Anda di halaman 1dari 5

APRA

Latar Belakang Pemberontakan APRA


Di antara anggota pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) banyak yang tidak
puas terhadap hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Ringkasnya mereka tidak suka
dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS.)

Apalagi KNIL harus bergabung ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat(APRIS)
bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bagi TNI sebagai pejuang kemerdekaan yang setia
tentu saja agak sulit menerima kehadiran KNIL, begitupula bagi KNIL sulit bergabung dengan
TNI sebab mereka pernah berhadapan satu sama lain dalam pertempuran pada masa Perang
Kemerdekaan.

Kecemburuan KNIL terhadap TNI  semakin menjadi setelah diputuskan bahwa pimpinan APRIS
harus berasal dari TNI. Hal ini diperparah dengan sambutan rakyat yang lebih simpatik terhadap
keberadaan TNI.

Pada titik inilah, kaum reaksioner yang subversif memanfaatkan situasi untuk terus menyebar
hasutan guna merongrong pemerintah Indonesia.

Pada pertengahan November 1949, muncul seorang tokoh militer Belanda, Raymond Pierre
Westerling, yang mulai menyusun kekuatan dengan menarik anggota KNIL yang
didemobilisasikan.

Nama Tokoh

Raymond Westerling
Westerling dikenal sebagai seorang militer yang berpengalaman dan kejam. Perjalanan
hidupnya di Indonesia diwarnai dengan genangan darah.

Pada awalnya, ia ditugaskan sebagai Kapten Tentara Kerajaan Belanda untuk melumpuhkan
semangatjuang rakyat di Sulawesi Sealatan.

Kedatangannya di Sulawesi Selatan disertai 150 anggota Corps Speciale Troepen. Dalam
melaksanakan tugasnya itu, ia membunuh 40.000 rakyat Sulawesti Selatan.

Selesai bertugas di Sulawesi, ia ditarik ke Jawa Barat sebagai pimpinan atas 1.500 orang
Speciale Troepen.Westerling kembali melakukan pembantaian terhadap penduduk di Cibarusah,
Cikalong, Tasikmalaya, dan Cirebon.

Di Jawa Barat, Westerling terus berusaha melebarkan sayap. Kekejamannya itu mendapat
penghargaan dari pihak yang berjuang di pihak Belanda.

Akan tetapi Pemerintah Belanda, akhirnya memecat Westerling dari dinas ketentaraan. Namun,
hal ini ternyata lebih memberikan keleluasaan kepadanya. Ia bisa lebih dekat dan semakin aktif
melakukan kegiatan bersama unsur-unsur penentang Republik Indonesia.

Bebas dari tugas militer, Westerling justru membentuk gearakan dengan nama Ratu Adil.
Dengan nama ini gerakan Westerling semakin mendapat simpati rakyat. Dalam waktu yang
realtif singkat, ia telah berhasil mengumpulkan modal dan pengikut sebanyak 8.000 orang
termasuk para bekas pasukan Belanda.

Tujuan APRA dan kaum kolonialis yang ada di belakangnya adalah mempertahankan bentuk
federal di Indonesia dan mempertahankan adanya tentara tersendiri pada setiap negara-negara
bagian RIS. Tujuan ini bertolak belakang dengan hasil Konferensi Antar-Indonesia di
Yogyakarta yang telah menyetujui bahwa APRIS adalah Angkatan Perang Nasional.

Dimulainya Serangan APRA


Tidak lama setelah APRA dibentuk, Westerling mengajukan ultimatum kepada Pemerintah RIS
agar kekuasaan militer daerah Pasundan diserahkan sepenuhnya kepada APRA. Ia menilai TNI
kurang mampu menjalankan tugas itu dan meminta agar APRA dijadikan pasukan resmi.

Pemerintah RIS menganggap ultimatum itu sebagai sebuah kekonyolan. Oleh karena itu,
Westerling mulai berusaha merebut kekuasaan dengan kekerasan.

Target utama dari kebengisan Westerling adalah Jakarta dan Bandung.

Setelah menyusun rencana, APRA mulai bergerak di sekitar Cililin, di bawah pimpinan dua
orang Inspektur Polisi Belanda, van Beeklen dan van der Meula. Gerakan APRA yang terdiri
dari sekitar 800 orang di antaranya 300 anggota KNIL bersenjata lengkap menyerang kota
Bandung pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950.
Walaupun satu hari sebelum serangan pimpinan Divisi Siliwangi telah mensinyalir adanya suatu
gerakan dari sekelompok orang bersenjata yang bergerak dari Cimahi menuju kota Bandung,
tetap saja Westerling berhasil memasuki kota itu. Keesokan harinya APRA telah memasuki kota
Bandung dan secara ganas membunuh setiap anggota TNI yang dijumpai.

Gerombolan APRA berhasil menduduki Markas Staf Divisi Siliwangi, pertempuran tidak
berimbang pun terjadi antara 150 orang APRA melawan 180 orang anggota TNI. Pertempuran
itu menyebabkan 15 orang, termasuk Lenan Kolonel Lemboh gugur, sedangkan hanya 3 orang
yang berhasil melarikan diri.

Secara keseluruhan gerakan APRA di kota Bandung menyebabkan 79 anggota APRIS gugur dan
banyak penduduk sipil menjadi korban pembantaian.

Reaksi Pemerintah Indonesia  untuk Menumpas APRA

Pemerintah RIS segera bereaksi dengan mengirimkan bala bantuan ke Bandung untuk
menghentikan APRA. Di Jakarta juga segera diadakan perundingan antara Moh. Hatta sebagai
Perdana Menteri RIS dengan Komisaris Tinggi Belanda. Hasilnya, Mayor Jenderal Engels,
Komandan Tentara Belanda di Bandung mendesak Westerling untuk pergi dari kota itu.

Setelah terdesak, gerombolan APRA pergi meninggalkan Bandung. Setelah meninggalkan


Bandung, gerombolan APRA menyebar ke berbagai wilayah dan terus dikejar oleh Apris.
Dengan bantuan rakyat,, gerombolan APRA yang telah berceceran berhasil dilumpuhkan oleh
TNI.

Selain ke Bandung, gerakan APRA juga diarahkan ke Jakarta. Di daerah ini, Westerling
mengadakan kerjasama dengan Sultan Hamid II yang menjadi menteri negara tanpa portofolia di
dalam kabinet RIS.

Untuk mewujudkan ambisinya, Westerling dan Sultan Hamid II menyusun rencananya sebagai
berikut:

1. APRA akan menyerang gedung tempat Kabinet RIS bersideng.


2. Semua Menteri RIS akan diculik
3. Menteri Pertahanan (Sultan Hamengku Buwono IX), Sekjen Kementrian Pertahanan (Ali
Budiarjo) dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang (Kol. T. B. Simatupang) akan
dibunuh.

Supaya publik tertipu, Sultan Hamid II juga akan ditembak di tangan atau kakinya agar orang
mengira bahwa ia juga termasuk yang akan dibunuh Westerling. Sultan Hamid II dijanjikan oleh
Westerling akan dijadikan Menteri Pertahanan jika rencana itu sukses.

Akan tetapi berkat kesigapan APRIS, usaha APRA di Jakarta juga menemui kegagalan.
Meskipun demikian  Westerling dengan gerombolannya masih terus mencoba untuk mencapai
tujuannya. Tetapi usahanya tetap berujung pada kegagalan.
Sementara itu, Westerling yang melihat indikasi kegagalan rencananya, memilih melarikan diri
dengan pesawat Catalina Angkatan Laut Belanda ke Singapura pada 22 Februari 1950. Di
Singapura, Westerling justru ditahan polisi setempat dengan tuduhan telah memasuki wilayah itu
tanpa izin.

Westerling menjalani hukuman selama satu bulan di Singapura. Pemerintah Indonesia berusaha
menuntut agar buronannya tersebut diserahkan kepada Indonesia. Namun, tuntutan itu ditolak
mentah-mentah oleh pihak Inggris, dengan alasan bahwa RIS tidak punya perjanjian dengan
Inggris tentang hal itu.

Sementara itu Sultan Hamid II yang ikut serta dalam rencana makar tersebut baru tertangkap
pada 5 April 1960.

Presiden Soekarno di depan Singan DPR RIS menyampaiakan pidato yang menegaskan sikap
pemerintah untuk menumpas pemberontakan Westerling. Selanjutnya, ia mengingatkan pula agar
rakyat, khususnya umat Islam agar tidak terpancing dan masuk gerakan pemberontak.

Tokoh

Gerakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling, dan didalangi oleh Sultan Hamid II.

Latar Belakang dan Tujuan

- Gerakan APRA didalangi oleh kelompok kolonialis Belanda yang ingin mengamankan
kepentingan ekonominya di Indonesia.

- Tujuan pemberontakan APRA adalah mempertahankan bentuk federal, berdirinya negara


federal, dan adanya tentara sendiri di setiap negara bagian.

Aksi Gerakan

- Pada tanggal 23 Januari 1950, Westerling dan pasukannya merebut tempat-tempat penting di
Bandung, membunuh anggota TNI, dan menduduki markas staf Divisi Siliwangi.

- Menyerang kabinet RIS dan akan membunuh beberapa orang menteri. Namun dapat
digagalkan.

Upaya Penumpasan

- Pemerintah Indonesia melancarkan operasi militer pada tanggal 24 Januari 1950.


- Di Jakarta, diadakan perundingan antara Drs. Moh. Hatta dengan Komisaris Tinggi Belanda.
Hasilnya Mayor Engels mendesak Westerling dan pasukan APRA meninggalkan kota Bandung.
- Melakukan penangkapan terhadap Westerling dan Sultan Hamid II, namun Westerling berhasil
melarikan diri

- Dampak dari gerakan APRA adalah parlemen Negara Pasundan mendesak agar negara tersebut
dibubarkan dan terjadi pada tanggal 27 Januari 1950.

Anda mungkin juga menyukai