Anda di halaman 1dari 46

GHAZWUL FIKRI

MENELAAH PEMIKIRAN ADIAN HUSAINI

KULIAH SATU

PENYUSUN
Mohamad Ridhwan Bin Alias

MELURUSKAN SEJARAH INDONESIA


Oleh: Dr. Adian Husaini
Tidak ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam
kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu
memahami masa lalunya. Al- Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat
terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah
masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa depannya. Maka,
jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa
lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau
peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the
Crossroads, menulis: No civilization can prosper or even exist, after having
lost this pride and the connection with its own past
Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa
sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah
Indonesia.
Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama
mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk
memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam
bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib
al-Attas menulis tentang masalah ini: Kecenderungan ke arah memperkecil
peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam
tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir
semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh
kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga
tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa
ini.
Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam
merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang
Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan
hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal
Kabah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah
memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasardasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang
berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang
hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan
dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S.
Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-

politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam


sebuah administras pemerintahan.
Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den
Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda
yang menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah
perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William
Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga,
pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan,
Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk
orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut
hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan
dengan hukum Eropa.
Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan
adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas
pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat
lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori receptio in
complexu. Teori ini pada intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam
berlaku hukum Islam. Hingga abad ke19, teori ini masih berlaku. Snouck
Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori
receptie, yang
menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila
diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof.
Hazairin menyebut teori receptie Snouck Hurgronje ini sebagai teori Iblis.
(Lihat, Rifyal Kabah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).
Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari
masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku klasik-nya, Islam and
Secularism, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas bahkan mencatat, bahwa
dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah
kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah
kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of
modern times was the most momentous event in the history of the
Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di
kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan
bahasa Muslim kedua terbesar yang digunakan oleh umat Islam.
Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam.
Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu.

Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah


terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat: Together with the
historical factor, the religious and language factors began setting in motion
the process towards a national consciousness.
Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini
sejak lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda yang kemudian diikuti
oleh kaum Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan
penjajah berusaha keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar
bersikap anti-pati terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka
ketakutan jika Islam sampai digunakan sebagai ideologi atau sumber tatatan
hukum dan budaya bangsa.
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: Suara Azan
dan Lonceng Gereja. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending
Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung
petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari
agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya
Nederland en de Islam, Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van
het Islamstelsel te emancipeeren. (Pendidikan dan pelajaran dapat
melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak
orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar
Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang
muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia
bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld,
pemerintah kolonial mengerti benar
sepak terjang Snouck dalam
penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di
Nusantara ini sebagai ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti
Hindia Belanda. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam:
Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban
kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban
modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun
memberi kita hak untuk mengharapkannya. Prof. Snouck Hurgronje memang
telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada yang melanjutkan. Upaya

memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus dilakukan. Islam


dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar menjadi
liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai unsur asing dari bangsa
ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan
budaya pun, unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk
menggusur Islam.
Kasus lain yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk
mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat
dilihat pada kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia.
Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru
besar Universitas Indonesia, Prof. Dr.
Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik
'pengkultusan' R.A.
Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul
Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini bernada
gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai
lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak
mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang
mengembangkannya lebih lanjut, tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan
doktor sosiologinya di Harvard University. Harsja juga menggugat dengan
halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita
Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah
Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan
Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah
Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978),
terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk
dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah
Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif
mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia
menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya,

ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya


besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga
berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah
Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah
dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 16441675.
Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk
wanita. Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah
We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan,
tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli
sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos
La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar
itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan
sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka
baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya
menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda
untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di
Indonesia. Mula mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami
istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia
Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan,
Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga
bersaudara. Harsja menulis tentang kisah ini: Abendanon mengunjungi
mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini
berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral,
pada suatu resepsi di Istana Bogor,
suatu pertemuan yang sangat
mengesankan kedua belah pihak.
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar,
seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij
(SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide
modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh
sosialisme H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer
adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita
Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun

1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul


Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya
dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit
terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah
Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan
sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite
Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini
lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di
Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: Orang-orang Indonesia di
luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini
hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini
bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam
tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakantindakan mereka.
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: Kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda.
Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah
yang mengembangkannya lebih lanjut.
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang
hebathebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri
tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini:
Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih
mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa
wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira
sebelumnya, tanpa
memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.
Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk Indonesia. Bukan
sekedar bercita-cita. Dewi Sartika (1884-1947), misalnya, bukan hanya
berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan
sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang
berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus
(1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain
mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916),
Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia

mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri


ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah
lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini
dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya,
Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia
terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita
Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim
keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus
segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang
mempertahankan
kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku
Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh,
kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan
sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan
sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki
Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa
Kartini?
Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa
Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga
mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada
Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan
Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki
visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat
wanita
menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala
kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus
mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat
jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang
kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,
begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar,
penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar
bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan
Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda
yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi
Nusantara.
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya
kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama
Snouck.
Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai
orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny.
Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis: Salam, Bidadariku
yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak
saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya
Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal
berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang
terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?
Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau?
Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan
Islam serta anak perempuannya. (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny.
R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno),
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak
orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar
Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang
muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia
bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini
nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah
Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang

Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh


banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang
menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya
Syaikhul Islam Jawa.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini
meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab,
tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu
perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk
mengharapkannya. (hal. 116). Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah
adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906.
Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah
kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia
Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar
pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah
kolonial Belanda.
Salah satu strateginya, adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi
melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck,
lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh
Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah
mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat
banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya,
Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk
agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing
melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang
oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika
didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam
menaklukkan Islam di Indonesia: Terhadap daerah yang Islamnya kuat
semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan
kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu
dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya
(Islam) melalui asosiasi kebudayaan. (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat,
strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk
menaklukkan Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin

canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan pribumi Muslim


sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan minder sebagai Muslim dan
silau dengan peradaban Barat, banyak anak didik Snouck langsung atau
pun tidak yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat.
Dan akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah
Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka
sudah kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan
terputus dari serahnya.
Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi satelit dan pengekor pada
peradaban lain. Untuk itulah, kaum Muslim perlu sangat serius melihat
sejarahnya sendiri dan juga sejarah bangsanya. (***)

LGBT: Belajar Dari Yahudi


Kamis, 18 Februari 2016, 16:00 WIB
Selasa (17/2), Fahira Idris, anggota DPD-RI dari Jakarta, pada acara Indo ne
sian Law yers Club, di sebuah TV swasta, mengingatkan bang sa Indonesia
agar tidak me mandang remeh gerakan legalisasi LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual, Transgender) di Indonesia. Ia menunjuk kasus yang terjadi di
Amerika Serikat (AS). Di negara adikuasa ini, gerakan LGBT telah meraih
sukses. Puluhan tahun lalu, kawin sejenis masih terlarang. Tapi, pada 26 Juni
2015, secara resmi AS mengesahkan perkawinan sesama jenis, mengikuti
jejak 20 negara lain.
Imbauan Fahira itu patut diperhatikan. Sebab, perjalanan legalisasi
perkawinan sejenis (same-sex marriage), di AS terbilang sangat cepat. Tahun
2004, Mas sachusetts menjadi negara bagian pertama yang mengesahkan
perkawinan sejenis. Tak lama kemudian, pada 2013, untuk pertama kalinya,
Katedral Nasional AS melaksanakan perkawinan sejenis (https:// www.
cathedral.org/press/PR-60QF1- 3I0018.shtml). Awal Juni 2015, pun, baru
sekitar 30 negara bagian yang melegalkan kawin sejenis.
Sebelumnya, tahun 2003, dunia sudah digemparkan peristiwa terpilihnya
Gene Robinson sebagai Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire AS. Gene
Robinson adalah seorang pastor homo yang selama 13 tahun kawin dengan

Mark Andrew. Mereka hidup sebagai pasangan "suamiistri" secara terbuka.


Itu artinya, untuk pertama kalinya seorang pelaku homoseksual menduduki
jabatan tertinggi dalam hirarki gereja selama 2000 tahun sejarah Kristen.
Padahal, secara tersurat, Bibel (Imamat, 20:13), menegaskan: pelaku praktik
kawin sejenis wajib dihukum mati.
Maka, di tengah perkembangan yang begitu cepat, menyusul keputusan Mah
kamah Agung AS, para tokoh Katolik AS memberikan reaksi keras. Mereka me
nyerukan agar kaum Katolik tidak menghadiri perkawinan sesame jenis.
Pastor Michel Jarrel, seperti dikutip www.cbs news.com, menyerukan
pembangkangan sipil. "In some cases civil disobedience may be a proper
response," ujarnya. Memang, hingga kini, otoritas Katolik tertinggi di Roma
(Vatikan) tetap mempertahankan doktrin perkawinan antara satu laki-laki
dengan satu wanita.
Beberapa saat sebelumnya, Paus Fran ciscus menerima sejumlah pujian dari
beberapa kelompok LGBT, ketika mengizin kan satu kelompok lesbian dan ho
moseksual dari AS untuk duduk di kursi kehormatan dalam pertemuan umum
ming guan dengan Sang Paus. Tetapi, Va tikan tetap bereaksi keras ketika
negara Irlandia yang mayoritas Katolik mengesahkan perkawinan sejenis,
melalui referendum. Vatikan menyebut legalisasi per kawinan sejenis di
Irlandia itu sebagai "ke kalahan kemanusiaan" (a defeat for humanity).
Apa yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara,
khususnya di AS, patut menjadi bahan renungan serius umat Islam Indonesia.
Gereja Katolik selama ini diakui sebagai sebuah institusi keagamaan dan
politik terbesar dan tertua di dunia. Bangsa AS, meskipun menganut sistem
kenegaraan yang sekuler, tetapi rakyatnya masih banyak yang
mempertahankan nilai-nilai religius.
Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of Values
and Religious Views in the United States (Ca lifornia: Regal Books, 1991),
memberikan gambaran tingkat religiusitas rakyat AS yang masih lumayan.
Terhadap pertanyaan, "apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan
jalan hidup anda", sebanyak 47 persen rakyat AS menjawab "sangat setuju".
Terhadap pertanyaan, "apakah Bibel adalah kata-kata Tuhan dan secara total
ajarannya adalah akurat", sebanyak 47 persen pemeluk Kristen menjawab
"sangat setuju". Lalu, terhadap pernyataan, "bahwa ada Satu Tuhan yang

Mahasuci dan Mahasempurna, yang menciptakan alam semesta dan


mengaturnya," sebanyak 74 persen juga menjawab "sangat setuju".
Bahkan, jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai
sebuah "bangsa Kristen". Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: "We
are a Christian people." Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada
tahun 1892, dengan menyatakan: "This is a Christian Nation." Theo dore
Dwight Woolsey, memberikan penjelasan, mengapa AS disebut "a Christian Na
tion": "In this sense certainly, that the vast majority of the people believe in
Chris tianity and the Gospel" . Survei antara tahun 1989-1996 menunjukkan,
84-88 per sen penduduk AS mengaku Kristen. (Lihat, Samuel P. Huntington,
Who Are We? The Challenges to America's National Identity" (New York:
Simon&Schuster, 2004).
Peran Yahudi
Bagaimana bangsa AS yang pernah menegaskan sebagai bangsa Kristen itu
kemudian bisa diubah persepsi dan sikapnya dalam kasus perkawinan sesama
jenis? Ternyata, prosesnya tidak sederhana. Pada 22 Mei 2013, Wakil
Presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang
telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan
sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul: "Biden: Jewish
leaders drove gay marriage changes". Dikatakan, bahwa, "Vice President Joe
Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about
gay marriage and other issues.
Biden says culture and arts change people's attitudes. He cites social media
and the old NBC TV series "Will and Grace" as examples of what helped
changed attitudes on gay marriage. Biden says, quote, "Think behind of all
that, I bet you 85 percent of those changes, whether it's in Hollywood or social
media, are a consequence of Jewish leaders in the industry." Biden says the
influence is immense and that those changes have been for the good."
Pernyataan Joe Biden itu tidak dapat dipandang enteng. Bahwa, para tokoh
Yahudi-lah yang telah mendorong terjadinya perubahan sikap bangsa
Amerika terhadap perkawinan sejenis. Bahwa, bu daya dan kesenian adalah
media yang ber hasil mengubah sikap dan perilaku masya rakat. Ia pun
menyebut peran penting me dia sosial dan satu film serial TV "Will and Grace"

di NBC-TV. Biden berani bertaruh bahwa 85 persen perubahan itu dimainkan


oleh para tokoh Yahudi yang berperan besar di Hollywood atau media sosial.
Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof.
Norman Cantor, dalam bukunya, The Sac red Chain, menyebutkan bahwa pada
1994, jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi,
pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen penduduk AS. Bahkan,
Prof. Cantor me nulis, "Jews were over represented in the learned professions
by a factor of five or six."
Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak
diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini.
Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, "If there is
Jewish power, it's the power of the word, the power of Jewish columnist and
Jewish opinion makers." Ia pun menambahkan, "And if you can shape opinion,
you can shape events." Jadi, kata Fisher, jika Anda bisa membentuk opini,
maka Anda akan mampu mencipta aneka peristiwa. (Dikutip dari buku The
New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper,
Washington, DC: American Free Press, 2004).
Pengaruh tokoh-tokoh Yahudi dalam mempromosikan legalisasi perkawinan
sejenis seperti disebutkan Joe Biden tentu tak lepas dari proses liberalisasi
pemikiran tentang homoseksual dalam ajaran Yahudi. Dan Cohn-Sherbok,
dalam bukunya, Modern Judaism, (New York: St Martin Press, 1996, hlm. 98),
mengungkapkan perkembangan pemikiran kalangan Yahudi reformis
terhadap status hukum homoseksual. Menurut mereka, perumusan hukumhukum Yahudi modern harus memperhitungkan aspek psikologis. Homosek
sual misalnya, meskipun dilarang dalam Bibel, saat ini perlu dibolehkan,
sebab saat ini manusia telah memiliki pemahaman terhadap seksualitas yang
lebih tercerahkan (a more enlightened understanding of human sexuality).
Dari tafsir ke politik
Dari penafsiran kitab suci menuju gerakan politik. Itulah yang bisa dilacak
dari gerakan legalisasi perkawinan homoseksual di AS dan berbagai negara
lainnya. Kini, jika dicermati, gerakan legalisasi perkawinan sejenis di
Indonesia pun mengambil langkah yang sama. Pada 2006, terjadi sebuah
peristiwa penting di Indonesia, yakni berkumpulnya pakar-pakar Hak Asasi
Manusia (Human rights) di kota Yogya karta. Mereka menghasilkan sebuah

Piagam Hak Asasi Manusia bertajuk "The Yogya karta Principles: on the
Application of International Human Rights Law in relation to Sexual
Orientation and Gender Identity." (http://www.yogyakartaprinciples.
org/principles_en.htm).
Sebuah kelompok pejuang kesetaraan gender dan LGBT di Indonesia,
bernama Arus Pelangi, menerjemahkan kalimat pembuka Prinsip-prinsip
Yogyakarta itu sebagai berikut: "Semua manusia terlahir merdeka dan sejajar
dalam martabat dan hak-haknya. Semua manusia memiliki sifat uni versal,
saling bergantung, tak dapat di bagi dan saling berhubungan. Orientasi sek
sual dan identitas gender bersifat me nyatu dengan martabat dan
kemanusiaan setiap orang serta tak boleh menjadi dasar bagi adanya
diskriminasi ataupun kekerasan."
Piagam Yogyakarta itu saat ini telah menjadi pedoman bagi gerakan aktivis
LGBT seluruh dunia. Di Indonesia, Komisi Nasio nal Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) dan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) telah
melakukan sosialisasi terhadap Piagam tersebut. Dalam sebuah analisisnya
tentang gerakan LGBT, Komnas Perempuan menyebutkan: "Hambatan
terbesar adalah dari agama.". (Komisi Nasional Perempuan Indonesia).
Tahun 2005, sekelompok mahasiswa di Semarang menerbitkan buku berjudul
Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokra tisasi dan Perlindungan Hak-hak
Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA,
2005). Buku ini secara terperinci memaparkan strategi gerakan yang harus
dilakukan untuk mele gal kan perkawinan homoseksual di Indo nesia, yaitu
(1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang mere but
hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman
kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual
adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak
mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung
setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3)
melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan
konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4)
menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan
perkawinan harus antara laki-laki dan wanita." (hlm. 15)
Seperti yang terjadi di kalangan Yahudi dan Kristen, buku ini pun membuat
tafsir baru terhadap kisah Luth dalam al-Quran (al-Quran surat al-A'raf :80-84

dan Hud :77-82). Tak tanggung-tanggung, selain memberikan pembelaan


terhadap kaum homoseks, seorang penulis buku ini justru melecahkan Nabi
Luth a.s.:
"Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth
amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal.
Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha
menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami
dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal.
Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo
tersebut? Sejauh yang saya tahu, al- Quran tidak memberi jawaban yang jelas.
Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa
karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth
yang salah terhadap kaum homo." (hlm. 39)
QS al-A'raf: 80-84 memberikan gambaran menarik tentang kejahatan kaum
homo dan sikap mereka terhadap Nabi Luth. Ketika diberi nasehat agar
kembali ke jalan yang benar, mereka justru mengancam: "Usirlah mereka
(Luth a.s. dan pengikutnya) dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri."
Kini, jangan heran, jika kaum LGBT dan pendukungnya menggunakan
ungkapan se jenis, "Jangan sok suci!" "Jangan sok mo ralis!" Wallahu A'lam.
(Depok, 17 Februari 2016).
Dr Adian Husaini
Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor
Dr Adian Husaini: Pendidikan Bukan Sekolahisme
sharia.co.id Cendekiawan Islam Dr Adian Husaini menyoroti penyakit
sekolahisme yang kini menjangkiti masyarakat. Penyakit sekolahisme adalah
menyamakan pendidikan dengan sekolah,terang Dr Adian dalam acara Open
House Pesantren Shoul Lin Islami, di Depok Ahad lalu (10/1). Pendidikan
adalah sepanjang hidup dan tidak tergantung gedung. Pendidikan bisa di
sekolah, di rumah, di warung dan tempat-tempat lainnya. Di masa Rasulullah
saw tidak ada gedung-gedung sekolah, tapi saat itu Rasulullah saw berhasil
mendidik generasi sahabat yang hebat dan cinta ilmu.

Pendidikan Islam adalah sangat penting. Belanda dulu menghancurkan


Indonesia lewat pendidikan,terangnya. Belanda mendidik kaum-kaum elit
menjadi sekuler dan kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Menurut
Wakil Ketua Miumi ini, sekarang yang menguasai pendidikan di Indonesia
masih kaum sekuler. Sehingga takwa dan akhlak mulia tidak menjadi alasan
kelulusan. Padahal itu ada dalam Undang-Undang Pendidikan,jelasnya.
Dosen Pasca Sarjana UIKA Bogor ini menjelaskan bahwa di Program Pasca
Sarjana UIKA, ada syarat penting untuk mahasiswa bisa lulus. Yaitu
mahasiswa tidak tercela aqidah dan akhlaknya. Kalau ada kecacatan dalam
dua hal itu, maka mereka tidak bisa lulus atau kelulusannya tertunda.
Dr Adian juga menjelaskan bahwa pendidikan adalah akar kebangkitan umat.
Salah memenej pendidikan umat akan hancur,terangnya. Karena itu ia
mengeluhkan kenapa sekarang banyak sekolah yang cenderung menjadi
industri. Biaya sekolah mahal puluhan atau ratusan juta, sehingga hanya
orang kaya yang bisa sekolah di situ. Ini bisa terkena penyakit hubbud dunya.
Bisnis pendidikan memang menggiurkan, tapir ruh Islam bisa hilang di situ
dan bisa hancur pendidikan Islam,jelasnya. Padahal satu-satunya aspek
dakwah yang bisa dibanggakan sekarang ini adalah pendidikan.
Penulis buku ternama ini juga menyoroti pendidikan modern yang cenderung
menjadikan manusia menjadi new barbarians. Mengutip pakar pendidikan
Ortega, manusia dilatih jaman modern ini menjadi spesialis, hanya bekerja
saja seperti binatang. Ditambah lagi dalam cengkeraman dunia materialism
sekarang. Masyarakat menjadi memuja kekayaan, popularitas dan
kecantikan,paparnya.
Padahal tujuan pendidikan Islam, sebagaimana diuraikan Prof Al Attas dalam
seminar pendidikan internasional di Mekkah tahun 70-an, adalah untuk
membentuk manusia yang baik (goodman/shaleh). Manusia yang beradab.
Manusia yang memahami kedudukannya di bumi untuk mengenal atau
beribadah kepada Penciptanya, Allah SWT.
Pesantren Shoul Lin Islami yang didirikan Dr Adian bersama Ustadz
Ardiansyah dan beberapa sahabat lainnya baru berdiri setahun lalu (2014).
Pesantren ini setingkat SMP dan menekankan pendidikan beradab Islami.
Santri pada tahun pertama dididik dengan bahasa Arab, bahasa Arab Melayu,
pengkajian kitab-kitab adab, jurnalistik, bela diri dan lain-lainnya. Tahun
berikutnya akan diberikan pendidikan bahasa Inggris, Islamic Worldview,
sains Islam, sejarah Islam, pemikiran tokoh-tokoh Islam dan lain-lain.*IZ
Dr Adian Husaini: Pendidikan Bukan Sekolahisme - sharia.co.id

Prestasi Kristen Liberal: Gay Jadi Uskup


Beberapa hari belakangan ini, media massa internasional banyak menyorot
berita pelantikan Gene Robinson (seorang gay) menjadi uskup di Keuskupan
New Hampshire AS, pada Hari Minggu, 2 November 2003 lalu.
Peristiwa ini adalah yang pertama dalam sejarah Kristen, yang kali ini terjadi
di lingkungan Gereja Anglikan. Oleh Uskup Besar (Archbishop) of Canterbury,
Reverend Rowan William, dikatakan, pelantikan Robinson itu akan membawa
konsekuensi yang serius bagi keutuhan komunitas Gereja Anglikan.
Agustus lalu, menyusul terpilihnya Robinson, melalui satu pemungutan suara,
William sudah meramalkan akan terjadinya masa-masa sulit bagi Gereja
Anglikan, yang memiliki pemeluk sekitar 70 juta orang di 160 negara. (Di
Jakarta, Geraja Anglikan terletak di Depan Kantor PP Muhammadiyah
Menteng Raya). Bahkan, ada yang memperkirakan akan terjadinya
perpecahan besar di lingkungan Geraja, gara-gara kasus Robinson.
Tentu saja pelantikan ini memancing pro-kontra secara luas. Namun,
Robinson menyatakan, gerejanya akan menjadi semakin kuat, dengan adanya
kehebohan itu.
Posisi yang ditempati Robinson merupakan jabatan tertinggi yang pernah
dicapai oleh seorang gay di lingkungan Gereja. Usai pelantikannya, dengan
diiringi tangis keharuan, Robinson menyatakan, bahwa ia merasakan
mendapatkan kehormatan yang amat sangat.
You cannot imagine what an honor it is for you to have called me, kata
Robinson. Namun, ia mengakui, banyak orang di lingkungan gereja yang
sangat terluka dengan promosinya.
Sejumlah media internasional menggunakan istilah yang menarik untuk
menggambarkan pro-kontra terhadap pengangkatan Robinson ini, dengan
menyebutkan, bahwa yang marah terhadap Robinson adalah kalangan
konservartif di lingkungan geraja (church conservatives), yang percaya
bahwa praktik gay dan lesbian pertentangan dengan ajaran Kristen. Agustus
lalu, Kantor berita AFP menulis, bahwa Conservative Anglicans di berbagai
dunia takut bahwa sayap liberal (liberal wing) dari gereja ini akan lebih maju
lagi mempromosikan perkawinan homoseksual. Jadi, yang menentang

Robinson dicap sebagai konservatif dan yang mendukungnya diberi label


liberal.
Yang menarik, meskipun menghadapi kecaman dari berbagai penjuru dunia,
pelantikan Robinson sendiri berjalan mulus. Para pastur yang hadir dalam
acara pelantikan Robinson di arena hoki University of New Hampshire, antri
untuk memberikan ucapan selamat kepada Robinson. CNN melaporkan, hanya
sedikit orang saja yang berdemonstrasi di luar arena, menentang pelantikan
Robinson. Mantan Uskup New Hampshire, Reverend Douglas Theuner, yang
hadir dalam pelantikan itu, berpidato memberikan dukungan terhadap
Robinson, dengan menyatakan: You are no more or less a child of God like
everyone else. Dari ratusan pastor yang hadir, hanya tiga orang yang maju ke
depan, dan menentang penobatan Robinson. Seorang menyatakan, bahwa
pelantikan Robinson merupakan kesalahan yang mengerikan (terrible
mistake).
Robinson (56 tahun), memang dikenal sebagai pelaku homoseksual yang
terang-terangan. Ia telah hidup bersama dengan pasangan homoseks-nya
bernama Mark Andrew, selama 14 tahun. Bisa dibayangkan, selama ia menjadi
tokoh gereja pun, sebenarnya publik telah mengatahui perilakunya. Dalam
acara penobatannya sebagai Uskup, Mark Andrew-lah yang menyerahkan topi
keuskupan (bishops miter) kepada Robinson. Di akhir upacara penobatannya,
Gene Robinson menatap publik, dan bersama-sama mereka menyanyikan lagu
Hallelujah.
Dalam UU Ke-gerejaan di AS, pemilihan uskup dilakukan oleh masyarakat dan
pemuka gereja, yang kemudian dikukuhkan melalui konvensi nasional dan
selanjutnya melalui satu penobatan (konsekrasi). Agustus lalu, Keuskupan
Gereja di AS, melakukan Konvensi Umum di Minneapolis, dan mengokohkan
terpilihnya Robinson sebagai Uskup New Hampshire.
Terpilihnya Gene Robinson sebagai tokoh penting dalam Gereja bisa
dikatakan sebagai satu puncak kesuksesan gerakan liberalisasi di dunia
Kristen. Mereka berhasil menjungkirbalikkan satu ketentuan yang sangat
tegas di dalam Bible, yang mengutuk perbuatan homoseksual.
Dalam Kitab Imamat 20:13 disebutkan: Bila seorang laki-laki tidur dengan
laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya

melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka
tertimpa kepada mereka sendiri.
,br> Dalam sejumlah versi Bible, juga dijelaskan, bahwa hukuman buat pelaku
homoseksual adalah hukuman mati. The Living Bible menulis Leviticus, 20:13:
The penalty for homosexual acts is death to both parties. They have brought
it upon themselves.
Sedangkan dalam King James Version ayat ini ditulis: If a man also lie with
mankind, as he lieth with a woman, both of them have committed an
abomination: they shall surely be put to death; their blood shall be upon
them.
Namun, seperti diketahui, arus liberalisasi di dunia Kristen begitu kuat
belangsung. Jika selama ini, baru masyarakat dan negara Belanda yang
mengesahkan perkawinan homoseksual, maka kasus Gene Robinson akan
memberikan dampak lebih hebat lagi, karena perbuatan yang salah itu telah
mendapatkan justifikasi keagamaan. Arus liberalisasi Gereja ini sudah cukup
lama menerjang. Termasuk, diantaranya, agar gereja mulai menerima praktikpraktik homoseksualitas.
Beberapa tahun lalu, Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam
bukunya berjudul Homosexuality and a Pastoral Church mengimbau agar
gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan
perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.
Sebenarnya, jika dilihat dari sejarah Gereja Anglikan sendiri, kasus-kasus
seksual semacam ini tidak lah terlalu aneh. Gereja Anglikan terbentuk sebagai
bagian dari gerekan Reformasi di tubuh Gereja Katolik, khususnya yang
terjadi di Inggris. Kasusnya juga bermula dari urusan seksual. Gara-gara Paus
tidak merestui perceraiannya dengan istrinya, Catharine of Aragon, dan
keinginannya untuk mengawini Anne Boleyn Raja Henry VIII (1491-1547),
nekad membuat keputusan sendiri, dan memisahkan Gereja Inggris dari
Kepausan Katolik Roma. Henry menerapkan kebijakan keras terhadap setiap
penentangnya.
Thomas More, salah seorang penasehat Kerajaan, termasuk yang dipenggal
kepalanya, karena menentang sikap Henry VIII. Kasus Henry VIII ini
selanjutnya menyebabkan konflik berdarah yang sangat mengerikan antara
Protestan dan Katolik dalam perebutan tahta kerajaan Inggris.

Kesuksesan Elizabeth I (memerintah 1558-1603) dalam memimpin Inggris,


akhirnya turut mengokohkan eksistensi Gereja Inggris yang selanjutnya
dikenal sebagai Gereja Anglikan (Anglicanism). Sebuah Film berjudul
Elizabeth memberikan gambaran bagaimana konflik berdarah yang sangat
mengerikan terjadi antara Katolik dan Protestan dalam sejarah perebutan
tahta Inggris.
Encyclopaedia of Religion menulis, bahwa salah satu karakteristik
Anglicanism adalah usahanya untuk memegang element-elemen Katolik dan
Protestan dalam satu jalan tengah. Tahun 1960-an, mulai dilakukan upayaupaya serius untuk menyatukan kembali antara Gereja Anglikan dengan
Katolik Roma. Ketika Paus Johanes Paulus II berkunjung ke Inggris, tahun
1982, ia dan Uskup Agung Canterbury, Runcie, menandatangani satu
Common Declaration untuk pembentukan satu komisi yang bertugas
mempelajari isu-isu teologis, masalah pastoral, dan langkah-langkah praktis
menuju tahap berikutnya ke arah penyatuan kembali Anglikan dan Katolik
Roma. Namun, hingga kini, hal itu belum terwujud.
Soal homoseksual juga bukan hal baru dalam sejarah Gereja. Dunia Kristen
kini mengenal satu Bible versi King James, atau King James Version. Bible
versi ini sangat terkenal. King James yang dimaksud di sini adalah Raja Inggris
yang dikenal dengan nama Stuart King James VI of Scotland, dan menjadi King
James I of England. Ia memerintah tahun 1603, menggantikan Elizabeth I, dan
meninggal tahun 1625.
Ia tampaknya seorang Raja yang kontroversial. Pada satu sisi, atas jasanya
memelopori penulisan Bible King James Version, ia sangat dihormati. Dalam
pembukaan Bible King James Version, terdapat ungkapan pujian khusus untuk
King James ini: To the Most High and Mighty Prince, JAMES, By the Grace of
God, King of Great Britain, France, and Ireland, Defender of faith, Etc. Jadi,
King James mendapatkan julukan yang sangat mulia, yaitu sebagai Defender
of Faith, Sang Pembela Agama.
Namun, sejarawan Barat, seperti Philip J. Adler, menyebutnya sebagai seorang
yang arogan dan pelaku homoseks yang terang-terangan (blatant
homosexual). Namun, buku Whos Who in Christianity, (1998), sama sekali
tidak menyinggung soal perilaku homoseksual King James ini. Heny ke VIII
pun sebelum berantem dengan Paus, mendapat gelar dari Paus sebagai

Defender of the Faith, setelah Henry menulis satu panflet yang menentang
ajaran Martin Luther.
Persoalan seksual dan kekerasan sebenarnya begitu banyak mendapatkan
perhatian dalam Bible. Bahkan, tokoh Lot (Luth), yang digambarkan sebagai
tokoh penentang praktik homoseksual, juga digambarkan berzina dengan
anak perempuannya sendiri.
Kitab Kejadian 19:30-38 dalam Perjanjian Lama, menceritakan kisah
perzinahan Lot dengan kedua anak perempuannya sendiri dan akhirnya
melahirkan anak dari kedua anaknya itu. Dari anak yang lebih tua lahir anak
yang diberi nama Moab, dan dari anak yang lebih muda, lahir cucu Lot yang
diberi nama Ben-Ami: (30) Pergilah Lot dari Zoar dan ia menetap bersamasama dengan kedua anaknya perempuan di pegunungan, sebab ia tidak berani
tinggal di Zoar, maka diambillah ia dalam suatu goa beserta kedua anaknya.
(31)
Kata kakaknya kepada adiknya: Ayah kita telah tua, dan tidak ada laki-laki di
negeri ini yang dapat menghampiri kita, seperti kebiasaan seluruh bumi. (32)
Marilah kita beri ayah kita minum anggur, lalu kita tidur dengan dia, supaya
kita menyambung keturunan dari ayah kita. (33) Pada malam itu mereka
memberi ayah mereka minum anggur, lalu masuklah yang lebih tua untuk
tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu
tidur dan ketika ia bangun. (34)
Keesokan harinya berkatalah kakaknya kepada adiknya: Tadi malam aku
telah tidur dengan ayah; baiklah malam ini juga kita beri dia minum anggur;
masuklah engkau untuk tidur dengan dia, supaya kita menyambung
keturunan dari ayah kita. (35) Demikianlah juga pada malam itu mereka
memberi ayah mereka minum anggur, lalu bangunlah yang lebih muda untuk
tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu
tidur dan ketika ia bangun. (36) Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari
ayah mereka. (37)
Yang lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab;
dialah bapa orang Moab yang ada sekarang. (38) yang lebih muda pun
melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami; dialah bapa
bani Amon yang sekarang.

Penggambaran Bible tentang Lot itu sangat berbeda dengan konsep al-Quran
yang menggambarkan sosok Luth a.s. sebagai nabi utusan Allah yang saleh. AlQuran menegaskan: Sesungguhnya Luth benar-benar seorang Rasul. (alShaffat:133). Dalam konsep Islam, seorang rasul, seperti Luth, pasti memiliki
sifat mashum, terjaga dari dosa.
Kisah Gene Robinson, seorang gay yang menduduki jabatan tinggi dalam
hirarki Gereja, perlu menjadi perhatian serius bagi kalangan Muslim yang
aktif melakukan gerakan liberalisasi di kalangan Muslim.
Dalam kadar yang sedikit lebih rendah, hal seperti itu sebenarnya sudah
terjadi. Kalangan liberal yang berusaha membongkar sendi-sendi penting
dalam ajaran Islam, diberikan posisi-posisi penting dalam lembaga
keagamaan dan mendapatkan dukungan luas oleh media massa. Para
pengkritiknya dicap sebagai kaum konservatif, golongan tua, dan sebagainya.
Kasus tarian erotis Inul yang mendapat dukungan sebagian orang yang
bergelar kyai, bisa dilihat sebagai satu contoh.
Majalah Gatra edisi 18 Oktober 2003 melaporkan, seorang cendekiawan
lulusan Al Azhar University Cairo, yang membela sejumlah aktivis organisasi
Islam yang tidak melakukan shalat. Kata dia, Itu bukan bentuk kemalasan,
melainkan ungkapan kritik dan kegelisahan mereka pada kemandulan fungsi
sosial agama. Anak-anak yang meninggalkan shalat itu, katanya,
meninggalkan shalat ritual, tetapi melakukan shalat sosial. Oleh Gatra
kalangan liberal ini diberi julukan sebagai kaum progresif, sementara yang
kontra dicap sebagai berpandangan konservatif kalangan tua.
Berpikir tidak dilarang. Tetapi, penyebaran pemikiran yang salah ke tengah
masyarakat tentu ada batasan-batasannya. Negara-negara liberal sendiri
melarang, misalnya, penyebaran paham rasialisme. Kasus Gene Robinson
kembali membuktikan, kaum agamawan Kristen, kelabakan menghadapi arus
liberalisasi di dalam tubuh gereja. Hal yang sama kini juga melanda kalangan
Yahudi. Di Israel, kelompok gay dan lesbian berkumpul dalam satu organisasi
yang kuat dikenal sebagai Agudah. Kelompok ini sangat berpengaruh dalam
politik Israel, sehingga banyak partai politik meminta dukungan dari
kelompok ini. Koran Haaretz, 25 Oktober lalu, melaporkan sejumlah tokoh
politik di Israel yang berlomba-lomba memberikan dukungan terhadap
Agudah. Dulu, yang mendukung Agudah hanya Partai Kiri Meretz. Tetapi,
kini tokoh-tokoh Likud yang konservatif pun ikut mendukungnya.

Bagaimana dengan Islam? Kita tunggu, apakah akan ada kyai . yang
menyerukan dukungan buat praktik homoseksualitas? Jika mau tahu, amatilah
dukungan yang diberikan sejumlah tokoh dan organisasi Islam terhadap
tokoh Gay Indonesia, Dr. Dede Oetomo. Wallahu alam. (Kuala Lumpur, 6
November 2003).
Rep: Cholis Akbar

RUU KESETARAAN GENDER


Perspektif Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Kaprodi Pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana, Universitas Ibn Khaldun
Bogor)
Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG)
sudah mulai dibahas secara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai
bermunculan. (Republika (Jumat, 16/3/2012). Menyimak naskah Draf RUU
KKG/Timja/24/agustus/2011, maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf
RUU ini. Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut
bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam.
Kesalahan mendasar itu berawal dari definisi gender itu sendiri. RUU ini
mendefinisikan gender sebagai berikut: Gender adalah pembedaan peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat
dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis
kelamin ke jenis kelamin lainnya.
Definisi Gender seperti itu adalah keliru, tidak sesuai dengan pandangan
Islam. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab
perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di
masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya
merupakan produk budaya. Ada peran yang berubah, dan ada yang tidak
berubah. Yang menentukan peran bukanlah budaya, tetapi wahyu Allah, yang
telah dicontohkan pelaksanaannya oleh Nabi Muhammad SAW. Ini karena
memang Islam adalah agama wahyu, yang ajaran-ajarannya ditentukan

berdasarkan wahyu Allah, bukan berdasarkan konsensus sosial atau budaya


masyarakat tertentu.
Sebagai contoh, dalam Islam, laki-laki diamanahi sebagai pemimpin dan
kepala keluarga serta berkewajiban mencari nafkah keluarga. Ini ditentukan
berdasarkan wahyu. Islam tidak melarang perempuan bekerja, dengan syarat,
mendapatkan izin dari suami. Dalam hal ini, kedudukan laki-laki dan
perempuan memang tidak sama. Tetapi, keduanya di mata Allah adalah
setara. Jika mereka menjalankan kewajibannya dengan baik, akan
mendapatkan pahala, dan jika sebaliknya, maka akan mendapatkan dosa.
Konsep kesetaraan versi Islam semacam ini bertentangan dengan rumusan
kesetaraan versi RUU KKG: Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan
posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan
mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat
pembangunan di semua bidang kehidupan. (pasal 1, ayat 2).
Bahkan, RUU KKG ini juga mendefinisikan makna adil dalam Keadilan Gender,
sebagai: suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya
persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu,
anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara. (pasal 1, ayat 3).
Karena target aktivis KKG adalah kesetaraan secara kuantitatif atara laki-laki
dan perempuan, terutama di ruang publik, maka pada pasal 4, perempuan
Indonesia dipaksa untuk aktif di lapangan politik dan pemerintahan, dengan
mendapatkan porsi minimal 30 persen: perempuan berhak memperoleh
tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam
hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga
pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga nonpemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan
internasional. (pasal 4, ayat 2).
Itulah contoh kesalahpahaman yang luar biasa dari cara berpikir perumus
naskah RUU KKG ini. Bahwa, makna menikmati dan berpartisipasi dalam
pembangunan haruslah dilakukan oleh perempuan dalam bentuk aktif di luar
rumah. Aktivitas perempuan sebagai istri pendamping suami dan pendidik
anak-anaknya di rumah, tidak dinilai sebagai bentuk partisipasi dalam
pembangunan.

Itu juga cara berpikir kaum feminis ekstrim yang melihat posisi istri di dalam
rumah tangga sebagai posisi kaum tertindas. Tidak berlebihan, jika Dr. Ratna
Megawangi pakar gizi dan kesehatan keluarga dari IPB -- menelusuri, ide
gender equality (kesetaraan gender) yang dianut oleh banyak kaum feminis
lainnya, bersumber dari ideologi Marxis, yang menempatkan wanita sebagai
kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas.
Paradigma Marxis melihat institusi keluarga sebagai musuh yang pertamatama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis
ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Keluarga dianggap sebagai
cikal-bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari
hubungan yang timpang antara suami dan istri. Sehingga bahasa yang dipakai
dalam gerakan feminisme mainstream adalah bahasa baku yang mirip dengan
gerakan kekiri-kirian lainnya. Yaitu, bagaimana mewujudkan kesetaraan
gender melalui proses penyadaran bagi yang tertindas, pemberdayaan kiaum
tertindas, dan sebagainya. (Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?
1999:11).
Menurut Ratna, agenda feminis mainstream, semenjak awal abad ke-20,
adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu
pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di
dalam rumah. Untuk mewujudkan kesetaraan seperti itu, para feminis sampai
sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah
karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis, atau
perbedaan nature, atau genetis. Para feminis yakin dapat mewujudkannya
melalui perubahan budaya, legislasi, atau pun praktik-praktik pengasuhan
anak. (Ibid, hal. 9-10).
Rumusan definisi Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender, serta pemaksaan
peran perempuan dalam porsi tertentu di ruang publik, dalam RUU KKG ini,
sejalan dengan gagasan kaum Marxian yang memandang keluarga dimana
laki-laki sebagai pemimpinnya -- sebagai bentuk penindasan terhadap kaum
perempuan. Tidak ada di benak kaum Marxis ini, bahwa ketaatan seorang istri
terhadap suami adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Tidak terlintas
di benak mereka, betapa bahagianya seorang Muslimah saat mentaati suami,
sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Setara: Lesbian

Sebagian pegiat KKG di Indonesia bahkan sudah berpikir dan melangkah lebih
jauh. Jurnal Perempuan (Maret 2008), memperjuangkan legalisasi
perkawinan sesama jenis perempuan (lesbianisme), karena lesbian dianggap
sebagai bentuk kesetaraan laki-laki dan perempuan yang tertinggi. Salah satu
tuntutan para pegiat KKG dan lesbianisme adalah agar perkawinan sesama
jenis juga mendapatkan legalitas di Indonesia. Pasal 23 Kovenan Hak Sipil dan
Politik juga secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga
dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut
hanya berlaku atas kelompok heteroseksual, tulis Jurnal yang mencantumkan
semboyan untuk pencerahan dan kesetaraan.
Seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul Etika Lesbian di Jurnal
Perempuan ini menulis: Etika lesbian merupakan konsep perjalanan
kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian
menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan
perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral. Lebih jauh, ia menulis
tentang keindahan hubungan pasangan sesama perempuan: Cinta antar
perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki. Percintaan antar
perempuan membebaskan karena tidak ada kategori laki-laki dan kategori
perempuan, atau adanya pembagian peran dalam bercinta. Dengan demikian,
tidak ada konsep other (lian) karena penyatuan tubuh perempuan dengan
perempuan merupakan penyatuan yang kedua-keduanya menjadi subyek dan
berperan menuruti kehendak masing-masing. Dengan melihat kehidupan
lesbian, kita menemukan perempuan sebagai subyek dan memiliki komunitas
yang tidak ditekan oleh kebiasaan-kebiasaan heteroseksual yang memaksa
perempuan berlaku tertentu dan laki-laki berlaku tertentu pula.
Zalim
Jika RUU KKG ini disahkan dalam bentuknya seperti ini, akan terjadi suatu
bentuk penindasan atau kezaliman terhadap kaum Muslim, yang mentaati
ajaran agamanya. Sebab, pasal 67 RUU KKG menyebutkan: Setiap orang
dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan,
dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu.
Lalu, 70 RUU KKG merumuskan adanya hukuman pidana bagi pelanggar UU
KKG: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki
unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin

tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67, dipidana dengan pidana


penjara paling lama . (.) tahun dan pidana denda paling banyak Rp (.).
Jadi, siap-siaplah penjara akan makin dipenuhi orang Muslim, yang karena
mentaati ajaran agamanya, dia misalnya -- melarang perempuan menjadi
khatib jumat; membatasi wali dan saksi nikah hanya untuk kaum laki-laki;
melarang anak perempuannya menikah dengan laki-laki non-Muslim;
membeda-bedakan pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan;
membedakan jumlah kambing yang disembelih untuk aqiqah anak laki-laki
dan perempuan. Sebab, memang pada pasal 2 RUU KKG, sama sekali tidak
dimasukkan asas agama. Yang ada hanya asas: Kemanusiaan, persamaan
substantif, non-diskriminatif, manfaat, partisipatif, dan transparansi dan
akuntabilitas.
Kita berdoa, mudah-mudahan orang Muslim, khususnya yang di legislatif dan
pemerintahan, sadar benar akan kekeliruan RUU KKG ini. Tentu, kita semua
tidak ingin menyamai prestasi Iblis; makhluk Allah yang hanya mau mengakui
adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapi menolak diatur oleh-Nya. Wallahu alam
bil-shawab. (***)
MONSTER GENDER
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Ada sebuah buku. Judulnya: Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan
Jender. Penerbitnya: Pusat Studi Jender, IAIN Walisongo Semarang (2002).
Buku ini membahas berbagai praktik yang didefinisikan sebagai bentuk
diskriminasi gender. Ada subbab berjudul: Ajaran-ajaran Fikih
Diskiriminatif. (hal. 89), Diskriminasi Jender dalam Ibadah Salat. (hal. 92).
Lebih dari 1.400 tahun, perempuan muslimah tidak menggugat persoalan
imam shalat; perempuan tidak protes karena tidak melantunkan azan;
perempuan juga tidak menyoal kewajiban khatib Jumat bagi laki-laki. Umat
Islam selama itu tidak gaduh. Kini, ajaran itu digugat; dikatakan sebagai
diskriminatif. Belum puas sampai di situ, buku yang ditulis para akademisi
IAIN Semarang itu juga menggugat diskriminasi soal batasan aurat laki-laki
dan perempuan.
Aurat laki-laki ditentukan hanya antara pusar dan lutut, sedangkan aurat
perempuan meliputi seluruh tubuhnya (ada yang mengecualikan muka dan

dua telapak tangannya). Ketentuan ini member kebebasan dan kelonggaran


kepada kaum laki-laki. Sebaliknya, menekan kaum perempuan. Perempuan
diposisikan sebagai subjek penyebab timbulnya fitnah dan tindakan asusila
antara lawan jenis sehingga harus menutup seluruh tubuhnya (atau
setidaknya selain muka dan dua telapak tangannya). Adilkah diskriminasi
semacam ini? (hal.134-135).
Untuk menunjukkan bahwa ajaran Islam tidak diskriminatif, penulis
meminjam pemikiran Syahrur, pemikir hukum liberal asal Syiria. Menurutnya,
perempuan HANYA wajib menutup bagian tubuh: yang berada diantara dan di
bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan, dan pantat. (hal. 141).
Ada lagi buku semacam ini! Judulnya: Bias Jender dalam Pemahaman Islam.
Penerbitnya pun Pusat Studi Jender IAIN Walisongo Semarang (2002).
Diantara yang digugat adalah soal kepemimpinan laki-laki dalam keluarga.
Dengan perspektif Keseteraan Gender , buku ini pun menyimpulkan,bahwa
kepala rumah tangga tidak harus laki-laki: Dalam pemahaman ini,
kepemimpinan keluarga dapat dipegang oleh siapa saja, suami atau istri, yang
memiliki kriteria fadl dan infaq-nya lebih baik. (hal. 91).
****
Itulah dampak paham Kesetaraan Gender jika sudah merasuki pikiran
seseorang. Tanpa sadar, dia sudah mengimani konsep Kesetaraan ala Barat.
Seluruh ajaran Islam yang membedakan kedudukan dan peran laki-laki dan
perempuan dilihat sebagai bias gender atau diskriminatif gender. Semua
ajaran Islam dilihat sebagai produk budaya yang bisa diubah, sesuai kondisi
social kemasyarakatan. Konsep semacam ini, kini dirumuskan secara resmi
dalam draft RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG): Gender adalah
pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang
merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat
dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya
tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.
Selama ini, gugatan kaum gender terhadap ajaran Islam yang mereka nilai
bias gender belum berdampak kepada masyarakat luas, karena masih
tersimpan dalam wacana akademik dan public. Tetapi, kini, dengan
dibahasnya RUU KKG di DPR, seluruh ajaran Islam -- yang dinilai diskriminatif
gender bisa dimasukkan dalam bentuk kejahatan yang diancam hukuman
penjara dan denda uang.

Draft RUU KKG sementara ini merumuskan: Setiap orang dilarang melakukan
perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau
pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu. (pasal 67). Lalu, pasal 70 RUU
KKG merumuskan adanya hukuman pidana bagi pelanggar UU KKG: Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur
pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin
tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67, dipidana dengan pidana
penjara paling lama . (.) tahun dan pidana denda paling banyak Rp (.).
Itulah fakta paham Kesetaraan Gender dan RUU KKG yang sedang dibahas di
DPR! Tokoh Islam, Mohammad Natsir pernah mengingatkan: jika
memadamkan api, padamkan selagi kecil! Hikmahnya: jangan tunggu monster
itu menjadi besar! Wallahu alam bil-shawab. (Depok, 17 April 2012).
MUHASABAH UMUR 50 TAHUN
Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA 26 Desember 2015, di kampus Univesitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor,
dilangsungkan acara Launching 5 Buku dan Muhasabah 50 Tahun Adian
Husaini. Acara yang diprakarsai oleh Fakultas Pasca Sarjana UIKA itu dihadiri
sekitar 300 peserta. Hadir dalam acara tersebut Dekan Pasca Sarjana UIKA
Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, Rektor UIKA Dr. Ending Bahrudin, Ketua Yayasan
UIKA Didi Hilman, para dosen, undangan, dan peserta dari berbagai daerah.
Alhamdulillah, ibu saya, Hj Tamlikah dan seluruh saudara beserta anakanaknya, juga hadir. Sejumlah sahabat dari Solo, Semarang, Bandung, dan
sebagainya pun menyempatkan hadir. Tentu saja itu sebuah kehormatan bagi
saya pribadi. Saya memandang perlu melakukan muhasabah ilmiah, sebab
saya teringat, dua ulama besar, Imam asy-Syafii dan Imam al-Ghazali
meninggal dunia di usia 54 dan 55 tahun. Sejumlah sahabat dan teman kuliah
saya di IPB pun telah dipanggil Allah terlebih dahulu. Hingga kini, saya masih
diberi waktu, juga kesehatan jiwa dan badan.
Pada 17 Desember 2015, menurut tahun syamsiyah, alhamdulillah, saya
memasuki umur 50 tahun. Tentu itu bukan umur yang muda lagi. Allah
Subhanahu Wataala telah memberikan karunia dan amanah tujuh orang anak.
Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, begitu perintah Allah
Subhanahu Wataala sebagaimana tercantum dalam QS at-Tahrim ayat 6. Itu
amanah berat. Menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Padahal, seperti

disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi Wassallam, sorga itu diselimuti halhal yang tidak disukai manusia; sedangkan neraka diselimuti hal-hal yang
disukai manusia (syahwat).
Seperti ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya, bahwa Ali bin Abi
Thalib r.a. memberikan penjelasan, cara menjaga diri dan keluarga agar tidak
terjatuh ke dalam neraka adalah dengan mendidik diri dan keluarga menjadi
manusia-manusia beradab dan berilmu. Addibhum wa-allimhum, begitu
kata Ali bin Abi Thalib r.a.
Mendidik keluarga menjadi beradab dan berilmu, dalam praktiknya, bukan
sederhana dan mudah. Tugas itu memerlukan ilmu dan kemampuan. Menddik
tidak sama dengan menyekolahkan. Pendidikan tidak sama dengan sekolah.
Bisa jadi, sekolah merupakan bagian dari proses pendidikan. Bisa juga,
sekolah justru menjauhkan anak dari proses pendidikan yang sebenarnya,
karena salah guru dan salah kurikulum. Mendidik dalam istilah Prof. Naquib
al-Attas adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan atau keadilan dalam diri
seseorang. Menanamkan (to inculcate) bukan sekedar mengajarkan.
Menanamkan nilai-nilai kebaikan itu perlu kesungguhan, keikhlasan, dan
kemampuan ilmu.
Di sinilah bisa dipahami bahwa pendidikan adalah sebuah usaha lahir batin
yang harus dikerjakan dengan penuh kesungguhan. Usaha ini tidak akan
berhasil jika guru dan murid tidak bersungguh-sungguh dan saling ikhlas.
Karena itu, proses pendidikan tidak sama dengan proses pembuatan roti.
Pendidikan berhadapan dengan manusia yang memiliki jiwa dan aneka
problema kehidupan. Penanaman nilai-nilai kebaikan itulah yang disebut
sebagai proses tadib atau proses penanaman adab dalam diri seseorang.
(Lihat, uraian Prof. Naquib al-Attas tentang masalah ini dalam buku Islam and
Secularism).
Inilah tanggug jawab orang tua yang sangat berat. Yakni, menanamkan adab
dalam diri dan keluarganya. Proses ini akan berhasil jika ada faktor keimanan,
keteladanan, pembiasaan, dan penegakan disiplin aturan. Karena itu, orang
tua harus terus mendidik dirinya dengan adab dan ilmu, agar mereka bisa
mendidik anaknya dengan baik. Tugas orang tua bukan hanya cari uang untuk
memberi makan dan menyekolahkan anak. Sebab, anaknya adalah manusia,
yang harus dididik dengan adab, agar menjadi manjadi manusia yang mulia.

Sejauh yang saya jalani dan saya perhatikan, ternyata tidak mudah berlaku
adil dan beradab terhadap diri, keluarga, dan juga masyarakat serta bangsa.
Tugas-tugas dakwah dan kemasyarakatan yang sangat padat bisa saja suatu
ketika berdampak kepada perlakuan tidak adil kepada diri dan keluarga. Kita
bukan hanya wajib memperjuangkan tegaknya kebenaran pada tataran sosialkemasyarakatan, tetapi juga wajib membangun jiwa dan raga sendiri. Jiwa
harus semakin bersih dari waktu ke waktu. Proses pensucian jiwa (tazkiyatun
nafs) wajib terus dilakukan, tanpa henti. Sebab, hanya manusia yang
mensucikan jiwanya yang akan meraih kemenangan. Celakalah orang-orang
yang mengotori jiwanya.
Jiwa yang sehat adalah yang bersih dari kekufuran, kemunafikan,
kemusyrikan, riya, sombong, dengki, cinta dunia, cinta kedudukan, dan
berbagai penyakit jiwa lainnya. Membersikan jiwa dari penyakit-penyakit
tersebut bukan perbuatan yag mudah, tetapi perlu perjuangan yang sungguhsungguh. Inilah yang disebut sebagai mujahadah alan nafsi, yang
disabdakan oleh Rasulullah saw sebagai satu bentuk jihad fi sabilillah (HR
Imam Tirmidzi).
Imam al-Ghazali menjelaskan secara panjang lebar tentang pentingnya
pensucian jiwa ini dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin. Seharusnya, setiap kita,
setiap manusia, semakin bertambah umur, semakin suci pila jiwa kita dari
penyakit-penyakit jiwa tersebut. Jiwa yang bersih adalah jiwa yang tenang,
jiwa yang bahagia, jiwa yang tidak mudah galau dan resah oleh aneka ujian
kehidupan. Dengan jiwa yang tenang, maka kita akan meraih hidup bahagia.
Saya berharap, untuk saya prbadi, keluarga, dan kita semua, semoga jiwa kita
semakin bersih, sejalan dengan bertambahnya umur kita. Amin.
Peluncuran buku
Acara inti pada 26 Desember 2015 di Kampus UIKA Bogor tersebut
sebenarnya dalah peluncuran lima buku, yaitu: (1) 50 Tahun Perjalanan
Meraih Ilmu dan Bahagia, (2) Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, (3)
Kerukunan Beragama, (4) Liberalisasi Islam di Indonesia, (5) 10 Kuliah
Agama Islam (di Perguruan Tinggi).
Buku terpenting adalah Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab (InsistsBina Qalam: 2015). Buku ini merupakan hasil penelitian tentang konsep adab
dan aplikasinya dalam kehidupan kenegaraan dan pendidikan di Indonesia.

Penelitian itu berlangsung di Center for Advanced Studies on Islam, Science,


and Civilization Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM). Selama
penelitian di CASIS-UTM, saya berkesempatan menggali konsep adab yang
dirumuskan Prof. Naquib al-Attas dan berdiskusi dengan para dosen di sana,
khususnya dengan pendiri CASIS-UTM, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Itu
kesempatan yang sangat mahal harganya. Selama itu, saya juga
berkesempatan bertemu dengan Prof. al-Attas dan mendengarkan uraian
beliau tentang berbagai hal.
Selama menyepi di Kuala Lumpur beberapa bulan itu, saya juga sempat
menelaah ulang pemikiran para tokoh Islam di Indonesia, seperti pemikiran
KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Ki Bagus
Hadikoesoemo, Mohammad Natsir, Hamka, dan sebagainya. Kesempatan
seperti ini sangat mahal harganya. Tidak setiap dosen atau aktivis dakwah
berkesempatan melakukan penelitian semacam ini.
Akhir tahun 2014, penelitian usai, dan saya mempresentasikan hasil
penelitian itu dalam sebuah seminar di CASIS-UTM. Setelah hampir setahun
naskah monograf itu tersimpan, akhir 2015, saya mendapatkan kesempatan
selama satu bulan untuk tinggal di Negara Sudan. Alhamdulillah, naskah
tersebut bisa saya kembangkan lagi, sehingga terwujud sebuah buku berjudul
Mewujudkan Indonesia Adil Beradab.
Buku ini membuktikan bahwa masalah adab adalah hal yang sangat
mendasar kedudukannya dalam ajaran Islam. Al-Quran, hadits Nabi
Shallallahu alaihi Wassallam, dan kitab-kitab para ulama Islam, begitu banyak
menekankan pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Tesis penting telah
disampaikan Prof. Naquib al-Attas tahun 1977, bahwa problem yang paling
mendasar dari umat Islam saat ini adalah loss of adab, hilang adab. Adalah
mengagumkan, bahwa tiga istilah kunci dalam konsep adab rumusan Prof. alAttas, yakni hikmah, adil, dan adab, tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam perspektif Islamic Worldview, Pembukaan UUD 1945 tampak sebagai
suatu rumusan yang kokoh konsep suatu negara merdeka yang ideal.
Siapa sebenarnya perumus Pembukaan UUD 1945? Rumusan itu adalah
produk dari Panitia Sembilan yang dipimpin Soekarno, dan beranggotakan
empat tokoh Islam: KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno
Tjokrosoejoso, dan Kahar Muzakkir. Saya belum menemukan data siapa
konseptor awal rumusan Pembukaan UUD 1945 tersebut. Saya menduga-

duga, bahwa rumusan itu ada pengaruh dari para ulama, khususnya KH
Hasyim Asyari, ayah dari KH Wahid Hasyim.
KH Hasyim Asyari adalah penulis kitab Adabul Alim wal-Mutaallim, yang
juga berkedudukan sebagai Ketua Majelis Syuro Masyumi ketika itu. Kitab KH
Hasyim Asyari tersebut memuat rumusan tentang adab yang sangat
mendasar dan komprehensif. Dalam kitab ini, kita bisa memahami, bahwa
tanpa adab, maka keimanan dan syariat menjadi tidak bernilai.
Perlu dicatat, bahwa baik Soekarno maupun Muhammad Yamin mengajukan
salah satu sila dalam rumusan dasar negara sebagai kemanusiaan dan
perikemanusiaan. Jadi, tambahan kata yang adil dan beradab dalam sila
kedua, merupakan perubahan konsep kemanusiaan yang sangat mendasar.*
Pengaruh 'belajar Islam dari orientalis..
Oleh: Adian Husaini
Kaum Orientalis dan mendirikan pusat-pusat studi Islam. Para ilmuwan
Indonesia berguru ke sana. Pulangnya bukan semakin baik, tetapi memusuhi
Islam...
Sejak Perang Salib, sebahagian tokoh Kristian telah menilai bahawa Perang
Salib merupakan cara yang tidak tepat untuk menakluk kaum Muslim. Salah
satu
tokoh
terkenal
adalah Peter
The
Venerable atau
Petrus
Venerabilis (1094-1156M).
Peter adalah tokoh misionari Kristian pertama yang merancang bagaimana
menakluk umat Islam dengan pemikirannya, bukan dengan senjata. Ketika itu,
dia merupakan ketua Biara Cluny, Perancis sebuah biara yang sangat
berpengaruh di Eropah pada Abad Pertengahan.
Sekitar tahun 1141-1142, Peter mengunjungi Toledo, Spanyol. Di situ dia
menghimpunkan sejumlah cendekiawan untuk menterjemahkan karya-karya
kaum Muslim ke dalam bahasa Latin. Terjemahan itu akan digunakan sebagai
bahan untuk misionari Kristian terhadap dunia Islam.

Salah satu usaha Peter yang berjaya adalah terjemahan Al-Qur'an dalam
bahasa Latin oleh Robert of Ketton (selesai tahun 1143), yang diberi
judulLiber Legis Saracenorum quem Alcorant Vocant (Kitab Hukum Islam
yang disebut Al-Qur'an ).
Inilah terjemahan pertama al-Quran dalam bahasa Latin, yang selama beratusratus tahun menjadi rujukan kaum Kristian di Eropah dalam 'melihat Islam'.
Kemudian pada tahun 1698, Ludovico Maracci, melakukan kritik terhadap
terjemahan Robert of Ketton dan menterjemahkan Al-Qur'an sekali lagi ke
dalam
bahasa
Latin
bertajuk Alcorani
Textus
Receptus.
Menurut Peter Venerabilis, pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu dilakukan
oleh kaum Kristian, agar mereka dapat membaptis (mensuci) pemikiran
kaum Muslimin.
Jadi, kaum Muslim bukan saja perlu dikalahkan dengan kekuatan ketenteraan,
tetapi juga harus dikalahkan dalam pemikiran. Di tengah berkecamuknya
Perang Salib, Peter membuat pernyataan berikut : aku menyerangmu
(umat Islam), bukan sebagaimana sebahagian dari kami [orang-orang Kristen]
sering lakukan iaitu dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan
kekuatan, namun dengan fikiran; bukan dengan kebencian, namun dengan
cinta
"But I attack you not, as some of us [Christians] often do, by arms, but by words;
not by force, but by reason; not in hatred, but in love"
Petrus Venerabilis mengajak orang Islam ke jalan keselamatan Kristian
dengan cara mengalahkan pemikiran Islam. Ia bertitik tolak dari kepercayaan
Kristian bahawa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla
salus).
Islam, menurutnya, adalah mazhab kafir terkutuk sekaligus merbahaya
(execrable and noxious heresy), doktrin merbahaya (pestilential doctrine),
ingkar (impious) dan mazhab terlaknat (a damnable sect); dan Muhammad
adalah orang jahat (an evil man).
Selain menugaskan para sarjana Kristian menterjemahkan naskah-naskah
bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, Peter juga menulis dua buku yang
menyerang pemikiran Islam. Tentang Al-Qur'an Peter menyatakan,"bahawa

Al-Quran tidak terlepas dari para syaitan. Syaitan telah mempersiapkan


Muhammad, orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Syaitan telah
mengirim maklumat kepada Muhammad, yang memiliki kitab syaitan
(diabolical scripture)". (Kajian serius tentang Peter Venerabilis ini boleh
dibaca dalam buku Adnin Armas, "Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur'an",
Jakarta: GIP, 2005).
Strategi Peter Venerabilis ini kemudian menjadi rujukan kaum misionari
Kristian terhadap kaum Muslimin. Henry Martyn, tokoh misionari berikutnya,
juga telah membuat pernyataan, Aku datang untuk menemui ummat Islam,
tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi
dengan
logika,
tidak
dalam
benci
tapi
dalam
cinta.
Hal ini senada dengan tokoh misionaris lain, Raymond Lull, Saya melihat
banyak pahlawan pergi ke Tanah Suci, dan berfikir bahawa mereka dapat
menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur
sebelum mereka mencapai apa yang mereka fikir boleh diperolehi.
Lull menegaskan: "Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata,
tetapi dengan cinta kasih dan doa"
Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris
Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku "Islam: A Challenge to
Faith"(1907). Buku ini mengadungi rahsia untuk menakluk dunia Islam yang
disebut Zwemmer sebagai beberapa kajian tentang keperluan di dunia para
pengikut Muhammad dari pandangan missi Kristian.
Strategi penaklukan Islam melalui pemikiran ini kemudian dikembangkan
oleh para orientalis Barat. Sebahagian dari mereka memang membawa
semangat lama kaum misionaris, sebahagian lagi melakukannya untuk
kepentingan penjajahan (kolonialisme) dan sebahagian yang lain hanya
bermotifkan kajian ilmiah semata-mata.
Kini, setelah beratus-ratus tahun, kaum Orientalis telah berjaya mencapai
kejayaan besar dalam bidang studi Islam. Bukan saja mereka berhasil
mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat dan menerbitkan ribuan buku
tentang Islam, tetapi mereka juga berhasil menghimpun literatur-literatur
Islam dalam jumlah yang sangat besar.

Selain itu, kerja keras mereka kemudian membuahkan hasil yang lebih
mengagumkan, iaitu terciptanya kader-kader cendekiawan dan pemikir dari
kalangan Muslim, yang tekun sekali untuk membongkar semula serta
menyerang bangunan pemikiran Islam dan umat Islam.
Apalagi, dengan cara itu, kader-kader Muslim itu juga mendapat berbagaibagai keuntungan duniawai: populariti dan pelbagai kenikmatan hidup
duniawi.
Dulu, pada zaman penjajahan perang, para orientalis pengkaji Islam dari
kalangan
misionaris
menjadikan
semangat
penjajahan
dengan
semboyanGold, Gospel, dan Glory. Mereka mengkaji masalah ketimuran,
khususnya Islam, bukan dalam ruang yang kosong (ilmiah), tetapi menjadi
sebahagian dari projek untuk menakluk Islam dan dunia Islam.
Kini, pada zaman moden, Orientalisme juga tidak terlepas dari kepentingan
Barat dalam mengukuhkan hegemoninya. Para akademis muslim seharusnya
sedar tentang hal ini. Jika mereka menerima cinta kasih dari Barat yang
berupa bantuan biasiswa untuk meneliti Islam, mereka seharusnya sedar,
siapakah mereka, dan siapakah yang membantu mereka. Untuk apakah semua
bantuan itu diberikan? Sama seperti halnya dengan hutang luar negara yang
dipinjamkan kepada negara-negara sedang membangun.
Apakah semua hutang itu diberikan secara murah hati dan merupakan
program amal semata-mata? Sudah tentu tidak. Semua itu ada tujuannya. Ini
bukan bersikap prejudis membabi buta dan menolak apa pun yang datang
dari Barat.
Kerana harus diakui, banyak perkara ketika ini harus dipelajari dari Barat,
termasuk beberapa bahagian dalam studi Islam. Tetapi, semua itu perlu
dilakukan dengan hati-hati dan sikap kritis.
Para akademis Muslim yang tidak berhati-hati dan tidak memiliki ilmu yang
mencukupi, akan terjerumus dalam perangkap untuk memecah belah umat
Islam, mengkritik kelompok Islam tertentu yang tidak mahu mengikuti pola
pemikiran sekular-liberal Barat.
Kelompok-kelompok yang ingin bertahan dengan identiti dan pandangan
hidup Islam, dilabel dengan istilah-istilah yang negatif seperti radikal,

fundamentalis,
militan,
eksklusif(hanya
satu
benar),literalis"(makna selapis/berfikiran sempit), dan sebagainya.

agama

Sebagai contoh, pada bulan Januari 2002, seorang guru Universitas Islam
Negeri Yogyakarta (dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), pernah
mewawancara saya tentang hubungan Islam-Kristian di Indonesia. Namanya
Fatimah Husein.
Wawancara itu dilakukan untuk melengkapkan bahan disertasi doktornya di
Melbourne University, Australia. Dalam menyelesaikan studinya, dia dibiaya
oleh pelbagai institusi Australia, antara lain adalah The Australian Agency for
Intenational Development (AusAID). Pada tahun 2004, Fatimah
menyelesaikan gelaran doktornya. Baru-baru ini, dia menerbitkan
disertasinya dengan judul Muslim-Christian Relations in The New Order
Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims Perspectives.
Ketika diwawancara, saya telah menolak penggunaan terma Eksklusif"(satu
agama sahaja benar) dan "Inklusif (semua agama benar) untuk memetakan
persepsi kaum Muslim terhadap masalah hubungan Islam-Kristian di
Indonesia. Saya telah mengesyorkan istilah Muslim Komprehensif dan
Muslim Reduksionis.
Tetapi, Fatimah menolak menggunakan sebutan itu. Dia tetap berpegang pada
kategori yang diajukannya. Akhirnya, dia terjebak ke dalam kesalahan yang
merosakkan dalam mengkategorikan kaum Muslim.
Sebagai contoh, dia menyebut organisasi-organisasi eksklusif di Indonesia
adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Front Pembela Islam (FPI), danLaskar Jihad.
Orang-orang yang dia senaraihitamkan di antaranya adalahHusein Umar,
Ahmad Sumargono, Adian Husaini, Habib Rizieq Shihab, dan Jafar Umar
Thalib.
Sedangkan kesemua tokoh inklusif (pluralisme) seperti Nurcholish Madjid,
Zainun Kamal, Azyumardi Azra, Budhy Munawar Rahman, dan sebagainya
dilihat positif.
Menurutnya, di antara ciri-ciri kaum eksklusif, adalah;

(1) mereka menerapkan model penafsiran literal (selapis) terhadap Al-Qur'an


dan Sunnah dan berorientasi sejarah lampau. Kerana menggunakan
pendekatan literal, maka ijtihad (tafsiran baru) bukanlah perkara yang
sentral(asas) dalam kerangka pemikiran mereka;
(2) mereka berpendapat bahawa keselamatan hanya boleh dicapai melalui
agama Islam sahaja. Bagi mereka, Islam adalah agama sempurna yang datang
untuk membaiki agama-agama lain. Kerana itu mereka mencabar otentisitas
(falsafah) Kitab suci agama lain.
Manakala

dia

mencirikan

kaum

Inklusif

seperti

berikut:

(1) Kerana mereka memahami Islam sebagai agama yang berkembang, maka
mereka menerapkan metode kontekstual (logik pemikiran) dalam memahami
al-Quran dan Sunnah, melakukan reinterpretasi (penafsiran semula) teks-teks
asas dalam Islam, dan ijtihad merupakan sentral(asas) dalam pemikiran
mereka
(2) Kaum Inklusif mempercayai, Islam adalah agama terbaik; namun mereka
juga berpendapat bahawa keselamatan di luar agama Islam adalah hal yang
sama. (Islam adalah agama terbaik, tetapi menerima juga kebaikan agamaagama lain)
Kategori doktor Muslim dari Melbourne itu tentang "Islam Eksklusif" dan
"Islam Inklusif" itu telah mengharubirukan Islam . Dia sudah terjebak dalam
pola berfikir dikotomi (pembahagian) literal-kontekstual dalam metodologi
(kaedah) penafsiran Bible. Padahal, tidak mungkin seorang Muslim dalam
berijtihad terlepas dari teks dan sekaligus dari konteksnya.
Jika diteliti lanjut hasil tulisan Nurcholish Madjid dan Budhy Munawar
Rahman, mereka sudah termasuk dalam kategori Pluralis (sama rata) yang
menyatakan bahawa semua agama adalah sama - sama benar dan sebagai
jalan yang sah menuju ketuhanan dan bukannya inklusif lagi.
Menuduh kaum yang disebutnya sebagai Islam eksklusif tidak menjadikan
ijtihad sebagai sentral adalah tuduhan yang kurang ajar dan sama sekali tidak
ilmiah.
Sebaliknya, menyebut pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, Azyumardi

Azra, Budhy Munawar Rahman sebagai bentuk ijtihad, juga merupakan sikap
yang tidak teliti dan sembrono.
Hingga kini, orang-orang itu belum menulis satu buku pun tentang metodologi
ijtihad, malah belum layak mendapat gelar mujtahid. Hanya kerana cara
berfikir yang sesuai dengan selera liberal-sekular lalu mereka disebut
berijtihad.
Selain itu, jika si doktor itu membaca kembali perbincangan tentang
keselamatan di kalangan para ulama usuluddin, maka dia tidak perlu
menulis kriteria seperti itu. Kebenaran Islam dan keselamatan pemeluk
agama Islam atau non-Islam adalah dua masalah yang berbeza.
Dalam diskusi tentang fathrah (keselamatan), hal ini telah banyak dibahas.
Tetapi, sejak dulu, para ulama Islam tidak pernah berbeza pendapat bahawa
Islam adalah satu-satunya agama yang benar. MUI (Majelis Ugama Indonesia)
sendiri, dalam fatwanya tentang Pluralisme Agama, menegaskan, bahawa
dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersifat eksklusif.
Secara ilmiah, kategori "Islam eksklusif-Islam Inklusif" model guru UIN Yogya
itu kacau-balau. Kategori ini boleh difahami dalam konteks projek untuk
melakukan stigmatisasi (perlabelan) terhadap kelompok Muslim tertentu
yang tidak disukai oleh sang penaja', sehingga dilabelkan dengan sifat negatif
kepada
kaum
Muslim
tertentu
yang
tidak
disukainya.
Kita faham pola kajian Orientalis memang bersifat begitu. Sayangnya,
mengapa terdapat jua ilmuwan dari kalangan Muslim yang mahu
melakukannya, dengan imbuhan duniawi yang sangat murah sekadar
beberapa keping dolar dan gelaran doktor.
Sewajarnya, para cendekiawan yang mendapat kesempatan studi Islam di
Barat memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk kepentingan
Islam. Bukan sebaliknya, terjebak dalam kerangka pemikiran Orientalisme
untuk menghancurkan Islam.
Naudzubillah.

(Jakarta,

11

November

2005/hidayatullah.com).

Liberalisasi Tafsir Agama


Oleh: Dr. Adian Husaini
Seperti dinyatakan oleh berbagai pihak aktivis LGBT, cabaran terberat yang
mereka hadapi dalam melegalkan LGBT adalah dari penafsiran agama. Karena
itu, di berbagai kalangan agama, telah dilakukan upaya penafsiran baru
terhadap Kitab Suci agama, agar memberikan pengesahan terhadap LGBT. Di
kalangan Muslim, sebagai contoh, boleh disimak sebuah buku bertajuk
Homosexuality in Islam: Critical Reflection on Gay, Lesbian, and Transgender
Muslims, (Oxford: Oneworld Publications, 2010), karya Scott Siraj al-Haqq
Kugle.
Buku setebal 355 halaman ini ternyata berisi seruan untuk menghalalkan
praktik homoseksual. Di Indonesia, pemikiran semacam ini juga sudah mulai
digulirkan, baik oleh praktisi homo dan lesbi, maupun sejumlah cendekiawan
dan akademisi di Perguruan Tinggi. Salah satu metode yang digunakan dalam
"menghalalkan" praktik homoseksual adalah dengan membuat model
penafsiran baru terhadap al-Quran. Ia tulis bab khusus bertajuk "Liberating
Qur'an: Islamic Scripture". Kisah Nabi Luth, misalnya, ditafsirkan dengan
model baru. Menurut penulis, para ahli hukum Islam selama seribu tahun
lebih telah salah paham dalam soal penafsiran kisah Luth ini. "Jurists who
have interpreted the story to be about homosexual act have missed the point,"
tulisnya. Padahal, katanya, kaum Luth dihukum oleh Allah, bukan karena
mereka homo, tetapi karena mereka kafir dan membangkang.
Sebenarnya soal praktik homoseksual ini sudah jelas statusnya dalam agama
Yahudi, Kristen, dan Islam. Selama ribuan tahun, status pelaku homoseksual
juga jelas. Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:13, disebutkan: "Bila seorang
laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan 46 Indonesia:
Negara Adil dan Beradab perempuan, jadi keduanya melakukan suatu
kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada
mereka sendiri."

Talbis Iblis
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dr. Syamsuddin Arief, alumni ISTAC yang sedang mengambil doktor keduanya
di Frankfurt Jerman, beberapa waktu lalu menulis satu artikel yang
menghebohkan di hidayatullah.com. Judulnya: DIABOLISME INTELEKTUAL.
Artikel ini segera menyulut tanggapan keras dari seorang aktivis Islam
Liberal, yang segera menuduh bahwa orang seperti Dr. Syamsuddin Arief
cenderung punya kelainan jiwa (mental disorder), karena merasa dirinya
paling benar dan paling bersih.
Melalui artikelnya, Syamsuddin menjelaskan, bahwa diabolisme berarti
pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya.
Dalam kitab suci al-Quran dinyatakan bahwa Iblis dikutuk dan dihalau karena
menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Iblis tidaklah atheis
atau agnostik. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan.
Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak
kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Tetapi, meskipun ia tahu
kebenaran, ia disebut kafir, karena mengingkari dan menolak kebenaran.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya
karena ia membangkang. (QS 2:34, 15:31, 20:116); ia sombong dan
menganggap dirinya hebat (QS 2:34, 38:73, 38:75). Iblis juga melawan
perintah Tuhan.
Allah berfirman: Dia adalah dari golongan jin, maka ia durhaka terhadap
perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya
sebagai pemimpin selain kepada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat
buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim (QS
18:50).
Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut
sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berperilaku seperti yang
dicontohkannya. Iblis adalah prototype intelektual keblinger.
Sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran, sejurus setelah ia divonis, Iblis
mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk

sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya,


dengan segala cara.
Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu.
Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam
urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan
keselamatan]! Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad: Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang
lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah
kanan dan kiri mereka! (QS 7:16-17).
Maksudnya, menurut Ibnu Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang
dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi
dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada
dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn
Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, cetakan Beirut, al-Maktabah al-Asriyyah,
1995, vol. 2, hlm. 190).
Selanjutnya, Syamsuddin Arief menelaborasi ciri-ciri cendekiawan bermental
Iblis. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia
kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran.
Seperti ingkarnya Firaun berikut hulu-balangnya. Maka selalu dicarinya
argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan
opininya.
Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi,
bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak
mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu.
Kedua, cendekiawan bemental Iblis itu bermuka dua, menggunakan standar
ganda (QS 2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal
merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha).
Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Quran : Akan Aku
palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku.
Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan
mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan

mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru


menelusurinya (QS 7:146).
Ketiga, ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa
kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar
dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta.
Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah
haq. Sebaliknya, yang haq digunting dan dipreteli sehingga kelihatan seperti
batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda
antara yang benar dan yang salah.
Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain
bingung dan terkecoh.
Al-Quran pun telah mensinyalir: Memang ada manusia-manusia yang
kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi
pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang
menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan
dibimbingnya ke neraka (QS 22:3-4).
Demikianlah peringatan dan paparan Dr. Syamsuddin Arief tentang ciri-ciri
cendekiawan yang bermental Iblis. Peringatan ini sepatutnya menjadi
renungan serius bagi para cendekiawan yang benar-benar memiliki niat
ikhlas untuk mencari kebenaran, dan bukan saja mencari popularitas dan
keuntungan duniawi.
Apa yang dilakukan Syamsuddin Arief bukanlah hal baru. Banyak ulama
sebelumnya yang telah memberikan peringatan serupa, tentang bahaya taktik
dan tipudaya Iblis dalam menyesatkan umat manusia.
Masalah ini begitu penting, sebab, memang Iblis adalah musuh manusia yang
nyata, bukan musuh yang tersembunyi. Iblis dan kroni-kroninya seharusnya
diketahui dengan jelas ciri-cirinya.
Imam al-Ghazali menulis satu Kitab Khusus tentang masalah Iblis dan
tipudayanya, yang diberi judul Talbis Iblis. Kitab dengan judul yang sama
juga ditulis oleh al-Hafizh Ibnul Jauzy al-Baghdady. Dalam Kitabnya, Ibnul
Jauzy mengingatkan, bahwa talbis artinya menampakkan kebatilan dalam
rupa kebenaran.

Ibnul Jauzy menjelaskan talbis Iblis terhadap berbagai jenis agama dan aliran
masyarakat, yang tumbuh dan berkembang ketika itu.
Talbis Iblis, atau tipudaya setan, yang hobinya mengaburkan yang haq dan
bathil sangatlah perlu diwaspadai oleh manusia. Apalagi, jika yang melakukan
talbis itu orang-orang yang dikategorikan ke dalam golongan intelektual atau
cendekiawan.
Mereka dengan segala kemampuan ilmunya tidak ragu-ragu mengikuti jejak
Iblis, memutarbalikkan yang haq menjadi bathil dan yang bathil menjadi haq.
Di era kebebasan informasi saat ini, kaum Muslim menghadapi masalah yang
sangat pelik, yang belum pernah dihadapi di masa-masa lalu. Nyaris setiap
hari, media massa melakukan penjungkirbalikan nilai-nilai kebenaran, dengan
menggunakan slogan-slogan atau istilah-istilah yang indah, seperti pluralisme,
kebebasan, hak asasi, pencerahan, dan sebagainya.
Paham penyamaan semua agama yang jelas-jelas keliru dibungkus dengan
istilah indah: pluralisme. Paham penyebarluasan kebebasan amoral dalam
bidang perzinahan dan homoseksual dikemas dengan bungkus rapi bernama
hak asasi manusia.
Dengan tipudaya Iblis, khamar diiklankan dan dijadikan kebanggaan oleh
sebagian manusia modern, perzinahan dilegalkan dan tidak dipersoalkan
kebejatannya, sementara poligami diopinikan sebagai bentuk kejahatan.
Rasulullah saw pernah mengingatkan: Akan datang kepada manusia tahuntahun yang penuh dengan tipuan. Pada waktu itu di pendusta dikatakan benar
dan orang yang benar dikatakan dusta. (HR Ibnu Majah).
Di zaman globalisasi saat ini, diakui, bahwa informasi adalah kekuatan yang
paling dahsyat. Penguasa informasi adalah yang menguasai otak manusia saat
ini. Mereka dengan leluasa berpotensi memutarbalikkan fakta dan kebenaran.
Di sinilah talbis Iblis dapat terjadi. Yang haq dipromosikan sebagai kebatilan,
dan yang bathil dikampanyekan sebagai al-haq. Banyak motif para pelaku
talbis Iblis. Bisa karena memang ada kesombongan, ada penyakit hati, atau
karena motif mencari keuntungan duniawi.

Dalam situasi seperti ini, peringatan Dr. Syamsuddin Arief tentang ciri-ciri
pelaku talbis Iblis di kalangan intelektual, sangat relevan untuk direnungkan.
Sangatlah tidak tepat jika dia dikatakan mengalami gangguan jiwa.
Tugas para Nabi dan pewarisnya (para ulama) adalah menjelaskan mana yang
haq dan mana yang bathil, menyeru umat manusia, agar tidak mengikuti jalanjalan Iblis, jalan yang sesat, yang mengantarkan manusia kepada api neraka.
Jika ada cendekiawan yang tugasnya senantiasa mengaburkan nilai-nilai
kebenaran dan kebatilan, maka ia perlu melakukan introspeksi terhadap
dirinya sendiri. Allah SWT sudah menjelaskan: Tidak ada paksaan (untuk
masuk) agama Islam. Sungguh telah jelas yang benar dari yang salah. (QS
2:256).
Sikap merasa benar sendiri terhadap kebenaran agama Islam dan yakin
dengan kebenaran al-Islam adalah sikap yang sudah seharusnya. Dalam hal ini
tidak boleh ada keraguan. Yang haq harus dikatakan haq dan bathil harus
dikatakan bathil. Itulah tugas setiap cendekiawan Muslim.
Allah juga mengingatkan: Al-haq itu dari Tuhanmu, maka janganlah kamu
termasuk orang-orang yang ragu. Sikap meragu-ragukan terhadap kebenaran
adalah sikap dan perilaku Iblis, yang tidak perlu dicontoh oleh kaum Muslim.
15 Jun2015

Anda mungkin juga menyukai