Anda di halaman 1dari 6

Apa Sih Malu Itu?

Saya berkisah tentang Alif yang saya kira pemalu. Setelah berdiskusi dengan beberapa orang
yang lebih berpengalaman, saya mengambil kesimpulan Alif sebenarnya bukan pemalu. Mungkin lebih
tepat jika ia agak introvert. Beberapa dokter anak yang saya temui malah bilang, “Nggak pa-pa. Itu
bagian dari perkembangan anak. Wong umurnya masih segitu. Nanti, kalau sudah besar, dia akan bisa
belajar sosialisasi,” kata seorang dokter teman dekat saya di Surabaya.
Malu dan introvert itu berbeda. Namun, keduanya erat terkait. Kebanyakan anak pemalu lebih
suka hidup introvert. Anak introvert umumnya lebih suka dengan aktivitas sendirian daripada yang
melibatkan banyak orang. Bedanya, tidak seperti anak pemalu, anak introvert tidak takut menghadapi
keadaan sosial. Boleh jadi, ia sedang tidak punya 'feeling' terhadap keadaan sosial sekitarnya sehingga
lebih suka bermain sendiri. Alif, saat buku ini ditulis, tidak mau sekolah karena banyak anak. Namun,
saat ditantang ikut karnaval sepeda hias 17 Agustus-an, ia dengan senang mengikutinya. Ia bahkan
berkali-kali mengacungkan tangan berteriak, “Indonesia, merdeka!” Saat saya bisikkan “Indonesia,
bebas korupsi”, ia pun meneriakkannya dengan lantang sehingga menarik perhatian orang-orang.
Sifat pemalu Alif sebenarnya normal. Itu berdasarkan fakta bahwa ia sering menampakkan sifat
malu dalam situasi baru atau dalam lingkungan orang-orang baru, namun sesaat kemudian sikapnya
menjadi lebih hangat setelah bisa mengenali lingkungan. Ia juga menunjukkan sikap malu-malu jika
berada dalam kelompok besar anak-anak, namun bisa tampil baik saat dalam kelompok yang lebih
kecil. Dengan sedikit dibesarkan hati, ia bisa bergaul dan mendapatkan teman. Dokter teman saya itu
bilang, rasa malu itu baru akan menjadi masalah jika sangat mempengaruhi Alif dalam mendapatkan
teman atau jika di sekolah nanti ia jadi tidak bisa belajar dengan baik.

Sulit Didefinisikan
Sebelum melihat anak kita, coba Bapak/Ibu mengkaji diri sendiri dulu. Cobalah imajinasikan
Anda kembali ke masa lalu, lalu fikirkan hal-hal sebagai berikut;
* saat masuk ke sekolah baru
* saat memulai sesuatu yang baru, misalnya aktivitas olahraga, musik atau yang lain
* saat menjawab pertanyaan di depan kelas
* saat pergi ke suatu tempat sendiri untuk pertama kalinya
* saat harus berbicara di depan kelas
* saat pergi ke pesta atau makan di restoran besar untuk pertama kalinya
Apa yang ada dalam perasaan Anda saat itu? Apakah Anda merasa agak canggung untuk melakukan
sebagian atau seluruh aktivitas di atas? Apakah ada perasaan tidak enak saat akan melakukan itu?
Apakah ada perasaan takut salah atau takut ditertawai orang lain saat itu? Jika jawabnya 'ya', maka
seperti itu lah yang dirasakan anak kita. Bahkan, bukan cuma anak yang bisa punya perasaan seperti
itu. Orang dewasa pun sering begitu.
Itu tadi diskripsi awal tentang kondisi malu. Sekarang, kembali ke pertanyaan awal; apa sih
sebenarnya malu itu? Pak/Bu, kalau Anda ditanya seperti itu, pasti Anda sulit menjawabnya dengan
kata-kata. Begitu juga saya, yang sulit untuk mendefinisikan kata 'malu'. Bahkan, para pakar pun tidak
memiliki definisi yang solid dan kompak tentang istilah 'shyness' atau 'malu' ini. Yang lebih gampang
adalah justru menggambarkan keadaan diri secara fisik maupun psikis jika terserang sesuatu yang
dinamai 'malu' ini. Meski demikian, saya mencoba mengutip beberapa pendapat tentang definisi
'shyness'.
Dalam kamus bahasa Inggris, pengertian pertama dari 'shy' adalah kata sifat yang
menggambarkan kondisi 'kurang merasa nyaman pada diri sendiri saat menghadapi situasi tertentu'.
Sinonimnya antara lain diffident, timid, unsure. Pengertian kedua adalah 'gampang terlecut rasa takut
atau cemas. Pengertian ketiga, 'waspada' dan 'tidak percaya orang lain'; berusaha menghindari orang
atau sesuatu tertentu. 'Shyness' adalah kata benda dari 'shy'. Tapi, jika berdasarkan dari kamus ini, Anda
jangan semena-mena menerjemahkannya. Harus bijak. 'Jika 'shy' diterjemahkan sebagai 'malu' maka
jangan semena-mena menerjemahkan 'shyness' sebagai 'kemaluan'. Maknanya jadi sangat berbeda.
Maka, akan lebih bijak jika 'shyness' kita terjemahkan sebagai 'rasa malu' saja.
Untuk definisi lebih ilmiah, saya kutipkan Encyclopedia of Mental Health yang diterbitkan
Academic Press, di San Diego, California. Tim yang menyusun ensiklopedi itu bilang, 'malu' adalah
perasaan tidak nyaman dalam suatu situasi interpersonal yang bisa menganggu tujuan-tujuan
profesional atau interpersonal seseorang. Malu adalah salah satu bentuk self-focus berlebihan yang bisa
mempengaruhi pemikiran, perasaan, dan reaksi fisik seseorang.
Pakar psikologi perkembangan Karen Payne Ph.D menggambarkan shyness sebagai istilah yang
sangat sering digunakan tapi sering disalah-fahami. Shyness bisa didefinisikan sebagai perasaan tidak
nyaman atau tidak bisa melakukan sesuatu dengan normal dalam situasi sosial atau interpersonal
tertentu. Dalam situs bimbingan keluarga Parenting.com, 'shyness' didefinisikan sebagai rasa takut,
atau bentuk penarikan diri, terhadap orang lain atau situasi sosial tertentu. Ada juga yang
mendefinisikan 'shyness' sebagai sifat/watak kepribadian yang menghasilkan jenis perilaku berkisar
dari perasaan tidak nyaman yang biasa-biasa saja hingga yang ekstrim. Rasa tidak nyaman yang biasa
itu misalnya saat datang ke tempat baru. Rasa tidak nyaman yang ekstrim bisa berbentuk sangat takut
saat diamati orang lain bahkan saat berbicara lewat telepon. Lainnya mendefinisikan shyness sebagai
kondisi emosi yang berpengaruh pada bagaimana seseorang berperasaan dan berperilaku terhadap
sekitarnya. Shyness bisa berarti perasaan tidak nyaman, nervous, segan, kaku, atau tidak aman.
Lawan kata dari pemalu adalah orang yang outgoing atau merasa nyaman dan santai di antara
orang-orang lain. Mereka biasanya easygoing atau cepat beradaptasi dengan lingkungan sehingga
gampang bergaul, bersikap biasa saja saat menjadi pusat perhatian, gampang melontarkan fikiran di
depan orang lain, dan tidak kikuk berhadapan dengan sesuatu yang baru.
Jonathan Berent, A.C.S.W., psikoterapis yang tinggal di Great Neck, New York,
mengungkapkan pengalamannya menangani ribuan kasus 'malu' dari anak-anak hingga orang dewasa.
Dalam artikel berjudul Anxiety: Friend or Foe?, Beyond Shyness : How to Conquer Social Anxieties
yang beredar di Internet, ia memberi ilustrasi berikut ini; “Malu. Kita sudah begitu sering mendengar
kata ini. Bahkan, kita sendiri mungkin pernah merasa diri kita ini malu. Malahan, ada riset yang
menunjukkan 93% dari manusia pernah mengalami rasa malu. Lalu, apa yang dimaksud dengan 'malu'?
Ada sebagian yang bilang, itu berarti kondisi saat kita menjadi pendiam, menarik diri, atau berfikap
kaku. Ada juga yang lain bilang, 'malu' itu mulanya tampak seperti watak kepribadian namun
kenyataannya itu hanyalah respons perasaan takut yang telah mengungkung hidup dan menghambat
seseorang dalam melakukan sesuatu yang ingin ia lakukan. Saya sendiri, setelah menghadapi ribuan
orang yang menyebut diri 'pemalu', akhirnya menyadari bahwa 'malu' adalah kata-kata yang begitu
general untuk diidentifikasi.”
Ya... ya.... 'malu' adalah istilah yang 'terbuka'. Artinya, tidak ada satu definisi standar bagi istilah
'malu'. Seorang pakar memberi definisi tertentu, namun pakar lain memberi defisini lain. Kadang
definisi itu saling mendukung. Namun, ada juga definisi yang berlawanan. Bapak/Ibu juga boleh koq
merekonstruksi definisi sendiri. Yang penting jangan sampai malu-maluin!
Berbagai definisi 'malu' dari para pakar, saya menarik benang merah bahwa malu adalah aksi
berupa perasaan tidak nyaman dalam situasi sosial tertentu yang bisa menghambat kemampuan untuk
melakukan sesuatu dalam level yang seharusnya kita bisa. Saya lebih suka pendapat bahwa 'malu'
bukanlah sifat, watak, atau pembawaan, tapi hanya perasaan. Karena perasaan, maka intensitas dan
frekuensi malu bisa sangat bervariasi tergantung pada situasinya. Maka, jika dalam buku ini saya
menuliskan 'anak pemalu', maka itu artinya anak yang sering merasa malu.
Karena hanya perasaan, maka 'malu' bisa kita kendalikan. Kita merasa malu saat ada situasi
sosial yang memicu reaksi cemas sehingga kita sadar sudah tiba waktunya untuk mengambil tindakan
berupa fight (tempur) atau flee (kabur). Jika kita mengisi perut dengan makanan, maka rasa lapar itu
hilang. Begitu juga, jika bisa menyingkirkan ketakutan dengan keamanan, maka kecemasan dan rasa
malu kita bakal hilang. Dengan menekankan bahwa 'malu' adalah perasaan, sebenarnya saya ingin
memberi keyakinan pada diri saya sendiri maupun pada Bapak/Ibu yang membaca buku ini. Kita bisa
mengontrol dan mengelola 'malu'. Bandingkan jika 'malu' itu adalah sikap mental atau bawaan yang
sudah terpatri di dalam diri. Pasti sulit sekali diubah. Bagaimana pun kita berusaha, 'malu' tidak akan
bisa enyah.

Gangguan Mental?
“Duh, Kak Esti,.... Aku bingung dengan Adin anakku. Setiap kali diminta gurunya ke depan
kelas, Adin tak mau. Dia pandai membaca, pandai menulis, pandai berhitung. Namun, tiap kali diminta
menulis di papan tulis, ia menolak. Malu, katanya. Dulu, saat masih pertama kali masuk sekolah, ia
pernah diminta gurunya menuliskan namanya sendiri di papan tulis. Ia menolak. Setelah agak lama
dibujuk, ia mau juga. Namun, saat menulis, ia cemas hingga ngompol. Teman-temannya tertawa. Ia
langsung minta pulang.”
Itu tadi curhat seorang ibu muda yang sering bertemu saya. Ibu tadi khawatir karena rasa malu
yang diderita Adin sudah kelewat batas. Saya, setelah mendengar curhat itu, sempat tertawa geli.
Namun, tidak saya biarkan tawa saya terekspresikan dengan jelas. Jujur, akal sehat saya bilang kisah
Adin memang layak ditertawakan. Namun, jujur pula, saya menilai sangat tidak etis jika saya ngakak di
depan ibu yang sangat mengkhawatirkan kondisi anaknya. Maka, saya pun mendengarkan curhat itu
sampai habis. Lalu, saya mencoba menghiburnya.
Bapak/Ibu yang budiman..., ekspresi rasa malu bisa sangat beragam; dari yang normal hingga
yang ekstrim seperti ngompolnya Adin. Si pemalu kadang merasakan sensasi fisik seperti mual, tidak
mampu berkata-kata, gemetar, atau sulit bernafas. Ada anak yang malu dengan cara menyembunyikan
wajah ke pelukan orangtua, namun ada yang malu dengan menunjukkan sikap sangat takut.
Encyclopedia of Mental Health mengungkapkan, perwujudan rasa malu bisa sangat lemah berupa
keengganan bergaul hingga yang sangat kuat misalnya fobia sosial.
Dalam kondisi ekstrim, ada pakar yang menghubungkan shyness dengan neuroticism –suatu
perilaku rumit yang meliputi depresi, kurang percaya diri, dan malu berlebihan jika berada di antara
orang-orang tak dikenal. Ada juga pakar yang menghubungkan shyness dengan penderita gangguan
kecemasan sosial (social anxiety disorder atau SAD). Karena rasa malu umumnya tidak terjadi dalam
bentuk ekstrim, Bapak/Ibu jangan terlalu khawatir. Kasus-kasus ekstrim hanya terjadi secara ekstrim.
Namun, ada baiknya jika kita sedikit bahas tentang persamaan/perbedaan malu normal dengan malu
ekstrim itu.
Malu vs Introversi
Mari kita lihat kamus. Menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary, introvert adalah “orang
yang lebih tertarik pada kehidupan mentalnya sendiri daripada dunia di sekitarnya.” Kamus lain
menunjukkan, introversion adalah “mengarahkan kepentingan diri sendiri lebih besar daripada obyek
eksternal.” Lawan katanya, extrovert, adalah “orang yang ketertarikannya lebih besar pada
lingkungannya dan pada orang lain daripada pada dirinya sendiri.”
Karena ini kamus umum, maka banyak kelemahannya jika ditilik dari sisi kejiwaan anak.
Definisi ini seperti membuat 'watak introversi' terdengar seperti hanya untuk orang yang berfikiran
sempit. Padahal, banyak pemikir dunia yang disebut-sebut introvert: Charles Darwin, Thomas Carlyle,
Isaac Newton, Michael Faraday, Paul Cezanne, Johann Heinrich Pestalozzi, Martin Luther hingga
Albert Einstein. Dalam kenyataan, seorang extrovert bisa sangat self-centered dan orang introvert bisa
juga altruistik (mementingkan orang lain). Itu semua bergantung pada individu masing-masing.
Introversi sering disama-samakan dengan pemalu, karena secara fisik memang mereka punya
banyak kesamaan penampilan. Namun, secara kepribadian, mereka berbeda. Si introvert memang suka
kesendirian dan sengaja menghindari situasi-situasi banyak orang misalnya dalam pesta. Sebaliknya, si
pemalu sebenarnya ingin berada di antara orang namun ia memiliki keterbatasan internal sehingga
tidak bisa bergaul. Itu karena rasa malunya lebih kuat daripada hasrat untuk bersosialisasi. Maka, si
pemalu takut mendatangi suasana banyak orang –misalnya di pesta– sehingga akhirnya terpaksa
memilih tinggal sendiri di rumah.
Si introvert menikmati kondisi kesendirian, dan mungkin bisa berbahagia dengan dirinya apa
adanya, tanpa merasa berhasrat membentuk hubungan baru dengan pihak lain. Sebaliknya, si pemalu
sering kali sangat ingin berhubungan dengan orang lain namun takut melakukannya atau tidak tahu
bagaimana melakukannya. Tidak seperti introversion, rasanya shyness bukan pilihan cara untuk
menjalani hidup. Tak seorang pun ingin hidup terkucil. Pendeknya, introversion terjadi saat orang
secara sadar memilih untuk hidup sendiri dan shyness terjadi saat orang terpaksa hidup menyendiri.
Tentu, si introvert mungkin memiliki unsur-unsur yang dimiliki si pemalu, dan si pemalu
mungkin juga memiliki unsur-unsur introversion. Namun, dalam bentuk yang paling murni, menjadi
"shy" dan menjadi "introvert" adalah hal yang cukup berbeda. Mungkin saja seseorang menjadi
introvert tapi tidak pemalu, yakni; menikmati kesendirian namun tidak terlalu bermasalah dalam
membina interaksi dengan orang lain jika situasi menuntut demikian. Mungkin seseorang menjadi
pemalu tanpa benar-benar menjadi introvert, yakni; lebih menikmati hubungan dengan orang lain
daripada dengan diri sendiri, namun tidak benar-benar tahu bagaimana meraihnya. Bahkan, pakar
kejiwaan Dr Philip Zimbardo dari Shyness Institute di Palo Alto, California, mencatat sejumlah kasus
extrovert pemalu, yakni; orang yang gampang bergaul dengan orang lain, bisa diterima orang lain,
bahkan menjadi populer, namun di lubuk hatinya selalu ada rasa nervous. Meski tahu bagaimana
bergaul, ia harus berjuang keras mengalahkan masalah internalnya itu. Orang-orang terkenal yang
mengaku pemalu ini antara lain; Johnny Carson, John Travolta, Carol Burnett, Jimmy dan Rosalynn
Carter, dan bahkan Elizabeth Taylor.

Malu vs SAD
Rasa malu yang berlebihan kadang-kadang disebut sebagai fobia sosial (social phobia) atau
yang saat ini lebih populer disebut social anxiety disorder (SAD). SAD sendiri bisa diklasifikasikan di
antara panic disorder, obsessive-compulsive disorder, post-traumatic stress disorder, dan generalized
anxiety disorder. Menurut definisi yang dibuat Diagnostic and Statistical Manual of the American
Psychiatric Association, SAD adalah kondisi psikiatris berupa ketakutan 'khas dan sangat kuat'
terhadap sesuatu. Lebih jauh, SAD adalah rasa takut atas satu atau lebih situasi sosial atau performa
sosial di mana ia dihadapkan pada orang-orang yang ia tidak kenal atau terhadap kemungkinan adanya
perhatian dari pihak lain. Perasaan takut seperti ini bisa dipicu oleh hal-hal yang menurut orang lain
biasa-biasa saja, misalnya berbicara di depan umum, menggunakan WC umum, hingga menuliskan
sesuatu saat ada orang lain memandanginya. Jika berada di dalam kondisi yang ditakutkan, si penderita
merasa seolah-olah setiap orang memelototkan mata kepadanya. Satu kesalahan kecil saja bisa
dianggap serius dan membuat ia merasa sangat malu dan ketakutan.
Si penderita memang tidak selalu dicekam perasaan takut sepanjang waktu atau dalam semua
situasi. Ia mungkin saja merasa nyaman di antara orang-orang lain jika pemicu rasa malu itu tidak ada.
Namun, jika dihadapkan pada situasi atau orang yang ditakuti, kinerjanya bisa turun drastis –bisa
membuat ia tidak mau sekolah, tidak mau berteman, serta menjaga jarak dari situasi yang ditakutkan.
Karena menyebabkan rasa sangat takut dipermalu di depan orang lain, SAD lalu sering dihubung-
hubungkan dengan self-esteem yang rendah atau perasaan rendah diri atau merasa inferior. Sikap
penolakan, antisipasi cemas, atau distress atas situasi sosial atau performa yang ditakutkan itu pada
akhirnya secara signifikan mempengaruhi rutinitas normal orang itu. SAD bisa membuat seseorang
tidak pernah bisa bekerja karena tidak pernah mau mendatangi wawancara kerja. Menurut catatan
National Mental Health Association di Amerika Serikat, SAD sejati berpengaruh terhadap sekitar 3%
jumlah penduduk Amerika Serikat sehingga mereka benar-benar menjadi pengangguran.
Psikolog biolog Adrienne Wardy, dalam tulisannya berjudul The Science of Shyness: The
Biological Causes of Social Anxiety Disorder, mengungkapkan, meski penderita SAD sering dianggap
sebagai pemalu, kondisi kejiwaannya jauh lebih parah daripada sekadar malu. Tidak seperti rasa malu,
SAD bukan sekadar watak/sifat kepribadian. Itu adalah rasa takut yang sangat kuat sehingga tentu
punya akar jauh lebih dalam daripada sekadar penyebab-penyebab lingkungan normal. Komponen
kecemasan di dalam penderita SAD ada dalam jumlah jauh lebih besar daripada di dalam orang
pemalu. Penderita SAD cenderung menghindari situasi sosial tertentu secara jauh lebih ekstrim
daripada orang pemalu biasa. Seorang pemalu masih mungkin mendatangi pesta meski ia bakal
sendirian sepanjang malam. Seorang penderita SAD tidak akan mau mendekati pesta itu jika memang
merasa takut. Seorang pemalu mungkin masih mau mendatangi wawancara kerja meski akhirnya tidak
diterima karena bicaranya menjadi gagap dan tubuhnya basah karena peluh. Penderita SAD sama sekali
tidak mau mendatangi wawancara. Dengan kata lain, faktor takut dalam diri penderita SAD tampaknya
jauh lebih intens daripada si pemalu. Sementara, si pemalu tampaknya memiliki lebih banyak
komponen –meski tidak sangat mendalam– misalnya; sulit tersenyum, sulit kontak mata, atau sulit
membuka percakapan dalam situasi baru.
Ruy Miranda, doktor psikiatri yang mendirikan departemen Medical Psychology di Federal
University, Minas Gerais College of Medicine, di kota Belo Horizonte. Brazil, membedah SAD dari
beberapa sudut pandang. Pengarang buku The Saga of a Shy Fellow ini menjelaskan, SAD terjadi
dalam 3% hingga 13% dari populasi. Kebanyakan penderitanya adalah usia dewasa, meski ada juga
yang remaja dan anak-anak. Bentuk gangguannya umumnya kejadian sangat mendadak. Miranda lalu
memberi contoh kasus seorang remaja yang tanpa pemberitahuan sebelumnya dipanggil untuk
mengibarkan bendera nasional dalam upacara di sekolah. “Jagad ini sepertinya runtuh di atas kepala
saya. Saya tidak tahu bagaimana bisa melakukannya. Saya tidak bisa melihat apa-apa, tidak bisa
berfikir langsung, tubuh saya gemetaran. Saya juga tidak bisa mendengarkan lagu nasional
dikumandangkan. Setiap orang bisa melihat saya. Setelah itu, saya tidak ingat apa-apa lagi. Beberapa
saat kemudian, saya bangun di poliklinik sekolah,” kata remaja itu tentang peristiwa yang ia anggap
sangat memalukan. Namun, ada juga beberapa kejadian yang berlangsung lambat, menyusul beberapa
kecemasan sebelumnya, hingga mencapai puncak.
Berdasarkan observasi empirisnya, Miranda mengungkapkan shyness dan social anxiety banyak
terkait dengan peristiwa masa lalu. Bedanya, konsep-diri dalam kasus-kasus penderita SAD tampak
lebih terkompromi daripada dalam kasus-kasus malu biasa. Dalam kasus SAD, konsep dan sikap vis à
vis diri sendiri dan orang lain, berupa ketidak-setujuan internal serta predisposisi orang lain terhadap
dirinya, tampak lebih kompleks daripada dalam kasus-kasus rasa malu. Di sisi lain, penderita SAD
dalam situasi umum menunjukkan tanda-tanda dan gejala-gejala paralel rasa malu biasa. Karena itu,
Miranda mendukung perawatan dengan pendekatan yang sama antara penderita SAD dan pendertia
malu –dan tidak memerlukan pengobatan medis.
Masalahnya, seperti diungkapkan Christopher Lane doktor sastera dan sejarawan dari
Northwestern University, jumlah anak yang terjebak SAD belakang ini semakin bertambah. Dalam
artikel berjudul 'Distinguish shyness from social anxiety disorder' yang diedarkan The New York Times
Syndicate pada September 2007, ia mengungkapkan semakin banyak anak yang terjebak ke dalam
kondisi patologis itu sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan sekolah baru.
Semakin banyaknya gejala malu biasa yang berobah menjadi gangguan mental ini membuat makin
banyak psikiatris merekomendasikan perawatan khusus bagi mereka.
Menurut Lane, rasa malu sudah biasa tampak di antara anak-anak Amerika (42%). Masalahnya,
perasaan demikian itu ternyata juga semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Saat usia kuliah, 51
% pria dan 43 % wanita mengaku pemalu atau introvert. Di antara mahasiswa pascasarjana, 50% pria
dan 48 % wanita mengaku pemalu atau introvert. Bahkan, sejumlah psikiatris mengatakan setidaknya
satu dari delapan orang seperti itu membutuhkan perawatan medis khusus.
Jonathan Berent ACSW, psikoterapis bersertifikat yang praktik di kawasan Great Neck, New
York, mengungkapkan, fobia sosial sudah cukup banyak ditemui di masyarakat. Ia mengutip artikel di
Journal of Clinical Psychiatry edisi November 1991, ini masalah lama yang sekarang mendapat
perhatian lebih serius. Tahun 1980-an dianggap sebagai 'dekade kecemasan' karena panic disorder dan
obsessive-compulsive disorder mendapat perhatian paling banyak. Tahun 1990-an masih disebut
sebagai dekade kecemasan, namun yang menjadi sorotan adalah anxiety disorders lain terutama social
phobia. Itu karena dulu social phobia dianggap bukan gangguan.

Anda mungkin juga menyukai