Anda di halaman 1dari 6

TUGAS CERPEN B.

INDONESIA

NAMA: TIAN PRAYOGI KELAZ: 9B

Baiklah, bagi teman-teman, saya dan khusus nya ibu giyanti dan bpk bambang yang sudah tidak sabaran ingin membaca CERPEN saya ini, maka secara lengkap kalian bisa membacanya secara lengkap dibawah berikut ini: Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita ANAH hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku. WIWI, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut gemuk? tanya FUAD sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di samping kanan tempat tidurku. Iya, gue heran deh sama RATNA. Padahal kalau makan cokelat enggak tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan lo enggak gemuk sih? NUR AYU yang dari tadi sibuk ber-SMS-an dengan SALEH pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami. Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya? timpa SARI, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka. Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya? Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus kedokteran itu dibuka-buka. Jangan disimpan aja, ledek SARI sambil tertawa terbahak-bahak. Kami pun kemudian tertawa. Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda tawa. Kata-kata yang WIWI dan SARI lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi memang begitulah mereka. Ceplasceplos. Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda. Kalau aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan betah tinggal di kost-an. Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia? WIWI masih penasaran. Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal, gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium

TIAN, dari pada gue meninggal karena kekurangan gizi, aku yang sejak tadi bergeming, akhirnya menanggapi kata-kata mereka. Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan. Tok... tok... tok.... Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar. SARI, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu. Tari, gue mau curhat! Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan pintu kamar, padahal baru lima belas detik SARI membuka pintu. Laras kemudian langsung berlari ke arahku. Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini, tanyaku, heran. Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini. Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah. WIWI protes. Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas banget! Laras marah. WIWI memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk. Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati WIWI dan SARI. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar mereka. Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan kekeluargaan di antara kami lebih terasa. Sesampainya di kamar, ANAH langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada tepat di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut berbaring di sampingnya. Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia. Ketemu di mana? Namanya siapa? tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun.

Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya SALEH. Siapa?! tanyaku, tak percaya. SALEH. SALEH SALIM WIDYO MINTO. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo, di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya. Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita ANAH, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan ANAH. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan SALEH. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia. Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! ANAH ternyata mencintai SALEH pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku dan SALEH sebenarnya pacaran. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu ANAH. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya! SALEH, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak? Enggak ada. Memang ada apa? Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku? Untuk kamu, apa sih yang enggak? Ya sudah. Berangkat, yuk. Oke. VESPA ANTIK(JADUL) milik SALEH melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu. Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis horizontal. SALEH duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar. Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? tanya SALEH, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan. Aku bangkit, kemudian berseru, SALEH, aku ingin bermain dengan ombak. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

SALEH kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku. Aku melepaskan genggaman SALEH. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak ombak yang menjilati hamparan es krim itu. SALEH menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku. Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku. Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya, untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan. Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan. Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang. Kamu curang, seruku, masih dengan tersengal-sengal. Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh, jawab Fikri, sekenanya. Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal. Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku lebih tenang. Sayang, sebenarnya ada apa sih?. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini, jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal. SALEH kemudian tersenyum, sambil berkata, Aku pikir kamu mau cerita sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu. Masa, sih? Bukannya iya? Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk barat. Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal, aku mengatakan, SALEH, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku

enggak bisa pacaran sama kamu. Ada seseorang yang lebih pantas untukmu. Maksud kamu apa?! Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan. Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang SALEH rasakan saat ini. Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu. Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah Laras. ANAH?! Saudara kembarmu? SARI, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu! SALEH marah besar. Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan ANAH aku berharap, cintamu padaku seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras ANAH. Dan membuatnya bahagia.

Anda mungkin juga menyukai