Anda di halaman 1dari 12

`BAIK LUAR DALAM

Di suatu siang hari yang cerah, terdapat dua orang gadis bernama Lisa dan Yeni
yang sedang mengerjakan tugas sekolah di rumahnya Lisa. Mereka berdua mengerjakan
tugas sekolah dengan serius dan suasananya pun menjadi sangat hening.

Lalu datanglah teman Lisa yang bernama Rosi di depan rumahnya. Akan tetapi,
Lisa sendiri seakan tak memperhatikan kehadiran Rosi tersebut.

“Lisa, itu di depan pintu ada Rosi yang sudah menunggu kamu, buruan temui dia,
kesian sudah sejak tadi Rosi menunggu kita.” Ujar Yeni yang sedang mengerjakan tugas
di rumah Lisa.

“Bi, tolong bilang ke Rosi yang ada di depan rumah jika aku sedang pergi atau
bilang lagi tidur gitu ya.” Perintah Lisa kepada oreng yang dipanggilnya Bibi, orang
yang bekerja sebagai ART di rumahnya.

“Eh Lisa, kenapa kamu bersikap seperti itu kepada Rosi? Padahal kan Rosi
pastinya sudah datang jauh-jauhuntuk datang ke sini, kenapa malah kamu usir, gak enak
kan. Kasian dia, dia juga anak yang baik kok Lis.” Ujar Yeni yang mencoba menasehati
Lisa.

“Kamu itu gak paham sama Rosi apa Yen, dari luarnya memang dia tampak seperti
orang yang baik, ramah dan juga manis. Akan tetapi, masa kamu hanya mengukur sifat
dan sikap seseorang dengan semudah itu saja, Rosi itu sekedar tampak manis di luar,
tetapi di dalamnya sangat pahit tahu.” Jawab lisa dengan tatapan yang sinis.

“Loh, pahit gimana maksudnya Lis?” Balas Yeni yang masih merasa bingung
dengan jawaban Lisa.

“Tahu gak sih kamu Yen, Rosi itu sering banget lho membicarakan keburukan
temannya sendiri di belakangnya. Pokonya bakal banyak banget deh kalo harus
dijelasin.” Jawab Lisa dengan nadah sinis.

“Rosi itu sangat berbeda dengan kamu, Yen. Meskipun kamu itu judes dan sering
ceplas-ceplos kalau sedang ngobrol sama aku, tetapi setidaknya kamu memiliki hati
yang tulus, Yen. Menurutku, kamu bukan tipe sahabat yang baik di luarnya saja, tetapi
didalamnya busuk. Dalam hubungan pertemanan, aku tak memerlukan tampilan laur
dari seseorang, Yen” Jelas Lisa panjang lebar kepada Yeni.

TEMA : BAIK LUAR DALAM.


PELAKU (TOKOH) : Lisa,Yeni, Rosi, dan Bibi.
SETTING :
-WAKTU : SIANG YANG CERAH.
-SUASANA : HENING.
-TEMPAT : DI RUMAH Lisa.

NIGHT CHANGES

Fuuuuhh…” Aku meniup secangkir susu hangat yang kupegang. Aku duduk di atas
kursi meja makan. Meja makan itu hanya meja makan kuno yang emiliki dua kursi
berwarna hitam dan satu meja kecil berukuran 1,5 meter. Di meja itu terdapat sebuah
pesan yang ditulis oleh ibuku.

“Hati-hati ya sekolahnya, kalau masih agak kurang nyaman pulang saja, jangan terlalu
capek!”

Sudah pukul 06.21, saatnya aku pergi ke sekolah. Aku menaruh cangkir tersebut di bak
cucian dan melangkah keluar rumah. Aku mengunci pintu rumahku dan berjalan menuju
sekolah. Langit di luar cukup mendung. Awan-awan mulai menghitam. Sepertinya hujan
akan turun. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah sebelum hujan turun.

Sudah terlalu lama aku menunggu momentum ini. Aku sangat bersemangat. Karena kali
ini, sekolah yang kutempati adalah sekolah normal, buka sekolah berkebutuhan khusus
dan kurang beruntung. 8 tahun aku menunggu akhirnya tiba juga. Sekarang aku sudah
kelas 1 SMP, ibuku sepakat untuk menyekolahkanku di sekolah normal. Aku sangat
gembira!

Kulihat gerbang sekolah tinggal 1 meter dariku. Satpam sekolah melihatku dan
menyapaku hangat. Aku pun melangkah masuk ke sekolah. Ternyata sekolah itu lebih
dari yang kukira. Tamannya indah dan bersih, lapangannya luas, fasilitasnya lengkap
pula. Sekolah ini disebut Hiddenville Junior High School. Sekolah terbaik ke-2 dari
100 sekolah lainnya.

Aku berjalan ke ruang kelasku. Di kursi taman aku melihat seorang murid diam sambil
membaca buku. Aku berjalan ke arahnya dan bermaksud untuk menyapanya. Ia
menyadari keberadaanku, ia kemudian menutup buku dan kemudian menatapku.
Dengan senyuman manis di bibir ia melambaikan tangan dan menyapaku.

“Kau terlihat baru di sini. Perkenalkan, namaku Emma megwarth kelas 7B dan kamu?”
tanyanya.
Aku hanya terdiam disitu. Dengan tersenyum kecil aku keluarkan buku dari tas
kesayanganku dan menulis sesuatu.

“Iya, aku anak baru disini, maaf aku gak bisa bicara… Namaku zara feodora kelas 7A.
Senang bertemu denganmu, Emma!”

Aku mengulurkan buku itu ke Emma. Ia membaca tulisan tersebut perlahan, mata
Emma melirikku tajam. Ia kemudian mengembalikan bukuku dan kemudian
meninggalkanku sendiri. Aku tak tahu mengapa ia meninggalkanku. Tapi sepertinya
karena aku yang tak bisa berbicara dengannya.

Aku terduduk di kursi itu untuk beberapa menit. Sambil melihat murid-murid yang
sedang bermain bola maupun yang sedang menonton permainan bola. Tak lama
kemudian terdengar bunyi bel yang nyaring. Semua murid kaget dan berlari masuk ke
dalam kelas. Seorang guru yang memakai kemja putih dan rok hitam selutut berada di
ambang pintu kelas. Aku berhenti belari dan berjalan. Aku tak mau terkena marah saat
hari pertama masuk sekolah.

Ia melihatku dan mempersilahkan untuk masuk ke dalam kelas terlebih dahulu. Saat aku
memasuki kelas itu aku melihat semua murid duduk diam, sopan, dan rapih. Mereka
tidak memandangiku yang berada di depan pintu. Pandangan mereka lurus ke depan, ke
arah papan tulis. Tak kusangka murid-murid di sekolah ini sangat tertib dan teratur.

Ibu guru tadi melangkah masuk. Aku masih berada di depan pintu. Ia meletakkan
setumpuk nuku yang ia bawa ke meja guru itu. Semua murid berdiri, dan mengatakan
salam ke guru itu. Ibu guru memperseilahkan semua duduk dan memanggil namaku.
Akupun melangkah ke dekat guru itu. Ia memberi tahu namanya dan menunyuruhku
memperkenalkan diriku. Tapi sayang aku tak bisa melakukannya. Aku terlalu gugup.

Semua murid mulai memperhatikanku yang terdiam di depan kelas. Itu membuatku
sangat gugup. MRS. Benshoff, nama guru itu, mengulurkan tangannya ke pundakku dan
berbisik, ”Ayo lakukan saja, kau pasti bisa.” Lalu aku memandang murid-murid dan
menocba memperkenalkan diri.

“Ha..i.. Ne..Na..mya..kku..Zza..rrr..a..Fe..feo...do..do..dora!” Ucapku perlahan.


Semua murid melihatku aneh. Sebagian berbisik-bisik dengan sebagian yang lain. Aku
merasa malu dan hanya bisa menundukkan kepalaku. Mrs. Benshoff menenangkan para
murid. Lalu ia mempersilahkanku aku agar duduk di samping jendela urutan ke-2 dari
belakang. Di sebelah bangkuku duduk seorang murid yang sangat mirip dengan Emma.
Aku bingung, aku yakin emma kelas 7A, dia sendiri yang berkata seperti itu.

Mrs. Benshoff sedang membahas tentang suatu yang tidak aku mengerti. Murid yang
mirip Emma itu melempariku secarik kertas. Di kertas itu dia menanyaiku berbagai hal
yang menurutku tidak penting. Dengan terpaksa aku harus menjawab semua pertanyaan
itu satu persatu.

Setelah bertanya aku kembali bertanya apakah ia mengenganal Emma Meghwarth atau
tidak. Aku meremukkan kertas itu dan melemparnya kembali ke murid itu. Ia pun
membuka kertas dan menelis seuatu.

Mata ku beralih ke arah papan tulis. Di situ ada tulisan mrs. Benshoff mengenai
pelajaran IPA. Ternyata ia adalah guru IPA. Ia membahas tentang tumbuhan. Aku tidak
tahu karena tulisannya kurang bisa dibaca. Aku memutuskan untuk mengeluarkan buku
pelajaran IPA untuk melihat penjelasan lebih detil. Tiba-tiba sesuatu mengenai kepalaku,
secarik kertas tadi.

“Ups maaf…” ucapnya pelan.

Kertas itu kubuka. Pertanyaanku dijawab panjang lebar dengan tulisan yang sangat
rapih. Dari tulisannya aku sudah mengira ia adalah orang yang bawel cerewet tapi
pintar, “oh, Emma Megwarth.. iya aku mengenalnya. Ia orang yang sangat pintar, baik,
cantik dan suka membaca buku. Dia anak kelas 7B. dia tak suka orang yang genit dan
sok. Kalau marah biasanya ia diam saja, dia tidak mau mengungkapkan perasaannya ke
orang lain. Dia murah senyum dan… pokoknya baik, deh. Oh ya! Dia adalah
kembaranku, aku Ellisa Megwarth. Salam kenal!”

Pukul 10.04

Mrs. Benshoff meletakkan spidolnya di meja guru dan mengambil kembali setumpuk
buku itu. Ia berjalan keluar kelas. Waktu istirahat ternyata sudah tiba. Semua murid
berbaris keluar kelas menuju kntin. Hanya tersisa 3-4 orang di kelas. Ellisa mengajakku
untuk pergi ke kantin bersamanya. Karena aku membawa bekal, aku menolaknya. Ia
memintaku untuk tetap menemaninya ke kantin. Tapi aku menolaknya lagi. Akhirnya
dengan berat hati ia pergi sendirian ke kantin.

Tak beberapa lama pintu kelas dibuka oleh seseorang. Ia membuka pintunya perlahan
dan mengintip dari sela pintu. Ia kembali menutup pintu itu. Aku bingung dengan
sikapnya yang mencurigakan. Lalu aku melangkah menuju ke depan pintu kelas dan
membukanya. Ternyata ia adalah Emma, oreng yang meninggalkanku tadi pagi. Ia
terkejut melihatku.

“Zara?! Kukira kau tidak ada di kelas. A.. aku minta maaf ya soal tadi pagi. Aku cuman
terkejut saat kau berka- eh.. menulis itu. Maafkan ya.” Ucapnya.

Ekspresi wajahku masih datar. Aku menatapnya. Mukanya tampak memelas. Sebaiknya
aku memaafkannya agar ia bisa pergi dari kelasku. Ternyata sikap Ellisa dan Emma tak
jau berbeda. Mereka berdua sama saja.

Setelah menghabiskan bekalku, aku hendak pergi ke toilet untuk mencuci tangan. Saat
menuju toilet, aku mendengar suara nyanyian yang merdu di suatu tempat. Aku mencari
asal suara itu. Ternyata suara itu berasal dari ruangan Audio Visual. Aku mengintip
ruangan itu, ternyata kelompok paduan suara sedang berlatih untuk kompitisi di
penghujung tahun. Sepertinya mereka sangat berjuang untuk memenangkan lomba itu.

Aku mengamati mereka berlatih. Mereka menyanyikan satu lagu, yaitu I want to show
you something. Kau tahu, harapan terbesarku menjadi penyanyi. Sejak kecil aku
terinspirasi dari berbagai artis di televisi.

Tapi semenjak kejadian itu, traumaku tak pernah hilang. Itu membuatku gagap.
Bagaimana bisa bernyanyi, untuk berbicara saja aku gagap!

***

Saat itu usiaku 6 tahun, ayahku dan aku pergi ke taman bermain bersama. Kami
menikmati saat-saat itu. Sorenya kami pulang dari tama bermain, kami menyeberangi
jalan raya. Jalanan saat itu lumayan gelap. Ayahku tidak bisa melihat jalanan dengan
jelas. Lalu lampu kembali hijau sedangkan kami berdua belum menyeberang jalan. Saat
aku tahu ada mobil yang melesat kencang mulai mendekati kita, aku langsung berlari
menarik tangan ayahku. Sayangnya genggamanku terlepas dan ayahku tertinggal di
belakang. Aku berlari kembali ke belakang tapi sudah terlambat. Semuanya sudah
terlambat.

***

Air mataku selalu keluar ketika aku mengingat ayah. Aku segera mengusapnya dengan
tanganku dan berjalan kembali ke kelas. Ternyata di kelas masih sepi, baru 10 dari 25
murid yang datang. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 11.05. Seharusnya para
murid sudah berada di kelas. Akupun duduk di kursi menunggu sambil membaca buku.

Pulangnya, aku masih berada di kelas mengerjakan lembar kerja yang diberikan
sebelum aku masuk ke sekolah ini. Setelah selesai mengerjakan, aku menaruh LK
tersebut di ruang guru. Karena masih puku 14.20, akupun berjalan menuju ruang audio
visual. Karena guru-guru sedang rapat di kelas 7B, maka tidak ada orang di ruangan itu.
Di sekitarku tidak ada murid berlalu lalang. Aku segera memasuki ruangan itu tanpa
sengepengatahuan guru-guru.

Ruangan audio visual itu cukup luas. Keyboard berwarna hitam berdiri di sudut kiri
ruangan. AC masih menyala, sehingga ruangan terasa dingin. Di dinding ruangan
terdapat banyak pajangan sertifikat yang di dapat dari berbagai lomba paduan suara.
Ternyata tim paduan suara sekolah ini sangat unggul saat berlomba. Lalu aku melirik
papan tulis yang berada di samping keyboard hitam itu. Di sana tertulis.

“Anggota tim paduan suara yang mengikuti lomba akan latihan setiap hari pada pukul
10.00 dan pukul 12.30.” Mr. Rangga (Guru musik)

Setelah itu aku duduk di kursi keyboard. Saat kutekan tutsnya ternyata keyboard itu
masih menyala.aku memutuskan untuk memainkan keyboard itu. Yah, walaupun aku
memiliki kekurangan, bukan berarti aku tidak memiliki kelebihan. Aku mulai belajar
piano/ keyboard setahun setelah aku selesai operasi pita suaraku yang rusak. Waktu itu,
aku masih berusia 7 tahun.

Ibuku yang memintaku mengikuti kursus piano. Tadinya aku tidak mau karena aku
masih (ngotot) ingin menjadi penyanyi. Tapi lama kelamaan keinginanku menjadi
penyanyi mulai pudar. Akupun mengikuti kursus piano dengan senang hati, sampai
sekarang pun aku masih mengikuti kursus itu.
Saat ini lagu yang paling lancar kumainkan yaitu lagu Locked Away – Adam Levine.
Akupun mencoba memainkan lagu itu. Sekarang jariku agak kaku entah mengapa.
Sampai di tengah lagu, aku jadi teringat ayah. Padahal tidak ada hubungan lagu ini
dengan ayah. Air mataku sudah terlanjur keluar. Akupun terpaksa berhenti bermain
keyboard, mengambil tasku dan berjalan keluar ruang audio visual.

Saat berada di luar ruangan, aku melihat Mr. Rangga berada tepat di sampingku dan
sedang duduk tenang. Aku terkejut melihatnya dan Mr. Rangga terkejut pula melihatku.
Ia berdiri dan merapihkan kemeja biru yang ia pakai. Lalu ia menatapku bingung. Saat
itu pula aku mentapnya aneh dan bingung. Mr. Rangga mulai berbicara.

“hmm… saya tidak pernah melihat kamu disini. Kamu pasti anak baru ya? Baru masuk
hari ini dan katanya kamu sudah pintar bermain piano, ya!”

“Arh..ha..t..rm..ak..shih..pakh! N..mak..uu..Zzee..arr..a.” ucapku gugup.

“Oh begitu. Hmmm.. Besok jam 10.30 datanglah kesini, ke ruang audio visual.”

“Tt..ttaa.. pp..ii be..bes..sok..ssab..tttuuu?”

“iya memang, sekolah ini mengajurkan murid-muridnya untuk masuk di hari sabtu,
hanya untuk membahas peljaran-pelajaran yang sudah dipelajari,”mjawabnya, “jadi kau
mau?” sambungnya.

Sekarang jantungku berdegup kencang. Baru kali ini aku diminta secara langsung oleh
guru musik, hanya karena aku bisa bermain piano. Tanpa pikir panjang aku langsung
menganggukkan kepalaku tanda setuju. Mr. Rangga tersenyum dan mengucungkan ibu
jarinya, lalu pergi meninggalkanku. Aku langsung berlari ke bawah setelah Mr. Rangga
pergi. Aku pulang dengan persaan gembira. Sampai-sampai oreang-orang disekitarku
menganggapku gila karena aku senyum-senyum sendiri.

Sesampainya di rumah, aku langsung membuka pintu rumah. Ibuku sudah berada di
sana sambil duduk di atas kursi sofa. Ia meminum secangkir the hangat. Ibuku
pulangnya tidak tentu, kadang cepat seperti sekarang dan kadang lama. Kemudian ibuku
menaruh cangkirnya di meja dan memintaku untuk duduk di sampingnya. Selanjutnya
aku menceritakan pengalaman hari pertamaku di sekolah. Aku bercerita tentang tim
paduan suara. Aku menceritakan segala yang kulihat saat mereka berlatih. Ibuku terlihat
sangat senang karena wajahku tidak lagi murung seperti dulu.

Sabtu. 09.56 pagi

Kali ini ibuku mengantarkanku pergi ke sekolah. Ia ingin bertemu dengan kapala
sekolah. Sesampainya di sekolah aku tidak melihat seorang murid pun. Setelah kusadari,
ternyata semua masuk pukul 07.00 (seperti biasa). Kupikir aku yang datang pertama
kali, ternyata akulah yang paling telat.

Ibuku sudah pergi menuju ruang kepala sekolah. Akupun bernjak menuju ruang audio
visual. Pandanganku lurus dan tidak menengok kanan kiri. Perasaanku sudah sangat
malu. Untungnya tidak ada guru-guru atau murid murid di karidor. Tapi tak lama
kemudian terdengar bunyi bel. Aku tersadar itu bunyi bel istirahat. Sebelum para murid
dan guru melihatku, aku berlari menuju audio visual (AV) room.

Sampai di ruangan audio visual, aku melihat Mr. Rangga dan beberapa murid sedang
beristirahat di sana. Sudah kuduga itulah para anggota tim paduan suara. Saat aku
memasuki ruangan itu semua pandangan murid tertuju padaku. Mereka menatapku
sebentar dan melanjutkan istirahat mereka. Mr. Rangga menghampiriku dan memberiku
surat yang telah dilipat. Ia mulai berbicara.

“Jadi seperti ini, tim paduan suara akan ada lomba di penhujung tahun ini. Lomba ini
bukan lomba biasa, tetapi lomba paduan suara setingkat nasional. Kita sudah berusaha
sampai ke tingkat itu. Kita harus patuh pada aturan lomba. Salah satunya adalah peserta
lomba haruslah dari murid, termasuk pemain piano. Guru tidak boleh ikut membantu.
Jadi bapak ingin kau yang ingin menjadi san pianist di lomba tingkat nasional itu,
Zara…” jelasnya panjang lebar.

Mataku terbelalak mendengar informasi tersebut. Mulutku terbuka dan diam tanpa
bergerak. Mr. Rangga menatapku bingung. Ia pun menyadarkanku sampai-sampai
tubuhku hampir terjatuh.
Untungnya aku berhasil menyeimbangkan tubuhku kembali. Sekarang aku mencoba
menenangkan diriku.

“Ini beneran ya? Aku jadi pianist tim paduan suara? Fuuh tenangkan dirimu, Zara.
Jangan sampai kamu lepas kontrol.” Ucapku dalam hati.
Aku sangat senang. Walau tidak masuk ke tim paduan suara setidaknya aku telah masuk
dan terlibat dalam lomba tim paduan suara. Aku tak menyangka akan ada hari seperti
ini. Kesempatan seperti ini biasanya datang sekali dalam seumur hidup. Kesempatanku
hanya sekali, kali ini aku akan berusaha berbuat yang terbaik.

***

Aku dan Ellisa pulang bersama. Aku tidak tahu mengapa aku dan dia menjadi begitu
akrab. Di lantai 1 kami melihat segerombolan murid sedang mengerubungi sebuah
majalah dinding. Kami mendekati kerumunan itu. Mereka yang berada di depan majalah
dinding berbisik-bisik. Aku mencoba melihat apa yang ditempel di majalah dinding itu.
Semua murid menatapku, lalu memberiku tempat untuk lewat.

Alangkah terkejutnya, aku melihat poster tentang lomba paduan suara dan fotoku yang
sedang bermain piano. Bagaimana cara mereka mendapatkan foto itu? Padahal aku tak
pernah memperlihatkan diriku yang sedang bermain piano ke siapapun. Tiba-tiba
tubuhku tersenggol seseorang. Aku tak tahu siapa itu, tapi dari raut wajahnya sepertinya
ia sedang marah. Di belakang oreng itu ada 3 orang sedang berdiri tegak. Aku yakin
merekalah sang pengganggu di sekolah ini.

“Oh kau yang menjadi pianist di tim paduan suara? Kau terlihat tidak bisa bermain
piano. Fuh kau pasti menyogok Mr. Rangga untuk memberimu kesempatan beser ini,
kan?” kata seseorang yang kupikir adalah ketua kelompok pengganggu itu.

Aku dan Ellisa memutuskan untuk tidak mendengarkan ceramah dari mereka. Kami
berdua meninggalkan mereka yang sedang menjelaskan suatu yang tak penting. Begitu
mereka tak sadar jika aku dan Ellisa tidak lagi di depannya, raut wajah mereka jadi
jengkel dan mereka pun pergi dari situ.

Sampainya di rumah, aku langsung berbaring di kasur. Aku melihat keatas


membayangkan apa yang terjadi saat lomba paduan suara nanti. “Kau terlihat tidak bisa
bermain piano!” kata-kata itu membuatku tidak percaya diri. Aura negatif mulai
bermunculan. Aku takut jika aku melakukan kesalahan. Hari senin apakah mereka akan
mengataiku lagi? Bisakah aku bermain piano dengan lancar?

***
Untuk Zara dari ayah,

Zara, maafkan ayahmu yang telah meninggalkanmu. Kecelakaan bagai perpisahan bagi
kita. Selagi kau tertidur di ranjang rumah sakit, ayah menulis surat ini. Ayah
mencurahkan semua tenaga ayah untuk menulis ini. Semoga suatu saat nanti kau akan
menjadi orang yang sukses dan membanggakan ayahmu dan ibumu. Aku ingin
melihatmu saat kau tampil sebagai pianist sukses. Tapi sayangnya tidak bisa. Tiga kata
untukmu, “selamat tinggal, Zara.”

Air mata semakin deras keluar. Kali ini aku tidak bisa menahannya. Aku juga melihat
ibuku yang juga mencoba menahan tangisannya. Kami duduk di kursi itu sambil
memainkan lagu-lagu lama yang menyatukan kami ber-tiga bersama.

***

Inilah harinya. Hari dimana aku berlomba di gedung Ballroom yang berada di Jakarta
Timur. Anggota suara perempuan memakai dres putih dan memakai bendana putih satu
lagi, high heels 3cm. bagi yang laki-laki memakai jas hitam dan sepatu converse hitam
layaknya sedang ada acara penting dan resmi. Mr. Rangga berpakaian sama dengan
anggota murid laki-laki. Sedangkan aku, sang pianist, memakai dres berwarna hitam
dan flatshoes berwarna hitam.

Kami mendapatkan giliran tampil ke-9 dari 20 peserta. Jam bermain kami adalah jam
12.00. Sekarang masih pukul 08.24 acara akan dimulai pukul 10.00. kami masih
mempunyai waktu sekitar 1 jam 30 menit lagi. Kami pun beristirahat di sebuah kedai
kafe di dekat gedung itu. Aku duduk di kursi pojok sambil memesan the hangat.

Aku duduk diam dan merenung. Memikirkan semua perjuanganyang telah kucurahkan
demi lomba ini. Aku tak menyangka bisa melaluinya. Aku hanyalah murid baru
disekolah, memiliki kekurangan, dan banyak yang meragukanku, terlebih aku hanya
memiliki satu orang tua. Tapi aku bisa melakukan sesuatu yang besar. Yah walaupun
menjadi pianist, menurutku itu sudah cukup besar.

Tiba-tiba pintu dibuka oleh seseorang. Itulah ibu para anggota paduan suara. Aku
mencari cari ibuku, tapi ia tidak ada. Mungkin ada kerjaan yang belum ia kerjakan
kerjakan, jadi ia tidak ikut. Tapi, ini hari sabtu tidak mungkin ibu pergi bekerja. Tidak
apalah, ayah pasti sedang melihatku saat ini. Ibuku juga bekerja demi diriku.
Aku menatap semua anggota paduan suara sedang bersama orang tua mereka masing-
masing. Aku hanya diam menunduk sambil memainkan handphoneku. Aku coba
menghubungi ibuku, tapi ia tidak mengakatnya. Sepertinya ia benar-benar sibuk dan
tidak akan datang melihatku tampil.

Seseorang menarik tanganku. Ia adalah Hana temanku di tim paduan suara. Dia
mengajakku foto bersama anggota paduan suara lainnya. Aku pun mengangguk dan
berjalan bersamanya. Foto ini adalah salah satu bukti dari diriku untuk ayah. Di
belakangnya aku akan menulis surat balasan untuknya.

Selesai foto, kami semua beranjak dari kedai kafe menujugedung tempat kami akan
tampil. Sesampainya di ruangan lomba, aku terkagum-kagum. Tempatnya sangat luas. 2
chandelier emas di gantung di atas. Panggungnya pun besar dan indah. Kursi-kursi
berderet rapih. Di pojok ruangan terdapat meja yang di atasnya terdapat piala-piala
besar untuk para pemenang. Sepertinya gedung ini sangat mahal jika disewa.

Sambutan demi sambutan para penggelar lomba disampaikan, dan acara lomba pun
akhirnya dimulai. Nomor 1 dari sekolah SMP Grazeilla. Nyanyian mereka sangat merdu
sekali, tapi ada sedikit kesalahan di pemain pianonya. Sekali kesalahan, poinnya
berkurang banyak.

Sampailah sekolah pada nomor urut 8. Setelah sekolah ini adalah giliran sekolahku.
Nama sekolahnya SMP jubile, Jakarta. Pakaian mereka glamour dan fancy. Saat mulai
bernyanyi, suara pianonya sudah membuat para penonton tercengan. Ini yang mebuatku
tidak percaya diri. Aku sudah takut duluan sebelum mencoba.

Setelah mereka selesai, para penonton bertepuk tangan. Tepuk tangannya sangat meriah.
Sepertinya para juri juga menilai tepuk tangan dari para penonton. Kali ini nomor urut
kami dipanggil. Jantungku berdegup sangat kencang, dan aku tidak bisa mengontrol
diriku. Penonton bertepuk tangan saat timku masuk ke panggung. Aku menuju tempatku
yang berada di sebelah kanan panggung. Dan sang conductor mengankat tangannya
mengartikan bermain.

Aku pun mulai memainkan pianonya. Tiba-tiba aku jadi teringat ayah. I want to show
you something, itu lagu tentang keluarga. I want to show you something, that you had
never seen before. Aku ingin menunjukkanmu sesuatu, yang kau belum pernah lihat.
Ayah, aku ingin menunjukkanmu sesuatu. Kau tak pernah melihatku seperti ini.
Memainkan piano dengan lancar dan indah. Walau kau sudah tiada, aku akan tetap
melakukan ini, demi ayah.

Sekali lagi, aku bermain piano sambil menangis. Aku hanya menghiraukannya.
Ingatanku hanya fokus ke ayah. Aku menghayati lagu itu. Aku tetap menangis. Tanpa
kusadari lagu itu telah selesai. Sebagian penonton menangis. Dan kulihat salah satu juri
juga menangis. Suara tepukan tangan mulai bermunculan. Tim paduan suara sekolahku
membungkuk dan keluar demikian pula diriku.

Semua bersorak sorai karena pertunjukan telah berakhir. Sebagian murid pulang dengan
mamanya dan sebagian murid tetap menonton dan menunggu hasil. Diriku terlantar
sendirian. Aku pun memutuskan untuk pulang bersama Hana. Tapi ibunya Hana bilang
bahwa ibuku berada di dalam di baris paling terakhir. Aku pun berlari masuk ke dalam
menghampiri ibuku yang berada di dalam.

Ternyata benar, ibuku berada di dala. Ia sedang memoto sekolah yang sedang tampil.
Aku pun menghampirinya lalu aku lansung memeluknya dan duduk di kursi kosong
sebelahnya.

“Kursi itu sengaja untukmu, ibu tak mau kau berdiri saat menonton. Tapi ibu ucapkan
bagus sekali! Ibu tak menyangka kau bisa bermain piano sindah itu. Ibu sangat bangga
padamu.” Ucap ibu sambil memelukku.

“ak…kk..ku te…ti..dd..kk mel..la..ku..kkka..ann..nyerh…ny…nyaaa.. see..sen..nd..riii..”

“Ha? Kau melakukannya dengan siapa?” tanyanya.

“Dengan ayyyah..”

TEMA : NIGHT CHANGES


PELAKU (TOKOH) : Zara, Ibu, Emma, Mrs. Benshoff, Ellisa, Mr.Rangga, dan Hana.
SETTING :
-WAKTU : PAGI.
-SUASANA : GEMBIRA DAN SEDIH.
-TEMPAT : DI RUMAH ZARA, SEKOLAH, DAN GEDUNG.

Anda mungkin juga menyukai