Anda di halaman 1dari 2

Berita Skandal; Harus Didiskusikan

Oleh; Teguh Wahyu Utomo Pendidikan di era global menuntut cara-cara tak konvensional untuk membangkitkan pengetahuan dan pemahaman siswa. Guru sudah sering menggunakan kejadian-kejadian mutakhir untuk mengajarkan fakta atau konsep tertentu. Sumber informasi kejadian, sebagian besar, tentu saja dari media massa. Mengkonsumsi media, baik cetak, elektronik, atau mode lain, tentu banyak manfaatnya. Baca koran/majalah/tabloid bisa membangun keteraksaraan siswa, meng-update pengetahuan, menambah pemahaman. Begitu juga dengan menikmati radio, televisi, atau internet. Namun, bahaya juga ada. Jika ada kasus (kriminal atau skandal) high-profile, sudah bukan rahasia lagi pasti ada berita-berita sensasional. Saat terpapar kabar-kabar sensasional ini, siswa rentan mengalami mis-persepsi, generalisasi berlebihan, dan asumsi-asumsi tanpa dasar. Apa lagi jika usia dan fikiran si siswa belum cukup matang. Lalu, apa yang bisa guru lakukan agar siswa melek media? Tentu saja, ajak siswa diskusi. Guru harus mengajak siswa berdiskusi tentang kasus high-profile yang mendapat liputan menonjol dari sejumlah media massa. Menahan laju masuknya berita, tentu saja, tidak akan bisa. Laju berita di media formal ditahan, siswa justru langsung mendapatkan informasinya lewat telpon genggam. Jadi, lebih baik ajak siswa berdiskusi daripada melarang-larang siswa. Saat berdiskusi, guru harus menjadi mitra atau moderator pengarah. Sangat mungkin siswa punya informasi lebih banyak daripada yang diketahui guru. Jika guru berusaha mendominasi diskusi, siswa bisa jadi tidak akan bisa berfikir jernih tentang banyaknya informasi yang ia dapatkan. Lebih baik guru berkata tidak tahu jika memang tidak punya informasinya. Kalau guru berbohong, sangat mungkin siswa cepat atau lambat mengetahuinya. Tujuan diskusi ini bukan untuk membantah atau membenarkan kasus kejahatan atau skandal yang dilansir di media massa. Tapi, tujuannya adalah menempatkan kasus-kasus itu ke dalam perpektif pendidikan. Maka, guru harus membantu siswa lebih memahami kasus-kasus itu. Pemahaman

demikian akan lebih mendewasakan siswa daripada saat mereka menelan mentah-mentah berita sensasional.
Siswa-siswa sekolah dasar umumnya punya perpektif yang lebih sempit daripada siswa-siswa sekolah menengah. Maka, saat berdiskusi dengan siswa sekolah dasar, guru harus membahas kasus dalam perspektif lebih luas tapi sederhana. Jika berdiskusi dengan siswa sekolah menengah, pembahasannya harus lebih mengarah ke perspektif tertentu dan detil faktanya harus lebih banyak. Saat anak masih berusia belum genap 11 tahun, guru harus lebih berhati-hati dalam berdiskusi tentang berita kasus-kasus tertentu. Anak-anak dalam usia ini tidak bisa benar-benar memisahkan antara realitas dan kenyataan di televisi. Bisa jadi mereka menganggap berita mengerikan tak ubahnya seperti banyolan; atau sebaliknya. Karena berita-berita sekarang beredar dalam skala global dan kecepatan instan, siswa sekolah dasar bisa merasa kasus-kasus mengerikan itu terjadi di sebelah tembok rumah sepanjang waktu. Perasaan

demikian, jika dibiarkan terakumulasi, bisa menyebabkan timbunan persepsi negatif dalam benak anak bahkan saat media massa sudah tidak lagi memuat berita itu. Maka, ada baiknya, guru juga membesarkan hati mereka dengan menyatakan kasus itu berjarak cukup jauh. Guru juga harus bisa menjelaskan mengapa media-media tertentu membuat liputan tentang berita itu. Jika perlu, guru harus bisa menjelaskan mengapa media A menyajikan berita secara berbeda dibanding media B dan media C. Ini anak memberi wawasan lebih luas pada siswa. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai