Yogyakarta, 2008
Suasana ruang makan menjadi sepi. Selanjutnya suara sendok yang beradu dengan piring
memecah keheningan. Vana seakan-akan tak peduli dengan apa yang terjadi saat ini. Gadis yang
masih duduk di kelas 2 SMP tetap menikmati makan malamnya. Berbeda denganku yang sudah
tidak nafsu lagi untuk menghabiskan rendang kesukaanku yang tinggal beberapa suap lagi. Ibu
menatapku iba sedang ayah masih berusaha untuk menenangkan pikirannya yang terluka.
Ini semua demi kebaikanmu Re. Sayang jika bakatmu yang bagus di bidang akademik
serta nilaimu yang paling tinggi di kota ini disia-siakan. Kami hanya ingin kamu melanjutkan
kuliah ke kedokteran. Bukan ke jurusan sastra. Tegas Ayah kepadaku.
Memang kenapa kalo Re kuliah di jurusan sastra? Apakah ini menyalahi aturan?
Tanyaku meminta penjelasan. Sejak kecil aku menyukai sastra dan sekarang pun juga meski
ketika SMA aku masuk di jurusan IPA.
Sejenak ayah menghela napas panjang. Lalu pandangannya mengarah ke ibu yang sejak
tadi hanya diam diantara percakapan kami.
Begini Re. Kamu tahu kan apa profesi Ayah dan Ibu? Kami ingin kau menjadi seperti
kami. Dokter adalah profesi yang mulia. Kamu dapat membantu menyembuhkan penyakit orangorang yang memerlukan bantuanmu. Memang hanya Tuhanlah yang memberi kesembuhan. Akan
tetapi kamu hal itu dapat melalui tanganmu, tangan seorang dokter. Ini semua demi kebaikanmu
Re dan juga demi kebaikan orang-orang yang memerlukan bantuan seorang dokter.
Ayahmu benar Re. Saat ini banyak orang-orang sakit yang tidak mampu yang
memerlukan bantuan. Biaya untuk ke rumah sakit sangat mahal. Meskipun ada program
Jamkesmas dari pemerintah, tapi masih saja ada yang tidak mendapatkanya. Akhirnya ibu ikut
angkat bicara.
Tapi Bu, Ibu kan tahu kalo Re suka ke jurusan sastra. Ayah juga tahu kan kalau Re sudah
bisa mengarang novel dan puisi. Bahkan Re sudah menjalani kontrak selama setahun ke depan
dengan penerbit buku terbesar yang ada di Jakarta. Belaku penuh harap sembari melihat ke ayah
dan ibuku.
Iya, Ayah tahu. Novel dan puisi kamu juga bagus. Kamu ada bakat juga di dunia sastra.
Tapi sekali lagi Ayah tekankan bahwa kedokteran lebih cocok dan bagus untukmu ke depannya.
ingatkah kau kepadaku? Wajarkah perasaan rinduku ini? Batinku berkecamuk dengan beberapa
pertanyaan tentang teman kecilku itu. Tapi hanya kesunyian yang aku dapat.
Jakarta, 2011
"Aya, selamat ya! Akhirnya cerpen esay yang kamu kirim lolos. Tuh pengumumannya
ada di depan. Suara Dewi mengagetkanku dari arah belakang. Dewi adalah sahabatku sejak aku
pindah ke SMA di Jakarta. Dia sangat perhatian dan baik sekali.
"Benar kata si Dewi Ya, karyamu akan dimuat bersama penulis hebat lainya lho. Nama
kamu akan terpampang bersama penulis besar lainya. Erma Fitria. Kamu semakin narsis deh!"
Tiba-tiba saja terdengar suara centil terdengar dari arah belakang Dewi. Siapa lagi kalau bukan si
Zahara.
Dewi dan Za adalah dua teman akrabku. Setelah lulus SMP, aku ikut orang tuaku pindah
ke Jakarta dan melanjutkan SMA. Ayahku yang seorang PNS dipindahtugaskan ke kota
megapolitan ini. Dewi dan Zahara lah yang pertama kali aku kenal saat masih duduk di kelas 1.
Dan sampai sekarang ini mereka masih tetap menjadi sahabat karibku dan mereka kuliah di
universitas yang sama juga denganku.
"Alhamdulillah...Terima kasih ya Allah atas nikmat yang kau limpahkan padaku." Aku
mengucap syukur sembari mengangkat kedua tanganku.
"Yah, masak nggak terima kasih sama aku juga sih?" Dewi pura-pura mendengus kesal.
"Iya nih, payah!" Za juga menimpali apa yang dikatakan Dewi sambil menyenggol
pundakku.
"Hmm, ya sudah. Sebagai ucapan terima kasihku kepada dua peri penjagaku yang lagi
masang muka kelaparan ini, aku traktir kalian makan ice cream gimana?" Ujarku sambil melihat
ke arah mereka berdua. "Atau mau aku traktir makan mie ayam di kantin?
"Nahh, ini nih yang aku paling demen, ya nggak Wi?" Udah mulai keluar lagi deh gaya si
ratu centil.
Yuph, aku sepakat ma Za. Mie Ayam. Dewi mengangkat tangannya tanda setuju.
"Ya udah! Yukk... Berangkat!" Ajakku kepada mereka.
Mereka memang sahabatku yang paling baik. Aku hanya tersenyum kecil memperhatikan
tingkah mereka berdua yang selalu membuatku tersenyum dan tertawa. Tiba-tiba ingatanku
kembali ke masa kecilku. Sebentuk wajah lugu dengan tatapan sayu menggelayuti kedua mataku.
Re, masihkah kau mengingatku? Hati kecilku berbisik lirih.
Ada apa Van? Kayaknya serius banget? Tanyaku sambil duduk di kursi di samping
adikku satu-satunya di dunia ini.
Nih baca sendiri. Tadi aku dapet dari kampusku. Vana menyodorkan kertas yang tadi
dia bawa.
Kertas itu berisi tentang pengumuman lomba puisi tingkat nasional yang diadakan oleh
Dewan Kesenian Yogyakarta. Puisi ini akan diikuti oleh seluruh mahasiswa perguruan tinggi
yang ada di Indonesia.
Trus apa hubungannya dengan Kakak? Aku bertanya sambil mengerutkan dahiku.
Yaelah Kak! Jadi orang yang cerdas dikit kenapa. Masak calon dokter lemotnya minta
ampun sih. Ujar Vana sambil tertawa memperlihatkan barisan gigi-giginya yang putih dan rata.
Maksud Kakak, mengapa kamu memberi Kakak pengumuman ini. Apa kamu menyuruh
Kakak ikut lomba puisi nasional ini?
Hu um. Ini kan lombanya tingkat nasional. Nah, siapa tahu temen semasa kecil Kak Re
ikut lomba ini juga. Kak Re lupa ya? Kan dulu pernah cerita ke aku bahwa Kak Re ingin mencari
teman masa kecil Kak Re sewaktu di Lampung dulu. Katanya dia juga suka menulis puisi kan.
Jadi, siapa tahu dia juga mempergunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan Kak Re. Kalau
masih ingat sih. Hehe..
Ouwh. Bagus juga usulmu kali ini. Aku tersenyum ke arah Vana sambil mengusap
rambut panjangnya.
Siapa dulu, Ivana gitu!! Kata Vana dengan bangga. Emang siapa sih nama temen masa
kecil Kak Re itu? Aku juga jadi penasaran. Jangan-jangan dia cinta monyetnya Kakak ya?
Hihihihi
Yaaaa, bisa dibilang gitu deh. Hehehe...Kak Re lupa nama asli dia. Cuma yang Kakak
ingat hanya nama panggilannya saja. Aya. Itu nama panggilannya.
Oh, jadi nama panggilannya Aya. Ya mudah-nudahan bisa ketemu ma dia kali ini. Terus
tadi bagaimana launching bukunya? Sukses kan?
Alhamdulillah lancar. Tadi jumlah pesertanya melebihi perkiraan panitia. Akhirnya
pihak panitia kekurangan buku. Kamu sudah baca kan buku Kak Re yang baru?
Udah dong. Kan aku dapet duluan bukunya. Asli, keren banget Kak ceritanya. Ternyata
selain jadi calon dokter, Kakak juga calon penulis yang hebat. Empat jempol deh buat Kak Re
Amien. Mudah-mudahan bisa tercapai semua keinginan Kakak. Bisa menjadi dokter
seperti yang diinginkan Ayah dan Ibu sekaligus menjadi penulis seperti yang Kakak inginkan
sejak kecil. Kamu udah makan apa belum Van?
Amien..
***
Bagaimana Kak? Suara Vana yang tiba-tiba duduk di sofa dekatku.
Bagaimana apanya Van? Aku balik bertanya.
Persiapan buat ntar malem. Udah siap kan?
Oh, Insya Allah siap, jawabku sambil meletakkan buku yang sedari adi aku baca.
Ayah dan Ibu ntar malem bisa datang kan ke acara pembacaan puisi Kak Re?
Yup. Tadi aku udah telpon. Mereka sekarang lagi ada seminar. Ntar selepas Isya mereka
dari tempat seminar akan langsung ke Prambanan. Oh ya, sekali lagi selamat ya Kak, puisi Kak
Re terpilih menjadi sepuluh besar se-nasional.
Makasih Van. Akan tetapi apa yang Kak Re harapkan gak terjadi.
Emang kenapa Kak?
Dari sepuluh orang yang terpilih, tidak ada satupun yang berasal dari Lampung.
Mungkin keinginan untuk bertemu teman semasa kecil Kak Re harus disimpan atau bila perlu
dibuang saja. Mungkin dia sudah lupa ma Kak Re.
Aiiihhh, jangan pesimis lah Kak! Kan masih banyak kesempatan. Siapa tahu dia lagi
sibuk, trus gak ikut lomba kali ini. Tahun depan masih ada lagi kok. Kalo udah yang namanya
jodoh gak akan kemana deh.
Iya, tapi kalo gak kemana-mana gimana mau dapet jodoh?
Yeee, dasar pinter ngeles!
***
Baiklah. Kini tiba giliran pasangan peserta terakhir yang akan membawakan puisi
mereka. Mari kita sambut dengan tepuk tangan meriah Erma Fitria dari Jakarta dan Inaz Raihan
dari Yogyakarta.
Suara pembawa acara malam ini menyadarkanku dari lamunan. Akhirnya tiba giliranku
untuk membawakan puisi dengan pasangan yang tidak seperti aku harapkan. Sebenarnya dalam
hati kecilku aku ingin membawakan puisi ini bersama teman kecilku yang sudah lama tak ku
dengar kabar dan keberadaannya.
Di bawah sinar bulan purnama di pelataran candi Prambanan. Sungguh suasana yang
sangat spesial sekali jika dia ada di sini, meski hanya berada di barisan kursi penonton sekalipun.
Ketika aku menuju ke atas panggung, sekilas tatapan mataku beradu dengan tatapan
wanita yang menjadi pasanganku dalam membacakan puisi malam ini. Wajah yang cerdas dan
anggun menurutku. Beberapa detik kemudian ada sesuatu yang menyentak dadaku. Tatapan itu
seakan-akan aku kenal. Tatapan yang sejak dulu aku ingat sampai sekarang. Tatapan yang aku
harapkan ada di sini saat ini. Mungkinkah dia Aya? Entahlah. Aku mencoba menenangkan diri
dan menyangkal perasaan ini.
Setelah memperkenalkan diri masing-masing, maka kami mulai untuk membacakan puisi
kami secara bergantian. Dalam even ini, panitia membuat aturan yang bisa dibilang unik dan
menantang. Kesepuluh pemenang akan dipasangkan dua-dua dengan pemilihan acak. Setiap
pasangan akan membacakan puisi bait perbait secara bergantian.
Berdansa. Aku mulai membaca judul puisiku.
Di Bawah Cahaya Rembulan. Terdengar suara lembut pasanganku membacakan judul
puisinya.
Aku terhenyak bagai disengat ribuan volt di jantungku. Spontan aku langsung melihat
dia. Dan dia pun juga melihat ke arahku. Tatapannya penuh selidik dengan sejuta pertanyaan
yang terlihat dari kedua matanya. Aku pun juga demikian. Ada rasa heran bercampur kaget yang
memenuhi perasaan kami. Beberapa detik kami terdiam dalam kebisuan. Berdansa di bawah
cahaya rembulan. Kalimat ini aku sangat mengenalnya bahkan bahkan sering aku baca.
Kemudian aku berusaha mengontrol kesadaranku. Lalu aku mulai membaca bait pertama
puisiku dengan perasaan yang tak menentu.
Sejak lama tangan ini ingin menyentuh ujung-ujung jemarimu
Merasakan rindu yang berdetak seiring irama jantung di dada
Mengecup keningmu lembut dengan perasaan membuncah
Lalu menabuh kata-kataku, menyentak kesepian masa
Bait pertama aku baca dengan tenang.
Aku masih di sini, di pertapaan malam
Merajut rindu dengan dengan lembaran-lembaran beludru kenangan
Yang nantinya akan kujadikan gaun pertemuan
Saat purnama menajamkan cahayanya di tengah-tengah lembah kesunyian
Biodata Penulis
IDRIS REFICUL, adalah nama pena dari Moh. Idris. Lahir di Sampang 1 Juli 1985. Baru
menyelesaikan studi S1 Jurusan Teknik Informatika di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Meski kuliah di jurusan teknik, kecintaannya dalam dunia sastra terutama dalam menulis puisi
tetap ada sejak berada di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Salah satu
pendiri KWQ (Kajian Waraal Qitor) yang masih eksis di almamaternya, kajian yang membahas
tentang dunia tulis menulis serta kajian-kajian intelektual lainnya. Sangat terinspirasi oleh Kahlil
Gibran yang menjadikan alam sebagai sahabatnya dalam berkarya.
Email
No. HP
Facebook
Twitter
Alamat
: argensieca_30@yahoo.co.id
: 087838282011
: Idris Reficul
: @idrisReficul
: Jl. Cempaka Gang Penyu no. 2 Skalekan Klaten Tengah Jawa Tengah 57411