendiri.

Sebutlah contoh pemikiran Nuruddin al-Raniri (w. 1658) dalam kitabnya, Durrul Faraid fi-Bahtsil
Aqaid, yang sangat mengkritisi pemikiran sofisme (sufasthaiyyah). Berdasarkan naskah yang
dilatinkan oleh Prof. Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar, Syekh Nuruddin al-Raniri menulis:

Kata segala orang yang beriktikad sebenarnya: hakikat segala sesuatu itu teguh jua, ertinya
kebenaran segala sesuatu itu tetap dan teguh jua adanya,dan pada pengetahuan akan dia
sebenarnya, ertinya kita iktikadkan bahawa segala yang dilihat seperti langit dan bumi dan barang
yang dalam keduanya itu iaitu jua pada penglihatan dan pada pengetahuan demikianlah sama jua
pada iktikad. Adapun pada itiqad Sufastaiyyah bersalahan dengan demikian itu, tetapi kata
mereka itu citacita dan wahm dan khayal sia-sia jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu
mengikut pada itiqad jika di itiqadkan pada suatu itu kekal maka iaitu kekal jua dan jika di itiqadkan
baharu maka baharu jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu dalam syak jua dan yang syak itu
tiada berputusan ertinya segala suatu itu bukannya iaitu. Demikianlah itiqad Sufastaiyyah yang
amat sesat itu.

Begitu tinggi pemikiran Nuruddin al-Raniri tentang aqidah dan pemikiran Islam. Di abad ke-17 sudah
lahir pemikir di Nusantara yang mengkritisi paham sofisme, satu filsafat pre-Socratic yang disebut
Prof. Wan Mohd Nor sebagai golongan anti-ilmu. Jika sekarang banyak yang mengaku mencintai
khazanah Islam di Nusantara, tetapi justru mengembangkan pemikiran sofisme yang juga
merupakan gagasan relativisme kebenaran dan nilai-nilai akhlak, maka jelas itu salah ajar dan salah
pikir.

Misalnya, gagasan bahwa semua tafsir al-Quran itu bersifat relatif karena merupakan produk akal
manusia. Padahal, ada produk akal yang tidak relatif. Penafsiran ayat-ayat al-Quran yang bersifat
qathiy (tsubut dan dalalahnya), tidak bersifat relatif. Kata khinzirmisalnya, pasti ditafsirkan babi.
Jika ada yang menafsirkan khinzir dengan jengkol, pasti salah secara mutlak! Para penggagas ide
Islam Nusantara pasti manusia yang berakal. Itu pasti. Mutlak pula kebenarannya. Jika ada manusia
yang mengatakan, para penggagas Islam Nusantara adalah manusia-manusia tidak berakal, pasti
salah secara mutlak!

Juga, adalah hal yang aneh, jika kajian tentang khazanah Islam di Nusantara berujung kepada
kebencian pada penerapan syariat Islam. Padahal, siapa yang menolak syariat Islam, maka tidak ada
iman dalam dirinya. KH Hasyim Asyari dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Mutaallim, menulis: at-
Tawhdu yjibul mna, faman l mna lah l tawhda lah; wal-mnu yjibu al-syarata, faman l
syarata lah, l mna lah wa l tawhda lah.

Karena itu, kita berharap pengembangan gagasan Islam Nusantara tidak menjadi kontra-produktif,
yakni menjadikan banyak kaum Muslim menjadi tidak tertarik untuk mengkaji khazanah Islam di
Nusantara, karena sudah curiga dengan istilah Islam Nusantara yang memang sebagian
dipromosikan oleh kaum liberal dan kaum Syiah di Indonesia. Saya pun berharap, campur tangan
birokrasi dalam pengembangan penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara ini dilakukan dengan
keikhlasan, bukan karena memanfaatkan uang rakyat untuk memperkosa teks-teks khazanah Islam
Nusantara, disesuaikan dengan hawa nafsu liberalisme.

Yang penting, kajian atau penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara itu dilakukan dengan niat
ikhlas dan kejujuran untuk memajukan dakwah Islam di Nusantara. Jika tidak disertai niat ikhlas,
khawatir uang yang diambil dari hak rakyat itu tidak akan menjadi berkah; bahkan bisa menjadi
musibah; menimbulkan permusuhan antar-sesama, menyuburkan sifat serakah harta dan jabatan,
dan menjauhkan diri dan keluarga dari kedamaian dan kebahagiaan. Kata Imam al-Ghazali, hubbud
dunya rasu kulli khathiatin(cinta dunia itu pangkal segala kerusakan).

Prof. Azyumardi Azra menulis bahwa, Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur
utama. Pertama, kalam (teologi) Asyariyah; kedua, fikih Syafii meski menerima tiga mazhab fiqh
Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali. (Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara: Dari
Ushul Fiqih sampai Konsep Historis, 2015, hlm. 172).

Benarkah Islam Nusantara yang selama ini dan akan dikembangkan, khususnya di lingkungan
Perguruan Tinggi Islam, adalah bersumber pada ajaran Asyariyah, Fiqih Syafii dan Tasawwuf Imam
al-Ghazali, seperti ditulis oleh Prof. Azyumardi Azra?

Sejarah membuktikan, bahwa selama ini, UIN/IAIN sangat mengagungkan pemikiran Prof. Harun
Nasution, yang berusaha menggusur kalam Asyari. Dalam pengantarnya untuk buku Studi Islam:
Dinamika Baru, Prof. Virginia Hooker dari Australian National University mencatat: Almarhum Prof.
Dr. Harun Nasution (1919-1998) saat ini diakui dan dihormati sebagai tokoh yang sangat
berpengaruh di bidang penelitian Islam di Indonesia. Beliau diberi kredit sebagai sarjana yang
memperkenalkan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal. Pemikiran Nasution
tentang Islam sebagai agama yang dinamik dikandung dalam buku yang bersangkutan berjudul Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977). Buku ini merintis jalan untuk penelitian Islam secara
akademik lewat metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada umumnya.

Padahal, dalam buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta :
LSAF, 1989), disebutkan, ungkapan Harun Nasution: Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran
Asyariyah mesti diganti dengan pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau
pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya,
metodologi tradisional Asyariyah harus diganti.

Jika mengikuti tradisi Kalam Asyari, Fiqih Syafii dan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak akan lahir
pemikiran-pemikiran yang mempromosikan paham syirik Pluralisme Agama dan menolak syariat
Islam. Jika mengamalkan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak ada rebutan jabatan rektor dan dekan di
kampus-kampus Islam. Sebab, jabatan itu amanah yang berat, dunia-akhirat.

Karena itu, apa pun kondisinya, kita berharap, ada pengembangan keilmuan Islam yang serius di
kampus-kampus Islam, untuk membangun tradisi ilmu yang sehat, yang mendorong para dosen dan
mahasiswa semakin dekat dan semakin beradab kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi
Wassallam. Wallahu Alam bish-shawab. (Depok, 1 September 2015).*
BERFIKIR DAN BERIMAN

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Seorang dosen filsafat Islam di sebuah universitas Islam tiba-tiba memulai kuliahnya dengan kata-
kata yang provokatif. Ia mengatakan:Kita sekarang berlajar filsafat, maka masukkan iman kalian ke
dalam saku terlebih dahulu. Tidak jelas apa yang dimaksud, ia pun meneruskan kuliahnya.

Apa yang dikuliahkan itu tidak penting. Tapi cara berfikir dosen itu penting dibahas. Apa yang perlu
dicatat pertama-tama adalah bahwa dosen ini jelas berasumsi bahwa berfikir dan beriman itu dua
hal yang berbeda. Artinya ketika seseorang itu berfikir, maka ia tidak sedang beriman atau tidak
boleh beriman. Sebaliknya, ketika seseorang itu sedang beriman maka fikirannya harus istirahat. Ini
seirama dengan pandangan Emanuel Kant (w.1804) bahwa teologi itu bukan ilmu atau senada
dengan cara pandang dichotomis, agama tidak bisa jadi ilmu. Pastinya ini adalah cara pandang
sekuler.

Tapi Islam tidak mengajarkan demikian. Sederhananya, Islam adalah agama yang dianut dan diimani
dengan akal. Sebab seseorang yang dilahirkan sebagai Muslim sekalipun tidak wajib beriman dan
berislam kecuali setelah dia dapat menggunakan akalnya alias mencapai umur Aqil dan baligh.
Bahkan hadith Nabi menegaskan bahwa dasar keberagamaan dalam Islam itu adalah fikiran, tanpa
fikiran berarti tidak ada keberagamaan religiusitas (al-dn aqlun la dna liman la aqla lah). Artinya
beriman dalam Islam itu berdasarkan pada akal, dan ilmu aqliyah itu bertujuan untuk beriman.
Dalam hal ini Nabi menegaskan bahwa:

Barangsiapa tambah ilmunya, tapi tidak tambah petunjuknya, maka ia akan tambah jauh dari
tuhannya (al-hadth).

Hadith ini dapat diartikan begini: berangsiapa ilmunya tidak mengandung iman maka bertambahnya
ilmu hanya akan menambah kesesatan. Logikanya, karena ilm itu mengandung iman dan sebaliknya,
maka sudah barang tentu bertambahnya ilm itu akan menambah kekuatan iman.

Logika seperti ini akan lebih mudah difahami jika dibandingkan dengan kredo Katholik. Bagi mereka
keimanan adalah asas dari pemahaman credo ut intellegam (saya beriman supaya saya faham). Tapi
dalam Islam pemahaman yang menggunakan akal fikiran itu adalah asas keimanan. Maka dari itu
ilmu dalam Islam adalah prasyarat iman, mencapi umur akil baligh adalah presyarat berislam. Non-
Muslim yang baligh dapat masuk Islam setelah mamahami Islam, dan tidak boleh dipaksa. Maka
kredo tersebut bagi Muslim harus dibalik menjadi intellego ut credam (saya faham supaya saya
beriman).

Untuk mengetahui bagaimanakah proses berfikir dan beriman itu, perlu tahu pula kompleksnya
perangkat jiwa manusia dalam Islam. Dalam Islam terdapat nafs (jiwa), sadr (dada), aql (akal ), qalb
(hati), Fuad (nurani), al-Lubb (akal fikiran yang beriman) dan lain sebagainya.

Menurut Hakim al-Tirmidhi (w. 320 H), qalb (hati) itu diibaratkan sebagai mata, sadr adalah putih
mata, fuad adalah hitamnya pupil mata sedangkan lubb adalah cahaya mata. Itu semua disebut nafs
sebagai potensi utamanya. Di dalam jiwa terdapat potensi qalb dan di dalam qalb terdapat sadr. Jika
diibaratkan sebuah struktur kekuasaan qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. Jika
rajanya baik seperti sabda Nabi maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala
tentaranya. Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu
bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahanya. Maka cahaya hati adalah
ketaqwaan dan keyakinannya.
Sekarang marilah kita cermati dimanakah letak ilmu itu dalam diri manusia. Secara umum al-Ghazal
menyatakan bahwa:

ilmu adalah kehadiran makna sejati dari benda-benda dan segala kualitas, kuantitas, substansi
dan esensi benda-benda itu dalam jiwa yang tenang dan rasional, (al-nafs al-ntiqah
mutmainnah).

Definisi al-Ghazal (w.1111) ini mirip dengan definisi para ulama sezamannya. Dalam tradisi Islam
ilmu diartikan sebagai sampainya makna kedalam fikiran (dhihn) dan sampainya fikiran kedalam
makna. Ini mengindikasikan bahwa jiwa yang dimaksud al-Ghazal adalah fikiran. Berarti ilmu itu
berada di dalam jiwa, tapi jiwa sendiri memilki bagian-bagian yang tak terpisahkan dan saling
berhubungan.

Berkaitan dengan letak ilmu al-Quran menjelaskan bahwa alat untuk memahami sesuatu adalah
qalb (QS. al-Araf 179). Namun, Hakim al-Tirmidhi menjelaskan bahwa tempat masuknya cahaya ilmu
(termasuk ajaran Islam) adalah sadr. Ketika seseorang kita anggap sedang berfikir yang pertama-
tama bekerja adalah sadr. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia termasuk
nafsu amarah, nafsu birahi, cita-cita, keinginan. Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang
datang melalui panca indera, termasuk khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran
itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau
sadr (pusat).

Menurut Hakim al-Tirmidhi sadr menerima informasi awal dari segala sesuatu dan kemudian fuad
memprosesnya. Di dalam fuad inilah tempat cahaya marifah, ide, pemikiran, konsep dan
pandangan. Kerja-kerja fuad itu kemudian dilimpahkan kepada qalb. Qalb adalah juga tempat
bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyuan, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan,
ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Artinya qalb bisa berfungsi sebagai tempat iman dan juga
sebagai tempat ilmu.

Informasi yang masuk kedalam qalb itu kemudian diproses di tempat yang paling tinggi yaitu lubb.
Arti lubb yang sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal
fikiran tauhidi, maka lubb adalah tempat cahaya ketauhidan.

Disini jelas bahwa kita tidak bisa berfikir tanpa melibatkan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Jika
mindset dosen diatas ditrapkan maka bisa jadi fikiran kita bisa menjadi sangat rasional, tapi hati kita
justru kufur kepada Allah. Kita juga bisa menjadi liberal, sekuler bahkan ateis, dan pada saat yang
sama merasa sebagai ulul albab.

Jadi jika seseorang berfikir dan pada saat itu ia membuang jauh-jauh keimanannya, maka besar
kemungkinan fuad, qalb dan lubb orang tersebut tidak digunakan, alias menganggur. Fikirannya
tidak membawanya lebih dekat dengan Tuhannya. Segala amal perbuatannya menjadi bukan untuk
ibadah. Buah fikirannya tidak memancarkan cahaya, karena cahaya ilahi tidak akan pernah masuk
kedalam fikiran orang yang tidak niat untuk beribadah, tapi terjerumus kedalam kubangan maksiat.

Padahal dalam Islam segala aktifitas seorang Muslim, ilmiyah atau non ilmiyah adalah lillah untuk
ibadah demi mencapai mardatillah sehigga akhir perjalanan pemikirannya dapat mencapai hikmah.
Barangsiapa dikarunia Allah suatu hikmah, maka ia telah dikaruniai kebaikan yang berlimpah. Wallau
alam bis showab.
TUHAN KITA: ALLAH!

Oleh: Dr. Adian Husain

Kaum Pluralis mengatakan, semua agama menuju Tuhan yang satu. Padahal kelompok-kelompok
Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan mereka.

Salah satu pandangan yang senantiasa dilempar oleh kaum Pluralis Agama dalam 'mengelirukan'
pemikiran kaum Muslim, adalah mengatakan, "semua agama adalah jalan yang berbeda-beda
menuju Tuhan yang satu". Mereka mengatakan, soal nama "Yang Satu" itu tidaklah penting. Yang
Satu itu dapat dinamai Allah, God, Lord, Yahweh, The Real, The Eternal One, dan sebagainya. Bagi
mereka, nama Tuhan tidak penting. Ada yang menulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha
Pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang, Tuhan Segala agama." Kita ingat, dulu, ada cendekiawan
terkenal yang mengartikan kalimat syahadat dengan: "Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali
Tuhan (dengan T besar). Tradisi yang tidak tahu dan tidak mempersoalkan nama Tuhan bisa kita
telusuri dari tradisi Yahudi. Kaum Yahudi, hingga kini, masih berspekulasi tentang nama Tuhan
mereka.

Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum
Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise
Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God of Judaism as the
tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, Gods name
is never articulated, least of all in the Jewish liturgy." Karena tidak memiliki tradisi sanad yang
sampai kepada Nabi Musa a.s. maka kaum Yahudi tidak dapat membaca dengan pasti empat huruf
"YHWH". Mereka hanya dapat menduga-duga, empat huruf konsonan itu dulunya dibaca Yahweh.
Karena itu, kaum Yahudi Ortodoks tidak mau membaca empat huruf mati tersebut, dan jika ketemu
dengan empat konsonan tersebut, mereka membacanya dengan Adonai (Tuhan).

Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang
"nama Tuhan" yang sangat beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Mesir dan
kawasan Timur Tengah lainnya, kaum Kristen menyebut nama Tuhan mereka dengan lafaz "Alloh",
sama dengan orang Islam; di Indonesia mereka melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di
Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord".

Bagi orang Kristen, "Allah" bukanlah nama diri, seperti dalam konsep Islam. Tetapi, bagi mereka,
"Allah" adalah sebutan untuk "Tuhan itu" (al-ilah). Jadi, bagi mereka, tidak ada masalah, apakah
Tuhan disebut God, Lord, Allah, atau Yahweh. Yang penting, sebutan itu menunjuk kepada "Tuhan
itu". Ini tentu berbeda dengan konsep Islam.

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok Kristen yang menolak
penggunaan nama "Allah" untuk Tuhan mereka dan menggantinya dengan kata "Yahwe". Tahun
1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim
(ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah.
Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini
mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah adalah nama Dewa
yang disembah penduduk Mekah.'' Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab
Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini
mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus"
diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah".
Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja
Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian
Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi."
(Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen, bisa dilihat dalam buku-buku I.J.
Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History
of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK,
2005, cetakan ke-3). Itulah tradisi Yahudi-Kristen dalam soal penyebutan nama Tuhan. Sayangnya,
oleh sebagian kaum Muslim atau orientalis Barat, tradisi Yahudi dan Kristen ini kemudian dibawa ke
dalam Islam. Pada berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, kita menemukan tindakan
yang tidak tepat, yaitu menerjemahkan semua lafaz Allah dalam Al-Quran menjadi "God". Dalam
konsep Islam, Allah adalah nama diri (ismul 'alam/proper name)dari Dzat Yang Maha Kuasa. Maka,
seharusnya, lafaz "Allah" dalam Al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik
diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau "Lord". Beberapa terjemahan Al-Quran bahasa Inggris
telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur'an -
- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the name of God". Begitu juga, "Alhamdulillah"
diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul Huwallahu ahad" diterjemahkan dengan "Say:
He is God, the One and Only". Kasus yang sama penerjemahan nama Allah menjadi God juga bisa
dilihat dalam Terjemah al-Quran bahasa Inggris yang dilakukan oleh J.M. Rodwell (terbitan J.M. Dent
Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit pertama oleh Everyman tahun 1909). Harusnya, kata
Allah dalam al-Quran tidak diterjemahkan, karena "Allah" adalah nama. Seperti halnya kita tidak
boleh menerjemahkan kata "President Bush" dengan "Presiden semak", atau nama Menlu AS "Rice"
dengan "Menteri Nasi".

Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sesuai dengan konsep Pandangan Hidup Islam
(Islamic worldview) yang bersifat otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, juga bersifat
otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam
Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final.

Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam
agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama
dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur.
(Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1995).

Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-321H), dan
disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naquulu fii
tawqiidillaahi mu'taqidiina bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa syariikalahu." Dalam Kitab
Aqidatul Awam yang biasa diajarkan di madrasah-madrasah Ibtidaiyah ditulis bait pertama kitab ini:
"Abda'u bismillaahi wa-arrahmaaniwa bi-arahiimi daa'imil ihsani." Ayat pertama dalam al-Quran juga
berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan yang
tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang
dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam Al-Quran.

Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad yang sampai pada Rasulullah saw maka
kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak
berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah. Dengan
demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena menemukan sandaran
yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan
'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh
Allah SWT melalui Al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang
memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan
dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam
masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak
diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun
begitu jelas: "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini tidak boleh diterjemahkan dengan "Tidak ada
tuhan kecuali Tuhan dan Yang Terpuji adalah utusan Allah". Kaum Muslim di seluruh dunia dengan
latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda juga menyebut dan mengucapkan nama Allah
dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar
dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong menulis dalam bukunya: "Al-Quran sangat
mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang
sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang
Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika
umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan." (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan
(Terj), 2001), hal. 199-200).

Bagi kaum Pluralis Agama, siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena biasanya mereka
memandang, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu,
tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka
juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun
nama-Nya. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa: "... setiap agama sebenarnya
merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan,
dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama." (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (1999), hal.
xix). Seorang Pluralis pendatang baru, juga menulis dalam buku terbarunya, "Semua agama itu
kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah."

Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah,
adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, di kalangan
Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan.
Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan' secara khusus.
Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau menggunakan lafaz "Allah"
sebagai nama Tuhan mereka. Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan
mereka dengan "Allah" sama dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh Al-Quran.
(Al-Quran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan
langit dan bumi, maka mereka akan menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87).

Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang
berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata,
Uza, Hubal, dan sebagainya. Karen Armstrong menyebut, ketika Islam datang, 'Allah' dianggap
sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'. (Lihat, Karen Armstrong, op cit, hal. 190).

Karena itu, dalam pandangan Islam, mereka melakukan tindakan syirik terhadap Allah. Sama dengan
kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam, juga telah melakukan tindakan syirik dengan
mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw sesuai dengan ketentuan
QS al-Kafirun menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan
masing-masing secara bergantian.
Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir
Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi ajakan
kafir Quraisy. "Katakan, hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109). QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa
karena konsep Tuhan yang berbeda meskipun namanya sama, yaitu Allah -- dan cara beribadah yang
tidak sama pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyambah
Tuhan yang sama. Itu juga menunjukkan, bahwa konsep Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh
Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi
Muhammad dilarang mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah
Tuhan masing-masing.

Sebagai Muslim, kita meyakini, Islam adalah agama yang benar. Tuhan kita Allah, yang nama-Nya
diperkenalkan langsung dalam Al-Quran. Tidaklah patut kita membuat teori-teori yang berasal dari
spekulasi akal, dengan menyama-nyamakan Allah dengan yang lain, atau menserikatkan Allah
dengan yang lain, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Pluralis Agama. Wallahu
a'lam. (Bojonegoro, 15 September 2006).
MENGAPA PEMIMPIN MUSLIM?

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ada pertanyaan: Jika muslim menolak kepemimpinan orang kafir (non-muslim), maka menyingkir
saja ke gunung, tinggalkan pesawat terbang, laptop, dan alat-alat teknologi lain buatan orang kafir.

Jawab kita:

Pertama, dalam melakukan setiap tindakan, muslim selalu mengacu kepada al-Quran dan Sunnah
Nabi saw. Sebab, itulah pesan Nabi, bahwa jika muslim berpegang teguh kepada keduanya, maka
pasti mereka tidak tersesat. Muslim hidup untuk dunia dan akhirat. Bahkan, keselamatan akhirat
lebih utama, karena merupakan kehidupan yang abadi. Sikap ini berbeda dengan kaum lainnya, atau
juga kaum sekuler yang tidak percaya al-Quran dan Sunnah Rasul menjadi pedoman untuk seluruh
aspek kehidupan manusia. Mereka lebih percaya kepada "buku-buku lain" ketimbang al-Quran. Itu
pilihan. Nanti kita akan sama-sama menghadap Allah SWT dan mempertanggungjawabkan pilihan
kita masing-masing.

Kedua, Muslim punya suri teladan yang utama dan abadi, yakni Nabi Muhammad saw. Dalam hal
sekecil-kecilnya, seperti bagaimana cara bangun tidur atau masuk kamar mandi, bagaimana adab
naik kendaraan, maka muslim berusaha mencontoh tata-cara (adab) Nabi Muhammad saw. Beliau
adalah utusan Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Beliau adalah suri tauladan. Inilah keyakinan
kami, orang muslim. Mohon dihormati. Dalam memilih pemimpin, Nabi saw telah memberikan
contoh yang abadi.

Ketiga, dalam konsep Islam, "pemimpin" (imam) sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad
saw, adalah ibarat perisai (junnah). Tentu saja, dalam segala aspek kehidupan, mulai rumah tangga,
organisasi, sekolah, universitas, sampai negara, idealnya sang pemimpin adalah orang yang beriman,
bertaqwa, dan berakhlak mulia. Bukan sekedar yang beragama Islam. Seorang muslim akan lebih
merasa nyaman, jika pilot pesawat adalah muslim yang taat, yang mengajak penumpang pesawat
untuk berdoa sebelum terbang. Meskipun, secara hukum Islam, boleh saja, seorang muslim naik
pesawat yang pilotnya non-muslim. Muslim boleh kuliah di satu universitas yang rektornya bukan
muslim. Tetapi, bukankah lebih baik jika rektornya muslim yang taat yang memimpin kampus
dengan nilai-nilai kenabian?

Keempat, dalam soal kepemimpinan politik kenegaraan, memang seorang muslim wajib memilih
pemimpin yang muslim. Itu karena dalam konsep kepemimpinan Islam, pemimpin masyarakat
bertugas memimpin dan membimbing rakyatnya agar hidupnya selamat, sejahtera, dan bahagia
dunia dan akhira. Ini bedanya dengan konsep kepemimpinan sekuler, yang memandang pemimpin
hanya sebatas aspek materi dan duniawi saja.

Pemimpin politik/kenegaraan, memiliki wewenang untuk membuat hukum dan peraturan bagi
masyarakat. Tentu diharapkan, pemimpin yang baik akan membuat paraturan yang baik pula.
Rencana Gubernur DKI, Ahok, untuk melegalkan pelacuran di Jakarta, menunjukkan bahwa
pemimpin politik memiliki kedudukan yang sangat strategis untuk memperbaiki atau merusak
masyarakat. Benarlah kata Imam al-Ghazali, bahwa rakyat rusak karena pemimpin
(penguasa/umara) rusak. Umara rusak karena ulama rusak, dan seterusnya.

Kelima, jika kondisi muslim tidak mungkin memilih pemimpin yang beriman, bertaqwa, dan
berakhlak mulia, -- karena seluruh calon pemimpin itu bukan muslim, seperti di berbagai negara
Eropa dan Amerika -- , maka tentu saja, kaum muslim akan memilih yang "terbaik" di antara yang
ada. Sebab, Islam adalah agama yang bersifat rahmatan lil-alamin. Kaum muslim harus menjadi
rahmat untuk semua.

Keenam, muslim diperintahkan berbuat adil, terhadap seluruh umat manusia. Tidak boleh kebencian
kepada seseorang atau kepada suatu kaum menyebabkan tindakan yang zalim (tidak adil). Jika ada
pemimpin non-muslim yang melakukan tindakan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat --
selama tidak bertentangan dengan syariat Islam -- maka tindakan itu harus diberikan apresiasi.
Bahkan, pemimpin muslim harus melakukan yang lebih baik lagi, daripada yang dilakukan oleh
pemimpin non-muslim. Karena itu, kaum muslim pun perlu lebih keras dan selektif dalam memilih
pemimpin; bukan asal beragama Islam.

Ketujuh, dalam al-Quran dijelaskan, bahwa amal perbuatan orang kafir tidak ada nilainya di mata
Allah SWT, ibarat fatamorgana (QS 24:39). Itu sangat logis, karena orang kafir tidak mengakui Allah
SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan ditaati. Mereka juga menolak utusan
Tuhan Yang Maha Esa (Nabi Muhammad). Tentulah tidak masuk akal, jika seorang warga negara
meminta gaji dari Presidennya, sementara dia sendiri tidak mengakui sang Presiden sebagai
pemimpin yang sah dan berhak ditaati.

Demikianlah, sekilas pandangan, mengapa kita perlu pemimpin muslim yang tidak sekedar beragama
Islam, tetapi yang benar-benar beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Umat Islam harus menjadi
umat terbaik (QS 3:110), karena mereka mendapatkan amanah melanjutkan perjuangan para Nabi
dalam menegakkan kebenaran.

Masalah siapa yang akan jadi gubernur DKI nanti tidak perlu sampai menjadikan kaum muslim
kehilangan iman. Iman lebih mahal harganya dari kursi gubernur itu sendiri. Siapa pun yang jadi
gubernur, jangan sampai kita menukar iman kita dengan godaan dunia. Siapa pun gubernurnya, kita
harus dan bisa menjadi muslim yang baik. Kewajiban kita berjuang menyampaikan kebenaran. Yang
mau terima silakan. Yang tidak mau, semoga suatu ketika terbuka pintu hatinya untuk menerima
kebenaran. Jika orang tuanya belum mau, semoga anak atau cucunya nanti yang terima kebenaran.

Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat. Mohon maaf, jika ada hal-hal yang kurang berkenan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Berikut ini beberapa adab dalam mencari ilmu dalam syair-syair Imam Syafii yang dikutip dari Kitab
Diwn al-Imm al-Syfii karya Muhammad Abdurrahim (Beirut:Dar al-Fikr, 1995).

(1) Ikhlas Karena Allah: Siapa menuntut ilmu untuk meraih kebahagiaan negeri akhirat; ia kan
beruntung meraih kemuliaan dari Allah yang Maha Pemberi Petunjuk; Maka dia pun akan meraih
kebaikan yang berasal dari hamba-Nya

(2) Meninggalkan Perbuatan Dosa: Aku mengadu kepada Wak tentang kelemahan hafalanku; ia
pun memberikan nasehat Agar aku meninggalkan maksiat; Ia memberitahuku pula bahwa ilmu itu
cahaya; dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang maksiat.

(3) Menuntut Ilmu Sejak Dini: Siapa yang kehilangan waktu belajar pada waktu mudanya; takbirkan
dia empat kali; anggap saja ia sudah mati. Seorang pemuda akan berarti apabila ia berilmu dan
bertaqwa; Jika dua hal itu tiada, pemuda pun tak bermakna lagi.

(4) Mencatat Setiap Ilmu yang dipelajari: Ilmu itu bagaikan binatang buruan, dan menulis adalah
pengikatnya; ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat; Sebab diantara bentuk kebodohan, engkau
memburu seekor rusa; lalu kau biarkan rusa itu bebas begitu saja.

(5) Sabar Dibimbing Guru: Sabarlah dengan sikap guru yang terasa pahit di hatimu; sebab kegagalan
itu disebabkan meninggalkan guru. Barangsiapa yang tak mau merasakan pahitnya menuntut ilmu
sesaat; sepanjang hidupnya ia akan menjadi orang hina karena kebodohannya.

(6) Manajemen Waktu yang Baik: Takkan ada seorang pun yang akan mencapai seluruh ilmu; takkan
ada, meskipun ia terus berusaha seribu tahun lamanya. Sesungguhnya ilmu itu bagaikan lautan yang
sangat dalam, sebab itu ambilah semua yang terbaik dari ilmu yang ada.

(7) Menikmati Ilmu yang Dipelajari: Malam-malamku untuk mempelajari ilmu terasa lebih indah
daripada bersentuhan dengan wanita cantik dan aroma parfum. Mata penaku yang tertuang dalam
lembaran-lembaran kertasku lebih nikmat daripada bercinta dan bercumbu. Menepuk debu-debu
yang menempel di lembaran-lembara kertasku lebih indah suaranya daripada tepukan rebana gadis
jelita.

(8) Bergaul dengan Orang Berilmu dan Saleh: Bergaullah dengan orang-orang berilmu dan
bertemanlah dengan orang-orang saleh diantara mereka; sebab berteman dengan mereka sangat
bermanfaat dan bergaul dengan mereka akan membawa keuntungan. Janganlah kau merendahkan
mereka dengan pandanganmu; sebab mereka seperti bintang yang memberi petunjuk, tak ada
bintang yang seperti mereka

(9) Mengembara Mencari Ilmu: Mengembaralah! Engkau akan mendapat sahabat-sahabat


pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup adalah
dalam bekerja keras. Saya berpendapat bahwa air jika tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Jika ia
mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor. Singa, jika tidak keluar dari
sarangnya, ia tak akan dapat makan. Anak panah jika tak meluncur dari busurnya ia takkan
mengena.

(10) Menghargai Pendapat Orang Lain: Jika anda benar-benar memiliki ilmu dan pemahaman
tentang ikhtilaf ulama dulu dan sekarang. Maka hadapilah lawan diskusimu dengan tenang dan bijak;
jangan sombong dan keras kepala

(11) Tak Pernah Puas dengan Ilmunya: Setiap aku mendapat pelajaran dari masa, setiap itu pula aku
tahu segala kekurangan akalku. Setiap ilmuku bertambah Setiap itu pula bertambah pengetahuanku
akan kebodohanku.
Demikianlah adab mencari ilmu rumusan Imam Syafii rahimahullah, yang kiranya bisa dijadikan
panduan oleh para mahasiswa menuntut ilmu, dimana pun ia kuliah. Semoga bermanfaat. Amin.

-Dr. Adian Husaini-


Worldview Koruptor

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan
koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar dibidang hukum dan advokat. Yang muncul disitu
pertanyaan mengapa hakim dan jaksa korupsi? Padahal mereka adalah penegak hukum dan sangat
luas ilmu hukumnya. Mereka adalah pejabat yang tinggi tanggung jawabnya.

Host acara itu lalu mengarahkan pertanyaan itu kepada para guru besar: Apa yang Bapak ajarkan
pada mereka sehingga mereka itu korupsi? Para guru besar itupun bersungut-sungut lalu menjawab
tidak ada yang salah dalam mata kuliah mereka. Lalu dimana letak salahnya? Mengapa demikian
dst..dst. menjadi kompleks.

Mungkin jika pakar bidang administrasi Negara hadir dia akan menuding undang-undang yang
lemah. Pakar ekonomi akan mengkritik gaji pegawai yang rendah. Advokat akan berkilah korupsi
atau tidak itu tergantung pasalnya. Para sosiolog atau psikolog akan mungkin lebih tegas orang
korupsi karena mental pegawai. Dibalik layar sayup-sayup para koruptor lain berguman singkat dia
lagi apes. Itulah realitas bangsa ini.

Pendapat-pendapat diatas tentu subyekif. Namun semua pasti sepakat jika perbuatan korupsi
didahului oleh pikiran yang korup. Orang pasti berfikir sebelum berbuat. Pikiran manusia itulah
sebenarnya yang disebut worldview. Definisinya adalah cara pandang orang terhadap hidup dan
kehidupan. Pandangan orang terhadap makna realitas dan makna kebenaran (Naquib al-Attas).
Pikiran yang menjadi motor perbuatan (Alparslan).

Dari perspektif agama worldview adalah kepercayaan pada Tuhan beserta segala implikasi dan
konsekuensinya dalam kehidupan. Sebab seperti ditegaskan Thomas Wall: kepercayaan pada Tuhan
adalah inti dari semua worldview. Artinya kalau orang itu benar-benar percaya pada Tuhan dibalik
harta ada rezeki, dibalik kekuasaan ada amanah, dibalik perbuatan ada dosa dan pahala. Kalau orang
percaya pada Tuhan, ia pasti yakin bahwa baik-buruk, salah-benar, harta-rezeki berasal dari Tuhan.
Itulah worldview.

Jika orang itu tidak percaya pada Tuhan, harta adalah harta. Di balik harta tidak ada apa-apa.
Darimana asalnya dan bagaimana memperolehnya tidak penting. Yang penting setiap orang harus
bertahan hidup. Hidup dengan segala cara asal tidak menyakiti sesama. Hidup hanya sekali dan
setelah itu selesai. Perbuatan di dunia hanya akan berakibat di dunia. Ukuran baik-buruk, salah-
benar adalah manusia penentunya. Itulah worldview koruptor.

Tapi masalahnya mengapa orang beragama masih juga korupsi? Jawaban lumrah tentu ia korup
bukan karena perintah agamanya. Menurut sabda Nabi tidak ada orang mencuri dan pada saat yang
sama dia beriman (al-Hadith). Lalu apakah keimanan orang tidak dapat mencegahnya dari perbuatan
korupsi?

Masalahnya sungguh kompleks. Agama hanya dainggap sebagai dogma. Beragama berarti
menjalankan ritual semata. Masjid, gereja dsb adalah tempatnya. Di ruang publik agama tidak boleh
angkat bicara. Porno atau tidak porno tidak boleh diukur dari agama. Ambisi berpolitik tidak boleh
dicampur nawaitu dalam ibadah, apalagi dicampur istighatsah.

Disaat agama dikerdilkan, dan ketika keberagamaan dimarginalkan hasrat menjadi kaya raya
merupakan tujuannya. Worldview pemeluk agama diisi oleh cara pandang materialistis, hedonistis,
pragmatis, empirisistis, dan rasionalistis. Cara hidup sekuler telah mencokok arah hidup pemeluk
agama-agama. Cinta harta merasuki rongga-rongga pikiran para pemeluk agama. Begitulah
worldview pemeluk agama dikuasai worldview sekuler.

Akibatnya mind-set mereka berubah. Agar menjadi kaya dan hidup enak di dunia orang harus
meninggalkan moral dan akhlaq ajaran agama. Yang tetap bertahan pada keimanan agamanya
dianggap bodoh dan tidak cerdas.

Ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris, Maret 2010, di Nottingham saya mendengar berita
menarik. Professor Richard Lynn dari Ulster University, Irlandia Utara, Professor Helmuth Nyborg
dari Universitas Aarhus, Denmark dan Professor John Harvey Sussex, Inggeris, menerbitkan hasil riset
mereka. Riset itu dilakukan di 137 negara di dunia, termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya
mengkaji sebuah hypothesis adanya korelasi negatif antara IQ dan Iman. Hypothesisnya kira-kira
berbunyi begini:

Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin
sekuler dan bahkan atheist.

Bukan hanya itu Verhage (1964) dan Bell (2002) di Belanda, Kanazawa (2009) di Amerika Serikat
memperoleh hasil serupa. Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh empat temuan. Pertama
ada hubungan korelasi negative antara kecerdasan dan keimanan. Kedua, orang elit yang cerdas
semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum. Ketiga, dikalangan pelajar semakin
berumur dan semakin berilmu semakin turun keimanan mereka. Keempat, sepanjang abad dua
puluh meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.

Implikasi dari hypothesis diatas jelas, orang cerdas adalah yang meninggalkan agamanya. Tapi
masalahnya apakah orang tidak beragama itu karena saking cerdasnya? Jika jawabnya iya, maka
matrik kecerdasannya itu hanya sebatas masalah dunia. Apakah orang yang taat beragama dan pada
saat yang sama bisa hidup makmur di dunia tidak bisa dianggap lebih cerdas dari yang hanya mikir
dunia saja.

Dr.David Rosmarin, psikiatri Rumah Sakit McLean di Massachussetts menulis paper. Disitu
disimpulkan orang yang percaya pada Tuhan cenderung lebih tenang dan tidak gelisah menghadapi
hidup yang serba tidak pasti. (Lihat International Herald Tribune, 19 Oktober 2011, hal.8). Tentu
dibanding orang yang tidak percaya Tuhan. Jika demikian maka benarlah sabda Nabi orang cerdas
(al-kaysu) adalah orang yang bekerja di dunia untuk tujuan akherat. Wallau Alam
TANDA TANYA UNTUK FILM ?

Oleh: Dr. Adian Husaini

Alkisah, Rika, istri yang kecewa terhadap suami, memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi
Katolik. Ia berujar, bahwa kepindahan agamanya bukan berarti mengkhianati Tuhan. Meskipun
Katolik, Rika sangat toleran. Anaknya , masih kecil, bernama Abi dibiarkannya sebagai Muslim.
Bahkan, ia mengantarjemput anaknya ke masjid, belajar mengaji al-Quran. Di bulan puasa, dia
temani dan dia ajar Abi berdoa makan sahur.

Di Film ? (Tanda Tanya), Rika ditampilkan sebagai sosok ideal: murtad dari Islam, tapi toleran dan
suka kerukunan. Pada segmen lain, secara verbatim Rika mengatakan, agama-agama ibarat jalan
setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Ada juga yang memujinya
telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.

Itu yang terpampang dalam film Tanda Tanya garapan Hanung Bramantyo. Padahal, dalam
pandangan Islam, Rika telah murtad dari agama Islam. Orang murtad, amalnya tidak diterima Allah
(QS 2:217). Rika telah melakukan dosa syirik, karena mengakui Yesus sebagai Tuhan atau salah satu
Oknum dalam Trinitas. Ini pandangan Islam.

Dalam al-Quran disebutkan, Allah sangat murka karena dituduh punya anak: Dan mereka berkata:
Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah
mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu
dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah
mempunyai anak. (QS Maryam:88-91).

Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan mendasar dalam kehidupan. Iman akan
dibawa mati. Iman lebih dari soal suku, bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan baju, yang
bisa ditukar dan dilepas kapan saja si empunya suka.

Maka sungguh, ajaib, dan penuh Tanda Tanya, mengapa di film Tanda Tanya soal ganti agama
dianggap remeh? Para pemikir ateis, seperti Karl Marx, Nietze, Freud, Sartre dan sejenisnya, terkenal
dengan gagasan-gagasan yang memandang agama dan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi. Mereka
beramai-ramai mempermainkan Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menyatakan: even if God
existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom. (Karem
Armstrong, History of God, 1993). Thomas J. Altizer, dalam The Gospel of Christian Atheism (1966)
menyatakan: Only by accepting and even willing the death of God in our experience can we be
liberated from slavery

Pluralisme Agama sejatinya sangat dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, semua agama
benar, sejatinya bersemayam ide pokok bahwa semua agama salah. Sebab, Tuhan (God), yang
dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak dan Tuhan liberal. Tuhan kaum Pluralis
adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, sifatnya apa saja, dan cara
menyembahnya pun boleh suka-suka. Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada saat yang sama,
Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan babi. Tuhan dalam Bhairawa Tantra menghalalkan
menyembelih wanita dan darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama Children
of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih sayang. Tuhan, bagi kaum sekular, harus
tunduk pada pikiran dan aturan manusia.

Ketika ada yang berkata, semua agama menyembah Tuhan yang sama, dia telah berdiri di luar
agamanya sendiri. Sebab, Tuhan, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja. Bisa Yehweh, bisa Allah,
bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa Iblis! Yang penting Tuhan, yang penting God! Dan syahadat Islam
Tidak ada Tuhan selain Allah jelas menolak pikiran seperti ini.

Kisah lain lagi! Adalah Surya, seorang laki-laki Muslim. Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia
terusir dari rumah kosnya. Surya memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu yang berarti dalam
hidupnya. Ia berkawan akrab. Surya ditampilkan sebagai sosok yang polos, kocak dan naif. Untuk
uang, dan mungkin untuk mempertontonkan fenomena kerukunan umat beragama, Surya
menerima peran sebagai Yesus. Ia rela dipaku di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan
Paskah. Sesekali ia berperan sebagai SantaClaus.

Setelah itu, ia kembali ke masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang
menegaskan kemurnian Tauhid. Katakan, Allah itu satu. Allah tempat meminta. Allah tidak beranak
dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Allah itu satu! Allah tidak punya
anak! Ini gambaran dalam Film ?

Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi doktrin pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan
sekitar 300 tahun sebelumnya, di Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam Nicene
Creed: Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan
maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang
dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar
dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa (Norman P. Tanner,
Konsili-konsili Gereja).

Padahal, al-Quran menjelaskan: Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku,
yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama
Ahmad (Muhammad). (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati
anaknya: Syirik adalah kezaliman besar. (QS 31:13).

Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam membuktikan sebagai agama yang toleran, mengakui dan
menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan. Saat Nabi Muhammad s.a.w. diutus,
sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad s.a.w. mengajak
mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah.
Bahkan, ada perintah al-Quran: Katakan, hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang
kamu sembah!

Saat semua agama dikatakan sebagai jalan kebenaran, saat itu tidak ada beda antara iman dan
kufur, tiada penting lagi, apakah seorang bertauhid atau musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi
atau ayam, minum khamr atau sari madu; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang; nikah atau zina;
yang penting mengasihi sesama manusia. Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada. Yang
ada agama global, agama universal, agama kemanusiaan, agama cinta.

Walhasil, film ? membawa pesan yang terlalu jelas: agama apa saja, sama saja! Agama bukan soal
penting; boleh ditukar kapan saja! Ini jelas bagian upaya penghancuran agama-agama! Wajar,
muncul tanda tanya: apa ini kesengajaan atau ketidaktahuan? Wallahu alam bil-shawab.
Prestasi Kristen Liberal: Gay Jadi Uskup

Oleh: Adian Husaini

Beberapa hari belakangan ini, media massa internasional banyak menyorot berita pelantikan Gene
Robinson (seorang gay) menjadi uskup di Keuskupan New Hampshire AS, pada Hari Minggu, 2
November 2003 lalu.

Peristiwa ini adalah yang pertama dalam sejarah Kristen, yang kali ini terjadi di lingkungan Gereja
Anglikan. Oleh Uskup Besar (Archbishop) of Canterbury, Reverend Rowan William, dikatakan,
pelantikan Robinson itu akan membawa konsekuensi yang serius bagi keutuhan komunitas Gereja
Anglikan.

Agustus lalu, menyusul terpilihnya Robinson, melalui satu pemungutan suara, William sudah
meramalkan akan terjadinya masa-masa sulit bagi Gereja Anglikan, yang memiliki pemeluk sekitar 70
juta orang di 160 negara. (Di Jakarta, Geraja Anglikan terletak di Depan Kantor PP Muhammadiyah
Menteng Raya). Bahkan, ada yang memperkirakan akan terjadinya perpecahan besar di lingkungan
Geraja, gara-gara kasus Robinson.

Tentu saja pelantikan ini memancing pro-kontra secara luas. Namun, Robinson menyatakan,
gerejanya akan menjadi semakin kuat, dengan adanya kehebohan itu.

Posisi yang ditempati Robinson merupakan jabatan tertinggi yang pernah dicapai oleh seorang gay di
lingkungan Gereja. Usai pelantikannya, dengan diiringi tangis keharuan, Robinson menyatakan,
bahwa ia merasakan mendapatkan kehormatan yang amat sangat.

"You cannot imagine what an honor it is for you to have called me," kata Robinson. Namun, ia
mengakui, banyak orang di lingkungan gereja yang sangat terluka dengan promosinya.

Sejumlah media internasional menggunakan istilah yang menarik untuk menggambarkan pro-kontra
terhadap pengangkatan Robinson ini, dengan menyebutkan, bahwa yang marah terhadap Robinson
adalah kalangan konservartif di lingkungan geraja (church conservatives), yang percaya bahwa
praktik gay dan lesbian pertentangan dengan ajaran Kristen. Agustus lalu, Kantor berita AFP menulis,
bahwa Conservative Anglicans di berbagai dunia takut bahwa sayap liberal (liberal wing) dari
gereja ini akan lebih maju lagi mempromosikan perkawinan homoseksual. Jadi, yang menentang
Robinson dicap sebagai konservatif dan yang mendukungnya diberi label liberal.

Yang menarik, meskipun menghadapi kecaman dari berbagai penjuru dunia, pelantikan Robinson
sendiri berjalan mulus. Para pastur yang hadir dalam acara pelantikan Robinson di arena hoki
University of New Hampshire, antri untuk memberikan ucapan selamat kepada Robinson. CNN
melaporkan, hanya sedikit orang saja yang berdemonstrasi di luar arena, menentang pelantikan
Robinson. Mantan Uskup New Hampshire, Reverend Douglas Theuner, yang hadir dalam pelantikan
itu, berpidato memberikan dukungan terhadap Robinson, dengan menyatakan: You are no more or
less a child of God like everyone else." Dari ratusan pastor yang hadir, hanya tiga orang yang maju ke
depan, dan menentang penobatan Robinson. Seorang menyatakan, bahwa pelantikan Robinson
merupakan kesalahan yang mengerikan (terrible mistake).

Robinson (56 tahun), memang dikenal sebagai pelaku homoseksual yang terang-terangan. Ia telah
hidup bersama dengan pasangan homoseks-nya bernama Mark Andrew, selama 14 tahun. Bisa
dibayangkan, selama ia menjadi tokoh gereja pun, sebenarnya publik telah mengatahui perilakunya.
Dalam acara penobatannya sebagai Uskup, Mark Andrew-lah yang menyerahkan topi keuskupan
(bishop's miter) kepada Robinson. Di akhir upacara penobatannya, Gene Robinson menatap publik,
dan bersama-sama mereka menyanyikan lagu "Hallelujah".

Dalam UU Ke-gerejaan di AS, pemilihan uskup dilakukan oleh masyarakat dan pemuka gereja, yang
kemudian dikukuhkan melalui konvensi nasional dan selanjutnya melalui satu penobatan
(konsekrasi). Agustus lalu, Keuskupan Gereja di AS, melakukan Konvensi Umum di Minneapolis, dan
mengokohkan terpilihnya Robinson sebagai Uskup New Hampshire.

Terpilihnya Gene Robinson sebagai tokoh penting dalam Gereja bisa dikatakan sebagai satu puncak
kesuksesan gerakan liberalisasi di dunia Kristen. Mereka berhasil menjungkirbalikkan satu ketentuan
yang sangat tegas di dalam Bible, yang mengutuk perbuatan homoseksual.

Dalam Kitab Imamat 20:13 disebutkan: Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang
bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum
mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.

,br> Dalam sejumlah versi Bible, juga dijelaskan, bahwa hukuman buat pelaku homoseksual adalah
hukuman mati. The Living Bible menulis Leviticus, 20:13: The penalty for homosexual acts is death
to both parties. They have brought it upon themselves.

Sedangkan dalam King James Version ayat ini ditulis: If a man also lie with mankind, as he lieth with
a woman, both of them have committed an abomination: they shall surely be put to death; their
blood shall be upon them.

Namun, seperti diketahui, arus liberalisasi di dunia Kristen begitu kuat belangsung. Jika selama ini,
baru masyarakat dan negara Belanda yang mengesahkan perkawinan homoseksual, maka kasus
Gene Robinson akan memberikan dampak lebih hebat lagi, karena perbuatan yang salah itu telah
mendapatkan justifikasi keagamaan. Arus liberalisasi Gereja ini sudah cukup lama menerjang.
Termasuk, diantaranya, agar gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas.

Beberapa tahun lalu, Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul
Homosexuality and a Pastoral Church mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada
kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau
wanita dengan wanita.

Sebenarnya, jika dilihat dari sejarah Gereja Anglikan sendiri, kasus-kasus seksual semacam ini tidak
lah terlalu aneh. Gereja Anglikan terbentuk sebagai bagian dari gerekan Reformasi di tubuh Gereja
Katolik, khususnya yang terjadi di Inggris. Kasusnya juga bermula dari urusan seksual. Gara-gara Paus
tidak merestui perceraiannya dengan istrinya, Catharine of Aragon, --dan keinginannya untuk
mengawini Anne Boleyn-- Raja Henry VIII (1491-1547), nekad membuat keputusan sendiri, dan
memisahkan Gereja Inggris dari Kepausan Katolik Roma. Henry menerapkan kebijakan keras
terhadap setiap penentangnya.

Thomas More, salah seorang penasehat Kerajaan, termasuk yang dipenggal kepalanya, karena
menentang sikap Henry VIII. Kasus Henry VIII ini selanjutnya menyebabkan konflik berdarah yang
sangat mengerikan antara Protestan dan Katolik dalam perebutan tahta kerajaan Inggris.

Kesuksesan Elizabeth I (memerintah 1558-1603) dalam memimpin Inggris, akhirnya turut


mengokohkan eksistensi Gereja Inggris yang selanjutnya dikenal sebagai Gereja Anglikan
(Anglicanism). Sebuah Film berjudul Elizabeth memberikan gambaran bagaimana konflik berdarah
yang sangat mengerikan terjadi antara Katolik dan Protestan dalam sejarah perebutan tahta Inggris.
Encyclopaedia of Religion menulis, bahwa salah satu karakteristik Anglicanism adalah usahanya
untuk memegang element-elemen Katolik dan Protestan dalam satu jalan tengah. Tahun 1960-an,
mulai dilakukan upaya-upaya serius untuk menyatukan kembali antara Gereja Anglikan dengan
Katolik Roma. Ketika Paus Johanes Paulus II berkunjung ke Inggris, tahun 1982, ia dan Uskup Agung
Canterbury, Runcie, menandatangani satu Common Declaration untuk pembentukan satu komisi
yang bertugas mempelajari isu-isu teologis, masalah pastoral, dan langkah-langkah praktis menuju
tahap berikutnya ke arah penyatuan kembali Anglikan dan Katolik Roma. Namun, hingga kini, hal itu
belum terwujud.

Soal homoseksual juga bukan hal baru dalam sejarah Gereja. Dunia Kristen kini mengenal satu Bible
versi King James, atau King James Version. Bible versi ini sangat terkenal. King James yang dimaksud
di sini adalah Raja Inggris yang dikenal dengan nama Stuart King James VI of Scotland, dan menjadi
King James I of England. Ia memerintah tahun 1603, menggantikan Elizabeth I, dan meninggal tahun
1625.

Ia tampaknya seorang Raja yang kontroversial. Pada satu sisi, atas jasanya memelopori penulisan
Bible King James Version, ia sangat dihormati. Dalam pembukaan Bible King James Version,
terdapat ungkapan pujian khusus untuk King James ini: To the Most High and Mighty Prince, JAMES,
By the Grace of God, King of Great Britain, France, and Ireland, Defender of faith, Etc. Jadi, King
James mendapatkan julukan yang sangat mulia, yaitu sebagai Defender of Faith, Sang Pembela
Agama.

Namun, sejarawan Barat, seperti Philip J. Adler, menyebutnya sebagai seorang yang arogan dan
pelaku homoseks yang terang-terangan (blatant homosexual). Namun, buku Whos Who in
Christianity, (1998), sama sekali tidak menyinggung soal perilaku homoseksual King James ini. Heny
ke VIII pun sebelum berantem dengan Paus, mendapat gelar dari Paus sebagai Defender of the
Faith, setelah Henry menulis satu panflet yang menentang ajaran Martin Luther.

Persoalan seksual dan kekerasan sebenarnya begitu banyak mendapatkan perhatian dalam Bible.
Bahkan, tokoh Lot (Luth), yang digambarkan sebagai tokoh penentang praktik homoseksual, juga
digambarkan berzina dengan anak perempuannya sendiri.

Kitab Kejadian 19:30-38 dalam Perjanjian Lama, menceritakan kisah perzinahan Lot dengan kedua
anak perempuannya sendiri dan akhirnya melahirkan anak dari kedua anaknya itu. Dari anak yang
lebih tua lahir anak yang diberi nama Moab, dan dari anak yang lebih muda, lahir cucu Lot yang
diberi nama Ben-Ami: (30) Pergilah Lot dari Zoar dan ia menetap bersama-sama dengan kedua
anaknya perempuan di pegunungan, sebab ia tidak berani tinggal di Zoar, maka diambillah ia dalam
suatu goa beserta kedua anaknya. (31) Kata kakaknya kepada adiknya: Ayah kita telah tua, dan
tidak ada laki-laki di negeri ini yang dapat menghampiri kita, seperti kebiasaan seluruh bumi. (32)
Marilah kita beri ayah kita minum anggur, lalu kita tidur dengan dia, supaya kita menyambung
keturunan dari ayah kita. (33) Pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, lalu
masuklah yang lebih tua untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika
anaknya itu tidur dan ketika ia bangun. (34) Keesokan harinya berkatalah kakaknya kepada adiknya:
Tadi malam aku telah tidur dengan ayah; baiklah malam ini juga kita beri dia minum anggur;
masuklah engkau untuk tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita. (35)
Demikianlah juga pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, lalu bangunlah yang
lebih muda untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur
dan ketika ia bangun. (36) Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka. (37) Yang lebih
tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang ada
sekarang. (38) yang lebih muda pun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami;
dialah bapa bani Amon yang sekarang.

Penggambaran Bible tentang Lot itu sangat berbeda dengan konsep al-Quran yang menggambarkan
sosok Luth a.s. sebagai nabi utusan Allah yang saleh. Al-Quran menegaskan: Sesungguhnya Luth
benar-benar seorang Rasul. (al-Shaffat:133). Dalam konsep Islam, seorang rasul, seperti Luth, pasti
memiliki sifat mashum, terjaga dari dosa.

Kisah Gene Robinson, seorang gay yang menduduki jabatan tinggi dalam hirarki Gereja, perlu
menjadi perhatian serius bagi kalangan Muslim yang aktif melakukan gerakan liberalisasi di kalangan
Muslim.

Dalam kadar yang sedikit lebih rendah, hal seperti itu sebenarnya sudah terjadi. Kalangan liberal
yang berusaha membongkar sendi-sendi penting dalam ajaran Islam, diberikan posisi-posisi penting
dalam lembaga keagamaan dan mendapatkan dukungan luas oleh media massa. Para pengkritiknya
dicap sebagai kaum konservatif, golongan tua, dan sebagainya. Kasus tarian erotis Inul yang
mendapat dukungan sebagian orang yang bergelar kyai, bisa dilihat sebagai satu contoh.

Majalah Gatra edisi 18 Oktober 2003 melaporkan, seorang cendekiawan lulusan Al Azhar University
Cairo, yang membela sejumlah aktivis organisasi Islam yang tidak melakukan shalat. Kata dia, Itu
bukan bentuk kemalasan, melainkan ungkapan kritik dan kegelisahan mereka pada kemandulan
fungsi sosial agama. Anak-anak yang meninggalkan shalat itu, katanya, meninggalkan shalat ritual,
tetapi melakukan shalat sosial. Oleh Gatra kalangan liberal ini diberi julukan sebagai kaum progresif,
sementara yang kontra dicap sebagai berpandangan konservatif kalangan tua.

Berpikir tidak dilarang. Tetapi, penyebaran pemikiran yang salah ke tengah masyarakat tentu ada
batasan-batasannya. Negara-negara liberal sendiri melarang, misalnya, penyebaran paham
rasialisme. Kasus Gene Robinson kembali membuktikan, kaum agamawan Kristen, kelabakan
menghadapi arus liberalisasi di dalam tubuh gereja. Hal yang sama kini juga melanda kalangan
Yahudi. Di Israel, kelompok gay dan lesbian berkumpul dalam satu organisasi yang kuat dikenal
sebagai Agudah. Kelompok ini sangat berpengaruh dalam politik Israel, sehingga banyak partai
politik meminta dukungan dari kelompok ini. Koran Haaretz, 25 Oktober lalu, melaporkan sejumlah
tokoh politik di Israel yang berlomba-lomba memberikan dukungan terhadap Agudah. Dulu, yang
mendukung Agudah hanya Partai Kiri Meretz. Tetapi, kini tokoh-tokoh Likud yang konservatif pun
ikut mendukungnya.

Bagaimana dengan Islam? Kita tunggu, apakah akan ada kyai yang menyerukan dukungan buat
praktik homoseksualitas? Jika mau tahu, amatilah dukungan yang diberikan sejumlah tokoh dan
organisasi Islam terhadap tokoh Gay Indonesia, Dr. Dede Oetomo. Wallahu alam. (Kuala Lumpur, 6
November 2003).
PELAJARAN HAM DARI MASA LALU

Oleh: Dr. Adian Husaini

Dalam bukunya, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers,
1997), Karen Arsmtrong mencatat kisah indah tentang penaklukan Jerusalem oleh pasukan Islam di
bawah kepemimpinan Umar bin Khathab. Peristiwa terjadi pada 636 M. Armstrong menulis:

Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik,
dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada
Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu
belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika
kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada
pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada
usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk
yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik,
maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.

Pujian Karen Armstrong pada Umar bin Khathab bukan tanpa dasar. Selama ribuan tahun, Kota
Jerusalem menjadi ajang perebutan dan pertumpahan darah. Saat berada di bawah Kerajaan Judah
(Yahudi), Jerusalem pernah ditaklukkan Babylonia selama dua kali. Yang pertama tahun 597 SM.
Ketika itu, Judah dibawah pimpinan Raja Jehoiachin. Setelah itu, mereka memberontak lagi melawan
Babylonia, dan pada 586 SM, pasukan Nebuchadnezzar, kaisar Babilonia ketika itu, kembali
menaklukkan Judah. Rajanya, Zedekiah, dibuat buta, dan dibawa ke Babylon dengan dirantai. Kota
Jerusalem dihancurkan dan Solomon Temple dibakar habis. (Max L. Margolis dan Alexander Marx, A
History of the Jewish People, (New York: Atheneum, 1969)).

Namun, selama ratusan tahun kemudian, ketika Yahudi mengalami pembantaian di mana-mana di
dataran Eropa, kaum Yahudi justru menikmati perlindungan dari kaum Muslimin di Andalusia dan
kemudian di wilayah Turki Utsmani. Karen Armstrong menggambarkan harmonisnya hubungan
antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum
Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age
in al-Andalus, tulis penulis terkenal yang mantan biarawati ini.

Memang, tidak ada tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam
konsep heretics di abad pertengahan Eropa. Islam menyebut kaum non-Muslim sebagai kafir, tetapi
itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah untuk mengeksekusi kaum kafir karena perbedaan
agama. Al-Quran menegaskan: Tidak ada paksaan untuk memeluk agama. (al-Baqarah:256). Karen
Armstrong dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Todays World, (London:
McMillan London Limited, 1991), mencatat: There was no tradition of religious persecution in the
Islamic empire.

Setelah mengalami pengusiran dan penindasan di berbagai wilayah Eropa, Yahudi kemudian
mendapatkan tempat aman di wilayah Turki Utsmani. Pada bulan April 1892, Yahudi di Turki
Uthmani merayakan apa yang mereka sebut sebagai the fourth centennial of their immigration to
Turkey. Suatu doa khusus dipanjatkan untuk mensyukuri keberadaan 400 tahun Yahudi di Turki
Uthmani, yaitu sejak mereka mendapatkan perlindungan dari Sultan Beyezid II (memerintah 1481-
1512). Istilah mereka, the four hundred years since the Jews had come to find shelter under the
wings of the righteous and compassionate sultan, Sultan Beyezid II (r. 1481-1512).
Ketika itu, Yahudi di Uthmani dan di berbagai penjuru dunia memberikan ucapan selamat atas
kebijakannya terhadap Yahudi. Sebagai contoh, the Central Committee of the Alliance Israelite
Universelle in Paris mengirimkan ucapan selamat kepada Sultan Abdulhamid II, yang isinya: Pada
musim semi tahun 1492, kaum Yahudi yang diusir dari Spanyol menemukan perlindungan di Turki.
Sementara mereka ditindas di belahan dunia lainnya, mereka tidak pernah berhenti menikmati
perlindungan di negeri-negeri leluhur Tuan yang jaya. Mereka mengizinkan Yahudi hidup dalam
keamanan, untuk bekerja dan untuk membangun. (Lihat, Avigdor Levy, Introduction , dalam Avigdor
Levy (ed.), The Jews of The Ottoman Empire, (Princeton: The Darwin Press, 1994).

Kebaikan penguasa Muslim Turki Utsmani terhadap kaum Yahudi akhirnya disalahgunakan oleh
gerakan Zionis. Mereka bersekutu dengan penguasa Barat dan sejumlah elemen sekular di Turki
untuk menumbangkan Turki Utsmani. Dan kini, setelah berkuasa, kaum Zionis justru menebar
angkara dan pelanggaran HAM di bumi Palestina. Sementara PBB dan para penguasa dunia hanya
menonton saja.
Liberalisme dalam Perspektif Kiri

Oleh: Dr. Adian Husaini

PEKAN lalu, saya menerima kiriman sebuah buku. Judulnya, Kekerasan Budaya Pasca 1965.
(cetakan pertama, 2013). Penulisnya seorang doktor lulusan University of Queensland, Australia.
Buku setebal 330 halaman lebih ini banyak memberikan pembelaan terhadap kaum dan ideologi
komunis di Indonesia.

Namun, tulisan dalam CAP kali ini tidak membahas masalah tersebut. Meskipun menggunakan
perspektif kiri dalam menelaah Liberalisme di Indonesia, berbagai data dan analisa yang tercantum
dalam buku ini, menarik juga disimak oleh kaum Muslimin untuk mendapatkan gambaran tentang
kiprah kaum liberal yang terus merajalela dalam jagad intelektual dan media massa di Indonesia.

CAP-370 ini hanya akan mengutip beberapa bagian buku yang membahas tentang kiprah kaum
liberal di Indonesia, khususnya yang dipelopori Goenawan Mohammad dan kawan-kawannya di
Teater Utan Kayu (TUK).

Buku ini meletakkan Goenawan Mohammad (GM) sebagai sosok penting yang konsisten dalam
memegang ideologi liberalisme. Jika pada tahun 1960-an, Goenawan sangat aktif menentang
komunisme, maka di era pasca Perang Dingin, ia mulai bergeser merangkul komunisme. Berbagai
institusi ia pelopori pendiriannya, seperti Jurnal Kalam (1994), AJI (1994), ISAI (1995), Galeri Lontar
(1996), Teater Utan Kayu (1997), Radio 68H (1999), Majalah Pantau (1999), dan Jaringan Islam
Liberal (2001). Semua itu tergabung dalam Komunitas Utan Kayu (KUK).

Penggabungan institusi-institusi kebudayaan dan intelektual ini menjadi sebuah komunitas tunggal
yang kini bernama KUK telah menggiring tumbuhnya sebuah kekuasaan kebudayaan yang
berpengaruh secara gradual. (hal. 237).

Di era 1990-an, GM dan kawan-kawan memang terlibat dalam perlawanan melawan rezim Orde
Baru. Tetapi, aliansi yang dibangun oleh GM bersama aktivis kiri dan mantan tahanan politik saat itu,
harus diletakkan dalam kerangka ideologis liberalisme yang diyakininya.

Menurut analisis buku ini: Pendekatan simpatiknya terhadap elemen-elemen kiri bukanlah indikasi
bahwa pandangan ideologisnya telah bergeser menjadi anti-liberalisme Barat, namun sebaliknya,
Goenawan justru memperkuat jaringannya dengan lembaga-lembaga filantropi Barat untuk
mempromosikan liberalisme yang sudah ditekuninya sejak lama. Inikah yang yang kantas membuat
Goenawan dan KUK dicap sebagai neoliberal? (hal. 239).

Lebih jauh, ditegaskan: Liberalisme, kita tahu, bukan saja telah digunakan sebagai senjata ideologis
untuk menyingkirkan komunisme di masa lalu, tetapi juga sebagai kamuflase untuk
menyembunyikan wajah asli ekonomi pasar bebas yang berkait erat dengan proses eksploitasi buruh
dan sumber daya alam. (hal. 239).

Mengutip Noam Chomsky, buku ini menyebutkan, bahwa neoliberalisme hanyalah versi masa kini
dari pertarungan segelintir manusia kaya raya untuk mengebiri hak-hak politik dan kekuatan rakyat
jelata yang berjumlah jauh lebi besar. Dengan kata lain, ide-ide demokrasi dan persamaan hak
dalam pandangan liberal telah dimanipulasi oleh para pendukungnya untuk mengaburkan
kepentingan ekonomi para penguasa modal. (hal. 239-240).

Robert McChesney dikutip pendapatnya: Pada tingkat tertinggi kepiawaiannya, para pendukung
neoliberalisme akan terlihat seolah-olah mereka memperlakukan kaum miskin, lingkungan, dan
segala hal lainnya dengan kepedulian luar biasa sambil menyusupkan kebijakan-kebijakan bagi
kepentingan manusia-manusia super kaya yang cuma segelintir itu. Konsekuensi-konsekuensi dari
kebijakan-kebijakan itu selalu sama dimana-mana, persis seperti yang dapat kita duga: peningkatan
ketidakadilan sosial dan ekonomi yang sangat tajam, makin parahnya deprivasi yang dialami oleh
negara-negara miskin dan manusia di seluruh dunia, hancurnya keseimbangan lingkungan hidup
secara global, ketidakstabilan perekonomian global dan hadiah yang ternilai bagi para orang-orang
super kaya. (hal. 240).

Analisis ini menempatkan kaum liberal sebagai sosok-sosok yang aktif menyuarakan paham
liberalisme dengan tujuan memperluas korporasi raksasa untuk mengeksploitasi kaum miskin.
Melalui para ideolognya, dan lewat jaringan korporasi media yang dikuasainya, kaum liberal berhasil
menggiring masyarakat untuk menciptakan apa yang disebut oleh Chomsky sebagai ilusi-ilusi yang
dibutuhkan (necessary illusion).

Ilusi-ilusi ini pada gilirannya memungkinkan istilah demokrasi mengkamuflase ide-ide ekonomi
pasar bebas untuk ditampilkan sebagai sesuatu yang rasional, dermawan, dan penting. Tampaknya
di titik inilah Goenawan Mohammad memainkan peran krusialnya sebagai seorang ideolog untuk
mempromosikan liberalisme di dalam aktivitas kebudayaan Indonesia. Tidak mengejutkan apabila
pendekatan Goenawan sesuai dengan strategi yang diambil oleh hampir semua institusi filantropi
Barat untuk, pada satu sisi, memperlihatkan komitmen mereka kepada masyarakat atas demokrasi,
dan di sisi lain, memperlihatkan dukungan mereka terhadap kaum elite yang terpilih dan dibina
untuk mengimplementasikan program-program mereka. Di titik inilah pendekatan kontradiktif
Goenawan untuk memperkuat jaringan filantrofinya dengan Barat di satu sisi, dan di sisi lain
berafiliasi dengan elemen-elemen kiri diletakkan, sementara pada saat yang sama membangun citra
dirinya sebagai seorang aktor demokrasi. (hal. 241).

Sejak awal 1960-an, GM sudah sangat akrab dengan sumber-sumber pendanaan Barat yang berbasis
di AS, seperti Ford dan Rockefeller Foundation. Untuk ISAI (Institut Studi Arus Informasi Indonesia),
tahun 1995, GM mendapat kucuran dana sekitar 100,000-200,000 USD dari USAID dan The Asia
Foundation. GM juga mengaku menjalin persahabatan dengan pendiri Open Society Institute,
George Soros, yang telah banyak membantunya. Pada 17 Oktober 2008, jaringan GM bertambah lagi
dengan didirikannya Komunitas Salihara di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan biaya Rp
17,5 milyar.

*****

Demikianlah paparan tentang kiprah dan pemikiran kaum liberal di Indonesia, khususnya yang
dimotori oleh GM bersama kelompoknya di KUK atau Komunitas Salihara. Analisis dalam buku ini
patut kita cermati. Kelompok liberal di Indonesia dipandang sebagai agen-agen kapitalis yang
konsisten menyuarakan aspirasi kaum bermodal. Bahkan, pembelaan GM terhadap kelompok kiri
pun dipandang sebagai bagian dari konsistensinya dalam membela kepentingan kaum berduit. Inilah
perspektif kiri dalam memandang liberalisme secara kritis.

Analisis kiri terhadap liberal tentu saja berbeda secara fundamental dengan analisis liberalisme
dalam perspektif Islam. Baik liberalisme maupun komunisme adalah produk pola pikir sekular yang
menolak campur tangan Tuhan dalam kehidupan. Karena itu, analisisnya berhenti pada aspek materi
atau aspek fisik; tidak menyentuh aspek metafisika, khususnya dimensi Ketuhanan dan keakhiratan.
Meskipun begitu, analisis bahwa kaum liberal KUK konsisten dalam pembelaan terhadap kaum
bermodal, bisa ditemukan faktanya di lapangan.

Jalan berpikirnya sederhana. Era pasca Perang Dingin, Barat tidak lagi memandang komunisme
sebagai musuh utamanya. Pasca 11 September 2001, Islam sudah menempati posisi yang dulunya
ditempati komunisme. Islam dipandang sebagai ancaman potensial. Sebab dalam istilah Samuel
Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order Islam is the
only civilization which has put the survival of the West in doubt.

Buku Huntington yang berjudul Who Are We?: The Challenges to Americas National Identity (New
York: Simon&Schuster, 2004), memberikan gambaran yang lebih tegas, bahwa musuh utama Barat
pasca Perang Dingin adalah Islam yang ia tambah dengan predikat militan. Namun, dari berbagai
penjelasannya, definisi Islam militan melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan
komunitas Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.

Dalam Who Are We? Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul Militant Islam vs. America,
yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh
utama AS: The rhetoric of Americas ideological war with militant communism has been transferred
to its religious and cultural war with militant Islam.

Cobalah kita renungkan kembali analisis buku tersebut terhadap kiprah GM dan kelompoknya,
bahwa :Di titik inilah pendekatan kontradiktif Goenawan untuk memperkuat jaringan filantrofinya
dengan Barat di satu sisi, dan di sisi lain berafiliasi dengan elemen-elemen kiri diletakkan, sementara
pada saat yang sama membangun citra dirinya sebagai seorang aktor demokrasi. (hal. 241).

Makna kuncinya adalah kesetiaan pada lembaga donor Barat. Pasca Perang Dingin, elemen-
elemen kiri bukan lagi dianggap sebagai musuh Barat. Sebaliknya, Islam dianggap sebagai potensi
ancaman terbesar. Tidak heran jika lembaga-lembaga filantropi Barat kemudian mengalihkan
bidikannya kepada kelompok-kelompok Islam. Isu-isu yang mereka sukai pun bukan isu
pengentasan kemiskinan, lingkungan hidup, keadilan hukum, dan sebagainya, tetapi isu-isu tentang
Pluralisme, multikulturalisme, Kesetaraan Gender, dan sebagainya.

Tidak mengherankan, jika sejumlah aktivis yang dulunya berkutat dalam bidang advokasi hukum
melalui lembaga-lembaga bantuan hukum, kemudian mengembangkan dirinya bicara tentang
kesetaraan agama, tentang radikalisme, tentang pluralisme, dan sejenisnya. Itu bisa
dimengerti. Sebab, isu-isu itulah yang laku dijual.

Itulah bedanya elemen-elemen ideologis dari kalangan kaum Muslim yang tetap bersikap kritis
terhadap Barat, meskipun secara politis pernah bekerjasama dalam menghadapi komunisme di era
pasca Perang Dingin. Sikap kaum Muslim tetap kritis baik terhadap liberalisme maupun
komunisme, karena didasari dengan ilmu, dan bukan berdasarkan atas kepentingan duniawi sesaat.
Buku ini, misalnya, mengungkapkan perbedaan pandangan yang tajam dalam soal liberalisme antara
seniman Taufik Ismail dan GM, meskipun di masa lalu, keduanya gigih dalam menentang komunisme
dan aktif bekerjasama dengan lembaga-lembaga filantropi Barat.

Dalam pandangan Islam, liberalisme yang kemudian ditempelkan pada Islam menjadi Islam liberal
jelas merupakan kesalahan berpikir, kesalahan paham, dan pahamnya salah. Kaum liberal sangat
bernafsu untuk menundukkan Islam sebagai produk sejarah. Aqidah dan syariah Islam pun mereka
paksa untuk tunduk pada perubahan sejarah dan budaya. Ajaran yang meyakini agamanya sendiri
yang benar harus diganti dengan ajaran yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama
benar dan sah sebagai jalan menuju Tuhan yang sama. Corak teologi yang meyakini kebenaran
agamanya sendiri dianggap sudah tidak layak lagi diterapkan di era globalisasi, karena tidak kondusif
untuk mewujudkan perdamaian universal. Menurut kaum liberal ini, teologi manusia mengalami
proses evolusi: dari animisme, dinamisme, politeisme, henoteisme, sampai pada momoteisme. Tapi,
monoteisme pun belum dianggap final. Muncul lagi, pluralisme yang pada hakekatnya juga
merupakan wajah lain dari ateisme.
Al-Quran pun dipaksakan kedudukannya sebagai sebagai produk budaya Arab, sehingga harus
ditafsirkan dalam konteks budaya Arab. Seorang dosen Fakultas Syariah di sebuah Perguruan Tinggi
di Semarang menjelaskan bahwa kewajiban mahar harus dibayar oleh laki-laki kepada mempelai
perempuan disebabkan ayat tentang mahar turun di Arab yang berbudaya patriarkhi. Jika
perkawinan terjadi di daerah Minangkabau, katanya, bisa saja mahar diberikan oleh pihak
perempuan, karena secara budaya, perempuan di daerah itu lebih dominan dibandingkan laki-laki.

Masih ada lagi contoh penundukan Islam pada konteks budaya. Larangan perkawinan lintas agama,
khususnya antara muslimah dengan laki-laki non-muslim, ditundukkan pada konteks budaya dan
kondisi zamannya. Larangan perempuan menjadi wali dalam pernikahan pun mulai digugat, karena
dianggap menyudutkan posisi perempuan. Bahkan, sejumlah buku tentang Kesetaraan Gender yang
diajarkan di Perguruan Tinggi Islam, sudah menggugat perbedaan fiqih antara laki-laki dan
perempuan dalam soal aqiqah, shalat jamaah, kewajiban shalat Jumat, kewajiban istri taat pada
suami, dan sebagainya.

Jadi, isu-isu yang dilontarkan oleh kaum liberal itu masih berkutat seputar perubahan aqidah dan
hukum Islam, agar sesuai dengan konteks budaya dan pemikiran Barat modern yang liberal. Konsep
hubungan laki-laki dan perempuan juga dipaksa sesuai dengan budaya liberal Barat, bahwa
perempuan harus menjadi makhluk yang terpisah dari tanggung jawab keluarga saat sudah dewasa.

Tentu saja pemikiran kaum liberal itu keliru. Mereka tidak meletakkan aqidah dan syariat Islam
sebagai produk wakyu, bukan produk budaya. Sebagai agama wahyu yang memiliki aspek yang
tetap (tsawabit), Islam adalah agama yang tidak tunduk oleh budaya dan masa tertentu. Aqidah
Islam tidak berubah sejak masa Nabi Muhammad saw. Syahadat Islam pun tetap. Tata cara shalat,
puasa, zakat, haji, mengubur jenazah, dan sebagainya, juga tetap sepanjang masa. Konsep semacam
ini tidak dikenal oleh kaum liberal. Mereka salah paham. Sebab, mereka sudah meletakkan konsep-
konsep Barat lebih tinggi dari al-Quran dan Sunnah Nabi. Kita tidak jemu-jemu mengingatkan
berbagai pihak, agar berhati-hati terkena virus liberalisme, yang bisa menggerogoti pemikiran dan
aqidah Islam. Mungkin, itu terjadi tanpa sadar.

Tidak semua orang menjadi liberal karena tergiur harta dan kehidupan mewah duniawi. Bisa juga
karena terpaksa, karena itu jalan mudah mengubah taraf hidup dan strata sosial di dunia. Dalam
penelitian sosial tentang maraknya pemikiran liberal, terkadang, perlu dicermati juga aspek latar
belakang sosial-ekonomi para aktivis liberal. Apakah ada hubungan misalnya antara tingkat
kemiskinan dengan tingkat liberalisme seseorang. Mungkin ada dan mungkin tidak. Sebab, patut
dihipotesakan, sikap minder dan menjiplak secara kalap terhadap pandangan alam Barat-iberal, bisa
jadi ada hubungannya dengan latar belakang aktivis liberal yang mungkin sangat miskin dan sangat
ndeso.

Apa pun latar belakangnya, liberalisisasi Islam sudah sangat terasa dampaknya di tengah
masyarakat. Maraknya berbagai ajaran sesat biasanya tak lepas dari campur tangan kaum liberal.
Tentu, sebagai muslim, kewajiban kita hanya mengingatkan baik kaum liberal maupun kaum ateis-
komunis agar kembali kepada ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi terakhir; agama yang sudah
dewasa dan sempurna ajarannya sejak lahir; agama yang tidak tunduk oleh perubahan zaman dan
budaya.

Sebagian kaum liberal mungkin belum sadar, bahwa penyandaran konsep-konsep kehidupan
manusia hanya pada akal dan hawa nafsu, hanya akan menyebabkan ketidakpastian hidup yang
pada ujungnya akan memperpanjang ilusi, derita dan nestapa, dunia dan akhirat.
Semoga kita tidak tertipu oleh godaan gemerlapnya liberalisme dan bersedia dengan tulus ikhlas
menerima hidayah Allah SWT. Amin.*/UMS, 20 Desember 2013.
KRITERIA PEMIMPIN

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

.. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan
menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan
baik. Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.

Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi
seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau
pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar
dan menunaikan dengan baik.

Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang
banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Quran harulah orang
yang kuat dan tepercaya. Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja,
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya (al-Qashash :26)

Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak
berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja
untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi
adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi,
Al-Siyayah al-Syariyyah Fi Dhaui Nushus al-Syariah wa Maqashiduha).

Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan Amr bin Ash yang baru masuk Islam
diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi
ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim
Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi
jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang
layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang
dicanangkan Nabi.

Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu
mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Quran
memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh
raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-
55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu hafizh artinya menjaga amanah.
Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin
tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya. (HR. Nasai dan Ibnu
Hibban).

Syarat yang satu lagi adalah sifat al-Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya;
mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan
dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn
Khattab bahwa amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Disini kita akan
mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.

Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat
amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin),
pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari kriteria diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus
seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang Muslim dengan kekuatan leadership dan
amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah
yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau
bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan
amanah jika ia tidak memahami syariah.

Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab
seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Allah dan berkhidmat
kepada masyarakat. Untuk beribadah diperlukan ilmu dan iman, untuk berkhidmat diperlukan ilmu
untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab,Pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan materi
dan akhlaq serta kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga. (HR Bukhari).

Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Quran
itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu
adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat
(khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap
berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.

Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu
pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang
dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin
itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya?
PEMIMPIN KAFIR

Oleh: Dr. Adian Husaini

Nahdhatul Ulama (NU) dalam Muktamarnya ke-11, di Banjarmasin, 19 Rabiulawwal 1355 H (9 Juni
1936 M), membahas satu masalah bertajuk: Apakah Negara Kita Indonesia Negara Islam?
Ditanyakan, Apakah nama negara kita menurut Syara agama Islam? Jawabnya: Sesungguhnya
negara kita Indonesia dinamakan Negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh
orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama Negara Islam tetap
selamanya. Muktamar juga memutuskan, bahwa wilayah Betawi (Jakarta) adalah dar-al-Islam,
begitu juga sebagian besar wilayah Jawa.

Mengutip Kitab Bughyatul Mustarsyidin bab Hudnah wal-Imamah dijelaskan:

Kullu mahalli qadara muslimun saakinun bihi fii zamanin minal azmaani yashiiru daara Islaamin
tajrii alaihi ahkaamuhu fii dzaalika-az-zamaani wa-maa badahu wa-in-qathaa imtinaaul-musliiina
bil-istilaail-kuffaari alaihim wa-manihim fii-dukhuulihi wa-ikhraajihim minhu wa-hiinaidzin fa-
tastamiituhu daara harbin shuuratan laa-hukman, fa-ulima anna ardha Bataawiy (Jakarta) bal wa-
ghaalibu ardhi Jaawaa daara Islamin li-istilaail-muslimiina alaihaa qablal-kuffaari.(Semua tempat
dimana Muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah
Islam (Dar-al-Islam.pen.) yang ditandai berlakunya syariat Islam pada masa itu. Sedangkan pada
masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang
kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap
mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan daerah perang (dar-al-harb.pen.)
hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa Tanah
Betawi dan bahkan sebagian besar Tanah Jawa adalah Daerah Islam karena umat Islam pernah
menguasainya sebelum penguasaan oleh orang-orang kafir.)(Lihat buku Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), terbitan
LTN-NU Jawa Timur, cetakan ketiga, 2007, hlm.176-177).

Dalam Muktamarnya ke-30 di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, NU membahas


permasalahan: Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-
Islam?

Jawabnya: Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Islam,
kecuali dalam keadaan dharurat, yaitu: (a) Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri
oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena factor kemampuan, (b) Dalam bidang-
bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa
yang bersangkutan khianat, (c) Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non-Islam itu
nyata membawa manfaat. Catatan: Orang non-Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahlu
dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.

Dasar pengambilan (hukum tersebut): al-Quranul Karim, At-Tuhfah li-Ibni Hajar al-Haitsamiy juz IX,
hlm 72, al-Syarwani alat-Tuhfah juz IX, hlm. 72-73, al-Mahalli alal-Minhaj juz IV, hlm.172, al-Ahkam
as-Sulthaniyah li-Abil Hasan al-Mawardiy. Secara lebih terperinci, berikut ini hujjah-hujjah yang
mendasari para muktamirin mengambil keputusan tersebut (teks asli dalam bahasa Arab-nya tidak
dikutip dalam tulisan ini):

(1) Dan Allah SWT sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang beriman. (QS an-Nisa:141).

(2) Dalam Kitab At-Tuhfah li-Ibni Hajar al-Haitsamiy juz IX, hlm 72, disebutkan:
Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi atau lainnya kecuali jika
sudah sangat terpaksa. Menurut dhahir pendapat mereka, bahwa meminta bantuan orang kafir
tersebut tidak diperbolehkan walaupun dalam keadaan dharurat. Namun dalam titimmah
disebutkan tentang kebolehan meminta bantuan tersebut jika memang darurat.

(3) al-Syarwani alat-Tuhfah juz IX, hlm. 72-73:

Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang
lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan
umat Islam dan aman berada di kafir dzimmi, maka boleh menyerahkannya karena dharurat. Namun
demikian, bagi pihak yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan
mampu mencegahnya dari adanya gangguan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam.

(4) al-Mahalli alal-Minhaj juz IV, hlm.172:

Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir, karena haram menguasakan orang
kafir terhadap umat Islam kecuali karena dharurat. (Lihat, Ibid, hlm. 551-552).

Dalam forum Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqiiyyah saat Muktamar NU ke-30 di PP Lirboyo Kediri
tersebut juga dibahas tentang masalah Doa Bersama antar Umat Beragama. Disebutkan, bahwa
tidak boleh berdoa bersama antar berbagai agama, kecuali cara dan isinya tidak bertentangan
dengan syariat Islam. Mengutip Kitab Hasyiyatul Jamal juz II, hlm. 119, dikatakan: Dan tidak boleh
mengamini doa orang kafir karena doanya tidak diterima sesuai dengan firman Allah SWT: Dan doa
(ibadah) orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (al-Radu:14).

Juga, dengan mengutip Kitab Mughniyul Muhtaj juz I, hlm. 232 disebutkan:

Orang kafir dzimmi (yang keamanan dirinya dan hartanya dalam naungan jaminan pemerintahan
Islam) tidak dilarang untuk datang (ke tempat umat Islam) karena mereka berhak mencari rezeki.
Sedangkan rezeki Allah SWT itu sangat luas. Terkadang Allah SWT mengabulkan harapan mereka
sebagai bentuk istidraj dan ketamakan dunia. Kafir dzimmi tersebut dan orang kafir lainnya tidak
diperbolehkan untuk bercampur dengan kita di tempat peribadahan kita, demikian halnya ketika
berkumpul. Percampuran tersebut makruh, dan mereka harus berbeda dengan kita umat Islam
ketika berada di suatu tempat. Hal itu, karena mereka adalah musuh-musuh Allah SWT, yang suatu
saat mereka akan ditimpa suatu azab dengan kekufuran mereka itu, dan azab tersebut akan
mengenai kita pula. (Lihat, Ibid, hlm. 532-534).

*****

Berbeda dengan orang yang memiliki cara pandang sekuler, kaum Muslim memiliki cara pandang
(worldview) yang tauhidik; tidak memisahkan antara aspek dunia dan akhirat, antara aspek fisik dan
metafisik. Dunia ini, dalam pandangan Islam, adalah ladang akhirat. Setiap aspek materi yan
terindera, tidak terlepas dari aspek metafisika; aspek ruhaniah, atau aspek ketuhanan. Secara fisik,
telinga, mata, hidung, tangan, kemaluan, memiliki unsur materi yang sama. Tapi, secara ilahiah,
organ-organ ini memiliki makna dan kedudukan yang berbeda. Jangan beralasan bahwa sama-sama
daging, mata pipi dan pantat boleh dibuka dimana saja.

Fakta sama, tetapi cara pandang berbeda, akan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula.
Karena itu, akan sangat susah bagi orang sekuler untuk memahami cara berpikir Islam yang tauhidik.
Orang yang tidak mengakui bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah SWT, pasti menganggap
Nabi Muhammad saw telah berdusta, mengaku-aku mendapat wahyu. Ketika al-Quran menampilkan
cerita yang berbeda dengan Bible tentang kisah Luth (yang di Bible disebut berzina dengan kedua
putrinya, Kej.19:30-38 ) maka dituduhlah Muhammad mengubah cerita dalam Bible.

Kaum sekuler meskipun secara formal memeluk agama tertentu -- memandang, hidup di dunia ini
hanya memiliki aspek di sini (di dunia saja). Tidak ada urusan dengan Tuhan, dan tidak ada urusan
dengan akhirat. Pada CAP yang lalu, kita sudah mengutip pandangan Prof. Naquib al-Attas dalam
buku klasiknya, Islam and Secularism (terbit pertama tahun 1978). Prof. al-Attas menyebut tiga
komponen proses sekularisasi dalam pemikiran manusia, yaitu: (1) disenchantment of nature
(pengosongan alam dari semua makna spiritual); (2) desacralization of politics (desakralisasi politik);
dan (3) deconsecration of values (pengosongan nilai-nilai agama dari kehidupan).

Sementara itu, pemikir Kristen Harvey Cox, dalam buku terkenalnya, The Secular City, menyebutkan
definisi sekularisasi adalah: pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan
perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from
religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and
towards this one).

Kita garisbawahi pandangan Prof. al-Attas, bahwa salah satu proses sekulerisasi adalah desakralisasi
politik. Politik dibebaskan dari Tuhan; politik bebas dari agama. Politik hanya dilihat sebagai seni
meraih kuasa atau mempertahankan kekuasaan. Politisi dianggap hebat adalah yang berkuasa.
Politisi yang dianggap tidak bermutu adalah yang gagal meraih kuasa. Meskipun dia jujur. Yang
menang dianggap benar. Kekuasaan adalah kebenaran, might is right. Kaum sekuler biasa
berkampanye: agama jangan dibawa-bawa dalam urusan politik atau kenegaraan.

Mungkinkah orang Muslim atau orang Kristen pada saat yang sama juga menjadi orang sekuler?
Ulama terkenal, ketua MUI Pertama, Prof. Hamka, menolak kemungkinan itu.

Dalam ceramahnya di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta, pada tanggal 21 April 1970,
menyatakan, baik Islam maupun Kristen, harusnya tidak dapat mengkhayalkan negara yang terpisah
dari agama, karena jika negara terpisah dari agama, hilanglah tempat dia ditegakkan.

Menurut Hamka, Islam memandang bahwa negara adalah penyelenggara atau pelayan atau khadam
dari manusia. Sedang manusia adalah kumpulan dari pribadi-pribadi. Maka tidaklah dapat tergambar
dalam pemikiran bahwa seorang pribadi, karena telah bernegara, dia pun terpisah dengan
sendirinya dengan agamanya.

Dikatakan oleh Buya Hamka di hadapan para tokoh dan aktivis Kristen saat itu:

"Payahlah memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara,
agamanya itu musti disimpannya. Anggota DPR kalau pergi ke sidang, agamanya tidak boleh dibawa-
bawa, musti ditinggalkannya di rumah. Kalau dia menjadi menteri, selama Sidang Kabinet, agamanya
musti diparkirnya bersama mobilnya di luar. Dan kalau dia menjadi Kepala Negara haruslah jangan
memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan dengan umum. Simpan saja
agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru dipakai kembali. Saya percaya bahwa cara yang
demikian hanya akan terjadi pada orang-orang yang memang tidak beragama. Sebab memang tidak
ada pada mereka agama yang akan disimpan dirumah itu, atau diparkir di luar selama Sidang
Kabinet". "Kalau dia seorang Muslim yang jujur atau seorang Kristen yang tulus, agama yang
dipeluknya itulah yang akan mempengaruhi sikap hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di
rumah atau di Sidang Kabinet, dalam hidup pribadi atau hidup bernegara. Dia akan berusaha
melaksanakan segala tugasnya bernegara, menurut yang diridhai oleh Tuhan yang dia percayai. Dan
dia akan menolong agamanya dengan kekuasaan yang diberikan negara kepadanya menurut
kemungkinan-kemungkinan yang ada. Begitulah dia, kalau dia Islam. Begitulah dia, kalau dia Kristen."

Seorang Kristen yang setia pada kepercayaannya, dia akan berjuang menegakkan nilai-nilai agama
yang diyakininya. Ia akan memuja Yesus sebagai Tuhannya. Sebuah buku berjudul Transformasi
Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus
(Jakarta: Metanoia, 2003), menggambarkan ambisi dan harapan besar kaum misionaris Kristen di
Indonesia tersebut.

Kaum Kristen Indonesia, kata buku ini, tidak ingin menyia-nyaiakan lagi kesempatan yang pernah
mereka dapatkan untuk mengkristenkan Indonesia. Mereka siap melakukan transformasi Indonesia.
Kesempatan emas saat ini tidak boleh disia-siakan, karena batas waktunya bisa lewat, sebagaimana
pernah terjadi di masa Soeharto: Tuhan memberikan kesempatan yang luar biasa kepada orang
Kristen dan China, karena pada waktu Suharto menjadi Presiden, ia begitu dekat dengan orang
Kristen dan China. Kesempatan demi kesempatan diberikan kepada orang China dan Kristen untuk
melakukan bisnis di berbagai bidang. Trio RMS (Radius, Mooy, Sumarlin) di bidang ekonomi
beragama Kristen. Itu kesempatan yang diberikan kepada orang Kristen supaya bangsa ini menjadi
bangsa yang mengenal Tuhan, tetapi orang Kristen dan gereja tidak siap, sehingga pada tahun 1990-
an, waktu Suharto melirik kelompok lain, kelompok tersebut menuding bahwa dua kelompok
(Kristen dan China) adalah biang keladi segala persoalan yang ada. (hal. 45).

Dr. Bambang Widjaja, Gembala Sidang Gereja Kristen Perjanjian Baru, dalam tulisannya berjudul
Indonesia Siap Mengalami Transformasi yang dimuat dalam buku ini, menegaskan: Indonesia
merupakan sebuah ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya! Ya, Indonesia siap
mengalami transformasi yang besar. Hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, namun suatu
pernyataan iman terhadap janji firman Tuhan. Ini juga bukan impian di siang bolong, tetapi suatu
ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan memeriksa firman Tuhan, kita akan sampai
kepada kesimpulan bahwa Indonesia memiliki prakondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang
Ia rencanakan.

Kaum Muslim memandang, kekuasaan dan kepemimpinan punya makna yang fungsi duniawi dan
ukhrawi, aspek fisik dan metafisik. Pemimpin, dalam Islam, dipandang sebagai junnatun (perisai).
Sesuai tujuan dari maqashid-asy-syariah, tugas utama pemimpin dalam Islam adalah hifdzud-din
(menjaga agama). Sebab, bagi Muslim, agama-lah yang terpenting dalam hidup. Iman akan dibawa
sampai mati. Keselamatan iman adalah yang paling utama dalam kehidupan. Karena itu, perlu
dipahami, jika para pemikir Muslim senantiasa menempatkan urusan agama sebagai faktor
terpenting. Inilah yang tidak mudah dipahami oleh kaum sekuler yang menganggap agama sebagai
urusan pribadi yang tidak penting. Sebab, bagi mereka, tauhid dan syirik dipandang sama; iman dan
kufur tidak berbeda. Padahal, dalam Islam, syirik adalah dosa terbesar, karena merupakan kejahatan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (QS 31:13).

Konsep Islam tentang kepemimpinan inilah yang perlu dipahami, agar tidak mudah menuduh kaum
Muslim berpikiran picik dan tidak toleran. Setiap agama dan peradaban memiliki batas-batas
toleransi yang berbeda, bergantung pada masalah yang mereka anggap penting. Ketika keimanan
dipandang penting, maka iman akan dijadikan sebagai faktor penilai seseorang. Ketika faktor ras
dianggap benilai tinggi, maka bangsa itu akan mementingkan faktor rasial. Mereka akan memandang
rendah bangsa atau ras lain.

Konsep Islam soal kepemimpinan ini perlu disampaikan secara terbuka, bukan untuk memecah belah
bangsa. Umat Islam merindukan pemimpin yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan bisa
menjadi teladan bagi masyarakat. Para pendiri dan pemimpin bangsa ini telah mendiskusikan
masalah ini secara terbuka jauh sebelum kemerdekaan. Perdebatan mereka terekam dengan baik
dalam catatan-catatan sejarah. Kejujuran berpikir diperlukan untuk membagun toleransi. Dalam
kondisi apa pun, umat Islam senantiasa mencintai bangsanya, dan ingin agar bangsanya menjadi
negeri yang beradab, adil, dan makmur, sebagaimana diamanahkan oleh Pembukaan UUD 1945.
(Jakarta, 26 September 2014).
PEMIMPIN POSTMODERN
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pemimpin selalu identik dengan tokoh, idola, figure sentral, bahkan bisa merupakan jelmaan ratu adil.
Namun kini di zaman postmodern pemimpin lahir dari wacana atau diskursus melalui media masa.
Betapa idealnya seorang pemimpin dimasa lalu dapat dilacak dari pemimpin atau raja-raja pada abad
Pertengahan di Barat. Pemimpin politik, waktu itu, adalah agamawan. Mereka dipilih setelah diketahui
umum bahwa mereka berasal dari tujuh turunan keluarga yang tidak cacat moral. Namun, hingga
abad 19 kreteria pemimpin seperti itu mulai pudar sehingga sulit diperoleh. Tidak ada lagi pemimpin
bermoral bishop dan tidak ada bishop berkualitas politisi. Agama dan politik pun bercerai.

Para pakar pun mencari criteria ideal seorang pemimpin. Pikiran dan criteria Niccol Machiavelli
(1469-1527) abad 19 di anggap awal kriteria pemimpin ideal tanpa faktor agama. Thomas Carlyle,
misalnya, menulis buku Heroes and Hero Wor ship (1841) untuk mengidentifikas bakat, skill dan ciri-
ciri fisik orang yang menjadi penguasa.

Francis Galton dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menguji kualitas pemimpin pada keluarga-
keluarga orang berpengaruh. Ia menemukan bahwa keluarga pemimpin berbakat pemimpin. Artinya
pemimpin itu dilahirkan. Namun, ini dibantah oleh teori Cecil Rhodes (1853-1902) yang masih
percaya bahwa karakter dan instink peimimpin itu bisa dididik. Tapi sekalipun karakteristik pemimpin
ditemukan (tahun 1940-an) namun suatu kriteria tidak bisa berlaku untuk semua jenis masyarakat.
Untuk itu para pakar menggunakan teori yang telah dirintis oleh McGrath (1962) teori Functional
Leadership Model. Pemimpin ini dipilih sesuai dengan yang dikehendaki rakyat atau organisasi yaitu
untuk melayani.

Pada abad yang sama Bernard Bass (1978) mengembangkan teori yang disebut Transactional dan
transformational leadership. Yang pertama adalah pemimpin yang diberi kekuasaan oleh kelompok
atau rakyat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. kedua adalah pemimpin yang visioner yang
bertugas menstimulasi dan menanamkan visi kepada rakyat. Bagaimanapun teori tentang
kepemiminan hingga abad 21 ini masih gagal menemukan rumusan sifat-sifat ideal seorang
pemimpin.

Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria pemimpin. Politik
dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas, nilai-nilai, kecakapan sosial,
kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen
dari diri pemimpin terpilih. Mengapa bisa terjadi demikian?

Teka teki ini mungkin terjawab oleh temuan teori pemimpin yang digagas oleh Oxford School
Leadership. Teorinya disebut Neo-emergent theory. Dalam teori yang dianggap paling mutakhir ini
pemimpin dipromosikan oleh informasi yang diciptakan oleh stakeholdernya me lalui media masa atau
media social. Namun yang dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang
diinginkan, tapi wacana-wacana ideal tentang pemimpin yang dipromosikan itu. Teori ini digambarkan
sebagai berikut: "the press, blogs and other sources re port their own views of leaders, which may be
based on reality, but may also be based on a political command, a pay ment, or an inherent interest
of the author, media, or leader. Therefore, one can argue that the perception of all leaders is created
and in fact does not reflect their true leadership qualities at all."
Teori Neo-emergent itu mungkin bisa disebut teori pencitraan atau pemimpin media masa atau sosial
(sosmed). Demokrasi bisa berubah menjadi "mediakrasi" (kekuasaan media). Media pun sudah di
bawah petunjuk kekuatan politik, pemodal, konglomerat dan sebangsanya.

Sudah tentu ini diluar nalar waras. Tapi memang Logika postmodern tidak lagi memakai sillogisme,
tapi bahasa dan makna. Makna menentukan segalanya. Siapa yang memberi makna adalah siapa
saja. Maka tidak heran Akbar S Ahmed menyimpulkan bahwa ide-ide postmodernisme dipicu oleh
media. Media bisa bermain-main dengan makna. Koruptor bisa tiba-tiba menjadi pelopor. Culas bisa
menjadi lugas dan tegas. Tukang maki menjad

i pemimpin bernyali. Pakar barter menjadi berkarakter dan sebagainya.

Logika bahasa Postmodern dalam media diracik dengan faham humanisme meng hasilkan pemimpin
yang unik. Pemimpin yang keras meledak-ledak, anehaneh dan dianggap gila itu pemimpin ber
karakter. Bahkan berkarakter itu bisa dimaknai menjadi bermoral dan ber akhlaq. Padahal kata
character sendiri bermasalah sebab ia sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara,
drama atau lakonan. Berkarakter bisa diartikan ber "peran" dan bukan suatu sifat yang melekat erat
dalam diri. Sifat inilah yang diletakkan oleh media kepada seseorang yang akan didaulat sebagai
pemimpin. Pemimpin akhirnya menjadi seperti wa yang yang memerlukan dan diperlukan seorang
dalang.

Kata "moral" pun rancu, karena dalam Oxford English Dictionary moral adalah perilaku baik-buruk.
Standar baik buruk itu bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan apa yang
di sebut "hukum moral" atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial.

Maknanya moral dan etika menjadi longgar tergantung masyarakat. Jadi ber-moral artinya
berperilaku sesuai dengan atur an masyarakat, dan tidak selalu religius. Maka bermoral dan
berkarakter tidak bisa disamakan dengan berakhla1. Kata akhlaq serumpun dengan khalaqa
(menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan
asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya
(fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku
sesuai dengan fitrah (nurani) nya. Fitrah seseorang itu adalah bertuhan, beragama dan tentu
berislam.

Maka pemimpin berkarakter saja tidak cukup mensejahterakan masyarakat, demikian pula pemimpin
bermoral. Sebab seorang pemimpin yang tegas, pekerja keras, pandai membangun infra struktur
publik bisa dianggap berkarakter. Meski pun dibalik itu boleh jadi ia melakukan kecurangan dan
tindah amoral secara rahasia. Seorang yang tidak ambisius, nampak sederhana, halus dalam
percakapan, dan murah senyum bisa diberi label bermoral.

Namun jika ia sering berbohong, pembenci, penipu, zalim pada sesama, apalagi menentang Tuhan,
maka ia tidak berakhlaq. Meski kondisi berfikir masyarakat dunia saat ini nampak begitu postmodern,
sebaiknya pemimpin yang dihasilkan adalah tokoh yang tetap menjaga akhlaqnya dan beramanah.
Kemuliaannya tidak dihasilkan oleh luar dirinya alias orang lain, atau selain dirinya, itulah akhlaq. Per
buatan, perkataan dan pikirannya, seperti kata Umar bin Khattab, harus sama. Itulah amanah. Jika
tidak maka yang ada hanya pemimpin amoral dan pengkhianat.
MENGAPA HARUS KARTINI?
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini?
Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan
Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah
menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional
Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April
1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan
Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari
kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka,
sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting.
Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa
pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo,
Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama?
Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh
pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso,
tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia? Bukankah katanya, kita berbahasa
satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang
yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan
ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya.
Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat
Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap
Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan
Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang
layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata
mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak
wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan
Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak
sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika
(1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910)
yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972)
melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia
(1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang
sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh
melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang
ber inisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-
koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak
(Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiranpikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa
yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah
Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecu

t Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim ke terbe lakang an kaum
wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita
hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku
Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang
aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia,
Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga
pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah
dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan
Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa
kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk
kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri
ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang
tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah
wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus
menda -pat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani,
berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan
mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri
Indonesia, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan
meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong tak dir yang lebih
baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?
Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah
Oleh: Dr. Adian Husaini

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat
halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada
tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: Mengapa Harus Kartini?

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan:
Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini?
Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan
Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan
artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti
itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya
pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah
menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional
Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4),
Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat
Kita. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai
lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri
lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut, tulis Harsja
W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol
kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia.
Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah
We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku
Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi
Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal
sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh
dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu
dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry,
Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk
menempatkan diri di daerah Aceh.

VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya.
Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan,
baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan
hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang
Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-
Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We
Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan
modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan,
bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar
kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink
suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang
mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar
memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semaca

m sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur
Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah
pihak.

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis
gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan
Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh
sosialisme H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang
menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon
menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga
edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit
terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran
(1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa
pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27
Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan
dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja
Bachtriar kemudian mencatat: Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri,
dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal
Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan,
percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang
emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang
budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-
luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha
meruntuhkan mitos Kartini: Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini
lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih
hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut
sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana
Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak
sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini
paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan
berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri
di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang
sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana
School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia
mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah:
mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif
menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang
ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio
(padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut
Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pad

a masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut
berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut
berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari
sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki
Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan
Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa
kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk
kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri
ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang
tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah
wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus
mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani,
berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan
mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak
terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam
rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda
yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah
Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis
Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4),
Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula,
misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua
sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas
dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih
berlaku sampai dewasa ini.

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon,
Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-
kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya
kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
Salam, Bidadariku yang manis dan baik! Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak
saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje,
sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada
hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya
memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang
hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya. (Lihat, buku Kartini: Surat-surat
kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta:
Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul
Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah
Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti
jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck
sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama
menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama

Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-
daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam
penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini
sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang
memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam:
Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang
biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan
radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya. (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode
1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam
masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib
Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada
pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan pembaratan kaum elite
pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.
Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam.
Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan
pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional
mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk
agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan
bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya.
Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia:
Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui
dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan
menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi
kebudayaan. (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula
yang sekarang masih banyak digunakan untuk menaklukkan Islam. Bahkan, jika kita cermati,
strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan pribumi Muslim sudah
berjubel.

Biasanya, berawal dari perasaan minder sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak
anak didik Snouck langsung atau pun tidak yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit
peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah
merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.
EVIL OF LIBERALISM

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Dalam sebuah situs Katholik di Amerika, terdapat artikel berjudul The Evil of Liberalism, ditulis oleh
Judson Taylor, tokoh besar Misionaris. Artikel itu ditulis pada awal abad ke 19 (1850an), dalam
sebuah buku kumpulan essai berjudul An Old Landmark Re-Set diterbitkan ulang tahun 1856 dengan
editor Elder Taylor.

Di dalam pengantarnya editor situs itu menulis bahwa misi yang disampaikan artikel itu lebih cocok
untuk kita pada hari ini. Sebab perkembangan liberalisme keagamaan, akhir-akhir ini benar-benar
menakjubkan orang tapi seluruhnya destruktif bagi kitab suci Kristen.

Makalah itu dimulai dengan pernyataan tegas Liberalisme telah menggantikan Persecutiton.
Persecutiton artinya penganiayaan atau pembunuhan. Dalam tradisi Kristen penganiayaan terjadi
karena adanya keyakinan yang menyimpang (heresy) dalam teologi. Artinya liberalisme sama dengan
penganiayaan.

Hanya saja, lanjutnya, jika Persecution membunuh orang, tapi menyuburkan penyebabnya, maka
liberalisme membunuh sebabnya dan menyuburkan pikiran orang. Dalam artian liberalisme
memenangkan akal manusia daripada firman atau ajaran Tuhan.

Memang dalam sejarah agama Katholik, Persecution atau yang lebih hebat lagi inquisition
merupakan alat pembela kebenaran agama. Cara ini, kata Judson Taylor, lebih disukai daripada
kompromi Kebenaran versi liberal.

Kompromi kebenaran mungkin sekarang ini menjadi relativisme yang mengakui semua benar
meskipun salah satunya salah. Itu pun tidak konsisten, dalam banyak kasus, orang liberal yakin
bahwa Bible banyak masalah sedangkan kebejatan moral zaman ini malah tidak masalah.

Judson nampaknya belum curiga pada paham nihilisme atau pluralisme pemikir liberal. Sebab
memang, ketika artikel ini ditulis, pemikiran Nietzsche masih sedang mencari bentuknya, dan Paham
pluralisme agama masih belum lahir. Dalam bahasa Judson, kaum liberal lebih cenderung permisif
alias bersahabat dengan semua sekte dan kemungkaran.

Blunder yang terbesar di zaman ini, kata Judson, adalah mengakui liberalisme yang mendukung
kesesatan demi persatuan (union). Padahal persatuan (kebenaran dan kesalahan) yang dimaksud
liberal itu justru akan berakhir dengan kekacauan. Selain itu, cara berpikir liberal yang konon netral
dan rasional itu ternyata memihak juga.

Akhirnya, Judson membuat ciri-ciri liberalisme keagamaan menjadi tujuh tapi yang utama ada enam:
Pertama: Banyak mengingkari firman Tuhan. Kedua: Mengakui berbagai kesalahan di zamanya dan
juga kebenaran. Tapi lebih banyak mengakui kesalahan. Ketiga: Mengakui Tuhan hanya sebatas
untuk kepentingan kemanusiaan, ketika ajaran Tuhan tidak dapat diterima maka akal manusia
dimenangkan. Keempat: Tidak ada yang mutlak dan pasti tentang Tuhan. Kelima: Mempromosikan
keraguan beragama yang tidak berarti. Keenam: Mendukung keyakinan keagamaan dan prakteknya
yang populer.

Orang yang berpikir liberal umumnya hanya ingin menghargai pemikiran bebas. Bebas dari
kepercayaan yang dianggap membelenggu. Aroma humanisme begitu menonjol. Sebab manusia
menjadi ukuran segala sesuatu (man is a measure of everything).
Gejala liberalisme di alam pikiran Kristiani abad ke 19 itu sudah nampak jelas kesamaannya dengan
liberalisasi pemikiran Islam di dunia Islam saat ini. Pertama: Muslim liberal menggugat al-Quran.
Kedua: Muslim liberal membela aliran sesat. Ketiga: Muslim liberal mendahulukan akal dan
kemanusiaan daripada Tuhan. Keempat: Muslim liberal mendukung paham relativisme. Kelima:
Muslim liberal mempromosikan paham skeptisisme.

Ketika kami ceramah pemikiran di Surabaya, seorang audien yang kebetulan muallaf tiba-tiba
menyalami kami. Ia lalu meyakinkan kami bahwa liberalisasi pemikiran dalam Islam tidak jauh beda
dari pengalamannya dalam Katholik.

Ucapan muallaf tersebut tidak perlu banyak bukti. Cukup dari pernyataan seorang mahasiswa liberal
yaitu bahwa Agar Islam maju, maka tirulah Protestan Itulah, liberalisme yang nama dan
substansinya merupakan hasil adopsi total konsep-konsep Liberal Barat. Jika, dijustifikasi menjadi
Islam Liberal maka itu berarti Islam yang mem-Barat.
Ukhuwwah Islamiyyah

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Memahami makna dan pelaksanaan persatuan Islam mesti merujuk kepada konsep din yang utuh.
Artinya pandangan dikotomis dalam Islam, seperti dunia-akhirat, jiwa-raga, material-spiritual,
obyektif-subyektif, juga tekstual-kontekstual dan lain sebagainya harus dihindari.

Model pemahaman yang dikotomis biasanya dilakukan oleh orientalis atau sekuleris, dan sudah
barang tentu tidaklah menjamin pemahaman aspek yang lain apalagi keseluruhannya. Oleh sebab itu
masalah persatuan umat harus diposisikan sebagai by-product dari proses ber-Islam dan harus
dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman, ke-Imanan dan ke-Ihsanan.

Oleh sebab itu aspek konseptual dalam ber-Islam harus secara fard ain, sudah dipahami sebelum
kita memahami konsep persatuan umat Islam. Jika tidak, kita akan terjerumus pada persoalan-
persoalan furu, persoalan teknikal, problem lokal dan hanya akan menghasilkan penyelesaian yang
temporal dan parsial yang ujungnya adalah perselisihan.

Untuk dapat memahami esensi persatuan dalam Islam kita harus menggunakan terminologi yang
tepat yang terdapat dalam al-Quran atau Sunnah. Karena setiap kata dalam al-Quran dan Sunnah
memiliki dimensi yang luas yang sarat dengan nilai.

Kalau kita teliti al-Quran dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata persatuan atau
ittihad. Karena kata-kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, artinya tidak ada kaitan
langsung dengan Islam. Maka dari itu tidak terdapat perintah dalam al-Quran yang berbunyi ittahidu
(bersatulah). Terminologi persatuan yang sarat dengan nilai itu dapat dirujuk pada ayat dibawah ini:

Dan berpeganglah (itasimu) kamu sekalian dengan dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-
cerai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu mejadikan kamu dengan nikmat Allah
menjadi bersaudara, (ikhwana) dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar
kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran (3) : 103).

Pada ayat diatas kita dapati 3 kata kunci yang penting yaitu: itasimu, allafa dan ikhwana (ulfah,
Itisom dan ukhuwwah) yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan proses.

Asoma artinya menjaga, memproteksi, mempertahankan. Itasoma bi artinya menjaga agar tetap
pada keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan pada sesuatu (Hanswer, Arabic-English,
Dictionary).

Tafsir dari kata-kata Itasimu diatas ialah berpeganglah kamu pada kitab atau agamaNya (Dr.
Muhammad Hasan al-Hamsi, al-Quran, Tafsir wa Bayan). Maka dari itu kata-kata Itasoma atau
Itisom memiliki dimensi yang luas dan sarat dengan nilai, karena ia mengandung arti ber-Islam itu
sendiri.

Kebalikan Itisom (berpegang pada tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dalam konteks sosial
keagamaan kita makna ayat ini dapat dipahami dari 2 sisi: Pertama, Berarti bahwa agar tidak
berpecah belah umat Islam harus menjaga, mempertahankan dan berpegang sekaligus pada Kitab
dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam telah berselisih atau berpecah maka penyelesaiannya adalah
kembali kepada Kitab dan Sunnah Rasulullah.
Jika orang Islam telah ber-itisom maka selanjutnya Allah menjinakkan hati-hati mereka, sehingga
dalam diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan din, aqidah dan syariat. Dari kesamaan ini
kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini dipertegas dalam
al-Hujurat ayat 10: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara. Dalam hadis
juga dijelaskan bahwa: Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya.

Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan bahwa terminologi yang tepat untuk persatuan umat
Islam adalah ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-itisom: kesamaan tempat
kembali yaitu kitab dan sunnah, kesamaan tujuan mempertahankan agama Allah dan kesamaan
segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-islam itu sendiri.

Karena menggunakan istilah dari hubungan sedarah maka watak dasar ukhuwwah hampir sama
dengan hubungan sedarah, seperti yang ditegaskan dalam hadis Nabi:

Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang mukmin dari orang mukmin yang lain, darahnya,
hartanya, kehormatannya dan prasangka dengan prasangka buruk. (Hadith Riwayat, al-Hakim dari
Ibn Abbas dari Ibn Abbas)

Watak seseorang dalam melindungi nyawa, harta, marwah keluarganya serta sikap husnudzdzan
adalah watak asasi manusia, dan jika ini dilakukan karena alasan kesamaan agama ia menjadi
ukhuwwah. Bahkan eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh nabi diumpamakan sebagai suatu badan
atau bangunan. Sabdanya:

Seumpama saling kasih mengasihi, saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang
beriman (mumin) itu laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya
membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur semalaman. Orang
mumin bagi mumin yang lain adalah seperti bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian
yang lain. (H.R. Bukhari dan Muslim )

Hadis diatas menunjukkan bahwa gambaran hubungan ukhuwwah diantara orang-orang beriman
adalah benar-benar asasi dan alami. Allah tidak mengkaitkan perpecahan dengan persatuan, tapi
dengan persaudaraan yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan.

Perintah-perintah untuk tidak berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan:
Sebab itu bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (al-Anfal: 1, lihat juga
an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).

Jadi, tidak ber-ukhuwwah tidak saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi. Dan ini
menunjukkan bahwa konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah manusia, yaitu makhluk yang
mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan fitrah-nya itu Allah menyempurnakannya dengan
din yang dasarnya adalah al-Quran dan Sunnah. Oleh sebab itu ukhuwwah secara umum meliputi
tiga dimensi penting:

Pertama, dimensi keimanan (Itiqadiyyah) yaitu dasar, asas atau tali pengikat segala bentuk
hubungan ukhuwwah baik antar individu maupun antar individu dan masyarakat. Asas itu adalah
itisom yang telah disebutkan diatas, yaitu hubungan dengan Allah sang pencipta.

Hubungan ini dasarnya adalah iman. Disini setiap individu dituntut untuk memahami dan memiliki
ilmu berukhuwwah sesuai dengan al-Quran dan Sunnah. Dan seandainya kamu berselisih akan
sesuatu, maka kembalilah pada Allah dan Rasulnya, jika beriman kepada Allah dan hari akhir (An-
Nisa : 59).
Persahabatan yang tidak karena Allah dan tidak merujuk kepada perintahNya bukanlah ukhuwwah.
Karena itu istilah ukhuwwah wathaniyyah tidak relevan dan keluar dari konteks ini. (Hadis
Mencintai negara adalah sebagian dari iman adalah hadis Dhaif).

Kedua, dimensi individual (fardiyyah) yakni ukhuwwah dalam bentuk nyata hubungan antar individu
di masyarakat. Didalamnya terdapat etika hubungan, sikap mental, tutur kata, solidaritas, belas
kasih, timbang rasa dan lain-lain yang telah disebutkan di atas.

Keseluruhan bentuk hubungan individu ini tidak lepas dari asas dimensi keimanan. Karena itu
Rasulullah menjelaskan hubungan antara iman dan sikap-sikap kita dalam ber-ukhuwwah dalam
sabdanya: Yang paling kokoh pertalian iman ialah kasih sayang pada jalan Allah dan marah pada
jalan Allah (HR.Ahmad)

Ketiga, dimensi sosial (ijtimaiyyah), yakni ukhuwwah dalam bentuk hubungan individu dengan
masyarakatnya. Disini kesalehan individual harus disempurnakan dengan kesalehan sosial.

Bersikap lemah lembut dengan tetangga, kawan, saudara dan lain-lain tidak cukup jika tidak disertai
kepedulian terhadap urusan umat Islam secara keseluruhan. Sabdanya: Barangsiapa tidak perduli
dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka. (H.R. al-Hakim dari Hudzaifah
dan ath-Thabrani dari Abu Dzar).

Jadi esensi ber-ukhuwwah adalah menyeluruh (syamil) mengandung proses beriman dan bertakwa,
berbelas kasih antara individu dan peduli terhadap keadaan umat secara keseluruhan.

Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisah-pisahkan, ia adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan
dalam proses pengamalan ketiga dimensi ini, maka penyelesaian psikologisnya adalah dengan apa
yang disebut ulfah (saling menjinakkan).

Jika seorang muslim tidak mau dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka
ia tidak dapat dapat berukhuwwah. Kemampuan dan kemauan sesorang untuk menjinakkan dan
dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.

Sebab dalam hadis disebutkan: Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukannya kepadaKu ialah
yang terbaik akhlaknya dari pada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana
mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka". (H.R. Tabrani dari Jabir).
Lihat hadis-hadis senada dibawah ini :

Sabda Nabi yang lain: Orang mukmin itu ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya.
Dan tiadalah kebajikan pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya. (HR. Ahmad
dan Tabrani dari Abu Hurairah dan sahih).

Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan
yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan amat dimarahi oleh Allah diantara kamu ialah orang-
orang yang menyebar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara. (H.R. Tabrani dari
Abu Hurairah).

Maka sangat bertentangan dengan hadis ini jika seseorang itu dianggap dekat dengan Allah tapi
tidak dapat dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya.

Pemahaman kita terhadap makna ukhuwwah belumlah menunjukkan kesatuan tekstual dan
kontekstual. Para cendekiawan kita dan juga masyarakat luas, di satu sisi, masih terjebak pada
analisa terhadap realitas konflik umat Islam, dan tanpa mencoba mencari letak kesalahannya dari
asas dimana bangunan ukhuwwah itu berdiri.
Dan di sisi lain kita terjebak pada pemahaman nas (al-Quran dan Hadis) yang sempit dan sepihak
yang terkadang disesuaikan dengan kepentingan golongan. Yang terakhir ini dalam al-Quran dicap
sebagai: Yucharrifun al-kalima an mawadiihi. (Mengalihkan kata-kata dari konteksnya).

Ukhuwwah antar sesama umat Islam di Indonesia masih tergolong lemah, hal ini disebabkan oleh
kurang sempurnanya pemahaman masyarakat terhadap esensi ukhuwwah yang pokok utamanya
adalah aqidah.

Dimensi keimanan atau aqidah dalam ber-ukhuwwah masih tertutupi oleh aspek syariat-nya,
sehingga yang lebih sering muncul adalah masalah furuiyyah dan ini mengandung potensi konflik
sangat besar.

Akibatnya dimensi individual dan sosial dalam berukhuwwah terpengaruh oleh aspek syariat tadi.
Fiqih yang dipelajari dan dikembangkan adalah Fiqih dalam hubungannya dengan ahkam al-
syakhsiyyah dan masih sedikit yang berhubungan dengan ahwal ijtimaiyyah atau siyayasah
syariyyah dimana ukhuwwah Islamiyyah merupakan aspek terpentingnya. Apa yang kemudian
nampak adalah bahwa kesalehan individual lebih diutamakan daripada kesalehan sosial, padahal
keduanya tidak bisa dipisahkan.

Kurangnya aktifitas silaturrahmi diantara pemimpin umat Islam memberi sumbangan terbesar
kepada lemahnya ukhuwwah ini. Karena dalam masyarakat yang paternalistik ini sikap masyarakat
adalah produk dari sikap pemimpinnya. Karena itu proses ulfah menjadi sulit dilaksanakan.

Maka dari itu yang sangat urgen dilaksanakan saat ini adalah memperbanyak frekuensi silaturrahmi
antar pemimpin golongan, partai dan kelompok, dengan agenda saling memahami, mencari
kesamaan dari perbedaan-perbedaan yang ada, dengan niat yang ikhlas, lillah.
AL-AHKAM AS-SULTHANIYAH

dan Pemikiran Kenegaraan dalam Islam

Oleh: Dr. Adian Husaini

(Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam

Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M), yang nama
lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Asy-Syafii. Kitab ini
menunjukkan ketinggian peradaban Islam yang dibangun diatas dasar ilmu-ilmu Islam (ulumuddin).
Di zaman ketika Eropa masih dalam zaman kegelapan (sekitar 500-1500 M), kaum Muslim telah
menghasilkan karya-karya yang gemilang dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam ilmu
politik, dengan terbitnya buku karya Imam al-Mawardi ini.

Dan ini tidaklah mengherankan, sebab, Islam bukan hanya wujud dalam bentuk ajaran-ajaran
spiritual keagamaan, tetapi Islam juga wujud dalam bentuk peradaban yang mencakup berbagai
sistem kehidupan, baik sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Islam juga satu-
satunya agama yang memberikan keteladanan yang tinggi dalam bidang politik dan pemerintahan.
Islam bukan hanya membangun aspek duniawi dalam bentuk peradaban materi, tetapi tujuan Islam
yang juga diamanahkan kepada para penguasanya adalah membangun manusia-manusia Muslim
yang unggul. Prestasi Islam dalam mencetak pemimpin yang unggul ini belum terlampaui oleh
peradaban lain di muka bumi. Islam pernah melahirkan penguasa-penguasa yang luar biasa yang
bergelimang dengan kekuasaan dan harta benda, tetapi hatinya sama sekali tidak tertakluk pada
dunia. Adakah pemimpin dunia dari peradaban lain yang pernah mencapai prestasi Abu Bakar ash-
Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz, dalam
bidang pemerintahan?

Sebagai contoh, mantan biarawati Katolik, Karen Armstrong memuji Umar Ibn Khattab saat
menaklukkan Jerusalem (636 M). Secara tegas Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan
ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa
sebelumnya. Ia mencatat: Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut
(agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan
kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan
tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang
panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak
ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran
atyau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam.
Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai
tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di
Jerusalem, dengan sangat baik tentunya. (Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three
Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228).

Pelopor Ilmu Kenegaraan

Umat Islam adalah umat pertama yang menata pemerintahan dengan cara-cara administrasi tertulis
yang sangat jelas. Bahkan, Piagam Madinah adalah merupakan Konstitusi tertulis pertama di dunia.
Dr. Muhammad Hamidullah, dalam bukunya The Prophets Establishing a State and His Succession
(Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1988), menempatkan satu bab berjudul The First Written-
Constitution in the World untuk menyebut Piagam Madinah. Jadi, sebelum Rasulullah saw, meskipun
banyak pemikir yang membicarakan tentang masalah politik dan kenegaraan, tetapi belum ada satu
pun negara yang memiliki Konstitusi tertulis seperti negara Madinah.

Jauh sebelum ilmu politik internasional berkembang di Barat, ulama-ulama Islam juga telah
melahirkan karya-karya besar dalam bidang ini. Salah satu yang terkenal, misalnya, ialah Kitab al-
Siyar al-Kabir karya Imam Syaibani (w. 804). Kitab ini, pada tahun 1965, diterjemahkan oleh Prof.
Majid Khadduri, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Islamic Law of Nations (Baltimore: The
John Hopkins Press, 1966). Kepeloporan Syaibani dalam bidang ilmu hubungan internasional jauh
melampaui ilmuwan Hugo Grotius (m. 1645) yang dianggap sebagai peletak dasar hukum
internasional saat ini. Tetapi, meskipun demikian, bisa ditanyakan kepada para mahasiswa kajian
hubungan internasional di banyak universitas Islam, apakah mereka mengenal nama Imam Syaibani
atau tidak.

Ketika mempelajari ilmu pengetahuan di jurusannya, mahasiswa diperkenalkan dengan asal-asul


keilmuan dalam perspektif Barat, yang biasanya dimulai dengan pemikiran para Filosof Yunani dan
langsung meloncat ke pemikiran para ilmuwan Barat abad modern. Didang bidang ilmu politik,
misalnya, mahasiswa diperkenalkan dengan sejarah pemikiran politik, mulai pemikiran politik
Aristoteles, Plato, dan langsung meloncat ke pemikir-pemikir politik Eropa abad modern. Sebagai
misal, dalam buku World Masterpieces (New York: WW Norton&Company Inc, 1956), yang
menghimpun karya-karya besar ilmuwan dunia sepanjang sejarah, sama sekali tidak dijumpai karya-
karya para ilmuwan Muslim. Dalam bidang politik, yang dianggap pemikir besar adalah Niccolo
Machiavelli. Hal serupa bisa dijumpai juga pada buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the
Good Society (Victoria, The Cranlana Program, 2002).

Tahun 1911, orientalis Belanda Snouck Hurgronje menerbitkan bukunya Nederland en de Islam, yang
berisi pemikiran dan strategi westernisasi umat Islam: (1) Dalam bidang yang murni agama,
pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memelihara kebebasan mutlak, (2) Dalam
bidang politik, kebebasan itu harus dibatasi untuk kepentingan bersama, (3) Dalam bidang hukum
Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang dipaksakan, sekalipun harus mendorong ke arah
proses evolusi hukum sebanyak mungkin, (4) Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negatif ini
harus menuju ke arah tujuan yang positif, yaitu kemajuan orang-orang Islam yang harus dibebaskan
dari beberapa peninggalnan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna yang menyeret mereka
hingga demikian lamanya agar supaya dengan jalan ini dengan perantaraan pendidikan dan
pengajaran dapat memperoleh kesempatan asosiasi kultural dengan kebudayaan Barat. (Dikutip
dari: Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 32.

Al-Ahkam al-Sulthaniyah

Dalam situasi seperti ini, maka penelaahan buku-buku karya ulama Islam, seperti buku al-Ahkam al-
Sulthaniyah karya al-Mawardi, sangatlah penting dan berharga. Buku ini mengandung untaian
pemikiran politik Islam yang sangat kaya; mengatur berbagai aspek tata cara pengelolaan
pemerintahan. Khazanah Islam seperti ini sebagaimana dengan khazanah keilmuan Islam lainnya kini
dianggap tidak penting, bahkan dianggap tidak bernilai ilmiah, sehingga sama sekali tidak
diperkenalkan kepada para siswa dan mahasiswa jurusan ilmu politik. Maka, jangan heran, jika
banyak sekali sarjana ilmu politik yang sama buta sama sekali dengan khazanah politik Islam.
Bahkan, mereka tidak merasa perlu tahu, dan menganggap konsep-konsep politik Islam sudah
ketinggalan zaman dan tidak perlu dikaji atau ditengok lagi.

Sebagai contoh dalam pemikiran tentang proses pemilihan kepala negara, para elite politik Muslim
Indonesia, sepertinya enggan menggali khazanah klasik pemikiran al-Mawardi. Hampir semua
terlena dalam euforia demokrasi dan pemilihan langsung kepala daerah. Bahwa pemilihan langsung
kepala daerah (pilkada) adalah jalan terbaik untuk memilih kepala daerah. Padahal, proses pemilihan
bukanlah substansi penting. Yang terpenting adalah syarat-syarat kepala negara atau kepala daerah
yang terpenuhi, sesuai dengan ajaran Islam. Misal, tentang pengangkatan Imam (Khalifah), Al-
Mawardi menyebutkan bahwa jabatan imamah dianggap sah dengan dua cara: (1) dengan pemilihan
oleh ahlul halli wal aqdi (2) penunjukan oleh khalifah sebelumnya. Al-Mawardi menjelaskan dengan
sangat detail bagaimana prosedur pemilihan khalifah oleh ahlul halli wal aqdi. Berbagai pendapat
ulama ditampilkan dalam bukunya. Cara kedua, dengan cara penunjukan oleh khalifah sebelumnya,
menurut al-Mawardi, juga dibenarkan oleh syariat Islam.

Bagi pemuja paham demokrasi, pemikiran al-Mawardi mungkin akan dicemooh. Padahal, sejak
zaman Yunani Kuno, demokrasi adalah sistem yang dibenci. Demokrasi menyimpan kelemahan-
kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang
pintar disamakan haknya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara
yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang
yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau
pemerkosa.

Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato
(429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan
diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang
keluarga. Plato memimpikan munculnya the wisest people sebagai pemimpin ideal di suatu negara,
The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason
and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.

Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan
yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun,
para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan
metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 keledai. Ini ditulisnya dalam
syairnya, Payam-e-Masyriq.

Aristoteles (384-322 BC), murid Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan
buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah
monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat
manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya.
Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini
datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS.
(Lihat, Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983), vol I, hal.
98-106; James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing,
1973), hal. 29; Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal.
37.

Dalam buku al-Ahkam as-Sulthaniyah, sistem pemerintahan Islam dikaji dengan cukup terperinci.
Pemikiran-pemikiran politik yang ada di sini bisa ditelaah dan diambil sebagai bahan pemikiran para
politisi Muslim maupun para akademisi Muslim dan para ulama untuk diaplikasikan dalam situasi
zaman sekarang ini. Tetapi, yang terpenting. kajian-kajian terhadap karya para ulama kita
seyogyanya mampu menyadarkan betapa karya-karya klasik Islam kaya dengan khazanah pemikiran
yang sangat relevan jika dikaji dan diterapkan di zaman sekarang. Tentu saja, tidak semuanya dapat
diterapkan di dalam satu sistem yang tidak mengambil Islam sebagai satu totalitas sistem kehidupan.
Wallahu alam bish-shawab. (***)
NEGARA MADINAH

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Madinah adalah kota yang menyimpan sejuta cerita. Pada abad ke 5 dan 6 M kota Madinah hanyalah
tempat pelarian Yahudi dari kejaran tentara Hadrianus dari Roma. Juga tempat pemukiman dua suku
Arab, Khazraj dan Aws.

Di kota ini kisah nabi-nabi berkembang bagai legenda tapi nyata. Namun kelahiran Nabi Muhammad
SAW seabad kemudian menjadi berita gembira. Hijrahnya pun (tahun 622 M) disambut dengan suka
cita.

Kota ini benar-benar mencintai dan dicintai Nabi. Saking cintanya Nabi berdoa Mudah-mudahan
Madinah diberi rahmat Allah dua kali lipat lebih banyak dari Makkah. Allah pun memberi hadiah
sebongkah taman surga (Raudah min riyadil jinan) di dalam masjidnya.

Mungkin ini rahasianya mengapa Nabi meramalkan bahwa nanti Dajjal tidak akan masuk kota ini.
Begitu istimewanya tempat ini - menurut hadis Nabi yang lain sehingga kota ini adalah kota
terakhir yang akan dihancurkan dari muka bumi di hari kiamat nanti.

Dan yang tidak kalah menariknya kota ini sebelumnya bernama Yathrib. Buktinya dalam surah
Madaniyah awal tempat ini masih disebut Yathrib (lihat al-Ahzab: 13). Tapi delapan tahun setelah
hijrah (sekitar tahun 630 M) Nabi menggantinya dengan nama Madinah (lihat surah Madaniyah akhir
al-Taubah: 120).

Setelah nama Yathrib diganti Madinah Nabi melarang para sahabatnya untuk menggunakan nama
Yathrib lagi. Entah mengapa. Tapi yang jelas Nabi memberi nama setelah membangun tempat ini.
Apa yang telah dilakukan Nabi? kita lihat.

Sejak lantunan Talaa-l-badru menggema di seantero Yathrib, Nabi sudah mengantongi dukungan
warga setempat. Al-Husseim bin Sallam, seorang rabi Yahudi Yathrib langsung memeluk Islam. Jalan
dakwah Nabi pun mulus tanpa paksaan. Tidak sampai satu dasawarsa, sebanyak 15 kabilah masuk
Islam dengan sukarela.

Langkah Nabi selanjutnya adalah: merajut ukhuwwah Islamiyah dan mempersatukan Muslim dengan
Yahudi dengan Piagam Madinah. Sebuah Negara berkonstitusi pun terbentuk dengan kekuasaan dan
kedaulatan penuh.

A. Von Kramer tidak salah ketika menyimpulkan Muhammad membawa agama baru dan sistem
politik baru dan menciptakan suatu perdamaian yang harmonis. D.B.Macdonald mengakui, di
Madinah telah terbentuk Negara Islam pertama. Thomas W. Arnold yang diamini Fazlur Rahman
lebih blak-blakan lagi Di Madinah Nabi menjadi pemimpin agama dan kepala Negara.

Meski realitanya Nabi memang menjadi kepala Negara dan memimpin perang, tapi anehnya pemikir
kontemporer Mesir, Ali abd al-Raziq (1888-1966) menafikan fakta-fakta itu semua ia mengatakan:

Jika betul Rasulullah SAW telah mendirikan sebuah negara politik atau telah memulakan
pendiriannya, mengapa sebahagian besar dari dasar-dasar kenegaraan tidak wujud dalam negara
itu? Mengapa cara pemilihan hakim dan walikota pada zaman baginda itu tidak diketahui?
Mengapakah pula Nabi tidak pernah menjelaskan tentang sistim kerajaan dan kaedah-kaedah Syura?
Mengapa beliau membiarkan para ulama sesudah beliau dalam kebingungan? (Ali Abd al-Raziq, Al-
Islam wa Usul al-Hukm, Bahth fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam, Beirut: al-Muassasah al-
Arabiyyah Li al-Dirasah wa al-Nashr, 1988), hlm. 160. )
Pandagan sekuler ini didukung oleh tokoh liberal Abdullahi Ahmad an-Naim. Kata Naim tidak ada
Negara Islam, sebab Islam itu agama yang dipeluk manusia bukan oleh Negara. Selain itu, katanya,
mestinya yang disebut Negara itu mestinya punya batas teritori, passport dsb. Argumentasi Naim
nampak aneh memang.

Sebenarnya siapapun tidak bisa mangkir bahwa Madinah merupakan babak baru sejarah Islam. Jadi,
Madinah adalah post-faktum dari faktum-faktum. Jika fakta sosial-historis bisa bias tafsir, kita pakai
fakta-fakta tekstual. Ternyata perubahan Yahtrib menjadi Madinah didahului oleh perubahan
kandungan wahyu.

Wahyu yang ketika di Makkah berkutat masalah tauhid, ibadah, alam semesta, penciptaan, hari akhir
dan sebagainya, di Madinah berubah ke masalah ummah, ukhuwwah, jihad, kemanusiaan, keadilan,
kemakmuran, kekuatan dan sebagainya. Lebih berdimensi sosial-politik. Pendek kata, di Madinah-lah
tempat penerapan dan penyempurnaan konsep din yang turun di Makkah itu.

Lalu mengapa pengganti Yathrib adalah Madinah? Kajian sejarah katanya ternyata sama menariknya
dengan sejarah kotanya. Kata Madinah adalah bentuk (wazn) kata tempat (ism al-makan) dari kata
din. Biasanya kata tempat dibentuk dari kata kerja, maskan (tempat tinggal) misalnya berasal dari
kata sakana (tinggal).

Tapi untuk kata Madinah tidak demikian. Dalam Arabic English Lexicon, karya Lane kata Madinah
diletakkan dibawah entri din (agama).

Kata kerjanya adalah dana, yadinu yang berarti taat, berserah diri, menghamba, merendahkan diri
[kepada Allah] dan menghitung. Ism-nya adalah din. Dintu lahu artinya saya taat kepadanya. Dana bi-
l-Islami dinan artinya menghamba pada Allah dengan memeluk agama Islam.

Dalam al-Quran jelas dinyatakan Siapa yang lebih baik ketaatannya (ahsanu dinan) dari orang yang
berserah diri kepada Allah (Q.S. IV: 124). Kaum pluralis sering memelesetkan ayat ini dan diartikan
bahwa agama yang baik adalah yang berserah diri, dengan agama apapun. Tentu plesetan yang
gagap filologi.

Dalam hadis Nabi dinyatakan Orang cerdas adalah yang menghambakan dirinya (pada Allah) dan
mengerjakan sesuatu untuk hidup sesudah mati (al-kaysu man dina nafsahu wa amil ma bada al-
maut). Atau dalam hadis lain disebut Barangsiapa menghitung [muhasabah] dirinya maka
beruntunglah dia (man dana nafsahu rabiha).

Disini din berarti taat dan berserah diri atau menghamba kepada Allah. Dan menghambakan diri
[yang benar] bagi Allah adalah melalui agama Islam (inna-d-dina indallahi al-Islam).

Dari kata kerja dana, yadin yang menjadi bentuk isim din itu juga bisa dilacak dari kata dayn, artinya
hutang. Kajian semantiknya, beragama adalah rasa keberhutangan kepada Tuhan. Kalau dicek pada
ayat-ayat al-Quran tentu cocok.

Buktinya, Allah selalu menggunakan bahasa perdagangan dengan hambaNya. Allah telah membeli
diri dan harta orang-orang mukmin dengan surga. (Taubah: 111). Barangsiapa memberi pinjaman
kepada Allah suatu kebaikan, akan Allah lipat gandakan pinjaman itu (al-Baqarah: 245; al-Maidah:
12; al-Hadid: 11, 18; al-Taghabun: 17; al-Muzammil: 20), dan banyak lagi.

Jadi beragama adalah proses membayar hutang kepada sang pencipta. Inilah sebabnya mengapa
dalam bahasa Arab Allah diberi julukan al-Dayyan (literalnya Yang Memberi Hutang, tapi maknanya
Yang Memberi Balasan semua perbuatan). Sedangkan untuk makhluk, julukan itu tanpa alif lam yaitu
Dayyan yang berarti penguasa atau gubernur. Disini beragama adalah proses membayar hutang
kepada Allah dengan amal kebaikan.

Kecenderungan hidup berdasarkan aturan, sadar hukum, taat pada penguasa hukum dan hakim
(berserah diri) serta hidup secara teratur adalah inti dari din. Itulah fitrah manusia dan inti
keberagamaan.

Beragama tidak bisa liberal dan liar. Secara filologi saja kata din sudah menggambarkan sebuah
struktur kehidupan yang sistemik. Secara realita Madinah telah menjadi tempat untuk berserah diri,
untuk mentaati aturan, untuk menghamba serta membayar hutang kepada Allah dengan amal
kebajikan.

Tapi menariknya ternyata kata Madinah tidak berasal dari kata madana, sebaliknya madana
terbentuk setelah lahir kata Madinah. Sejarahnya begitu. Maka dari itu kata madana dalam Arabic-
English Dictionary susunan Hans Wehr diartikan to found or build city; to civilize, to humanize, to
refine.

Persis seperti yang dilakukan Nabi. Tapi ketika Hans Wehr mengartikan Madani menjadi secular, kita
jadi bingung (confuse). Ini tentu dari pengaruh doktrin gereja. Karena kerja-kerja diluar gereja
biasanya disebut dengan kerja-kerja sekuler (secular works), mereka lalu menganggap kerja-kerja
diluar masjid sebagai kerja sekuler.

Itu kira-kira pikiran Hans Wehr. Mungkin pengaruh ini pula para cendekiawan Muslim menyamakan
civil society yang sekuler itu dengan masyarakat madani. Padahal madani adalah sifat orang
berbudaya, beradab dan maju dengan cara taat beragama alias menghamba pada Allah.

Dalam Kamus al-Munjid karangan Abu Luwis, kata tamaddana diartikan berperilaku penduduk kota
(ahlul mudun). Kalau mudun (jamak madinah) diartikan kota tentu ini sekuler. Tapi jika diartikan
sebagaimana makna filologis diatas, tamaddana berarti berperilaku seperti penduduk madinah yang
berserah diri dan menghamba kepada Allah.

Oleh sebab itu tamaddana atau ber-tamaddun adalah hidup dengan din yang benar sesuai dengan
hukum dan aturan. Hukum atau aturan din Islam adalah al-Quran. Kitab ini juga menyebut dirinya
madubah (makanan), yakni makanan jiwa dan akal. Ketika menjadi kata kerja addaba, yuaddibu,
tadiban berarti mengajar disiplin dalam berfikir dan berperilaku. Hasilnya adalah manusia beradab,
yaitu yang beriman, berilmu dan berbuat sesuai dengan apa yang ada dalam madubah atau al-
Quran. Itulah peradaban, tamaddun, Medeniyet, atau Madaniyat.
ANTARA SHALAHUDDIN DAN AL GHAZALI

Dr. Adian Husaini

Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam
Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah
Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin memang
dipersepsikan sebagai momok, yang dibenci. Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan
Damaskus, pada abad ke-20, menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak:
Saladin, wake up. We are back!

Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Todays World,
menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim.
Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan
pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat menduduki Jerusalem, pasukan Salib
membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi. Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem,
sehingga di Masjid al- Aqsha terjadi genangan darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin
merebut kembali Jerusalem, ia membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan
aman.

Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo Ann
Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe (Lihat,
David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern
Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan
masyarakat Barat pada Zaman Pertengahan terhadap Islam.

Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan Shalahuddin al-
Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada pula legenda tentang
Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di
Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah dibaptis pada akhir hayatnya.

Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al- Ayyubi dipandang
sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi nama anaknya Shalahuddin.
Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-Fatih, dan penguasa-penguasa (umara)
Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada banyak generasi Muslim, bahwa jalan
kebangkitan umat Islam adalah dengan menunggu dan berusaha menghadirkan seorang pemimpin
politik kenegaraan. Bahkan, terkadang, harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam
kondisi terpuruk, banyak yang berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan
besar dalam kehidupan mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia. Pemimpin baru yang tampil
tak mampu berbuat banyak, atau bahkan seringkali menunjukkan kualitas jauh lebih rendah dari
pada citra yang dimunculkan saat kampanye pemilihan kepemimpinan negara.

Peran Ulama

Kisah kebangkitan umat Islam dalam Perang Salib setelah terpuruk dan dibantai Pasukan Salib dari
Eropa bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini. Kebangkitan umat Islam ketika itu
terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat seperti Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru
terjadi melalui kerja keras para ulama melalui madrasah-madrasah yang berhasil melahirkan satu
generasi yang hebat, yaitu Generasi Shalahuddin (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu dipotret
dan dianalisis dengan baik oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu
Shalahuddin wa-Hakadza Aadat al-Quds. Buku ini memaparkan peran ulama- ulama seperti Imam al-
Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkan generasi
Shalahuddin tersebut.

Peran Imam al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan dalam Kitab al-Jihad
yang ditulis Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafii dari
Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui
pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh
pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad,
sebab Ali al- Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat
yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.

Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan
wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus
disiapkan sebelumnya. Pertama, reformasi moral untuk mengakhiri degradasi spiritual kaum
Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar
kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas
kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad.
Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah
memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami
menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.

Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa reformasi moral dari al-Ghazalis
memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan
hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al- jihad al-akbar). Ia juga mengimbau agar
pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa
nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks).

Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa,
kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang
ketika itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu, melawan
kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu kaum Muslim
mereformasi jiwa mereka.

(The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined by al- Ghazali, in
1096. The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus, emphasized the
priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) struggle against evil over the jihad
al-aghar (the minor jihad), i.e. the struggle against infidel. His aim was to help the Muslim rediscover
his soul. At this time, it was necessary to effect the reform of morals and beliefs and to create ways
of combating the various heterodoxies existing in the very bosom of Islam).

Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian, di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim mampu
melaksanakan jihad efektif. Elisseef mencatat: The person who would realize the ideal of the jihad
which as-Sulami, Ghazali, and the ulama of Damascus had advocated, was Nur ad-Din.

Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah
komandan Imam al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah itu, Zengi wafat, tahun 1146. Ia
telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan
Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia
sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang
sangat religius, pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada
569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim
dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil
membebaskan Jerusalem pada tahun 1187. 6

Istilah jihad, secara yuridis Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus, dan telah dipahami
oleh para sarjana Muslim dalam pengertian perang (qital). Dalam makna khusus dalam bidang
fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada ketentuan-ketentuan hukum dimana
orang yang matin dalam jihad dengan makna qital diperlakukan jezanahnya sebagai syahid.
Namun, memang terdapat berbagai hadith Nabi saw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam
makna yang umum, seperti jihad dengan mengeluarkan kata-kata yang benar di depan penguasa
yang zalim. Begitu juga dengan jihad melawan hawa nafsu, dengan lisan, dan harta.

Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan
konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik.

Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis
potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik,
bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara
komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menakankan
pentingnya masalah ilmu. Ia membuka kitabnya itu dengan Kitabul Ilmi. Aktivitas al-Ghazali yang
aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan
umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali
seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa
diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi,
masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang dikatakan oleh Ali al-
Sulami sebagai tahap reformasi moral. Tentu, tahap kebangkitan dan reformasi jiwa ini tidak dapat
dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan
keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar.
Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah,
bagaimana mungkin amal akan benar?

Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadap problematika
yang dihadapi oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai masalah: politik,
keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan didudukkan secara
proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu juga yang kurang penting. Di
situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, dengan makna Menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu
dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan pada aspek niat dan pembagian keilmuan serta
penempatannya sesuai dengan proporsinya.

Problema politik umat ketika itu merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi, problematika
keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga solusi dalam bidang politik,
tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak diselesaikan terlebih
dahulu. Al-Ghazali dan para ulama ketika itu berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan
umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi
ulama-ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan
bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga
agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik.
Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan
banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT
tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama
dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih
orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan
berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim). Sepanjang sejarah
Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam,
mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama
su, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan
senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah.

Banyak kaum Muslimin yang berpikir bahwa jika aspek politik direbut oleh gerakan Islam tertentu,
maka akan selesailah masalah umat. Pendapat ini sebagian benar. Tapi kurang sempurna. Kekuasaan
politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam. Sebab, ad-daulah adalah penyokong penting
perkembangan agama. Bukan hanya Islam. Tetapi, juga agama-agama lain. Agama Kristen
berkembang pesat di Eropa atas jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan Dekrit Edict of
Milan (tahun 313) dan Kaisar Theodosius yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara
Romawi (Edict of Theodosius, tahun 392). Perkembangan agama Budha juga tidak lepas dari peran
Raja Asoka. Begitu juga eksistensi dan perkembangan agama-agama lain, sulit dipisahkan dari
kekuatan politik. Sama halnya, dengan ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini.
Eksistensi dan perkembangan mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik. Komunisme
menjadi kehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan Kapitalisme akan
diminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat mengalami kebangkrutan
sebagaimana Uni Soviet.

Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak peristiwa
membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan
penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih mengikuti para ulama Ahlu
Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahan Belanda, umat Islam tidak mengikuti
agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinan ulama. Banyak lagi contoh lain.

Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua aspek itu
harus mendapatkan perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harus memiliki pemahaman
yang benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justru bisa menjadi perusak Islam yang
signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukan tindakan yang keliru. Sebagai contoh,
mereka mati-matian merebut kursi kepemimpinan di daerah atau departemen tertentu, sedangkan
kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah dianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk
berdemonstrasi karena faktor kursi kekuasaan, tetapi tidak demonstrasi apa-apa ketika ada
penyimpangan dalam aqidah Islam, semisal kasus Ahmadiyah, penyebaran paham Pluralisme
Agama, atau kezaliman yang sangat mencolok, semisal pembangunan patung yang memakan dana
rakyat milyaran rupiah, disaat rakyat sedang dililit kesulitan hidup dan berbagai penyakit yang
mematikan.

Jadi, tidaklah benar jika dalam perjuangan mengabaikan salah satu aspek kehidupan. Tetapi,
semuanya harus ditempatkan dalam proporsi dan tempatnya. Itulah yang namanya adil. Nabi
Muhammad saw memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang benar
kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, Nabi,
wahyu, adil, agama, dan sebagainya. Pondasi pemikiran (afkar), pemahaman (mafahim), standar-
standar nilai (maqayis), dan ketundukan (qanaat), yang Islamiy ditanamkan secara kokoh oleh Nabi
Muhammad saw kepada para sahabat ketika itu. Mereka tampil sebagai sosok-sosok ulama dan
cendekiawan serta pejuang yang tangguh dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dilihat, bagaimana
hebatnya argumentasi Jafar bin Abi Thalib ketika berdebat dengan Raja Najasyi dan orang-orang
kafir Quraisy Mekkah di Habsyah. Jafar dan kaum Muslimin yang sedang dalam kondisi terjepit
meminta perlindungan kepadsa Najasyi, mampu memberikan argumen-argumen yang canggih
seputar masalah Isa a.s. yang menjadi titik sentral kontroversi Islam dengan Kristen.

Ringkasnya, perjuangan Islam dalam menghadapi problematika yang dihadapi umat ini, perlu
memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan
sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan, tidak perlu
dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perlu dipadukan, sebagaimana telah
dilakukan di zaman Rasulullah saw, Perang Salib, dan sebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil
mengukir kemenangan yang gemilang dalam berbagai arena perjuangan.

Rasulullah saw bersabda: Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum.


(Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan lisan-lisanmu). Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, Ahmad, al-Darimi, dengan sanad yang sangat kuat. Ibn
Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih.

Melalui hadits tersebut, Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukan jihad
secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baik harta, jiwa, maupun
lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tiga aspek: harta, jiwa, dan lisan, saling
terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalah salah satu bagian dari sebuah perjuangan
yang luas dan panjang antara al-haq dan al-bathil.

Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa
nafsu. Rasulullah saw bersabda: Al-Mujahid man jahada nafsahu fi- Allah Azza wa-Jalla. (Mujahid
adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy
menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.

Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untuk
menggabungkan seluruh kemampuan atau potensi baik potensi jiwa, harta, maupun lisan
(intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapan kekuatan fisik
digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda diperlukan. Semua itu
harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semua potensi jihad itu tidak bisa
digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka, perang melawan hawa nafsu secara
otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Jika kaum Muslim
mampu menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu
tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang. Jika potensi itu terpecah belah dan tidak
teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa kaum Muslimin.

Peran ilmu dan ulama

Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh,
maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-Quran dan Sunnah Rasululullah.
Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama kepada umat Islam. Ulama adalah
pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan,
membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam bidang kehidupan. Banyak ulama yang
mensyaratkan kemampuan berijtihad bagi kepala negara (khalifah).

Adalah ideal jika ulama dan umara sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan cepat
berkembang jika ulama dan umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimana salah satu
dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama yang baik lebih diperlukan.
Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, para ulama Ahlu Sunnah melakukan
perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikuti ulama ketimbang umara. Di zaman
penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak. Tetapi, ulama-ulama Islam ketika itu gigih
mempertahankan ad-Dinul Islam. Alhamdulillah, meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga
menghancurkan Islam, umat Islam lebih mengikuti ulamanya.

Maka, yang perlu diperhatikan dan dicermati, -- disamping kerusakan umara adalah kerusakan
ulama. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu agama,
yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang cinta dunia, dan sebagainya,
adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam. Jika kondisi seperti ini sudah terjadi, maka
umat Islam harus bersiap-siap mengalami kebangkrutan. Lebih rusak lagi jika para ulama sudah
mencintai dunia, menjual agama dengan harta benda dunia, dan yang merusak ilmu-ilmu agama
dengan dalih menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman.

Adalah musibah dan fitnah besar, misalnya, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru lahir orang-orang
yang berpaham atheis atau yang gila dunia. Jika ilmu agama sudah dirusak, maka akan lahir ulama
yang rusak (ulama as-su); yakni ulama, yang harusnya menjadi penjaga agama, justru menjadi
penghancur agama. Ketika ilmu-ilmu Islam dirusak, maka tidak ada jalan kembali bagi peradaban
Islam untuk bangkit lagi. Karena itu sangat diprihatinkan, jika umat Islam membiarkan terjadinya
serangan pemikiran yang akan merusak ilmu-ilmu agama.

Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk tulisan Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang
berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan Kitab dan Besi sebagai sarana
untuk tegaknya agama Allah. Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca
(Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan
besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal
Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. (QS al-Hadid: 25).

Penutup

Sekelumit kisah kebangkitan umat Islam di era Perang Salib tersebut bisa menjadi pelajaran berharga
bagi kita, betapa pentingnya peran ulama dalam proses kebangkitan umat Islam. Ulama adalah
pewaris Nabi. Maknanya, Nabi mewariskan perjuangannya pada kepemimpinan ulama. Jatuh
bangunnya umat terletak pada baik atau tidaknya kualitas ulamanya. Jika ulamanya jahat atau jahil
maka bencana besar menimpa umat.

Jadi, sepanjang zaman, ulama harus senantiasa ada dalam jumlah yang memadai.

Sebab, perjuangan Nabi tidak boleh berhenti. Ulama tidak dilahirkan dan tidak turun dari langit. Tapi,
ulama lahir dari proses pendidikan. Ironis, jika di masa penjajahan, lembaga pendidikan Islam bisa
melahirkan ulama-ulama hebat, tapi di masa kemerdekaan, justru tidak mampu melahirkan ulama-
ulama hebat pewaris Nabi. Semoga musibah itu tidak menimpa lembaga pendidikan kita. Amin.
Ketika Al-Quran Diinjak Lagi

Oleh: Dr. Adian Husaini

Umat Islam Indonesia kembali digemparkan dengan kejadian pelecehan terhadap Kitab Suci al-
Quran. Kali ini peristiwa itu terjadi di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) Padang.
Dosen berinisial Mk, itu akhirnya diberhentikan pihak kampus.

Pada 9 April 2015, dosen yang bersangkutan sudah menandatangani surat perjanjian dengan pihak
kampus. Ia berjanji: (1) menyesali perbuatan menginjak al-Quran di depan mahasiswa yang
dilakukannya pada 1 April 2015, dan (2) tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut dan
sejenisnya, kapan pun dan di mana pun.

Pada titik ini kita bersyukur, si dosen yang lahir tahun 1985 itu menyesali perbuatannya dan berjanji
tidak akan mengulanginya lagi. Tetapi, pada sisi lain, kita perlu menelaah masalah ini dengan cermat,
sebab peristiwa seperti ini yakni pelecehan al-Quran bahkan kejadian menginjak Kitab Suci al-
Quran bukan yang pertama kali terjadi.

Dosen UMSB itu sebenarnya hanyalah salah satu korban dari pemikirannya sendiri, bahwa Mushaf
al-Quran yang tercetak itu bukanlah sesuatu yang suci. Al-Quran yang suci itu ada di Lauh al-Mahfud.
Sekedar menyegarkan ingatan kita kembali, ada baiknya kita telusuri penyebaran gagasan
desakralisasi al-Quran selama 15 tahun terakhir ini.

Tahun 2009 lalu, saya pernah menulis satu catatan tentang penistaan al-Quran yang dilakukan oleh
sejumlah akademisi di Perguruan Tinggi Islam. Dalam satu acara seminar di Mataram NTB,
November 2009, seorang tokoh menceritakan, bahwa ia sempat berdiskusi dengan seorang
mahasiswa yang bertanya kepadanya: Apakah Al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?
Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, Tanyakan pada si mahasiswa,
apakah dia benar-benar manusia atau dianggap manusia?

Kita paham, bahwa salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam
upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa al-Quran bukan kitab suci. Majalah
GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, seorang dosen mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Surabaya,
menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak
berbeda dengan rumput, ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak
tangan dan menginjaknya dengan sepatu. Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi
tulisannya tidak sakral, katanya setengah berteriak.

Tahun 2004, ada satu tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta), yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah
diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, dan diberi kata
pengantar dua orang doktor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di
dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut
ini:

Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari
hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang
terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif
dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam
mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara
dengan teks-teks lain.
Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral
dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian.
Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban
sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita. (Lihat buku Menggugat
Otentisitas Wahyu Tuhan (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 123).

Dalam sebuah artikel berjudul Merenungkan Sejarah Alquran yang dimuat dalam buku Ijtihad
Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), disebutkan:

Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir
merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-
katanya (lafdhan) maupun maknanya (manan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang
mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu
empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan
angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi
doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan
berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu
daya), dan rekayasa.

Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam
menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekedar berwacana, tetapi aktif
menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel,
dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI,
2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang al-Quran dan sahabat Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam:

Dalam studi kritik Quran, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Quran. Bahwa
Quran kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks.

Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Quran. Adalah Muhammad saw, seorang
figur yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas
Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif.
Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas
zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang
asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-
Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Quran dengan dialek Quraisy, oleh
Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah
dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain.

Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk
tunduk/mensakralkan Quran produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa
pembukuan Quran hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan
hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah
kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Quranlah yang berhasil
terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.

Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan judul-judul yang
melecehkan al-Quran dan menghina para sahabat Nabi Muhammad saw, seperti Quran
Perangkap Bangsa Quraisy, Pembukuan Quran oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah,
Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad, dan
sebagainya.
Belum lama ini juga sudah beredar satu buku berjudul Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu
Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor
lulusan UIN Yogyakarta. Penulisnya adalah juga penulis buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan.

Tentang Mushaf Usmani, buku ini menulis: Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa proses
pembukuan Al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh
Abu Zayd disebut sebagai dekrit khalifah. (hal. 169) Maka tidak bisa disalahkan kiranya jika
diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur
ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani. (hal.
170)Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan
korpus kitab-kitab individu, seperti milik Ibnu Masud dan Siti Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada
pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini
telah menjadi penjara bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini adalah ideologi
Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Quran (Mushaf Usmani) merupakan
dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya
mereka mencoba menancapkan hegemoninya. (hal. 172).

Tentu saja tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman bin Affan sangat tidak mendasar. Fakta
sejarah menunjukkan, bahwa dalam kodifikasi Mushaf Utsmani sudah mendapat pesertujuan dari
semua sahabat, termasuk Abdullah bin Masud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sahabat
Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., karena memang kodifikasi Al-Quran itu bukan
dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam,
meskipun terjadi berbagai konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat Al-Quran
baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Muawiyah, keduanya tetap menjadikan Mushaf
Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf
Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan
Mushaf Utsmani sebenarnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.

Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang Al-Quran dengan berbagai
cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini sekarang dilakukan oleh beberapa akademisi dari
kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri. Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah
Utsman bin Affan r.a. itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan
menjiplak begitu saja pendapat pemikir liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa sikap kritis
sedikit pun, penulis buku itu menuduh Imam Syafii:Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang
diperjuangkan oleh Imam Syafii sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks
tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan. (hal. 170).

Tentu sangatlah tidak beradab memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang
ulama besar seperti Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memberikan
tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam .
Umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam dan tentu, umat Islam
juga sangat mencintai para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan
shalih.

Berbagai kasus pelecehan bahkan penginjakan al-Quran yang terjadi di sejumlah Perguruan Tinggi
Islam itu menunjukkan semakin mendesaknya mahasiswa Muslim diberikan mata kuliah yang benar
tentang Filsafat Ilmu atau Konsep Ilmu dalam Islam. Dosen UMSB itu yang menginjak al-Quran
itu juga dosen mata kuliah Filsafat Ilmu. Dosen itu pun tampak menjadi korban dari pelajaran
Filsafat Ilmu yang dipelajari dan diajarkan kepada mahasiswanya, sehingga terjebak pada pikirannya
yang keliru.
Beberapa waktu lalu, saya dan sejumlah dosen di Universitas Ibn Khaldun Bogor sudah menerbitkan
buku Filsafat Ilmu: Perspektif Islam dan Barat yang menjelaskan perbedaan konsep yang mendasar
antara Islam dan Barat tentang ilmu. Buku ini diakhiri pembahasan tentang adab ilmu. Adab
keilmuan inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam.
Tindakan menghujat dan melecehkan Al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh
seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan sikap kiritis.

Huruf hijaiyyah yang digunakan untuk menulis Kalamullah dalam al-Quran telah menjadi suci, karena
menulis Kalam Yang Maha Suci. Kain merah putih yang disusun sebagai bendera Indonesia berbeda
sifatnya dengan kain merah putih biasa. Gambar burung garuda yang dijadikan simbol Negara
Indonesia telah disakralkan dalam kadar tertentu, dan tidak boleh diganti dengan burung emprit.
Si dosen itu pun tidak akan berani menginjak-injak tulisan nama ayahnya, di depan ayahnya, dengan
mengatakan, bahwa tulisan itu tidak sama dengan ayahnya. Tulisan itu tidak suci dan hanya simbol!

Memang, huruf itu simbol. Tapi, janganlah kita bermain-main, apalagi melecehkan simbol-simbol
kesucian. Syukurlah, kasus pelecehan al-Quran di UMSB itu segera ditangani dengan cepat dan
pelakunya mengakui kesalahannya. Semoga Allah tidak sampai menurunkan musibah lumpur
abadi dan sejenisnya di Sumatra Barat. Innallaaha ghafurun rahiimun. Allah Maha Pengampun,
Allah Maha Penyayang.*/Bogor, 24 April 2015

Anda mungkin juga menyukai