Anda di halaman 1dari 21

Ayahku (Bukan) Pembohong

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong adalah sebuah novel inspiratif yang di tulis oleh
Darwis atau yang lebih kita kenal dengan nama Tere - Liye. Tere - Liye adalah seorang
penulis novel berbahasa indonesia. Lahir pada tanggal 21 Mei 1979 dan telah menerbitkan
empat belas novel karangannya sendiri. Tere - Liye mempunyai seorang istri bernama Riski
Amelia dan seorang putra bernama Abdullah Pasai. Tere - Liye lahir dan besar di pedalaman
sumatera. Dia anak keenam dari tujuh bersaudara. Dia pernah mengenyam pendidikan di
SDN 2 Kikim Timur Sumsel, SMPN 2 Kikim Timur Sumsel, SMUN 9 Bandar Lampung dan
Fakultas Ekonomi UI. Karya-karya Tere – Liye yang lain adalah, Kisah Sang Penandai,
ELIANA (Serial Anak-Anak Mamak), Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin,
PUKAT (Serial Anak-Anak Mamak), BURLIAN (Serial Anak-Anak), Hafalan Shalat Delisa,
Moga Bunda Disayang Allah, Bidadari-Bidadari Surga, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu,
Senja Bersama Rosie, Mimpi-Mimpi Si Patah Hati, Cintaku Antara Jakarta & Kuala Lumpur,
dan The Gogons Series 1.
Novel yang memiliki tebal buku 299 halaman ini menceritakan tentang kehidupan
seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Hingga ia
tumbuh dengan cara berpikir berbeda dibanding anak lain. Inilah kisah tentang hakikat
kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu di buku ini, tidak ada lagi cara
terbaik untuk menjelaskannya. Dongeng-dongeng tersebut diceritakan oleh ayahnya sendiri.
Namun dongeng-dongeng tersebut kini telah membuat Dia membenci ayahnya sendiri.
Terdapat banyak tokoh-tokoh dalam novel ini, salah satunya adalah Dam, dia adalah
tokoh utama dalam novel ini. Dam adalah seorang laki-laki yang dibesarkan dalam keluarga
yang sederahana dan keluarga kecil. Dam tumbuh dewasa dengan dongeng-dongeng tentang
perjalanan hidup sang ayah yang menarik. Dam adalah tipe orang yang pantang menyerah,
dan sangat menghargai setiap detik kehidupannya. Ia adalah anak tunggal yang sangat
mencintai ibunya . Dam kini berusia 40 tahun dan telah memiliki keluarga kecilnya sendiri
dengan seorang istri dan dua anak yang sangat dicintai.
Ayah Dam adalah seorang pria yang sangat terkenal di kotanya, terkenal tak pernah
mengatakan kebohongan. Ayah Dam selalu berprasangka baik ke semua orang, berbuat baik
bahkan pada orang yang baru saja dikenal, menghargai orang lain, kehidupan dan alam.
Karena itulah dia selalu dihargai oleh semua orang. Zas dan Qon adalah dua anak Dam yang
berusia 10 dan 8 tahun. Zas adalah seorang kakak yang selalu membimbing dan menjaga adik
perempuannya Qon. Mereka berdua sangat kompak bahkan dalam kegiatan baru mereka
sekarang yaitu mendengar cerita-cerita sang kakek – Ayah Dam.
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong ini adalah
orang pertama pelaku utama. Di mana Dam langsung menceritakan kisah hidupnya. Alur
yang terdapat di dalam novel ini ialah alur campuran atau alur maju-mudur. Yang terkadang
Dam kembali mengingat masa kecilnya dulu bersama sang ayah, ibu dan teman-temannya.
Novel ini berlatar tempat di sebuah kota kecil, sebuah sekolah di pelosok kota yang disebut
dengan Akademi Gajah. Novel ini menggunakan gaya bahasa yang mudah dimengerti dan
dipahami oleh berbagai jenis kalangan penikmat novel. Serta menyuguhkan berbagai kata-
kata motivasi yang sangat menarik.
Alasan saya memilih novel ini karena banyak pelajaran yang dapat diambil dari novel
ini tantang kehidupan. Novel Ayahku (Bukan) Pembohong ini sangat menarik untuk dibaca,
karena kita akan menemukan berbagai kejutan di dalam novel ini, menemukan cara
bagaimana seharusnya kita bersikap ke semua orang.

Tentang Novel
Dam kini tengah berada di ruang kerjanya. Ia sedang memperhatikan kedua
anaknya Zas dan Qon yang tengah sibuk mendengar cerita-cerita ayahnya yang menurut Dam
tidak dapat dipercaya, walau dulu ia sangat mencintai cerita-cerita ayahnya tersebut, tapi itu
tidak berlaku lagi untuk sekarang. Dam berhenti mempercayai cerita-cerita ayahnya tersebut
ketika umurnya dua puluh tahun. Dan kini, ia melihat ayahnya tengah bercerita cerita yang
sama kepada Zas dan Qon. Dam sangat membenci hal tersebut, ingin sekali ia menyela dan
menghentikan cerita tersebut, tapi itu tidak dilakukan karena istrinya sudah memberikan kode
untuk tidak mengusik kesenangan Zas dan Qon yang tengah bercerita dengan kakek mereka.
Dam hanya tidak mau anak-anaknya hidup dalam cerita-cerita sang ayah, dia tidak mau
membesarkan Zas dan Qon dengan cerita-cerita dusta seperti yang dilakukan sang ayah
terhadapnya dulu. Mereka akan dibesarkan dengan kerja keras, bukan dengan cerita-cerita
palsu.
Malam ini Dam begitu tercengang mendengar cerita ayah yang menceritakan
tentang Si Nomor Sepuluh, yaitu seorang pemain bola terkenal kepada putra-putrinya.
Bahkan ayah bercerita bahwa dua hari yang lalu ayah mendapat telepon dari Si Nomor
Sepuluh. Zas dan Qon seakan tak percaya bahwa pemain bola favorit mereka menelepon sang
kakek, namun dengan keahlian ayah berdongeng, ia dapat meyakinkan dua bocah kecil
tersebut bahwa sang kakek benar-benar berbincang dengan sang pemain bola. Dan
menceritakan dua monster kecil di rumah.
Mendengar cerita sang ayah, Dam kembali teringat masa kecilnya dulu, jauh
sebelum dia membenci ayahnya dan menganggap cerita-cerita ayah adalah bohong.
Tiga puluh tahun yang lalu.
Saat itu Dam berusia 10 tahun, Dam mempunyai bentuk tubuh yang lumayan
tinggi, kulitnya hitam kecoklatan dan rambut keriting yang membuat Dam selalu menjadi
bahan olokan teman-temannya di sekolah, dan Dam membenci nama panggilan tersebut.
Namun, Jarjit teman sekelasnya sangat suka melakukan hal tersebut karena itu bisa membuat
Dam marah.
Malam itu Dam tengah duduk di depan televisi berukuran kecil di rumahnya, ia
sedang menunggu pertandingan bola dimulai. Dam tidak mau diejek pengecut lagi oleh
teman-temannya lantaran ia tidak menonton bola. Saat pemain bola favoritnya masuk
lapangan, Dam langsung berdiri dan berteriak menyebut EL CAPITANO ! EL PRINCE !
membuat ayahnya tertawa melihat tingkah laku anaknya tersebut.
Namun sayang, 2 x 45 menit berlalu dan klub kebanggaan Dam kalah, ia sangat
kecewa karena sang Kapten kebanggaannya cedera. Ayah kemudian datang menasehati Dam
agar tidak bersedih, karena bukan Dam satu-satunya orang yang kecewa atas kekalahan
tersebut. Ayah terus berusaha menasehati Dam agar dia tak bersedih lagi, tapi Dam masih
tetap meraung atas kekalahan tersebut. Ayah akhirnya mengeluarkan jurus andalannya yaitu
bercerita. Ayah mulai bercerita bahwa ia sangat mengenal sang Kapten saat dia kecil.
Ayah Dam bercerita bahwa kapten kecil pernah dipanggil si keriting pengecut –
sama seperti nama panggilan Dam. Ayah Dam mengetahui itu karena dulu dia tinggal di
apartemen yang tak jauh dari tempat sang Kapten dan keluarganya tinggal. Ayah pertama kali
berjumpa sang kapten saat umur kapten delapan tahun. Ayah sang Kapten mati dalam perang
saudara di negeri asal mereka dan mulai saat itu kapten harus bekerja keras untuk
melanjutkan hidupnya. Malam itu, karena begitu lapar ayah memesan makanan di restoran
terkenal, ayah begitu marah karna pesanannya terlambat diantar. Setelah satu jam menunggu,
seorang anak kecil datang membawa pesanan ayah. Anak kecil tesebut datang dengan basah
kuyup karena hujan. Dan kalian tahu siapa anak kecil tersebut ? Ya, dia adalah sang Kapten
kebanggaan Dam sekarang, yaitu EL CAPITANO ! Sang Kapten berdiri di depan pintu
apartemen Ayah Dam dengan kedinginan.
Saat umurnya delapan tahun sang Kapten telah bekerja di restoran sup jamur
tesebut, tubuhnya pendek, dan badannya kerempeng. Ayah Dam merasa iba saat melihat sang
Kapten basah kuyup terkena hujan, maka dengan senang hati dia mengajak sang kapten untuk
masuk dan bercerita panjang lebar tentang sang Kapten dan keluarganya. Mulai sejak itu
Ayah Dam dan sang Kapten seperti menjadi saudara, saling mengerti satu sama lain dan
berbagi cerita.
Saat sang Kapten tengah cedera seperti sekarang, Ayah Dam juga begitu yakin
kalau sang Kapten akan terus bertanding pada pertandingan minggu depan, karena kapten itu
bukan orang yang pantang menyerah.
Malam itu, hingga dua tahun ke depan, kisah tentang sang Kapten menyingkirkan
cerita-cerita lain. Dam tidak tahu apakah cerita-cerita ayah bohong atau benar. Yang jelas
Dam tidak boleh menceritakan cerita-cerita tersebut pada siapa pun termasuk ke ibunya. Dam
begitu heran kenapa ayah tidak mengizinkan Dam menceritakan hal tersebut. Dalam hati
kecilnya, Dam selalu bertanya, apakah ayah berbohong ?, tapi semua itu ditepisnya karena
Dam percaya bahwa ayahnya orang yang jujur dan ayahnya bukan pembohong.
Keesokan harinya, Dam pergi ke sekolah dengan sepedanya. Dam telat setengan
jam dan guru menghukumnya dengan berdiri di pojok kelas. Seperti biasa, Jarjit dan teman-
temannya tertawa dan mengolok-olok Dam. Namun Dam tak menghiraukannya, karena hati
Dam punya energy bahagia tak terbilang pagi itu. Taani adalah satu-satunya teman yang tak
mengejek Dam. Taani begitu baik, cantik dan sempurna di mata Dam.
Pulang dari sekolah, Dam dijemputnya ayahnya dengan angkutan umum dan
langsung menuju ke klub renang kota tersebut. Hari ini adalah hari penentuan apakah Dam
layak untuk menjadi salah satu anggota klub renang atau tidak.
Pada gelombang pertama, Dam berhasil mencapai finish lebih dulu dari peserta
yang laij, Namun saat gelombang terakhir, semua peserta diwajibkan untuk berenang selama
mingkin dan hanya empat dari delapan peserta yang akan lolos. Dan Dam gagal
melakukannya. Dam adalah orang terakhir yang tersingkir dari tes tersebut. Ayah Dam terus
memberikan semangat kepada anaknya tersebut dan mengatakan bahwa Dam masih bisa ikut
seleksi tahun depan.
Malam itu Ayah Dam kembali bercerita tentang sang kapten. Ayah bercerita bahwa
sang Kapten dulu sangat ingin menjadi pemain bola yang hebat, dia selalu berlatih
menendang bola kasti karena dia tak mempunyai uang untuk membeli bola sepak. Usia
delapan tahun, sang Kapten ikut antrian panjang seleksi pemain bola, namun sang kapten
ditolak dengan alasan tak punya biaya dan tak cukup tinggi bahkan sebelum bisa mencoba.
Dam mulai memahami bahwa kegagalannya tak ada apa-apanya dibandingkan
dengan sang Kapten, Dam sadar bahwa dia tidak boleh menyerah sampai di sini, dia sudah
bertekad untuk mengikuti seleksi tahun depan.
Keesokan harinya, Jarjit kembali mengejek Dam hingga akhirnya mereka dihukum
untuk membersihkan toilet sekolah. Saat sedang membersihkan toilet, Taani datang dengan
tergopoh-gopoh. Taani langsung memegang tangan Dam dan mengatakan bahwa dam
diberikan kesempatan sekali lagi untuk mengulang seleksi renang oleh pelatih. Ternyata
pelatih tersebut adalah Ayah Taani dan Taani lah yang meyakinkan pelatih bahwa Dam
berhak mengulang, karena Taani sangat yakin kalau Dam akan menjadi perenang yang hebat.
Lima hari setelah kabar tersebut, Dam bergegas pergi ke klub renang untuk
menyelesaikan kesempoatan keduanya. Tes kali ini adalah berenang selama satu jam tanpa
berhenti. Pada menit-menit terakhir celana renang Dam melorot lepas, simpul karet
pinggangnya terlepas, namun Dam tetap nekat untuk melanjutkan tes tersebut. Dan Dam
berhasil menyelesaikan tesnya tersebut saat digital stopwatch menunjukkan satu jam nol
menit tiga puluh detik. Dam sangat senang karena dia berhasil walaupun sebenarnya dia malu
karena masalah celana dalam yang terlepas. Setelah semua penonton bubar, Jarjit mendatangi
Dam dan mengejek dam seperti biasa. Dam akhirnya tahu bahwa celana renangnya yang
melorot disebabkan oleh Jarjit. Ya Jarjit lah yang memotong simpul karet celana renang Dam.
Sejak sore itu Dam memendam sakit hati pada Jarjit.
Ayah Dam kembali bercerita pada Zas dan Qon bahwa ternyata sang Kapten
kebanggaan Dam adalah paman Si Nomor Sepuluh, idola Zas dan Qon saat ini. Zas dan Qon
langsung bertanya pada kakek mereka, bagaimana sang kakek bisa tahu ? Ayah Dam hanya
mengatakan bahwa sang kapten sendiri yang memberitahukannya.
Dam kembali teringat masa lalunya. Ayahnya ternyata benar, sang Kapten menjadi
inspirasi terbesar Dam saat ini. Kini Dam menjadi seorang loper Koran. Ayahnya lah yang
menyarankan Dam agar ia dapat memanfaatkan waktu senggangnya dengan berjualan koran
seperti yang dilakukan sang Kapten saat dia masih kecil. Walau sebenarnya keluarga Dam
tidak mengalami kekurangan materi.
Enam bulan berlalu, pelatih klub renang menyiapkan Dam dan Jarjit sebagai empat
perenang di kelas estafet 4x100 meter, dan ini membuat Dam sedikit kecewa.
Saat sarapan bersama ayahnya, Dam bertanya, apakah dia bisa mengirimkan surat
untuk sang Kapten ? Namun ayahnya hanya terbatuk pelan dan menggeleng. Sebulan terakhir
masalah surat-surat itu membuat Ayah Dam sebal karena melihat Dam terus merengek
meminta alamat sang Kapten atau setidaknya ayah mau mengirim surat tersebut untuk kapten.
Pagi itu, Dam memberanikan diri untuk pamit berangkat sekolah dan minta maaf
kepada ayahnya atas kesalahan sebulan terakhir. Dam malah memberi satu amplop surat
untuk ayahnya dan bukan untuk sang kapten yang selama ini ia impikan.
Isi suratnya adalah.
Dear Ayah
Bagiku, sehebat apapun sang Kapten, maka ayah lebih hebat. Izinkanlah aku
menulis surat untuk ayah, dan semoga ayah suka membacanya.
Ayah dulu pernah bilang padaku, “Jangan-jangan kau akan menjadi orang yang
paling sedih sedunia jika malam ini tim sang Kapten kalah.” Ayah keliru. Malam imi, saat
sendirian di kamar, saat menyadari bahwa ayah telah kurepotkan sebulan terakhir dengan
permintaan itu, Ayah bahkan berteriak marah untuk pertama kalinya di rumah kita, aku jauh
lebih sedih dibandingkan melihat tim sang Kapten kalah. Boleh jadi aku menjadi anak yang
paling tidak berterima kasih di seluruh dunia.
Maafkan aku. Ayah benar, surat itu tidak penting. Sang Kapten tidak akan pernah
punya waktu untuk membaca surat dariku. Taani di sekolah bilang, yang baru kusadari
malam ini, pasilah ada ribuan surat yang tiba di kotak surat sang kapten, jadi bagaimana
mungkin suratku akan mencolok perhatian dan mendapatkan balasan. Jangan-jangan hanya
puluhan stafnya yang membalas, bukan dia sendiri. Ayah benar, Taani benar, jadi aku
memutuskan mulai malam ini tidak akan membicarakan surat-surat itu lagi.
Sekali lagi maafkan aku.
Dari penggemar terbesar Ayah sepanjang masa,
Dam.
Ibu Dam meletakkan surat itu di atas meja, sesunggukan, menyentuh jemari
suaminya, menatapnya dengan sejuta tatapan cinta. “ Kau telah mendidiknya menjadi anak
yang berbeda sekali…Sungguh dia akan tumbuh besar dengan pemahaman yang baik, hati
dan kepala yang baik, meski itu terlihat aneh dan berbeda dibandingkan jutaan orang lain.”
Hari ini, Dam kembali berkelahi dengan Jarjit, tapi kali ini lawannya bukan hanya
Jarjit, tapi juga empat kawannya. Dan jelas Dam lah yang kalah. Dam sering kali mendapat
perlakuan seperti ini, mulai dari hari pertama ia sekolah Jarjit sudah terbiasa memukul Dam.
Namun Dam hanya diam, karena dia tidak suka berkelahi, itu melanggar separuh cerita-cerita
ayahnya. Hari itu Dam pulang dengan babak belur.
Esok harinya sekolah libur. Latihan klub renang dimulai sejak pagi. Dam dan Jarjit
telah bersiap untuk memulai perlombaan renang antara mereka berdua, pagi itu hanya ada
Dam dan Jarjit di klub renang. Jika Dam kalah, dia harus mengaku pada semua orang bahwa
dia adalah seorang pengecut, dan jika Jarjit kalah, Jarjit lah yang harus berhenti mengejek
Dam pengecut.
Semalam sebelum pertandingan dengan Jarjit, Dam mendapat telepon dari Taani.
Taani menjelaskan pada Dam mengapa Jarjit sangat membenci Dam. Ternyata yang membuat
Jarjit membenci Dam adalah karena setiap hari Jarjit selalu mendengar pujian-pujian terhadap
Dam, mulai dari papanya yang selalu membanggakan Dam, bahkan sampai semua pembantu
di rumah Jarjit membicarakan Dam dan ingin mengenal sosok Dam yang selalu dibanggakan
di rumah tersebut. Dam hanya bisa menelan ludah mendengar cerita Taani, baginya ini
sungguh tidak masuk akal.
Kembali ke pertandingan, pertandingannya amat sederhana. Siapa yang lebih dulu
menyelesaikan jarak 4x100 meter, dialah yang menang. Pertandingan antara keduanya terus
berlanjut, sepuluh meter lagi Dam akan berhasil memenangkan pertandingan, namun
dibelakangnya, Jarjit terlihat meminta tolong pada Dam, Jarjit hamper mati tenggelam. Dam
sangat panik dan langsung menolong Jarjit keluar dari kolam renang dan membawanya ke
rumah sakit menggunakan angkutan umum. Saat di angkutan umum Dam memangku Jarjit
dan mata mereka bersitatap sejenak. Saat itulah Dam tahu bahwa masalah mereka kini sudah
selesai, tidak ada lagi sinar kebenciaan di mata Jarjit.
Malam itu, saat makan malam, Dam begitu terkejut karena mendapat surat yang
diantar oleh seorang tukas pos. Dam terkejut bukan karena tukang pos mengantar surat
tengah-tengah malam, tapi terlebih karena amplop surat itu datang dari seberang lautan
dengan logo kebanggaan tim besar Dam. Tanpa Dam sadari, ternyata ayahnya mengambil
surat-surat untuk sang kapten hang dulu dibuang Dam ke kotak sampah, dan ayahnya
mengirimkan surat tersebut ke sang kapten.
Hanya Taani yang tahu semua cerita Ayah Dam tentang sang kapten dan tentang
surat-surat tersebut. Dam begitu senang menceritakan semua itu pada Taani, sampai dia lupa
bahwa ayahnya selalu berpesan bahwa itu hanya rahasia antara ayah dan anak. Kebahagiaan
Dam bertambah besar karena dia dan Jarjit lolos menjadi wakil klub dalam lomba renang
nasional.
Hari itu, Taani membuat Dam benar-benar marah, karena Taani menulis semua
cerita-cerita Dam tentang sang kapten di buku diarynya dan lupa membawa pulang buku
tersebut. Dan berita hebat pun datang, semua penghuni sekolah Dam kini tahu bahwa Ayah
Dam mengenal sang kapten, dan mereka semua seakan berebut untuk diperkenalkan ke sang
kapten. Setelah kejadian ini, Dam mulai menjaga jarak dengan Taani dan tidak menganggap
Taani sebagai teman dekatnya lagi.
Hari penting bagi Dam dan anggota klub renang tiba. Hari ini Dam, Jarjit dan
anggota klub renang akan berlomba memperebutkan juara nasional. Dam dan Jarjit serta dua
anggota lain siap bertanding pada nomor estafet 4x100 meter dengan gaya bebas. Suara
tembakan tanda start terdengar. Bagai elang Jarjit melompat ke dalam kolam. Jarjit adalah
perenang dengan start terbaik di kejuaraan ini, dan Dam jelas juga jadi yang terbaik. Klub
renang mereka berhasil membawa pulang piala kemenangan nasional pada nomor estafet
4x100 meter dan beberapa piala lainnya. Dan ini tidak terlepas dari semangat semua anggota
klub dan persahabatan antara Dam dan Jarjit.
Sebagai hadiah atas kemenangan Dam, ayahnya kemudian membeli tiga tiket VIP
untuk melihat langsung pertandingan persahabatan antara klub sepak bola kota mereka
dengan klub sang kapten kebanggaan Dam. Selama hidupnya, baru kali ini ayahnya membeli
benda paling mahal secara tunai. Malam itu Dam langsung memeluk erat ayah dan ibunya
dan mengucapkan terima kasih. Saat menonton pertandingan tersebut, Dam dan penonton
lainnya begitu semangat memberi dukungan. Peluit panjang kemudian dibunyikan, dan sang
Kapten kebanggaan berhasil mencetak dua gol.Saat akan keluar dari lapangan dan kembali ke
ruang ganti, sang Kapten sudah begitu dekat dengan Dam, Dam berencana akan memberikan
kausnya untuk ditanda tangani sang Kapten. Tapi ayahnya langsung menarik tangan Dam dan
mengajaknya pulang tanpa memberi kesempatan bagu Dam untuk melawan. Dam begitu
kecewa kepada ayahnya. Sejak pertandingan persahabatan itu, cerita tentang sang Kapten
ditutup dari pembicaraan Dam dan ayahnya.
Tiga tahun melesat dengan cepat, usia Dam sekarang lima belas tahun. Dia dan
teman-temannya sudah lulus SMP dan ayahnya mengirim Dam ke sekolah berasrama antah
berantah di uar kota yang sebelumnya tidak pernah didengar Dam. Nama asrama yang
dimaksud Dam adalah Akademi Gajah. Di asrama ini lah Dam mendapat banyak teman baru.
Selama tiga tahun di Akademi Gajah, Dam kehilangan kesibukan menjadi loper koran,
kehilangan malam-malam bersama ibu dan di atas segalanya, Dam kehilangan cerita-cerita
ayahnya yang menyenangkan. Cerita-cerita yang bisa memunculkan rasa tenteram, mengusir
rasa sedih.
Selama tiga tahun di Akademi Gajah, Dam juga mendapat banyak pengalaman
baru, misalnya dihukum menunggui apel jatuh bersama Retro teman sekelasnya, dihukum
membereskan dapur asrama, belajar memanah walau sasarannya selalu meleset, dihukum
membereskan pustaka selama sebulan penuh dan kegiatan yang sangat di sukai Dam adalah
menggambar sketsa bangunan sekolah dan Akademi Gajah.
Saat tahun kedua di Akademi Gajah, Dam dan Retro dihukum membereskan
pustaka asrama. Ini adalah hukuman yang diharapkan oleh Dam, karena dengan berada di
gedung pustaka dia bisa banyak membaca buku dan terlebih karena dia dapat menggambar
sketsagedung pustaka tersebut. Dan Retro selalu saja mempersoalkan tentang hukuman ini.
Hingga hari ke dua puluh enam, Retro mulai terbiasa dengan kegiatan barunya dan
tengah menikmati buku bacaannya, tiba-tiba Dam menarik buku yang tengah dibaca oleh
Retro. Sebuah buku tua yang judul depannya tak lagi asing baginya. Dam kemudian membaca
beberapa paragraf dan beberapa halaman buku tersebut. Semua detail cerita buku tersebut
sama persis dengan cerita pengalaman hidup ayahnya. Di dalam buku tua tersebut
menceritakan cerita tentang Apel Emas Lembah Bukhara seperti yang diceritakan ayahnya.
Cerita ini adalah salah satu cerita favorit Dam saat masih kecil. Lembah Bukhara adalah
tempat pemberhentian pertama ayahnya setelah enam bulan meninggalkan kota mereka, pergi
berpetualang. Itulah yang diceritakan ayahnya kepada Dam. Tapi kenapa sekarang cerita
tersebut ada dalam sebuah buku dogeng ? Kenapa cerita ayah sama persis dengan yang ada di
dalam buku ? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus terngiang-ngiang di telinga Dam
sekarang.
Dam kemudian mencari buku tua lainnya, dia berharap dapat menemukan lebih
banyak buku tua yang ceritanya sama persis dengan cerita ayahnya. Dan benar saja, Dam
menemukan sebuah buku tua lainnya berjudul Suku Penguasa Angin. Isinya sama Persis
seperti cerita ayahnya. Inilah cerita petualangan Ayah Dam berikutnya.
Saat berpetualang Ayah Dam kehabisan bekal dan telah sampai di sebuah padang
pengembalaan luas di sebelah utara. Suatu malam kaki ayah Dam gemetar, matanya
berkunang-kunang, hanya soal waktu semua akan berakhir. Penat fisik juga penat hati,
bercampur aduk. Saat itulah terdengar seruan-seruan kencang. Derap lari ribuan ternak.
Tetapi, mata Ayah Dam mengerjap-ngerjap, dia begitu kaget karena penggembala tidak
datang dengan menaiki kuda, tapi mereka mengendarai layang-layang raksasa, terbang di atas
kepala Ayah Dam. Merekalah yang disebut dengan Suku Penguasa Angin. Saat Ayah Dam
akan pergi melanjutkan perjalanan pulangnya, dia diberikan hadiah istimewa oleh Kepala
Suku Penguasa Angin yang biasa dipanggil dengan Tutekong. Tutekong mengantar Ayah
Dam ke titik terluar wilayah penggembalaan mereka dengan menaiki laying-layang
legendaris, diiringi belasan pengembala lainnya. Itu pengalaman yang menakjubkan bagi
Ayah Dam. Melihat mereka berseru-seru menggiring ternak dari atas langit. Tetukong
membuat laying-layang berputar, meliuk, bahkan bersalto di atas awan.
Tahun kedua di Akademi Gajah telah dilewati oleh Dam. Saat liburan, seperti biasa
Dam akan pulang ke rumahnya, bertemu ayah dan ibunya. Saat sampai di rumah, Dam begitu
sedih karena ibunya sedang sakit. Hingga libur panjang hampir usai, Dam menghabiskan
waktu dengan menemani ibunya, menceritakan banyak hal tentang Akademi Gajah dan
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Malam sebelum liburan berakhir, mereka
merayakan ulang tahun ibu di teras rumah. Dam memberi ibunya kartu ucapan sebagai kado.
Dan ibunya sangat terharu dan berkata bahwa itu kado terindah yang pernah diterimanya.
Kartu itu bertuliskan “Selamat ulang tahun, Ibu. Kau wanita nomor satu dalam hidupku”.
Di malam itu juga, Dam bertanya pada ayahnya, apakah Apel Emas Lembah
Bukhara sungguhan ? Apakah ayah pernah membaca buku tentang dongeng-dongeng itu ?
Mendengar Dam bertanya seperti itu, ayahnya sangat tersinggung, dia kecewa karena Dam
menganggap cerita-ceritanya adalah bohong. Padahal semua orang tahu bahwa ayahnya tak
pernah berbohong. Saat mengantar Dam ke stasiun kereta keesokan paginya, Dam dan
ayahnya masih terlihat canggung satu sama lain karena peristiwa semalam.
Tahun ketiga di Akademi Gajah. Dam mulai disibukkan dengan kegiatan barunya,
yaitu membantu perkampungan dekat Akademi Gajah. Setiap soere, Dam membantu
menangkap ikan, dan pekerjaan lainnya. Dam juga meminta izin kepada kepala sekolah untuk
membuka kesempatan bekerja untuk murid lainnya, dan kepala sekolah menyetujui usulan
Dam. Setelah sebulan bekerja, Dam menyisihkan gajinya tersebut untuk biaya perawatan
ibunya yang sakit, dan jumlahnya akan semakin bertambah selama Dam rajin bekerja.
Ruang kerja Dam, hari ini.
Dam marah besar, karena dia mendapatkan surat dari sekolah Zas dan Qon. Isinya
adalah bahwa orang tua Zas dan Qon dipanggil kepala sekolah, karena sudah dua hari
berturut-turut dua anaknya bolos sekolah. Hari pertama mereka pulang lebih cepat. Hari
kedua mereka bahkan tidak masuk sekolah dari pagi. Dam dengan tidak sabar menunggu
kedua anaknya pulang dan langsung bertanya apa alasan mereka bolos sekolah. Istri Dam
terus menasehati dam agar dia tidak marah-marah kepada anak-anak. Ternyata selama bolos
sekolah Zas dan Qon pergi ke perpustakaan kota untuk mencari tahu tentang cerita-cerita sang
kakek.
Malam itu juga, dam langsung berbicara dengan ayahnya tentang kenakalan Zas
dan Qon, tentang bolos sekolah untuk mencari tahu kebenaran dari cerita-cerita sang kakek.
Mereka memeriksa seluruh daftar buku, mengelilingi semua rak, membaca setiap bab.
Mereka bolos tiga hari untuk memenuhi rasa ingin tahu apakah kakek tersayang mereka
sedang berbohong atau sungguhan saat menceritakan petualangan hebat masa mudanya. Dam
memohon pada ayahnya untuk berhenti bercerita pada Zas dan Qon dan menjelaskan pada
mereka bahwa cerita-cerita itu bohong. Tapi Ayah Dam tetap bilang bahwa cerita itu sama
sekali bukan rekayasanya.
Saat Dam berada di ruang kerjanya, Zas masuk menemui Dam dan meminta maaf
karena sudah membuat papanya marah. Dan memberikan sebuah surat untuk Dam, yang
isinya.
Dear Papa,
Tiga hari ini kami dihukum di sekolah, disuruh menulis “Kami janji tidak akan
bolos sekolah lagi” sebanyak sepuluh lembar penuh kertas folio dengan huruf kecil-kecil
setiap hari. Tangan Zas seperti kebas, pegal, gemas, padahal baru di halaman delapan. Qon
bahkan menangis, meski jumlah halamannya separuh dari Zas. Dia belum pandai menulis,
dan ibu guru galak menyuruhnya mengulang jika tulisannya tidak rapi.
Tetapi hukuman di sekolah tidak ada apa-apanya dibandingkan hukuman yang
Papa berikan. Jangan cuekin kami lagi ya, Pa. Tidak mengapa Zas dan Qon disuruh masuk
kamar, dilarang main selama seminggu, disuruh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah,
tapi jangan cuekin kami lagi. Qon semalam bahkan bertanya, apakah Papa membencinya?
Apakah Qon harus pergi dari rumah? Zas bingung menjawabnya. Lagi pula kalau Qon harus
pergi, belum tentu juga ada keluarga yang mau ditumpangi ya, Pa. Dia kan paling malas
bangun pagi, makan paling banyak, dan paling berisik dalam rumah. Jadi karena Zas tidak
bisa menjawabnya, dan Qon terus menangis di kamar, Zas akhirnya memutuskan menulis
surat saja ke Papa.
Ini semua salah Zas. Seharusnya Zas mendengarkan kalimat Papa, tidak penting
cerita Kakek itu bohong atau sungguhan. Papa benar, anggap saja seperti menonton film
yang seru. Sungguh maafkan Zas. Tidak mengapa Papa marah pasa Zas, tapi Papa tidak
boleh marah pada Qon, juga tidak boleh marah pada Kakek, tidak boleh marah pada Mama,
semuanya salah Zas. Itu ide Zas pergi ke perpustakaan kota. Kami tidak akan bolos lagi, Pa.
Janji.
Zas dan Qon, penggemar Papa nomor satu.
Dam sangat terharu membaca surat dari anaknya tersebut.
Ruang makan Akademi Gajah
Saat sedang makan, petugas senior meneriakkan nama Dam di pintu ruang makan.
Keras sekali. Dam ragu-ragu berdiri, petugas senior itu mengatakan bahwa Dam ditunggu
kepala sekolah di ruangannya. Dam begitu takut, karena dia berfikir bahwa kepala sekolah
mengeluarkannya dari Akademi Gajah, karena malam sebelumnya Dam melakukan kesalah
besar. Yaitu ikut berburu dengan tim pemburu sekolah. Padahal tiga minggu lagi ujian lulusan
akan dilaksanakan. Kepanikan Dam bertambah saat kepala sekolah mengatakan “Kau harus
segera berkemas, Dam.” Dam langsung mengigit bibir. Itu memang kejahatan nomor satu,
ikut berburu ke dalam hutan tanpa izin, membahayakan semua anggota lain. Tamat sudah tiga
tahun luar biasaku di Akademi Gajah. Pikir Dam dalam hatinya. Ternyata pemikiran Dam
salah. Maksud kepala sekolah menyuruh Dam segera pulang bukan karena dia dikeluarkan
tetap karena Ibu Dam sakit keras, dan tadi malam dibawa ke rumah sakit.
Dam berlari melintasi lorong, menaiki anak tangga, membongkar koper besar,
memindahkan uang yang dia kumpulkan setahun terakhir ke dalam ransel dan langsung
berlari meninggalkan Akademi Gajah. Sepanjang malam Dam bergumam gelisah.
Mendesahkan doa ke langit-langit gerbong dan berdoa agar ibunya sembuh. Saat sampai di
rumah sakit, Dam begitu sedih melihat ibunya terbaring lemah di ranjang. Kepalanya sudah
digunduli. Selang infuse dan belalai menghujam atas-bawah, kiri-kanan. Ibu belum siuman
sejak jatuh pingsan kemarin sore. Dokter bilang kondisinya stabil. Itu kabar yang didapat
Dam dari ayahnya. Ayah juga bilang kalau ibu akan sembuh dan akan baik-baik saja. Tapi
Ayah Dam bohong. Saat Dam selesai menumpang mandi di toilet rumah sakit. Ibu dibawa
kembali ke ruang gawat darurat. Dokter bilang komplikasinya menyebar ke mana-mana.
Kenapa Ayah tak pernah cerita setahun lalu kondisi ibu memburuk? Itu pertanyaan
pertama Dam saat dokter meninggalakan mereka. Ayahnya hanya diam, kemudian bilang
kalau mereka tidak ingin membuat Dam cemas dan mengganggu sekolah Dam. Dam
menyergah dan mengatakan bahwa seharusnya ibunya menjalani perawatan panjang itu, dan
ayahnya hanya bilang kalau itu semua percuma. Malam itu terjadi perdebatan panjang antara
Dam dan ayahnya.
Ayah menceritakan kepada Dam bahwa dua puluh tahun yang lalu, saat ayah dan
ibu Dam baru saja menikah, si Raja Tidur bilang bahwa semua sakit ada obatnya kecuali tua.
Sayangnya,pengetahuan medis saat itu belum cukup memadai untuk mengobati kelainan
bawaan Ibu Dam. Si Raja Tidur adalah ayah angkat Ayah Dam, dia mempunyai empat gelar
professor dan delapan bidang ilmu pengetahuan yang dikuasainya, termasuk ilmu kedokteran.
Si Raja tidur bilang bahwa tidak ada obat yang dapat membuat ibu sembuh. Satu-satunya
yang membuat Ibu Dam bertahan adalah rasa bahagianya. Semakin bahagia dirinya, semakin
lama dia bertahan. Dua puluh tahun Ibu Dam bertahan dalam sakitnya. Ibu Dam benar-benar
bahagia dua puluh tahun terakhir.
Tapi Dam membantah. Dam tahu ibu tak pernah bahagia selama dua puluh tahun
terakhir. Dua puluh tahun ibunya hidup apa adanya. Sehat empat bulan, jatuh sakit satu-dua
minggu. Dam tidak pernah melihat ibunya tertawa bahagia, kecuali tersenyum atau menangis
terharu. Ibunya tidak punya rumah mewah, mobil, perhiasan, hanya berkutat mengurus
rumah. Kehidupan ibunya hanya di sekitar itu. Ibu tidak pernah bahagia, tetapi ibu tidak
pernah mengeluh. Itulah yang dia tahu tentang kehidupan ibunya.
Ayah Dam masih tetap pada pada keyakinannya bahwa definisi kebahagian Ibu Dam
berbeda dengan kebanyakan orang. Ayah Dam bilang bahwa definisi kebahagian ibu bukan
tentang uang atau jabatan, tapi kebahagian ibu adalah dengan melihat Dam tumbuh dewasa
dan sukses serta melihat keluarga kecilnya bahagia.
Dam berteriak pada ayahnya, Dam bilang pada ayahnya bahwa dia tidak pernah
percaya lagi cerita-cerita ayah. Si Raja Tidur, apel emas, layang-layang raksasa, itu hanya ada
di buku cerita. Dan ayah hanya mengarang-ngarangnya dari sana. Ayah Dam langsung
menatap anaknya setengah tidak percaya. Kalimat Dam telah menyinggung harga dirinya dan
menyakitinya. Dam kemudian beranjak berdiri, merapat ke jendela operasi. Di dalam sana,
tubuh ibunya terlihat berontak dan dokter bergegas melakukan sesuatu. Tapi usaha mereka
sia-sia. Ibu Dam tak dapat diselamatkan.
Saat itu Dam berdiri dengan seluruh kesedihan di hatinya. Tanah pekuburan lengang,
para pelayat sudah pulang, termasuk keluarga besar Jarjit, walikota, pelatih, kepala sekolah
SMP Dam dulu, bos loper koran, kerabat, tetangga dan kenalan yang sebagian besar tidak
dikenali Dam. Satu persatu mereka membentuk antrean panjang menyalami Dam dan
ayahnya.
“Belum pernah ada pemakaman seramai ini.” bisik salah satu pelayat
“Kau benar, sepertinya seluruh kota berkumpul.” Rekannya mengangguk
Dam tak peduli, satu orang pelayat atau seribu orang yang datang, itu semua tetap
tidak mengubah kesedihannya.
Saat Dam mulai sedikit lapang dari sesak kesedihan, mulai bisa keluar rumah setelah
berhari-hari mengurung diri, Dam menumpang kereta kembali ke Akademi Gajah, ujian
kelulusan sudah selesai berminggu-minggu lalu. Dam tidak sempat mengikuti ujian kelulusan
di Akademi Gajah. Halaman rmput asrama lengang, libur panjang, murid-murid pulang.
Dam menemui kepala sekolah. Dia begitu terkejut saat kepala sekolah memberikan
ijazah kelulusan untuk Dam. Dam lulus dari Akademi Gajah. Nilai sempurna untuk kelas
menggambar dan pengetahuan alam. Nilai rata-rata untuk enam pelajaran lainnya, serta nilai
cukup untuk memanah, dan satu lagi, dua penghargaan tertinggi dari Akademi Gajah. Satu,
untuk pencapaian dalam mengembangkan hubungan baik dengan penduduk perkampungan.
Dua, untuk pencapaian dalam mengembangkan pemahaman hidup yang bersahaja. Itu yang
dijelaskan oleh kepala sekolah.
“Tetapi aku tidak mengikuti satu ujian pun. Bagaimana mungkin aku dianggap lulus?” Dam
bertanya
“Kau seperti melupakan betapa luar biasanya sekolah di Akademi Gajah, Dam,” Kepala
sekolah berkata takzim. “Kami tidak mendidik kalian sekedar mendapatkan nilai di atas
kertas. Seluruh kehidupan kalian tiga tahu terakhir, dua puluh empat jam, baik di kelas
ataupun tidak adalah proses pendidikan itu sendiri. Itulah penilain yang sebenar-benarnya.
Kau lulus dengan baik, Dam.”
Dam terdiam, memeriksa map biru pemberian kepala sekolah. Namanya tertulis indah
dan rapi di atas selembar ijazah, juga dua penghargaan tertinggi yang dia dapatkan. Satu
amplop putih terjatuh dari map.
“Ah ya, aku lupa, itu surat pengantar dari Akademi Gajah. Besok lusa kalau kau ingin
melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, kau berikan surat itu ke mereka. Ssttt, aku
beritahu kau rahasia kecil sekolah kebanggaan kita ini, bahkan universitas ternama di
seluruh dunia tidak bisa mengabaikan surat pengantar Akademi Gajah.” Kepala sekolah
tersenyum
“Nah, Dam, selamat melanjutkan hidup. Apa kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tida
peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan, biarkan waktu yang mnjadi
obat. Kau akan menemukan petualangan hebat berikutnya di luar sana.” Kepala sekolah
berkata dengan bijaksana.
Dan apa yang dikatakan kepala sekolah benar adanya. Dam diterima masuk
universitas dengan jurusan arsitektur, itu jurusan terbaik di seluruh negeri. Padahal Dam
terlambat mendaftar dan terlambat masuk hampir satu bulan. Dam diterima, bahkan tanpa
melewati satu soal ujian pun. Dam hanya menyerahkan selembar surat pengantar dari Asrama
Gajah, dan Dam resmi menjadi seorang mahasiswa arsitektur. Menurut Dam, sekolah di
Akademi Gajah sama tidak masuk akalnya dibanding cerita tentang apel emas atau Suku
Penguasa Angin.
Uang yang ditabung Dam setahun terakhir digunakannya untuk biaya kuliah dan
menyewa flat kecil dekat kampus. Dam memutuskan meninggalkan rumah agar lebih dekat
dengan kampusnya. Ayahnya hanya menapat datar saat Dam berpamitan. Sejak hari itu dam
jarang bertemu dengan ayahnya. Hanya sesekali saat rasa rindu pada ibunya muncul, Dam
menyempatkan diri singgah. Itupun hanya sebentar,
Waktu berjalan cepat. Dua tahun Dam di tempat baru, kehidupan baru, dan mungkin
kesendirian yang baru. Hari itu Dam pergi ke gedung jurusan ilmu pasti, Dam akan
mengikutsertakan denah gambarnya dalam lomba desain. Terlebih dulu, Dam menacri makan
di kantin jurusan tersebut. Tak disangka dan tak diduga, ternyata di sana Dam bertemu
dengan Taani, sahabatnya dulu.
“Kau Dam, kan ?” Taani menyeringai lebar saat berpapasan dengan Dam
Dam termangu melihat Taani
“Kau pasti Dam.” Taani tertawa.” Tidak ada mahasiswa yang akan ringan tangan
memberikan antrean pada selusin perempuan yang ketawa-ketiwi, hanya tersenyum saat
petugas kantin bilang tidak ada kembalian, atau sekedar menyeringai datar ketika mejanya
diserobot. Tidak ada orang dengan kebaikan sedetail itu. Kau pasti Dam.” Taani
menjelaskan dengan penuh semangat.
Dalam hitungan menit, Dam dan Taani kembali menjadi teman dekat. Taani sekarang
kuliah di jurisan biologi. Dia ingin jadi florist dan punya toko bunga. Mereka juga
menceritakan teman-teman lama. Johan sekarang kuliah di kota lain, tapi Taani lupa Johan
ambil jurusan apa. Jarjit katanya satu kampus dengan anak-anak presiden seluruh dunia. Dan
Papa Taani sudah berhenti melatih, dia pensiun sekarang. Klub renang Dam dulu tetap
menjaga reputasi hebatnya. Nomor estafet yang dimenangkan Dam dulu tidak pernah
terkalahkan enam tahun terakhir. Taani dan Dam berpisah saat Dam harus segera
menyerahkan selusin sketsa desainnya.
Malam itu, malam festival kembang api. Dam diundang ke rumah Taani, untuk acara
makan malam keluarga. Mereka ingin bertemu Dam. Sudah hampir dua tahun Dam mengenal
kembali Taani. Kuliah Dam di jurusan arsitektur memasuki tahun-tahun terakhir. Taani
bahkan sudah menyelesaikan tugas akhirnya, lulus lebih cepat dibanding siapa pun. Keluarga
kecil Taani yang datang malam itu begitu ramai. Keluarga kecil yang begitu ramai, itu yang
dipikirkan Dam saat itu. Malam itu Dam menjadi bahan gurauan keluarga itu sepanjang
makan malam. Taani pandai membuat Dam akrab dengan keluarganya. Saat beberapa
anggota keluarga pamit pulang. Dam berdiri menatap langit yang terang oleh kembang api.
Papa Taani ikut berdiri di samping Dam
“Apa kabar ayah kau, Dam?” Papa Taani bertanya.
“Baik, pelatih. Ayah baik dan sehat,” Dam menjawab.
Papa Taani tertawa dan menepuk buku Dam. “Kau tidak akan terus memanggilku pelatih,
bukan ?”
Dam menggeleng patah-patah.
“Sampaikan salamku padanya, Dam. Aku senang sekali saat tahu putra ayah kau yang
datang makan malam bersama kami. Ini kehormatan. Kami percaya, kau akan menjaga
Taani dengan baik.”
Mungkin karena perasaan canggung, grogi, atau entalah, Dam jadi mangabaikan
betapa menyenangkan melihat wajah platih saat mengatakan kalimat itu. Bahkan setahun
kemudian saat pernikahan Dam dan Taani, Dam tidak perlu melamar Taani.
Sebulan setelah makan malam dengan keluarga Taani, Dam membawa Taani
menemui ayahnya. Malam itu, setelah sekian lama menolak permintaan Taani untuk
berjumpa dengan ayahnya, Dam tidak bisa menghindar lagi. Taani begitu bersemangat ingin
berjumpa dengan calon mertuanya. Umur Ayah Dam enam pluh tahun saat Dam membawa
calon istrinya ke rumah. Rambut ayahnya sekarang separuh beruban dan separuhnya lagi
rontok. Sejak Ibu Dam meninggal empat tahun lalu, kondisi fisik ayah berubah drastis.
Tubuhnya lebih kurus. Raut mukanya lebih redup.
Makam malam itu tidak semenakutkan yang Dam duga. Taani menyenangkan,
memperlakukan Ayah Dam dengan hormat. Dan ayah bersikap bijak. Malam itu saat Dam
akan mengantar Taani pulang dan pamit untuk langsung ke flat sewaannya. Ayah Dam
mengantar mereka berdua sampai ke pintu rumah.
“Apakah ayah boleh memelukmu, Dam?” Ayah Dam bertanya.
Dam langsung salah tingkah. Baiklah, tidak ada salahnya memberi ayah satu pelukan.
Pikir Dam. Terakhir kali Dam memeluk ayahnya lima-enam tahun lalu atau mungkin lebih
dari itu.
Dam keliru.
Dam pikir, surat maaf dari Zas dan Qon sudah menyelesaikan masalah. Ayahnya juga
belakangan berkurang drastis bercerita pada Zas dan Qon. Sebulan berlalu, Dam tidak
mengungkit lagi pembicaraan malam-malam setelah surat panggilan dari sekolah Zas dan
Qon. Zas dan Qon kembali ke rutinitas sekolah. Taani sibuk dengan toko bunganya.
Saat pulang ke rumah, Dam melihat Zas dan Qon sedang asyik membuka laptop kerja
Dam. Mereka sudah terbiasa memankan laptop kerja ayahnya, tapi malam itu Dam begitu
marah karena melihat Zas tengah mencari entri nama Akademi Gajah di kolom mesin pencari
dunia maya, di bawahnya tertulis, tidak ditemukan laman yang cocok dengan kata di atas.
Dam sangat marah karena dia sudah bilang ke ayahnya untuk menghentikan cerita-
cerita itu. Dan tidak ada lagi yang boleh melanggar peraturan di rumah tersebut. Saat Dam
bertanya pada kedua anaknya, dari mana mereka tahu Akademi Gajah, Zas dan Qon
mengatakan dengan takut-takut bahwa mereka tahu itu dari cerita kakek. Dam juga begitu
marah saat tahu kalau ayahnya juga menceritakan cerita tentang ibunya. Bercerita pada Zas
dan Qon bahwa dulu nenek mereka adalah seorang bintang televisi. Saat itu emosi Dam
langsung meledak. Dengan cepat dia menyuruh Zas dan Qon untuk masuk kamar. Semenara
Zas dan Qon terus memohon kepada ayah mereka untuk tidak marah pada sang kakek.
Dam teringat masa lalunya. Dulu dia juga marah. Hari itu presentasi akhir kelulusan
Dam. Taani menemaninya menunggu di luar ruang sidang. Saat itu Taani menceritakan cerita
Ayah Dam tentang ibunya. Taani bilang bahwa dulu Ibu Dam adalah seorang bintang televisi
terkenal, karier ibu menanjak, sibuk siang-malam, hingga Ibu Dam divonis menderita
penyakit kelainan bawaan itu, cepat lelah, mudah jatuh sakit. Tapi Dam tidak percaya dengan
cerita ayahnya yang disampaikan kepada Taani. Coba pikir pakai logika. Kalau ibu dulu
bintang televisi terkenal, kenapa dia hanya menjadi ibu rumah tangga, mengurus keluarga
tanpa pembantu dan kenapa juga ibu mau menikah dengan ayah yang hanya seorang pegawai
negeri rendah yang terlalu jujur dan sederhana.
Mendengar perkataan Dam itu, Taani begitu marah dan langsung pergi meninggalkan
Dam. Gara-gara permasalahan itu Dam dan Taani bertengkar serius. Berhari-hari Taani
menolak berbicara dan bertemu dengan Dam. Saat Dam berkunjung ke rumah Taani untuk
meminta maaf, dia selalu membawa bunga untuk Taani. Hari itu Dam berhasil membujuk
Taani untuk keluar kamar dan menyelesaikan permasalahan antara mereka.
Enam bulan kemudian, Dam dan Taani menikah. Karena Taani memaksa tempat
pernikahan dipindahkan ke rumah Ayah Dam, maka acara dilaksanakan di sana. Seluruh kota
seperti berkumpul di rumah kecil mereka. Dua tahun kemudian, Zas putra pertama Dam dan
Taani lahir. Toko bunga Taani berkembang pesat. Ia punya kebun di lereng bukit kota. Karier
Dam sebagai seorang arsitek juga berkembang pesat. Desain terakhir Dam untuk sebuah
bangunan teater mewah mengundang perhatian banyak orang. Mereka sibuk bertanya dari
mana ide desain secemerlang itu. Sebenarnya, meskipun menbenci cerita-cerita ayahnya,
Dam selalu menjadikannya sumber inspirasi tidak terbatas. Cerita-cerita yang didenganya saat
kanak-kanak itu berubah menjadi imajinasi tentang bangunan.
Setelah dua tahun menikah dengan Taani, Taani mulai meminta kepada Dam untuk
mengizinkan Ayah Dam tinggal bersama mereka dengan alasan bahwa ayah sudah terlalu tua
untuk tinggal sendiri di rumah sederhananya. Dua tahun berselang dari kelahiran Zas, Taani
dan Dam kembali dianugerahkan seorang bayi perempuan. Putri mereka itu diberi nama Qon.
Waktu berjalan cepat, kini usia Zas sudah enam tahun dan usia Qon empat tahun. Toko bunga
Taani bertambah menjadi dua. Dan Dam berhasil menyelesaikan studinya tentang teknik
fisika dan elektronika. Taaninberkali-kali mengajak Zas dan Qon mengunjungi kakek
mereka, membiarkan ayahnya bercengkerama dengan cucu-cucu menggemaskan. Semua itu
dilakukan Taani sebagai usahanya untuk meyakinkan Ayah Dam agar mau tinggal bersama
mereka. Dan tepat setahun kemudian ayah siap untuk meninggalkan rumah kecil itu dan
pindah ke rumah Dam dan Taani.
“Aku tidak akan membiarkan ayah meracuni Zas dan Qon dengan cerita-cerita bohongnya,”
Dam berbicara dengan tegas.
“Tidak bisakah kau bicara baik-baik, Dam?” Taani melotot. “Mari kita mulai pembicaraan
dengan menyingkirkan lebih dulu cerita itu bohong atau tidak. Ada ratusan dogeng ayah
yang tidak mengungkit-ungkit apakah dia terlibat dalam cerita. Toki si Kelinci Nakal
misalnya. Itu dogeng yang baik. Zas dan Qon senang medengarnya.”
“Zas dan Qon sudah?Meraka sudah mendengarnya ?”
“Saat mereka mengunjungi ayah seminggu lalu. Saat pulang, Qon bahkan memegang
tanganku. Dengan mata bekerjap-kerjap, Qon berkata,’Qon sayang Mama. Qon tidak akan
nakal lagi seperti Toki si Kelinci.’” Jelas Taani dengan mata berkaca-kaca.
Dam terdiam. Itu menjelaskan kenapa Qon juga tiba-tiba menyeruak ke ruang
kerjanya, naik ke atas pangkuan Dam, dan berkata “Qon sayang Papa. Qon tidak akan
berteriak-teriak dan merepotkan Papa lagi kalau mau ke kamar mandi, Qon juga sayang
Mama. Qon tidak akan nakal lagi seperti Toki si Kelinci.” Dam begitu terharu mendengar
kalimat dari putrinya yang saat itu masih lima tahun.
Taani terus membela Ayah Dam. Taani bilang bahwa tidak semua cerita-cerita ayah
buruk. Bahkan itu bisa mendidik anak-anak menjadi lebih baik. Taani mengingatkan Dam
bahwa Dam mewarisi tabiat baik cerita-cerita itu. Seluruh penghuni kompleks mengenal
Dam. Dam yang ramah, baik hati, dan ringan tangan membantu. Dam yang selalu menyapa,
Dam yang pandai mendamaikan pertengkaran. Bahkan sopir angkutan umum di terminal kota
mengenal Dam dan mereka akan dengan senang hati mengantar tamu yang bertanya rumah
Dam sang arsitek. Dan Ayah Dam juga dikenal di seluruh kota sebagai pegawai yang jujur
dan sederhana. Dia tidak kaya. Dia bukan pejabat tinggi, tetapi martabatnya tidak tercela,
bahkan Papa Jarjit pernah bilang kalau ayah adalah orang paling terhormat dibanding kolega
bisnisnya yang paling kaya sekalipun. Ayah hidup sederhana karena itu pilihannya. Ayah
lulusan terbaik dari sekolah hukum terbaik di Eropa. Saat pulang dia bisa jadi hakim agung,
bisa jadi pejabat tinggi. Dia bisa amat kaya dan berkuasa. Tapi ayah hanya memilih menjadi
pegawai negeri biasa dan hidup sederhana. Malam itu Dam dan Taani bertengkar hebat, dan
masalah yang di debatkan adalah soal Ayah Dam. Malam itu Taani menangis, Zas dan Qon
terlihat mengintip dari balik pintu kamar, dan mereka ikut menagis.
Zas dan Qon selalu senang menghabiskan waktu bersama kakek mereka. Taani
mendapatkan amunisi terbesarnya, ia mengungkit kesepakatan sebelum menikah. Tentu saja
Dam ingat kalimat itu, Dam selalu ingat apa yang dia ucapkan.
“Dan satu lagi, kalau kita jadi menikah, ingat ya, kalau. . .kita bisa saja batal menikah meski
semua detail acara sudah diurus. Kalau kita jadi menikah, ayah kau adalah calon kakek
anak-anak kita. Aku tidak akan memisahkan sedikit pun mereka dari kakeknya.”
Itulah syarat yang diajukan Taani saat akan menikah dengan Dam.
Enam bulan Ayah Dam tinggal bersana anaknya dan taani serta kedua cucunya. Dan
malam ini semua harus berakhir. Malam itu, saat penat lepas pulang dari perjalanan jauh.
Dam mendapati anak-anaknya sedang mencari tahu kata “Akademi Gajah” lagi di dunia
maya, Dam akan membuat keputusan tegas. Malam itu terjadi perdebatan serius antara Dam
dan ayahnya. Ayah mulai tersengal, tubuh tuanya bergetar. Dam tidak akan berhenti sebelum
ayahnya benar-benar berhenti bercerita.
“Kau seperti tidak suka Ayah tinggal di sini, Dam.” Itulah kalimat pertama Ayah Dam
setelah terdiam sejenak, berusaha mati-matian mengendalikan dirinya.
“Ya, aku memang tidak suka. Kecuali Ayah bilang pada Zas dan Qon bahwa cerita-cerita itu
bohong.” Dam berkata dengan tegas.
“Aku tidak berbohong.” Ayah Dam menggeleng
“Kalau begitu Ayah tahu resikonya. Ayah harus pergi dari . . .”
Kalimat Dam terputus oleh perkataan Taani. Sambil menangis berusaha menutup
mulut Dam, Taani terus memohon untuk tidak mengusir Ayah dari rumah mereka. Taani
sudah memeluk Dam.
“Itu Ayah, Dam. Ayah kau! Yang menggendong kau saat bayi, yang mengajak berlarian saat
kau dua-tiga tahun. Itu Ayah, Dam.” Kata Taani memperingatkan.
Di atas sana, Zas dan Qon menangis memeluk bantal. Mereka bisa mendengar
pertengkaran di ruang keluarga. Dengan semua keberaniannya, Zas berteriak, “Ini semua
salah Zas! Zas-lah yang meminta Kakek bercerita tentang sekolah Papa, tentang Nenek!”
“Baiklah-baiklah.” Ayah Dam berdiri, matanya redup menatap Dam. “Ibu kau benar, Dam.
Tidak seharusnya aku dulu menceritakan petualangan masa itu. Ibu kau benar, suatu saat
aku tidak akan siap dengan akibat-akibatnya.” Suara Ayah Dam semakin parau malam itu
Taani langsung mencegah Ayah Dam untuk tidak pergi dan Zas dan Qon sudah
mendorong pintu kamarnya, dan berlari menuruni anak tangga, ikut memeluk kakek mereka.
Zas dan Qon menangis dan mencoba membujuk sang kakek untuk tidak pergi. Namun,
keputusan Ayah dam untuk pergi sudah bulat, dengan jaket lusuhnya Ayah menghilang di
balik pintu rumah mereka. Ayah pergi malam itu juga saat hujan deras.
Drama setengah jam itu berakhir. Dam merebahkan dirinya di atas kursi, menatap
laptop yang berdering pelan. Dam baru menyadari sebuah keajaiban besar. Mesin pencari di
laptopnya tersambung ke seluruh ensiklopedia besar dunia. Tetapi bagaimana mungkin tidak
ada satu pun laman yang pernah membahas Akademi Gajah, padahal Dam menghabiskan
waktu selama tiga tahun di sana. Dam kemudian memasukkan nama lengkap ibunya. Satu
detik berselang, dua belas ribu hasil pencarian muncul. Berita-berita yang pernah memuat
tentang ibunya, artikel yang menulis tentangnya, kritikan, dan pujian ats kariernya. Dam
tersedak. Taani benar, kebenciaan itu membuat Dam tidak adil.
Tangan Dam bergetar menggerakkan mouse, menggeser ribuah hasil pencarian.
Sebuah kolom berjudul ‘Bintang televisi menikahi pria biasa” menghentikan gerakan dam.
Hujan di luar semakin deras. Cerita tentang Akademi Gajah bukan bohong, tidak
peduli walau tidak ada satu pun lama yang pernah menulisnya. Cerita tentang ibunya lebih
benar lagi. Ribuan bukti terserak di depan Dam. Dam lelah berfikir, besok pagi, keputusan
malam ini bisa Dam bicarakan lagi dengan Taani.
Sayangnya, tidak ada lagi waktu untuk esok. Saat loper koran melemparkan koran ke
halaman, telepon rumah Dam berdering. Taani yang sedang menyiapkan sarapan
mengangkatnya. Taani dengan suara bergetar memnggil Dam, menangis.
“Ada apa?” Dam bertanya.
“Ayah... Ayah ditemukan pingsan di pemakaman kota,” Taani berkata lemah, jatuh terduduk.
Di rumah sakit, petugas yang menjaga pemakaman kota berkali-kali minta maaf pada
Dam, bilang bahwa dia seharusnya melarang Ayah Dam malam-malam, hujan-hujanan masuk
ke pemakaman kota. Ayah dam memaksa ingin ke pusara Ibu Dam malam itu. Saat itu ayah
belum sadar. Sejenak, saat berdiri menatap ayahnya dari kejauhan yang sedang dikerumuni
dokter dan perawat, seluruh kemarahan itu berguguran. Dam teringat momen yang sama saat
dulu menatap ibunya. Tubuh ayahnya kini dililit infus dan belalai. Kesibukan yang sama dan
rasa takut yang sama tiba-tiba memenuhi hatinya. Dam dulu takut sekali jika ibunya tidak
sempat membuka mata sebelum Dam memeluknya, bilang betapa Dam menyayanginya. Dam
menatap langit-langit ruang tunggu, mengingat pertengkaran semalam. Dam mengusir
ayahnya dari rumah. Ayah pergi ke pusara Ibu.
Malam harinya, saat Zas dan Qon tertidur, salah satu dokter keluar dari pintu kaca,
memanggil Dam, dan bilang kalau ayahnya sudah siuman dan ingin bertemu dengan Dam.
Doketer memberikan waktu tiga puluh menit untuk Dam menemui ayahnya. Dua belas jam
menunggu kabar ayahnya, sedikit-banyak membuat kemarahan Dam menghilang. Saat tiba di
ruang operasi, kondisi ayahnya menyedihkan. Tubuh kurus tua itu terkulai lemah di atas
ranjang rumah sakit. Matanya redup. Napasnya tidak teratur.
“Dam.” Ayah tersenyum melihat dam
Dam mengangguk.
‘Ayah, apa kabar?” Dam bertanya pelan.
“Buruk, Dam. Buruk sekali.” Ayah tertawa kecil. “Dam, maafkan Ayah, maafkan Ayah yang
telah membuat ibu kau pergi. Kau benar, Dam. Seharusnya Ayah tidak mempercayai kalimat
si Raja Tidur. Sehebat apa pun dia, sebijak apa pun dia, seharusnya Ayah lebih memercayai
naluri untuk melakukan apa saja untuk menyembuhkan ibu kau.”Ayah Dam sedikit tersengal.
“Maafkan Ayah, Dam. Ayah sudah keliru memahami urusan kita. Ayah pikir Ayah-lah orang
yang paling sedih, paling kehilangan. Ayah keliru. Kaulah... ya, kaulah orang yang paling
sedih atas kepergian ibu kau.”
Dam menggeleng, bergegas mendongak, mencegah air mata tumpah. Tidak ada yang perlu
dimaafkan, tidak ada. Sejatinya mereka berdua sama sedihnya atas kepergian ibu.
Malam itu, dalam keadaan sakit Ayah Dam menjelaskan pada putranya itu apa arti hakikat
sejati kebahagiaan hidup.
“Dam, hakikat sejati kebahagiaan hidup itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau
membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar
membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan
kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar kita. Hadiah mendadak, kabar
baik, keberuntungan, harta benda, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari
luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih,
kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga akan datang dari luar. Saat semua itu
datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.” Ayah mulai tersengal
“Ayah, istirahatlah dulu, besok saja kita lanjutkan.” Kata Dam
“Tidak, Dam. Kau harus mendengar ini sampai selesai.” Ayah kembali melanjutkan.
“Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu
konkret, dam. Amat terlihat. Mata itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan
ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar
baiknya, ikut bahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang
hatinya dangkal, sempit, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut
senang. Itulah hakikat sejati kebahagiaan hati, Dam.”
“Apakah ibu kau bahagia? Saat itu dia terkenal, kaya, dan berpengaruh. Hingga kesedihan
itu tiba. Dia jatuh saat menghadiri pesta. Dokter bilang, usianya tidak akan lebh dari dua
tahun. Ibu kau kehilangn gairah hidup. Orang-orang di sekitarnya bergegas pergi
meninggalkannya. Ayah bertemu dengannya saat pesawat kami mengalami keterlambatan
dua belas jam. Wajahnya pucat, tangannya sering gemetar. Kami berkenalan. Ayah menikah
dengannya enam bulan kemudian. Ayah membawanya ke si Raja Tidur setahun kemudian.
Kami bicara malam itu. Ibu kau bilang, dia setidaknya bisa bertahan setahun lagi. Dan kau
lahir, Dam. Energi kebahagiaan saat melihat kau menangis menyambut kehidupan membuat
ibu kau bertahan. Ibu kau bertahan bahkan lebih lama dibandingkan perkiraan si raja Tidur.
Ibu kau bahagia, Dam, meski harus melupakan hari-hari hebatnya, meski harus hidup
sederhana. Dia paham, dan memilih jalan itu, karena Ayah jauh-jauh hari juga sudah
memilih jalan itu.” Ayah Dam mengeluarkan air mata saat bercerita.
“Apakah Ayah dan ibu kau bahagia? Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang dalam,
mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan yang bisa merusaknya,
termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau dengki. Sebaliknya, kebahagiaan atas gelar
hebat, pangkat tinggi, harta benda, itu semua tidak akan menambah sedikit pun beningnya
kebahagiaan yang kau miliki.” Ayah mengakhiri ceritanya dengan senyum yang
mengembang.
“Apakah ibu kau bahagia, Dam? Kau sekarang tahu jawabannya.”
Saat Ayah Dam menyelesaikan perkataannya, Dam sudah memeluk ayahnya dengan
sangat erat. Dam tidak menduga kalau itu adalah pelukan terakhir Dam untuk ayahnya.
Pagi itu, Ayah Dam dimakamkan. Antrean pelayat mengular panjang. Dam tidak
pernah melihat keramaian seperti ini sebelumnya di kota, keramaian ini mengalahkan
kejuaraan nasional renang, bahkan tur sang kapten dua puluh tahun silam. Dam mengangguk
pelan menerima setiap kalimat pujian untuk ayahnya, kalimat membesarkan hati, kalimat ikut
berdukacita.
Saat Dam mendongak ke atas. Ada sembilan formasi layang-layang besar di sana.
Dam mendesah. Sepertinya itu bukan minggu festival layang-layang. Layang-layang itu
terlihat anggun, mengambang.
“Pa, jangan-jangan itu formasi layang-layang sembilan klan Suku Penguasa Angin. Mereka
datang untuk melayat Kakek,” Zas yang berdiri di sebelah dam berbisik.
Dam hanya tertawa kecil medengar pendapat anaknya tersebut.
Di tepi pemakaman terdengar teriakan-teriakan. Seruan-seruan tertahan. Kerumunan
mencair. Anak-anak muda berlarian. Di tepi pemakaman, pemain bola terhebat itu tersenyum
lebar, melambaikan tangan, dan bergerak maju mendekati pemakaman Ayah Dam. Tidak
hanya sendiri, dia datang bersama pemain legendaris. Itulah si Nomor Sepuluh, di
belakangnya juga berdiri sang Kapten kebanggaan Dam, dia tersenyum ramah kepada semua
orang di pemakaman. Si nomor sepuluh tinggal sepuluh langkah lagi dari pemakaman Ayah
Dam. Zas dan Qon sudah loncat mendekat.
“Kalian pasti dua monster kecil itu,” kata si Nomor Sepuluh. “Tidak salah lagi, kalian pasti
dua monster kecil itu.”
Dam benar-benar kehabisan kata-kata. Taani memeluk Dam erat-erat, berbisik, ”Ayah tidak
pernah berbohong, Dam. Ayah tidak pernah berbohong.”
Bintang sepak bola itu memeluk Zas dan Qon, menggendong mereka, lantas bergerak
mendekati Dam. ”Kau tidak tahu betapa bencinya aku pada ayah kau, Dam.” Ia tertawa.
“Setiap malam ketika aku terlambat pergi latihan, pamanku, kapten tua ini, selalu
menceramahiku dan menyebut-nyebut ayah kau. Memaksaku berlatih siang-malam, tidak
sempat pergi bermain.”
Sang Kapten melangkah mendekati Dam, menyalaminya penuh penghargaan, ikut tertawa.
“Jangan dengarkan dia. Sejak kecil dia memang pemalas, tidak tahu berterima kasih.
Seharusnya dia melihat sendiri bagamana kapten tua ini dulu diceritakan ayah kau tentang
kerja keras, pantang menyerah.”
Dam kehabisan kata-kata, tidak mengerti, silih berganti menatap si Nomor Sepuluh yang
menggendong Zas dan Qon dan sang Kapten yang berdiri di depannya.
“Ayah kau pastilah tidak pernah bilang itu.” Sang Kapten seperti tahu apa yang dipikirkan
Dam. “Tentu saja, karena sejatinya tanpa bertemu dengan ayah kau saat aku menjadi
pengantar sup jamur, aku tidak akan pernah menjadi pemain hebat. Dan tanpa itu,
keponakanku yang pemalas ini juga tidak akan pernah menjadi pemain hebat, karena aku
tidak punya inspirasi mendidiknya. Ayah kaulah yang datng ke klub itu, bilang aku berhak
mendapatkan kesempatan. Dia mengancam akan melaporkan klub itu ke komite olahraga
karena menolakku ikut seleksi hanya gara-gara tinggi badan.” Dia kembali mengenang
perjuangan Ayah Dam untuk dirinya.
“Senang akhirnya bisa bertemu dengan keluarga kau, Dam. Satu-satunya penyesalanku
adalah aku tidak pernah tahu di mana ayah kau tinggal. Dia raib begitu saja setelah lulus
sekolah masternya. Aku bertahun-tahun menyuruh agenku mencari tahu. Saat tur ke kota kau
tiga puluh tahun silam, aku berharap ayah kau menyapa, ternyata tidak. Aku bertanya ke
panitia pertandingan, tidak ada yang tahu. Untunglah keponakanku ini ikut mencari. Dia
berhasil mendapatkan nomor telepon ayah kau beberapa bulan lalu, dan pernah
menghubungi ayah kau. Kami merencanakan datang saat libur musim kompetisi. Lihat, aku
datang amat terlambat. Ayah kau sudah pergi.”
Mata Dam tiba-tiba basah oleh air mata. Orang-orang masih berepuk tangan. Jarjit yan
dulu bangga sekali punya bola bertanda tangan sang Kapten mengacungkan jempol,
tersenyum. Sang Kapten sudah memeluk Dam erat-erat. “Aku turut berdukacita, Dam. Ayah
kau adalah segalanya bagi kapten tua ini. Ayah kau terlalu sederhana untuk mengakuinya.”
Dam balas memeluknya erat-erat, menangis terisak.
“Ayahku bukan pembohong.” Dam berkata dengan tegas
Hari itu Dam tahu bahwa ayahnya bukan seorang pembohong.

Anda mungkin juga menyukai