Petualangan Baru Cewek Paling Badung karya Enid Blyton
Anne Digby
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2002
Djvu by: k80
Jar, txt, pdf by: inzomnia
Re edited by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
DAFTAR ISI
Bab 1 Elizabeth dan Julian Berkumpul Lagi
Bab 2 Harapan-harapan Elizabeth
Bab 3 Isyarat Misterius dari Daniel
Bab 4 Rapat Besar yang Menarik
Bab 5 Pelaksanaan Tes Peran
Bab 6 Elizabeth Kelewat Gembira
Bab 7 Pertengkaran Hebat
Bab 8 Pemilik Kancing Ditemukan
Bab 9 Dengan Julian jadi Berlima
Bab 10 Kebakaran! Kebakaran!
Bab 11 Cewek Paling Badung jadi Pahlawan
Bab 12 William dan Rita Bercerita
Bab 13 Pentas Drama Musim Panas-dan Setelahnya
Bab 1
Elizabeth dan Julian Berkumpul Lagi
"Barangkali kereta dari London terlambat!" ujar Elizabeth tidak sabar. "Bagaimana menurutmu, Joan? Atau mungkin bus dari stasiun mogok! Mungkin bus itu sekarang sedang terhenti di tengah jalan saat mendaki bukit karena bannya kempes. Bayangkan semua anak cowok dan cewek terpaksa duduk di dalam bus yang sumpek menunggu bannya diganti..."
Elizabeth berpindah dari satu kaki ke kaki yang lain dengan gelisah. Ia berdiri di puncak tangga batu, di luar gerbang utama Sekolah Whyteleafe. Pandangannya terus tertuju pada tikungan yang tertutup bebatuan, tempat bus sekolah seharusnya muncul.
"...Bagaimana menurutmu, Joan?" ia menyelesaikan.
Joan adalah sahabat Elizabeth di Sekolah Whyteleafe, meskipun Joan agak lebih tua dan sudah duduk di kelas dua. Gadis itu tenang dan bisa berpikir jernih, sementara Elizabeth bersemangat dan impulsif. Joan menggelengkan kepala dan tersenyum pada temannya.
"Menurutku kau suka berkhayal, Elizabeth. Itu pendapatku!" ia menyahut pelan. "Bus itu sama sekali belum terlambat."
"Tapi seharusnya bus sudah tiba jam setengah dua dan itu berarti lima menit yang lalu!" Elizabeth memprotes. "Lagi pula aku sangat lapar, kau juga kan, Joan? Dan tak seorang pun dari kita boleh memasuki aula makan dan bersantap siang sampai semua orang tiba dari liburan tengah semester!"
Memang benar Elizabeth sedang merasa lapar dan kecewa karena ternyata waktu makan siang hari itu diundur. Aroma lezat kue pai panggang berbumbu dalam oven besar melayang ke arahnya dari dapur. Dan sebelumnya, ia sempat melihat staf pelayan sekolah menumpuk kentang dan wortel segar dari kebun sekolah. Tak diragukan lagi, sekarang semua sayuran itu pasti sudah selesai dikukus. Selalu ada santapan istimewa setelah liburan, dan banyak anak-anak yang kelaparan setelah menempuh perjalanan panjang kembali ke sekolah asrama mereka.
Tapi ada yang lebih penting dari semua itu.
"Sebenarnya, aku tak sabar bertemu lagi dengan teman-teman sekelasku, Joan," ia mengakui. "Terutama Julian. Aku ingin sekali memberitahunya tentang pengumuman yang ditempel Miss Ranger di papan pengumuman. Pelajaran Bahasa Inggris kami bakal lebih menarik dan bersemangat!"
Hampir semua anak-anak kelas satu pulang ke rumah masing-masing selama liburan tengah semester, termasuk teman istimewa Elizabeth, Julian. Elizabeth sendiri tinggal di sekolah mengikuti kegiatan perkemahan musim panas di lapangan sekolah. Banyak suka- duka yang dialaminya selama kegiatan tersebut, namun semua adalah petualangan yang menyenangkan. Kini ia tak sabar menghadapi pertengahan kedua semester musim panas, tidur di ranjang empuk lagi dan menjalani kehidupan normal.
"Halo Daniel! Kau termasuk yang terakhir datang!" ia berseru riang, ketika mobil beratap terbuka melintas. Daniel Carter adalah salah seorang teman sekelasnya dan tinggal di desa sebelah. Seperti halnya anak-anak lain yang tinggal di dekat Whyteleafe, ia kembali ke sekolah naik mobil. "Kau seharusnya termasuk yang datang awal!"
Anak cowok berkulit pucat dan berambut pirang itu duduk di bangku belakang mobil sambil membaca buku. Ia mendongak sebentar dan membalas lambaian Elizabeth, kemudian segera kembali memusatkan perhatian pada bukunya.
"Tadi kau lihat bus sekolah, tidak?" Elizabeth berseru. Namun mobil itu sudah melewati mereka dan kata-katanya tertelan deru angin.
"Pasti menyenangkan naik mobil beratap terbuka seperti itu," Joan berkomentar. "Daniel anak yang aneh, terus membaca buku sementara ayahnya mengemudikan mobil untuk mengantarnya!"
"Ya, dia cenderung memilih buku daripada memandang dan mendengar dunia nyata dan berteman" kata Elizabeth setuju. "Kurasa itu sebagian besar karena sifat pemalunya."
"Tapi dia anak yang paling hebat memprotes orang lain dalam Rapat Besar," Joan menjelaskan. "Bukan sikap yang baik untuk mencari teman."
"Ya, lucu sekali waktu dia mengeluhkan Arabella yang mencebik-cebikkan wajah ke arahnya," kata Elizabeth sambil tertawa. "Ia membuat dirinya tampak seperti anak kecil ketika mengajukan berbagai keluhan dan pengaduan bodoh. Sungguh sayang dia tak mau belajar bergaul dengan baik, karena dengan begitu orang-orang bisa lebih menyukainya."
"Kuharap Whyteleafe akan bisa mengubahnya nanti," senyum Joan. "Kau paling mengerti soal ini daripada anak lain, Elizabeth. Waktu pertama kali datang ke sini, kau Cewek Paling Badung di Sekolah!"
"Ya. Sejak itu aku selalu berusaha menghapus julukan itu!" gerung Elizabeth. Panggilan Cewek Paling Badung telah melekat pada dirinya dan pasti akan terus begitu! "Oh, Joan, apakah aku ini begitu menyebalkan?" ia mendesah.
Ia menatap ke seberang lapangan hijau ke pepohonan di belakangnya. Seekor burung berputar-putar di atasnya di langit yang berawan. Indah sekali di Whyteleafe, pikir Elizabeth.
"Waktu itu aku melakukan apa saja yang terpikirkan olehku agar dipulangkan, kan?" ia melanjutkan. "Dari sekolah terbagus di seluruh dunia!"
"Aku senang kau tidak berhasil melakukannya," ujar Joan perlahan, sambil meremas tangan temannya. "Aku bersungguh-sungguh."
Beberapa saat kemudian bus besar bertuliskan SEKOLAH WHYTELEAFE di bagian depannya tampak melintasi tikungan.
"Sudah datang!" sorak Elizabeth. "Hore! Sekarang semua orang telah kembali!"
Bus itu berhenti di dasar tangga. Semua anak cowok dan cewek yang tadi naik kereta dari London berhamburan keluar. Elizabeth berlari menyapa mereka. Joan, sebagai pengawas kelas dua, mengikutinya dengan langkah yang lebih anggun untuk menemui beberapa teman sekelasnya.
"Julian!" teriak Elizabeth, rambut cokelatnya yang ikal melambai-lambai.
"Halo, Cewek Paling Badung!" sapa cowok berambut gelap itu sambil tersenyum. Sepupunya, Patrick, berada tepat di belakangnya. "Bagaimana perkemahannya?"
"Menyenangkan! Tapi dengar, Julian, ada pengumuman amat menarik di papan. Tunggu saja sampai kau melihatnya! Miss Ranger yang menempelkannya pagi ini. Tahun ini giliran kelas kita untuk mengadakan Pentas Drama Musim Panas! Pementasannya akan dilakukan di luar gedung, di lapangan sekolah! Kalau kita ingin ambil bagian di dalamnya, kita harus mencatatkan diri pada pengumuman itu. Tes perannya akan mengambil waktu sepanjang pelajaran Bahasa Inggris!" Elizabeth telah menahan berita ini lebih dari satu jam sehingga kini menyembur keluar dengan deras. "Oh, Julian, bukankah akan menyenangkan kalau kau dan aku mendapatkan peran utama? Dramanya berjudul Petualangan di Hutan Ajaib dan ditulis oleh kedua kepala sekolah kita!"
Ia meraih tangan Julian.
"Ayo, kita harus bergegas. Kalau kita cepat, kita bisa menuliskan nama kita di urutan teratas dalam daftar-"
"Ya, sabar dulu, Elizabeth," senyum Miss Thomas, ketika ia menggiring anak-anak terakhir keluar dari bus. Ia bisa melihat Cewek Paling Badung itu tengah mencoba mengajak Julian pergi! "Julian tidak diizinkan menghilang ke mana pun pada saat ini. Semua anak yang naik kereta dari London telah diinstruksikan untuk langsung menuju ke aula makan begitu mereka selesai mencuci tangan dan wajah. Kusarankan kau melakukan hal yang sama, Elizabeth. Kita semua amat kelaparan. Apa pun rencanamu, itu terpaksa ditunda dulu."
Elizabeth mendesah dan menyadari bahwa ia harus bersabar
Bab 2
Harapan-Harapan Elizabeth
Julian menolak untuk buru-buru selama makan siang. Ia amat lapar dan ingin makan seporsi lagi dari setiap hidangan. Elizabeth harus mengakui bahwa pai berbumbu itu salah satu kue terlezat yang pernah dipanggang oleh Juru Masak. Kentang dan wortel segarnya membuat air liur menetes. Sedangkan puding yang dihidangkan, berlapis kue tarcis dan agar-agar, salah satu kegemaran mereka.
Murid-murid bersantap dengan gembira, semua orang saling bertukar kabar dan berita. Beberapa anak telah melihat pertunjukan-pertunjukan di London. Ruth dan Tessa berkunjung ke Kebun Binatang Taman Regents bersama ibu Tessa. Patrick berada di Lords sepanjang minggu bersama ayahnya, menonton cricket. Cerita Patrick tentang itu agak membosankan, namun Elizabeth sama sekali tak peduli. Ia merasa gembira dikelilingi kawan-kawan sekelasnya lagi. Julian mengaku bahwa yang dilakukannya sepanjang liburan, tidak jauh dari bermalas-malasan dan sesekali pergi berenang.
Elizabeth, Belinda, dan Kathleen senang bercerita pada anak-anak lain tentang kegiatan perkemahan sekolah. Arabella, yang berkelakuan buruk saat itu dan terlibat masalah, jadi terdiam.
"Kenapa, Arabella? Bukankah kau amat suka berkemah di alam bebas?" tanya Julian seenaknya. Ia selalu paling cepat dan lihai. "Tampaknya kau tak banyak bicara soal itu."
Gadis manja itu mengubah raut mukanya yang cantik seperti boneka dan mengangkat bahu.
"Kemahnya lumayan," ia bergumam.
Elizabeth tak berniat mengadukan keburukan Arabella, namun diam-diam ia merasa sangat puas. Arabella yang tak banyak bicara adalah perubahan yang menyenangkan!
Namun kegembiraan ini tidak berlangsung lama.
Di akhir makan siang, percakapan beralih pada berita menggembirakan tentang pentas drama kelas satu. Kathleen, seperti halnya Elizabeth, telah melihat pengumuman yang ditempel Miss Ranger, wali kelas mereka, di papan pengumuman dan menyebarkan berita ini.
"Ayo kita ramai-ramai mendaftarkan diri!" ia berkata. "Oh, pasti akan sangat menyenangkan mengikuti tes peran di jam pelajaran Bahasa Inggris."
"Aku sudah menuliskan namaku di sana," Arabella mengumumkan. "Dan aku telah membaca jalan ceritanya! Begitu Miss Ranger menempelkan pengumuman itu, aku meminta izin meminjam salinannya. Sungguh-sungguh menakjubkan."
"Ceritanya tentang gadis cilik bernama Fay yang tertidur di dalam hutan!" Rosemary, teman Arabella, memotong. Ia sangat bersemangat. "Ketika Fay terbangun, dia telah berubah menjadi ratu peri yang cantik. Kemudian dia mengalami berbagai petualangan yang indah dengan goblin- jembalang-bernama Jonkin dan mereka bertemu berbagai makhluk penghuni hutan ajaib itu..."
"Miss Belle dan Miss Best sendiri yang menulis cerita itu," ujar Arabella, sok tahu. "Mereka menulisnya khusus untuk kita. Karena sudah lima tahun yang lalu sejak kelas satu mendapat giliran menampilkan Pentas Drama Musim Panas, mereka ingin membuatnya istimewa. Wah, dua kepala sekolah kita cerdas sekali, ya, bisa menulis seluruh cerita yang sama sekali baru?"
"Dan peran Fay benar-benar dibuat untuk Arabella!" oceh Rosemary. "Bisakah kalian bayangkan Arabella jadi ratu peri? Aku dapat. Tentu saja," ia menambahkan cepat-cepat, "masih banyak peran lain untuk semua orang dan banyak hal yang harus dilakukan, seperti membuat kostum dan lain-lain. Aku berharap akan terpilih menjadi juru bisik," ia menambahkan dengan rendah hati.
Elizabeth mendengar semuanya sambil diam terpaku.
Arabella dan Rosemary kini berdiri dari kursinya, bersiap-siap untuk pergi. Rosemary masih terus mengoceh dengan bersemangat.
"Ayo kita ambil naskah cerita itu dari mejamu, Arabella! Kita bisa membawanya ke luar seperti yang kausarankan! Aku ingin sekali mendengarmu membacakannya keras- keras. Itu akan jadi latihan yang bagus untukmu! Aku jadi bertanya-tanya, cowok mana yang akan dipilih memainkan peran Jonkin? Oh, peran itu bakal bagus juga, kan-"
Arabella menoleh dan melemparkan senyum manis pada Julian.
"Kurasa Julian bisa menjadi Jonkin yang bagus!" ia tersenyum simpul. "Dalam drama nanti pemeran Jonkin memang akan memakai topeng, tapi matanya berwarna hijau, seperti Julian, dan ia sangat lucu dan cerdas. Kuharap kau mau mendaftarkan diri, Julian!"
Ketika kedua cewek itu meninggalkan aula makan, Elizabeth menundukkan kepala di atas potongan kue tarcisnya yang terakhir, berjuang untuk tetap tenang. Samar-samar ia mendengar beberapa anak berceloteh saat mereka bersiap-siap meninggalkan meja...
"Astaga! Arabella memang biasa gerak cepat, ya?"
"Begitulah!"
"Tapi kau harus mengakui kalau dia mungkin pantas jadi ratu peri. Setidak-tidaknya, ia cocok dengan peran itu karena wajahnya yang seperti peri."
"Terlalu mirip boneka. Kurang bersemangat."
"Well, ayo kita melihat pengumuman itu."
"Sekalian saja kita tuliskan nama kita di sana. Pasti akan menyenangkan."
Tak lama kemudian, hanya tinggal Elizabeth, Julian, dan Patrick yang duduk di meja panjang, bertiga saja.
"Sudah kuduga seharusnya kita buru-buru menuliskan nama kita di daftar, Julian!" Elizabeth berkata jengkel, mencoba sekuat tenaga untuk tidak cemberut. Arabella telah mendaftarkan diri duluan. Bisa jadi namanya tercantum di baris teratas! Bukan hanya itu, ia juga sudah punya salinan naskah drama. Ia telah membacanya dan mulai latihan untuk tes peran. "Sekarang Arabella selangkah lebih maju daripada yang lain!"
"Well, aku sih tak berminat memerankan ratu peri!" ujar Julian. Ia tertawa pada Elizabeth. "Dan kalau kau berminat, Elizabeth, sebaiknya kau berhenti cemberut dan pasang tampang cewek pemberani yang nakal. Mulailah berlatih tampak manis!"
"Aku tak tahu apa yang kumau sekarang," sahut Elizabeth dongkol. "Barangkali Arabella memang akan jadi yang paling baik. Barangkali aku memang tidak bagus sama sekali. Lagi pula, sekarang ia pasti telah mencantumkan namanya di deretan teratas daftar itu."
"Dasar bodoh." Julian menarik rambut Elizabeth. "Letak nama dalam daftar takkan mempengaruhi apa pun! Miss Ranger akan memberikan peran itu pada orang yang dapat membacakan dialog terbaik pada saat tes peran. Menurutku Arabella akan kaku ketika membacanya. Nah, sekarang kau pergilah dan daftarkan dirimu, seperti yang katamu ingin kaulakukan."
Elizabeth langsung merasa riang lagi.
"Tentu saja!" ia berseru, tersenyum, dan bertepuk tangan. Tapi-"
Ia memandang Julian dengan cemas.
"-Bagaimana denganmu, Julian? Kau akan ikut ambil bagian dalam drama itu, kan? Takkan menyenangkan kalau kau tak ikut. Arabella mungkin benar soal kau berperan sebagai goblin. Aku bisa membayangkannya!" Julian menguap.
"Kurasa bermain drama bukan bakatku Elizabeth," ia berkata lembut.
Patrick yang duduk jauh di ujung meja dan tengah memainkan potongan kue tar- cisnya yang terakhir, tiba-tiba menengadah mendengar kata-kata Julian.
Elizabeth baru akan berdebat dengan Julian. Ia tahu betul bahwa temannya itu aktor berbakat, Julian bisa mengeluarkan bermacam-macam suara dan pandai meniru, sekaligus lucu. Pasti sebenarnya cowok itu hanya merasa bahwa ikut serta dalam drama kelas satu itu membosankan. Ia selalu begitu. Jahat sekali!
Namun sebelum Elizabeth sempat membuka mulut untuk protes, Patrick mengeluarkan suara untuk yang pertama kalinya. Tadi ia tampak agak muram, tapi sekarang tiba-tiba gembira. Ia tak dapat menahan kecemburuannya pada sepupunya yang berbakat dan segala bisa. Mendengar Julian dipuji, sekalipun oleh Arabella, jadi membuat Patrick merasa sebal.
"Senang mendengar otakmu bisa berpikir jernih, Julian," ujarnya. "Aku tak mau menyaksikan sepupuku tersayang membuat dirinya sendiri tampak bodoh."
"Oh, jadi begitu menurutmu, ya?" tanya Julian tajam.
Mendadak ia berdiri.
"Ayo, Elizabeth. Ayo kita pergi mendaftarkan diri."
Patrick mengawasi mereka pergi, mulutnya menganga.
"Kupikir kau tak ingin ikut sandiwara itu!" ujar Patrick jengkel.
Julian menoleh melalui bahunya.
"Aku berubah pikiran," sahurnya sembarangan. "Pasti akan menyenangkan. Aku jadi punya kesempatan membuat diriku sendiri tampak bodoh!"
Tatkala mereka berdua meninggalkan aula makan dan bergegas menuju papan pengumuman sekolah, Elizabeth merasa agak kasihan pada sepupu Julian. Ia bisa melihat bahwa setiap kali Patrick menginginkan sesuatu, Julian pasti akan melakukan kebalikannya.
Ketika mereka menuliskan nama mereka dalam daftar, Elizabeth merasa penuh harapan lagi. Akan menyenangkan kalau dirinya terpilih menjadi pemeran utama dengan Julian sebagai lawan mainnya. Julian akan membuat segalanya mengasyikkan.
Siapa lagi yang telah mendaftarkan diri?
Elizabeth melihat nama-nama yang tercantum di situ. Lebih banyak cewek daripada cowok. Tapi ada satu nama yang agak tak terduga.
"Lihat, Julian!" ia berseru. "Daniel Carter juga mendaftar."
Sepanjang makan siang, seperti biasanya, Daniel duduk diam-diam sambil membaca buku di bawah meja dan tidak sedikit pun tertarik pada pembicaraan tentang drama itu. Daniel memang tak pernah mengikuti kegiatan apa pun yang mungkin dapat dihindarinya.
"Mengejutkan," ujar Julian. "Apakah menurutmu dia ingin mendapatkan peran utama cowok, peran goblin?"
Elizabeth tertawa gembira.
"Kalau ada kau, Julian," sahutnya, "kurasa dia harus membuang jauh-jauh harapannya itu."
Bab 3
Isyarat Misterius dari Daniel
Di pelajaran Bahasa Inggris keesokan harinya, Daniel sama sekali tak tampak seperti orang yang berharap bisa memenangkan peran yang baik dalam drama. Ia bahkan kelihatan agak tak senang dengan segala hal tentang pentas itu!
"Ini untukmu, Daniel," ujar Miss Ranger gembira saat guru itu selesai membagi- bagikan salinan naskah sandiwara pada mereka yang mendaftarkan diri. "Setelah membacanya, kau akan tahu bahwa cerita ini amat bagus. Aku ingin agar kau mempelajarinya beberapa hari ke depan dan memutuskan peran mana yang akan kau- coba. Kau harus menghafalkan beberapa baris kalimat dari peran favoritmu. Dan-" Miss Ranger menengadah dan tersenyum pada semua anak "-hal yang sama juga berlaku pada kalian semua. Cobalah menghafalkan beberapa baris kalimat yang ingin kalian ucapkan pada tes peran minggu depan. Kalian akan lebih mudah memainkan peran itu kalau dilakukan tanpa membaca naskah."
"Saya sudah menghafal beberapa bagian yang ingin saya perankan!" seru Arabella sombong.
"Kau yakin?" tanya Miss Ranger ramah. Ia tahu tentang kesulitan anak yang paling tua di kelas itu dalam menghafalkan sesuatu.
Elizabeth senang karena tes peran masih beberapa hari lagi. Tes peran itu akan diadakan pada jam-jam pelajaran Bahasa Inggris minggu depan dan dua kepala sekolah akan ikut duduk dalam beberapa tes untuk menjadi juri! Arabella memang telah mencuri start, tapi kini mereka semua mendapatkan kesempatan mengejar ketinggalan. Ini menggembirakan.
Tapi Daniel tak sedikit pun tampak senang. Elizabeth yang tengah duduk di sudut meja Julian dan dengan bersemangat menelusuri lembaran naskah, memperhatikan betapa malasnya cowok berambut pirang itu mengambil salinan naskah bagiannya. Bahkan ia anggota kelas yang terakhir mengambil naskah. Kini ia berjalan kembali ke mejanya, membuka laci, dan memasukkan naskah tadi ke dalam, tanpa sedikit pun memandangnya. Lalu ia duduk dan melipat tangan.
Ketika Miss Ranger berbicara pada seluruh kelas, Daniel tampak makin murung. Miss Ranger memberitahu mereka bahwa nantinya latihan sandiwara akan memakai waktu di luar jam sekolah-dan di alam terbuka. Karena Pentas Drama Musim Panas selalu dilangsungkan di luar ruangan, maka latihan akting di luar akan baik bagi murid-murid!
Daniel membenci segala macam bentuk kegiatan di luar ruangan. Ia salah seorang dari sedikit anak di Whyteleafe yang punya kamar pribadi mungil di loteng di atas kamar- kamar asrama. Musim panas maupun musim dingin, ia menyukai kamar mungilnya yang nyaman tepat di bawah atap, tempat ia dapat membaca buku-buku cerita favoritnya sepuasnya.
"Jadi, mereka yang terpilih harus bersiap-siap meluangkan waktu," Miss Ranger menyimpulkan. "Masih banyak tugas yang harus kita selesaikan dalam pelajaran Bahasa Inggris. Ingat, kalian akan menghadapi ujian di akhir semester dan itu juga sangat penting bagi mereka yang ingin naik ke kelas dua pada bulan September. Jadi sekarang," Miss Ranger tiba-tiba bertepuk tangan, "harap semua berhenti bicara dan kembali ke meja masing-masing, keluarkan buku ejaan Bahasa Inggris kalian."
Tapi saat itu Elizabeth masih terus mengobrol dengan Julian.
"Sepertinya ceritanya menyenangkan, ya, Julian? Aku bisa membayangkanmu jadi Jonkin! Aku tak keberatan sama sekali meluangkan waktu senggangku kalau aku terpilih, bagaimana denganmu? Aku bakal harus membolos latihan piano beberapa kali! Tapi apakah kau memperhatikan sesuatu?" Ia merendahkan suara sampai berbisik. "Kau lihat tidak, betapa murungnya tampang Daniel sejak tadi? Aku tak percaya ada anak yang benci main sandiwara, khususnya di luar ruangan! Kalau begitu, kenapa dia mendaftarkan diri?"
"Barangkali ada satu jawaban sederhana," Julian balik berbisik. Ia juga telah memperhatikan sikap Daniel. "Aku sama sekali tak yakin bahwa cowok malang itu sungguh-sungguh ingin ikut main sandiwara. Kurasa salah satu guru telah menyuruhnya mendaftarkan diri. Barangkali Miss Ranger yang melakukannya. Para guru pasti agak khawatir karena Daniel tak pernah ikut serta dalam kegiatan apa pun."
"Oh, Julian! Kau memang pintar!" sahut Elizabeth. "Ya, pasti itu jawaban-"
"ELIZABETH!" seru Miss Ranger. "Tolong hentikan percakapan kalian dan turun dari meja Julian. Julian, tolong keluarkan buku ejaan Bahasa Inggrismu seperti yang telah kuperintahkan tadi. Kurasa kalian berdua harus dipisahkan."
Miss Ranger menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan dan menunjuk ke satu meja kosong yang berdiri sendirian di bagian belakang kelas di bawah jendela yang terbuka.
"Elizabeth, ambil buku-bukumu dan pindah ke meja di belakang. Kau amat suka berbicara, jadi kurasa lebih baik kau di sana." Miss Ranger berbicara pada gadis kecil itu dengan ramah. "Kau akan terbebas dari godaan di sana, dan aku tahu aku bisa mempercayaimu untuk memusatkan perhatian pada pelajaran dan belajar giat walaupun berada di belakang sana."
"Baik, Miss Ranger," jawab Elizabeth.
Julian memandang temannya dengan pandangan minta maaf, tapi Elizabeth sama sekali tak keberatan. Ia tahu Miss Ranger telah mengambil tindakan yang terbaik, lagi pula tempat itu sangat menyenangkan karena di dekat jendela yang terbuka. Aroma lembut musim panas terbang dibawa angin yang hangat. Hal terakhir yang diinginkan Elizabeth pada saat ini adalah kehilangan salinan naskah sandiwaranya gara-gara mengobrol dengan teman-teman di kelas. Kini segala godaan untuk melakukan itu telah tersingkir.
Ia merenungkan kata-kata Julian barusan. Daniel yang malang! pikirnya.
Namun di hari yang sama, di penghujung siang, Daniel membuat kejutan untuk mereka lagi.
Begitu semua pelajaran usai hari itu, Elizabeth dan Julian pergi sebentar untuk menunggang kuda poni di lapangan sekolah. Mereka muncul dari balik pepohonan setelannya, turun, dan menuntun kuda-kuda mereka kembali ke istal sekolah. Seorang anak cowok tengah bersandar pada salah satu pintu istal, seolah-olah sedang menikmati sinar matahari. Ia melambai dengan riang ketika melihat mereka dan berlari menyambut.
Kedua sahabat itu melepaskan pelana dan menepuk-nepuk kuda-kuda mereka, sambil saling bertukar pandang keheranan. Mengejutkan melihat Daniel berada di alam terbuka! Ia juga tampak sangat gembira. Pipinya bersemu merah dan ada aura kebahagiaan terpancar dari dirinya. Apa yang telah membawa perubahan besar ini padanya? Ini sungguh membingungkan.
"Bukankah ini hari yang hebat?" ia mengulangi, begitu pelana telah dilepaskan dari kuda-kuda poni itu. "Sini. biar kubantu kalian menyimpan tali kekang dan pelana serta mengantarkan kuda-kuda kalian pada petugas istal."
"Sungguh?" ujar Julian, berterima kasih.
"Kau baik sekali, Daniel," sahut Elizabeth.
Mereka melepas tali kekang dan pelana kuda-kuda poni, lalu sedang bersiap-siap pergi ketika-
"Apakah kalian tahu kapan Rapat Besar yang akan datang diadakan?" anak itu bertanya dengan semangat.
"Jumat," sahut Elizabeth. "Kenapa?"
"Mau menyampaikan pengaduan, Daniel?" tanya Julian menggoda. "Atau mungkin keluhan?"
Wajah anak itu bersemu merah.
"Tidak, tidak sama sekali. Tak seorang pun sudah melakukan sesuatu yang membuatku jengkel saat ini," ujarnya bersungguh-sungguh. "Aku punya permintaan khusus pada rapat nanti, hanya itu. Permintaan yang sangat istimewa!"
"Apa itu?" tanya Elizabeth tertarik.
"M-maafkan aku, aku tak dapat mengatakannya pada kalian. Belum bisa..."
"Oh, ayolah!" pinta Elizabeth. "Kenapa kau tak dapat mengatakannya pada kami?"
"A-aku harus melihat perkembangannya dulu" gumam anak itu. "Maaf. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Aku tak bermaksud membuat kalian penasaran..."
Ia tampak menyesal.
"Tak masalah" kata Julian, sambil ber-balik untuk pergi.
Daniel buru-buru menyusulnya dan menyambar lengan Julian.
"Tapi please, saat aku meminta... ketika aku akhirnya benar-benar jadi meminta hal ini dalam Rapat Besar, kuharap kalian berdua mau mendukungku. Please."
Kini rasa ingin tahu Elizabeth makin besar.
"Aku yakin, kami akan mendukungmu kalau kami bisa, Daniel."
"Begitu kami tahu apa yang harus didukung!" tawa Julian.
Kejadian itu amat mengejutkan. Kedua sahabat itu membicarakannya sepanjang perjalanan kembali ke gedung sekolah. Daniel tampak sangat berbeda dari biasanya.
"Apa yang telah terjadi padanya?" Julian bertanya-tanya. "Apakah mungkin dia cowok yang sama dengan yang bertampang begitu muram di pelajaran Bahasa Inggris pagi ini?"
Pikiran cemas tiba-tiba terlintas dalam benak Elizabeth.
"Menurutmu, mungkin tidak, penyebabnya adalah karena dia telah membaca naskah? Dan dia menyadari betapa hebatnya drama itu dan peran Jonkin, dan betapa ini bisa jadi kesempatan besar baginya untuk terkenal...?"
Elizabeth tak suka bila peran Jonkin dimainkan oleh anak lain, selain Julian.
"Jelas tidak! Bila memang begitu, dia akan kembali ke kamar mungilnya untuk menghafalkan naskah dengan sungguh-sungguh. Dia takkan bersenang-senang di alam terbuka," jawab Julian. "Tidak, aku yakin bukan itu penyebabnya. Tapi pasti memang ada sesuatu yang mengubahnya, jelas."
"Apakah hal itu mungkin berhubungan dengan permintaan misterius yang ingin dia sampaikan pada Rapat Besar?" renung Elizabeth. "Aku tak dapat membayangkan apa yang ingin diajukannya."
"Kita akan mendapat jawabannya," ujar Julian ringan, "tak lama lagi."
Bab 4
Rapat Besar yang Menarik
Di hari Jumat, akhir pelajaran selama seminggu, Elizabeth berlari ke asrama dan bersiap-siap menghadiri Rapat Besar. Ia mencuci tangan, menyisir rambut, dan memutuskan bahwa hari ini ia akan memakai jaket sekolahnya, sekalipun jaket itu masih agak kebesaran. Saat mengancingkan kancing-kancing jaketnya yang berwarna perak mengilap sambil memandang cermin, ia merasa senang dan kerasan.
Ia bangga memakai jaket itu dan menjadi anggota Sekolah Whyteleafe. Ia kagum pada cara William dan Rita, ketua murid laki-laki dan perempuan, memimpin jalannya Rapat Besar. Dalam rapat itu semua keputusan penting tentang segala permasalahan yang timbul ada di tangan murid-murid, tanpa campur tangan para guru.
Ketika Elizabeth beriringan memasuki aula bersama Belinda, Kathleen, dan Jenny ia melihat arlojinya. Mereka terlalu cepat datang. Tapi seseorang telah lebih dulu tiba di situ.
Daniel, yang biasanya menjadi salah seorang yang datang terakhir, duduk di deretan terdepan di ujung bangku panjang yang kosong. Anak-anak cewek itu mengambil tempat di sampingnya dan Elizabeth menyadari betapa rapinya penampilan Daniel. Ia duduk tegak, tangan dilipat, menunggu rapat dimulai. Ia tampak sangat tegang. Masih ada aura kegembiraan yang sama pada Daniel seperti beberapa hari yang lalu.
Anak-anak lain, seperti halnya Elizabeth dan Julian, telah menyadari perubahan dalam diri Daniel. Sekalipun buku masih menemaninya ke mana pun ia pergi, ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar ruangan. Ia tampak lebih gembira dan hidup. Bahkan ia mulai tertarik pada Pentas Drama Musim Panas. Sebenarnya ia telah berlatih beberapa peran yang berbeda dan dengan malu-malu meminta Martin untuk mengujinya.
Well, kini kita semua akan menemukan penyebabnya, akhirnya, pikir Elizabeth. Daniel tampak begitu bersemangat mengajukan permintaan istimewanya, apa pun itu!
Kedua belas pengawas sekolah masuk dan mengambil tempat mereka di panggung di belakang William dan Rita, yang duduk di meja khusus. Di atas meja itu tergeletak sebuah buku besar. Kejadian-kejadian penting yang terjadi dalam rapat selalu dituliskan dalam Buku Besar. Pemandangan di situ selalu mengingatkan Elizabeth pada ruang pengadilan, dengan William dan Rita sebagai hakim dan para pengawas sebagai juri.
Aula segera penuh sesak begitu semua kelas hadir. Miss Belle dan Miss Best, dua kepala sekolah, dan Mr. Johns, guru senior, duduk diam-diam di kursi khusus yang disediakan untuk mereka, di bagian belakang aula. Mereka hadir sebagai pengamat dan tak pernah ikut campur dalam rapat, kecuali kalau nasihat mereka diminta.
Ketika semua orang sudah duduk dan celoteh ramai mereka semakin lama semakin keras, William mengangkat palu kecil dan memukulkannya ke atas meja dengan keras.
"Harap tenang! Rapat Besar akan segera dimulai."
Seperti biasa, Elizabeth menyambut ketukan palu itu dengan getaran kesenangan. Di sekelilingnya langsung hening. Apa yang akan dihasilkan rapat hari ini?
"Pertama-tama, keuangan," ujar William. "Banyak di antara kalian yang membawa uang sekembalinya dari liburan. Thomas sedang mengedarkan Kotak Dana Sekolah dari baris ke baris. Tolong masukkan semua uang kalian ke dalamnya."
Terdengar suara gemerisik uang kertas dan gemerincing uang logam yang dengan riang dimasukkan anak-anak ke dalam kotak besar itu. Ada uang yang dikirimkan melalui pos untuk beberapa anak yang ikut berkemah. Uang-uang itu juga dimasukkan ke dalam kotak. Sekolah Whyteleafe punya peraturan tegas bahwa semua uang saku harus dikumpulkan lalu dibagikan secara adil, sehingga tak ada murid yang mendapatkan keuntungan lebih dibanding yang lain.
Setelah itu, setiap anak di sekolah dibagikan dua pound. Itu adalah uang saku selama seminggu.
"Sekarang, apakah ada permintaan untuk mendapatkan uang lebih?" tanya ketua murid perempuan.
Eileen mengangkat tangan.
"Rita, aku telah memutuskan senar raketku dalam latihan tim kemarin. Padahal dalam waktu dekat kami akan bertanding, tapi setelah Mr. Warlow memeriksanya, beliau merasa raket itu telah usang dan aku sungguh membutuhkan raket baru, yang lama akan tetap disimpan sebagai cadangan."
Rita berdiskusi singkat dengan William dan mereka berdua mengangguk.
"Semester ini, raket tenismu memang sering kali mengalami tempaan dan siksaan demi mengabdi pada sekolah kita, Eileen," senyum Rita. "Tak heran kalau raket itu sudah usang. Kau akan diizinkan mengambil dana untuk membeli yang baru."
Patrick, yang bermain dalam tim kedua bersama Eileen, tampak senang. Kini Eileen bisa bermain dengan lebih baik lagi.
Permintaan berikutnya lebih sulit untuk dikabulkan.
Salah seorang anggota kelas junior (yang selalu duduk bersila di lantai di muka bangku paling depan) berdiri.
"Aku sangat menyukai tenis dan kami telah memulai latihannya, tapi aku tak punya raket. Ada raket di toko barang-barang bekas sekolah dan harganya hanya lima pound. Bolehkah aku mendapatkan uang saku tambahan untuk membelinya?"
Kedua ketua murid mendiskusikan permintaan itu dengan para pengawas. Setelah dua atau tiga menit, mereka kembali duduk dan William meminta agar para hadirin tenang.
"Kami rasa kami tak dapat mengeluarkan uang untukmu, Henry, soalnya itu tidak adil bagi para junior lain yang tidak memiliki raket sendiri. Yang dapat kami usulkan adalah kau menyimpan uang sakumu selama dua minggu ke depan. Ditambah uang saku hari ini, berarti enam pound."
Anak kecil itu tampak amat kecewa. "Tapi, William, itu berarti uang sakuku untuk beli permen dan lain-lain tinggal satu pound, dan itu harus bertahan sampai tiga minggu ke depan!"
"Ya, Henry," sahut Rita lembut. "Usulan ini penawaran bagus untuk mengujimu. Sementara kau berlatih, ini bisa membantumu mengetahui seberapa besar rasa sukamu pada tenis dan seberapa inginnya kau memiliki raket sendiri tanpa menggunakan uang kas sekolah. Pikirkan dulu masak-masak. Beritahu kami Keputusanmu di akhir rapat."
"Baik, Rita."
"Ada lagi yang membutuhkan uang?" Rita bertanya.
Elizabeth memandang ke ujung bangku ke arah Daniel. Namun anak itu tetap diam.
Jadi apa pun yang ingin dimintanya, tidak berhubungan dengan uang.
Rapat dengan cepat beralih kepada diskusi soal perkemahan sekolah. William menyampaikan terima kasihnya pada para pengawas tenda, menjelaskan bahwa mereka semua telah melaksanakan tugas dengan memuaskan. Sambil duduk di panggung, Joan tampak bangga dan melambai penuh terima kasih pada Elizabeth. Hanya mereka berdua yang tahu apa saja masalah yang pernah dihadapi Joan sebagai pengawas tenda dan bagaimana mereka mengatasinya.
Setelah itu tiba giliran untuk keluhan dan pengaduan.
Untuk minggu ini tak ada yang mengajukannya.
"Bagus," ujar William. "Masih ada satu hal penting lagi yang perlu kita bicarakan. Setelah itu baru kita akhiri dengan hal lain..."
"Saatmu hampir tiba, Daniel," bisik Elizabeth sambil tersenyum. "Sebentar lagi kau dapat mengajukan permintaanmu."
"Aku tahu!" angguk Daniel, nampak bersemangat dan gembira.
Tiba-tiba Elizabeth menyadari betapa serius wajah William.
"Aku menyesal harus menyampaikan hal ini," William berkata, "karena masalah yang kini akan kita bicarakan adalah masalah yang serius. John, silakan berdiri dan tolong sampaikan pada Rapat Besar apa yang telah kauberitahukan pada Rita dan aku."
John Terry, ketua murid bagian kebun sekolah dan salah satu orang yang disukai Elizabeth, berdiri. Cowok itu suka berterus terang, berbicara blak-blakan, dan sangat berbakat dalam berkebun, tapi tidak dalam berbicara di depan umum.
"Ada orang bodoh yang mencabuti tanaman stroberi!" semburnya dengan pipi yang memerah karena marah. "Anak itu terlalu rakus untuk menunggu buah-buah itu masak! Aku yakin dia mencabuti tanaman itu untuk melihat kalau-kalau buah beri di bawahnya sudah cukup merah. Dia menarik tanaman-tanaman sampai ke akar-akarnya, padahal buah-buahnya masih hijau!"
Aula dipenuhi suara terperangah heran. Terdengar suara berbisik-bisik dari barisan tempat anak-anak duduk. Perbuatan yang amat hina. Padahal satu bulan lagi, setelah dimatangkan oleh matahari, kebun sekolah seperti biasa akan menghasilkan stroberi merah yang besar dan manis- melimpah ruah. Stroberi dan krim untuk teman minum teh... Mereka semua suka musim stroberi! Tapi tanaman apa pun yang telah dicabut sampai ke akar-akarnya akan mati sebelum buah-buahnya masak betul.
"Betapa rakus dan bodohnya!" bisik Elizabeth.
"Rakus, konyol, dan tolol," Kathleen setuju.
William memukul palu agar aula tenang. Masih ada kejutan lain. Ia memegang sesuatu di antara jempol dan telunjuknya. Semua orang melihat pada benda itu.
Ternyata kancing jaket berwarna perak mengilap.
"Ini sangat menarik," ujarnya. "Pelakunya telah kehilangan kancing jaket ketika mencabuti stroberi. John menemukannya tergeletak di antara tanaman-tanaman yang telah dicabuti. Siapa yang merasa bertanggung jawab harap mengaku sekarang," ia berkata dengan kesedihan yang dalam, "agar kami dapat mengembalikan kancing jaket ini..."
Hening.
"Harap berdiri dan mengaku," ulang William.
Mereka semua menahan napas dan menunggu. Setengah menit berlalu sudah. Tapi tetap saja tak seorang pun bergerak.
"Baiklah," ujar William, akhirnya. "Tak diragukan lagi, siapa pun yang telah melakukan tindakan bodoh ini pasti juga memiliki teman dan rekan sekelas. Mereka akan bisa melihat siapa yang telah kehilangan kancing jaket. Kuharap mereka dapat membujuk pelakunya untuk datang ke ruang kerja kami dan mengaku. John punya banyak tugas di kebun bagi mereka. Nah, sekarang, apakah masih ada urusan lain yang perlu disampaikan sebelum rapat ditutup?"
Karena masih terkejut dengan kejadian tadi, Elizabeth sempat lupa sama sekali pada permintaan khusus Daniel. Namun ia memandang anak itu sekarang. Daniel sendiri tampaknya juga sudah melupakan niatnya! Ia hanya duduk diam sambil menatap kosong ke depan.
"Ayo, Daniel!" bisik Elizabeth sambil menyikutnya.
Anak itu terkejut. Lalu secara perlahan ia mengangkat tangan.
"Ya, Daniel?" tanya Rita.
"Aku... aku..." Anak cowok berambut pirang itu berdiri, tampak begitu canggung. Begitu saat-saat yang ditunggunya tiba, ia tampak malu dan kehilangan kata-kata. Daniel yang malang! Elizabeth merasa kasihan padanya. Pasti permintaan itu amat penting baginya. Daniel pasti merasa gentar menyampaikannya di hadapan seluruh sekolah seperti ini.
"Ayo!" Elizabeth menyemangati.
"Bolehkah aku membantu merawat kuda-kuda, membersihkan kandang-kandang mereka, dan hal-hal lain?" semburnya. "Aku tahu Robert kadang-kadang melakukannya, dan aku juga ingin membantu."
Rita menatap Daniel dengan terheran-heran. Permintaan itu hal yang hampir tidak perlu disampaikan di Rapat Besar.
"Well, hanya pengurus kandang yang dapat memutuskan hal itu, Daniel," sahut Rita lembut. "Aku yakin dia akan senang mendapatkan bantuan tambahan dan dapat mencarikan tugas untukmu. Kau harus ke sana dan berbicara dengannya tentang hal ini."
Daniel duduk. Wajahnya memerah.
Elizabeth memandang padanya, takjub. Anak itu tak pernah sedikit pun tertarik pada kandang kuda sebelumnya. Ia salah satu dari sedikit murid yang tak pernah menunggangi kuda. Tapi, di atas segalanya, entah bagaimana Elizabeth merasa tertipu. Kecewa. Kenapa Daniel sampai harus membuat permintaan itu kedengaran seperti masalah besar?
"Mengecewakan sekali!" ujar Elizabeth pada Julian setelah Rapat Besar. "Apa yang begitu khusus dari permintaan itu? Kenapa ia sampai memohon pada kita untuk mendukungnya tempo hari? Kekhawatiran yang sia-sia! Oh, Julian, menurutku anak itu memang aneh!"
"Ia memang membingungkan," sahut Julian sambil mengangkat bahu. "Tapi aku lebih tertarik pada misteri pengrusakan tanaman stroberi."
Bab 5
Pelaksanaan Tes Peran
"Misteri pengrusakan tanaman stroberi? Kau benar, Julian," angguk Elizabeth. "Itu memang lebih menarik!"
Elizabeth merasa jengkel pada Daniel karena telah membuatnya penasaran soal sesuatu yang sepele. Tapi Rapat Besar telah memberi mereka sesuatu yang lain untuk dipikirkan! Kasihan John. Ia pasti kaget sekali mendapati sebagian tanamannya dicabut. Elizabeth jelas berniat untuk menghabiskan sebagian waktunya di kebun sekolah akhir minggu ini dan mengajukan diri untuk membantu mengerjakan tugas-tugas di sana. Dapatkah tanaman-tanaman itu diselamatkan?
"Yang membingungkan bagiku adalah kenapa mereka tidak mengaku saja," ujar Julian. "Anak-anak kan biasa melakukan itu."
"Terlalu takut, mungkin!" desah Elizabeth. "Terlalu takut dan bernyali kecil."
"Tapi pelakunya pasti tahu kalau pada akhirnya dia akan ketahuan juga" Julian berpikir sambil membenamkan tangan dalam-dalam ke saku celananya. Ia memandangi tiga kancing berwarna perak mengilap pada jaket Elizabeth. "Jaket sekolah kita cuma punya tiga kancing. Kalau ada yang kehilangan satu, maka dia takkan dapat menyembunyikannya!"
"Ya," Elizabeth setuju. "Dan kenapa orang itu memakai jaket waktu melakukan aksinya? Aku takkan mau memakai jaket ini saat mencabuti tanaman di kebun sekolah."
"Itulah yang kupikirkan," sahut Julian.
"Tapi untung dia memakainya!" ujar Elizabeth riang. "Kancing jaket itu menjadi petunjuk yang bagus. Orang yang melakukannya bisa lebih cepat tertangkap. Kita bisa ikut menyelidiki, Julian. Kita mulai dengan mengamati anak-anak yang memakai jaket sekolah."
"Salah besar, Elizabeth!" jawab Julian.
"Salah, kenapa?" tanya Elizabeth jengkel.
Julian tampak senang.
"Justru kita harus memulainya dengan mengamati anak-anak yang tidak memakai jaket sekolah. Pasti ada seseorang di suatu tempat yang tidak pernah mau memakai jaketnya karena alasan tertentu!"
"Karena terlalu takut?" tebak Elizabeth. "Oh, tentu saja."
"Ya. Dan itu berarti aksi kita ini akan jadi jauh lebih sulit. Tantangan yang menarik."
Mereka sepakat untuk memasang mata lebar-lebar. Namun bukan hanya mereka berdua yang berniat begitu.
Misteri pengrusakan tanaman stroberi menjadi topik pembicaraan utama pada acara minum teh hari itu. Semua anak yang memakai jaket sekolah menjadi pusat perhatian, termasuk Elizabeth! Ia langsung kesal menghadapi godaan anak-anak soal dirinya yang dijuluki "Cewek Paling Badung", ketika mereka mendekat untuk menghitung kancing jaketnya!
Keesokan paginya, Elizabeth pergi menuju kebun sekolah. Ia melihat John Terry tengah menggelar net di atas rumpun tanaman stroberi. Ia sangat senang melihat kedatangan Elizabeth.
"Halo, Elizabeth. Senang sekali kedatangan pembantu terbaikku! Pekerjaan ini akan lebih cepat selesai kalau dikerjakan berdua."
Elizabeth merasa lega melihat sebagian besar tanaman stroberi itu tetap tidak tersentuh dan tumbuh rimbun, berbuah banyak berwarna hijau. Tanaman-tanaman yang telah dicabut dari deretan pertama kini telah dirapikan dan ditumpuk di sebelah jalan setapak. Tanaman-tanaman itu telah mulai layu dan tak bisa diselamatkan lagi. Elizabeth memperhatikan, sebagian besar tanaman itu tampak tak subur dan kurus, dengan hanya sedikit buah menggantung di sana. Ternyata kerusakan pada ladang stroberi tidaklah seburuk yang disangka. Bodoh sekali orang yang menyangka akan menemukan buah- buahan masak dengan cara ini.
"Biasanya aku tidak memasang net secepat ini," John menjelaskan, tatkala mereka membuka gulungan panjang net berwarna hijau dan dengan hati-hati menggelarnya di atas rumpun tanaman stroberi. "Ini berguna untuk menghalau burung-burung yang ingin memakan buah-buah yang sudah masak-terutama burung-burung hitam! Mereka tak pernah tertarik untuk mampir ke sini sampai melihat buah-buah stroberi yang merah dan lezat dan berada dalam kondisi siap panen! Kalau melihat burung hitam mematuk-matuk buah stroberi, kau bisa yakin bahwa buah itu telah mencapai kondisi yang sempurna!"
"Pintar sekali mereka!" Elizabeth tertawa, air liurnya menetes ketika teringat hari-hari yang penuh dengan stroberi dan krim di akhir semester musim panas yang lalu. "Kira-kira bagaimana mereka bisa tahu, ya? Jadi kauputuskan untuk menyiapkan pertahanan diri lebih awal?"
"Ya," angguk John.
Ketika net itu telah terpasang pada tempatnya, mereka menyemat ujung dan seluruh sisi net ke tanah dengan pasak-pasak kecil. Burung-burung itu, John menjelaskan, akan menerobos masuk melalui pinggir net kalau mereka melihat ada lubang yang cukup besar.
"Namun terkadang mereka tak dapat menemukan jalan keluar!" ia menjelaskan. "Mereka menjadi panik sebelum sempat melarikan diri. Kadang-kadang kau dapat menemukan seekor burung tersangkut di net, sehingga kau harus membebaskannya. Tapi hal itu takkan terjadi dalam waktu dekat."
Ketika mereka selesai, Elizabeth berdiri dan meregangkan punggungnya. Capek juga. Ia memeriksa penutup tanaman stroberi itu sambil mendesah puas.
"Apakah pemasangan net yang lebih cepat ini juga berhubungan dengan perusakan tempo hari, John?" ia bertanya perlahan.
John mengangguk.
"Ya. Kalau ada anak yang tergoda untuk mengusik tanaman stroberi lagi, maka net ini akan mengingatkan mereka," ujarnya. "Dasar orang tak tahu aturan. Aku amat terkejut karena tak ada yang mengaku. Tapi kancing jaket itu akan menunjukkan siapa pelakunya."
"Pasti," Elizabeth setuju. "Dan aku yakin orang itu takkan berani melakukannya lagi!"
Kemudian ketika Elizabeth menemui Julian, ia tahu bahwa cowok itu telah berkeliling bersama Harry menanyai anak-anak tentang kancing jaket yang hilang tersebut.
"Kami banyak menerima jawaban kasar," ujar Julian sambil tersenyum lebar. Ia menguap. "Ini membuktikan bahwa tugas kita memang bakal sulit."
"Kerusakan tanaman stroberi ternyata tidak seburuk seperti yang dikatakan John," kata Elizabeth. "Masih ada cukup banyak stroberi yang bisa dijadikan teman minum teh di akhir semester ini! Barangkali lebih baik kita menunggu sebentar sampai ada yang mengaku. Oh, Julian, tentunya akan ada yang mengaku, kan?"
Kini pikiran Elizabeth kembali melayang ke Pentas Drama Musim Panas.
Dalam perjalanan dari kebun setelah membantu John Terry, ia melihat Arabella, dan teman setianya, Rosemary, di dekat pohon cedar. Arabella berlatih mengucapkan beberapa kalimat yang sudah dihafal-kannya, sementara Rosemary memegang naskah dan berperan sebagai juru bisik.
Kini setelah membaca Petualangan di Hutan Ajaib dari awal sampai akhir, Elizabeth semakin ingin terpilih sebagai pemeran utama cewek. Begitu banyak kalimat menyenangkan yang harus diucapkan Fay, terutama dalam adegan bersama Jonkin, goblin lucu yang-sudah jelas!- hanya dapat diperankan oleh Julian.
Dan tes peran untuk kedua peran utama itu akan dilakukan lebih dulu pada hari Senin! Kedua kepala sekolah akan datang untuk menyumbangkan pendapat, walaupun keputusan akhir tetap berada di tangan Miss Ranger. Akhir minggu depan, dalam jam pelajaran Bahasa Inggris berikutnya, peran-peran yang lain akan dibagi-bagikan.
"Julian, kita harus memutuskan bagian mana yang ingin kita tampilkan untuk hari Senin," ujar Elizabeth, "setelah itu kita harus menghafalkannya di luar kepala. Maukah kau mengujiku setelah aku menghafalnya?"
"Aku akan mengujimu besok," janji Julian, karena ia berencana untuk main tenis bersama Harry hari ini. "Hafalkan yang baik, ya?"
Pada hari Minggu malam, Julian masih juga belum tergerak untuk menghafalkan satu kalimat pun dan menghadapi masalah pentas drama dengan santai seperti biasa.
"Berhentilah mendesakku, Elizabeth. Aku belum memutuskan bagian mana yang ingin kutampilkan. Besok juga beres, aku jamin deh."
Elizabeth, sebaliknya, telah mempelajari tiga bagian yang berbeda dari peran Fay, mengabaikan sebagian besar PR-nya pada akhir minggu itu agar bisa berlatih.
"Aku akan memainkan ketiga bagian ini secara bergantian, Julian, lalu kaunilai bagian mana yang terbaik untukku."
Julian melihat dan mendengarkan dengan penuh perhatian dan menyarankan beberapa petunjuk berakting ketika Elizabeth berlatih melakukannya.
"Aku paling suka yang pertama," ujar Julian, pada akhirnya. "Ketika Fay terbangun di hutan dan menyadari bahwa dirinya telah berubah menjadi ratu peri dan merasa sendirian sampai Jonkin muncul dari balik pohon! Kau melakukannya dengan baik. Kau tahu? Menurutku kau bakal bisa jadi bintang sandiwara betulan!"
Julian tampak bangga waktu mengatakan itu.
Mulut Elizabeth terasa kering karena gembira.
Ia tak sabar menunggu tes peran dimulai.
Waktu tiba di kelas untuk mengikuti pelajaran Bahasa Inggris pada keesokan harinya, Elizabeth melihat Julian telah sampai lebih dulu. Cowok itu dengan santai sedang membolak-balik halaman-halaman naskahnya. Jadi ia belum juga mempelajari satu kalimat pun! Dari gerak-geriknya, Julian tampak baru saja mulai memikirkan hal itu. Elizabeth merasa jengkel. Tapi ia tahu bahwa sekarang ia harus berkonsentrasi penuh dan tak mengizinkan apa pun mengalihkan perhatiannya.
"Kita akan mulai dengan peran Fay," Miss Ranger berkata. "Belinda, kau yang pertama."
Miss Belle dan Miss Best, kedua kepala sekolah duduk di depan Miss Ranger. Belinda berdiri dan bersiap-siap mengucapkan dialognya. Sungguh menegangkan. Elizabeth mengamati dan menahan napas, bertanya-tanya seberapa baguskah akting Belinda?
Belinda memilih adegan menyentuh dalam sandiwara itu, ketika Fay menemukan Mr. Badger yang terluka di hutan. Ia berakting dengan cukup baik, sekalipun ada satu-dua kalimat yang dilupakannya. Ketika ia duduk kembali, semua anak bertepuk tangan.
"Giliranmu, Elizabeth," senyum Miss Ranger.
"Bolehkah saya duduk di lantai, di bawah jendela ini?" tanya Elizabeth. "Semua orang harus membayangkan bahwa saya sedang duduk di bawah pohon besar dan baru saja terbangun dari tidur dalam adegan pembuka sandiwara."
Kedua kepala sekolah mengangguk setuju. Mereka senang melihat sandiwara mereka mulai terwujud menjadi nyata. Semua orang di kelas berpaling untuk melihat penampilan Elizabeth. Entah bagaimana, Elizabeth telah berhasil menyita perhatian mereka.
Ia mulai dengan menggeliat, menguap, dan membuka mata.
Ia memandang ke sekelilingnya dengan terheran-heran.
"Kenapa aku ada di sini? Di manakah aku?"
Kemudian ia berdiri dan menjelajahi gaunnya dengan tangan.
"Kenapa aku memakai gaun seperti ratu peri?"
Elizabeth melanjutkan monolognya dengan sempurna, berakting sesuai dengan kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia menghela napas, terperangah, dan berputar-putar di atas kakinya ketika untuk pertama kalinya ia menemukan hutan yang indah. Semua tampak seperti sungguhan. Ia mengakhirinya dengan meng-enyakkan diri ke atas lantai lagi di bawah "pohon" tadi, suaranya terdengar sedih.
"...Tapi ketika malam tiba aku akan kesepian. Dan merindukan sahabat-sahabatku di rumah."
Elizabeth menghela napas keras, seperti yang tertulis dalam naskah.
Penampilannya seharusnya berakhir di situ. Tapi tiba-tiba Julian berdiri dari kursi, meloncat, lalu melompat kecil ke arah meja Elizabeth dan bersembunyi di belakangnya. Ia mengintip ke arah Elizabeth dari sudut meja, berpura-pura menganggap meja itu sebagai pohon. Wajahnya dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai goblin, mata hijaunya bersinar-sinar, lalu ia memainkan peran Jonkin-
"Jangan takut, jangan ragu,
Ayo ikut, padukaku. Ayo ikut!"
Ia menarik Elizabeth berdiri dan menari-nari dengannya ke sekeliling meja-
"Paduka akan temukan teman-teman baru di hutan hijau ini, Dan kau si ratu peri akan mereka sukai!"
Kejadian itu sungguh tak terduga sehingga Elizabeth tertawa gembira. Tes perannya sungguh-sungguh berakhir sekarang dan teman-teman sekelasnya bersorak dan bertepuk tangan. Para guru juga ikut tersenyum. Tapi Miss Ranger mengangkat tangan untuk menenangkan kelas.
"Bagus sekali, Julian. Tapi kita belum menguji peran Jonkin. Giliranmu akan tiba beberapa menit lagi. Terima kasih, Elizabeth. Sekarang kita akan melihat penampilan Arabella."
Arabella adalah cewek ketiga dan terakhir yang ingin mencoba memerankan Fay. Ia berdiri, wajahnya pucat karena tegang.
"Tapi, Miss Ranger, saya juga mempelajari adegan yang sama dengan Elizabeth. Bagian pembukaan. Dan saya juga berencana untuk duduk dan bersandar pada dinding, persis seperti yang dilakukan Elizabeth."
"Tidak apa-apa, Arabella," ujar Miss Ranger lembut.
Cewek berambut pirang itu, yang tampak secantik lukisan, beranjak dan duduk di lantai di bawah jendela-persis seperti yang telah dilakukan Elizabeth.
Sambil menggigit bibir karena jengkel, Elizabeth memaksa dirinya melihat dan mendengarkan ketika saingannya itu mengulang semua yang telah dilakukannya. Ia menggeliat, menguap, membuka mata...
"Kenapa aku ada di sini? Di manakah aku?"
Arabella berusaha keras untuk mengekspresikan perasaannya. Usaha yang bagus- dan tak diragukan lagi wajahnya memang cocok untuk memainkan peran itu.
Tapi dalam kalimat kedua, ia membuat kesalahan konyol.
Dengan berhati-hati ia meniru gerak-gerik Elizabeth lalu dengan lembut merapikan gaunnya sambil berkata-
"Kenapa aku memakai ratu seperti gaun peri?"
Suara dengusan dan kikikan pecah di sekeliling ruang kelas dan Miss Ranger harus memukul meja untuk menenangkannya. Dengan terbata-bata, Arabella membetulkan kata-katanya dan melanjutkan monolog pembukanya.
Kecuali salah mengucapkan beberapa kalimat lagi, dan benar-benar melupakan salah satunya, penampilan Arabella sungguh menakjubkan. Anak-anak memberinya tepukan riuh di akhir penampilan. Guru-guru juga ikut bertepuk tangan. Ketika Arabella kembali ke kursinya, bersemu merah karena gembira, Elizabeth mulai merasa amat tegang.
"Sekarang kita akan melakukan tes peran Jonkin," umum Miss Ranger. "Setelah itu aku akan mengadakan pembicaraan tertutup dengan Miss Belle dan Miss Best. Lalu di akhir pelajaran, kami akan meng umumkan hasilnya."
Elizabeth nyaris tak dapat menahan ke tegangannya.
Bab 6
Elizabeth Kelewat Gembira
Beberapa anak cowok ingin ikut serta dalam sandiwara, terutama untuk peran Mr. Badger dan Mr. Grasshopper. Keduanya memiliki karakter yang bagus! Berani bertaruh, kedua peran itu akan diperebutkan pada akhir minggu ini. Tapi hanya dua anak cowok yang mencoba peran Jonkin, karena peran itu sulit.
Anak cowok yang satunya adalah Daniel. Ia yang dipanggil duluan dan bahkan ia sendiri pun tampak ragu-ragu.
"Aku... aku tidak begitu yakin ingin mencoba peran ini," ujarnya dengan kaku. "Tak begitu yakin."
"Ayolah, Daniel," bujuk Miss Ranger. "Kau pasti bisa melakukannya."
Elizabeth menyadari bahwa anak cowok berambut pirang itu merasa malu. Memang aneh melihat Daniel kembali lagi pada kebiasaan lamanya akhir-akhir ini. Minggu lalu ia tampak begitu berbeda, sangat hidup dan ceria, bahkan ia meminta Martin untuk mengujinya berlatih sandiwara! Namun sejak saat itu, ia berubah seperti dulu lagi. Memang betul bahwa setelah berbicara dengan petugas istal, ia banyak menghabiskan waktu di istal sekolah. Namun Robert mengeluh karena anak itu tidak banyak membantu. Ia selalu membaca buku sepanjang waktu, atau bermalas-malasan, persis seperti biasanya. Kalau begini, lebih baik ia berada di dalam kamarnya! Anak cowok ini aneh sekali, pikir Elizabeth.
Namun Elizabeth kini merasa gelisah. Ia teringat dugaan Julian bahwa para gurulah yang telah mendesak Daniel untuk mencantumkan namanya dalam sandiwara. Mungkinkah ia akan diunggulkan oleh mereka?
Daniel memulai kalimat pertamanya, masih dengan malu-malu.
"Tunggu, Daniel!" kata Miss Ranger, mengangkat tangan. Sambil tersenyum lembut, ia merogoh ke dalam tas. "Lihat, ini mungkin bisa membantumu. Dalam sandiwara, Jonkin selalu memakai topeng. Banyak karakter binatang yang juga akan memakai topeng. Coba pakai topeng ini sambil berakting. Kau akan merasakan bahwa benda ini dapat membantumu menjiwai peran!"
Miss Ranger menyodorkan topeng padanya. Bukan topeng goblin seperti yang akan dipakai dalam Petualangan di Hutan Ajaib. Topeng itu belum dibuat. Topeng tua yang ini berasal dari peti kostum sekolah dengan ekspresi lucu, berhidung mencuat panjang dan berpipi merah jambu.
Ketika Daniel memakai topeng itu, anak-anak tertawa, dan bertepuk tangan. Elizabeth menjadi semakin gelisah. Ia semakin yakin bahwa dugaan Julian tepat. Para guru menginginkan Daniel ikut dalam sandiwara, mereka amat menginginkannya berhasil.
Kini saat ia berakting dari balik topeng, perbaikan aktingnya terlihat amat mencolok. Tampaknya ia telah mempelajari bagiannya dengan baik dan sifat pemalunya mulai hilang. Kini ia jauh lebih santai.
Penampilannya sama sekali tidak buruk.
"Selamat, Daniel," ujar Miss Belle setelannya. "Kau melakukannya dengan baik. Betul, kan. Miss Best?"
Kedua kepala sekolah tampak senang.
"Sekarang giliranmu, Julian," ujar Miss Ranger. "Dan kau juga harus memakai topeng yang sama, sehingga kami dapat menilai kalian berdua dengan adil!"
Semua anak bersorak ketika Julian memakai topeng itu dan langsung bergaya seperti goblin, meringkuk di atas kursinya.
"Aku belum menghafal satu kalimat pun," ujarnya sambil tanpa merasa bersalah mengambil naskah. "Aku hanya hafal bagian singkat yang kulakukan tadi bersama Elizabeth. Tapi-tunggu-ini ada adegan yang agak menarik, menurutku."
Sebelum Elizabeth sempat merasa jengkel lagi pada Julian karena cowok itu bersikap seenaknya, Julian telah meloncat ke depan. Bagian yang dimainkannya adalah bagian ketika Jonkin telah memutuskan akan memanggang kue untuk ratu peri secara diam- diam.
"Kuberi sejumput adas manis. Lalu bahan-bahan lain akan kucari Bunga tempat lebah mengisap sari Dan dari bunga honeysuckle, madu manis. Mentega dari bunga buttercup..."
Semua melihat dan mendengarkan dengan bersemangat. Sulit dipercaya bahwa Julian sedang membaca naskah, penampilannya begitu hebat. Ketika membacakan kalimat- kalimatnya, ia juga melakukan gerakan-gerakan yang tepat sepanjang penampilannya! Ia mengakhiri aktingnya dengan berdiri di atas tangan seperti yang tertulis dalam naskah.
Semua orang bertepuk tangan. Penampilan yang amat mengagumkan!
"Terima kasih, Julian," angguk Miss Ranger ketika Julian menyerahkan topengnya. "Tapi sebaiknya kau menghafalkan dialogmu, seperti yang lain."
Kemudian Miss Ranger menyuruh semua anak mengeluarkan buku Bahasa Inggris dan membaca dengan tenang. Ia akan berdiskusi bersama kedua kepala sekolah.
Saat ketiga orang dewasa itu berdiskusi, Elizabeth menegakkan telinga, mencoba menangkap ucapan mereka. Namun mereka berbicara dengan suara rendah yang lembut. Tak lama sesudahnya, kedua kepala sekolah keluar dari ruang kelas. Siapa yang lebih disukai si Beauty dan si Beast? Elizabeth bertanya-tanya. Karena bagaimanapun, merekalah penulis cerita sandiwara itu.
Namun Miss Ranger-lah penanggung jawab kelas satu sekaligus penyelenggara sandiwara. Maka Keputusan akhir dari tes peran ini berada di tangannya, karena ia lebih mengenal murid-muridnya.
Setelah Miss Belle dan Miss Best keluar Miss Ranger kembali dan berdiri di depan kelas untuk menyampaikan pengumuman.
"Elizabeth akan bermain sebagai Fay" ujarnya. "Dan Arabella akan menjadi pemeran penggantinya..."
Elizabeth terkesiap senang.
"Dan kami akan mencoba Julian sebagai Jonkin asalkan dia bertingkah laku sopan dan mau menghafalkan dialognya. Daniel akan menjadi pemeran penggantinya."
Elizabeth merasa lemas karena gembira ketika teman-teman sekelasnya mengelilingi dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Hebat," ujar Belinda sportif.
"Kau sungguh bagus." Julian juga mendapat ucapan selamat. Kebisingan dan keriuhan memenuhi seluruh kelas.
Ketika bel berbunyi untuk menandai tibanya akhir pelajaran, Miss Ranger menepuk tangan agar kelas hening.
"Aku tahu kalian semua sangat gembira," ujarnya. "Tapi ingat, ini masih jam pelajaran sekolah. Kita punya setumpuk tugas berat yang harus dikerjakan kalau kalian ingin berhasil dalam ujian musim panas di akhir semester ini. Pelajaran selanjutnya adalah geografi. Saya akan pergi sebentar untuk mengambil peta cuaca kita dari Mr. Johns..."
Ia menatap mereka dengan tegas.
"Ketika aku kembali ke kelas ini, aku ingin melihat kalian semua duduk di meja masing-masing dengan tenang. Ambil buku-buku geografi kalian dan bersiap-siap untuk menerima pelajaran selanjutnya."
Permintaan Miss Ranger terlalu sulit untuk dikabulkan. Begitu beliau pergi, dengung celotehan kelas langsung terdengar. Elizabeth, seperti biasanya, bersikap terlalu gembira.
Rasanya begitu menegangkan, menunggu hasil tes peran tadi. Kini impiannya telah tercapai. Ia akan memainkan peran Fay, dan Julian sebagai Jonkin! Dengan Julian menjadi lawan mainnya, maka Pentas Drama Musim Panas akan amat sangat menyenangkan. Elizabeth tak sabar menunggu saat latihan diadakan. Mereka akan menyumbangkan acara terbaik di Sekolah Whyteleafe!
Elizabeth melihat Daniel memberi selamat pada Julian. Cowok pirang itu tampaknya tak terganggu karena hanya menjadi pemeran pengganti. Tapi tidak demikian halnya dengan Arabella. Ia satu-satunya anak di kelas itu yang tidak memberi selamat pada Elizabeth. Ia duduk di mejanya dengan kepala tertunduk, sambil melihat-lihat buku geografinya.
"Jangan murung, Arabella," Elizabeth berseru dengan bersemangat. "Aku mungkin terjatuh dan kakiku patah!"
"Ya, kau akan menjadi pemeran pengganti yang bagus, Arabella," Belinda terkikik. "Kau bisa menirukan setiap gerak-gerik Elizabeth dengan sempurna."
Elizabeth mengernyit. Tak terpikir olehnya untuk menyatakan gagasan itu. Tapi ia terharu karena ada anak lain yang juga memperhatikan hal itu.
Arabella menengadah dengan dongkol.
"Aku bukan tukang tiru! Aku telah merencanakan semuanya. Bukan salahku kalau aku mendapat giliran terakhir-"
Belinda tertawa terus, membuat Arabella kehilangan kesabarannya. Ia melonjak berdiri dan menunjuk pada Elizabeth.
"Dia curang! Dia memakai Julian untuk membantunya! Aku melihat mereka berlatih bersama tadi malam. Mereka telah merencanakannya. Tidak adil! Karena bantuan Julian di akhir adeganlah, dia mendapatkan peran itu!"
"Omong kosong!" teriak Julian.
Elizabeth merasakan api amarah mulai membakarnya. Ia akan membalas penghinaan Arabella itu. Dasar cewek jahat!
Ketika datang dari arah koridor dengan peta dua menit kemudian. Miss Ranger bisa mendengar keributan yang terjadi di dalam kelas. Ada apa ini? Ia berdiri di ambang pintu dan melihat apa yang terjadi.
Elizabeth Allen sedang berdiri di atas mejanya, sambil berdeklamasi dengan keras, wajahnya bersemu merah karena bersemangat. Ia tengah menirukan Arabella.
"Kenapa aku ada di sini? Di manakah aku? Kenapa aku memakai gaun seperti iblis berbulu?"
Beberapa teman Elizabeth berkumpul di sekitarnya sambil menyorakinya dan menjejakkan kaki-kaki mereka ketika melihat penampilan spontan anak itu.
"DIAM!" terdengar suara dari ambang pintu.
Semua anak langsung menyerbu meja masing-masing. Elizabeth buru-buru melompat dari mejanya dan duduk. Terdengar suara gesekan kertas-kertas yang ditarik secara terburu-buru dan bunyi entakan tutup meja ketika mereka semua mengambil buku-buku geografi masing-masing. Lalu kelas betul-betul hening, hanya terdengar dengusan beberapa anak yang berusaha menahan tawa.
Namun mata Miss Ranger hanya terpaku pada Elizabeth, yang pipinya masih memerah karena bersemangat.
"Aku tak menyangka, Elizabeth. Apa kau tidak sadar bahwa siapa pun dapat salah mengucapkan dialog dalam sandiwara, bahkan juga kau sendiri? Apa kau tidak sadar kau telah bersikap kejam dan bodoh?"
Elizabeth membuka mulut untuk berbicara. Ia ingin mengatakan pada Miss Ranger, betapa kejam dan bodohnya sikap Arabella terhadap dirinya. Dan itu bukan hanya hari ini, tapi sejak pertama kali mereka berjumpa. Saat-saat mengerikan pada liburan Hari Natal ketika Arabella tinggal di rumahnya hanya karena orangtua mereka saling mengenal. Dan ibu Elizabeth memberitahunya bahwa Arabella akan masuk Whyteleafe dan akan jadi teman yang baik baginya, dengan perilakunya yang santun dan pakaiannya yang indah! Padahal Elizabeth sudah membenci cewek manja itu sejak pertemuan pertama mereka.
Tapi, dengan mulut tetap menganga, Elizabeth terdiam.
"Kau sadar, tidak?" ulang gurunya.
"HUH!" terdengar jawaban tidak sopan.
Begitu keras, disengaja agar terdengar konyol, dan kurang ajar.
Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening karena terkejut, kemudian terdengar suara dengusan tawa gugup. Kenyataan bahwa kata "Huh!" yang diucapkan seperti itu datang dari arah Elizabeth, benar-benar mengejutkan. Dan kini si Cewek Paling Badung itu menyapukan pandangan ke sekelilingnya, berpura-pura ikut terkejut.
"Siapa yang berkata begitu?"
"Kau, Elizabeth," sahut Miss Ranger. Tak sedikit pun menganggap hal itu lucu. "Berhentilah pamer, Elizabeth. Kau baru saja bersikap tidak sopan padaku. Kau harus minta maaf sekarang juga."
"Bukan saya. Miss Ranger!" protes Elizabeth kebingungan. Ia berpaling dan melihat ke jendela yang terbuka, yang berada tepat di belakangnya. "Pasti ada orang yang iseng di luar sana!"
Ia membuka jendela itu lebar-lebar dan melongok ke luar melalui ambangnya, melihat ke kanan lalu ke kiri. Beberapa teman Elizabeth berlari dari meja mereka ke belakang kelas dan berkerumun di sekelilingnya.
"Aneh, tak ada orang di sana," Elizabeth berkata. "Ups! Tak ada orang di sana!"
"Kau melihat seseorang, Martin?"
"Tidak."
"Jangan-jangan hantu!"
Beberapa anak cowok, seperti biasa, menikmati selingan seperti itu. Cewek Paling Badung beraksi kembali! Ini lebih menyenangkan daripada pelajaran geografi.
"Duduk semuanya!" seru Miss Ranger. "Elizabeth, tutup jendela itu segera. Sekarang berbalik, duduk, dan menghadap padaku."
"Ya, Miss Ranger."
Guru itu berbicara dengan nada sedingin es.
"Kurasa, ditunjuknya kau sebagai pemeran utama dalam drama telah membuatmu kelewat gembira, Elizabeth. Kau jadi berlebihan. Kalau kau tak dapat menenangkan diri, aku harus mengkaji ulang Keputusanku tadi. Sekarang, untuk yang terakhir kalinya, aku minta kau mengakui perbuatanmu dan minta maaf karena telah berbicara padaku dengan tidak sopan."
Seluruh kelas hening. Lelucon itu telah berakhir.
Mereka menunggu untuk mendengar apa yang akan dikatakan Elizabeth.
Bab 7
Pertengkaran Hebat
"Saya tidak mau minta maaf, Miss Ranger" jawab Elizabeth. "Saya tidak bisa minta maaf karena bukan saya yang melakukannya."
Anak-anak menatap si Cewek Paling Badung dengan terkejut. Tentu saja Elizabeth yang melakukannya! Siapa lagi yang berani berbuat begitu? Mereka semua mendengar ucapannya. Anak itu bodoh sekali berbicara seperti itu pada Miss Ranger. Kini bisa dipastikan ia akan kehilangan perannya dalam drama.
Elizabeth tak bermaksud bersikap kurang ajar, tapi ia sering kali cepat naik darah. Sungguh tak enak rasanya tidak dipercaya seperti ini. Sekalipun ini berarti ia akan kehilangan kesempatan memainkan peran utama dalam drama, pikir Elizabeth dengan marah, ia takkan mau berpura-pura telah mengeluarkan komentar kurang ajar itu, karena memang bukan ia yang melakukannya.
"Sungguh, Elizabeth," mulai Miss Ranger, sangat jengkel. "Kau membuatku tak mempunyai pilihan lain-"
Mendadak terdengar suara.
NGUNGGGGGGGG.
Sepertinya datang dari arah Elizabeth, dekat jendela.
NGUNGGGGGG.
Terdengar lagi. Namun kali ini dari atas ambang pintu. Apakah itu suara tawon besar yang terbang berkeliling ruangan?
NGUNGGG. NGUNGGGGG.
Suara itu berdengung di sini, di sana, dan di mana-mana. Tapi mana sumber suaranya? Tak seorang pun dapat melihatnya.
Julian! Patrick menyadari.
Dan tiba-tiba Julian tersenyum lebar dan semua anak di kelas ingat. Julian pernah melakukan hal ini sebelumnya! Ia peniru yang hebat. Ia juga bisa melempar suaranya. Ia bisa membuat suara seakan berasal dari mana-mana, tanpa menggerakkan bibir...
Julian, pikir Elizabeth, dengan takut. Tentu saja.
Elizabeth tidak terhibur.
Tidak juga Miss Ranger.
"Kau telah salah dituduh, Elizabeth," ia berkata. "Aku minta maaf. Sepertinya kita semua telah melupakan temanmu, Julian, dan kepintarannya dalam mengolah suara, ya? Namun sayangnya ada satu kepintaran yang tidak akan dilakukan Julian dengan suaranya di masa mendatang. Harap berdiri, Julian. Dan keluarkan tanganmu dari dalam saku saat aku sedang berbicara padamu."
Miss Ranger menceramahi Julian dengan tegas tentang bagaimana anak itu telah mengacaukan pelajaran dan hampir membuat Elizabeth dipermalukan.
"Kurasa kau dan Elizabeth akan menjadi semakin berlebihan dan konyol kalau aku membiarkan kalian bermain bersama dalam drama nanti," ia menyimpulkan. "Maka aku berubah pikiran tentang peran Jonkin. Jonkin akan dimainkan oleh Daniel. Kau akan menjadi pemeran pengganti Daniel."
"Ya, Miss Ranger."
Sisa jam pelajaran dilalui kelas itu dengan tenang, bahkan Arabella dan Daniel juga.
Elizabeth juga tenang, namun hatinya terasa mendidih.
Ia sempat merasa lega begitu misteri terungkap. Ia betul-betul bingung dari mana datangnya suara tadi. Awalnya ia berpikir bahwa suara itu datang dari jendela di belakangnya, tapi tentu saja tak ada orang di sana! Ia tak pernah menyangka bahwa itu salah satu keisengan Julian. Perbuatan itu terlalu bodoh untuk dilakukan Julian.
Tapi memang ia pelakunya! Dan kalau Julian tidak mengaku, maka Elizabeth bisa kehilangan perannya dalam sandiwara sekolah.
Kelegaan yang dirasakan Elizabeth dengan cepat berubah menjadi kemarahan ketika ia memikirkan tentang sikap bodoh Julian dan pembatalan peran yang akan dimainkannya, sesuatu yang memang pantas diterima cowok itu. Kini Elizabeth harus menjadi lawan main Daniel. Pasti bakal membosankan. Ia begitu ingin bermain sandiwara bersama Julian.
"Kenapa kau begitu bodoh?" ia menyerang Julian selesai pelajaran, segera setelah mereka hanya berdua. "Sekarang Daniel yang mendapat peranmu! Kau dan suara bodohmu. Kau telah merusak segalanya!"
Mata hijau Julian berkilau sesaat.
"Kalau itu pendapatmu, kau bukan teman yang baik, Elizabeth."
"Aku harus berpendapat bagaimana lagi?" Elizabeth meledak. "Bahkan persahabatan pun ada batasnya."
"Ada seseorang yang ingin membuatmu terkena masalah dan orang itu bukan aku," sahut Julian dengan tenang. "Aku malah berusaha mengeluarkanmu dari masalah tadi."
"Oh, begitu? Tapi tak seorang pun di kelas dapat melempar suara seperti kau, Julian. Please, jangan membuatku tambah jengkel!"
Kini kemarahan Julian meledak.
"Kalau begitu, berarti memang hanya ada satu penjelasan, bukan? Hanya itu satu- satunya..."
"Apa?"
"Bahwa Miss Ranger memang benar. Kau sudah kelewat gembira sehingga bertingkah kurang ajar di hadapannya. Begitu senangnya, sampai-sampai kau tak sadar telah melakukannya sendiri!"
"Beraninya kau!"
Elizabeth membalikkan badan membelakangi Julian dan meninggalkannya.
"Kalau pendapatmu begitu, tak ada lagi yang bisa kukatakan padamu."
"Aku juga," sembur Julian ketika berputar dan bergegas melangkah ke arah yang berlawanan.
Betul-betul pertengkaran yang hebat.
Dalam hari-hari berikutnya, Elizabeth memikirkan hal itu berulang kali. Tapi ia selalu saja sampai pada kesimpulan yang sama. Julian-lah yang harus bertanggung jawab atas seruan konyol itu. Tak ada penjelasan lain! Mungkin kini Julian sudah menyadari bahwa tingkah lakunya memang sangat bodoh. Apakah harga diri Julian terlalu tinggi sehingga cowok itu tak mau mengaku dan meminta maaf supaya mereka bisa berteman lagi?
Tapi Julian jahat karena mencoba meyakinkan Elizabeth bahwa dialah yang telah bertingkah bodoh, kelewat senang sampai-sampai tak tahu lagi apa yang dilakukannya! Itu artinya, Elizabeth-lah yang membuat Julian kehilangan peran dalam sandiwara!
Ia memutuskan takkan berbicara dengan Julian lagi sampai cowok itu minta maaf padanya.
Julian merasakan hal yang persis sama dengan Elizabeth.
Bab 8
Pemilik Kancing Ditemukan
Dalam beberapa hari kemudian, Elizabeth merasa tidak gembira. Rasanya janggal tidak berbicara dengan Julian. Ia punya teman-teman lain di kelas satu tapi sahabat karibnya adalah Julian. Ia ingin lebih sering berjumpa dengan Joan selama masa-masa sulit ini. Tapi hal itu tidak mungkin karena dua anak itu berbeda kelas.
Arabella cepat mengambil kesempatan dalam situasi itu. Anak cewek yang telah gagal itu tak tahu kenapa secara misterius Elizabeth dan Julian bermusuhan, tapi hal itu membuatnya merasa puas. Ia sudah bosan melihat semua anak menyukai Elizabeth dan tak ada yang menyukainya.
"Kita memang cuma pemeran pengganti, Julian," kata Arabella pada Julian, "tapi kita tetap harus melatih peran kita. Tugas sebagai pemeran pengganti amat penting. Kalau terjadi sesuatu, kita harus siap dipanggil." Ia melemparkan senyum kemenangan. "Aku sangat bodoh dalam menghafalkan dialog. Bantu aku, ya? Kita bisa melatih beberapa adegan bersama-sama. Aku akan senang kalau kau mau mengujiku dan aku sendiri dengan senang hati bersedia mengujimu."
Suatu malam, Elizabeth berjalan ke ruang rekreasi dan melihat mereka berdua sedang melatih beberapa adegan sandiwara bersama. Rosemary menjadi juru bisik mereka. Arabella terkikik-kikik gembira.
"Oh, Julian, kau nakal. Kau mengintip naskah tadi, aku melihatmu melakukannya. Kau masih juga belum mempelajarinya."
Elizabeth berputar dan berjalan keluar lagi. Menyebalkan sekali. Arabella tampak lebih menikmati posisinya sebagai pemeran pengganti daripada dirinya yang pemain utama! Bahkan Julian mengizinkan cewek itu untuk membantunya memecahkan misteri kancing yang hilang. Misteri yang masih belum terungkap.
Sebagian besar semangat Elizabeth untuk tampil telah hilang.
Tes-tes peran berikutnya sudah dilaksanakan dan semua pemain telah dipilih. Rosemary jadi juru bisik. Elizabeth senang ketika Belinda, Kathleen, dan Jenny mendapat peran yang bagus dalam sandiwara. John McTavish terpilih sebagai Mr. Grasshopper yang banyak mengucapkan kalimat lucu. Dan Patrick, dari sekian banyak orang, terpilih untuk memerankan Mr. Badger yang lemah dan sakit-sakitan. Belum apa-apa ia sudah tampak senang, khususnya karena Julian kini telah didepak dari sandiwara.
Elizabeth bertekad untuk menyingkirkan Julian dari pikirannya dan menyiapkan diri untuk berlatih sandiwara dengan sungguh-sungguh. Lagi pula, Daniel cukup baik berperan sebagai Jonkin saat memakai topeng lucu itu.
Tapi sejak latihan pertama, semangat Elizabeth merosot. Semuanya karena kesalahan Daniel. Cowok pirang itu ingat betul kalimat-kalimat yang harus diucapkannya. Ia pandai dalam pelajaran Bahasa Inggris dan tidak bermasalah dalam belajar dengan menghafal. Tapi aktingnya tidak sepenuh hati! Pikirannya selalu melayang-layang ke tempat lain. Elizabeth tak dapat menjalin hubungan dengannya. Dalam adegan-adegan yang harus mereka lakukan bersama, Daniel tak mau bertemu pandang dengan Elizabeth, matanya selalu beralih ke mana-mana.
Yang paling buruk, ia terus-menerus minta maaf.
"Aku minta maaf karena kau terpaksa bermain denganku, Elizabeth," ia berkata dalam latihan pertama mereka, yang diadakan sepulang sekolah di teras. "Aku merasa tidak enak karena peran utama yang tadinya akan dimainkan Julian telah dirampas darinya."
"Aku takkan membuang tenaga merasa tak enak untuk Julian," sembur Elizabeth tajam. "Dia memang pantas menerimanya."
Tapi anak cowok itu tetap tampak merasa bersalah dan permintaan maaf terus mengalir dari mulutnya.
"Maaf, aku kurang bagus. Aku yakin Julian akan melakukannya dengan jauh lebih baik..."
Pada latihan ketiga, Elizabeth telah siap membentak.
"Kalau kau menyebut-nyebut Julian lagi, aku akan menjerit! Berhentilah bertingkah seperti pecundang, Daniel. Kita harus berusaha agar sandiwara ini sukses! Aku mulai berpikir bahwa kita akan mempermalukan diri kita sendiri di hadapan seluruh sekolah. Curahkan semangatmu, please..."
Apa masalah cowok ini?
Ini akhir minggu dan Elizabeth merasa begitu lekas marah.
Dalam perjalanan menuju latihan, ia melihat Julian, Harry, dan Arabella berbicara dengan beberapa anak junior. Di Rapat Besar minggu ini, William dan Rita telah meminta semua anak untuk meningkatkan usaha mereka dalam menemukan orang yang telah merusak tanaman stroberi. Elizabeth akan senang membantu Julian menyelidiki misteri kancing jaket itu. Tapi ternyata, cowok itu dan Harry telah mengizinkan Arabella untuk membantu mereka.
Sebetulnya Julian hanya mengisi waktu. Diam-diam, ia masih sakit hati dan marah atas sikap Elizabeth dan juga bingung. Pada saat melihatnya melintas, Julian bertanya-tanya berapa lama lagi ia harus menunggu sebelum cewek itu memakai akal sehat dan meminta maaf padanya.
Selesai latihan di teras, dengan langkah lunglai Elizabeth kembali ke sekolah, semangatnya hampir mendekati titik nol. Ia menyesal karena telah kehilangan kesabaran dalam menghadapi Daniel. Kata-kata yang telah dilontarkannya pada cowok itu betul- betul jahat! Ia bodoh sekali karena telah menakut-nakuti Daniel seperti itu. Setidaknya cowok itu telah berhasil menahan diri untuk tidak menyebut-nyebut nama Julian lagi. Namun penampilannya seperti kelinci beku.
Kurasa drama ini takkan menyenangkan sama sekali, Elizabeth menyimpulkan. Ia memutuskan untuk naik dan membaca buku. Ia sedang berjalan ke arah asrama ketika tiba-tiba mendengar namanya dipanggil.
"Sejak tadi aku mencari-carimu, Elizabeth."
Asisten Ibu Asrama keluar dari ruang jahit kecil dan menyapa Elizabeth di koridor. Ia membawa jaket mungil yang disampirkan di lengan. Elizabeth mengenali bercak selai stroberi di bagian depannya!
Itu jaketnya - jaket miliknya yang telah kekecilan dan diserahkannya di awal semester. Sekarang ia memiliki jaket yang jauh lebih besar yang diharapkannya akan dapat bertahan lebih lama.
"Aku sedang memeriksa semua seragam bekas pada minggu ini, Elizabeth," Asisten Ibu Asrama tersenyum. "Dan aku berniat mengirimkan semua ke penatu minggu depan. Kami ingin semua seragam tampak bagus pada acara penjualan seragam sekolah di akhir semester ini!"
Penjualan pakaian bekas ramai dikunjungi di akhir tahun ajaran ketika para orangtua murid datang untuk menjemput anak-anak mereka di Whyteleafe. Seragam baru sangat mahal, lagi pula anak-anak tumbuh amat cepat. Sebagian orangtua murid selalu senang mendapatkan kesempatan untuk membeli seragam bekas yang masih bagus untuk tahun ajaran yang akan datang.
Elizabeth menatap jaket pertamanya sambil melamun. Sekarang rasanya ia begitu sayang pada jaketnya itu. Ia teringat pada guru privatnya. Miss Scott, yang membawanya ke toko besar untuk membeli baju seragam baru dan setelah itu menjahitkan kancingnya kembali dengan benang biru yang kuat. "Kau biasa memperlakukan bajumu dengan kasar, Elizabeth," Miss Scott berkata. "Aku tak ingin kalau kancingnya sampai copot."
Saat itu Elizabeth dengan lancang berkata pada Miss Scott bahwa ia takkan berada di Sekolah Whyteleafe cukup lama untuk menunggu hal itu terjadi. Ia tak ingin bersekolah di sekolah asrama yang amat menjengkelkan itu dan akan memastikan bahwa ia akan sesegera mungkin dipulangkan! Betapa tolol dan kekanak-kanakannya ia waktu itu, pikir Elizabeth. Kini ia amat menyukai baju seragamnya dan amat bangga memakainya.
Elizabeth menyadari bahwa Asisten Ibu Asrama sedang menatapnya dengan penuh harap.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Elizabeth sopan.
"Kancingnya, Elizabeth! Kau berjanji untuk memberikannya padaku beberapa minggu yang lalu."
Elizabeth langsung menutup mulutnya dengan tangan.
Setelah menyerahkan jaket kekecilan yang sudah tidak lagi nyaman dipakai itu, ia terlupa akan kancingnya! Karena jaket itu kesempitan, kancing tengahnya copot, sekalipun Miss Scott telah menjahitnya dengan kuat. Elizabeth menyimpan kancing itu di tempat yang aman, namun ia segera melupakannya. Sekarang ia meminta maaf.
"Saya akan segera mencarinya. Rasanya saya ingat di mana saya meletakkannya."
"Aku harus pergi ke desa sekarang," ujar Asisten Ibu Asrama, sambil terse nyum. "Letakkan saja di mesin jahitku begitu kau menemukannya, Elizabeth."
"Baiklah. Saya berjanji."
Ia buru-buru memasuki gedung asrama dan menuju ke kamarnya.
Lemari laci putih terletak di sana dengan gagang tarikan dari kayu berwarna biru. Semua anak perempuan mempunyai satu yang seperti ini, di sebelah tempat tidur mereka. Di atasnya, di bagian belakang, ada mangkuk keramik kecil, tempat Elizabeth meletakkan barang-barang tetek-bengeknya. Sekeping uang logam dari negara lain, beberapa jepit rambut, sabun mandi bekas pakai. Ia hampir yakin kancing itu juga diletakkannya di situ agar tersimpan dengan aman beberapa minggu yang lalu.
Tapi tak ada tanda-tanda keberadaan benda itu sekarang. Elizabeth melihat ke dalam mangkuk itu dengan bingung. Di mana ia meletakkannya? Ia mulai mencari-cari ke dalam laci-laci di bawahnya, membongkar isinya satu demi satu.
"Kehilangan sesuatu, Elizabeth?" tanya Kathleen riang ketika masuk.
Di saat yang sama, Arabella lewat di depan pintu yang terbuka. Ia berhenti dan mengintip ke dalam, melihat sekilas pada Elizabeth. Arabella baru saja dimanjakan khayalan yang menyenangkan. Sahabat setianya, Rosemary, memberitahunya bahwa penampilan Daniel dan Elizabeth dalam latihan hari ini amatlah buruk. Elizabeth telah membentak Daniel, dan Miss Ranger tampak tak begitu senang.
Pastinya tinggal menunggu waktu saja sampai ia dan Julian diminta untuk maju menggantikan mereka, kan? Bukannya kegagalan, tapi pentas sandiwara bakal meraih kesuksesan besar! Dalam mata batin Arabella, matahari bersinar dengan cerah. Ia dan Julian bergandengan tangan, penonton berdiri dan menghujani mereka dengan tepuk tangan meriah...
Kini Arabella mendengar Elizabeth berkata dengan kesal pada Kathleen, "Aku cuma mencari kancing konyol! Aku yakin telah menaruhnya di mangkuk kecilku ini. Asisten Ibu Asrama membutuhkannya! OK Kathleen, bantu aku mencarinya. Kancing itu kancing perak jaket dengan potongan benang biru terang menyangkut padanya."
Arabella nyaris memekik keras.
Ia buru-buru berjingkat ke arah koridor, merasa terkejut dan senang. Ia harus mengatakan hal ini pada Rosemary dan mereka harus memikirkan apa yang harus dilakukan.
Kurang dari setengah jam kemudian, Jenny datang.
Elizabeth kelihatan marah dan terganggu. Rasanya hari ini adalah salah satu hari paling mengesalkan, ketika segalanya jadi serbasalah. Ia dan Kathleen telah mengobrak-abrik kamar itu. Mereka bahkan telah memindahkan lemari laci itu menjauh dari dinding, dan itu bukanlah tugas yang ringan, untuk melihat kalau-kalau kancing itu terjatuh di belakangnya. Mereka juga telah mencari di bawah karpet biru Elizabeth. Bahkan mereka merangkak ke bawah tempat tidur. Kancing itu tak bisa ditemukan di mana pun.
Kehilangan kancing, sepertinya membuat Elizabeth jadi merasa cemas, walaupun ia tak tahu kenapa. Dan sekarang Jenny muncul di ambang pintu, memandangnya dengan tatapan aneh.
"Bisakah kau turun sebentar ke ruang rekreasi, Elizabeth?" ia bertanya, dengan sedih. "Ada sesuatu yang penting."
Ketika Elizabeth memasuki ruang rekreasi, Arabella tengah duduk di salah satu meja kecil. Beberapa teman sekelasnya duduk di dekatnya, mengamati dengan tertarik. Suasana penuh tanda tanya terasa dalam ruangan itu.
Sesuatu tergeletak di atas meja. Arabella mengambilnya dan meletakkannya di atas telapak tangan. Lalu dengan gaya dibuat-buat, ia menjulurkannya pada Elizabeth.
"Ini yang kaucari?"
Elizabeth maju untuk melihat benda itu lebih jelas. Ternyata itu kancing perak jaket dengan potongan benang biru terang menggantung pada lubangnya.
"Kancingku!" ia berseru. "Di mana kautemukan ini, Arabella?"
"Dari William dan Rita," ujar Arabella dengan pandangan penuh arti. "Rosemary dan aku mendengarmu mencari kancing ini, maka kami langsung pergi ke ruang kerja mereka dan meminjamnya dari mereka!"
"Ini kancing yang ditemukan John di rumpun tanaman stroberi!" sahut Rosemary serius. "Kita semua telah diminta untuk menemukan pemiliknya, ingat? Dan kini pencarian telah berakhir!"
Elizabeth memandang kancing itu dengan amat terkejut.
"Kalian tak berpikir bahwa akulah anak yang telah mencoba mencuri stroberi-stroberi itu, kan?" pekik Elizabeth.
"Kita semua suka stroberi," sahut Arabella sambil memonyongkan bibir.
"Aku tak pernah lagi memakai jaket lamaku sejak berminggu-minggu yang lalu! Tanya Asisten Ibu Asrama kalau kalian tidak percaya!" tangkis Elizabeth, darahnya mendidih. "Setidaknya, aku tak pernah memakai jaket ke kebun sekolah. Aku tak tahu bagaimana kancing ini bisa sampai di sana! Aku menaruhnya di mangkuk kecil di atas lemari laciku, berminggu-minggu yang lalu, dan itu adalah kali terakhir aku melihatnya!"
"Barangkali kau hanya berniat melakukannya," Arabella berkata. "Mungkin kau malah menaruhnya di saku bajumu dan terjatuh suatu hari ketika kau merusak di kebun..."
"Beraninya kau!" cetus Elizabeth.
Sebelum ia sempat menerkam Arabella, Rosemary berdiri di antara mereka. Ia berbicara dengan tenang.
"Tak ada gunanya marah pada Arabella, Elizabeth. William dan Rita bilang, kalau kau mengenali kancing ini, maka kau diminta menemui mereka di ruang kerja ketua murid pada jam empat. Saat itu kau akan dapat kesempatan untuk memberikan penjelasan lengkap pada mereka."
"Pasti akan kulakukan itu!"
Elizabeth pun menyerbu keluar dari ruang rekreasi.
Bab 9
Dengan Julian Jadi Berlima
Walaupun terkenal akan keberaniannya, Elizabeth tetap merasa ciut tatkala melangkah ke ambang pintu ruang kerja William dan Rita pada pukul empat. Bagaimana mungkin kancingnya bisa berada di sana? Rasanya menyebalkan dicurigai seperti ini. Pasti kedua ketua murid itu sudah mengenal dirinya cukup baik untuk percaya bahwa Elizabeth takkan merusak tanaman-tanaman yang masih muda itu, kan? Tentunya mereka juga tahu, kalaupun Elizabeth sampai tergoda untuk memetik buah stroberi matang, ia takkan mungkin mencabuti tanaman-tanaman stroberi muda untuk mencari buahnya! Itu tindakan bodoh dan tak berperasaan.
"Masuklah, Elizabeth."
Masih dengan gemetar, Elizabeth berjalan memasuki ruang kerja kecil yang nyaman. William dan Rita telah menunggunya.
Ada orang lain di ruangan itu bersama mereka, duduk di kursi berlengan untuk tamu. Orang itu John Terry.
Elizabeth merasa ragu tatkala melihat John berdiri dan menawarkan kursi itu padanya. Namun ia duduk juga. Semua orang tampak tenang.
"John baru saja bercerita pada kami tentang bagaimana kau telah membantunya memasang net di atas rumpun tanaman stroberi setelah tanaman itu dirusak," ujar William dengan nada menyetujui. "Tapi kau memang mengenali kancing itu?"
Elizabeth mengangguk.
"Kami tahu bahwa kau adalah salah satu pembantu terbaik John," Rita memulai. "Oleh sebab itu kami pikir, sebaiknya kami membicarakan masalah kancing ini bersama John dulu."
"Tak usah khawatir, Elizabeth," senyum William. "Tak seorang pun dari kami berpikir bahwa kaulah yang telah mencabuti tanaman-tanaman itu."
"Oh, terima kasih," sahut Elizabeth.
"Tapi apakah kau punya ide kenapa kancingmu bisa tergeletak di sana?" tanya Rita. "Barangkali kau telah meminjamkannya pada seseorang?"
"Jelas tidak" sahut Elizabeth, menggeleng keras. "Maksudku, siapa yang mau meminjam kancing jaket tua? Lagi pula, aku harus menyimpannya dengan aman, soalnya aku telah berjanji untuk menyerahkannya pada Asisten Ibu Asrama. Hanya saja aku telah melupakan soal itu, sampai beliau menanyakannya padaku hari ini." Elizabeth menjelaskan tentang menyerahkan jaket tuanya tanpa kancing tengah. "Kancing yang hilang itu seharusnya ada di dalam mangkuk kecil di atas lemari laciku," ia menyelesaikan.
Mendengar itu Rita tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Kau pasti telah teledor, Elizabeth. Pasti! Sekarang coba pikir dengan benar. Kau lupa menyerahkan kancing itu pada Asisten Ibu Asrama. Apakah mungkin bahwa kau juga telah lupa menyimpannya di tempat yang aman? Dan kau telah membawa-bawanya di dalam sakumu?"
"Yah..." Elizabeth mengernyit. Ia yakin telah meletakkan kancing itu di dalam mangkuk. "Kurasa tidak. Tapi..."
"Tapi itu mungkin, kan?" ujar William. Ia tampak amat lega. "Well, kurasa itulah awal dan akhir keterlibatanmu. John bilang pada kami, betapa seringnya kau membantu di kebun. Kau pasti tengah menyiangi tanaman pada suatu hari ketika kancing itu terjatuh dari kantongmu! Semuanya serba kebetulan dan tak ada hubungannya dengan kenyataan bahwa kemudian ada seseorang yang merusak tanaman."
"Ku-kurasa begitu," sahut Elizabeth enggan. Ia masih tetap mengernyit. Kapan ia pernah bekerja di bagian kebun yang itu?
"Kau telah memberikan petunjuk yang salah pada kami ketika menyerahkan kancing itu, John!" ujar Rita.
"Aku memang salah karena terlalu cepat menyimpulkan," John menyetujui sambil menyeringai. Ia menggaruk-garuk kepala. "Tadinya kupikir aku telah menemukan petunjuk utama, tapi ternyata aku tak menemukan apa-apa."
Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah berpikir keras. Tadinya John begitu yakin bahwa kancing dan tanaman rusak itu punya hubungan langsung. Tapi kalau dua benda itu ternyata tak berhubungan... yah, mungkin selama ini ia telah mengikuti jejak yang salah. Ia harus mulai lagi pasang mata dan telinga...
Ketika Elizabeth pergi untuk minum teh, ia merasa lega karena William, Rita, dan John mempercayainya. Itu membuat perasaannya agak membaik.
Namun saat berjalan memasuki aula makan, ia dapat merasakan suasana tegang ketika banyak anak memandang ke arahnya. Gosip telah menyebar dengan cepat. Misteri kancing jaket telah terungkap! Kancing itu milik si Cewek Paling Badung. Ia baru saja diseret ke depan kedua ketua murid!
Teman-teman sekelasnya tidak berceloteh seramai biasanya. Tapi sahabat Elizabeth, Joan, terus memandang ke arahnya dari meja seberang, melemparkan senyuman dan lambaian padanya, untuk menunjukkan rasa setia kawan.
Perut Elizabeth mulai terasa mual. Semua orang pasti punya pandangan buruk, kancing jaketnya ditemukan di tempat tanaman yang dirusak! Yang lebih buruk lagi, ia merasa bahwa ada orang yang telah meletakkannya di sana secara sengaja. Semakin memikirkannya, ia semakin yakin telah menyimpan kancing itu di dalam mangkuk, kejadiannya tidak mungkin seperti dugaan William dan Rita.
Di ujung meja, Julian tengah melahap santapannya. Ia tampak berpikir keras, raut wajahnya murung.
Elizabeth kehilangan selera makan. Ia harus memaksa diri untuk menelan salad ikan tuna padahal makanan itu salah satu kegemarannya. Ia tidak menyentuh yoghurt raspberry-nya. Elizabeth mulai merasakan tusukan rasa panas di belakang matanya. Lalu begitu mereka diizinkan meninggalkan meja, ia langsung berlari. Elizabeth terburu-buru pergi keluar menuju lapangan sekolah, pandangannya kabur karena air mata. Ia tak menyadari ada langkah kaki mengikutinya. Ia sampai ke rimbunan pohon kayu ash yang indah, tempat Pentas Drama Musim Panas akan digelar. Ia menyusup ke bawah kanopi rahasia daun-daun yang menjuntai mencapai tanah. Ia ingin bersembunyi, seperti binatang yang terluka.
Elizabeth duduk bersandar pada batang pohon dan membenamkan wajah ke telapak tangan.
Semua serbasalah!
Segalanya dimulai ketika Julian mengeluarkan suara konyol! Sejak itu tak ada yang berjalan lancar. Dan Julian masih juga belum mengaku dan meminta maaf. Elizabeth sangat berharap Julian akan melakukannya. Saat ini ia amat membutuhkan sahabatnya itu. "Elizabeth?"
Terkejut, ia menengadah dan melihat Julian membungkuk di bawah rimbunan dedaunan dan menghampirinya.
"Halo, cewek bandel. Kini, akhirnya, kuharap kau mau mempercayaiku!"
Ia duduk dan melingkarkan lengan ke pundak Elizabeth untuk menenangkannya. "Tak ada yang perlu ditangisi."
"Ada! Tentu ada! William, Rita, dan John mempercayaiku, begitu pula Joan. Tapi cuma mereka berempat dari seluruh sekolah. Anak-anak lain sepertinya meragu-kanku."
"Cuma berempat?" ujar Julian. "Maksudmu berlima?"
"Lima?"
"Ya. kau lupa menghitung aku. Aku mempercayaimu."
Elizabeth menatap Julian dengan lega. Ia mengusap air matanya.
"Sungguh? Tapi, Julian, apa maksudmu bicara seperti itu tadi-"
"Elizabeth, ada orang yang mencoba membuatmu kena masalah! Aku sudah bilang padamu seminggu yang lalu. Dan sekarang mungkin - akhirnya - kau percaya padaku!"
Elizabeth terkesiap ketika meresapi apa maksud kata-kata Julian.
"Dengar, Elizabeth. Bukan aku yang mengeluarkan suara konyol itu! Ada orang lain yang melakukannya. Dan kancing itu tidak mungkin bisa berjalan sendiri ke kebun sekolah. Seseorang meletakkannya di sana. Nah, kau percaya padaku sekarang?" tanyanya segera.
"Ya," sahut Elizabeth, dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Ya, aku percaya."
Pikirannya kalut. Ia masih belum bisa menebak siapa lagi di kelasnya yang bisa melemparkan suara selihai itu. Namun kini ia yakin bahwa pelakunya bukan Julian.
Aku berusaha MENGELUARKAN-mu dari masalah, itu yang dikatakan Julian waktu itu. Dan Elizabeth tidak mau mempercayainya! Kalau itu pendapatmu, kau bukan teman yang baik, Elizabeth, katanya dengan marah.
Kini ia menoleh ke arah Julian, pipinya terasa panas karena malu.
"Kau benar, aku bukan teman yang baik, Julian," ia mengakui. Elizabeth merasa sangat marah pada dirinya sendiri yang telah salah menilai Julian. "Kau disalahkan demi menyelamatkan peranku dalam sandiwara - dan mengorbankan peranmu sendiri. Dan itulah balasan yang kaudapatkan dariku! Oh, Julian, aku tak tahu kapan kau akan memaafkanku. Kenapa aku begitu cepat marah? Aku tak heran kalau kau lebih menyukai Arabella daripada aku. Terkadang aku bisa begitu menyebalkan!"
Julian menatap wajah Elizabeth yang tampak sangat sedih, la berdiri, lalu meraih tangan cewek itu dan menariknya sampai berdiri.
"Ayo berdiri, Elizabeth. Berhentilah mengeluh. Kau tak pantas bersikap begini. Tidak pantas untuk cewek bandel seperti kau! Arabella? Jangan bercanda!" ujarnya riang. Ia telah lama menunggu permintaan maaf Elizabeth dan kini keinginannya terkabul. Semua sudah beres kembali. "Ayolah, ayo kita lihat apakah ada kuda poni yang tak terpakai, mungkin kita bisa berkuda. Berkuda akan menjernihkan otak dan membantu kita berpikir."
Ketika mereka berjalan ke arah istal, angin hangat berembus di antara rerumputan, dan Elizabeth merasa seperti manusia baru.
"Jengkel rasanya memikirkan ada orang yang berniat buruk pada diriku," ujar Elizabeth ketika mereka memasang sadel pada kuda-kuda. "Tapi tak ada yang terasa begitu buruk lagi sekarang, Julian. Oh, aku gembira sekali kita berbaikan!"
"Tak lama lagi kita bakal bisa membongkar masalah aneh ini," sahut Julian dengan percaya diri.
Pada saat itu, Robert muncul bersama Daniel.
"Karena kau tidak bisa berkuda, maukah kau mengajak Captain berjalan-jalan berkeliling lapangan rumput?" Robert berkata pada cowok berambut pirang itu. "Aku harus pergi untuk membantu Patrick berlatih tenis sekarang."
"Boleh saja" jawab Daniel tak bersemangat.
"Betapa anehnya cowok itu," Elizabeth berkomentar pada Julian ketika mereka berangkat. "Kita berkuda di lintasan kuda saja, ya? Daniel masih belum tertarik untuk belajar menunggang kuda. Sudah ribut-ribut ingin membantu di istal, tapi sepertinya ia tak begitu menikmati pekerjaannya! Ia juga tidak begitu menikmati perannya dalam drama! Oh, Julian, kita harus menemukan siapa yang telah bersikap kurang ajar pada Miss Ranger - dan Miss Ranger harus mengakui bahwa beliau telah salah menilai. Miss Ranger salah karena berpikir kita akan berlebihan bila sampai bermain bersama-sama dalam sandiwara! Miss Ranger harus mengembalikan peranmu!"
"Oh, aku tidak mencemaskan itu," Julian mengangkat bahu. Ia hanya mencantumkan namanya agar Patrick jengkel!
"Well, akulah yang cemas!" seru Elizabeth. "Sulit sekali berlatih dengan Daniel."
"Kurasa ia akan membaik" kata Julian.
Mereka menunggang kuda dengan gembira dan membicarakan misteri yang sedang terjadi. Sungguh-sungguh membingungkan. Elizabeth membenci pemikiran bahwa ada orang yang dendam pada dirinya. Ia tak bisa menduga siapa orangnya.
"Satu-satunya orang yang punya alasan untuk melakukan itu adalah Arabella," Elizabeth merenung. "Ia begitu menginginkan peranku dalam pentas drama. Tapi aku yakin bukan dia pelakunya."
"Aku juga," Julian setuju. "Ia tak bisa melemparkan suara. Dan aku bisa melihat bahwa ia begitu terkejut soal kancing jaket itu."
Dalam perjalanan kembali, mereka berkuda melintasi lapangan rumput.
Daniel sedang duduk dekat pagar tanaman, membaca buku, sementara Captain merumput diam-diam di dekatnya. Seekor burung bertengger di punggung Captain, mematuk-matuk bulu kuda tua itu.
"Kau seharusnya menjaga dia!" Elizabeth memarahi Daniel, ketika mereka melintas di depannya. "Bisakah kau mengusir burung gagak itu?"
"Captain menyukainya" Daniel menggerutu, tanpa mengangkat mata dari buku.
"Daniel betul-betul tak tertolong, ya?" Elizabeth menggerutu, ketika mereka sudah mencapai jarak di mana pembicaraan mereka sudah tidak mungkin terdengar. "Sama sekali tak mau menurunkan bukunya barang sebentar pun. Bagaimana mungkin dia bilang Captain menyukainya!"
"Tapi dia benar!" Julian tertawa. "Kuda-kuda berterima kasih kalau ada anggota keluarga gagak bertengger di punggung mereka! Kurasa yang tadi itu jenis gagak rook."
"Berterima kasih? Untuk apa?" seru Elizabeth.
"Burung-burung itu mencari serangga kecil dan parasit pada bulu kuda, itulah sebabnya," sahut Julian, masih merasa geli melihat kemarahan Elizabeth. "Elizabeth, aku mulai berpikir bahwa kau membenci Daniel. Di matamu anak malang itu tak dapat melakukan apa pun dengan benar."
Belakangan, ketika mereka menyikat kuda-kuda poni mereka, Elizabeth berkata, "Aku tidak sungguh-sungguh membenci Daniel. Cowok itu bisa menyenangkan kalau tidak bertingkah laku aneh. Tapi ia betul-betul tak dapat diharapkan dalam berakting, Julian! Kita harus memastikan bahwa kaulah yang akan berperan sebagai Jonkin dan bukan dia"
"Kau telah mendapatkan peranmu, Elizabeth," jawab Julian, puas. "Itu yang paling penting. Kau akan menjadi bintang, aku yakin!"
Tapi Julian berbicara terlalu dini.
Di malam yang sama, kekacauan kembali menyerang hidup Elizabeth.
Bab 10
Kebakaran! Kebakaran!
Lama baru Elizabeth tertidur. Ia berguling dan berbalik, mendengarkan napas lembut anak-anak perempuan lain di kamar asrama nomor enam. Ia begitu tak sabar menghadapi pentas drama, apalagi ketika teringat kata-kata Julian bahwa ia akan menjadi bintang. Tapi ia juga takut. Kenapa ada orang yang sampai hati berusaha menjebloskannya ke dalam masalah? Siapa gerangan orang itu?
Tak lama kemudian, di luar suasana menjadi gelap dan semua anak segera jatuh tertidur.
Akhirnya Elizabeth mulai merasa mengantuk.
Matanya terpejam.
Ia mulai terhanyut ke dalam tidur yang lelap dan tenang... Kemudian-seruan parau menggema di dalam kepalanya- Kebakaran! Kebakaran!
Apakah ia tengah bermimpi buruk?
Kebakaran! Kebakaran!
Terdengar lagi! Kedengarannya suara itu datang dari luar. Seseorang sedang menjerit- jerit memperingatkan. Ada kebakaran di sekolah!
Setengah tertidur dan setengah terjaga, Elizabeth bangun dari tempat tidurnya dengan panik.
"Bangun, semua! Ayo bangun dong! Ada kebakaran!"
Ia tergopoh-gopoh keluar ke koridor dan memencet bel tanda kebakaran.
KRING! KRING! KRING! KRING!
Bel tanda kebakaran berdering ke seluruh gedung.
Terjadi kegemparan ketika anak-anak yang masih mengantuk bermunculan dari kamar-kamar mereka dengan mengenakan kimono, sambil menggosok-gosok mata.
"Kebakaran!" teriak Elizabeth. "Ada kebakaran di sekolah!"
Anak-anak membentuk barisan, sesuai petunjuk yang mereka dapatkan dalam latihan kebakaran, lalu meninggalkan gedung melalui pintu darurat.
Elizabeth memimpin mereka.
"Tetap tenang, teman-teman!" serunya. "Pastikan semua anak sudah keluar dari kamar masing-masing."
Mereka berdesak-desakan di sekeliling lapangan rumput di luar dan berceloteh dengan gaduh. Mana apinya? Mereka tak melihat asap! Tapi pasti ada kebakaran di suatu tempat. Elizabeth telah memencet bel kebakaran! Oh, syukurlah, sepertinya yang terjadi hanya kebakaran kecil...
Sekarang para guru bermunculan. Tak satu pun dari mereka telah tidur. Mereka masih berpakaian lengkap.
"Ada kebakaran di suatu tempat, Miss Ranger!" seru Elizabeth. "Saya mendengar seseorang berteriak-"
"Kau yakin, Elizabeth?"
Ketika anak-anak menunggu di luar, di lapangan rumput yang dingin, para guru memeriksa bangunan beserta halaman sekolah dengan saksama.
Tak ada kebakaran.
Mr. Johns kembali dan berbicara pada para murid yang menggerombol.
"Kembali ke tempat tidur, semuanya! Dengan senang kuumumkan bahwa tadi itu hanya tanda bahaya yang keliru. Berbarislah dan kembalilah ke asrama masing-masing dengan tenang. Tak ada tanda-tanda adanya api di mana pun. Kalian aman."
Ketika Elizabeth sampai di kamar nomor enam, ia mendapati Miss Ranger sudah menunggunya. Saat melihat raut wajah gurunya itu, Elizabeth mendapat firasat bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Cepat kembali ke tempat tidur, Elizabeth. Betul-betul lelucon konyol. Aku akan menemuimu besok pagi, setelah berbicara dengan Miss Belle dan Miss Best."
Keesokan harinya, walaupun sudah berulang kali memprotes, peran Elizabeth dalam pentas drama sekolah dicabut.
"Aku betul-betul terkejut dengan kelakuanmu, Elizabeth. Aku bisa menerima kata- katamu soal kau tidak secara sengaja membuat lelucon. Namun daya khayalmu betul- betul keterlaluan. Sejak kau mendapatkan peran utama dalam pentas drama, tingkah lakumu jadi berlebihan. Memang menyedihkan, namun aku telah memutuskan untuk memberikan kesempatan pada Arabella. Aku yakin ia akan lebih bisa berpikiran jernih. Kau yang akan menjadi pemeran penggantinya."
Air mata menggenangi pelupuk mata Elizabeth. Tapi kali ini air matanya keluar karena marah.
Ia pergi untuk mencari Julian
"Aku berani bersumpah aku tidak mengkhayalkan teriakan itu. Kedengarannya begitu nyata. Oh, Julian, tidakkah kau mengerti? Seseorang pasti juga mendengarnya. Bukan cuma aku."
"Ya, itu sudah pasti," Julian setuju. "Dan pasti ada orang yang mengeluarkan suara itu. Dari arah mana suara itu terdengar? Bisakah kau mengingat-ingat?"
"Aku setengah tertidur..."
"Coba pikirkan lebih keras," bujuk Julian.
Elizabeth mengernyit berkonsentrasi.
"Well, jendelaku terbuka. Suara itu berasal dari suatu tempat di luar... tapi agak dari atas. Seolah-olah ada kebakaran di lantai atas dan seseorang melongok keluar jendela atas dan menjerit-jerit ke bawah ke arahku dengan panik."
"Lantai loteng, ya?" ujar Julian dengan tenang. "Baiklah, kita akan menanyai semua anak yang tidur di kamar sepuluh, letaknya di atas, kan?"
"Ya," Elizabeth berkata dengan penuh semangat. "Dan tiga atau empat anak punya kamar-kamar kecil pribadi di situ. Oh, pastinya seseorang di atas sana telah mendengar sesuatu, kan?"
"Untung sekarang hari Minggu. Tak ada pelajaran. Kita bisa mengadakan penyelidikan sehari penuh. Kita akan dapat membongkar masalah ini, Elizabeth, jangan khawatir," ia berkata ringan.
Begitu menenangkan rasanya bisa bersama Julian hari itu. Joan juga amat setia kawan.
"Aku yakin kau akan terbebas dari tuduhan ini, Elizabeth," ujar Joan manis. "Pasti ada orang lain yang juga mendengar, seperti katamu. Ada yang bisa kubantu? Apakah kau mau aku menanyai anak-anak kelas dua?"
"Oh, maukah kau melakukan itu, Joan? Itu akan amat membantu. Julian dan aku akan menanyai anak-anak yang tidur di lantai atas. Kurasa jeritan itu berasal dari atas. Tapi tentu saja, aku tak yakin"
Sebagian besar teman-teman sekelas Elizabeth mengagumi ketulusan hati cewek itu ketika mereka melihat ia berkeliling bersama Julian untuk berbicara dengan anak-anak lain. Mereka bingung harus bagaimana menanggapi kejadian itu, seperti halnya dengan kasus kancing jaket. Mereka berharap semua akan terselesaikan dengan baik pada akhirnya, demi kebaikan Cewek Paling Badung. Seru sekali mendengar bel kebakaran berdering seperti semalam! Tapi tentu saja para guru tidak menganggapnya begitu. Dan kini Elizabeth telah kehilangan perannya dalam pentas drama.
Arabella seharusnya merasa gembira hari itu. Tapi ia malah tampak tertekan dan marah. Ia jengkel melihat Julian dan Elizabeth yang secara misterius bertengkar, kini telah berbaikan secara misterius pula.
Ia merasa meraih kemenangan besar ketika Miss Ranger berkata padanya bahwa ia akan memainkan peran Fay dalam Petualangan di Hutan Ajaib dan memintanya untuk berakting sebaik mungkin agar pentas drama itu sukses. Arabella sungguh-sungguh mengharapkan teman-teman sekelasnya ada yang datang menemuinya, memberinya selamat, dan mendoakannya. Namun ia menunggu dengan percuma. Mereka tampak lebih tertarik pada keadaan genting Elizabeth dan penyelidikan yang dilakukannya bersama Julian. Menjelang siang, Kathleen dan Harry juga ikut bergabung untuk membantu Elizabeth.
"Kau mendengar orang menjerit 'Kebakaran!', Arabella?" tanya Kathleen.
"Tentu saja tidak!" sahut
Arabella pedas. "Elizabeth hanya mengada-ada."
"Hanya membuang-buang waktu!" Rosemary setuju.
"Kita harus berlatih drama sebentar lagi," kata Arabella. "Kau mau datang untuk mendukungku, tidak? Aku agak gelisah, soalnya Rosemary bilang Daniel aktor yang amat buruk. Kau takkan menemukan orang yang mendengar jeritan di malam hari, soalnya memang tak ada orang yang melakukannya."
Setidaknya untuk hal itu, Arabella benar.
Elizabeth dan Julian menanyai semua anak yang tidur di lantai atas, satu per satu. Tugas yang melelahkan. Semua anak sedang berada di luar dan menikmati berbagai kegiatan akhir minggu mereka. Selain itu, tugas ini juga sia-sia. Setiap anak menggelengkan kepala saat ditanyai.
"Pikir baik-baik, James," Julian mendesak. Kamarnya, seperti halnya kamar Daniel, berada tepat di atas jendela kamar Elizabeth. "Apa kau mendengar seseorang menjerit? Mengigau mungkin? Anak yang bermimpi tentang kebakaran?"
"Tidurku nyenyak sekali," ujar James. "Aku tidak mendengar apa-apa-kecuali bel kebakaran. Bahkan pada awalnya aku juga tidak mendengar suara bel itu."
Semua punya jawaban yang sama.
"Kenapa kau tak coba menanyai Daniel?" James mengusulkan. "Aku sering mendengar suara gerakan dari kamarnya setelah lampu dimatikan. Kurasa ia membaca di tempat tidur."
Setelah itu, Elizabeth dan Julian pergi mencari Daniel. Anak itulah harapan terakhir mereka. Tapi mereka tidak melihat anak itu seharian.
"Kurasa dia sedang membaca buku di istal" Julian berkomentar. "Akhir-akhir ini dia sering melakukannya."
"Atau jangan-jangan tertidur di bawah tumpukan jerami, seperti si Little Boy Blue!" ujar Elizabeth menghina.
Daniel tidak ditemukan di mana pun.
"Jangan-jangan ia menghabiskan waktu sepanjang hari di kamar?" usul Elizabeth, tiba- tiba. "Ia terkadang melakukan hal itu. Sekalipun di luar cuaca sedang cerah seperti hari ini."
Dan ternyata benar, mereka menemukan Daniel di dalam kamar kecilnya di loteng. Ia bahkan tidak sedang membaca. Ia berbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit kamar. Salinan naskahnya tergeletak di atas lantai.
"Daniel!" seru Elizabeth. "Dasar pemalas!"
Anak cowok itu langsung terduduk tegak, merasa bersalah.
"A-aku sedang menghafal dialogku," ujarnya pelan. Ia meraih salinan naskah dari lantai dan berpura-pura membolak-baliknya. "Apa yang kalian inginkan?"
Entah kenapa, wajah Daniel tampak pucat.
"Aku tak mendengar apa pun, tidak!" semburnya, begitu Julian menanyainya. Ia tampak gemetaran dan gelisah. "Aku tertidur lelap. Sumpah."
Rasa ingin tahu Julian meningkat. Ia yakin Daniel jujur. Tapi kenapa ia tampak begitu gelisah?
"Tapi kau punya gagasan tentang siapa yang melakukannya?" tanyanya menyelidik.
"Bi-bisa jadi..." Daniel mulai berbicara.
"Ya?" tanya Elizabeth bersemangat.
"Aku tak tahu," ujarnya khawatir. "Itu bisa jadi apa pun, kurasa."
Pada saat itu Rosemary menyerbu masuk ke dalam kamar.
"Jadi kau ada di sini, Daniel! Miss Ranger menyuruhku mencarimu. Kau seharusnya hadir pada latihan drama!"
"Haruskah?" ia bertanya dengan merana. "Dapatkah Julian menggantikanku? Aku sedang tak ingin berlatih hari ini."
"Jangan tolol!" ujar Rosemary. Ia menyambar lengan Daniel. "Kau telah membuat semua orang menunggu."
Ketika Rosemary menggiring Daniel keluar kamar, Julian dan Elizabeth mengikuti mereka menuruni tangga. Julian bersenandung riang untuk dirinya sendiri.
"Kurasa akhirnya kita telah sampai di satu titik terang," ujarnya. "Kurasa Daniel mengetahui sesuatu."
"Ya," Elizabeth setuju. "Aku juga merasa begitu."
Sekali lagi Elizabeth sulit tertidur di malam itu. Kejadian-kejadian dramatis di akhir minggu ini berputar-putar di dalam kepalanya. Namun kini ia mulai melihat setitik cerah harapan.
Arabella dan Daniel takkan bertahan lama dalam pentas drama itu! Ia diberitahu Kathleen bahwa latihan hari ini sangat tidak lancar!
Secara mendadak, kepercayaan diri Daniel benar-benar lenyap. Dan Arabella tak sanggup membantunya karena ia sendiri punya setumpuk kegelisahan. Arabella sering salah mengucapkan dialog. Sekembalinya dari latihan wajah cewek itu tertutup awan mendung. Lambat laun akhirnya Arabella menyadari betapa sulitnya bermain sandiwara dan betapa kegagalan ada di depan mata.
Sementara itu, pikir Elizabeth, ia dan Julian hampir dapat membongkar misteri yang sedang berlangsung. Mereka telah mencoba mendesak Daniel lagi malam ini, tanpa hasil. Namun sudah jelas kalau ia mengetahui siapa pelakunya. Ia melindungi seseorang! Mereka harus bersabar, tapi kebenaran akan segera terungkap, kan? Setelah itu, ia dan Julian akan dapat membersihkan nama mereka. Peran-peran dalam pentas drama akan dikembalikan pada mereka!
Elizabeth baru saja hampir tertidur ketika terdengar suara gedoran di pintu. Ia terduduk tegak di atas tempat tidurnya. Terdengar lagi suara gedoran itu, disusul dengan suara entakan...
Kali ini ia betul-betul telah terjaga!
Kebakaran! Kebakaran! terdengar jeritan memekik. Kedengarannya dari arah koridor. Suara yang sungguh mengerikan!
"Orang itu mencoba mempermainkanku lagi!" ia terkesiap. "Kali ini dia ada di dalam gedung asrama. Dia berharap aku membunyikan bel kebakaran lagi!"
Dengan gemetaran, Elizabeth menyusup keluar dari tempat tidurnya. Ia mengenakan kimono dan berjingkat-jingkat ke arah pintu. Tek... tek... tek. Terdengar suara itu lagi. Elizabeth ketakutan. Tapi ia yakin akan satu hal, aku takkan tertipu untuk yang kedua kalinya! Aku tahu betul bahwa tak ada kebakaran! ia memutuskan. Aku harus menangkapnya, siapa pun dia!
Bab 11
Cewek Paling Badung Jadi Pahlawan
Saat menggeser pintu sampai terbuka, Elizabeth mendengar gerakan tergesa-gesa di luar. Ia mengintip ke koridor yang remang-remang. Tak ada seorang pun di sana. Orang itu pasti telah menyusuri koridor dan menghilang di sudut. Elizabeth masih dapat mendengar suara gedebuk dan entakan datang dari arah tangga menuju loteng.
Ia berlari untuk mengejar, membelok di sudut, dan melompati beberapa anak tangga pertama dalam gelap.
Tiba-tiba bersamaan dengan suara mendesis dan mengepak, sesosok bayangan hitam menubruk kakinya dan mencoba mematuk-matuk keduanya.
Kaaaooook! Kaaaooook! Kebakaran! Kebakaran! sosok itu berseru.
Gagak! Elizabeth terkesiap. Gagak hitam besar! Bagaimana ia bisa masuk ke sini? Ada apa dengan burung ini?
Kejadian itu salah satu saat paling mengejutkan dalam hidup Elizabeth. Burung itu betul-betul gelisah. Ia masih terus mencoba mematuki kaki Elizabeth.
Kaaaooook! Kebakaran!
Betul-betul aneh betapa mirip suaranya dengan suara manusia.
Setelah sempat kaget, Elizabeth mendadak merasa lega. "Musuh"-nya pada malam yang lalu ternyata tak lebih dari gagak hitam konyol ini! Gagak yang bisa mengeluarkan suara seperti manusia. Ia pasti telah hinggap sebentar di ambang jendelanya malam yang lalu. Tepat di jendelanya yang terbuka. Tak heran kalau tak ada seorang anak pun yang sedang tertidur mendengar suara gagak itu.
Aku harus segera menemui guru-guru! Elizabeth memutuskan. Mereka akan membantu mengeluarkan burung ini dari gedung asrama. Dan mereka akan bisa melihat bahwa aku tidak hanya berkhayal!
Pada saat ia hendak pergi, gagak itu terbang ke kakinya lagi.
"Hentikan-!" Elizabeth memulai dengan geram. Lalu ia terdiam.
Segumpal asap kecil bergulung-gulung turun dari arah loteng. Lalu lagi. Dan lagi.
Samar-samar ia mencium aroma yang tidak sedap...
Ada kebakaran di atas sana! ia menyadari dengan ketakutan. Memang benar-benar ada kebakaran!
Ia buru-buru melompati anak-anak tangga sampai yang paling atas. Saat Elizabeth melakukannya, si burung gagak terus-menerus mengepak-ngepakkan sayap dan terbang di sekeliling kepalanya sambil ber-kuak keras. Kaook! Kaook! Kaook! Kaoook!
Asap itu berasal dari kamar Daniel! ia menyadari.
Pintu kamarnya hanya terbuka sedikit, tapi meskipun begitu, dari celah sempit itu saja bau asap terasa begitu menusuk. Bau yang menakutkan, seperti zat kimia yang terbakar...
Elizabeth mendorong pintu itu sampai terbuka lalu mundur. Tak ada api, tapi kamar itu dipenuhi asap yang membuat sesak napas. Anak cowok berambut pirang itu terbaring lemas di atas tempat tidur, tak berdaya karena bau asap yang menyengat.
Daniel pingsan! pikirnya. Aku harus membawanya keluar dari sini secepat mungkin.
Tapi bau asap yang menusuk itu telah mulai memenuhi mulut dan hidung Elizabeth. Ia sendiri merasa seperti akan pingsan juga. Ia menutup pintu kamar Daniel untuk sesaat dan buru-buru memasuki kamar mandi di kamar sebelah. Ia memegangi handuk di bawah keran hingga handuk itu basah dengan air dingin.
Kemudian dengan handuk basah membungkus erat wajahnya, Elizabeth kembali ke kamar yang penuh asap dan menarik Daniel ke lantai. Matanya tidak terlindungi handuk sehingga mulai terasa pedih. Ia mencoba mengabaikan rasa pedih itu. Di atas kepala mereka, burung yang panik itu membubung tinggi ke atap yang terbuka. Si gagak terbang tinggi ke langit dan menjauh. Atap yang terbuka itu-jadi dari sanalah burung itu masuk! Elizabeth menyadari.
"Tiarap, Daniel!" Ia terengah-engah. "Dengan begitu kita berada di bawah asap..."
Tapi anak itu masih juga belum sadarkan diri.
Merayap mundur perlahan ke arah pintu, Elizabeth menarik Daniel, semeter demi meter, melintas di atas lantai kayu mengilap. Sebetulnya hanya memakan waktu kurang dari semenit, tapi satu menit terasa seperti satu jam. Beberapa kali Elizabeth merasa sesak napas. Ia kini harus sungguh-sungguh memejamkan matanya. Ia mulai merasa takut, kalau-kalau ia juga akan kehilangan kesadaran sebelum sempat membawa Daniel keluar.
Kemudian, pada akhirnya, mereka aman di luar.
Ia membanting pintu kamar yang penuh asap itu sampai menutup. Ia tahu kalau hal itu dapat membantu menahan api. Ia menyeka handuk basah itu ke matanya yang pedih dan ke wajah Daniel, mencoba menyadarkannya.
"Daniel, Daniel. Kau tak apa-apa?"
Wajah Daniel berkerenyit.
"Di mana aku? Apa yang terjadi?"
"Kau pingsan!" bisik Elizabeth di sela-sela batuknya. "Ada semacam kebakaran dahsyat di kamarmu. Burung itu datang padaku untuk memberitahukan tentang kebakaran itu. Gagak hitam-"
Mata Daniel membuka lebar.
"Maksudmu Rookie? Ia datang dan menjemputmu? Kalau begitu memang Rookie-lah pelakunya. Tadinya aku belum yakin betul. Dan malam ini sungguh-sungguh ada kebakaran-?"
"Rookie?" tanya Elizabeth terkejut. Tampaknya Daniel mengetahui segala sesuatu tentang burung itu! "Kenapa kau memanggilnya begitu?"
"Dia hewan piaraanku. Dia gagak rook yang jinak. Dia burung paling cerdas dan makhluk nakal yang paling hebat di dunia.
Daniel menelan ludah.
"Tapi aku malu sekali Elizabeth. Ia selalu membawa kesulitan bagimu dan Julian. Dan kini aku tak dapat merahasiakannya lagi, para guru akan mengusirnya pergi. Ia harus pergi, ya?"
"Firasatku mengatakan bahwa dia sudah pergi sebelum diusir," bisik Elizabeth.
Tiba-tiba ia mendengar suara-suara dari bawah dan langkah kaki yang tergesa-gesa.
Para guru telah melihat asap yang bergulung-gulung keluar dari atap kamar Daniel. Dan kini dengan membawa alat pemadam kebakaran, mereka berlari menaiki tangga.
"Apa yang terjadi? Kau tak apa-apa, Daniel?" tanya Mr. Warlow.
"Kami akan segera memadamkan apinya!" seru Mr. Johns, mengaktifkan alat pemadam kebakaran.
"Jangan, Mr. Johns, apinya belum ada," Elizabeth memperingatkan, "cuma semacam asap yang beracun. Anda akan memerlukan handuk basah untuk menutupi wajah."
Nasihat yang bagus. Nasihat itu terbukti berguna ketika kedua guru tersebut menyerbu masuk ke kamar Daniel dan menyemprotkan cairan pemadam kebakaran ke mainan yang mengepulkan asap dari dalam rak di samping tempat tidur. Lalu mereka cepat-cepat keluar. Kini tak ada risiko api akan menyebar. Mereka telah menemukan penyebab asap itu.
Membawa mainan berisi busa itu melanggar peraturan sekolah, namun Daniel telah membawa boneka beruang dari rumah tanpa mengetahui boneka itu berisi bahan-bahan terlarang.
Membaca setelah lampu dimatikan juga melanggar peraturan sekolah. Lebih melanggar lagi bila membaca dengan penerangan lilin. Daniel melakukan keduanya. Ia lupa meniup lilinnya. Pada saat ia tertidur, lilin yang masih menyala itu terjatuh. Lilin itu terjatuh ke atas boneka beruang dan membuatnya meleleh, sehingga kamar kecil itu dipenuhi asap dengan bau tak sedap.
"Kau tak bisa tidur di kamar itu malam ini, Daniel," Mr. Johns berkata pada anak itu. "Butuh berjam-jam untuk menjernihkan udara di sana."
Ibu Asrama memutuskan agar Daniel dan Elizabeth tidur di sanatorium malam itu. Ia ingin menjaga mereka.
"Daniel telah bertindak begitu ceroboh dan Elizabeth begitu berani," Ibu Asrama memulai. "Namun keduanya baru saja mengalami shock luar biasa. Yang mereka perlukan sekarang adalah minum obat dan beristirahat tenang."
Keesokan harinya kedua anak itu telah sehat kembali.
Dan James, yang terbangun dengan terkejut karena keributan di lantai atas, segera menyebarkan berita menggemparkan itu ke seluruh sekolah.
Elizabeth mendengar jeritan itu lagi! Bahkan kali ini ia sendiri juga mendengarnya. Suara-suara itu telah membangunkannya. Dan kali ini memang sungguh-sungguh ada kebakaran. Di kamar Daniel Carter. Daniel jatuh pingsan dalam kepulan asap. Ia bisa saja mati!
Elizabeth menyeretnya untuk menyelamatkannya.
Cewek Paling Badung jadi pahlawan!
"Kau pasti telah mendapat firasat pada hari Sabtu malam, Elizabeth," bisik Kathleen terpesona, ketika Elizabeth muncul pada pelajaran Bahasa Prancis. "Aneh, ya?"
Elizabeth dan Julian diam-diam saling melemparkan senyum.
Di sela-sela sarapan pagi lezat yang telah disiapkan Ibu Asrama pagi itu, Daniel menceritakan semuanya pada Elizabeth. Setelah itu, ia tidak membuang-buang waktu untuk mencari Julian. Julian telah dengan cepat dapat menerka bahwa Daniel mencoba melindungi seseorang. Kini Elizabeth bisa memberitahu siapa "orang"-nya!
Tak lama lagi, seluruh sekolah pun akan mengetahuinya.
Bab 12
William dan Rita Bercerita
Tak biasanya Rapat Besar diadakan pada jam makan malam. Namun rapat ini memang tidak biasa.
"Kita harus memutuskan untuk menghukum seseorang," William berkata pada deretan murid-murid yang menggerombol. "Tapi pertama-tama kami ingin bercerita pada kalian."
"Konon," Rita memulai, "ada anak laki-laki yang tidak terlalu senang bersekolah di sekolah asramanya. Ia amat suka membaca dan menyendiri. Bahkan kedua orangtuanya meminta pihak sekolah agar memberikan kamar pribadi untuk anak tersebut. Tapi ternyata bersamaan dengan berjalannya waktu, diketahui bahwa itu bukanlah gagasan yang bagus..."
Para hadirin mendengarkan, terkagum-kagum, pada saat ketua murid laki-laki mengambil alih cerita itu.
"Dia suka pulang ke rumah pada hari libur, dan liburan Paskah baru-baru ini adalah yang paling dinikmatinya. Tahukah kalian, pada hari pertama liburannya, dia menemukan bayi burung yang terjatuh dari sarangnya. Dia membawanya ke dalam rumah dan merawatnya sampai pulih. Itu bayi gagak rook, maka dia memanggilnya Rookie. Dia mengasuh burung itu. Pada awalnya dia memberinya makan roti dan susu. Namun dengan cepat burung itu membutuhkan makanan lebih banyak, sehingga anak ini setiap hari ke luar menggali tanah dan mencari cacing untuk burungnya. Burung itu pun tumbuh pesat... Giliranmu, Rita."
Ketua murid perempuan itu tersenyum pada anak-anak yang terpesona.
Di bagian paling belakang aula, Miss Belle, Miss Best, dan Mr. Johns mendengarkan dengan diam. Mereka telah memberi izin agar kisah Daniel diceritakan.
"Anggota keluarga gagak tak bisa benar-benar dijinakkan. Rookie bukanlah pengecualian. Tak lama kemudian dia mulai mengacaukan segalanya, melompat ke dalam tempat mentega di dapur, mematuk-matuki sabun di kamar mandi. Di luar, ia akan menukik masuk ke api unggun di taman, berusaha menyerang asap! Keluarga tuannya akan berseru Kebakaran! untuk melarangnya. Tak seperti magpie-burung gagak berwarna hitam-putih, jay-burung yang ribut bunyinya dan berwarna cerah, ataupun hooded crow- gagak bertudung, rook dapat mengeluarkan berbagai macam suara kalau dia ingin, bukan cuma suara kaok-kaok yang biasa kita dengar," Rita menjelaskan. Ia tersenyum lagi. "Segera saja Rookie dapat berteriak Kebakaran! Tapi si gagak tetap saja selalu menyerang asap api unggun dengan caranya yang konyol!"
"Akhirnya si gagak bisa disembuhkan dari kebiasaan itu," William memotong, "ketika pada suatu hari dia terbang terlalu dekat dengan api dan bulunya nyaris terbakar. Setelah itu si gagak lebih menghormati asap! Sementara itu, pemiliknya telah kembali ke sekolah asrama untuk semester musim panas."
"Kalau anak laki-laki itu berada jauh di sekolah, dia selalu memikirkan Rookie" Rita melanjutkan. "Dia amat menyayangi hewan piaraannya yang nakal itu. Dia merindukannya. Dia hampir tak sanggup menunggu sampai tengah semester. Ketika pulang, dia mendapati Rookie telah tumbuh dewasa dan menjadi amat cerewet. Bahkan tak dapat diatur. Burung itu biasa menunggu tukang pos di halaman depan dan mencoba mematuki kakinya! Lalu pada minggu tengah semester itu, sesuatu yang mengerikan terjadi. Rookie jadi suka dengan buah stroberi muda yang tumbuh di halaman tetangga sebelah. Ia selalu mencabuti tanaman itu dari tanah. Tetangga sebelah akan dengan senang hati menembaknya!"
Beberapa murid menahan napas. Kisah ini semakin menegangkan. Tanaman stroberi! Burung yang bisa mengeluarkan pekikan peringatan! Sekarang mereka yakin betul akan maksud cerita ini.
"Lalu apa yang terjadi?" seru beberapa anak junior.
"Yang terjadi sesudah itu," sahut William muram, "kedua orangtua anak laki-laki itu menyadari bahwa mereka tak dapat lagi mempertahankan Rookie. Pada akhir liburan tengah semester, sebelum mereka mengantar si anak ke sekolah, mereka berkata bahwa anak itu harus mengucapkan selamat tinggal pada Rookie. Untuk selamanya. Tak lama setelannya, mereka melepaskan burung itu di suatu tempat di perbatasan kota, mengembalikannya ke alam liar.
"Maka di hari pertama kembali ke sekolah, si anak laki-laki itu amatlah sedih, kalian bisa membayangkan... Sampai pada suatu siang di dekat istal, seekor burung terbang turun dari atas pohon di dekat situ dan hinggap di pundak si anak laki-laki. Burung itu Rookie! Si gagak telah mengikuti mobilnya ke sekolah dan secara diam-diam bersarang di sekolah tuan mudanya!"
Rita mengakhiri kisah itu.
"Anak laki-laki itu amat gembira. Si gagak menyayanginya! Dia tak mau dipisahkan dari tuannya! Anak laki-laki itu memberanikan diri. Pada Rapat Besar pertama, dia bermaksud untuk minta izin memelihara Rookie di sekolah. Dia hampir mengatakan permintaannya dalam rapat itu. Ketika..."
Rita menyapukan pandangan ke sekeliling aula. "Apa yang terjadi?"
Anak-anak junior menyerukan jawaban-jawabannya.
"Kalian bercerita tentang tanaman stroberi!"
"Daniel pasti tahu bahwa Rookie-lah pelakunya!"
"Ia takut Rookie diusir. Maka dia mengajukan permintaan asal-asalan untuk menjadi pembantu di istal!"
"Dia tahu Rookie tinggal di dekat istal dan ingin bersamanya sekali-sekali."
Ketua murid perempuan itu mengangguk.
"Si gagak pasti telah terbang ke ambang jendela Elizabeth suatu hari dan mencuri kancingnya" Rita menjelaskan. "Kemudian dia melihat tanaman stroberi yang lebih menarik untuk dijadikan mainan."
"Maka dia menjatuhkan kancing itu di sana!" William mengakhiri.
Dengungan percakapan memenuhi aula.
Duduk di belakang, John Terry menggaruk-garuk kepala dan tersenyum sendiri. Ia begitu yakin kancing jaket berhubungan dengan perusakan itu dan ternyata ia memang benar! Ketika kancing itu tampak seolah-olah tak berhubungan dengan kasusnya, ia mulai berpikir tentang kemungkinan seekor burung besar atau bahkan binatang lain yang bertanggung jawab. Sejak itu ia telah membuka mata untuk membuktikan dugaannya, tapi tak menemukan apa-apa. Jadi ternyata ia telah dua kali mengikuti jejak yang benar namun gagal menghubungkan jejak-jejak itu!
Ketika suara gaduh di aula mulai meningkat, William memukulkan palu kecilnya di atas meja.
"Harap tenang. Semua orang tenang. Kalian pasti telah menebak siapa yang kami ceritakan tadi. Dan kini Daniel sendiri akan maju untuk berbicara dengan kita semua."
Elizabeth melihat anak cowok berambut pirang itu dengan gelisah membuka dan menutup kepalan tangannya. Ia berdiri perlahan. Lalu ia menarik napas dalam-dalam. Ia berbicara dengan malu-malu.
"Aku ingin mengatakan pada semua orang bahwa aku minta maaf atas segala hal buruk yang telah kulakukan. Aku tahu kita tidak diizinkan menyimpan korek api atau lilin dan bahwa dengan mudah aku bisa saja menyebabkan kebakaran di sekolah. Aku amat malu telah melakukannya. Aku juga amat malu..."
Ia menelan ludah dan menatap Elizabeth. Suaranya seakan tertahan di tenggorokan. Elizabeth memberinya dukungan dengan mengangguk. Teruskan, Daniel.
"...Karena aku telah begitu licik. Begitu inginnya aku mempertahankan Rookie di sekolah, sehingga aku tidak mau buka mulut dan membuat orang lain menderita. Kurasa Rookie-lah yang telah membuat suara-suara di luar jendela kelas kami. Kurasa dia sedang mencariku. Suara itu salah satu suara nakalnya yang mirip manusia. Tapi aku membiarkan Julian disalahkan! Dan semakin buruk lagi ketika Elizabeth juga mendapat masalah saat dia membunyikan bel kebakaran! Aku tidak yakin, tapi kurasa dia telah mendengar suara Rookie. Tapi aku tidak mengakuinya. Aku merasa sedih dengan semua itu. Itulah sebabnya aku duduk sepanjang hari di kamar. Dan hal terburuk dari segalanya adalah berlatih akting untuk Pentas Drama Musim Panas! Bagaimana mungkin aku bisa menikmati drama itu kalau aku telah menjadi penyebab anak-anak lain kehilangan perannya?"
Ia buru-buru duduk dan membenamkan wajah ke dalam telapak tangannya.
Setelah itu William meminta Elizabeth dan Julian untuk berdiri.
"Kalian berdualah yang paling merasakan akibat buruk dari perilaku Daniel," ujarnya. "Terutama Elizabeth. Dapatkah kau, Elizabeth, mengusulkan pada Rapat Besar tentang hukuman apa yang harus dijatuhkan?"
Terdengar suara-suara sstt di sekeliling aula untuk mendiamkan semua orang ketika Elizabeth membuka mulut untuk bicara. Seluruh sekolah menunggu apa yang akan diucapkannya.
Bab 13
Pentas Drama Musim Panas dan Setelahnya
Elizabeth sebelumnya telah berkonsultasi dengan Julian. Kedua sahabat itu telah mendiskusikan segala hal dengan amat berhati-hati sebelum Rapat Besar berlangsung.
Pada akhir pelajaran di pagi itu, mereka pergi bersama Daniel ke istal sekolah untuk membantunya menemukan Rookie. Namun burung hitam mengilap dengan warna putih terang di atas paruhnya itu tak ada di sana. Mereka amat sedih melihat Daniel berjalan berkeliling dan memandang ke atas pohon, memanggil-manggil, "Rookie?" berkali-kali.
"Kau benar, Elizabeth," ia berkata, sambil menangis. "Dia telah pergi. Dan kurasa dia takkan kembali lagi."
Julian melingkarkan lengannya ke sekeliling pundak Daniel ketika mereka bertiga berjalan lambat-lambat kembali ke sekolah untuk makan siang.
"Mungkin sulit bagimu untuk menerima kenyataan ini, Daniel. Tapi akan lebih baik kalau dia tak pernah kembali lagi. Gagak rook tak bisa hidup sendirian. Tak heran kalau dia jadi sangat nakal! Gagak suka hidup bersama dengan gagak-gagak lain, dalam kelompok. Kepergiannya berarti dia telah diterima kembali dalam kelompoknya."
Kini Elizabeth berbicara dalam Rapat Besar.
"Daniel memang harus dihukum karena telah menyebabkan kebakaran dalam kamarnya semalam," katanya. "Tapi dia telah mendapatkan hukumannya. Hukuman paling buruk yang pernah ada. Burungnya sangat ketakutan. Kebakaran dan segala keributan kemarin telah membuat Rookie ketakutan! Dia telah pergi. Daniel juga telah dihukum karena kesalahannya yang lain. Dia tak pernah lagi merasa tenang setelah Julian dan aku kehilangan peran kami dalam pentas drama. Rasa bersalahnya telah membuatnya tersiksa!"
Elizabeth duduk, kehabisan napas.
Beberapa saat hening.
Lalu tiba-tiba semua orang bertepuk tangan menyambut pidato pendek Elizabeth. Ia telah bersikap begitu adil. Ia mengatakan hal-hal yang benar.
Kedua ketua murid mengangguk sebagai tanda setuju. Begitu juga dengan para pengawas di panggung. Joan merasa amat bangga pada Elizabeth.
William mengangkat tangan untuk mendiamkan aula. Ia memandang pada Daniel dengan tenang dan ramah.
"Mencintai buku adalah hal yang baik, Daniel. Buku cerita kesukaan sama seperti sahabat. Tapi rasa cinta itu tak boleh menggantikan rasa sayang pada orang-orang sungguhan. Tenggelam dalam buku ceritamu semalam, menyalakan lilin, kau tak memikirkan anak-anak lain di sini, di Whyteleafe, dan kemungkinan bahaya kebakaran."
Daniel menundukkan kepala.
"Dan menyayangi burung serta binatang. Itu juga hal yang amat baik," William mengakhiri. "Tapi itu juga tak boleh menggantikan kepedulian terhadap orang lain. Demi keinginan mempertahankan Rookie, kau telah membiarkan orang-orang lain menderita. Kau telah menyebabkan Elizabeth, khususnya, merasakan kepedihan dan kesedihan."
"Please, William, aku tahu kata-katamu itu benar, tapi sungguh mengagumkan bahwa Rookie amat menyayangiku!" Daniel berkata. "Caranya mengikuti mobil sepanjang jalan dari desa kami supaya dia bisa bersamaku! Lagi pula," ia menggeleng-gelengkan kepala, "masalahnya dengan 'orang sungguhan' adalah mereka tampaknya tidak terlalu menyukaiku."
Elizabeth buru-buru melompat berdiri dengan marah.
"Itu tidak benar, William. Julian dan aku menyukai Daniel. Kami benar-benar menyukainya!"
Ia duduk lagi, merasa malu.
Lalu dengan acuh tak acuh, Julian berdiri.
"Ada satu hal lagi yang harus dibereskan," ia berkata dengan santai. "Tentang aku yang dianggap menderita karena peranku dalam pentas drama dicabut. Itu tidak benar. Bagian peran Jonkin banyak sekali. Pastinya aku tidak mungkin diharapkan untuk mulai mempelajarinya sekarang, kan? Aku lebih suka kalau Daniel mempertahankan peran itu."
"Hanya Miss Ranger yang bisa memutuskan itu, Julian," sahut Rita ramah. "Beliaulah penyelenggara pentas drama. Miss Belle dan Miss Best juga punya andil. Karena bagaimanapun, mereka kan penulisnya."
Namun kedua kepala sekolah dan Mr. Johns telah menganggukkan kepala mereka sebagai tanda persetujuan. Hal ini memang yang selama ini diinginkan oleh para guru untuk Daniel. Mereka khawatir anak itu tak dapat membaur dengan yang lain. Dugaan Julian ternyata tepat. Lebih jauh lagi, seharusnya sejak awal Daniel tidak diizinkan punya kamar pribadi, kedua kepala sekolah memutuskan. Mereka harus mengkaji kembali masalah itu.
Elizabeth kecewa. Julian tidak menjadi pasangannya dalam Pentas Drama Musim Panas. Tapi setidaknya Arabella harus mengembalikan peran Elizabeth.
Namun penampilan Daniel semakin lama semakin membaik.
Sekalipun ia masih merindukan burungnya, namun anak itu mulai memusatkan diri pada latihan. Senang juga karena John McTavish ikut dalam sandiwara, sebagai Mr. Grasshopper. Sejak Daniel pindah bersama John, dalam kamar yang lebih besar, mereka berdua jadi teman baik.
Julian berada di asrama yang sama dan ia banyak memberikan petunjuk akting pada Daniel. Tak diragukan ini juga membantu cowok itu.
Dan yang terbaik dari semua itu, Daniel tak ingin mengecewakan Elizabeth.
Tak lama kemudian, Elizabeth pun mulai dapat mengatasi kekecewaannya.
Acara besar itu diadakan di malam pertengahan musim panas yang indah. Petualangan di Hutan Ajaib digelar di sudut taman sekolah yang paling cantik. Pohon ash rimbun dengan daun-daunnya yang menjuntai menjadi latar belakang indah untuk Jonkin dan Ratu Peri. Semua orang menyukai penampilan anak-anak bertopeng "hewan-hewan hutan ajaib" yang muncul, menghilang, dan muncul lagi di sela-sela sesemakan.
Seluruh sekolah duduk dan memusatkan perhatian pada pentas drama, demikian pula Miss Belle dan Miss Best. Mereka telah bekerja keras menulis cerita untuk Pentas Drama Musim Panas agar selesai pada waktunya untuk dipentaskan oleh murid-murid kelas satu pada tahun ini. Dan betapa bagusnya permainan mereka! Sandiwara yang sukses.
Elizabeth jadi bintang pertunjukan itu. Ia harus beberapa kali kembali ke panggung untuk menerima tepuk tangan para hadirin. Begitu juga Daniel karena penampilannya bagus.
Si Beauty dan si Beast pun menyukai penampilan mereka berdua.
Elizabeth tetap berada di tempat pentas lama setelah itu. Ia tak ingin malam ini berakhir.
Begitu juga dengan Daniel. Anak itu berdiri di dekat jam matahari di bagian tertinggi lapangan rumput itu. Tiba-tiba ia menengadah ke langit.
"Halo, Dan. Kau melihat apa?"
Ia menunjuk. Sekelompok gagak terbang di atas awan. Seekor burung tertinggal di belakang. Burung itu berputar-putar beberapa kali di atas kepalanya.
Kedua anak itu menahan napas mereka dan menunggu.
Kemudian burung itu melambaikan satu sayap pada mereka seolah-olah mengucapkan selamat tinggal, lalu melesat terbang untuk menyusul kawanannya.
Elizabeth dan Daniel terus mengamati kawanan burung itu terbang menuju kejauhan. Tak lama kemudian, gerombolan itu berubah menjadi titik kecil di depan matahari merah yang makin merendah. Lalu burung-burung itu lenyap dan yang tertinggal hanyalah matahari.