Anda di halaman 1dari 8

Tawuran pelajar di Indonesia sudah tidak dapat lagi didefinisikan sebagai sekadar kenakalan remaja.

Ia sudah harus digolongkan sebagai tindakan kriminal. Korban sudah berjatuhan. Padahal, mereka harusnya adalah kader-kader bangsa yang akan meneruskan roda kehidupan bangsa Indonesia. Tapi apakah brutalitas ini hanya milik para pelajar SMA atau SMP bahkan SD? Ternyata tidak. Tayangan media massa menunjukkan bahwa brutalitas itu bukan milik ekslusif pelajar. Kini, brutalitas itu sudah menjadi semacam tumpukan sampah yang menjejali setiap relung kehidupan bangsa Indonesia.

Brutalitas juga merambah kampus. Pengkotak-kotakan mahasiswa dalam fanatisme fakultas, jurusan, dan program studi seringkali menjadi inspirasi brutalitas itu baik pada tingkat mahasiswa maupun dosen. Bahkan, brutalitas yang lebih parah kita ditemukan ketika fungsionalitas di dunia kampus dijadikan semacam berhala. Misalnya, jabatan fungsional sebagai guru besar bila sudah diberhalakan akan menjadi mesin yang efektif untuk memberangus perbedaan yang berujung menciptakan atmosfer brutalitas. Pada kondisi seperti ini relasi akademik tidak dibangun atas dasar penghargaan terhadap perbedaan, tetapi perbedaan dijadikan sebagai mesin pengkastaan; mahasiswa, dosen S1, S2, S3 dan Professor. Mahasiswa adalah kelas bawah dan sebaliknya professor adalah raja. Dalam kondisi seperti ini terma kebenaran tercerabut dari pengertian yang sebenarnya, karena ia tidak independen, tetapi justru tergantung pada raja. Di dunia akademik model ini, ilmu yang dikaji dan dikembangkan bukanlah ilmu menurut nalar ilmiah, tetapi pseudo-ilmu yang bersandar pada otoritas sang raja. Pseudo-ilmu bagi pemegang otoritas seperti opium yang tidak sekadar memabukkan, tetapi juga akan menghilangkan totalitas kesadarannya. Hilangnya totalitas kesadaran inilah yang akan melahirkan brutalitas ketika otoritas sang raja diusik oleh aktivitas nalar ilmiah. Brutalitas dijadikan alat untuk membombardir aktivitas nalar ilmiah agar ia tidak tumbuh dengan subur. Berhala otoritas memang tidak bisa dipertahankan dengan argumentasi nalar ilmiah, karena berhala-berhala otoritas itu justru secara inheren bertentangan dengan nalar ilmiah. Akan tetapi nalar ilmiah yang direvitalisasi dan dikuatkan akan meruntuhkan berhala otoritas saat keduanya diperhadapkan, sebagaimana yang terjadi ketika Muhammad Saw (puncak nalar ilmiah) lahir di bumi. Saat kelahiran sang jabang bayi puncak kearifan nalar ilmiah (Muhammad saw) mengguncang istana Kisra, Persia. Api pemujaannya sebagai lambang berhala otoritas padam disedot oleh cahaya murni puncak kearifan nalar ilmiah. Oleh karena itu brutalitas digunakan oleh raja, professor, ulama atau apa saja penyebutannya untuk mempertahankan kekuasaanya vis a vis muhammad-muhammad kecil' yang sedang menapaki jalan kearifan.

Entah karena karakter dan tipikal etnis atau karena ada sebab lain, kita pun menjadi heran ketika membaca beita yang tiap sebentar bertema kegaduhan pelajar dan mahasiswa di makassar. Pekan lalu aksi saling serang dua mahasiswa dari dua kampus di Makassar sampai menewaskan calon intektual itu. Tak kurang dari Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono yang menyatakan kondisi tawuran antarpelajar ataupun antarmahasiswa yang terjadi dalam

beberapa waktu belakangan ini sudah sangat parah dan bisa diibaratkan sebagai lampu merah, karena telah menelan korban jiwa. Ibaratnya sudah lampu merah sehingga harus segera dihentikan dan dicari jalan keluarnya secara bersama-sama. Kita pun sudah jemu rasanya mendengar dan membaca berita tentang tawuran pelajar serta mahasiswa ini. Alasannya itu ke itu saja: persoalan sepele yang sudah turun temurun yang tak kunjung terputuskan mata rantai sejarahnya. Kita kira pimpinan di universitas ataupun di sekolah harus bertanggungjawab dalam menanggulangi masalah tawuran antarmahasiswa ataupun antarpelajar. Sebelum negara memberikan sanksi kepada pimpinan kampus dan pimpinan sekolah yang tidak bisa mengatasi pobelem di kampus dan sekolah masing-masing, maka sebaiknya di internal kampus dan sekolah hal ini sudah mulai dipikirkan jalan keluarnya. Tentu saja sepanjang yang menjadi penyebabnya adalah faktor-faktor internal. Jika itu tersebab oleh faktor eksternal, barulah disampaikan ke pimpinan daerah melalui kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan atau Dinas Pendidikan di setiap kota dan kabupaten. Bahwa pihak kepolisian mesti bertindak tegas agar tidak terulang lagi kondisi yang sama di masa mendatang, memang benar. Tapi sebelum polisi bertindak, alangkah lebih baiknya ini diselesaikan di tingkat internal. Tindakan tegas perlu diberikan oleh kepolisian agar memberi efek jera. Bisa hendaknya mengerem brutalisme pelajar dan mahasiswa dan menurunkan tingkat kerawanan sosial. Ada baiknya memang untuk mengaji kembali soal pendidikan karakter bangsa. Daat kita rasakan betapa telah terjadi penurunan karakter bangsa di diri generasi muda sehingga di masa mendatang perlu diperkuat kembali.Pendidikan karakter bangsa bagi para generasi muda merupakan suatu keharusan agar terhindar dari pengaruh buruk, khususnya radikalisme. Tetapi kita ingin mengingatkan semua stakeholders pendidikan agar pendidikan karakter bangsa kepada generasi muda jangan hanya sekedar teori. Kurikulum pendidikan yang berbicara tentang karakter jangan cuma besifat teori, melainkan harus berupa praktik-praktik nyata. Lalu kurikulu yang ada hendaknya benar-benar mampu mengerem semua birahi brutallisme dalam jiwa muda para pelajar dan mahasiswa. Banyak pakar sudah menyatakan bahwa maraknya tawuran pelajar tentu menunjukkan cacatnya sistem pendidikan. Sekolah hanya mementingkan pendidikan otak, bukan watak. Yang dikejar ialah nilai tinggi dari setiap mata pelajaran, bukan nilai kepribadian yang bermoral. HAR Tilaar, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menilai, budi pekerti tidak lagi menjadi prioritas karena lembaga pendidikan lebih mengejar world class-education supaya bisa bersaing dengan negara industri maju. Sementara, pemerhati pendidikan anak, Seto Mulyadi menanggapi bahwa maraknya tawuran terkesan ada pembiaran, baik dari Kementrian Pendidikan maupun dari Dinas Pendidikan. Sikap

pembiaran hanya akan membuat bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan membuat nyawa kembali melayang. Memang jelas terlihat bahwa negara sepertinya absen dalam problematika tawuran pelajar. Aksi kebringasan pelajar kian meresahkan namun pencegahan secara terintegrasi dan optimal tidak dilakukan instansi-instansi terkait. Data Komnas PA merilis jumlah tawuran pelajar tahun 2011 sebanyak 339 kasus dan memakan korban jiwa 82 orang. Tahun 2010, jumlah tawuran antar-pelajar sebanyak 128 kasus. Segudang alasan menjadikan tawuran antarpelajar terjadi. Mulai dari masalah sepele, seperti saling ejek, berpapasan di bus, pentas seni, atau pertandingan sepak bola. Bahkan, ada yang hanya karena saling ejek di Facebook, yang kemudian menyebabkan nyawa seorang pelajar melayang. Kini sudah waktunya ada moratorium brutalisme di dunia pendidikan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Tontonan kekerasan kini seolah telah menjadi bahaya laten dalam masyarakat. Bahkan, kekerasan tersebut justru diperankan oleh kalangan terdidik yang mestinya menjadi agen pe rubahan masyarakat. Tawuran antara pelajar SMAN 70 Jakarta dan SMAN 6 Jakarta seakan mengingatkan kejadian serupa pada tahun lalu dengan adanya penganiayaan dan perampasan kamera wartawan. Pada dasarnya, kekerasan atau agresi merupakan perilaku sosial yang di butuhkan manusia untuk bertahan hidup. Hal ini sebagaimana budaya yang terbangun dalam masyarakat primitif yang bertahan hidup dengan melakukan perburuan binatang. Dalam budaya ini, bagian psikologi manusia bukan hanya pada aspek pembunuhannya, tetapi juga aspek kekejamannya. Setidaknya, pernyataan itu sesuai dengan teori libido Freud bahwa jiwa manusia dipengaruhi kekuatan seksual yang mendorongnya untuk agresif dan ingin berkuasa. Namun, fakta yang terjadi dalam reinkarnasi gerakan moral kalangan pelajar demikian jelas merupakan bumerang dalam dunia pendidikan nasional. Program pendidikan karakter melalui peningkatan pemahaman tentang demokrasi, moral keagamaan, serta proses-proses kebangsaan ternyata belum efektif mengendalikan akumulasi kefrustrasian anak bangsa yang terdidik. Peristiwa memalukan tersebut sudah seharusnya me njadi momentum bersejarah agar institusi terkait lebih mawas diri. Pendidikan karakter sebagai model pengembalian atas posisi pendidikan akhlak dan budi pekerti mendesak untuk diperkuat. Pendidikan akhlak dan budi pekerti sangat berperan dalam membentuk karakter atau kepribadian seseorang, yang pada gilirannya akan mampu mendukung karakter demokrasi maupun penyelenggaraan sistem kenegaraan. Karenanya, program civic education sebagai bagian dari pendidikan karakter harus diperkuat, yaitu pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan hukum, pemahaman tentang konsepsi hukum

dan HAM, penguatan keterampilan partisipasi menyelesaikan konik sosial, dan mengembangkan kesadaran budaya demokrasi dan perdamaian. Dengan demikian, mendudukkan nilainilai Pancasila dalam dunia pendidikan perlu segera dibangun secara sistematis karena telah mengalami keterpinggiran dari masyarakat Indonesia. Imbasnya tentu dapat dilihat bahwa kalangan terdidik itu sendiri yang merobohkan nilainilai kesantunan dan toleransi sebagai karakter orisinal bangsa Indonesia melalui aksi kekerasan yang semakin merajalela. Apalagi terjadi adanya proses penetrasi pemikiran sekaligus tindakan pragmatis yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak merata melalui kekuasaan dominan. Hal tersebut bukan hanya akan membuat masyarakat menjadi pihak tertindas, tetapi juga akan menjadi aktor yang menghalalkan segala cara karena memahami bahwa segala sesuatu harus diperoleh dengan kekuasaan. Tentu konsekuensi sosial yang harus dihadapi adalah konik yang tiada berujung karena masyarakat mudah diprovokasi oleh pihak-pihak yang sengaja menginginkan instabilitas keamanan. Terlebih bagi para pelajar yang mudah tersulut emosi akibat tekanan pendidikan yang dialaminya. Ketika rata-rata tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat belum mendukung perjalanan demokrasi yang modern, pemaksaan kebenaran secara sepihak akan menjadi tontonan harian masyarakat. Dalam posisi demikian hukum yang berlaku harus tetap ditegakkan. Para pelajar yang melakukan aksi tawuran, pada dasarnya merupakan kalangan terdidik yang tentu menyadari bahwa aksi tawuran yang dilakukannya telah mengganggu ketertiban umum sekaligus sebagai tindak kriminal manakala diiringi adanya penganiayaan. Mesti diakui bahwa perjalanan pendidikan selama ini justru tidak memberikan kesempatan terhadap peserta didik dan pendidik dalam berekspresi menempa jati diri masa depan. Mereka dipaksa menjadi robot untuk menghapal segala rumus bahkan menghapal semua materi pelajaran yang diujikan. Mulai dari sekolah tingkat terendah sampai menengah atas, semangat berpikir pragmatis dan instan menjelma menjadi budaya belajar generasi saat ini. Persoalan pendidikan semacam itu berlanjut dengan tumbuhnya generasi yang tidak memiliki nilainilai dasar seperti keteguhan dalam berprinsip, solidaritas sosial, dan toleran terhadap perbedaan, karena semua diseragamkan da lam satuan sistem, yaitu lulus dan tidak lulus, pintar dan bodoh, atau bermutu dan tidak bermutu. Proses pendidikan hanya diukur berdasarkan skala kuantitatif. Kecenderungan pola pendidikan itu berimplementasi pada model pergaulan peserta didik yang memasung sekat sosial masing-masing. Komunitas pandai akan bersama dengan orang-orang yang pandai, begitupun peserta didik yang kurang kemampuan intelektualnya akan disisihkan bersama orang-orang yang bodoh lainnya. Dampak psikologis dari pilihan semacam itu adalah anak-anak yang mendendam untuk meruntuhkan sekat sosial yang sengaja memarginalkannya. Tidak heran jika produk komunitas yang terpinggirkan tersebut akan senantiasa menghiasi forum tawuran pelajar, pemaksaan kehendak, dan penyimpangan sistem sosial lain. Bagi kalangan ini, pendidikan menjelma menjadi media kekecewaan dan arena kesadaran sosial kolektif tentang ketidakadilan yang telah mengekangnya.

Muh Khamdan ; Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI REPUBLIKA, 27 September 2012

Media is known to be the most powerful means of communication. The print media, electronic media and the Internet are all the subsets of mass media. The newspapers, newsletters, magazines and brochure are included in the print media, while the electronic media consists of the television, radio and other modes of communication. Internet is without doubt the fastest known way of communicating with millions of people across the globe. However, the effects of mass media on society can be positive as well as negative. Let us discuss them in detail in the next few paragraphs. Effects on the Society The best thing about the mass media is, that it immediately provides us with the latest information about the things happening around us. Mass media reports news from all the fields such as politics, sports, international relations, wars, natural calamities, meetings, entertainment, etc. Because of the keen efforts and dedication of the people working in the media and the entertainment sector, our knowledge remains fresh. With the gained knowledge, we become more smart and outgoing. Many times, we understand what is good and bad for us through the media programs. For example, the anti-tobacco and narcotic programs launched by the media, have benefited many people to date. The information conveyed about various diseases and their possible treatments has saved the lives of many of us. The contribution of mass media in the fields of arts, education, technology and health care is laudable. We also get the correct information about the various crimes and illegal activities happening in our surroundings quite easily. Media is a boon for youngsters in many ways. They get useful information related to their career and higher education mostly through the mass media. The mass media influence or the effects of mass media on the minds of the youth is significant. Media plays a very important role in shaping the personality of people. It has been observed that citizens become more sensible and capable to shoulder their responsibility towards the nation and the society because of the media. We get our role models by hearing about the appreciation of their great deeds from the media itself. Over the years, mass media has played an important role in making people understand the meaning of democracy. We also come to know about the strengths and weaknesses of the economy of our country, the population figures, the various problems faced by the nation, achievements of the nation in different sectors, through the prompt and precise reporting of different forms of media. Media plays an important role in building the sense of unity and pride among the people of the nation. In those countries where there are many castes, religions and languages spoken, media has even more tough responsibility of conveying the true news to the citizens. Media makes the citizens aware of their fundamental rights and their duties towards their families, state and the nation. Utility of the mass media in the areas of advertising and marketing is simply great. The effects of mass media are truly everlasting.

Though the positive mass media effects are many, there are some cons associated with the mass media as well. The news which is published without having bothered to check whether it is a fact or not, can create unnecessary confusion and extreme feelings among the common masses. There have been many instances of huge fights and controversies emerging, because of improper reporting. It becomes the duty of media to provide only relevant and precise information to the masses. Hopefully, you will be satisfied with the above mentioned information on the mass media effects. Over the years, the media has become an inseparable component of our daily lives and hence, it is its prime responsibility to keep the confidence of people alive by reporting only true details of any particular event.

How does the modern mass media generate an influence on the society? Before answering this question, perhaps it is pertinent that we address the question: what is mass media? Understanding Mass Media Statistics show that there are few things which impact the human mind more than mass media. The advice of teachers, parents and relatives may fall on deaf ears, but the mass media holds us all spellbound! At this point, it becomes necessary to define this concept. It may be defined as any form of communication which is meted out to the people at large, through the various forms of communication. What modes of communication are we talking about? Well there can be no static definition for the channels of mass communication as they are increasing all the time. But any form of communication which is seen and understood by a large mass of people can be taken to mean mass communication or media channels. Mass media holds a kind of mystique in the minds of the people. It is because the communication is designed in such a way that it appeals to a larger demographic segment. The test of a good mass communication marketing drive is to see if it gets the people talking. If it does, then not only does it mean that the advertising drive has been successful, but the organization in charge of the mass communication is also getting publicity by the word-of-mouth channel! Mass Media's Hold It is hard to argue with the fact that mass media has a compelling effect on the human mind. Especially on minds which are more impressionable. For example, the influence on our children is understandably higher than it is in adults. The Influence on Youth There is a burgeoning need amongst the youth to be accepted as a part of a group, to be popular, to have friends and relationships with people of the opposite sex etc. Experts understand this need of the people and hence they come out with advertisements on TV, or in the newspapers, or on websites on how people can be more popular using a certain product. Most advertisements you see which are aimed at the youth generally talk about the 'cool quotient' of the product and how it is

going to be the next 'in-thing'. And if you want to stay ahead of the game, it is absolutely vital that you procure it. The visual effect, seeing the things happen in front of you and the slice-of-life effect makes them look a lot believable than they should be. Mass media, effective as it is, can be used on the youth to drive home pressing concerns in the country. Child obesity, the dangers of alcohol and preteen sexual relations, importance of exercise and fitness etc. If these things can be done, the media will be able to influence the youth for the better and send better messages for the development of the youth than what it is sending today. The Influence on Adults Like children and youth, it influences adults too, although perhaps not on the same scale. Most adults with a platonic view of things will resist the temptation of being buoyed up by what entertainment has to offer. While men usually find it difficult to hold themselves back in the face of the allure of sexuality. Other subjects which also appeal to men are financial security and a luxurious hassle-free lifestyle. Women on the other hand are more tempted towards products which guarantee immunity from aging altogether and not just what the previous generation called 'aging gracefully'. Mass media can yet be used constructively to teach the adults about the importance of insurance, financial education and how to maintain a healthy lifestyle. As you can see, the mass media hold a large share of importance in society, but if used constructively, it can be more of a boon than the bane which people consign it to be these days. After all, there are two sides to a coin and it is up to us to pick the correct one and take it forward! By Arjun KulkarniPublished: 1/16/2010 Read more at Buzzle: http://www.buzzle.com/articles/mass-media-influence.html

The effect of Media on us today is a stealthy thief. As we read our daily Newspaper, the advertising sometimes takes up the whole page. We search for the rest of the article, hidden back beneath the ads. When we turn the Radio on during the ride to work, verses of songs can overwhelm us with the vulgarity and crudeness, casting us into a foul mood for the rest of the day. As we drive down the road we are still being contacted by advertising. The Billboards tell us where to stay, where to shop, and how to get to the racetrack. The Magazines we read now have articles we would not want our children to read. The racy and risqu now is commonplace, causing our children to grow up with way too much information. Our children and teenagers have used Games and gaming to such an extent that they now feel violence is normal and acceptable. The games children play with on the Internet seems to be destroying the value system we desire to teach. When we go online to surf the web we are bombarded with inappropriate Internet pop-ups and emails. Buy this, play the casino here - we will even give you money to start. Then, when we get home our place of peace, yet the Television is on, inciting our children, and toys there are. On TV they age can watch the ill manners of the Bart Simpson show, playing at a time that is not appropriate, the dinner hour. This show is adult humor, yet there it is when our little ones are still up.

We need to evaluate the trends of today. Does the influence in our familys lives build stronger healthier families? Or do the TV, Radio, Magazines, Internet, and Games tear down what we are trying to establish, a good moral home place, family values that are taught and learned at home. Is what we see, what we are about to become? How much does what we see stay with us? These are all questions we recommend you keep in mind as you visit our site.

Anda mungkin juga menyukai