Anda di halaman 1dari 3

Belajar Dari Gus Muh, Menulis Untuk Hidup

Oleh: Dafrin Muksin

Judul: Aku, Buku, Dan Sepotong Sajak Cinta: Jalan Sunyi Seorang Penulis
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriPtaManent
Cetakan: Pertama, Agustus 2016
Tebal: 382 Halaman
ISBN: 979-99461-3-1

Gus Muh alias Muhidin M. Dahlah memang benar-benar seorang petarung. Lelaki kelahiran
Dogala, Sulawesi Tengah ini, telah menunjukan kegigihannya. Selamat dari amukan gelombang
badai kehidupan yang kelam. Mempertahankan hidup dan terus hidup dengan Menulis.

Bermula ketika dimasa kecilnya, Ia diberi perntanyaan dari lelaki misterius berjaket coklat
yang bertamu di rumah tanah kelahiranya. Bertanya tentang buku bacaan. Betapa asingnya
pertanyaan itu. Membikin Gus Muh kecil kebingunggan sekaligus penasaran. Buku yang
dikenalinya adalah buku tulis bergaris-garis merah, bisa ditulis dengan potlot yang ditemui
ketika kelas satu SD.

Untuk menjawab rasa penasan dan kebingungan itu, Gus Muh memutuskan untuk
meninggalkan kampung halamannya. Lewat karya “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta: Jalan
Sunyi Seorang Penulis” berkisah tentang bagaimana kepiluan: petualangan dunia perbukuan
dan tulis menulis itu dimulai.

Yogyakarta menjadi sasaran tempat tujuan. Bermodalkan uang 750 ribu rupiah hasil pinjaman
tetangga dan sebaris kalimat pendek dari sang ayah “Jangan pulang sebelum kau berhasil.
Yogyakarta itu jauh. Kau ingat-ingat itu.” Dan semenjak itu, ketika kapal mulai melaju, kota
tanah kelahiranya semakin samar kemudian lenyap dari pandangan mata.

Setiba di Yogyakarta, Ia tinggal di asrama yang penghuninya adalah orang-orang se provinsi


dengannya. Letaknya tidak jauh dari Kraton Pakubuwana persis di depan pasar Sentul. Untuk
keluar dari kepompong chavunisme dan solidaritas kampung. Ia memilih dunia luar. Ketika
menjejalkan kaki di Yogyakarta, mengisisnya denga kesenangan kepada dunia buku.
Yogyakarta adalah tempat kepuasan kepada buku. Dunia buku adalah dunia penyembuh
kesunyian.

Berkat pengalaman menulis sewaktu duduk di STM, ketika tulisan pertamanya dimuat
dibuletin, Dinamika, milik PII itu, membuatnya memberanikan diri untuk mendaftar dan mulai
belajar menulis dengan baik di mjalah kampus.
Buku Ali Syari’ati adalah referensi bacaan yang begitu berpengaruh dimasa remajanya.
Membaca buku-buku bertemakan Islam, sehingga Gus Muh tidak begitu akrab dengan dunia
sastra. Tulisanya-tulisan dimasa awal karir kepenulisanya umumnya bertema agama,
pendidikan, dan pergerakan mahasiswa. (hlm. 67)

Lalau ia menemukan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Sejak itulah tumbuh benih
kecintaan kepada sastra. “Pram menyalamatkan saya dari kebencian barbar itu.” Betapa
kagumnya kepada Pramoedya. Muhidin mengagumi semangat Pram yang gigih dan tak kenal
lelah dalam menulis.

Hal itu menjadi alasan yang kuat, Gus Muh, konsisten memilih jalan sunyi sebagai seorang
penulis. Bahkan sampai sekarang ia masih melakukan aktivitas menkliping peristiwa,
pengamalan atas apa yang dipelajarinya dari Pram. Kekaguman itu, bisa kita membaca dalam
karyanya “Ideologi Saya Adalah Pramis.”

Namun, siapa sangka penulis terkenal ini, dimasa-masa awal karir tulisan-tulisanya (opini,
resensi) di media nasional: Kompas, Repulika, Kedaulatan Rakyat selalalu menemui penolakan
karena harus bersaing dengan para Doktor dan para ahli. Tidak berhenti sampai disitu, nasip
sajak cinta, katakan cinta dengan buletin, sama tragisnya dengan tulisan yang dikiriminkan itu.
Selalu menemui penolakan.

“Jangan pernah menyerah dan putus asa. Di mana-mana hidup harus dihadapi dengan cara
sabar dengan cara tidak putus asa. Siapa saja. Termasuk Anda sebagai seorang penulis.”
Kalimat pendek itu dikutipnya dalam buku Arswendo Atmowiloto Mengarang Itu Gampang.
Sebagai senjata pamungkas menghibur hati, memupuk semanagat menulis yang layu-selayu
layunya, ketika tulisan-tulisanya ditolak oleh redaktur koran. (hlm. 164)

Menulis membutuhkan bacaan yang banyak disertai pengamatan lapangan yang jelih. Namun,
ia tidak memiliki uang lebih untuk membeli buku, juga kekurangan uang makan karena ketika
tulisannya dimuat, honornya kerap terlambat dikirimkan oleh koran yang memuat tulisannya–
bahkan beberapa kali tidak diberi honor.

Atas kegigihannya, lambat laun tulisa-tulisanya mulai mengganas dengan selalu diterbitkan.
“Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah.” Kalimat yang didapati
dalam karya Pramoedya itulah yang menjadikannya untuk terus menulis. Jika Pram begitu
yakin akan hidup abadi dengan menulis, Gus Muh mempertahankan hidup dan terus hidup
dengan menulis. Menulis untuk memenuhi kebutuhan ekonomis, menulis untuk kerja-kerja
keabadian.
Amukan alam tidak bisa dihindarkan. Jika senja akan pergi menemui malam, maka tidak ada
yang bisa menghentikannya. Begitu juga dengan perut yang kelaparan, tidak ada pilihan lain
terkecuali mengisinya dengan makan dan makan butuh uang. Untuk itulah, dengan honor
menulis yang tidak seberapa, memaksanya untuk bekerja sebagai editor penerbitan buku,
diantaranya: Penerbit kelasi dan Bengkel penerbit. Sebagai upaya memenuhi amukan perut
yang terus menuntut jatah makan. Ini tanah rantau bung!

Namun baginya editor adalah penulis yang gagal karena hanya mengurusi tata bahasa tidak
ada pemecahan masalah yang baru. “karena profesi editor ya editor, penulis ya penulis”
(hlm.332).

Buku dengan ketebalan 382 halam ini adalah gambaran atas kisah hidup seorang penulis yang
begitu kumalnya, kere, sepi, sunyi sekaligus keras. Orang kecil dan ambisi yang juga tak kalah
kecilnya. Penulis kurus bertalenta tapi miskin. Tidak ada yang bisa diandalkan. Satu-satunya
yang ia punyai adalah menulis.

Membaca buku ini, jika anda seorang penulis pemula, bisa menjadi pembebas atau menjadi
bahan pertimbangan untuk menjadi penulis. Namun, bagi saya buku ini adalah manifesto
untuk menulis. Sangat di rekomendasikan untuk kalian yang bertekat untuk memilih jalan
sunyi sebagai seorang penulis. “Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia; jika kalian
memilih jalan sunyi ini maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus
menulis, terus bekerja, bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang
dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya” (hlm.
259). []

Anda mungkin juga menyukai