Anda di halaman 1dari 6

K

E
T
E
R
W
A
K
IL
A
N
K
ita
d
a
n
P
e
n
g
ra
jin
K
a
ta
-K
a
ta
Sastrawan kita Ragil Sukriwul sedang di lembah terdalam
moodnya ketika pada suatu siang --selepas mendiskusikan
rencana gaya Iron Man pada kaosnya-- meminta saya turut
mengulas buku puisi terbaru Mario Lawi pada acara ini.
Saya adalah pilihan putus asa Ragil ketika mungkin orang-
orang kompeten terlampau sibuk untuk diminta sedikit saja
gratiskan waktu. Atau bisa jadi Ragil sedang sungguh kere,
handphone dan motornya kehabisan napas, tak sanggup
mengontak orang-orang hebat.
Saya bukan pengrajin puisi. Bahwa sesekali bikin puisi atau
yang menurut saya itu puisi, adalah ya. Bukankah setiap
orang berpuisi? Bukan pula kritikus sastra, meskipun
kehidupan tentunya membentuk setiap orang menjadi
kritikus alamiah atas segala sesuatu. Tidakkah bentuk
primitif dari klasifikasi diajarkan sejak kita kanak-kanak
merangkak--adalah pada suka tak suka, baik atau buruk,
boleh atau jangan? Juga bukan penikmat dan pemerhati
sastra yang bersungguh-sungguh, apalagi pada tumbuh-
kembang dunia sastra NTT. Bahkan baru jauh-jauh hari
kemudian saya tahu jika adik bungsu saya Filio mulai rajin
menulis puisi pada surat kabar dan Santarang, terseret ke
dalam dunia Ragil dan Dicky Senda. Puisi-puisinya kelam,
tentang Tuhan dan kematian, tentang kerinduan jiwa pada
yang Ilahi. Sebagian besar berwajah senja.
Karena itu saudara-saudara, komentar-komentar saya
terhadap Ekaristi Sang Mario Lawi mewakili pendangan
penikmat sastra amatiran. Basisnya sungguh subjektif,
melekat erat pada cara pandang pribadi.
Setiap kita punya cara pandang yang unik satu dengan
lainnya. Cara pandang itukalau mau keren bunyikan
sebagai persepsiseperti DNA. Bedanya jika DNA
berperan biologis, dalam tubuh yang sunyi membentuk
fisik yang unik, maka persepsi adalah bentukan dunia sosial
yang ramai, yang membangun mental cara memaknai,
berpikir, berperasaaan, hingga akhirnya bertindakyang
secara unik menanggap balik realita sosial. Dunia sosial
itu material sifatnya. Ia adalah orang-orang, buku-buku
bacaan, dongeng terkisah, kotbah dan wejangan, informasi
dan peristiwa, serta pengalaman-pengalaman konkrit yang
menyentuh kita sejak dikandung ibu hingga detik terkini.
Tidak satupun manusia bebas persepsi subjektif. Karena
syarat untuk bebas persepsi adalah berdiri di luar dunia
material, melingkupinya dari segala sisi dimensi sehingga
tak ada perisitwa dan entitas yang lolos pengamatan.
Sayangnya, kita yakini hanya Tuhan yang bisa demikian.
Karena saya membedah Ekaristi Mario Lawi secara
subjektif, Anda tak perlu takut komentar-komentar saya
yang mungkin antagonis terhadap karya Mario akan
mengecilkan jagoan Anda itu. Mario akan tetap luar biasa
sebagai dirinya sendiri, tetap hebat dihadapan Anda dan
banyak orang lain yang persepsi subjektifnya menyediakan
ruang luas apresiasi terhadap genre karya Mario.
Membaca Ekaristi, Dj vu 1999
Karena tidak memiliki disiplin ilmu dalam kritik sastra,
yang saya lakukan adalah membaca rangkaian puisi dalam
Ekaristi dan memeriksa kondisi batin saya selama proses
itu. Yang terjadi, saya seperti mengalami Dj vu pada suatu
moment di Yogya, 1999.
Saat itu Minggu siang sebubar perayaan misa, saya bertandang
ke kontrakan para imam praja Katolik asal Flores yang
sedang menempuh pendidikan lanjut di Yogya. Lokasinya di
Mrican, tak berapa lama berjalan kaki dari gereja. Kemudian...
makan siang usai, piring-piring dibersihkan, coba mengusir
bosan,saya meraih begitu saja buku yang tergeletak di
meja. Tukang Kebun, karya Rabindranath Tagore. Sepertinya
menjanjikan. Kira-kira 30 menit berlalu, saya merasa kondisi
batin yang kemudian terasa sama ketika membaca Ekaristi.
Adalah kebetulan, perjalanan Mario Lawi dari Memoria ke
Ekaristi menyerupai perjalanan Tagore dari Tukang Kebun
ke Gitanjali. Menurut mereka yang punya ilmu terkait,
Tukang Kebun adalah karya berisi deklarasi cinta Tagore
yang bercampur antara rindu-takjub pada Yang Ilahi dan
berahi-mesra pada kekasih duniawi. Sulit memastikan pada
siapakah sebutan Jelita Nakal di sana diperuntukan, Tuhan
yang Ukhrawi ataukah maitua duniawi. Tetapi pada Gitanjali
yang datang kemudian, banyak orang berani menyimpulkan
adalah Tuhan semata yang dipanggil-panggil Tagore dengan
rindu yang lebam.
Coba lihat Memoria Mario Lawi. Bukankah di sana bercampur
ungkapan rindu yang profan dan yang sakral? Tetapi
pada Ekaristi, setegas terjudul, kata-kata Mario memang
diperuntukan pada Tuhan. Adalah kebetulan juga, Gitanjali
(Nyanyian Persembahan) merupakan pelabelan kemasan
yang tegas menelanjangi isi.
Tetapi bukan terkait hal di atas pengalaman saya bersama
Ekaristi adalah Dj vu pada Tukang Kebun. Sebagai penikmat
amatir, ruang bermain saya pada pengalaman mental
Disclaimer
Oleh George Hormat Kulas
Disampaikan dalam Babasa#X
Peluncuran dan Bincang Buku Ekaristi
Karya Mario F. Lawi
Kupang, 28 Agustus 2014
subjektif ketika membaca kedua karya. Membaca Ekaristi
melahirkan suasana mental serupa mencerna Tukang Kebun.
Setengah jam membaca Tukang Kebun, saya merasa kosong.
Untaian kata indah Tagore tak menyinggahi hati. Awalnya
saya mengira ada yang salah dengan saya ketika hati dan
nalar tak berahi pada karya besar seorang peraih Nobel.
Getir rasanya. Mungkin saya kurang kapasitas mengapresiasi
maha sastra. Mungkin format Tukang Kebun sebagai
rangkaian puisi-puisi terlalu rumit untuk saya. Tetapi jika
begitu, mengapa Pengakuan Pariyem dari Linus Suryadi ,
atau Durga Umayi milik Mangunwijaya yang berformat rumit
toh bisa membekas kalbu meski sekali berjumpa?
Jadinya, dengan gegabah telunjuk saya arahkan pada
penerjemahan Hartojo Andangdjaja. Ah, mungkin
penerjemahannya yang gagal-konteks sehingga suasana
batin Tagore luput tersirat.
Akhirnya Terjawab
Berdikarionline.com memublikasi pidato tersebut dengan judul Jangan Menulis Puisi Bisu.
Tampaknya pidato Putu Oka Sukanta menyajikan setengah jawaban bagi problem saya. Ya, setengah. Karena tentu tidak ada
demarkasi yang tegas membelah mana puisi bisu mana yang berteriak nyaring. Selalu ada daerah abu-abu, karena filter
terletak pada persepsi subjektif penikmat. Sebuah puisi bisa jadi bisu bagi pribadi atau komunitas tertentu, tetapi nyaring
bagi yang lainnya.
Misalnya jika sekarang saya menggubah kalimat, Untukmu percik kusebar, menjadi kobar di setiap singgah. Bagi saudara-
saudara, mungkin kalimat ini bukan apa-apa. Tetapi ia bisa jadi sesuatu banget bagi 1) mereka yang pernah bersentuhan
dengan spiritualitas Claretian di Matani sana, yang memaknai diri mereka sebagai a man mengikuti jejak Sang Bunda--
on fire with love, who spreads its flames wherever he goes; 2) para aktivis revolusioner akan menautkan maknanya dengan
memori mereka pada slogan Iskra majalah Rusia tempat Lenin pernah menjadi editornya From a spark a fire will flare
up; sedangkan 3) perawan kasmaran yang ditinggal merantau sang kekasih mendamba itu syair bisikan pujaan hati, terus
menjaga api cinta mereka meski harus pindah dari satu perkebunan ke perkebunan lain.
Ketika Ragil Sukriwul menulis Aku Seperti Ketakutan Seperti Ketakutanmu, ia mungkin menulis tentang masa kecil
dirinya atau orang lain di sekitarnya. Tetapi puisi itu nyaring berteriak kepada setiap pasangan kawin beranak yang sedang
bertengkar hebat. Puisi itu tiba pada saya di tengah cekcok berat dengan istri. Di hadapan subjektif saya saat itu Aku Seperti
Ketakutan Seperti Ketakutanmu berubah tangisan nyaring Sang Jyestha, putra tercinta kami. Puisi Ragil mendorong pada
tindakan, berdamai.
Bisu atau nyaringnya sebuah puisi tidak hanya bergantung massa, tetapi juga masa. Puisi yang nyaring pada masa tertentu,
bisa saja tak lebih dari rangkaian kata bisu pada masa sebelum atau sesudahnya.
Ketika 1918 Bapak Pers Indonesia Mas Marco Kartodikromo menulis Sama Rata dan Sama Rasa di Penjara Weltevreden
(1917, dibukukan dalam Syair Rempah-rempah pada 1919) kata-kata itu sedemikian terkenal di masanya karena mewakili
kehendak kuat rakyat Nusantara untuk lepas dari penjajahan kolonialis Belanda dan perhambaan feodalisme. Sama rata
sama rasa juga menjadi frasa yang memudahkan dalam menjelaskan komunisme. Tetapi bagi generasi yang lebih terpelajar
di kemudian hari, sama rata sama rasa adalah penjelasan keliru atas prinsip keadilan di dalam komunisme. Karena di dalam
komunisme keadilan masyarakat kepada individu warga itu setara cinta ibu pada anak-anaknya: setiap orang mendapat
sesuai apa yang dibutuhkan dan berkontribusi sesuai apa yang sanggup.
Pada 25 November 2010 di Taman Ismail Marzuki, sang Putu Oka Sukanta berorasi pada peluncuran
Burung Burung Bersayap Air kumpulan puisi karya Dewi Nova. Ia berkata,
Puisi sebagai sebuah kumpulan kata, harus mampu
mengorganisasi dirinya agar makna setiap kata dapat
mengungkapkan / mempresentasikan dirinya untuk
dipahami oleh pembaca dan kemanusiaan. Walaupun puisi
merupakan hasil kreasi individu yang berdasarkan sudut
pandang subyektif, puisi seharusnya bisa mengungkapkan
nilai-nilai universal.
Hasil akhir sebuah puisi harus mampu mengedepankan
objektivitas (relatif) atau esensi yang tersembunyikan
di bawah sadar irama. Puisi pengungkapan mikro dan
individual tetapi harus mampu mereprentasikan nilai-nilai
makro yang universal dan berperspektif ke kemanusiaan.
Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang
terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya
dalam berbagai kondisi dan tujuan.
Puisi menurut saya tidak lengkap kalau hanya bisa
dirasakan saja. Bahwa puisi pertama-tama menyentuh
perasaan / emosi seperti halnya karya seni lainnya, itu
benar. Tapi dari getar rasa yang dibangkitkan oleh makna
kata dan irama, ia akan menjalar ke kesadaran rasio.
Pembaca akan memperoleh kenikmatan dan pemahaman
yang berakhir pada pencerahan.
Orang bisu yang cerdas dan cekatan tidak menjadikan
kebisuannya sebagai hambatan untuk dipahami, bahkan
orang bisu tersebut mampu memberikan pencerahan.
Tetapi kalau puisi bisu, ia hanya dimengerti dan dinikmati
oleh penulisnya (mungkin juga tidak) dan selebihnya
ia memperdaya pembaca dengan kebisuannya untuk
diposisikan sebagai puisi maha hebat, saking hebatnya
sampai tidak ada orang yang bisa memahaminya. Puisi
semacam ini saya sarankan untuk disimpan di dalam
lacinya, sebab ini salah satu perangkap pembodohan.
Contoh lainnya adalah kalimat Boeng, Ajo Boeng yang disumbang Charil Anwar pada poster Afandi. Kata-kata yang akrab
di kalangan pekerja seks berubah menjadi seruan ypembangkit semangat para pemuda dalam masa Revolusi kemerdekaan
1945. Kini kalimat itu kehilangan daya magisnya. Seolah kembali ke habitat, ia bisa saja diucapkan seorang rohaniwan saat
mengajak kawan ke lokalisasi.
Itu pula yang terjadi dengan Hasta la victoria siempre (Bung Guevara), Hanya satu kata, Lawan! (Wiji Thukul), mungkin
kalah zaman dibanding We are the 99% (Occupy Wall Street).
Mari Konkritkan Contoh
Aku mencintaimu. Di mana kita bertemu aku lupa. Kapan
kita bertemu aku lupa. Mengapa aku mencintaimu, aku
tak pasti. Seingatku sejak kau bela dengan berani pelacur
itu. Kamu katakan pada mereka Siapa yang tidak punya
dosa hendaklah ia yang pertama melemparkan batu-batu
ini pada perempuan itu. Aih, sungguh! Aku terangsang
dan rindu. Kamu pemuda istimewa, tak seperti pemuda-
pemuda lain yang tunduk-taat pada adat dan faham kaum
tua.
***
Kamu tahu, pelacur itu kawanku. Sungguh malang dia,
tertangkap dan diarak massa. Ketika kau membelanya,
aku yang senasib berdiri di kejauhan. Takut. Mereka
telah memusuhi kami lama. Mereka sebut kami sampah
masyarakat. Aku cuma ngerti Sebuah istana toh butuh
selokan yang kotor? Mereka tidak peduli. Cuma di
saat gelisah mereka datang padaku, menghiba-hiba,
menyetubuhiku, memaksakan tangannya meremas
dadaku,memaksakan mulutnya melumat mulutku.
Aku mengeluh sakit, mereka tak peduli. Sudah kubeli
tubuhmu dengan uangku. Aku menangis mereka tertawa,
dan teruslah mereka berpura-pura suci, di depan isterinya,
di depan anak-anaknya, di depan mertuanya, di depan
tuhannya. Ya, ampun, semakin mereka berlagak suci tujuh
turunan hujatan kepadaku pun berlipat-lipat. Mereka
sebut aku Perempuan dengan tujuh roh jahat. Tujuh
roh jahat? Apakah itu? Memang ibuku seorang pelacur,
aku dibesarkan di pelacuran, aku dilahirkan tanpa bapak.
Mereka sebut aku anak haram, aku tidak sekolah dan
tidak beragama, aku tidak menikah, aku berteman dengan
pelacur dan kaum homoseksual, aku sendiri pelacur.
***
Adakah yang mirip di antara kita? Aku dengar Kamu tak
berbapak, Ibumu mengandung kamu sebelum menikah.
Kamu juga liar, tidur di jalan dan di taman-taman. Belum
menikah. Sungguh gila! Adat memaksa lelaki di atas 14
tahun harus menikah,perempuan setelah haid harus juga
menikah. Kamu? tiga puluhan. Apakah kamu gay?
***
Kubuang dulu pikiran itu jauh-jauh. Aku belum
mengenalmu. Barangkali engkaulah juruslamatku. Yang
akan mengangkatku dari lumpur zinah. Atau engkaulah
kekasihku, pelabuhanku. Sekarang biarlah kusimpan di
hati
***
Memandangmu seperti memandang kerajaan surga yang
selalu kamu katakan. Kepadamu harapanku melambung.
Iingin kunyanyikan lagu untukmu dan tak ingin ku kenal
yang lain. Sungguh aku ingin kamu jadi pahlawanku.
Aku ingin suatu saat kamu berkata kepadaku: aku
mencintaimu, Lena! Bukan dengan kelembutan tapi
dengan teriakan liar hingga orang-orang mendengar,
tak hanya di sini tapi seluruh dunia. Biarkan para
perempuan mati cemburu karena kita dan mereka yang
masih bernafas mengakuinya. Sebab apa katamu? Siapa
bertelinga hendaklah mendengar?
***
Aku suka kata-kata itu. Akan kutunggu kata-katamu
kepadaku sebab tak mungkin aku yang pertama walau aku
bisa dan tidak menolak. Aku ingin kamu jadi lelaki dan
aku perempuan
***
Aku ingin bertemu denganmu tapi gimana caranya. Apa
kamu tahu caranya?
Agar konkrit pengalaman kita tentang bisu atau nyaringnya sebuah puisi, ada baiknya kita coba merasa perbandingkan
karya Mario F. Lawi, AJ Susmana, dan Kahlil Gibran dalam puisi yang terinspirasi pengalaman atau tokoh Maria Magdalena.
Yang manakah yang lebih nyaring bicara pada masing-masing kita?
1. Mario F. Lawi, Magdalena dalam Ekaristi (Bisa dibaca pada halaman 34 Ekaristi)
2. Kahlil Gibran, Mary Magdalen dalam Jesus, The Son of Man
His mouth was like the heart of a pomegranate, and the shadows in His eyes were deep. And He was gentle, like a man
mindful of his own strength. In my dreams I beheld the kings of the earth standing in awe in His presence. I would speak
of His face, but how shall I? It was like night without darkness, and like day without the noise of day. It was a sad face,
and it was a joyous face. And well I remember how once He raised His hand towards the sky, and His parted fingers
were like the branches of an elm. And I remember Him pacing the evening. He was not walking. He Himself was a road
above the road; even as a cloud above the earth that would descend to refresh the earth. But when I stood before Him
and spoke to him, He was a man, and His face was powerful to behold. And He said to me, "What would you, Miriam?" I
would not answer Him, but my wings enfolded my secret, and I was made warm. And because I could bear His light no
more, I turned and walked away, but not in shame. I was only shy, and I would be alone, with His fingers upon the strings
of my heart.
3. A. J. Susmana, Balada Cinta Lena poesie lyrique (atau prosa lirik?), karya penutup dalam Kota Ini Ada di Tubuhmu.
Agar tak terlalu panjang, banyak bagian kami hapus, demikian pula penggalan baris kami edit sehingga jauh berbeda dari
format asli.
***
Sekali-kali kamu datang minum anggur di tempat kami
mangkal tapi aku tak berani ambil kesempatan. Aku
malu menemuimu, padahal mata kita sempat bertemu.
Aku takut. Anak-anak buahmu selalu menjagamu dengan
angkuh. Padahal aku tahu mata mereka adalah mata anak-
anak nelayan yang penakut. Apakah kelak mereka akan
seberani engkau? Bangsat! Siapa mereka? Simon, Andre,
anak-anak zebedeus, Yohan, yakobus?
***
Aduh, tuhan. Gimana caranya! Sekali lagi aku melihat
kamu nongkrong minum anggur. Aku cuma bengong
melihat surga di depanku, sampai tersadar ketika kamu
berteriak-teriak marah Pada orang-orang munafik.
Kaliyan bilang apa kepadaku? Peminum dan pelahap?
Puih! Dulu datang seorang nabi, tidak makan dan minum
anggur, makanannya cuma belalang dan madu hutan,
Kamu bilang: orang gila. Kini aku datang, makan dan
minum di tengah orang-orang berdosa, miskin dan
papa, kamu bilang: aku, pelahap dan peminum. Kaliyan
memang sampah! Munafik! Kami meniup seruling bagimu,
kamu tak menari. Kami nyanyikan lagu duka, Kamu tak
menangis. Celakalah kamu. Kamu adalah kuburan yang di
luar dicat putih tapi di dalamnya adalah tulang-belulang
busuk! Aku tersentak. Benarkah yang kamu katakan itu?
Mengapa kamu maki orang-orang yang dikenal baik itu?
***
Uh, sungguh aku ingin menemuimu. Tak pernahkah kamu
sendiri sehingga kita dapat bicara, Kenalkan, namaku
Lena! dan namamu? Bisakah kita nanti malam bertemu
di taman Zaitun? Aduh, aku bisa gila. Teman-temanku
tertawa ngakak. Aku tak peduli. Karena kamu aku memang
gila.
***
Kudengar memang, Pada malam kamu bersama anak
buahmu sering nongkrong di taman Zaitun. Aku takut
menemuimu di sana karena malam-malam di sini sangat
jahat. Perempuan baik bisa dibikin jalang. Apalagi buat
perempuan jalang, bisa dibikin apa saja, tiada yang
membela. Masih untung ketemu kamu dan anak buahmu.
Kalau tidak?
***
Kesempatan itu datang. Aku sedang nongkrong di pasar.
Aku lihat kamu memasuki rumah kawanmu. Ia nampak
gembira. Kali ini takkan kulepaskan. Kubeli minyak wangi
termahal dan terbaik. Aku nyelonong masuk, tak peduli
mereka sedang apa, saat itu hanya kamu di otakku. Aku
hanya takut kamu akan menganggapku tukang bikin
sensasi, dan sensasi adalah bagian dari hidupku yang
terbesar. Aku tidak peduli. Kutuangkan minyak wangi di
kakimu, kuusap dengan tanganku, kubersihkan dengan
rambut hitam panjangku, kuciumi kakimu yang putih.
Aku menangis. Kamu dengan tenang, dalam jiwa yang
membela, memandangi orang-orang yang keheranan,
Semahal itu cuma dihabiskan begitu saja? Dengan
cara itulah kamu mengenalku, dan aku mulai dapat
mengenalmu lebih dekat
***
Akupun mulai sering berjalan denganmu dan kawan-
kawanmu seperti yang kamu bilang kepadaku bukan anak
buah seperti yang sering aku katakan. Kamu mengajariku
doa bila aku gelisah: Bapak kami yang ada di surga
dikuduskanlah namamu, datanglah kerajaanmu, jadilah
kehendakmu di atas bumi seperti di surga. Bberilah kami
pada hari ini makanan kami secukupnya dan ampunilah
kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni
orang-orang yang bersalah kepada kami
***
Mengapa kita harus menyebut Bapak? Aku protes. Kamu
bilang: bapak kita ini sungguh baik tidak membedakan
yang baik dan jahat, seperti hujan dan matahari diberikan
semuanya, air dan panas teriknya kepada manusia, kepada
anak manusia.
Bohong!
O ya? Kamu hampir tak percaya aku bisa berkata seperti
itu
Kupikir karena kamu tidak punya bapak. Lalu kamu
dambakan bapak yang sungguh baik
Kamu cuma tertawa, memandang jauh
Mengapa tidak kamu sebut ibu?
Kamu terdiam, hanya berbisik, Ibuku juga sungguh baik.
***
Kamu gelisah menatap bintang-bintang malam. Angin
malam membuat malam tambah dingin, tapi itu tak
membuatmu dingin. Kamu dekatkan wajahmu kepadaku
dan berkata lembut, Ibuku sungguh baik. Ia, seorang
ibu yang menerima di saat-saat kegentingan menimpa
dirinya karena tanpa menikah ia mengandungku, ia
berseru: jadilah kehendakmu! Karena penerimaannya,
ia menjadi berani. Tiada pernah takut! Sekalipun
ditinggalkan lelaki tunangannya, sekalipun kutukan dan
kecaman akan datang dari keluarga, teman dan tetangga,
Ia tidak takut ditinggalkan sendirian. Justru karena itu
lelaki tunangannya tak pernah meninggalkannya. Ia
telah melewati malam dingin dan menakutkan saat mau
melahirkan aku. Ia melewati jalan panas dan berdebu ke
Mesir, melewati malam dingin mencekam pada jalan ke
Mesir ketika raja bengis mengamuk membunuh bayi-
bayi. Saat mengandung aku ia menyanyikan lagu terindah
yang tak ada bandingannya sampai kini. Ketajaman
puisinya menembus hatiku yang aman dalam rahimnya
sehingga aku bergerak. Jiwaku memuliakan Tuhan
hatiku bergembira karena Allah juruslamatku, Ia telah
memperhatikan kerendahan hambaNya. Sesungguhnya
mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku
berbahagia, Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-
perbuatan besar kepadaku. NamaNya adalah kudus,
rakhmatNya turun-temurun atas orang yang takut akan
dia. Ia memperlihatkan kuasaNya dengan perbuatan
tanganNya, mencerai-beraikan orang-orang yang congkak
hatinya; menurunkan orang-orang yang berkuasa dari
takhtanya; meninggikan orang-orang yang rendah;
melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar;
menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa
***
Dalam terang bulan kupandangi wajahmu yang gelisah.
Ingin aku membelai rambutmu yang ikal sebahu. Aku
takut sampai sejauh ini Kamu memanggilku kawan, seperti
pada yang lain. Bahkan kamu bilang: Berbahagialah
orang-orang yang mati untuk kawan-kawannya Tak
inginkah kamu mencintai? Tak inginkah kamu dicintai?
Tak inginkah kamu disentuh? Tak inginkah kamu?
***
Oh, syet! Apa yang kamu pikirkan. Aku ada di depanmu
tapi matamu memandang ke tempat-tempat yang jauh ke
tempat-tempat yang tidak mengenal musim, ke tempat-
tempat yang mati. Haruskah aku yang memulai? Aku
bergerak mendekat, begitu dekat kita.
Lena.
Aku was-was, tubuhku bergetar.
Bolehkah aku menambahkan nama Maria pada
namamu?
Aku terdiam, hanya itu? Tapi aku mengangguk. Kamu
terlalu mencintai ibumu yang bernama Maria itu.
***
Baiklah, barangkali memang belum saatnya. Tapi aku
mengenalmu, kegelisahanmu. Kita pernah bicara berdua
di taman, di malam, begitu dekat. Aku percaya kepadamu.
Kamu begitu baik. Bagiku kamu adalah seorang guru. Aku
berharap ini akan berubah. Aku mencintaimu. Kini aku
punya kawan dari golongan terpelajar
***
Semakin sering aku mengikutimu, kehidupan pelacuran
dan rumah-rumah bordil mulai tertinggalkan. Sering pula
uangku kuberikan kepadamu karena aku percaya kepada
hidupmu. Orang-orang mulai mengenal aku adalah kawan
perempuan terdekatmu. Di samping Maria dan Martha?
Sebagian lagi ada yang menganggap kita pacaran. Bila
itu ditujukan kepadamu, kamu berkata: Tak ada kata
yang lebih indah selain kawan. Yakinkah kamu? Bila itu
ditujukan kepadaku, aku menjadi gelisah. Aku tak yakin.
Aku ingin kawin Kawan ya kawin. Begitulah manusia
hidup. Tak inginkah kamu kawin? Menikah, Sayang?
***
Sudah berapa lama aku bersamamu? Sampai aku sudah
lupa pada masa laluku, tapi belum juga keluar dari
mulutmu Lena, aku mencintaimu!
Masihkah kamu menganggapku kawan seperti kawan-
kawanmu yang lain, tak adakah kepedulianmu dalam soal
ini kepadaku. Kamu tak mengerti atau pura-pura. Apakah
memang begitu terus jalan hidupmu. Apa katamu? kamu
datang ke dunia untuk membawa kabar baik bagi orang-
orang miskin, penglihatan bagi orang-orang buta, untuk
membebaskan orang-orang yang tertindas, memberitakan
pembebasan bagi para tawanan?
***
Tak mengapa, Kamu adalah bagian dari hidupku
***
Pintaku Jangan ada di otakmu aku tidak serius. Aku sudah
sangat-sangat serius , berusaha ngerti dan memahami cara
berfikir dan hidupmu tapi tak sanggup aku menjalaninya?
Atau lupakan semua. Terimakasih atas pertemuan
pertemuan kita. Mungkin kita berbeda, Walau aku tahu
banyak kesamaannya. Akan kutunggu berapa lama cintaku
kepadamu bertahan, Dan berapa lama kamu menjadi
malaikat. Ya! kutunggu kejatuhanmu
***
Lama kita tak bertemu. Atau terasa lama?
***
Sampai suatu saat kudengar kamu ditangkap. Seorang
kawanmu mengkhianatimu. kawan-kawanmu yang
lain yang kamu banggakan itu lari pontang-panting
meninggalkanmu. Seperti yang dulu pernah kukira mereka
adalah anak-anak nelayan sederhana dalam arti lain juga
penakut. entah bagaimana caranya mereka akan menjadi
berani aku tidak tahu dan itu suatu kegilaan pasti
***
Setelah penangkapanmu, aku semakin tidak tahu kabar
kawan-kawanmu. mereka tak lagi berkumpul, berpencar-
pencar dalam persembunyian, menyamar dan pura-pura
tidak mengenalmu. aku menangis, takkan kutinggalkan
kamu sendiri. kamulah kawanku yang sesungguhnya, lepas
dari kelemahan-kelemahanmu. Di saat-saat pengejaran
seperti ini aku jadi ingat kata-katamu, Kamu bekerja di
tengah-tengah serigala, kamu harus licik seperti ular dan
jinak seperti merpati
***
Aku datang ke ibumu, menanyakan kabar semuanya
adakah kawan-kawan masih ngumpul
***
Pengadilan kepadamu mulai berjalan. Pengadilan agama
tidak bisa memutuskan. Herodes tidak mau mengadilimu
karena bukan kuasanya. Dilemparkannya kamu kepada
Pilatus. Ia juga enggan, memilih cuci tangan. Ia terus
didesak, akhirnya kalah karena diancam akan diadukan
ke Kaisar Roma. Oh betapa heran: aku jadi tahu jalur-jalur
kekuasaan?!
***
Akhirnya ini betul-betul menimpamu. Aku tak percaya
Pilatus mengijinkanmu dihukum salib, diarak keliling kota
menuju bukit tengkorak. Aku berdiri di pinggir, di antara
orang-orang yang ingin melihatmu dihina. Aku ingin
menangis tapi aku telah berjanji kepadamu bahwa aku tak
akan menangis di depan orang lain kecuali di depanmu.
***
Vero sungguh berani, Ia maju mengusap lukamu. Mengapa
bukan aku? Aku cemburu. Betapa kecil nyaliku
***
Sampai di Bukit Tengkorak aku tetap berdiri di kejauhan,
memandang luka-lukamu, mendengar luh penderitaanmu.
Sampai menjelang ajal, kamu masih meminta agar orang-
orang yang menghinamu menyalibkanmu jangan dijadikan
dendam, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.
***
Dari ketinggianmu masih keluar dari mulutmu yang
bersih, Ibu inilah anakmu dan inilah ibumu. Kamu tidak
menyebut namaku. Aku kecewa. Aku sadar, aku bukanlah
kawan istimewamu, Yohaneslah yang istimewa.
***
Aku pulang, merasa bersalah, mengapa aku tak datang
ketika kamu berbeban berat. Terkutuklah hidup dan
kelahiranku. Aku menangis sendirian. Tak ada kawan
***
Semenjak kamu tiada kami sering berkumpul bersama ,
sehidup semati sejiwa. Dibuatlah Credo yang menandakan
kami sekawan dan sejiwa dalam namamu. Setiap waktu
kami harus mengatakan entah sembunyi atau terbuka
di antaranya kami mengakui bahwa kematianmu karena
kekuasaan yang menindas. Pemerintahan Pilatuslah
yang bertanggung jawab. Kami tidak menuduh pemuka-
pemuka agama dan rakyat sebab mereka tidak tahu apa
yang mereka perbuat. Jadi demikianlah kepercayaan kami
kepadamu. Aku percaya akan Allah Bapa yang maha kuasa
pencipta langit dan bumi; Akan Yesus Kristus Putranya
yang tunggal Yang hidup sengsara dan wafat di bawah
pemerintahan Pontius Pilatus Apakah kamu sepakat
dengan Credo ini?
***
Kawan-kawan mulai menjual harta milik, mengelolanya
bersama-sama. Mulailah kini kawan-kawan hidup sesuai
dengan kebutuhan
***
Petrus begitu marah ketika tahu Ananias dan isterinya
Safira berbohong. Mereka menjual tanah, cuma
sebagian yang dilaporkan kepada kawan-kawan. Hal
yang tak kuduga, Petrus menjatuhkan hukuman mati
pada sepasang suami-isteri yang berbohong itu. Inilah
hukuman mati yang pertama kali dijatuhkan semenjak
kami berkumpul sebagai kawan sehidup semati. Kalau
kamu masih hidup apakah kamu sepakat? Kupikir tidak.
Petrus dan kawan-kawan terlalu emosional. Atau kami
takut terhadap segala bentuk pengkhianatan? Terhadap
segala bentuk ketidakjujuran? Karena pelajaran dari Yudas
Iskariot?
***
Ketika hukuman mati dijalankan, aku pergi
meninggalkannya, tak tahan melihat darah mengalir
begitu dekat dengan hidupku. Aku sembunyi, menangis,
tapi takkan pernah kutinggalkan mereka. Bagaimanapun
merekalah yang terbaik: belajar cinta kasih, cita-cita,
bagaimana seharusnya anak-anak manusia ini hidup,
makna kekuasaan, hidupku, darimana asalku, penjaraku,
pembebasanku. Bersama-sama pemuda-pemuda nelayan,
pemuda-pemuda miskin, petani-petani dan para pekerja
kebun anggur, orang-orang yang jujur.
***
Aku takkan lagi menangis. Di mana kamu malam ini, tidur
di mana? Bisa kita bertemu di tempat biasa?
***
Akhir Kata
Sepertinya, bagus tidaknya sebuah puisi, sebagaimana karya sastra atau seni lainnya, tidak semata-mata pada ketepatan
pilihan kata dan seni menjalinnya. Seperti berita media, puisi mungkin butuh prinsip proximity. Kata-Kata dan tema yang
diwakili kata perlu mendekatkan diri dengan lokus, dengan realita di sekitar para penikmat. Semakin lekat sebuah karya
dengan kenyataan sosial, semakin mampu ia mewakili kegelisahan dan harapan para penikmat, semakin besar karya itu.
Saya adalah penikmat sastra bergenre realisme sosial. Tentu latar belakang saya yang membentuk kecintaan itu. Bagi saya,
sastra memiliki salib sosial bukan saja sebagai pewarta penderitaan, harapan, dan kegembiraan rakyat banyak; ia harus
lebih dari sekedar mampu mengobok-obok emosi pembaca agar simpati dan empati terhadap hal yang diwartakan, tetapi
lebih dari itu sanggup mendorong pembaca pada tindakan membuat perubahan. Bagi saya, kata-kata di dalam sebuah karya
harusnya lahir dari kenyataan sosial yang diindrai penulisnya, bukan dicomot begitu saja asalkan indah.
Tetapi sebagai penikmat tentulah tak sungguh penting melanjutkan perdebatan klasik seni untuk seni atau seni untuk
pembebasan, seni untuk kemanusiaan.
Mungkin lebih berguna menuntut komunitas sastra NTT, jika para sahabat intim Tuhan telah menemukan keterwakilannya
pada Mario F. Lawi, tidakkah yang lain tergerak untuk dalam karya mewakili kami yang merindu untaian kata indah tentang
harapan Peu si kuli bangunan, penderitaan Marta TKW, kemunafikan Yohanis rohaniwan, perselingkuhan Martin si tokoh
masyarakat, korupsi Markus si birokrat hebat, atau suka duka rakyat berlawan di Guriola Sabu, Kolhua Kupang, dan Tumbak
Manggarai Timur. Kami butuh keterwakilan!
Kupang, 26 Agustus 2014
George Hormat Kulas
adalah Pedagang Buku dan Kaos Khas Produksi NTT (BetaKaos)
Website: http://hormat.net dan http://lapakbuku.hormat.net
Twitter: @gHormatKulas
email: george.hormat@gmail.com
HP: 081339340565

Anda mungkin juga menyukai