Dayah dan pesantren di dalam sistem pendidikan Islam tradisional dengan tidak menyebut kata
madrasah untuk traditional Islamic boarding school. Kedua istilah istilah tersebut sangat Nusantara.
Meskipun ada yang menyebut bahwa kata dayah di dalam bahasa Aceh adalah generik-linguistik dari
az-Zawiyah di dalam bahasa Arab.
Peusijuek, khanduri laot, khanduri blang, rabu abeh adalah tradisi-tradisi di era Hinduisme yang
mengalami proses apropriasi dengan datangnya Islam. Sehingga muncul konsep dalam kosmologi
masyarakat Aceh, adat ngen hukom lagee dzat ngeun sipheut.
Proses apropriasi dan pembentukan identitas Islam Aceh yang kultural tersebut mengalami problem
pertama sekali ketika pecah perang Aceh (1873-1904) dan berlanjut dengan politisasi ulama vs
uleebalang pada 1939 hingga pecah revolusi sosial di Aceh (1946-1957).
Ambiguitas Wacana Snouck Hurgronje
“Islam yang hidup di dalam masyarakat muslim (Aceh) adalah Islam yang bercampur dengan sistem
budaya lokal dan itu diterima luas. Yang berbahaya adalah segolongan orang yang yaitu ulama yang
berada di luar struktur sosial Aceh tradisional” (Hurgronje, Acehnese, 1906/2020) .
Pandangan Snouck Hurgronje harus dilihat dari kacamata antropolog/etnografer yang mencatat
realitas sosial-budaya yang terdapat di dalam masyarakat Aceh, sekaligus saran politik-ideologis
untuk penaklukan Aceh. Sesungguhnya Hurgronje harus dilihat sebagai antropolog, karena penakluk
yang menjalankan peran politik-militeristik adalah Jendreal Van’t Heutsz ( Fachry Ali sebagai
pengantar buku Snouck Hurgronje, 2020).
Nyatanya, secara historis-antropologis pemikiran Islam di masa perang Belanda memang tidak
muncul, yang muncul hanya Hikayat Prang Sabi Tgk Chik Pante Kulu, yang bukan berisi karya
pemikiran Islam, tapi sastra yang memotivasi perang semesta melawan kolonial kaphe Belanda.
Wacana Islam Politik kontemporer ikut mengacaukan
wacana Islam Nusantara
Islam toleran, moderasi beragama, dan gerakan Islam Nusantara dituding sebagai
gerakan deislamisasi. Disebutkan Islam Nusantara Ada pelemahan kepada politik identitas
Islam di Indonesia sebagai bagian lanjut dari Islam liberal dan sekulerisasi.
Untuk Aceh, Islam Nusantara dianggap mengkounter gerakan keberagaman yang secara
esensial harus bermakna pada kesalehan individual dan fanatisme, karena itu dianggap
sebagai Islam yang lebih baik (Kloos, 2018). Lawan dari gerakan Islam Nusantara adalah
gerakan skripturalisme Islam.
Menguatnya lagi gerakan revivalisme politik Islam dengan tokoh seperti Habib Riziq yang
menganjurkan Arabisasi Islam untuk menggusur pribumisasi Islam yang pernah
dimunculkan Gus Dur.
Islam Nusantara sebagai exit strategy wacana
kolonialisme
1. Konsep Islam Nusantara sebagai upaya meneguhan atas konsep yang digali
oleh umat Islam/scholar muslim Indonesia membentuk sendiri vocabulary,
bahasa, studi kesarjanaan, dan standar keilmiahan/otentisitas Islam yang
selama ini dikonstruksikan oleh pihak asing/sosiolog/antropolog berkonstruksi
Barat.
3. Islam Nusantara untuk keluar dari model pekerjaan ilmuwan Barat yang
menilai Islam secara politis dan tunduk pada cara pandang Barat (Edward Said,
Orientalism, 1978).
Islam Nusantara Against The Blackness
Konstruksi tentang Islam Rezimis/Politis bukan saja bagian dari anomali dari
wajah Islam toleran yang telah muncul selama ratusan tahun, tapi juga masuk
dalam cara pandang Barat yang melihat Islam as the Blackness: inferior, buruk,
jahat, gemetar (shivering) karena lapar dan kedinginan karena miskin (Frantz
Fanon). Dalam konteks Indonesia, Islam rezimis/politis ini sebenarnya masuk
dalam imajinasi ekstremisme global yang tidak memberikan konstruksi positif
bagi kebertahanan Indonesia sebagai nation-state.
Kekacauan ini akan mengarah kepada kesalahan pandang tentang Islam otentik
di Indonesia yang seolah-olah ini adalah inborn complex yang tidak bisa
dibersihkan.
Strategi post-colonial Islam Nusantara
1. Teks post-colonial Islam Nusantara harus terus dijadikan sebagai bahan diskursif untuk meminggirkan wacana Islam
colonial/politik.
2. Reintroduksi post-colonial Islam Nusantara menutupi bentuk esensialismenya sebagai fakta Islam di Nusantara (Hellen Tiffin).
Pilihannya :
Canonical counter-discourse dan textual revolution untuk menempatkan wacana Islam Nusantara di tengah vocabulary Islam di
Indonesia dan dunia Melayu.
Wacana Islam Nusantara Sebenarnya meneguhkan wajah Islam toleran, inklusif, dan moderat di Indonesia.
Gagasan yang dimunculkan oleh Mantan Menag Lukman Hakim Saifuddin tentang Moderasi Beragama adalah
peneguhan pada akar-akar Islam di Nusantara yang memang terbentuk dengan pelbagai model yang khas
lokal, adaptif, etnografis, dan bahkan sinkretis.
Wacana Islam Nusantara adalah bagian untuk menyelamatkan kebinekaan di Indonesia termasuk sebagai jalan
untuk melindungi minoritas dari penistaan, stigmatisasi, viktimisasi, dan terror atas nama kepentingan “Islam
mayoritas”.
Pemupukan pendidikan tradisional pesantren adalah gerakan subkultur untuk menghidupkan embrio nilai-nilai
Islam Nusantara. Pematangannya dilakukan di dunia pendidikan tinggi Islam sehingga terjadi penguatan
epistimologis tentang wacana Islam Nusantara.