Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS NOVEL

RONGGENG DUKUH PARUK

KARYA AHMAD TOHARI

UNSUR INTRINSIK

1. Tema

Tema dari novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini adalah budaya, adat istiadat dan cinta. Dimana novel
“Ronggeng Dukuh Paruk” ini menceritakan tetang kebudayaaan dan adat istiadat dari sebuah duku di
Banyumas, yaitu Dukuh Paruk yang terkenal dengan ronggengnya. Dalam novel ini juga diselipkan kisah
cinta dari Srintil yang merupakn tokoh utama dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” dan perperan
sebagai sang ronggeng yang menjalin kasih dengan Rasus.

2. Alur

Alur atau jalannya cerita dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” menggunakan alur maju yang disertai
dengan “flash back” atau kembali ( mundur ) kemasa lalu, baik yang dialami oleh tokoh utama atau
pemeran lainya. Dalam cerita ini yakni ditengah-tengah cerita pengarang menceritakan kembali masa
lalu yang sempat dialami oleh pemeran cerita. Seperti menceritakan kembali terjadinya peristiwa tempe
bongrek sebelas tahun yang lalu atau semasa bayinya Srintil, yakni :

“ Orang-orang Dukuh Paruk pulang kerumah masing-masing. Mereka, baik lelaki maupun perempuan,
membawa kenangan yang dalam. Malam itu kenangan atas Srintil meliputi semua orang Dukuh Paruk.
Penampilan Srintil malam itu mengingatkan kembali bencana yang menimpa Dukuh Paruk sebelas tahun
yang lalu........Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup
tersiram hujab lebat…”.

3. Tokoh dan Penokohan

a. Srintil

Ø Srintil kecil

· Centil

“Ya, benar. Engkau sangat cantik sekali sekarang.” ujar Warta. “Seperti seorang ronggeng?” tanya Srintil
lagi. Gayanya manja.

Ø Srintil dewasa

· Pemilih
“Aku benci, benci. Lebih baik ku berikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kau
lakukan tadi siang. Disini bukan perkuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”

· Penyayang

Terbukti dari kasih sayang Srintil kepada Goder, anak Tampi yang ia angkat menjadi anaknya.

“Keluar dari rumah orangtua akunya Srintil merasakan suatu hal yang baru; begitu dekat dengan dirinya
sendiri. Akunya sepenuhnya dalam genggamannya. Akunya yang terdiri atas dirinya sendiri dan seorang
bayi dalam pelukan. Hangat tubuh Goder yang melekat di dadanya menjadi kehangatan pertama bagi
sebuah semangat baru yang mulai melembaga dalam jiwa Srintil.”

· Suka menolong

Dengan kesediaan Srintil menjadi gowok untuk Waras, agar jiwa kelelakian Waras muncul. “Nyai,
sekarang ajari aku bagamana menjadi gowok. Ajari aku!”.

· Mudah Percaya

Srintil percaya jika Pak Bajus, menyukainya dan ingi menjadikan Srintil sebgai istrinya. Namun dukaan
Srintil salah, karena Pak Bajus mendekati Srintil hanya ingin menjualnya kepada Pak Blegur.

“Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blegur. Percayalah, dia orangnya baik. Aku yakin bila
kamu minta apa-apa kepadanya, bebrapa pun harganya , akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di
sini. Temanilah dia. Temailah dia, Srin.”

b. Rasus

Ø Rasus kecil

· Tidak sabaran

“Sudah-sudah. Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar. “

· Cerdik

“Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.”

· Emosional

“Kartareja memang bajingan. Bajindul buntung,” jawabku, mengumpat dukun ronggeng itu.

Ø Rasus dewasa

· Pendendam
“Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan
seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lam, sebab sejak peristiwa malam bukak klambu itu Srintil
diseret keluar dari dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena kepadaku. Aku bersumpah
takkan memaafkannya.”

· Pemberani

“Mengecewakan. Kopral Pujo tidak lebih berani daripadaku. Pada saat itu dia tidak bisa mengambil
keputusan. Jadi akulah yang mengambil prakarsa.”

c. Warta (teman rasus kecil)

· Pamrih

“Ya, kita berhenti dulu. Kita hanya akan bermain lagi kalau Srintil berjanji memberi kami upah,” kata
Warta

d. Darsun (teman rasus kecil)

· Suka meremehkan

“air?” ejek Darsun, anak ketiga. “Di mana kau dapat menemukan air?”

e. Sakaraja (Kamitua/ Kakek Srintil) dan Nyi Sakaraja (Nenek Srintil)

· Penyayang

“Akan kukatakan Srintil tinggal di rumah Kartareja, tiga rumah ke timur dari sini. Tapi jangan kalian apa-
apakan dia. Sungguh. Srintil cucu tunggal kami. Ambil hartanya, tapi jangan cederai dia.”

f. Kartareja (Dukun Ronggeng)

· Licik

“Jangan keliru! Yang asli buat Sulam. Lainnya buat Dower.” Kata Kartareja. Istrinya tersenyum.
Walaupun tidak selicik Kartareja, namun perempuan itu sudah dapat menduga ke mana maksud
tindakan suaminya.

g. Nyi Kartareja

· Licik

Dengan membantu kelicikan sang suami.

“Suami-istri Kartareja masuk ke bilik mereka sendiri. Di sana pasangan tua itu bergurau. Sebuah ringgit
emas, dua rupiah perak, dan seekor kerbau sudah hampir dingan.”

h. Sakum (Penabuh calung yang buta)


· Hebat

“Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secara saksama pagelaran ronggeng. Seperti seorang
awas, Sakum dapat mengeluarkan seruan cabul tepat pada saat ronggeng menggerakkan pinggul ke
depat dan ke belakang.”

i. Santayib (ayah Srintil)

· Tidak bertanggung jawab dan tidang ingin disalahkan

“Bajingan! Kalian semua bajingan tengik! Betapapun bongkrekku tak bersangkut-paut dengan
malapetaka ini. Lihat! Akan kutelan bongkrek ini banyak-banyak. Kalau benar ada racun, pasti aku akan
segera sekarat!”

j. Istri Santayib (Ibu Srintil)

· Setia

Dengan ikut memakan tempe bongkrek beracun, seperti sang suami.

“Dia menoleh istrinya yang semula berdiri di sampingnya, ikut mengunyah bongkrek.”

k. Dower

· Gigih

Sambil mengusap wajahnya yang berkeringat, Dower membuka pembicaraan. “ Aku datang lagi kek.
Meski bukan sekeping ringgit emas yang kubawa, kuharap engkau mau menerimanya.”

l. Sulam

“Sebuah pertanyaan yang menghina, kecuali engkau belum mengenalku. Tentu saja aku membawa
ringgit emas itu. Bukan rupiah perak, apalagi seekor kerbau seperti anak pecikalan ini.” Ujar sulam
sambil melirik ke arah Dower.

m. Sersan Slamet

· Baik hati dan tidak memandang rendah orang lain

“Siapa saja yang mempunyai cukup tenaga serta kejujuran, dapat melaksanakantugas sebagai tobang.
Tentang tenaga, aku sudah merasa pasti engkau memiliki dengan cukup. Kejujuranmu sudah terpancar
dari wajah dan sinar matamu sendiri. Jadi aku merasa pasti pula engkau mampu menjadi seorang
tobang.”

n. Kopral Pujo

· Penakut
· “Seharusnya begitu. tetapi jangan gila. Hanya ada sepucuk senjata pada kita. Pada mereka ada
lima.” ujar Koral Pujo saat melihat para perampok. “Jadi bagaimana? keputusan harus segera kita
ambil.” ucap Rasus. “Nanti dulu. Aku mau kencing.” jawab Kopral Pujo.

o. Waras

· Seperti anak kecil

“Kalau begitu di mana Emak tidur? Dipan itu tidak muat untuk tidur bertiga. Eh, tetapi kita bisa
menggelar tikar dilantai. Kita tidur bertiga. Aku di tengah. Emak dan kamu di pinggir. Wah, hebat, kan?”

p. Sentika (Ayah Waras)

· Penyayang

“Dan tayuban itu khusus bagi si Waras, anakku yabg lelaki satu-satunya itu.”

q. Nyi Sentika (Ibu Waras)

· Penyayang

“Nyai Sentika memeluk dan mengelus Srintil dengan rasa sayang melebihi rasa terhadap anak
kandungnya.”

r. Pak Bakar

· Jahat

“Ah, tidak sejauh itu. Biarkan papan itu terpasang di sana. Aku takkan mengambilnya. Siapa pun tidak
boleh menyingkirkannya. Siapa yang berbuat begitu pasti akan menghadapi kemarahan pemuda-
pemudaku. Nah, kalian tidak ingin melihat kerusakan, bukan?”.

s. Marsusi

· Pendendanm

“Tentu saja aku ingin membalasnya, bahkan melenyapkannya. Aku tahu betul Srintil menerima semua
laki-laki yang datang sebelum diriku demi uang yang tak seberapa atau demi satu-dua gram emas. Tetapi
dia menampikku, padahal seratus gram kalung emas berbandul berlian yang kusodorkan kepadanya.
Mau disebut apa lagi kalau bukan penghinaan yang sebesar-besarnya.”

· Licik

“Dibelokkannya motornya ke kiri, masuk ke jalan kecil yang menuju daerah perkebunan karet
Wanakeling. Ketika “barang” yang sangat diinginkannya sudah berada di tangan, mengapa tidak
langsung membawanya pulang ke rumah” pikir Masusi.

t. Pak Bajus (Orang proyek dari Jakarta)


· Licik, penipu, dan pembohong

Pak Bajus awalnya mendekati Srintil hingga Srintil dan orang-orang percaya bahwa pak Bajus orang yang
baik dan ingin menjadikan Srintil sebagai istrinya. Namun semua itu hanya tipuan semata.

“Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blegur. Percayalah, dia orangnya baik. Aku yakin bila
kamu minta apa-apa kepadanya, bebrapa pun harganya , akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di
sini. Temanilah dia. Temailah dia, Srin.”

u. Pak Blegur (Atasan Pak Bajus)

· Baik.

“Ya. Berilah dia kesempatan mencapai keinginannya menjadi seorang ibu rumah tangga. Masih banyak
perempuan lain yang dengan sukarela menjadi objek petualangan. Jumlah mereka tak akan berkurang
sekalipun Srintil mengundurkan diri dari dunia lamanya.”

· Tidak tegaan

“Memang kamu tahu siapa aku. Aku yang senang bertulang. Tetapi entahlah, aku tidak tega memakai
Srintil.”

4. Setting

a. Tempat

Ø Dukuh Paruk

“Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah,
hampir dua kilometer pajangnya. Dukuh paruk, kecil dan menyendiri. Dukuh paruk yang menciptakan
kehidupannya sendiri.”

Ø Di tepi kampung

“Di tepi kampung, tiga anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.”

Ø Makam

“Tengah malam Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri
disana.”

Ø Rumah Kartareja

“Aku sendiri hanya maju beberapa langkah dan berteduh di emperan rumah Kartareja.”

Ø Desa Dawuan
“Dawuan, tempatku menyingkirdari Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan.”

Ø Pasar Dawuan

“Di pasar Dawuan pula suatu kali aku dapat melihat Srintil yang datang berbelanja dengan Nyai
Kartareja.”

Ø Rumah Batu / Markas tentra

“Pekerjaan kumulai. Peti-peti logam serta barang berat lainnya kuangkat di atas pundak dan kubawa ke
sebuah rumah batu yang ternyata telah dipersiapkan sebagai markas tentara.”

Ø Rumah nenek Rasun

“Selagi orang-orang Dukuh Paruk mengerumuni rumah Kartareja, aku duduk berdekatan dengan Srintil
di beranda rumah nenekku sendiri.”

Ø Warung lontong

“Perempuan-perempuan itu memperhatikan Srintil memasuki warung penjual lontong. Di sana Srintil
duduk satu lincak bersama perempuan pemilik warung.”

Ø Lapangan Kecamatan Dawuan

“Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai dengan upacara pagi hari di lapangan kecamatan Dawuan.”

Ø Alaswangsal

“Hampir tengah hari ketika rombongan dari dukuh paruk memasuki kampung Alaswangsal.”

Ø Kantor polisi

“Sampai di depan kantor yang di tuju Kartareja berhenti termangu. Jelas sekali keraguannya. Tapi Srintil
terus melangkah.”

b. Waktu

Ø Musim Kemarau

”Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan
kerontang.”

Ø Sebelas tahun silam

“Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup tersiram hujan
lebat.”

Ø Agustus Tahun 1963


“Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai dengan upacara pagi hari di lapangan kecamatan Dawuan.”

Ø Tahun 1964

“Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah
sering naik pentas.”

Ø Februari Tahun 1966

“Tengah mlam Februari 1966 di sebuah kota kecil di sudut tenggara jawa tengah. Kegelapan yang
mencekam telah berlangsung setengah tahun lamanya.”

Ø Tahun 1970

“Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan berubah gemuruh oleh deru truk-truk
besar berwarna kuning serta buldoser dari berbagai jenis dan ukuran.”

c. Suasana

Ø Haru

“Seorang perempuan mengisak. Rasa harunya setelah melihat Srintil menari menyebabkan air matanya
menetes”

Ø Tegang

“Kang, orang-orang itu geger. Banyak tetangga yang sakit dan pingsan. Ini bagaimana, Kang?”

Ø Sedih

“Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihannya yang amat sangat, Sakarya
mengadukan malapetaka yang terjadi kepada moyang orang Dukuh Paruk.”

Ø Tegang dan mencekam

“Irama calung kembali menggema. Tetapi suasana jadi mencekam. Semua orang percaya akan kata
Sakarya bahwa Kartareja sedang dirasuki arwah leluhur. Maka mereka mundur dalam suasana tegang.”

Ø Kecewa

“Dalam wawasan ini, Srintil tidak bisa melihat beda antara dua wajah laki-laki itu. Semuanya
mengecewakanya, semua merangsang Srintil membuat suatu perhitungan.”

5. Sudut Pandang

a. Bagian I (Catatan Buat Emak)


· Sudut Pandang Orang Pertama

Karena penggunaan kata “Aku”, yang dimana tokoh “Aku” adalah Rasus.

“Aku sendiri, kata nenek, selamat secara kebetulan.”

b. Bagian II ( Lintang Kemukus Dinihari)

· Sudut Pandang Orang Ketiga

Karena penggunaan kata “Dia, -nya, dan penyebutan nama tokoh”.

“Srintil cepat bangkit dan menoleh ke belakang. Didapatinya dirinya tak berteman dalam bilik yang
lenggang itu. Mula-mula ia menduga, atau berharap, rasus measih berada di sekitar rumah, sedang
berhajat di belakang misalnya.”

c. Bagian III (Jentera Bianglala)

· Sudut Pandang Orang Ketiga

Karena penggunaan kata “Dia, -nya, dan penyebutan nama tokoh”.

“Dan Rasus yang dikawal Sersan Pujo mengayunkan langkah pertama mengijakkan kaki di atas tanah
kelahirannya.”

6. Gaya Bahasa

Ø Dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini terkadang menggunakan bahasa Jawa dan mantra-mantra
jawa yang tidak terdapat terjemahannya. Seperti:

Niyatingsun matak aji pamurung

Hadi aing tampean aing cikaruntung nantung

Ditaburan boeh sna, manci rasa marang

Srintil marang Rasus

Kene wurung kana wurung, pes mimpes dening

Eyang Secamenggala

7. Amanat
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui novel “Ronggeng
Dukuh Paruk” ini adalah: agar kita semua mau dan mampu melihat seseorang itu tidak hanya dari
luarnya saja melainkan juga dari hatinya. Jangan pula mudah dihasut dan dibodohi orang lain. Ikuti
perkembangan jaman agar tidak mudah dibodohi. Dan agar kita mau berpikir mengenai tragedi-tragedi
kemanusiaan yang terjadi disekeliling kita. Pesan lain yaitu jangan menyia-nyiakan orang yang telah
sepenuh hati mencintai kita, karena belum tentu suatu saat nanti kita dapat menemukan orang yang
mencintai kita seperti itu.

Dan adat bagaimanapun tetap harus berlaku dalam kehidupan yang meyakininya, karena jika memang
suatu daerah mempercayai adat yang berlaku, maka harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Karena
pada setiap keyakinan pasti ada suatu hal yang akan terjadi jika suatu adat kebiasaan tidak dilaksanakan.
Serta jangan gampang terpengaruh dengan keadaan duniawi karena suatu saat penyesalan akan datang
dalam hidupmu, segala sesuatu akan kembali kepadaNya. Kehidupan fana dalam hura-hura dunia dapat
mencekam masa depanmu!

UNSUR EKSTRINSIK

1. Latar Belakang Pengarang

Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 68
tahun) adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto.
Karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat
dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu
Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-
1976). Tulisan-tulisannya berisi gagasan kebudayaan dimuat di berbagai media massa. Ia juga menjadi
pembicara di berbagai diskusi/seminar kebudayaan.

Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka, majalah
Keluarga dan majalah Amanah, semuanya di Jakarta. Dalam karier kepengarangannya, penulis yang
berlatar kehidupan pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya
fiksinya antara lain trilogi Ronggeng Dukuh Paruk telah terbit dalam edisi Jepang, Jerman, Belanda dan
Inggris. Tahun 1990 pengarang yang punya hobi mancing ini mengikuti International Writing Programme
di Iowa City, Amerika Serikat dan memperoleh penghargaan The Fellow of The University of Iowa.

Ronggeng Dukuh Paruk, novel yang diterbitkan tahun 1982 berkisah tentang pergulatan penari tayub
di dusun kecil, Dukuh Paruk pada masa pergolakan komunis. Karyanya ini dianggap kekiri-kirian oleh
pemerintah Orde Baru, sehingga Tohari diinterogasi selama berminggu-minggu. Hingga akhirnya Tohari
menghubungi sahabatnya Gus Dur, dan akhirnya terbebas dari intimidasi dan jerat hukum. Bagian ketiga
trilogi, berjudul Jantera Bianglala, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan cuplikannya dimuat dalam
Jurnal Manoa edisi Silenced Voices terbitan Honolulu University tahun 2000, termasuk bagian yang
disensor dan tidak dimuat dalam edisi bahasa Indonesia. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Dancer oleh Rene T.A. Lysloff. Trilogi ini juga difilmkan oleh
sutradara Ifa Irfansyah dengan judul Sang Penari (2011). Tohari memberikan apresiasi yang tinggi
terhadap para pembuat film Sang Penari, dan berujar ini akan jadi dokumentasi visual yang menarik
versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana dalam film-film sebelumnya. Pada bulan Desember 2011,
Ahmad Tohari mengungkapkan bahwa dirinya berencana untuk melanjutkan Triloginya menjadi
Tetralogi dengan membuat satu novel lagi.

2. Nilai-Nilai

a. Nilai Ekonomi

Dalam novel ini, pengarang sangat jelas menggambarkan permasalah ekonomi yang dialami oleh
masyarakat, khususnya di Dukuh Paruk. Dibagian pembukapun digambarkan bahwa terjadi kemarau
panjang. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan keronta. Bahkan untuk
mencabut singkongpun, anak-anak Dukuh Paruh terlebih dulu mengencenginya agar mudah dicabut.
Ditambah lagi dengan kehidupan orang-orang Dukuh Paruk yang sangat tertinggal dengan kehidupan
orang-orang diperkotaan.

b. Nilai Sosial dan Budaya

Nilai sosial dan budaya dalam novel ini terlihat dari Dukuh Paruk yang begitu erat dengan budaya
pertunjukan ronggengnya. Ronggeng yang menjadi simbol dari Dukuh paruk. Warga Dukuh Paruk yang
lebih cenderung ke arah ronggeng, segala sesuatu yang berhubungan dengan hubungan antar manusia
lebih diutamakan untuk ronggeng karena bagi merekaadanya ronggeng merupakan kebanggaan
tersendiri di Dukuh Paruk.

c. Nilai Politik

Unsur politik dalam novel ini terlihat pada buku kedua, yakni Lintang Kemukus Dini Hari. Dimana orang-
orang PKI mulai memasuki Dukuh Paruk. Dengan mudahnya orang-orang PKI menipu dan menghianati
warga Dukuh Paruk yang tidak tau menau tentang persoalan politik. Orang PKI hanya menjadikan
ronggeng sebagai alat penarik massa.

d. Nilai Keagamaan (relegius)

Dalam novel ini, unsur keagamaan tidak terlalu diperlihatkan karena warga Dukuh Paruk lebih
mempercayai adanya nenek moyang dan hal-hal animisme lainnya

RESENSI NOVEL

RONGGENG DUKUH PARUK


KARYA AHMAD TOHARI

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Ronggeng Dukuh Paruk

Pengarang : Ahmad Tohari

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit Dan Cetakan : 2011 Cetakan Ketujuh

ISBN : 978 – 979 – 22 – 7728 – 9

Tebal Buku : 408; 21 cm

BAGIAN ISI

Novel ini merupakan penyatuan rilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, Dan Jenera
Bianglala. Novel Ronggeng Duku Paruk menceriakan tenang ronggeng yang merupakan tradisi yang
sudah mendarah daging di dukuh paruk, Banyumas. Namun sudah sebelas tahun Dukuh Paruk menjalani
kesehariannya tanpa seorang ronggeng. Menurut kepercayaan, menjadi seorang ronggeng bukanlah
hasil didikan, tetapi merupakan sebuah takdir. Seorang yang telah ditakdirkan menjadi ronggeng akan
dimasuki oleh roh indang.

Siang itu, Rasus, Warta, dan Darsun yang sedang menggembala kambing melihat Srintil bermain seorang
diri di bawah pohon nangka. Saat bbermain itulah srintil memperhatikan bakatnya sebagai calon
ronggeng. Tidak ada yang pernah mengajari Srintil menari dan berembang , bahkan ia belum sekalipun
melihat pentas ronggeng. Tanpa diketahui ke-empat anak itu, Sakarya, kakek Srintil melihat permainan
tarian ronggeng Srintil. Sakarya sadar, bahawa cucunya merupakan calon ronggeng Duku Paruk.
Kemudian Sakarya meyerahkan Srintil kepada Kartareja yang merupakan dukun ronggeng. Srintil yang
masih berumur sebelas tahun tinggal bersama kakek dan neneknya. Kedua orang tua Srintil yaitu
Santayib dan isrinya meninggal karena tragedi tempe borek. Malaetaka yang membuat anakanak Dukuh
Paruk kehilangan ayah dan ibunya.

Pada malam itu, Srintil membuktikan kebolehannya dalam menarikan ronggeng, disaksikan oleh orang-
orang Dukuh Paruk. Untuk menjadi seorangg ronggeng, Srintil harus melewati beberapa ritual seperti
mandi di depan cungkup makam Ki Secamenggala dan mbukak klambu. Ritual terakhir yang dilakukan
Srintil ialah ritual mbukak klambu, dimana pada ritual tersebu Srinil harus menyerahkan
keperawanannya kepada siapapun lelaki yang dapat memenuhi syarat yang telah di ajukan oleh
Kartareja. Dan malam itu, karena kelicikan Kartareja dan istrinya, Srintil harus melayan dua orang laki-
laki yaitu Dower, pemuda yang membawa dua keeping rupiah perak serta seekor kambing, dan pemuda
kedua yaitu Sulam yang membawa sebuah ringgit emes, yang merupakan syarat yang di ajukan oleh
Kartareja. Namun, tanpa diketahui seiapapun, Srintil telah menyerahan keperawanannya kepada Rasus.

Seelah meninggalkan kediaman Kartareja, Rasus yang kecewa dan membenci Dukuh Paruk memilih
pergi meninggalkan Dukuh Paruk. Rasus tinggal di Desa Dawuan dan bekerja di pasar Dawuan sebagai
pengupas singkong. Hingga pada tahun 1960, ilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan
dengan kekerasan senjata sering terjadi. Suatu sore, Rasus dihapiri oleh tentara dan diminta untuk
menadi seorang tobang. Entara itu berjabat sebagai sersan dengan nama Slamet sersan Slamet melihat
kejujuran serta tenaga yang dimiliki Rasus, sehingga meminta Rasus untuk menjadi tobang.

Perampokan semmakin merajalela. Karena kekurangan anggota, Rasus ikut mennjadi sauna anggota dan
ditugaskan mengawasi Dukuh Paruk bersama Koprol Pujo. Dengan keberaniannya, Rasus dapat
mengalahkan perampok yang mengincar harta Srintil. Rasus mendapakan banyak pujian. Srintilpun
mengikuti Rasus kerumah nenek Rasus, dan merawat Rasus serta neneknya. Srintil mengajukan
permintaan, ia ingin rasus menikahinya, namun Rasus menolak karena Srintil adalah seorang ronggeng
Dukuh Paruk. Menjelang ajar, Rasus meniggalkan Dukuh Paruk dan Srintil untuk kembali kemarkasnya.

Setelah kpergian Rasus Srinil menjadi murung, bahkan Srintil meolak naik pentas. Tak hanya itu, Srintil
juga menolak unuk melayani semua lelaki yang menginginkannya, termasuk pak Masusi. Kemurungan
Srintil hilang saat ia bercengkrama dengan Goder anak Tampi yang masih bayi. Srintil meminta Goder
dari Tampi untuk di asuhnya seebagai anak. Srintil masih menolak untuk berpentas. Bahkan Srintil
menolak tawaran dari pak Ranu seorang pengggawa kantor Kecamatan.Dawuan yang akan menggelar
pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Nammun setelah ia berbicara dengan Sakum, laki-laki
buta penabuh calung, akhirnya Srintil bersedia naik pentas. Tanpa diketahui , acara tersebut merupakan
acara orang-orang PKI.

Suatu hari, datangla Sentika dari Alaswangsal yang meminta Srintil untuk meronggeng dan menjadi
gowok untuk anaknya yang bernama Waras dan masih berumur tujuh bbelas tahun. Srintil awalnya
menolak, namun seelah melihat Waras, Srintilpun bersedia menjadi gowoknya Waras. Setelah beberapa
hari berada di rumah Senika dan menjadi gowok untuk Waras, Srinil gagal membuat Waras menjadi laki-
laki yang sepaunya. Dengan tipu daya Srintil, Sentika dan istrinya percaya bahwa Waras anaknya benar-
benar waras. Dan Srintilpun kembali ke Dukuh Paruk.

Pada tahun 1964 ketika paceklik merajalela, ronggeng dukuh paruk malah sering pentas, bukan di
tempat orang-orang hajatan, melainkan ditengah rapat umum, karena itulah rombongan ronggeng duku
paruk mengenal pak Bakar.kedamaiaan Dukuh Paruk tak bertahan lama. Pada tahun 1966 Srintil dan
Kartareja harus ditahan polisi karena dianggap terlibat gerakan orang-orang komunis. Berhias linang
kemukus, Dukuhh Paruk diibakar oleh masa yang marah.

Seelah dua tahun berada ditahanan, Srintilpun kebbali ke Dukuh Paruk. Srintil pulang dengan kecopang-
campingan jiwa. Hanya dengan Goder, anak angkatnyalah ia ulai merasakan hidup.

Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja masih berhubungan dengan Marsusi, laki-laki tua yang
menginginkan Srintil menjadi istrinya. Untunglah Srintil masih bisa lolos dari perangkap yang sudah
disiapkan oleh Marsusi. Setelah lepas dari Marsusi, Srintil berkenalan dengan pak Bajus, seorang petugas
proyek ddari Jakarta. Dari kedekatan itulah Srintil mulai encoba mencintai Pak Bajus. Namun sayang,
kebaikan pak Bajus selama ini hanyalah tipu daya belaka. Pak Bajus berniat menjual Srintil ke atasannya
yang bernama pak Blegur. Namun setelah pak Blegur melihat citra wajah Srintil, pak Blegur pun
melepaskan Srintil dan meminta pak Bajus memulangkan Srintil keruahnya di Dukuh Paruk. Karena
kejadian itu, Srintil menjadi kehilangan akal dan kewarasannya. Hingga suatu hari, Rasus kembali ke
Dukuh Paruk, setelah Battalionnya kembali kemmbali kepulau Jawa. Rasus yang melihat kondisi
Srintilpun membawanya kerumah sakit jiwa.

BAGIAN PENUTUP

Kelebihan Buku

Kisah novel ini tentang nilai kemanusiaan dan penghormatan pada perempuan. Tokoh utama adalah
Srintil merupakan simbol tokoh yang dijadikan sebagai semangat keperempuanan yang berjuang untuk
keluar dari hitamnya zaman, diman perempuan saat itu harus diperbudak oleh lelaki sebagai memenuhi
hawa nafsu dan selalu dikekang dalam memilih kehidupannya sendiri. Sangat erat dengan HAM,
terutama lebih menekankan hak pribadi yang juga harus dimiliki seseorang (terutama perempuan).
Novel ini juga mengajarkan kita untuk selalu sadar dan ingat sejarah. Sejarah dikaji sebagai suatu
pedoman arah agar sejarah tak terulang di masa depan.

Kelemahan Buku

Penceritaan yang tertele-tele dengan sisipan suasana desa yang begitu detail namun keluar dari alur
cerita, sehingga cerita seolah menjadi tak konsisten dan terlalu jenuh untuk dibaca. Yang paling kental
adalah banyaknya kata-kata yang sangat tidak senonok dan kasar, seperti Asu Buntung, Bajul Buntung,
dan sebagainya. Kata-kata seperti itu seharusnya ditiadakan saja. Karena merupakan novel yang sudah
lama maka kertas yang digunakan kurang bagus. Tetapi itu, tidak menggangu kejelasan dari tulisan itu.

Anda mungkin juga menyukai