Anda di halaman 1dari 153

nb

oo
k
nb
oo
k
nb
oo
k
nb
oo
k
nb
oo
k
nb
oo
k
nb
oo
k
Ve
Copyright ©Vinca Callista, 2018
All rights reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Penyunting: Jia Effendie, Teguh Afandi, & Yuli Pritania
Penyelaras aksara: Nunung Wiyati
Penata aksara: CDDC
Desainer sampul: Dilidita
Ilustrasi sampul: Indah Rakhmawati
Digitalisasi: Elliza Titin
Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books (PT. Mizan Publika)
Jl. Jagakarsa Raya No. 40 RT 007/04, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12620
Telp.: 021-78880556, Faks.: 021-78880563
E-mail: redaksi@noura.mizan.com
www.nourabooks.co.id
Cetakan ke-1, Desember 2018
ISBN: 978-602-385-707-4
Ebook ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing
k
oo

Jl. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620


nb

Phone.: +62-21-7864547 (Hunting)


Fax.: +62-21-7864272
email: mizandigitalpublishing@mizan.com
email: nouradigitalpublishing@gmail.com
Instagram: @nouraebook Facebook page: nouraebook
Situasi Emosi #1:

Bingung

“IBU PERGI,” ayahmu berkata ketika kamu memergokinya duduk sendirian


di kegelapan, di antara pakaian berserakan dan koper-koper menganga di
lantai. Ayah termenung, sama sekali tidak mengangkat kepala untuk
menatapmu saat menyampaikan kabar mengejutkan itu. Kamu butuh waktu
beberapa detik untuk mencerna maksud perkataan Ayah dan tertawa karena
kamu tidak mengerti.
Kamu baru pulang pagi itu. Semalaman, kamu berada di tempat Akar
k
oo

dalam sebuah pesta yang sangat seru. Akar menjamu teman-temannya untuk
nb

perayaan satu tahun kafe di perpustakaan milik keluarganya. Kamu membuka


pintu apartemen dan mendapati ruang tamu yang kosong. Biasanya, Ibu sudah
membuka gorden-gorden pukul segini. Dia sangat menyukai pemandangan
saat hari terang dari apartemen di lantai enam itu. Namun, ruang tamu
remang-remang belum terjamah matahari. Kamu mengabaikan gorden-gorden
itu dan terus berjalan menuju kamarmu karena mengantuk. Setelah perutmu
kenyang menyantap sarapan lezat buatan mami Akar, kamu membayangkan
ranjangmu yang nyaman dan berniat langsung melanjutkan tidur.
Namun, ketika melintasi kamar orangtuamu, kamu mendapati pintu
terbuka lebar dan melihat Ayah tengah termangu. Dia terduduk lunglai
dengan sorot mata kosong. Kamu spontan berhenti di ambang pintu. Ayah
yang menyadari kehadiranmu langsung mengumumkan berita buruk itu.
“Ibu pergi ke mana, Yah?” Kamu terheran-heran.
Pelan-pelan, kepala Ayah bergerak, menoleh dengan ekspresi tidak
berdaya.
“Kabur. Ke luar negeri. Demi selingkuhannya.”
Matamu langsung membelalak. “Hah? Kabur ke luar negeri?! Kabur
gimana maksudnya, Yah?! Ayah bercanda, ya? Ibu sama Ayah mau bikin
surprise buat aku, ya? Surprise apa, sih? Ulang tahun aku kan masih lama!
Ayah beliin aku apa, hayooo? Ayah sama Ibu bikin home theatre, ya? Ibu
sembunyi di home theatre itu, ya? Udah, Ayah berdiri aja. Kejutannya udah
ketahuan, nih! Hahaha ….”
Ayah menatapmu dengan ekspresi geram. Kamu masih sempat terbahak,
menganggapnya bercanda. Namun, kemudian Ayah menyergah, “Ibu kamu
meninggalkan kita! Dia kabur ke luar negeri karena selingkuhannya!”
“Selingkuhan apa, sih, Yah?! Kok Ayah ngomongnya ngawur gini?! Ibu
mana?!” Kamu jadi agak kesal karena tidak biasanya Ayah menaikkan
suaranya sampai setinggi itu.
Ayah seketika berdiri dan mencengkeram kedua bahumu. Dia berteriak
k

sambil mengguncang-guncang badanmu, “Ibu kamu pergi ke London nyusul


oo

si Henry! Dia selingkuh! Si jalang itu lebih milih si berengsek daripada kita!”
nb

Kamu tidak terima ibumu dipanggil jalang. Semua ini membuat aliran
darahmu berdesir terlampau kencang sampai-sampai jantungmu terasa siap
meledak. Informasi yang Ayah lontarkan mulai tertancap dalam benakmu
sebagai sebuah kenyataan, tetapi kamu tetap tidak mau menerimanya.
“Bohong!” kamu pun memekau sambil melepaskan kedua tangan Ayah
dari bahumu. Kemudian, kamu buru-buru berjalan ke luar kamar sambil
mengambil ponsel dan menelepon Ibu. Ponselnya tidak aktif.
Sambil berdiri di antara sofa dan televisi dalam ruang keluarga yang
terletak di depan pintu kamar orangtuamu, kamu langsung membuka aplikasi
chat dan mengetik pesan untuk Ibu.
Ibu di mana?
Ayah ngomongnya ngaco, nih.
Ibu cepat pulang.
Pesanmu hanya menunjukkan centang satu, maka kamu mengirim satu
pesan lagi dengan harapan kali ini akan mengubah ketiganya menjadi centang
dua.
Ibu di mana???
Namun, yang ini pun tetap hanya centang satu.
“Cepat bereskan barang-barangmu! Kita ke rumah Nenek sekarang,” ujar
Ayah.
“Ngapain ke rumah Nenek? Aku nggak mau ke rumah Nenek! Aku mau
nunggu Ibu pulang!” sahutmu.
“Ibumu tidak akan pulang!” seru Ayah.
Tangismu meledak, dan kini kamu mulai menjerit dan melolong, “Kenapa
Ibu ninggalin kita, Yah?! Ibu nggak mungkin ninggalin kita! Ibu nggak
mungkin ninggalin kita!”
k

Kamu berlari ke kamarmu dan membanting pintu, melepas tas dari pundak
oo

dan melemparnya begitu saja ke lantai, lalu melompat ke kasur. Kamu tersedu
nb

sedan, kepalamu buncah akan situasi ini. Pikiranmu belum berhasil mencerna,
tetapi perasaanmu sudah tahu bahwa situasi ini sangat buruk.
Pintu kamarmu terbuka dan kamu mendengar Ayah melangkah masuk. Dia
menghampirimu dan duduk di tepi tempat tidur sambil membelai rambutmu.
“Ve ….” Tangannya kini mengelus-elus dan sedikit memijat bahumu lembut.
“Tenang … Ayah masih di sini walaupun Ibu sudah pergi …. Ayah tidak akan
meninggalkan kamu, Ve.”
Kamu berbalik dan tergugu. “Ibu beneran pergi, Yah? Kenapa Ibu pergi?
Kenapa Ibu bisa tega gini ninggalin kita?”
“Ayah juga tidak tahu kalau selama ini ibumu menyembunyikan rahasia
dari kita,” jawabnya. “Sekarang, yang penting kita menenangkan diri dulu.
Kita pergi dari sini. Kita ke rumah Nenek. Nanti kita pikirkan ke depannya
harus bagaimana. Ayo, bereskan barang-barangmu.”
Masih tersedak tangismu sendiri, kamu mengangguk, lalu memeluk Ayah.
“Kenapa jadi kayak gini, sih, Yaaah …? Aku nggak percaya Ibu pergi gara-
gara Henry ….”
Ayah tidak mengatakan apa pun kali ini. Dia hanya sebentar mengusap
punggungmu, kemudian beranjak pergi. Ayah keluar dari kamarmu dan
menutup pintu. Kamu kembali menelungkup dan memeluk bantal, lantas
menangis lebih keras. Tidak pernah terlintas di benakmu bahwa kamu akan
pulang pada keadaan buruk yang menghancurkan keluargamu seperti ini.

Kemarin, kamu turun dari ojek di depan gerbang utama tempat kerja Ibu,
sebuah universitas populer yang amat bergengsi di kota ini. Kamu berjalan
menuju kampus School of Business dan langsung memasuki ruangan dosen.
Kamu suka berada di kampus ini karena menguarkan energi positif. Ibu
adalah dosen yang mengajar para mahasiswa di Jurusan Kreativitas dan
Manajemen Inovasi.
“Halo, Ve! Mau ketemu Ibu, ya? Ibu Wineu masih meeting. Kamu silakan
k
oo

tunggu di situ aja,” sapa resepsionis begitu melihatmu memasuki ruangan


nb

dosen. Tangannya memberi isyarat agar kamu duduk di sofa yang disediakan
di depan ruang rapat.
Kamu tersenyum dan mengangguk, lalu mengirim pesan untuk Ibu,
memberitahunya bahwa kamu telah tiba. Sepuluh detik kemudian, Ibu muncul
dari ruang rapat. “Ve! Ayo masuk!” serunya begitu melihatmu.
Kamu mengikuti ibumu, dan melihat hanya ada satu orang perempuan lain
seusia Ibu.
“Barusan aku ngobrol dengan Tante Utta. Nanti Tante Utta yang akan jadi
dosen penggantiku selama aku studi Ph.D. di London,” kata Ibu.
Tante Utta adalah teman baik Ibu. Dia satu tahun lebih dulu menjadi
dosen. Tante Utta bangkit dari kursinya dan menyalamimu sambil menyapa
dengan ramah, “Halo, Ve. Bagaimana kabarmu hari ini?”
“Baik, Tante,” jawabmu.
“Duduk dulu, Ve. Aku ambilkan minum dulu. Air putih kayak biasa?”
tanya Ibu.
“Iya, air putih aja, Bu. Nggak dingin. Makasih,” timpalmu seraya duduk di
salah satu kursi kosong yang mengelilingi meja pertemuan.
“Oke.” Ibu beranjak ke meja minuman di sudut ruangan. Sementara itu,
Tante Utta telah kembali duduk dan kini menaruh perhatian kepadamu.
“Ve lagi sibuk persiapan kuliah, ya? Sekarang sudah sampai mana
persiapannya?” tanya Tante Utta.
“Aku lagi belajar buat IELTS, Tante. Tesnya bulan depan.”
“Harus dapat berapa skornya? Kamu mau masuk jurusan apa?”
“Enam-setengah. Aku mau ambil Media and Communications.”
“Wah, keren! Nanti kampusnya sama dengan Ibu, ya?”
“Iya, Tante.”
“Jurusannya sama juga seperti Ibu dulu?” Tante Utta lalu menoleh kepada
k
oo

Ibu yang berjalan mendekat sambil membawa segelas air minum untukmu.
nb

“Neu, dulu kamu waktu kuliah di London jurusan apa, sih?”


“MA Innovation in Media and Entertainment. Kemarin kami sudah cari
tahu soal jurusan S-1 di sana dan mempelajari modulnya buat pertimbangan.”
Ibu menaruh gelas berisi air minum itu di hadapanmu. Kemudian, dia
menoleh lagi kepada Tante Utta. “Ve sudah yakin mau pilih jurusan BA
Media and Communications. Sekarang tinggal coba daftar ke sana.”
“Good. Semoga lancar persiapannya, ya, Ve. Terus berangkat ke London,
deh!” ujar Tante Utta, tersenyum lebar. Perempuan itu kemudian menutup
laptop di hadapannya dan mengambil tasnya. “Sudah semua, ya, Neu? Aku
mau balik ke ruangan.”
“Sudah, sudah. Terima kasih banyak, ya, Ta. You help me a lot!” sahut Ibu.
“No problem,” kata Tante Utta, siap pergi membawa tas dan laptopnya.
“Lancar dan sukses Ph.D.-nya, ya, Neu!”
“Thank you, Ta. See you later!” Ibu melambaikan tangan, kemudian
beralih kepadamu dengan senyum lebar. “Sudah tahu mau cat rambut warna
apa kali ini?”
Kamu pun menyengir, lalu mengangguk pasti. “Merah ombre!”

Ibu akan mengecat rambutnya dengan warna ungu ombre. Kalian duduk
bersebelahan dalam salon, berbincang sementara para kapster mengganti
warna rambut kalian. “Gimana tadi brunch sama Onya? Dia mau kuliah di
mana?” tanya Ibu.
Kamu mengerang sambil memutar bola mata. “Di kampus Ibu. Ternyata
dia ngajak aku brunch sama gengnya yang berisik itu ujung-ujungnya cuma
buat maksa aku bilang ke Ibu, ‘minta tolong’ biar dia bisa lolos ke School of
Business dengan mudah. Lewat jalur belakang.” Kamu membuat gestur tanda
kutip dengan kedua tanganmu.
Ibu tertawa. “Ya nggak bisa. Bilang ke Onya, belajar saja supaya lolos
seleksi masuk.”
k
oo

“Iya, aku juga udah bilang gitu! Tapi dia emang malas belajar. Makanya
nb

dari kelas sebelas juga aku udah malas main sama dia,” ujarmu. “Kemarin tuh
dia ngajak brunch bilangnya mau ngomongin persiapan kuliah. Katanya, biar
ada ‘teman’ diskusi soal persiapan masuk kampus. Ya aku pikir bakal jadi
belajar bareng, bahas materi ujian masuk, atau bahas matkul yang nanti bakal
kami pelajari. Eh, ternyata apa coba yang mereka bahas selama brunch?”
“Maksa kamu buat bilang ke aku supaya bantuin Onya masuk School of
Business lewat jalur belakang?” tebak Ibu.
“Ujung-ujungnya. Tapi, selama brunch juga aku terganggu banget sama
mereka yang cuma ngomongin ‘cowok-cowok di kampus ini keren-keren’,
‘cewek-cewek di kampus itu punya free pass ke club yang paling bergengsi’,
‘senior di kampus ini tajir-tajir’. ‘Gimana caranya jadi pacar mereka terus jadi
populer di kampus.’ ‘Kita harus belanja baju baru yang banyak, supaya nanti
tiap hari kelihatan keren dan jadi pusat perhatian.’ Nggak ada omongan bahas
matkul dan buku bacaannya! Please, deh! Aku pusing sama mereka! Nyesel
aku nerima ajakan Onya!”
Ibu terbahak melihat sikapmu yang ekspresif saat menceritakan ulang
pengalaman brunch bersama geng cewek populer dari SMA-mu itu.
“Makanya aku langsung pamit. Begitu Onya tanya, ‘Ve, habis ini mau ke
mana?’ Aku langsung bilang, ‘Aku mau ke perpustakaan Akar!’ Terus dia
bilang, ‘Ih, udah lulus masih aja ke perpus! Boring banget, sih!’ Aku langsung
defense, dong! Perpus Akar itu kan tempat nongkrong paling keren di kota
ini! Tapi tetap aja mereka nyindir karena aku suka nongkrong di perpus. Tapi,
bagusnya, Onya nggak jadi ngintilin aku!”
Ibu tertawa. “Nanti sore pestanya Akar mulai pukul lima, ya?” tanyanya
setelah mengecek jam tangan.
“Iya, Bu. Aku udah nggak sabar. Pesta ulang tahun library café-nya Akar
yang pertama pasti seru banget!” ujarmu.
Library café Akar merupakan penambahan dari perpustakaan yang sudah
didirikan mami Akar dua puluh tahun lalu saat perempuan itu masih kuliah.
k

Akar menambahkan kafe agar para pengunjung bisa membaca buku sambil
oo

mengudap dan menyesap kopi sore.


nb

“Nanti di pestanya bakal ada kembang api, terus sesi pembacaan novel
sambil membahas semantik. Bakal ada penulis favorit aku juga di sana! Duh,
aku udah nggak sabaaar!” tuturmu bersemangat.
Ibu mengikik geli. “Tenang, tenang … selesai dari sini, aku langsung antar
kamu ke sana.”

“Selamat bersenang-senang!” seru Ibu seraya melambaikan tangannya dari


balik kemudi mobil saat kalian sampai di tempat acara. Kamu balas melambai
dari tempatmu berdiri di halaman depan rumah keluarga Akar. Ibu tidak
menutup jendela sebelah kiri depan mobilnya sampai bergerak pergi agar
masih bisa melihatmu. Kamu pun tidak lepas memandangi mobilnya sampai
menghilang di kejauhan.
Itulah kali terakhir kamu melihat Ibu.
Kamu membuka mata dan mendapati mobil yang disetir Ayah kini bergerak di
jalan raya yang tidak terlalu ramai. Kios-kios kumuh mengapit kiri kanan
mobil yang kamu tumpangi, berselang-seling dengan lahan hijau yang luas,
dengan patok dan papan kayu yang memberi tanda kepemilikan.
Kamu mengecek ponselmu, dan pesan untuk Ibu masih bercentang satu.
Kamu ingin coba menelepon Ibu lagi, tetapi merasa tidak enak kepada Ayah.
Kamu menoleh. Ayah sempat tersenyum kepadamu sebelum perhatiannya
kembali pada arah laju mobil. Mungkin nanti kamu akan mencoba
melakukannya lagi ketika tidak sedang bersama Ayah. Kamu tahu Ayah pasti
sedang sakit hati sekali, dan kamu pun merasa butuh waktu sebelum
mendiskusikan kejadian ini lagi. Untuk sekarang, kamu lebih baik mencari
tahu lebih jauh tentang keputusan Ayah pergi ke rumah Nenek.
“Ayah, berapa lama kita di rumah Nenek?” tanyamu.
“Sampai Ayah merasa tenang, ya. Kamu juga temani Ayah. Ayah butuh
kamu,” katanya.
k
oo

“Aku cuma bawa sedikit baju sama buku. Kalau aku butuh barang-barang
nb

yang lain di apartemen, gimana?”


“Nanti Ayah ambilkan. Yang penting kamu tinggal di rumah Nenek dulu
sama Ayah.”
Kamu ingin Ayah tetap bisa tersenyum, maka kamu mengiakan. Kamu pun
merasa ada baiknya menjauh dari kesibukan kota demi mencerna peristiwa
mengejutkan ini.
Kamu perlu memberi tahu Akar dan langsung mengirim pesan singkat
kepada satu-satunya sahabatmu itu. Akar sepertinya amat terkejut ketika
menerima pesan darimu karena dia membalas pesanmu hanya dalam hitungan
detik: Ve, kenapa kemarin kamu nggak bilang?
Kamu membacanya dan menghela napas panjang. Kemarin, kamu bahkan
tidak pernah membayangkan keluargamu akan hancur dalam sekejap.
Kemarin, kamu pamit untuk menginap di rumah Akar, dan Ibu mengantarmu
tanpa memberi petunjuk apa pun atas kepergiannya. Kamu bersenang-senang
sepanjang malam di pesta itu, termasuk dengan lantang dan ceria
membacakan penggalan novel-novel Indonesia populer untuk tamu-tamu
Akar yang lain, dan menyalakan kembang api di taman belakang
perpustakaan. Lalu, kamu tidur nyenyak karena kekenyangan. Kenyang
makanan dan kenyang kebahagiaan. Saat itu, sama sekali tidak terlintas dalam
benakmu bahwa kamu akan pulang dan mendapati ibumu memanfaatkan
waktu saat kamu tidak ada di rumah untuk meninggalkan kalian.
Kamu mengunci ponselmu tanpa membalas pesan dari Akar. Kamu
memandang ke luar jendela yang terbuka di sebelah kiri, membiarkan angin
sepoi-sepoi mengembus mukamu yang terasa panas. Kamu ingat menyimpan
sebotol air minum dalam tas selempangmu, mengambilnya, lalu meneguk air
banyak-banyak. Dadamu terasa seperti tersedak udara yang semestinya
membuatmu tetap hidup. Sebisa mungkin kamu mengontrol pikiran agar tidak
melumpuhkan dirimu sendiri.
Namun, kamu tidak bisa berhenti memikirkan tragedi itu. Setelah seumur
k

hidupmu diisi kebahagiaan, kamu tidak pernah mengira Ibu akan


oo

menganggapmu pantas untuk ditinggalkan. Untuk kali pertama dalam


nb

hidupmu yang sempurna, kamu merasa tidak dicintai oleh ibumu sendiri.
Pahlawanmu itu ternyata penjahat.

Rumah tua berdinding bata ekspos yang dicat putih ini telah lama sekali tidak
kamu datangi. Kamu tahu betul, Ibu lebih suka hidup mandiri sebagai sebuah
keluarga, dengan urusan sehari-hari yang tidak dicampuri orang lain di luar
keluarga inti. Sejak masih muda, Ibu memang ingin membentuk dan
membangun keluarganya sendiri. Maka, sejak menikah, Ibu dan Ayah
langsung tinggal di apartemen yang dibeli Ibu di pusat kota. Kamu mengenal
orangtua mereka. Namun, nenek, kakek, serta keluarga besar mereka tidak
pernah menjadi orang yang berperan penting dalam kehidupanmu sehari-hari.
Kamu pun tidak pernah akrab dengan Nenek Unung, ibunya Ayah. Sikapnya
baik-baik saja tiap kali kamu bertemu dengannya. Namun, dia bukan
seseorang yang ingin kamu kunjungi sering-sering. Jika kini bersama Nenek
bisa menghibur hati Ayah yang telah patah, kamu rela menemaninya di sini.
Nenek berdiri di depan pintu, menyambut kedatanganmu dan Ayah siang
hari ini. Dia memeluk Ayah erat-erat, kemudian merengkuh pipi Ayah dengan
kedua tangannya. Nenek menatap mata Ayah lekat-lekat, sementara Ayah
memejam penuh rawan, seolah meresapi momen kepulangannya yang berasal
dari kepedihan. Lalu, Nenek melepaskan tangannya dari Ayah, dan beralih
memandangimu dengan senyuman yang teramat lebar.
“Selamat datang di rumah,” kata Nenek, seraya mengulurkan kedua
lengannya.
Kamu mengulum senyum dan masuk ke pelukannya.[]

k
oo
nb
Situasi Emosi #2:

Limbung

NENEK TELAH menyiapkan makan siang sebelum kalian sampai. Berbagai


macam lauk-pauk disajikan di meja makan, termasuk tempe bacem kesukaan
Ayah. Kamu menaruh tas di sofa ruangan tempat menonton televisi, dan
mengikuti ajakan Ayah untuk langsung ke dapur. Kalian bertiga duduk
mengelilingi meja makan yang terletak dalam area dapur. Wajah Ayah tampak
lebih cerah setelah duduk di meja makan. Dia makan dengan lahap dan kamu
senang melihatnya.
k
oo

“Ve, Nenek senang sekali Ve ke sini,” kata Nenek, membuka pembicaraan


nb

denganmu.
“Aku juga senang, Nek,” jawabmu.
“Ve nanti tidur di lantai dua, ya,” lanjut Nenek, tersenyum lebar
kepadamu. “Kamar yang biasa Ve pakai istirahat.”
“Iya, terima kasih, Nek ….”
“Ve yang betah ya di sini …. Nenek senang sekali Ve tinggal di sini,
menemani Nenek. Nenek jadi tidak sendirian lagi, deh.”
“Iya, Nek. Sambil aku belajar buat persiapan kuliah.” Kamu menekankan
bahwa kamu tidak bermaksud tinggal di rumah ini selamanya. Kamu punya
rumah dan rencana kehidupan sendiri.
“Kuliah apa? Bukannya kamu tidak jadi ke luar negeri?” kata Nenek.
“Yaaa—” Kamu melirik Ayah sejenak untuk mencari dukungan.
“Mungkin kuliah di sini aja, Nek. Nanti aku tinggal cari jurusan sama kampus
yang cocok.”
“Tidak usah buru-buru! Nanti saja! Ve sudah lulus SMA, ‘kan? Itu sudah
cukup. Sekarang tinggal di sini saja, temani Nenek, ya?” ujar Nenek. “Selama
ini Nenek tinggal sendirian, lho. Kalau ada Ve, Nenek jadi tidak kesepian lagi
….”
Kamu berpaling kepada Ayah lagi, sungguh berharap Ayah akan bicara
untuk membelamu. Apa pun yang terjadi, kamu ingin tetap kuliah walaupun
pada akhirnya tidak jadi pindah ke luar negeri. Kamu tidak ingin jadi anak
lulusan SMA yang sehari-hari diam saja di rumah, tinggal di daerah asing,
dan hanya berinteraksi dengan neneknya.
“Iya, sementara kita tinggal di sini saja dulu,” kata Ayah.
“Nah, begitu, dong. Ini kan rumah kalian juga,” sahut Nenek, seraya
menyodorkan sekali lagi piring tempe bacem yang sudah berkurang
setengahnya kepada Ayah.
Ayah mengambil banyak sekaligus, sangat bersemangat dan bernafsu
k

makan. Sedangkan kamu jadi malas-malasan menyendok nasi dan lauk dari
oo

piringmu. Nenek menaruh piring tempe bacem kembali ke tengah meja


nb

makan, dan perhatiannya beralih pada piringmu.


“Tambah lagi nasinya,” katanya, langsung meraih bakul dan menyendok
nasi.
Kamu tersenyum agar tetap terlihat sopan. “Nggak usah. Makasih, Nek.”
“Eeeh, masa makannya sedikit begitu?! Ayo, tambah lagi!” desak Nenek,
siap menaruh satu centong penuh nasi ke piringmu.
Kamu cukup terganggu dengan pemaksaan semacam ini. Meski kecil,
sesungguhnya sejak tadi banyak interaksi yang mengusik teritorial pribadimu.
Kamu sudah memiliki rencana hidupmu sendiri, kamu pun tahu porsi
makanan yang cukup untuk tubuhmu sendiri. Desakan ini tampak sebagai
suatu kewajaran, tetapi pada hakikatnya berarti pemaksaan kehendak dan
serangan terhadap tubuhmu. “Makasih, Nek. Nanti kalau mau tambah, aku
pasti ambil sendiri,” tolakmu sopan.
Sambil masih memegangi bakul nasi, Nenek menatapmu tajam. Ayah ikut
melirikmu dengan sorot sengit, tetapi terus pura-pura tenang menyendok
makanannya.
“Ve kan tahu, tidak boleh membantah apa kata orang tua.” Nenek
tersenyum lebar.
“Tahu, Nek. Tapi, aku lebih tahu apa yang aku butuh buat tubuhku.” Kamu
balas tersenyum.
Nenek menaruh centong nasi, kemudian berbicara lagi, “Ve, apa kamu
ingat, apa yang Nenek ceritakan sejak kamu masih kecil? Tentang Bapak ….”
“Iya, aku ingat, Nek .…”
“Harus ingat, kata Bapak Saya, perempuan baik-baik itu tidak pernah
melawan orang tua. Orang tua pasti paling tahu apa yang terbaik. Kalau
melawan terus, nanti hidupmu sengsara, lho,” lanjut Nenek, diakhiri dengan
senyuman simpul.
Kelopak matamu melebar ke arah piringmu, praktis merasa tidak percaya
k
oo

ada topik pembicaraan tidak penting begini muncul di meja makan. Orang
nb

yang lebih tua tidak otomatis menjadi paling tahu apa yang terbaik untuk
orang selain dirinya. Selama ini, pola pikir itulah yang telah kamu pelajari
dari Ibu, dan kamu lebih setuju pada pemikirannya. Tidak perlu ada paksaan
yang dibalut ancaman.
Akhirnya, kamu hanya tersenyum lebar sambil mengangguk canggung.
Lalu, kamu kembali menunduk fokus pada piringmu.
Namun, tiba-tiba saja, setumpuk nasi ditumpahkan dari centong ke
piringmu. Kamu mendongak, menatap Nenek yang memegangi bakul nasi
serta centongnya.
“Kata Bapak Saya, anak perempuan tidak boleh melawan orang tua. Ayo,
dimakan sampai habis,” kata Nenek, tersenyum lebar kepadamu.

Tidak banyak perabot di kamar tamu yang kamu tempati, hanya ada tempat
tidur, lemari, dan meja rias dengan model kuno di atas hamparan karpet persia
yang berbau debu. Usia semua benda itu lebih tua daripada umurmu sendiri.
Ruangannya berbau apak dan pengap, khas ruangan yang tidak pernah
ditengok selama berbulan-bulan. Kamu menaruh koper di tengah ruangan,
lalu menyandarkan punggung ke bingkai tempat tidur. Pandanganmu
langsung tertuju pada sebuah foto dalam pigura kuno berwarna emas.
Sepanjang ingatanmu, setiap kali menginap di sini, foto hitam putih yang
menampilkan pria tua berwajah kotak dengan rahang tajam itu selalu ada di
sana. Raut mukanya galak, dan cerita-cerita yang terus dibagikan
mengenainya memang tidak pernah lepas dari kenangan akan sikapnya yang
kaku dan pemarah. Semua orang di sini memanggilnya “Bapak”.
Bapak adalah kakek buyutmu, ayah Nenek Unung. Kamu tidak pernah
bertemu dengannya karena dia sudah meninggal dunia, bahkan sebelum Ayah
menikah dengan Ibu. Namun, semua orang di sini tampak masih sangat
merayakan kekuasaannya. Bapak amat dihormati di daerah permukiman ini,
terutama di sepanjang gang tempat tinggalnya. Bapak adalah tokoh yang
disegani, tetapi kamu tidak pernah tahu pasti apa prestasinya. Hanya saja,
k

semua orang di sini telah dibiasakan untuk percaya bahwa Bapak adalah
oo

orang hebat dan dihormati. Kata-katanya selalu dituruti. Bahkan, kata Nenek,
nb

gang tempat rumahnya berada ini juga disebut “Gang Bapak Embing”.
Kamu mengecek ponsel, membuka aplikasi pesan dan mendapati Ibu
belum juga membaca pesan darimu. Ibu juga tidak meng-update akun sosial
medianya. Kamu menghela napas, lalu membongkar tas untuk mengambil
peralatan mandimu.
Mandi membuat tubuh dan kepalamu terasa lebih segar. Kamu
memutuskan untuk mengisi waktu dengan mempelajari buku latihan IELTS.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di rumah ini. Meskipun ini rumah
keluargamu juga, gerak-gerikmu terasa canggung, tidak seperti di apartemen
tempat kalian tinggal. Kamu memeluk buku-buku yang kamu perlukan dan
pergi ke halaman belakang. Kamu menemukan ayahmu duduk di sofa yang
terletak di bawah tangga, menonton televisi dengan serius. Di rumah kalian,
Ayah adalah satu-satunya orang yang senang menonton televisi. Kamu dan
Ibu lebih senang membaca atau berdiskusi tentang ilmu pengetahuan dan
penemuan-penemuan baru di bidang sains. Ayah menimpali sesekali hanya
demi dilibatkan dalam pembicaraan kalian, tetapi seringnya dia pamit tidur
duluan.

Kamu duduk di salah satu kursi kayu di teras belakang. Pintunya yang
terhubung dengan dapur kamu biarkan terbuka. Kamu sedang asyik membaca
ketika mendengar langkah kaki seseorang yang kemudian berhenti di sebelah
kirimu. Kamu menoleh. Nenek.
“Sedang apa, Ve?” tanya Nenek.
“Baca buku, Nek,” katamu sambil membalik lembaran halaman
berikutnya.
Nenek mengintip tulisan pada halaman bukumu, tidak mampu
memahaminya sebab ditulis dalam bahasa Inggris. Dia mendengus. “Hati-
hati, lho, Ve ….”
Kamu keheranan. “Kenapa, Nek?”
k
oo

“Buku itu banyak bahayanya. Banyak yang menyesatkan.”


nb

“Ini buku buat persiapan ujian IELTS,” katamu. Lagi pula, kamu tidak
setuju buku dituduh begitu. Kamu memperoleh banyak ilmu dan merasakan
manfaat yang memperluas wawasan dari membaca serta memahami
bobotnya. Bahkan, kalimat yang terkesan mengalun sempurna dalam
benakmu ketika kamu membacanya pun bisa seketika membuat hatimu
mencelus dan terpesona.
“Ujian apa?” tanya Nenek.
“IELTS, skor kemampuan berbahasa Inggris. Salah satu syarat buat daftar
kuliah di Inggris,” jawabmu.
“Untuk apa baca itu? Kamu kan tidak jadi ke luar negeri,” kata Nenek.
“Ya nggak apa-apa. Tanggung, aku pengin lanjut pelajari ini,” timpalmu.
Setelah kepergian Ibu, semua rencana kuliahmu di London memang
seketika buyar. Kamu sesungguhnya tidak ingin itu dibatalkan. Kamu masih
ingin kuliah di Inggris. Kamu berharap suatu saat Ibu akan menghubungimu
dan mengajakmu pindah ke sana menyusulnya.
“Anak perempuan kok malah buang-buang waktu buat baca buku. Lebih
baik bikin minum, tuh, buat ayahmu,” kata Nenek, membuyarkan
lamunanmu.
“Kalau Ayah mau minum, dia pasti ambil sendiri, Nek …,” sahutmu,
kembali fokus pada halaman buku yang terbuka di tanganmu.
Nenek menghela napas panjang sambil memejam. Kemudian, dia
membuka mata dan duduk di kursi kosong di sampingmu.
“Dulu juga Nenek suka baca …,” Nenek bercerita tanpa diminta.
“Oh, ya? Baca apa, Nek?” tanyamu, berpaling dari halaman buku
kepadanya.
“Baca buku dongeng …. Tapi, kemudian Nenek lebih suka didongengi,
mendengar cerita dari Bapak. Cerita yang paling melekat di pikiran Nenek
adalah tentang tukang tenung,” kata Nenek.
k
oo

“Tukang tenung itu apa?” tanyamu.


nb

“Perempuan yang licik dan jahat, sukanya nyirep laki-laki supaya jadi
makhluk yang rendah. Selalu menyerang dan bikin onar. Di sini dulu banyak.
Dulu, Bapak sering direpotkan dengan adanya tukang tenung itu. Banyak
keluarga yang punya ciri-ciri ini pada anak-anak mereka, sesuai dengan
penjelasan dari Bapak. Mereka meminta agar anak-anak perempuan mereka
dimurnikan karena menyusahkan keluarga. Sampai mengganggu ketenangan
masyarakat juga. Bapak dulu selalu menyelamatkan orang-orang itu, dan
mencegah kehadiran tukang tenung berikutnya di sini. Semua warga jadi
patuh sama Bapak. Makanya, buyut kamu itu amat dihormati di sini. Jadi,
lebih baik kita juga terus mengikuti peraturan hidup Bapak agar selamat.”
“Wow … itu beneran terjadi di sini, Nek?” Kamu terperangah menyimak
ceritanya.
“Iya. Coba pinjam buku kamu, Nenek mau lihat,” kata Nenek, menunjuk
buku di tanganmu.
Kamu spontan menyerahkannya. Dia melihat-lihat isi buku itu sebentar,
lalu menutupnya. “Ayo, bikin minum untuk ayahmu.” Nenek menoleh dan
menepuk pundakmu.
Kamu agak kaget, tetapi langsung menjawab, “Iya, Nek ….”
Kamu pun beranjak ke dapur.

Kamu memegangi nampan hitam dengan kedua tangan. Di atasnya, terdapat


cangkir putih bermotif bunga-bunga mungil warna hijau, dengan pisin
bercorak sama. Kamu membawa secangkir teh itu untuk Ayah yang masih
duduk di sofanya.
“Wah, Ve, tumben bikin minuman buat Ayah,” komentarnya, sampai
berpaling dari layar televisi.
“Iya. Semoga Ayah memang mau minum teh hangat,” katamu seraya
menyerahkan cangkir itu kepadanya.
k
oo

“Terima kasih.” Ayah menerimanya dan menyeruput teh itu. “Pahit.”


nb

“Emang nggak aku kasih gula. Kan lebih sehat, kata Ibu juga—” Kamu
langsung merasa tidak enak menyebut soal Ibu. Ayah segera menaruh cangkir
itu di atas meja kecil samping sofa dan kembali menatap layar televisi.
Kamu duduk dengan gelisah di sebelahnya sambil memeluk nampan,
kemudian ragu-ragu bertanya, “Yah, sekarang … kuliah aku gimana? Kuliah
di sini juga nggak apa-apa.”
“Soal kuliah nanti dulu, ya …. Sekarang Ayah lagi banyak pikiran,”
jawabnya, terpaku pada layar.
Kamu menunduk lunglai, lalu pergi untuk kembali ke dapur. Kamu
menaruh nampan dengan pikiran yang ribut dan hati yang sedih. Rencana
kuliahmu betul-betul jadi tersendat. Sepertinya, kamu tidak akan langsung
kuliah tahun ini.
Namun, kamu tetap akan terus belajar, sebab kamu masih punya harapan.
Kamu berharap, dalam waktu dekat, Ibu akan mengontakmu dan menjelaskan
alasan kepergiannya. Ibu pasti akan terus memperjuangkan keinginanmu
untuk sekolah lebih tinggi.
Kamu keluar lewat pintu di belakang meja makan yang mengarah ke
halaman belakang. Nenek sudah tidak ada di kursi teras itu. Namun, kamu
melihat bukumu tergeletak di tanah. Kamu buru-buru memungutnya dengan
terkejut. Sambil membersihkannya dari serpihan tanah, kamu mengamati
buku itu. Apa buku ini tadi terjatuh? Kamu pikir, Nenek tidak mungkin
sengaja membuangnya.[]

k
oo
nb
Situasi Emosi #3:

Sedih

KAMU MENANGIS semalaman. Foto Bapak di seberang tempat tidur seolah


menjadi saksi bisu saat kamu mencurahkan perasaan rindumu kepada Ibu.
Kamu kesal sekali atas sikap Ibu, tetapi kamu juga ingin tahu, sesungguhnya
apa yang membuat Ibu tiba-tiba pergi? Kapan dia akan menghubungimu?
Meski menonton film kesukaanmu dari ponsel, berada di kamar ini tidak
membuatmu betah. Kamu juga merasa bosan. Kamu ingin berada di tempat
yang membuatmu bahagia. Kamu ingin berada di perpustakaan Akar.
k
oo

Pada Senin pagi, Ayah berangkat bekerja seperti biasa. Sekarang, jarak
nb

yang ditempuhnya untuk mencapai kantor perusahaan interior tempatnya


bekerja semakin jauh sehingga dia harus pergi lebih pagi. Setelah terdengar
Ayah keluar dari rumah, kamu pergi mandi. Selesai bersiap-siap, kamu pun
memesan taksi online. Permintaanmu diterima oleh seorang sopir yang
lokasinya tidak jauh dari sini. Sekarang kamu tinggal berjalan ke jalan raya
sebab mobil tidak bisa masuk ke Gang Bapak. Mobil Ayah saja diparkir di
lapangan tepi jalan raya. Lalu, kamu mencari-cari Nenek untuk berpamitan
kepadanya. Namun, Nenek tidak terlihat di mana-mana, dan pintu depan pun
tidak dikunci. Kamu pergi tanpa berpamitan, lalu meluncur menuju daerah
apartemenmu.

Rumah Akar terletak di jalan yang sama dengan apartemenmu, di mulut


cabang jalan yang menganga ke jalan raya. Setelah menyusuri jalan hingga
agak ke dalam, barulah kamu mencapai rumah Akar. Ada sebuah tiang
dengan lampu kuning berkedap-kedip di depan gerbangnya, menjadi petunjuk
bagi orang-orang yang hendak berkunjung.
Kamu menyeberangi halaman depan dan memasuki perpustakaan yang
berada di bagian depan rumah. Perpustakaan ini telah dibuka untuk umum
sejak mami Akar masih kuliah jurusan Sastra Indonesia. Dan hingga sekarang
tetap menjadi tempat nongkrong anak-anaknya dan teman-teman mereka.
Kamu menyapa seorang perempuan muda yang duduk di belakang meja kasir,
tempat orang-orang meminjam dan mengembalikan buku atau membayar
makanan dan minuman pesanan mereka. Kemudian, kamu terus berjalan
melewati lemari-lemari penuh buku, film, dan album musik, serta meja-meja
kayu yang sedang penuh oleh pengunjung. Keluar di teras belakang
perpustakaan, kamu menghadap sebuah paviliun mungil yang terletak di
seberang taman belakang yang dilapisi rumput hijau yang rapi dan dihiasi
petak-petak bunga tapak dara berwarna ungu. Akar, seperti biasa, sedang
duduk dan membaca di teras paviliun yang terletak di taman belakang
perpustakaannya.
Cowok itu segera melihatmu dan melambai. “Hai, Ve!” serunya, seraya
k

menaruh buku di meja kecil di samping kursinya.


oo

Kamu balas melambai, melompati teras belakang perpustakaan, dan


nb

menyeberangi taman ini sampai paviliun Akar.


“Mau kopi?” Akar menawari, begitu kamu tiba di teras paviliunnya.
“Mau. Biasa,” jawabmu, seraya menarik kursi lain ke samping Akar.
“Bentar, ya.” Akar beranjak menghampiri seorang pelayan yang baru saja
mengantar minuman untuk pengunjung yang sedang membaca buku di teras
belakang perpustakaan.
Cowok itu memberi tahu sang pelayan bahwa kamu ingin kopi susu hangat
dan tempe mendoan, seperti pesananmu biasanya. Ketika Akar kembali ke
teras paviliun, kamu telah duduk di kursi yang hanya dipisahkan dari kursi
Akar oleh meja kecil.
Akar duduk di sana dan menatapmu prihatin. “Mata kamu bengkak
banget.”
“Iya ….” Kamu tahu, memakai eye shadow cokelat dan eye liner hitam
tebal-tebal tidak bisa menyembunyikan bukti kamu menangis hebat
semalaman.
“Ve, kenapa kamu harus tinggal di rumah nenek kamu?” tanya Akar.
Kamu menggosok-gosok wajahmu yang mulai terasa panas dan siap
mengucurkan air mata lagi. Namun, kamu sungguh tidak mau menangis di
sini.
“Ibu pergi, Kar …,” jawabmu, pelan.
Akar terkejut. “Pergi? Sori, maksudnya … meninggal?”
Kamu menatap cowok itu dengan bibir bergetar menahan kesedihan.
“Worst. Ibu pergi nyusul selingkuhannya ke London. Aku malu banget, Kar
…. Aku malu, marah, sedih, kaget. Perasaanku campur aduk nggak keruan.”
Akar semakin terperangah. “Gimana ceritanya?!”
“Waktu aku balik dari party kamu kemarin, aku lihat Ayah duduk di lantai
k

kamarnya. Baju-baju berantakan, barang-barang berserakan. Pikiran Ayah


oo

kelihatannya kosong. Ah, pokoknya kacau banget, deh! Terus Ayah bilang Ibu
nb

pergi pas aku lagi nggak di rumah. Katanya Ibu pergi ke London, mau tinggal
sama cowok selingkuhannya di sana …. Aku nggak tahu harus gimana, Kar.
Aku malu banget.” Kamu menutupi wajah, tidak ingin Akar melihat air mata
yang sekonyong-konyong mengalir deras.
Akar melongo. “Kok bisa tiba-tiba gini? Jadi … ibu kamu punya
selingkuhan … di London?”
Kamu mengangkat kepala dan kembali menatap Akar tanpa mengusap
dulu pipimu yang basah. “Temannya yang pernah aku ceritain ke kamu! Yang
pernah main ke sini!”
“Oh … yang orang Inggris itu? Teman ibu kamu waktu dulu kuliah Master
di London? Yang sekarang jadi dosen di kampus mereka di sana?”
“Iya … yang pernah ke sini buat penelitian di kampus Ibu, yang ngajak
Ibu kuliah S-3 di London …. Makanya, aku juga pernah cerita sama kamu,
‘kan, aku belum daftar kuliah sampai sekarang karena nanti aku bakal kuliah
di London. Di kampusnya Henry, sekalian Ibu juga Ph.D. di sana.” Kamu
menambah informasi untuk mengingatkan Akar kepada sosok itu.
“Iya, aku ingat dia. Waktu kalian ajak ke sini juga aku lumayan ngobrol
banyak sama dia. Ternyata … ibu kamu selingkuh sama dia?” Akar
memastikan. Kemudian pandangannya bergerak ke sekitar, menyadari bahwa
siang ini sedang banyak tamu di area teras perpustakaannya. Lantas, dia
menawarkan tempat yang mungkin bisa membuatmu lebih leluasa bercerita.
“Ve, mau di dalam aja?” Akar menunjuk pintu kaca yang terbuka di
belakang kursinya.
Kamu mengangguk pelan. Para pengunjung di sekitar mulai menaruh
perhatian kepadamu yang tampak histeris. Kamu beranjak dari kursi teras dan
memasuki paviliun.
Ada dua lemari penuh buku, film, dan album musik di dalam sini.
Lengkap dengan sebuah layar besar dan dua pelantang untuk menonton film.
k

Sebuah sofa merapat ke dinding sebelah kiri lemari, menghadap pintu ganda
oo

yang terbuat dari kaca. Seluruh dindingnya memang berupa kaca, tetapi orang
nb

di luar tidak bisa melihat ke dalam. Lantai paviliun terbuat dari kayu dan
setengah bagiannya dilapisi karpet yang lembut. Pemandangan di hadapannya
adalah rumah keluarga Akar, dipisahkan oleh taman belakang yang tidak
terlalu besar. Perpustakaan yang terbuka untuk umum ada di sebelah kiri
paviliun ini. Kamu duduk di sofa dan menyandar hingga punggungmu terasa
nyaman. Akar menyusul sambil membawa kopi susu hangat dan sepiring
tempe mendoan yang barusan diantar seorang pelayan. Dia menaruh
keduanya di meja depan sofa, lalu bergabung duduk di sampingmu.
“Minum dulu,” kata Akar.
“Makasih,” ujarmu seraya mengambil cangkir dan menyesap sedikit.
Kamu merasakan kopi kental bercampur susu itu melewati kerongkonganmu
dan merasa sedikit lebih baik. “Aku nggak tahu apa-apa, Kar. Aku nggak
pernah nyangka kalau mereka … selingkuh ….” Kamu mendesah putus asa.
“Padahal, selama ini Henry baik banget sama aku …. Apa dulu waktu mereka
kuliah bareng juga pernah pacaran kali, ya? Terus Ibu nikah sama Ayah, tapi
masih cinta sama Henry? Duh, ternyata aku nggak tahu apa-apa soal ibu aku
sendiri! Kamu tahu sendiri, ‘kan, Kar, aku sama Ibu itu deket banget. Dia
bakal cerita apa aja sama aku! Aku nggak percaya Ibu tiba-tiba pergi gitu aja
tanpa ngasih tahu aku!”
“Sama sekali nggak ninggalin pesan apa-apa, Ve? Surat, gitu?” tanya Akar.
Kamu menyeruput kopimu lagi demi menenangkan diri, kemudian
menggeleng dan lanjut bicara. “Kemarin aku udah cari di kamarku sambil
packing. Aku udah cari di laci, lemari, bawah kasur, di mana-mana! Nggak
ada!”
“Terus kamu udah coba kontak dia atau lihat akun medsosnya?”
“Nggak ada update-an apa-apa, Kar! Terakhir dia update tuh waktu kami
ngecat rambut bareng di salon, sebelum aku ke party kamu! Aku juga udah
kontak dia, tapi cuma centang satu! Terus aku kirim pesan ke semua
medsosnya, tapi nggak dibalas-balas! Dia benar-benar ngilang gitu, Kar! Aku
k

tahunya Ibu pergi tuh cuma dari Ayah aja pagi itu!” Tangismu pecah lagi.
oo

Kamu menaruh kembali cangkirmu ke atas meja sebelum isinya tumpah


nb

karena tanganmu yang gemetaran.


“Aku nggak percaya Ibu ternyata selingkuh dari Ayah dan diam-diam
punya rencana kabur sama Henry! Dan dia memutuskan buat bikin kejutan itu
pas aku nginap di sini. Pas aku lagi senang-senang di pesta kamu! Harusnya
malam itu aku di rumah aja .…”
“Hei, ini semua bukan salah kamu, Ve,” hibur Akar.
“Iya …, tapi aku juga jadi bertanya-tanya terus, sebenarnya aku ada salah
apa sama Ibu? Kalau Ibu mutusin buat ninggalin rumah, pasti ada alasannya
yang berhubungan sama aku juga. Pasti diam-diam Ibu kesal atau marah sama
aku, sampai-sampai mikir aku pantas buat ditinggalin! Aku nggak bisa terus
hidup dengan banyak pertanyaan yang nyiksa gini, Kar! Sekarang Ayah juga
nggak mau ngomong apa-apa lagi soal Ibu! Ayah nggak mau cerita detail
kejadiannya gimana! Aku jadi makin ngerasa sendirian, Kar …. Aku nggak
punya siapa-siapa lagiii!”
“Ve, masih ada aku.” Akar memegangi lengan kananmu dengan tulus.
“Kamu udah kayak adik aku sendiri. Keluarga kita kan udah kayak saudara.
Aku yakin, ibu kamu nggak mungkin pergi gitu aja tanpa kasih pesan apa-apa
sama kamu. Nanti ibu kamu pasti kasih tahu alasan kenapa dia mutusin buat
pergi. Mungkin sekarang belum saatnya, Ve. Tapi, aku yakin, nanti ibu kamu
pasti menghubungi kamu, kasih tahu kamu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Iya … itu juga jadi harapan aku, Kar. Tapi, harusnya jangan kayak gini!
Kalau Ibu butuh waktu, ya seenggaknya kasih tahu aku juga! Aku bakal kasih
dia waktu, kok! Buat berpikir, buat memutuskan. Aku menghargai privasi dia!
Tapi aku nggak suka kalau aku nggak dikasih informasi apa-apa pas dia pergi!
Semua kayak ditutup-tutupi gitu! Nggak Ibu, nggak Ayah! Mereka kayak
nyimpan rahasia dari aku! Aku nggak bisa gini terus! Aku nggak mau orang
lain tahu kalau keluarga aku berantakan! Aku maluuu … gimana kalau Ibu
sama Ayah sampai cerai? Hidup aku gimana?! Aku bakal malu banget sama
orang-orang!”
k

“Kamu udah nyoba hubungi Henry?”


oo
nb

“Hah?! Buat apa?!”


“Kan katanya dia yang bikin ibu kamu pergi. Kalau ibu kamu nggak bisa
dihubungi, coba aja kontak Henry. Kamu berhak cari tahu lebih banyak
tentang keputusan ibu kamu ini. Katanya dia pergi ke London, ‘kan? Jadi,
malam itu dia harus ke Jakarta dulu, naik pesawat dari Soetta. Pesawat ibu
kamu paling berangkat besoknya, ‘kan? Jadi, mungkin tadi malam baru tiba di
London. Nah, hari ini ibu kamu mungkin masih jet lag, atau banyak yang
harus diurusi. Bahkan mungkin belum sempat beli nomor UK atau connect
Wi-Fi buat online. Tapi, HP Henry pasti aktif terus. Kamu punya nomor dia?”
Kamu menggeleng. “Nomornya enggak, tapi aku tahu medsosnya.”
“Coba message aja!”
Kamu jadi termenung. Menghubungi Henry? Itu lelaki yang katanya
membuat ibumu pergi. Membuat Ibu lebih memilih dia daripada kamu,
anaknya sendiri. Apa sih hebatnya Henry? Kamu jadi cemburu dan tambah
marah kepadanya. Marah kepada Ibu, marah kepada Henry. Kamu tidak sudi
berinteraksi dengan lelaki itu.
“Nanti aja, deh …,” katamu kepada Akar.
Cowok itu memandangimu dan mengerti. “Take your time. Kalau kamu
masih nggak mau menghubungi dia sekarang, nggak apa-apa. Yang penting
kamu tahu, kamu bisa hubungi Henry juga buat cari informasi tentang ibu
kamu.”[]

k
oo
nb
Situasi Emosi #4:

Kaget

KAMU TERBANGUN di sofa paviliun Akar. Tubuhmu diselimuti selembar


kain tenun. Akar mencoba menghiburmu dengan memutarkan film dan kamu
tertidur di tengah-tengah film. Kamu bahkan sama sekali tidak ingat jalan
ceritanya. Kamu memeriksa jam di ponselmu dan terkejut saat mendapati
sekarang sudah pukul sepuluh malam. Rumah Akar memang selalu
membuatmu nyaman. Dulu, kamu sering pulang malam dari tempat ini dan
Ibu mengerti. Ibu paham kamu bisa berada di sini hingga tengah malam, dan
k

dia mengizinkanmu pulang pukul berapa saja. Namun, sekarang kamu tidak
oo

tinggal bersama Ibu, dan hanya berharap Ayah akan semengerti Ibu dalam
nb

menanggapi hal-hal kesukaanmu.


Kamu mendapati ada 33 panggilan tak terjawab dari Ayah. Beserta itu, ada
rentetan pesan singkat yang memaksamu segera pulang dengan kesan marah
dan menyudutkan. Kamu spontan mendengus, heran karena Ayah tiba-tiba
bersikap overprotektif seperti ini.
Akar duduk sendirian di kursi teras paviliun. Dia tengah memandangi
taman belakang perpustakaan yang telah kosong sambil memangku buku
catatan dan sebuah pulpen. Kamu lantas beranjak dari sofa dan
menghampirinya. Akar langsung menoleh begitu mendengar pintu kaca
paviliunnya kamu geser hingga memberimu celah untuk lewat.
“Kar, aku harus pulang,” katamu, berdiri di samping kursinya.
“Aku antar, ya,” Akar menawarkan diri.
“Tapi aku ternyata nggak bawa kunci apartemen, jadi harus ke rumah
Nenek,” tambahmu.
Akar memang selalu mengantarmu pulang. Dulu, dia hanya perlu menyetir
mobilnya menyusuri jalanan ini hingga apartemen sebelum jalan raya. Kini,
perjalanan yang ditempuh sampai ke pinggiran kota.
“Sori, ya, nganterinnya jauh,” katamu, di tengah perjalanan.
“Nggak masalah. Kita kan juga suka muter-muter dulu kalau habis nonton
midnight show. Anggap aja ini lagi muter-muter sebelum aku antar kamu
pulang, meski jaraknya emang jauh,” ujar Akar. Kamu tertawa mengiakan.
“Ve, kalau ayah kamu mau menenangkan diri dulu di rumah nenek kamu,
kenapa kamu juga harus ikut? Kamu kan bisa tetap tinggal di apartemen,”
lanjut Akar.
“Iya, aku juga nggak pengin lama-lama di rumah Nenek. Mudah-mudahan
bentar lagi Ayah juga mau pulang. Mendingan di apartemen. Dekat ke mana-
mana, terutama ke perpus kamu. Di sana aku lebih bisa menenangkan diri.
Tinggal lama-lama di kampung kayak gitu, aku pasti nggak bakalan betah.
k

Aku juga nggak punya teman di sana.”


oo
nb

“Tetangga nenek kamu nggak ada yang punya anak seumuran kamu?”
tanya Akar.
“Kayaknya ada, tapi nggak ada yang aku kenal. Aku kan ke sana paling-
paling cuma setahun sekali. Aku sering lihat remaja-remaja yang tinggal di
sekitar rumah Nenek, tapi kayaknya nggak bakal cocok sama aku. Emangnya
mereka mampu ngebahas kenapa Lala Timothy atau Kathleen Kennedy itu
keren banget? Emangnya mereka bisa ngobrolin filmnya Fincher, Coppola,
Hitchcock, Nolan, Lynch, Spielberg, Scorsese, Kubrick, Burton, Wes
Anderson, Joko Anwar, dan lain-lain? Bisa sampai ngebahas semiotika
adegan dan betapa canggihnya plot film yang kita tonton?”
“Siapa tahu sebenarnya mereka juga canggih. Para kritikus film
Hollywood! Berkumpul dan sembunyi di sebuah permukiman terpencil di
perbatasan kota! Plot twist!” canda Akar.
Kamu terbahak karena leluconnya. Kamu sungguh semakin ingin pindah
lagi ke apartemen karena merasa energi elemenmu lebih kuat di sana. Dekat
dengan perpustakaan rumah paling nyaman, juga teman baik paling
menyenangkan. Kamu takut akan kehilangan sisi kehidupanmu yang itu jika
Ayah memaksamu pindah ke rumah Nenek selamanya.
“Aku harus cari cara buat ngajak Ayah pulang ke apartemen, nih,” katamu.
“Kalau Ayah nggak mau, aku pulang duluan aja. Nggak masalah juga kalau
nanti aku tinggal sendirian di apartemen misalkan Ayah mau seterusnya
tinggal di rumah Nenek. Tapi, kalau gitu, aku harus mikirin cara bayar
maintanance-nya, ya? Ibu pernah bilang biaya maintenance apartemen itu
lumayan mahal.” Kamu jadi termenung, menyadari konteks ucapanmu ini.
“Kenapa aku sampai mikir gini, ya? Seolah Ibu emang nggak bakal balik lagi
….”
Akar melirikmu. “Ibu kamu pasti balik lagi, Ve. Tapi, nggak ada salahnya
juga kalau kamu mulai mikirin hidup kamu sendiri. Biar bisa lebih mandiri
atau bisa berjuang buat hidup kamu sendiri kayak orang dewasa beneran.
Kalau kamu mau, kamu bisa bantu di perpus. Hitung-hitung belajar kerja,
k

gitu. Kak Ranting kan baru pindah ke Toronto buat kuliah Master, sekalian
oo

nemenin Papi di sana. Sekarang nggak ada yang ngurusin administrasi dan
nb

sales. Kali aja kamu tertarik, bisa jadi pengalaman buat kamu.”
“Makasih, Kar. Aku pikirin dulu, ya. Sekarang aku masih banyak pikiran
yang lain, pusing banget sama keadaan ini,” katamu.
“It’s all right. Kalau kamu butuh apa-apa, aku selalu siap bantuin kamu.”
Akar menutup kalimatnya dengan senyum dan satu tangan mengusap pelan
kepalamu.

Mobil Akar tidak bisa masuk ke Gang Bapak. Maka, kamu turun di tepi jalan
raya setelah berterima kasih kepada cowok itu, lalu berjalan kaki untuk
meneruskan perjalanan.
Dari kejauhan, kamu melihat ada tenda plastik besar yang dipasang di
depan rumah Nenek. Kamu mengernyit heran. Tragedi dalam keluarga
membuatmu merespons segala kejadian dengan pikiran yang buruk. Kali ini,
kamu mengira ada yang meninggal. Letak tendanya di depan rumah Nenek,
dan saat ini tidak ada orang lain yang tinggal di situ selain Nenek dan Ayah.
Kamu buru-buru berlari menghampiri rumah, berharap kalaupun ada
seseorang yang meninggal, itu orang yang tinggal berseberangan dengan
rumah Nenek. Sementara itu, semua orang yang duduk di bawah tenda telah
memperhatikan kedatanganmu. Seorang pemuda bertampang garang dengan
penampilan dekil langsung bangkit dari kursinya.
“Kamu dicari-cari,” katanya saat kamu melintas di hadapannya. Kelak,
kamu tahu bahwa nama orang ini Pepep, dan usianya dua tahun lebih tua
darimu. Kamu merasa tidak nyaman melihat senyumnya yang sedikit miring,
seperti tengah memikirkan sesuatu yang jahat.
Setelah dia bilang begitu, perasaanmu seketika tertohok. Untuk apa kamu
dicari-cari? Kamu menoleh ke rumah Nenek di sebelah kiri, terang benderang
dan ada lebih banyak orang di dalam sana. Benar-benar seperti sedang
menyelenggarakan pesta atau kematian seseorang. Namun, mendapat
informasi dari Pepep barusan, kamu malah semakin cemas, seolah dirimulah
k
oo

penyebab berkumpulnya orang-orang di depan rumah Nenek. Kamu pun


nb

segera berlari memasuki rumah.


Orang-orang lain yang memenuhi teras sampai bagian dalam rumah
langsung memberi jalan untukmu, menatap dengan ekspresi yang
membuatmu semakin merasa tidak nyaman. Seolah kamu orang yang telah
membuat keributan di sini dan mengganggu waktu istirahat mereka malam
ini. Padahal, kamu tidak tahu apa-apa. Sekilas, kamu juga menyadari bahwa
tidak ada perempuan seusiamu atau anak perempuan di antara orang-orang
yang berkumpul. Bahkan, kamu yakin tidak pernah melihat mereka di area
permukiman ini. Hanya ada bapak-bapak, para pemuda, dan wanita-wanita
setua Nenek Unung.
Langkah kakimu memelan begitu menangkap sosok Nenek dan Ayah,
duduk bersebelahan di sofa ruang keluarga, menghadap televisi. Namun,
televisi itu tidak menyala. Orang-orang berdiri mengelilingi mereka. Seorang
wanita tua yang tadi berjongkok di hadapan Nenek spontan berdiri begitu
melihat kemunculanmu. Dia beranjak dari hadapan Nenek dan Ayah, seperti
sengaja mengosongkan ruang di sana. Maka, kamu pun berhenti di hadapan
Nenek dan Ayah.
Nenek memeluk sebuah foto hitam-putih berbingkai kayu yang dicat
warna emas, sama seperti yang banyak dipasang dalam rumah ini. Foto sang
Bapak. Tadi, sorot mata Nenek amat tajam seolah dia sedang marah,
sedangkan Ayah mendengus keras dan menunduk.
“Ayah, ada apa ini?” tanyamu, ragu.
“Ve ….” Nenek langsung tersenyum lebar dan menyapamu dengan suara
mengalun lembut. “Pukul berapa ini?”
Kamu hendak mengecek waktu di ponselmu. Namun, sebelum kamu
sempat menjawab, Nenek sudah lanjut bicara, “Anak perempuan keluyuran
sampai gelap begini, sangat tidak pantas.”
Kamu terperangah. Ternyata ini memang tentang kamu. “Aku minta maaf
kalau bikin kalian cemas. Tapi aku udah biasa pulang malam, kok.”
k
oo

“Kata Bapak Saya, itu tidak pantas. Perempuan tidak pantas berada di luar
nb

rumah saat langit gelap,” timpal Nenek. Senyum lebar bertahan di wajahnya.
Kamu merasa mesti membela diri. “Menurut aku pantas-pantas aja kok,
Nek. Perempuan atau laki-laki punya hak buat menikmati hari. Waktu masih
terang ataupun sudah gelap.”
“Kata Bapak Saya, tidak pantas perempuan keluar malam-malam!” Suara
Nenek meninggi.
Kamu mengernyit, kaget dan betul-betul tidak nyaman akan sikapnya.
“Terus laki-laki boleh? Kenapa? Kenapa perempuan doang yang nggak
boleh?”
“Ve! Jangan melawan!” sela Ayah.
“Aku cuma butuh jawaban yang logis dari kalian, orang-orang dewasa
yang katanya lebih bijaksana. Kenapa aku dilarang? Lagian, keluar malam
kan nggak berarti buruk,” katamu, gigih.
Nenek memejam, kemudian bicara sambil membuka matanya. “Ve,
perempuan itu lemah. Kata Bapak Saya, perempuan tidak boleh banyak
keluar rumah. Nanti jadi buruk dilihatnya.”
Kamu mencibir, kesal. “Enggak, Nek. Itu stigma yang diciptakan orang-
orang. Nggak ada hubungannya juga sama hak manusia buat keluar malam
hari. Setiap orang punya alasan buat keluar malam, dan Nenek bahkan nggak
mau dengar dulu alasanku.”
“Doni, anakmu ini banyak omong, ya.” Meski ucapan Nenek lembut,
kepala ayahmu seketika menunduk lagi dan dia tidak berani menimpali.
Kamu sangat tidak nyaman dengan orang-orang yang memaksakan
kehendak satu arah begini. Bahkan, sampai mengumpulkan orang-orang lain
yang sama sekali tidak terlibat. Seolah kumpulan manusia yang lebih tua
darimu ini adalah makhluk yang tahu semua fakta dan tidak pernah salah
karena pandangan mereka mutlak. Tindakan mengumpulkan orang-orang
asing hanya karena kamu belum berada di rumah seperti ini sungguh
membuatmu kesal karena menurutmu bodoh sekali.
k
oo

“Lihat apa yang kamu lakukan, sampai tetangga pada kumpul begini.
nb

Menyusahkan dan memalukan, Ve. Kalau Bapak Saya masih ada, kamu pasti
sudah dipukul,” kata Nenek.
Wajahmu merengut makin dalam, semakin tidak nyaman dengan perilaku
Nenek. “Aku kan udah minta maaf. Kalian nggak perlu cemas, aku bisa jaga
diri. Aku baik-baik aja. Aku juga udah ngasih tahu Ayah. Aku ke tempat biasa
aku—”
“Ck, ck, ck … kamu memang banyak omong, ya. Kata Bapak Saya, anak
perempuan itu tidak boleh banyak omong,” sela Nenek.
“Nenek diam dulu!” Kamu jadi membentaknya, dan terus bicara kepada
Ayah. “Ayah nggak tahu aku suka ada di mana? Di mana tempat kesukaan
aku, Ayah nggak tahu?” Di antara perasaan putus asa atas sikap orangtuamu
yang begitu dangkal, dan malu karena orang sekampung sampai dilibatkan
oleh Nenek, kamu menatap Ayah lekat-lekat. Kamu berharap orangtua
kandungmu yang tersisa ini bisa membela dirimu. Nenek juga berpaling untuk
memandang Ayah.
Ayah masih bungkam dan kamu memanfaatkan jeda sebelum Nenek
menyela dan menyudutkanmu lagi untuk mengekspresikan perasaanmu.
“Kayaknya nggak perlu ngumpulin orang sekampung cuma gara-gara aku
pulang malam, deh. Ayah juga kan harusnya tahu aku biasanya pergi ke mana.
Aku aman-aman aja di sana. Pulangnya juga diantar sama Akar. Masalah
sepele gini nggak usah sampai diumbar ke orang-orang sekampung.”
“Kamu itu hanya bikin malu, Ve.” Nenek menyindirmu lagi.
“Kalian yang bikin malu diri kalian sendiri! Ibu juga nggak pernah ribut-
ribut sampai ke tetangga soal urusan pribadi keluarga kita!”
“JANGAN SEBUT DIA LAGI!” bentak Ayah, jarinya teracung ke
wajahmu. Kamu bisa melihat tangan itu gemetaran dan kamu seketika
memelotot saking kagetnya.
“Aku nggak akan berhenti nyebut soal Ibu sampai kalian cerita ada apa
sebenarnya sampai Ibu pergi!” kamu berteriak sekuat tenaga.
k

Ayah masih memelototimu dengan tubuh gemetar. Semua orang di


oo
nb

ruangan itu telah bungkam sejak kedatanganmu tadi. Seiring terhentinya


kalimat terakhirmu, kamu merasa ada kekosongan dalam pikiran yang
kemudian langsung diisi oleh kesadaran. Kamu merasa bersalah telah
bersikap tidak baik di depan orang-orang asing ini. Kamu bersikap tidak
sopan kepada ayah dan nenekmu, dan itu membuatmu merasa tidak nyaman.
Napasmu memburu, dadamu naik turun dengan cepat, dan kamu terdiam.
Kamu tidak lagi sanggup menatap kedua orang tua di hadapanmu ini dan
sudah siap jika diteriaki Nenek lagi.
“Bapak …,” Nenek mendesis sambil memejamkan mata dan memeluk
fotonya erat-erat. Kemudian, dia tiba-tiba berdiri dan mengelus dagumu.
“Cucuku Sayang … jangan bikin masalah lagi, ya. Semua orang cemas
karena kamu belum pulang-pulang juga. Nenek panggil semua tetangga untuk
mencarimu dan menunggu sampai kamu pulang,” katanya, lembut.
Takut-takut, kamu melirik Nenek yang ternyata memang tengah tersenyum
ramah kepadamu. Lalu, dia lanjut berkata, “Sekarang, naik ke kamarmu.
Kamu harus tidur.”
Kamu agak terkejut, tetapi mungkin sekarang Nenek telah sadar bahwa
yang kamu butuhkan adalah beristirahat dengan tenang. Bukannya terus
dimarahi dan dihalang-halangi untuk beristirahat.
“Makasih, Nek!” ujarmu seraya berlari ke tangga.
Di tangga, sebelum membelok semakin dekat ke lantai dua, langkahmu
sempat memelan dan kamu mengintip orang-orang di bawah. Para tetangga
berangsur-angsur pulang ke rumah masing-masing, tetapi Nenek berdiri
geming dengan sorot mata tajam yang mengarah langsung kepadamu.
“Anak perempuan jangan keluyuran di luar rumah sampai langit gelap,
begitu kata Bapak Saya,” kata Nenek, menutup kalimatnya dengan seringai
lebar.
Kamu tersentak kaget, lalu buru-buru berlari masuk kamar.[]
k
oo
nb
Situasi Emosi #5:

Takut

KAMU MEMBERSIHKAN diri, kemudian kembali ke kamar dan mencoba


tidur. Namun, pikiranmu dipenuhi bayangan tentang Ibu.
Ibu sangat menghargaimu sebagai manusia dan sangat memercayaimu.
Kamu sering mendengar cerita teman-temanmu yang sering kali tidak
memiliki pilihan hanya karena status mereka sebagai anak. Meskipun
sebenarnya Ibu tidak menyetujui pilihanmu, Ibu akan memintamu
menjelaskan alasan logis mengapa kamu memilih hal itu.
k
oo

Misalnya, kali pertama kamu nongkrong di perpustakaan Akar sampai


nb

larut malam, Ibu tidak langsung menghardik dan menghukummu karena telah
membuatnya khawatir. Alih-alih, Ibu bertanya mengapa kamu bisa bertahan
hingga larut malam di tempat itu. Kamu menjawab dengan antusias, “Aku
senang berada di antara buku-buku, Bu. Nyium aroma kertas yang nyampur
sama aroma pepohonan rindang yang mengelilingi rumah Akar bikin aku
tenang dan konsentrasiku semakin terfokus. Aku bisa ngelakuin banyak hal
menyenangkan di sana. Nonton film-film bagus dengan sound system yang
memanjakan telinga juga. Suasana di rumah Akar bikin hati aku tenang dan
bahagia.”
Ibu selalu menyimak jawabanmu dengan senyum yang tulus dan pikiran
amat terbuka. Ibu dengan sungguh-sungguh ingin mengetahui sudut
pandangmu. Ibu juga sangat mementingkan kesehatan mentalmu selain
fisikmu. Bagi Ibu, selama kamu bahagia dan apa yang kamu lakukan tidak
berbahaya untuk dirimu sendiri dan orang lain, kamu boleh melakukan apa
pun yang kamu inginkan.
Mengenang Ibu seperti ini, kamu jadi memikirkan peran Ayah dalam
hidupmu. Selama bersama Ibu, kamu menganggap keberadaan Ayah sebagai
paket pelengkap yang datang bersama Ibu. Setelah Ibu pergi, kamu mulai
merasa peran Ayah hampir tidak terlalu berarti buatmu. Apalagi setelah
kejadian barusan di ruang televisi. Kamu tidak percaya Ayah sama sekali
tidak membelamu, malah ikut-ikutan Nenek. Namun, kamu juga cemas jika
dengan kepergian Ibu, Ayah dan Ibu akan bercerai. Kamu tidak tahu apa yang
harus kamu lakukan kelak seandainya hal buruk itu terjadi.
Kamu sungguh takut pada kenyataan, sampai-sampai tidurmu tidak lagi
pernah tenang. Tidur semestinya jadi alam yang aman bagimu untuk
menenangkan pikiran, tetapi kini pikiranmu malah jadi lebih terganggu. Oleh
mimpimu sendiri, tentang membunuh musuh dalam perang, tentang banjir
bandang yang membuatmu mesti berlari hingga mencapai bangunan tertinggi.
Oleh suara-suara dari luar rumah yang terdengar lebih bising dari tempatmu
tidur di lantai dua, dan, kali ini, oleh suatu gerakan di belakang kepalamu.
k

Kamu pelan-pelan membuka mata, dan bisa mendengar suara napasmu.


oo

Kamar ini gelap karena kamu lebih suka lampu dimatikan saat tidur.
nb

Pencahayaan hanya berasal dari sinar bulan yang menyeruak lewat pinggiran
gorden yang menutup jendela. Namun, ternyata kamu pun bisa mendengar
ada suara napas lain. Dengan mata yang masih beradaptasi dengan cahaya
dari gorden jendela yang tampak samar-samar, kamu lama-lama merasa
gerakan di belakang kepalamu itu juga kian nyata. Gerakan itu bukan terjadi
dalam mimpi.
Dirimu yakin ada yang memegangi rambutmu dan kamu mendengar suara
gunting memotong sesuatu. Pandanganmu seketika siaga. Kemudian, takut-
takut, kamu menoleh ke belakang.
Nenek Unung sedang memegang gunting dan rambutmu. Kamu terkesiap
keras dan menjauh darinya. Kamu menatapnya dengan mata memelotot,
napas yang terengah-engah, dan degup jantung yang seketika menggila.
Gunting besar berada di tangan kanan Nenek, sementara tangan kirinya
menggenggam sejumput rambutmu. Di atas kasur, tampak berserakan lebih
banyak rambutmu yang telah diguntingnya. Kamu spontan memegangi
kepalamu dengan panik.
Tidak ada lagi yang terurai di punggung, panjang rambutmu kini hanya
sampai bahu. Itu pun ada bagian yang mencuat-cuat di puncak kepalamu
karena dipotong secara serampangan. Kamu seketika histeris, dan langsung
berseru, “Nenek ngapain?!”
Dengan gunting dan potongan rambutmu teracung di kedua tangannya,
Nenek menyeringai. Kamu takut melihat senyumnya itu.
“Kata Bapak Saya, rambut tidak boleh diwarnai. Jadi saya gunting
rambutnya,” ujar Nenek.
“Ini apa-apaan, sih?!” Kamu menjerit sekuat tenaga. Kamu bingung dan
marah menghadapi perbuatan Nenek yang kurang ajar.
“Kata Bapak Saya, perempuan tidak boleh macam-macam! Saya habisi
hidup kamu!” seru Nenek.
Kamu sungguh ketakutan, lalu cepat-cepat berlari menuju pintu. Nenek
k
oo

masih bergeming di kasur sambil memegangi gunting dan potongan


nb

rambutmu yang dicat merah. Sorot mata dan senyumnya mengikuti


gerakanmu hingga pintu. Kamu tidak mau melihatnya lagi dan terbirit-birit ke
luar kamar.

Kamu tergesa-gesa menuruni tangga, dan terus berlari sampai kamar ayahmu.
Kamu mengetuk-ngetuk pintu. Ayah membukanya dan keluar dalam balutan
piamanya yang berwarna hitam. Mukanya mengantuk sekaligus kesal,
mungkin karena kamu membangunkannya saat akhirnya dia bisa tidur lelap.
“Ve?” Ayah memandangimu dengan mata memicing.
“Ayah! Nenek, Yah!” lapormu.
Ayah langsung memelotot. “Nenek kenapa?!” tanyanya khawatir.
“Rambutku digunting Nenek!” kamu berseru sambil memegangi
rambutmu.
Ayah sepertinya baru sadar rambutmu sekarang modelnya tidak keruan.
Lebih pendek, panjang sebelah, dan bagian puncaknya mencuat-cuat kasar
karena kependekan.
Pandangan Ayah beralih ke tangga yang terletak di seberang kamarnya.
Kamu pun menoleh ke sana dan melihat Nenek tengah menuruninya.
“Amah, apa betul Amah menggunting rambut Ve?” tanya Ayah.
“Iya! Aku tadi lagi tidur, terus tahu-tahu rambutku sudah digunting Nenek.
Nenek kenapa, sih? Rambut aku jadi acak-acakan gini!” kamu melapor sambil
terisak-isak. Kamu begitu kesal hingga akhirnya menangis.
“Rambutnya diwarnai, warna merah,” kata Nenek, telah berdiri di
belakangmu.
“Iya, terus kenapa?! Aku suka rambutku!” bentakmu, kelewat kesal.
“Ve! Yang sopan sama Nenek!” seru Ayah.
“Justru yang nggak sopan itu Nenek! Seenaknya aja rambut aku digunting
k

tanpa izin! Nenek sudah melanggar teritorial tubuh aku! Nggak sopan!”
oo
nb

“Kata Bapak Saya, anak perempuan tidak usah macam-macam,” ujar


Nenek.
“Bodo amat apa kata Uyut! Ini rambut aku! Ini hidup aku! Nenek nggak
bisa seenaknya merampas hak hidup aku! Hak aku atas tubuh aku sendiri!
Seenaknya aja rambut aku digunting! Nenek udah melanggar etika!” Perasaan
kesalmu semakin meluap-luap.
Kini, semua didikan Ibu menjadi masuk akal. Kamu lebih senang hidup
dengan cara Ibu. Didikan Ibu sudah sampai pada tahap self-empowerment.
Menghargai kemerdekaan seorang atas tubuhnya sendiri. Menghargai setiap
pilihan. Sedangkan di sini masih saja berlaku pemaksaan kehendak dan
serangan terhadap wilayah pribadi. Ini rambutmu! Nenek Unung tidak punya
wewenang atas rambutmu! Apalagi sampai menggunting seenaknya!
Merampas hakmu atas dirimu sendiri! Kamu kesal sekali! Ibu benar soal jarak
generasi yang terlampau jauh, apalagi jika pelaku generasi itu tidak mampu
terus menumbuhkan kualitas dirinya menjadi lebih bijaksana! Kamu benci
sekali kepada Nenek!
“Makanya, rambut tuh nggak usah diwarnai!” ujar Ayah.
Kamu menjerit, tidak percaya akan responsnya. “Ayah! Kualitas diri aku
nggak ditentukan dari warna rambut! Lagian, ini rambutku! Aku nggak
merampas hak orang lain! Nenek yang merampas hak aku! Nggak sopan!”
“Ve! Minta maaf sama Nenek!” bentak Ayah.
Namun, kamu tidak sudi. Kamu mengentakkan kaki, lalu segera berlari
menuju tangga. Kamu masuk ke kamar hanya untuk menyambar jaket dan
tasmu yang berisi ponsel serta dompet. Sempat kamu melihat rambut yang
berserakan di atas tempat tidur, dan kamu mendengus kesal. Kemudian, kamu
berlari menuruni tangga lagi.
Dua orang itu masih bergeming di depan kamar Ayah. Kamu berjalan
cepat melewati mereka sambil berkata, “Aku mau ke rumah Oma Teti!”
Ayah tampak siap menahanmu, tetapi Nenek sigap memegangi lengannya.
Saat itu, kamu telah membuka pintu depan dan sejenak menoleh kepada
k

mereka. Kamu melihat Ayah menatap Nenek dan Nenek menggeleng pelan.
oo
nb

Kamu tidak peduli lagi kepada mereka. Kamu ingin segera keluar dari rumah
ini, berjalan gegas, dan membanting pintu di belakangmu.[]
Situasi Emosi #6:

Cemas

KETIKA KAMU telah memercayai seseorang sebagai patokan masa


depanmu, kamu menaruh terlalu banyak harapan baik dan menanam
keyakinan tulus. Namun, kamu tidak terbiasa memandang sisi lain
kemungkinan, bahwa ada kenyataan yang tentu saja bisa bertentangan dengan
harapan itu. Kamu terlalu menyayanginya hingga lupa bahwa dia adalah
orang lain. Orang selain dirimu yang selalu punya kepentingan yang tidak ada
hubungannya denganmu. Kepergian Ibu membuatmu merasa gamang dan
k

tersesat. Kini, kamu seperti harus mencari-cari tempatmu sendiri di dunia ini.
oo
nb

Kamu sudah lama tidak berkomunikasi dengan Oma. Ibu dari ibumu itu
begitu anggun dan tampak pendiam. Dia suka memperhatikanmu dengan
ekspresi damai tetapi serius, seakan-akan mempelajari dirimu langsung dari
akar jiwamu, membuatmu amat segan kepadanya. Namun, jika kamu ingin
tahu alasan Ibu bisa membuatmu begitu malu dengan tiba-tiba pergi
meninggalkanmu dan Ayah, kamu ingin tahu juga dari sudut pandang Ibu.
Mungkin Ibu sempat menghubungi Oma dan bahkan menjelaskan mengapa
dia lebih memilih Henry daripada keluarganya.
Rumah Oma terletak sekitar sepuluh blok dari rumah Nenek, tetapi berada
di permukiman yang berbeda. Biasanya kamu pergi ke sana memakai mobil
sehingga sekarang berjalan dari rumah Nenek ke rumah Oma terasa sangat
jauh dan membuatmu lelah. Apalagi tadi kamu berlari kemari sambil
menahan tangis dan dadamu jadi semakin sesak. Sesak karena tubuhmu
kecapekan sedangkan pikiranmu berusaha tetap kuat.
Melewati lapangan luas yang amat gelap, kamu terus berlari sekuat tenaga.
Jalan setapak yang tengah kamu lalui hanya diterangi lampu-lampu minyak
yang ditancapkan ke tanah menggunakan tongkat panjang, dan keberadaannya
pun sangat jarang. Pandanganmu terpaku ke depan, sangat awas di tengah
kegelapan jalan. Pada setiap langkah, kamu berharap tidak ada orang lain
yang tiba-tiba muncul di tengah jalur panjang ini. Kamu lebih baik sendirian.
Kegelapan tidak membuatmu takut, sebab yang paling berbahaya tetaplah
manusia. Kamu bahkan tidak mau berhenti untuk sekadar menarik napas
panjang. Kamu biarkan dirimu bertahan dengan napas putus-putus, terengah-
engah, tetapi tidak ingin berhenti sampai kamu tiba di depan rumah Oma.
Begitu tiba di teras depan rumahnya, kamu sempat merasa ragu dan hanya
memandangi pintunya yang berwarna cokelat dengan kenop besi panjang
melintang vertikal. Rumah Oma bergaya modern minimalis. Mendiang Opa
adalah arsitek dan desain rumah ini merupakan salah satu hasil karyanya.
Kamu menarik napas dalam-dalam, meyakinkan diri untuk menekan
tombol bel di samping pintu. Oma yang membukakan pintu sungguh terkejut
k

melihatmu.
oo
nb

“Ve?” tanyanya, seolah tidak percaya melihatmu ada di rumahnya.


“Oma.” Kamu menyapanya dengan bibir gemetar, dan sesaat kemudian
tangismu pecah. Sebetulnya, kamu tidak ingin menangis pada momen
kedatanganmu yang tiba-tiba ini, tetapi rasa sedih dan malu praktis berpadu
menjadi semburan air mata.
“Ve, ada apa?” Oma cemas melihat keadaanmu dan memelukmu. “Ayo,
masuk dulu ….”
Oma menggiringmu masuk ke rumahnya yang bernuansa menenangkan.
Dia mempersilakanmu duduk di salah satu sofa panjang ruang tengah, tempat
lemari-lemari raksasa penuh buku melapisi dinding-dinding. Lampu-lampu
dengan tungkai besi panjang berdiri menyorot sofa baca demi menyediakan
cahaya tambahan.
Oma kembali dengan segelas air minum. Kamu cepat-cepat meneguknya.
“Oma, maaf, aku tiba-tiba datang ke sini,” katamu setelah itu.
“Tidak apa-apa, Ve. Ada apa? Ibumu mana?” tanya Oma.
Keningmu spontan mengerut. “Ibu nggak bilang sama Oma?”
“Bilang apa, Ve?” Oma jadi ikut bingung melihat sikapmu.
“Kemarin, waktu aku baru pulang habis menginap di rumah temanku,
Ayah bilang ….” Kamu menceritakan pengetahuanmu tentang tragedi pagi
itu.
Oma menyimak ceritamu yang diiringi sedu sedan dengan saksama. Pada
akhir cerita, kamu melihat telah muncul pula bulir air dari sudut-sudut mata
Oma.
“Wineu tidak akan pernah melakukan hal keji seperti itu,” komentar Oma
sambil tersenyum simpul. Senyum ini yang biasanya membuatmu segan
berbincang dengan Oma.
“Aku kira Ibu bilang sama Oma …,” timpalmu ragu. Kamu jadi merasa
bersalah karena menyadari ceritamu mengandung konteks bahwa Ibu adalah
k
oo

pihak yang jahat karena telah meninggalkan keluarganya, dan Oma tidak
nb

percaya itu.
“Tidak. Ibumu tidak mengatakan apa pun soal kepergiannya,” kata Oma.
Kemudian, dia mengusap-usap kepalamu dengan lembut. “Dia sangat
menyayangi kamu, Ve. Tidak mungkin Wineu pergi meninggalkanmu begitu
saja.”
“Iya,” katamu, dengan suara kian gemetar. “Aku juga mikirnya gitu, Oma .
… Aku deket banget sama Ibu. Aku yakin Ibu nggak mungkin pergi gitu aja
tanpa ngasih tahu aku ….”
“Oke, sekarang, yang penting kamu jangan banyak pikiran. Jangan dibuat
stres.” Lalu, perhatian Oma teralih pada model rambutmu yang acak-acakan.
“Ini rambutmu kenapa?”
Sambil terisak, kamu menjawab, “Rambut aku digunting sama Nenek
Unung ….” Lantas, kamu bercerita tentang peristiwa yang terjadi malam ini.
Mulai dari kepulanganmu yang disambut oleh warga sampai Nenek yang
memperlakukanmu dengan buruk saat kamu tidur.
“Kenapa dia bersikap begitu?” tanya Oma, antara terkejut dan heran.
“Nggak tahu, Oma …. Aku lagi tidur, nggak tahu apa-apa, tiba-tiba aja
Nenek Unung masuk ke kamar dan menggunting rambut aku. Nggak minta
izin, nggak ada sopan santun! Katanya gara-gara rambut aku merah! Itu kan
bukan urusan dia! Aku kesel banget, Omaaa!”
“Ve Sayang ….” Oma tampak prihatin dan mengusap-usap kepalamu
penuh kasih. “Besok kita rapikan rambut kamu, ya. Tapi, di sekitar sini tidak
ada salon. Paling ada tukang cukur rambut, yang biasanya buat laki-laki ….”
“Iya, nggak masalah, Oma. Perempuan juga bisa potong rambut di tukang
cukur gitu. Lagian, sekarang yang penting rambut aku dirapiin dulu
modelnya,” katamu. “Oma, maaf, ya …. Aku ganggu Oma malam-malam gini
….”
“Oh! Tentu tidak apa-apa, Ve! Tidak masalah sama sekali! Pintu rumah
Oma selalu terbuka untuk kamu,” kata Oma tulus. “Kamu mau minum lagi?
k

Oma buatkan cokelat panas, ya?”


oo
nb

“Nggak usah, Oma. Nanti kalau mau, aku bikin sendiri aja,” jawabmu.
Oma pun tersenyum lebar dan memelukmu erat-erat, meski kamu tidak
tahu ada gemuruh perasaan apa yang tengah membuat hati dan pikirannya
tidak nyaman. Kabar yang datang dari cucu semata wayang tentang kepergian
putri tunggalnya itu pasti cukup mengguncang.
Tiba-tiba, terdengar suara gedoran kasar di pintu depan. Lalu, menyusul
suara bel yang ditekan berulang-ulang. Oma segera bangkit dari sofa dan
menghampiri pintu. Kamu pun melongokkan kepala untuk mengintip siapa
yang mungkin datang.
“Amih,” Ayah menyapa ibu mertuanya. “Ve ada di sini?”
Kamu berharap Oma bilang tidak karena kamu masih ingin di sini.
Namun, Ayah bisa melihat kepalamu yang mengintip dari ruangan sebelah.
“Ve, ayo kita pulang!” seru Ayah.
“Nggak! Aku mau tinggal di sini!”
“Eh, apa-apaan kamu?! Ini rumah Oma!” ujar Ayah, seraya berjalan
menghampirimu.
“Di sana juga rumah Nenek! Kalau emang mau pulang, ya kita pulang ke
apartemen!”
“Apartemen mau dijual!”
“Hah? Ayah gimana, sih?! Barang-barang aku masih pada di sana!” Kamu
berdiri dan protes.
“Nanti Ayah angkut semuanya ke rumah Nenek Unung!”
“Nggak mau! Aku nggak mau tinggal di sana!”
“Ada ibu kamu, nggak ada ibu kamu, membantah terus!”
“Habisnya Ayah nggak mau dengerin aku! Ayah juga nggak mau ngasih
penjelasan apa-apa!”
“Berani-beraninya kamu ngomong begitu!”
k
oo

Oma tidak tahan melihat pertengkaran cucu dan menantunya. Dia segera
nb

memegang pundakmu dan berkata, “Doni, Ve ingin di sini dulu, biarkan saja
untuk sementara.” Kamu merasakan tangan Oma meremas pundakmu dengan
lembut dan dia juga tengah tersenyum kepadamu.
Kamu balas tersenyum, kemudian berseru kepada Ayah, “Iya, aku mau
sama Oma!” Kamu buru-buru memeluk Oma, seolah takut Ayah akan
menyeretmu pergi dan kamu sudah siap berpegangan pada Oma.
Oma balas memeluk dan mengelus-elus punggungmu. Saat itu, kamu baru
ingat lagi rasanya sentuhan yang menenangkan.
Ayah memandangimu dengan geram. “Ya sudah. Kasih tahu kalau mau
pulang, nanti Ayah jemput.”
“Nggak usah! Aku bisa jalan sendiri! Tadi juga aku ke sini sendiri!”
ujarmu.
Ayah mendelik, lalu berkata kepada Oma, “Pamit dulu, Mih.”
“Doni, besok bisa kemari lagi? Saya perlu bicara denganmu,” kata Oma.
Ayah berjalan sampai melewati pintu depan, kemudian sekali lagi Ayah
menoleh kepada Oma. Kamu lihat dia menatap Oma dengan raut marah.
“Lebih baik kita nggak usah bicara dulu, Mih,” katanya dengan ketus, lalu
berbalik pergi.
Kamu memandangi punggung Ayah yang menjauh dengan perasaan kesal.
Oma menutup pintu dan menguncinya.
“Ayo kita istirahat, Ve,” ajak Oma.
Kamu langsung tersenyum lagi. “Iya, Oma .…”
Kamu gembira karena merasa telah diselamatkan.

Kamu selalu suka berada di kamar Ibu di rumah Oma. Kamu merasa seperti
bisa melihat Ibu saat muda, membaca buku di meja belajarnya, memikirkan
hal-hal hebat yang ingin dia lakukan untuk peradaban manusia. Kamu
berbaring di kasurnya yang dilapisi seprai putih yang lembut, dan kamu
k

seakan bisa merasakan adanya sosok muda Ibu. Dulu juga dia berbaring di
oo

sini, memejam dengan imajinasi luar biasa tentang petualangan seru dan
nb

upaya menyelamatkan dunia.


Keesokan harinya, kamu terbangun, merasa Ibu ada bersamamu. Namun,
nyatanya masih saja tidak. Kamu beranjak ke luar kamar seraya mencari dan
memanggil Oma. Kamu menemukannya di sofa ruang keluarga, tertidur
sambil memeluk sebuah album foto berwarna hijau tua. Di meja depan sofa,
terdapat album-album foto lainnya. Kamu duduk di samping Oma dan
mengambil yang paling atas. Foto-foto Ibu saat sedang kuliah S-2 di London.
Di dalamnya, ada banyak foto Ibu dan Henry; di kampus, sampai
travelling bersama. Kamu sudah sering melihat album-album foto ini ketika
mengunjungi rumah Oma sebelumnya. Namun, sekarang kamu merasa marah
melihat album foto yang satu ini karena Ibu pergi meninggalkanmu demi
lelaki berkebangsaan Inggris di foto-foto itu. Kamu buru-buru menutup album
sehingga menimbulkan suara keras.
“Ve?” Oma membuka mata dan memandangimu.
“Oma ….” Kamu lantas memegang tangan Oma, membantunya bangun
dan duduk.
“Ve lapar? Oma sudah masak ….”
“Nanti saja, Oma. Terima kasih. Aku belum lapar.” Kamu melihat album
foto yang berada di pangkuan Oma dan Oma pun menyadarinya.
Oma membuka album foto yang berisi momen-momen ketika Ibu
melahirkanmu.
“Ibumu itu orangnya sangat penyayang, apalagi sama keluarga. Sejak
dulu, ibumu selalu cerita apa saja kepada Oma. Dulu, setiap mau travelling
juga, mau sejauh apa pun, pasti bilang sama Oma. Dari sana dia telepon Oma,
cerita sama Oma, tempatnya bagaimana, apa saja yang seru di sana. Ibumu
senang bercerita, senang berbagi pengalaman, dan bisa menjelaskan secara
baik apa pun pemikirannya. Kalaupun dia betul berselingkuh dengan
temannya itu, ibumu pasti cerita sama Oma. Dia pasti bisa menjelaskan secara
k

baik-baik duduk persoalannya, sudut pandangnya. Jadi, tidak mungkin dia


oo

tiba-tiba pergi tanpa pesan ….” Oma menangis. Kamu segera memeluknya
nb

dan ikut meneteskan air mata.


“Pasti sesuatu yang buruk terjadi kepada ibumu. Kalau tiba-tiba
menghilang begini, pasti telah terjadi sesuatu yang buruk kepadanya.” Oma
memegang tanganmu dengan erat. Matamu membelalak saking terkejutnya
mendengar dugaan tersebut.
Namun, segera muncul binar semangat di mata Oma. “Kita harus cari
Wineu. Kita tidak boleh diam dan menerima informasi ini begitu saja! Kita
harus segera mencari ibumu!”
Kamu mengangguk pasti. “Iya, Oma! Kita harus cari Ibu!”
“Sekarang, ayo kita coba hubungi ibumu lagi,” kata Oma.
Penuh semangat, kamu berlari ke kamar tidur Ibu, tempat tasmu ditaruh,
dan kembali kepada Oma dengan membawa ponselmu. Duduk di samping
Oma, kamu menelepon nomor Ibu.
“Masih nggak nyambung, Oma. Mungkin sudah ganti nomor UK. Aku
coba message ke medsosnya, ya,” katamu seraya membuka aplikasi Instagram
dan mengetikkan pesan untuk Ibu.
Di situ, kamu melihat galeri digital Ibu yang memuat fotomu, Ibu, dan
Henry ketika duduk bersama di perpustakaan Akar. Pada saat itu, Henry
sedang berkunjung ke kotamu karena memiliki urusan dengan kampus Ibu.
Bahkan, hari itu jugalah Henry menyampaikan pendapatnya kepada Ibu
bahwa Ibu punya potensi untuk melanjutkan kuliah Ph.D. di kampus mereka,
kampus tempat Henry bekerja sebagai dosen. Lalu, menyangkut Henry, kamu
jadi teringat masukan dari Akar tempo hari, untuk coba menghubungi Henry.
Lantas, kamu menghela napas dalam-dalam, membuka akun media sosial
Henry, dan mengirimkan pesan juga kepadanya.
Hi, Henry.
Sorry to bother you.
I just want to ask whether my mother is with you.
k

She left home on Saturday night, and my dad said she’s moving to
oo
nb

London earlier to live with you. She didn’t tell me, nor contact me
until now.
I just need to know her condition now. Is she okay?
Please tell her that I miss her. Also, please let her know that I’m
waiting for her call.
Thanks.
Kamu menghapus air mata yang meleleh dari sudut matamu setelah mengirim
pesan itu kepada Henry. Oma yang memperhatikanmu sejak tadi pun segera
memelukmu dan kamu langsung meraung-raung di pelukannya. Hingga
terdengar suara bel yang ditekan dari pintu depan.
“Sebentar, Oma mau bukakan pintu dulu,” kata Oma seraya mengusap
punggungmu, lalu beranjak dari sofa.
Kamu pun pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, sementara Oma
mempersilakan tamunya masuk. Ketika kamu keluar dari kamar mandi, Oma
telah duduk di meja makan bersama seorang kakek berpenampilan gagah.
“Ve, kenalkan, ini Eyang Erlas, tinggalnya di depan rumah Oma. Eyang
Erlas ini pensiunan polisi.” Oma menunjuk kakek itu, dan Eyang Erlas pun
berdiri untuk menyalamimu.
“Senang bertemu kamu, Ve,” kata Eyang Erlas.
Kamu hanya tersenyum sambil mengangguk, kemudian berpaling kepada
Oma dan berpamitan. “Oma, aku ke kamar lagi, ya.”
“Sambil bawa makanan, Ve! Ini, Oma sudah masak. Buat makan siang.
Boleh dibawa ke kamar,” Oma menunjuk hasil masakannya di atas meja.
Kamu lalu mengambil piring dan mengisinya dengan sedikit nasi, daging
sapi panggang, dan setumpuk salad.
“Segitu sudah cukup?” tanya Oma ketika kamu mengambil air minum.
“Cukup, Oma. Nanti kalau mau tambah, aku pasti ambil sendiri,”
k

jawabmu.
oo
nb

“Oke, makan saja sesukamu, ya,” kata Oma.


“Terima kasih, Oma. Aku ke kamar dulu, Eyang,” Kamu berpamitan
kepada mereka dan berjalan masuk ke kamar tidur Ibu.
Kamu menutup pintu, duduk di lantai, dan bersandar pada pintu itu. Kamu
memangku piring dan mulai makan. Dari sini, kamu bisa mendengar suara
Oma dan Eyang Erlas yang bercakap di meja makan. Kamu ingin tahu apa
yang Oma bicarakan dengan seorang pensiunan polisi setelah putri semata
wayangnya menghilang.
“… ya, tapi suaminya yang bilang kalau Wineu kabur, dan Wineu tidak
memberimu kabar. Itu mencurigakan.” Terdengar suara Eyang Erlas.
“Aku tidak mau membuat keributan dengan keluarga suaminya, Er. Aku
tidak mau menuduh mereka dulu. Apalagi kalau mereka sampai tiba-tiba
diperiksa polisi. Langkah yang gegabah begitu bisa langsung mencetuskan
permusuhan antara aku dan keluarga mereka. Aku juga mencemaskan posisi
Ve nantinya. Sedangkan mengenai sikap Doni yang jadi ketus kepadaku,
mungkin karena Doni memang masih terguncang atas ‘pengkhianatan’ Wineu
ini. Bukan karena merasa bersalah atas sesuatu yang berusaha dia tutupi.
Aku akan tunggu sampai dia lebih tenang, lalu akan kuajak bicara.
Seharusnya masalah ini bisa didiskusikan secara baik-baik dengan suami dan
mertua Wineu. Terima kasih atas tawaranmu untuk langsung mengerahkan
polisi untuk mencarinya. Sekarang, kami mau coba cari Wineu dulu sebisa
kami. Mungkin dia hanya ingin menenangkan diri di tempat yang jauh dari
keluarganya. Kamu tunggu saja aba-aba dariku.”
Kamu nyaris tersedak makanan yang baru kamu telan. Kamu tidak
mengira tuduhan atas lenyapnya Ibu bisa diarahkan kepada Ayah dan Nenek.
Selama ini, tidak pernah terpikirkan olehmu bahwa bisa saja Ayah yang
berbuat jahat kepada Ibu.[]
k
oo
nb
Situasi Emosi #7:

Muak

OMA MENEMANIMU tidur di kamar Ibu. Kamu memeluknya erat.


Sebelumnya, kamu tidak pernah mendekapnya seperti ini. Namun, kali ini
kamu merasa tidak ingin kehilangannya juga. Sayangnya, tidurmu yang tidak
pernah nyenyak itu terganggu suara mencicit yang terdengar sangat dekat.
Kamu turun dari tempat tidur untuk memeriksa dan menyalakan lampu.
Seekor tikus besar berbulu abu-abu kasar langsung terlihat di kaki pintu.
Kamu spontan memekik dan mengernyit jijik, kemudian mencari-cari alat
k
oo

untuk mengusirnya.
nb

“Ve? Ada apa?” Saat kamu baru memegang kenop pintu, Oma terbangun.
“Ada tikus, Oma. Mau aku usir,” jawabmu, lalu membuka pintu.
Suara-suara mencicit itu malah semakin keras. Kamu terkesiap melihat
ruang keluarga Oma penuh tikus yang berlarian. Ternyata, yang berhasil
menyusup ke kamar Oma hanyalah satu di antara puluhan tikus besar berbulu
abu-abu gelap kasar yang masuk ke rumah. Mereka mencicit-cicit di atas sofa,
menggigiti album-album foto di karpet, menyebar di lantai di depan kamar,
sementara semakin banyak yang datang dari arah ruang tamu.
Kamu menjerit sekuat tenaga. Oma langsung melompat dari tempat
tidurnya dan bergegas menghampirimu. “Ve, ada apa?!”
“Tikuuus!!!” kamu berseru kencang sambil menunjuk pemandangan
mengerikan itu.
Di sampingmu, Oma terkesiap keras sambil memegangi dadanya. Dia pun
praktis meraih lenganmu. “Kita harus pergi dari sini! Keluar! Keluar rumah!”
Kamu segera bergerak, mencari-cari jalan yang kosong. Kakimu
melompati ruang sempit di antara tikus-tikus yang sibuk sendiri sambil
memekik-mekik histeris karena jijik.
Oma mengikuti langkahmu, tetapi berhenti ketika melintasi area sofa di
ruang keluarga. Album-album foto tertangkap penglihatannya dan Oma tidak
sudi koleksi memori kesayangannya itu digerogoti tikus-tikus bau itu.
“Ve, duluan keluar rumah!” ujar Oma, melepaskan pegangannya dari
lenganmu.
“Oma, mau ke mana?!” tanyamu, kemudian menjerit lagi karena ada
seekor tikus berlari di atas kakimu.
“Oma mau pindahkan dulu album-album fotonya sebelum hancur mereka
gigiti!” sahut Oma, berputar arah ke sofa.
“Nanti aja! Oma, kita keluar dulu! Oma!” serumu.
Namun, Oma sudah sibuk mengusir tikus-tikus dari album-album foto
k
oo

kesayangannya. Sementara itu, semakin banyak tikus yang menyerangmu,


nb

mengendus-endus kakimu, bahkan coba-coba menggigitnya. Kamu


melompat-lompat dengan panik, dan cepat-cepat berlari ke luar lewat pintu di
ruang tamu.
Ternyata, banyak juga tikus yang berkeliaran di teras rumah. Kamu terus
berlari sambil menjerit-jerit hingga ke luar pagar rumah.
Kamu sempat melihat Eyang Erlas keluar dari rumahnya yang berhadapan
dengan rumah Oma. Pasti Eyang Erlas mendengar suara-suara ribut dari
rumah Oma dan keluar untuk mengecek keadaan.
“Ve!” Perhatianmu segera berpindah kepada seorang lelaki yang berlari
menghampiri sambil memanggil namamu.
“Ayah!” Kamu langsung mengenali sosoknya meski dalam kegelapan.
“Banyak tikus di rumah Oma, Ayah! Banyak banget!”
“Iya, ayo kita pulang!” Ayah mencengkeram lenganmu dan menarikmu
menjauh.
“Tapi … Oma! Ayah, Oma!” serumu.
“Rumah itu nggak aman! Kamu nggak boleh ke sana lagi! Jijik, banyak
tikus!” ujar Ayah, tanpa menghentikan langkahnya sambil terus menyeretmu.
“Omaaa!” Kamu menjerit-jerit sambil meronta berusaha melepaskan diri
dari cengkeraman Ayah. Kamu khawatir meninggalkan Oma di rumah yang
penuh tikus begitu.
Kamu menoleh ke belakang dan melihat Eyang Erlas telah memasuki
halaman rumah Oma. Eyang Erlas sempat memandangimu dengan raut
prihatin, kemudian berpaling ke rumah Oma karena saat ini Oma lebih butuh
bantuan daripada kamu.
“Oma!!!” Teriakanmu semakin kencang.
“Veee! Vermiliooon!” Oma berseru cemas dari teras rumahnya. Dia
melambai-lambaikan kedua tangannya dengan panik, seperti memanggil,
tampak tidak rela kamu ditarik pergi.
k
oo

“Omaaa! Tolooong!”
nb

“Buat apa kamu minta-minta tolong begitu? Tidak ada yang perlu ditolong!
Bikin malu saja! Bikin keributan di kampung orang!” Ayah menarikmu
sampai ke lantai dua rumah Nenek, mendorongmu masuk ke kamar.
Kamu memekik saat terjerembap ke kasur, memegangi lenganmu yang
terasa amat perih dan panas karena cengkeraman Ayah. Kamu meringis, lalu
berteriak, “Aku nggak mau tinggal di sini! Aku mau tinggal sama Oma!”
Kamu berdiri dan mencoba berlari ke luar lagi, tetapi Ayah menahanmu
dengan kuat.
“Kamu tinggal di sini! Ini rumah kamu!” seru Ayah.
“Enggak! Oma butuh bantuan! Di rumahnya banyak tikus! Aku mau bantu
Oma!” jeritmu.
“Apalagi begitu! Rumahnya nggak sehat! Jorok! Banyak tikus gitu!
Menjijikkan! Bisa-bisa kamu sakit kalau tinggal di sana!” ujar Ayah,
mendorongmu kembali ke arah tempat tidur.
“Aku mau ke rumah Omaaa!” Kamu menjerit-jerit sambil memukuli Ayah
yang tidak mampu kamu lawan dorongannya.
Ayah mendorongmu sampai jatuh terduduk di atas kasur. “Sekarang, tidur!
Tetap di sini! Kamu tidak boleh ke mana-mana lagi! Menyusahkan saja!” seru
Ayah dengan telunjuk teracung.
“Aku nggak suka tinggal di rumah ini! Aku nggak suka Nenek yang
seenaknya sama aku!” jeritmu.
“Ve, kamu harus mengerti, kita sekarang tinggal di rumah Nenek, dan kita
harus mengikuti peraturannya! Nenek nggak suka rambut kamu dicat merah
….”
“Apa hubungannya sama tinggal di rumah ini? Apa urusannya rambut aku
sama Nenek? Rambut aku nggak ada hubungannya sama semua ini! Nenek
juga perlu paham aku ini punya pemikiran sendiri, dan pola pikirku beda dari
k

dia!”
oo
nb

“Diam!!!” Ayah berusaha menyela, tetapi kamu belum mau berhenti


bicara.
“Nenek nggak boleh maksain kehendaknya sama orang lain! Rambut aku
bukan urusan dia! Hidup orang lain juga bukan urusan dia! Semua tuh bukan
tentang maunya dia apa! Kenapa Nenek nggak bijaksana, sih? Kalah
bijaksana sama Ibu!”
“Saya bilang, jangan sebut-sebut dia lagi!” teriak Ayah.
“Yah, ini juga yang jadi masalah di antara kita! Kenapa Ayah nggak mau
ngebahas soal ini? Aku berhak tahu apa yang bikin Ibu pergi! Kenapa Ibu
ninggalin kita?!”
“Dia selingkuh sama orang Inggris itu!”
“Iya, tapi kenapa?! Aku nggak ngerasa Ibu ada masalah di rumah! Ibu
happy-happy aja sama aku! Ibu kelihatannya baik-baik aja! Apa Ibu ada
masalah sama Ayah?”
“Eng-enggak ….”
“Terus kenapa Ibu pengin pergi dari kita?! Apa yang Henry punya, tapi
Ayah nggak punya?”
“Jangan sebut nama itu! Dasar anak kurang ajar! Ibu kamu yang bikin
kamu jadi anak berengsek!” Ayah semakin kehilangan kesabaran, tetapi kamu
tidak menyadarinya dan terus berbicara.
“Oh. Aku tahu. Apa yang Henry punya, tapi Ayah nggak punya! Pikiran
yang terbuka dan wawasan yang luas. Ibu nggak ngajarin aku buat jadi anak
berengsek, Yah, tapi jadi manusia yang berpikiran terbuka dan mampu
mencerna dengan akal sehat! Manusia yang mampu berdiskusi secara baik-
baik! Aku baru sadar, kayaknya Ayah emang nggak pernah punya
kemampuan itu.”
Ayah jarang terlibat dalam aktivitasmu dan Ibu yang melibatkan sikap
kritis atas ilmu pengetahuan atau pembahasan masalah secara ilmiah. Ayah
k

selalu diam. Kamu pikir, dia turut mencerna, tetapi ternyata memang karena
oo

otaknya tidak sanggup saja. Menyuruhmu tidur di tengah diskusi dengan Ibu,
nb

padahal sengaja menyela agar pembicaraan kalian segera disudahi.


“Cukup!” Ayah membentak dengan volume suara yang tidak pernah kamu
dengar sebelumnya. Kamu terperenyak di kasur saat telunjuknya mengacung
ke arahmu. “Kamu terima saja kalau dia sudah pergi! Kita tidak akan
membicarakan ini lagi!” Ayah berjalan ke luar dengan langkah sedikit
mengentak karena marah, membanting pintu hingga jendela kamarmu
bergetar. Sebelum pintu tertutup, kamu sempat melihat Nenek Unung berdiri
di luar kamar dengan seringai yang membuat bulu kudukmu berdiri.
Air matamu tiba-tiba sudah sampai pipi dan dadamu seperti diisi
sebongkah batu panas. Kamu meraungkan tangis, memanggil-manggil nama
Ibu. Kamu melihat gunting yang telah mengorbankan rambut panjangmu
tergeletak di atas meja di samping tempat tidur. Kamu segera menyambar
gunting itu, memandanginya dengan marah.
Kamu bergegas duduk di hadapan meja rias. Ada cermin besar di sana.
Satu tangan langsung mencengkeram sejumput rambut, dan satu lagi
menggerakkan gunting untuk memotongnya. Kamu merapikan rambutmu
sendiri, sambil dalam hati bertekad kuat: kamu akan mencari Ibu.[]

k
oo
nb
Situasi Emosi #8:

Curiga

KAMU MENURUNI tangga dan mengintip ke bawah untuk memastikan


Nenek Unung tidak ada. Kemudian, secepat kilat kamu berlari ke dapur dan
mengambil makanan untuk kamu bawa ke kamar. Untung saja Nenek juga
tidak ada di dapur. Kamu sedang tidak mau berinteraksi dengannya atau
Ayah. Sebisa mungkin kamu meminimalisasi interaksi dengan mereka. Itu
satu-satunya solusi yang bisa terpikir olehmu agar tidak semakin stres sambil
menunggu kabar dari Ibu.
k
oo

Kamu baru saja mengisi piringmu dengan sedikit nasi, sepotong ikan
nb

goreng, buncis rebus, dan dua iris tomat ketika kamu mendengar suara orang-
orang yang berjalan mendekat ke dapur. Sebelum kamu bisa kabur, Nenek
dan Pepep telah muncul dari lorong yang menghubungkan ruang televisi
dengan dapur.
Pepep menenteng dua kantong plastik besar dan gemuk yang transparan
sehingga menampakkan ayam dan tempe goreng di dalamnya. Kelopak mata
cowok itu spontan melebar begitu melihatmu, disertai seringai lebar di
wajahnya. “Wah, rambut baru, nih!” ujarnya, usil.
“Kamu baru bangun? Baru makan?” tanya Nenek.
“Iya, Nek,” katamu seraya bergerak menjauh dari meja makan.
“Eits, mau ke mana? Makan di sini saja,” cegah Nenek.
“Aku mau makan di kamar aja, Nek,” katamu.
“Tidak. Makan di sini. Pepep, temani Ve makan,” Nenek menunjuk meja
makan. Nada suaranya membuatmu mengurungkan niat kembali ke kamar
karena takut.
Kamu mendekat ke meja makan dengan enggan, lalu duduk di salah satu
kursi. Pepep buru-buru menaruh dua kantong plastik besar berisi makanan
matang itu di meja samping kompor. Kemudian, cowok itu terbirit-birit duduk
di sebelahmu dan mengisi piring makannya banyak-banyak.
“Makan, yuk, makaaan! Hehehe …,” ujar Pepep, lalu melahap
makanannya dengan rakus.
Kamu tersenyum kecut dan semakin malas menyuap makananmu.
“Nanti sore akan ada pertemuan dengan ibu-ibu tetangga di sini. Kamu
ikut hadir, ya, Ve!” ujar Nenek sambil mengeluarkan setumpuk piring besar
dari lemari di atas kompor, lalu setumpuk lagi piring kecil. Dia menumpuk
piring-piring itu hingga membentuk menara di meja makan. “Cuma
perempuan. Bapak-bapaknya tidak ikut karena harus bekerja. Laki-laki harus
bekerja. Perempuan yang tidak mau ikut dikunci saja di rumah,” Nenek
k

memberi keterangan tambahan.


oo
nb

Kamu menahan diri agar tidak memutar bola mata mendengar pernyataan
terakhir Nenek. Kamu pernah mendengar tentang pertemuan itu dari Ibu,
katanya topik yang mereka bahas tidak berbobot dan tidak masuk akal. Kamu
belum pernah menghadirinya, tetapi itu bukan sesuatu yang membuatmu
penasaran. Kamu yakin dirimu tidak akan menyukai pertemuan itu karena apa
yang dikatakan Ibu. Kamu dan Ibu punya selera yang sama, terutama tentang
memilih bobot pembicaraan. Kamu tidak mau buang-buang waktu bergosip
dengan ibu-ibu tetangga.
“Enggak, Nek. Makasih,” katamu sopan.
“Eeeh, harus dibiasakan sejak muda! Perempuan muda harus berkumpul
dengan ibu-ibu yang sudah lebih berpengalaman dalam hidup agar tidak
tersesat,” desak Nenek, mengacungkan segenggam sendok yang barusan
diambilnya dari lemari. Setelah menaruh sendok-sendok itu di atas tumpukan
piring besar, Nenek langsung bicara lagi, “Saya mau ke rumah Nyai Mone
lagi, mau menemani Nyai Mone memasak sisa makanan yang lain. Pepep
temani Ve di sini, ya. Nanti saya panggil kalau butuh bantuan untuk
membawa makanan lagi ke sini.”
Pepep tampak semringah. Dia mengangguk-angguk penuh semangat dan
berusaha bicara dengan mulut penuh, “Siap, Nyai!” Beberapa butir nasi
muncrat dari mulutnya.
“Tambah lagi nasinya!” Nenek menunjuk piringmu seraya berlalu.
Kamu tersenyum kecut, kemudian menyuap sesendok terakhir nasi dan
laukmu, mengunyahnya dengan cepat. Setelah menelan, kamu langsung
beranjak dari kursi untuk mencuci peralatan makan yang telah kamu pakai
seperti kebiasaanmu.
“Ve, tambah lagi nasinya! Ini lauknya juga masih banyak!” ujar Pepep.
“Enggak, udah cukup,” jawabmu sambil menggosok piring dengan spons
berbusa.
Selesai mencuci peralatan makan dan tanganmu, kamu berencana buru-
buru pergi. Namun, saat kamu sedang mengeringkan tangan dengan lap yang
k
oo

digantung pada dinding sebelah wastafel, kamu melirik ke arah Pepep. Orang
nb

ini tidak boleh dibiarkan sendirian dan bebas berkeliaran dalam rumah Nenek.
Kamu harus tetap berada di sini untuk mengawasinya.
Kamu beranjak ke pintu yang mengarah ke halaman belakang rumah dan
membukanya lebar-lebar. Kepala Pepep menoleh antusias, memperhatikan
arahmu pergi. Mungkin dia pikir kamu berinisiatif mengajaknya berjalan-
jalan ke halaman belakang. Pepep memasukkan seluruh sisa makanan ke
mulutnya, lalu terpontang-panting menyusul ke teras belakang.
“Hei …,” sapanya dengan mulut masih menggelembung penuh makanan.
Sebutir nasi menempel di dagunya.
Kamu yang telah berdiri di depan pintu terbuka itu pun meliriknya dengan
enggan. Namun, setidaknya dia tetap berada dalam pengawasanmu.
Pepep lalu bicara lagi, “Mau jalan-jalan, ya? Saya temenin, ya ….”
“Telan dulu makanannya,” tukasmu jijik.
“Ow, ow, ow …. Perhatian banget, sih .…” Pepep malah cengengesan.
Kamu memutar bola mata dengan kesal, lalu berjalan menjauh darinya.
“Nih, udah abis! Aaa ….” Pepep berlari mengiringi sambil membuka
mulut dan menjulurkan lidah. Kamu semakin merasa jijik dan mukamu
mengernyit tanpa ditutup-tutupi.
Halaman belakang rumah Nenek sangat luas. Setelah berjalan melewati
sebuah gudang dari kayu yang terletak di sebelah kiri teras belakang, kamu
pun mengambil jalan belok ke kiri.
“Kamu udah lulus SMA, ya?” tanya Pepep, berupaya untuk akrab.
Kamu hanya mengangguk, tanpa lepas memperhatikan pemandangan.
Banyak pohon besar yang sepertinya telah tumbuh bahkan sebelum Ayah
lahir, atau Nenek.
“Berarti udah dewasa, dooong! Hehehe ….” Belum berhenti menatapi
wajahmu, Pepep juga terus bicara dengan suaranya yang melengking itu.
“Iya, Ibu mengajari aku buat berpikiran dewasa sejak dulu,” jawabmu, tak
k
oo

acuh.
nb

“Ih! Ibu kamu kan—”


Barulah kamu menghentikan langkah dan menatap Pepep. “Ibu aku
kenapa?” tanyamu dengan nada memprotes.
“Kepinteran, hehe ….” Pepep cengengesan, tetapi sama sekali tidak
memperbaiki suasana hatimu.
Kamu mendelik, kesal. “Istilah ‘kepinteran’ itu maknanya menyempitkan.
Merendahkan inteligensi manusia. Justru hakikat manusia itu terus belajar,
cari tahu apa-apa saja yang terjadi di dunia ini, lalu mempelajarinya supaya
mampu memahami. Pengetahuan itu nggak ada batasnya, jadi nggak perlu
dibatasi dengan label apakah kita sudah ‘kepinteran’ atau belum. That’s
ridiculous!” Kamu menggeleng-geleng saking tidak bisanya menerima pola
pikir semacam ini, yang jelas tidak mau memperkaya wawasan diri hanya
karena malas atau takut.
“Cewek-cewek tuh suka jual mahal! Dideketin nggak mau! Alasannya
mau sekolah dulu! Ah, males nunggunya! Ngapain juga sekolah tinggi-
tinggi?! Ilmunya nggak bakalan guna! S-1, S-2, S-3—kalau udah S-3 nanti
baru, deh, ngejar-ngejar saya! Ya jelas saya udah enggak maulaaah! Udah
ketuaan! Hahaha ….”
“Cewek-cewek berpendidikan tinggi juga nggak bakal mau sama cowok
berpikiran sempit kayak gitu. Nggak usah kepedean,” katamu.
“Deuuuh, judes banget, sih!” Pepep berusaha mencolek dagumu, tetapi
kamu segera mengelak dengan muka jijik.
Pepep ini tipe cowok norak, cupet, dan kepedean, mengira bahwa
perempuan kota besar mana pun yang punya lebih banyak pengalaman dan
berpendidikan tinggi tetap akan otomatis jatuh cinta kepadanya dan tunduk
pada perintahnya hanya karena dia lelaki dan sudah pasti menjadi
“pemimpin”. Kamu paling sebal ketika dia bicara tentang ibumu. Ibu bilang,
cukup tahu jawaban orang lain, tetapi tidak perlu kamu terseret oleh beban
untuk menganut kesamaan dengannya. Jika ada yang menggugah seleramu
k
oo

untuk mengetahui lebih lanjut, pelajari dengan caramu sendiri. Jika Ibu ada di
nb

sini, dia mungkin tidak akan mendebat Pepep. Hanya akan menyimak
jawabannya sambil tersenyum ramah, lalu memutuskan untuk tidak
melibatkan orang macam ini di hidupnya. Ibumu sedang tidak ada dan cowok
di sebelahmu ini terasa seperti mencibirnya. Kamu kesal bukan main.
“Kamu pulang aja, gih!” Kamu mengusir Pepep.
“Eits, nggak bisa! Saya disuruh Nyai Unung nemenin kamu … hehehe
…,” timpal Pepep, lalu menari-nari mengelilingimu.
Kamu memelototinya, tidak percaya dengan kenorakan cowok ini.
Dipikirnya kamu akan tertawa-tawa geli dan mesem-mesem kesenangan?
Tidak. Kamu melangkah pergi mendahuluinya.
“Ve! Tunggu! Ve!” Pepep memanggil-manggil sambil berlari
menyusulmu.
Kamu terus berjalan tanpa menghiraukannya. Hingga suatu pemandangan
yang tertangkap penglihatanmu membuat langkahmu terhenti. Di depan sana,
ada area pekuburan, dikelilingi pagar besi yang telah berkarat, diapit dua
pohon paling besar di halaman belakang rumah. Tiga kuburan terhampar di
sana. Kamu heran melihatnya. Sebelumnya kan hanya ada dua?
Di samping kuburan itu, terdapat kebun anggur yang cukup luas. Petak
kebun ini ditancapi tiang-tiang kayu yang bagian atasnya dibentuk
menyerupai rangka atap yang bolong-bolong agar akar-akar anggur menjalar
mengikuti bentuk tiang.
Kuburan di kebun anggur ini sudah ada sejak kamu kecil. Setiap kali ke
rumah Nenek, kamu beberapa kali dibawa kemari. Namun, Ibu telah lama
berhenti mengunjungi makam ini. Kamu pun sudah lama tidak berminat main
di kebun anggurnya. Bahkan, kalian mulai jarang mengunjungi Nenek. Ayah
pun jadi mengikuti pola itu. Sebagaimana yang kamu tahu, seumur hidup
kamu mengikuti pola Ibu, dan Ayah juga menjalaninya bersamamu dengan
senang hati. Kamu tidak pernah melihat Ayah cekcok dengan Ibu, bahkan
untuk masalah sepele seperti memilih makanan untuk delivery order atau
k

waktu bepergian bersama. Kamu tidak pernah melihat Ayah memprotes


oo

keputusan Ibu. Kehidupan mereka tampak harmonis. Setidaknya sampai Ibu


nb

pergi.
Meski samar-samar, kamu ingat kali terakhir mengunjungi area ini, kamu
melihat hanya ada dua nisan. Sekarang ada tiga. Apakah ada orang yang baru
dimakamkan di sana? Penasaran, kamu melangkah mendekati kuburan itu.
“Eh, eh, jangan ke sana!” Pepep mencegah dengan menarik lenganmu.
Kamu menyentakkan lengan agar tangan Pepep terlepas. “Aku udah sering
ke sini!”
Kamu berlari hingga sampai di balik pagar dan bisa menatap area
pekuburan itu lebih dekat. Ketiga makam itu sangat bersih. Sepertinya,
rumput yang tumbuh di situ dipangkas setiap hari. Dua kuburan dengan nisan
bertuliskan nama lengkap Bapak Embing dan Emah Ahim—orangtua Nenek
Unung—sudah sering kamu lihat. Dari dulu ada di situ.
“Kata Emak saya, Bapak itu orang yang paling dihormati masyarakat sini.
Bapak yang nolong warga sini. Kalau ada yang sakit, dibawa ke Bapak. Kalau
ada masalah apa-apa, pasti semua orang datangnya ke Bapak. Setiap
ucapannya selalu diikuti sama warga. Bapak idola saya banget, deh! Peraturan
hidupnya itu paling baik. Kamu beruntung jadi keturunan Bapak! Cantik lagi!
Hehehe ….” Pepep terus mengoceh demi merengkuh perhatian darimu.
Namun, perhatianmu terpaku pada satu kuburan yang paling kanan, yang
baru kali ini kamu temukan. Kamu membaca nama pada nisan di kuburan
yang ukurannya paling kecil itu.
SOMAJI
“Siapa Somaji?” Kamu spontan bertanya.
“Ah, masa kamu nggak tahu?” sahut Pepep.
“Aku hanya mengetes. Katanya kamu mengidolakan Bapak.” Kamu
terpaksa menyengir agar terlihat meyakinkan.
“Pastinya saya tahu, dooong! Somaji itu … adiknya Nyai Unung!” jawab
Pepep.
k
oo

Kamu terperangah. “Aku nggak tahu Nenek punya adik. Dulu dia tinggal
nb

di mana?” tanyamu.
Pepep kelihatannya tidak nyaman dengan topik ini. Namun, karena kamu
terus bertanya, dia jadi merasa penting dan diinginkan. Maka, Pepep
menjawab dengan bangga karena bisa memberimu jawaban.
“Adik Nyai Unung udah meninggal sejak kecil. Nggak lama abis itu,
Emah juga meninggal. Dikubur di situ. Nyai Unung jadi tinggal berdua sama
Bapak di sini sampai Nyai Unung nikah dan punya anak, Pak Doni. Bapak
juga meninggal di sini, makanya dikubur di sini juga bareng Emah sama
Somaji,” kata Pepep, menjadi orang yang malah lebih tahu soal leluhurmu
daripada kamu sendiri.
“Adiknya nenek udah meninggal sejak kecil? Tapi sebelum ini nggak ada
kuburannya di sini,” timpalmu.
“Adaaa! Tapi nggak dikasih nisan!” ujar Pepep, kemudian suaranya
memelan, seolah tidak mau ketahuan memberitahumu soal ini. “Baru
kemarin-kemarin Nyai Unung mau pasang nisannya. Kalau dulu, katanya dia
ngerasa bersalah banget, enggak mau ingat Somaji ….” Lalu, suaranya
meninggi lagi. “Eh, nama kamu awalnya dari huruf ‘C’, ya? Cerissa
Vermilion … dipanggilnya ‘Ve’! Saya tahu dari Nyai Unung. Saya inget-inget
terus. Nama kamu bagus banget, ya! Apalagi awalnya dari huruf ‘C’, sama
kayak saya … ‘Cepi’! Dipanggil ‘Pepep’! Bisa juga jadi ‘Vevep! Biar sama
kayak kamu! Jadi kita jodoh! Hehehe .…”
Kamu tidak sudi menggubris ocehan Pepep karena merasa perlu menggali
lebih banyak informasi lain yang lebih penting dari cowok ini.
“Pepep!” serumu tiba-tiba.
“Iya, Manis?” sahut Pepep, menyengir lebar.
Kamu muak melihatnya, tetapi kamu perlu bertahan sebentar untuk
membuatnya bicara lebih banyak. “Kayaknya kamu udah kenal banget sama
keluarga aku,” katamu, pura-pura tersenyum.
k

“Oh, iya, dooong! Siapa sih yang nggak kenal sama keluarga Bapak?
oo
nb

Semua orang di sini pasti tahu keluarga Bapak! Saya juga dari kecil udah
diceritain gimana Bapak itu, anaknya siapa aja, cucunya siapa aja. Emak saya
juga dari dulu selalu ngajarin saya apa kata Bapak. Kebaikan-kebaikannya.
Kisah-kisah hidupnya. Bahkan, waktu saya kecil, emak saya selalu bilang,
‘Pepep, anak laki-laki enggak boleh nangis! Nanti kayak Somaji!’, gitu!
Hahaha ….”
Nanti kayak Somaji? Ini berkaitan dengan informasi yang ingin kamu gali
lebih banyak. Maka, kamu segera memanfaatkan arah pembicaraan ini. Kamu
pura-pura tertawa bersamanya dan segera menyelipkan pertanyaan bernada
santai, “Hahaha …. Somaji itu segitunya bisa bikin cowok-cowok enggak
mau nangis, ya?”
Pepep masih tertawa dan lanjut bercerita. “Iya! Katanya, dulu itu si Somaji
selalu nangis. Bapak sampai kesal banget dengerin dia nangis. Terus, tiap
Somaji nangis, Bapak selalu bilang, ‘Kalau nangis terus, saya potong kelamin
kamu!’ Hahaha ….”
Kamu terkejut hingga kelopak matamu melebar. Namun, saking asyiknya
mengoceh, Pepep tidak memperhatikan perubahan raut mukamu. Dia terus
saja bercerita penuh semangat.
“Suatu hari, ada yang minta tolong Bapak buat memurnikan anaknya ….”

“Pak, itu Somaji nangis terus di kamar. Saya ke sana dulu, ya ….”
Bapak langsung menegurnya. “Sebentar lagi tamunya datang! Sambut
dulu! Kamu juga harus mengambil air nanti.”
“Iya, nanti pasti saya ambilkan airnya, tapi sekarang saya mau lihat Somaji
dulu ….”
“Diam! Jangan banyak bicara! Itu tamunya sudah datang! Tamu penting
begini, kamu mau biarkan saya menyambut sendiri?! Dasar wanita tidak
sopan!”
Emah menunduk begitu Bapak membentaknya. Pria bertubuh tinggi besar
k
oo

itu memakai kemeja hitam serta celana katun yang sewarna dengan bajunya.
nb

Emah, yang bertubuh tinggi dan amat kurus, berdiri dengan postur sedikit
membungkuk di sampingnya. Dia mengenakan pakaian merah jambu dengan
bunga-bunga kuning. Penampilan mereka tampak sangat kontras.
Perhatian Bapak segera teralih kepada sepasang suami istri yang menarik
anak perempuan mereka yang berusia 18 tahun ke dalam rumah. “Tamu
penting” yang ditunggunya. Orang-orang ini dia anggap akan bisa menaikkan
derajatnya sebagai “penyembuh” dan orang terpandang di wilayah ini.
Di ruang tamu, Bapak menyambut mereka dengan suaranya yang berat
dan menggelegar, penuh semangat, sementara Emah mendampinginya.
Perempuan muda itu meronta-ronta, tidak ingin dibawa kemari. Namun,
orangtuanya selalu menganggap dia membawa masalah bagi keluarga karena
keinginan gigihnya untuk belajar sampai ke luar lingkup yang dipahami
orangtuanya. Maka, mereka membawanya kepada Bapak. Orangtuanya
bergantian menyalami Bapak dan mengadu penuh ucapan memohon. Bapak
manggut-manggut. Sebelumnya, mereka memang telah mendatangi rumah
Bapak untuk meminta pertolongan.
Pada saat bersamaan, Emah mendengar suara tangis bayi lelakinya yang
ditinggalkan di kamar tidur semakin kencang. Namun, Bapak menyuruh
Emah segera ikut ke halaman belakang, tempat anak perempuan itu akan
dimandikan. Emah mengangguk patuh dan berjalan mengiringi Bapak. Dalam
hatinya, dia berencana mampir ke kamar tidur dulu sebelum aktivitas Bapak
dimulai.
Pasangan tua yang menggandeng anak perempuan mereka itu membuntuti,
diiringi suara-suara ribut mereka yang saling meneriaki. Sang anak
perempuan menganggap keputusan orangtuanya ini sangat konyol dan tidak
masuk akal. Dia hanya ingin banyak belajar, apa yang salah dari itu? Namun,
orangtuanya malah menganggap keinginan yang ada dalam otak sang anak
merupakan cikal bakal untuk menjadi perempuan pembangkang. Mereka
bilang, sudah berhari-hari anak itu bersikap menyusahkan karena terus-
terusan merengek ingin pindah ke ibu kota untuk meneruskan sekolah.
k

Padahal, orangtuanya telah menyiapkan perjodohan untuk membuat hidupnya


oo

lebih baik. Anak perempuan itu setiap hari menjerit-jerit histeris di rumah,
nb

dan Bapak bilang, anak itu kemungkinan telah terpengaruh oleh tukang
tenung, dan sebentar lagi akan menjadi tukang tenung juga. Orangtuanya
panik bukan main, tetapi Bapak memberi solusi. Emah telah terbiasa melihat
orang-orang yang memiliki masalah begini datang kemari, meminta pikiran
anak perempuan mereka “dimurnikan” oleh Bapak. Emah juga yang selalu
disuruh Bapak menampung air dari keran di halaman belakang untuk
memandikannya.
“Bapak duluan saja ke kebun anggur, saya ambil dulu baskom dan slang di
gudang,” kata Emah setelah mereka keluar lewat pintu dari dapur, lalu
melintasi gudang sempit dari kayu.
“Ya! Jangan lama-lama! Ini harus segera dimandikan! Air harus segera
dikumpulkan!” seru Bapak, lalu mengajak keluarga itu menuju kebun anggur.
Sementara itu, Emah dengan terburu-buru kembali memasuki dapur dan
berlari ke kamar tidurnya. Dia hendak memeriksa keadaan Somaji.
Betapa terkejutnya Emah begitu masuk kamar dan mendapati
pemandangan yang amat mengerikan di dalam sana. Anak perempuannya
yang berusia enam tahun duduk berjongkok di kasur sambil memegang
sebuah gunting besar berlumuran darah. Sedangkan Somaji, adik bayinya,
berbaring di sampingnya sambil menangis, dengan kedua tangan mengepal
kencang dan kaki yang menendang-nendang.
Tubuh Emah gemetaran ketika berjalan menghampiri anak-anaknya.
“Unung …,” desisnya penuh ketakutan.
Anak sulungnya itu memandangi Emah dengan sorot mata tanpa rasa
bersalah. “Adik nangis terus …,” katanya, menunjuk Somaji.
Sambil mendekat, Emah mengulurkan kedua tangannya yang gemetar
hebat. Dia terkesiap keras begitu langkahnya terhenti di tepi kasur. Emah
sudah melihat apa yang terjadi kepada anak bungsunya. Alat kelamin Somaji
telah terpisah dari tubuhnya, dan tergeletak di antara bayi itu dan kakak
perempuannya.
k
oo

Unung yang merasa hanya melakukan hal yang setiap malam diserukan
nb

oleh bapaknya sebagai ancaman ketika Somaji menangis terus, berkata, “Kan
kata Bapak—”
Teriakan Emah melengking nyaring, terdengar di sepanjang Gang Bapak.

“Ya gitu, jadi laki-laki nggak boleh nangis kalau nggak mau jadi kayak
Somaji! Hahaha ….” Pepep tertawa seolah cerita itu sama sekali tidak
mengerikan.
Kamu langsung berjalan menjauh darinya demi menyembunyikan
keterkejutanmu. Kamu berusaha mengendalikan tubuhmu yang gemetar
karena cerita tragis yang disuguhkan Pepep. Seluruh tubuhmu mendingin
karena rasa takut, dan kamu membayangkan apa yang akan dilakukan Nenek
Unung kepadamu seandainya kamu menolak keinginannya. Kamu sungguh
tidak mengira pernah terjadi tragedi yang begitu mengerikan pada masa lalu
nenekmu.
Kamu berjalan menghampiri kebun anggur yang buahnya amat lebat. Satu
tanganmu spontan terulur untuk memetik buahnya.
“Eh, eh, eh! Jangan! Jangan diambil! Buah itu kena kutukan!” seru Pepep.
“Kutukan apa, sih?!” Kamu agak muak dengan semua cerita yang tidak
masuk akal itu.
“Kutukan tukang tenung! Tanahnya kena kutuk! Dulu, waktu mereka
dimandiin, airnya ngerembes ke tanah, naik ke buah! Katanya, malah pernah
ada yang dikubur di situ!” Pepep memelankan suaranya, bergidik penuh
kengerian. Dia menjulurkan kedua tangan, menggoyang-goyangkannya
sebagai isyarat agar kamu menghindari kebun anggur. “Jangan dekat-dekat!
Nanti kamu kena kutuk, jadi kayak tukang tenung!”
Ada apa sih dengan rumah Nenek?! Kamu sungguh terguncang, dan
persepsimu tentang keluarga Ayah tidak lagi sama. Pantas saja, sejak dulu ada
kebun anggur di rumah nenekmu, tetapi kamu tidak pernah disuguhi buah
k

anggur. Seketika, kamu pun teringat Nenek yang pernah menyebut-nyebut


oo

soal “tukang tenung”. Pada malam saat kamu bicara dengan Nenek di teras
nb

belakang, pikiranmu menangkap sepertinya itu sebutan bagi perempuan yang


pintar dan punya pemikiran yang lebih maju. Seketika, kamu memikirkan hal
yang mengerikan. Perempuan seperti Ibu?
“Pepep!” Terdengar suara Nenek yang berseru keras dari dalam rumah.
Kamu terperanjat dan segera berlari kembali ke arah rumah karena tidak
ingin kelihatan sedang mencurigai kuburan serta kebun anggur itu. Pepep
terkejut melihat kecepatanmu pergi.
“Hei! Hei! Tungguuu!” jerit cowok itu, kemudian berlari mengikutimu.
Ketika kamu tiba di ambang pintu belakang yang tadi dibiarkan membuka,
Nenek sudah sampai di meja makan.
“Ve, dari mana kamu?” tanya Nenek.
“Habis joging di halaman belakang,” jawabmu, cepat-cepat berlari ke
tangga.
Kamu telah tiba di lantai dua saat Pepep tiba di dapur dan disuruh Nenek
membawa kantong makanan lain.
Kamu masuk ke kamar, menutup pintu, dan menguncinya. Sejak kejadian
Nenek menyusup ke kamar ini dan mengguntingi rambutmu, kamu tidak
pernah lupa mengunci pintu. Kini, benakmu pun telah ramai, mengulang
cerita yang baru kamu dapat tentang kematian Somaji dan “tukang tenung”.
Namun, kamu menilai cerita tersebut dari sisi lain. Bukan mengenai pesan
yang akhirnya disimpulkan orang-orang di sini, bahwa “anak lelaki tidak
boleh menangis”, melainkan pengaruh peristiwa masa kecil itu pada
psikologis Nenek. Terlebih, dia hidup di bawah pengaruh orangtua yang
mengambil jalan kekerasan untuk menghakimi orang lain, seperti Bapak.
Seperti dalam film thriller yang pernah kamu tonton, masa lalu yang kelam
dan mengguncang jiwa seorang tokoh biasanya amat berpengaruh pada pola
pikir dan sikapnya pada masa kini.
Matamu melirik foto Bapak di dinding dan memicing menatapnya. Kamu
k

ingin meneliti lebih jauh kebun anggur di halaman belakang rumah. Kamu
oo

keluar kamar, lalu mendaki tangga ke lantai tiga, sebuah balkon tempat
nb

mencuci dan menjemur pakaian. Dari balkon ini, kamu bisa melihat kebun
anggur di halaman belakang rumah.
Tukang tenung? Lagi-lagi, soal “tukang tenung”. Apa yang dulu Bapak
terapkan di masyarakat sini, di keluarganya, dan apakah Nenek meneruskan
perilaku bapaknya? Apa betul ada “tukang tenung” yang “dimurnikan” yang
dikubur di sana? Mereka “dimurnikan” sampai mati atau tidak?
Kamu merasa curiga, dan timbul keinginan menggali tanah di kebun
anggur itu.[]
Situasi Emosi #9:

Benci

TAS BERISI dompet dan ponselmu tertinggal di rumah Oma saat tragedi
tikus tempo hari. Sore ini, kamu berniat mengambilnya ke sana. Ayah belum
pulang bekerja dan kamu harap Nenek sudah selesai dengan pertemuannya.
Namun, saat mengintip ke bawah, kamu melihat wanita-wanita tua itu masih
berkumpul di ruang tamu. Mereka duduk berkeliling di atas karpet yang
menggantikan kursi serta meja di sana tiap kali ada pertemuan. Bakul-bakul
nasi dan piring-piring berisi makanan ditaruh di tengah-tengah mereka.
k

Semuanya memperhatikan orasi Nenek yang menggebu-gebu.


oo
nb

“Anak-anak zaman sekarang memang banyak yang menyalahi peraturan


hidup!” kata Nenek. Wanita-wanita tua di sekelilingnya manggut-manggut
sambil terus mengunyah. “Mereka tidak mau mendengarkan omongan orang
tua yang sudah hidup lama dan berpengalaman! Sukanya membantah! Apa
mereka mau tersesat dalam hidup ini? Kita, orang-orang tua, yang paling tahu
soal kehidupan ini!”
“Tanda-tanda dunia kita akan hancur,” komentar Nyai Mone, wanita
bertampang galak yang duduk di samping Nenek. Ibunya Pepep.
“Iya, kita harus menghindari itu! Kata Bapak Saya, kita harus mematuhi
semua peraturan hidupnya, supaya kita selamat!” ujar Nenek.
“Kita harus terus mendidik anak-anak lelaki untuk menjadi pemimpin
yang meneruskan peraturan hidup. Begitu, ‘kan?” timpal Nyai Mone.
Nenek menoleh kepada Nyai Mone. “Betul! Kata Bapak Saya juga begitu!
Anak perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi! Anak perempuan tidak
perlu jadi pintar! Otaknya tidak berguna! Kalau dikasih kebebasan nanti jadi
membangkang, jadi melawan laki-laki! Malah jadi menyusahkan keluarga dan
masyarakat kita!”
“Nyai, tapi katanya menantu Nyai sendiri pembangkang?” tanya Nyai
Mone.
Nenek tiba-tiba membanting piringnya ke karpet. Semua temannya
tersentak kaget. Kamu ikut tergagap. Beruntung kamu mampu menahan diri
hingga tidak sampai menjerit. Kamu tidak ingin dirimu tepergok tengah
menguping pembicaraan ini.
“Dia memang meragukan kebenaran Bapak! Jangan pernah sekali pun
meragukan kata Bapak Saya! Apa yang diwariskan beliau adalah kebenaran
yang mutlak! Janji kebahagiaan! Kemakmuran! Kesejahteraan! Secara
pribadi, ini adalah cobaan untuk saya. Sebagai satu-satunya keturunan Bapak
Saya, saya punya tanggung jawab yang besar untuk menurunkan wasiat
tentang peraturan hidup ini. Semua itu demi kebaikan kita! Meski banyak
cobaan, kalau kita berhasil melakukan peraturan hidup, kita akan selamat dan
k
oo

bahagia! Kata Bapak Saya, semua cobaan harus dijalani! Nanti juga saya akan
nb

mendapat kebahagiaan! Kalian akan mendapat kebahagiaan! Kita harus terus


melakukan hal yang paling benar sesuai perintah hidup Bapak Saya! Kita
harus melenyapkan duri dalam daging! Borok di lingkungan kita! Yang
membawa keburukan bagi kita semua! Kalau kita berhasil membersihkannya
dari masyarakat, nanti kita akan mendapat imbalan kebahagiaan. Bapak Saya
menjamin kebenaran itu! Dia orang paling terpandang di sini! Semua orang
sangat hormat sama Bapak Saya! Semua orang, kalau ada masalah, bertanya
sama Bapak Saya! Semua orang mendengar kata-kata Bapak Saya! Bapak
Saya selalu benar! Sekarang, tinggal bagaimana kita terus menerapkan semua
perkataan dan didikannya! Terus menjalani peraturan hidup yang benar!”
Nenek tiba-tiba mengoceh sendiri. Nyai Mone tidak berani
mengomentarinya lagi. Semua wanita itu bungkam dan berhenti mengunyah,
tidak berani pula menatap mata Nenek.
“Perhatikan juga anak-anak perempuan kalian! Kata Bapak Saya, jangan
dimanja, jangan dibiarkan main-main ke luar! Nanti jadi banyak akal dia
untuk menipu kita! Hati-hati, kemampuan mereka yang terlalu tinggi akan
membawa nasib buruk bagi kita! Mereka akan melangkahi derajat laki-laki,
dan itu tidak benar! Salah besar! Kata Bapak Saya, dari sananya lelaki selalu
lebih unggul dari perempuan! Perempuan itu tugasnya hanya membantu!
Kalau tidak begitu, berarti perempuannya yang membelot! Jangan biarkan
anak-anak perempuan kalian menyalahi peraturan hidup!” Nenek menunjuk
para wanita yang duduk mengelilinginya.
Kamu mengernyit, merasa tidak setuju dan pikiranmu penuh pertanyaan.
Ibu betulan dianggap pembangkang?
“Masalah pada zaman sekarang ini, banyak alat teknologi yang dibuat
dengan sengaja untuk membuat perempuan jadi menyalahi posisinya. Ini
tantangan bagi kita. Jangan sampai semua itu jadi memberi kutukan kepada
keluarga kita! Anak-anak perempuan tidak boleh dibiarkan banyak bergaul di
luar! Hancur nanti pikirannya!” ujar Nenek menggebu-gebu.
“Peraturan hidup” versi Nenek Unung ini menyudutkan perempuan, dan
k
oo

menempatkan perempuan sebagai “budak”, seakan harga diri mereka tidak


nb

berarti apa-apa. Seolah perempuan tidak boleh punya prestasi dan


menciptakan inovasi canggih yang memajukan peradaban manusia. Kamu
merasa pola pikir Nenek amat sempit, dan kamu jelas tidak mau mengikuti
cara hidupnya. Nenek sendiri juga perempuan, tetapi tanpa sadar
merendahkan derajat perempuan. Kamu semakin tidak nyaman
mendengarnya. Kamu kembali masuk kamar dengan pikiran yang memprotes
dan perasaan marah.
“Apaan coba nenek-nenek mikirnya kayak gitu? Masalahnya apa? Cara
berpikir mereka itu yang bermasalah! Kalau pemikiran mereka nggak
nyampe ke level otak canggih kayak punya Ibu, ya jangan seret generasi aku
ke level mereka yang rendah! Begini, nih, kalau perempuan malas belajar!
Nggak mampu mengembangkan fungsi otak! Nggak punya wawasan yang
luas! Sudah tua tetap saja cupet! Udah gitu, maksa orang lain buat jadi
bodoh seperti mereka lagi! Dih, ogah! Ibu benar soal generation gap. Jarak
pikir yang terlalu jauh dapat menyulitkan generasi dengan kehidupan yang
sudah lebih canggih karena generasi yang tertinggal tidak mampu menyamai
perkembangan cara pikir dan pola hidup yang mutakhir. Pikiran mentah.
Pikiran belum matang. Tapi tidak mau membuka diri pada ilmu-ilmu yang
telah diperbarui dan memperbarui zaman.” Kamu sungguh jadi semakin
merindukan Ibu.
Kamu jadi semakin yakin ada yang salah dengan pemikiran Nenek. Ibu
pernah berbincang denganmu mengenai cultural capital, yang sumber
utamanya dari orangtua. Pasti perilaku Bapak semasa hidupnya dulu ada
hubungannya dengan pembentukan pola pikir Nenek. Termasuk kejadian
yang dialami Nenek saat kecil, saat masih hidup bersama Bapak. Kini, kamu
sudah tahu bahwa dulu, waktu kecil, Nenek pernah menggunting alat kelamin
adik laki-lakinya sampai anak itu meninggal dunia. Peristiwa itu pasti
mengguncang jiwanya. Apalagi dia tinggal bersama seorang bapak yang tidak
ingin orang lain membantah apa katanya. Pasti seumur hidupnya, Bapak
menjejali Nenek dengan banyak pola pikir yang menyudutkannya sebagai
anak perempuan, yang menyalahkannya, mengekangnya. Itu juga yang
k

akhirnya membuat Nenek selalu menyebut “kata Bapak Saya”.


oo

Lalu, kamu mengetahui ini kemudian hari, bahwa pada sore itu pula, Oma
nb

Teti datang ke rumah Nenek Unung. Membawa tas berisi ponsel dan
dompetmu, Oma berharap langkahnya ini bisa membuatnya bertemu
denganmu lagi. Namun, Oma diadang Nenek di pintu depan. Katanya, kamu
sedang sakit dan tidak bisa diganggu. Setelah diberi tahu begitu, tentu saja
Oma jadi kian bersikeras ingin melihat kondisimu dan menawarkan diri untuk
membantu memulihkan kesehatanmu. Namun, wanita-wanita tua yang sedang
berkumpul di ruang tamu secara serempak berdiri, seperti membentuk
barikade di belakang Nenek. Seolah mereka pun tidak mau Oma memasuki
rumah dan melihat kondisimu dalam kamar di lantai dua.
Akhirnya, Oma menitipkan tasmu kepada Nenek dan berpamitan pulang.
Nenek tersenyum dan berkata akan menyampaikan pesannya kepadamu.

Kamu mendengar Ayah berseru mengucapkan salam sambil membuka pintu


depan. Terdengar pula suara Nenek yang menyahutinya. Kamu tahu Ayah
akan langsung ke meja makan. Lantas, kamu keluar dari kamar dan turun ke
sana.
“Halo, Ayah,” kamu menyapa ketika Nenek menyerahkan sepiring penuh
nasi dan lauk kepada Ayah. “Gimana di kantor hari ini?” tanyamu, sambil
duduk di kursi kosong sampingnya.
“Biasa saja,” jawab Ayah, mulai makan.
“Kamu mau makan juga, Ve?” Nenek menawari.
“Nanti aja, Nek. Makasih,” timpalmu sopan.
“Perempuan baik-baik tidak menolak tawaran orang tua,” kata Nenek,
sambil mengisi satu piring lagi dengan nasi dan lauk banyak-banyak,
kemudian menaruh piring itu di hadapanmu.
Kamu memandangi makan malam yang terlampau banyak itu dengan
perasaan kesal. Kamu tidak menyentuhnya, dan lanjut menyampaikan
maksudmu kepada Ayah.
k

“Yah, habis makan, antar aku ke rumah Oma, ya?” pintamu.


oo
nb

“Untuk apa?” tanya Ayah, nada suaranya ketus.


“Tas aku ketinggalan di sana. Isinya HP sama dompet,” katamu.
“Kamu ini, tidak lihat ayahmu sedang makan?” kata Nenek.
“Ya kan aku bilang nanti, habis Ayah makan ….” Kamu membela diri.
“Kenapa tidak dia saja yang kembalikan tasmu ke sini?” ujar Ayah.
“Oma mungkin nggak tahu tas aku ketinggalan di kamar Ibu di sana.
Lagian, biar aku sekalian nengok Oma juga. Kemarin kan di rumahnya ada
serangan tikus gitu. Aku mau cek apa Oma baik-baik aja ….”
“Sudah tahu rumah itu kotor! Jangan ke sana!” tukas Ayah.
“Ayah kok gitu, sih? Kalau Ayah nggak mau antar aku, ya udah! Aku bisa
ke sana sendirian!” ujarmu, seraya bangkit dari kursi.
“Ve, tunggu!” seru Nenek, langsung berdiri juga dari kursinya. “Nenek
baru ingat, tadi dia kemari, mengembalikan tasmu ….”
“Oma ke sini? Tadi sore? Kok aku nggak tahu?” sahutmu.
“Tadi dia datang, kamu sedang di kamar. Nenek tidak mau
mengganggumu,” kata Nenek.
Kamu melongo. “Mengganggu? Aku nggak akan terganggu kalau dikasih
tahu Oma datang ke sini! Aku malah pengin ketemu Oma! Kok Nenek nggak
ngasih tahu aku, sih?!”
“Ve, kamu itu kebiasaan, ya, tidak sopan sama Nenek,” sela Ayah.
Kamu mendelik kesal karena Ayah selalu membela Nenek tanpa melihat
konteks situasinya.
“Nenek ambilkan dulu tas kamu,” katanya.
Kamu memutar badan, memperhatikan Nenek masuk ke kamarnya, dan
kembali ke meja makan membawa tas selempang berwarna cokelat milikmu.
Kamu menerimanya dengan bersemangat dan membongkar isi tas itu. Ada
dompetmu, juga ponselmu. Namun, ponsel itu kini dalam keadaan mati dan
k
oo

layarnya retak.
nb

“Kok HP aku rusak gini?” kamu memprotes.


“Ve, jangan menuduh Nenek begitu!” tegur Ayah.
“Aku nggak nuduh Nenek. Aku tanya, kenapa HP aku jadi rusak gini?
Terakhir aku pegang masih baik-baik aja!” sahutmu, kesal.
“Tidak tahu,” kata Nenek, masih berdiri di belakang kursimu sambil
memangku lengannya di dada. “Mungkin dipakai omamu untuk membunuh
tikus-tikus itu.” Nenek menyeringai seraya beranjak pergi.[]
Situasi Emosi #10:

Jijik

KAMU BANGUN agak siang karena semalaman sulit tidur dan baru bisa
terlelap menjelang pagi. Dalam mimpimu, muncul kebun anggur dan Ibu
yang berdiri di sana. Seolah kecurigaanmu telah tertanam di alam bawah
sadar, lalu menampakkan diri saat kamu dalam keadaan tidak sadar. Kamu
terkesiap keras dan nyaris menjerit saat terbangun. Kamu langsung ke kamar
mandi. Lantai dua rumah ini seperti dimensi lain, sebab kalau sudah turun ke
lantai satu, kamu akan berhadapan dengan orang-orang yang pikirannya
k

membuat kamu ingin marah terus. Setelah bersih dan rapi, kamu turun untuk
oo

makan, berencana pergi ke rumah Oma setelahnya. Kamu makan sendirian,


nb

tidak melihat Nenek di dalam rumah. Kamu bersyukur karenanya.


Selesai makan, kamu mencuci piring, sendok, garpu, dan gelas yang kamu
pakai. Lalu, kamu buru-buru menuju pintu depan. Saat kamu menarik
kenopnya, pintu itu ternyata dikunci. Kamu tidak menemukan kuncinya
digantung di lubang pintu, tidak ditaruh di meja, atau di dekat situ. Kamu
seperti sengaja dikunci dalam rumah! Sudut matamu lalu menangkap
pemandangan di luar.
Lewat vitrase yang tidak disibak setiap pagi seperti gorden, kamu melihat
seorang lelaki sedang berbicara dengan Nenek di luar pagar rumah. Kamu
langsung mengenali sosoknya. Itu Akar! Kamu terkejut melihat Akar datang
kemari, tetapi dia juga bisa menjadi bantuanmu untuk keluar.
“Akaaar!!!” kamu menjeritkan namanya, lalu memukul-mukul kaca
jendela.
Akar tampak berpamitan kepada Nenek, kemudian melangkah pergi.
Kamu semakin panik.
Kamu sibakkan vitrase dan memukul-mukul kaca jendela lebih keras.
“Akaaar!”
Begitu Akar melangkah pergi, Nenek berbalik dan membuka pagar untuk
memasuki rumah. Sebelum Nenek mencapai pintu depan, kamu terbirit-birit
menuju tangga dan buru-buru kembali ke kamar.
Kamu menyobek kertas dari buku catatan yang kamu taruh di meja
samping tempat tidur, meremasnya menjadi gulungan, dan membuka jendela
untuk melihat posisi Akar. Cowok itu belum jauh dari pagar rumah Nenek,
maka secepatnya kamu melempar gulungan kertas itu ke arahnya. Memeleset,
terjatuh di belakang punggung Akar. Cowok itu terus berjalan menjauh.
Kamu cepat-cepat menyobek dan meremas satu kertas lagi. Lantas
melemparkannya sekuat tenaga ke arahnya. Gulungan kertas itu memelesat
dan dalam sekejap melengkung turun mengenai kepala Akar. Cowok itu
k

spontan berhenti dan memegangi kepalanya.


oo
nb

Akar mendongak, tampak mencari-cari orang yang melemparinya barusan.


Dari balik terali jendela yang terbuka di lantai dua, kamu melambai-lambai
penuh semangat. Kamu hanya bisa mendesiskan namanya, tidak ingin
kedengaran oleh Nenek bahwa kamu mencoba berkomunikasi dengan Akar.
Kedatangan Akar yang tidak disampaikan kepadamu ini jelas membuatmu
menduga Nenek tidak ingin kamu menerima tamu.
“Ve?” Akar kelihatan heran melihatmu. Kemudian, dia menoleh ke arah
pintu depan, seolah memastikan bahwa Nenek Unung sudah masuk rumah.
Lalu, dia menatapmu lagi.
Kamu menulis pesan pada secarik kertas, meremasnya, lalu
melemparkannya kepada Akar. Gulungan kertas ketiga itu jatuh di kakinya,
dan cowok itu segera memungut serta membaca isinya.
HP aku dirusak.
Nggak bisa keluar.
Sementara Akar membaca pesan pertama itu, kamu telah menyobek kertas
keempat dan menulis pesan tambahan di situ. Akar mendongak lagi begitu
selesai membaca pesan pertama, dan segera melihatmu melemparkan
gulungan kertas berikutnya. Akar menangkapnya dengan sigap dan langsung
membaca isinya.
Manjat ke balkon jemuran.
Pintunya nggak pernah dikunci.
Akar menatapmu dan mengangguk. Dia memasukkan kedua kertas berisi
pesan darimu itu ke saku celananya. Lalu, dia celingak-celinguk, memastikan
tidak ada orang yang mengintip komunikasi rahasianya denganmu. Kamu
semakin yakin Nenek Unung memberi Akar alasan bohong bahwa kamu tidak
bisa ditemui. Sama sepertimu, Akar menyadari situasi itu, dan segera
memahami maksud pesanmu.
“Nanti aku ke sini lagi,” Akar menggerak-gerakkan mulutnya,
menyampaikan pesan.
k

Jelas cowok itu tidak bisa melakukan instruksimu pada siang bolong
oo
nb

begini. Akar tahu dia harus memperhitungkan jalannya misi ini. Maka, untuk
sekarang, cowok itu bergegas pergi. Kamu merasa lega. Akar akan
memikirkan waktu yang tepat agar bisa masuk ke rumah Nenek dan
menemuimu. Kamu menutup gorden dan menjauh dari jendela.
Hanya saja, ada kejadian yang baru kamu tahu kemudian. Akar yang
menceritakannya. Pepep dan empat kawan lelakinya ternyata memperhatikan
Akar sejak melihat cowok itu berbincang dengan Nenek. Lalu, mereka diam-
diam membuntuti Akar. Sebelum mencapai mulut Gang Bapak yang
mengarah pada tempat parkiran mobil, Pepep berlari dan mendorong
punggung Akar sampai jatuh tersungkur. Sebelum Akar sadar akan situasi
yang mengejutkan itu, Pepep dan kawan-kawan memukulinya tanpa jeda.
Sepanjang gang itu diapit tembok belakang rumah warga, dan sedang tidak
ada orang lain yang lewat. Jadi, tidak ada yang menyaksikan geng Pepep
menyiksa Akar.
“Ngapain datang-datang ke sini?! Cucunya Nyai Unung itu punya saya!”
Pepep memaki-maki Akar sambil terus menendanginya.
Pepep lalu memeriksa seluruh saku pakaian Akar, menemukan dua kertas
yang kamu lempar untuknya. Pepep membaca pesan pada kedua kertas itu
dan berseru marah. Kemudian, dia menyobek kertas-kertas itu dan mengajak
kawan-kawannya pergi. Mereka meninggalkan Akar meringis kesakitan di
tengah gang sempit itu.
Bibirnya sobek, sudut mulutnya pun meneteskan darah. Wajahnya memar-
memar dan kantong matanya membiru. Akar merintih kesakitan sambil
memegangi perutnya. Kemudian, seorang kakek melintasi gang itu. Dia kaget
melihat seorang pemuda yang terluka parah ditinggalkan sendirian di situ.
Kakek ini segera menolong Akar berdiri, membantunya berjalan sampai ke
rumahnya. Kakek itu memberi Akar minum, dan menanyakan identitasnya.
“Nama saya Akar. Tadi saya mau ketemu teman saya, namanya Ve. Dia
tinggal di rumah neneknya. Tadi neneknya bilang dia nggak ada di rumah,
tapi Ve muncul di jendela lantai dua memberi isyarat. Dia meminta tolong
agar dikeluarkan dari situ. Terus, waktu mau jalan ke mobil, saya dipukuli
k

sama beberapa laki-laki. Kayaknya mereka nggak suka saya mau ketemu Ve,”
oo

tutur Akar terbata-bata. Kesulitan berbicara sambil menahan sakit yang terasa
nb

di sekujur tubuhnya.
“Ve?” Kakek itu langsung teringat cucu seorang teman baik yang tinggal
di seberang rumahnya.
Seketika, kamu pun bisa menebak kalau kakek yang menolong Akar itu
adalah Eyang Erlas.
Katanya, Eyang Erlas tidak punya peralatan untuk mengobati luka-luka
Akar. Namun, teman baiknya punya kotak P3K, dan bisa membantu Akar
membersihkan luka. Lantas, Eyang Erlas membantu Akar berjalan ke rumah
Oma Teti.
Oma membuka pintu depan dan terkesiap kaget melihat pemuda babak
belur yang dibawa Eyang Erlas.
“Ini siapa?!” tanya Oma.
“Katanya, temannya Ve,” jawab Eyang Erlas.
“Iya …. Saya teman Ve. Nama saya Akar.”
“Akar? Baskara? Yang punya perpustakaan?”
Saat kamu menginap di rumah Oma terakhir kali, muncul dalam
percakapanmu dengan Oma sebelum tidur tentang sebuah perpustakaan yang
amat kamu sukai. Letaknya di rumah sebuah keluarga kaya raya yang baik
hati dan sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, dekat apartemen tempat
tinggalmu. Ceritamu kepada Oma saat berbaring bersebelahan pada malam itu
pun sampai pada sejarah perpustakaan itu. Anak perempuan yang dulu
mendirikan perpustakaan di rumahnya itu kini telah menjadi ibu dari dua
orang anak; si sulung perempuan yang sekarang tinggal dan kuliah Master di
Toronto bersama papinya, dan si bungsu laki-laki yang kuliah Sastra Inggris
di kota ini dan tinggal dengan maminya. Perpustakaan keluarga yang dibuka
untuk umum itu sekarang diurus oleh si bungsu, namanya Baskara. Dia lebih
sering dipanggil “Akar”.
Akar mengangguk mengiakan, dan Oma semakin yakin ingin
k
oo

menolongnya. “Ayo, masuk! Masuk! Bantu dia masuk, Erlas!” ujar Oma,
nb

sambil menahan pintu terbuka agar Eyang Erlas bisa leluasa membantu Akar
melangkah masuk ke ruang tamu.
Lalu, Oma menyuruh Eyang Erlas mendudukkan Akar di salah satu sofa
ruang keluarga. Sekarang, sudah tidak ada tikus di rumahnya. Pada malam
mengerikan itu, Eyang Erlas membantu Oma mengontak petugas jasa
pembasmi hama tikus. Petugas yang datang terkejut melihat betapa banyak
tikus got yang berkeliaran dalam rumah Oma dan bertanya dari mana
datangnya. Jelas saja Oma tidak tahu. Rasanya seperti ada orang yang sengaja
memasukkan puluhan ekor tikus ke rumahnya. Petugas itu lantas
menyemprotkan gas pembasmi tikus dan membersihkan setiap bangkai tikus
yang dia temukan. Sementara itu, Oma tinggal di rumah Eyang Erlas.
Album-album foto kesayangan Oma kini ditaruh bertumpuk di atas meja.
Oma sudah mulai melihat-lihatnya lagi dan kamu yakin hatinya pasti
bergemuruh, ingin mengetahui keberadaan anak semata wayangnya. Akar
melihat satu album foto yang terbuka di samping tumpukan album lainnya.
Album foto berisikan momen Ibu melahirkanmu. Namun, fokus Akar lalu
teralih kepada Oma yang mulai membersihkan luka memarnya dengan es batu
yang dibalut handuk bersih. Akar mengerang kesakitan.
“Ini, sambil minum lagi.” Eyang Erlas menaruh segelas air di atas meja.
Untuk sedikit membantu menenangkan dirinya, Akar meneguk air dari
gelas itu banyak-banyak.
“Saya omanya Ve. Mau diantar ke dokter?” tanya Oma.
Akar menggeleng. “Nanti saja, Oma. Terima kasih.”
“Tadi kamu ketemu Ve?” Oma bertanya lagi.
“Cuma lihat dari luar, Oma. Kayaknya Ve nggak boleh keluar,” jawab
Akar.
Oma terkejut mendengar jawaban ini. Akar pun menceritakan lagi
peristiwa yang baru saja dialaminya.
k

“Jadi, Ve nggak boleh keluar rumah sama neneknya, gitu?” Oma


oo
nb

menyimpulkan cerita Akar.


“Sepertinya begitu, Oma. Saya rasa, neneknya bohong sama saya. Saya
nggak boleh ketemu Ve, nggak tahu kenapa. Sampai Ve ngirim pesan gitu
sama saya. Dia nyuruh saya manjat ke balkon jemuran. Katanya, pintunya
nggak pernah dikunci. Ve kayak minta tolong saya masuk rumah dan
mengeluarkan dia dari situ,” tutur Akar.
“Kemarin juga Oma ke sana, mau mengembalikan tas Ve. Tapi, kata
neneknya, Ve lagi sakit dan nggak bisa ketemu siapa-siapa dulu. Oma
khawatir sekali.”
“Maaf, Oma … ibunya Ibu Ve?” tanya Akar.
“Iya, Oma dari pihak ibunya Ve,” jawab Oma.
“Sekali lagi maaf, Oma …. Tapi, apa sudah ada kabar dari ibunya Ve?”
Oma menggeleng dengan raut muka sedih. Akar sampai merasa tidak
nyaman sendiri karena energi kesedihan yang menguar di ruangan ini.
“Oma sih tidak percaya kalau Wineu dituduh selingkuh, pergi menyusul
selingkuhannya ke London …,” kata Oma.
“Oma, memang Henry bilang, ibunya Ve nggak sama dia di London!”
Akar jadi antusias membahas fakta yang baru diketahuinya ini. “Saya mau
ketemu Ve, pengin tanya ke dia, apa Henry sudah menghubungi dia juga.
Kemarin saya sudah kirim message ke Henry, saya jelaskan persoalan yang
lagi terjadi di sini. Ternyata Henry juga kaget karena dituduh berselingkuh
dengan ibunya Ve. Henry bilang, mereka hanya berteman baik, dan Henry
sangat respek sama ibunya Ve serta keluarganya. Dia sangat tahu potensi
kecerdasan ibunya Ve sampai menawarinya kuliah S-3 di London. Makanya,
Ve juga rencananya mau kuliah di London karena sekeluarga akan pindah ke
sana, ‘kan, Oma? Nah, Henry lagi intens kirim-kiriman surel sama ibunya Ve
untuk mengurus pengajuan proposal penelitian dan kepindahan mereka ke
London. Tapi, Henry bilang, ibunya Ve berhenti membalas surelnya, lalu
nggak ada kabar apa-apa lagi. Padahal, proposal penelitiannya juga sudah
k

ditunggu sama profesor calon pembimbingnya. Kata Henry, ini sudah lewat
oo

deadline dan ibunya Ve nggak pernah kayak gitu. Ibunya Ve selalu ngumpulin
nb

tugas jauh sebelum deadline. Henry juga cemas. Kalau ibunya Ve sampai
nggak menghiraukan deadline yang penting begini, pasti ada sesuatu yang
buruk terjadi sama dia. Henry baru tahu ada kabar ini dari saya, dan dia kaget
banget waktu dengar kalau ibunya Ve pergi meninggalkan keluarganya ke
London demi dia. Padahal nggak ada komunikasi antara ibunya Ve dan Henry
tentang itu. Lebih penting lagi, ibunya Ve nggak pernah datang ke London.
Seenggaknya, dia nggak datang ke flat atau kampus Henry ….”
Oma terperangah, dan suaranya gemetaran. “Kan, Oma pikir juga apa ….
Tidak mungkin Wineu tidak cerita apa-apa sama Oma. Jadi, ini sebetulnya
Wineu ada di mana?”
Akar menggeleng sedih. “Saya minta Henry menghubungi Ve juga, supaya
masalahnya lurus. Biar Ve juga tahu ibunya nggak selingkuh sama Henry dan
nggak pergi ke London. Tapi, kata Henry, Ve nggak balas-balas message-nya.
Makanya, saya ke sini mau memastikan itu sama Ve. Supaya Ve juga tahu,
dan kita bisa cepat cari ibunya.”
“Nak Akar, kemarin waktu menginap di sini Ve juga mencoba mengirim
pesan kepada Henry, tapi belum dibalas. Lalu, Oma kembalikan HP dan
tasnya ke rumah neneknya. Mungkin sudah ada balasan dari Henry, dan Ve
sudah terima itu,” kata Oma.
“Tapi, tadi Ve bilang, HP-nya rusak …. Lebih tepatnya, dia tulis
‘dirusak’,” ujar Akar. Namun, tidak bisa membuktikan karena kertas-kertas
dari Ve yang disobek-sobek oleh Pepep tertinggal di gang.
“Dirusak? Dirusak siapa? Waktu Oma kembalikan, HP Ve tidak rusak!
Dirusak neneknya, begitu?! Dia sengaja merusak HP Ve?!” ujar Oma, kelewat
kalut. “Wanita itu! Apa sih maunya?!” umpat Oma, tubuhnya gemetaran.
Eyang Erlas secara sigap mengusap-usap pundak Oma untuk
menenangkannya. “Oma memang sudah curiga sama keluarga suaminya!
Mereka seperti menyembunyikan rahasia. Apalagi kemarin Oma dihalang-
halangi, tidak boleh bertemu Ve!”
Oma lalu mengepalkan tangan dan berseru penuh tekad, “Kita harus
k
oo

keluarkan Ve dari penjara itu!”[]


nb
Situasi Emosi #11:

Sakit

“AYAH, AKU mau pulang,” katamu di meja makan.


Ayah tidak menyahutimu dan kamu mengulangi kalimatmu.
“Ayah, aku mau pulang.” Nada suaramu mendesak.
Ayah tampak tidak berminat menggubrismu, dia terus saja memotong-
motong daging di piringnya dan menyuapkan sepotong bersama sesendok
nasi ke mulutnya.
k
oo

“Ayah, aku mau pulang! Sekarang!” Kamu menggebrak meja dengan


nb

kedua tanganmu yang mengepal, masing-masing memegangi sendok dan


garpu.
“Ve! Ayah lagi makan!” Akhirnya dia menoleh kepadamu dan membentak,
sampai butiran nasi muncrat dari mulutnya.
“Lagian Ayah nggak ngegubris aku ngomong apa! Aku mau pulang!”
ujarmu.
“Pulang, pulang! Pulang ke mana?! Ini rumah kamu!” seru Ayah.
“Bukan! Rumah aku di apartemen!” sahutmu.
“Apartemen mau dijual!”
“Aku nggak mau apartemen dijual! Itu rumah aku! Dan aku mau pulang
ke sana, sekarang!”
“Kita nggak akan pernah ke sana lagi! Diam, dan masuk ke kamarmu!”
“Ve ….” Nenek menengahi dari kursi tempatnya duduk. “Nenek mau
minta tolong.”
Matamu memelotot ke arahnya. “Tolong apa?”
“Ayo, ikut dengan Nenek.” Kemudian, dia beranjak dari kursinya.
Kamu bergeming dan sejenak hanya memperhatikan Nenek berjalan
menuju kamarnya.
“Sana, ikut Nenek!” desak Ayah.
Kamu merengut, masih marah kepadanya, lalu melempar sendok dan
garpu ke atas piring. Lantas, kamu pun mengikuti Nenek ke kamar tidurnya.
Kamu sempat bergeming di ambang pintu.
“Mari masuk, Ve,” ajak Nenek, sudah duduk di kursi yang menghadap
meja rias.
Ini kali pertama kamu memasuki kamar Nenek. Lampu kamarnya
berwarna kuning, dan rasanya ruangan ini diisi oleh udara yang jauh lebih
k

dingin daripada ruangan lain di seluruh rumah. Kamu berdiri dengan


oo

canggung di samping sofa sementara dia mengumpulkan kertas-kertas dari


nb

meja riasnya.
“Ve, kehadiranmu di sini bukan tanpa alasan. Kamulah satu-satunya
penerus Ayah, yang tentu saja juga penerus tugas Nenek. Kamu harus mulai
dibiasakan untuk hidup sebagai pewaris ilmu Bapak ….” Nenek menyerahkan
kumpulan kertas itu kepadamu. Kamu otomatis menerimanya dan mendapati
semua kertas itu dipenuhi tulisan miring. “Ini kata-kata yang Nenek tulis dari
ucapan Bapak sejak dulu. Ve tolong catat kata-kata dari Bapak ini. Nenek
ingin merapikannya, dan menjadikannya buku. Supaya nanti kamu lebih
mudah menyebarkannya kepada orang lain ….”
Perempuan baik-baik selalu menurut kepada Bapak.
Jangan pernah melawan perintah orangtua. Orangtua selalu paling benar,
dan kamu paling salah. Orangtua berhak membunuhmu.
Perempuan tidak usah banyak membaca karena ilmu selain dari Bapak
itu sia-sia. Malah berbahaya karena membuat perempuan jadi bisa melawan.
Tidak boleh macam-macam dengan penampilan. Rambut tidak boleh
dihias-hias. Kalau dihias, nanti Bapak gunting sampai botak!
Perempuan tidak boleh sekolah tingi-tingi karena tidak boleh melebihi
laki-laki.
Perempuan baik-baik harus menurut kepada laki-laki. Kalau tidak patuh,
boleh dipukuli sampai sekarat atau dikubur saja.
Sekilas membaca kalimat-kalimat yang ditulis pada kertas-kertas itu saja
telah membuat matamu membeliak. Tulisan ini begitu merendahkan
perempuan dan mengerikan jika benar-benar dianggap peraturan hidup yang
mutlak dari Bapak. Seperti suatu mimpi buruk, hanya saja ini benar-benar
nyata. Dan terjadi dalam keluargamu.
“Kamu adalah pewaris ilmu ini, Ve …. Satu-satunya ilmu yang berguna
bagi hidup kita. Satu-satunya yang menyelamatkan masyarakat dari
kehancuran …,” kata Nenek, menyentuh tanganmu.
k
oo

Kedua tanganmu gemetaran, hingga kertas-kertas yang kamu pegang pun


nb

ikut berguncang. Kamu menoleh kepada Nenek, dan melihatnya tersenyum


lebar.
“Perempuan baik-baik selalu menurut kepada Bapak ….”
Kamu melemparkan kertas-kertas itu dan segera berlari keluar dari kamar
Nenek.

Seperti ada semburat dingin yang menjalar ke tengkukmu. Serangan yang


melumpuhkan pikiran itu datang, langsung menyerang pusat kendali dirimu.
Dalam pikiran, merongrong sugesti tentang kehidupan. Yang menurutmu kini
berantakan, tidak mampu kamu rapikan. Kamu seolah mengosongkan isi
otakmu dan membiarkan pikiranmu berserak tanpa pegangan. Tubuhmu
seperti dibuat oleng, tetapi bukan hanya karena itu kamu terbangun tengah
malam ini. Tenggorokanmu terasa amat kering. Kamu ingin memenuhi
kebutuhan minummu sekarang juga. Meski sedang mengalami pusing hebat,
kamu tidak bisa meninggalkan kepalamu di atas kasur. Maka, kamu bawa
pula pikiran yang berpusing itu ke luar kamar.
Kamu berjalan menuruni tangga dengan gerak sempoyongan. Kedua
tanganmu meraba dinding untuk bertopang. Matamu pun tidak begitu awas
karena kepalamu sesekali terasa berputar, tetapi tak bergerak. Kamu berhasil
menjejak di ruangan lantai satu, lalu belok kiri menuju dapur.
“… kamu sudah diselamatkan, Anakku ….”
Kesadaranmu langsung naik sampai ke ubun-ubun. Kelopak mata
kananmu berkedut hebat, dengan rasa sakit yang teramat menusuk di
baliknya. Sejenak, kamu mengira pikiranmu yang berputar-putar ini juga
mendatangkan halusinasi suara. Namun, sebenarnya tubuhmu seketika jadi
waspada begitu menangkap suara Nenek Unung dari arah dapur.
Seluruh ruangan di lantai satu kini gelap kecuali dapur. Dalam dapur pun
hanya ada cahaya temaram dari lampu minyak yang ditaruh di tengah meja
makan, tempat Ayah dan Nenek sedang duduk bersebelahan. Masing-masing
k

tangan Nenek merengkuh pipi Ayah, dan wajahnya sangat dekat dengan
oo

wajah Ayah. Seolah Nenek hendak menempelkan hidung mereka. Ayah


nb

sendiri memejam erat, raut mukanya amat serius, seolah setiap perkataan
Nenek meresap ke jiwanya.
“Kamu tidak lagi ditindas, tidak lagi direndahkan, tidak lagi dipermalukan.
Kamu meraih kembali derajatmu yang tinggi. Posisimu yang semestinya!
Kamu telah kembali menjadi pemimpin yang mutlak dan tidak boleh kalah
sama perempuan! Ingat kata Bapak Saya,” desis Nenek.
“Ingat kata Bapak …. Laki-laki tidak boleh kalah sama perempuan …,”
ulang Ayah.
Kamu terperanjat dan terkesiap keras. Kamu tidak mengira Ayah benar-
benar memiliki pikiran seperti itu.Setelah selama ini kamu percaya bahwa
Ayah adalah laki-laki toleran dan berpikiran terbuka, sampai Ibu yang begitu
progresif bersedia hidup dengannya. Ayah selama ini menjalani gaya hidup
modern bersamamu dan Ibu, yang berbasis intelektualitas dan ilmu.
Keluargamu percaya bahwa setiap manusia memiliki kesempatan yang sama,
dan kemampuan dirinya tidak boleh dijegal atau dibatasi hanya karena
identitas seksualnya. Bahwa perempuan dan laki-laki itu setara! Sama-sama
manusia! Kamu tidak percaya Ayah bisa begitu berubah di sini! Atau, ternyata
sebetulnya dia masih saja memegang hasil didikan Nenek yang kuno, yang
mencekoki pikirannya dengan diskriminasi gender? Kamu tidak ingin percaya
Ayah sebetulnya misoginis!
“Siapa itu?!” seru Nenek, menoleh ke lorong. “Ve?!”
Secara spontan, kamu berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menuju
tangga. Kamu tidak ingin ketahuan. Namun, Nenek juga tidak ingin ada yang
memergoki. Maka, dia memastikan apakah ada atau tidak orang yang
mengintip. Nenek bangkit dan berlari, diikuti oleh Ayah.
Ternyata lari Ayah lebih kencang, bahkan darimu. Sebelum kamu bisa naik
ke anak tangga yang pertama, tangannya telah mencengkeram lenganmu.
“Ve!” Suaranya terdengar menggelegar saking marahnya. Namun, dia juga
pasti malu.
k

Ayah menarikmu kuat-kuat hingga kamu terkepit di ketiaknya. Kamu


oo
nb

mengaduh dan memohon ampun. “Sakit … sakit, Ayaaah …. Ampuuun …


maafin aku …. Aku nggak bermaksud nguping ….”
Kamu tidak melihat wajahnya dalam kegelapan, tetapi kamu bisa
merasakan kuatnya energi kemarahan yang menguar. Ayah menyeretmu ke
kamarnya, yang terletak paling dekat dengan tangga. Kamu ditarik masuk ke
kamar Ayah dan didorong keras-keras sampai jatuh di atas kasurnya.
“Jangan! Jangan, Ayah! Ayah!” Kamu menjerit-jerit ketakutan, dan
berusaha bangun secepatnya.
Namun, kamu kalah cepat dengan Ayah. Dia sudah kembali keluar kamar
dan menutup pintu dari luar. Kamu mendengar suara kunci diputar.
Ketika kamu tiba di pintu, kamu praktis coba memutar kenopnya, tetapi
memang pintu itu tidak lagi bisa dibuka. Kamu hanya mampu menggedor-
gedor sambil berteriak minta tolong dengan air mata yang telah berderai
deras. Kamu dikurung ayahmu sendiri.[]
Situasi Emosi #12:

Ngeri

BAGIAN BELAKANG kepalamu seolah melekat pada bantal yang keras.


Kamu sulit mengangkatnya meski itu kepalamu sendiri. Kamu sedang tidak
punya kontrol terhadap tubuhmu. Pikiranmu lagi-lagi telah dilumpuhkan
langsung dari akarnya. Keburukan yang mendominasi menyebabkan sensasi
berputar-putar, seolah memberatkan tengkorakmu. Kedua tanganmu
mencengkeram sisi-sisi kayu rangka tempat tidur karena kamu merasa akan
terjatuh. Namun, sebetulnya kamu tidak ke mana-mana. Hanya isi kepalamu
k

saja yang melayangkan gada imajiner ke tempurungnya.


oo
nb

Tidak apa-apa … semua baik-baik saja …. Kamu mencoba membohongi


pikiranmu agar mengarah pada pikiran yang baik meski kamu tidak yakin
keadaannya benar baik-baik saja. Namun, yang penting, kesehatan tubuhmu
bisa berangsur pulih karena itulah senjata terakhir yang kamu miliki demi
bertahan hidup dalam kondisi keluargamu saat ini.
Lama-lama, kepalamu serasa terisi arus kejernihan. Kamu cukup
menghancurkan gada pikiran yang berputar-putar itu, dan sekarang sudah bisa
turun dari tempat tidur tanpa takut jatuh. Lagi pula, keinginan untuk minum
air banyak-banyak lebih mendesak gerakmu. Kamu yakin, setelah cukup
minum nanti, amarah dalam kepalamu bisa mereda.
Kamu berdiri di depan pintu dan melihat piring berisi segunung nasi,
sepotong ikan goreng, juga tahu dan tempe goreng. Di sampingnya ada
segelas air. Kamu curiga melihatnya, dan langsung coba menarik kenop pintu.
Dugaan burukmu pun terbukti, kamu masih dikunci.
“Ayaaah!” Kamu menggedor-gedor pintu sambil berteriak putus asa.
Namun, kamu segera teringat bahwa pukul segini Ayah pasti berada di
kantornya. “Neneeekk!” Lalu, kamu mengalihkan seruan permohonan tolong
itu kepada orang lain yang paling mungkin berada di rumah saat ini.
“Neneeek! Buka pintunya! Keluarkan aku dari sini!!!”
Nenek tidak menyahutimu. Tidak ada orang yang menjawab
permintaanmu dan tidak ada yang mau menolongmu. Kamu jatuh berjongkok
dan menangis sambil memeluk kedua lututmu.
Masih terisak-isak, kamu menatap piring di hadapanmu. Perutmu lapar,
dan kamu segera mengambil piring itu. Duduk bersandar pada pintu dengan
piring di pangkuan, kamu makan menggunakan tangan. Siapa pun yang
memasukkan piring ini ke kamar tadi tidak menyertainya dengan sendok dan
garpu. Kamu makan dalam keheningan. Hanya suara napas yang berat dan
sisa isakanmu yang terdengar. Kamu mengunyah makanan pelan-pelan sambil
memperhatikan seisi kamar. Tadi malam, mungkin Ayah tidur di sofa atau di
kamarmu karena dia mengurungmu di sini.
k
oo

Porsi nasi di piring banyak sekali. Bahkan, lebih banyak daripada lauknya.
nb

Kamu menyisakan setengahnya. Kemudian, kamu taruh piring itu di sudut


pintu, dan meneguk air dari gelas. Kamu melihat tanganmu yang kotor dan
lengket, lalu memakai sedikit air dari gelas minum itu untuk mencucinya di
atas piring. Kamu tidak tahu kapan bisa keluar dari kamar ini sehingga tidak
ingin membuang-buang jatah air minummu. Masih ada seperempat dalam
gelas, dan kamu menaruhnya di meja samping tempat tidur.
Ada tiga laci di meja itu. Karena tidak tahu harus melakukan apa dalam
masa kurunganmu ini, jadi kamu iseng membuka-buka semua laci itu. Dalam
laci pertama, kamu lihat ada banyak cincin batu berwarna-warni. Dalam laci
kedua, ada botol-botol losion dan sekotak tisu. Dalam laci ketiga, kamu
mendapati setumpuk buku. Kamu mengeluarkannya satu per satu dan yakin
bahwa itu milik Ibu. Sebuah proposal yang telah dijilid rapi kemudian
menarik perhatianmu. Di sampulnya, tertera nama Ibu. Kamu membaca
judulnya dan terkesiap saat menyadari bahwa ini adalah versi cetak dari
proposal penelitian Ph.D. Ibu. Lalu, kamu membalik jilidnya dan semakin
yakin itu memang proposal penelitian yang pernah Ibu ceritakan kepadamu.
Versi elektroniknya akan dikirim kepada Henry dan profesor calon
pembimbingnya di London.
Dalam perjalanan terakhir saat kamu diantar Ibu ke rumah Akar, Ibu
memberi tahu bahwa hari itu dia telah mencetak proposalnya. Ibu selalu
memeriksa detail tulisannya dalam bentuk cetak, jadi bisa lebih fokus
mengecek bagian mana yang mesti diperbaiki sebelum dikoreksi pada file
elektroniknya. Mengapa proposal penelitian S-3 Ibu bisa ada di sini? Apa ini
berarti Ibu membawanya kemari dan membacanya di sini? Kapan?
Malam hari saat kamu di rumah Akar? Setelah kamu pergi, Ibu ke sini?
Dengan Ayah? Pasti begitu! Ibu tidak mungkin tiba-tiba datang ke rumah
Nenek, apalagi kalau tidak bersama Ayah. Kalaupun butuh tempat di luar
rumah agar mendapat suasana lain untuk membaca kembali tulisannya, Ibu
pasti ke perpustakaan Akar. Bukannya ke rumah Nenek.
Proposal ini juga tidak mungkin dibawa Ayah kemari. Apa urusan Ayah
dengan proposal Ibu di rumah Nenek? Ayah pasti ke sini bersama Ibu dan Ibu
k
oo

membawa proposalnya! Kapan? Untuk apa? Jadi, sebelum pergi ke London,


nb

Ibu mampir ke sini?


Kepalamu pusing lagi. Kamu mendengar suara Nenek yang memasuki
rumah dan melintas di depan kamar. Kamu tidak lagi berminat untuk
berinteraksi dengannya. Kamu menaruh kembali proposal Ibu ke laci paling
bawah, lalu berbaring memunggungi pintu. Siapa tahu Nenek masuk kemari.
Kamu lebih baik menghindarinya.
Kamu tidak ingin membahas tentang proposal Ibu dengan Nenek. Lebih
baik kamu tidur sampai Ayah pulang.

Kamu duduk menyandar ke dipan dengan perut keroncongan. Tidak ada yang
membukakan kunci dan memberimu makanan. Kamu ingin berteriak lagi
sambil menggedor-gedor pintu, tetapi kamu memilih menghemat tenaga.
Kamu tidak ingin energimu terbuang percuma. Di luar, tidak terdengar
banyak aktivitas, hanya sayup-sayup suara Nenek yang mengulang-ulang
beberapa kalimat. Tidak terdengar jelas apa kalimatnya, tetapi kamu yakin itu
adalah perkataan yang sejak dulu dijejalkan sang Bapak kepadanya. Kalimat-
kalimat yang ditulisnya pada kertas-kertas yang pernah diperlihatkannya
kepadamu.
Kamu sudah muak dengan kelakuan orang-orang di rumah ini. Semua
berpusat pada sang Bapak. Ada apa dengan mereka semua? Tidak pernah
mempelajari sendiri makna hidup yang sesungguhnya? Sejak dulu hanya
berkutat pada satu sudut pandang, satu-satunya yang mereka tahu karena
dijejali, tetapi tidak pernah mau mencari tahu paradigma lain yang berbeda.
Kamu terlalu lelah, tetapi pikiranmu terus mendengungkan cara-cara hidup
yang tidak masuk akal ini. Kamu mulai memikirkan cara untuk melarikan
diri.
Kamu terperanjat saat pintu kamar tiba-tiba dibuka dari luar. Kemudian,
Ayah melangkah masuk dengan tangan kiri memegangi sebuah piring berisi
makanan dan tangan kanan menggenggam gelas.
“Ayah!” Kamu spontan menjerit dan dudukmu menegak.
k
oo

“Ini, makan malam,” kata Ayah, mendekat ke meja rias dan menaruh
nb

piring beserta gelas di atasnya. “Kamu masih dihukum. Tidak boleh keluar—”
“Aku nemu proposal Ibu!” kamu menyela dan buru-buru melompat dari
tempat tidur untuk membuka laci ketiga meja.
Dalam sekejap, kamu menarik proposal itu keluar dan mengacungkannya
kepada Ayah.
“Kenapa ini bisa ada di sini? Proposal penelitian Ibu?”
Mata Ayah membelalak. Lalu, dia berdeham dulu, baru berkata, “Mungkin
ketinggalan waktu kita ke sini terakhir kali sama Ibu.”
“Kapan?! Tahun lalu?! Terakhir kita ke sini sama Ibu tuh tahun lalu!”
pekikmu.
“Iya, tahun lalu,” timpal Ayah malas-malasan, tampak siap pergi lagi dari
kamar ini.
“Tahun lalu proposal ini belum ada!” jeritmu sambil berjalan mengentak-
entakkan kaki ke arah Ayah. “Bahkan, tahun lalu Henry belum nawarin Ibu
buat ambil S-3! Jadi, Ibu ke sini sebelum hilang?!” Kamu memukul punggung
Ayah menggunakan proposal setebal dua puluh halaman itu.
Ayah spontan berhenti melangkah dan menoleh ke belakang. Dia
memelototimu dengan raut muka yang ganas, kedua tangannya mengepal erat,
dan tubuhnya gemetaran.
“Jangan banyak omong! Nggak usah banyak tanya!” bentak Ayah sambil
menunjuk-nunjuk mukamu. “Dia udah pergi dengan selingkuhannya,
ninggalin kita! Kamu jangan bela dia terus!”
“Aku cuma mau tahu detail kepergian Ibu! Aku cuma bisa tahu dari Ayah,
tapi kenapa Ayah nggak mau cerita?! Kenapa Ayah mengelak terus?! Apa
yang Ayah sembunyikan?!” serumu.
“Saya bilang, jangan banyak tanya!” Ayah merebut proposal itu darimu,
menggulungnya, dan seketika menggunakannya untuk memukulimu. “Dasar
k

anak rusak! Nggak berguna! Bapak bilang, anak macam kamu yang
oo

menjerumuskan saya dalam siksaan! Nanti saya tidak bisa dapat kebahagiaan
nb

gara-gara kamu! Sudah cukup saya menahan diri mengikuti kelakuan wanita
pembangkang itu! Wanita harusnya nurut sama saya! Saya jadi harus hilang
pekerjaan gara-gara dia! Kenapa dia yang mengatur-atur kita harus pindah ke
luar negeri?! Harusnya saya yang begitu! Harusnya saya yang bawa kalian ke
luar negeri! Harusnya lelaki yang lebih maju! Saya tidak mau kehilangan
pekerjaan! Tinggal di luar negeri, saya jadi pengangguran! Di mana harga diri
saya?! Kalian mau merenggut harga diri saya!!!”
Ayah tidak menghiraukan jeritanmu yang memohon ampun dan
pertolongan. Kamu sampai jatuh dan berjongkok, sebisa mungkin melindungi
wajah dengan kedua lenganmu. Terus-terusan meminta agar dia berhenti.
Namun, mungkin saking kalutnya, dia terus memukulimu sambil berteriak-
teriak penuh amarah.
“Isi otak kalian tuh rusak! Dasar anak tukang tenung! Nurut sama saya!
Nurut sama saya!”
“Ampun, Yah! Berhenti! Stooop! Berhentiii! Ini penyiksaan! Ayah bisa
saya laporin ke polisi!”
“Saya boleh pukuli kamu! Wanita memang harus dipukul biar nurut!
Sekarang, tidak ada lagi ibu kamu yang melanggar peraturan hidup Bapak!
Sekarang, dia tidak bisa lagi membela kamu! Merusak otak kamu!”
“Ibu nggak ngerusak otak aku! Ibu mendidik aku dengan benar! Ibu yang
bikin aku jadi pintar!” Kamu tidak kuat lagi. Kamu menjerit sekencang-
kencangnya, dan menendang kaki Ayah.
Ayah tidak siap dan menjadi oleng. Punggungnya menabrak daun pintu
yang terbuka. Kamu berdiri dan meraung penuh murka.
“Ayah bilang nggak punya harga diri? Kelakuan Ayah yang kayak gini
yang bikin Ayah nggak punya harga diri! Nggak mampu berdiskusi dengan
logis, bisanya pakai kekerasan! Main pukul doang, nggak mampu diskusi!
Kenapa Ayah jadi gini, sih?! Dulu Ayah nggak pernah mukulin aku! Dulu
Ayah orang yang penyayang! Ayah bisa ngobrol baik-baik sama aku! Kenapa
k

sekarang jadi gini?! Apa emang sebetulnya Ayah orangnya kayak gini?!
oo

Kasar, barbar, pakai cara-cara primitif? Pantas aja Ibu ninggalin Ayah!”
nb

“Saya tidak ditinggalkan! Dia yang disingkirkan, tahu!”


Respons Ayah ini sungguh mengejutkanmu. “Disingkirkan?! Disingkirkan
gimana?!”
Ayah sendiri terperanjat. Ayah tampak panik dan langsung berlari
meninggalkan kamar. Napasmu terengah-engah dan kamu mengintip ke mana
dia pergi.
Tiba-tiba Ayah berlari dari arah dapur sambil mengacungkan sebuah
tabung gas yang masih disegel. Rupanya, barusan dia pergi untuk mengambil
satu tabung gas persediaan itu sebagai senjata untuk menyiksamu.
Kamu menjerit sekuat tenaga, cepat-cepat berlari ke tangga. Saat posisimu
dan Ayah nyaris berdekatan, kamu menendang kakinya hingga Ayah
terjerembap dan jatuh ke lantai. Tabung gas itu menimbulkan suara
berkelontang yang keras ketika menabrak lantai. Kamu terus berlari
sekencang-kencangnya menuju kamarmu di lantai dua.
Kamu membuka pintu dan terkesiap kaget begitu mendapati kondisi
kamarmu. Kertas-kertas berserakan di atas tempat tidur hingga lantai. Semua
buku yang kamu bawa kemari pun turut bertebaran di sekitarnya. Film and
Culture. Stories and Screenwriting. Creative Story Designing. Gender
Representatives in Films. Women in Movies. Fantasy and Folklore. Fear and
Motion Pictures. Semuanya terbuka, terbalik, dan isinya tercabik-cabik
mengenaskan.
“Kata Bapak Saya, perempuan tidak boleh banyak membaca ….”
Suara seorang wanita tua muncul dari belakangmu dan kamu spontan
berbalik. Nenek telah berdiri di puncak tangga, tepat berhadapan denganmu,
dan kini menyeringai lebar.
“Dasar anak tukang tenung!” seru Nenek.
“Veee! Maafkan Ayah, Veee!” Ayah berlari menuju kamarmu.
Kamu merasa kian terguncang dan ngeri. Buru-buru kamu mengunci pintu
k

dan segera menjauh dari pintu, takut Nenek akan menusukmu dengan gunting
oo
nb

besar. Kamu pun tidak mau Ayah mendekatimu. Tubuhmu masih terasa sakit
bekas pukulan Ayah barusan. Namun, hatimu jauh lebih sakit lagi. Kamu
tidak menyangka seseorang yang dulunya penyayang seperti Ayah bisa
bersikap kasar seperti itu. Dia bahkan berniat melempar tabung gas untuk
membuatmu diam. Pemikiran itu membuatmu teringat pada kata-kata terakhir
Ayah sebelum dia mengamuk.
Ibu disingkirkan? Kepergian Ibu ada hubungannya dengan obsesi Ayah
untuk memiliki derajat yang katanya harus lebih tinggi daripada perempuan?
Bagaimana cara Ibu disingkirkan?
Ayah menggedor-gedor pintu seraya memanggil namamu. Suaranya kini
bagaikan monster yang akan melahapmu hidup-hidup, dan kamu tidak ingin
berurusan dengan monster itu.
Kamu berjalan mundur dengan napas memburu, berdiri di kaki tempat
tidur.
“Biarkan dia membusuk di situ, Doni! Dasar anak tukang tenung!”
Terdengar jeritan Nenek, lalu tidak terdengar lagi suara gedoran di pintu.
Anak tukang tenung? Kamu seketika kian menyadari makna sebutan yang
disematkan kepadamu itu. Kamu disebut sebagai “anak tukang tenung”….
Tukang tenung adalah perempuan yang dianggap pembangkang … yang
dibenci Bapak … dibenci Nenek … dan harus dimurnikan … disingkirkan ….
“Ibuuu!!!” Kamu menjerit sekuat tenaga bersama air mata yang pecah
seketika.
Kamu mengumpulkan kertas-kertas yang dirobek dari buku-bukumu
dengan hati dan pikiran yang hancur berantakan. Sudut matamu menangkap
foto Bapak dalam pigura emas pada dinding di seberang tempat tidur. Sorot
matanya yang galak seakan mengawasimu dan memperhatikan kekacauan
dalam kamar ini dengan puas. Seolah ini memang hukuman yang pantas bagi
anak perempuan yang suka membaca dan banyak bertanya sepertimu. Kamu
sangat marah kepadanya. Orang asing yang tidak kamu kenal dan seenaknya
mengerahkan orang-orang untuk menghancurkan keluargamu.
k
oo

Kamu menyambar foto itu hingga terlepas dari kaitannya di dinding.


nb

Kemudian, sambil berteriak penuh amarah, kamu melemparkannya sekuat


tenaga ke lantai. Kamu berharap bingkai foto itu pecah, tetapi ternyata karpet
yang melapisi lantai meredam benturannya. Karpet saja seolah bersekongkol
dengan Bapak untuk lebih menghancurkan perasaanmu.
Kamu meraungkan tangis, bersamaan dengan tubuhmu yang lunglai dan
memerosot ke lantai. Kamu hanya ingin Ibu. Dengan badan gemetaran dan
napas yang sesak karena tangis histeris, kamu berbaring meringkuk di atas
lembaran kertas dan buku-bukumu yang dirusak.[]
Situasi Emosi #13:

Canggung

KAMU YAKIN Ibu ada di situ. Dalam gundukan tanah di kebun anggur.
Cerita-cerita tentang para “tukang tenung” semakin menghantuimu sebab
kamu merasa itu sungguh mengarah pada karakter Ibu. Perempuan yang
dituduh sengaja mengalahkan laki-laki, padahal mereka memang hanya lebih
cerdas daripada orang-orang yang malas belajar. Perempuan yang tidak mau
tunduk begitu saja pada perintah tak masuk akal dari orang-orang yang
bahkan tak setara pemikirannya. Perempuan yang ingin Nenek singkirkan.
k
oo

Malam itu hujan badai. Dari puncak tangga, kamu mengintip ke lantai satu
nb

yang telah gelap, memastikan Ayah dan Nenek berada di kamar masing-
masing, lalu mengendap-endap hingga keluar dari pintu di dapur. Gudang
yang terletak di sebelah kiri teras belakang tidak pernah dikunci, lantas kamu
memasukinya untuk mengambil sebuah cangkul. Kamu mengenakan jas hujan
serta sepatu bot karet, kemudian berlari menuju kebun anggur seraya
memanggul cangkul.
Kebun itu terdiri atas enam lajur yang dipisahkan tongkat-tongkat tinggi
yang dililiti tanaman anggur yang lebat. Kamu menggenggam erat batang
cangkul dan mengayunkannya kuat-kuat ke lajur paling kanan, yang
berbatasan langsung dengan kuburan Bapak, Emah, dan Somaji. Hujan badai
dan pecahan halilintar di kejauhan menyamarkan suara teriakanmu tiap kali
kewalahan mengangkat cangkul dan menggali tanah. Kamu tidak ingin
membangunkan orang-orang di rumah. Itu akan sangat berbahaya. Malam ini
kamu ingin memastikan ada atau tidak tubuh Ibu di bawah kebun ini, dan
kamu tidak mau ada orang lain yang memergoki.
“Ibuuu ….” Kamu menangis sambil memanggil-manggilnya. Tanganmu
sudah terasa kebas, tetapi lubang di tanah tampaknya tidak kunjung
mendalam. Setengah mati, kamu terus menggali. “IBUUU!!!”
“Ve ….”
Kamu terkesiap keras begitu mendengar suara yang menyebut namamu
dari belakang. Kamu menoleh dengan gegabah hingga kakimu tergelincir di
tanah yang lembek dan basah. Kamu terjerembap dan jatuh terduduk di
samping cangkul.
Nenek berdiri di hadapanmu sambil memegangi payung berwarna merah.
Ayah berdiri di sebelahnya dalam balutan jas hujan. Air menetes-netes deras
dari ujung kerudung jasnya. Ayah menatapmu dengan geram dan penuh
amarah.
“Nanti dia akan mempermalukanmu juga, Doni. Seperti ibunya. Kalau
tidak dimurnikan dari sekarang, dia akan terus tumbuh menjadi perempuan
k

pembangkang. Perempuan yang sukanya mempelajari macam-macam ilmu


oo

untuk melawan lelaki dan membantah perintah Bapak. Anak perempuan yang
nb

memiliki cara berpikir si tukang tenung, perilakunya yang kotor …. Kamu


berkuasa atas anakmu, Doni. Kamu yang harus mengaturnya. Kamu harus
memurnikannya ….” Nenek terus berbicara sambil menatapmu dengan
seringai menyeramkan sementara Ayah bergerak ke arahmu.
“Ayah! Ayaaah! Sadar, Ayaaah!” Kamu menjerit-jerit panik. Satu
tanganmu teracung kepadanya, berharap bisa menghentikan Ayah.
Dari sela-sela air yang terus mengaliri kelopak matamu, kamu melihat
Ayah melepas sabuk kulit dari celana panjangnya. Kemudian, dia
mencengkeram sabuk itu dengan satu tangan dan seketika mengarahkannya
kepadamu. Dalam sekejap, pipimu terasa amat panas, tergores sabuk yang
dipecutnya kuat-kuat. Kamu menjerit kesakitan.
Namun, jeritanmu tidak membuat Ayah berhenti. Dia terus menderamu.
Pecutan itu terasa di paha, pinggang, lengan, bahu, hingga lehermu. Dia tidak
peduli kamu kehujanan dan berteriak-teriak minta ampun kepadanya.
“Ayah! Jangan, Ayah! Berhenti! Berhentiii! Sakit, Ayaaah! SAKIIIT!!!”
Kamu terpuruk di tanah basah. Tidak mampu lagi meronta atau sekadar
mengekspresikan kesakitan. Bahkan, ketika Ayah mengikat kedua tanganmu
di punggung menggunakan sabuknya, kamu tidak kuat melawan. Samar-
samar, kamu melihat Ayah meraih cangkul dari sampingmu. Kamu amat
ketakutan dia akan memukul kepalamu dengan cangkul itu. Tubuhmu sampai
gemetar hebat. Namun, Ayah ternyata melanjutkan menggali tanah yang tadi
telah kamu keruk.
Kamu kesulitan mengatur napasmu sendiri. Dadamu sangat sesak, dan
bernapas jadi terasa menyakitkan. Apa yang terjadi? Mulutmu megap-megap,
pikiranmu amat kalut. Tiba-tiba, tudung jas hujanmu ditarik Ayah dengan
amat kasar hingga kamu terseret mendekat ke lubang yang digalinya. Kamu
sempat melihat lubang itu di depan matamu, dan kamu menjerit sekuat
tenaga. Namun, Ayah terus mendorongmu dengan paksa, sampai kamu
terjerembap ke lubang itu. Buru-buru kamu berdiri, dan menyadari bahwa
k

lubang itu setinggi lehermu.


oo
nb

“AYAAAH!!!” Kedua tanganmu mencengkeram tepi lubang, berusaha


mengangkat tubuhmu ke luar.
Namun, dengan segera Ayah memukul tanganmu dengan cangkul dalam
genggamannya. Jerit kesakitan kembali melengking lewat mulutmu.
Punggungmu mundur sampai menabrak dinding tanah. Kamu memerosot
lunglai di sana dan tangismu mengucur hebat.
“… Perempuan yang menyusahkan laki-laki perlu dimurnikan. Kata
Bapak Saya, perempuan harus direndahkan agar tidak melampaui tingginya
derajat laki-laki.” Pada posisinya berdiri sambil memegangi payung
merahnya, Nenek terus mengoceh tentang pemurnian perempuan
sebagaimana peraturan hidup Bapak.
Sementara itu, Ayah terus mencangkul tanah dan mengisi lubang
tempatmu berada. Semakin tinggi air hujan yang mengisi lubang, begitu pula
tanah yang ditumpuk Ayah. Tahu-tahu, kamu telah terkubur hingga leher.
“Ayaaah ….” Suaramu keluar dengan lemah.
Di antara hujan deras dan pandangan yang memburam, kamu melihat
Nenek berbalik dan melangkah pergi. Ayah pun bergegas membuntuti Nenek
sambil memanggul cangkul.[]

k
oo
nb
Situasi Emosi #14:

Panik

SINAR MATAHARI menyilaukanmu hingga kamu spontan membuka mata.


Seketika itu pula kamu melihat Pepep berdiri di hadapanmu sambil
memanggul cangkul dan terkekeh-kekeh.
“Akhirnya saya lihat sendiri gimana caranya perempuan dimurnikan biar
enggak kebablasan jadi tukang tenung. Kamu lagi disiapin biar nanti jadi istri
yang baik, hehehe …,” ocehnya.
“Keluarkan aku dari sini!!!” Kamu menjerit, tetapi suara yang keluar tidak
k
oo

sekencang yang kamu maksudkan; tenggorokanmu terasa perih dan kering


nb

saat berbicara.
“Siap, Maniiis! Tenang aja, saya ke sini emang buat nyelamatin kamu.
Kamu kan sebentar lagi juga jadi tanggung jawab saya! Hehehe ….” Pepep
langsung melayangkan cangkul ke arahmu, dan kamu spontan menjerit
ketakutan. Kamu segera mengingat peristiwa mengerikan malam tadi.
Kamu dikubur oleh ayahmu sendiri. Sementara nenekmu menyaksikan.
Mereka sengaja menyiksamu begini! Pikiranmu kelabu, saat lapis demi lapis
tanah diangkat dari sekeliling tubuhmu. Kamu tidak menyerap kalimat-
kalimat yang diocehkan Pepep selagi menggali tanah, sebab pikiranmu sibuk
mempertanyakan tragedi yang diciptakan oleh ayah dan nenekmu sendiri.
Kamu sibuk merapikan pikiranmu yang kusut, hingga tiba-tiba Pepep
mencengkeram kedua lenganmu dan menarikmu dengan paksa.
Kamu berteriak-teriak histeris, kesakitan sekaligus ketakutan. Pepep
menarikmu sampai kamu tergeletak di tanah, kemudian kamu meronta-ronta
hebat. Menendang-nendang dan memukul-mukul dengan liar.
“Hei! Hei! Diam!” Pepep berusaha keras menangkap kedua tanganmu,
tetapi beberapa kali kena tonjok. Kamu menjerit semakin kencang sambil
memelototinya.
“DIAM!” Tiba-tiba Pepep berseru sambil menampar pipimu keras-keras.
Seketika kamu bungkam. Tanganmu praktis memegangi pipimu yang
terasa panas, dan air mata otomatis meleleh dari satu mata di atas pipi yang
kena tampar.
Pepep langsung mencengkeram kedua tanganmu dan menyeretmu paksa.
Di tengah jalan menuju teras belakang, kamu sanggup meronta lagi. Kakimu
menendang-nendang dan kamu berupaya untuk berdiri. Kamu berhasil, lalu
menarik-narik lenganmu agar terlepas dari cengkeraman Pepep.
“Diam! Diam!” jerit Pepep. Kemudian, dia mendorongmu sekuat tenaga
ke arah pintu menuju dapur.
Tubuhmu oleng, dan dalam sekejap ditangkap oleh Nenek yang sejak tadi
k

berdiri di ambang pintu.


oo
nb

“Jadi perempuan malah melawan terus!” seru Nenek. Kedua lengannya


memeluk tubuhmu erat-erat agar kamu tidak lepas lagi.
Kemudian, Pepep mengangkat kedua kakimu dan mereka segera
menggotongmu masuk ke kamar mandi di sebelah kanan pintu belakang.
Kamu tidak berhenti berteriak minta tolong, berharap ada yang mendengar
permintaan tolongmu dan mau menolongmu.
Dalam kamar mandi berlantai batu kali, Nyai Mone sudah siap memegangi
gayung. Air dalam bak batu hitam yang mengisi bagian paling ujung ruangan
pun terus diisi oleh air yang mengalir deras dari corong bambu.
“Kamu keluar,” Nenek berkata kepada Pepep setelah mereka
menurunkanmu di kamar mandi dalam posisi berdiri.
Pepep melompat keluar dari kamar mandi. Nenek menutup pintu dan
kamu sempat melihat Pepep melambai kepadamu sambil menyengir lebar dan
menjilat-jilati bibirnya.
Punggungmu tiba-tiba diguyur air dingin, membuatmu spontan memekik
kaget. Tubuhmu menggigil hebat sementara Nenek melepas pakaianmu.
“Aku mau pergiii! Mau pergi dari siniii!” Kamu berteriak-teriak, melawan.
“Diam!” bentak Nenek. “Jadi calon istri itu harus bersih!”
Nyai Mone terus-terusan mengambil air dengan gayung dan mengguyuri
sekujur tubuhmu. Nenek sekarang menggosok tubuhmu menggunakan sabun.
Busa sabun dan tangan Nenek membuat luka-luka akibat sabetan sabuk Ayah
semalam terasa semakin perih. Tidak seorang pun menghiraukan tangisan
kesakitanmu.
“Tidak apa-apa … tidak apa-apa …. Dulu juga, waktu mau dikawinin,
saya nangis begini.” Nyai Mone menggosok-gosok kepalamu sambil
menuangkan air dari gayung.
Kamu menjerit panjang, lebih terkejut mendengar ucapannya, sambil
berupaya kabur. Kaki-kakimu tergelincir dan kamu jatuh berlutut di lantai
k

batu. Nenek dan Nyai Mone mengumpat, langsung mengangkat tubuhmu


oo
nb

hingga kamu berdiri lagi.


“Nyai, sekarang nggak langsung penyerahan, ‘kan?” tanya Nyai Mone.
“Sudah dibilang, tidak! Sekarang deklarasi perjodohan dulu! Baru nanti
kita siapkan untuk prosesi penyerahannya! Pepep juga harus siap-siap jadi
pemimpin!” jawab Nenek.
“Anak saya dari dulu saya didik jadi pemimpin, Nyai! Sesuai peraturan
hidup Bapak! Enggak bakal kalah sama perempuan!” timpal Nyai Mone.
Nenek membalut tubuhmu dengan handuk, lalu menggiringmu ke kamar
Ayah yang terletak dekat dapur, di bawah tangga.
“Eh, jangan ngintip! Nanti juga jadi punya kamu!” Nyai Mone mengeplak
bahu Pepep yang berdiri di luar kamar, lalu menutup pintunya. Pepep
cengengesan.
“Nyai, ini dia bakal dikasih ke Pepep, sudah murni, belum? Nanti malah
melawan terus!” tukas Nyai Mone.
“Justru, kata Bapak Saya, harus dipasangkan sama laki-laki biar dia tidak
liar! Biar menurut! Biar jalan pikirannya lurus sebagai perempuan, tidak
memikirkan ilmu yang akan mencemarinya! Nanti kita pasti terus sama-sama
ngasih tahu dia bagaimana caranya supaya sejalan dengan peraturan Bapak!
Biar hidupnya bahagia! Selama ini dia tidak bahagia gara-gara kena pengaruh
ibunya! Kita juga nanti akan bahagia karena membantu Doni menjinakkan
anak ini! Kebahagiaan kita juga dijamin sama Bapak! Bapak pasti tersenyum
di alam sana!”
“Baguslah, Nyai. Semoga kebahagiaan menjadi nyata, ya. Saya pusing
terus seumur hidup, sama suami, sama anak-anak saya. Banyak masalah!
Semoga nanti setelah Pepep punya pasangan, jadi bahagia keluarga saya,”
ujar Nyai Mone.
“Iya, justru mereka harus dikawinkan! Biar selesai semua masalah!”
“Bapak pasti bangga sama kamu, Nyai. Sudah berjuang terus
mengantarkan cucumu pada kemurnian hidup, supaya dia bahagia. Untung
k
oo

kita punya kamu yang meneruskan peraturan hidup dari Bapak.”


nb

Setelah kamu dipakaikan sebuah baju terusan berwarna putih, Nenek dan
Nyai Mone menyeretmu ke hadapan para wanita tua yang telah berkumpul di
ruang tamu. Tangan keriput mereka mencengkeram erat-erat lenganmu. Kamu
sampai kesakitan, dan bahkan lebih merasa seperti tawanan daripada cucu
Nenek.
“Ibu-Ibu, pertemuan hari ini sangat istimewa karena kita akan
mengumumkan suatu acara yang penting. Tidak seperti ibunya yang selalu
membangkang, cucu saya ini sangat penurut, dan akan saya kawinkan dengan
laki-laki yang bisa memimpinnya ke jalan yang benar—”
“Enggak!” kamu membentak dan memelototi Nenek.
“—Selama ini hidupnya sudah kebablasan. Tidak sesuai dengan yang
diajarkan oleh Bapak Saya. Hidupnya sudah terlalu jauh dirasuki teknologi.
Sudah waktunya dia kawin—”
“Nek! Aku baru delapan belas tahun! Aku nggak mau nikah! Lepasin
aku!” Kamu menarik lenganmu kuat-kuat hingga pegangan Nenek dan Nyai
Mone terlepas.
“Susah sekali dikasih tahu, ya!” Nenek membentakmu dengan mata yang
juga memelotot. “Kamu bahkan lebih liar daripada ibu kamu!”
“Seenaknya aja Nenek bikin keputusan sepihak tentang hidup aku! Aku
nggak akan membiarkan Nenek menghancurkan hidup aku! Ini hidup aku,
bukan hidup Nenek! Bukan Nenek yang nentuin jalan hidup aku!”
“Iya, memang! Bapak Sayalah yang menentukan jalan hidup kita! Kata
Bapak Saya, perempuan harus cepat-cepat dikawinin biar tidak liar! Biar
nurut! Biar patuh sama laki-laki!”
Kamu mengernyit. Jijik pada sikap Nenek, juga orang-orang di sini.
“Hidup aku bukan hidup kamu! Jangan seenaknya ngatur hidup aku!”
“Tuh, lihat sendiri, ‘kan, Ibu-Ibu? Kelakuannya kurang ajar begini ….
k

Jangan sampai anak-anak perempuan kalian jadi seperti ini!” Nenek menoleh
oo
nb

kepada para wanita yang hadir. Mereka mengangguk-angguk, setuju.


Kemudian, Nenek membentakmu lagi. “Sudah, tidak usah membantah! Saya
paling tahu apa yang baik buat kamu!” ujar Nenek, lalu berpaling kepada
Pepep yang berdiri menyandar pada dinding dengan tangan terlipat di dada
dan cengiran lebar di wajah. “Pepep! Sini!”
Cowok itu berjalan di antara wanita-wanita tua yang duduk di karpet,
menghampiri Nenek. Dia berdiri di sampingmu dan kamu merasa jijik.
“Kalian akan segera kawin!” kata Nenek.
“Enggak! Kalian semua ngaco! Aku nggak mau kawin! Apalagi sama
dia!” serumu.
Kamu ingin buru-buru pergi, tetapi Pepep dengan sigap menarik lenganmu
dan menahanmu. Kamu melihatnya cengengesan.
“Asyik …, kawin …, hehehe ….” Giginya yang berantakan tampak dari
mulutnya yang menyengir lebar.
“Enggak! Nggak bakalan! Lepasin aku!” Kamu menarik lenganmu, tetapi
Pepep tidak melepaskan cengkeramannya.
“Membantah terus! Membangkang sama orang tua! Isi otaknya rusak!
Dasar anak tukang tenung!” Nenek mendorong kepalamu keras-keras hingga
tubuhmu ikut terbanting ke samping.
“DASAR ANAK TUKANG TENUNG! Bisa membawa kutukan ke
masyarakat kita!” Nyai Mone berteriak sambil berdiri dan menunjukmu.
Sekejap kemudian, wanita-wanita tua lainnya turut berdiri dan menunjuk-
nunjukmu sambil berseru penuh nada menuduh, “Anak tukang tenung! Anak
tukang tenung! Otaknya rusak! Terus membangkang kepada Bapak kita! Iya,
dia bisa bawa kutukan untuk kita! Bahaya! Bahaya! Dasar anak tukang
tenung! Bawa bahaya!”
“Kalian yang melenyapkan Ibu, ‘kan?! Kalian nuduh Ibu sebagai tukang
tenung dan ngebunuh dia! Pembunuuuh!” Kamu menjerit-jerit histeris.
k

“Wah, betul-betul sudah kacau otakmu! Ibu-Ibu, ayo bawa dia ke atas!
oo

Biar dibersihkan dulu otaknya!” seru Nenek, cepat-cepat mengalihkan.


nb

“Yang bersih, Nyai! Buat saya kawini! Hehehe ….” Pepep menarik kedua
tanganmu ke punggung dan mencengkeramnya kuat-kuat.
Pepep mendorongmu ke arah tangga dan kamu merasa harus segera
menyelamatkan diri.
“Lepasin! LEPASIN AKU!” Kamu menjerit-jerit dan meronta-ronta.
Namun, kini para wanita tua itu mengelilingimu dan ikut mendorong-
dorongmu ke tangga.
“Anak tukang tenung! Dasar anak tukang tenung! Menyalahi peraturan
hidup Bapak! Cuci otak anak si tukang tenung ini!”
Kamu memberontak, tetapi tidak sanggup melepaskan diri. Apalagi saat
Pepep tiba-tiba menggendong dan mengangkatmu menaiki tangga.
“Jangan pegang-pegang! Lepasin! Turunin aku! Turunin akuuu!” Kamu
terlampau marah dan sedih, situasi ini sungguh bodoh dan kamu tidak sudi
menjadi bagian darinya.
Pepep menggendongmu sampai lantai tiga. Pepep menjatuhkanmu di dekat
pintu terali dan kamu tersungkur ke lantainya yang dilapisi semen kasar.
Pintunya tidak dikunci. Seperti biasanya, Nenek tidak ingat untuk
menguncinya. Nenek mendorongnya sampai terbuka sementara Pepep lagi-
lagi menarik kedua tanganmu ke punggung dan memeganginya erat-erat.
“Ini! Ikat pakai ini!” Nyai Mone menyodorkan segulung tali rafia yang
ditemukannya di antara tumpukan ember.
Pepep lalu memakainya untuk mengikat kedua tanganmu agar dia tidak
usah terus-menerus memeganginya. Kemudian, dia menarikmu sampai berdiri
dan mendorongmu untuk lanjut berjalan ke balkon jemuran. Nenek dan para
wanita tua mengiringimu sambil terus meneriakkan kalimat provokatif. Kamu
merasa seperti dipersekusi atas kesalahan yang tidak kamu perbuat karena
orang-orang ini terlalu dungu untuk mampu hidup sebagai manusia yang
bijaksana dan penyayang.
k
oo

Kamu diarak sampai tengah balkon jemuran. Tidak ada atap yang
nb

melindunginya. Kamu terekspos sinar matahari, yang siang ini sedang


menyorot begitu panas. Kamu berkeringat, bukan hanya karena kepanasan,
tetapi juga terlampau kesal karena orang-orang ini terlalu bodoh sehingga
menjadi jahat tanpa merasa bersalah dan kamu tidak tahu cara melawan
mereka sendirian.
Pepep mendorong kedua bahumu ke bawah sehingga kamu jatuh berlutut.
Tangismu belum berhenti dan napasmu terasa kian berat. Kepalamu
menunduk. Kamu tidak mampu memandang ke atas karena sinar mentari
yang begitu menyengat dan adanya orang-orang yang memuakkan yang
masih mengelilingimu.
“Kata Bapak Saya, perempuan yang sudah kebanyakan mikir begini harus
dikeluarkan isi kepalanya karena itu berbahaya buat kita semua! Bisa
mencelakakan hidup kita! Memang benar, buktinya anak ini selalu
membangkang kepada orang tua! Ibu-Ibu sudah lihat sendiri! Seperti ibunya,
anak ini coba-coba melangkahi kekuasaan lelaki! Kata Bapak Saya, tukang
tenung itu akan selalu ada selamanya! Dan kita harus terus melawan
kekuasaannya demi kebaikan kita! Si tukang tenung menyalahi peraturan
hidup Bapak Saya, dan kali ini dia sudah menurunkan kutukan yang
melenceng itu kepada anaknya! Kepada cucu saya! Kata Bapak Saya, kita
harus mencuci otak anak ini! Biarkan matahari menguapkan isi otaknya yang
kotor. Kalau tidak, nanti dia akan semakin menyusahkan ayah dan suaminya!
Bikin malu keluarga! Bikin malu kita!”
“Cuci otak anak si tukang tenung!”
“Cuci otak anak si tukang tenung!”
“Cuci otak anak si tukang tenung!”
Suara-suara bising itu seolah berusaha menghancurkan jiwamu. Kamu
memejam erat, membisikkan semangat yang berupaya menguatkan kepada
dirimu sendiri. This too shall pass. Namun, kamu terlalu marah untuk
menenangkan diri. Kamu marah sekali sampai tubuhmu gemetaran dan air
k

matamu tumpah ruah.


oo
nb

“Nih, mulutnya masukin ini, nih!” Nyai Mone menyodorkan kain kering
yang kotor kepada Nenek. Dia pasti menemukannya bersama tali rafia tadi.
Nenek mengambilnya dan langsung menyumpal mulutmu dengan kain
kering menjijikkan itu. Pepep lantas mengikat sekeliling mulutmu dengan tali
rafia yang tersisa.
“Lain kali, nurut sama orang tua! Kata Bapak Saya, jangan jadi perempuan
nakal! Jadi perempuan jangan suka membangkang!” Nenek mendorong
kepalamu keras-keras, lalu pergi.
Wanita-wanita tua lainnya seolah diberi contoh dan kesempatan untuk ikut
melakukan siksaan yang sama. Mereka mendorong dan memukul kepalamu
sebelum membuntuti Nenek. Sumpah serapah kasar menyertai siksaan tangan
mereka. Ini kelakuan orang-orang tua, menganggap diri paling benar dan
semua orang harus mengikuti level kedunguan mereka.
Pepep menjadi orang terakhir yang berada di sini. Dia sengaja berdiri di
hadapanmu, kemudian satu tangannya mengangkat dagumu agar kamu
terpaksa memandang ke arahnya.
“Bentar lagi kita kawin, ya! Ah, ah, aaah ….” Pepep tertawa cengengesan,
mendorong dagumu ke samping sebelum melepas cengkeramannya.
Pepep melangkah pergi sambil tertawa terbahak-bahak. Kamu
mendengarnya menutup pintu terali menuju ruang cuci dan mengunci
selotnya.
Kamu ditinggalkan sendirian di tengah balkon jemuran yang kosong.
Gemuruh dalam dadamu mengganas dan kamu tidak tahan lagi. Kamu
mendongak ke langit dan menjerit sekuat tenaga meski raung suaramu
terhambat kain kering yang menyumpal mulut. Tangisan histerismu
melengking, agar ada orang lain yang mendengarnya. Dan semoga itu bukan
kelompok Nenek yang tidak mampu menyayangi sesama manusia.

Itulah urutan kejadian sampai kamu berada dalam situasi mengerikan ini, Ve.
k

Kamu perlu tetap kuat. Kamu akan selamat. Namun, yang paling
oo

penting adalah pikiranmu sendiri. Tenang. Selamatkan pikiranmu dari


nb

serangan buruknya sendiri. Kamu perempuan yang cerdas dan kuat, begitu
kata Ibu. Energi baik akan menyerap jika kamu menariknya lewat sugesti
pikiranmu. Kamu akan baik-baik saja. Setelah ini, kamu akan pergi dari
sini dan hidup baik-baik saja. Kamu akan terlepas dari orang-orang bodoh
ini. Kamu akan meneruskan hidupmu dengan cara yang cerdas dan
membahagiakan. Kamu akan hidup dinamis bersama perkembangan ilmu
pengetahuan, bersama orang-orang berpikiran maju yang juga mencintai
perubahan dalam perkembangan zaman. Kamu tetap kuat, ya, Ve.

Aku terus bergelut dengan diriku sendiri. Situasi ini sungguh berada di luar
akal sehatku. Aku sampai perlu mengurutkan kejadian-kejadian sebelum
ini. Sepertinya sudah cukup lama aku dijemur di balkon ini, dibiarkan
terekspos sengatan matahari dan embusan angin malam yang dingin,
hingga aku punya waktu untuk mengulang dalam pikiran semua kejadian
sampai aku berakhir di sini. Bagaimana bisa aku terjebak dalam situasi
mengerikan yang amat tolol dan sangat merugikan diriku ini, yang
dilakukan oleh anggota keluargaku sendiri? Bagaimana aku bisa sampai
diikat dan ditinggalkan tanpa perlindungan dari emosi langit begini? Aku
mengulang-ulang kejadian sebelum ini, sejak Ibu dinyatakan menghilang,
dan aku masih tidak ingin percaya!
Nenekku sendiri mengikatku di balkon jemuran ini hanya karena pola
pikirku tidak serendah levelnya, dan aku harus “dicuci otak”?! Bodoh!
Memang sulit hidup dengan orang dungu! Aku rindu Ibu! Aku kangen
sekali sama Ibu!
Kebodohan orang-orang ini telah membunuh ibuku![]

k
oo
nb
Situasi Emosi #15:

Lelah

AKU MENYIMPAN tenaga untuk mencoba berteriak meminta pertolongan


lagi setelah Ayah pulang kerja nanti. Aku tidak bisa melihat jam, tetapi
aku bisa menilai dari langit. Akan kutunggu sampai langit gelap, lalu akan
sebisa mungkin membuat suara-suara dari mulutku yang tersumpal.
Semoga bisa menarik perhatian Ayah, berharap dia akan mau menolongku.
Jika dia sempat marah, mungkin setelah melihatku diikat dan disiksa
begini, dia akan luluh dan yakin bahwa Nenek salah. Semoga Ayah
memihakku.
k
oo

Nyatanya, tidak. Berjam-jam sejak langit menjadi gelap dan aku


nb

berteriak sampai tenggorokanku sakit, Ayah tidak juga naik kemari.


Aku diceritakan tentang ini oleh Akar pada kemudian hari, setelah
semua kegilaan ini reda. Oma dan Akar berencana mengeluarkanku dari
rumah Nenek malam itu juga. Maka, Oma mengundang aku, Nenek, dan
Ayah untuk makan malam di rumahnya. Ayah bilang aku masih sakit, jadi
tidak bisa ikut hadir. Sebenarnya, Oma sudah menduga aku tidak akan
diizinkan keluar rumah. Jadi, Oma bilang kepada Ayah tidak apa-apa,
Ayah dan Nenek saja yang datang. Akar akan menyelinap masuk ke
rumah Nenek untuk membantuku keluar.
Berbekal petunjuk singkat dariku, Akar akan coba menyusup masuk.
Malam ini, sambil berjalan menghampiri rumah Nenek, Akar memastikan
tidak ada orang lain di lingkungan itu yang mungkin akan memergokinya.
Pagar rumah Nenek hanya setinggi pinggang Akar, tetapi bagian atasnya
meruncing. Hanya saja, di kedua sisi pagar, ada tembok besar vertikal
yang tersambung dengan dinding tinggi yang menjadi pemisah antarrumah.
Di bagian tengah pagar, juga terdapat tembok semacam ini yang berguna
memisahkan pagar yang solid dan pagar yang bisa digeser terbuka
menjadi jalan masuk. Yang tengah ini letaknya berimpitan dengan tiang
penyangga kanopi.
Akar memandangi jalur tembok di sebelah kiri, yang terus menanjak
hingga batas lantai dua rumah. Barulah di atas sana permukaan
temboknya jadi datar lagi. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum
memulai upayanya untuk menyusup. Akar berpegangan pada permukaan
tembok itu, mengangkat tubuhnya naik, lalu kaki kanannya menginjak sela-
sela pagar yang runcing. Kemudian, dia langsung menjejak di permukaan
tembok sempit sebelah kiri pagar itu. Setelahnya, Akar tinggal memanjat
bagian tembok yang menanjak, melengkung ke atas.
Dia membungkuk, lalu kedua tangannya mencengkeram kedua sisi
tembok. Akar mulai naik. Permukaan tembok itu hanya muat satu kaki,
jadi kaki-kakinya melangkah pada satu garis lurus. Akar tidak bisa
terburu-buru karena tidak ingin terpeleset dan jatuh ke taman mungil di
bagian depan rumah Nenek atau ke teras rumah Nyai Mone di sebelah
k

kirinya. Dia pun sebisa mungkin tidak menatap ke bawah, hanya ke


oo

tujuannya di atas.
nb

Namun, ketika kaki kanannya melangkah ke depan kaki kirinya, tiba-


tiba alas kakinya tergelincir dan menimbulkan suara mendecit. Bersamaan
dengan itu, tubuh Akar oleng, dan dalam sekejap dia terjatuh ke sebelah
kiri. Kedua tangannya berpegangan erat-erat pada tembok, sementara
kakinya menggantung di atas teras rumah Nyai Mone. Akar mengernyit
kewalahan, keberatan menopang bobot tubuhnya sendiri pada ketinggian
itu. Kedua lengannya sampai gemetaran. Namun, Akar tidak akan
membiarkan dirinya jatuh ke situ dan membuat keributan.
Akar menarik napas panjang, kemudian sekuat mungkin menarik
tubuhnya. Perlu dua kali percobaan. Dia menarik napas dalam-dalam lagi,
seraya lebih kuat menarik tubuhnya sampai ke permukaan tembok. Kaki
kanannya mengangkat dan menjejak di permukaan itu, lalu kedua telapak
tangan Akar pun berpindah ke dua sisi tembok lagi. Dia telah kembali
pada posisi berlutut dan membungkuk di atas permukaan tembok yang
tinggi. Akar mengembuskan napas lega, dan semakin fokus pada jalannya
ke atas. Ketika akhirnya tiba di permukaan puncak tembok yang horizontal,
Akar duduk menghadap jendela kamar di lantai dua yang kutempati.
“Ve!” Akar mendesis, berulang kali memanggil namaku.
Tadi, dari bawah, dia mengantongi beberapa kerikil, yang sekarang
dilemparkannya satu ke kaca jendela kamarku. Akar berharap bisa
berkomunikasi dulu denganku lewat jendela itu. Setelah tiga kerikil dilempar
untuk mengetuk kaca jendela kamarku, barulah Akar sadar bahwa aku
tidak ada di kamar, atau tidak menjawab karena tertidur lelap. Namun,
seandainya aku sedang tidur lelap pun, Akar tidak bisa terus duduk saja
di puncak tembok itu. Cepat atau lambat, seseorang akan melihat sosok
manusia di atas tembok rumah Nenek dan akan menuduh Akar sebagai
pencuri. Jadi, dia melakukan apa yang pernah kuberitahukan kepadanya.
Akar mencari-cari jalan untuk naik sampai ke balkon jemuran. Ruang
cuci ini ada di lantai tiga, tetapi posisi pintunya menghadap sisi kanan
rumah, berlawanan dengan posisi Akar sekarang. Maka, dari tempatnya
duduk kini, Akar hanya bisa melihat dinding-dinding putih yang mengelilingi
ruang cuci dan belum melihatku di balkon jemuran. Satu-satunya jalan
k
oo

menuju balkon jemuran dari posisinya ini adalah dengan memanjat atap
nb

rumah, lalu menyeberang ke sisi kanan.


Atap rumah Nenek melandai dan dilapisi genting hitam. Ada dua atap
berundak-undak sebagai hiasan. Perlahan-lahan, Akar merangkak menaiki
atap yang lebih kecil hingga ke puncaknya yang seperti tulang belakang.
Dia melihat taman depan rumah Nenek di kanan bawahnya dan sempat
gentar karena jaraknya lebih tinggi daripada tembok tadi. Namun, dia
harus segera mencapai balkon jemuran sebelum ada orang lain yang
melihatnya. Akar tidak mau membuang-buang waktu berdiam di sana dan
malah jadi semakin gentar. Dia bergerak menyusuri tulang puncak atap,
merangkak menuju seberang. Kemudian, dia memanjat atap yang lebih
besar, agar posisinya lebih dekat ke balkon jemuran.
Akar baru saja sampai di puncak atap yang lebih besar itu dan duduk
tegak ketika matanya akhirnya bisa menangkap pemandangan di tengah
balkon jemuran. Seseorang tampak duduk dengan kedua tangan diikat di
punggung, badannya lunglai, dan kepalanya menunduk. Meski lampu dari
ruangan di lantai tiga tidak dinyalakan, balkon jemuran cukup terang oleh
cahaya bulan. Maka, walaupun samar-samar, Akar bisa merasa yakin
bahwa orang itu adalah aku.
“Ve?! VE!!!” Akar tidak ingat untuk tetap diam saking kagetnya dia
melihatku.
Cowok itu buru-buru memanjat tembok yang mengarah langsung ke
balkon jemuran. Begitu mendarat di balkon, Akar tergesa-gesa
menghampiriku dan semakin terkejut melihat kondisiku dari dekat.
Wajahku kusam serta berminyak. Pipiku merah bekas sabetan sabuk
Ayah dan tamparan Pepep. Bibirku kering dan pecah-pecah, retakannya
merembeskan darah. Rambutku bau terbakar matahari. Tubuhku sudah
amat lemah dan berkeringat sekaligus menggigil karena udara malam serta
embusan angin yang dingin. Akar segera menarik tali rafia serta kain
kering dan kotor yang menyumpal mulutku. Aku langsung meludahkan
serbuk-serbuk kotoran yang tersisa dalam mulutku.
“Ve! Apa yang terjadi?! Kenapa wajah kamu lebam dan luka-luka
k

gini?!” tanya Akar sambil melepas ikatan dari kedua tanganku.


oo

Napasku masih memburu, dan kepalaku berpusing. Serangan yang


nb

membuat kepalaku berputar-putar ini datang sejak tadi, seolah membuat


jiwaku lumpuh. Kini pun aku tidak bisa langsung meresponsnya. Lalu,
dengan susah payah, aku berkata, “Nenek, Pepep, ibu-ibu tetangga ….”
“Mereka kenapa? Mereka yang mukulin kamu?!” Akar kemudian
kembali ke hadapanku dan menatapku prihatin.
“Iya … ngikat aku di sini.”
Akar terperangah. “Mereka yang mukulin … yang ngikat kamu di sini?!
Kenapa?!”
“Aku nggak mau dikawinin ….”
“Dikawinin sama siapa?!”
“Pepep ….”
Akar masih tak habis pikir, tetapi dia harus membawaku pergi dulu dari
sini. Lantas, cowok itu membantuku berdiri dan memapahku menuju pintu
terali yang memisahkan balkon jemuran dengan ruang cuci. Tangga yang
menjadi akses ke bawah ada di ruang cuci itu. Namun, pintunya dikunci
oleh Pepep saat pergi meninggalkanku tadi. Pepep jelas teringat pesan-
pesan singkatku untuk Akar pada carik-carik kertas yang dicurinya setelah
memukuli Akar. Jadi, Pepep memastikan bahwa kali ini pintu terali di
balkon jemuran dikunci.
Akar mengumpat, lalu memandang berkeliling demi mencari cara untuk
membawaku pergi. Dia melihat atap yang tadi dipanjatnya.
“Ve, kita harus turun dari tembok itu buat mencapai atap. Kamu bisa
turun ke situ?” Akar menunjuk tembok tinggi di sisi kanan balkon jemuran
yang merapat pada atap yang lebih besar.
Aku tidak sekuat biasanya, gada imajiner dalam kepalaku masih amat
kencang memutari tempurungnya. Namun, aku juga tidak mau terus
terjebak di balkon ini.
“Bisa,” desisku.
k

“Oke. Aku turun duluan. Biar nanti aku bisa menangkap kamu dari
oo

bawah. Kamu duduk di sini dulu,” ujar Akar, menunjuk permukaan tembok
nb

pembatas balkon jemuran itu.


Cowok itu membantuku duduk, lalu ikut duduk di sampingku. Akar
langsung memutar tubuh, kedua tangannya berpegangan pada permukaan
tembok. Lantas, kakinya segera turun, dan kini keduanya menggantung di
atas garis puncak atap yang besar. Akar mengintip ke bawah, memastikan
jarak kakinya dengan puncak atap itu. Kemudian, dia melompat sambil
melepas pegangan tangannya, dan kedua kakinya segera menjejak pada
puncak atap besar.
Akar oleng, kedua lengannya spontan terentang lebar untuk menjaga
keseimbangan. Lalu, dia pelan-pelan membungkuk, berjongkok sampai
kedua tangannya bisa memegangi garis tulang puncak atap dan duduk di
atasnya. Akar lantas mengulurkan kedua tangannya ke arahku, memintaku
untuk turun.
Pandanganku berputar-putar, seperti seisi kepalaku. Dalam kegelapan
malam di atas rumah, aku hanya bisa melihat posisi Akar samar-samar.
Aku pun tidak tahu apakah penglihatanku ini akurat, mengingat kondisi
pikiranku yang sedang kacau. Namun, aku tidak mau lebih lama di sini.
Secara gegabah, aku melompat. Harusnya, kakiku menjejak garis tulang
puncak atap besar, di samping Akar. Ternyata pijakanku tidak tepat.
Dengan cepat, kakiku tergelincir di genteng dan tubuhku memerosot ke
bawah. Akar pun tidak siap, tetapi tangannya sigap menangkap satu
tanganku.
Akar panik, berusaha tetap memegangi satu tanganku sementara
tubuhku bergelantungan. Dia merasa tidak mungkin menarikku sampai ke
atap. Namun, satu meter di bawah kakiku, tampak permukaan kanopi yang
melindungi bagian atas jalan masuk dari gerbang ke pintu depan.
“Ve, turun ke kanopi, ya! Aku lepas kamu, kamu turun ke kanopi di
bawah kamu!” Akar memberi instruksi.
Aku mendengarnya, tetapi tidak sanggup merespons, terlalu sibuk
dengan serangan gada berputar di kepalaku. Yang penting aku tahu, di
bawah kakiku ada landasan.
k
oo

Akar pasti tahu aku mengerti apa yang akan dilakukannya karena dia
nb

melepaskan cengkeramannya dari tanganku, dan dalam sekejap aku


meluncur hingga mendarat dengan kasar di atas kanopi yang penuh debu.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara tabrakan yang keras, membuat
Akar sadar bahwa kami hanya punya waktu sangat sedikit sampai orang-
orang lain mencurigai suara ribut dari rumah ini.
Akar melompat ke atas kanopi juga, bergegas membantuku berdiri.
“Ve, kita turun lewat tiang itu, ya! Aku turun duluan, setelah itu
kamu.” Akar menunjuk tiang penyangga kanopi yang berada di sebelah
kanan depan karena posisinya paling dekat dengan tembok vertikal pendek
di tengah-tengah pagar yang runcing.
Aku hanya berdeham semampuku, pertanda aku telah menangkap
maksud Akar dan setuju.
Akar membantuku berjalan hingga ujung depan kanopi, sampai aku bisa
duduk dengan kaki menggantung di tepiannya. Kemudian, dia turun
menyusuri tiang kanopi, menjejakkan kaki di atas tembok yang rendah.
Akar langsung melompat ke jalanan di depan rumah, lalu mengulurkan
tangan ke arahku.
“Ve! Ayo turun! Pelan-pelan!” desis Akar.
Aku baru saja berusaha mencari pegangan sementara satu kakiku telah
mengarah pada tembok yang akan menjadi landasan, ketika suara-suara
orang berteriak mulai terdengar.
“Maling! Maling! Maling!”
Akar menoleh ke kanan dan melihat sekelompok pemuda berlari dari
ujung jalan sana. Dia mengenali mereka, orang-orang yang pernah
memukulinya. Dipimpin oleh Pepep.
“Ve! Cepat turun!” ujar Akar, semakin panik.
Meski kesulitan, akhirnya aku bisa menjejakkan kaki di permukaan
tembok yang sempit. Namun, tubuhku segera oleng dan aku terjatuh ke
arah luar pagar.
k

Akar sempat memegangi tubuhku, tetapi terlepas sehingga aku


oo

terjerembap dan jatuh terpuruk ke jalan depan rumah.


nb

“Ve! Bangun! Kita harus pergi! Ayo cepat bangun!” Akar mendesakku
untuk bangkit sambil memperhatikan gerombolan pemuda yang kian
mendekat itu.
Namun, aku tidak sanggup. Kepalaku seperti menempel ke tanah.
Gravitasi seakan-akan menariknya dengan teramat kuat ke pusat bumi.
Aku hanya mampu tetap terpuruk sambil memegangi kepalaku.
“VE!” Akar menarik-narik tanganku, kemudian aku berdiri.
Akar membantuku berjalan, berancang-ancang untuk lari. Namun, aku
tidak kuat. Aku bahkan harus menyeret langkah kakiku sendiri.
“Maling! Maliiing! Bakar! BAKAAAR!”
“Bakaaarr! Penculik! Tangkap penculik! PENCULIIIK!” Pepep pasti
sudah melihatku.
Akar pun memeriksa jarak dan mereka ternyata sudah tidak jauh. “Ve!
Ayo cepat!”
Aku tidak sanggup menyeret tubuhku sendiri. Langkahku terantuk-antuk,
dan aku tidak bisa maju lagi. Aku terjatuh dan tersungkur ke tanah. Akar
spontan berhenti dan menoleh kepadaku, tetapi penglihatannya juga
menangkap gerombolan Pepep yang mendekat.
“Ve, kalau aku ketangkap, aku nggak bisa menyelamatkan kamu!
Maaf!” Kemudian Akar lanjut berlari, sekencang-kencangnya,
meninggalkanku.
Dalam sekejap, Pepep menangkap dan menarikku kembali ke rumah
Nenek.

Ketika Akar memasuki rumah Oma dengan napas terengah-engah, mereka


bertiga masih ada di meja makan. Oma, Nenek, dan Ayah langsung
berpaling kepada Akar yang berlari menghampiri dengan panik.
“Dia!” seru Akar, di antara napasnya yang memburu. Tangannya
menunjuk Nenek. “Dia mengikat Ve di atap! Dia memaksa Ve kawin
sama anak tetangganya, dan menyiksa Ve!”
k
oo

Oma terkesiap keras, memegangi dadanya yang seketika bergetar oleh


nb

rasa kaget dan takut. “Mana Ve?!”


“Tadi kami dikejar-kejar sama tetangganya di sana! Ve nggak sanggup
lari, dia ketangkap lagi! Oma, orang itu jahat sekali!” Akar kembali
menunjuk Nenek, kemudian menoleh kepada Ayah. “Pak, Bapak tahu
nggak anak Bapak disiksa sama dia?! Ve nggak bisa tinggal sama dia!
Dia juga harus dilaporkan ke polisi!”
Ayah tampak terkejut, menurut cerita Akar. Ayah menaruh gelas
minuman yang barusan dipeganginya, dan berjalan menghampiri Akar.
“Apa betul itu, Nak?” tanya Ayah dengan wajah cemas.
“Betul, Pak! Tadi saya menemukan Ve diikat di atap, mulutnya
disumpal! Dia udah kayak mau mati!” lapor Akar sambil mendekati Ayah.
“Tolong, Pak …. Bapak harus ke sana, sekarang! Tolong selamatkan Ve,
Pak!”
“Iya, nanti saya ke sana, ya ….”
“Sekarang, Pak! Ve udah ditangkap sama anak-anak kampung itu,
Pak! Tolong Ve sekarang!”
Kedua tangan Ayah terulur kepada Akar yang telah berhadapan
dengannya. “Tenang … kamu harus tenang dulu ….”
“Iya, Pak! Tapi, Ve—”
Ayah tiba-tiba menonjok wajah Akar hingga cowok itu sempoyongan.
Sekali lagi, Ayah menonjoknya, dan Akar pun tumbang ke lantai.
“Doni!” Oma langsung berdiri dari kursinya, membelalak kaget.
Ayah menarik kedua tangan Akar ke punggung dan menariknya sampai
berdiri.
“Doni! Lepaskan anak itu!” seru Oma.
“Tidak, nanti dia mengganggu lagi,” kata Ayah.
“Seperti kamu juga,” kata Nenek. Kemudian, dia segera mengambil
gelasnya dari atas meja, berdiri, dan memukul kepala Oma sampai gelas
k
oo

itu pecah.
nb

Oma pun jatuh tak sadarkan diri ke lantai.[]


Situasi Emosi #16:

Marah

AKU YANG pertama bangun dan mendapati Akar serta Oma berada di
sini. Mereka menyandar pada dinding kayu, terpejam dan terkulai. Aku
langsung sadar kedua tanganku terikat di punggung, dan mulutku disumpal
kain dengan tali rafia yang diikatkan ke sekelilingnya. Begitu pula mereka.
“Hmmaaa!” Aku mencoba menjerit, tetapi suaraku langsung teredam
kain. Aku segera menggeser kakiku yang terikat ke kaki Akar yang juga
terikat, mencoba menendangnya. “Hmkaar! Hmmgunnn! Hmkaaarr!”
k

Kakiku yang menendanginya cukup membuat Akar pelan-pelan tersadar.


oo

Cowok itu membuka mata, kaget melihatku terikat. Namun, sejenak


nb

kemudian Akar semakin terkejut sat menyadari dirinya juga terbelenggu dan
tidak bisa berteriak.
Aku susah payah menggeser pantatku sampai aku cukup dekat dengan
Akar, kemudian mencondongkan wajahku hingga berimpitan dengan wajah
Akar. Lalu, aku mencoba menggeser sumpal kain di mulut Akar ke bawah,
mendorongnya menggunakan ujung sumpal di mulutku. Ternyata sulit, dan
gerakan ini tidak berguna. Aku beralih mencoba menggeser sumpalnya
memakai ujung daguku. Akar awalnya terkejut atas aksiku ini, tetapi lama-
lama mengerti bahwa aku sedang berupaya melepas sumpal kain dari
mulutnya.
“Hmph! Hmph!” Akar membuat suara-suara, ditambah matanya yang
memelotot. Dia mencoba menyampaikan isyarat.
“Hmhm?” Aku mengeluarkan suara dengan nada bertanya sambil
mengangkat dagu, meminta petunjuk lebih.
Akar kemudian berbalik, mengacungkan kedua tangannya yang terikat di
punggung. “Hmph-hm, hmgan!”
Sejenak aku bergeming karena tidak bisa langsung menangkap
maksudnya. Apa Akar menyuruhku melepas ikatan di tangannya?
Bagaimana bisaaa?
“Hmph-hm, hmgan!” Akar mengulang suara itu sambil terus
menggerak-gerakkan kedua tangannya.
“Hmph, hm?” tanyaku, mengerutkan kening.
Akar mendengus, lalu dia susah payah berjongkok dan memunggungiku.
Kedua tangannya yang terikat sekarang berada tepat di depan mulutku.
Aku melihat jari-jarinya bergerak dan seketika aku memahami isyaratnya.
Dia menyarankan agar kami menggunakan jari untuk mencabut sumpal
kain. Tali rafia mengikat kedua pergelangan tangan kami, tetapi jemari
kami bebas.
Kutempelkan mulutku ke jari-jari Akar. Dalam sekejap, Akar
memanfaatkan posisi ini untuk menjepit sumpal kain di mulutku memakai
k

jari telunjuk dan jempolnya. Dia menggerakkan kain ke sela-sela tali rafia,
oo

dan aku membantu mendorongnya keluar dari rongga mulutku memakai


nb

lidah. Sampai akhirnya kain sumpal berhasil ditarik jari-jari Akar hingga
terlepas dari mulutku.
“Argh! Akar!” Aku mengembuskan napas keras dan spontan menjerit
begitu mulutku tidak lagi tersumpal. “Gantian!”
Aku dan Akar membalik badan. Aku mengikuti cara Akar barusan.
Sekuat tenaga menggunakan jari telunjuk dan jempolku untuk menarik kain
sumpal hingga keluar dari mulut dan sela-sela tali rafia yang mengikatnya.
“Ve!” seru Akar begitu kain kering dan kotor itu terlepas dari mulutnya.
“Kar, tolong bangunin Oma, dong!” pintaku karena posisi duduknya
lebih dekat dengan Oma. “Tendang kakinya pelan-pelan!”
Akar duduk lagi dan melakukan permintaanku. Sementara itu, aku
menyeret kedua lututku sambil memanggil-manggil Oma. Perlahan-lahan,
mata Oma pun membuka. Dia praktis memelotot dan berteriak begitu
melihatku, tetapi suaranya tertahan sumpal kain di mulutnya.
“Oma! Oma nggak apa-apa?! Tenang, Oma … tenang …. Aku mau
lepasin sumpal mulut Oma,” kataku, seraya memunggungi wajah Oma.
“Aku mau pakai jariku. Maaf, sebentar ya, Oma ….” Lalu, menggunakan
jari telunjuk dan jempol, aku menarik-narik kemudian mencabut kain kotor
yang dipakai untuk menyumpal mulut Oma. Setelah lepas, Oma terbatuk-
batuk.
“Oma nggak apa-apa?!” tanyaku, cemas.
Oma mengangguk. “Oma tidak apa-apa ….”
“Kamu kenapa bisa ada di sini, sama Oma juga?!” tanyaku kepada
Akar.
“Tadi aku lari ke rumah Oma. Di sana masih ada nenek sama ayah
kamu. Aku bilang, nenek kamu jahat. Aku kira Ayah kamu baik. Aku kira
ayah kamu bakal bantu kamu, tapi ternyata aku malah ditonjok! Terus aku
nggak ingat apa-apa lagi,” ujar Akar. “Duh, salah aku juga, sih ….
Kenapa aku malah lari ke rumah Oma?! Kalau nenek kamu yang jahat,
k

pasti ayah kamu juga tahu! Jadinya sekarang nenek sama ayah kamu
oo

tahu kalau aku sama Oma kerja sama buat keluarkan kamu dari rumah
nb

Nenek! Maafin saya, Oma …. Maafin …, gara-gara saya, Oma jadi ikut
diikat di sini.”
“Tidak usah dibuat pusing. Sekarang, yang penting kita harus cari cara
untuk keluar dari sini. Sepertinya ini gudang di belakang rumah nenek
kamu, Ve,” kata Oma.
“Iya, Oma ….”
“Ve, aku udah berkomunikasi sama Henry. Ibu kamu nggak sama dia!
Ibu kamu juga nggak selingkuh sama dia, ibu kamu nggak pergi ke
London!” tutur Akar.
“Ibu nggak selingkuh sama Henry?!” Aku kaget mengetahui ini, tetapi
senang mendengarnya.
“Iya! Bahkan Henry nyari dia juga! Katanya, nggak biasanya ibu kamu
lewat deadline gini! Henry juga coba ngehubungin kamu, tapi kamu nggak
pernah balas message-nya. Mungkin karena … HP kamu keburu dirusak?”
ujar Akar.
“Iya, pas dikembalikan sama Nenek, HP aku udah mati dan layarnya
retak. Dia pasti sengaja ngerusak HP aku! Biar aku nggak bisa
komunikasi ke luar!”
“Ve, kenapa Nenek kamu melakukan semua ini?” tanya Akar.
“Nggak tahu, Kar! Tapi, aku yakin dia juga ngebunuh Ibu,” kataku.
“Apa?” Oma terperanjat, takut bukan main.
“Oma ….” Aku merengek. Air mataku mulai bercucuran. “Iya, Oma …,
Ayah bilang, Ibu ‘disingkirkan’ …. Selama ini, Ayah nggak suka Ibu lebih
hebat dari dia. Ayah marah banget, dia nggak suka harus keluar dari
tempat kerjanya kalau kami pindah ke London. Kayaknya Ayah
menganggap pekerjaannya itu satu-satunya hal yang hebat buat dia. Satu-
satunya harga diri dia…. Kayaknya Ayah minder banget sama Ibu… dan
selama ini aku lihat sendiri kalau menurut Nenek laki-laki harus selalu
lebih hebat daripada perempuan. Mereka merasa Ibu sudah menyalahi
peraturan hidup yang diwariskan sama bapaknya Nenek. Kemarin, aku
k

nemu proposal S-3 Ibu di kamar Ayah di sini. Berarti Ibu ke sini sebelum
oo

dia hilang …. Dan, kemarin Ayah sampai mau ngelempar tabung gas ke
nb

aku ….”
“Dia lempar tabung gas?! Apa betul Wineu dibunuh?!” seru Oma
sambil menangis.
“Aku yakin Ibu ‘disingkirkan’ atau ‘dilenyapkan’ itu maksudnya … Ibu di
… dibunuh ….” Aku kesulitan bicara di antara tangisanku yang tergugu.
Pintu di hadapan kami dibuka keras-keras dari luar, dan masuklah
Pepep dengan gaya berjalannya yang sok mengintimidasi dan senyum
cengengesan di wajah.
“Hehehe … halo, Jodohku …,” katanya sambil menatapku.
Aku mencibir marah. “Lepaskan kami!” seruku kencang.
“Duh, berisik!” Pepep mengorek kupingnya dengan sarkastis. “Nanti,
kalau udah jadi istri saya, jangan teriak-teriak gitu, ya! Bisa saya pukul
kamu!”
“Pergi kamu! Jangan ganggu cucu saya!” seru Oma.
“Aduuuh, ini tua bangka! Saya hajar juga sampai mati! Pengin lu
gabung sama anak lu di liang kubur?!” Pepep mengepalkan tangannya ke
arah Oma.
“Kamu bunuh anak sayaaa?!” Oma menjerit sambil berurai air mata.
Aku sangaaat ingin memeluknya.
“Bukan saya. Kata Emak, kata Nyai Unung, suaminya sendiri!
Wajarlah, perempuan pembangkang begitu!” Pepep tertawa terbahak-bahak.
“Salah sendiri! Wanita itu nggak boleh ngelangkahin laki-laki! Kasihan Pak
Doni, dilangkahi terus sama istrinya! Masa istrinya yang berpendidikan
tinggi, bukan Pak Doni? Masa istrinya yang punya penghasilan lebih
tinggi? Masa istrinya yang bawa keluarga pindah ke luar negeri?
Harusnya Pak Doni, dong! Kan Pak Doni pemimpin keluarga! Menyalahi
peraturan hidup itu! Bapak bisa marah sekali!”
“Kalau Ayah memang bodoh dan otaknya nggak nyampe, ya jangan
salahin Ibu, dong!” aku menjerit dengan air mata berhamburan. “Kalau
Ayah minder sama dirinya sendiri dan malas berpikiran maju, ya jangan
k
oo

kalian jadikan alasan untuk membunuh Ibu!”


nb

“Aduh, pada banyak omong, ya! Wanita emang berisik banget! Saya
cuma mau ngambil kamu doang!” Pepep membungkuk dan mengulurkan
kedua tangannya ke arahku. “Ayo, Manis …, bentar lagi pengumuman
perjodohan kita.”
“Lepaskan cucuku! Jangan sentuh cucuku!” Oma menjerit-jerit sambil
meronta, tetapi kedua tangannya terikat di punggung.
Aku pun terus menggeser badanku untuk menghindari Pepep. “Pergi!
Aku nggak mau sama kamu! Dasar manusia menjijikkan! Sampai mati aku
nggak sudi kamu sentuh!!!”
“Ayo, Manis …, kita kawin ….” Pepep cengengesan, tetapi sekejap
kemudian kepalanya tersungkur ke belakang.
Sejak tadi, Akar memendam emosi hingga akhirnya berteriak penuh
amarah dan menghantamkan kepalanya ke jidat Pepep sekuat tenaga.
Pepep sempoyongan sambil memegangi kepalanya. “Mati kamu,
Anjing!” Pepep praktis menyerbu Akar dan menghajarnya, lebih marah
daripada sebelumnya.
Oma memekik-mekik panik sementara aku berteriak menyuruh cowok
berengsek itu berhenti menyiksa Akar sambil terus berusaha menendangkan
kakiku yang terikat ke kakinya. “Berhenti! Pergi! Pergi kamu!”
Pepep melihat seekor tikus besar di belakang tempat Akar duduk dan
menangkapnya dengan mudah. Dia jejalkan tikus bau berambut abu-abu
kasar itu ke mulut Akar. Tikus itu mencicit-cicit keras dan ekornya yang
panjang bergerak-gerak tegang. Akar langsung meludahkan tikus itu hingga
keluar dari mulutnya, terbatuk-batuk hebat sampai muntah.
“Kamu nggak apa-apa?!” aku menanyai Akar, benar-benar cemas.
Akar tidak mampu menjawab, mukanya tampak sangat pucat.
Pepep malah tertawa terbahak-bahak. “Mau lagi?! Mau lagi, hah?!
Nanti saya isi gudang ini sama tikus!”
“Anak kurang ajar!” seru Oma. “Kamu juga yang masukin tikus ke
rumah saya?!”
k
oo

“Iyalah! Disuruh Nyai Unung! Nangkap tikus sih urusan gampaaang!


nb

Saya jagonya!” Pepep menepuk dadanya dengan bangga. Kemudian, dia


segera menarik rok gaun putih yang kupakai dan menyeretku dengan
paksa. “Kalian tunggu di sini, ya! Saya mau dijodohin dulu! Nanti saya
matiin kalian semua!”
Aku ingat Oma yang memanggil-manggil namaku sambil terus meronta
hebat, tampak ingin melepaskan diri dan menyelamatkanku dari tukang
jagal ini. Oma berteriak, menawari Pepep harta yang dimilikinya agar
ditukar denganku. Akar pun berupaya menahannya. Rasa muaknya kepada
tikus tadi segera lenyap, digantikan perasaan marah melihatku diseret ke
luar. Akar berteriak lantang, mengumpat kasar. Menantang Pepep untuk
duel dengannya, bahkan menantang Pepep untuk memukulinya lagi asal
aku dilepaskan. Namun, Pepep tidak lagi menggubris mereka. Di ambang
pintu, Pepep mengangkat tubuhku sampai aku berada pada posisi berdiri.
Kedua kakiku masih terikat, jadi tubuhku oleng dan seketika aku terjatuh
lagi.
Pepep menendang pintu gudang hingga menutup. “Mau kawin aja
susah!” tukasnya. Lalu, dia melepas ikatan tali rafia dari kakiku.
Terang saja aku langsung menendang tepat ke selangkangannya.
Pepep melolong kesakitan. Aku memanfaatkan waktu untuk berlari kembali
ke dalam gudang, memiliki ide untuk dibagi kepada Oma dan Akar agar
kami bisa melepaskan diri bersama-sama.
Namun, sebelum aku sempat menggapai Oma atau Akar, Nyai Mone
telah menghampiri anaknya yang kini tengah berguling-guling di tanah.
Wanita tua itu pasti tadi sedang ada di dapur sehingga segera menyadari
keributan ini. Dalam sekejap, perhatiannya pun teralih kepadaku, dan Nyai
Mone langsung menarik bagian belakang gaunku kuat-kuat.
Tubuhku terpelanting ke belakang dan Nyai Mone terus menarikku
sampai keluar gudang.
“Bangun! Gini aja lama! Orang-orang udah pada nunggu! Malu sama
tetangga!” Nyai Mone membentak Pepep dan anaknya itu cepat-cepat
bangun.
k

Pepep mengangkat kedua kakiku. Aku melakukan perlawanan, tetapi


oo

cengkeramannya sangat erat. Dia pasti sangat dendam kepadaku. Mereka


nb

lalu menggotongku bersama-sama sampai rumah dan dibawa ke kamar


Ayah. Saat aku dibawa masuk, Ayah ada di sana. Ketika aku dibawa
melewatinya, Ayah malah melengos dan pergi ke ruang tamu, menyambut
orang-orang yang berdatangan dengan senyum lebar.
Di dalam kamar, kaki-kakiku diikat lagi dengan tali rafia. Dalam
keadaan kedua tangan dan kaki terikat, para wanita yang telah menunggu
di sana mengganti pakaianku dan menghias wajahku.[]
Situasi Emosi #17:

Murka

INI HARI paling buruk dan menjijikkan dalam hidupku. Sampai sekarang,
aku tidak habis pikir bagaimana bisa aku berada dalam situasi yang begitu
bodoh sedangkan semua orang lain di situ menganggapnya sebagai suatu
kewajaran.
Nenek dan Nyai Mone masing-masing memegangi satu tanganku, dan
aku didudukkan di sebelah Pepep. Ikatan di kakiku telah dilepas, pasti
mereka tidak ingin melihatku sengaja diikat dan dipaksa berada di sini.
Semua orang duduk di karpet dan Ayah telah berada di hadapan kami.
k
oo

Sejak tadi, Ayah dan Pepep duduk berhadapan, dipisahkan oleh sebuah
nb

meja kecil. Kini, dengan kehadiranku, acara deklarasi perjodohan ini bisa
dimulai.
Aku tidak pernah tahu ada ritual seperti ini dalam masyarakat Bapak,
lingkungan hidup ayahku sendiri. Setelah seumur hidup tinggal bersama
Ayah, aku sungguh tidak mau terima bahwa dia sebetulnya amat dungu
dan jahat. Namun, ini nyata.
Ibu pernah bilang bahwa dulu dia jatuh cinta kepada Ayah karena
Ayah bisa menerima Ibu apa adanya. Dalam konteks kehidupan Ibu, ini
berarti seseorang yang memahami bahwa pola pikir Ibu sangat progresif
dan selalu berambisi untuk hidup berkembang bersama zaman dan
mengikuti dinamika ilmu pengetahuan. Ibu pernah bilang, Ayah adalah her
best supporter, tahu bahwa pikiran Ibu amat terbuka, tidak bersedia
memandang kehidupan pakai kacamata kuda, dan tidak mau terjebak pada
interpretasi yang stagnan. Bersama Ayah, Ibu bisa sedikit bersantai dari
ambisinya, tetapi tetap bersikeras mengupayakan cita-citanya. Sedangkan
Ayah menjalani hidupnya dengan biasa-biasa saja. Menjadi pegawai
kantoran dan tidak punya visi yang canggih atau misi untuk memajukan
peradaban manusia. Ibu pernah bilang, Ayah adalah karakter yang
berlawanan, tetapi mengisi kehidupannya dengan dukungan dan
pemahaman. Kini, aku ingin muntah tiap kali teringat sikap Ayah pada
masa itu.
Ternyata, dogma yang dijejalkan Nenek menghantam alam bawah sadar
Ayah pada saat Ayah merasa bahwa jarak prestasi Ibu telah terlampau
jauh dari dirinya. Muncul lagi ego primitif seorang pria yang dibentuk oleh
keluarganya sejak sangat lama, bahwa laki-laki harus lebih hebat daripada
perempuan. Ayah tidak begitu, maka dia sangat kecewa kepada dirinya
sendiri. Dia takut merasa tidak berfungsi, padahal dukungannya kepada
keluarga membuat kami menjadi lengkap. Justru sikapnya yang negatif
tentang perkembangan karier akademis Ibu-lah yang kemudian
menjerumuskan keluarganya sendiri pada realitas yang kejam. Dia seolah
merasa membasmi kesalahan, padahal dia sendiri tengah membuat
kejahatan.
k

Kini, Ayah duduk di hadapanku dengan senyum lebar di wajah. Dia


oo

bukan lagi orang yang kukenal. Empati dan logikanya telah hangus. Aku
nb

menatapnya sangat tajam dan geram, dengan air mata yang menggenang.
Namun, Ayah sama sekali tidak tampak menyadari bahwa situasi ini
teramat salah.
“Doni, silakan pimpin acaranya. Kamu pemimpin acara ini,” kata
Nenek. Sementara tangan-tangannya yang keriput memegangi lengan kiriku
kuat-kuat.
Ayah mengangguk penuh keyakinan, dengan senyuman bahagia di
wajah.
“Selamat sore, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu. Pada hari yang sangat
berbahagia ini, saya dan keluarga membuat acara untuk menandai
peristiwa penting bagi anak gadis saya satu-satunya, Cerissa Vermilion
….”
“Yakin masih gadis ya, Pak?” sela Pepep, cengengesan.
Aku sudah sangat ingin meludahi wajahnya.
Ayah mengangguk. “Yakin. Nanti bisa dicoba sendiri.”
Aku memelotot kepada Ayah, yakin ingin meludahi wajahnya juga.
“Oke, dilanjut. Saya sebagai ayahnya harus memastikan bahwa anak
gadis saya diurus oleh laki-laki yang bertanggung jawab, dan tentunya
laki-laki yang mematuhi peraturan Bapak. Ini juga tanggung jawab yang
besar untuk saya karena keputusan ada di tangan saya. Ini urusan
antarlelaki ….”
Ini urusan antarlelaki. Puih! Aku sudah betul-betul muak! Aku sangat
ingin meludahinya, menyerangnya, memukulinya! Melampiaskan semua
kemarahanku dengan kekerasan! Namun, dia ayahku. Aku masih berharap
Ayah akan sadar bahwa cara hidup yang dijejalkan Nenek kepadanya itu
salah. Wrong on so many levels! Aku ingin sekali kabur dari sini. Dari
sudut-sudut mataku, kuperhatikan sekitar, memperhitungkan kesempatan.

“Akar, balik badan!” seru Oma.


k

Akar kebingungan. “Balik badan gimana, Oma?”


oo
nb

“Menghadap dinding! Nanti Oma gigiti tali di tangan kamu!” Oma


memberi instruksi sesuai rencana yang terpikirkan olehnya.
Akar pun berpindah posisi dan memunggungi Oma. Namun, dia terus
menoleh, memperhatikan apa yang dilakukan Oma. Meski tampak kesulitan,
Oma tampak gigih membungkuk dan mencoba membuka tali rafia yang
mengikat kedua tangan Akar.
Akar yang segera memahami rencana Oma pun menengahi, “Oma, sini
biar saya dulu yang buka ikatan tali di tangan Oma. Biar nanti Oma bisa
leluasa buka ikatan saya pakai tangan.”
Oma berbalik agar Akar bisa lebih mudah membuka belenggu tali rafia
di pergelangan tangannya. Cowok itu tengkurap dan mulai menggigiti ikatan
Oma. Usaha itu agak sulit karena simpulnya cukup padat. Namun, setelah
beberapa saat, Akar akhirnya berhasil melonggarkan ikatannya. Saat
tangan Oma terbebas, dia melepaskan ikatan Akar dan keduanya
membuka belenggu di kaki mereka juga.
“Akar, Oma punya rencana,” kata Oma, begitu keduanya telah berdiri.
“Begini ….”
Akar sungguh terkejut mendengar rencana Oma. “Oma, jangan! Itu
berbahaya! Lebih baik kita lapor polisi saja! Biar penegak hukum yang
mengadili mereka!”
Oma menggeleng dengan mata terpejam, sudah berpegang erat pada
tekadnya. Ingatan tentang Ibu dan aku seolah menjadi sumbu amarah
yang menggerakkan motivasi Oma.
“Oma, saya nggak mau nanti Oma ditangkap!” ujar Akar.
“Tidak akan,” kata Oma. “Kamu lakukan saja apa yang tadi Oma
bilang. Nanti biar Oma yang bertanggung jawab. Ini demi Ve. Demi
keselamatan kita semua. Kamu dan Ve akan baik-baik saja.”
Meski berat hati, Akar tidak membantah lagi. Dia mengangguk paham.
Kemudian, Akar mengintip ke luar lewat celah pintu gudang. Pintu
belakang rumah terbuka lebar dan tampak sepi karena orang-orang
k

berkumpul di ruang tamu. Namun, mereka tetap harus mendekat ke sana


oo

untuk mengetahui lebih pasti.


nb

“Oma duluan yang ke sana,” katanya, langsung berjalan keluar dari


gudang.
Ini bagian dari rencana yang tadi Oma bilang, jadi Akar memperhatikan
sampai Oma masuk ke dapur lewat pintu belakang. Selama sesaat, Oma
tidak terlihat. Akar terus memperhatikan pintu dapur. Lalu, Oma muncul
lagi di ambang pintu sambil mengacungkan jempol.
Akar berjalan cepat mendekatinya. Begitu memasuki dapur, Akar
tercengang melihat kedua kompor gas telah dinyalakan. Melihat api
menyala-nyala begitu, Akar jadi gentar lagi meskipun sudah tahu rencana
Oma.
“Oma ….”
“Sudah, kamu lakukan saja bagianmu!” desak Oma, mengambil salah
satu lap tangan dan membakarnya.
Akar mengangguk patuh, lalu beranjak memasuki lorong yang
menghubungkan dapur dengan ruang keluarga. Pelan-pelan, Akar berjalan,
pandangannya tetap awas. Tidak ada orang di ruang keluarga. Namun,
dari lorong ini saja, Akar sudah bisa menangkap adanya orang-orang yang
berkumpul di ruang tamu. Di sanalah dia akan beraksi membantu rencana
Oma.
Akar menoleh kepada Oma. Di dapur, meja makan sudah terbakar.
Oma berdiri di sampingnya, memegangi sebuah lap kain lainnya yang telah
dicelupnya pula ke api kompor. Api berkobar dari ujung lap di tangan
Oma itu. Sesuai rencana, Oma akan membakar sebanyak-banyaknya
barang di dapur. Menyalakan api sebesar-besarnya. Akar hanya perlu
melakukan bagiannya. Oma mengangguk kepada Akar dengan raut serius.
Akar sebetulnya masih meragu, tetapi akhirnya dia pun balas mengangguk,
lalu berlari ke ruang tamu.

“Karena perempuan lemah dan butuh perlindungan seumur hidupnya, butuh


laki-laki yang tepat untuk membimbing dan melindungi. Deklarasi
k

perjodohan ini menjadi tanda bahwa saya sebagai pemimpin telah yakin
oo

akan menyerahkan kekuasaan dan kepengurusan anak gadis saya satu-


nb

satunya kepada Nak Cepi, yang saya percaya akan menjadi pasangan
hidup yang tepat bagi anak saya. Upacara perkawinan akan segera
dilaksanakan!” Ayah mengambil salah satu dari dua cincin perak dalam
kotak yang ditaruh di atas meja kecil yang memisahkan posisi duduk kami.
Pepep telah menyodorkan tangan kanannya kepada Ayah dan Ayah
pun memasang cincin itu di jari manis Pepep. Semua orang yang hadir
bertepuk tangan dengan gembira. Kemudian, Ayah mengambil cincin yang
satu lagi. Nenek menyodorkan paksa tangan kiriku.
“Aku nggak mau! Aku nggak sudi nikah sama dia! Aku nggak rela!”
aku terus menjerit-jerit. Namun, orang-orang di sekitarku malah berbisik-
bisik dengan sinis karena mereka menganggap aku anak yang tidak tahu
terima kasih, padahal ayahku sudah melakukan yang terbaik. Ayah pun
menarik tangan kiriku dengan keras. “Ve! Jangan membangkang terus!
Kelakuan kamu itu bisa mencelakakan kita semua! Kata Bapak—”
“Diaaam!” teriakku sekuat tenaga. Aku sudah tidak tahan lagi dengan
semua kegilaan ini.
Tiba-tiba, seseorang berlari memasuki ruangan dan dalam sekejap
mendorong Nyai Mone serta Nenek, membuatku terlepas dari mereka.
Sebelum aku menyadari kejutan ini, Akar telah menarikku sampai berdiri.
“Lari, Ve!” serunya, kemudian kami sama-sama berlari mengarah ke
pintu depan.
Akar membuka pintu dan mendorongku ke luar. Aku terjerembap ke
teras depan. Sebelum aku berdiri, Akar telah menutup pintu lagi dan
menguncinya dari dalam.
“Lari ke parkiran, Ve!” teriak Akar dari dalam. “Ketemu di sana!”
“Akar? AKAR!” Aku berdiri dan menggedor-gedor pintu.
“Asap! Api! Api! Kebakaran! Kebakaraaan!” Terdengar keributan dari
dalam.
Aku ikut mencium bau terbakar. Akar mungkin sudah punya rencana
dan aku hanya harus mengikutinya. Demi keselamatan kami, aku segera
berlari ke pagar dan terus menjauh. Sambil berjalan mundur, aku melihat
k
oo

asap mengepul dari belakang rumah Nenek. Aku panik, tidak tahu apa
nb

yang mesti kulakukan. Namun, aku yakin Oma dan Akar memiliki rencana
sendiri untuk menyelamatkan diri mereka.

Akar memanfaatkan keadaan saat orang-orang panik karena menyadari


adanya kebakaran yang berasal dari dapur rumah. Mereka tidak bisa
keluar lewat pintu depan sebab kuncinya dibawa oleh Akar. Memecahkan
kaca jendela pun akan sia-sia karena setiap jendela dipasangi terali yang
rapat. Di antara gerombolan orang-orang yang panik, Akar terus berlari ke
belakang rumah, tahu pasti akan tujuannya.
Namun, ketika melewati dapur, langkahnya sempat memelan dan Akar
terperangah. Dia melihat Oma memegangi slang tabung gas yang
tersambung dengan kompor.
“Ve sudah di luar?!” tanya Oma, suaranya tinggi. Satu tangannya
yang tidak memegangi slang mengibas-ngibas di depan muka, mengusir
asap, kemudian terbatuk-batuk.
“Sudah, Oma!” seru Akar.
Oma memberi isyarat agar Akar terus berlari. “Kamu juga cepat pergi!
Selamatkan Ve!” teriak Oma.
Sementara itu, orang-orang dari ruang depan telah berlari memasuki
dapur, menunjuk-nunjuk Akar dan menemukan Oma.
“Pergiii! Selamatkan Veee!” Oma menjerit, satu tangannya membuat
gerakan mengusir Akar.
Akar pun segera berlari ke halaman belakang, terus hingga menaiki
tangga melingkar yang tersambung dengan balkon jemuran. Tadi, Oma
menunjukkan bahwa itu jalan keluar yang bisa dipakai Akar setelah
mengeluarkan Ve dari ruang depan. Seperti saat dia membawaku turun
dari balkon jemuran, Akar melompat ke atap, lalu melompat lagi hingga
mendarat di kanopi.
Pada saat itulah aku bisa melihatnya lagi. Aku berteriak memanggil-
manggil Akar. Dia menuruni kanopi lewat tiang, menjejak pada tembok
k

pagar, melompat ke jalanan depan rumah, dan segera berlari


oo

menghampiriku.
nb

Napasnya terengah-engah saat aku menahan badannya yang oleng


agar tidak terjatuh.
“Oma mana?!” tanyaku.
Bersamaan dengan itu, muncul suara ledakan dahsyat. Aku dan Akar
jatuh tersungkur. Telingaku pun langsung berdengung keras.
Akar buru-buru bangun, menarikku sampai berdiri. Tangisku seketika
pecah dan aku meraung-raung memanggil Oma sambil memandangi
kobaran api yang melalap rumah Nenek. Api dengan cepat membesar,
bahkan telah menghanguskan hingga balkon jemuran dan merambat ke
rumah Nyai Mone. Sekali lagi, muncul suara ledakan.
“Ve! Ayo kita pergi!” seru Akar.
“Oma! Oma di dalam! Omaaa!” aku menjerit, hendak kembali ke
rumah Nenek.
Tubuhku terasa sangat lemas dan pikiranku berangsur kosong. Aku
nyaris terserang gada imajiner yang akan berputar-putar dalam tempurung
kepalaku lagi karena tidak kuat menerima peristiwa ini.
Terdengar suara sirene dari kejauhan. Lalu, keluar dari mulut gang
yang tersambung dengan parkiran mobil di tepi jalan raya, para polisi
berlarian menuju rumah Nenek.
“Ve! Ve!” Eyang Erlas memimpin pasukan itu, dan berhenti di samping
kami. “Apa yang terjadi?!”
“Eyaaang …, Omaaa ….” Aku merengek dalam tangis, gemetar dalam
pelukan Akar.
“Oma kenapa?!” tanya Eyang Erlas cemas. “Kemarin Eyang lihat Oma
dan Akar dibawa suami dan mertuanya Wineu, jadi Eyang minta bantuan
polisi. Tapi, ini apa yang terjadi?!”
“Kemarin kami disekap, Eyang. Sekarang rumahnya terbakar,” jawab
Akar.
k
oo

“Omaaa …! Oma di dalaaam!” Aku memandangi rumah yang sudah


nb

dikepung pasukan polisi itu sambil meraung, memanggil-manggil Oma.


Eyang Erlas tersentak kaget. Kemudian, dia langsung berlari mendekat
ke rumah dan bicara kepada rekan-rekannya dari kepolisian.
Orang-orang lain mulai bermunculan dari dalam rumah mereka. Para
perempuan muda dan anak-anak kecil yang tinggal di sepanjang gang.
Orang-orang yang tidak pernah Nenek ajak hadir dalam pertemuan Nenek
karena warisan perintah dari Sang Bapak. Mereka berteriak-teriak panik,
menunjuk-nunjuk rumah Nenek dan Nyai Mone yang tengah dilalap api
raksasa, menahan anak-anak kecil agar tidak mendekat ke rumah-rumah
yang terbakar. Banyak dari anak kecil itu menangis ketakutan. Para polisi
memastikan mereka berada dalam jarak yang aman. Sementara itu, Eyang
Erlas kembali kepada kami.
“Ve, Akar, ayo, ikut Eyang dulu. Kalian perlu menenangkan diri,” kata
Eyang Erlas.
“Tapi, Oma …, bagaimana dengan Oma?”
“Teman-teman Eyang sedang berusaha mengeluarkan orang-orang,
termasuk Oma-mu, Ve.” Eyang Erlas tersenyum, berupaya menenangkan
diriku.
Aku dan Akar mengikuti Eyang Erlas ke rumahnya. Aku berharap Oma
punya rencana untuk menyelamatkanku sekaligus melarikan diri dari rumah
itu. Namun, nyatanya, sama seperti semua orang yang dikuncinya dalam
rumah Nenek, Oma tidak pernah keluar dari sana hidup-hidup.[]

k
oo
nb
Situasi Emosi #18:

Dengki

WINEU TERPERANGAH. “Dibatalkan?” Kemudian, dia menghela napas


panjang. “Amah, boleh saya tahu kenapa Amah tiba-tiba menginginkan saya
membatalkan rencana melanjutkan kuliah di London?”
Nyai Unung duduk tegak di sofa tunggal dalam ruang tamu rumahnya
dengan senyuman simpul. Dia melirik Doni yang duduk di sebelah Wineu.
Kepala Doni sejak tadi menunduk, seakan tidak sanggup terlibat dalam
percakapan antara ibu dan istrinya. Dia hanya menjalankan perintah dari Nyai
k
oo

Unung untuk membawa Wineu kemari.


nb

“Tidak baik membawa keluarga jauh-jauh dari kampung halaman,” jawab


Nyai Unung.
“Tapi ini kan untuk alasan yang baik, Amah …. Saya mau sekolah lagi, Ve
juga mau kuliah di sana. Doni bisa mendapatkan pengalaman yang lebih
banyak dengan tinggal di luar negeri,” tutur Wineu.
“Harusnya Doni yang meningkatkan level hidup kalian, bukan kamu,”
tukas Nyai Unung.
Wineu terperanjat. Dia melirik suaminya, lalu pandangannya kembali
kepada mertuanya sambil berkata, “Saya tidak mau membahas derajat laki-
laki lagi, Amah. Tidak masalah siapa yang menyediakan fasilitas dan
pengalaman hidup, yang penting keluarga kami harmonis dan saling
mencintai. Tapi, saya tidak terima kalau posisi saya dipermasalahkan karena
dianggap melebihi suami saya. Doni juga bisa kuliah lagi, bikin pencapaian
yang lebih dari saya kalau dia mau.”
“Ya kamunya juga jangan melebih-lebihkan hidupmu dari dia terus! Kamu
memaksa Doni keluar dari pekerjaannya! Nanti dia jadi pengangguran!
Rendah derajatnya! Kata Bapak Saya, tidak pantas perempuan mengalahkan
derajat laki-laki! Tidak akan bahagia hidupnya!”
“Hidup kami bahagia bukan karena siapa yang lebih punya pencapaian
daripada siapa, Amah. Hidup kami bahagia karena saling toleransi terhadap
kekurangan dan kelebihan masing-masing, sama-sama membangun keluarga
yang fungsional. Tidak peduli siapa yang membiayai hidup kami lebih
banyak. Nilai diri Doni juga tidak sebatas apakah dia punya pekerjaan atau
tidak. Lagi pula, ini untuk sementara. Kepindahan kami ke London akan
membuka kesempatan juga untuk Doni. Saya dan Doni telah mendiskusikan
rencana kami ke depannya. Amah tidak perlu khawatir.”
Namun, Wineu justru merasakan adanya energi kekhawatiran dari lelaki
yang duduk di sampingnya. Doni duduk dengan kepala menunduk, kedua
tangannya saling meremas cemas, dan satu kakinya bergerak-gerak pertanda
k

tidak tenang.
oo
nb

“Apa ada yang baru kamu pikirkan tentang keputusan kita?” Wineu jadi
menanyainya.
“Doni tidak senang kamu selalu melangkahinya,” Nyai Unung yang
menjawab.
Wineu tersenyum tipis kepada mertuanya itu, dan segera meminta
konfirmasi kepada orang yang paling berwenang memberi informasi tentang
dirinya sendiri. “Doni? Apa ada yang baru kamu pikirkan tentang keputusan
kita?”
Doni tiba-tiba menyambar gelas minumnya yang sudah kosong dari atas
meja dan langsung pergi meninggalkan istri serta ibunya.
“Harusnya kamu yang mengambilkan minum untuk suamimu,” kata Nyai
Unung, tersenyum.
“Kalau Doni ingin minum, dia bisa ambil sendiri. Seperti yang sedang dia
lakukan,” timpal Wineu, dengan suara tetap ramah.
“Masih tidak berubah juga kamu, ya! Malah semakin parah! Melenceng
jauh dari peraturan hidup Bapak! Merugikan suamimu! Dia tidak akan pernah
bahagia gara-gara kamu!” bentak Nyai Unung.
“Itu pun bukan Amah yang menentukan. Doni yang menentukan dirinya
merasa bahagia atau tidak. Doni yang menentukan keinginannya, bukan
Amah!” ujar Wineu.
“Saya ibunya! Kata Bapak Saya, orangtua yang paling tahu apa yang
terbaik untuk anaknya! Anak-anak nurut saja! Pokoknya, saya tidak
mengizinkan kamu sekolah lagi, apalagi jauh-jauh ke luar negeri!” Nyai
Unung berteriak sambil menunjuk-nunjuk Wineu dengan marah.
“Amah, keputusan hidup saya bukan Amah yang atur!” timpal Wineu.
“Terima kasih atas opini Amah. Tapi, keputusan tetap ada di tangan saya.
Saya mau sekolah lagi juga bukan urusan Amah. Saya lebih tahu apa yang
penting untuk diri saya dan keluarga saya.”
k

“Perempuan baik-baik tidak sekolah tinggi-tinggi! Tidak melangkahi laki-


oo

laki!” seru Nyai Unung, sekarang memelototi sang menantu.


nb

“Itu salah, Amah. Sadar, Amah, Amah begini karena dulu ingin sekolah
tapi selalu dilarang Bapak Embing. Amah iri kepada perempuan yang bisa
bersekolah tinggi!”
“Berani-beraninya kamu bilang Bapak Saya salah! Bapak Saya selalu
benar! Dasar kamu tukang tenung! Kamu mau seret keluarga saya pada
kesengsaraan!” Nyai Unung berteriak histeris.
Tiba-tiba saja, dari arah dapur, Doni berlari mendekat dengan kedua
tangan mengangkat sebuah tabung gas yang masih disegel. Dalam sekejap,
dia melemparkan tabung itu tepat ke kepala Wineu.
Suara kertak keras muncul bersamaan dengan patahnya tulang leher dan
retaknya tengkorak. Wineu seketika tumbang ke sofa, darah menyebar dan
menyerap pada kainnya sedangkan tubuh Wineu terguling ke lantai.
“Kata Bapak Saya, kalau tidak bisa dimurnikan, matikan,” ucap Nyai
Unung.
Doni berdiri dengan napas terengah-engah di samping kursi sang ibu,
memandangi mayat istrinya. Satu tangan Nyai Unung meraih lengan
putranya, dan dia pun lanjut berkata.
“Kamu telah menyelamatkan kehidupan kita, Anakku. Kamu telah
mengangkat derajatmu lagi. Tidak ada lagi tukang tenung yang
melangkahimu. Sekarang, ayo kita kuburkan dia di tanah anggur.”[]

k
oo
nb
Situasi Emosi #19:

Tenang

EYANG ERLAS membantuku mengurus semuanya. Setelah diselamatkan ke


kantor polisi pada malam itu dan menjalani serangkaian pemeriksaan, aku
dan Akar dinyatakan sebagai saksi kunci. Kebakaran yang terjadi pada
malam itu kemudian dinilai dan diberitakan sebagai suatu kecelakaan akibat
ledakan gas yang tidak disengaja. Tidak ada orang dalam rumah Nenek
yang selamat. Sebagian besar penduduk rumah sepanjang Gang Bapak
tewas dalam rumah yang terkunci itu. Hanya anak-anak dan para
perempuan muda yang selamat pada malam kejadian itu karena mereka
k

berada di rumah masing-masing dan dilarang Nenek hadir dalam acara


oo

maut tersebut.
nb

Aku dan Akar telah sepakat bahwa kami tidak mau diwawancarai media
massa. Biarlah polisi yang memberi keterangan resmi. Para pencari berita
pun akhirnya hanya mewawancarai para perempuan yang malam itu
berdiam di rumah masing-masing mengenai anggota keluarga mereka.
Mereka adalah para perempuan yang selalu ditolak oleh Nenek bergabung
dalam pertemuan di rumahnya, dan anggota keluarga mereka yang dekat
dengan Nenek pun termakan omongan wanita itu. Nenek hanya ingin aku
satu-satunya perempuan muda yang terlibat dalam pertemuan mereka
karena dia ingin akulah yang meneruskan “peraturan hidup” yang dijejalkan
Bapak kepadanya. Setelah dia tidak berhasil dengan Ibu, dia mengincarku.
Eyang Erlas meminta bantuan teman-temannya di kepolisian untuk
mengawal proses pemindahan jenazah Ibu yang ternyata memang dikubur
di bawah kebun anggur belakang rumah itu. Jenazahnya sempat ditahan
untuk proses autopsi, dan akhirnya aku tahu bagaimana Ibu dibunuh.
Kemudian, jenazahnya dikuburkan dengan baik bersama jenazah Oma yang
berhasil diambil dari puing-puing kebakaran. Di tanah pekuburan itulah kini
aku sering berada, duduk sendirian dan menangis saat memandangi nisan
mereka.
Namun, hanya ketika berada di sana aku meluapkan perasaan sedihku,
bercerita sampai bercucuran air mata. Aku tetap harus melanjutkan
kehidupanku. Kini, aku tinggal di rumah Akar sejak apartemen kujual. Aku
bekerja di perpustakaannya dan terus belajar untuk mendaftar kuliah tahun
depan. Setiap hari, aku membersihkan meja dan kursi, menyapu dan
mengepel lantai, membersihkan debu, mendata buku-buku yang baru
datang dan siap dipajang, hingga mengurus jual beli buku di perpustakaan.
Aktivitasku cukup mampu membuat hariku cerah. Meski suatu malam, Akar
pernah berkomentar bahwa aku jadi tidak pernah tertawa dan jarang sekali
tersenyum. Akar mengkhawatirkanku.
Namun, aku merasa baik-baik saja. Setelah perpustakaan tutup pukul
sembilan malam, aku suka bersih-bersih. Lalu, aku akan duduk di teras
paviliun di taman belakang, untuk belajar atau sekadar menonton film.
Sering kali ditemani pula oleh Akar. Di antara kami, tidak pernah ada
k

perbincangan tentang peristiwa mengerikan malam itu lagi.


oo
nb

Pihak berwajib pernah menghubungiku untuk urusan kepemilikan rumah


dan tanah di sana. Rumah Nenek telah habis terbakar, tetapi tanahnya
masih ada. Kepemilikan tanah itu atas nama Ayah dan diwariskan untukku,
sebagai anak tunggalnya. Namun, tiba-tiba saja saudara-saudara Bapak
dan keluarga jauhnya yang masih hidup berebut lahan itu. Aku tidak sudi
terlibat. Perseteruan keluarga Ayah demi kepemilikan harta sisa kebakaran
itu masih berlangsung sampai sekarang.
Seorang pengacara mendatangiku suatu hari, ingin membahas
kepemilikan rumah dan tanah Oma. Rumah dan tanah itu telah lama ganti
nama menjadi milik Ibu dan mata rantai warisan berikutnya adalah aku.
Maka, kini rumah dan tanah itu telah menjadi milikku. Aku tidak akan
menjual rumah itu sebab itu satu-satunya tempat yang menjadi artefak
memoriku tentang Ibu dan Oma. Aku meminta tolong kepada Eyang Erlas
untuk mengurusnya dan aku menyisihkan sedikit dari gajiku untuk itu.
Kadang-kadang, aku juga mampir ke sana, tetapi aku tidak mau tinggal
permanen di rumah itu. Terlalu menyakitkan bagiku.
Jadi, setelah semua kejadian mengerikan yang kualami, apa yang
paling aku takuti di planet ini? Orang-orang dungu yang bergerombol.
Dengan kebiasaan ingin menghancurkan apa-apa yang tidak sama dengan
pengetahuan mereka yang sempit dan tidak mau mereka pahami. Mereka
betul-betul bisa menghancurkan jalan hidup orang lain tanpa merasa
bahwa pilihan sikap mereka salah sepenuhnya.[]

k
oo
nb
PROFIL PENULIS
VINCA CALLISTA lahir di Bandung,
Indonesia. Ve adalah novel ke-13 Vinc
setelah Sang Panglima Laskar Onyx
(fantasi, 2007), Semburat Senyum Sore
(romance, 2011), Lima Mata Manusia
(romance, 2011), Dunsa (fantasi, 2011),
SERUAK (psychothriller, 2014), Nyawa
(psychothriller, 2015), Kilah
(psychothriller, 2015), BRISTOL
(romance, travelling, 2016), TRAVEL-
MATES: 7 Negara, 1 Cinta (romance,
k
oo

travelling, 2017), Daddy’s Little Girl (a modern tragedy,


nb

psychothriller, 2017), Buku Para Mantan (romance, 2018), dan


SCANDALICIOUS SIBLINGS: Episode 1 (romance, family drama,
2018).
Vinc pernah menjadi penyiar dan reporter radio 99ERS Bandung
selama enam tahun (2008–2014) dan presenter acara-acara musik
KompasTV. Dia masih kerap menjadi MC, narasumber talk show serta
workshop penulisan fiksi dan penyiaran. Beberapa cerpen karyanya
pernah dimuat di majalah nasional, antara lain: Cinta Monyet (2006),
Psikopat (2006), Both Secret Admirers (2009), dan Ada yang Kesepian
Malam Ini (2012). Cerpen-cerpen tersebut kini bisa dibaca di blog
Vinc bersama kumpulan flash fiction karyanya: A Silent Series of
Loneliness.
Vinc pun telah menulis dan memproduksi 8 film independen yang bisa
ditonton di YouTube: Langit di Balik Kaca (drama, 2011), PR[U]ECIOUS
(psychothriller, 2012), Canting Batik Cantik (psychothriller, 2012), Person to
Person (drama, 2012), Mendung Langit (drama, prekuel novel Semburat
Senyum Sore, 2013), Imaginary Girlfriend (psychodrama, video klip
MOCCA, 2014), HERO the Series (drama-komedi-fantasi, King’s College
London TV, 2015), dan New Girl in the Room (psychothriller, Vinc Fiction
London, 2016).
Dalam ajang internasional Ubud Writers & Readers Festival 2015, Vinc
terpilih menjadi Emerging Writer.
Vinc tinggal di London, Inggris, selama menempuh studi MA Cultural and
Creative Industries, Faculty of Arts & Humanities, di King’s College London.
Surf-Vinc:
www.vincacallista.wordpress.com
k
oo
nb
Lengkapi Koleksi Urban Thriller-mu!

k
oo
nb
nb
oo
k
nb
oo
k

Anda mungkin juga menyukai