Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kritik sastra merupakan bagian dari pembelajaran satra selain teori sastra dan
sejarah satra. Kritik sstra merupakan pencermatan sastra dengan dasar-dasar
pemahaman yang jelas. Kritik sastra dilakukan untuk mengkritik suatu karya satra,
dengan tujuan menemukan kelebihan dan kekurangan, serta perbedaan atau
persamaan yang terdapat dalam suatu karya sastra. Selain itu, kritik sastra bertujuan
untuk membangun kerya sastra agar lebih baik lagi.
Kritik sastra dengan pendekatan objektif (struktural) sebenarnya sudah
dikenal sejak lama, dan pendekatan ini merupakan ideologi atau dasar bagi
pendekatan karya sastra lainnya. pendekatan ini, menekankan pada analisis struktur
yang membangun suatu karya (unsur intrinsik). Pendekatan ini memandang karya
sastra sebagi satuan yang otonom. Dalam kegitan kritik ini, seorang kritikus harus
mengesampingkan hal yang berkaitan dengan latar belakang penulis. Dalam
makalah ini, penulis akan melakukan analisis kritik sastra dengan menggunakan
pendekatan objektif (struktural) pada salah satu karya sastra, yaitu puisi yang
berjudul Gembala katya Muhammad Yamin dan puisi Diponegoro karya Chairil
Anwar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kritik sastra secara umum?
2. Apa yang dimaksud dengan kritik satra pendekatan obejektif (struktural)?
3. Bagaimana aplikasi kritik sastra dengan pendekatan objektif (struktural)
pada puisi?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas mak tujuan dari penulisan makalah ini
ialah untuk mendeskripsikan:
1. Pengertian kritik sastra secara umum.

1
2. Pengertian kritik sastra pendekatan objektif (struktural).
3. Aplikasi kritik sastra dengan pendekatan objetif (struktural) pada puisi.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kritik Sastra

Kritik sastra adalah salah satu cabang studi sastra di samping teori sstra dan
sejarah sstra (Wellek dan Warren. 1976:39). Batasan semacam ini, sudah terlalu
ketinggalan zaman. Batasan yang merujuk pada konsep kritik sebagai cabang kajian
sstra, sudah cukup lama diembuskan oleh para pemerhati sastra. Kritik sastra
memeang sering diidentikkan dengan istilah timbangan, bedah karya, sorotan,
tintingan, dan ulasan. Inti darikegiatan kritik sastra adalah memahami karya sastra
secara kritis. Kritik sastra pun lama kelamaan terdengar akrab di kalangan
akademisi. Namundi kalangan pengarang, kritiksastra sering dianggap “nyanyian
kosong”. Maksudnya, biarlah kritik berbicara, mengarang harus tetap jalan terus
(Endraswara, 2013: 2).

Ada bermacam-mcam definisi kritik sastra, tetapi pada umumnya definisi-


definisi tersebut menunjukkan adanya persamaan. Kritik memang sebuah wacana
aktivitas sastra yang khusus. Kritik sstra merupakan pencermatan sastra dengan
dasar-dasar pemahaman yang jelas (Endrswara, 2013: 4)

B. Kritik Sastra Pendekatan Objektif (Struktural)

Sejarahnya yang panjang sesungguhnya merupakan bagian dari siklus


perkembangan metode kritik sastra, yang diawali dengan lahirnya hermeneutik
pada tahun 1819 dari Friedrich Scleirmacher, yang dikembangkan lanjut oleh
Wilhelm Dilthey tahun 1890an. Paham ini berpendapat bahwa untuk menanggapi
karya sastra secara objektif, haruslah berdasarkan teks karya sastra itu sendiri.

2
Penelitian bagian-bagiannya harus menyangga keseluruhan atau sebaliknya,
keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagiannya. Pandangan ini merupakan reaksi
terhadap mimesis dan romantik, yang menekankan karya sastra sebagai tiruan
benda-benda di luarnya. Karena itu pandangan ini menekankan pada ekspresivitas
dalam menentukan penilaian, yaitu melihat pada biografi pengarang dan sejarah
kelahiran suatu karya sastra.

Sebagai reaksi terhadap pandangan pragmatisme yang dianggap berlebihan


tersebut, terutama bagi kritisi Rusia, maka tumbuhlah pandangan formalisme di
Moskow dan Petrograd, dipelopori Boris Eichenbaum,Victor Skhlovsky, dan
Roman Jakobson. Pandangan yang lahir tahun 1915 ini kemudian dilarang di Rusia
tahun 1930-an. Tetapi Roman Jakobson, sesudah keluar dari Rusia, melanjutkan
formalisme di Cekoslowakia, bersama-sama Jan Mukarovsky dan Rene Wellek,
didukung oleh kelompok Siklus Linguistik Praha (Abrams,1981:166).

Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata yang formal dalam


sastra, bukan pada pokok persoalan yang menjadi isi kesusastraan. Meurut aliran
ini, kesusastraan merupakan kelompok bahasa khusus yang berbeda secara
mendasar dengan bahasa sehari-hari (bahasa biasa yang disebut dengan nonfiksi,
bahasa praktis, referensial, prosaik, atau saintifik).

Kalau bahasa biasa menyampaikan pesan (informasi) kepada pendengar


dengan memperhatikan lingkungan di luar bahasa, maka bahasa sastra memusatkan
diri pada gambaran “formalnya”, yakni mengantar dan menghubungkan tanda-
tanda kebahasaan itu sendiri.

Kaum formalis Amerika, yang tergabung dalam Mazhab kritik baru,juga


mementingkan analisis karya sastra sebagai suatu benda yang mandiri , bebas dari
ikatan dunia “luar” atau dari sejarah kemasyarakatan dan sejarah sastra. Prosedur
dan pandangan umum yang mereka sepakati adalah sebagai berikut.

1. Sebuah puisi dikatakan harus dianggap sebagai puisi dan bukan hal lain, dan
harus diakui sebagai benda yang merdeka dan mandiri.

3
2. Ketentuan pertama sebuah kritik , harus objektif dan menempatkan sifat
bendanya; juga harus diakui otonomi karya itu sendiri sebagai keberadaan
urusannya sendiri (Abrams, 1981:117).

Konsep-konsep formalisme semacam itulah yang oleh Roman Jakobson dan


Tzvetan Todorov dimasukan kedalam metode strukturalisme Perancis (Abrams,
1981:165-7).

Strukturalisme memasukan gejala, kegiatan atau hasil kehidupan ( termasuk


sastra) ke dalam suatu “sistem makna”, yang terdiri atas struktur yang mandiri dan
tertentu dalam antar hubungan.

Untuk dapat memahami strukturalisme dengan lebih mudah, maka dibawah


ini akan diberikan pokok-pokok pikiran tentang strukturalisme, sebagai berikut.

1. Kesatuan-kesatuan dasar dalam sistem itu (sejajar dengan fonemis atau


bunyi ujaran pokok dalam suatu bahasa dalam linguistiknya Saussure)
tidaklah merupakan fakta-fakta objektif yang dapat dikenali melalui
kandungan-kandungan positif mereka, walaupun merupakan elemen-
elemen “relasional” yang murni.
2. Identitas mereka diberikan melalui hubungan perbedaan dari dan
berlawanan terhadap elemen-elemen lain didalam sistem itu sendiri.
3. Sebagai suatu keseluruhan, sistem ini merupakan hirarki tingkatan-
tingkatan .
4. Pada tingkatan yang berurutan, berlakunya prinsip yang sama, bertugas
mengatur tingakat yang lebih rendah menjadi kombinasi-kombinasi dan
fungsi-fungsi yang lebih majemuk.
5. Seluruh sistem atau imfrastruktur perkembangan dan ketentuan-ketentuan
kombinasi (mirip dengan konsep Saussure tentang langue ) sistem bahasa
implisit, telah dikuasai oleh setiap ahli dalam suatu kebudayaan tertentu,
meskipun ia tetap tidak menyadari sifat dan pekerjaannya.

4
6. Tugas utamanya adalah mengeksplisitkan susunan dan ciri-ciri implisit
sistem dasarnya, sewaktu sistem ini menjelma dalam gejala kebudayaan
tertentu (sama dengan konsep Saussure tentang parole, ungkapan bahasa).
7. Kritik strukturalisme menganggap sastra sebagai suatu sistem tingkat
kedua, yang menggunakan bahasa sistem tingkat pertama, sebagai
perantaranya, dan harus ditekaah dengan dasar teori kebahasaan, seperti
ditunjukan kelak oleh semiotik.
8. Kebanyakan kritikus strukturalis melibatkan diri dengan karya-karya sastra
tunggal dengan sekelompok karya yang berhubungan, yang mereka telaah
dengan menempatkan konsep-konsep kebahasaan , misalnya perbedaan
antara fonemis dengan morfemis, atau perbedaan anatara hubungan
paradigmatik dengan sintagmatik.
9. Beberapa orang diantara mereka menelaah struktur suatu karya sastra
berdasarkan sintaksis suatu kalimat, yang tersusun atas elemen-elemen,
yang tugas-tugasnya dalam karya sastra berkaitan dengan peranannya dalam
sebuah kalimat yang terdiri atas kata benda, kata kerja, dan kata sifat.
10. Strukturalis lainnya, dengan menerapkan dasar-dasar linguistik secara
penuh, mengkaji karya sastra perorangan, terutama jika mereka memberi
bukti dalam penyusunan sistem yang secara tidak sadar telah dikuasai oleh
pengarang berbakat dan pembaca jenis sastra tertentu, misalnya prosa-fiksi.
11. Sasaran lain pendekatan strukturalis terakhir ini adalah membuka gramar
yang tertutup , atau ketentuan-ketentuan dan lambang kesastraan sistematis
sebagai lembaga sosial yang bermakna. Atau, menurut Jonathan Culler
(Abrams,1981:188), tujuannya adalah untuk menyusun suatu puisi, yang
bagi kesusastraan sama dengan linguistik bagi bahasa (bdk.
Culler,1977:257).

Selanjutnya, mengenai ciri-ciri menonjol kebanyakan kritik, strukturalis,


dapat disebutkan sebagai berikut.

1. Dalam pandangan kaum strukturalis, suatu karya sastra merupakan suatu


ragam penulisan (ecritur) yang ditunjukan melalui permainan di antara

5
berbagai elemen yang sesuai dengan konvensi-konvensi dan kode-kode
sastra murni. Faktor-faktor tersebut dalam lembaga sastra menghasilkan
“pengaruh” sastra, tanpa mengacuhkan kenyataan di luar sistem itu.
2. Pengarang perseorangan atau “subjek”, tidak punya kemauan inisiatif atau
ekspresif atau merencanakan untuk menghasilkan suatu karya sastra,
walaupun “diri” sadarnya merupakan suatu bangun yang dihasilkan
konvensi kebahasaan tentang pemakaian kata ganti “aku”. Pemikiran
pengarang dikatakan sebagai suatu “ruang” yang dihasilkan, tentang sistem
impersonal (langue) konvensi, tanda, dan ketentuan-ketentuan kombinasi
sastra dipaksakan ke dalam suatu wacana tulisan tertentu.
3. Dengan cara yang samaseorang pembaca sebagai seorang yang sadar,
bertujuan, dilarutkan ke dalam kegiatan “bacaan” impersonal, dan apa yang
ia baca bukanlah wacana, yang dihiasi dengan makna, melainkan sekedar
tulisan. Fokus kritik strukturalis terletak pada kegiatan membaca, yang
dengan mempermainkan konvensi-konvensi dan kode-kode tertentu,
mencipta pengertian sastra, dilengkapi dengan bentuk dan makna rangkaian
kata, frase dan kalimat, yang merupakan sebagian dari tulisan sastra.
Kritikus strukturalis mula-mula mengatakan bahwa pembaca tersebut,
walaupun mengakibatkan kemajemukan pengaruh makna, pada tingkat
tertentu “dipaksa” oleh kode-kode implisit dalam sistem yang diwarisi.
Namun begitu, dalam waktu yang lebih kemudian, sekelompok kritikus
yang lebih radikal, dipelopori Jacques Derrida, mengatakan bahwa tulisan
sastra hanya memberikan “tanda” untuk memulai permainan “kreatif”, atau
tidak dipaksa dari signifikasi-signifikasi yang tidak terbatas.
4. Kritik strukturalis telah menerima istilah-istilah analitis,yang yang
dikembangkan berabad-abad sebelumnya oleh para kritikus dan restorisian
tradisional, walaupun diterapkan dalam pandangan yang telah secara drastis
diubah. Hingga konsep-konsep kritik biasa, seperti kesatuan suatu karya,
genre, plot , penutur, watak, dan gaya bahasanya, sekali dianggap objektif
sebagai unsur-unsur karya sastra, lalu diterjemahkan menjadi serangkaian
tanggapan-tanggapan dan harapan-harapan yang dipersiapkan, yang

6
dihasilkan oleh pembicara, melalui pengetahuannya tentang konvensi yang
diterima dari bacaan sebelumnya, yang sepanjang bacaan saja terpenuhi,
tertolak atau diubah.

Meskipun para penganut strukturalisme ada bermacam-macam, namun,


seperti yang telah dinyatakan di muka, ada satu kesepakatan di antara mereka
mengenai objek penelitiannya, yaitu pada struktur. Berhubung dengan kenyataan
tersebut, maka pentinglah untuk memahami pengertian struktur itu sendiri sebelum
sampai pada langkah lebih lanjut.

Ada tiga faktor utama yang disebut-sebut sebagai kelemahan strukturalisme


klasik, yaitu:

1. Strukturalisme ternyata menolak adanya kesadaran (subjektivisme);


manusia takluk pada sistem, merupakan buah strukturasi yang tidak
dikuasainya (Bertens,1972:27; Nordhott via
Daldjoeni,1975:14;Peursen,1980: 241);
2. Strukturalismeanti humanisme, seperti alienasi mistifikasi atau ideologi,
anti eksistensialisme, fenomenologi, dan hegelian (Bertens, 1972:28; 1978:
6-11).
3. Strukturalisme menolak historisisme, menempatkan sinkroni atas diakroni
(Bertens, 1972:29; Daldjoeni,1975:14; Lucien Goldman, via Umar
Junus,1981:17).
Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri,
terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya
sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan
bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah
sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sasta, yaitu tema, alur, latar,
penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan sis
merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan sstra yang bermutu. Penelaahan
sastra melalui pendekatan struktural ini menjadi anutan para kritikus aliran
strukturalis, di Indonesia tercermin pada kelompok Rawamangun (Semi, 1989: 44-
45).

7
Pernyataan di atas sama dengan apa yang dinyatakan dalam sumber lain, yang
menyatakan bahwa pendekatan objektif merupakan pandangan yang menganggap
karya sastra sebagai suatu yang otonom diikuti oleh aliran-aliran dalam dunia sasta
semenjak tahun dua puluhan di Eropa Timur (Rusia). Aliran-aliran Formalisme dan
Strukturalisme terutama mencurahkan perhatian pada sifatsifat umum kesusastraan;
di Eropa Barat dan kemudian Amerika Serikat muncul aliran-aliran yang menekuni
analisis, tafsiran dan evaluasi tiap-tiap karya sastra. Pendekatan ini disebut
ergosentrik (ergon bahasa Yunani, ‘karya itu sendiri’). Dalam beberapa aliran
ergosentrik, - yaitu seperti telah disebutkan sebelumnya, membatasi diri pada karya
sastra itu sendiri dan yang sedapat mungkin mengesampingkan data biografi dan
historik- terdapat juga perbedaan. Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan
di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan objektif (struktural) merupakan
pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra. Dalam kegiatan mengkritik
karaya sastra, kritikus harus mengesampingkan latar belakang penulis (biografi
penuis) (Sarjono, 1992: 56).

1. Strukturalisme: Membaca Dekat dan Studi Imanen

Para ahli yang bergerak dalam studi struktural menyatakan bahawa bahasa
puisi dan bentuk-bentuk ekspresi sastra pada umumnya tidak bisa, sebab pada
kenyataannya, analisis terhadap hubungan-hubungan antara kode dan pesan. Teori
strukturalisme sebagai metode yang didasarkan pada studi tentang struktur.
Membangun struktur tidak tidak lain adalah menemukan sistem hubungan laten,
yang dikandung dan diraskan. Analisis struktural selalu ada upaya membangun
struktur. Validitas metode struktural, adalah bagaimana kemampuan mengukur
kepentingn ini. Strukturalisme seharusnya dijadikan dasar bagi kritik sstra ke
depan. Strukturalisme dan kritik sastra adalah sebuah pencarian kondisi utuh dalam
wacana teks (Endraswara, 2013: 64-65).

Analisis struktural membatasi diri untuk mempertimbangan masalah motif.


Studi imanen semacam rangsum pemahaman yang akan menggantikan
rasionalitas,strukturalisme menadang struktur sastra, kemudian berlindung

8
terhadap kritik imanen untuk menghindari bahaya fragmentasi yang mengancam
analisis tematik spesial. Bahkan, pertanyaannya ada keraguan kritik imanen karena
mengdopsi dua hal yang sangat berbeda dan bahkan bertentangan (Endraswara,
2013: 66).

C. Hasil Analisis Objetif (Struktural) pada Puisi

Puisi Gembala karya Muhammad Yamin

Gembala

Perasaan siapa tidakkan nayala


Melihat anak berlagu dendang
Seorang saja ditengah padang
Tiada berbaju buka kepala

Beginilah nasib anak gembala


Berteduh dibawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang kerumah disenja kala

Jauh sedikit sesayup sampai


Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam nan elok permai

Wahai gembala disegera hijau


Mendengar puputmu menurutkan kerbau
Maulah aku menurutkan dikau

Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Tema yang
terdapat pada puisi gembala adalah kehidupan anak gembala.

9
Amanat
Janganlah kita menganggap bahwa bekerja sebagai pengembala itu hina,
karenasetiap pekerjaan ada hikmah tersendiri.
Bekerjalah dengan penuh ketekunan dan kesabaran, dan berbahagialah
denganpekerjaanmu apa adanya, dan lakukan dengan keikhlas hati.
Nada
Tone atau nada ini menggambarkan bagaimana sikap penyair pada pembaca.
Dalamsajak ini Moh. Yamin bersikap memberitahukan kepada pembaca tentang
seorang yangmempunyai pekerjaan sebagai pengembala dengan segala
keadaannya. Sehingga pembacatahu dan ikut merasakan bagaimana keadaan
tersebut.
Rasa
Feeling atau rasa merupakan sikap penyair tehadap pokok persoalan puisi. Dalam
sajak Gembala ini Muhammad Yamin menunjukkan rasa atau sikap empati
terhadap seorang pengembala.

Enjabemen
Enjabemen merupakan pemotongan kalimat dengan diakhiri lirik. Kemudian
letakkan potongan larik itu di awal larik berikutnya. Dalam puisi Gembala karya
Muhammad Yamin tidak terdapat enjabemen.

Kata konkret
Kata konkret merupakan penggunaan kata-kata yang tepat atau ewakili denotasi
oleh penyair.

Kata Arti/ Pemahaman


Gembala Padang rumput. Hewan ternak, pengembala
Perasaan Hati, sedih, bahagia. Marah, dll.
Siapa Tanya, nama
Nyala Lampu, terang
Melihat Mata
Anak Ibu, bapak
Berlagu Musik, suara

10
Dendang Lagu, musik
Padang Pasir, rumput, luas
Berbaju Rapih, kusut, badan, tubuh
Kepala Mata, hidung, rambut, dll.
Nasib Buruk, baik, sial, kehidupan
Berteduh Pohon, duduk, segar
Kayu Pohon, kering
Rindang Teduh, daun, pohon
Pagi Matahari, segar, dingin
Meninggalkan Berjalan, pergi
Kandang Hewan, bau, kayu
Rumah Kursi, pintu, jendela, keluarga
Senja Matahari, sore, merah, langit
Kala Waktu
Sesayup Bunyi
Sampai Tujuan, tempat
Terdengar Bunyi
Bunyi Suara, bising
Serunai Musik, suling
Melagukan Musik, suara, bernyanyi
Alam Langit, pepohonan, laut
Elok Indah
Permai Indah
Segara Lapang, luas
Hijau Warna, rumput
Puput Blank word
Menurutkan Patuh
Kerbau Hewan, membajak

11
Diksi (pemilihan kata)
Dalam puisi yang berjudul Gembala karya M. Yamin, menggunakan pilihan kata
yang begitu menarik. Diksi yang digunakan yaitu:
 Dalam larik “Perasaan siapa tidakkan nyala”
 Dalam larik “Melihat anak berlagu dendang”
 Dalam larik “Seorang saja ditengah padang
 Dalam larik “Tiada berbaju buka kepala”
 Dalam larik “Berteduh dibawah kayunan rindang”
 Dalam larik “Semenjak pagi meninggalkan kandang”
 Dalam larik “Pulang kerumah di senja kala”
 Dalam larik “Terdengar olehku bunyi serunai”
 Dalam larik “Melagukan alam nan elok permai”
 Dalam larik “Wahai gembala di segara hijau”
 Dalam larik “Maulah aku menurutkan dikau”
Akulirik
Akulirik Dalam puisi yang berjudul Gembala karya M. Yamin, akulirik digunakan
dalam larik, yaitu:
 Terdengar olehku bunyi serunai dan dalam larik
 Maulah aku menurutkan dikau
1. Verifikasi
 Rima
Dalam puisi yang berjudul Diponegoro karya Chairil Anwar
pengulangan bunyi puisi yang menjadikan puisi tersebut menjadi
lebih indah. Seperti dalam bait pertama yaitu bunyi /i/ yang
dominan:
Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Dalam puisi berjudul Gembala karya M. Yamin terdapat rima akhir


yang sama yaitu dalam bait,
Jauh sedikit sesayup sampai
Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam nan molek permai

Wahai gembala di segara hijau


Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau
Maulah aku menurutkan dikau

12
Majas
Majas yang digunakan dalam puisi berjudul gembala karya M. Yamin yaitu majas
metafora untuk memperlembut keadaan seperti dalam bait,
Jauh sedikit sesayup sampai
Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam nan molek permai
Serta dalam larik “wahai gembala di segara hijau” menggunakan majas hiperbola,
karena menggambarkan lapangan rumpul yang luas seperti lautan.

Citraan
Citraan dalam puisi berjudul gembala karya M. Yamin diantaranya,
 Penglihatan: nyala, seorang saja ditengah padang, tiada berbaju
buka kepala, rindang,elok permai, dan segara hijau
 Pendengaran: berlagu dendang dan bunyi serunai
 Gerak: melihat, berteduh, meninggalkan, pulang, melagukan,
medengarkan, dan menurutkan.

Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar

Diponegoro

Di masa pembangunan ini


Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali taun menanti


Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, kerts di kiri
Berselempang semanga yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu


Kepercayaan tanda menyerbu.

13
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Panah di atas menghamba


Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serng
Terjang

Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Tema yang
terdapat pada puisi Diponegoro adalah patriotisme atau kebangsaan, karena setelah
membaca puisi tersebut dapat menumbuhkan semangat pembaca.

14
Amanat
Dari tema patriotisme yang dikemukakan Chairil Anwar yang dikutip didepan,
kiranya dapat ditafsirkan amanat sebagai berikut “Di masa pembangunan ini”
hendaknya kita mencontoh sifat patriotic beliau yang berjuang tanpa pamrih.
Nada
Nada revolusioner dan semangat hendak diungkapkan Chairil Anwar dan itu
berhasil pada semua bait, terlebih pada bait berikut:
 Maju
 Serbu
 Serang
 Terjang

Rasa atau Perasan


Feeling atau rasa merupakan sikap penyair tehadap pokok persoalan puisi. Chairil
Anwar dalam puisinya Diponegoro menunjukkan sikap mengagumi pahlawan.

Enjabemen
Enjabemen merupakan pemotongan kalimat dengan diakhiri lirik. Kemudian
letakkan potongan larik itu di awal larik berikutnya. Dalam puisi Gembala karya
Muhammad Yamin tidak terdapat enjabemen.

Kata konkret
Kata konkret merupakan penggunaan kata-kata yang tepat atau ewakili denotasi
oleh penyair.

Kata Arti/Pemahaman
Maju Berjalan (bergerak) ke muka, tampil ke muka
Serbu Menyerbu, banyak orang
Serang Menyerng, banyak orang
Terjang Tendang, ke depan , lewati

15
Diksi

Dalam puisi yang berjudul Diponegoro karya Chairil Anwar, menggunakan kata
yang mudah dipahami seperti pada larik “Tak gentar. Lawan banyaknya seratus
kali”.

Akulirik
Akulirik atau merupakan tokoh aku yang terdapat dalam puisi. Namun dalam puisi
yang berjudul Diponegoro karya Chairil Anwar tidak terdapat Akulirik yang
digunakan oleh Chairil Anwar.
Verifikasi
 Rima
Dalam puisi yang berjudul Diponegoro karya Chairil Anwar
pengulangan bunyi puisi yang menjadikan puisi tersebut menjadi
lebih indah. Seperti dalam bait pertama yaitu bunyi /i/ yang
dominan:
Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
 Ritma
Terdapat pemotongan frasa-frasa dalam puisi berjudul Diponegoro
yaitu,
Punah di atas menghamba/
Binasa di atas ditindas/
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai/
Jika hidup harus merasai/

Majas
Majas yang digunakan dalam puisi berjudul Diponegoro karya Chairil Anwar
diantaranya yaitu,
 Hiperbola, dalam larik “Lawan banyaknya seratus kali”
 Alegori, dalam larik “Dan bara kagum menjadi api” dan “Di masa
pembangunan ini tuan hidup kembali”
 Metonimia, dalam larik “Berselempang semangat yang tak bisa mati
Citraan
Citraan yang digunakan oleh Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul
Diponegoro yaitu, Imaji taktil dalam larik “dimasa pembangunan ini tuan hidup

16
kembali” kalimat tersebut bila dibaca kembali akan relevan dan kita akan
merasakan untuk ikut membangun peradaban bangsa.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri,
terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya
sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan
bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah
sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sasta, yaitu tema, alur, latar,
penokohan, dan gaya bahasa. Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di
bagian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pendekatan objektif (struktural)
merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra. Dalam kegiatan
mengkritik karaya sastra, kritikus harus mengesampingkan latar belakang penulis
(biografi penuis).

17
DAFTAR PUSTAKA

Arya. 2016. 17 Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi Beserta Pengertian dan
Contohnya. Dalam https://sahabatnesia.com/unsur-intrinsik-puisi/ (diakses
pada 14 April 2019 pukul 20.30 WIB).

Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra. Yoyakarta: CAPS (Center for
Academic Publishing Service).

Irawan, Dedi. 2011. Analisis Unsur Intrinsik Sajak Gembala Karya Muhammad
Yamin. Dalam https://id.scribd.com/doc/147372709/Unsur-Batin-dan-Unsur-
Fisik-Puisi-Analisis (diakses pada 14 April 2019 pukul 21.46 WIB).

Prasetyo, Mas Den Bagus. 2012. Analisis Puisi Diponegoro. Dalam


http://masdenbagusprasetyo.blogspot.com/2012/05/analisis-puisi-
diponegoro.html?m=1 (diakses pada 14 April 2019 pukul 20.12 WIB).

Sarjono, Partini. 1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Yayasan Pustaka Wina.

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Sukada, Made. 2013. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: CV Angkasa.

18

Anda mungkin juga menyukai