Anda di halaman 1dari 8

MATERI PERTEMUAN 2

Membandingkan Kritik dan Esai

Peta Konsep

KOMPETENSI DASAR

3.12. Membandingkan kritik sastra dan esai dari aspek pengetahuan dan pandangan penulis.

4.12. Menyusun kritik dan esai dengan memperhatikan aspek pengetahuan dan
pandangan penulis baik secara lisan maupun tulis.

1
KEGIATAN PEMBELAJARAN
1

Membandingkan Kritik dan Esai

A. Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari kegiatan pembelajaran 1 ini diharapkan Kalian dapat mengetahui


bagaimana membandingkan kritik dan esai dengan kritis, kreatif dan mandiri.

B. Uraian Materi

• Pengertian kritik
Kritik merupakan penilaian terhadap suatu karya secara seimbang, baik kelemahan
maupun kelebihannya. Karya yang dikritik biasanya berupa karya seni, baik karya
sastra, musik, lukis, buku, maupun film. Fokus dari kritik adalah menilai karya.

• Pengertian esai
Esai merupakan karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari
sudut pandang pribadi penulisnya. Fokus dari esai mengarah pada cara pandang
seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa.
Kritik dan esai adalah dua jenis tulisan yang hampir sama. Keduanya sama-sama
mengungkapkan pendapat atau argumen. Namun, penulis kritik dan esai haruslah
melakukan analisis dan penilaian secara objektif terlebih dahulu agar dapat dipercaya.
Berdasarkan pengetahuan (isi) yang dikaji di dalamnya, perbandingan kritik dan
esai dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1: Perbandingan Kritik dan Esai


Berdasarkan Pengetahuan yangDisajikan

No. Kritik Esai


1. Objek kajian adalah karya, misalnya seni Obyek kajian dapat berupa karya
musik, sastra, tari, drama, film, pahat, atau fenomena
dan lukis.

2
2. Ada deskripsi karya, bila karya berwujud Tidak ada ringkasan atau sinopsis
buku novel deskripsinya berupa sinopsis . karya.

3. Menyajikan data objektif. Tidak selalu membutuhkan data.

Dilihat dari pandangan penulisnya, perbandingan kritik dan sastra dapat diringkas sebagai
berikut.

Tabel 2: Perbandingan Kritik dan Esai


Berdasarkan Pandangan Penulisnya

No. Kritik Esai


1 Penilaian terhadap karya dilakukan Kajian dilakukan secara subjektif, menurut
secara objektif disertai data dan alasan yang pendapat pribadi penulis esai.
logis.
2 Dalam memberikan penilaian seringkali Jarang atau hampir tidak pernah
menggunakan kajian teori yang sudah mencantumkan kajian teori.
mapan.
3 Pembahasan terhadap karya secara utuh Objek atau fenomena yang dikaji tidak
dan menyeluruh. dibahas menyeluruh, tetapi hanya pada
hal yang menarik menurut pandangan
penulisnya. Meskipun demikian,
pembahasannya dilakukan secara utuh.

C. Rangkuman

1. Kritik penilaiannya bersifat obyektif dan esai bersifat subyektif.


2. Kritik menampilkan deskripsi karya tetapi esai tidak menampilkan deskripsi karya.
3. Kritik Menyajikan data obyektif. Sedangkan esaitidak membutuhkan data.

D. Penugasan Mandiri
Berdasarkan perbandingan di atas, bacalah dua teks berikut ini. Tentukanlah mana yang
merupakan teks kritik dan mana yang merupakan teks esai. Jelaskan alasanmu!

Teks 1

3
Gerr
Oleh: Gunawan Muhammad

Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”,
”Dor”,”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”,
”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti
hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya
penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini
sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya
pendekatan tersendiri kepada kata.
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di
sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang ~sik yang menggebrak
persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak
punya manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang
sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti
dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya.
Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah
besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan
rumusanJerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu
Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah
”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu
Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah
satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan
lantai yanggoyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai
wartawan. Malam hari,ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan
sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu
muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap
malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka
untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater
sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang
dibangundari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang
yang hanyabagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai
benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara patos dan humor,
antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh
teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah
lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah
tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah

4
kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan
dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya
menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang
transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah
”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam
keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam
pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru
menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi
juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah
aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata
sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre
salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam
teater Putu Wijaya.Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi
dipatahkan. Sebagaimana dalampuisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji
Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan
bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya
dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja,yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil
kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan
alatyang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa
mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas
TeaterMandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya
daya ”teror”ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak
terkomunikasikan dalam hidup. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari
sana kreativitas yang sejati bertolak.
Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

Teks 2

5
Menimbang Ayat-Ayat Cinta

Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan hubungan antarmanusia, manusia
dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya
terdapatajaran moral, sosial sekaligus ketepatan dalam pengungkapan karya sastra.
Begitu pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya
yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam
perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran islami, karena penjualannya
mampu mengalahkan buku-buku yang digandrungi, seperti Harry Potter ini mengusung tema
cinta islami yang dihiasi dengan kon~ ik-kon~ ik yang disusun dengan apik oleh penulisnya.
Novel ini mengisahkan perjalanan cinta antara 2 anak manusia, Fahri sebagai
pelajar Indonesia yang belajar di Mesir, dan Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun mengusung
tema cinta tidak lantas membuat novel ini membahas cinta erotis antara laki-laki dan wanita.
Banyak cinta lain yang masih bisa digambarkan, seperti cinta pada sahabat, kekasih hidup, dan
tentu saja pada cinta sejati, Allah Swt. Perjalanan cinta yang tidak biasa digambarkan oleh
Habiburrachman.
Nilai dan budaya Islam sangat kental dirasakan oleh pembaca pada setiap
bagiannya. Bahkan, hampir di tiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. Ya,
katakan saja paragraf yang sarat dengan amanah. Namun, dengan bentuk yang seperti itu
tidak kemudian membuat novel ini menjadi membosankan untuk dibaca karena penulis tetap
menggunakan kata- kata sederhana yang mudah dipahami dan tidak terkesan menggurui.
Gaya penulis untuk mengungkapkan setiap pesan justru menyadarkan kita bahwa sedikit
sekali yang baru kita ketahuitentang Islam.
Latar yang Dilukis Sempurna
Hal lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan
Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa, baik itu tempat kejadian,
waktu, maupun suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk menggambarkan tiap lekuk bagian
tempat yang ia jadikan latar dalam novel tersebut ditambah dengan gambaran suasana yang
mendukung sehingga seakan-akan mengajak pembaca untuk berwisata dan menikmati
suasana Mesir di Timur Tengahlewat karya tulisannya.
Bukan hal yang aneh kemudian ketika memang ’Kang Abik’, begitu penulis sering
dipanggil, mampu untuk menggambarkan latar yang bisa dikatakan sempurna itu. Ia
memang beberapa tahun hidup di Mesir karena tuntutan belajar. Akan tetapi, tidak
menjadi mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat yang dijadikan latar. Bahkan
oleh orang Mesir sendiri memang tidak memiliki sarana bahasa yang tepat untuk
mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan.
Alur cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun banyak menggunakan alur
maju, cerita berjalan tidak monoton. Banyak peristiwa yang tidak terduga menjadi kejutan. Kon~
ik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi novel kebangkitan bagi sastra islami
setelah merebaknya novel- novel teenlit. Banyak kejutan, banyak inspirasi yang kemudian
bisa hadir dalam benak pembaca. Bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas
berbagai masalah kehidupan.
Karakter Tokoh yang Terlalu Sempurna
Satu hal yang ditemukan terlihat janggal dalam novel ini adalah karakter tokoh,
yaitu Fahri yang digambarkan begitu sempurna dalam novel tersebut. Maksud penulis di sini,

6
mungkin ia ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar mencitrakan Islam
dengan segala kebaikan dan kelembutan hatinya. Hal yang menjadi janggal jika sosok
yang digambarkan begitu sempurna sehingga sulit atau bahkan tidak ditemukan kesalahan
sedikit pun padanya.
Jika dibandingkan dengan karya sastra lama milik Tulis Sutan Sati, mungkin akan ditemukan
kesamaan dengan karakter tokoh Midun dalam Roman Sengsara Membawa Nikmat yang
berpasangan dengan Halimah sebagai tokoh wanitanya. Dalam roman tersebut, Midun juga
digambarkan sebagai sosok pemuda yang sempurna dengan segala bentuk ~ sik dan
kebaikan hatinya. Hanya saja, di sini penggambarannya tidak menggunakan bahasa-bahasa
yang langsung menunjukkan kesempurnaan tersebut sehingga tidak terlalu kentara. Ini di
luar bahasa karya sastra lama yang cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbola).
Perbedaan yang lain adalah tidak banyak digunakannya istilahistilah islami dalam roman
tersebut daripada novel Ayat-ayat Cinta.
Pembaca yang merasakan hal ini pasti akan bertanya-tanya, adakah sosok yang
memang bisa sesempurna tokoh Fahri tersebut. Meskipun penggambaran karakter tokoh
diserahkan sepenuhnya pada diri penulis, tetapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang
dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Dalam arti, jika tokoh yang dimunculkan
memang berkarakter baik, maka paling tidak ada sisi lain yang dimunculkan. Akan tetapi,
tentu saja dengan porsi yang lebih kecil atau bisa diminimalisasikan. Jangan sampai karakter
ini dihilangkan karena padakenyataannya tidak ada sosok yang sempurna, selain Rasulullah.
Sumber:http://esaisastrakita.blogspot.com/2013/05/esai-kritik-
prosa-aninda-lestia-anjani.html (Dengan penyesuaian)

Buatlah perbandingan isi teks 1 dan teks 2 dengan menggunakan tabel berikut ini.

Aspek Gerr Menimbang Ayat-Ayat Cinta


Hal yang dikaji

Deskripsi/Sinopsis

Data yang Disajikan

7
Buatlah perbandingan cara pandang penulis kedua teks di atas dengan
menggunakan tabel berikut.

Aspek Gerr Menimbang Ayat-Ayat Cinta


Cara penilaian

Penggunaan Kajian
Teori

Keutuhan
Pembahasan

Sumber
Ario, Foy. 2020. Modul Pembelajaran SMA Bahasa Indonesia: Kritik dan Esai Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Direktorat Menengah Sekolah Atas.
Suherli, dkk. 2018. Buku Siswa Bahasa Indonesia Kelas XII Revisi Tahun 2018. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Balitbang, Kemendikbud.

Anda mungkin juga menyukai