Anda di halaman 1dari 2

Menengok Isi Otak Teroris

Teguh Wahyu Utomo 16 April 2013

Ah, sudahlah. Saya tak ingin bahas soal akar politik terorisme. Saya cuma ingin kaji faktor-faktor psikis mengapa orang nekat membunuh orang lain, dan sangat mungkin rela membunuh diri sendiri, untuk melakukan aksi teror.

Aksi teror itu untuk menebarkan ketakutan besar. Tujuan lebih abstraknya bisa macam-macam. Ada yang sadar dirinya kecil tapi ingin menghantam musuh yang sangat besar, ada pula yang ingin mencari perhatian untuk kasusnya, dan lain-lain.

Maka, pelaku teror itu umumnya bukan orang yang otaknya gila; tapi otaknya sangat waras. Dia, atau mereka, tahu betul menimbang kerugian dan keuntungan suatu aksi; mengerti betul kapan, siapa, dan di mana membidik sasaran. Mereka juga tahu kapan tidak meneror.

Mari kita lihat kasus di Boston. Saat tulisan ini saya buat, pemerintah Amerika Serikat belum menyebut kata teror. Belum juga ada pihak yang mengakui sebagai pelaku teror. Namun, sejumlah media massa sudah memberi judul teror.

Peledak diletakkan di sejumlah tempat yang bakal dihadiri banyak orang. Dekat garis finish lomba maraton Boston adalah sentra pertemuan orang. Kemudian, peledak juga diletakkan di perpustakaan yang didatangi sejumlah orang. Sejumlah peledak lain ditemukan.

Pemasangannya tentu membutuhkan kecerdasan tertentu. Tidak mungkin orang begitu saja memasang bahan peledak di kawasan yang 24 jam sebelumnya sudah disterilkan. Jadi, di tukang teror sudah berfikir jauh-jauh hari untuk mempersiapkan peledakannya.

Waktu peledakan juga sudah difikirkan dengan cermat. Maraton Boston adalah lomba bersejarah yang diikuti peserta dari berbagai penjuru dunia dan selalu menjadi bahan liputan berita. Garis finish adalah area yang diharapkan orang untuk merayakan prestasi. Ketika mata penonton, dan mata kamera media massa, tertuju ke ke garis finish, justru ledakan dan jerit kesakitan manusia menjadi

adegan yang diinginkan si peneror. Semakin banyak yang melihat adegan mengerikan itu, semakin besar efek terornya. Apa lagi, banyak orang mengambil gambar-gambar orang cedera lalu mengunggah di media jejaring sosial. Kejadian itu saja sudah menakutkan. Apa lagi kejadiannya disampaikan ke seluruh jagad lewat foto atau video. Efek terornya terdongkrak makin besar.

Dalam kasus sebelumnya atas menara kembar WTC New York, pesawat pertama yang menghantam salah satu menara itu hanya sebagai pemancing perhatian masyarakat dan datangnya kamera wartawan. Ngeri? Pasti! Tapi level terornya standar. Level teror lebih tinggi adalah saat serangan kedua. Saat perhatian orang masih tertuju ke menara pertama, muncul serangan terhadap menara kedua. Banyak orang, dan kamera wartawan, yang melihat serangan kedua yang tak kalah mengerikan. Maka, level terornya jadi lebih tinggi.

Nah, dari pertimbangan ini, sangat mungkin pemicu teror itu bukan orang yang nekat atau otaknya sakit, tapi orang yang waras dan sangat mungkin otaknya cerdas.

Anda mungkin juga menyukai