Anda di halaman 1dari 82

Jalan Keluar Bagi Ahmadiyah

sumber http://www.hidayatullah.com

Ulama besar India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-
Nadwi, mengatakan gerakan Ahmadiyah menambah beban pekerjaan rumah umat
Islam

Oleh: Syamsuddin Arif

Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula
bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu], tulis Ir. Soekarno dalam bukunya, Di Bawah
Bendera Revolusi, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345. Mantan
Presiden RI pertama itu tidak keliru dan bukan pula sendirian. Jauh sebelum itu, tokoh
pemikir masyhur Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana
Menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu
kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah
Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: No revelation the denial of which
entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor
to Islam (Lihat: Islam and Ahmadism, cetakan Islamabad: Dawah Academy, 1990, hlm.
8).

Iqbal menangkap banyak kemiripan antara gerakan Ahmadiyah di India dengan


Babiyah di Persia (Iran), yang pendirinya juga mengklaim dapat wahyu sebagai nabi.
Menurut Iqbal, tokoh-tokoh kedua aliran sesat ini merupakan alat politik belah bambu
kolonialis Inggris -yang waktu itu masih bercokol di India- dan imperialis Rusia yang
sempat menjajah Asia Tengah dan sebagian Persia. Akidah mereka adalah kepasrahan
pada penguasa (political servility), jelas Iqbal (hlm. 13). Jika pemerintah Russia
mengijinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad, Turkmenistan, maka
pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat misi mereka di Woking,
wilayah tenggara England. Bagi Iqbal, doktrin-doktrin Ahmadiyah hanya akan
mengembalikan orang kepada kebodohan. Inti dari Ahmadisme atau Qadianisme
demikian Iqbal lebih suka menyebutnya- adalah rekayasa mencipta sebuah umat baru
bagi nabi India (sebagai tandingan nabi Arabia): to carve out, from the Ummat of the
Arabian Prophet, a new ummat for the Indian prophet. (hlm. 2).
Seorang ulama India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-
Nadwi, sesudah mempelajari secara intensif dan objektif perjalanan hidup dan evolusi
Mirza Ghulam Ahmad dari seorang santri sederhana hingga menjadi pembela agama
(1880) dan mengaku imam mahdi alias masih mawud (1891) serta menganggap dirinya
nabi (1910), menyimpulkan bahwa gerakan Ahmadiyah ini hanya menambah beban
pekerjaan rumah umat Islam, memecah-belah mereka, dan membikin masalah umat
kian rumit (Lihat: Qadianism: A Critical Study, cetakan Lucknow 1980, hlm. 155). Bahwa
esensi ajaran Ahmadiyah adalah klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad juga
disimpulkan oleh Yohanan Friedman, peneliti dari Hebrew University of Jerusalem,
dalam bukunya, Prophecy Continous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its
Medieval Background, Berkeley: University of California Press, 1989, hlm. 119, 181 dan
191.

Ajaran sesat Ahmadiyah dibawa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925 oleh beberapa
pemuda asal Sumatera yang pernah dididik di Qadian, India selama beberapa tahun.
Demi menyebarkan pahamnya, misionaris Ahmadiyah telah menerbitkan majalah Sinar
Islam (sic!), Studi Islam dan Fathi Islam. Keresahan yang ditimbulkan oleh gerakan
penyesatan umat ini sempat menyeret mereka beberapa kali ke dalam debat terbuka
pada 1933 di Bandung (Lihat: Fawzy S. Thaha, Ahmadiyah dalam Persoalan, cetakan
Singapura, 1982). Meski telah dinyatakan sesat dan kafir (murtad) oleh tokoh-tokoh
Islam pada Muktamar ke-5 Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1930 di Pekalongan dan
musyawarah Ulama Sumatera Timur tahun 1935, kasus Ahmadiyah kembali mencuat
pada 1974 setelah parlemen Pakistan dengan tegas menyatakan penganut Ahmadiyah
bukan orang Islam (non Muslim) di mata hukum dan undang-undang negara.

Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang waktu itu dipimpin Buya Hamka
telah pun menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat lagi
menyesatkan, dan orang yang menganutnya adalah murtad alias keluar dari Islam
(No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980). Ketetapan tersebut ditegaskan kembali pada bulan Juli
2005 dalam fatwa resmi MUI yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Umar Shihab dan
Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin. Kemudian Dirjen Bimas Islam Departemen Agama
melalui surat edarannya tahun 1984 telah menyeru seluruh umat Islam agar
mewaspadai gerakan Ahmadiyah.

Terakhir, 16 April 2008 lalu Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran


Kepercayaan Masyarakat) menyatakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai
kelompok sesat dan oleh karenanya merekomendasikan perlunya diberi peringatan
keras lewat suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
Dalam Negeri (sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965) agar Ahmadiyah menghentikan
segala aktivitasnya. Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar,
yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55
komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu
277 warga Ahmadiyah. Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh
cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) tetap diakui sebagai nabi setelah Nabi
Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini bahwa kitab Tadzkirah
adalah kumpulan wahyu yang diterima MGA.

Para penganut dan penyokong Ahmadiyah kerap berkelit dengan tiga dalih. Pertama,
kaum Ahmadi sama dengan kaum Muslimin karena syahadatnya sama. Bandingkan
pernyataan ini dengan pernyataan: orang Ahmadiyah itu sama dengan orang utan
karena sama-sama orang. Jelas dalam perkara ini yang penting bukan kemiripannya,
akan tetapi justru perbedaannya. Yang membuat orang utan itu beda dengan Ahmadi itu
bukan keorangannya, melainkan keutanannya itu. Demikian pula, Ahmadiyah itu
berbeda dengan orang Islam bukan karena syahadat atau cara ibadahnya, tetapi
karena akidahnya yang mengimani kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Kedua, dalih bahwa sebagai warganegara penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya


oleh konstitusi. Melarang Ahmadiyah sama dengan melanggar hak asasi manusia
(HAM) dan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945. Di sini terselip
kealpaan dan ketidakmengertian. Alpa dan tidak paham bahwa dalam menikmati
kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada batasan undang-undang yang telah
ditetapkan demi terjaminnya penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
demi memenuhi tuntutan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Artinya, penyalahgunaan kebebasan (abuse of freedom) ataupun tindakan merusak tata


susila, agama, dan lain sebagainya atas nama HAM tak dapat dibenarkan sama sekali.
Apa yang diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru di
dalam rumah orang lain. Yang dipersoalkan bukan hak dan kebebasannya mendirikan
rumah, akan tetapi lokasi (di dalam rumah orang lain) dan konsekuensinya (merusak
rumah yang sedia ada).
Dengan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, warga Ahmadiyah telah
melakukan penodaan dan penghinaan terhadap agama Islam, di mana tidak ada nabi
dan rasul lagi pasca wafatnya Muhammad Rasulullah saw. Lebih dari itu, propaganda
Ahmadiyah terbukti menimbulkan keresahan dan perpecahan tidak hanya di dunia
Islam, seperti temuan Dr Tony P.Chi dalam disertasinya tentang misi mereka di Amerika
(1973), hlm. 134-5: Ahmadiyya preaching and propagation have instigated unrest and
dissension in the Muslim World. Oleh karena itu solusinya ialah melarang Ahmadiyah
atau mengeluarkannya dari rumah Islam. Hanya dengan jalan itu Ahmadisme dengan
nabinya (MGA) bisa bebas dan menjadi agama baru seperti halnya Mormonisme di
Amerika.

Ketiga, dalih bahwa kaum Muslim harus mengedepankan kasih sayang daripada
kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Saran ini lebih tepat kalau diberikan kepada
Pemerintah Amerika dan Israel agar memakai kasih sayang dan menghentikan
kekerasan terhadap kaum Muslim di Iraq dan Palestina. Abu Bakr as-Shiddiq ra adalah
orang yang paling penyayang di kalangan umatku (arhamu ummati), sabda Rasulullah
saw. Namun manakala muncul sekelompok orang yang durhaka kepada Allah dan
Rasulullah, beliau tidak segan-segan mengambil tindakan tegas atas mereka. Perkara
Ahmadiyah bukan persoalan kebebasan beragama. Islam memberikan kebebasan
kepada siapa pun untuk memeluk bukan merusak- agama apapun, sesuai dengan
firman Allah: Tidak ada paksaan dalam urusan agama (Al-Baqarah 256) serta Bagimu
agamamu dan bagiku agamaku (Al-Kfirn 6). Ayat-ayat ini ditujukan kepada agama
lain di luar Islam, bukan terhadap agama dalam agama.

Tak heran jika Rasulullah saw sebagai kepala negara bersikap tegas kepada para nabi
palsu semacam Musaylamah dan Thulayhah: bertobat atau diperangi (Lihat: Imam al-
Mawardi, al-Hawi al-Kabir, cetakan Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, jilid 13, hlm. 109).
Nah, Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya telah durhaka kepada Allah dan RasulNya.
Andaikata statusnya Muslim, maka sudah semestinya tunduk pada ketetapan hukum
Islam yang berlaku. Namun jika statusnya sudah non-Muslim, maka terpulang kepada
negara apakah akan mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai sebuah agama
baru selain Hindu, Budha, Islam, Katholik dan Protestan ataukah sebaliknya.

* Penulis adalah staf pengajar di Universitas Islam Antarabangsa Malaysia


Legitimasi Fatwa Mutakhir MUI

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif *

Kekeliruan kaum liberal berpangkal logika hitam putih. Kalau anda meyakini kebenaran
Islam, maka anda tidak toleran, fundamentalis. Jika kalau anda toleran, maka anda
tidak boleh menganggap sesat orang

Sebagaimana diberitakan di media masa, fatwa mutakhir Majlis Ulama Indonesia (MUI)
yang mengharamkan liberalisme agama, pluralisme agama, dan sekularisme serta
menegaskan kembali status kesesatan Ahmadiyah telah menimbulkan kontroversi dan
reaksi dari berbagai pihak. Fatwa tersebut dikatakan tidak mendorong terjadinya dialog
antar agama dan saling pengertian antar pemeluk agama dan juga antar golongan
dalam satu agama.

Ada juga kalangan yang khawatir fatwa itu akan memberikan inspirasi kepada sebagian
orang untuk melakukan tindak kekerasan. Bahkan ada yang balik menuduh MUI sesat
(Lihat: laporan khusus majalah Gatra, 6 Agustus 2005, hlm.78-9).

Namun terlepas dari itu semua, terdapat beberapa poin penting yang menarik untuk kita
cermati disini, karena dijadikan landasan argumen penolakan terhadap fatwa tersebut.

Pertama, soal definisi liberalisme, pluralisme, sekularisme yang dimaksud. Konon, MUI
terlalu menyederhanakan tanpa melakukan kajian mendalam terlebih dahulu. Tuduhan
ini jelas bermaksud meruntuhkan validitas fatwa tersebut, meremehkan MUI,
menganggap seolah-olah para ulama itu bodoh dan tidak mengerti apa yang mereka
katakan.

Padahal, tidak demikian. Sesungguhnya, sepak terjang (lisnul hl) kaum liberal itu
telah cukup menjelaskan maksud liberalisme dan pluralisme agama yang mereka
usung. Berbagai kegiatan (diskusi, seminar, workshop, talkshow) maupun tulisan (buku,
artikel) yang mereka publikasikan di media masa, hampir seluruhnya mengasong
pemikiran-pemikiran liar.
Misalnya, pengingkaran terhadap otentisitas kitab suci al-Quran, membolehkan orang
Islam mengucapkan selamat natal kepada orang Kristen, membolehkan wanita
muslimah nikah dengan laki-laki non-Muslim, dan lain sebagainya.

Demikian pula paham sekularisme yang malah dikatakan membawa berkah dan karena
itu perlu diadopsi dan diterapkan oleh kaum Muslim, menurut mereka (Lihat:
http://www.islamlib.com)/ Argumen kaum liberal ini mirip argumen maling yang, ketika
akan diringkus, berusaha mengelak dengan berkata: Definisi anda tentang maling itu
keliru!

Kedua, soal kekuatan dan pengaruh fatwa tersebut. Kaum liberal menolak fatwa MUI itu
dengan alasan fatwa tersebut hanyalah pendapat hukum, bukan hukum itu sendiri,
meskipun sah namun tidak mengikat, dan oleh karena itu boleh diikuti dan boleh tidak.

Apakah benar demikian? Jawabannya tentu saja tidak. Namun ironisnya begini: kalau
fatwa tersebut de jure tidak mengikat, mengapa mereka harus khawatir? Bukankah
kekhawatiran itu justru menunjukkan bahwa fatwa tersebut memang de facto diakui
keabsahan dan kemengikatannya?

Harus dibedakan antara fatwa dikeluarkan oleh seorang alim dan fatwa yang dilahirkan
oleh sekumpulan ulama. Yang disebut pertama adalah produk ijtihd fard, sementara
yang disebut kedua adalah hasil ijtihd jam yang otoritasnya jauh lebih kuat dan
mengikat, karena menyerupai ijma.

Apalagi dalam soal aqidah, dimana orang yang pendapatnya keliru tidak hanya berdosa
(tsim), tetapi juga bersalah (mukhthi), dan heretik (mubtadi).

Dikatakan berdosa karena sesat dan menyimpang dari kebenaran (adala an al-haqq
wa dhalla). Dinyatakan bersalah karena tidak memilih yang pasti benarnya (akhthaa al-
haqq al-mutayaqqan).
Dan disebut heretik karena berpendapat nyeleneh mengatakan sesuatu yang
bertentangan dengan aqidah para ulama terdahulu dari kalangan Sahabat dan generasi
seterusnya (qla qawlan mukhlifan li l-masyhur bayna s-salaf).

Jika yang diingkari itu termasuk pokok aqidah maka kafirlah ia. Demikian ditegaskan
oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya, al-Mustashf min Ilm al-Ushul (Beirut: Dar Ihya
at-Turats al-Arabi, 1997), juz 2, hlm.177.

Ketiga, soal pernyataan seorang corong liberal bahwa MUI bukanlah wakil resmi dan
satu-satunya kebenaran dalam Islam. Ungkapan ini menyimpan dua kekeliruan
sekaligus.

Kekeliruan pertama, sebagaimana diketahui, MUI merupakan wadah musyawarah para


ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai unsur dan organisasi. Di MUI
kan ada 300 ulama lebih, kata K.H. Ma ruf Amin. Jadi cukup representatif dan
legitimate.

Didirikan tiga puluh tahun lalu (pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 M), MUI sadar betul akan amanah yang dipikulnya, bahwa apa
yang dilahirkannya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, dan
karena itu tidak boleh membuat keputusan hukum seenaknya (tahakkum).

Seperti pernah ditegaskan oleh Prof. K.H. Ibrahim Hosen, bagi MUI, mengutamakan
akal daripada wahyu berarti mengingkari wahyu. Kekeliruan lainnya adalah merelativisir
kebenaran dan membenarkan relativisme, menganggap isi fatwa tersebut benar
menurut MUI saja, tidak absolut benar.

Paham Ahmadiyah belum tentu salah, karena fatwa MUI belum tentu benar.
Masalahnya, andaikata benar bahwa setiap kebenaran bersifat relatif, maka prinsip
relativisme inipun tidak absolut kebenarannya.
Di titik ini relativisme (al-indiyyah) dan agnostisisme (al-l adriyyah) setali tiga uang,
keduanya lugu dan sama sesatnya. Pakar ushul fiqh al-Amidi dalam kitabnya
menegaskan, dalam perkara aqidah pendapat yang benar hanya satu. Karena itu
berdosalah mereka yang tidak menerima Islam, baik sebelum maupun setelah mencari
namun gagal menemukan kebenaran (Lihat: al-Ihkm fi Ushul al-Ahkm, cetakan Dar
al-Fikr, Beirut, 1996, juz 4, hlm.319-21).

Kesalahan dan kekeliruan kaum liberal berpangkal pada logika hitam putih. Kalau anda
meyakini kebenaran Islam, maka anda tidak toleran, radikal, fundamentalis. Sebaliknya,
kalau anda toleran, maka anda tidak boleh menganggap penganut agama lain itu sesat
dan kafir.

Logika ini keliru, apalagi jika kita mengerti ajaran Islam. Semuanya sudah diatur dan
dijelaskan. Kaum Muslim memang dibolehkan dan dianjurkan berbuat baik kepada
penganut agama lain, perlu bersikap toleran dan menghormati orang lain, meskipun
berbeda agama dan latarbelakang (an tabarruu wa tuqsithuu ilayhim). Namun ini tidak
berarti mengakui kebenaran agama lain. Sebab, kalau begitu, niscaya gugurlah ayat-
ayat seperti Qul ya ayyuha l-kafirun, Lam yakuni l-ladzina kafaru min ahli l-kitab wa l-
musyrikina munfakkina dan banyak lagi.

Jadi toleransi tidak berarti pluralisme. Saling menghormati dan menghargai tidak berarti
membenarkan yang batil dan sesat. Nabi Muhammad SAW bertetangga dengan orang
Yahudi, bersikap ramah dan toleran, namun beliau tetap mengatakan mereka kafir, jika
tidak mau memeluk Islam, apalagi jika memusuhi kaum Muslim.

Jangan sampai kita kebablasan (ghuluww) dalam memahami toleransi, menafsirkan


kebebasan beragama, dan salah memaknai peran akal dalam berijtihad.

*Penulis adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program doktor keduanya di


Universitas Frankfurt, Jerman
PENGARUH METODOLOGI BIBEL TERHADAP STUDI AL-QURAN

Ditulis oleh Adnin Armas

Para Orientalis seperti Ignaz Goldziher (m. 1921), mantan mahasiwa al-Azhar, Mesir,
Theodor Nldeke (m. 1930), Friedrich Schwally (m. 1919), Edward Sell (m. 1932),
Gotthelf Bergstrsser (m.1933), Leone Caentani (m. 1935), Alphonse Mingana (m.
1937), Otto Pretzl (m. 1941), Arthur Jeffery (m. 1959), John Wansbrough (m. 2002) dan
muridnya Prof. Andrew Rippin, serta Christoph Luxenberg (nama samaran) dan masih
banyak lagi yang lain, membawa pandangan hidup (worldview) mereka ketika mengkaji
Islam. Mereka mengadopsi metodologi Bibel ketika mengkaji al-Quran. Pendeta
Edward Sell, misalnya, menyeru sekaligus mendesak agar kajian terhadap historisitas
al-Quran dilakukan. Menurutnya, kajian kritis-historis al-Quran tersebut perlu
menggunakan metodologi analisa bibel (biblical criticism). Merealisasikan gagasannya,
Ia menggunakan metodologi higher criticism dalam bukunya Historical Development of
the Quran, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.

Senada dengan Pendeta Edward Sell, Pendeta Alphonse Mingana di awal-awal


artikelnya menyatakan bahwa: Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks
terhadap al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang
berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. (Alphonse
Mingana, Syiriac Influence on the Style of the Kuran, Manchester Bulletin 11: 1927).
Nldeke, Schwally, Bergstrsser, dan Pretzl bekerjasama menulis buku Geschichte des
Qorans (Sejarah al-Quran). Buku yang menggunakan metodologi Bibel ini, mereka tulis
selama 68 tahun sejak edisi pertama dan selama 40 tahun sejak diusulkannya edisi
kedua. Hasilnya, sampai saat ini, Geschichte des Qorans menjadi karya standar bagi
para orientalis khususnya dalam sejarah kritis penyusunan al-Quran.

Seirama dengan yang lain, Arthur Jeffery mengatakan: Kita membutuhkan tafsir kritis
yang mencontoh karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus
menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Quran. (Arthur
Jeffery, Progress in the Study of the Quran Text, The Moslem World 25: 1935). Jeffery
selanjutnya menumpukan hasratnya untuk membuat tafsir-kritis al-Quran. Salah satu
caranya dengan membuat kamus al-Quran. Menurutnya, karya-karya tafsir selama ini
tidak banyak memuat mengenai kosa kata teknis di dalam al-Quran. Menurutnya lagi,
para mufassir dari kalangan Muslim, masih lebih banyak yang tertarik untuk
menafsirkan masih dalam ruang lingkup hukum dan teologi dibanding untuk
menemukan makna asal (original meaning) dari ayat-ayat al-Quran. Merealisasikan
impiannya, pada tahun 1925-1926, Ia mengkaji dengan serius kosa-kata asing di dalam
al-Quran. Hasilnya, Ia menulis buku The Foreign Vocabulary of the Quran (Kosa-Kata
Asing di Dalam Al-Quran) (Baroda: Oriental Institute, 1938). Ia berharap kajian tersebut
bisa dijadikan kamus al-Quran, sebagaimana kamus Milligan-Moulton, sebuah kamus
untuk Perjanjian Baru.

Tidak berhenti dengan kajian filologis (philological study), Jeffery juga mengadopsi
analisa teks (textual criticism) untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan teks
al-Quran. Tujuannya untuk menetapkan akurasi teks al-Quran. Analisa teks melibatkan
dua proses, yaitu revisi (recension) dan amandemen (emendation). Merevisi adalah
memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat
dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah
menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam manuskrip-
manuskrip yang terbaik.

Menurut Jeffery, sejarah teks (textual history) al-Quran sangat problematis karena tidak
ada satupun dari autografi naskah asli dulu yang masih ada. Tidak ada naskah al-
Quran yang ada saat ini, yang tidak berubah. Sekalipun perubahan naskah itu
alasannya demi kebaikan, namun tetap saja, menurut Jeffery, wajah teks asli sudah
berubah. Manuskrip-manuskrip awal al-Quran, misalnya, tidak memiliki titik dan baris
dan ditulis dengan khat Kufi yang sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini
digunakan. Jadi, menurut Jeffery, modernisasi tulisan dan ortografi, yang melengkapi
teks dengan tanda titik dan baris, sekalipun memiliki tujuan yang baik, namun telah
merusak teks asli. Teks yang diterima (textus receptus) saat ini, bukan fax dari al-
Quran yang pertama kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan hasil dari berbagai
proses perubahan ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke generasi di
dalam komunitas masyarakat. (Arthur Jeffery, The Quran as Scripture, New York: R. F.
Moore: 1952).

Dalam pandangan Jeffery, tindakan masyarakat (the action of community) yang


menyebabkan sebuah kitab itu dianggap suci. Fenomena ini, menurutnya, terjadi di
dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian community) misalnya,
memilih 4 dari sekian banyak Gospel, mengumpulkan sebuah korpus yang terdiri dari
21 Surat (Epistles), dan menggabungkan dengan Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan
Apokalipse, yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru (New Testament).
Ini sama halnya, menurut Jeffery, dengan penduduk Kufah yang menganggap mushaf
Abdullah ibn Masud sebagai al-Quran edisi mereka (their Recension of the Quran),
penduduk Basra dengan mushaf Abu Musa, penduduk Damaskus dengan mushaf
Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan mushaf Ubay. Bagaimanapun,
mushaf-mushaf tersebut lagi-lagi paralel sekali dengan sikap pusat-pusat gereja
terdahulu yang masing-masing menetapkan sendiri beragam variasi teks di dalam
Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria
(Alexandrian text), teks Netral (Neutral text), teks Barat (Western text), dan teks
Kaisarea (Caesarean text). Masing-masing teks tersebut memiliki varian bacaan
tersendiri.

Melanjutkan khayalannya, Jeffery berpendapat mushaf-mushaf tersebut merupakan


bagian dari mushaf-mushaf tandingan (rival codices) terhadap mushaf Uthmani. Ia
kemudian berkolaborasi Bergstrsser, guru Joseph Schacht merancang untuk membuat
al-Quran edisi kritis (a critical edition of the Quran).

Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid

Dalam perkembangannya, metodologi tersebut juga sudah diterapkan oleh sebagian


pemikir Muslim. Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana
Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Ia mengatakan: Sayang sekali
bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suciyang telah digunakan kepada Bibel
Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk
ide wahyuterus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim. (Mohammed Arkoun,
Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers). Ia juga menegaskan
bahwa studi al-Quran sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bibel (Quranic
studies lag considerably behind biblical studies to which they must be compared).
(Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, London: Saqi
Books, 2002). Menurut Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan
apa yang selama ini ingin Ia kembangkan. Dalam pandangan Arkoun, intervensi ilmiah
Wansbrough cocok dengan framework yang Ia usulkan. Framework tersebut
memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan
antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi
yang bagi kaum fundamentalis saat ini tidak terbayangkan. (Mohammed Arkoun,
Contemporay Critical Practices and the Quran, di dalam Encyclopaedia of the Quran,
Editor Jane Dammen McAuliffe, Leiden: Brill, 2001).

Padahal John Wansbrough, yang menerapkan analisa Bibel, yaitu form criticism dan
redaction criticism kepada al-Quran, menyimpulkan bahwa teks al-Quran yang tetap
ada baru ada setelah 200 tahun wafatnya Rasulullah saw. Menurut John Wansbrough
lagi, riwayat-riwayat mengenai al-Quran versi Uthman adalah sebuah fiksi yang datang
kemudian, direkayasa oleh komunitas Muslim supaya asal-muasal al-Quran dapat di
lacak ke Hijaz (Issa J. Boullata, Book Reviews: Quranic Studies: Sources and Methods
of Scriptural Interpretation, The Muslim World 67: 1977).

Menurut Arkoun, kaum Muslimin menolak pendekatan kritis-historis al-Quran karena


nuansa politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum
berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-
makhluk-an al-Quran. Padahal, menurut Arkoun, mushaf Uthmani tidak lain hanyalah
hasil sosial dan budaya masyarakat yang kemudiannya dijadikan tak terpikirkan dan
makin menjadi tak terpikirkan karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia
mengajukan istilah untuk menyebut mushaf Uthmani, sebagai mushaf resmi tertutup
(close official corpus). (Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today di dalam Mapping
Islamic Studies. Editor Azim Nanji).

Dalam pandangan Mohammed Arkoun, apa yang dilakukannya sama dengan apa yang
diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir. Arkoun
menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal
metodologi Nasr Hamid memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Quran.
Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan
ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-
Quran adalah teks liguisitk-historis-manusiawi. Ia adalah hasil budaya Arab.

Adopsi metodologi Bible yang dilakukan sarjana Muslim terhadap al-Quran sangat
disayangkan. Jika adopsi ini diamini, maka hasilnya fatal sekali. Otentisitas al-Quran
sebagai kalam Allah akan tergugat. Al-Quran akan diperlakukan sama dengan teks-
teks yang lain. Ia akan menjadi teks historis, padahal sebenarnya ia adalah Tanzil
(trans-historis). Ia jelas berbeda dengan sejarah Bible. Sumbernya juga berbeda.
Setting sosial dan budaya juga berbeda. Bahkan Bahasa asli Bibel sudah tidak banyak
lagi digunakan oleh penganut Kristen. Sangat berbeda dengan kaum Muslimin, yang
dari dulu telah, sekarang masih, dan akan datang terus membaca dan menghafal al-
Quran dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu, mengadopsi metodologi Bibel terhadap al-
Quran adalah adopsi dan metodologi yang salah.

September 25, 2007


PENGARUH FREEMASON DALAM WACANA PLURALISME AGAMA

Filed under: Adnin Armas,MA, Seputar pemikiran islam iaaj @ 9:01 am

Ditulis oleh Adnin Armas

Faham bahwa pada intinya semua agama sama tidak terlepas dari pengaruh
Freemason. Awalnya bermula ketika pengikut Freemason membentuk gerakan The
Theosophical Society. Dalam perkembangannya, The Theosophical Society ikut
menyumbang bagi terwujudnya Hikmah Abadi (Sophia Perennis). Pemikiran para tokoh
Sophia Perennis seperti Rene Gunon dan Frithjof Schuon tidak terlepas dari ajaran
dalam Freemason.

Freemason dan Teosofi Freemason adalah sistem moral khusus, ditutupi dengan
kiasan serta diilustrasikan dengan simbol-simbol. (E. L. Hawkins, Encyclopaedia of
Religion and Ethics). Para sejarawan dari kalangan Freemason berpendapat paling
tidak terdapat 3 teori yang menjelaskan sebab-musabab munculnya Freemason.
Pertama, Freemason muncul sangat lama sekali seiring dengan klaim ritual Freemason
itu sendiri, yaitu ketika Raja Salomo mendirikan Bait Suci dan Freemason sampai
kepada kita sehingga kini sekalipun mekanismenya tidak diketahui. Kedua, Freemason
adalah hasil dari karya para pembuat bangunan pada zaman pertengahan. Ketiga, ritual
Freemason berasal dari Laskar Kristus yang menjaga Bait Suci Salomo (King
Solomons Temple) atau dikenal juga sebagai Ksatria Bait Suci (Knight Templar).
(Christopher Knight & Robert Lomas, The Hiram Key: Pharaohs, Freemasons and the
Discovery of the Secret Scrolls of Jesus).

Freemason telah tersebar di benua Eropa. Salah satu fakta awal yang tertulis
menunjukkan bahwa cabang Freemason telah ada di Inggris pada tahun 1641. Robert
Moray, salah seorang keluarga raja (Royal family), telah masuk menjadi anggota
Freemason di Edinburgh pada tanggal 20 Mei 1641. Selain itu, Elias Ashmole, masih
dalam lingkungan keluarga Raja Inggris, menulis dalam buku diarinya bahwa ia telah
menjadi anggota Freemason di Lancashsire, pada tanggal 16 Oktober 1646. (Francis A.
Yates, The Rosicrucian Enlightenment).

Babak baru perkembangan Freemason adalah pada tanggal 24 Juni 1717. Sebabnya,
pada tanggal tersebut Freemason telah menjadi organisasi Nasional dengan
didirikannya Grand Lodge of England, yang merupakan gabungan dari 4 cabang
Freemason. Para pengikut Freemason dalam Grand Lodge of England akan mengikuti
agama yang semua manusia setuju yaitu, menjadi Manusia yang Baik dan Benar
(Religion is which all men agree that is, to be Good Men and True). Dengan
terbentuknya Grand Lodge of England, gerakan Freemason semakin merebak sehingga
berkembang melintasi benua Eropa sehingga ke benua Amerika. George Washington,
yang menjadi President pertama Amerika Serikat pada tanggal 30 April 1789 adalah
seorang anggota Freemason. Selain itu, para penanda tangan Deklarasi Kemerdekaan
Amerika yang ditandatangani pada tanggal 4 Juli 1778 oleh William Hoper, Benjamin
Franklin, Matthew Thornton, William Whipple, John Hancock, Phillip Livinston dan
Thomas Nelson, kesemua mereka adalah pengikut Freemason.

Setelah mengurai sejarah Freemason dengan sangat ringkas, ada baiknya kita melihat
bagaimana pengikut Freemason ikut mempelopori terbentuknya paham yang
menyamakan agama. George Felt, seorang Freemason Yahudi, pada tanggal 7
September 1875 memberikan kuliah tentang The Lost Canon of Proportion of the
Egyptians, di apartment Helena Petrovena Blavatsky (1831-1891), seorang aristokrat
Rusia yang meninggalkan suami dan kemewahan harta karena merantau ke
pegunungan Tibet selama bertahun-tahun. George Felt memfokuskan materi kuliahnya
kepada penafsiran mistis tehadap ajaran (tradisi) Mesir yang hilang. Salah seorang
peserta yang mengikuti kulian tersebut, Henry Steel Olcott, seorang pengikut
Freemason di New York, mengusulkan supaya semua peserta (berjumlah 17 orang)
yang telah mengiktui kuliah George Felt agar membentuk sebuah kelompok yang akan
meneliti lebih mendalam lagi mengenai tradisi kuno. Blavatsky, guru Olcott menyetujui
proposal tersebut. Sotheran, seorang Freemason, mengusulkan nama The
Theosophical Society (Masyarakat Teosofis) bagi kelompok tersebut. Akhirnya, pada
tanggal 17 November, 1875 diadakan pertemuan dengan 18 orang (termasuk George
Felt) dan pada tanggal itu ditetapkan sebagai awal berdirinya The Theosophical Society.
Dalam pidatonya peresmiannya, kolonel Henry Steel Olcott (1832-1907), berharap
kelompok tersebut akan membuat penelitian dalam perbandingan agama dan juga
untuk menemukan ancient wisdom, khususnya dalam sumber sumber primer dari
semua agama, buku-buku Hermes dan Veda (primeval source of all religions, the books
of Hermes and the Vedas), dengan perkataan lain dalam Filsafat Abadi. (Bruce F.
Campbell, Ancient Wisdom Revived: A History of the Theosophical Movement).Setelah
kematian Olcott pada tahun 1907, posisi ketua dipegang oleh Annie Wood Besant
(1847-1933). Besant, berasal dari Inggris, masuk menjadi anggota Theosophical
Society pada tahun 1889 dan menjadi ketua gerakan tersebut dari tahun 1907 sampai
akhir hidupnya (1933). Menurut Besant, teosofi ataupun agama universal (universal
religion) dibangun atas 2 fondasi, yaitu Tuhan sebagai immanent sekaligus transendent
dan solidaritas atau persaudaraan semua manusia. Sebuah doktrin keagamaan akan
diuji dengan prinsip Semper, ubique et ab omnibus (Selalu, dimana saja dan dari
semua). Besant juga merumuskan ajaran teosofis sebagai berikut: (1) the unity of God
(kesatuan Tuhan). Ajaran mendasar dari teosofi sebagaimana semua gama adalah
kebenaran agama universal. (2) The Trinity of the manifested God (Inkarnasi Tuhan
dalam Trinitas) Tuhan termanifestasikan sebagi Logos. (3) The hierarchy of beings
(tingkatan wujud). (4) Universal brotherhood (persaudaraan universal), yang berbeda
dengan konsep kesetaraan (equality) ataupun demokrasi (democracy). Besant
menyatakan tujuan Masyarakat Teosofis adalah mengajarkan kepada pengikutnya
bahwa agama-agama adalah ungkapan dari hikmah ilahi yang lahir dan berasal dari Zat
yang satu. Oleh sebab itu, keragaman dan perbedaan dalam manifestasi lahiriah dan
bentuk bukanlah inti dari ajaran agama. Semua agama memiliki keaslian dan
kebenaran karena berasal dari Zat yang satu. (Annie Besant, Encyclopaedia of Religion
and Ethics).Ringkasnya, sejak dibentuk oleh 18 orang anggota di New York, The
Theosophical Society telah berkembang menjadi organisasi internasional. Pada tahun
1879, markasnya dipindahkan ke Bombay, India. Tiga tahun setelah itu (1882),
markasnya sekali lagi dipindahkan ke Adyar, pinggiran Madras. Akhir abad 19, The
Theosophical Society telah memiliki 500 cabang dalam 40 Negara di Asia dan Barat,
termasuk cabang yang ada di Perancis, yand diikuti oleh Grard Encausse (m. 1916)
pada tahun 1887.

Rene Gunon dan Frithjof Schuon

Tertarik dengan gagasan Olcott dan Blavatsky, Grard Encausse, seorang Freemason
mendirikan cabang The Theosophical Society di Perancis. Nama samarannya dikenal
sebagai Papus. Ia mendirikan Free School of Hermetic Sciences, sebuah sekolah yang
mengkaji tentang mistis. Encausse menghidupkan kembali ajaran Martinist Order.
Nama lengkap De Saint-Martin adalah Louis-Claude de Saint-Martin, seorang
Freemason dan bekas pegawai tentara yang punya ketertarikan dengan mistis dan
Hermes. Martin meyakini: Semua tradisi bumi harus dilihat sebagai berasal dari tradisi-
ibu yang fundamental bahwa, dari awal, telah dipercayakan kepada laki-laki yang
berdosa dan kepada keturunannya yang pertama. (All the traditions of the earth must
be seen as deriving from a fundamental mother-tradition that, from the beginning, was
entrusted to sinful man and to his offspring). Pernyataan yang sama juga dikemukakan
oleh Count Joseph de Maistre, juga seorang Freemason dan teman dekat Saint-Martin
bahwa: Agama yang benar lahir pada hari ketika [semua] hari dilahirkan, Konsep
yang kabur [mengenai orang-orang kuno] tidak lain disebabkan banyaknya dari sedikit
kelemahan dari tradisi primitive yang tinggal. (The True religionwas born on the day
that [all] days were born, The vague conceptions [of the ancients] were no more than
the more of less feeble remains of the primitive tradition). (Mark Sedgwick, Against the
Modern World: Traditionalism and the Secret Intellectual History of the Twentieth
Century).Pada tahun 1906, Rene Gunon (1886-1951) yang kelak menjadi pelopor
Filsafat Abadi, masuk ke sekolahnya Encausse. Disana, Gunon bukan saja mulai
mengenali kajian mistis (occult studies), namun juga berkenalan dengan sejumlah tokoh
Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Gunon aktif menggelar
berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktifitas tentang mistis dan Freemason di
Perancis. Ringkasnya, Freemason merupakan ketertarikan Gunon yang paling besar
sepanjang hidupnya (it remained of Gunons great interests throughout his life). Bagi
Gunon, Freemason adalah wadah dari luasnya hikmah tradisional, kaya khususnya
dalam simbolisme dan ritual. Gunon juga yakin bahwa Freemason adalah cara untuk
menjaga banyak aspek dari Kristen yang telah hilang dan terabaikan.Gunon (m.1951)
menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi dan
agama. Gunon (m. 1951), menyebutnya sebagai Primordial Tradition (Tradisi
Primordial). Gunon, yang awalnya Katolik, selanjutnya memeluk Islam pada tahun
1912. (nama Islamnya Abdul Wahid Yahya). Bagaimanapun, selama kehidupannya di
Perancis, Gunon tidak dikenal telah mempraktekkan ritual Islam.Gunon berpendapat
bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus
dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan
ilmu spiritual. Menurut Gunon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari
supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu, ilmu
tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama
semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang terjadi
merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan
tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk
memahami Realitas Akhir. Pengalaman spiritual Rene Gunon (m.1951) dalam gerakan
teosofi dan Freemason mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama
memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran. (Robin Waterfield, Rene
Gunon and the Future of the West: The life and writings of a 20th-century
metaphysician).Salah seorang tokoh penerus pemikiran Gunon adalah Frithjof Schuon
(1907-1998). Sejak berusia 16 tahun, ia telah membaca karya Gunon, Orient et
Occident. Kagum dengan pemikiran Gunon, Schuon saling berkirim surat dengan
Gunon selama 20 tahun. Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk
pertama kalinya Schuon bertemu dengan Gunon di Mesir pada tahun 1938.Schuon
memeluk Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-
Alawi al-Maryami. Ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam religio perennis (Agama
Abadi). Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-
dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta
mengkritik modernitas. Ia mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama
eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-
agama ortodoks. Ia mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak
Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.Dalam
pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda,
namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada a common ground. Ia
berpendapat agama-agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik. Kedua
dimensi ini yang inheren dalam agama berasal dari dan diketahui melalui Intelek
(Intellect). Dengan Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi
dua, Absolut dan relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan
eksoteris. Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada level yang esoteris, bukan
eksoteris. Menurut Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis,
ritual, etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam Maya,
kosmos yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai
Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme
berada di dalam Maya, yang relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan
eksoteris bermakna pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut
pandang intelek adalah relatif.Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar
dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu.
Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah
kepercayaan kepada dogma esklusifistik (formalistik)dan kepatuhan terhadap hukum
ritual dan moral. superioritas sebuah form terhadap yang lain. Bagaimanapun,
superioritas tersebut sebenarnya relatif. Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik
dari Hindu karena memuat bentuk terakhir dari Sanatana Dharma. Schuon
mengatakan.: Sama halnya, bahwa Agama Hindu adalah form yang paling tua yang
masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki superioritas tertentu
atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang terakhir (Islam).Schuon juga
berpendapat esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa
esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan
dogmatis-formalistik. Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan
hati dan eksoteris bagaikan badanagama. Menurut Schuon, titik-temu agama bukan
berada pada level eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of
forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence).
Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Titik temu
antar agama hanya ada pada level esoteris. Esoterisme menembus simbol-simbol
eksoterisme. Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme
independen dari aspek eksternal, bentuk, formal agama. Independensi tersebut karena
esensi dari esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak
teredusir kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan. (Frithjof Schuon, The
Transcendent Unity of Religions).
Pemaparan ringkas diatas menunjukkan gagasan Guenon dan Schuon yang
memformulasi kesamaan agama dalam level esoteris adalah hasil interaksi mereka
dengan para tokoh Freemason dan Teosof. Gagasan pada intinya semua agama sama
disebarkan pada awalnya oleh para pengikut Freemason, yang ingin merelevansikan
ajaran-ajaran Yahudi, mistis, dan hikmah kuno (ancient wisdom) ke zaman modern.
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Ditulis oleh Adnin Armas

sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,


individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan
sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini
memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum
memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang
mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan
institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan
nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi
sebaliknya yang terjadi.

Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki
visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu
pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan
memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis
dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin
segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai
keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang
memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan
mereka sebagai individu-individu yang beradab.

Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh


dari paradigma pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya
pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan
individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum
Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi,
namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan
berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih
dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan
misi pendidikan yang pragmatis.

Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif
dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para
anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.
Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan
pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas,
sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan
ummat manusia secara keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama
pendidikan, maka seyogianyalah institusi-institusi pendidikan memfokuskan kepada
substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya
manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Dalam pandangan
Islam, manusia bukan saja terdiri dari komponen fisik dan materi, namun terdiri juga
dari spiritual dan jiwa. Oleh sebab itu, sebuah institusi pendidikan bukan saja
memproduksi anak didik yang akan memiliki kemakmuran materi, namun juga yang
lebih penting adalah melahirkan individu-individu yang memiliki diri yang baik sehingga
mereka akan menjadi manusia yang serta bermanfaat bagi ummat dan mereka
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Institusi pendidikan perlu
mengarahkan anak didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang
pintar dan sifat-sifat dan jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik
dan benar, memiliki pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari kesalahan-
kesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan.

Oleh sebab itu juga, ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam institusi pendidikan
seyogianya dibangun di atas Wahyu yang membimbing kehidupan manusia. Kurikulum
yang ada perlu mencerminkan memiliki integritas ilmu dan amal, fikr dan zikr, akal dan
hati. Pandangan hidup Islam perlu menjadi paradigma anak didik dalam memandang
kehidupan.

Dalam Islam, Realitas dan Kebenaran bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik
dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang
ada dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang
dapat dilihat. Realitas dan kebenaran didasarkan kepada dunia yang nampak dan tidak
nampak; mencakup dunia dan akhirat, yang aspek dunia harus dikaitkan dengan aspek
akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. (Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam).

Jadi, institusi pendidikan Islam perlu mengisoliir pandangan hidup sekular-liberal yang
tersurat dan tersirat dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan modern saat ini, dan
sekaligus memasukkan unsur-unsur Islam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini
yang relevant. Dengan perubahan-perubahan kurikulum, lingkungan belajar yang
agamis, kemantapan visi, misi dan tujuan pendidikan dalam Islam, maka institusi-
institusi pendidikan Islam akan membebaskan manusia dari kehidupan sekular menuju
kehidupan yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Institusiinstitusi pendidikan
sepatutnya melahirkan individu-individu yang baik, memiliki budi pekerti, nilai-nilai luhur
dan mulia, yang dengan ikhlas menyadari tanggung-jawabnya terhadap Tuhannya,
serta memahami dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada dirinya dan yang
lain dalam masyarakatnya, dan berupaya terus-menerus untuk mengembangkan setiap
aspek dari dirinya menuju kemajuan sebagai manusia yang beradab.
STUDI ORIENTALIS TERHADAP SEJARAH TEKS AL-QURAN

oleh : Adnin Armas, Ma

Dengan menggunakan biblical criticism sebagai framework untuk mengkaji AI-Quran,


maka para sarjana Barat menggugat Mushaf Uthmani yang selama ini diyakini
kebenarannya oleh kaum Muslimin. Di bawah ini akan dikemukakan secara detil
bagaimana metode kritis historis yang sudah mapan di dalam studi Bibel diterapkan ke
dalam studi Al-Quran.

1. AI-Quran

Diantara kajian utama yang dilakukan oleh para sarjana Barat ketika mengkaji AI-
Quran adalah mengenai sejarahnya. Salah seorang tokoh dalam studi kritis sejarah Al-
Quran adalah Arthur Jeffery (m. 1959), seorang orientalis berasal dari Australia.
Menurut Jeffery, tidak ada yang istimewa mengenai sejarah Al-Quran. Sejarahnya
sama saja dengan sejarah kitab-kitab suci yang lain. Al-Quran menjadi teks standart
dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap.1 Dalam
pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat (the
action of comrnunity). Tindakan komunitas masing-masing agama. yang menjadikan
sebuah kitab itu suci. Jeffery mengatakan: Komunitaslah yang menentukan masalah ini
suci dan tidak. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama tulisan-tulisan
tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang mana komunitas merasa bahwa ia
mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik yang sah untuk pengalaman
keagamaan yang khusus.2

Menurut Jeffery, fenomena seperti itu umum terjadi di dalam komunitas lintas agama.
Komunitas Kristen (Christian community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak
Gospel, menghimpun sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-
Perbuatan (Acts) dan Apokalips (Apocalypse) yang kesemua itu membentuk Perjanjian
Baru (New Testarnent). Sama halnya dengan komunitas Islam. Penduduk Kufah,
misalnya, menganggap Mushaf `Abdullah ibn Mas`ud sebagai Al-Quran edisi mereka
(their Recension of the Quran). Penduduk Basra menganggap Mushaf Abu Musa,
penduduk Damaskus dengan Mushaf Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria
dengan Mushaf Ubayy.3
Dalam pandangan Jeffery, sikap-sikap awal kaum Muslimin tersebut seperti itu paralel
sekali dengan sikap masing masing pusat-pusat utama gereja terdahulu yang
menetapkan sendiri beragam variasi teks untuk Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru
memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text),4 teks Netral (Neutral
text),5 teks Barat (Western text),6 dan teks Kaisarea (Caesarean text).7 Masingmasing
teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri.

2. Al-Quran pada Zaman Rasulullah saw.

Salah seorang orientalis yang termasuk paling awal menyatakan bahwa Muhammad
tidak punya niat untuk menghimpun materi wahyu adalah Aloys Sprenger (1813-1893).
Menurut Sprenger, Muhammad sebagai penyampai Al Quran untuk orang yang buta
huruf bukan untuk ditulis di atas kertas.8 Senada dengan pendapat Sprenger, Hartwig
Hirshfeld (m. 1934), seorang orientalis Yahudi berpendapat ketika maut mendekatinya,
Muhammad tidak berusaha untuk menghimpun materi wahyu ke dalam sebuah buku.
Dalam pandangan Hirshfeld, tidak dihimpunnya materi wahyu itu bukan karena
Muhammad sudah terlebih dahulu wafat, namun memang karena Muhammad tidak
ingin menghimpunnya ke dalam sebuah mushaf. Selain itu, Muhammad tidak
menghimpun Al-Quran menjadi sebuah mushaf supaya Muhammad bebas untuk
merubah ayat-ayat yang tidak sesuai lagi dengan keadaan. Muhammad lebih suka para
muridnya untuk menghapal materi wahyu tersebut.9

Pendapat bahwa Muhammad tidak berniat untuk menghimpun materi wahyu ke dalam
sebuah mushaf juga digemakan kembali oleh Jeffery. Dalam pandangan Jeffery, ketika
Muhammad masih hidup, materi wahyu belum dihimpun dan disusun. Sekalipun
Muhammad telah merekam sejumlah materi wahyu, namun Al-Quran yang telah
dihimpun, disusun dan diedit tidak ada, ketika Muhammad meninggal (Nevertheless
therc was certainly no Quran existing as a collected, arranged, edited book, when the
Prophet died). Bahkan, lanjut Jeffery, pada awalnya para sahabatpun tidak merasa
perlu untuk menghimpun wahyu. Kebutuhan untuk merekam wahyu baru muncul
setelah para sahabat menghadapi situasi baru.10 Dengan berpendapat seperti itu,
Jeffery ingin menunjukkan bahwa Muhammad tidak punya niat untuk menghimpun
materi wahyu dalam sebuah kitab.11
Senada dengan Jeffery, Regis Blachere berpendapat tidak ada alasan formal untuk
mempercayai Muhammad secara pribadi telah terus menetapkan mushaf dari wahyu.
Sesungguhnya terdapat alasan yang serius untuk berfkir bahwa Ia tidak menjadikan
tugas menghimpun buku sebagai sebuah visi, (There is no formal reason to believe that
Muhammad would have personally proceeded to constitute a corpus from the
Revelation. Indeed there is a serious reason to think that he had not even envisioned
this task).12

Mengembangkan lebih jauh isu mengenai kompilasi AlQuran dalam sebuah kitab,
Daniel A Madigan, seorang orientalis kontemporer, menyatakah makna kitab di dalam
AlQuran bukan merujuk kepada sebuah mushaf ataupun buku. Dalam pandangannya,
kitab Al-Quran bukanlah sebuah buku yang umumnya diterima dengan makna mushaf
tertutup. Ia lebih merupakan simbol dari sebuah proses keterlibatan Tuhan dan manusia
yang berterusan-keterlibatan yang kaya dan beragam, namun langsung dan spesifik di
dalam ucapannya yang hal tersebut tidak akan dapat dipahami di dalam sebuah kanon
yang tetap atau terbatas kepada diantara dua sampul. (The Qurans kitab is not a book
in the generally accepted sense of a closed corpus. Rather, it is the symbol of a process
of continuing divine engagement with human beings an engagement that is rich and
varied, yet so direct and specific in its address that it could never be comprehended in a
fixed canon nor confined between two covers).13

Madigan menolak jika kata kitab di dalam Al-Quran diterjemahkan sebagai buku (book).
Menurutnya, terjemahan yang lebih tepat adalah tulisan (writing). Maksudnya, tulisan
sebagai sebuah proses ketimbang sebagai sebuah produkkitab lebih sebagai verbal
noun dibanding concrete noun.14 Menyimpulkan hasil penelitiannya, Madigan
menyatakan:

Istilah kitab menjadi berbahaya ketika dipahami sebagai sesuatu yang tetap dan statis
sebagai sebuah buku. Bagi sebagian orang-orang yang beriman, klaim implisit kepada
totalitas dan kesempurnaan di dalam kata `buku menjadi dasar kepada
fundamentalisme yang mengedit (kata tersebut) untuk mengambang dari hikmah tradisi
yang berkembang. AI-Quran tidak mengizinkan konsepsi petunjuk Ilahi yang terbatas
seperti itu. Sebaliknya, bagi para pemerhati Islam, gagasan buku ini, teks yang terbatas
ini, yang mengklaim sebagai totalitas dari kalam llahi kepada manusia hanya
menampakkan kesombongan.15
3. AI-Quran pada Zaman Abu Bakr dan `Umar

Salah seorang orientalis yang termasuk paling awal menolak AI-Quran telah dihimpun
pada zaman Abu Bakr adalah Leone Caentani (m. 1935). Caentani selama 20 tahun
menulis sepuluh jilid buku mengenai Islam. Ia menulis Annali dell Islam dari tahun 1906
sampai tahun 1926. Di dalam karya tersebut, Caentani menolak hadith yang
menyatakan bahwa Al Quran pertama kali dihimpun pada zaman Abu Bakr. Dalam
pandangan Caentani, hadith tersebut bertujuan untuk menjustifikasi tindakan `Uthman
menghimpun Al-Quran.16

Mengutip dan mengembangkan lagi pendapat Caentani, Friedrich Schwally (m. 1919),
menolak riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Al-Quran telah dihimpun pada
zaman Khalifah Abu Bakr. Alasannya: (1) hadith yang mengkaitkan Al-Quran dihimpun
dengan banyaknya para Qurra meninggal di dalam perang Yamamah sebenarnya
palsu karena dua faktor. Pertama, para Qurra yang meninggal pada perang tersebut
sangat sedikit sekali. Kedua, keterkaitan antara dihimpunnya Al-Quran dengan
banyaknya para Qurra yang meninggal dalam perang Yamamah tidak logis. Alasannya,
ketika Muhammad hidup, Al-Quran telah ditulis secara bertahap. Oleh sebab itu, tidak
tepat menjadikan kematian para Qurra sebagai alasan untuk menghimpun Al-Quran;
(2) Terdapat perbedaan riwayat. Apakah Al-Quran yang dihimpun pada zaman Abu
Bakr identik dengan yang dihimpun pada zaman `Uthman? Schwally menyimpulkan
riwayat palsu yang menyatakan bahwa Al-Quran telah dihimpun pada zaman Abu Bakr.
Selain itu, katakanlah Zayd telah menghimpun Al-Quran pada zaman Abu Bakr dan
teks tersebut merupakan model yang akan disalin. Menurut Schwally, ada hal yang
aneh karena `Uthman telah menunjuk sebuah tim lagi untuk menghimpun dan mengedit
Al-Quran di bawah naungan Zayd; (3) Jika Al-Quran yang dihimpun oleh Abu Bakr dan
diwariskan kepada `Umar merupakan edisi resmi, maka terdapat kontradiksi. Mushaf
para sahabat masih banyak beredar dan digunakan di berbagai kawasan. Selain itu,
`Umar mewariskan mushaf yang dihimpun pada zaman Abu Bakr itu kepada Hafsah
bukan kepada `Uthman. Ini menunjukkan mushaf tersebut bukanlah salinan resmi.
Mengulangi pendapat Caentani, Schwally menyimpulkan riwayat yang menyatakan Al-
Quran telah dihimpun pada zaman Abu Bakr adalah rekayasa belakangan supaya Al-
Quran yang dihimpun oleh `Uthman -yang ditolak oleh sebilangan komunitas Muslim
menjadi lebih otoritatif. (the reports on a first collection of tbe Quran for Abu Bakr were
later inventions in order to give the collection brought together by the controversial
Uthman-disapproved of by a section of the Muslim community more authority).17
Menggemakan kembali pendapat Caentani dan Schwally, Jeffery berpendapat bahwa
teks yang dihimpun pada zaman Abu Bakr bukanlah teks revisi resmi (an official
recension of the text). Dalam pandangan Jeffery, teks tersebut merupakan koleksi
pribadi dibuat untuk Khalifah Abu Bakr (It was a private collection made for the first
Caliph Abu Bakr).18 Menegaskan pendapatnya, Jeffery menyatakan bahwa mushaf
mushaf lain banyak yang beredar. Diantaranya, Salim ibn Mu`qib, `Ali ibn Abi Talib,
Anas ibn Malik, Abu Musa al Ash`ari, Ubayy ibn Ka`b dan `Abdullah ibn Mas`ud.19
Beragam mushaf sudah beredar di berbagai wilayah. Mushaf Miqdad ibn al-Aswad,20
yang berdasarkan kepada Mushaf ibn Mas`ud beredar di Damaskus. Mushaf Ibn
Mas`ud digunakan di Kufah. Mushaf Abu Musa al-Ash`ari di Basra dan Mushaf Ubayy
ibn Ka`b di Syiria.

Jeffery meragukan jika Abu Bakr memang menghimpun mushaf karena terdapat
perbedaan tahun, kapan perang Yamamah sebenarnya terjadi.21 Dengan
mengemukakan pernyataan seperti itu, Jeffery sebenarnya ingin menyatakan sulit
dipercaya ketika menjadi khalifah, Abu Bakr dalam waktu yang terlalu singkat mampu
menghimpun Al-Quran ke dalam suatu mushaf. Padahal tugas tersebut sangat berat.

Mengulangi kembali seraya menambahkan lagi kritikan kepada isu kompilasi Al-Quran
pada zaman Abu Bakr, Richard Bell menunjukkan memang teks yang dikumpulkan atas
perintah Abu Bakr itu adalah teks pribadi bukan teks revisi resmi. Argumentasinya
sebagai berikut:22

Pertama, sampai wafatnya Muhammad, tidak ada rekaman wahyu yang otoritatif dan
tersusun. Padahal, Muhammad sendiri telah mengumpulkan dan menyusun banyak
lembaran lembaran dan susunan tersebut diketahui oleh para sahabat (Muhammad
himself had brought toget6er many revealed passages and given them a definite order,
and that this order was known and adhered to by his Companions).23

Kedua, Berdasarkan kepada sejumlah hadith yang berbeda, tidak ada kesepakatan
mengenai siapa sebenarnya yang menggagas untuk menghimpun Al-Quran; `Umar
atau Abu Bakr.
Ketiga, motif menghimpun Al-Quran disebabkan banyaknya para Qurra yang
meninggal dalam perang Yamamah tidaklah tepat. Hanya sedikit dari Qurra yang
meninggal. Schwally menyebutkannya hanya dua orang saja.24 Kebanyakan yang
meninggal adalah para muallaf. Selain itu, berdasarkan kepada riwayat hadith, banyak
materi wahyu telah ditulis. Jadi, jika para penghafal Al-Quran meninggal, maka ini tidak
akan menimbulkan kekhawatiran bahwa bagian dari AlQuran akan hilang.

Keempat, seandainya koleksi itu adalah resmi, niscaya koleksi tersebut akan
disebarkan karena memiliki otoritas. Namun bukti seperti itu tidak ada. Mushaf yang lain
juga dianggap otoritatif di berbagai daerah. Perdebatan yang mendorong versi Al-
Quran di bawah kekhalifahan `Uthman tidak akan muncul jika mushaf resmi di dalam
kekhalifahan Abu Bakr ada. Mushaf resmi tersebut pasti akan menjadi rujukan. Selain
itu, pendapat `Umar yang menyatakan bahwa ayat alrajm ada di dalam Al-Quran
adalah tidak konsisten jika `Umar memiliki mushaf resmi.

Kelima, dan ini alasan yang paling penting menurut Bell, seandainya Zayd menghimpun
mushaf yang resmi, maka `Umar tidak akan menyerahkan teks tersebut kepada Hafsah,
anaknya. Ini menunjukkan bahwa mushaf yang ada pada Hafsah bukanlah mushaf
resmi.

Jadi, Bell menyimpulkan himpunan. lengkap Al-Quran yang resmi pada kekhalifahan
Abu Bakr tidak ada. Bell yakin hadith mengenai Al-Quran dihimpun pada masa
kekhalifahan Abu Bakr dielaborasi hanya untuk menghindari supaya `himpunan Al-
Quran yang pertama kali bukanlah fakta yang muncul belakangan.25

Mengomentari mushaf pribadi yang dihimpun Abu Bakr dan `Umar, Regis Blachere
menyatakan Abu Bakr dan Umar menyuruh Zayd menghimpun Al-Quran karena
perasaan inferior dibanding para sahabat lain yang telah terlebih dahulu memiliki
mushaf.26

Pendapat para orientalis di atas ikut juga diadopsi oleh pemikir Muslim. Mustafa Mandur
misalnya berpendapat motivasi yang mendorong Abu Bakr dan Umar adalah perasaan
rendah diri (murakkab naqs), dan karena `Umar memberikan mushaf tersebut kepada
anaknya, maka mushaf tersebut adalah harta pribadi (maliyah shaksiyyah)27
Disebabkan kritikan yang paling tajam ditujukan kepada riwayat dari Bukhari, maka
sangat perlu kiranya mengutip kembali apa riwayat dari al-Bukhari. Al-Bukhari
menyatakan:

Abu Bakr al-Siddiq memberitahu Zayd ibn Thabit mengenai kematian para sahabat
dalam perang Yarnamah. Saat itu `Umar berada disisinya. Abu Bakr berkata:
Sesungguhnya Umar telah mendatangiku seraya berkata bahwa banyak para Qurra
telah meninggal pada perang Yamamah; dan aku sesungguhnya khawatir jika para
Qurra akan meninggal pada perang-perang yang lain, sehingga banyak dari AI Quran
akan hilang. Sesungguhnya aku (Umar) berpendapat supaya kamu (Abu Bakr)
mengumpulkan AI-Quran. Aku (Abu Bakr) berkata kepada `Umar: Bagaimana kita
mengerjakan sesuatu yang Rasulullah saw belum mengerjakan? `Umar berkata: Demi
Allah ini sesungguhnya baik. `Umar tetap membujuk sehingga Allah melapangkan
dadaku mengenai hal tersebut. Dan aku berpendapat sebagaimana pendapat `Umar.
Zayd berkata: Kemudian Abu Bakr berkata kepadaku: Sesungguhnya engkau lelaki
muda dan rasional yang kami tidak mencelamu. Engkau juga telah menulis wahyu
kepada Rasulullah saw. maka telusurilah dan kumpulkanlah AI-Quran. Zayd bin
Thabit berkata: Demi Allah, seandainya mereka membebaniku dengan memindahkan
gunung, itu tidaklah lebih berat dibanding dengan menyuruhku mengumpulkan AI-
Quran. Aku (Zayd) mengatakan: Bagairnana kamu mengerjakan sesuatu yang
Rasulullah saw belum berbuat? Dia (Abu Bakr) berkata: Demi Allah ini adalah baik.
Abu Bakr masih saja membujukku sehingga Allah melapangkan hatiku sebagaimana
dilapangkannya hati Abu Bakr dan `Umar. Aku lalu mencari AI-Quran dengan
mengumpulkan tulisan yang tertulis di pelepah-pelepah kurma, batu-batu tulis dan yang
tersimpan (dalam bentuk hafalan) di dada dada manusia, lalu aku kumpulkan. Akhirnya
kutemukan bagian akhir surah al-Tawbah pada Abu Khuzaunah al-Ansari, yang tidak
kudapatkan pada orang lain ( ) sehingga akhir surat al-Baraah. Setelah itu, Suhuf
tersebut dipegang Abu Bakr sampai wafatnya, lalu dipegang `Umar semasa hidupnya,
kemudian dipegang Hafsah binti `Umar. 28

Dibawah ini akan dikemukakan berbagai argumentasi untuk menolak pendapat para
orientalis.

Menolak kompilasi Abu Bakr dengan alasan terdapat perbedaan pendapat mengenai
kapan sebenarnya perang Yamamah berkecamuk tidak tepat. Menurut al-Tabari, perang
Yamamah terjadi pada tahun 11 H. Menurut Ibn Qani, pada akhir tahun 11 H. Menurut
Ibn Hazm, 7 bulan dan 6 hari setelah pelantikan Abu Bakr menjadi Khalifah.29
Sebagian yang lain seperti al-Waqidi menyebutkannya pada tahun 12 H. Mendamaikan
kedua pendapat tersebut, Ibn Kathir berpendapat bahwa perang tersebut bermula pada
tahun 11 H dan berakhir pada tahun 12 H.30 Jadi, terdapat waktu paling sedikit
beberapa bulan untuk menghimpun Al-Quran. Jadi, Fakta Al-Quran telah dihimpun
pada zaman Abu Bakr memang terjadi, bukan sebuah rekayasa.

Al-Quran sudah ditulis oleh para sahabat. Tulisan tersebut menyebar di berbagai
tempat. Namun, belum dihimpun dalam sebuah mushaf. Kekhawatiran Bell bahwa para
sahabat tidak ada yang menghafal keseluruhan AI-Quran karena tersebarnya tulisan
yang berimplikasi kepada munculnya varian yang sangat banyak, tidak beralasan. Ini
disebabkan Al-Quran bukan hanya ditulis, namun juga dihafal. Selain itu, tulisan yang
tersebar bukan bermakna akan menyebabkan terjadi variasi yang sedemikian banyak.
Ini karena Rasulullah saw menyuruh berhati-hati untuk menulis Al-Quran.

Hadith-hadith yang menyatakan apakah Abu Bakr atau `Umar yang menggagas
pertama kali mengenai kodifikasi Al-Quran tidaklah bisa dijadikan alasan untuk
menolak adanya kodifikasi Al-Quran pada zaman Abu Bakr. Hadith-hadith tersebut
sama sekali tidak menafikan kodifikasi pada zaman Abu Bakr.

Pendapat Schwally yang menyatakan bahwa hanya 2 orang dari Qurra yang meninggal
pada perang Yamamah sangat tidak logis. Diperkirakan 600 sampai 700 orang Muslim
meninggal pada perang tersebut. Menurut alTabari, 300 diantara mereka adalah
kalangan Muhajirun dan Ansar. Sementara menurut Ibn Kathir, 450 Muslim yang
terbunuh, 50 diantaranya adalah Muhajirun dan Ansar. Menurut suatu pendapat,
kesemua 700 adalah para Qurra, sementara yang lain berpendapat 70. Yang pasti,
jumlah para Qurra yang meninggal banyak. Menurut Bukhari: `Umar mengatakan
bahwa kerusakan sangat besar diantara para Qurra pada hari peperangan Yama-
mah.31

Abu Bakr menyerahkan Suhuf tersebut kepada `Umar, pengganti khalifah. Ini
menunjukkan bahwa mushaf tersebut bukanlah pribadi. `Umar menyerahkannya
kepada Hafsah karena kekhalifahan pada saat itu belum lagi terbentuk. `Umar terlebih
dahulu meninggal karena dibunuh. Mungkin `Umar menyerahkannya kepada Hafsah
berbanding `Abdullah ibn `Umar besar kemungkinan karena Hafsah adalah istri
Rasulullah saw. Dan fakta ini justru lebih tepat untuk ditafsirkan bahwa mushaf tersebut
bukanlah kepunyaan keluarga `Umar.

Zayd ibn Thabit juga dibantu oleh para sahabat yang lain.32

Mushaf yang dihimpun oleh Abu Bakr memang belum mengikat. Ini disebabkan
motivasi menghimpun mushaf tersebut karena para Qurra banyak yang meninggal,
bukan tajamnya perbedaan qiraah sebagaimana kelak terjadi pada zaman `Uthman.

Ketika `Uthman menyuruh menghimpun Al-Quran, `Uthman menggunakan mushaf


yang di tangan Hafsah. Ini menunjukkan Abu Bakr memang mengkompilasi AlQuran.
Adapun, bahwa mushaf yang di tangan Hafsah tidak sepenuhnya mewakili Al-Quran
bukanlah isu penting bagi kaum Muslimin. Sebabnya, kaum Muslimin meyakini
kebenaran yang ada pada Mushaf `Uthmani, bukan Mushaf Abu Bakr.

4. Mushaf-Mushaf Pra-`Uthmani

Jeffery memperkenalkan istilah baru, yaitu mushaf mushaf tandingan (rival codices).
Menurut Jeffery, terdapat 15 mushaf primer dan 13 mushaf sekunder.33 Jeffery
berusaha mengeksplorasi kandungan berbagai mushaf tandingan tersebut. Ia mengedit
manuskrip Kitab al-Masahif dan meneliti berbagai literatur lainnya untuk melengkapi isi
berbagai mushaf tersebut. Setelah itu, ia menyusun muatan atau isi mushaf tandingan.
Menurut Jeffery, banyaknya Mushaf pra-`Uthmani menunjukkan bahwa pilihan `Uthman
terhadap tradisi teks Medinah tidak berarti pilihan terbaik. Jeffery menyatakan:
Mungkin, sebagaimana telah kita lihat, dengan memilih tradisi teks Medinah untuk
kanonisasi, `Uthman telah

Mushaf-Mushaf Pra-`Uthmani

Jeffery memperkenalkan istilah baru, yaitu mushaf mushaf tandingan (rival codices).
Menurut Jeffery, terdapat 15 mushaf primer dan 13 mushaf sekunder.33 Jeffery
berusaha mengeksplorasi kandungan berbagai mushaf tandingan tersebut. Ia mengedit
manuskrip Kitab al-Masahif dan meneliti berbagai literatur lainnya untuk melengkapi isi
berbagai mushaf tersebut. Setelah itu, ia menyusun muatan atau isi mushaf tandingan.
Menurut Jeffery, banyaknya Mushaf pra-`Uthmani menunjukkan bahwa pilihan `Uthman
terhadap tradisi teks Medinah tidak berarti pilihan terbaik. Jeffery menyatakan:
Mungkin, sebagaimana telah kita lihat, dengan memilih tradisi teks Medinah untuk
kanonisasi, `Uthman telah memilih teks terbaik yang tersedia. Kita tidak pernah
mengetahui dengan yakin yang mana kecuali sesuatu yang tidak diduga terjadi dan kita
menemukan bagian dari teksteks tandingan yang dapat dipertimbangkan. Koleksi ber-
bagai varian yang masih bertahan dari Mushaf-Mushaf lama adalah satu-satunya cara
yang membentuk penilaian lagi mengenai jenis teks yang mereka (Mushaf-Mushaf
lama) presentasikan. 34

Disebabkan berbagai mushaf pra-`Uthmani menjadi sangat penting, maka Jeffery


mengedit manuskrip Kitab al Masahif, karya Ibn Abi Daud Sulaiman al-Sijistani (m. 316/
928) yang ada di perpustakaan Zahiriyah, Damaskus. Manuskrip ini selesai ditulis
tanggal 17 Jumadal al-Akhira pada tahun 682 H, atau bertepatan tahun 1283 M.
Menurut Jeffery, Kitab al Masahif al-Sijistani sangat penting sekali karena kitab ini satu-
satunya kitab yang masih survive dan memuat berbagai mushaf pra-`Uthmani.35

Selain Kitab al Masahif, Jeffery juga menggunakan berbagai buku tafsir, bahasa, adab
dan qiraah untuk merekonstruksi mushaf-mushaf tandingan. Bagaimanapun, ketika
menghimpun berbagai varian bacaan, Jeffery tidak mencantumkan sanad sama sekali.
Sehingga qiraah yang disebutkan di dalam karyanya sukar untuk menentukan
sumbernya. Al-Sijistani sendiri menyatakan qiraah yang ada tidaklah berarti itu adalah
mushaf, apalagi qiraah tersebut sebagai mushaf tandingan.

Seandainyapun, mushaf-mushaf tersebut dianggap menandingi Mushaf `Uthmani,


maka sebenarnya mushaf-mushaf tandingan tersebut memiliki berbagai masalah. Oleh
sebab itu, mushaf-mushaf tersebut tidak sederajat dengan Mushaf `Uthmani.

A. Mushaf `Abdullah ibn Mas`ud


Jeffery mengutip pendapat yang menyebutkan Ibn Mas`ud menolak menyerahkan
mushafnya ketika `Uthman mengirim teks standart ke Kufah dan memerintahkan
supaya teks-teks yang lain dibakar. Ibnu Mas`ud marah karena teks standart tersebut
diprioritaskan. Padahal teks tersebut disusun oleh Zayd ibn Thabit yang jauh lebih
muda. Ketika Ibn Mas`ud sudah menjadi Muslim, Zayd masih berada dalam pelukan
orang-orang kafir.36

Bagaimanapun, Jeffery tidak mengungkap sikap menyeluruh dari `Abdullah ibn Mas`ud.
Padahal dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, disebutkan bahwa Ibn Mas`ud
menimbang kembali pendapatnya yang awal dan akhirnya kembali lagi kepada
pendapat `Uthman dan para Sahabat lainnya. Ibn Mas`ud menyesali dan malu dengan
apa yang telah dikatakannya.37

Mengomentari tidak dimasukkannya Ibn Mas`ud sebagai tim kodifikasi, Ibn Hajar al-
`Asqalani berpendapat saat pembentukan tim kodifikasi, Ibn Mas`ud tidak berada di
Kufah. Padahal, ketika itu `Uthman sangat terdesak untuk membentuk tim koditikasi di
Medinah.38

A.1. Mengeluarkan al-Fatihah dari Al-Quran

Kritikan Jeffery yang lain adalah mengeluarkan al-Fatihah dari Al-Quran. Al-Fatihah
baginya bukanlah bagian daripada Al-Quran, ia adalah do`a yang diletakkan di depan
dan dibaca sebelum membaca Al-Quran, sebagaimana kitab-kitab suci yang lain.
Jeffery mengatakan: Tentu saja terdapat kemungkinan al-Fatihah sebagai sebuah doa
dikonstruksi oleh Nabi sendiri, tetapi penggunaannya dan posisinya di dalam AI-Quran
kita saat ini dikarenakan para penyusunnya, yang menempatkannya, mungkin di
halaman awal Mushaf Standar. (It is possible, of course, that as a prayer it was con-
structed by the Prophet himself, but its use and its position in our present Quran are
due to the compilers, who place it there, perhaps on the fly-Ieaf of the standart
Codex).39

Untuk menguatkan argumentasinya, Jeffery berpendapat bukan hanya dari kalangan


para sarjana Barat saja yang menyatakan al-Fatihah bukan bagian dari Al-Quran. Dari
kalangan Muslim juga ada yang berpendapat demikian, seperti Abu Bakr al-Asamm (m.
313), sebagaimana yang disebutkan oleh Fakhr al-Din al-Razi.40

Jeffery mengutip pendapat yang sangat marginal untuk menjustifikasi pendapatnya.


Padahal al-Razi sendiri mengakui bahwa al-Fatihah adalah bagian dari Al-Quran.
Nama lain dari_al-Fatihah, sebut al-Razi adalah al-Asas karena salah satu alasannya,
ia merupakan surat pertama dari Al-Quran (annaha awwal surah min Al-Quran).41
Bahkan al-Razi sendiri menolak pendapat yang mengatakan bahwa `Abdullah ibn
Mas`ud mengingkari al-Fatihah sebagai bagian dari Al-Quran.42

Selain itu, Jeffery mengutip pendapat dari kelompok Syiah, sebagaimana yang
disebutkan dalam Tadhkirat al Aimmah, karya Muhammad Baqir Majlisi. Jeffery melan-
jutkan pendapatnya tentang varian bacaan al-Fatihah dengan mengutip berbagai
Qurra.43

Pendapat Jeffery sangat lemah. Al-Fatihah adalah surah di dalam Al-Quran yang paling
sering dibaca dan bagian yang integral dari setiap rakaah. Di dalam sholat yang dapat
diidengar, al-Fatihah dibaca 6 kali dalam satu hari dan 8 kali pada hari Jumat. Oleh
sebab itu, al-Baqillani menyimpulkan Ibn Mas`ud tidak pernah menyangkal bahwa al-
Fatihah dan juga surah al-mu `aw-widhatayn adalah bagian dari Al-Quran atau orang
lain yang salah dengan mengatasnamakan pendapat `Abdullah ibn Mas`ud.44

A.2. Mengeluarkan al-Nas dan al-Falaq dari Al-Quran

Jeffery berpendapat `Abdullah ibn Mas`ud menganggap surah al-Nas dan al-Falaq tidak
termasuk di dalam Al-Quran. Pendapat Jeffery salah karena yang dari murid-murid Ibn
Mas`ud seperti `Alqama, al-Aswad. Masruq, al-Sulami, Abu Wail, al-Shaibani, al-
Hamadani dan Zirr meriwayatkan Al-Quran dari Ibn Mas`ud secara keseluruhan 114
surat. Hanya seorang murid `Asim, yang meriwayatkannya berbeda.45

Selain itu juga, Jeffery sendiri mengakui terdapat dua versi yang berbeda mengenai
Mushaf Ibn Mas`ud. Versi yang dikemukakan Ibn Nadim di dalam Fihrist berbeda
dengan versi al-Suyuti di dalam Itqan. Menurut Jeffery, versi Ibn Nadim tidak lengkap
disebabkan daftar tersebut ditulis dengan rusak. Fihrist menyebutkan secara eksplisit
ada 110 surah sementara di dalam daftar hanya 105 surah. Begitu juga versi yang ada
di Itqan. Bukan saja surah 1, 113 dan 114 yang tidak ada, surah 50, 57 dan 69 juga
tidak ada. Jadi, simpul Jeffery, versi surah-surah yang ada di Itqan tersebut mungkin
terbuang karena kesalahan tulisan (scribal error).46

Argumentasi Jeffery sendiri sudah mengungkapkan masih terdapat banyak masalah


untuk membuktikan otentisitas Mushaf Ibn Mas`ud itu sendiri. Karena itu, tidaklah tepat
untuk menganggap bahwa Mushaf Ibn Mas`ud rival apalagi sederajat dengan Mushaf
Uthmani. Susunan surah Mushaf Ibn Mas`ud dalam Fihrist dan Itqan juga berbeda.
Fihrist misalnya menyebutkan surah 68, setelah surah 56, sedangkan dalam Itqan,
setelah surah 56, surah 79. Di dalam Fihrist, setelah surah 75, surah 77, sementara di
Itqan, surah 75, setelah surah 77. Begitu juga, setelah surah 93, surah 94 di dalam
Fihrist, sementara di Itqan, setelah surah 93, surah 86.47 Selain itu, Ibn Nadim juga
menyebutkan bahwa dia sendiri telah melihat al-Fatihah di dalam Mushaf lama Ibn
Mas`ud.

Selain itu, seandainya Surah al-Nas dan al-Falaq bukan bagian dari Al-Quran, niscaya
banyak riwayat akan muncul yang membenarkan fakta tersebut. Namun riwayat
tersebut tidak ada. Oleh sebab itu, maka Mushaf Ibn Mas`ud tidak bisa dijadikan tolak
ukur untuk menolak kesahihan Mushaf `Uthmani.

B. Mushaf Ubayy ibn Ka`b

Mengenai Mushaf Ubayy ibn Ka`b, Jeffery berpendapat Mushaf Ubayy memiliki banyak
persamaan dengan Mushaf Ibn Mas`ud dan mengandungi dua ekstra surah: al-Hafd
dan al-khala .48

Sebenarnya, Mushaf Ubayy ibn Ka`b banyak juga yang berbeda dengan Mushaf Ibn
Mas`ud. Surah al-Fatihah, al-Nas dan al-Falaq tercantum dalam Mushaf Ubayy dan
tidak tercantum dalam Mushaf Ibn Mas`ud. Susunan surah dan ragam bacaan Ubayy
juga banyak berbeda dengan Ibn Mas`ud. Selain itu, terdapat paling tidak dua versi
yang berbeda mengenai susunan surah Mushaf Ubayy. Bergstrasser sendiri
berpendapat Mushaf Ubayy kurang berpengaruh dibanding dengan Mushaf Ibn
Mas`ud.49 Selain itu, murid-murid Ubayy dari generasi sahabat seperti Ibn Abbas, Abu
Hurayrah, dan Abdullah ibn al-Saib50 menerima Mushaf Uthmani.

Selain itu, riwayat yang menyebutkan bahwa Mushaf Ubayy mengandung dua surah
ekstra; al-Hafd dan al-khala , adalah riwayat palsu karena bersumber dari Hammad ibn
Salama. Hammad meninggal pada, tahun 167 H dan Ubayy meninggal pada tahun 30
H. Jadi, paling tidak ada gap, dua sampai tiga generasi antara meninggalnya Ubayy
dan Hammad. Jadi, Hammad tidak mungkin bisa meriwayatkan langsung dari Ubayy.51

Selain itu, catatan di dalam mushaf tidak seharusnya bermakna itu adalah Mushaf Al-
Quran. Masahif `Uthmani disebarkan ke berbagai kota sekaligus diiringi dengan para
Qurra. Mereka mengajarkan qiraah berdasarkan kepada otoritas yang relevan. Ini
yang menetapkan apakah teks tersebut adalah Al-Quran atau bukan, bukan
berdasarkan kepada manuskrip yang illegal dan tidak dapat disahkan.52

C. Mushaf `Ali ibn Abi Talib

Mengenai Mushaf `Ali ibn `Abi Talib, Jeffery sendiri mengakui wujudnya perbedaan
pendapat. Ada yang berpendapat bahwa Mushaf `Ali disusun menurut kronologis, ada
pula yang berpendapat bahwa surah-surah di dalam Mushaf `Ali disusun menjadi tujuh
kelompok.53

Selain itu, ketika `Ali menjadi khalifah keempat, tentunya `Ali akan merubah Mushaf
`Uthmani karena tidak sesuai dengan Al-Quran yang sebenarnya. Namun, hal ini tidak
terjadi sama sekali. Sama halnya ketika terjadi perang Siffin. Saat itu, pengikut
Mu`awiyyah yang dalam keadaan terdesak, mengangkat Mushaf `Uthmani sebagai
tanda genjatan senjata. Pada saat itu, tidak ada seorangpun dari pengikut `Ali yang
meragui mushaf yang diangkat Mu`awiyyah. Bahkan Jeffery sendiripun menyatakan,
bahwa `Ali juga menyetujui kanonisasi yang dilakukan `Uthman.54 `Ali mengatakan
ketika `Uthman membakar mushaf-mushaf: Seandainya Ia belum melakukannya, maka
aku yang membakarnya. (law lam yasna `hu huwa lasana `tuhu).55

5. Al-Quran pada Zaman `Uthman


Mengomentari kanonisasi yang terjadi pada zaman `Uthman, pada umumnya para
orientalis menyalahkan tindakan `Uthman yang menutup perbedaan. Menurut Jeffery,
sebenarnya terdapat beragam mushaf yang beredar di berbagai wilayah kekuasaan
Islam. Mushaf-mushaf tersebut berbeda dengan Mushaf `Uthman. Jadi, ketika Mushaf
`Uthmani dijadikan satu teks standart yang resmi dan digunakan di seluruh wilayah
kekuasaan Islam, maka kanonisasi tersebut tidak terlepas dari alasan-alasan politis
(political reasons).56

Tafsiran Jeffery bahwa `Uthman meraih keuntungan politis dengan menjadikan Mushaf
`Uthmani sebagai teks standard (ne varieteur text) tidaklah tepat. `Uthman ra.
melakukan standarisasi teks-karena menghindari berbagai kesalahan yang akan terjadi
pada Al-Quran Faktor utama yang mendorong `Uthman untuk melakukan kompilasi
bermula ketika Hudhaifah ibn al-Yaman menyaksikan perbedaan qiraah yang sangat
tajam di kalangan para tentara yang sedang bertempur di Armenia dan Azerbaijan.
Menyaksikan hal tersebut, Hudhaifah ibn al-Yaman bergegas ke Medinah untuk
menyampaikan masalah tersebut kepada `Uthman ibn al-`Affan. Jadi, motivasi utama
adalah meluruskan kesalahan yang terjadi dan akan terjadi kepada kitab Allah, sama
sekali bukan politis. Kompilasi ini dilakukan supaya tidak terjadi kesalahan
sebagaimana yang telah terjadi pada sejarah kitab suci agama Yahudi dan Kristen. Al-
Bukhari meriwayatkan:

`Hudhaifah ibn al-Yaman datang kepada `Uthman. Ia memimpin penduduk Syam dan
Iraq dalam penaklukan Armenia dan Azerbaijan. Ia merasa cemas dengan pertengkaran
mereka mengenai qiraah. Maka Hudhaifah berkata kepada `Uthman: Wahai pemimpin
kaum Muslimin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertengkar mengenai Kitab,
sebagaimana yang telah terjadi kepada Yahudi dan Nasrani. Selanjutnya `Uthman
mengirim utusan kepada Hatsah dengan berpesan: Kirimkanlah kepada kami suhuf
(lembaran-lembaran) kami akan menyalinnya ke dalam mushat-mushaf kemudian akan
kami kembalikan kepadamu. Selanjutnya Hafsah mingirimkan suhuf kepada `Uthman,
yang kemudian memerintahkan Zayd ibn Thabit, `Abdullah ibn al Zubayr, Sa`id ibn al-
`as dan `Abdurrahman ibn al-Harith untuk menyalinnya di dalam beberapa mushaf.
`Uthman berkata kepada tiga orang Quraisy dalam kelompok itu: `Jika kalian berbeda
pendapat dengan Zayd rnengenai AI-Quran, maka tulislah dalam dialek Quraish,
karena AI-Quran diturunkan dalam bahasa mereka. Selanjutnya mereka
mengerjakan, sehingga setelah menyalin suhuf tersebut di dalam mushat-mushaf
`Uthmani mengembalikan suhuf tersebut kepada Hafsah. Setelah itu, Uthman mengirim
mushaf yang telah mereka salin ke setiap daerah, dan la memerintahkan agar selain AI-
Quran, seluruh lembaran dan mushaf dibakar.57

Selain tuduhan motif politis berada disebalik kodifikasi, Jeffery juga berpendapat bahwa
para Qurra (`Ibadites) sangat menentang kebijakan standardisasi Mushaf `Uthmani.
Jeffery berpendapat kaum Muslimin di Kufah terbagi dua faksi. Faksi yang menerima
teks Mushaf `Uthmani dan faksi yang menggunakan Mushaf Abdullah ibn Mas`ud serta
menolak Mushaf `Uthmani.58

Jeffery mengabaikan fakta sejarah bahwa para sahabat saat itu menerima dengan
senang hati keputusan `Uthman untuk melakukan standardisasi. Menurut Mus`ab ibn
Sa`d, tak seorangpun dari Muhajirin, Ansar dan orang-orang yang berilmu mengingkari
perbuatan `Uthman ra. (adrakat al-nas hina fa `ala `Uthman ma fa `ala, fama raitu
ahadan ankara dhalika, ya`ni min al-muhajirin wa a!-ansar wa ahl al-`ilm).59 Senada
dengan pendapat Mus`ab ibn Sa`d, `Ali ra. mengatakan ketika `Uthman membakar
mushaf-mushaf: Seandainya la belum melakukannya, maka aku yang membakarnya.
(law lam yasna`hu `Uthman lasana`tuhu).60 `Ali ra. juga mengatakan: Seandainya aku
yang barkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai mushaf sebagaimana yang
`Uthman buat. (law walitu, lafa `altu fi al-Masahif a]ladhi fa `ala `Uthman).61 Thabit ibn
`imarah al-Hanafi rnengatakan: Aku telah mendengar Ghanim ibn Qis al-Mazni
mengatakan: Seandainya `Uthman belum menulis mushaf, maka manusia akan mulai
membaca puisi. (law lam yaktub `Uthman al-mushaf, latafiqa al-nas yaqrauna al-shi
`r).62 Abu Majlaz mengatakan: Seandainya `Uthman tidak menulis Al-Quran, maka
manusia akan terbiasa membaca puisi (law la anna `Uthman kataba AI-Quran lau]fiyat
al-nas yaqrauna al-shi `r).63

Selain itu, Jeffery sama sekali tidak mengidentifikasi siapa yang dimaksud dengan
Ibadites itu. Menurut `Abd alQahir al-Baghdadi, Ibadites adalah sekte yang didirikan
oleh `Abdullah ibn `Ibad. Jadi, sekte tersebut baru muncul pada akhir khilafah bani
Umayyah, bukan pada zaman `Uthman. Selain itu, Ibadites terbagi kepada beberapa
sekte lagi seperti al-Hafsiyyah, al-Harithiyyah, al-Yazidiyyah dan Ashab alTa`ah la yurad
Allah biha.64 Bahkan, seandainyapun kalangan Ibadites memang mengemukakan
pendapat seperti itu, tetap saja pendapat itu salah. Sebabnya, semua para sahabat
yang berwibawa menyepakati apa yang telah diperbuat `Uthman ra.
Mengenai sikap `Abdullah ibn Mas`ud terhadap Mushaf `Uthmani, Jeffery menyebutkan
Ibn Mas`ud menolak menyerahkan mushafnya. Ibn Mas`ud marah karena teks mushaf
tersebut disusun oleh Zayd ibn Thabit yang jauh lebih muda. Ketika Ibn Mas`ud sudah
menjadi Muslim, Zayd masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.65

Bagaimanapun, Jeffery tidak mengungkap sikap menyeluruh dari Abdullah ibn Mas`ud.
Padahal dari kedua buku yang diedit sendiri oleh Jeffery, disebutkan Ibn Mas`ud me-
nimbang kembali pendapatnya yang awal dan akhirnya kembali lagi kepada pendapat
`Uthman dan para Sahabat lainnya. Ibnu Mas`ud menyesali dan malu dengan apa yang
telah dikatakannya.66

Menggulirkan lagi keraguannya terhadap otentisitas Mushaf `Uthmani, para orientalis


berpendapat perbedaan qiraah muncul karena Mushaf `Uthmani tidak memiliki titik dan
tanda baca. Tidak ada titik yang membedakan konsonan, vokal serta tanda-tanda
ortografis yang lain. Salah seorang orientalis yang termasuk paling awal mengangkat
masalah ortografi Mushaf `Uthmani adalah Noldeke. Dalam pandangan Noldeke, tulisan
arab menjadi penyebab perbedaan qiraah. Mengelaborasi gagasan Noldeke, Ignaz
Golziher, seorang Yahudi asal Hungaria dan pernah menjadi mahasiswa di alAzhar
Mesir, menjelaskan dengan mendetil mengapa tulisan arab (al-khat al-`arabiy) menjadi
penyebab perbedaan qiraah. Goldziher menyatakan:

Diantara kekhususannya adalah satu tulisan untuk satu kata kadang-kadang bisa
dibaca dengan berbagai bentuk mengikuti titik diatas atau titik dibawah huruf, sebagai-
mana tidak adanya tanda-tanda diakritis tatabahasa (harakah al-nahwiyah), serta
hilangnya ortografi di dalaln tulisan Arab memungkinkan untuk menjadikan satu kata
menjadi keadaan yang beragam dari sisi letaknya dalam irab. Karena itu,
penyempurnaan untuk tulisan buku kemudian perbedaan di dalam tanda-tanda diakritis
dan bentuk semuanya menjadi penyebab pertalna bagi munculnya diakritis (harakah)
berbagai qiraah yang mana di dalamnya tidak ada titik dan bentuk dari AI-Quran. 67

Untuk menyokong pendapatnya, Goldziher menunjukkan berbagai contoh. Al-Qatadah


(m. 117/735), misalnya, membaca surah al-Baqarah (2:54) dengan fa aqilu anfusakum,
bukan faqtulu anfusakum. Menurut Goldziher, dalam pandangan al-Qatadah, bacaan
faqtulu anfusakum menunjukkan bahwa hukuman yang sangat keras tidak sesuai
dengan dosa yang disebutkan. Jadi, bacaan fa aqilu anfusakum, yang bermakna
pastikanlah kamu rnenarik diri dengan apa yang telah kamu perbuat (haqqiqu al-ruju `
`amma fa`altum), yakni menyesal dengan kesalahan yang telah dilakukan (bi al-nadm
`ala al-khatiah al-muqtarafah). Mengomentari bacaan al-Qatadah, Goldziher
berpendapat bahwa contoh tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa pengamatan
yang objektif memang penyebab terjadinya perbedaan qiraah (hadha al-mithal yadullu
fi`lan `ala anna mulahazat mawdu`iyyah qad sharakat fi sabab ikhtilafal-qiraah).68

Sayangnya, Goldziher tidak menyebutkan sumber yang menyatakan al-Qatadah


membaca dengan faaqilu anfusakum. Bacaan ini tidak termasuk dalam qiraah sab`ah,
`asharah dan arba `ata `ashr. Menurut Ibn Kathir, dalam pandangan al-Qatadah ayat
tersebut bermakna Allah memerintahkan kaum tersebut dengan perintah yang sangat
tegas. Maka mereka saling membunuh dengan pedang, sebagian membunuh sebagian
yang lain, sehingga Allah menyampaikan kemarahan-Nya kepada mereka, maka
jatuhlah pedang tersebut dari tangan mereka, dan menahan mereka dari membunuh,
Dia menjadikan kehinaan mereka sebagai taubat, dan bagi yang meninggal syahadah.
(amara al-qawm bishadid min al-amr, faqamu yatanaharuna bi shifar yaqta `u ba
`duhum ba `dan, hatta balagha Allah fihim niqmatahu, fasaqatat al-shifar min aydihim, fa
amsaka `anhum al-qatl, faja `ala lahum tawbah, wa li al-maqtul shahadah).69

Selain itu, menurut Ibn al-Jinni, bacaan al-Qatadah adalah faqtulu anfusakum, dan
bacaan tersebut adalah bacaan yang menyimpang.70 Selain itu juga, sekalipun al-
Qurtubi menyatakan bahwa al-Qatadah membaca fa aqilu anfusakum, namun fa aqilu
disitu tetap bermakna selamatkan dirimu dari kesalahan dengan membunuh. Jadi,
makna fa aqilu tetap saja sama dengan makna faqtulu.71

Mengulangi lagi pendapat Noldeke dan Goldziher, Jeffery menyatakan:

Dihadapkan dengan teks konsonantal yang gundul qari pasti harus menafsirkannya. la
harus menentukan apakah sebuah sin tertentu itu adalah shin atau sin, sad atau dad,
qaf dan lain sebagainya; dan ketika ia telah menetapkan itu, ia selanjutnya harus
menentukan apakah membaca membaca bentuk kata kerja sebagai aktif atau pasif,
apakah memperlakukan sebuah kata tertentu sebagai kata kerja atau kata benda,
karena ia mungkin keduanya dan sebagainya.72
Pendapat para orientalis yang menyatakan perbedaan qiraah disebabkan aksara
gundul dalam teks Mushaf `Uthmani tidaklah tepat. Ilmu qiraah berasal dari Rasulullah
saw sendiri, sunnah yang menyatakan cara membaca setiap ayat. AlQuran
diwahyukan secara lisan dan ungkapan secara lisan Rasulullah saw secara simultan
menyediakan teks sekaligus cara baca kepada masyarakat. Keduanya tidak dapat
dipisahkan.

`Um.ar ibn al-Khattab dan Hisham ibn Hakim suatu saat berbeda di dalam qiraah
sebuah ayat dari al-Furqan. `Umar yang telah mempelajari ayat tersebut langsung dari
Rasulullah saw, bertanya kepada Hisham siapa yang mengajarkannya. Hisham
menjawab: Rasulullah saw. Kemudian mereka pergi bertemu Rasulullah saw dan
melaporkan permasalahan yang dihadapi. Ketika kedua-duanya menyampaikan bacaan
masing-masing, Rasulullah saw mengatakan bahwa keduadua tersebut adalah
benar.73

Jadi, qiraah diwarisi dari Nabi. Tidak ada qiraah yang berasal dari ruang yang vakum
atau hasil dari dugaan para innovator. Ketika qiraah yang otoritatif lebih dari satu,
sumber dari banyaknya qiraah ini dapat ditelusuri ke Rasulullah saw. Pada zaman para
sahabat, sebuah buku muncul dengan judul banyaknya qiraah. Ketika waktu
berkembang, perbandingan qiraah diantara para Qurra terkenal dari berbagai negeri
dan berkulminasi di karya Ibn Mujahid.74

Sekiranya pendapat para orientalis benar bahwa perbedaan qiraah disebabkan tidak
ada titik dan harakah, maka Mushaf `Uthmani akan memuat mungkin jutaan masalah
qiraah, namun ini tidak terjadi. Selain itu, argumentasi mereka juga salah karena para
Qurra banyak sekali sepakat dengan qiraah dalam ortografi yang sama.75

Al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi (41-95 H/661-714)

Melanjutkan kritikan kepada Mushaf `Uthmani yang diyakini kaum Muslimin sebagai
teks orisinal (urtext), para orientalis seperti Noldeke-Schwally, Paul Casanova, Alphon-
se Mingana dan Arthur Jeffery menganggap al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi ketika
menjadi Gubernur di Iraq (75/694-95/ 714) telah merubah Al-Quran yang telah
dikanonisasikan `Uthman ra. Mingana, misalnya, berpendapat bahwa al-Hajjaj telah
menghilangkan berbagai ayat yang seharusnya ada di dalam Al-Quran. Sumber yang
dijadikan panduan oleh Mingana adalah pendapat Casanova.76

Melanjutkan kritikan para orientalis sebelumnya, Jeffery berpendapat al-Hajjaj telah


membuat Quran edisi baru. Menurut Jeffery, teks yang diterima kaum Muslimin saat ini
adalah bukan berdasarkan versi `Uthman, tapi versi al-Hajjaj ibn Yusuf. ( textus
receptus is not based on the Recension of `Uthman, but on that of al-Hajjaj ibn
Yusuf).77 Kritikan Jeffery berdasarkan informasi yang didapatkannya dari Kitab al-
Masahif, surat-menyurat antara Khalifah Umayyah, `Umar Kedua dengan Kaisar
Bizantium Leo III dan risalah `Abd alMasih al-Kindi.

Memang ada dua athar di dalam Kitab al-Masahif yang menyebutkan bahwa al-Hajjaj
telah merubah sebelas huruf dari Mushaf `Uthman. Athar Pertama, `Abdullah Abu
Hatim al-Sijistani `Abbad ibn Suhayb `Awf ibn Abi Jamilah bahwa al-Hajjaj ibn
Yusuf telah merubah sebelas huruf di dalam Mushaf `Uthmani78

SURAH: AYAT MUSHAF UTHMANI TUDUHAN TERHADAP AL-HAJJAJ

1. Al- Baqarah 259

2. Al- Maidah

3.Yunus 22

4. Yusuf 45

5. Al- Muminun 85,87,89 79

6. As- Shuara 116

7.As- Shuara 167

8 .Al- Zukhruf 32

9. Muhammad 15

10.Al-Hadid 7

11.Al-Takwir 24
Athar Kedua, Abu Bakr berkata: telah ada di dalam buku ayahku, seorang lelaki berkata
kepada kami; maka aku bertanya kepada ayahku siapa dia, maka ayahku berkata:
`Abbad ibn Suhayb mengatakan kepada kami dari `Awf ibn Abi Jamilah bahwa al-Hajjaj
ibn Yusuf telah mengubah sebelas huruf di dalam Mushaf `Uthmani.80

Mengomentari lebih lanjut tindakan al-Hajjaj, Jeffery menyatakan:

Perbuatan al-Hajjaj menghasilkan edisi Al-Quran yang sama sekali baru dan al-Hajjaj
memerintahkan supaya sajinan-salinan teksnya yang baru dikirim ke pusat
metropolitan. Bagaimanapun, ketika kami memeriksa periwayatan aktivitas al-Hajjaj
dalam masalah ini, kami terkesima menemukan bukti fakta yang kukuh menunjukkan
bahwa karyanya tidak terbatas kepada menetapkan teks AI-Quran secara lugas
dengan himpunan titik yang menunjukkan bagaimana teks tersebut dibaca, namun
tampaknya ia telah membuat edisi AI-Quran yang sama sekali baru, dan selanjutnya
mengirimkan salinan-salinan teks baru tersebut ke pusat-pusat metropolitan dan
memerintahkan untuk menghancurkan salinan-salinan terdahulu yang ada disana,
sebagaimana yang telah dilakukan Uthman sebelumnya. Lagi puia, teks baru yang
disebarkan oleh al-Hajjaj kelihatannya telah mengalami kurang lebih perubahan-
perubahan yang ekstensif. 81

Sangat disayangkan, Jeffery sama sekali tidak memeriksa informasi yang ada di dalam
Kitab al-Masahif. Padahal Abbad ibn Suhayb di kalangan para ahli hadith termasuk se-
orang yang ditinggalkan (ahad min al-matrukin).82 Menurut Ibn Hibban, `Abbad adalah
pendakwah Qadariyah, dan ia masih meriwayatkan banyak hal apabila seorang pemula
dalam bidang ini (hadith) mendengar riwayat tersebut, Ia akan menyaksikan riwayat
tersebut sebagai palsu (kana qadariyyan da iyan ila al-qadar wa ma a dzalika yarwi al-
manakir an almashahir allati idza sami aha al-mubtadi fi hadhihi al-sina ah shahida
laha bi al-wad ). Ibn Hibban memberi contoh dua hadith yang diriwayatkan oleh Abbad
ibn Suhayb. Salah satunya adalah Rasulullah saw. pernah bersabda: Warna biru di
dalam mata adalah tanda keberuntungan. (al-zurqah fi al-ain yumn).83

Ibn Adiyy menyatakan: Abbad Ibn Suhayb punya banyak tulisan dan hadith banyak
mengenai orang-orang yang dikenal dan yang lemah dan jelas hadithnya lemah,
sekalipun begitu ia menulis hadithnya.(wa liabbad tasanifkathirah wa hadith kathir an
al-ma rufin wa an al-du afa wa yatabayyan ala hadithihi al-du f wa ma a du fihi
yaktub hadithahu).84

Al-Dhahabi, mengikuti pendapat al-Bukhari, al-Nasai dan yang lain menyatakan hadith
dari `Abbad Ibn Suhayb ditinggalkan (matruk).85 Ibn Hajar di dalam Lisan al-Mizan
memuat berbagai pendapat para muhaddithun yang menyatakan bahwa Abbad ibn
Suhayb adalah ahad min al-matrukin.86

Selain `Abbad, sanad lain yang juga bermasalah adalah `Auf ibn Abi Jamilah. Sekalipun
ia thiqah (terpercaya), namun punya kecenderungan Syiah dan anti Umayyah. Al-Hajjaj,
sebagai salah seorang tokoh Umayyah, wajar saja menjadi target `Auf ibn Abi
Jamilah.87

Selain itu, isu mengenai perubahan yang dilakukan oleh al-Hajjaj terhadap Mushaf
`Uthmani menunjukkan perbedaan qiraah. Bagaimanapun, disebabkan ada diantara
qiraah tersebut yang satu orangpun tidak ada yang membacanya, maka tuduhan yang
dilemparkan kepada al-Hajjaj tidaklah benar.88 Masih banyak lagi argumentasi lain
yang menunjukkan, anggapan al-Hajjaj telah mengubah mushaf `Uthmani adalah tidak
berdasar sama sekali.

Pertama, al-Hajjaj setia kepada `Uthman. Ia tidak akan memaafkan orang yang
membunuh `Uthman. Ia akan membela Mushaf `Uthmani dari segala bentuk
perubahan. Kedua, pada zaman al-Hajjaj, Mushaf `Uthmani sudah tersebar diberbagai
daerah dan al-Hajjaj adalah salah seorang dari Gubernur di Kufah di zaman
kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M), yang menguasai daerah yang lebih
luas. Seandainyapun, al-Hajjaj sanggup mengubah berbagai salinan di daerah
kekuasannya, Kufah, ia tidak akan sanggup mengubah semua salinan yang ada di
daerah lain seperti Mekkah, Medinah dan Syam. Ini belum termasuk yang dihafal kaum
Muslimin. Al-Hajjaj tidak bisa mengubah apa yang sudah dihafal oleh kaum Muslimin.
Ketiga, seandainya alHajjaj mengubah Mushaf `Uthman, maka tentu umat akan akan
bangkit untuk melawan. Keempat, dinasti Abbasiah, yang didirikan di atas reruntuhan
dinasti Umayyah, telah banyak mengubah kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya
oleh dinasti Umayyah. Seandainya al-Hajjaj dari Bani Umayyah mengubah Al-Quran,
dinasti Abbasiah akan mengeksploitasi isu tersebut untuk menghantam al-Hajjaj secara
khusus atau Bani Umayyah, secara umum. Namun, isu seperti itu tidak pernah muncul.
Sejarawan Muslim seperti Ibn Khallikan (608-681 H),89 memang menyebutkan peran
al-Hajjaj dalam memberikan tanda-tanda diaktritis kepada ortografi Mushaf `Uthmani.
Namun, tidak seorangpun baik Ibn Khallikan atau sejarawan Muslim yang lain menuduh
al-Hajjaj telah mengubah sebelas tempat dari Mushaf `Uthmani.

Ibn Mujahid (245-324 H/859-936)

Meneruskan kritikannya terhadap standarisasi teks Mushaf `Uthman, Jeffery


berpendapat bahwa keragaman qiraah lambat laun mengalami pembatasan karena
tekanan politis. Jeffery mengecam pembatasan ikhtiyar (the limitation of ikhitiyar) yang
dilakukan oleh sultan Ibn Muqla (m. 940 M) dan sultan Ibn `Isa (m. 946 M) pada tahun
322 H. Menurut Jeffery, para penguasa tersebut bertindak atas desakan dan rekayasa
Ibn Mujahid (m. 324/936 M). Padahal, dalam pandangan Jeffery, pada periode awal
Islam, keragaman qiraah itu beragam dan tumbuh subur sebagaimana terungkap
dalam berbagai mushaf.90

Melanjutkan kritikannya terhadap pembatasan ikhitiyar, yang menandai babak baru


dalam sejarah teks Al-Quran, Jeffery berpendapat sebenarnya Ibn Shannabudh di
Baghdad (m. 328/939) dan ibn Miqsam (m. 362 H) menentang pembatasan tersebut.
Namun, akhirnya nasib mereka ditindas dan dipaksa untuk bertobat karena qiraahnya
berbeda dengan Mushaf `Uthmani.91 Jeffery mengkritik pilihan Ibn Mujahid terhadap
tujuh sistem qiraah, yaitu; Nafi (m. 169) dari Medinah; Ibn Kathir (m. 120) dari Mekkah;
Ibn `Amir (m. 118) dari Syiria; Abu Amr (m. 154) dari Basrah; `Asim (m. 128); Hamzah
(m. 158) dan al-Kisai (m. 182) dari Kufah. Menurut Jeffery, pilihan Ibn Mujahid terhadap
tujuh sistem tersebut mengalami penolakan dan penentangan. Tanpa mengidentifikasi
siapa yang menolak, Jeffery selanjutnya mengatakan bahwa sebagian menolak karena
tiga sistem berasal dari Kufah, dan ingin supaya salah seorang dari mereka diganti oleh
Qurra dari tempat lain. Khususnya, posisi al-Kisai perlu diganti.92 Dalam pandangan
Jeffery, Ibn Mujahid sepertinya memilih alKisai karena secara pribadi lebih suka
kepadanya (personal predilection). Padahal, secara umum qiraahnya mengikuti
Hamzah. Kalaupun qiraahnya berbeda dari Hamzah, maka perbedaan qiraah tersebut
hampir tidak ada yang penting. Jeffery juga menyebutkan pendapat bahwa al-Kisai
sepatutnya diganti dengan Yaqub (m. 205 H) dari Basrah. Selain itu ada juga pendapat
yang mengatakan bahwa Khalaf (m. 229 H) dari Kufah atau Abu Ja`far dari Medinah (m.
130 H) lebih sesuai untuk menggantikan posisi al-Kisai. 93
Selain itu, Jeffery berpendapat Ibn Mujahid telah menekan qiraah yang lain seperti tiga
qiraah sebagaimana qiraah sepuluh.94 Bahkan, tegas Jeffery, masih terdapat empat
qiraah lain sehingga semuanya menjadi 14 sistem. Keempat qiraah yang terakhir
adalah Ibn Muhaisin (m. 123) dari Mekkah, al-Hasan (m. 110) dari Basra, al-Yazidi (m.
202) dari Basra dan al-A`mash (m. 148) dari Kufah. Dalam pandangan Jeffery, keempat
qiraah yang terakhir tersebut lebih tepat untuk dimasukkan ke dalam tujuh qiraah
dibanding dengan pilihan Ibn Mujahid.95

Melanjutkan analisanya terhadap tindakan Ibn Mujahid, Jeffery menyimpulkan terdapat


dua kelompok varian bacaan Al-Quran. Pertama, varian kanonik, yaitu tujuh varian
bacaan yang dikanonisasi oleh Ibn Mujahid, dan kedua, varian qiraah yang otoritasnya
lebih rendah yaitu sepuluh qiraah dan yang bukan kanonik, meliputi semua varian yang
lain (shawadhdh). Dalam pandangan Ibn Mujahid, empat qiraah yang menjadikan
empat belas sangat dekat untuk diakui sebagai kanonik.96 Selain itu, Jeffery juga
menunjukkan sebenarnya terdapat sejumlah perbedaan mengenai varian bacaan di
dalam masing-masing sistem dari yang tujuh itu. Bagaimanapun, pada abad berikutnya,
setiap qiraah dari tujuh qiraah hanya dua jalur yang dipilih sebagai tradisi ortodoks.
Ketika dibukukan, sistem tersebut menjadi:

Nafi` menurut Warsh (m. 197 H) dan Qalun (m. 220 H). Ibn Kathir menurut al-Bazzi (m.
270 H) dan Qunbul (m. 280 H).

Ibn `Amir menurut Hisham (m. 245 H) dan Ibn Dhakwan (m. 242 H).

Abu `Amr menurut al-Duri (m. 250 H) dan al-Susi (m. 261).

Asim menurut Hafs (m. 190 H) dan Abu Bakr (m. 194 H). Hamzah menurut Khalaf (m.
229 H) dan Khallad (m. 220 H).

Al-Kisai menurut al-Duri (m. 246 H) dan Abu al-Harith (m. 261).

Melanjutkan komentarnya, Jeffery berpendapat dari semua sistem tersebut, hanya


sistem Warsh dari Nafi`, Hafs dari Asim dan al-Duri dari Abu Amr yang mendapat
sambutan yang luas, dan karena alasan-alasan yang tidak jelas, sistem Hafs dengan
cepat mengatasi semua sistem yang lain untuk menjadi textus receptus bagi kaum
Muslimin. Sistem Hafs digunakan di mana-mana kecuali di Afrika Utara dari Tripoli ke
Moroko.97
Pendapat Jeffery mengenai Ibn Mujahid perlu dicermati dengan serius.

Pertama, pendapat Jeffery yang menyalahkan tindakan Ibn Mujahid karena membatasi
periode ikhtiyar tidaklah tepat. Qiraah bukanlah berarti membaca AI-Quran dengan
bebas. Keragaman qiraah bukanlah hasil dari ikhtiyar, namun adalah berasal dari
Rasulullah saw. Syarat paling utama qiraah harus memiliki sanad yang bersambung
kepada Rasulullah saw. Qiraah itu harus mengikuti qiraah yang telah ditentukan oleh
Rasulullah saw yang dan diajarkan kepada para sahabat.98 AlAbbas ibn Muhammad
ibn Hatim al-Duri mengatakan bahwa Abu Yahya al-Himmani mengatakan kepada kami:
al-Amash dari Habib dari Abdurrahman al-Sulami dari Abdullah ibn Masud
menyatakan: Ikutilah dan jangan kamu mengada-ada maka cukup bagimu. (Ittabi u
wa la tabtadi u faqad kufitum). Hudhaifah berkata: Bertakwalah wahai para qari, dan
ambillah jalan yang telah ditempuh sebelummu, demi Allah jika kamu benar-benar
istiqamah maka kamu telah melakukan perbuatan yang dampaknya jauh, dan jika kamu
meninggalkannya, kamu telah sesat dengan kesesatan yang jauh. (Ittaqu ya ma
ashara al-qurra, wa khudhu tariq man kana qablakum fa wallah lain istaqamtum laqad
subiqtum sabqan ba idan, walain taraktumuhum yaminan wa shimalan laqad dalaltum
dalalan ba `idan). `Ali ibn Abi Talib menyatakan: Sesungguhnya Rasulullah saw
menyuruhmu supaya membaca AlQuran sebagaimana kamu diajarkan. (Inna Rasu]
a]lah salla allah `alayhi wa sallam yamurukum an taqrau AI-Quran kama `ullimtum).
Abu `Amru ibn al-`Ala menyatakan: Seandainya bukan karenanya aku tidak akan
membaca selain dengan apa yang telah dibaca aku membaca huruf seperti ini dan itu
dan begini dan begitu.(Law la annahu laysa li an aqraa illa bima qad quria bihi
laqaraqtu harfkadha kadha wa harf kadha kadha) Paman `Abdurrahman berkata: Aku
bertanya kepada `Amru ibn al-`Ala dalam satu tempat dan pada satu tempat bagaimana
ini diketahui? Maka ia menjawab: Ini hanya dapat diketahui dengan mendengar dari
para shaykh terdahulu. Zayd ibn Thabit dari ayahnya berkata: al-Qiraah sunnah.
Zayd ibn Thabit dari ayahnya menyatakan: Qiraah adalah sunnah, maka bacalah
sebagaimana kamu menemukannya. (al-Qiraah sunnah, faqrauhu kama tajidunahu).
Muhammad ibn al-Munkadir berkata: Qiraah adalah sunnah yang orang lain
mempelajarinya dari orang-orang yang awal. (al-Qiraah sunnah yakhudhuha al-akhar
an al-awwal). Amir al-Sha`bi menyatakan: Qiraah adalah sunnah, maka bacalah
sebagaimana orang-orang terdahu]u telah membacanya. (al-Qiraah sunnah, faqrau
kama qaraa awwalukum). Urwah ibn al-Zubayr berkata: Sesungguhnya Qiraah AI-
Quran termasuk dari sunnah, maka bacalah sebagaimana kamu diajarkan. (Innama
qiraat AI-Quran sunnah min al-sunan, faqrau kama ulimtumuh).99
Jadi, konsep ikhtiyar dalam qiraah bukanlah sebagaimana yang dipahami Jeffery, yaitu
membaca sesuai keinginan pembaca. Menurut al-Baqillani (m. 403 H), perbedaan
diantara para Qurra, bukan berarti mereka berijtihad dan bebas memilih cara baca apa
saja sesuai dengan fikiran, sebagaimana para fuqaha yang berijtihad di dalam masalah
hukum. Dalam pandangan al-Baqillani, pendapat seperti ini salah karena Al-Quran
berdasarkan kepada riwayah.100

Kedua, pendapat Jeffery membela qiraah Ibn Shannabudh dan Ibn Miqsam juga tidak
tepat. Ibn Shannabudh membaca Al-Quran dengan tidak mengikut ortografi Mushaf
Uthmani. Ibn Shannabudh mengatakan: Aku telah membaca huruf-huruf yang
bertentangan dengan Mushaf `Uthmani yang telah dihimpun, dan yang qiraahnya telah
disepakati oleh para sahabat Rasulullah saw, kemudian menjadi jelas bagiku
bahwasanya itu adalah salah, dan aku bertaubat daripadanya, dan aku menarik balik,
dan aku lepas daripada Allah yang nama-Nya agung, karena Mushaf Uthmani adalah
yang benar yang tidak dibolehkan bertentangan dengannya serta tidak boleh dibaca
selain dengannya, dan diantara kitab-kitabnya, ada sebuah kitab yang Ibn Kathir
bertentangan dengan Abu Amru di dalamnya.101

Ibn Shannabudh juga membawa qiraahnya yang janggal (shadhdh) itu ke dalam shalat
dan mengajarkannya kepada orang lain. Sekalipun ia mendasarkan riwayat qiraahnya
kepada Abdullah ibn Masud dan Ubayy ibn Kab, namun riwayat tersebut bertentangan
dengan Mushaf `Uthmani.

Ibn Mujahid (m. 324/935) bukan orang yang pertama mengharuskan qiraah supaya
mengikut ortografi Mushaf Uthmani. Sebelumnya, Malik ibn Anas (m. 179/796) telah
menegaskan umat harus mengikuti Mushaf `Uthmani. Menurut Imam Malik, siapa saja
yang membaca menurut mushaf mushaf pribadi, tidak merujuk kepada Mushaf
Uthmani, maka orang tersebut tidak boleh menjadi imam ketika sholat.102 Hal yang
sama juga dikemukakan oleh al-Tabari (m. 310/923). Menurut al-Tabari, semua qiraah
harus sesuai dengan ortografi Mushaf `Uthmani dan diriwayatkan dari Rasulullah saw.
melalui sanad yang sah.103

Setelah Ibn Mujahid, Ibn al-Baqillani (m. 403/1013), Makki ibn Abi Talib (m.
437/1045),104 al-Dani (m. 444/1052), al-Mahdawi, al-Kawashi, al-Bag-hawi, al-Sakhawi
(m. 902/ 1497), Abu Shamah (m. 665/1268), Ibn al-Arabi (m. 543/ 1148), Ibn al-Jazari
(m. 833/1429), al-Qastalani, al-Zurqani, al-Nuwayri (m. 897/1492), al-Safaqisi
(1118/1706), dan lainlainnya mengharuskan isnad yang sah dan sesuai dengan
ortografi Mushaf `Uthmani.105

Disebabkan Ibn Shannabudh tidak mengikut ortografi Mushaf `Uthmani, maka Ibn
Mujahid membawa masalah tersebut kepada Ibn Muqlah, penguasa di Baghdad pada
tahun 323 H. Setelah dibawa ke pengadilan, Ibn Shannabudh mengakui apa yang telah
dilakukannya. Para hakim yang hadir pada saat itu memutuskan untuk menghukumnya.
Dan selanjutnya, Ibn Shannabudh bertaubat dengan apa yang telah dilakukannya.

Ibn Shannabudh wajar disalahkan karena melanggar ortografi Mushaf Uthmani.


Pendapat Ibn Mujahid mengenai masalah ini sama sekali bukan hal yang baru. Ibn
Mujahid mengikuti apa yang telah dilakukan oleh para sahabat yang sepakat dengan
tindakan Uthman membakar mushaf-mushaf lain. Jadi, menyesuaikan sebuah qiraah
dengan ortografi Mushaf `Uthmani memang merupakan suatu keharusan.lbn Nadim (m.
388/998) memberikan beberapa contoh qiraah Ibn Shannabudh. Diantaranya:106

SURAT: AYAT MUSHAF UTHMANI QIRAAH IBN SHANNABUDH

1. Al-Jumaah: 9

2.Al-Kahf: 79

3.Yunus: 92

4.Saba 14108

5.Al-Lay: 1-3

6.Al-Furqan: 77

7. Al-Anfal: 73

8. Ali-Imran: 104

Ibn Mujahid juga menyalahkan qiraah Ibn Miqsam karena membolehkan sebuah
qiraah boleh dibaca termasuk ketika shalat, asalkan sesuai dengan kaidah bahasa
Arab dan ortografi Mushaf `Uthmani, sekalipun tanpa isnad.109 Al-Yaqut memberi
contoh qiraah Ibn Miqsam sebagai berikut: 110 Ibn Miqsam membacanya menjadi

Jadi, Ibn Miqsam tidak menjadikan isnad sebagai syarat sah sebuah qiraah. Padahal
isnad adalah syarat utama yang disepakati oleh para ulama (consensus doctorum).
Oleh sebab itu, qiraah Ibn Miqsam dilarang untuk disebarkan. Tapi kemudian, Ibn
Miqsam bertobat dan kemudian mengikuti kesepakatan para ulama.111

Selain itu, sikap Ibn Mujahid terhadap Ibn Shannabudh dan Ibn Miqsam didukung oleh
para ulama lain. Membiarkan berkembangnya bacaannya Ibn Shannabudh dan Ibn
Miqsam akan mengacaukan Al-Quran. Jadi, Ibn Mujahid menolak qiraah Ibn
Shannabudh dan Ibn Miqsam karena Ibn Shannabudh menyepelekan ortografi Mushaf
Uthmani dan lbn Miqsam menyepelekan sanad. Dalam pandangan Ibn Mujahid,
sebuah qiraah itu memiliki syarat-syarat. Tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut,
maka qiraah tersebut adalah salah dan tidak dapat diterima.

8. Al-Quran Edisi Kritis

Setelah mengungkapkan problema sejarah Al-Quran, Jeffery ingin mengedit Al-Quran.


Dalam pandangannya, AlQuran memiliki banyak kelemahan. Ia ingin menyusun se-
buah Al-Quran dengan bentuk yang baru. Al-Quran dengan bentuk yang baru inilah Al-
Quran edisi kritis (a critical edition of the Quran).

Dalam pikiran Jeffery, format Al-Quran edisi kritis tersebut memiliki empat jilid. Jilid
pertama, mencetak teks Hafs yang diklaim sebagai textus receptus. Teks tersebut akan
direkonstruksi menurut sumber-sumber terlama, yang berkaitan dengan tradisi Hafs.
Teks tersebut akan dicetak menurut nomor ayat Flugel. Referensi yang relevan akan
dicantumkan di pinggir halaman tersebut beserta apparatus criticus pada catatan kaki
setiap halaman. Segala varian bacaan dari bukubuku tafsir, kamus, hadith, teologis,
filologis, dan bahkan dari buku-buku Adab, akan dihimpun. Setelah itu, diberi berbagai
simbol, yang menunjukkan nama para Qurra yang dikutip untuk setiap varian. Ini akan
menunjukkan apakah para Qurra yang dikutip lebih dahulu atau lebih belakangan
dibanding dengan qiraah sabah. Sekalipun, apparatus criticus tidak dapat diharapkan
akan sempurna karena terlalu berseraknya varian bacaan, namun semua sumber-
sumber yang lebih penting yang tersedia akan dimanfaatkan. Jilid kedua akan diisi
dengan pengenalan (introduction), untuk para pembaca bahasa Inggris. Edisi ini dalam
bahasa Jerman sudah tersedia dalam edisi kedua karya Noldeke Geschichte des
Qorans. Jilid ketiga akan dilengkapi dengan anotasi-anotasi, yang pada dasarnya
merupakan komentar terhadap apparatus criticus. Berbagai varian bacaan tersebut
perlu dijelaskan lebih mendalam. Penjelasan tersebut mencakup asal-mula, derivasi
dan pentingnya qiraah. Ini akan bermanfaat jika terjadi perdebatan mengenai sebuah
bacaan. Para sarjana akan mendapat informasi tambahan sehingga mereka bisa
menilai. Jilid keempat, berisi kamus Al-Quran. 112 Jeffery membayangkan Kamus Al-
Quran tersebut seperti Kamus Grimm-Thayer atau Kamus Perjanjian Baru Milligan-
Moulton. Kamus yang belum pernah dibuat oleh para mufasir Muslim, Kamus AlQuran
tersebut akan memuat makna asal dari kosa-kata di dalam Al-Quran.113

Selain dari empat jilid tersebut, Jeffery juga mendambakan untuk mengeluarkan serial
Studi Sejarah Teks Al-Quran (Studien zur Geschicte des Koran-texts), sebagaimana
yang telah digagas oleh Bergstrasser. Berbagai karya, termasuk karya yang sudah
diedit oleh Bergstrasser sendiri, yaitu karya Ibn Jinni;114 karya Ibn Khawalayh;115
manuskrip-manuskrip Ibn Abi Daud;116 al-Ukbari; al-Mabani;117 lbn al-Anbari tentang
Waqf wa Ibtida dan yang lain, harus,diterbitkan. 118 Pencarian intensif juga perlu giat
dilaksanakan untuk mencari qiraah yang hilang, di samping menerbitkan mushaf-
mushaf Kufi.119 Jadi, akhir dari penerapan metodologi Bibel dalam studi AI-Quran
adalah mengkritisi dan mengedit Mushaf Uthmani. Padahal, status teks Bibel dan Al-
Quran tidaklah sama. Menggunakan metodologi Bibel yang sekular ke dalam studi Al-
Quran akan mengabaikan sakralitas Al-Quran. Kalangan Kristen mengakui Bibel
sebagai karangan manusia sedangkan Al-Quran diturunkan dari Allah dan bukan
karangan Muhammad. Allah swt. berfirman yang artinya: Yang tidak datang kepadanya
(AI-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari
Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.120 Metodologi Bibel sarat dengan se-
jumlah permasalahan mendasar di dalam Bibel yang memang mustahil untuk
diselesaikan. Oleh sebab itu, metodologi Bibel akan berakhir dengan kesimpulan
mengedit Bibel secara kritis. Bagaimanapun, pengalaman tersebut tidak sepatutnya di-
terapkan oleh sarjana Muslim.121

Selain itu, sejak zaman para Sahabat hingga kini menyepakati Al-Quran Mushaf
`Uthmani. Abu `Ubayd (m. 224 H), seorang yang termasuk paling awal menulis
mengenai qiraah menyatakan: Kita menilai seseorang itu kafir bagi siapa saja yang
menolak apa yang ada diantara dua sampul khususnya, dan itu telah tetap di dalam
(mushaf) Imam, yang ditulis oleh `Uthman dengan persetujuan Muhajirin dan Ansar, dan
menggugurkan apa selainnya, kemudian ummat menyepakatinya, tidak ada
perbedaannya di dalamnya, yang bodoh di kalangan ummat mengetahuinya
sebagaimana yang pintar di kalangan mereka, berabad-abad mewariskannya, anak-
anak mempelajarinya di sekolah, dan ini merupakan salah satu tindakan Uthman yang
mulia, dan sebagian di kalangan yang menyimpang (ahl zaygb) mencelanya, kemudian
bagi manusia kesesatan mereka menjadi jelas mengenai hal tersebut.122

Pluralisme Agama

Pluralisme muncul sarat muatan politis, yang tak lebih sebagai respons politis terhadap
kondisi masyarakat Kristen Eropa akibat perlakuan dikriminatif dari gereja
(tulisan pertama)

Oleh: Anis Malik Thoha*

Menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan Protestanistik


yang kini digandrungi sebagian kaum Muslimin

Proses liberalisasi sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern,
semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca:
penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus
membuka diri untuk diliberalisasikan.

Sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yurisdiksi agama telah direduksi,
dimarjinalkan, dan didomestikasikan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi di sisi
kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak
cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang
harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti
toleransi, kebebasan, persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan semua agama adalah
musuh demokrasi, kemanusiaan, dan HAM. Oleh karenanya agama harus
mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa
kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud
serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman.

Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik
yang dikenal dengan pluralisme politik. Liberalisasi agama harus bermuara pada
terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang
sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai
pluralisme agama

Pluralisme, Gagasan Protestanistik

Paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh
karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme
agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak aneh jika
gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme
politik (political pluralism), yang merupakan produk dari liberalisme politik (political
liberalism).

Jelas, faham liberalisme tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial
masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan
mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan ini masih terbatas dalam masyarakat
Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang
hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.

Saat itu, hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan
Barat secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Beberapa
sekte Kristen masih mengalami perlakuan dikriminatif dari gereja. Hal itu misalnya
dialami sekte Mormon, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan
heterodoks. Diskriminasi ini berlangsung sampai akhir abad kesembilan belas, ketika
muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland (1837-1908).

Ada pula doktrin di luar gereja tidak ada keselamatan. Ini tetap dipegang teguh oleh
Gereja Katolik hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun 1960-an,
yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain
Kristen.

Jadi, gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan


teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain.
Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran
agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19.
Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal Protestantism. Pelopornya adalah
Friedrich Schleiermacher.

Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana
pemikiran filsafat dan teologi Barat. Muncul tokoh gigih, seperti teolog Kristen liberal
Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul Posisi Agama
Kristen di antara Agama-agama Dunia yang disampaikan dalam sebuah kuliah di
Universitas Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara
argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung
elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep
ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal.

Ada lagi William E Hocking. Gagasannya ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932)
dan Living Religions and A World Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan
munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep
pemerintahan global.

Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975),
dalam karyanya An Historians Approach to Religion (1956) dan Cristianity and World
Religions (1957). Juga teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith.
Dalam buku Towards A World Theology (1981), Smith mencoba meyakinkan perlunya
menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama
bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan
harmonis. Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan
penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962)
dan Questions of Religious Truth (1967).

Dua dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase
kematangan. Kemudian menjadi sebuah wacana pemikiran tersendiri pada dataran
teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik juga mengetengahkan
realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran, kalau
bukan dampak dari (atau bahkan suatu proses sinergi) gagasan pluralisme agama ini.

Dalam kerangka teoritis, pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh
beberapa teolog dan filosof agama modern. Konsepsinya lebih lihai, agar dapat diterima
oleh kalangan antar agama. John Hick telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis
pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan
populer.

Hick menuangkan pemikirannya dalam buku An Interpretation of Religion: Human


Responses to the Transcendent. Buku ini diangkat dari serial kuliahnya pada tahun
1986-1987, yang merupakan rangkuman dari karya-karya sebelumnya.
Ternyata, fenomena yang murni Protestanistik atau terjadi dalam kerangka gerakan
reformasi Protestan secara khusus ini, masih mendominasi pemikiran orang-orang
Protestan hingga akhir abad ke-19. Sedangkan Kristen Katolik cenderung tidak
menerima gagasan pluralisme agama, dan tetap berpegang teguh pada doktrin di luar
gereja tidak ada keselamatan hingga akhirnya Konsili Vatikan II berlangsung.

Wabah Pluralisme dalam Islam

Dalam wacana pemikiran Islam, wacana pluralisme agama masih merupakan hal baru
dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan
pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses
penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam.

Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana
pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia II. Yaitu ketika
mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk
mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat
berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.

Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke
wacana pemikiran Islam. Antara lain melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat
Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin
Ahmad).

Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of
Religions, sangat sarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-
gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme
agama.

Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syiah moderat, adalah tokoh
yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di
kalangan Islam tradisional. Suatu prestasi; yang kemudian mengantarkannya pada
sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama-nama besar
seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.

Nasr mencoba menuangkan tesisnya tentang pluralisme agama dalam kemasan sophia
perennis atau perennial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau ;kebenaran abadi). Yaitu
sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang
tersembunyi di balik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia
semenjak Adam alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk atau meyakini satu agama dan
melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga
memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu
kebenaran hakiki yang abadi.

Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada sombol-simbol
dan kulit luar. Inti dari agama tetap satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr
ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada
umumnya. Suatu hal yang membuat kita bertanya-tanya, apakah tesis Nasr ini
mempunyai justifikasi yang solid dalam tradisi pemikiran Islam yang diklaimnya sebagai
basis dari bangunan pemikirannya?

Saat ini wacana pluralisme agama modern muncul dengan berbagai trend dan
bentuknya. Ini menggambarkan sebuah fakta secara telanjang bahwa betapa dominan
dan hegemoniknya Barat, baik dari segi politik, ekonomi, peradaban, maupun kultur.
Sebuah fakta yang untuk menjamin eksistensi dan kelestariannya, meniscayakan
adanya semacam legitimasi relijius, atau apa yang disebut Peter L Berger sebagai
sacred canopy (tirai suci). Dan itu harus sejalan dengan logika kemanusiaan modern
yang berlandaskan pada asas toleransi dan kebebasan, atau lebih tepatnya,
liberalisme.

Obsesi Barat ini kentara sekali dan sulit untuk ditutup-tutupi, sebagaimana nampak dari
upaya-upaya serius yang dilakukannya untuk mensosialisasikan gagasan ini. Bahkan
mereka tak segan melakukan tekanan politik, ekonomi, maupun militer terhadap
negara-negara lain yang enggan menerapkan gagasan pluralisme. Semua harus mau
bernaung di bawah jargon Tatanan Dunia Baru yang dicanangkan Amerika Serikat pada
awal sembilan puluhan dari abad yang lalu.* (Bersambung)
(*Dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University, Malaysia)

Tulisan ini diambil dari rubrik Tsaqafah, Majalah Hidayatullah, edisi Agustus 2004

Pluralisme, Klaim Kebenaran yang Berbahaya

Dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang ada, secara implisit pluralisme seolah
bertindak sebagai wasit yang mengontrol dan menjaga ketertiban permainan, termasuk
mengeluarkan kartu merah (tulisan kedua)
oleh Anis Malik Thoha*

Semua agama, baik yang mati maupun yang hidup, yang kuno maupun modern, yang
teistik maupun non-teistik, lahir dan hadir lengkap dengan klaim kebenaran. Terlepas
apakah klaim ini valid atau tidak, rasional atau irasional.

Setidaknya ada tiga macam cara memandang klaim kebenaran, yaitu eksklusivisme,
inklusivisme, dan pluralisme.

Eksklusivisme adalah kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu secara


eksklusif. Tidak memberikan alternatif lain, tidak memberikan konsesi sedikitpun, dan
tidak mengenal kompromi.

Klaim ini direpresentasikan oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen, dan Islam,
yang ditopang dengan konsep yuridis tentang keselamatan. Yudaisme mempunyai
doktrin the chosen people (masyarakat terpilih). Kebenaran, keshalihan, dan
keselamatan hanya berdasar atas etnisitas yang sempit, yaitu bangsa Yahudi. Katolik
punya doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) dan
Protestan dengan doktrin outside Christianity, no salvation (di luar Kristen tidak ada
keselamatan). Sementara Islam dengan firman Allah Subhanahu wa Taala bahwa inna
ad-diena inda Allahi al-Islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam).

Klaim Inklusivisme lebih longgar. Hanya salah satu agama saja yang benar, tapi juga
mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan untuk mencakup pengikut
agama lain. Bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena limpahan berkah
dan rahmat dari kebenaran absolut yang ia miliki.

Teologi inklusif hanya muncul di lingkungan Kristen dalam waktu belakangan. Ini
merupakan respons terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan
kedua abad ke-20, dan di sisi lain menganggap klaim eksklusif sudah ketinggalan
zaman.
Ada interpretasi baru yang dianggap lebih segar. Konsep penebusan dosa yang
dilakukan Yesus Kristus meliputi seluruh dosa warisan anak Adam. Semua ummat
manusia terbuka untuk ampunan Tuhan, meskipun mereka pengikut agama lain.
Teologi ini kemudian diadopsi secara resmi dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).

Tapi klaim kebenaran model ini tidak konsisten. Jika keselamatan dapat dicapai tanpa
adanya koneksi apapun dengan gereja dan doktrin Kristen, apa artinya bersikeras
memberikan label Kristen? Kenapa berbagai praktik Kristenisasi masih terus dilakukan?
Atau inklusivisme hanyalah slogan kosong dengan maksud tertentu?

Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Di Indonesia pada awal tahun
1990-an muncul jargon Islam inklusif. Namun setelah diteliti secara seksama,
kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata serupa dengan model
pluralisme seperti di bawah ini.

Pluralisme yang Berbahaya

Pluralisme muncul dan berkembang dalam setting sosial-politik humanisme sekuler


Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal. Salah satu konstituen
utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sebagian sosiolog diidentifikasi sebagai
civil religion).

Pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran,
cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan oleh
tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick.

Semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai ruang atau
jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid,
karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap
the Real (hakikat ketuhanan) yang sama.
Dalam kenyataannya, klaim itu menjadi klaim kebenaran relatif yang absolut. Tidak
saja ingin merelatifkan klaim kebenaran agama yang adasehingga semua agama
secara relatif samatapi juga sebetulnya ingin mengungguli klaim-klaim tersebut.
Hanya klaim pluralisme saja yang mutlak benar.

Dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang ada berarti secara implisitdan ini
jarang disadari oleh kaum pluralistelah menafikan, atau minimal mendegradasikan,
kebenaran hakiki klaim-klaim tersebut. Pluralisme juga telah bertindak sebagai wasit
sepakbola yang mengontrol dan menjaga ketertiban jalannya permainan, termasuk
mengeluarkan kartu merah.

Klaim pluralisme membawa implikasi yang berbahaya bagi manusia. Baik itu
menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis, dan metodologis, sebagian
bersifat ideologis dan teologis, dan sebagian lagi berhubungan dengan isu yang lebih
praktis, yaitu HAM (hak-hak asasi manusia) khususnya kebebasan beragama.

Gagasan pluralisme sulit menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah
benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik antar agama,
sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya? Atau malah
menjadi problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?

Tidak Bisa Dipertahankan Lagi

Istilah pluralisme agama selama ini difahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal,
dan logika Barat yang menampik hal-hal yang berbau metafisis. Ini adalah akar dari
semua masalah. Agama dianggap sebagai respons manusia, atau sering pula disebut
sebagai pengalaman keagamaan. Kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau
Dzat yang Maha Agung dinafikan mentah-mentah.

Tokoh seperti Joachim Wach, seorang ahli perbandingan agama kontemporer, bahkan
mendefinisikan konsep pengalaman keagamaan sebagai agama itu sendiri. Lahirlah
kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih benar
daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru menyulitkan para penggagas dan
penganjurnya, terutama yang beragama Kristen, karena muncul pertanyaan: apakah
Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan paganis (penyembah berhala)
yang kanibalistik?

Klaim ini juga mengerangkeng agama sehingga hanya boleh beroperasi di wilayah yang
sangat sempit dan privatyakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Muncul
pertanyaan lagi, apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal
ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia, baik dalam kehidupan individual
maupun sosial, atau tidak?

Kajian-kajian modern yang dilakukan para ahli menguatkan adanya pengaruh tersebut.
Joachim Wach misalnya, menyimpulkan bahwa manusia kapan saja dan dimana saja
selalu ingin mengekspresikan pengalaman keagamaan. Sementara ahli perbandingan
agama Ninian Smart dan anthropolog Clifford Geertz menegaskan tentang
komprehensivitas agama yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia.

Fakta-fakta di atas menguatkan komprehensivitas, inklusivitas, dan totalitas agama.


Cakupannya tidak hanya terbatas pada apa yang disebut institusi agama, melainkan
juga seluruh falsafah hidup yang dikenal manusia. Otomatis, konsep dikotomisasi
realitas: agama-negara, sakral-profan, dan individu-publik, menjadi tak tepat dan tak
akurat. Di Barat sendiri kini ada kajian-kajian ilmiah yang mengkritisi akurasi konsep ini.
Hasilnya, dikotomisasi tidak mungkin bisa dipertahankan di depan bukti-bukti dan fakta-
fakta objektif dari perkembangan sosio-politis kontemporer.

Di sisi lain, terminologi pluralisme di Barat telah mengalami perubahan yang sangat
fundamental, sehingga sama dan sebangun dengan demokrasi, yakni penegasan
tentang kebebasan, toleransi persamaan, dan koeksistensi. Namun, konsep yang
secara teoretis sangat agung dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung
menunjukkan perilaku intoleran dan memberangus HAM. Kata Muhammad Imarah,
Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran
dan untuk melepaskan sejarah, kultur, dan referensi keagamaan dan intelektual mereka
masing-masing. Barat tidak ingin membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri.
Muncullah kesadaran bahwa konsep pluralisme tidak boleh hanya tunduk pada
interpretasi tunggal (baca: Barat). Kata John O Voll, Terdapat kesadaran yang semakin
meningkat bahwa konsep pluralisme, yang merupakan fokus wacana-wacana masa
kini, adalah tunduk pada pemahaman yang beragam. John DArcy May juga
menyatakan perlunya keragaman dalam membaca dan memaknai konsep ini.

Alhasil, konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama saja, tak mungkin
bisa dipertahankan. Juga tak mungkin bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa
memberangus HAM. (bersambung) * Dosen Ilmu Perbandingan Agama di International
Islamic University, Malaysia

Tulisan ini diambil dari rubrik Tsaqafah, Majalah Hidayatullah, edisi September 2004.

DR. Anis Malik Thoha:INILAH AGAMA BARU


oleh : Henri Salahuddin, M. A.

Wacana tentang pluralisme agama terus bergulir di Indonesia. Wacana ini dikait-kaitkan
dengan soal kerukunan antar-umat beragama. Seolah-olah, dengan dianutnya paham
itu oleh umat beragama, maka kerukunan antar umat beragama akan terwujud.
Benarkah demikian? Apakah sebenarnya wacana pluralisme agama itu? Berkenaan
dengan itu, peneliti INSIST, Henri Shalahuddin pada Rabu, 26 Maret 2003
mewawancarai cendekiawan Muslim, Dr. Anis Malik Thoha, yang kini menjadi dosen
bidang perbandingan agama di International Islamic University Malaysia (IIUM). Dr. Anis
memiliki kompetensi untuk menjelaskan masalah ini, karena alumnus International
Islamic University Islamabad, Pakistan ini, memang menulis disertasi berjudul Ittijaahat
al-Taaddudiyyah al-Diniyyah wa al-Mauqif al-Islamiy minha.

Setelah mencermati wacana ini, Dr. Anis sampai pada kesimpulan, bahwa gagasan ini
sebenarnya merupakan agama baru dan jika ide ini dikembangkan di negara yang
mayoritas penduduknya adalah Islam, maka sangat menguntungkan sekali bagi proses
Kristenisasi.

Henri Shalahuddin (HS): Bagaimana sebenarnya latar belakang munculnya gagasan


pluralisme agama? Dan kapan pemikiran ini mulai merebak?

Dr. Anis Malik Thoha (AMT): Pada awal abad ke-20 seorang teolog Kristen Jerman
bernama Ernst Troeltsch menggulirkan perlunya bersikap pluralis di tengah-tengah
berkembangnya konflik intern antar aliran-aliran dalam agama Kristen maupun antar
agama. Dia berpendapat dalam sebuah artikelnya yang berjudul The Place of
Christianity among the World Religions, bahwa umat Kristiani tidak berhak mengklaim
paling benar sendiri. Pendapat senada ternyata juga banyak dilontarkan oleh sejumlah
pemikir dan teolog lainnya seperti sejarawan terkenal Arnold Toynbee dan tokoh
Protestan liberal Friedrich Schleiermacher.

Pada dasarnya munculnya ide pluralisme agama ini dilatarbelakangi oleh


menghebatnya pertikaian antara madzhab-madzhab dalam agama Kristen yang terjadi
pada akhir abad ke-19 hingga sampai pada tingkatan mutual exclusion (saling
mengkafirkan), sehingga mendorong presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Grover
Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar madzhab tersebut. Hal ini bisa
dipahami, mengingat pada awal-awal abad ke-20 telah bermunculan bermacam-macam
aliran fundamentalis di Amerika Serikat.

Selain konflik antar aliran madzhab dalam Kristen, faktor politik juga terkait rapat
dengan latar belakang gagasan ini. Pluralisme agama adalah respon terhadap political
pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-
dasar demokrasi pada awal-awal abad modern, dan yang secara nyata dipraktikkan
oleh USA. Kecenderungan umum dunia Barat waktu itu tengah berusaha menuju
modernasasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi,
globalisasi dan HAM. Maka dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks
ini, maka religious pluralism pada hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan
gerakan agama.

HS: Apakah sebenarnya ide dari political pluralism?

AMT: Setiap manusia adalah sama by virtue of being human, tidak ada ras, suku,
bangsa atau agama yang berhak mengklaim bahwa dirinya paling unggul.

HS: Bagaimana reaksi pihak gereja atas munculnya ide pluralisme agama ini?

AMT: Mereka sangat menentang keras dengan kemunculan ide ini, baik dari pihak
Katolik, Protestan ataupun aliran lainnya.

HS: Apakah indikasi dari penentangan mereka ini?

AMT: Diantara indikasinya adalah; Pertama: pengiriman misionaris Kristen ke seluruh


penjuru dunia khususnya dunia Islam yang terus berlangsung sampai sekarang ini.
Kedua: John Hick (salah seorang tokoh pluralisme Internasional saat ini) banyak
ditentang oleh para teolog Kristen dan pihak gereja, bahkan dia diusir dari posisi
penting yang dia pegang di gereja Presbyterian. Perdebatan sengit yang kemudian
dibukukan dalam sebuah buku berjudul: Problems in the Philosophy of Religion,
merupakan salah satu bukti kuat tentang sanggahan dan penentangan terhadap
pemikiran pluralisme agama, khususnya yang dikembangkan oleh John Hick dari
kalangan pastur dan teolog Kristen.
HS: Bagaimana anda melihat pluralisme dalam konteks Indonesia?

AMT: Sebenarnya menilik sejarah perkembangan dan tanggapan atau reaksi mereka
sendiri terhadap ide pluralisme ini, kita tidak perlu susah-susah menghabiskan energi
untuk mencari kelemahan ide ini, sebab di kalangan mereka sendiri menentang habis-
habisan termasuk dari para romo dan pendeta taat Kristen di Indonesia. Padahal ide
ini kalau dikembangkan di negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam, maka
sangat menguntungkan sekali bagi proses Kristenisasi.

HS: Menurut anda, dimanakah kelemahan mendasar ide pluralisme ini?

AMT: Pertama: Kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan
mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan
kebenaran ekslusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim paling benar sendiri
dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang
mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement
keagamaan (religious statement). Jadi misalnya dalam pertandingan sepak bola,
mereka ini ibaratnya sebagai wasit, tapi dalam waktu yang sama wasit yang
seharusnya memimpin pertandingan kok malah ikut main. Dan ini kan repot jadinya.
Mereka mestinya tahu aturan dan batasan-batasan main yang benar, kalau memilih jadi
wasit, jadilah wasit yang adil, dan kalau memilih jadi pemain, ya jadilah pemain yang
benar. Dan perlu diingat bahwa: any statement about religion is religious statement.
Dan ini mereka tidak sadar. Kedua: adanya pemaksaan nilai-nilai dan budaya barat
(westernisasi) terhadap negara-negara di belahan dunia bagian timur, dengan berbagai
bentuk dan cara, dari embargo ekonomi sampai penggunaan senjata dan pengerahan
militer secara besar-besaran seperti yang tengah menimpa Irak saat ini.

HS: Bisa anda elaborasi lagi bagaimana mereka menjadi tidak toleran?

AMT: Mereka merelatifkan tuhan-tuhan yang dianggap absolute oleh kelompok-


kelompok lain seperti Allah, Trinitas, Yahweh, Trimurti, dan lain sebagainya. Selain itu,
mereka juga mengklaim bahwa hanya tuhan mereka sendiri yang absolute. Tuhan yang
absolute menurut mereka ini namanya, seperti yang diusulkan John Hick, adalah The
Real yang kebetulan ia dapatkan padanan katanya dalam Islam sebagai Al-Haq. Nah
menurutnya, nama-nama Tuhan dalam berbagai agama hanyalah sebagai manifestasi
dari The Real ini. Oleh karena itu, semua orang harus mengimani tuhannya John Hick
ini. Jadi pada hakikatnya, tanpa sadar mereka telah membangun absolutisme-nya
sendiri. Di sinilah saya katakan, alih-alih jadi wasit tapi terseret jadi pemain, sehingga
menambah jumlah pemain yang saling berkompetisi di lapangan. Jadi pemikiran
pluralisme agama itu sangat sarat dengan self-inconsistent.

Selain ide the Real-nya John Hick, William James juga idenya republican banquet.
Setiap pluralisme selalu mengandaikan adanya a host culture atau tuan rumah budaya
yang menerima dan menjamu semua budaya yang datang (visiting cultures). Jadi,
posisi pluralisme bagaikan tuan rumah yang menyajikan hidangan kepada para
tamunya yang berasal dari berbagai macam agama, ras dan suku yang berbeda.
Sebagai tuan rumah dia (pluralisme) harus memperlakukan tamunya dengan ramah,
adil dan tidak boleh mengecewakan tetamunya. Tapi nyatanya mereka malah bertindak
tidak adil, tidak ramah dan seringkali memaksakan kehendaknya pada para tamunya.

HS: Jadi pada intinya, bagaimana sebenarnya anda menyikapi ide pluralisme agama
ini?

AMT: Pluralisme agama adalah agama baru, dimana sebagai agama dia punya tuhan
sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri. Sebagaimana humanisme juga
merupakan agama, dan tuhannya adalah nilai-nilai kemanusiaan, seperti yang
dikatakan August Comte. Dan dalam hal ini John Dewey (seorang filosof Amerika)
mengatakan demokrasi adalah agama dan tuhannya adalah nilai-nilai demokrasi.

HS: Bisa anda perjelas bahwa pluralisme agama adalah agama baru?

AMT: Dalam hal ini saya ingin mengaitkannya dengan teori civil religion yang
dikembangkan oleh seorang sosiolog modern yang berkebangsaan Amerika, yaitu
Robert N. Bellah. Dalam studi kasusnya, Bellah menjadikan Amerika Serikat, sebuah
Negara yang pluralis dan demokratis sebagai prototype atau model dasar dari teorinya
dalam sebuah artikelnya yang berjudul Civil Religion in America. Dalam
pengamatannya yang berkembang di Amerika adalah agama civil, yaitu agama yang
tidak berpihak pada agama-agama tradisional apa pun yang dipeluk oleh warga Negara
Amerika. Buktinya, menurut dia, adalah tidak seorang pun presiden Amerika hingga
saat ini yang tidak menyebut nama God dalam pidato resmi kenegaraannya, dan tidak
seorang pun dari presiden Amerika yang menyebut nama tuhan agamanya, atau agama
tradisional tertentu (seperti Jesus Christ, dll). Dari sini ia menyimpulkan bahwa God di
sini adalah tuhannya rakyat Amerika keseluruhan tanpa memandang ras dan agama
yang dianutnya.

Kitab sucinya terdiri dari teks-teks yang disucikan secara nasional, seperti the text of
the declaration of independence, pidato-pidato kenegaraan pendiri Amerika dan
presiden-presidennya (George Washington, Benyamin Franklin, Abraham Lyncoln dll).
Dan nabi mereka adalah ya para pendiri dan presiden Amerika. Sedangkan ritual
keagamaannya adalah hari kemerdekaan, hari-hari besar nasional dimana mereka
mengadakan upacara dan membaca kitab suci mereka. Simbol-simbol yang disucikan
adalah bendera dan simbol-simbol kepresidenan. Syuhada (orang yang mati sahid)
menurut mereka adalah mereka yang gugur membela negara Amerika.

HS: Bagaimana perkembangan agama civil selanjutnya?

AMT: Paham civil religion tidak diamalkan di Amerika saja, tapi mereka berusaha
menyebarkan ke berbagai negara termasuk Indonesia. Robert N. Bellah dan Philiph E.
Hammond memaparkan dalam bukunya yang berjudul Varieties of Civil Religion bahwa
agama civil tidak berhenti di Amerika saja tapi varian-variannya terjadi di seluruh negara
di dunia yang mengamalkan prinsip demokrasi, termasuk di Indonesia. Tentu saja
bentuk-bentuk civil religion ini bervariasi sesuai dengan corak dan budaya local
setempat.

HS: Anda menyebut agama civil dalam kontek Indonesia, bisa diperjelas?

AMT: Tidak ada penyebutan nama tuhan tertentu menurut agama tertentu dalam
Pancasila dan pidato kepresidenan khususnya di era Suharto, tapi yang disebut adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi Tuhan Yang Maha Esa adalah tuhannya seluruh rakyat
Indonesia. Kemudian adanya pembacaan kitab suci teks Proklamasi, Pembukaan UUD
45 dan Pancasila sebagai bacaan wajib dalam upacara kenegaraan atau hari besar
nasional. Nah nilai-nilai dan budaya Pancasila ini dalam koteks Indonesia adalah the
host culture sementara budaya atau nilai-nilai agama lain adalah visiting cultures.

HS: Dari konsep The Republican Banquet atau a host culcure, dimanakah letak
ketidakramahan dan pemaksaan kehendak yang dilakukan pluralisme agama kepada
para tamunya?

AMT: Ide ini tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi
dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati-dirinya secara utuh, seperti mengenakan
simbul-simbul keagamaan tradisional -khususnya agama Islam, yang sebetulnya secara
teori sangat dibenarkan dan bahkan dijunjung tinggi. Contoh kasus pengingkaran ini
banyak terjadi di Amerika, yang notabene adalah negara yang mengklaim paling
pluralis, demokratis dan menjunjung HAM, ternyata dalam kasus sehari-hari, misalnya
adanya larangan berbusana muslimah diterapkan oleh suatu perusahaan tertentu bagi
warga AS yang ingin bekerja di sana dan ketika kasus ini diangkat di pengadilan, justru
yang dimenangkan adalah perusahaan tersebut. Lebih lanjut tentang berbagai
ketimpangan sosial ini baca: Muslims on the Americanization Path? Edited by Yvonne
Yazbeck Haddad & John L. Esposito.

Maka sebetulnya yang layak menjadi tuan rumah (a host culture) yang baik hanyalah
Islam, dimana agama ini selalu tetap mengakui the otherness of the other dan
menghargai adanya agama lain sebagaimana adanya, tanpa memaksakan
keseragaman istilah ketuhanan, ritual dll.

HS: Sebagai penutup perbincangan kita, kira-kira apa tujuan yang hendak mereka
capai dengan menggulirkan ide pluralisme agama di awal-awal perkembangan ide ini?

AMT: Upaya menuju keseragaman (uniformity) atau menyeragamkan segala perbedaan


dan keberagaman agama. Dan ini bertentangan dengan sunnatullah yang pada
gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. (INSIST)

Tentang iklan-iklan ini

ABDULLAHI AHMED AN-NAIM LEBIH SIMPATIK KEPADA HAM KETIMBANG


KEPADA SYARIAH

oleh Adnin Armas


Abdullahi Ahmed An-Naim dalam karyanya, Islam dan Negara Sekular:
Menegosiasikan Masa Depan Syariah, menegaskan pemisahan institusi negara dan
Islam seraya tetap menjaga hubungan antara Islam dan politik. Bagi An-Naim, negara
harus bersikap netral terhadap agama, karena manusia cenderung mengikuti
pandangan pribadinya, termasuk agama. Bagaimanapun, An-Naim juga menegaskan
negara tetap perlu mengakui fungsi publik Islam dan pengaruhnya dalam pembuatan
kebijakan publik dan undang-undang. An-Naim menyatakan syariah bisa berperan
dalam ruang publik tetapi harus melalui public reason (nalar publik) dalam kerangka
Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan. (Hal. 146-147). Nalar publik yang
dimaksudkan oleh An-Naim adalah sebuah ruang diskusi dan debat yang benar-benar
berakar pada civil society dan ditandai dengan adanya proses kontestasi sejumlah aktor
yang berbeda. Kinerja publik reason dalam menegosiasikan peran agama dalam
kebijakan publik dan Negara harus dilindungi oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme,
hak asasi manusia dan kewarnegaraan. (Hal 264-65).

An-Naim menolak peran syariah dalam ruang publik jika tidak melalui nalar publik yang
dipandu Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan. Sebabnya, An-Naim menilai
watak inheren dalam syariah sebagai sistem normatif keagamaan memang tidak bisa
diterapkan oleh negara (Hal. 15-16). An-Naim menganggap syariah sebagai penafsiran
atas Al-Quran dan Sunnah Nabi; prinsip-prinsip syariah merupakan sesuatu yang dapat
dipahami dan coba diamalkan oleh umat manusia dalam konteks sejarah tertentu. (Hal.
27). Konsep syariah An-Naim yang relativistik dan pluralistik mendorongnya untuk
membongkar makna ijtihad (Hal. 31), menolak fatwa (Hal. 34-35), melakukan reformasi
islami (Hal. 184), menganggap syariah yang selama ini dipahami kaum Muslimin
sebagai syariah tradisional (186), mereformasi usul fikh (192), dan menguji syariah
terus-menerus dalam nalar publik (public reason), yang alasan, maksud, dan tujuan
kebijakan publik atau perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran yang
didalamnya warga pada umumnya bisa menerima atau menolak, dan membuat usulan
tandingan melalui debat publik tanpa ketakutan dituduh kafir atau murtad. (Hal. 22-23.)

Ringkasnya, An-Naim menunjukkan dukungannya kepada sekularisme. Namun


gagasannya tentang sekularisme tidak lah memiliki makna sempit, seperti yang
biasanya dipahami, yaitu pemisahan tegas antara agama dan negara. An-Naim bahkan
menegaskan dikotomi untuk memilih salah satu di antara agama dan sekularisme
sudah gagal karena konsep sekular tidak bisa berfungsi tanpa adanya ide agama. (Hal.
273). An-Naim menyimpulkan gagasan sekularisme dalam pengertian yang ketat dan
sempit itu sebagai dikotomi keliru dan dilema yang tidak perlu (Hal. 436).

Sekularisme, dalam pandangan an-Naim, memiliki makna yang lebih luas. Bagi An-
Naim, sekularisme adalah sebuah prinsip yang menjaga netralitas negara terhadap
agama dengan tetap mempertahankan keterhubungan antara Islam dan politik. (Hal.
107).

Pemikiran An-Naim tentang sekularisme menunjukkan bahwa An-Naim telah maju


selangkah dibanding para sekularis fundamentalis yang secara ketat memisahkan
antara agama dan Negara. Pemikirannya sekaligus menunjukkan kegagalan ideologi
sekularisme yang memiliki makna yang sempit. Oleh sebab itu, An-Naim merasa perlu
untuk memperlebar makna tersebut sehingga tetap memungkinkan peran agama dalam
ruang publik. An-Naim menegaskan supaya Islam dipisahkan dari Negara, sambil tetap
mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, yang memungkinkan penerapan
prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan dan perundangan-undangan resmi, tetapi dengan
tetap tunduk kepada perisai-perisai hukum. (Hal. 18).

An-Naim, yang menulis selama 3 tahun (2004-2006) dengan dibiayai Ford Foundation,
mengusulkan perlunya mediasi (bukan konfrontasi), yang berfungsi untuk
menegosiasikan peranan syariah dalam ruang publik yang berada dalam kerangka
Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan. Bentuk negosiasi gagasan AAN
untuk menjadi mediator antara ketegangan antara syariah dan HAM, misalnya, tersurat
dalam pernyataannya sebagai berikut. Sebagai seorang Muslim, jika saya dihadapkan
pada pilihan antara Islam dan hak-hak asasi manusia, saya pasti memilih Islam. Akan
tetapi, jika dihadapkan pada argument bahwa ternyata ada konsistensi antara agama
yang saya anut dan hak-hak asasi manusia, saya akan dengan senang hati menerima
hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan bukan sebagai
penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, saya mesti terus
mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung klaim bahwa hak-hak asasi
manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam, meskipun
tidak sesuai dengan beberapa interpretasi manusia atas syariah. (Hal. 50-51).

An-Naim juga menyatakan Jika saya, sebagai seorang Muslim, diminta untuk memilih
salah satu di antara Islam dan Hak Asasi Manusia, saya pasti akan memilih Islam.
Namun, daripada harus menghadapkan pilihan sulit ini kepada umat Islam, saya kira
lebih baik kita sebagai Muslim mulai mempertimbangkan untuk mentransformasikan
pemahaman kita terhadap syariah dalam konteks masyarakat Muslim saat ini. Saya
percaya bahwa pendekatan ini bisa digunakan sebagai prinsip, sekaligus solusi
pragmatis. (Hal 177).

AAN berpendapat masalah HAM dan syariah lebih baik dipahami dengan
menggunakan dua kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam pemahaman
dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas HAM di pihak lain. Pendekatan ini
lebih realstis dan konstruktif daripada sekadar mengungkapkan kecocokan atau
ketidakcocokan Islam dengan HAM dan mengambil keduanya dalam pemahaman yang
absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan perkembangan hubungan Islam
dan HAM, kita akan menemukan bahwa Islam sebenarnya sangat mendukung HAM.
(Hal 177). Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, Muslim tidak harus
mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui HAM. Mereka juga tidak boleh
mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan maupun
agama. (Hal 177-178).

Ada beberapa catatan untuk karya an-Naim. Pertama, an-Naim mengutip paling sedikit
31 karya (baik dalam bentuk buku dan artikel) dalam bahasa Indonesia. Padahal, an-
Naim tidak menguasai bahasa Indonesia. Sangat wajar jika timbul keraguan akan
otentisitas tulisannya. Atau apakah para mitranya di Indonesia telah bersusah-payah
menerjemahkan keseluruhan 31 karya tersebut ke dalam bahasa Inggris untuk an-
Naim? Jika hal tersebut dilakukan, seharusnya an-Naim mengucapkan terima kasih
yang mendalam dalam bukunya karena jerih-payah mitranya. Sayangnya, hal tersebut
sama sekali tidak dilakukan oleh an-Naim, intelektual yang berkaliber internasional. An-
Naim hanya menyebutkan bahwa ia telah meminta LKiS Yogjakarta untuk
menyelenggarakan seri FGD (Focus Group Discussion) di tujuh lokasi. (Hal. 410).

Kedua, an-Naim mengutip 4 artikel Nurcholish Madjid dalam bahasa Indonesia (Hal.
492). Bagaimanakah an-Naim bisa mengutip pendapat Nurcholish Madjid, padahal ia
tidak tahu bahasa Indonesia? Jika ke-4 artikel tersebut diterjemahkan oleh mitranya,
maka terjadi pengulangan penerjemahan. Sebabnya, ke-4 artikel Nurcholish Madjid
tersebut sudah diterjemahkan oleh Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual
Responses to New Order Modernization In Indonesia. Karya Muhammad Kamal
Hassan merupakan hasil disertasi di Universitas Columbia, pada tahun 1975. Karya
Muhammad Kamal Hasan tidak tercantum dalam bibliografi karya an-Naim. Atau karya
Muhammad Kamal Hasan luput dari perhatian mitra an-Naim. Persoalan sumber
tulisan wajar ditimbulkan karena an-Naim tidak menerangkan bagaimana begitu
banyak referensi dalam bahasa Indonesia ada, sementara ia tidak memiliki kemampuan
membaca karya ilmiah dalam bahasa Indonesia.

Ketiga, terdapat kesalahan ketika an-Naim menyebut 5 agama yang resmi diakui
Negara Indonesia. Namun, ia menerangkannya menjadi 6: Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, dan Konghucu. (Lihat hal. 401).

Keempat, dan ini poin penulis yang paling penting. an-Naim telah gagal untuk
menegosiasikan peran syariah dalam ruang publik. Ketika menegosiasikan peran
syariah dalam ruang publik, konsep AAN tentang syariah sebenarnya telah
tersekularkan. an-Naim menganggap watak dasar syariah adalah pribadi karena ia
adalah hubungan personal antara manusia dengan Tuhan dan relatif karena ia adalah
hasil penafsiran manusia. An-Naim juga telah mensubordinasikan syariah ketika
menyatakan syariah perlu disaring dalam nalar publik dan difilter lagi dengan
Konstitusionalisme, HAM dan Kewarganegaraan. Padahal konsep an-Naim tentang
nalar publik juga problematis. Perbedaan level pengetahuan masyarakat, dominasi
kekuasaan finansial dan media-massa, konflik kepentingan yang abadi, kekuatan-
kekuatan dominasi menjadikan nalar publik sebagai problematis. Selain itu, posisi
mediasi an-Naim terkesan memihak. Ia lebih simpatik terhadap negara sekular dan
tidak begitu simpatik kepada syariah. Disebabkan tidak begitu simpatik terhadap peran
syariah dalam ruang publik lah, maka an-Naim merasa perlu bagi mereformasi syariah
tradisional, usul fikh, membongkar ijtihad dan institusi fatwa, dsb. Padahal, seharusnya
hal yang sama dilakukan oleh an-Naim terhadap konsep negara sekular. An-Naim
seharusnya juga perlu untuk mereformasi HAM, menganggap HAM sekarang adalah
HAM liberal-sekular yang dihasilkan oleh peradaban Barat yang traumatis dengan
sejarahnya, mengganti HAM tersebut dengan HAM yang lebih sesuai dengan konsep
manusia yang intim dengan spritualitas dan transcendental, dsb. Sayangnya, an-Naim
tidak melakukan hal tersebut. an-Naim hanya mereformasi penafsiran terhadap syariah
supaya sesuai dengan HAM dan ia tidak mereformasi penafsiran HAM supaya sesuai
dengan syariah. Akibatnya, sebagai mediator, an-Naim telah meleburkan syariah ke
dalam HAM. Bahkan, gagasannyapun sebenarnya tidak sepenuhnya berfungsi sebagai
mediator. Sebabnya, gagasan mediasi nya ternyata lebih cenderung berfihak kepada
ideologi sekular dibanding kepada syariah. Hasil negosiasinya adalah syariah yang
tersekularkan yang memiliki masa depan. Inilah saripati pemikiran Abdullah Ahmed al-
Naim dalam buku terbarunya.

Balam Kontemporer dan Prototype Penghancur Islam


Al-Quran menamai orang-orang yang suka melacurkan ilmu demi dunia ibarat anjing
yang menjulurkan lidahnya. Itulah prototype Balam ibn Baura

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi *

Adalah Balam ibn Baura. Seorang alim yang memiliki ilmu mumpuni di kalangan Bani
Israil. Hujjah-hujjah dan dalil-dalilnya dalam mengeluarkan ilmu sangat luar biasa.
Karena dia diberi pemahaman mendalam tentang Taurat oleh Allah s.w.t.

Namun akhirnya, dia menyalah-gunakan keilmuannya demi kepentingan duniawi. Dia


gunakan keilmuannya bukan untuk kepentingan umat, tapi kepentingan pribadi dalam
menumpuk-numpuk kenikmatan sesaat, palliative. Oleh karenanya, Rasulullah s.a.w.
ketika di Madinah, diperintah oleh Allah untuk menceritakan kisah Balam ini kepada
orang-orang Yahudi di Madinah sebagai pelajaran berharga bagi ummat, setidaknya
agar tahu kerusakan ilmu yang telah dilakukan Balam.

Pelacuran Intelektualitas

Orang-orang beilmu sebenarnya dipilih Allah. Karena Dialah sumber ilmu: al-alim,
al-allam. Dengan ilmu itu Allah menginginkan pemiliknya menjadi orang-orang yang
terangkat derajatnya (Qs. Al-Mujadilah: 11). Namun jika disalahgunakan, ilmu pun
menjadi malapetaka. Karena yang lahir adalah pelacuran intelektualitas. Dan Balam
adalah contohnya. Di mana, di zaman Rasulullah saja, kerusakan ilmu dan pelacuran
intelektual sudah ada.

Kejahilan ilmu dan pelacuran intelektual seperti Balam diibaratkan oleh Allah seperti
anjing. Kenapa harus anjing? Karena anjing itu bermental penjilat dan pragmatis. Jika
dihalau, anjing akan menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan dia akan tetap
menjulurkannya lidahnya. Mental penjilat dan pribadi pragmatis dalam keilmuan
dimana pun sama. Mereka adalah anjing-anjing penjilat dan penjual kebenaran,
melacurkan ilmu pengetahuan dan intelektualitas mereka.
Bagaimana tidak? Dia sudah mengetahui kebenaran yang diberikan oleh Allah.
Pemahaman terhadap Alkitab (Islam: Al-Quran) tapi dia jual ayat itu dengan harga yang
sangat murah (tsamanan qalilan).

Bukan sedikit, ilmuwan agama (baca Islam) saat ini menukar ilmu dengan sekeping
dollar yang jelas-jelang efeknya untuk menghancurkan Islam. Dia jual ayat Allah, hadits
Nabi s.a.w. dan pendapat ulama Islam demi interest pribadi, kelompok dan golongan.
Bahkan tidak segan-segan memutar-balikkan fakta. Kata Imam Ali karrama Allah
wajhah, Kalimat haqqin yuradu biha bathil.

Al-Quran sangat keras dan mengecam tipe makhluk seperti ini. Dan bacakanlah
kepada mereka berita orang yang Telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami
(pengetahuan tentang isi Al-Kitab), Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat
itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-
orang yang sesat. Dan kalau kami menghendaki, Sesungguhnya kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu
menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan
lidahnya (juga). Demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-
ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan
kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. [QS. Al-Araf [7]: 175-176].

Sejak lama, prototype ilmuan dan intelek model itu sudah digambarkan oleh Khalifah
Umar ibn al-Khattab. Diceritakan oleh Ziyad ibn Hudayr bahwa Umar bertanya
kepadanya: Tahukah engkau apa yang dapat menghancurkan Islam? Tidak, jawab
Hudayr. Tergelincirnya seorang alim (intelek, ilmuwan), seorang munafik yang berdebat
menggunakan dalil-dalil Al-Kitab (Al-Quran) dan para aparat pemerintah (imam) yang
menyesatkan. [Diriwayatkan oleh Al-Darimi].

Ketiga tipe penghancur Islam yang disebutkan oleh Khalifah Umar sudah muncul di
tengah-tengah umat Islam. Para ulama yang tergelincir sudah banyak. Ada yang
menghalalkan bunga bank dengan alasan maslahat. Ada seorang hafizh Al-Quran yang
masih percaya kepada klenik dan khurafat. Ada ilmuwan yang berani mengatakan
bahwa Kong Hu Chu adalah Ahli Kitab. Ada juga yang GR berijtihad bahwa kawin
sesama jenis (homoseks, lesbian) adalah islami dan humanis. Bahkan kawin
Musliman dengan non-Muslim sudah tak zamannya untuk diperdebatkan

Orang-orang munafik yang berdebat menggunakan ayat-ayat Al-Quran banyak


bermunculan. Dalam sebuah debat di salah satu channel TV lokal, seorang akitvis
Jaringan Islam Liberal (JIL) menyitir satu ayat Al-Quran untuk mematahkan lawan
debatnya yang mendukung adanya khilafah Islamiyah. Dengan penuh percaya diri
aktivis itu mengatakan, Tahsabuhim jamian wa qulubuhum satta [Kalian kira mereka
itu bersatu padu, padahal hati mereka berpecah-belah]. Dengan tegas dia mengatakan,
Itu lah Hizbut Tahrir. Padahal dalil yang digunakannya tidak tepat sama sekali. Tapi dia
berani untuk menyerang saudara seiman dan seakidahnya, hanya untuk kemasyhuran.
Inilah yang diibaratkan Al-Quran sebagai sosok anjing-anjing yang mengulur-ulurkan
lidahnya.

Tidak sedikit orang-orang bergelar intelektual (bahkan dijuluki TV sebagai intelek


Muslim) yang menyalahkan nabi Luth ketika melarang umatnya melakukan homoseks.
Alasannya macam-macam. Ada yang menyatakan bahwa ayat-ayat yang berbicara
tentang nabi Luth tidak secara eksplisit mengharamkan praktek homoseks.

Tidak sedikit mereka menyalah-nyalahkan para Sahabat Nabi dan para Tabiin. Sedang
Allah menjamin mereka di dalam surga karena ketaatan pada agama dan akhlaq luhur-
nya. Boleh dibilang, hanya seujung jari untuk membandingkan para Sahabat Nabi dan
Tabiin dengan para intelektual yang oleh Al-Qurandiumpamakan sebagai anjing-
anjing ini.

Peringatan Nabi

Yang jelas, fenomena pelacuran intelektualitas dan penyesatan para pemimpin umat
yang diceritakan di atas, karena bersumber dari kerusakan ilmu. Dan itu sudah terjadi
sejak lama, sejak zaman Bani Israil.

Dan orang-orang yang muncul dewasa ini tak lain hanyalah Balam-Balam
kontemporer. Model intelek anjing penjilat dan pragmatis. Yang rela dibayar dan
dibeli idealisme dan loyalitas kepada Islam untuk kepentingan duniawi. Dan ini adalah
imitasi terhadap model keilmuan umat sesat, Yahudi.

Imbas dari pelacuran intelektual seperti ini adalah: ngambangnya pemahaman umat
terhadap Islam. Yang lahir kemudian adalah faham bingungisme. Umat dibuat tak
punya pegangan pasti. Karena para inteleknya rusak dan tak bermoral.

Sufyan ibn Uyainah dalam satu statemennya menegaskan, Man fasada min ulamaina
fafihi syibhun min al-Yahud. Wa man fasada min ibadina, fafihi syibhun min al-Nashara
[Siapa saja yang rusak dari kalangan intelek (ilmuwan, ulama) kita maka pada diri
mereka ada titik kesamaan dengan Yahudi. Dan siapa saja dari umat (hamba, orang
awam) yang rusak, maka dalam dirinya ada kemiripan dengan Nashrani).

Makanya, sejak dari surah al-Fatihah Allah sudah memberikan stempel negatif kepada
kedua kelompok Ahli Kitab itu. Yahudi disebut oleh Allah sebagai kelompok al-
maghdhub alayhim, karena yang rusak adalah para ulamanya. Kemudian diikuti oleh
kerusakan orang awamnya. Dan kelompok Nashrani disebut oleh Allah sebagai al-
dhallun (tersesat). Karena tak mau mengikuti kebenaran berdasarkan ilmu, padahal
sudah jelas dan terang dibuktikan.

Fenomena dekonstruksi Islam sekarang ini adalah bukti konkret kerusakan ilmu. Di
mana, ilmu-ilmu Islam tak lagi dipahami sebagai satu hal yang inheren dengan amal.
Karena tak lagi inheren dengan amal, maka menjadi tidak integral dengan moralitas.
Pada gilirannya, ilmu-ilmu yang dipelajari dan dimiliki tak lagi membumi.

Akibatnya, ilmu-ilmu itu hanya menjadi alat penghujat, pembodohan umat, penyalah-
gunaan jabatan dan pembebebakan kepada sang tuan pemberi donasi.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya mengatakan, satu peradaban inferior cenderung


membebek kepada peradaban yang superior. Makanya tak sedikit dari kaum intelek
kita yang mengaku dibayar oleh pihak Barat dalam menyebarkan dan menjajakan
wacana-wacana destruktif ke tengah-tengah umat.
Banjirnya wacana-wacana sekularisme, pluralism dan liberalism diasongkan
dimana-mana adalah salah satu buktinya. Lahir kemudian faham relativisme. Tak heran
jika kemudian Al-Quran dihujat, Rasulullah dilecehkan, hukum Islam didekonstruksi,
feminisme dan gender dijadikan wirid di mana-mana. Bahkan sebagaikan
memaksakan menjadi materi wajib pendidikan. Seolah sebegitu pentingnya.

Maka penting kiranya peringatan Rasulullah s.a.w. berikut ini dicermati dan
direnungkan. Sungguh, kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian:
sedepa demi sedepa, sehasta demi sehasta dan sejengkal demi sejengkal. Meskipun
mereka masuk ke dalam lubang biawak, kalian akan mengikutinya. Apakah mereka itu
kaum Yahudi dan Nashrani wahai Rasul? tanya para sahabat. Siapa lagi kalau bukan
mereka, jawab Rasulullah singkat. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]. Semoha Allah terus
menjaga dan menjauhkan kita dan keluarga kita agar tak terjerumus dalam lingkaran
setan bernama Balam kontemporer yang ada. Wallahu alamu bi al-shawab.

* Penulis peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) di Center for Islamic and Occidental
Studies (CIOS) di Institut Studi Islam Darussalam, Gontor-Ponorogo, Jawa Timur
PETRUS VENERABILIS DAN SEJARAH STUDI ISLAM DI BARAT

Ditulis oleh Adnin Armas

Petrus (Peter 1094-1156) adalah seorang tokoh terkemuka Gereja Katolik Roma (the
Roman Catholic Church) pada zaman pertengahan Barat. Sekalipun usianya baru
tujuh belas tahun (1111), Petrus diangkat sumpah sebagai seorang pendeta dalam
sebuah biara di Sauxillanges, Perancis. Tiga tahun setelah itu, ia menjadi rahib di biara
Vzelay. Kemudian dia berpindah ke biara Domene. Pada usianya yang ketiga puluh
(1124), Petrus diangkat sebagai Bapak (Abbot) Cluny di Perancis. Cluny adalah
Gereja yang paling berpengaruh di Kristen Eropa pada zaman pertengahan Barat.
Disebabkan kualitas yang dimilikinya, Petrus digelar dengan the Venerable (yang
terhormat). Petrus Venerabilis (Peter the Venerable) yang dikenal juga sebagai Pierre
Maurice de Montboissier meninggal di Cluny (sekarang lokasinya di Mcon, Perancis)
pada tanggal 25 Desember 1156.

Merintis Studi Islam di Barat

Sekitar tahun 1141-1142, Petrus Venerabilis berkunjung ke Toledo, Spanyol.


Kedatangannya untuk mengkaji Islam secara serius. Petrus memulainya dengan
membentuk, membiayai sekaligus menugaskan sebuah tim yang akan menerjemahkan
karya berseri dan bisa dijadikan landasan bagi para misionaris Kristen ketika
berinteraksi dengan kaum Muslimin. Robert dari Ketton (Inggris), yang merupakan
salah seorang anggota tim penerjemah yang dibentuk Petrus, menerjemahkan al-
Quran ke dalam bahasa Latin. Robert menyelesaikan terjemahan tersebut kira-kira
pertengahan bulan Juni ataupun Juli 1143 (538 H). Terjemahan Robert, Liber Legis
Saracenorum quem Alcoran Vocant (Kitab Hukum Islam yang disebut Al-Quran)
merupakan pemicu bagi munculnya studi Islam di Barat. Sekalipun terjemahan Robert
mengandung berbagai kesalahan mendasar dalam menerjemahkan al-Quran, namun
tetap saja karyanya dijadikan fondasi bagi kajian keislaman di zaman pertengahan
sekaligus fondasi bagi terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Italia, Jerman dan
Belanda. Jadi, selama kurang lebih 600 tahun para sarjana Kristen terkemuka
menjadikan terjemahan Ketton sebagai sumber utama ketika merujuk kepada al-
Quran. Nicholas dari Cusa (1401-1464), Dionysius Carthusianus (1402/3-1471), Juan
dari Torquemada (1388-1468), Juan Luis Vives (1492-1540), Martin Luther (1483-1546),
Hugo Grotius (1583-1645) dan lain-lainnya, menggunakan terjemahan Robert ketika
mengkaji Islam. Dengan terjemahan tersebut, Barat untuk pertama kalinya memiliki
instrumen untuk mempelajari Islam secara serius (With this translation, the West had for
the first time an instrument for the serious study of Islam). (Lihat R. W. Southern,
Western Views of Islam in the Middle Ages (Cambridge: Harvard University Press,
1962).

Hanya menjelang akhir abad ke-17, tepatnya pada tahun 1698, terjemahan Robert
sudah tidak digunakan lagi. Sebabnya, Ludovico Marracci (1612-1700), seorang
Pendeta Italia yang mengkaji al-Quran selama 40 tahun, telah menerjemahkan al-
Quran sekali lagi ke dalam bahasa Latin dengan judul Alcorani Textus Receptus (Teks
Al-Quran yang Standart). Ludovico Marracci mencatat serta merevisi berbagai
kelemahan terjemahan Robert. (Lihat Hartmut Bobzin, A Treasury of Heresies:
Christian Polemics against the Koran, dalam The Quran as Text, editor Stefan Wild,
Leiden: E. J. Brill, 1996).

Motif Petrus Venerabilis mengkaji Islam adalah untuk membaptis pemikiran kaum
Muslimin. Dalam pandangannya, kaum Muslimin perlu dikalahkan bukan saja dengan
ekspedisi militer, namun juga dengan pemikiran. Berbeda dengan sikap para tokoh
terkemuka Katolik yang memprovokasi semangat tempur Laskar Kristus dalam Perang
Salib periode kedua (1145-1150), Petrus Venerabilis menyatakan:

Kelihatannya aneh, dan mungkin memang aneh, aku, seorang manusia yang yang
sangat berbeda tempat dari kamu, berbicara dengan bahasa yang berbeda, memiliki
suasana kehidupan yang terpisah dari suasana kehidupanmu, asing dengan
kebiasaanmu dan kehidupanmu, menulis dari jauh di Barat kepada manusia yang
tinggal di tanah-tanah Timur dan Selatan. Dan dengan perkataanku itu, aku menyerang
mereka yang aku tidak pernah melihat, orang yang mungkin aku tidak pernah lihat.
Namun aku menyerangmu bukan sebagaimana sebagian dari kami [orang-orang
Kristen] sering melakukan, dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan
kekuatan, namun dengan akal; bukan dengan kebencian, namun dengan cinta aku
sungguh mencintaimu, aku memang menulis kepadamu, aku mengajakmu kepada
keselamatan. (Dikutip dari James Kritzeck, Robert of Kettons Translation of the
Quran, The Islamic Quarterly No. 2 tahun 1955).

Untuk mendapatkan sokongan atas usaha intelektualnya, Petrus Venerabilis mengirim


surat kepada Bernard dari Clairvaux (1090-1153), seorang tokoh terkemuka Gereja
Katolik di Perancis yang memainkan peran penting dalam Perang Salib. Dalam
suratnya kepada Bernard dari Clairvaux (Epistola Petri Cluniacensis ad Bernardum
Caraevallis), Petrus Cluny menyatakan sekiranya apa yang dilakukannya dianggap
tidak berguna, karena senjata untuk mengalahkan musuh (Islam) bukan dengan
pemikiran, namun kerja-kerja ilmiah seperti itu tetap akan ada manfaatnya. Jika orang-
orang Islam yang sesat tidak bisa diubah, maka sarjana Kristen akan bisa menasehati
orang-orang Kristen yang lemah imannya. (Lihat Maxime Rodinson, The Western
Image and Western Studies of Islam, dalam The Legacy of Islam, editor Joseph
Schacht dengan C. E. Bosworth, Oxford: Oxford University Press, edisi kedua, 1974).

Sekalipun pada zamannya usaha Petrus Venerabilis tidak mendapat sambutan, namun
perjalanan waktu justru menunjukkan cita-citanya menjadi kenyataan. Kini, setelah
kurang lebih 850 tahun kematiannya, para calon intelektual Muslim banyak yang belajar
mengenai Islam (Islamic Studies) dari orang-orang Kristen. Petrus dengan kerja-kerja
ilmiah bukan saja telah memprakarsai ketertarikan sarjana Kristen kepada studi Islam,
bahkan telah menaklukkan pemikiran sebagian sarjana Muslim yang lemah iman dan
kurang ilmu.

Petrus Venerabilis dan Pemikiran Islam

Selain menugaskan para sarjana Kristen untuk menerjemahkan teks-teks Arab yang
penting, Petrus Venerabilis sendiri menulis mengenai Islam. Karyanya mengenai Islam
ada dua: Summa Totius Haeresis Saracenorum (Semua Bidah Tertinggi Orang-Orang
Islam) dan Liber contra sectam sive haeresim Saracenorum (Buku Menentang Cara
Hidup atau Bidah orang-orang Islam). Dalam karyanya Summa, Petrus Venerabilis
menghujat pandangan Islam mengenai Tuhan, Isa as., Rasulullah saw, Quran,
penyebaran Islam dan menamakan Islam sebagai Kristen yang sesat (Islam as a
Christian heresy). (Lihat Dikutip dari Allan Cutler, Petrus the Venerable and Islam,
Journal of the American Oriental Society 86:1966).

Pendapat Petrus mengenai Islam berasal dari beberapa sarjana Kristen pendahulunya
yang menetap di Spanyol dan beberapa karya anggota tim penerjemah yang
dibentuknya. Gagasan Petrus mengenai al-Quran berdasarkan kepada karya anggota
tim penerjemah, yaitu Petrus dari Toledo (Petrus Toletanus) yang telah menerjemahkan
karya Risalah Abd allah ibn Ismail al-Hashimi ila Abd al-Masih ibn Ishaq al-Kindi wa
risalat al-Kindi ila al-Hashimi (Surat Abdullah ibn Ismail al-Hashimi kepada Abdul Masih
al-Kindi dan Surat al-Kindi kepada al-Hashimi) ke dalam bahasa Latin pada tahun 1141
dengan judul Epistula Saraceni et Rescriptum Christiani (Surat Seorang Muslim dan
Jawaban Seorang Kristen).

Mengulangi pendapat Abdul Masih al-Kindi (nama samaran), Petrus Venerabilis


menyatakan al-Quran tidak terlepas dari peran setan. Dalam pandangannya, ketika
Mohammed menyangkal Kristus adalah Tuhan atau Anak Tuhan, maka sangkalan itu
merupakan rancangan setan (diabolical plan). Setan telah mempersiapkan Mohammed,
orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan telah mengirim seorang informan
kepada Mohammed, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture).

Petrus Venerabilis menyimpulkan Islam adalah sekte terkutuk sekaligus berbahaya


(execrable and noxious heresy), doktrin berbahaya (pestilential doctrine), ingkar
(impious) dan sekte terlaknat (a damnable sect) dan Mohammed adalah orang jahat (an
evil man). (Lihat Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, Popular Attitudes Towards Islam in
Medieval Europe dalam Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe,
editor Michael Frasseto and Davis R. Blanks, New York: St. Martins Press, 1999). Oleh
sebab itu, Petrus mengajak orang-orang Islam ke jalan keselamatan karena dalam
keyakinannya tidak ada keselamatan di luar Gereja (extra ecclesiam nulla salus). Saat
ini, motif zaman pertengahan memang sudah tidak banyak digunakan oleh para
orientalis/Islamolog kontemporer. Pendekatan yang digunakan orientalis kontemporer
dalam studi Islam adalah dengan menggunakan kajian kritis-historis. Bagaimanapun,
kajian kritis-historis tersebut juga tidak terlepas dari pengalaman pandangan hidup
Kristen terhadap agamanya. Jadi, paradigma zaman pertengahan dengan zaman
kontemporer tetap sama, yaitu mengkaji Islam tetap dalam perspektif pandangan hidup
Kristen, padahal sebenarnya Islam memiliki pandangan hidupnya tersendiri, yang
berbeda bahkan bertentangan dengan pandangan hidup agama lain.

Anda mungkin juga menyukai