Srintil dewasa
- Pemilih
“Aku benci, benci. Lebih baik ku berikan padamu. Rasus, sekarang kamu tak boleh menolak
seperti kamu lakukan tadi siang. Disini bukan perkuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau,
bukan?”
- Penyayang
"Terbukti dari kasih sayang Srintil kepada Goder, anak Tampi yang ia angkat menjadi anak
nya"
“Keluar dari rumah orang tua aku nya Srintil merasakan suatu hal yang baru; begitu dekat
dengan dirinya sendiri. Aku nya sepenuhnya dalam genggaman nya. Aku nya yang terdiri
atas dirinya sendiri & seorang bayi dalam pelukan. Hangat tubuh Goder yg melekat
didadanya menjadi kehangatan pertama bagi sebuah semangat baru yangg mulai
melembaga dlm jiwa Srintil”
- Suka menolong
Dengan kesediaan Srintil menjadi gowok untuk Waras, agar jiwa kelelakiannya Waras
muncul. “Nyai, sekarang ajari aku bagaimana menjadi gowok. Ajari aku!”.
-Mudah Percaya
Srintil percaya jika Pak Bajus, menyukainya dan ingin menjadikan Srintil sebagai istrinya
Pak Bajus. Namun dugaan Srintil salah, karena Pak Bajus mendekati Srintil hanya ingin
menjualnya kepada Pak Blegur.
“Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blegur. Percayalah, dia orangnya baik.
Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya, beberapa pun harganya , akan dia
kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temailah dia, Srin.”
b. Rasus
Rasus kecil
-Tidak sabaran
-Cerdik
“Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh
bajingan.”
-Emosional
“Kartareja memang bajingan. Bajindul buntung,” jawabku, mengumpat dukun ronggeng itu.
Rasus dewasa
-Pendendam
“Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepada ku mengisi bagian hati yangg kosong
dengan seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lama, karena sejak peristiwa malam
bukak klambu Srintil di seret keluar dari dalam hati ku. Dukuh Paruk bertindak
semena-mena kepadaku. Aku bersumpah takkan memaafkan nya”
Pemberani
“Mengecewakan. Kopral Pujo tidak lebih berani daripadaku. Pada saat itu dia tidak bisa
mengambil keputusan. Jadi akulah yang mengambil prakarsa.”
“Ya, kita berhenti dulu. Kita hanya akan bermain lagi kalau Srintil berjanji memberi kami
upah”
“air?” ejek Darsun, anak ketiga. “Di mana kau dapat menemukan air?”
- Licik
“Jangan keliru! Yang asli buat Sulam. Lainnya buat Dower.” Kata Kartareja. Istrinya
tersenyum. Walaupun tidak selicik Kartareja, tetapi perempuan itu sudah dapat menduga ke
mana maksud tindakan suaminya.
g. Nyi Kartareja
-Licik
“Suami-istri Kartareja masuk ke bilik mereka sendiri. Di sana pasangan tua itu bergurau.
Sebuah ringgit emas, 2 rupiah perak, dan seekor kerbau sudah hampir dingan”
“Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secara saksama pertunjukan ronggeng.
Seperti seorang awas, Sakum dapat mengeluarkan seruan cabul tepat saat ronggeng
menggerakkan pinggul ke depan dan ke belakang”
“Bajingan! Kalian semua bajingan tengik! Betapa pun bongkrekku tak bersangkut-paut
dengan malapetaka ini. Lihat! Akan kutelan bongkrek ini banyak-banyak. Kalau ini benar ada
racunnya, pasti aku akan segera sekarat”
“Dia menoleh istri nya yang semula berdiri di sampingnya, ikut mengunyah bongkrek”
k. Dower
- Gigih
Sambil mengusap wajahnya yang berkeringat, Dower membuka pembicaraan. “Aku datang
lagi kek. Meski bukan sekeping ringgit emas yang ku bawa, ku harap engkau mau
menerimanya”
l. Sulam
- Perasa
“Sebuah pertanyaan yang menghina, kecuali engkau belum mengenaliku. Tentu saja aku
membawa ringgit emas itu. Bukan rupiah perak, apa lagi se ekor kerbau seperti anak
pecikalan ini” Ujar sulam sambil melirik ke arah Dower.
m. Sersan Slamet
- Baik hati & tidak memandang rendah orang lain
“Siapa saja yang punyai cukup tenaga serta kejujuran, dapat melaksanakan tugas sebagai
tobang. Tentang tenaga, aku sudah merasa pasti engkau memiliki dengan cukup.
Kejujuranmu sudah terpancar dari wajah dan sinar mata mu sendiri. Jadi aku merasa pasti
pula kau mampu menjadi seorang tobang”
n. Kopral Pujo
- Penakut
“Seharusnya begitu tetapi jangan gila. Hanya ada sepucuk senjata pada kita. Pada mereka
ada lima” ujar Koral Pujo saat melihat para perampok. “Jadi bagaimana? keputusan harus
segera kita ambil.” ucap Rasus. “Nanti dulu. Aku mau kencing” jawab Kopral Pujo.
o. Waras
- Seperti anak kecil
“Kalau begitu dimana Emak tidur? Dipan itu tidak muat untuk tidur bertiga. Eh, tetapi kita
bisa menggelar tikar di lantai. Kita tidur bertiga. Aku ditengah. Emak dan kamu dipinggir.
Wah, hebat, kan?”
“Dan tayuban itu khusus bagi si Waras, anak ku yang lelaki satu-satunya itu”
“Nyai Sentika memeluk dan mengelus Srintil dengan rasa sayang melebihi rasa terhadap
anak kandungnya”
r. Pak Bakar
- Jahat
“Ah, tidak sejauh itu. Biarkan papan itu terpasang di sana. Aku takkan mengambilnya. Siapa
pun tidak boleh menyingkirkannya. Siapa yang berbuat begitu pasti akan menghadapi
kemarahan pemuda-pemuda ku. Nah, kalian tidak ingin melihat kerusakan, bukan?”
s. Marsusi
- Pendendam
“Tentu saja aku ingin membalasnya, bahkan melenyapkannya. Aku tahu betul Srintil
menerima semua laki-laki yang datang sebelum diriku demi uang yang tak seberapa atau
demi satu dua gram emas. Tetapi dia menampikku, padahal seratus gram kalung emas
berbandul berlian yang ku sodorkan kepadanya. Mau disebut apalagi kalau bukan
penghinaan yang sebesar-besarnya”
- Licik
“Di belokkannya motornya ke kiri, masuk ke jalan kecil yang menuju daerah perkebunan
karet Wanakeling. Ketika barang yang sangat di inginkannya sudah berada di tangan,
mengapa tidak langsung membawanya pulang ke rumah”
Pak Bajus awalnya mendekati Srintil hingga Srintil dan orang orang percaya bahwa pak
Bajus orang yang baik dan ingin menjadikan Srintil sebagai istrinya. Namun semua itu hanya
tipuan semata.
“Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blegur. Percayalah, dia orangnya baik.
Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya, beberapa pun harganya , akan dia
kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temailah dia, Srin”
“Ya, berilah dia kesempatan mencapai keinginannya menjadi seorang ibu rumah tangga.
Masih banyak perempuan lain yang dengan sukarela menjadi objek petualangan. Jumlah
mereka tak akan berkurang sekali pun Srintil mengundurkan diri dari dunia lamanya”
- Tidak tegaan
“Memang kamu tahu siapa aku. Aku yang senang bertulang. Tetapi entahlah, aku tidak tega
memakai Srintil”
Di tepi kampung
“Di tepi kampung, tiga anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong”
Makam
“Tengah malam Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis
seorang diri disana”
Rumah Kartareja
“Aku sendiri hanya maju beberapa langkah dan berteduh di emperan rumah Kartareja”
Desa Dawuan
“Dawuan, tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan”
Pasar Dawuan
“Di pasar Dawuan pula suatu kali aku dapat melihat Srintil yang datang berbelanja dengan
Nyai Kartareja”
Warung lontong
“Perempuan-perempuan itu memperhatikan Srintil memasuki warung penjual lontong. Di
sana Srintil duduk satu lincak bersama perempuan pemilik warung”
Alaswangsal
“Hampir tengah hari ketika rombongan dari dukuh paruk memasuki kampung Alas wangsal”
Kantor polisi
“Sampai di depan kantor yang di tuju Kartareja berhenti termangu. Jelas sekali
keraguannya. Tapi Srintil terus melangkah”
Tahun 1964
“Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh
Paruk malah sering naik pentas”
Tahun 1970
“Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan berubah gemuruh oleh
deru truk-truk besar berwarna kuning serta buldoser dari berbagai jenis dan ukuran”
Tegang
“Kang, orang-orang itu geger. Banyak tetangga yang sakit dan pingsan. Ini bagaimana,
Kang?”
Sedih
“Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihan nya yang amat sangat,
Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi kepada moyang orang Dukuh Paruk”
Kecewa
“Dalam wawasan ini, Srintil tidak bisa melihat beda antara dua wajah laki-laki itu. Semuanya
mengecewakanya, semua merangsang Srintil membuat suatu perhitungan”
Makam
“Tengah malam Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis
seorang diri disana”
Rumah Kartareja
“Aku sendiri hanya maju beberapa langkah dan berteduh di emperan rumah Kartareja”
Desa Dawuan
“Dawuan, tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan”
Pasar Dawuan
“Di pasar Dawuan pula suatu kali aku dapat melihat Srintil yang datang berbelanja dengan
Nyai Kartareja”
Warung lontong
“Perempuan-perempuan itu memperhatikan Srintil memasuki warung penjual lontong. Di
sana Srintil duduk satu lincak bersama perempuan pemilik warung”
Alaswangsal
“Hampir tengah hari ketika rombongan dari dukuh paruk memasuki kampung Alas wangsal”
Kantor polisi
“Sampai di depan kantor yang di tuju Kartareja berhenti termangu. Jelas sekali
keraguannya. Tapi Srintil terus melangkah”
Tahun 1964
“Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh
Paruk malah sering naik pentas”
Tahun 1970
“Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan berubah gemuruh oleh
deru truk-truk besar berwarna kuning serta buldoser dari berbagai jenis dan ukuran”
Tegang
“Kang, orang-orang itu geger. Banyak tetangga yang sakit dan pingsan. Ini bagaimana,
Kang?”
Sedih
“Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihan nya yang amat sangat,
Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi kepada moyang orang Dukuh Paruk”
Kecewa
“Dalam wawasan ini, Srintil tidak bisa melihat beda antara dua wajah laki-laki itu. Semuanya
mengecewakanya, semua merangsang Srintil membuat suatu perhitungan”
“Srintil cepat bangkit dan menoleh ke belakang. Didapatinya dirinya tak berteman di dalam
bilik yang lenggang itu. Mula-mula ia menduga, atau berharap, rasus masih berada di sekitar
rumah, sedang berhajat di belakang misalnya”
Ya itulah unsur intrinsik singkat novel Ronggeng Dukuh Paruk yang mungkin bisa membantu
kalian untuk menanbah pengetahuan atau mengerjakan tugas untuk menjawab pertanyaan
yang di berikan oleh guru.
Baca novel ronggeng dukuh paruk untuk mengetahui kisah lengkapnya yang memiliki cerita
yang menarik dan patut di ikuti. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari juga
sudah di adaptasi menjadi film yang berjudul Sang Penari.