Anda di halaman 1dari 3

Ciri Kebahasaan Novel Sejarah

Beberapa ciri kebahasaan novel sejarah adalah sebagai berikut


1. Menggunakan banyak kalimat bermakna lampau
Contoh: Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan membersihkan gedung bekas asrama telah
menyelesaikan tugasnya.
2. Banyak menggunakan kata yang menyatakan urutan waktu (konjungsi kronologis, temporal),
seperti: sejak saat itu, setelah itu, mula-mula, kemudian.
Contoh: Setelah juara gulat itu pergi, Sang Adipati bangkit dan berjalan tenang-tenang masuk
ke Kadipaten.
3. Banyak menggunakan kata kerja yang menggambarkan suatu tindakan (kata kerja material).
Contoh:
a. Di depan Ratu Biksuni Gayatri yang berdiri, Sri Gitarja duduk bersimpuh.
b. Ketika para Ibu Ratu menangis yang menulari siapa pun untuk menangis, Dyah Wiyat
sama sekali tidak menitikkan air mata.
4. Banyak menggunakan kata kerja yang menunjukkan kalimat tak langsung sebagai cara
menceritakan tuturan seorang tokoh oleh pengarang. Misalnya, mengatakan bahwa,
menceritakan tentang, menurut, menggungkapkan, menanyakan, menyatakan, menuturkan.
Contoh:
a. Menurut Sang patih, Galeng telah periksa seluruh kamar Syahbandar dan ia telah melihat
banyak botol dan benda-benda yang ia tak tahu nama dan gunanya.
b. Riung Samudera menyatakan bahwa ia masih bingung dengan semua penjelasan kendit
Galih tentang masalah itu.
5. Banyak menggunakan kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan
oleh tokoh (kata kerja mental). Misalnya, merasakan, mengingikan, mengharapkan,
mendambakan, menganggap. 
Contoh:
a. Gajah Mada sependapat dengan Jalan pikiran Senopati Gajah Enggon.
b. Melihat itu, tak seorang pun yang menolak karena semua berpikir Patih Gajah Mada
memang mampu dan layak berada di tempat 
6. Menggunakan banyak dialog. Hal ini ditunjukkan oleh tanda petik ganda (‘..”) dan kata kerja
yang menunjukkan tuturan langsung.
Contoh:
“Mana surat itu?”
“Ampun, Gusti Adipati, Patik takut maka Patik bakar.” 
7. Menggunakan kata-kata sifat (descriptive language) untuk menggambarkan tokoh, tempat,
atau suasana
Contoh
Dari apa yang terjadi itu terlihat betapa besar wibawa Gajah Mada, bahkan beberapa prajurit
harus mengakui wibawa yang dimiliki Gajah Mada jauh lebih besar dari wibawa Jayanegara.
Sri Jayanegara masih bisa diajak bercanda, tetapi tidak dengan Patih Gajah Mada, sang
pemilik wajah yang amat beku itu.

Sebagai suatu teks, teks cerita sejarah memiliki ciri kebahasaan tersendiri. Ciri kebahasaan
tersebut antara lain tecermin dalam beberapa hal berikut.
1. Frasa Nomina dan Verba
   Frasa di antaranya terdiri atas frasa nomina dan verba. Sesuai namanya, frasa nomina
merupakan kelas kata nomina yang diperluas, seperti: gadis cantik, rumah megah, ruang tidur,
kantor berita, dan lain-lain. Berdasarkan fungsinya, frasa nomina terbagi menjadi tiga jenis, yaitu
sebagai berikut.

1. Frasa nomina modifikatif, yaitu gabungan kata yang bersifat membatasi atau
menerangkan unsur utamanya. Misalnya: rumah mewah (rumah yang mewah, bukan
rumah yang kecil), ketua kelompok, dan uang receh. 
2. Frasa nomina koordinatif, yaitu gabungan kata yang memiliki kedudukan setara dan tidak
saling menerangkan. Salah satu cirinya, gabungan kata tersebut dapat dihubungkan
dengan konjungsi dan/atau. Misalnya: sandang (dan) pangan, hak kewajiban, dan lahir
batin.
3. Frasa nomina apositif, yaitu gabungan kata yang berfungsi sebagai keterangan yang
ditambahkan atau diselipkan pada kata atau frasa tertentu. Misalnya: Arman, teman
adikku, datang ke rumah tadi pagi. Frasa teman adikku menerangkan kata Arman.

Sama halnya dengan frasa nomina, frasa verba juga terbagi menjadi tiga jenis berikut.

1. Frasa verba modifikatif, seperti: Ibu bekerja keras untuk membahagiakan anaknya.
2. Frasa verba koordinatif, seperti: Premanisme merusak dan menghancurkan nilai-nilai
luhur Pancasila.
3. Frasa verva apositif, seperti: Bisnis yang dijalankannya, berdagang pakaian secara daring,
semakin sukses saat ini.

2. Konjungsi Temporal
    Dalam teks cerita sejarah biasanya digunakan konjungsi temporal. Konjungsi temporal adalah
kata penghubung yang menyatakan urutan tindakan atau waktu yang biasanya ada dalam teks
cerita sejarah. Konjungsi temporal terdiri atas dua bagian, yaitu konjungsi temporal sederajat dan
konjungsi temporal tidak sederajat.
Konjungsi temporal sederajat yaitu konjungsi yang menghubungkan dua unsur dalam kalimat
yang sederajat atau setara. Konjungsi ini biasanya digunakan dalam kalimat majemuk setara.
Konjungsi temporal sederajat di antaranya adalah lalu, kemudian, selanjutnya, dan sebelumnya.
Misalnya: Jepang menyerah kepada sekutu, kemudian meninggalkan koloninya satu per satu.
Adapun konjungsi temporal tidak sederajat yaitu konjungsi yang menghubungkan dua unsur
dalam kalimat yang tidak sederajat atau setara. Konjungsi ini biasanya digunakan dalam kalimat
majemuk bertingkat. Konjungsi temporal tidak sederajat di antaranya adalah apabila, jika,
bilamana, hingga, ketika, saat, sambil, sebelum, sampai, sejak, selama, sementara, seraya, dan
tatkala. Misalnya: Perang dingin terjadi setelah perang dunia II berakhir.

3.  Nominalisasi
  Nominalisasi adalah pembentukan nomina dari kelas kata lain dengan menggunakan afiks
(imbuhan) tertentu. Pembentukan nomina tersebut dapat berasal dari kelas kata verba, adjektiva,
atau nomina lainnya. Teks cerita sejarah merupakan jenis teks penceritaan ulang (rekon/recount).
Dalam teks penceritaan ulang seringkali ditemukan nomina yang merupakan hasil nominalisasi.
Pemberian imbuhan terhadap kata yang mengalami nominalisasi disebut dengan afiksasi.
Afiksasi yang sering terjadi dalam nominalisasi antara lain sebagai berikut:
a. Sufiks –an, -at, -si, -ika, -in, -ir, -tur, -ris, -us, -isme, -is, -isasi, -isida, -ita, -or, dan –tas.
    Contoh: bacaan (baca+an), manisan (manis+an), sosialisasi (sosial+isasi), dan kritikus
(kritik+us).
b. Prefiks ke-, pe-, dan se-.
    Contoh: ketua (ke+tua), pedagang (pe+dagang), dan sekelas (se+kelas).
c. Konfiks ke-an, pe-an, dan per-an.
    Contoh: pengaturan (pe+atur+an), pertunjukan (per+atur+an), dan kekayaan (ke+kaya+an).
d. Infiks –el- dan –er-.
    Contoh: gelembung (gembung+el), telunjuk (tunjuk+el), dan jemari (jari+em).
e. Kombinasi afiks pemer-, keber-an, kese-an, keter-an, pember-an, pemer-an, penye-an, perse-
an,
    Contoh: keberhasilan (keber+hasil+an), keterlibatan (keter+libat+an)

Mari kita analisis


Setelah membaca teks cerita sejarah di atas secara saksama, kita dapat menganalisis ciri
kebahasaan teks tersebut melalui tiga hal berikut.
Pertama,  Penggunaan frasa nomina dan verba
Dalam teks cerita sejarah di atas, ditemukan beberapa frasa nomina berikut.
Frasa nomina modifikatif, seperti: hari bahasa ibu dan kemerdekaan Pakistan.
Frasa nomina koordinatif, seperti: kedua wilayah juga memiliki kondisi sosial budaya yang
berbeda.
Frasa nomina apositif, seperti: .... dideklarasikan dalam konferensi pendidikan di Karachi,
ibukota Pakistan.
Selain itu, terdapat juga beberapa frasa verba berikut.
Frasa verba modifikatif, seperti: Masyarakat Pakistan Timur akhirnya dapat menggunakan
bahasa Bengali.
Frasa verba koordinatif, seperti: .... masyarakat Pakistan Timur mulai melakukan dan
menggencarkan aksi protes ....

Kedua,  Konjungsi temporal


Dalam teks cerita sejarah di atas juga digunakan beberapa konjungsi temporal seperti pada
contoh berikut. 

 Pertikaian antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur memburuk saat pemerintah
menyatakan akan mengadopsi bahasa Urdu sebagai bahasa resmi negara (tidak sederajat).
 Setelah deklarasi tersebut, masyarakat Pakistan Timur mulai melakukan dan
menggencarkan aksi protes pada tahun 1947 (tidak sederajat).

Ketiga,  Nominalisasi
Nominalisasi yang terdapat dalam teks cerita sejarah di atas antara lain sebagai berikut.
- kemerdekaan, yaitu ke- + merdeka + -an, dibentuk dari konfiks dan adjektiva.
- peringatan, yaitu pe-(N) + ingat + -an, dibentuk dari konfiks dan verba.
- Pemerintah, yaitu pe-(N) + perintah, dibentuk dari prefiks dan verba.

Anda mungkin juga menyukai