Anda di halaman 1dari 5

Resensi Novel Ronggeng Dukuh Paruk

A. Sinopsis

Dukuh Paruk adalah sebuah desa yang terletak di pedukuhan yang sangat terpencil. Di desa yang
keadaannya kering kerontang itu terdapat penduduk yang mempercayai bahwa mereka keturunan dari Ki
Secamenggala, seorang bromocorah yang dianggap sebagai nenek moyang mereka.

Srintil merupakan anak pembuat tempe bongkrek yang menjadi piatu akibat bencana tempe
bongkrek. Sejak kecil srintil dirawat oleh kakek dan neneknya. Saat usianya masih anak-anak, Srintil
memiliki seorang teman yang bernama Rasus, Warta, dan Darsun. Ketiganya sangat senang melihat
Srintil menari bak ronggeng. Meskipun masih kecil, Srintil sangat pandai menari.

Suatu ketika Srintil menari tayub saat Rasus dengan teman-temannya mengiringi tariannya dengan
tembang dan musik. Meskipun suara calung dan gendang tersebut dibuat dari mulut mereka, Srintil
menari serupa tarian ronggeng.

Kemampuan Srintil menari ronggeng akhirnya diketahui oleh kakeknya dan ia menyampaikannya
kepada Kertareja, seorang dukun ronggeng. Kehadiran Srintil, yang saat itu berusia sebelas tahun,
merupakan peristiwa yang ditunggu-tunggu oleh penduduk Dukuh Paruk. Kemampuan Srintil menari
ronggeng, menghidupkan kembali tradisi yang selama ini telah hilang.

Jadilah Srintil diasuh oleh Kertareja dan istrinya untuk dijadikan seorang ronggeng besar
kebanggaan Dukuh Paruk. Kabar munculnya seorang ronggeng baru yang sudah dua belas tahun lamanya
sirna, terdengar oleh masyarakat, senyum bahagia mekar di wajah mereka. Senang rasanya akhirnya
Dukuh Paruk yang sudah lama tidur kembali bangun.

Namun untuk meggapai cita-citanya menjadi seorang ronggeng sejati, Srintil harus melewati
berbagai tahapan. Mulai dari menari beberapa ronde setiap malam, mandi kembang di kuburan Ki
Secamenggala yang katanya nenek moyang semua penghuni Dukuh Paruk, hingga harus melakukan ritual
buka kelambu.

Rasus tidak rela melihat Srintil melepas kesuciannya begitu saja demi ritual buka klambu untuk
menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Srintil juga berada di dalam kebimbangan antara ingin menjadi
ronggeng yang sesungguhnya dan merasa takut melakukan ritual tersebut. Ritual itu sebenarnya juga amat
berat baginya. Akan tetapi akhirnya Srintil memberikan kesuciannya kepada Rasus secara diam-diam
tanpa imbalan apapun, meskipun setelah itu juga ada lelaki yang memenangkan sayembara buka klambu
itu.

Srintil akhirnya menjadi ronggeng yang terkenal setelah ritual buka klambu dilaksanakan.
Tak kuasa melihat Srintil yang telah menjadi ronggeng, Rasus pindah dari Dukuh Paruk ke Dawuhan. Di
sana ia menjadi buruh pengupas ubi kayu. Tetapi takdir membawanya kembali bertemu Srintil yang
mengenakan banyak perhiasan emas yang bertengger menghias tubuh moleknya, hasil Srintil meronggeng
setiap malam.

Hingga suatu hari Rasus bertemu dengan Sersan Slamet yang diutus untuk mengusir
perampok yang berkeliaran di kampung mereka dan menjadi tobang yang melayani kebutuhan tentara-
tentara di barak militer, dekat pasar Dawuan. Rasus pun akhirnya juga diangkat menjadi seorang tentara
berkat kejujuran dan kegigihannya. Setelah menjadi ronggeng, justru Srintil menyadari bahwa ia
mencintai Rasus. Ia ingin merasakan kelembutan sentuhan lelaki dan merasa jenuh menjadi ronggeng.

Srintil mengajak Rasus menikah, tetapi Rasus menolak karena lebih memilih menjadi tentara.
Srintil sangat bersedih karena hal tersebut. Srintil yang sudah mulai merasa jenuh menjadi seorang
ronggeng Dukuh Paruk, sering menolak untuk melayani para lelaki. Bahkan beberapa kali menolak untuk
meronggeng. Sebenarnya ia ingin memiliki hidup yang lebih tenang, yaitu memiliki suami dan anak.
Memiliki keluarga yang bisa menenteramkan hatinya. Ia juga masih mengharapkan Rasus, seorang lelaki
Dukuh Paruk yang kini telah menjadi tentara. Banyak sekali permasalahan yang mulai membuat Srintil
untuk enggan meronggeng. Apalagi ia mulai menemukan Goder yang diangkat menjadi anaknya. Ia
sangat memanjakan Goder layaknya anak sendiri. Ia semakin teguh untuk berhenti meronggeng dan
menciptakan hidup baru.

Namun tiba-tiba petaka muncul menghantam Dukuh Paruk. Dukuh paruk diguncang oleh panas dan
liciknya dunia politik. Dukuh Paruk dituduh menjadi anggota partai komunis setelah terlibat dengan
oknum partai tersebut. Dengan segala kebodohan yang dimiliki Dukuh Paruk, Srintil bersama beberapa
masyarakat Dukuh Paruk lainnya ditahan. Setelah ia dibebaskan, kehidupannya sudah mulai berubah. Ia
mulai tertutup dengan orang lain. Pandangan orang lain terhadapnya juga mulai berubah karena identik
dengan partai komunis tersebut serta menjadi bekas tahanan.

Hingga ia bertemu dengan Bajus, lelaki yang muali dekat dengannya. Dengan ketulusan dan
kebaikan Bajus, Srintil menjadi terbuka dan dekat dengan Bajus. Rasus yang telah lama tidak pulang,
akhirnya kembali ke Dukuh Paruk untuk berlibur. Mengetahui hal itu hati Srintil sempat goyah. Ia
sebenarnya masih menyimpan rasa terhadap Rasus.

Suatu hari Srintil diajak Bajus untuk mengikuti acara tertentu. Ternyata selama ini Bajus telah
memiliki rencana jahat terhadap Srintil. Bajus ingin menyerahkan Srintil kepada bosnya sebagai hadiah
agar bisnisnya lancar. Srintil sangat terpukul karena ia telah begitu percaya pada Bajus. Namun Bajus
justru merupakan lelaki yang jahat. Karena itu, Srintil mengalami gangguan jiwa dan menjadi gila.
Melihat kondisi Srintil yang memprihartinkan, Rasus merasa iba. Ia akhirnya membawa Srintil ke rumah
sakit jiwa.

B. Unsur Intrinsik

1. Tema

Tema dalam novel Ronggeng Dukuh paruk yaitu kebudayaan. Menceritakan kehidupan ronggeng
secara mendetail yang memang menjadi adat kebudayaan di desa Dukuh Paruk.

2. Alur

Alur dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu alur campuran. Penulis menggambarkan cerita
melaju ke masa depan dan masa lalu.

“ Orang-orang Dukuh Paruk pulang kerumah masing-masing. Mereka, baik lelaki maupun
perempuan, membawa kenangan yang dalam. Malam itu kenangan atas Srintil meliputi semua orang
Dukuh Paruk. Penampilan Srintil malam itu mengingatkan kembali bencana yang menimpa Dukuh Paruk
sebelas tahun yang lalu........Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil
basah kuyup tersiram hujab lebat…”.

3. Latar

 Latar Tempat:
a. Dukuh Paruk.
“dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan…”.
b. Ladang/ Kebun
“ditepi kampung, tiga anak sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong. Yakni Rasus,
Darsun dan Warta…”.
c. Dibawah pohon nangka.
“dipelataran yang membatu dibawah pohon nangka,...Srintil menari dan bertembang. Gendang,
gong dan calung mulut mengiringinya..”.
d. Rumah Nyai Kartareja.
“di dalam rumah. Nyai Kartareja sedang merias Srintil. Tubuhnya yang kecil dan masih lurus
tertutup kain sampai ke dada …”.
e. Perkuburan.
“rombongan bergerak menuju perkuburan dukuh paruk. Kartareja berjalan paling depan
membawa pedupan….”.
f. Pasar Dawuan.
“Perkenalanku dengan pedagang singkong di pasar memungkinkan aku mendapat upah…”.
g. Di Markas Tentara.
“pada hari pertama menjadi tobang, banyak hal baru yang kurasakan…”
h. Di Hutan.
“Sampai di hutan, perburuan langsung dimulai. Dalam hal ini aku kecewa karena tiga orang
tentara yang kuiringkan sama sekali tak berpengalaman dalam hal berburu…”.
i. Rumah Sakarya.
”kulihat dua orang perampok tetap tinggal diluar rumah, satu dibelakang dan lainya
dihalaman…..Sakarya yang terkejut langsung mengerti…”.
j. Rumah Nenek
“selagi orang-orang Dukuh Paruk mengerumuni rumah Kartareja, aku duduk berdekatan dengan
Srintil di beranda rumah neneku sendiri”.
k. Rumah Sakum
“Sakum tak terusik oleh hiruk pikuk anak-anaknya, jemarinya terus bekerja..…Sakum berhenti
mendadak ketika Srintil melangkah mendekatinya ”.
l. Rumah Tarim
“panas udara mulai reda ketika Marsusi diterima oleh Kakek Tarim….”.
m. Lapangan bola deka kantor Kecamatan.
” Malam itu semangat kota kecil dawuan berpusat dilapangan sepak bola dekat kantor
Kecamatan. Sebuah panggung lebar…..”
n. Di Alaswangkal
“hampir setengah hari ketika rombonhan dari Dukuh Paruk memasuki kampung Alaswangkal.
Pemukiman penduduk…”.
o. Kantor Polisi
“dikantor itu ternyata bukan hanya polisi, melainkan tentara juga ada disana mereka segera
mengenal siapa yang sedang melangkah…”
p. Di Penjara/ Tahanan
“ Saya Prajurit Dua Rasus. Saya ingin berjumpa Komandan kompleks tahanan ini secara
pribadi…”.
q. Di Sawah
“di tengah sawah, seratus meter diSebelah barat dukuh paruk.Bajus memimpin..”
r. Di Pantai
“sampai dipantai Bajus memilih tempat yang agak terpencil buat memarkir jipnya…”
s. Di Vila
“...Bajus membelokan mobilnya ke halaman sebuah vila mungil yang ternyata kemudian sudah
disewanya….”
t. Rumah Sakit
“…ketegangan yang meliputi hatiku hanpir berakhir ketika becak berhenti di gerbang rumah sakit
tentara….”

 Latar waktu
a. Musim kemarau
b. 11 tahun silam
c. Agustus tahun 1963
d. Tahun 1964
e. Februari Tahun 1966
f. Tahun 1970
g. Sore hari, “ketiganya patuh. Ceria di bawah pohon nangka itu sampai matahari menyentuh garis
cakrawala....”
h. Malam hari, “jadi malam yang bening itu tak ada anak dukuh paruk yang keluar halaman...”
i. Pagi hari, “menjelang fajar tiba, ku dengar burung sikakat mencecet si rumpun aur di belakang
rumah.”
 Latar suasana
a. Tenang, tentram

“Sakarya merasa hawa dingin bertiup di kuduknya. Suara hiruk-pikuk bergalau dalam telinga. Dan
tiba-tiba Sakarya terkejut oleh sinar menyilaukan yang masuk matanya. Matahari pagi muncul di balik
awan. “Ah, boleh jadi benar, kematianku sudah dekat,” gumam Sakarya. Aneh, Sakarya merasakan
ketentraman dalam hati setelah bergumam demikian.”

b. Gembira, bangga, bahagia

“Kegembiraan itu lahir dan berkembang dari Dukuh Paruk. Berita cepat tersiar bahwa pada malam
perayaan Agustusan nanti Srintil akan kembali meronggeng. Kurang dua hari lagi, tetapi sudah banyak
orang bersiap-siap. Anka-anak mulai bertanya tentang uang jajan kepada orangtua mereka. Para
pedagang, dari pedagang toko sampai pedagang pecel bersiap dengan modal tambahan. Juga tukang lotre
putar yang selalu menggunakan kesempatan ketika banyak orang berhimpun.”

c. Tegang, genting

“Kenapa Jenganten?”

“Pusing, Nyai, pusing! Oh, hk. Napasku sesak. Dadaku sesak!”

Nyai Kartareja merangkul Srintil. Dia langsung mengerti masalahnya genting karena Srintil tidak
lagi menguasai berat badannya sendiri.

4. Tokoh dan penokohan

a. Rasus : bersahabat, penyayang, pendendam, pemberani


b. Srintil : bersahabat, agresif, naif
c. Darsun : suka meremehkan
d. Warta : pamrih
e. Sakarya (Kakek Srintil): Penyayang
f. Nyai sakarja (nenek Srintil): penyayang
g. Ki secamenggala: berwibawa
h. Kartareja: egois, licik, materialistis
i. Nyai Kartareja : egois, licik, materialistis
j. Santayib (Ayah Srintil) : tidak bertanggung jawab, keras kepala
k. Istri Santayib : penyayang
l. Sakum: hebat ( dengan mata buta mampu mengikuti secara seksama pagelaran wayang).
m. Nenek Rasus: penyayang
n. Dower: gigih
o. Sulam: perasa, sombong
p. Siti: alim
q. Sersan Slamet: baik, tegas
r. Kopral Pujo: penakut
s. Tampi: penyayang, sabar
t. Marsusi: pendendam, licik
u. Pak Bahar: jahat
v. Tamir: lelaki hidung belang
w. Bajus: licik, penipu
x. Darman: baik hati, suka membantu
y. Pak Blegur: baik, prihatin
z. Lurah Pecikalan (kepala Desa): bijaksana

5. Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan oleh Pengarang dalam penulisan novel “Ronggeng Dukuh Paruk”
ini adalah menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama seperti adanya kata “aku”
dan sudut pandang pengganti orang ketiga, seperti adanya kata “ dia dan –nya” dan menyebutkan nama
tokoh secara langsung.

6. Gaya bahasa

Gaya bahasa dalam novel ini banyak menggunakan bahasa jawa dan mantra-mantra jawa:

Uluk-uluk perkutut manggung

Teka saka negndi,

Teka saba tanah sabrang

Pakanmu apa

Pakanku madu tawon

Manis madu tawon,

Ora manis kaya putuku, Srintil

Adapun penggunaan majas:

 Personifikasi:
- Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang.
- Begitu perintah alam.
- Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur secamenggala membuktikan polah tingkah
kebatinan orang dukuh paruk berpusat di sana.
 Hiperbola:
- Udara panas berbulan-bulan mengeringkan berjenis biji-bijian.

7. Amanat

Pesan moral yang terkandung dalam novel tersebut adalah, sebagai seorang wanita kita harus
mempunyai harga diri yang tinggi. Kebudayaan di jaman dahulu memang bagus dan tidak boleh
dihilangkan, tetapi ambilah hal yang positif dan buang hal-hal yang bersifat negatif. Jangan menyia-
nyiakan orang yang telah sepenuh hati mencintai kita, karena belum tentu suatu saat nanti kita dapat
menemukan orang yang mencintai kita setulus itu. Serta jangan mudah terpengaruh atau mudah percaya
pada orang lain, kita tidak pernah tahu niat seseorang seperti apa, bisa saja orang tersebut ingin
menjerumuskan kita ke dalam hal yang salah.

C. Unsur Ekstrinsik

Nilai-nilai yang terkandung:

1. Keagamaan (relegius)
Dalam unsur ini, warga Dukuh Paruk lebih mempercayai adanya nenek moyang, seperti
memberikan sesajen dan hal-hal animisme lainnya.

2. Kebudayaan

Dalam novel ini, banyak terdapat unsur kebudayaan seperti menari dan menyanyi sambil nyawer.
Masyarakat masih mempertahankan tradisi nenek moyangnya, khususnya ronggeng.

3. Sosial

Tersirat pula nilai sosial dalam novel yang memberikan pemahaman bahwa kesadaran seseorang
terhadap nilai kemanusiaan masih kurang. Sesama manusia tentu kita harus saling menghargai.

4. Moral

Nilai moral yang tersirat dalam novel yaitu janganlah sombong saat kita sudah sudah, jangan
melakukan hal yang tidak baik untuk mencapai kesuksesan.

5. Ekonomi

Nilai ekonomi yang terdapat dalam novel yaitu menggambarkan kehidupan kemiskinan yang
terjadi di daerah terpencil.“Dukuh Paruk” yang terletak ditengah-tengah pematang sawah. Penggambaran
ini tampak jelas terlihat seperti : digambarkan luasnya ribuan hektar sawah yang mengelilingi desa telah
tujuh bulan kering kerontang, Sampai anak-anak kecil rela bersusah payah mencabut singkong yang
terpendam dalam ditanah kapur. Daerah tersebut membutuhkan perhatian dari pemerint Nilai Politik

6. Politik

Nilai politik yang tersirat dalam cerita novel yaitu keprihatinan dengan sikap kesewenangan
kekuasaan orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam menindas masyarakat kecil.

D. Kelebihan dan kekurangan

 Kelebihan

Kelebihan novel ini terletak pada penceritaan yang menyeluruh dari penulis mengenai lingkungan
sosial budaya dengan berbagai adat dan tradisinya, serta kesederhanaan yang tampak dari para
masyarakatnya. Hal Ini tentunya sangat memberi pengaruh besar terhadap kami, karena kami bisa
mempunyai gambaran umum tentang zaman yang masih dibayangi dengan orang-rangg komunis. Selain
itu, kami juga bisa mengetahui tentang kesederhanaan masyarakat pada zaman itu yang makan hanya
dengan tempe bongkrek.

Selain itu, novel ini memuat banyak sekali nilai-nilai moral untuk para pembacanya. Penulis
Ahmad Tohari mengkisahkan nilai kemanusiaan untuk menghormati perempuan. Dengan
menggambarkan tokoh utama Srintil sebagai sisi semangat perempuan untuk keluar dari hitamnya zaman
saat itu. Dimana saat itu, perempuan harus diperbudak untuk memenuhi hawa nafsu lelaki. Perempuan
juga dikekang dalam memilih jalan hidupnya sendiri. Selain itu, penulis juga menggambarkan tokoh
perempuan dengan sangat detail dari segala bentuk kesengsaraan yang dialami perempuan di jaman itu.

 Kekurangan

Kekurangan novel ini terletak pada penggunaan bahasa, penulis banyak menggunakan kata-kata
kasar yang seronok atau bisa dibilang vulgar, sehingga novel ini kurang pas untuk digunakan sebagai
bahan bacaan edukasi. Selain itu penulis juga menyelipkan tentang hal-hal yang berbau pornografi pada
novel ini, seperti halnya malam bukak klambu dengan para laki-laki yang harus dilakukan seorang
ronggeng.

Anda mungkin juga menyukai