Anda di halaman 1dari 206

Halaman Moeka

From New Zealand to Netherlands


Inspiring Journey of Muslim Travelers

Rahmadiyanti Rusdi, Khairul Umam, dkk

Penyunting: Noviyanti Utaminingsih


Penyelaras aksara: Nuraini
Desain sampul: Seto Buje
Desain isi & layout: Ade Damayanti
Ilustrasi: Febriani Triastuti

Cetakan Pertama: Februari 2015


ISBN: 978-602-269-122-8

Perpusatakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)


Rusdi, Rahmadiyanti, Khairul Umam, dkk;
From New Zealand to Netherlands: Inspiring Journey of Muslim
Travelers; penyunting Noviyanti U.. – Cet. 1. – Jakarta: HalamanMoeka, 2015
x + 196 hlm; 130x 205 mm
ISBN 978-602-269-122-8
1. Kisah Nyata/Inspirasi I. Judul
II. Noviyanti, U.

Halaman Moeka Publishing


Penerbit & Jasa Penerbitan Buku
Jl. Manggis IV No.2 RT 07/04
Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat
www.halamanmoeka.net | www.halamanmoeka.com
Email: halamanmoeka@gmail.com
Pengantar Penulis

Segala puji bagi Allah Swt. atas segala nikmat dan


kesempatan yang diberikan-Nya untuk kami yang pada
akhirnya mampu mengetengahkan catatan perjalanan
dalam rangka mengumpulkan hikmah yang terserak
di permukaan bumi ini. Sehingga, tibalah buku ini di
tangan pembaca budiman.
Perjalanan, menetap, menuntut ilmu, serta ber­
dakwah di negeri orang kadang menjadi sebuah
ke­harusan yang dijalani. Banyak suka dan duka.
Banyak cerita yang tergali. Banyak pula kejadian-
kejadian yang pantas untuk dikenang, bahkan untuk
diceritakan kepada sesama di mana pun berada.
Sebagai pembelajaran dalam hidup. Sebagai bentuk
berbagi manfaat. Sebagaimana diajarkan Rasul mulia,
Muhammad Saw.

v
Para penulis yang hadir mendonasikan karya-
karya mereka dalam buku ini berkisah dari berbagai
belahan dunia. Mulai dari kesejukan nurani yang
tertambat di Makkah Al-Mukaramah, hingga keluguan
di “belantara” Singapura. Mulai dari keteladanan
di New Zealand, hingga mengambil pelajaran dari
seorang mualaf di “Big Apple”, New York. Mulai dari
yang berusia senja, hingga putri-putri belia berusia 12
dan 8 tahun turut berkontribusi dalam penerbitan buku
yang diharapkan bermanfaat bagi pembaca ini.
Bukan hanya kisah-kisah inspiratif yang ingin
kami sajikan dalam buku ini. Namun juga donasi
untuk kebermanfaatan terhadap sesama melalui
hasil penjualannya. Bahwa nantinya royalti dan
keuntungan yang diperoleh dari penjualan buku yang
saat ini berada di tangan pembaca budiman akan
kami donasikan kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Ibadurrahman, Kota Duri, Riau. Sebuah lembaga
penyalur zakat, infak, dan sedekah yang saat ini
memberikan beasiswa kepada lebih dari 3.000 anak
usia Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.
Atas terbitnya buku ini dengan segala prosesnya,
kami mengucap rasa syukur kepada Allah Swt. atas
segala nikmat dan hikmah-Nya yang berlimpah.
Saya mewakili para penulis dan juga penanggung
jawab penerbitan buku ini berterima kasih kepada
segenap pihak yang telah meluangkan waktu dan

vi
tenaganya. Kepada keluarga tercinta, orangtua, para
guru, sahabat di Komunitas Penulis Peradaban, dan
Komunitas Batik Backpacker. Kepada Ustadz Khairul
Umam Lc, M. E. Sy selaku Direktur LAZ Ibadurrahman
yang telah berkenan bekerja sama dalam penerbitan
ini. Terima kasih juga kepada Mbak Rahmadiyanti
Rusdi, penjaga gawang Grup Facebook “Muslim
Traveler” yang berpartisipasi menyumbangkan dua
tulisannya. Mbak Helvy Tiana Rosa dan Mbak Rosita
Sihombing yang berkenan memberi endorsement buku
ini. Kepada segenap tim pasberita.com sebagai media
partner yang berkenan untuk berbagi semangat.
Selain itu semua, kami berharap, terbitnya buku ini
bukan sekadar bacaan. Namun dapat kiranya menjadi
penyambung semangat dalam berkarya, khususnya di
bidang kepenulisan bagi sesama. Di samping sebagai
azzam kami (para penulis) yang senantiasa ingin me­
nisbat­kan karya-karya ini ke dalam bentuk ibadah.
Pungkasan, tentu saja tulisan-tulisan yang tersaji
dalam buku ini tidaklah sempurna. Senantiasa kami
menantikan kritik dan saran perbaikan di dalamnya.
Selain itu, kami juga memohon dukungan dan doa
untuk kebaikan kita semua untuk karya-karya kami
yang tak terhenti sampai di sini.

Eko Wahyudi

vii
Daftar Isi

Pengantar Penulis—v

Bagian I—1
Lelaki yang Tergesa-gesa—2
Keliling Singapura dengan Kursi Roda—6
Yangshuo—16
Petualanganku di Malaysia—22
Negeri Surga Para Pesepeda—27
Belajar Sejarah dan Menembak di Vietnam—34
Pahlawan di “Rimba” Singapura—48

BAGIAN II—53
Menjadi Ketua Rombongan—54
Hikmah Indah Umrah Ramadhan—59
Haji Backpaker—65
Mawas Diri Sebelum Tawakal Dipatri—71
Cerita tentang Cadar—76
Abu Muhammad—82
Keajaiban Bernama Doa—88

ix
BAGIAN III—97
Perdana Menteri yang Rendah Hati—98
Sepenggal Warna dari Pakistan—102
Aunty Caroline yang Merindukan Kehangatan
Keluarga—108
Soal Nasi Padang dan Rasis—112

Bagian IV—115
Tukang Potong Rumput yang Kaya—117
Tiga Nilai Moral—120
Hamil di Sydney—132
Kautabrak, Kau Tinggalkan Jejak—138

Bagian V—145
Satu Pelukan, Indahnya Bersaudara dalam Islam—146
Pak Alam yang Berhati Lembut—149
Jepang dan Islam—153
Mendan, Sebuah Ujian Pilihan Hidup—159
Westall, Sebagai Masjid “Kids Friendly” —165
Dari Trafalgar Square sampai Changkat Bukit
Bintang—171
Hidayah di Big Apple—176

Tentang Penulis—183

x
Bagian I
“Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku
berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah
perjalananku.”

―Paul Theroux
Lelaki yang Tergesa-gesa

“Panggil saya Ann. Dari Hongkong, dan sedang


belajar di Malaysia,” katanya mengenalkan diri di
sebelahku.
Seperti biasa, ketika bertemu dengan orang asing,
rasa penasaranku seolah makin bertambah. Ingin
tahu banyak hal tentang negeri orang, atau bahkan
ingin sekadar menambah kemampuan berbahasa
asingku yang belum beres sejauh ini. Ann sendiri
menurutku sangat enak diajak bicara. Namun, pada
akhir kebersamaan kami dalam pesawat itu, hatiku
terasa digodam palu yang teramat besar. Ada rasa
malu yang masih terselip hingga kini. Rasa malu yang
mungkin takkan kulupa selamanya ....
Aku ... ya! Aku, melalui gadis itu mendapati diri
tak ubahnya seorang lelaki yang tergesa-gesa. Kikuk,
kacau, hingga lupa diri dan sekitar.

2
Kejadian ini aku alami ketika pesawat yang ku­
tumpangi mendarat di Kuala Lumpur. Beberapa saat
setelah roda pesawat menjejak daratan, seperti biasa,
ku­dengar suara pramugari senior mengingatkan bahwa
semua penumpang diminta untuk tetap berada di
tempat duduk serta imbauan untuk tetap tidak me­
nyalakan telepon seluler.
Namun entahlah, imbauan sepertinya tinggal
imbauan. Beberapa saat setelah imbauan pramugari
itu diperdengarkan, justru kami, sebagian penumpang
dari Indonesia mulai asyik mengaktifkan ponsel. Tak
terkecuali aku! Bunyi-bunyian dari ponsel mulai
terdengar jelas. SMS iklan layanan dari operator
Indonesia yang menawarkan layanan biaya panggilan
murah mulai berdatangan.
“Excuse me ….” Tiba-tiba Ann di sebelahku ber­
kata lembut.
“Yup,” jawabku singkat.
“Boleh tanya, apakah di Indonesia biasa seperti
ini?”
“Maksudnya?”
“Boleh menghidupkan telepon seluler saat pesawat
masih bergerak?”
Wow! ini pertanyaan yang menyinggung nasio­
nalis­me tentunya. Namun apa mau dikata, per­tanyaan

3
“tentang Indonesia” satu ini justru tak bisa kujawab
dengan lancar.
“Hmm … tidak boleh,” jawabku kecut.
Kutangkap Ann tersenyum. Sebuah senyum yang
membuatku justru semakin tersiksa rasanya.
“Sorry,” jawabku pendek.
Jempolku bergerak menekan tombol “off ”. Setelah
itu, justru pesawat malah berhenti dengan sempurna.
Seolah ingin turut menyaksikan wajahku yang
mungkin tampak makin kacau. Belum lagi kekacauan
pikiranku lenyap, kulihat para penumpang dengan
rata-rata berkulit sawo matang mulai berdiri dan
hendak membuka tempat bagasi kabin. Entahlah ...
tanpa sadar, aku pun hendak turut berdiri. Namun,
tertahan ketika kudengar suara seorang pramugara

4
dengan nada risau mengingatkan para penumpang
untuk tetap di tempat duduk.
“Sabar saja, Pak. Nanti kita semua disuruh keluar.
Rugi juga maskapai ini kalau nyuruh kita di sini
berlama-lama,” celetuk Ann.
Sejenak kemudian, kudengar para awak kabin
yang berada tak jauh dari tempatku duduk saling
cekikikan. Satu kalimat yang sangat mengoyak rasa
kebangsaanku, “Maaf, ini bukan di Indonesia!” Kata-
katanya lirih, tetapi perih!
Selepas pemeriksaan di imigrasi, aku masih ber­
temu Ann. Satu pesan singkatnya terucap sebelum
perpisahan kami, “Jangan biasakan hal yang berbahaya,
ya, Pak. See you,” ujarnya sambil berlalu.
Sepenggal kisah ini tentu takkan kulupa seumur
hidup. Kisah tentang kebiasaan burukku, seorang
pejalan yang tergopoh-gopoh. Seorang pejalan yang
kurang mengindahkan aturan. Seorang pejalan yang
meredam malu, untuk sebuah karakter diri yang
mungkin terlanjur membatu. (Eko Wahyudi)

5
Keliling Singapura
dengan Kursi Roda

Apa rasanya berkursi roda saat liburan ke luar


negeri bersama keluarga? Buat saya, itu benar-benar
perjalanan yang meninggalkan banyak kesan men­
dalam. Saya tak menyangka impian untuk mengajak
si lincah menyambangi negeri orang akan terwujud
justru saat saya dalam masa pemulihan pascaoperasi
lutut.
Awal Juli 2014, Mas Ari sigap mendorong kursi
roda sambil menyeret kopor besar keluar dari Bandara
Changi dan naik-turun Mass Rapid Transit (MRT)
untuk sampai ke penginapan di kawasan Bugis,
Singapura. Rio, putra semata wayang kami, sangat
kooperatif walau sedang berpuasa Ramadhan. Dia rela
bergantian mendorongkan kursi roda. Terharu sekali

6
rasanya melihat kedua orang terkasih ini bersusah
payah demi saya seorang.
Setelah beberapa jam beristirahat di hotel, per­
jalanan sesungguhnya pun bermula. Ahad siang yang
sangat terik dan saya tahu Rio sudah mulai lelah, tetapi
masih bersemangat untuk jalan-jalan. Agenda pertama
pun bergulir, yakni menggunakan hak pilih dalam
Pemilihan Presiden 2014. Di Singapura, pemungutan
suara dilangsungkan tiga hari lebih awal ketimbang
di Indonesia. Berkompromi dengan cuaca dan tubuh
yang letih, kami merogoh kocek agak dalam untuk naik
taksi ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
di Chatsworth Road, Singapura.
Ternyata, itu pilihan yang sangat tepat. Letak
KBRI tidak dekat dengan stasiun MRT. Terbayang
letih­nya Mas Ari dan Rio jika harus berjalan jauh di
bawah sengatan mentari. Turun dari taksi, Rio minta
di­pangku di kursi roda. Saya lantas memilih berjalan
pelan dengan bantuan tongkat dan membiarkan Rio
beristirahat di kursi roda.
Begitu sampai di gerbang KBRI, petugas pemilihan
umum langsung menyambut. Mungkin wajah letih Rio
terbaca jelas sehingga mereka langsung menawarkan
peminjaman kursi roda untuk saya. Saya kebingungan
merespons kebaikan mereka. Persoalannya, siapa yang

7
akan mendorong? Mas Ari tak mungkin mendorong
dua kursi roda sekaligus, kan?
Dengan ramah, petugas menjelaskan bahwa ada
panitia yang khusus bertugas mengawal difabel. Saya
dipersilakan duduk di kursi roda yang telah disediakan
dan diantar petugas secara estafet masuk ke kompleks
kedutaan yang sangat luas dan berkontur. Ada jalur
VIP yang juga menjadi akses bagi difabel. Bayangkan,
saya melaju dengan lancar di atas kursi roda, sementara
lebih dari 22 ribu pemilih lainnya seharian mengular,
mengantre panjang seperti di pintu masuk Dufan kala
peak season.
Tak sampai 10 menit, saya sudah berada di bilik
suara. Kami terpana dengan kemudahan yang difabel
dapatkan. Saya lihat sejumlah lansia juga mendapatkan
pelayanan yang sama selama di area pemilihan umum.
Terharu sekali bisa mencicipi pengalaman ini. Betapa
Allah Swt. menyayangi hamba-Nya yang tak sehat
sempurna dengan menghadirkan orang-orang yang
bersedia memberi kemudahan dan sistem yang pro
difabel.
Seusai menggunakan hak pilih, Michael—
mahasiswa asal Surabaya yang menjadi petugas
pemilihan umum—mendorongkan kursi roda sampai
ke halte terdekat. Pelayanan yang menenteramkan
hati tersebut membuat kami semakin optimistis,

8
saya akan baik-baik saja selama di Singapura. Setelah
antre dengan tertib di halte, taksi untuk kami pun
tiba. Setelah memasukkan kursi roda ke bagasi, Mas
Ari membukakan pintu belakang. Rio kupersilakan
masuk. Melihat Rio sudah di dalam, sang ayah segera
duduk di kursi depan. Belum lagi saya naik, tiba-tiba
taksi berjalan meninggalkan saya.
Sontak satu halte berteriak panik. Pintu taksi
sebelah kiri belakang masih terbuka. Tongkat saya
sudah ada di dalam taksi. Saya termangu sejenak lalu
tertawa melihat kejadian ala “Just for Laugh” itu. Sopir
taksi lalu memundurkan mobilnya dan meminta maaf
berulang kali.
Hati saya maju-mundur untuk menyampaikan
protes. Sopir taksi itu sudah berumur, tak tega rasanya
untuk mengomel. Namun, kejadian seperti itu tak
bisa dimaafkan begitu saja. Dengan sopan dan tegas,
saya sampaikan bahwa kelalaiannya bisa mencederai
penumpang. Bayangkan kalau tadi saya terjatuh atau
terseret. Tentu panjang urusannya.
Saya tak ingin itu terjadi kepada penumpang
lainnya. Dia kembali meminta maaf, tetapi alasan yang
dia kemukakan malah memantik amarah saya. “Kalian
penumpang terakhir. Saya sudah mau pulang dan rute
kalian searah dengan rumah saya,” ujarnya.

9
Susah payah rasanya untuk tidak meledak,
walau sedang shaum Ramadhan. Sesaat, terpikir cara
lain untuk membuatnya jera. Saya catat identitas
sopirnya. Nanti, akan saya laporkan dia langsung
ke perusahaan tempatnya bekerja. Entah mengapa
kemudian terbayang keluarga yang mungkin ditopang
hidupnya oleh bapak tua itu. Saya segera bersyukur
Allah melindungi saya dari marabahaya. Amarah
saya pun reda.
Kemudahan demi kemudahan tak henti meng­
hampiri kami setelah itu. Lima hari di Singapura, kami
leluasa menjelajahi sejumlah lokasi wisata dengan
MRT yang ramah difabel. Ada tempat duduk prioritas
dan area kursi roda di tiap gerbongnya. Pada jam
pulang kantor, gerbong sesak. Ada kalanya orang tak
memberikan kursinya bagi lansia, ibu yang membawa
kereta bayi, ataupun ibu hamil.

Ramah Difabel
Rabu, 9 Juli 2014, kami main di Universal Studio
Singapore. Seperti di Legoland, Malaysia yang kami
kunjungi dua hari sebelumnya, amusement park ini juga
ramah difabel. Seluruh wahana yang memungkinkan
untuk dinikmati orang berkursi roda bisa diakses
melalui jalur ekspres. Sementara itu, pengunjung lain

10
harus membeli tiket VIP untuk bisa masuk ke jalur
antrean yang lebih pendek ini.
Seseru apa Universal Studio Singapore untuk
difabel? Seru banget! Ada banyak wahana yang ramah
difabel. Saya bisa ikut naik perahu ala Rumah Boneka
Dufan di wahana Madagascar tanpa perlu beranjak dari
kursi roda. Ada satu perahu yang kursi terdepannya
dicopot dan dimodifikasi untuk pengunjung berkursi
roda. Transformer 4D dan Jurassic Park pun masih
aman untuk dinikmati andaikan masih mampu
berjalan sedikit dan menekuk kaki 90 derajat selama
duduk di dalam wahana.
Puas main, Mas Ari berlari mendorong kursi roda
saya agar kami bisa berfoto bersama dengan karakter
Sesame Street yang sedang melakukan meet and greet.
Rupanya, lokasi foto barengnya bertangga.
“Mas Ari saja yang foto bareng. Aku tunggu di
bawah saja. Sayang, lho sudah jauh-jauh masak enggak
foto,” ujarku memberikan sedikit dorongan agar Mas
Ari ikut antrean foto.
Mas Ari ragu-ragu. Tadinya, dia tak begitu
kepengen foto sendirian dengan Oscar, boneka hijau
berbulu kumal penghuni tong sampah Sesame Street.
Namun, suntikan motivasi dariku berhasil juga. Mas
Ari akhirnya ikut antrean dan mulai sibuk mem­
persiapkan kameranya. Dari kejauhan, kulihat petugas

11
pendamping Oscar bertanya kepadaku menggunakan
bahasa isyarat. Dia lalu berlari kecil menuruni anak
tangga, menghampiriku.
“Do you wanna take picture with Oscar?” tanya
sang petugas dengan ramah.
“Yes, my husband is queuing up there,” jawabku
sambil menunjuk Mas Ari yang masih sibuk mengatur
kameranya.
“You don’t have to climb up. Wait here, ok? Oscar
will come to you,” ujarnya bersemangat.
Dia lalu berlari ke atas, berbicara kepada Oscar
sambil menunjuk ke arah saya, lalu memohon izin
kepada pengunjung yang akan berfoto berikutnya agar
Oscar bisa turun sebentar. Saya dan Rio menganga
melihat kesempatan langka itu justru datang meng­
hampiri kami. Mas Ari yang masih berada di antrean
tak menyadari di samping anak dan istrinya sudah
ada Oscar.
Rio langsung meneriaki ayahnya. Mas Ari pun lari
bergabung berfoto keluarga, bersama Oscar! Sepertinya,
bukan foto bareng Oscarnya yang berharga, tetapi
perhatian kecil dari petugas itu terasa besar artinya
bagi kami. Terharu sekali melihat sedemikian baiknya
mereka memperlakukan pengunjung difabel.
Pulang liburan, kami pun mendiskusikan pelajaran
yang dipetik dari beragam pengalaman seru di liburan

12
keluarga untuk kali pertama ke luar negeri. Rio yang
saat itu berusia delapan tahun langsung berkesimpulan
Singapura ramah difabel. Saya bersyukur sekali Allah
menganugerahkan keluarga yang tak malu dan mau
menjalani kerepotan berjalan-jalan dengan saya yang
tengah berkursi roda.

Berkursi roda bukanlah aib yang harus ditutupi


atau kondisi yang harus disesali. Masih banyak nikmat
Allah yang mesti disyukuri. Saya ingat quote dari
legenda tenis putri dunia, Martina Navratilova yang
saya jepret di salah satu rumah makan halal di Bugis
Junction, “Disability is a matter of perception. If you
can do one thing well, you’re needed by someone.”

13
Kata-kata bijak itu melekat di hati saya. Saya sadar,
saya masih berdaya. Bisa melakukan banyak hal, walau
dengan kaki yang belum pulih sempurna. Semoga
Allah Swt. memperkenankan saya sembuh sempurna,
bisa berjalan dengan normal tanpa tongkat. Aamiin ya
rabbal alamin. (Reiny Dwinanda)

Tip melancong saat berkursi roda

• Persiapkan diri dengan baik. Siapkan stamina.


Jika sedang memiliki masalah kesehatan,
berkonsultasilah dengan dokter sebelum
berangkat. Bawa obat-obatan yang diperlukan
berikut resume medis untuk mengantisipasi
kemungkinan terburuk.
• Kenali daerah yang akan dikunjungi. Manfaatkan
Google Maps 3D untuk melihat jelas suatu lokasi
secara lebih spesifik. Telusuri alternatif akses
difabel melalui internet. Cari informasi sebanyak

14
mungkin dari difabel yang pernah ke sana. Salah satu
blog yang sangat inspiratif ialah ricksteves.com.
• Ketika memesan tiket atau check in di bandara,
informasikan Anda berkursi roda. Dengan begitu,
Anda akan diprioritaskan untuk duduk di bagian
lorong supaya mobilitas di dalam pesawat lebih
mudah.
• Kenali hak difabel sebagai pelancong. Jika ada yang
dilanggar, jangan segan untuk melaporkannya. Selain
berguna untuk mengatasi masalah yang dialami
sendiri, pelaporan akan bermanfaat untuk difabel
lain saat melancong ke tempat yang sama.
• Tidak semua maskapai penerbangan memiliki ambulift
yang memudahkan difabel untuk naik-turun pesawat.
Jika ambulift tak tersedia, petugas akan bekerja sama
mengangkat difabel di kursi rodanya. Kunjungi laman
flying-with-disability.org untuk mempelajari seluk-
beluk difabel dan perjalanan udara.
• Menemukan sesuatu yang menyebalkan, redakan
amarah. Sampaikan keluhan tanpa marah-marah
agar tak mengaburkan masalah aslinya.

(Reiny Dwinanda)

15
Yangshuo

Yangshuo, salah satu kota di daerah Guilin, China


yang terkenal karena keindahan alamnya. Sejauh mata
memandang, kota ini dikelilingi oleh perbukitan.
Udaranya sejuk, kotanya pun bersih. Banyak landmark
alam yang menarik di sana, seperti sungai-sungai yang
menghubungkan kota-kota dengan view perbukitan
yang bentuknya beraneka ragam. Kami mencapai
kota ini dengan menempuh perjalanan menggunakan
cruise dari Guilin selama hampir empat jam menyusuri
Sungai Li.
Pemberhentian pertama kami adalah West
Street. Di sini merupakan surga bagi pencinta ke­
rajin­an tangan, suvenir cantik, dan makanan yang
penuh dengan sentuhan tradisional China. Kami
mengunjungi Gua Red Flute, gua dengan stalaktit dan
stalagmit terbesar yang pernah saya lihat. Saya kagum

16
bagaimana bebatuan kapur yang terbentuk dari tetesan
air mineral ini dikemas menjadi tontonan menarik
karena dipenuhi dengan lampu warna-warni. Selain
itu, kami juga mengunjungi pertujukkan tari kolosal
pada malam hari dengan latar belakang Sungai Yu
Long. Apik dan epic!
Tidak hanya pemandangan alam Yangshuo yang
membuat saya nyaman dan terpesona, tetapi juga
manusia-manusia yang bergerak dan beraktivitas lincah
di sepanjang jalan besar Yangshuo. Tidak salah jika
saya membenarkan penilaian kalau kepercayaan diri
mereka agak luar biasa dibandingkan saya, misalnya.
Tidak dapat ditampik juga kalau saya menilai mereka
gigih dan tekun. Di sini, saya melihat betapa efisiennya
hidup mereka.
Di salah satu lorong, saya melihat seorang wanita
muda berkaus pudar, bercelana dan bersepatu kungfu
ala Jet Lee duduk di trotoar tidak jauh dari restoran
halal Muslim pertama yang saya temui sejak meng­
injakkan kaki di sini. Wanita itu terduduk dengan
posisi wajah menelungkup ke lutut. Di depannya,
tertata rapi dua kotak semir sepatu berwarna cokelat
dan hitam disertai kuas cat. Hari itu masih siang. Apa
ada orang yang mampir untuk sekadar menyemir
sepatu? Entahlah.

17
Saya melemparkan pandangan mata menyapu
jalanan Yangshuo. Sesekali menikmati sejuknya
udara dengan pemandangan barisan bukit elok
sepanjang jalan. Ternyata, jalanan ini penuh dengan
para perempuan yang berjualan. Tidak jauh dari sana,
beberapa dari mereka menjual buah di meja besar
dengan jumlah yang banyak. Ada juga yang berjualan
dengan pikul kayu sederhana. Beberapa wanita di
trotoar menjajakan sayuran segar. Di sebelahnya,
seorang nenek tua juga sedang berharap ada yang
membeli buah apel segarnya. Di trotoar ini, mereka
begitu bersahaja menjajakan dagangan seperti hasil
kebun sendiri. Bahasa tubuh dan lirik mata mereka
tidak setegas yang biasa saya temukan. Saya merasa
mata mereka lebih hangat. Diam-diam, hati dan bibir
saya ikut tersenyum menghangatkan udara Yangshuo
yang menerpa tubuh.
Di bus dalam perjalanan menuju The Camel
Hill, saya bertemu dengan sepasang kakek-nenek
dan sepasang anak kecil yang saya duga cucu mereka.
Sang kakek bercengkerama dengan cucu lelaki yang
kurang lebih berumur 1,5 tahun, sedangkan sang
nenek mememegang cucu putri supaya duduk nyaman
di atas kursi kayu yang menghadap ke belakang.
Karena sempitnya bus ini, saya tidak bisa mengalihkan
pandangan saya dari cara mereka bercengkerama

18
19
sambil sesekali tertawa hingga mata mereka tidak
kelihatan. Biasa memang, tetapi saya jarang menjumpai
pemandangan begini.
Tidak jauh dari sana, di terminal bus Yangshuo
saya melihat seorang ibu bersepeda. Di belakang
punggungnya, ada sang anak yang menempel dengan
bantuan kain pengikat. Sementara itu, barang bawaan
mereka menggayut di setang sepeda. Penuh.
Bisa dikatakan, Yangshuo masih sangat kental
dengan nuansa tradisional. Di sana, ada pusat turis
bernuansa pecinan dan menjual beraneka barang
kerajinan handmade, bukan barang dari pabrik.
Berbeda denga kota lainnya, Yangshuo yang nyaman
dan indah tidak memiliki gedung-gedung tinggi seperti
di Guanzhou. Rasanya saya tidak menemukan hotel
mewah di sini. Sebagai penggantinya, ada ruko-ruko
yang dijadikan penginapan untuk turis yang rata-rata
backpackeran.
Di hostel tempat kami menginap, saya dibuat
takjub dengan bagaimana sepasang suami-istri
menjalankan usaha penginapan yang berjumlah
kurang lebih sepuluh kamar di ruko berlantai tiga
tanpa memperkerjakan satu orang pun karyawan.
Lantai bawah yang berfungsi sebagai lobi dengan kursi
tamu dan dilengkapi beberapa buku ini ternyata juga
berfungsi sebagai ruang keluarga ketika malam hari.

20
Saat kami menunggu jemputan bus dan menunggu
di lobi, anggota keluarga mulai dari keponakan hingga
orangtuanya keluar satu per satu. Tanpa canggung
sedikit pun mereka menata sumpit, mengeluarkan
mangkok, nasi, dan sepiring lauk ayam yang dimasak
dengan sayur. Seolah terbiasa dengan tatapan heran
pengunjung hostel seperti saya.
Namun, yang paling berkesan adalah ketika saya
menemukan nenek tua, duduk di depan pintu masuk
Pasar Yangshuo, sambil memegang tongkat. Tubuhnya
renta dan membuat iba pengunjung pasar tradisional
tersebut. Karena keterbatasan komunikasi, saya harus
mengubur keinginan menanyakan beberapa pertanyaan
yang muncul atau sekadar bertukar sapa dengannya.
Apa yang saya tulis ini mungkin sangat subjektif,
tetapi yang pasti saya rasakan etnis China di Yangshuo
membuktikan bahwa mereka lebih bersahaja dan hidup
dalam kesederhanaan yang tidak saya jumpai dalam
pergaulan saya di sini.
Yangshuo, di tempat inilah keindahan alam yang
begitu terjaga dan kehangatan penduduknya sangat
terasa. Sesuatu yang berkesan bagi saya yang terbiasa
hidup di hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta. (Inna
Putri)

21
Petualanganku
di Malaysia

Pada November 2014, aku, Abi, dan Ummi berlibur


ke Malaysia. Banyak pengalaman berkesan yang
kudapatkan. Aku senang sekali.
Kami berangkat dari KL Sentral menaiki Kereta
Tanah Melayu (KTM) menuju Batu Caves. Kereta
listrik yang sangat nyaman menurutku. Tapi karena saat
itu penumpangnya penuh, jadilah banyak yang tidak
mendapatkan tempat duduk, termasuk aku, Abi, dan
Ummi. Ada hal yang membuatku heran di situ. Meski
penumpang sangat ramai sehingga mengharuskan kami
untuk berdiri, namun ada sebuah kursi kosong yang
tidak satu orang dewasa pun yang mau menempati.
Ternyata setelah aku tanya sama Ummi, satu kursi itu
untuk penumpang disabilitas, ibu hamil, atau anak-
anak.

22
Ummi menyuruhku duduk di kursi itu, sementara
ia tetap berdiri. Tepat di sebelahku duduk seorang
laki-laki. Dari wajahnya aku menebak ia keturunan
India. Tak lama kemudian, melihat Ummi berdiri tak
jauh dari kursi yang ia duduki, lelaki itu memilih me­
ninggalkan kursinya dan mempersilakan Ummi untuk
duduk. Jadilah aku dan Ummi duduk bersebelahan.
Perjalanan kami ke Batu Caves melalui beberapa
stasiun. Di stasiun selanjutnya, ternyata banyak
penumpang yang turun. Kursi banyak yang kosong.
Abi pun mendapat tempat duduk tak jauh dari aku dan
Ummi. Kuperhatikan lelaki India itu memilih duduk
di sebelah tempat duduk Abi. Aku melihat keduanya
sangat enak berbincang dalam bahasa Inggris.
Abi bilang namanya Vikram. Dia keturunan India,
lahir di Singapura. Ia sedang berlibur di Malaysia
setelah ada rapat di Bogor. Sesekali aku lihat Om
Vikram ini. Orangnya sangat ramah. Abi banyak
bertanya tentang India kepada Om Vikram karena
kami akan mengunjungi India Februari 2015 nanti.
Dengan senang hati, Om Vikram menceritakan
perjalanannya ke rumah neneknya di India. Tepatnya
di Delhi. Ia juga bercerita tentang indahnya Kashmir,
dan tempat-tempat lain serta informasi yang ber­
manfaat bagi kami.

23
Bagiku, Om Vikram ini sangat mengesankan.
Dia mau memberikan tempat duduknya untuk Ummi
dengan suka rela tanpa diminta. Dia memilih berdiri
sementara ia tetap bisa duduk dengan nyamannya. Om
Vikram ini juga asyik banget diajak ngobrol, kata Abi.
Seperti yang Abi bilang, sebenarnya Om Vikram ini di
perusahaannya adalah seorang bos, dan ia juga sekolah
tinggi. Namun mungkin dengan itulah Om Vikram bisa
sangat menghargai orang lain, menghormati wanita,
bahkan bisa memikirkan kesulitan orang lain.
Sesampainya di Batu Caves, kami tak langsung
berpisah dengan Om Vikram. Abi sempat membantu­
nya mengambil beberapa foto di depan patung
Hanuman. Begitu juga Om Vikram, ia membantu
meng­­­ambilkan beberapa foto kami. Setelah itu, Om
Vikram pamit kepada kami untuk melanjutkan per­
jalanannya.

***

Selain ke Batu Caves dan Ramayana Caves, kami


juga mengunjungi Twin Tower dan KL Tower.
Twin Tower yang biasa disebut menara kembar.
Senang rasanya akhirnya aku bisa ke sini. Kami pun
menyusuri sekitar Twin Tower. Asyik juga ya. Dari
Twin Tower, ada banyak bangunan yang bagus.

24
Sepertinya teman-teman yang ingin menjadi
arsitek cocok deh berkunjung ke tempat ini. Pas sekali
cita-cita­ku ingin menjadi arsitek. Aku sudah mem­
punyai ke­inginan untuk kuliah S1 di Malaysia. Masih
panjang perjalananku menuju cita-cita itu, karena
usiaku masih 8 tahun. Semoga aku bisa mewujudkan
cita-citaku. Aku ingin mem­buat bangunan yang bagus-
bagus nantinya.
Dari Twin Tower, aku, Abi dan Ummi berjalan
kaki menuju KL Tower sekitar setengah jam.
Kemudian, di depan KL Tower kami menaiki mobil
untuk ke atas. Kemudian, Abi membeli tiket. Kami pun
ke atas menggunakan lift. Di sana, disediakan teleskop.

25
Aku jadi bisa melihat Twin Tower, lho. Cantiknyaa
.... Oh iya, di tempat ini juga dijual berbagai suvenir.
Itulah petualanganku di Malaysia. Berjalan-jalan
ke KL Sentral, Batu Caves, Ramayana Caves, Twin
Tower, dan KL Tower. Selain itu, aku juga ke Pasar
Seni dan Masjid Jamek.
Aku sangat senang karena bisa melihat berbagai
bangunan dan arsitektur yang indah-indah. Aku juga
ingin menggambarnya agar nanti ketika jadi arsitek,
aku bisa membuat bangunan yang indah-indah. Bukan
berarti di Indonesia tidak ada, lho. Di Indonesia juga
banyak bangunan bagus dan indah-indah, kok. Aku
juga ingin mengunjungi berbagai tempat di Indonesia.
Melihat bangunan-bangunan yang bagus-bagus.
Sarana transportasi di Malaysia juga membuatku
nyaman, seperti ketika aku naik LRT (Light Rail
Transit), MRT (Mass Rapid Transit), dan KTM (Kereta
api Tanah Melayu). Semoga saja di Indonesia juga bisa
meniru dalam hal transportasi, ya ....
Aku tak akan melupakan traveling-ku bersama Abi
dan Ummi. Bertemu dengan Om Vikram yang baik
hati, mengingatkan cita-citaku sebagai arsitek, dan
mengunjungi banyak tempat di Malaysia. Aku belajar
banyak hal di Negeri Malaysia ini. (Fadhila L. Zahra)

26
Negeri Surga
Para Pesepeda

Saat kita bicara tentang negara yang begitu peduli


terhadap pengendara sepeda, tak ada yang meragukan
bila The Netherlands alias Belanda ada di posisi
pertama. Di setiap sudut, kita akan menemui pesepeda.
Mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek, pelajar
hingga eksekutif berjas rapi dan wanita cantik dengan
high heels, sebagian besar menggowes sepeda. Musim
panas atau dingin, mereka tetap bersepeda. September
2012 lalu, walau hanya dua hari mengunjungi tiga kota
(Amsterdam, Leiden, dan Denhaag) dan melewati
dua kota (Eidhoven dan Utrecht), saya menyaksikan
langsung bagaimana Belanda sangat layak dijuluki
sebagai “surga bagi para pengendara sepeda”.

27
Gowes di Mana-mana
Angin dingin menyerbu saat saya keluar dari
Bandara Schiphol untuk mencari bus yang akan
membawa ke pusat Kota Amsterdam. Summer baru
saja berlalu, tetapi aura winter sudah begitu terasa.
Jalur kereta ke Amsterdam sedang ditutup karena ada
kebakaran di salah satu terowongan sehingga saya
harus naik bus menuju Amsterdam Arena, stasiun
yang dekat dengan hostel tempat saya menginap.
Tak masalah, sebab saat itu juga saya langsung
melihat bagaimana pemerintah Belanda sangat serius
menjadikan bersepeda sebagai budaya masyarakat.
Jalur sepeda yang rapi, rambu-rambu yang jelas dan
menghormati pengendara sepeda, hingga tempat
parkir sepeda gratis.
Amsterdam, yang dijuluki ibu kota sepeda di
Eropa, hampir 60% perjalanan penduduknya dilakukan
dengan mengendarai sepeda. Dengan penduduk sekitar
820 ribu, ada lebih dari 900 ribu sepeda yang dimiliki
penduduk Amsterdam. Ibu Kota Belanda ini memiliki
jalur sepeda sepanjang 400 kilometer. Tak jauh dari
Amsterdam Centraal, stasiun sentral yang juga menjadi
tempat persilangan beragam moda transportasi,
terdapat penyewaan sepeda. Para pesepeda berlalu
lalang di depan stasiun bergaya Renaissance yang mulai
digunakan pada 1889 itu. Tak perlu bersaing dengan

28
moda transportasi lain. Selain itu, para pesepeda
bukanlah warga kelas dua.
Bukan hanya di Amsterdam, di dekat terminal,
stasiun, serta pusat keramaian di setiap kota bahkan
pelosok sekalipun, pasti terdapat penyewaan sepeda.
Diperkirakan terdapat 18 juta unit sepeda di Belanda
untuk penduduknya yang kurang dari 17 juta jiwa.
Sementara jalur khusus sepeda di Belanda tercatat
sepanjang 35.000 kilometer. Wow, sambil koprol, deh
saya :D

29
30
Amsterdam Centraal
Di Leiden, persis di depan stasiun keretanya, saya
terperangah melihat ribuan sepeda yang terparkir rapi
bertingkat-tingkat. Kota cantik ini merupakan rumah
bagi universitas tertua di Belanda, Universitas Leiden.
Sebagian besar mahasiswa, dari jumlah keseluruhan
sekitar 18 ribu orang, bersepeda menuju kampus.
Kanal-kanal cantik mengepung kota tua yang berjarak
40 kilometer dari Amsterdam ini. Taman-taman publik
seperti terserak di sekitar Universitas Leiden. Banyak
mahasiswa belajar di taman-taman yang terletak di
pinggir kanal, ada juga yang sambil piknik. Lelah
berjalan, saya dan teman pun berniat meluruskan
kaki di sebuah taman. Angin semilir membuat kami
terbuai, dan tahu-tahu saja kami berdua sudah tertidur
selama satu jam!

Menghangatkan Jalur Sepeda


Keseriusan pemerintah Belanda dalam mem­
promosikan budaya bersepeda memang patut
diacung­kan jempol. Dengan bersepeda, masyarakat
bisa mengurangi penggunaan kendaraan bermotor
sehingga tingkat polusi dapat ditekan. Pemerintah
juga mematok harga parkir kendaraan bermotor yang
mahal. Parkir mobil misalnya, dikenakan biaya hingga
7 euro per jam. Sedangkan parkir sepeda? Gratiiis.

31
Saking istimewanya pengendara sepeda di Belanda,
ada rambu uitgezonderd, yang berarti “kecuali”.
Maksud dari rambu tersebut adalah hanya sepeda yang
dikecualikan dari peraturan lalu lintas. Mantap, kan?
Memberikan kenyamanan bersepeda juga
men­jadi prioritas bagi pemerintah. Baru-baru ini,
kota-kota di Belanda sedang memikirkan cara untuk
menghangatkan jalur khusus sepeda. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi kecelakaan para pesepeda dan
meningkatkan minat warga agar tetap bersepeda pada
musim dingin. Dalam perjalanan dari Paris menuju
Amsterdam, bus yang saya tumpangi melewati Kota
Eindhoven dan Utrecht. Hujan mengiringi hampir
sepanjang perjalanan. Saya melihat usaha keras para
pesepeda melawan angin yang bertiup kencang.
Sesekali saya melihat pesepeda yang oleng saat
mengayuh. Tentu kondisi ini lebih berat pada musim
salju sehingga lahirlah ide tersebut.
Ide menghangatkan jalur sepeda ini datang
dari Marcel Boerefijn. Menurut Borefijn, walau
teknologi penghangat tersebut mahal, pemerintah
tetap dapat melakukan penghematan karena mampu
menekan angka kecelakaan dan jumlah garam
yang digunakan untuk mengurangi kelicinan jalan.
Cara menghangatkan jalur sepeda adalah dengan
menggunakan teknologi panas bumi untuk mencegah

32
pembentukan es. Biaya untuk teknologi berkisar antara
Rp600 hingga Rp750 juta per kilometer.
Mahal tentu saja, tetapi banyak dukungan untuk
usulan ini. Bahkan Kota Zutphen yang terletak di
bagian timur Belanda, sudah ditunjuk untuk menjadi
kota pertama yang menjalani penilaian sebelum studi
kelayakan ide ini dilakukan. Kota Utrecht juga sedang
mempertimbangkan untuk mencoba ide tersebut.
Ah, makin iri, deh saya. Kapan, ya Indonesia meniru
Belanda, negeri penjajahnya, untuk hal sepeda ini?
Benar sekali yang dikatakan oleh Enrique
Penalosa, Gubernur Bogota, Ibu Kota Kolombia,
periode 1998–2001. “If we’re going to talk about
transport, I would say that the great city is not the one
that has highways, but one where a child on a tricycle or
bicycle can go safely everywhere.” (Rahmadiyanti Rusdi)

* Pernah dimuat di Majalah Ummi, edisi Februari


2013.

33
Belajar Sejarah dan
Menembak di Vietnam

Kini tidak ada lagi perbatasan antara Vietnam Utara


dan Selatan, tapi menurut James tetap saja terdapat
perbedaan. Daerah Selatan tentu diklaim sebagai
berpenduduk lebih ramah dan terbuka, sementara
daerah Utara yang semakin mendekati China dan
beriklim lebih dingin dianggap sebagai daerah yang
juga berpenduduk “dingin” karakternya ....

Bangun dengan badan nyaman karena istirahat yang


cukup, saya bergegas dan bersiap untuk perjalanan
hari ini. Rencananya saya mengikuti paket One Day
Cao Đài Temple - Củ Chi Tunnel Tour seharga USD
7 dan diharapkan sudah berkumpul di kantor agen
wisata pukul 8 pagi ini. Berhubung dekat lokasi kantor
tersebut dari hotel, maka saya memanfaatkan waktu

34
berjalan kaki sambil cuci mata. Di sekitar hotel banyak
sekali terdapat warung-warung kecil, mini bar, juga
mini hotel serupa yang saya tinggali. Harganya pun
bersaing dengan layanan yang juga maksimal.
Saking tepat waktu sampai di kantor agen wisata,
saya dipersilakan memakai komputer internet dahulu
sambil menunggu teman-teman satu rombongan lain
yang belum datang. Tak lama kemudian, kami sudah
ada di dalam bus untuk memulai perjalanan menuju
tempat pertama: Cao Đài Temple.
Diawali dengan melintasi dalam kota yang macet
karena penuh dengan sepeda motor, tak heran karena
5 juta sepeda motor ada di Kota Saigon alias Ho Chi
Minh City ini. Kami juga melewati kantor-kantor
pemerintahan, Kafe-Kafe mewah, gedung kesenian,
pasar tradisional dan mal.
Pemandu wisata kami bernama Thóng, yang
entah apa artinya dalam bahasa Vietnam. Tapi dia
menjelaskan bahwa di kalangan turis bule yang
sering berkunjung di Kota Saigon ini, namanya yang
terkenal adalah James, tepatnya Slim James karena
postur tubuhnya yang ramping cenderung kurus.
James berprofesi selama 30 tahun menjadi guru bahasa
Inggris sekolah dasar di daerah delta Sungai Mekong.
Lalu untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya,
setelah pensiun dia beralih profesi menjadi pemandu

35
wisata, selain untuk tetap melancarkan kemampuan
bahasa Inggrisnya, berbincang langsung dengan para
native speakers. Dengan bangga, James menjelaskan
bahwa hingga kini dia sudah 14 tahun berprofesi
sebagai pemandu wisata.
Selama perjalanan, James bercerita bahwa saat
ini Vietnam mempunyai jumlah penduduk sekitar
87 juta jiwa, dan 70% diantaranya menganut agama
Buddha. Sementara itu penganut agama Islam di
Vietnam sejumlah 4 juta jiwa, dan 2 juta diantaranya
bermukim di sekitar Cao Đài Temple yang akan
kami kunjungi sebentar lagi. Arti dari nama Cao Đài
Temple sendiri adalah High Tower, atau menara yang
tinggi. Dibangun pada tahun 1924, masyarakat yang
bermukim di sekitar Cao Đài Temple mempunyai
beberapa kepercayaan spiritual, selain itu mereka juga
percaya adanya reinkarnasi dan hukum karma. Mereka
sangat menghindari perpecahan yang mengakibatkan
pembunuhan sesama manusia, itu sebabnya kerukunan
antar umat beragama di sekitar kuil ini sangat erat.
Mengenai sektor pendidikan, sekolah dasar di
Vietnam dibebaskan dari biaya oleh pemerintah
selama 5 tahun, setelah itu 7 tahun di tingkat high
school para murid diwajibkan membayar sekitar USD
20 per-bulannya.

36
Sebelum Vietnam Utara dan Vietnam Selatan
bersatu, perbatasan yang juga merupakan daerah
penting militer selama perang dengan Amerika
adalah Kota Đà Nẵng yang dilintasi sungai besar.
Sungai inilah yang dipakai sebagai perbatasan kedua
Vietnam. Sekarang sudah tidak ada lagi perbatasan
antara Vietnam Utara dan Selatan, tapi menurut
James tetap saja terdapat perbedaan antara Vietnam
Utara dan Selatan. Daerah Selatan tentu saja diklaim
sebagai yang berpenduduk lebih ramah dan terbuka,
sesuai iklim daerah tropis yang juga hangat seperti
di Indonesia. Sementara daerah Utara yang semakin
mendekati China dan mempunyai iklim lebih dingin
di saat tertentu, dianggap sebagai daerah yang juga
berpenduduk ”dingin” karakternya. Saya sendiri bisa
merasakan perbedaan tersebut, ketika berada di Hanoi
(utara) cenderung bertemu dengan orang-orang yang
susah tersenyum, tapi ketika di Saigon (selatan), banyak
sekali orang yang ramah, hehe. Entah apakah ini hanya
perasaan saya saja, tapi dua kali kunjungan di masing-
masing kota besar Vietnam Utara dan Vietnam Selatan
ini makin memberi keyakinan.
Menurut James juga, penduduk di Utara
cenderung mudah berkata sesuatu, tetapi tidak bisa
memberi bukti nyata dalam sikap atau perbuatan.
Menurut James, karakter perempuan di Vietnam
mempunyai personaliti yang kuat dan tidak mudah

37
untuk patuh pada suami. Hehe, saya hanya senyum-
senyum saja mendengar penjelasan ini. Entah ada
maksud tertentu yang terkait sejarah dan budaya
bangsa Vietnam yang sedang dijelaskan oleh James,
atau ini curhatan pribadi saja. 
Kami melewati distrik dekat Bandara internasional
Tan Son Nhat, yang menurut James adalah daerah yang
banyak sekali terdapat para veteran Vietkong yang
hidup hingga sekarang. Hal ini karena pengaruh dari
banyaknya tentara Vietkong di zaman dahulu yang
datang menyerbu untuk menduduki dan menguasai
dan mengambil alih tempat-tempat penting, termasuk
bandara.
Vietkong dahulu menginginkan Negara Vietnam,
Cambodia dan Laos untuk bersatu, dan hal ini
didukung penuh oleh Negara China, itu sebabnya
Vietnam Utara yang merupakan berbatasan langsung,
tentu menyambut baik tawaran bantuan dari China.
Pada masa perang, dari radio Voice of America dan
BBC, James selalu mengikuti perkembangan politik
di negaranya, termasuk tentang rencana Vietnam
untuk mempunyai satu aliran komunis, satu partai
politik, dan menerapkan Free Market. Negara ini
mempunyai pemilihan umum yang diselenggarakan
setiap pergantian pemimpin, tapi hanya mempunyai
satu partai politik, dan ini dianggap lucu.

38
Sepanjang 40 km, kami melewati Jalan Trans Asia,
yang menghubungkan Vietnam dengan perbatasan
Vietnam-Cambodia. Pada persimpangan pertigaan
(road junction) yang kami lewati, James menjelaskan
bahwa di tempat inilah Kim Phuc, seorang anak yang
menjadi korban bom napalm dalam perang, menangis
telanjang dan berlari-lari menuju arah jembatan. Saat
ini, Kim bertempat tinggal di Kanada dan menjadi
tokoh kemanusiaan. Fotonya yang dimuat oleh seorang
wartawan perang menjadi foto yang sangat terkenal
dan menang hadiah Pulitzer.
Tak terasa kami sudah mulai memasuki kompleks
Cao Đài Temple. Terlihat sunyi karena saat ini menurut
James, para penduduknya sedang bersiap untuk
bersembahyang di Kuil Cao Đài, yang sebentar lagi
kami kunjungi.
Semua turis yang datang dipersilakan dengan
tertib untuk memasuki kuil dan mendokumentasikan
prosesi sembahyang. Para petugas yang mengatur
mem­punyai pita kuning yang dililitkan pada
lengan mereka. Terdapat selasar di lantai atas, yang
dipergunakan para turis untuk melihat dengan leluasa
seluruh rangkaian kegiatan di kuil yang berlangsung
selama setengah jam, setiap pukul 6 pagi, 12 siang,
6 sore dan 12 malam. Setiap hari 4 kali berlangsung
sembahyang bersama ini. Rata-rata pengunjung

39
kuil yang hendak bersembahyang ini adalah para
lansia dan anak-anak, sementara mereka yang masih
berusia produktif keluar dari kompleks untuk bekerja
menafkahi keluarganya. Ini mungkin menjawab
pertanyaan bagaimana bisa seseorang yang bekerja
mengikuti prosesi sembahyang rutin di kuil sebanyak
4 kali dalam sehari, rupanya rata-rata memang mereka
yang berusia lanjut dan anak-anak yang mengikuti
kegiatan ini.
Saat makan siang, rombongan kami segera menuju
rumah makan yang terletak di pinggir jalan menuju Củ
Chi Tunnel. Menu masakan yang banyak terdapat babi,
membuat saya berhati-hati dalam memilih makanan,

40
dan akhirnya saya pilih nasi goreng telur dadar dan
spring roll berisi ayam untuk makan siang kali ini.
Selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan
menuju Củ Chi Tunnel. Inilah ladang bekas perang,
yang mempunyai sistem pertahanan sekaligus serangan
bawah tanah di masa perang melawan Prancis dan
terutama Amerika. Tempat ini juga merupakan salah
satu tempat wisata kebanggaan masyarakat Vietnam.
Di ladang bekas perang ini diperagakan bagaimana
dahulu para prajurit Vietnam bersembunyi untuk
menjebak musuh. Mereka masuk ke dalam lubang
sempit berukuran pas badan, yang diatasnya di­
tutupi dedaunan untuk kamuflase. Beberapa rekan
se­perjalanan mencoba untuk masuk dalam lubang
ini, saya hanya mendokumentasikan saja, enggan ikut
mencoba karena sayang bajunya nanti kotor, hehe.
Di sini juga banyak diperagakan bermacam-
macam perangkap yang pada zaman dahulu dibuat
oleh para prajurit Vietnam. Dari perangkap kecil
untuk membuat cedera mata kaki, hingga perangkap
sebesar harimau untuk menjebak musuh. Semuanya
memakai besi atau bambu berujung lancip sebagai alat
tambahan dalam perangkap. Mengerikan melihat cara
kerja alat-alat tersebut. Siapa pun yang terperangkap
sepertinya sulit untuk sembuh dari cacat yang diderita
akibat cedera masuk perangkap.

41
James mengajak kami untuk melihat beberapa
model perangkap lain lagi, di sebuah bangunan
yang mengoleksi beberapa model perangkap. Semua
model meyakinkan kami bahwa di zaman dahulu
semua prajurit musuh yang masuk perangkap, kecil
kemungkinan untuk meloloskan diri akibat cedera
yang diderita terlalu parah. Cukup mengerikan untuk
membayangkan, terutama melihat perangkap yang
didesain sedemikian rupa untuk dipasang di atas
pintu, yang begitu dilewati musuh, perangkap tersebut
akan jatuh dan menusuk dada. Atau bila korban bisa
lolos pun, perangkap selanjutnya bergeser menusuk
bagian alat vital.
Kami juga diajak untuk mengunjungi bengkel
pembuatan senjata dan perangkap manual, melihat
lubang kawah kecil yang terbentuk karena dentuman
bom, dan yang paling menarik adalah ketika kami
semua dipersilakan mencoba berjalan di dalam
terowongan tempat prajurit Vietnam bergerilya.
Panjang terowongan yang kami tempuh mungkin
hanya sekitar 20 meter, tapi rasanya sangat pegal ketika
keluar terowongan, karena kami harus berjalan dalam
posisi badan membungkuk dengan sudut 90 derajat!
Karena lebar lubang terowongan hanya sekitar 30 cm
dan tingginya sekitar 50 cm, di samping itu oksigen
dalam terowongan juga tipis sekali dan lembap.

42
Ada beberapa ketentuan yang disampaikan James
sebagai pemandu kami para pengunjung Củ Chi
Tunnel, bahwa kami semua boleh masuk ke dalam
terowongan, asalkan tidak dalam masalah kesehatan
seperti sakit jantung, asma, tekanan darah tinggi, TBC,
arthritis, dan rematik. Kami juga tidak boleh takut
dalam gelap dan tempat yang berada di kedalaman,
usia tidak lebih dari 70 tahun, dan tidak dalam
pengaruh alkohol. Yang paling penting juga adalah
ukuran tubuhnya tidak terlalu besar, hehe. Lubang
masuk juga terowongan bekas gerilya pasukan Vietnam
ini sebenarnya sudah dimodifikasi untuk kepentingan
wisata dan disesuaikan besar­nya dengan ukuran tubuh
orang-orang pada umum­nya, terutama wisatawan asing
dari Eropa yang umumnya bertubuh besar. Tapi tetap
saja, ukuran tersebut bagi mereka masih terlalu kecil.

43
Keluar dari terowongan gerilya, kami disuguhi
singkong bakar. Huaaa ... rata-rata bule Eropa dan
Amerika menikmati makanan ini, sementara saya
pura-pura saja menikmati. Lha di negeri sendiri kerap
makan singkong seperti ini. Yang mengejutkan, James
mendekati saya dan menggoda mengajak berjoget
sambil bernyanyi, ”aku suka singkong, kau suka keju,
ohhhhh ... akuuu hanyaaa anak singkkoooong.” Hahaha,
tak disangka ternyata James penggemar lagu-lagu
Indonesia! Dia memamerkan beberapa lagu Indonesia
yang dikuasainya di depan saya. 

Belajar Menembak
Keasyikan selanjutnya adalah belajar menembak.
Salah satu peserta tur dalam rombongan yang cukup
dekat dengan saya karena bersebelahan duduk dalam
bus, mentraktir saya untuk mencoba senapan berikut
pelurunya. Wow, saya hanya pernah memegang
senapan asli tanpa peluru ditembakkan. Kalaupun
pernah menembak, itu hanya menggunakan replika
senapan dengan peluru mainan yang ada di Mal Blok
M. Tapi tantangan ini sungguh menggoda, maka
saya mengiyakan dan segera mengambil peralatan
menembak dengan memilih senapan M16 yang
ternyata berat sekali, hahaha ....

44
Dentuman tembakan beberapa kali menghiasi sore
di ladang bekas perang. Suaranya yang menggelegar
membuat saya berimajinasi dahulu kala di zaman
perang, seperti apa rasanya. Tanpa situasi perang saja
mendengar dentuman seperti ini sudah hampir stress
rasanya, apalagi dentuman bom? Bagaimana dengan
anak-anak yang hidup di masa itu traumanya, sungguh
tak terbayangkan.

45
Kami mengakhiri acara belajar menembak dan
meneruskan perjalanan menyusuri hutan areal bekas
ladang perang. Kali ini, acara terakhir adalah me­
nonton film sejarah Vietnam di sebuah gubuk yang
me­nyajikan pemutaran film dan diorama sebuah
terowongan gerilya pasukan Vietnam yang berlapis-
lapis. Tingkat pertama terowongan biasanya digunakan
untuk bersembunyi dan berkelahi dengan musuh, serta
menjebak dengan terowongan buntu dan perangkap
mematikan menunggu. Terowongan tingkat kedua
merupakan tempat bersembunyi alternatif jika dikejar
musuh yang memasuki terowongan, lalu tingkat ketiga
biasanya adalah gudang senjata atau dapur umum yang
sewaktu-waktu bisa dipakai dalam keadaan darurat.
Tingkat berikutnya juga umumnya adalah gudang
senjata. Semua terowongan ini hanya dipakai saat
siang hari, karena tidak mungkin untuk dipakai tidur
disebabkan oksigennya yang tipis, walaupun sudah
diberi saluran udara di tiap tingkat terowongan.
Kami terpaku dengan sajian film dokumenter
sejarah Vietnam dan mendengar setiap penjelasan
detail dari James hingga film berakhir. Setelah itu,
kami keluar gubuk tempat pemutaran film dan
kembali menuju bus di tempat parkir. Inilah akhir dari
perjalanan kami seharian. (Ari Wijaya)

46
Catatan

Enjoy the trip ....


Di sini kita akan bertemu berbagai macam peserta tur
dari berbagai negara, memper­gunakan kesempatan,
baik untuk belajar maupun mem­perluas wawasan.
Paling tidak, jaringan per­temanan menjadi bertambah
dengan mengikuti paket-paket tur seperti ini.
Selain harganya yang murah tak membuat kantung
menjadi bolong. Ada bonus pengetahuan sejarah
dari pemandu wisata ...
Kapan kita punya visi dan misi memperkenalkan
budaya dan kekayaan negeri seperti ini? Kalau bisa
murah, tentu banyak yang suka juga ....

47
Pahlawan
di “Rimba” Singapura

Perjalanan kami ke Singapura beberapa waktu lalu


menjadi salah satu perjalanan yang berkesan. Bukan
soal Merlion Park, Orchard Road, Universal Studio,
atau bahkan Sentosa Island yang terkenal itu. Namun,
soal pertolongan yang diberikan seorang warga
Singapura kepada salah seorang dari kami.
Kami tiba di sebuah hotel di Albert Street
ketika hari menjelang senja. Kami sepakat, setelah
mendirikan shalat Maghrib akan berkumpul di lobi
hotel untuk kemudian mengunjungi Bugis Street.
Sebuah jalan tempat aneka merchandise dan pakaian
murah dijual.
Tepat waktu yang telah ditentukan, kami ber­
kumpul. Sejenak kemudian, kami sudah menyusuri
jalan menuju Bugis Street. Kami bertiga. Aku, Pak Win,

48
dan Hendra. Aku yang termuda di antara kami bertiga.
Hendra berusia hampir 40 tahun, sedangkan Pak Win
menjadi yang paling tua. Usianya sudah mencapai lebih
dari 50 tahun. Pak Win sendiri seorang pengusaha
lokal di salah satu kabupaten di Riau. Dia tergolong
sukses di daerahnya. Dan ini pulalah kesempatan
pertamanya melancong ke negeri orang.
Keterbatasan berbahasa Inggris keduanya mem­
buat­ku menjadi juru bicara. Setiap membeli barang,
memilih menu makanan, hingga saat membayar
makan, dan keperluan lainnya, kedua rekanku ini
selalu menyerahkan uangnya kepadaku untuk berbicara
dengan para penjual. Alhasil, aku selalu mendapat
gratisan dari kedua orang ini. Luar biasa! Hehehe.
Namun bukan itu masalahnya, masalah kami
sebenarnya adalah ketika Pak Win tak juga muncul
setelah kami tunggu lebih dari 3 jam! Betapa resahnya
kami. Orang tua yang tak bisa berbahasa Inggris dan
baru pertama kalinya berkunjung ke luar negeri itu
terpisah dari kami.
Bermula ketika kami sedang melihat-lihat pakaian
di sebuah stan saat berbelanja oleh-oleh. Pak Win
me­minta izin untuk mengunjungi stan lain yang tak
jauh dari kami. Sepertinya, Pak Win terbuai melihat
barang-barang dagangan yang dijajakan hingga
kami tak lagi menemukan Pak Win di dekat kami.
Sepertinya, Pak Win tak sadar kakinya terus melangkah

49
jauh berlawanan arah dari posisi kami. Jauh … hingga
lupa jalan kembali.

***
Malam itu, tiga jam berlalu sudah. Tengah malam
kian menjelang. Alhamdulillah, rasa bahagia tiba-tiba
saja menyeruak ketika seorang pria muda berbadan
tegap dengan bercucur keringat memasuki hotel
dengan seorang lelaki tua di belakangnya. Kami kenal
betul, dialah Pak Win. Lega rasanya! Kuminta pemuda
tadi duduk sejenak untuk ber­istirahat. Napasnya sedikit
tersengal. Setelah kulihat sedikit reda, kuucapkan
terima kasih berulang-ulang kepadanya.
“You are welcome. Senang bisa membantu,” jawab­
nya sambil tersenyum.
Setelah beberapa ungkapan terima kasih dan
kalimat perkenalan dari kami, pembicaraan pun beralih
kepada Pak Win. Kenapa dan sampai mana dia tersesat.
Pak Win menuturkan, saat terpisah dari kami, dia
terus menyusuri jalan hingga masuk ke sebuah mal
yang menjual aneka barang elektronik. Apesnya, ketika
berniat keluar, dia lupa jalan pertama masuk. Alhasil,
ternyata dia keluar melalui pintu lain dan memutuskan
untuk berjalan menyusuri Queen Street ke arah Gereja
Saint Joseph yang arahnya menjauh dari hotel tempat
kami menginap di Albert Street.

50
Pak Win tak sadar bahwa dia semakin menjauh
dari lokasi yang diinginkan. Keinginannya untuk
bertanya pun lenyap ketika kebanyakan orang yang
dia jumpai ternyata berkulit putih, bermata sipit, dan
berbahasa Inggris. Mentalnya keburu ciut. Tak ingat
bahwa di Singapura juga banyak orang yang bisa atau
setidaknya sedikit mengerti bahasa Melayu, walau
hanya untuk hal-hal yang bersifat umum. Pikirannya
kacau. Lupa. Pun tak ada kartu nama hotel yang dia
bawa. Belum lagi ponsel yang dibawa masih berkartu
SIM Indonesia dengan pulsa yang belum terisi. Meski
punya uang, Pak Win susah pula mengingat nama
Parc Sovereign, hotel yang kami tinggali malam itu.
Pak Win seolah tersesat di dalam keramaian “rimba”
Singapura. Ramai dan membingungkan baginya.
Bersyukur, setelah sekian jauh menyusuri jalanan,
Pak Win menemukan orang-orang yang sedang bekerja
lembur membangun gedung. Firasatnya berkata, ada
orang yang bisa berbahasa Indonesia atau minimal bisa
berbahasa Melayu di sana. Dugaannya benar, banyak
pekerja dari Indonesia dalam proyek tersebut yang
bisa ditanyai. Pak Win juga menyampaikan ciri-ciri
hotel tempat kami menginap kepada para pekerja itu.
Sungguh baik hati orang-orang ini, mereka
memberi tahu Pak Win bahwa jalan yang Pak Win
lalui adalah jalan yang semakin menjauh dari Bugis
Street dan hotel tempat kami menginap. Bahkan sang

51
supervisor yang penduduk lokal itu meminta bantuan
adiknya untuk mengantarkan Pak Win sehingga dia
selamat dan bertemu kami kembali.
Chen. Dialah nama pemuda itu. Adik sang
supervisor yang baik hati. Chen dan Pak Win ber­
jalan selayaknya anak dan bapak. Mereka saling
diam. Bukan karena sedang marahan atau tak ada
bahan pembicaraan, melainkan lebih pada bingung
memikirkan dengan bahasa apa pembicaraan itu akan
disampaikan. Meski sedikit, sebenarnya Chen tahu
bahasa Melayu. Sebagai penduduk lokal, Chen tentu
saja tahu seluk-beluk wilayah itu. Dia bisa mengambil
rute pintas menuju Bugis Street dengan berjalan kaki
hingga mencapai hotel tempat kami menginap.
Di sela-sela pembicaraan, Pak Win dengan polos­
nya mengatakan, Chen dan para pekerja itu adalah
pahlawan baginya. Para pahlawan yang me­ngentas­
kannya dari derita ketersesatan di “rimba” Singapura.
Hal itu sungguh-sungguh dia sampaikan. Tak ubahnya
seorang ayah yang sedang memaparkan visi-misi
jalan hidup ke masa depan. Kami manggut-manggut
mendengarnya. Kami berpisah setelah beberapa
menit jarum jam menunjukkan tengah malam. Chen
berpamitan. Kutangkap kebaikan lelaki satu ini. Meski
yang pasti berbeda etnis hingga agama, kebaikannya
tertanam dalam ingatanku. Hingga kini … hingga
nanti. (Eko Wahyudi)

52
BAGIAN II
Menapakkan kaki di tanah suci adalah pilihan
Dia pun memilih. siapa saja yang mampu
menjejakkan kaki di sana.
Kadang jalannya pun tak terduga,
dari doa-doa entah milik siapa.
Sungguh beruntung mereka yang menuai hikmah
atas perjuangan bertamu di Rumah-Nya,
dalam kisah perjalanan indah menuju baitullah ....
Menjadi
Ketua Rombongan

Di dalam satu kelompok terbang terdiri dari sepuluh


rombongan (sepuluh bus). Masing-masing rombongan
dipimpin oleh ketua rombongan (Karom), sedangkan
di dalam satu rombongan terdapat empat regu yang
diketuai oleh ketua regu (Karu). Dalam setiap regu
terdapat sepuluh anggota yang diketuai oleh seorang
jamaah. Dengan demikian, dalam satu regu terdapat
45 orang yang terdiri dari 1 orang Karom, 4 orang
Karu, dan 40 anggota regu. 
Sejak Bapak meninggal, saya selalu menjadi
Karom. Saat pertama kali menjadi Karom, usia saya
baru 28 tahun. Bisa jadi saat itu, saya adalah Karom
perempuan termuda se-Indonesia. Mengapa saya bisa
katakan ini? Karena selama saya berkecimpung di
dunia perhajian sejak tahun 2001, saya belum pernah

54
menemui seorang Karom perempuan yang usianya
masih berkepala dua. Kebanyakan dari Karom tersebut
adalah pimpinan-pimpinan KBIH yang bisa dibilang
sudah cukup makan asam-garam dunia haji.
 Mereka adalah ustadz/ustadzah senior yang
waktunya banyak dihabiskan dari majelis taklim ke
majelis taklim. Sudah toplah, sedangkan saya? Baru
taraf belajar. Melihat usia saya yang masih muda
dibandingkan Karom yang lain, sering kali saya
mendapatkan perhatian khusus dari petugas kloter.
Saat rapat misalnya, sering kali saya dipanggil dengan
sebutan ananda, bukan ibu atau ustadzah sebagaimana
mereka memanggil Karom yang lain. Senang? Tentu
saja. Artinya, saya mendapatkan tempat tersendiri di
hati para petugas kloter itu. 
Namun, usia yang muda ini juga menimbulkan
kejadian-kejadian lucu. Misalnya cerita ini. Saat itu,
kami baru saja tiba di pondokan Makkah. Setelah
menempuh perjalanan dari Jeddah yang menghabiskan
beberapa jam di dalam bus itu, ada seorang jamaah
yang harus ke toilet. Sebagai Karom, saya mengantarnya
turun dan berusaha mencarikan toilet terdekat. Melihat
kami turun dari bus, seseorang berpakaian gamis arab
menghalau kami. Ketika saya jelaskan bahwa jamaah
yang bersama saya itu butuh ke toilet, dia meminta
agar jamaah tersebut sendiri saja ke toiletnya dan saya

55
diminta untuk kembali ke bus. Karena jarak dengan
toilet ternyata dekat, jamaah tadi pun menyatakan
dirinya berani untuk ke sana seorang diri, dan saya
kembali ke bus. 
Tak lama kemudian, dengan menggunakan
toa, seseorang yang berpakaian gamis arab tadi
memberitahukan agar masing-masing Karom untuk
turun karena sebentar lagi akan ada pembagian kunci
kamar. Mendengar hal tersebut, saya bergegas turun.
Saya ikut berkumpul bersama Karom yang lain. Ketika
akan pembagian kunci, seseorang yang berpakaian
gamis arab itu melihat ke arah saya dengan pandangan
yang heran.
“Ibu! Kenapa Ibu turun?! Ibu naik! Karom yang
turun!” katanya dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Mendengar ucapan seseorang berpakaian gamis arab
itu, sontak seluruh Karom yang sedang berkumpul
itu melihat ke arah saya. Mereka tertawa, tetapi bukan
mengejek. Mereka tertawa karena merasa lucu. Setelah
dijelaskan oleh ketua kloter bahwa saya adalah salah
satu dari Karom, seseorang berpakaian gamis arab itu
kemudian meminta maaf. 
Bukan hanya itu kejadian lucu yang saya alami.
Masih ada beberapa peristiwa lagi yang terjadi yang
berkaitan dengan posisi saya sebagai Karom. Ketika
di Terminal Hijrah, Madinah, misalnya. Saat itu

56
seluruh bus yang hendak memasuki kota Nabi itu
harus diperiksa di check point dan semua jamaah
mendapatkan jatah makan berupa nasi boks serta air
mineral dan buah. Setelah pembagian jatah makanan
itu, setiap Karom harus menandatangani bukti
penyerahan makanan dari petugas kepada jamaah. 

Ketika itu, seorang petugas bertanya kepada saya,


siapa Karom di bus yang saya naiki. Saya sebutkan
bahwa Karomnya bernama “Elly Lubis”. Setelah me­
nulis­kan nama yang saya sebutkan, dia kemudian
menanyakan keberadaan Karom bus tersebut. Dengan
sedikit tersenyum, saya katakan bahwa Karom yang dia
cari berada tepat di hadapannya. Mendengar jawaban
itu, petugas tadi seperti tidak percaya. Dia tidak percaya
mungkin karena penampilan saya dirasa belum pantas

57
untuk menjadi Karom. Saya hanya menggunakan
gamis sebagaimana yang sering saya gunakan ketika
di Indonesia. Saya juga hanya menggunakan jilbab
berpeniti layaknya yang saya kenakan di tanah air.
Tidak ada yang istimewa. 
Jika karena hal itu, haruskah saya berpenampilan
layaknya ustadzah lain, yang menggunakan pakaian
kebesarannya lengkap dengan pasmina, haruskah
saya mengenakan seluruh perhiasan khas haji hingga
orang percaya bahwa saya adalah pembimbing haji?
Atau haruskah saya menggemukkan badan lagi agar
terlihat seperti ustadzah kebanyakan hingga dipercaya
sebagai Karom? Aaah ... tidak! Saya ingin tampil apa
adanya. 
Jadi, harus bagaimana, dong biar mereka percaya
bahwa saya adalah Karom? (Elly Lubis)

58
Hikmah Indah
Umrah Ramadhan

“Nanti kamu juga ke sini, Nop,” kata Ibu lewat


sambungan telepon dari tanah suci Makkah saat beliau
dan bapak menunaikan ibadah haji. Ketika itu, aku
masih duduk di kelas 3 SMU. Perjuangan mereka untuk
menunaikan ibadah haji begitu luar biasa di mataku.
Bapak yang guru SD, ibu yang berprofesi sebagai ibu
rumah tangga dan membantu usaha bapak berjualan
buku, mengumpulkan dana sedikit demi sedikit
untuk beribadah haji hingga, alhamdulillah, semua
biaya bisa tertutup ketika bapak mendapatkan royalti
dari menulis buku pelajaran bahasa Inggris di sebuah
penerbit buku sekolah.
Saat itu, belum terpikir sama sekali buatku
untuk segera menjejakkan kaki di tanah suci. Biaya
dan jauhnya jarak menjadi pertimbangan tersendiri.

59
Impian ke luar negeri, menuju baitullah mungkin baru
nanti-nanti saja hadir ketika aku sudah berkeluarga
dan memiliki banyak uang. Pemikiran sederhana saja
bagi seorang remaja kala itu.
Siapa sangka, hanya butuh waktu empat tahun,
kata-kata Ibu benar-benar terkabul. Allah memberi
kesempatan untuk menjalani ibadah umrah pada
November 2004. Seluruh biaya transportasi dan
akomodasi gratis dan dibiayai provider telepon seluler.
Aku berangkat bersama dua orang pemenang lainnya
dari Bangka dan Kalimantan bergabung dengan jamaah
umrah dari berbagai travel yang bekerja sama.
Benar-benar rezeki yang tak terduga setelah
kepergian Bapak sebelumnya pada awal tahun yang
sama. Jadi, awal tahun Bapak meninggal, dan jelang
akhir tahun, aku mendapat rezeki umrah. Saat itu,
entah kenapa, aku merasakan keberadaan Bapak di
dekatku. Entah karena aku kangen, entah memang
dia ada di “dekat” aku saat itu. Bapak yang terlebih
dulu menginjakkan kaki di sini. Bapak yang pernah
melantunkan doa-doa untuk kami di sini.
Di sana juga, aku bertemu dengan orang Indonesia
yang belum lama kehilangan sang ayah. Dia melihat
buku saku zikir harian al-ma’tsurat yang aku bawa
dan menginginkannya. Banyak doa bagus di sana,
menurutnya, yang kurang lancar membaca tulisan
Arab. Sayangnya, karena aku belum hafal, aku tak

60
memberikan al-ma’tsurat itu. Qadarullah, al-ma’tsurat
itu tertinggal di pesawat karena aku ketiduran.
Alhamdulillah, kami bertukar nomor ponsel dan
alamat rumah. Sepulang dari sana, aku kirimkan al-
ma’tsurat dan sebuah buku untuknya.
Istimewanya, umrah yang kami jalani dilaku­
kan saat bulan Ramadhan. Betapa indah dan me­
nyenangkan­nya. Setiap hari, ada saja tamu-tamu
Allah yang terus berdatangan dari segala penjuru.
Memang kondisi fisik harus fit dan prima karena
panasnya begitu terik pada siang hari. Dan ketika
malam, dingin­nya membuat menggigil. Suatu hari,
kami ikut shalat Jumat di Masjid Nabawi, Madinah.
Karena kami berangkat sudah siang, kami mendapat
tempat di luar, dan saat itu cuacanya luar biasa terik.
Ketika mengikuti shalat taraweh di malam harinya,
kami pun harus menghalau udara yang sangat dingin.
Aku akan selalu mengingat momen indah saat
berbuka. Menjelang Maghrib, kami harus sudah sampai
Masjidil Haram. Berbekal buah kurma, kami pun
berangkat. Namun, rupanya di sanalah orang-orang
berlomba memberi pelayanan terbaik untuk semua.
Plastik panjang digelar sepanjang shaf. Orang-orang
saling berhadapan. Dan ada beberapa orang secara
berkelompok memberikan kurma, yoghurt, dan
makanan kecil lainnya. Memang tidak banyak, tetapi
cukup mengenyangkan dan rasanya nikmat sekali.

61
Ketika waktunya shalat, plastik itu kembali digulung
dan sisa makanan serta sampah dibereskan karena
shalat Maghrib akan segera ditegakkan. Esoknya,
pemandangan serupa akan berulang.
Setelah itu, kami pun kembali ke hotel untuk
makan malam hingga datang waktu shalat Isya, kami
akan kembali ke masjid hingga shalat Taraweh. Kami
melihat pelataran Masjidil Haram penuh dengan
jamaah dari berbagai negara yang kemudian menggelar
kembali makanan layaknya orang sedang piknik.
Sepertinya mereka tetap tinggal sambil menunggu
waktu shalat Isya. Sementara itu, untuk sahur dan
berbuka, jamaah dari Indonesia yang serombongan
dengan kami disediakan makanan di sebuah ruangan
khusus di hotel, berbeda dengan tamu-tamu hotel
lainnya. Menunya tentu masakan Indonesia J
Ada banyak kejadian berkesan yang kualami saat
di sana. Membuat aku menyadari banyak hal, terutama
bahwa aku hanyalah mahkluk-Nya yang tak berdaya
tanpa pertolongan-Nya. Kami pernah tersasar saat
pulang shalat Subuh dari Masjid Nabawi ke hotel.
Untungnya, kami bermodalkan kartu nama hotel,
jadi bisa tanya-tanya ke orang, tetapi pas dilihat kok,
ternyata kami cuma muter-muter. Aslinya, hotel kami
itu enggak jauh dari masjid, lho.
Kami bertiga pernah punya keinginan berbeda
setelah selesai thawaf. Aku ingin duduk di hadapan
Ka’bah saja setelah shalat, seorang teman ingin sekali

62
shalat di Hijr Ismail, dan seorang lagi inginnya shalat
lebih dekat dengan Maqam Ibrahim. Aku sempat
mengkhawatirkan keduanya karena Masjidil Haram
makin ramai, bagaimana kalau mereka terdesak-
desak dan jatuh seperti yang sempat kami alami di
Ar-Raudhah, Masjid Nabawi. Alhamdulillah, kami
dipertemukan di tempat penyimpanan sandal.
Mungkin itu cara Allah agar kami yang tadinya sempat
berdebat, menyendiri dan merenung dulu hingga
waktunya bertemu, kami bisa berbaikan kembali.
Sebelum berangkat, aku sempat mendengar,
kalau sesuatu yang dilakukan di tanah air bisa
dibalas di tanah suci. Atau sesuatu yang dilakukan
di tanah suci, entah itu kebaikan atau keburukan,
pasti langsung mendapat balasan. Aku ingat seorang
teman yang merelakan pulsanya terpakai kena roaming
karena ponselku bermasalah saat keluargaku dari
Indonesia menelepon lewat ponselnya. Dia pun ikhlas
memberikan air zamzamnya ke seorang teman ketika
teman kami kehausan, padahal dia sudah berusaha
keras untuk mendapatkan tambahan air zamzam di
luar jatah yang kami terima.
Sampai di tanah air, ketika kami mengurus bagasi,
balasan itu datang bertubi-tubi. Sang teman tadi
mendapatkan dua jerigen air zamzam, sementara aku
dan temanku yang satu travel masing-masing hanya
mendapat satu jerigen. Sebuah bonus pulsa Rp50.000

63
pun masuk saat itu juga ke nomor ponselnya. Ah,
subhanallah ... senang sekali mendengarnya.
Aku sadari hal-hal kecil pun bisa memiliki arti,
sama halnya ketika keisenganku meledek tas besar
milik temanku yang bukan dari travel saat check in
di hotel di Madinah, menuai rusaknya tasku saat
pengambilan bagasi di tanah air. Ah, inilah balasan
buat­ku ya .... Bukankah tas kami bertiga sama, sama-
sama dari travel sebagai fasilitas, tetapi kenapa hanya
tasku yang rusak, hehe.
Yang paling berkesan dari perjalanan itu adalah
aku merasa harus banyak belajar. Aku merasa,
berangkat ke tanah suci memiliki banyak tujuan,
menuai ibrah, dan memberiku kesadaran. Aku sempat
menyaksikan perdebatan soal perbedaan dalam hal
ibadah, pengetahuan-pengetahuanku yang sedikit serta
kesalahan-kesalahan kecil yang kulakukan.
Salah satu doaku dari berderet doa-doa yang lain
adalah, aku yang bodoh ini ingin lebih memperdalam
nilai-nilai keislaman. Alhamdulillah, beberapa
bulan setelah ke­pulangan­ku, aku diberi kesempatan
untuk belajar di pesantren terbuka. Menggelitik rasa
keingintahuanku dengan berbagai hal, kesalahan-
kesalahan kecilku dalam beribadah, dan hukum-
hukum Islam yang masih teramat awam bagiku.
Moga saja suatu hari nanti, Allah kembali mem­
beri­ku kesempatan kembali ke Rumah-Nya. (Novi
Khansa)

64
Haji Backpaker

Pada musim haji 2013, saya dan beberapa teman akan


melaksanakan perjalanan haji untuk yang pertama kali.
Berbeda dengan perjalanan umrah yang saya lakukan
dari tanah air, perjalanan haji kali ini saya lakukan dari
Pakistan, tempat saya menempuh studi. Bisa dikatakan,
haji saya dan kelima kawan mahasiswa ketika itu
disebut haji nekat atau haji backpacker atau istilah dari
pemerintah saudi, kami disebut haji furoda.
Untuk berangkat dan mendapatkan visa haji saja
merupakan perjuangan tersendiri. Apalagi kami tidak
berangkat melalui travel, jadi harus mengurus sendiri
semua persyaratannya. Maka usaha, harapan, dan doa
juga harus lebih ekstra. Apalagi ketika tahun 2013
itu, pemerintah Saudi sedang mengurangi kuota haji
dari semua negara dikarenakan sedang ada perluasan
Masjidil Haram sampai tahun 2016 kelak.

65
Ada perasaan waswas ketika akan meng­urus
berkas-berkas untuk memenuhi per­syarat­an haji,
tetapi kami selalu saling memotivasi dan mengingatkan
bahwa haji adalah panggilan dan undangan dari
Allah Swt. Saya pun selalu meng­ingat­kan kawan-
kawan tentang kisah Maryam, ibunda Nabi Isa As.
dalam Al-Qur’an ketika beliau sedang hamil tua dan
membutuhkan makanan, lalu Allah me­merintahkannya
untuk menggoyang batang pohon kurma sehingga
berguguranlah buahnya. Sebenarnya Allah Swt. bisa
dan teramat mampu utuk memberikan makanan
kepada Maryam, tetapi Allah malah me­merintah­
kannya menggoyang batang pohon kurma itu
terlebih dahulu. Hikmahnya, ketika Allah Swt. akan
memberikan nikmat kepada seorang hamba, harus ada
usaha dan sebab di situ. Meskipun kemudian, usaha
tersebut sebenarnya tidak sebanding atau terlalu kecil
dibandingkan nikmat tersebut.
Setelah proses panjang nan melelahkan,
alhamdulillah akhirnya kami mendaptkan visa haji,
walau­­­pun ketika itu sudah dalam minggu terkhir. Arti­
nya, kalau minggu itu visa kami tidak jua keluar, kami
belum diberi kesempatan untuk menjadi tamu Allah.
Setiap yang menunaikan ibadah haji, saya yakin
punya cerita atau pengalaman yang begitu berkesan.

66
Pun demikian dengan saya. Bertemu banyak orang
dengan tipe, bahasa, ras, warna kulit, dan negara yang
berbeda. Banyak kejadian kecil yang bisa kita renung­
kan. Seperti yang saya lihat di sekitar Masjidil Haram,
orang-orang begitu berusaha dan berlomba-lomba
untuk melakukan kebaikan.
Pernah setelah shalat Zuhur ada seorang ibu dari
Bangladesh membagi-bagikan permen kepada para
jamaah haji. Saya terdiam ketika mendapatkan permen
dari ibu tersebut dan teringat bahwa pahala shalat di
Masjidil Haram adalah 100.000 kali lipat dibandingkan
shalat di tempat lain. Oleh karena itu, semua kebaikan-
kebaikan selain shalat pun akan demikian.
Lalu pada lain waktu, saya melihat ada orang yang
sedang mengambilkan air zamzam untuk para jamaah
haji yang sedang kehausan diterpa terik matahari
setelah thawaf ataupun setelah melaksanakan shalat
Zuhur di pelataran masjid. Semua orang benar-benar
berlomba untuk melakukan kebaikan dengan caranya
masing-masing.
Dan yang paling berkesan buat saya adalah ketika
saya sedang membeli beberapa minyak wangi sebagai
oleh-oleh untuk kawan-kawan mahasiswa di Pakistan.
Kebetulan pertokoan yang menjual macam-macam
minyak wangi dengan harga lebih murah dari mal-mal

67
terletak tidak begitu jauh dari ma’la.1 Banyak juga hotel
para jamaah haji Indonesia ataupun negara lain terletak
disekitar ma’la. Sebagaimana halnya para jamaah haji
yang hotelnya dekat dengan ma’la, saya pun berjalan
kaki ke pertokoan tersebut karena memang jaraknya
tidaklah begitu jauh. Bagi yang pernah menginjakkan
kaki di Makkah mungkin merasakan bahwa di sana
tidak gampang merasakan lelah, walaupun berjalan
sampai berkilo-kilo meter. Mungkin ini dikarenakan,
menurut beberapa ilmuwan, di Makkah gaya gravitasi
tidak terlalu besar, wallahu a’lam.

1
Pemakaman yang ada sejak zaman Nabi bahkan pra-Islam. Salah satu
istri Nabi Muhammad Saw., Khadijah ra. dimakamkan di sana. Pemakaman
ma’la sendiri sekitar 2 atau 3 kilometer ke arah utara dari Masjidil Haram.

68
Saya sampai di pertokoan tersebut ketika senja
dan azan Maghrib berkumandang. Karena azan sudah
berkumandang, pemilik toko-toko di situ pun menutup
toko-toko mereka lalu melaksanakan shalat. Saya pun
ikut shalat Maghrib berjamaah bersama mereka. Tidak
ada masjid, hanya karpet yang digelar begitu saja di
tengah-tengah pertokoan tersebut. Setelah shalat,
saya pun membeli beberapa botol minyak wangi
dengan berbagai jenis. Setelah itu, saya kembali ke
Masjidil Haram. Ketika berjalan bebarapa meter ke
arah selatan, saya melihat kerumunan para jamaah
haji. Ketika saya mendekat, ternyata mereka sedang
membeli lauk-pauk khas Indonesia yang kebetulan
dijual oleh para mukimin.2
Karena lapar, saya pun memutuskan untuk
membeli sebungkus nasi dengan lauk-pauk ikan dan
sayur seharga dua rial. Cukup murah untuk ukuran
di Makkah. Lalu yang menarik adalah ketika akan
membayar, tiba-tiba datang seorang anak muda yang
dari perawakan, wajah, dan pakaiannya menandakan
bahwa dia berasal dari Afghanistan. Dia mengeluarkan
beberapa lembar uang rial, lalu dengan isyarat
tangannya menunjuk lauk ataupun makanan yang
terdapat di situ dan juga makanan yang di tangan saya.

2
Mukimin yang dimaksud penulis di sini adalah para TKW yang bekerja
di Arab Saudi.

69
Awalnya, saya menduga bahwa dia ingin membeli
juga, saya pun memberi isyarat bahwa harganya dua
rial. Rupanya dia tidak paham bahasa Inggris ataupun
bahasa Arab. Dia lalu tersenyum dan memberikan
uang kepada ibu penjual dan sambil tersenyum melihat
makanan yang saya pegang. Kemudian, dia mulai
memberikan beberapa lembar uang sambil menunjuk
ke arah jamaah haji yang berkumpul di situ. Ternyata
dia tidak mau membeli untuk dirinya sendiri, tetapi
ingin membayar dan membelikan yang lain. Saya ter­
perangah. Sambil tersenyum, saya mengucapkan terima
kasih dan saya isyaratkan bahwa saya bayar sendiri
karena kebetulan saya sudah mengeluarkan uang.
Ini akan menjadi cerita biasa, kalau saja anak
muda itu tidak dari Afghanistan. Yah, negara yang
sedang dilanda kemiskinan karena perang dan kondisi
per­ekonomian negeri yang sedang porak-poranda.
Saya yakin mereka lebih layak untuk diberi bukan
memberi karena mereka sendiri banyak yang menjadi
pengungsi di Pakistan, Iran, dan bahkan mencari
suaka ke berbagai negara. Namun hari itu, anak muda
itu benar-benar mengajarkan saya bahwa kemiskinan
dan kekurangan bukanlah halangan untuk berbagi dan
memberi. Terima kasih anak muda yang tak pernah
saya ketahui namanya. (Mubdi Darsi)

70
Mawas Diri
Sebelum Tawakal Dipatri

Barangkali ungkapan, “Tempat yang paling aman


adalah di benteng pertahanan musuh” ada benar­nya.
Dalam peperangan, benteng pertahanan merupakan
area yang krusial. Tempat perencanaan besar dalam
pemenangan peperangan ditentukan. Sebuah tempat
yang mendapat pengamanan super ketat dan berlapis-
lapis. Oleh karena itu, ketika ada penyusup yang
berhasil masuk dan berpura-pura sebagai bagian
dari musuhnya, sesungguhnya dia telah dekat dengan
kemenangannya. Dia diperlakukan selayaknya
golongan itu. Orang-orang takkan mengira bahwa
ada musuh yang bersiap siaga dalam ramah tamah.
Selanjutnya pada saat yang tepat, musuh tersebut
menikamkan sembilu di jantung secepat kilat.
Ungkapan tersebut juga pernah saya alami ketika
saya menunaikan ibadah umrah. Bukan tentang sebuah

71
peperangan tentunya. Namun, tentang bagaimana
pelaku pencopetan dan penipuan di sebuah tempat
paling diharapi di dunia. Tempat suci yang diberkahi.
Pusat pertemuan Muslim dari seluruh dunia. Makkah
Al-Mukarromah.
Ka’bah yang kukuh dan tenang, tamu-tamu
Allah yang mengitarinya tujuh kali, kalimat-kalimat
thayyibah yang dikumandangkan, tak lantas serta
setan dalam wujud manusia hilang tunggang langgang.
Justru bagi nafsu syaithani, inilah ladang. Kala orang-
orang khusyuk masyuk menghamba, dan duniawiyah
seolah terbuang, pelaku tindak kejahatan itu kian lihai
menyantap mangsa tanpa gamang.
Sore nan sayu di ufuk. Jalanan terus saja ramai
tak kenal kantuk. Di dalam Masjidil Haram tetap
berhimpun hamba-hamba khusyuk. Di luarnya,
manusia lalu lalang hiruk pikuk. Kami berjalan
mencari celah, ke kanan ke kiri meliuk, melambat
melaju, berhati-hati agar kaki tak terantuk.
Setelah rampung serangkaian ritual umrah,
saya dan istri berjalan beriringan menuju pondok
penginapan. Balutan kain ihram masih melingkupi.
Tak lupa tas kecil selalu menyertai. Berisi dompet,
kitab suci mini, dan beberapa identitas diri. Tiba-tiba
dari kanan dan kiri ada dua sosok wanita bercadar,
berkerudung lebar, datang memepet, menjajari langkah
kami. Kami merasa risih. Namun untunglah, hal itu

72
hanya berlangsung beberapa detik, tak lebih. Lantas
mereka pun pergi. Perjalanan kami kembali tenang lagi.
Sesampainya di penginapan, tak ada yang aneh
sampai ketika kami hendak keluar lagi, saya mengecek
tas mungil tadi. Ups, dompet saya raib. Memutar-
mutar saya mengecek sudut kamar dan isi lemari. Istri
saya membantu mengecek sana-sini. Nihil. Ya, berarti
dompet saya telah dicuri. Astaghfirullah .... Ya sudah,
mari kita lanjut agenda hari. Eits, ada apa dengan
istri? Dia tampak gelisah. “Dompetku raib juga.” Ada
rasa terkejut dan sedih, tetapi kami bertatapan mata,
seolah serempak mengajak tertawa. Haha ... kompak
sekali kita?!
Dari situ, kami mendatangi penjaga di pos
pelayanan umum dekat TKP. Namun, petugasnya tidak
bisa berbahasa Inggris atau Indonesia, hanya bahasa
Arab. Sementara kami tak bisa bahasa Al-Qur’an itu.
Pihak biro umrahnya pun tak banyak membantu.
Namun ya sudah, kami pasrah, tawakal, Tuhan sedang
mengajari kami sesuatu. Ikhlas.
Tersebarlah lalu kisah kami ke rombongan umrah
kami. Dan mengalirlah cerita-cerita mirip yang lain.
Seperti modus segerombolan pencopet yang berkilah
pengemis. Sekitaran Masjidil Haram banyak sekali
pengemis, bahkan masih anak-anak. Mereka menekuk
lengan bawahnya ke leher sehingga yang tampak dari
ujung kaus lengan pendek mereka adalah siku. Sebuah

73
trik yang menampakkan gambaran seolah lengan
bawahnya putus. Atau bagaimana seorang jamaah
yang tas mungilnya disilet orang ketika sedang thawaf.
Iya, bahkan di jantung Makkah pun ada pencopet
yang nekat. Hilang sudah takut dan malu, walau di
depan kotak hitam warisan Ibrahim. Justru pada saat
segenap insan merasa begitu dekat dengan Rabbnya
yang Maha Rahim.
Selanjutnya, ketika saya berkesempatan untuk
umrah sesi kedua karena masih ada waktu luang di
sana, hampir saja saya tertipu saat menjalani sa’i.
Dalam prosesi lari-lari kecil dari Bukit Shafa dan
Marwah, seorang pria berbaju ihram mengajak saya
berbincang.
“Can you speak English?”
“Yes ....”
“Uhmm ... I am sorry to say this. I have lost my
wallet with all my money. Now I want to go back to my
country, but no money remain ... bla ... bla ... bla.” Dia
berujar sedih.
“Well, sorry, Sir. I can’t help you any.” Saya pun
ngeloyor begitu saja. Bukan karena saya tak peduli,
tetapi percakapan itu terlalu mirip dengan yang saya
alami beberapa hari sebelumnya ketika saya beribadah
di Masjid Nabawi, Madinah. Ya, di dalam masjid yang
berkah, tempat Ar-Raudhah—tempat yang mustajab,
ada makam Baginda Rasul yang mulia— berkeliaran

74
penipu-penipu bermodus kehilangan uang dan
meminta belas kasih orang. Di Masjid Nabawi itu,
saya percaya saja dengan kisah orang-yang-akhirnya-
penipu itu. Dia mengawali dengan bertanya apa saya
bisa berbahasa Inggris. Jika jawaban kita bisa, modus
kisah sedih pun dilancarkan. Saya pikir, dua kejadian
ini bukan sebuah kebetulan mengingat semacam ada
standard operasional procedure-nya. Dan saya tak ingin
tertipu untuk kedua kalinya. Saya harus mawas diri.
Saya teringat sebuah hadis yang mengajari kita
tentang tawakal yang benar.
“Telah datang kepada Rasulullah Saw. seorang
lelaki yang hendak meninggalkan untanya begitu saja
di pintu masjid tanpa ditambat terlebih dahulu. Lelaki
itu bertanya kepada Rasulullah Saw.: ’Ya Rasulullah,
adakah unta itu perlu saya tambat dan kemudian
saya bertawakal atau saya lepaskan saja, kemudian
bertawakal?’ Rasulullah Saw. menjawab: ’Tambatkanlah
terlebih dahulu, lalu bertawakal,” (HR. Tirmidzi).
Meskipun Makkah dan Madinah adalah tempat
yang di setiap petaknya terberkahi, tempat jiwa-jiwa
yang diundang ke sana memanggul tawakal dan ikhlas
hati, sama sekali tak berarti mawas diri harus disisih.
Sebaliknya, tawakal yang sejati justru bersimpuh di
pengujung usaha yang kita genapi. Wallahu a’lam.
(Chif El Hamasah)

75
Cerita tentang Cadar

Udara di tanah suci, baik di Makkah ataupun


Madinah, sangat berbeda dengan udara yang biasa
kita hirup di Indonesia. Petugas dari Suku Dinas
Kesehatan, saat di asrama haji, menyarankan kepada
kami untuk sering mengenakan masker yang menutupi
mulut dan hidung. Ini ditujukan agar udara yang
dihirup sudah mengalami penyaringan terlebih
dahulu. Anjuran seperti ini juga tertera pada buku
yang dibagikan secara cuma-cuma oleh Departemen
Agama. Dasarnya saya ndableg, sepertinya kata ini
yang pas untuk menggambarkan sikap saya saat kali
pertama ke tanah suci, jarang sekali menggunakan
masker. Alhasil, selama di sana, hidung saya sering
sakit, bahkan kadang berdarah.
Ketika kali kedua saya ke sana, saya coba meng­
ikuti anjuran untuk menutup mulut dan hidung dengan

76
masker. Awalnya terasa sangat mengganggu, tetapi
lama-lama saya jadi terbiasa. Selain agar tidak langsung
menghirup udara yang berdebu, masker rupanya juga
membantu untuk menjaga diri dari beberapa berita
miring yang kerap didengar seperti pelecehan dan
lain-lain. Sejak itu, setiap kali hendak keluar pondokan,
saya selalu mengenakan masker.
Suatu kali, saya berpapasan dengan seorang
perempuan berpakaian hitam-hitam di sebuah toko
pakaian. Dia sedang memilih beberapa model abaya.
Perempuan itu berpostur tinggi layaknya perempuan
Arab lainnya. Dia mengenakan cadar yang menutupi
wajahnya, dan menyisakan sedikit di bagian matanya.
Seorang diri saja, tanpa ditemani oleh siapa pun. Mata
saya mengamatinya hingga dia membayar pakaian
yang dipilihnya tadi dan keluar dari toko. Hingga
mata saya mengikutinya ke seberang jalan, dia tetap
terlihat sendiri. Tak ada yang menemaninya entah itu
suami, anak, ibu, ayah, atau temannya. Dia berjalan
menyeberangi jalan. Sepertinya, dia tidak khawatir
dengan keselamatan dirinya dengan berjalan sendirian
di areal pertokoan itu.
Saya yang saat itu hendak mencari pakaian
untuk oleh-oleh ibu di rumah, akhirnya tertarik juga
mem­beli sesuatu yang bisa saya pakai sebagaimana
perempuan itu tadi pakai. Saya pun membeli cadar.

77
Sepulang ke pondokan, saya memberitahukan
tentang cadar itu kepada teman-teman sekamar, dan
coba mengenakannya. Saya mengenakannya lengkap
beserta abaya milik ibu yang baru saja saya beli tadi.
Teman-teman sekamar mengatakan bahwa saya pantas
untuk mengenakan pakaian ala perempuan Saudi.
Akhirnya, sejak saat itu saya seperti tergila-gila dengan
pakaian berwarna hitam. Hampir tiap ke Saudi, saya
selalu sempatkan membeli pakaian berwarna hitam.
Pun setiap berada di sana, saya juga berpenampilan
layaknya perempuan Saudi. Penampilan saya yang
seperti itu terkadang tidak dikenali, bahkan oleh
jamaah saya sendiri.
Hal ini terbukti saat suatu kali saya hendak meng­
ambil gambar melalui handycam di depan pondokan,
kemudian di depan saya lewat seorang jamaah yang
tergabung dengan rombongan kami. Saya menyapanya,
awalnya dia terlihat bingung dan tidak mengenali
saya. Setelah membuka cadar yang saya kenakan,
barulah dia menyadari bahwa orang yang ada di
hadapannya adalah saya. Saya betul-betul menikmati
nyamannya mengenakan cadar saat di tanah suci. Ke
mana pun saya pergi, saya selalu membawa cadar.
Meski demikian, tak selamanya mengenakan cadar itu
membuat saya merasa nyaman. Ada juga pengalaman
menggelikan yang hingga saat ini selalu berkelebat
dalam ingatan saya.

78
Suatu hari, saya baru pulang dari masjid dan
hendak menuju ke kamar adik saya yang saat itu
berada di lantai 7. Antrean lift sangat ramai. Pasalnya,
pondokan itu terdiri dari 16 lantai dan nyaris semua
kamar terisi. Meskipun terdapat 4 lift, pada jam-jam
usai shalat seperti itu antrean tak lagi dapat di­
hindarkan. Setelah menunggu beberapa lama, akhir­
nya saya mendapatkan kesempatan untuk masuk ke
dalam lift. Lift yang berkapasitas sekitar 15 orang itu
bergerak naik. Di samping kanan saya, ada seorang
ibu yang mengenakan mukena, sedangkan di samping
kiri saya terdapat seorang perempuan Arab bercadar
dan seorang laki-laki yang mengenakan gamis putih
panjang.
Tiba di lantai yang saya tuju, segera saya meminta
agar penumpang lift yang ada di depan saya sedikit
me­nyingkir dan memberikan saya jalan. Karena tahu
bahwa orang yang berada di depan saya berasal dari
Indonesia, saya pun berbicara dalam bahasa Indonesia.
“Maaf, Pak, saya mau keluar,” ucap saya kepada
beberapa jamaah yang berdiri di dekat pintu. Saat
saya bergerak menuju pintu lift yang terbuka, seorang
ibu bermukena yang tadi berdiri di sebelah saya
menyeletuk. “Oalah! Kirain orang Arab, ternyata TKW,
toh?!” katanya. Panas telinga saya mendengarnya.
Mungkin dipikirnya saya adalah teman seorang

79
perempuan bercadar yang berdiri di samping saya tadi.
Karena sama-sama mengenakan pakaian abaya dan
cadar. Namun, begitu saya dapat mengucapkan bahasa
Indonesia dengan fasih, dia seperti merasa tertipu. Saya
coba menahan diri untuk tidak menanggapi celetukan
ibu tadi. Namun ketika belum sempurna betul saya
keluar dari lift itu, terdengar lagi sebuah suara yang
juga tak kalah merendahkan.
“Mau jualan nasi, tuh dia. Lihat! Bawaannya
plastik gede isi nasi.” Entah siapa yang mengucapkan­
nya, saya tidak terlalu memperhatikan. Namun dari
intonasi bicaranya, dia terlihat merendahkan saya.
Memang, saat itu saya membawa plastik besar yang
berisi makanan untuk adik saya dan teman-teman
sekamarnya. Sebelum shalat tadi, mereka meminta
saya untuk mengambilkan jatah makanan yang ada
di lantai dasar untuk dibawa ke kamar mereka. Jadi
bukan untuk berjualan.
Mendengar kalimat dari ibu-ibu tersebut, telinga
saya menjadi tambah panas. Dari perkataannya,
mereka seolah memandang rendah profesi TKW
yang berjualan nasi. Akan tetapi, saat saya hendak
meluruskan omongan tersebut, pintu lift sudah
tertutup. Grrrh! Bisa dibayangkan bagaimana perasaan
saya saat itu.

80
Hanya karena saya mengenakan pakaian serba
hitam, bercadar, berbicara dalam bahasa Indonesia, dan
membawa bungkusan plastik berisi nasi, dianggapnya
saya TKW yang ingin berjualan nasi di pondokan itu.
Rasanya ingin kembali ke lift tersebut dan berbicara
dengan ibu-ibu tadi. Meluruskan apa yang ada dalam
pikiran mereka dan sedikit memberinya sebuah
pandangan yang lain tentang TKW. Bahwa menjadi
TKW bukanlah sebuah kesalahan. Bahwa menjadi
TKW yang berjualan nasi adalah pekerjaan yang
halal. Bahwa menjadi TKW jauh lebih baik ketimbang
menjadi pejabat yang mengenakan jas mewah, tetapi
mengorupsi uang rakyat. Ingin rasanya saya ungkapkan
itu semua, tetapi lift sudah bergerak ke atas.
Saya kecewa. Bukan karena saya dianggap
sebagai TKW yang berjualan nasi. Karena, toh itu
pekerjaan yang halal. Saya kecewa karena mereka telah
mengomentari hal-hal yang tidak perlu. Mengomentari
sesuatu yang mereka tidak ketahui kebenarannya.
Mengomentari sesuatu yang bisa jadi membuat
seseorang yang mendengarnya jadi tersinggung.
Terlebih lagi jika bahasanya terkesan merendahkan
seperti tadi. Saya kecewa karena perkataan tersebut
keluar di tanah suci. Tempat sejatinya hanya kata-kata
baiklah yang keluar dari mulut jamaah yang menjadi
tamu-tamu Allah.
Astaghfirullahal‘adzim .... (Elly Lubis)

81
Abu Muhammad

Umrah bersama keluarga tahun 2010 adalah


pengalaman yang unik. Saat itu, kami tidak meng­
guna­kan jasa travel. Karena itu, kami mengatur segala
keperluan umrah sendiri, dari penginapan sampai
transportasi.
Kami mengawali perjalanan ibadah dari Madinah.
Walaupun ayah punya banyak relasi di sana karena
pernah bertugas di Arab Saudi, tapi kami sepakat untuk
tidak merepotkan orang lain.
Tanpa pilah-pilih, kami langsung dipertemukan
dengan taksi sedan besar berwarna putih dan sopirnya
adalah seorang kakek tua yang memakai gamis putih
pula. Dia mengenalkan diri sebagai Abu Muhammad,
katanya itu adalah panggilan sehari-hari untuknya. Di
awal, aku merasa biasa saja dengan Abu Muhammad
serta taksi putihnya tersebut. Ya, seperti umumnya

82
menaiki taksi saja. Tetapi, setelah mengamati isi
taksinya lebih dalam dan diantar seharian ke beberapa
tempat oleh Abu Muhammad, aku baru menyadari
bahwa ia adalah orang yang bersih, baik dan shalih.
Taksinya bersih dan harum, dan ada cooler-nya seperti
mobil ayah. Selama perjalanan, ia tak henti menawari
kami kudapan berupa biskuit, kurma, permen, kue-kue
arab, dan lain-lain.
Kemudian kami pun menggunakan jasa Abu
Muhammad setiap hari, tak hanya berziarah ke situs-
situs bersejarah di Madinah, tetapi juga mengantar
kami sampai ke Makkah. Situs-situs bersejarah yang
sepertinya tak akan kami sambangi jika menggunakan
jasa travel. Kami juga ditunjukkan situs-situs bersejarah
yang sudah dibongkar atau dialihfungsikan menjadi
hotel, toilet umum, rumah makan, dan sebagainya,
seperti rumah Nabi Muhammad Saw., rumah Ja’far
Ash-Shidiq, makam ayahanda Rasulullah Saw., empat
masjid di lokasi Perang Khandaq, dan lain-lain.
Dan jika kami telat makan siang, Abu Muhammad
seperti paham bahwa aku yang paling lapar, dia pun
segera memaksaku makan roti bekal makan siangnya
sebelum kami mencapai restoran tujuan kami. Ketika
kami sampai di restoran, beliau tidak pernah mau
makan bersama kami dengan alasan sudah dibawakan
bekal masakan istrinya. Beliau juga selalu menolak jika
kami belikan oleh-oleh makanan buat anak-anaknya

83
atau kami lebihkan biaya jasa taksinya, katanya tidak
sesuai perjanjian di awal.
Uniknya lagi, setiap pagi setelah dhuha, Abu
Muhammad menjemput kami di hotel, beliau selalu
mengucapkan selamat pagi dan menyampaikan salam
untuk kami sekeluarga dari istri dan anak-anaknya.
Dan ketika malam hari, beliau mengantarkan kami
ke hotel, beliau juga tak lupa mengucapkan selamat
malam dan mendoakan kami supaya beristirahat
dengan nyaman serta mengingatkan kami untuk tak
lupa mendirikan qiyamullail di Masjid Nabawi.
Setelah hampir sepekan di Madinah, kami pun
melanjutkan perjalanan ibadah kami menuju Makkah,
yaitu untuk mendirikan ibadah umrah. Kami me­
minta tolong Abu Muhammad jika memungkinkan
meng­antar kami sampai di Makkah, dan ternyata
beliau setuju.
Pagi-pagi, beliau menjemput kami di hotel. Ketika
kami semua sudah duduk rapi di dalam mobil, beliau
mengingatkan lagi kalau-kalau ada yang ter­lupa.
Kemudian beliau membimbing kami untuk mem­
bersihkan niat ibadah umrah hanya karena Allah Swt.
sebelum menuju Makkah.
Saat perjalanan menuju Makkah, Abu Muhammad
melakukan sesuatu yang sangat hebat menurutku.
Bagiku selama ini, hanya ibuku seorang pengemudi

84
terbaik yang mampu menyetir sambil mengurus anak,
bahkan sambil menyusui anak-anaknya. Tetapi Abu
Muhammad ini lebih hebat lagi! Di kala mobil sedang
melaju, beliau menyetir sambil menuangkan serbuk teh
dan air panas dari termos ke dalam gelasnya. Kukira,
teh panas tersebut untuk dirinya, ternyata untuk kami
semua! Dan beliau melarang kami membantunya,
karena baginya kami adalah tamu Allah. Tak lama
setelah teh kami habiskan, masih sambil mengemudi,
tangannya sibuk kembali mengambil roti, daging,
dan beberapa sayuran dari cooler miliknya. Ternyata,
ia sedang meracik itu semua untuk dijadikan kebab,
dan lagi-lagi kebab tersebut bukan untuk dirinya.
Melainkan untuk kami sekeluarga. Tak hanya itu, beliau
terus menawarkan kami camilan, terutama untukku
dan kakakku yang terus-terusan dipaksa makan kurma
ajwa yang katanya supaya kami sehat dan kuat.
Ketika melakukan miqat di Masjid Bir Ali, Abu
Muhammad mengingatkan kami apa-apa saja yang
harus kami kerjakan sesuai tuntunan Rasulullah Saw.,
bukan seperti seorang pembimbing umrah dan haji,
lebih tepatnya seperti seorang kakek kepada cucu-
cucu­nya. Kami pun mendengarkan dengan baik,
walaupun ini bukan umrah yang pertama buat kami
sekeluarga.

85
Dan ketika semakin mendekati Makkah, Abu
Muhammad membangunkan kami yang ketiduran,
untuk mulai melafalkan kalimat talbiyah bersama-sama
hingga kami sampai di terowongan bawah tanah yang
ada pintu masuk menuju hotel tempat kami menginap.
Kami sampai di Makkah pada malam hari. Abu
Muhammad mengantar kami sampai ke depan pintu
masuk hotel. Ketika orangtuaku melebihkan harga
yang sudah disepakati, beliau dengan keras dan
tegas menolaknya. Beliau hanya minta foto bersama,
dan meminta tolong foto tersebut dikirim ke e-mail

86
anaknya yang sudah berkeluarga. Ibuku pun tak kuat
menahan haru dan ingin juga memberikan yang
terbaik untuk­nya. Lalu tiba-tiba ibuku melepas bros
lumba-lumba kesayangannya dan menitipkannya
untuk diberikan kepada istri Abu Muhammad. Terkejut
kami, karena justru pemberian itu membuat mata Abu
Muhammad berkaca-kaca.
Tentu saja itu tidak cukup untuk membalas segala
kebaikan yang telah diberikan olehnya. Setelah aku
berfoto dengan Abu Muhammad, kami se­keluarga
pun mengucapkan salam kepadanya. Aku melihat taksi
putihnya melaju dalam kegelapan. Masih terbayang
olehku keriput-keriput di wajahnya yang putih
bersih dan tubuhnya yang tak terlalu tinggi seperti
orang Arab pada umumnya, dan pastinya seluruh
kebaikannya sungguh melekat dalam ingatanku. Aku
mungkin tak akan pernah me­lupa­­kan dirinya. Aku
tak pernah mengetahui nama asli­nya, tak pernah
mengetahui dimana ia tinggal, tak tahu bagaimana
dirinya sekarang. Tetapi, dia adalah salah satu orang
terbaik dan menakjubkan yang pernah kutemui,
yang mengajarkanku arti ke­baikan, keikhlasan dan
kejujuran. Dialah Abu Muhammad, yang menyelipkan
sebuah pelajaran spiritual dalam perjalanan hidupku.
(Bilqis Muthia Setiadi)

87
Keajaiban Bernama Doa

Sebuah jeruk di tangan. Diremas-remas dengan


gundah. Ketinggian ribuan meter di atas tanah
menambah rasa mual. Tempat duduk yang sempit.
Seharusnya waktu yang panjang, senyap, dan tidak
begitu menguntungkan ini, karena badan pegal—bisa
dimanfaatkan untuk banyak berzikir atau tidur
melepas lelah. Namun, kenyataannya tidak seindah
itu. Saya menghela napas berat berkali-kali, sambil
melempar pandangan keluar jendela. Gugusan awan
yang sangat indah—putih bersaput biru—tidak mampu
memadamkan hasrat terpendam. Hasrat untuk makan
... lapar. Lapar setengah mati.
Saya sedang duduk gelisah di dalam pesawat yang
membawa saya ke Hong Kong, pada suatu hari yang
cerah di bulan Ramadhan sepulang umrah. Pramugari
cantik Cathay Pasific sudah dipesan baik-baik, bahwa

88
kami satu rombongan sedang berpuasa, jadi tidak perlu
dihidangkan makanan. Berangkat dari Bandara King
Abdul Aziz, Madinah, kalau tidak salah sekitar pukul
tiga sore. Nah, saya juga enggak ngerti, deh bagaimana
hitungannya, yang jelas puasa kami menjadi jauh lebih
panjang. Saya sebenarnya tak pernah bermasalah dalam
berpuasa. Saat hamil anak kedua, saya masih berpuasa
Ramadhan. Hanya bolong tiga hari, itu pun karena
kesiangan untuk sahur, bukan karena kelaparan.
Oleh karena itu, saya galau banget saat ini, ketika
terserang rasa lapar yang sangat, hingga pusing kepala.
Biasanya enggak, kok. Tambah galau lagi karena teman
duduk di samping saya, seorang nenek berusia 65
tahun, terlihat biasa-biasa saja. Alamakjan, kuat benerr!
Saya menengok ke belakang, ke teman saya yang
sebaya, aha yang ini juga sudah memucat wajahnya.
Bibir kering, mengelupas. Jilbab doyong ke sana-sini.
Kelihatan menderita, haha! Apalagi saya. Mungkin
bukan pucat lagi, melainkan sudah nyaris pingsan.
“Ya Allah ... kayaknya saya enggak kuat! Saya
laper berat! Lemas tiada tara! Pusiing tujuh keliling!
(Lebay karena lapar). Saya pengen buka saja ya, Allah?
Bagaimana menurut Allah? Apa saya harus buka …
atau menurut-Mu, saya masih bisa tahan?” Komat-
kamit, sambil badan terus bergerak gelisah menahan
lapar. Bu Marni, teman duduk saya itu, jadi ngeh.

89
“Ami kenapa?” tanyanya perhatian. Saya hanya
menggeleng sok imut. Ah, malu sama Bu Marni. Belum
juga beliau mengalihkan pandangan, tahu-tahu saya
merasakan sesuatu yang ajaib! Sesuatu yang biasa
dirasakan ketika datang bulan! Masya Allah … cepat
sekali Allah menyahut dialog hati saya! Langsung saja,
walau tangan masih gemetar menahan lapar, saya
mengupas kulit jeruk.
“Eh, Ami, enggak puasa?” tanya Bu Marni lagi.
“Lagi dapet, Bu. Maaf ya, Bu, saya makan di
depan Ibu,” jawab saya dengan gaya semanis mungkin.
Padahal adegan berikutnya, jeruk dihabiskan dalam
tindakan sesadis mungkin, langsung telan, haha. Just
kidding. Keselek, dong kalau langsung glek. Korban
berikutnya kurma ... lalu permen dan juga sebotol
air mineral (edisi ngopyak bekal di tas karena jatah
makanan dari Cathay sudah lewat).
Sampai di bandara internasional Hong Kong, lain
lagi ceritanya. Saya memilih berpisah dari teman-
teman karena ngebet cari makan. Saya pun berkeliling
mencari restoran halal, sementara yang lain memilih
untuk beristirahat di ruang duduk dekat sebuah gate.
Saya berjalan sendirian mendorong troli, berkeliling.
Dari Hong Kong kami akan pulang ke tanah air. Umrah
Ramadhan kali ini benar-benar berkesan. Selain visa
yang keluarnya jarang (tetapi alhamdulillah dapat

90
juga), lalu perjalanan di udara yang lebih panjang
(untuk menghemat budget), transit di bandara Hong
Kong juga alamakjan lamanya. Semua dijalani dalam
keadaan berpuasa. Namun, tidak untuk saat ini! Hehe.
Saya pun mengayuh sepeda, eh, kaki … meneliti satu
demi satu lapak yang buka di bandara ini.
Teman yang sudah berkali-kali ke Hong Kong
bilang, kalau restoran halal cuma ada satu, dan agak
jauh. Belum tentu buka juga, karena waktu setempat
baru menunjukkan pukul enam pagi. Malas saya naik
eskalator lagi dengan risiko ketidakpastian 99 persen
itu. Jadi, saya memutuskan untuk membeli roti saja
atau ngopi, pokoknya perut terisi. Kurma, jeruk, apalagi
permen, bleh, enggak nendang gurindang.
Sayangnya karena faktor waktu, belum ada satu
biji pun lapak yang buka. Akhirnya saya memilih
duduk saja di sebuah kursi panjang yang disediakan
khusus untuk tidur. Bentuknya menyerupai sofa tempat
tidur mini—tanpa sofanya. Silakan membayangkan
sendiri, saya agak susah mendeskripsikannya. Waktu
saya mendorong-dorong troli itu, semua kursi tidur
itu penuh. Kursi biasa, mah banyak, cuma enggak
bisa dipakai selonjoran. Saya mohon dalam hati, “Ya
Allah, saya capek sekali, ngantuk dan kepengen duduk.
Mudah-mudahan ada yang bangun berdiri.”
Alhamdulillaah, Allah memang Mahabaik, enggak
sampai semenit, ada kursi kosong. Saya duduk, agak

91
risih sebenarnya karena harus selonjoran di depan
umum. Sibuk merapikan gamis dan jilbab, jangan
sampai ada rambut yang tersibak saat saya merebahkan
kepala, juga memperbaiki kaus kaki serapi-rapinya.
Mudah-mudahan kaus kaki itu enggak tertarik saat
saya menyelonjorkan kaki.

“Jam sembilan, ya pesawatnya take off!” Demikian


pesan sang ketua rombongan yang diucapkan
berkali-kali. Apalagi ke saya, yang sukanya jalan-
jalan sendirian ini. Baiklah. Saya atur alarm di hape.
Delapan empat lima. Gate-nya dekat, kok. Namun,
saya memang memilih tidak bergabung dengan teman-
teman. Saya ingin menyendiri, merenung. Namun, niat
hati mau merenung lama malah jadi ketiduran saking
capeknya badan. Sebelum pulas tertidur, saya sempat
memandangi langit Hong Kong yang berwarna abu-

92
abu. Rindu sekali kepada anak-anak yang telah saya
tinggalkan selama 9 hari. Saya enggak ingat kapan
saya jatuh tertidur, yang pasti, terbangun karena bunyi
alarm yang berdenging-denging!
Apaaa!!!
Dan saudara-saudara tahu pukul berapa ketika
saya terbangun? Sadar di tengah-tengah bandara di
sebuah negara yang asing sekali, yang jaraknya ribuan
kilometer dari tanah air, sendirian, enggak kenal
siapa-siapa ....
Pukul sembilan!
Bwah, paniknya luar biasa! Seperti terbang,
saya mendorong troli dan menuju gate yang dituju.
Parahnya lagi, gate ternyata berubah (suatu hal yang
amat sangat biasa terjadi), dan gate baru yang harus
saya tuju itu jaraknya cukup jauuuh!
Mau nangis? Enggak!
Enggak takut ketinggalan pesawat? Enggak!
Kalau ketinggalan, gimana, dong? Enggak kenal
siapa-siapa di sini, lho! Mau naik pesawat apa lagi
untuk pulang? Beli tiket di mana? Nunggu berapa
lama lagi? Enggak, enggak, dan enggak! Saya enggak
pernah takut!
Saya punya Allah! Yang bangunin saya tadi, siapa?
Tidur sampai pules gitu, bunyi alarm sudah kayak

93
decitan tikus. Itu Allah yang bangunin! Allah juga yang
bawa kaki saya kuat lari kayak gini, dorong-dorong
troli! Dan Allah juga yang pasti akan menahan laju si
burung besi, supaya tetap nungguin saya! Dan benar ...
di gate yang dituju, dua orang petugas sudah menanti
dengan wajah tak sabar. “Indonesia?” katanya, melihat
saya berlari-lari sambil mengatur napas.
Mungkin sudah terdata bahwa si orang yang telat
ini dari Indonesia. Saya enggak bisa jawab—wong
napas enggak beraturan—cukup ngangguk dan ngasih
paspor. Tiket dirobek dan saya bergegas masuk ke
lorong yang menghubungkan gate dengan pesawat. Di
belakang saya ternyata masih ada orang lagi. Seseorang
yang terlihat seperti businessman, berwajah India. Oh,
syukurlah ternyata masih ada yang lebih telat, ihik.
“Aku teleponin, ke mana saja?” tanya Bu Haji.
“Tadi dicari-cari, tapi enggak ketemu.
Alhamdulillah sekarang sudah lengkap.” Mas Ahmad
sang pemimpin rombongan, tersenyum.
“Enggak sempat ngelihat hape, Bu. Maaf,” jawab
saya sambil membereskan barang. Ada yang ditaruh
di bagasi atas, ada yang saya pangku. Dan memang
semua sudah diatur-Nya dengan baik, teman duduk
saya kali ini, bukan lagi teman satu rombongan, tetapi
orang lain. Seorang TKW, tetapi saya lupa dia bekerja di
mana. Yang jelas dia terlihat seperti agak stres. Barang

94
bawaannya katanya hilang. Satu-satunya yang tersisa
hanya sebuah tas tangan yang dia kekepin erat-erat.
Ketika waktu makan, dia terlihat kelaparan
sekali. Dia juga sedang tak puasa. Tandas semua
yang ada di tray-nya. Saya bagi punya saya, habis
juga. Alhamdulillah. Ngobrol sana-sini ... rupanya
dia akan pulang ke daerah Kuningan, Jawa Barat.
Katanya dijemput sang kakak. Kami tiba di Cengkareng
menjelang sore. Saya dampingi dia. Mengajak makan
bakso dulu, sambil membantunya menghubungi sang
kakak melalui ponsel saya. Ternyata kakaknya tidak
bisa menjemput. Kasihan jika dia sendirian pulang ke
Kuningan. Naik apa? Saya juga enggak tahu. Akhirnya
saya ajak menginap di rumah saya dulu. Kami pulang
naik taksi. Suami kebetulan tidak bisa menjemput,
sedang dinas ke Medan.
Besoknya saya minta adik sepupu saya mengantar
Ceu Kokom ini ke terminal bus. Di tasnya tak lupa
saya selipkan banyak oleh-oleh untuk keluarganya di
Kuningan. Plus sebuah ponsel esia, agar di jalan nanti
dia bisa menghubungi kakaknya. Saya juga jadi bisa
meneleponnya untuk sekadar menanyakan, “Sudah
sampai mana?” Ini semata-mata saya lakukan karena
khawatir akan keadaannya. Juga membayangkan,
kalau saya di posisinya, pasti saya ingin ditolong orang.

95
Atau keluarga saya pasti mengharapkan saya pulang
dengan selamat.
Saat kita diberi kesempatan untuk menolong orang
lain, pergunakanlah sebaik-baiknya. Sebenarnya tak
hanya untuk orang tersebut, tetapi lebih untuk kita
sendiri. Kebaikan itu memantul, memantul lebih
dalam kepada pemberinya. Saya justru bersyukur
Allah memberi saya kesempatan itu. Esoknya, ibu Ceu
Kokom menelepon saya. Saya sampai mau menangis
mendengar beliau mengucapkan banyak terima kasih.
Berulang-ulang dan berkali-kali. Alhamdulillah si Eceu
sudah sampai dengan selamat. Saya hanya bisa bilang,
“Ya, Bu, sama-sama, ya ... sama-sama.” Dalam hati,
saya berkata, “Ah, Ibu ... ini semua berkat doa Ibu.”
Doa. Doa. Doa. Ya, jangan pernah meremehkan
doa. Tak hanya mendoakan diri sendiri, tetapi juga
keluarga dan orang lain. Kenapa kita butuh sekali dekat
dengan Allah? Salah satunya agar doa-doa kita lebih
didengar. Doakanlah Muslim Uighur yang sedang
teraniaya. Muslim di Palestina, Suriah, dan negara
lain. Bayangkan, anak-anak mereka yang masih kecil,
bayi-bayi yang terpaksa harus menderita ... sementara
di sini kita bisa hidup aman dan nyaman.
Jangan remehkan doa. Allah sendiri berkata,
“Berdoalah!”(Ami Susiani)

96
BAGIAN III
“Perjalanan adalah belajar untuk melihat dari
berbagai sudut pandang,
dengan menjadikan mereka—orang-orang biasa
dalam kehidupan biasa—sebagai tokoh utama kisah.”
—Agustinus Wibowo
Perdana Menteri
yang Rendah Hati

Senin, 14 Juli 2014, saya pindah tugas dakwah dari


Palmerston North ke Wellington, Ibu Kota New
Zealand. Saya naik bus antarkota, karena perjalanannya
cukup dekat, hanya dua jam naik bus. Sesampainya
di Terminal Wellington, saya sudah disambut oleh
Bu Nunki seorang pengurus Umat Muslim Indonesia
(UMI) di New Zealand. Dengan wajah berseri dan
sangat santun, Bu Nunki langsung menyapa saya,
“Selamat datang di Wellington, Pak Ustadz. Di
sini dingin, Pak,” katanya.
“Enggak apa-apa, Bu, sudah biasa kok di Kairo
dulu,” ujar saya.
“Pak Ustadz malam ini menginap di rumah Pak
Deni, ya,” katanya. Ternyata kami sudah disambut oleh
Pak Deni di depan mobilnya dengan penuh senyum.

98
“Sampai jumpa nanti, Pak Ustadz, saya mau ke
kantor lagi,” kata Bu Nunki pamit.
“Iya, Bu, insya Allah,” jawab saya.
Kemudian, saya dan Pak Deni menuju rumahnya.
Pak Deni adalah suami Bu Nisa yang bertugas di KBRI
New Zealand. Beliau meninggalkan pekerjaannya
di Jakarta karena lebih memilih menemani istrinya
bertugas di New Zealand. Sesampai di rumah, saya
mengobrol panjang dengan Pak Deni. Sampailah
cerita saya tentang seorang menteri pendidikan New
Zealand yang ikut antre di Bandara Auckland. Para
pengawalnya pun sama, ikut antrean dengan Pak
Menteri. Pemandangan yang sangat berbeda jika
dibanding di Indonesia. Para pejabat selalu dikawal
ke mana-mana, mendapat perlakuan istimewa dan
kalau perlu menyerobot antrean.
“Oh ... di sini yang begitu biasa, Pak Ustadz,”
katanya bersemangat. “Malah di sini pernah ada
rombongan mobil perdana menteri yang namanya
Hellen Klark. Beliau ditilang oleh polisi ketika mau
ke bandara. Karena kecepatannya melebihi peraturan,
akhirnya serombongan itu terpaksa membayar denda.
Dengan sangat rendah hati, PM Hellen juga ikut
membayar denda. Akhirnya, kejadian itu jadi berita
yang sangat positif di media massa New Zealand,” ujar
Pak Deni panjang lebar.

99
Saya teringat kejadian serupa, tetapi beda karakter
aktornya di Indonesia. Di tanah air, para pejabat
ingin sekali dihormati, walau melanggar aturan.
Mereka ingin dinomorsatukan hingga kadang malah
mengorbankan kepentingan umum. Pernah ada
kejadian seorang pejabat yang melanggar aturan.
Sang petugas yang taat pada aturan bersikeras tak
memperbolehkan masuk, tetapi sang pejabat malah
marah dan tiba-tiba aturan bisa berubah dengan
mudahnya.
Ya Allah ... luar biasa seorang pejabat di sini,
tidak minta dilayani secara istimewa. Sementara itu,
di kampungku, setingkat bupati dan wakilnya saja
harus dikawal oleh tiga orang dan minta banyak
keistimewaan sehingga sangat susah mengatur waktu

100
bertemu dengan rakyatnya. Kalaupun ada, itu pun
harus penuh dengan sandiwara dan protokoler yang
macam-macam. Ada pengalungan bunga, pertunjukan
tarian, dan lain sebagainya sehingga rakyatnya pun
hanya bisa menonton.
Ya Allah ... jadikanlah kami generasi Islam yang akan
mengambil kembali ajaran Rasul-Mu yang telah diambil
oleh orang lain, aamin. (Khairul Umam)

101
Sepenggal Warna
dari Pakistan

Apa yang ada dalam pikiran Anda ketika mendengar


sebuah negara bernama Pakistan?
Perang? Konflik? Film India? Usamah bin Ladin?
Atau terorisme? Seperti beberapa orang yang terheran
dan bertanya kenapa aku harus kuliah di Pakistan,
“Pengen jadi teroris?” tanya mereka. Aku kadang
menjawab dengan senyum sambil bergumam dalam
hati, “Ah, sebegitu besarkah peran media menanamkan
hal itu dalam benak dan alam bawah sadar mereka?”
Memang di beberapa tempat, seperti perbatasan
Pakistan-Afghanistan kadang ada konflik antara
militer dan militan, atau konflik masalah Kashmir
antar Pakistan dan India. Namun hingga saat ini, tidak
sampai berimbas pada aktivitas sehari-hari, apalagi
di Islamabad yang merupakan ibu kota. Situasi di

102
sana cukup aman dan kondusif. Jadi, kadang terlalu
berlebihan kalau Pakistan digambarkan sedemikian
seramnya.
Pakistan adalah salah satu negara di Asia Selatan.
Berbatasan dengan India di sebelah timur, China di
sebelah utara, dan Afghanistan di sebelah barat laut.
Negara ini terdiri dari lima provinsi. Beberapa kota
pentingnya, yaitu Karachi, Lahore, dan Islamabad.
Karachi sebagai kota terbesar merupakan tempat
industri serta bisnis. Dulunya, Karachi merupakan ibu
kota negara sebelum dipindahkan ke Islamabad tahun
1960-an. Kota Lahore langsung berbatasan dengan
India dan merupakan kota kuliner dan wisata. Terdapat
banyak peninggalan dan situs sejarah dari Kerajaan
Mughal di sana. Sementara itu, Islamabad adalah
ibu kota negara dan kota pemerintahan. Di sinilah
tempat berdirinya Universitas Islam Internasional atau
International Islamic University.
Jadi, saya akan sedikit bercerita tentang Islamabad
dan orang-orang Pakistan. Islamabad adalah kota yang
indah. Jalan-jalannya yang lebar sehingga hampir
tak ada macet seperti Jakarta, walaupun kota lain,
seperti Karachi dan Lahore kadang lebih macet dan
semrawut ketimbang Jakarta. Islamabad terletak di kaki
Bukit Margallah yang merupakan salah satu dari tiga
rangkaian pegunungan Himalaya. Taman-tamannya
hijau dan dihiasi oleh rekah bebungaan yang berwarna-

103
warni kala musim semi dan musim panas tiba. Daun-
daun yang berguguran kala musim gugur menambah
pesona dan damai kota ini, di samping juga gigil yang
menusuk kulit kala musim dingin menyapa.

Kota ini memang dirancang sedemikian rupa


sebagai pengganti ibu kota sebelumnya. Jadi, pantas
kalau tata kotanya begitu bagus. Islamabad terdiri dari
blok-blok dan sektor sehingga amat mudah mencari
alamat rumah. Di setiap blok dan sektor dipastikan
ada taman-taman umum untuk bermain, berolahraga,
ataupun sekadar menikmati pagi dan senja. Selain itu,
di sini juga ada centre market yang terdiri dari toko-
toko yang menjual kebutuhan sehari-hari. Sebagai
pelengkap, terdapat bazar, tempat kita bisa membeli
barang-barang second. Menariknya, banyak barang
yang berkualitas dan bermerek bisa kita dapatkan di

104
bazar dengan harga yang sangat miring alias murah.
Jadi, bazar itu semacam pasar loak kalau di Indonesia.
Di bazar ini pulalah, para mahasiswa Indonesia
berburu jaket-jaket bagus ketika musim dingin datang
atau sepatu-sepatu murah, tetapi berkualitas. Bahkan
staf-staf KBRI juga mengunjungi bazar ini.
Orang-orang Pakistan sendiri secara umum me­
nurut­ku ramah-ramah terhadap orang asing. Mereka
tak segan untuk menyapa ketika bertemu di jalan. Ada
kebiasaan bagus di sini ketika bertemu dengan kawan,
yaitu kebiasaan salam, memeluk, dan menanyakan
kabar. Orang-orang di sini terbiasa dengan salam.
Mereka tidak canggung. Tidak seperti di Indonesia,
yang menurutku jarang mengucapkan salam ketika
berjumpa atau melewati beberapa orang yang sedang
duduk.
Banyak kebiasaan positif yang layak ditiru, seperti
masjid-masjid yang selalu ramai untuk shalat ber­
jamaah, atau anak-anak yang menghafal Al-Qur’an
sedari dini. Jadi, tak heran kalau banyak hafidz kita
jumpai di sini. Sebagai negara bekas jajahan Inggris,
bahasa Inggris juga common di sini, bahkan bahan ajar
anak SD dan TK saja sudah berbahasa Inggris. Boleh
dibilang, bahasa Inggris adalah bahasa kedua setelah
Urdu sebagai bahasa resmi nasional.
Ada juga yang unik. Seperti kota besar di
Indonesia, di Islamabad juga banyak pendatang dari

105
ber­bagai pelosok yang mengadu nasib. Mereka jarang
bertemu atau melihat orang asing. Jadi, terkadang
setiap berpapasan di jalan dengan orang-orang
Indonesia yang ada di sini mereka akan bertanya,
“Aab Chinese he?”, “Kamu orang China, yah?” Kadang
kita hanya senyum sembari menggeleng. Jadi, orang
asing dalam pikiran mereka itu hanya orang China.
Parahnya, kadang kawan-kawan mahasiswa dari
Somalia atau Afrika lainnya dikira orang China juga
oleh mereka. Lucu, ya.
Namun, ada juga yang menjengkelkan. Banyak
dari warga sana yang keras kepala dan tidak mau
mengalah. Jadi, kadang kalau mau menyeberang
susahnya minta ampun karena mereka benar-benar
ngebut dan tidak mau tahu kalau ada yang mau
menyeberang. Akhirnya, kalau macet, seperti di Kota
Karachi dan Lahore itu minta ampun parahnya. Bawa
mobilnya sudah kayak kesetanan. Entah sebabnya apa.
Terkadang, aku benar-benar bersyukur jadi orang
Indonesia yang suka mengalah. Meski keras kepalanya
mereka, ada hal yang selalu aku perhatikan dari meraka
yang membuat aku kadang bepikir kalau itu mungkin
merupakan representatif dari sifat kelembutan mereka;
bahwa kebanyakan atau bisa dikatakan hampir
semua truk-truk penuh dengan hiasan atau lukisan
bunga-bunga dan alam, juga bus-bus yang selalu ada

106
gantungan bunga-bungaan di sekitar tempat duduk
sopir.
Ada lagi yang menyebalkan, kadang basa-basi
mereka kebablasan, seperti bertanya, “Are you Muslim?”
Ini menjengkelkan buatku. Pernah suatu saat, aku
menemani seorang kawan ke ATM. Ketika menunggu
tiba-tiba ada anak muda Pakistan yang antre dan
menyapa, bertanya nama, dari mana berasal, dan
kuliah di mana. Setelah ngobrol ngolor-ngidul, tiba-
tiba dia bertanya, “Brother, are you Muslim?” Jawabku,
“What? Kan tadi udah kubilang kalau aku kuliah di
International Islamic University, Fakultas Shariah and
Law!” Dengan tampang dingin, aku tinggalkan anak itu
karena kawanku juga sudah selesai. Dan dia melongo
saja sambil berkata, “Sorry.”
Ada lagi yang cukup mengganggu dan men­
jengkel­kan. Kebiasaan orang Pakistan pipis di
samping jalan. Mereka kalau lagi kebelet, ya turun
dari kendaraan mencari rerimbunan dan menunaikan
hajat­nya. Meskipun kata kawan yang pernah ke India,
di sana lebih parah karena BAB pun di samping jalan.
Itulah Islamabad. Itulah Pakistan dan orang-
orangnya. Bagaimanapun, no place is perfect, no one is
perfect. Tak ada tempat yang sempurna, tak ada orang
yang sempurna. Positif dan negatif selalu ada dalam hidup
ini. Ambil dan pelajari yang postif, buang jauh-jauh yang
negatif. (Mubdi Darsi)

107
Aunty Caroline
yang Merindukan
Kehangatan Keluarga

Berawal dari kedatangan saya di Kota New Plymouth.


Baru saja keluar dari bus, saya langsung disambut
dengan ramah oleh sepasang suami istri. Nama sang
suami Faisal, akrab dipanggil Bang Ichal asal Aceh, dan
istrinya Mbak Rini, seorang akuntan asal Tegal.
“Insya Allah, Pak Ustadz menginap di rumah saya
selama di New Plymouth,” kata Mbak Rini ramah.
“Ok, Mbak. Insya Allah saya ikut saja,” jawab
saya. Alhamdulillah saya disediakan sebuah kamar
yang sangat nyaman. Ketika mengobrol panjang lebar
dengan Bang Ichal, ternyata saya tahu bahwa beliau
adalah korban Tsunami Aceh yang selamat dengan dua
orang anak perempuannya, Ika dan Shely. Sementara
itu, istrinya hilang dibawa gelombang Tsunami di

108
depan mata mereka. Bang Ichal diajak ke New Zealand
oleh dua orang kakak perempuannya, Neneng dan
Mita, yang dinikahi oleh dua orang kakak-beradik
bule New Zealand, Paul dan Mike yang hobi main
selancar di Pantai Aceh. Bang Ichal baru menikah lagi
tahun 2009 dengan Mbak Rini dan dikarunia seorang
anak laki-laki bernama Ghanam yang usianya sudah
2 tahun. Jadi, penghuni rumah itu berjumlah 5 orang.
Keesokan harinya, saya terkejut dengan ke­
datangan seorang nenek bule nyelonong masuk rumah
dan bersikap laiknya tuan rumah.
“Siapa nenek bule itu, Bang?” tanya saya berbisik.
Ketika nenek bule itu sudah ke dapur, barulah Bang
Ichal bercerita tentang sosok nenek itu. Namanya
Caroline. Beliau orang yang sangat baik. Beliaulah yang
mau mengasuh dengan sukarela dua anak perempuan
Bang Ichal yang masih kecil ketika Bang Ichal mencari
nafkah. Sampai sekarang pun, beliau mau mengasuh
Ghanam sehingga Mbak Rini bisa bekerja.
“Dia enggak mau sedikit pun dibayar, padahal
bayar pengasuh sangat mahal, harus pakai UMR 12
dolar per jam,” ujar Bang Ichal.
“Apakah beliau enggak punya anak?” tanya
saya.
“Itulah masalahnya,” kata Bang Ichal, “dia punya
tiga anak, tapi tidak pernah tahu-menahu lagi sampai

109
sekarang. Hilang lenyap semuanya,” sambung Bang
Ichal memperlihatkan wajah prihatin.
Bang Ichal pun bercerita tentang bagaimana
nenek-nenek tua banyak yang hidup sebatang kara di
rumahnya masing-masing. Semua anaknya tidak ada
yang peduli terhadap keadaan ibunya ketika tua. Tentu
saja alasannya klasik, sibuk bekerja. Tidak sedikit di
New Zealand ditemukan nenek-nenek sudah menjadi
bangkai di rumahnya beberapa hari atau baru ketahuan
karena bau bangkai yang menyengat. Ada juga karena
telepon tidak diangkat-angkat dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, sekarang pemerintah New Zealand
membuat kebijakan, semua nenek yang hidup sebatang
kara harus memakai gelang digital yang bisa dikontrol
dari rumah sakit, yang bisa mendeteksi apakah orang
tua itu masih hidup atau sudah meninggal.
“Mengapa ya, Bang ... kok anak-anak itu tega
membiarkan orangtuanya seperti itu di masa tuanya?”
tanya saya.
Bang Ichal melanjutkan ceritanya. Di New
Zealand, tidak ada ikatan batin antara anak dan
orangtua karena ketika anak sudah berusia 18 tahun,
menurut peraturan pemerintah, harus keluar dari
rumah orang­tuanya kalau masih ingin mendapatkan
bantuan subsidi dari pemerintah. Oleh karena itu,
rata-rata anak di sini kalau sudah usia 18 tahun keluar
dari rumah orangtuanya, dan orangtuanya juga sudah

110
tidak peduli lagi. Anaknya mau berzina, mau kumpul
kebo, mau kawin, itu terserah. Tidak ada urusan
orangtua lagi. Malahan, kalau ada orangtua yang mau
mencampuri urusan anaknya yang kumbul kebo dan
mau memisahkan mereka, justru orangtuanya yang
bisa dilaporkan ke polisi. Akibatnya, si orangtua ini
bisa masuk penjara. Oleh sebab itu, anak-anak juga
tidak merasa bertanggung jawab untuk memperhatikan
orangtuanya ketika sudah tua renta. Toh, mereka sudah
punya tabungan untuk bisa membayar panti jompo dan
sudah ada jaminan hidup dari pemerintah. Kesepian
di hari tua inilah yang sangat menjadi momok bagi
para manula di negeri yang maju seperti ini.
Tampaknya hal itu juga yang dikhawatirkan
Caroline. Ketika dia menjadi jompo kelak, siapa
yang akan mengurusi dirinya. Ketika dia tergeletak
tak bernyawa, siapa yang akan mengurus mayatnya.
Sepertinya Caroline cemburu melihat eratnya
hubungan kekeluargaan kakak-beradik antara
Bang Ichal, Mita, dan Neneng yang selalu saling
mengunjungi. Caroline mungkin cemburu melihat
Grand Ma, mertua Mita dan Neneng, yang selalu di­
kunjungi oleh menantunya yang berasal dari Indonesia.
Bisa jadi Caroline juga berharap, semoga Eka, Shely,
dan Ghanam yang pernah diasuh tanpa pamrih itu,
mampu meramaikan hari tuanya kelak seperti Grand
Ma yang beruntung dapat menantu orang Indonesia.
(Khairul Umam)
111
Soal Nasi Padang
dan Rasis

Hari Minggu lalu, kami mengunjungi Restoran


Pondok Buyung di Kensington. Kami bela-belain
pergi ke sana untuk memenuhi kerinduan kami pada
nasi padang. Kensington lumayan jauh dari Campsie,
tempat kami tinggal. Kami harus naik kereta, turun di
Stasiun Central (kurang lebih 45 menit dari Campsie)
lalu dilanjut naik bus ke arah Kensington. Seharusnya,
perjalanan naik bus tidak terlalu lama, hanya sekitar
15 menit, tetapi karena hari Minggu, jalanan di City
macet, karena semua orang kepingin keluar jalan-jalan.
Ditambah lagi, ada semacam festival musik di daerah
Randwick, yang kebetulan searah dengan Kensington,
jadilah kami berpapasan dengan para ABG Aussie
yang hendak menonton konser.

112
Bus yang kami tumpangi penuh sesak. Kayyis jadi
rewel dan minta turun dari stroller. Dia akhirnya diajak
sama ayahnya duduk di bangku dan jadi lebih ceria.
Bus terus melaju dengan tetap menambah penumpang.
Dua kali ini saya naik bus yang hampir sama penuhnya
dengan bus Transjakarta. Pertama saat pergi ke Bondi
Beach beberapa waktu lalu. Kedua, ya kali ini.
Di suatu halte, seorang mbak-mbak bule dengan
ukuran tubuh lumayan besar naik. Saya melihatnya
sekilas karena memang dia lewat di depan mata saya.
Dia merangsek masuk ke dalam bus, sementara saya
duduk di bagian depan.
Beberapa saat kemudian, rupanya si mbak ini
mau turun. Karena lewat di samping saya lagi, saya
sempat beradu pandangan sama dia. Dan saya segera
mengalihkan pandangan ke luar. Eh, tanpa saya sangka,
mbak ini berbicara kepada saya dengan nada lempeng.
Awalnya saya tak mengerti dia bicara apa, wong agak
bisik-bisik. Belakangan baru saya mengerti, intinya dia
tak suka saya melihat ke arah dia. Dududu … mungkin
ini yang disebut pandangan pertama itu berkah, dan
pandangan kedua adalah musibah. Ngarang gini :) Lha
habis, apaan, dong? Saya tak bermaksud “menatap”
si mbak ini. Namun, saya tak mau banyak ngomong,
selain enggak tahu juga mesti ngomong apa kalau
kebanyakan ngomong, jadi saya cuma bilang, “I’m not
looking at you. If you felt so, I’m really sorry.”

113
Tanpa disangka mbak ini malah semakin ngomel
dan mulai mengata-ngatai, “Dasar Asia!” segala. Waaa,
baru kali ini saya bertemu bule yang rasis secara
terang-terangan. Sikap rasis yang saya temui selama
ini sebatas bule yang hanya mau menyapa sesama bule
(saya menjumpai yang model begini di playgroup).
Kalau sikapnya masih yang begini, ya sudahlah, itu
soal preferensi bahwa kita lebih cocok dengan sesama
ras kita itu sangat wajar, tetapi kalau sudah ngata-
ngatain, rrrr. Namun, saya tak mau terpancing dan
memilih tidak menanggapi kata-kata si bule. Ketika
saya menceritakan hal ini kepada suami saya, dia
bilang si mbak bule itu juga tadi sempat marah-marah
ke penumpang di sebelahnya. Ya, kurang lebih sama,
mengata-ngatai, “Dasar Asia, Palingan lo enggak bisa
bahasa Inggris, kan? Kalau bisa juga paling sepatah
dua patah kata.” Bahkan di kota sebesar dan semodern
Sydney masih ada orang-orang yang tak siap dengan
keanekaragaman.
Suasana hati saya lumayan terganggu dengan
peristiwa di bus itu. Hmmmfh, cuma kepingin makan
nasi padang aja saya harus bertemu dengan orang
macam itu. Bikin semakin pingin pulang ke Indonesia
aja. Namun, setelah tiba di Restoran Pondok Buyung,
suasana hati saya ceria kembali. Sekian lama tidak
makan masakan padang, rasa enaknya jadi berkali-kali
lipat. Enggak percaya? Coba saja, Kayyis aja mangap
melulu. (Ida Wajdi)

114
Bagian IV

Merantaulah
(Syair Imam Asy-Syafi’i)

Orang pandai dan beradab tak ‘kan diam di kampung


halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang.
Pergilah ‘kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan
teman.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah
berjuang.
Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam
tertahan.
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, dia ‘kan keruh
menggenang.
Singa tak ‘kan pernah memangsa jika tak tinggalkan
sarang.

Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak ‘kan kena


sasaran.
Jika saja matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam,
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman,
orang-orang tak ‘kan menunggu saat munculnya datang.
Biji emas bagai tanah biasa sebelum digali dari tambang.
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai
memperebutkan.
Kayu gahru tak ubahnya kayu biasa di dalam hutan.
Jika dibawa ke kota berubah mahal seperti emas.

116
Tukang Potong Rumput
yang Kaya

Pertama kali saya menginjakkan kaki di Kota


Auckland, hari Kamis 3 Juli 2014, saya disambut oleh
Pak Abet sekitar pukul 16.15. Ternyata di luar bandara
disambut hujan, udara sangat dingin, perkiraan saya
antara 0 sampai 5 derajat celsius. Kemudian, saya
diantar ke sebuah rumah.
“Insya Allah, Ustadz nanti menginap di sini,” kata
Pak Abet. Rumah cukup besar dan ada empat mobil
yang diparkir di situ. Ada Alpard, van untuk bekerja,
dan ada dua sedan. Kemudian, kami disambut oleh dua
orang yang santun dan ramah sekali. Pak Ali dan Doni.
“Maaf, Pak Ustadz, kami melajang di sini. Jadi,
apa adanya ya,” katanya ramah. Istri Pak Ali dan anak-
anaknya pulang ke Indonesia sejak sebelum Ramadhan.
Sementara itu, Doni, anak muda yang hampir dua

117
tahun mengadu nasib di New Zealand, meninggalkan
seorang anak dan istri di Indonesia. Sebenarnya, saya
segan menanyakan pekerjaan seseorang, tetapi karena
sudah akrab, saya beranikan diri bertanya,
“Di sini Pak Ali kerja di mana?”
Dengan polos dia menjawab, “Sudah 20 tahun
di sini, saya bekerja jadi tukang potong rumput.”
Tak ada wajah minder saat ia menjawab. Ternyata
pekerjaan seperti ini wajar-wajar saja, bahkan
mengejutkan bagi saya karena pekerjaan tersebut
sangat menghasilkan.
Pak Ali melanjutkan, “Di sini tenaga manusia
sangat dihargai, UMR-nya 15 dolar per jam, Pak
Ustadz. Sekitar Rp150.000. Bayangkan kalau kita bisa
kerja 8 jam sehari. Saya mengerjakan hampir 200
rumah sebulan. Sebagian saya sub cont-kan lagi ke
yang lain. Doni ini saja enggak kurang 20 juta rupiah
sebulan dapat dari saya.” Angka yang menakjubkan.
“Yang penting di sini rajin, Pak Ustadz.”
Ya Allah, penghasilan seorang tukang rumput di
New Zealand bisa mengalahkan penghasilan seorang
pegawai Chevron di Duri.
Sementara itu di Indonesia, tukang bangunan
yang sepanjang hari kerja di bawah terik matahari,
hanya diupah 70 ribu rupiah. Saya terbayang juga
tukang rumput di Indonesia yang jadi mustahik LAZ

118
yang tidak bisa menyekolahkan anaknya. Benar-benar
sangat jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Mobil-
mobil yang ada di garasi rumah itu pun ada yang milik
pribadi untuk bekerja dan ada yang milik orang yang
menyewa rumah ini. Jadi, selain ditinggali Pak Ali
dan Doni, ada juga orang yang menyewa rumah ini.
Mungkin bagi sebagian orang di Indonesia, Pak
Ali dan Doni merantau jauh dari Indonesia ke New
Zealand “hanya” untuk menjadi tukang memotong
rumput. Akan tetapi, orang-orang di Indonesia
pasti akan takjub dengan penghasilan yang mereka
dapatkan. Bukan semata-mata nilai uangnya, tapi
kesempatan yang mereka dapatkan pasti tak semudah
itu. Mereka adalah pekerja keras yang rajin dan disiplin.
Mereka mampu mengerjakan secara baik pekerjaan
mereka yang dipandang sebelah mata, tapi sangat
bermanfaat. Apalagi, bagi warga New Zealand yang
banyak memiliki pekarangan rumah yang pastinya
butuh perawatan rutin dan kontinyu.
Ah, ada saja jalan rezeki dari Allah Swt. Ada saja
rezeki dari-Nya untuk orang-orang yang merantau
dan ingin mengubah nasib di negeri orang. (Khairul
Umam)

119
Tiga Nilai Moral

Aroma Eucalyptus seketika menyerbu hidungku


begitu kujejakkan kaki di pelataran bandara
internasional Perth. Hmmm … kuhirup dalam-dalam
dan kunikmati sensasinya. Ada perasaan yang dulu tak
pernah terpikir akan kurindukan. Rasa itu membuatku
ingin segera kembali ke kota sunyi ini, walau tanah
airku telah menawarkan berbagai kenikmatan dan
pelayanan sepanjang hampir dua bulan liburanku
kemarin.
“Lihat saja, Perth akan menjadi kampung halaman
Ummi yang kedua, deh.” Kukenang ucapan suamiku
dulu, saat aku berat hati meninggalkan kemapanan
hidup di Indonesia serta orang-orang yang kukasihi.
Betapa benar kurasa terkaannya itu sekarang. Sambil
bergegas mengikuti langkah dua putraku yang berjalan
riang di sisi abinya, kutersenyum pada langit yang

120
bertabur bintang dan berbisik di hati, “Here I am,
Perth, back again.”
Hari-hari penuh rutinitas kembali terpampang
di depanku. Sesampainya di rumah, bayangan
mengantar-jemput anak-anak ke sekolah, mengajar
ibu-ibu di pengajian, melanjutkan kursus bahasa
Inggris, berbelanja harian, perlahan-lahan merayapi
pikiran. Kutarik napas panjang demi memastikan
diriku siap dengan semua itu. Maklumlah “sindrom
bakda mudik” sering kali menjangkitiku minimal
sepekan pasca kepulangan dari Indonesia. Aku jadi
lamban dan kurang bergairah dalam beraktivitas,
akibat terlena oleh hidup di kampung halaman yang
selalu dilayani.
Kuedarkan pandangan ke penjuru rumah yang
sempat terbengkalai. Tumpukan baju siap setrika
yang kutinggal sebelum mudik, masih setia menanti.
Tanaman-tanamanku tampak kering tak terurus
diterpa musim panas. Kuraba lapisan debu yang
terlihat menutupi permukaan perabotan rumah.
Telapak tanganku menghitam oleh saputan debu.
Telapak kakiku pun dapat merasakan kesatnya lantai
yang berminggu-minggu tak disapu. “Harus bergegas
membereskan urusan domestik, nih sebelum anak-
anak masuk sekolah dua hari lagi,” gumamku sambil
mulai berbenah.

121
Hari Senin selepas shalat Subuh, aku berjibaku
di dapur melakukan tugas-tugas rutin selama hampir
empat tahun ini: menyiapkan sarapan dan bekal untuk
suami dan anak-anak, merapikan tempat tidur, serta
menggesa kedua putraku untuk menghabiskan sarapan
dan segera mandi setelahnya. Hhh … padahal beberapa
hari lalu pada waktu yang sama, aku masih bisa
bermalas-malasan di tempat tidur sambil menunggu
sarapan disiapkan oleh asisten di rumah Mama.
“Coba ada si Teteh di sini membantuku ....”
Setengah hatiku berbisik.
“Eih sudah! Hentikan berandai-andai. Bikin
penyakit malas tambah parah saja,” bantah sisi hatiku
yang lain. Kugeleng-gelengkan kepala mengusir
lamunan kenikmatan yang sontak berkelebat itu.
Usai mengantar anak-anak ke sekolah, aku
langsung tancap gas untuk kursus bahasa Inggris.
Kulirik jam tangan, masih ada waktu 30 menit sebelum
kelas dimulai. Semoga parkiran belum penuh. Jarak
sekolah anak-anak dan tempat kursusku tak terlalu
jauh. Meski kupikir aku tiba cukup awal, tak kusangka
lahan parkir sudah habis tersita. Terpaksa kucari
tempat parkir di daerah perumahan di sekeliling
tempat kursus. Lokasi parkirnya lumayan membuatku
terengah berjalan kaki ke kelas.

122
Saat berjalan menuju kelas, kulewati jajaran
mobil para guru dan staf di area parkir khusus. Hebat,
pasti semuanya datang on time, bisik benakku lirih.
Barangkali banyak orang sudah tahu bahwa hidup di
luar negeri harus siap untuk selalu berpacu dengan
waktu. Betapa orang di sini sangat menghargai setiap
detik yang berlalu sehingga setiap pekerjaan dihitung
balasannya per jam. Tak heran jika kemudian kita pun
hafal slogan populer mereka, “Time is money”. Semua
pekerjaan dilakukan dengan imbalan uang di setiap
menitnya.

123
Aku kagum dengan imbas falsafah itu. Dengan
penerapan yang tepat, disiplin mudah tegak tanpa
banyak omong. Pegawai di sini bekerja tepat waktu.
Bidang usaha apa pun dimulai dan diakhiri tepat
waktu. Semua produk jasa beroperasi sesuai waktu-
waktu yang telah ditentukan.
Namun, pernah juga aku geram gara-gara sikap
mereka yang terlalu money oriented itu. Pernah saat
liburan sekolah aku menyewa bus untuk perjalanan
excursion (studi wisata) anak-anak TPA yang kukelola.
Sang sopir meminta untuk berangkat tepat waktu, yakni
pukul 9 pagi. Kuiyakan setengah mantap sambil dalam
hati aku sibuk berdoa agar dia mau menolerir beberapa
menit jikalau ada anak-anak yang terlambat. Namun,
harapanku pupus. Dia bersikeras tetap berangkat,
walau bus belum terisi penuh atau dengan kata lain
murid-muridku ada yang belum datang!
“Sorry, I can’t wait at all, I have another appoinment
to do.”
Bus pun melaju tenang sementara aku menahan
dongkol sambil meratap gemas, “Teganya, teganya,
teganya ....”
Kekesalan serupa juga banyak dialami orang
Indonesia di sana ketika mereka melakukan transaksi
jasa reparasi, seperti perbaikan ledeng, AC, atau
komputer. Pasalnya, pemanggilan si tukang saja

124
sudah dikenai biaya yang lumayan bikin susah
senyum. Jika ternyata kerusakannya sepele dan dapat
kita perbaiki sendiri, sedangkan si repairman sudah
dalam perjalanan menuju rumah, kita harus tetap
membayarnya sebagai ganti waktunya yang telah
terpakai.
Meski demikian, kebiasaan tepat waktu ini
sangat perlu kita pelajari dan terapkan. Kebiasaan
banyak orang kita yang tak menghargai waktu dan
cenderung jam karet harus diubah. Kita perlu lebih
berdisiplin akan waktu seperti orang-orang di Australia
ini. Memang, tak mudah mengubah kebiasaan ini
jika tak diawali kesungguhan dari dalam diri atau
tanpa dukungan kuat di lingkup pergaulan. Kita
sepantasnya menyadari bahwa satu keterlambatan
dapat berefek fatal pada banyak hal. Ini bukan
semata urusan kehilangan uang, tetapi lebih tentang
tersia-sianya waktu jika kita tak rapi dan tertib dalam
pengaturannya. Berapa orang yang sudah kita rugikan
karena terenggut waktunya saat menanti ketibaan kita?
Kecamuk di benakku meluruh segera setelah
kulihat jajaran ruang kelas di hadapan. Kulirik jam
di pergelangan tangan kiri, “Alhamdulillaah, kurang
lima menit lagi. Yuhuu ... masih tepat waktuu ...” Aku
terkekeh dalam hati seraya memasuki ruang AG 15 itu.

125
Kate, guru favoritku mengawali kelas dengan
menceritakan liburan musim panasnya kemarin. “Well,
I’ve spent a lot of great time during my holiday in Bali.
I did sunbathing everyday and look, I’ve got tanned
skin!” Dia memamerkan warna kulit di tangan, leher,
wajah, dan bagian-bagian tubuh yang mudah terlihat.
Memang, kini dia tampak kecokelatan. Air mukanya
semringah. Matanya berbinar seakan mendapat
anugerah tak ternilai.
Aku tersenyum geli. Tingkah Kate seperti gadis
remaja, padahal kuduga dia sudah berusia di atas 45
tahun. Namun, gayanya selalu trendi. Penampilannya
dari atas ke bawah senantiasa serasi. Bila bajunya
merah, sepatunya pun merah. Anting, kalung, gelang,
ikut bertaburkan warna merah. Meski begitu, Kate
adalah orang yang bersahaja sebagaimana warga
Perth pada umumnya. Aksesorinya yang serba match
itu bukan berasal dari bahan yang mahal atau merek
ternama. Dia tampak selaras, tetapi tetap sederhana.
Cara berpenampilan masyarakat Australia rata-
rata memang tak banyak gaya. Mereka tak terlalu
memikirkan aspek lahiriah ketika keluar rumah,
juga tak terlalu peduli dengan anggapan orang lain
yang memperhatikan mereka. Sering kujumpai para
pengunjung mal lalu lalang dengan piyama atau baju
tidur yang ditutupi jaket. Bahkan saat musim panas,

126
banyak anak-anak muda yang asyik berbelanja tanpa
alas kaki alias nyeker. Pada acara-acara resmi, seperti
wisuda, resepsi pernikahan, atau berbagai exhibitions,
dandanan mereka pun jauh dari kegemerlapan yang
kerap kutemui di pesta-pesta serupa di negeriku
sendiri.
Jika kuamati, kesederhanaan mereka ternyata
bukan terlihat dari segi penampilan saja. Dalam hal
pemakaian alat-alat elektronik rumah tangga, telepon
seluler, ataupun kendaraan pribadi, kebanyakan mereka
tak terlalu mementingkan bentuk teknologi terkini
dan mutakhir. Selama barang yang dimiliki masih
berfungsi, mereka tak begitu tergiur melihat barang
anyar serupa yang baru dibeli teman atau tetangga
sebelah rumah.
Pikiranku sejenak melayang pada gaya hidup
masyarakat Jakarta, kota kelahiranku. Terbayang
perilaku konsumtif serta aturan tak tertulis untuk
senantiasa terlihat “wah” dalam pergaulan. Orang
sering gonta-ganti ponsel, atau berbusana serba
mewah saat menghadiri majelis taklim atau arisan.
Pantas saja banyak mal di Jakarta. Orang selalu butuh
belanja barang-barang bagus. Yang lebih parah, orang
lalu saling menilai penampilan luar saja. Tamu yang
datang dengan mobil mewah dan baju bermerek
akan dilayani dengan sangat baik di sebuah hotel,

127
misalnya. Sementara yang berpenampilan murahan
akan langsung diperlakukan sebaliknya.
Pelan-pelan kuembus napas panjang dan meng­
geser bayanganku tadi pada topik Bahasa Inggris yang
dibawakan Kate. Suaranya yang tadi sempat lenyap di
telingaku, kembali memenuhi ruang konsentrasiku.
Seperti biasa, hari pertama kursus setelah jeda liburan
belum banyak diisi dengan materi serius. Mungkin
selain menunggu kursi murid terisi penuh, materi-
materi berupa penyegaran lebih dibutuhkan murid
yang tidak sempat mengulang pelajaran akibat berlibur
terlalu lama. Yah, seperti aku ini.
Tak terasa jadwal kursusku yang berlangsung
selama kurang lebih 5 jam dipotong coffee dan lunch
break itu usai. Jam di pergelangan tanganku me­nunjuk­
kan pukul 14.30. Segera kupacu mobil menuju Bentley
Shopping Centre, pusat pertokoan terdekat dengan
sekolah anak-anak. Masih ada waktu satu jam untukku
berbelanja di Coles sebelum menjemput mereka.
Sebenarnya aku tak hanya butuh belanja. Aku
juga ingin mengembalikan sebuah hand blender yang
kurang berfungsi sejak kubeli sesaat sebelum mudik.
Aku belum sempat mengembalikan untuk memperoleh
refund, sebab aku keburu mudik ke Jakarta. Setelah dua
bulan lebih, aku baru sempat sekarang membawanya
kembali ke Coles.

128
Memangnya masih boleh mengembalikan barang
setelah dua bulanan, gitu? Weitss … perlindungan
konsumen di Australia memang jempolan. Aku ter­
cengang waktu pertama kali mendengar cerita teman,
bahwa dia pernah komplain atas barang elektronik
yang cacat sejak dibeli seminggu sebelum­nya, dan
dia mendapatkan uangnya kembali tanpa ber­kurang
sepeser pun. Ini bahkan berlaku untuk produk pangan
yang sudah dibuka kemasannya dan dicicipi. Kalau
kita tidak suka, sah-sah saja meminta uang kembali
atau menukarnya dengan produk lain yang setara

129
harganya. Tak ada batas waktu. Syaratnya cuma struk
pembayaran alias kuitansi masih tersimpan rapi.
Modalnya satu, yaitu kejujuran.
Nah, di sinilah sesungguhnya integritas kita
diuji. Sebab, tentu saja akan ada konsumen yang
memanfaatkan hak ini untuk berlaku curang. Namun,
dengan sistem perlindungan konsumen yang sudah
begini baik, untuk apa lagi main tipu-tipu. Kurasa
mereka yang masih memiliki kebersihan jiwa akan
merasa malu melakukannya. Kalau semua jujur,
hubungan kepercayaan antara produsen dan konsumen
pasti kian meningkat. Si pembeli merasa nyaman
untuk berbelanja di supermarket yang siap melayani
dan melindungi hak-haknya, sang penjual juga
kian berusaha memberi yang terbaik bagi kepuasan
pelanggannya. Jadi, asal ada duit, senang dan tenang,
deh belanja di Australia ....*elus-elus dompet*
Kalau sudah begini aku tetiba jadi suka mem­
banding­kan dengan situasi yang sama di Indonesia,
di mana harga barang-barangnya jauh lebih murah
dan jenisnya lebih bervariasi. Mulai dari yang abal-
abal sampai yang orisinal bisa dicari dengan mudah
di satu tempat. Pokoknya surga belanja banget. Segala
macam ada! Namun, ya itu, harus siap dengan risiko
penyesalan atau tertipu karena slogan toko mana
pun, walau enggak tertera di bon seolah sudah harus

130
menempel di kepala konsumen, “Barang yang sudah
dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan.” Yah,
begitulah. Nyeseknya, tuh di mana, coba bayangin.
Tepat waktu, kesederhanaan, dan kejujuran, adalah
segelintir budaya positif dari kehidupan masyarakat
Australia yang sebenarnya tak dapat langsung ku­
tangkap dalam aktivitas seharian sebagaimana ceritaku
se­belumnya. Aku yakin siapa pun butuh waktu untuk
meng­amati, mempelajari, dan membuat persepsi
pribadi.
Dalam mempelajarinya, aku memang kerap
me­nengok kebiasaan atau gaya hidup di tanah air
sebagai perbandingan. Bukan maksudku bersikap
sinis terhadap budaya bangsaku sendiri, melainkan
lebih sebagai bahan introspeksi. Di negeri mana pun,
pastilah ada aspek negatif yang tak layak untuk ditiru.
Namun, sebaiknya semua itu kita jadikan renungan
sehingga lambat laun dapat kita pertimbangkan, mana
kebiasaaan yang layak diikuti dan dipertahankan, dan
mana yang harus ditinggalkan. Dengan demikian,
semoga kelak ketika kita kembali ke negeri tercinta
dapat mentransfer budaya positif tersebut hingga
lestari ke generasi berikutnya.
Ah, ya akulah dalam hal ini yang harus lebih
dulu merefleksikan, paling tidak, tiga nilai positif tadi
dengan tekad dan kesungguhan. (Vienna Alifa)

131
Hamil di Sydney

Saya merasa bersalah pada bayi yang ada di kan­


dungan saya karena selama hamil kedua ini jarang
sekali meng-update perkembangan dan bagaimana
saya menjalani kehamilan ini. Benar kata seorang
teman bahwa kehamilan kedua itu lebih berat daripada
kehamilan pertama karena saat hamil si ibu juga harus
meng­asuh si kakak. Ditambah lagi, pada trimester
pertama saya mengalami mabuk parah yang tidak
saya alami pada kehamilan pertama. Yah seharusnya
itu tak bisa jadi alasan, sih.
Baiklah, saya akan mulai cerita mengenai hamil
kedua saya di Sydney ini. Jadi, ini adalah hamil
kejutan. Saya bersyukur sekali dikasih kesempatan buat
mengalaminya lagi. Bahwa ini berat, memang iya, tetapi
bukan berarti saya tak mensyukurinya. Ketika kita tak
memikirkan “aduh kapan, ya saya hamil?” biasanya

132
malah kejadian. Stres memang sangat memengaruhi
ternyata.
Karena lupa kapan terakhir saya haid, untuk
menentukan usia bayi, saya harus USG. Jadi USG
pertama adalah untuk mengetahui hal itu. Saya pergi
ke klinik dan bertemu GP (general practitioner alias
dokter umum) lalu dirujuk untuk menjalani USG di
klinik khusus imaging. Tak seperti di Jakarta yang kalau
hamil, ya perginya ke dokter kandungan yang tiap
datang di-USG. Setelah dua kali datang ke GP, kami
meminta supaya dirujuk ke rumah sakit mengingat
asuransi kami adalah asuransi mahasiswa, yang tak
sefleksibel medicare, asuransi warga negara atau
permanen residen di sini. Jadi kalau ke rumah sakit,
konsultasi kami ditanggung penuh oleh asuransi,
walaupun ongkosnya lebih mahal dibandingkan di
GP.
Pertama kali kami datang ke rumah sakit, bukan
dokter spesialis kandungan yang kami temui, tetapi
midwife alias bidan. Jadi, di rumah sakit konsultasi
bersama dokter kandungan selama kehamilan hanya
sekali atau dua kali. Selain itu, pemeriksaan rutin
dilakukan oleh bidan. Kami bertemu Midwife Jenny
Childs, bidan khusus yang menangani VBAC–
vaginal birth after caesarean. Rupanya karena saya
dulu melahirkan secara caesar, saya dirujuk ke dia.

133
Pertemuan pertama ini lumayan menyenangkan. Jenny
menjelaskan dan menawarkan kemungkinan VBAC
kepada saya, dan menanyakan macam-macam hal
kepada saya. Termasuk soal kesehatan mental, apakah
saya tengah stres, pernah mengalami depresi, pernah
mengalami baby blues, apakah tempat tinggal saya
layak, saya cukup makan. Juga apakah suami pernah
melakukan KDRT dan yang paling mengejutkan
apakah saya punya pasangan berhubungan intim
lain. Haa?
Saat saya menceritakan hal ini kepada teman bule
saya yang juga warga Negara Australia, dia bilang
kalau di Australia ini memang sangat concern dengan
kesehatan mental warga negaranya. Di sini, biasanya
mental illness paling banyak dialami oleh wanita, dan
penyebab utamanya adalah KDRT itu. Berbeda dengan
di Indonesia yang masih menganggap urusan mental
warga negaranya adalah urusan si warga sendiri, di
sini pemerintahnya sangat memperhatikan kesehatan
mental sama halnya dengan kesehatan fisik. Tiap-
tiap komunitas di suatu council pasti menyediakan
pelayanan masyarakat mengenai kesehatan mental.
Semoga kelak pemerintah kita juga memiliki concern
yang sama.
Sepulang dari visit pertama, saya dibekali banyak
sekali buklet dan buku mengenai kehamilan dan

134
menyusui. Selanjutnya, sebulan sekali saya datang
ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilan
saya. Pada minggu ke-19 saya menjalani USG untuk
mengetahui jenis kelamin. Dan Alhamdulillah, insya
Allah, bayi saya perempuan.
Kemudian pada pertemuan yang ke sekian,
saya berkonsultasi dengan dokter kandungan. Saya
seharusnya bertemu dengan Dokter Adam Mackie,
spesialis VBAC. Namun entah mengapa, yang saya
temui adalah dokter lain. Jadilah saya dijadwalkan
bertemu dengan beliau lagi pada pertemuan selanjut­
nya. Saat akhirnya bertemu dengan Dokter Mackie, dia
menjelaskan mengenai VBAC dengan detail. Termasuk
risiko dan sisi positifnya. Saya jadi memiliki gambaran
yang lebih jelas, sekaligus menakar kemungkinan
keberhasilan saya menjalani VBAC. Saya jadi lebih
realistis. Awalnya saya bernafsu sekali bisa melahirkan
normal, tetapi belakangan saya meminta yang terbaik
saja sama Allah.
Oh, ya, dokter-dokter di sini memanggil pasiennya
sendiri, lho saat mau memeriksa, tidak seperti di
Indonesia, perawatlah yang memanggil pasien. Di
unit rawat jalan, saya belum pernah menemui perawat.
Kalau di klinik-klinik biasa, perawat merangkap
sebagai resepsionis yang mendata pasien. Juga
menyuntik para pasien atas instruksi dokter. Dengan

135
dokter yang memanggil pasiennya langsung, saya
melihat kerendahhatian mereka, juga rasa dekat dengan
pasien, seolah-olah sudah “disentuh langsung” sejak
pemanggilan nama.
Di sini, entah kenapa para bidan dan dokter yang
menangani saya tidak terlalu memperhatikan kenaikan
berat badan, tidak seperti di Indonesia yang tiap
datang selalu ditimbang, yang bikin bumil stres duluan
melihat BB-nya merangkak naik. Di sini, sepertinya
BB dianggap urusan pribadi masing-masing. Kalau
tidak mau terlalu banyak naik BB-nya ya, silakan
atur menu sehat sesuai dengan buku panduan yang
mereka berikan pada awal kunjungan saya ke rumah
sakit. Nah, kurangnya kontrol dari mereka ini bikin
saya santai makan, dan berakibat BB saya naik banyak.
Saya sempat khawatir soal diabetes gestasional,
mengingat saya gemar makan camilan dan minuman

136
manis. Namun alhamdulillah, saat minggu ke-28 saat
pengecekan gula darah, saya dinyatakan baik-baik saja.
Tak terasa waktu berlalu dan besok saya akan
men­jalani operasi caesar lagi. Jadi rupanya si
bayi ini persis dengan kakaknya dulu. Posisinya
melintang. Menggantung di tengah-tengah perut saya.
Meninggalkan stretch marks di sekitar area pusar seluas
Pulau Kalimantan :)). Pas ditanya kenapa, dokter juga
tak tahu jawaban pastinya. Mungkin memang bentuk
rahim saya pendek, jadi kepala bayi enggak nyaman
jika turun ke panggul. Atau tali pusat pendek sehingga
bayi lebih nyaman posisi melintang, karena jika turun
dia bisa tercekik. Namun apa pun, saya percaya ini
yang terbaik. Terlepas dari pandangan miring yang
kerap menyertai operasi caesar. Saya kasih tahu, ya,
melahirkan secara normal atau secara caesar tidak
akan mengurangi esensi menjadi seorang ibu. Kita
akan tetap begadang pada minggu-minggu pertama
kehadiran bayi, malah dengan lebih menyakitkan
karena pemulihan bekas operasi tak seinstan lahiran
normal. Saya menerima rezeki saya melahirkan secara
caesar.
Semoga semuanya berjalan lancar esok hari. Bayi
sehat walafiat, asi lancar, dan saya lekas pulih. Aaamiin
YRA. See you tomorrow, Baby Girl. (Ida Wajdi)

137
Kautabrak,
Kau Tinggalkan Jejak

Layar monitor berukuran lebar itu mulai kelihatan


buram dalam pandanganku. Sepertinya otakku
sudah tak lagi bisa diajak berpikir serius. Hampir
setengah jam, bab terkait metodologi penelitianku
hanya bertambah puluhan kata saja. Kantuk mulai
menyerangku. Sepertinya secangkir cappuccino yang
kuminum sejak satu jam yang lalu tidak begitu banyak
menolongku untuk bisa bekerja lebih lama malam
ini.
Kemudian kuputuskan untuk berhenti bekerja
sampai di situ saja, lalu bersiap-siap pulang. Kuberdiri
dan melangkah meninggalkan ruang 410 yang
telah kutempati tiga tahun terakhir bersama enam
mahasiswa Ph.D lainnya. Sudah tak ada siapa-siapa
lagi dalam ruangan yang cukup luas ini. Malam

138
memang sudah larut. Namun, beberapa orang masih
terlihat bekerja di ruang The Learning Space (TLS)
yang terletak di lantai satu saat aku melewatinya.
Kebanyakan mereka adalah mahasiswa undergraduate
atau masters yang memang tidak memiliki ruangan
khusus, seperti halnya kami mahasiswa Ph.D, untuk
belajar atau mengerjakan tugas perkuliahan mereka.
Angin malam yang dingin pada pengujung
musim gugur langsung menampar wajahku saat
pintu exit gedung fakultas pendidikan itu kubuka.
Melbourne memang dikenal dengan anginnya yang
dingin menusuk sampai ke sumsum tulang. Pada
saat winter, tentu dinginnya bisa lebih lagi, walau
tak seekstrem Eropa karena salju tak pernah sampai
di perumahan warga. Setengah berlari, kubergegas
menuju lapangan parkir yang berlokasi sekitar 400
meter dari gedung kampusku. Lapangan parkir yang
luas itu sudah kelihatan lengang. Hanya beberapa mobil
yang masih terlihat ada di sana. Sesampainya di mobil,
segera kubuka pintu Camry tua itu dan melempar
tas punggungku ke bangku bagian belakang. Tanpa
kendala, mobil itu pun bisa hidup dengan mudah.
Sekitar satu menit, kumenunggu agar mesin sedikit
panas, sebelum kemudian mobil itu bergerak menuju
rumah.
Tak lama, sekitar tujuh menit aku sudah sampai
di rumah. Rumahku memang tidak begitu jauh dari

139
kampus. Namun, aku memilih memakai mobil ke
kampus. Selain lebih cepat dan praktis, juga karena
berjalan kaki dalam suhu yang kadang di bawah
sepuluh derajat tentu bukanlah pilihan yang nyaman
bagiku. Sesampai di rumah, anak dan istriku sudah
tidur pulas. Aku memang tidak harus membangunkan
mereka untuk bisa masuk rumah karena sudah
membawa kunci sendiri.
Paginya, aku sudah harus bangun sebelum pukul
lima, karena harus kerja sambilan demi menghidupi
keluarga selama di Melbourne. Beasiswaku sendiri tak
cukup untuk bisa kuliah dengan membawa keluarga
di negeri kanguru ini. Rutinitasku adalah mengantar
koran pada pagi buta ke perumahan penduduk.
Pekerjaan sambilan yang sudah kulakoni sekitar dua
tahun terakhir untuk menghidupi keluargaku.
Biasanya aku shalat Subuh di kantor news agency
tempat aku mengambil koran. Pada musim yang
lain, aku berusaha untuk shalat Subuh berjamaah di
Masjid Westall yang berlokasi sekitar dua kilometer
dari rumahku. Sekitar pukul 5 pagi, aku sudah siap
berangkat kerja, setelah sebelumnya berpamitan dan
memeluk istriku. Tepat ketika kubuka pintu rumah,
angin dingin Melbourne menyambutku dengan
terpaannya. Lebih dingin dari semalam. Kunyalakan
mesin Camry-ku. Pekerjaanku sebagai pelempar koran

140
memang mewajibkanku untuk memiliki mobil. Selain
karena lokasinya jauh dari rumah, juga karena aku
melemparnya langsung dari mobil itu.
Sengaja, agak lama kupanaskan mesin mobil.
Sambil menunggu, kunyalakan wiper, agar embun yang
menempel di kaca bisa bersih dan tidak menghalangi
pandanganku. Ketika wiper itu bergerak, tiba-tiba
mataku menangkap sesuatu yang menempel di
ujungnya. Seperti secarik kertas. Kertas apa itu?
Kubuka lagi pintu mobil, keluar, dan mendekati wiper
itu. Kutarik benda yang menempel di wiper-ku. Secarik
kertas dengan beberapa kalimat pendek bertuliskan
tangan. Tak begitu jelas, karena masih gelap. Kuambil
kertas itu, lalu mendekatkannya ke lampu mobil yang
sudah menyala. Sekarang tulisan tangan itu bisa
terbaca jelas.
“I am sorry for the damage. It happened at 5.30
p.m. today. Please call this number 05563XXX after 2
p.m. Anne.”
Aku sangat terkejut membaca isinya. Aku baru
sadar bahwa mobilku sudah ditabrak orang saat parkir
di parkiran kampus. Aku pun penasaran, dan langsung
mengecek bagian mana yang ditabrak. Dengan cepat,
kunyalakan feature senter di Iphone-ku. Kuarahkan
cahayanya ke sekeliling mobilku. Akhirnya, aku
menemukan jejak tabrakannya. Bagian depan sebelah
kanan mobilku hancur.

141
Sontak aku beristighfar. Remuk yang diakibatkan
tabrakan orang yang belum kukenal itu menyisakan
kerusakan cukup parah. Untungnya, semua lampunya
masih bisa menyala, walau kaca lampu depan itu juga
ikut pecah. Sempat agak ragu, apakah aku akan tetap
berangkat bekerja, karena khawatir kondisi mobil
yang rusak bisa berakibat sesuatu yang tak diinginkan
di jalan. Terkena razia polisi, misalnya. Namun,
kuputuskan untuk tetap berangkat kerja dengan
kondisi mobil seperti itu. Aku tak bisa membatalkan
berangkat kerja secara mendadak.
Bismillah, aku berangkat menuju Hampton
Street, lokasi perumahan penduduk di tepi pantai
yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari
rumahku. Kusimpan baik-baik kertas catatan tadi.
Sambil menyetir, pikiranku tak lepas memikirkan
kerusakan mobil yang sukup parah. Terbayang berapa

142
dolar yang harus kukeluarkan untuk memperbaiki
mobil itu. Selembar dolar bagi kami para mahasiswa
sungguh sangat berhaga. Namun, aku berdoa semoga
si penabrak mau bertanggung jawab. Toh, dia sudah
meninggalkan catatan dan nomor teleponnya. Ini tentu
sebuah pertanda baik.
Siang, setelah Zuhur aku sudah tak sabar me­
nelepon nomor yang tertulis di secarik kertas itu.
Persis, setelah pukul 2 siang, aku mengirimkan pesan
pendek ke nomor seluler si penabrak tadi, menjelaskan
bahwa aku adalah sang pemilik mobil yang ditabrak
se­malam. Setelah menunggu hampir satu jam, tidak
ada balasan yang kuterima. Aku mulai cemas, jangan-
jangan si penabrak tidak mau bertanggung jawab.
Akhirnya, kuputuskan untuk langsung menelepon
nomor tersebut. Namun, beberapa saat sebelum aku
menelepon, Iphone-ku berdering. Sebuah panggilan
datang, dari nomor yang tidak kukenal.
”Hello.” Aku menjawab panggilan itu.
”Yes, hello. It’s me Michael.” Suara seorang lelaki
paruh baya terdengar di ujung telepon, menjelaskan
bahwa dia adalah ayah dari Anne, gadis yang telah
me­nabrak mobilku. Anne adalah anak perempuannya
yang juga sedang kuliah di Monash.
”Oh, okay. So, what would you do with the damage,
Sir?” tanyaku mengejar.

143
Michael kemudian mengatakan bahwa dia akan
bertanggung jawab penuh terhadap apa yang telah
dilakukan anaknya. Dia memintaku untuk mengirim
plat nomorku, sekaligus detail identitasku. Katanya,
dia akan me-refer perbaikan mobilku ke asuransi yang
dia punya.
Segera setelah itu, aku mengirim semua detail
yang dia minta. Selang lima belas menit, dia membalas
dengan kode referensi asuransinya dan menjelaskan
bahwa aku bisa mengantar mobil sekarang juga ke
bengkel yang dia sebut.
Alhamdulillah, akhirnya mobilku bisa diperbaiki,
bahkan jadi lebih bagus dari sebelumnya. Aku ber­
syukur, sang penabrak mau bertanggung jawab dengan
meninggalkan catatan di mobilku, padahal dia bisa saja
memilih untuk tidak jujur dan meninggalkan mobilku
begitu saja. Mungkin takkan ada orang yang tahu.
Sungguh, aku terkesan dengan si gadis Anne dan
ayahnya, dua orang yang hingga sekarang tak pernah
kutemui. Namun, dari mereka aku bisa belajar tentang
pentingnya kejujuran dan tanggung jawab.
Thanks, Michael and Anne! (Afrianto Daud)

144
Bagian V

Rasulullah bersabda, “Orang mukmin itu mudah


akrab dan gampang didekati. Tidak ada kebaikan pada
orang yang tak mudah dekat dan sulit diakrabi.”
Satu Pelukan, Indahnya
Bersaudara dalam Islam

Aku menangis sesenggukkan dalam dada itu. Tak


lagi peduli siapa pemiliknya dan sudah berapa lama
mengenalnya. Yang jelas, aku butuh orang untuk
berbagi pepat yang membuat hari-hari di dua bulan
terakhirku di Adelaide ini terasa menyesakkan. Oleh
karena itu, saat kedua tangannya terbuka menjulur
ke arahku seakan-akan berkata, ”You can share
your problem with me sister”, tubuhku jatuh dalam
pelukannya. Seiring dengan itu, air mataku menderas.
Dia merangkulku dalam pelukannya sembari menepuk-
nepuk bahuku. Hangat dan menenangkan. “Insya Allah,
Allah always with you sister,” ujarnya lembut. Butuh
waktu beberapa lama hingga aku menyadari bahwa
aku sedang diperhatikan beberapa orang dengan
pandangan sedikit khawatir.

146
“Sorry Sister …,” ucapanku terhenti sejenak.
“Aya.” Dia menjawab kalimatku yang meng­
gantung.
“My life is so terrible for just a few months. I just
need one hug.” Ya satu pelukan untuk melepaskan sesak
yang penuh di dada ini. Sesudahnya sungguh hatiku
merasa lega. “Hidup saya dua bulan belakangan terasa
berantakan Sister. I am a new international student
here yang sedang menyesuaikan diri dengan situasi di
Adelaide.” Aku membuka cerita. Yap, sudah dua bulan
diriku menjejak kaki di kota paling selatan Australia
ini untuk melanjutkan kuliah dan sedang beradaptasi
dengan banyak hal baru. Aku sampaikan kepadanya
mengenai kesulitanku dan ketidakmengertianku
memahami penjelasan dosen di kelas karena faktor
bahasa, kerinduanku pada kampung halaman, serta
situasi-situasi baru yang tidak aku mengerti.
“You will be, Sister, later. Semuanya akan baik-baik
saja. Begitu terbiasa, Insya Allah semua akan mudah.
Allah is here and will help you.” Aya menambahkan.
Itu pertama kalinya aku bertemu dan mengenal
Aya, mahasiswa S1 dari Malaysia yang sedang menuntut
ilmu di Universitas Adelaide. Begitu aku tahu dia lebih
muda dariku dan sangat dewasa, aku jadi malu sendiri.
Perkenalanku dengan Aya membuka silaturahimku
dengan teman-teman Muslim dari berbagai negara.

147
Aya bergabung sebagai pengurus ISSUA-Islamic
Student Society of the University of Adelaide, semacam
organisasi mahasiswa Muslim di Universitas Adelaide.
Dia mengajakku mengikuti berbagai kegiatan ISSUA
lainnya yang rutin diselenggarakan di universitas.
Dari pertemananku dengan Aya dan mahasiswa/
mahasiswi Muslim lainnya, sangat terasa bahwa
persaudaraan sesama Islam itu sungguh indah.
Dengan bergabung dalam ISSUA dan bertemu dengan
sesama mahasiswa Muslim lainnya, rasa homesick atau
problem-problem yang muncul dalam kehidupan
pribadi maupun soal perkuliahan bisa dibagi. Dan
setelahnya, hati terasa lega.
Oh ya, untuk ISSUA sendiri, organisasi ini cukup
sering menggelar berbagai kegiatan di universitas
seperti bazar untuk mengenalkan Islam, seminar, dan
berbagai acara lainnya.
Aku kerap bertemu dengan Aya di mushala
kampus dan di beberapa kegiatan ISSUA. Kami
menjadi sahabat baik. Dari pengalamanku dengan Aya,
terasa betul persaudaraan dalam Islam itu. Sungguh.
Cukup satu pelukan sebagai perkenalan kami, dan
itu sangat melegakan. Terima kasih, Aya …. (Asma
Sembiring)

148
Pak Alam
yang Berhati Lembut

Kali ini perjalanan dakwah saya sampai di Kota


Hamilton. Saya tiba di Terminal Hamilton sekitar
pukul 11.00 siang dijemput oleh Mas Harun, tuan
rumah acara tausiyah. Ketika sampai rumahnya, saya
agak tertegun, masya Allah indah dan asrinya rumah
ini, dikelilingi suasana hijau, dan di dalamnya terasa
sangat nyaman. Ketika masuk, saya perhatikan di area
dapur, terlihat orang-orang sibuk masak-memasak.
Mungkin untuk persiapan buka puasa.
Alhamdulillah, saya disediakan sebuah kamar yang
sangat nyaman untuk menginap. Kami pun banyak
mengobrol tentang New Zealand, dan tidak ketinggalan
cerita tentang isu pilpres Indonesia. Kebetulan hari
itu merupakan sehari menjelang pencoblosan. Ketika
waktu shalat Zuhur masuk, saya diminta menjadi

149
imam shalat. Ternyata banyak juga yang ikut jadi
makmun, bahkan ada bule Islam dan anak-anaknya
yang merupakan teman tuan rumah.
Selesai shalat, saya perhatikan ada sesosok orang
tua di antara para makmum. Beliau adalah tamu, teman
akrab dari tuan rumah yang sudah dianggap saudara
sendiri. Saya pun banyak berbincang-bincang dengan
beliau. Ternyata beliau sudah berada di New Zealand
semenjak tahun ‘70-an. Ya Allah lamanya. Berarti
seumur saya hidup di dunia ini, sekitar 40 tahunan.
Perkiraan saya, usianya mendekati 70 tahun. Dari
panjangnya obrolan, kelihatan sekali bahwa beliau
sangat rindu dengan tausiyah-tausiyah agama. Khusyuk
sekali beliau shalat.
Setiap selesai shalat, dipegangnya tangan saya
dengan erat. Beliau berkata, “Terima kasih, Pak
Ustadz, terima kasih sudah datang ke sini. Saya sangat
suka.” Beliau juga mengisahkan pengalaman suka-
duka kehidupannya, mulai dari menjadi sopir taksi
di Australia hingga terdampar di New Zealand. Pak
Alam, namanya. Lengkapnya, Alamsyah, berasal dari
Solo, tetapi bahasa Indonesianya sudah agak susah,
lebih lancar berbahasa Inggris. Guratan ketuaan sudah
sangat tampak dari wajahnya, tetapi kelihatan jernih,
bercahaya.

150
Setelah shalat Maghrib, kebetulan saya juga
yang jadi imam, dipegang erat lagi tangan saya,
dan dipeluknya saya kuat-kuat. Dia bilang kepada
saya,“Saya mohon Ustadz nanti tinggalkan kenangan
untuk saya. Mohon rekam untuk saya Surah Al-Kahfi
dengan bacaan Ustadz.”
“Insya Allah, Pak,” jawab saya.
Setelah selesai makan bersama, dan cukup ramai
warga Indonesia Hamilton yang berkumpul di rumah,
sampailah waktu saya untuk menyampaikan tausiyah.
Saya bawakan materi “Makrifatul Insan”. Bahwa jasad
kita perlu diberi makan. Karena berasal dari tanah,
makanannya juga berasal dari tanah. Akan tetapi, ada
di dalam tubuh kita unsur langit, yaitu roh. Maka dari
itu, makanannya juga dari langit, yaitu sebagaimana
firman Allah Swt. Untuk memerintahkan shalat,
banyak berzikir, dan sebagainya.
Saya lihat Pak Alam sangat terkesan dengan materi
itu. Setelah selesai shalat Taraweh, para tamu sudah
pulang semua, tinggallah pemilik rumah beserta
keluarganya, saya, dan Pak Alam.
Pak Alam pun menagih janjinya, untuk merekam
suara saya membaca Surah Al-Kahfi. Dari tasnya yang
sudah agak lusuh, beliau mengeluarkan tape recorder
jadul yang masih menggunakan kaset pita zaman
‘90-an.

151
“Pakai ini merekamnya, Pak?”
Di negara modern dan zaman canggih kayak gini?
Pikir saya.
Beliau mengatakan, “Saya tidak bisa melupakan
alat ini, Ustadz. Dari alat inilah, saya banyak tahu
tentang agama dan kenal Allah.”
Saat saya membaca Surah Al-Kahfi dengan suara
biasa saja, malah cenderung tidak jelas iramanya,
Pak Alam terdengar sesenggukkan. Ternyata beliau
mengikuti bacaan itu dengan terjemahannya. Dia
menangis semakin keras.
Wahai, Pak Alam lembut nian hatimu. Mendengar
bacaan saya yang begini saja bisa engkau hayati sampai
menangis, apalagi jika engkau mendengar bacaan
Sudais, Syuraim, dan imam-imam qurro’ lainnya.
Subhanallah, pertemuan dengan Pak Alam begitu
membekas buat saya. Di negeri yang jauh ini. Di tempat
yang agama Islam bukanlah mayoritas, hadir sosok Pak
Alam yang merindukan Islam dengan sangat indahnya.
Lantunan ayat-ayat-Nya begitu mendamaikannya…
Aaah, semoga akan banyak saya temui Pak Alam-Pak
Alam yang selalu merindukan nikmatnya menjadi
seorang Muslim. (Khairul Umam)

152
Jepang dan Islam

Dalam beberapa kali kunjungan saya ke Jepang, ada


banyak hal yang saya perhatikan baik-baik. Entah
itu gaya anak muda mereka yang cukup kreatif,
kebiasaan-kebiasaan orang Jepang, dan masih banyak
lagi. Menarik sekali. Saya kira hal ini membawa kesan
tersendiri tentang negara matahari terbit ini.
Adalah Harajuku, sebutan populer untuk kawasan
di sekitar Stasiun JR Harajuku, Tokyo. Kawasan
ini terkenal sebagai tempat anak muda ngumpul.
Harajuku juga merupakan salah satu tempat yang
saat ini cukup memengaruhi gaya penampilan anak
muda Indonesia (khususnya di kota-kota besar) untuk
ikut ber-costplay (costume play). Penampilan mereka
cuek dan bebas. Yang membedakan satu style dengan
style lainnya adalah mereka menggunakan banyak
aksesori warna-warni, meriah, dan tabrak lari! Ada

153
yang bergaya Gothic, Hantu kesiangan, Old European
style, dan lain-lain.
Saking niatnya bergaya, sampai ada yang mem­
bawa koper segala untuk menyimpan kostum yang
memang ribet. Sebelum beraksi, mereka dengan
cueknya berdandan di depan umum, bahkan ada
yang memotong rambutnya sekalian di situ. Namun,
menariknya mereka tetap menjaga kebersihan, dengan
alat-alat potong rambut seperti payung. Jadi rambutnya
enggak jatuh ke jalan. Mereka senang banget kalau
ada turis yang mengajak foto bareng, yang berarti
kostum yang mereka pakai sukses menarik perhatian
pengunjung di Harajuku itu. Para turis seperti saya
tak jarang mengabadikan banyak momen-momen
dari dandanan ala Harajuku Style.

Lain lagi dengan para pengamennya. Beberapa


dari mereka tak kalah kreatif, lho. Dengan dandanan
yang berbeda, beberapa kali saya bertemu pengamen

154
di Jepang yang kreatif. Mereka enggak mau begitu saja
menerima uang, tetapi kita akan ditawarkan untuk
membeli lagu-lagu mereka yang sudah direkam di CD.
Jadi, yang mereka nyanyikan itu bukan lagu orang lain,
tetapi benar-benar hasil karya mereka yang dipasarkan
sendiri. Wow.
Selain kreativitas kaum muda Jepang, ada
beberapa kebiasaan orang Jepang yang sangat menarik
perhatian. Hal-hal yang mungkin tampak sepele,
tetapi ternyata mengakar kuat di sana. Adat istiadat di
Jepang mengharuskan seseorang makan sambil duduk.
Makan sambil jalan adalah suatu kebiasaan yang harus
dihindari karena yang melanggar akan terkena status
kurang baik di kalangan masyarakat Jepang.
Salah satu budaya Jepang yang patut ditiru
masyarakat kita, yaitu rajin membaca. Mereka bisa
memanfaatkan waktu luang dengan membaca di mana
saja dan kapan saja, termasuk sepanjang perjalanan
dengan kereta. Jadi, tak aneh ketika kita melihat
pemandangan orang-orang Jepang yang sibuk dengan
buku atau koran di mana-mana.
Hal yang unik lagi adalah orang Jepang sangat
suka jalan-jalan bersama anjing peliharaan mereka
setiap pagi atau sore. Kalau anjing-anjing itu buang
kotoran, pemiliknya akan mengambil kotoran
itu, menyiramnya dengan air, bahkan mengistinja

155
peliharaan mereka itu dengan air atau tisu. Wah,
enggak kebayang, deh dengan cara mereka melakukan­
nya. Dan sebenarnya patut ditiru juga oleh masyarakat
Indonesia yang mempunyai binatang peliharaan
sehingga tidak buang kotoran sembarangan.
Pemandangan lain yang cukup menyita perhatian
saya adalah, orang Jepang suka sekali bersepeda.
Banyak terlihat para ibu atau ayah yang membawa
anaknya dengan dibonceng di depan atau belakang.
Atau para eksekutif berdasi yang mengayuh sepedanya
menuju kantor.
Dan kalau diperhatikan, orang Jepang paling
panjang umur di dunia. Selama 25 tahun terakhir ini,
penduduk Jepang masih menduduki urutan pertama
dalam hal usia harapan hidup. Usia rata-rata harapan
hidup wanitanya sampai 86.5 tahun dan 79.5 tahun
untuk prianya.
Beberapa alasan kenapa warganya panjang umur
adalah majunya penanganan medis, khususnya
untuk penyakit penyebab kematian, seperti kanker,
stroke, dan jantung. Selain itu, orang Jepang terkenal
dengan pola makan dan gaya hidup yang sehat.
Dampak lainnya adalah meningkatnya angka populasi
penduduk lanjut usia. Saat ini, Jepang menghadapi
masalah dengan populasi lansia, seperti peningkatan
jumlah kasus lansia yang bunuh diri, kekerasan, juga

156
para lansia yang kecanduan alkohol karena rendahnya
pendapatan dan tidak tetapnya mata pencaharian.
Intinya, pola hidup sehat seperti Jepang boleh
dicontoh asalkan tidak melupakan bekal setelah
kematian yang datang pada kita sehingga harus
dipersiapkan semaksimal mungkin. Banyak manusia
lupa mempersiapkan diri, tetapi malah berjuang keras
untuk menghindari kematian, (QS [59]: 18–19).

Terakhir, hal yang sangat menarik bagi saya itu


adalah “Jepang dan Islam”. Islam memang sangat asing
di Jepang, tetapi telah menarik perhatian banyak wanita
muda Jepang. Di antara mereka banyak yang masuk
Islam setelah menikah dengan para lelaki Muslim yang
datang ke Jepang untuk bekerja yang pada umumnya

157
berasal dari Iran, Bangladesh, Pakistan, Malaysia, dan
Indonesia. Hal ini dikarenakan hukum Islam yang
memerintahkan seorang non-Muslim wajib kembali
ke Islam dulu sebelum menikah dengan seseorang
yang sudah Muslim.
Abdurrahman San, Direktur Islamic Center Japan,
mengatakan bahwa pusat aktivitas Islam di Setagaya-
ku-Tokyo ini tiap tahun menerima pendaftaran lebih
dari 80 anggota baru, mayoritas wanita Jepang. Banyak
wanita Jepang yang kembali ke Islam karena jalur
pernikahan, tetapi banyak juga karena hal lain, seperti
perdagangan, pendidikan, dan lain-lain. Seperti ketika
saya diberi kesempatan untuk menyaksikan dua calon
Muslimah asli Jepang yang akan bersyahadat, mereka
bercerita bahwa mereka menemukan kembali fitrah
mereka justru ketika mereka sedang menuntut ilmu
di Amerika. Dan yang satu lagi masih sangat belia, 16
tahun, menemukan kembali fitrahnya lewat diskusi
lewat internet.
Tiap tahun, ada empat pernikahan Muslim
yang berasal dari luar Jepang dengan wanita Jepang.
Sekarang ini, perkembangan Islam di Jepang me­
nunjuk­kan grafik yang terus naik seiring dengan era
globalisasi. Jepang terbuka untuk siapa saja, termasuk
Muslim dan ajaran Rasulullah Saw. Subhanallah. (Lulu
Basmah)

158
Mendan3, Sebuah Ujian
Pilihan Hidup

Karena melanjutkan studi di sebuah universitas


negeri di Jepang, sejak tahun 2008 aku bermukim di
negeri matahari. Satu tahun kemudian, suami juga
menyusul ke Jepang untuk melanjutkan studinya
di sebuah universitas negeri. Dua tahun kemudian,
pada tanggal 3 Oktober 2011 lahirlah putra pertama
kami di Kota Chiba, yang kami beri nama Fatah Rifqy
Wahyuriansyah. Sejak umur 6 bulan, saat aku dan
suami kuliah, kami menitipkan Fatah di sebuah tempat
penitipan anak (TPA) milik pemerintah Kota Chiba.
Fatah ditempatkan di ruangan untuk anak dengan
rentang usia 0–1 tahun saat dia mulai dititipkan di
tempat penitipan anak pada April 2012. Suatu hari,

3
Mendan ( ) secara harfiah berarti konsultasi.

159
saat Fatah sudah berusia lebih dari satu tahun, aku
menerima kertas yang bertuliskan bahan-bahan yang
digunakan untuk membuat menu makan siang dan
kudapan sore selama satu bulan. Di kertas itu juga
tertulis cara membuat kue yang digunakan sebagai
menu kudapan sore untuk anak-anak dengan rentang
usia 1–3 tahun.
Kuamati kertas itu, di beberapa menu tertera
beberapa makanan yang komposisinya adalah daging
ayam dan daging babi. Di menu kudapan sorenya juga
tersedia beberapa menu roti. Selama tinggal di Jepang,
pilihan keluarga kami adalah memakan daging yang
halal dan roti yang tidak mengandung komposisi yang
berasal dari hewan. Dengan pilihan ini, tentu saja
jika makan di restoran Jepang, pilihan kami adalah
menu-menu yang tidak mengandung bahan-bahan
hewani. Untuk roti, biasanya kami memilih roti yang
direkomendasikan oleh teman-teman yang sebelumnya
telah dikonfirmasi tidak mengandung komposisi
bahan-bahan yang berasal dari hewan.
Beberapa hari setelah mencermati menu itu,
saat mengantar Fatah ke TPA, kutanyakan beberapa
hal kepada guru Fatah, bagaimana dengan menu
makan siang Fatah yang mengandung daging babi
dan daging ayam. Aku juga menanyakan merek roti
yang digunakan di TPA tersebut. Saat menanyakan hal

160
ini, aku juga menawarkan solusi, aku tidak keberatan
membawakan menu pengganti makan siang Fatah juga
roti pengganti yang insya Allah bisa dikonsumsi oleh
Fatah. Gurunya berkata akan mendiskusikan hal itu
dengan ahli gizi TPA.
Oleh karena itu, hadirlah undangan mendan pada
5 November 2012. Kuusahakan untuk datang tepat
waktu ke TPA, pada waktu yang telah kusepakati
dengan guru Fatah sebelumnya. Di ruang kantor TPA;
aku, seorang ahli gizi, dan seorang guru penanggung
jawab ruangan Fatah duduk di kursi dengan sebuah
meja persegi empat. Sempat terselip perasaan takut
guru-guru di TPA tidak mau menerima pilihan hidup
kami mengenai masalah makanan ini.
“Ibu, ini menu makan siang di ruangan kelas
Fatah,” ujar ibu ahli gizi yang kemudian mulai me­
nerangkan satu per satu komposisi menu harian makan
siang kelas Fatah untuk bulan November 2012.
Aku mencoba mencermati kertas yang bertuliskan
huruf-huruf kanji yang sejujurnya cukup membuat
pusing kepala saat membacanya. Guru penanggung
jawab ruangan Fatah membantuku menjelaskan
beberapa kanji makanan yang baru pertama kali
kudengar.
“Jadi, kami minta tolong Fatah dibawakan menu
daging ayam dari rumah, yah pada 8 dan 29 November.

161
Menunya dibuat kecil-kecil saja lalu diletakkan dalam
wadah kecil dan diserahkan ke guru penanggung jawab
ruangan. Untuk menu lain yang ada daging babinya,
tidak akan saya masukkan ke dalam menu makan siang
Fatah. Lalu, kami minta tolong ibu mengenalkan mayones
dan ikan iwashi4 kepada Fatah. Kedua makanan ini
juga sering memunculkan alergi pada anak,” lanjut
ahli gizi TPA.
“Baiklah, saya akan menyiapkannya, Sensei5,”
timpalku.
“Nah, sekarang menu kudapan sore. Kemarin
saya mendapat laporan dari guru penanggung jawab
ruangan Fatah kalau ibu bertanya tentang merek roti
yang digunakan di TPA ini. Saya sudah menanyakan
ke produsen roti yang digunakan oleh TPA. Roti-roti
mereka yang kami gunakan di TPA ini tidak ada yang
mengandung bahan dari hewan. Jadi, ibu tenang saja,
yah.” Beliau tersenyum ke arahku.
“Wah, Sensei. Terima kasih banyak. Maafkan
saya sudah merepotkan.” Beberapa kali kuanggukkan
kepalaku ke ibu ahli gizi.
“Untuk biskuit, saya dan teman-teman yang
membuat sendiri. Jadi, kalau ada bahan-bahan yang
berasal dari hewan tidak akan saya berikan untuk kue

4
Ikan sarden.
5
Panggilan kepada guru-guru di TPA.

162
Fatah. Kalau misalkan ada hal-hal yang dikhawatirkan
lagi, mohon kami diberi tahu yah,” ujar beliau
kepadaku.
“Baiklah, Bu,” jawabku. Kemudian, kami bertiga
sudah bersiap untuk meninggalkan meja diskusi itu,
tetapi mataku tertumbuk ke tulisan vanilla essence yang
ditulis di resep kue yang digunakan di TPA.
“Sensei, maaf, saya mau menanyakan tentang
vanilla essence ini.” Aku bertanya hal itu ke guru
penanggung jawab kelas Fatah.
“Memangnya kenapa, Bu?” tanya beliau.
“Di dalam vanilla essence ini terdapat kandungan
alkohol. Kami juga tidak diperbolehkan menggunakan
ini,” jawabku dengan hati-hati.
“Kalau dengan penyedap rasa yang lain
bagaimana?” tanya beliau kembali.
“Kalau sake6 dan mirin7 juga enggak boleh, yah.
Saya menggunakannya di beberapa makanan.” Si ahli
gizi menambahkan.
“Iya, Sensei, itu juga enggak boleh,” jawabku.

6
Minuman yang mengandung alkohol dari hasil fermentasi beras yang
berasal dari Jepang (sumber: Wikipedia).
7
Bumbu dapur untuk masakan Jepang berupa minuman beralkohol
berwarna kuning, berasa manis, mengandung gula sebanyak 40%–50% dan
alkohol sekitar 14% (sumber: Wikipedia).

163
“Oh begitu, baiklah, saya tidak akan mengguna­
kannya untuk Fatah,” jawab beliau meyakinkanku.
“Terima kasih banyak, Sensei. Maafkan saya telah
merepotkan,” ujarku sambil membungkuk. Berakhirlah
pertemuan hari itu.
Aku pulang dengan perasaan lega. Alhamdulillah,
hasil negosiasi kali ini adalah para guru di sekolah
Fatah bersedia menyediakan makanan dan kudapan
sore yang sesuai dengan kebutuhan Fatah sebagai
seorang Muslim. Alhamdulillah, para guru di TPA
menghargai adanya perbedaan. Perbedaan itu memang
indah, yah bila disikapi dengan bijak. (Febty Febriani)

164
Westall, Sebagai Masjid
“Kids Friendly”

Sebagaimana fenomena di banyak tempat, selama


Ramadhan hampir setiap masjid biasanya penuh
oleh anak-anak usia sekolah. Tidak terkecuali jamaah
Masjid Westall. Tahun ini sepertinya jamaah semakin
ramai. Tidak hanya oleh jamaah Indonesia, tetapi juga
jamaah dari Saudi dan negara Muslim lainnya yang
sebagian membawa anak mereka.
Di satu sisi, ramainya anak-anak selama bulan
Ramadhan di masjid tentu adalah hal yang patut
disyukuri. Pengalaman mereka waktu kecil ini biasanya
akan membekas lama dalam memori hingga mereka
tumbuh dewasa. Harapannya tentu pengalaman yang
mereka peroleh di masjid adalah pengalaman yang
positif dan menyenangkan. Bukan tak mungkin, suatu
saat jika mereka tumbuh dewasa dan kemudian karena

165
alasan tertentu mereka jauh dari masjid, kenangan
indah ketika kecil itulah yang berpotensi bisa membuat
mereka kembali merindukan indahnya menjadi
seorang Muslim, dan setelah itu mereka bisa kembali
ke jalan yang benar.
Tantangannya adalah bagaimana bisa mengelola
anak-anak dalam jumlah besar selama Ramadhan ini.
Di tanah air, biasanya pihak sekolah menyiasatinya
dengan memberikan tugas mencatat isi ceramah
selama Ramadhan. Tugas mencatat ini membuat anak-
anak itu bisa bertahan selama shalat Taraweh, tetapi
penugasan dengan mencatat itu sepertinya tidak cukup
efektif membuat anak-anak bisa diam selama shalat
berlangsung. Di sisi lain, tugas mencatat layaknya anak
kuliahan itu juga bisa dianggap sebagai tugas yang
terlalu serius dan cenderung memberatkan anak-anak.
Di Australia, tentu tak ada tugas catat-mencatat
seperti itu. Karena ramainya anak-anak di masjid, tidak
jarang yang terjadi adalah banyak jamaah dewasa atau
sebagian pengurus masjid merasa terganggu dengan
suara anak-anak itu. Dan dengan alasan kenyamanan
ibadah orangtua mereka, kadang sebagian pengurus
masjid mengambil keputusan ekstrem yang tidak
terlalu bersahabat dengan anak-anak. Memarahi
mereka, mengusir mereka keluar masjid, atau bahkan
melarang mereka untuk datang ke masjid adalah

166
contoh tindakan yang tidak bijak yang dilakukan
oleh DKM masjid. Tentu saya tidak bicara tentang
Masjid Westall secara spesifik. Hal ini bisa jadi adalah
fenomena yang kadang kita temui di beberapa masjid
kita.
Hemat saya, cara-cara terakhir bukanlah cara
ter­baik. Karena pengalaman dimarahi atau bahkan
diusir oleh orang dewasa ketika si anak di masjid
dikhawatirkan akan membawa trauma tersendiri
kepada diri anak. Bukan tak mungkin, pengalaman
buruk itu akan membuat mereka antipati dan
kemudian menjauh dari masjid. Ini tentu adalah efek
samping yang tidak kita inginkan.
Nah, dengan pemikiran tersebut, pengurus
Masjid Westall membuat terobosan unik dengan cara
meng­umumkan kepada anak dan orangtua untuk
me­ngontrol anaknya ketika shalat dan ibadah lainnya
berlangsung. Salah satunya dengan memastikan bahwa
si anak ada di samping orangtuanya masing-masing
selama ibadah berlangsung.
Yang lebih menarik adalah pengurus Masjid
Westall menjanjikan hadiah berupa goodie bag yang
berisikan makanan kecil, seperti cokelat, cracker,
dan sejenisnya untuk diberikan kepada setiap anak
yang berperilaku baik (tidak ribut) selama ibadah
berlangsung. Ritual pembagian goodie bag ini adalah

167
momen istimewa yang ditunggu anak-anak itu setelah
shalat Taraweh selesai.
Ajaib, perilaku anak-anak itu berubah drastis.
Tingkat keributannya berkurang jauh. Hadiah goodie
bag itu sepertinya sangat efektif dalam menertibkan
anak-anak. Tidak hanya itu, mayoritas anak-anak ini
semakin bersemangat untuk datang ke Westall setelah
adanya hadiah ini. Anak saya misalnya, akan protes
keras jika karena alasan tertentu, saya memutuskan
untuk tidak shalat Taraweh di Westall.
Sekali lagi, ide tentang goodie bag itu adalah ide
cerdas, sederhana tetapi efektif. Saya yakin banyak
anak yang menikmati sensasi kebahagiaan memperoleh
hadiah goodie bag setelah shalat Taraweh itu. Hal
itu tergambar dari wajah-wajah lucu mereka yang
semringah saat mengantre dan setelah memperoleh
bungkusan ajaib itu.
Lebih menarik lagi, goodie bag ini tidak dibeli
dari kas masjid, tetapi merupakan sumbangan dari
ibu-ibu jamaah sendiri. Dengan demikian, ini adalah
cara “dari kita, untuk kita” yang dipraktikkan dengan
baik antarjamaah Masjid Westall dalam mengelola
anak-anak mereka.

168
Malam Takbiran
Kreativitas warga Westall dalam menjadikan
anak-anak sebagai salah satu subjek utama yang
mesti diperhatikan serius ketika Ramadhan berlanjut
ketika malam takbiran. Setelah hampir empat tahun di
Melbourne, malam takbiran tahun ini adalah malam
yang yang paling meriah dan terasa istimewa.

Kemeriahan takbiran tidak hanya karena alunan


takbir menggema, tetapi juga karena panitia me­nye­
lengara­kan acara yang melibatkan anak-anak. Semua
anak-anak yang berpuasa diberi apresiasi berupa
pengalungan medali sebagai tanda bahwa mereka telah
berprestasi. Mereka juga dilibatkan tampil membaca
takbir bersama dan setelah itu bisa menikmati beberapa
makananan kesukaan mereka.

169
Saya perhatikan, semua anak dan orangtua ber­
wajah cerah dan gembira. Sepertinya anak-anak itu
sungguh menikmati malam takbiran. Dan mereka
menjadi­kannya sebagai hari kemenangan mereka juga.
Saya yakin, pengalaman positif dan kegembiraan yang
mereka alami pada acara takbiran itu akan melekat
kuat dan lama dalam memori. Keceriaan takbiran itu
akan menjadi salah satu kenangan indah mereka dalam
menjalani Ramadhan di negeri orang.

Salut saya tujukan kepada seluruh pengurus


Masjid Westall. Kepada Bu Nungki, Pak Adi, Pak Aru,
Pak Ijang, dan semua takmir Masjid Westall. Terima
kasih telah memberikan pengalaman indah kepada
kami dan keluarga. (Afrianto Daud)

170
Dari Trafalgar Square
sampai Changkat Bukit
Bintang

Saya selalu tertarik dengan berbagai usaha dan


dukungan yang diberikan berbagai negara kepada
Palestina. Hingga pada setiap momen perjalanan saya,
entah dalam rangka studi, jalan-jalan, atau pekerjaan,
saya selalu ingin tahu sikap mereka terhadap apa yang
terjadi di Palestina. Apalagi bila saya menemukan
simbol-simbol terkait Palestina di negara itu. Yah
menarik bagi saya tak hanya soal kultur dan kuliner
sebuah negara, tetapi juga pandangan mereka akan
kemerdekaan negara terjajah, secara khusus Palestina.
Dalam sebuah kesempatan studi dengan teman-
teman dari Indonesia di Inggris, saya pernah sengaja
“menjebakkan” diri dengan Ibu Nursanita Nasution

171
dalam sebuah demo dukungan terhadap Palestina pada
8 Oktober 2011. Bertempat di Tralfalgar Square, lebih
dari 5.000 orang menghadiri aksi demo dukungan
terhadap Palestina. Kemudian demo berlanjut dengan
melakukan long march sampai Downing Street. Zaila-
lah, seorang Malaysian ladies, yang “menjerumuskan”
kami untuk hadir di sana. Zaila sendiri hadir bersama
putrinya, Inez Idrus.
Aksi ini juga dihadiri berbagai kalangan, di
antaranya politisi, perwakilan LSM, selebriti, jurnalis,
seniman, dan musisi, seperti Julian Assange (pendiri

172
Wikileaks), George Galloway (pendiri Viva Palestina),
Jemima Khan, AL Kennedy (penulis), Howard Blake
(komposer), dan masih banyak lagi. Mereka melakukan
orasi tentang kebebasan bagi Palestina.
Uniknya lagi, aksi ini juga dihadiri berbagai
etnis, bangsa, dan agama. Yap, tak hanya Muslim
yang mendukung aksi ini, tetapi juga dari Nasrani
dan Yahudi. Dengan dandanan beraneka ragam yang
mungkin tak kita temui saat aksi di Indonesia. Beneran,
lho … apa akan kita temui gadis bule dengan dandanan
cantik berteriak, “Free, free, free Palestine ....”
Saya pun sedikit melakukan wawancara singkat
dengan beberapa non-Muslim pada saat aksi itu.
Mereka menyatakan bahwa mereka sangat peduli
terhadap perjuangan dan penderitaan rakyat Palestina.
Subhanallah.
***
Saya pun percaya sebenarnya sudah banyak
masyarakat di dunia yang menyadari bahwa apa yang
terjadi di Palestina bukan hanya isu agama, tetapi
juga kemanusiaan. Kemanusiaan yang ternodai atas
tindakan Israel terkutuk. Seperti halnya yang saya
temui ketika sedang berjalan-jalan bersama keluarga
di Kuala Lumpur. Awalnya, saya berpikir ini hal yang
sederhana, tetapi ternyata ada keistimewaan di balik
itu semua.

173
Ketika sedang menikmati durian Mousang King
di Changkat Bukit Bintang, Kuala Lumpur, Malaysia,
kami terpesona dengan penampilan satu keluarga
penjual di salah satu angkringan buah-buahan yang
kami pilih di pinggir jalan tersebut. Dia lelaki etnis
China dengan rambut dikuncir satu di atas. Tentu
bukan kuncirannya yang menarik perhatian kami,
tetapi kaus oblong yang dia kenakan. Yang akhirnya
menarik hati saya juga untuk sedikit mewawancarainya
dengan Singlish (Singapura Inglish)
Saya: “Dapet kaus dari mana, Mang?”
Dia: “Ini dapatnya waktu kita semua di sini ikutan
acara semacam ‘Walk for Palestine’ untuk mendukung
Palestina dari kekejaman Israel.”
Saya: “Oh, ya?! Yang ngadain siapa?”
Dia: “Saya lupa, waktu itu yang kasih kaus ini pas
acaranya Aqsa Syarif atau Viva Palestina, gitu.”
Saya: “Emangnya sering, ya ikutan acara semacam
itu?”
Dia dan keluarganya: “Sering banget! Kita juga
rutin sumbang royalti kita buat rakyat Palestina.”
Saya: “Kenapa? Kok mau?”
Saudara perempuannya yang bantu jawab sambil
tunjuk-tunjuk jari ke atas dan ke dadanya: “KARENA
INI MASALAH KEMANUSIAAN! KARENA
JERUSALEM MILIK KAMI JUGA!”

174
Dada saya pun bergemuruh dan mata saya pun
terasa panas menahan tangis haru, karena ternyata
semangat mereka yang non-Muslim luar biasa dalam
membela Palestina serta membantu penderitaan
rakyat di sana.
Saya hanya bisa malu dengan diri sendiri dan
berdoa … semoga Allah Swt. memberkati mereka
dengan kembali pada fitrah-Nya. Aamiin. (Lulu
Basmah)

175
Hidayah di Big Apple

Senyum ramah dan wajah cantiknya menyapa saya


saat dia masuk ke mobil Ustadz Syamsi Ali yang
terparkir di seberang Madison Square Garden. Hari
itu Ustadz mempertemukan saya dengan Elizabeth
Anne Swartwout. Mobil kemudian bergerak ke wilayah
Queens, menuju Restoran Minangasli di Elmhurst.
Sambil menyantap sate padang, soto, dan ayam goreng,
saya berbincang dengan Liz, panggilan akrab gadis
yang pernah menjadi juara renang tingkat nasional
di AS ini.

“Berkah” 9/11
New York si “apel besar”, melting pot beragam
manusia, beragam bangsa, dan warna kulit. Di kota
ini pula, Liz lebih banyak mengenal Islam. Saat itu,
dia pindah ke New York untuk melanjutkan studi di

176
Columbia University. Peristiwa 9/11 baru tiga bulan
berlalu dan hampir semua orang di AS membicarakan
Islam. Namun menurut Liz, tak banyak yang benar-
benar tahu tentang Islam. Gadis ini juga tidak tahu
banyak tentang Islam. Kala itu, dia juga sedang merasa
ada yang hilang dalam hidupnya. Dia percaya Tuhan,
tetapi tidak tahu banyak tentang agama, selain yang
dia lihat dari ibadah yang dilakukan orangtua dan
teman-temannya—yang itu pun tak banyak.
Di New York, Liz mengenal komunitas Muslim
yang belum pernah dia lihat sebelumnya, yang
beberapa di antaranya satu kampus dengannya.
Kebaikan dan ketaatan mereka pada Islam membuat
Liz tertarik. Menurut Liz, mereka orang-orang yang
baik hati, suka menolong, dan tidak egois. “I knew
Islam was a good religion because of the attitude and
behaviors of these people,” kata gadis kelahiran New
Haven, tahun 1982.
Sejak itu, Liz merasa inilah yang dia cari. Islam
adalah agama paling masuk akal dan ajarannya
sangat mudah diikuti. Dia pun pergi ke masjid untuk
mencari seseorang yang bisa mengajarkannya tentang
Islam lebih jauh. Saat itu, Ustadz Syamsi sedang
mengajar kelas untuk non-Muslim dan mualaf. Liz
pun bergabung dengan mereka. 17 Juli 2004 adalah
hari yang tak pernah dia lupakan, karena saat itu Liz

177
mengucap syahadat dan “kembali” pada Islam. “I
started cry because I was so happy, and I feel this way
again sometimes when I see other brothers or sisters
taking their shahada in the masjid,” kata Liz mengenang
momen saat resmi menjadi mualaf.

Tantangan dari Orangtua


Setelah menjadi Muslim, Liz tak langsung memberi
tahu keluarganya. Hampir dua tahun dia merahasiakan
agama barunya. Bisa ditebak, keluarganya kaget saat
diberi tahu. Orangtuanya meminta Liz untuk tak
memberi tahu siapa pun. Sang ibu mencoba agar Liz
dapat melupakan Islam dengan menyuruhnya ke
gereja atau menyediakan makanan dan minuman yang
dilarang dalam Islam. Sering kali mereka merendahkan

178
dan menghina Islam di hadapannya. Lain lagi dengan
adik perempuannya yang mengira Liz akan pindah ke
Arab Saudi dan menikah dengan laki-laki berjenggot!
Semua tantangan tersebut dihadapi Liz dengan
sabar, walau kadang hatinya sering terluka saat
orangtuanya berkata buruk tentang Islam. Bagi
Liz, mereka (baik keluarganya maupun orang lain)
berbuat itu karena tidak tahu banyak tentang Islam.
Media-media di AS pun sering kali tak seimbang
menampilkan Islam. “I feel that this is my job to tell
them something small, so that they understand better
about Islam and what a gentle and kind religion and
people Muslims are.”

Berjilbab di Belantara New York


Tak lama setelah memeluk Islam, Liz mengenakan
hijab. Saat itu, dia masih kuliah dan tak banyak
tantangan dihadapi. Setelah lulus, kesulitan mulai
menghampiri. Persepsi warga AS tentang hijab
membuat Liz sulit mendapatkan pekerjaan. “There
is a lot of prejudice against ladies who wear hijab,
and it is very difficult for them to be hired in the large
offices and be considered for the same jobs as non-
Muslims,” kata Liz. Namun Allah sayang hamba-Nya,
akhirnya Liz bisa mendapatkan pekerjaan di bidang
pemasaran dan komunikasi di sebuah perusahaan di

179
wilayah Manhattan. Liz pun bisa mandiri dan tak lagi
bergantung kepada orangtuanya.
Bagi Liz, mengenakan hijab di negara minoritas
Muslim berarti harus menunjukkan sikap terbaik,
sebab orang akan selalu memperhatikan sepak terjang
kita dan mengaitkan dengan hijab yang kita pakai.
Seorang Muslimah yang mengenakan hijab juga
harus siap dengan respons dari orang sekitarnya, baik
positif maupun negatif. Liz sendiri pernah mengalami
hal tak mengenakkan. Di kereta misalnya, beberapa
orangtua tak mengizinkan anaknya melihat atau duduk
di samping Liz. Terkadang orang (khususnya pria)
bersikap kasar karena mereka menyangka Muslimah
berjilbab adalah wanita yang tertindas, atau bahkan
menyangka Muslimah berjilbab akan menyakiti orang
lain.
Bagaimanapun, buat Liz setiap Muslimah harus
berusaha untuk mengenakannya. Sebab hal tersebut
adalah refleksi dari rasa cinta dan taat kepada Allah.
Meski Liz menyadari bahwa tak setiap Muslimah
dapat dengan mudah mengenakannya. “I believe that if
something comes easy to you, you should do a lot of that
if there is good in it, and you should help and encourage
others to do it because that is a blessing from Allah. And
what comes more difficulty for you, you should struggle

180
to do as much as you can, and surround yourself with
people who find it easy, so that it becomes easy for you.”
Tinggal di kota besar dan sangat terkenal seperti
New York memang bukan hal mudah, apalagi bagi
seorang Muslim. Namun karena keberagamannya
itu, bagi Liz New York cukup menghargai perbedaan
warganya. Kecuali kesulitan mencari pekerjaan bagi
Muslimah berjilbab, “cukup mudah” bagi Muslim
untuk tinggal di New York. Restoran halal cukup
banyak ditemui di “the city that never sleep” ini.
Komunitas Muslim pun lumayan banyak, begitu
juga masjid yang ada di beberapa lokasi. Sebenarnya,
Muslim yang tinggal di New York lebih beruntung
dibandingkan—mungkin—kota lain di AS. Sayangnya
banyak Muslim yang belum menjalankan Islam secara
baik. Liz sendiri sering menemukan Muslim yang Islam
sejak lahir, tetapi belum menjalankan Islam secara baik.
Dia sangat sedih menyaksikan hal tersebut.
“These people do not realize how blessed they are.
I do believe that everyone has a personal struggle,
whether it is obvious to that person or not. Probably
many Muslims face this struggle to appreciate what
Allah has blessed them with and not waste it,” kata Liz
yang suka membaca buku Jane Eyre-nya Charlotte
Bronte, buku-buku F. Scott Fitzgerald, Princess yang

181
ditulis Jean Sasson, dan Daugthers of Another Path-nya
Carol Anway.

Ingin Punya Kolam Renang


Anak sulung dari tiga bersaudara ini punya
masa kecil yang cukup menyenangkan. Bersama adik
perempuan dan laki-lakinya, mereka rutin berolahraga.
Liz sendiri menyukai renang, sepak bola, dan balet.
Piano dan flute juga rutin dimainkan Liz semasa kecil
dan remaja. Sebagai mantan juara renang nasional
se-AS, Liz sangat rindu untuk dapat berenang lagi.
Sayangnya di sana belum ada kolam renang khusus
Muslimah. Tak heran, rencananya sepuluh tahun ke
depan, selain ingin punya bisnis sendiri, Liz juga ingin
membuka kursus berenang bagi Muslimah di kolam
renangnya sendiri. (Rahmadiyanti Rusdi)

182
Tentang Penulis

Afrianto Daud telah mengajar


lebih dari 15 tahun di berbagai
lembaga pendidikan di Sumatra
Barat dan Riau. Selain jatuh cinta
kepada dunia pendidikan, suami
Laurensy Evionora ini juga sangat
menyukai dunia tulis-menulis.
Tulisannya dalam bentuk puisi, resensi buku, laporan
perjalanan, dan artikel telah diterbitkan media lokal
dan nasional, seperti koran Haluan, Singgalang, Padang
Ekspress, Bukittinggi Pos, Tabloid Guru, GOCARA,
Riau Pos, Republika, Kompas, Jakarta Post, Buset, dan
Pelangi Australia dan beberapa media online, seperti
dakwatuna.com dan eramuslim.com.

Beragam tulisannya bisa diakses di www.


afriantodaud.wordpress.com, www.afriantodaud.

183
blogspot.com, dan http://www.kompasiana.com/
r1a2w3.
Saat ini, ayah tiga putri -Raudha, Alya, dan Wafa-
sedang menempuh studi doktoralnya di Fakultas
Pendidikan, Monash University, Australia. Komunikasi
dengannya bisa dilakukan dengan mengunjungi
akun Twitter @AfriantoDaud atau melalui email:
aburaudha@gmail.com.

Ami Susiani, ibu 3 anak,


tinggal di Limo, Depok.
Penulis artikel, novel, juga
buku anak. Buku yang
pernah terbit antara lain:
Seri Genius Kids, Belia
Peng­hafal Quran (Tiga Serangkai), Nikmatnya Shalat
dan Puasa (Mizan). Saat ini menjadi fulltime mom,
sambil terus mengukir tulisan sebisanya melalui
berbagai media, termasuk menjadi kontributor sebuah
web. Selain menulis, juga hobi memasak dan membuat
kue. Terutama kuliner Bali, daerah asalnya.
Fb: Ami Susiani, email: aira.mufida@gmail.com.

184
Ari Wijaya. Seorang broadcaster
di radio swasta Jakarta, blogger,
traveler yang mencintai
Indonesia sampai menghabiskan
hampir 20 tahun hidupnya
untuk berkelana, sekaligus ibu
dari Brigita (almarhumah) & Bimo. Hobinya saat
ini memasak dan mengamati perkembangan anak,
serta mencurahkan perhatian pada natural birth &
manajemen laktasi pada ibu menyusui. Di sela ke­
giatan­nya sehari-hari menyempatkan diri menjadi
Doula, atau pendamping persalinan ibu-ibu yang me­
lahirkan. Ari dapat dihubungi di: www.facebook.com/
srisariningdiyah1 dan srisariningdiyah@yahoo.com

Asma Sembiring, lahir di Buluh


Rintang, Sumatra Utara pada 13
September. Masa kecil dihabiskan
di be­berapa wilayah di Sumatra,
mulai dari Sumatra Utara, Aceh dan
Sumatra Barat. Penulis yang memiliki
hobi membaca, menulis, traveling dan berdiskusi ini
bekerja sebagai peneliti di Kementerian Pertanian.
Penulis saat ini tinggal di Lembang, Bandung dan
dapat dihubungi via email: asma_h_1999@yahoo.com.

185
Chif El Hamasah menghabiskan
masa kecilnya di sebuah kampung
kecil di pelosok Sidoarjo, Jawa Timur.
Ia menyukai dunia baca-tulis sejak
remaja. Semakin dewasa, semakin
berminat dengan dunia sastra meski
secara pendidikan formal telah ia
tempuh di jurusan Teknik Kimia di sebuah kampus
negeri di Kota Surabaya. Ia yang menyukai alam, langit,
hujan, sawah, dan keheningan ini, bekerja di salah satu
perusahaan swasta yang berkantor di Surabaya. Beberapa
buku yang ia tulis adalah Sang Pemetik Cahaya (2012),
Cinta dari Cikini (Antologi - 2013), dan Pahlawan
dalam Diam (Antologi - 2014). Penulis bisa dihubungi
melalui email: maschif85@gmail.com atau Fb: Chif
Rul Elhamasah.

Bilqis Muthia Setiadi ber­cita-


cita ingin menjadi hafidzah
Qur’an. Memiliki hobi
membaca, menulis, dan mem­
buat sesuatu yang unik. Salah
satu karyanya yang pernah
diterbitkan adalah antologi Komik KKPK Next G:
Ballerina Contest (Dar! Mizan). Sekarang ia tetap
menyalurkan hobi menulisnya sambil menyiapkan

186
diri menghadapi UN untuk menyelesaikan 6 tahun
di sekolah dasarnya. Bilqis bisa dihubungi lewat Fb:
Bilqis Muthia Setiadi, Twitter: @BilqisMuthia dan
e-mail: bilqis.muthia@yahoo.com

Eko Wahyudi atau yang akrab


disapa Kang Ewa ini merupakan
pe­nulis, pecinta baca, dan
traveling. Bagi­nya, mengunjungi
banyak negeri orang bukan semata
me­ngoleksi stempel imigrasi,
namun demi memungut hikmah
yang tersebar di atas permukaan bumi ini dengan
segala pembelajarannya. Menjadi kontributor traveling
untuk pasberita.com merupakan aktivitas pria
peminat bidang Ilmu Komunikasi Jurnalistik ini selain
mengemban amanah sebagai Direktur Utama pada
salah satu perusahaan swasta nasional. Tulisan pria
kelahiran Pangandaran, Jawa Barat ini juga dibukukan
dalam antologi cerpen Cinta dari Cikini (2010), serta
Kisah Inspiratif Pahlawan dalam Diam (2014).
Untuk mengenal lebih dekat dengan Kang Ewa,
bisa melalui: email: ewasukses@gmail.com; Twitter:
@ewahyudie; Facebook: Eko Wahyudi.

187
Elly Lubis, lulusan
Sastra Arab UI yang
menyukai dunia
pendidikan anak-anak.
Sudah hampir sepuluh
tahun memimpin
rombongan haji
mengikuti jejak
ayahnya, KH. Basrah
Lubis. Ia juga mendirikan grup “Ayo ke Mekah (Dari
Umroh Backpaker Hingga Haji Plus)” di Facebook.
Harapannya, ia bisa dengan baik menjadi pelayan
tamu-tamu Allah di tanah suci. Elly bisa dikontak di
Facebook dengan nama Mbak Butet.

Fadhila L. Zahra saat ini berusia


8 tahun. Menulis, membaca, serta
belajar menggambar ilustrasi
merupakan aktivitas kegemarannya
saat ini karena dekat dengan dunia
kepenulisan. Bagi anak semata
wayang pasangan Eko Wahyudi
dan Eni Rahman Ningsih ini,
mengunjungi tempat-tempat bersejarah di dalam
maupun luar negeri selalu menyisakan kesan tersendiri.
Selain itu, menuliskan kisah-kisah perjalanan serta
menerbitkan buku bersama Abi dan Ummi-nya
merupakan cita-cita yang selalu ingin diwujudkan
siswi kelas 3 Sekolah Alam Duri, Riau, ini.

188
Febty Febriani. Lebih suka
dipanggil dengan nama
panggilan di keluarga, Fety.
Pernah bertempat tinggal
di negeri sakura selama 6
tahun (September 2008 -
Oktober 2014) dalam rangka
menemani suami sekolah dan
menyelesaikan amanah untuk melanjutkan sekolah
dari kantor. Sekarang sedang berusaha menikmati
suasana kehidupan baru sebagai seorang istri dan
ibu di sebuah perumahan di Cisauk, Tangerang dan
menjalankan tugas baru di sebuah lembaga penelitian
milik pemerintah di Serpong.

Ida Wajdi, lulusan Politeknik


Negeri Jakarta jurusan Teknik
Grafika Penerbitan tahun 2002.
Pernah menjadi sekretaris
redaksi di Penerbit Serambi,
dan kemudian menjadi editor
buku remaja dan anak di
Penerbit Atria, imprint Penerbit Serambi. Setelah
mengundurkan diri dari Penerbit Atria pada 2012,
dia menjadi editor lepas di beberapa penerbit. Kini,
dia tinggal di Sydney menemani suami yang tengah
menyelesaikan studi dan menikmati menjadi ibu dari

189
dua anak yang lucu-lucu. Bisa dihubungi di idawajdi@
gmail.com

Inna Putri, pegawai swasta yang


sesekali di cuti tahunannya me­
nyempat­­kan diri untuk jalan-jalan dan
menjalani kegemaran hobi fotografi.
Belakangan ini juga  sedang getol
praktik food combining, sesekali juga
sedang ikut pola makan plantbased or superfood.  
Perempuan asli Padang yang senang menghabiskan
waktu setelah subuhnya di pasar becek ini juga pecinta
bajaj. Akun media sosial bungsu dengan 6 saudara ini
bisa diakses di Twitter, Facebook, Instagram, Blogspot
atau beberapa akun lainnya dengan nama yang sama:
innaputri.

Khairul Umam lahir di


Lirik 23 Januari 1971.
Beliau menyelesaikan S2-
nya di bidang Ekonomi
Islam UIN Sultan Syarif
Kasim, Pekanbaru. Suami
dari Nurhasanah ini pernah
ditugaskan dalam perjalanan
dakwah ke New Zealand
selama bulan Ramadhan. Beliau termasuk orang yang

190
aktif berorganisasi. Selain pernah menjadi ketua SINAI,
beliau juga aktif di ICMI Orsat Kairo, IKADI, LAZ
Ibadurrahman, dan lain-lain. Dunia pendidikan juga
adalah dunianya. Beliau pernah menjadi Pimpinan
Pesantren Nurzaman, Bandung dan Kepala SMU IT
Duri, dan sejak 2005 sampai sekarang beliau menjadi
Imam Masjid Agung Usuluddin PT.CPI Duri. Bapak
enam anak ini punya hobi membaca dan senang
membagi pengalaman perjalanan dakwahnya, salah
satunya dalam buku ini.

Lulu Basmah, ibu dari 2 remaja


putri dan 1 putra ini punya
banyak hobi, di antaranya
mencuci pakaian, membaca,
otomotif, fotografi dan traveling
with family. Tak terlalu hobi
menulis, tapi senang bercerita lewat foto hasil
jepretan sendiri. Sedang menyelesaikan studi S3-nya
sambil mengelola perusahaan keluarga, Trijaya Ban
Group, serta aktif sebagai relawan di MP4Palestine
dan AsPaC For Palestine. Bisa dihubungi via
email: lulu.basmah@yahoo.co.uk; Facebook:
bundaathira; Twitter: @bundaathira; dan Instagram:
bundaathira.

191
Mubdi Darsi, seorang yang
percaya bahwa kepingan-keping­
an ingin dan harap sekecil apa
pun nanti pada akhirnya akan
ber­bentuk. Baginya perjalanan
adalah buku dan buku adalah
perjalanan. Pembelajar abadi. Mencintai gelap serta
terang sekaligus.  Saat ini sedang menuntaskan studi
di Fakultas Shariah and Law, International Islamic
University (IIU) Islamabad - Pakistan.

Novi Khansa telah


berkecimpung di dunia
penerbitan lebih dari
sepuluh tahun. Hobinya
membaca dan menulis
bisa tersalurkan lewat
pekerjaannya. Saat ini,
bekerja dari rumah sebagai
editor dan penulis lepas, termasuk kontributor sebuah
web, serta mengelola toko online Khansa Store. Sejak
menikah, ibu dari Noval Muhammad Al-Fatih ini
mulai tertarik dengan berbagai hal terkait parenting
dan dunia memasak. Lulusan Politeknik Negeri Jakarta
dan STID DI Al-Hikmah ini telah menulis dalam
tujuh antologi, dan buku ini adalah antologinya yang

192
ke-8. Berharap suatu hari nanti bisa menghasilkan
buku solo. Saat ini Novi juga aktif sebagai relawan di
komunitas Penulis Peradaban dan MP4Palestine. Novi
bisa dikontak di Facebook: noviyanti.utaminingsih;
Twitter: @novikhansa; dan Instagram: mbufatih.
Tulisan-tulisannya bisa dinikmati di novikhansa.
wordpress.com.

Rahmadiyanti Rusdi.
Sakaw dengan tanda-
tanda pikiran gelisah
dan tak fokus, kaki
gatal-gatal, serta sering
mengkhayal ia alami
bila lama tak melakukan
perjalanan. Baru dua
puluh negara di benua
Asia, Amerika, dan Eropa
ia tapaki dan berharap
akan lebih banyak
lagi. Bukan sekadar menambah “koleksi negara
yang dikunjungi”, tapi lebih dari itu, karena dengan
perjalanan ia lebih mengenal dirinya dan Tuhannya,
menaklukkan ego, dan memperluas silaturahmi. Saat
ini, ia bekerja di salah satu penerbit terkemuka di ibu
kota. Rahmadiyanti juga membuat grup Facebook
“Muslim Traveler”.

193
Karya-karyanya antara lain Sejuta Cinta di Sydney
(Syaamil Cipta Media), Catatan Wanita Lajang
(Syaamil Cipta Media), Ini Nih yang Cewek Mesti Tahu!
(Syaamil Cipta Media), I’m the Winner (Syaamil Cipta
Media), Let’s Talk about Love (Syaamil Cipta Media),
Panduan Anak Gaul Pilih Partai (Pustaka Saksi) Nikah
Sama Bule (Lingkar Pena Publishing House), Jodoh dari
Negeri Seberang (Lingkar Pena Publishing House), La
Tahzan for Working Mothers (Lingkar Pena Publishing
House), Kuliah Gratis di Luar Negeri: Kisah Seru dan
Inspiratif Para Peraih Beasiswa Mancanegara (Lingkar
Pena Publishing House).
Selain itu, ada juga sederet hasil karya berupa
antologi. Artikel tentang perjalanan di beberapa daerah
di Indonesia dan negara lain pernah dimuat di harian
Republika, majalah Ummi, majalah Annisa, Colours
Garuda, dan lain-lain.

Reiny Dwinanda.
Be­rumah tangga dan
men­jadi ibu membuat
dunia Reiny Dwinanda
se­makin berwarna.
Banyak hal baru yang
dipelajari ke­mudian menjadi passion-nya sampai
sekarang. Wartawan di HU Republika ini selalu

194
bersemangat mendiskusikan dan menulis tema
kesehatan, pengasuhan, pendidikan, anak-anak
berkebutuhan khusus, kuliner, masalah sosial, budaya,
dan wisata. Reiny merupakan salah satu alumnus
Asma Nadia Writing Workshop yang naskahnya
terpilih dibukukan dalam New Catatan Hati Seorang
Istri (ANPH, 2011). Reiny menulis dua kisah nyata
dalam antologi Fight Hope Love 15 Kisah Penderita
Kanker (Al Kautsar, 2012) dan Catatan Hati Pengantin
(ANPH, 2014).

Vienna Alifa.  Ibu rumah


tangga dengan dua putra
ini lahir di Jakarta, 1975.
Kemampuan menulis
sudah ditabungnya
s ej a k SD dengan
mencurahkan hati di
catatan harian. Di era
maraknya dunia blogging,
ia mengasah kembali kemampuan menulisnya
hingga aktif mengikuti berbagai lomba dan proyek
buku antologi. Beberapa tulisannya kemudian
muncul di Leutika Publishing sebagai nominator
dan pemenang salah satu program Weekly Notes
mereka.  Ada pula yang terangkum dalam  buku

195
antologi  Happy Ramadhan With Kids (PL, 2010), 99%
Cassh (Leutika, 2011), Dan Aku Pun Berjilbab (Tinta
Medina, 2011), Chicken Soup For Writerpreneur’s Soul
(Indie Publishing, 2011), dan Senandung Ramadhan
(Lentera Press, 2012). Kini, ia berusaha terus berbagi
pengalaman lewat tulisan dengan tujuan berdakwah,
di samping kegiatannya mengajarkan tahsin Al-Qur’an
pada anak-anak dan para Muslimah.
Ia akan sangat senang menerima silaturahmi dan
sumbangan ilmu dari siapa pun di email-nya fathin_
amani@yahoo.com.au ataupun melalui website-nya
www.viennalifa.com.

196

Anda mungkin juga menyukai