Anda di halaman 1dari 2

Buku menulis puisi pdf

Buku seni menulis puisi pdf.

Jump to ratings and reviews Displaying 1 - 3 of 3 reviewsSeptember 3, 2015Akhirnya, selesai juga saya membaca buku ini. Selalu membaca buku apapun saya merasa kesusahan, sebab selalu penuh perjuangan, bagaimana saya mencuri waktu dan mengatur waktu kerja, dikejar deadline, bahkan menuntaskan karya yang belum selesai. (malah
CurCol!)Biasanya selesai membaca Novel atau Buku Non Fiksi saya akan merasa lega, lega karena mengetahui ending ceritanya, atau mendapatkan pencerahan. Lega: seperti bersin yang keluar dan membuat perasaan gatal di hidung hilang. Tetapi membaca buku ini!--ASTAGAAAA--Buku ini bukannya membuat saya lega, tapi gelisah, pernah saya
nggak tidur gara-gara buku ini! Saya dikepung banyak ide sajak, Novel, cerpen, ketakutan, ketidakpastian hidup, kebahagiaan yang ganjil, padahal besoknya saya harus mengejar Meeting skenario. Saya melek 48 jam, selesai meeting pulang pagi, akhirnya saya tepar, tetapi sembari memeluk buku ini. Nggak hanya sekali, lebih dari dua kali. Bahkan
ketika menanti sahabat saya di pinggir jalan, janjian satu jalan ke tempat kerja, saya sempatkan membaca buku ini(Astaga curcol lagi!) Buku ini membuat saya tergila-gila akan Seni Menulis Puisi.Disini Bintang pertama untuk Cover-nya, yang sangat nyeni, ada gulungan kertas yang sudah ada puisi tertulis, pena, lalu matahari di belakang gulungan
kertas. Dan pemilihan background cover buku, warna persik muda bener nggak yah? Saya suka.Yang nggak saya suka, di Kantor Pos pasti ada pemeriksaan, reseknya, buku ini dicoblos memakai jarum dan ada tiga lubang di belakang buku milik saya ini. Plis deh pak, gue beli buku, bukan mesen bom!Lanjut... Bintang kedua, Paling seneng kalau beli
buku dapet tanda-tangan penulisnya, seneng aja. Bagi saya mahal rasanya memiliki tanda-tangan penulis di bukunya. Untungnya, pas pesan Mas Hasta-nya saya ancam (hahahaha) Maturnuwun yah Mas tanda-tangannya di depan halaman. Nggak percaya ada tanda-tangannya, cek dong Videonya di Youtube, search aja, Seni Menulis Puisi, pasti
nongol.Bintang ketiga: Untuk layout dalam, yang saya kira awalnya buku setebel ini, pasti bakal lama saya bacanya. Tetapi layout paragraf font-nya aduh enak banget, jaraknya lega. Font-nya juga ramah di mata. jadi saya sempet kaget awal-awal baca, walah dalam waktu satu jam saya udah di halaman 60 ajah, cepet banget saya bacanya. Bintang
yang keempat: Betapa, saya benar-benar diworkshop oleh Mas Hasta lewat buku ini. Asiknya Buku ini membuat saya kenal, bagaimana memainkan gaya bahasa: yang paling terngiang di kepala saya: Asidenton. Nggak hanya itu, ada tentang bagaimana menangkap momen puitis, dan masih banyak lagi.Bintang yang kelima: Berkat buku ini, banyak
sekali pengetahuan merangsek ke dalam kepala saya.

Saya menjadi sedikit lebih cerdas berkat buku ini.


Yang tadi nulis puisi asal-asalan kini menjadi tahu tekhniknya.

Tapi saya merasa masih debu kok di luasnya Jagat Raya.Ada satu hal yang saya salah baca. Di halaman ix, tentang Pasal Buku Seni Menulis Puisi. Di Pasal Pertama saya salah membaca dan belum ngeh. Baru ngeh ya selesai ini. Disitu dikatakan bahwa Pasal Pertama: Buku ini ditulis tidak untuk mencetak pembaca menjadi penyair.Kata "Tidak" disitu,
tidak saya baca dengan sadar. Jadi saya mengira, buku ini ditulis untuk mencetak pembaca menjadi penyair. Dan bodohnya, saya jejeritan dan pamer pada ibu serta adik saya, bahwa saya membaca buku keren yang bakal bikin saya menjadi penyair! Pas selesai baca tadi dan membuka hal Pasal di depan buku. Walah! Saya baru ngeh. Saya
menggoblok-goblokan diri, membatin: Makanya kalo baca jangan ngebut mode on! di kira baca skenario! Baca ngetik udah kaya The Flash.Tetapi entah mengapa saya yakin dilubuk hati saya yang terdalam, entah seseorang di luar sana, yang juga membaca buku ini. Pasti juga memiliki hasrat yang sama dengan saya, barangkali juga salah baca persis
saya. (berharap ada yang salah baca Hahahaha) Saya percaya. Sebab pasal pertama yang salah saya baca, di buku itulah yang mendorong saya untuk mempelajari apa yang buku ini suguhkan. Yang setiap malam-malam sepi membuat saya gelisah nggak keruan, dan membuat cara pandang saya berbeda. Sungguh berbeda. Saya semakin menghayati
Hidup, dan merasa semua manusia adalah bola kaca yang pasti akan ambyar bila jatuh. Buku ini memang mengedukasi saya, saya ingat kata-kata Mbak Bertha di acara Sarah Sechan, tidak persis sama sih, tapi begini maksudnya. "Ketika orang melahirkan karya, karya itu harus bisa membuat yang membaca, menonton menjadi bertambah pintar."Dan
buku ini membuat saya PINTAR! Hastag: JejingkrakanBerasaNaikKelas!Dan yang pasti buku ini pas banget dibaca Anak-anak SMA yang saya yakin, mereka sering diam-diam membuat puisi cinta untuk pacarnya terkasih. Saya yakin bibit-bibit itu haus akan pengetahuan cara membuat puisi yang benar (yang benar disini selalu menjadi acuan dan
pertanyaan mereka) saya bilangnya sesuai koridor.
Sisanya sekarang adalah kegelisahan yang berdebur di dalam diri saya. Ada badai yang belum lindap. Dan saya harus menaklukannya. Sendiri.

Saya haturkan terima kasih--berdiri di podium Oscar--untuk Mas Hasta Indriyana, yang telah menulis buku ini, memeras otak, keringat. Hingga akhirnya terbit. Terima Kasih Penerbit Gambang yang mencetak dan menjual buku ini. Semoga bestseller, Amin.
Kelak semoga waktu memberi saya tiket dimana saya bisa bertemu dan ngobrol dengan Mas Hasta.
Biar Gusti yang memberi kejutan nanti. Selalu ditunggu karya-karya-nya.Selamat menikmati Hidup. Namaste _/|\_ October 25, 2022Buku yang sangat baik untuk kita yang baru belajar menulis puisi, guru yang ingin mengajar puisi, dan siapa pun itu yang mau belajar puisi.Dalam buku ini dijelaskan bagaimana menulis puisi, bermacam majas, dan
contoh-contoh puisi.April 16, 2019Padat inputnya tapi, senang difahami.Displaying 1 - 3 of 3 reviewsGet help and learn more about the design. Mohd. Harun lahir di Laweueng, Pidie Aceh, 5 Maret 1966. Dalam dunia seni dan jurnalistik sering memakai nama C. Harun al Rasyid dan Mohd. Harun al Rasyid. Harun menamatkan pendidikan (1) SDN
Laweueng, 1979; (2) MTsN Padang Tiji, 1982; (3) SMAN Sigli, 1985; semuanya di Pidie, Aceh; (4) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unsyiah,Banda Aceh, 1992; (5) Magister Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Malang, 1998; (6) Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Malang, spesialisasi sastra etnik, Mei 2006.Mulai
April 1990 Harun bekerja sebagai wartawan Harian Serambi Indonesia Banda Aceh dan bertugas di daerah konflik: Banda Aceh, Pidie, Lhokseumawe, dan Aceh Utara.

Ia berhenti dari Harian Serambi pada Juni 1994 karena ingin mengabdi sebagai pendidik di almamaternya. Sejak mahasiswa, ia aktif di pers kampus, seperti ikut bersama menerbitkan Koran Mahasiswa MONUMEN dan menulis di media lokal dan pusat, terutama bidang budaya dan sastra. Harun dipercayakan sebagai Sekretaris Prodi Magister
Bahasa PPs Unsyiah (2006—2007), Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia PPs Unsyiah (2008 — 2011), Kepala Pusat Studi Bahasa Daerah Aceh (2008 - sekarang), Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Aceh (2016—sekarang), Ketua Jurusan PBSI FKIP Unsyiah (2017 — sekarang), dan
Sekretaris Senat FKIP Unsyiah (2018 - sekarang). Tahun 2007 Harun menerima Anugerah Budaya dari Pemerintah Aceh dan Satya Lencana Sarakata, disusul tahun 2010 menerima Anugerah untuk Pengamat Karya Sastra, juga dari Pemerintah Aceh. Aktif membantu Dinas Pendidikan Aceh dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Aceh dalam berbagai
pelatihan dan penjurian.Selain menulis karya ilmiah, Harun gemar menulis puisi, sastra, feature, resensi buku, opini, dan cerpen. Puisinya dimuat, antara lain dalam antologi Kemah Seniman Aceh 3 (1990), Banda Aceh (1991), Nafas Tanah Rencong (1992), Lambaian (1993), Seulawah (1995), Keranda-Keranda (1999), Dalam Beku Waktu (2003),
Putroe Phang (2003), Sankalakiri (2003), Piala Maja V (2004), Aceh, 8,9 Skala Richter, Lalu Tsunami (2005), Ziarah Ombak (2005), Lagu Kelu (2005), Syair Tsunami (2006), Krueng Aceh (2009), Pasie Karam (2016), Nyanyian dari Hutan, Pantai, dan Taman Kota (2016), Nyanyian Gerimis (2017), Antologi Puisi Kemanusiaan dan Anti-kekerasan Jejak
Air Mata Dari Sittwe ke Kuala Langsa (2017), Akulah Damai Puisi Persatuan Indonesia (2017). Cerpennya terkumpul dalam antologi Remuk (2000) dan Komunitas Sastra Indonesia Catatan Perjalanan (2008).Harun telah menulis beberapa buku: Suara Pribumi (Kumpulan Puisi, 1996), Nyanyian Manusia(Kumpulan Puisi, 2006), Memahami Orang Aceh
(Buku Referensi, 2009), Membaca Suara-Suara (Kumpulan Puisi, 2012), Pengantar Sastra Aceh (buku Referensi, 2012), Hikayat dalam Kesusastraan Aceh (Buku Referensi, 2017). Harun juga mengeditori beberapa buku: Apit Awe (1993, Serambi Indonesia), Keranda-Keranda (1999, DKB), Remuk (2000, DKB), dan Inventarisasi Budaya Aceh (2016,
Disbudpar Aceh). Tahun 2003 ia mendirikan Pusat Kebudayaan Aceh (Pusaka) bersama Dr. Abdul Djunaidi dan Drs. Nurdin F. Joes. Menjadi Ketua Dewan Penyunting Jurnal Pelangi Sastra.

Bergabung dengan Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB) sebagai wakil sekretaris sampai 1999.
Tahun 2000 sebagai wakil ketua I Dewan Kesenian Aceh (DKA).Pada Desember 1999 membentangkan makalah pada Dialog Utara VIII di Yala, Thailand Selatan; 15 September 2005 sebagai pemakalah di Institut Alam dan Tamadun Melayu Universitas Kebangsaan Malaysia pada peluncuran Antologi Puisi Ziarah Ombak; 19 September 2005
menyampaikan ceramah sastra dan budaya di Ipoh, Negeri Perak Malaysia; Juni 2011 menghadiri Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) di Batam mewakili Pemerintah Aceh; September 2016 pemakalah dalam Konferensi Internasional Kesusastraan di Universitas Negeri Yogyakarta; Juli 2017 diundang sebagai sastrawan nasional dalam
Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi II) di Jakarta (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdiknas); September 2017 pemakalah dalam Konferensi Internasional Kesusastraan di Universitas Negeri Bengkulu. Saat ini Harun juga tercatat sebagai Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Guru di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai