Anda di halaman 1dari 5

ESAI SASTRA

Karya: Fana Fawazza Octa Ramada

“Langit tanpa Rajawali, adalah keluasan dan kebebasan dalam sukma,” ujar pemuda itu
dengan semangat membara. Ia mengambil tongkat besar yang terletak di sudut ruangan.
Mengangkat, menghentakkan tongkat tersebut ke lantai, ditambah dengan satu kaki yang ditaruh
di kursi pendek, tiba-tiba ia berseru. “Tujuh langit!” Ia menunjuk ke langit-langit ruangan. “Tujuh
rajawali, tujuh cakrawala, tujuh pengembara,” sambungnya dengan ekspresi Bung Tomo dengan
orasi khasnya, “Merdeka atau mati”. Pemuda itu melanjutkan pembacaan puisinya hingga bait
terakhir. Penampilan puisi yang luar biasa menakjubkan itu mengundang tepuk tangan dan sorak
para penonton. Bagaimana tidak, seorang pemuda dari sekolah biasa saja dapat menampilkan puisi
khas Rendra itu.
“Penampilan anak itu sungguh memukau, ya,” puji Rizky, teman satu tim puisiku. “Iya!
Bahkan teman satunya lagi sigap banget, memindahkan properti sebesar itu setiap bait puisi
berganti,” timpal Syah, tim properti kami. Setelah penampilan itu selesai, kami pulang ke
perpustakaan sederhana kami. “Rumah Literasi”, nama perpustakaan itu. Kami kembali untuk
menaruh properti dan bacaan-bacaan puisi. Perpustakaan ini memiliki dua rak besar dan satu rak
kecil untuk menaruh buku-buku hasil sumbangan dari kami dan warga sekitar. Setiap sore selalu
ada anak kecil, entah satu atau dua orang, datang dan membaca buku yang ada. Perpustakaan ini
sering menjadi markas kami. Markas orang-orang yang mencintai sastra, yang suka berdiskusi
mengenai perkembangan sastra dari masa ke masa hingga kami menjuluki grup ini “si paling
sastra”. Kami juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan lomba seperti lomba visualisasi puisi yang
baru saja diikuti.
Namaku Rey, aku suka membaca dan menulis. Selama 17 tahun hidup, aku menghabiskan
waktu dengan membaca dan menulis cerita. Namun sayangnya, orang tuaku tidak mendukungku.
“Seni dan sastra itu tak menjamin hidupmu, kamu tidak akan pernah sukses kalau hanya mengikuti
hobimu yang kurang berguna itu,” katanya. Sejujurnya, aku sudah kebal mendengar itu semua.
Tak hanya ayah dan ibu yang berkata seperti itu, tetangga-tetangga sekitar rumahku pun berkata
demikian.
Sampai akhirnya aku bertanya dengan salah satu guruku yang sangat mendalami sastra,
beliau berkata, “Semuanya balik ke diri sendiri, Nak. Tergantung kepada niatmu, apakah murni
ingin berkarir di sastra, atau hanya menjadikan sastra sebagai hobimu. Ingat, segala sesuatu yang
positif pasti akan membawa kebaikan kepadamu.” Mendengar perkataannya, aku menjadi sadar.
Aku hanya menganggap dunia tulis yang selalu aku idam-idamkan sebagai hobi dan sarana pelepas
stres.
Pengelola Rumah Literasi ini pastinya tidak hanya aku, ada juga Rizky, Syah, Hisyam,
Putri, Nabila, dan satu lagi Joe. Joe adalah anak yang sangat giat mendapat informasi lomba dan
seminar. Rizky, sang penyair yang selalu mempunyai gaya khasnya saat membaca puisi. Syah,
orang yang sangat kreatif dan handal untuk urusan properti. Hisyam sebagai sosok ayah di
kelompok kami, selalu memberi kritik dan saran ketika persiapan untuk lomba. Tak jarang, ia
sering menjadi ‘seksi konsumsi’ di saat kami latihan. Ada pula Putri dan Nabila, dua perempuan
yang selalu siap sedia menjadi visual dari setiap penampilan kami. Dan aku sendiri, berperan
sebagai sang penulis tentunya. Awal mula terbentuk kelompok ini penuh ketidaksengajaan.
Berawal dari pertemuanku dengan Syah dan Joe yang sering ke perpustakaan kota untuk membaca
buku komik Detektif Conan, yang ternyata mereka adalah teman sekolahku yang berbeda jurusan.
Puri dan Nabila adalah adiknya teman kakakku. Hisyam, keponakan Bu Resti, guru Kimia kelasku.
Dan Rizky, teman sekelasku yang sering bareng denganku.
Sepulang dari perlombaan, teman-temanku langsung pulang dan tersisa aku dan Joe. Joe
menaruh properti yang sudah diletakkan di satu kotak besar oleh Syah ke samping rak besar. Aku
menyusun kembali buku-buku puisi yang menjadi acuan kami ke rak kecil. “Rey, aku ada dapat
info lomba lagi. Tapi, kali ini bukan puisi, visual puisi, atau musikalisasinya,” ujar Joe tiba-tiba
dengan sumringah. Aku sontak menoleh ke arahnya, “Lomba apa itu Joe?”
“Lomba menulis esai sastra,” Joe mengirimkan foto dan informasi lomba tersebut ke
ponselku. Aku langsung membuka ponselku dan membaca informasi di dalamnya. “Kelihatannya
menarik, kau mau coba ikut?” tanyaku. “Aku mau aja sih, aku juga mau mengajak yang lain. Ini
lombanya bisa dikerjain secara berkelompok maksimal 8 orang. Karena kita bertujuh, jadi
cocoklah,” ujar Joe senang. Aku hanya ikut tertawa kecil dan merapikan rak buku kecil. Setelah
beres, kami pulang.
Setiba di rumah, tiba-tiba ponselku berbunyi. Terdapat beberapa notif pesan dari Whatsapp.
Grup “Pecinta Sastra” bersuara ketika Joe membagikan poster lomba menulis esai sastra itu.
Terlihat Syah dan Hisyam kebingungan dengan itu, Putri dan Nabila yang merasa senang, dan
Rizky yang sudah memberikan referensi buku yang akan ditelaah dan ditulis menjadi esai. Terlihat
dari percakapan itu, Syah dan Hisyam diberi penjelasan oleh Joe mengenai lombanya. Mereka
setuju. Akhirnya kami sepakat untuk mengikuti lomba menulis esai sastra itu.
“Tapi bagaimana jika kita kalah kali ini? Selama ini kan kita hanya mengikuti lomba baca,
visualisasi, dan musikalisasi puisi. Tidak ada pengalaman mengikuti lomba menulis esai,” tanya
Nabila. “Pasti bisa kok, ada aku yang bisa membantu kalian merapikan tulisannya. Kebetulan
Rizky mengirim tentang perkembangan puisi dari masa ke masa. Kita tetap bisa menggunakan
topik puisi sebagai tema esai kita,” Aku mengetik pesan itu sambil memberi briefing kepada
mereka. Ini akan menjadi pengalaman menarik, batinku sambil tersenyum.
Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Saat melewati mading sekolah,
aku tak sengaja melihat poster yang sama terpampang jelas di mading. Poster lomba menulis esai
sastra. Terlihat ada beberapa murid yang melihat poster itu sambil berbisik-bisik. Tak sengaja aku
mendengar bisikan yang sedikit aneh menurutku. Suara Teiya yang berbisik dengan teman
sebelahnya.
“Kau tahu tentang grup rumah literasi itu?”
“Oh tahu, aku pernah mendengarnya. Mereka kelihatan sangat keren dengan kostum dan
propertinya itu.”
“Ah, itu mereka akal-akalan saja. Masa grup kecil itu bisa banyak memenangkan
perlombaan puisi? Padahal orang-orangnya terlihat culun dan kerjanya kutu buku di
perpustakaan yang bahkan lebih mirip gubuk itu.”
“Meski begitu, perpustakaannya terlihat sangat rapi dan nyaman. Aku suka melihatnya.”
“Mentang-mentang Hisyam adalah gebetanmu, dibela terus.”
“Haha, tidaklah. Hisyam bukan lagi gebetanku.”
Kurang lebih begitulah percakapan yang aku dengar. Merasa diremehkan? Tentu tidak. Aku
lanjut berjalan menuju kelas dan menemui Rizky. Rizky terlihat sangat asyik menelaah isi buku
yang ia pinjam dari perpustakaan kota. “Wah baca apaan nih, pagi-pagi,” ucapku sambil
menghampiri meja Rizky. “Ah tidak apa-apa. Hanya dasar untuk esai kita saja,” jawabnya sambil
lanjut menulis hasil analisisnya itu. Aku duduk di sebelahnya. Tak lama kemudian, ponselku dan
ponsel Rizky bergetar. Kami langsung membuka ponsel dan membaca pesan dari Hisyam. “Hati-
hati dengan Teiya. Dia terlihat ambisius mengikuti lomba ini dan berniat merendahkan kita.”
“Bukannya tidak masalah ya, kalau Teiya ikut lomba itu juga?” tanya Rizky bingung. Aku
pun menceritakan kejadian di mading tadi. Rizky hanya mengangguk paham. “Hiraukan saja Teiya
itu. Kita sudah beberapa kali menang lomba. Optimis saja,” kata Rizky sambil menenangkanku.
Bagi yang tidak tahu, Teiya adalah anak pintar terangkuh yang pernah ada. Selalu merasa paling
hebat dan pintar, sampai tak segan-segan menghina karya orang lain. Contohnya kami yang sudah
beberapa kali dicemooh olehnya. Saat aku dan Rizky sedang berbincang, tiba-tiba saja Teiya
muncul dan berkata, “Aku punya kenalan yang sangat ahli di bidang ini. Percaya tak percaya, aku
aku akan mengalahkan kalian yang mainnya ramai-ramai,” katanya sinis sambil melihat kertas
yang ditulis Rizky. Ia mengambil dan membacanya, kemudian menertawakannya. “Aku bisa bikin
yang lebih baik dari ini. Lihat saja nanti,” tambahnya lagi. Lalu ia meninggalkan kami dengan
tatapan remehnya. Aku dan Rizky hanya diam dan menghiraukannya.
Waktu sekolah telah berlalu, saatnya pulang ke rumah. Pastinya kami tidak langsung
pulang ke rumah karena ingin berdiskusi mengenai esai yang akan ditulis. Kebetulan Syah
membawa laptop, kami langsung menyambungkan laptop Syah dengan proyektor milikku. Rizky
mempresentasikan hasil analisisnya dari buku yang ia baca. Dilanjutkan dengan Putri yang
menjelaskan mengenai sejarah puisi, Nabila menjelaskan kutipan-kutipan puisi yang menjadi
tanda tanya mengapa karya tersebut dilarang. Sampai akhirnya ke giliranku. Aku menjelaskan
mengenai tokoh-tokoh penyair ternama. Diskusi terus dilanjutkan sampai waktu menunjukkan
pukul 6 sore. Kami pun bubar dan melanjutkan diskusinya esok hari.
Esok hari, kami kembali melanjutkan diskusi sampai akhirnya esai kami selesai. Sebanyak
15 halaman yang penuh dengan analisis, kami optimis bisa menang dan dapa mengalahkan si
angkuh itu. Sembari menunggu waktu pengumuman tiba, aku lebih banyak menghabiskan waktu
di rumah literasi Sudah seperti rumah kedua, aku selalu mendatanginya entah sepulang sekolah,
di Sabtu dan Minggu, pagi hari setelah olahraga, bahkan aku jadi sering mengerjakan tugas sekolah
di perpustakaan kecil itu.
Hingga di satu hari, aku tidak sengaja bertemu dengan Teiya setelah pulang dari rumah
literasi. Kami hanya bertatapan, kemudian ia berjalan. Aku tak mengambil pusing. Hingga
akhirnya waktu pengumuman pun tiba. Joe mengirimkan kabar itu kepada kami. “Wah, selamat
untuk kita, guys,” ketik Joe di Whatsapp. Aku ikutan nimbrung di percakapan itu hingga muncul
satu notifikasi yang mengagetkanku. Teiya mengirim pesan. Aku segera membuka pesan itu. Isinya
permintaan maaf darinya karena telah meremehkan kami, dan ucapan selamat. Ia mengatakan
bahwa ia kalah dan mengakui kemampuan kami. Aku memaafkannya dan mengatakan bahwa
kami juga tidak mengambil pusing dengan ucapannya kemarin. Aku juga meminta grupku untuk
memaafkan Teiya. Untungnya, mereka juga memaafkannya. Sejak saat itu, kami tak lagi
bermusuhan seperti sebelumnya. Melainkan berteman dan saling mendukung satu sama lain.
Seperti roti dan mentega yang akhirnya menyatu dan menjadi roti bakar yang enak. Seperti itu juga
kami.

Anda mungkin juga menyukai