Anda di halaman 1dari 384

desyrindah.blogspot.

com
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com
Curiosity House
The Fearsome Firebird
Buku Tiga

Diterjemahkan dari buku The Curiosity House #3, The Fearsome Firebird karya
Lauren Oliver & H.C. Chester terbitan HARPER, an imprint of Harper Collins.
Text copyright © 2017 by Laura Schechter & Harold Schechter

Illustrations copyright © 2017 by Benjamin Lacombe


Copyright arranged with Foundry Literary + Media
33 West 17th Street, PH, New York, NY 10011, USA
through Tuttle-Mori Agency Co., Ltd.

Hak penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada Penerbit Noura


Books
All rights reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Penerjemah: Reni Indardini
Penyunting: Yuli Pritania
Penata aksara: CDDC
Digitalisasi: Elliza Titin

Cetakan ke-1, Januari 2019


ISBN: 978-602-385-482-0

Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books (PT. Mizan Publika)


Jl. Jagakarsa Raya No. 40 RT 007/04, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12620
Telp.: 021-78880556, Faks.: 021-78880563
Email: redaksi@noura.mizan.com
desyrindah.blogspot.com

www.nourabooks.co.id

Ebook ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing


Jl. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620
Phone.: +62-21-7864547 (Hunting)
Fax.: +62-21-7864272
email: mizandigitalpublishing@mizan.com
email: nouradigitalpublishing@gmail.com

Instagram: @nouraebook Facebook page: nouraebook


desyrindah.blogspot.com
H.C. Chester mempersembahkan buku ini untuk sahabat
terbaik yang selalu memberi apresiasi terhadap karya-
karyanya, Trudy.

Lauren Oliver mempersembahkan buku ini untuk ayahnya,


untuk semua dukungan, inspirasi, dan dorongan kreatif
yang dia berikan.
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com
1

“SAM!”
Terperanjat gara-gara suara yang menggemuruh di
loteng sempit, Sam tak sengaja meremas model kapal
Viking kecil berskala sesuai aslinya, alhasil
meremukkannya hingga berkeping-keping.
“Luar biasa.” Thomas mengerutkan kening.
“Sekarang kita harus menggunakan apa sebagai
Pemundur?”
Thomas dan Sam sedang bermain Jebakan Maut,
permainan kompleks ciptaan Thomas sendiri yang
memanfaatkan motif bergelombang di karpet sebagai
papan dan beragam benda pampasan dari museum
sebagai pion. Kapal Viking memiliki peran kritis nan
penting: kapal mesti diputar sampai berhenti dan,
tergantung kepala naganya menghadap ke mana,
pemain bisa saja harus mundur beberapa langkah atau
bahkan memulai dari awal.
desyrindah.blogspot.com

“Maaf.” Sam dengan hati-hati mengambili serpih-


serpih kayu dari tangannya dan menumpuknya
dengan rapi di karpet. “Aku tidak berniat merusak.”
“SAM!” Goldini sang Pesulap muncul dari balik
labirin rak buku yang mendominasi bagian tengah
loteng. Dia serupa jack-in-the-box sinting. Pipinya
merah padam, sedangkan ujung kumisnya yang
melengkung bergetar. “Kalau tidak salah, monster ini
milikmu?” Dia menyodorkan Freckles—kucing putih
berbulu lebat yang dulunya milik Siegfried Eckleberger
sang pematung terkenal—dengan wajah berkerut-
kerut jijik seperti sedang memegangi kaus kaki lama
yang teramat bau.
“Aduh, tidak.” Sam buru-buru berdiri. Lantai
sekejap berguncang di bawah tekanan bobotnya.
Sekalipun Sam baru saja berulang tahun ketiga belas
dan berbadan sekurus kacang panjang, dia memiliki
kemampuan demikian: pagar tangga remuk menjadi
serbuk ketika dia pegang, pintu roboh ketika dia
dorong. Sebagai anak laki-laki terkuat di dunia, itulah
sejumlah efek samping kesaktiannya.
Dalam kurun dua bulan terakhir, Freckles si kucing
—dan Sam juga, secara tidak langsung—telah
menyulut rasa per​musuhan hampir semua penghuni
tetap Museum Aneh tapi Nyata Dumfrey gara-gara
desyrindah.blogspot.com

ulahnya. Kucing itu menggigiti sikat rambut favorit


Betty sang Nyonya Janggut sampai hancur,
merontokkan bulu-bulunya ke kasur Smalls sang
Raksasa tidak sampai sehari setelah Smalls
menyatakan bahwa dia alergi parah terhadap bulu
kucing, dan mencakar-cakar selendang yang lazimnya
disampirkan Caroline dan Quinn, si Kembar Albino,
ke pundak mereka selagi tampil di panggung. Ia
meneror kakaktua piaraan Mr. Dumfrey, Cornelius.
(Cornelius masih memekikkan “Pembunuhan,
pembunuhan!” kapan pun Freckles sekadar
menjejakkan kaki ke dalam kantor Mr. Dumfrey.)
Freckles bahkan sempat mengencingi sandal favorit
Danny setelah sang Manusia Kerdil keras-keras
membicarakan keunggulan anjing dibandingkan
kucing.
“Kali ini,” kata Goldini sambil menegakkan
tubuhnya yang setinggi 170 sentimeter, “makhluk
buas ini meneror burungku.” Sang pesulap
mengacungkan jari pucat ke sangkar, tempat se​ekor
burung merpati mengepak-ngepakkan sayap dengan
kalut sambil memandangi Freckles seakan kucing itu
mungkin saja melompat dari pelukan Sam dan
menerkamnya sekonyong-konyong. Burung tersebut
merupakan bagian penting dari trik terbaru Goldini,
desyrindah.blogspot.com

Incrediballoon. Dalam trik tersebut, Goldini


meletuskan sebuah balon dengan jarum jahit panjang
dan alhasil menampakkan seekor merpati hidup,
atraksi yang niscaya me​nyenangkan penonton.
“Maafkan aku, Goldini,” kata Sam tulus. Dia tidak
pernah mendengar Goldini meninggikan suara
sebelum ini. Biasanya, sang pesulap berbicara dengan
nada setengah bergumam se​tengah serak, bahkan
ketika di atas panggung. “Akan kupas​tikan supaya
kejadian ini tidak terulang lagi.”
“Awas saja kalau terulang,” kata Goldini sambil
men​dengus dongkol. “Mana bisa aku mengubah balon
menjadi burung kalau burung itu masuk ke sistem
pencernaan ku​cingmu?”
Dengan hati-hati, dengan lembut—masih teringat
jelas ba​gaimana kapal kayu Viking kecil retak di
tangannya—Sam menggendong Freckles ke tempatnya
yang biasa di atas kasur Sam. Untuk itu, Sam mesti
berbelok-belok ke sela-sela beragam barang
berantakan yang, seiring berjalannya waktu,
mendekam permanen di loteng: rak-rak kayu dan
tumpukan laci terbalik, meja-meja berkaki tiga,
lemari-lemari rusak, bahkan sebuah kulkas mati.
Itu adalah Minggu siang nan sempurna pada awal
Sep​tember. Semua jendela dibuka sehingga angin
desyrindah.blogspot.com

sepoi-sepoi mem​bawa masuk bau dari jalanan dekat


sana—hot dog dan kacang panggang, minyak oli dan
asap knalpot, semerbak toko bunga dan secercah
aroma sampah yang belum diambil.
Museum akhir-akhir ini sedang untung.
Pertunjukan siang sukses besar. Kursi bertambalan di
lantai pertama Odditorium hampir semuanya penuh.
Goldini tidak gagap mengerjakan triknya barang
sekali pun. Aksi lempar pisau Max, yang kini dia
tampilkan dengan mata ditutup, meraih tepuk tangan
meriah dari hadirin, bahkan ada yang sampai berdiri.
Philippa berhasil membaca semua isi dompet
penonton, sampai ke bungkus pepermin Life Savers
yang tinggal setengah. Selepas pertunjukan, Pippa
dikerumuni sekelompok perempuan lajang yang
menyodorkan koin seperempat dolar ke telapak
tangannya dan menanyakan kapan serta di mana
mereka akan berjumpa calon suami, bahkan setelah
Pippa menjelaskan dengan sabar bahwa membaca
pikiran dan meramal masa depan merupakan dua
disiplin yang berlainan.
Pada saat-saat seperti sekarang, sulit dipercaya
bahwa, tidak sampai delapan pekan lalu, museum
nyaris saja tutup untuk selamanya. Yang malah lebih
sulit dipercaya, Sam, Thomas, Max, dan Pippa hampir
desyrindah.blogspot.com

kehilangan nyawa di tangan Nicholas Rattigan:


ilmuwan, buron, dan monster, yang satu dari sekian
banyak kejahatannya adalah membunuh orangtua
kandung Sam. Sulit untuk memercayai apa pun selain
yang tampak saat ini, yakni hari yang indah dan
museum bobrok nan nyaman, yang bagi seluruh
penampil sudah sefamilier selop lawas, saking
seringnya terinjak-injak sehingga berbentuk persis
seperti kaki si pemakai. Bahkan Caroline dan Quinn,
si Kembar Albino, se​dang damai di dalam harmoni—
padahal jarang-jarang—duduk berdampingan, kening
mereka bersentuhan, mengepangkan rambut putih
panjang satu sama lain dan menyenandungkan Happy
Days Are Here Again secara bergantian.
Bagi Sam, kepedihan karena kehilangan orangtua—
yang dia tahu menyayanginya semasa mereka masih
hidup—diredakan oleh rasa lega karena kini dia tahu
pasti bukan dirinyalah yang bersalah atas kematian
mereka, sebagaimana yang dia takutkan selama ini.
Lagi pula, sekarang setelah dia tahu nama mereka—
Priscilla dan Joe—dia bisa betul-betul berduka atas
kepergian mereka. Itulah yang Sam lakukan, hingga
duka sekadar menyisakan denyut-denyut kebas
belaka, seakan hatinya adalah sepatu dan kenangan
akan orangtuanya adalah sebutir kerikil yang
desyrindah.blogspot.com

tersangkut dalam-dalam di sana.


Anehnya, perasaan itu justru membuat nyaman.
Karena kehilangan seseorang sama artinya dengan
memiliki orang terdekat yang bisa membuat kita
merasa kehilangan.
“Sekarang giliran siapa?” tanya Sam kepada
Thomas sam​bil menjatuhkan diri ke karpet. Ronde
terakhir dime​nangi Thomas. Berkat langkah
briliannya dengan mengguna​kan pena bulu (yang
konon dipakai Thomas Jefferson untuk
menandatangani Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Seri​​kat) untuk menulis ulang aturan sementara, alhasil
memungkinkannya untuk mengambil kait perompak
Sam dengan pin tentara AS yang bernilai lebih kecil.
Namun, Thomas rupanya sudah bosan dengan
permainan itu. Buku mahabesar terbuka di
pangkuannya. Sam menang​kap judulnya sekilas:
Senyawa Kimia dan Terapan Praktisnya. “Lupakan
permainan ini,” kata Thomas kesal. “Kita tidak bisa
bermain tanpa Pemundur. Kita nyatakan seri saja.”
“Akhirnya,” Max angkat bicara dari pojokan. Dia
sedang duduk di kursi berlengan favoritnya—besar
dan luar biasa nya​man, terkecuali karena tonjolan
pegas yang menyembul di sana sini—sambil memoles
pisau-pisaunya. “Kalau aku harus mendengarkan
desyrindah.blogspot.com

kalian mempertengkarkan aturan permainan lagi,


bisa-bisa kuiris telingaku sendiri.”
Sam merasakan wajahnya memanas, sebagaimana
yang sering terjadi akhir-akhir ini kapan pun Max
berbicara ke​padanya—sekalipun anak perempuan itu
jarang mengucapkan yang baik-baik. Sejak Howie si
Manusia Burung Hantu, yang memiliki kemampuan
menyebalkan memutar kepalanya nan sempurna
sampai 180 derajat, muncul kemudian berhenti tiba-
tiba (atau, lebih tepatnya, didepak) dari museum, Max
malah lebih ketus daripada biasanya. Sam tidak tahu
apakah Max malu karena sempat naksir Howie,
murka karena Howie mengkhianati mereka, atau
masih sedih karena pemuda itu pergi. Sam amat
sangat berharap semoga bukan yang terakhir.
“Diam, kalian semua.” Pippa sedang telungkup di
sofa, ber​alaskan selimut rajutan kasar yang konon
adalah milik Geronimo. “Aku tidak bisa mendengar
apa-apa.” Dia lantas menggapai kenop radio untuk
mengeraskan volume.
“… Anda mendengarkan Jam Pencinta Musik
bersama Woodhull,” kata suara patah-patah dari
speaker, “yang dispon​sori oleh Perusahaan Woodhull.
Untuk pekerjaan yang prima, pekerjakanlah
Woodhull.”
desyrindah.blogspot.com

“Tahukah kalian,” kata Thomas tanpa


mendongak, “bahwa tubuh manusia mengandung
karbon yang jumlahnya cukup untuk membuat
sembilan ribu pensil grafit?”
“Ssst,” tukas Pippa tajam, menyuruh Thomas
diam. “Aku sedang menyimak.”
“… kami selingi program ini sejenak dengan
pengumuman khusus, disampaikan langsung oleh
Edward T. Woodhull IV, Presiden Perusahaan
Woodhull. Pada tanggal 15 September, perusahaan
tersebut akan meluncurkan kapal zeppelin
ber​penumpang terbesar di dunia. Kapal udara raksasa
itu akan terbang dari pabrik di Staten Island ke tengah
Manhattan, untuk kemudian ditambatkan di atas
Empire State Building selama seminggu penuh ….”
“Hei, Sam.” Mulut Max menyunggingkan senyum.
Sam menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya
yang lagi-lagi merah padam. Sebelah bawah kulitnya
serasa terbakar. “Freckles kenapa? Dia menggaruk
gila-gilaan.”
Max benar. Freckles menggaruk-garuk kuping
kirinya habis-habisan, mengeong-ngeong, merintih,
dan menjulurkan le​her untuk menggigiti bulunya
sendiri.
“Aku tahu dia kenapa.” Pintu loteng terbanting
desyrindah.blogspot.com

dan, dari lorong, muncullah Danny, sang Manusia


Kerdil, yang menjejak masuk sambil bersungut-sungut.
Topi koboi tinggi yang kerap dia kenakan sejak baru-
baru ini—hadiah dari William “Lash” Langtry,
penampil museum yang merupakan bintang rodeo
tenar sedunia—kelihatan sedikit dari atas rak-rak
buku. “Dia begitu gara-gara kutu!”
Danny kemudian mengitari sudut rak, ke area kecil
bersama tempat anak-anak sedang berkumpul.
Pippa serta-merta terkesiap. Thomas menjatuhkan
buku​nya. Max bahkan berhenti memoles pisau-
pisaunya dan justru memandangi Danny sambil
melongo.
“J-janggut Anda kenapa?” Sam terbata-bata.
“Alis Anda kenapa?” celetuk Thomas.
Danny, yang selama bertahun-tahun sejak anak-
anak me​ngenalnya memiliki janggut panjang tebal
semerah kawat tembaga dan alis teramat lebat sampai-
sampai menyerupai ulat bulu merah karat yang
ditempelkan ke dahinya, kini berwajah tercukur
bersih. Dia kelihatan seperti bayi raksasa.
“Cukup!” Jenderal Archibald Farnum berderap ke
dalam loteng di belakang Danny, bertumpu
kepayahan ke tongkatnya sambil tersengal-sengal
sedikit. “Kubilang cukup, kau dengar? Aku tidak sudi
desyrindah.blogspot.com

kau mengocehkan omong kosong mengenai hewan-


hewanku yang sangat terlatih, sangat cerdas—”
“Hama!” raung Danny, berputar hingga
menghadap Jen​de​ral Farnum. “Hama pengisap darah
yang menjijikkan dan mem​​buat gatal setengah mati!”
“Hama? Hama?” Janggut putih panjang Farnum
bergoyang-goyang, seakan ikut-ikutan marah.
“Dengarkan aku, dasar anak kemarin sore. Aku
seharusnya menjebloskanmu ke penjara de​ngan
tuduhan pencemaran nama baik. Aku memilih sendiri
kutu-kutu itu satu per satu dan, sekalipun otak
mereka cuma setitik, kecerdasan mereka jauh lebih
tinggi daripada yang kau miliki dalam tengkorakmu
yang bengkak!”
“Ucapkan itu sekali lagi, mulut ember, dan akan
kuha​jar hidungmu,” seru Danny sambil mengayun-
ayunkan tinju—yang, sayangnya, hanya sampai ke
tempurung lutut Farnum.
“Kau,” kata Jenderal Farnum, wajahnya kini
merah padam hingga menyerupai tomat lama keriput,
“bahkan tidak layak menjadi kutu di punggung
kutuku! Kau tak ubahnya—kutu telinga! Dasar
tungau keji pembohong!”
“Hei, sudah, jangan teriak-teriak!” Lash Langtry
muncul dan menengahi kedua pria itu sepersekian
desyrindah.blogspot.com

detik saja sebelum mereka baku pukul. “Ada


perempuan di sini, jangan lupa.”
Caroline dan Quinn menjatuhkan diri ke kasur
secara berbarengan. “Hai, Lash,” kata mereka dengan
nada mendayu. Kemudian, sambil adu pelotot: “Amit-
amit.”
Lash memiringkan topi ke arah mereka dan
kembali men​curahkan perhatian kepada Danny. “Apa
pula duduk perkaranya?”
“Duduk perkaranya,” dengus Danny, “adalah
orang yang mengaku-aku sebagai jenderal ini—”
“Mengaku-aku! Asal kau tahu, aku mengomandoi
sepe​leton Rough Riders sewaktu kau masih
menggunakan popok—”
“—dan makhluk pengisap darah koleksinya yang
tercela! Lihat aku! Lihat saja aku! Sudah seminggu
aku tidak bisa tidur barang sekejap pun.”
“Ke-102 kutuku ada semua dan tidak ke mana-
mana,” kata Jenderal Farnum. “Aku baru saja
mengabsen mereka tadi pagi.” Dia melambaikan
tongkat ke set sirkus miniatur, yang dilengkapi titian
keseimbangan, ayunan, dan trapeze mungil, yang
merupakan tempat tinggal kutu-kutu pemain akrobat.
Dari kejauhan sekalipun, Sam bisa melihat bentuk-
bentuk gelap mungil berkelebat dari satu alat ke alat
desyrindah.blogspot.com

lain.
“Kalau begitu,” suara Danny kembali meninggi
dengan nada mengancam, “kenapa aku masih saja
GATAL?”
Jenderal Farnum mengeluarkan suara mirip
geraman. “Pernahkah kau mempertimbangkan bahwa
kau dihinggapi tuma? Oh, pada zaman perang kami
melihat banyak tuma. Prajurit-prajurit paling jorok
selalu paling terpengaruh.”
“Dasar bedebah busuk, baru empat hari lalu aku
mandi—”
“Justru itu maksudku. Kau bau!”
“Kawan-Kawan.” Lash menengahi sekali lagi.
“Tidak ada alasan untuk marah-marah. Danny,” dia
menoleh kepada sang Manusia Kerdil yang berang,
“aku benci berkata begini, tapi Jenderal Farnum
benar. Nyatanya, kau tidak seharum sebuket aster.
Dan Jenderal Farnum,” Lash menoleh kepada sang
Jenderal sebelum Danny lagi-lagi berceloteh gusar,
“bisa saja salah satu, anu, spesimenmu kabur, ya
‘kan?”
“Tidak,” kata Jenderal Farnum kaku. “Aku tidak
pernah kehilangan anak buah, Langtry—atau kutu,
dalam konteks ini.”
“Nah,” kata Lash buru-buru, sebelum
desyrindah.blogspot.com

pertengkaran te​lanjur pecah kembali, “bagaimana


kalau kalian bersalaman saja? Ayo,” imbuhnya, ketika
kedua pria itu sama-sama tidak bergerak. “Kita semua
sekeluarga, ya ‘kan?”
Setelah sedetik berkepanjangan, Danny
mengulurkan ta​ngan sambil menggeram. Jenderal
Farnum menjabatnya cepat-cepat, lalu langsung
membalikkan badan sambil menggerutu.
“Nah, lihat sendiri, ‘kan?” kata Lash riang, bahkan
saat sang Jenderal pergi sambil bersungut-sungut.
“Akhir yang baik—”
“Thomas. Pippa. Sam. Max. Dumfrey ingin kalian
ke kan​tornya.” Gil Kestrel, petugas kebersihan baru
museum, muncul di ambang pintu.
Suara itu seolah membawa hawa dingin kutub.
Ekspresi cerah ceria seketika terhapus dari wajah
Lash. Dia berbalik pelan-pelan untuk menghadap Gil.
Semua orang mematung, seakan tersetrum arus
kebencian yang menjalar di antara kedua pria tadi.
Mata Gil melirik Lash. “Langtry,” katanya singkat.
“Kestrel,” kata Lash kaku. Sepengetahuan Sam,
kedua pria tersebut hanya pernah bertukar dua patah
kata tersebut. Langtry. Kestrel. Dan ketika berpapasan
di koridor, keduanya menempel sedekat mungkin ke
sisi dinding berlawanan, se​olah meyakini yang lain
desyrindah.blogspot.com

membawa penyakit menular.


Lash dan Gil mengenal Mr. Dumfrey sejak zaman
da​hulu, ketika mereka bepergian keliling negeri
bersama-sama, dalam rangka tampil di hadapan
penonton ramai di kota-kota seluruh Amerika.
Namun, berbeda dengan Lash, yang selalu
mengisahkan cerita-cerita tentang masa itu, Gil praktis
tidak pernah bicara, kecuali untuk menyampaikan
perin​tah atau menanyakan adakah yang
memindahkan pel. Sam masih tidak tahu apa-apa
tentang Gil, sama seperti pada hari kedatangannya,
ketika pria itu muncul saat sarapan sambil
mencengkeram tas punggung butut dan mengulum
tusuk gigi bolak-balik di mulutnya bak gagasan yang
sudah dia cerna selama berdekade-dekade.
Suatu kali, Max mengerahkan keberanian untuk
me​nanyakan kepada Dumfrey mengapa Gil dan Lash
saling benci, tetapi Dumfrey semata-mata menepis
pertanyaan itu.
“Yang lalu biarlah berlalu, Sayang!” kata Mr.
Dumfrey riang. “Cerita lama yang sudah lama
dikubur rapat-rapat.”
Namun, apa pun itu, jelas bahwa alasan di balik
ketegangan mereka belumlah dikubur rapat-rapat.
Akhirnya, Gil beranjak dan punahlah mantra yang
desyrindah.blogspot.com

telah melumpuhkan mereka semua. Udara serta-merta


mengalir kembali ke dalam paru-paru Sam.
“Keluarga apaan,” gerutu Max sementara mereka
meng​ikuti Gil ke koridor, menuju kantor Mr.
Dumfrey.[]
desyrindah.blogspot.com
2

KANTOR MR. DUMFREY HANYA DAPAT


diakses dari tangga khusus penampil, yang melingkar
seperti per di ba​gian belakang museum dan berujung
di loteng. Seperti biasa, pintu kantornya tertutup,
sekalipun dari jarak beberapa meter, Pippa bisa
mendengar suara terkekeh Mr. Dumfrey yang
menggemuruh di dalam.
“Wah, coba lihat ini,” gumam Mr. Dumfrey.
“Sungguh, aku sudah lupa sama sekali … dan Miss
Annie Priggs! Betapa cepat waktu berlalu. Manis
sekali dia, luar biasa manis. Aku ingin tahu bagaimana
jadinya Miss Annie Priggs dan apakah dia
berkesempatan tampil solo seperti yang dia inginkan.
Barangkali aku sebaiknya … tidak, tidak.”
Kestrel mengetuk sekali dan, tanpa menunggu
jawaban, membuka pintu. “Antaran untukmu, Mr.
D,” katanya.
desyrindah.blogspot.com

Di balik meja, dengan kacamata kecil bundar


bertengger di ujung hidung, duduklah Mr. Dumfrey
sambil membungkuk ke buku yang saking penuhnya
dengan pamflet, foto, dan lembaran kertas sampai-
sampai menyerupai akordeon. Mr. Dumfrey serta-
merta menutup buku sambil terlompat. Namun,
selembar foto menguning terlepas dari sela-sela
halaman buku dan melayang-layang ke kaki Pippa.
Dia menyambar foto tersebut dan nyaris tercekik.
“Mr. Dumfrey,” kata Pippa. “Apa ini Anda?”
“Coba kulihat,” Max berkata, lalu merebut foto
dari tangan Pippa.
Di foto itu, Mr. Dumfrey berdiri di depan tenda
sirkus beratap lancip di antara dua pria jangkung
ramping: Kestrel dan Langtry, keduanya langsung
dapat dikenali, sekalipun wajah Kestrel berubah total
berkat senyum lebar menyilaukan, sangat berbeda
dengan mimik cemberutnya yang biasa.
Mr. Dumfrey berjanggut gelap, berambut cokelat
tua—entah mengapa, Pippa otomatis mengasumsikan
bahwa Mr. Dumfrey sedari dulu sudah botak seperti
bayi baru lahir—dan, yang paling mencengangkan,
berbobot kira-kira tiga puluh kilogram lebih ringan.
Sementara satu tangannya terangkat ke depan mata
untuk menghalau sinar matahari dan sudut mulutnya
desyrindah.blogspot.com

terangkat membentuk senyum. Dia hampir-hampir


mirip dengan saudara tirinya, Nicholas Rattigan.
Kecuali fakta bahwa Rattigan jarang tersenyum,
seba​gaimana yang Pippa ketahui. Dan, ketika Rattigan
tersenyum, ekspresinya tetap tidak memancarkan
humor ataupun kehi​dupan. Senyum Rattigan adalah
senyum seekor ular yang membuka rahang lebar-lebar
untuk menelan tikus.
Dumfrey mendorong dirinya ke belakang untuk
bangkit dari kursi, kemudian menjulurkan tubuh
untuk mengambil foto dari tangan Max sekaligus
menyenggol sejumlah pulpen dengan perutnya hingga
jatuh. “Ya, ya. Konyol sekali. Mengenang masa lalu,
takutnya begitu. Jangan salahkan aku ... sekian
banyak teman lama di dekatku ... besar kepala gara-
gara kejayaan silam, barangkali ….” Wajah Mr.
Dumfrey semerah rambu tanda berhenti.
Mulut Kestrel memipih, alhasil mengurangi
ekspresinya yang cemberut. “Dumfrey adalah bintang
pertunjukan.”
“Mr. Dumfrey, Anda dulu unjuk kebolehan?”
pekik Pippa. Dia pernah melihat Mr. Dumfrey di atas
panggung, tentu saja. Pria itu sering ikut naik ke
panggung untuk mengumumkan atraksi teranyar di
museum—misalkan Jenderal Farnum dan kutu-kutu
desyrindah.blogspot.com

sirkusnya yang tersohor sedunia, baru-baru ini.


Namun, sepengetahuan Pippa, satu-satunya bakat
istimewa Mr. Dumfrey adalah mengaburkan
kebenaran. Misalkan saja, dia mengklaim bahwa
sejumlah boneka yang punggungnya ditempeli sayap
serangga adalah sekeluarga peri Irlandia; atau bahwa
gagang sapu lama yang dihiasi cangkang kerang dan
bulu sejatinya adalah tombak suku asli Polinesia, yang
digunakan dalam ritual kurban. Keyakinan
melahirkan fakta, Mr. Dumfrey gemar berkata begitu.
“Unjuk kebolehan?” Kestrel menggerakkan rahang,
kiri kanan, memindahkan tusuk gigi bolak-balik di
mulutnya. Se​lama tiga minggu dia bekerja di museum,
Pippa belum pernah melihatnya tanpa tusuk gigi.
Bahkan, ketika makan, Kestrel semata-mata
menyisihkan tusuk gigi ke satu sudut mulutnya dan
menyuapkan makanan ke sudut satunya lagi. “Di
timur Mississippi, tidak ada yang menandingi keahlian
Mr. D. Di barat juga, sebenarnya.”
“Tapi ... apa yang Anda lakukan?” tanya Sam,
agak kikuk.
“Sekarang tidak penting,” kata Mr. Dumfrey buru-
buru. Dia melemparkan tatapan galak ke arah Kestrel,
seolah mem​peringatkannya agar tutup mulut. “Semua
sudah menjadi masa lalu.”
desyrindah.blogspot.com

Tidak puas, Pippa mengalihkan perhatian ke album


Mr. Dumfrey sambil memejamkan mata. Hampir
serta-merta, dia mencium wangi kulit lama yang
terpanggang matahari dan tinta, bau jemari bernoda
tembakau, dan foto yang mengering hing​ga serapuh
daun. Sedetik berselang, beragam citra berkelebat di
benaknya: seorang wanita muda yang memegang
permen kapas putih besar sambil memicingkan mata;
Kestrel dan Lash yang saling rangkul sambil tertawa;
tenda sirkus berdebu dan seorang wanita berjanggut
yang berdiri di ambang pintu (wanita berjanggut yang,
pikir Pippa kritis, kalah menawan dibandingkan
dengan Betty; ketebalan janggutnya tidak merata dan
tidak sepanjang janggut Betty). Kesannya seolah
pikiran Pippa memiliki jemari yang bisa membolak-
balik halaman satu per satu—dia menelaah pamflet-
pamflet, melompati selebar​an yang mengiklankan
Pertunjukan Aneka Ragam Terbaik di Amerika,
melewati selusin foto Priggs bersaudari, Manusia
Pretzel Lentur Tersohor, dalam rangka mencari bukti
mengenai keterampilan istimewa Mr. Dumfrey.
Mendadak, citra Dumfrey belia mulai terbentuk. Mr.
Dumfrey menyandang sesuatu di pundaknya, gagang
sapu, atau sekop, atau—
Bruk.
desyrindah.blogspot.com

Sekonyong-konyong, benak Pippa tertutup tembok


gelap dan dia tidak bisa lagi melihat. Mr. Dumfrey
telah menutup dan menyingkirkan album, malah
meletakkan sebuah kabinet elok zaman Victoria tepat
di depan buku tersebut. Ketika Pippa memejamkan
mata sekarang, yang dia lihat hanyalah lembar-lembar
kertas membingungkan dan berbagai macam benda—
karet gelang, klip kertas, uang lama.
“Maafkan aku, Pippa.” Mr. Dumfrey sama sekali
tidak tampak menyesal selagi dia kembali ke balik
meja dan duduk sambil mengeluarkan desah kecil
puas. “Tapi, tidak sopan mengintip urusan orang lain
dengan telepati.” Dia dengan hati-hati membetulkan
cangkir berisi pulpen yang tadi dia balikkan,
meletakkan pulpen di tempat masing-masing seperti
sediakala. “Terima kasih, Kestrel. Cukup sekian untuk
saat ini. Aku yakin Miss Fitch membutuhkan
bantuanmu untuk mengeluarkan tablo Baron
Berdarah. Guillotine tua itu sulit dipindahkan.”
Tusuk gigi Kestrel lagi-lagi bergerak dari satu sudut
mu​lut ke sudut yang lain dan, tanpa sepatah kata pun,
pria itu membalikkan badan dan meninggalkan
ruangan. Dumfrey memandangi anak-anak sambil
tersenyum cerah. “Jadi,” kata​nya, “kalian ingin
bertemu aku?”
desyrindah.blogspot.com

Suasana menjadi hening. Pippa sekali lagi bertanya-


tanya, disertai rasa bersalah, apa kiranya bakat
istimewa Mr. Dumfrey. Di dalam sangkar, Cornelius
merapikan bulu-bulunya dan ber​koak
berkepanjangan.
“Sebenarnya,” kata Sam, lagi-lagi dengan nada
minta maaf, “Anda yang ingin bertemu kami.”
Mr. Dumfrey menepuk dahi. “Betul juga. Tidak
tahu pi​kiranku kenapa akhir-akhir ini. Usia tua, Anak-
Anak, usia tua. Jangan bilang aku tidak pernah
memperingatkan kalian!” Wa​jahnya berubah serius.
“Aku hendak memercayakan tanggung jawab besar
kepada kalian,” kata Mr. Dumfrey, memelankan
suara seolah khawatir patung dada Thomas Jefferson
yang menempati sudut mejanya mungkin saja menjadi
hidup supaya bisa menguping. “Seperti yang kalian
ketahui, Monsieur Cabillaud yang malang jatuh
sakit.”
“Mudah-mudahan saja terkena wabah,” gerutu
Max. Pippa menyikutnya keras-keras, berusaha
mengatur wajahnya supaya menampakkan ekspresi
prihatin.
Monsieur Cabillaud adalah tutor tetap di museum
dan, sejak 1 September, bersikeras bahwa tahun
ajaran baru su​dah dimulai. Sepertinya Monsieur
desyrindah.blogspot.com

Cabillaud telah mengha​biskan seisi musim panas


dengan mereka-reka cara baru untuk membuat anak-
anak tersiksa karena bosan. Sang tu​tor mengajarkan
segala macam topik kepada mereka, mulai dari
konjugasi kata kerja bahasa Prancis yang benar untuk
bersalto, penggunaan garam magnesium yang tepat
untuk menyembuhkan otot kaku, hingga nama semua
dinasti Tiong​kok dari tahun 2000 SM hingga saat ini.
Monsieur Cabillaud bahkan memberdayakan Smalls
sang Raksasa, yang bercita-cita menjadi penyair,
untuk memberi anak-anak pelajaran sastra berdurasi
dua jam per minggu, yang dia isi dengan membacakan
karya terbarunya yang belum dipublikasikan, “Manis
Benar Dekut Burung Tekukur”, dan mencecar
kebodohan semua majalah sastra yang telah menolak
menerbitkan karyanya itu.
“Biasanya,” lanjut Mr. Dumfrey, luput mendengar
ko​mentar Max atau memilih untuk mengabaikannya,
“seluruh pengeluaran dan pemasukan kita dikelola
oleh Monsieur Cabillaud.” Mr. Dumfrey batuk—
mungkin karena museum mereka lazimnya lebih besar
pasak daripada tiang. “Tapi, pekan ini aku mesti
meminta kalian untuk menggantikan perannya.”
“Anda ingin kami pergi ke bank?” tanya Max
blakblakan, seperti biasa.
desyrindah.blogspot.com

Mr. Dumfrey kelihatan agak kesal karena


diinterupsi. Dia batuk-batuk lagi. “Aku bermaksud ke
sana sendiri,” katanya, “tapi aku sedang menantikan
telepon penting. Kesempatan yang hanya datang sekali
seumur hidup—spesimen yang saking langkanya
sampai-sampai belum punya nama.”
Pippa dan Thomas bertukar pandang.
“Kuharap aku tidak perlu mengatakan ini, tapi biar
ku​tegaskan bahwa uang itu mesti kalian amankan di
dalam reke​ning,” Mr. Dumfrey menekankan kata
amankan sambil memandangi anak-anak satu demi
satu dari balik bingkai kacamatanya, “apalagi
mengingat ... kejadian baru-baru ini.”
Selama dua bulan terakhir—sejak Profesor
Rattigan meng​hilang, sepertinya ke udara kosong, dari
bekas pabrik gerbong trem tertutup rapat tempatnya
sempat memancing anak-anak—jumlah perampokan
bank di New York City mencatatkan rekor pelonjakan
sebesar 250 persen. Tidak ada keraguan, setidak​nya di
benak Pippa, bahwa dua faktor tersebut berhubungan.
Rattigan tidak menutup-nutupi bahwa dia sedang
menggagas rencana besar. Dan rencana besar itu
pastilah berbiaya mahal.
Sayangnya, tidak ada cara untuk membuktikan
keterlibatan Rattigan dalam kasus-kasus perampokan
desyrindah.blogspot.com

itu.
Setengah anggota kepolisian New York City dan
setim agen khusus telah menyisir kota untuk mencari
Rattigan, tetapi upaya itu tidak membuahkan hasil,
sedangkan tiap perampokan berlangsung mulus sejauh
ini, tidak meninggal​kan indikasi apa pun mengenai
siapa kira-kira dalangnya.
Pippa, Max, Sam, dan Thomas tahu Rattigan pasti
ber​tanggung jawab atas perampokan bank. Dan, jauh
di lubuk hati, jauh sekali, Pippa merasa sedikit ... lega.
Tentu saja Pippa tidak akan mau mengakui itu:
teman-temannya tidak akan mengerti dan, biasanya,
Pippa ikut-ikutan mengutarakan harapan semoga
Rattigan menghilang saja dari muka bumi.
Namun, jika Rattigan meninggal, maka Pippa tidak
akan memiliki kesempatan untuk menanyai pria itu
tentang orang​tuanya. Dia tahu pendapat temannya
lain-lain. Tom merasa museum adalah rumah
sejatinya. Max berpikir bahwa memiliki orangtua
justru merepotkan dan dengan bangga menyatakan
dirinya yatim piatu kepada siapa saja yang mau
mendengarkan. Sam tahu orangtuanya bernama
Priscilla dan Joe dan tampaknya sudah puas.
Pippa menginginkan lebih. Bukan hanya nama,
melainkan juga foto, fakta-fakta, dan cerita-cerita.
desyrindah.blogspot.com

Begitu Pippa menyadari bahwa dia memiliki orangtua


yang mungkin menyayanginya, terkuaklah dahaga
yang keberadaannya semula tak Pippa ke​tahui, seperti
aroma minuman segar yang membangkitkan rasa
haus.
Mr. Dumfrey mengambil kotak uang logam dari
laci meja dan menyerahkannya kepada Thomas. Sekali
lagi, Pippa tidak kuasa menahan diri. Isi kotak logam
yang tertutup melayang-layang ke benaknya, seakan
bahan yang memisahkan Pippa dari isi kotak telah
melebur tiba-tiba.
“Tiga dolar tujuh puluh lima sen?” Pippa
menceletuk selagi Mr. Dumfrey menghitung uang
untuk dimasukkan ke amplop. “Hanya itu?”
Mr. Dumfrey ternyata masih bisa kelihatan
sungkan. “Ah, ya. Begini ... aku barangkali sempat
memangkas sedikit untuk biaya pengembangan dan
ekspansi museum. Spesimen langka tidak gratis, asal
kalian tahu!”
“Dan,” Thomas mengambil kotak uang dan
mengintip ke dalamnya, “satu set gigi palsu.” Dia
meringis.
“Aha!” Mr. Dumfrey bangkit seketika dan, setelah
meraup gigi palsu dengan hati-hati, memindahkan
benda itu ke satu dari sekian banyak kabinet kaca
desyrindah.blogspot.com

yang berserakan di kantornya. “Aku sudah mencari


ini ke mana-mana. Tahukah kalian bahwa spesimen
bagus ini dulunya adalah milik George Washington?
Pria yang hebat dan sangat saksama memperhatikan
kebersihan giginya. Sungguh, lihat saja kondisi gigi
palsu ini—masih sangat indah, ‘kan? Padahal dietnya
pati-patian semua. Praktis tanpa sayur-mayur ataupun
buah segar; aku tidak tahu dari mana asal muasal
anekdot tentang pohon ceri. Nah, berangkat sana,”
kata Mr. Dumfrey, kembali berlagak serius.
“Langsung ke bank dan jangan mampir ke mana-
mana. Miss Fitch mengancam akan menghidangkan
kepalaku kalau seminggu ke depan kita masih makan
semur kol tiap hari.”
Max memasukkan amplop ke jaketnya yang
beberapa ukuran kebesaran, untuk mengakomodasi
pisau dan senjata tajam yang selalu dia bawa serta.
Hampir secara otomatis, Pippa menghitung bahwa
Max menyimpan empat pisau di saku berlainan. Tepat
saat itu, telepon mulai berdering.
“Itu aba-aba untuk kalian.” Mr. Dumfrey
menyambar gagang telepon dengan satu tangan dan
melambai dengan tangan satunya lagi untuk melepas
kepergian mereka. “Apa ini Sir Barrensworth? Bagus,
bagus. Dumfrey di sini, dari Museum Aneh tapi Nyata
desyrindah.blogspot.com

Dumfrey.” Sementara Thomas, Sam, Max, dan Pippa


keluar dari kantornya, Mr. Dumfrey menjauhkan
mulut dari telepon dan berbisik, “Hati-hati.”
“Nah,” kata Mr. Dumfrey, kembali berkonsentrasi
ke te​lepon dan memberi Pippa isyarat agar menutup
pintu, “menge​nai harga yang kita bahas ….”[]
desyrindah.blogspot.com
3

PARA PENGUNJUNG MEMBENTUK


KERUMUNAN KE​CIL tepat di luar museum,
menunggu diperbolehkan ma​suk. Di atas pintu,
terbentanglah spanduk bercat norak yang
mengiklankan Sirkus Kutu Jenderal Farnum yang
Tersohor Sedunia dan menggambarkan kutu-kutu
berukuran diperbesar yang mengenakan kostum sirkus
rumit sedang melompat di trampolin, menunggangi
sepeda roda tiga mungil, serta me​lakukan beragam
aksi akrobatik. Tamu-tamu yang antusias mungkin
sekali merasa kecewa saat melihat kutu-kutu yang asli
—saking kecilnya, sulit untuk melihat di mana saja
kutu-kutu berada, apalagi memastikan apakah mereka
betul-betul bersalto ke belakang—tetapi Pippa
bersyukur atraksi baru ter​sebut mengalihkan
perhatian masyarakat sehingga mereka urung
menggubris keajaiban hidup Forty-Third Street, yaitu
desyrindah.blogspot.com

dirinya sendiri, Thomas, Sam, dan Max.


Meski hanya sebentar, mereka sempat menjadi
selebritas—yang tidak disangka-sangka dan, secara
umum, juga tidak disukai—dan hampir setiap hari
artikel baru mengenai mereka, banyak di antaranya
bernada negatif, dimuat di koran-koran. Saat itu,
mereka kerap diteriaki dengan ejekan atau dihadiahi
bisik-bisik atau sekadar dipelototi kapan pun
berkeliaran di jalanan. Namun, saat ini, mereka
menyelinap ke jalanan dengan hati plong, tanpa
diperhatikan ataupun diusik.
desyrindah.blogspot.com
Hari musim gugur itu indah, hangat tetapi segar,
sedang​kan matahari bertengger tinggi di langit seperti
telur matang sempurna. Di seberang jalan, Barney
Bamberg sedang mem​bersihkan jendela kedai
desyrindah.blogspot.com

makanan barunya dengan spons, se​mentara aroma


pastrami, daging sapi asinan, dan sauerkraut
terhanyut dari pintu depan yang terbuka. Beragam
kunci pas, paku, kunci, dan palu nan berantakan
terpajang di etalase Majestic Hardware. Henry, portir
siang di Hotel St. Edna, sedang tidur pada jam
kerjanya, seperti biasa.
“Hei,” tukas Thomas. “Mau mendengar lelucon?”
“Tidak,” kata Max dan Pippa berbarengan.
Thomas mengabaikan mereka. “Bagaimana cara
membu​atkan liang lahat untuk mengubur kimiawan?”
Sam merengut. “Jangan sekarang, Thomas. Kau
tahu sains membuatku sakit kepala.”
“Ayolah. Tebak saja.”
“Jangan gerecoki dia, Thomas,” ujar Max. Wajah
Sam menjadi merah padam sampai-sampai Pippa
yakin mukanya akan terbakar sendiri. Sudah jelas
bahwa Sam naksir berat kepada Max. Kapan dia akan
mengaku? Pippa bertanya-tanya.
“Di-galium saja,” kata Thomas. Ketika tidak ada
yang mengatakan apa-apa, dia mendesah. “Galium.
Paham?”
Sam mengerang.
“Akan kugali liang lahat untukmu kalau kau tidak
desyrindah.blogspot.com

tutup mulut,” kata Max sambil memelotot.


“Tidak punya selera humor,” Thomas menggerutu,
tetapi langsung bungkam ketika Max mengancam
dengan meng​gerakkan tangan ke sakunya.
Walaupun rasa penasaran akan orangtuanya
sontak meng​gerogoti kapan pun Pippa memikirkan
masa lalunya akhir-akhir ini, dia bahagia. Dia bahagia
berjalan di sini, di bawah sinar matahari,
berdampingan dengan teman-temannya—ter​masuk
Max. Pippa membiarkan pikirannya mengembara dan
berkelebat seperti batu yang dipentalkan ke
permukaan sungai, mengarungi lautan manusia di
Broadway, menyenggol saku-saku dan dompet-
dompet. Informasi kini mengalir dengan mu​dah ke
dalam benaknya. Dia bahkan tidak perlu bersusah
payah, seolah seisi dunia adalah origami yang lipatan-
lipatannya terbuka untuk menampakkan rahasianya
kepada Pippa. Pippa bisa melihat permen kenyal leleh
melekat di bawah dompet seorang wanita dan roti isi
di saku seorang pria; Pippa bisa melihat kotak kartu
nama dan lembaran uang kertas, keping-keping
recehan, dan pena bermata emas.
Sesekali, dia bahkan bisa menyelinap ke dalam
pikiran orang lain. Aneka citra merekah dalam
benaknya sekejap saja, seperti lampu kilat kamera
desyrindah.blogspot.com

yang membekaskan gambar, ben​tuk dan makna yang


meninggalkan impresi singkat. Itu! Sepasang kaus kaki
bertambalan yang digantung di tali jemuran. Juga
yang itu! Kenangan tentang gadis cilik yang jarinya
lengket terkena selai. Ada lagi! Ruang kantor sempit
di gedung ting​gi kelabu; bau tinta dan kertas.
Kesemuanya menggelegak di kepala Pippa dan lantas
tenggelam lagi, seperti barang-barang yang hilang
dibawa arus.
Kemudian, tiba-tiba saja, meruyaklah sebuah citra
baru yang membuat Pippa terkesiap, kehabisan napas
seolah dia baru saja terempas ke batu karang. Sebuah
pabrik, berpenerangan remang-remang, dan seseorang
yang menjerit ... wajah Rattigan, berkerut membentuk
senyum kejam ... lengan memiting seorang anak
perempuan bermata membelalak ke dadanya ...
memiting Pippa ke dadanya ....
Pippa mengeluarkan pekik kesakitan singkat,
memutar tubuh, mencari-cari di tengah keramaian.
Seseorang—salah satu dari sekian banyak laki-laki
dan perempuan di jalan—hadir di pabrik malam itu,
kali terakhir mereka berhadapan dengan Rattigan dan
Pippa meyakini dia akan mati.
Namun, keraguan muncul hampir serta-merta di
hati Pippa. Dia melihat bahwa tidak ada yang tampak
desyrindah.blogspot.com

mencurigakan atau bahkan samar-samar dia kenali.


Massa di sekitarnya sama saja seperti biasa: pedagang
keliling dan pria-pria kantoran yang cemberut, kaum
ibu yang menggiring anak kecil, pengunjung teater
yang menengadah untuk melihat baliho. Apakah
Pippa hanya berkhayal? Mungkin memorinya
sendirilah yang mun​cul ke permukaan—sesekali, sulit
membedakan pikirannya sendiri dengan pikiran orang
lain, ibarat dua benda lengket yang terkadang
menempel satu sama lain.
“Awas.” Seorang pria gendut menyikut Pippa
dengan ka​sar dan tersadarlah Pippa bahwa dia telah
berhenti berjalan di tengah trotoar. Dia buru-buru
menyusul kawan-kawannya, yang baru saja sampai di
belokan.
“Hei.” Sam menunjuk ke seberang jalan, tempat
seorang pemuda dengan rambut sewarna jerami yang
menyembul dari balik topi sedang berjongkok di atas
peti susu terbalik. “Bu​kankah itu Chubby?”
Ternyata benar. Rambut berantakan, hidung setipis
dan sepanjang pensil, serta selera berbusananya yang
ganjil musta​hil salah dikenali. Hari ini Chubby
mengenakan sepatu bot usang, tidak diikat sehingga
bagian lidah sepatunya terjulur; kaus kaki garis-garis
merah-hijau; celana panjang yang ke​pendekan
desyrindah.blogspot.com

beberapa inci untuknya; dan sejumlah kemeja yang


ditumpuk-tumpuk, beserta topi wol berkelepai.
Kesannya se​olah Chubby memilih pakaian dengan
cara terjun begitu saja ke dalam keranjang cucian.
Mereka menyeberangi jalan, menghindari trem
yang melaju. Chubby duduk sambil menumpukan siku
ke lutut, dikelilingi oleh sejumlah wadah dan sikat. Di
sebelah Chubby, terpampang kardus bertuliskan
huruf-huruf hitam pencong yang berbunyi: SEMIR
ATAW LAP SEPATU.
“Halo, Leonard,” sapa Pippa manis.
Chubby menatapnya sambil merengut. Sudah
bertahun-tahun Chubby menyiksa Pippa
menggunakan nama lengkap​nya, Philippa, yang dia
benci. Namun, Pippa baru-baru ini mengetahui bahwa
Chubby terlahir dengan nama Leonard dan tidak
membuang-buang waktu untuk sering-sering
mengingat​kan pemuda itu.
“Sedang apa kau?” tanya Sam sambil mengamat-
amati beragam perlengkapan Chubby.
“Kelihatannya aku sedang apa?” ujar Chubby,
menggosok hidungnya dengan jari dan membekaskan
selarik semir sepatu hitam. “Baca plang ini.” Dia
menunjuk tulisannya dengan bangga.
“Tapi, jualan koran bagaimana?” tanya Thomas.
desyrindah.blogspot.com

Chubby anak yatim piatu dan bangga akan


statusnya itu. Selama bertahun-tahun, dia menguasai
semua pojok jalan antara Herald Square dan Forty-
Second Street, berjualan ko​ran dan juga mengutip
taruhan untuk apa pun mulai dari me​nang kalahnya
Yankees pada pertandingan kandang mendatang
hingga jumlah merpati yang bersarang di baliho Pepsi
pada waktu tertentu. Dia sempat juga tinggal sebentar
bersama sekelompok pencuri kelas teri dan mencari
nafkah dengan mencopet.
Namun, setelah Rattigan menculik Chubby dalam
rangka mengancam Thomas, Pippa, Sam, dan Max
supaya mau bekerja sama dengannya, Chubby
bersumpah untuk mengubah haluan.
Chubby melambaikan tangan. “Aku memberikan
wilayah​ku kepada Tallboy,” katanya, mengucapkan
nama Tallboy seperti Presiden Roosevelt atau Mickey
Mouse, seakan semua orang sudah pasti mengenal
nama itu. “Aku bosan berjualan surat kabar tiap hari
demi uang receh. Aku bisa mendapat​kan peng​hasilan
dua kali lebih banyak di sini, plus aku tidak butuh
berdiri seharian.”
“Tidak perlu berdiri seharian,” Pippa meralatnya.
“Sudahlah,” kata Max. “Bicaramu seperti
Cabillaud saja.”
desyrindah.blogspot.com

“Kabi-apa?” Chubby menggaruk-garuk kepalanya.


“Jadi, menurut kalian bagaimana? Semir sepuluh sen,
lap lima sen.” Dia memamerkan sikat kotor kepada
mereka.
“Bedanya apa?” tanya Thomas.
Chubby menyeringai dan meludah ke ujung
sepatunya, lalu mengusapkan air liur secara merata ke
sepatu tersebut dengan jempolnya. “Lihat?” katanya
bangga. “Sebagus barang baru.”
Max tertawa. Pippa meliriknya dengan galak. “Kau
men​jijikkan,” kata Pippa, berpaling kembali kepada
Chubby.
Chubby sepertinya menafsirkan perkataan itu
sebagai puji​an dan semata-mata mengangkat bahu.
“Siapa yang mau duluan?”
“Eh, mungkin lain kali,” kata Sam cepat-cepat.
“Von Stikk bagaimana?” tanya Thomas, dengan
lihai meng​ubah topik pembicaraan. “Dia sudah
berhasil memasuk​kanmu ke sekolah, belum?”
Kata sekolah ternyata memicu ledakan amarah.
“Seha​rusnya ilegal!” sembur Chubby sambil
memegangi kepala, se​akan-akan wacana tentang
pendidikan saja sudah membu​atnya ngilu, dan
membekaskan sebaris panjang semir sepatu di
wajahnya. “Perempuan itu mengayakanku.”
desyrindah.blogspot.com

“Maksudmu menganiaya,” kata Pippa. “Maaf,”


imbuhnya, ketika dipelototi Max.
Chubby mengerutkan kening. “Itu kataku.
Mengayakan.” Dia menengok ke balik bahu, seolah
khawatir kalau-kalau Von Stikk bersembunyi di
tengah-tengah kerumunan orang, siap untuk
menerjangnya. “Tidak peduli ke mana pun aku pergi,
dia di sana. Kesannya seolah-olah dia mengikutiku.
Kemarin aku harus bersembunyi di dalam peti sosis
untuk menghindarinya. Seharian aku berbau seperti
daging babi. Seekor anjing hampir saja menggigit
tanganku sampai putus.”
Pippa tergoda untuk mengingatkan bahwa Chubby
se​ring kali berbau mirip-mirip daging babi, tetapi
ujung-ujungnya dia diam saja.
“Berat, ya,” kata Thomas sambil menepuk bahu
Chubby. Meski begitu, Pippa tahu bahwa Thomas
lega Andrea von Stikk telah menemukan sasaran baru.
Von Stikk pernah mengelola Sekolah Von Stikk untuk
Anak-Anak Luar Biasa sampai sekolah itu ditutup
karena murid-muridnya kerap menghilang, mungkin
karena mereka kabur. Proyek terbaru wanita itu
adalah Sekolah Von Stikk untuk Muda-Mudi Kurang
Beruntung dan, musim panas lalu, dia sempat
meluncurkan upaya hukum untuk men​cabut
desyrindah.blogspot.com

perwalian Mr. Dumfrey atas Thomas, Pippa, Max,


dan Sam serta memasukkan mereka ke sekolahnya.
“Pokoknya, santai saja. Oke, Chub?”
“Aku selalu santai,” kata Chubby riang.
“Tunggu!” pang​gilnya saat mereka beranjak.
Ekspresinya berubah serius. “Dengar. Aku, ah, belum
sempat berterima kasih kepada kalian karena, anu,
sudah menyelamatkan nyawaku.” Dia meng​ulurkan
tangan dengan khidmat kepada Thomas. “Dan aku
ingin kalian tahu, kalau kapan-kapan kalian butuh
apa saja, aku selalu siap.”
“Tidak apa-apa, Chubby,” kata Thomas penuh
perasa​an, mengulurkan tangan untuk bersalaman
dengan Chubby. “Tidak ada perlunya—aaah!”
Terdengar dengung keras. Thomas terlompat ke
belakang sambil memekik dan menggoyang-
goyangkan tangan, seperti habis terbakar.
“Itu tadi apa?” tanya Thomas, bintik-bintik di
mukanya bertambah gelap sebagaimana biasa ketika
dia sedang marah: seperti rasi bintang kecil yang
membara.
Chubby malah mengakak. Dia membuka telapak
tangan, alhasil menampakkan sebuah alat kecil
bundar. “Tombol gembira kelas super. Aku
mendapatkannya dari toko barang lawakan baru di
desyrindah.blogspot.com

Fifty-Seventh Street. Mereka punya sega​lanya—bom


bau dan serbuk gatal, kacamata berliur dan bantal
duduk kentut, dadu berpemberat dan kartu remi
palsu.”
“Boleh kulihat?” kata Max sambil menatap
Chubby penuh minat.
“Beli sendiri,” tukas Chubby kalem sambil
mengembalikan tombol gembira ke dalam saku yang
berisi—Pippa kontan merasa mual—seperempat roti
isi bologna yang sudah lama. “Tapi, sungguh,”
katanya, sekali lagi mengulurkan tangan kepada
Thomas dengan wajah serius. “Terima kasih.”
Thomas dengan berang memelototi telapak tangan
Chubby yang terulur. “Tidak usah,” katanya.
“Sampai ketemu lagi, Chub.” Dia terus merengut
sementara mereka melanjutkan perjalanan ke bank,
menggumamkan sesuatu yang di telinga Pippa
kedengarannya seperti “balas dendam”.

Terletak di persimpangan Broadway dan Sixty-First


Street, New York Federated Savings Bank menyerupai
kuil Yunani kuno. Bagian dalamnya juga mirip kuil,
berkat langit-langit nan tinggi, jendela lengkung, dan
lantai marmer yang teramat mengilap sampai-sampai
kita merasa bersalah saat meng​injaknya. Pria-pria
desyrindah.blogspot.com

bermuka kelabu duduk di balik meja kelabu


mahabesar, menyortir dokumen-dokumen kelabu ke
dalam map-map kelabu, semua bergerak secara sangat
mekanis sehingga Pippa mula-mula mengira sedang
melihat seorang pria yang di​perbanyak berulang-
ulang.
Jelas bahwa bank telah mengambil langkah
pencegahan baru-baru ini untuk mencegah
perampokan. Seorang penjaga bersenjata ditempatkan
di samping pintu depan, sedangkan penjaga kedua
mondar-mandir di dalam ruangan, mengevaluasi
masing-masing nasabah sambil menempelkan tangan
ke pistol yang disarungkan.
Antrean mengular di depan meja kasir panjang.
Pippa, Thomas, Max, dan Sam ikut mengantre di
belakang. Pippa lazim​nya suka berada di bank, tetapi
dia terus-menerus ter​ingat pada visinya di Times
Square, pada wajah Rattigan yang menyeringai seram,
dan mulutnya sendiri yang terbuka untuk menjerit.
Rattigan berada di luar sana, entah di mana, dan
kunci masa lalu Pippa tersimpan di dalam diri pria itu
….
Pippa terbangun dari permenungan ketika pria di
bela​kangnya menginjak tumitnya keras-keras, hampir
saja men​jerembapkan Pippa ke lantai. Dia berputar
desyrindah.blogspot.com

secepat kilat.
“Sudah tiga kali Anda menginjak …,” dia mulai
berucap, tetapi kata-katanya tersangkut di
tenggorokan. Rasa takut nan dingin
mencengkeramnya, seakan lantai baru saja ambruk
dan dia telah tercebur ke air es.
Pria itu mengenakan mantel panjang dengan kerah
di​tegakkan dan topi fedora yang ditarik ke bawah
sehingga menutupi mata. Kedua tangannya yang
bersarung dimasukkan ke saku.
Salah satunya mencengkeram senjata api.
desyrindah.blogspot.com
Pria itu perlahan mengalihkan pandang ke arah
Pippa. Matanya cokelat tua, hampir hitam, dan
sedingin batu. Dia mengerutkan bibir sehingga
desyrindah.blogspot.com

membentuk cengiran dan Pippa melihat bahwa di


balik kumisnya yang awut-awutan, pria itu bergigi
kuning membusuk.
“Mohon maaf, Yang Mulia,” kata pria itu
mencemooh.
“Dimaafkan,” cicit Pippa. Dia menoleh ke depan,
jantung​nya berdegup amat kencang. Disikutnya Max.
“Jangan tabrak-tabrak aku,” ujar Max malas tanpa
me​nengok. Dia sedang menggunakan pisau lipat
berujung emas untuk membersihkan kuku. Pippa
menyikutnya lagi, kali ini sedikit lebih keras. Max
tetap saja tidak menengok. “Aku bilang jangan sikut
aku.”
Thomas baru saja mencapai meja kasir.
“Halo,” katanya kepada pria bermuka kuyu yang
berkedip-kedip dari balik kaca, mirip ikan khusyuk
yang melayangkan pandang dari kedalaman keruh
samudra. “Kami ingin menye​torkan uang.”
“Thomas,” desis Pippa.
“Tunggu sebentar, Pip,” kata Thomas, menepisnya.
“Uang​nya kau bawa, Max?”
“Kuserahkan kepada Sam,” kata Max, masih
berkonsen​trasi ke kuku-kukunya.
“Sudah kuserahkan kepadamu,” kata Sam sambil
meno​leh kepada Thomas. “Aku yakin sudah
desyrindah.blogspot.com

menyerahkannya kepa​damu.”
“Tolong menepi kalau Anda belum siap
bertransaksi,” kata pria bermuka kuyu dengan suara
cempreng, seperti dikeluar​kan dari kaleng.
“Belum, ah,” kata Thomas kepada Sam.
“Sudah.”
“Belum.”
“Saudara-Saudara, saya mesti meminta Anda untuk
menepi supaya nasabah kami yang lain—”
“Thomas,” Pippa mencoba lagi, putus asa. Pria
bermantel panjang memindahkan tumpuan di
belakangnya. Pippa bisa merasakan bahwa
ketidaksabarannya semakin memuncak—bisa melihat
moncong senjatanya, beringsut naik di sakunya,
teracung tepat ke punggung bawah Pippa.
“Jangan sekarang, Pippa.” Thomas memelototi
Sam. “Kau kira aku tidak ingat kalau—”
Dia tidak sempat berkata-kata lebih lanjut. Pria
bermantel panjang mendorong Pippa kuat-kuat
sekaligus mencabut pistol dari sakunya. Dalam
sekejap, pria itu menyambar kerah baju Thomas dan
menodongkan revolver ke lehernya, merenggut
Thomas hingga terangkat dari lantai dan
menempelkan wajah​nya ke jendela yang
memisahkannya dari kasir bank.
desyrindah.blogspot.com

“Pelan-pelan saja dan jangan macam-macam,” kata


pria itu dengan suara lirih. Wajah kasir bank telah
berubah dari kelabu kuyu menjadi putih pucat. “Atau
otak anak ini akan berhamburan ke loket. Mengerti?”
Dia mengguncangkan Thomas kuat-kuat hingga gigi
Thomas bergemeletuk. “Seribu dolar, pecahan kecil,
dimasukkan ke amplop. Sekarang.”
Sementara kasir bank yang gemetaran mulai
menghitung uang, Pippa dicekam hasrat untuk
berteriak. Namun, dia tidak boleh mengambil risiko
itu—tidak ketika Thomas sedang dalam bahaya. Max
hendak merogoh sakunya, tetapi Sam menggeleng.
Pria itu harus melepaskan Thomas, atau
menurunkan senjata, untuk mengambil uang.
Kemudian, Pippa akan menjerit ....
Sang kasir menyegel amplop dan menggesernya ke
bawah kaca, kemudian langsung menarik tangannya
ke belakang seolah si perampok adalah ular berbisa
yang mungkin saja mematuk.
“Usaha bagus!” hardik si perampok, alhasil
membuat jantung Pippa mencelus. “Masukkan ke
sakuku.”
Sang kerani menurut. Dia menggeser jendela kaca
kecil hingga terbuka, kemudian mengulurkan
tangannya yang ge​metar untuk menjejalkan amplop ke
desyrindah.blogspot.com

dalam saku mantel si perampok. Sementara itu, para


penjaga tidak kunjung mem​perhatikan atau bergerak,
padahal nasabah yang mengantre sudah mulai gelisah
karena tidak sabar.
“K-kumohon,” sang kerani terbata-bata dengan
suara pelan sambil menjilat bibir. “L-lepaskan anak
itu. Kau sudah mendapatkan yang kau inginkan.”
“Akan kupertimbangkan, asalkan kau tidak
bersuara,” geram si perampok, membuat Pippa lagi-
lagi mencelus. Dia serta-merta mengetahui, berkat
intuisi yang lebih daripada perasaan belaka, bahwa
pria itu tidak bermaksud melepaskan Thomas—
belum, sampai dia berhasil meloloskan diri dan
menjauh dari bank.
Sambil terus mencengkeram Thomas, pria itu
berbalik.
Pippa tak punya waktu untuk berpikir. Thomas
terangkat hampir tepat di atasnya. Dia bisa melihat
mata Thomas, sebesar bulan, berusaha untuk
menyampaikan pesan. Namun, Pippa tidak mengerti.
Dan, tanpa berpikir, Pippa menjatuhkan diri ke lantai,
menjulurkan kaki, dan menyandung pria tersebut
sementara dia melaju ke arah pintu.
Si perampok terpelanting, sedangkan Thomas
terlepas dari pegangannya. Mereka berdua terempas
desyrindah.blogspot.com

kuat-kuat ke lantai dan senjata menggelincir dari


tangan si perampok.
Dor. Letusan keras sontak membahana.
Peluru terpantul dari dinding dan membekaskan
jejaring retakan halus pada pintu kaca sementara sang
penjaga ter​huyung-huyung ke belakang sambil
memekik kaget, dengan kikuk menggapai pistolnya
sendiri. Suasana mendadak ricuh. Para wanita
menjerit sambil menarik anak mereka ke lantai supaya
tiarap. Para kasir meringkuk di kolong meja.
Pada saat itu, si perampok dan Thomas sama-sama
sudah berdiri kembali. Mata mereka tertumbuk pada
senjata secara berbarengan. Thomas terjun duluan
untuk menyambar pistol.
Saat itulah salah satu penjaga menyerbu, meraung-
raung untuk menyuruh si perampok angkat tangan.
Pippa menyak​sikan dengan ngeri sementara waktu
serasa melambat, seolah mengental dan bergeming:
Thomas berada di udara, tangan terulur, melayang,
melayang—tepat di jalur pergerakan sang penjaga.
“Awas!” jerit Pippa. Namun, sudah terlambat.
Sang penjaga menendang senjata yang jatuh dengan
ujung sepatunya, mementalkan pistol kembali ke arah
si peram​​pok. Sepersekian detik berselang, Thomas
menghantam lantai, mem​bentur tulang kering sang
desyrindah.blogspot.com

penjaga, dan robohlah mereka berdua, tungkai dan


lengan saling terkait.
Sang perampok membungkuk, mengulurkan jemari
panjang untuk memungut senjatanya yang tinggal
beberapa inci saja—
Buk.
Sang perampok menjerit melengking saat sebuah
pisau—Pippa mengenalinya sebagai salah satu favorit
Max, yang berbilah setipis jarum dan bergagang
tulang—dengan pas menyayat sela-sela jemarinya yang
terulur. Dia berjengit ke belakang sambil memegangi
tangannya yang terluka, darah menetes-netes ke
mantelnya. Dia pasti memutuskan bahwa meng​ambil
pistol terlampau merepotkan, sebab sesaat kemu​dian
dia lagi-lagi berlari ke pintu, dengan mudah
menggetok sang penjaga yang memisahkan dirinya
dengan pintu, gemetar hebat sehingga tidak mampu
mencabut senjata.
“Cepat!” seseorang berteriak. “Dia kabur!”
“Sam!” panggil Pippa putus asa.
Untung Sam mengerti. Sam menerjang ke meja
terdekat—besar, berat, terbuat dari kayu ek padat—
dan mengangkatnya ke udara, alhasil menampakkan
sekelompok kecil orang yang semula berlindung di
kolong, merintih-rintih seperti tikus yang dijejalkan ke
desyrindah.blogspot.com

dalam lubang. Sambil menggerung, Sam melem​parkan


meja ke pintu …
… tepat saat si perampok berkelit ke jalanan di
luar.
Prang. Meja menabrak kaca tipis dan berguling-
guling ke undakan batu. Para pejalan kaki menjerit
sambil melompat untuk menghindar. Alarm mulai
meraung-raung, begitu nya​ring sampai-sampai Pippa
mesti menutupi telinga. Sejumlah wajah penasaran
tampak di luar ambang pintu yang hancur,
memicingkan mata ke dalam bank dari balik pecahan
kaca bergerigi yang masih menempel, membuat Pippa
merasa seakan mereka adalah hewan di kebun
binatang.
Di luar, si perampok sudah melebur ke dalam
keramaian.[]
desyrindah.blogspot.com
4

“SEHARUSNYA SUDAH BISA KUTEBAK,”


ADALAH kalimat pertama yang diucapkan Asisten
Inspektur Ke​pala Hardaway ketika melihat Thomas.
Max mengerang. Sam melemparkan pandang
penuh dam​ba ke arah pintu, seakan sedang
mempertimbangkan untuk lari. Hanya Pippa yang
sanggup menanggapi.
“Halo, Mr. Hardaway,” ujarnya.
“Asisten Inspektur Kepala Hardaway!” hardiknya.
Pippa tidak berkedip. Thomas yakin Pippa memang
ber​maksud menghina. Dia tiba-tiba merasa
menyayangi gadis itu. Pippa terkadang memang
lembek, tetapi pada saat genting, sikapnya sama sekali
tidak melempem.
“Baiklah.” Hardaway berjalan berputar sambil
memegangi sabuknya, berbicara ke seisi ruangan.
“Adakah yang hendak memberitahuku hal sia—”
desyrindah.blogspot.com

“Sir.” Kaki tangan Hardaway, Letnan Webb,


berucap sam​bil batuk-batuk, mengedikkan dagu ke
arah anak-anak yang baru saja keluar dari balik meja-
meja terbalik, dan Hardaway sontak menelan
umpatan yang nyaris dia muntahkan.
“Demi Bibi Tillie-ku, adakah yang hendak
memberitahuku,” katanya dengan gigi digertakkan,
“apa yang telah terjadi di sini?”
“Kami kerampokan, Sir.” Seorang pria berwajah
kuyu me​nyembul dari balik meja, seperti bunga tak
berwarna yang mekar dalam sekejap. Dia merapikan
dasinya berulang kali dengan tangan semontok
bakpao. Thomas serta-merta mengidentifikasinya
sebagai manajer bank.
“Mr. Abner yang malang bertugas di loket—” Dia
melambai ke arah kasir bermuka kuyu yang telah
menyodorkan uang ke tangan perampok.
Namun, kini setelah bahaya berlalu, Mr. Abner
tampaknya sudah pulih—malah hampir-hampir ceria,
seakan semangatnya melambung karena peristiwa
perampokan dan perannya dalam insiden tersebut.
“Betul, Inspektur,” katanya dengan teramat khidmat,
dadanya membusung. “Dia memotong antrean dan
mencengkeram anak laki-laki itu,” dia menunjuk
Thomas, “dan saat itulah saya melihat pistol.” Salah
desyrindah.blogspot.com

seorang saksi mata mengerang pelan, seolah memori


tentang itu saja sudah kelewatan. “Dia menyuruh saya
memasukkan uang ke amplop. Saya berharap dia akan
meletakkan pistol, atau melepaskan si anak, untuk
mengambil uang, tapi dia pintar. Dia menyuruh saya
menyelipkan amplop ke dalam sakunya.”
“Seperti apa wajahnya?” Hardaway bertanya,
sedangkan Letnan Webb mengambil notes dan pulpen
dari saku belakang​nya. Di balik topi fedoranya, mata
Letnan Webb tampak sehitam dan sekeras kismis yang
sudah sangat tua.
Sekarang, Mr. Abner tampak jengah. “Saya—saya
tidak melihatnya dengan jelas.”
“Kau tidak melihatnya dengan jelas?” ulang
Hardaway. “Dia berdiri tidak sampai lima belas
sentimeter darimu!”
“Dia mengenakan topi yang ditarik ke bawah dan
mantel berkerah tinggi,” kata Mr. Abner,
mengeluarkan saputangan dari saku dan mengelapi
hidungnya dengan gelisah. “Dia agak mirip letnan ini,
sebenarnya ….”
Letnan Webb menggeram pelan.
“Dari segi pakaian, maksud saya,” ujar Mr. Abner
cepat-cepat. “Itu saja. Seperti yang saya katakan, saya
tidak sempat melihat dengan saksama. Dia membawa
desyrindah.blogspot.com

pistol ….”
“Begitu.” Wajah Hardaway semakin merengut.
“Jadi, dia menakut-nakutimu setengah mati. Ada
lagi?” Dia mengedarkan pandang ke khalayak di
sepenjuru ruangan. Ketika tak seorang pun angkat
bicara, dia mendengus tak sabaran. “Sampaikan apa
saja. Apa dia tinggi? Pendek? Berkulit gelap? Terang?”
“Tinggi,” kata seorang wanita pendek sambil
bergidik. “Sangat tinggi.”
“Tidak tinggi-tinggi amat,” kata seorang pria
jangkung, tidak setuju. “Rata-rata, malah.”
“Dia mengenakan topi, tapi bisa kulihat rambutnya
ber​warna gelap,” kata yang lain, tepat saat seorang
wanita sepuh yang menggendong seekor pudel
menggeliang-geliut berujar, “Kulit​nya lumayan terang.
Rambutnya pirang, praktis putih.”
“Dia jelek,” kata Max.
“Dia membawa slip taruhan di saku,” kata Pippa,
“dan sebungkus korek api.”
“Dia berkumis,” imbuh Sam. “Kumisnya jelek.”
“Luar biasa.” Andaikan Hardaway anjing, Thomas
yakin dia akan menggeram untuk memamerkan gigi-
giginya. “Jadi, kita mencari pria yang mungkin tinggi
atau rata-rata, berambut terang atau gelap, berkumis,
suka berjudi, dan kadang-kadang membutuhkan
desyrindah.blogspot.com

korek api.” Hardaway mencabut topi seakan-akan


tergoda untuk melemparkannya—tetapi dia justru
memilih untuk mengembalikan topi ke kepala,
memasangnya kuat-kuat. “Paparan itu mempersempit
kemungkinan tersangka ke separuh populasi New
York.”
“Kami berusaha menghentikannya,” ujar Sam
dengan nada cenderung defensif.
“Bisa kulihat,” kata Hardaway, melirik pintu
pecah dan meja hancur di luar, yang masih
dikerumuni oleh khalayak bak semut mengerubungi
sisa-sisa piknik. “Berapa yang dia bawa kabur?”
Mr. Abner menundukkan kepala. Sang manajer
angkat bicara. “Seribu dolar, Sir.”
“Kurang tepat.” Thomas buka suara untuk kali
pertama. Dia merogoh ke dalam jaket dan
mengeluarkan amplop yang agak kusut.
Pippa terkesiap. “Tidak.”
“Tentu saja iya,” kata Thomas bangga. “Kau tidak
mengira aku sudi membiarkan si edan itu mencekikku
tanpa alasan, ‘kan?”
Tubuh Thomas berbeda daripada manusia
umumnya. Tu​lang-tulangnya fleksibel. Bisa ditekuk-
tekuk. Alhasil, Thomas bisa melipat-lipat tubuh
hingga seukuran koper anak-anak. Dia bisa
desyrindah.blogspot.com

meloloskan diri dari borgol atau belitan rantai tebal.


Dan dia sudah pasti mampu meloloskan diri dari
pitingan. Namun, begitu si perampok menangkapnya,
dia tahu dia berkesem​patan mengambil uang yang
diberikan kasir kepada pria itu.
“Tapi—bagaimana?” tanya Pippa sementara
Thomas me​nyerahkan amplop kepada Hardaway yang
merengut, ter​ke​san lebih suka andaikan uang itu
hilang.
“Max mengajariku,” kata Thomas sambil
mengangkat ba​hu. Max menyeringai dan mengangkat
jempol. Pippa mera​pat​kan bibir dan sekali ini tidak
mengomentari kebiasaan lama Max mencopet isi saku
orang.
Hardaway membuka amplop dan mengintip ke
dalam. Ketika dia mendongak, matanya yang gelap
berkilat-kilat ga​rang. “Apa ini lelucon?” katanya
lembut. “Jumlahnya kurang dari empat dolar.”
“Lihat? Sudah kubilang aku menyerahkan uang
Mr. Dumfrey kepadamu,” gerutu Sam.
“Salah amplop,” kata Thomas, merogoh saku lain
dan mengeluarkan yang benar.
Manajer bank kelihatannya hendak semaput
karena ba​hagia. “Ajaib!” serunya. “Menakjubkan!
Luar biasa!”
desyrindah.blogspot.com

“Mujur,” Hardaway menggerutu, lalu menepis


mereka semua.
Andaikan Thomas mengharapkan siang yang damai,
dia nis​caya kecewa. Bahkan sebelum mereka tiba di
344 West Forty-Third Street, dia bisa mendengar
keributan dari dalam. Sejumlah kecil tetangga mereka
telah berkumpul tepat di luar museum, berlagak iseng
tetapi kentara sekali penasaran karena justru
menjulurkan leher untuk melihat ke dalam. Keriuhan
itu bahkan memancing kedatangan Eli Sadowski nan
tertu​tup, yang tinggal di sebelah dan jarang
mengeluyur ke luar, itu pun paling banter beberapa
menit saja, untuk mengumpulkan tumpukan koran
yang akan ditambahkan ke koleksinya yang segunung
atau ke dokter, dalam rangka meminta pengobatan
untuk apa saja mulai dari sensitivitas terhadap debu
sampai rasa takut terhadap timun.
“Halo, Eli,” kata Thomas, menempelkan tangan ke
ger​bang selepas menembus kerumunan orang. Thomas
menyukai pria itu, sekalipun atau mungkin malah
karena dia eksentrik. Di apartemen Mr. Sadowski
yang berantakanlah Thomas me​mecahkan misteri di
balik satu dari sekian banyak pseudonim Rattigan dan
menyadari keterkaitannya dengan serangkaian
desyrindah.blogspot.com

pembunuhan yang terjadi musim panas lalu.


Eli menyentuhkan jari ke topi tanpa
berkonsentrasi, mata​nya terus terpaku ke pintu
museum. Dari pintu, terdengarlah suara-suara marah
yang menyiratkan pertengkaran. Kepadatan massa
berkurang ketika Sam menembus kerumunan, alhasil
Thomas bisa membuka gerbang dan menyelinap ke
dalam.
Namun, pintu sudah menjeblak terbuka sebelum
Thomas sempat mendorongnya. Seorang wanita
bertopi bulu keluar de​ngan tergesa-gesa, menggandeng
tangan putrinya yang mem​belalak. Pada saat
bersamaan, suara-suara marah semakin keras.
“Berani-beraninya kau!” teriak Jenderal Farnum.
“Berani-beraninya kau datang ke sini dan—”
Pintu tertutup disertai buk lirih, alhasil Thomas
tidak bisa mendengar kelanjutannya.
“Ayo, Delilah,” kata sang wanita, ketika putrinya
ber​henti untuk mengemut jempol dan memandangi
Thomas. Ditariknya tangan anak perempuan itu.
“Aku tahu kita seharusnya ke Coney Island saja,”
gerutu wanita itu sambil menatap Thomas tidak suka,
seakan pemuda itulah yang mesti dipersalahkan atas
semua kesulitannya. “Sangat tidak profesional,
menurutku, bahkan untuk ukuran pertunjukan orang
desyrindah.blogspot.com

aneh. Bahasa yang keterlaluan ….”


Sekarang, penasaran setengah mati, Thomas
merangsek masuk ke museum, diikuti Sam, Pippa, dan
Max.
Dia lega karena Farnum dan Danny ternyata tidak
me​lanjutkan pertengkaran mereka tadi. Namun,
seorang lelaki sangat jangkung bermuka bonyok
seperti ubi kematangan se​dang membagi-bagikan
kartu nama kepada khalayak yang ber​kumpul di
sekeliling sirkus kutu Farnum, sekalipun Farnum kini
menyerbunya dalam rangka merebut kartu-kartu
tersebut. Selembar kartu ditodongkan ke tangan
Thomas sebelum dia sempat menolak.
“Ernie Erskine, Pembasmi Hama Profesional,” kata
pria bermuka bonyok itu ramah. “Fumigasi dan
pembersihan. Yang terbaik di bidang pembasmian
kutu selama empat puluh tahun lebih.”
“Pembasmian kutu?” Jenderal Farnum merebut
kartu dari seorang wanita tua bermimik waswas.
“Dasar monster pem​bunuh. Akan kuperkarakan kau
atas tuduhan—akan kupaku kepalamu ke pintu—”
“Jangan tertipu, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu,” lanjut
Erskine seolah Farnum barusan tidak bicara, menyisir
khalayak se​perti politikus yang sedang melakukan tur
publisitas. Mau tak mau Thomas berpikir, andaikan
desyrindah.blogspot.com

Erskine tidak berpenampilan normal sekali, dia sangat


cocok menjadi penampil. “Didandani seperti balerina
atau badut rodeo, hewan-hewan ini tetap saja hama
pengganggu, titik. Beranak pinak seperti kelinci dan
mem​buat gatal seperti jelatang. Saat ini saja, kutu-
kutu itu barangkali sudah berjumpalitan dan
berlompatan di sekeliling kita, membuat sarang di
dompet dan lipatan celana.”
“Alangkah menjijikkan,” kata seorang wanita tua
keras-keras, meningkahi kasak-kusuk khalayak yang
resah.
“Kita jadi merasa jorok karenanya,” pria di
sebelahnya mengiakan.
Alis lebat Jenderal Farnum seakan mungkin saja
meloncat dari dahinya dan meluncurkan serangan.
“Satu-satunya yang jorok di ruangan ini—” dia
memulai, tetapi tidak sempat me​nyelesaikan kalimat.
Erskine masih bicara meningkahi Jenderal Farnum,
pada​hal khalayak sudah beranjak ke pintu sambil
melemparkan lirikan curiga kepada sosok-sosok hitam
kecil yang berkelebat di dalam terarium warna-warni
—yang beberapa menit lalu merupakan alasan utama
di balik kerelaan mereka membayar tiket masuk
seharga dua puluh sen. “Tidak diragukan lagi,” kata
Erskine. “Kutu yang bagus adalah yang mati!
desyrindah.blogspot.com

Hubungi Ernie Erskine, Pembasmi Hama, sebelum


terlambat!”
Seiring kata-kata itu, Ernie mengikuti pengunjung
terakhir ke luar, meninggalkan Jenderal Farnum yang
meneriakinya.
“Dipilih khusus satu per satu—kutu-kutu terbaik
dari San Francisco sampai Syracuse—fitnah—”
“Ayo.” Thomas mengangguk kepada yang lain.
Dia merasa kasihan kepada Jenderal Farnum. Farnum
berusia sekurang-kurangnya dua puluh tahun lebih tua
daripada Mr. Dumfrey dan, sekalipun dia sering
mengulangi cerita-cerita yang sama tentang
keikutsertaannya bertarung dalam Perang Spanyol-
Amerika di bawah komando Teddy Roosevelt, tentang
kutu yang mewabah di kantong tidur mereka, dan
penemuan Farnum bahwa serangga-serangga itu
sejatinya teramat cerdas dan piawai melakukan
akrobat, Jenderal Farnum mengingatkan Thomas
kepada almarhum Siegfried “Freckles” Eckleberger,
sosok paling mendekati kakek yang pernah Thomas
kenal. Lagi pula, Jenderal Farnum memiliki alasan
sehingga terob​sesi kepada kutu. Istri pertamanya
sudah lama meninggal dan istri keduanya
meninggalkannya demi seorang pawang singa Prancis.
Dia tidak punya anak. Sebelum bergabung ke
desyrindah.blogspot.com

museum, dia tidak memiliki keluarga sama sekali—


terkecuali kutu-kutunya, tentu saja.
Setengah jalan di tangga menuju loteng, mereka
masih bisa mendengar sang Jenderal mengamuk.
“Tersohor sedunia!”
“Jenderal Farnum yang malang.” Pippa mendesah.
“Padahal sirkus kutu sempat sukses sekali.”
“Wah,” kata Max, “itulah yang kita dapat kalau
meng​habiskan waktu dengan mengajari serangga
bersalto ke belakang.”[]
desyrindah.blogspot.com
5

PERAMPOKAN BANK DIGAGALKAN!


Ketika Thomas keluar untuk mengambil koran
keesokan pagi, dia mendapati bahwa berita utama
hampir semuanya sama. Sekembalinya ke museum
ketika para penghuni lain baru bangun, dia
menjumpai Pippa di dapur, sedang meniup-niup mok
teh yang beruap.
“Halo,” kata Pippa. “Dari mana kau?”
“Antaran koran,” Thomas berkata, lalu menggeser
koran ke atas meja. Dia duduk dan, bersama-sama,
Thomas dan Pippa mulai membaca.

Tak diragukan lagi bahwa gelombang kejahatan


tengah melanda New York City. Perampokan bank
beruntun telah membuat Kepolisian New York City
pusing tujuh keliling dan yang menjadi sasaran
terbaru adalah New York Federated Savings Bank,
desyrindah.blogspot.com

kemarin pada pukul 11.55. Sama seperti kasus-kasus


terdahulu, seorang pria masuk, ikut mengantre, lalu
menodongkan senjata api dan menuntut uang tunai
dari kasir. Namun, terjadi sesuatu yang tidak
disangka-sangka dalam peristiwa kali ini: ketika
perampok berupaya menyandera seorang anak laki-
laki, dia justru kewalahan sendiri.
“Mereka kelihatan normal,” kata Fred Genovese,
penjaga keamanan yang bertugas saat kejadian, “sama
seperti anak-anak lain. Tapi salah satunya—anak
ber​tubuh kerempeng, yang kelihatannya bisa saja
kena perundungan di sekolah—melemparkan meja ke
pintu. Sejauh dua belas, lima belas meter, barangkali.
Padahal meja itu berat. Oak padat dengan kaki
ku​ningan, mungkin hampir enam puluh kilogram.”
Miss Eliza Niefenager, yang datang ke bank dalam
rangka menarik uang untuk rapat bulanan Women’s
Midtown Cotillion, menambahkan: “Ada juga
seorang anak perempuan—setidaknya, saya lu​mayan
yakin dia perempuan. Dia berpenampilan liar, seperti
hewan. Dia mengenakan jaket kebesaran. Dan celana
panjang! Pokoknya, dia lantas melemparkan sesuatu
—pisau, menurut perkiraan saya, tapi dia ber​gerak
cepat sekali sehingga sulit untuk melihat—dan
desyrindah.blogspot.com

menyayat tangan laki-laki jahat itu tepat sebelum dia


sempat memungut pistolnya.”
Mr. Gould, manajer bank, girang bukan main. “Si
anak laki-laki kecil merebut kembali seluruh uang
yang dirampok!” dia menyampaikan secara eksklusif
kepada Daily Screamer. “Sampai ke sen terkecil!”

“Hah,” tukas Pippa. “Tidak ada sepatah kata pun


tentang aku.”
“Semangat,” kata Thomas sambil menepuk lutut
Pippa. “Setidaknya, mereka tidak mengataimu mirip
hewan liar.”
“Untuk Max, itu pujian,” gerutu Pippa.
Mereka melanjutkan membaca.

Namun, tidak semua pihak menyetujui campur


tangan keempat penolong belia itu. Asisten Inspektur
Kepala Hardaway dari Kepolisian New York City, yang
mengepalai upaya untuk melacak pelaku kasus-kasus
perampokan baru-baru ini, menekankan bah​wa
tindakan anak-anak tersebut mungkin malah
mengganggu penyelidikan.
“Ini urusan polisi,” katanya. “Perinciannya ra​hasia,
tapi mari kita katakan saja bahwa Kepolisian New
York sudah meluncurkan rencana kompleks dan kritis
desyrindah.blogspot.com

untuk menghadapkan si pencuri—atau para pencuri


—ke muka hukum. Gara-gara kejadian barusan,
mereka mungkin saja menjadi waswas dan akan
menutupi jejak dengan lebih hati-hati kali
selanjutnya.” Imbuhnya: “Lagi pula, ulah anak-anak
itu bisa saja menyebabkan seseorang tewas. Seperti
yang selalu saya katakan, serahkan pekerjaan kepada
ahlinya.”

“Omong kosong,” kata Pippa. “Mereka punya


rencana seperti aku punya mata ketiga.”
“Aku dulu kenal seorang wanita yang memiliki
mata ketiga,” ujar Smalls sambil mendesah, berputar
menjauhi kom​por. Dia sedang memegang centong
kayu besar yang di tangan raksasanya lebih
menyerupai sendok teh. “Namanya Rebecca. Insan
yang sempurna nian. Aku menuliskan puisi untuknya.
‘Si Mata Tiga Impianku’, judulnya. Aku masih ingat
baris pertamanya. Dengan ketiga matamu, tentu
engkau dapat melihat cinta dan kasihku untuk—”
Thomas berdeham dan membaca paragraf terakhir
artikel keras-keras, supaya Smalls urung melanjutkan.
“‘Bukan kali ini saja keempat keajaiban hidup,
Thomas Able, Philippa Devue, Sam Fort, dan
Mackenzie (nama belakang tidak diketahui), yang
desyrindah.blogspot.com

kesemuanya bertempat ting​gal di Museum Aneh tapi


Nyata Mr. Dumfrey, berurusan de​ngan penegak
hukum. Agustus lalu, mereka hadir di tempat kejadian
perkara ketika buron bereputasi kelam, Nicholas
Rattigan, melakukan pelarian dramatis dari pabrik di
West Side. Sebelumnya lagi, pada tahun ini, mereka
menjadi buah bibir menyusul serangkaian kasus
pembunuhan yang mem​bingungkan polisi dan sempat
diliput oleh seorang mantan wartawan koran ini.
“‘Terlahir sebagai kriminal, kata Hardaway, ketika
dimintai komentar lebih lanjut.
“‘Pendidik terkemuka Andrea von Stikk—’”
“Dia lagi?” potong Pippa. “Kukira dia sedang
sibuk mem​buat hidup Chubby merana.”
Thomas mengangkat bahu dan melanjutkan
membaca. “‘—dengan sigap menekankan bahwa yang
patut dipersalahkan adalah pendidikan anak-anak
tersebut dan bukan anak-anak itu sendiri.
“‘Gara-gara orang gila itu, Mr. Dumfrey, dia
menyata​kan dengan tegas. Berapa kali lagi anak-anak
malang itu harus terancam bahaya fatal sebelum
negara setuju untuk menyelamatkan mereka dari
cengkeraman si tukang tipu? Anak-anak itu
membutuhkan disiplin dan pendidikan yang layak.’”
“Pendidikan yang layak, ma foi!” Sementara
desyrindah.blogspot.com

Thomas selesai membaca, Monsieur Cabillaud masuk


ke dapur. Baru kali ini dia bisa berdiri lagi setelah
berhari-hari. Meskipun masih kelihatan pucat, dia
berbusana perlente seperti biasa dalam balutan setelan
jas berpotongan pas, syal sutra, dan topi berpinggiran
tipis (yang didesain khusus untuk kepalanya yang
berukuran kecil). “Akan kuzurati perempuan jahat itu
dan kuberi dia pelajaran yang patut dia terima.”
“Thomas, lihat,” kata Pippa sambil menunjuk
bagian ba​wah halaman, ke judul berita lebih kecil
yang berbunyi: Polisi Masih Memburu Rattigan si
Buron. Berita selengkapnya, lihat halaman 12.
Thomas membuka koran ke halaman itu—tetapi
sebelum meneruskan membaca, perhatiannya keburu
teralihkan oleh sebuah iklan yang mendominasi
halaman. Pippa melihatnya pada saat bersamaan dan
sontak terkesiap keras.
“Apa itu ...?” tanyanya.
“Howie,” Thomas mengonfirmasi.
Iklan tersebut menampakkan sejumlah penampil
yang berkumpul di depan bangunan lawas megah. Di
atas mereka, terpampang plang neon raksasa
bertuliskan Panggung Atraksi Coney Island. Teks
iklan, yang dibumbui huruf-huruf kapital dan tanda
seru di sana sini, berkoar-koar: Pertunjukan Hiburan
desyrindah.blogspot.com

dan Museum Aneh tapi Nyata TERBAIK dan SATU-


SATUNYA YANG ASLI di New York City! Jangan
sampai TERTIPU oleh peniru! Jangan mau
DIPOROTI oleh penyaru! Semua orang aneh di sini
TULEN 100% dan niscaya membuat Anda
MEMELOTOT tak percaya! Datang dan saksikanlah
Howie si Manusia Burung Hantu dan Alicia si Tangan
Buntung Ajaib Pelempar Pisau!—dan MASIH
BANYAK LAGI!
Dalam foto tersebut, Howie berdiri di tengah,
menam​pakkan ekspresi puas diri sebagaimana
lazimnya dan, yang menyebalkan, juga tampak
sempurna seperti biasa. Thomas memperhatikan
bahwa Howie merangkul seorang gadis yang pasti
adalah Alicia. Sama seperti Howie, anak perempuan
itu memiliki kesempurnaan ragawi dan paras yang
seakan ditatah bak boneka: rambut pirang
mengembang, mata besar jeli, bibir mirip kuncup
mawar. Keunikannya semata-mata tampak berkat
lengan blusnya, yang diikat longgar ke dada, dan
gagang pisau yang tergenggam di sela jemari kakinya
yang telanjang.
“Aku tidak percaya.” Wajah Pippa merah padam.
“Me​reka secara tidak langsung mengatai kita penipu.”
“Sudah untung mereka tidak menyebut nama Mr.
desyrindah.blogspot.com

Dumfrey,” kata Thomas.


“Sama saja,” kata Pippa. “Satu-satunya museum
aneh tapi nyata yang asli? Itu penghinaan. Aku sangat
ingin mencari cacing kecil itu dan memuntir kepala
besarnya sampai copot.”
Musim panas lalu, Howie bergabung sebentar ke
Museum Aneh tapi Nyata Mr. Dumfrey. Berkat
ketampanannya yang luar biasa dan kemampuannya
memutar kepala hingga 180 derajat, Howie sempat
menjadi sensasi, tetapi Thomas tidak pernah
memercayainya. Howie licik, kurang ajar, dan
pongah, pun kerap menyombongkan koneksinya
dengan para penampil terkenal di dunia hiburan dan
bahkan dengan pemerintah Amerika Serikat:
pamannya konon bisa memutar seluruh torso tanpa
menggerakkan kaki dan pernah bekerja sebagai
pengawal presiden AS.
Pada akhirnya, Howie menampakkan watak
aslinya. Sejak awal, dia ternyata mencari-cari
kesempatan untuk menyabo​tase museum. Walaupun
sok-sok sopan di luar, dia sesung​guhnya membenci
Thomas, Max, Pippa, dan Sam—bukan karena
mereka berbeda, melainkan karena mereka dibuat
ber​beda. Entah bagaimana—mereka masih belum tahu
sampai sekarang—Howie tahu bahwa mereka
desyrindah.blogspot.com

diciptakan oleh Rattigan dan eksperimennya yang


sinting. Howie bahkan mendirikan organisasi bernama
S.U.P.E.R.I.O.R: Stop Unnatural Phony Entertainers
from Ruining and/or Impairing Our Reputation—
Hentikan Empat Bocah Abnormal Penghibur Sebelum
Meng​hancurkan dan/atau Merusak Reputasi Kami.
Thomas mau tak mau tersenyum simpul. “Kau
kedengar​annya persis seperti Max.”
Pippa memelototi Thomas. “Hati-hati,” katanya.
“Atau kepa​lamu akan kupuntir juga.”
“Omong-omong mengenai kepala, kita sebaiknya
menge​nyahkan barang bukti.” Thomas berdiri. “Aku
masih sayang kepalaku, padahal kalau Max melihat
ini, dia pasti—”
“Kalau aku melihat apa?”
Thomas mematung. Max baru saja muncul di
ambang pintu, menguap sambil menggosok-gosok
mata dengan telapak tangan. Rambutnya acak-acakan
sekali, seolah dia menatanya dengan cara menyetrum
diri sendiri.
“Bukan apa-apa,” kata Pippa dan Thomas buru-
buru, secara berbarengan.
Max menyipitkan mata. “Kalian kenapa?”
katanya. “Ada rahasia besar apa?”
Thomas bergerak ke tempat sampah. Namun, Max
desyrindah.blogspot.com

ter​lam​pau cepat. Dia menyeberangi ruangan dengan


gesit dan merebut koran dari tangan Thomas. Dalam
waktu singkat, dia sudah menemukan iklan tersebut.
Thomas menguatkan diri untuk menyambut
ledakan ama​rah atau serentetan sumpah serapah.
Bahkan Monsieur Cabillaud, yang meringkuk di pojok
beserta secangkir teh kamomil beruap, juga
bergeming, terkecuali satu tangan gemetaran yang
me​me​gang sendok untuk mengaduk. Hanya Smalls
yang tidak menyadari apa-apa, masih sibuk di depan
kompor, mencampur dan mengaduk, bergumam
sendiri.
Sesaat berselang, dengan bibir terkatup rapat, Max
meli​pat koran, menyeberang ke tempat sampah, dan
menjejalkan surat kabar itu dalam-dalam sehingga
lengannya ikut menghilang.
“Menu sarapannya apa?” tanya Max sambil
menyibak​kan rambut. Sementara itu, Thomas
mengembuskan napas yang dia tahan-tahan.
“Menu sarapannya apa?” ulang Smalls, beranjak
dari kompor dengan penuh gaya sambil memegangi
panci penyok dengan satu tangan mahabesar. “Cuma
ambrosia termanis! Nektar dewa-dewi! Mengecap
bulan nan lembut dan tetes-tetes segar/Yang dipecut
dari atap kristal oleh ekor ikan.”
desyrindah.blogspot.com

Melihat ekspresi bengong anak-anak, dia batuk-


batuk. “Bubur gandum,” kata Smalls sambil
meletakkan panci se​hingga tampaklah bubur kental di
dalamnya. Smalls meng​angkat bahu. “Hanya ini yang
kita punya.”
Tepat saat itu, lantai papan yang berderit
mengumumkan kedatangan Mr. Dumfrey. Sesaat
kemudian, dia menuruni tangga dengan langkah
menjejak-jejak, tangannya yang satu bertumpu kuat-
kuat ke pagar dan yang satu lagi mencengkeram
saputangan. “Nah, ayo,” katanya serta-merta sambil
melam​baikan saputangan tak sabaran, seakan dia
sudah berjam-jam menunggu di sana. “Ada yang
hendak kutunjukkan kepada kalian. Sesuatu yang
amat menakjubkan ….” Kemudian, dia ber​balik dan
naik lagi, mengarungi tangga yang demikian sempit
sehingga pas-pasan sekali untuk perut Mr. Dumfrey.
“Sesuatu yang amat menakjubkan apa?” Thomas
berseru kepada Mr. Dumfrey. Namun, ketika Mr.
Dumfrey tidak men​jawab, justru menggerutu bahwa
merupakan hal yang absurd kita harus turun dulu
supaya bisa naik lagi, Thomas mengangkat bahu dan
berdiri. Pippa dan Max ikut bangkit dan mengikuti
Thomas.
Ketika mereka memasuki kantor Mr. Dumfrey,
desyrindah.blogspot.com

pria itu sedang berdiri di samping mejanya, yang


sudah bersih dari barang-barang berantakan yang
biasa dan kini didominasi oleh benda besar berbentuk
kubah yang ditutupi selendang berbordir. Sam sudah
menunggu mereka di sana, tetapi dia hanya
mengangkat bahu ketika Thomas memandangnya
pe​nuh tanya.
Melambai supaya mereka mendekat, Mr. Dumfrey
me​megangi satu sudut selendang. Kemudian, secara
dramatis, dia menyibakkan kain tersebut.
“Ta-da!” seru Mr. Dumfrey.
Selendang ternyata menutupi sebuah sangkar
burung. Di dalamnya, terdapat salah satu makhluk
paling mengagumkan yang pernah mereka lihat—
seekor burung mahabesar berbulu merah cemerlang
dengan paruh sehitam arang yang berbentuk seperti
paruh beo. Jambul keemasan menyembul di atas
kepalanya dan ekornya berwarna-warni cerah seperti
pelangi.
“Saksikanlah,” kata Dumfrey, wajahnya berbinar-
binar gembira. “Satu-satunya spesies Aviraris igneous
nan menak​jubkan yang masih hidup di dunia! Burung
Api Ethiopia Ekso​tis Berparuh Hitam,” imbuh Mr.
Dumfrey, ketika anak-anak semata-mata menatapnya
sambil bengong. “Aku sendiri yang menamainya.”
desyrindah.blogspot.com

“Burung Api,” kata Sam serius, mendekati sangkar


dan membungkuk untuk melihat lebih saksama. “Aku
tidak pernah mendengar Burung Api sebelumnya.”
Burung Api menoleh untuk memandang Sam,
menelengkan kepala dengan aura meremehkan.
Sekejap, Sam bisa melihat dirinya terpantul di mata
cerdas gelap si burung.
Kemudian, tanpa peringatan, burung itu memekik:
“Mun​dur, mundur! Mundur, Pandir Besar!”
Sam terhuyung-huyung ke belakang, terperanjat
gara-gara suara itu, yang hampir menyerupai manusia.
“Ah, ya,” kata Mr. Dumfrey syahdu. “Burung itu
bisa bi​cara juga.”
“Gagak jelek!” Cornelius berkoak dari sangkarnya
sambil mengacak-acak bulu dengan jengkel.
“Nah, nah, Cornelius,” kata Mr. Dumfrey sambil
meng​goyang-goyangkan jari ke arah si kakaktua.
“Bersikaplah yang baik.”
“Dari mana Anda mendapatkannya?” tanya
Thomas, meng​gantikan tempat Sam di depan sangkar
tetapi menjaga jarak kira-kira satu setengah meter dari
burung itu. Sekali lagi, Burung Api memandang
Thomas dengan penuh perhitungan, seperti seorang
pria yang sedang menimbang-nimbang berbagai opsi
makanan di meja prasmanan dengan kepala dingin.
desyrindah.blogspot.com

“Makhluk menakjubkan inilah yang sudah


kutunggu-tunggu selama seminggu,” kata Mr.
Dumfrey. “Dia diantarkan langsung oleh lelaki yang
menangkapnya—seorang penjelajah terpandang yang
termasyhur sedunia, seorang legenda pada masanya.”
“Siapa namanya?” tanya Thomas.
Dumfrey mengerutkan kening. “Hmm, aku lupa.
Tunggu sebentar,” kata Mr. Dumfrey sambil menepuk
saku-sakunya. “Dia meninggalkan kartu nama yang
kusimpan entah di mana ….”
Pippa ikut mendekati sangkar. “Cek rompi Anda,”
katanya tanpa menoleh.
“Aha!” Mr. Dumfrey mengeluarkan kartu remuk
dari saku rompi dan membetulkan kacamatanya
dengan dua jari. “Ini dia. Sir Roger Barrensworth.
Lucu. Kedengarannya seperti nama Inggris, ‘kan? Tapi
logatnya Italia ....”
Burung Api rupanya sudah membuat keputusan
menge​nai Thomas. “Cebol!” pekiknya dengan suara
manusiawi nan janggal. “Cebol konyol! Ulat berisik
berkepala kecil!”
Thomas merona sampai ke kuping dan mundur
cepat-cepat. “Kurang ramah, ya?”
“Biar kulihat,” kata Sam sambil mengulurkan
tangan kepada Mr. Dumfrey. Kartu terlipat dua. Di
desyrindah.blogspot.com

dalamnya, terselip bungkus kusut permen karet


Tendermint, yang Sam tepis dengan kuku. Di tempat
sampah, terdapat pula beberapa bungkus permen
serupa. Bahkan kartu itu sendiri samar-samar berbau
mint.
“Sir Barrensworth sangat menggemari permen
karet, ya?” tukas Sam.
“Sir Barrensworth bertahun-tahun tinggal sendirian
di alam liar,” kata Mr. Dumfrey. “Kalau hanya itu
kebiasaannya yang paling buruk, dia mesti
menganggap dirinya beruntung.”
Di bawah nama Sir Barrensworth, tertera alamat
1270 Park Avenue dan kata-kata: Penjelajah.
Petualang. Kolektor Spesis Langka.
Sam mengerutkan kening. “Ejaan spesies salah,”
katanya.
Mr. Dumfrey merebut kembali kartu itu.
“Barangkali sa​lah di percetakan,” katanya sambil
melambaikan tangan. “Tidak​kah kalian lihat betapa
mujurnya kita? Kita terselamatkan! Burung Api akan
menjadi bintang pertunjukan—padahal har​ganya
mu​rah, cuma lima puluh dolar.”
Sam nyaris tercekik. “Lima puluh dolar?”
Penghasilan museum dalam sebulan tidak sampai
sebanyak itu.
desyrindah.blogspot.com

“Murah!” Burung Api berkoak, mengacak-acak


bulunya. “Murah! Murah!”
“Burung kemahalan ini minta dicekik, ya?” gumam
Thomas.
Tibalah giliran Max untuk dinilai oleh Burung Api.
Vonis untuknya keluar lebih cepat daripada yang lain.
“Binatang!” pekik si burung. “Binatang liar tak
terlatih!”
“Binatang mengatai orang binatang,” kata Max,
seperti​nya tidak tersinggung barang sedikit pun. Dia
menjulurkan lidah.
Tiba-tiba saja, Freckles menerjang ke dalam
ruangan sambil mengeong murka dan, dengan cakar
terulur, langsung meloncat ke sangkar di meja Mr.
Dumfrey.
“Freckles, jangan!” teriak Sam.
Max masih sempat menyambar tengkuk Freckles
dan menariknya ke belakang sebelum kucing itu
menggapai sela-sela jeruji sangkar dengan cakarnya.
Bahkan, setelah Max me​nu​runkannya ke lantai,
Freckles terus menggeram, mengi​tari meja sambil
memperhatikan peliharaan terbaru Mr. Dumfrey
dengan ekspresi serakah tak terperi.
Cornelius mengacak-acak bulunya sedemikian
rupa, ter​kesan sedang mengakak.
desyrindah.blogspot.com

“Kucing pintar!” burung kakaktua itu berkoak.


“Kucing yang sangat pintar!”
“Sisi positifnya,” kata Pippa begitu Mr. Dumfrey
mem​persilakan mereka semua keluar dan mereka
berhasil meng​giring Freckles ke koridor, “kalaupun
museum gulung tikar, kita tinggal membuka kebun
binatang saja.”[]
desyrindah.blogspot.com
6

WALAUPUN MENURUT JADWAL TIDAK ADA


per​tunjukan pagi itu, Max langsung menuju
Odditorium setelah pamit dari kantor Mr. Dumfrey.
Seperti biasa, aula besar tersebut samar-samar berbau
berondong lama dan permen karet. Lantai, sekalipun
disikat tiap hari, tetap saja terasa lengket sementara
Max menyusuri ruang antarbangku untuk menuju
panggung. Lampu-lampu diredupkan dan, di dalam
bayang-bayang, dia melihat Kestrel bergerak di antara
kursi-kursi, sedang mencari sampah yang dibuang oleh
hadirin sekaligus membersihkan jok felt usang sesekali
dengan sikat sepatu besar.
Max berdeham. Kestrel menegakkan diri. Mata
besarnya yang gelap tampak seperti lubang yang dibor
ke wajahnya dan mendadak, Max merasa tidak
nyaman. Dia bersedekap.
“Miss Fitch mencari Anda di lantai atas,” Max
desyrindah.blogspot.com

berdusta. Penjahit dan manajer umum museum


teramat galak se​hingga Mr. Dumfrey sekalipun tidak
berani menyanggahnya. Kali pertama dan terakhir
Max mencari Miss Fitch untuk mengajukan
pertanyaan—kekeliruan yang tidak akan dia ulangi
lagi—Max ujung-ujungnya menghabiskan lima jam di
ruang kostum, ditusuk di sana sini dengan jarum dan
dicekik dengan bermeter-meter tafeta.
Kestrel tidak mengucapkan sepatah kata pun,
hanya langsung melenggang ke pintu. Max menahan
napas sampai pria itu pergi. Kestrel entah mengapa
mengingatkannya pada kuburan, atau kucing hilang,
atau bangunan kosong di Bowery, sedih dan kurus
serta gelap. Seolah berkubang tragedi yang bisa saja
dia tularkan.
Begitu Max benar-benar yakin dia sudah sendirian,
dia mengayunkan tubuh ke atas panggung.
Odditorium kelihatan berbeda ketika tidak ada
hadirin—lebih mengibakan tetapi juga lebih indah,
seperti bunga eksotis yang layu di balik kaca. Max
bergerak ke belakang panggung sambil berkedip-kedip
di dalam keremangan dan mencari papan besar
berputar yang sesekali dia gunakan dalam salah satu
triknya yang paling spektakuler, yaitu Roda Putar
Maut. Roda tersebut dipasangi sabuk kulit untuk
desyrindah.blogspot.com

mengikat lengan dan pergelangan kaki relawan—


biasanya Danny. Sementara roda berputar, Max
melemparkan pisau secara beruntun—delapan atau
sepuluh, tergantung perasaannya saat itu—sehingga
pada saat Danny dilepaskan, Max telah membentuk
siluet laki-laki itu dengan logam.
Namun, hari ini yang menjadi minat Max adalah
latihan membidik jenis lain.
Dia mendorong roda ke atas panggung sambil
tersengal sedikit. Akhirnya, setelah meletakkan roda
pada posisi yang memuaskan, Max melangkah
mundur sejauh kira-kira lima belas meter. Dari tempat
Max berdiri, Roda Putar Maut yang lingkaran-
lingkarannya berwarna-warni tampak mirip papan
dart raksasa belaka.
Sempurna.
Setelah sekali lagi mengecek bahwa Odditorium
betul-betul kosong, Max mencopot sepatu. Kemudian,
sambil melom​pat-lom​pat untuk menjaga
keseimbangan, melepas kaus kaki secara bergantian,
menggoyang-goyangkan jemarinya untuk melancarkan
peredaran darah. Lalu, dia mencabut pisau dari saku
belakang jinsnya—pemberian Lash yang hampir pas
se​telah Max menggulung bagian bawahnya beberapa
kali—dan meletakkan pisau itu di lantai.
desyrindah.blogspot.com

Tantangan pertama adalah mengambil pisau itu


dari lantai. Max mencoba dengan kaki kanan,
kemudian dengan kaki kiri. Dia berganti lagi ke kaki
kanan. Dia merentangkan jari-jari kaki selebar
mungkin. Dia menginjak gagang. Namun, pisau tetap
saja terlepas.
Ini ternyata jauh lebih sulit daripada yang Max
sangka. Dan semakin sulit, semakin marahlah Max
dan semakin putus asa dia untuk berhasil.
Akhirnya, dengan menyempilkan gagang pisau ke
sela jempol dan telunjuk kaki, dia melentingkan pisau
ke udara. Kini, dia berdiri dengan satu kaki dan
memutar kedua lengan sebentar sambil melompat
sedikit dari kiri ke kanan. Ketika Max akhirnya bisa
menyeimbangkan diri tanpa bergoyang-goyang seperti
gasing di lantai yang terbuat dari agar-agar, dia
menarik napas dalam-dalam, mengulurkan lengan,
dan berusaha membayangkan wajah Howie tepat di
tengah-tengah roda berwarna, terpampang di sana
seperti Danny pada saat pentas. Rambut hitam yang
saking rapinya praktis menempel di tempat. Senyum
yang menyerupai cengiran putih cemerlang predator.
Mata biru cerah.
Bisa-bisanya Max meyakini, meski sedetik saja,
bahwa pemuda itu cakep!
desyrindah.blogspot.com

Mendadak diberdayakan oleh gelombang amarah,


Max mengeluarkan pekik tertahan dan melempar.
Atau menendang, lebih tepatnya.
Pisau membelah udara ….
Kemudian berkelotakan dan terpelanting ke sayap
pang​gung, mendarat sekurang-kurangnya tiga meter
dari target.
Max mencoba lagi. Kali ini pisau terlalu cepat lepas
dari sela jemari kakinya dan tergelincir ke lantai
seperti serangga raksasa yang berputar-putar.
Percobaan berikutnya malah le​bih parah. Max
terlambat melepaskan dan pisau membu​bung ke udara
hampir vertikal sehingga dia harus menukik supaya
tidak teriris dua oleh pisau yang jatuh. Semakin dia
frus​trasi, semakin jelek lemparannya (atau
tendangannya; dia tidak yakin mana istilah yang
tepat)—hingga akhirnya, sambil menjerit murka, Max
menyambar pisau dengan tangan dan
melemparkannya tepat ke tengah roda dan kemudian,
supaya puas, melemparkan tiga pisau lain setelah itu,
plok, plok, plok, sehingga empat pisau yang menancap
kurang lebih membentuk mulut yang merengut.
Mendengar langkah di belakangnya, Max berputar
sambil mencengkeram pisau terakhir dengan tangan
terangkat.
desyrindah.blogspot.com

“Jangan tembak!” seru seorang pria ceking pucat


yang berdiri di pintu Odditorium sambil mengangkat
kedua tangan.
“Siapa kau?” sergah Max, masih mengangkat pisau
dan ber​harap semoga pipinya yang merah padam
tidak kelihatan di bawah cahaya remang-remang. Dia
berharap tadi tidak melepas sepatu. Bertelanjang kaki
entah bagaimana terkesan merugikannya. “Apa
maumu? Sudah berapa lama kau berdiri di situ?
Kenapa kau memata-mataiku?”
“Aku—bukan,” katanya. “Maksudku, tidak. Aku
mem​bawakan surat, cuma itu. Untuk diantarkan ke
344 West Forty-Third Street.” Pria itu mengulurkan
amplop sebagai bukti dan, akhirnya, Max
menurunkan pisau, yang dia kembalikan ke saku, lalu
melompat turun dari panggung.
Si pria mundur selangkah selagi Max menghampiri
dan dia melihat bahwa wajah pria itu berjanggut
pendek kasar. Dia mengenakan pakaian lama usang
yang ditambal dan dijahit di sana sini tetapi tampak
rapi, lazimnya barang yang dirawat baik-baik oleh si
pemilik yang sangat miskin. Mata gugup pria itu
jelalatan ke sepenjuru ruangan, ke langit-langit
berku​bah yang bebercak-bercak jamur, ke spanduk
terbentang rendah yang mengumumkan Atraksi Aneh
desyrindah.blogspot.com

Tiada Tara! dan properti besar yang tampak di atas


panggung, termasuk Roda Putar Maut dan juga peti
besar yang Goldini gergaji menjadi dua dalam aksinya.
“Jangan cengeng,” kata Max sambil menggapai
surat di tangan pria itu, yang malah terkesiap dan
berjengit. “Aku tidak akan memotong jarimu.”
Pria itu tampak tidak yakin, tetapi dia akhirnya
memper​kenankan Max untuk mengambil surat,
langsung mundur be​berapa langkah sehingga tidak
terjangkau oleh Max.
Walaupun sudah diajari Monsieur Cabillaud, Max
belum lancar membaca. Dia tidak mengerti apa
sebabnya whole dan hole dibaca sama tetapi ditulis
berbeda, atau mengapa bill dan bill dieja sama tetapi
bermakna lain: uang kertas dan bon. Mengapa sign
dilafalkan sain, tetapi signal tidak dilafalkan sainal?
Kendati begitu, Max tidak kesulitan mengenali
nama yang tertulis dengan tinta hitam di depan
amplop.
Untuk Thomas, Pippa, Max, dan Sam.
Perasaan yang teramat dingin, teramat menjijikkan,
serta-merta merambati tulang belakangnya, seakan dia
ketetesan lumpur.
“Dari mana kau mendapatkan ini?” tanya Max
parau. Namun, ketika dia mendongak, pria itu sudah
desyrindah.blogspot.com

pergi. Yakin bahwa tugasnya sudah rampung, pria itu


jelas-jelas telah me​larikan diri dari museum dan para
penghuninya yang aneh.
Max membuka amplop dengan jemari gemetar.
Bunyi srek kertas seakan kelewat nyaring di ruang
kosong. Namun, Max tidak sanggup membaca kata-
kata yang tertera pada selem​bar kertas di hadapannya.
Kesannya seolah dia dalam seke​jap melupakan semua
pelajaran dari Cabillaud. Jantungnya berdentum-
dentum. Kata-kata berenang-renang di kertas seperti
ikan di kolam air putih. Dia tidak mampu
berkonsentrasi cukup lama untuk merunut kata demi
kata.
Satu kata, dan hanya satu kata, melompat ke sudut
peng​lihatan Max, seterang sinar senter pada tengah
malam.
Max mendadak menyadari betapa dia seorang diri,
di sini, di Odditorium nan lapang, yang dikungkung
bayang-bayang di sana sini ....
Dia buru-buru keluar ke lobi, yang setidaknya
kelihatan ramai dan terang berkat jendela-jendela
berpanel aneka warna, dan hampir menabrak
Monsieur Cabillaud.
“Hati-hati kalau jalan!” dengus sang tutor dengan
logat Prancis yang makin kental karena hidungnya
desyrindah.blogspot.com

mampet.
Setelah menggumamkan permohonan maaf, Max
kembali ber​gegas ke tangga penampil dan meloncati
dua anak tangga sekaligus, berhenti di tiap tingkat
untuk mengecek kalau-kalau Pippa, Thomas, atau
Sam berada di sana. Dia menemukan mereka di
loteng. Sam masih berpiama dan dia merona ketika
melihat Max, entah mengapa.
“Lihat,” sengal Max sambil menyodorkan surat
kepada Thomas dan nyaris tersandung Freckles, yang
sontak mengeong dengan nada menegur.
Thomas membaca surat itu dan mendunglah
wajahnya. Pippa, yang membaca bahkan tanpa
melihat lembar kertas se​cara langsung, menjadi pucat.
Sam mengambil surat dari Thomas, memegang kertas
dengan dua jari seperti takut digigit.
“Keras-keras,” kata Max dengan suara tercekik.
Dia sudah tahu dari siapa surat itu. Dia hanya perlu
tahu isinya.
Sam membaca dengan suara gemetar:
“‘Selamat, Anak-Anak, atas aksi kalian yang lagi-
lagi mem​pertunjukkan kesaktian pemberianku. Aku
bangga sekali. Tidak lama lagi, kuharap kalian juga
akan sangat bangga kepadaku.’”
Surat itu ditandatangani dengan satu nama; kata
desyrindah.blogspot.com

yang tadi sudah Max lihat dan langsung dikenalinya:


—Rattigan.[]
7

N-E-M-O-N-I-A.
N-U-M-O-N-I-A.

P-N-U-M-O-N-I-A.
Max menggigiti ujung pensilnya. Otaknya nyeri
karena kebanyakan berpikir. Mengapa mengeja saja
rumitnya minta ampun? Dan mengapa sejumlah kata
lebih panjang daripada kata-kata lain? Andaikan Max
menjadi presiden, dia akan me​nitahkan bahwa kata-
kata tidak boleh mengandung lebih dari dua suku
kata.
Jika begitu, tentu saja dia tidak bisa menjadi
presiden. Dia semata-mata akan menjadi presden.
Atau presid.
Monsieur Cabillaud mengetukkan penggaris ke
kertas Max. “Mata ke ujian,” katanya sambil
desyrindah.blogspot.com

memelotot galak. “Li​ma menit lagi.”


Percuma. Max tidak bisa berkonsentrasi, apalagi
setelah melihat iklan koran pagi ini tentang Howie
dan Alicia si tangan buntung ajaib yang bodoh, juga
surat untuk mereka berempat.
Sudah bisa ditebak bahwa Pippa ingin mendatangi
polisi. “Ini buktinya,” Pippa berkoak, persis seperti
Cornelius si kakaktua piaraan Mr. Dumfrey. “Ini
membuktikan bahwa Rattigan terlibat dengan
kejadian di bank. Artinya, dia berada di New York.”
Thomas menggeleng. “Surat ini semata-mata
membuktikan bahwa Rattigan membaca koran,”
katanya. “Ya,” imbuhnya ketika Pippa membuka
mulut untuk protes, “aku tahu yang patut
dipersalahkan adalah Rattigan. Kau tahu yang patut
dipersalahkan adalah Rattigan. Tapi, kalaupun kita
memberi tahu polisi, belum tentu mereka memercayai
kita.”
Sam masih menatap surat dengan mimik muak,
seolah kertas itu tidak bertuliskan kata-kata,
melainkan dirambati serangga. “Bagaimana dengan
kalimat terakhir?” ujarnya. “Bah​wa dia akan
membuat kita bangga? Maksudnya apa?”
Wajah Thomas menjadi muram. “Maksudnya, dia
meren​canakan sesuatu,” katanya. “Sesuatu yang
desyrindah.blogspot.com

besar.”
“Tiga menit,” Monsieur Cabillaud mengumumkan,
al​ha​sil membuyarkan lamunan Max. Pria itu lalu
bersin keras-keras.
Max mendesah dan mencoba sekali lagi. P-N-E-U-
M-O-N-I-A. Dia menggeleng. Sudah pasti salah.
Namun, sebelum Max sempat menghapus jawaban
itu, seseorang menjerit—raungan tinggi merana yang
merambat dari lantai papan dan menggertakkan gigi
Max sampai ngilu.
Monsieur Cabillaud terlompat dari pinggir meja,
tempat​nya bertengger. “Diam di zini, Anak-Anak.
Mata kalian—aw.” Dia ti​dak menyelesaikan
kalimatnya. Max keburu memele​sat lewat, lari secepat
kilat ke tangga spiral hingga hampir menabrak
Monsieur Cabillaud. Pippa dan Sam mengikuti cepat-
cepat di belakangnya.
Monsieur Cabillaud buru-buru membetulkan
kacamata di hidung kecilnya yang mancung. “Zebagai
tutor kalian, aku menuntut agar kalian kembali ke zini
zekarang juga!” pekiknya.
Namun, sudah terlambat.
Dia berbicara ke ruang kelas yang kosong.

Dari berbagai sudut, lemari, dan ruangan,


desyrindah.blogspot.com

berhamburanlah peng​huni museum, tumpah ruah


melalui tangga menuju sumber keributan bagaikan air
yang mengalir ke lubang pembuangan raksasa. Lash
muncul sambil menyandang laso. Betty keluar dari
kamar mandi dengan janggut basah yang masih
dipasangi rol-rol merah jambu. Caroline dan Quinn,
yang bertengkar gara-gara gaun indah berpayet,
menuruni tangga sambil memegangi pakaian yang
menjadi bahan rebutan.
Max nyaris bertabrakan dengan Mr. Dumfrey saat
pria itu keluar dari kantor dengan selop berujung
merah dan ekspresi teramat kesal. Berdasarkan garis-
garis samar yang tumpang tindih di wajahnya dan
noda tinta besar di dagunya, Max mem​perkirakan
bahwa Mr. Dumfrey lagi-lagi telah jatuh tertidur di
meja selagi membuat laporan keuangan bulanan.
“Demi nama Houdini, apa-apaan ini? Berisik
sekali,” kata Mr. Dumfrey sementara Max, kemudian
Sam, lalu Pippa, kemudian Lash, dan akhirnya si
kembar, melewatinya sambil tergesa-gesa.
“Kedengarannya seperti anjing padang rumput
yang ter​sedak pir berduri,” Lash berteriak ke
belakang, sedangkan Mr. Dumfrey, yang bergabung
ke ekor barisan, memperkenankan diri untuk terbawa
arus dan ikut turun ke lobi.
desyrindah.blogspot.com

Di lantai dua, Miss Fitch, yang mengenakan bidal


di jempol dan menjepit sejumlah jarum pentul di
mulutnya, ke​luar dari bagian kostum, dengan luwes
mengitari replika lilin Pohon Pengetahuan yang
menyembunyikan pintu ke ruangan pribadinya. Miss
Fitch diikuti oleh Danny yang bertelanjang dada,
karena tuksedo baru untuk aksi dansanya sedang
dipas​kan ke badannya.
Di lobi, mereka mendapati bahwa Smalls dan Gil
Kestrel sudah sampai duluan. Thomas mengambil
jalan pintas melalui dinding seperti biasa dan sedang
mengebuti selapis debu halus dari pakaiannya.
Jenderal Farnum sedang berlutut di depan sirkus
kutu, kedua tangannya menempel ke kaca sehingga
membekaskan sidik jari. Wajahnya berkerut-kerut
pilu.
Mr. Dumfrey merangsek untuk menembus
kerumunan. “Jenderal!” serunya. “Kau kenapa? Ada
apa?” Dumfrey pa​ling tidak sabar menghadapi lagak
dramatis kecuali dirinya sendirilah yang sok-sok
dramatis. “Bicaralah, demi Tuhan.”
Selama beberapa saat, mulut Jenderal Farnum
bergerak-gerak seperti sedang mengunyah makanan
tak kasatmata.
“Silakan, Jenderal,” kata Lash sambil menyikut
desyrindah.blogspot.com

pria itu.
Disertai desahan dalam yang mengguncangkan
seluruh tubuh​nya, Farnum akhirnya mampu
berbicara.
“Mati!” semburnya. “Mereka semua—mati!”
Untuk kali pertama, Max menyadari bahwa
terarium kaca, yang biasanya penuh sosok gelap yang
berkelebat ke sana ke​mari, ternyata sepi. Mendekat
sambil memicingkan mata, dia me​lihat seratusan titik
bertebaran di pasir: kutu-kutu mati, sekecil ujung
pensil, teronggok di lantai sirkus.
Betty terkesiap. Smalls merangkul wanita itu
dengan le​ngannya yang mahabesar dan menundukkan
kepala.
“Selamat malam, Kutu-Kutu Manis. Semoga
nyanyian bidadari mengiringi kalian ke tempat
peristirahatan,” kata Smalls khidmat sambil mengusap
setetes air mata.
“Mungkin mereka cuma tidur siang,” terka
Caroline.
“Jangan bodoh, Caroline,” kata Quinn. “Tentu
saja mereka bukan sedang tidur.” Dia menoleh kepada
Jenderal Farnum dan memegangi pundak pria itu
untuk menghibur. “Mungkin mereka cuma sedang
demam parah.”
desyrindah.blogspot.com

Mr. Dumfrey membungkuk ke depan untuk


mencermati serang​ga-serangga yang tumbang itu lebih
dekat. “Alangkah nahas. Padahal sirkus sedang ramai-
ramainya ….” Dia meng​geleng, kemudian ekspresinya
menjadi cerah. “Untung ada Burung Api. Dengan
sedikit latihan saja, burung itu niscaya sudah siap
untuk pertunjukan.”
Jenderal Farnum sepertinya tidak mendengar.
“Pelatihan bertahun-tahun .... Kupilih sendiri satu per
satu, dari Tennessee sampai Tallahassee dan jauh-jauh
ke Tahoe. Aku tidak akan pernah lagi menemukan
sekelompok kutu yang lebih baik, tidak akan pernah.”
“Hmm.” Lash melepas tutup terarium, meraup
kutu-kutu mati, dan mulai menyenggol serangga-
serangga itu dengan jarinya. “Tidak bisa,” katanya
sambil mengembalikan kutu ke dalam tangki. “Tidak
bisa diapa-apakan. Semua sudah mati.”
“Mereka disergap,” kata sang Jenderal, suaranya
seperti orang yang tersedak kentang panggang besar
yang teramat kering. “Serangan diam-diam yang
pengecut.” Kemudian, dalam sekejap, wajahnya
bertransformasi. Dukanya lenyap, digantikan ekspresi
murka menjadi-jadi yang membuat Max hampir
ketakutan. Pria itu berdiri secepat kilat dan berputar,
mengacungkan jari kepada Danny.
desyrindah.blogspot.com

“Pelakunya kau!” bentaknya. “Kau yang


membunuh me​reka, ‘kan? Untuk menghukumku?”
“Singkirkan jari sosismu dari wajahku,” kata
Danny sam​bil menepis jari Farnum. “Dan berhentilah
bercuap-cuap sembarangan.”
“Kau praktis mengakuinya kemarin,” kata Jenderal
Farnum menggelegar. “Katamu kau ingin mereka
mati!”
Danny membusungkan dada, menegakkan diri ke
tinggi mak​si​malnya yang hanya semeter lebih sedikit.
“Sebaiknya kau tutup mulutmu, Farnum, sebelum aku
yang menutupnya sen​diri.”
“Oh, begitu? Kau kira aku takut kepadamu, dasar
pem​bunuh mengenas—?”
“Cukup sampai di situ, dasar kantong ken—”
“Erskine Pembasmi Hama,” kata Thomas keras-
keras. Max melihat Thomas sedang membaca kartu
nama dan teringat bahwa dia juga menerima kartu
tersebut.
Jenderal Farnum dan Danny sama-sama menoleh
untuk menatapnya.
“Apa katamu?” kata Jenderal Farnum.
“Ernie Erskine, Pembasmi Hama,” Thomas
mengulangi, kemudian membaca pesan tambahan
yang tercetak di belakang: “Pembasmi Kutu Nomor
desyrindah.blogspot.com

Satu di New York. Ada Kutu, Kami Buat Mati Kutu.”


“Sudah kubilang aku tidak tersangkut paut,”
gerutu Danny.
Mr. Dumfrey berdeham. “Adakah yang mau
berbaik hati menjelaskan kepadaku,” katanya sambil
mengerjap-ngerjapkan mata, “apa yang sedang kalian
semua ocehkan? Pembasmi apa? Siapa itu Eksim?”
“Erskine,” Thomas meralat, kemudian menjelaskan
bahwa pembasmi hama kemarin mendatangi museum
dan membagi-bagikan kartu namanya serta berusaha
meyakinkan khalayak bahwa kutu akan menjangkiti
pakaian mereka.
Jenderal Farnum mengepalkan tangan. “Si kriminal
itu,” gumamnya. “Kriminal itu. Akan kubuat dia
membayar.”
“Siapa tahu cuma kecelakaan,” kata Thomas.
“Ada bahan kimia yang bisa membunuh tikus dari
jarak tiga puluh meter. Kalau dia menyentuh kaca,
sekalipun hanya sebentar—”
“Yang namanya kecelakaan itu tidak ada, Nak,”
potong Jenderal Farnum sebelum Thomas selesai
berbicara, “kalau sudah menyangkut perang.”
Sebelum siapa pun sempat menghentikan Jenderal
Farnum, dia berputar dan, sambil mengetukkan
tongkatnya ke lantai keras sekali sampai-sampai
desyrindah.blogspot.com

dinding ikut bergetar, menerjang ke luar pintu.[]


8

SUASANA HENING SEJENAK.


“Pengecut mati seribu kali,” kutip Smalls dengan
khusyuk, melepas topi dan menempelkannya ke atas
jantung. “Pem​berani hanya mati sekali.”
“Oh, bisa diam, tidak?” bentak Quinn. “Demi
Tuhan. Yang mati cuma kutu.”
Max sudah beranjak ke jendela untuk
memperhatikan Jenderal Farnum menyusuri jalan
sambil bersungut-sungut, mantelnya berkibar-kibar di
belakangnya seperti sayap kenyal kelelawar yang
sedang terbang. “Jangan bilang begitu di depan
Farnum,” katanya.
Sementara para penghuni museum yang lain bubar,
Sam mengajukan diri untuk membantu Kestrel
memindahkan kutu-kutu sirkus karena pemandangan
tersebut kini tidak enak di​lihat, apalagi jika ada yang
desyrindah.blogspot.com

masuk ke lobi pada saat itu: titik-titik hitam


bergeming menyedihkan yang bertebaran di pasir, di
depan titian keseimbangan dan jungkat-jungkit
miniatur.
“Satu, dua, tiga, angkat,” Kestrel
menginstruksikan. Na​mun, begitu tangan Sam
memegang, panel kaca retak di bawah tekanan jari-
jarinya. Sam menarik tangannya cepat-cepat dengan
ngeri, sementara jejaring retakan menyebar di
permukaan kaca.
“Maaf,” katanya, begitu merona sampai-sampai
jerawat di dahinya kelihatan semakin merah. “Aku—
kikuk—aku ti​dak bermaksud—” Dia masih tidak tahu
apakah Gil Kestrel, anggota terbaru museum,
memahami apa yang menjadikan Sam, Pippa, Thomas,
dan Max sangat berbeda.
Siapa yang menjadikan mereka sangat berbeda.
“Tidak apa-apa,” dengus Kestrel, seakan tidak
menyadari kejadian barusan. “Minggir. Akan kubawa
sendiri.”
Ketika Kestrel menunduk untuk mencengkeram
terarium kaca besar lebih kuat, gulungan majalah
jatuh dari saku bela​kangnya. Ingin membantu, Sam
membungkuk untuk meng​am​bilkan. Aeronautika
Modern tertulis dengan huruf-huruf berukuran besar
desyrindah.blogspot.com

di sampul majalah dan, dengan huruf-huruf lebih


kecil: Pesona dan Keasyikan Penerbangan.
“Wow.” Sam memicingkan mata ke foto di
sampul, ber​gambar seorang pria yang berdiri sambil
merentangkan lengan di atas sayap pesawat kecil yang
sedang terbang. “Aneh bahwa dia tidak tertiup dari
—”
“Kembalikan.” Kestrel merampas majalah dari
Sam, kuat sekali sampai-sampai Sam mundur karena
terperanjat. “Jangan lihat-lihat yang bukan
urusanmu.”
Menoleh sejenak untuk memelotot sekali lagi,
Kestrel kemudian memeluk terarium kaca, yang dia
bawa sambil ter​huyung-huyung di sepanjang galeri
nan gelap, meninggalkan Sam yang menatapnya
sambil melongo. Sam yakin Kestrel kesal karena Sam
melihat majalah tadi. Namun, mengapa mesti malu
karena tertarik pada pesawat? Beberapa tahun lalu,
Thomas sempat menggandrungi serba-serbi
penerbangan. Membaca kira-kira seratus lima puluh
buku mengenai prinsip-prinsip fisika di balik
penerbangan, pun menjengkelkan semua orang karena
kerap menggunakan kata-kata seperti propulsi dan
aerodinamika.
“Jangan gubris dia, Sam-O.”
desyrindah.blogspot.com

Sam terlompat ketika Lash menepukkan tangan


keriput ke bahunya. Saat dia menoleh, dia melihat
bahwa wajah Lash muram.
Lash menggeleng. “Laki-laki itu berdarah sekecut
lemon dan sedingin salju Rocky Mountain.”
“Memangnya dia kenapa?” kata Sam. “Kenapa dia
kesal sekali?”
Lash mendesah. Dia mengembalikan topi koboi ke
kepa​lanya yang berdahi merah panjang, tampak
semakin panjang karena rambut pirang halusnya
mulai botak. “Aku sudah lama mengenal Kestrel,” dia
berkata, kemudian berhenti, menggigiti bibir
bawahnya.
Sam sekarang penasaran setengah mati. Lash
memiliki banyak kebiasaan—kehilangan kata-kata
tidak termasuk di antaranya. Malahan, begitu dia
berbicara, hampir musta​hil untuk menghentikannya.
Bahkan setelah semua peng​huni museum yang lain
pergi tidur, Lash sering kali masih terkekeh-kekeh
sendiri sembari mengenang penampilannya pada masa
lalu atau insiden kocak terkait orang-orang yang tidak
dikenal: Sally si Manusia Anjing Laut, yang lebih suka
makan ikan mentah dan bisa menyeimbangkan bola
pantai di atas hidung; Jolly Jimbo McCrae, si Gendut
Minnesota, yang demi mempertahankan bentuk
desyrindah.blogspot.com

badannya harus mengon​sumsi makanan sebanyak


14.000 kalori per hari dan harus dipindahkan dari
satu tempat ke tempat lain menggunakan gero​bak
dorong yang didesain khusus; Droopy Dan, badut
yang tak pernah tersenyum; dan masih banyak lagi.
“Lalu?” pancing Sam. “Anda sudah lama mengenal
Kestrel. Lalu?”
“Wah, kurasa tak ada ruginya memberitahumu.
Kestrel dan aku dulu bekerja bersama-sama, dengan
Mr. D,” Lash memulai. Sam kembali bertanya-tanya
apa kiranya aksi Mr. Dumfrey dahulu. Namun,
sekarang bukan waktunya untuk mengorek-ngorek
informasi tersebut. “Aku dan si Kestrel dulu berteman,
bisa dibilang. Berteman baik.”
Sam menahan napas. Cara bicara Lash janggal,
begitu pula mimiknya—bibir terkatup rapat, wajah
pucat, mata menerawang ke kejauhan. Hawa dingin
mendadak men​cengkeram Sam, seakan ada angin
dingin yang bertiup entah dari mana. “Lalu, apa yang
terjadi?” tanyanya.
Lash terkesiap pelan, seolah dia lupa Sam berada di
ruangan. “Kestrel seorang pilot,” kata Lash. “Pilot
akrobat terbaik, dulunya.”
Pantas Kestrel membawa majalah tadi. Dia pasti
rindu terbang. Sam penasaran bagaimana bisa Kestrel
desyrindah.blogspot.com

terdampar di sini, menyapu bungkus permen dan sisa-


sisa berondong, mencabuti permen karet dari bawah
kursi Odditorium. Sambil membisu, dia menanti
kelanjutan cerita Lash.
“Kami dulu ikut sirkus keliling. Rombongan
kebetulan mam​pir satu setengah minggu di selatan
Indianapolis. Salah seorang rekan kerja kami adalah
pemain akrobat peniti tali bernama Claudette.” Suara
Lash tersekat dan dia pun berdeham. “Gadis tercantik
di selatan, timur, ataupun utara Mississippi, berhati
emas. Claudette ingin ikut naik ke pesawat Kestrel.
Menggerecokinya terus, pagi, siang, malam. Akhirnya,
Kestrel mengiakan.” Otot berkedut-kedut di rahang
Lash, seperti denyut jantung miniatur. Keluar masuk.
“Aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Tanggal
21 Mei, hari yang cerah dan langit yang jernih. Pada
hari seperti itu, kita sangka musibah mustahil terjadi.”
Lash lagi-lagi terdiam. Detak jantung Sam
bertambah ce​pat. Sulit baginya untuk terus bersabar.
“Lalu, apa yang terjadi?”
“Dia terbang, tentu saja. Kian lama kian tinggi,
sampai pesawat hanya menyerupai burung putih kecil
di langit.” Suara Lash melirih. “Kemudian, dia mulai
melakukan triknya yang biasa. Kami semua
menonton, asal kau tahu. Pertunjukan gratis. Lagi
desyrindah.blogspot.com

pula, tidak ada anggota sirkus yang tidak suka


menonton Gil Kestrel terbang. Hanya saja ... hanya
saja ….” Suaranya sekali lagi pecah.
“Apa?” tukas Sam.
Wajah Lash pucat pasi, seputih susu asam. “Hanya
saja, sabuk Claudette ternyata kurang kencang,”
katanya. “Ketika Kestrel membalikkan pesawat ….”
Napas Sam tersangkut di belakang amandelnya.
Dia bisa membayangkan adegan itu dengan jelas:
jeritan ngeri yang melengking, sosok gelap kecil
seorang gadis yang jatuh dari angkasa.
Sebelum berbicara lagi, Lash mengambil pelples
perak penyok dari saku depan dan minum banyak-
banyak. Dilap​nya mulut dengan punggung tangan.
“Setelah itu,” katanya, “Kestrel bersumpah tidak akan
terbang lagi selamanya.”
Kini, Sam menyesal telah menghakimi Kestrel. Dia
men​coba membayangkan apa yang akan dia lakukan
jika Max sampai kenapa-kenapa. Namun, memikirkan
itu saja membuat dada Sam serasa sesak. Padahal Max
praktis tidak pernah bicara kepadanya kecuali untuk
membentaknya sewaktu me​rusak barang. “Aku tidak
menyalahkannya,” kata Sam meng​gebu-gebu. “Pasti
menyakitkan sekali, kehilangan pacar.”
Untuk kali pertama sejak memulai ceritanya, Lash
desyrindah.blogspot.com

me​na​tap Sam. Matanya semerah darah, seakan sudah


berhari-hari tidak tidur. “Claudette bukan pacar
Kestrel,” katanya pelan. “Dia pacarku.”[]
9

“ADA YANG BISA MEMBERITAHUKU,” KATA


Thomas sambil menarik-narik kerah baju, “kenapa
pakaian pe​makaman mesti tidak nyaman begini?”
Sehari berselang, para penghuni museum Mr.
Dumfrey berkumpul di pelataran, mengenakan
pakaian Minggu sekalipun saat itu baru hari Selasa,
untuk melepas kepergian kutu-kutu Jenderal Farnum
yang menakjubkan dan tersohor di kancah
internasional.
Sam mengamati orang-orang yang sudah
berkumpul. “Max belum kembali,” bisiknya.
“Ssst,” kata Jenderal Farnum keras-keras untuk
menyuruh mereka diam. Pria itu tampak amat
berwibawa dalam balutan jas militer berkerah tinggi
berkancing kuningan. Dia berdiri di sebelah Smalls—
yang, sama seperti Thomas, mengenakan setelan jas
hitam tidak pas—di depan lubang kecil yang telah
desyrindah.blogspot.com

digali di antara dua ubin batu pelataran belakang


museum, beberapa meter dari tong-tong sampah. Mr.
Dumfrey, berkeringat di bawah terik matahari sore,
sedang sibuk menaburi lubang kecil dengan kelopak
bunga selembut sutra yang diambil dari buket properti
Goldini.
“Dia tidak sedang kesulitan, ‘kan? Menurutmu
bagaima​na?” Sam memelankan suaranya.
Thomas menggeleng. “Max bisa menjaga diri.”
“Kubilang diam,” kata Jenderal Farnum ketus.
Namun, Sam merasa bisa mendengar suara sang
Jenderal bergetar.
Pada saat itu, pintu dapur menjeblak terbuka dan
ke​luarlah Max ke pelataran. Dia meninggalkan
museum segera setelah sarapan untuk mencari
informasi dari sejumlah besar kenalannya, anak-anak
jalanan dan tukang antar, kalau-kalau salah seorang
dari mereka mengenal pria yang menyampaikan pesan
Rattigan kepada Max dan kawan-kawan.
Namun, begitu Sam melihat wajah Max, tahulah
dia bahwa gadis itu telah gagal.
“Tidak beruntung?” bisik Sam begitu Max
memosisikan diri di antaranya dan Thomas. Max
menggeleng.
“Baiklah.” Mr. Dumfrey menegakkan diri sambil
desyrindah.blogspot.com

menge​lap wajah dengan saputangan. “Kita siap


memulai.” Dia me​ngeraskan suara. “Keluarkan para
almarhum.”
Tidak ada yang terjadi. Miss Fitch—yang tidak
repot-repot berganti pakaian sebab dia hampir selalu
berbusana seperti hendak ke pemakaman—memutar-
mutar bola mata ke angkasa. Goldini, sambil
menggeser kakinya yang beralaskan sepatu kulit,
menjulurkan kepala ke arah Mr. Dumfrey dan
membisikkan sesuatu yang tidak terdengar oleh Sam.
“Keluarkan para almarhum,” kata Mr. Dumfrey,
sedikit lebih nyaring.
Di belakang Sam, pintu dapur terbuka secelah.
Lash menyembulkan kepala. “Apa pula yang kalian
omongkan? Almarhum apa?”
“Bangkai,” bisik Sam. Jenderal Farnum, sekalipun
ber​usaha maksimal untuk menyembunyikan perasaan,
kelihatan pilu. Kumis pria itu malah lebih loyo
daripada biasanya. “Keluarkan bangkai.”
“Beres.” Lash menghilang lagi.
Terdengar gesekan lirih dari balik pintu, diikuti
tiupan bagpipe beberapa kali untuk percobaan. Pintu
mendadak terbuka diiringi alunan musik, yang
mengeras menjadi mars syahdu bertempo cepat.
Danny keluar paling dulu, wajahnya merah, pipinya
desyrindah.blogspot.com

menggembung di seputar bagpipe, untuk se​mentara


menepiskan ketidaksukaannya yang teramat sangat
terhadap Jenderal Farnum demi memainkan alat
musik kesukaannya—sekalipun Sam mau tak mau
merasa bahwa lagu pilihannya, When Irish Eyes Are
Smiling, tidak cocok untuk acara ini.
Caroline dan Quinn muncul setelah itu, keluar
dengan kepala tertunduk, kelihatan menawan dalam
balutan gaun hitam identik, kulit mereka nyaris
translusens di bawah sorot mentari, rambut mereka
yang putih panjang dianyam dengan bunga-bunga,
dan mereka sesekali saling sikut.
Lash keluar terakhir. Dia mengenakan pakaiannya
sehari-hari berupa jins belel dan kemeja kotak-kotak,
minus topi koboi demi menghormati suasana
berkabung, tetapi dilengkapi jas teramat tidak pas
yang berbantalan pundak berjumbai-jumbai dan
bertambalan siku, kelihatannya pinjaman dari bagian
kostum. Telapak tangannya yang menengadah
memegangi kotak korek kecil, tempat Farnum
menyemayamkan jasad semua kutunya yang
tersayang.
Mereka mengitari liang lahat mungil dan, dalam
waktu singkat, menyesakkan pelataran. Sam terpaksa
mundur untuk mengakomodasi kelompok tersebut
desyrindah.blogspot.com

dan tanpa sengaja meng​injak onggokan sampah


benyek bau yang entah bagaimana tumpah dari tong
—bahan yang, berdasarkan tampilannya, mungkin
adalah kaus kaki membusuk atau sisa-sisa masakan
Goldini semalam. Di jalanan atas, pasangan yang
sedang melintas sambil bergandengan berhenti untuk
menonton, mulut mereka menganga.
Danny menyelesaikan lagu, memanjangkan not
terakhir sehingga bergetar merdu di udara. Dalam
keheningan yang menyusul, Caroline terisak-isak
dramatis dan menyentuh wa​jahnya dengan
saputangan. Quinn memutar-mutar bola mata.
Smalls berdeham. “Kawan-Kawan Terkasih,” dia
memu​lai. “Hari ini kita berkumpul untuk memberikan
penghor​matan kepada kutu-kutu menakjubkan, tiada
tanding, luar biasa, yang merupakan anggota Sirkus
Kutu Tersohor Sedunia Jenderal Farnum. Mereka
adalah teman kita—”
“Mereka itu kutu,” gerutu Quinn. Jenderal Farnum
me​melototinya.
“—dan, sekalipun tragis bahwa mereka hidup
kelewat singkat, kita niscaya akan lama mengenang
mereka. Memin​jam kata-kata seorang penyair, ‘Maut
sekalipun tidak bangga karena sudah membunuh
kutu-kutu ini—’”
desyrindah.blogspot.com

“Ya, ya,” kata Mr. Dumfrey buru-buru, sebelum


Smalls telanjur mencerocos. “Sangat bagus. Sangat
mengharukan. Lash, tolong.”
Lash melangkah maju sambil membawa kotak
korek api, air mukanya ditata sedemikian rupa
sehingga tampak amat khidmat. Sam mau tak mau
melirik Kestrel, yang berdiri sejauh mungkin dari
kerumunan, lengannya bersedekap, topi ditarik rendah
sekali sehingga wajahnya berselimut bayang-bayang.
Bagaimana rasanya, Sam bertanya-tanya, andaikan
kita bertanggung jawab atas tewasnya orang lain,
bahkan—atau terutama—ketika kita tidak sengaja?
Bagaimana bisa orang-orang seperti Profesor Rattigan
tidur nyenyak, makan enak, bercukur, berjalan-jalan
sambil menikmati sinar matahari di wajah mereka,
menggoyang-goyangkan jari kaki di pagi hari, dan
menonton bisbol, padahal mereka sadar telah
menyebabkan sekian banyak kepedihan dan
penderitaan? Kenangan terawal Sam adalah mengenai
ibu dan ayahnya, tergeletak dengan mata melek yang
menatap kosong, saling rangkul seakan mati dalam
pelukan satu sama lain. Rattigan yakin memiliki
alasan masuk akal untuk membunuh mereka,
sebagaimana dia yakin bisa menyudahi perang dengan
cara menciptakan pasukan paling perkasa di dunia.
desyrindah.blogspot.com

Semua orang yang dia bunuh dan kejahatan yang dia


perbuat adalah, katanya, demi kebaikan bersama.
Walaupun hawa September relatif hangat dan Sam
me​ngenakan setelan jas pesulap yang sudah tua atas
titah Miss Fitch, dia ternyata menggigil.
Mungkinkah kelak Sam harus membunuh Rattigan
un​tuk menghentikannya? Akankah Sam menjadi
pembunuh juga?
Itulah hal sulit tentang tindak kekerasan. Terlepas
dari keyakinan Rattigan, kekerasan tidak bisa
dimusnahkan begi​tu saja. Kekerasan tak ubahnya
bakteri. Kekerasan justru melahirkan kekerasan baru
dan begitu seterusnya, seperti penyakit menular.
Lash berlutut sambil berjengit sedikit, lalu
meletakkan kotak korek api kecil ke dalam liang
lahat. Caroline terisak-isak. Pasangan di jalan atas
sudah beranjak dan sekejap, Sam merasa seolah
tengah berdiri di dalam bohlam, tercakup dalam
wadah kaca rapuh yang bercahaya, beserta semua
orang yang dia sayangi, di rumah satu-satunya yang
pernah dia ketahui.
“Selamat tinggal, Prajurit-Prajurit Baik,” kata
Jenderal Farnum dengan suara parau penuh perasaan.
“Kalian berani. Kalian terhormat. Kalian—”
“Mereka di sana.”
desyrindah.blogspot.com

Suara dari jalanan membuat semua orang menoleh.


Da​lam sekejap, pecahlah ketenangan dan kedamaian
yang Sam rasakan. Max mengeluarkan suara yang
hanya bisa di​definisikan sebagai geraman.
Aparat kepolisian Schroeder dan Gilhooley berdiri
di ja​lan, di atas pelataran melesak. Sersan Schroeder,
yang meng​gembung dalam balutan seragam seperti
kalkun yang dijejalkan paksa ke dalam kaus kaki,
menatap mereka dengan ekspresi pongah, seakan
menangkap basah mereka di tengah aksi kriminal.
Opsir Gilhooley, seperti biasa, kelihatannya bisa saja
diterbangkan oleh angin kencang yang datang tiba-
tiba—malahan, itu pulalah yang sepertinya dia
harapkan.
“Ah, teman-teman lama kita,” kata Mr. Dumfrey,
mem​bubuhkan sarkasme kental ke dalam setiap kata.
“Sungguh kami merasa terhormat. Apa yang
membawa Anda ke mari?”
“Simpan saja basa-basimu, Dumfrey,” kata
Schroeder. Dia menuruni tangga sambil tersengal-
sengal, menodongkan lencana seperti jimat penolak
bala. “Minggir, tolong minggir. Adakah yang bernama
Archibald Farnum di sini?”
“Aku Jenderal Farnum,” kata Jenderal Farnum
sambil menegakkan diri. “Ada apa ini?”
desyrindah.blogspot.com

Schroeder meringis, menunjukkan gigi-giginya. Dia


seper​tinya bermaksud tersenyum—senyum seram hiu
tepat sebe​lum menyantap mangsanya. “Tolong
balikkan badan. Tangan ke belakang.”
Kegemparan sontak menyusul. Semua orang mulai
ber​teriak.
“Apa maksudnya ini?” Jenderal Farnum
membentak se​mentara Schroeder menggetok tongkat
sehingga terlepas dari tangannya dan memutar badan.
Dengan satu gerakan luwes, polisi itu mencopot
borgol dari sabuknya. “Kau tidak mungkin serius.”
“Lepaskan dia!” teriak Max.
“Dia tidak melakukan apa-apa!” seru Pippa.
Schroeder mengabaikan mereka. Dia kentara sekali
me​nikmati kesempatan ini. “Archibald Farnum,”
Schroeder meng​umumkan, berbicara keras-keras
untuk melampaui keributan. “Kau ditahan,” semua
terkesiap serempak dan, selama sedetik, suasana
menjadi sangat sepi dan sunyi, “atas pembunuhan
Ernie Erskine.”[]
desyrindah.blogspot.com
10

TERIAKAN DAN PROTES KEMBALI MELEDAK.


Tidak menghiraukan keriuhan, Schroeder terus bicara:
“Kau berhak untuk diam—”
“Berhak untuk diam!” hardik Jenderal Farnum.
“Aku tidak sudi diam saja, Nak. Kau berbicara
kepada veteran perang penerima bintang jasa, tahu!
Keterlaluan!”
“Salah,” kata Betty lembut. “Ini pasti cuma salah
paham.”
Schroeder melanjutkan, tidak gentar: “Apa saja
yang kau katakan bisa digunakan sebagai bukti yang
memberatkanmu di persidangan. Kau berhak
mendapatkan pengacara. Andaikan kau tidak mampu
membayar pengacara—”
Mendengar uang disebut-sebut, sekalipun secara
tidak lang​sung, Cabillaud memucat dan membuat
tanda salib.
desyrindah.blogspot.com

“—pihak berwenang bisa dan akan menyediakan


pengacara untukmu.”
Thomas memperhatikan peristiwa di hadapannya,
kian lama kian mual. Perasaannya saat ini mirip
dengan yang kadang-kadang menghinggapinya ketika
mengitari belokan di kota dan mendadak bisa
memperkirakan, secara ajaib, apa yang akan dia lihat,
seolah sudah pernah mengalami kejadian tersebut:
wanita bermantel merah menuntun anjing berkaki
tiga, pengemis buta dengan kaleng di tangan dan
papan kardus terkalung di dada. Déjà vu—itu
istilahnya.
Namun, déjà vu ini kelewat nyata. Dia seketika
kembali ke musim semi lalu, ketika Gilhooley dan
Schroeder menyerbu masuk ke museum sambil
membawa borgol dan tuduhan. Saat itu, yang ditahan
sebagai tersangka pembunuhan adalah Mr. Dumfrey.
Tahulah Thomas bahwa kesulitan mereka tidak
akan kun​​jung usai. Mereka akan selalu diintimidasi,
dituduh, diperlakukan sewenang-wenang. Polisi akan
mencari-cari alasan untuk menyulitkan mereka,
Hardaway dan pasukan zombinya yang tak berotak,
khususnya. Hardaway berang karena mereka berbeda
dan ingin memberi mereka ganjaran.
“Bapak-Bapak,” Mr. Dumfrey angkat bicara.
desyrindah.blogspot.com

“Mohon jangan buru-buru mengambil kesimpulan.


Jenderal Farnum adalah warga negara yang terhormat.
Dia juga sempat meng​abdi dengan gagah berani dalam
Perang Spanyol-Amerika, seperti yang tadi sudah dia
ungkapkan.”
“Lihat saja laki-laki ini,” kata Danny. Ketika
sedang marah, logat Irlandia-nya bertambah kental.
“Dia sudah uzur! Dia lebih lumutan daripada pohon
tua dan malah lebih tidak berguna. Untuk menyalakan
dan mematikan teko pada pagi hari saja dia
menghabiskan waktu dua puluh menit, kalau kalian
paham maksudku. Dia tidak mungkin membunuh
si​apa-siapa.”
“Terima kasih, Daniel,” kata Jenderal Farnum
kaku.
“Percobaan yang bagus,” Schroeder praktis
menggeram. Matanya berkilat-kilat. Sudah berbulan-
bulan dia berusaha menyematkan reputasi negatif ke
museum. Kejadian ini jelas-jelas merupakan
kesempatan besar baginya. “Tapi, kami men​dapatkan
laporan saksi mata yang mengatakan bahwa si aneh
ini,” dia mendorong Jenderal Farnum dengan kasar ke
arah tangga, “adalah orang terakhir yang masuk ke
tempat usaha Erskine.”
“Saksi mata?” Mr. Dumfrey tertawa sinis.
desyrindah.blogspot.com

“Bedebah! Pem​bohong! Tukang fitnah kacangan


penipu! Kalian seharusnya menangkap orang yang
konon adalah saksi mata itu, bukan mengganggu
pemakaman kutu—”
Gilhooley mengorek telinganya yang panjang kurus
dengan jari panjang kurus dan angkat bicara untuk
kali pertama. “Bisa bicara lebih keras, Sir? Saya—
sepertinya saya mendengar Anda mengatakan
pemakaman kutu.”
Mr. Dumfrey, yang pantang menampik peluang
untuk menyam​paikan monolog, terus mencerocos, “—
dan main dob​rak untuk mengintimidasi orang tak
bersalah—”
“Tunggu,” ujar Jenderal Farnum, alhasil Mr.
Dumfrey langsung bungkam, lebih karena nada bicara
alih-alih ucap​annya. Bukannya histeris, Jenderal
Farnum kelihatan te​nang sekali. Namun, justru itu
yang seram: dia bersikap tak ubahnya seorang pria
yang, setelah bermobil ke bibir te​bing, menjadi santai
saat terjun menyongsong jurang berbatu. “Tunggu,”
ulangnya. Schroeder malah memegangi Farnum sedikit
lebih longgar sehingga sang pria tua setidak-tidaknya
bisa menegakkan diri, sekalipun dia berjengit seolah
kesakitan karena diborgol. “Saksi mata kalian tidak
bohong. Aku me​mang menemui Erskine si penjahat.
desyrindah.blogspot.com

Aku naik pitam.”


“Cukup, Farnum,” geram Danny. “Tutup mulutmu
kalau kau tahu mana yang baik untukmu.”
“Benar.” Kestrel angkat bicara untuk kali pertama.
Dia masih bersedekap. Dia menyandar ke pintu dapur,
matanya tersembunyi di bawah topi. “Orang-orang
tolol ini tidak punya bukti yang bisa
memberatkanmu.”
Pada saat bersamaan, Lash berkata, “Orang-orang
ber​otak udang ini cuma asal tangkap.” Sekejap, kedua
pria tersebut saling pandang, seakan mengakui
kemiripan cara berpikir mereka. Kemudian, mereka
berdua berpaling.
“Tidak ada yang perlu kusembunyikan,” Jenderal
Farnum bersikeras. Dia menyampaikan kata-kata ke
balik bahu, ke arah Schroeder yang masih merengut.
“Aku memang ke sana untuk menemui Erskine,
seperti kataku. Aku marah bukan kepalang. Tapi,”
suara-suara kembali meninggi dari segala arah, “aku
tidak pernah berniat untuk menyakitinya. Aku cuma
ingin bicara sepatah dua patah kata mengenai kutu-
kutuku.”
Gilhooley mengorek-ngorek kuping lebih keras.
“Maaf,” katanya, menanggapi pelototan Schroeder.
“Saya lagi-lagi me​rasa mendengar kata kutu.”
desyrindah.blogspot.com

“Ada kutu dan ada juga kutu, Sersan,” lanjut


Jenderal Farnum. “Dan kutu-kutuku istimewa. Aku
ingin Erskine mengakui perbuatannya—penyergapan
pengecut pada saat anak buahku sedang lengah
sehingga mereka salah perhitungan dan salah
langkah.”
Lama suasana menjadi hening. Schroeder menatap
Farnum. Akhirnya, Betty berdeham.
“Erskine meracuni semua kutu Jenderal Farnum,”
Betty menjelaskan.
“Aha!” seru Schroeder. “Aku tahu. Sebuah motif!”
Di​cengkeramnya pergelangan tangan Farnum.
“Tidak!” protes Jenderal Farnum sementara
Schroeder mendorongnya naik ke tangga dan terus ke
jalan. “Sumpah demi peruntunganku, aku tidak
pernah menjamahnya! Dia masih bernapas sewaktu
aku meninggalkan gedung kantornya!”
“Simpan saja kata-katamu untuk hakim, Farnum,”
ujar Schroeder sementara mereka menghilang dari
pandangan.
Gilhooley ragu-ragu sesaat. Polisi itu kemudian
mencopot topi dan menekankannya ke dada.
Rambutnya, Thomas mem​perhatikan, juga panjang
dan lepek, seperti mi yang menempel ke keningnya.
“Saya, anu, turut berduka cita atas kehilangan
desyrindah.blogspot.com

yang Anda alami,” dia berkata kemudian, setelah


mengenakan topinya kembali, bergegas-gegas
mengejar koleganya.
Lama para penghuni museum membisu.
“Wah.” Miss Fitch bicara duluan. Ketidaksenangan
me​warnai mimiknya lebih daripada biasa, padahal
ekspresi normalnya saja sudah kecut—dia malah
pernah menjadi model ilustrasi kamus untuk kata
gondok. “Sial sekali.”
“Aku tahu kutu-kutu itu tidak mungkin membawa
untung,” kata Danny sambil mengelus-elus dagunya
yang mulus. “Tapi, adakah yang menghiraukan kata-
kataku?”
“Dia tidak akan masuk penjara, ‘kan?” Goldini
bertanya dengan suara berbisik. Goldini sangat takut
pada ruang tertutup sejak dia tak sengaja mengunci
diri di dalam peti properti sulap selama tiga hari
penuh. Mereka akhirnya mendatangi Goldini karena
mendengar gedoran menjadi-jadi dan mendapati
bahwa dia telah memakan selembar saputangan untuk
bertahan hidup. “Mereka tidak akan—mengurungnya
di dalam sel?”
“Nah, jangan panik dulu,” kata Lash tegas. “Dia
pasti akan dibebaskan sebentar lagi, lihat saja.”
“Masa?” Betty menggeleng-geleng. Rambut
desyrindah.blogspot.com

cokelatnya yang kemerahan berkilauan seperti halo di


bawah pancaran sinar matahari tenggelam. “Kalian
dengar kata Sersan Schroeder. Jenderal Farnum punya
motif sekaligus kesempatan.”
“Betty benar,” celetuk Kestrel, yang angkat bicara
dari posisinya di dekat pintu. “Lagi pula, dari mana
kita tahu bahwa bukan dia yang membunuh si
korban?”
“Nah, tunggu dulu.” Lash menunjuk Kestrel.
Wajahnya serta-merta menjadi kelam karena berang.
“Jenderal Farnum adakalanya menjengkelkan, tapi dia
bukan pembunuh. Berbeda dengan sejumlah orang
yang kukenal.”
Meskipun matahari masih bersinar, awan besar
seakan-akan telah menutupi angkasa. Thomas
menduga guntur bisa saja menggemuruh di atas kepala
mereka dan hujan bisa saja turun tiba-tiba dari langit
biru.
Kendati Kestrel dan Lash akhirnya berhenti adu
pelotot, sensasi dingin yang tidak enak masih
menyelimuti Thomas. “Tidak penting pelakunya
Jenderal Farnum atau bukan,” ujarnya. “Polisi akan
berbuat apa saja untuk menjadikannya tersangka.”
“Cukup.” Mr. Dumfrey mengangkat tangannya
yang mon​tok. “Cukup,” dia mengulangi, menatap
desyrindah.blogspot.com

Thomas dengan galak ketika anak itu mulai


memprotes. “Pertahanan terbaik adalah menyerang,
kalau kata orang. Akan kutelepon pengacaraku, Bill
Barrister, dan menyuruhnya bergegas ke kantor polisi
—”
“Menurutku, dia tidak akan bisa banyak
membantu,” kata Miss Fitch. “Mr. Barrister
meninggal Januari lalu.”
“Meninggal,” ulang Mr. Dumfrey sambil
mengelus-elus dagu. “Pantas dia tidak kunjung
membalas kartu Natal-ku. Apakah sudah terlambat
untuk mengirimkan bunga? Menurutmu bagaimana?”
Miss Fitch memiringkan kepala seolah hendak
menya​takan, Ya, sudah sangat terlambat.
Mr. Dumfrey mengembuskan napas keras-keras.
“Sudah​lah, tidak penting.” Dia menegakkan bahu.
“Kita tinggal mencari pengacara baru saja.”
“Dan membayarnya dengan apa?” Monsieur
Cabillaud mendengus. “Kita bahkan kezulitan
membayar liztrik!”
“Aku kenal pengacara,” kata Betty. “Dia sangat
piawai. Ingat kasus Romberger? Tukang jagal Jerman,
yang dituduh menggebuki saudara iparnya sampai
mati dengan palu pelu​nak daging? Semua orang yakin
dia bersalah sampai wanita itu membuktikan bahwa
desyrindah.blogspot.com

pelaku adalah istri korban, yang memukulinya


menggunakan kaki domba beku.”
“Wanita itu?” Wajah Mr. Dumfrey menjadi
mendung. “Tunggu sebentar. Maksudmu bukan—”
“ROSIE BICKERS!” Quinn dan Caroline berujar
ber​barengan. “Dia sempurna,” imbuh Quinn.
“Dia brilian,” Caroline menukas.
“Dia pati mengiakan,” kata Betty lembut.
“Tidak boleh,” kata Mr. Dumfrey tegas. “Aku
pantang mendatangi wanita menyebalkan itu. Apakah
kalian tahu dia pernah menyodoriku surat perintah
penahanan? Andrea von Stikk coba-coba
menghadapkanku ke pengadilan karena melanggar
aturan departemen kesehatan!”
“Oh, benar juga,” kata Pippa sambil merengut.
“Insiden Ayam Berkaki Tiga.”
“Tidak ada yang salah pada semur itu,” kata Mr.
Dumfrey kesal. “Kalian masih hidup, ‘kan?”
“Ayolah, Mr. Dumfrey,” kata Pippa. “Kasihani
Jenderal Farnum.”
Mr. Dumfrey malah cemberut.
“Kasihani kutu-kutu,” imbuh Sam.
Mr. Dumfrey semakin cemberut.
“Museum akan mendapat publisitas gratis,” Betty
me​nyoroti. “Semua orang menggandrungi berita
desyrindah.blogspot.com

tentang Rosie.”
Kata-kata publisitas gratis berdampak pada Mr.
Dumfrey seperti kabel yang menyetrum baterai mati.
Posturnya seketika berubah. Bahunya menjadi tegak.
Dia membetulkan dasi kupu-kupunya yang mulai
miring ke kiri. Mr. Dumfrey berdeham.
“Wah,” katanya dengan sangat berwibawa,
“kurasa demi teman kita Jenderal Farnum, yang lalu-
lalu mesti aku ikhlaskan. Beres, kalau begitu. Besok,
akan kuhubungi Rosie Bickers sesegera mungkin!”[]
desyrindah.blogspot.com
11

DARI MUSEUM, KANTOR ROSIE BICKERS


terletak nyaris di seberang kota, di kawasan sibuk
Lexington Avenue, di sebelah utara Chrysler Building.
Max bersyukur Mr. Dumfrey mengiakan permintaan
Pippa, Max, Thomas, dan Sam, yang buru-buru
mengajukan diri untuk ikut dengannya.
Mereka menyeberangi Times Square, yang sudah
dibanjiri wisatawan sekalipun masih pagi sekali.
Baliho-baliho maha​besar yang menggembar-
gemborkan Drama Musikal Terbaik Broadway! dan
Bintang-Bintang Amerika yang Paling Gemilang!
menjulang di atas, menghalangi matahari dan
memancarkan bayang-bayang ke jalan, sampai-sampai
Max merasa bak kayu apung yang dihanyutkan aliran
sungai di dasar ngarai, hanya saja dirinya terbawa
arus massa alih-alih arus air. Dia nyaman-nyaman saja
di jalanan ramai, senang karena bisa mengamati tanpa
desyrindah.blogspot.com

diamati, aktivitas yang sempat dia pelajari selama


hidup bertahun-tahun di jalanan.
Sesekali, Max melihat sesuatu yang
mengempaskannya kembali ke masa-masa itu: pojok
tak asing tempatnya pernah mencomot jeruk dari
penjual buah; polisi patroli yang pernah mengusirnya
dari undakan gereja; bioskop megah tempatnya
sesekali masuk diam-diam untuk ikut menyaksikan
film secara cuma-cuma dan mengambili berondong
dari penonton di sebelahnya.
Max kadang-kadang merindukan kebebasan yang
dia miliki ketika dia tidak punya siapa-siapa—bukan
siapa-siapa. Namun, kehidupan di jalanan lebih sering
terkesan jauh, seolah yang mengalaminya adalah
orang lain. Mr. Dumfrey, museum, Thomas dan Sam
dan bahkan Pippa—dia kini adalah bagian dari
mereka dan mereka adalah bagian dari dirinya,
sedangkan Max sendiri tidak ingin situasi itu berubah.
“Kita harus tegas di hadapan Rosie,” kata Mr.
Dumfrey selagi mereka mendekati Fifth Avenue.
“Reputasinya sebagai pembela pidana kriminal terbaik
di belahan Atlantik sini tidak tertandingi. Apa kalian
ingat Kasus Makerel Bacin? Tidak? Hmm. Benar juga,
kalian kemudaan.” Mr. Dumfrey mendesah. “Aku
dulu penggemar Rosie, salah satu pengagum
desyrindah.blogspot.com

pertamanya—sampai dia bersekutu dengan Andrea


von Stikk dan coba-coba memperkarakanku. Ah, ini
dia, 551 Lexington Avenue.”
Max kontan kecewa. Dia membayangkan
pengacara pi​dana kriminal terbaik di New York City
memiliki kantor yang mencerminkan reputasinya, di
gedung pencakar langit cemer​lang berlantai marmer
yang pintunya dikawal penjaga.
Bangunan itu adalah gedung kusam berlantai lima
dengan eksterior bernoda jelaga. Lobi berukuran
sempit, remang-remang, dan berbau apak, sedangkan
tangganya dialasi karpet jorok. Di puncak tangga
tersebut, terdapat pintu berpanel kaca bertuliskan
Bickers, Advokat. Max memicingkan mata ke kata-
kata yang tertera di bawah nama perusahaan, mengeja
perlahan-lahan.
Penyelidikan Kriminal, Sengketa Rumah Tangga,
dan Keamanan Personal.
Kemudian:
Menerima Kasus Nihil Harapan.
Dan, akhirnya:
Pengemis, Orang Sok, dan Orang Bodoh Dilarang
Masuk.
Max merasa dia mungkin akan menyukai Rosie
Bickers.
desyrindah.blogspot.com

“Ingat yang kukatakan tentang Rosie,” bisik Mr.


Dumfrey sambil mengetuk hidungnya. “Waspadalah
selalu.”
Namun, sebelum Mr. Dumfrey sempat mengetuk,
pintu keburu terbuka dan seorang pria menerjang ke
luar, memaksa Mr. Dumfrey untuk mundur cepat-
cepat. Wajah pria itu sangat merah dan jasnya
terbalik, seolah dia terpaksa mengenakannya secara
terburu-buru. Selagi pria itu menuruni tangga, suara
marah perempuan terhanyut ke koridor.
“… Dan untuk kali terakhir, kalau aku melihatmu
di kantor ini lagi, akan kucabut amandelmu dari
lubang hidung! Akan kupotong lidahmu dengan
gunting taman! Akan kupakai bola matamu sebagai
anting-anting! Akan ku—”
Pintu berayun hingga tertutup, menenggelamkan
kelan​jutan kata-kata itu. Namun, pintu kemudian
terbuka kembali ser​ta-merta, menampakkan seorang
wanita pendek gemuk ber​kulit kasar, berambut gelap,
dan bersetelan jas ungu yang menjadikannya mirip
sekali dengan terung murka. Mo​nolognya terhenti
tiba-tiba saat dia melihat Mr. Dumfrey berdiri di
bordes.
Tindak tanduknya sontak berubah. Wanita itu
tersenyum lebar kepada Mr. Dumfrey, melangkah
desyrindah.blogspot.com

maju, dan mulai men​jabat tangannya kuat-kuat.


“Ah, sungguh suatu kejutan. Mr. Dumfrey yang
hebat,” kata wanita itu. Logatnya tanpa disangka-
sangka mengingatkan Max kepada pelaut yang
menurunkan kargo di Fulton Fish Market. “Rupanya
Anda mengajak serta anak-anak ajaib juga.” Matanya
menelaah rombongan kecil mereka dengan penuh
perhitungan. “Ayo masuk, masuk. Maaf mengenai
sambutan tadi. Saya barusan mengobrol ramah
dengan orang pajak. Firasat saya mengatakan dia
tidak akan mengganggu saya lagi tahun ini.” Dia
tertawa serak.
“Miss Bickers,” kata Mr. Dumfrey sopan
sementara wanita itu membimbing mereka ke dalam
kantornya—yang, sekalipun sangat besar, ternyata
sekusam lobi dan penuh sesak dengan tumpukan
kertas dan arsip yang meluber ke mana-mana. Di satu
sudut, seorang sekretaris berwajah sewarna pel kotor
dengan rambut pirang yang disanggul ke tengkuk
sedang berupaya maksimal untuk menghilangkan diri
ke dalam mesin tik. “Anda kelihatannya baik-baik
saja.”
“Tidak usah basa-basi, Mr. D. Atau Anda lupa
saya bisa mengendus kebohongan seperti anjing
pemburu unggas?” Rosie mesti berkelit ke sela-sela
desyrindah.blogspot.com

sejumlah lemari arsip dan beragam barang janggal—


sepasang kruk, keranjang bayi model kuno, wadah
payung berbentuk kaki gajah, koper yang ditempeli
stiker-stiker Air Terjun Niagara—sekadar untuk
mencapai me​janya. Namun, dia tidak duduk. Dia
menjulurkan badan saja ke balik meja sambil
menghadap mereka.
desyrindah.blogspot.com

“Jadi,” katanya dengan mata berkilat-kilat. “Apa


yang bisa saya bantu?”
Mr. Dumfrey tidak membuang-buang waktu.
“Anda ba​rangkali sudah membaca tentang
pembunuhan Ernie Erskine yang malang di koran pagi
ini?”
“Hmm. Apakah dia yang ditemukan setengah
tenggelam di Sungai East, atau jasad yang dibuang ke
pengaduk semen? Bukan—maafkan saya. Dia si
pembasmi hama. Dicekik di kantornya.”
“Betul,” kata Mr. Dumfrey. “Sayangnya, yang
dituduh men​cekik adalah rekan kami, Jenderal
Farnum.”
Rosie bersiul dan duduk di kursinya. “Sudahkah
dia di​ta​han?” Mr. Dumfrey mengangguk. “Adakah
bukti yang mem​beratkannya?”
Kali ini, Mr. Dumfrey ragu-ragu. “Saksi mata,” dia
ak​hirnya berkata. “Jenderal Farnum mendatangi Mr.
Erskine dan dia rupanya orang terakhir yang melihat
pria itu hidup-hidup.”
“Mengecualikan si pembunuh,” tukas Max.
Rosie memandangnya sambil mengangkat alis,
seolah terkejut Max bisa bicara.
“Mengecualikan si pembunuh,” Mr. Dumfrey
desyrindah.blogspot.com

sepakat.
Rosie kembali bersiul.
“Tapi,” Mr. Dumfrey buru-buru menambahkan,
“Jenderal Farnum tidak mungkin membunuhnya.
Kehormatan dan ke​kesatriaan. Dia hidup demi itu.”
“Dan kutu,” gumam Thomas.
“Hmm.” Rosie merentangkan jemari tangannya
lebar-lebar. “Apa lagi?”
Mr. Dumfrey terkesiap. “Apa maksud Anda?”
Rosie mencondongkan tubuh. “Mari kita buka-
bukaan kepada satu sama lain, Mr. Dumfrey,”
katanya. “Saya tidak dungu seperti pengunjung
museum Anda, yang melongo dan tercengang gara-
gara putri duyung palsu atau foto hasil utak-atik atau
jembalang kebun Inggris.”
“Semua spesimen alami saya seratus persen asli,”
kata Mr. Dumfrey kaku.
Rosie mengangkat alis tapi tidak mendebatnya.
“Inti dari perkataan saya adalah,” katanya, “kita
sama-sama tahu Anda ke sini karena satu alasan.
Cuma satu, titik. Saya menerima kasus yang berat-
berat. Yang nihil harapan, sebagaimana yang tertera
di pintu.” Dia menyandar ke kursi. “Jadi, apa lagi?
Polisi pasti mempunyai amunisi lebih daripada yang
Anda sampai​kan barusan.”
desyrindah.blogspot.com

Mr. Dumfrey berdeham dan menarik-narik dasi


kupu-kupunya. “Jenderal Farnum dan almarhum
sempat berselisih siang itu, pada hari kejadian.
Pertengkaran mereka disaksikan oleh sejumlah besar
orang.” Mr. Dumfrey tampak sangat jengah. Max
tidak menyalahkannya. Mendengar bukti
memberatkan keras-keras menjadikan posisi Jenderal
Farnum terkesan lebih jelek. “Jenderal Farnum sedang
sangat terpukul. Dia pergi sambil bersungut-sungut,
bersumpah akan balas dendam.”
Kali ini, Rosie tidak bersiul. Dia duduk membisu
dengan murung, sambil memutar-mutar pena di
mejanya. Akhirnya, wanita itu bangkit. “Akan saya
tangani kasus itu,” katanya. Mr. Dumfrey hendak
berterima kasih, tetapi Rosie cepat-cepat memotong
ucapannya. “Tapi, saya peringatkan Anda bahwa saya
bukan dukun sakti. Saya tidak bisa mewujudkan
keajaiban. Kebenaran ya kebenaran. Bukan salah saya
kalau Anda tidak menyukainya. Tapi, saya akan
mengorek-ngorek, mencari tahu di sana sini.”
“Kami bisa membantu Anda,” kata Max. “Kami
bisa mengintai atas permintaan Anda.”
Rosie memandanginya sambil cengar-cengir.
“Terima kasih atas tawaranmu, Manis,” katanya.
“Tapi, itu bisa kuurus.”
desyrindah.blogspot.com

Max merasakan wajahnya memanas dan


memutuskan bahwa dirinya ternyata tidak menyukai
Rosie.
Rosie berdiri, memberi isyarat bahwa pertemuan
sudah usai. “Anda bisa keluar sendiri, ‘kan? Jalan
hati-hati—minggu kemarin ada klien yang tersandung
kotak dan jatuh ke tangga dengan kepala lebih dulu.
Kami menuntut pembuat kotak. Berbahaya, kalau
menurut saya.” Dia kembali menyeringai lebar dan
mulai menjabat tangan Mr. Dumfrey sekaligus
menuntun pria itu ke arah pintu.
“Kita belum—anu—membahas masalah
pembayaran,” kata Mr. Dumfrey. “Pada saat ini, saya
khawatir museum sedang terpepet.”
Rosie melambaikan tangan. “Anggap saja utang
budi. Itu​lah yang sekurang-kurangnya bisa saya
lakukan untuk teman lama, ya ‘kan?” Dia menepuk
punggung Mr. Dumfrey keras sekali sampai-sampai
pria itu terhuyung. “Lagi pula, kasus semacam ini
menyulut publisitas yang tidak bisa Anda beli dengan
harga berapa pun. Tidak, tidak. Anda tidak perlu
memikirkan pembayaran. Gratis.”
“Wanita luar biasa,” kata Mr. Dumfrey sambil
berkedip-kedip untuk menghalau sinar matahari,
begitu mereka kembali ke jalan.
desyrindah.blogspot.com

Max semata-mata berkomentar, “Huh.”[]


12

SAAT KEMBALI KE MUSEUM, MEREKA


mendapati jalanan lebih ramai daripada biasanya. Dua
van besar pengangkut barang, yang terparkir di blok
tersebut, meng​halangi arus lalu lintas. Para sopir truk
dan taksi serta penge​mudi yang marah membunyikan
klakson dan meneriakkan umpatan dari jendela
kendaraan masing-masing, semen​tara pria-pria
berseragam overall biru menurunkan boks demi boks
dari van, mengabaikan kegaduhan memekakkan.
“Sepertinya ada yang mengambil alih Balai Tari
Cupid,” kata Thomas.
“Mungkin restoran yang layak,” kata Mr. Dumfrey
penuh harap. “Kita butuh restoran seperti itu di
sekitar sini.”
Semakin dekat dengan bangunan nomor 344,
mereka me​nyadari keberadaan seorang perempuan
yang berdiri di jalan masuk museum. Perempuan itu
desyrindah.blogspot.com

mengeluarkan kertas dari saku, memicingkan mata ke


kertas, kemudian menatap pintu ganda museum,
seolah untuk memastikan bahwa alamatnya tepat.
“Bisa saya bantu?” kata Mr. Dumfrey. Sang
perempuan terkesiap dan menoleh ke arah mereka.
Perempuan ini, pikir Sam, termasuk yang paling
cantik yang pernah dia lihat seumur hidupnya.
Sebagian orang, Sam tahu, berpendapat bahwa
Caroline dan Quinn cantik, dan dia menilai
perempuan ini seusia mereka. Namun, berbeda dengan
Caroline dan Quinn yang berkulit pucat lembut seperti
dumpling yang belum dimasak—setidaknya di mata
Sam—perempuan ini ber​kulit sewarna gading
berkualitas tinggi, berhidung tegas, be​rambut gelap
terurai, beralis tebal, dan bermulut yang seolah
bernoda sari stroberi.
Ketika Max dewasa, Sam berpikir, dia akan mirip
dengan perempuan ini. Sam buru-buru mengusir
bayangan tentang Max dan bibirnya, kalau-kalau
Pippa memutuskan menengok benak Sam tanpa
diduga-duga, kebiasaan menyebalkan yang dipupuk
gadis itu akhir-akhir ini.
“Saya mencari Mr. Dumfrey,” perempuan itu
berkata, lalu tersenyum sehingga menunjukkan gigi-
gigi putih yang agak tidak rata.
desyrindah.blogspot.com

“Dan Anda sudah menemukannya,” kata Mr.


Dumfrey riang. Sejak Rosie setuju untuk bekerja tanpa
bayaran, suasana hatinya menjadi sangat ceria. “Saya
merasa terhormat. Boleh saya tahu tujuan kedatangan
Anda?”
“Saya melihat artikel tentang museum ini di
koran,” kata perempuan itu. Dia mengenakan mantel
secokelat bulu unta yang memanjang dari dagu hingga
pergelangan kaki. Sementara perempuan itu menarik-
narik kerah mantelnya, Sam bertanya-tanya
bagaimana bisa dia tidak kegerahan. “Saya berharap
Anda punya lowongan.”
“Anda siapa, ya?” tanya Mr. Dumfrey.
“Emily,” kata perempuan itu, lagi-lagi sambil
tersenyum. “Emily Bellish.”
“Nah, jadi begini, Miss Bellish,” ujar Mr. Dumfrey
de​ngan nada minta maaf. “Saat ini museum sedang
kesulitan dari segi keuangan. Dengan kata lain, kami
tidak sanggup mempekerjakan—”
Ucapan Mr. Dumfrey melirih sementara wajah
Emily ber​ubah total. Senyumnya pupus. Perempuan
itu mendadak mem​belalakkan mata dan tampak tak
berdaya, seperti anak kecil yang kehilangan orangtua
di tengah impitan massa. Efeknya teramat menyayat
hati sampai-sampai Sam pasti sudah buru-buru
desyrindah.blogspot.com

menghampiri dan memeluk Emily andaikan 1) dia


bukan pemalu berat dan 2) pelukannya tidak
meremukkan tulang rusuk Emily.
Mr. Dumfrey batuk-batuk, seolah untuk menelan
kata-kata yang hendak dia ucapkan. “Tapi, selalu ada
ruang untuk ba​kat baru! Mari, mari.” Mr. Dumfrey
memberinya isyarat agar menaiki undakan depan
pintu. “Ayo ke kantor saya. Di sana kita bisa lebih
leluasa berbincang-bincang.” Maka pergilah mereka,
menghilang bersama-sama ke dalam museum.
Thomas menggeleng-geleng. “Perempuan itu pasti
punya atraksi,” kata Thomas. “Kira-kira apa, ya?”
“Entahlah,” kata Sam, menimbang-nimbang. “Dari
penam​pilannya, dia bukan orang aneh. Itu sudah
jelas.” Dia masih terpukau oleh mata berwarna gelap
dan suara rendah perem​puan itu, juga karena
mengkhayalkan Max memandangnya seperti itu,
penuh binar hangat. Kemudian, dia tersadar bahwa
Max yang asli sedang merengut.
“Apa kalian lihat mantelnya?” kata Max.
“Mungkin dia bersisik.”
“Atau mungkin dia manusia burung hantu, seperti
pacar lamamu, Howie,” celetuk Sam, bicara tanpa
berpikir. Dia menyangka Max akan membentak-
bentaknya—gadis itu de​ngan tegas melarang yang lain
desyrindah.blogspot.com

menyebut-nyebut nama Howie, mengancam akan


mencabut lidah mereka jika masih berani-berani—
tetapi Max hanya menatap Sam sambil menyipitkan
mata, kemudian berbalik dan mendompak ke dalam
museum.
Pippa mendesah. “Haruskah kau menyebut-nyebut
Howie?” katanya. “Sekarang Max bakalan lebih judes
daripada bia​sanya.”
“Abaikan saja dia,” kata Thomas.
Pippa memelototinya. “Kau gampang bicara
begitu. Aku tidur di pojok yang sama dengannya. Kali
terakhir suasana hatinya jelek gara-gara Howie, dia
menggunakan topi favoritku sebagai target latihan.”
“Aku tidak tahu kenapa dia sekesal itu,” gerutu
Sam. “Sudah hampir dua bulan, ‘kan?”
Pippa memandangi Sam dengan iba. “Kau sungguh
tidak paham, ya?” katanya. Pippa kemudian
mengikuti Max ke dalam museum.
Thomas menggeleng-geleng. “Dasar cewek,”
katanya de​ngan nada sok tahu. “Jadi, menurutmu
bagaimana? Mau masuk?”
“Tidak.” Sam memasukkan tangan ke saku—yang
se​cara teknis bukanlah saku, sebab pelapis dalamnya
sudah lama bolong karena tekanan jari-jari Sam.
“Belum ingin.” Sebenarnya, Sam sudah sangat
desyrindah.blogspot.com

menyesali perkataannya kepada Max. Pada saat-saat


paling jujur, Sam rela mengakui ke​pada diri sendiri
bahwa dia naksir, sedikit saja, kepada Max—te​tapi
Sam juga takut kepada gadis itu dan tidak berhasrat
men​jadi sasaran amarahnya.
“Ikut aku,” kata Thomas. “Aku hendak mampir
dan menyapa Mr. Sadowski. Kau ingat dia punya
sejibun koran lama?”
Sam mengangguk. Selain koran, Sadowski juga
memiliki radio lama, mok kopi lama, daftar belanja
lama, kaus kaki lama, foto lama, onggokan perabot
lama .... Malahan, sedikit sekali jenis benda yang tidak
Sadowski simpan dalam aparte​men sesaknya.
“Di sanalah kita mesti mencari Rattigan,” kata
Thomas tegas. “Bertahun-tahun lalu, penahanannya
menjadi berita besar. Taruhan, kita pasti bisa
menemukan nama orang-orang yang berusaha
membebaskannya.”
“Betul juga.” Sam bersyukur mendapatkan alasan
untuk menunda kepulangannya ke museum barang
sebentar. Meng​acu pada kunjungan terakhir Sam dan
Thomas ke apartemen Mr. Sadowski, Sam
memperkirakan mereka akan sibuk ber​jam-jam. Mr.
Sadowski memiliki perpustakaan segudang.
Masalahnya, sukar untuk menemukan bahan rujukan
desyrindah.blogspot.com

yang spesifik di sana.


Mereka kembali menyusuri jalan, tetapi sesuatu
yang Sam lihat sontak menghentikan langkahnya.
Sesuatu itu adalah sebuah topi—topi besar berbulu,
di​kenakan oleh wanita besar berbusana meriah yang
berdiri di depan truk-truk pengangkut barang, sedang
memberikan perintah kepada pria-pria bersuspender.
Wajah wanita itu tersembunyi di balik pinggiran topi
lebar dari jerami dan dia terlalu jauh sehingga Sam
tidak bisa menangkap ucapannya, tetapi Sam
mengenali tangan gendutnya yang bercincin dan
suaranya yang melengking tajam seperti kenari
berang.
Seluruh darah Sam serasa mengalir ke kakinya.
“Apakah itu—” sengal Sam, tidak sanggup
mengucapkan nama wanita tersebut. “Tidak mungkin
itu—”
Thomas sudah melihat perempuan itu juga dan dia
me​mekik merana. “Von Stikk,” kata Thomas.
“Sedang apa dia di sini?”
Namun, jawabannya sudah jelas: Sam dan Thomas
berdiri bengong bersama-sama, hanya bisa terperanjat
sementara wanita itu menggendong sebuah peti kayu
dan menghilang ke dalam bekas Balai Tari Cupid,
diikuti sejumlah tukang angkut, yang kentara sekali
desyrindah.blogspot.com

telah diperintahkan untuk bekerja lebih cepat. Thomas


bergegas menyeberangi jalan dan Sam pun mengikuti
dengan mual, berharap semoga telah terjadi
kekeliruan, semoga keberadaan truk dan kardus-
kardus serta Von Stikk di West Forty-Third Street
tidak bermakna apa-apa.
Kenyataannya, tidak ada kekeliruan. Label nama
Von Stikk tertera di banyak kardus. Selain itu, plang
kaleng lama bertuliskan berbagai aturan seperti
dilarang menyumpah, me​ludah, dan berjudi, yang
dulunya dipajang di samping pintu balai tari, telah
digantikan plang bertuliskan huruf tegak bersambung
elok, yang semata-mata berbunyi: Sekolah Von Stikk
untuk Muda-Mudi Luar Biasa yang Kurang
Beruntung. Kelihatannya wanita itu telah
menggabungkan kedua proyek teranyarnya menjadi
satu.
Andrea von Stikk akan menjadi tetangga baru
mereka.

Apartemen Eli Sadowski bisa saja dijadikan museum,


berkat sekian banyak barang rusak janggal tak
berguna yang tersimpan di dalamnya, termasuk
kostum maneken lama dan kuda-kuda gergaji, mesin
jahit dan bingkai foto, cermin retak dan jam kuno
desyrindah.blogspot.com

yang tak berjarum—banyak di antaranya ditumpuk-


tumpuk, menjulang tinggi hingga rawan jatuh
andaikan disenggol sekilas saja. Seperti biasa, Eli
menyambut mereka dengan menawarkan teh susu,
yang buru-buru mereka tolak dengan tegas.
“Wah, senang bertemu kalian, selalu senang sekali
ber​temu kalian,” Mr. Sadowski berkata, tetapi dia
tampak lebih geli​sah daripada biasanya, sedangkan
Sam memperhatikan bahwa dia bahkan belum selesai
berpakaian. Eli lazimnya mengenakan setelan jas yang
mungkin berasal dari abad silam, lengkap dengan topi
tinggi dan syal sebagai dasi. “Saudaraku Aaron titip
salam, seperti biasa.”
Thomas dan Sam mesti menahan diri supaya tidak
bertukar pandang. Aaron Sadowski sudah beberapa
minggu meninggal, tetapi Eli bersikeras untuk
berkonsultasi kepadanya mengenai macam-macam,
seperti apa yang mesti disajikan untuk teman minum
teh atau apakah sudah saatnya untuk mulai
membe​reskan apartemen (jawabannya selalu tidak).
“Mohon maaf,” kata Eli sambil melambaikan
tangan kuat-kuat, nyaris saja menjatuhkan tumpukan
tinggi botol susu kosong, “tapi aku ada urusan di luar.
Sungguh tidak enak—aku niscaya menghindarinya
kalau bisa—tapi sangat mendesak. Aku baru membaca
desyrindah.blogspot.com

bahwa sebuah kursi goyang telah berhari-hari


ditelantarkan begitu saja di Seventy-Second Street.
Jadi, kalian tentu paham bahwa aku tidak boleh
membuang-buang waktu sekejap pun.”
Sam mau tak mau mencermati bahwa Sadowski
sudah memiliki beberapa kursi goyang rusak, yang
menyempil di sela-sela sejumlah meja rendah rusak
dan sofa berlengan yang sebagian besar isiannya sudah
hilang. “Apa Anda masih butuh kursi goyang?” Sam
bertanya, mau tak mau.
Eli sepertinya tidak mendengar. “Memalukan,
seenaknya saja orang-orang membuang-buang
barang,” kata Eli sambil memasukkan satu kaki ke
sepatu resmi dan kaki sebelah lagi ke sepatu karet,
sepertinya tidak sadar akan perbedaan keduanya.
“Memalukan,” ulang Eli sambil memasang semacam
topi polisi ke kepalanya. “Pokoknya, kalian boleh
berlama-lama di sini sesuka kalian. Silakan keluar
sendiri nanti. Kalian tahu jalannya, ‘kan?!” Tanpa
berkata-kata lagi, dia memelesat ke koridor depan
apartemennya dan membanting pintu keras-keras
sehingga semua tumpukan barang bergetar seolah
hen​dak jatuh. Debu melayang-layang dari langit-langit
dan Sam pun bersin.
“Nah,” kata Thomas, pura-pura riang. “Mari
desyrindah.blogspot.com

mulai.”
Berjam-jam mereka menelaah tumpukan koran
menguning yang berjamur, mencari-cari berita
mengenai Rattigan dan petunjuk tentang identitas
orang-orang yang membantu pria itu setelah pertama
kali kabur dari penjara. Namun, ternyata sia-sia.
Koran tidak dikelompokkan menurut tahun—sama
sekali tidak dikelompokkan secara teratur, malah—
dan sekalipun mereka menemukan banyak informasi
tentang Rattigan, semuanya sudah mereka ketahui.
Akhirnya, Thomas berdiri. “Ini percuma,” katanya.
Sam seratus persen setuju. Lututnya ngilu karena
duduk bersila, sedangkan punggungnya pegal karena
membungkuk untuk membaca cetakan berumur
puluhan tahun. Lagi pula, hari sudah mulai gelap dan
barang-barang Sadowski yang menggunung mulai
memancarkan bayangan gelap ke lantai,
mengingatkan Sam akan jari-jari bengkok yang
hendak meng​gapai.
Mereka merunut jalan ke pintu, tetapi justru
tersasar ke sebuah ruangan asing yang hampir
seluruhnya dipenuhi sang​kar burung.
“Hmm.” Thomas mengerutkan kening. “Mungkin
kita seharusnya belok kiri di patung dada plester
Beethoven?”
desyrindah.blogspot.com

Mereka berusaha lagi untuk mencari pintu depan,


tetapi malah tersesat di bagian apartemen yang asing
sama sekali: kamar mandi yang baknya dipenuhi tutup
botol.
“Sudah kubilang,” kata Sam, “sewaktu ketemu
tumpukan gramofon tua, lurus terus.”
Kali ini, Sam memimpin. Namun, saat dia berputar
di belokan cepat-cepat, antusias untuk keluar dari
apartemen Sadowski sesegera mungkin, dia kontan
berteriak: wajah me​ngerikan tengah menatapnya,
wajah serangga bermoncong pan​jang tidak normal,
matanya yang mahabesar merefleksikan ekspresi Sam
yang ketakutan.
Thomas mengitari Sam, menggapai ke atas, dan
melepas benda yang semula digantung ke kait mantel.
Ketika Thomas mengayun-ayunkan benda itu ke arah
Sam, dia mundur se​langkah.
“Benda apa itu?” tanya Sam. Bukan serangga
raksasa memang, tetapi tetap saja Sam ketakutan
melihatnya.
“Masker gas,” kata Thomas pelan. “Peninggalan
zaman perang. Ribuan orang mati karena gas
beracun.” Thomas mulai bergerak, seolah hendak
memakaikan masker gas ke kepalanya.
“Jangan.” Sam mengulurkan tangan untuk
desyrindah.blogspot.com

menghenti​kannya dan Thomas pun menurunkan


masker sebelum ter​pasang. “Jangan.” Dalam
keheningan ruangan yang gelap dan berdebu, terlalu
mudah untuk membayangkan hantu-hantu mendiang
prajurit bergentayangan di dekat mereka.
Thomas mengembalikan masker dengan hati-hati.
Sete​lah belok kanan dua kali lagi, mereka akhirnya
melihat pintu. Mereka bergegas-gegas pulang sambil
membisu, menuju museum yang hangat dan aman.[]
desyrindah.blogspot.com
13

BEGITU MEREKA MENGUNGKAPKAN BAHWA


SEKO​LAH Miss Von Stikk untuk Muda-Mudi Luar
Biasa yang Kurang Beruntung telah direlokasi ke blok
yang sama de​ngan museum, Max memekik nyaring
sekali sampai-sampai ketiga anak yang lain terdiam
karena kaget.
Burung Api, yang telah dipindahkan ke loteng
dalam rangka “mengakrabkan”-nya dengan para
penampil lain—Mr. Dumfrey berharap semoga
investasinya paling tidak mau mempelajari kata-kata
yang tidak bernada menghina—terbangun sambil
berkoak. Bahkan Freckles, yang sedari tadi
memandangi si burung dengan tamak dari kejauhan,
memelesat ke kolong tempat tidur Max.
“APA?” Max melompat berdiri dan mulai
menggeledah beragam barang yang tergeletak di
sepenjuru loteng. Max membuka peti-peti lama dan
desyrindah.blogspot.com

menutupnya lagi sambil me​nyumpah. Dia


mengesampingkan satu set buku bersampul kulit dan
bahkan membalikkan keranjang sampah, yang untung
hanya berisi sehelai tisu kusut dan selembar kartu remi
ber​noda kopi.
“Apa pula yang kau cari?” tanya Pippa.
“Korek api,” Max menanggapi tanpa menoleh,
seolah memberikan jawaban paling masuk akal di
dunia. Dia kini merangkak-rangkak, merogoh ke
kolong sofa yang joknya sudah melesak.
“Kenapa? Supaya kau bisa membumihanguskan
tempat ini?” kata Sam untuk melucu—tetapi ketika
Max memelototi​nya, tahulah Sam bahwa Max sangat
serius.
“Jangan konyol,” kata Pippa. “Gedung ini terbuat
dari bata. Api tidak akan merambatinya.”
Max duduk bersimpuh, sepertinya menerima
keabsahan logika tersebut. Namun, wajahnya masih
saja mendung dan matanya berkilat-kilat seperti
lampu pelintasan kereta. Bahaya, bahaya. “Ini semua
salah perempuan itu,” dia praktis meludah. “Rosie
Bickers.”
Pippa mendesah. “Kau cuma marah karena Rosie
me​manggilmu manis.”
Max berpaling ke arah Pippa secepat kilat dan
desyrindah.blogspot.com

bersyukurlah Sam karena sekali ini, orang lainlah yang


salah bicara. “Aku marah,” kata Max dengan suara
pelan yang menyiratkan ancaman, “karena Rosie-lah
yang menempatkan Von Stikk di daerah kita dan lupa
memberi tahu kita.” Dia menggeleng-geleng muak.
“Taruhan, hyena gendut itu pasti akan menggedor-
gedor pintu rumah kita besok, pagi-siang-malam.
Taruhan, dia pasti mengarang cerita tentang kita di
koran-koran.”
“Max benar,” kata Pippa sambil menggigiti bibir
ba​wahnya. “Von Stikk tidak akan pernah
membiarkan kita hi​dup tenang.”
“Kita tidak akan bisa lagi hidup tenang, titik.”
Sekarang, suara Max kembali meninggi, melengking
murka. “Kalau kita tidak dikejar-kejar oleh Von Stikk
atau dikatai monster oleh koran-koran, polisi
menuduh bahwa salah satu dari kita bermaksud
menghabisi orang asing dan mengurung Jenderal
Farnum yang malang, padahal mereka semestinya
melindungi kita supaya tidak dihabisi oleh Rattigan.”
Max memberi penekanan pada kalimat terakhir
dan Sam pun merasa nyeri gara-gara teringat pada
suara Rattigan, lem​but bagaikan tali sutra yang
mencekik lehernya.
Pada saat pamungkas, ayahmu ternyata lemah ...
desyrindah.blogspot.com

terlampau lemah untuk menghentikanku ….


Sam mengusir kenangan tersebut dengan paksa,
tetapi tidak semudah itu mengenyahkan perasaan
dingin yang meng​hinggapinya.
Max benar. Kalaupun mereka secara ajaib berhasil
mela​cak Rattigan, mereka tetap tidak akan terbebas
dari tuduhan, banjir perhatian, kegelisahan nan
menggerogoti karena terus-menerus diamati dan
dihakimi. Betul bahwa kian hari me​reka kian kuat,
kian pandai, kian terampil. Namun, justru karena itu
pulalah kian hari mereka kian jauh dari normal.
Mereka berempat terdiam dengan murung. Thomas
du​duk sambil menatap sepatunya dengan muram,
keningnya ber​kerut-kerut.
Beberapa lama berselang, Thomas menegakkan
diri. “Kau tahu, Max,” kata Thomas lambat-lambat.
“Kau tidak sera​tus persen benar. Ada yang bisa kita
perbuat.”
“Perbuat, perbuat!” koak Burung Api. “Kalian bisa
berbuat apa, Bodoh?”
Semua mengabaikan burung itu.
Pippa memandang Thomas. “Mengenai Rattigan?”
“Bukan Rattigan yang kupikirkan,” kata Thomas.
“Mengenai Von Stikk?” Kendati ekspresinya
berkecamuk, suara Max menyiratkan secercah
desyrindah.blogspot.com

harapan.
“Tidak, bukan Von Stikk.” Thomas menggosok-
gosok samping hidungnya. “Maksudku, kita bisa
membantu Jenderal Farnum.”
Sam menatapnya. “Tapi, polisi—”
Pippa serta-merta menyuarakan protes, seolah Sam
baru​san mengumpat.
“Polisi selalu mencari solusi yang kelihatannya
sudah jelas,” kata Thomas sambil menggeleng.
“Farnum tidak mem​bunuh Ernie Erskine. Soal itu kita
sudah sepakat, ya ‘kan?”
Semua mengangguk.
“Tapi, dia memang mendatangi Erskine,” lanjut
Thomas. “Artinya, si pembunuh pasti menemui
Erskine setelah Jenderal Farnum. Mungkin dia
meninggalkan barang bukti.”
“Misalkan apa?” dengus Max. “Jejak tangan
berlumur darah?”
“Tidak mungkin!” Burung Api berkoak sambil
mengacak-acak bulunya, seperti sedang mengakak.
“Sangat tidak mung​kin!”
“Oh, tutup paruhmu,” kata Pippa dongkol.
Thomas mengangkat bahu. “Misalkan apa saja.
Layak untuk dicari, ‘kan?” Tidak ada yang
menimpali. “Betul, ‘kan? Atau haruskah kita percaya
desyrindah.blogspot.com

saja kepada Rosie Bickers?”


“Tidak,” kata Max sepenuh hati. “Tidak mau.”
Suasana kembali hening berkepanjangan.
Sementara itu, Thomas memandangi teman-temannya
silih berganti dengan tatapan penuh harap. Akhirnya,
Pippa mendesah. “Baiklah, Tom,” katanya. “Beri tahu
kami apa yang kau pikirkan.”

Tidak sulit untuk menyelinap keluar sehabis makan


malam. Perhatian para penghuni museum, terutama
Mr. Dumfrey, tengah teralihkan gara-gara kedatangan
Emily. Pada saat ma​kan malam, keistimewaan
perempuan itu telah menjadi jelas.
Setiap jengkal kulitnya yang kelihatan—dari tumit
hing​ga tulang belikat, pergelangan tangan hingga
pergelangan kaki—ternyata bertato warna-warni,
seakan ada gaun bermotif me​riah yang dicangkokkan
langsung ke kulitnya.
Sam spontan memperhatikan lengan kiri bawah
Emily, bergambar wanita yang menempelkan tangan
ke kuping untuk mendengarkan bisik-bisik ular yang
membelit pohon. Tato itu mirip sekali dengan tablo
Adam dan Hawa di Ruang Patung Lilin, yang bagian
belakangnya merupakan jalan masuk ter​sembunyi ke
kediaman Miss Fitch.
desyrindah.blogspot.com

“Tidak apa-apa,” kata Emily sebelum Sam sempat


ber​paling. “Aku terbiasa diperhatikan orang. Justru
itu intinya, ya ‘kan?”
Namun, setelah itu, Sam tidak sanggup lagi
menatap Emily sepanjang acara makan bersama.

Sehabis makan malam, sementara para penghuni


desyrindah.blogspot.com

lain memperdebatkan cara untuk menata ulang loteng


dalam rangka mengakomodasi Emily dan apakah
Smalls betul-betul membutuhkan tiga ranjang yang
dirapatkan menjadi satu, Sam, Max, Thomas, dan
Pippa keluar lewat pintu depan.
Van-van pengangkut barang tidak lagi terparkir di
jalan, sedangkan penerangan menyala di semua lantai
bangunan se​kolah baru Miss Von Stikk. Di Balai Tari
Cupid dulu, musik mungkin saja mengalun ke jalanan
melalui jendela yang terbuka, sedangkan kaum wanita
mungkin tengah keluar masuk pintu-pintunya,
tertawa-tawa dan berjalan tertatih-tatih dengan sepatu
hak tinggi. Namun, jalanan sekarang sunyi senyap,
musik telah sirna selamanya.
Kantor Erskine terletak di pinggir Bowery,
kawasan ku​muh New York yang ditempati pegadaian,
bar, dan kamar kos murah. Matahari baru saja
terbenam ketika mereka keluar dari stasiun kereta
bawah tanah di Second Avenue, menuju alamat yang
tertera di kartu nama Erskine. Sam merasa resah
sementara pria-pria besar yang berdiri di ambang
pintu terbuka memandangi mereka sambil meringis
dan bisik-bisik mengikuti mereka sepanjang jalan
seperti desis lirih ular. Dia tidak mau berkelahi malam
ini. Sam sesungguhnya tidak pernah ingin berkelahi.
desyrindah.blogspot.com

Dia tidak ingin berada di sini, titik—dia lebih suka


menggelepar di kasur bersama Freckles di museum,
atau main Jebakan Maut bersama Thomas.
Sayangnya, Sam mulai merasa bahwa tindakan yang
benar hampir selalu tidak menyenangkan.
Dia bertanya-tanya di manakah Rattigan malam
ini.
Di persimpangan Chrystie dan Stanton, mereka
berhenti sejenak untuk mengamati jalan dari ujung ke
ujung. Seorang polisi sedang mengawasi kantor
Erskine. Dia kelihatan me​nyesal karena harus berada
di sana, sama seperti Sam.
“Baiklah,” bisik Thomas. “Pippa, alihkan
perhatian po​lisi—”
Pippa mendengus. “Bagaimana?”
Thomas mendesah. “Entahlah. Berpura-pura
tersesat atau apalah.”
Pippa memandangi Thomas sambil cemberut,
alhasil mem​buat pemuda itu memutar-mutar bola
mata.
“Ya sudah,” kata Thomas. “Biar aku saja. Sam,
tugasmu adalah mengantar kita masuk. Tapi, kali ini
tolong jangan mendobrak pintu, ya?”
Thomas beranjak pergi sebelum Sam sempat
memprotes. Dia mendekati sang polisi sambil
desyrindah.blogspot.com

melambai gila-gilaan, kian lama terkesan kian belia


dan kian bingung. Benar saja, sesaat kemudian polisi
itu sudah menjauh untuk membimbing Thomas ke
arah berlawanan. Pintu kantor Erskine sekarang
kosong.
“Ayo,” kata Max.
Mereka bergegas-gegas menuju kantor Erskine.
Sam me​narik napas dalam-dalam, mengusapkan
telapak tangannya ke jins, dan dengan hati-hati
meraba-raba pintu depan. Ibu kuncinya sudah tua,
sedangkan kayu berderit begitu disentuh oleh tangan
Sam. Mendobrak pintu adalah perkara enteng untuk
Sam, tetapi polisi niscaya akan memburu mereka jika
Sam berbuat begitu. Dia selanjutnya meraba kenop
pintu dan kaget sendiri ketika tangannya justru
memegang kenop patah sekejap berselang.
“Ups,” kata Sam.
“Apa yang kau lakukan?” bisik Pippa.
Sam menoleh sambil menyodorkan kenop pintu.
“Aku tidak sengaja,” katanya.
“Tidak apa-apa. Bukan salahmu. Lagi pula, pintu
seka​​rang bisa dibuka.” Pippa mendorong pintu
dengan siku, me​nampakkan koridor gelap yang
berbau cat dan bahan kimia.
Mereka masuk ke kantor, menutup pintu di
desyrindah.blogspot.com

belakang me​reka, dan berharap semoga polisi tidak


melihat kenop pintu dengan saksama ketika dia
kembali. Interior gedung gelap gu​lita. Sam hendak
berbalik, tetapi Max serta-merta memekik.
“Itu kakiku,” bisik Max. Sam bisa merasakan
napas ha​ngat Max di pipinya dan dia buru-buru
mundur selangkah.
“Itu kakiku,” kata Pippa.
“Kita butuh lampu,” kata Max.
“Tunggu sebentar,” timpal Pippa, kedengarannya
menjauh. Sam bergeming saja, bahkan takut berkedut
kalau-kalau dia menginjak kaki Max lagi atau
memecahkan sesuatu. Pippa menemukan lampu sesaat
berselang dan menerangi ruangan de​ngan pendar
putih lembut. Sam serta-merta menengok ke jendela.
Untung kerainya tertutup. Mudah-mudahan cahaya
dari dalam bangunan tidak akan menarik perhatian.
Sekadar untuk berjaga-jaga, Pippa melepas syal dan
menyelimutkannya ke lampu untuk meredupkan sinar.
Kantor Erskine memiliki tiga ruangan di lantai
satu. Yang pertama semacam area penerimaan tamu
yang berkarpet bau dan bermeja murahan dengan
permukaan berlaminasi; yang kedua sepertinya adalah
gudang, yang dipenuhi kardus berlabel nama kimiawi;
sedangkan yang ketiga adalah kamar tidur kecil yang
desyrindah.blogspot.com

memiliki satu jendela sangat kecil, jauh di bagian atas


dinding.
“Lihat ini,” kata Sam sambil menunjuk tempat
tidur, yang be​lum dirapikan. “Mungkinkah si
pembunuh mengejutkan Erskine selagi dia tidur?”
“Mungkin,” kata Pippa. “Atau mungkin dia tidak
suka merapikan tempat tidur.”
“Ssst.” Max menyuruh mereka diam dengan nada
tajam. “Apa kalian dengar itu?”
“Mendengar apa?” tanya Sam. Max melambaikan
tangan un​tuk membungkam Sam. Kemudian, Sam
mendengar yang dimaksud—serangkaian gedebuk lirih
teredam dari dalam din​ding, seolah ada yang
menggedor-gedor dari dalam, minta dikeluarkan.
Mulut Sam menjadi sangat kering.
Wajah Pippa berkerut, menandakan dia sedang
berkon​sentrasi, dan tahulah Sam bahwa Pippa tengah
berusaha me​li​hat, menerawang ke balik lapisan
plester. Pippa makin lama makin jago saja. Mereka
semua makin jago menggunakan kemampuan masing-
masing, sebenarnya. Bahkan selagi berbaring, kadang-
kadang, Sam bisa merasakan kekuatan menjalarinya,
berdenyar di dalam darah hingga ujung jemarinya.
Wajah Pippa kembali seperti sediakala. “Cuma
Thomas,” dia berkata dan, sedetik kemudian,
desyrindah.blogspot.com

terdengar bunyi gemeri​sik. Tutup saluran udara


terlepas dari dinding dan keluarlah Thomas, berlumur
debu.
“Fiuh.” Thomas mengayunkan tubuh dengan
enteng, ke​mudian menjatuhkan diri sejauh beberapa
meter ke lantai tanpa ribut-ribut. Dia bersin. “Aku
harus mencari cara yang lebih bagus untuk
bepergian.”
“Bagaimana caramu masuk?” tanya Pippa.
“Aku harus berputar ke belakang supaya polisi
tidak melihatku,” kata Thomas sambil mengangkat
bahu. “Aku melalui saluran pemanas.”
Bersama-sama, mereka kembali ke gudang, yang
sarat tumpukan kotak. Thomas menggapai ke dalam
kotak, kemu​dian mengeluarkan sebotol bahan
bernama Kutu Kocar-Kacir dan menggoyang-
goyangkannya. “Kosong,” kata Thomas. Dia
menggapai botol lain. “Semua kosong.” Dia me​mu​tar
botol dan bersiul pelan. “Pantas manjur. Bahan
utamanya ethyl parathion.”
“Ethel siapa?” tukas Max.
Thomas mendongak. “Ethyl parathion,” katanya.
“Sejenis racun. Bisa menumbangkan gajah, asal
dosisnya tepat.”
Sam merinding. “Bagaimana dengan manusia?”
desyrindah.blogspot.com

tanya Sam. “Bisakah entah apa itu namanya


membunuh manusia?”
Thomas mengangkat bahu. “Jelas, kalau dia
menghirup cukup banyak zat itu. Saat perang, ethyl
parathion digunakan sebagai gas saraf. Gas pencabut
nyawa, istilahnya.”
“Tapi, Erskine tidak keracunan,” Pippa
mengingatkan mereka. “Dia dicekik sampai mati.”
“Benar juga.” Sam mengerutkan kening, berusaha
meng​ingat-ingat informasi yang dia dengar dari Rosie
Bickers. “Dia duduk di balik meja.”
Mereka kembali ke ruang kerja. Lembar tagihan,
pesanan, dan surat yang belum dibuka berserakan di
atas meja—bertumpuk-tumpuk, meruah dari laci-laci
dan ditindih dengan sembarang benda: tapal kuda,
bata, dan botol kosong Kutu Kocar-Kacir.
“Kita harus mencari apa, ya?” ujar Max sementara
Thomas dan Pippa mulai memilah-milah kertas yang
terakumulasi di laci-laci.
“Entahlah,” kata Thomas. “Tapi, kalau ketemu
pasti kita tahu.”
Setengah bagian meja didominasi pengisap tinta
coreng-moreng, yang ditutupi beragam surat dan
guntingan koran. Sam mulai menyortir kertas-kertas
itu, tetapi kian detik kian yakin bahwa misi mereka
desyrindah.blogspot.com

sia-sia. Sam memikirkan Jenderal Farnum dan


kumisnya yang bergetar ketika sedang kesal, suaranya
yang menjadi lembut ketika memandu kutu-kutu​nya
untuk berlatih, kecermatannya dalam menyemir
sepatu tiap pagi, dan mendadak Sam merasa panik.
Dia belum lama mengenal Jenderal Farnum, tetapi
Sam sudah menganggap pria itu sebagai teman.
Museum tidak akan sama tanpa Jenderal Farnum.
Sam tidak akan sama.
Dia sudah kehilangan banyak sekali orang.
Dia menggeser tumpukan tagihan dan melihat
sepucuk surat setengah jadi, diterakan dengan tulisan
tangan Erskine, yang Sam kenali.
Jangan ancam aku, adalah kalimat pertama yang
Sam lihat. Jantungnya sontak terlompat ke
tenggorokan.
Kau cuma penipu dan kali berikut aku bertemu
denganmu, akan kupastikan untuk mengucapkannya
langsung ke mukamu. Kalau aku tidak mendapatkan
pesananku atau uangku tidak dikembalikan, aku
bersumpah kau akan menyesalinya, Benny. Sam
berhenti membaca. Nama Benny membunyikan alarm
peringatan jauh di dalam benaknya. Nama itu sudah
dia kenal. Namun, dia tidak mampu mengidentifikasi
nama tersebut dan, oleh sebab itu, dia meneruskan
desyrindah.blogspot.com

membaca: Sudah cukup kau mengarang cerita dan


berkilah. Kalau begini terus, bisa-bisa aku bangkrut.
Demi nyawaku, kau—
Surat terputus tiba-tiba, seolah Erskine diganggu
sebelum sempat menyelesaikannya.
Mungkin memang begitu, pikir Sam sambil
bergidik.
“Teman-Teman,” kata Sam dengan suara mencicit.
Demi nyawaku. Erskine yang malang tidak menyadari
bahwa kata-kata itu akan bermakna sangat harfiah.
“Sepertinya—seperti​nya sudah ketemu.”
“Apanya yang ketemu?” tukas Max.
Sam menarik napas dalam-dalam. “Barang bukti,”
katanya. “Tujuan kedatangan kita ke sini.”[]
desyrindah.blogspot.com
14

SETELAH SURAT ITU BERPINDAH TANGAN,


suasana menjadi hening.
“Jadi,” kata Thomas, “kelihatannya Erskine punya
musuh.”
“Benny,” kata Pippa. “Tapi, siapa Benny?”
Mereka kembali mencurahkan perhatian ke meja,
kali ini secara spesifik mencari rujukan mengenai
Benny. Mereka me​nyortir tumpukan surat, baik yang
sudah maupun belum dibuka—sepertinya Erskine
memang terancam bangkrut se​bab dia menerima
banyak keluhan tentang janji yang tidak ditepati—dan
bahkan memilah-milah isi keranjang sampah, dengan
hati-hati menghindari gumpalan-gumpalan kusut tisu
bekas.
Sepuluh menit Pippa berdiri diam sambil bernapas
melalui mulut, mencurahkan fokus pada nama Benny
dan berusaha melihat ke dalam laci-laci meja dan
desyrindah.blogspot.com

lemari-lemari arsip untuk mencari kembarannya.


Namun, sia-sia saja. Kantor Erskine terlalu penuh,
kertas dan arsip terlalu berjejalan di mana-mana.
Kesannya seolah ada yang menumpahkan segudang
besar koleksi raksasa ke dalam benak Pippa, alhasil
dia semata-mata merasa bingung dan kewalahan,
sedangkan kepalanya lambat laun pusing.
“Nihil,” ujar Thomas muak setelah mencopot laci
terakhir dari meja Erskine. “Tidak ada apa-apa selain
sampah dan tagih​an yang belum dibayar.”
“Dan juga ini,” kata Pippa sambil mengangkat satu
lagi botol kosong Kutu Kocar-Kacir.
Mendadak, Sam menegakkan tubuh, mukanya
pucat, se​olah tangan hantu baru saja menggerayangi
punggungnya. “Aku tahu,” bisiknya.
“Tahu apa?” Max sudah sejak tadi berhenti
mencari dan justru berusaha mengumpil koin
seperempat dolar yang entah bagaimana menyempil di
sela dua papan lantai.
Sam merogoh saku belakang dan mengambil
dompet butut yang persis sama dengan milik Thomas.
Pippa tahu Siegfried Eckleberger telah membelikan
mereka dompet untuk hadiah Natal pada tahun yang
sama ketika Pippa menerima kalung kecil berhiaskan
semanggi berdaun empat, yang sayangnya dilahap
desyrindah.blogspot.com

Freckles si kucing tak lama selepas kedatangannya.


Dari dompet itu, Sam mengeluarkan guntingan koran
kecil. Kemudian, dia mendongak, matanya berbinar-
binar.
“Aku mengenali nama itu,” katanya. “Benny
Mallet, dari PT Senyawa Kimia. Aku menyuratinya
karena Freckles garuk-garuk terus.”
Max berdiri sambil mengebuti tangan, rupanya
urung berupaya mengambil uang. “Apa maksudmu?”
kata Max, menyambar kliping dari Sam.
Tahu bahwa Max butuh waktu lama untuk
membaca, Pippa memejamkan mata dan menerawang,
menggapai tangan Max dan terus ke kertas buram.
Aktivitas ini sekarang semudah meluncur di pagar
tangga—Pippa seakan bisa mengerahkan otaknya
untuk memegangi benda-benda di dunia nyata. Pippa
membaca keras-keras: “‘Kucing Garuk-Garuk Terus?
Cobalah Kutu Kocar-Kacir, Pembasmi Kutu Paling
Efektif Nomor Satu di Dunia.’”
Di bawah tulisan itu terdapat kartun, bergambar
kucing yang mengangkat jempol, dan di bawahnya
lagi tertera huruf-huruf kecil bertuliskan: “Kirimkan
pertanyaan, pesanan, dan keluhan kepada a.n. Benny
Mallett, PT Senyawa Kimia, 660 Neptune Avenue,
Sheepshead Bay, Brooklyn.”
desyrindah.blogspot.com

“Jadi, biar kuluruskan,” kata Max. “Erskine


mendapatkan suplai dari laki-laki bernama Benny.”
“Kemudian suplai bahan dihentikan.” Thomas
memijit keningnya. “Tapi, kenapa?”
“Tidak ada bedanya, ‘kan?” kata Pippa. “Mungkin
Benny memutuskan dia tidak menyukai Erskine. Atau
mungkin dia membuka bisnis sendiri dan memutuskan
dia tidak lagi butuh perantara. Pokoknya, Erskine
marah. Dia mulai mengancam Benny Mallett—”
“Jadi, Mallett memutuskan untuk
membunuhunya,” pungkas Tom. Keningnya masih
berkerut. “Sepertinya alasan yang remeh untuk
membunuh seseorang.”
“Mungkin dia tidak berniat membunuh,” kata
Sam. “Mallett datang untuk mengonfrontasi Benny,
mereka lalu adu mulut—”
“Dan Mallet tak sengaja mencekiknya?” Thomas
meng​geleng. “Tidak masuk akal.”
“Dengar, kita tidak perlu membuktikan bahwa
pelakunya Mallett.” Suara Sam menyiratkan
kekesalan dan tahulah Pippa bahwa pemuda itu ingin
buru-buru meninggalkan ruangan tempat Erskine
dibunuh. Sam berkali-kali melirik pintu penuh damba.
“Hanya bahwa pelakunya bukan Farnum. Benar,
‘kan?”
desyrindah.blogspot.com

“Benar.” Thomas mengangguk pelan-pelan.


“Kurasa be​gitu.” Namun, dia kedengarannya tidak
yakin.
“Besok kita akan ke Sheepshead Bay dan bicara
kepada Mallett,” kata Pippa, mengambil inisiatif.
“Di mana Sheepshead Bay?” tanya Max.
“Dekat Coney Island,” jawab Pippa otomatis,
kemudian serta-merta berharap semoga bisa menelan
kata-katanya. Coney Island adalah tempat Howie
pindah untuk bergabung dengan kelompok tandingan
orang aneh tapi nyata. Pippa berharap mudah-
mudahan Max tidak ingat.
Namun, Max jelas-jelas ingat. Dia tersenyum
kejam sam​bil menyipitkan mata. “Aku ikut,” katanya.
[]
desyrindah.blogspot.com
15

MEREKA BERENCANA MENYELINAP KE


CONEY Island setelah sarapan keesokan paginya dan
kembali ke museum untuk pertunjukan jam satu.
Namun, hari itu ternyata sibuk. Pertama-tama,
Monsieur Cabillaud menuntut agar mereka
menghabiskan beberapa jam untuk mendengar​kan
celo​tehnya mengenai Marie Antoinette yang brilian
dan disalah​pahami, pun mengenai dampak mentega
apabila dikon​sumsi kebanyakan, yang menurut
Monsieur Cabillaud adalah penyebab di balik
kejatuhan sang ratu.
Kemudian, ketika Mr. Dumfrey mengumumkan
dengan mimik berbinar-binar bahwa Miss Bellish,
perempuan cantik bertato yang berdiri di luar pintu
museum kemarin, setuju untuk ikut serta dalam
pertunjukan dengan upah didiskon—sebentuk berkah,
apalagi sampai saat ini Burung Api belum bisa
desyrindah.blogspot.com

melakukan apa-apa selain menghina siapa pun yang


mendekatinya—Thomas ditugasi untuk buru-buru ke
kantor percetakan berjarak dua puluh blok dari
museum untuk me​mesan brosur baru yang
mengiklankan Emily si Ajaib Bertato. Sementara itu,
Caroline dan Quinn, begitu mengetahui bahwa Emily
akan tampil sebelum mereka, mendengus dan
mengancam akan angkat kaki dari museum, alhasil
Pippa dan Betty mesti sama-sama menghabiskan 45
menit untuk mengobati ego me​reka yang terluka.
Parahnya lagi, Sam tidak bisa menemukan satu
batang baja pun yang belum dipuntir membentuk
hewan-hewanan atau satu balok beton pun yang
belum dia patahkan dengan dia sentil menggunakan
kelingking, sedangkan kostum Max robek di bagian
jahitan karena terkoyak pisau-pisaunya yang disimpan
sembarangan. Dengan kata lain, pada saat
pertunjukan siang akan dimulai, Thomas, Pippa, Sam,
dan Max tidak punya waktu untuk melakukan apa-
apa selain mengenakan kostum dan bergegas-gegas
naik ke panggung.
Meski begitu, pementasan berjalan lancar. Kursi
Oddi​​torium hampir seluruhnya penuh, sedangkan
khalayak berte​puk tangan apresiatif ketika Pippa
menyuruh seorang hadirin menulis nama depan dan
desyrindah.blogspot.com

belakang kedua orangtua ayahnya pada selembar


kertas dan sukses menebak nama-nama itu dari jarak
tiga puluh meter. Tebak nama merupakan trik
an​dalan Pippa dan kali ini kertas bahkan tidak
dibutuhkan. Pippa bisa saja menebak nama Irma dan
Egbert Ziegenfelder hanya dengan berkonsentrasi,
memperkenankan pikirannya untuk menggerapai ke
dalam benak sang relawan. Namun, Pippa belum
yakin akan kemampuannya. Pippa memang bisa
membaca pikiran, tetapi kemampuan tersebut sejauh
ini ma​sih angin-anginan. Lagi pula, Pippa tidak yakin
dirinya sudah siap untuk mengungkapkan
kemampuan itu.
Max dan Thomas juga sukses besar. Mereka baru-
baru ini berkolaborasi untuk menciptakan atraksi
menggunakan ko​tak topi dan setengah lusin jarum
rajut yang diasah hingga setajam belati. Max juga
semakin mahir. Lebih cepat, malahan, dan malah jauh
lebih akurat. Terkadang, ketika melempar, dia bahkan
terkesan bukan melemparkan pisau, melainkan
meng​ulurkan jemari belaka, menjadikan pisau-pisau
itu per​panjangan tubuhnya.
Sekalipun Pippa pernah melihat mereka berlatih,
dia te​tap saja tidak sanggup menonton. Dia mendesah
lega ketika atraksi usai dan Thomas keluar dalam
desyrindah.blogspot.com

keadaan tak ter​luka, memegangi kotak topi yang


sekarang berlubang setengah lu​sin. Sam merobek buku
telepon jadi dua dengan pem​ba​waan murung
bercampur malu seperti biasa, menuruni pang​​gung
sesegera mungkin sekalipun hadirin memberinya tepuk
tangan sambil berdiri dan meneriakkan “Bravo!”,
bergegas-gegas ke sayap panggung dengan muka
merah padam dan mencopot kostum cepat sekali
sampai-sampai rompinya robek jadi dua.
“Itu yang ketiga minggu ini,” katanya muram
sambil memandangi kostum yang robek.
Lash menampilkan aksi pecutnya yang terkenal,
sukses mengambil pulpen dari tangan seorang pria di
baris depan dan permen loli dari mulut seorang anak
di baris lain, kemudian para penonton berdiri untuk
memberinya tepuk tangan sebagai buah dari
upayanya. Lash turun panggung dengan mata
berkaca-kaca karena gembira.
Satu-satunya masalah muncul ketika Gil Kestrel
menge​luarkan Burung Api untuk pertunjukan
perdananya. Pippa menahan napas sementara kain
penutup dibuka dan tampaklah burung itu, bertengger
sambil mematut-matut diri di bawah sorotan lampu,
tampak tidak menyadari keberadaan hadirin.
“Saksikanlah.” Suara Mr. Dumfrey membahana
desyrindah.blogspot.com

dari be​lakang panggung yang tertutup. “Peninggalan


terakhir dari spesiesnya, satu-satunya yang masih
hidup di dunia: Aviraris igneous, Burung Api Ethiopia
Berparuh Hitam !”
Hadirin terkesiap saat burung itu mengangkat
kepala dan menggoyang-goyangkan bulu,
menampakkan helai-helai megar nan memesona dan
ekor warna-warni serta mata nan gelap yang seakan
menatap semua orang dan segalanya dengan tajam.
Pippa sendiri mendapati bahwa dia menahan napas—
burung itu memang tampak menakjubkan, seperti
makhluk dari dongeng lama.
Belakangan, Pippa tetap tidak tahu dari mana
Freckles keluar. Satu saat Burung Api bertengger
gagah di bawah lim​pahan perhatian para penonton;
saat berikutnya, bola bulu putih memelesat ke atas
panggung sekonyong-konyong, memamerkan taring-
taringnya, mengulurkan cakar-cakarnya, dan
mendesis.
“Jangan, Freckles, jangan!” teriak Mr. Dumfrey,
mener​jang ke atas panggung sambil mengayun-
ayunkan lengannya dengan kalut, sementara khalayak
tertawa terbahak-bahak dan Burung Api mulai
berkoak kesetanan. “Hentikan dia! Hentikan makhluk
buas itu!”
desyrindah.blogspot.com

“Oho, kau tidak boleh ke mana-mana.” Lash


mendadak muncul sambil memutar-mutar laso di atas
kepalanya, de​ngan lihai menjerat ekor Freckles dan
menariknya ke bela​kang sebelum kucing itu sempat
menyambar si burung. Pippa mengembuskan napas
lega sementara Burung Api, yang ki​ni berkoak-koak
meneriakkan sumpah serapah, cepat-cepat dibawa
pergi dari panggung. Meski begitu, hadirin nyatanya
berseru-seru girang dan bertepuk tangan serta
menjejak-jejakkan kaki, kentara sekali meyakini
bahwa kejadian tersebut adalah bagian dari
pertunjukan.
Untung pementasan segera saja kembali ke jalur
yang be​nar. Emily si Ajaib Bertato menjadi sensasi.
Bahkan Pippa juga terkesan akan performa Emily,
pembawaannya ketika meluncur mulus ke bawah
sorot lampu, memegangi mantelnya di bawah dagu,
kemudian menyibakkan pakaian sekonyong-konyong
—menampakkan tubuh berbalut baju renang dan kulit
cerah warna-warni. Dia tidak melakukan apa-apa
selain berdiri dan berputar pelan-pelan, tetapi Pippa
tidak kuasa memalingkan pandang. Gambar-gambar
yang dirajahkan ke kulit Emily se​akan bisa bergerak:
kuda-kuda di sebelah situ mungkin saja membebaskan
diri dan mendompak ke udara, diikuti ikan-ikan,
desyrindah.blogspot.com

sedangkan benda Amerika di sebelah sana mungkin


saja berkibar-kibar ketika angin datang bertiup dan
George Washington kecil barangkali akan meletakkan
kapak untuk menyanyikan The Star-Spangled Banner.
Tato-tato Emily indah sekaligus menakutkan. Ketika
Emily mengambil mantel dari lantai panggung dan
mengenakannya kembali, hadirin mendesah kemudian
bertepuk tangan meriah.
“Dia jempolan, sukses besar, berjaya di atas
panggung!” Mr. Dumfrey maju ke sayap panggung
untuk menyaksikan penampilan pertama Emily dan
ikut bertepuk tangan keras-keras beserta hadirin.
“Aku tahu dia pasti berhasil. Khalayak sangat
menyukainya.”
Miss Fitch, yang juga menonton, hanya
mendengus. “Bu​kan apa-apa,” dia berkata, alhasil
Pippa bertanya-tanya apakah sikap dingin Miss Fitch
berkaitan dengan celetukan Lash tadi, yang memuji
Emily atas tato realistis koboi rodeo yang
menunggangi kuda liar di lengan kanan bawahnya.
“Yang dia lakukan praktis melanggar norma
kepatutan, menurutku. Lagi pula, sayang sekali. Dia
wanita muda yang sangat cantik. Tapi, kulitnya malah
digambari seperti telur Paskah.”
“Melanggar norma kepatutan apa?” tukas Mr.
desyrindah.blogspot.com

Dumfrey. “Justru sebaliknya. Tato-tato Emily


mengandung nilai edukatif. Sudahkah kau lihat baik-
baik gambar di pundak kanannya? Peristiwa
bersejarah penandatanganan Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat tergambar di sana.”
Tepat saat itu, si kembar albino naik ke atas
panggung dan terhentilah perdebatan tersebut.
Selepas pertunjukan, Pippa dan Max
membersihkan tata rias panggung dari wajah mereka
kemudian beranjak un​tuk mencari Sam serta Thomas.
Inilah kesempatan mereka untuk pergi ke Sheepshead
Bay dan berbicara kepada Benny Mallett. Pippa tahu
mereka mungkin akan mendatangi se​orang
pembunuh, tetapi setelah berhadapan dua kali dengan
Rattigan, dia tidak takut kepada pembunuh.
Rattigan berada pada level berbeda. Dia
menjadikan Pippa, Sam, Thomas, dan Max monster—
merekayasa mereka, mengutak-atik mereka di
laboratoriumnya seperti sampel bak​teri un​tuk
percobaan. Namun, monster sesungguhnya adalah
Rattigan sendiri. Saat ini saja, Pippa bisa merasakan
bahwa Rattigan tengah membayangi entah di mana,
tak terjangkau olehnya, seperti orang yang luntang-
lantung di belakang pang​gung untuk menanti giliran
tampil—memanas-manasi mereka, merencanakan
desyrindah.blogspot.com

langkah selanjutnya.
Namun, di manakah Rattigan? Dan, apa yang
selanjutnya akan dia lakukan?
Masih banyak penonton yang berkeliaran di
seputar lobi, sebagian mengelilingi Emily, yang dengan
riang memberikan tanda tangannya. Pippa melihat
Rosie Bicker di pojok, di dekat awetan emu Tasmania
raksasa, sedang bercakap-cakap serius de​ngan Mr.
Dumfrey. Mr. Dumfrey memeluk sangkar Burung Api
dan sesekali menoleh untuk mendekut-dekut kepada
ung​gas itu, rupanya sedang berusaha menenangkan si
burung selepas musibah di atas panggung.
Berdasarkan reaksi burung itu—yakni memekik,
mengepak-ngepakkan sayap, dan berusaha menggigit
hidung Mr. Dumfrey sampai putus—kelihatannya
upaya Mr. Dumfrey kurang berhasil.
Sebelum mereka sempat mencapai pintu, Mr.
Dumfrey me​noleh dan melihat mereka. “Sam!
Thomas! Pippa! Max!” Dia mengedikkan dagu ke
langit-langit dan, kalaupun Pippa tidak bisa membaca
pikiran, dia niscaya memahami maksud Mr. Dumfrey:
Ke kantorku, sekarang.

“Tahu, tidak, si kemoceng pemarah bukan bagian dari


kese​pakatan kita,” adalah kata-kata pertama yang
desyrindah.blogspot.com

keluar dari mu​lut Rosie di kantor Mr. Dumfrey saat


pria itu meletakkan sangkar Burung Api di atas meja
sambil mendesah keras.
“Siapa yang kau panggil kemoceng, Kain Lap?” si
burung berkoak. Burung itu ada benarnya, pikir
Pippa. Hari ini, Rosie mengenakan blazer dan rok
yang kelihatannya mirip kain lap panci dan wajan.
“Dia cuma perlu latihan sedikit,” kata Sam
optimistis.
Rosie mengedikkan dagu ke arah anak-anak. “Soal
anak-anak ajaib ini, aku juga belum bilang setuju,”
kata Rosie. “Aku ke sini bukan untuk jadi pengasuh.”
“Oh, begitu, ya?” sergah Max, matanya berkilat-
kilat. “Yah, kami juga tidak butuh bantuan dari orang
cerewet berpakaian seperti Anda.”
Rosie menoleh kepada Max. Alih-alih tersinggung,
dia jus​tru memandangi Max dengan mata menyipit
penuh minat. “Tidak, ya?” Dia mengangkat alis.
“Sudahlah, Max, cukup,” kata Mr. Dumfrey,
bahkan sebelum Max sempat membuka mulut. Mr.
Dumfrey seperti biasa duduk di kursi kulit. Rosie
bertengger di tepi meja Mr. Dumfrey, selepas
meminggirkan replika tengkorak habeas​corpusaur—
dinosaurus yang konon masih hidup hingga awal
Zaman Renaisans, paling tidak menurut plang
desyrindah.blogspot.com

informasi yang Mr. Dumfrey tempelkan di dekat


model tersebut—seukuran aslinya. “Dan Rosie, di
mana keyakinanmu? Informasi ter​kadang datang dari
sumber tak terduga.”
“Betul!” Burung Api berkoak kegirangan.
“Lumayan pintar untuk ukuran pria gendut!”
Mr. Dumfrey memijat-mijat dahinya. “Aku mulai
mem​bayangkan,” katanya letih, “burung panggang
untuk makan malam. Bukan kau, Cornelius,” kata
Mr. Dumfrey, ketika Cornelius mengacak-acak
bulunya.
Pernyataan itu sontak membungkam Burung Api,
seti​daknya untuk sementara.
Rosie, yang kentara sekali pasrah menerima
kehadiran anak-anak, melepas topi dan menggaruk-
garuk kepalanya. “Aku sudah menggali informasi dari
sana sini. Dua warga lokal mengatakan rekanmu
Farnum bukan orang terakhir yang mengunjungi
Erskine pada malam dia meninggal.” Rosie merogoh
saku belakang dan mengeluarkan notes kecil, mirip
dengan milik Hardaway yang dibawakan oleh anak
buahnya. “Kira-kira pukul setengah sebelas malam—
lebih kurang se​perempat jam—seorang pria
mendatangi pintu depan. Kurus, tinggi sedang, topi
yang ditarik ke bawah, kumis awut-awutan. Tampak
desyrindah.blogspot.com

gelisah.” Rosie menutup notes dan mengemba​li​kan​nya


ke saku.
“Aneh,” kata Pippa lambat-lambat. Alarm
peringatan berdering-dering dalam benaknya begitu
mendengar kumis awut-awutan disebut-sebut.
“Kedengarannya seperti perampok di bank.”
“Perampok apa?” tanya Rosie, maka Pippa
menjelaskan bahwa dia dan yang lain sempat menjadi
saksi mata peram​pokan bank baru-baru ini.
“Upaya perampokan bank.” Thomas menoleh
untuk memberi klarifikasi. Dia berdiri di pojok, di
samping sangkar Cornelius, sedang memasukkan
pakan lewat sela-sela jeruji. “Uangnya berhasil
kurebut kembali, ingat?”
“Barangkali kebetulan,” ujar Rosie. “Banyak pria
yang berkumis awut-awutan. Suami keduaku,
contohnya. Bibir atas​nya seperti ketempelan rumput
laut. Aku sering tergoda untuk mencabuti kumisnya
supaya bersih.”
“Mungkin,” kata Pippa. Namun, penegasan Rosie
tidak meyakinkannya.
Selama ini, Rattigan tak ubahnya bayangan, yang
melintasi kehidupan mereka dan menggelapkan semua
yang dia sentuh. Mungkinkah dia terlibat juga dalam
kematian Erskine? Namun, mengapa? Sepertinya tidak
desyrindah.blogspot.com

ada alasan.
“Polisi sekarang harus membebaskan Farnum.”
Sam meng​edarkan pandang penuh harap ke sepenjuru
ruangan. “Akan kita buktikan bahwa Erskine masih
hidup ketika Jenderal Farnum pergi. Saksi mata yang
Anda temukan tinggal kita ajak saja ke polisi.”
“Ah, mengenai itu.” Rosie meringis. “Dengar, aku
rela memer​cayakan nyawa kepada narasumberku.
Mereka tidak pernah mengecewakanku, tidak pernah
mengibuliku. Tapi, pen​dapat polisi mungkin tidak
sama. Salah satu pernah ditahan beberapa tahun di
Sing Sing karena kasus pemalsuan, sedangkan yang
satu lagi pernah diinterogasi karena mencuri apel dari
keranjang belanjaan. Kejadiannya pada hari
Thanksgiving,” imbuhnya. “Apel curian enak untuk
dijadikan pai.”
Sam mengerang. “Hebat,” katanya. “Saksi mata
andalan kita ternyata pemalsu dan pencuri.”
“Kriminal!” Burung Api berkoak. “Sampah
masyarakat! Pecundang!”
Mr. Dumfrey bangkit dari kursi, menyambar
selimut rajut Navajo dari rak, dan melemparkannya
tanpa babibu ke sangkar Burung Api, alhasil meredam
koak si burung yang tiada henti.
“Aku pernah berhasil dengan amunisi yang malah
desyrindah.blogspot.com

ku​rang dari itu,” Rosie menyoroti. “Dan, kalau kita


harus ke persidangan, akan kupastikan supaya semua
anggota juri mengira kedua pria itu tidak pernah
meninggalkan gereja ke​cuali untuk membantu nenek-
nenek menyeberang jalan.”
“Mudah-mudahan tidak sampai ke persidangan,”
kata Mr. Dumfrey sambil duduk lagi di kursi.
“Sayangnya, waktu tidak berpihak kepada Jenderal
Farnum. Semakin cepat kita mengeluarkan dia,
semakin baik.” Mr. Dumfrey menoleh ke​pada Pippa,
mata birunya tampak cerah di balik kacamata, dan
Pippa sontak merasa gelisah, seolah Mr. Dumfrey-lah
yang sedang berusaha mengorek benak Pippa, bukan
sebaliknya. Mungkinkah itu bakat rahasia Mr.
Dumfrey, bertahun-tahun silam? Apakah Mr.
Dumfrey seorang mentalis juga? “Pippa, bagaimana
kalau kau beri tahu Rosie Bickers kalian mene​mu​kan
apa di apartemen Mr. Erskine?”
Keterkejutan membuat anak-anak terdiam dan
sekejap, Pippa yakin Mr. Dumfrey memang membaca
pikirannya. Thomas dan Sam bertukar pandang. Max
sibuk memeriksa tutup pulpen yang dia ambil dari
meja Dumfrey, seakan benda itu adalah artefak
berharga yang belum pernah dia lihat.
“Kami tidak—” Pippa memulai. “Maksudku,
desyrindah.blogspot.com

kenapa Anda mengira kami—” Dia menelan ludah.


“Kami bahkan tidak pernah ke Chrystie Street.”
“Philippa, kumohon.” Mr. Dumfrey melepas
kacamata dan meletakkannya di meja, bersandar
dengan ekspresi menye​rupai senyuman. “Aku sudah
mengenalmu sejak kanak-kanak—aku mengenal
kalian semua, sekalipun aku memang sempat
kehilangan jejak Mackenzie tersayang.”
Max merengut, tak diragukan lagi karena dipanggil
dengan embel-embel tersayang dan nama lengkapnya.
“Kalian kira aku tidak tahu ketika kalian bertindak
macam-macam?” lanjut Mr. Dumfrey. “Sudah
berhari-hari ka​lian berempat mengendap-endap dan
berbisik-bisik. Tanpa ke​cer​dasan setingkat Monsieur
Cabillaud sekalipun, mudah untuk menyimpulkan
bahwa kalian telah memutuskan untuk membantu
Jenderal Farnum sendiri. Lagi pula,” Mr. Dumfrey
kini tersenyum lebar dan merentangkan tangan, “kau
baru saja mengonfirmasinya.”
Wajah Pippa menjadi panas. Itu dia, pikir Pippa,
bakat sejati Mr. Dumfrey: tanpa kemampuan sihir
istimewa seka​lipun, Mr. Dumfrey selalu mengerti.
Thomas mengangguk kecil. Pippa menarik napas
dalam-dalam. “Kami memang pergi ke apartemen
Ernie Erskine,” kata Pippa. “Kami mencari barang
desyrindah.blogspot.com

bukti.”
Rosie bersedekap. Berdasarkan ekspresinya, Pippa
tak tahu dia marah atau tidak. “Kalian masuk dengan
cara apa? Bukan​kah polisi menempatkan penjaga di
luar?”
“Wah, dia agak ... sibuk karena ada urusan,” kata
Pippa. Dia tidak menyinggung-nyinggung bahwa
kesibukan tersebut adalah membantu Thomas yang
mengaku-aku sedang mencari alamat fiktif di Elmore
Street yang juga fiktif dan ujung-ujungnya semakin
membingungkan polisi sampai-sampai pria itu bah​kan
tidak tahu arah ke Sungai East. “Kemudian Sam, anu,
mencermati bahwa kenop pintu patah.”
“Barang sering kali patah secara spontan ketika
Sam hadir, menurut pengamatanku,” komentar Mr.
Dumfrey.
Rosie mengangkat alis tetapi tidak mengatakan
apa-apa. Pippa merasa wanita itu tampak sedikit
terkesan.
Thomas menimpali untuk menceritakan sisanya:
“Kami menemukan sekotak racun bernama Kutu
Kocar-Kacir. Tapi, botolnya kosong semua. Erskine
pasti sudah kehabisan racun.” Dia lalu menjelaskan
mengenai surat ancaman yang mereka temukan di
bawah pengisap tinta, bahwa Erskine sepertinya
desyrindah.blogspot.com

terusik ketika sedang menulis surat, dan kesimpulan


Sam bahwa Benny adalah Benny Mallett, yang
membuat Kutu Kocar-Kacir di tokonya di Sheepshead
Bay.
Usai Thomas bercerita, Rosie membisu beberapa
lama.
“Mungkin layak untuk ditindaklanjuti,” Rosie
akhirnya menggerung, seolah tidak suka
mengakuinya. “Saking banyak​nya laporan dan berkas
di kantorku, aku bisa saja mendiri​kan kantor koran
sendiri. Aku akan ke Sheepshead Bay begitu sempat,”
imbuh Rosie, bangkit dari balik meja dan kembali
memakai topinya.
“Sebenarnya,” kata Thomas sambil mengernyitkan
hi​dung, “kami berencana menemui Benny Mallett
siang ini.”
Pippa menahan napas. Ucapan Thomas adalah
sebentuk perjudian. Mr. Dumfrey sudah melarang
anak-anak untuk me​libatkan diri dengan urusan polisi
dan, sejak Rattigan berkelit dari penangkapan, Mr.
Dumfrey malah lebih rewel daripada biasanya.
Mereka akan tetap mendatangi Mallett sekalipun
dilarang Mr. Dumfrey, tentu saja. Walau begitu, Pippa
tidak suka membohongi Mr. Dumfrey.
Rosie menghentikan langkahnya menuju pintu. Dia
desyrindah.blogspot.com

berpu​tar untuk kembali menghadap mereka. “Kalian


mungkin luar biasa,” katanya lembut, “tapi sepertinya
pendengaran kalian di bawah rata-rata. Kubilang, biar
kutangani. Pembunuhan bukan urusan anak-anak,
baik yang luar biasa maupun tidak, dan aku tidak
akan—”
“Ah, biarkan saja mereka, Rosie,” kata Mr.
Dumfrey sambil mendesah kecil. “Mereka tetap akan
pergi, entah kita mengizinkan mereka atau tidak.”
Rosie berdiri diam sejenak, memperhatikan anak-
anak secara bergiliran. Pippa mendapati bahwa dia
bahkan tidak dapat mengintip ke dalam pikiran Rosie.
Benaknya rapat sekali, seolah dijaga pagar kawat
tajam yang berduri. Pippa tahu dia semestinya
tersinggung akan sikap Rosie—wanita itu jelas-jelas
meremehkan mereka—tetapi dia malah senang
mendengar gaya bicara Rosie yang blakblakan.
“Baiklah,” Rosie akhirnya berujar. “Tapi, jangan
harap aku mau membereskan keadaan kalau kalian
berulah.” Diiringi kata-kata itu, dia berbalik dan
menerjang ke koridor, bergerak seperti pemain
football yang menyasar gawang.
Begitu pintu tertutup di belakang Rosie, ekspresi
Mr. Dumfrey berubah serius. Dia mencondongkan
tubuh sambil mengatupkan tangan di atas meja.
desyrindah.blogspot.com

“Rosie ada benarnya,” kata Mr. Dumfrey. “Seperti


yang sudah kukatakan kepada kalian, ini bukan
permainan. Mallett mungkin berbahaya. Dia memang
berbahaya, kalau dia benar membunuh Erskine. Aku
percaya kalian akan bertindak hati-hati.”
“Kenapa Anda masih mau memercayai kami?”
tanya Pippa.
Mr. Dumfrey mendesah dan berdiri, lalu bergerak
ke jen​dela sempit yang menghadap pelataran kecil dan
bagian de​pan gedung-gedung kusam kelabu di
seberang jalan. Sambil melamun, Mr. Dumfrey
menjulurkan jari ke dalam sangkar Cornelius dan
burung itu pun mematuk-matuk jarinya dengan penuh
kasih. Lama Mr. Dumfrey diam saja.
Akhirnya, pria itu berbicara. “Bertahun-tahun
silam, ketika aku memantapkan diri untuk mencari
kalian—kalian ber​empat, anak-anak terakhir yang
diculik, atau dicuri, atau dibeli saudara laki-lakiku
untuk eksperimennya,” Mr. Dumfrey jarang kelihatan
marah, tetapi dia praktis meludahkan kata itu, “aku
bersumpah akan menjaga kalian supaya aman.
Bersumpah akan melindungi kalian.”
Bulu kuduk Pippa berdiri, seakan ada hantu yang
meniup tengkuknya. “Anak-anak terakhir?” ulangnya.
“Berarti ...?”
desyrindah.blogspot.com

Mr. Dumfrey tidak menoleh ke belakang. Namun,


Pippa bisa melihat bahwa pundaknya memerosot.
“Ada yang lain, benar,” kata Mr. Dumfrey lembut.
“Puluhan. Mungkin malah lebih.”
Dada Pippa serasa diimpit tangan tak kasatmata.
Dia sekonyong-konyong kesulitan bernapas. Dia
teringat mimpi buruk yang sudah membayang-
bayanginya sejak kecil, tentang lorong panjang dengan
kandang-kandang yang masing-masing berisi seorang
anak. Bukan mimpi buruk, Pippa sekarang tahu.
Kenangan.
Dia selalu meyakini bahwa korban Rattigan hanya
mereka berempat. Atau, mungkin itu bukan
keyakinan, melainkan harapan.
“Mr. Dumfrey,” Sam memberanikan diri untuk
menyela, “Rattigan tahu nama orangtuaku. Dia tahu
macam-macam tentang mereka. Dia pasti punya
hubungan dengan orang-orang yang dia pilih—”
“Andaikan benar begitu, aku tidak mengenal satu
orang pun,” kata Mr. Dumfrey lugas, “seperti yang
sudah pernah kukatakan kepada kalian.”
Pippa menelan ludah. “Tapi, kenapa kami?” Pippa
ber​sikeras. “Kenapa aku, atau Tom, atau Sam dan
Max? Pasti ada alasan.”
Mr. Dumfry ragu-ragu hanya sepersekian detik,
desyrindah.blogspot.com

tetapi dalam kurun waktu singkat itu, Pippa sempat


menyelinap buru-buru, meng​gapai benak Mr.
Dumfrey dan kontan me​rasakannya menegang seperti
otot, atau hewan yang disorot lampu menyi​laukan.
“Tidak ada alasan,” kata Mr. Dumfrey cepat. “Dia
sem​barang memilih.”
Pippa bergegas mundur dari benak Mr. Dumfrey
dan menem​pelkan tangan ke dadanya. Pippa merasa
seperti baru menghirup es. Mr. Dumfrey membohongi
mereka. Dia yakin.
“Tapi, tidak masuk akal, ‘kan?” Thomas
mengerutkan kening. “Kenapa dia repot-repot
mengenyahkan orangtua Sam kalau—”
“Sudah kubilang, aku tidak tahu.” Mr. Dumfrey
meng​gebrak birai jendela keras sekali sampai-sampai
panel kaca bergoyang. “Aku tidak tahu apa sebabnya
dia memilih satu pun di antara kalian.”
“Tunggu sebentar,” kata Max. “Anda bilang anak-
anak se​​perti kami berjumlah puluhan. Lalu,
bagaimana nasib yang lain?”
Mr. Dumfrey mendesah dan mengulurkan tangan
ke balik kacamata untuk mengucek matanya. Dia
masih menghadap jendela. Pippa bisa melihat
bayangannya, teriris oleh bingkai jendela.
“Eksperimennya berbahaya. Mengutak-atik darah
desyrindah.blogspot.com

dan otak. Memotong bagian-bagian hewan untuk


dicangkokkan ke manusia, menyatukan bagian
manusia yang satu dengan yang lain, dan sebagainya.
Berlagak seperti Tuhan.” Kini, suara Mr. Dumfrey
menyiratkan emosi yang belum pernah Pippa dengar—
kepedihan nan hampa, seperti penderita penyakit fatal
yang tak tersembuhkan. “Dia memperlakukan
manusia seperti tikus laboratorium. Dan, seperti tikus,
orang-orang mati bergelimpangan.” Suara Mr.
Dumfrey pecah sedikit dan dia pun berdeham.
“Karena itulah aku bersumpah akan menemukan
kalian berempat, sampai akhir hayatku kalau perlu.
Aku berharap mudah-mudahan kalian tidak akan
pernah tahu tentang Rattigan dan eksperimennya,
tidak perlu tahu tentang masa lalu. Tapi, aku ternyata
gagal.”
“Anda tidak—” Thomas hendak memprotes.
Mr. Dumfrey akhirnya berpaling dari jendela,
tangannya terangkat. “Jangan menyanggahku,
Thomas. Memang benar aku sudah gagal mencapai
tujuan awalku. Gagal menjaga kalian agar tetap aman.
Gagal melindungi kalian. Meski begitu, barangkali
tidak apa-apa.” Pada saat itu, Mr. Dumfrey kelihatan
jauh lebih tua daripada yang pernah Pippa lihat
selama ini. Sebuah kesadaran mendadak menyergap
desyrindah.blogspot.com

Pippa, membuat dadanya serasa ditusuk-tusuk:


mereka mustahil ting​gal di museum selamanya. Suatu
hari kelak, mereka harus me​ninggalkan Mr. Dumfrey.
Namun, siapa yang akan menjaga Mr. Dumfrey ketika
saat itu tiba?
“Kalian sudah besar,” kata Mr. Dumfrey, seolah
bisa membaca pikiran Pippa. “Di dunia ini, banyak
orang yang seperti Rattigan, tapi banyak juga hal yang
indah dan luar biasa. Kalian mesti melihat semuanya,
dengan mata kepala kalian sendiri. Jadi, pergilah.”
Mr. Dumfrey menyunggingkan senyum yang tidak
sampai ke matanya. “Sebentar lagi, akan tiba saatnya
aku tidak mampu lagi melindungi kalian. Tapi, aku
akan berusaha sebaik-baiknya. Kalian harus tahu itu.
Aku akan selalu berusaha sebaik-baiknya.” Kacamata
Mr. Dumfrey lambat laun berkabut. “Aku khawatir,
tidak lama lagi, kalian mesti mengandalkan diri
sendiri untuk saling melindungi.”[]
desyrindah.blogspot.com
16

PIDATO MR. DUMFREY MENYISAKAN


KEGELISAHAN dalam diri Thomas, membuat
dadanya sesak dan perut​nya melilit-lilit, seperti saat
kebanyakan menyantap bubur ken​tal Smalls yang
dimasak terlalu lama. Thomas tidak mau memikirkan
hari ketika dia harus meninggalkan museum. Bah​kan
meski atap museum terus-menerus bocor dan
seseorang selalu saja mendengkur, sedangkan kotak
uang sering kali kosong sehingga mereka harus makan
malam ala kadarnya berupa roti isi bologna goreng.
Namun, museum lebih daripada itu. Museum
adalah tempat Danny bermain biola atau, pada
kesempatan istimewa, memainkan bagpipe dan
menyanyikan balada tentang kur​caci heroik pada
zaman dahulu kala. Museum adalah tempat Betty
menyisir janggut panjangnya, tempat Caroline dan
Quinn ber​​gandengan sambil memperagakan tarian
desyrindah.blogspot.com

terbaru mereka (pada saat mereka bisa dibujuk untuk


berhenti berteng​kar barang sebentar). Museum adalah
tempat Lash mema​merkan kebiasaan, misalkan
membelitkan pecut ke gagang pel untuk
membersihkan lantai dari jarak jauh, dan Smalls
mendeklamasikan puisinya yang payah, sementara
Goldini mengubah kartu menjadi ikan emas dan ikan
emas menjadi koin yang dia tenggelamkan ke dasar
tangki. Museum adalah tempat Thomas bermain
Jebakan Maut dengan Sam pada saat hujan atau
membariskan kaleng-kaleng sup kosong di Ruang
Patung Lilin untuk bermain boling apel. Museum
adalah tem​pat Pippa berleyeh-leyeh di sofa sambil
mendengarkan radio dan Max menggembungkan
kedua pipi untuk menirukan Sersan Schroeder.
Dengan kata lain, museum adalah rumah mereka.
Selagi meninggalkan museum lewat pintu depan,
yang kini untungnya sudah bersih dari pengunjung,
Thomas ter​peranjat sampai-sampai semua pikiran
mengenai Mr. Dumfrey terlupakan dari benaknya. Di
seberang jalan, seorang pemuda jangkung kurus
berseragam sekolah rapi baru saja keluar dari pintu
gedung Von Stikk dan sekarang menyusuri jalan
cepat-cepat sambil melonggarkan dasi dan melepas
sweter. Dia kelihatan asing, masih bisa dikenali
desyrindah.blogspot.com

semata-mata berkat rambut pirang khas sewarna


jerami yang kini lengket ke ke​palanya karena diolesi
pomade banyak-banyak.
Thomas nyaris tidak percaya. “Chubby?”
“Tidak,” kata Pippa tercengang. “Tidak mungkin.”
Chubby berbelok dan berjengit, seakan-akan nyeri
karena dikenali. Sekejap, dia tampaknya
mempertimbangkan untuk kabur.
“Chubby.” Thomas mengangkat tangan dan
melambai, sekalipun jarak mereka hanya enam meter.
“Sedang apa kau?”
desyrindah.blogspot.com
“Apa yang kau pakai?” tanya Max.
Chubby berlari-lari kecil untuk menyeberang jalan,
sam​bil menoleh kanan kiri cepat-cepat. “Ssst,” dia
desyrindah.blogspot.com

mendesis. “Ja​ngan teriakkan namaku. Kalian ingin


semua orang di blok ini mendengar kalian?” Dia
masih berjuang untuk melepaskan sweter, kemudian
kepalanya menghilang sebentar dan sikunya menohok
bahan wol dari dalam. Akhirnya, dia berhasil
mem​bebaskan diri. Pergulatan dengan sweter
membuat rambutnya rancung ke angkasa sebagian.
Sam kentara sekali sedang berusaha menahan tawa.
“Ram​butmu berantakan,” katanya.
“Bagus.” Chubby menyugar rambut, alhasil
penampilannya ki​ni menyerupai orang yang baru kena
setrum. “Kalian tidak akan percaya ada aturan apa
saja di tempat itu. Bersihkan kuku. Masukkan kemeja.
Cuci tangan sehabis ke toilet.” Dia menggeleng-geleng
dengan jijik. “Seperti di penjara, hanya saja
membosankan.”
“Kau tidak betul-betul masuk ke sekolah Von
Stikk, ‘kan?” tanya Thomas. Mustahil membayangkan
Chubby—yang bu​kan saja pernah mengelola gembong
judi ilegal di samping ber​jualan koran, tetapi sempat
juga menumpang tinggal dengan sekelompok pencopet
amatir di Chinatown—mempelajari tabel perkalian
dan berlatih menulis halus.
“Harus.” Chubby tampak tersiksa. “Kalian dengar
tentang kapal sebelin yang akan diterbangkan ke atas
desyrindah.blogspot.com

kota Sabtu besok?”


“Maksudmu kapal zeppelin?” tukas Pippa.
“Itu kataku.” Chubby melirik Pippa dengan sebal.
“Po​koknya, Von Stikk mendapat tempat duduk
terbaik di kota. Di atap gedung kantor tepat di
seberang Ember State Building.”
“Empire State Building,” kata Thomas.
Chubby mengabaikannya. “Separuh penduduk
kota akan datang untuk menonton.” Dia menggaruk-
garuk leher, kelihatan agak malu. “Pokoknya, aku
punya, anu, kepentingan untuk melihat kapal itu
mendarat.”
“Chubby,” kata Thomas, “apa kau berjudi lagi?”
“Tidak, tidak,” kata Chubby, terlampau buru-
buru. “Bukan itu. Lebih tepatnya cuma ...
memperhitungkan kemungkinan.”
Pippa memutar-mutar bola mata.
“Jangan bilang-bilang aku masuk sekolah, ya?”
Chubby me​mandangi Thomas dan kawan-kawannya
dengan resah. “Aku tidak mau reputasiku rusak.”
“Oh, tenang saja,” kata Pippa. “Kami tidak ingin
memberi tahu siapa-siapa bahwa kau akhirnya belajar
membaca.”
Chubby, yang kentara sekali tidak menangkap
sarkasme Pippa, mengembuskan napas lega.
desyrindah.blogspot.com

“Makasih, Pip,” katanya sambil menepuk bahu Pippa.


“Aku tahu aku bisa meng​andalkanmu.”
“Namaku Pippa, Chubby,” katanya sambil
menggertak​kan gigi. “Atau, haruskah kupanggil kau
Len?”
“Tapi, kau tidak benar-benar belajar membaca,”
ujar Max, sebelum Chubby sempat menukas. Dari
ekspresinya, Max terkesan seolah baru mengatakan,
Kau tidak benar-benar belajar mencekik ular berbisa
dengan tangan kosong.
“Ceritanya begitu.” Chubby mengaitkan jempol ke
can​telan sabuknya, praktis membusungkan dada
karena bangga. “Kata Von Stikk, aku termasuk
muridnya yang paling pa​yah. Tapi,” lanjutnya dengan
serius, “sekolah ternyata tidak parah-parah amat.
Memang banyak pelajaran dan angka dan guru yang
mengoceh seharian. Dan kita dipakaikan baju seperti
pengkhotbah pada hari Minggu. Tapi makanannya
ternyata lumayan dan aku punya cara sendiri untuk
membuat suasana tetap menarik.”
Ekspresi Chubby menjadi licik.
Seolah diberi aba-aba, pintu institusi Von Stikk
terbuka tiba-tiba. Para murid berhamburan ke jalanan
sambil me​nu​tupi telinga dan batuk-batuk ke telapak
tangan. Jeritan me​lengking mengumumkan kehadiran
desyrindah.blogspot.com

Von Stikk. Dengan muka putih pucat, air mata


bercucuran ke pipi, dan rambut yang tergerai
berantakan dari sanggulnya, Von Stikk merangsek ke
luar bersama mereka.
“Mengerikan!” pekiknya. “SKANDAL!”
Chubby menyambar lengan Thomas dan
menariknya mengitari belokan. Yang lain mengikuti.
“Bom bau,” Chubby mengklarifikasi dengan suara
pelan. “Le​bih tepatnya dua buah, diledakkan
berbarengan. Aku men​dapat bantuan dari dalam. Bom
Kotor Ekstra-Bau 5000. Dari toko barang lawakan di
Fifty-Seventh Street yang ku​ceritakan kepada kalian.
Seisi bangunan pasti berbau seperti telur pecah yang
kelamaan disimpan di dalam kaus kaki kotor.”
Bahkan, dari jarak satu blok, Thomas bisa
mendengar suara batuk dan muntah yang tak henti-
henti.
“Wah, kerjamu bagus?” kata Thomas, berpikir
bahwa Chubby ingin mendengar itu.
Chubby berbinar-binar. “Makasih, Tom.” Dia
mengulurkan tangan, seperti hendak mengajak
bersalaman. “Selalu senang bertemu kau.”
Thomas, yang teringat sempat tersetrum kali
terakhir bersalaman dengan Chubby, buru-buru
memasukkan tangan ke saku. “Sama-sama, Chubby,”
desyrindah.blogspot.com

katanya. “Sampai ketemu lagi.”


“Dan cobalah untuk tidak belajar apa-apa, Len,”
kata Pippa sementara mereka berpisah.
“Jangan khawatir, Pip,” kata Chubby riang.
“Tidak akan.”

Sheepshead Bay terletak di ujung Brooklyn, praktis


bersebelahan dengan Samudra Atlantik. Walaupun
hanya selemparan batu dari promenade Coney Island
dan Luna Park yang ramai dan berwarna-warni,
Sheepshead Bay merupakan tempat sepi yang
didominasi rumah-rumah berdinding papan. Rumput
pantai tumbuh di sela-sela pagar kayu dan camar
berputar-putar ren​dah di langit.
Kita niscaya tidak menyangka, pikir Thomas, bisa
me​nemukan pembunuh di tempat seperti ini.
Namun, dia sendiri tahu bahwa pembunuh
adakalanya memiliki kedok berupa wajah yang biasa-
biasa saja. Alangkah praktis, pikir Thomas, andaikan
niat semua orang tergambar jelas di wajah mereka.
Sebaliknya, justru orang-orang seperti Monsieur
Cabillaud yang dinilai aneh, sedangkan monster bebas
berparade di jalanan sambil menyunggingkan senyum
normal.
Warehouse Benny Mallett terletak di ujung
desyrindah.blogspot.com

kawasan in​dustri yang pendek. Bangunannya, sebuah


warehouse bata berukuran sedang, bercat kuning
cerah. Di jendelanya malah terdapat kotak bunga.
Namun, asap tidak membubung dari sejumlah
cerobong yang berjajar di atapnya, semua jendelanya
gelap gulita, dan tidak ada gemuruh ataupun dengung
mesin. Seisi tempat itu terkesan terbengkalai. Thomas
mulai merasa waswas.
“Menurut kalian, apa dia sudah kabur?” tanya
Pippa, memelankan suara dan menyuarakan isi
pikiran Thomas. Thomas melirik Pippa dengan curiga
untuk melihat kalau-kalau gadis itu membaca
pikirannya, tetapi Pippa semata-mata memicingkan
mata ke jendela gelap sambil menggigiti bibir
bawahnya.
“Kalau iya, berarti bisa kita tebak bahwa dialah
yang membunuh Erskine,” kata Thomas. Dia
melangkah ke pintu dan mengangkat tangan untuk
coba-coba menggerakkan ke​nop. Namun, bunyi dari
dalam menghentikannya dan dia pun mematung.
“Apa?” kata Sam. “Ada apa?”
“Ssst.” Thomas menempelkan kuping ke pintu.
Bunyi itu terulang kembali: erangan rendah, seperti
suara orang yang kesakitan. Pippa pasti
mendengarnya juga. Mata gadis itu membelalak.
desyrindah.blogspot.com

“Diam di sini,” bisik Thomas kepada yang lain.


Jika Mallett berbahaya, dia mungkin menyekap orang
lain di dalam—tawanan, korban lain, seseorang yang
butuh pertolongan. Mungkin Mallett hilang kendali
dan mengamuk. Pokoknya, bodoh apabila mereka
masuk lewat pintu depan begitu saja tanpa
mengetahui apa yang menanti mereka di balik sana.
Thomas melangkah mundur untuk meneliti bagian
depan bangunan. Langkah pertamanya gampang: dia
melompat ke birai batu di bawah jendela lantai satu,
mengitari kotak bunga dengan hati-hati, dan berusaha
mengintip ke dalam. Namun, jendela-jendela ternyata
ditutupi kasa logam halus sehingga mustahil untuk
melihat ke dalam. Dia harus naik lagi.
Memanjat, meregang, membengkokkan diri,
menyempil, melata, dan menggeliang-geliut—
semuanya adalah keahlian Thomas. Kurang dari
semenit, dia sudah memanjati muka bangunan,
dengan mudah menemukan pegangan dan pijakan
pada bata, dan mencapai deretan jendela di lantai dua.
“Hati-hati,” desis Pippa dari tanah.
Thomas melambai untuk menunjukkan bahwa dia
baik-baik saja. Kemudian, sambil berjongkok di salah
satu birai batu sempit, dia menangkupkan tangan ke
seputar mata dan menempelkan wajah ke kaca kotor.
desyrindah.blogspot.com

Dari posisinya, Thomas bisa melihat jelas ruang


terbuka lapang dan aneka tong, kompresor, serta
tungku yang pasti Mallett gunakan untuk
memproduksi Kutu Kocar-Kacir dalam jumlah besar.
Namun, persis dugaannya, tidak ada roda gigi yang
berputar, tidak ada pipa yang menyemburkan uap,
tidak ada bahan kimia yang mendidih di dalam kuali
tembaga be​sar, tidak ada pekerja bersarung tangan
putih dan bermasker pelindung uap yang mondar-
mandir.
Di pabrik Mallett yang praktis kosong, hanya
terdapat satu orang: pria berdahi botak mengilap dan
berambut hitam tipis yang mencuat di atas kedua
telinganya. Dia membungkuk di atas meja di pojok,
satu tangannya memegangi kening dan tangan
sebelahnya mencengkeram gelas tinggi berisi cairan
cokelat. Sementara Thomas memperhatikan, pria itu
terduduk tegak tiba-tiba, bergoyang sedikit di
kursinya, dan menenggak minuman sampai habis.
Ketika dia memiringkan kepala ke belakang, Thomas
sekilas menangkap wajah merah bengkak dan jejaring
pembuluh kapiler pecah yang menyebar dari hidung
sampai ke pipinya.
Thomas merunut rute pemanjatannya untuk turun,
me​rambat seperti laba-laba sambil mencengkeram
desyrindah.blogspot.com

sela-sela bata dengan jari tangan dan kakinya, sampai


tiba di jalan.
“Tidak apa-apa,” kata Thomas ketika bergabung
kem​bali dengan teman-temannya. Erangan Mallett
terdengar lebih keras di bawah sini, alhasil Pippa
kelihatan cemas. “Itu suara Mallett,” kata Thomas.
“Dia tidak terluka. Dia cuma—”
“MABUK!” Suara Mallett yang meraung tiba-tiba
mem​​buat Pippa memekik. Thomas terlompat, lalu
berbalik meng​hadap Mallett yang telah menjeblakkan
pintu hingga terbuka dan kini berdiri sempoyongan di
pintu sambil mencengkeram botol. Thomas
terperanjat karena Mallett, dalam keadaan berdiri,
ternyata mungil—hanya sedikit lebih besar daripada
Danny si Manusia Kerdil dan setidaknya lima
sentimeter le​bih pendek daripada Thomas.
Dia mengenakan setelan jas ramping bergaris-garis
tipis dengan rompi yang serasi, sedangkan saputangan
merah men​colok tersemat di sakunya. Namun, kini
setelan jasnya kusut dan bebercak noda di mana-
mana. “Semabuk pencuri pada hari Minggu. Semabuk
burung hantu rebus!” Dia menuding Thomas,
matanya sekejap menjadi jereng kemudian kembali
menatap lurus. “Tapi, siapa kau?” katanya sengau.
“Kalau kau datang untuk minta dibayar, angkat kaki
desyrindah.blogspot.com

saja sana. Aku tidak punya uang. Uangku habis—


habis semua! Jadi, kalian kutu pengganggu boleh pergi
kocar-kacir dari sini! Kutu Kocar-Kacir! Mengerti?”
Dia menenggak minuman banyak-banyak langsung
dari botol lalu terbatuk-batuk, harus bersandar kuat-
kuat ke kosen supaya tidak ambruk ke jalan.
Thomas menunggu hingga batuknya reda. “Kami
datang bukan untuk minta uang.” Thomas berusaha
untuk menerka apakah Mallett gila atau berbahaya
atau sekadar kepayahan. Mungkin ketiga-tiganya.
Thomas spontan mengarang alasan. “Kami ke sini
hanya untuk mendengar cerita versi Anda.”
Ucapan Thomas sempurna—celetukan basa-basi
yang bisa ditafsirkan sesuai kemauan pendengar.
Mallett menegakkan tubuh seperti habis disetrum.
“Cerita versiku,” katanya sambil mengangguk-angguk
cepat sekali. “Tidak ada yang ingin men​dengar cerita
versiku sebelum ini. Tidak ada yang peduli. Ayo
masuk, masuk.” Dia beranjak dari jalan sambil
melambai ke​pada anak-anak agar mengikutinya
masuk ke warehouse.
Di dalam, ruangan berbau bahan kimia lama dan
juga wiski. Mallett terhuyung-huyung dengan kikuk
ke meja dan duduk di kursi. Saking pendeknya, bahu
Mallet bahkan le​bih rendah daripada gagang pengisap
desyrindah.blogspot.com

tinta dan andaikan dia mencondongkan tubuh,


hidungnya niscaya membentur tum​pukan kertas di
bawah pengisap tinta tersebut.
“Tempat yang bagus,” kata Sam, jelas sedang
berusaha sebisa mungkin untuk bersikap ceria.
“Iya,” kata Max blakblakan. “Jadi, apa yang
terjadi di sini?”
“Apa yang terjadi?” Mata Mallett semerah darah
dan kabur. Dia mesti berkedip-kedip dan memicing
beberapa kali untuk memfokuskan tatapan kepada
Max. “Yang terjadi adalah, seseorang mencoba
menghancurkanku.”
Bulu kuduk Thomas berdiri. Jangan-jangan benar
Mallett seorang pembunuh? Apakah dia hendak
mengaku? Kedua tangannya tidak kelihatan di balik
meja. Dia bisa dengan mudah membidikkan senjata
api ke arah mereka.
“Siapa?” tanya Thomas. Dia menunggu Mallett
menga​takan Erskine.
Yang mengejutkan, Mallett justru menggeleng-
geleng. “En​tahlah,” katanya sedih. “Coba aku tahu.
Tapi, kurasa sekarang tidak penting lagi. Aku sudah
tamat. Mereka ingin aku celaka dan itulah yang
mereka dapatkan.”
“Bicaralah kepada kami,” kata Pippa tegas sambil
desyrindah.blogspot.com

me​numpukan kedua tangan ke atas meja. “Beri tahu


kami apa yang terjadi.”
Mallett kelihatan sungkan saat Pippa
memindahkan bo​tol, yang hendak dia gapai, tetapi dia
tidak mengutarakan keberatan. “Aku sudah bekerja di
bisnis ini sejak usiaku dua belas tahun,” katanya.
“Berawal dari pembakar Bunser dan sebuah cita-cita,
aku mengutak-atik berbagai formula. Aku membuat
botol pertama Kutu Kocar-Kacir sewaktu usiaku dua
belas tahun. Semprot dua atau tiga kali, beres. Koloni
kutu langsung musnah. Tempat ini kubangun sendiri
dari nol. Raja Pembasmi Kutu. Semua orang
memanggilku begitu.” Dada​nya, yang sempat
membusung bangga, kembali mengempis. “Kemudian,
sejak beberapa bulan lalu, bahan baku utamanya
mulai sulit didapat di seluruh Pesisir Timur. Usut
punya usut, ada konglomerat Staten Island yang
memborongnya.”
“Bahan baku utamanya—ethyl parathion, ‘kan?”
tanya Thomas.
Kaget, Mallett sontak menolehkan tatapan
matanya yang kabur ke arah Thomas. “Benar,”
katanya. “Ajaib benar, ethyl parathion itu. Kalau
sendiri, zat itu seberbahaya susu. Tapi, campur dengan
sedikit hidrogen dan kita niscaya mendapatkan racun
desyrindah.blogspot.com

paling mematikan di dunia. Bahkan pihak militer


ti​dak mau lagi menggunakannya. Menewaskan terlalu
banyak orang—di kedua belah pihak—pada masa
perang. Mereka dulu me​nye​butnya gas pencabut
nyawa, asal kalian tahu.”
Thomas memutuskan sudah waktunya untuk
langsung menusuk ke jantung persoalan. “Apa Anda
kenal Ernie Erskine?”
Mallett mengerutkan kening. “Erskine.” Dia
menyandar loyo ke kursi. “Erskine. Kedengarannya
tidak asing ….”
“Dia mengirimi Anda surat ancaman,” pancing
Pippa.
Mallett semata-mata mengangkat bahu. “Aku
mendapat lusinan surat ancaman tiap hari,” katanya
seraya melambai ke setumpuk surat di meja. “Harus
menghentikan pengiriman dan tidak sanggup
mengembalikan uang siapa pun. Mau bagaimana lagi?
Aku sudah bangkrut.”
Thomas mendadak merasakan sensasi tidak enak di
sela-sela matanya, seakan ada yang mendorong titik
itu. Rasanya mirip disikut, hanya saja yang kena sikut
adalah otak. Ke​mudian, terdengarlah suara Pippa,
berbicara lirih sekali kepada Thomas, tetapi sejelas
andaikan anak perempuan itu berbisik ke telinganya.
desyrindah.blogspot.com

Tanyakan tentang Rattigan, kata Pippa di dalam


kepala Thomas.
Keluar dari kepalaku, Thomas membalas dalam
pikiran​nya sekaligus memelototi Pippa dengan galak.
Pippa yang asli malah mengangkat bahu, seakan-
akan hendak berkata, Apa?
Pippa dalam kepala Thomas berkata, Lakukan
saja. Tho​mas hendak bertanya—atau menanyakan
dalam pikirannya—untuk apa, ketika dia teringat
bahwa Rosie menyebut-nye​​but seorang pria berkumis
awut-awutan sempat dilihat keluar dari kantor
Erskine pada malam pembunuhan, sedangkan
des​kripsi penampilannya mirip dengan pria yang
menahan mereka di bank.
Akan kutanyakan, pikir Thomas, asalkan kau
keluar dari kepalaku.
Thomas sejenak merasakan tekanan di balik bola
mata​nya—kemudian beban tersebut menghilang dan
enyahlah Pippa dari kepalanya. Thomas merasa luar
biasa lega, lalu kesal. Jauh lebih baik, pikirnya, ketika
Pippa cuma bisa membaca isi saku dan dompet orang.
Hubungan antara Mallett dengan Rattigan mulai
terke​san bak spekulasi melantur belaka. Namun,
Thomas menepati janji—paling tidak karena dia takut
Pippa merangsek masuk lagi ke dalam benaknya dan
desyrindah.blogspot.com

iseng menyenandungkan lagu yang menyebalkan.


“Bagaimana dengan Nicholas Rattigan?” kata
Thomas. “Pernahkah Anda mendengar tentang dia?”
Mallett mengerutkan kening. Matanya juling
sejenak, lalu kembali lurus. “Rattigan …,” katanya
serius. “Maksudmu pria sinting yang kabur dari
penjara?”
Thomas mengangguk.
Mallett menggeleng. “Kabar buruk. Pernah
membaca ten​tang dia di koran. Dengar-dengar dia
dulu melakukan percobaan kepada manusia hidup,
memperlakukan mereka seperti tikus laboratorium.”
Mereka ternyata membentur jalan buntu di sini.
Mereka sepertinya sudah kehabisan pertanyaan—dan
petunjuk.
“Terima kasih banyak atas waktu Anda, Mr.
Mallett,” kata Pippa seriang mungkin.
“Iya. Anda sudah sangat membantu,” Thomas
berbohong.
“Kami yakin situasi Anda akan segera membaik,”
imbuh Sam.
Mallett menggeleng. “Tidak usah berpura-pura.
Kutu Ko​car-Kacir sudah tamat. Mati.”
Mallett lalu membenturkan dahinya ke meja dan
mulai me​nangis, alhasil membuat Thomas ngeri bukan
desyrindah.blogspot.com

kepalang.
Sesaat berselang, Sam beringsut-ingsut ke depan
dengan canggung. Dia mengangkat tangan seolah
hendak menepuk-nepuk bahu Mallett—kemudian,
kentara sekali teringat bahwa dia bisa saja merusak
tulang punggung Mallett jika tidak hati-hati, Sam
semata-mata menurunkan tangannya.
“Jangan menangis, Mr. Mallett,” kata Sam. “Tidak
mung​kin seburuk itu. Pasti ada hal lain yang bisa
Anda kerjakan.”
“Iya,” kata Max. “Mungkin Anda bisa membuat
racun tikus.”
Mallett mendongakkan wajah yang demikian
merana se​hingga Thomas mau tak mau merasa iba
kepadanya.
“Kutu,” kata Mallett. “Kutu adalah bagian tak
terpisahkan dari hidupku.”
Mendengar pernyataan pria itu, Thomas merasa
mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi.[]
desyrindah.blogspot.com
17

BAHKAN, SEBELUM KELIHATAN, KITA


NISCAYA tahu ketika sudah dekat dengan Coney
Island. Selagi menyusuri Surf Avenue untuk menuju
taman bermain besar gemilang, kita bisa merasakan
getaran roller coaster Cyclone yang meng​gemuruh
sepanjang rel dan mendengar hiruk pikuk antusias
memenuhi udara: pekikan anak-anak yang
menumpangi waha​na mendebarkan; siulan dan
letupan dari kios-kios permainan; raungan operator
yang memanggil-manggil para pengunjung, berusaha
memikat mereka agar sudi membelanjakan koin lima
atau sepuluh sen.
Musim sibuk sudah lewat, tetapi suasana tetap saja
ramai. Di bawah kehangatan petang, pasangan
berjalan berdamping​an di promenade, sedangkan
anak-anak berlarian di pasir putih pantai sambil
tertawa. Di kejauhan, lampu-lampu Luna Park—
desyrindah.blogspot.com

totalnya 250.000, menurut Thomas—baru saja


dinyalakan, sekalipun hari belum gelap total. Udara
dipekatkan oleh wangi hot dog panggang dan
berondong berlumur mentega, semua bercampur baur
dengan udara beraroma garam dan parfum.
Sam sementara bisa melupakan Mallett malang
yang bangkrut dan almarhum Erskine yang malang
serta Jenderal Farnum yang sama malangnya, yang
masih terkurung di dalam sel. Dia bisa melupakan
bahan kimia berbahaya dan peram​pokan bank serta
monster seperti Rattigan, yang memanfaatkan orang
sebagaimana orang memanfaatkan saputangan. Dia
bisa melupakan semua yang sudah dia lihat, justru
menikmati sa​ja sinar matahari sore yang menerpa
wajahnya dan keindahan wahana-wahana
Steeplechase Park besar yang menukik dan meliuk-liuk
seperti sebuah kota yang dibangun di udara.
“Lihat,” kata Thomas. “Lihat komidi putar itu?”
Seperti biasa, ketika antusias, Thomas tidak
menunggu jawaban. “Itu komidi putar pertama di
Pesisir Timur dan dinamai—”
“Di mana Max?” Sam memotong.
Max seperti biasa luntang-lantung sedikit di
belakang rom​bongan, seolah tidak sudi dikaitkan
dengan mereka. Sam se​sekali melirik ke balik bahunya
desyrindah.blogspot.com

untuk memastikan Max baik-baik saja—sambil lalu,


hati-hati sekali, supaya Max tidak me​lihat karena
bisa-bisa dia berang dan menghunjamkan pisau ke
antara kedua mata Sam. Namun, Max telah
menghilang entah ke mana di promenade.
Thomas berbalik, mengamati khalayak ramai. Dia
me​ngerutkan kening. “Aneh,” katanya. “Dia tadi
tepat di belakang kita ....”
Promenade penuh sesak dengan orang—wanita
bergaun dan pria dengan lengan baju disingsingkan
yang berjalan-jalan santai serta seribuan kanak-kanak
yang membawa balon atau hadiah atau harum manis.
Kira-kira, ke mana Max pergi?
Rattigan. Nama itu membayangi, seperti belati
yang me​nebas seluruh kegembiraan Sam. Dia berusaha
menepis kemungkinan itu. Untuk apa Rattigan
menculik Max seorang? Lagi pula, Max tidak akan
pernah membiarkan dirinya di​tangkap semudah itu.
Namun, Sam tetap saja tidak bisa mengenyahkan
firasat buruk. Perasaan itu tidak akan bisa dienyahkan
sampai Rattigan mati.
“Haruskah kita berpencar untuk mencarinya?”
Thomas sekalipun terdengar bimbang.
“Tidak perlu,” ujar Pippa.
Sam dan Thomas menoleh untuk memandangnya.
desyrindah.blogspot.com

Pippa berdiri bersedekap dengan air muka teramat


janggal—seperti baru menelan lada hitam bulat-bulat.
Dia mengedikkan dagu ke arah taman. “Taruhan, aku
tahu persis di mana dia berada.”
Sam menoleh ke arah yang diindikasikan oleh
Pippa. Men​julang tinggi melampaui loket tiket yang
mendominasi jalan masuk ke Steeplechase, tampaklah
bangunan mahabesar yang seolah terbuat seluruhnya
dari kertas pengumuman, spanduk kain, dan lampu
listrik—seperti monster raksasa asimetris yang
pencong saja. Di puncak atap curam, terpampang
plang besar bercahaya merah muda dan putih yang
berbunyi Panggung Atraksi Coney Island.
Di bawahnya, terpasang terpal tebal yang dipaku
ke bibir atap dan memuat tulisan tangan: Satu-satunya
yang Menam​pilkan Manusia-Manusia Ajaib TULEN
di New York City! Ja​ngan Sampai Tertipu oleh Para
Peniru Murahan!
Panas yang merambat di tengkuk Sam
bertransformasi menjadi rasa gatal tak tertahankan.
Panggung Atraksi Coney Island, kata Tom dan Pippa,
adalah tempat kerja Howie yang baru.
“Masa Max ke sana?” kata Sam setengah hati.
“Itu,” kata Thomas sambil menunjuk.
Sam melihat rambut gelap Max yang panjang
desyrindah.blogspot.com

berantak​an di antara kerumunan orang yang


berduyun-duyun di pintu masuk taman.
“Seharusnya sudah bisa kutebak,” kata Pippa,
menggeleng-geleng. Dia beranjak ke gerbang
Steeplechase. Thomas meng​ikutinya.
“Kalian mau ke mana?” Sam memanggil mereka.
Kekha​watirannya terhadap Max segera saja saja
berubah menjadi kekesalan. Dia tidak mau mengikuti
Max ke dalam tempat butut itu untuk menyaksikan
Max memelototi mantan pa​carnya. Atau siapa pun si
Howie itu.
Pippa menengok ke belakang, menatap Sam dengan
jeng​kel. “Ayolah, Sam,” katanya. “Tidakkah kau
penasaran barang sedikit?”
Memang—tetapi sedikit sekali. Meski begitu, saat
harus memilih antara berdiri sendirian atau mengikuti
teman-temannya, Sam bersedekap dan membuntuti
mereka sambil tersaruk-saruk, menggerutu supaya
mereka tahu bahwa dia tidak senang.
Selagi mendekati jalan masuk, Sam memperhatikan
bahwa harga tiket masuk sudah dinaikkan menjadi
seperempat dolar. Dia tidak punya uang—begitu pula
Thomas atau Pippa, dia tahu itu. Dia tidak bisa
membayangkan bagaimana bisa Max menyelinap
masuk—tetapi Max memang punya cara tersendiri
desyrindah.blogspot.com

untuk melebur ke dalam kerumunan. Karena itulah


dia piawai mencopet.
Thomas kentara sekali menyadari hal yang sama.
Dia ber​henti beberapa meter dari penjual tiket,
merogoh-rogoh saku untuk mencari uang.
“Tidak usah repot-repot,” ujar Pippa. “Kau tidak
punya uang, tapi kau membawa peniti dan kancing
biru dongker.”
Thomas menggapai ke dalam saku kirinya, lalu
mengelu​arkan kancing sambil berseru penuh
kemenangan. “Aku sudah mencari ini ke mana-
mana.”
Pippa memutar-mutar bola mata. “Ikuti aku,”
katanya.
Kemudian, dalam waktu kurang dari dua detik, dia
ber​transformasi. Lenyaplah Pippa sang mentalis, Pippa
sang pem​baca pikiran, Pippa yang kadang-kadang
terlalu suka main perintah; digantikan anak
perempuan bertampang ketakutan yang berponi hitam
lurus mengilap, mata berbentuk buah badam, dan
bibir bawah gemetaran.
“Harga tiket seperempat dolar,” kata pria di balik
salah satu loket ketika mereka mendekat.
Pippa mengeluarkan suara yang sangat tidak
disangka-sangka sampai-sampai Sam terlompat dan
desyrindah.blogspot.com

menoleh kepadanya. Kesannya seolah ada kodok


bangkong yang tersangkut di tenggorokan Pippa.
Kemudian, Sam menyadari bahwa Pippa pura-pura
menangis.
“Kumohon,” kata Pippa. “Kami terpisah dari
orangtua. Mereka masih di dalam.”
Thomas serta-merta turut bermain. “Sudah
kubilang,” kata​nya. “Kita seharusnya menemui
mereka di luar wahana Steeplechase.”
Penjual tiket memandangi mereka silih berganti
dengan ekspresi penuh perhitungan. Mereka sama
sekali tidak mirip kakak beradik. Tinggi Thomas dan
Pippa kurang lebih sama, tetapi Thomas berambut
pirang dan berkulit pucat berbintik-bintik seperti
ketempelan debu secara permanen di pipi dan
hidungnya, sedangkan Pippa berpenampilan gelap
bersiku-siku, kulitnya mulus dan rambutnya hitam
mengilap sepanjang dagu. Penampilan Sam malah
lebih kontras lagi dibanding mereka berdua, lebih
tinggi hampir dua puluh sentimeter, berhidung
kebesaran, bertelinga menonjol, dan berambut cokelat
lepek.
Pippa lagi-lagi mengeluarkan isakan palsu. “Aku
tidak mau jadi anak yatim piatu!” dia melolong.
Beberapa orang menoleh untuk memandangi mereka
desyrindah.blogspot.com

dan si penjual tiket buru-buru melambai untuk


mempersilakan mereka masuk.
“Ya sudah,” katanya. “Cepat, sana. Mumpung
manajerku tidak melihat.”
Begitu berada di dalam gerbang, Sam mematung
karena terpukau oleh banyaknya orang yang berjalan-
jalan di adi​marga dan mengantre untuk menaiki
wahana serta me​nunggu giliran di kios ketangkasan.
Terdapat pula sejumlah roller coaster raksasa yang
berkelok-kelok seperti untaian pita, diba​ngun di atas
kuda-kuda kayu tinggi yang mengingatkan Sam pada
tulang belulang. Namun, yang paling tinggi di antara
semuanya adalah komidi putar megah, berputar di
angkasa dan memancarkan bayang-bayang yang
menyelimuti mereka semua.
Anak-anak langsung menuju Panggung Atraksi
Coney Island, yang dari dekat ternyata lebih besar dan
lebih jelek daripada kelihatannya di balik loket tiket.
Pintu masuk di​apit spanduk-spanduk buatan tangan
yang menggambarkan aneka penampil—manusia
kerdil, wanita gemuk, pria anjing, Alicia si Tangan
Buntung Ajaib, pelempar laso bernama Tiny Tex, dan
juga Howie, lengkap dengan senyum penuh kepalsuan
yang membuat Sam berang, rambut disisir ke
belakang, dan kepala yang diputar 180 derajat.
desyrindah.blogspot.com

“Bercanda, ya?!” kata Pippa. Dia menunjuk plang


bertulis​kan huruf-huruf rapi di samping pintu, yang
mengumumkan bahwa Panggung Atraksi Coney
Island merupakan kantor resmi S.U.P.E.R.I.O.R—
inisial organisasi congkak Howie: Stop Unnatural
Phony Enetrtainers from Ruining and/or Impairing
Our Reputation—Hentikan Empat Bocah Abnormal
Penghibur Sebelum Menghancurkan dan/atau
Merusak Reputasi Kami.
“Aku bersumpah,” kata Thomas, teramat merah
padam sampai-sampai bintik-bintik sekejap hilang
dari wajahnya, “kalau kapan-kapan aku melihat
bocah itu di gang gelap, se​baiknya dia lari.”
Di pintu masuk, juru promosi yang mungkin saja
me​nyambi sebagai raksasa dalam pertunjukan berdiri
di bangku berkaki tiga nan kukuh sambil berteriak-
teriak untuk mena​rik perhatian khalayak, berbicara
cepat sekali sehingga kata-katanya terdengar sebagai
aliran suara kontinu belaka. Sam bertanya-tanya
bagaimana bisa dia sempat bernapas. Mungkin dia
memiliki insang dan tampil sebagai manusia ikan di
atas panggung.
“Mari kemari, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak! Jangan
malu-malu! Anda akan terkagum-kagum! Anda akan
terkesima! Sak​sikanlah keajaiban dan keunikan yang
desyrindah.blogspot.com

niscaya Anda ingat sampai akhir hayat! Jangan


lewatkan pertunjukan kami yang tiada duanya, Ibu-
Ibu dan Bapak-Bapak, manusia-manusia aneh tapi
nyata, satu-satunya yang a-se-li seratus persen di New
York City—”
“Sekarang apa?” kata Sam kesal. Dia tidak kuasa
mema​lingkan pandang dari poster bodoh Howie.
desyrindah.blogspot.com

Kali ini, Thomas-lah yang mengambil inisiatif.


“Ikuti aku,” katanya.
Juru promosi terus saja berteriak tak henti-henti,
bahkan saat mereka menghampiri. “Cuma 25 sen,
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak! Anda akan melihat Derrick
si Bocah Bermuka Anjing, pemuda yang praktis
normal tapi mirip sekali dengan Saint Bernard! Ada
pula Alicia si Tangan Buntung Ajaib, yang piawai
mempraktikkan keterampilan paling pelik hanya
menggunakan kakinya—”
“Maaf, kami terlambat,” kata Thomas sambil
tersengal-sengal, memotong pidatonya. “Haruskah
kami langsung masuk ke teater saja?”
Juru promosi terbata-bata, seakan mesti secara fisik
me​nelan kata-katanya. “Terlambat?” katanya. “Apa
maksudmu?”
“Maksudku, kami tersesat dan kalau kami tidak
buru-buru berganti pakaian, bisa-bisa kami dihabisi,”
kata Thomas. Si juru promosi memandanginya sambil
melongo. “Jadi, haruskah kami langsung saja ke
teater? Atau ada jalan pintas?”
Juru promosi mengatupkan mulut kuat-kuat
sampai ber​bunyi. “Maksudmu kalian adalah anggota
desyrindah.blogspot.com

rombongan?” ta​nyanya. Matanya menyipit curiga.


“Kalau begitu, kenapa aku tidak pernah melihat
kalian?”
Alih-alih menjawab pertanyaan secara langsung,
Thomas malah menoleh kepada Sam.
“Ayo,” kata Thomas, masih berlagak tak sabar.
“Tunjukkan kepada dia.”
“Aku?” pekik Sam.
Thomas mengangguk, menatap Sam dengan
ekspresi yang menyiratkan jangan mengacau.
Sam tidak tahu Thomas mengharapkan apa
darinya—demonstrasi kekuatan, pastinya. Setelah
menatap Thomas tanpa daya selama setengah detik,
Sam berputar, membungkuk, dan memegangi satu
kaki bangku dengan tangan kanan. Kemudian, Sam
mengangkat bangku yang masih diduduki si juru
promosi ke udara.
Si juru promosi terkesiap sambil mengayun-
ayunkan lengan ke samping untuk menjaga
keseimbangan. “Turunkan aku,” katanya. Wajahnya
kini pucat pasi. “Sekarang! Saat ini juga!”
Sam menurut. Begitu bangku menyentuh tanah, si
juru promosi turun sambil terhuyung-huyung.
Pippa tersenyum kepada pria itu. “Jadi,” katanya
riang, “boleh kami masuk?”
desyrindah.blogspot.com

“Sana,” kata si juru promosi. Butir-butir keringat


ber​munculan di wajahnya. “Tapi yang cepat.
Pertunjukan sebentar lagi mulai.”
“Tadi itu genius,” bisik Pippa kepada Thomas
sementara mereka memasuki ruang depan.
Thomas mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku
belajar dari yang terbaik.”
Ruang depan gelap berukuran panjang sempit dan
diapit lemari-lemari kaca, seperti yang Mr. Dumfrey
gunakan untuk memajang barang-barang unik. Sam
terperanjat saat meli​hat bahwa semua barang milik
museum yang konon tidak ada duanya ternyata bukan
tidak ada duanya. Di sini, misalkan saja, terdapat topi
bulu rakun yang dikenakan Davy Crockett dan pena
bulu angsa yang digunakan Thomas Jefferson untuk
menandatangani Deklarasi Kemerdekaan.
Sam sudah tahu sedari dulu, jauh di lubuk hati
terdalam, bahwa Mr. Dumfrey mengaburkan
kebenaran mengenai koleksi barang uniknya. Namun,
Sam setidak-tidaknya percaya bahwa dusta Mr.
Dumfrey orisinal. Namun, masing-masing relikui unik
historis yang tak ternilai ternyata memiliki duplikat di
sini. Bedanya, semua benda di sini tampak agak—
bukan agak, melainkan jauh—lebih bagus.
Di ujung ruang depan, sebuah plang mengarahkan
desyrindah.blogspot.com

mereka ke tirai tebal. Teater terletak di balik tirai itu.


Ruangan tea​ter itu sendiri menjadikan Odditorium di
Museum Aneh tapi Nyata Dumfrey terkesan
menyedihkan dan kecil. Langit-langit bersepuh emas
dan tiap jengkalnya dilukisi adegan fantastis yang,
mungkin, akan segera ditampilkan di atas panggung:
manusia perkasa yang membengkokkan pipa besi
menjadi dua; manusia karet yang melengkungkan
punggung jauh sekali ke belakang hingga bisa
mengintip ke sela tungkai; manusia buaya
bermoncong panjang dan bergigi-gigi tajam seram.
Kursi-kursi berlapis beledu asli—bukan hanya kain
felt yang disikat sampai halus, yang ditambal di sana
sini dan diolesi semir sepatu berulang-ulang, seperti di
museum Dumfrey. Panggung terang benderang berkat
lampu-lampu sorot yang dipasang di bawah, atas, dan
samping. Selain itu, teater penuh. Semua kursi
diduduki penonton dan sebagian hadirin malah berdiri
karena tidak kebagian tempat duduk, menjulurkan
kepala agar bisa melihat panggung lebih jelas.
Tidak butuh waktu lama untuk menemukan Max.
Dia berdiri tepat di balik deret kursi paling belakang,
bersedekap dan memelototi panggung. Ketika
Thomas, Pippa, dan Sam akhirnya menghampiri gadis
itu, setelah berkelit dan main sikut sana sini supaya
desyrindah.blogspot.com

bisa lewat, Max bahkan tidak melirik mereka. Seolah


dia sudah tahu sejak awal bahwa mereka pasti akan
mengikuti.
Kekesalan Sam seketika memuncak. “Tidak bisa
mele​watkan kesempatan untuk melihat pacarmu?”
bisik Sam sar​kastis sambil menyempil ke samping
Max.
Max menoleh sambil menyipitkan mata. “Tahu,
tidak,” katanya sambil mengangkat alis, “kalau kau
cemburu, mending bilang saja.”
Kata itu—cemburu—menghantam dada Sam
seperti es balok seberat satu ton. “Cemburu?”
ulangnya. Suara Sam me​ninggi hingga mencicit. “Kau
kira aku ... aku tidak cemburu. Enak saja. Kepada
Howie? Kenapa pula aku—?”
Namun, tepat saat itu, lampu-lampu meredup dan
beberapa orang ber-sst sst untuk menyuruh Sam diam.
Dia bersyukur karena setidak-tidaknya, dalam
kegelapan, tidak akan ada yang tahu bahwa wajahnya
merona.
Pertunjukan dimulai. Seorang juru promosi—
berbeda de​ngan yang nyaris menyetop mereka di luar
—naik ke panggung dengan pakaian seperti pembawa
acara sirkus: celana panjang bergaris-garis tipis dan
topi tinggi. Dia bergigi besar tonggos dan berkumis
desyrindah.blogspot.com

hitam, yang mengilap dan melengkung sempurna,


alhasil membuatnya mirip tikus berpenampilan rapi.
“Selamat datang, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak,”
bahkan suaranya pun mirip tikus, halus tetapi parau,
“di satu-satunya pertunjukan hiburan tulen di New
York City.” Beberapa orang bersorak dan berseru-seru
serta menjejakkan kaki. “Jangan terkelabui, Ibu-Ibu
dan Bapak-Bapak, oleh penipu dan peniru. Jangan
sampai dikadali oleh penyaru.” Matanya mengamati
khalayak dan terpaku kepada Sam, membuat Sam
lumpuh karena ngeri kalau-kalau dia telah dikenali.
“Pertunjukan kami adalah satu-satunya yang
menyuguhkan manusia-manusia aneh tapi nyata di
New York. Monster-monster asli alami, sudah aneh
sejak lahir.” Semakin banyak saja yang bertepuk
tangan dan menjejak-jejakkan kaki, tertawa sambil
berseru-seru meminta kehadiran monster.
Sam sekarang merasa seolah-olah es mengalir di
dalam dirinya, dalam darahnya.
Penampil muncul satu per satu ke atas panggung:
Derrick si Bocah Bermuka Anjing, yang seluruh dagu
dan alisnya be​rambut kaku kasar; pasangan kembar
siam berambut gelap yang pasti baru berusia delapan
atau sembilan tahun; seorang anak dua belas tahun
mahabesar berbusana koboi, diiklankan sebagai Tiny
desyrindah.blogspot.com

Tex, Bocah Gendut Texas, yang dengan sekelebat


gerakan pergelangan mampu mengambil topi dari
kepala hadirin dengan lasonya kemudian lipstik dari
tangan istri si penonton tersebut.
Si manusia perkasa bernama Trogg dan bertubuh
kira-kira sebesar kerbau. Sekalipun Trogg memang
membengkokkan pipa besi di atas panggung, alhasil
menuai tepuk tangan ha​dirin, Sam senang karena dia
tidak membengkokkan pipa menjadi bentuk-bentuk
binatang, yang merupakan keahlian Sam. (Favoritnya
adalah kelinci besi.)
Trogg turun panggung diiringi teriakan “Bravo!”
dari sana sini.
Kemudian, pembawa acara mengumumkan
kemunculan Howie, si Manusia Burung Hantu.
Perut Sam melilit-lilit. Kali terakhir dia melihat
Bocah Bu​rung Hantu itu adalah pada penghujung
musim panas, ketika Howie didepak secara
memalukan dari museum se​telah ketahuan bahwa dia
sudah berbulan-bulan berupaya mem​bangkrutkan
museum. Namun, Howie belum berubah. Ram​but
hitamnya masih sama, praktis menempel ke kepala
saking rapinya, sedangkan mata birunya masih dingin
se​perti dulu dan rahangnya masih terkesan seolah
dipahat untuk merepresentasikan kesempurnaan
desyrindah.blogspot.com

proporsi manusia. Yang terutama, senyumnya masih


seperti dulu, setengah men​cemooh setengah
menyeringai, alhasil membuat Sam ingin
menghantamkan tinju ke langit-langit mulut Howie.
Sementara khalayak kembali tenang, Howie
memosisikan diri sambil memunggungi hadirin. Lalu,
tanpa peringatan, dia memutar kepala hingga dagunya
terletak di tengah-tengah kedua tulang belikatnya dan
dia sekali lagi cengar-cengir di bawah lampu sorot.
Hadirin sontak memberikan tepuk tangan meriah.
Howie mengulangi trik itu, kali ini memutar kepala ke
arah berlawanan, kemudian mengangkat tangan untuk
meminta hadirin diam.
“Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, Saudara-Saudari, dan,”
mata​nya tertumbuk kepada Sam tepat saat itu dan
ekspresinya seketika berubah, sedikit saja, menjadi
lebih kecut dan keji, membuatnya lebih mirip elang
pemburu alih-alih burung han​tu, “kawan-kawan
lama.” Dia setengah menyemprotkan kata-kata itu
dan tahulah Sam bahwa dia melihat mereka.
“Perke​nankan saya untuk memperkenalkan pelempar
pisau nomor satu di New York.” Howie menatap
Max kali ini, sedangkan Max menggeram pelan dan
bergerak untuk merogoh saku, tetapi Thomas
memeganginya.
desyrindah.blogspot.com

“Dia tidak pantas diladeni,” bisik Thomas kepada


Max.
“Cerita tragis yang ternyata membuahkan
kegemilangan,” kata Howie. “Alicia menjadi yatim
piatu semasa kanak-kanak setelah kehilangan kedua
lengannya dalam kecelakaan pabrik yang juga
menewaskan orangtuanya.” Khalayak berkasak-kusuk
kaget dan simpati. Seorang wanita malah menotol-
notol mata dengan saputangan. Max memutar-mutar
bola matanya. “Ditelantarkan dengan kejam di
jalanan, Alicia belajar me​nyuapkan makanan ke
mulutnya dengan kaki demi bertahan hidup. Hari
ketika dia belajar memuntir spageti dengan kaki
merupakan hari yang paling membanggakan dalam
hidupnya.”
“Omong kosong,” gerutu Max.
“Kecelakaan brutal mengenaskan mungkin telah
merenggut lengannya dengan kejam, tapi berkat bakat
dan ke​gigihannya, dia kini menjadi salah satu bintang
andalan New York. Tolong beri tepuk tangan yang
meriah,” lanjut Howie, “untuk penampil hebat yang
tiada tanding, Alicia si Tangan Buntung Ajaib!”
Sam praktis bisa merasakan gelombang amarah
yang merambat dari kulit Max ketika Alicia naik ke
panggung. Gadis itu mengenakan jas merah ramping
desyrindah.blogspot.com

dengan lengan longgar yang diikat rapi ke belakang


punggungnya, celana ketat gelap yang digulung ke
atas sehingga telapak kakinya kelihatan, dan rok
kotak-kotak. Dia sangat berbeda dengan Max:
senyum manis, rambut keriting pirang, dan pipi
kemerahan. Dan dia jago—itu tidak dapat disangkal.
Sebelum mulai melempar pisau, dia mengocok
setumpuk kartu, mengoleskan mentega ke roti
panggang, dan mengikat pita ke rambutnya. Semua
menggunakan kaki.
Di sebelah Sam, wajah Pippa menjadi pucat dan
berkerut penuh konsentrasi. Sam kini tersadar Pippa
sedang berbuat apa: berusaha membaca pikiran Alicia.
Namun, Sam tidak tahu apa alasan Pippa berbuat
begitu.
Tiba-tiba saja, selagi Alicia bersiap-siap melempar
pisau dan khalayak sekali lagi terdiam, Pippa
mendengus keras. Sam menatapnya.
“Ada apa?” bisik Sam.
Ekspresi Pippa menjadi jernih. Dia melemas ke
bela​kang. “Dia penipu.”
“Ssst.” Beberapa orang menoleh untuk menyuruh
mereka diam. Howie—yang dalam kapasitasnya
sebagai asisten Alicia kini meletakkan apel di atas
kepalanya supaya nanti bisa dijatuhkan dengan pisau
desyrindah.blogspot.com

oleh anak perempuan itu—merengut ke arah mereka.


“Apa maksudmu?” bisik Sam. Kali ini, sejumlah
orang berkata ssst dan memelotot. Pippa menggeleng.
Di atas panggung, Alicia berdiri mantap dengan
satu kaki dan mencengkeram pisau bergagang panjang
dengan jari-jari kakinya yang sebelah lagi. Pippa
mencondongkan tubuh melampaui Sam,
menangkupkan tangan ke telinga Max, dan
membisikkan sesuatu. Untuk kali pertama sejak
memasuki Panggung Atraksi Coney Island, Max
tersenyum.
“Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak,” kata Howie
sementara Alicia mengangkat pisau, satu lututnya
bengkok seperti bangau, “to​long saksikan baik-baik.
Untuk aksi pamungkasnya, Alicia akan—”
Mendadak, terdengar desingan tajam. Selama
sepersekian detik, Sam melihat dua bilah saling silang
di udara, bagian logamnya berkilat-kilat di bawah
cahaya lampu panggung. Ke​bingungan, Sam berpikir
bahwa Alicia pasti sudah melem​parkan pisaunya.
Namun, bukan—pisau itu dilemparkan dari arah
penonton.
Dilemparkan oleh Max. Sam bahkan tidak melihat
Max bergerak. Meski begitu, benar saja—kedua pisau
nyatanya memelesat di atas kepala hadirin yang
desyrindah.blogspot.com

duduk, sempat me​motong bulu dari topi seorang


wanita; kemudian, seperti mengikis selapis jamur dari
sebalok keju, secara sempurna mengiris jas Alicia
langsung dari pundaknya. Jas itu, kini tinggal kain
rombeng belaka, jatuh ke panggung.
Seluruh hadirin terkesiap.
Dan terpingkal-pingkallah Sam.
Kain perban panjang membelit tubuh bagian atas
Alicia, menjadikannya mirip mumi.
Dan, di balik perban tersebut, dibebat kuat-kuat ke
torso dan semula disembunyikan oleh jas, tampaklah
dua lengan yang fungsional.
Wajah Howie menjadi pucat pasi. Alicia berdiri
sambil berkedip-kedip untuk menghalau cahaya lampu
sorot, mulutnya terbuka tutup tanpa suara sementara
protes hadirin kian la​ma kian menggemuruh.
“Ini muslihat!” seseorang berteriak.
“Dia sehat-sehat saja.”
“Kami membayar untuk melihat orang aneh,
bukan tukang tipu!”
Juru promosi bermuka tikus—yang kini Sam
asumsikan adalah pemilik usaha—memelesat ke atas
panggung, berusaha menenangkan khalayak yang
murka. Sementara itu, Alicia ma​sih saja berdiri di
tempat, mengucapkan permohonan maaf dengan
desyrindah.blogspot.com

terbata-bata, lengannya masih menempel ke pinggang


di balik kain pembebat, sedangkan Howie menatap
Alicia seakan anak perempuan itu adalah roti isi
kalkun yang sudah berumur tiga minggu.
“Kerja bagus, Max,” kata Thomas. Khalayak yang
ber​usaha merangsek ke atas panggung menggemuruh
di seke​li​ling anak-anak, menenggelamkan suara
Thomas dan kawan-kawan sehingga mereka bisa
bebas bicara.
Max mengangkat bahu, tetapi dia tidak bisa
menyem​bunyikan ekspresinya yang senang. “Aku
dibantu,” katanya. Dia dan Pippa bertukar senyum
barang sekejap. Di sekeliling mereka, khalayak masih
berteriak-teriak.
“Kembalikan uangku!”
“Uangku juga!”
“Aku juga!”
“Baiklah,” kata Pippa. “Saatnya kita keluar.”
Mereka mulai bergerak ke arah pintu, melawan
arus massa yang masih mengalir ke panggung. Alicia
akhirnya kabur juga ke sayap panggung, sekalipun
Howie masih berdiri mematung di bawah sorot lampu
sambil tetap memegangi apel di atas kepala dengan
bodohnya. Hanya mata pemuda itu yang bergerak-
gerak, jelalatan ke khalayak untuk menelaah wajah
desyrindah.blogspot.com

hadirin satu demi satu. Tepat sebelum Sam mencapai


pintu, mata Howie berserobok dengannya sepersekian
detik saja. Howie meringis seperti hewan buas dan,
sekonyong-konyong, Sam merasakan firasat tidak
enak.
Howie bukanlah tipe orang yang mudah
memaafkan dan melupakan. Sam tahu itu.[]
desyrindah.blogspot.com
18

MAX NYARIS TIDAK MENYADARI


PERJALANAN panjang menaiki kereta bawah tanah
untuk pulang ke museum. Dia terus-menerus
membayangkan ekspresi Howie ketika jas Alicia
terlepas di panggung, menam​pakkan dua lengan yang
rapat di balik bebat seperti daging dalam bungkus
sosis. Pippa yang baik. Max tidak ingat apa sebabnya
dia sering sekali kesal kepada gadis itu—pada saat ini,
Max merasa seolah Pippa tidak pernah berbuat salah,
tidak juga ketika Pippa meralat tata bahasa Max atau
menguliahi Max tentang cara yang benar untuk
merapikan tempat tidur atau mengeluarkan suara
muak ketika Max menjilati piringnya.
Matahari tengah terbenam ketika mereka tiba di
Times Square dan, di mata Max, langit tak pernah
kelihatan seindah ini, bersemburat merah muda dan
kuning serta biru, bagaikan kue lapis di toko kue Italia
desyrindah.blogspot.com

di Mulberry Street. Selagi mereka mendekati museum


dan melihat kerumunan kecil orang di un​dakan depan
bangunan, sedang menengadah ke angkasa, Max
sesaat mengira para penghuni museum yang lain
semata-mata tengah menikmati pesona warna-warni
senja. Kemudian, dia melihat Mr. Dumfrey menunjuk
sesuatu di udara, sedangkan Miss Fitch samar-samar
menampakkan ekspresi mengecam seperti biasa.
“Apa?” kata Thomas. “Ada apa?”
“Tunggu dan lihat saja sendiri, Nak,” kata Mr.
Dumfrey sambil terus memakukan pandang ke langit.
“Sebentar lagi ….”
Max mendongak. Di atas mereka, berlatar
belakang la​ngit, muncullah pesawat baling-baling.
Sementara semua orang mem​perhatikan, pesawat itu
menukik tiba-tiba dan ber​​puntir di angkasa,
membekaskan kepulan asap putih yang perlahan-
lahan membentuk huruf. Pesawat itu terus terbang,
berputar-putar dan meliuk-liuk, meninggalkan jejak
asap pu​tih sementara kerumunan orang bersorak di
bawah. Tidak lama berselang, kalimat lengkap telah
tertoreh di angkasa dan beberapa penampil
membacanya keras-keras berbarengan.
“Musem Dumfrey. Rumah Emily si Ajaib Bertato.”
“Menakjubkan,” kata Mr. Dumfrey sambil
desyrindah.blogspot.com

mendesah senang.
Gil Kestrel mendengus. “Menurutku kelihatannya
meragu​kan.” Max teringat Sam sempat
memberitahunya bahwa Gil dulu seorang pilot.
“Musem Dumfrey,” Pippa membaca keras-keras.
Dia mengerutkan kening. “Bukankah seharusnya
Museum?”
“Musem, Museum, sama saja!” Mr. Dumfrey
menepiskan tangan. “Yang penting adalah Emily.”
Lash terkekeh. “Mengeja bukan keahlian Ace
O’Toole se​dari dulu,” katanya. “Tapi, dia pilot yang
andal. Penyemprot pestisida terbaik di Oklahoma.”
“Penyemprot pestisida?” Max tidak pernah
mendengar kata-kata tersebut. “Apa itu?”
Lash tersenyum kepada Max, kulit di seputar
matanya ikut berkerut-kerut hingga matanya nyaris
tidak kelihatan. “Kau anak kota tulen, ya?
Penyemprot pestisida adalah pilot yang disewa untuk
menerbangkan pesawat di atas ladang, untuk
menyemprotkan zat pembasmi hama. O’Toole
termasuk orang terbaik di bidang itu.”
Max kembali memicingkan mata ke langit,
memandangi kata-kata yang kini mulai terbuyarkan
karena tiupan angin.
“Bagaimana dengan kalkun oranye besar itu?”
desyrindah.blogspot.com

tanya Max. “Anda akan mengiklankannya?”


“Aku mengasumsikan,” dengus Mr. Dumfrey,
“bahwa yang kau maksud adalah Burung Api
Ethiopia-ku yang langka. Dan bagaimana dengan—”
Ekspresinya menjadi jernih. “Ah, ini dia. Sir Roger
Barrensworth! Terima kasih sudah datang kemari,
Sir!”
Max menoleh dan melihat seorang pria menyusuri
jalan dengan lagak dibuat-buat, mengiringi tiap
ayunan langkahnya dengan mengetukkan payung
berujung perak, padahal cuaca seharian itu cerah. Dia
memiliki wajah lonjong tajam terbakar matahari dan
ekspresi menggebu-gebu yang semakin mencolok gara-
gara gigi depannya yang besar. Rambutnya panjang
gelap dan mengikal di kerah bajunya. Dia
mengenakan busana necis yang terdiri dari jas pas
badan, sepatu mengilap, dan topi bowler. Max serta-
merta tidak menyukainya.
“Mr. Dumfrey, senang bertemu lagi dengan Anda,”
kata pria itu sambil mengulurkan tangan dengan loyo,
seperti minta dikecup alih-alih disalami. Kata-katanya
menyiratkan logat asing, tetapi bukan Italia.
“Sir Barrensworth.” Mr. Dumfrey menjabat tangan
pria itu kuat-kuat sampai Sir Barrensworth berjengit.
“Terima ka​sih sudah datang dengan segera, Sir. Jadi
desyrindah.blogspot.com

begini,” kata Mr. Dumfrey sambil menoleh lagi ke


arah Max, “aku meng​hubungi Sir Barrensworth untuk
menyampaikan, anu, keluhan mengenai burung itu.”
Pippa bersedekap. “Karena burung itu tidak mau
tutup mulut, maksud Anda?” kata Pippa.
Mr. Dumfrey menelengkan kepala. “Sir
Barrensworth su​dah berbaik hati untuk langsung
datang ke sini dan menegur burung itu.”
“Burung itu bisa dilatih, saya bersumpah demi
kehor​matan saya,” kata Sir Barrensworth. “Kami
berlayar bersama dari Afrika, asal Anda tahu,
mengitari Tanjung Horor dan menyeberangi Selat
Gitar.”
Thomas mengerutkan kening. “Maksud Anda
Tanjung Horn?” tukasnya. “Dan Selat Gibraltar?”
Sir Barrensworth tersenyum culas kepada Thomas,
me​nampakkan permen karet yang menempel ke sudut
mulut​nya. “Saya tadi mengatakan itu, ‘kan? Para
pelaut melontarkan sumpah serapah selagi
mengarungi badai dan burung itu tertular kebiasaan
mereka. Silakan tunjukkan burung itu ke​pada saya
dan biar saya luruskan dia.”
“Terima kasih, Sir,” kata Mr. Dumfrey. Dia
kelihat​annya hendak menjabat tangan Sir
Barrensworth lagi. Sir Barrensworth dengan bijak
desyrindah.blogspot.com

bersedekap sementara mereka menaiki undakan ke


pintu depan museum. “Saya tidak bisa
mengungkapkan betapa saya mengapresiasi kesediaan
Anda. Saya tahu pria seperti Anda ... yang senantiasa
sibuk ….” Ber​sama-sama, mereka menghilang ke
dalam museum.
Thomas mengangkat alis. “Apa pendapat kalian
tentang Sir Barrensworth?” tanyanya.
“Menurutku dia penipu,” kata Max.
Pippa mendengus. “Saku-sakunya jorok,” katanya.
“Beran​takan sekali. Bungkus permen karet, tutup
pulpen, tiket feri, tisu.” Dia bergidik. “Menjijikkan.”
Max, Pippa, Thomas, dan Sam mengikuti Mr.
Dumfrey dan Sir Barrensworth ke dalam museum.
Begitu mereka me​masuki lobi, telepon di meja tiket
mulai berdering. Jarang ada yang menelepon ke
museum. Max mendadak tersambar pikiran buruk:
jangan-jangan aksi kecil-kecilannya di Pang​gung
Hiburan Coney Island telah dilaporkan ke polisi.
“Biar kuangkat!” dia berteriak sambil cepat-cepat
me​ngitari Lash, yang sudah bergerak ke meja. Max
praktis mengempaskan diri ke telepon.
“Museum Aneh tapi Nyata Dumfrey,” katanya
sambil ter​sengal-sengal.
“Saya menyampaikan telepon Rosie Bickers,” kata
desyrindah.blogspot.com

suara yang mencicit gugup dari ujung sana, “untuk


Mr. Dumfrey.”
Sontak merasa lega, Max menutup corong telepon
de​​ngan tangannya. “Mr. Dumfrey!” dia memanggil,
mumpung Mr. Dumfrey belum ke lantai atas. “Untuk
Anda.”
“Anda duluan saja, Sir Barrensworth,” seru Mr.
Dumfrey, kata-kata yang sebenarnya tidak perlu
karena Sir Barrensworth tidak menunjukkan gelagat
hendak menunggu. Mr. Dumfrey menuruni tangga
sambil tertatih-tatih. Rosie Bickers, Max berucap
tanpa suara untuk menanggapi pandangan Mr.
Dumfrey yang penuh tanya. Mr. Dumfrey meluruskan
dasi kupu-kupu dan menerima gagang telepon dari
tangan Max.
“Rosie!” katanya berbinar-binar sambil tersenyum.
“Sung​guh sebuah kehorma—?” Dia mendadak
terdiam. “Mmm-hmm,” dia berkata, senyumnya
memudar, kemudian pupus. “Mmmm-hmmm.”
Pippa, Thomas, dan Sam tadi berdiam diri di lobi,
un​​tuk menanti Max. Sekarang mereka semua
mendekat ke meja ti​​ket. “Ada apa, Mr. Dumfrey?”
tanya Pippa.
Mr. Dumfrey menggeleng sambil mengangkat satu
jari, menyuruh mereka diam dulu. “Ya, aku masih di
desyrindah.blogspot.com

sini. Ya, aku bisa mendengarmu. Kau mengatakan


sesuatu tentang Mallett ...?”
Kengerian menjalari tulang belakang Max. Thomas
men​jadi kaku seperti baru kena setrum. Sam dan
Pippa bertukar pandang khawatir.
“Mallett kenapa?” Pippa mencoba lagi, kali ini
berbisik dengan nada mendesak.
Namun, Mr. Dumfrey tampaknya tak mendengar
Pippa. Mulutnya sekarang membentuk garis kaku.
“Ya,” kata Mr. Dumfrey. “Ya, sangat. Aku
mengerti.” Tanpa sepatah kata lagi, dia menutup
telepon. Pundaknya seketika memerosot, seolah yang
baru dia pegang adalah bobot seberat dua puluh kilo
alih-alih sebuah telepon.
Sambil tegang dan membisu, anak-anak menunggu
Mr. Dumfrey berbicara sampai akhirnya Max tidak
tahan lagi. “Rosie bilang apa tentang Mallett?”
tanyanya.
Mr. Dumfrey mengembuskan napas—
mengeluarkan suara lirih mirip desis uap air yang
keluar dari teko. “Rosie baru mendengar kabar dari
salah seorang temannya di kepolisian,” kata Mr.
Dumfrey, akhirnya mengangkat pandangan. “Mallett
meninggal. Dia bunuh diri siang tadi.”[]
desyrindah.blogspot.com
19

“‘BENNY MALLETT (47) DITEMUKAN SERSAN


Schroe​der dan Opsir Gilhooley pukul 17.30
kemarin,’” Thomas mem​baca. Dia duduk
berdampingan dengan Pippa sambil membungkuk ke
koran Daily Screamer. “‘Polisi tidak berse​dia
mengungkapkan alasan kedatangan mereka ke
warehouse Mallett yang terpencil—’” Dia terdiam
sejenak untuk mem​balikkan halaman, lalu
meneruskan, “‘—tujuh puluh satu me​ter di atas tanah,
ditambatkan ke atap Empire State Building.’”
“Apa?” Max mengernyitkan hidung. “Tidak
masuk akal.”
Thomas menelusurkan jari ke koran. “Maaf. Salah
kolom. Yang itu mengenai peluncuran kapal zeppelin.
“‘Polisi tidak bersedia mengungkapkan alasan
kedatangan mereka ke gu​dang Mallett yang terpencil
di Sheepshead Bay, Brooklyn, tapi menurut
desyrindah.blogspot.com

narasumber, kunjungan polisi ini terkait dengan


investigasi pembunuhan Ernest Erskine. Tersangka
kasus ter​sebut, Jenderal Archibald Farnum, saat ini
sedang menanti persidangan.’”
Pippa menegakkan tubuh. “Rosie pasti
menggerecoki polisi seharian supaya mendatangi
Mallett,” katanya. “Kalau tidak, mustahil mereka
menemukan sendiri hubungan antara Erskine dengan
Mallett.”
“Dan ternyata percuma saja,” kata Sam,
meregangkan lengan ke atas dan menguap.
Saat itu pukul setengah delapan pagi dan baru
mereka berempat yang berada di dapur. Max tidur
tidak nyenyak se​malaman, alhasil matanya sayu
karena mengantuk.
Mimpinya aneh, mencampurbaurkan masa lalu dan
masa kini: wajah Mallett yang merah bengkak
dipajang dalam lemari kaca seperti di Aula Keajaiban
Dunia, di samping plakat bertuliskan Tersangka
Pembunuhan, Salah Tangkap; Max terumbang-
ambing tanpa daya di laut bergejolak, le​ngannya
diikat ke belakang, sedangkan jauh tinggi di atas, di
promenade, khalayak ramai menuding dan
mentertawainya; pesawat-pesawat berputar dan
menulis pesan-pesan men​ce​kam di langit. Awas. Aku
desyrindah.blogspot.com

akan mendatangimu.
Akhirnya, pada pukul empat lewat, Max pasrah
dan ba​ngun saja. Meski begitu, Max tetap tidak bisa
menyingkirkan kenangan menyedihkan tentang
Mallett yang seorang diri di mejanya. Menurut koran,
Mallett bunuh diri beberapa jam saja setelah bertemu
anak-anak. Mungkinkah mereka bisa
menghentikannya? Mungkinkah mereka bisa
menolong?
Thomas berdeham dan melanjutkan membaca.
“‘Polisi nya​tanya terlambat datang. Ketika mereka
tiba, polisi mendapati Benny Mallett dalam keadaan
tak bernyawa, diduga karena bunuh diri. Pemeriksaan
medis awal menyimpulkan bahwa dia tewas seketika
karena luka tembak di dada. Senjata pembunuhan
masih tergenggam di tangan korban ketika dia
ditemukan.’” Thomas mendorong koran ke tengah-
tengah meja. “Lihat. Malah ada fotonya.”
“Ih. Tidak usah, terima kasih,” kata Pippa sambil
me​rengut. “Sudah cukup aku melihat jenazah untuk
seumur hidup, terima kasih banyak.”
“Jangan pengecut,” kata Thomas kalem.
“Darahnya bahkan tidak kelihatan.”
“Makasih. Kata-katamu menenangkan sekali.
Mayat mem​buat perutku mual. Aku akan
desyrindah.blogspot.com

melewatkannya saja.”
Max memasukkan empat kantong teh celup
sekaligus ke mok berisi air panasnya, menunggu
sampai cairan berubah warna menjadi sehitam
lumpur. Dia membawa mok ke meja, mengabaikan
mimik Pippa yang muak ketika dia memasukkan lima
sendok teh gula ke tehnya. Rasa keakraban yang
sempat terjalin di antara mereka kemarin sudah
lenyap. Sirna pada pukul setengah lima pas, lebih
tepatnya, ketika Pippa menda​dak menyibakkan
selimut, duduk tegak, dan mendesis, “Kalau kau
hendak membolak-balikkan badan tiap dua menit
sekali, bisakah kau setidaknya pergi ke tempat lain?
Sebagian dari kita ingin tidur dengan tenang.”
Max membungkuk ke koran sambil menyesap teh
banyak-banyak. Dia serta-merta menjadi lebih awas.
Thomas benar: darahnya tidak kelihatan. Pada foto
buram itu, kepala Benny Mallett terkulai ke meja di
samping segu​nung surat. Tangan kanannya, yang
masih mencengkeram pistol, tampak di samping
kepalanya.
“Benny yang malang,” ujar Sam. Dia berjengit,
seolah hantu Mallett mungkin saja melayang dari
lembaran kertas. “Dia sungguh-sungguh menyukai
kutu.”
desyrindah.blogspot.com

“Suka membunuh kutu,” ralat Max.


Sam mendesah. “Mungkin kalau kita terus
menemaninya ….”
“Kita tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Thomas
tegas, mengambil koran lagi dan membungkuk untuk
menelitinya.
“Kita bisa saja bicara kepadanya,” kata Pippa,
menyambar stoples sebelum Thomas sempat
mengambil selai kacang lagi. “Dia depresi.”
Ketika Thomas mendongak, mukanya tampak
muram te​tapi puas, seakan telah berhasil menjawab
pertanyaan yang sejatinya dia sesali. “Mungkin,” kata
Thomas. “Tapi, dia tidak bunuh diri.”
Suasana menjadi hening. Pernyataan semacam
inilah yang kerap Thomas ucapkan, sekonyong-
konyong. Max jadi ingin memegangi dan
mengguncang-guncangkan pundak Thomas sampai
otaknya keluar dari lubang hidung.
“Tapi,” Sam terbata-bata, “tapi kata koran—”
Sebelum dia selesai berbicara, Danny dan Smalls
berde​rap menuruni tangga, berdampingan—sekalipun
tinggi Danny hanya selutut Smalls—sambil adu mulut
mengenai siapa yang mendengkur paling keras
semalam.
“Sejak kapan surat kabar menyampaikan informasi
desyrindah.blogspot.com

yang benar?” Thomas membetulkan letak


kacamatanya dan berdiri. “Tung​gu. Biar kutunjukkan.
Danny, bisa ke sini sebentar?”
Danny menjawab hanya dengan mendengus. Max
sudah cukup lama tinggal di museum sehingga tahu
bahwa Danny membutuhkan sekurang-kurangnya
empat cangkir kopi, baru kemudian dia mau
mengeluarkan sepatah kata yang bukan hi​naan atau
keluhan—lima cangkir jika kita ingin memancing lebih
dari satu suku kata.
“Duduk, Danny,” kata Thomas.
“Apa menurutmu aku kelihatan seperti monyet
terla​tih?” hardik Danny.
“Kumohon,” kata Thomas. “Duduk saja.”
Sambil menggerutu, Danny duduk di bangku.
Untuk itu, dia mesti memanjat sambil menumpukan
tangan dan lutut ter​lebih dulu, baru kemudian
bergeser ke posisi duduk. Danny, Max tersadar,
kelihatannya hanya sedikit lebih pen​dek daripada
Mallett. Danny jengah akan ukuran tubuhnya, yang
merupakan sumber ketegangan tiada putus-putus
dengan rekan-rekannya sesama orang cebol, yang
menganggapnya terlalu tinggi.
Thomas mundur selangkah, memicingkan mata,
kemu​dian mengambil buku telepon yang digunakan
desyrindah.blogspot.com

untuk menye​imbangkan meja teramat goyah di pojok.


Thomas meletakkan buku telepon di bangku dan
meminta Danny duduk di atasnya. Kini, kepala dan
bahu Danny kelihatan di atas meja, persis posisi
Mallett sewaktu meninggal. “Mendingan,” kata
Thomas. “Nah, sekarang berpura-puralah menembak
dadamu sen​diri.”
Danny membuat pistol dengan telunjuk dan
jempol, lalu menodong dadanya sendiri—atau
setidaknya menurut Max demikian, sebab sekalipun
menduduki buku telepon, sebagian besar dada Danny
tidak tampak dan Max hanya dapat melihat ujung
jempolnya.
“Dor,” Thomas berkata, kemudian menyenggol
pundak Danny dengan tangannya, menyiratkan
supaya Danny am​bruk ke meja—persis seperti Mallett,
sehingga dahinya menyan​dar ke kayu. Tangan pistol-
pistolan Danny terkulai tak terlihat ke pangkuannya,
di bawah daun meja.
“Danny yang malang! Maut telah kelewat dini
menu​tup matamu yang lembut untuk selamanya!”
Smalls berdek​lamasi sambil mengepalkan tangannya
yang mahabesar ke dada.
Sensasi menggelitik muncul di tangan Max
kemudian me​nyebar, sebagaimana yang selalu dia
desyrindah.blogspot.com

rasakan ketika sebuah gagasan menari-nari sedikit saja


di luar jangkauannya—mem​buatnya gatal untuk
menggapai dan langsung saja menyambar. Ada yang
salah pada foto itu, tetapi Max tidak tahu, tidak
mampu mengartikulasikan, apa tepatnya yang salah.
Danny menoleh, masih sambil menempel ke daun
meja. “Boleh aku duduk sekarang?”
“Tunggu sebentar lagi,” kata Thomas. Dia
menoleh ke​pada yang lain dengan penuh kemenangan.
“Kalian lihat?”
Sam mengerutkan kening. “Tidak,” katanya.
Thomas tersenyum. “Laporan polisi mengatakan
Mallett meninggal seketika,” ujar Thomas, lalu
menunjuk foto buram Mallett, dahinya menempel ke
atas meja berantakan dan ta​ngannya masih
mencengkeram senjata beberapa inci saja dari
kepalanya. Mendadak, sensasi gatal yang Max
rasakan ber​ubah menjadi pemahaman.
“Aku tidak mengerti,” kata Pippa kesal.
“Gravitasi,” ujar Thomas. “Tangan Mallett
seharusnya ja​tuh ke pangkuannya setelah dia
menembak diri sendiri. Tapi di foto, tangannya
tergolek ke meja. Artinya, Mallett harus mengangkat
tangannya—setelah dia mati.”
“Pembunuhan,” bisik Smalls. “Pembunuhan yang
desyrindah.blogspot.com

sangat keji.”[]
20

“PEMBUNUHAN,” ULANG PIPPA SAMBIL


BERBISIK. Ke​mudian dia menyambar koran, seakan-
akan ingin mencari bukti bahwa Thomas keliru.
Ekspresi Sam muram. “Pembunuhan Mallett dan
Erskine pasti berkaitan. Mustahil Farnum pelakunya
—dia sudah di​tahan.” Dia memandangi yang lain.
“Kita harus bicara kepada Rosie Bickers. Kita harus
memberitahunya.”
Max merengut. “Apa yang akan dia lakukan?
Sejauh ini, dia sama sekali tidak membantu.”
Sam memutar-mutar bola mata. “Kau hanya tidak
me​nyukainya.”
“Lalu?” balas Max.
“Lalu?” Sam angkat tangan. “Kau tidak menyukai
siapa pun.”
Thomas mengira Max bakal membentak Sam.
Namun, gadis itu justru memalingkan muka dengan
desyrindah.blogspot.com

ekspresi janggal, seperti baru meneguk susu basi.


“Tidak benar,” kata Max singkat.
“Oh, maaf.” Sam memutar-mutar bola mata. “Kau
tidak menyukai siapa pun kecuali Howie.”
“Kalau kau menyebut namanya sekali lagi,” kata
Max dengan suara normalnya, yaitu setengah
menggerutu setengah menggeram, “akan kucabut
lidahmu dari lubang hidung.”
“Secara fisik itu tidak mungkin,” celetuk Thomas,
yang merasa terdorong untuk mengklarifikasi, tetapi
dia buru-buru bungkam ketika Max memelototinya.
Pippa masih membaca artikel mengenai kematian
Mallett, poni panjang hitamnya terurai ke depan
mata, hidungnya seinci saja di atas huruf-huruf
bertinta hitam.
“Kau bilang perutmu sensitif,” Thomas menukas.
Namun, Pippa mengabaikannya. Pippa mendadak
menge​luarkan pekik singkat dan meloncat dari
kursinya. “Kaca pem​besar,” katanya. “Aku butuh
kaca pembesar!”
Pada saat ini, sebagian besar penghuni museum
sudah turun untuk sarapan, maka lumrah bahwa
permintaan Pippa yang tiba-tiba menuai beragam
tanggapan. Smalls mempersilakan Pippa meminjam
kacamata bacanya, yang ternyata tidak ber​guna.
desyrindah.blogspot.com

Danny menganjurkan agar Pippa menggunakan gelas


jus yang dibalik, saran yang ternyata lebih tidak
berguna. Betty mengatakan bisa-bisa mata Pippa
rusak, sedangkan si kembar menyindir bahwa dahi
Pippa sudah berkerut-kerut permanen karena
kelamaan membaca koran. Pokoknya, tidak ada yang
punya kaca pembesar, sekalipun anak-anak sempat
optimistis ketika Goldini muncul, sebab dia selalu
menyimpan berbagai macam benda di balik rompi dan
di dalam saku. Namun, setelah mencari dengan
saksama, Goldini hanya mengeluarkan koin-koin
tipuan, lima as sekop, saputangan panjang aneka
warna, dan, dari saku tersembunyi yang
keberadaannya telah Goldini lupakan sepenuhnya,
telur Paskah bebercak-bercak merah.
Akhirnya, Thomas mengusulkan agar mereka
mencari ke bilik horor di Ruang Patung Lilin dan
menemukan kaca pem​besar dalam cengkeraman ahli
bedah terkenal Joseph Bell, yang konon adalah model
bagi karakter Sherlock Holmes.
Pippa serta-merta berlutut dan meratakan koran di
lantai, sekali lagi memicingkan mata ke foto yang
menunjukkan jasad Benny Mallett yang malang.
Mereka hanya berempat di Ruang Patung Lilin, yang
pada hari-hari paling ramai merupakan atraksi paling
desyrindah.blogspot.com

populer di museum. Namun, pada pagi hari, Ruang


Patung Lilin masih gelap, sarat dengan bayangan dan
gema. Puluhan patung lilin, banyak di antaranya
merupa​kan ciptaan Siegfried “Freckles” Eckleberger,
menatap kosong dari lemari pajang masing-masing.
Thomas tidak bisa meng​enyahkan perasaan konyol
bahwa mereka sungguh-sungguh bisa melihatnya,
bahwa mereka sedang mengawasi.
“Sudah kuduga.” Pippa duduk bersimpuh sambil
memun​durkan tubuh dari koran. “Aku tadi tidak
yakin, tapi sekarang jelas sekali.”
“Apanya yang jelas?” tanya Max sambil
menyenggol Pippa dengan pundaknya supaya minggir
dan merebut kaca pembesar.
Namun, tepat saat itu, terdengarlah keributan dari
lantai atas. Perhatian anak-anak teralihkan untuk
sementara gara-gara serentetan sumpah serapah dari
loteng. Begitu naik, mereka mendapati Lash Langtry
sedang berusaha memasukkan Burung Api kembali ke
sangkarnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Thomas.
Keringat Lash mengucur deras sementara dia
berjuang untuk memaksa burung yang mengepak-
ngepak itu agar masuk melalui pintu sempit sangkar.
“Mr. Dumfrey membiarkan sangkar terbuka setelah
desyrindah.blogspot.com

memberinya makan,” dia berkata, menggeram


kepayahan sementara Burung Api berkoak dan
memprotes. “Makhluk kotor ini berusaha kabur.”
“Dan Anda malah mengembalikannya?” tanya
Max de​ngan nada tak percaya.
Thomas mesti sepakat dengan Max, apalagi selama
ini Burung Api terbukti merepotkan saja. Saking
sebalnya ke​pada si pendatang baru, kakaktua
peliharaan Mr. Dumfrey, Cornelius, malah bercicit
untuk menyanyikan melodi yang sama berulang-ulang,
lagu sendu jelek berjudul Kenapa Bu​rung dalam
Sangkar Menangis?
Mereka kemudian kembali membaca koran. Max,
yang masih memegang kaca pembesar,
menghamparkan koran di lantai dan berlutut di dekat
foto. “Apa yang harus kucari?”
“Kau tidak perlu mencari apa-apa,” kata Pippa
sambil merebut kaca pembesar. “Lihat saja. Lima
bungkus permen bekas. Merek Tendermint, paling
atas di onggokan dalam tem​pat sampah.”
Mereka bergiliran melihat dengan kaca pembesar.
Pippa benar. Di atas onggokan amplop lama dan surat
tagihan yang belum dibayar, terdapat kertas kusut
pembungkus permen karet, sama seperti yang Sir
Barrensworth tinggalkan di ke​ranjang sampah Mr.
desyrindah.blogspot.com

Dumfrey.
“Mungkin cuma kebetulan,” kata Sam.
“Barangkali ada sepuluh ribu orang yang mengunyah
permen karet Tendermint. Barangkali Mallett suka
merek itu.”
“Aku tidak pernah mendengar merek itu,” kata
Pippa. “Lagi pula,” dia mengernyitkan hidung,
“firasatku mengatakan sudah berhari-hari Mallett
tidak dekat-dekat dengan permen mint—atau sikat
gigi.”
“Tidak masuk akal.” Max bersedekap sambil
meniup he​laian rambut kusut yang menutupi
wajahnya. “Apa untung​nya bagi Sir Barrenswott atau
siapa pun namanya kalau dia menghabisi Mallett?”
“Aku tidak tahu,” Pippa mengakui. Dagunya
meninggi ke udara sedikit demi sedikit. Saat marah
besar, kepa​la​nya terangkat sampai kita bisa melihat ke
dalam lubang hidung​nya. “Bukankah dia baru
kembali dari Afrika?”
“Itu menurut pengakuannya,” kata Thomas.
Sesuatu ma​sih mengusik Thomas: dia bisa merasakan
bahwa ada yang bengkok, sudut kemiringan foto yang
tidak pas. Atau mungkin Thomas sendiri yang tidak
pas mencocokkan petunjuk. Dia melewatkan sesuatu
yang penting.
desyrindah.blogspot.com

Yang mula-mula terkesan sebagai masalah


sederhana—pem​buktian bahwa Farnum tidak
membunuh Ernie Erskine—ternyata berpusing di luar
kendali sampai-sampai Thomas bi​ngung sendiri.
Padahal Rattigan masih di luar sana, meren​canakan
sesuatu, bebas dari campur tangan polisi. Kalau itu,
Thomas yakin. Mereka semestinya menghabiskan
waktu dengan mencari Rattigan. Namun, setelah
mereka me​nempuh jalan ini, mereka tidak boleh
berbalik arah begitu saja—sekalipun jalan ini
berkelok-kelok dan penuh duri.
Pippa mengangkat bahu. “Mungkin Barrensworth
ber​maksud membalaskan dendam lama.”
“Jadi, kematian Mallett dan Erskine tidak
berhubungan?” ujar Sam sembari menggaruk-garuk
kepala.
Pippa sekalipun mesti mengakui bahwa kecil
kemung​kinannya kedua kasus itu tidak berkaitan.
Yang awalnya terkesan sebagai terobosan
menggairahkan, ternyata hanya jalan buntu. Meski
begitu, Thomas terus saja gelisah karena merasa
melewatkan sebuah fakta atau keterkaitan—yang
tidak tergapai sekalipun Thomas sudah berusaha
untuk meraih dan menangkapnya.
Thomas memejam. Sir Barrensworth ... Burung Api
desyrindah.blogspot.com

... kertas-kertas berantakan di meja Mallett ...


berantakan ... isi saku berantakan ….
Kring. Sekonyong-konyong, alarm peringatan
berbunyi dalam kepalanya.
Thomas membuka mata. “Pippa,” katanya tegas,
“ingat kau sempat menerawang isi saku Sir
Barrensworth?”
“Sayangnya iya,” kata Pippa sambil bergidik.
“Bisakah kau mengingat semua yang dia simpan
dalam saku?”
Pippa menyipitkan mata dengan curiga. “Permen
karet itu, pertama-tama,” katanya. “Kemudian—apa,
ya—barang-barang biasa. Uang receh. Tutup pulpen.
Koin kereta bawah tanah dan robekan tiket feri—”
“Feri yang mana?” tanya Thomas. Sekarang Sam
dan Max ikut-ikutan menatap Thomas.
“Jangan pura-pura bodoh,” kata Pippa. “Kau tahu
persis feri yang mana. Cuma ada satu, yang menuju
Staten Island. Jadi, beri tahu kami apa yang sedang
kau pikirkan.”
Thomas merasakan kehangatan yang menyebar
sampai ke jari-jarinya, sebagaimana biasa ketika dia
memecahkan soal matematika pelik atau baru saja
terbebas dari ruang kecil teramat sesak. “Mallett
memberi tahu kita dia tidak bisa mendapatkan suplai
desyrindah.blogspot.com

racun yang dia butuhkan,” kata Thomas. “Mallett


memberi tahu kita ada pembesar di Staten Island yang
memborongnya. Nah, Sir Barrensworth sering bolak-
balik ke Staten Island.”
“Menurutmu Sir Barrensworth adalah pesaing
besar Mallett?” kata Max.
“Mungkin,” kata Thomas. “Atau mungkin dia
bekerja untuk si pesaing.” Thomas baru pertama kali
bertemu Sir Barrensworth kemarin, itu pun hanya
sebentar, tetapi dia men​dapat kesan bahwa pria itu
tidak pintar-pintar amat. Burung Api juga tidak
menunjukkan perbaikan sikap sekalipun Sir
Barrensworth sudah menawarkan bantuan. Burung itu
semata-mata mencerocos hampir semalaman, sebagian
besar berupa sumpah serapah.
Sam menggeleng-geleng. “Tapi untuk apa
membunuh Mal​lett? Laki-laki malang itu sudah
terpuruk. Kalian dengar apa kata Mallett. Dia sudah
tamat.”
“Entahlah,” kata Thomas sambil beranjak ke
tangga. “Tapi, kita perlu bicara kepada Bickers.
Mungkin dia bisa mencari tahu.” Ketika Max
membuka mulut untuk memprotes, Thomas buru-
buru memotongnya. “Aku tidak peduli kau
menyukainya atau tidak,” kata Thomas. “Satu-
desyrindah.blogspot.com

satunya cara cuma itu.”


“Siapa yang kau katai kotor, dasar dendeng besar
bau?” koak si burung.
“Dendeng, ya?” Akhirnya Lash berhasil memaksa
burung itu berdiri di tenggeran dan menutup serta
mengunci sangkar sekaligus secara tidak sengaja
mencabut sehelai bulu elok Burung Api yang sewarna
pelangi. Burung itu sendiri tampaknya tidak
memperhatikan bahwa bulunya tercabut. Membusung
marah, si burung terus menggunakan kosakatanya
yang luas dan ekspresif untuk menghina Lash,
terutama mencemooh kebersihan diri dan kebodohan
pria itu.
Lash berdiri dengan letih sambil mengebuti
lututnya. “Ka​lau terserah aku, akan kubiarkan
makhluk sial itu terbang,” katanya. “Merepotkan saja
sejak datang ke sini.”
“Lihat sisi positifnya,” kata Thomas.
“Thanksgiving se​bentar lagi. Dan aku bertaruh
Burung Api pasti lezat kalau dimakan dengan saus
cranberry.”
“Hmm, entah, ya,” kata Pippa sambil mengangkat
alis, sementara burung itu terus mendengus dan
menyumpah. “Ja​ngan-jangan rasanya sangat kecut di
mulut.”
desyrindah.blogspot.com

Mereka baru menjejakkan kaki ke luar pintu ketika


Sam mendadak berhenti, alhasil Thomas langsung
menabraknya—sensasi yang mirip dengan menubruk
dinding semen.
“Aw,” kata Thomas sambil mengusap-usap
sikunya, yang menumbuk punggung bawah Sam.
“Kau kenapa?”
Mata Sam terus saja terpaku ke jalan. “Aku tidak
per​caya,” gumamnya.
Thomas mengikuti arah tatapan Sam, tetapi dia
tidak melihat ada yang janggal. Emily sedang
menyandar ke ger​bang—tidak mengenakan mantel
lengan panjang sepergelangan kaki, melainkan terusan
sederhana berlengan pendek sehingga tato berwarna-
warni cerah miliknya banyak yang kelihatan—sambil
mengobrol dan tertawa-tawa dengan seorang pria
asing yang mengenakan topi berdebu. Sesekali pejalan
kaki niscaya menengok untuk memandangi sapuan
warna-warni yang membelit pergelangan tangan dan
kaki Emily—persis seperti yang diharapkan Mr.
Dumfrey. Pria itu malah menganjurkan agar Emily
sering-sering melewatkan jam makan siang di luar,
supaya museum mendapat promosi gratis.
“Apa?” Siku Thomas nyeri dan dia kesal
desyrindah.blogspot.com

karenanya. “Aku tidak melihat apa istimewanya—”


Namun, pria bertopi kemudian menoleh sedikit
sehingga bayang-bayang bergeser di wajahnya dan
lenyaplah kata-kata dari mulut Thomas. Dia hanya
sanggup berdiri melongo di samping teman-temannya.
Pria itu tak lain dan tak bukan adalah Gil Kestrel,
si petu​gas kebersihan yang selalu cemberut. Thomas
luput mengenali Kestrel semata-mata karena dia
tersenyum.
Sejak Kestrel bergabung ke museum, Thomas tidak
per​nah melihat Kestrel tersenyum sedikit pun—tidak
ketika si kembar salah langkah di tengah pas de deux
nan rumit dan jatuh terjengkang sambil
menendangkan kaki ke udara secara serempak; tidak
ketika Smalls dan Danny, untuk bercanda, berpura-
pura menjadi maneken di Ruang Patung Lilin dan
menghabiskan sepagian dengan mengagetkan orang-
orang; bah​kan tidak juga ketika merpati Goldini
terbang dari pang​gung dan menyambar rambut palsu
seorang pria di baris de​pan yang keras-keras
mengeluhkan rendahnya kualitas atraksi. Alangkah
aneh, alangkah tidak terduga, bahwa senyum belaka
bisa mengubah total pria itu, menjadikan Kestrel
seperti orang asing.
Yang malah lebih ganjil adalah, begitu menyadari
desyrindah.blogspot.com

keha​diran anak-anak, dia serta-merta melambai


supaya mereka men​dekat. Untung Kestrel masih
mengemut tusuk gigi di su​dut mu​lutnya. Andaikan dia
melepas aksesori permanen itu, bisa-bisa Sam pingsan.
“Sini,” kata Kestrel, masih tersenyum lebar seolah
me​reka sudah sejak awal berteman baik. “Kalian
harus melihat ini! Ayo, Emily. Tunjukkan kepada
mereka,” desaknya, menoleh lagi kepada Emily dan
menyikut perempuan itu. Pippa dan Max bertukar
pandang serbatahu sambil cengar-cengir.
“Oh, mereka tidak peduli,” kata Emily sambil
merona. “Cuma cerita lama.”
“Ceritamu jauh lebih bagus daripada cerita mana
pun yang pernah kudengar,” kata Kestrel. “Ayo, beri
tahu mereka.”
“Aku tadi bercerita tentang Ikarus kepada Gil,”
kata Emily. Mencengangkan bahwa Emily memanggil
pria itu Gil—semua orang memanggilnya Kestrel,
kecuali Mr. Dumfrey yang, karena sebuah lelucon
lama yang tak pernah dia jabarkan, memanggil pria
itu Bocah Mentega atau Penembak Buncis. “Kalian
tahu cerita Ikarus, ‘kan?”
“Aku tahu,” kata Pippa sok penting, sebelum
Thomas sem​pat mengiakan. “Dia ingin terbang, jadi
dia membuat sayap dari lilin. Tapi, dia terbang terlalu
desyrindah.blogspot.com

dekat dengan matahari dan sayapnya meleleh.”


Emily memutar lengan sehingga kulit lembut di
sebelah dalam pergelangannya kelihatan. Di sana,
tergambar ombak biru cerah yang meninggi dan
meraup sepasang kaki beserta sayap mahabesar
bersemburat emas.
“Bagaimana menurut kalian?” Suara Kestrel kini
lebih rendah dan lebih sendu. “Dia bocah terbang,
sama seperti aku. Terempas ke bumi dan terbakar,
sama seperti aku.”
“Oh, tapi ada hikmah lain yang bisa dipetik, Gil.
Sini. Akan kutunjukkan salah satu kesukaanku.”
Emily menying​sing​kan lengan kiri bajunya semakin ke
atas. Di atas bisepsnya, tepat di atas siku, tertoreh tato
indah berbentuk burung bersayap merah menyala dan
bermimik bahagia nan jernih. Burung itu kelihatannya
sedang lepas landas dari tengah-tengah api unggun.
“Apa itu?” tanya Kestrel sambil merengut.
“Burung Api?”
Emily tertawa dan menggeleng. “Ini phoenix,”
katanya. “Menurut legenda, phoenix hidup dari api
dan mati dilalap api. Phoenix jatuh ke bumi dan
terbakar juga. Tapi, phoenix selalu bangkit kembali.
Itulah alasan tato yang ini menjadi favoritku. Tato ini
mengingatkanku bahwa sekelam apa pun situasi kita,
desyrindah.blogspot.com

selalu ada kesempatan untuk bangkit kembali.”


Kestrel tidak serta-merta buka mulut lagi. Ketika
akhir​nya angkat bicara, suaranya serak penuh
perasaan. “Emily …,” Kestrel berkata, lalu terdiam
sekonyong-konyong, seolah tercekik oleh kedahsyatan
emosinya.
Sudah waktunya undur diri. Thomas terbatuk-
batuk de​ngan canggung. “Oke. Baiklah, kalau begitu.
Sampai ketemu nanti,” katanya nyaring, takut kalau-
kalau Emily dan Kestrel mendadak berciuman di
depannya. Meski begitu, Emily dan Kestrel kentara
sekali tidak mendengar karena kelewat sibuk
bertatapan sepenuh hati.[]
desyrindah.blogspot.com
21

UDARA DINGIN MULAI MENGGIGIT. HARI


masih siang, tetapi matahari sudah memerosot ke
balik ba​ngunan, memulas jalan dengan bayang-
bayang, sedang​kan angin yang menusuk
mengembuskan hawa musim gugur. Tidak lama lagi,
cuaca niscaya berubah, kemudian akan datang hujan
yang mengalirkan daun-daun rontok dari jalanan ke
parit dan mengubahnya menjadi bubur benyek, hujan
yang menjadikan seisi warga kota menggigil dan
pantang mengeluyur ke luar.
Mencengangkan bahwa pada saat yang sama,
tahun lalu, Max masih merupakan orang asing.
Thomas, Pippa dan Sam sejatinya asing juga bagi satu
sama lain—hidup berdampingan tanpa berteman,
mungkin karena takut mengakui kemiripan mereka,
takut mengakui kecurigaan mereka sejak lama: bahwa
di antara semua penghuni museum, merekalah yang
desyrindah.blogspot.com

benar-benar aneh tulen.


Itu dulu, sebelum Max tiba di undakan depan
museum dengan kepala tegak, bangga, dan sempurna
—tidak ada guna​nya menyangkal itu lagi; Sam
memang berpendapat bahwa Max sempurna,
mengecualikan kecenderungan gadis itu un​tuk
menatap Sam seperti serangga gepeng yang menempel
ke sol sepatunya—sebelum Rattigan kabur dari
penjara, meng​ungkapkan masa lalu mereka yang
mengenaskan, dan mencabik-cabik dunia mereka.
Sejak itu, masalah senantiasa membuntuti mereka.
Rattigan seakan telah mengutuk mereka sehingga, ke
mana pun mereka melangkah, kemalangan niscaya
menyertai.
Bisakah Sam melupakan perbuatan Rattigan
kepada me​reka kelak? Bisakah dia memaafkan? Dan,
akankah situasi kembali normal?
Bahkan, ketika memikirkan pertanyaan itu, Sam
tahu bah​wa yang namanya normal itu tidak ada—
tidak untuknya, ti​dak untuk penghuni museum,
mungkin tidak juga untuk semua orang di dunia. Dia
lagi-lagi teringat akan ucapan Mr. Dumfrey, bah​wa
perubahan senantiasa terjadi, bahwa perubahan itu
niscaya. Bahwa suatu hari nanti, Thomas, Max, Sam,
dan Pippa mesti mengandalkan satu sama lain untuk
desyrindah.blogspot.com

saling melindungi.
Dan, ketika saat itu tiba, mungkin saja, mudah-
mudahan saja, mereka sudah siap.
Begitu memasuki kantor Rosie, Sam tahu bahwa
kedatangan mereka adalah langkah keliru—terutama
ketika mereka harus langsung mengelak supaya tidak
tersambar kertas-kertas yang beterbangan bak angin
puting beliung ke arah mereka.
“Sudah kubilang, jangan masuk!” Rosie meraung
dari bagian kantornya yang tak terlihat—kalimat yang
sepertinya ditujukan kepada seorang pemuda yang
mereka lihat berlari menuruni tangga—sedangkan
asisten Rosie yang sibuk sekali lagi berusaha dengan
maksimal untuk melebur ke mejanya. Sesaat
berselang, kepala Rosie menyembul dari sudut
ruangan dan Sam spontan memekik waswas. Rambut
keriwil Rosie mengembang di seputar wajahnya,
seperti anemon laut rak​sasa yang menempel ke batok
kepalanya dan sedang berupaya dengan kalut untuk
melepaskan diri.
“Oh, anak-anak ajaib,” kata Rosie. Dia
kedengarannya tidak kesal melihat mereka, tetapi
tidak senang juga. Dia menepuk-nepuk rambutnya,
yang tetap saja mengembang. “Ma​suk, masuk. Maaf
berantakan. Pekan yang sibuk. Bentrok kecil-kecilan
desyrindah.blogspot.com

dengan pengacara kubu lawan dalam salah satu kasus


yang kutangani. Kalian mungkin melihatnya keluar
ta​di. Terakhir kalinya dia meminta aku untuk
berdamai.”
Sam tidak menyangka kantor Rosie bisa lebih acak-
acakan lagi dibandingkan kali terakhir mereka
berkunjung. Namun, tumpukan kertas nyatanya
bertambah, menggunung di sana sini seperti miniatur
gedung-gedung tinggi Manhattan.
“Bagaimana bisa Anda menemukan apa pun di
da​lam si​ni?” tanya Pippa sambil mengerutkan hidung.
Sam tahu be​tapa Pippa membenci ketidakteraturan—
dia mengelompokkan pakaian berdasarkan warna dan
sering kali mengendap-endap ke ruang pameran saat
larut malam untuk membenahi barang-barang yang
kurang rapi.
“Oh, aku punya sistem.” Rosie melambaikan
tangan se​kenanya dan duduk di atas radiator, yang
kebetulan bebas kertas. “Sungguh sebuah kehormatan.
Apa tujuan kedatangan kalian ke sini?”
Thomas, Sam, dan Pippa bertukar pandang. Max
menatap lantai lekat-lekat sambil cemberut.
“Jadi, begini,” kata Thomas. “Ceritanya panjang.”
Dia mena​rik napas dalam-dalam dan mulai bercerita.
Dia mengingatkan Rosie bahwa mereka sempat
desyrindah.blogspot.com

mendatangi kantor Erskine dan menemukan surat


untuk Benny Mallett. Thomas memberi tahu wanita
itu tentang kedatangan mereka ke warehouse Mallett,
tentang foto di koran yang membuktikan bahwa
Mallett ti​dak mungkin bunuh diri. Thomas bahkan
memberi tahu sang pengacara mengenai Sir
Barrensworth yang misterius dan ke​biasaannya
meninggalkan bungkus permen karet di mana-mana.
“Jadi, Anda tentu paham,” pungkas Thomas.
“Jenderal Farnum tidak mungkin melakukannya—
tidak mungkin mem​bunuh Erskine ataupun Mallett.”
Lama Rosie diam saja. Kemudian, dia berdiri.
“Begitu,” katanya. “Teorimu banyak lubangnya.
Lebih banyak daripada lubang di bantalan jarum
nenekku.”
“Tapi—” Thomas hendak memprotes. Rosie
mengangkat tangan untuk membungkamnya.
“Dengarkan aku.” Wanita itu menggeleng-geleng.
“Aku di pihak kalian. Bukan Farnum pelakunya—aku
tahu itu. Tapi, aku harus realistis. Aku harus melihat
kasus itu dari sudut pandang juri. Keterkaitan antara
Erskine dan Mallett? Mungkin cuma kebetulan. Dan,
kalau polisi bilang dia bu​nuh diri, itulah yang akan
diyakini sebagian besar orang. Menge​nai Sir
Barrensworth ….” Dia menggeleng. “Bungkus permen
desyrindah.blogspot.com

bukanlah bukti.”
“Tapi—” Kali ini, Pippa mencoba angkat bicara.
“Kataku dengar,” kata Rosie. Namun, kemudian,
selama sekurang-kurangnya semenit, dia diam saja.
Dia memung​gungi mereka dan justru melayangkan
pandang ke jendela. Dari sana, Sam bisa melihat mesin
derek dan konstruksi, gedung-gedung setengah jadi
yang menggapai langit. Ketika Rosie akhirnya bicara
lagi, nada bicaranya berubah drastis—ragu-ragu,
lembut. “Kalian anak-anak istimewa,” katanya. “Aku
paham. Tapi, yang tidak kalian pahami adalah betapa
beruntungnya kalian.” Dia berbalik untuk kembali
menghadap mereka. “Dumfrey sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk melindungi kalian.
Mungkin caranya berbeda daripada yang dilakukan
orang lain pada umumnya, tapi dia serius ingin
men​jaga kalian supaya aman. Kalian pintar, berbeda,
dan kuat, jadi kalian mengira kalian sanggup
menghadapi seisi dunia.” Dia memandangi mereka
satu per satu secara bergiliran—termasuk Max, yang
akhirnya berpaling dari lantai. Ketika mata Rosie
tertumbuk kepada Sam, dia mengerti apa sebabnya
Rosie da​pat memenangi kasus-kasus yang nihil
harapan, apa sebabnya wanita itu merupakan salah
satu pengacara paling tenar di New York City. Sam
desyrindah.blogspot.com

percaya kepada Rosie. Dia tahu semua yang Rosie


katakan benar. “Kalian menjadi sedikit lebih dewasa
dan kalian berkenalan dengan kejahatan. Yah,
sekarang kalian akan tumbuh lebih dewasa lagi.
Kejahatan tidak selalu kelihatan. Yang jahat bukan
cuma pencuri atau pembunuh yang kelakuannya
dimuat di koran-koran. Keengganan untuk bertindak
benar ada​kalanya jahat juga. Begitu pula penolakan
untuk bertindak berani. Sekadar mengikuti arus—itu
juga bisa disebut kejahatan. Dengan kata lain, kita
semua bisa menjadi sedikit jahat.”
Tahulah Sam bahwa Rosie paham. Rosie tak
ubahnya orang pintar—bukan pintar seperti Thomas
yang tahu banyak hal—yang bisa menerawang jauh ke
depan dan menangkap rahasia terdalam di hati
manusia. Rosie memahami mereka dan dia paham
bahwa dunia tidak akan pernah menganggap mereka
normal. Dia juga paham bahwa perbedaan mereka
merupakan kekuatan dan bukan kelemahan ataupun
alasan.
Seperti biasa, Sam merasakan kekuatan merambati
tubuh​nya bagaikan aliran listrik. Namun, untuk kali
pertama seumur hidupnya, Sam tidak malu.
“Asal tahu saja, itulah sebabnya aku suka kasus-
kasus yang nihil harapan.” Selama sepersekian detik,
desyrindah.blogspot.com

Rosie Bickers, yang bersetelan jas ungu mencolok dan


berambut mencuat be​rantakan, kelihatan cantik. “Aku
suka melawan arus. Harus ada yang melakukannya.
Sekalian untuk mengingatkan diri sendiri bahwa kita
bisa.”
Suasana menjadi hening beberapa lama. Bahkan,
Max juga menatap Rosie dengan hormat. Kemudian,
Rosie berdeham. Tiba-tiba saja, sikapnya kembali
serius.
“Aku ingin membantu kalian,” katanya dengan
nada lugas seperti biasa, sambil mencurahkan
perhatian kepada setumpuk kertas di meja. “Sungguh.
Jadi, aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk
Jenderal Farnum. Tapi, perihal yang lain—teori dan
lain sebagainya ….” Dia menggeleng. “Maaf, Anak-
Anak. Itu urusan kalian sendiri.”[]
desyrindah.blogspot.com
22

“BENAR, ‘KAN?!” BEGITU MEREKA


MENGINJAKKAN kaki ke jalan, Max langsung
menumpahkan unek-uneknya. “Sudah kubilang
menemui nenek sihir itu cuma buang-buang waktu.”
“Ayolah, Max,” kata Sam sambil menendangi
trotoar dengan sepatunya yang beret. “Rosie tidak
sepayah itu, ‘kan? Dia cuma bersikap realistis. Dia
benar. Tidak akan ada juri yang percaya kepada kita.”
Max membuka mulut, kemudian menutupnya lagi.
Dasar Sam, selalu saja menyanggahnya. Tiap kali dia
menoleh, Sam lagi-lagi memprovokasinya soal Howie,
atau menyuruhnya Te​nang, gunakan kepala dingin,
jangan marah-marah. Mengapa Sam terus bersikap
menjengkelkan?
Jadi, sekarang Max tidak repot-repot menanggapi.
Dia hanya berputar dan meleburkan diri ke dalam
arus massa yang menuju ke arah selatan.
desyrindah.blogspot.com

“Tunggu!” Thomas buru-buru menyusul Max,


diikuti yang lain. “Memangnya kau mau ke mana?”
“Katamu Sir Bottomsworth, atau siapa pun
namanya, mungkin terlibat dalam kekisruhan ini,
‘kan?” ujar Max sambil menyibakkan rambutnya.
Sekali ini, dialah yang berjalan paling depan. “Nah,
aku akan bertanya kepadanya.”
Tentu saja Max tidak sudi mengakui bahwa dia
tidak tahu hendak mengatakan apa tepatnya. Menurut
dugaan Max, mus​tahil Sir Buttersworth menurut dan
dengan pasrah mengaku sudah membunuh dua orang.
Tidak mungkin—orang sok be​gitu, yang menyandang
embel-embel Sir dan memiliki nama seperti suara
bersin. Dia barangkali mengira dirinya lebih pin​tar
daripada orang lain. Meski begitu, Max senang karena
tidak ada yang keberatan terhadap rencananya—tidak
juga Sam.
Mereka baru berjalan setengah blok ketika seorang
pria jangkung kurus yang bertampang seperti terwelu
ketakutan meng​hambur keluar dari kantor pos dan
hampir menabrak Max, alhasil memaksanya untuk
buru-buru mundur.
“Rupanya kalian di sini,” kata laki-laki itu. Sedetik
ber​selang, baru Max menyadari pria tersebut me​mang
berbicara kepadanya. “Sudah menunggu kalian 45
desyrindah.blogspot.com

menit. Ku​​kira ada yang mengerjaiku, apalagi aku


masih baru.” Dia mengenakan seragam tukang pos.
Selagi dia berbicara, hi​dung​nya berkedut-kedut
gelisah. “Wajahku praktis kutempelkan ke jendela,
khawatir kalau-kalau aku melewatkan kalian.”
“Anda khawatir akan melewatkan kami?” Pippa
menatap pria itu sambil bengong.
Dia sepertinya tidak mendengar Pippa. Dia
merogoh saku dan mengeluarkan selembar kertas,
yang Max kenali sebagai telegram. Max baru kali ini
menerima telegram dan, setelah membuka kertas yang
terlipat, dia berdiri beberapa lama sam​bil mengerjap-
ngerjap, berusaha menafsirkan isi pesan, yang
seluruhnya ditulis dengan huruf besar dan sama sekali
tidak dilengkapi tanda baca. Di samping Max, Pippa
terkesiap dan Thomas merintih pelan.
“Apa?” bisik Sam dengan nada urgen. “Apa
isinya?”
Max mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha untuk
mengeja kata demi kata.

HALO ANAK ANAK TERSAYANG TITIK APA


KALIAN RINDU AKU TITIK AKU RINDU KALIAN
TITIK JANGAN KHAWATIR TITIK SEBENTAR
LAGI AKU AKAN BANGKIT DARI ABU SEPERTI
PHOENIX DAN MENCIPTAKAN API YANG INDAH
desyrindah.blogspot.com

Otak Max menyisir kata demi kata, baris demi


baris, me​nyusun semuanya menjadi satu kesatuan
utuh yang masuk akal. Halo, Anak-Anak Tersayang.
Apa kalian rindu aku? Aku rindu kalian. Jangan
khawatir. Sebentar lagi aku akan bang​kit dari abu
seperti phoenix dan menciptakan api yang indah.
“Tidak.” Sam membaca dari balik bahu Max.
“Tidak, mustahil.”
“Dari mana Anda mendapatkan ini?” sergah Max.
Dia mendadak merasa terekspos, seakan tubuhnya
telah diba​likkan dari dalam ke luar sehingga
jeroannya kini terpapar. Bersembunyi di keramaian.
Kata-kata itu mengemuka di benaknya begitu saja—
Max tidak tahu mendengarnya dari mana. Namun,
itulah yang dilakukan Rattigan sejak awal. Dia tidak
mengendap-endap dalam selubung bayang-bayang,
juga tidak tinggal di terowongan kereta bawah tanah
atau bangunan apartemen terbengkalai, berkebalikan
dengan duga​an polisi. Dia berjalan-jalan santai di
bawah terpaan sinar matahari, tersenyum,
memiringkan topi untuk memberi salam kepada
wanita-wanita yang melintas, melebur ke kerumunan,
melakukan tindakan yang paling tidak disangka-
sangka.
desyrindah.blogspot.com

Tukang pos mendengus, seakan tersinggung atas


tindak-tanduk Max dan justru mengharapkan terima
kasih. “Telegram disampaikan langsung kepadaku
setengah jam lalu. Pesan pen​dek—aku cuma diminta
untuk menyerahkan telegram kepada keempat anak
yang akan keluar dari bangunan itu.” Dia menunjuk
kantor Rosie. Bulu kuduk Max berdiri. “Semenit
kemudian, ada lagi telegram yang datang, jadi aku
menunggu sambil memperhatikan dan
mengantarkannya sesuai perintah. Cuma mengerjakan
tugasku.” Dia berbalik, lagi-lagi sambil mendengus
kesal, kemudian masuk ke kantor pos.
Max meremas-remas telegram di tangannya,
mendadak murka, dan membidik tong sampah di
pojok. Thomas me​nyambar pergelangannya sebelum
Max sempat melempar.
“Jangan,” kata Thomas, dengan lembut mengambil
gum​palan kertas dari tangan Max.
“Dia mengawasi kita,” kata Max. “Dia
membuntuti kita.”
“Lebih dari itu,” kata Thomas. Dia membuka
telegram dan membaca ulang pesan sambil
mengerutkan kening. Bintik-bintik di mukanya ikut
memucat. “Lihat bagian ini—mengenai phoenix?
Emily baru pagi ini mengungkit-ungkit phoenix. Lash
desyrindah.blogspot.com

mengocehkannya kepada siapa pun yang mau


mendengarkan. Bahwa pesan barusan menyebut-
nyebut ‘phoenix’ pasti bu​kan hanya kebetulan.
Rattigan tidak pernah mengandalkan kebetulan.”
“Maksudmu apa?” Pippa bergidik sambil
bersedekap.
Thomas menarik napas dalam-dalam. “Maksudku,
dia punya mata-mata,” katanya. “Dia menempatkan
mata-mata di dalam museum.”
“Tidak,” kata Pippa buru-buru. Sam menatap
Thomas de​ngan mulut menganga.
“Pikirkan saja,” kata Thomas sambil mengangkat
jarinya, mengabsen satu demi satu. “Dia tahu kita
akan ke kantor Rosie bahkan sebelum kita sampai—
karena itulah dia tahu mesti mengirimkan telegram
dari seberang jalan. Dia menguping percakapan kita—
dia tahu apa yang kita rencanakan begitu kita
menyusun rencana.” Semakin gelisah, semakin cepat
Thomas bicara. “Tidakkah kalian semua
merasakannya? Seakan-akan Rattigan di sini,
membayang-bayangi kita, mengembuskan na​pas ke
tengkuk kita dan mentertawai kita?”
Max memasukkan tangan ke saku mantel, terhibur
karena merasakan pisau di dalam sana. Dia tidak mau
percaya. Namun, Thomas benar. Max sendiri
desyrindah.blogspot.com

merasakan yang Thomas katakan.


“Emily pasti melapor kepada Rattigan,” pungkas
Thomas.
“Emily?” Sam menyugar rambutnya, yang serta-
merta meng​gelepai kembali sehingga menutupi
matanya seperti tirai. “Menurutmu mata-matanya
Emily?”
“Siapa lagi?” Thomas mengernyitkan kening. “Dia
datang entah dari mana begitu masalah ini muncul.
Dialah yang ber​cerita tentang phoenix kepada kita.
Dia bisa saja mendengar kita berkata hendak
mengunjungi Rosie.”
Max harus mengakui bahwa spekulasi Thomas
masuk akal. Namun, Max menyukai Emily—jauh
lebih menyukai perempuan itu daripada si kembar
menyebalkan yang selalu bertengkar gara-gara jepit
rambut yang dipinjam atau pensil alis yang hilang.
“Kestrel yang malang,” kata Pippa sambil
mendesah. “Aku kasihan sekali kepadanya.”
Max mengerutkan kening. “Apa hubungannya
Kestrel dengan ini?”
Pippa menatap Max. “Serius?” Dia angkat tangan.
“Sung​guh? Apa cuma aku yang bisa melihat?”
Kemudian, dia ber​paling sambil menggerutu,
sepertinya menggumamkan buta dan idiot serta tidak
desyrindah.blogspot.com

akan sadar kalaupun cinta menghajar muka mereka


dengan tongkat bisbol.
“Ya sudah.” Sam mendesah. Max bisa melihat Sam
juga kesulitan menerima kemungkinan bahwa Emily
seorang mata-mata. “Kau ingin kita melakukan apa?”
Thomas menggigiti bibir bawahnya. “Mari kita
jalankan rencana Max,” dia akhirnya berkata. “Kita
urus dulu Sir Barrensworth, cari tahu apakah dia
memiliki kaitan dengan Mallett dan Erskine. Emily
bisa kita tangani belakangan.”
Mereka lalu maju lagi, memasuki kereta bawah
tanah di Thirty-Third Street untuk menuju utara, ke
kawasan yang jarang Max datangi. Begitu mereka
keluar di Ninety-Sixth Street, Max teringat alasannya.
Ini bukan New York yang dia cintai, New York
yang di​meriahkan oleh trem dan taksi berklakson riuh
serta ge​mu​ruh kereta bawah tanah di bawah kisi-kisi
jalan; khalayak ramai dan wisatawan serta penjual
pretzel dan penjaga toko yang adu teriak dari seberang
jalan; segala macam orang dan logat serta bangunan
yang berdesak-desakan, menyempil di samping satu
sama lain sebisa mungkin supaya tidak makan tempat.
Di sini, bangunan besar-besar dan berfasad batu
elok ber​motif gelombang, sedangkan penjaga pintu
bersarung tangan putih berdiri di tiap jalan masuk.
desyrindah.blogspot.com

Jika bisa bicara, bangunan-bangunan ini niscaya


berkata lap dulu kakimu dan bersikaplah yang sopan
alih-alih silakan masuk atau terima kasih sudah
memperhatikanku. Alih-alih berisik karena suara
orang-orang dan lalu lintas, suasana anehnya hening,
seolah seisi kawasan itu menahan napas, khawatir
kalau-kalau menyinggung perasaan tetangganya.
Selain itu, semua orang yang mereka lewati melirik
dengan jijik, seakan mereka adalah barang busuk yang
tidak sengaja menempel ke sol sepatu sampai terbawa
ke utara.
Thomas ingat kartu nama Sir Barrensworth
menyatakan alamatnya adalah 1270 Park Avenue.
Namun, ketika mereka sampai di blok yang tepat,
mereka mendapati bahwa tidak ada nomor 1270. Di
jalan itu hanya terdapat dua gedung apartemen, dua-
duanya besar sekali, lengkap dengan kanopi hijau
identik dan penjaga pintu identik bertampang
congkak.
“Apa kau yakin tidak salah?” tanya Pippa,
menatap plat nomor besi dekoratif, yang melompat
dari 1260 langsung ke 1280.
“Aku yakin seratus persen,” kata Thomas tegas.
“Di kartunya tertulis 1270 Park Avenue. Aku berani
bersumpah.”
desyrindah.blogspot.com

“Mungkin sebaiknya kita cek ulang,” Sam


menyarankan dengan lembut. “Untuk memastikan.”
“Kau saja, Pippa,” kata Max riang. “Kau
kelihatannya cocok menjadi orang sombong yang
tinggal di sana.”
Pippa merengut. Menurut Max, ekspresinya justru
me​lengkapi penampilannya. “Ya sudah,” kata Pippa.
“Tunggu di sini. Aku tidak mau kalian membuat
ulah.” Sambil menyi​bakkan rambutnya yang
berwarna gelap, Pippa menghilang ke dalam bangunan
pertama, sepatu putihnya menepuk trotoar keras-
keras. Dia muncul sesaat berselang sambil
menggeleng.
“Tidak ada Sir Barrensworth,” katanya. Pippa
mencoba nomor berikutnya 1280, tetapi hasilnya
sama. Di kedua ba​ngunan, tidak ada penghuni
bernama Sir Barrensworth. Sekadar supaya aman,
mereka menyeberangi jalan dan mencoba ge​dung
apartemen di sana. Namun, sepertinya tak ada
seorang pun yang pernah mendengar nama Sir
Barrensworth.
“Sekarang apa?” Saking tidak sabarnya, Pippa
praktis menari-nari di tempat.
Suasana hati Thomas juga ikut terjun bebas.
“Sekarang cukup sekian,” katanya sambil menggeleng
desyrindah.blogspot.com

muak. “Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Kita


membentur jalan buntu, ‘kan?”
“Staten Island bagaimana?” tukas Sam.
“Tahukah kau Staten Island sebesar apa?” Thomas
meng​geleng. “Lupakan. Ayo pulang. Sir Barrensworth
pasti muncul kapan-kapan. Dia harus melatih Burung
Api bodoh itu, ‘kan?”
“Aku masih tidak mengerti apa untungnya untuk
Bar​leyhorn,” kata Max selagi mereka menuju kereta
bawah tanah. “Apa motifnya? Motif di balik semua
perbuatannya?”
Thomas memasukkan tangan ke saku.
“Barrensworth, Erskine, dan Mallett. Emily dan
Rattigan.” Dia terdiam de​ngan murung. Max
berusaha menempatkan diri pada posisi Thomas,
untuk melihat yang dia lihat. Dia berharap, pada saat
itu, jika saja dia memiliki kemampuan menerobos
pikiran orang sekehendak hati seperti Pippa. Yang
Max lihat hanyalah serangkaian citra tak berkaitan:
Mallett, yang bermata merah dan merana,
mengeluhkan bahwa dia celaka; Emily yang
me​nelusuri bentuk tato phoenix-nya; Farnum malang
yang me​mindahkan kutu-kutu mati ke kotak korek
api.
“Dan jangan lupakan perampokan bank,” kata
desyrindah.blogspot.com

Pippa. “Rattigan pasti sibuk merencanakan itu juga.”


Namun, Thomas tetap membisu. Max menahan
napas, me​nunggu momen ketika Thomas menguak
segalanya, ketika dia menyerukan, “Aku tahu!” dan
menafsirkan semua yang telah terjadi, ketika dia
memecahkan teka-teki.
Namun, Thomas semata-mata mendesah dan
menggeleng. “Petunjuknya kurang,” hanya itu yang
dia katakan.[]
desyrindah.blogspot.com
23

PIPPA MERASA SEPERTI BARU DIPAKSA


menyantap masakan Goldini yang tidak enak:
perutnya teraduk-aduk terus, sensasi yang tidak bisa
dienyahkan. Rattigan-Emily-Erskine-Mallett-
Barrensworth. Erskine-Rattigan-Barrensworth-
Mallett-Emily. Nama-nama itu berkejaran dan
berputar-putar di dalam kepalanya, seperti lebah-
lebah yang mengitari sekuntum bunga tanpa henti.
Benarkah Sir Barrensworth bertanggung ja​wab atas
pembunuhan Mallett dan Erskine? Jika benar,
meng​apa? Dan mengapa pula Rattigan mengutus
Emily untuk me​mata-matai mereka? Apa sekadar
untuk kesenangannya sen​diri, supaya mereka merasa
tidak aman? Ataukah dia berusaha mencegah mereka
menguak kebenaran, supaya mereka tidak
menemukan hubungan yang, bahkan saat ini,
melayang-layang sedikit saja di luar jangkauan
desyrindah.blogspot.com

mereka?
Berpikir begini menjadikan otak Pippa serasa ruwet
seperti simpul yang mengikat Thomas dalam aksinya
di atas panggung dan, tidak lama berselang, Pippa
sudah menyerah. Faktanya, upaya mereka untuk
membebaskan Jenderal Farnum belum membuahkan
hasil sama sekali. Mereka semata-mata mesti
mengandalkan Rosie karena jika tidak ….
Nah. Pippa tidak mau memikirkan kelanjutannya.
Yang lain jelas-jelas khawatir dan tidak senang
juga, sama seperti Pippa. Dia tidak perlu menjadi
pembaca pikiran untuk mengetahui itu. Thomas diam
saja, tidak biasa-biasanya, dan alih-alih mengocehkan
cara untuk menambang baja atau sifat-sifat kimia
arang atau pembuatan mesin kompresi ganda atau apa
pun di antara miliaran fakta yang sempat dia baca di
buku, Thomas semata-mata menatap lantai dengan
murung sambil menggigit bibir. Max membersihkan
kuku dengan pi​sau, berjuang supaya terkesan acuh tak
acuh—tetapi tangan​nya gemetaran dan kulitnya
tergores pisau dua kali. Sam yang malang
mencengkeram pegangan kereta bawah tanah kencang
sekali sampai-sampai menghasilkan cap tangan pada
baja, me​nyebabkan sejumlah orang menoleh dan
memperhatikan sementara mereka keluar buru-buru,
desyrindah.blogspot.com

dua stasiun lebih awal.


“Maaf.” Wajah Sam merah padam. “Aku tidak
konsentrasi.”
“Aku memang ingin jalan kaki,” kata Pippa cepat-
cepat, supaya Sam tidak merasa bersalah. “Lagi pula,
di bawah sini sumpek.” Kereta bawah tanah memang
terasa sempit dan se​sak gara-gara pesan yang mereka
terima. Pippa merasa seakan benaknya digerapai dari
segala arah, oleh sekian banyak tangan nan lengket.
Dia tidak bisa rileks.
Namun, matahari sore ternyata tidak mampu
mengusir bayang-bayang kelam yang menghinggapi
mereka. Mereka ber​jalan berkelompok, tetapi mereka
seolah sendirian. Mereka tidak mengucapkan sepatah
kata pun kepada satu sama lain. Thomas sesekali
berhenti dan mendongak, alhasil membuat hati Pippa
melambung, mengira Thomas telah mendapat
terobosan. Namun, Thomas kemudian menggeleng-
geleng muak dan terus berjalan dengan kepala
tertunduk, sesekali menendang bungkus permen yang
tersasar atau kaleng kosong.
Mereka melewati bioskop lama, yang musim panas
lalu menjadi tempat pertemuan mereka dengan Ned
Spode—yang ternyata adalah agen Rattigan juga.
Kadang-kadang, Pippa masih bermimpi buruk
desyrindah.blogspot.com

mengenai kejadian di pabrik: wajah Rattigan yang


diselimuti bayang-bayang pencong dan tungkai Spode
yang rusak, jaringan otot dan kulitnya yang robek-
robek disangga dengan konstruksi logam, dimodifikasi
seperti mereka hingga berbeda: lebih kuat, lebih aneh.
Pippa menggeleng-geleng untuk mengenyahkan
bayangan tersebut dari pikirannya. Tepat saat itu, dia
melihat toko meriah di seberang jalan. Sejumlah kecil
orang telah berkerumun, me​nunjuk beragam barang—
bantal duduk kentut, kartu remi ti​puan, permen karet
meledak, bunga yang bisa menyemprotkan cairan—
yang ditata bertingkat-tingkat di etalase.
“Hei, Thomas.” Pippa berhenti. Plang merah besar
di atas pintu mengumumkan: Toko Tetek Bengek
McNulty. “Bukan​kah itu toko yang diceritakan
Chubby?”
Thomas mendongak. Untuk kali pertama dalam
kurun sejam, ekspresinya menjadi jernih.
“Ayo,” kata Pippa. “Mari masuk.” Ketika Thomas
ragu-ragu, Pippa menyikutnya. Dia tidak suka melihat
Thomas se​murung itu. “Kau penasaran, ‘kan? Lagi
pula,” dia memelankan suara, “kau sendiri yang
bilang kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat ini.”
“Kira-kira mereka masih punya bom bau atau
tidak, ya?” Max berspekulasi.
desyrindah.blogspot.com

Pippa sudah cukup mengenal Max sehingga sontak


merasa curiga. “Kenapa?”
Max mengangkat bahu. “Kupikir tidak ada
salahnya kita memberi Emily alasan untuk
meninggalkan museum, cuma itu.”
Mendengar ini, senyum Thomas mengembang.
“Kadang-kadang, Max,” katanya sambil menepuk
punggung gadis itu, “menurutku di antara kita, kaulah
yang genius.”

Interior Toko Tetek Bengek McNulty ternyata tak


ubahnya hasil imajinasi sinting anak dua belas tahun
jail. Mr. McNulty juga terkesan belia, padahal
kepalanya sudah botak dan ha​nya ditumbuhi helai-
helai rambut beruban yang mencuat dari ubun-ubun,
bunga yang tersemat di kerah jasnya sudah layu, dan
dia berjalan menggunakan tongkat.
“Selamat datang, selamat datang!” Dia
menggebrak kon​ter untuk menyapa mereka. “Kalian
ingin kupikat dengan apa? Ayam karet bagus? Serbuk
gatal? Permen karet meledak? Kacamata sinar X? Lilin
tipuan? Atau mungkin katapel yang biasa-biasa saja
tapi asyik?” Dia menunjuk masing-masing ob​jek
secara bergiliran dengan tongkatnya.
“Kami ingin lihat-lihat dulu,” kata Pippa. “Terima
desyrindah.blogspot.com

kasih.”
Mr. McNulty bertumpu dengan berat ke
tongkatnya, yang bercat kuning cerah. “Silakan lihat-
lihat,” serunya sambil merogoh saku jas. “Yang
penting, hati-hati. Segalanya terkesan asyik dan cuma
main-main sampai ada yang kena—semprot.” Tangan
di dalam sakunya berkedut-kedut dan, sekonyong-
konyong, bunga di kerah jasnya menyemprotkan air
tepat ke mata Pippa.
Pippa memekik dan terhuyung-huyung ke
belakang, se​dangkan Max tertawa terbahak-bahak.
“Tidak lucu,” kata Pippa, memelototi Mr.
McNulty dengan galak sambil mengelap air dari
pipinya.
“Oh, ayolah, Pippa.” Thomas merangkul pundak
Pippa. Kekesalannya sudah lenyap tak bersisa. “Harus
kau akui bahwa yang barusan memang sedikit lucu.”
“Sedikit sekali,” kata Pippa. Namun, dia masih
cemberut ketika Mr. McNulty mulai tertawa.
Mereka berkeliling toko, sesekali berhenti untuk
menga​gumi salah satu barang lawakan Mr. McNulty:
sestoples selai kacang yang melontarkan ular-ularan
pegas ketika tutupnya dibuka, es batu palsu berisi
kecoak. Bom bau ternyata sudah habis dan Mr.
McNulty masih menunggu kiriman berikutnya,
desyrindah.blogspot.com

informasi yang membuat Max kecewa berat.


“Tapi, aku punya sesuatu yang malah lebih bagus.”
Mr. McNulty mengambil kaleng dari lemari pajang di
sebelah ka​sa. “Serbuk Bersin Superior Sersan
Schnorner! Serbuk bersin yang dijamin seratus persen
paling baik, paling ampuh, paling menggelitik hidung.
Mau tahu cara pakai yang asyik?” Dia tidak
menunggu jawaban. “Masukkan sedikit serbuk ke
balon—cukup satu atau dua sendok teh—dan tiup
balon sampai besar mengembang. Ketika kita lepas,
balon itu akan memelesat ke sepenjuru ruangan seperti
pesawat sekaligus menaburkan serbuk ke semua
orang. Coba kalian dengar suara bersinnya! Seperti
singa mengaum. Seperti mesin pesawat!”
“Makasih,” kata Pippa. “Tapi kami sebenarnya
mencari—” Dia berhenti bicara ketika melihat bahwa
wajah Thomas telah memutih. “Apa?” kata Pippa.
“Kenapa?”
Thomas mengabaikan Pippa. Dia masih menatap
Mr. McNulty dengan ekspresi terpaku ngeri, seperti
baru melihat hantu. “Pesawat,” tukas Thomas parau.
“Apa tadi kata Anda?”
“Bersin seperti singa mengaum,” kata Mr.
McNulty. “Se​perti mesin pesawat!”
“Bukan,” kata Thomas. “Bukan, sebelum itu.
desyrindah.blogspot.com

Mengenai balon.”
Mr. McNulty akhirnya menangkap kejanggalan
ekspresi Thomas. Dia mengerutkan kening. “Kubilang
balon memelesat seperti pesawat,” katanya. “Seperti
pesawat penyemprot pes​tisida, menaburkan bubuk ke
mana-mana.”
“Penyemprot ….” Thomas memejamkan mata dan
berdiri sambil bergoyang depan belakang, seolah
hendak jatuh.
“Ada apa?” desis Pippa. “Kau sakit atau apa?”
Thomas terus membisu barang sekejap. Kemudian,
dia membuka mata lagi, rona kini menyebar ke
wajahnya serta-merta. “Kapal zeppelin.” Thomas
menoleh kepada Pippa sam​​bil menyambar lengannya.
“Dari mana kapal zeppelin dilun​curkan?”
“Kapal zeppelin?” Perubahan topik pembicaraan
yang tiba-tiba sekali membuat Pippa mengira dia salah
dengar.
“Ya, kapal zeppelin!” bentak Thomas.
“Diluncurkannya besok dari mana?”
“Aku tidak tahu.” Wajah Pippa memerah. Dia
merasakan pikiran Thomas bergerak secepat kilat—
seperti korsel yang ber​putar-putar kencang sekali
sehingga kuda-kudanya berkelebat kabur. “Aku tidak
ingat radio mengumumkan apa. Dari pabrik besar di
desyrindah.blogspot.com

Staten Island—” Dia terkesiap keras-keras, ucapannya


terhenti begitu saja.
“Ke sanalah racun dikirim,” kata Thomas.
“Karena itulah Mallett tidak bisa mendapatkan bahan
untuk membuat Kutu Kocar-Kacir. Karena itu juga dia
dan Erskine dibunuh—karena mereka terlalu banyak
bertanya.”
“Aku tidak mengerti,” kata Sam, sekalipun Pippa
sudah mengerti. Akhirnya—Pippa paham, melihat
keterkaitan yang semula tidak jelas, dan melilit-lilitlah
perutnya.
Thomas melepaskan lengan Pippa. Dia menoleh
kepada Sam, mendadak kelihatan letih. “Kapal
zeppelin itu,” katanya, memelankan suara supaya Mr.
McNulty tidak mendengar. “Dia akan mengangkut
gas pencabut nyawa dengan kapal zeppelin dan
melepaskan gas itu ke atas kota. Dia akan membunuh
ribuan orang—puluhan ribu. Mungkin malah lebih.”
“Dia ...?” Mata Sam membelalak. “Maksudmu
bukan—”
“Siapa lagi?” kata Thomas muram. “Rattigan.”

“Dia pasti sudah merencanakan ini berbulan-bulan,”


kata Thomas. Mereka sedang dalam perjalanan
pulang ke mu​seum. Pippa harus berlari-lari kecil
desyrindah.blogspot.com

untuk menyamai kecepatan yang lain: tungkai Sam


hampir dua kali lebih panjang daripada tungkainya,
Thomas sudah dari sananya gesit, sedangkan Max
terbiasa melaju dan berkelit sana sini di sela-sela
keru​mun​an orang. “Pasti butuh segudang uang untuk
mengumpul​kan se​mua bahan. Itulah alasan dia
merampok bank. Dan minta tolong dari mana-mana.
Siapa pun yang mensponsori penerbangan kapal
zeppelin—”
“Perusahaan Woodhull,” tukas Pippa.
“Perusahaan Woodhull, iya. Mereka pasti menjadi
kaki tangan Rattigan. Mungkin perusahaan itu sempat
berutang budi kepada Rattigan dahulu kala, pada
zaman sebelum perang. Tentu saja mereka tidak tahu
dia merencanakan apa.”
“Jadi, lelaki bermuka tikus yang hampir
menculikmu di bank—” kata Pippa.
“Bekerja untuk Rattigan,” kata Thomas. “Persis
seperti yang kau kira. Dia juga sempat dilihat saksi
mata di luar apartemen Erskine, pada malam ketika
Erskine dibunuh.”
“Itu bukan kebetulan,” kata Pippa.
“Tapi, bagaimana kita bisa menghentikannya?”
kata Sam, menghindari gerobak hot dog seorang pria
sambil mengangkat tangan supaya tidak
desyrindah.blogspot.com

menyenggolnya. “Kalau Rosie tidak mau menggubris


yang kita katakan tentang Barrensworth—”
“Lupakan Rosie,” kata Thomas. “Tidak ada waktu
untuk membujuknya. Mr. Dumfrey harus mendatangi
polisi. Aku tahu,” imbuhnya, ketika Max lagi-lagi
merengut. “Tapi, kita tidak punya pilihan. Kapal
zeppelin akan diluncurkan besok. Dan kalian dengar
apa kata Chubby. Separuh penduduk kota akan
datang untuk menonton.”
Pippa mendadak membayangkan kapal zeppelin
mahabesar melayang di atas kota, memancarkan
bayang-bayang ke jalanan, dan semua orang yang
berkumpul di atap bangunan serta trotoar untuk
menonton—anak-anak, keluarga, bayi, nenek-nenek—
sementara racun mendesis ke udara ... tanpa terlihat ...
tanpa teperhatikan ….
Isi perut Pippa berpilin ke kerongkongan.
New York akan menjadi ladang pembantaian
massal.[]
desyrindah.blogspot.com
24

SAM MASUK KE MUSEUM DULUAN,


menjeblakkan pintu kuat-kuat hingga menabrak
tembok sebelah dalam dan mencungkil sebongkah
plester. Namun, saking larutnya dalam permenungan
mengenai Rattigan dan rencana jahatnya, Sam bahkan
tidak merasa bersalah.
Tidak biasa-biasanya, si kembar duduk di balik
meja tiket, dengan anteng saling mewarnai kuku
dengan cat merah seram yang mirip darah, apalagi
dikontraskan dengan kulit mereka yang putih pualam.
“Di mana Mr. Dumfrey?” sembur Sam. “Kami
perlu bicara dengan Mr. Dumfrey.”
Caroline melirik mereka sambil lalu. “Pergi,”
katanya singkat.
“Pergi?” Thomas membeo. “Apa maksudmu
pergi?”
Caroline memutar-mutar bola mata. “Kau bukan
desyrindah.blogspot.com

memintaku mendefinisikan kata itu, ‘kan? Tidakkah


Monsieur Cabillaud mengajarimu sesuatu?”
Max mengeluarkan suara menggeram dan maju
selangkah. “Dengar, dasar daging go—”
“Max.” Pippa memegangi bahu Max, barangkali
supaya Max tidak menerjang ke meja tiket dan
meninju hidung Caro​line. Dia menoleh kepada si
kembar.
“Ke mana Mr. Dumfrey pergi? Tolong beri tahu
kami. Ada persoalan penting.”
Caroline memutar-mutar bola matanya. “Kalau
kalian mesti tahu,” katanya, “dia membesuk Farnum
di penjara. Setelah itu, dia akan—ehem
—membicarakan strategi dengan Rosie sekalian
makan malam.”
Quinn cekikikan. “Taruhan begitu, dasar bandot
cerdik.”
Caroline memandangi saudarinya sambil cengar-
cengir. “Dia secara spesifik memberi tahu kami bahwa
dia baru akan pulang larut malam sekali.”
Max mengucapkan kata umpatan yang tidak layak
dicetak di halaman. Thomas berputar dan menendang
udara kosong. Pippa berdiri diam sambil
mengatupkan bibir rapat-rapat, sampai-sampai
mulutnya terkesan dijahit. Sementara itu, jan​tung Sam
desyrindah.blogspot.com

mencelus ke perutnya seperti batu berat. Polisi ti​dak


akan menghiraukan mereka, padahal mereka sudah
kehabisan waktu—dan pilihan.
“Kita harus mendatangi polisi sendiri,” kata Pippa,
menyua​rakan pikiran Sam keras-keras. Pippa
sepertinya selalu tahu isi pikiran orang, bahkan ketika
dia tidak membaca pikiran—apakah itu merupakan
dampak dari kesaktiannya atau bukan, Sam tidak
tahu.
“Tapi—” Max mulai memprotes.
“Aku tahu kau ingin bilang apa,” ujar Pippa,
bahkan sebelum Max selesai bicara. “Mereka
barangkali hanya akan mentertawai kita. Tapi, kita
tidak punya pilihan, ‘kan? Kita tidak mungkin
mendatangi Mr. Dumfrey di tengah-tengah kencan.
Lagi pula, dia bisa berada di mana saja di
Manhattan!”
“Menurutku kita langsung saja ke Staten Island,”
kata Thomas dengan suara pelan. “Separuh Bay Street
dimiliki Perusahaan Woodhull. Dan kita harus
menghancurkan kapal itu.”
“Tapi, bagaimana?” seru Pippa. “Kau sendiri
bilang Pe​rusahaan Woodhull adalah kaki tangan
Rattigan. Dia punya teman di mana-mana. Bagaimana
bisa kita menghentikan dia?”
desyrindah.blogspot.com

“Kita sudah pernah menghentikan dia,” kata


Thomas. Matanya begitu kelam. “Lagi pula, pilihan
apa lagi yang kita punya?”
Sekejap, Sam berharap semoga Pippa terus
menyanggah. Membayangkan mesti menghadapi
Rattigan saja tidak enak. Membayangkan apa yang
akan terjadi andaikan mereka gagal malah jauh lebih
parah lagi.
Namun, Pippa hanya mengangguk kecil dan
tahulah Sam bahwa Thomas benar. Mereka sudah
kehabisan pilihan. Tidak lama lagi, mereka akan
kehabisan waktu. Mereka harus mengambil tindakan.
Meski begitu, ketika Thomas mengulurkan tangan
untuk memegang kenop, pintu keburu terbuka dan
terlompatlah dia ke belakang sambil memekik.
Monsieur Cabillaud yang memelotot berdiri di
ambang pintu sambil berkacak pinggang, kepala
kecilnya yang botak bebercak-bercak merah.
“Aha! Rupanya kalian di zini!” serunya. “Aku
zudah mencari kalian ke mana-mana! Dazar murid-
murid nakal!” Dia menggoyang-goyangkan jari.
“Kalian kira kalian biza me​lu​pakan pelajaran begitu
zaja, ya? Kalian kira Monsieur Cabillaud biza lupa
begitu zaja? Kalian zalah, Mez Amiz! Ayo, naik
zekarang juga, zecepatnya. Mazih ada waktu zejam
desyrindah.blogspot.com

untuk belajar zebelum kalian tidur.”


“Belajar? Sekarang?” seru Sam. Rasa frustrasi
serasa me​remas-remas dadanya. “Anda tidak
mengerti. Kami tidak bisa belajar sekarang.”
“Kenapa?” Monsieur Cabillaud bersedekap.
“Oke, jadi begini.” Thomas melangkah maju. Dia
menarik napas dalam-dalam. “Cerita kami pasti
terkesan sinting. Tapi, yang kami katakan memang
benar. Kami akan memercaya​kan sebuah rahasia
kepada Anda. Rahasia besar, oke?” Dia memandangi
yang lain untuk meminta dukungan dan Sam pun
mengangguk. “Rahasia kami berhubungan dengan
Nicholas Rattigan.”
Alis rapi Monsieur Cabillaud terangkat. “Ilmuwan
itu?”
Thomas mengangguk. “Kami tahu di mana dia.
Dan kami tahu dia merencanakan sesuatu—sesuatu
yang besar.”
“Begitu,” gumam Monsieur Cabillaud. “Dan
kutebak cuma kalian yang biza menghentikannya?”
“Persis,” kata Thomas, mengangguk kuat-kuat
sampai-sampai kacamatanya bergoyang naik turun di
hidung. “Tepat sekali.”
“Mmm. Dan kutebak waktu zudah mepet, jadi
kalian ha​ruz bergegaz?”
desyrindah.blogspot.com

Sam merasa lega bukan main. Cabillaud mengerti.


“Be​tul,” katanya.
“Oh, begitu. Nah, biar kuzampaikan kepada
kalian, Mez Amiz,” Monsieur Cabillaud
mencondongkan tubuh seolah hendak menyampaikan
rahasia besar kepada mereka, dan mereka semua ikut
melakukan hal yang sama, “UZAHA YANG
BAGUZ!”
Dia memekikkan kata-kata terakhir dengan sangat
nya​ring sampai-sampai keempat anak terlompat.
“Kebohongan tercela!” jerit Monsieur Cabillaud.
“Fikzi yang keterlaluan. Naik, kalian zemua, zekarang
juga, atau akan kupaztikan kalian dikurung di dalam
muzeum zelama zebulan ini!” Dia menggiring mereka
ke tangga, masih sambil memekik, dadanya
membusung karena berang. “Allez! Tolong zebutkan
juga tanggal Revoluzi Pranciz—”
Monsieur Cabillaud terus mencecar mereka
sepanjang waktu makan malam. Tidak lama setelah
itu, Miss Fitch menyuruh mereka langsung naik ke
tempat tidur dan alhasil, anak-anak tidak punya
pilihan selain melewati ritual mengganti pakaian
dengan piama, menggosok gigi, kemudian pura-pura
terlelap. Sam berbaring sambil menarik selimut ke
dagu, se​olah dengan begitu dia bisa meredam bunyi
desyrindah.blogspot.com

jantungnya—yang berdebar kencang sekali sampai-


sampai dia khawatir kegaduhan itu akan
menyebabkan yang lain tidak bisa tidur.
Nyatanya, semua orang memang jatuh tertidur
lebih lama daripada lazimnya. Waktu serasa
merangkak, seperti serangga yang merayapi kulit Sam.
Namun, lampu pamungkas akhir​nya dimatikan dan
yang terdengar di loteng hanyalah dengkur lembut dan
desir seprai sesekali ketika ada yang membalikkan
badan.
Sam melirik Thomas. Dalam kegelapan sekalipun,
dia bisa melihat bahwa mata Thomas terbuka.
Thomas menggangguk kepadanya dan, bersama-sama,
mereka turun pelan-pelan dari tempat tidur. Sam
mengintip ke balik rak buku yang memisah​kan area
tidur mereka dengan area tidur Max dan Pippa,
mendapati bahwa kedua anak perempuan itu sudah
berdiri dalam balutan pakaian sehari-hari. Sam
menyimpan sepatu dan pakaiannya di kolong kasur
dan buru-buru berganti pakai​an, nyaris tidak
menyadari gerakannya sendiri. Pikirannya sudah
mengembara ke luar, memelesat di jalanan, melompati
perairan untuk menuju Staten Island. Masih
sempatkah mereka bertindak?
Mereka menuruni tangga penampil, yang
desyrindah.blogspot.com

merupakan jalur riskan karena melewati kantor Mr.


Dumfrey di lantai dua dan kamar Miss Fitch di
bawahnya, tetapi tangga itu lebih sepi daripada tangga
marmer besar sarat gema untuk umum. Di luar kantor
Mr. Dumfrey, Sam berhenti dan menempelkan telinga
ke pintu, yang terbuka secelah. Kantor Mr. Dumfrey
sunyi senyap. Dia mungkin belum pulang, sekalipun
saat itu sudah hampir tengah malam.
Mereka benar-benar hanya berempat.
“Ayo.” Max berjinjit untuk membisiki Sam dan
seke​jap—cepat sekali, sehingga Sam mungkin hanya
berkhayal—dia mengira Max meraih tangannya.
Aula Keajaiban Dunia sejuk, gelap, dan teramat
sepi sampai-sampai Sam bisa mendengar Max
bernapas di bela​kangnya. Sam merasa bak sedang
mengarungi mausoleum keramat. Lemari-lemari kaca
memantulkan cahaya redup jalanan yang masuk dari
jendela, sedangkan harta karun gelap yang mendekam
di dalam terkesan seperti jantung yang terkubur,
berdenyut-denyut sambil merambatkan energi tak
kasatmata. Di langit-langit, kawat penyangga
mengayun-ayunkan model pterodactyl prasejarah yang
mengembang​kan sayap mahabesar, mematung di
udara di tengah-tengah penerbangannya.
Mereka hendak masuk ke lobi ketika Sam
desyrindah.blogspot.com

mendengar sesuatu, batuk teredam atau langkah kaki,


di belakangnya. Dia mematung.
“Adakah yang—” dia mulai berkata.
Sebelum Sam sempat menyelesaikan kalimat,
seseorang menangkap dan meremasnya dari belakang.
Udara terkuras dari paru-paru Sam dalam sekejap.
Yang menangkap Sam sudah pasti bukan sembarang
orang. Dada Sam sesak seperti dibelit sabuk besi
seberat satu ton alih-alih lengan manusia belaka. Dia
tidak bisa bernapas. Dia tidak bisa mengangkat
tangan untuk melawan.
Tiba-tiba saja, semua orang berteriak. Sam melihat
sosok-sosok bergerak di keremangan. Sebelum dia
sempat berteriak, laso berpuntir di udara dan menjerat
ketiga kawannya menjadi satu.
Kemudian, lampu-lampu di atas menyala.
Tepat di sebelah dalam ambang pintu, dengan
tangan terulur ke sakelar, berdirilah Howie.
“Wah, wah, wah,” katanya. “Kelihatannya kalian
semua terpepet, ya?”
“Lucu sekali!” bentak Thomas. “Bagaimana bisa
kau masuk ke sini, dasar ular?”
Howie mengangkat alis, tetapi menujukan kata-
katanya kepada Tiny Tex, si Bocah Gendut Texas,
yang sedang berju​ang untuk memegangi ujung
desyrindah.blogspot.com

tambang pengikat Thomas, Pippa, dan Max. “Awasi


yang itu pada khususnya,” kata Howie sambil
mengedikkan dagu ke arah Thomas. “Dia yang seperti
karet.”
“Kau akan mendapat ganjaran.” Sam akhirnya
mampu me​narik napas. Namun, sekalipun berusaha
keras, dia ti​dak bisa melepaskan diri dari dekapan
lengan berbulu yang meng​impitnya. Sam terperanjat,
tersadar bahwa dia telah dilumpuhkan.
Napas bacin mengembus telinganya.
“Kau kuat untuk ukuran bocah,” sebuah suara
menggeram rendah, sedangkan tangan yang
memegangi tubuh Sam men​ceng​keramnya semakin
kencang sampai-sampai dia merasa organ-organ
dalamnya ikut diremas. “Tapi, Trogg lebih kuat.”
Sam ternyata didekap oleh pria perkasa yang
mereka li​hat dalam pertunjukan di Coney Island,
makhluk setinggi dua meter lebih. Disertai perasaan
putus asa yang kian lama kian membuncah, tahulah
Sam bahwa Trogg benar—Trogg memang lebih kuat.
“Lepaskan kami, dasar bedebah!” seru Max.
“Oh, akan kulepaskan kau,” kata Howie, dengan
sok me​meriksa kuku-kukunya yang pendek mengilap.
“Kita hanya akan jalan-jalan dulu sebentar. Bowery
indah sekali malam-malam begini, asalkan kita jauh-
desyrindah.blogspot.com

jauh dari penjambret. Tentu saja, tempat itu juga


sempurna sekali kalau kita ingin mengubah
penampilan. Rambut cepak yang serasi, bagaimana?
Mending pakaian kalian yang compang-camping
dibakar sekalian. Mr. Dumfrey selalu menginginkan
publisitas, ya ‘kan? Mari kita lihat publisitas sebesar
apa yang dia dapat ketika anak-anak aneh andalannya
pulang dalam kondisi sepolos bayi yang baru lahir.”
“Kau sudah hilang akal!” Sam praktis berteriak.
Me​reka tidak punya waktu untuk ini. Mereka sama
sekali tidak punya waktu, titik. Jika mereka tidak ke
Staten Island untuk menghentikan Rattigan, ribuan
orang akan mati. “Lepaskan kami atau—”
“Atau apa?” Howie maju tiba-tiba, wajahnya
berkerut-kerut berang dan pongah. “Kalian akan
memanggil Mr. Dumfrey Tersayang untuk minta
tolong?” Dia tertawa parau. Sebenarnya, Sam
memang hendak berteriak minta tolong—kemudian
mencelus karena teringat bahwa Mr. Dumfrey bahkan
belum pulang ke museum. Lagi pula, Mr. Dumfrey
bisa berbuat apa? “Aku tidak takut kepadamu,
Samson,” kata Howie. “Dan aku tidak akan
melepaskanmu. Tidak sampai kau mendapat ganjaran
karena sudah membuatku terkesan bodoh.”
“Serius? Kalau itu, kau tidak butuh bantuan
desyrindah.blogspot.com

kami,” kata Pippa, mengibaskan rambut dan berusaha


sebaik-baiknya agar terkesan bermartabat sekalipun
sedang terikat seperti kalkun. “Kau jago membuat
dirimu sendiri tampak bodoh.”
“Dan kau memang bodoh.” Mata Max menyipit
hingga tinggal segaris. Sam tidak percaya dia sempat
cemburu, meya​kini bahwa Max masih menyukai
Howie. Max membenci Howie. “Kau dan lagakmu
yang sok Superior. Dari awal, yang gadungan adalah
kau.”
“Aku tidak tahu tentang Alicia,” sergah Howie.
“Tapi, mending gadungan,” dia mengulurkan tangan,
seperti hendak menyentuh pipi Max, “daripada
monster.”
Max menyerbu Howie. Pippa dan Thomas, yang
terikat menjadi satu dengannya, ikut terhuyung-
huyung ke depan, hingga Tiny Tex menarik tambang
ke belakang kuat-kuat sam​pai Max megap-megap.
Penglihatan Sam menjadi merah. Amarah menjalari
se​kujur tubuhnya, berdenyut-denyut di kepalanya. Dia
menarik napas dalam-dalam dan, begitu dia
merasakan bahwa Trogg melonggarkan pegangan,
Sam meregangkan tubuh dan meng​hunjamkan siku
kanan ke wajah Trogg. Lelaki itu terpe​ran​jat dan
melepaskan lengan Sam. Howie mundur buru-buru
desyrindah.blogspot.com

sambil memekik pelan sementara Sam mengayunkan


tinju ke arahnya. Namun, sebelum Sam mengenai
Howie, Trogg sekali lagi memiting lengannya ke
belakang punggung dan Sam pun terbungkuk.
“Percobaan yang bagus.” Howie menjulurkan
tubuh, wa​jah​nya beberapa inci saja dari wajah Sam.
“Kebenaran ter​nyata menyakitkan, ya?”
Saking marahnya, Sam merasa seperti sedang
direbus di dalam semur—panas teraduk-aduk dan
digerogoti dari dalam. Rattigan akan menang.
Rattigan akan membunuh—gara-gara Howie dan
kedengkiannya. “Satu-satunya monster di ruangan ini
adalah kau!” bentak Sam.
“Kita liha saja nanti.” Howie menegakkan diri.
“Tahu, tidak, kalian seharusnya berterima kasih
kepadaku. Pernahkah kalian memikirkan apa yang
akan terjadi kalau sampai seisi New York tahu
mengenai eksperimen ilmiah Rattigan? Kalian akan
dijebloskan ke kandang. Kalian akan menjadi hewan
sirkus. Itu kalau massa tidak duluan mengeroyok
kalian.” Senyumnya kejam. Yang lebih parah, Sam
tahu Howie benar. “Jadi, kusarankan agar kalian ikut
saja, kalau ingin rahasia kalian tetap tersimpan
aman.”
Mereka tidak punya pilihan selain menuruti kata-
desyrindah.blogspot.com

kata Howie. Tex berjalan paling depan sambil


menarik Max, Pippa, dan Thomas yang meronta-
ronta. Kemudian, Trogg menggiring Sam ke depan,
terus memegangi kedua tangan Sam jauh sekali di
belakang punggungnya sampai-sampai Sam mengira
lengannya bakal copot dari persendian.
“Parade kecil-kecilan yang bagus.” Howie
menampakkan ekspresi congkak nan khas yang
membuat Sam ingin mengelupas wajahnya. “Pikirkan
saja. Kalau kalian tidak—”
Dia terdiam tiba-tiba, mengangkat tangan untuk
menyu​ruh semua tenang, sementara sebuah suara
terdengar dari kere​mangan. Sam mendengarnya juga
—bunyi klik mekanis nan lirih. Trogg mematung.
Hanya Tex yang maju terus sambil tersengal keras,
menarik tambang kuat-kuat hingga mukanya merah
kecapekan.
“Diam, Tolol,” bisik Howie. Di atas Howie,
pterodactyl berayun pelan ke depan dan belakang
seperti terbang betulan, kawat tipis yang
menyangganya berkeriut-keriut. Tex akhirnya berhenti
bergerak. “Ada yang dengar—?”
Dor.
Letusan senapan berkumandang di ruangan. Tex
menje​rit dan tiarap untuk berlindung. Pada saat
desyrindah.blogspot.com

bersamaan, derit jernih menyertai putusnya kawat


tipis yang menggantungkan pterodactyl ke langit-
langit dan jatuhlah makhluk bersayap mahabesar itu.
Howie terjun ke samping supaya tidak di​gepengkan ke
lantai, menabrak Sam dan Trogg sehingga ter​jatuh. Di
tengah kericuhan, Trogg melepaskan Sam dan Sam
pun menepiskan lelaki itu. Dengan gerakan gulat nan
cepat, Sam mencengkeram pergelangan tangan Trogg
dan menghun​jamkan lutut ke punggung bawah lelaki
itu, alhasil terben​tur​lah pipi Trogg ke lantai.
“Kau lumayan kuat,” sengal Sam. Dia masih
pusing gara-gara kesakitan, teriakan bergemuruh,
serta debu. Siapa pula yang telah menembakkan
senapan? “Tapi, kelihatannya aku lebih kuat.”
Thomas sudah membebaskan diri dari jeratan laso.
Kini, sementara Howie berjuang untuk bangkit,
Thomas menukik dan memitingnya ke lantai.
“Lepaskan aku,” geram Howie.
“Tidak mau.” Sekarang giliran Thomas yang
tersenyum. Bunyi tembakan pasti telah
membangunkan para penghuni museum yang lain
karena saat ini saja, Sam bisa mendengar langkah kaki
di tangga dan suara Miss Fitch yang menyerukan,
“Apa ini? Demi Tuhan, ada apa sekarang?”
Debu pekat masih membubung di udara selepas
desyrindah.blogspot.com

pterodactyl jatuh secara spektakuler. Model yang


dulunya memesona kini patah berserakan, tulang-
tulang menonjol merobek sayap dari kanvas berat,
paruh teracung ke langit-langit seperti berteriak minta
tolong.
Sesaat berselang, Miss Fitch yang berdaster muncul
di bordes, rambutnya disanggul rapi seperti biasa.
Lash dekat di belakangnya, sibuk mengucek-ngucek
mata yang mengantuk.
desyrindah.blogspot.com
Kemudian, Mr. Dumfrey, yang bersetelan jas hitam
rapi dan menyandang senapan Winchester antik di
desyrindah.blogspot.com

bahu, keluar dari sela lemari-lemari pajang. “Tidak


apa-apa, Miss Fitch,” katanya riang sambil
mencermati adegan di sekitarnya de​ngan rasa
penasaran yang berjarak—seolah Tex, Howie,
ptero​dactyl rusak, dan Pippa serta Max yang masih
berjuang untuk membebaskan diri dari belitan
tambang merupakan bagian dari tablo yang hendak
dia tambahkan ke Aula Patung Lilin. “Cuma tamu tak
diundang. Situasi sudah terkendali.”
Sam silih berganti menatap Mr. Dumfrey, senapan
di pun​daknya, kawat halus selebar pensil yang telah
diputus oleh peluru.
“Tapi ….” Sam mendapati bahwa dia kesulitan
bicara. “Tembakan tadi ... mustahil ... bagaimana
Anda bisa ...?”
Di tangga, Lash terkekeh. “Senang melihatmu
masih be​gitu ahli, Horatio.”
Mr. Dumfrey melambaikan tangan. “Ya, begitulah.
Se​jumlah keterampilan terus melekat, barangkali.”
Lash turun ke lobi, kemudian cepat-cepat
membebaskan Max dan Pippa. “Dulu, Dumfrey
dikenal dari Pesisir Barat hingga Pesisir Timur sebagai
jago tembak,” dia menjelaskan sambil menggulung
tambang di tangannya. “Bisa menembak lubang jarum
dari jarak hampir lima puluh meter. Oh, tidak boleh.”
desyrindah.blogspot.com

Kalimat terakhir ditujukan kepada Tiny Tex, yang


mulai merangkak ke pintu. Lash menjentikkan
pergelangan barang sekilas untuk melasonya ke
belakang. “Persis seperti mengikat sapi,” katanya.
“Jadi itu, rahasia besar Anda,” kata Pippa
keheranan. “Anda penembak jitu.”
Mr. Dumfrey justru kelihatan malu. Dia mendecak-
decakkan lidah. “Dulunya penembak jitu. Sekarang
aku me​nge​lola museum. Omong-omong,” matanya
terpaku kepada Howie, “bisakah seseorang
menjelaskan kepadaku apa yang terjadi?”
Sam dan Thomas bertukar pandang. Sam tahu
mereka tidak bisa menjelaskan alasan mereka
meninggalkan tempat tidur—tidak di sini, lebih
tepatnya, di hadapan semua orang. Semakin banyak
saja penghuni museum yang berkumpul di lo​bi dan
tangga, menjulurkan kepala untuk menonton
kehe​bohan. Padahal waktu sudah semakin sempit.
“Kami mendengar kegaduhan di lantai bawah,”
kata Pippa buru-buru. “Kami turun untuk
memastikan keadaan baik-baik saja. Dan kemudian
—”
“Kami disergap,” pungkas Max, masih memelototi
Howie. “Mereka pasti membobol masuk.”
“Kami tidak membobol masuk,” kata Howie.
desyrindah.blogspot.com

Walaupun Thomas memitingnya, dia masih bisa


berlagak pongah. “Pin​tu dapur tidak dikunci. Pasti
ada orang bodoh yang membi​arkannya terbuka.”
“Orang bodoh itu aku,” kata Mr. Dumfrey kalem.
“Aku tahu akan pulang larut dan ingin memastikan
aku tidak meng​ganggu siapa-siapa. Pokoknya, kau
masuk tanpa izin ke pro​perti pribadi. Lash, tolong
temani kawan-kawan baru kita sementara aku
menelepon polisi,” Dia menyerahkan senapan, yang
Sam kenali sebagai senjata yang biasanya dipajang di
Aula Keajaiban Dunia dan konon adalah milik Buffalo
Bill. “Ambil ini, untuk jaga-jaga siapa tahu ada yang
dengan tololnya berupaya untuk kabur.”
“Beres, Mr. D,” kata Lash, mengambil senapan
sambil menyeringai. “Tentu saja keterampilanku
menembak tidak selihai kau. Mungkin saja aku
meremukkan lutut atau siku tanpa sengaja.”
“Kalian akan mendapatkan ganjaran,” desis
Howie, duduk tegak begitu Thomas berdiri kemudian
buru-buru berjengit ke belakang saat Lash maju
menghampirinya. “Ini belum berakhir.”
“Hmm. Mungkin sebaiknya kau bidik mulutnya,”
kata Mr. Dumfrey kepada Lash sambil mengangkat
alis. “Max, Pippa, Thomas, Sam. Tolong ke
kantorku.”
desyrindah.blogspot.com

“Tapi, Mr. Dumfrey—” Sam mulai memprotes.


“Ke kantorku,” kata Mr. Dumfrey, dengan nada
bicara yang bermakna jangan membantah.
“Sekarang.”
Perut Sam kembali melilit-lilit. Mereka kini tidak
akan bisa keluar dari museum. Sam berdiri,
meninggalkan Trogg yang masih mengerang-erang di
lantai. Dia melangkahi sang raksasa dan sengaja tidak
memandang Howie, bahkan me​li​rik pun tidak.
Namun, Max berhenti tepat di depan Howie de​ngan
air muka janggal, mengingatkan Sam pada kucing
yang se​dang berusaha memuntahkan gumpalan
rambut.
Mata Howie berkilat-kilat. “Apa maumu?”
Max tidak berkata-kata. Dia justru memiringkan
tubuh ke belakang kemudian menonjok wajah Howie
—keras sekali sampai-sampai kepala pemuda itu
berputar 180 derajat dan, kemudian, seperti jarum
jam yang diputar balik, bergeser pelan-pelan ke
orientasinya yang tepat.
“Itu,” kata Max dengan senyum semanis malaikat.
Dan Sam mesti menahan diri supaya tidak menari-
nari.[]
desyrindah.blogspot.com
25

BUKU-BUKU JARI KANAN MAX MASIH pedih


bekas menghantam rahang Howie sementara dia dan
yang lain menuju ke lantai atas. Namun, ini adalah
kepedihan paling menyenangkan yang pernah dia
rasakan.
“Tutup pintu,” kata Mr. Dumfrey begitu mereka
semua berkerumun di dalam kantornya. Dia bahkan
tidak repot-repot duduk. Dia justru berputar untuk
menghadap mere​ka, mimiknya lebih galak daripada
yang pernah Max lihat. “Se​perti yang sudah kalian
saksikan,” kata Mr. Dumfrey, suaranya tenang tetapi
menyiratkan peringatan, “meski sudah tua,
penglihatanku masih sebagus dulu. Dan aku tadi
melihat bahwa kalian belum berkata jujur kepadaku.
Ayo, mengaku saja.”
Jadi, Thomas memberitahunya, sedangkan Max,
Pippa, dan Sam melengkapi: mengenai keterkaitan
desyrindah.blogspot.com

antara kematian Mallett dan Erskine dengan Rattigan,


mengenai kapal zeppe​lin yang mengangkut gas
beracun, dan rencana mengerikan Rattigan untuk
New York. Selagi mereka berbicara, wajah Mr.
Dumfrey menjadi pucat dan kuyu sehingga dia
menyerupai patung lilin di bilik horor.
“Jadi, Anda tentu paham,” pungkas Pippa, “kami
harus mengambil tindakan. Kami harus
menghentikannya.”
“Tidak boleh,” kata Mr. Dumfrey serta-merta.
Max memandangnya sambil melongo. “Tapi
Rattigan—”
“Terlalu berbahaya,” kata Mr. Dumfrey sambil
meng​ang​kat tangan untuk memotong Max. “Saudara
tiriku—se​kalipun mengakuinya memang menyakitkan
—sudah mendemon​stra​sikan berulang-ulang bahwa
dia tega berbuat apa saja dan re​la mengorbankan
siapa saja demi meraih keinginannya. Ku​ha​rap kalian
keliru,” imbuhnya. “Aku berdoa kalian keliru. Tapi,
ki​ta tidak boleh mengambil risiko. Perkara ini harus
di​tangani polisi. Terlalu riskan kalau kalian terlibat.”
“Bagaimana kalau polisi tidak menggubris?”
sergah Sam.
“Harus,” ujar Mr. Dumfrey. Namun, dia sendiri
kede​ngar​annya tidak yakin. “Sekarang tidur. Kalian
desyrindah.blogspot.com

semua.”
“Anda bilang kami sudah semakin besar,” Thomas
berar​gumen. “Anda bilang kami harus saling
melindungi.”
Mr. Dumfrey melepas kacamatanya dan menatap
mereka secara bergiliran. “Kubilang, akan tiba
waktunya ketika aku tidak akan bisa lagi melindungi
kalian,” katanya. “Untung saja waktunya bukan hari
ini. Kalian dengar aku. Naik dan tidurlah dan tidak
boleh membantah. Laporan ke polisi biar kuurus.”
Diiringi kata-kata itu, Mr. Dumfrey menggiring anak-
anak ke luar kantornya dan membanting pintu di
belakang mereka. Kesannya seolah Mr. Dumfrey
membawa serta seluruh udara juga bersamanya. Max
hanya bisa berdiri tak berdaya, merasa sesak napas
karena ketakutan.
Dia menggeleng untuk menyibakkan rambut dari
wa​jah. “Kalian berani bertaruh berapa polisi bakal
menganggap laporan Mr. Dumfrey sebagai lelucon?”
katanya. “Mustahil mereka percaya Rattigan akan
beraksi besar-besaran seperti itu. Apalagi separuh
anggota kepolisian sudah mencarinya berbulan-bulan
—mereka akan menganggap laporan kita me​lantur.”
“Mereka harus melakukan sesuatu, ‘kan?” Pippa
menoleh kepada Thomas.
desyrindah.blogspot.com

“Entahlah.” Thomas menyugar rambut, membuat


he​laiannya berdiri sehingga kepalanya seolah
ditumbuhi tanda seru. “Mudah-mudahan saja.”
Sam menggeleng. “Kita tidak boleh mengandalkan
polisi,” bisiknya sengit. “Bagaimana kalau mereka
tidak bertindak? Bagaimana kalau mereka hanya
tertawa?”
“Sam benar,” kata Max. “Taruhannya terlalu
besar.”
“Baiklah, kalau begitu.” Thomas mengangguk.
“Kita jalan​kan rencana kita dan pergi sendiri ke Staten
Island.”
Mereka tidak bisa keluar diam-diam dari depan.
Pintu tidak diragukan lagi sudah dikunci, sedangkan
yang mem​bawa kuncinya hanya Gil Kestrel. Lagi pula,
Lash masih menjaga Howie dan rombongannya yang
menyebalkan di lo​bi. Jadi, mereka turun pelan-pelan
melalui tangga penampil, bergerak buru-buru di
koridor, mengendap-endap ke ruang pameran khusus,
dan menuruni tangga kayu tua yang mengarah ke
ruang bawah tanah. Di dapur, rembulan
memancarkan ca​haya temaram melalui jendela-jendela
sempit sehingga menerangi sudut-sudut dan siku-siku,
menegaskan bentuk-bentuk perabot yang sudah tidak
asing. Mereka berbaris ke pintu yang terbuka ke
desyrindah.blogspot.com

pelataran setingkat di bawah jalan, tempat tong-tong


sam​pah diletakkan dan kutu-kutu Farnum dikubur.
Saking banyaknya yang sudah terjadi, Max tidak
percaya penguburan baru berlangsung tiga hari lalu.
Pippa sampai di pintu, menggeser selot, dan
menarik ga​gang. Tidak ada yang terjadi.
“Aduh, gawat.” Pippa menoleh, matanya
membelalak di kegelapan. “Mr. Dumfrey pasti
menguncinya setelah masuk.” Kuncinya pasti
disimpan oleh Mr. Dumfrey di mejanya.
“Ada yang tahu cara mengutak-atik kunci?” tanya
Thomas penuh harap.
Max menyadari bahwa Pippa dan Thomas sama-
sama memandanginya. Dia mendesah. “Kalian punya
jepit rambut?”
“Aku punya ide yang lebih bagus.” Sam melangkah
ke depan. Dia menempelkan tangan ke pintu dan
bertopang. Ter​dengar derit pelan dan terlepaslah pintu
dengan rapi dari engselnya, seperti es batu yang copot
dari baki logam.
“Silakan duluan,” Sam berkata, alhasil menuai
cekikik Pippa.
“Itu baru namanya membobol masuk,” kata
Thomas.
“Membobol keluar, maksudmu,” ujar Max.
desyrindah.blogspot.com

Mereka me​nyongsong malam, berhenti sebentar


supaya Sam bisa me​ngembalikan pintu seperti
sediakala.
Mereka sampai di dermaga feri pukul dua lebih
sedikit dan mendapati bahwa kantor penjualan tiket
tutup. Plang kecil mengumumkan bahwa feri
berikutnya akan berangkat pukul setengah enam.
Max menendang pintu yang tertutup, mengabaikan
rasa sakit yang merambat ke kakinya. “Setengah
enam? Telat amat.”
“Mungkin kita tidak perlu menunggu.” Thomas
menunjuk sederet perahu nelayan kusam yang
bergoyang-goyang di perairan dangkal.
Max nyaris tercekik. “Kau ingin mencuri perahu?”
“Ah, sudahlah,” kata Pippa, sudah menjejak titian
dengan tergesa-gesa untuk menuju pantai berbatu-
batu. “Tumben kau punya nurani. Bukankah kau dulu
mencari nafkah dengan mencopet?”
Max cemberut. “Cuma dalam keadaan darurat.”
“Nah, menurutku ini termasuk keadaan darurat, ya
‘kan?” Pippa melompat ke salah satu perahu dan
mulai melepaskan tali tambatnya. “Lagi pula, kita
akan memulangkan perahu ini. Ayo.”
Baru kali ini Max mengarungi perairan. Sementara
Thomas menyetir perahu menjauhi pesisir, Max
desyrindah.blogspot.com

spontan mencengkeram tempat duduk.


“Kau yakin tahu cara mengendalikan ini?” seru
Max saat perahu bertabrakan dengan gelombang dan
nyaris melem​parkannya ke air.
“Tentu!” Thomas balas berseru. “Pernah kubaca di
buku!”
Sam mengerang dan memejamkan mata.
Max memegangi tempat duduk erat-erat sementara
udara memedihkan pipinya. Tiap kali gelombang
mengempas, pe​rut​nya melilit-lilit dan dia merasa
seperti berondong yang riskan terlontar ke dalam air.
Meski begitu, rasa takut Max ternyata berkurang
setelah beberapa lama. Malahan, se​makin dekat
dengan Staten Island, semakin Max menikmati ayunan
gelombang yang naik turun serta kelap-kelip cahaya
yang terpantul dari permukaan teluk hitam kelam.
Thomas mengantarkan perahu dengan sukses ke
pelabuhan dan me​reka kemudian naik ke dermaga,
tak lupa mengikat perahu ke tonggak berlumut.
“Lihat?” Pippa menoleh kepada Max sambil
tersenyum. “Barusan gampang, ‘kan?”
“Kau tahu pendapatku, Pippa?” Max merangkul
Pippa. Memang benar bahwa persoalan gentinglah
yang membawa mereka ke sana, tetapi pada saat itu,
dibayang-bayangi siluet Manhattan di kejauhan, di
desyrindah.blogspot.com

bawah langit bertabur bintang, diiringi suara ombak


sayup-sayup yang berdebur ke pesisir, dan didampingi
ketiga sahabatnya, Max merasa gembira dan damai.
“Akan kami jadikan kau kriminal tidak lama lagi.”
“Karena kau yang mengatakannya, berarti itu
pujian, ya?” tukas Pippa. Dia memalingkan wajah,
tetapi kurang cepat sehingga luput menutup-nutupi
bahwa dia tersenyum.

Kebahagiaan Max pupus secepat datangnya,


digantikan kere​sahan yang menggerogoti. Jalanan
Staten Island sunyi senyap, terbengkalai, dan gelap.
Max merasa gelisah, seperti sedang menyusup ke
rumah kosong. Area di seputar Borough Hall
se​​kalipun, yang ramai pada siang hari, kelihatan
angker di ke​ge​lapan, segalanya terpalang dan terkunci,
sedangkan dari kejauhan, terdengar gonggongan
anjing.
Mereka dengan mudah menemukan Bay Street.
Sesuai namanya, jalan itu sejajar dengan teluk dan
membawa me​reka dari kawasan pemerintahan ke area
yang sarat dengan bangunan menjulang, bengkel
perbaikan perahu, lapangan parkir truk, dan pabrik
pengalengan.
Tidak lama berselang, trotoar lenyap dan
desyrindah.blogspot.com

digantikan hamparan kerikil lalu tanah padat, yang


beralur-alur dalam bekas ban dan roda gerobak.
Pepohonan semakin rimbun di kanan kiri mereka,
pinus-pinus tinggi menghalangi sinar rembulan,
sedangkan burung hantu berkukuk dari tempat
bertenggernya di dahan-dahan.
Rasa takut mengaduk-aduk perut Max. Dia tidak
pernah takut di daerah New York yang lain, bahkan
tidak juga di area paling buruk, paling kumuh, dan
paling berbahaya. Dia betah-betah saja di tengah-
tengah keributan dan kejorokan, kaum papa dan anak
jalanan, gelandangan dan penipu kelas teri. Justru di
sini, di alam terbuka, hanya diramaikan desir
dedaunan yang tertiup angin dan kerumuk batu yang
terinjak kaki mereka, Max benar-benar merasa takut.
Akhirnya, Max tidak tahan lagi. “Apa kalian yakin
ini ja​lan yang benar?” semburnya, berharap suaranya
tidak mencicit.
Thomas seketika berhenti sambil terkesiap. “Aku
yakin,” dia berkata, lalu menunjuk.
Di ujung jalan, terdapat celah di pepohonan dan
dari situ, tampaklah pagar kawat tinggi yang sejajar
dengan jalan. Di balik pagar, bangunan-bangunan
yang menggerombol tampak sebagai siluet gelap dan,
diterangi samar-samar oleh sinar bulan, terpampang
desyrindah.blogspot.com

plang besar bertuliskan: PERUSAHAAN WOODHULL. MILIK


PRIBADI. DILARANG MASUK TANPA IZIN.
Mereka kini maju dengan lebih diam-diam,
melebur ke bayang-bayang, memperkirakan bahwa
para penjaga pasti se​dang berpatroli. Pagar kawat di
depan sana kita-kira setinggi lima meter lebih dan
ber​duri tebal di bagian atas. Gerbang logam satu-
satunya, yang ketika dibuka cukup lebar untuk
dilewati dua truk secara berdampingan, dikunci dari
da​lam. Di bela​kang pagar, terdapat halaman tanah
kosong seluas empat lapangan sepak bola yang
berjajar, sebuah bangunan bata kecil, dan hanggar
pesawat terbang mahabesar yang berkilau putih pucat
bak berlian.
“Kapal zeppelin pasti disimpan Rattigan di situ,”
kata Thomas, mengacu pada hanggar.
“Oke.” Max memandangi pagar dengan frustrasi.
“Tapi, masuknya bagaimana?”
“Biar aku saja,” kata Sam, melangkah maju untuk
me​lubangi pagar.
“Jangan,” kata Thomas sambil memegangi
lengannya. “Kalau ada yang berpatroli, nanti mereka
malah tahu ada orang yang masuk tanpa diundang.
Kita tidak boleh me​narik perhatian. Biar aku saja.”
Sebelum ada yang sempat menghentikannya, Thomas
desyrindah.blogspot.com

melompat ke pagar dan mulai memanjat, bergerak


tanpa suara, seperti laba-laba yang me​rambati
dinding.
“Thomas, jangan,” bisik Pippa. Dia menoleh
kepada yang lain dengan mata membelalak. “Bisa-bisa
dia terluka.”
Max beranjak ke pagar dan memeganginya,
mengguncang-guncangkannya untuk menjatuhkan
Thomas. Namun, pagar tersebut demikian tebal dan
kukuh, sedangkan Thomas ham​pir mencapai puncak.
Anak laki-laki itu bimbang, menelaah tatanan
kompleks kawat berduri, mencari-cari jalan untuk
lewat. Di mata Max, mustahil untuk melewati puncak
pagar yang bercucuk-cucuk logam tajam.
Namun, Thomas kemudian berjungkir balik
sekonyong-konyong. Napas Max tersekat di
tenggorokan. Pippa terkesiap. Thomas menendangkan
kaki ke atas, jauh melampaui kepa​lanya, sehingga dia
sekejap bertumpu pada kedua tangan.
Dia lalu melengkungkan punggung untuk masuk
dengan hati-hati ke bawah lingkaran kawat berduri
yang pertama. Terus beringsut, dia melepaskan
pegangan dan menggeliang-geliut melewati lingkaran
kawat kedua. Sesampai di bawah lingkaran kawat
ketiga, dia memiringkan tubuh untuk mengeluarkan
desyrindah.blogspot.com

diri kemudian, hampir serta-merta, bersalto ke sisi


pagar. Dia sekejap mematung di sana, menemplok
seperti kucing, dahinya mengilap karena dibasahi
keringat. Dia lantas buru-buru menuruni pagar dan
mencapai tanah dengan selamat.
“Kau berhasil!” sembur Max, alhasil Pippa
langsung mendesis untuk menyuruhnya diam.
Sam, Max, dan Pippa bergegas ke gerbang
sementara Thomas membukakan kunci dari dalam.
Sesaat berselang, mereka semua sudah masuk ke lahan
Perusahaan Woodhull. Meski begitu, tetap tidak ada
yang muncul. Suasana masih sunyi senyap. Namun,
untuk berjaga-jaga, Thomas mengembalikan kunci
seperti sediakala.
Mereka menyeberangi halaman untuk menuju
hanggar pesawat, membungkuk dan berusaha
meleburkan diri ke ba​yang-bayang karena siapa tahu
ada penjaga tak terlihat yang sedang mengawasi
keadaan. Insting Max menggila, meletuskan sinyal
peringatan, membunyikan sirene yang meraung-raung
dalam kepalanya. Di mana orang-orang? Bagaimana
jika kapal zeppelin itu ternyata tidak berada di sini?
Namun, sementara mereka mengelilingi hanggar
besar, ter​dengarlah suara-suara dan bunyi teredam
alat berat yang dipindahkan. Setengah lusin truk
desyrindah.blogspot.com

terparkir di depan gara​si bongkar muat. Pintu-pintu


hanggar terbuka sehingga tampak​lah kapal zeppelin,
balon raksasa berbentuk peluru yang ke​milau di
keremangan. Thomas memberi mereka isyarat agar
diam di tempat, lalu dia membungkuk ke kolong truk
dan bersembunyi di balik pelek. Max tiarap di
samping ban truk mahabesar, bersebelahan dengan
yang lain, mencium bau karet dan tanah lembek,
sambil berusaha menenangkan jantungnya yang
berdebar kencang. Ketika dia tidak lagi gemetaran,
Max memberanikan diri untuk mengintip ke garasi
bongkar muat.
Dari salah satu truk, para pekerja bermasker gas
sedang menurunkan peti demi peti kemudian
membawanya masuk ke hanggar. Saat salah seorang
pria melintas ke lingkaran cahaya, Max melihat
bahwa peti yang dia bawa bergambar tengkorak dan
tulang bersilang serta, di bawah gambar, huruf-huruf
hitam besar berbunyi Awas! Bahaya! Dalam balutan
masker, pria-pria itu kelihatan seperti serangga
raksasa.
“Apa kau baik-baik saja?” Sam berbisik kepada
Max.
Max ingin mengucapkan celetukan yang cerdik dan
penuh percaya diri, supaya Sam tahu dia tidak takut,
desyrindah.blogspot.com

tetapi ujung-ujungnya Max hanya mengangguk.


“Itu dia.” Thomas nyaris tidak kelihatan, saking
tersembunyinya dalam kegelapan. “Taruhan, isinya
pasti gas beracun.”
“Apa yang akan kita lakukan?” bisik Pippa.
“Kita harus naik ke kapal zeppelin,” kata Thomas.
“Kita harus memastikan agar kapal itu tidak
mengudara.”
“Sekaranglah kesempatan kita,” kata Sam. “Lihat
—mumpung sepi.”
Sam benar: semua pekerja sudah menghilang dan
malam kembali hening. Salah, alarm internal Max
masih meraung-raung. Salah, salah. Max merasa
bahwa keheningan ini tidak beres, teramat pekat
sehingga bisa saja menelan mereka semua.
“Ikuti aku,” kata Thomas. Sebelum Max sempat
mem​protes, Thomas sudah berdiri dan Pippa bergegas
menyusul sambil terus merunduk ke tanah, sedangkan
Sam berge​ser dari kolong truk. Max berusaha berdiri
dan mendapati bahwa tungkainya tidak mau diajak
berkompromi, padahal otak​nya sudah berteriak-teriak
untuk memerintah tungkainya. Dia akan tertinggal
seorang diri—dia tidak akan bisa bergerak, se​dangkan
yang lain akan meninggalkannya di sini, mering​kuk
dalam selubung bayang-bayang, pasrah menanti
desyrindah.blogspot.com

hingga Rattigan menemukannya.


“Kau yakin baik-baik saja?”
Max mendongak. Sam masih di sebelahnya,
membung​kuk untuk menatap matanya. Sam ternyata
tidak meninggal​kannya. Seluruh kepercayaan diri Max
pulih seketika. Max menggapai untuk memegangi
tangan Sam yang terulur, ke​mudian menggeliang-
geliut keluar dari kolong truk. Max kemudian
mengecek untuk memastikan pisau-pisaunya masih
tersimpan di saku. Ternyata masih.
“Kalau kau tanya aku lagi,” Max balas berbisik,
“akan kukorek gigimu dengan pisau lipat.”
“Itu baru Max yang kukenal,” Sam berkata, justru
ter​senyum.
“Ssst.” Pippa dan Thomas sudah sampai di garasi
bongkar muat, dengan hati-hati menghindari sinar
dari lampu sorot raksasa di atap. Pippa melambai
untuk memanggil dan mereka pun buru-buru
menyeberangi halaman. Jantung Max berdentum-
dentum seperti tinju yang hendak membobol tem​bok,
tetapi dia tidak takut, berbeda dengan tadi. Dia kini
berkonsentrasi penuh.
Dia sekarang marah.
Hanggar gelap sejuk dan berbau debu. Max merasa
se​perti sedang memasuki mausoleum kuno, seolah
desyrindah.blogspot.com

kapal zep​pelin adalah makhluk prasejarah yang telah


disegel untuk selamanya dalam kegelapan, yang
memutih karena ketiadaan sinar matahari. Balon
udara itu sendiri lebih besar, lebih men​cengangkan,
dan lebih indah daripada yang sanggup Max
ba​yangkan, seperti bangunan yang dibalik dari luar ke
dalam. Meski seharusnya bergegas, sekejap Pippa,
Sam, Max, dan Thomas hanya bisa terpaku saking
takjubnya.
Desain kapal zeppelin memang menakjubkan,
tetapi yang menjadi masalah, pintu masuknya tidak
kelihatan sama sekali.
Jelas yang menyadari itu bukan hanya Max, te​ta​pi
juga Sam. “Jadi, bagaimana persisnya cara mencegah
ka​pal itu lepas landas?”
“Oh, menurutku mending jangan. Kalau begitu,
nanti pertunjukan serunya jadi batal.”
Suara di belakang mereka membuat sekujur tubuh
Max membeku, seolah dia baru saja dilemparkan ke
timbunan salju. Mereka semua berbalik.
Rattigan. Dilatarbelakangi cahaya terang,
wajahnya men​jadi gelap dan sama sekali tak terbaca.
Namun, Max tahu dia sedang tersenyum.
“Halo, Anak-Anakku,” kata Rattigan sambil
mendesah senang. “Kalian terlambat.”[]
desyrindah.blogspot.com
26

“KALIAN TAHU APA YANG PALING kusukai dari


New York City?” desah Rattigan sementara
pemandangan Up​per Bay, yang gemerlapan di bawah
sinar matahari pagi, terpampang di bawah jendela
kapal. “Ukurannya. Besar sekali. Energi yang
berlimpah. Banyak sekali orang! Jutaan orang. Tapi,
dari sini, kelihatannya seperti kota mainan. Seperti
se​suatu yang bisa kita remukkan dengan satu injakan
belaka.”
Suaranya ringan, bernada menggoda, tetapi perut
Tho​mas melilit-lilit. Dia tahu Rattigan menyiratkan
bahwa ja​lan​an New York saat ini niscaya penuh sesak
dengan penonton yang hendak melihat kapal zeppelin
membubung di langit Man​hattan dan, dalam sekejap,
Rattigan bisa saja membinasakan mereka semua.
“Kau tidak akan lolos begitu saja,” kata Thomas,
berharap ucapannya terkesan lebih percaya diri.
desyrindah.blogspot.com

Thomas, Pippa, Sam, dan Max bergerombol di


seberang Rattigan dan dua antek​nya. Salah satunya,
pria ceking berkumis berantakan yang bernama Clyde
Straw, Thomas kenali sebagai si perampok bank yang
sempat menodongkan pistol ke lehernya. Pria satu
lagi, Mickey McClure, sebelum ini mereka kenal
sebagai Sir Barrensworth. Dia sudah menepiskan logat
palsu dan membiarkan suara asli​nya—kasar dan
beraksen Brooklyn—terdengar.
Kedua pria itu membawa senjata api sangat besar
yang dibidikkan ke arah mereka.
“Oh, tentu saja bisa,” kata Rattigan santai seraya
me​lambaikan tangan. “Kurang dari lima belas menit
lagi, kita akan tiba di Manhattan. Untung kapal ini
berjendela banyak. Pemandangannya pasti spektakuler
nanti.” Mulutnya me​nyunggingkan senyum keji.
“Apa gunanya?” kata Pippa, meronta-ronta untuk
membe​baskan diri dari ikatan. Tangan Pippa dan Max
diikat ke depan oleh Clyde Straw, tepat sebelum
mereka digiring masuk ke balon udara. Thomas dan
Sam dibiarkan duduk tanpa ter​ikat dalam kapal
zeppelin—“Percuma mengikat yang dua ini,” kata
Rattigan sambil tersenyum manis, “tapi menurutku
kedua​nya akan kesulitan menghadapi tembakan
peluru.” Selama ber​jam-jam, sepanjang persiapan
desyrindah.blogspot.com

akhir dan sementara matahari semakin tinggi di


angkasa, mereka terus diawasi pengawal bersenjata,
yang memastikan agar mereka tidak kabur.
“Kau akan menyemprotkan gas beracun kepada
orang-orang tak bersalah tanpa alasan,” lanjut Pippa.
“Kau akan di​tembak sampai jatuh dari langit.
Kalaupun kau tidak mati, semua orang di dunia ini
akan memburumu.”
“Menurutku tidak,” kata Rattigan sambil kembali
ber​sandar—di kursinya yang terbuat dari bahan kulit
lembut, cocok sebagai perabot di kantor nan nyaman.
“Pernahkah kau bermain catur, Sayang?”
Pippa menyipitkan mata. “Tentu saja pernah,”
katanya. “Lalu, apa hubungannya?”
“Kehidupan ini ibarat catur,” kata Rattigan.
“Dalam per​mainan catur, kita harus menumbangkan
segelintir pion dulu sebelum mengincar raja dan ratu.”
Dia bersedekap, me​nyilangkan tangan pucatnya—
mirip makhluk mati yang meng​ambang di air,
menurut Thomas—ke perut. “Jadi be​gini, Sayang, aku
menyadari langkahku selama ini keliru. Contohnya,
aku berharap kalian bisa melihat sendiri bah​wa sudah
selayaknya kalian bersamaku. Malahan, aku yakin
kalian akan berpendapat demikian. Tapi, aku
kemudian teringat bahwa orang-orang yang unggul di
desyrindah.blogspot.com

dunia ini adalah mereka yang tega mengambil. Jadi,


aku mengubah taktik. Kuputuskan saja untuk
mengambil kalian. Dan, sekarang, di sinilah kalian.”
“Kau tidak mengambil kami,” kata Max. “Kami
datang mencarimu, ingat?”
“Persis seperti dugaanku,” kata Rattigan luwes.
“Mana mungkin kalian melewatkan kesempatan
untuk berlagak pah​lawan? Hanya aku satu-satunya
keluarga sejati yang kalian miliki. Mana mungkin
kalian melewatkan kesempatan untuk membuktikan
bahwa kalian berarti, bahwa kalian adalah bagian dari
masyarakat, bahwa kalian bukan monster seperti yang
dikira semua orang? Mana mungkin kalian tidak
berge​gas menolong orang-orang malang tak bersalah,
anak-anak laki-laki dan perempuan, para ayah dan
ibu, yang nyawanya akan terenggut hari ini? Intinya,
seperti bisa kalian lihat sendiri,” kata Rattigan sambil
merentangkan tangan, “aku memahami kalian. Cuma
aku seorang yang benar-benar mengerti. Tidak
pernahkah kalian bertanya-tanya kenapa aku memilih
kalian untuk menjadi prajuritku?”
“Kau memilih kami karena kau gila!” hardik Max.
“Sama sekali tidak ada alasan lain. Begitulah kata Mr.
Dumfrey.”
“Dan kau memercayainya, ya?” Wajah Rattigan
desyrindah.blogspot.com

ber​transformasi barang sekejap sehingga tampaklah


seluruh ke​benciannya yang sinting terhadap sang
saudara tiri. “Aku ti​dak menyalahkannya karena
sudah berbohong. Kalau kalian tahu yang sebenarnya,
kalian mungkin tidak akan suka-suka amat kepada
Mr. Dumfrey Tua Tersayang.”
“Pembohong,” kata Thomas. Dia merasakan
kebencian kelam yang demikian pekat dan dalam,
yang seolah bisa menenggelamkannya. Inilah
pengaruh Rattigan, kekuatannya yang utama.
Rattigan bukan hanya jahat. Yang lebih parah,
Rattigan membuat kita lupa bahwa di dunia ini masih
ada hal-hal baik.
Rattigan meringis sehingga tampaklah gigi-giginya
yang panjang kelabu. “Anak-anak malang, aneh, dan
rusak—kalian makhluk yang tidak disayang dan tidak
diinginkan. Tidak wajar. Kalian menyangkal
kebenaran bahkan ketika kebena​ran tidak bisa
disangkal. Kalian menyangkal aku—pria yang
mencipta​kan kalian, yang mengenal baik kalian lebih
daripada kalian mengenal diri sendiri. Sungguh,” kata
Rattigan, memotong Thomas sebelum dia sempat
mengutarakan keberatan. “Aku tahu kalian akan
melakukan apa sebelum kalian mela​kukannya—
bahkan sebelum terpikir oleh kalian untuk ber​tindak
desyrindah.blogspot.com

begitu. Aku tahu impian kalian, isi pikiran kalian,


harapan kalian, dan apa-apa saja yang kalian takuti.”
Rattigan menggeleng-geleng. “Catur seperti itu, Pippa.
Supaya menang, kita harus selalu empat langkah di
depan. Se​ju​jur​​nya, Thomas,” Rattigan menoleh
kepada Thomas, “aku ber​ha​rap kau mengetahui itu.
Aku mengharapkan lebih darimu.”
Mata Rattigan anehnya tidak manusiawi, datar
sekaligus penuh perhitungan, seperti mata ular.
Namun, Thomas pantang berpaling.
“Beri tahu kami,” kata Thomas, tahu Rattigan
tidak akan melewatkan kesempatan untuk sesumbar.
Thomas mesti meng​ulur-ulur waktu, supaya dia
sempat mencari jalan keluar—me​nemukan cara untuk
memutar kapal ini, misalkan, atau menabrakkannya,
atau apa saja. “Beri tahu kami bagaimana ceritanya
sampai kau unggul jauh di depan kami.”
“Kau menyanjungku,” Rattigan berkata, tetapi dia
keli​hatan puas. “Tapi, benar bahwa aku jauh
mengungguli kalian. Setelah pertemuan kita yang
terakhir, aku menyadari bahwa aku butuh pendekatan
baru. Bersembunyi dan mengendap-endap, menyelinap
melalui gorong-gorong seperti tikus ….” Dia bergidik.
Thomas dan Pippa bertukar pandang. Rupanya,
dengan cara itu Rattigan kabur dari pabrik trem lama.
desyrindah.blogspot.com

Dari tingkap tersembunyi di lantai, dia mencari jalan


keluar lewat gorong-gorong. “Tapi, jangan khawatir,
aku tidak menden​dam terhadap kalian,” imbuhnya,
seakan mereka memohon maaf darinya. “Kalian justru
membantuku, asal tahu saja. Kalian mengilhamiku
untuk berbuat lebih—satu tindakan hebat saja, untuk
unjuk kuasa, supaya gajah dan benteng, raja dan pion,
bertekuk lutut demi mematuhi perintahku.”
“Merampok bank?” kata Max sarkastis. “Itu
tindakan hebat yang kau maksud?”
“Langkah yang patut disesalkan, tapi perlu untuk
me​wu​judkan rencanaku,” bentak Rattigan, untuk
pertama kali​nya kelihatan kesal. Thomas melirik Max
dengan tatapan mem​peringatkan. “Balon udara tidak
murah, Sayang. Begitu pula bahan baku untuk dua ton
gas pencabut nyawa. Untung aku punya teman lama
yang siap membantu.” Dia memberi isyarat ke arah
Clyde Straw, yang tersenyum culas.
Titik-titik keringat muncul di bibir atas Thomas.
Mereka niscaya mencapai Manhattan sebentar lagi.
Dari jendela ka​pal, dia bisa melihat bangunan-
bangunan tinggi yang sema​kin lama semakin dekat
saja. Jejaring jalanan semakin jelas, be​gitu pula mobil-
mobil dan bus-bus yang memantulkan cahaya serta
titik-titik kecil gelap yang pasti adalah manusia,
desyrindah.blogspot.com

tengah berkumpul untuk menyaksikan kedatangan


kapal zeppelin. Di antara mereka, Thomas tahu,
berdiri pula Chubby dan Andrea von Stikk. Dia
membayangkan betapa mereka semua sedang
memicingkan mata ke langit, menempelkan tangan ke
kening untuk menghalau sinar matahari, tersenyum
penuh harap, sama sekali tidak menyadari bahwa
bahaya sudah di depan mata ....
Mereka kehabisan waktu.
“Tapi, Erskine kemudian mulai bertanya-tanya,”
kata Thomas, memancing Rattigan supaya bicara
terus.
Rattigan mengerutkan kening. “Mallett juga,”
katanya. “Ke​dua orang bodoh itu harus enyah. Gawat
kalau sampai mahakaryaku terkuak. Erskine kelewat
ingin tahu. Dia pena​saran, apa sebabnya Mallett tidak
bisa memperoleh bahan kimia nan berharga? Aku
bertindak berdasarkan informasi dari mata-mataku.
Asal tahu saja, aku punya mata-mata di sepenjuru
kota,” kata Rattigan, dengan geli melirik pria yang
mereka kenal sebagai Sir Barrensworth. “Aku punya
mata-mata yang melaporkan semua ucapan kalian,
membeo kata per kata, kepadaku.”
Thomas seperti baru menelan pisau Max. Sekujur
tu​buhnya gemetar hebat sementara sebuah kesadaran
desyrindah.blogspot.com

terbetik di benaknya. Mereka kini hampir tepat di atas


Battery Park. Orang-orang sekarang kelihatan dari
jendela, dalam wujud bercak-bercak warna-warni
yang menyesaki jalanan dan me​lambai-lambai dari
balkon serta atap.
Rattigan berdiri. “Di sinilah kita sekarang. Setelah
hari ini, semua akan berbeda. Seluruh negeri akan
bertekuk lutut, siap memenuhi kehendakku. Presiden
dan angkatan bersenjata akan menuruti perintahku.
New York baru langkah pertama. Masih ada kota-
kota lain. Persediaan gas masih banyak. Makin
banyak orang yang akan tewas.” Dia mengangkat
bahu, seperti membicarakan pembersihan lumut dari
bak mandi belaka.
Thomas akhirnya mengerti. Rattigan akan
menggunakan kapal zeppelin untuk memeras
pemerintah supaya memberinya apa pun yang dia
inginkan: uang, kebebasan, bahkan pasukan, sehingga
Rattigan dapat melaksanakan eksperimen sintingnya,
sehingga dia dapat menciptakan prajurit buatan,
sehingga dia dapat mewujudkan dunia sempurna
sebagaimana yang dia cita-citakan, yang dia bentuk
dan komandoi sendiri. Rencana menjijikkan itu luar
biasa sederhana dan kemungkinan besar, menurut
Thomas, akan sukses. Kalaupun tidak, berapa banyak
desyrindah.blogspot.com

orang yang telanjur mati?


Thomas merasakan Pippa gemetaran. Mata anak
perem​puan itu terpejam. Pippa sepertinya hendak
menerawang ke dalam ruang tertutup, semisal laci
baja terkunci—atau pikiran seseorang. Thomas tidak
tahu apa sebabnya Pippa membuang-buang energi
dengan membaca pikiran Rattigan, padahal pria itu
baru saja menyampaikan semua yang ingin mereka
ketahui. Mungkin Pippa semata-mata ingin mengorek
informasi yang bisa membantu mereka melarikan diri.
Namun, sudah terlambat. Mereka sudah sampai di
Man​hattan. Thomas melihat satu keluarga bersorak di
balkon de​kat sana, melambaikan panji-panji dan
plang buatan sendiri. Rattigan balas melambai, malah
mendekut-dekut, seolah dia adalah Sinterklas yang
menaiki kereta salju sambil mem​ba​wakan hadiah.
“Nah.” Rattigan berpaling dari jendela. Wajahnya
prak​tis berbinar-binar. “Menurutku sudah waktunya,
bukan begitu? Mickey, tolong bukakan tingkap. Ini
saatnya menunjukkan kepada dunia Nicholas Rattigan
sanggup berbuat apa.”
“Siap, Bos,” kata Sir Barrensworth gadungan,
me​nyan​dang senjatanya dan beranjak ke bagian
belakang kapal zeppelin. Kini tinggal Clyde Straw
yang menjaga mereka.
desyrindah.blogspot.com

Tepat di belakang tangki berisi gas pencabut


nyawa, ting​kap raksasa di lantai kapal terbuka seperti
rahang. Dalam se​kejap, tampaklah hamparan warna-
warni yang terdiri dari gedung-gedung dan orang-
orang serta bus-bus dan mobil-mobil di bawah
mereka. Angin berembus ke dalam kapal, bunyi
tiupannya mirip siulan ceria.
Setetes keringat mengucur dari dahi Pippa dan
mendarat di lengan Thomas. Bibir Pippa bergerak-
gerak, seperti sedang mengucap doa komat-kamit.
Thomas sekonyong-konyong melihat bahwa Straw
mulai berkedut, mengayunkan kepala ke kiri seperti
hendak mengusir lalat bandel.
Mendadak dia mengerti: Pippa bukan sedang
membaca pikiran Rattigan. Dia berusaha menerobos
pikiran Straw.
Pippa sedang berusaha sebaik-baiknya untuk
mengalihkan perhatian Straw.
Rattigan mengeluarkan sebatang cerutu dari saku
rompinya.
“Aku jarang-jarang menuruti nafsu,” kata
Rattigan, me​nyalakan cerutu dan melambaikannya
sehingga asap meliuk-liuk ke seputar kepalanya.
Rattigan harus bicara keras-keras untuk melampaui
gemuruh angin, yang kian lama kian ken​cang. “Tapi
desyrindah.blogspot.com

menurutku, pada kesempatan ini—” Dia serta-merta


terdiam, keningnya berkerut. “Apa itu?”
Begitu Rattigan bicara, Thomas menyadari bahwa
bunyi menggemuruh itu bukanlah suara angin,
melainkan bunyi me​kanis, seperti pesawat.
Seperti mesin pesawat terbang.
Di luar jendela, melayanglah pesawat terbang kecil
baling-baling berkapasitas dua penumpang sehingga
sejajar dengan balon udara zeppelin. Lash Langtry
duduk di kursi belakang, wajahnya muram tetapi
penuh tekad. Di kokpit de​pan, dengan kacamata
penerbang menutupi separuh wajahnya, du​duklah
seorang pria yang membungkuk ke panel kendali,
rahangnya bergerak-gerak, seperti sedang mengulum
permen karet tak kasatmata.
Atau tusuk gigi.
“Apa itu ...?” tanya Sam.
“Itu Kestrel!” seru Thomas. Dia terperangah tak
percaya.
Rattigan terlompat berdiri, wajahnya berkerut-
kerut mur​ka. “Buka katup!” hardiknya. “Keluarkan
gas!” Dia berputar secepat kilat untuk menghadap
Clyde Straw. “Dan kau—urus teman baru kita.”
Namun, tepat saat itu, Clyde menjerit kesakitan
dan terhuyung-huyung ke depan sambil memegangi
desyrindah.blogspot.com

kepala dengan satu tangan. Pada saat bersamaan,


Pippa melemas ke belakang. Tidak ada waktu untuk
memastikan apakah Pippa baik-baik saja. Mumpung
ada kesempatan, Thomas merapatkan kepala ke lutut
dan melontarkan diri ke depan seperti bola boling
hingga menabrak pergelangan kaki Clyde. Clyde
terlempar ke udara, sekaligus menembakkan
serentetan peluru yang terpantul dari tangki logam
dan melubangi cangkang tipis balon udara. Thomas
buru-buru berdiri lagi. Sam telah terjun ke lantai
untuk mengambil senjata Clyde dan memuntir
moncongnya beberapa kali, membentuk simpul tak
berguna. Sebelum Clyde sempat kembali berdiri, Sam
menggetok ubun-ubunnya, pelan saja, dan Clyde
sontak ambruk ke lantai sekali lagi.
“Kerja bagus!” Thomas tersengal-sengal. “Tapi, di
mana Rattigan?” Rattigan telah lenyap, hanya
menyisakan cerutu yang mengepulkan asap di asbak
perak.
“Sam, Tom, awas!” teriak Pippa.
Mereka menoleh dan melihat Mickey McClure
berlari ce​pat ke arah mereka sambil menodongkan
senjata. Namun, sebelum dia sempat menembak, Max
melompat berdiri. De​ngan tangan terikat ke depan,
Max menyambar cerutu Rat​tigan yang masih berasap
desyrindah.blogspot.com

dan melemparkannya tepat ke mata kiri Mickey


McClure.
“Aaaaah!” McClure melolong, jatuh berlutut
sambil me​nembakkan senjata beberapa kali. Sejumlah
peluru merobek jendela dan memelesat langsung ke
arah pesawat Kestrel. Se​be​lum peluru-peluru tersebut
mengenai pesawat, Kestrel me​nukikkan kapal
terbangnya, kemudian berputar-putar naik ke angkasa
sehingga sejajar kembali dengan kapal zeppelin.
Sebelum McClure sempat bangun, Sam mendorong
pria itu sehingga tertelungkup. Sam melepas tambang
yang membelit pergelangan tangan Max dan
menggunakannya untuk meng​ikat McClure ke kursi
Rattigan.
“Makasih.” Pergelangan tangan Max merah terang
dan lecet bekas diikat. Dia memijat pergelangannya
pelan-pelan sam​bil berjengit, kemudian membungkuk
untuk merogoh saku McClure. Max menegakkan diri
sambil memegang pisau-pisau​nya, yang sempat disita
oleh McClure.
“Rattigan.” Pippa bangkit sambil sempoyongan.
Dia nya​ris tidak sanggup berdiri. Dia kelihatan capek.
“Kita harus mencegahnya melepaskan gas.”
“Kau terlambat.”
Mereka menoleh. Pada saat itu, Rattigan kelihatan
desyrindah.blogspot.com

seperti binatang liar: buas dan putus asa, jasnya robek


dan bagian bawah kemejanya terlepas dari celana,
matanya yang sebiru es galak dan jelalatan. Dia
menggapai dan memutar katup tangki cepat-cepat.
Perut Thomas melilit-lilit saat dia mendengar de​sis gas
yang bocor.
“Aku menang,” kata Rattigan lugas. Sebelum siapa
pun sempat bereaksi, Rattigan mengenakan parasut
dan melom​pat keluar dari tingkap. Kapal zeppelin kini
terhanyut ke arah East River dan Thomas serta-merta
melihat bahwa Rattigan bermaksud mendarat di
pelabuhan, tempat khalayak sedang menyorakinya,
kentara sekali mengira bahwa penerjunan itu adalah
bagian dari pertunjukan.
“Tidak boleh!” Max melompat sambil
melemparkan pisau-pisaunya.
Sekejap, pisau-pisau itu melayang di udara, seperti
burung logam kecil, yang berkilat-kilat memantulkan
cahaya matahari.
Kemudian, pisau-pisau tersebut dengan rapi
memutus tali yang menghubungkan Rattigan ke
parasutnya. Khalayak ter​kesiap saat Rattigan menjerit
dan mulai terjun bebas—me​nyongsong perairan
Sungai East yang berbuih. Sedetik berse​lang,
terceburlah dia ke dalam air yang berkilat-kilat,
desyrindah.blogspot.com

diikuti parasutnya yang terayun-ayun di udara seperti


saputangan.
Sam menghambur ke tangki gas dan memutar
kenop kuat-kuat. Kenop justru patah di tangannya.
Sam mendongak, mi​miknya ngeri. Gas masih keluar
dari tingkap kapal, sembur​an kimiawi kelabu gelap
dengan cepat terencerkan ke udara sekitarnya. “Aduh,
gawat ….”
“Dan kita bergerak langsung ke tengah kota,” ujar
Max.
Dia benar. Kapal zeppelin, yang dilecut-lecut oleh
angin, kini menjauh dari sungai dan kembali menuju
kota.
“Bagaimana cara menghentikan balon udara ini?”
seru Pippa.
“Pasti ada cara untuk menyetirnya,” kata Thomas.
Mereka meneliti panel instrumen, mencari-cari cara
untuk memutar balon udara. Namun, Thomas segera
saja melihat bahwa tembakan peluru dari senjata
McClure telah mem​bu​at panel kendali menjadi tidak
berguna. Kapal zeppelin tidak bisa diputar. Kendaraan
itu akan terus menuju Manhattan, menyemprotkan
racun mematikan kepada semua orang yang tinggal di
sana.
desyrindah.blogspot.com
Dan tidak ada cara untuk menghentikannya.
“Thomas!” teriak Sam. “Lihat!”
desyrindah.blogspot.com

Thomas menoleh dan, dari jendela, melihat


pesawat Kestrel membubung tepat di bawah tingkap.
Lash—bandana koboi ter​ikat menutupi mulut dan
hidungnya untuk menghalau gas ala kadarnya—telah
beringsut ke ujung salah satu sayap.
“Tali tambat!” Suaranya, teredam kain, hanya
terdengar lamat-lamat. “Lemparkan tali tambat!”
Thomas langsung memahami maksud Lash. Dia
me​reng​gut salah satu tali tambat yang tergulung di
belakang kabin dan melemparkan tambang itu kepada
Lash. Lash menyambar tali dari udara, kemudian
beringsut-ingsut kembali di se​pan​jang sayap, untuk
mengikat tambang ke ekor pesawat.
Thomas menahan napas sementara Kestrel
mendatar​kan pesawat dan berputar. Mereka sekarang
tepat di atas bagian timur kota, dekat sekali sampai-
sampai Thomas bisa melihat wajah-wajah individu
yang menengadah ke langit dengan mul​ut menganga,
terperanjat dan bingung.
“Ayo,” gumam Thomas. “Ayo.”
“Sudah bisa,” sengal Pippa. “Kestrel memutar
kita!”
Dia benar. Mula-mula perlahan, kemudian semakin
lama semakin cepat, pesawat berbalik arah. Kestrel
menjauhkan me​reka dari Manhattan, menjauhi sekian
desyrindah.blogspot.com

banyak orang, dan meng​gerakkan pesawat beserta


balon udara ke atas Sungai East, terus menuju
perairan terbuka Samudra Atlantik, semen​tara gas
masih saja mendesis dan membubung ke langit biru
cerah.[]
desyrindah.blogspot.com
27

“AKU MASIH BELUM MEMAHAMI ALASAN


Rattigan memilih Barrensworth—atau McClure, atau
siapa pun nama aslinya—untuk memata-matai kita,”
kata Sam sambil meng​aduk-aduk sekotak cokelat
campur untuk mencari ka​ra​mel. Dia memasukkan
sebutir ke mulutnya dan lantas meringis. Pisang.
“Ingat ejaan di kartu namanya sendiri salah?”
“Aku masih belum paham bisa-bisanya Mickey
mema​ta-matai kita. Dia cuma datang ke sini satu atau
dua kali.” Suara Max seolah keluar dari karangan
bunga lili raksasa—dari Andrea von Stikk—yang
bertengger di bangku sutra di kantor Mr. Dumfrey.
Sedetik berselang, kepalanya muncul di atas karangan
bunga itu sehingga dia seakan-akan tumbuh langsung
dari tangkai-tangkai bunga. “Aha,” kata Max sambil
mengangkat kotak kecil yang dibungkus kertas. “Aku
tahu di sini pasti ada sekotak permen karamel.”
desyrindah.blogspot.com

“Barrensworth bukan mata-mata,” kata Thomas.


Dia menyempil di atas lemari arsip Mr. Dumfrey, yang
kebetulan tidak tertutup gundukan hadiah, permen,
cokelat, surat, bunga, dan kado terima kasih lain yang
masih membanjiri museum, seminggu setelah
malapetaka nyaris terjadi. Desainer pisau khusus
malah mengirimi Max satu set belati untuk
meng​gantikan senjatanya yang hilang saat
pertarungan udara dengan Rattigan.
“Jangan bilang kau masih menganggap Emily
memiliki kaitan kejadian itu.” Pippa, yang sedang
mematut-matut ki​mono sutra merah pemberian
seorang penjahit asal pusat kota yang merasa sangat
berterima kasih—mereka berem​pat memperoleh
masing-masing satu—memiringkan tubuh ke sa​na
kemari untuk mengecek pantulannya di kaca jendela
ber​debu. Sekarang, dia berbalik menghadap Thomas,
berkacak pinggang dengan kepalannya. “Bukan Emily
pelakunya. Tidak mungkin.”
“Bukan dia juga.” Thomas melompat dari lemari
arsip dengan lincah dan menghindari setumpuk hadiah
yang be​lum dibuka. “Saudara-Saudari, mari kita
sambut ... mata-mata Rat​tigan!” Dengan penuh gaya,
dia membuka pintu.
Namun, tidak ada siapa-siapa di sana kecuali Mr.
desyrindah.blogspot.com

Dumfrey, yang sedang susah payah memegangi


sangkar Burung Api. Sam melongok ke koridor, kalau-
kalau ada orang lain yang sedang menunggu di sana,
tetapi koridor ternyata kosong, se​mentara Mr.
Dumfrey tertatih-tatih memasuki kantor. Sam
menoleh kepada Thomas, mengira anak laki-laki itu
akan ke​lihatan kecewa—mungkin dia berniat
menunjukkan mata-mata Rattigan, tetapi entah
bagaimana kehilangan jejak orang itu. Namun, Sam
terkejut karena mata Thomas mendadak berbinar-
binar. Padahal koridor jelas-jelas kosong.
“Aku tidak mengerti,” kata Sam. Dia tidak suka
merasa lebih bebal daripada yang lain. Oleh sebab itu,
dia merasa lega karena Max dan Pippa setidaknya
tampak sebingung dia.
“Apa kau bercanda?” tanya Pippa, melepas
kimono dan melipatnya dengan rapi.
Max berdiri sambil cemberut. “Iya,” tukasnya.
“Teori besarmu bagaimana?”
Thomas membuka mulut untuk menanggapi, tetapi
apa pun yang dia katakan ditenggelamkan oleh jeritan
protes si burung.
“Lepaskan aku, dasar jari gendut kampungan!”
pekik Bu​rung Api. “Lepaskan aku, dasar bakpao
kontet!”
desyrindah.blogspot.com

“Diam,” kata Mr. Dumfrey, di sela-sela napasnya


yang terengah-engah, “atau bulumu akan kujadikan
isian ban​talku besok!” Setelah menyingkirkan
karangan bunga jelek lainnya—yang ini, Sam
memperhatikan, ditujukan secara khusus ke​pada Mr.
Dumfrey, dari Pengagum Rahasia—Mr. Dumfrey
kemudian meletakkan sangkar di atas mejanya sam​bil
mengerang. “Kalian tidak akan mengira,” katanya
sambil menoleh kepada anak-anak dan mengelap alis
dengan saputangan, “bahwa seekor burung bisa
seberat ini.”
“Mungkin karena dia bukan burung.” Thomas
mengitari meja sambil membusungkan dada, seperti
seekor merak po​ngah. Kemudian, dia mendadak
mencondongkan tubuh sambil menggebrak meja di
kanan kiri sangkar burung keras-keras. Sam mesti
menahan diri supaya tidak memekik. “Dia ini ular!”
Suasana sejenak hening. Thomas memelototi si
burung. Burung itu seolah menciut, sedikit saja,
karena pelototannya yang galak.
“Enak saja kau mengata-ngatai,” si burung
berkoak, te​tapi Sam merasa ia kedengaran gugup.
Akhirnya, Sam mengerti: mata-mata Rattigan
adalah se​ekor burung.
Pippa mulai cekikikan. Lalu, dia mendengus.
desyrindah.blogspot.com

Akhirnya, dia tertawa keras sekali sampai terbungkuk-


bungkuk dan me​megangi perut. “Aku tidak percaya,”
dia akhirnya berkata. “Aku sungguh tidak percaya.”
“Pikirkan saja,” kata Thomas. “Sempurna sekali.
Sese​orang menelepon untuk mengklaim bahwa dia
ingin menjual spesies burung langka—Rattigan tahu
Mr. Dumfrey pasti akan menggigit umpan itu.”
Mr. Dumfrey kelihatan pedih. “Saudara tiriku
mungkin ingat aku memelihara parkit semasa kanak-
kanak,” katanya. “Euclid adalah sahabat terbaikku.”
“Burung Api dilatih untuk mengulangi apa saja
yang di​dengarnya. Mungkin awalnya Rattigan hanya
berencana untuk mengawasi kita, untuk memastikan
bahwa dia tahu apa saja yang sedang kita kerjakan.
Tapi, setelah Farnum ditahan dan kita mulai bertanya
sana sini, Burung Api jadi dibutuhkan. Kemudian,
Barrensworth—atau McClure—muncul lagi,
mena​warkan bantuan untuk melatih burung ini tampil
di panggung. Tapi, dia sebenarnya mengorek
informasi dari burung ini. Ka​rena itulah dia tahu kita
sudah menemukan keterkaitan an​tara Benny Mallett
dan Ernie Erskine.” Thomas menggeleng-geleng.
“Malahan, untung bagi kita Farnum ditangkap
sebagai tersangka pembunuhan Erskine. Kalau tidak,
kita tidak akan menguak rencana Rattigan.”
desyrindah.blogspot.com

Max cemberut. “Untung apanya,” ujarnya.


“Dari mana kau tahu burung itu adalah mata-mata
Rattigan?” tanya Sam.
Burung Api tidak lagi mematut-matut diri dalam
sangkar atau bertengger dengan dada membusung.
Burung itu justru meringkuk di dekat palungannya,
kelihatan gugup dan tidak senang—di mata Sam,
paling tidak. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit,
ia seolah menciut hingga tinggal setengah dari ukuran
aslinya. Sam bertanya-tanya apakah sekarang, karena
tahu rahasianya sudah terbongkar, burung itu juga
tahu ia tidak lagi memiliki tempat untuk dituju
ataupun majikan. Biar bagaimanapun, Burung Api
tahu bahwa pemilik sahnya adalah Sir Barrensworth,
atau Mickey McClure.
Sam hampir-hampir merasa kasihan kepada burung
itu.
“Sesuatu yang Rattigan katakan di kapal zeppelin,”
kata Thomas dan sekejap, kenangan tentang kejadian
jauh di atas kota menyelimuti mereka semua seperti
bayangan balon udara itu sendiri, membuat mereka
menggigil. “Katanya dia punya mata-mata yang
melaporkan semua ucapan kita, membeo kata per
kata, kepadanya. Dia kemudian berkedip kepada
McClure. Saat itulah aku tahu.”
desyrindah.blogspot.com

Pippa mendesah. “Jadi Emily ...?”


“Sama sekali tidak bersalah,” kata Mr. Dumfrey
tegas.
“Aku lega,” ujar Pippa. “Kestrel akan senang
sekali.”
Kini, Thomas-lah yang tampak bingung. “Apa
hubung​annya Kestrel dengan itu?”
“Masa kau juga?” Pippa angkat tangan. “Mana
mungkin kau begitu pintar sekaligus begitu bodoh?”
Thomas menyeringai kepadanya. “Bakat alami.”
“Tapi burung itu akan kita apakan?” tanya Sam.
Max sedang memain-mainkan sebilah pisau
barunya dan tidak mendongak. “Mungkin kita
persilakan saja Freckles mengajaknya main,” kata
Max. “Coba kita mengabulkan ke​inginan Freckles
sejak awal.”
Pada saat ini, Burung Api sudah gemetaran. Sam
kini sung​guh merasa kasihan kepadanya.
“Oh, menurutku itu tidak perlu,” kata Sam. Dia
meng​ulurkan tangan dan menepuk-nepuk sangkar
sekenanya. “Se​karang, setelah Rattigan dan teman-
temannya tidak ada, ku​rasa Burung Api akan berubah
sikap, asalkan kita mujur dan memberinya pelatihan
yang tepat.”
“Berlatih sendiri saja sana, dasar bantalan lemak,”
desyrindah.blogspot.com

Bu​rung Api menimpali, tetapi tidak bersungguh-


sungguh.
Sementara Mr. Dumfrey menyortir hadiah-hadiah
yang datang sejak tadi pagi, Burung Api justru naik ke
tenggeran dan merapikan bulu-bulunya sambil
membisu, tidak sekali pun mengkritik bau badan
Thomas atau mengatai Pippa binatang. Malahan, pikir
Sam, burung itu kelihatan lega, sedikit saja.

Belakangan, siang itu, Pippa, Thomas, Sam, dan Max


berkum​pul di luar museum bersama para penghuni
lain untuk menantikan kepulangan Jenderal Farnum
yang baru saja dibebaskan dari segala tuduhan terkait
pembunuhan Ernie Erskine. Cuaca hari itu sempurna,
barangkali yang terakhir pada musim gugur ini.
Ramalan cuaca di koran-koran menyebutkan bahwa
besok suhu udara akan memerosot secara dramatis
dan akan turun hujan yang niscaya merontokkan
daun-daun keemasan dari pohon. Namun, hari ini
sempurna: matahari bersinar cemerlang, udara sejuk
segar dan samar-samar berbau harum asap kayu.
“Menurut kalian bagaimana?” Gil Kestrel menarik
ujung spanduk baru museum sambil bergoyang sedikit
di atas tang​ga. “Sudah pas?”
Lash mengebelakangkan topi koboi di kepalanya
desyrindah.blogspot.com

sambil memicingkan mata untuk menghalau sinar


matahari yang me​nyilaukan. “Entahlah,” katanya.
“Sepertinya terlalu ke kanan, sedikit saja.”
Kestrel membetulkan spanduk. “Sekarang
bagaimana?”
Lash bersiul untuk memberikan apresiasi. “Selurus
jalan tol.”
“Sempurna,” Emily sepakat, sambil menggapai dan
me​remas tangan Kestrel sementara pria itu menuruni
tangga. “Jenderal Farnum pasti suka sekali.”
Sepagian, Thomas dan Pippa melukis spanduk
besar yang mengumumkan kepulangan Jenderal
Farnum. Mr. Dumfrey dengan bangga menyampaikan
juga bahwa spanduk tersebut akan dipasang di pintu
museum sampai, setidak-tidaknya, saat Natal.
Selamat Datang, Jenderal Farnum*! tertera dengan
huruf-huruf merah besar, beserta tanda bintang di
sebelah nama Farnum. Mr. Dumfrey bersikeras agar
mereka menambahkan keterangan: Dibebaskan dari
segala tuduhan terkait kasus pembunuhan Ernie
Erskine yang mencengangkan dan meng​hebohkan,
korban si kejam Nicholas Rattigan dan
perse​kongkolannya untuk menguasai Manhattan!
Untuk menam​pung kata-kata sebanyak itu,
dibutuhkan spanduk yang le​bih besar daripada
desyrindah.blogspot.com

lazimnya, apalagi setelah Jenderal Farnum, melalui


Rosie Bickers, menyampaikan bahwa semasa ditahan,
dia mendapat gagasan untuk aksi baru, alhasil
mengharuskan mereka untuk menambahkan satu
keterangan lagi ke spanduk.
“Dengarkan ini.” Sudah berhari-hari Thomas
gandrung membaca semua liputan koran mengenai
peran mereka sebagai penyelamat kota. Dia
membentangkan beberapa surat kabar, termasuk The
Journal-American, The Daily Screamer, dan The New
York Herald-Examiner, di undakan depan museum.
Diambilnya Daily Screamer:
“‘Polisi gagal menemukan Rattigan dan luput
menghu​bungkannya dengan serangkaian perampokan
bank yang telah melumpuhkan kota. Tidak diragukan
lagi bahwa ketidak​becusan kepolisian hampir saja
berbuah bencana,’” Thomas membaca.
“‘Kepolisian’—bla bla bla, tunggu dulu, kita lewati
saja paparan mengenai cara Rattigan mendapatkan
balon udara. Ini dia, ada yang bagus.” Thomas
berdeham. “‘Tanpa peran serta anak-anak berpotensi
unggul dari Museum Aneh tapi Nyata Mr. Dumfrey,
siapa tahu apa yang akan terjadi? kata Miss Andrea
von Stikk, dari lembaga yang baru saja dinamai
Rumah Von Stikk untuk Anak-Anak Berpotensi
desyrindah.blogspot.com

Ung​gul. Jelas metode pendidikan Mr. Dumfrey mesti


dipuji atas pendekatannya yang nontradisional—
pendekatan yang, mesti saya tambahkan, sudah lama
saya kagumi. Terkait pendapat saya mengenai polisi
—’” Thomas terdiam sambil menyeringai. “Dari situ,
kelanjutannya sepanjang empat kolom.”
“Celotehan Von Stik akhir-akhir ini beda, ya?”
kata Max.
“Ada yang menyebut namaku?” Terdengarlah
suara manis Andrea von Stikk yang melengking. Pippa
menoleh dan melihat wanita itu berlenggak-lenggok di
jalan, seperti biasa berbusana meriah, lengkap dengan
pita dan rimpel serta renda, alhasil menjadikannya
lebih mirip kendaraan hias daripada manusia. Di
belakang wanita itu, Chubby mengikuti sambil
tersenyum sungkan, tangannya dimasukkan ke saku
seragam sekolah yang tidak cocok untuknya.
“Rupanya kalian di sini, Anak-Anak Tersayang.”
Von Stikk memeluk Pippa kuat-kuat sehingga Pippa
merasa bisa saja mati sesak karena tercekik pakaian
berlapis-lapis wanita itu. “Dan kau.” Dia mendekap
Thomas dan Sam juga, bah​kan hampir mendekap
Max. Wanita itu buru-buru mengurungkan niat begitu
Max menggeram dan memamerkan gigi-giginya. Von
Stikk kentara sekali belum lupa bahwa Max pernah
desyrindah.blogspot.com

menghunjamkan garpu ke tangan kirinya. “Dan—ah


—Mac​kenzie. Dan Anda.” Dia menoleh kepada Mr.
Dumfrey lalu menyambar tangan pria itu. “Pahlawan
kami! Penyelamat kami! Santo kami.”
“Hanya seorang abdi, Madam,” kata Mr. Dumfrey
kesat​ria sambil membungkuk untuk mengecup tangan
Von Stikk, seolah hubungan mereka tidak pernah
tegang sebelumnya. “Seperti biasa, selalu siap
melayani Anda.”
“Oh, Mr. Dumfrey.” Miss von Stikk mengambil
kipas ker​tas dari balik lipatan gaunnya yang
mahabesar dan mengipasi diri kuat-kuat. “Anda ini
ada-ada saja. Sangat, sangat berlebihan.”
“Dan pesona Anda, Nona Manis, tidak pernah
cukup!”
Max pura-pura muntah. Pippa mesti berpaling
sambil me​nutupi mulut dengan tangan, untuk
menahan tawa yang menggelegak seperti gelembung
soda di dalam dadanya dan hendak tertumpah. Pippa
tidak ingat kapan terakhir kali dia sebahagia ini dan
kapan museum pernah sedamai ini.
Pippa tidak tahu apa persisnya yang terjadi antara
Gil Kestrel dan Lash—dia hanya tahu bahwa, ketika
Mr. Dum​frey menyadari anak-anak hilang dari
museum, dia langsung menebak bahwa mereka
desyrindah.blogspot.com

hendak menghentikan Rattigan, apa pun taruhannya,


kemudian menyuruh Gil dan Lash supaya cepat-cepat
mengejar mereka. Dalam perjalanan—atau, lebih
tepatnya, di langit Manhattan—Gil dan Lash
mencapai kata sepakat mengenai peristiwa masa
silam. Kestrel kini hanya mau mengatakan bahwa
Lash adalah lelaki hebat, teman yang baik. Dan Lash,
yang biasanya banyak omong, semata-mata
mengatakan bahwa Kestrel ciamik—istilah yang tidak
Pippa kenal tetapi dia tahu merupakan pujian.
Namun, bukan hanya itu. Rattigan sudah benar-
benar lenyap. Saat ini sekalipun, polisi masih menyisir
sungai untuk mencari jenazahnya. Sudah tiga hari
keriaan tak putus-putus menyemarakkan museum.
Max dengan tulus menyelamati Pippa atas
tindakannya di kapal zeppelin dan bahkan
me​nyarankan agar manipulasi pikiran dijadikan
bagian tetap dari pertunjukan Pippa—sekalipun Pippa
buru-buru menolak, sebab aksi tersebut membuatnya
kecapekan dan lemas selama dua hari.
Gil Kestrel dan Emily mengumumkan pertunangan
me​reka tanpa gembar-gembor, sedangkan Lash
mengekspresi​kan kegembiraan dengan melemparkan
Miss Fitch yang ber​muka ke​cut ke udara dan
memberinya kecupan. Kendati pengumuman itu
desyrindah.blogspot.com

sempat membuat si kembar tidak senang, mereka


tidak bisa kesal lama-lama, terutama karena sekarang
Miss Fitch secara mencengangkan unjuk diri dengan
ram​but ikal tergerai tiap pagi—perhatiannya
teralihkan sehingga bahkan tidak sadar ataupun
peduli kalaupun para penampil terlambat naik ke
panggung.
Nasib baik sepertinya menular. Smalls baru saja
mene​rima surat yang menyampaikan bahwa puisinya,
Manis Benar Dekut Burung Tekukur, diterima untuk
diterbitkan di Puisi-Puisi Kontemporer. (Saking
senangnya, Smalls bahkan tidak peduli sekalipun
singkatan nama majalah itu adalah Pupuk.)
“Ada apa, Chubby?” Sam menyikut Chubby,
alhasil pe​muda itu cepat-cepat menyamping supaya
tidak terjungkal. “Kukira kau sudah bosan
bersekolah.”
“Oh, eh, iya.” Chubby batuk-batuk dan mengusap-
usap tengkuk dengan tangan, berlagak acuh tak acuh.
“Ternyata Von Stikk tidak payah-payah amat. Kupikir
tidak ada sa​lah​​nya bertahan barang sedikit lebih lama.
Aku sedang mem​perbanyak kosakata. Dan membaca
ternyata tidak payah-payah amat, begitu kita terbiasa.
Apalagi ada makanan gratis dan sebagainya,” imbuh
Chubby cepat-cepat. Kedua pipinya mulai memerah.
desyrindah.blogspot.com

“Bagus untukmu,” kata Pippa. “Sungguh.”


“Makasih, Pippa,” kata Chubby sambil tersenyum.
Baru kali ini Chubby memanggilnya Pippa, bukan Pip
atau Philippa, dan terbetiklah di benak Pippa bahwa
tampang Chubby ter​nyata tidak jelek-jelek amat
ataupun konyol-konyol amat. Malahan, reaksinya
yang tersipu-sipu agak ... menggemaskan. Seperti ada
tomat yang diremas-remas di balik kulitnya. Dan
hidungnya bisa disebut fantastis ….
Di sepanjang Forty-Third Street, Pippa mengenali
para tetangga dan kawan, semua luntang-lantung di
luar, berharap bisa melihat keempat anak yang telah
menyelamatkan New York City sekilas saja atau
menyoraki Jenderal Farnum ketika dia pulang dengan
penuh kemenangan. Ada Henry dari Hotel St. Edna,
yang sekali ini tidak tidur selagi bekerja; Barney
Bam​berg, yang berdiri di luar kedai makannya; Miss
Groenovelt beserta satu dari sekian banyak kucingnya,
yang kali ini ber​putar-putar mengelilingi pergelangan
kakinya; Sol dari toko permen di pojok; dan Gus si
tukang cukur, yang membuka usaha di bawah
apartemen Eli Sadowski, masih memegang sebotol
krim cu​kur. Bahkan, Mr. Sadowski juga kelihatan di
jendela rumahnya—pemandangan yang
mencengangkan, apa​lagi jendela tersebut biasanya
desyrindah.blogspot.com

tertutup di balik tumpukan barang—dan Pippa sontak


melambai kepada pria itu, baru kemudian kembali
memicingkan mata ke jalan.
Tepat saat itu, mengitari pojok Forty-Third Street
….
“Lihat!” seru Pippa. “Itu Rosie! Dan Jenderal
Farnum!”
Sebelum Rosie Bickers dan Jenderal Farnum sampai
di museum, mereka sudah dikerubungi. Goldini
menjabat Farnum kuat-kuat dan Smalls
mendeklamasikan cuplikan Iliad, sedangkan Andrea
von Stikk dan Rosie berpelukan, dan di tengah-tengah
suasana hiruk pikuk, Mr. Dumfrey menge​cup Rosie
bukan hanya sekali, melainkan dua kali. Mereka
kemudian mundur ke museum sebagai satu kesatuan
nan ga​duh, semua orang berbicara berbarengan,
sedangkan Pippa membiarkan saja dirinya tergencet
oleh teman-teman​nya dan terbawa arus keributan.
“… tidak percaya ….”
“Akhirnya pulang juga!”
“Keadilan menang ….”
“Nah.” Kestrel melambai ke spanduk yang
terpampang gagah di atas pintu museum. “Menurut
Anda bagaimana?”
Jenderal Farnum sekejap dilanda emosi menggebu-
desyrindah.blogspot.com

gebu. Bibirnya bergetar. Dia sepertinya kesulitan


berkata-kata. Ku​misnya gemetar hebat sampai-sampai
Pippa takut kumis ter​sebut bakalan terbang dari
wajahnya.
“Menurutku bagaimana?” Suara Jenderal Farnum
pecah dan dia pun batuk-batuk untuk melegakan
tenggorokan. “Me​nurutku, ini hal terindah yang
pernah kulihat sejak Pertem​puran San Juan Hill.
Menurutku, sekarang aku sudah berada di rumah.”
“Tulisan tentang aksi baru Anda agak gepeng,”
kata Thomas sambil mencermati huruf-huruf dengan
kritis. “Mohon maaf.”
Di bagian terbawah spanduk, tertera tulisan yang
di​tambahkan dengan terburu-buru: *Datang dan
Saksikanlah Farnum yang Tersohor Sedunia dan
Kecoak-Kecoaknya yang Mahir Berjingkrak!
Mata Jenderal Farnum berbinar-binar. “Sudah
sempurna, Nak.”
Kemudian, celoteh percakapan kembali terdengar.
Semua orang ingin mendengar tentang pengalaman
Farnum di dalam penjara, sedangkan tiap penampil
juga memiliki berita sendiri-sendiri untuk
disampaikan. Farnum dan Rosie segera saja masuk ke
museum, terseret oleh arus massa.
Pippa bertahan di luar beberapa lama, enggan
desyrindah.blogspot.com

beranjak dari pancaran sinar matahari. Dia merasakan


firasat janggal pada saat itu, bahwa dia sedang
menyaksikan adegan yang ber​langsung bertahun-
tahun lalu—bahwa semua ini, sinar matahari dan lalu
lintas nan berisik serta tawa bahagia, sudah lama
menjadi memori belaka, yang disimpan baik-baik dan
kerap dikenang kembali. Hati Pippa pedih, dihinggapi
pe​ra​saan tak bernama: perasaan bahwa waktu terhenti
sekali​gus berjalan terlalu cepat. Mr. Dumfrey benar.
Di dunia ini, mungkin masih ada Rattigan-Rattigan
lain, kejahatan lain yang kelak harus Pippa hadapi.
Mereka sudah semakin besar dan tidak mungkin
tinggal di museum selamanya.
Namun, saat ini Sam dan Max berjalan
berdampingan dengan harmonis. Mr. Dumfrey
mempersilakan semua orang masuk ke Odditorium
untuk menikmati soda dingin dan gula-gula gratis.
Dan Thomas berhenti sambil memegangi pintu dengan
satu tangan, melirik ke belakang, ke tempat Pippa
masih berdiri mematung sambil menyaksikan semua
itu dengan penuh kasih sayang dan kedamaian serta
rasa betah.
“Mau masuk?” tanya Thomas. Pippa mengangguk
dan me​naiki undakan sambil berlari-lari kecil,
kemudian melewati Thomas untuk masuk ke museum.
desyrindah.blogspot.com

Kata-kata Jenderal Farnum tadi benar. Untuk saat


ini, mereka sudah berada di rumah.[]
SERI CURIOSITY HOUSE
LAINNYA!

The Shrunken Head


desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com

The Screaming Statue


desyrindah.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai