com
http://indoprogress.com/2013/08/menjadi-eksil-puisi-eksil-dan-indonesia-wawancara-dengan-agam-wispi/
Setelah tragedi 1965, ratusan orang yang sedang ditugaskan pemerintah Sukarno untuk sekolah, bekerja maupun
melakukan lawatan dinas di luar negeri terhalang pulang. Paspor mereka dicabut dan akses komunikasi ke dalam
negeri, bahkan untuk berhubungan dengan keluarga pun, diputus. Melalui wawancara dengan Agam Wispi, seorang
penyair terkemuka, para pembaca diajak menelusuri sejarah tragedi 65, bukan dari angka dan fakta-fakta besar,
tetapi dari pengalaman pribadi yang sarat rasa dan asa. Bagaimana bentuk pencarian identitas sebagai eksil setelah
tercerabut dari akar? Bagaimana pengalaman ini dituangkan dalam karya sastra, terutama karya sastra eksil, dan
apa pengaruhnya dalam eksperimen bentuk dan isi? Juga, bagaimana imajinasi, frustrasi, dan harapan seorang eksil
tentang Indonesia, tanah air, masa lalu, dan kekinian?
[1]
Daya Kreatif Daya Tahan Hidup
Saya mau tanya, Gam. Dengan terjadinya peristiwa akhir September 65, tentu akhirnya kau sadar, bahwa kau
tidak akan dengan mudah dan dalam waktu cepat bisa kembali ke tanah air, untuk bertemu keluarga, bertemu
teman-teman, kampung halaman, dan sebagainya. Bagaimana perasaanmu ketika itu?
Sebenarnya masalah perasaan ke tanah air ini, bisa pulang atau tidak, itu mengalami tingkat-tingkat atau periodeperiode. Sampai tahun 67 saya masih punya harapan untuk pulang. Jadi masih. Dan itu memang dikobarkan harapan
untuk pulang itu. Mungkin ada keinginan untuk menyalahgunakan. Itu lain soalnya. Tapi pokoknya secara pribadi,
saya ada harapan untuk pulang. Sebab, pertama tidak mengetahui persis apa yang terjadi di tanah air, dan kita selalu
dipompa kita akan pulang dengan segera ke tanah air . Dan saya juga yakin itu. Kapan itu berakhir? Bagi saya,
Blitar[i] sangat menentukan. Kekalahan Blitar Selatan buat saya sudah selesai. Saya tidak akan bisa pulang lagi. Dan
pulang pun untuk apa lagi?
Tahun?
Tahun 65. Jadi, waktu pergi meninggalkan Indonesia menuju Vietnam, Mei 65, saya menulis sajak Hongkong itu.
Pada bagian terakhir saya katakan, rasanya seperti suatu firasat begitulah ya. Suatu ramalan: tanah airku, betapa
aku rindu. Nah ini juga, teman penerjemah juga mempersoalkan ini. Kenapa ini, ada voorgevoel ini? Apa memang
betul saya ada voorgevoel? Tapi voorgevoel yang lain! Voorgevoel saya pada waktu itu, saya ditugaskan pergi ke
Vietnam untuk melaporkan pemboman Amerika, dan jelas di tanah air sudah dianggap saya mati. Saya akan pergi
untuk mati. Termasuk Halyani[ii]. Jadi saya sudah siap pergi untuk mati. Di samping keinginan avontuur [petualangan]
ya. Semangat mudalah sehingga saya membawa semua foto anak-anak saya. Aduh! Semua foto anak-anak saya
bawa. Dan waktu sampai di Beijing, saya perlihatkan foto ini kepada si Kamaludin Rangkuti[iii]: Wah! Kau ini sudah
siap untuk jangka lama? katanya. Padahal waktu saya perlihatkan foto itu sudah tahun 66. Inilah barangkali yang
bisa dikatakan voorgevoel itu. Supaya saya bisa punya sesuatu, kalau saya rindu tanah air, kerinduan itu tetap.
Bahkan besar.
Tapi sesudah ada kesadaran, atau bahwa voorgevoel itu ternyata memang menjadi kenyataan, kau menulis
atau tidak?
O, iya!
Perasaanmu bagaimana ketika itu? Menulis, menulis tentang apa dan mau ke mana?
Yang saya tulis terutama tentang realitas kami terkurung di Tiongkok itu. Dalam sajak saya catatan tentang Nanching,
tempat itu bahkan saya sebut semacam kurungan. Karena itu memang met prikkeldraad, dengan kawat berduri dan
tembok dan dikawal militer. Rasa terkurung itu semacam protes. Kemudian ada lagi sajak saya tentang tahun baru di
luar negeri. Di situ saya memperlihatkan, bagaimana mereka ini merayakan tahun baru, bersenang-senang, minumminum, mabuk-mabuk, berdandan. Jadi, sudah sejak itu saya selalu ada semacam pandangan sinisme.
Terhadap?
Termasuk terhadap kawan-kawan sendiri. Ya mereka tidak tahu, bahwa kawan-kawan sekarang disembelih. Padahal
mereka sendiri meninggalkan istri dan anaknya, bagaimana hidup mereka, tapi mereka di sini mabuk-mabuk,
bersenang-senang.
Menurutmu, apa sebab mereka bersenang-senang dan mabuk-mabuk? Apa karena tidak peduli dengan
suasana atau problem di tanah air, atau karena takut menghadapi kenyataan?
Frustrasi. Pertama, kalau menurut saya frustrasi, dan mereka mencoba menghilangkan frustrasi itu. Karena situasi
terkurung itu juga, ya, saya ketemu dengan umpamanya seorang wanita yang saya tulis juga di dalam sajak saya itu,
salah satu sajak, dia menangis di depan tungku teringat kepada anaknya yang di rumah. Bagaimana nasib anaknya?
Dia tahu suaminya di penjara. Siapa yang mengurus anaknya? Nah dia seorang wanita. Kalau dia seorang laki-laki,
bagaimana? Wanita malah yang harus tinggal mengurus anak-anaknya. Atau wanitanya pula ditangkap, kan?
Bagaimana anaknya?
Jadi, menurut saya memang ada frustrasi. Dan mulai ada keyakinan pada mereka, nampak-nampaknya kita ini tidak
bisa pulang. Itu sudah mulai nampak dan terjadi sekitar tahun 67. Apalagi sesudah Blitar. Sudah, Blitar itu jelas sekali.
Buat saya pun tampak jelas.
Lalu sesudah menjadi jelas, bahwa dengan Blitar Selatan kemungkinan pulang tidak ada lagi, terus
Maksud saya, misalnya, hubungan dengan, atau ya, karena berdarah berdaging Indonesia ya? Bagaimana ini?
Bagaimana? Sesudah ternyata darah-dagingnya itu harus di, apa namanya ya? Tidak bisa dipupuk kembali
dengan kembali ke tanah air?
O, begini, pada waktu itu, saya menganggap, yang penting kan saya hanya menulis perasaan saya dengan bahasa
Indonesia yang saya kuasai, dengan materi kehidupan saya yang konflik di luar negeri itu. Jadi, tidak ada
hubungannya dengan tanah air. Paling-paling tanah air itu hanya suatu kerinduan. Itulah! Kerinduan saja yang saya
coba tumpahkan di dalam sajak-sajak itu. Hanya sampai pada kerinduan, baik konkret terhadap keluarga, maupun
terhadap tanah air keseluruhannya.
Tetapi saya merasa, ada sesuatu di dalam diri saya yang membuat saya bisa bertahan. Karena saya melihat
bagaimana kawan-kawan lain kerjanya hanya main kartu, atau segala macam untuk menghilangkan frustrasi dan tidak
kreatif. Merasa bahwa diri ini kreatif,saya pikir, penting sekali. Untuk daya tahan hidup. Kalau itu sudah tidak lagi bisa
dirasakan ya, berakhirlah. Sebagai penyair, berarti mati. Sudah mati. Dan saya tidak mau mati. Itulah!
[2]
Tantangan Identitas dan Bayangan Ketakutan
Tadi sudah disebut bahwa kreativiteit [kreativitas] itu yang memberi daya hidup. Lalu, karena terpisah dengan
tanah air dan dengan rakyatnya, artinya terpisah dengan pembacanya sebenarnya, bagaimana, apakah Bung
berpikir tentang bagaimana uitvoering [implementasi] dari kreativiteit itu?
Ya, pada waktu itu masih ada yang disebut kording, yaitu koran dinding. Saya menyiarkan sajak-sajak saya di situ.
Atau saya simpan, dan saya baca sendiri atau dibacakan di depan kawan-kawan. Tapi yang penting menurut saya
begini, ya, antara lain, saya mulai merasakan di situ kehilangan tanah air. Ada akibatnya di dalam puisi. Ada akibatnya.
Akibatnya aku kehilangan nafas Indonesia itu. Nafas itu, mungkin juga dalam bentuk ungkapan yang hidup. Itu sudah
mulai terasa sangat mencari-cari. Itu mulai terasa. Sebab, bagaimana pun rakyat itu kan mempunyai ungkapannya
sendiri. Kehidupan lingkungan Indonesia itu mempunyai ungkapan sendiri terhadap suatu gejala. Dan ini tidak ada
lagi. Yang ada itu hanya yang didapat dari koran, ya? Itu tidak cukup sebenarnya dan bukan itu maksudnya. Dan
sekarang juga itu terasa. Sekarang lebih-lebih lagi terasa dengan berkembangnya kehidupan di Indonesia. Inilah yang
sangat mengerikan sebenarnya bagi penyair.
Tapi massa pembaca Bung sekarang kan lain dengan massa pembaca yang ungkapannya berkembang yang
di tanah air?
Ya!
Apakah menjadi sangat penting , tentang ungkapan yang tertinggal dengan ungkapan tanah air?
O, ini nanti kita sampai pada kesimpulan, akan menyinggung, untuk siapa aku menulis sekarang itu? Aku sekarang
hanya sampai pada kesimpulan: untuk manusia! Apakah itu manusia Indonesia atau manusia Eropa. Dan tidak peduli
apakah itu tentang Indonesia atau bukan tentang Indonesia. Kehidupan sebagai manusia, manusia Indonesia tentu.
Nah, di sinilah. Jadi ini, apa namanya, inilah satu perubahan penting pada masa eksil ini, yaitu apa yang disebut
sastra untuk hasil sastra saya untuk rakyat. Rakyatnya yang mana, yang bagaimana? Jadi, saya sampai kepada
sastra hanya untuk manusia.
Di mana saja?
Di mana saja!
Tapi bahasanya?
Saya hanya bisa bahasa Indonesia. Dan hanya itu yang saya anggap saya mampu. Kalau tidak, nanti saya palsu, toh?
Artinya, mencoba-coba dengan bahasa asing, dan menjadi dibuat-buat, ditertawakan orang: Ini sudah ketinggalan
pemakaian kata-kata ini. Dalam bahasa Belanda saja tidak mungkin, kalau Jerman masih mungkin tapi tidak berani
saya. Nah, satu segi lain, yang ikut menolong ini adalah perkayaan pandangan saya dengan sastra dunia.
O, Garcia Marquez.
Garcia Marques umpamanya. Bagaimana ia mengambil pemikiran-pemikiran fantasi dan kepercayaan rakyat, yang
tidak mungkin ada di Eropa? Itu kan satu perkayaan dunia sebetulnya. Apakah Indonesia bisa bikin begitu? Kalau
saya sudah terang tidak mungkin. Mestinya yang di Indonesia yang melakukan itu. Tapi apakah mereka sampai pada
pemikiran taraf Sastra Dunia? Tidak tahu, bagaimana perkembangannya di sana. Tapi saya pikir, ini satu keharusan
sebenarnya buat mereka. Mungkin sekarang sudah ada usaha-usaha dengan masalah terjemahan, tapi itu saja tidak
cukup sebenarnya.
Bahasa mereka sendiri! Ambillah umpamanya, kita ambil Jerman. Jerman punya pengalaman banyak dalam sastra
eksil ini. Misalnya, Anna Seghers, sebagai pengarang wanita. Dia menulis tentang, roman yang pertama itu tentang
eksil. Namanya [judulnya] pun kalau saya tidak salah Exil juga. Roman ini mengisahkan tentang bagaimana seorang
wanita dalam menunggu mendapatkan paspor untuk mendarat ke Amerika, menanti di Spanyol. Di situ, menunggu di
suatu warung kopi dengan segala macam perasaan kegelisahan. Bisa dibayangkan itu, bagaimana gelisahnya. Ada
kemungkinan ditangkap, dan dikembalikan ke Jerman yang berarti mati atau konsentrasi kamp sampai dia menulis
tentang banyak hasil-hasil sastra selama eksil di Amerika Latin. Bagaimana dengan Brecht, misalnya, juga Thomas
Mann.
Di antara sastrawan yang tereksilkan ada di Eropa atau di mana, apakah Bung kenal? Ada yang mulai
menulis begitu; menulis pengalamannya sebagai eksil? Sebab di dalam seni lukis, misalnya, saya pernah
ngobrol sama Bung Resobowo[v], ia bilang tidak ada tema yang bisa dilukis. Saya bilang tidak betul. Di
sepanjang sungai Amstel itu tema
Tidak betul! Tidak betul! Nah, karena itu ini sebenarnya terutama bisa didapatkan pada puisi. Mungkin kalau roman,
mereka tidak mampu mengerjakannya, atau belum tahu bagaimana mengerjakannya, itu juga mungkin. Atau kita
belum membuka persoalan ini pada mereka supaya ditulis sebagai roman, juga mungkin. Cobalah ambil cerita
pendek, umpamanya. Prosa. Di samping itu, ada problem mengambil jarak tentu saja. Itu minta waktu, kan? Ada
waktu. Oleh karena itu, saya melihat mungkin umpamanya di dalam puisi saja yang baru ada. Tapi itu pun
nampaknya onbewust [tidak sadar]; tidak menyebutkan eksil. Seperti saya sebutkan pada beberapa sajak saya,
nyata-nyata eksil. Jadi, mereka masih belum merasakan betul, kawan-kawan luar negeri, perlunya ada sastra eksil.
Ambillah umpamanya cerita-cerita pendek yang terbit sekarang yang dibukukan oleh Kohar[vi] itu, kan kembali pada
zaman dulu.
Apa sebabnya?
Apa sebabnya!
Oo
Ketakutan ini saya pernah tanya pada seorang kawan, umpamanya. Bagaimana kalau Bung menulis memoar?.
Bagaimana jawabannya? Ah, kalau saya menulis memoar nanti saya terpaksa mengungkit-ungkit soal partai, ini-itu,
nanti saya menyebut nama seseorang ini-itu. Nah, jadi rasa ketakutan ini ada. Walaupun saya tahu dia bukan penulis,
ya, tapi saya katakan, Bung kan punya pengalaman banyak sekali yang diperlukan oleh teman-teman untuk
membacanya.
[3]
Sastra awang-awang
Karena tadi sudah bicara banyak tentang tanah air dan luar tanah air, dan Agam sudah bilang sekarang
menulis untuk manusia, jadi bagaimana sekarang gambaran Agam tentang tanah air? Kalau kau mendengar
kata Indonesia, apa itu? Apa yang masih tersisa sekarang?
Yang ada hanya kebanggaan saja, kebanggaan bahwa tanah air saya itu indah, ada kelebihannya ini itu. Hanya
tinggal kebanggaan, tapi tidak ada
Keterikatan?
Ya. Keterikatan sudah tidak ada lagi. Saya ini barangkali, Bung, kalau bisa dirumuskan, saya ini sudah jadi orang Indo.
Indo (tertawa) yang di Belanda. Indo Indonesia yang ada di Belanda. Ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar.
Jadi, apakah pada suatu ketika yang namanya sastra eksil selalu sastra awang-awang?
Rasa awang-awang dilihat dari bahwa dia hidup di dua dunia. Itu. Dua dunia. Maka itu, tadi saya bilang jadi Indo,
bukan? Dua dunia. Satu dunia Indonesia, satu dunia luar negeri. Ini sastra awang-awang tapi sebagai sastra tentu dia
konkret dengan kehidupan eksil. Kehidupan eksil itu kan konkret. Itulah sebenarnya sumbangan kepada sastra
Indonesia kalau dia mau tulis kedudukannya sebagai orang yang hidup di awang-awang. Saya tidak akan menyanyi
Wilhelmus, saya akan tetap menyanyi Indonesia Raya. Begitulah umpamanya, ya toh? Tapi saya tidak akan
menyanyikan Indonesia Raya di sini. Nah, itu juga kan?
Tidak ada gunanya. Tidak ada fundamennya. Ya tidak bisa melahirkan nyanyi itu. Tapi kalau saya mendengar
kroncong, kan tetap saya merasa bisa kembali Indonesia itu. Atau saya baca sastra-sastra, hasil sastra Indis
umpamanya. Timbul itu,kembali itu, apa itu namanya, melankoli, atau, atau kerinduan kepada Indonesia zaman
mereka itu hidup yang saya juga pernah hidup pada zaman itu.
Karena tadi sudah bicara soal menulis untuk manusia. Siapa saja, di mana saja, terus bagaimana Agam
melihat Indonesia sekarang? Apakah sistem politiknya, dinamika masyarakatnya, dan apa masih merasa
ada komitmen dengan apa yang terjadi di Indonesia?
Barangkali sudah tidak ada. Saya harus bisa melihat apa yang terjadi di Indonesia itu dari sudut manusianya tadi.
Jadi, ambillah umpamanya masalah Wiji Thukul. Konkret. Saya kan melihat manusianya. Manusia Wiji Thukul. Jadi,
umpamanya, waktu begitu dapat kabar tentang Wiji Thukul, pikiran yang terutama timbul pada saya bagaimana nasib
anak-istrinya. Bahwa ada soal rezim, itu jelas. Itu tidak perlu lagi dibicarakan sama saya. Itu sudah soal yang jelas.
Tapi bagaimana Wiji Thukul sebagai seorang penyair muda yang sedang tumbuh dalam dunianya sendiri? Jadi timbul
protes yang bersifat kemanusiaan. Kalau kita bicara soal kemanusiaan, ya sebenarnya melihat dari sudut manusia.
Jadi, reaksi yang pertama pada waktu saya mendengar kabar dari Bung tentang Wiji Thukul itu adalah bagaimana
anak-istrinya. Ini sebenarnya manusia saja kan? Tidak soal rezim tidak soal apa. Itu sudah diketahui dunia. Sudah
jelas.
Bagaimana sikap Agam dalam melihat rezim di Indonesia , bekas tanah air Bung?
Sekarang
Apakah juga masih ada rasa committed dengan perkembangan situasi di Indonesia seandainya nanti menjadi
baik? Apa ada harapan begitu, atau, ya, biarlah itu berjalan dengan waktu?
Yang terakhir itu yang ada pada saya sebab itu tidak bisa dipaksa. Saya pikir hampir persis seperti pendapat Pram
sekarang, revolusi itu hanya suatu yang dibikin-bikin bukan lahir dari bawah. Hanya dibikin-bikin. Dan apa yang hanya
dibikin-bikin, ya, pada akhirnya gagal. Tapi akan ada perkembangan toh? Cuma saya melihat Indonesia itu sudah
mencapai suatu taraf perkembangan baru. Dan taraf perkembangan baru ini lama tentu.
Belum seperti yang kita inginkan itu, yang kita inginkan sekarang atau kita inginkan dulu?
Yang kita inginkan sekarang. Yang dulu sudah tidak ada. Nonsens itu! Sudah omong kosong, buat saya sudah
berakhir. Jadi, buat saya, yang dulu itu sudah selesai. Oleh karena itu, kalau ada orang mau kembali mengungkitungkit apa yang kita lakukan dulu, buat saya sudah ketinggalan, ketinggalan zaman, termasuk ide-ide soal Seni untuk
Rakyat, Politik adalah Panglima, semua sudah ketinggalan. Sekarang harus lebih daripada itu. Nah, rezim ini kan
rezim yang antimanusia sebenarnya. Ini yang harus kita lihat. Bagaimana mengangkat manusia. Jadi, penglihatan
pada rezim itu harus dilihat juga dari sudut ini; dari sudut bagaimana penilaian rezim ini dalam nilai-nilai manusia.
Tapi tentang rezim-rezim yang antimanusia itu, bagaimana menurut Bung, dalam hubungannya dengan
kreativitas sastra atau seni lainnya? Apakah tidak perlu dipikirkan?
O ya, o ya! Saya ambil satu contoh saja. Untuk pertama kalinya, saya datang di Belanda ini, baru saya tahu kejahatan
terhadap penyair Mandelstam umpamanya. Di situ baru, kalau dulu orang bicara soal Stalin pernah membunuh sekian
ribu orang, masi ya, saya belum terbuka. Mengerti maksudku? Dalam arti, yah, mungkin disebut propaganda, atau, ya,
belum dibuktikan. Segala macam alasan bisa dicari. Tapi sesudah saya membaca tulisan Mandelstam, dan karena itu
dia dibuang sampai mati di Siberia, dan tidak pernah lagi ketemu istrinya seumur hidup, kuburannya pun tidak
diketahui, saya luka. Nah, ini. Rasa luka ini rasa manusia. Jadi, tidak peduli kalau umpamanya, ambil saja masalah
hukuman mati atau kekejaman-kekejaman yang bersifat teror, kan tidak peduli? Di mana saja harus kita lawan?
Apakah di Indonesia, ataukah yang namanya di negeri sosialis yang pernah kita puja? Itu juga harus dilawan. Sama
saja. Kalau di negeri-negeri demokrasi terjadi, ternyata, ya, rakyat di sini kan juga bangkit? Tidak akan mau mereka
diperlakukan begitu. Nah, di situ kita menemui salurannya. Oleh karena itu, pada mula saya datang ke mari sikap
saya berhubungan dengan gerakan-gerakan yang ada di sini, termasuk gerakan Belanda sendiri, karena mereka
sebenarnya berjuang untuk mempertinggi tingkat manusia itu; mempertinggi, apa namanya, nilai manusia!
Harkat manusia.
Harkat. Mempertahankan nilai manusia itu. Kalau saya mendengar umpamanya perjuangan untuk milieu sekarang.
Bagaimana dengan perjuangan milieu di Indonesia? Kan itu hancur! Kita kan pernah bicara soal haiku[vii]. Haiku itu
betul-betul memberi saya satu senjata. Artinya, kepada saya diajarkan, bahwa pohon itu juga bernyawa, yang dulu
tidak pernah saya pikir. Batu juga berhak untuk hidup. Nah, sekarang? Hutan-hutan ditebas seenaknya di Indonesia?
Sedang orang sudah bicara tentang ozon yang bolong segala macam , tidak ada perlawanan! Di sini segera
muncul Green Peace atau segala macam, kan kita bisa ikut serta. Dengan ini sebenarnya kalau mau dikatakan
dengan komitmen seperti tadi itu. Komitmen manusia dan alam. Jadi, sekarang saya lebih melihat manusia dan alam,
bukan lagi Indonesia. Akar Indonesia itu sudah hilang kalau dilihat dari sudut ini.
Suatu ketika, apakah tidak akan timbul problem dalam masalah cara berekspresi, atau alat berekpresi?
Karena alat ekspresi sastrawan bahasa, dan dalam hal ini bahasa Indonesia. Tapi Bung mau menjadi juru
bicara manusia yang menjadi nonbahasa. Apa suatu ketika tidak akan timbul problem?
Saya kira problem itu sudah saya lewati. Di dalam gaya, gaya puisi, ada periode sampai tahun 55 di Indonesia.
Semua Gaya Dharta[viii]. Yang begini-begini,pelan-pelan itu surut. Dan masing-masing mencari, menemui dirinya
sendiri. Saya kembali, saya lepas dari problem ini, terutama sesudah di Angkatan Laut, karena saya bisa melihat
Indonesia seluruhnya, dan jauh dari afstand [jarak] kegiatan politik sehari-hari di Jakarta sehingga saya berdekatan
dengan alam. Jadi, kembali lagi pada haiku tadi. Saya pikir begitu, tidak akan merusak puisi. Puisi akan mendapatkan
ekspresinya sendiri. Menemukan ekspresinya sendiri di dalam problem manusia ini, bahkan sekarang saya kira belum
cukup. Belum. Menurut saya, belum menemukan sebenarnya. Belum betul-betul menemukan. Ini yang masih saya
cari. Haiku itu kan salah satu usaha pencarian, ya toh? Dan kita teruskan dengan sasafas[ix]. Itu sebenarnya satu
usaha pencarian.
[4]
Apa Itu tanah air?
Hidup tidak berguna kalau tidak kreatif.
Saya sudah hapus bombasme itu. Tapi kita tidak usah menolak mengakui, bahwa bombasme itu satu periode dari
perkembangan, juga di Indonesia pada waktu itu. Pada akhirnya, toh sajak-sajak Dharta dirasakan sekali sebagai
bombastis dan semua kita ikut begitu. Tentu ada kesalahan-kesalahan tertentu dari kita, dari sudut kultur politik yang
membikin itu juga menjurus ke sana yang mencoba mempertahankan itu, bertahan dari gaya ini. Tapi pada akhirnya
kalau kita bicara soal manusia, kita kan mau lebih tinggi dari bombasme itu, yaitu, apa namanya, kita bisa
menyampaikan, perasaan?
Pendalaman?
Pendalaman tentang manusia dan perasaan-perasaan manusia yang di luar segi-segi buatan, pemikiran, politik apa
lagi!
Sekarang , terakhir saya kepengin tahu. Sebagai seniman eksil, apa yang Bung rasakan sebagai masalah
yang problematis?
Yang paling problematis adalah hilangnya, saya merasa kehilangan sesuatu yang penting dari tanah air.
Yaitu?
Itulah yang paling terasa.
Apa itu?
Itu suasana, ungkapan, bahasa, manusianya bagaimana?
Tapi Agam mau menulis manusia pada umumnya, apa itu perlu?
Iya! O! Karena saya menulis dalam bahasa Indonesia. Saya perlu mengungkapkannya di dalam bahasa Indonesia.
Yang sekarang tidak yang ketinggalan. Nah, inilah yang sangat dirugikan. Umpamanya saya bilang pada wartawan
radio kemarin yang menjemput saya[x], Saya ingin melihat pohon kelapa bukan dari film. Dari pohon kelapa di pantai
itu, saya ingin mencium bau pohon nyiur itu. Itu yang tidak bisa di dalam film. Nah ini hilang, Bung! Debur laut itu
mungkin bisa orang bilang sama. Tapi mungkin tidak. Debur laut di Scheveningen[xi] mungkin lain dari yang di orang
yang berjalan-jalan di pantai.
Jadi, apa boleh dibilang, bahwa sekarang sebenarnya perkataan cinta dan lain-lain menjadi abstrak?
O, ya.
Ya?!
Abstrak dan konkret juga. Konkret dan saya harus benda-benda kongkret itu harus saya bisa dijamah. Saya toh
ingin menjamah pasir Indonesia (diam beberapa jurus). Durian di sini ada. Apa yang tidak ada? Buah-buahan segala
macam, makanan di Indonesia, apa yang tidak ada di sini? Semua ada. Tetapi tetap lain. Sama seperti beras
Garut[xii] harus dimakan di Garut! (Tertawa bersama, Wispi sambil terus bicara). Kalau sudah dimakan di Jakarta
tidak enak. Airnya lain kok!
Ya betul!
Nah itu. (Kembali diam agak lama; di latar belakang ada suara Ken, ketika itu umur 11 tahun ) Apa lagi ada keluarga.
Aku toh ingin mendengar, melihat cucu bagaimana ? Bagaimana mereka hidup? Bagaimana cara berpikir mereka
sekarang? Ini kan sama saja dengan waktu kami di Bijlmer[xiii] kedatangan pemuda dari Indonesia yang saya bilang
umur 25 tahun. Cara berpikir dia yang umur 25 tahun, saya dulu tidak sampai sebegitu jauh. Dia memandang strategi
dan taktik politik yang konkret. Hebat anak umur 25 tahun! Dulu saya masih bodoh tidak akan bisa berpikir begitu.
Artinya apa? Ini kan juga semacam komitmen? Tapi kalau komitmen dalam sastra, itu lain. Kalau saya tidak rasakan
betul arti manusia, dalam satu peristiwa di Indonesia, mungkin saya tidak akan menulis sajak. Tidak tergerak lagi
seperti dulu! Di sinilah bedanya. Jadi bedanya, kalau dulu Latini[xiv] mati, saya terus menulis sajak. Sekarang ada
pembunuhan tidak lagi langsung. Tapi saya bisa menangis melihat anak Afrika, Somali, di film yang lalat berkerubutan
di mukanya. Ini manusia! Tidak peduli apa dia orang Afrika atau orang apa! Jadi problem-problem manusia yang
menyentuh perasaan manusia pada umumnya. Cobalah. Waktu saya melihat burung-burung di Teluk Persi
menggelepar tidak bisa terbang karena di dalam minyak, itu pedih sekali! Kasihan sekali. Saya berterima kasih betul
pada orang-orang yang menyelamatkannya dan memandikannya. Kemanusiaan yang tinggi pada mereka itu, kalau
bicara soal,apa namanya, kemanusiaan atau kebinatangan (tertawa pada istilahnya sendiri). Kebinatangan yang
tinggilah! Tetapi sekarang umpamanya orang di Dili itu, tidak tergerak perasaan saya, kecuali karena penyair Da Costa
itu. Dia terbunuh, nah, di situ saya tergerak. Itulah yang saya tulis karena hubungan penyair ini.
Kata Sabar[xv] yang bertanah air tak bertanah, dan saya akan tambah dan juga tak berair, ya?
Ya! Padahal airnya banyak di sini. Malah dari air jadi tanah! ( Derai tawa bersama) Di Belanda, ya? (Masih tertawa)
Tapi ya, kan ada kemungkinan nanti saya lebih merindukan pohon-pohon cemara ini dan salju daripada hujan di
Indonesia. Walaupun kadang-kadang saya terpikir kalau ada hujan, wah di Indonesia ini hujan bisa berarti mandi toh?
Mandi, main-main bola waktu masih kecil di bawah hujan. Dan di sini tidak mungkin. Jadi, bagi orang yang seperti
saya sekarang, separuh hidup sudah di tanah air tapi masa kecil di tanah air, separuh hidup dewasa di luar negeri,
tanah air ini menjadi lebih abstrak. Oleh karena itu, kalau mau merasakan tanah air kembali, memang harus
melihatnya kembali. Dalam hubungan itu, hanya kunjungan. Untuk hidup, saya pikir tidak mudah.
Tapi kalau bicara Sastra Indonesia dan peranan Agam Wispi sebagai sastrawan, Bung mau apakan Sastra
Indonesia itu? Hendak Bung bawa ke mana Sastra Indonesia? Jika saya pinjam ungkapan Sudjojono[xvi].
Biar dia mengabdi manusia betul. Betul-betul mengabdi manusia dan harga manusia. Ke sana mau saya. Dan di
bawah rezim sekarang ini saya tidak percaya itu. Karena mereka (maksudnya, Sastra) tidak bebas berbicara. Jadi,
harus ada kebebasan juga, kan? Sampai kepada menaikkan nilai manusia di dalam sastra. Mana, Indonesia
sekarang? Apa yang dilakukan Wiji Thukul yang sederhana itu kan sebenarnya meningkatkan harga manusia? Tapi
toh dia dilarang, dikejar-kejar, ditekan. Ya, kecuali kalau mereka hanya mau menulis sastra hiburan, atau melarikan diri
dari (tertawa sinis)dari tuntutan sesungguhnya daripada Sastra, ya.
Jadi, mereka yang dulu bicara soal humanisme universal pun tidak melaksanakan apa yang sebetulnya itu humanisme
universal. Kalau mereka laksanakan kan mereka mesti lawan rezim yang sekarang? Kenapa diam? Seperti Teeuwlah[xvii], kan dia tidak konsekuen sebenarnya, kan mesti ia kritik juga dong. Padahal ia yang mula-mula
memasukkan, mempropagandakan humanisme universal itu. Tapi pembunuhan terhadap ratusan seniman, ia diam
saja. Dalam bukunya itu, dia hanya terlalu halus. Terlalu halus dia. Terlalu menghindari. Di sini saya melihat
ketidakkonsekuenan itu.
Terima kasih, Bung Agam. Untuk menutup kongkow kita, saya ingin membaca salah satu sajak Bung dari
tahun 60-an. Bukan Demokrasi tapi. Walaupun sajak ini boleh dibilang menjadi tanda selar Agam Wispi.
Seperti Dharta dengan Rukmanda atau Banda dengan Tak Seorang Berniat Pulang. Dulu, saya juga
menyukai Demokrasi itu karena sederhana, pendek, dan punya daya bangkit yang besar. Tapi dari segi
sajak sebagai sajak, saya lebih menyukai Matinya Seorang Petani yang kaya dengan ungkapan dan
simbol-simbol segar yang tadi Bung banyak bicarakan itu. Lalu dari segi pesan, boleh saya ajukan kritik?
Katakan saja!
Demokrasi itu sebuah sajak buih wacana revolusi politik di DPR-GR dan MPRS atau koran-koran saja. Saya
lalu teringat pada lukisan Marah Djibal[xviii] Pemain Topeng, kira-kira dari tahun yang sama dengan
Demokrasi, yang jelas lukisan wajah Nasution berwarna ganda: sebelah merah, sebelah putih. Sedang kan
Matinya Seorang Petani sebuah sajak bukan buih wacana, tapi mudigah gejala revolusi sosial dan kultural
di tanah air konkret. Juga yang Bung tadi banyak sebut-sebut, tanah air abstrak dan tanah air konkret. Coba
dengarkan baik-baik, baris-baris sajak Bung sendiri.
padi bunting
menari dengan angin
ala, wanita berani jalan telanjang
di sicanggang, di sicanggang
di mana cangkol dan padi dimusnahkan
mereka yang berumah penjara
bayi di gendongan
juga tahu arti siksa
mereka berkata
yang berkuasa
tapi merampas rakyat
mesti turun tahta
sebelum dipaksa
jika datang traktor
bikin gubuk hancur
tiap pintu kita gedor
kita gedor
(Yang Tak Terbungkamkan, Jakarta 1960)
Kockengen, Belanda
22 November 1992
Hersri Setiawan adalah seorang eks-tapol Pulau Buru. Ia tinggal di Belanda untuk mengikut istrinya yang sakit
kanker, tapi kemudian isterinya meninggal di Belanda. Ia kembali delapan belas tahun kemudian, dengan istri barunya,
Ita Fatia Nadia. Mereka menikah tahun 2004.
Catatan Kaki
[i] Blitar atau Blitar Selatan ialah tempat perlawanan sisa-sisa kekuatan bersenjata G30S dan PKI di Blitar Selatan,
1966-1968, yang ditumpas oleh operasi Trisula TNI/Angkatan Darat.
[ii] Nama istri Agam Wispi.
[iii] Salah seorang pimpinan Lekra Sumatera Utara. Ia menjadi dosen bahasa Indonesia di Beijing dan kemudian
bermukim dan meninggal di Amsterdam (1994). Sebagai penulis eksil, ia menggunakan nama alias Alan Hogeland.
[iv] DDR singkatan dari Deutsche Demokratische Republik, Republik Demokrasi Jerman adalah sebutan awam
Jerman Timur atau Blok Timur karena ada Jerman Barat atau Blok Barat. Istilah-istilah timur dan barat dalam
kerangka berpikir Perang Dingin juga ditandai dengan batas teritorial dan politik yang berupa Tembok Berlin.
[v] Basuki Resobowo, pelukis ekspresionis, seangkatan S.Sudjojono, anggota pimpinan pusat Lekra. Basuki
meninggal 4 Januari 1999 di Amsterdam.
[vi] Abdul Kohar Ibrahim, pelukis anggota Lekra Jakarta Raya, hidup sebagai eksil di Belgia. Abdul juga penerbit
berbagai majalah dan buku kumpulan karya-karya sesama eksil. Ia meninggal tahun 2013.
[vii] Haiku ialah puisi Jepang kuno yang menggunakan khayal dan perbandingan yang diambil dari alam, terdiri dari
17 sukukata dalam tiga baris. Baris pertama dan ketiga masing-masing 5 suku kata, dan baris kedua 7 suku kata.
Sekitar tahun 1962, Iramani, nama pena Njoto, telah menulis (di koran Harian Rakjat) puisi-puisi pendek demikian
yang dinamainya haiku modern. Agam Wispi sendiri akhirnya mengembangkan puisi tiga baris, bukan haiku, tapi
terzina.
[viii] Dharta, yaitu A. S.Dharta, juga dikenal dengan nama pena Klara Akustia. Dharta adalah penyair dan juga
sekretaris umum Pimpinan Pusat Lekra periode pertama, sebelum digantikan oleh Joebaar Ajoeb (1958).
[ix] Sasafas singkatan dari sajak satu nafas. Eksperimen bentuk Agam Wispi, yaitu sajak-sajak satu kali tarikan
nafas, terkadang berupa satu kalimat panjang, terkadang dua baris. Contoh:
pohon-pohon tak berdaun di akhir tahun, apa kalian tak kedinginan?
atau:
lapangan-rumput berselimut embun beku putih pagi hari
dibangunkan matahari.