Anda di halaman 1dari 11

BERDANSA DI BAWAH CAHAYA REMBULAN

Oleh : Idris Reficul

Yogyakarta, 2008
Suasana ruang makan menjadi sepi. Selanjutnya suara sendok yang beradu dengan piring
memecah keheningan. Vana seakan-akan tak peduli dengan apa yang terjadi saat ini. Gadis yang
masih duduk di kelas 2 SMP tetap menikmati makan malamnya. Berbeda denganku yang sudah
tidak nafsu lagi untuk menghabiskan rendang kesukaanku yang tinggal beberapa suap lagi. Ibu
menatapku iba sedang ayah masih berusaha untuk menenangkan pikirannya yang terluka.
Ini semua demi kebaikanmu Re. Sayang jika bakatmu yang bagus di bidang akademik
serta nilaimu yang paling tinggi di kota ini disia-siakan. Kami hanya ingin kamu melanjutkan
kuliah ke kedokteran. Bukan ke jurusan sastra. Tegas Ayah kepadaku.
Memang kenapa kalo Re kuliah di jurusan sastra? Apakah ini menyalahi aturan?
Tanyaku meminta penjelasan. Sejak kecil aku menyukai sastra dan sekarang pun juga meski
ketika SMA aku masuk di jurusan IPA.
Sejenak ayah menghela napas panjang. Lalu pandangannya mengarah ke ibu yang sejak
tadi hanya diam diantara percakapan kami.
Begini Re. Kamu tahu kan apa profesi Ayah dan Ibu? Kami ingin kau menjadi seperti
kami. Dokter adalah profesi yang mulia. Kamu dapat membantu menyembuhkan penyakit orangorang yang memerlukan bantuanmu. Memang hanya Tuhanlah yang memberi kesembuhan. Akan
tetapi kamu hal itu dapat melalui tanganmu, tangan seorang dokter. Ini semua demi kebaikanmu
Re dan juga demi kebaikan orang-orang yang memerlukan bantuan seorang dokter.
Ayahmu benar Re. Saat ini banyak orang-orang sakit yang tidak mampu yang
memerlukan bantuan. Biaya untuk ke rumah sakit sangat mahal. Meskipun ada program
Jamkesmas dari pemerintah, tapi masih saja ada yang tidak mendapatkanya. Akhirnya ibu ikut
angkat bicara.
Tapi Bu, Ibu kan tahu kalo Re suka ke jurusan sastra. Ayah juga tahu kan kalau Re sudah
bisa mengarang novel dan puisi. Bahkan Re sudah menjalani kontrak selama setahun ke depan
dengan penerbit buku terbesar yang ada di Jakarta. Belaku penuh harap sembari melihat ke ayah
dan ibuku.
Iya, Ayah tahu. Novel dan puisi kamu juga bagus. Kamu ada bakat juga di dunia sastra.
Tapi sekali lagi Ayah tekankan bahwa kedokteran lebih cocok dan bagus untukmu ke depannya.

Aku hanya semakin dalam terpaku dngan kediamanku.


Aku sangat mencintai sastra. Akan tetapi aku juga tidak bisa menolak keinginan ayah da
ibuku. Mereka berdua juga dokter. Dokter adalah pekerjaan yang mulia dan alasan mereka
sangatlah masuk akal. Pikiranku melayang kepada temen SMA ku Alif. Beberapa minggu yang
lalu ayahnya meninggal karena sakit paru-paru akut. Keluarganya tidak mampu untuk membawa
mendiang ayahnya ke rumah sakit. Aku baru tahu setelah beberapa hari Alif tidak masuk sekolah.
Setelah tahu bahwa ayahnya sakit paru-paru, maka aku meminta ayahku untuk berbaik hati
memeriksanya secara cuma-cuma. Akhirnya ayah Alif diperiksa dan diberi obat. Akan tetapi hal
itu sudah terlambat. Penyakit paru-paru ayah Alif sudah tidak dapat tertolong lagi. Seminggu
sebelum pengumuman kelulusan Alif dari SMA, ayahnya meninggal dunia.
Sebuah ide muncul di kepalaku. Jalan keluar untuk masalah ini menurutku.
Baiklah. Re akan ikut saran Ayah dan Ibu. Re akan masuk ke kedokteran. Akan tetapi
ada satu syarat yang Re ajukan. Re akan kuliah di jurusan kedokteran asal Ayah dan Ibu jangan
pernah melarang Re untuk tetap berkarya di bidang sastra. Ujarku dengan suara bergetar.
Sejenak mereka saling berpandangan. Berdiskusi sebentar. Lalu aku lihat senyum
merekah dari bibir ibuku.
Kami setuju. Akan tetapi Re juga harus berjanji kepada kami bahwa kegiatan sastra Re
tidak boleh mengganggu kuliah. Apabila itu terjadi, maka dengan terpaksa kami akan melarang
Re untuk tetap berkarya di dunia sastra. Aku dengar Ayah berkata dengan penuh ketegasan.
Baik Ayah. Re berjanji akan hal itu. Jawabku dengan penuh senyum kebahagiaan.
Akhirnya kesepian dan keheningan ruang makan sirna. Aku kembali menghabiskan jatah
rendangku yang sedari tadi hanya terdiam di atas piring. Ayah dan ibu pergi ke ruang santai
untuk melihat berita di televisi. Vana sudah sejak tadi menyelesaikan makan malamnya.
***
Jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi rasa kantuk yang
biasanya sudah menyergapku seakan-akan saat ini sedang bersembunyi entah di mana. Sejenak
aku teringat oleh teman semasa kecilku di Lampung. Aku keluarkan selembar kertas yang susah
payah aku simpan selama 6 tahun. Aku baca lagi tulisan yang ada di dalamnya. Ada perasaan
rindu mendalam yang mulai menjalari sekujur tubuhku.
Dimanakah kau kini Aya? Apakah kau masih di tempat kelahiranmu? Atau kau sudah
menjelajah negeri antah berantah seperti cita-citamu dulu. Bagaimana kabarmu saat ini? Masih

ingatkah kau kepadaku? Wajarkah perasaan rinduku ini? Batinku berkecamuk dengan beberapa
pertanyaan tentang teman kecilku itu. Tapi hanya kesunyian yang aku dapat.
Jakarta, 2011
"Aya, selamat ya! Akhirnya cerpen esay yang kamu kirim lolos. Tuh pengumumannya
ada di depan. Suara Dewi mengagetkanku dari arah belakang. Dewi adalah sahabatku sejak aku
pindah ke SMA di Jakarta. Dia sangat perhatian dan baik sekali.
"Benar kata si Dewi Ya, karyamu akan dimuat bersama penulis hebat lainya lho. Nama
kamu akan terpampang bersama penulis besar lainya. Erma Fitria. Kamu semakin narsis deh!"
Tiba-tiba saja terdengar suara centil terdengar dari arah belakang Dewi. Siapa lagi kalau bukan si
Zahara.
Dewi dan Za adalah dua teman akrabku. Setelah lulus SMP, aku ikut orang tuaku pindah
ke Jakarta dan melanjutkan SMA. Ayahku yang seorang PNS dipindahtugaskan ke kota
megapolitan ini. Dewi dan Zahara lah yang pertama kali aku kenal saat masih duduk di kelas 1.
Dan sampai sekarang ini mereka masih tetap menjadi sahabat karibku dan mereka kuliah di
universitas yang sama juga denganku.
"Alhamdulillah...Terima kasih ya Allah atas nikmat yang kau limpahkan padaku." Aku
mengucap syukur sembari mengangkat kedua tanganku.
"Yah, masak nggak terima kasih sama aku juga sih?" Dewi pura-pura mendengus kesal.
"Iya nih, payah!" Za juga menimpali apa yang dikatakan Dewi sambil menyenggol
pundakku.
"Hmm, ya sudah. Sebagai ucapan terima kasihku kepada dua peri penjagaku yang lagi
masang muka kelaparan ini, aku traktir kalian makan ice cream gimana?" Ujarku sambil melihat
ke arah mereka berdua. "Atau mau aku traktir makan mie ayam di kantin?
"Nahh, ini nih yang aku paling demen, ya nggak Wi?" Udah mulai keluar lagi deh gaya si
ratu centil.
Yuph, aku sepakat ma Za. Mie Ayam. Dewi mengangkat tangannya tanda setuju.
"Ya udah! Yukk... Berangkat!" Ajakku kepada mereka.
Mereka memang sahabatku yang paling baik. Aku hanya tersenyum kecil memperhatikan
tingkah mereka berdua yang selalu membuatku tersenyum dan tertawa. Tiba-tiba ingatanku
kembali ke masa kecilku. Sebentuk wajah lugu dengan tatapan sayu menggelayuti kedua mataku.
Re, masihkah kau mengingatku? Hati kecilku berbisik lirih.

Suasana mendadak sunyi. Dewi dan Za melirik ke arahku. Mereka memandangiku


dengan tatapan yang bingung.
"Hallo! Kok melamun aja neng?" Dewi mengagetkanku. Aku terkesiap.
"Oh, gak papa kok. Hehehe." Kilahku.
"Emang kamu lagi ngelamunin apa sih Ya? Ada apa? Ada masalah kah? Cerita lah sama
peri-peri centilmu ini." Ucap Za sambil mempermainkan sendok di tangannya.
"Kamu nggak apa-apa kan Ya?" Tanya Dewi pelan-pelan.
"Iya, aku baik-baik aja. Aku lagi ingat sama Re." Kataku lirih dan lemas.
Setelah mendengar jawabanku mereka berdua tertegun saling pandang, saling sikutsikutan dengan raut wajah agak bingung dengan ucapanku barusan. Memang, aku tak pernah
menceritak tentang Re pada siapapun bahkan sama mereka yang sahabat karibku sendiri.
"Eehm...Re? Siapa dia?" Dengan bersamaan dan suara terputus-putus mereka bertanya
padaku.
"Dia teman di masa kecilku dulu. Kami sangat akrab. Banyak kesamaan dari kami
berdua, padahal waktu itu aku mengenalnya belum lama. Tapi mungkin karena kami punya
banyak kesamaan jadi semuanya mengalir gitu aja. Meluncurlah cerita tentang kisahku dengan
Re dari awal ketemu sampai dengan puisi terakhir yang dia berikan kepadaku.
"Oww...Jadi gitu ceritanya?" Mereka serempak menjawab sambil menganggukkan kepala
dan mereka juga berhasil membuat kaget seisi kantin.
Iya, begitulah ceritanya. Yang aku tahu terakhir kali dia pindah ke pulau jawa. Tapi aku
tidak tahu di kota mana dia tinggal. Bahkan untuk nama lengkapnya aku juga lupa. Hanya nama
panggilannya yang masih terngiang di telingaku sampai saat ini.
Cie cieee...suit suit cethak cethak ihiirrrr. Ada yang lagi cinta monyet nih. Za akhirnya
memecah kesunyian.
Entah kenapa mukaku berubah menjadi merah. Aku tak tahu apakah aku malu atau
sedang mengiyakan apa yang dikatakan Za. Kembali aku menerawang jauh ke langit biru.
Aya, kamu masih menyimpan puisi terakhir yang Re kasih ke kamu gak? Boleh dong
aku baca? Dewi bertanya seraya menatapku penuh rasa ingin tahu.
Sejurus kemudian aku mengambil kertas yang sudah aku laminating agar tetap terjaga.
Kertas yang bertuliskan puisi terakhir dari Re. Dewi dan Za terlihat antusias untuk membacanya.
Berdansa di bawah cahaya rembulan

Kau dan aku menyatu


Berdansa di bawah cahaya rembulan malam biru
Saat kita bersua
Di lembah REFITRIYA
Beuuuhhh...romantis banget! Pantesan kamu selalu teringat sama dia. Za berkomentar
sambil melihat ke arahku sambil mengedipkan kedua matanya. Centil.
Kecilnya aja sudah romantis, apalagi sekarang ya. Mungkin sudah beribu-ribu cewek
yang takluk ma si Re. Dewi menimpali apa yang dikatakan Za.
Lembah REFITRIYA? Emang ada ya di Lampung yang namanya lembah REFITRIYA?
Baguskah tempatnya?
Gak ada. Itu adalah nama yang kami berikan untuk tempat kami sering bertemu dulu.
RE untuk nama dia dan FITRIYA untuk namaku. Tempatnya bagus. Setiap sore kami biasanya
bercengkrama di sana. Jawabku dengan perasaan yang tak menentu.
Tapi apakah kamu yakin kalo si Re masih ingat ma kamu Ya? Siapa tahu dia sekarang
lagi merayu cewek lain dengan puisi-puisinya yang mungkin lebih romantis dari puisi ini.
Aku gak tahu juga Wi. Tapi setidaknya aku ingin bertemu sama dia sekali saja. Biar aku
gak terus menerus dihantui kenangan masa kecilku ini.
Ouwh..ya sudah kalo gitu. Semangat ya Aya! Kami dua peri centilmu akan selalu
mendukungmu. Za menepuk pundakku dengan lembut.
Anyway, kamu ikut gak lomba puisi tingkat nasional yang diadakan oleh Dewan
Kesenian Yogyakarta? Lumayan lho hadiahnya. Kan kalo kamu menang kita-kita bisa kecipratan
lagi nih. Dewi mengingatkanku akan lomba puisi yang seminggu lalu tertempel di papan
pengumuman depan kantor jurusan.
Insya Allah aku ikut. Doain aku ya biar bisa menang?
Siap! Dewi dan Za menjawab dengan kompak.
***
Yogyakarta, 2011
Kak Re! Aku dengar suara seorang gadis berteriak memanggilku. Aku julurkan
kepalaku di tengah kerumunan peserta launching novel terbaruku yang berjudul Janji Senja. Aku
lihat Vana di barisan belakang sambil mengacung-acungkan lembaran kertas berwarna biru
langit. Aku beri dia isyarat untuk menunggu sampai suasana agak sepi.

Ada apa Van? Kayaknya serius banget? Tanyaku sambil duduk di kursi di samping
adikku satu-satunya di dunia ini.
Nih baca sendiri. Tadi aku dapet dari kampusku. Vana menyodorkan kertas yang tadi
dia bawa.
Kertas itu berisi tentang pengumuman lomba puisi tingkat nasional yang diadakan oleh
Dewan Kesenian Yogyakarta. Puisi ini akan diikuti oleh seluruh mahasiswa perguruan tinggi
yang ada di Indonesia.
Trus apa hubungannya dengan Kakak? Aku bertanya sambil mengerutkan dahiku.
Yaelah Kak! Jadi orang yang cerdas dikit kenapa. Masak calon dokter lemotnya minta
ampun sih. Ujar Vana sambil tertawa memperlihatkan barisan gigi-giginya yang putih dan rata.
Maksud Kakak, mengapa kamu memberi Kakak pengumuman ini. Apa kamu menyuruh
Kakak ikut lomba puisi nasional ini?
Hu um. Ini kan lombanya tingkat nasional. Nah, siapa tahu temen semasa kecil Kak Re
ikut lomba ini juga. Kak Re lupa ya? Kan dulu pernah cerita ke aku bahwa Kak Re ingin mencari
teman masa kecil Kak Re sewaktu di Lampung dulu. Katanya dia juga suka menulis puisi kan.
Jadi, siapa tahu dia juga mempergunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan Kak Re. Kalau
masih ingat sih. Hehe..
Ouwh. Bagus juga usulmu kali ini. Aku tersenyum ke arah Vana sambil mengusap
rambut panjangnya.
Siapa dulu, Ivana gitu!! Kata Vana dengan bangga. Emang siapa sih nama temen masa
kecil Kak Re itu? Aku juga jadi penasaran. Jangan-jangan dia cinta monyetnya Kakak ya?
Hihihihi
Yaaaa, bisa dibilang gitu deh. Hehehe...Kak Re lupa nama asli dia. Cuma yang Kakak
ingat hanya nama panggilannya saja. Aya. Itu nama panggilannya.
Oh, jadi nama panggilannya Aya. Ya mudah-nudahan bisa ketemu ma dia kali ini. Terus
tadi bagaimana launching bukunya? Sukses kan?
Alhamdulillah lancar. Tadi jumlah pesertanya melebihi perkiraan panitia. Akhirnya
pihak panitia kekurangan buku. Kamu sudah baca kan buku Kak Re yang baru?
Udah dong. Kan aku dapet duluan bukunya. Asli, keren banget Kak ceritanya. Ternyata
selain jadi calon dokter, Kakak juga calon penulis yang hebat. Empat jempol deh buat Kak Re

Amien. Mudah-mudahan bisa tercapai semua keinginan Kakak. Bisa menjadi dokter
seperti yang diinginkan Ayah dan Ibu sekaligus menjadi penulis seperti yang Kakak inginkan
sejak kecil. Kamu udah makan apa belum Van?
Amien..
***
Bagaimana Kak? Suara Vana yang tiba-tiba duduk di sofa dekatku.
Bagaimana apanya Van? Aku balik bertanya.
Persiapan buat ntar malem. Udah siap kan?
Oh, Insya Allah siap, jawabku sambil meletakkan buku yang sedari adi aku baca.
Ayah dan Ibu ntar malem bisa datang kan ke acara pembacaan puisi Kak Re?
Yup. Tadi aku udah telpon. Mereka sekarang lagi ada seminar. Ntar selepas Isya mereka
dari tempat seminar akan langsung ke Prambanan. Oh ya, sekali lagi selamat ya Kak, puisi Kak
Re terpilih menjadi sepuluh besar se-nasional.
Makasih Van. Akan tetapi apa yang Kak Re harapkan gak terjadi.
Emang kenapa Kak?
Dari sepuluh orang yang terpilih, tidak ada satupun yang berasal dari Lampung.
Mungkin keinginan untuk bertemu teman semasa kecil Kak Re harus disimpan atau bila perlu
dibuang saja. Mungkin dia sudah lupa ma Kak Re.
Aiiihhh, jangan pesimis lah Kak! Kan masih banyak kesempatan. Siapa tahu dia lagi
sibuk, trus gak ikut lomba kali ini. Tahun depan masih ada lagi kok. Kalo udah yang namanya
jodoh gak akan kemana deh.
Iya, tapi kalo gak kemana-mana gimana mau dapet jodoh?
Yeee, dasar pinter ngeles!
***
Baiklah. Kini tiba giliran pasangan peserta terakhir yang akan membawakan puisi
mereka. Mari kita sambut dengan tepuk tangan meriah Erma Fitria dari Jakarta dan Inaz Raihan
dari Yogyakarta.
Suara pembawa acara malam ini menyadarkanku dari lamunan. Akhirnya tiba giliranku
untuk membawakan puisi dengan pasangan yang tidak seperti aku harapkan. Sebenarnya dalam
hati kecilku aku ingin membawakan puisi ini bersama teman kecilku yang sudah lama tak ku
dengar kabar dan keberadaannya.

Di bawah sinar bulan purnama di pelataran candi Prambanan. Sungguh suasana yang
sangat spesial sekali jika dia ada di sini, meski hanya berada di barisan kursi penonton sekalipun.
Ketika aku menuju ke atas panggung, sekilas tatapan mataku beradu dengan tatapan
wanita yang menjadi pasanganku dalam membacakan puisi malam ini. Wajah yang cerdas dan
anggun menurutku. Beberapa detik kemudian ada sesuatu yang menyentak dadaku. Tatapan itu
seakan-akan aku kenal. Tatapan yang sejak dulu aku ingat sampai sekarang. Tatapan yang aku
harapkan ada di sini saat ini. Mungkinkah dia Aya? Entahlah. Aku mencoba menenangkan diri
dan menyangkal perasaan ini.
Setelah memperkenalkan diri masing-masing, maka kami mulai untuk membacakan puisi
kami secara bergantian. Dalam even ini, panitia membuat aturan yang bisa dibilang unik dan
menantang. Kesepuluh pemenang akan dipasangkan dua-dua dengan pemilihan acak. Setiap
pasangan akan membacakan puisi bait perbait secara bergantian.
Berdansa. Aku mulai membaca judul puisiku.
Di Bawah Cahaya Rembulan. Terdengar suara lembut pasanganku membacakan judul
puisinya.
Aku terhenyak bagai disengat ribuan volt di jantungku. Spontan aku langsung melihat
dia. Dan dia pun juga melihat ke arahku. Tatapannya penuh selidik dengan sejuta pertanyaan
yang terlihat dari kedua matanya. Aku pun juga demikian. Ada rasa heran bercampur kaget yang
memenuhi perasaan kami. Beberapa detik kami terdiam dalam kebisuan. Berdansa di bawah
cahaya rembulan. Kalimat ini aku sangat mengenalnya bahkan bahkan sering aku baca.
Kemudian aku berusaha mengontrol kesadaranku. Lalu aku mulai membaca bait pertama
puisiku dengan perasaan yang tak menentu.
Sejak lama tangan ini ingin menyentuh ujung-ujung jemarimu
Merasakan rindu yang berdetak seiring irama jantung di dada
Mengecup keningmu lembut dengan perasaan membuncah
Lalu menabuh kata-kataku, menyentak kesepian masa
Bait pertama aku baca dengan tenang.
Aku masih di sini, di pertapaan malam
Merajut rindu dengan dengan lembaran-lembaran beludru kenangan
Yang nantinya akan kujadikan gaun pertemuan
Saat purnama menajamkan cahayanya di tengah-tengah lembah kesunyian

Dia pun membaca bait pertamanya dengan suara lemah lembut.


Maka berdirilah dari duduk gundah
Aku sudah menunggumu di pelataran malam
Kidung-kidung peri, alunan-alunan simfoni
Menanti gerak lincah kakimu
Bait kedua semakin meningkatkan kepercayaan diriku yang tadinya hampir goyah oleh
perasaan aneh. Perasaan yang muncul akibat perpaduan dari judul puisiku dan judul puisinya.
Aku masih di sini, duduk di atas altar suci
Yang aku bangun dari air mata dan cinta
Menantimu untuk mengajakku menari
Agar penantian ini terberai tak membelenggu kedua kaki
Deg! Perasaan aneh itu muncul kembali setelah bait kedua dibacanya dengan seksama.
Lagi-lagi pandangan kami beradu secara spontan. Bait-bait puisi kami seakan-akan saling
mengisi.
Terdengar bisik-bisik dari bangku penonton yang entah takjub atau heran. Bagaimana
mungkin bait-bait puisi kami terdengar saling memahami. Saling melengkapi. Padahal kami
belum pernah bertemu sebelumnya.
Jiwa kita merayu, napas kita menderu
Saat kedua tubuh ini beradu, berdansa di malam biru
Menggeliat sampai peluh deras membasahi pipimu
Bait ketiga aku baca dengan hati-hati.
Di bawah cahaya rembulan aku melihatmu
Menari tarian rindu
Menuntunku, mengitari bumi yang membiru
Aku dengar suara lembutnya begitu memukau perhatian jiwaku. Sekali lagi pandangan
kami beradu ketika aku diam-diam melihat kepadanya. Kaukah itu Aya? Hati kecilku bertanya
penuh harap. Tapi egoku menepis semuanya itu.
Kini tiba di bait terakhir dari puisiku. Ini adalah puisi yang dulu aku tulis untuk Aya
sebelum kami berpisah. Aku meminta dia untuk menyimpannya dan aku pun hingga saat ini
masih menyimpannya. Tuhan, tolong sampaikan suaraku ini kepada Aya meskipun aku tak tahu
di mana dia berada kini. Aku berdoa dalam hati.

Kau dan aku menyatu


Berdansa di bawah cahaya rembulan malam biru
Saat kita bersua
Di lembah REFITRIYA
Setelah membaca bait terakhir puisiku, kusapukan pandangan ke semua penonton yang
ada dengan senyum tetap tersungging di bibirku. Lalu terakhir kalinya aku tujukan kepadanya
yang berdiri beberapa meter di samping kiriku. Aku terkejut. Entah apa yang dia pikirkan
sekarang. Tatapannya kepadaku seakan-akan dia melihat hantu mengerikan malam ini. Antara
terkejut dan takut.
Lama dia terdiam membisu tanpa ada tanda-tanda untuk melanjutkan puisinya. Apakah
puisinya sudah selesai? Tapi mengapa dia terlihat masih ingin menyampaikan sesuatu? Kertas
puisinya pun terjatuh saat pandangannya kembali mengarah kepada penonton. Lalu dia mulai
membaca puisinya kembali.
Kau dan aku menyatu
Berdansa di bawah cahaya rembulan malam biru
Saat kita bersua
Di lembah REFITRIYA
Dalam semalam, ini ketiga kalinya aku terkejut. Bait itu? Mengapa bait puisi terakhirnya
sama dengan bait terakhir puisiku? Sama dengan puisi yang aku tulis 9 tahun yang lalu?
Mungkinkah dia?
Akhirnya dia melihatku lalu mengembangkan senyumnya. Senyum yang masih sama
dengan 9 tahun yang lalu. Dan kali ini lebih manis dan lebih bermakna. Tatapan itu pun juga
masih sama. Jadi tak salah perasaanku tadi. Terima kasih Tuhan. Terima kasih atas kesempatan
ini. Berdansa di bawah cahaya rembulan, di pelataran candi Prambanan.
Kemudian dia mendatangiku. Menyalamiku tanpa berkata apa-apa meski tatapan matanya
sudah menyiratkan segala perasaannya malam ini. Bersamaan dengan tepuk tangan meriah dari
penonton, kami menuruni panggung dengan bergandengan tangan. Tak henti-hentinya senyum
tersungging di bibir kami. Sejuta makna dan selaksa bahagia menyelimuti jiwa kami. Jiwa yang
baru saja berdansa di bawah cahaya rembulan. Di bawah senandung suka cita malam biru.

Biodata Penulis
IDRIS REFICUL, adalah nama pena dari Moh. Idris. Lahir di Sampang 1 Juli 1985. Baru
menyelesaikan studi S1 Jurusan Teknik Informatika di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Meski kuliah di jurusan teknik, kecintaannya dalam dunia sastra terutama dalam menulis puisi
tetap ada sejak berada di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Salah satu
pendiri KWQ (Kajian Waraal Qitor) yang masih eksis di almamaternya, kajian yang membahas
tentang dunia tulis menulis serta kajian-kajian intelektual lainnya. Sangat terinspirasi oleh Kahlil
Gibran yang menjadikan alam sebagai sahabatnya dalam berkarya.
Email
No. HP
Facebook
Twitter
Alamat

: argensieca_30@yahoo.co.id
: 087838282011
: Idris Reficul
: @idrisReficul
: Jl. Cempaka Gang Penyu no. 2 Skalekan Klaten Tengah Jawa Tengah 57411

Anda mungkin juga menyukai