Anda di halaman 1dari 12

Islam Nusantara : Suatu

Keharusan Antropologis dan


Etnografis Bangsa Indonesia
Teuku Kemal Fasya
Universitas Malikussaleh, Aceh
14 Juli 2021
Sesat Pikir tentang Islam Nusantara

Pemahaman Islam Nusantara harus dilihat sebagai bagian dari


kosmologi Islam yang memang secara intrinsik memang berbeda.

Islam Nusantara harus dilihat sebagai bagian dari persebaran sejarah


dan kebudayaan Islam di Nusantara, dan tidak dijadikan sebagai
pertentangan ideologis-teologis.

Pelbagai karya pemikiran Islam baik tafsir, fiqh, tassawuf, filsafat,


sastra, dan kebudayaan yang dihasilkan oleh pemikir Islam di
Nusantara sudah menunjukkan adanya fakta tentang Islam
Nusantara, yang dalam konteks NU dideklarasikan dengan klaim
Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Diam-diam gerakan penolakan terhadap slogan Islam Nusantara


terkait dengan upaya penyingkiran Islam toleran-kultural oleh Islam
radikal-politik di Indonesia.
Sejarah Islam di Aceh – Bukan Replikasi Arab

Sultan pertama Kerajaan Samudra Pasai, Malikussaleh (1267-1292), adalah


seorang raja Hindu sebelumnya yang bernama Meurah Silue. Naikknya
Malikussaleh sebagai sultan pertama dalam sejarah Kerajaan Islam Nusantara
membawa nuansa Islam Melayu yang tidak meniru Arabesque. Islam Samudra
Pasai bernuansa akulturatif, sinkretik, dan inklusif.

Syekh Abdurrauf As-Singkili (1615-1693) adalah Qadhi Malikul Adil atau


Ketua Mahkamah Agung ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh empat Sultanah
berturut-turut. Berasal dari keturunan Persia dan ikut memberikan justifikasi
kepada kepemimpinan perempuan yang masih asing pada saat itu melalui
kitab Mir’at at-Tullab fi Tashil Ma’rifat Ahkam Asy-Syar’iyah lil Malik al-
Wahhab.
Penjelajahan Islam yang beragam di Nusantara
• Komunitas India tiba di Nusantara rata-rata berasal dari selatan
dan beretnis Tamil dengan ras Dravida.
• Bukti arkeologis dan epigrafis Tamil di Sumatera tertua ada di
Barus, penanggalan abad 11 M. Sebagian mereka bekerja sebagai
pengukir batu (dalam Claude Guillot, 2002 : 17).
• Migrasi generasi pertama komunitas India ke Aceh menjadi
penanda keberadaan agama Hindu di Aceh. Peninggalan nama-
nama tempat seperti Indrapuri, Indrapurwa, Indrapatra menjadi
bagian dari peninggalan arkeo-linguistik India di Aceh.
• Meskipun demikian jalur migrasi grup etnis India bukan saja
berasal dari selatan dan timur India (Tamil dan teluk Bengal), tapi
juga dari Barat dan Barat Daya (Malabar, Gujarat, Kashmir). Jalur
Barat ini melewati laut Arab yang membawa komunitas India
muslim (Mohammad Said, tt : 155).
• Hal lain yang juga dilihat adalah jalur Islam di Nusantara melalui
Aceh berasal dari Persia, dengan ditunjukkan pengaruh Syiah dan
tasawuf dalam jalur tokoh Islam di Nusantara seperti Hamzah Al
Fansuri, Ali Al-Fansuri, Abdurrauf As-Singkili, Burhanuddin Ulakan,
dll (Arnold, Aboebakar). Meskipun ada juga pandangan yang
menyebutkan Islam yang datang di Nusantara sejak abad pertama
berasal dari Arab (Naguib Al-Attas).
Apropriasi nilai-nilai lokal ke dalam Islam Aceh

Dayah dan pesantren di dalam sistem pendidikan Islam tradisional dengan tidak menyebut kata
madrasah untuk traditional Islamic boarding school. Kedua istilah istilah tersebut sangat Nusantara.
Meskipun ada yang menyebut bahwa kata dayah di dalam bahasa Aceh adalah generik-linguistik dari
az-Zawiyah di dalam bahasa Arab.

Peusijuek, khanduri laot, khanduri blang, rabu abeh adalah tradisi-tradisi di era Hinduisme yang
mengalami proses apropriasi dengan datangnya Islam. Sehingga muncul konsep dalam kosmologi
masyarakat Aceh, adat ngen hukom lagee dzat ngeun sipheut.

Proses apropriasi dan pembentukan identitas Islam Aceh yang kultural tersebut mengalami problem
pertama sekali ketika pecah perang Aceh (1873-1904) dan berlanjut dengan politisasi ulama vs
uleebalang pada 1939 hingga pecah revolusi sosial di Aceh (1946-1957).
Ambiguitas Wacana Snouck Hurgronje

“Islam yang hidup di dalam masyarakat muslim (Aceh) adalah Islam yang bercampur dengan sistem
budaya lokal dan itu diterima luas. Yang berbahaya adalah segolongan orang yang yaitu ulama yang
berada di luar struktur sosial Aceh tradisional” (Hurgronje, Acehnese, 1906/2020) .

Pandangan Snouck Hurgronje harus dilihat dari kacamata antropolog/etnografer yang mencatat
realitas sosial-budaya yang terdapat di dalam masyarakat Aceh, sekaligus saran politik-ideologis
untuk penaklukan Aceh. Sesungguhnya Hurgronje harus dilihat sebagai antropolog, karena penakluk
yang menjalankan peran politik-militeristik adalah Jendreal Van’t Heutsz ( Fachry Ali sebagai
pengantar buku Snouck Hurgronje, 2020).

Nyatanya, secara historis-antropologis pemikiran Islam di masa perang Belanda memang tidak
muncul, yang muncul hanya Hikayat Prang Sabi Tgk Chik Pante Kulu, yang bukan berisi karya
pemikiran Islam, tapi sastra yang memotivasi perang semesta melawan kolonial kaphe Belanda.
Wacana Islam Politik kontemporer ikut mengacaukan
wacana Islam Nusantara

Islam toleran, moderasi beragama, dan gerakan Islam Nusantara dituding sebagai
gerakan deislamisasi. Disebutkan Islam Nusantara Ada pelemahan kepada politik identitas
Islam di Indonesia sebagai bagian lanjut dari Islam liberal dan sekulerisasi.

Untuk Aceh, Islam Nusantara dianggap mengkounter gerakan keberagaman yang secara
esensial harus bermakna pada kesalehan individual dan fanatisme, karena itu dianggap
sebagai Islam yang lebih baik (Kloos, 2018). Lawan dari gerakan Islam Nusantara adalah
gerakan skripturalisme Islam.

Menguatnya lagi gerakan revivalisme politik Islam dengan tokoh seperti Habib Riziq yang
menganjurkan Arabisasi Islam untuk menggusur pribumisasi Islam yang pernah
dimunculkan Gus Dur.
Islam Nusantara sebagai exit strategy wacana
kolonialisme

1. Konsep Islam Nusantara sebagai upaya meneguhan atas konsep yang digali
oleh umat Islam/scholar muslim Indonesia membentuk sendiri vocabulary,
bahasa, studi kesarjanaan, dan standar keilmiahan/otentisitas Islam yang
selama ini dikonstruksikan oleh pihak asing/sosiolog/antropolog berkonstruksi
Barat.

2. Islam Nusantara adalah cara menolak mode of discourse Eropa/Barat melihat


dunia Islam sebagai the other world. Islam sebagai the Orient yang statis,
specialized, pejorative, barbarism, dsb.

3. Islam Nusantara untuk keluar dari model pekerjaan ilmuwan Barat yang
menilai Islam secara politis dan tunduk pada cara pandang Barat (Edward Said,
Orientalism, 1978).
Islam Nusantara Against The Blackness

Konstruksi tentang Islam Rezimis/Politis bukan saja bagian dari anomali dari
wajah Islam toleran yang telah muncul selama ratusan tahun, tapi juga masuk
dalam cara pandang Barat yang melihat Islam as the Blackness: inferior, buruk,
jahat, gemetar (shivering) karena lapar dan kedinginan karena miskin (Frantz
Fanon). Dalam konteks Indonesia, Islam rezimis/politis ini sebenarnya masuk
dalam imajinasi ekstremisme global yang tidak memberikan konstruksi positif
bagi kebertahanan Indonesia sebagai nation-state.

Kekacauan ini akan mengarah kepada kesalahan pandang tentang Islam otentik
di Indonesia yang seolah-olah ini adalah inborn complex yang tidak bisa
dibersihkan.
Strategi post-colonial Islam Nusantara
1. Teks post-colonial Islam Nusantara harus terus dijadikan sebagai bahan diskursif untuk meminggirkan wacana Islam
colonial/politik.

2. Teks post-colonial harus menentukan relasi dengan fakta sosial.

Namun tetap ada resiko:

1. Bacaan post-colonial menjadi tidak terbaca dengan tepat.

2. Reintroduksi post-colonial Islam Nusantara menutupi bentuk esensialismenya sebagai fakta Islam di Nusantara (Hellen Tiffin).

Pilihannya :

Canonical counter-discourse dan textual revolution untuk menempatkan wacana Islam Nusantara di tengah vocabulary Islam di
Indonesia dan dunia Melayu.

Find out more at the PowerPoint Getting Started Center


End words

Wacana Islam Nusantara Sebenarnya meneguhkan wajah Islam toleran, inklusif, dan moderat di Indonesia.
Gagasan yang dimunculkan oleh Mantan Menag Lukman Hakim Saifuddin tentang Moderasi Beragama adalah
peneguhan pada akar-akar Islam di Nusantara yang memang terbentuk dengan pelbagai model yang khas
lokal, adaptif, etnografis, dan bahkan sinkretis.

Wacana Islam Nusantara adalah bagian untuk menyelamatkan kebinekaan di Indonesia termasuk sebagai jalan
untuk melindungi minoritas dari penistaan, stigmatisasi, viktimisasi, dan terror atas nama kepentingan “Islam
mayoritas”.

Pemupukan pendidikan tradisional pesantren adalah gerakan subkultur untuk menghidupkan embrio nilai-nilai
Islam Nusantara. Pematangannya dilakukan di dunia pendidikan tinggi Islam sehingga terjadi penguatan
epistimologis tentang wacana Islam Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai