Anda di halaman 1dari 3

Biografi-Puisi Afrizal Malna

Ketika bandung meminta saya ikut dalam forum ini, saya menuliskan biografipuisi(rumah kata) dua tahun lalu saya kirimkan ke bandung, lalu untuk apa saya menulis itu?. saya mengirim tulisan itu hanya 2/3 tulisan saya. Saya lupa menulis apa? dan saya tidak yakin bisa bicara kembali dalam tulisan ini. Kapan sebenarnya saya menulis puisi? Baiklah kita mulai saja, saya mencoba mengingat-ingat kembali. Berbeda dari kebanyakan orang atau teman-teman saya di masa kecil saya dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan, saya memergoki teman saya dipukuli orang tua mereka, orang tua teman saya bertengkar. Saya punya seorang kakak yang menggantikan orang tua saya,tempat paling aman waktu itu adalah kamar saya sendiri. Saya suka melampiaskan emosi dan perasaanperasaan saya dengan menyundul-nyundul lampu di kamar saya. waktu itu sampai-sampai saya berfikir mengapa tidak saya pergi, saya tidak suka hidup ini. Kata-kata ini membawa imajinasi yang berulang-ulang, satu ketiak saya membaca al-quran dengan teriak-teriak, saya heran melihat foto hajar aswad,kenapa batu dicium-cium orang tua saya bilang hust kamu bilang apa?, tidak boleh bicara sembarangan. Di saat-saat itulah saya mengerti tempat mengadu saya kejam sekali, saya seperti kehilangan tempat mengadu, bahkan tuhan. Saya sampai pada satu kesimpulan keluarga terlalu banyak menciptakan luka, tidak produktif. Saya heran, mengapa seseorang perlu membuat kandang untuk hidupnya sendiri mengapa seseorang perlu tinggal dirumah?, ini aneh menurut saya. Di rumah, buku saya tidak ada, yang ada hanya quran dan buku komik milik kakak saya. Akhirnya saya mencari sendiri buku-buku saya. Lama-lama buku menggantikan kedudukan tuhan, sebagai tempat mengadu saya,sampai satu ketika saya terikat sama buku dan belajar melupakannya.

ternyata buku-buku memanjakan saya untuk membuat tulisan, ini benar-benar seperti industry intelektual. Tanpa buku kemudian saya kehilangan momen-momen saya sendiri, saya menjadi keheranan dan merasa bodoh.

Sejak SMP Saya memasuki dunia sekolah, di smp puisi menjadi cara paling mudah. Puisi bagi saya waktu itu bukanlah teknik,yang mengandaikan saya bsa menulis. Tapi lewat puisi itulah saya bisa

menulis dengan cara sendiri. Kemudian saya bekerja dari puisi, mengejar gagasan, saya tidak mau memberikan penghargaan pada bakat, tapi penghargaan pada kerja.kemudian puisi jadi berjarak dari saya,saya seperti yang bukan menulis puisi itu. Saya heran mengapa kata-kata lapangan basket tidak bisa masuk dalam puisi?. Ini tidak puitis kata kebanyakan orang. Saya merasa puisi saya adalah puisi Indonesia.Kemudian saya belajar tentang puisi Indonesia dan menghasilkan buku sesuatu Indonesia.

Kemudian saya mencoba melalui aktifitas teater, Saya tidak pernah melibatkan tubuh saya selama menulis. Saya kemudian bertanya : apakah bahasa bisa mengembalikan peristiwa ketika palu memukul jempol saya yang luka?. Kemudian saya mengalami ritme,ketika tubuh saya berlari. Saya semakin tidak percaya bahasa. Baru muncullah puisi yang agak lain yang berisi mitos-mitos kecemasan.(yang berdiam dalam mikrofon, arsitektur hujan) +++Saya merasa puisi Indonesia sesuatu yang lucu. Saya ingat ketika ada mahasiswa UI yang bertanya : afrizal kamu punya ga puisi tentang Jakarta?. Saya tiba-tiba ketawa sendiri dengan mahasiswa tersebut, bukannya seluruh puisi saya adalah Jakarta.walaupun tak ada kata Jakarta. Ia ingin kata itu hadir dalam puisi saya. Sama ketika Linus yang membedah karya saya dalam diskusi kemudian mengatakan bapak saya meninggal dan sedih, padahal bapak saya masih hidup?...hahahaha ++++ Apa itu puisi Indonesia ? Ketika saya SMA saya merasa saya sebagai orang ektiga. Yang diberi agama diberi nama, sebagai dia yang diwakilkan, bukan sebagai orang yang ditanyakan. Saya tertarik bermain dengan orang pertama,kedua, ketiga dan bagaimana cara memahami kita,kami dan mereka?. Tema ini bisa berlanjut

Belajar Melupakan Puisi Saya merasakan hal aneh ketika masuk dunia kuliah, saya tidak suka ujian. Saya merasa ujian harus membuat saya membaca, ada evaluasi, menciptakan mekanisme, dan membentuk cara berfikir kita, menanamkan alur. Dan akhirnya dengan sendirinya saya di DO. Saya biasa saja mengalami itu. Saya menemui teman-teman saya dan ketika saya bercakap dengan teman saya ia seperti encyclopedia. Kemudian saya memulai eksperimen-eksperimen dan tertarik dengan benda-benda. lama-lama saya sperti terhibur atau apa namanya ketiak saya terkagumkagum dengan sepatu sebagai sesuatu yang memberikan semua hal pada saya, ia seperti membangun keluarga teks yang lain.

Kemudian saya menuliskan kembali mitos-mitos kecemasan saya merasa seperti pengkhianat. Ketika harus bergauk dengan redaktur, wartawan, penyair, yang merasa harus menulis di Korankoran bawah(seperti ada prosedur seperti itu) ketiak saya menulis puisi. Waktu itu saya sangat angker dengan horizon, dan puisi saya berubah karena pembaptis, saya disebut sebagai penyair materialistik , neo materialisme kata pengamat jerman. Di puisi-puisi saya yang baru menggunakan kata saya yang tidak puitis tidak memiliki melodi. Aku merasa dalam puisi saya adalah aku-Massa realitas di Jakarta. Jakarta seperti kota tanpa manusia, yang ada hanya hubunga-hubungan lewat pekerjaan,agama, atau suku-suku. Aku dituduh PKI-malamhampir semua redaktur di Jakarta tdak mau menerima puisi-puisiku. Akhirnya saya langsung mencoba kompas sekalian dan diterima sampai sekarang. Jakarta adalah sentralistik, pusat tempelan batu tempat hidup para penulis. Akhirnya aku pindah, mereka mengira aku pindah dari Jakarta tak bisa hidup, sebab mereka berfikir jakartalah tempat uang, tanpa uang mereka tidak bisa hidup. Aku justru pindah kedaerah-daerah justru mereka menerima aku. Aku sperti mengalami migrasi-terbalik. Jakarta itu desaku, dan aku menjadi nothing aja. memori organic. Saya jadi ingat bahwa setiap manusia mempunyai itu. Bahwa setiap manusia memiliki asal muasal. Misalkan ketika ada penyair mengatakan Mama darimana pertama kali kamu belajar?. Seorang penyair rata-rata mengalami kegagalan dalam mengunakan bahasa. saya lebih dekat dengan tubuh saya daripada dengan bahasa. tubuh lebih dulu daripada bahasa,saya tidak mau mendahului itu. Jadi menulis puisi bukan sama sekali pilihan professional. Maka biarlah puisi itu tetap tidak diperkosa pasar,karena dengan begitu ia tetap jadi entitas yang akan melampaui agama, yang ditakuti dan dihormati, karena puisi itulah yang mestinya melebihi suara para pengkhotbah di rumah-rumah ibadah.

Bilik literasi, 26/2/2012

Anda mungkin juga menyukai