Anda di halaman 1dari 4

Kritik Sastra Puisi "Sendiri" Karya Chairil Anwar

Dalam puisi "Sendiri" karya Chairil Anwar ia dengan jelas menggambarkan bagaimana hidup yang ia
rasakan tanpa seorang ibu. Hampa. Puisi itu ditulis oleh Chairil pada Februari 1943, satu bulan sebelum
puisi "Aku" ia tulis. Chairil adalah pemuda dengan semangat yang membara, mencerminkan bagaimana
ia selalu berjuang untuk kemerdekaan melalui puisi-puisinya.

Namun tetap saja, seberapa kokoh pun seseorang, akan ada masa dimana ia surut, meski hanya
sekali. Puisi "Sendiri" seperti berbicara kepada para pembaca bahwa ia merindukan ibunya. Seperti yang
yang pernah saya baca diketahui bahwa Chairil selalu keluar masuk penjara, walau pun ia lolos tetap saja
badannya penuh lebam. Sekuat apa pun seseorang, pasti ia membutuhkan sandaran disaat ia tak bisa
berbuat apa-apa. Ibu. Segala macam keindahan yang ada dimuka bumi, ialah Ibu.

Dimana pun seseorang berada, meski dalam keadaan seburuk apapun, asalkan ada seorang ibu di
sampingmu, maka kau akan merasa aman.

Puisi "Sendiri" ini memiliki cerminan yang sesuai pada keadaan zaman ini. Banyak anak-anak dari
berbagai daerah pergi meninggalkan kampungnya untuk bekerja, menimba ilmu, atau pun dengan
berbagai alasan yang lainnya. Saat-saat seperti itu adalah saat yang memilukan yang akan dirasakan oleh
setiap orang, berpisah dari keluarga yang ia sayangi.

Namun, saat ia telah tiba di tempat tujuannya, terkadang ia sengaja untuk tidak selalu memberi
kabar, karena tak ingin keluarganya cemas. Tetapi, jauh di dalam lubuk hati orang-orang yang terpisah,
ia pasti selalu ingin memberikan kabar dan bercerita tentang berbagai hal. Karena hanya keluargalah
yang mampu membuat seseorang merasa lengkap, terutama ibu. Manusia yang selalu berbicara tanpa
henti, tetapi seisi dunia selalu memihak padanya, ialah ibu.
Kritik Sastra Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Bahasa bisa diartikan sekadar simbol untuk mengungkapkan bentuk bendawi semata. Namun, kadang,
bahasa bisa hadir dalam bentuk dan fungsi lain. Bambang Sugiharto, guru besar estetika, pernah
menyampaikan bahwa bahasa membawa banyak kemungkinan. Bahasa bisa menjadi kuda tunggangan
dengan aneka muatan, mata bor yang bisa menembus celah tersembunyi, atau bahkan cermin yang bisa
menangkap aneka fenomena.

Bahasa menjadi bagian penting dalam sebuah karya sastra serta alat utama dalam menyampaikan
maksud penulis. Hal demikian yang sepertinya menjadi kesadaran setiap penulis, termasuk Prof. DR. H.
Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka. Seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia
ini menuangkan aneka buah pemikirannya melalui banyak karya sastra.

Sebagai seorang ulama, Hamka mempergunakan tulisannya sebagai media untuk menyampaikan nilai-
nilai agama dengan begitu halus dan tidak terkesan sedang berdiri di mimbar dakwah. Melalui karyanya
yang awalnya berupa cerita bersambung dan kemudian dinovelkan, Novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck, seorang ulama kharismatik asal tanah minang inijuga berusaha menyampaikan kritik sosialnya
terhadap tradisi yang telah mengakar kuat di kehidupan masyarakat.

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck seperti kebanyakan Novel Melayu lainnya berkisah tentang
romansa percintaan berlatar budaya lokal. Kisah yang berlatar peristiwa 1930-an tersebut menceritakan
seorang tokoh bernama Zainuddin yang berdarah Bugis-Minang menaruh hati pada seorang gadis jelita
bernama Hayati, namun kuatnya adat istiadat tanah Minang menjadi aral yang menyebabkan Zainuddin
harus merelakan Hayati dipersunting lelaki lain yang memiliki strata sosial sepadan menurut adat
setempat. Zainuddin hanyalah lelaki berdarah Minang dari garis keturunan ibunya dan Bugis dari
keturunan ayahnya, sedang dalam tradisi adat Minang sistem nasab dari jalur ibu tidak diakui, sehingga
ia dipandang tidak memiliki strata sosial yang selayaknya dalam masyarakat Minangkabau. Arus kuat
tradisi dan adat yang menghalangi keinginan Zainuddin akhirnya menjadi titik balik kehidupan dalam
cerita ini.

Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, struktur sosial masih sangat dipengaruhi oleh sistem adat
istiadat, umumnya adat istiadat yang dijadikan patokan bukan sebagai tembok sosial yang membatasi
relasi antar kelompok masyarakat, melainkan untuk menjaga nilai-nilai dalam masyarakat adat. Aturan-
aturan adat yang sangat ketat umumnya berlaku dalam hal pernikahan, karena menyangkut silsilah
keturunan yang akan mempengaruhi struktur sosial masyarakat, sehingga adat bertujuan memproteksi
adanya pergeseran tatanan nilai dalam masyarakat. Berbeda dalam kasus Zainuddin, adat justru
digunakan sebagai alat untuk meneguhkan paradigma materialistik, dimana stratifikasi sosial dipandang
melalui kacamata harta dan strata kebangsawanan, bukanlagi pada hal yang lebih subtansi, yakni pada
keteguhan, visi hidup, sikap beragama dan moralitas. Bagaimanapun tak ada adat istiadat yang
bertujuan merendahkan martabat kemanusiaan, oleh sebabnya ia dibuat sebagai sebuah tatanan nilai
yang akan menciptakan sikap saling menghargai, melindungi, dan memanusiakan. Seringkali adat
berusaha dibenturkan dengan keyakinan agama, padahal keduanya bisa berjalan harmonis jika kita
melihatnya sebagai sebuah suprastuktur sosial yang akan menjadi sumber spirit, moralitas serta laku
hidup dalam sebuah tatanan masyarakat.

Masyarakat Minang dikenal sebagai masyarakat yang taat pada ajaran agama Islam, sehingga arus
Islamisasi tidak serta merta menggusur tradisi yang telah berabad-abad dipelihara oleh masyarakat,
justru Islam begitu ramah dengan lokalitas tradisi dan budaya masyarakat setempat, sehingga ajaran
Islam justru semakin memperkuat adat istiadat masyarakat dan sebaliknya tradisi masyarakat semakin
menegaskan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Agama dan adat tersebut berkolaborasi untuk
menciptakan sebuah masyarakat yang humanis yang jauh dari sifat-sifat individualis dan materialistis.

Berbeda dengan kisah roman pada umumnya yang lebih menonjolkan kisah percintaan yang
mengumbar asmara minim estetika, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak sekedar menceritakan
tentang pertautan hati dua insan yang sedang dilanda cinta, tetapi juga tentang bagaimana sikap
menghadapi kondisi yang tak berpihak, dimana keinginan hati harus diurungkan atas nama adat,
sekaligus berusaha mencibir mereka yang seringkali menggunakan dalih adat dan agama untuk
kepentingan-kepentingan materi.

Kasus yang menimpa Zainuddin masih seringkali dijumpai dalam masyarakat kita, strata sosial seringkali
diukur dari harta dan jabatan, si miskin dan si kaya tak sepantasnya menjalin sebuah ikatan, akhir cerita
dari Nurhayati dan suaminya menjadi bukti bahwa kebahagiaan yang diukur melalui perspektif materi
tidak akan berumur lama.

Novel yang berhasil melambungkan nama penulisnya ini berusaha mengajak pembacanya untuk sekuat
Zaiuddin.Ditengah puing-puing kehancuran hati, Zainuddin bangkit dengan dengan penuh keteguhan
sambil melanjutkan hidup dengan semangat untuk berkarya dan berbagi kepada sesama di sela-sela
kesuksesan yang akhirnya berhasil ia raih. Itu karena darah Bugis-Minang masih mengalir dalam
tubuhnya, sehingga ia senantiasa menegakkan nilai-nilai yang diwarisi kedua orang tuanya, apalagi
ajaran Islam adalah ruh yang menggerakkan kesadarannya untuk tidak berputus asa. Inilah jejak
kehidupan seorang manusia yang tak pernah lepas dari organ spiritual, kultural dan sosialnya.

Novel ini mengembangkan jiwa, menjadikan pembaca merasa berada langsung pada periode dan
tempat yang ada dalam novel. Buya Hamka membawa pembaca pada periode saat Indonesia masih
berada dalam dunia penjajahan. Dibalut dengan kisah cinta suci yang mengharukan dan membuat jiwa
bergejolak, Buya Hamka menggambarkan Negeri Padang dengan begitu indah dan menawan. Yang
paling diminati dari buku ini adalah cara penyampaian Hamka pada saat itu yang dinilai tidak terlalu kaku
namun tetap detail dan romatis ala tahun 1930an. Penyampaian kata romantis disini terlihat dalam
surat-surat yang dikirim oleh Zainuddin kepada Hayati, begitu juga sebaliknya.

Setelah mendapat sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan Van der Wijck
sebagai novel dengan usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan penerbit
swasta Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di Balai Pustaka. Cetakan kedua juga dengan
penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan
kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini
telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang.
[9][10] Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.[6]

Van der Wijck pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam majalah Islam mingguan
Hamka di Medan, Pedoman Masjarakat pada tahun 1938. Setelah mendapat sambutan yang hangat dari
pembacanya, karya legendaris Hamka akhirnya diterbitkan sebagai sebuah novel pada tahun 1939 oleh
usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima
cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961,
diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80
ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang. Novel Hamka ini juga
pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak
tahun 1963.

Kultur budaya melayu yang menjadi roh dari karya sastra ini sangat berpengaruh besar terhadap
berbagai aspek di dalam proses pembuatannya. Banyak ditemukan istilah-istilah melayu yang mungkin
tidak dimengerti oleh pembaca yang buta dengan budaya melayu dan bahasanya. Istilah-istilah tersebut
seperti uang ditulis wang, dan surat kabar juga disebut dengan Perkabaran. Hal ini sangat disayangkan
karena kualitas bahasa maupun ejaan tidak sebanding dengan banyaknya jumlah buku yang dicetak. Hal
kecil seperti ini memang tidak begitu penting, tapi cukup mengganggu pembaca untuk memahami kata
demi kata yang menyusun alur cerita dari novel ini.

Terlepas dari kekurangan dan kelemahannya, novel besutan Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
sangat layak untuk diapresiasi. Kritik sosial yang begitu dalam mengenai tradisi yang telah mengakar
kuat patut dijadikan renungan agar di masa depan tidak ada lagi sosok seperti Zainuddin dan Hayati lagi.

Anda mungkin juga menyukai