Anda di halaman 1dari 25

Wawancara Pramoedya dalam Optimis

Saya Menarik Diri

Optimis, 24 Juli 1981, pp.18-20


Optimis: Anda pernah menyebut diri anda sebagai penulis. Apa artinya?

PAT: Menulis adalah panggilan hidup saya. Panggilan untuk mempersembahkan segala sesuatu yang baik
kepada nation saya. Jadi bukan untuk mengejar popularitet atau kekayaan. Bahwa nation memberi
penghidupan pada saya atas karya yang saya persembahkan, ya saya berterima kasih banyak. Tapi tanpa itu
pun, saya akan tetap menulis sepanjang saya masih bisa melakukannya. Pekerjaan saya memang menulis.
Saya hanya bisa menulis, maka saya hanya menulis....
O: Sejak kapan anda menulis?
PAT: Mulai dari masa kanak-kanak. Ayah saya, Toer, kebetulan juga seorang pengarang.
O: Bagaimana anda memandang tanggapan-tanggapan yang ditujukan terhadap karya tulis anda?
PAT: Saya menghargai tanggapan-tanggapan ataupun kritik-kritik dari siapapun dan dari manapun
datangnya. Yang menyetujui tulisan saya ataupun yang tidak menyetujui. Yang menyenangi ataupun tidak
menyenangi. Semua itu saya anggap sebagai nilai sosial dalam kehidupan. Jadi tanggapan-tanggapan itu
bukan merupakan tanggung jawab saya pribadi. Tanggung jawab saya adalah menulis. Komitmen saya
terhadap nation Indonesia adalah tulisan. Apakah jawaban ini bisa memuaskan anda? Barangkali tidak
memuaskan....

O: Belum memuaskan. Tolonglah anda sampaikan pandangan anda terhadap kasus pelarangan buku
anda, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.

PAT: Baiklah, saya bertolak dari sikap bahwa menulis itu adalah hak setiap manusia. Tak ada yang dapat
melarang dan tak ada yang dapat merampas hak itu, kecuali dengan force majeure. Karena itu walaupun di
dalam tahanan--dan tidak diberi ijin--saya tetap menulis. Dan setelah Jenderal Soemitro (ketika itu
Pangkopkamtib) berkunjung ke Pulau Buru dan memberi lampu hijau, saya menulis secara terbuka. Tulisan
itu saya berikan kepada Komandan Inrehab di sana. Entah bagaimana kebijaksanaan komandan, saya kurang
tahu. Begitulah ketika dibebaskan tahun 1979, saya membawa beberapa naskah dan yang kemudian
diterbitkan. Setahu saya di Indonesia berlaku sensor represif dan bukan sensor preventif. Jadi setiap orang
berhak menerbitkan buku. Bahwa kemudian buku-buku itu dilarang, say pikir demikianlah konsekuensi
sensor represif. Soal pelarangan ini, tidak mengherankan bagi saya. Saya telah menyaksikannya sejak masih
kanak-kanak, ketika buku-buku karangan ayah say dilarang dan dirampas di tahun '35. Kemudian saya
mengalaminya sendiri ketika tahun '60, salah satu buku saya [Hoakiau di Indonesia:] dilarang dan saya
ditahan selama setahun. Selanjutnya semua buku-buku saya dilarang karena "katanya" saya terlibat peristiwa
G.30.S PKI. Larangan itu sampai sekarang belum dicabut. Saya sebut "katanya," sebab ternyata setelah
ditahan selama belasan tahun saya dibebaskan dengan sepucuk surat resmi yang menegaskan bahwa secara
hukum saya tidak terbukti terlibat G.30.S PKI. Bagi saya semuanya itu merupakan suatu deretan. Saya telah
berkali-kali mengalaminya. Karena itu tidak lagi mengherankan.

O: Anda tidak heran. apakah sebelumnya memang telah ada perasaan bahwa Bumi Manusia dan Anak Semua
Bangsa akan dilarang?
PAT: Bukan karena ada perasaan. Tetapi larangan di tahun 1966 kan belum dicabut. Artinya besar
kemungkinan setiap buku say yang diterbitkan akan dilarang.
O: Lantas perasaan anda sendiri bagaimana?
PAT: Tentu tidak senang. Larangan itu sangat tidak menyenangkan. Tetapi persoalannya, apakah ada hukum
di Indonesia yang bisa memberi kepada saya basis untuk naik banding. Saya tidak tahu. Saya belum
berhubungan dengan ahli-ahli hukum. Kepada pemerintah saya ingin memohon untuk meninjau
keputusannya kembali. apakah sesungguhnya larangan itu telah adil dan benar? Masalah keadilan dan
kebenaran selalu mempunyai impact yang panjang bagi perkembangan nation....
O: Mengenai alasan pelarangan itu....
PAT: Itu merupakan tuduhan yang saya pikir haruslah dibuktikan. apa benar buku itu mengajarkan
Marxisme, Leninisme ataupun Komunisme? di Indonesia kan sudah banyak sarjana Sosial Politiknya yang
bisa dimintakan penilaiannya. Saya sendiri tidak pernah mempelajari filsafat tersebut. Saya merasa tidak
melakukan apa yang dituduhkan. Tuduhan itu langsung menyangkut pribadi saya Dituduh bertentangan
dengan TAP MPR adalah amat berat. Itu bisa diartikan bahwa saya in pengkhianat bangsa. Karena itulah
saya mempertanyakan apakah keputusan itu telah adil dan benar?
O: Status hukum anda bagaimana?

PAT: Saya masih wajib lapor sekali sebulan. Apakah itu tahanan atau tidak, saya kurang tahu. Ya, saya tidak
tahu status juridisnya. Dulu saya juga ditahan tanpa surat perintah.
O: Dapatkah anda membandingkan buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa itu dengan karya anda
yang lain?
PAT: Tidak dapat. Mungkin saya berbeda dengan penulis lainnya. Kalau saya telah menulis dan tulisan itu
dicetak, saya tidak akan membacanya lagi. Itulah kesatuan komitmen saya dengan nation pada suatu waktu.
Maka selesai. Saya tidak memegangnya lagi. Saya tidak membacanya lagi.
O: Dari dulu memang demikian?
PAT: Dari dulu memang begitu. Pertanggungjawaban saya telah selesai. Kalaupun harus ada perbaikan
karena ada kesalahan cetak dan sebagainya, orang lainlah yang melakukannya. Bukan saya.
O: Kalau begitu kami ingin mendengar penilaian anda tentang karya kesusastraan dari penulis lain.
PAT: Saya tidak lagi mengikuti kesusastraan. Perkembangan kebudayaan lainnya juga kurang saya ikuti.
Saya sedang menarik diri. Melihat televisi pun saya hanya kadang-kadang saja. Begitu pula membaca dan
tidak membaca kesusastraan.
O: Mengapa?
PAT: Tidak tahu.... Saya sungguh tidak tertarik. Saya hanya sesekali membaca koran. Itu pun tidak
berlangganan. Begitu banyak buku dan majalah yang dikirimkan orang kepada saya. Sudah menumpuk. Tapi
saya tak dapat membacanya. Tidak sanggup. Secara praktis saya memang belum mengikuti kehidupan aktif.
Saya masih belajar menyesuaikan diri. Pengalaman empat belas tahun ditahan masih menekan saya sampai
sekarang. Masih ada sindrom tahanan pada diri saya. Tertekan. Merasa tertekan. Dan sekarang saya tak bisa
menulis. Ya, untuk menuliskan satu kalimat pun sangat sukar. Empat hari belum tentu cukup bagi saya untuk
menyelesaikan satu kalimat.
O: Jadi anda sedang tidak menulis?
PAT: Tidak bisa menulis. Saya mau menulis. Tetapi tidak bisa.
O: Tidak juga mengisi catatan harian?
PAT: Saya sungguh tidak bisa menulis! Waktu baru bebas dulu, saya sedikit demi sedikit masih bisa menulis.
Tetapi sekarang sudah tidak bisa. Saya terpaksa harus minta maaf karena begitu banyak surat-surat yang
memang tak dapat saya jawab.
O: Persisnya, kapan anda terakhir menulis?
PAT: Ketika di Pulau Buru.
O: Sampai tahun berapa?
PAT: Oh, sampai saat dibebaskan--tahun 1979--saya masih tetap menulis. Juga masih mengisi buku harian.

O: Apakah anda menarik diri karena tidak lagi percaya pada budaya sekeliling anda?

PAT: Saya menarik diri karena merasa asing. Dan makin lama makin merasa asing. Mungkin perasaan ini
tidak baik. Tetapi demikianlah perasaan saya.

O: Tadi anda mengatakan tetap berhasrat untuk kembali menulis. Usaha apa yang anda lakukan?

PAT: Apa maksudnya?

O: Apa yang anda lakukan sekarang agar bisa kembali menulis? Atau anda tidak melakukan apa-apa?

PAT: Soalnya lebih banyak berkaitan dengan lingkungan. Lingkungan di sini terlampau bising dan udaranya
pun sangat kotor. Sepuluh tahun saya telah terbiasa hidup dalam kesunyian. Tiba-tiba jadi begini. Setiap kali
saya mendengar motor melintas dengan meraung-raung, saraf saya terganggu....

O: Kalau hanya itu masalahnya, mengapa tidak berusaha pindah ke tempat lain yang lebih cocok buat anda?

PAT: Syaratnya belum ada. Dan lagi saya memang masih merasa belum aman. Empat belas tahun merasa
tidak aman, tidak mudah menghilangkannya....

O: Atau mungkin pindah ke luar negeri. Pernah terpikirkan?

PAT: Ya, samar-samar ada. Tetapi seperti saya katakan tadi, saya dalam keadaan menarik diri. Dan apakah
mungkin saya ke luar negeri? Saya memang telah banyak mendapat undangan dari sana.
O: Pernahkah terbayangkan sebelumnya bahwa anda akan mengalami saat-saat seperti ini, tidak mampu
menulis...?

PAT: Dulu, dulu saya juga mengalaminya. Mungkin inilah masa-masa kelelahan. Tentang ini ada tulisan
pendek saya yang telah banyak diterjemahkan, "Sunyi Senyap di Siang Hidup," yang saya karang sekitar
tahun '54-'55. Tapi saya selalu percaya--dan ini lebih merupakan sesuatu yang mistis--bahwa hari esok akan
lebih baik dari hari sekarang. Dan untuk itu sebelum tidur saya menyerahkan diri sepenuhnya.

O: Menyerahkan diri kepada siapa?

PAT: Ya, kalau saya katakan secara mistis, kan sudah jelas. Mistik itu kesatuan manusia dengan Tuhan.
Yang saya maksud adalah mistik dalam pengertian yang sesungguhnya. Jangan dikacaukan pengertian-
pengertian mistik, religi, magi dan sebagainya.

O: Hikmah apa yang anda peroleh dari masa penahanan?

PAT: Saya hidup di tengah-tengah orang Indonesia yang menderita. Saya bersama mereka dan merupakan
bagian dari mereka. Setiap pengalaman bagi pengarang bukan hanya materi tetapi sekaligus juga fondasi
kulturil. Tapi kalau dia tidak kuat menderitakannya, tentu dia collapse. Bagi yang kuat, orbitnya menjadi
lebih luas.

O: Bagaimana proses kreativitas anda berlangsung?

PAT: Pertama kali saya tidak begitu mendasarkan diri pada ilham. Kalau toh ada suatu pengertian tentang
ilham, maka ilham itu lebih tepat dikatakan sebagai produk kerja keras. Tanpa kerja keras tidak ada sesuatu
yang bisa dinamakan ilham.

Tentang kuartenarius yang terakhir, saya memang telah lama berkeinginan untuk menulis sejarah Indonesia.
Bukan sejarah fisiknya. Tetapi pergulatan jiwa Indonesia itu menjadi manusia Indonesia sampai sekarang ini.
Saya ingin menuliskannya dalam bentuk roman, karena buku sejarah biasanya kurang dibaca orang. Dengan
meromankan histori, saya ingin mengajak setiap orang mulai dari lulusan SD hingga profesor untuk hidup di
dalam histori. Sebelum tahun '65 saya sudah mulai mempelajari sejarah Indonesia modern. Proses
penulisannya begini. Materi historis yang statis--yang telah saya peroleh--saya hidupkan dengan tetesan-
tetesan elemen baru. Itulah yang berproses, antara data yang statis dengan tetesan kimia baru. Itu pulalah
yang terjadi dalam otak saya. Saya hanya mencatat proses yang terjadi. Saya mengikutinya dan tidak
memaksakan. Saya hanya melukiskan perkembangan. Perkembangan ini akan sampai kepada klimaks atau
kesimpulan. Terhadap klimaks atau kesimpulan inilah biasanya orang bersikap suka atau tidak suka, setuju
atau tidak setuju, senang atau tidak senang. Begitu.

"Saya Sudah Tutup Buku dengan Kekuasaan"


Suara Independen
No. 03/1,AUGUS 1995

Mutiara asli tetap berkilau, meski ditutupi lumpur kebohongan. Tamsil itu, agaknya, cukup pas untuk
menggambarkan sosok Pramoedya Ananta Toer. Meski karya-karya sastranya dilarang beredar di negeri ini,
toh tetap memancarkan kilauan yang pantas dikagumi. Diantara sastrawan Indonesia lainnya, karya-karya
Pram merupakan yang paling kerap diterjemahkan ke dalam lebih dari dua puluh bahasa.

Terakhir, pertengahan Juli lalu, Pram dianugerahi Ramon Magsaysay Award untuk kategori Jurnalistik,
Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif. Ia tercatat sebagai orang Indonesia kesepuluh yang pernah menerima
penghargaan bergengsi tersebut. Rencananya, penghargaan Magsaysay itu serta uang sebesar 50 ribu dolar
AS (sekitar Rp. 110 juta) akan diserahkan pada 31 Agustus nanti. "Tapi, saya belum tahu bisa pergi atau
tidak," kata Pram. Maklum, sudah 30 tahun pengarang yang pernah belasan tahun mendekam di tahanan
Pulau Buru ini dicekal pemerintah. Berikut petikan wawancara Pram dengan Suara Independen:

Bagaimana ceritanya anda mendapat penghargaan Ramon Magsaysay?

Awalnya saya mendapat telfon dari Kuala Lumpur yang menanyakan apakah saya bisa pergi ke Filipina. Dari
situ saya sudah mengira bahwa hal ini ada kaitannya dengan Ramon Magsaysay. Saya sudah mendengar
kabarnya sejak 3 tahun lalu, dicalonkan dari Malaysia.
Tak lama kemudian saya mendapat fax dari Ramon Magsaysay Award Foundation yang dikirim oleh Nona
B. Javier, Executive Trustee, tertanggal 19 Juli 1995. Di situ dikatakan bahwa Pram mendapat Ramon
Magsaysay untuk penghargaan dalam kategori Jurnalistik, Sastra dan Seni Komunikasi Kreatif.

Bagaimana perasaannya?

Yah seneng dong, ternyata apa yang saya kerjakan selama ini ada yang menghargai. Apalagi kondisi saya
sekarang-- yang sudah banyak mengalami perampasan, difitnah, didakwa macam-macam dan tidak bisa
membela diri--, ternyata setelah 30 tahun ada juga yang menghargai karya saya. Saya sih nggak ngarep ada
penghargaan seperti itu. Dulu juga ada kabar, sudah banyak yang usulkan untuk hadiah Nobel, tapi terserah
lah....

Hadiah kan lumayan?

Sudah banyak orang tanya: uang sebanyak itu hendak diapakan? Yah saya sudah tahu karakter Orde Baru ini,
jadi saya jaga-jaga jangan sampai itu dirampas juga . Saya akan pakai uang itu untuk cadangan hidup saya.
Gara-gara pelarangan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu kemarin, uang saya tak kembali. Padahal uang untuk
menerbitkan buku itu adalah uang belanja istri saya.

Kemungkinan anda berangkat atau tidak ?

Berangkat tidaknya saya ke Manila tergantung beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, faktor
kesehatan saya karena saya baru saja operasi. Namun faktor yang lebih serius adalah masalah izin berangkat
ke luar negeri. Paspor saya sejak tahun 1961 ditahan. Saya menolak diperlakukan berbeda dari warga negara
indonesia lainnya untuk "wajib memohon ijin khusus" pada instansi pemerintah urusan pengawasan sosial
politik. Faktor terakhir, adalah bahwa dimanapun di luar rumah saya selama 30 tahun ini saya merasa tidak
ada jaminan keamanan yang pasti bagi diri saya.
Saya sendiri pernah mencoba untuk menanyakan apakah mungkin mendapat paspor lagi. Tahun 1961 saya
mendapat undangan ke Austria, saya datang ke biro paspor, tapi tak digubris. Pada tahun itu saya sempat
ditahan oleh Jendral Nasution sehubungan dengan dilarangnya buku "Hoa Kiau di Indonesia". Setelah keluar
dari tahanan Orde Baru pada tahun 1980-an, saya banyak mendapat undangan dari luar negeri, tapi ketika
saya ceramah di UI saja, saya sudah diusir dan diinterogasi selama 10 hari. Saat itu saya tanya apa ada
kemungkinan saya bisa bikin paspor lagi, eh... perwira-perwira militer itu pada ketawa. Yah sudah, dari situ
saya tidak mau lagi mengurus paspor saya. Saya tutup buku dengan kekuasaan. Mereka selalu bilang, kami
tutup buku dengan napol/tapol, nah saya juga bilang begitu, tutup buku dengan kekuasaan.

Bapak masih baca koran?

Saya ini baca koran untuk mengumpulkan informasi untuk bahan geografis kawasan Indonesia, untuk
ensiklopedia. Untuk politik praktis saya tidak mengikuti, dan untuk sastra dan kebudayaan, saya sama sekali
tidak mengikuti lagi....

Mengapa ?

Yah pengalaman 30 tahun ini menutup perhatian saya. Tiga puluh tahun ditindas. Justru yang bukan sastra
yang saya baca. Misalnya saya baca karya Bruce Grant tentang para politisi dan para dewa di India. Ia bikin
penilaian tentang demokrasi di India. Buku ini sangat menarik, ia juga kutip ucapan Plato bahwa demokrasi
itu indah: pertemuan antara harmoni dan kekacauan dan juga pertemuan antara orang-orang yang berkuasa
dan orang-orang yang tidak punya apa-apa. Ini diucapkan Plato pada saat yunani purba, dan di sana pun
sudah ada parlemen, tapi 4 % penduduk Yunani itu adalah para budak.

Kenapa tertarik dengan dunia tulis menulis ?

Sebenarnya ini lebih persoalan keluarga. Ayah saya seorang bintang kelas kalau sekolah. Sampai lulus
Kweekschol dia bintang kelas terus. Rupanya harapan terhadap saya mengecewakan dia, saya dianggap
terlalu bodoh. Untuk menamatkan SD yang tujuh tahun, saya selesaikan selama 10 tahun.
Saya belajar di sekolah swasta Boedi Oetomo, yang direkturnya ayah saya sendiri. Tentu saja nilai bahasa
Belanda saya di bawah sekolah gubermen. Saya jadi minder kalau bergaul dengan anak-anak sekolah
gubermen. Jadi perasaan minder itu membuat saya takut menyatakan pendapat, dari situ saya mulai menulis.
Ayah sendiri seorang pengarang.
Waktu saya telah menamatkan sekolah dasar dan ingin melanjutkan ke MULO, saya datang kepada ayah, dan
mengatakan kepadanya bahwa saya ingin melanjutkan sekolah. Tanpa pikir panjang dia mengatakan, "Anak
bodoh, kembali ke SD !" Jadi waktu tahun ajaran baru saya kembali ke SD. Guru saya tanya dalam bahasa
Belanda, "Kenapa kembali ke sini, kan kamu sudah lulus." Buku-buku saya ambil, dan lari ke kuburan,
diantara sekolah dan rumah. Di situ ada pohon jarak, saya pegang dan saya menjerit di situ.... Sampai
sekarang kalau teringat itu, mata saya masih berkaca-kaca.
Akhirnya saya sekolah montir, di Surabaya. Yang biayai saya dan ibu saya. Kalau pagi jam 5 saya pergi ke
jembatan yang menghubungkan desa dan kota. Saya beli padi yang baru panen, nanti kalau musim tanam
saya jual lagi. Dari padi itu saya beli "sepatu bata" dan berangkat ke Surabaya untuk sekolah yang secepat
mungkin bisa selesai, supaya bisa cepat kerja. Itu saya umur 15, dan untuk pertama kali pakai sepatu. Ibu
mendidik saya harus mandiri.

Lalu?

Setelah sekolah montir, Jepang datang mengancam. Sebelum mendapat diploma kita terkena wajib militer.
Masih baru didaftar memang, tetapi saya ini dididik oleh keluarga untuk anti Belanda, anti kolonial,
sementara itu saya dijaring lewat sekolah untuk masuk wamil, yah saya lari saja... meninggalkan Surabaya
kembali ke Blora lagi. Nggak sempat terima diploma.
Saya harus kerja untuk keluarga, mengurus semuanya, merawat ibu yang sakit keras. Kemudian ibu
meninggal saat melahirkan anak bungsu. Saya ini anak pertama dari sembilan bersaudara. Ayah menyuruh
saya pergi dari rumah dari situ saya ke Jakarta beserta adik saya. Di Jakarta saya tinggal sama paman dan di
situ ada mesin tik. Saya belajar menggunakannya, setelah mahir selama satu minggu saya melamar pekerjaan
ke Domei, kantor berita pendudukan Jepang. Saya diterima. Saya sempat sekolah stenograf selama setahun,
antara lain gurunya adalah Hatta di bidang ekonomi dan Maruto Darusman di bidang sosiologi. Di situ pula
saya pertama kali menuliskan buku Muhamad Yamin dari pidatonya: "Diponegoro" dan "Gadjah Mada", tapi
cuma dibayar 30 perak saja ...

Siapa pengarang yang anda kagumi ?

Pertama adalah sastrawan I Nyoman Pandji Tisna yang menulis buku "Setahun di Bedahulu", saya juga
kagum pada Idrus, seorang stylist terbesar sampai saat ini. Dalam sikap saya mengagumi Chairil Anwar.
Ketika orang harus menjadi ternak pada jaman Jepang, ia mengatakan, "Aku ini binatang jalang dari
kumpulan yang terbuang." Ia dianiaya Kempei karena sajak ini. Inilah kiranya yang ikut membentuk pribadi
saya.

Anda pernah mengatakan bahwa karya sastra anda banyak mengambil setting di mana terjadi periode-periode
perubahan besar atau fundamental bangsa ini, periode-periode krisis. Kenapa tertarik dengan hal ini ?

Yah ini karena saya ingin mengenal diri saya sendiri sebagai bangsa. Tetralogi Anak Semua Bangsa adalah
perubahan besar sosial budaya menuju kebangkitan nasional, dan akan menghasilkan kemerdekaan. Buku
saya "Arus Balik" (akan terbit Agustus ini) menceri- takan perubahan dari kemerdekaan tradisional ke
penjajahan kolonial. Ada juga yang belum terbit, "Arok dan Dedes", mengisahkan perubahan dari masyarakat
Hindu Jawa menjadi Jawa Hindu. Dan satu lagi "Mangir" yang menggambarkan situasi setelah Majapahit
jatuh dan desa-desa menjadi mandiri, dipersatukan menjadi kerajaan desa: yaitu Mataram.

Berapa lama waktu dikumpulkan untuk mengumpulkan bahan ?

Saya sebetulnya dari muda mengumpulkan bahan. Bacaan itu saya baca bukan sebagai sarjana, saya ambil
semangatnya saja. Kalau dengan menggunakan metode kesarjanaan saya ini seorang sejarawan, tetapi kan
tidak. Nah di sini saya tambahkan satu elemen, yaitu ego saya. Dan dia berproses sendiri saja dan saya
tinggal mencatatkan. Jadi materi yang sudah ada di bawah sadar, saya keluarkan, dan ditambahkan dengan
ego saya, tinggal saya catat.

Bagaimana komentar anda tentang pembebasan Soebandrio dan Omar


Dhani ?

Ya sebelum diberi grasi ini saya diberi tahu oleh seorang wartawan Inggris. Ia mengatakan bahwa ABRI ini
amat tidak setuju dengan pemberian grasi, tapi Harto pasti akan kasih untuk menaikkan gengsi internasional.
Jadi ada semacam rekayasa bahwa napol dan tapol itu menjadi aset kekuasaan sekarang ini. Saya ikut
bergembira dengan kebebasan dari orang yang tertindas. Tidak cuma di Indonesia, tapi di mana pun juga di
dunia.

Tapi kenapa yang dibebaskan hanya tiga orang saja. Kenapa Latief, misalnya, tidak dibebasakan?

Yah seperti tadi saya bilang, mereka ini kan jadi aset politik kekuasaan. Semua ini dipergunakan untuk
kepentingan kekuasaan. Kalau tidak ada kepentingan dengan kekuasaan mereka tidak melakukan sesuatu.

Jadi cuma untuk mendukung status quo saja ?

Betul. Dulu pernah juga ada wartawan lain yang pernah menanyakan kemungkinan grasi. Kalau di negara
lain itu kan biasa memberikan grasi, kenapa Indonesia yang punya Pancasila kok tidak bisa? Apa Indonesia
itu di planet lain, orang-orang yang tidak setuju itu apa tidak pernah punya saudara, tetangga, ayah. Apa
mereka ini terbuat dari tanah? Tampaknya saya terkesan bahwa persoalan tapol /napol ini jadi persoalan
paranoia...

Maksudnya ?

Yah itu sakit di dalam pikiran orang. Sudah tidak wajar lagi.

Bentuknya ?

Yah orang-orang diuber-uber, dibatasi, diharuskan ini itu, dilarang ini itu. Seperti bangsa belum merdeka
saja. Orang lupa apa tujuan orang revolusi dulu. Sukarno itu kan sering bilang, "Freedom to be free", tapi kan
sekarang ini "Freedom to be unfree". Apa itu ? Ini kan paranoid. Bukan kebetulan kalau Nasution pada
tanggal 17 Oktober 1952 menghadapkan moncong meriam ke istana negara. Dia ini orang KNIL. Dan bukan
kebetulan pula kalau Soeharto orang KNIL, bekas KNIL. Pada waktu perjuangan kemerdekaan mereka justru
sumpah setia kepada Ratu Belanda. Bukan kebetulan ngomongnya pada makin muluk.

Siapa tokoh perjuangan yang bapak kagumi ? Tan Malaka ? Mas Marco
Kartodikromo ?

(menggelengkan kepala dua kali) Saya ini kagum kepada Bung Karno.

Ia sanggup melahirkan nation, bukan bangsa, tanpa meneteskan darah. Mungkin dia satu-satunya, atau paling
tidak satu di antara yang sangat sedikit. Kelahiran nation itu biasanya, dimana saja, mandi darah.

Tapi kan ada perjuangan-perjuangan bersenjata di Aceh, di Jawa, dan ditempat-tempat lain?

Itu bukan untuk kemerdekaan nasional. Ada yang demi agama, ada yang demi feodalisme, ada yang amok
karena rakyat terus menerus ditindas. Bukan politik, ini tak ada unsur politiknya. Ini terus terjadi sepanjang
jaman kolonial. Bukan saya tidak menghargai ... Tapi perjuangan nasional itu Sukarno memang nomor satu,
dia orang besar. Itu sebabnya dalam revolusi nasional terjadi dualisme: Sukarno tetap menghendaki
perundingan, namun golongan muda mau angkat senjata. Sampai sekarang ia terus dihina.

Pram lair di Blora, 6 Februari 1925. Pernah belajar radio, stenograf dan kuliah si Sekolah Tinggi Islam
Jakarta (1945), ia sempat bekerja sebagai juru ketik di kantor berita Jepang Domei (1942-45). Ia tercatat
sebagai letnan dua di Resimen 6 Divisi Siliwangi. Dia juga pernah jadi redaktur (a.l di Balai Pustaka dan The
Voice of Free Indonesia), dosen serta anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958). Keterlibatannya di Lekra,
membuat Pram meringkuk di beberapa bui, termasuk P. Buru, pasca G30S/PKI. Namun, apakah
sesungguhnya dia komunis? "Buktikan saja," tantangnya.

Anda bergabung dengan Lekra, dan semangat sekali menghadapi Manikebu. Sehingga Anda digolongkan
dalam seniman yang berubah fungsi menjadi semacam ideolog?

Saya itu praktis mandiri. Biar pun menjadi anggota Lekra. Saya menjadi anggota Lekra bukan mendaftarkan
diri. Pada Kongres Lekra di Solo tahun 1959, saya diundang hadir. Sambil jalan-jalan saya datang saja.
Sampai di sana, saya diminta memberi sambutan, saya kasih. Di akhir Kongres, saya diangkat menjadi
anggota pleno. Tidak pernah merangkak dari bawah, tahu-tahu terus nangkring. Itu dalam kesulitan lagi,
karena orang-orang lama di organisasi itu tak senang melihat saya.

Tapi Anda terima pengangkatannya...

Saya terima. Itu kan bukan organisasi jahat. Dituduh itu onderbow PKi, tak soal. PKI kan salah satu
pemenang pemilihan umum waktu itu. Punya wakil-wakil di parlemen. Terakhir beberapa menteri, malah. Itu
kan legal.

Apa yang Anda dapat dari Lekra?

Nggak ada, kok. Saya ini solo flight. Nggak bisa memerintah dan tak mau diperintah. Tidak ada apa-apa.
Malah bentrokan saja yang terjadi.

Mengapa Anda tidak keluar saja?

Tidak perlu keluar toh? Saya itu kerjanya di rumah saja. Kalau ada undangan, saya datang. Diminta ceramah
tentang sesuatu yang saya setujui, ya saya kasih. Misalnya,tentang Kartini, sejarah sastra Indonesia. Tetapi
sebagai penentu, tentu saja tidak. Saya itu orang yang dicomot dari jalanan dan ditangkringkan.

Tapi Anda kan jadinya dituduh komunis...

Tahun 1956 saya diundang ke Tiongkok untuk menghadiri peringatan sekian tahun meninggalnya Lu Sin,
pengarang besar yang dianggap Gorki-nya Cina. Di sana tugas saya terutama menyampaikan pidato menteri
PDK. Jadi resmi. Saya memakai service pasport. Pulang dari Tiongkok, saya sudah dituduh komunis.
Penerbit-penerbit bonafit menampik tulisan saya. Sampai saat ini, orang menuduh begini begitu. Ini sudah
berapa puluh tahun lewat. Buktikan dong. Jangan tuduh saja. Buktikan dimana kekomunisan saya.

Bahkan Anda juga sering dituduh anti agama ?

Itu orang-orang paranoid kan, yang ingin melindungi periuk nasinya saja. Memojok-mojokkan orang. Saya
ini memang tidak religius, cuma saya ini sebelum tidur berkontemplasi mengoreksi diri, diiringi dengan atur
pernafasan. Itu dalam suasana, dalam semangat penyerahan diri. Kalau itu dianggap anti religi, silakan saja,
jangan haruskan saya begini begitu. Saya saja tidak mengharuskan orang begini begitu.

Ngomong-ngomong apakah Anda tertarik dengan agama ?

Saya ini mengambil materi-materi agama dari banyak tempat, ada yang dari Islam, Katolik, Budha, Hindu, ya
pokoknya yang membuat diri ini kuat. Tapi ini bukan soal agamanya, agama ini sebagai suatu keseluruhan.
Kalau soal hidup itu sendiri, saya percaya adanya Tuhan, dan Tuhan itu maha kuasa. Ribuan tahun sebelum
Masehi sekalipun, kemahatahuanNya itu sudah tahu bahwa saya akan seperti ini.

Box :

Menolak Hadiah Magsasay untuk Pram

Para Manikebuis mengirm surat kepada Yayasan Magsasay. Mereka mengingatkan tentang peran Pram, yang
menindas kebebasan kreatif pada era 60-an.

Pertentangan lama terkuak kembali. Tampaknya memang belum terlupakan betul. Sebanyak 26 seniman,
kebanyakan penandatangan Manikebu, merasa tidak sreg dengan hadiah Magsasay yang tahun ini diberikan
kepada Pramudya Ananta Toer. Mereka berpendapat, hadiah untuk Pram itu tidak tepat, karena pengarang itu
menyimpan noda sejarah : memberangus kebebasan berekspresi di Orde Lama.

Dimotori oleh Taufiq Ismail, pernyataan itu ditandatangani juga oleh Mochtar Loebis, HB Yassin, dan
dikirim ke Yayasan Magsasay 4 Agustus lalu. Beberapa hari kemudian, yayasan itu menjawab, bahwa
mereka tak akan mengubah keputusan, meskipun menerima surat "keberatan" itu. Penanda-tangan lainnya
adalah : Ali Hasjmy, Rosihan Anwar, Asrul Sani, Wiratmo Soekito, Rendra, Yunan Helmy Nasution, Bokor
Hutasuhut, D.S Moeljanto, Misbach Yusa Biran, S.M Ardan, Lukman Ali, Sori Siregar, Leon Agusta,
Syu'bah Asa, Rachmat Djoko Pradopo, Danarto, Abdul Rahman Saleh, Amak Baljun, Chairul Umam,
Ikranegara, Budiman S. Hartoyo, Slamet Sukirnanto dan Mochtar Pabottingi.

Mereka menulis, "Yayasan Magsasay tidak memahami peranan Pramudya di masa Demokrasi Terpimpin,
yang memberangus kebebasan kreatif orang-orang yang berbeda pendapat dengannya." Ironisnya, bila hadiah
itu tetap diberikan, Pram akan duduk sejajar dengan Mochtar Lubis dan HB Yassin, yang juga penerima
Hadiah Magsasay. Padahal, lanjut pernyataan itu, mereka berdua korban dari pengganyangan yang dilakukan
Pram ketika jayanya Lekra. Karena itu, Mochtar Lubis, termasuk budayawan yang paling keras memprotes.
Ia, bahkan, berniat mengembalikan hadiah Magsasay yang diterimanya, bila Pram tetap dianugerahi. "Saya
akan jual bebebarapa barang untuk mengangsur pengembalian hadiah itu," kata Mochtar Lubis kepada Media
Indonesia. Mochtar mengemukakan, Pram terlibat dalam pembakaran buku karyanya, tetapi sampai sekarang
tidak pernah meminta maaf.

Namun, ada pula beberapa Manikebuis yang menolak ikut pern yataan bersama itu. Mereka antara lain
Goenawan Mohamad, Arief Budiman dan Umar Kayam. Goenawan berpendirian tak ingin ikut ikutan
"mengeroyok" Pram ketika novelis itu dalam kondisi terje pit. "Kalau dia dalam kondisi bebas, kita bisa
berdebat," katan ya. Dan, bagi Umar Kayam, pernyataan bersama itu, sebetulnya lebih layak diangkat
sebagai pertanyaan kepada Yayasan Magsasay. Umar juga mengingatkan hendaknya pernyataan seperti itu,
tidak membuat posisi penandatangannya sama dengan pemerintah, yang mengucilkan Pram.

Wawancara Pramoedya dalam Mutiara

Pramoedya, Calon Kuat Penerima Nobel Tahun ini?

Mutiara, 19-25 September 1995, p.14

Sejak Panitia Hadiah Magsaysay mengumumkan Pramoedya Ananta Toer sebagai pemenang untuk katagori
Jurnalistik, Sastra dan Seni Komunikasi Kreatif pada 19 Juli 1995, namanya menghiasi halaman media massa
di Indonesia. Namun 26 sastrawan/budayawan memprotes pemberian hadiah itu. Alasan mereka, pada masa
Orde Lama dulu, Pram "memberangus kreativitas" para sastrawan yang tidak sepaham dengannya.

Tidak bisa disangkal, Pramoedya Ananta Toer, kelahiran Blora 6 Februari 1925, telah melahirkan sejumlah
karya yang diakui dunia. Di antaranya diterjemahkan ke dalam 22 bahasa.

Ia juga memperoleh sejumlah penghargaan dan kehormatan. Karyanya Perburuan meraih hadiah pertama
Balai Pustaka, Cerita dari Blora pemenang hadiah BMKN, Cerita dari Blora memperoleh Hadiah Yamin
Foundation yang kemudian ditolaknya. Ia juga memperoleh anugerah Stichting Wertheim dari Belanda.
Diperoleh kabar, Pram merupakan calon kuat peraih Hadiah Novel untuk Kesusastraan tahun 1995 ini.

Ray Rizal dari Mutiara mewawancarainya Rabu, (13/9) pekan lalu di rumahnya di Jakarta Timur. Berikut
petikannya:

M: Sejak tahun 1981 Anda masuk nominasi penerima Hadiah Nobel. Bagaimana kesempatan tahun ini?

P.A.T.: Betul. Sejak tahun 1981, setiap menjelang pengumuman Hadiah Nobel pada bulan Oktober, nama
saya selalu disebut-sebut. Saya harapkan tahun ini. Sudah terlampau lama saya masuk nominasi terus. Tahun
ini saya dengar saya salah satu dari tiga orang peraih Nobel. Betul atau tidaknya, saya tidak tahu. Saya dapat
kabar dari orang yang membaca nominasi penerima Nobel itu di Internet. Kalau saya dapat Hadiah Nobel,
nanti ada yang kelojotan lagi.

M: Mereka yang tidak setuju kepada Anda, justru merupakan batubata-batubata yang secara tidak langsung
membesarkan Anda?

PAT: Untuk pengarang, semua pengalaman menjadi fondasi, misalnya pengalaman pahit, dianiaya, dicaci
dan difitnah, semua itu nggak ada yang hilang percuma.

M: Bagaimana Anda mengontrol royalti buku Anda yang bertebaran di luar negeri?

PAT: Saya itu nggak ngurusin duit. Kalau ada yang mengirim, ya saya terima. Saya paling segan soal duit,
nggak tahu kenapa. Mungkin ini sisa-sisa priyayi Jawa saya. Saya nggak bisa ngitung- ngitung.

M: Waktu acara Refleksi Budaya di auditorium IKJ Anda tidak ngomong. Kenapa?

PAT: Itu bukan forum saya. Itu forum pembaca. Itu 'kan sudah disampaikan oleh Toeti Herati. Sebelumnya
ada yang mengingatkan saya, agar tidak ngomong di forum itu. Kalau itu forum saya, saya akan menghadapi
26 orang yang mendakwa-dakwa nggak karuan itu. Okelah, tapi saya harus dibantu oleh alat pendengar,
karena pendengaran saya nggak beres. Kalau toh itu terjadi. Kalau saya mau diadili, silakan, saya nggak
merasa bersalah. Waktu saya hadir para acara itu, sebenarnya saya nggak mendengar semuanya, karena
pendengaran saya payah.

M: Karya Anda pernah dibahas oleh Harry Aveling. Ada tanggapan?

PAT: Harry Aveling tidak dianggap di Indonesia. Buku saya Perburuan diterjemahkan oleh dia, nggak
"jalan" itu buku yang diterbitkan di Singapura. Tetapi, waktu diterbitkan di Amerika, menyebar ke seluruh
dunia.

M: Kenapa buku Perburuan itu tidak laris?

PAT: Mungkin segi bisnisnya. Buku itu masih dua edisi, edisi Inggris Amerika dan edisi Inggris terjemahan
Harry Aveling di Hong Kong. Kemarin saya dapat perhitungan honor buku itu sebanyak 7 dolar AS dalam
waktu satu tahun untuk edisi Harry Aveling.

M: Apa sebab pendengaran Anda berkurang?

PAT: Kuping saya dipukul dengan senjata otomatik. Yang dituju mata saya. Ketika saya nengok kena
pangkal kuping, itu tanggal 13 Oktober 1965. Tapi, bisa jadi karena saya sudah tua ya. Dari pihak ibu saya,
memang pendengarannya makin tua makin berkurang.

M: Untuk menjaga kesehatan, olah raga apa yang Anda lakukan?

PAT: Saya melakukan push-up. Sebelum kena hernia, saya bisa melakukannya sampai 19 kali, tetapi setelah
kena hernia dan menjalani operasi, saya hanya bisa 17 kali. Saya juga banyak bergerak, mengurusi tanaman,
memangkas pohon mangga, membersihkan pohon kelapa. Kalau mandi saya gerak badan juga, misalnya
begini (melompat gaya kodok berkali-kali di sisi meja tulisnya, -Red.). Di bawah shower, saya juga bisa
gerak badan. Saya bisa berolah raga (bergaya kodok, -Red.) sebanyak 30 kali.

M: Setelah Arus Balik, karya apalagi yang akan Anda terbitkan?

PAT: Ya, buku-buku semasa revolusi dicetak ulang, antara lain Mereka Yang Dilumpuhkan, Percikan
Revolusi, Di Tepi Kali Bekasi.

M: Di usia senja, apa yang masih belum selesai Anda kerjakan?

PAT: Sebenarnya banyak. Tetapi yang selalu menjadi pikiran saya adalah merampungkan Ensiklopedi
Kawasan Indonesia. Saya sudah mencapai empat meter. Selama lima tahun ini terhenti karena kehabisan
daya dan kehabisan dana. Saya sendirian bekerja. Ada teman-teman mengusulkan supaya didirikan yayasan,
untuk membiayai staf dan membantu saya. Tetapi sampai sekarang belum terwujud. Tetapi ada juga, salah
seorang yang membisikkan kepada saya, ada yang menyanggupi memberikan dana 100 juta untuk dua tahun.
Saya belum menjawab. Kalau saya pribadi, saya nggak suka menerima sesuatu. Kalau yayasan sih silahkan.
Kalau saya pribadi nggak mau menerima, nanti macam-macam suara orang.

M: Bagaimana proses pengumpulan bahan-bahan ensiklopedi itu?

PAT: Ensiklopedi ini pernah ada di dalam bahasa Belanda 150 tahun yang lalu. Kemudian ada lagi orang
yang mau menyusun dalam bentuk yang sederhana, tetapi keburu pecah Perang Dunia II. Tidak sempat
diterbitkan. Naskahnya jatuh ke tangan saya dari Belanda. Ada juga ensiklopedi Hindia Belanda, tetapi tidak
khusus tentang kawasan. Mari ke ruang kerja saya.

(Pram mengajak Mutiara melihat-lihat dua kamar kerjanya di tingkat atas, masing-masing berukuran sekitar
4x4 meter, penuh buku, naskah-naskah ensiklopedi dan kliping dari berbagai media massa. Ada rak yang
khusus untuk kliping. Ada pula rak yang dipadati berjilid- jilid naskah ensiklopedi yang sudah diberi abjad.
Tidak ada komputer, kecuali mesin ketik manual yang sudah tua.)

M: Kenapa memberi nama Ensiklopedi Kawasan Indonesia?

PAT: Sebelumnya saya beri nama Geografi Indonesia. Kenapa saya ubah? Saya khawatir nanti terlampau
ilmiah. Ini 'kan bukan bidang saya, nanti saya diserbu orang lain.

M: Pekerjaan besar semacam ini kenapa hanya Anda kerjakan sendiri?

PAT: Tidak mampu saya. Pada masa Orde Lama saya dibantu enam orang. Sekarang semuanya say kerjakan
sendirian. Saya nggak mampu membayar orang Rp300 ribu satu bulan. Kalau yang dibiayai orang lain, itu
soal lain.

M: Kapan biasanya Anda mengerjakan ensiklopedi itu?

PAT: Ya, biasanya sehabis makan, habis baca koran.

M: Bagaimana cara Anda mengumpulkan bahan-bahan yang masih kurang?

PAT: Ya, di sini saja. Apa yang kurang, ada yang datang mengantarkan.

M: Masih terus menulis ensiklopedi itu?

PAT: Sekarang nggak. Terhenti. Perkerjaan saya tenggelam dengan mengumpulkan kliping mengenai
pembicaraan Magsaysay. Klipingnya luar biasa banyak.

M: Abjad apa yang tersulit Anda kerjakan?

PAT: Bukan tersulit, tetapi bahan yang termiskin. ya, misalnya abjad X, R, V, W, U, X, Y dan Z. Kalau
abjad J sangat banyak, sebab Jawa itu tetap masih menguasai.

M: Apakah Anda yakin, ensiklopedi itu bisa berhasil diterbitkan pada saat Anda masih hidup?

PAT: Persoalannya bukan bisa terbit atau tidak, tetapi harus ada yang mengerjakannya. Terbit atau tidak, itu
soal lain. Persoalan utama saya, belajar melihat Indonesia sebagai realitas. Bukan abstrak lagi. Pada
umumnya Indonesia itu 'kan abstrak untuk orang Indonesia sendiri.

M: Apa yang Anda maksudkan dengan abstrak?

PAT: Ya, tidak terbayang. Kalau dibikin konkret dalam tulisan, orang 'kan lebih mudah. Bukan berarti tidak
ada orang yang menulis. Tetapi kalau terserak dalam penerbitan sebanyak itu bagaimana satu individu bisa
mengikutinya. Kalau sudah terkumpul dalam buku, oh, desa saya itu. Tinggal ambil kode, desa saya di sini.
Kalau ada materi sosial budayanya dimasukkan di situ. Barangkali 500 tahun lalu desa itu tertimpa bencana,
bisa diketahui kalau ada materinya. Bahkan saya impikan, ensiklopedi ini ada di setiap SD kalau sudah terbit.
Persoalannya, selama ini, orang asing saja membikin studi, kita baru mulai melepaskan cara berpikir
emosional. Sekarang kita baru mulai berpikir secara ilmiah. Itu sudah suatu kemajuan walau tertinggal dari
bangsa-bangsa lainnya. Itu suatu permulaan yang baik. Kita tidak bisa memulai segala-galanya sekaligus.

M: Karya Anda yang dicetak paling banyak di luar negeri?

PAT: Gadis Pantai. Di Belanda sudah cetakan ke-14. Tetralogi, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah dan Rumah Kaca, juga terbanyak dicetak di luar negeri.

M: Karya Anda yang terbanyak diterjemahkan ke bahasa asing?

PAT: Cerita dari Blora ke-18 bahasa asing. Buku-buku yang lain itu menyusul. Bumi Manusia dalam edisi
Inggris dicetak di Australia, Amerika, Kanada dan Inggris. Sekarang karya saya sudah terbit dalam 22
bahasa.

M: Karya mana yang pertama kali diterjemahkan dalam bahasa asing?

PAT: Cerita dari Blora pertama kali, dalam bahasa Rusia tahun 1956.

M: Siapa sastrawan yang Anda kagumi?

PAT: Sekarang tidak ada. Dulu saya kagum dengan sastrawan-sastrawan kaliber dunia. Sekarang tidak lagi,
karena penderitaan yang saya jalani lebih berat daripada mereka.

M: Dulu siapa pengarang yang mempengaruhi Anda?

PAT: Pada waktu muda saya mencoba belajar sastra. yang saya kagumi pertama kali itu Idrus. Sampai
sekarang, dia itu saya anggap seorang stylist yang belum tertandingi. Saya baca karyanya di penjara Belanda
Bukit Duri selama dua setengah tahun. Karena itu, sebagai muridnya, sedikit atau banyak, saya menyadap
kekuatannya. Idrus itu kalau menulis, tidak ada satu kata yang lebih, dan tidak ada satu kata yang kurang.
Dengan kekuatan yang saya sadap dari Idrus, saya membikin cerpen.

Meskipun saya berada di penjara, karangan saya banyak beredar di luar. Saya sudah dikenal sewaktu
saya di penjara. Waktu ke luar dari penjara, saya datang ke Balai Pustaka, saya memperkenalkan diri
kemudian ditemui oleh para redaksi, Idrus datang. Dia sudah tidak bekerja di sana waktu itu. "Bung Idrus, in
Pram!" seorang teman memperkenalkan. Kata "guru besar" saya untuk pertama kali waktu saya ketemui,
"Pram, dengar, kau tidak menulis Pram, kau berak!" Itu kata-kata pertama ketika saya berkenalan dengan
"guru besar" saya Idrus. Saya tidak bisa ngomong apa-apa. Saya baru ke luar dari tahanan. Saya baru
memasuki dunia sastra. Kata-kata itu terus tersimpan seumur hidup saya.

M: Pengarang asing yang berpengaruh kepada Anda?

PAT: Saya kagum Steinbeck, pengarang Amerika, karena dari karyanya saya belajar bagaimana menulis
plastis. Kalau tulisan itu dibaca, akan muncul gambaran seperti film di benak pembaca. Saya belajar dari
Steinbeck. Saya kagum juga dengan pengarang Amerika lain, William Saroyan, bagaimana membuat tulisan
itu menimbulkan perasaan haru, dengan menggunakan elemen-elemen yang paling sederhana dalam
per[?temu:]an antara manusia. Saya juga belajar dari Maxim Gorki yang betul-betul saya kagumi. Gorki
kalau menulis bagai memegang t[?:] rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semuanya berubah dan
bergerak. [?Itu:] Gorki. Sedangkan karya pengarang lain [?ada:] Balzac dan Zola, umur belasan tahun sudah
saya baca, tapi itu tidak berkesan bagi saya.

Pengarang lain yang saya kagumi itu adalah Multituli. Dia mendirikan kemanusiaan dengan mengorbankan
segala- galanya demi kemanusiaan. Sampai-sampai sering saya kutip ucapannya: "Kewajiban manusia adalah
menjadi manusia." Dialah yang mempengaruhi para pelajar kita eselon pertama untuk menyadari diri mereka
dijajah, sebelum itu nggak merasa kalau dijajah. Dengan membaca Multatuli para pelajar angkatan pertama
menjadi sadar bahwa diri mereka dijajah. Ini banyak mempengaruhi saya.

M: Bagaimana cara Anda memelihara kreativitas meskipun meringkuk dari penjara ke penjara?

PAT: Masalah kepengarangan itu 'kan soal internal, bukan eksternal. Itu masalah individual dan pribadi.
Tergantung dorongan batin. Kalau pengarang punya dorongan batin yang kuat, dia pasti bisa melahirkan
karya-karya yang bagus, karya avant-garde. Jadi, kalau ada orang menuduh saya merampas kebebasan
kreatif, itu artinya nol besar. Kebebasan kreatif itu tidak bisa dirampas. Apa sih kekuasaan Pramoedya
sehingga bisa merampas kreativitas pengarang? Walaupun pengarang itu dikasih kebebasan 5.000 persen,
kalau dia tidak punya dorongan batin untuk mengarang, jelas tidak akan lahir karya-karyanya. Saya sendiri,
meskipun meringkuk di penjara atau dibuang ke Pulau Buru, toh karya- karya saya terus lahir. Walaupun
saya tidak punya kemerdekaan, karena berkali-kali dirampas, saya toh terus berkarya. Kalau memang ada
dorongan batin untuk mengarang, di dalam kakus pun orang bisa kreatif.

Saya menyadari, semua progresi itu mempunyai konsekuensi. Bagi seorang pengarang, semua pengalaman:
kecewa, sukses, gembira, sakit, dan dianiaya, merupakan fondasi bagi karyanya. Kalau orang itu
pengalamannya dari sekolah ke kantor, dari kantor ke tv, bagaimana fondasinya? Makin kaya pengalaman,
makin kuat fondasi kepengarangan.
M: Arti karya sastra bagi Anda?

PAT: Karangan saya itu anak-anak jiwa saya. Saya tetap mengakuinya setelah saya lepaskan di padang sosial
budaya kehidupan. Itulah kebanggaan saya.

M: Sebagai sastrawan apakah ada yang Anda sesalkan?

PAT: Saya menyesal telah membuat kritik sastra pada masa lalu. Kalau bisa, jadi pengarang ya pengarang
saja, kalau jadi kritikus ya kritikus saja. Kalau pengarang jadi kritikus, ukurannya adalah dirinya,
pengalamannya, pikirannya dan prestasinya sendiri. Ini tidak etis. Saya menyesal menulis kritik sastra.

M: Apa yang Anda pikirkan ketika dihukum tanpa melewati proses peradilan?

PAT: Saya sendiri 'kan sudah biasa dianiaya. Waktu saya diperlakukan seperti itu, bukan diri saya yang saya
lihat, tetapi saya menyesali kenapa budaya bangsa saya kok serendah itu. Bukan diri saya yang saya pikirkan,
tapi bangsa saya, nation saya. Meskipun diperlakukan begitu, saya tidak dendam. Yang saya ratapi justru
bangsa saya, kenapa serendah itu budayanya.

manteeep mas!

Lebih Jauh Dengan Pramoedya Ananta Toer


Kompas, Minggu 4 April 1999

PRAMOEDYA Ananta Toer, pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, hari Senin (5/4) ini
terjadwal berangkat ke Amerika Serikat untuk kunjungan ke berbagai tempat termasuk Kanada, selama
sekitar dua bulan. Ada acara penting Pramoedya selama di AS, antara lain ia akan menerima penghargaan
dari Universitas Michigan bersama tiga penerima penghargaan lain yakni Kofi Annan (Sekjen PBB), Aharon
Barak (Jaksa Agung Pengadilan Tinggi Israel), dan Shirley M Malcom (Direktur Pendidikan dan Sumber
daya Manusia di Asosiasi Amerika untuk Pengembangan Ilmu). Pram juga akan memberikan ceramah di
berbagai universitas, mengiringi terbitnya buku The Mute's Soliloquy (penerbit Hyperion East, New York),
yang merupakan terjemahan bukunya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

"Saya tidak menyiapkan apa-apa, ya kalau ditanya menjawab. Seperti gong, kalau dipukul berbunyi," kata
ayah dari delapan anak dan kakek dari 15 cucu ini, ketika ditanya persiapannya ke AS.
Pengarang yang telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel ini kenyang dengan
berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di
Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku
Hoakiau di Indonesia, dan dibuang ke Pulau Buru setelah peristiwa G30S. Pada peristiwa terakhir itu ia
kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil. Ia dilepas dari Pulau Buru tahun
1979, meski itu bukan berarti "bebas". Hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang
dilarang beredar terutama di era Soeharto.

Terakhir, ia bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Ia menganggap Ketua PRD, Budiman
Sudjatmiko, sebagai figur paling pantas sebagai Presiden RI. PRD pula yang pernah memberikan
penghargaan kepada Pram di tahun 1996-jadi semasa Soeharto berkuasa-di mana karena penghargaan itu
lagi-lagi Pram diperiksa yang berwenang. Penghargaan lain yang pernah diterimanya adalah PEN Freedom-
to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award.

Perjalanan ke AS sekarang merupakan perjalanannya ke luar negeri yang pertama setelah 40 tahun.
Waktu itu, tahun 1959, terakhir kali Pram berkeliling ke beberapa negara Eropa.

punya makna atau tidak?


Mmm. Ya, ada. Saya mempunyai kesempatan lebih luas untuk melawan kekuasaan yang menindas saya
sampai sekarang.

Sampai sekarang?
Sampai sekarang. Buku-buku saya 'kan belum dicabut larangannya.

Ketika di Belanda tahun 50-an, ada kesan Anda tidak suka, bahkan mungkin agak memberontak terhadap
keadaan. Apa yang sebetulnya membuat Anda tidak betah di Eropa waktu itu?
Belanda itu sudah ratusan tahun, sudah established, sedangkan saya baru tiga tahun merdeka. Saya tidak bisa
akomodasi.

Dan sekarang mau ke Amerika, kira-kira bagaimana ini?


Ini persoalan melawan kekuasaan. Lain lagi.

Akan tetapi Amerika 'kan pusatnya multinasional?


Yang itu adalah soal kedua. Yang satu adalah bahwa saya bisa kalahkan semua, walaupun sendirian.

Tidak merasa aneh atau lucu bahwa Amerika yang sekarang justru membantu Anda?
Bukan aneh. Itu keterbelakangan Indonesia di bidang hukum. Larangan-larangan itu, pemberitahuan kepada
si pengarangnya saja tidak. Saya tahu dari koran. Padahal dari zaman kolonial saya kumpulkan peristiwa-
peristiwa delik tulisan.

Mengapa Anda mengumpulkan tulisan-tulisan semacam itu?


Saya mempelajari sejarah. Saya memang bukan ahli sejarah, tetapi suka pada sejarah. Itu saja soalnya. Mulai
mengumpulkannya tahun 1960-an. Setelah saya keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan
Tjun Sin datang kemari minta saya mengajar di Universitas Res Publica. Saya bilang, bagaimana mungkin
saya mengajar di perguruan tinggi, SMP saja saya tidak tamat. Cara mengajar pun saya tidak tahu, karena
belum punya pengalaman. Karena tidak mengerti tentang perguruan tinggi, ya, saya punya cara sendiri.
Setiap mahasiswa saya wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Dari situ, dari naskah-
naskah kerja mereka, saya mendapat petunjuk ke sana, ke sana, dan ke sana. Setiap tahun ada sekitar 28
mahasiswa yang saya kasih tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional itu penuh dengan mahasiswa saya,
ha... ha....

SUMBER-sumber sejarah yang banyak dipakai dalam buku-buku Anda, katakanlah seperti Arus Balik,
kebanyakan menggunakan apa?
Itu dari bacaan waktu anak-anak.

Bukan dari Negarakertagama atau Pararaton?


Kalau di Arus Balik ini praktis tidak dipakai. Kalau dalam manuskrip (tentang) Ken Arok, sumbernya
memang dari Pararaton.

Apakah dalam Pararaton atau Negarakertagama data antropologisnya lengkap?


Nggak. Sejarah untuk orang Jawa 'kan hanya tumpukan mitos. Kita belum belajar sejarah secara rasional,
baru setelah kemerdekaan kita mulai berpikir ke arah itu. Kita berpikir rasional itu baru saja.

Jadi hasil-hasil karya Anda mencoba merasionalisir "dongeng-dongeng" seperti yang ada dalam Pararaton
atau Negarakertagama?
Iya. Saya mencoba, berhasil atau tidak, itu soal lain. Saya menulis dan berhasil atau tidak, terserah pembaca.
Saya kalau menulis tidak saya baca lagi. Kalau sudah selesai serahkan ke penerbit, mau nggak
menerbitkannya. Nggak pernah saya lihat lagi. Kalau sudah dicetak pun nggak saya baca lagi.

Dalam manuskrip Ken Arok dan Ken Dedes, dari mana data mengenai setting sosial dan sekte-sekte agama
pada saat itu?
Dari logika saja. Boleh 'kan? Belum dilarang 'kan? Di Arus Balik juga begitu.

Kalau itu hanya dari logika, sebagaimana dalam karya-karya Anda, apakah Anda melihat pertempuran
ideologi antara Syiwa dan Islam sangat dominan dalam sejarah Nusantara ini?
Syiwa itu 'kan Dewa Perusak. Penghancur. Syiwaisme itu berpengaruh terus dalam kebudayaan politik di
Jawa. Nggak boleh ada dua raja, salah satu harus dibinasakan. Lain dengan pengaruh Buddhis di Jawa Barat,
raja-raja banyak, tetapi ber-"uni". Maluku juga ber-"uni" raja-rajanya, walaupun tidak terpengaruh ideologi
Buddhisme. Akan tetapi di wilayah pengaruh Syiwaisme tidak bisa, hanya ada satu orang, dan itu wakil yang
di atas di bumi ini. Bebas dari kesalahan.
Sampai sekarang?
Sampai sekarang.

Dan itu masih dominan?


Ha... ha... ha... Iya, Jawa. Kalau sudah nggak jadi Jawa lagi seperti saya, ya lain.

Masalahnya, mengapa Syiwa yang dominan?


Itu yang menjawab sejarah. Kenyataannya memang Syiwaisme yang dominan.

Atau memang karena paham Syiwaisme itu yang cocok dengan kebudayaan Jawa?
Saya tidak bisa menjawab soal itu. Hanya dari kenyataan historis saja yang saya pakai.

Dalam karya-karya Anda, humor hampir tidak pernah muncul. Begitu pula soal seks. Mengapa?
Hidup saya dalam penindasan terus, bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan
mengejek. Kalau soal seks banyak, cuma tidak mendetail. Lha itu, di Bumi Manusia banyak seksnya, seks itu
banyak. Dulu saya inferior complex, dan hilangnya karena seks.

Lho, bagaimana bisa?


Itu, sama orang Eropa yang menjajah saya. Setelah itu, hilang perasaan (inferior).

Di dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini tidak diceritakan?


Nggak tahu saya kalau itu dibuang oleh penerbitnya. Saya tadi 'kan bilang, habis nulis nggak baca lagi.

Mengapa Anda justru tidak menciptakan novel yang berlatar belakang G30S?
Ini proses sedang menjadi, belum selesai. G30S itu bukan hanya peristiwa 1 Oktober saja, tetapi seluruh Orde
Baru itu adalah G30S. Prosesnya belum selesai, kalau ditulis menjadi jurnalisme. Sori, saya bukan
melecehkan jurnalisme. Fungsinya lain. Sebagai proses G30S itu belum selesai. Habibie 'kan kelanjutan Orba
saja. Orbaba (Orde Baru yang Baru). Selesainya bagaimana? Harus out semua, ganti angkatan muda. Itu
menurut saya.

Termasuk seluruh pegawai negeri sipil yang ada sekarang?


Iya, out. Semua terlibat, paling tidak (mereka) menganggukkan kepala terhadap pembantaian, perampasan
hak-hak.

Proses itu belum selesai karena peristiwanya, atau proses dalam diri Anda?
Proses nasional yang belum selesai.

Berarti Anda masih melakukan pencatatan terus?


Bukan hanya pencatatan, tetapi kliping.

Lalu suatu saat akan ditulis dalam bentuk novel?


Iya, tetapi masih menghendaki adanya suatu pengendapan. Persoalannya bagi saya, saya harus tinggal di desa
yang tenang.

Tidak takut berkejaran dengan waktu?


Nggak soal. Kalau nggak bisa, ya nggak soal. Kalau soal mati, setiap saat saya sedia mati. Nggak soal.

Kalau persoalan G30S prosesnya dianggap belum selesai sehingga belum bisa menuliskannya, mengapa
waktu tahun 1945, ketika proses revolusi, Anda bisa menulis banyak novel, padahal waktu itu prosesnya juga
belum selesai?
Karena hari depannya itu sudah dijanjikan, yaitu Indonesia yang merdeka, demokratis, modern. Bahwa
ternyata begini, isinya kekecewaan saja, itu soal lain.

Bukankah Habibie juga sekarang sering menjanjikan Indonesia yang demokratis?


Habibie belum pernah teruji oleh sejarah. Saya nggak perlu dengarkan itu. Wawasan kenegaraan juga tidak
punya, apalagi wawasan ke-Indonesiaan.
Wawasan ke-Indonesiaan yang Anda maksudkan itu bagaimana konkretnya?
Mengerti tentang Indonesia. Misalnya, waktu Belanda berhasil mendirikan imperium maritim nomor satu di
dunia, ibu kotanya dipilih Batavia. Ini menyebabkan terjadinya Java sentrisme, dan itu tidak dikoreksi sampai
sekarang. VOC datang ke sini untuk menundukkan daerah di luar Jawa, lalu diekspor pembunuh dari Jawa.
Apa ini tidak diteruskan sampai sekarang? Dari sejak VOC? Ini tak pernah dikoreksi. Terus, ibu kota
Batavia, semua lalu berkiblat ke Batavia. Hasilnya apa? Orang-orang luar Jawa pada lari ke Jawa. Itu
sebabnya Soekarno mau memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, di tengah-tengah Indonesia, supaya
pembagian penduduk merata. Akan tetapi ini tidak terwujud karena keburu Harto tampil.

Konsekuensi dari pikiran itu adalah negara federal?


Saya tidak setuju pada federalisme. Karena apa? Soekarno sudah memperingatkan bahwa abad ini adalah
abad intervensi asing. Jadi kalau ada federalisme, akan lebih mudah asing melakukan intervensi.

Bukan sebaliknya, karena dengan federalisme masing-masing daerah bisa memperkuat diri?
Tidak mungkin itu. Sekarang saja Riau mau bergabung dengan Malaysia.

Jadi, yang penting apa supaya tidak Jawa sentris?


Pendidikan ke-Indonesiaan belum pernah ada. Seperti nama Indonesia itu 'kan keliru, karena berarti
kepulauan India, tetapi kok tidak dikoreksi sampai sekarang? Kelemahan kita, kalau sudah pegang kekuasaan
tidak berani koreksi diri. Ini baru soal nama.

Kalau bukan federalisme, apa otonomi?


Ya, otonomi luas, jangan federalisme. Federalisme itu adalah kehendak Belanda dulu, dan itu dihancurkan
oleh Soekarno dalam satu hari, dalam parlemen di tahun 1950. Namun juga ada akibatnya, yakni Indonesia
lalu dianggap bangsa. Indonesia itu bukan bangsa. Indonesia itu nation, terdiri dari bangsa-bangsa. Jawa itu
bangsa, Batak bangsa, Aceh bangsa. Ini disusutkan jadi suku bangsa. Ini artinya tidak menghargai sistem
nilai masing-masing. Bangsa Indonesia itu tidak ada, yang ada nation Indonesia. Itu saja tidak pernah
dikoreksi sampai sekarang. Padahal akibatnya (terjadi) pelecehan terhadap sistem nilai setempat.

Namun konsekuensi yang paling logis dari pemikiran itu adalah negara federal?
Tidak bisa. Persoalannya begini. Kita itu negara maritim, tetapi kenapa diduduki Angkatan Darat. Dia yang
berkuasa. Ini saja menyebabkan segala macam kekacauan.

Kalau begitu soalnya menjadi lebih sederhana, Angkatan Darat harus kembali ke barak?
Betul, dari dulu saya berseru-seru begitu.

Kalau tak setuju negara federal, tetapi setuju otonomi luas, lalu isi otonomi itu apa?
Negara kita ini kaya. Sekarang sedang dibicarakan soal pembagian rezeki antara daerah dan pusat. Itu betul.
Kayak Aceh, gasnya sudah hampir habis, jalan yang mulus saja tidak ada. Itu 'kan keterlaluan. Jadi kalau
semua sudah dilingkupi kekuasaan laut, nggak ada persoalan federalisme. Sekarang setiap kapal bisa nyolong
di laut Indonesia. Jadi Angkatan Laut yang diperkuat, bukan Angkatan Darat.

"Arus Balik" dong?


Ha... ha... Zaman Belanda yang berkuasa di pertahanan AD. Ketika diserbu AL Inggris tahun 1812, hanya
dua hari, angkat tangan. Tahun 1942 diserbu AL Jepang, dua hari Belanda angkat tangan. Padahal AD Hindia
Belanda itu menghasilkan sekian banyak jenderal, seperti sekarang. Ini bukti historis, lho, sebab pertahanan
laut Hindia Belanda tidak punya.

Jadi militerisme AD itu bukan hanya Orde Baru, tetapi sudah ada sejak Orde Mataram?
Mataram punya AL, cuma kalah. Lain dengan Banten yang mementingkan AL, bahkan sempat
mendatangkan instruktur dari Batavia. Ketika itu siapa yang menguasai laut menguasai dunia.

Kalau begitu secara prinsip mitos itu sudah betul?


Bukan, mitosnya itu karena dia kalah. Waktu menyerang Batavia, walaupun kalah, Mataram sempat
menggunakan pasukan laut. Seluruh pesisir utara dikerahkan. Namun karena nggak pernah ada latihan,
bagaimana bisa menang melawan kompeni? Laut Jawa, laut internasional jatuh ke tangan Belanda, lalu
Mataram bilang: gua juga masih punya laut, punya Nyai Roro Kidul.
MENURUT Anda, periode sejarah terpenting di Nusantara pada rentang waktu mana?
Tahun 1945. Itu luar biasa. Satu orang bisa mempertautkan satu bangsa secara politis, Indonesia. Orang itu
adalah Soekarno. Namun tidak pernah ada penghargaan terhadap Soekarno, malah ia dicaci-maki, dituding
diktator segala macam. Kalau soal multinasional bangsa kita sudah kalah. Negeri-negeri komunis pun sudah
mengakomodasi kapitalisme.

Kalau begitu paham kapitalisme betul?


Kapitalisme primitif waktu itu.

Pandangan Anda pribadi terhadap kapitalisme bagaimana?


Kalau saya pribadi nggak setuju, karena kapitalisme itu sudah merupakan politik, bukan sekadar dagang. Itu
sebabnya Soekarno tidak setuju masuknya modal asing. Untuk Soekarno, cukup utang, lalu kita bangun
sendiri. Sebab kalau modal asing sudah masuk dia akan berpengaruh pada kekuasaan, malah bisa kerja sama.
Buktinya sekarang, kalau ada perselisihan antara perusahaan dengan buruh, kekuasaan berpihak kepada
modal, bukan kepada buruh.

Kalau begitu sistem kapitalisme atau mekanisme pasar harus berhenti pada dataran ekonomi saja?
Mestinya begitu, jangan sampai ikut menguasai. Akan tetapi, apa mampu? Persoalannya 'kan sampai
seberapa jauh moralitas yang berkuasa? Benteng moralnya sampai seberapa?

Akan tetapi di negara mana pun, belajar dari pengalaman Barat, membangun sebuah masyarakat hanya
berdasarkan moralitas adalah mimpi?
Atau sebaliknya, tanpa moral jadi bandit semua.

Bukankah ini berarti perlu ada sistem yang harus mencurigai, bahwa moral manusia itu cenderung tidak
keruan?
Tidak juga. Orang yang moralnya kuat karena apa? Karena pengalaman. Ia belajar dari pengalaman. Zaman
Orde Baru satu setengah juta orang dirampas hak-haknya. Bahkan tenaganya dirampas untuk kerja paksa.
Dan Golkar, PPP, PDI mengangguk saja. Ini moral apa? Belum lagi yang dibantai.

Di situ persoalannya. Orde Baru membentengi diri dengan anggapan bahwa moral semua pejabat baik. Soal
menteri boleh berkampanye apa tidak misalnya, mereka bilang boleh, karena moral menteri baik, tidak akan
menggunakan fasilitas negara?
Saya juga bisa bikin rumus: kalau Orba "x" itu artinya "minus x", ha... ha... Saya lawan dengan rumus itu.
Setiap apa yang mereka katakan sebetulnya artinya sebaliknya. Akan tetapi kalau orang nggak mau
menggunakan rumus saya itu, bukan salah saya.

Pewawancara: Kenedi Nurhan, JB Kristanto, Bre Redana

Nama Saya Tidak Pernah Kotor

Jawa Pos, 18 April 1999


http://www.jawapos.co.id/18apr/koh18a...

Setelah 40 tahun dilarang bepergian ke luar negeri, kini Pramoedya Ananta Toer mulai merasakan
kebebasannya. Negeri pertama yang dikunjunginya adalah Amerika Serikat (AS). Di Negeri Paman Sam ini,
Pram, kini 74 tahun, menerima doktor kehormatan dari Michigan University bersama-sama Sekjen PBB Kofi
Annan. Resepsi doktor kehormatan ini bakal dilakukan besar-besaran di Michigan, 1 Mei mendatang.

Di antara yang berkesan bagi Pram, itu adalah menghadiri book signing atas memoarnya yang diterjemahkan
dalam bahasa Inggris, The Mute's Soliloquy (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu) di Olsson, Washington DC. Dia
juga memenuhi permintaan khusus dari lima kampus ternama AS yang menginginkan Pram memberikan
ceramah mengenai kehidupan pribadinya sebagai penulis dan sastrawan yang "terjerat" selama 32 tahun
kekuasaan Orba. Penulis tetralogi, Bumi Manusia; Rumah Kaca, Gadis Pantai, Jejak Langkah yang terkenal
karena kualitas dan juga karena ditulis ketika dia ditahan di Pulau Buru (1969-1979) ini benar-benar tak
pernah rapuh. Ia terus maju, melawan arus penentangan terhadapnya. Selama di AS, Pramoedya didampingi
istrinya, Maimunah, dan editor dari Hasta Mitra Jusuf Isak. Mereka baru meninggalkan AS 31 Mei nanti,
meneruskan perjalanan ke Eropa. Berikut percakapan Pramoedya dengan wartawan Jawa Pos di Washington
DC Ramadhan Pohan, ditambah dengan beberapa pertanyaan menarik yang diajukan ketika Pram bertanya
jawab di Washington.

Apa arti kunjungan Anda ke AS sekarang ini, setelah 40 tahun terakhir dilarang pemerintah bepergian ke
luar negeri?

Pram: Ini merupakan simbol kemenangan saya terhadap Orba.

Kabarnya, Anda banyak tawaran ke luar negeri belakangan ini, kenapa mesti AS?

Pram: Sering. Kali ini mereka datang serombongan. Ada sembilan orang. Ya, baru sekarang ini saya serius.

Selain menerima doktor kehormatan dari Michigan University, peluncuran buku Anda The Mute's
Soliloquy, apa lagi yang Anda lakukan di Amerika?

Pram: Saya mau lihat, apa yang mau Amerika sajikan pada saya.

Anda menulis buku atau catatan tentang kunjungan di AS ini?

Pram: Saya membuat catatan kecil, semacam buku perjalanan tentang AS.

Dulu Anda sangat kritis kepada AS. Sekarang bagaimana?

Pram: Saya tetap kritis kepada Amerika. Itu tidak berubah.

AS yang berubah ataukah Pram sendiri?

Pram: Keadaan seluruh dunia berubah. Sekarang apa? Negara-negara komunis pun mengakomodasi
kapitalisme. Perang Dingin tidak ada lagi. Saya sendiri tetap seperti dahulu, menentang ketidakadilan dan
penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Saya tidak
berubah.

Soal hasil royalti, besarkah?

Pram: Royalti untuk buku terjemahan tidak lebih dari 10 persen. Kecuali kalau best seller, naik lagi
persentasenya. Coba lihat, Singapura itu hampir 30 persen pajaknya. Juga Australia, hampir 30 persen. Itu
cukup hanya untuk makan, anak-anak. Nggak terlampau berarti. Memang, terakhir, misalnya, NYT
membayar saya USD 2 setiap kata. Cuma itu saja.

Kalau untuk kelas Anda, royalti yang diperoleh mestinya lebih dari cukup ya?

Pram: Mana ada uang pernah cukup untuk seseorang.

Begitukah?

Pram: Ha... ha... ha.

Soalnya, dulu (ketika Pram mulai ditahan Orba, Red) istri Anda kan sampai berjualan kue-kue demi
penghidupan keluarga.

Pram: Ya, betul. Tetapi di samping itu juga, kita terima honor dari luar. Walaupun dulu itu kecil-kecilan.

Sekarang, istri Anda nggak kerja lagi kan?

Pram: Tidak. Hanya ibu rumah tangga.

Bagaimana anak-anak Anda?


Pram: Ya, biasa. Anak saya ada delapan, dan hanya yang terakhir lelaki. Jadi, praktis semuanya sudah kawin.
Jadi, istri saya cuma ibu rumah tangga.

Di antara anak-anak Anda, ada yang mengikuti jejak ayahnya menjadi penulis atau sastrawan?

Pram: Melihat pengalaman ayahnya, mereka sudah gentar. Dan lagi, sejak kecil kan semua ditakut-takuti.
Dihina. Dilecehkan. Anak saya yang keempat, misalnya. Dia belajar di sekolah asisten apoteker, angkanya
delapan, sembilan, dan paling kecil tujuh. Waktu mau ikut ujian terakhir sekolahnya, nggak dibolehkan ikut.
Lantas anak saya yang lelaki, yang terakhir itu, belajar di SMA. Suatu hari dihina dan malah dikeroyok
teman-temannya. Karena anak bekas tapol, dihina. Polisi datang. Yang ditangkap malah anak saya. Dipukuli
di tempat polisi, dan kena wajib lapor.

Sampai seperti itu?

Pram: Dia menceritakan itu bertahun-tahun kemudian.

Olahraga Anda apa saja?

Pram: Sebelum kena infeksi darah, saya setiap hari olahraga. Sebelum turun dari tempat tidur saya push-up,
sit-up, semua gerakan kaki. Dan, kadang-kadang lari pagi. Lantas minum air putih setengah botol supaya
ginjal tidak gagal kerjanya. Tetapi, setelah kena infeksi darah, kira-kira 3 bulan lalu, sedikit sekali gerak
saya. Paling-paling ngurusin sampah tetangga. Sekarang kalau saya coba lari, cuma kuat lima menit.

Soal Nobel bagaimana?

Pram: Wah, itu bukan urusan saya.

Ada pendapat Anda bakal menjadi orang Indonesia pertama yang meraih Nobel?

Pram: Itu bisa saja. Tadinya kan tidak bisa. Ada komentar wartawan Jepang, tidak mungkin Tuan Pram dapat
selama Harto (Soeharto, Red) berkuasa. Sebab, kalau saya dapat, nanti ditindas lebih keras. Jadi, soal itu
mungkin saja. Sudah dua-tiga kali, kandidat satu (untuk meraih Nobel, Red), katanya. Itu menurut orang
Jepang tadi.

Terhadap hak-hak, kemerdekaan, atau apa-apa saja yang dirampas Orba dari Anda selama ini, apakah
Anda akan menuntut Orba ke pengadilan?

Pram: Saya tidak perlu mendapatkan nama baik. Nama saya tidak pernah kotor. Dikotori, itu betul. Jadi,
pergi ke pengadilan untuk mendapatkan rehabilitasi, sebetulnya, itu sebagai pikiran saja, tidak tepat. Yang
perlu direhabilitasi itu justru Orba.

Kalau dituntut berarti kan tidak?

Pram: Nggak perlu saya nuntut. Mereka sudah dapat nama jelek.

Kepada kelompok Manifes Kebudayaan, Anda katakan agar mereka bisa memakai pengadilan untuk
"mengadili" Anda. Dalam konteks itu Anda mengakui pengadilan sebagai faktor. Namun, di sini Anda justru
tidak melihatnya sebagai faktor?

Pram: Ya, karena kami nuntut rumah yang dirampas Orba kalah di pengadilan, walaupun surat-suratnya
lengkap. Malah, naik banding kalah lagi. Seperti pernah terjadi, saya dituduh membakari dokumentasi Hatta,
bawa pengadilan, kalah juga. Memang, saya tidak punya kepercayaan pada pengadilan Orba. Itu berdasarkan
pengalaman.

Romo Mangun telah mendapat penghargaan dari Presiden Habibie. Jika mendapat penghargaan dari
pemerintah kita, sikap Anda bagaimana?

Pram: Oh, saya tolak.

Alasannya?
Pram: Dia (Presiden Habibie, Red) kan sambungan dari Orba. Orba kan jelas melakukan pembantaian masal.
Habibie kan tidak pernah mengangkat itu di pengadilan. Satu kasus pun tidak pernah menyebutnya. Itu kan
ikut serta artinya. Membenarkan pembantaian, perampasan hak-hak. Termasuk pelarangan buku-buku saya
dan teman-teman lain juga tidak pernah dibatalkan sampai sekarang. Jadi, kehilangan kepercayaan total saya.
Itu sebabnya, sudah sejak 1960-an, sejak G-30-S meletus, melihat omongan-omongan Orba segala macam,
apa yang saya alami sendiri, saya membuat rumus: kalau Orba mengatakan X, berarti minus X. Itu saya pakai
untuk rumus, memudahkan. Belum pernah saya cabut rumus itu sampai sekarang, termasuk terhadap
"Orbaba" (Orde Baru Baru).

Dulu, Saya Tak Pernah Menyangka akan Menjadi Tua


Sinar Harapan, 2002
by: sihar ramses simatupang

JAKARTAKabar tentang terpilihnya Pramoedya Ananta Toer sebagai orang yang paling berpengaruh di
Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time ternyata ditanggapi dengan sangat biasa oleh yang
bersangkutan. Menurutnya, pemilihan semacam itu adalah hak dari publik. Saya memang sudah sering
ditulis dan diwawancara oleh Time. Untuk kabar ini, saya belum membacanya, baru dengar dari wartawan,
ujarnya.

Namun, sesungguhnya ada kabar lain yang menggembirakan hatinya. Novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal. Pada sampul novel yang judulnya menjadi Soliloquio Mudo,
dikutip juga tentang pernyataan majalah Time beberapa waktu lalu, bahwa Pramoedya adalah salah satu
penulis kuat untuk calon pemenang Nobel. Sejak 1981, saya telah menjadi kandidat Nobel, katanya.

Matahari belum menunjukkan kegarangannya saat SH menemui seorang sastrawan besar yang karyanya
terkenal ke seantero dunia, Pramoedya Ananta Toer di rumahnya yang cukup luas. Kata orang, sastrawan
memang kerap memilih kediaman yang terpencil. Lihat saja Rendra, Hamsad Rangkuti, atau Gerson Poyk
yang tinggal di Depok. Mungkin Pram bisa masuk kategori itu. Namun, sekalipun terpencil di daerah Bojong
Gede, rumahnya tetap terbuka. Cahaya matahari dapat masuk dengan leluasa ke setiap kisi pintu dan jendela.

Tiba di kediamannnyasetelah terlebih dahulu menetapkan janji untuk bertemukami melihat sebuah
kendaraan dengan tanda CD (Corps Diplomatic) terparkir di halaman rumah. Pram sedang menerima tamu
dari Kedutaan Portugal. Untungnya, dalam percakapan keduanya yang serius itu, ibu Maemunahistri
Prammelihat kedatangan kami dan mempersilakan duduk. Senyum yang ramah bercampur keakraban
menyambut kehadiran kami disambung dengan sajian teh.

Baru setelah tamu dari Kedutaan Portugal pamit, Pram kemudian muncul. Tunggu ya, katanya, dengan
wajah dan senyum yang tak berubah. Hangat. Kami pun menunggu di teras rumahnya. Pram masuk sebentar,
kembali dengan sebungkus rokoknya.

Dari media mana tadi? Sinar Harapan? kata lelaki kelahiran 6 Februari 1925. Kami lalu mengatakan niat
untuk mewawancarainya sehubungan dengan berita tentang Pramoedya Ananta Toer yang terpilih sebagai
orang yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Time.

Saya tidak tahu itu, saya justru baru dengar dari wartawan, katanya. Namun, Pram mengatakan telah
beberapa kali diwawancara oleh Time. Nyatanya, tak hanya penghargaan dari majalah itu, anugerah
Magsaysay pun sudah pernah diraihnya. Bahkan pada novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang sudah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Portugal, Soliloquio Mudo tertera keterangan di sampulnya: O Principal
candidato asiatico ao premio Nobel (Time)bahwa Pram adalah calon kuat peraih Nobel.

Tentang Nobel, Pram mengatakan telah mendengar beberapa kali tentang pencalonannya. Soal kontroversi di
negaranya sendiri, menurutnya Amerika kadang bisa lebih demokratis dalam melihat profil seorang pemikir.
Gao Xingjian, pemenang Nobel dari Cina yang lari ke Amerika atau siapa itu yang dari Italia (komedian
Dario Fo-red), itu kan juga kontroversial. Waktu mereka menang, banyak orang yang marah, ujar mantan
karyawan Kantor Berita Domei di masa penjajahan Jepang.

Seberapa kuat karya sastra bisa mempengaruhi masyarakat global? Ya persisnya saya tidak tahu. Yang saya
tahu adalah karya saya yang telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia. Artinya, apa yang ada
di karya saya itu masuk ke dalam alam pikiran pembaca. Tentang apakah alam pikiran bisa menggerakkan
perbuatan atau tidak, itu soal lain, ujarnya.

Nyatanya, bagi Pram, Indonesia memang suatu saat harus mampu menampilkan penulis Indonesia yang
mampu memperoleh Nobel. Kalau Indonesia tidak bisa meraih Nobel karena mungkin Akademi Swedia
tidak punya ahli bahasa Indonesia sehingga semuanya harus melalui terjemahan, ujar Pram, setengah
bercanda.
Detail

Hidup Pram memang tak lepas dari terali penjara. Tak hanya dalam rezim Orde Baru, pada pemerintahan
Belanda pun dia pernah ditahan pada tahun 19471949. Tahun 1965 hingga 1979, dia pun kembali ditahan
di beberapa tempat seperti di penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Magelang, Semarang dan Pulau
Buru.

Begitu pun dengan nasib karyanya. Banyak hasil tulisannya yang dirampas Belanda, Inggris dan bahkan
pemerintahan Indonesia sendiri. Nggak ngerti hidup saya begini. Dirampasin, diinjek, dihina, katanya.
Bahkan saat mendengar tentang karyanya yang pernah dibakar dan dirampas oleh rezim Orde Baru, wajah
Pram makin terlihat mendung. Nggak ngerti saya, kalau negara membutuhkan, silakan ambil. Tapi, pakai
tanda terima segala macem. Itu kan lebih baik. Ini dirampas dan dibakari, nggak ngerti. Naskah-naskah,
dokumentasi, dokumentasi saya itu mulai abad sebelumnya, berapa harganya, nggak bisa dihitung. Nggak
ngerti kok bisa berbuat begitu, ujarnya. Suaranya tertahan, ada tangisan yang berusaha dia sembunyikan di
balik wajah tuanya.

Menurut Pram, setiap sastrawan, harus siap menanggung segala konsekuensi atas karya-karyanya. Penulis
harus berani. Dia harus mau mempertanggungjawabkan karyanya, ujar Pram. Perkara keberanian juga
membuat dia tetap konsisten untuk berkarya, bahkan ketika ia dipenjara sekalipun. Pada tahun 1972, saat di
penjara, Pram terpaksa diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Waktu itu,
Amerikalah yang memaksa rezim agar Pram dikirimi mesin tikwalau kiriman mesin tik itu nyatanya tidak
pernah sampaisehingga kawan-kawan sesama napi pun terpaksa membikinkan mesin tik bekas buat Pram.

Lantas, apakah pengarang yang cukup dikenal di dunia ini juga menyukai karya sastrawan lain? Dengan
rendah hati, dia katakan kalau dia pun menyukai beberapa karya dari luar, termasuk Leo Tolstoy, Anton
Chekov, atau John Steinbeck. Saya belajar dari Steinbeck, pernah baca karya Steinbeck? Coba perhatikan,
sampai lalat terbang, segala macam diungkap untuk menggambarkan suasana. Sehingga kalau kita baca
Steinbeck seperti nonton film. Nah, itu berpengaruh sama saya. Kalau baca buku saya kan seperti nonton
film. Pelajari gaya bahasa dia, itu gaya plastik namanya. Kita baca seperti nonton film, semua tergambar,
ujarnya. Namun, Pram tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, Tidak manusiawi, kata pengagum
peraih Nobel, Gunter Grass.

Selain membuat novel, ternyata Pram pernah juga menyusun syair-syair puisi. Tapi saya sudah mulai
bosan dengan perasaan, kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya
membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.

Pram berpendapat penulis sekarang juga harus berani dan mampu mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan
masyarakat. Hanya, dia sadari kondisi saat ini membuat penulis dan pemikir muda harus menghadapi sesuatu
yang sangat berat, keberanian menempuh risiko seorang diri. Di negara dunia ketiga di mana kondisi rakyat
memprihatinkan, para penulis sesungguhnya memikul tanggung jawab yang lebih berat. Cuma, banyak
generasi sekarang yang pemikirannya terlampau miskin, perhatiannya pada kemanusiaan nggak ada. Cuma,
itu urusan kalian lho. Sudah bukan urusan saya lagi, kata Pram, dengan nada yang kocak.
Tegar

Kini, Pram mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu dia bisa lakukan enam hingga delapan
jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat
benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Rupanya suhu
badan saya dipatahkan oleh suhu alam, katanya, dengan gaya bahasa khas Pram.

Dia bahkan sudah tidak membuat karya lagi kini. Bagaimana kalau ada ide yang mendesak, tidak berupa Kali
Lusi di Blora, tapi tentang rel di Stasiun Bojong Gede? Menjawab itu, Pram hanya tersenyum tipis, sedikit
menggiris. Lha, konsentrasinya udah bubar nggak keruan. Itulah, dulu saya tidak pernah menyangka akan
menjadi tua.

Perasaan kuat badan saya, nggak tahunya sama saja dengan yang lain, kemerosotan otak, kata lelaki asal
Blora yang berasal dari daerah bagian kelompok masyarakat Samin. Masyarakat Samin yang dikenal
antiperaturan kolonialis itu menginspirasi Gandhi lewat Swadeshi dan Satyagraha lho, ujarnya.

Kini, dia ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, berternak dan berkebun. Dia memang sudah lama tidak ke
Blora. Nanti dari Eropa, mungkin saya ke sana. Betulin rumah, katanya. Mulai bulan Mei, dia akan
melakukan perjalanan ke beberapa negara di Eropa. Negara yang akan ditujunya pertama adalah Swiss, lalu
menyeberang ke Italia untuk menerima penghargaan Laureate Novelist dari Universitas Bologna, Italia
Utara.

Dia juga berencana akan ke Spanyol (dalam bahasa Catalon) dan ke Yunani untuk meluncurkan Gadis
Pantai. Juga undangan ke Prancis yang saya tidak tahu acaranya, ujar lelaki ini sambil terus menghisap
rokoknya dalam-dalam. Tampaknya, novelis Anak Segala Bangsa ini telah menjadi anak segala bangsa
dalam arti sesungguhnya. Berkelana, mengarungi beberapa negara dan bangsa ...

(SH/sihar ramses simatupang)

"Yang Tidak Setuju, Ya minggir Saja"


Tempo, 4 Mei 1999
http://www.tempo.co.id/majalah/index-...
NO. 09/XXVIII/4 - 10 Mei 1999 Wawancara Pramoedya Ananta Toer:

Setelah 20 tahun tak menyentuh sepatu, Pramoedya Ananta Toer "terpaksa" mengenakannya untuk sebuah
perjalanan jauh. Ke New York. Diiringi anggota Partai Rakyat Demokratik, keluarganya, wartawan asing dan
lokal, serta kamera televisi asing yang merekam keberangkatannya ke Bandara Cengkareng, Pram
melangkahkan kakinya-dalam rangka memenuhi undangan ke AS. Di sana Pram akan meluncurkan buku
terjemahan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ia mengenakan sepatu.

SEBELUM berangkat, Pram bersedia menerima Mustafa Ismail, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah
Chamim, dan fotografer Robin Ong dari TEMPO hingga beberapa kali. Sembari mengenakan kaus putih dan
kain sarung, Pram, ketika menjawab pertanyaan TEMPO, sesekali suaranya meninggi dan keras tatkala
menjawab pertanyaan agak sensitif. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 sebagai anak sulung dari
sembilan bersaudara, Pram mengaku ayahnya seorang nasionalis yang pernah dipenjara Belanda. Sejak SD,
"Saya banyak membaca karena orang tua saya mempunyai perpustakaan yang cukup besar untuk ukuran kota
kecil," tutur Pram. Pram mulai membaca koran dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa sejak usia delapan
tahun, sehingga ketertarikannya pada sejarah dan politik tampaknya dimulai pada usia yang sangat dini.
Pendidikan formalnya hanya berakhir hingga SMP, tetapi minatnya untuk mendalami ilmu pengetahuan dan
politik tetap intens.

Pada awal 1960-an, Pram dikenal sebagai salah satu tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi
yang berafiliasi kepada PKI (Partai Komunis Indonesia).

Kegiatan Pram di Lekra dan wewenangnya sebagai staf redaksi Lentera, lembaran budaya harian Bintang
Timur, belakangan membuat ia terlibat dalam polemik terkenal, yang hingga kini tampaknya masih
menyimpan rasa tak nyaman pada beberapa sastrawan yang berseberangan dengan dia.

Ini disebabkan perbedaan konsep berkesenian di antara kedua kubu itu: kubu pertama, Pram dengan Lekra-
nya. Kubu kedua adalah pencetus Manifes Kebudayaan. Perbedaan kedua kubu itu kemudian dirangkum
dalam sebuah buku yang komprehensif berjudul Prahara Budaya yang disusun oleh Taufiq Ismail dan D.S.
Moeljanto.

Terakhir, pada 1965, PKI tumbang. Orang-orang yang bersimpati dan berafiliasi dengan partai itu pun
"diangkat". Ada yang dibunuh, tidak sedikit pula yang dipenjarakan. Salah seorang yang dipenjarakan itu
adalah Pram, yang sampai dibawa ke Pulau Buru. Tanggal 13 Oktober 1965, Pram ditangkap di rumahnya-
kini disita-di kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu.

Di Pulau Buru, hidupnya selama belasan tahun tidak mematikan semangatnya untuk menulis. Beberapa
karyanya-tetralogi pulau Buru, dimulai dari Bumi Manusia, [Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah:], dan
berakhir dengan Rumah Kaca--berhasil diselundupkan ke luar dan diterbitkan.

Pada 1979 ia dibebaskan, meski melalui berbagai rintangan. Ia tetap rajin menulis, dengan tulisan tangan atau
dengan sebuah mesin tik tua, karena, "Saya tidak bisa mengikuti irama teknologi," katanya ketika ditanya
mengapa tidak menggunakan komputer. Dengan kacamata setebal plus empat setengah, ditemani 32 batang
rokok sehari, Pram mengisi hari-harinya dengan membaca koran serta mendokumentasikannya dengan rapi
di perpustakaannya yang mengagumkan dan terpelihara.

Berikut adalah petikan wawancara Pram dengan TEMPO beberapa hari sebelum keberangkatannya ke AS:

Waktu di Pulau Buru, apakah pernah terpikirkan bahwa Anda akan seperti ini, diundang ke
mana-mana?
Tak pernah membayangkan. Menulis, bagi saya, adalah tugas pribadi dan tugas nasional. Setelah saya
menyelesaikan tugas, ya sudah, saya tak pernah memikirkannya atau membaca ulang tulisan saya sendiri.

Anda kan banyak menulis roman sejarah, termasuk saat di Pulau Buru, bagaimana
mengorganisasikan data itu?
Penulisan tetralogi itu punya sejarah panjang. Setelah saya menerbitkan Hoakiau di Indonesia, saya diculik
dan ditahan. Pulang dari tahanan ini, saya diminta mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas
Trisakti). Bagaimana saya mengajar di perguruan tinggi? SMP saja saya tidak tamat. Jadi saya mengajar
dengan cara saya sendiri. Setiap mahasiswa yang saya beri kuliah, saya wajibkan mempelajari koran selama
satu tahun, lalu mereka membuat naskah kerja. Saya mengajar mulai 1962 sampai 1965. Kalikan saja, tiga
puluh naskah dari 30 mahasiswa. Itu sekian tahun yang saya pelajari, saya mendapat petunjuk, sumber-
sumber historis. Dari sanalah saya mempunyai bahan-bahan sejarah.

Tapi waktu Anda dibawa ke Pulau Buru, bahan-bahan itu kan ditinggal?
Kalau ada sesuatu yang sangat menarik, saya tidak lupa.

Apa betul untuk mengingat kembali setting sejarah dan mengembalikan ingatan, Anda selalu
menceritakan berulang-ulang kepada teman-teman di Pulau Buru?
Ceritanya, sebelum diberikan izin menulis, sekitar sebelum pemilu tahun 1971, kami-sekitar 12 orang-
dikucilkan dan tak boleh bergaul di antara satu dengan yang lain. Saya bercerita kepada mereka setiap saat
apel. Akhirnya cerita itu menyebar ke seluruh kamp konsentrasi yang tak kecil itu. Luas Pulau Buru itu satu
setengah kali Pulau Bali sementara kamp konsentrasi itu luasnya sepertiga dari Pulau Buru. Pada 1973 saya
baru dibebaskan dari pengucilan.

Apakah Anda dikenal oleh kawan-kawan itu sebagai pencerita?


Oh, tidak. Praktis tidak begitu. Saya menulis saja. Tetapi waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11
tahanan politik dibunuh. Karena keadaan yang mencekam itu, saya bercerita untuk mengendurkan
ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan
kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.

Apa betul pembebasan Anda pada 1979 ada campur tangan pihak asing?
Betul. Sebelum meninggalkan Buru kami harus menandatangani surat pernyataan bahwa kami diperlakukan
dengan baik. Sebagai tahanan politik yang tak punya hak, ya kami tanda tangani saja. Ternyata, di utara Selat
Madura, sekitar 30 orang diturunkan dari kapal. Sementara itu, kapalnya langsung berangkat ke Jakarta.
Rencananya, sebetulnya, kami mau disembunyikan di Pulau Nusakambangan. Tapi, sejak di Pulau Buru,
tampaknya kami sudah diamati oleh gereja Katolik. Saya melihat sendiri orang gereja itu diusir, ia tidak
boleh dekat-dekat. Tapi dia memantau sampai dunia internasional tahu bahwa ada sebagian tahanan politik
yang tak diangkut ke Jakarta. Lantas itu menjadi berita internasional.
Setelah diketahui persoalannya oleh pihak internasional, rupanya mereka mengalah.

Bagaimana dengan pembelaan Anda terhadap Soekarno, terutama berkaitan dengan para sastrawan
tahun 1960-an yang menyerang Bung Karno dengan pandangannya yang membatasi pengarang
melalui Manifes Kebudayaan. Kenapa Anda begitu kukuh membela pandangan realisme sosialis
sampai sekarang ?
Saya tak pernah membela realisme sosialis. Saya memang diminta berbicara mengenai realisme sosialis di
UI. Dengan pengetahuan saya yang sedikit ya saya laksanakan. Kok terus dicap pendukung realisme sosialis.
Saya terima undangan itu justru untuk mencari input.

Sekarang kan Anda dekat dengan beberapa orang Manifes Kebudayaan, tetapi kelihatannya masih
berjarak juga dengan beberapa yang lain. Apa yang membedakan sikap Anda ini?
Soal Manifes Kebudayaan, itu persoalan pada masa Soekarno, saat Indonesia terjadi perang dingin. Semua
orang supaya bersatu melawan Barat yang menghendaki Indonesia jadi jarahannya. Saya membantu
Soekarno dan itu didukung juga oleh semua yang menghendaki Indonesia menjadi negara yang mandiri.
Sementara itu, Manifes Kebudayaan kan menghendaki kebebasan kreatif. Itu dilakukan setelah Central
Intelligence Agency (CIA) membuat kongres. Setelah itu baru muncul Manifesto Kebudayaan (Manikebu).
Dan kita tahu tujuan CIA. Itu yang kita lawan. Soekarno sendiri mengatakan bahwa ia tahu orang-orang yang
menerima uang dari Amerika berikut jumlahnya.

Anda menganggap penanda tangan Manifes Kebuda-yaan itu pengkhianat Soekarno?


Menurut saya begitu. Sampai sekarang rasanya tidak berubah.

Sejauh mana sih Manifes Kebudayaan merongrong kewibawaan Soekarno?


Karena mereka memecah kesatuan untuk menghadapi Barat.

Bukankah orang Manifes Kebudayaan itu sedang mengkritik Soekarno?


Itu bukan mengkritik. Ia membuat jalan lain yang merugikan.

Apakah hubungan Anda dengan H.B. Jassin baik-baik saja?


Dia guru saya. Tetapi, setelah saya menilai ia tidak konsekuen dengan ajarannya, ya saya tinggalkan. Dia
guru saya yang mengajarkan tentang humanisme universal. Lantas ada penindasan terhadap minoritas
Tionghoa, dia diam saja. Ada pembantaian jutaan orang, dia diam saja. Hak-hak satu setengah juta orang
dirampas dan diinjak-injak, dia diam saja. Malah dia diberi penghargaan Mahaputra oleh Orde Baru. Jadi
bagaimana prinsipnya tentang humanisme? Karena itu, ketika dia sakit, no. Saya tidak mau tahu.

Sebetulnya berapa keras benturan antara Anda dan orang-orang Manifes Kebudayaan ketika itu?
Saya cuma membuat polemik. Saya hanya menulis. Masa semua kekuatan ini harus erkepal pada jari tinju
untuk membela dan memukul lawan RI. Itu saja. Yang tidak setuju, ya minggir saja. Negara kan dalam
keadaan bahaya. Soekarno sendiri sudah tujuh kali lolos dalam pembunuhan.

Anda juga dituduh membakar karya-karya orang Manifes Kebudayaan?


Omong kosong. Kalau saya bakar dokumentasi orang lain, kan gila. Jika saya mau, saya bawa pulang.
Kenapa Anda seperti hidup dalam dendam masa lalu?
Itu terserah saja, kan orang punya pendapat. Menurut penilaian saya sendiri saya tidak pernah mengkhianati
prinsip saya.

Apa betul sastrawan-sastrawan Lekra, katanya, dulu sangat arogan dan menindas?
Menindas? Kekuasaannya itu dari mana? Yang berkuasa itu Angkatan Darat karena menguasai teritorial.
Saya bekerja membantu harian Bintang Timur. Kantor Bintang Timur pernah dilempar granat sekali, tak
pernah ada penyelidikan. Padahal Bintang Timur itu loyal terhadap Soekarno. Pelarangan-pelarangan ide itu
bukan berasal dari Soekarno, bukan dari Lekra, tapi Angkatan Darat. Koran-koran dibredel. Itu dilakukan
oleh Angkatan Darat. Tapi yang dituduh melakukan itu Lekra. Aneh-aneh saja.

Sekarang kita bicara karya sastra. Dalam Bumi Manusia, buku itu seperti bercerita sendiri.
Kemudian terjadi pergeseran teks pada Jejak Langkah saat pengarang menjadi pihak yang berkisah.
Apakah itu disengaja?
Cerita itu yang bermain sendiri. Dan ini memang satu cara menulis yang saya pelajari dari Steinbeck dan
Idrus. Jadi, kalau kita membaca, kata-kata itu membangunkan gambar di dalam otak. Sampai setua ini, itulah
cara saya (menulis).

Dengan sastra membela rakyat, seperti yang Anda katakan, apakah itu bukan bagian pandangan
realisme sosialis?
Barangkali. Tetapi saya tak tahu betul. Saya hanya menulis yang saya yakini. Dan keyakinan terbesar adalah
berpihak pada rakyat dengan cara dan kemampuan apa pun. Bahwa itu disalahkan silakan saja, itu hak orang
lain. Karena itu, saya tak pernah merasa punya musuh dalam sastra.

Kalau setiap karya harus menyuarakan rakyat, lalu sebetulnya bagaimana penilaian Anda terhadap
karya yang tak bercerita tentang rakyat?
Ya, boleh saja bercerita tentang individual asalkan membela kebenaran, keadilan.

Dalam sebuah karya sastra mana yang lebih penting, pembelaan pada rakyat, atau keindahan yang
diciptakan dalam karya sastra itu?
Soal keindahan itu banyak persoalan. Apa itu keindahan? Menurut Pujangga Baru, keindahan itu terletak
pada bahasa. Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan:
pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam
mengutak-atik bahasa.

Kalau yang lebih penting adalah pemihakan kepada rakyat, sementara keindahan itu nomor dua, lalu
apa bedanya antara karya sastra yang membela rakyat dan pidato politik yang membela rakyat?
Ya, itu sejalan saja. Setiap orang tidak bisa lepas dari politik. Politik dalam hal ini berarti kekuasaan. Segala
sesuatu yang bersinggungan atau terangkum dalam kekuasaan adalah politik. Mengibarkan bendera Merah
Putih serta pemihakan pada RI itu sudah politik. Membayar pajak itu sudah politik, karena itu memberikan
masukan kepada kas negara. Kalau tak menolak menjadi warga negara Indonesia itu juga politik. Tidak ada
yang bebas dari politik.

Termasuk karya sastra?


Termasuk. Semuanya.

Katanya Anda tak membaca karya-karya sastrawan Indonesia, Anda tak tertarik atau tak mau?
Tidak ada artinya untuk saya. Orang dalam penindasan, membaca dengan foya-foya. Membaca buku
Perjalanan Pengantin (karya Ajip Rosidi, Red.), saya tak bisa. Orang yang tertindas seperti saya tak bisa
menikmati karya seperti itu.

Kalau karya Seno Gumira Adjidarma?


Cuma karya dia yang saya baca. Satu saja cerpennya yang saya baca. Dan itu sudah lama sekali. Ketika saya
baru pulang dari Pulau Buru. Dan saya lihat dia pengarang baik. Dia mempunyai keberanian. Tidak ragu-
ragu menyatakan kebenaran yang dia anggap kebenaran

Novel Saman karya Ayu Utami?


Satu halaman saya baca. Isinya seks melulu. Untuk saya, itu kan sudah lewat.

Apakah itu sebabnya semua tulisan Anda, jika bukan novel-novel tentang revolusi, novel sejarah?
Ya, karena, menurut saya, sejarah itu penting. Sejarah itu kan rumah tempat orang melanglangi dunia. Jadi,
kalau dia tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan.

Peristiwa Mei, misalnya, jatuhnya Orde Baru, apakah akan dibuat novel?
Saya tidak menulis itu. Itu merupakan suatu bagian dari proses yang belum selesai. Soal Orde Baru. Jika saya
tulis juga, itu menjadi jurnalisme. Bukan sastra.

Dari sekian karya Anda meski-pun Anda tidak pernah membacanya kembali, mana yang paling Anda
sukai?
Sama saja. Semua itu anak-anak rohani saya. Masing-masing punya sejarahnya sendiri. Semua saya sayang.

Kebebasan ini membuat Anda kembali berkumpul dengan keluarga. Apakah Anda pernah berterima
kasih untuk kembali berkumpul dengan Orde Baru itu?
Terima kasih? Buat apa saya berterima kasih. Pernah ada pertemuan dengan wartawan lokal dan luar negeri.
Mereka bertanya apakah saya tidak menginginkan amnesti. Lha, yang berhak memberikan amnesti itu saya
kepada kekuasaan. Seperti sekarang, Budiman menolak grasi, itu (keputusan) yang betul. Kenapa diampuni,
memang dia salah apa? Kan persoalannya karena pemikiran dia tidak sama dengan penguasa. Sekitar tiga
tahun sebelumnya saya ucapkan itu: saya yang berhak memberikan amnesti, bukan sebaliknya.
Pandasurya wrote: "Mengapa Anda mengumpulkan tulisan-tulisan semacam itu?
Saya mempelajari sejarah. Saya memang bukan ahli sejarah, tetapi suka pada sejarah. Itu saja soalnya.
Mulai mengumpulkannya tahun 1960-an. Setelah saya keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor
Tjan Tjun Sin datang kemari minta saya mengajar di Universitas Res Publica. Saya bilang, bagaimana
mungkin saya mengajar di perguruan tinggi, SMP saja saya tidak tamat. Cara mengajar pun saya tidak
tahu, karena belum punya pengalaman. Karena tidak mengerti tentang perguruan tinggi, ya, saya punya
cara sendiri. Setiap mahasiswa saya wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Dari situ,
dari naskah-naskah kerja mereka, saya mendapat petunjuk ke sana, ke sana, dan ke sana. Setiap tahun ada
sekitar 28 mahasiswa yang saya kasih tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional itu penuh dengan
mahasiswa saya..."

Kalimat yang ditebalkan dan kalimat-kalimat yang lainnya mengingatkan saya pada Adam Malik yang
pernah mewakili Indonesia berpidato di forum internasional, suatu rapat besar antara bangsa-bangsa dunia di
mimbar PBB, Sidang Umum PBB.
Menurut riwayatnya, Adam Malik berasal dari sebuah kampung kecil di daerah Sumatra Utara dan tidak
pernah menamatkan SD. Hanya bermodalkan gemar membaca menjadikan sepak terjangnya di panggung
politik nasional semakin melesat hingga membawanya menjadi Menteri Luar Negeri pada masa Orde Lama
dan menjadi Perdana Menteri pada masa parlementer RI.
Suatu prestasi yang sulit diikuti oleh orang lain, termasuk prestasi Pramoedya.

PS: Apa itu Universitas Res Publica? Cikal bakal Universitas apa di Indonesia? Siapa Prof.Tjan Tjun Sin?

hai Bea,
Univ ResPublica itu sekarang Univ. Trisakti
nah klo Prof.Tjan Tjun Sin kurang tau tuh, klo dr kalimatnya mungkin semacam rektor ato mungkin dosen di
Univ Res Publica itu ya..
yup Pramoedya, Adam Malik dan orang2 spt mereka memang orang2 yg punya semangat tinggi sbg
pembelajar kehidupan ya..belajar dr mana aja, tidak harus selalu dr bangku sekolah.
sekolah kehidupan telah membuat mereka jadi orang besar yg besar juga jasanya..:)

Pandasurya wrote: "hai Bea,


Univ ResPublica itu sekarang Univ. Trisakti
nah klo Prof.Tjan Tjun Sin kurang tau tuh, klo dr kalimatnya mungkin semacam rektor ato mungkin dosen di
Univ Res Publica itu ya..
yup Pramoedya, Adam Malik dan orang2 spt mereka memang orang2 yg punya semangat tinggi sbg
pembelajar kehidupan ya..belajar dr mana aja, tidak harus selalu dr bangku sekolah. sekolah kehidupan
telah membuat mereka jadi orang besar yg besar juga jasanya..:)"

Wah, berarti sejarah berdirinya Universitas Trisakti sudah sejak lama dan punya latar historis yang cukup
kuat.
Adam Malik, Pramoedya dan orang-orang yang semacam itulah yang berhasil menyemangati rakyat
Indonesia untuk tetap berpacu untuk menjadi masyarakat dunia yang maju.
Makasih mas Panda atas ulasan2 tentang PAT, btw ada atau tidak ya autobiografi PAT?

makasih kembali, Bea:)

klo buku autobiografinya PAT yg lengkap kynya belum ada ya, tp mungkin bisa dicoba "Pramoedya
Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer"
http://www.goodreads.com/book/show/19...

ato klo boleh saya sarankan bisa juga baca karya PAT sendiri yaitu di buku "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu"
http://www.goodreads.com/book/show/65...

bisa dibilang itu karya monumental/masterpiecenya PAT berupa non-fiksi yg isinya memang sebagian besar
menceritakan riwayat hidup PAT sendiri dan keluarganya
sangat rekomenlah, rasanya belum ada tandingannya :)

Anda mungkin juga menyukai