KULIAH SATU
PENYUSUN
Mohamad Ridhwan Bin Alias
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar,
penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar
bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan
Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda
yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi
Nusantara.
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya
kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama
Snouck.
Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai
orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny.
Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis: Salam, Bidadariku
yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak
saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya
Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal
berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang
terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?
Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau?
Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan
Islam serta anak perempuannya. (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny.
R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno),
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak
orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar
Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang
muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia
bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini
nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah
Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang
Piagam Hak Asasi Manusia bertajuk "The Yogya karta Principles: on the
Application of International Human Rights Law in relation to Sexual
Orientation and Gender Identity." (http://www.yogyakartaprinciples.
org/principles_en.htm).
Sebuah kelompok pejuang kesetaraan gender dan LGBT di Indonesia,
bernama Arus Pelangi, menerjemahkan kalimat pembuka Prinsip-prinsip
Yogyakarta itu sebagai berikut: "Semua manusia terlahir merdeka dan sejajar
dalam martabat dan hak-haknya. Semua manusia memiliki sifat uni versal,
saling bergantung, tak dapat di bagi dan saling berhubungan. Orientasi sek
sual dan identitas gender bersifat me nyatu dengan martabat dan
kemanusiaan setiap orang serta tak boleh menjadi dasar bagi adanya
diskriminasi ataupun kekerasan."
Piagam Yogyakarta itu saat ini telah menjadi pedoman bagi gerakan aktivis
LGBT seluruh dunia. Di Indonesia, Komisi Nasio nal Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) dan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) telah
melakukan sosialisasi terhadap Piagam tersebut. Dalam sebuah analisisnya
tentang gerakan LGBT, Komnas Perempuan menyebutkan: "Hambatan
terbesar adalah dari agama.". (Komisi Nasional Perempuan Indonesia).
Tahun 2005, sekelompok mahasiswa di Semarang menerbitkan buku berjudul
Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokra tisasi dan Perlindungan Hak-hak
Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA,
2005). Buku ini secara terperinci memaparkan strategi gerakan yang harus
dilakukan untuk mele gal kan perkawinan homoseksual di Indo nesia, yaitu
(1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang mere but
hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman
kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual
adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak
mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung
setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3)
melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan
konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4)
menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan
perkawinan harus antara laki-laki dan wanita." (hlm. 15)
Seperti yang terjadi di kalangan Yahudi dan Kristen, buku ini pun membuat
tafsir baru terhadap kisah Luth dalam al-Quran (al-Quran surat al-A'raf :80-84
melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka
tertimpa kepada mereka sendiri.
,br> Dalam sejumlah versi Bible, juga dijelaskan, bahwa hukuman buat pelaku
homoseksual adalah hukuman mati. The Living Bible menulis Leviticus, 20:13:
The penalty for homosexual acts is death to both parties. They have brought
it upon themselves.
Sedangkan dalam King James Version ayat ini ditulis: If a man also lie with
mankind, as he lieth with a woman, both of them have committed an
abomination: they shall surely be put to death; their blood shall be upon
them.
Namun, seperti diketahui, arus liberalisasi di dunia Kristen begitu kuat
belangsung. Jika selama ini, baru masyarakat dan negara Belanda yang
mengesahkan perkawinan homoseksual, maka kasus Gene Robinson akan
memberikan dampak lebih hebat lagi, karena perbuatan yang salah itu telah
mendapatkan justifikasi keagamaan. Arus liberalisasi Gereja ini sudah cukup
lama menerjang. Termasuk, diantaranya, agar gereja mulai menerima praktikpraktik homoseksualitas.
Beberapa tahun lalu, Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam
bukunya berjudul Homosexuality and a Pastoral Church mengimbau agar
gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan
perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.
Sebenarnya, jika dilihat dari sejarah Gereja Anglikan sendiri, kasus-kasus
seksual semacam ini tidak lah terlalu aneh. Gereja Anglikan terbentuk sebagai
bagian dari gerekan Reformasi di tubuh Gereja Katolik, khususnya yang
terjadi di Inggris. Kasusnya juga bermula dari urusan seksual. Gara-gara Paus
tidak merestui perceraiannya dengan istrinya, Catharine of Aragon, dan
keinginannya untuk mengawini Anne Boleyn Raja Henry VIII (1491-1547),
nekad membuat keputusan sendiri, dan memisahkan Gereja Inggris dari
Kepausan Katolik Roma. Henry menerapkan kebijakan keras terhadap setiap
penentangnya.
Thomas More, salah seorang penasehat Kerajaan, termasuk yang dipenggal
kepalanya, karena menentang sikap Henry VIII. Kasus Henry VIII ini
selanjutnya menyebabkan konflik berdarah yang sangat mengerikan antara
Protestan dan Katolik dalam perebutan tahta kerajaan Inggris.
Defender of the Faith, setelah Henry menulis satu panflet yang menentang
ajaran Martin Luther.
Persoalan seksual dan kekerasan sebenarnya begitu banyak mendapatkan
perhatian dalam Bible. Bahkan, tokoh Lot (Luth), yang digambarkan sebagai
tokoh penentang praktik homoseksual, juga digambarkan berzina dengan
anak perempuannya sendiri.
Kitab Kejadian 19:30-38 dalam Perjanjian Lama, menceritakan kisah
perzinahan Lot dengan kedua anak perempuannya sendiri dan akhirnya
melahirkan anak dari kedua anaknya itu. Dari anak yang lebih tua lahir anak
yang diberi nama Moab, dan dari anak yang lebih muda, lahir cucu Lot yang
diberi nama Ben-Ami: (30) Pergilah Lot dari Zoar dan ia menetap bersamasama dengan kedua anaknya perempuan di pegunungan, sebab ia tidak berani
tinggal di Zoar, maka diambillah ia dalam suatu goa beserta kedua anaknya.
(31)
Kata kakaknya kepada adiknya: Ayah kita telah tua, dan tidak ada laki-laki di
negeri ini yang dapat menghampiri kita, seperti kebiasaan seluruh bumi. (32)
Marilah kita beri ayah kita minum anggur, lalu kita tidur dengan dia, supaya
kita menyambung keturunan dari ayah kita. (33) Pada malam itu mereka
memberi ayah mereka minum anggur, lalu masuklah yang lebih tua untuk
tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu
tidur dan ketika ia bangun. (34)
Keesokan harinya berkatalah kakaknya kepada adiknya: Tadi malam aku
telah tidur dengan ayah; baiklah malam ini juga kita beri dia minum anggur;
masuklah engkau untuk tidur dengan dia, supaya kita menyambung
keturunan dari ayah kita. (35) Demikianlah juga pada malam itu mereka
memberi ayah mereka minum anggur, lalu bangunlah yang lebih muda untuk
tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu
tidur dan ketika ia bangun. (36) Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari
ayah mereka. (37)
Yang lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab;
dialah bapa orang Moab yang ada sekarang. (38) yang lebih muda pun
melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami; dialah bapa
bani Amon yang sekarang.
Penggambaran Bible tentang Lot itu sangat berbeda dengan konsep al-Quran
yang menggambarkan sosok Luth a.s. sebagai nabi utusan Allah yang saleh. AlQuran menegaskan: Sesungguhnya Luth benar-benar seorang Rasul. (alShaffat:133). Dalam konsep Islam, seorang rasul, seperti Luth, pasti memiliki
sifat mashum, terjaga dari dosa.
Kisah Gene Robinson, seorang gay yang menduduki jabatan tinggi dalam
hirarki Gereja, perlu menjadi perhatian serius bagi kalangan Muslim yang
aktif melakukan gerakan liberalisasi di kalangan Muslim.
Dalam kadar yang sedikit lebih rendah, hal seperti itu sebenarnya sudah
terjadi. Kalangan liberal yang berusaha membongkar sendi-sendi penting
dalam ajaran Islam, diberikan posisi-posisi penting dalam lembaga
keagamaan dan mendapatkan dukungan luas oleh media massa. Para
pengkritiknya dicap sebagai kaum konservatif, golongan tua, dan sebagainya.
Kasus tarian erotis Inul yang mendapat dukungan sebagian orang yang
bergelar kyai, bisa dilihat sebagai satu contoh.
Majalah Gatra edisi 18 Oktober 2003 melaporkan, seorang cendekiawan
lulusan Al Azhar University Cairo, yang membela sejumlah aktivis organisasi
Islam yang tidak melakukan shalat. Kata dia, Itu bukan bentuk kemalasan,
melainkan ungkapan kritik dan kegelisahan mereka pada kemandulan fungsi
sosial agama. Anak-anak yang meninggalkan shalat itu, katanya,
meninggalkan shalat ritual, tetapi melakukan shalat sosial. Oleh Gatra
kalangan liberal ini diberi julukan sebagai kaum progresif, sementara yang
kontra dicap sebagai berpandangan konservatif kalangan tua.
Berpikir tidak dilarang. Tetapi, penyebaran pemikiran yang salah ke tengah
masyarakat tentu ada batasan-batasannya. Negara-negara liberal sendiri
melarang, misalnya, penyebaran paham rasialisme. Kasus Gene Robinson
kembali membuktikan, kaum agamawan Kristen, kelabakan menghadapi arus
liberalisasi di dalam tubuh gereja. Hal yang sama kini juga melanda kalangan
Yahudi. Di Israel, kelompok gay dan lesbian berkumpul dalam satu organisasi
yang kuat dikenal sebagai Agudah. Kelompok ini sangat berpengaruh dalam
politik Israel, sehingga banyak partai politik meminta dukungan dari
kelompok ini. Koran Haaretz, 25 Oktober lalu, melaporkan sejumlah tokoh
politik di Israel yang berlomba-lomba memberikan dukungan terhadap
Agudah. Dulu, yang mendukung Agudah hanya Partai Kiri Meretz. Tetapi,
kini tokoh-tokoh Likud yang konservatif pun ikut mendukungnya.
Bagaimana dengan Islam? Kita tunggu, apakah akan ada kyai . yang
menyerukan dukungan buat praktik homoseksualitas? Jika mau tahu, amatilah
dukungan yang diberikan sejumlah tokoh dan organisasi Islam terhadap
tokoh Gay Indonesia, Dr. Dede Oetomo. Wallahu alam. (Kuala Lumpur, 6
November 2003).
Rep: Cholis Akbar
Itu juga cara berpikir kaum feminis ekstrim yang melihat posisi istri di dalam
rumah tangga sebagai posisi kaum tertindas. Tidak berlebihan, jika Dr. Ratna
Megawangi pakar gizi dan kesehatan keluarga dari IPB -- menelusuri, ide
gender equality (kesetaraan gender) yang dianut oleh banyak kaum feminis
lainnya, bersumber dari ideologi Marxis, yang menempatkan wanita sebagai
kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas.
Paradigma Marxis melihat institusi keluarga sebagai musuh yang pertamatama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis
ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Keluarga dianggap sebagai
cikal-bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari
hubungan yang timpang antara suami dan istri. Sehingga bahasa yang dipakai
dalam gerakan feminisme mainstream adalah bahasa baku yang mirip dengan
gerakan kekiri-kirian lainnya. Yaitu, bagaimana mewujudkan kesetaraan
gender melalui proses penyadaran bagi yang tertindas, pemberdayaan kiaum
tertindas, dan sebagainya. (Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?
1999:11).
Menurut Ratna, agenda feminis mainstream, semenjak awal abad ke-20,
adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu
pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di
dalam rumah. Untuk mewujudkan kesetaraan seperti itu, para feminis sampai
sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah
karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis, atau
perbedaan nature, atau genetis. Para feminis yakin dapat mewujudkannya
melalui perubahan budaya, legislasi, atau pun praktik-praktik pengasuhan
anak. (Ibid, hal. 9-10).
Rumusan definisi Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender, serta pemaksaan
peran perempuan dalam porsi tertentu di ruang publik, dalam RUU KKG ini,
sejalan dengan gagasan kaum Marxian yang memandang keluarga dimana
laki-laki sebagai pemimpinnya -- sebagai bentuk penindasan terhadap kaum
perempuan. Tidak ada di benak kaum Marxis ini, bahwa ketaatan seorang istri
terhadap suami adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Tidak terlintas
di benak mereka, betapa bahagianya seorang Muslimah saat mentaati suami,
sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Setara: Lesbian
Sebagian pegiat KKG di Indonesia bahkan sudah berpikir dan melangkah lebih
jauh. Jurnal Perempuan (Maret 2008), memperjuangkan legalisasi
perkawinan sesama jenis perempuan (lesbianisme), karena lesbian dianggap
sebagai bentuk kesetaraan laki-laki dan perempuan yang tertinggi. Salah satu
tuntutan para pegiat KKG dan lesbianisme adalah agar perkawinan sesama
jenis juga mendapatkan legalitas di Indonesia. Pasal 23 Kovenan Hak Sipil dan
Politik juga secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga
dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut
hanya berlaku atas kelompok heteroseksual, tulis Jurnal yang mencantumkan
semboyan untuk pencerahan dan kesetaraan.
Seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul Etika Lesbian di Jurnal
Perempuan ini menulis: Etika lesbian merupakan konsep perjalanan
kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian
menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan
perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral. Lebih jauh, ia menulis
tentang keindahan hubungan pasangan sesama perempuan: Cinta antar
perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki. Percintaan antar
perempuan membebaskan karena tidak ada kategori laki-laki dan kategori
perempuan, atau adanya pembagian peran dalam bercinta. Dengan demikian,
tidak ada konsep other (lian) karena penyatuan tubuh perempuan dengan
perempuan merupakan penyatuan yang kedua-keduanya menjadi subyek dan
berperan menuruti kehendak masing-masing. Dengan melihat kehidupan
lesbian, kita menemukan perempuan sebagai subyek dan memiliki komunitas
yang tidak ditekan oleh kebiasaan-kebiasaan heteroseksual yang memaksa
perempuan berlaku tertentu dan laki-laki berlaku tertentu pula.
Zalim
Jika RUU KKG ini disahkan dalam bentuknya seperti ini, akan terjadi suatu
bentuk penindasan atau kezaliman terhadap kaum Muslim, yang mentaati
ajaran agamanya. Sebab, pasal 67 RUU KKG menyebutkan: Setiap orang
dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan,
dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu.
Lalu, 70 RUU KKG merumuskan adanya hukuman pidana bagi pelanggar UU
KKG: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki
unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin
Draft RUU KKG sementara ini merumuskan: Setiap orang dilarang melakukan
perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau
pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu. (pasal 67). Lalu, pasal 70 RUU
KKG merumuskan adanya hukuman pidana bagi pelanggar UU KKG: Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur
pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin
tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67, dipidana dengan pidana
penjara paling lama . (.) tahun dan pidana denda paling banyak Rp (.).
Itulah fakta paham Kesetaraan Gender dan RUU KKG yang sedang dibahas di
DPR! Tokoh Islam, Mohammad Natsir pernah mengingatkan: jika
memadamkan api, padamkan selagi kecil! Hikmahnya: jangan tunggu monster
itu menjadi besar! Wallahu alam bil-shawab. (Depok, 17 April 2012).
MUHASABAH UMUR 50 TAHUN
Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA 26 Desember 2015, di kampus Univesitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor,
dilangsungkan acara Launching 5 Buku dan Muhasabah 50 Tahun Adian
Husaini. Acara yang diprakarsai oleh Fakultas Pasca Sarjana UIKA itu dihadiri
sekitar 300 peserta. Hadir dalam acara tersebut Dekan Pasca Sarjana UIKA
Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, Rektor UIKA Dr. Ending Bahrudin, Ketua Yayasan
UIKA Didi Hilman, para dosen, undangan, dan peserta dari berbagai daerah.
Alhamdulillah, ibu saya, Hj Tamlikah dan seluruh saudara beserta anakanaknya, juga hadir. Sejumlah sahabat dari Solo, Semarang, Bandung, dan
sebagainya pun menyempatkan hadir. Tentu saja itu sebuah kehormatan bagi
saya pribadi. Saya memandang perlu melakukan muhasabah ilmiah, sebab
saya teringat, dua ulama besar, Imam asy-Syafii dan Imam al-Ghazali
meninggal dunia di usia 54 dan 55 tahun. Sejumlah sahabat dan teman kuliah
saya di IPB pun telah dipanggil Allah terlebih dahulu. Hingga kini, saya masih
diberi waktu, juga kesehatan jiwa dan badan.
Pada 17 Desember 2015, menurut tahun syamsiyah, alhamdulillah, saya
memasuki umur 50 tahun. Tentu itu bukan umur yang muda lagi. Allah
Subhanahu Wataala telah memberikan karunia dan amanah tujuh orang anak.
Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, begitu perintah Allah
Subhanahu Wataala sebagaimana tercantum dalam QS at-Tahrim ayat 6. Itu
amanah berat. Menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Padahal, seperti
disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi Wassallam, sorga itu diselimuti halhal yang tidak disukai manusia; sedangkan neraka diselimuti hal-hal yang
disukai manusia (syahwat).
Seperti ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya, bahwa Ali bin Abi
Thalib r.a. memberikan penjelasan, cara menjaga diri dan keluarga agar tidak
terjatuh ke dalam neraka adalah dengan mendidik diri dan keluarga menjadi
manusia-manusia beradab dan berilmu. Addibhum wa-allimhum, begitu
kata Ali bin Abi Thalib r.a.
Mendidik keluarga menjadi beradab dan berilmu, dalam praktiknya, bukan
sederhana dan mudah. Tugas itu memerlukan ilmu dan kemampuan. Menddik
tidak sama dengan menyekolahkan. Pendidikan tidak sama dengan sekolah.
Bisa jadi, sekolah merupakan bagian dari proses pendidikan. Bisa juga,
sekolah justru menjauhkan anak dari proses pendidikan yang sebenarnya,
karena salah guru dan salah kurikulum. Mendidik dalam istilah Prof. Naquib
al-Attas adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan atau keadilan dalam diri
seseorang. Menanamkan (to inculcate) bukan sekedar mengajarkan.
Menanamkan nilai-nilai kebaikan itu perlu kesungguhan, keikhlasan, dan
kemampuan ilmu.
Di sinilah bisa dipahami bahwa pendidikan adalah sebuah usaha lahir batin
yang harus dikerjakan dengan penuh kesungguhan. Usaha ini tidak akan
berhasil jika guru dan murid tidak bersungguh-sungguh dan saling ikhlas.
Karena itu, proses pendidikan tidak sama dengan proses pembuatan roti.
Pendidikan berhadapan dengan manusia yang memiliki jiwa dan aneka
problema kehidupan. Penanaman nilai-nilai kebaikan itulah yang disebut
sebagai proses tadib atau proses penanaman adab dalam diri seseorang.
(Lihat, uraian Prof. Naquib al-Attas tentang masalah ini dalam buku Islam and
Secularism).
Inilah tanggug jawab orang tua yang sangat berat. Yakni, menanamkan adab
dalam diri dan keluarganya. Proses ini akan berhasil jika ada faktor keimanan,
keteladanan, pembiasaan, dan penegakan disiplin aturan. Karena itu, orang
tua harus terus mendidik dirinya dengan adab dan ilmu, agar mereka bisa
mendidik anaknya dengan baik. Tugas orang tua bukan hanya cari uang untuk
memberi makan dan menyekolahkan anak. Sebab, anaknya adalah manusia,
yang harus dididik dengan adab, agar menjadi manjadi manusia yang mulia.
Sejauh yang saya jalani dan saya perhatikan, ternyata tidak mudah berlaku
adil dan beradab terhadap diri, keluarga, dan juga masyarakat serta bangsa.
Tugas-tugas dakwah dan kemasyarakatan yang sangat padat bisa saja suatu
ketika berdampak kepada perlakuan tidak adil kepada diri dan keluarga. Kita
bukan hanya wajib memperjuangkan tegaknya kebenaran pada tataran sosialkemasyarakatan, tetapi juga wajib membangun jiwa dan raga sendiri. Jiwa
harus semakin bersih dari waktu ke waktu. Proses pensucian jiwa (tazkiyatun
nafs) wajib terus dilakukan, tanpa henti. Sebab, hanya manusia yang
mensucikan jiwanya yang akan meraih kemenangan. Celakalah orang-orang
yang mengotori jiwanya.
Jiwa yang sehat adalah yang bersih dari kekufuran, kemunafikan,
kemusyrikan, riya, sombong, dengki, cinta dunia, cinta kedudukan, dan
berbagai penyakit jiwa lainnya. Membersikan jiwa dari penyakit-penyakit
tersebut bukan perbuatan yag mudah, tetapi perlu perjuangan yang sungguhsungguh. Inilah yang disebut sebagai mujahadah alan nafsi, yang
disabdakan oleh Rasulullah saw sebagai satu bentuk jihad fi sabilillah (HR
Imam Tirmidzi).
Imam al-Ghazali menjelaskan secara panjang lebar tentang pentingnya
pensucian jiwa ini dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin. Seharusnya, setiap kita,
setiap manusia, semakin bertambah umur, semakin suci pila jiwa kita dari
penyakit-penyakit jiwa tersebut. Jiwa yang bersih adalah jiwa yang tenang,
jiwa yang bahagia, jiwa yang tidak mudah galau dan resah oleh aneka ujian
kehidupan. Dengan jiwa yang tenang, maka kita akan meraih hidup bahagia.
Saya berharap, untuk saya prbadi, keluarga, dan kita semua, semoga jiwa kita
semakin bersih, sejalan dengan bertambahnya umur kita. Amin.
Peluncuran buku
Acara inti pada 26 Desember 2015 di Kampus UIKA Bogor tersebut
sebenarnya dalah peluncuran lima buku, yaitu: (1) 50 Tahun Perjalanan
Meraih Ilmu dan Bahagia, (2) Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, (3)
Kerukunan Beragama, (4) Liberalisasi Islam di Indonesia, (5) 10 Kuliah
Agama Islam (di Perguruan Tinggi).
Buku terpenting adalah Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab (InsistsBina Qalam: 2015). Buku ini merupakan hasil penelitian tentang konsep adab
dan aplikasinya dalam kehidupan kenegaraan dan pendidikan di Indonesia.
duga, bahwa rumusan itu ada pengaruh dari para ulama, khususnya KH
Hasyim Asyari, ayah dari KH Wahid Hasyim.
KH Hasyim Asyari adalah penulis kitab Adabul Alim wal-Mutaallim, yang
juga berkedudukan sebagai Ketua Majelis Syuro Masyumi ketika itu. Kitab KH
Hasyim Asyari tersebut memuat rumusan tentang adab yang sangat
mendasar dan komprehensif. Dalam kitab ini, kita bisa memahami, bahwa
tanpa adab, maka keimanan dan syariat menjadi tidak bernilai.
Perlu dicatat, bahwa baik Soekarno maupun Muhammad Yamin mengajukan
salah satu sila dalam rumusan dasar negara sebagai kemanusiaan dan
perikemanusiaan. Jadi, tambahan kata yang adil dan beradab dalam sila
kedua, merupakan perubahan konsep kemanusiaan yang sangat mendasar.*
Pengaruh 'belajar Islam dari orientalis..
Oleh: Adian Husaini
Kaum Orientalis dan mendirikan pusat-pusat studi Islam. Para ilmuwan
Indonesia berguru ke sana. Pulangnya bukan semakin baik, tetapi memusuhi
Islam...
Sejak Perang Salib, sebahagian tokoh Kristian telah menilai bahawa Perang
Salib merupakan cara yang tidak tepat untuk menakluk kaum Muslim. Salah
satu
tokoh
terkenal
adalah Peter
The
Venerable atau
Petrus
Venerabilis (1094-1156M).
Peter adalah tokoh misionari Kristian pertama yang merancang bagaimana
menakluk umat Islam dengan pemikirannya, bukan dengan senjata. Ketika itu,
dia merupakan ketua Biara Cluny, Perancis sebuah biara yang sangat
berpengaruh di Eropah pada Abad Pertengahan.
Sekitar tahun 1141-1142, Peter mengunjungi Toledo, Spanyol. Di situ dia
menghimpunkan sejumlah cendekiawan untuk menterjemahkan karya-karya
kaum Muslim ke dalam bahasa Latin. Terjemahan itu akan digunakan sebagai
bahan untuk misionari Kristian terhadap dunia Islam.
Salah satu usaha Peter yang berjaya adalah terjemahan Al-Qur'an dalam
bahasa Latin oleh Robert of Ketton (selesai tahun 1143), yang diberi
judulLiber Legis Saracenorum quem Alcorant Vocant (Kitab Hukum Islam
yang disebut Al-Qur'an ).
Inilah terjemahan pertama al-Quran dalam bahasa Latin, yang selama beratusratus tahun menjadi rujukan kaum Kristian di Eropah dalam 'melihat Islam'.
Kemudian pada tahun 1698, Ludovico Maracci, melakukan kritik terhadap
terjemahan Robert of Ketton dan menterjemahkan Al-Qur'an sekali lagi ke
dalam
bahasa
Latin
bertajuk Alcorani
Textus
Receptus.
Menurut Peter Venerabilis, pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu dilakukan
oleh kaum Kristian, agar mereka dapat membaptis (mensuci) pemikiran
kaum Muslimin.
Jadi, kaum Muslim bukan saja perlu dikalahkan dengan kekuatan ketenteraan,
tetapi juga harus dikalahkan dalam pemikiran. Di tengah berkecamuknya
Perang Salib, Peter membuat pernyataan berikut : aku menyerangmu
(umat Islam), bukan sebagaimana sebahagian dari kami [orang-orang Kristen]
sering lakukan iaitu dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan
kekuatan, namun dengan fikiran; bukan dengan kebencian, namun dengan
cinta
"But I attack you not, as some of us [Christians] often do, by arms, but by words;
not by force, but by reason; not in hatred, but in love"
Petrus Venerabilis mengajak orang Islam ke jalan keselamatan Kristian
dengan cara mengalahkan pemikiran Islam. Ia bertitik tolak dari kepercayaan
Kristian bahawa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla
salus).
Islam, menurutnya, adalah mazhab kafir terkutuk sekaligus merbahaya
(execrable and noxious heresy), doktrin merbahaya (pestilential doctrine),
ingkar (impious) dan mazhab terlaknat (a damnable sect); dan Muhammad
adalah orang jahat (an evil man).
Selain menugaskan para sarjana Kristian menterjemahkan naskah-naskah
bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, Peter juga menulis dua buku yang
menyerang pemikiran Islam. Tentang Al-Qur'an Peter menyatakan,"bahawa
Selain itu, kerja keras mereka kemudian membuahkan hasil yang lebih
mengagumkan, iaitu terciptanya kader-kader cendekiawan dan pemikir dari
kalangan Muslim, yang tekun sekali untuk membongkar semula serta
menyerang bangunan pemikiran Islam dan umat Islam.
Apalagi, dengan cara itu, kader-kader Muslim itu juga mendapat berbagaibagai keuntungan duniawai: populariti dan pelbagai kenikmatan hidup
duniawi.
Dulu, pada zaman penjajahan perang, para orientalis pengkaji Islam dari
kalangan
misionaris
menjadikan
semangat
penjajahan
dengan
semboyanGold, Gospel, dan Glory. Mereka mengkaji masalah ketimuran,
khususnya Islam, bukan dalam ruang yang kosong (ilmiah), tetapi menjadi
sebahagian dari projek untuk menakluk Islam dan dunia Islam.
Kini, pada zaman moden, Orientalisme juga tidak terlepas dari kepentingan
Barat dalam mengukuhkan hegemoninya. Para akademis muslim seharusnya
sedar tentang hal ini. Jika mereka menerima cinta kasih dari Barat yang
berupa bantuan biasiswa untuk meneliti Islam, mereka seharusnya sedar,
siapakah mereka, dan siapakah yang membantu mereka. Untuk apakah semua
bantuan itu diberikan? Sama seperti halnya dengan hutang luar negara yang
dipinjamkan kepada negara-negara sedang membangun.
Apakah semua hutang itu diberikan secara murah hati dan merupakan
program amal semata-mata? Sudah tentu tidak. Semua itu ada tujuannya. Ini
bukan bersikap prejudis membabi buta dan menolak apa pun yang datang
dari Barat.
Kerana harus diakui, banyak perkara ketika ini harus dipelajari dari Barat,
termasuk beberapa bahagian dalam studi Islam. Tetapi, semua itu perlu
dilakukan dengan hati-hati dan sikap kritis.
Para akademis Muslim yang tidak berhati-hati dan tidak memiliki ilmu yang
mencukupi, akan terjerumus dalam perangkap untuk memecah belah umat
Islam, mengkritik kelompok Islam tertentu yang tidak mahu mengikuti pola
pemikiran sekular-liberal Barat.
Kelompok-kelompok yang ingin bertahan dengan identiti dan pandangan
hidup Islam, dilabel dengan istilah-istilah yang negatif seperti radikal,
fundamentalis,
militan,
eksklusif(hanya
satu
benar),literalis"(makna selapis/berfikiran sempit), dan sebagainya.
agama
Sebagai contoh, pada bulan Januari 2002, seorang guru Universitas Islam
Negeri Yogyakarta (dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), pernah
mewawancara saya tentang hubungan Islam-Kristian di Indonesia. Namanya
Fatimah Husein.
Wawancara itu dilakukan untuk melengkapkan bahan disertasi doktornya di
Melbourne University, Australia. Dalam menyelesaikan studinya, dia dibiaya
oleh pelbagai institusi Australia, antara lain adalah The Australian Agency for
Intenational Development (AusAID). Pada tahun 2004, Fatimah
menyelesaikan gelaran doktornya. Baru-baru ini, dia menerbitkan
disertasinya dengan judul Muslim-Christian Relations in The New Order
Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims Perspectives.
Ketika diwawancara, saya telah menolak penggunaan terma Eksklusif"(satu
agama sahaja benar) dan "Inklusif (semua agama benar) untuk memetakan
persepsi kaum Muslim terhadap masalah hubungan Islam-Kristian di
Indonesia. Saya telah mengesyorkan istilah Muslim Komprehensif dan
Muslim Reduksionis.
Tetapi, Fatimah menolak menggunakan sebutan itu. Dia tetap berpegang pada
kategori yang diajukannya. Akhirnya, dia terjebak ke dalam kesalahan yang
merosakkan dalam mengkategorikan kaum Muslim.
Sebagai contoh, dia menyebut organisasi-organisasi eksklusif di Indonesia
adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Front Pembela Islam (FPI), danLaskar Jihad.
Orang-orang yang dia senaraihitamkan di antaranya adalahHusein Umar,
Ahmad Sumargono, Adian Husaini, Habib Rizieq Shihab, dan Jafar Umar
Thalib.
Sedangkan kesemua tokoh inklusif (pluralisme) seperti Nurcholish Madjid,
Zainun Kamal, Azyumardi Azra, Budhy Munawar Rahman, dan sebagainya
dilihat positif.
Menurutnya, di antara ciri-ciri kaum eksklusif, adalah;
dia
mencirikan
kaum
Inklusif
seperti
berikut:
(1) Kerana mereka memahami Islam sebagai agama yang berkembang, maka
mereka menerapkan metode kontekstual (logik pemikiran) dalam memahami
al-Quran dan Sunnah, melakukan reinterpretasi (penafsiran semula) teks-teks
asas dalam Islam, dan ijtihad merupakan sentral(asas) dalam pemikiran
mereka
(2) Kaum Inklusif mempercayai, Islam adalah agama terbaik; namun mereka
juga berpendapat bahawa keselamatan di luar agama Islam adalah hal yang
sama. (Islam adalah agama terbaik, tetapi menerima juga kebaikan agamaagama lain)
Kategori doktor Muslim dari Melbourne itu tentang "Islam Eksklusif" dan
"Islam Inklusif" itu telah mengharubirukan Islam . Dia sudah terjebak dalam
pola berfikir dikotomi (pembahagian) literal-kontekstual dalam metodologi
(kaedah) penafsiran Bible. Padahal, tidak mungkin seorang Muslim dalam
berijtihad terlepas dari teks dan sekaligus dari konteksnya.
Jika diteliti lanjut hasil tulisan Nurcholish Madjid dan Budhy Munawar
Rahman, mereka sudah termasuk dalam kategori Pluralis (sama rata) yang
menyatakan bahawa semua agama adalah sama - sama benar dan sebagai
jalan yang sah menuju ketuhanan dan bukannya inklusif lagi.
Menuduh kaum yang disebutnya sebagai Islam eksklusif tidak menjadikan
ijtihad sebagai sentral adalah tuduhan yang kurang ajar dan sama sekali tidak
ilmiah.
Sebaliknya, menyebut pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, Azyumardi
Azra, Budhy Munawar Rahman sebagai bentuk ijtihad, juga merupakan sikap
yang tidak teliti dan sembrono.
Hingga kini, orang-orang itu belum menulis satu buku pun tentang metodologi
ijtihad, malah belum layak mendapat gelar mujtahid. Hanya kerana cara
berfikir yang sesuai dengan selera liberal-sekular lalu mereka disebut
berijtihad.
Selain itu, jika si doktor itu membaca kembali perbincangan tentang
keselamatan di kalangan para ulama usuluddin, maka dia tidak perlu
menulis kriteria seperti itu. Kebenaran Islam dan keselamatan pemeluk
agama Islam atau non-Islam adalah dua masalah yang berbeza.
Dalam diskusi tentang fathrah (keselamatan), hal ini telah banyak dibahas.
Tetapi, sejak dulu, para ulama Islam tidak pernah berbeza pendapat bahawa
Islam adalah satu-satunya agama yang benar. MUI (Majelis Ugama Indonesia)
sendiri, dalam fatwanya tentang Pluralisme Agama, menegaskan, bahawa
dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersifat eksklusif.
Secara ilmiah, kategori "Islam eksklusif-Islam Inklusif" model guru UIN Yogya
itu kacau-balau. Kategori ini boleh difahami dalam konteks projek untuk
melakukan stigmatisasi (perlabelan) terhadap kelompok Muslim tertentu
yang tidak disukai oleh sang penaja', sehingga dilabelkan dengan sifat negatif
kepada
kaum
Muslim
tertentu
yang
tidak
disukainya.
Kita faham pola kajian Orientalis memang bersifat begitu. Sayangnya,
mengapa terdapat jua ilmuwan dari kalangan Muslim yang mahu
melakukannya, dengan imbuhan duniawi yang sangat murah sekadar
beberapa keping dolar dan gelaran doktor.
Sewajarnya, para cendekiawan yang mendapat kesempatan studi Islam di
Barat memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk kepentingan
Islam. Bukan sebaliknya, terjebak dalam kerangka pemikiran Orientalisme
untuk menghancurkan Islam.
Naudzubillah.
(Jakarta,
11
November
2005/hidayatullah.com).
Talbis Iblis
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dr. Syamsuddin Arief, alumni ISTAC yang sedang mengambil doktor keduanya
di Frankfurt Jerman, beberapa waktu lalu menulis satu artikel yang
menghebohkan di hidayatullah.com. Judulnya: DIABOLISME INTELEKTUAL.
Artikel ini segera menyulut tanggapan keras dari seorang aktivis Islam
Liberal, yang segera menuduh bahwa orang seperti Dr. Syamsuddin Arief
cenderung punya kelainan jiwa (mental disorder), karena merasa dirinya
paling benar dan paling bersih.
Melalui artikelnya, Syamsuddin menjelaskan, bahwa diabolisme berarti
pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya.
Dalam kitab suci al-Quran dinyatakan bahwa Iblis dikutuk dan dihalau karena
menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Iblis tidaklah atheis
atau agnostik. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan.
Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak
kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Tetapi, meskipun ia tahu
kebenaran, ia disebut kafir, karena mengingkari dan menolak kebenaran.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya
karena ia membangkang. (QS 2:34, 15:31, 20:116); ia sombong dan
menganggap dirinya hebat (QS 2:34, 38:73, 38:75). Iblis juga melawan
perintah Tuhan.
Allah berfirman: Dia adalah dari golongan jin, maka ia durhaka terhadap
perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya
sebagai pemimpin selain kepada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat
buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim (QS
18:50).
Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut
sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berperilaku seperti yang
dicontohkannya. Iblis adalah prototype intelektual keblinger.
Sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran, sejurus setelah ia divonis, Iblis
mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk
Ibnul Jauzy menjelaskan talbis Iblis terhadap berbagai jenis agama dan aliran
masyarakat, yang tumbuh dan berkembang ketika itu.
Talbis Iblis, atau tipudaya setan, yang hobinya mengaburkan yang haq dan
bathil sangatlah perlu diwaspadai oleh manusia. Apalagi, jika yang melakukan
talbis itu orang-orang yang dikategorikan ke dalam golongan intelektual atau
cendekiawan.
Mereka dengan segala kemampuan ilmunya tidak ragu-ragu mengikuti jejak
Iblis, memutarbalikkan yang haq menjadi bathil dan yang bathil menjadi haq.
Di era kebebasan informasi saat ini, kaum Muslim menghadapi masalah yang
sangat pelik, yang belum pernah dihadapi di masa-masa lalu. Nyaris setiap
hari, media massa melakukan penjungkirbalikan nilai-nilai kebenaran, dengan
menggunakan slogan-slogan atau istilah-istilah yang indah, seperti pluralisme,
kebebasan, hak asasi, pencerahan, dan sebagainya.
Paham penyamaan semua agama yang jelas-jelas keliru dibungkus dengan
istilah indah: pluralisme. Paham penyebarluasan kebebasan amoral dalam
bidang perzinahan dan homoseksual dikemas dengan bungkus rapi bernama
hak asasi manusia.
Dengan tipudaya Iblis, khamar diiklankan dan dijadikan kebanggaan oleh
sebagian manusia modern, perzinahan dilegalkan dan tidak dipersoalkan
kebejatannya, sementara poligami diopinikan sebagai bentuk kejahatan.
Rasulullah saw pernah mengingatkan: Akan datang kepada manusia tahuntahun yang penuh dengan tipuan. Pada waktu itu di pendusta dikatakan benar
dan orang yang benar dikatakan dusta. (HR Ibnu Majah).
Di zaman globalisasi saat ini, diakui, bahwa informasi adalah kekuatan yang
paling dahsyat. Penguasa informasi adalah yang menguasai otak manusia saat
ini. Mereka dengan leluasa berpotensi memutarbalikkan fakta dan kebenaran.
Di sinilah talbis Iblis dapat terjadi. Yang haq dipromosikan sebagai kebatilan,
dan yang bathil dikampanyekan sebagai al-haq. Banyak motif para pelaku
talbis Iblis. Bisa karena memang ada kesombongan, ada penyakit hati, atau
karena motif mencari keuntungan duniawi.
Dalam situasi seperti ini, peringatan Dr. Syamsuddin Arief tentang ciri-ciri
pelaku talbis Iblis di kalangan intelektual, sangat relevan untuk direnungkan.
Sangatlah tidak tepat jika dia dikatakan mengalami gangguan jiwa.
Tugas para Nabi dan pewarisnya (para ulama) adalah menjelaskan mana yang
haq dan mana yang bathil, menyeru umat manusia, agar tidak mengikuti jalanjalan Iblis, jalan yang sesat, yang mengantarkan manusia kepada api neraka.
Jika ada cendekiawan yang tugasnya senantiasa mengaburkan nilai-nilai
kebenaran dan kebatilan, maka ia perlu melakukan introspeksi terhadap
dirinya sendiri. Allah SWT sudah menjelaskan: Tidak ada paksaan (untuk
masuk) agama Islam. Sungguh telah jelas yang benar dari yang salah. (QS
2:256).
Sikap merasa benar sendiri terhadap kebenaran agama Islam dan yakin
dengan kebenaran al-Islam adalah sikap yang sudah seharusnya. Dalam hal ini
tidak boleh ada keraguan. Yang haq harus dikatakan haq dan bathil harus
dikatakan bathil. Itulah tugas setiap cendekiawan Muslim.
Allah juga mengingatkan: Al-haq itu dari Tuhanmu, maka janganlah kamu
termasuk orang-orang yang ragu. Sikap meragu-ragukan terhadap kebenaran
adalah sikap dan perilaku Iblis, yang tidak perlu dicontoh oleh kaum Muslim.
15 Jun2015