indd 1
10/20/2016 11:28:29 PM
Indonesia Kaya
@IndonesiaKaya
@indonesia_kaya
10/20/2016 11:28:30 PM
Sambutan Penyelenggara
Kusala Sastra Khatulistiwa
Di
era teknologi, ketika begitu banyak yang merasa bisa menulis, memotret, melukis,
mengkomposisi musik dan membuat lm, kita perlu merenungkan kembali estetika.
Karena estetika yang seyogianya sebuah disiplin yang mengkritisi dan menimbang prinsipprinsip keindahan sudah kehilangan haluannya. Sebuah karya dinilai berdasarkan suka atau
tidak suka, dipuji ataupun disampahkan tergantung kelompok mana yang lebih dominan.
Opini pada akhirnya menjadi penilai sebuah karya, bukan sebuah analisis yang mendalam,
yang menggugah dorongan untuk menerobos pagu-pagu kreasi. Keadaan ini menjadikan
semua yang beropini menjadi kritikus-kritikus. Semakin banyak pengikut para kritikus opini
ini, semakin besar peran mereka terhadap karya-karya yang diterima dan tidak diterima.
Jangan heran seandainya hari ini begitu banyak karya tak bermutu beredar begitu gencar
di mana-mana. Dan seperti juga dengan opini, karya-karya yang dipuji oleh para kritikus
opini inipun berlalu tanpa mengajukan sebuah dialog baru pembaruan berkarya. Mereka
menjadi objek-objek opini sesaat, bukan karya-karya yang menandai sebuah gerakan yang
memajukan pergelutan kreatitas.
Persis 16 tahun yang lalu, saya berdiri di sini. 16 tahun kemudian, saya berdiri di sini dalam
lanskap kesenian yang tak banyak mengalami perubahan. Tentunya, ada beberapa berita
menggembirakan, seperti karya-karya sastra kita mulai mendapat perhatian dunia. Di
sinipun, saya kira hanya sebuah pengecualian daripada sebuah gerakan dinamis yang
mendobrak pintu sastra dunia.
Kepada para penyantun Kusala Sastra Khatulistiwa yang mengikuti program ini sejak awal
atau selama perjalanannya, kami menghaturkan banyak terima kasih. Ajang penghargaan
dari komunitas kembali ke komunitas ini semoga bisa bertahan terus, dan semoga setiap
tahun bisa mengajukan karya-karya yang memajukan dialog pertukaran tentang kreasi.
Richard Oh
Founder Kusala Sastra Khatulistiwa
aat mendiskusikan karya-karya nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) ke-16, kami,
yang dipercaya mengampu penjurian, semakin culas menyadari suatu spontanitas
yang diam-diam mengarahkan, saat kami menelusuri rak-rak di toko dan kios buku, daring
maupun luring, mencari-cari bahan audisi. Kaki dan mata kami seakan kompak untuk
langsung melewati begitu saja rak-rak yang berlabelkan roman remaja dan sampulsampul buku yang memantik nuansa religius, motivasional, swabantu, dan serba-serbi
tutorial praktis. Seakan ada presuposisi yang mengarahkan lirikan mata kami ke namanama tertentu, dan sebaliknya juga ada ke-suudzon-an yang mencubit telinga kami untuk
lekas mengalihkan pandangan dari nama-nama tertentu lainnya. Kami cukup merasa
beruntung karena bisa mencicip kesempatan untuk saling mempertanyakan spontanitas
ini satu sama lain; merefleksikannya, menginterogasinya, sekalipun dengan hasil yang
tidak bisa dibilang memuaskan.
Saat berbicara tentang sastra, terasa kehadiran suatu dikotomi antara sastra populer
dan sastra yang serius. Tapi saat kami saling menanyakan apa batasan dikotomi itu,
hampir seluruh penjelasannya dimulai dengan kata ehm yang lumayan panjang.
Tiba-tiba pikiran-pikiran nakal berhinggapan: bukankah ketidakjelasan batasan ini yang
menggoda upaya-upaya untuk meneguhkan pembatasan itudengan cara seperti apapun?;
bukankah ketidak-menentuan ini yang memberi insentif untuk siapapun yang memiliki
atau mampu menghimpun akses ke modal (ekonomi, sosial, kultural, simbolik dan akhirnya
politik) untuk mengklaim ini yang sastrawi!?; dan bukankah ini semua yang akhirnya
meneguhkan pengelompokan semu, dan meniupkan nuansa eksklusif satu dari yang
lainnya, dan kemudian melahirkan kultus-kultus kebegawanan nan elitis, dan pada gilirannya
meneguhkan pusat-pusat kediktatoran selera? Seperti diagnosis salah satu juri, bersastra
akhirnya menjadi suatu manuver untuk mengejar capaian paling kini dalam bentuk rekaan
sebagai manusia yang berbudaya.
Menahan impuls umum untuk ikut-ikutan membeda-bedakan kedua jenis sastra ini,
kami mencoba mencari-cari apa yang kira-kira mempersamakan keduanya. Ada satu hal
yang cukup simtomatik, yaitu mewabahnya nostalgia. Dalam bahasa Yunani, nostos berarti
kepulangan dan algos berarti rasa sakit. Tepat dalam nuansa etimologis ini nostalgia
yang dimaksud: kerinduan ingin pulang yang menyakitkan. Sekalipun bergenus satu,
namun nostalgia ini merupa dalam banyak bentuk. Nostalgia sublimitas, yang susah-payah
diusahakan dengan diksi yang ruwet dan berbelit. Pikirnya, semakin rumit, semakin sublim
dan sastrawi suatu karya menjadi. Tapi, sampai mana toleransi akan kerumitan ini? Bisakah
sampai serumit bahasa pemrograman yang mendalangi laman-laman di internet? Lantas
10/20/2016 11:28:31 PM
10/20/2016 11:28:31 PM
Plaza Indonesia Level 1 #I 141 021-29924015, Plaza Senayan Level 1 #143B 021-5725141, Pacic Place Level G #27-28 021-51402762,
PIM 2 Level G 029A 021-75900926, Mall Taman Anggrek Level Upper Ground #85 021-5639576, Kota Kasablanka Level G #01 021-29488485,
Mall Kelapa Gading 3 Level 1 Unit Island #k 021-45853830, Sheraton Hotel Tower Level 1 Lobby 031-5348408,
Tunjungan Plaza Mall Surabaya Level UG #30 031-5459762
Booklet KSK 16 2.indd 8-9
10/20/2016 11:28:33 PM
A.S. Laksana
Eka Kurniawan
10/20/2016 11:28:34 PM
Eko Triono
Sundari Mardjuki
10/20/2016 11:28:34 PM
10/20/2016 11:28:35 PM
Avianti Armand
Cyntha Hariadi
Avianti Armand adalah arsitek , dosen dan penulis fiksi, puisi, serta
artikel-artikel mengenai arsitektur.
10/20/2016 11:28:35 PM
F. Aziz Manna
10/20/2016 11:28:35 PM
10/20/2016 11:28:36 PM
Pemenang Penghargaan
Kusala Sastra Khatulistiwa ke-15
Bidang Prosa
Mencintai sastra bukanlah semata soal membeli buku sastra tapi tidak dibaca atau dibaca
tapi hanya ingin tahu garis besarnya saja, membaca sepintas supaya tidak ketinggalan
zaman kalau ada teman bicara sastra; bukan juga semata soal mendiskusikan buku sastra
saja (padahal tidak membaca yang didiskusikan), mengikuti seminar sastra, aktif dalam
media sosial sastra, dan seterusnya.
Mencintai sastra -aslinya dan sederhananya- adalah hanya antara aku dan dia
(sastra). Cinta-mencintai menjadi terjadi. Ketika kita mencintai sastra dengan
cara yang dalam, sastra juga akan memberi sesuatu yang berharga bagi diri kita.
Terima kasih pada Richard Oh dan Tim serta para sponsor yang sudah 15 tahun lebih
melaksanakan hajatan Kusala Sastra Khatulistiwa. Para pecinta sastra sejati, mari kita samasama (diam-diam saja) juga merayakan sastra Indonesia dari rumah/kamar kita masingmasing.
***
10/20/2016 11:28:36 PM
Pemenang Penghargaan
Kusala Sastra Khatulistiwa ke-15
Bidang Puisi
Joko Pinurbo
Dari Asa ke Asu
ebagai ungkapan terima k asih saya atas pemberian Kusala Sastra Khatulistiwa, sebagai
ungkapan kegembiraan saya atas percintaan indah dengan puisi, sebagai ungkapan
syukur saya atas pergulatan panjang mencari cara dan gaya, sebagai ungkapan hormat
dan cinta saya kepada Bahasa Indonesia, izinkan pada kesempatan yang baik ini saya
membagikan salah satu sajak terbaru saya.
KAMUS KECIL
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia
yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tidak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu
ketimbang kepada tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa
gembira, sedangkan pemulung
tidak pelnah melasa gembila;
Yogyakarta, 15 Oktober
2016
Joko Pinurbo
* Joko Pinurbo adalah pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2005 dan 2015. Buku puisi terbarunya: Surat Kopi (2014),
Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), dan Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016).
10/20/2016 11:28:36 PM
10/20/2016 11:28:37 PM
10/20/2016 11:28:39 PM