Anda di halaman 1dari 19

JEJAK GERAKAN

OKULTISME DI BANDUNG

SUMBER : Koran Pikiran Rakyat , Senin 5 Mei 2014


Jejak Gerakan Okultisme di Bandung
oleh Muhammad Ryzki Wiryawan

Okultisme berasal dari bahasa Latin, "occultus" yang artinya "tersembunyi" atau "rahasia".
Istilah ini biasa digunakan untuk menyebut berbagai sistem pengetahuan yang umumnya
berlawanan dengan Ilmu pengetahuan (science).

ADA banyak sekali cabang dalam okultisme, misalnya saja mistik sihir, astrologi, atau
spiritualisme. Dalam tulisan ini akan dibicarakan dua macam okultisme yang cukup populer pada
masa Hindia Belanda tetapi belakangan sering kali diberi banyak bumbu sehingga terkesan
misterius dan memunculkan banyak spekulasi.

Dua macam okultisme yang juga meninggalkan banyak jejak yang masih dapat ditemui di Kota
liandung ini adalah Freemasoiiry dan Teosofi.

Awal Freemasonry di Bandung

"Najan kaasup ludengan, ari asup ka gedong setan mah teu warti. Tong boro asup ketang, dalah
ngalanto ka buruanana ge geus muringkak bulu punduk, (Walaupun termasuk pemberani, kalau
masuk ke gedung setan mah tidak berani. Jangankan masuk, mendatangi halamannya pun bulu
kuduk sudah merinding)."

Demikian Us Tiarsa dalam buku Basa Bandung Ilalimunan (Kiblat, 2011) mengisahkan
pengalamannya seputar keberadaan "gedung setan" di Bandung. Menurut dia. dahulu di Bandung
terdapat beberapa tempat angker, salah satunya adalah sebuah gedung di sebelah barat Balai
Kota.

"Kakara beh dieu nyaho yen eta gedong (loji) teh baheulana tempat kaom Teosofi karumpul.
Ngaran gedongna teh SintJan. Nu karumpul didinya iwal ti neuleuman perkara agama teh, cenah,
sok ngahaja ngayakeun upacara narik arwah (Baru sekarang tahu kalau bangunan itu dulunya
adalah tempat kaum Teosofi berkumpul. Nama gedungnya Sint Jan. Yang kumpul di sana selain
membahas masalah agama, katanya, suka mengadakan upacara menarik arwah)," ujar Us Tiarsa
menambahkan.

Sebenarnya Us Tiarsa kurang tepat saat menyebutkan gedung Sint Jan sebagai tempat
berkumpulnya kaum Teosofi, karena yang berkumpul di gedung itu adalah kelompok
Freemasonry. Pada zaman kolonial, kedua kelompok ini baik Freemasonry maupun Teosofi
memang pernah berkiprah secara bebas di Bandung. Namun, belum banyak yang tahu bahwa
kedua kelompok ini sebetulnya meninggalkan banyak jejak, bukan hanya di Bandung tetapi juga
di banyak tempat di Indonesia.

T H Stevens dalam bukunya Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan
Indonesia 1764-1962 (Sinar Harapan, 2004) bahkan menyebutkan gerakan Freemasonry
memiliki pengaruh yang cukup luas dalam sejarah Indonesia termasuk di Parijs van Java.

Warga Kota Bandung tentu sering mendengar ungkapan, Bandung adalah kotanya Wolff
Schoemaker karena banyaknya bangunan monumental karya arsitek tersebut yang tersebar di
seantero kota. Sebagian karya Schoemaker masih berdiri utuh dan sering dijadikan sebagai
penanda kota, sebut saja Gedung Merdeka, Vila Isola, atau Katedral St. Petrus di Jalan Merdeka.
Namun, secara tidak langsung sebenarnya bisa juga bila dikatakan bahwa Bandung adalah karya
dari seorang anggota Freemason. Mengapa? Jawabannya karena Herman Willem Daendels.

Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal yang memindahkan "Negorij Bandoeng" dari
Krapyak ke lokasi Bandung yang sekarang pada tahun 1810 adalah seorang anggota Freemason.
Ia dilantik di Loji "Le Profond Silence" Kampen, Belanda, ketika masih menjadi seorang perwira
muda. Semasa berkuasa, Daendels turut membawa pengaruh Freemasonry ke Hindia Belanda
dan khususnya ke Bandung.

Pengaruh utamanya dapat dilihat dari langgam arsitektur empire stijl yang dibawanya ke
nusantara. Daendels mewajibkan seluruh bangunan publik dibangun berdasarkan gaya arsitektur
empire stijl. Gaya arsitektur ini dipertahankan selama berpuluh-puluh tahun oleh para penguasa
Hindia Belanda selanjutnya.

Gaya bangunan empire stijl dicirikan oleh struktur bangunan yang serba simetris. Jan De Boer
dalam buku Inleidieng Tot De Kennis van Symbolisehe. Vormen En Van De Myztiek Der
Bouwkunst (Van Mantgem & De Does Amsterdam, 1948) menyebutkan bahwa gaya ini
mengadopsi konsep piramida, fibonaci, tanduk horus, dan kuil-kuil pagan Romawi. Seluruhnya
merupakan konsep dalam ajaran Freemasonry.

Handinoto, pengamat arsitektur dari Surabaya menyebutkan ciri lain gaya arsitektur empire Stijl
adalah "...barisan kolom Yunani (Doric, lonic. dan sebagainya) yang berfungsi sebagai
pendukung atap yang menjulang ke atas." Ini lagi-lagi selaras dengan gaya arsitektur Freemasonry
yang menggunakan pilar-pilar bergaya Doric, lonic, dan Korinthian.

Bangunan Freemasonry di Bandung

Di Bandung, penerapan arsitektur empire stijl terlihat pada gedung-gedung kolonial tertua tampak
jelas seperti pada bekas Kweekschool (Sekolah Guru) di Jalan Merdeka, MOSVIA (Sekolah
Menak) di Tegallega, atau pada bangunan Rumah Residen Priangan yang sekarang kita kenal
dengan nama Gedung Pakuan. Seluruh bangunan tadi dibangun pada pertengahan abad ke-19.

Bangunan-bangunan itu menunjukkan kesesuaian arsitektur dengan bentuk kuil-kuil Yunani atau
tempat ibadah Freemasonry umumnya. Dengan demikian, selain menunjukkan jejak kekuasaan
Daendels di Bandung, bangunan-bangunan ini juga secara tidak langsung merupakan artefak
Freemasonry yang sangat berharga yang masih eksis di Bandung. Penggunaan gaya arsitektur
Empire Stijl di Bandung berakhir seiring masuknya arsitek-arsitek swasta ke Bandung di awal
abad 20.

Peninggalan Freemasonry lainnya yang cukup penting tetapi ldni sudah tidak berbekas lagi adalah
gedung setan seperti yang dikisahkah oleh Us Tiarsa di awal cerita. Entah benar atau tidak,
sebutan gedung setan konon merupakan pelafalan masyarakat Sunda atas Loji Sint Jan, nama
resmi markas kelompok Freemasonry di Bandung. Informasi ini masih harus diperiksa lagi
mengingat beberapa markas Freemasonry di kota-kota lainnya pun mendapatkan julukan yang
sama.
Pendirian Loji Sint Jan di Bandung

Sejarah loji ini dimulai pada 23 November 1880, ketika sebagian anggota Loji "De Ster in het
Oosten" di Batavia antara lain : EA Halewijn, F Schenk W Tinge, J Verschuil RP OD Wijnmalen,
CL Heisje, ADJ Groenemeijer, JFJ Mispelblom, Beijer, CH Coenraad, W Voorthuizen, dan AR
Twijsel bermaksud mendirikan loji Freemason bernama Sint Jan di Bandung.

Karena belum memiliki gedung permanen, maka atas izin Residen Priangan tanggal 21 Mei tahun
1881 No 6245/26 E. mereka diperbolehkan untuk menggunakan sebagian dari bangunan
Kweekschool Bandung sebagai tempat seminar atau pertemuan bulanan. Walaupun sempat
vakum beberapa lama, mereka terus menggunakan gedung Kweekschool hingga tahun 1884.

Pada Agustus 1897, seorang anggota bernama Simon membeli sebidang lahan atas nama
perkumpulan Sint Jan untuk tempat mendirikan bangunan loji di atasnya. Lokasinya berada di
sebelah barat Gedung Papak atau di atas lokasi Masjid Al-Ukhuwah sekarang.

Setelah mengumpulkan cukup dana untuk pendirian gedung itu, barulah pada bulan Januari 1901
pembangunan gedung Loji Sint Jan dimulai hingga dapat rampung pada tanggal 20 Juli 1901.
Proyek pembangunan tersebut dipimpin oleh van Haastert.

Karena keberadaan loji di sana, maka jalan yang menghubungkan antara Jalan Perintis
Kemerdekaan dengan Jalan Aceh dulunya dinamakan logeweg. Setelah mengalami kemajuan,
pada 1920 anggota Freemasonry Bandung berhasil mengumpulkan dana untuk merenovasi
gedung Sint Jan sehingga menjadi lebih mewah.

Selain melakukan kegiatan-kegiatan Freemasoniy pada umumnya, anggota Loji Sint Jan di
Bandung juga termasuk cukup aktif di bidang sosial.

Buku Gedenkboek Van De Vrijmetselarij in Nederlandsch Oost-Indie 1767 -1917 (Van Drirp,
1917) menyebutkan, Loji Sint Jan pernah tercatat memiliki perpustakaan umum terbesar di
Bandung. Mereka juga membuka frobelschool (sekolah taman kanak-kanak), pro juventute
(pendidikan remaja bermasalah), asrama yatim piatu, dan menyumbang pembangunan
Bandoengsche Blinden Instituut (Yayasan Tunanetra di Bandung).

Kiprah Freemasonry di Bandung terhenti semenjak datangnya penjajahan Jepang di nusantara.


Rezim militer Jepang yang menganggap anggota Freemasonry sebagai penjahat nomor satu,
mengakibatkan punahnya sebagian besar anggota Freemasonry

Akhirnya setelah kemerdekaan, tidak banyak lagi anggota Freemasoniy dari ras Eropa yang
tertinggal. Beberapa anggota dari kalangan pribumi kemudian berusaha mengumpulkan kekuatan
dan mengubah Loji Sint Jan di Bandung menjadi Loji Dharma.

Loji Dharma merupakan satu dari empat loji yang dihidupkan kembali di Indonesia. Tiga loji
lainnya adalah Purwa Daksina di Jakarta, Pamitri-an (Persahabatan) di Surabaya, dan Bhakti
(Pelayanan) di Semarang. Keempat loji itu kemudian membentuk Loji Timur Agung di Indonesia
sekaligus mengangkat seorang Mason, Sumitro Kolopaking, sebagai Suhu Agung Timur Agung
Indonesia pada tahun 1955. Pelantikannya dilakukan di Bandung.

Kegiatan Freemasonry begitu terbuka, sehingga pada 1950-an kita masih bisa menemukan pada
buku-buku petunjuk daerah Bandung keterangan yang menyebutkan gedung di Jalan
Wastukantjana 27 sebagai "Loge St. Jan, Tempat Ibadah Kaum Kebatinan Free Masonry."

Kiprah Freemasonry terhenti pada tahun 1962 setelah Presiden Soekarno melarang
beroperasinya segala organisasi yang memiliki hubungan dengan luar negeri. Setahun
sebelumnya, entah atas dasar apa Soekarno juga memerintahkan pembongkaran bangunan Loji
Sint Jan.

Pada tahun 1998 di atas bekas lahan Loji Sint Jan didirikan Masjid Al-Ukhuwah. Sekilas nama
masjid ini mirip dengan nama Loji "de Vricnd-sehap" atau "Pamitrian" di Surabaya yang sama-
sama berarti "persahabatan." ***

Penulis, pengasuh Komunitas Aleut!


MEREKA YANG TERLIBAT

GERAKAN OKULTISME

SUMBER : Koran Pikiran Rakyat , Senin 5 Mei 2014


Mereka yang Terlibat Gerakan Okultisme

BERBEDA dengan anggapan kita umumnya, gerakan pengulik okultisme seperti Freemasonry
dan Teosofi di Hindia Belanda pada zaman kolonial ternyata tidak merahasiakan identitas
para anggotanya.

MENURUT Paul W van Der Veur dalam bukunya Freemasonry iri Indonesia (1976), Menjadi
seorang Mason berarti ia diberi hak memasuki lingkaran kaum elite." Dengan demikian,
seseorang akan sangat bangga apabila ia termasuk ke lingkaran Freemasonry karena prestisenya
bisa meningkat di mata masyarakat.

Namun, menjadi seorang Mason sangat tidak mudah karena organisasi persaudaraan yang tidak
berdasar pada teologi apa pun ini sangat ketat dalam penerimaan keanggotaan. Seperti yang
disebutkan oleh Van der Veur, seorang Mason wajib menyetorkan sejumlah iuran yang sangat
tinggi kepada organisasi. Oleh karena itu, mutlak bagi anggotanya memiliki pendapatan yang
besar pula.

Kebanyakan orang yang menjadi anggota Freemason berprofesi sebagai pejabat publik, militer,
atau pengusaha. Dari kalangan pribumi, tentu saja hanya sedikit dari kalangan pejabat tingginya
yang bisa memasuki organisasi ini. T H Stevens dalam bukunya, Tarekat Mason Bebas dan
Masyarakat Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (Sinar Harapan, 2004), mencatat beberapa
tokoh pribumi terkenal yang terdaftar sebagai anggota Freemasonry Hindia Belanda

Antara lain pelukis terkenal Raden Saleh, ketua pertama Boedi Oetomo Raden Adipati Tirto
Koesoemo, anggota BPUPKI Radjiman Wediodiningrat. Paku Alam VI, dan Paku Alam VII.

Sebaliknya, Perkumpulan Teosofi lebih memberikan kemudahan dalam keanggotaan. Oleh


karena itu, Teosofi menjadi alternatif bagi kebanyakan bangsawan Pribumi. Onghokham (1987)
menyebutkan, keanggotaan Gerakan Teosofi bisa teras meningkat setiap tahunnya terutama dari
kalangan bangsawan yang "ingin menemukan semacam kehidupan rohani yang dapat
memisahkan mereka dari agama rakyat yang Islam atau yang perdukunan" serta untuk
"menemukan standgenoten atau anggota-anggota sesama kelas dan orang-orang Barat serta
menemukan dasar-dasar pembenaran bagi sikap mereka terhadap rakyat yang beragama Islam
dan perdukunan".

Gerakan okultisme di kalangan pribumi memang lebih banyak diminati para bangsawan Jawa
dibandingkan dengan mereka yang berasal dari Sunda. Khusus untuk Freemasonry, alasannya
seperti disebutkan pengarang buku Hondered Vif Seventig Jaren Nederlandsche Viremetselarij
(1931) adalah karena "De Soendanees is te oppervlakking van aard om zich veel met geestelijke
vraagstukken bezig te houden" (Masyarakat Sunda dianggap terlalu dangkal untuk dapat
memenuhi diri mereka dengan berbagai perkara spiritual).

Di luar stigma yang diterapkan kalangan Freemasonry terhadap masyarakat Sunda tersebut,
sejarah membuktikan ada beberapa orang Sunda terkemuka yang pernah terlibat dalam gerakan
ini. Buku daftar anggota Loji Sint Jan di Bandung tahun 1938-1939 misalnya menunjukkan fakta
Raden Aria Wiranatakusumah V tercatat sebagai anggota Freemasonry. Dia tercatat memasuki
organisasi tersebut pada tahun 1922, dua tahun setelah pengangkatannya sebagai Regent (Bupati)
Bandung. Selanjutnya dia diangkat sebagai meesler pada tanggal 31 Januari 1926 dan memasuki
keanggotaan Loji Sint Jan Bandung pada tahun 1935.

Keterlibatan sang Dalem Haji dalam keanggotaan Freemasonry dapat dipahami dalam konteks
penyesuaian diri terhadap lingkaran elite golongan Eropa. Selain dirinya, masih banyak bupati lain
yang tercatat sebagai anggota Freemasonry, di antaranya Abas Soeria Nata Atmadja (Serang),
Achmad Probonegoro (Batavia), Ariodinoto (Cheribon), Aroeng Binang (Kebumen), Djojo Adi
Negoro (Lamongan), dan Koesoemo Joedo (Ponorogo).

Tokoh penting Sunda lainnya yang tercatat sebagai anggota Freemasonry adalah Mas Sewaka.
Dia menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat periode 1947-1952 (dipotong masa Negara
Pasundan). Selama hidupnya, Sewaka pernah menduduki berbagai jabatan penting mulai dari
ambtenaar biasa hingga menteri pertahanan di masa Kabinet Soekiman (1951)-

Perannya dalam Freemasonry tampak ketika pada 1951 ia bersama anggota Mason lainnya
merintis pendirian Loji Purwa Daksina di Jakarta. Setelah itu, pada 28 Maret 1953 ia mendirikan
Loji Dharma di Bandung sebagai inisiatif atas banyaknya anggota Freemasonry Belanda yang
pulang kembali ke negerinya.

Sewaka menjabat sebagai ketua loji tersebut. Ia dilantik di Gedung Loji Sint Jan oleh Wakil Suhu
Agung di depan 55 anggota Freemasonry lainnya. Pada 1954, Sewaka diangkat sebagai "Ahli
Pidato Agung" di Loji Agung Indonesia yang didirikan di Jakarta.

Berbeda dengan gerakan Freemasonry, gerakan Teosofi bisa dimasuki kalangan pribumi
rendahan. Oleh karena itu, organisasi ini bisa merekrut lebih banyak tokoh pribumi, tetapi jarang
yang merupakan tokoh penting dalam masyarakat. Satu hal menarik, sekretaris pribadi dari Kiai
Haji Hasan Mustapa, yaitu M Haroen Wangsaatmadja merupakan salah seorang tokoh Teosofi
terkemuka di Bandung.

Wangsaatmadja tercatat memiliki kedudukan sebagai sekretaris Loji Teosofi Galih Pakoean yang
pada 1928 dipimpin oleh seorang tokoh bernama Wirasasmi-ta. Wangsaatmadja selaku sekretaris
loji ini seringkah diundang dalam pertemuan loji-loji lainnya untuk membelikan ceramah tentang
Islam dan ke-sundaan.

Dalam satu pertemuan di Centraum Teosofi Garut pada 4 Desember 1927, Wangsaatmadja
memberikan ceramah tentang "Boedjanganja PADJA-DJARAN dan Boedjanganja MADJAPAIT
dengan SETOEDJOENJA-THEOSOFIE"

M Haroen Wangsaatmadja pernah mendapat kehormatan pada kongres tahunan gerakan Teosofi
tanggal 23 April 1916 di Bandung. Saat itu Wangsaatmadja menjadi pribumi pertama yang diberi
kehormatan menyampaikan ceramah dalam bahasa Melayu.

Selain tokoh-tokoh yang disebut di atas, tentu saja masih terbuka kemungkinan keterlibatan
tokoh lain dalam gerakan okultisme di Bandung maupun nasional. Keterlibatan mereka pada
gerakan okultisme itu selayaknya dipandang dari konteks sosial-budaya saat itu dan tidak
dibumbui penafsiran macam-macam. Semua itu adalah bagian dari sejarah menarik yang dimiliki
Kota Bandung tercinta ini.***

Muhammad Ryzki Wiryawan


Sekilas Gerakan Teosofi di Bandung
There Is No Religion Higher Thon Truth

SEBAGAI salah satu gerakan okuitisme, Teosofi memercayai adanya doktrin tersembunyi yang
terkandung dalam agama-agama yang berkembang dalam sejarah. Ajaran agama yang tartipak di
muka disebut doktrin eksoterik, sedangkan yang tcrsembunyi disebut esoterik. Ajaran
tersembunyi inilah yang sejatinya disebut sebagai Teosofi. Ajaran yang hanya bisa diketahui
sebagian kalangan, khususnya mereka yang telah "diinisiasi" dalam gerakan Teosofi.

Gerakan Teosofi yang resminya bernama Theosophi-cal Society, berdiri pada 17 November
1875 di Mott Memorial Hall, New York. Dua tokoh perintisnya adalah Madamc HP Blavatsky
dan Henry Steel Olcott. Mereka berdua bekeija keras menyebarkan ajaran teosofi dan
mengembangkan organisasi ke seantero dunia. Banyak tokoh dunia yang tertarik memasuki
organisasi ini. di antaranya Thomas Alfa Edison, Pangeran Emil de Savn-WillgensLein dari
Jerman, A Aksakoff dari Rusia, dan Alfred Russel Wallace dari Inggris.

Pada 1876 para penguras Gerakan Teosofi memindahkan pusat pergerakannya ke India. Sejak
itu perkembangan Teosofi pun semakin pesat karena dukungannya terhadap kebangkitan
kebudayaan Hindu dan Buddha yang terdesak oleh kebudayaan barat yang dibawa kaum
kolonialis. Di sisi lain, Teosofi mengisi dahaga sekelompok masyarakat barat vang kehilangan
makna spiritualiltas.

Kehadiran Teosofi di wilayah Indonesia, sebagaimana disebutkan oleh Iskandar Nugraha dalam
bukunya, Teosofi, Nasionalisme, dan Elite Modern Indonesia, dipelopori seorang Jerman
bernama Baron von Teng-nagell yang mendirikan gedung perkumpulan atau Loji Teosofi
pertama di Pekalongan pada tahun 1883.

Gerakan Teosofi disambut baik oleh sebagian masyarakat Hindia Belanda karena memberikan
ruang asimilasi antara warga Eropa dan Pribumi. Mereka yang meminati gerakan ini terutama
berasal dari golongan priayi. Presiden Gerakan Teosofi Hindia Belanda, Dirk van Hinloopen
Labberton mengakui mereka memang menyasar kaum priayi dengan alasan, "Apabila orang di
tingkat tinggi mempraktikkan gaya hidup Teosofi, orang-orang di tingkat bawahnya akan
otomatis mengikuti."

Teosofi di Bandung

Pada paruh pertama abad ke-20, gerakan Teosofi mulai menyebar ke seantero Jawa. Loji
Teosofi pertama di Bandung didirikan pada tanggal 29 Oklober 1908, menempati rumah di
Bandastraat (Jalan Banda) No. 4 yang merupakan kediaman dari ketuanya saat itu, G Van Der
Veen. Menjabat sebagai sekretaris perkumpulan adalah istrinya sendiri, Mrs Van Der Veen.

Pada 1920, Kelompok Teosofi di Bandung menempati bangunan permanen yang dirancang oleh
arsitek Ghijsels, bangunan yang terletak di Jalan Banda 26 dan kini dikenal sebagai Gedung
Gereja Katolik Bebas S Al-banus. Bangunan ini digunakan sebagai markas Teosofi Bandung
hingga tahun 1930, sebelum mereka pindah ke Kompleks Olcott Park di Jalan Merdeka
sekarang.
Dalam satu kota bisa saja terdapat beberapa loji dan centrum Teosofi. Loji minimal memiliki
tujuh anggota. Apabila kurang dari jumlah itu, bisa membentuk cen-trum. Tercatat tiga loji
Teosofi yang pernah berdiri di Bandung, yaitu Loji NIT V, Giri Lojo, dan Galih Pakoean.
Sedangkan centrum Teosofi antara lain berada di pinggiran Kota Bandung, seperti di Cimahi dan
Cicalengka.

Loji Bandung termasuk salah satu cabang Teosofi yang paling aktif di Hindia Belanda. Sebagai
contoh, pada 1910 Loji Teosofi Bandung dipercaya menjadi tuan ramah untuk kongres Teosofi
Hindia Belanda yang ketiga. Dalam liputan majalah The Theosophist disebutkan, perhelatan
akbar tersebut tidak diadakan di Loji Teosofi, melainkan di bangunan Loji Sint Jan milik
Perkumpulan Freemasomy.

Kegiatan perkumpulan Teosofi di Bandung

Sesuai instruksi dari Presiden Gerakan Teosofi Internasional, Annie Besant agar anggota-anggota
Teosofi di seluruh dunia dapat bergiat sosial politik, Loji Teosofi Bandungpun tak ketinggalan
mengikutinya. Pada tahun 1920-an, seorang anggota Loji Teosofi Bandung dana 25.000 gulden
untuk membantu restorasi Candi Borobudur di Jawa lengah.

Pada tahun 1927, sekelompok anggota Teosofi yang peduli pada nasib kaum tunanetra mengatur
pengadaan sumbangan bagi Yayasan Tuna Netra Bandung. Kegiatan ini dipimpin oleh WJF
Terstege-Deykerhoff yang tinggal di Oud Merdikaweg (sekarang Jalan Purnawarman) no 14 dan
berhasil mendapatkan buku-buku yang dicetak dalam aksara braille.

Pimpinan Loji Giri Lojo Bandung, Mr Ong Soe An bahkan secara rutin mengelola upacara
perayaan Waisak di monumen Candi Borobudur sejak tahun 1932. Untuk itu, boleh dikatakan
gerakan teosofi Bandung adalah organisasi pertama yang merintis perayaan upacara Waisak pada
abad ke-20 diIndonesia. Sejak itu perayaan Waisak di Borobudur menjadi tradisi tahunan hingga
saat ini.

Aksi sosial Gerakan Teosofi juga diwujudkan dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan.
Mereka mendirikan sekolah-sekolah dengan nama-nama yang diambil dari dunia pewayangan
seperti Ardjoena School dan sekolah taman kanak-kanak, yaitu Abimanjoe School.Sayangnya,
belum didapatkan informasi lokasi kedua sekolah itu di Bandung.

Seakan tidak mau kalah dari rekan mereka yang berhasil mendirikan Blavatskvpark di Batavia,
puncak kemajuan Gerakan Teosofi di Bandung ditegaskan para anggotanya lewat keberhasilan
mereka mendirikan Olcott Park pada tahun 1930. Pendirian ini dilakukan untuk menghargai jasa
salah seorang pendiri sekaligus presiden pertama Theosophical Society, Henry Steel Olcott
(1832-1907).

Pendirian Olcott Park Bandoeng dilakukan dalam rangka pelaksanaan kongres "Sepuluh Hari"
Gerakan Teosofi yang dihadiri tokoh-tokoh terkemuka Hindia Belanda. Sebagian kawasan Olcott
Park Bandoeng diisi oleh kompleks penginapan dengan nama Flatt Olcott Park.

Kompleks ini pada tahun 1950-an berganti nama menjadi Hotel Pakunegara. Pada saat ini hampir
tidak ada lagi sisa Olcott Park Bandoeng, terutama sejak akhir tahun 1980-an ketika di atas
lahannya didirikan kompleks pertokoan besar dan megah bernama Bandung Indah Plaza.
Pada tahun yang sama dengan didirikannya kawasan Olcott Park, Perkumpulan Teosofi
Bandung juga memindahkan markasnya dari gedung yang lama di Bandastraat ke salah satu
bangunan di Olcott Park. Bangunan tersebut menjadi saksi peristiwa bersejarah karena pada
tahun 1942 di dalamnya diadakan pertemuan untuk penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada
Jepang.

Teosofi dan Freemasonry

Gerakan Teosofi juga memiliki hubungan dengan gerakan okultisme lainnya seperti Freemasonry.
Hubungan yang erat antara tokoh-tokoh Teosofi dan Freemasonry di Hindia Belanda, terwujud
dengan didirikannya gerakan Co-Masonry bernama Algemeene Gemeenschappelijke
Vrijmetselarij (AGVM) sekitar tahun 1911 di Blavatskypark, Weltevreden.

Co-masonry adalah satu aliran Freemasonry yang mengakui kesetaraan posisi perempuan dengan
pria dalam gerakan tersebut. Banyak tokoh pimpinan ataupun anggota Teosofi yang memiliki
keanggotaan ganda dalam Freemasonry. Presiden pertama gerakan Teosofi dunia, Henry Steel
Olcott, adalah juga seorang anggota Freemasonry terkemuka.

Kini kita bisa tahu ternyata Bandung tidak hanya memiliki kegemilangan sejarah yang ditandai
bangunan-bangunan kolonial megah dan taman-taman yang indah. Bandung juga menyimpan
jejak-jejak gerakan okultisme yang sedikit demi sedikit mulai terkuak. Semua ini tidak lain
merupakan bagian dari sejarah Bandung yang selalu menarik untuk digali dan dikisahkan
kembali. ***

Muhammad Ryzki Wiryawan

Anda mungkin juga menyukai