Anda di halaman 1dari 61

SI

BADUNG JADI PAHLAWAN




Petualangan Baru Cewek Paling Badung karya Enid Blyton

Anne Digby


Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2002


Djvu by: k80

Jar, txt, pdf by: inzomnia

Re edited by: Farid ZE

Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu



DAFTAR ISI

Bab 1 Elizabeth dan Julian Berkumpul Lagi

Bab 2 Harapan-harapan Elizabeth

Bab 3 Isyarat Misterius dari Daniel

Bab 4 Rapat Besar yang Menarik

Bab 5 Pelaksanaan Tes Peran

Bab 6 Elizabeth Kelewat Gembira

Bab 7 Pertengkaran Hebat

Bab 8 Pemilik Kancing Ditemukan

Bab 9 Dengan Julian jadi Berlima

Bab 10 Kebakaran! Kebakaran!

Bab 11 Cewek Paling Badung jadi Pahlawan

Bab 12 William dan Rita Bercerita

Bab 13 Pentas Drama Musim Panas-dan Setelahnya



Bab 1

Elizabeth dan Julian Berkumpul Lagi


"Barangkali kereta dari London terlambat!" ujar Elizabeth tidak sabar. "Bagaimana
menurutmu, Joan? Atau mungkin bus dari stasiun mogok! Mungkin bus itu sekarang
sedang terhenti di tengah jalan saat mendaki bukit karena bannya kempes. Bayangkan
semua anak cowok dan cewek terpaksa duduk di dalam bus yang sumpek menunggu
bannya diganti..."

Elizabeth berpindah dari satu kaki ke kaki yang lain dengan gelisah. Ia berdiri di
puncak tangga batu, di luar gerbang utama Sekolah Whyteleafe. Pandangannya terus
tertuju pada tikungan yang tertutup bebatuan, tempat bus sekolah seharusnya muncul.

"...Bagaimana menurutmu, Joan?" ia menyelesaikan.

Joan adalah sahabat Elizabeth di Sekolah Whyteleafe, meskipun Joan agak lebih tua
dan sudah duduk di kelas dua. Gadis itu tenang dan bisa berpikir jernih, sementara
Elizabeth bersemangat dan impulsif. Joan menggelengkan kepala dan tersenyum pada
temannya.

"Menurutku kau suka berkhayal, Elizabeth. Itu pendapatku!" ia menyahut pelan. "Bus
itu sama sekali belum terlambat."

"Tapi seharusnya bus sudah tiba jam setengah dua dan itu berarti lima menit yang
lalu!" Elizabeth memprotes. "Lagi pula aku sangat lapar, kau juga kan, Joan? Dan tak
seorang pun dari kita boleh memasuki aula makan dan bersantap siang sampai semua
orang tiba dari liburan tengah semester!"

Memang benar Elizabeth sedang merasa lapar dan kecewa karena ternyata waktu
makan siang hari itu diundur. Aroma lezat kue pai panggang berbumbu dalam oven besar
melayang ke arahnya dari dapur. Dan sebelumnya, ia sempat melihat staf pelayan sekolah
menumpuk kentang dan wortel segar dari kebun sekolah. Tak diragukan lagi, sekarang
semua sayuran itu pasti sudah selesai dikukus. Selalu ada santapan istimewa setelah
liburan, dan banyak anak-anak yang kelaparan setelah menempuh perjalanan panjang
kembali ke sekolah asrama mereka.

Tapi ada yang lebih penting dari semua itu.

"Sebenarnya, aku tak sabar bertemu lagi dengan teman-teman sekelasku, Joan," ia
mengakui. "Terutama Julian. Aku ingin sekali memberitahunya tentang pengumuman
yang ditempel Miss Ranger di papan pengumuman. Pelajaran Bahasa Inggris kami bakal
lebih menarik dan bersemangat!"

Hampir semua anak-anak kelas satu pulang ke rumah masing-masing selama liburan
tengah semester, termasuk teman istimewa Elizabeth, Julian. Elizabeth sendiri tinggal di
sekolah mengikuti kegiatan perkemahan musim panas di lapangan sekolah. Banyak suka-
duka yang dialaminya selama kegiatan tersebut, namun semua adalah petualangan yang
menyenangkan. Kini ia tak sabar menghadapi pertengahan kedua semester musim panas,
tidur di ranjang empuk lagi dan menjalani kehidupan normal.

"Halo Daniel! Kau termasuk yang terakhir datang!" ia berseru riang, ketika mobil
beratap terbuka melintas. Daniel Carter adalah salah seorang teman sekelasnya dan tinggal
di desa sebelah. Seperti halnya anak-anak lain yang tinggal di dekat Whyteleafe, ia
kembali ke sekolah naik mobil. "Kau seharusnya termasuk yang datang awal!"

Anak cowok berkulit pucat dan berambut pirang itu duduk di bangku belakang mobil
sambil membaca buku. Ia mendongak sebentar dan membalas lambaian Elizabeth,
kemudian segera kembali memusatkan perhatian pada bukunya.

"Tadi kau lihat bus sekolah, tidak?" Elizabeth berseru. Namun mobil itu sudah
melewati mereka dan kata-katanya tertelan deru angin.

"Pasti menyenangkan naik mobil beratap terbuka seperti itu," Joan berkomentar.
"Daniel anak yang aneh, terus membaca buku sementara ayahnya mengemudikan mobil
untuk mengantarnya!"

"Ya, dia cenderung memilih buku daripada memandang dan mendengar dunia nyata
dan berteman" kata Elizabeth setuju. "Kurasa itu sebagian besar karena sifat pemalunya."

"Tapi dia anak yang paling hebat memprotes orang lain dalam Rapat Besar," Joan
menjelaskan. "Bukan sikap yang baik untuk mencari teman."

"Ya, lucu sekali waktu dia mengeluhkan Arabella yang mencebik-cebikkan wajah ke
arahnya," kata Elizabeth sambil tertawa. "Ia membuat dirinya tampak seperti anak kecil
ketika mengajukan berbagai keluhan dan pengaduan bodoh. Sungguh sayang dia tak mau
belajar bergaul dengan baik, karena dengan begitu orang-orang bisa lebih menyukainya."

"Kuharap Whyteleafe akan bisa mengubahnya nanti," senyum Joan. "Kau paling
mengerti soal ini daripada anak lain, Elizabeth. Waktu pertama kali datang ke sini, kau
Cewek Paling Badung di Sekolah!"

"Ya. Sejak itu aku selalu berusaha menghapus julukan itu!" gerung Elizabeth.
Panggilan Cewek Paling Badung telah melekat pada dirinya dan pasti akan terus begitu!
"Oh, Joan, apakah aku ini begitu menyebalkan?" ia mendesah.

Ia menatap ke seberang lapangan hijau ke pepohonan di belakangnya. Seekor burung
berputar-putar di atasnya di langit yang berawan. Indah sekali di Whyteleafe, pikir
Elizabeth.

"Waktu itu aku melakukan apa saja yang terpikirkan olehku agar dipulangkan, kan?" ia
melanjutkan. "Dari sekolah terbagus di seluruh dunia!"

"Aku senang kau tidak berhasil melakukannya," ujar Joan perlahan, sambil meremas
tangan temannya. "Aku bersungguh-sungguh."

Beberapa saat kemudian bus besar bertuliskan SEKOLAH WHYTELEAFE di bagian
depannya tampak melintasi tikungan.

"Sudah datang!" sorak Elizabeth. "Hore! Sekarang semua orang telah kembali!"

Bus itu berhenti di dasar tangga. Semua anak cowok dan cewek yang tadi naik kereta
dari London berhamburan keluar. Elizabeth berlari menyapa mereka. Joan, sebagai
pengawas kelas dua, mengikutinya dengan langkah yang lebih anggun untuk menemui
beberapa teman sekelasnya.

"Julian!" teriak Elizabeth, rambut cokelatnya yang ikal melambai-lambai.

"Halo, Cewek Paling Badung!" sapa cowok berambut gelap itu sambil tersenyum.
Sepupunya, Patrick, berada tepat di belakangnya. "Bagaimana perkemahannya?"

"Menyenangkan! Tapi dengar, Julian, ada pengumuman amat menarik di papan.
Tunggu saja sampai kau melihatnya! Miss Ranger yang menempelkannya pagi ini. Tahun
ini giliran kelas kita untuk mengadakan Pentas Drama Musim Panas! Pementasannya akan
dilakukan di luar gedung, di lapangan sekolah! Kalau kita ingin ambil bagian di
dalamnya, kita harus mencatatkan diri pada pengumuman itu. Tes perannya akan
mengambil waktu sepanjang pelajaran Bahasa Inggris!" Elizabeth telah menahan berita ini
lebih dari satu jam sehingga kini menyembur keluar dengan deras. "Oh, Julian, bukankah
akan menyenangkan kalau kau dan aku mendapatkan peran utama? Dramanya berjudul
Petualangan di Hutan Ajaib dan ditulis oleh kedua kepala sekolah kita!"

Ia meraih tangan Julian.

"Ayo, kita harus bergegas. Kalau kita cepat, kita bisa menuliskan nama kita di urutan
teratas dalam daftar-"

"Hei, sabar dulu. Nona Angin Puyuh-" Julian memulai, tampak geli.

"Ya, sabar dulu, Elizabeth," senyum Miss Thomas, ketika ia menggiring anak-anak
terakhir keluar dari bus. Ia bisa melihat Cewek Paling Badung itu tengah mencoba
mengajak Julian pergi! "Julian tidak diizinkan menghilang ke mana pun pada saat ini.
Semua anak yang naik kereta dari London telah diinstruksikan untuk langsung menuju ke
aula makan begitu mereka selesai mencuci tangan dan wajah. Kusarankan kau melakukan
hal yang sama, Elizabeth. Kita semua amat kelaparan. Apa pun rencanamu, itu terpaksa
ditunda dulu."

Elizabeth mendesah dan menyadari bahwa ia harus bersabar



Bab 2

Harapan-Harapan Elizabeth


Julian menolak untuk buru-buru selama makan siang. Ia amat lapar dan ingin makan
seporsi lagi dari setiap hidangan. Elizabeth harus mengakui bahwa pai berbumbu itu salah
satu kue terlezat yang pernah dipanggang oleh Juru Masak. Kentang dan wortel segarnya
membuat air liur menetes. Sedangkan puding yang dihidangkan, berlapis kue tarcis dan
agar-agar, salah satu kegemaran mereka.

Murid-murid bersantap dengan gembira, semua orang saling bertukar kabar dan berita.
Beberapa anak telah melihat pertunjukan-pertunjukan di London. Ruth dan Tessa
berkunjung ke Kebun Binatang Taman Regents bersama ibu Tessa. Patrick berada di
Lords sepanjang minggu bersama ayahnya, menonton cricket. Cerita Patrick tentang itu
agak membosankan, namun Elizabeth sama sekali tak peduli. Ia merasa gembira
dikelilingi kawan-kawan sekelasnya lagi. Julian mengaku bahwa yang dilakukannya
sepanjang liburan, tidak jauh dari bermalas-malasan dan sesekali pergi berenang.

Elizabeth, Belinda, dan Kathleen senang bercerita pada anak-anak lain tentang kegiatan
perkemahan sekolah. Arabella, yang berkelakuan buruk saat itu dan terlibat masalah, jadi
terdiam.

"Kenapa, Arabella? Bukankah kau amat suka berkemah di alam bebas?" tanya Julian
seenaknya. Ia selalu paling cepat dan lihai. "Tampaknya kau tak banyak bicara soal itu."

Gadis manja itu mengubah raut mukanya yang cantik seperti boneka dan mengangkat
bahu.

"Kemahnya lumayan," ia bergumam.

Elizabeth tak berniat mengadukan keburukan Arabella, namun diam-diam ia merasa
sangat puas. Arabella yang tak banyak bicara adalah perubahan yang menyenangkan!

Namun kegembiraan ini tidak berlangsung lama.

Di akhir makan siang, percakapan beralih pada berita menggembirakan tentang pentas
drama kelas satu. Kathleen, seperti halnya Elizabeth, telah melihat pengumuman yang
ditempel Miss Ranger, wali kelas mereka, di papan pengumuman dan menyebarkan berita
ini.

"Ayo kita ramai-ramai mendaftarkan diri!" ia berkata. "Oh, pasti akan sangat
menyenangkan mengikuti tes peran di jam pelajaran Bahasa Inggris."

"Aku sudah menuliskan namaku di sana," Arabella mengumumkan. "Dan aku telah
membaca jalan ceritanya! Begitu Miss Ranger menempelkan pengumuman itu, aku
meminta izin meminjam salinannya. Sungguh-sungguh menakjubkan."

"Ceritanya tentang gadis cilik bernama Fay yang tertidur di dalam hutan!" Rosemary,
teman Arabella, memotong. Ia sangat bersemangat. "Ketika Fay terbangun, dia telah
berubah menjadi ratu peri yang cantik. Kemudian dia mengalami berbagai petualangan
yang indah dengan goblin- jembalang-bernama Jonkin dan mereka bertemu berbagai
makhluk penghuni hutan ajaib itu..."

"Miss Belle dan Miss Best sendiri yang menulis cerita itu," ujar Arabella, sok tahu.
"Mereka menulisnya khusus untuk kita. Karena sudah lima tahun yang lalu sejak kelas
satu mendapat giliran menampilkan Pentas Drama Musim Panas, mereka ingin
membuatnya istimewa. Wah, dua kepala sekolah kita cerdas sekali, ya, bisa menulis
seluruh cerita yang sama sekali baru?"

"Dan peran Fay benar-benar dibuat untuk Arabella!" oceh Rosemary. "Bisakah kalian
bayangkan Arabella jadi ratu peri? Aku dapat. Tentu saja," ia menambahkan cepat-cepat,
"masih banyak peran lain untuk semua orang dan banyak hal yang harus dilakukan,
seperti membuat kostum dan lain-lain. Aku berharap akan terpilih menjadi juru bisik," ia
menambahkan dengan rendah hati.

Elizabeth mendengar semuanya sambil diam terpaku.

Arabella dan Rosemary kini berdiri dari kursinya, bersiap-siap untuk pergi. Rosemary
masih terus mengoceh dengan bersemangat.

"Ayo kita ambil naskah cerita itu dari mejamu, Arabella! Kita bisa membawanya ke
luar seperti yang kausarankan! Aku ingin sekali mendengarmu membacakannya keras-
keras. Itu akan jadi latihan yang bagus untukmu! Aku jadi bertanya-tanya, cowok mana
yang akan dipilih memainkan peran Jonkin? Oh, peran itu bakal bagus juga, kan-"

Arabella menoleh dan melemparkan senyum manis pada Julian.

"Kurasa Julian bisa menjadi Jonkin yang bagus!" ia tersenyum simpul. "Dalam drama
nanti pemeran Jonkin memang akan memakai topeng, tapi matanya berwarna hijau,
seperti Julian, dan ia sangat lucu dan cerdas. Kuharap kau mau mendaftarkan diri,
Julian!"

Ketika kedua cewek itu meninggalkan aula makan, Elizabeth menundukkan kepala di
atas potongan kue tarcisnya yang terakhir, berjuang untuk tetap tenang. Samar-samar ia
mendengar beberapa anak berceloteh saat mereka bersiap-siap meninggalkan meja...

"Astaga! Arabella memang biasa gerak cepat, ya?"

"Begitulah!"

"Tapi kau harus mengakui kalau dia mungkin pantas jadi ratu peri. Setidak-tidaknya,
ia cocok dengan peran itu karena wajahnya yang seperti peri."

"Terlalu mirip boneka. Kurang bersemangat."

"Well, ayo kita melihat pengumuman itu."

"Sekalian saja kita tuliskan nama kita di sana. Pasti akan menyenangkan."

Tak lama kemudian, hanya tinggal Elizabeth, Julian, dan Patrick yang duduk di meja
panjang, bertiga saja.

"Sudah kuduga seharusnya kita buru-buru menuliskan nama kita di daftar, Julian!"
Elizabeth berkata jengkel, mencoba sekuat tenaga untuk tidak cemberut. Arabella telah
mendaftarkan diri duluan. Bisa jadi namanya tercantum di baris teratas! Bukan hanya itu,
ia juga sudah punya salinan naskah drama. Ia telah membacanya dan mulai latihan untuk
tes peran. "Sekarang Arabella selangkah lebih maju daripada yang lain!"

"Well, aku sih tak berminat memerankan ratu peri!" ujar Julian. Ia tertawa pada
Elizabeth. "Dan kalau kau berminat, Elizabeth, sebaiknya kau berhenti cemberut dan
pasang tampang cewek pemberani yang nakal. Mulailah berlatih tampak manis!"

"Aku tak tahu apa yang kumau sekarang," sahut Elizabeth dongkol. "Barangkali
Arabella memang akan jadi yang paling baik. Barangkali aku memang tidak bagus sama
sekali. Lagi pula, sekarang ia pasti telah mencantumkan namanya di deretan teratas daftar
itu."

"Dasar bodoh." Julian menarik rambut Elizabeth. "Letak nama dalam daftar takkan
mempengaruhi apa pun! Miss Ranger akan memberikan peran itu pada orang yang dapat
membacakan dialog terbaik pada saat tes peran. Menurutku Arabella akan kaku ketika
membacanya. Nah, sekarang kau pergilah dan daftarkan dirimu, seperti yang katamu
ingin kaulakukan."

Elizabeth langsung merasa riang lagi.

"Tentu saja!" ia berseru, tersenyum, dan bertepuk tangan. Tapi-"

Ia memandang Julian dengan cemas.

"-Bagaimana denganmu, Julian? Kau akan ikut ambil bagian dalam drama itu, kan?
Takkan menyenangkan kalau kau tak ikut. Arabella mungkin benar soal kau berperan
sebagai goblin. Aku bisa membayangkannya!" Julian menguap.

"Kurasa bermain drama bukan bakatku Elizabeth," ia berkata lembut.

Patrick yang duduk jauh di ujung meja dan tengah memainkan potongan kue tar-
cisnya yang terakhir, tiba-tiba menengadah mendengar kata-kata Julian.

Elizabeth baru akan berdebat dengan Julian. Ia tahu betul bahwa temannya itu aktor
berbakat, Julian bisa mengeluarkan bermacam-macam suara dan pandai meniru, sekaligus
lucu. Pasti sebenarnya cowok itu hanya merasa bahwa ikut serta dalam drama kelas satu
itu membosankan. Ia selalu begitu. Jahat sekali!

Namun sebelum Elizabeth sempat membuka mulut untuk protes, Patrick
mengeluarkan suara untuk yang pertama kalinya. Tadi ia tampak agak muram, tapi
sekarang tiba-tiba gembira. Ia tak dapat menahan kecemburuannya pada sepupunya yang
berbakat dan segala bisa. Mendengar Julian dipuji, sekalipun oleh Arabella, jadi membuat
Patrick merasa sebal.

"Senang mendengar otakmu bisa berpikir jernih, Julian," ujarnya. "Aku tak mau
menyaksikan sepupuku tersayang membuat dirinya sendiri tampak bodoh."

"Oh, jadi begitu menurutmu, ya?" tanya Julian tajam.

Mendadak ia berdiri.

"Ayo, Elizabeth. Ayo kita pergi mendaftarkan diri."

Patrick mengawasi mereka pergi, mulutnya menganga.

"Kupikir kau tak ingin ikut sandiwara itu!" ujar Patrick jengkel.

Julian menoleh melalui bahunya.

"Aku berubah pikiran," sahurnya sembarangan. "Pasti akan menyenangkan. Aku jadi
punya kesempatan membuat diriku sendiri tampak bodoh!"

Tatkala mereka berdua meninggalkan aula makan dan bergegas menuju papan
pengumuman sekolah, Elizabeth merasa agak kasihan pada sepupu Julian. Ia bisa melihat
bahwa setiap kali Patrick menginginkan sesuatu, Julian pasti akan melakukan
kebalikannya.

Ketika mereka menuliskan nama mereka dalam daftar, Elizabeth merasa penuh
harapan lagi. Akan menyenangkan kalau dirinya terpilih menjadi pemeran utama dengan
Julian sebagai lawan mainnya. Julian akan membuat segalanya mengasyikkan.

Siapa lagi yang telah mendaftarkan diri?

Elizabeth melihat nama-nama yang tercantum di situ. Lebih banyak cewek daripada
cowok. Tapi ada satu nama yang agak tak terduga.

"Lihat, Julian!" ia berseru. "Daniel Carter juga mendaftar."

Sepanjang makan siang, seperti biasanya, Daniel duduk diam-diam sambil membaca
buku di bawah meja dan tidak sedikit pun tertarik pada pembicaraan tentang drama itu.
Daniel memang tak pernah mengikuti kegiatan apa pun yang mungkin dapat dihindarinya.

"Mengejutkan," ujar Julian. "Apakah menurutmu dia ingin mendapatkan peran utama
cowok, peran goblin?"

Elizabeth tertawa gembira.

"Kalau ada kau, Julian," sahutnya, "kurasa dia harus membuang jauh-jauh harapannya
itu."




Bab 3

Isyarat Misterius dari Daniel


Di pelajaran Bahasa Inggris keesokan harinya, Daniel sama sekali tak tampak seperti
orang yang berharap bisa memenangkan peran yang baik dalam drama. Ia bahkan
kelihatan agak tak senang dengan segala hal tentang pentas itu!

"Ini untukmu, Daniel," ujar Miss Ranger gembira saat guru itu selesai membagi-
bagikan salinan naskah sandiwara pada mereka yang mendaftarkan diri. "Setelah
membacanya, kau akan tahu bahwa cerita ini amat bagus. Aku ingin agar kau
mempelajarinya beberapa hari ke depan dan memutuskan peran mana yang akan kau-
coba. Kau harus menghafalkan beberapa baris kalimat dari peran favoritmu. Dan-" Miss
Ranger menengadah dan tersenyum pada semua anak "-hal yang sama juga berlaku pada
kalian semua. Cobalah menghafalkan beberapa baris kalimat yang ingin kalian ucapkan
pada tes peran minggu depan. Kalian akan lebih mudah memainkan peran itu kalau
dilakukan tanpa membaca naskah."

"Saya sudah menghafal beberapa bagian yang ingin saya perankan!" seru Arabella
sombong.

"Kau yakin?" tanya Miss Ranger ramah. Ia tahu tentang kesulitan anak yang paling tua
di kelas itu dalam menghafalkan sesuatu.

Elizabeth senang karena tes peran masih beberapa hari lagi. Tes peran itu akan
diadakan pada jam-jam pelajaran Bahasa Inggris minggu depan dan dua kepala sekolah
akan ikut duduk dalam beberapa tes untuk menjadi juri! Arabella memang telah mencuri
start, tapi kini mereka semua mendapatkan kesempatan mengejar ketinggalan. Ini
menggembirakan.

Tapi Daniel tak sedikit pun tampak senang. Elizabeth yang tengah duduk di sudut meja
Julian dan dengan bersemangat menelusuri lembaran naskah, memperhatikan betapa
malasnya cowok berambut pirang itu mengambil salinan naskah bagiannya. Bahkan ia
anggota kelas yang terakhir mengambil naskah. Kini ia berjalan kembali ke mejanya,
membuka laci, dan memasukkan naskah tadi ke dalam, tanpa sedikit pun memandangnya.
Lalu ia duduk dan melipat tangan.

Ketika Miss Ranger berbicara pada seluruh kelas, Daniel tampak makin murung. Miss
Ranger memberitahu mereka bahwa nantinya latihan sandiwara akan memakai waktu di
luar jam sekolah-dan di alam terbuka. Karena Pentas Drama Musim Panas selalu
dilangsungkan di luar ruangan, maka latihan akting di luar akan baik bagi murid-murid!

Daniel membenci segala macam bentuk kegiatan di luar ruangan. Ia salah seorang dari
sedikit anak di Whyteleafe yang punya kamar pribadi mungil di loteng di atas kamar-
kamar asrama. Musim panas maupun musim dingin, ia menyukai kamar mungilnya yang
nyaman tepat di bawah atap, tempat ia dapat membaca buku-buku cerita favoritnya
sepuasnya.

"Jadi, mereka yang terpilih harus bersiap-siap meluangkan waktu," Miss Ranger
menyimpulkan. "Masih banyak tugas yang harus kita selesaikan dalam pelajaran Bahasa
Inggris. Ingat, kalian akan menghadapi ujian di akhir semester dan itu juga sangat penting
bagi mereka yang ingin naik ke kelas dua pada bulan September. Jadi sekarang," Miss
Ranger tiba-tiba bertepuk tangan, "harap semua berhenti bicara dan kembali ke meja
masing-masing, keluarkan buku ejaan Bahasa Inggris kalian."

Tapi saat itu Elizabeth masih terus mengobrol dengan Julian.

"Sepertinya ceritanya menyenangkan, ya, Julian? Aku bisa membayangkanmu jadi
Jonkin! Aku tak keberatan sama sekali meluangkan waktu senggangku kalau aku terpilih,
bagaimana denganmu? Aku bakal harus membolos latihan piano beberapa kali! Tapi
apakah kau memperhatikan sesuatu?" Ia merendahkan suara sampai berbisik. "Kau lihat
tidak, betapa murungnya tampang Daniel sejak tadi? Aku tak percaya ada anak yang benci
main sandiwara, khususnya di luar ruangan! Kalau begitu, kenapa dia mendaftarkan
diri?"

"Barangkali ada satu jawaban sederhana," Julian balik berbisik. Ia juga telah
memperhatikan sikap Daniel. "Aku sama sekali tak yakin bahwa cowok malang itu
sungguh-sungguh ingin ikut main sandiwara. Kurasa salah satu guru telah menyuruhnya
mendaftarkan diri. Barangkali Miss Ranger yang melakukannya. Para guru pasti agak
khawatir karena Daniel tak pernah ikut serta dalam kegiatan apa pun."

"Oh, Julian! Kau memang pintar!" sahut Elizabeth. "Ya, pasti itu jawaban-"

"ELIZABETH!" seru Miss Ranger. "Tolong hentikan percakapan kalian dan turun dari
meja Julian. Julian, tolong keluarkan buku ejaan Bahasa Inggrismu seperti yang telah
kuperintahkan tadi. Kurasa kalian berdua harus dipisahkan."

Miss Ranger menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan dan menunjuk ke satu
meja kosong yang berdiri sendirian di bagian belakang kelas di bawah jendela yang
terbuka.

"Elizabeth, ambil buku-bukumu dan pindah ke meja di belakang. Kau amat suka
berbicara, jadi kurasa lebih baik kau di sana." Miss Ranger berbicara pada gadis kecil itu
dengan ramah. "Kau akan terbebas dari godaan di sana, dan aku tahu aku bisa
mempercayaimu untuk memusatkan perhatian pada pelajaran dan belajar giat walaupun
berada di belakang sana."

"Baik, Miss Ranger," jawab Elizabeth.

Julian memandang temannya dengan pandangan minta maaf, tapi Elizabeth sama
sekali tak keberatan. Ia tahu Miss Ranger telah mengambil tindakan yang terbaik, lagi pula
tempat itu sangat menyenangkan karena di dekat jendela yang terbuka. Aroma lembut
musim panas terbang dibawa angin yang hangat. Hal terakhir yang diinginkan Elizabeth
pada saat ini adalah kehilangan salinan naskah sandiwaranya gara-gara mengobrol dengan
teman-teman di kelas. Kini segala godaan untuk melakukan itu telah tersingkir.

Ia merenungkan kata-kata Julian barusan. Daniel yang malang! pikirnya.

Namun di hari yang sama, di penghujung siang, Daniel membuat kejutan untuk
mereka lagi.

Begitu semua pelajaran usai hari itu, Elizabeth dan Julian pergi sebentar untuk
menunggang kuda poni di lapangan sekolah. Mereka muncul dari balik pepohonan
setelannya, turun, dan menuntun kuda-kuda mereka kembali ke istal sekolah. Seorang
anak cowok tengah bersandar pada salah satu pintu istal, seolah-olah sedang menikmati
sinar matahari. Ia melambai dengan riang ketika melihat mereka dan berlari menyambut.

"Halo, Julian! Halo, Elizabeth!" serunya, menepuk-nepuk leher kuda-kuda. "Hari yang
indah, bukan? Kalian senang berkuda?"

Anak itu Daniel.

Kedua sahabat itu melepaskan pelana dan menepuk-nepuk kuda-kuda mereka, sambil
saling bertukar pandang keheranan. Mengejutkan melihat Daniel berada di alam terbuka!
Ia juga tampak sangat gembira. Pipinya bersemu merah dan ada aura kebahagiaan
terpancar dari dirinya. Apa yang telah membawa perubahan besar ini padanya? Ini
sungguh membingungkan.

"Bukankah ini hari yang hebat?" ia mengulangi, begitu pelana telah dilepaskan dari
kuda-kuda poni itu. "Sini. biar kubantu kalian menyimpan tali kekang dan pelana serta
mengantarkan kuda-kuda kalian pada petugas istal."

"Sungguh?" ujar Julian, berterima kasih.

"Kau baik sekali, Daniel," sahut Elizabeth.

Mereka melepas tali kekang dan pelana kuda-kuda poni, lalu sedang bersiap-siap pergi
ketika-

"Apakah kalian tahu kapan Rapat Besar yang akan datang diadakan?" anak itu
bertanya dengan semangat.

"Jumat," sahut Elizabeth. "Kenapa?"

"Mau menyampaikan pengaduan, Daniel?" tanya Julian menggoda. "Atau mungkin
keluhan?"

Wajah anak itu bersemu merah.

"Tidak, tidak sama sekali. Tak seorang pun sudah melakukan sesuatu yang
membuatku jengkel saat ini," ujarnya bersungguh-sungguh. "Aku punya permintaan
khusus pada rapat nanti, hanya itu. Permintaan yang sangat istimewa!"

"Apa itu?" tanya Elizabeth tertarik.

"M-maafkan aku, aku tak dapat mengatakannya pada kalian. Belum bisa..."

"Oh, ayolah!" pinta Elizabeth. "Kenapa kau tak dapat mengatakannya pada kami?"

"A-aku harus melihat perkembangannya dulu" gumam anak itu. "Maaf. Seharusnya
aku tidak mengatakannya. Aku tak bermaksud membuat kalian penasaran..."

Ia tampak menyesal.

"Tak masalah" kata Julian, sambil ber-balik untuk pergi.

Daniel buru-buru menyusulnya dan menyambar lengan Julian.

"Tapi please, saat aku meminta... ketika aku akhirnya benar-benar jadi meminta hal ini
dalam Rapat Besar, kuharap kalian berdua mau mendukungku. Please."

Kini rasa ingin tahu Elizabeth makin besar.

"Aku yakin, kami akan mendukungmu kalau kami bisa, Daniel."

"Begitu kami tahu apa yang harus didukung!" tawa Julian.

Kejadian itu amat mengejutkan. Kedua sahabat itu membicarakannya sepanjang
perjalanan kembali ke gedung sekolah. Daniel tampak sangat berbeda dari biasanya.

"Apa yang telah terjadi padanya?" Julian bertanya-tanya. "Apakah mungkin dia cowok
yang sama dengan yang bertampang begitu muram di pelajaran Bahasa Inggris pagi ini?"

Pikiran cemas tiba-tiba terlintas dalam benak Elizabeth.

"Menurutmu, mungkin tidak, penyebabnya adalah karena dia telah membaca naskah?
Dan dia menyadari betapa hebatnya drama itu dan peran Jonkin, dan betapa ini bisa jadi
kesempatan besar baginya untuk terkenal...?"

Elizabeth tak suka bila peran Jonkin dimainkan oleh anak lain, selain Julian.

"Jelas tidak! Bila memang begitu, dia akan kembali ke kamar mungilnya untuk
menghafalkan naskah dengan sungguh-sungguh. Dia takkan bersenang-senang di alam
terbuka," jawab Julian. "Tidak, aku yakin bukan itu penyebabnya. Tapi pasti memang ada
sesuatu yang mengubahnya, jelas."

"Apakah hal itu mungkin berhubungan dengan permintaan misterius yang ingin dia
sampaikan pada Rapat Besar?" renung Elizabeth. "Aku tak dapat membayangkan apa yang
ingin diajukannya."

"Kita akan mendapat jawabannya," ujar Julian ringan, "tak lama lagi."




Bab 4

Rapat Besar yang Menarik


Di hari Jumat, akhir pelajaran selama seminggu, Elizabeth berlari ke asrama dan
bersiap-siap menghadiri Rapat Besar. Ia mencuci tangan, menyisir rambut, dan
memutuskan bahwa hari ini ia akan memakai jaket sekolahnya, sekalipun jaket itu masih
agak kebesaran. Saat mengancingkan kancing-kancing jaketnya yang berwarna perak
mengilap sambil memandang cermin, ia merasa senang dan kerasan.

Ia bangga memakai jaket itu dan menjadi anggota Sekolah Whyteleafe. Ia kagum pada
cara William dan Rita, ketua murid laki-laki dan perempuan, memimpin jalannya Rapat
Besar. Dalam rapat itu semua keputusan penting tentang segala permasalahan yang timbul
ada di tangan murid-murid, tanpa campur tangan para guru.

Ketika Elizabeth beriringan memasuki aula bersama Belinda, Kathleen, dan Jenny ia
melihat arlojinya. Mereka terlalu cepat datang. Tapi seseorang telah lebih dulu tiba di situ.

Daniel, yang biasanya menjadi salah seorang yang datang terakhir, duduk di deretan
terdepan di ujung bangku panjang yang kosong. Anak-anak cewek itu mengambil tempat
di sampingnya dan Elizabeth menyadari betapa rapinya penampilan Daniel. Ia duduk
tegak, tangan dilipat, menunggu rapat dimulai. Ia tampak sangat tegang. Masih ada aura
kegembiraan yang sama pada Daniel seperti beberapa hari yang lalu.

Anak-anak lain, seperti halnya Elizabeth dan Julian, telah menyadari perubahan dalam
diri Daniel. Sekalipun buku masih menemaninya ke mana pun ia pergi, ia lebih banyak
menghabiskan waktu di luar ruangan. Ia tampak lebih gembira dan hidup. Bahkan ia
mulai tertarik pada Pentas Drama Musim Panas. Sebenarnya ia telah berlatih beberapa
peran yang berbeda dan dengan malu-malu meminta Martin untuk mengujinya.

Well, kini kita semua akan menemukan penyebabnya, akhirnya, pikir Elizabeth. Daniel
tampak begitu bersemangat mengajukan permintaan istimewanya, apa pun itu!

Kedua belas pengawas sekolah masuk dan mengambil tempat mereka di panggung di
belakang William dan Rita, yang duduk di meja khusus. Di atas meja itu tergeletak sebuah
buku besar. Kejadian-kejadian penting yang terjadi dalam rapat selalu dituliskan dalam
Buku Besar. Pemandangan di situ selalu mengingatkan Elizabeth pada ruang pengadilan,
dengan William dan Rita sebagai hakim dan para pengawas sebagai juri.

Aula segera penuh sesak begitu semua kelas hadir. Miss Belle dan Miss Best, dua
kepala sekolah, dan Mr. Johns, guru senior, duduk diam-diam di kursi khusus yang
disediakan untuk mereka, di bagian belakang aula. Mereka hadir sebagai pengamat dan
tak pernah ikut campur dalam rapat, kecuali kalau nasihat mereka diminta.

Ketika semua orang sudah duduk dan celoteh ramai mereka semakin lama semakin
keras, William mengangkat palu kecil dan memukulkannya ke atas meja dengan keras.

"Harap tenang! Rapat Besar akan segera dimulai."

Seperti biasa, Elizabeth menyambut ketukan palu itu dengan getaran kesenangan. Di
sekelilingnya langsung hening. Apa yang akan dihasilkan rapat hari ini?

"Pertama-tama, keuangan," ujar William. "Banyak di antara kalian yang membawa
uang sekembalinya dari liburan. Thomas sedang mengedarkan Kotak Dana Sekolah dari
baris ke baris. Tolong masukkan semua uang kalian ke dalamnya."

Terdengar suara gemerisik uang kertas dan gemerincing uang logam yang dengan riang
dimasukkan anak-anak ke dalam kotak besar itu. Ada uang yang dikirimkan melalui pos
untuk beberapa anak yang ikut berkemah. Uang-uang itu juga dimasukkan ke dalam
kotak. Sekolah Whyteleafe punya peraturan tegas bahwa semua uang saku harus
dikumpulkan lalu dibagikan secara adil, sehingga tak ada murid yang mendapatkan
keuntungan lebih dibanding yang lain.

Setelah itu, setiap anak di sekolah dibagikan dua pound. Itu adalah uang saku selama
seminggu.

"Sekarang, apakah ada permintaan untuk mendapatkan uang lebih?" tanya ketua murid
perempuan.

Eileen mengangkat tangan.

"Rita, aku telah memutuskan senar raketku dalam latihan tim kemarin. Padahal dalam
waktu dekat kami akan bertanding, tapi setelah Mr. Warlow memeriksanya, beliau merasa
raket itu telah usang dan aku sungguh membutuhkan raket baru, yang lama akan tetap
disimpan sebagai cadangan."

Rita berdiskusi singkat dengan William dan mereka berdua mengangguk.

"Semester ini, raket tenismu memang sering kali mengalami tempaan dan siksaan demi
mengabdi pada sekolah kita, Eileen," senyum Rita. "Tak heran kalau raket itu sudah
usang. Kau akan diizinkan mengambil dana untuk membeli yang baru."

Patrick, yang bermain dalam tim kedua bersama Eileen, tampak senang. Kini Eileen
bisa bermain dengan lebih baik lagi.

Permintaan berikutnya lebih sulit untuk dikabulkan.

Salah seorang anggota kelas junior (yang selalu duduk bersila di lantai di muka
bangku paling depan) berdiri.

"Aku sangat menyukai tenis dan kami telah memulai latihannya, tapi aku tak punya
raket. Ada raket di toko barang-barang bekas sekolah dan harganya hanya lima pound.
Bolehkah aku mendapatkan uang saku tambahan untuk membelinya?"

Kedua ketua murid mendiskusikan permintaan itu dengan para pengawas. Setelah dua
atau tiga menit, mereka kembali duduk dan William meminta agar para hadirin tenang.

"Kami rasa kami tak dapat mengeluarkan uang untukmu, Henry, soalnya itu tidak adil
bagi para junior lain yang tidak memiliki raket sendiri. Yang dapat kami usulkan adalah
kau menyimpan uang sakumu selama dua minggu ke depan. Ditambah uang saku hari ini,
berarti enam pound."

Anak kecil itu tampak amat kecewa. "Tapi, William, itu berarti uang sakuku untuk beli
permen dan lain-lain tinggal satu pound, dan itu harus bertahan sampai tiga minggu ke
depan!"

"Ya, Henry," sahut Rita lembut. "Usulan ini penawaran bagus untuk mengujimu.
Sementara kau berlatih, ini bisa membantumu mengetahui seberapa besar rasa sukamu
pada tenis dan seberapa inginnya kau memiliki raket sendiri tanpa menggunakan uang kas
sekolah. Pikirkan dulu masak-masak. Beritahu kami Keputusanmu di akhir rapat."

"Baik, Rita."

"Ada lagi yang membutuhkan uang?" Rita bertanya.

Elizabeth memandang ke ujung bangku ke arah Daniel. Namun anak itu tetap diam.

Jadi apa pun yang ingin dimintanya, tidak berhubungan dengan uang.

Rapat dengan cepat beralih kepada diskusi soal perkemahan sekolah. William
menyampaikan terima kasihnya pada para pengawas tenda, menjelaskan bahwa mereka
semua telah melaksanakan tugas dengan memuaskan. Sambil duduk di panggung, Joan
tampak bangga dan melambai penuh terima kasih pada Elizabeth. Hanya mereka berdua
yang tahu apa saja masalah yang pernah dihadapi Joan sebagai pengawas tenda dan
bagaimana mereka mengatasinya.

Setelah itu tiba giliran untuk keluhan dan pengaduan.

Untuk minggu ini tak ada yang mengajukannya.

"Bagus," ujar William. "Masih ada satu hal penting lagi yang perlu kita bicarakan.
Setelah itu baru kita akhiri dengan hal lain..."

"Saatmu hampir tiba, Daniel," bisik Elizabeth sambil tersenyum. "Sebentar lagi kau
dapat mengajukan permintaanmu."

"Aku tahu!" angguk Daniel, nampak bersemangat dan gembira.

Tiba-tiba Elizabeth menyadari betapa serius wajah William.

"Aku menyesal harus menyampaikan hal ini," William berkata, "karena masalah yang
kini akan kita bicarakan adalah masalah yang serius. John, silakan berdiri dan tolong
sampaikan pada Rapat Besar apa yang telah kauberitahukan pada Rita dan aku."

John Terry, ketua murid bagian kebun sekolah dan salah satu orang yang disukai
Elizabeth, berdiri. Cowok itu suka berterus terang, berbicara blak-blakan, dan sangat
berbakat dalam berkebun, tapi tidak dalam berbicara di depan umum.

"Ada orang bodoh yang mencabuti tanaman stroberi!" semburnya dengan pipi yang
memerah karena marah. "Anak itu terlalu rakus untuk menunggu buah-buah itu masak!
Aku yakin dia mencabuti tanaman itu untuk melihat kalau-kalau buah beri di bawahnya
sudah cukup merah. Dia menarik tanaman-tanaman sampai ke akar-akarnya, padahal
buah-buahnya masih hijau!"

Aula dipenuhi suara terperangah heran. Terdengar suara berbisik-bisik dari barisan
tempat anak-anak duduk. Perbuatan yang amat hina. Padahal satu bulan lagi, setelah
dimatangkan oleh matahari, kebun sekolah seperti biasa akan menghasilkan stroberi
merah yang besar dan manis- melimpah ruah. Stroberi dan krim untuk teman minum
teh... Mereka semua suka musim stroberi! Tapi tanaman apa pun yang telah dicabut
sampai ke akar-akarnya akan mati sebelum buah-buahnya masak betul.

"Betapa rakus dan bodohnya!" bisik Elizabeth.

"Rakus, konyol, dan tolol," Kathleen setuju.

William memukul palu agar aula tenang. Masih ada kejutan lain. Ia memegang sesuatu
di antara jempol dan telunjuknya. Semua orang melihat pada benda itu.

Ternyata kancing jaket berwarna perak mengilap.

"Ini sangat menarik," ujarnya. "Pelakunya telah kehilangan kancing jaket ketika
mencabuti stroberi. John menemukannya tergeletak di antara tanaman-tanaman yang telah
dicabuti. Siapa yang merasa bertanggung jawab harap mengaku sekarang," ia berkata
dengan kesedihan yang dalam, "agar kami dapat mengembalikan kancing jaket ini..."

Hening.

"Harap berdiri dan mengaku," ulang William.

Mereka semua menahan napas dan menunggu. Setengah menit berlalu sudah. Tapi
tetap saja tak seorang pun bergerak.

"Baiklah," ujar William, akhirnya. "Tak diragukan lagi, siapa pun yang telah
melakukan tindakan bodoh ini pasti juga memiliki teman dan rekan sekelas. Mereka akan
bisa melihat siapa yang telah kehilangan kancing jaket. Kuharap mereka dapat membujuk
pelakunya untuk datang ke ruang kerja kami dan mengaku. John punya banyak tugas di
kebun bagi mereka. Nah, sekarang, apakah masih ada urusan lain yang perlu disampaikan
sebelum rapat ditutup?"

Karena masih terkejut dengan kejadian tadi, Elizabeth sempat lupa sama sekali pada
permintaan khusus Daniel. Namun ia memandang anak itu sekarang. Daniel sendiri
tampaknya juga sudah melupakan niatnya! Ia hanya duduk diam sambil menatap kosong
ke depan.

"Ayo, Daniel!" bisik Elizabeth sambil menyikutnya.

Anak itu terkejut. Lalu secara perlahan ia mengangkat tangan.

"Ya, Daniel?" tanya Rita.

"Aku... aku..." Anak cowok berambut pirang itu berdiri, tampak begitu canggung.
Begitu saat-saat yang ditunggunya tiba, ia tampak malu dan kehilangan kata-kata. Daniel
yang malang! Elizabeth merasa kasihan padanya. Pasti permintaan itu amat penting
baginya. Daniel pasti merasa gentar menyampaikannya di hadapan seluruh sekolah seperti
ini.

"Ayo!" Elizabeth menyemangati.

"Bolehkah aku membantu merawat kuda-kuda, membersihkan kandang-kandang
mereka, dan hal-hal lain?" semburnya. "Aku tahu Robert kadang-kadang melakukannya,
dan aku juga ingin membantu."

Rita menatap Daniel dengan terheran-heran. Permintaan itu hal yang hampir tidak
perlu disampaikan di Rapat Besar.

"Well, hanya pengurus kandang yang dapat memutuskan hal itu, Daniel," sahut Rita
lembut. "Aku yakin dia akan senang mendapatkan bantuan tambahan dan dapat
mencarikan tugas untukmu. Kau harus ke sana dan berbicara dengannya tentang hal ini."

Daniel duduk. Wajahnya memerah.

Elizabeth memandang padanya, takjub. Anak itu tak pernah sedikit pun tertarik pada
kandang kuda sebelumnya. Ia salah satu dari sedikit murid yang tak pernah menunggangi
kuda. Tapi, di atas segalanya, entah bagaimana Elizabeth merasa tertipu. Kecewa. Kenapa
Daniel sampai harus membuat permintaan itu kedengaran seperti masalah besar?

"Mengecewakan sekali!" ujar Elizabeth pada Julian setelah Rapat Besar. "Apa yang
begitu khusus dari permintaan itu? Kenapa ia sampai memohon pada kita untuk
mendukungnya tempo hari? Kekhawatiran yang sia-sia! Oh, Julian, menurutku anak itu
memang aneh!"

"Ia memang membingungkan," sahut Julian sambil mengangkat bahu. "Tapi aku lebih
tertarik pada misteri pengrusakan tanaman stroberi."




Bab 5

Pelaksanaan Tes Peran


"Misteri pengrusakan tanaman stroberi? Kau benar, Julian," angguk Elizabeth. "Itu
memang lebih menarik!"

Elizabeth merasa jengkel pada Daniel karena telah membuatnya penasaran soal sesuatu
yang sepele. Tapi Rapat Besar telah memberi mereka sesuatu yang lain untuk dipikirkan!
Kasihan John. Ia pasti kaget sekali mendapati sebagian tanamannya dicabut. Elizabeth
jelas berniat untuk menghabiskan sebagian waktunya di kebun sekolah akhir minggu ini
dan mengajukan diri untuk membantu mengerjakan tugas-tugas di sana. Dapatkah
tanaman-tanaman itu diselamatkan?

"Yang membingungkan bagiku adalah kenapa mereka tidak mengaku saja," ujar
Julian. "Anak-anak kan biasa melakukan itu."

"Terlalu takut, mungkin!" desah Elizabeth. "Terlalu takut dan bernyali kecil."

"Tapi pelakunya pasti tahu kalau pada akhirnya dia akan ketahuan juga" Julian
berpikir sambil membenamkan tangan dalam-dalam ke saku celananya. Ia memandangi
tiga kancing berwarna perak mengilap pada jaket Elizabeth. "Jaket sekolah kita cuma
punya tiga kancing. Kalau ada yang kehilangan satu, maka dia takkan dapat
menyembunyikannya!"

"Ya," Elizabeth setuju. "Dan kenapa orang itu memakai jaket waktu melakukan
aksinya? Aku takkan mau memakai jaket ini saat mencabuti tanaman di kebun sekolah."

"Itulah yang kupikirkan," sahut Julian.

"Tapi untung dia memakainya!" ujar Elizabeth riang. "Kancing jaket itu menjadi
petunjuk yang bagus. Orang yang melakukannya bisa lebih cepat tertangkap. Kita bisa
ikut menyelidiki, Julian. Kita mulai dengan mengamati anak-anak yang memakai jaket
sekolah."

"Salah besar, Elizabeth!" jawab Julian.

"Salah, kenapa?" tanya Elizabeth jengkel.

Julian tampak senang.

"Justru kita harus memulainya dengan mengamati anak-anak yang tidak memakai jaket
sekolah. Pasti ada seseorang di suatu tempat yang tidak pernah mau memakai jaketnya
karena alasan tertentu!"

"Karena terlalu takut?" tebak Elizabeth. "Oh, tentu saja."

"Ya. Dan itu berarti aksi kita ini akan jadi jauh lebih sulit. Tantangan yang menarik."

Mereka sepakat untuk memasang mata lebar-lebar. Namun bukan hanya mereka
berdua yang berniat begitu.

Misteri pengrusakan tanaman stroberi menjadi topik pembicaraan utama pada acara
minum teh hari itu. Semua anak yang memakai jaket sekolah menjadi pusat perhatian,
termasuk Elizabeth! Ia langsung kesal menghadapi godaan anak-anak soal dirinya yang
dijuluki "Cewek Paling Badung", ketika mereka mendekat untuk menghitung kancing
jaketnya!

Keesokan paginya, Elizabeth pergi menuju kebun sekolah. Ia melihat John Terry
tengah menggelar net di atas rumpun tanaman stroberi. Ia sangat senang melihat
kedatangan Elizabeth.

"Halo, Elizabeth. Senang sekali kedatangan pembantu terbaikku! Pekerjaan ini akan
lebih cepat selesai kalau dikerjakan berdua."

Elizabeth merasa lega melihat sebagian besar tanaman stroberi itu tetap tidak tersentuh
dan tumbuh rimbun, berbuah banyak berwarna hijau. Tanaman-tanaman yang telah
dicabut dari deretan pertama kini telah dirapikan dan ditumpuk di sebelah jalan setapak.
Tanaman-tanaman itu telah mulai layu dan tak bisa diselamatkan lagi. Elizabeth
memperhatikan, sebagian besar tanaman itu tampak tak subur dan kurus, dengan hanya
sedikit buah menggantung di sana. Ternyata kerusakan pada ladang stroberi tidaklah
seburuk yang disangka. Bodoh sekali orang yang menyangka akan menemukan buah-
buahan masak dengan cara ini.

"Biasanya aku tidak memasang net secepat ini," John menjelaskan, tatkala mereka
membuka gulungan panjang net berwarna hijau dan dengan hati-hati menggelarnya di
atas rumpun tanaman stroberi. "Ini berguna untuk menghalau burung-burung yang ingin
memakan buah-buah yang sudah masak-terutama burung-burung hitam! Mereka tak
pernah tertarik untuk mampir ke sini sampai melihat buah-buah stroberi yang merah dan
lezat dan berada dalam kondisi siap panen! Kalau melihat burung hitam mematuk-matuk
buah stroberi, kau bisa yakin bahwa buah itu telah mencapai kondisi yang sempurna!"

"Pintar sekali mereka!" Elizabeth tertawa, air liurnya menetes ketika teringat hari-hari
yang penuh dengan stroberi dan krim di akhir semester musim panas yang lalu. "Kira-kira
bagaimana mereka bisa tahu, ya? Jadi kauputuskan untuk menyiapkan pertahanan diri
lebih awal?"

"Ya," angguk John.

Ketika net itu telah terpasang pada tempatnya, mereka menyemat ujung dan seluruh
sisi net ke tanah dengan pasak-pasak kecil. Burung-burung itu, John menjelaskan, akan
menerobos masuk melalui pinggir net kalau mereka melihat ada lubang yang cukup besar.

"Namun terkadang mereka tak dapat menemukan jalan keluar!" ia menjelaskan.
"Mereka menjadi panik sebelum sempat melarikan diri. Kadang-kadang kau dapat
menemukan seekor burung tersangkut di net, sehingga kau harus membebaskannya. Tapi
hal itu takkan terjadi dalam waktu dekat."

Ketika mereka selesai, Elizabeth berdiri dan meregangkan punggungnya. Capek juga.
Ia memeriksa penutup tanaman stroberi itu sambil mendesah puas.

"Apakah pemasangan net yang lebih cepat ini juga berhubungan dengan perusakan
tempo hari, John?" ia bertanya perlahan.

John mengangguk.

"Ya. Kalau ada anak yang tergoda untuk mengusik tanaman stroberi lagi, maka net ini
akan mengingatkan mereka," ujarnya. "Dasar orang tak tahu aturan. Aku amat terkejut
karena tak ada yang mengaku. Tapi kancing jaket itu akan menunjukkan siapa
pelakunya."

"Pasti," Elizabeth setuju. "Dan aku yakin orang itu takkan berani melakukannya lagi!"

Kemudian ketika Elizabeth menemui Julian, ia tahu bahwa cowok itu telah berkeliling
bersama Harry menanyai anak-anak tentang kancing jaket yang hilang tersebut.

"Kami banyak menerima jawaban kasar," ujar Julian sambil tersenyum lebar. Ia
menguap. "Ini membuktikan bahwa tugas kita memang bakal sulit."

"Kerusakan tanaman stroberi ternyata tidak seburuk seperti yang dikatakan John," kata
Elizabeth. "Masih ada cukup banyak stroberi yang bisa dijadikan teman minum teh di
akhir semester ini! Barangkali lebih baik kita menunggu sebentar sampai ada yang
mengaku. Oh, Julian, tentunya akan ada yang mengaku, kan?"

Kini pikiran Elizabeth kembali melayang ke Pentas Drama Musim Panas.

Dalam perjalanan dari kebun setelah membantu John Terry, ia melihat Arabella, dan
teman setianya, Rosemary, di dekat pohon cedar. Arabella berlatih mengucapkan
beberapa kalimat yang sudah dihafal-kannya, sementara Rosemary memegang naskah dan
berperan sebagai juru bisik.

Kini setelah membaca Petualangan di Hutan Ajaib dari awal sampai akhir, Elizabeth
semakin ingin terpilih sebagai pemeran utama cewek. Begitu banyak kalimat
menyenangkan yang harus diucapkan Fay, terutama dalam adegan bersama Jonkin, goblin
lucu yang-sudah jelas!- hanya dapat diperankan oleh Julian.

Dan tes peran untuk kedua peran utama itu akan dilakukan lebih dulu pada hari Senin!
Kedua kepala sekolah akan datang untuk menyumbangkan pendapat, walaupun
keputusan akhir tetap berada di tangan Miss Ranger. Akhir minggu depan, dalam jam
pelajaran Bahasa Inggris berikutnya, peran-peran yang lain akan dibagi-bagikan.

"Julian, kita harus memutuskan bagian mana yang ingin kita tampilkan untuk hari
Senin," ujar Elizabeth, "setelah itu kita harus menghafalkannya di luar kepala. Maukah
kau mengujiku setelah aku menghafalnya?"

"Aku akan mengujimu besok," janji Julian, karena ia berencana untuk main tenis
bersama Harry hari ini. "Hafalkan yang baik, ya?"

Pada hari Minggu malam, Julian masih juga belum tergerak untuk menghafalkan satu
kalimat pun dan menghadapi masalah pentas drama dengan santai seperti biasa.

"Berhentilah mendesakku, Elizabeth. Aku belum memutuskan bagian mana yang ingin
kutampilkan. Besok juga beres, aku jamin deh."

Elizabeth, sebaliknya, telah mempelajari tiga bagian yang berbeda dari peran Fay,
mengabaikan sebagian besar PR-nya pada akhir minggu itu agar bisa berlatih.

"Aku akan memainkan ketiga bagian ini secara bergantian, Julian, lalu kaunilai bagian
mana yang terbaik untukku."

Julian melihat dan mendengarkan dengan penuh perhatian dan menyarankan beberapa
petunjuk berakting ketika Elizabeth berlatih melakukannya.

"Aku paling suka yang pertama," ujar Julian, pada akhirnya. "Ketika Fay terbangun di
hutan dan menyadari bahwa dirinya telah berubah menjadi ratu peri dan merasa sendirian
sampai Jonkin muncul dari balik pohon! Kau melakukannya dengan baik. Kau tahu?
Menurutku kau bakal bisa jadi bintang sandiwara betulan!"

Julian tampak bangga waktu mengatakan itu.

Mulut Elizabeth terasa kering karena gembira.

Ia tak sabar menunggu tes peran dimulai.

Waktu tiba di kelas untuk mengikuti pelajaran Bahasa Inggris pada keesokan harinya,
Elizabeth melihat Julian telah sampai lebih dulu. Cowok itu dengan santai sedang
membolak-balik halaman-halaman naskahnya. Jadi ia belum juga mempelajari satu
kalimat pun! Dari gerak-geriknya, Julian tampak baru saja mulai memikirkan hal itu.
Elizabeth merasa jengkel. Tapi ia tahu bahwa sekarang ia harus berkonsentrasi penuh dan
tak mengizinkan apa pun mengalihkan perhatiannya.

"Kita akan mulai dengan peran Fay," Miss Ranger berkata. "Belinda, kau yang
pertama."

Miss Belle dan Miss Best, kedua kepala sekolah duduk di depan Miss Ranger. Belinda
berdiri dan bersiap-siap mengucapkan dialognya. Sungguh menegangkan. Elizabeth
mengamati dan menahan napas, bertanya-tanya seberapa baguskah akting Belinda?

Belinda memilih adegan menyentuh dalam sandiwara itu, ketika Fay menemukan Mr.
Badger yang terluka di hutan. Ia berakting dengan cukup baik, sekalipun ada satu-dua
kalimat yang dilupakannya. Ketika ia duduk kembali, semua anak bertepuk tangan.

"Giliranmu, Elizabeth," senyum Miss Ranger.

"Bolehkah saya duduk di lantai, di bawah jendela ini?" tanya Elizabeth. "Semua orang
harus membayangkan bahwa saya sedang duduk di bawah pohon besar dan baru saja
terbangun dari tidur dalam adegan pembuka sandiwara."

Kedua kepala sekolah mengangguk setuju. Mereka senang melihat sandiwara mereka
mulai terwujud menjadi nyata. Semua orang di kelas berpaling untuk melihat penampilan
Elizabeth. Entah bagaimana, Elizabeth telah berhasil menyita perhatian mereka.

Ia mulai dengan menggeliat, menguap, dan membuka mata.

Ia memandang ke sekelilingnya dengan terheran-heran.

"Kenapa aku ada di sini? Di manakah aku?"

Kemudian ia berdiri dan menjelajahi gaunnya dengan tangan.

"Kenapa aku memakai gaun seperti ratu peri?"

Elizabeth melanjutkan monolognya dengan sempurna, berakting sesuai dengan
kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia menghela napas, terperangah, dan berputar-putar
di atas kakinya ketika untuk pertama kalinya ia menemukan hutan yang indah. Semua
tampak seperti sungguhan. Ia mengakhirinya dengan meng-enyakkan diri ke atas lantai
lagi di bawah "pohon" tadi, suaranya terdengar sedih.

"...Tapi ketika malam tiba aku akan kesepian. Dan merindukan sahabat-sahabatku di
rumah."

Elizabeth menghela napas keras, seperti yang tertulis dalam naskah.

Penampilannya seharusnya berakhir di situ. Tapi tiba-tiba Julian berdiri dari kursi,
meloncat, lalu melompat kecil ke arah meja Elizabeth dan bersembunyi di belakangnya. Ia
mengintip ke arah Elizabeth dari sudut meja, berpura-pura menganggap meja itu sebagai
pohon. Wajahnya dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai goblin, mata hijaunya
bersinar-sinar, lalu ia memainkan peran Jonkin-

"Jangan takut, jangan ragu,

Ayo ikut, padukaku. Ayo ikut!"

Ia menarik Elizabeth berdiri dan menari-nari dengannya ke sekeliling meja-

"Paduka akan temukan teman-teman baru di hutan hijau ini, Dan kau si ratu peri akan
mereka sukai!"

Kejadian itu sungguh tak terduga sehingga Elizabeth tertawa gembira. Tes perannya
sungguh-sungguh berakhir sekarang dan teman-teman sekelasnya bersorak dan bertepuk
tangan. Para guru juga ikut tersenyum. Tapi Miss Ranger mengangkat tangan untuk
menenangkan kelas.

"Bagus sekali, Julian. Tapi kita belum menguji peran Jonkin. Giliranmu akan tiba
beberapa menit lagi. Terima kasih, Elizabeth. Sekarang kita akan melihat penampilan
Arabella."

Arabella adalah cewek ketiga dan terakhir yang ingin mencoba memerankan Fay. Ia
berdiri, wajahnya pucat karena tegang.

"Tapi, Miss Ranger, saya juga mempelajari adegan yang sama dengan Elizabeth. Bagian
pembukaan. Dan saya juga berencana untuk duduk dan bersandar pada dinding, persis
seperti yang dilakukan Elizabeth."

"Tidak apa-apa, Arabella," ujar Miss Ranger lembut.

Cewek berambut pirang itu, yang tampak secantik lukisan, beranjak dan duduk di
lantai di bawah jendela-persis seperti yang telah dilakukan Elizabeth.

Sambil menggigit bibir karena jengkel, Elizabeth memaksa dirinya melihat dan
mendengarkan ketika saingannya itu mengulang semua yang telah dilakukannya. Ia
menggeliat, menguap, membuka mata...

"Kenapa aku ada di sini? Di manakah aku?"

Arabella berusaha keras untuk mengekspresikan perasaannya. Usaha yang bagus- dan
tak diragukan lagi wajahnya memang cocok untuk memainkan peran itu.

Tapi dalam kalimat kedua, ia membuat kesalahan konyol.

Dengan berhati-hati ia meniru gerak-gerik Elizabeth lalu dengan lembut merapikan
gaunnya sambil berkata-

"Kenapa aku memakai ratu seperti gaun peri?"

Suara dengusan dan kikikan pecah di sekeliling ruang kelas dan Miss Ranger harus
memukul meja untuk menenangkannya. Dengan terbata-bata, Arabella membetulkan
kata-katanya dan melanjutkan monolog pembukanya.

Kecuali salah mengucapkan beberapa kalimat lagi, dan benar-benar melupakan salah
satunya, penampilan Arabella sungguh menakjubkan. Anak-anak memberinya tepukan
riuh di akhir penampilan. Guru-guru juga ikut bertepuk tangan. Ketika Arabella kembali
ke kursinya, bersemu merah karena gembira, Elizabeth mulai merasa amat tegang.

"Sekarang kita akan melakukan tes peran Jonkin," umum Miss Ranger. "Setelah itu
aku akan mengadakan pembicaraan tertutup dengan Miss Belle dan Miss Best. Lalu di
akhir pelajaran, kami akan meng umumkan hasilnya."

Elizabeth nyaris tak dapat menahan ke tegangannya.




Bab 6

Elizabeth Kelewat Gembira


Beberapa anak cowok ingin ikut serta dalam sandiwara, terutama untuk peran Mr.
Badger dan Mr. Grasshopper. Keduanya memiliki karakter yang bagus! Berani bertaruh,
kedua peran itu akan diperebutkan pada akhir minggu ini. Tapi hanya dua anak cowok
yang mencoba peran Jonkin, karena peran itu sulit.

Anak cowok yang satunya adalah Daniel. Ia yang dipanggil duluan dan bahkan ia
sendiri pun tampak ragu-ragu.

"Aku... aku tidak begitu yakin ingin mencoba peran ini," ujarnya dengan kaku. "Tak
begitu yakin."

"Ayolah, Daniel," bujuk Miss Ranger. "Kau pasti bisa melakukannya."

Elizabeth menyadari bahwa anak cowok berambut pirang itu merasa malu. Memang
aneh melihat Daniel kembali lagi pada kebiasaan lamanya akhir-akhir ini. Minggu lalu ia
tampak begitu berbeda, sangat hidup dan ceria, bahkan ia meminta Martin untuk
mengujinya berlatih sandiwara! Namun sejak saat itu, ia berubah seperti dulu lagi.
Memang betul bahwa setelah berbicara dengan petugas istal, ia banyak menghabiskan
waktu di istal sekolah. Namun Robert mengeluh karena anak itu tidak banyak membantu.
Ia selalu membaca buku sepanjang waktu, atau bermalas-malasan, persis seperti biasanya.
Kalau begini, lebih baik ia berada di dalam kamarnya! Anak cowok ini aneh sekali, pikir
Elizabeth.

Namun Elizabeth kini merasa gelisah. Ia teringat dugaan Julian bahwa para gurulah
yang telah mendesak Daniel untuk mencantumkan namanya dalam sandiwara.
Mungkinkah ia akan diunggulkan oleh mereka?

Daniel memulai kalimat pertamanya, masih dengan malu-malu.

"Tunggu, Daniel!" kata Miss Ranger, mengangkat tangan. Sambil tersenyum lembut, ia
merogoh ke dalam tas. "Lihat, ini mungkin bisa membantumu. Dalam sandiwara, Jonkin
selalu memakai topeng. Banyak karakter binatang yang juga akan memakai topeng. Coba
pakai topeng ini sambil berakting. Kau akan merasakan bahwa benda ini dapat
membantumu menjiwai peran!"

Miss Ranger menyodorkan topeng padanya. Bukan topeng goblin seperti yang akan
dipakai dalam Petualangan di Hutan Ajaib. Topeng itu belum dibuat. Topeng tua yang ini
berasal dari peti kostum sekolah dengan ekspresi lucu, berhidung mencuat panjang dan
berpipi merah jambu.

Ketika Daniel memakai topeng itu, anak-anak tertawa, dan bertepuk tangan. Elizabeth
menjadi semakin gelisah. Ia semakin yakin bahwa dugaan Julian tepat. Para guru
menginginkan Daniel ikut dalam sandiwara, mereka amat menginginkannya berhasil.

Kini saat ia berakting dari balik topeng, perbaikan aktingnya terlihat amat mencolok.
Tampaknya ia telah mempelajari bagiannya dengan baik dan sifat pemalunya mulai
hilang. Kini ia jauh lebih santai.

Penampilannya sama sekali tidak buruk.

"Selamat, Daniel," ujar Miss Belle setelannya. "Kau melakukannya dengan baik. Betul,
kan. Miss Best?"

Kedua kepala sekolah tampak senang.

"Sekarang giliranmu, Julian," ujar Miss Ranger. "Dan kau juga harus memakai topeng
yang sama, sehingga kami dapat menilai kalian berdua dengan adil!"

Semua anak bersorak ketika Julian memakai topeng itu dan langsung bergaya seperti
goblin, meringkuk di atas kursinya.

"Aku belum menghafal satu kalimat pun," ujarnya sambil tanpa merasa bersalah
mengambil naskah. "Aku hanya hafal bagian singkat yang kulakukan tadi bersama
Elizabeth. Tapi-tunggu-ini ada adegan yang agak menarik, menurutku."

Sebelum Elizabeth sempat merasa jengkel lagi pada Julian karena cowok itu bersikap
seenaknya, Julian telah meloncat ke depan. Bagian yang dimainkannya adalah bagian
ketika Jonkin telah memutuskan akan memanggang kue untuk ratu peri secara diam-
diam.

"Kuberi sejumput adas manis. Lalu bahan-bahan lain akan kucari Bunga tempat lebah
mengisap sari Dan dari bunga honeysuckle, madu manis. Mentega dari bunga
buttercup..."

Semua melihat dan mendengarkan dengan bersemangat. Sulit dipercaya bahwa Julian
sedang membaca naskah, penampilannya begitu hebat. Ketika membacakan kalimat-
kalimatnya, ia juga melakukan gerakan-gerakan yang tepat sepanjang penampilannya! Ia
mengakhiri aktingnya dengan berdiri di atas tangan seperti yang tertulis dalam naskah.

Semua orang bertepuk tangan. Penampilan yang amat mengagumkan!

"Terima kasih, Julian," angguk Miss Ranger ketika Julian menyerahkan topengnya.
"Tapi sebaiknya kau menghafalkan dialogmu, seperti yang lain."

Kemudian Miss Ranger menyuruh semua anak mengeluarkan buku Bahasa Inggris dan
membaca dengan tenang. Ia akan berdiskusi bersama kedua kepala sekolah.

Saat ketiga orang dewasa itu berdiskusi, Elizabeth menegakkan telinga, mencoba
menangkap ucapan mereka. Namun mereka berbicara dengan suara rendah yang lembut.
Tak lama sesudahnya, kedua kepala sekolah keluar dari ruang kelas. Siapa yang lebih
disukai si Beauty dan si Beast? Elizabeth bertanya-tanya. Karena bagaimanapun,
merekalah penulis cerita sandiwara itu.

Namun Miss Ranger-lah penanggung jawab kelas satu sekaligus penyelenggara
sandiwara. Maka Keputusan akhir dari tes peran ini berada di tangannya, karena ia lebih
mengenal murid-muridnya.

Setelah Miss Belle dan Miss Best keluar Miss Ranger kembali dan berdiri di depan
kelas untuk menyampaikan pengumuman.

"Elizabeth akan bermain sebagai Fay" ujarnya. "Dan Arabella akan menjadi pemeran
penggantinya..."

Elizabeth terkesiap senang.

"Dan kami akan mencoba Julian sebagai Jonkin asalkan dia bertingkah laku sopan dan
mau menghafalkan dialognya. Daniel akan menjadi pemeran penggantinya."

Elizabeth merasa lemas karena gembira ketika teman-teman sekelasnya mengelilingi
dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Hebat," ujar Belinda sportif.

"Kau sungguh bagus." Julian juga mendapat ucapan selamat. Kebisingan dan keriuhan
memenuhi seluruh kelas.

Ketika bel berbunyi untuk menandai tibanya akhir pelajaran, Miss Ranger menepuk
tangan agar kelas hening.

"Aku tahu kalian semua sangat gembira," ujarnya. "Tapi ingat, ini masih jam pelajaran
sekolah. Kita punya setumpuk tugas berat yang harus dikerjakan kalau kalian ingin
berhasil dalam ujian musim panas di akhir semester ini. Pelajaran selanjutnya adalah
geografi. Saya akan pergi sebentar untuk mengambil peta cuaca kita dari Mr. Johns..."

Ia menatap mereka dengan tegas.

"Ketika aku kembali ke kelas ini, aku ingin melihat kalian semua duduk di meja
masing-masing dengan tenang. Ambil buku-buku geografi kalian dan bersiap-siap untuk
menerima pelajaran selanjutnya."

Permintaan Miss Ranger terlalu sulit untuk dikabulkan. Begitu beliau pergi, dengung
celotehan kelas langsung terdengar. Elizabeth, seperti biasanya, bersikap terlalu gembira.

Rasanya begitu menegangkan, menunggu hasil tes peran tadi. Kini impiannya telah
tercapai. Ia akan memainkan peran Fay, dan Julian sebagai Jonkin! Dengan Julian
menjadi lawan mainnya, maka Pentas Drama Musim Panas akan amat sangat
menyenangkan. Elizabeth tak sabar menunggu saat latihan diadakan. Mereka akan
menyumbangkan acara terbaik di Sekolah Whyteleafe!

Elizabeth melihat Daniel memberi selamat pada Julian. Cowok pirang itu tampaknya
tak terganggu karena hanya menjadi pemeran pengganti. Tapi tidak demikian halnya
dengan Arabella. Ia satu-satunya anak di kelas itu yang tidak memberi selamat pada
Elizabeth. Ia duduk di mejanya dengan kepala tertunduk, sambil melihat-lihat buku
geografinya.

"Jangan murung, Arabella," Elizabeth berseru dengan bersemangat. "Aku mungkin
terjatuh dan kakiku patah!"

"Ya, kau akan menjadi pemeran pengganti yang bagus, Arabella," Belinda terkikik.
"Kau bisa menirukan setiap gerak-gerik Elizabeth dengan sempurna."

Elizabeth mengernyit. Tak terpikir olehnya untuk menyatakan gagasan itu. Tapi ia
terharu karena ada anak lain yang juga memperhatikan hal itu.

Arabella menengadah dengan dongkol.

"Aku bukan tukang tiru! Aku telah merencanakan semuanya. Bukan salahku kalau
aku mendapat giliran terakhir-"

Belinda tertawa terus, membuat Arabella kehilangan kesabarannya. Ia melonjak berdiri
dan menunjuk pada Elizabeth.

"Dia curang! Dia memakai Julian untuk membantunya! Aku melihat mereka berlatih
bersama tadi malam. Mereka telah merencanakannya. Tidak adil! Karena bantuan Julian
di akhir adeganlah, dia mendapatkan peran itu!"

"Omong kosong!" teriak Julian.

Elizabeth merasakan api amarah mulai membakarnya. Ia akan membalas penghinaan
Arabella itu. Dasar cewek jahat!

Ketika datang dari arah koridor dengan peta dua menit kemudian. Miss Ranger bisa
mendengar keributan yang terjadi di dalam kelas. Ada apa ini? Ia berdiri di ambang pintu
dan melihat apa yang terjadi.

Elizabeth Allen sedang berdiri di atas mejanya, sambil berdeklamasi dengan keras,
wajahnya bersemu merah karena bersemangat. Ia tengah menirukan Arabella.

"Kenapa aku ada di sini? Di manakah aku? Kenapa aku memakai gaun seperti iblis
berbulu?"

Beberapa teman Elizabeth berkumpul di sekitarnya sambil menyorakinya dan
menjejakkan kaki-kaki mereka ketika melihat penampilan spontan anak itu.

"DIAM!" terdengar suara dari ambang pintu.

Semua anak langsung menyerbu meja masing-masing. Elizabeth buru-buru melompat
dari mejanya dan duduk. Terdengar suara gesekan kertas-kertas yang ditarik secara
terburu-buru dan bunyi entakan tutup meja ketika mereka semua mengambil buku-buku
geografi masing-masing. Lalu kelas betul-betul hening, hanya terdengar dengusan
beberapa anak yang berusaha menahan tawa.

Namun mata Miss Ranger hanya terpaku pada Elizabeth, yang pipinya masih memerah
karena bersemangat.

"Aku tak menyangka, Elizabeth. Apa kau tidak sadar bahwa siapa pun dapat salah
mengucapkan dialog dalam sandiwara, bahkan juga kau sendiri? Apa kau tidak sadar kau
telah bersikap kejam dan bodoh?"

Elizabeth membuka mulut untuk berbicara. Ia ingin mengatakan pada Miss Ranger,
betapa kejam dan bodohnya sikap Arabella terhadap dirinya. Dan itu bukan hanya hari
ini, tapi sejak pertama kali mereka berjumpa. Saat-saat mengerikan pada liburan Hari
Natal ketika Arabella tinggal di rumahnya hanya karena orangtua mereka saling mengenal.
Dan ibu Elizabeth memberitahunya bahwa Arabella akan masuk Whyteleafe dan akan jadi
teman yang baik baginya, dengan perilakunya yang santun dan pakaiannya yang indah!
Padahal Elizabeth sudah membenci cewek manja itu sejak pertemuan pertama mereka.

Tapi, dengan mulut tetap menganga, Elizabeth terdiam.

"Kau sadar, tidak?" ulang gurunya.

"HUH!" terdengar jawaban tidak sopan.

Begitu keras, disengaja agar terdengar konyol, dan kurang ajar.

Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening karena terkejut, kemudian terdengar
suara dengusan tawa gugup. Kenyataan bahwa kata "Huh!" yang diucapkan seperti itu
datang dari arah Elizabeth, benar-benar mengejutkan. Dan kini si Cewek Paling Badung
itu menyapukan pandangan ke sekelilingnya, berpura-pura ikut terkejut.

"Siapa yang berkata begitu?"

"Kau, Elizabeth," sahut Miss Ranger. Tak sedikit pun menganggap hal itu lucu.
"Berhentilah pamer, Elizabeth. Kau baru saja bersikap tidak sopan padaku. Kau harus
minta maaf sekarang juga."

"Bukan saya. Miss Ranger!" protes Elizabeth kebingungan. Ia berpaling dan melihat ke
jendela yang terbuka, yang berada tepat di belakangnya. "Pasti ada orang yang iseng di
luar sana!"

Ia membuka jendela itu lebar-lebar dan melongok ke luar melalui ambangnya, melihat
ke kanan lalu ke kiri. Beberapa teman Elizabeth berlari dari meja mereka ke belakang
kelas dan berkerumun di sekelilingnya.

"Aneh, tak ada orang di sana," Elizabeth berkata. "Ups! Tak ada orang di sana!"

"Kau melihat seseorang, Martin?"

"Tidak."

"Jangan-jangan hantu!"

Beberapa anak cowok, seperti biasa, menikmati selingan seperti itu. Cewek Paling
Badung beraksi kembali! Ini lebih menyenangkan daripada pelajaran geografi.

"Duduk semuanya!" seru Miss Ranger. "Elizabeth, tutup jendela itu segera. Sekarang
berbalik, duduk, dan menghadap padaku."

"Ya, Miss Ranger."

Guru itu berbicara dengan nada sedingin es.

"Kurasa, ditunjuknya kau sebagai pemeran utama dalam drama telah membuatmu
kelewat gembira, Elizabeth. Kau jadi berlebihan. Kalau kau tak dapat menenangkan diri,
aku harus mengkaji ulang Keputusanku tadi. Sekarang, untuk yang terakhir kalinya, aku
minta kau mengakui perbuatanmu dan minta maaf karena telah berbicara padaku dengan
tidak sopan."

Seluruh kelas hening. Lelucon itu telah berakhir.

Mereka menunggu untuk mendengar apa yang akan dikatakan Elizabeth.




Bab 7

Pertengkaran Hebat


"Saya tidak mau minta maaf, Miss Ranger" jawab Elizabeth. "Saya tidak bisa minta
maaf karena bukan saya yang melakukannya."

Anak-anak menatap si Cewek Paling Badung dengan terkejut. Tentu saja Elizabeth
yang melakukannya! Siapa lagi yang berani berbuat begitu? Mereka semua mendengar
ucapannya. Anak itu bodoh sekali berbicara seperti itu pada Miss Ranger. Kini bisa
dipastikan ia akan kehilangan perannya dalam drama.

Elizabeth tak bermaksud bersikap kurang ajar, tapi ia sering kali cepat naik darah.
Sungguh tak enak rasanya tidak dipercaya seperti ini. Sekalipun ini berarti ia akan
kehilangan kesempatan memainkan peran utama dalam drama, pikir Elizabeth dengan
marah, ia takkan mau berpura-pura telah mengeluarkan komentar kurang ajar itu, karena
memang bukan ia yang melakukannya.

"Sungguh, Elizabeth," mulai Miss Ranger, sangat jengkel. "Kau membuatku tak
mempunyai pilihan lain-"

Mendadak terdengar suara.

NGUNGGGGGGGG.

Sepertinya datang dari arah Elizabeth, dekat jendela.

NGUNGGGGGG.

Terdengar lagi. Namun kali ini dari atas ambang pintu. Apakah itu suara tawon besar
yang terbang berkeliling ruangan?

NGUNGGG. NGUNGGGGG.

Suara itu berdengung di sini, di sana, dan di mana-mana. Tapi mana sumber suaranya?
Tak seorang pun dapat melihatnya.

Julian! Patrick menyadari.

Dan tiba-tiba Julian tersenyum lebar dan semua anak di kelas ingat. Julian pernah
melakukan hal ini sebelumnya! Ia peniru yang hebat. Ia juga bisa melempar suaranya. Ia
bisa membuat suara seakan berasal dari mana-mana, tanpa menggerakkan bibir...

Julian, pikir Elizabeth, dengan takut. Tentu saja.

Elizabeth tidak terhibur.

Tidak juga Miss Ranger.

"Kau telah salah dituduh, Elizabeth," ia berkata. "Aku minta maaf. Sepertinya kita
semua telah melupakan temanmu, Julian, dan kepintarannya dalam mengolah suara, ya?
Namun sayangnya ada satu kepintaran yang tidak akan dilakukan Julian dengan suaranya
di masa mendatang. Harap berdiri, Julian. Dan keluarkan tanganmu dari dalam saku saat
aku sedang berbicara padamu."

Miss Ranger menceramahi Julian dengan tegas tentang bagaimana anak itu telah
mengacaukan pelajaran dan hampir membuat Elizabeth dipermalukan.

"Kurasa kau dan Elizabeth akan menjadi semakin berlebihan dan konyol kalau aku
membiarkan kalian bermain bersama dalam drama nanti," ia menyimpulkan. "Maka aku
berubah pikiran tentang peran Jonkin. Jonkin akan dimainkan oleh Daniel. Kau akan
menjadi pemeran pengganti Daniel."

"Ya, Miss Ranger."

Sisa jam pelajaran dilalui kelas itu dengan tenang, bahkan Arabella dan Daniel juga.

Elizabeth juga tenang, namun hatinya terasa mendidih.

Ia sempat merasa lega begitu misteri terungkap. Ia betul-betul bingung dari mana
datangnya suara tadi. Awalnya ia berpikir bahwa suara itu datang dari jendela di
belakangnya, tapi tentu saja tak ada orang di sana! Ia tak pernah menyangka bahwa itu
salah satu keisengan Julian. Perbuatan itu terlalu bodoh untuk dilakukan Julian.

Tapi memang ia pelakunya! Dan kalau Julian tidak mengaku, maka Elizabeth bisa
kehilangan perannya dalam sandiwara sekolah.

Kelegaan yang dirasakan Elizabeth dengan cepat berubah menjadi kemarahan ketika ia
memikirkan tentang sikap bodoh Julian dan pembatalan peran yang akan dimainkannya,
sesuatu yang memang pantas diterima cowok itu. Kini Elizabeth harus menjadi lawan
main Daniel. Pasti bakal membosankan. Ia begitu ingin bermain sandiwara bersama
Julian.

"Kenapa kau begitu bodoh?" ia menyerang Julian selesai pelajaran, segera setelah
mereka hanya berdua. "Sekarang Daniel yang mendapat peranmu! Kau dan suara
bodohmu. Kau telah merusak segalanya!"

Mata hijau Julian berkilau sesaat.

"Kalau itu pendapatmu, kau bukan teman yang baik, Elizabeth."

"Aku harus berpendapat bagaimana lagi?" Elizabeth meledak. "Bahkan persahabatan
pun ada batasnya."

"Ada seseorang yang ingin membuatmu terkena masalah dan orang itu bukan aku,"
sahut Julian dengan tenang. "Aku malah berusaha mengeluarkanmu dari masalah tadi."

"Oh, begitu? Tapi tak seorang pun di kelas dapat melempar suara seperti kau, Julian.
Please, jangan membuatku tambah jengkel!"

Kini kemarahan Julian meledak.

"Kalau begitu, berarti memang hanya ada satu penjelasan, bukan? Hanya itu satu-
satunya..."

"Apa?"

"Bahwa Miss Ranger memang benar. Kau sudah kelewat gembira sehingga bertingkah
kurang ajar di hadapannya. Begitu senangnya, sampai-sampai kau tak sadar telah
melakukannya sendiri!"

"Beraninya kau!"

Elizabeth membalikkan badan membelakangi Julian dan meninggalkannya.

"Kalau pendapatmu begitu, tak ada lagi yang bisa kukatakan padamu."

"Aku juga," sembur Julian ketika berputar dan bergegas melangkah ke arah yang
berlawanan.

Betul-betul pertengkaran yang hebat.

Dalam hari-hari berikutnya, Elizabeth memikirkan hal itu berulang kali. Tapi ia selalu
saja sampai pada kesimpulan yang sama. Julian-lah yang harus bertanggung jawab atas
seruan konyol itu. Tak ada penjelasan lain! Mungkin kini Julian sudah menyadari bahwa
tingkah lakunya memang sangat bodoh. Apakah harga diri Julian terlalu tinggi sehingga
cowok itu tak mau mengaku dan meminta maaf supaya mereka bisa berteman lagi?

Tapi Julian jahat karena mencoba meyakinkan Elizabeth bahwa dialah yang telah
bertingkah bodoh, kelewat senang sampai-sampai tak tahu lagi apa yang dilakukannya!
Itu artinya, Elizabeth-lah yang membuat Julian kehilangan peran dalam sandiwara!

Ia memutuskan takkan berbicara dengan Julian lagi sampai cowok itu minta maaf
padanya.

Julian merasakan hal yang persis sama dengan Elizabeth.




Bab 8

Pemilik Kancing Ditemukan


Dalam beberapa hari kemudian, Elizabeth merasa tidak gembira. Rasanya janggal tidak
berbicara dengan Julian. Ia punya teman-teman lain di kelas satu tapi sahabat karibnya
adalah Julian. Ia ingin lebih sering berjumpa dengan Joan selama masa-masa sulit ini.
Tapi hal itu tidak mungkin karena dua anak itu berbeda kelas.

Arabella cepat mengambil kesempatan dalam situasi itu. Anak cewek yang telah gagal
itu tak tahu kenapa secara misterius Elizabeth dan Julian bermusuhan, tapi hal itu
membuatnya merasa puas. Ia sudah bosan melihat semua anak menyukai Elizabeth dan
tak ada yang menyukainya.

"Kita memang cuma pemeran pengganti, Julian," kata Arabella pada Julian, "tapi kita
tetap harus melatih peran kita. Tugas sebagai pemeran pengganti amat penting. Kalau
terjadi sesuatu, kita harus siap dipanggil." Ia melemparkan senyum kemenangan. "Aku
sangat bodoh dalam menghafalkan dialog. Bantu aku, ya? Kita bisa melatih beberapa
adegan bersama-sama. Aku akan senang kalau kau mau mengujiku dan aku sendiri
dengan senang hati bersedia mengujimu."

Suatu malam, Elizabeth berjalan ke ruang rekreasi dan melihat mereka berdua sedang
melatih beberapa adegan sandiwara bersama. Rosemary menjadi juru bisik mereka.
Arabella terkikik-kikik gembira.

"Oh, Julian, kau nakal. Kau mengintip naskah tadi, aku melihatmu melakukannya.
Kau masih juga belum mempelajarinya."

Elizabeth berputar dan berjalan keluar lagi. Menyebalkan sekali. Arabella tampak lebih
menikmati posisinya sebagai pemeran pengganti daripada dirinya yang pemain utama!
Bahkan Julian mengizinkan cewek itu untuk membantunya memecahkan misteri kancing
yang hilang. Misteri yang masih belum terungkap.

Sebagian besar semangat Elizabeth untuk tampil telah hilang.

Tes-tes peran berikutnya sudah dilaksanakan dan semua pemain telah dipilih.
Rosemary jadi juru bisik. Elizabeth senang ketika Belinda, Kathleen, dan Jenny mendapat
peran yang bagus dalam sandiwara. John McTavish terpilih sebagai Mr. Grasshopper yang
banyak mengucapkan kalimat lucu. Dan Patrick, dari sekian banyak orang, terpilih untuk
memerankan Mr. Badger yang lemah dan sakit-sakitan. Belum apa-apa ia sudah tampak
senang, khususnya karena Julian kini telah didepak dari sandiwara.

Elizabeth bertekad untuk menyingkirkan Julian dari pikirannya dan menyiapkan diri
untuk berlatih sandiwara dengan sungguh-sungguh. Lagi pula, Daniel cukup baik
berperan sebagai Jonkin saat memakai topeng lucu itu.

Tapi sejak latihan pertama, semangat Elizabeth merosot. Semuanya karena kesalahan
Daniel. Cowok pirang itu ingat betul kalimat-kalimat yang harus diucapkannya. Ia pandai
dalam pelajaran Bahasa Inggris dan tidak bermasalah dalam belajar dengan menghafal.
Tapi aktingnya tidak sepenuh hati! Pikirannya selalu melayang-layang ke tempat lain.
Elizabeth tak dapat menjalin hubungan dengannya. Dalam adegan-adegan yang harus
mereka lakukan bersama, Daniel tak mau bertemu pandang dengan Elizabeth, matanya
selalu beralih ke mana-mana.

Yang paling buruk, ia terus-menerus minta maaf.

"Aku minta maaf karena kau terpaksa bermain denganku, Elizabeth," ia berkata dalam
latihan pertama mereka, yang diadakan sepulang sekolah di teras. "Aku merasa tidak enak
karena peran utama yang tadinya akan dimainkan Julian telah dirampas darinya."

"Aku takkan membuang tenaga merasa tak enak untuk Julian," sembur Elizabeth
tajam. "Dia memang pantas menerimanya."

Tapi anak cowok itu tetap tampak merasa bersalah dan permintaan maaf terus
mengalir dari mulutnya.

"Maaf, aku kurang bagus. Aku yakin Julian akan melakukannya dengan jauh lebih
baik..."

Pada latihan ketiga, Elizabeth telah siap membentak.

"Kalau kau menyebut-nyebut Julian lagi, aku akan menjerit! Berhentilah bertingkah
seperti pecundang, Daniel. Kita harus berusaha agar sandiwara ini sukses! Aku mulai
berpikir bahwa kita akan mempermalukan diri kita sendiri di hadapan seluruh sekolah.
Curahkan semangatmu, please..."

Apa masalah cowok ini?

Ini akhir minggu dan Elizabeth merasa begitu lekas marah.

Dalam perjalanan menuju latihan, ia melihat Julian, Harry, dan Arabella berbicara
dengan beberapa anak junior. Di Rapat Besar minggu ini, William dan Rita telah meminta
semua anak untuk meningkatkan usaha mereka dalam menemukan orang yang telah
merusak tanaman stroberi. Elizabeth akan senang membantu Julian menyelidiki misteri
kancing jaket itu. Tapi ternyata, cowok itu dan Harry telah mengizinkan Arabella untuk
membantu mereka.

Sebetulnya Julian hanya mengisi waktu. Diam-diam, ia masih sakit hati dan marah atas
sikap Elizabeth dan juga bingung. Pada saat melihatnya melintas, Julian bertanya-tanya
berapa lama lagi ia harus menunggu sebelum cewek itu memakai akal sehat dan meminta
maaf padanya.

Selesai latihan di teras, dengan langkah lunglai Elizabeth kembali ke sekolah,
semangatnya hampir mendekati titik nol. Ia menyesal karena telah kehilangan kesabaran
dalam menghadapi Daniel. Kata-kata yang telah dilontarkannya pada cowok itu betul-
betul jahat! Ia bodoh sekali karena telah menakut-nakuti Daniel seperti itu. Setidaknya
cowok itu telah berhasil menahan diri untuk tidak menyebut-nyebut nama Julian lagi.
Namun penampilannya seperti kelinci beku.

Kurasa drama ini takkan menyenangkan sama sekali, Elizabeth menyimpulkan. Ia
memutuskan untuk naik dan membaca buku. Ia sedang berjalan ke arah asrama ketika
tiba-tiba mendengar namanya dipanggil.

"Sejak tadi aku mencari-carimu, Elizabeth."

Asisten Ibu Asrama keluar dari ruang jahit kecil dan menyapa Elizabeth di koridor. Ia
membawa jaket mungil yang disampirkan di lengan. Elizabeth mengenali bercak selai
stroberi di bagian depannya!

Itu jaketnya - jaket miliknya yang telah kekecilan dan diserahkannya di awal semester.
Sekarang ia memiliki jaket yang jauh lebih besar yang diharapkannya akan dapat bertahan
lebih lama.

"Aku sedang memeriksa semua seragam bekas pada minggu ini, Elizabeth," Asisten
Ibu Asrama tersenyum. "Dan aku berniat mengirimkan semua ke penatu minggu depan.
Kami ingin semua seragam tampak bagus pada acara penjualan seragam sekolah di akhir
semester ini!"

Penjualan pakaian bekas ramai dikunjungi di akhir tahun ajaran ketika para orangtua
murid datang untuk menjemput anak-anak mereka di Whyteleafe. Seragam baru sangat
mahal, lagi pula anak-anak tumbuh amat cepat. Sebagian orangtua murid selalu senang
mendapatkan kesempatan untuk membeli seragam bekas yang masih bagus untuk tahun
ajaran yang akan datang.

Elizabeth menatap jaket pertamanya sambil melamun. Sekarang rasanya ia begitu
sayang pada jaketnya itu. Ia teringat pada guru privatnya. Miss Scott, yang membawanya
ke toko besar untuk membeli baju seragam baru dan setelah itu menjahitkan kancingnya
kembali dengan benang biru yang kuat. "Kau biasa memperlakukan bajumu dengan
kasar, Elizabeth," Miss Scott berkata. "Aku tak ingin kalau kancingnya sampai copot."

Saat itu Elizabeth dengan lancang berkata pada Miss Scott bahwa ia takkan berada di
Sekolah Whyteleafe cukup lama untuk menunggu hal itu terjadi. Ia tak ingin bersekolah
di sekolah asrama yang amat menjengkelkan itu dan akan memastikan bahwa ia akan
sesegera mungkin dipulangkan! Betapa tolol dan kekanak-kanakannya ia waktu itu, pikir
Elizabeth. Kini ia amat menyukai baju seragamnya dan amat bangga memakainya.

Elizabeth menyadari bahwa Asisten Ibu Asrama sedang menatapnya dengan penuh
harap.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Elizabeth sopan.

"Kancingnya, Elizabeth! Kau berjanji untuk memberikannya padaku beberapa minggu
yang lalu."

Elizabeth langsung menutup mulutnya dengan tangan.

Setelah menyerahkan jaket kekecilan yang sudah tidak lagi nyaman dipakai itu, ia
terlupa akan kancingnya! Karena jaket itu kesempitan, kancing tengahnya copot,
sekalipun Miss Scott telah menjahitnya dengan kuat. Elizabeth menyimpan kancing itu di
tempat yang aman, namun ia segera melupakannya. Sekarang ia meminta maaf.

"Saya akan segera mencarinya. Rasanya saya ingat di mana saya meletakkannya."

"Aku harus pergi ke desa sekarang," ujar Asisten Ibu Asrama, sambil terse nyum.
"Letakkan saja di mesin jahitku begitu kau menemukannya, Elizabeth."

"Baiklah. Saya berjanji."

Ia buru-buru memasuki gedung asrama dan menuju ke kamarnya.

Lemari laci putih terletak di sana dengan gagang tarikan dari kayu berwarna biru.
Semua anak perempuan mempunyai satu yang seperti ini, di sebelah tempat tidur mereka.
Di atasnya, di bagian belakang, ada mangkuk keramik kecil, tempat Elizabeth meletakkan
barang-barang tetek-bengeknya. Sekeping uang logam dari negara lain, beberapa jepit
rambut, sabun mandi bekas pakai. Ia hampir yakin kancing itu juga diletakkannya di situ
agar tersimpan dengan aman beberapa minggu yang lalu.

Tapi tak ada tanda-tanda keberadaan benda itu sekarang. Elizabeth melihat ke dalam
mangkuk itu dengan bingung. Di mana ia meletakkannya? Ia mulai mencari-cari ke dalam
laci-laci di bawahnya, membongkar isinya satu demi satu.

"Kehilangan sesuatu, Elizabeth?" tanya Kathleen riang ketika masuk.

Di saat yang sama, Arabella lewat di depan pintu yang terbuka. Ia berhenti dan
mengintip ke dalam, melihat sekilas pada Elizabeth. Arabella baru saja dimanjakan
khayalan yang menyenangkan. Sahabat setianya, Rosemary, memberitahunya bahwa
penampilan Daniel dan Elizabeth dalam latihan hari ini amatlah buruk. Elizabeth telah
membentak Daniel, dan Miss Ranger tampak tak begitu senang.

Pastinya tinggal menunggu waktu saja sampai ia dan Julian diminta untuk maju
menggantikan mereka, kan? Bukannya kegagalan, tapi pentas sandiwara bakal meraih
kesuksesan besar! Dalam mata batin Arabella, matahari bersinar dengan cerah. Ia dan
Julian bergandengan tangan, penonton berdiri dan menghujani mereka dengan tepuk
tangan meriah...

Kini Arabella mendengar Elizabeth berkata dengan kesal pada Kathleen, "Aku cuma
mencari kancing konyol! Aku yakin telah menaruhnya di mangkuk kecilku ini. Asisten
Ibu Asrama membutuhkannya! OK Kathleen, bantu aku mencarinya. Kancing itu kancing
perak jaket dengan potongan benang biru terang menyangkut padanya."

Arabella nyaris memekik keras.

Ia buru-buru berjingkat ke arah koridor, merasa terkejut dan senang. Ia harus
mengatakan hal ini pada Rosemary dan mereka harus memikirkan apa yang harus
dilakukan.

Kurang dari setengah jam kemudian, Jenny datang.

Elizabeth kelihatan marah dan terganggu. Rasanya hari ini adalah salah satu hari paling
mengesalkan, ketika segalanya jadi serbasalah. Ia dan Kathleen telah mengobrak-abrik
kamar itu. Mereka bahkan telah memindahkan lemari laci itu menjauh dari dinding, dan
itu bukanlah tugas yang ringan, untuk melihat kalau-kalau kancing itu terjatuh di
belakangnya. Mereka juga telah mencari di bawah karpet biru Elizabeth. Bahkan mereka
merangkak ke bawah tempat tidur. Kancing itu tak bisa ditemukan di mana pun.

Kehilangan kancing, sepertinya membuat Elizabeth jadi merasa cemas, walaupun ia tak
tahu kenapa. Dan sekarang Jenny muncul di ambang pintu, memandangnya dengan
tatapan aneh.

"Bisakah kau turun sebentar ke ruang rekreasi, Elizabeth?" ia bertanya, dengan sedih.
"Ada sesuatu yang penting."

Ketika Elizabeth memasuki ruang rekreasi, Arabella tengah duduk di salah satu meja
kecil. Beberapa teman sekelasnya duduk di dekatnya, mengamati dengan tertarik. Suasana
penuh tanda tanya terasa dalam ruangan itu.

Sesuatu tergeletak di atas meja. Arabella mengambilnya dan meletakkannya di atas
telapak tangan. Lalu dengan gaya dibuat-buat, ia menjulurkannya pada Elizabeth.

"Ini yang kaucari?"

Elizabeth maju untuk melihat benda itu lebih jelas. Ternyata itu kancing perak jaket
dengan potongan benang biru terang menggantung pada lubangnya.

"Kancingku!" ia berseru. "Di mana kautemukan ini, Arabella?"

"Dari William dan Rita," ujar Arabella dengan pandangan penuh arti. "Rosemary dan
aku mendengarmu mencari kancing ini, maka kami langsung pergi ke ruang kerja mereka
dan meminjamnya dari mereka!"

"Ini kancing yang ditemukan John di rumpun tanaman stroberi!" sahut Rosemary
serius. "Kita semua telah diminta untuk menemukan pemiliknya, ingat? Dan kini
pencarian telah berakhir!"

Elizabeth memandang kancing itu dengan amat terkejut.

"Kalian tak berpikir bahwa akulah anak yang telah mencoba mencuri stroberi-stroberi
itu, kan?" pekik Elizabeth.

"Kita semua suka stroberi," sahut Arabella sambil memonyongkan bibir.

"Aku tak pernah lagi memakai jaket lamaku sejak berminggu-minggu yang lalu! Tanya
Asisten Ibu Asrama kalau kalian tidak percaya!" tangkis Elizabeth, darahnya mendidih.
"Setidaknya, aku tak pernah memakai jaket ke kebun sekolah. Aku tak tahu bagaimana
kancing ini bisa sampai di sana! Aku menaruhnya di mangkuk kecil di atas lemari laciku,
berminggu-minggu yang lalu, dan itu adalah kali terakhir aku melihatnya!"

"Barangkali kau hanya berniat melakukannya," Arabella berkata. "Mungkin kau malah
menaruhnya di saku bajumu dan terjatuh suatu hari ketika kau merusak di kebun..."

"Beraninya kau!" cetus Elizabeth.

Sebelum ia sempat menerkam Arabella, Rosemary berdiri di antara mereka. Ia
berbicara dengan tenang.

"Tak ada gunanya marah pada Arabella, Elizabeth. William dan Rita bilang, kalau kau
mengenali kancing ini, maka kau diminta menemui mereka di ruang kerja ketua murid
pada jam empat. Saat itu kau akan dapat kesempatan untuk memberikan penjelasan
lengkap pada mereka."

"Pasti akan kulakukan itu!"

Elizabeth pun menyerbu keluar dari ruang rekreasi.




Bab 9

Dengan Julian Jadi Berlima


Walaupun terkenal akan keberaniannya, Elizabeth tetap merasa ciut tatkala melangkah
ke ambang pintu ruang kerja William dan Rita pada pukul empat. Bagaimana mungkin
kancingnya bisa berada di sana? Rasanya menyebalkan dicurigai seperti ini. Pasti kedua
ketua murid itu sudah mengenal dirinya cukup baik untuk percaya bahwa Elizabeth
takkan merusak tanaman-tanaman yang masih muda itu, kan? Tentunya mereka juga tahu,
kalaupun Elizabeth sampai tergoda untuk memetik buah stroberi matang, ia takkan
mungkin mencabuti tanaman-tanaman stroberi muda untuk mencari buahnya! Itu
tindakan bodoh dan tak berperasaan.

"Masuklah, Elizabeth."

Masih dengan gemetar, Elizabeth berjalan memasuki ruang kerja kecil yang nyaman.
William dan Rita telah menunggunya.

Ada orang lain di ruangan itu bersama mereka, duduk di kursi berlengan untuk tamu.
Orang itu John Terry.

Elizabeth merasa ragu tatkala melihat John berdiri dan menawarkan kursi itu padanya.
Namun ia duduk juga. Semua orang tampak tenang.

"John baru saja bercerita pada kami tentang bagaimana kau telah membantunya
memasang net di atas rumpun tanaman stroberi setelah tanaman itu dirusak," ujar William
dengan nada menyetujui. "Tapi kau memang mengenali kancing itu?"

Elizabeth mengangguk.

"Kami tahu bahwa kau adalah salah satu pembantu terbaik John," Rita memulai. "Oleh
sebab itu kami pikir, sebaiknya kami membicarakan masalah kancing ini bersama John
dulu."

"Tak usah khawatir, Elizabeth," senyum William. "Tak seorang pun dari kami berpikir
bahwa kaulah yang telah mencabuti tanaman-tanaman itu."

"Oh, terima kasih," sahut Elizabeth.

"Tapi apakah kau punya ide kenapa kancingmu bisa tergeletak di sana?" tanya Rita.
"Barangkali kau telah meminjamkannya pada seseorang?"

"Jelas tidak" sahut Elizabeth, menggeleng keras. "Maksudku, siapa yang mau
meminjam kancing jaket tua? Lagi pula, aku harus menyimpannya dengan aman, soalnya
aku telah berjanji untuk menyerahkannya pada Asisten Ibu Asrama. Hanya saja aku telah
melupakan soal itu, sampai beliau menanyakannya padaku hari ini." Elizabeth
menjelaskan tentang menyerahkan jaket tuanya tanpa kancing tengah. "Kancing yang
hilang itu seharusnya ada di dalam mangkuk kecil di atas lemari laciku," ia
menyelesaikan.

Mendengar itu Rita tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Kau pasti telah teledor, Elizabeth. Pasti! Sekarang coba pikir dengan benar. Kau lupa
menyerahkan kancing itu pada Asisten Ibu Asrama. Apakah mungkin bahwa kau juga
telah lupa menyimpannya di tempat yang aman? Dan kau telah membawa-bawanya di
dalam sakumu?"

"Yah..." Elizabeth mengernyit. Ia yakin telah meletakkan kancing itu di dalam
mangkuk. "Kurasa tidak. Tapi..."

"Tapi itu mungkin, kan?" ujar William. Ia tampak amat lega. "Well, kurasa itulah awal
dan akhir keterlibatanmu. John bilang pada kami, betapa seringnya kau membantu di
kebun. Kau pasti tengah menyiangi tanaman pada suatu hari ketika kancing itu terjatuh
dari kantongmu! Semuanya serba kebetulan dan tak ada hubungannya dengan kenyataan
bahwa kemudian ada seseorang yang merusak tanaman."

"Ku-kurasa begitu," sahut Elizabeth enggan. Ia masih tetap mengernyit. Kapan ia
pernah bekerja di bagian kebun yang itu?

"Kau telah memberikan petunjuk yang salah pada kami ketika menyerahkan kancing
itu, John!" ujar Rita.

"Aku memang salah karena terlalu cepat menyimpulkan," John menyetujui sambil
menyeringai. Ia menggaruk-garuk kepala. "Tadinya kupikir aku telah menemukan
petunjuk utama, tapi ternyata aku tak menemukan apa-apa."

Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah berpikir keras. Tadinya John begitu
yakin bahwa kancing dan tanaman rusak itu punya hubungan langsung. Tapi kalau dua
benda itu ternyata tak berhubungan... yah, mungkin selama ini ia telah mengikuti jejak
yang salah. Ia harus mulai lagi pasang mata dan telinga...

Ketika Elizabeth pergi untuk minum teh, ia merasa lega karena William, Rita, dan John
mempercayainya. Itu membuat perasaannya agak membaik.

Namun saat berjalan memasuki aula makan, ia dapat merasakan suasana tegang ketika
banyak anak memandang ke arahnya. Gosip telah menyebar dengan cepat. Misteri
kancing jaket telah terungkap! Kancing itu milik si Cewek Paling Badung. Ia baru saja
diseret ke depan kedua ketua murid!

Teman-teman sekelasnya tidak berceloteh seramai biasanya. Tapi sahabat Elizabeth,
Joan, terus memandang ke arahnya dari meja seberang, melemparkan senyuman dan
lambaian padanya, untuk menunjukkan rasa setia kawan.

Perut Elizabeth mulai terasa mual. Semua orang pasti punya pandangan buruk,
kancing jaketnya ditemukan di tempat tanaman yang dirusak! Yang lebih buruk lagi, ia
merasa bahwa ada orang yang telah meletakkannya di sana secara sengaja. Semakin
memikirkannya, ia semakin yakin telah menyimpan kancing itu di dalam mangkuk,
kejadiannya tidak mungkin seperti dugaan William dan Rita.

Di ujung meja, Julian tengah melahap santapannya. Ia tampak berpikir keras, raut
wajahnya murung.

Elizabeth kehilangan selera makan. Ia harus memaksa diri untuk menelan salad ikan
tuna padahal makanan itu salah satu kegemarannya. Ia tidak menyentuh yoghurt
raspberry-nya. Elizabeth mulai merasakan tusukan rasa panas di belakang matanya. Lalu
begitu mereka diizinkan meninggalkan meja, ia langsung berlari. Elizabeth terburu-buru
pergi keluar menuju lapangan sekolah, pandangannya kabur karena air mata. Ia tak
menyadari ada langkah kaki mengikutinya. Ia sampai ke rimbunan pohon kayu ash yang
indah, tempat Pentas Drama Musim Panas akan digelar. Ia menyusup ke bawah kanopi
rahasia daun-daun yang menjuntai mencapai tanah. Ia ingin bersembunyi, seperti binatang
yang terluka.

Elizabeth duduk bersandar pada batang pohon dan membenamkan wajah ke telapak
tangan.

Semua serbasalah!

Segalanya dimulai ketika Julian mengeluarkan suara konyol! Sejak itu tak ada yang
berjalan lancar. Dan Julian masih juga belum mengaku dan meminta maaf. Elizabeth
sangat berharap Julian akan melakukannya. Saat ini ia amat membutuhkan sahabatnya itu.
"Elizabeth?"

Terkejut, ia menengadah dan melihat Julian membungkuk di bawah rimbunan
dedaunan dan menghampirinya.

"Halo, cewek bandel. Kini, akhirnya, kuharap kau mau mempercayaiku!"

Ia duduk dan melingkarkan lengan ke pundak Elizabeth untuk menenangkannya. "Tak
ada yang perlu ditangisi."

"Ada! Tentu ada! William, Rita, dan John mempercayaiku, begitu pula Joan. Tapi
cuma mereka berempat dari seluruh sekolah. Anak-anak lain sepertinya meragu-kanku."

"Cuma berempat?" ujar Julian. "Maksudmu berlima?"

"Lima?"

"Ya. kau lupa menghitung aku. Aku mempercayaimu."

Elizabeth menatap Julian dengan lega. Ia mengusap air matanya.

"Sungguh? Tapi, Julian, apa maksudmu bicara seperti itu tadi-"

"Elizabeth, ada orang yang mencoba membuatmu kena masalah! Aku sudah bilang
padamu seminggu yang lalu. Dan sekarang mungkin - akhirnya - kau percaya padaku!"

Elizabeth terkesiap ketika meresapi apa maksud kata-kata Julian.

"Dengar, Elizabeth. Bukan aku yang mengeluarkan suara konyol itu! Ada orang lain
yang melakukannya. Dan kancing itu tidak mungkin bisa berjalan sendiri ke kebun
sekolah. Seseorang meletakkannya di sana. Nah, kau percaya padaku sekarang?" tanyanya
segera.

"Ya," sahut Elizabeth, dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Ya, aku percaya."

Pikirannya kalut. Ia masih belum bisa menebak siapa lagi di kelasnya yang bisa
melemparkan suara selihai itu. Namun kini ia yakin bahwa pelakunya bukan Julian.

Aku berusaha MENGELUARKAN-mu dari masalah, itu yang dikatakan Julian waktu
itu. Dan Elizabeth tidak mau mempercayainya! Kalau itu pendapatmu, kau bukan teman
yang baik, Elizabeth, katanya dengan marah.

Kini ia menoleh ke arah Julian, pipinya terasa panas karena malu.

"Kau benar, aku bukan teman yang baik, Julian," ia mengakui. Elizabeth merasa sangat
marah pada dirinya sendiri yang telah salah menilai Julian. "Kau disalahkan demi
menyelamatkan peranku dalam sandiwara - dan mengorbankan peranmu sendiri. Dan
itulah balasan yang kaudapatkan dariku! Oh, Julian, aku tak tahu kapan kau akan
memaafkanku. Kenapa aku begitu cepat marah? Aku tak heran kalau kau lebih menyukai
Arabella daripada aku. Terkadang aku bisa begitu menyebalkan!"

Julian menatap wajah Elizabeth yang tampak sangat sedih, la berdiri, lalu meraih
tangan cewek itu dan menariknya sampai berdiri.

"Ayo berdiri, Elizabeth. Berhentilah mengeluh. Kau tak pantas bersikap begini. Tidak
pantas untuk cewek bandel seperti kau! Arabella? Jangan bercanda!" ujarnya riang. Ia
telah lama menunggu permintaan maaf Elizabeth dan kini keinginannya terkabul. Semua
sudah beres kembali. "Ayolah, ayo kita lihat apakah ada kuda poni yang tak terpakai,
mungkin kita bisa berkuda. Berkuda akan menjernihkan otak dan membantu kita
berpikir."

Ketika mereka berjalan ke arah istal, angin hangat berembus di antara rerumputan, dan
Elizabeth merasa seperti manusia baru.

"Jengkel rasanya memikirkan ada orang yang berniat buruk pada diriku," ujar
Elizabeth ketika mereka memasang sadel pada kuda-kuda. "Tapi tak ada yang terasa
begitu buruk lagi sekarang, Julian. Oh, aku gembira sekali kita berbaikan!"

"Tak lama lagi kita bakal bisa membongkar masalah aneh ini," sahut Julian dengan
percaya diri.

Pada saat itu, Robert muncul bersama Daniel.

"Karena kau tidak bisa berkuda, maukah kau mengajak Captain berjalan-jalan
berkeliling lapangan rumput?" Robert berkata pada cowok berambut pirang itu. "Aku
harus pergi untuk membantu Patrick berlatih tenis sekarang."

"Boleh saja" jawab Daniel tak bersemangat.

"Betapa anehnya cowok itu," Elizabeth berkomentar pada Julian ketika mereka
berangkat. "Kita berkuda di lintasan kuda saja, ya? Daniel masih belum tertarik untuk
belajar menunggang kuda. Sudah ribut-ribut ingin membantu di istal, tapi sepertinya ia
tak begitu menikmati pekerjaannya! Ia juga tidak begitu menikmati perannya dalam
drama! Oh, Julian, kita harus menemukan siapa yang telah bersikap kurang ajar pada
Miss Ranger - dan Miss Ranger harus mengakui bahwa beliau telah salah menilai. Miss
Ranger salah karena berpikir kita akan berlebihan bila sampai bermain bersama-sama
dalam sandiwara! Miss Ranger harus mengembalikan peranmu!"

"Oh, aku tidak mencemaskan itu," Julian mengangkat bahu. Ia hanya mencantumkan
namanya agar Patrick jengkel!

"Well, akulah yang cemas!" seru Elizabeth. "Sulit sekali berlatih dengan Daniel."

"Kurasa ia akan membaik" kata Julian.

Mereka menunggang kuda dengan gembira dan membicarakan misteri yang sedang
terjadi. Sungguh-sungguh membingungkan. Elizabeth membenci pemikiran bahwa ada
orang yang dendam pada dirinya. Ia tak bisa menduga siapa orangnya.

"Satu-satunya orang yang punya alasan untuk melakukan itu adalah Arabella,"
Elizabeth merenung. "Ia begitu menginginkan peranku dalam pentas drama. Tapi aku
yakin bukan dia pelakunya."

"Aku juga," Julian setuju. "Ia tak bisa melemparkan suara. Dan aku bisa melihat
bahwa ia begitu terkejut soal kancing jaket itu."

Dalam perjalanan kembali, mereka berkuda melintasi lapangan rumput.

Daniel sedang duduk dekat pagar tanaman, membaca buku, sementara Captain
merumput diam-diam di dekatnya. Seekor burung bertengger di punggung Captain,
mematuk-matuk bulu kuda tua itu.

"Kau seharusnya menjaga dia!" Elizabeth memarahi Daniel, ketika mereka melintas di
depannya. "Bisakah kau mengusir burung gagak itu?"

"Captain menyukainya" Daniel menggerutu, tanpa mengangkat mata dari buku.

"Daniel betul-betul tak tertolong, ya?" Elizabeth menggerutu, ketika mereka sudah
mencapai jarak di mana pembicaraan mereka sudah tidak mungkin terdengar. "Sama
sekali tak mau menurunkan bukunya barang sebentar pun. Bagaimana mungkin dia
bilang Captain menyukainya!"

"Tapi dia benar!" Julian tertawa. "Kuda-kuda berterima kasih kalau ada anggota
keluarga gagak bertengger di punggung mereka! Kurasa yang tadi itu jenis gagak rook."

"Berterima kasih? Untuk apa?" seru Elizabeth.

"Burung-burung itu mencari serangga kecil dan parasit pada bulu kuda, itulah
sebabnya," sahut Julian, masih merasa geli melihat kemarahan Elizabeth. "Elizabeth, aku
mulai berpikir bahwa kau membenci Daniel. Di matamu anak malang itu tak dapat
melakukan apa pun dengan benar."

Belakangan, ketika mereka menyikat kuda-kuda poni mereka, Elizabeth berkata, "Aku
tidak sungguh-sungguh membenci Daniel. Cowok itu bisa menyenangkan kalau tidak
bertingkah laku aneh. Tapi ia betul-betul tak dapat diharapkan dalam berakting, Julian!
Kita harus memastikan bahwa kaulah yang akan berperan sebagai Jonkin dan bukan dia"

"Kau telah mendapatkan peranmu, Elizabeth," jawab Julian, puas. "Itu yang paling
penting. Kau akan menjadi bintang, aku yakin!"

Tapi Julian berbicara terlalu dini.

Di malam yang sama, kekacauan kembali menyerang hidup Elizabeth.



Bab 10

Kebakaran! Kebakaran!


Lama baru Elizabeth tertidur. Ia berguling dan berbalik, mendengarkan napas lembut
anak-anak perempuan lain di kamar asrama nomor enam. Ia begitu tak sabar menghadapi
pentas drama, apalagi ketika teringat kata-kata Julian bahwa ia akan menjadi bintang. Tapi
ia juga takut. Kenapa ada orang yang sampai hati berusaha menjebloskannya ke dalam
masalah? Siapa gerangan orang itu?

Tak lama kemudian, di luar suasana menjadi gelap dan semua anak segera jatuh
tertidur.

Akhirnya Elizabeth mulai merasa mengantuk.

Matanya terpejam.

Ia mulai terhanyut ke dalam tidur yang lelap dan tenang... Kemudian-seruan parau
menggema di dalam kepalanya- Kebakaran! Kebakaran!

Apakah ia tengah bermimpi buruk?

Kebakaran! Kebakaran!

Terdengar lagi! Kedengarannya suara itu datang dari luar. Seseorang sedang menjerit-
jerit memperingatkan. Ada kebakaran di sekolah!

Setengah tertidur dan setengah terjaga, Elizabeth bangun dari tempat tidurnya dengan
panik.

"Bangun, semua! Ayo bangun dong! Ada kebakaran!"

Ia tergopoh-gopoh keluar ke koridor dan memencet bel tanda kebakaran.

KRING! KRING! KRING! KRING!

Bel tanda kebakaran berdering ke seluruh gedung.

Terjadi kegemparan ketika anak-anak yang masih mengantuk bermunculan dari
kamar-kamar mereka dengan mengenakan kimono, sambil menggosok-gosok mata.

"Kebakaran!" teriak Elizabeth. "Ada kebakaran di sekolah!"

Anak-anak membentuk barisan, sesuai petunjuk yang mereka dapatkan dalam latihan
kebakaran, lalu meninggalkan gedung melalui pintu darurat.

Elizabeth memimpin mereka.

"Tetap tenang, teman-teman!" serunya. "Pastikan semua anak sudah keluar dari kamar
masing-masing."

Mereka berdesak-desakan di sekeliling lapangan rumput di luar dan berceloteh dengan
gaduh. Mana apinya? Mereka tak melihat asap! Tapi pasti ada kebakaran di suatu tempat.
Elizabeth telah memencet bel kebakaran! Oh, syukurlah, sepertinya yang terjadi hanya
kebakaran kecil...

Sekarang para guru bermunculan. Tak satu pun dari mereka telah tidur. Mereka masih
berpakaian lengkap.

"Ada kebakaran di suatu tempat, Miss Ranger!" seru Elizabeth. "Saya mendengar
seseorang berteriak-"

"Kau yakin, Elizabeth?"

Ketika anak-anak menunggu di luar, di lapangan rumput yang dingin, para guru
memeriksa bangunan beserta halaman sekolah dengan saksama.

Tak ada kebakaran.

Mr. Johns kembali dan berbicara pada para murid yang menggerombol.

"Kembali ke tempat tidur, semuanya! Dengan senang kuumumkan bahwa tadi itu
hanya tanda bahaya yang keliru. Berbarislah dan kembalilah ke asrama masing-masing
dengan tenang. Tak ada tanda-tanda adanya api di mana pun. Kalian aman."

Ketika Elizabeth sampai di kamar nomor enam, ia mendapati Miss Ranger sudah
menunggunya. Saat melihat raut wajah gurunya itu, Elizabeth mendapat firasat bahwa
sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Cepat kembali ke tempat tidur, Elizabeth. Betul-betul lelucon konyol. Aku akan
menemuimu besok pagi, setelah berbicara dengan Miss Belle dan Miss Best."

Keesokan harinya, walaupun sudah berulang kali memprotes, peran Elizabeth dalam
pentas drama sekolah dicabut.

"Aku betul-betul terkejut dengan kelakuanmu, Elizabeth. Aku bisa menerima kata-
katamu soal kau tidak secara sengaja membuat lelucon. Namun daya khayalmu betul-
betul keterlaluan. Sejak kau mendapatkan peran utama dalam pentas drama, tingkah
lakumu jadi berlebihan. Memang menyedihkan, namun aku telah memutuskan untuk
memberikan kesempatan pada Arabella. Aku yakin ia akan lebih bisa berpikiran jernih.
Kau yang akan menjadi pemeran penggantinya."

Air mata menggenangi pelupuk mata Elizabeth. Tapi kali ini air matanya keluar karena
marah.

Ia pergi untuk mencari Julian

"Aku berani bersumpah aku tidak mengkhayalkan teriakan itu. Kedengarannya begitu
nyata. Oh, Julian, tidakkah kau mengerti? Seseorang pasti juga mendengarnya. Bukan
cuma aku."

"Ya, itu sudah pasti," Julian setuju. "Dan pasti ada orang yang mengeluarkan suara itu.
Dari arah mana suara itu terdengar? Bisakah kau mengingat-ingat?"

"Aku setengah tertidur..."

"Coba pikirkan lebih keras," bujuk Julian.

Elizabeth mengernyit berkonsentrasi.

"Well, jendelaku terbuka. Suara itu berasal dari suatu tempat di luar... tapi agak dari
atas. Seolah-olah ada kebakaran di lantai atas dan seseorang melongok keluar jendela atas
dan menjerit-jerit ke bawah ke arahku dengan panik."

"Lantai loteng, ya?" ujar Julian dengan tenang. "Baiklah, kita akan menanyai semua
anak yang tidur di kamar sepuluh, letaknya di atas, kan?"

"Ya," Elizabeth berkata dengan penuh semangat. "Dan tiga atau empat anak punya
kamar-kamar kecil pribadi di situ. Oh, pastinya seseorang di atas sana telah mendengar
sesuatu, kan?"

"Untung sekarang hari Minggu. Tak ada pelajaran. Kita bisa mengadakan penyelidikan
sehari penuh. Kita akan dapat membongkar masalah ini, Elizabeth, jangan khawatir," ia
berkata ringan.

Begitu menenangkan rasanya bisa bersama Julian hari itu. Joan juga amat setia kawan.

"Aku yakin kau akan terbebas dari tuduhan ini, Elizabeth," ujar Joan manis. "Pasti ada
orang lain yang juga mendengar, seperti katamu. Ada yang bisa kubantu? Apakah kau
mau aku menanyai anak-anak kelas dua?"

"Oh, maukah kau melakukan itu, Joan? Itu akan amat membantu. Julian dan aku akan
menanyai anak-anak yang tidur di lantai atas. Kurasa jeritan itu berasal dari atas. Tapi
tentu saja, aku tak yakin"

Sebagian besar teman-teman sekelas Elizabeth mengagumi ketulusan hati cewek itu
ketika mereka melihat ia berkeliling bersama Julian untuk berbicara dengan anak-anak
lain. Mereka bingung harus bagaimana menanggapi kejadian itu, seperti halnya dengan
kasus kancing jaket. Mereka berharap semua akan terselesaikan dengan baik pada
akhirnya, demi kebaikan Cewek Paling Badung. Seru sekali mendengar bel kebakaran
berdering seperti semalam! Tapi tentu saja para guru tidak menganggapnya begitu. Dan
kini Elizabeth telah kehilangan perannya dalam pentas drama.

Arabella seharusnya merasa gembira hari itu. Tapi ia malah tampak tertekan dan
marah. Ia jengkel melihat Julian dan Elizabeth yang secara misterius bertengkar, kini telah
berbaikan secara misterius pula.

Ia merasa meraih kemenangan besar ketika Miss Ranger berkata padanya bahwa ia
akan memainkan peran Fay dalam Petualangan di Hutan Ajaib dan memintanya untuk
berakting sebaik mungkin agar pentas drama itu sukses. Arabella sungguh-sungguh
mengharapkan teman-teman sekelasnya ada yang datang menemuinya, memberinya
selamat, dan mendoakannya. Namun ia menunggu dengan percuma. Mereka tampak lebih
tertarik pada keadaan genting Elizabeth dan penyelidikan yang dilakukannya bersama
Julian. Menjelang siang, Kathleen dan Harry juga ikut bergabung untuk membantu
Elizabeth.

"Kau mendengar orang menjerit 'Kebakaran!', Arabella?" tanya Kathleen.

"Tentu saja tidak!" sahut

Arabella pedas. "Elizabeth hanya mengada-ada."

"Hanya membuang-buang waktu!" Rosemary setuju.

"Kita harus berlatih drama sebentar lagi," kata Arabella. "Kau mau datang untuk
mendukungku, tidak? Aku agak gelisah, soalnya Rosemary bilang Daniel aktor yang amat
buruk. Kau takkan menemukan orang yang mendengar jeritan di malam hari, soalnya
memang tak ada orang yang melakukannya."

Setidaknya untuk hal itu, Arabella benar.

Elizabeth dan Julian menanyai semua anak yang tidur di lantai atas, satu per satu.
Tugas yang melelahkan. Semua anak sedang berada di luar dan menikmati berbagai
kegiatan akhir minggu mereka. Selain itu, tugas ini juga sia-sia. Setiap anak
menggelengkan kepala saat ditanyai.

"Pikir baik-baik, James," Julian mendesak. Kamarnya, seperti halnya kamar Daniel,
berada tepat di atas jendela kamar Elizabeth. "Apa kau mendengar seseorang menjerit?
Mengigau mungkin? Anak yang bermimpi tentang kebakaran?"

"Tidurku nyenyak sekali," ujar James. "Aku tidak mendengar apa-apa-kecuali bel
kebakaran. Bahkan pada awalnya aku juga tidak mendengar suara bel itu."

Semua punya jawaban yang sama.

"Kenapa kau tak coba menanyai Daniel?" James mengusulkan. "Aku sering
mendengar suara gerakan dari kamarnya setelah lampu dimatikan. Kurasa ia membaca di
tempat tidur."

Setelah itu, Elizabeth dan Julian pergi mencari Daniel. Anak itulah harapan terakhir
mereka. Tapi mereka tidak melihat anak itu seharian.

"Kurasa dia sedang membaca buku di istal" Julian berkomentar. "Akhir-akhir ini dia
sering melakukannya."

"Atau jangan-jangan tertidur di bawah tumpukan jerami, seperti si Little Boy Blue!"
ujar Elizabeth menghina.

Daniel tidak ditemukan di mana pun.

"Jangan-jangan ia menghabiskan waktu sepanjang hari di kamar?" usul Elizabeth, tiba-
tiba. "Ia terkadang melakukan hal itu. Sekalipun di luar cuaca sedang cerah seperti hari
ini."

Dan ternyata benar, mereka menemukan Daniel di dalam kamar kecilnya di loteng. Ia
bahkan tidak sedang membaca. Ia berbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit
kamar. Salinan naskahnya tergeletak di atas lantai.

"Daniel!" seru Elizabeth. "Dasar pemalas!"

Anak cowok itu langsung terduduk tegak, merasa bersalah.

"A-aku sedang menghafal dialogku," ujarnya pelan. Ia meraih salinan naskah dari
lantai dan berpura-pura membolak-baliknya. "Apa yang kalian inginkan?"

Entah kenapa, wajah Daniel tampak pucat.

"Aku tak mendengar apa pun, tidak!" semburnya, begitu Julian menanyainya. Ia
tampak gemetaran dan gelisah. "Aku tertidur lelap. Sumpah."

Rasa ingin tahu Julian meningkat. Ia yakin Daniel jujur. Tapi kenapa ia tampak begitu
gelisah?

"Tapi kau punya gagasan tentang siapa yang melakukannya?" tanyanya menyelidik.

"Bi-bisa jadi..." Daniel mulai berbicara.

"Ya?" tanya Elizabeth bersemangat.

"Aku tak tahu," ujarnya khawatir. "Itu bisa jadi apa pun, kurasa."

Pada saat itu Rosemary menyerbu masuk ke dalam kamar.

"Jadi kau ada di sini, Daniel! Miss Ranger menyuruhku mencarimu. Kau seharusnya
hadir pada latihan drama!"

"Haruskah?" ia bertanya dengan merana. "Dapatkah Julian menggantikanku? Aku
sedang tak ingin berlatih hari ini."

"Jangan tolol!" ujar Rosemary. Ia menyambar lengan Daniel. "Kau telah membuat
semua orang menunggu."

Ketika Rosemary menggiring Daniel keluar kamar, Julian dan Elizabeth mengikuti
mereka menuruni tangga. Julian bersenandung riang untuk dirinya sendiri.

"Kurasa akhirnya kita telah sampai di satu titik terang," ujarnya. "Kurasa Daniel
mengetahui sesuatu."

"Ya," Elizabeth setuju. "Aku juga merasa begitu."

Sekali lagi Elizabeth sulit tertidur di malam itu. Kejadian-kejadian dramatis di akhir
minggu ini berputar-putar di dalam kepalanya. Namun kini ia mulai melihat setitik cerah
harapan.

Arabella dan Daniel takkan bertahan lama dalam pentas drama itu! Ia diberitahu
Kathleen bahwa latihan hari ini sangat tidak lancar!

Secara mendadak, kepercayaan diri Daniel benar-benar lenyap. Dan Arabella tak
sanggup membantunya karena ia sendiri punya setumpuk kegelisahan. Arabella sering
salah mengucapkan dialog. Sekembalinya dari latihan wajah cewek itu tertutup awan
mendung. Lambat laun akhirnya Arabella menyadari betapa sulitnya bermain sandiwara
dan betapa kegagalan ada di depan mata.

Sementara itu, pikir Elizabeth, ia dan Julian hampir dapat membongkar misteri yang
sedang berlangsung. Mereka telah mencoba mendesak Daniel lagi malam ini, tanpa hasil.
Namun sudah jelas kalau ia mengetahui siapa pelakunya. Ia melindungi seseorang!
Mereka harus bersabar, tapi kebenaran akan segera terungkap, kan? Setelah itu, ia dan
Julian akan dapat membersihkan nama mereka. Peran-peran dalam pentas drama akan
dikembalikan pada mereka!

Elizabeth baru saja hampir tertidur ketika terdengar suara gedoran di pintu. Ia
terduduk tegak di atas tempat tidurnya. Terdengar lagi suara gedoran itu, disusul dengan
suara entakan...

Kali ini ia betul-betul telah terjaga!

Kebakaran! Kebakaran! terdengar jeritan memekik. Kedengarannya dari arah koridor.
Suara yang sungguh mengerikan!

"Orang itu mencoba mempermainkanku lagi!" ia terkesiap. "Kali ini dia ada di dalam
gedung asrama. Dia berharap aku membunyikan bel kebakaran lagi!"

Dengan gemetaran, Elizabeth menyusup keluar dari tempat tidurnya. Ia mengenakan
kimono dan berjingkat-jingkat ke arah pintu. Tek... tek... tek. Terdengar suara itu lagi.
Elizabeth ketakutan. Tapi ia yakin akan satu hal, aku takkan tertipu untuk yang kedua
kalinya! Aku tahu betul bahwa tak ada kebakaran! ia memutuskan. Aku harus
menangkapnya, siapa pun dia!




Bab 11

Cewek Paling Badung Jadi Pahlawan


Saat menggeser pintu sampai terbuka, Elizabeth mendengar gerakan tergesa-gesa di
luar. Ia mengintip ke koridor yang remang-remang. Tak ada seorang pun di sana. Orang
itu pasti telah menyusuri koridor dan menghilang di sudut. Elizabeth masih dapat
mendengar suara gedebuk dan entakan datang dari arah tangga menuju loteng.

Ia berlari untuk mengejar, membelok di sudut, dan melompati beberapa anak tangga
pertama dalam gelap.

Tiba-tiba bersamaan dengan suara mendesis dan mengepak, sesosok bayangan hitam
menubruk kakinya dan mencoba mematuk-matuk keduanya.

Kaaaooook! Kaaaooook! Kebakaran! Kebakaran! sosok itu berseru.

Gagak! Elizabeth terkesiap. Gagak hitam besar! Bagaimana ia bisa masuk ke sini? Ada
apa dengan burung ini?

Kejadian itu salah satu saat paling mengejutkan dalam hidup Elizabeth. Burung itu
betul-betul gelisah. Ia masih terus mencoba mematuki kaki Elizabeth.

Kaaaooook! Kebakaran!

Betul-betul aneh betapa mirip suaranya dengan suara manusia.

Setelah sempat kaget, Elizabeth mendadak merasa lega. "Musuh"-nya pada malam
yang lalu ternyata tak lebih dari gagak hitam konyol ini! Gagak yang bisa mengeluarkan
suara seperti manusia. Ia pasti telah hinggap sebentar di ambang jendelanya malam yang
lalu. Tepat di jendelanya yang terbuka. Tak heran kalau tak ada seorang anak pun yang
sedang tertidur mendengar suara gagak itu.

Aku harus segera menemui guru-guru! Elizabeth memutuskan. Mereka akan
membantu mengeluarkan burung ini dari gedung asrama. Dan mereka akan bisa melihat
bahwa aku tidak hanya berkhayal!

Pada saat ia hendak pergi, gagak itu terbang ke kakinya lagi.

"Hentikan-!" Elizabeth memulai dengan geram. Lalu ia terdiam.

Segumpal asap kecil bergulung-gulung turun dari arah loteng. Lalu lagi. Dan lagi.

Samar-samar ia mencium aroma yang tidak sedap...

Ada kebakaran di atas sana! ia menyadari dengan ketakutan. Memang benar-benar ada
kebakaran!

Ia buru-buru melompati anak-anak tangga sampai yang paling atas. Saat Elizabeth
melakukannya, si burung gagak terus-menerus mengepak-ngepakkan sayap dan terbang
di sekeliling kepalanya sambil ber-kuak keras. Kaook! Kaook! Kaook! Kaoook!

Asap itu berasal dari kamar Daniel! ia menyadari.

Pintu kamarnya hanya terbuka sedikit, tapi meskipun begitu, dari celah sempit itu saja
bau asap terasa begitu menusuk. Bau yang menakutkan, seperti zat kimia yang terbakar...

Elizabeth mendorong pintu itu sampai terbuka lalu mundur. Tak ada api, tapi kamar itu
dipenuhi asap yang membuat sesak napas. Anak cowok berambut pirang itu terbaring
lemas di atas tempat tidur, tak berdaya karena bau asap yang menyengat.

Daniel pingsan! pikirnya. Aku harus membawanya keluar dari sini secepat mungkin.

Tapi bau asap yang menusuk itu telah mulai memenuhi mulut dan hidung Elizabeth. Ia
sendiri merasa seperti akan pingsan juga. Ia menutup pintu kamar Daniel untuk sesaat dan
buru-buru memasuki kamar mandi di kamar sebelah. Ia memegangi handuk di bawah
keran hingga handuk itu basah dengan air dingin.

Kemudian dengan handuk basah membungkus erat wajahnya, Elizabeth kembali ke
kamar yang penuh asap dan menarik Daniel ke lantai. Matanya tidak terlindungi handuk
sehingga mulai terasa pedih. Ia mencoba mengabaikan rasa pedih itu. Di atas kepala
mereka, burung yang panik itu membubung tinggi ke atap yang terbuka. Si gagak terbang
tinggi ke langit dan menjauh. Atap yang terbuka itu-jadi dari sanalah burung itu masuk!
Elizabeth menyadari.

"Tiarap, Daniel!" Ia terengah-engah. "Dengan begitu kita berada di bawah asap..."

Tapi anak itu masih juga belum sadarkan diri.

Merayap mundur perlahan ke arah pintu, Elizabeth menarik Daniel, semeter demi
meter, melintas di atas lantai kayu mengilap. Sebetulnya hanya memakan waktu kurang
dari semenit, tapi satu menit terasa seperti satu jam. Beberapa kali Elizabeth merasa sesak
napas. Ia kini harus sungguh-sungguh memejamkan matanya. Ia mulai merasa takut,
kalau-kalau ia juga akan kehilangan kesadaran sebelum sempat membawa Daniel keluar.

Kemudian, pada akhirnya, mereka aman di luar.

Ia membanting pintu kamar yang penuh asap itu sampai menutup. Ia tahu kalau hal itu
dapat membantu menahan api. Ia menyeka handuk basah itu ke matanya yang pedih dan
ke wajah Daniel, mencoba menyadarkannya.

"Daniel, Daniel. Kau tak apa-apa?"

Wajah Daniel berkerenyit.

"Di mana aku? Apa yang terjadi?"

"Kau pingsan!" bisik Elizabeth di sela-sela batuknya. "Ada semacam kebakaran
dahsyat di kamarmu. Burung itu datang padaku untuk memberitahukan tentang
kebakaran itu. Gagak hitam-"

Mata Daniel membuka lebar.

"Maksudmu Rookie? Ia datang dan menjemputmu? Kalau begitu memang Rookie-lah
pelakunya. Tadinya aku belum yakin betul. Dan malam ini sungguh-sungguh ada
kebakaran-?"

"Rookie?" tanya Elizabeth terkejut. Tampaknya Daniel mengetahui segala sesuatu
tentang burung itu! "Kenapa kau memanggilnya begitu?"

"Dia hewan piaraanku. Dia gagak rook yang jinak. Dia burung paling cerdas dan
makhluk nakal yang paling hebat di dunia.

Daniel menelan ludah.

"Tapi aku malu sekali Elizabeth. Ia selalu membawa kesulitan bagimu dan Julian. Dan
kini aku tak dapat merahasiakannya lagi, para guru akan mengusirnya pergi. Ia harus
pergi, ya?"

"Firasatku mengatakan bahwa dia sudah pergi sebelum diusir," bisik Elizabeth.

Tiba-tiba ia mendengar suara-suara dari bawah dan langkah kaki yang tergesa-gesa.

Para guru telah melihat asap yang bergulung-gulung keluar dari atap kamar Daniel.
Dan kini dengan membawa alat pemadam kebakaran, mereka berlari menaiki tangga.

"Apa yang terjadi? Kau tak apa-apa, Daniel?" tanya Mr. Warlow.

"Kami akan segera memadamkan apinya!" seru Mr. Johns, mengaktifkan alat
pemadam kebakaran.

"Jangan, Mr. Johns, apinya belum ada," Elizabeth memperingatkan, "cuma semacam
asap yang beracun. Anda akan memerlukan handuk basah untuk menutupi wajah."

Nasihat yang bagus. Nasihat itu terbukti berguna ketika kedua guru tersebut menyerbu
masuk ke kamar Daniel dan menyemprotkan cairan pemadam kebakaran ke mainan yang
mengepulkan asap dari dalam rak di samping tempat tidur. Lalu mereka cepat-cepat
keluar. Kini tak ada risiko api akan menyebar. Mereka telah menemukan penyebab asap
itu.

Membawa mainan berisi busa itu melanggar peraturan sekolah, namun Daniel telah
membawa boneka beruang dari rumah tanpa mengetahui boneka itu berisi bahan-bahan
terlarang.

Membaca setelah lampu dimatikan juga melanggar peraturan sekolah. Lebih melanggar
lagi bila membaca dengan penerangan lilin. Daniel melakukan keduanya. Ia lupa meniup
lilinnya. Pada saat ia tertidur, lilin yang masih menyala itu terjatuh. Lilin itu terjatuh ke
atas boneka beruang dan membuatnya meleleh, sehingga kamar kecil itu dipenuhi asap
dengan bau tak sedap.

"Kau tak bisa tidur di kamar itu malam ini, Daniel," Mr. Johns berkata pada anak itu.
"Butuh berjam-jam untuk menjernihkan udara di sana."

Ibu Asrama memutuskan agar Daniel dan Elizabeth tidur di sanatorium malam itu. Ia
ingin menjaga mereka.

"Daniel telah bertindak begitu ceroboh dan Elizabeth begitu berani," Ibu Asrama
memulai. "Namun keduanya baru saja mengalami shock luar biasa. Yang mereka
perlukan sekarang adalah minum obat dan beristirahat tenang."

Keesokan harinya kedua anak itu telah sehat kembali.

Dan James, yang terbangun dengan terkejut karena keributan di lantai atas, segera
menyebarkan berita menggemparkan itu ke seluruh sekolah.

Elizabeth mendengar jeritan itu lagi! Bahkan kali ini ia sendiri juga mendengarnya.
Suara-suara itu telah membangunkannya. Dan kali ini memang sungguh-sungguh ada
kebakaran. Di kamar Daniel Carter. Daniel jatuh pingsan dalam kepulan asap. Ia bisa saja
mati!

Elizabeth menyeretnya untuk menyelamatkannya.

Cewek Paling Badung jadi pahlawan!

"Kau pasti telah mendapat firasat pada hari Sabtu malam, Elizabeth," bisik Kathleen
terpesona, ketika Elizabeth muncul pada pelajaran Bahasa Prancis. "Aneh, ya?"

"Tolong jangan mengobrol dalam pelajaranku, Kathleen!" seru Mam'zelle. "Harap
tenang, s'il vous plait"

Elizabeth dan Julian diam-diam saling melemparkan senyum.

Di sela-sela sarapan pagi lezat yang telah disiapkan Ibu Asrama pagi itu, Daniel
menceritakan semuanya pada Elizabeth. Setelah itu, ia tidak membuang-buang waktu
untuk mencari Julian. Julian telah dengan cepat dapat menerka bahwa Daniel mencoba
melindungi seseorang. Kini Elizabeth bisa memberitahu siapa "orang"-nya!

Tak lama lagi, seluruh sekolah pun akan mengetahuinya.




Bab 12

William dan Rita Bercerita


Tak biasanya Rapat Besar diadakan pada jam makan malam. Namun rapat ini memang
tidak biasa.

"Kita harus memutuskan untuk menghukum seseorang," William berkata pada deretan
murid-murid yang menggerombol. "Tapi pertama-tama kami ingin bercerita pada kalian."

"Konon," Rita memulai, "ada anak laki-laki yang tidak terlalu senang bersekolah di
sekolah asramanya. Ia amat suka membaca dan menyendiri. Bahkan kedua orangtuanya
meminta pihak sekolah agar memberikan kamar pribadi untuk anak tersebut. Tapi
ternyata bersamaan dengan berjalannya waktu, diketahui bahwa itu bukanlah gagasan
yang bagus..."

Para hadirin mendengarkan, terkagum-kagum, pada saat ketua murid laki-laki
mengambil alih cerita itu.

"Dia suka pulang ke rumah pada hari libur, dan liburan Paskah baru-baru ini adalah
yang paling dinikmatinya. Tahukah kalian, pada hari pertama liburannya, dia menemukan
bayi burung yang terjatuh dari sarangnya. Dia membawanya ke dalam rumah dan
merawatnya sampai pulih. Itu bayi gagak rook, maka dia memanggilnya Rookie. Dia
mengasuh burung itu. Pada awalnya dia memberinya makan roti dan susu. Namun
dengan cepat burung itu membutuhkan makanan lebih banyak, sehingga anak ini setiap
hari ke luar menggali tanah dan mencari cacing untuk burungnya. Burung itu pun tumbuh
pesat... Giliranmu, Rita."

Ketua murid perempuan itu tersenyum pada anak-anak yang terpesona.

Di bagian paling belakang aula, Miss Belle, Miss Best, dan Mr. Johns mendengarkan
dengan diam. Mereka telah memberi izin agar kisah Daniel diceritakan.

"Anggota keluarga gagak tak bisa benar-benar dijinakkan. Rookie bukanlah
pengecualian. Tak lama kemudian dia mulai mengacaukan segalanya, melompat ke dalam
tempat mentega di dapur, mematuk-matuki sabun di kamar mandi. Di luar, ia akan
menukik masuk ke api unggun di taman, berusaha menyerang asap! Keluarga tuannya
akan berseru Kebakaran! untuk melarangnya. Tak seperti magpie-burung gagak berwarna
hitam-putih, jay-burung yang ribut bunyinya dan berwarna cerah, ataupun hooded crow-
gagak bertudung, rook dapat mengeluarkan berbagai macam suara kalau dia ingin, bukan
cuma suara kaok-kaok yang biasa kita dengar," Rita menjelaskan. Ia tersenyum lagi.
"Segera saja Rookie dapat berteriak Kebakaran! Tapi si gagak tetap saja selalu menyerang
asap api unggun dengan caranya yang konyol!"

"Akhirnya si gagak bisa disembuhkan dari kebiasaan itu," William memotong, "ketika
pada suatu hari dia terbang terlalu dekat dengan api dan bulunya nyaris terbakar. Setelah
itu si gagak lebih menghormati asap! Sementara itu, pemiliknya telah kembali ke sekolah
asrama untuk semester musim panas."

"Kalau anak laki-laki itu berada jauh di sekolah, dia selalu memikirkan Rookie" Rita
melanjutkan. "Dia amat menyayangi hewan piaraannya yang nakal itu. Dia
merindukannya. Dia hampir tak sanggup menunggu sampai tengah semester. Ketika
pulang, dia mendapati Rookie telah tumbuh dewasa dan menjadi amat cerewet. Bahkan
tak dapat diatur. Burung itu biasa menunggu tukang pos di halaman depan dan mencoba
mematuki kakinya! Lalu pada minggu tengah semester itu, sesuatu yang mengerikan
terjadi. Rookie jadi suka dengan buah stroberi muda yang tumbuh di halaman tetangga
sebelah. Ia selalu mencabuti tanaman itu dari tanah. Tetangga sebelah akan dengan senang
hati menembaknya!"

Beberapa murid menahan napas. Kisah ini semakin menegangkan. Tanaman stroberi!
Burung yang bisa mengeluarkan pekikan peringatan! Sekarang mereka yakin betul akan
maksud cerita ini.

"Lalu apa yang terjadi?" seru beberapa anak junior.

"Yang terjadi sesudah itu," sahut William muram, "kedua orangtua anak laki-laki itu
menyadari bahwa mereka tak dapat lagi mempertahankan Rookie. Pada akhir liburan
tengah semester, sebelum mereka mengantar si anak ke sekolah, mereka berkata bahwa
anak itu harus mengucapkan selamat tinggal pada Rookie. Untuk selamanya. Tak lama
setelannya, mereka melepaskan burung itu di suatu tempat di perbatasan kota,
mengembalikannya ke alam liar.

"Maka di hari pertama kembali ke sekolah, si anak laki-laki itu amatlah sedih, kalian
bisa membayangkan... Sampai pada suatu siang di dekat istal, seekor burung terbang
turun dari atas pohon di dekat situ dan hinggap di pundak si anak laki-laki. Burung itu
Rookie! Si gagak telah mengikuti mobilnya ke sekolah dan secara diam-diam bersarang di
sekolah tuan mudanya!"

Rita mengakhiri kisah itu.

"Anak laki-laki itu amat gembira. Si gagak menyayanginya! Dia tak mau dipisahkan
dari tuannya! Anak laki-laki itu memberanikan diri. Pada Rapat Besar pertama, dia
bermaksud untuk minta izin memelihara Rookie di sekolah. Dia hampir mengatakan
permintaannya dalam rapat itu. Ketika..."

Rita menyapukan pandangan ke sekeliling aula. "Apa yang terjadi?"

Anak-anak junior menyerukan jawaban-jawabannya.

"Kalian bercerita tentang tanaman stroberi!"

"Daniel pasti tahu bahwa Rookie-lah pelakunya!"

"Ia takut Rookie diusir. Maka dia mengajukan permintaan asal-asalan untuk menjadi
pembantu di istal!"

"Dia tahu Rookie tinggal di dekat istal dan ingin bersamanya sekali-sekali."

Ketua murid perempuan itu mengangguk.

"Si gagak pasti telah terbang ke ambang jendela Elizabeth suatu hari dan mencuri
kancingnya" Rita menjelaskan. "Kemudian dia melihat tanaman stroberi yang lebih
menarik untuk dijadikan mainan."

"Maka dia menjatuhkan kancing itu di sana!" William mengakhiri.

Dengungan percakapan memenuhi aula.

Duduk di belakang, John Terry menggaruk-garuk kepala dan tersenyum sendiri. Ia
begitu yakin kancing jaket berhubungan dengan perusakan itu dan ternyata ia memang
benar! Ketika kancing itu tampak seolah-olah tak berhubungan dengan kasusnya, ia mulai
berpikir tentang kemungkinan seekor burung besar atau bahkan binatang lain yang
bertanggung jawab. Sejak itu ia telah membuka mata untuk membuktikan dugaannya, tapi
tak menemukan apa-apa. Jadi ternyata ia telah dua kali mengikuti jejak yang benar namun
gagal menghubungkan jejak-jejak itu!

Ketika suara gaduh di aula mulai meningkat, William memukulkan palu kecilnya di
atas meja.

"Harap tenang. Semua orang tenang. Kalian pasti telah menebak siapa yang kami
ceritakan tadi. Dan kini Daniel sendiri akan maju untuk berbicara dengan kita semua."

Elizabeth melihat anak cowok berambut pirang itu dengan gelisah membuka dan
menutup kepalan tangannya. Ia berdiri perlahan. Lalu ia menarik napas dalam-dalam. Ia
berbicara dengan malu-malu.

"Aku ingin mengatakan pada semua orang bahwa aku minta maaf atas segala hal
buruk yang telah kulakukan. Aku tahu kita tidak diizinkan menyimpan korek api atau lilin
dan bahwa dengan mudah aku bisa saja menyebabkan kebakaran di sekolah. Aku amat
malu telah melakukannya. Aku juga amat malu..."

Ia menelan ludah dan menatap Elizabeth. Suaranya seakan tertahan di tenggorokan.
Elizabeth memberinya dukungan dengan mengangguk. Teruskan, Daniel.

"...Karena aku telah begitu licik. Begitu inginnya aku mempertahankan Rookie di
sekolah, sehingga aku tidak mau buka mulut dan membuat orang lain menderita. Kurasa
Rookie-lah yang telah membuat suara-suara di luar jendela kelas kami. Kurasa dia sedang
mencariku. Suara itu salah satu suara nakalnya yang mirip manusia. Tapi aku membiarkan
Julian disalahkan! Dan semakin buruk lagi ketika Elizabeth juga mendapat masalah saat
dia membunyikan bel kebakaran! Aku tidak yakin, tapi kurasa dia telah mendengar suara
Rookie. Tapi aku tidak mengakuinya. Aku merasa sedih dengan semua itu. Itulah
sebabnya aku duduk sepanjang hari di kamar. Dan hal terburuk dari segalanya adalah
berlatih akting untuk Pentas Drama Musim Panas! Bagaimana mungkin aku bisa
menikmati drama itu kalau aku telah menjadi penyebab anak-anak lain kehilangan
perannya?"

Ia buru-buru duduk dan membenamkan wajah ke dalam telapak tangannya.

Setelah itu William meminta Elizabeth dan Julian untuk berdiri.

"Kalian berdualah yang paling merasakan akibat buruk dari perilaku Daniel," ujarnya.
"Terutama Elizabeth. Dapatkah kau, Elizabeth, mengusulkan pada Rapat Besar tentang
hukuman apa yang harus dijatuhkan?"

Terdengar suara-suara sstt di sekeliling aula untuk mendiamkan semua orang ketika
Elizabeth membuka mulut untuk bicara. Seluruh sekolah menunggu apa yang akan
diucapkannya.





Bab 13

Pentas Drama Musim Panas dan Setelahnya


Elizabeth sebelumnya telah berkonsultasi dengan Julian. Kedua sahabat itu telah
mendiskusikan segala hal dengan amat berhati-hati sebelum Rapat Besar berlangsung.

Pada akhir pelajaran di pagi itu, mereka pergi bersama Daniel ke istal sekolah untuk
membantunya menemukan Rookie. Namun burung hitam mengilap dengan warna putih
terang di atas paruhnya itu tak ada di sana. Mereka amat sedih melihat Daniel berjalan
berkeliling dan memandang ke atas pohon, memanggil-manggil, "Rookie?" berkali-kali.

"Kau benar, Elizabeth," ia berkata, sambil menangis. "Dia telah pergi. Dan kurasa dia
takkan kembali lagi."

Julian melingkarkan lengannya ke sekeliling pundak Daniel ketika mereka bertiga
berjalan lambat-lambat kembali ke sekolah untuk makan siang.

"Mungkin sulit bagimu untuk menerima kenyataan ini, Daniel. Tapi akan lebih baik
kalau dia tak pernah kembali lagi. Gagak rook tak bisa hidup sendirian. Tak heran kalau
dia jadi sangat nakal! Gagak suka hidup bersama dengan gagak-gagak lain, dalam
kelompok. Kepergiannya berarti dia telah diterima kembali dalam kelompoknya."

Kini Elizabeth berbicara dalam Rapat Besar.

"Daniel memang harus dihukum karena telah menyebabkan kebakaran dalam
kamarnya semalam," katanya. "Tapi dia telah mendapatkan hukumannya. Hukuman
paling buruk yang pernah ada. Burungnya sangat ketakutan. Kebakaran dan segala
keributan kemarin telah membuat Rookie ketakutan! Dia telah pergi. Daniel juga telah
dihukum karena kesalahannya yang lain. Dia tak pernah lagi merasa tenang setelah Julian
dan aku kehilangan peran kami dalam pentas drama. Rasa bersalahnya telah membuatnya
tersiksa!"

Elizabeth duduk, kehabisan napas.

Beberapa saat hening.

Lalu tiba-tiba semua orang bertepuk tangan menyambut pidato pendek Elizabeth. Ia
telah bersikap begitu adil. Ia mengatakan hal-hal yang benar.

Kedua ketua murid mengangguk sebagai tanda setuju. Begitu juga dengan para
pengawas di panggung. Joan merasa amat bangga pada Elizabeth.

William mengangkat tangan untuk mendiamkan aula. Ia memandang pada Daniel
dengan tenang dan ramah.

"Mencintai buku adalah hal yang baik, Daniel. Buku cerita kesukaan sama seperti
sahabat. Tapi rasa cinta itu tak boleh menggantikan rasa sayang pada orang-orang
sungguhan. Tenggelam dalam buku ceritamu semalam, menyalakan lilin, kau tak
memikirkan anak-anak lain di sini, di Whyteleafe, dan kemungkinan bahaya kebakaran."

Daniel menundukkan kepala.

"Dan menyayangi burung serta binatang. Itu juga hal yang amat baik," William
mengakhiri. "Tapi itu juga tak boleh menggantikan kepedulian terhadap orang lain. Demi
keinginan mempertahankan Rookie, kau telah membiarkan orang-orang lain menderita.
Kau telah menyebabkan Elizabeth, khususnya, merasakan kepedihan dan kesedihan."

"Please, William, aku tahu kata-katamu itu benar, tapi sungguh mengagumkan bahwa
Rookie amat menyayangiku!" Daniel berkata. "Caranya mengikuti mobil sepanjang jalan
dari desa kami supaya dia bisa bersamaku! Lagi pula," ia menggeleng-gelengkan kepala,
"masalahnya dengan 'orang sungguhan' adalah mereka tampaknya tidak terlalu
menyukaiku."

Elizabeth buru-buru melompat berdiri dengan marah.

"Itu tidak benar, William. Julian dan aku menyukai Daniel. Kami benar-benar
menyukainya!"

Ia duduk lagi, merasa malu.

Lalu dengan acuh tak acuh, Julian berdiri.

"Ada satu hal lagi yang harus dibereskan," ia berkata dengan santai. "Tentang aku yang
dianggap menderita karena peranku dalam pentas drama dicabut. Itu tidak benar. Bagian
peran Jonkin banyak sekali. Pastinya aku tidak mungkin diharapkan untuk mulai
mempelajarinya sekarang, kan? Aku lebih suka kalau Daniel mempertahankan peran itu."

"Hanya Miss Ranger yang bisa memutuskan itu, Julian," sahut Rita ramah. "Beliaulah
penyelenggara pentas drama. Miss Belle dan Miss Best juga punya andil. Karena
bagaimanapun, mereka kan penulisnya."

Namun kedua kepala sekolah dan Mr. Johns telah menganggukkan kepala mereka
sebagai tanda persetujuan. Hal ini memang yang selama ini diinginkan oleh para guru
untuk Daniel. Mereka khawatir anak itu tak dapat membaur dengan yang lain. Dugaan
Julian ternyata tepat. Lebih jauh lagi, seharusnya sejak awal Daniel tidak diizinkan punya
kamar pribadi, kedua kepala sekolah memutuskan. Mereka harus mengkaji kembali
masalah itu.

Elizabeth kecewa. Julian tidak menjadi pasangannya dalam Pentas Drama Musim
Panas. Tapi setidaknya Arabella harus mengembalikan peran Elizabeth.

Namun penampilan Daniel semakin lama semakin membaik.

Sekalipun ia masih merindukan burungnya, namun anak itu mulai memusatkan diri
pada latihan. Senang juga karena John McTavish ikut dalam sandiwara, sebagai Mr.
Grasshopper. Sejak Daniel pindah bersama John, dalam kamar yang lebih besar, mereka
berdua jadi teman baik.

Julian berada di asrama yang sama dan ia banyak memberikan petunjuk akting pada
Daniel. Tak diragukan ini juga membantu cowok itu.

Dan yang terbaik dari semua itu, Daniel tak ingin mengecewakan Elizabeth.

Tak lama kemudian, Elizabeth pun mulai dapat mengatasi kekecewaannya.

Acara besar itu diadakan di malam pertengahan musim panas yang indah. Petualangan
di Hutan Ajaib digelar di sudut taman sekolah yang paling cantik. Pohon ash rimbun
dengan daun-daunnya yang menjuntai menjadi latar belakang indah untuk Jonkin dan
Ratu Peri. Semua orang menyukai penampilan anak-anak bertopeng "hewan-hewan hutan
ajaib" yang muncul, menghilang, dan muncul lagi di sela-sela sesemakan.

Seluruh sekolah duduk dan memusatkan perhatian pada pentas drama, demikian pula
Miss Belle dan Miss Best. Mereka telah bekerja keras menulis cerita untuk Pentas Drama
Musim Panas agar selesai pada waktunya untuk dipentaskan oleh murid-murid kelas satu
pada tahun ini. Dan betapa bagusnya permainan mereka! Sandiwara yang sukses.

Elizabeth jadi bintang pertunjukan itu. Ia harus beberapa kali kembali ke panggung
untuk menerima tepuk tangan para hadirin. Begitu juga Daniel karena penampilannya
bagus.

Si Beauty dan si Beast pun menyukai penampilan mereka berdua.

Elizabeth tetap berada di tempat pentas lama setelah itu. Ia tak ingin malam ini
berakhir.

Begitu juga dengan Daniel. Anak itu berdiri di dekat jam matahari di bagian tertinggi
lapangan rumput itu. Tiba-tiba ia menengadah ke langit.

"Halo, Dan. Kau melihat apa?"

Ia menunjuk. Sekelompok gagak terbang di atas awan. Seekor burung tertinggal di
belakang. Burung itu berputar-putar beberapa kali di atas kepalanya.

Kedua anak itu menahan napas mereka dan menunggu.

Kemudian burung itu melambaikan satu sayap pada mereka seolah-olah mengucapkan
selamat tinggal, lalu melesat terbang untuk menyusul kawanannya.

Elizabeth dan Daniel terus mengamati kawanan burung itu terbang menuju kejauhan.
Tak lama kemudian, gerombolan itu berubah menjadi titik kecil di depan matahari merah
yang makin merendah. Lalu burung-burung itu lenyap dan yang tertinggal hanyalah
matahari.


-END-


Djvu by: k80

Jar, txt, pdf by: inzomnia

Re edited by: Farid ZE

Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai