Anda di halaman 1dari 151

ALCHEMIST BOOXS!

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit



Sujatrini Liza







JEALOUS

Karya Sujatrini Liza


Penyunting: Dhewiberta
Perancang sampul: Enjhel
Pemeriksa aksara: Dwi Kurniawati
Penata aksara: Beni DP

Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
(PT Bentang Pustaka)
Anggota Ikapi
Jln. Pandega Padma 19, Yogyakarta 55284
Telp. (0274) 517373 – Faks. (0274) 541441
Email: bentangpustaka@yahoo.com
http://www.mizan.com
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sujatrini Liza
Jealous/Sujatrini Liza; penyunting, Dhewiberta; Yogyakarta: Bentang, 2011.
vi + 282 hlm; 20.5 cm

ISBN 978-602-8811-25-5

I. Judul. II. Dhewiberta



Didigitalisasi dan didistribusikan oleh:



Gedung Ratu Prabu I Lantai 6
Jln. T.B. Simatupang Kav. 20, Jakarta 12560 - Indonesia
Phone: +62-21-78842005
Fax.: +62-21-78842009

website: www.mizan.com
email: mizandigitalpublishing@mizan.com
gtalk: mizandigitalpublishing
y!m: mizandigitalpublishing
twitter: @mizandigital
facebook: mizan digital publishing

Daftar Isi
bagian 1

bagian 2

bagian 3

bagian 4

bagian 5

bagian 6

bagian 7

bagian 8

bagian 9

bagian 10

bagian 11

bagian 12

bagian 13

bagian 14

bagian 15

bagian 16

bagian 17

bagian 18

bagian 19

bagian 20

bagian 21

bagian 22

bagian 23

bagian 24

bagian 25

bagian 26

Ucapan Terimakasih

Tentang Penulis



1
Pukul 7 kurang 20, aku mulai bersiap-siap. Setelah mematikan komputer, dan sekali lagi memeriksa
sekeliling mejaku kalau kalau ada yang ketinggalan, aku bergegas menuju kamar mandi. Kulihat beberapa
orang masih betah duduk di kursinya. Main game tentu saja. Mana ada yang betah bekerja lembur hari
Jumat begini. Paling-paling pukul 7 nanti mereka juga diusir satpam.
“Daaah, semuanya!” seruku sambil melambaikan tangan dan tersenyum semanis madu. Mereka cuma
membalas ala kadarnya. Ciri khas jomlo-jomlo kurang bahagia. Atau yang sedang ada masalah di rumah.
Tapi di meja resepsionis, aku diadang Mila dengan majalah wanita panutannya.
“Ar, tunggu sebentar!” panggilnya. Aku pun berhenti.
“Ngapain lu duduk di sini?”
“Nunggu telepon. Tapi sini dulu.”
Aku menghampiri sambil menahan pipis. “Apaan?”
“Denger, nih, ‘Apa yang Anda lakukan jika pacar Anda mulai kehilangan minat dengan cerita-cerita
atau humor-humor Anda?’.”
“Eh, kamu tanya aku?”
“Ya, iyalah!”
“Nggak ngerti. Ada penjelasan?”
“Enggak. Gitu aja.”
“Apa, ya?” aku pura-pura berpikir keras. “Tanya aja langsung apa sebabnya pada pasangan kita.”
“Terus ada lagi, dengerin, nih, ‘Apa yang Anda lakukan jika pacar Anda menyatakan sudah kehilangan
minat untuk meneruskan hubungannya dengan Anda?’.”
Aku melompat-lompat kecil menahan urine yang sudah tidak sabar ingin keluar. “Tanya sebabnya,
dong.”
“Dari tadi jawabannya itu melulu. Eh, kenapa, sih kamu loncat-loncat?”
“Pengin pipis!”
“Ya, sudah sana.”
Aku buru-buru ke kamar kecil, buang air kecil, lalu cuci tangan dan memoles ulang wajahku dengan
warna-warna netral. Abrakadabra! Hasilnya, wajahku terlihat kinclong biarpun tetap alamiah. Aku
kembali ke area resepsionis. Mila masih di sana dengan majalahnya. Aku melirik jam tangan, 7 kurang 5.
Sebentar lagi.
“Mau jalan?” tanya Mila tanpa berpaling dari majalahnya.
“He-eh.”
“Sama yang kemarin?”
“He-eh.”
Mila kembali menekuni majalahnya.
“Kamu nunggu dijemput juga?” aku balik bertanya.
Mila menggeleng sambil mencibir.
“Kok gitu? Kenapa? Berantem?”
“Tau, ah, gelap!”
Ting! Pintu lift terbuka. Muncullah dia.
“Hm,” Mila memandang dengan sorot mata kagum. “Lucky you,” desisnya.
Aku tersenyum canggung, lalu bangkit dari sofa. “Daah, Mila. Enjoy your weekend!”
“Daah!” balasnya sambil matanya tak lepas memandang Raka yang berjalan tenang menuju kantorku,
tapi aku buru-buru keluar sebelum dia sempat masuk.
“Hai!” sapaku dengan mata berbinar-binar. Raka tersenyum. Dia punya wajah tampan khas Indonesia
yang langka menurutku. Tidak ada darah asing di tubuhnya, tapi detail wajahnya begitu sempurna,
sekaligus menyiratkan kerapuhan. Intinya, aku kehabisan kata-kata jika harus menggambarkannya.
Membayangkannya saja membuatku merinding, dan memang setiap kali berada di samping tubuhnya yang
tinggi dan atletis, aku panas dingin.
Kami masuk ke lift. Begitu pintu tertutup, udara langsung terasa gerah. Dia menekan tombol G.
“Kenapa kamu nggak mau turun ke lobi, sih?” kata Raka tiba-tiba. Suasana hatinya berubah, raut
wajahnya juga berubah. Tanpa sadar aku mengerutkan kening. Akhir-akhir ini dia selalu seperti ini. “Aku
males berurusan sama sekuriti di bawah. Resek-resek. Pake lewat detektor, titip KTP. Padahal sudah
berapa kali aku ke sini, petugasnya juga ada yang sama, masa lupa terus.”
“Mereka, kan, cuma menjalankan tugas. Kalau ada teroris yang masuk gimana?”
“Memangnya tampangku kayak teroris?”
“Ya, enggak, lah. Namanya juga jaga-jaga. Wajar, kan, kalau mereka begitu?”
“Makanya. Lebih baik kamu aja yang turun. Biar mereka nggak repot juga periksa-periksa aku,” Raka
berkilah.
Aku diam saja. Kalau tampangmu jelek pasti aku juga tidak akan memaksa kamu naik ke kantor
menjemputku. Ah, dasar!
Saat berjalan menuju tempat mobilnya diparkir, Raka menghentikan langkahnya.
“Eh, kita mau ke mana dulu, nih?”
“Makan?”
“Habis itu?”
“Kafe?”
“Habis itu?”
“Pulang?”
“Oke.”
Raka masuk ke Toyota Altis peraknya dengan ogah-ogahan. Dia bahkan tidak membukakan pintu mobil
untukku. Aku membuka sendiri pintu mobil dan kulihat di kursi penumpang ada map-map dan CD
berserakan.
“Sori,” ujar Raka sambil bergegas membereskan barang-barangnya dan melemparkannya begitu saja
ke jok belakang.
“Baru bongkar CD?” tanyaku.
“Oh, iya. Cari-cari CD Anggunku.”
“Yang mana?” tanyaku sambil mengulurkan tanganku ke jok belakang tempat CD-CD bertebaran.
“Apa, tuh judulnya, ribet, Lumines ....”
“Luminescence.”
“Ya, itu.”
“Setel, ya?”
“Males, ah.”
Dengan sigap, Raka langsung menyalakan radio. Terpaksa CD tadi kuletakkan kembali ke jok
belakang. Saat hendak berbalik, wajahku menyentuh bahunya. Hidungku sempat mengendus bau
wewangian yang asing.
“Ganti parfum, ya?” tanyaku.
“Iya.”
“Kenapa? Kan, lebih enak yang lama.”
“Bosen.”

V
Kami mampir untuk makan bubur ayam di jalan Barito. Saking ramainya, kami terpaksa mengantre tempat
duduk.
“Mau makan aja susah,” Raka ngedumel pelan. Lagi-lagi kebiasaan baru.
“Apa?”
“Mau makan aja pake ngantre segala. Cari tempat lain aja, yuk!”
“Di mana?”
“Ke Tamani aja, deh.”
Oke. Aku memperhatikan wajah Raka yang kesal. “Dulu kamu suka makan di sini,” ujarku.
“Itu, kan, dulu.”
Setelah selesai makan. Kami akhirnya menuju Hard Rock Cafe setelah sempat berdebat beberapa saat.
Kami duduk di bagian tengah. Rasanya kurang nyaman. Tapi bagaimana lagi. Semua tempat yang strategis
sudah diisi orang.
“Aku lebih suka Hard Rock yang lama,” aku menggerutu sambil menekuk bibirku. “Kalau kamu?”
“Sama saja. Sekarang zamannya perubahan, kan? Semua jadi ikut berubah.”
“Iya, tapi aku lebih suka yang dulu.”
Raka angkat bahu. Seolah ia tidak ingin memperpanjang argumen yang tak ada gunanya. Memang tidak
ada gunanya, sih. Tapi tidak ada salahnya jika mengutarakan pendapat, bukan?
Kami cuma memesan fried calamari dan minuman ringan. Aku tidak terlalu memperhatikan band yang
sedang main. Pikiranku sepenuhnya tertuju pada pria di hadapanku. Kurasa Raka juga sama. Matanya
memang tertuju ke panggung, tapi pikirannya entah ke mana. Aku bisa tahu. Aku selalu tahu jika dia sedang
tidak mood.
“Ra—.”
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nada deringnya “Manja” Ada Band. Aku mengernyit. Sejak kapan dia
suka lagu romantis sebagai nada deringnya. Biasanya dia suka nada dering yang umum, bukan lagu.
Terlalu menarik perhatian, katanya. Kuperhatikan lagi raut wajahnya tahu-tahu berubah menjadi
semringah.
“Hai!” ujar riang ke ponselnya. Karena merasa diperhatikan, dia memalingkan tubuhnya. Apa ini?
Kenapa dia sembunyi-sembunyi? Dia bercakap-cakap dengan nada rendah sebentar lalu mematikan
teleponnya. Kini dia terlihat lebih cerah. Tidak mungkin! Apa dia punya ....
“Dari siapa?” tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa ingin tahuku.
“Teman kantor.”
Pembohong. Tiba-tiba aku jadi ingin tahu nada dering apa yang disetel di ponselnya jika menerima
telepon dariku. Diam-diam kurogoh tasku dan kuambil ponselku lalu kutekan nomornya. Beberapa detik
kemudian terdengar irama lagu “Cucokrowo” begitu kerasnya. Raka terentak dan buru-buru mengambil
ponselnya, lalu melihat ke layar. Sejurus kemudian dia menatapku heran.
“Apa-apaan, sih, Ar?” dia bertanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Cuma ingin tahu seperti apa nada deringku.”
Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil mendengus, kemudian meneguk isi gelasnya hingga separuh.
Aku menatapnya sambil berpikir. Tapi apa yang kupikirkan? Telepon dariku cuma diberi nada dering
“Cucokrowo”. Bukankah seharusnya lagu yang romantis. Lalu siapa si “Manja” ini? Teman kantor.
Darahku mulai panas. Gelas minumanku segera kuhabiskan, sampai-sampai aku tersedak. Raka melotot ke
arahku. Itu tandanya dia merasa malu akan tingkahku. Entah kenapa aku merasa tersinggung dengan
gelagatnya.
“Aku mau pulang,” kataku setelah batukku reda.
“Calamari-nya nggak dimakan?”
“Nggak.”
“Kalau nggak mau dimakan untuk apa dibeli?” tukasnya. Lagi-lagi pertengkaran sepele yang tak perlu.
“Ya, sudah, kalau mau makan, makan saja.”
“Kamu yang pesan, kan?!”
“Kalau begitu terserah aku, dong!”
“Oke, terserah, deh.” Raka memanggil pramusaji dan memberi isyarat meminta tagihan. Buru-buru aku
menyorongkan selembar 50 ribuan ke arahnya.
“Apaan?” tanyanya.
“Buat calamari.”
“Ya, ampun. Nggak usahlah ....”
“Aku mau!”
“Ya, sudah.” Raka mengambil uangku dan membayar tagihan saat pramusaji menyodorkan tagihan.
Setelah itu aku bergegas keluar kafe, tanpa memedulikan seorang pramusaji yang mengucapkan terima
kasih atas kedatangan kami. Aku bisa melihat Raka tergopoh-gopoh menyusulku. Ekspresi wajahnya sulit
diartikan. Tapi aku tahu dia kesal.
“Ara!” panggilnya ketika kami sampai di pelataran parkir. Aku menghentikan langkahku dan berbalik.
“Kamu kenapa sih?”
“Kenapa? Kamu yang kenapa?” aku balik bertanya.
“Aku nggak apa-apa. Kamu yang marah, kok.”
“Aku mau pulang. Besok saja kita bicarakan.” Aku bergegas menuju mobilnya yang kebetulan diparkir
agak jauh dari gedung.
“Ara.”
“Besok saja, Raka. Aku capek.”
“Aku juga.”
“Kalau begitu kita pulang saja. Besok kita bicarakan.”
“Tidak. Aku capek,” tandas Raka.
“Kalau begitu kita pulang.”
“Aku capek,” suara Raka berubah lirih.
“Ya, sudah, pulang!” aku mulai kesal. Tapi kulihat dia bergeming. Firasatku langsung buruk.
“Tidak usah besok. Sekarang saja.”
“Maksud kamu?”
“Aku capek dengan hubungan kita. Selalu saja begini.”
“Kita, kan, baru 2 minggu memulai kembali ....”
“Aku tahu. Tapi apa kamu sadar bahwa sejak hari Sabtu, 2 minggu yang lalu, kita selalu bertemu
setiap hari. Tapi tidak ada kemajuan, selalu bertengkar. Kamu masih tetap sama, selalu ...,” Raka tidak
meneruskan kata-katanya.
“Selalu apa?” desakku.
“Ah,” Raka mengusap dahinya. Gugup. “Apa kamu tidak sadar kalau hubungan kita selalu tegang.
Rasanya aku sampai tidak bisa bernapas.”
“Apa?”
“Aku tidak tahu apa sebabnya.”
“Apa kamu menyukai orang lain?” tuduhku.
Raka salah tingkah, lalu dia mengambil napas dalam-dalam. “Sejak terakhir kali kita putus, aku
berkenalan dengan seorang gadis. Aku menyukainya.”
“Itu 8 bulan yang lalu,” ujarku seperti mengingatkan diriku sendiri. Raka mengangguk. “Lalu kenapa
kamu mau kita jadian lagi?”
“Karena kupikir kali ini akan lain. Mungkin kamu sudah berubah. Kupikir tidak ada salahnya aku
memberimu kesempatan lagi. Lagi pula, hubungan kami juga belum serius.”
“Memberiku kesempatan lagi,” aku bergumam.
“Tapi ...,” dia tak meneruskan.
Aku terenyak sesaat. “Seperti apa dia? Cantik? Baik?”
“Tidak perlu dibanding-bandingkan.”
“Aku mau tahu.”
“Aku tidak mau salah bicara, dan kamu semakin marah ....”
“Aku ingin tahu! Biarpun itu menyakitkan, aku ingin tahu,” desakku.
“Baik,” Raka menelan ludah. “Umurnya 20 tahun. Dia masih kuliah. Cantik, manis, baik, dia mengerti
aku ....”
Umurnya 20 tahun?
“Aku juga mengerti kamu!”
“Tidak sebaik dia.” Sepertinya Raka keceplosan karena setelah itu wajahnya terlihat menyesal.
Kalimat ini membungkamku. Mataku terasa panas. Tenggorokanku tercekat. Rasanya aku mau mati.
“Mm ... maksudku ...,” dia berusaha meralat.
“Jadi kamu mau putus?” tanyaku memotong.
“Itu lebih baik, bukan?”
Mungkin, buatmu.
“Seharusnya kamu bilang sejak awal kalau kamu sudah punya pacar,” desisku. Kepalaku mulai
berdenyut-denyut.
“Dia belum jadi pacarku. Aku belum mengatakan perasaanku padanya.”
Tentu setelah ini kamu akan melakukannya. Aku menggigit bibir menahan tangis.
“Ya, sudah. Kalau itu maumu,” kataku menyerah.
“Ini demi kebaikan kita.”
Aku tidak memedulikannya. Aku bergegas meninggalkannya.
“Ara! Biar kuantar pulang!” katanya sambil berlari tersengal-sengal menyusulku.
“Tidak usah!”
“Ara, ini sudah malam.”
“Aku tahu! Apa pedulimu?!” Cepat-cepat aku masuk ke taksi yang kebetulan sedang mangkal di tepi
jalan, sehingga mengejutkan si sopir. Segera kusebutkan alamatku di daerah Jakarta Selatan. Raka sempat
mengetuk-ngetuk jendela, tapi aku tak menggubris. Sopir taksi cuma berani melirik ke arahku dari kaca
spion. Begitu taksi meluncur, aku menangis tanpa suara dalam kegelapan. “Cucokrowo”. Pantas saja.

2
Sabtu pagi, aku bangun dengan kepala berat dan mata sembap. Sinar matahari yang menerobos dari sela-
sela tirai menyilaukan mataku. Rasanya aku seperti vampire yang mau hangus karena datangnya pagi. Aku
duduk sebentar di tempat tidurku yang besar dan berlapis seprai halus. Udara sejuk AC membuatku
seolah-olah berada di dataran tinggi.
Aku kembali mengingat apa yang terjadi semalam. Raka memutuskanku. Lagi. Tapi kali ini aku benar-
benar hancur. Sikapnya semalam tidak seperti biasanya. Dan dia terang-terangan mengakui kalau dia
menyukai seorang gadis, berumur 20 tahun lagi. Lebih muda dariku. Jelas-jelas 11 tahun lebih muda
dariku. Bisa kubayangkan betapa segarnya gadis itu, bagai bunga yang baru mekar. Sedangkan aku ...
bunga yang kelopaknya baru mau gugur satu-per satu.
Aku menggeleng, mengusir perumpamaan seram itu dari kepalaku. Wajahku belum berkerut kok. Aku
rajin merawat wajah dan tubuh. Orang-orang sering mengira umurku 26 tahun. 26 vs 20. Belum-belum aku
sudah membencinya. Gadis ingusan sialan! Apa kelebihannya dibanding diriku. Kuliah belum lulus
(mudah-mudahan DO). Sedangkan aku punya karier yang mapan (biarpun sudah berganti perusahaan 4
kali). Aku ini Asisten Manajer Promosi di ParaDigma Communication. Sedangkan cewek itu mungkin
cuma mahasiswi dengan indeks prestasi pas-pasan yang kerjanya dandan dan bergosip. Hih! Aku meninju
kasur begitu kerasnya sampai buku-buku jariku terasa sakit karena membentur pegas di bawah lapisan
busa.
Perlahan-lahan aku turun dari tempat tidur dan menghampiri meja rias. Ada foto Raka dan aku
berbingkai perak di situ, tersenyum manis mirip pasangan yang baru bulan madu. Aku mengangkatnya
untuk melihat dari dekat. Kata orang, satu-satunya cara untuk melupakan kenangan dari orang yang kita
cintai adalah menyingkirkan semua barang yang membuatmu teringat akan dia. Pertama, foto ini. Dengan
hati-hati kubongkar bagian belakang bingkai dan melepaskan foto tersebut. Di balik foto ada tulisan tangan
Raka yang rapi dan tegas: Kiara & Raka. Madly in love, soulmate forever. Ya. Mestinya aku dan dia
adalah soulmate. Belahan jiwa. Tak bisa dipisahkan oleh apa pun. Sekali pun kematian.
Foto itu diambil 4 tahun yang lalu. Di hari ulang tahunnya, 10 Maret 2005. Kami berdua pergi ke
Anyer untuk merayakannya. Pergi pagi pulang malam. Seharian berjalan-jalan di pantai, makan di tepi
pantai, berputar-putar keliling Serang, makan sate bandeng khas daerah setempat, lalu kembali ke Jakarta
dengan perasaan bahagia. Aku bahagia. Aku menghadiahkan peralatan snorkeling untuknya, karena dia
sedang berencana belajar menyelam di Kepulauan Seribu. Bukankah itu tandanya aku orang yang
perhatian?
Aku mengeluarkan kotak dari lemari yang isinya benda-benda kenangan aku dan Raka. Harus dibuang.
Saat kusortir isinya satu per satu, mataku tertumbuk pada sebuah foto lama berwarna aku dan dia,
mengenakan seragam abu-abu sambil mengacungkan tiga jari: jempol, telunjuk, dan kelingking. Rambutku
panjang sebahu, berponi belah pinggir, pipi jerawatan. Sedangkan rambut Raka tercukur rapi dengan
belahan pinggir yang sama denganku, membingkai wajahnya yang licin dan tampan dihiasi warna biru-
kehijauan di daerah sekitar mulut dan dagu. Kami tersenyum lebar. Oh, masa itu. Hampir 13 tahun yang
lalu. Saat itu kami masih sama-sama kelas 3 SMA. Habis menonton pertunjukan musik di sekolah. Itu
pertama kalinya kami berfoto bersama setelah jadian.
Sebenarnya aku sudah naksir Raka sejak baru masuk SMA. Bukan cuma aku saja. Hampir semua
cewek tergila-gila pada Raka. Siapa, sih, yang tidak. Tinggi, atletis, jago basket, jago renang, jago main
bas, otak cemerlang, dan terutama ... ganteng! Tapi percuma saja cewek-cewek itu mencari perhatiannya.
Raka super cuek. Malah sempat tersebar gosip kalau dia homo. Meski demikian, semua cewek tetap
memendam hasrat kepadanya. Termasuk aku tentunya. Tiada hari tanpa melamunkan Raka.
Ketika aku kelas 2, dibuka kegiatan ekstrakurikuler baru: fotografi. Aku pun ikut. Bukan karena Raka
juga ikut fotografi. Tapi dengan mengikuti kegiatan tersebut, aku ada alasan tetap di sekolah dan
melihatnya latihan basket. Raka termasuk siswa yang suka berlama-lama di sekolah. Suatu hari, kami
diberi tugas memotret untuk pameran fotografi akhir tahun pelajaran. Objeknya bebas, boleh makhluk
hidup, boleh benda mati. Yang penting unik dan orisinal. Di otakku cuma ada satu: Raka.
Menurutku dia adalah makhluk hidup yang unik dan orisinal. Bukan hal mudah mendekati Raka, karena
ia tak pernah sendirian. Di mana ada Raka, pasti ada teman-temannya. Mereka cuma memandangku
dengan sinis saat aku mengutarakan niatku untuk menjadikannya model fotoku. Tapi di luar dugaan, Raka
mengiyakan dengan cepat. Walaupun waktu itu dia tidak begitu mengenalku karena lain kelas. Maka, aku
pun bisa tersenyum pada teman-temannya dengan penuh kemenangan.
Setelah itu, bisa diduga, aku selalu berada di mana pun dia berada. Hal itu mengundang kejengkelan
cewek-cewek yang lain. Aku dianggap aji mumpung, tidak tahu malu karena mengejar-ngejar idola para
cewek. Sampai-sampai ada yang berani menghampiriku dan berkata, “Eh, Kiara, elo lagi ngincer si Raka,
ya? Ngaca dulu, dong!” Uh, perihnya. Dan aku memang jadi sering berkaca setelah itu. Kupikir wajahku
tidak jelek. Tapi aku selalu berkilah, bahwa ini cuma tugas fotografi. Dan memang sampai tugas itu
selesai, tidak ada apa-apa di antara kami.
Jika bertemu kami hanya saling mengangguk sambil tersenyum sehingga kemudian tersebar kabar lagi
kalau aku memang profesional. Entah siapa yang mulai, yang jelas pamorku meningkat. Apalagi ketika
pameran itu akhirnya diadakan. Semua orang mengagumi karyaku (atau objeknya?!). Aku berhasil
menampilkan sisi Raka yang lain. Raka sedang menyeka keringat, Raka sedang tertunduk lesu, Raka
sedang merengut, Raka sedang garuk-garuk pantat, Raka sedang pakai kaus kaki, Raka sedang tertawa
bersama teman-temannya, Raka sedang terpeleset saat hendak melakukan slam dunk, Raka sedang
meringis kelelahan, Raka sedang serius membaca buku. 10 Faces of Raka. Sengaja judulnya kubuat pakai
bahasa Inggris biar lebih menarik perhatian.
Lalu entah siapa juga yang mulai, cewek-cewek yang dulunya sinis padaku mulai mendekati untuk
minta dipotret. “Buat portofolio ke agen model,” begitu alasannya. Yah, kenapa tidak. Pakai tarif tentu
saja. Sebulan kemudian, saat tim basket sekolah bertanding ke luar kota, aku dihubungi untuk
mendokumentasikan setiap kejadian. Begitu kami pulang, tanpa kusadari hubunganku dengan Raka jadi
semakin dekat, dan begitu tahun ajaran baru dimulai, kami pun jadi pasangan baru.
Tidak ada yang terlalu istimewa saat dia menyatakan cintanya. Kami baru saja jalan-jalan dan
beristirahat di sebuah warung, ketika tiba-tiba dia berkata, “Kalau kita jadian menurut kamu bagaimana?”
Aku kaget bukan main, walaupun memang itu yang kuharapkan. Tapi bibirku membisu, dan dia
mengeluarkan sebuah kamera polaroid dari tasnya, lalu memotretku. Aku terpana.
“Kamu tak perlu menjawabnya sekarang. Tapi wajah ini ...,” ujarnya sambil menggoyang-goyangkan
fotoku agar cepat kering, “akan menjadi jawaban yang paling jujur bagiku.”
“Kamu punya kamera polaroid?” Cuma itu yang keluar dari mulutku.
“Selama ini kamu selalu memotretku. Sekarang giliranku.”
Entah kenapa tenggorokanku saat itu tercekat hingga akhirnya lepas dalam bentuk butiran-butiran air
mata. Dan aku pun mengangguk sambil sesenggukan.

V
Kini aku juga menangis sesenggukan. Lagi. Kuremas-remas foto usang tersebut. Kulempar ke sudut kamar.
Lalu kuhapus air mata dengan punggung tanganku. Mengingat kembali saat sempurna itu membuat hatiku
teriris-iris. Namun, rasa sedihku terpaksa kutunda, karena pintu kamarku tiba-tiba diketuk-ketuk. Pasti
Mama.
“Ya?” kataku sambil menghapus kembali air mataku.
“Kalau sudah bangun, makan, Kiara,” jawab Mama.
“Sebentar.”
Kalau Mama atau siapa pun melihat wajahku yang super sembap, mereka pasti akan bertanya, dan aku
sedang malas menjawab pertanyaan siapa pun. Untungnya pikiranku bekerja dengan cepat di saat darurat.
Segera kuambil sebuah tube masker tea-tree oil di atas meja rias dan kupakaikan ke wajahku. Beres!
Wajahku sudah jadi hijau mirip wajah Shrek. Takkan ada yang tahu soal sembap di wajahku. Bahkan kalau
ada codet pun mereka takkan melihat. Syukurlah ada penemu masker wajah.
Aku berjalan ke ruang makan dengan gontai. Untungnya di sana tinggal Mama seorang yang sedang
memberesi piring-piring kotor. Di keluarga ini, maksudku keluargaku, hanya Mama yang punya inisiatif
membereskan piring-piring kotor setelah makan. Maklum, di rumah tinggal Papa dan adik laki-lakiku.
Kakak perempuanku sudah menikah dan punya rumah sendiri. Aku sendiri, jujur saja kurang perhatian
dengan hal-hal kecil seperti itu. Sebenarnya ada pembantu, tapi dia khusus bertugas mencuci, menyetrika,
menyapu, mengepel, beres-beres yang lain. Kalau urusan dapur, itu urusan Mama.
Di meja makan tersaji sisa-sisa nasi goreng dan telur dadar. Sarapan standar buatan Mama. Mama
terkejut melihat wajahku yang bermasker.
“Lagi maskeran, ya? Bersihkan dulu, dong.”
Aku menggeleng. “Nggak apa-apa. Belum kering, kok.”
Mama diam saja. Tangannya dengan cekatan mulai mencuci piring-piring kotor di bak cuci dekat meja.
“Semalam kamu pergi dengan Raka?” tanya Mama sambil menyabuni piring-piring.
“He-eh.”
“Kok kamu pulangnya naik taksi?! Dia nggak nganter?”
“Nggak. Dia masih ada acara.”
“Kalian nggak sedang berantem, kan?”
“Ya, enggak, lah.”
Rasanya tidak mungkin memberi tahu Mama kalau aku putus lagi. Entah sudah berapa kali ini terjadi.
Berapa kali, ya? Otakku mencoba mengingat-ingat.

Putus Pertama, 15 November 1998
Kami baru saja masuk kuliah. Sayangnya universitas kami berbeda. Dia kuliah di Universitas
Indonesia, aku di Trisakti. Akibatnya, frekuensi pertemuan kami jadi menjarang. Aku mulai dihinggapi
rasa cemburu. Apalagi, lagi-lagi, Raka menjadi incaran cewek-cewek di kampusnya. Setiap kali aku ke
kampusnya, mereka menatapku dengan sinis. Lalu bisa kulihat cara mereka menatap Raka seperti
predator. Tanpa sungkan-sungkan mereka mengelilingi Raka seperti lalat. Tak bisa kubayangkan kejadian
ini berlangsung setiap hari. Tanpa aku di sisinya, lagi! Apalagi cewek-cewek itu tidak berwajah jelek.
Entah sampai kapan Raka bisa bertahan. Akibatnya kami jadi sering bertengkar.
“Kamu jaga jarak, dong, sama mereka!” Aku memberikan ultimatum padanya, karena sudah tidak tahan
melihatnya melempar senyum pada setiap gadis.
“Nggak mungkin, lah. Mereka, kan, teman sekampus.”
“Tapi nggak usah umbar senyum ke semua cewek!” tandasku.
“Nggak semua, kok! Cuma yang kenal aja.”
“Tapi tanggapan mereka, kan, beda!”
“Itu, sih, bukan urusanku!”
Berengsek!
“Kalau kamu nggak mau mengubah sikap, lebih baik kita putus saja!”
Raka menatapku dengan rasa tak percaya. “Masa begitu saja kamu minta putus?”
“Aku sudah nggak tahan ...,” suaraku melemah. Dalam hati aku berharap Raka akan berkata bahwa dia
akan mengubah sikapnya. Kulihat dia menundukkan kepala sambil memejamkan matanya.
“Kalau kamu sudah nggak tahan ... apa boleh buat. Terserah kamu saja,” sahutnya lirih.
Aku tercengang. Maksudnya dia menerima keputusanku begitu saja?
Tenggorokanku tercekat. Gumpalan air mata mau meledak di mataku. Tak kusangka dia tak
memberikan perlawanan sedikit pun. Aku pun pergi meninggalkannya.
Tanggal itu aku beri lingkaran merah di kalender. Selama 3 malam aku menangis. Tapi aku berusaha
tegar. Mama tahu, tentu saja. Wajahku yang sembap menjadi indikasinya. Rasanya seperti ada yang hilang
dari diriku. Aku merasa diriku jadi aneh.

Balik Pertama, 1 Januari 1999
Menjelang Tahun Baru, semua temanku pergi bersenang-senang. Beberapa orang teman mengajakku
menghabiskan malam pergantian tahun di Puncak. Tapi aku tak berselera. Selain rasanya tak pantas
bersenang-senang di suasana krisis ekonomi nasional, aku juga selalu teringat pada Raka. Sejak kami
putus dia sama sekali tak menghubungiku. Kurasa dia sudah punya pacar lagi. Maka malam tahun baru pun
kuhabiskan dengan menonton televisi di rumah. Kakakku ada acara. Yang ada di rumah cuma Mama,
adikku Alvin, dan pembantu. Tapi mereka semua memilih tidur lebih awal. Tepat pukul 12 malam aku
merasa benar-benar kesepian. Rasanya mau menangis. Tapi aku sudah capek menangis terus. Maka
akhirnya kuberanikan diri untuk menelepon Raka. Beruntung sekali dia yang mengangkat telepon.
“Raka?”
“Kiara?” suara Raka terdengar tak percaya.
“Eh, selamat tahun baru, ya. I wish you all the best-lah.” Aku tak mau berbasa-basi, gengsi.
“Selamat tahun baru juga,” balas Raka. Maunya setelah itu menutup telepon, tapi hati ini belum rela.
“Aku pikir kamu keluar,” kataku dengan canggung.
“Nggak. Di rumah aja. Kami lagi barbekyu-an.”
“Oh.”
“Kamu nggak ada acara?” ia balik bertanya.
“Nggak.”
“Kalau tahu begitu, kamu pasti kuajak ke sini,” ujarnya.
“Oh ....”
Kami diam. Aku bisa mendengar suara latar yang berisik.
“Ya, sudah. Aku cuma mau ngucapin itu aja ....”
“Kiara,” Raka memanggilku. Jantungku langsung berdetak kencang. Bulu kudukku meremang
mendengarnya memanggil namaku. Rasanya sudah lama sekali.
“Ya,” aku menjawab dengan lirih, suaraku nyaris tak keluar.
“Aku kangen sama kamu.”
Rasanya aku berhenti bernapas. Air mata mulai menggenang.
“Oh,” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Aku masih cinta sama kamu. Aku ingin kita seperti dulu lagi.”
“Oh ....”
“Kiara?”
“Ya?”
“Bagaimana? Kamu mau nggak?”
“Apa kamu belum punya pacar lagi?”
Raka tertawa pelan. “Mana mungkin. Aku nggak bisa ngelupain kamu, Sayang.”
Gubrak!!!

Putus kedua, 3 Januari 2001
Hubungan kami sanggup bertahan hingga 2 tahun. Tapi itu bukannya tanpa kendala. Pertengkaran selalu
ada. Pemicunya apalagi kalau bukan kecemburuanku. Dan herannya Raka sepertinya senang membuatku
cemburu. Beberapa kali aku melihatnya semobil dengan gadis lain. Alasannya mengantarkan teman. Tapi
aku bisa melihat ada maksud lain di wajah si gadis. Terakhir kali kutemukan sebuah lipstik tertinggal di
dasbor mobilnya. Biarpun Raka mengelak berkali-kali, aku tetap tidak percaya. Dan untuk kedua kalinya
kami putus. Aku yang kembali memutuskan hubungan. Setelah itu, kami benar-benar putus hubungan.
Meski dengan susah payah aku berusaha melanjutkan hidup, aku, toh, berhasil tidak menghubunginya.
Sebenarnya dalam hati aku berharap Raka akan mencariku, lalu mengatakan bahwa dirinya menyesal dan
memintaku untuk kembali. Tapi sayangnya hal itu tak pernah terjadi. Bahkan saat aku diwisuda pun, Raka
sama sekali tak meneleponku untuk memberikan ucapan selamat.

Balik kedua, 22 Juni 2002
Setelah setahun lebih menjomlo, kuputuskan untuk mencoba keberuntunganku kembali. Aku tahu saat
itu dia sudah bekerja, begitu pula aku. Tuhan seperti memberiku jalan. SMA kami mengadakan acara
reuni. Aku datang. Dia datang. Dengan mengumpulkan keberanian, aku menyatakan kembali perasaanku,
penyesalanku, serta keinginanku untuk kembali padanya. Dia menerimanya. Maka seusai reuni sekolah,
kami pun bersama lagi.
Ada sesuatu yang berubah dalam hubungan kami. Hmm ... mungkin tepatnya Raka yang berubah, karena
dia menjadi lebih perhatian. Dia lebih sering menghabiskan waktu bersamaku, dan hampir selalu
menjemputku sepulang kantor. Tentunya aku yang paling senang dengan perubahan ini. Selain itu, dia
mulai membanjiriku dengan hadiah-hadiah kecil seperti CD, aksesori, dan buku. Padahal biasanya aku
yang paling sering memberinya kejutan-kejutan semacam itu. Bahkan, setiap kali kami habis bertengkar
dia selalu menebusnya dengan mengajakku nonton, atau makan malam di tempat romantis. Ini luar biasa.

Putus ketiga, 8 Mei 2003
Namun, perubahan menyenangkan itu ternyata hanya bertahan selama beberapa bulan. Pada suatu hari
Raka seharusnya menjemputku di kantor pukul 7 malam. Tapi dia lupa dan malah pergi bersama teman-
teman kantornya nonton bioskop. Padahal hari itu aku ingin mentraktirnya di sebuah restoran baru di
Kemang. Malam itu aku menunggu sampai pukul 9 (aku tahu itu tindakan bodoh) karena telepon
genggamnya dimatikan. Aku pun terpaksa pulang naik taksi. Kalau sudah begitu, keesokan harinya Raka
akan mengemis maaf dariku. Namun, kejadian semacam itu tak terjadi sekali saja. Makin lama makin
sering. Kupikir Raka mulai bosan denganku dan dia menemukan kesenangan baru bersama teman-
temannya.
Ketakutanku pun menjadi nyata. Hari itu aku mengajaknya pergi nonton pertunjukan teater. Aku tahu
Raka bukan penggemar tontonan semacam itu, tapi aku hanya ingin memperkenalkannya pada sesuatu yang
baru dan kusuka. Tapi reaksinya di luar dugaan. Raka jelas-jelas menolak. Alasannya, bosnya mengajak
pergi memancing dan kegiatan itu sudah dijadwalkan sejak sebulan yang lalu. Aku sakit hati. Maka
keluarlah kata sakti itu: Putus! Keesokan harinya, seperti biasa Raka meminta maaf. Aku bilang aku
memaafkannya, tapi aku tak bisa tahan jika harus mengalami hal itu lagi. Raka pun diam. Aku ingin dia
berjanji bahwa kejadian itu takkan terulang lagi, tapi hal itu tak terjadi. Dia hanya menunduk sedih. Aku
lebih sedih lagi.

Balik ketiga, 10 September 2003
Sejak aku memutuskan hubungan, Raka tak henti-henti menghubungiku. Itu baru pertama kali terjadi.
Sesekali dia datang tiba-tiba menjemputku di kantor untuk mengajakku makan malam. Sebagai teman,
katanya. Aku tak percaya, tapi aku juga tidak menolak. Dia memang sulit untuk ditolak. Setiap kali
bertemu dia selalu mengatakan bahwa dia masih mencintaiku dan selalu teringat padaku. Tapi aku
bergeming. Dia tak tahu bahwa setiap kali kami habis bertemu aku menangis.
Malam itu, ketika aku hendak pulang kantor hujan deras mendadak turun. Maka aku pun duduk di lobi
kantor menunggu hujan berhenti. Berhubung ruang tunggu lobi penuh karena banyak orang yang juga
menunggu, maka aku merelakan diri berdiri di pojok lobi gedung yang remang-remang. Di sanalah aku
berkenalan dengan seorang pria. Dia bukan siapa-siapa. Dia cuma pria yang kebetulan berada dalam
tempat dan waktu yang salah. Dia berada di gedung itu karena akan mengambil uang di ATM. Namun, apa
lacur, setelah mengambil uang hujan malah turun. Maka, kami pun berbagi keluh kesah tentang hujan di
sana berdua saja. Tiba-tiba, Raka sudah berdiri di depan kami. Tubuhnya basah kuyup. Aku dan pria itu
sama-sama terkejut. Raka menatapku dengan marah. Aku jadi salah tingkah. Melihat gelagat yang kurang
baik, pria itu langsung angkat kaki, dan setelah itu aku tak pernah melihatnya lagi.
“Kamu habis hujan-hujanan?” tanyaku pada Raka.
“Siapa dia?” dia bertanya tanpa menggubris pertanyaanku.
“Siapa?” aku gelagapan.
“Cowok tadi!”
“Dia ....”
“Lagi pendekatan?” tanyanya sinis.
Oh, dia cemburu! Ini baru pertama kali terjadi.
“Apa? Bukan ....”
“Aku perhatikan dari tempat parkir sejak tadi kalian asyik sekali,” kata Raka dengan marah.
Aku melongo, dan baru sadar kalau dinding lobi gedung ini terbuat dari kaca.
“Dari tadi kamu sudah di sini?”
“Iya. Kenapa? Kaget ketahuan?”
“Astaga! Dia bukan siapa-siapa, Raka. Kami baru kenal.”
“Hm ... baru kenal, ya? Tapi bakal berlanjut, kan?”
“Jangan ngaco!” aku setengah berteriak sehingga satpam yang kebetulan sedang berdiri tak jauh dari
kami menoleh.
“Ayo, ikut!” Raka menarik pergelangan tanganku dengan paksa. Aku berontak, tapi tak berani terang-
terangan agar si satpam tak curiga.
“Raka, please ... di sini banyak orang,” aku memohon sambil menahan kakiku.
“Kalau tak ingin ada ribut-ribut sebaiknya ikut aku ke mobil,” Raka mendesis.
Aku terpaksa menurut. Namun, langkah Raka begitu cepat sehingga aku yang memakai sepatu bertumit
tinggi terseok-seok menyusulnya. Mau tak mau adegan itu menarik perhatian beberapa orang. Aku cuma
berdoa semoga tak ada teman kantorku di situ. Raka membawaku ke tengah hujan. Aku berusaha
melepaskan tanganku, tapi cengkeraman Raka begitu kuat. Bajuku pun basah kuyup.
Sesampainya di mobil, Raka membukakan pintu untukku lalu mendorongku masuk ke dalam mobil.
Aku mengumpat dalam hati. Saat Raka sudah berada di dalam mobil, aku langsung protes keras.
“Apa-apaan tadi? Keterlaluan!”
“Diam!” bentak Raka.
“Kamu yang diam!” aku balas membentak.
Raka menyalakan mesin mobil, lalu mengalihkan tatapannya kepadaku.
“Aku tak suka kamu dekat-dekat dengan pria lain. Apalagi model laki-laki kayak tadi.”
“Memang laki-laki yang tadi kenapa?”
“Dia cuma cari kesempatan dalam kesempitan!”
“Halah ... kamu juga sama! Semua cowok sama saja, tahu nggak?!”
“Aku tidak seperti itu.”
“Oh ... lalu kalau kamu mengantar cewek-cewek, bukan cari kesempatan namanya?”
“Yang kuantar, kan temanku, bukan cewek sembarangan. Lagi pula mereka tidak ‘mengundang’.”
Darahku langsung naik ke ubun-ubun.
“Apa maksudmu ‘mengundang’?”
Raka tampak menyesali perkataannya. Tapi kalimat yang keluar dari mulutnya tidak menunjukkan
penyesalan sama sekali.
“Yaa ... semacam menggodalah.”
“Kalau cuma mau menghinaku lebih baik aku turun!”
“Awas kalau berani!” Raka mengancam.
Aku mengerutkan kening. Apa-apaan ini?! Aku beringsut untuk membuka pintu, tapi tiba-tiba Raka
menarik tanganku dengan keras dan menciumku. Lalu dia mengakhiri ciumannya dengan tatapan penuh
cinta.
“Tolong jangan dekat dengan pria lain. Aku mencintaimu.”
Aku terpana selama beberapa detik. “Raka ....”
“Kamu mau menerima aku kembali?”
“Aku ....”
“Aku janji takkan mengecewakanmu lagi. Peristiwa yang dulu takkan terulang lagi. Tolong beri aku
kesempatan.”
Aku berusaha mencerna kata-katanya. Apakah aku bermimpi? Tapi dia masih di sana, tetap menatapku
penuh cinta. Lalu aku pun mengangguk lemah, kemudian memeluknya erat-erat. Sebutir air mataku
menetes. Aku berdoa agar tak pernah jauh darinya.
Kurasa saat-saat setelah itu adalah masa terindah dalam hubungan kami. Mungkin dalam buku-buku
psikologi yang membahas tentang hubungan pria dan wanita, hubungan kami telah memasuki sebuah
tahapan baru. Lebih matang, lebih dewasa, sekaligus lebih panas. Aku mulai sering berkunjung ke rumah
Raka. Entah kenapa aku senang berada di sana. Ibu dan adik-adiknya menyambutku dengan baik. Bahkan
terkadang aku merasa seperti telah menjadi bagian dari keluarga mereka. Tante Santi, ibu Raka,
memperlakukanku dengan baik sejak awal perjumpaan kami. Mungkin itulah penyebab aku seketika
berkeinginan menjadi istri Raka. Tante Santi sosok calon ibu mertua yang sempurna: baik, ramah, tulus,
dan penyayang. Dan aku sangat ingin memiliki dia sebagai ibu mertua.
Suatu kali saat aku berada di rumah Raka, mereka tiba-tiba harus pergi menengok saudara yang sakit.
“Biar Raka pergi saja, Tante. Aku pulang saja. Ini, kan, masalah keluarga ....”
“Jangan, Mbak!” adik-adiknya keberatan.
“Biar Raka di sini saja jaga rumah sama kamu. Tapi besok kalian berdua menengok Om Wardi di
rumah sakit, ya?” ujar Tante Santi.
Aku mengangguk.
“Sekalian berkenalan ...,” Tante Santi melanjutkan dengan penuh arti. Aku tersipu-sipu.
Namun, di tengah keasyikan kami merajut mimpi, muncullah Saskia. Dia janda beranak satu berumur
tiga puluh lima tahun. Saskia berwajah cantik, bertubuh seksi, dan memiliki sikap rapuh khas perempuan
yang disukai laki-laki. Biarpun dia seorang single parent dan working woman, dia tidak arogan
(kesannya). Dia mengakui keterbatasannya sebagai seorang wanita, dan tak segan-segan mengumbarnya
untuk memperoleh perhatian. Itulah yang kubenci. Sejak kehadiran Saskia di kantornya, Raka tak henti-
hentinya membicarakan wanita itu. Aku belum pernah berkenalan dengannya (aku menolaknya, gengsi),
tapi aku pernah melihat sekaligus mengamatinya beberapa kali. Aku juga sempat mengorek informasi dari
beberapa sumber tepercaya. Percaya atau tidak, aku bahkan pernah mengunjungi sekolah sang anak. Aku
sempat berubah menjadi psikopat gara-gara perempuan itu.
Di antara para lelaki di kantornya, hanya Raka yang paling sering menemani wanita itu makan siang.
Aku baru tahu kemudian bahwa Saskia mengincar Raka. Beberapa kali aku menemukan SMS bernada
genit dari Saskia di telepon genggam Raka. Saat kutanyakan pada Raka, dia marah besar karena aku
dianggap telah melanggar privasinya. Setelah peristiwa itu, Raka tak pernah lagi bercerita soal Saskia.
Tapi aku tahu masalah itu belum berakhir. Pernah saat Raka sedang ke kamar mandi, telepon genggamnya
berbunyi. Ternyata dari wanita itu.
“Halo?” kataku.
“Halo?” suara wanita itu terdengar terkejut. “Ehh ... Rakanya ada?”
“Sedang mandi. Ini siapa?”
“Saskia, teman kantornya. Ini siapa?”
Aku tidak menggubris. “Mau titip pesan?”
“Ini siapa?” dia tetap bersikeras.
Aku langsung mematikan telepon. Tapi beberapa detik kemudian telepon berbunyi kembali.
“Ini Kiara, ya?” tanyanya dengan nada mendesak begitu telepon kuangkat.
Berengsek! Dia tahu namaku. Pikiran nakal berkelebat di kepalaku. “Siapa Kiara?” aku balas
bertanya.
“Pacarnya?” jawabnya dengan tidak yakin.
“Kamu tahu dia sudah punya pacar?”
“Jawab dulu,” sergahnya. Sial, wanita itu tak bisa digertak.
“Kamu Saskia yang janda itu, ya?” aku tak mau kalah.
“Ini Kiara?” dia terus mendesak.
“Bukan!” bentakku. “Tapi kalau Kiara sampai tahu kamu menggoda pacarnya, dia pasti akan
mendampratmu di kantor! Lihat saja!” aku mengancam.
“Aku cuma berteman dengan Raka,” katanya tanpa gentar sedikit pun.
“Jangan bohong!”
“Aku tidak bohong. Kamu siapa, sih?”
“Pikirkan anakmu. Bagaimana kalau dia sampai tahu ibunya suka menggoda calon suami orang? Kamu
pikir kamu paling cantik, ya? Kamu pikir semua pria bisa kamu kuasai seperti bekas suamimu itu?!
Sampai-sampai dia rela meninggalkan istri dan anaknya.” Kukeluarkan kartu As-ku. Tampaknya itu
berhasil membuat Saskia mengeret.
“Raka mau menikah?” Saskia berujar dengan lemah. Kubayangkan perasaannya hancur lebur.
“Kamu tidak tahu?”
“Dia nggak pernah cerita.”
“Sebaiknya jangan dekati dia lagi, atau seluruh keluarga mereka akan tahu. Jangan sampai mereka
semua mendatangimu.”
Saskia langsung mematikan telepon. Aku tersenyum puas. Ancamanku berhasil. Semenjak itu, Saskia
memang tak mengganggu kami lagi, tapi rupanya dia sempat bercerita tentang penerima telepon misterius
itu pada Raka.
“Apa kamu sempat menerima telepon dari Saskia?” Raka bertanya padaku beberapa hari setelah
peristiwa tersebut.
Tubuhku menegang. “Hah?” aku pura-pura bego.
“Apa kamu mengancamnya?” dia bertanya lagi.
“Mengancam?”
“Kiara? Jawab aku.”
“Memangnya dia menuduhku?”
“Dia tidak menuduh, tapi aku berkesimpulan sendiri. Siapa lagi yang bisa mengakses ponselku selain
kamu!”
“Oh, jadi kamu menuduhku?”
“Maunya, sih, tidak.” Raka terdiam sejenak. “Tapi, ya, aku menuduhmu.”
Jawaban itu melukai hatiku.
“Aku tidak ingin percaya, tapi siapa lagi saat itu yang ...,” Raka tidak melanjutkan kata-katanya. Dia
tampak frustrasi, dan mengusap-usap rambutnya.
Aku diam sejenak. “Ya,” jawabku kemudian.
“Kenapa, sih, harus begitu?”
“Karena dia sudah kelewatan.”
“Kelewatan bagaimana?”
“Apa kamu tidak tahu kalau dia mengejar-ngejarmu. Teman-teman kantormu saja tahu. Atau kamu yang
berlagak bodoh?”
“Aku tidak peduli. Tapi dia cuma teman buatku. Seharusnya kamu tak perlu cemburu begitu.”
“Wanita seperti dia itu harus diberi pelajaran, tahu nggak! Apa kamu tahu kenapa dia bercerai dengan
suaminya? Karena bekas suaminya kembali lagi dengan istri pertamanya! Kamu pasti nggak tahu, kan?
Apa dia pernah cerita?”
Raka menatapku dengan ngeri dan tak percaya. Dia tak menduga aku sudah menjelma menjadi intel.
“Astaga, Kiara ...,” Raka tampak kehabisan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa sudah melakukan
kejahatan. Aku mulai panik. Namun, Raka tak membahasnya lagi.
Setelah itu, kehidupan kami kembali berjalan normal. Masalah Saskia tak pernah lagi dibahas. Seolah-
olah dia tak pernah muncul dalam kehidupan kami. Tapi sikap Raka sedikit berubah. Jika bersamaku dia
lebih banyak diam. Dan aku mulai sering diserang kepanikan tanpa sebab.

Putus keempat, 16 Agustus 2006
Peristiwa Saskia menyisakan jarak dalam hubungan kami. Aku mendengar desas-desus bahwa Saskia
akhirnya keluar dari kantor. Tapi untuk menanyakannya langsung pada Raka aku tak berani. Nama Saskia
tak pernah lagi terucap. Sepertinya nama itu adalah kata kutukan.
Aku berusaha keras mendekatkan kembali jarak di antara kami, tapi Raka semakin sulit diraih. Dia
lebih sering menghabiskan akhir pekan lagi bersama teman-temannya. Dan agar aku tak dianggap pacar
yang egois, aku rela menemaninya. Biarpun kurang nyambung, aku berusaha bergaul dengan teman-
temannya. Namun, aku merasa seperti menipu diri sendiri. Raka tak peduli aku sudah berusaha keras, dia
tetap saja menjauh. Kadang-kadang dia tampak seperti tak mendengarkan kata-kataku. Dia bahkan mulai
berhenti bicara denganku. Saat aku berputar otak untuk mencari cara memperbaiki hubungan kami, Raka
meminta putus. Dia ingin bebas, begitu katanya. Aku terlalu lelah untuk berdebat dan meminta penjelasan.
Maka kulepaskan dia.

Balik keempat, 10 Februari 2007
Lagi-lagi aku seperti terjerembap ke kubangan. Aku bisa membayangkan wajah Saskia yang tersenyum
penuh kepuasan, seandainya dia tahu apa yang terjadi padaku. Aku benar-benar merana. Baru kali ini
Raka meminta putus dariku. Aku merasa sangat rendah. Aku beruntung tak berakhir bunuh diri seperti
kebanyakan cerita-cerita di koran. Namun, jujur saja, pikiran itu sempat melintas di otakku. Seandainya
aku bunuh diri, siapa tahu Raka merasa bersalah seumur hidup. Tapi aku terlalu takut untuk mengambil
risiko tersebut. Aku masih ingin melihatnya.
Lalu, entah kenapa, suatu hari rasa kehilangan itu begitu membuncah. Dan bisa ditebak, aku kembali
mulai menelepon Raka. Pada awalnya tanggapannya dingin. Namun, setelah beberapa kali kutelepon,
suaranya mulai bersahabat. Aku memintanya bertemu. Dia bersedia, asalkan aku tidak bertindak aneh. Aku
mengiyakan dengan agak sakit hati. Dia benar-benar mengiraku sudah gila. Tapi kali ini aku tak peduli.
Aku ingin dia kembali.
Ketika dia muncul, aku ingin sekali memeluknya, tapi aku menahan diri.
“Halo, Raka,” sapaku.
“Hai,” sahut Raka sambil tersenyum. Jantungku langsung berdegup kencang. Dia masih seperti dulu.
Aku diam sejenak. Dia juga. Aku memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan.
“Bagaimana pekerjaanmu?” dia bertanya.
“Baik. Kamu?”
“Baik juga.”
“Masih jadi programmer?”
“Yaah, masih seputar itulah. Lagi pula aku menyukainya.”
“Katanya pekerjaan memang harus dilakukan dengan senang, bukan terpaksa,” ujarku melantur.
“Semua juga harus begitu. Bukan cuma pekerjaan.”
Hmm ....
“Raka ... sebenarnya ada yang ingin kubicarakan,” aku ragu sejenak.
“Apa?”
“Aku ingin kita bersama lagi.”
Raka menatapku tak berkedip.
“Aku tahu hubungan kita tak terlalu baik terakhir kali. Aku salah ...,” kataku sambil menunduk. “Tapi
itu kulakukan karena aku sangat mencintaimu, Raka. Tolong mengerti aku. Maafkan aku,” kataku mengiba.
Uuh ... menyedihkan.
Di luar dugaan pandangan Raka melembut, lalu dia meraih tanganku. “Aku sudah memaafkanmu. Tapi
aku takut sekali melihatmu waktu itu. Kamu berbeda dari yang kukenal. Aku tak ingin kamu seperti itu
lagi.”
“Aku akan berusaha. Tolong beri aku kesempatan. Aku tak mau kehilangan dirimu. Kamu tahu, kan?”
“Kiara ... aku juga tak mau kehilangan kamu, tapi ... entahlah ... kurasa kita tak bisa lagi bersama
seperti dulu.”
Jantungku terasa melesak ke perut. Ini penolakan paling menyakitkan.
“Raka, tolong beri aku kesempatan. Bantu aku berubah,” pintaku dengan menyedihkan. Raka
menunduk.
“Aku tak bisa menjawab sekarang. Tolong beri aku waktu.”
“Baiklah,” aku menyerah. “Bagaimana kalau sekarang kita nonton?”
Raka menggigit bibirnya. “Lebih baik aku pulang saja. Nanti aku akan mengabarimu, Kiara.” Raka
bangkit meninggalkanku. Aku memandangnya dengan air mata tergenang.
Lalu dua hari kemudian dia meneleponku dan mengatakan bahwa dia bersedia menerimaku kembali,
asalkan aku sungguh-sungguh mau berubah. Kurasa hari itu menjadi hari terindahku saat itu.

Putus kelima, 13 Juni 2007
Aku menjalani hubungan baru tersebut dengan penuh kehati-hatian. Aku tak mau salah bersikap. Dan
aku juga berusaha menahan rasa cemburuku. Namun, ternyata aku merasa seperti berpura-pura setiap saat.
Aku berusaha menjadi orang yang pengertian, tapi aku sendiri sebenarnya tak tahu seperti apa pengertian
itu. Aku selalu menahan diri untuk meneleponnya setiap hari. Aku bahkan berlagak cuek, tak mau tahu
tentang apa pun yang sedang terjadi dalam hidupnya setiap hari. Sebenarnya aku mulai merasa tertekan.
Ada sesuatu yang memakanku dari dalam. Tapi aku berusaha bertahan. Aku ingin menjadi wanita yang
rela melakukan apa saja untuk kekasihnya. Dan sialnya itu tak bertahan lama.

V
Itu 8 bulan yang lalu. Lalu terakhir, 2 minggu yang lalu kami pacaran lagi yang baru berakhir kemarin!
Coba kuhitung ... 6 kali kami putus!
Aku menelan gumpalan nasi goreng yang mengganjal di kerongkongan. Pipiku mulai kaku karena
maskerku mulai mengering. Mataku kembali terasa perih. Tahu-tahu Mama yang masih sibuk mencuci
piring menoleh ke arahku.
“Maskernya pedas, ya?”
“Gitu, deh!” jawabku tanpa menggerakkan bibir. Lalu aku bergegas kembali ke kamar.
“Kok nggak dihabiskan?”
“Mau cuci muka dulu!”
Saat berada kembali di kamar, kardus memorabiliaku masih tergeletak. Maskerku yang hampir kering
kembali basah karena air mata. Lalu di kamar mandi kupuaskan tangisku.

V
Siang hari aku sudah berada di rumah Sofie, sahabatku. Aku ini termasuk orang yang supel dan banyak
teman. Tapi dalam soal sahabat, aku tidak punya banyak. Sofie salah satu dari amat sedikit sahabat yang
kupunya. Dia temanku sejak kuliah. Dia juga paling tahu tentang hubunganku dan Raka. Bisa dibilang dia
menyaksikan hampir semuanya. Terutama dia mendengarkan setiap curhatku. Entah sudah berapa kali aku
“lari” padanya setiap kali hubunganku dan Raka bermasalah. Kurasa Sofie juga sudah terbiasa dengan
kedatanganku yang tiba-tiba.
“Mau bika ambon, gak?” Sofie membuka pintu kamarnya sambil menyodorkan sepiring bika ambon.
Aku yang sedang tidur-tiduran di tempat tidurnya menggeleng.
“Lagi nggak pengin makan apa-apa, nih. Apalagi yang manis-manis. Enek!”
“Kamu nggak hamil, kan?”
“Gile lo!”
“Eh, kali aja. Abis sampe stres gitu.”
“Ya, iyalah. Baru 2 minggu coba. Bayangin, deh!”
Sofie mengerutkan keningnya. “Ntar dulu kubayangin.”
“Jangan ngelucu, ah!”
“Sori .... So?”
“So apanya?”
“Siap mendengarkan, Bos!”
“Kali ini aku benar-benar nggak siap diputusin, Sof. Gara-gara cewek lain pula. Jadi penasaran
pengin liat, tuh cewek. Kayak apa, sih, selera dia yang sebenarnya?!” Aku meremas-remas seprai.
Sementara Sofie mengamatiku dengan prihatin.
“Kamu, kan, sudah berkali-kali putus sambung sama dia. Nggak capek?”
“Ah, kamu kayak dia aja. Dia juga bilang capek semalam.”
“Well, paling nggak dia jujur.”
“Maksudnya?”
“Ar, kalian itu sudah nggak cocok dari dulu. Dan kayaknya aku sudah bilang berkali-kali. Kuharap ini
terakhir kalinya aku berkomentar begini soal kamu dan Raka.”
Aku diam. Memang benar, sih. Selalu itu yang dikatakan Sofie. Tapi ketidakcocokan bukan alasan
untuk menyerah, bukan. Bukankah selalu ada kompromi?
“Aku harus dapetin Raka lagi. Aku mau dia jadi suamiku. Terlalu banyak yang terjadi di antara kami,
Sofie. Aku nggak mungkin melepas dia begitu saja. Kali ini aku sungguh-sungguh. Sewaktu aku meminta
dia kembali padaku, aku sudah bertekad untuk menjalani hubungan ini sampai akhir. Dan bukan putus lagi
begitu saja. Aku tidak mau kami putus lagi.”
“Terus ... kamu mau bagaimana?”
“Aku ... belum tahu. Tapi kayaknya aku akan minta dia kembali lagi padaku.”
“Oh, God ... pliss, deh!” Sofie mengibaskan tangannya.
“Kenapa?”
“Memangnya kamu nggak punya harga diri? Ngapain, sih, minta-minta dia balik lagi?”
“Aku, kan, masih mencintai dia.”
“Cintamu pada Raka itu berlebihan. Kalau dia bilang capek, itu artinya dia sudah muak padamu.”
“Apa? Muak?”
Sofie memang kadang-kadang ceplas-ceplos, tapi kali ini kata-katanya benar-benar pedas. Muak?
“Ar, apa kamu tidak sadar kalau hubungan kalian sudah tidak sehat?! Cara kamu mencintai dia juga
tidak sehat. Menurutku sebaiknya kamu melupakan dia. Sekarang dia sudah menyukai orang lain. Kamu
juga harus beralih pada orang lain.”
“Selama ini tidak pernah ada pria lain, Sofie. Kamu tahu itu. Dan ... aku sudah menyerahkan segalanya
....”
Sofie mengelus punggungku. “Pasti ada yang lebih baik dari dia, Kiara. Percaya, deh! Dunia masih
belum kiamat.”
Air mataku menitik. Entah sudah yang ke berapa kalinya. Membayangkan Raka bersama gadis lain
membuat hatiku sakit. Apalagi harus melepaskan dia selamanya. Rasanya tidak mungkin. Aku tidak
sanggup.
“Berhenti menangis!” kata Sofie tegas sambil melemparkan kotak tisu ke sampingku. “Lebih baik kita
belanja. Ayo!”
Aku membersihkan ingusku. “Belanja apa? Lagi nggak mood, Sof.”
“Kamu paling suka belanja. Di mal lagi banyak diskon, nih. Ayo, cepat!” Sofie seakan tidak peduli
dengan perasaanku. “Gimana kalau nanti kutraktir makan iga bakar?” Sofie mengiming-imingi aku.
“Ya, ampun, lagi males makan,” keluhku sambil bangkit dari tempat tidur dengan ogah-ogahan.
“Iga bakar Daeng Tata.”
“Nggak selera.”
“Masa bodoh! Ikut aku atau kita musuhan!” Sofie mengancam sambil merengut.
“Hah?! Musuhan?”
“Aduh, gak usah pilon, deh. Cepat!!”
“Oke ... galak banget, sih.” Aku beringsut dari tempat tidur. Berkaca sebentar sambil membenahi
rambutku yang sedikit berantakan.
“Pake ini!” Sofie menyodorkan lipstik.
“Tadi dari rumah sudah pakai, Sof ....”
“Duduk dan diam.”
Aku terpaksa menurut. Dalam 5 menit Sofie sudah merias wajahku dengan kilat. Aku mengamati hasil
riasannya di cermin. Lumayan juga.
“Dulu pernah magang di salon, ya?” ujarku meledek.
“Diam. Wajahmu tadi benar-benar kuyu dan jelek, tahu!”
“Dari dulu juga jelek,” kataku lirih. “Mungkin itu sebabnya Raka tidak menginginkanku.”
“Eh, mulai lagi. Sudah berapa kali kubilang kamu tidak jelek. Tapi kamu saja yang merasa jelek,
tahu?!”
“Aku ....”
“Stop!” suara Sofie kali ini benar-benar meninggi. Kurasa dia benar-benar marah. “Ayo pergi
sekarang. Aku benci kalau kamu begitu. Kamu jadi seperti orang lain, tahu?!”
Aku memang selalu rendah diri setiap kali habis putus dengan Raka. Sepertinya tanpa dia aku jadi
tidak berharga. Ketika kami sudah di dalam mobil Sofie, dia langsung membuka dasbor mencari CD.
“Aku nggak mau kamu dengar lagu-lagu sedih. Dengerin, nih!” dia memasukkan CD ke player-nya.
“Apa?”
“Didi Kempot.”
“Apa??”
Kucoba-coba melempar manggis
Manggis kulempar, mangga kudapat
Kucoba-coba melamar gadis
Gadis kulamar, janda kudapat
TIDAAAAAAAK!!!!
3
Setelah dua hari sibuk keliling Jakarta, menghabiskan waktu, menghabiskan uang bersama Sofie, Senin-
nya aku kembali nelangsa. Setengah mati aku berusaha pasang tampang ceria seperti layaknya gadis yang
bahagia sehabis bermalam Minggu. Tapi susahnya minta ampun.
“Sudah, Mbak, jangan dipikirin. Dia emang gitu orangnya,” ujar Yoyok, office boy di kantorku dengan
maksud bercanda saat aku membuat kopi di pantry.
“Hah?”
“Dia memang gitu.”
Kalau dalam keadaan normal, komentar itu pasti kuanggap angin lalu. Di antara kami memang suka
berkelakar seperti itu kalau ada yang berwajah sendu. Tapi kali ini komentar Yoyok begitu mengena.
Astaga, bahkan office boy pun bisa membaca wajahku. Aku berusaha tersenyum semanis mungkin.
“Nah, gitu, dong, Mbak, jangan sedih terus. Masa baru hari Senin sudah sedih.”
“Soalnya aku kepengin Jumat lagi,” selorohku.
“Ah, si Mbak. Udah nggak sabar, ya?”
Nggak sabar? Ya, memang aku sudah tidak sabar menemui Raka, memintanya untuk kembali lagi
padaku.
Begitu kembali ke mejaku, aku menghubungi ponsel Raka. Bisa kubayangkan nada dering
“Cucokrowo” pasti sedang berkumandang.
“Ya, Ar?” suaranya halus sekali. Oh, apa dia juga bersedih atas keputusannya? Semoga saja.
“Raka, aku ingin ketemu ...,” kataku lirih, biar tidak didengar teman sekantor.
“Ada apa, Ar?”
“Aku ingin membicarakan hubungan kita, please ....”
“Apa lagi yang perlu dibicarakan?” suaranya terdengar parau. Apa dia mau menangis? Bagus, lah,
kalau begitu.
“Banyak, Raka. Nanti sehabis pulang kantor kita ketemu, ya?”
“Apa harus hari ini?”
“Iya, please ....”
Terdengar Raka menghela napas panjang. “Oke, deh. Tapi kamu yang turun, ya?”
“Oke,” aku mengalah.
“Oke, see, ya,” Raka menutup telepon. Aku tercenung. Aku tiba-tiba ingin pulang, tidur di kasur yang
nyaman sambil mendengarkan lagu-lagu cengeng. Aku tidak bisa kerja kalau perasaanku kacau seperti ini.
Minta izin bos pulang cepat boleh nggak, ya?
Tut tut tut ....
“Halo?”
“Hei, Ar. Sibuk nggak?” suara Sofie terdengar berapi-api.
“Nggak.”
“Denger, nih. Aku sudah susun rencana selama kita ngejomlo. Senin, hari ini, nanti malam kita nomat,
yuk! Film sembarang aja. Kalau mau, nanti aku titip tiket sama temanku yang kerja di bioskop. Terus
besok, kita jalan ke Kemang ....”
“Sof,” potongku tidak enak hati. “Hari ini aku nggak bisa.”
“Kenapa? Ada acara?”
“Mm ... bosku minta aku ketemu orang. Biasalah urusan promo. Kayaknya sampai malam,” kataku
berbohong.
“Oh ...,” Sofie kedengaran kecewa, tapi dia pasti lebih kecewa kalau tahu alasan yang sebenarnya.
“Besok aku siap, deh, dibawa ke mana aja,” ujarku cepat-cepat.
“Oke, kalau begitu besok kuberitahu sekalian rencana kegiatan jomlo kita!”
“Sip!”
“Ya, udah, bye!”
“Eh, Sof ....”
“Ya?”
“Thanks, ya.”
“Nggak gratis. Bayarin spa.”
“Sialan!”
Begitu aku menutup telepon, Abdul, bosku, datang menghampiriku. Panjang umur dia.
“Ar!” panggilnya dengan gaya terburu-buru. Dia, sih, memang selalu terburu-buru, bahkan ke toilet
untuk buang air pun terburu-buru. “Sibuk, nggak?” pertanyaan basa-basi sudah pasti. Kalau kujawab
sibuk, apa dia mau pergi? Tidak.
“Biasa.”
“Orang asuransinya sudah kasih jadwal meeting?”
“Hah?” aku gelagapan. Jujur saja sedari datang ke kantor aku belum memikirkan soal pekerjaan
sekalipun. “Asuransi?”
“Hei, abis weekend jangan jadi lemot, dong! Pak Ardan itu, lho, yang dari asuransi .... Aku, kan, lagi
nunggu jadwal meeting dari dia buat presentasi.” Oooh ....
“Oh, kayaknya belum.”
“Kayaknya?” Abdul menaikkan sebelah alisnya.
“Belum. Dari tadi aku nungguin, tapi dia belum menghubungi.” Maksudnya dari tadi aku menelepon.
“Kalau sampai makan siang belum menelepon juga, kamu tolong telepon dia, ya?”
“Oke.” Abdul lalu pergi dengan langkah tergesa-gesa. Aku menghela napas. Gara-gara Raka,
konsentrasiku di kantor buyar tak menentu. Tiba-tiba seseorang menepuk punggungku. Aku memekik kaget.
“Alaah, apaan, sih?!” Mila yang tahu-tahu sudah di belakangku protes.
“Lha, kamu ngapain ngagetin?”
“Mau minta tolong. Cowok kamu mau jadi model ga?”
“Hah?” aku membelalakkan mata.
“Klienku minta model yang masih fresh, nih. Wajah baru, belum ngetop, apalah istilahnya, pokoknya
yang belum pernah nongol di iklan manapun.”
“Cari di agen model aja.”
“Klienku itu maunya si model ini orang biasa, gitu, loh.”
Aku ragu-ragu. Membayangkan Raka jadi model, dikelilingi gadis-gadis cantik, lalu mendapat tawaran
iklan-iklan lain, main sinetron, main film .... Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Kenapa?” Mila mengerutkan keningnya.
“Cowokku itu nggak suka jadi model.”
“Bujuk dia, deh, please. Honornya lumayan, lho. Kan, kamu nanti juga kecipratan.”
“Nggak ada cowok lain apa?”
“Tadinya ada beberapa kandidat. Tapi klienku kurang suka. Terus aku inget sama pacar kamu, dia, kan
ganteng banget, tuh. Orang biasa lagi, bukan seleb. Klienku pasti suka.”
“Tahu dari mana?”
“Feeling aja. Udah, deh, pokoknya suruh dia datang dulu buat casting ... atau dia punya foto close-up
dan seluruh badan gak?” Ya, punya, dong. Kan, aku fotografernya.
“Nggak tahu, deh. Ntar aku tanyain, ya?!”
“Please, ya .... Kalau bisa besok.”
“Besok? Jangan, dong, dia sibuk, nih. Rabu atau Kamis, deh ... atau Jumat?”
“Minggu aja sekalian!” Mila menyindir. “Jangan lama-lama dong, Ar. Karierku di ujung tanduk, nih,”
kata Mila dengan gaya bossy sambil ngeloyor.
“Jangan terlalu berharap, ya. Kalau dia nggak mau gimana?” seruku sambil berdiri dari kursi. Mila
yang sudah beranjak, menghentikan langkahnya.
“Rayu, dong, colek kek, senggol, elus-elus, cium kalau perlu!” suara Mila begitu lantang sehingga
semua orang di ruangan menoleh. Pertama ke arahnya, lalu ke arahku. Aku buru-buru duduk kembali
sehingga terhalang dinding kubik.

V
Pukul 7 kurang 5 aku turun ke lobi gedung. Kulihat Raka sedang menunggu di sofa lobi. Wajahnya terlihat
bosan. Dan melihatnya bosan membuat darahku mendidih.
“Hai,” kataku sambil berusaha sekuat tenaga menekan amarahku.
“Hai,” jawabnya malas, lalu bangkit dari sofa.
Tanpa berkata-kata kami berjalan menuju tempat parkir. Punggung tangan kami sempat bersentuhan
saat sedang berjalan, namun, Raka dengan cepat segera menjauhkan tangannya. Sikapnya ini membuatku
semakin keki. Ketika kami sudah sampai di mobilnya ia menghentikan langkahnya lalu berpaling padaku.
“Kita mau bicara di mana?”
“Terserah.”
“Kan kamu yang mau bicara. Mau di kafe?”
Aku menggeleng. “Aku ingin tidak ada yang mengganggu kita berdua.”
Maka tak lama kemudian kami berada di dalam mobil yang sudah terparkir di kawasan Senayan,
sambil menikmati semangkuk bakso. Aku menelan ludah berkali-kali, berusaha mengumpulkan
keberanian.
“Raka ...,” ujarku lirih. Raka menoleh ke arahku sambil beringsut. Kini dia benar-benar menghadap ke
arahku. “Aku ingin kamu kembali lagi ....”
Kini ganti Raka yang menelan ludah. Aku bisa melihat gerakan jakunnya. Bahkan saat ini wajahnya
terlihat begitu tampan dan menawan, sehingga aku tak sanggup membayangkan dia memberikan jawaban
yang sebaliknya.
“Kita sudah sering melakukan ini ... putus sambung. Hasilnya tidak bagus. Kita cuma saling
menyakiti.”
Sepertinya baru ada gempa yang menelanku ke perut bumi. “Apa salahku?”
“Kiara, ini bukan soal salah atau benar. Ini soal perasaan ....”
“Apa kamu tidak mencintaiku?”
“Aku tidak tahu.”
“Tidak tahu?”
“Kiara, tolong jangan mempersulit keadaan.”
“Tolong jawab aku, Raka. Apa kamu tidak mencintaiku?”
Oh, Tuhan, tolong jawab masih.
Raka menunduk. Dan tiba-tiba bakso di tanganku terasa tidak menggiurkan lagi. Aku memanggil si
tukang dan segera membayarnya. Raka menatapku tepat ke mataku. Hatiku bergetar.
“Aku tidak bisa mencintaimu lagi, Kiara.”
Aku berusaha menangkap makna dari perkataannya. “Maksudmu?”
“Aku ingin sekali terus mencintaimu ... tapi aku tidak bisa.”
“Itu sama artinya dengan kamu tidak mencintaiku.”
“Tidak ... bukan begitu.”
“Lalu apa?” nada suaraku mulai meninggi.
“Aku lelah menghadapi kamu. Kurasa ... kita tidak cocok.”
Aku ganti menundukkan kepala. Maunya merenungkan kata-katanya, tapi otakku malah buntu dan tidak
bisa berpikir sama sekali. “Apa yang membuat kita tidak cocok ....?!” suaraku melemah.
“Sudahlah ...,” Raka seperti kehabisan kata-kata. Dan aku kehabisan akal.
“Aku ingin jawaban yang pasti.”
“Aku tidak mau hubungan ini berakhir dengan sakit hati. Kita masih bisa berteman, kan?”
“Aku ingin tahu. Apa yang membuat kita tidak cocok?”
“Kiara ....”
“Raka, tolong jawab. Aku tidak mau menduga-duga terus.”
Raka menelan ludah. Mengumpulkan keberanian kurasa. “Aku tidak bisa memenuhi semua tuntutanmu.
Aku sering membuatmu kecewa, sampai aku tidak tahu lagi harus berbuat apa agar membuatmu senang.
Aku tidak bisa memahami keinginanmu. Aku tidak tahu ... harus bagaimana jika bersamamu.”
Bum! Ledakan bom?
“Begitukah? Itu yang kamu rasakan selama ini?”
Raka mengangguk.
“Itu karena kamu tidak pernah berusaha mencintaiku.”
“Aku sudah berusaha, Kiara ... tapi ....”
“Aku ... telah memberikan segalanya untukmu. Kamu tahu itu, kan? Aku bahkan sampai menyerahkan
diriku padamu. Kamu anggap itu apa?”
“Aku tahu ... tapi aku tak pernah memaksamu ....”
“Oh, begitu?”
“Maafkan aku, tapi itu benar, kan? Semua itu takkan terjadi kalau kamu tidak menginginkannya.”
“Jadi itu salahku?”
“Aku tidak menyalahkanmu. Ah, sudahlah. Kalau kamu marah, semua perkataanku akan salah. Semua
tindakanku akan salah juga. Itu yang kumaksud. Kita takkan pernah cocok sampai kapan pun. Aku takkan
pernah bisa memahamimu dan kamu juga takkan pernah bisa memahamiku!”
Aku terenyak. Aku sangat memahaminya. Aku tahu dia luar dalam. Aku bahkan tahu makanan apa yang
membuatnya alergi. Kami ini belahan jiwa!
“Kenapa kamu bilang begitu?”
“Karena memang begitu adanya. Kamu mengharapkan aku menjadi pria yang bukan diriku. Aku tidak
suka jadi objek fotomu. Aku tidak suka pergi clubbing karena tempat itu berisik. Aku tidak suka
mencoba-coba makanan di tempat baru karena rasanya tidak seperti yang kuharapkan. Aku tidak suka
bertemu denganmu setiap hari karena aku juga punya kehidupan sendiri!”
Ini lebih dari sekadar ledakan bom. Tapi ledakan itu tak lama karena kemudian terdengar lagu
“Manja”. Telepon itu lagi. Berengsek! Di saat seperti ini ....
“Ya?” suara Raka berubah lembut seketika. Dia segera keluar dari mobil sambil membanting pintu
mobil hingga tertutup. Air mataku tak tertahan lagi. Aku memejamkan mataku kuat-kuat tapi air mata tetap
merembes keluar. Tak lama kemudian Raka kembali ke dalam mobil.
“Apa masih ada yang perlu kita bicarakan?” dia bertanya sambil tetap menatap lurus ke depan.
“Apa kamu mau pergi ke tempat lain?”
“Tidak juga,” jawabnya dengan gelisah. Itu artinya, iya.
“Pergi saja. Aku ikut sampai pinggir jalan.”
“Aku akan mengantarmu sampai rumah.”
“Tidak usah. Aku naik taksi saja.”
“Kiara. Kali ini saja. Kamu mau kita tetap berteman, kan?”
Aku menyerah. Tentu aku mau tetap berteman. Aku tak mau kehilangan dia begitu saja. Mungkin nanti
lama-kelamaan dia akan kembali lagi padaku.
4
Acara jalan-jalan jomloku keesokan harinya bersama Sofie lewat begitu saja. Sofie membawaku
melihat launching buku chicklit baru di kafe. Mestinya acara itu menarik dan lucu, apalagi ada hiburan
band baru yang personelnya ganteng-ganteng. Eh, apa namanya?? Aku sampai tidak memperhatikan. Judul
bukunya saja lupa. Tapi aku berusaha sekeras mungkin memperlihatkan wajah antusias. Tak tega aku
melihat usaha Sofie yang begini keras.
“Buku kamu mana?” tanya Sofie ketika kami sudah berada di dalam mobil dan bersiap untuk pulang.
“Buku apa?” tanyaku linglung.
“Halah ... ya, buku Cintaku di Ujung Tanduk, dong. Kamu tadi beli, kan?”
“Eh ...,” aku menggaruk-garuk kepala yang sudah mulai ditumbuhi ketombe tanda stres. “Nggak.”
“Hah? Jadi tadi kamu nggak beli buku? Biasanya kamu suka beli buku.”
“Ya ... kurang suka chicklit. Kurang berat gitu.”
“Ah, sok nyastra kamu.”
“Aku lebih suka yang model Dan Brown. Yah, ... minimal Agatha Christie, lah.”
“Dasar!”
Sofie menyalakan radio sebelum menjalankan mobilnya pelan-pelan keluar dari lapangan parkir.
Sayup-sayup terdengar The Look of Love versi Diane Krall. Uh, lagu itu menyayat-nyayat hatiku. Itu, kan,
salah satu lagu yang mengingatkanku pada Raka. Waktu itu, beberapa bulan sebelum kami putus untuk yang
keenam kalinya, aku baru saja diperas habis oleh Abdul untuk mengerjakan promosi besar-besaran sebuah
perusahaan multimedia. Lalu Raka mengajakku bersantai ke Puncak. Keluarganya memiliki sebuah vila di
Cisarua. Tapi acara yang mestinya rileks itu tidak berjalan sesuai rencana. Ban mobil kami pecah di
tengah jalan menuju ke vila. Padahal hari sudah malam, sedangkan jarak mobil ke vila masih sekitar 3
kilometer lagi. Penduduk sudah tidak ada yang keluar rumah karena memang sudah lewat pukul 10 malam.
Aku dengan setia menunggui Raka mengganti ban. Tiba-tiba ketika pekerjaan mengganti ban masih jauh
dari selesai, hujan turun dengan derasnya. Terpaksa kami masuk lagi ke mobil. Lalu aku ingat baru beli
CD Diane Krall, bajakan. Kami menunggu hujan di dalam mobil sambil mendengarkan alunan suara Diane
Krall yang syahdu. Namun, dasar CD bajakan, CD itu macet persis setelah lagu The Look of Love.
Akibatnya lagu tersebut otomatis terputar sendiri berulang-ulang. Sampai hujan benar-benar berhenti
sekitar 3 jam kemudian, kami masih mendengarkan lagu yang sama. Dan keesokan harinya CD tersebut
tidak bisa berfungsi lagi. Dasar bajakan! Untung cuma 8 ribu perak. Itu pun kata Yoyok sudah kemahalan.
“Aku biasanya beli cuma 5 ribu kok, Mbak.” Ah, sial!
“Nggak bisa ganti radio, Sof?”
“Kenapa? Bukannya kamu suka lagu ini?”
“Lagi males aja dengerinnya.”
“Kenapa? Mengingatkanmu pada Raka?”
“Ah ....”
“Oke, deh.” Dengan berat hati Sofie mengganti saluran. “Oya, besok kita nonton konser, yuk?”
“Apa? Konser?”
“Ih, suka ngulang-ngulang, deh.”
“Kayaknya males, deh. Aku pengin di rumah aja.”
“Ya, terserah, sih.” Sofie mengangkat bahu. Aku tahu dia kecewa. Tapi aku sudah tak sanggup berpura-
pura di hadapannya.
“Eh, tapi nanti kalau aku berubah pikiran, aku telepon kamu, ya?” kataku buru-buru.
“Oke.”

V
Aku tidak tahu mana yang lebih buruk: menduakan kekasih atau menduakan sahabat. Tiba-tiba Rani datang.
Aku belum cerita tentang Rani. Dia itu juga sahabatku saat kuliah. Tapi entah kenapa dia dan Sofie tak
bisa akrab seperti aku dengan mereka masing-masing. Namun demikian, mereka selalu berpura-pura
cocok untuk menjaga perasaanku. Pokoknya kalau aku bersama Sofie, Rani pasti sukarela tidak ikut.
Begitupun sebaliknya. Entah ada apa antara mereka berdua.
Menurut pengakuan Sofie, gaya hidup Rani yang cederung bebas sangat mengganggunya, sedangkan
Sofie itu terlalu kolot bagi Rani. Kalau buat aku ... sebenarnya aku tak pernah memedulikan gaya hidup
Rani, karena dia selalu berbagi cerita bersamaku. Dia bisa diajak gila-gilaan. Satu hal yang tak bisa
kudapatkan dari Sofie. Karena itu dia kuanggap sahabat. Sudah setahun ini Rani memang tinggal di
Sydney. Kami hanya berkirim kabar lewat email. Tapi itu pun sudah 2 bulan ini balasan darinya macet.
Dan tiba-tiba dia sudah ada di depan pintu rumahku dengan dua tangan penuh oleh-oleh.
“Kiara darling!” pekiknya sambil menjatuhkan tas-tas berisi oleh-oleh ke lantai teras.
“Halah, mentang-mentang dari Sydney jadi pakai darling-darling segala!”
“Aku kangen!” Rani memelukku erat-erat. Rani memang meletup-letup seperti volkano, yang mana ini
hampir mirip denganku, dan Sofie sangat tidak suka hal itu.
“Kok sudah pulang?” tanyaku.
Rani mengangkat satu alisnya. “Kenapa? Tidak suka melihatku? Kalau begitu, oleh-olehnya aku bawa
lagi, deh!” Rani pura-pura ngambek.
“Eit! Jangan, dong! Yuk, masuk, yuk! Eh, kamu tadi ke sini naik apa?”
“Taksi.”
“Pantes ... nggak ada mobil di luar.”
Rani cuma menarik sudut bibirnya. Begitu kami masuk ke ruang tamu, Rani melihat berkeliling.
“Rumahmu masih kayak dulu, ya. Sepi.”
Aku tersenyum masam.
“Eh, gimana Raka?” tanya Rani.
Senyumku jadi tambah masam.
“Nanti aku ceritakan.”

V
Selesai mendengarkan ceritaku tentang Raka, komplit dari A sampai Z, Rani menatapku tanpa berkedip
selama beberapa saat, sehingga sempat membuatku risi.
“Kamu harus kejar dia terus, Ara,” katanya dengan mantap.
“Menurutmu begitu?” tanyaku sangsi.
“Ya. Kamu masih mencintai dia. Kalau kamu masih mencintai dia, kamu harus kejar dia.”
“Tapi kata Sofie ....”
“Sofie tidak tahu apa-apa tentang cinta,” potong Rani. “Apa dia punya pacar sekarang?”
Aku menggeleng. “Setahuku tidak,” aku berusaha memperhalus gelengan kepalaku.
“Kalau dia punya pacar dia pasti cerita sama kamu,” ujar Rani. “Cewek kayak Sofie itu tipe yang sok
tidak butuh laki-laki, tapi dalam hati kesepian.” Rani mendengus. “Tapi itu bukan urusanku. Sekarang let’s
focus on you. Sebelum Raka terlalu jauh bersama gadis ingusan itu, kamu harus merebutnya kembali.
Buktikan kalau kamu jauh lebih baik dari cewek itu.” Rani tampak berapi-api.
“Caranya?”
“You wanna do it my way? It’s an extreme way.”
Aku mengangguk.
“Oke. Besok malam ikut aku.”

V
Kami berada di sebuah ruang tamu seukuran 3 kali 3 meter, di sebuah rumah terpencil yang dipagari
tanaman mangkokan dan beluntas. Rumah ini terletak di sebuah desa di pinggiran kota Bogor. Entah apa
nama tempatnya. Yang jelas jika dilepaskan seorang diri di sini, aku pasti tidak akan menemukan jalan
pulang. Rumah ini masih dikelilingi persawahan. Sayup-sayup terdengar bunyi jangkrik serta desau
pepohonan bambu di belakang rumah yang ditiup angin. Hiiy! Bulu kudukku berdiri. Dulu waktu kecil
pembantuku pernah cerita kalau di pohon bambu biasanya suka bersemayam kuntilanak.
“Ghrrghhh ....”
Aku meloncat dari kursiku. Seorang pria berumur 50 tahunan keluar dari dalam. Jakunnya turun naik.
Sepertinya ada dahak yang mengendap di tenggorokannya. Tubuhnya sedang, dengan wajah berkumis dan
berjenggot. Pria itu memakai kemeja hitam dan sarung kotak-kotak. Dia menghampiri kami sambil
mengulurkan tangan untuk berjabatan tangan. Setelah itu dia duduk di kursi yang joknya sudah melengkung
karena terlalu sering diduduki. Aku sendiri tidak bisa membedakan apakah kursi yang kami duduki ini
berwarna biru atau hijau, akibat remang-remangnya lampu di ruang tamu.
“Apa kabar?” tanya pria itu pada Rani dengan suara parau.
“Baik. Tapi saya ke sini bukan karena masalah saya, Pak,” ujar Rani, “tapi teman saya.”
Bapak itu melirik ke arahku dengan tatapan menyelidik. “Ini?”
“Iya, Pak.” Rani lalu bercerita secara garis besar tentang persoalan yang kuhadapi. Setelah itu bapak
itu manggut-manggut, lalu beranjak pergi ke dalam dan segera keluar lagi sambil mengeluarkan nampan
berisi mangkuk dan secangkir kopi hitam. Di belakangnya seorang perempuan muda keluar membawa baki
minuman untuk kami.
“Silakan diminum,” ujar lelaki itu. Aku mengikuti Rani yang meneguk gelas berisi sirop warna merah
rasa pandan itu. Kurang manis. Lalu memperhatikan lelaki itu memandangi mangkuk yang ternyata berisi
air kembang selama beberapa saat. Mulutnya komat-kamit sebentar. Lalu matanya dipejamkan.
Aku menyenggolkan lututku ke lutut Rani. Aku belum pernah ke dukun sebelumnya, jadi rasanya benar-
benar mencekam melihatnya. Apalagi air di dalam mangkuk itu mengeluarkan wewangian yang aneh.
“Ghhhrrroogh ...,” si bapak berdehem, lalu menatapku seperti berusaha membaca pikiranku. Hiiy!
“Hubunganmu sudah terlalu jauh dengan dia ...,” ujarnya. Lho, kok tahu?! “Tapi kemungkinan perjodohan
kalian sepertinya tipis ....”
Isi perutku rasanya anjlok ke bawah. “Tipis?” tukas Rani. “Nggak ada kesempatan lagi?!”
Pria itu kembali memandangi air di dalam mangkuk, lalu manggut-manggut. “Berat, sih ... tapi bisa
dipermudah ... asalkan kamu bisa menyanggupi syaratnya.”
“Syarat apa?” tanya Rani lagi. Dia jadi seperti juru bicaraku.
“Bawa ke sini barang pribadi milik pria itu. Kamu punya?” pria itu kembali menatapku.
“Foto?” kini aku yang bersuara.
Pria itu menggeleng. “Bukan. Yang lebih pribadi, yang dekat dengan dia.”
“Baju?” tanya Rani.
“Hm ... bukan. Celana dalamnya. Kalau bisa yang belum dicuci, yang baru dipakai.”
Aku menelan ludah.

V
Di rumah aku terbaring memikirkan perkataan si dukun nyentrik. Celana dalam? Bagaimana caranya aku
mendapatkan celana dalam Raka yang masih fresh? Aku sempat marah-marah sama Rani tadi, tapi dia
cuma nyengir dan berkata, “Memangnya kamu pikir aku bisa ke Australia dengan cara apa?” Lalu dia
memandangku penuh arti. “Percayalah. Kalau kamu sangat menginginkan Raka, cuma ini jalan satu-
satunya.”
Tak pernah terlintas dalam pikiranku akan bertindak sejauh ini. Tapi sudah kepalang tanggung. Dia
yang merenggut keperawananku. Masak sekarang dia mau enak-enakkan sama ABG sementara aku merana
sendirian?! Rani sempat menyarankan sambil bergurau agar aku mengajak Raka tidur bersama lalu
membuat diriku hamil. Aku cuma meringis. Hamil? Yang benar saja. Kehadiran seorang bayi tak pernah
kupikirkan dalam hidupku saat ini. Bisa-bisa malah anak itu telantar jadinya. Dosaku bisa bertambah
berkali-kali lipat. Sekarang aku cuma ingin Raka kembali, bukan menambah masalah. Aku harus
menemukan cara untuk mendapatkan celana dalam itu.
5
Aku sedang membaca email dari Abdul saat Mila datang menginterupsi kedamaian.
“Haloooo!” katanya sambil duduk di mejaku.
“Halo juga,” balasku.
“Mana?” Mila menagih.
Mataku tak beranjak dari isi email Abdul: Jangan lupa hubungi Pak Ardan untuk minta jadwal
presentasi kita. Secepatnya. Thanks!
Aduh, Pak Ardan siapa, ya, .... Aku mencoba mengingat-ingat.
Mila menepuk pundakku dengan tak sabar. “Ar!”
“Hei!” aku melonjak kaget. “Apaan, sih?”
“Mana? Katanya mau bawa pacarmu ke sini?!”
“Hah? Buat apa?”
“Lho, kok buat apa? Buat jadi model iklanku, dong.”
Aku tersentak. Tapi buru-buru menenangkan diri. “Kan aku sudah bilang kalau dia nggak mau jadi
model. Percuma.”
“Rayu, dong.”
“Sudah. Segala cara sudah kucoba.”
“Bilang kalau ini iklan bergengsi. Bayaran lumayan. Bukan iklan ecek-ecek.”
“Sudah. Dia nggak peduli.”
“Sombong banget, sih.”
“Dia memang begitu. Kalau nggak percaya coba saja sendiri.”
“Boleh. Kasih nomor teleponnya.”
Aku ragu-ragu sejenak. Tapi aku kemudian mengambil secarik kertas kecil dan menuliskan nomor
ponsel Raka. Lalu kuserahkan pada Mila. Mila membacanya sekilas.
“Boleh telepon kapan saja, kan?”
“Boleh.”
“Jangan cemburu, ya?”
“Nggak. Mau ambil juga boleh,” kataku asal.
“Bener, nih?”
Aku tersenyum pahit. Setelah Mila kembali ke tempatnya, aku kembali menekuri email dari Abdul.
Pak Ardan. Memoriku bekerja keras, tapi percuma. Tidak ada setetes pun kenangan akan nama itu. Aku
lalu mengangkat gagang telepon dan menekan nomor ekstensi sekretaris Abdul.
“Hai, Ruri, sibuk nggak?” sapaku.
“Biasa aja. Ada apa?” sahut suara di sana.
“Inget nggak, siapa sih, Pak Ardan ini?”
Terdengar suara terkekeh di ujung telepon. “Aduh, kamu ini keterlaluan, deh, Ar. Dia, kan, lagi kamu
follow up. Dari Graha Asuransi.”
“Oh, iya, ya .... Ah, dasar beloon. Makasih Ruri.” Aku menutup telepon. Sial. Otakku benar-benar
terganggu. Aku lalu membuka laci meja dan kucari-cari bahan-bahan yang sudah diberikan Abdul untuk
presentasi. Kertas-kertas itu masih ada di sana. Belum tersentuh. Lalu aku menelepon pria bernama Pak
Ardan ini. Saluran teleponnya sibuk terus, sehingga 1 jam kemudian aku baru bisa bicara dengannya.
Syukurlah urusannya beres begitu cepat. Kami sepakat untuk bertemu hari Senin minggu depan pukul
setengah sembilan pagi. Fiuh! Aku bernapas lega. Setidaknya masih ada waktu untuk mempersiapkan
presentasi. Abdul bisa mengamuk kalau tahu aku belum membaca sedikit pun bahan-bahan yang
diberikannya. Satu pekerjaan teratasi. Tinggal pekerjaan berikutnya. Aku memeriksa agenda. Hari ini
harus menemani Abdul bertemu beberapa klien. Itu artinya bisa pulang terlambat. Padahal hari ini aku
sudah berencana berkunjung ke rumah Raka untuk melancarkan serangan.
Bling. Ada email masuk. Dari Sofie. Aku langsung membuka dan membaca isinya: “Hari ini kita
ngopi-ngopi, yuk! Lagi kangen sama caramel latte-nya CBTL. Balas, ya. Cepetan. Mumpung koneksi
internet di kantorku lagi lancar, nih.”
Hatiku langsung didera perasaan bersalah. Sudah pasti Sofie belum tahu tentang kedatangan Rani.
Bilang tidak, ya?! Aku lalu membalas secepatnya: “Hari ini nggak bisa, Sof. Bos gue ngajak ketemu
klien. Banyak pula. Bisa sampai malem, nih. Weekend aja gimana? Oya, Rani udah pulang dari
Sydney. Dia titip salam.”
Terkirim.
Bling lagi. Balasan dari Sofie membuatku deg-degan. “Titip salam? Kalau bohong jangan
kelewatan, deh. Dunia mau kiamat kalau dia sampai titip salam.”
“Jangan sinis. Kapan-kapan kita ngumpul bertiga.”
Tidak ada balasan. Hehe...

V
“Kiara ...,!” Tante Santi, alias ibunya Raka langsung menyambutku dengan riang. “Sudah lama kamu nggak
ke sini. Sombong, ih!” Aku mencium kedua pipi Tante Santi. Aku masuk ke dalam ruang tamu asri bergaya
retro tahun 70-an. Entah apa yang membuat Tante Santi tetap mempertahankan gaya rumah seperti ini.
Kursi dari kayu jati berukir dicat kuning gading, dengan jok berlapis beledu merah hati, di bagian tepinya
terdapat deretan bulatan logam yang memberi kesan seolah kain jok dipaku ke kayu menggunakan paku
payung. Ubin polos berwarna kuning dilapis karpet Persia asli yang didominasi warna merah-kuning.
Di dinding berlapis wallpaper bunga-bunga warna oranye pucat terpajang foto perkawinan Tante
Santi dan almarhum suaminya, ayah Raka, dalam busana adat Jawa warna hitam. Foto itu sudah berwarna
agak buram, kesannya jadul banget, kalau kata orang sekarang. Lalu di dinding yang menuju ke ruang
tengah terpasang foto keluarga, lagi-lagi jadul, yang diambil di sebuah studio foto zaman dulu dengan latar
layar warna biru muda. Tante Santi dan suaminya duduk di kursi bulat, diapit 4 orang anaknya.
Aku merasa ada yang aneh saat memasuki rumah ini. Sejak tadi tatapan Tante Santi seperti keheranan
melihat kedatanganku, dan dia terlihat salah tingkah. Aku jadi ikut-ikut salah tingkah. Biasanya dia akan
langsung menarikku ke ruang tengah atau dapur. Tapi kali ini dia cuma terpaku saja di ruang tamu, sambil
memasang wajah tersenyum.
“Raka ada, Tante?” tanyaku, karena tak tahu harus berkata yang lain.
“Belum pulang,” sahutnya. Lalu, seperti tersadar dari kecanggungan, dia langsung menepuk dahinya.
“Ya, ampun. Ayo, duduk. Tante benar-benar kaget melihat kamu datang. Soalnya kata Raka ...,” dia tidak
melanjutkan. Apa? Putus? Jadi Raka sudah berterus terang.
“Yah, begitulah. Tapi aku sebenarnya di sini mau ketemu Tante, kok,” kataku cepat. Aku, kan, tidak
mau dibilang orang yang tidak bisa menjaga tali silaturahmi.
“Oh, begitu .... Syukurlah. Tante pikir kamu nggak akan mau ketemu Tante lagi.”
“Nggak, lah, Tante. Soal Raka nggak ada hubungannya dengan kita. Iya, kan?” ujarku sok bijaksana.
“Ya, ya,” Tante Santi mengangguk-angguk senang. Lalu dia terlihat ragu-ragu sejenak, “Sebenarnya ...
ada masalah apalagi, sih di antara kalian? Kata Raka nggak cocok. Tapi nggak cocok apanya?”
Oooh ... jadi dia sudah membocorkan semuanya. Berengsek!
“Yah ... memang nggak jodoh aja, Tante.”
“Padahal kepengin sekali melihat kalian sampai ke pelaminan.”
Aku juga maunya begitu, Tante. Aku tersenyum kecut. Tiba-tiba, Lili, salah satu adik Raka muncul
dari dalam. Saat melihatku dia terlihat kaget setengah mati. Tapi sedetik kemudian wajahnya berubah
menjadi hangat.
“Mbak Kiara. Apa kabar?” dia menghampiriku dan mencium pipiku.
“Baik,” sahutku dengan suara serak. “Kamu gimana?”
“Baik juga. Sudah lama nggak main, Mbak.”
Aku cuma tersenyum, karena tidak tahu harus menjawab bagaimana. Sekilas aku melihat Tante Santi
menatap Lili dengan pandangan menegur. Aku buru-buru melihat ke bawah seolah tidak tahu apa-apa. Lalu
duduk kembali dengan canggung.
Kami sempat terdiam beberapa saat. Mungkin sama-sama mencari bahan pembicaraan. Sampai
akhirnya Lili bertanya terus terang.
“Mbak putus lagi sama Mas Raka, ya? Kenapa, sih, Mbak?”
“Eh,” aku gelagapan. Kali ini Tante Santi langsung melotot ke arah Lili.
“Aku kurang suka sama pacar Mas Raka yang sekarang. Ih, masih anak kecil banget, Mbak.”
“Lili,” tegur Tante Santi.
Oooh, jadi dia sudah punya pacar lagi sekarang??? Darahku mendidih. Kurasa pasti efeknya terlihat ke
wajahku karena Tante Santi kemudian memandangi wajahku dengan cemas.
“Apa nggak ada kesempatan buat balik lagi, Mbak? Biasanya kalian putus sambung, kan?!”
“Yah, ... mudah-mudahan, Lili,” jawabku sambil sebisa mungkin menekan perasaanku yang bergejolak
tak menentu. Sehingga aku kembali teringat pada misi celana dalam. “Oya, aku mau ke kamar mandi dulu,
ya?” Mereka berdua mengangguk seperti robot.
Begitu memasuki kamar mandi, mataku langsung tertumbuk pada keranjang cucian yang terletak di
samping wastafel. Buru-buru kututup pintunya, dan kuaduk-aduk isi keranjang pakaian kotor tersebut.
Ternyata isinya cuma sedikit, yaitu beberapa kemeja, kaus, serta celana dalam perempuan. Tidak ada
celana dalam laki-laki. Aku langsung kecewa. Kusiram toilet seolah habis buang air kecil, lalu membuka
pintu.
Pintu kamar Raka yang berada di samping kamar mandi terbuka, sehingga menggodaku untuk masuk ke
dalam. Biasanya aku bisa masuk kapan saja. Tapi sekarang kurasa pasti tidak bisa lagi. Aku sudah
terbiasa dengan kamar ini. Kamar Raka isinya sangat sederhana, cuma sebuah tempat tidur ukuran sedang,
satu set audio, komputer, meja tulis, lemari pakaian, lemari buku, karpet biru yang sudah usang. Masih
seperti dulu, saat kami sering berdua di sini.
Mataku memindai seisi kamar, siapa tahu menemukan sebuah celana dalam kotor tergeletak. Tapi tidak
ada. Yang kutemukan malah kenyataan yang mengejutkan. Terakhir kali aku ke sini, dinding kamar Raka
dipenuhi foto-foto kami. Tetapi sekarang kosong, yang terpasang cuma kalender. Sesuatu membuat perutku
melilit. Aku langsung menuju lemari pakaian. Kalau yang kotor tidak ada, maka yang bersih bolehlah. Tapi
baru aku akan menarik pintu lemari, pembantu Raka yang bernama Tumirah menegurku.
“Cari apa, Mbak?”
Aku tersentak. Kaget bukan main. Tapi berusaha menjaga wibawa di depan wanita berumur 30
tahunan itu.
“Cari barang-barang saya, Mbak Tum. Kenapa?” kataku pura-pura biasa saja. Tumirah menatapku
dengan pandangan menyelidik. Ini tak pernah terjadi. Biasanya dia selalu ramah padaku, walaupun aku
tahu dia mungkin tidak menaruh hormat padaku setelah pernah memergoki aku dan Raka berciuman di
tempat tidur saat seisi rumah sedang pergi. Persetan! Apa pedulinya!
“Memang masih ada di situ?” dia balas bertanya dengan agak sinis. Spontan aku menjadi geram. Aku
tahu dia takut, tapi dia juga berada di atas angin karena bagaimanapun juga wewenangku sudah berkurang
di sini. Aku sudah bukan pacar Raka, jadi dia tak perlu repot-repot bermanis-manis di hadapanku.
“Ya, masih, dong. Buat apa aku cari di sini kalau tidak ada. Kenapa, sih?” balasku tak mau kalah.
“Nggak apa-apa,” sahutnya sambil melengos. Berengsek! Akibatnya tanganku jadi gemetaran. Sebelum
sempat aku memeriksa lemari, aku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman rumah. Gerakan
tanganku semakin tak terkoordinasi, sehingga kuputuskan untuk segera keluar kamar sebelum terjadi hal
yang lebih memalukan lagi. Dari ruang tamu aku melihat Raka keluar dari mobil ... bersama seorang
gadis. Tante Santi dan Lili kelihatan salah tingkah. Sedangkan aku berpura-pura tenang. Biarpun tanganku
masih gemetaran.
Lalu kulihat mereka berdiri di sana, sambil berpegangan tangan. Raka terkejut melihatku. Kelopak
matanya terbelalak, tapi dengan cepat kembali normal. Sementara gadis di sebelahnya menatapku dengan
pandangan bertanya-tanya. Suasana langsung canggung bukan kepalang. Tante Santi dan Lili berbasa-basi
pada gadis itu. Sedangkan aku ... aku sendiri tidak tahu bagaimana reaksiku. Seandainya aku bisa melihat
wajahku sendiri, pasti air mukaku sudah tidak keruan. Geram bercampur malu. Tetapi aku berusaha sekuat
tenaga agar tetap bersikap normal.
“Eh, Raka,” ujarku dengan suara bergetar. Dari tarikan otot di lengannya, aku tahu dia sedang meremas
tangan gadis di sampingnya. Pasti gadis itu sudah tahu siapa aku. Raka cuma menjawab sapaanku dengan
anggukan kecil. Sedangkan gadis di sampingnya tetap menatapku tanpa berkedip, seolah ingin adu
kekuatan denganku. Apa-apaan sih?! Aku merasa tertantang. Berani sekali gadis ingusan seperti dia
menantangku. Seketika aku merasa terpojok. “Tante, Lili, aku pulang dulu, ya. Kapan-kapan aku main
lagi.”
“Oh,” Tante Santi dan Lili menyahut berbarengan. Mereka tampak bingung harus bagaimana. Wajah
Raka kelihatan lega, yang mana itu membuat hatiku sakit.
“Biar diantar Raka saja, Ara. Sudah malam,” tiba-tiba Tante Santi berkata. Aku kembali merasa di
atas angin.
“Nggak usah, Tante. Nanti ada yang marah,” aku berusaha berkelakar senormal mungkin. Gadis di
samping Raka mengeraskan rahangnya.
“Nggak, lah. Iya, kan, Joana?” Joana? Gadis bernama Joana itu menganggukkan kepala dengan berat
hati. Diam-diam aku tersenyum penuh kemenangan. “Kamu di sini saja sambil menunggu Raka,” Tante
Santi melanjutkan.
Tanpa menunggu lagi Raka langsung kembali berbalik menuju mobilnya. “Yuk,” katanya padaku tanpa
melihat.
“Pulang dulu, Tante, Lili, Joana ...,” ujarku basa-basi. Tante Santi dan Lili melambaikan tangan sambil
tersenyum manis. Sementara Joana menatapku dengan sebal. Jadi dia marah?!
Aku mengikuti Raka masuk ke mobil. Dulu dia selalu membukakan pintu untukku. Tapi malam ini tidak
sama sekali. Di dalam mobil kami diam membisu selama beberapa saat. Rasanya kami seperti dua orang
asing yang terpaksa duduk di dalam satu mobil. Raka masih tetap diam saat menyalakan mobil dan
mengendarai mobil meninggalkan rumahnya. Baru ketika kami sudah masuk ke jalan besar, dia berdehem.
Tanda pembicaraan akan dimulai.
“Ada apa kamu tadi ke rumah?” suaranya terdengar kaku. Ah, apakah ini Raka-ku?
“Memangnya kenapa?” aku balas bertanya dengan suara agak ketus.
“Nggak apa-apa, tapi aku takut yang lain jadi bingung dengan hubungan kita,” tuturnya tanpa ragu
sedikit pun. Aku terenyak. Apa pengaruh gadis bernama Joana itu begitu besar?
“Mereka sudah tahu, kan, kalau kita putus?” aku bersikap seolah keadaan ini biasa saja. “Tenang. Aku
cuma ingin ketemu ibumu dan Lili. Apa itu juga tidak boleh?”
“Apa benar?” Raka terdengar sangsi.
“Memangnya kenapa, Raka? Pacarmu itu cemburuan, ya?” tanyaku menyindir.
Raka menoleh ke arahku sesaat lalu kembali memperhatikan jalan.
“Pacarku baik-baik saja,” katanya dengan mantap. Ada rasa perih menyusupi batinku. “Aku cuma ingin
hubungan kami dimulai tanpa masalah. Itu saja.”
Masalah? Jadi aku ini masalah?!
“Kalau begitu kenapa kau mengantarku?” kataku berang.
“Kan Ibu yang suruh.”
“Kenapa mau?”
“Aku nggak mau ribut.”
“Kalau ibumu tidak suka dengan pacar barumu dan menyuruhmu kembali padaku, apa kamu mau?”
“Mulai lagi ...,” desis Raka tanpa memandangku.
“Ayo bilang!”
Raka tidak menjawab. Dia malah menambah kecepatan mobilnya.
“Jawab Raka!” desakku dengan nada tinggi. Air mata mulai menggenangi pelupuk mataku, dan dadaku
mulai terasa sesak, jantungku berdebar sangat kencang. Kurasa aku bisa terkena serangan jantung sebentar
lagi. “Raka!” aku menjerit. Kurasa aku sudah jadi gila. Raka menepikan mobilnya dengan tetap tenang.
Setelah berhenti, dia menatapku.
“Kenapa kamu selalu begini?” dia bertanya dengan nada prihatin.
“Kamu yang membuat aku begini. Aku mencintai kamu, Raka. Kamu tahu nggak, sih?” aku histeris. Air
mata sudah jatuh. Wajah Raka tampak sedih, tapi aku pasti lebih menyedihkan.
“Cinta tidak seperti ini, Kiara.” Nada suaranya rendah dan suaranya lembut. Oh.
“Lalu seperti apa?” aku mulai terisak-isak.
“Cinta seharusnya menenangkan, bukan menyakiti.”
“Jadi dia menenangkan?” sergahku.
“Ini bukan tentang dia.”
“Dia tidak akan bisa mencintaimu seperti aku!”
“Kita belum tahu ...,” aku bergegas keluar dari mobil. Raka menyusul. “Kiara! Tolong masuk lagi. Ini
sudah malam.”
“Masa bodoh!” Aku melambai-lambai pada setiap taksi yang lewat. Entah kosong atau tidak. Tapi tak
lama kemudian sebuah taksi berhenti. Raka menggamit lenganku. Tapi aku menyentaknya hingga terlepas.
“Aku benci padamu, Raka,” desisku. Lalu aku masuk ke dalam taksi. Sempat kulihat wajah Raka tertegun.
Begitu pula dengan wajah si sopir taksi yang sedang menoleh ke arahku.
Misi celana dalam pun gagal.
6
Ada yang bilang Thank God it’s Friday. Tapi buatku Damn, it’s Friday. Apa untungnya hari Jumat.
Apalagi Jumat ini. Buatku ini Jumat terkutuk seumur hidupku. Baru datang, sudah ada memo di meja dari
Abdul: “Mana draf presentasi? Senin harus sudah siap, lho!” Lalu baru menaruh pantat di kursi, ada
telepon dari Mama: “Nanti malam jangan telat, ya. Papa, kan, hari ini pulang dari Hong Kong.” Terus,
baru mulai memeriksa draf presentasi pesanan Abdul, Mila datang menghampiri.
“Coba tebak. Siapa yang ada di ruang rapat sekarang?” dia bertanya dengan mata berbinar-binar.
“Mr. George Allen?” Itu nama salah satu komisaris ParaDigma Communication dari Australia.
“Salah!”
“Stephen O’Malley?” Itu nama CEO ParaDigma Communication yang gantengnya selangit. Bahkan
kata semua gadis di sini George Clooney saja lewat. Kalau yang ini aku kurang setuju. Jika disuruh
memilih, tetap saja aku pilih George Clooney.
“Bukan!”
“Lalu siapa?” aku menyerah.
Mila mendekatkan wajahnya ke arahku, lalu berbisik ke telingaku. “Raka Himawan.” Rasanya aku
mau berhenti bernapas. Mustahil!
“Yang bener?” suaraku lirih.
Mila mengangguk mantap sambil membuka sebuah map lebar. “Dan ternyata aku baru tahu kalau kamu
ini fotografer jempolan. Kenapa nggak ngelamar jadi art director atau graphic desainer aja, Neng?”
Mila menyodorkan map yang terbuka itu padaku. Foto-foto Raka hasil jepretanku selama ini. Kok kemarin
Raka tidak bilang apa-apa padaku?!
“Cuma iseng-iseng aja, kok. Lebih dari itu aku nggak mampu,” ujarku merendah.
Mila mengamati foto-foto tersebut selama beberapa saat. “Bagaimana kalau kamu ikut proyek ini?
Aku, kan, pimpro-nya, nanti aku minta Abdul ....”
“Aduh, sori banget, kerjaanku udah banyak.”
“Alaaah ....”
“Nggak enak sama yang lain. Kan sudah ada bagian masing-masing.”
“Jadi modelnya, lho. Kan nanti ceritanya sepasang suami istri sedang bulan madu. Kalau pakai
pasangan yang sedang madly in love, kan, lebih gampang, mengingat profesi pacarmu itu bukan model.
Pasti lebih enak ber-akting sama pacar sendiri. Iya, kan?” Wo-ho-ho!
“Mending pakai Catherine Wilson, deh, atau Luna Maya. Aku, kan, nggak bisa akting.”
“Sudah dibilang, kali ini maunya pake orang biasa. Malah tadinya mau pakai pasangan suami istri
beneran. Mending kamu aja sama pacarmu. Ntar di-casting dulu. Mau, ya?” Benar-benar menggoda.
Aku berpikir sejenak.
“Aku nggak bisa. Aku lebih suka motret daripada dipotret. Tapi, thanks anyway!”
“Bener?”
“Bener, Mila. Lagi pula, Raka bakalan risi kalau aku ikut-ikutan.”
Mila menimbang-nimbang sejenak. “Ya, sudah, deh.” Aku lega bukan main.
“Eh, ngomong-ngomong, kapan kamu menghubungi dia?” tanyaku penasaran. Mila yang sedang
membereskan map memandangku dengan heran.
“Dia nggak cerita?” Aku menggeleng. “Kemarin siang. Sekitar pukul 2-an. Dia langsung mau, tuh.
Mungkin karena tahu produknya keren.”
“Memang apa produknya?”
“Platinum Member Card dari Intech Air.”
“Yang pesawat carteran itu?”
“Yup!”
Aku menelan ludah. “Kenapa nggak cari model yang udah ngetop aja, sih? Kayak Tora Sudiro atau
Nicholas Saputra?”
“Kan udah aku bilang, direkturnya nggak mau pake orang ngetop. Maunya orang biasa yang sesuai imej
perusahaan. Dan kurasa pacarmu itu cocok. Orang biasa, kan? Cakep, cool, tipe eksekutif muda yang
bergaya hidup jetset.” Masa, sih?
“Dia itu sederhana kok,” ujarku kelepasan.
“Itu, kan, aslinya. Tapi dari luar, gayanya cool abis. Pas, deh. Aku yakin direkturnya pasti sreg.”
Semoga tidak. Mila yakin seyakin-yakinnya. “Mau ketemu dia dulu?”
Aku menggeleng.
“Oke, deh. Biar aku saja yang mewakili. Hari ini dia mau di-casting.”
Mila berjalan menuju ke ruang rapat sambil mengayun-ayunkan mapnya. Konsentrasiku buyar sudah.
Niat semula mau bekerja, jadi berantakan. Pikiranku mulai berkelana. Ada Raka di sini. Ingin sekali aku
melihatnya. Kenapa dia mau jadi model? Kalau kelak dia jadi model, dia pasti bakal ngetop. Tidaaak!
Semakin jauh saja aku darinya.
Sambil mengendap-endap seperti maling aku berjalan ke ruang rapat melewati arah luar. Tapi dasar
lagi apes, aku malah berpapasan dengan Abdul.
“Hei! Kiara! Mana?” katanya sambil menodongkan tangan.
“Apa?” tanyaku pura-pura beloon.
“Draft-nya.”
“Belum selesai lah. Mau ke wc dulu, nih.” Aku mencari alasan.
Abdul menatapku dengan pandangan menyelidik selama beberapa detik. “Kutunggu sebelum jam 2 di
mejaku,” katanya singkat sambil berlalu. Aku mendengus pelan agar tak terdengar. Tapi Siti sang
resepsionis melihatku lalu melambaikan tangannya.
“Mbak Kiara, sini!” serunya dengan suara berbisik. Aku menghampiri. “Eh, kata Mbak Mila pacar
Mbak Kiara lagi casting, ya? Aku tadi sudah lihat, ih cakep banget!” Siti cekikikan. Berengsek Mila!
Sebentar lagi satu kantor pasti akan tahu. “Mbak, pacarnya masih punya teman lagi nggak? Kenalin,
dong.”
“Temannya jelek-jelek, tahu,” kataku sambil berlalu. Siti cuma mencibir.
Begitu aku tiba di ruang rapat yang berjendela lebar, aku merapatkan tubuhku ke dinding dekat jendela
agar tak terlihat dari dalam. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat Raka dari belakang, lalu dari depan
tampak Mila dan Ridwan, art director. Mereka tampak bercakap-cakap dengan rileks. Di samping meja
marmer berbentuk lonjong berukuran besar, ada Sandi yang sedang mengatur kamera. Aku memperhatikan
profil Raka. Uh, dia memang sangat tampan. Seandainya aku menyanggupi permintaan Mila untuk menjadi
model iklan ini. Tapi kepentingan perusahaan harus didahulukan, bukan? Pasti Raka akan salah tingkah
terus-menerus jika dia berpasangan denganku. Bisa-bisa iklan itu gagal total. Aku merelakan dia
berpasangan dengan model yang lain. Biarpun sekaliber Luna Maya, aku rela!
Entah berapa lama aku berdiri di samping jendela, ketika tiba-tiba aku melihat Mila menerima telepon
di atas meja rapat, menutupnya kembali dan bergegas keluar. Aku buru-buru memutar badan untuk pergi,
tapi di pintu masuk menuju selasar ada Siti dan seorang gadis cantik yang sedang berdiri. Wajahnya tidak
asing, dan perlu beberapa detik untukku menyadari siapa dia. Joana! Aku buru-buru memutar badan lagi,
tapi Mila sudah ada di belakangku.
“Ar!” seru Mila. Aku belum sempat menjawab ketika Siti sudah bersuara. Tadinya aku mau langsung
nyelonong, tapi Mila menggamit lenganku dan mengajakku ke depan.
“Mbak Mila, ini Joana yang mau casting buat Intech.”
Terpaksa aku memutar badan lagi. Kali ini aku bertatapan dengan Joana. Sorot matanya langsung
berubah garang. Kurasa dia pasti masih kesal dengan peristiwa semalam.
“Halo, Joana. Saya Mila.” Mereka berjabatan tangan. Mata Joana kembali menatapku tanpa ampun.
“Yuk, saya kenalkan dengan calon model prianya ....”
“Saya sudah kenal,” kata Joana cepat-cepat. Sorot matanya kali ini berubah senang.
“Oh, sudah kenal?” tanya Mila heran. “Maksudnya sudah kenal dengan Raka?” Mila menunjuk ke
dalam ruang rapat. Joana mengangguk.
“Dia itu pacar saya,” katanya sambil tersenyum lebar. Siti dan Mila terpana sesaat, lalu sama-sama
memandangku.
Kurang ajar!!!!!!

V
Pukul 3 kurang aku memasuki kantor Abdul. Kosong.
“Mana Abdul?” tanyaku pada Ruri yang sedang memasukkan kertas-kertas ke mesin penghancur kertas.
“Keluar,” sahutnya singkat. Lalu dia menatapku dengan tatapan penuh arti. Aku tahu arti tatapannya.
Pasti gara-gara insiden tadi pagi. Berengsek! Pasti semua orang sudah tahu. Entah siapa yang bermulut
besar.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Apa?” Ruri balas bertanya.
Aku diam sesaat. “Nggak apa-apa.”
“Eh, Kiara,” Ruri memanggil. Oh-oh. “Tadi aku dengar ...,” Ruri tampak seperti sedang ragu-ragu.
Ayo katakan saja!
“Apa?” desakku.
“Eh, nggak jadi, deh.”
Oh, jadi kamu juga sudah tahu. Apa bosmu juga sudah tahu?
Aku masuk ke dalam ruangan Abdul dan menaruh berkas presentasiku di atas meja. Setelah itu keluar
tanpa berkata apa-apa. Dari sudut mataku bisa kulihat Ruri sedang memperhatikan. Ya-ya, tataplah aku
sepuasmu.

V
Kami duduk berempat di meja makan. Aku, Mama, Papa, dan Alvin adikku. Yang absen cuma Fai
kakakku. Di atas meja terhidang makaroni panggang, kimlo, nasi putih, dan ayam kecap. Semua masakan
Mama. Tiba-tiba aku merindukan kakakku. Sudah lama sekali dia tidak mengunjungi kami. Dulu kami
semua selalu duduk di sini bersama-sama. Mulai dari sarapan, makan siang (kalau hari libur), dan makan
malam. Tetapi sejak Fai menikah 5 tahun yang lalu dia tak pernah lagi makan malam bersama kami.
Usiaku dan Fai hanya selisih 2 tahun setengah. Kami seperti anak kembar. Kadang-kadang pakaian
kami sama. Dan kami tak berkeberatan disebut anak kembar. Kami menyukainya. Aku sangat memuja Fai
seperti layaknya seorang adik memuja kakaknya. Apa pun yang dilakukan Fai selalu kuikuti. Ke mana pun
Fai pergi aku selalu membuntuti. Di mana ada Fai, di situ ada aku. Hampir selalu begitu. Mengingat
kenangan itu dadaku terasa sesak. Kini kursi yang selalu didudukinya kosong. Tidak ada lagi Fai yang
selalu bercerita hal-hal seru. Padahal dia belum mati.
Mama menyendokkan nasi untuk Papa. Sendokan pertama, sendokan kedua. Lalu Papa mengangkat
tangan dan berkata, “Sudah, Ma, jangan banyak-banyak.” Tapi nanti setelah habis, Papa akan menambah
setengah sendok lagi. Kejadian itu 90 persen selalu terulang kembali sejak aku mulai bisa menyadari apa
yang terjadi di meja makan. Dulu aku dan Fai selalu membahasnya. Berkali-kali. Seperti rekaman rusak.
Biarpun kami berdua tidak tahu apa penyebabnya.
“Sudah tahu kok selalu diulang, sih.” Celetukan itu keluar begitu saja dari mulutku. Papa dan Mama
memandangku berbarengan. Alvin yang biasanya apatis juga ikut-ikutan melihatku dengan keheranan yang
terselubung. Aku juga ikut terkejut dengan kalimat yang baru saja kudengar.
“Apanya?” tanya Mama. Entah pura-pura bodoh atau memang tidak tahu.
Lagi-lagi mulutku seperti terpompa dari dalam. Kalau bibirku seperti kawah, maka lahar panas
rasanya tak ingin berhenti keluar. “Mama,” Mama menaikkan satu alisnya, “sudah tahu Papa makan cuma
dua centong, kenapa selalu ditambah? Terus, kalau memang Papa cuma ingin makan dua centong, kenapa
nanti tambah setengah centong lagi?”
Sunyi. Sepi. Persis kuburan. Bahkan Alvin yang punya kebiasaan buruk mengetukkan telapak kaki ke
lantai pun tidak bergerak sama sekali. Beberapa detik kemudian terdengar suara dentingan sendok di
piring. Papa mulai makan seolah-olah pertanyaanku cuma angin lalu. Mama ikut-ikutan makan. Hanya
Alvin yang masih memandangiku, seperti menunggu tumpahan lahar selanjutnya. Kurasa diam-diam dia
menikmati kejadian barusan.
“Kamu sudah berpikir mau kuliah di mana, Alvin?” tanya Mama tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan.
Alvin gelagapan. Lalu dia buru-buru menyendok lauk ke piringnya. “Mungkin ada baiknya juga kamu
kuliah ke luar negeri. Seperti anaknya Bu Rustam. Inget, nggak Pa?”
Papa diam saja. Alvin melirikku, lalu kembali melirik piringnya yang penuh.
“Si Teddy, anaknya Bu Rustam itu kuliah di ... Canberra, kalau nggak salah.”
“Kanada,” aku meralat.
“Oh, Kanada, ya?” Mama menatapku dengan linglung. “Tapi kotanya ....”
“Vancouver.”
“Bukan di Australia?” Mama bertanya padaku. Aku menggeleng. “Gimana, Vin? Kamu berminat?”
Alvin melihat Papa. Lalu menundukkan kepala. Tidak ada jawaban.
“Kalau nggak mau di luar negeri, ya, di Jakarta saja. Sekarang banyak yang bagus. Iya, kan, Pa?”
Papa diam saja. Bahkan memandang pun tidak. Aku mengawasi kedua laki-laki di depanku dengan
geram. Ini pertama kalinya aku merasa geram melihat mereka berdua yang tak bereaksi. Padahal biasanya
aku tak peduli.
“Sekarang nggak kayak dulu, sih, kata Bu Rustam. Dulu masuk universitas negeri murah. Sekarang ...
wuih! Mahal juga!” Lalu Mama berceloteh tentang cerita teman-temannya yang menyekolahkan anak
mereka di universitas negeri. Lama-lama celotehan Mama terdengar seperti denging di telingaku. Mataku
tetap memperhatikan Alvin dan Papa. Mereka sama sekali tak bereaksi dengan apa pun yang dikatakan
Mama. Sudah sejak kapan ini berlangsung? Lima tahun? Sepuluh tahun?
“Sudah!” seruku tiba-tiba sehingga Mama menutup mulut dengan cepat. Kini Papa dan Alvin
memandangku. Aku balas menatap mereka. “Buat apa cerita terus, Ma, kalau nggak ada yang
mendengarkan.”
Mama menelan ludah. “Mama cuma memberi tahu Alvin tentang anak-anak teman Mama ....”
“Dia juga nggak ngedengerin. Percuma. Terserah dia mau kuliah atau tidak. Dia sudah dewasa.
Biarkan saja. Kenapa Mama harus bingung?!”
Mama menatapku dengan bingung sekaligus kesal. “Namanya juga orangtua ... sudah kewajiban, kan,
menasihati anak ....”
“Tidak perlu lagi!” kataku dengan tandas. Papa mulai menghentikan kegiatan mengunyahnya dan
menatapku dengan tajam. Alvin juga berhenti, tapi dia tetap menunduk. “Sebaiknya Mama mulai berhenti
berbicara. Terutama kepada mereka.”
“Kiara ... ini meja makan...,” Mama berusaha menegurku.
“Aku tahu ini meja makan. Tempat yang seharusnya menjadi tempat komunikasi antaranggota keluarga.
Bullshit!” Aku membanting serbet ke atas meja.
“Kiara!” Mama berseru. Papa kelihatan mengeraskan rahangnya. Kalau sudah begini artinya amarah
Papa sudah mulai menggelegak.
“Di mana-mana kalau ada orang tanya itu dijawab! Memangnya bicara sama orang tuli?” sergahku
pada Papa dan Alvin.
“Jangan kurang ajar, Kiara!” Mama mulai marah. Dia lalu memandang Papa yang masih tetap
memandangku dengan tajam. Coba lihat sampai berapa lama dia tahan.
“Lebih kurang ajar mana aku atau mereka?” aku terang-terangan menunjuk Alvin dan Papa secara
bergantian. Kali ini Alvin tampak tersinggung. Tapi dia tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Apa-apaan kamu, Kiara?” suara papa terdengar menggelegar. Tapi ekspresinya tetap terkendali. Wah,
hebat!
“Oh, Papa bisa bicara?!” sindirku sambil balas menatapnya.
“Kiara! Astaga!” kini Mama terdengar panik. Dia memang paling cemas jika anaknya mulai tidak
menghargai suaminya.
“Aku pikir Papa dan Alvin tuli, atau bisu mungkin?! Ternyata bisa bicara. Bagaimana denganmu,
Alvin? Bisa bicara?”
Alvin malah menunduk. Aku jadi semakin kesal.
“Jawab!” kataku sambil memukul meja sekeras-kerasnya sampai tanganku sakit. Dia kelihatan kaget
setengah mati lalu balas menatapku dengan jengkel.
“Tidak perlu begitu!” bentak Papa dengan wajah yang masih amat kalem. “Kalau ada masalah katakan
saja!”
“Masalah?!” aku bangkit dari kursi. “Masalahnya adalah kalian berdua tidak pernah menghargai
Mama. Dan aku sudah muak berpura-pura hidup di keluarga yang normal!” Aku pergi meninggalkan meja
makan diiringi keheningan yang mencekam. Aku menunggu sebuah reaksi dari siapa pun. Tapi tidak ada.
Mereka semua membisu. Begitu sampai di kamar, pintu kubanting keras-keras hingga tertutup. Tetap tak
terdengar apa-apa.

7
Pagi-pagi sekali aku sudah nongol di rumah Fai. Dia kelihatan terkejut, tapi tetap berusaha antusias
menyambut kedatanganku. Dia dan suaminya bersikap seolah kedatanganku sangat menyenangkan.
“Maaf, ya, rumahnya berantakan,” kata suami Fai basa-basi. “Soalnya pembantu lagi pulang
kampung.”
Aku tersenyum. “Perlu bantuan nggak?” kataku menawarkan diri.
“Nggak usah!” kata Fai dan suaminya serentak.
Aku lalu memperhatikan suami Fai membereskan isi rumah yang berantakan dengan mainan anak-anak.
Sementara Fai sibuk mengurusi dua anaknya yang lincah bukan-kepalang. Hanya dari melihat saja, aku
tahu Fai kerepotan. Matanya terlihat lelah. Penampilannya tidak terurus. Dan saat membuka pintu tadi, aku
sempat mencium sekilas aroma keringat yang sudah basi. Fai tidak seperti dulu yang selalu peduli soal
kerapian dan penampilan. Begitu banyak yang ingin kuungkapkan, tapi melihat keadaan mereka seperti ini
niatku jadi urung. Yang membuatku sedih, kedua anak Fai tidak menyambutku sebagai tante mereka. Kedua
anak itu seperti tidak mengenaliku. Aku pun tersadar bahwa antara aku dan Fai sekarang sudah ada jarak.
Entah kapan jarak itu bisa diseberangi. Tanpa kusadari, mataku mulai berkaca-kaca.
Aku bergegas berdiri dari kursi. “Aku pulang dulu.”
“Eh,” Fai kelihatan kaget, tapi reaksi suaminya biasa saja. “Nggak minum dulu?”
“Nggak usah. Aku cuma mengganggu saja, iya, kan, Mas Tio?” tanyaku pada suami Fai. Dia tampak
gelagapan. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bertindak begitu. Mata Fai langsung berubah tajam. Dia
pasti tersinggung. Biar saja.
“Kamu punya masalah?” tanya Fai dingin sambil mengantarku ke pintu.
Aku membalas tatapannya. “Setiap orang punya masalah. Kamu juga. Sebaiknya kamu urus saja
masalahmu.”
“Mama telepon semalam. Katanya kamu marah-marah sama Papa dan Alvin.”
“Apa pedulimu?” ujarku sinis. Aku lalu mengibaskan tangan. “Urus saja suami dan anak-anakmu.
Sekarang mereka pusat kehidupanmu, kan?” Aku buru-buru berpaling sebelum air mataku menetes.
“Kiara!” Fai memanggil. Tapi aku cuma melambaikan tangan tanpa berpaling.

V
Aku dan Fai dulu memang sering bertengkar. Tapi masalah kami hanya hal-hal kecil. Dia marah kalau aku
meminjam bajunya tanpa izin, memakai alat riasnya tanpa membereskan kembali, menggunakan sepatunya
diam-diam sampai jebol. Yah, semacam itulah. Namun, semuanya tak berlangsung lama. Kami dulu begitu
kompak. Fai adalah sahabatku yang terbaik. Biarpun sebenarnya kami berbeda karakter. Fai sangat
feminin, sedangkan aku tomboi. Fai senang mengoleksi aksesori, aku senang mengoleksi kaset. Fai juga
yang mengajariku berdandan. Fai juga dulu tempat curhatku tentang Raka. Begitu pun sebaliknya. Fai
selalu bercerita tentang para pria yang pernah singgah di hatinya. Sampai Tio datang, pria yang telah
membuat kakakku berubah.
Aku menghela napas sambil mengingat kembali percakapan kami. Dia begitu dingin dan tak peduli.
Dadaku terasa sesak. Tiba-tiba aku merasa kesepian. Biasanya di saat seperti ini aku bisa menelepon
Raka. Tapi kali ini tidak. Aku ingin menangis. Aku ingin menelepon Sofie, tapi urung. Aku teringat soal
konser itu. Dia pasti marah aku tidak meneleponnya. Saat ini aku sedang tidak bisa mengarang-ngarang
cerita. Kalau sampai Sofie tahu apa yang kulakukan bersama Rani, dia pasti marah besar. Dia paling anti
dengan hal-hal yang berbau klenik. Apalagi kalau untuk menggaet seorang laki-laki. Aku pun menelepon
Rani.

V
Aku dan Rani duduk di dalam sebuah kafe kecil tidak jauh dari rumahnya. Aku memang sengaja memilih
tempat ini karena sedang malas berada di dekat lingkungan rumahku. Sejak tadi dia menatapku dengan
pandangan tak percaya sambil sesekali menggelengkan kepalanya.
“Tanpa celana dalam kita tak bisa apa-apa,” ujar Rani sambil menyalakan rokoknya.
“Aku tahu. Tapi mau bagaimana lagi. Sekarang aku tak bisa keluar masuk rumahnya seperti dulu.
Mereka seperti menjaga jarak.”
“Padahal bentak saja pembantunya yang sok tahu itu. Beres.”
“Tidak bisa begitu. Aku tak mau cari gara-gara di sana. Bisa-bisa aku dilarang datang ke sana lagi.
Pembantunya itu sudah lama kerja di sana. Sudah dianggap keluarga. Kalau dia nanti mengadu, bisa
gawat.”
Rani mengisap rokoknya. “Lalu bagaimana?”
Aku angkat bahu. Wajah Joana terbayang lagi di pelupuk mataku. Wajahnya yang tersenyum penuh
kemenangan.
“Gadis itu sudah jauh mengalahkanku. Sekarang mungkin mereka berpasangan di iklan. Aku sudah
kalah.”
Rani menatapku. “Belum. Masih ada cara. Jangan menyerah.”
“Caranya?”
“Tetap cari cara ke rumah Raka untuk mengambil celana dalamnya. Saat mereka tidak ada di rumah.”
“Maksudmu mencuri?”
“Bukan. Kamu datang saja ke rumahnya kalau Raka sedang pergi. Lalu pura-pura ke kamar mandi.
Kamu, kan, sudah tahu di mana tempat pakaian kotornya.”
“Terlalu berisiko, Rani. Aku tidak mau lagi ke sana.”
“Kalau begitu buat agar gadis itu tidak berpasangan dengan Raka. Ajukan dirimu sebagai model.
Temanmu sudah menawarkan, kan?”
“Sudah terlambat.”
“Coba dulu!”
Aku menggelengkan kepala. “Aku tak mau membuat diriku terlihat idiot. Apalagi di kantor.”
Rani menggelengkan kepalanya dengan jengkel. Lalu setelah mengisap rokoknya, dia berucap dengan
sungguh-sungguh, “Cinta butuh pengorbanan, Kiara.”

V
Kurasa pengkhianatanku pada Sofie sudah berlebihan. Selama aku mengobrol dengan Rani di kafe dia
meneleponku berkali-kali. Ponselku kupasang dalam mode getar sehingga tidak terganggu dengan suara
dering telepon. Ada rasa bersalah menyusupi hatiku.
“Telepon kamu bunyi, ya?” tanya Rani. Rupanya ia mendengar dengung getaran teleponku.
“Nggak.”
“Oh. Kayak denger suara getaran telepon.”
“Punya yang lain, kali,” ujarku sambil menggerakkan daguku ke arah pengunjung yang duduk tak jauh
dari kami.
Rani mengangguk-angguk. Lalu kembali tak peduli dengan suara getar telepon.
“So, kita mau ngapain, nih?” dia bertanya.
“Nggak tahu. Tapi aku belum mau pulang.”
“Berantem sama Bokap?”
“Biasa ...,” aku mengangguk.
“Well,” Rani menyandarkan tubuhnya ke kursi, “aku tahu seperti apa rasanya bertengkar dengan
orangtua. I’ve been there before, you know. Tapi ... beruntunglah kamu masih punya orangtua, nggak
bercerai-berai kayak orangtuaku.”
Aku menghela napas. Aku tidak tahu mana yang lebih beruntung dalam posisiku: punya orangtua yang
bercerai atau tidak.
“Kita ke mal aja, yuk. Jalan-jalan,” ajak Rani tiba-tiba. “Aku, kan, sudah lama nggak lihat mal di
Jakarta.”
“Oke.”

V
Kami berjalan-jalan ke Plaza Senayan. Rani mengajakku singgah ke beberapa toko milik brand
terkemuka. Melihat-lihat, awalnya, lalu membeli. Terkadang aku heran dari mana Rani mendapatkan
semua kemewahan itu. Saat ini jelas-jelas dia tak bekerja. Namun, aku tak berani bertanya. Setelah
hampir 1 jam kami berada di mal, Rani sudah menjinjing lima tas kertas berisi tas, sepatu, dan pakaian.
Dia mirip anak anjing yang girang melihat setiap barang yang dipajang di etalase toko.
“Aku kepengin makan sushi,” ujar Rani setelah lelah mengitari department store. Aku mengiyakan.
Biarpun perutku tidak terlalu lapar, tapi tak masalah makan sushi.
Saat kami keluar dari department store dan berjalan menuju eskalator, kami berpapasan dengan
Sofie. Oh ... oh.
“Hai.” Sofie terlihat kaget melihat kami. Dia melihat ke arahku dan Rani bergantian. Wajahnya yang
semula riang berubah menjadi datar. “Dari tadi aku meneleponmu,” ujarnya.
“Oh,” aku tidak tahu harus berkata apa.
“Hai, Rani!” Sofie menyapa Rani dengan canggung.
“Hai,” balas Rani dengan kaku. Aku merasa berada di antara dua kutub yang saling tolak-menolak.
“Kapan pulang ke Indonesia?” tanya Sofie sambil menghampiri Rani dan mereka saling berjabatan
tangan serta mencium pipi kanan kiri. Terlihat sekali keduanya hanya basa-basi.
“Baru beberapa hari yang lalu.”
“Oke. Kalau begitu aku duluan, ya. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, yuk?” ajak Sofie, entah
sungguhan atau pura-pura.
“Beres. Atur aja,” sahut Rani sambil mengedipkan matanya.
Saat kami menaiki eskalator, Rani mendecakkan lidahnya.
“Coba lihat tadi, ketahuan sekali kalau dia cuma pura-pura. Dari dulu dia, kan, paling anti sama aku.
Mana mungkin dia kepengin kita ngumpul bareng.”
Aku memandang Rani, “Bukannya kamu juga begitu?”
“Apa?”
“Kalian berdua sama saja. Aku sendiri tidak tahu kenapa kalian tak bisa akur.”
“Well, dia yang mulai. Kalau ada aku dia selalu judes. Dia selalu merasa dirinya lebih baik dariku.
Mungkin dia alergi berteman dengan orang seperti aku. Tahu sendiri, kan, Sofie itu sok suci.”
“Kalian bukan anak kecil lagi. Nggak perlu begitu. Kalian berdua, kan, sahabatku.”
“Kamu memang sahabatku, tapi dia bukan,” Rani berkeras. “Tapi karena dia sahabatmu, aku akan
bersikap baik padanya. That’s it.”
Aku angkat bahu.
8
Minggu pagi aku bangun dengan perasaan gamang. Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 8
pagi lewat sepuluh. Tapi Mama belum mengetuk pintu kamarku. Sejak pertengkaran kami, semua anggota
keluarga seperti saling menghindar satu sama lain. Termasuk Mama. Kalau aku di luar, mereka tidak
menunjukkan batang hidungnya. Begitu pula jika mereka di luar, aku menyembunyikan diri. Aku merasa
tidak nyaman lagi berada di rumah. Di sini aku seperti tidak memiliki teman. Seandainya ada Fai. Tapi
kini aku pun bermusuhan dengan Fai. Aku bermusuhan dengan seisi dunia. Aku kembali memejamkan
mataku. Berharap bisa kembali terlelap dan bangun lagi keesokan harinya. Namun, mataku nyalang.
Kepalaku mulai berdenyut karena kebanyakan berbaring. Aku perlu bangun, bergerak, makan, jalan-jalan.
Aku mengumpulkan keberanian untuk keluar dari kamar. Bisa kubayangkan keluargaku pasti sedang
berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Dan aku pun sadar bahwa Mama tidak membangunkanku untuk
sarapan hari ini. Mama pasti tersinggung dengan ucapanku waktu itu. Semua orang pasti tersinggung.
Namun, apa boleh buat, kebenaran itu memang menyakitkan, bukan? Sudah waktunya mereka mendengar
kebenaran. Aku menarik napas panjang. Lalu kubuka pintu kamar. Dari depan pintu kamarku bisa kulihat
meja makan sepi dan kosong, tak ada makanan. Mereka sengaja membuatku kelaparan. Persetan! Di
dapur aku bertemu pembantuku yang sedang mencuci piring bekas makan. Jadi mereka diam-diam sudah
makan duluan?
“Yang lain ke mana, Mbak?” aku bertanya pada pembantuku. Si Mbak yang sedang sibuk mencuci,
menoleh ke arahku dengan terkejut.
“Lho, kirain ikut pergi, Mbak. Bapak, Ibu, dan Mas Alvin tadi pergi jalan-jalan.”
“Ke mana?”
“Ibu bilang mau ke Puncak. Pulangnya agak sore.”
Bagus ... jadi mereka mau menghukumku dengan cara mengucilkanku.
“Ada pesan buat aku, nggak?”
“Nggak, Ibu nggak titip pesan.”
“Masih ada makanan?”
“Tinggal nasi goreng sisa, Mbak.”
“Kalau begitu buatkan bubur ayam, ya?”
Si Mbak kelihatan bingung. “Saya, kan, nggak bisa bikin bubur ayam.”
“Kalau begitu beli saja.”
Si Mbak mengangguk sambil terus menatapku dengan bingung.

V
Setelah menikmati semangkuk bubur ayam, aku berleha-leha di depan televisi, menikmati siaran TV kabel.
Bebas. Jarang sekali ruangan ini sepi, biasanya ada Alvin yang memonopoli. Persetan Alvin! Kuingat-
ingat aku tak pernah punya hubungan akrab dengannya. Yah, keluargaku memang payah.
Waktu aku kecil, aku memang paling dekat dengan Fai. Umurku 11 tahun saat Alvin lahir. Aku sempat
merasa malu sewaktu ibuku mengandung lagi. “Ih, Nyokap lo kebobolan, ya?” Di usia 11 tahun aku sudah
tahu apa yang dimaksud dengan “kebobolan”. Membayangkan Mama dan Papa “melakukan” sesuatu di
usia yang tidak muda lagi, rasanya menjijikkan. Aku marah. Entah pada siapa, tapi aku merasa dunia tidak
adil padaku. Memiliki adik bukanlah keinginanku. Aku marah pada orangtuaku yang tak memedulikan
perasaan anak-anaknya untuk “menciptakan” anggota baru lagi yang merenggut semua kenikmatan yang
selama ini telah aku nikmati bersama Fai.
Aku dan Fai sama-sama tidak menyukai kehadiran bayi baru ini. Apalagi sebagai anak kecil, Alvin
bukanlah termasuk anak yang manis dan penurut. Tangisannya selalu memekakkan telinga. Hampir setiap
saat dia merengek, melempar barang jika keinginannya tidak dituruti, menyobek-nyobek buku, memukul,
menendang. Pokoknya ada saja yang dilakukannya untuk menarik perhatian. Kasih sayang Mama dan Papa
total tercurah padanya. Papa yang hampir tak pernah bicara pada aku dan Fai, mendadak sering berbicara
sendiri pada Alvin yang belum bisa menjawab. Kami cemburu. Terutama aku. Aku memang bukan kakak
yang iseng. Namun, aku selalu menghindari kebersamaan bersama Alvin. Kalau ada dia, lebih baik aku
menghilang. Kalau kami sekeluarga pergi berlibur, aku memilih untuk tinggal di rumah bersama para
pembantu. Fai masih mau mengalah. Tapi kalau aku tidak.
Sikapku yang anti-Alvin lama-lama mengundang kecemasan orangtuaku. Suatu hari aku pernah diajak
duduk bersama. Mama mengatakan padaku bahwa aku tidak boleh bersikap begini terus terhadap Alvin
karena dia adalah adikku. Seharusnya sebagai kakak aku menjaganya. Perkataan Mama waktu itu malah
membuatku geram. Aku ingat saat itu aku berteriak, “Aku nggak mau punya adik!” Mama kelihatan
frustrasi, sebaliknya, Papa malah terlihat marah. Namun, dia tak berkata apa-apa. Tapi aku tahu.
Selanjutnya sikap Papa terhadapku tak pernah ramah. Dia tak pernah memuji setiap prestasiku, tapi setiap
aku melakukan sesuatu yang mengecewakan, dia kerap berkomentar, “Anak kayak gini, mau bagaimana
lagi?!” Sambil berkata begitu Papa biasanya menatapku dengan sinis. Tentu saja sikapnya membuatku
semakin sakit hati.
Ketika Alvin berulang tahun ke-5, keluargaku mengadakan pesta ulang tahun yang meriah. Semua orang
sibuk terlibat di dalamnya. Kecuali aku. Saat kutanya Fai kenapa dia ikut repot, dia cuma menjawab,
“Nggak enak dilihat orang.” Aku mengernyitkan alis, merasa heran dengan jawabannya. Namun, kelak aku
akan mengerti. Saat pesta berlangsung, aku memilih pergi bersama teman-teman. Lalu ketika aku pulang
dan pesta sudah selesai, aku melihat keluargaku berkemas-kemas untuk bepergian.
“Eh, mau ke mana?” tanyaku pada Fai.
“Ke Bali.”
“Ikut!” Aku langsung mengemasi barangku. Fai sempat ingin mengucapkan sesuatu padaku, tapi urung.
Ketika aku hendak mengangkat travel bag-ku ke depan, Papa tiba-tiba masuk ke kamar dan berdiri di
pintu sehingga menghalangi jalanku.
“Mau ke mana kamu?” tanya Papa dengan suara datarnya yang khas.
“Ke ... Bali,” jawabku.
“Siapa yang mau ke Bali?”
“Kata Fai tadi ....”
“Kami yang ke Bali, bukan kamu.”
“Maksudnya?” Aku berdiri tegak. Mukaku mulai terasa panas.
“Jalan-jalan ke Bali ini untuk merayakan ulang tahun Alvin. Kamu, kan, tidak mau ikut repot. Lantas
buat apa sekarang ikut? Kamu juga tidak sayang sama Alvin, kan? Kecuali kalau kamu mau minta maaf
sama Alvin karena selama ini tidak sayang sama dia.”
“Kalau begitu aku tidak jadi ikut.”
Papa menghela napas. “Kalau begitu Papa juga tidak sayang lagi sama kamu.”
“Memang Papa pernah sayang?!” tanyaku sinis. Papa cuma menatapku sambil membisu, lalu
membalikkan badan.
Fai membujukku untuk meminta maaf agar aku bisa ikut, tapi tekadku sudah bulat. Untuk apa minta
maaf? Bukankah selama ini Alvin yang selalu menggangguku, menyobek komikku, mencoret-coret bukuku,
mengotori sepraiku, menggunting tasku, dan banyak lagi. Tapi dia tak pernah ditegur sedikit pun.
“Namanya juga anak kecil, belum tahu dia,” begitu Mama selalu berkata. Aku cuma bisa mendongkol,
padahal rasanya ingin sekali aku memukul anak itu.
Sepulang mereka dari Bali, tiba-tiba Alvin mendatangi pintu kamarku sambil menggoyang-goyangkan
sebuah mainan.
“Nih, lihat, nih, Alvin punya kincir angin.”
Aku melotot ke arahnya. Tapi dia tak peduli. Dia malah berjingkrak-jingkrak sambil memamerkan
barang-barang yang dibelinya di Bali.
“Kakak nggak punya, kakak nggak punya.” Aku menunggu orangtuaku bereaksi menegurnya atau
apalah. Tapi mereka diam saja. Seolah-olah merestui semua tindakannya. Kemarahanku yang sudah
kupendam selama akhir pekan, akhirnya meledak juga. Kuhampiri dia, kurebut mainannya sehingga dia
menjerit. Lalu kubanting mainannya hingga rusak berantakan di lantai. Alvin berteriak memanggil Mama.
Mama berteriak menegurku. Semua orang memandangku. Lalu aku bisa mendengar diriku sendiri berteriak
begitu lantangnya hingga kerongkonganku terasa perih sesudahnya.
“Mulai sekarang jangan dekat-dekat aku lagi, tahu!!!” Aku melihat mata Papa dan Mama memandangku
dengan ngeri. Tubuh Alvin mengerut ketakutan, lalu mulai menangis tersedu-sedu. Ada selintas rasa puas
menyusupi diriku. Fai dan para pembantu terperangah. Lalu aku berbalik dan berjalan kembali ke kamar.
Sesampainya di kamar kubanting pintu keras-keras sehingga menimbulkan suara menggelegar. Setelah itu,
hening.
Semenjak kejadian itu, Alvin selalu berusaha menghindariku. Setelah dia beranjak dewasa dia
berubah menjadi penyendiri dan pendiam. Sikapnya mulai terlihat mirip Papa. Dia memang tak pernah
menggangguku lagi, tapi dia juga tak peduli. Kami berbicara hanya jika butuh dan terpaksa. Aku juga tak
peduli padanya. Bahkan saat dia dirawat di rumah sakit karena tifus selama seminggu, aku cuma
menengoknya sekali. Itu pun karena Mama memintaku mengantarkan baju ganti. Sisanya, kami hanya
seperti orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama. Tak ada kehangatan (dan seingatku
memang tak pernah ada).
Terkadang aku iri melihat teman-temanku yang bisa akrab dengan adiknya. Raka juga akrab dan sayang
dengan adik-adiknya. Begitu pula sebaliknya. Keluarga mereka begitu hangat, biarpun bukan keluarga
kaya raya. Kurasa itu juga yang membuatku berkeinginan menjadi istrinya dan menjadi bagian dari
keluarganya. Sebelum Fai menikah, perasaan itu tidak mengganggu. Tapi setelah dia hengkang dari rumah
ini, keinginan menjadi bagian keluarga Raka semakin menjadi-jadi. Aku merasa kesepian. Rumahku
adalah tempat tinggal. Bukan istana. Tidak berlaku istilah home sweet home.
Jika sekarang mereka kembali menjauhiku, aku tidak heran. Ingatanku kembali melayang pada Raka.
Di saat-saat seperti ini aku ingin berada di pelukannya. Menciumi aroma tubuhnya. Aku ingat Rani pernah
mengutarakan ide untuk tidur lagi dengannya. Tapi saat ini ide itu benar-benar gila.
Karena tak tahan lagi, aku pun menelepon Raka. Kubayangkan lagu “Cucakrawa” pasti sedang
berbunyi.
“Ya?” terdengar suara perempuan. Joana? Kepalaku seperti disiram air es, dan telepon buru-buru
kumatikan. Berengsek! Aku mengumpat dalam hati tiada habisnya.

9
Hari ini aku masuk kantor dengan perasaan berbeda. Di kantorku datang terlambat bukan masalah. Aku
sering terlambat. Namun, hari ini lain dari biasanya. Entah hanya perasaanku saja, atau apa. Semua orang
memandangku dengan tatapan yang lain dari biasanya. Siti diam-diam mencuri pandang. Namun, begitu
aku membalas tatapannya, dia pura-pura melihat ke arah lain. Mendadak aku disergap rasa tak enak. Apa
ini?
Di mejaku kulihat ada catatan dari Ruri. “Ditunggu Abdul sekarang!!” Pakai dua tanda seru.
Maksudnya? Apakah aku akan dipecat? Tanpa sempat duduk lagi aku bergegas ke ruangan Abdul. Di sana
kulihat dia sedang menatap layar monitor komputernya.
“Kamu cari aku?” tanyaku tanpa basa-basi? Abdul mendongak. Air mukanya berubah.
“Duduk,” balasnya tanpa basa-basi juga. Aku duduk dengan jantung berdegup kencang. Dia
memandangku sesaat, kemudian melihat ke lantai. Hening. “Kamu tahu sekarang pukul berapa?”
Aku menghela napas. Sejak kapan dia mempertanyakan jam kehadiranku? Bukankah dia selalu
mengagung-agungkan kebebasan bekerja. “Jam kerja bukan masalah. Yang penting hasil akhir.” Begitu
katanya setiap rapat. Tapi sekarang?
“Pukul 11. Biasanya nggak ada masalah, kan?” aku berkelit sebelum diserang.
“Biasanya memang begitu. Tapi hari ini luar biasa. Lupa, hari ini harus presentasi pukul setengah
sembilan?”
Rasanya ada bola besi menghantam wajahku. Aku terenyak. Astaga!! Mulutku terbuka tapi tak ada kata
yang keluar.
“Aku SMS kamu berkali-kali sejak Sabtu. Ruri juga begitu. Kamu tak terima? Handphone-mu
hilang?”
“Aku tak mengecek handphone,” sahutku lirih.
“Kami menunggumu di ruang rapat hampir 1 jam. Kamu tahu klien yang ini sangat tepat waktu. Draf
tak ada. Clueless. Terus terang tadi adalah keadaan paling kritis. O’Malley tegang, klien mutung. Kamu
tahu kita berisiko kehilangan klien potensial?”
Aku menggigit bibir.
“Mati-matian aku membelamu, tapi O’Malley tak mau dengar. Kamu pasti tahu aku mau pindah.
Keadaan seperti ini tak berpengaruh bagiku. Tapi ini sangat berpengaruh untukmu, karena aku sudah
mencalonkanmu sebagai penggantiku.”
Aku tambah terenyak. Abdul mencalonkanku sebagai penggantinya? Si Tuan Sok Tahu yang bossy dan
tak sabaran ini? Rupanya aku salah menilai dirinya.
“Kamu pasti tak percaya, kan?”
Aku mengangguk, “Kupikir selama ini ....”
“Memang karakterku buruk,” selanya. “Aku bukan tipe atasan ideal seperti yang kalian baca di
majalah-majalah wanita. Tapi aku tahu potensi anak buahku. Dan aku senang menggali kemampuan
mereka, dengan cara terburuk sekali pun. Itulah aku. Aku tahu kamu memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Sayangnya kamu tidak fokus. Terutama seminggu belakangan ini. Aku tahu kamu punya masalah dengan
model iklan kita, tapi itu bukan alasan untuk kinerja yang buruk.”
Aku terkejut. Jadi Abdul pun sudah tahu soal Raka dan Joana. Apalagi yang diketahui orang di kantor
ini?
“Maafkan aku,” hanya itu yang bisa kukatakan.
“Jangan. Bukan aku yang dipertaruhkan di sini, tapi dirimu sendiri. Aku memang kecewa padamu.
Susah payah aku meyakinkan O’Malley agar mau menunjukmu sebagai penggantiku. Sebenarnya presentasi
ini kesempatanmu untuk bersinar. Tapi kamu sendiri yang menggagalkannya. Jadi, apa boleh buat.
Kekecewaanku tak ada artinya dibandingkan kekecewaanmu pada dirimu sendiri.”
Ya, benar. Kekecewaannya memang tak ada artinya dibandingkan kekecewaanku. Posisi Abdul
memang selalu kuidamkan. Hanya aku tak mengira akan datang secepat ini, dan gagal pula.
“Apa aku dipecat?” tanyaku lirih.
Abdul memandangku. “Menurutmu bagaimana?”
Aku mengedik.
“Kamu beruntung. O’Malley tak sekejam itu. Kalau aku jadi O’Malley kamu pasti kupecat, karena
sudah melalaikan tugas dan membuat klien penting hilang. Tapi yang jelas, kamu takkan menduduki
kursiku dalam waktu dekat ini. Dan ... bersiaplah menghadapi bos baru.”
Aku menarik napas lega sekaligus khawatir. Siapa bos baru ini?
“Siapa dia?” tanyaku.
“Teman O’Malley tentunya. Linda Emersson. Dia perempuan, masih lajang, umur 40-an, dan tak kenal
ampun. Dan jangan harap dia sebaik aku,” ujar Abdul dengan gaya sok tahunya.
Aku tersenyum kecut.
“Kurasa pemberitahuanku sudah cukup. Sekarang tinggal tunggu bos barumu. Kamu bisa kembali
duduk di kursi lamamu. Entah sampai kapan,” kata Abdul sarkastis.
Aku berdiri dan mengulurkan tanganku. “Kalau begitu selamat bekerja di tempat yang baru. Semoga
sukses.”
“Terima kasih,” Abdul menerima jabatan tanganku.
Ketika hendak keluar pintu aku kembali berpaling padanya, “Abdul, terima kasih sudah mau
memercayaiku,” ujarku tulus.
Abdul mendecakkan lidahnya. “Yah, sekarang sudah tak ada gunanya lagi, kan?”
“Tapi aku tetap berterima kasih. Dan kamu memang bos yang baik.”
Kulihat Abdul agak salah tingkah. Tatapan matanya melunak. “Terima kasih. Tingkatkan kinerjamu
agar bisa duduk di kursi O’Malley,” ujarnya bermaksud bercanda sambil mengedipkan sebelah matanya.
Namun, aku malah semakin nelangsa mendengarnya.

V
Saat makan siang, Mila menghampiri mejaku. Matanya menatapku prihatin.
“Jangan bertele-tele, langsung saja,” ujarku.
“Turut berduka cita,” katanya. “Tak kusangka orang sesinis Abdul mau mengangkatmu. Sayang, itu tak
terjadi.”
“Salahku.”
“Lalu apa katanya?”
“Apalagi yang harus diketahui kantor ini?” tanyaku.
“Asal tahu saja, dia membelamu mati-matian di depan O’Malley.”
“Dia bilang juga begitu.”
“Ayolah. Kamu tidak dipecat, kan?”
“Kamu mau aku dipecat?”
“Ya, jelas tidak, dong. Siapa lagi temanku di sini selain kamu.”
“Gombal. Sudahlah.”
“Apa ini gara-gara si Raka?”
“Entahlah.”
“Sudah berapa lama, sih, kalian pacaran?”
“Entahlah.”
“Ada gosip katanya .... Cuma gosip, nih ... kamu yang mengejar-ngejar dia.”
Mataku langsung melotot. “Joana yang bilang?”
“Yaaa, ... tapi bukan sama aku, sama Siti.”
Berengsek! Kenapa orang-orang itu mau tahu saja. Namun, percuma membela diri.
“Raka masa lalu, Mila. Sudahlah, bicarakan yang lain saja.”
“Baiklah. Mau makan siang?”
“Aku mau di sini saja.”
“Ngapain? Merenungi nasib? Ayo ikut aku. Life must go on!”
“Mila ....”
“Eh! Jangan banyak alasan. Ayo!”

V
Jika ada peribahasa “Sudah jatuh tertimpa tangga” maka itulah yang terjadi padaku. Saat sedang makan
siang di sebuah restoran dekat kantor, Raka dan Joana tiba-tiba muncul. Ekspresi wajahku langsung
berubah. Mereka berdua juga berubah. Tapi sudah terlambat untuk keluar. Mila rupanya memperhatikan
hal itu.
“Mereka sepertinya ingin menghindarimu,” ujarnya.
Aku diam saja. Mila langsung merasa bersalah.
“Maaf, seandainya tadi aku tidak mengajakmu makan di sini.”
“Sudahlah. Memang sudah nasib.” Aku bisa merasakan tatapan Joana yang tajam ke arahku. Sedangkan
Raka tampak salah tingkah. Ayam goreng mentega di hadapanku yang baru datang terlihat jadi tak menarik.
“Jangan bersikap seperti orang kalah!” tegur Mila.
“Kamu mau aku bersikap bagaimana? Mendamprat mereka? Lagi pula apa yang mau kudamprat?”
“Bukan. Bersikaplah wajar. Biarkan saja mereka gelisah, tapi kamu jangan sampai terpengaruh. Pura-
puralah makan dengan lahap. Ceria.”
“Pura-pura makan? Aku belum pernah mencobanya.” Aku memungut sepotong ayam dengan sumpit,
lalu memasukkannya ke mulut. Rasanya memang enak. Tapi saat ini rasa jadi tak penting lagi.
“Kamu mau tahu gosip terbaru tentang Abdul?” tanya Mila.
“Apa?” tanyaku tak peduli.
“Dia sebenarnya naksir berat sama kamu?”
“Apa?!” tanpa sadar aku tertawa. “Abdul naksir aku? Are you crazy? Bukannya dia sudah beristri?”
“Entahlah. Di HRD statusnya tak jelas. Pernah menikah. Tapi sepertinya cerai.”
“Kalian ini. Apalagi yang kalian ketahui?”
“Banyak. Dia juga pernah kepergok satpam lagi bercinta dengan seorang pegawai cleaning service di
gedung kita.”
“Apa???” kali ini tawaku meledak membayangkan Abdul bersama seorang gadis. Wajahnya pasti
pucat pasi. Kulihat Raka dan Joana melirik ke arahku.
“Nah, gitu, dong! Biar mereka tahu bahwa kamu baik-baik saja.”
“Apa? Maksudmu ....”
Mila mengangkat alisnya.
“Jadi kamu cuma mengarang cerita agar aku tertawa?”
“Berhasil, kan?”
“Sial. Kupikir benar dia gituan dengan petugas cleaning service.”
“Bagian itu memang bohong, tapi yang pertama benar.”
“Maksudnya?”
“Bahwa dia naksir kamu. Kalau tidak ngapain dia ngotot sama O’Malley. Eh, mau tahu nasihatku?
Sebaiknya kamu pacari saja dia. Lebih menjanjikan. Daripada si Raka. Sekarang saja jadi model,
tampang ganteng, tapi dia tak punya posisi, masa depan belum jelas, cuma pegawai biasa. Apa, sih, yang
kamu lihat dari dia?”
Aku diam saja.
“Dan lihat pacarnya itu. Kelihatannya dia bangga sekali berada di samping pria itu. Cewek umur 20-
an memang begitu, kan? Mereka pikir wajah ganteng sudah cukup. Pacar itu seperti perhiasan yang bisa
dipamerkan. Mereka belum melihat kenyataan. Lihat saja nanti sampai mata mereka terbuka. Menurutku
pria seperti Abdul lebih baik menjadi suami dalam segala hal.”
“Raka itu baik hati,” aku menyanggah.
“Abdul juga baik hati,” Mila tak mau kalah.
“O,ya? Lantas kenapa kalian sering menjelek-jelekkannya?”
“Ah, namanya juga di kantor. Sikap dia di kantor memang terkadang menyebalkan, tapi sesungguhnya
dia baik kok. Dia tipe pria yang lain di rumah, lain di kantor. Pria seperti itu paling pas jadi suami.”
“Kayaknya kamu kenal betul siapa Abdul. Kenapa bukan kamu saja yang pacaran sama dia?” tukasku.
“Kan, dia sukanya sama kamu,” bantah Mila. Aku mencibir. Namun, kuakui pembicaraan kami
lumayan menghibur hatiku. Aku sampai lupa sesaat dengan keberadaan Raka dan Joana. Aku baru sadar
saat mereka pergi meninggalkan restoran. Mereka hanya tersenyum pada Mila dan mengabaikanku. Aku
tak peduli dengan sikap Joana, tapi sikap Rakalah yang membuat hatiku perih. Setelah sekian lama kami
bersama, tega sekali dia bersikap demikian padaku.
“Aku jadi menyesal memakai mereka,” ujar Mila kemudian.
Aku hanya mengedik sambil menatap mereka yang semakin menjauh.

V
Sekembalinya ke kantor aku berpapasan dengan Abdul di selasar.
“Hai,” kataku dengan canggung, teringat kembali ucapan Mila saat makan siang.
“Hai?” Abdul menatapku dengan waswas. “Kamu baik-baik saja?” dia bertanya.
“Ya.” Aku buru-buru berlalu.
“Kiara,” Abdul memanggilku. Aku terpaksa menghentikan langkahku.
“Ya?”
“Setelah aku pindah nanti, kita akan tetap berhubungan, kan?” tanyanya dengan tampang penuh harap.
Berhubungan?
“Ya ...,” jawabku gugup. Entah apa yang membuatku gugup.
“Kamu sakit?” wajahnya tiba-tiba berubah cemas.
“Tidak. Kenapa?”
“Kamu kelihatan pucat. Kamu boleh pulang kalau mau. Everything’s been taking care of. Kamu tenang
saja.”
“Aku ...,” tiba-tiba aku bingung harus bilang apa.
“Mau kuantar?” dia menawarkan diri. Kata-kata Mila kembali terngiang di telingaku.
“Tak usah.”
“Kamu bawa mobil?”
“Tidak.”
“Kalau begitu biar kuantar.”
“Tak usah.”
“Kapan lagi? Mumpung aku masih di sini.”
Aku tak kuasa menolak.

V
Di dalam mobil aku merasa canggung. Baru kali ini Abdul mengantarku. Selama beberapa tahun dia
menjadi bosku kami tak pernah terlibat pembicaraan selain di kantor. Sesekali kulirik Abdul yang tampak
tenang di balik kemudinya. Jika sedang begini dia kelihatan lumayan juga. Wajahnya menyisakan garis-
garis Timur Tengah yang samar. Tampang sinisnya tak terlihat. Mungkin seandainya dia tak pernah
bersikap sinis dan sarkastis aku bisa saja naksir dia. Aku tersenyum geli dengan pemikiran itu.
“Kenapa?” tanya Abdul. Rupanya dia memperhatikan.
“Nggak apa-apa, cuma teringat sesuatu yang lucu.”
“Aku senang lihat kamu tersenyum. Setidaknya untuk hari ini. Aku tahu yang kamu alami tidak ringan.”
Aku diam saja. Menerka-nerka ke mana arah pembicaraannya.
“Memilah pekerjaan dengan kehidupan pribadi memang tak mudah. Tapi percayalah, itu yang terbaik.
Apalagi menurutku, ini menurutku lho, cowok itu tak cukup baik buatmu.”
“Ah, itu lagi,” keluhku. “Setiap orang di kantor tahu masalahku, ya?”
“Aku tak berniat usil, tapi semua orang membicarakannya. Dan, seandainya kamu sampai dipecat, apa
sepadan? Jangan mengorbankan karier karena cinta.”
Nah, kalau sudah begini keluar lagi Abdul yang asli.
“Ngomong memang gampang.”
“Aku bicara atas pengalaman pribadi, Kiara.”
“Oh.”
Kami terdiam sesaat.
“Apa kamu sudah menikah?” aku memberanikan diri bertanya.
“Sudah,” jawab Abdul. “Tapi kami berpisah.”
“Cerai maksudnya?”
“Tidak. Cuma beda lokasi. Istriku, kan, orang Singapura. Dia tinggal di sana bersama anakku.”
“Hm ...,” aku berdehem tanda tak mengerti. Rupanya Abdul membaca ketidakmengertianku.
“Kami dulu menikah muda. Aku masih 22, istriku 20. Cinta buta, biasalah. Awalnya memang
menyenangkan. Tapi setelah anakku lahir, masalah mulai timbul. Soal warga negara, soal tempat tinggal,
soal pekerjaan. Aku memang sekolah di Singapura, tapi aku ingin bekerja di Indonesia. Sedangkan istriku
ingin aku di sana terus, jadi warga negara sana kalau perlu. Aku ingin anakku jadi Warga Negara
Indonesia, tapi dia tidak. Lalu, lima tahun yang lalu aku kembali ke Jakarta, bekerja di sini. Sebulan
sekali aku mengunjungi keluargaku, tapi ternyata biayanya sangat mahal. Aku nyaris tak punya tabungan.
Maka istri dan anakku sempat kubawa ke sini. Ternyata istriku tidak betah. Akhirnya mereka kembali ke
sana. Kami bertengkar. Lalu kami memutuskan berpisah sementara. Kamu tahu kenapa aku pindah?”
Aku menggeleng.
“Kuputuskan untuk kembali ke Singapura. Ternyata ada perusahaan yang menerimaku di sana. Aku dan
istriku sepakat untuk kembali sebagai keluarga. Demi anak kami. Demi masa depan kami.”
Aku tersentuh dengan cerita Abdul. Mila benar, dia memang orang baik.
“Kamu sama sekali tidak jatuh cinta pada wanita lain selama di sini?” tanyaku penasaran.
“Tidak,” Abdul menggeleng kuat-kuat. “Aku cuma jatuh cinta pada istriku. Seandainya kamu tahu
betapa sintingnya kami dulu. Seakan-akan aku tak bisa hidup tanpanya.”
“Aku tahu,” desisku dengan sedih.
Abdul menoleh ke arahku. Dia tersenyum tipis. “Jika dia memang jodohmu, apa pun yang terjadi
kalian pasti akan bersama. Tapi jika bukan, sekuat apa pun kalian berusaha yang ada hanya penderitaan
dan perpisahan.”
Aku memalingkan wajah, menahan air mataku agar tak tumpah di hadapan Abdul.
Ketika Abdul hendak pergi, dia menyodorkan sebuah kartu. “Jika suatu saat kamu ingin pindah ke
Singapura, hubungi aku.”
“Sungguh?” kali ini aku tak bisa menahan mataku untuk tak berkaca-kaca. Dia mengangguk.
“Jangan patah semangat karena patah hati, oke?” dia menatapku lembut. Aku mengangguk.
Saat mobilnya meninggalkan rumahku, aku terisak.

10
Abdul akhirnya benar-benar pergi. Sehari setelah kepergiannya dia mengirimkan email kepadaku yang
isinya pemberitahuan bahwa dia telah berkumpul kembali dengan istri dan anaknya di Singapura. Dia juga
menanyakan keadaanku. Aku menjawab bahwa aku baik-baik saja, dan sekali lagi berterima kasih atas
semua yang telah dia lakukan untukku. Aku juga memberi tahu bahwa bos yang baru tak seburuk yang
dikira orang. Kami memang masih menyesuaikan diri. Namun, kurasa kami bisa bekerja sama dengan
baik.
Tak terasa sudah 3 minggu Abdul pergi. Linda, bosku yang baru memang jarang senyum tapi dalam
soal pekerjaan dia profesional. Kami memang bisa saling mengerti dalam hal pekerjaan. Aku juga
berusaha menjaga kinerjaku agar tetap baik. Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Tak terasa
pula sudah hampir 1 bulan aku tak berhubungan dengan Raka. Sama sekali. Sesekali memang dia datang
ke kantorku untuk urusan kontrak iklan. Tapi aku tak pernah menemuinya. Semua itu kuketahui dari Mila.
Aku juga mulai menjadi robot pekerja. Tahu-tahu berat badanku turun 3 kilo. Aku datang ke kantor
pagi-pagi sekali. Boleh kukatakan, aku adalah orang pertama yang sampai di kantor. Terkadang aku duduk
di lobi gedung, menunggu sampai kantorku dibuka oleh satpam. Keadaan rumah yang tak enak membuatku
enggan berlama-lama di sana. Rumahku sudah seperti tempat kos. Aku dan Mama jarang bicara. Apalagi
dengan Alvin dan Papa. Berpapasan pun sebisa mungkin dihindari. Pulang ke rumah pun aku selalu lewat
pukul 11 malam. Seingatku, aku hanya makan saat makan siang di kantor. Malam hari aku makan seadanya.
Aku bahkan tak peduli dengan apa yang masuk ke mulutku. Seandainya pun itu makanan basi aku takkan
merasakan bedanya. Aku seperti mati rasa. Yaaa, ... persis robot lah.
Lalu aku mulai merasakan sakit perut, buang-buang air. Setiap bangun pagi aku merasa pusing,
badanku mudah penat, mudah lelah, susah tidur. Paling cepat aku tidur pukul 1 pagi, dan ini berlangsung
setiap hari. Aku juga jadi sering masuk angin dan tidak enak badan. Orang-orang di kantor mengira aku
terlalu bekerja keras. Bahkan aku pernah memergoki Linda sedang mengamatiku dengan cemas. Tentu saja
sebagai bos baru dia tak mau dikira menjadi penyebab aku kelebihan jam kerja.
Di kantorku tak ada istilah lembur, apalagi yang namanya uang lembur. Pekerjaan sebisa mungkin
diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Selain efektif memangkas beban produksi, itu juga
memacu karyawan bekerja secara efisien tanpa kebanyakan haha-hihi yang tak perlu. Bahkan kalau bisa
pulang duluan sebelum jam pulang kantor, silakan. Jadi kalau tak bisa selesai cepat, silakan berlama-lama
di kantor, tapi tanpa uang lembur tentu saja. Nah, keberadaanku yang sampai larut malam menimbulkan
tanda tanya. Memang ada proyek apa, sih, sampai aku yang biasanya pulang sebelum waktunya, atau on
time, masih berada di kantor sampai pukul 11? Namun, aku cuma menjawab seadanya, “Biasalah ....”
Yang jelas aku harus menyogok Yoyok dan para office boy yang lain dengan uang makan. Mereka terpaksa
bergiliran tidur di kantor gara-gara aku. Untungnya mereka tak keberatan.
Rani-lah yang pertama kali mengetahui perbedaan pada diriku. Kami masih sering bertemu untuk
mengobrol di kafe sebelum aku pulang ke rumah. Dan suatu kali dia mengajakku bertemu di kafe
favoritnya sepulangku dari kantor. Hari itu aku menyetir sendiri, dan aku merasa kurang enak badan.
Namun, aku juga tahu jika terlalu sore pulang ke rumah, aku akan bertemu orang-orang yang saat ingin
kuhindari. Lagi pula, siapa tahu cerita-cerita Rani bisa menghiburku. Maka kuputuskan untuk bertemu
malam itu.
“Wajahmu kuyu. Kamu juga kelihatan lebih kurus. Lagi diet?” dia bertanya saat kami bertemu.
Aku menggeleng. Rani mengamatiku sesaat sambil mengembuskan rokoknya. Kadang-kadang Rani
memang perhatian padaku, atau mungkin pada semua orang, tapi dia tetap lebih menjadikan dirinya
sebagai pusat perhatian. Hanya belakangan ini saja dia sedikit low profile, entah karena masalahku, atau
memang sedang tak ada yang berlangsung dalam kehidupannya.
“Oya, aku sedang berencana bikin bisnis online,” ujarnya sejurus kemudian. Aku cuma mengedik.
“Rencananya yang dijual baju-baju rancanganku. Kamu mau bantu aku?”
Aku mengernyit, sumpah saat itu aku sedang malas membicarakan hal-hal semacam itu. “Bantu apa?
Jahit baju?”
“Ya, enggaklah. Penjahit aku sudah punya. Kamu tinggal bantu promosi.”
“Gimana caranya?”
“Kamu punya blog?”
“Nggak punya. Lagi pula, nggak sempet juga tulis-tulis di blog.”
“Ah, payah. Yaaa, promosiin ke teman-teman kantormu aja. Atau, buatin iklan online yang link-nya
langsung ke situs butikku.”
“Itu kerjaan anak IT. Aku nggak ngerti.”
“Tolong cariin anak IT-nya kalau begitu,” desak Rani.
“Iya, deh, nanti, kalau aku lagi mood,” jawabku sekenanya.
Rani cemberut. “Ih, kamu ini kenapa, sih? Kalau bete gara-gara Raka jangan dilampiaskan ke aku,
dong!” dia protes.
“Nggak tahu, deh. Omong-omong, sudah lama juga aku tidak melihatnya. Aku juga tidak berniat
meneleponnya. Biasanya setiap hari aku tergoda untuk meneleponnya.”
“Kamu sudah menyerah?” tanya Rani.
Aku mengangguk. “Sepertinya begitu. Aku tak punya tenaga lagi.”
“Tapi kalau kamu mencintainya ....”
“Terus apa?” aku memotong.
“Kamu harus berjuang mendapatkannya.”
“Tapi sampai kapan? Sampai aku mati? Masa seumur hidup aku mengejar-ngejar dia terus. Bisa gila
aku nanti.”
Rani diam. Sepertinya kata-kataku menohok perasaannya.
“Aku cuma ingin kamu bahagia dengan orang yang kamu cintai.”
Aku menggeleng. “Aku bahkan tak tahu apakah aku memang bahagia jika bersamanya. Segalanya telah
berubah.”
“Pasti gara-gara cewek itu. Siapa namanya?”
“Joana.”
“Ya, bisa jadi cewek itu juga pakai guna-guna.”
“Entahlah.”
“Kita cari tahu saja.”
“Aku tak mau urusan sama yang gituan,” kataku.
“Biar kamu tahu.”
“Lantas, kalau sudah tahu aku harus bagaimana? Seandainya memang diguna-guna, apa aku harus
memberi tahu Raka? Dia mana percaya. Sudahlah, Rani. Sekarang aku mau pulang,” kataku. Aku merasa
letih. Rani menatapku dengan prihatin.
“Kamu bisa pulang sendiri?”
“Yaa, ....”
Rani memutuskan untuk tetap berada di kafe, dan aku bisa merasakan mata Rani menatap punggungku
saat aku pergi.

V
Sesampainya di rumah jam menunjukkan hampir pukul 11 malam. Kupikir semua sudah tidur, tapi ternyata
aku melihat Mama masih berada di ruang tengah menonton televisi. Sinetron.
“Hai, Ma,” kataku sambil lalu. Tapi Mama diam saja. Ah, biar saja. Kalau perlu mulai besok aku
mencari tempat kos. Tinggal di rumah ini sudah seperti di neraka.
Aku memutuskan untuk berendam air hangat di bath tub. Sepertinya menyenangkan berendam dengan
garam mandi lavender. Siapa tahu bisa menenangkan syarafku. Bisa jadi aku terlalu terpengaruh film. Tapi
masa bodohlah. Aku ingin santai.
Saat membuka baju di kamar, aku merasakan tanganku gemetaran. Berengsek, jangan-jangan ini
karena pengaruh kopi. Lalu sesaat kemudian mataku berkunang-kunang. Aku duduk sebentar di tempat
tidur. Beberapa menit kemudian rasa gemetar itu hilang, dan penglihatanku kembali jelas. Tapi saat aku
berdiri, kakiku terasa lemas. Perlahan-lahan kubuka keran untuk mengisi bath tub. Kutuang garam mandi,
dan tak lama kemudian aroma lavender tercium menggoda. Sambil menunggu air penuh, aku duduk di
toilet. Tubuhku terasa lemas. Kenapa, ya? Air di bak sudah penuh. Kumatikan keran. Ketika hendak
mengangkat kaki untuk masuk ke dalam bak, tiba-tiba lututku gemetar hebat, sampai-sampai aku berlutut di
lantai. Oh, Tuhan, apa ini? Aku memejamkan mataku, dan setelah itu gelap.

11
Aku terbaring di tempat tidur rumah sakit. Tubuhku terasa masih lemas. Aku mencoba menggerakkan
tangan, tapi rasanya masih berat. Begitu juga kakiku.
“Kiara,” Mama mendongak dari tabloidnya setelah melihat aku bergerak, lalu berdiri menghampiriku.
Dia membantuku memperbaiki posisi tidurku. “Mau ditinggikan?” Aku mengangguk. Mama menekan
sebuah tombol di sisi tempat tidur, dan kasur di bagian punggungku perlahan-lahan menegak, sehingga aku
kemudian berada dalam posisi duduk.
“Sudah berapa lama Mama di sini?”
“Dari pukul 7-an.”
Aku melihat jam dinding. Hampir pukul 10 pagi. Aku tertidur lama sekali.
“Fai tadi sempat ke sini. Mengantarkan ini,” kata Mama sambil mengambil kantong plastik dari bawah
meja. “Ini tahu sumedang kesukaanmu.” Aku menerima kantong plastik itu dengan sungkan. Kupegang tahu
di dalamnya. Sudah dingin. Mungkin sedingin perasaanku saat ini.
“Ada angin apa dia ke sini?” pertanyaan itu sebenarnya kutanyakan pada diriku sendiri dengan
setengah bergumam tapi Mama mendengarnya.
“Astaga, Kiara, dia, kan, kakakmu. Mau sampai kapan kamu bersikap begini?”
“Begini bagaimana?”
“Bersikap memusuhi semua orang. Kamu tahu kami semua cemas saat menemukanmu pingsan di kamar
mandi?!”
Tentu saja, telanjang lagi. Memalukan. Aku diam saja. Seandainya Mama tak menemukanku.
Seandainya aku dibiarkan siuman dengan sendirinya. Yah ... tiada yang tahu aku bakal siuman lagi atau
tidak. Mungkin seandainya tak siuman lagi, itu lebih baik.
“Oya?” suaraku terdengar sinis. Mama menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Jangan egois, Ara. Papamu panik sampai ngebut ke rumah sakit. Alvin menungguimu semalaman. Apa
kamu pikir kami tak mencemaskanmu?”
Aku diam sejenak. Penjelasan Mama sama sekali tak melunakkan hatiku. “Jadi begitu?”
“Ya?”
“Aku harus sakit dulu sampai kalian semua memperhatikan aku?”
“Kiara ....”
“Kalau begitu dari dulu saja aku sakit, yang parah sekalian, kalau perlu mati sekalian, jika dengan
begitu membuat kalian memperhatikan aku!”
Aku membalikkan badan, berpaling dari Mama. Aku tahu apa yang akan terjadi, dia pasti akan
menangis tanpa suara. Mungkin dari balik tabloidnya. Diam-diam kubuang kantong plastik berisi tahu itu
ke kolong tempat tidur. Aku benar-benar marah. Marah pada semua orang. Lalu kupejamkan mataku,
berharap untuk tidur lagi. Tapi tak bisa. Tak lama kemudian kudengar suara langkah kaki Mama
meninggalkan kamar. Sebenarnya aku menyesal telah berkata seperti itu padanya. Tapi memang itulah yang
ingin kukatakan.
Sampai sore Mama tidak datang lagi. Yang datang hanya teman-teman kantorku, termasuk Mila dan
Linda. Wajah mereka semua menunjukkan keprihatinan yang mendalam. Kurasa aku tahu apa yang ada di
dalam pikiran mereka: Kiara pasti depresi akibat patah hati. Secara khusus Linda bahkan menyuruhku
beristirahat dengan tenang. Tak perlu buru-buru masuk kerja. Bahkan jika aku membutuhkan cuti tak
terbatas, pihak kantor siap memberikannya. Aku cuma meringis dengan lemah. Saat ini kantor hanyalah
satu-satunya tempat bagiku untuk menenangkan diri.
“Just think about it.” Pikirkan saja, kata Linda. Aku mengangguk agar dia senang.
Sebelum pulang, Mila menghampiriku dan berbisik, “Kamu mau aku memberi tahu Raka?”
Aku menggeleng kuat-kuat.
“Tapi bisa jadi ini kesempatan lagi buat kalian,” bisiknya.
Aku tetap menggeleng.
“Aku sering dengar cerita ....”
“Tolong ...,” kataku dengan memelas. “Aku tak mau terlihat seperti ini oleh Raka. Aku tak mau
mempermalukan diriku lagi.”
Mila menatapku dengan sedih, lalu mengusap tanganku, dan menganggukkan kepalanya.
Ketika mereka semua pergi, aku kembali sendiri. Memang lebih enak jika ada keluarga yang
menunggui. Seorang petugas rumah sakit masuk mengantarkan makan malamku. Menunya sarat protein.
Sebenarnya sangat menggoda selera, tapi aku sedang tak nafsu makan. Tak lama kemudian seorang
perawat masuk untuk memeriksa tekanan darahku.
“Sendirian, Mbak?” dia bertanya dengan ramah. Aku mengangguk. “Kemarin yang nungguin banyak,
tapi Mbak masih belum sadar,” ujarnya lagi.
“Saya pingsannya lama, ya, Sus?”
Si perawat tersenyum sambil memasangkan alat pengukur pada lenganku. “Nggak juga, sih. Tapi
setelah siuman, kan, dikasih obat tidur sejak pagi, biar bisa istirahat.”
“Kalau begitu besok saya bisa pulang, dong. Saya, kan, sudah dua hari di sini?”
“Kalau hasil tes darah bagus, tensi bagus, silakan saja. Tapi lihat, nih, tensinya saja masih 80/60.” Si
perawat menekan stetoskop di bagian dalam lenganku sambil sesekali memompa alat pengukur. “Rendah
sekali, Mbak. Kalau sudah 100 baru boleh pulang.”
Aku merengut. Perawat itu rupanya tahu kegundahan hatiku. “Sekarang makan yang banyak aja. Besok
pagi kita ambil darah lagi, sekaligus periksa tensi. Kalau trombosit dan tensi sudah normal, dan dapat izin
dari dokter, baru boleh pulang.”
Setelah perawat itu keluar, aku menatap lagi hidangan makan malamku. Yah, lumayanlah: nasi putih,
rolade ayam saus asam-manis, cah buncis, skotel tahu, buah mangga potong.
Malam itu aku juga mendapat kejutan. Saat aku sedang berusaha menikmati makan malam, Sofie dan
Rani muncul. Mataku sampai terbelalak.
“Apa aku sedang ngimpi, nih?” tanyaku. Mereka berdua tersipu.
“Shut up,” desis Rani. Dia kelihatan malu.
“Tak kusangka kamu sampai dirawat di rumah sakit,” ujar Sofie. “Apa separah itu?”
“Apanya?”
Dia dan Rani saling berpandangan.
“Hei, jangan kalian kira ini ada hubungannya dengan Raka, ya!” tukasku.
“Lalu dengan apa?” tanya Sofie.
“Aku cuma kecapekan bekerja itu saja.”
“Kasih alasan sama yang lain saja,” kata Rani.
Aku menarik napas panjang. “Entahlah. Aku juga tidak tahu.”
“Apa dia sudah diberi tahu?” tanya Rani.
“Jangan berani-berani, ya. Aku tak mau terlihat seperti ini di depannya.”
Rani mengusap-usap lenganku. “Tenang. Sebaiknya jangan kita ungkit soal dia lagi, oke?”
“Wow!” seruku terkejut. Lalu aku memandang Sofie dengan pandangan bertanya. Sofie tersenyum tipis.
“Sudah kulihat dampaknya kurang bagus. I suggest ... sebaiknya kamu cari laki-laki lain saja,” ujar
Rani.
“Oh .... Ini berarti kalian sudah baikan, ya?” tanyaku tak percaya sambil menahan air mata.
“Bagaimana ....”
“Aku masih kesal karena kamu bohong waktu itu. Tapi sudah kumaafkan,” sela Sofie.
“Kami berdua care sama kamu, Kiara. Maaf, ya, kalau selama ini aku selalu memaksamu untuk
bersamanya,” kata Rani dengan mata berkaca-kaca. Aku merentangkan kedua tanganku. Kami bertiga pun
berpelukan. Ini keajaiban. Kedua sahabatku berbaikan demi aku. Oh ....
Malam itu, ketika akan tidur, aku kembali mendapat kejutan. Alvin muncul di pintu kamar rumah sakit
sambil membawakan sekotak donat.
“Hai,” sapaku terkejut, tak tahu apalagi yang harus keluar dari mulutku. “Mama menyuruhmu ke sini?”
“Nggak,” jawabnya datar. “Aku dari rumah teman.”
Tanpa basa-basi, Alvin segera meletakkan kotak donat di atas meja dan berselonjor di sofa. “Aku
sudah ngantuk. Tidur dulu, ya.”
Aku menatapnya terperangah. Sedang kerasukan apa anak ini? Kulihat dia memejamkan mata, dan tak
lama kemudian aku mendengar suara dengkuran halus anak itu. Aku termenung sejenak. Sebelum ini aku
tak pernah tahu suara dengkuran adikku. Astaga, separah inikah kami sebagai keluarga?
Keesokan paginya saat aku bangun, Alvin sudah pergi. Sofa yang ditidurinya semalam sudah kosong
dan kembali rapi seperti semula. Jadi anak itu bisa beres-beres juga. Aku lihat jam dinding menunjukkan
pukul 7 lewat sedikit. Suasana sepi. Kulihat sebuah nampan berisi sarapan dari rumah sakit sudah terletak
di atas meja. Tak lama kemudian Mama muncul sambil membawa tas berisi keperluanku. Sikapnya biasa
saja, seolah-olah kemarin tak terjadi apa.
“Ini ada puding titipan Fai,” katanya dengan bersemangat. “Terserah mau kamu apakan,” lanjutnya.
Aku mengernyitkan dahi. Memangnya mau diapakan? Dibuang? Aku diam saja. Rasanya pagi ini aku tak
ingin merusak suasana hati siapa pun. Termasuk suasana hatiku sendiri.
Aku sarapan tanpa suara. Sedangkan Mama asyik menonton acara gosip di televisi. Tanpa bisa
dihindari suasana terasa canggung. Kami sama-sama tak tahu harus bicara apa. Sampai saat ini Papa
belum datang menjenguk. Yah ... jika memang benar dia cemas melihat keadaanku seharusnya dia sudah
datang, bukan?
“Apa Papa ada di rumah, Ma?” akhirnya aku tak tahan juga membuka percakapan.
“Dia ada urusan ke Singapura. Itu sebabnya dia belum sempat menjengukmu.” Sepertinya Mama sudah
tahu ke mana arah pertanyaanku.
“Kemarin Mama suruh Alvin tidur di sini?” aku bertanya lagi.
“Nggak. Dia sendiri yang mau.” Mama lalu menoleh ke arahku. “Jangan menganggap adikmu orang
jahat. Dia itu sayang padamu.”
“Aku tidak menganggapnya jahat!” tukasku.
“Tapi selama ini sikapmu begitu. Selama ini dia merasa dikucilkan oleh kakak-kakaknya.”
“Sikap dia juga nyebelin.”
“Tapi kamu masih punya Fai. Sedangkan dia adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita.”
Punya Fai? Sekarang sepertinya tidak lagi.
“Tapi semua orang selalu membela dia,” bantahku.
Mama mengedik sambil mengembuskan napas panjang. “Terserah kamu. Kamu memang keras kepala,”
ujarnya.
Kuhabiskan sarapanku tanpa berkata apa-apa lagi.

V
Aku berada di rumah sakit selama seminggu. Selama di rumah sakit, setiap malam Alvin memang selalu
menemaniku. Aku menghargai perhatiannya, meskipun aku belum tahu apakah itu memang murni niatnya
atau disuruh Mama. Papa sempat berkunjung dua atau tiga kali, aku lupa, sepulangnya dari Singapura.
Tapi selama dia menjengukku, dia tak banyak bicara. Seperti biasa. Dia tetap sibuk dengan korannya, atau
melihat televisi. Aku tahu, itu hanya dalih agar tak perlu bercakap-cakap denganku. Namun, aku berusaha
melunakkan sikapku. Sesekali aku bertanya tentang pekerjaan dan kesibukannya, dan jawaban Papa begitu
singkat dan padat.
“Ke Singapura ada urusan apa, Pa?”
“Biasa, pekerjaan.”
“Di sana ngapain aja?”
“Kerja.”
Yah, setidaknya aku sudah berusaha.
Aku juga berusaha bersikap baik pada Alvin. Saat aku baru pulang ke rumah, aku menemuinya di
kamarnya.
“Terima kasih, ya, sudah menemaniku selama di rumah sakit,” kataku sambil tersenyum semanis
mungkin.
Alvin cuma mengangkat alis, sambil berusaha tersenyum.
“Sama-sama,” ujarnya, namun, suaranya tetap terdengar datar. “Bagaimanapun kita, kan, keluarga.”
“Maksudmu?”
“Aku nggak mau cari ribut,” katanya, sambil berpaling, lalu pura-pura sibuk dengan games
komputernya.
“Aku nggak cari ribut, aku cuma ingin tahu apa maksudmu bilang begitu?” kataku sambil menyabar-
nyabarkan diri.
“Nggak ada maksud apa-apa,” katanya tak ambil pusing. Lalu sibuk bermain games. Aku memandangi
punggungnya dengan gemas. Menyebalkan sekali. Terpaksa kubiarkan dia. Tapi perkataannya bermain-
main terus di benakku hari itu.
Aku kembali masuk kantor keesokan harinya setelah pulang dari rumah sakit. Aku tak mau berlama-
lama di rumah. Istirahatku sudah cukup. Aku merasa gelisah jika tak melakukan apa-apa. Pekerjaan sudah
pasti menumpuk, tapi Linda berbaik hati untuk tak membebankan seluruhnya padaku. Katanya, aku masih
perlu istirahat. Hm ... dia ini agak sok tahu kupikir. Namun, ada satu yang kurasa aneh: semua orang
memandangku dengan tatapan prihatin. Apa mereka prihatin karena aku sakit cukup lama? Sebelumnya aku
tak pernah absen dari kantor gara-gara sakit sedemikian lama. Paling lama 2 hari. Aku berusaha
menghubungi Mila. Tapi anak itu tak ada di mejanya. Telepon genggamnya pun tak diangkat-angkat.
Baru setelah makan siang aku berpapasan dengannya secara tak sengaja di selasar kamar mandi.
Wajah Mila tampak kaget, sehingga hal itu juga membuatku kaget.
“Kamu seperti melihat hantu,” kataku curiga.
“Eh, sori. Kupikir kamu masih di rumah sakit,” katanya agak gugup.
“Baru kutinggal sebentar, rasanya kantor ini jadi aneh. Kupikir hanya perasaanku saja. Tapi ternyata
kamu juga ikut aneh.”
“Well, gimana, ya ...,” Mila kelihatan bingung.
“Kenapa, sih?”
“Kamu tahu, kan, seisi kantor sudah tahu hubunganmu dengan Raka?”
“Iya, lantas?”
“Sebenarnya, sih, gara-gara dia jadi bintang iklan di sini, makanya semua orang di kantor ini jadi tahu
hubungan kalian,” Mila mengulur-ulur.
“Ya, ampun, ada apa, sih? Si Raka ada di sini?” tanyaku tak sabar. Tapi mau tak mau jantungku ikut
berdebar.
“Bukan.”
“Ih, udah, deh, jangan ngulur-ngulur. Kamu sebenarnya mau bilang apa?”
Mila berdehem. Astaga. Gayanya menyebalkan sekali.
“Kami semua baru menerima undangan Raka kemarin,” tuturnya lirih.
“Undangan?” Seolah ada bola yang tertelan di kerongkonganku.
“Iya. Undangan pernikahan dia dan Joana sekitar dua minggu lagi.”
“Oh.”
“Satu kantor ini masing-masing dapat undangan ... kecuali kamu.” Mila sepertinya tak tega
mengucapkan dua kata terakhir itu.
“Yah, diundang juga aku nggak bakal datang, lah ...,” ujarku sambil berusaha tetap riang. Tapi pasti
gagal.
“Bukan itu masalahnya ...,” aku mengangkat sebelah tanganku, memberi isyarat pada Mila agar tak
perlu diteruskan lagi.
“Jadi, itu sebabnya kalian semua memandangku dengan kasihan?” tanyaku. Mila menunduk seperti
merasa bersalah. “Tak perlu pikirkan aku. Aku sudah tahu, kok.” Mila mendongak menatapku, sepertinya
ingin mencari tahu apakah aku bohong atau tidak. Aku buru-buru berlalu.
“Kiara!” Mila memanggilku.
“Sori, aku harus telepon klien, Mil.”
Setelah kembali ke mejaku, aku merasakan air mata mulai menggenangi pelupuk mataku. Kunyalakan
Yahoo Messenger-ku, lalu kucari nama Sofie, kalau-kalau dia sedang online. Tapi ID-nya tak menyala.
Kuhubungi telepon genggamnya, sedang dimatikan. Kutelepon kantornya, kata resepsionis dia sedang rapat
di luar kantor, lalu kutinggalkan pesan agar dia menghubungiku secepatnya. Setelah itu kutelepon Rani,
tapi telepon genggamnya juga dimatikan, dan telepon rumah tak diangkat. Ke mana orang-orang ini saat
kubutuhkan. Aku mulai terserang panik. Setetes air mataku turun ke pipi. Dengan panik kuambil tisu untuk
menyekanya. Isi rongga dadaku serasa melesak ke bawah. Aku kenal betul sensasi itu.
Karena bingung harus melakukan apa, bekerja jelas tak bisa kulakukan dalam keadaan seperti ini,
akhirnya kuputuskan untuk memeriksa email. Banyak email yang harus kubalas sebenarnya, tapi saat itu
aku tak peduli. Lalu kulihat ada beberapa email dari Abdul yang isinya menanyakan kabar kesehatanku.
Kupikir membalas email dari Abdul bisa mengalihkan pikiranku. Namun, ternyata tanpa kusadari aku
sudah menulis semua keluh kesahku, yang begitu panjang. Setelah aku mengeklik perintah kirim, aku baru
tersadar. Astaga, Abdul bisa menyesal telah mengirim email padaku. Tapi apa lacur, semua sudah terjadi.
Kukirim email kedua yang isinya: Sori, barusan aku cuma melantur. Just ignore it.
Kucoba untuk kembali bekerja. Telepon klien A, B, C, D. Lalu ada memo: tindak lanjuti jadwal
launching produk berikut ini. Salah satu perusahaan yang tertulis di sana adalah Intech Air. Aku tertegun.
Kenapa ini harus terjadi padaku?
Untuk sejenak otakku kosong. Pandanganku nanar. Acara launching Intech Air pastinya akan dihadiri
oleh Raka dan Joana. Apa bisa aku berhadapan dengan mereka saat ini? Apalagi di jadwal tertulis
waktunya beberapa hari lagi. Tahu-tahu ada telepon. Ternyata itu Linda. Katanya karena aku baru masuk,
aku tak perlu menangani launching Intech Air. Haaaaah ... aku bernapas lega. Tapi entah kenapa kelegaan
itu tak seratus persen.
Saat akhirnya tenaga bisa kuhimpun untuk memulai bekerja, telepon genggamku berbunyi. Dari Raka.
Aku menunggu beberapa saat sebelum akhirnya kujawab. Ada apa ini?
“Ya?”
“Ara, ini aku.” Suaranya langsung menimbulkan efek dalam diriku. Jantungku berdebar keras, saking
kerasnya sampai serasa mau meledak.
“Ya, aku tahu.” Kerongkonganku kembali tercekat. Karena tak ingin ada yang melihat reaksiku, aku
segera berjalan keluar kantor. Aku sengaja berdiri di dekat pintu darurat agar tak ada orang yang melihat
dan mendengarkan.
“Aku ... eh ... apa kabar?” tanya Raka basa-basi.
“Baik. Tumben menelepon,” sahutku, sambil tetap menjaga nada suaraku agar tidak gemetar.
“Ehm ... aku cuma ingin memberi tahu. Yaa, sebenarnya ini bukan urusanmu lagi, tapi kurasa kamu
perlu tahu.” Nah, ini dia.
“Ya, apa itu?”
“Aku mau menikah.” Ya, ... ya, ... ya....
“Selamat, ya!” aku berusaha terdengar ceria. Tapi rasanya aku menyahut terlalu cepat sehingga
kedengarannya tidak wajar.
“Mungkin kamu akan melihat undangan kami di kantormu, tapi ... jangan tersinggung, ya, kalau kamu
nggak dapat. Kami ... eh, aku sebenarnya ingin mengundangmu, tapi Joana keberatan ....”
“Kenapa? Kamu nggak mau aku datang mengucapkan selamat?” aku pura-pura tak terpengaruh.
“Bukan begitu, hanya saja ... Joana keberatan karena dulu, kan, kita pernah ada hubungan. Dan aku
harus menjaga perasaannya. Aku tak mau ada keributan sebelum pernikahan ....”
“Ya, aku mengerti,” potongku sebelum Raka bertutur lebih lanjut. “Seharusnya kamu juga nggak perlu
memberi tahu aku,” kataku kemudian.
“Ya, Joana juga bilang begitu. Tapi kupikir aku harus memberitahumu karena kamu orang yang pernah
dekat denganku. Aku ingin semuanya berakhir dengan baik-baik di antara kita.”
“Kamu tahu kita tidak baik-baik,” ujarku. Kali ini gumpalan di kerongkonganku semakin membesar,
sehingga aku nyaris tak bisa mengendalikan suaraku.
“Ya, tapi ... aku ....”
“Raka, sudahlah. Hubungan kita sudah berakhir. Pacarmu benar. Tak ada gunanya kamu menghubungi
aku. Jadi, sebaiknya kita tak perlu saling berbasa-basi begini. Jika kamu mau menikah, silakan. Apa pun
yang ingin kamu lakukan aku tak perlu tahu, dan aku tak peduli ....”
“Ara ... apa kita tak bisa bersikap normal lagi seperti yang lain?”
“Normal? Normal yang seperti apa maksudmu? Normal sampai kita bisa jalan bareng, makan
bersama?” aku nyerocos.
“Ehh ...,” Raka mengerang. Aku bisa membayangkan bagaimana tampangnya di seberang sana. Pasti
serbasalah dan merasa bersalah. Dan biasanya jika sudah melihat tampangnya yang seperti itu hatiku
langsung luluh. Tapi kali ini aku tak melihatnya secara langsung, sehingga aku bisa menguat-nguatkan
hatiku.
“Sudahlah,” kataku lirih. “Kamu sendiri yang bilang hubungan kita tak mungkin diteruskan lagi. Jadi
jika Joana memang membuatmu bahagia, aku ikut bahagia,” ujarku gemetar. Bohong besar, batinku.
Kupikir dia takkan secepat itu menikahi gadis sombong itu. Secepat itukah aku terhapus dari hatinya.
Seburuk itukah aku sehingga dia tak tahan lagi denganku? Banyak sekali yang ingin kutanyakan tapi bibirku
terkatup rapat menahan tangis.
“Ara, aku juga berharap kamu bahagia ...,” kata Raka. Nada suaranya terdengar tak yakin. Hah! Yang
benar saja.
“Masih ada lagi?” tanyaku dingin menahan gemetar.
Kudengar dia mengembuskan napas. Oh, aku bisa merasakan embusannya menyentuh telingaku.
“Tidak,” ujarnya lembut. Berengsek! “Jadi ...,” dia meneruskan ragu-ragu, “ini saatnya mengucapkan
selamat tinggal.”
Aku mendesah. Sebutir air mata meleleh. Memang inilah saatnya. “Ya.”
“Selamat ... tinggal ... Kiara. Terima kasih untuk semua yang pernah kamu lakukan untukku. Aku takkan
melupakannya, sedikit pun.” Aku tahu maksudnya. “Semoga kamu bahagia,” lanjutnya lirih.
“Thanks ...,” sahutku, lalu kudengar telepon dimatikan. Air mata mulai berjatuhan satu per satu. Lalu
tangisku pun pecah.

12
Dua minggu yang kujalani benar-benar terasa seperti dua tahun. Perasaanku galau dan resah bukan
kepalang. Yang paling membuatku tidak tahan adalah cara orang-orang di kantor memandangku. Sorot
mata mereka semua memancarkan rasa prihatin. Walaupun aku menghibur diri dengan kenyataan bahwa
mereka sangat peduli padaku, tapi tetap saja itu menyakitkan.
Tak seorang pun dari mereka menyinggung-nyinggung soal pernikahan kedua sejoli itu. Bahkan aku
memperhatikan tak sebuah undangan pun tergeletak sembarangan di atas meja. Rupanya mereka semua
menyimpan undangan mereka baik-baik. Aku hanya sempat mencuri dengar dari pembicaraan beberapa
orang bahwa konon pesta pernikahan itu disponsori oleh Intech Air. Jadi, bakal mewah. Apalagi
tempatnya di Hotel Mulia. Dengar-dengar lagi Joana itu anak orang kaya. Hah! Aku juga anak orang kaya.
Mereka lalu menyebut-nyebut betapa beruntungnya Raka. Oh! Saat mereka tahu aku berada di dekat
mereka, mereka langsung bubar sambil tersenyum prihatin. Berengsek! Aku merasa jadi objek penderita.
Mila berusaha bersikap wajar, tapi matanya tak bisa menipu. Dia selalu menatap wajahku dengan
keinginan mengorek-ngorek isi kepalaku. Dia selalu memancing-mancing agar aku mau mengungkapkan
perasaanku. Tapi aku diam saja.
Yang tak disangka-sangka adalah balasan email dari Abdul yang luar biasa panjang. Oh, isi emailnya
membuatku terharu. Dia memang benar-benar di luar dugaan. Dia sangat mengkhawatirkan aku. Dan dia
menawarkan kesempatan untuk bekerja di Singapura. Oh, seandainya bisa semudah itu. Aku membalas
emailnya, mengabarkan bahwa aku bisa menerima pernikahan Raka dengan tabah (bohong!) biarpun hati
ini sakit. Tanpa sadar aku kembali berlarat-larat dalam menuliskan emailku, sehingga Abdul kelihatan
semakin mencemaskan keadaanku dalam balasan emailnya.
Menurutku hubungan kalian sangat intens. Hmm ... jangan marah, ya, apa kalian sudah pernah
tidur bersama? Sori. Tapi melihat reaksimu seperti ini, rasanya mustahil jika hubungan kalian
dibilang “biasa-biasa” saja. Pasti lebih dari sekadar dari biasa. Apa kamu tak percaya bahwa
bakal ada lelaki yang lebih baik dari dia? Ayo jujur, sebenarnya kalian sudah pacaran berapa
lama, sih? Sejak kuliah?
Salah satu bagian email Abdul berisi begitu. Aku tercenung. Lalu aku membalasnya.
Kamu benar, Abdul. Hubunganku dan Raka sudah terlalu jauh dan sangat intens. Please don’t
judge me. Semua dugaanmu benar. Itu sebabnya aku sulit melepaskannya. Lagi pula dia pacarku
sejak SMA. Jangan tertawa, ya. Aku belum pernah mengenal lelaki lain selain dia. Kupikir dia
akan menjadi yang pertama dan terakhir untukku.
Abdul segera membalas emailku. Kupikir dia sedang tak ada kerjaan.
Hmm .... Sori, Kiara, sulit untuk tidak tertawa, haha! Jadi, benar-benar hebat, ya, si Raka ini.
Sayang aku belum sempat mengenalnya. Wajahnya, sih, memang ganteng. Tapi aku jauh lebih
ganteng, hehe! Jadi, dia pacarmu sejak SMA. Tak kusangka, kamu ini ternyata sangat romantis,
ya. Dan obsesif, haha .... Kupikir dulu hanya hubunganku dengan istriku saja yang sinting
ternyata ada yang lebih parah. Jangan marah, ya .... Sebenarnya aku nggak tahu harus ngomong
apa untuk membuatmu merasa lebih baik. Andai aku bisa berbuat lebih banyak. Tapi sementara
ini aku cuma bisa bilang: jaga dirimu baik-baik dan jangan berbuat nekat.
Mau tak mau aku tersenyum. Dia pikir aku bisa berpikir untuk bunuh diri barangkali. Yaah, itu bukan
hal yang mustahil. Seandainya aku memiliki keberanian untuk mati, pasti itu sudah kulakukan, jika perlu
langsung di hadapan Raka, agar dia menyesal seumur hidup.
Setiap malam Sofie dan Rani menemaniku. Kadang-kadang salah satu dari mereka menginap untuk
menemaniku. Perbuatan yang tak perlu sebenarnya. Karena biarpun ada mereka, aku jarang bicara dan
memilih langsung tidur. Namun, mereka sering memaksa. Aku tak sanggup mengecewakan maksud baik
mereka. Dan jika mereka tak ada biasanya aku menangis selama beberapa saat sebelum akhirnya terlelap.
Mama kelihatannya mengetahui hal ini. Dia menatap wajahku yang pucat setiap bangun pagi dengan
waswas.
“Kamu sakit, Ara?” tanyanya.
“Nggak.”
“Obatnya masih kamu minum, kan?” dia bertanya menyelidik.
“Masih,” jawabku asal-asalan. Lalu buru-buru berlalu sebelum dia bertanya lebih jauh. Mungkin obat
dari dokter juga yang membantuku terlelap setiap malam. Sesekali aku bermimpi aneh, tak keruan, lalu
bangun dalam keadaan linglung. Aku berharap bisa memimpikan Raka. Tapi hal itu tak pernah terjadi.
Godaan untuk menelepon Raka dan memohon padanya agar kembali padaku sangat besar dan hal itu
menderaku setiap hari. Terutama di malam hari. Kadang-kadang aku berkhayal datang ke kantornya lalu
menghampirinya dan memintanya untuk membatalkan perkawinannya.
Khayalan itu lalu kabur. Maaf? Memang apa salahku? Karena terlalu obsesif? Terlalu mencintainya?
Aku berusaha mengingat kata-katanya saat mengakhiri hubungan kami. Cinta seharusnya menenangkan.
Bukan menyakiti. Apakah aku menyakitinya?
Tiba-tiba dorongan itu tak tertahankan. Seperti robot aku mengambil telepon genggamku dan menekan
nomornya.
“Halo?” suaranya yang hangat terdengar merdu di telingaku. Tiga hari lalu aku akan kehilangan suara
ini.?????????
“Raka, apa Joana ada di sebelahmu?” tanyaku buru-buru.
“Ehh ... tidak. Kenapa? Ini, kan, sudah malam ....”
“Bagus. Tolong jawab pertanyaanku. Sebesar apa aku menyakitimu?”
Raka terdengar gelagapan. “Apa? .... Maksudnya?”
“Waktu itu kamu bilang ‘cinta seharusnya menenangkan, bukan menyakiti’. Jadi, aku tanya, sebesar apa
aku sudah menyakitimu?”
“Untuk apa itu dibicarakan?” suara Raka terdengar enggan.
“Supaya aku bisa tenang.”
Raka diam sesaat. “Baiklah,” katanya kemudian. “Aku akan ke sana.”
“Ke mana?” tanyaku bingung.
“Ke rumahmu. Kamu di rumah, kan?”
“Ya.”
“Tunggu aku.” Lalu dia mematikan telepon. Aku mengernyit. Apa ini caranya agar menghindariku?
Aku merebahkan diri di tempat tidur. Tak mungkin dia mau ke sini. Bukankah Joana melarangnya untuk
dekat-dekat denganku? Apakah dia punya keberanian?
Tak sampai sejam kemudian aku mendengar suara deru mobil di luar rumahku. Kusingkap tirai jendela
kamarku yang menghadap ke jalan. Mobil Raka sudah ada di tepi jalan. Jadi, dia sungguh-sungguh dengan
perkataannya. Jantungku berdebar kencang. Jam dinding menunjukkan hampir pukul 12 malam. Ruang
tengah sudah sepi. Lampu kamar Alvin sudah gelap. Begitu pula dengan kamar Mama dan Papa. Papa
sedang ke luar negeri lagi, jadi pasti Mama tidur cepat. Aku berjalan melintasi ruang tengah lalu menuju
ke pintu depan. Kuambil kunci dari meja konsol di foyer, lalu dengan hati-hati kubuka pintu depan, dan
cepat-cepat melintasi halaman depan untuk membuka pagar.
Pagar geser sedikit menimbulkan suara berisik saat dibuka. Aku memaki dalam hati. Semoga tak ada
yang terbangun. Raka sudah berdiri di depan pagar. Menatapnya berdiri di sana membuatku nyaris
kehilangan kendali diri. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihatnya. Aku sangat merindukannya.
“Kamu mau parkir di dalam, Raka?” tanyaku gugup.
“Tidak usah. Di sini aman, kan?” dia melihat ke arah tempat mobilnya berada. Aku ikut melirik ke
arah Toyota Altis peraknya. Mobil itu .... Banyak yang terjadi di dalamnya. Aku segera menghapus
kenangan mendadak itu dari kepalaku.
“Ya,” sahutku. “Ada satpam yang jaga di sebelah sana. Ayo masuk.”
Dengan ragu-ragu Raka masuk ke halaman rumahku. Sudah berapa lama, ya, dia tak menginjakkan kaki
di sini. Rasanya sudah lama sekali, sampai aku lupa.
“Ayo, kita bicara di kamarku,” kataku berusaha santai.
“Ehh ...,” Raka kelihatannya mau protes.
“Kalau bicara di sini bisa membangunkan semua orang,” potongku. Raka akhirnya mengangguk. Kami
lalu masuk ke kamarku. Diam-diam aku mengunci pintu, mencegah siapa tahu ada gangguan tak terduga.
Aku menyetel CD Diane Krall dengan volume suara pelan sehingga tak menggangu saat kami bicara.
“Silakan duduk, di mana pun kamu mau,” kataku tanpa menoleh. Dengan ekor mataku bisa kulihat dia
duduk di tepi tempat tidurku dengan canggung. Lalu aku pun duduk di hadapannya, kira-kira jarak kami
hanya 1 meter. “Nah,” kataku, “aku menunggu penjelasanmu.”
Raka menyipitkan matanya sambil memandangku. Tubuhku mendadak panas dingin. Sudah lama aku tak
melihatnya memandangku seperti itu. Biasanya dia memandangku begitu jika dia ingin mendekatiku.
Namun, aku yakin kali ini pasti tidak begitu.
“Hmm ... aku tak tahu harus mulai dari mana,” katanya sambil menerawang.
“Katakan saja semua yang telah kuperbuat sampai menyakitimu,” kataku cepat-cepat.
Raka kembali menatapku. Kali ini matanya yang kelam seperti menguasaiku. Aku memalingkan
wajahku, tak tahan. Lalu tanpa disangka-sangka dia beringsut mendekat. Tubuhku tersentak di luar
kesadaran. Bulu kudukku meremang. Aku bisa merasakan gelombang panas memancar dari tubuhnya
menerpaku.
“Aku tak menyalahkanmu jika hubungan kita tak berjalan dengan baik. Mungkin memang harus begitu
....”
“Jangan bilang begitu. Aku ingin dengar pendapatmu yang jujur,” aku menukas. Raka kelihatan
terkejut.
“Baiklah,” katanya kemudian. “Kalau itu maumu, aku akan berusaha jujur.” Dia diam sejenak,
menekuri sepraiku yang bergambar kupu-kupu. Apalagi yang dia tunggu? “Aku merasa kamu terlalu
mengekangku,” katanya. Mengekang?
“Apa maksudmu?” aku protes tapi dia buru-buru menyentuh tanganku. Sial! Getarannya masih sama.
“Dengarkan aku dulu sampai selesai,” katanya sedikit tegas. Aku membiarkan tanganku dalam
sentuhannya sampai beberapa detik kemudian dia memindahkan tangannya. “Dulu aku jatuh cinta padamu
karena kamu penuh semangat, ceria, spontan, dan sedikit gila,” dia tersenyum saat mengucapkan itu. Aku
ikut tersenyum, tapi perasaanku waswas. “Aku belum pernah merasakan ada seorang gadis yang begitu
memperhatikanku sebesar itu. Kupikir kamu dulu cuma main-main. Aku senang kamu ternyata punya
perasaan yang sama denganku. Tapi ...,” Raka menahan perkataannya di ujung lidah, “lama-lama
kurasakan perhatianmu terlalu berlebihan, sehingga ... aku tak mampu lagi bernapas.”
“Oh,” aku mendesah spontan. Mendadak diriku diliputi kesedihan. Separah itukah aku?
Raka kembali menyentuh tanganku. “Kamu tidak marah ....?”
“Aku tidak apa-apa. Teruskan,” pintaku.
“Kamu tahu dulu setiap kali kita putus, aku selalu menyesal dan ingin sekali kembali padamu. Aku
merasa tak bisa jauh darimu. Tapi setiap kali kita kembali bersama, aku kembali merasakan itu ... aku
kembali merasa tertekan. Aku berusaha menahan perasaan itu karena aku tahu kamu mencintaiku dan aku
juga mencintaimu. Lalu setiap kali kita bertengkar karena kamu cemburu, aku selalu merasa bersalah
karena telah membuatmu sakit hati. Sampai-sampai aku bingung bagaimana aku harus bersikap dengan
teman-teman wanitaku, termasuk dengan yang laki-laki. Aku pernah menutup diri dari teman-temanku, tapi
itu membuatku kesepian. Aku butuh mereka, tapi kamu tak mau mengerti. Sikapmu malah memusuhi
mereka. Padahal mereka bukan apa-apa. Aku membutuhkan mereka agar hidupku tetap seimbang. Selama
bersamamu, aku tak punya sahabat. Teman-temanku hanya datang dan pergi begitu saja. Aku tak berani
menjalin persahabatan terlalu akrab dengan mereka karena aku tak mau membuatmu sedih.” Raka menarik
napas. Begitu juga aku.
“Kupikir setiap kali kita berbaikan kembali keadaan itu bisa berubah. Tapi ternyata tidak. Hanya
awalnya saja yang baik, tapi lama-kelamaan pola itu terulang lagi. Sampai akhirnya aku tidak sanggup
lagi.” Raka menelan ludah. Aku menunduk sedih. Lalu dia memandangku dalam-dalam. Aku bisa
merasakan tatapan di wajahku. Mataku mulai terasa berat. Tak kusangka Raka merasa seperti itu selama
ini. Aku sudah membuatnya menderita.
Raka meremas tanganku. “Kamu marah?”
Aku menggeleng, lalu perlahan-lahan menatapnya. Air mata mulai menetes. Raka tampak terkejut
melihat reaksiku. “Maafkan aku,” kataku lirih. Rasanya sudah terlambat. Tapi apa boleh buat.
“Seandainya aku mengerti perasaanmu dulu.”
“Aku sudah berusaha menjelaskan ....”
“Aku tahu,” ujarku. “Aku yang terlalu egois. Aku tahu kamu tertekan tapi aku menolak untuk
memercayainya. Menolak untuk memahamimu dan mengakui kesalahanku. Tak pernah kusangka akibatnya
jadi separah itu. Jika aku bersikap kelewatan belakangan ini, itu karena aku marah. Aku tak rela kamu
sudah bersama gadis lain. Setidaknya kamu bisa sendirian dulu selama setahun atau dua tahun. Tapi kamu
mau menikahi gadis itu secepat ini.” Aku mulai tersedu-sedu. Aku sudah kehilangan kendali. Tanpa
diduga dia meraihku dalam pelukanku.
“Ini juga tak mudah bagiku,” katanya lembut di telingaku. Bibirnya menyentuh rambutku, dan itu
membuat bulu kudukku meremang. Jantungku kembali tak teratur. Aku tak sanggup berbuat apa-apa selain
menangis dalam pelukannya. Oh, lama sekali aku tak merasakan pelukannya. Kerinduanku begitu tak
tertahankan. Aku menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam di sela-sela tangisku. “Ehh ... kamu tak
keberatan aku bercerita sedikit soal Joana?” dia bertanya hati-hati. Rasanya sudah terlambat untuk
keberatan. Aku ingin tahu semuanya kalau perlu.
“Ceritakanlah,” kataku sambil terus bersandar di dadanya.
“Tak lama setelah kita putus ... eh, sebelum yang terakhir ... aku bertemu dengannya di pameran
komputer. Kebetulan dia SPG di sebuah stand produk. Teman kantorku sebenarnya yang berbelanja. Jadi,
sekalian saja aku minta nomor teleponnya. Ternyata dia tak menolak. Setelah itu aku meneleponnya dan
mengajaknya bertemu. Dan ... kami bertemu beberapa kali.”
Aku mendongakkan kepalaku untuk menatapnya. “Kenapa kamu bisa secepat itu tertarik padanya?
Padahal aku sendiri tak bisa berpaling kepada siapa pun.”
“Pertama mungkin karena dia cantik dan kelihatannya ramah. Kedua, aku memang berniat mencoba
dekat dengan orang lain untuk melupakanmu,” katanya lugas.
“Ah ...,” aku mendesah pelan. Tapi rupanya Raka mendengar. Dia lalu memegangi daguku dan
mendekatkan wajahnya. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang sudah lama kurindukan membelai
wajahku.
“Jika tidak begitu aku bisa merana, Kiara. Selama ini aku hanya mengenal satu gadis dalam hidupku.
Kamu. Aku berusaha mengalihkan perhatianku pada orang lain.”
Aku menjauhkan wajahku darinya. Kenyataan ini ternyata lebih menyakitkan daripada yang kuduga
sebelumnya. Jadi awalnya Joana hanya pelampiasan.
“Dia tak membuatmu sesak napas, ya?” bisikku sedih.
Raka kembali mendekatkan wajahnya kepadaku.
“Saat itu aku hanya senang berada di dekatnya. Seperti sebuah selingan ... bisa dibilang begitu.
Rasanya seperti keluar bermain setelah seharian terkungkung di dalam kelas. Lega ...,” Raka mendesah.
“Aku mengerti perasaanmu sekarang,” ujarku lirih sambil mengusap air mataku. “Mungkin dia memang
yang terbaik untukmu. Tapi kenapa dia membenciku?”
“Tentu saja dia cemburu padamu.”
“Hanya padaku?”
“Hanya padamu.”
Semoga saja begitu, kataku dalam hati.
“Hei, kamu nggak marah, kan?” katanya cemas sambil meneliti wajahku. Aku memalingkan wajah.
Pasti wajahku tak keruan kalau sedang menangis. Tapi tangan Raka menahan daguku dan kembali
menggerakkan kepalaku untuk menatapnya. Uh, rasanya berat sekali. Marah sudah percuma, yang
tertinggal hanya perasaan sedih yang menyayat-nyayat mengetahui bahwa semua penyesalanku sudah
terlambat.
Aku menggelengkan wajahku dengan lemah sambil kembali membenamkan ke dadanya. Kemeja Raka
basah dengan air mata.
“Jadi kamu bahagia ...,” gumamku lebih kepada diriku sendiri.
Raka tidak menjawab, dia hanya mempererat pelukannya. Itu sudah cukup jelas bagiku. Gadis itu
memang membuatnya bahagia.
“Sudahlah, jangan menangis. Aku tak tahan kalau melihatmu menangis,” desahnya. Lalu wajahnya
mendekati wajahku. Aku memandangi bibirnya. Sebuah dorongan yang kuat tiba-tiba menyergapku.
Rasanya seperti kembali terbawa ke masa lalu, saat hubungan kami masih dipenuhi hasrat yang bergelora.
Aku membiarkan diriku larut dalam gairah yang melanda kami. Lalu tiba-tiba dia menghentikan ciumannya
dan mengangkat kepalanya, menatapku tak percaya. Tapi sejurus kemudian dia tersenyum sambil
mengembuskan napas. Lalu kembali menundukkan wajahnya, sehingga hidung kami bersentuhan. Kami
berdiam diri sesaat. Aku tahu dia tak ingin membawa ini menjadi lebih jauh.
“Aku tak keberatan,” bisikku. “Ini akan menjadi yang terakhir bagi kita,” kataku penuh harap. Kini
Raka berguling ke sampingku, lalu kami saling berpandangan. Sorot matanya sulit ditebak, seperti
campuran antara bingung dan sedih.
“Aku tak bisa,” katanya lirih. “Akan tak adil buatmu.”
“Aku tak peduli,” balasku. Raka tersenyum tipis. “Kamu takut Joana tahu?”
“Ah, tidak juga,” desahnya.
“Kamu takut aku membeberkan ini padanya dan bertindak seperti orang gila yang akan menggagalkan
pernikahanmu?”
Raka tertawa mendengar ocehanku. “Jangan ngawur.” Dia mencubit hidungku. “Aku tak mau
membuatmu tambah sedih.”
“Justru aku malah akan sedikit terhibur,” kataku jujur.
“Masa, sih?”
“Ya. Cuma itu yang kuinginkan darimu sebelum kamu menjadi milik orang lain.”
Raka tersenyum geli. “Kupikir yang barusan sudah cukup.”
“Barusan? Hmm ... tadi kamu benar-benar cuma ingin menghiburku?”
Aku seperti kembali ke dunia nyata. Ini sudah berakhir.
“Aku harus pulang,” bisiknya.
“Jangan!” kataku cepat-cepat. Tapi lalu menyesal.
“Besok kamu masuk kerja, kan?” tanyanya seperti orangtua yang sedang menasihati anaknya.
Aku mendengus. Raka tersenyum geli sambil mengacak-acak rambutku yang sudah berantakan. “Apa
menurutmu kita bisa bertemu lagi?” tanyaku ingin tahu dengan nada menuntut.
“Menurutmu?” dia balik bertanya.
“Aku yang duluan tanya,” kataku sambil merengut.
“Aku sulit mengendalikan diri di dekatmu ...,” katanya sambil menatap kosong pada langit-langit
kamarku.
“Jadi, itu artinya tidak?” tanyaku hati-hati.
“Aku nggak bilang begitu. Sejujurnya aku sangat ingin bertemu denganmu lagi ....”
“Tapi?” aku menebak.
“Aku harus bilang, ya?”
“Iya.”
“Ah ... mungkin kita bisa saling berhubungan lewat telepon atau email,” dia menjawab sambil menanti
ekspresi wajahku.
“Pasti itu akan sulit ...,” desahku kecewa.
“Jadi?”
“Entahlah. Mengingat kamu akan menikah, mungkin sebaiknya memang kita menjaga jarak .... Lagi pula
aku masih menyayangimu,” aku tersipu. Raka mengelus pipiku.
“Jadi ... kita baik-baik saja, kan?” tanya Raka.
Kurasa sampai saat ini begitu. “Ya.”
Raka bangkit. Aku mengikutinya. Dia menggenggam tanganku. “Aku harus pulang sekarang.” Rasanya
aku ingin kembali menariknya ke tempat tidur.
“Baiklah,” jawabku lirih, nyaris tak terdengar.
Kami berjalan keluar sambil terus berpegangan tangan. Kami berjalan mengendap-endap seperti dua
anak yang baru saja melakukan kesalahan dan takut ketahuan. Dia tetap menggenggam tanganku sampai
kami tiba di depan pagar halaman rumahku.
“Ah, mobilmu masih ada di sana,” aku berusaha melucu. Raka tersenyum, lalu menatapku lekat-lekat.
“Nah, Kiara ... sampai ketemu lagi.” Dia meremas tanganku. Aku membalasnya tak berdaya. “Jaga
dirimu, ya? Aku akan berdoa semoga kamu bahagia ....”
Tenggorokanku tercekat. Aku tak bisa berkata apa-apa. Lalu tangannya melepaskan tanganku, aku tak
kuasa menahannya. Rasanya separuh jiwaku terbawa olehnya. Mataku mulai terasa panas lagi. Jangan ...
jangan ... jangan sampai aku menangis lagi. Aku berusaha menguatkan diriku. Kemudian dia berjalan
mendekati mobilnya sambil terus memandangku. Bibirnya tersenyum. Aku akan kehilangan senyum itu.
“Hati-hati,” cuma itu yang keluar dari mulutku. Biasanya aku akan melanjutkan, kalau sudah sampai
rumah telepon, ya. Tapi kali ini tidak ada lagi kalimat itu. Sudah ada orang lain yang lebih berhak
mengucapkannya. Dia mengangguk singkat, lalu masuk ke dalam mobilnya. Aku masih bisa melihat
wajahnya dari balik kaca mobil yang gelap. Tak lama kemudian mesin mobilnya menyala. Dia sempat
melambaikan tangan dari jendela sambil mengulas senyumnya yang khas. Oh, sepertinya aku merasa ada
darah menetes-netes dari jantungku. Aku disergap rasa pilu yang menyakitkan. Rasanya aku ingin
menangis lagi. Dengan berat hati kututup pintu pagar setelah melihat mobilnya menghilang di balik
tikungan jalan. Lalu berjalan kembali ke dalam rumah dengan gontai. Setelah kukunci kembali pintu
depan, aku bersandar sebentar di sana untuk menenangkan diri. Air mataku mulai menetes satu-satu. Tiba-
tiba terdengar bunyi pintu dibuka. Mama keluar dari kamarnya, lalu mengerjap-ngerjapkan matanya di
tengah kegelapan.
“Kiara?” panggilnya.
“Ya, Ma?” sahutku sambil buru-buru mengusap air mata.
“Apa itu tadi Raka?” tanyanya curiga.
“Iya.” Aku beranjak pergi menuju kamarku.
“Apa kalian ....”
Aku tahu maksudnya. “Tidak, Ma. Sabtu ini dia akan menikah.”
Aku mendengar Mama bergumam tak jelas, lalu dia masih berdiri menunggu, tapi aku tak ingin
memberi penjelasan lebih lanjut karena takut air mataku tumpah lagi. Aku segera masuk kamar dan
mematikan lampu. CD Diane Krall masih menyala. Sayup-sayup terdengar The Look of Love. Air mataku
menetes cepat. Aku menelungkupkan tubuh ke tempat tidur.
Pikiranku berkelana. Aku berkhayal seandainya malam ini bisa mengubah segalanya antara aku dan
dia. Siapa tahu dia akan mengurungkan niatnya untuk menikah, dan kemudian memutuskan kembali padaku.
Bukankah hal itu bisa saja terjadi? Aku mengusir pikiran itu jauh-jauh. Raka pasti bukan tipe pria seperti
itu. Seandainya itu terjadi, pasti mukjizat. Aku membayangkan dia memberi tahu Joana bahwa pernikahan
mereka batal, dan kemudian dia menemuiku bahwa kami akan kembali merajut jalinan cinta yang terputus.
Tanpa sadar aku tersenyum puas. Namun, itu tetap tak membuatku bahagia. Mungkinkah itu terjadi?
Berbagai kemungkinan bermunculan di benakku, sehingga aku akhirnya kelelahan dan tertidur.

13
Ingar-bingar suara musik di dalam club amat memekakan telinga. Gendang telingaku sepertinya ikut
berdenyut. DJ memutar lagu-lagu berirama rave yang sebenarnya tidak kusukai, yang membuat manusia-
manusia di dalam sini mengentak-entakkan badan diiringi sorotan lampu warna-warni dan laser yang
bergerak cepat.
Aku dan Sofie duduk di kursi setengah lingkaran yang terletak di tepi lantai dansa yang penuh sesak,
masing-masing ditemani segelas mocktail entah apa namanya. Sofie terus-menerus merengut. Dia
memesan ginger ale karena tak tahu apalagi yang harus dipesan. Aku tahu dia sebenarnya asing dengan
tempat-tempat semacam ini. Tempat seperti ini adalah tempat kesukaan Rani biasanya. Sedangkan aku
berada di tengah-tengah. Sesekali bolehlah, asalkan jangan sering-sering, karena aku lebih menikmati
suasana kafe yang temaram dengan penampilan musik langsung.
Jika sekarang kami berada di sini, itu karena paksaan Rani. Aku tahu dia prihatin dengan keadaanku.
Sudah seminggu sejak pernikahan Raka, mukjizat tidak terjadi. Saat hari Senin aku masuk kerja, aku sudah
tahu takkan terjadi peristiwa dahsyat di acara istimewa tersebut. Semua berjalan lancar seperti
seharusnya. Ya, Mila memberikan sedikit laporan pandangan mata tanpa kuminta. Katanya resepsi
pernikahan cukup mewah. Wajah kedua mempelai juga semringah sepanjang malam. “Padahal aku
berharap kamu tiba-tiba datang untuk mengucapkan selamat. Aku ingin sekali melihat perubahan di wajah
Joana.” Begitu kata Mila berapi-api. Aku cuma angkat bahu menanggapinya. Aku sudah mendapatkan apa
yang cukup kudapatkan. Sementara ini tak ada lagi yang perlu diributkan. Biarpun hati rasanya perih.
Namun, hari-hari di kantor memang terasa lebih berat, karena aku bekerja lebih berat untuk menetralkan
perasaanku.
Aku berusaha kelihatan tegar, dan tampaknya berhasil. Keesokan harinya tak ada lagi yang menatapku
dengan prihatin. Tapi aku merasa aneh. Entah kenapa aku merasa kebas. Mungkin kesedihan dalam hatiku
sudah berubah wujud menjadi kehampaan. Sorot mataku tampak kosong, seperti tak berjiwa, begitu kata
Rani. Dia yang pertama memperhatikan gejala aneh pada diriku. Itu alasannya dia memaksaku—dan Sofie
—untuk datang ke tempat ini. Untuk bersenang-senang. Tak henti-hentinya dia berpromosi tentang teman-
temannya yang baru datang dari Australia.
“Teman-temanku dijamin ganteng, deh!” ujarnya berpromosi. “Jauh lebih ganteng dari Raka. Sumpah!”
Aku cuma nyengir. Yaa, ... mungkin memandang wajah-wajah ganteng di saat seperti ini tak ada salahnya.
Siapa tahu kehampaan ini bisa terisi. Walaupun di bawah sadar aku meragukannya.
Tak lama kemudian, Rani datang diikuti tiga orang laki-laki. Wah ... wah ... rupanya dia sudah
memikirkan semuanya. Promosi Rani tidak berlebihan. Ketiga lelaki itu memang ganteng. Mataku sampai
terpana menatap mereka satu per satu.
“Hai!” seru Rani dengan riang. Lalu dia berpaling ke arah tiga pria tampan tersebut. “Guys, ini teman-
temanku, Sofie dan Kiara.” Rani menunjuk ke arah kami. Kami mengangguk sambil tersenyum. Lalu satu
per satu dari mereka menghampiri kami.
“Hi, I’m Mario,” kata pria pertama sambil menjabat tanganku, lalu Sofie.
“Ferdi.”
“Ivan.” Yang ini sangat menarik perhatianku. Matanya besar dinaungi alis tebal dan hidungnya
mancung. Tak diragukan lagi ketampanannya.
Aku dan Sofie manggut-manggut. Mereka semua orang Indonesia, hanya saja mereka sudah lama
tinggal di Australia, sehingga lidah mereka begitu fasih berbahasa Inggris. Tapi untungnya mereka tak lupa
berbahasa Indonesia. Dengan santai Ferdi duduk tepat di sebelah Sofie, Mario berdampingan dengan
Rani, dan Ivan di sebelahku. Wow! Begitu lengan kami bersentuhan hawa panas langsung menyengatku.
Aku sampai terkejut dengan reaksi ini. Ivan tersenyum tipis ke arahku. Tampaknya dia tak sadar akan
pesonanya.
“Wanna dance?” tiba-tiba kudengar Mario mengajak Rani bergoyang.
“Sure!” jawab Rani riang. “Silakan ngobrol, teman-teman,” katanya ke arah kami. Lalu dengan lincah
dia segera bergerak ke arah orang-orang yang sedang bergoyang kesetanan. Aku memicingkan mata saat
melihat Rani mulai ikut bergoyang. Melalui ekor mataku kulihat Ferdi sudah mulai bercakap-cakap
dengan Sofie. Sofie pun kelihatannya bisa mengatasinya dengan santai.
“What about you?” tiba-tiba Ivan berbisik tepat di telingaku, sehingga membuatku melonjak.
“Apa?” tanyaku.
“You wanna dance too?” Ivan melontarkan senyum menggodanya lagi.
“Sori, aku nggak suka musiknya,” kataku. Tahu-tahu kulihat Sofie dan Ferdi sudah bergerak ke lantai
dansa. Sofie tersenyum canggung ke arahku.
“Well, temanmu tampaknya tak selugu tampangnya,” ujar Ivan kembali di telingaku.
“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
Ivan mengangkat kedua tangannya sambil mengedik. Aku mengernyit karena tetap tak tahu maksudnya.
Akhirnya tinggallah kami berdua di meja, tanpa tahu harus berbuat apa. Untuk mengobrol rasanya tak
mungkin karena suara musik begitu keras. Baru beberapa saat Ivan kelihatan jenuh.
“Mau ke teras, nggak?” dia bertanya. Entah kenapa aku lega dia bertanya begitu. Setidaknya aku bisa
keluar dari kebisingan ini. Aku mengangguk. Lalu dia menggamit lenganku untuk keluar menuju teras. Saat
berjalan melewati lantai dansa aku sempat menangkap pandangan mata Rani. Kelihatan dia agak kaget
sekaligus senang.
Di teras memang suasana jauh lebih tenang. Di sana hanya ada beberapa orang yang sedang duduk-
duduk. Ivan mengajakku ke pojok teras, di mana terletak meja bundar berpayung. Tempat itu lebih gelap
dibandingkan yang lain karena sorot lampu teras tak mengarah ke sana.
“Wuih!” Ivan menghempaskan tubuhnya ke kursi.
Di luar sini wajahnya kelihatan lebih jelas. Setidaknya di sini tak segelap di dalam. Wajahnya lebih
tampan daripada sebelumnya. Tulang hidungnya begitu tinggi. Jarang sekali kulihat ada orang Indonesia
semancung ini. Bahkan hidung Raka pun tak semancung dia. Aku menggelengkan kepala, berupaya
mengusir bayangan Raka dari kepalaku.
“Kenapa?” Rupanya Ivan melihat gerakan kepalaku. Aku jadi salah tingkah.
“Nggak apa-apa,” jawabku.
Ivan mengangkat sebelah alisnya. Jika sedang begini dia tampak luar biasa menarik. Mataku sampai
tak sanggup berpaling dari wajahnya. Aku tersenyum geli, lalu memalingkan wajah. Hebat juga Rani, dari
mana dia mendapatkan teman-teman setampan ini. Tapi sialnya, lagi-lagi Ivan memergokiku.
“Kamu ini kenapa?” dia bertanya dengan pandangan geli. “Menggeleng sendiri, tersenyum sendiri.
Something wrong?”
“Nggak,” jawabku cepat.
“Well,” Ivan mengangkat sebelah tangannya sambil tersenyum, “Rani tidak bilang kalau temannya
sinting.”
“Apa?”
“Menggeleng sendiri, tersenyum sendiri,” Ivan mengulangi. “Apa itu bukan tanda-tanda sakit jiwa?”
dia berkelakar. Mau tak mau aku tersenyum.
“Sori, cuma teringat sesuatu saja,” kataku memberi penjelasan.
“Sesuatu yang ingin kamu lupakan?” tebaknya. Bagaimana dia tahu?
“Oya?”
“Seratus persen, ya.”
“Salah. Aku teringat sesuatu yang lucu,” tukasku.
“Itu yang kedua,” katanya meralat.
“Apa?”
“Waktu kamu tersenyum sendiri, itu baru teringat sesuatu yang lucu. Benar, tidak?”
Aku terkesiap. Jangan-jangan dia bisa membaca pikiran orang lain. Hii ... apa mungkin dia itu seorang
vampir seperti Edward Cullen?
“Cuma berdasarkan analisis umum. Semua orang melakukannya. Aku juga suka begitu, kok.” Aku tak
tahu harus berkata apa. “Jadi kalau boleh tahu, apa yang barusan kamu pikirkan?”
“Buat apa kamu tahu?” tanyaku keberatan.
“Buat mencari bahan pembicaraan,” jawabnya jujur. “Habis apalagi yang mau kutanyakan. Hmm ...
sebentar coba kupikir lagi.” Ivan mengetuk-ngetukkan jari tangannya ke atas meja. “Sudah berapa lama
kamu kenal Rani?”
“Sudah lama,” jawabku singkat.
“Lamanya itu berapa? Sepuluh tahun? Lima belas tahun?”
“Memangnya penting, ya?” tanyaku sedikit sinis.
“Well, sudah kuduga, pasti pertanyaan model begitu bakal gagal jika ditanyakan kepadamu,” desahnya.
“Kok mau ngobrol aja ribet banget, sih,” keluhku. “Kalau aku yang tanya bagaimana? Sudah berapa
lama kamu kenal Rani?”
“Baru. Beberapa bulan, saat Rani tinggal di Sydney. Kami bertetangga.” Lalu tahu-tahu dia tersenyum
kepadaku dengan ceria. “Nah, begitu, dong. Jadi aku tak perlu bingung memikirkan bahan pembicaraan.
Dari tadi aku pusing, tahu?!” dia pura-pura kesal. Ekspresi wajahnya semakin membiusku. Sialan Rani!
Kenapa dia membawa pria seperti ini ke hadapanku?
“Maaf, aku bukan orang yang supel,” kataku.
Ivan mengibaskan tangannya. “Aku juga bukan.”
Aku tersenyum melihat gayanya. Dari caranya bersikap sepertinya dia orang yang cukup percaya diri.
“Yaa, sebenarnya aku juga tidak ingin datang ke sini,” kataku jujur. “Aku ke sini karena Rani
memaksa.”
Ivan terkekeh. Mungkinkah dia tersinggung mendengar kalimatku?
“Kamu jujur sekali. Aku senang kamu datang. Aku berharap ada teman yang bisa menemaniku selama
aku di Jakarta,” ujarnya.
“Memangnya kamu di sini tak punya teman? Lalu Rani dan yang kedua temanmu tadi?”
Ivan tersenyum geli mendengar petanyaanku. “Mereka juga teman-temanku. Tapi masing-masing, kan,
sudah punya acara. Cuma hari ini kami bisa bersama-sama, besok sudah lain lagi ceritanya. Mungkin kami
baru akan bertemu dua minggu lagi saat mau pulang,” tuturnya.
“Oh, jadi kalian di sini dua minggu ....”
“Yup! Apa itu masalah?”
“Masalah? Kenapa jadi masalah?” aku balik bertanya,
“Nggak, dari caramu bertanya kesannya bagaimana gitu .... Sepertinya kamu nggak suka kami ada di
sini.”
“Apa urusanku?” tukasku. Namun, dalam hati aku merasa bersalah sudah bereaksi seperti itu.
Ivan mengangkat alisnya, lalu dia menatapku sekilas dan kemudian memandangi meja. “Maybe it’s not
a good idea,” ujarnya pelan, seperti berkata pada dirinya sendiri. Kelihatan dia berubah gelisah.
“Apa?” tanyaku karena mendengar ucapannya.
“Obviously ... maksudku ... kelihatan banget kamu sedang tak ingin mengobrol. Jadi ... sebaiknya aku
masuk lagi ke dalam, jika kamu masih ingin di sini sendirian ....” Dari wajahnya kelihatan dia agak kesal
dengan sikapku.
“Oh,” aku terkejut. Kulihat dia bangkit dari kursinya. Lalu entah dorongan dari mana segera kutarik
tangannya agar dia tidak pergi. Ivan kelihatan terkejut melihat tindakanku. “Please ...,” kataku. “Maaf, aku
tak bermaksud kasar .... Tolong jangan pergi.” Ivan duduk kembali sambil memandangku dengan penuh
tanda tanya. Aku sendiri kemudian bertanya-tanya kenapa aku melakukan hal itu. Kenapa tak kubiarkan dia
pergi saja? Toh, di sini juga tak membuat keadaan lebih baik. Siapa tahu aku mengulangi lagi sikapku tadi.
“Yakin mau aku di sini?” Ivan bertanya dengan pelan.
Aku mengangguk dan mencoba tersenyum semanis mungkin. Tanpa sadar aku menghela napas. Kedua
tanganku mengusap wajahku. Lelah. Rupanya Ivan memperhatikan.
“Apa kamu baru patah hati?” dia bertanya hati-hati.
“Hah?” Aku menoleh ke arahnya. Matanya yang besar menatapku lekat-lekat. Mau tak mau darahku
berdesir melihatnya.
“Gejala-gejala yang kamu tunjukkan adalah gejala-gejala orang patah hati. Semoga saja pria itu
memang layak,” nadanya terdengar agak ketus. Aku mengernyit. Ada apa dengan pria ini? Aku cuma
mendengus. “Wah, aku salah bicara, ya? Kalau begitu pasti pria ini hebat sekali.” Entah kenapa kata-
katanya terdengar lebih seperti sindiran. Aku yakin Rani pasti tidak bercerita apa pun mengenai diriku.
Mungkin itu memang sudah sifatnya untuk berkata sinis.
“Kenapa kamu sinis?” tanyaku.
“Oh ...,” Ivan kelihatannya terkejut. “Sori, nggak bermaksud. Tapi apa itu benar?”
“Apanya?”
“Kamu baru patah hati?”
Aku diam saja.
“Aku tak memaksamu cerita, kok. Kira-kira apa, ya, yang enak kita bicarakan?” dia memandangku
ingin tahu.
“Aku tidak tahu,” kataku lirih.
“Baiklah. Kalau begitu kita nikmati saja pemandangan di atas teras ini. Di malam hari Jakarta memang
bagus dilihat dari atas.” Ivan memalingkan wajahnya, dan dia benar-benar melakukan apa yang
dikatakannya. Sambil bersandar di kursi dia menikmati keadaan sekitarnya dengan santai.
Diam-diam aku meliriknya. Pria ini benar-benar asing bagiku. Baru sekali ini aku bersama pria tak
kukenal. Otakku pasti sudah kacau. Aku mengeluarkan telepon genggamku. Dorongan untuk menelepon
Raka kembali kurasakan. Namun, ini sudah malam. Dia pasti sedang bersama Joana. Di tempat tidur
barangkali. Pemikiran itu membuatku sakit. Apa yang dilakukan mereka sekarang? Bercinta? Atau sekadar
tidur berpelukan? Apa pun itu pastilah menyenangkan. Sedangkan aku di sini merana, bersama pria tak
dikenal, dan sama-sama mengalami kebuntuan komunikasi.
Aku menyandarkan tubuhku ke kursi, frustrasi. Lalu ikut-ikut memandangi pemandangan lampu-lampu
di malam hari. Kurasa kami larut dalam pikiran masing-masing, dan entah berapa lama kami begitu sebab
yang kutahu kelopak mataku terasa berat dan semakin tak tertahankan. Lalu kupejamkan mataku.

V
Sebuah sentuhan halus membelai bahuku. Aku menggeliat.
“Sst ... Kiara ...,” terdengar bisikan lembut di telingaku. Aku berusaha membuka mataku, tapi rasanya
berat sekali. Raka-kah itu? Belaian itu terasa lagi. Kali ini di lenganku. “Kiara ...,” suara itu terdengar
lagi.
“Mmm ...,” aku mengerang. Lalu kupaksakan diri untuk membuka kelopak mataku. Buram. Kukerjap-
kerjapkan mataku. Yang ada hanya keremangan. Apa mataku sudah rusak? Tiba-tiba aku merasa leherku
sakit. Oh, aku baru sadar aku tidak di tempat tidur. Kupicingkan mata agar bisa melihat lebih jelas.
Sesosok tubuh menjulang berdiri di sampingku. Dia bukan Raka.
“Hai,” sapanya lembut. Ivan. Mendadak aku merasa malu, dan segera meluruskan tubuhku. “Eh, pelan-
pelan,” katanya sambil memegangi bahuku.
“Oh ... aku ketiduran, ya?” kataku dengan nada menyesal dan setengah tak percaya.
“Yup. Rani sudah mencari kita. Kurasa sebaiknya kita masuk ke dalam, dan setelah itu pulang.”
“Oh ...,” aku mendesah sambil mengusap-usap wajahku.
“Pantas saja mood-mu jelek malam ini. Kamu kurang tidur rupanya,” komentar Ivan.
“Berapa lama aku tidur?” tanyaku tanpa memedulikan komentarnya.
Ivan melihat jam tangannya. “Hampir satu jam.”
“Selama itu? Astaga!” Aku disergap rasa malu bukan kepalang. Tertidur di depan orang yang baru
kaukenal. Hebat sekali, Kiara. Kesan pertama yang bagus.
Ivan menunggu sampai aku benar-benar terjaga, setelah itu kami kembali ke dalam. Sesekali dia
menyentuh bahuku saat aku berpapasan dengan orang lain, karena tubuhku beberapa kali terhuyung-
huyung.
“Hai, guys!” seru Rani girang saat melihat kami. Lalu diam-diam dia memandangku dengan penuh arti,
seolah-olah ingin mengatakan “Hebat, Kiara!”
Sofie juga menahan senyum saat memandangku. Kelihatannya dia cukup senang dengan kenalan
barunya. Ivan dan teman-temannya sempat berbicara sebentar. Tapi sepertinya dia cukup sopan untuk tidak
membeberkan kejadian di teras saat ini.
“Kami mau pulang dulu, Rani,” kata Mario sejurus kemudian, diikuti anggukan kepala kedua temannya.
“Oh, oke, kami juga mau pulang,” ujar Rani, sambil mencium pipi ketiganya. Lalu ketiga laki-laki
melambai ke arahku dan Sofie. Ivan sempat memandangku agak lama, sebelum akhirnya membalikkan
badannya, dan pergi.
Tak lama kemudian kami bertiga pun menyusul keluar. Sofie dan Rani sepertinya ingin mendengar
ceritaku, tapi mereka tak berani bertanya. Mereka cuma memandangku dengan rasa ingin tahu. Tapi aku
terlalu lelah untuk berbicara panjang lebar.
Malam itu kami bertiga menginap di rumah Rani. Rencananya malam itu akan dilanjutkan dengan acara
duduk di balkon rumah Rani, tapi batal karena aku sudah keburu terlelap saat menyentuh tempat tidur. Di
bawah sadar aku bisa merasakan gelombang kekecewaan kedua temanku, tapi apa daya, kantukku lebih
berkuasa.

14
Aku terbangun saat mendengar suara televisi dinyalakan. Sinar matahari menerobos masuk melalui
jendela. Penglihatanku masih buram, sehingga kukerjap-kerjapkan mataku agar bisa melihat lebih jelas.
Kulihat Sofie duduk di depan televisi sambil memegang segelas kopi, yang bisa kutebak dari aromanya
yang masih mengepul dari dalam gelas. Rani tak tampak. Kulayangkan pandangan ke arah jam dinding.
Hampir pukul 10 pagi. Aku menggeliat sambil mengerang keras-keras, sehingga membuat Sofie menoleh,
dan langsung menghampiriku dengan penuh semangat.
“Coba tebak?” katanya meledak-ledak kegirangan. Untung gelas kopinya sudah ditaruh di lantai, kalau
tidak, bisa tumpah ke mana-mana. “Siapa yang baru saja menelepon?”
“Hehhhhh ...,” aku mengerang, tapi tidak menjawab selama beberapa saat, berusaha memulihkan
kesadaranku. Aku tak mengerti ke mana arah pertanyaannya. Kupandangi sahabatku ini dengan bingung.
“Siapa? Ibumu, menyuruhmu cepat-cepat pulang?”
“Huh!” Sofie menepuk pahaku, pura-pura kesal. “Ferdi,” katanya pelan, tapi wajahnya berbinar-binar.
Wow, jarang sekali aku mendapati wajah Sofie berpendar-pendar dengan kebahagiaan.
“Ferdi?” Otakku berpikir keras berusaha mengingat siapa pemilik nama ini. “Kamu belum pernah
cerita soal dia.”
“Ya, jelas, belumlah. Baru juga ketemu kemarin. Ferdi, temannya Rani.” Sofie terkikik, sepertinya dia
geli melihat ekspresiku yang bingung.
“Oh.” Peristiwa memalukan diriku ketiduran di teras terulang lagi di benakku.
“Nanti malam dia mengajakku makan malam,” bisiknya tanpa bisa menyembunyikan kegembiraan yang
meledak-ledak.
“Oh.”
“Bagaimana menurutmu? Orangnya cakep, kan?” tanya Sofie penasaran.
Aku teringat kembali tiga lelaki tampan yang datang semalam. “Ya, cakep.”
“Terus?”
“Terus apa?” tanyaku bingung.
“Pendapatmu?”
“Ah, terus terang aku tak tahu harus bilang apa. Tanya Rani, dong!”
“Sudah. Katanya orangnya baik.”
“Hm. Kalau begitu nggak ada masalah, kan?”
Sofie memandangku. Manik matanya bergerak-gerak.
“Oke,” katanya senang.
“Hm ... aku perlu kafein,” ujarku. Tapi tubuhku masih tetap tergeletak di kasur. Rasanya malas sekali
untuk bergerak.
“Kamu sendiri bagaimana?” tanya Sofie hati-hati.
“Ya, bagaimana?” Rani ikut nimbrung sebelum aku sempat menjawab. Dia muncul dari dapur sambil
membawa sebuah nampan besar. “Tadi aku menelepon Ivan, tapi sepertinya responnya kurang bagus. Apa
yang terjadi semalam? Kalian menghilang begitu saja. Kupikir kalian sedang mesra-mesraan.”
Rani meletakkan nampan tersebut di tempat tidur. Sepoci kopi beserta dua buah cangkir kosong,
sebuah piring berisi setumpuk roti bakar, dan sekotak rokok. Aku beranjak duduk.
“Oh, mesra-mesraan, ya?” aku memegangi kepalaku. Seandainya memang itu yang terjadi, aku takkan
merasa senelangsa ini.
Rani menuangkan kopi ke cangkir dan memberikannya padaku. Aku menerimanya.
“Thanks.” Lalu kusesap kopi itu perlahan-lahan. Alirannya menghangatkan tenggorokanku, dan
kemudian menjalar ke perutku. Aroma kafein-nya menyengat hidungku membuat syaraf-syaraf di kepalaku
mulai bekerja. “Sama sekali tak terjadi apa-apa semalam,” kataku meneruskan, karena kedua pendengarku
sudah menanti dengan antusias. Mereka pikir mereka akan mendengarkan cerita berbau mesum. Sayang,
itu tidak terjadi.
“Tidak terjadi apa-apa?” tanya Rani sangsi.
“Tepatnya, aku ketiduran,” aku mengaku.
Mata Rani dan Sofie melotot sampai aku takut mata mereka benar-benar mencelat keluar. Tak lama
kemudian Rani tertawa terbahak-bahak.
“Astaga! Kiara ... belum pernah aku mendengar yang seperti ini ...,” Rani masih terus tertawa. Sofie
ikut-ikut terkikik.
“Ya, tertawalah kalian sampai puas.”
“Poor Ivan ...,” ujar Rani sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Diam!” bentakku. Mereka masih terus tertawa sampai Rani benar-benar sakit perut dan harus ke
kamar mandi.
“Wah, Kiara. Aku hampir tak percaya,” komentar Sofie yang menahan diri agar tawanya tidak meledak
lagi.
“Percayalah, itu memang benar-benar terjadi. Semoga saja aku tidak ngelindur,” ujarku.
“Omong-omong ngelindur,” Sofie mengambil sepotong roti bakar dari piring, “semalam saat kami
masih mengobrol, kami mendengarmu ngelindur.”
“Oya? Apa yang kukatakan?”
“Apalagi kalau bukan Raka ... hmmm ... Raka ... Raka ... tolong jangan pergi ... jangan ...,” Sofie
terkikik lagi setelah puas menirukan igauanku. Sial! Melihatku murung, Sofie menghentikan tawanya dan
menatapku prihatin. “Tak pernah kusangka kamu akan terluka sedalam itu, Kiara. Seandainya aku bisa
membantu.” Sofie menyentuh tanganku.
Aku menggeleng. “Kamu sudah banyak membantu. Jangan pikirkan aku lagi. Kamu pikirkan saja
kencanmu nanti malam.”
Wajah Sofie kembali semringah. “Rasanya aku nggak percaya bertemu laki-laki seperti Ferdi,”
katanya malu-malu.
“Well, kamu harus berterima kasih pada Rani.”
Sofie mengangguk pelan sambil tersenyum. “Kamu tahu, kan, aku belum pernah jatuh cinta?”
“Masa, sih?”
“Yaa, maksudku yang benar-benar membuatku jatuh cinta.”
Aku berusaha membayangkan seperti apa wajah Ferdi, tapi gagal. Yang muncul malah wajah Ivan,
yang sedang memandangku dengan kecewa karena aku ketiduran.
“Tapi kamu baru sekali bertemu dengannya, kan?” tanyaku.
Sofie mengangguk cepat.
“Kalau begitu jangan terlalu cepat. Tunggu sampai nanti malam,” aku sok menasihati.
“Emang nggak mungkin, ya, jatuh cinta pada pandangan pertama?” tanya Sofie polos.
“Mungkin. Itu yang terjadi padaku dan Raka.”
Ucapanku sepertinya menyurutkan semangatnya.
“Hei,” aku berusaha meralat. “Yang terjadi padaku belum tentu terjadi padamu, oke? Yang penting
waspada saja. Jika ini yang pertama buatmu, lakukan saja. Pengalaman itu penting, tahu.”
Sofie kembali tersenyum riang. “Nanti aku akan kasih full report,” bisiknya sambil mengawasi pintu
kamar mandi, takut kalau-kalau Rani tiba-tiba keluar dari sana. Biarpun hubungan mereka sudah membaik,
tapi tetap saja Sofie lebih merasa nyaman denganku.
“Beres!” aku mengedipkan sebelah mataku.

V
Hari itu kami memutuskan untuk berada di rumah Rani sepanjang hari. Mengobrol dan bergosip. Tapi
sebagian besar adalah mendengarkan cerita-cerita Rani saat masih bersama kekasihnya di Australia. Aku
tak terlalu menyimak detailnya. Namun, mereka sudah berkenalan saat masih di Jakarta. Yang paling
melekat dalam ingatanku adalah bahwa pria itu meninggalkan Rani untuk kembali pada istrinya, dan
menelantarkan Rani. Sehingga akhirnya Rani kembali ke Jakarta.
“Berengsek sekali cowok itu,” desis Sofie.
“Cowok emang berengsek,” Rani menegaskan. “Karena itu aku tak mau terlalu terikat lagi dengan
cowok mana pun. Terutama setelah melihatmu dengan Raka, Kiara.”
Aku mengernyitkan dahi. “Raka nggak berengsek,” belaku.
Rani mengedik. “Kalau dia tidak berengsek, pasti sekarang kamu yang jadi istrinya.”
“Semua salahku.”
“Yaa, teruslah menyalahkan dirimu,” desis Rani tajam.
Suasana berubah hening.
“Kenapa, sih, harus membicarakan dia. Tolong jangan sebut-sebut dia lagi,” kataku.
“Kamu yang duluan, kan?” Rani menuding tak mau kalah.
“Ya, oke, aku yang salah. Sekarang please ganti topik.”
“Ceritakan lebih banyak soal Ferdi,” tiba-tiba Sofie bersuara sehingga mencairkan ketegangan.
Tanpa diminta dua kali Rani langsung nyerocos. Intinya Ferdi adalah lelaki baik-baik menurut
kacamata Rani, yang jujur saja aku kurang yakin dengan penilaiannya. Tapi aku memutuskan untuk tidak
mengatakan apa-apa, melihat mata Sofie yang begitu berbinar-binar bahagia. Seandainya ... bukannya aku
mengharapkan yang terburuk, tapi jika semua tak berjalan lancar untuk Sofie, toh, itu tak bisa dicegah.
Mencegah agar sahabatku tidak terluka adalah hal yang mustahil dilakukan. Separah-parahnya dia akan
merasakan apa yang sedang kurasakan sekarang, yaitu patah hati yang dalam. Tapi hidup tetap berjalan,
kan? Meskipun kau harus melaluinya dengan perih.
“Nah, kamu sendiri bagaimana, Kiara?” tanya Rani tiba-tiba setelah selesai bercerita soal Ferdi.
“Apa kamu nggak penasaran soal Ivan?”
Aku menggeleng. “Kamu, kan, tadi bilang responsnya kurang bagus. Buat apa tahu lebih banyak jika itu
tak ada gunanya.”
Rani mengedik. “Siapa tahu, kan?”
“Well, saat ini aku sedang tak tertarik. Nggak tahu nanti-nanti, ya.” Aku mengambil sepotong roti bakar
dan menggigitnya.
“Bagaimanapun hatimu yang sakit harus diobati,” gumam Rani.
“Bukan berarti dekat pria lain bisa membuatku kembali normal,” tukasku. Aku paling malas dijodoh-
jodohkan seperti ini.
“Ya, memang, tapi setidaknya pikiranmu bisa teralih. Tidak melulu tertuju ke satu objek. Pilihannya
cuma ambil atau tinggalkan, take it or leave it.”
“Begitu?”
“Ya. Jika kamu tak mau mendapatkan Raka, maka sebaiknya tinggalkan dia. Tak bisa setengah-
setengah. Untuk apa menyiksa diri untuk hal yang tak bisa kamu dapatkan,” kata Rani berapi-api.
Aku tertegun. Sofie memandangiku dan Rani bergantian.
“Kalian tahu ...,” kataku ragu-ragu. “Tiga hari sebelum pernikahannya, Raka datang ke rumahku, dan
kami ...,” aku ragu-ragu meneruskan.
“Apa? Making love?” seru Rani terbelalak.
“Bukan,” kataku cepat. “Cuma ... berciuman ....”
“Maksudmu seperti ciuman terakhir? Tapi, dengar, ya, nggak ada yang namanya ciuman terakhir. Pasti
sesudahnya kalian ingin lagi.”
“Tepatnya aku yang ingin lagi,” ralatku.
Sofie terbelalak, mulutnya terbuka. “Oh-oh!”
“Pantas saja kamu begitu nelangsa. Ternyata kamu lebih gila daripada yang kuduga,” ujar Rani.
“Aku sempat berpikir itu akan membuat Raka membatalkan pernikahannya. Tapi ternyata itu tak
terjadi.”
“Kurasa dia bukan tipe pria semacam itu,” ujar Rani. “Biarpun dia memang merasakan sesuatu
padamu, tapi dia tak mungkin membatalkan pernikahan. Dia tak mungkin mengecewakan banyak orang.”
“Ya, betul,” Sofie menimpali. “Raka itu, kan, baik, Kiara. Dia pasti nggak mau mengecewakan
keluarga dan calon istrinya.” Calon istrinya? Huh, aku tak suka mendengar kata itu. Sekarang malah
sudah jadi istrinya.
Aku termenung. Rani dan Sofie diam, lalu mengalihkan pandangan mereka ke televisi. Tiba-tiba
sebuah ide muncul di benakku.
“Kira-kira Raka mau nggak, ya, menjadikan aku sebagai selingkuhannya?”
Rani dan Sofie serentak menoleh ke arahku. “Apa?”
“Cuma ide.”
“Ide buruk,” desis Sofie.
Aku melirik Rani, biasanya anak itu senang dengan ide-ide kontroversial. Tapi dari raut mukanya bisa
kulihat dia pun tak setuju dengan ideku.
“Kamu nggak mendukungku?” tanyaku padanya.
Sofie terlihat cemas menanti jawaban Rani.
“Kamu nggak bakal siap berselingkuh,” ujar Rani setelah menimbang-nimbang beberapa saat.
“Kenapa? Kamu pikir kamu saja yang bisa?!”
“Hei!” Rani protes. Dia menelan ludah. “Hubunganku dan pacarku dulu berbeda denganmu dan Raka.
Kalian terlalu intens. Bisa-bisa malah menjadi bencana. Percaya, deh!”
Aku mencibir. Tapi entah kenapa ide perselingkuhan itu terus bermain-main di kepalaku.

15
Empat bulan kemudian...
Seumur hidupku aku baru saja mengalami waktu yang paling lambat dalam hidupku. Sepertinya semua
berputar secara slow motion. Selain itu, selama empat bulan terakhir ini aku sangat kesepian. Ideku untuk
berselingkuh dengan Raka gagal total, karena entah kenapa dia tak pernah menerima telepon dan SMS
dariku. Dugaanku dia telah mengganti nomor telepon genggamnya. Sebenarnya bisa saja aku bertanya pada
ibunya, menelepon kantornya, atau bertanya pada Mila, karena sampai saat ini Raka dan Joana masih
terikat kontrak dengan Intech Air. Tapi semua itu akan terlalu kentara. Aku tak mau terlihat masih
mengharapkannya.
Lalu tiba-tiba Abdul berhenti menulis email padaku. Awalnya aku tak menyadari. Saat dia tak
membalas kupikir dia sedang sibuk, sehingga hampir setiap hari aku menulis email untuknya berisi keluh
kesahku. Setelah hampir sebulan tak menerima email darinya, aku baru sadar bahwa ada sesuatu yang
janggal. Mungkinkah dia bosan menanggapiku, sehingga dia memutuskan untuk berhenti menulis email?
Berbagai dugaan berkecamuk dalam pikiranku. Tapi aku tak mau berhenti menulis. Tetap saja aku menulis
email pendek: Abdul, ke mana kamu? Bosan membaca emailku? Jawab, dong! Atau: Abduuuuul ....
kamu di mana, sih? Aku stres, nih! Atau malah hanya: Abduuuuuul ....! Sampai akhirnya aku berhenti
menulis dengan perasaan frustrasi. Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya, aku sering berpikir begitu.
Aku tak mungkin berkeluh kesah terus-menerus pada kedua sahabatku. Apalagi mereka berdua sedang
mengalami masa-masa yang membahagiakan—sangat bertentangan denganku. Tak dinyana hubungan Sofie
dan Ferdi ternyata berjalan dengan lancar. Awalnya mereka berhubungan jarak jauh karena Ferdi harus
kembali ke Australia. Namun, kemudian Ferdi memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Maka sejak dua bulan
yang lalu, mereka saling berdekatan. Sedangkan Rani akhirnya sungguh-sungguh menjalankan butik
online-nya, dan berpacaran dengan Erwin, desainer web-nya, sejak tiga bulan yang lalu. Mereka berdua
sedang begitu antusias menghadapi kehidupan yang baru dan menggairahkan. Sedangkan aku seperti bunga
layu yang menunggu kelopaknya jatuh satu per satu. Lalu Ivan? Dia tak terdengar lagi kabarnya sejak
pertemuan kami yang pertama dan terakhir.
Selama empat bulan ini hubunganku dan keluargaku bisa dibilang sedikit membaik kalau tak bisa
dibilang buruk. Aku dan Alvin mulai berbicara sesekali. Walaupun pembicaraan kami terbatas soal musik
di MTV atau film-film box office. Lalu hubunganku dan Papa juga biasa. Jika dia ada di rumah kami
saling menyapa dan sesekali berbincang tentang politik dalam negeri dan peristiwa global. Hubunganku
dan Mama seperti biasa. Kadang-kadang aku menemaninya nonton sinetron. Aku bisa memahami betapa
kesepian dirinya setiap hari. Hanya hubunganku dan Fai yang belum pulih benar. Kurasa kami sama-sama
gengsi untuk memulai. Jadi, kubiarkan saja. Saat Rani memberi tahu bahwa sebelah rumahnya
dikontrakkan, aku pun segera membuat keputusan. Aku pindah. Sudah lama aku berkeinginan tinggal di
rumah sendiri. Lagi pula letaknya masih di dalam kota. Mama sedih dengan keputusanku, tapi aku berjanji
untuk meneleponnya hampir setiap hari, dan itu memang kulakukan. Tak terasa sudah hampir sebulan aku
tinggal sendiri. Anehnya aku menyukainya, dan sama sekali tak merasa kerinduan akan rumahku yang
lama.
Satu hal lagi yang menjadi kegiatan rutinku adalah chatting. Aku kurang suka blogging, karena aku tak
sanggup meng-update isi blog-ku setiap saat. Yang kubutuhkan adalah teman berbicara. Dan di dunia
maya aku bertemu bermacam-macam orang, dari yang cabul sampai yang normal. Ada beberapa orang
yang menarik minatku, dan kelihatannya “normal”. Namun, mereka tinggal di belahan dunia lain, sehingga
aku sudah cukup bahagia hanya bertemu mereka secara virtual. Kadang-kadang aku mendapatkan
pencerahan dari mereka. Atau hanya mengetahui kehidupan mereka yang berbeda membuatku senang.
Entah berapa lama waktu yang bisa kuhabiskan di depan laptopku. Rekor paling lama, 10 jam. Namun,
jangan tanya jika akhir minggu. Sabtu-Minggu bisa kuhabiskan sepanjang hari hanya dengan chatting. Tak
ada lagi yang kukerjakan. Anehnya lagi, aku sangat menyukai kegiatan chatting ini. Bisa bercerita tentang
apa saja pada teman-teman baruku, tanpa harus merasa kikuk karena tak punya bahan pembicaraan. Jika
aku tak punya bahan pembicaraan, mereka pasti punya hal-hal menarik yang bisa dibicarakan. Ini berbeda
dengan yang biasa kubicarakan dengan teman-temanku di dunia nyata. Di dunia maya aku merasa lebih
bebas dan nyaman. Kurasa aku mulai menjadi sosiopat.
Aku bisa mengerti jika kedua sahabatku tak punya waktu khusus lagi yang harus mereka lewatkan
bersamaku. Mereka masing-masing sudah punya pacar. Hidup mereka lebih berwarna. Tak mungkin
mereka harus terus-menerus menemaniku dalam kesengsaraan. Itu sebabnya aku menenggelamkan diri
dalam dunia maya yang lebih ceria. Setidaknya bagiku. Dengan demikian aku tak perlu menuntut perhatian
dari mereka. Walaupun dulu-dulu kami pernah berjanji, bahwa jika kami sudah punya pacar kami harus
tetap menghabiskan waktu bersama. Nyatanya kesepakatan itu sering dilanggar. Aku sering melanggarnya
saat masih bersama Raka. Begitu pula Rani saat masih bersama pacarnya yang dulu. Jadi, sekarang pun
aku tak mau menuntut apa-apa. Aku sudah merasa nyaman dan cukup puas dengan yang kumiliki saat ini.
Ranilah yang pertama-tama menilai bahwa kegiatan baruku ini aneh. Pada suatu hari Sabtu, setelah
empat bulan kami jarang bicara, dia mengetuk pintuku.
“Hi, neighbor!” serunya riang sambil membawa sepinggan makanan. Baunya amat menggoda.
“Apa ini?” tanyaku sambil mengendus-endus.
“Lasagna. Aku membuatnya sendiri,” katanya sambil menyodorkan pinggan itu padaku.
“Thanks,” kataku. “Kebetulan perutku lapar. Baru saja aku mau delivery.”
“Sedang apa?” tanya Rani sambil berjalan masuk ke dalam.
“Chatting,” sahutku. “Sori, sebentar.” Aku cepat-cepat menghampiri laptop yang kuletakkan di atas
meja di kamar yang menghadap ke jendela. Dengan gerakan cepat, aku mengetik sambil berdiri. Lalu
setelah itu membaca sebentar respons dari teman mayaku, mengetik lagi, menunggu, membaca lagi lalu
terkikik sendiri, mengetik lagi, dan kemudian aku berpaling ke arah Rani.
“Wow!” komentar Rani sambil mengangkat alisnya. “Oya, nanti malam kita bisa pergi?” tanyanya
kemudian.
“Ke mana?” tanyaku sambil kembali menghampiri laptopku.
“Sofie mengajak kita ketemuan. Bisa?”
“Ehh ...,” mataku belum berpaling dari laptop. “Pukul berapa?”
“Mungkin pukul, sekitar pukul 8.”
“Pulangnya?”
“Pukul 11, mungkin.”
“Kalau begitu aku atur janji dulu.”
“Dengan siapa?” Rani mengangkat alisnya ingin tahu.
“Mark.”
“Mark?” Rani berjalan mendekatiku. “Siapa dia?”
“Eh ... teman chatting-ku di Aurora, Nebraska.”
“Hah?” Rani memicingkan matanya. “Di mana itu? Kamu ini ....”
“Apa?” tanyaku.
Rani mengedik. “Kamu mulai aneh,” ujarnya sambil menggelengkan kepala.
“Aneh bagaimana? Semua orang juga suka chatting,” tukasku.
“Ya, tapi sebelumnya kamu, kan, nggak suka chatting.”
“Apa salahnya punya kegiatan baru?”
“Oh, .... Oke.” Rani tak berkomentar lagi. “Sampai nanti. Biar nanti aku yang nyamper.” Rani
membalikkan badan dan berjalan menuju pintu depan.
“Oke. Terima kasih lasagna-nya!” seruku. Lalu aku pun kembali dengan kegiatanku di depan laptop.
Terdengar suara pintu depan ditutup. Aku tercenung sejenak di depan laptopku. Ucapan Rani kembali
terulang di benakku. Kamu mulai aneh. Sebelumnya kamu, kan, nggak suka chatting. Ya, itu benar. Dulu
kupikir chatting cuma kegiatan para ABG yang tak ada gunanya. Buang-buang waktu, aku selalu
menganggapnya begitu. Memang benar. Itu sangat bagus untuk membuang waktuku yang lengang, panjang,
membosankan, dan menyedihkan. Itu membantuku melupakan kegetiran hidupku. Lalu apa salahnya? Aku
mendengus kesal. Lalu kembali pada layar monitorku.

V
Sekitar pukul 7, kudengar pintuku diketuk lagi.
“Sebentar!” seruku dari dalam kamar. Aku sedang memberikan sentuhan terakhir pada riasan wajahku.
Setidaknya aku tak mau terlihat kumal saat berkumpul dengan sahabat-sahabatku.
Setelah siap, aku segera keluar. “Hai, Rani,” sapaku dengan nada riang. “Tumben Sofie ngajak
ketemuan mendadak begini,” ujarku saat berjalan menuju mobil Rani.
“Entahlah, sepertinya ada yang penting. Nanti kita juga tahu.”
Sofie mengajak kami bertemu di sebuah lounge yang terletak di sebuah hotel berbintang. Ini pertama
kalinya kami bertemu di tempat seperti ini. Saat kami tiba, kulihat wajah Sofie cerah sekali. Rasanya
sudah lama sekali tak melihat wajahnya.
“Kiara ...,”! serunya tertahan. “Ke mana saja kamu? Kangen, deh!” Aku? Aku di rumah saja. Chatting
dan chatting.
“Tambah cantik aja,” kataku basa-basi. Tiba-tiba aku merasa sulit untuk berbasa-basi. Kebanyakan
nongkrong di depan internet barangkali. Sofie memelukku, lalu kami saling mencium pipi kanan dan kiri.
Begitu pula Sofie dan Rani. Setelah itu kami duduk dan memesan makanan.
“Kamu ke mana saja, Kiara?” Sofie kembali bertanya setelah kami selesai memesan makanan.
“Dia sedang demam chatting, tahu nggak?” jawab Rani sebelum aku sempat buka mulut.
“Rumpi!” makiku.
“Oh ...,” Sofie kelihatan prihatin. Aku mendengus, begitu saja kok jadi prihatin. “Apa kabarmu?”
“Baik,” jawabku. “Kamu sendiri?”
Sofie mendadak tersipu-sipu. “Itu yang mau kukatakan,” katanya, lalu dia mencondongkan tubuhnya ke
depan. “Aku mau nikah,” bisiknya.
“Apa?” aku dan Rani bertanya serentak.
“Ferdi dan aku sudah sepakat akan menikah dua bulan lagi,” tutur Sofie.
“Tapi kamu baru sebentar kenal dia, kan?” tanyaku tak percaya.
“Ya, aku tahu, tapi kami sudah ngeklik,” jawab Sofie sambil tersipu. Ngeklik? Alasan itu terasa klise
bagiku. Aku juga merasa ngeklik dengan Raka dulu.
“Hm ... Ferdi ... tak kusangka ...,” Rani bergumam sendiri. Reaksinya sedikit berbeda denganku.
Setelah Sofie berpacaran dengan Ferdi aku memang sempat bertemu beberapa kali dengannya. Pria
bertubuh tinggi dan berwajah menyenangkan. Secara fisik memang serasi dengan Sofie yang manis dan
lembut. Tapi tak pernah kusangka mereka akan seserius itu.
“Apa keputusanmu untuk menikah tak terlalu cepat?” aku bertanya lagi dengan sangsi.
“Kiara, umurku, kan, sudah hampir 31. Semua ini terjadi di saat yang tepat,” kata Sofie tersenyum.
Yaa, ... umurku juga hampir 31, aku mengingatkan diriku sendiri.
“Jadi kalian mau menikah dua bulan lagi?” tanya Rani.
“Ya, kami sudah menetapkan tanggalnya. Rencananya minggu depan orangtua kami bertemu. Selain itu
aku juga ingin minta bantuan kalian untuk membantu mempersiapkan pernikahan. Kalian mau, kan?”
“Tentu saja,” kami menyahut. Sofie tersenyum senang. Mestinya aku ikut senang melihatnya senang,
tapi aku justru memalingkan wajah. Ada sesuatu yang mengusikku saat melihat senyuman itu.
“Kenapa, Kiara?” Sofie memergoki reaksiku. Wajahnya cemas. Uh, aku gelagapan.
“Nggak apa-apa. Cuma ... mungkin setelah kamu menikah kita akan sulit bersama-sama lagi,” ujarku.
Yaa, itu sebagian benar. Aku akan semakin kesepian setelah Sofie menikah.
“Oh ...,” Sofie merangkulku. “Ferdi pasti akan mengerti kalau aku ingin bertemu denganmu.”
Seharusnya ini menjadi senyumanku juga. Tiba-tiba aku didera perasaan bersalah. Bukankah
seharusnya aku ikut bahagia jika temanku bahagia?
“Bagaimana denganku,” kata Rani tiba-tiba, wajahnya ikut berubah sedih.
“Rani ...,” Sofie tersenyum. “Aku juga akan tetap bertemu denganmu. Kita semua tetap harus sering
berkumpul. Iya, kan?”
“Sip!” ujar Rani sambil mengedipkan matanya. Kami saling tersenyum. Tapi tetap saja rasanya ada
yang mencelus di dalam rongga dadaku.

16
Selama dua bulan aku disibukkan dengan urusan pernikahan Sofie. Aku berani jamin setelah ini aku pasti
bisa membuka usaha wedding organizer sendiri. Aku mengurusi hampir semua keperluan pernikahan.
Sampai-sampai aku merasa akulah yang akan menikah. Sofie dan Ferdi sama-sama menginginkan resepsi
pernikahan yang sederhana, tanpa upacara adat. Kebetulan karena mereka bukan anak pertama dan
terakhir, maka orangtua mereka tak keberatan. Lagi pula orangtua mereka sama-sama sudah tua. Maka,
jadilah aku mengajukan diriku sebagai relawan.
Rani mengurusi busana dan katering, sedangkan sisanya adalah urusanku. Tapi sesederhana apa pun,
tetap saja mempersiapkan sebuah pernikahan itu tak mudah. Apalagi untuk seorang amatiran seperti diriku.
Seringkali aku berhadapan dengan hal-hal remeh yang menyita tenaga dan perhatian. Jika sudah begini,
Rani cuma bisa memandangku dengan prihatin. Dia tahu aku melakukan ini hanya untuk mengalihkan
pikiranku. Aku memang harus membagi waktu antara kantor dan persiapan pernikahan. Tapi tak masalah,
aku senang melakukannya.
“Jangan sampai kamu kecapekan saat hari-H,” begitu Rani selalu mengingatkan setiap kali aku
kelihatan berlarut-larut menangani sebuah masalah.
Dan memang seminggu sebelum pernikahan Sofie, aku merasa kelelahan dan tak enak badan. Tapi aku
tak mau menyerah. Kuminum vitamin dan suplemen agar aku tetap bugar. Syukurlah yang kulakukan itu
membantu. Sehingga saat hari penting itu tiba, aku tetap bertahan.
Hari bahagia itu tiba. Sofie kelihatan cantik dalam balutan kebaya modern warna putih dan bawahan
kain batik perada. Rambutnya disanggul tinggi dengan hiasan bunga lili warna putih. Aku dan Rani juga
mengenakan kebaya warna merah muda. Terpaksa, karena Sofie yang memintanya.
Saat resepsi, aku memutuskan untuk mencari udara segar di luar gedung. Mungkin itu bisa meredakan
sakit kepalaku. Namun, di tengah jalan, aku bertemu Ivan yang baru saja datang. Mataku terbelalak.
Sejenak aku bertanya-tanya kenapa dia datang. Tapi sejurus kemudian aku kembali teringat bahwa dia dan
Ferdi berteman. Tentu saja dia datang, dasar tolol! Aku tak mungkin menghindar dari pertemuan itu,
sehingga yang bisa kulakukan hanya tersenyum seceria mungkin.
“Hai, Ivan!” sapaku. Mataku lalu tertumbuk pada seorang gadis bule berambut cokelat berwajah
cantik yang merapat di sampingnya. Hah! Tentu saja dia pacarnya.
“Hai,” balas Ivan dengan datar. Gadis di sampingnya tersenyum, memamerkan giginya yang putih dan
rata, membuatku nyaris terperangah karena kecantikannya. Tapi Ivan tidak menunjukkan tanda-tanda
bahwa dia mengenaliku. Mungkin dia sudah lupa. Apalagi malam itu, kan, remang-remang. Matanya
tampak kosong dan wajahnya benar-benar tanpa ekspresi. Mendadak aku merasa bodoh berdiri di sana
menunggu reaksi bahwa dia mengenaliku. Tanpa berbicara lagi aku segera berlalu dari hadapan mereka.
Aku sempat melihat ke arah mereka sesaat sebelum keluar. Mereka tampak sempurna satu sama lain.
Seperti sepasang dewa dewi kahyangan. Aku menggigit bibirku. Kenapa semua orang rasanya datang
berpasang-pasangan hari ini. Hanya aku saja yang merana sendirian.
Aku duduk di undak-undakan yang terletak di samping gedung. Di sana sepi. Yang terdengar hanya
sayup-sayup suara band yang menghibur di pesta pernikahan. Aku menghela napas lega. Nanti aku akan
masuk lagi menjelang acara foto bersama. Aku membiarkan pikiranku tak bekerja selama sesaat. Rasanya
enak jika kita tak perlu berpikir. Hanya merasakan udara malam membelai wajahku, tanpa mencemaskan
apa yang akan terjadi. Aku mulai merasakan kelelahan merayapi tubuhku secara perlahan-lahan. Apakah
sehabis ini aku akan sakit? Aku bertanya-tanya sendiri. Aku mengembuskan napas keras-keras, bermaksud
membuang hawa negatif dari tubuhku. Kulakukan itu berkali-kali, mumpung tak ada orang lain, sampai aku
—sepertinya—merasa lebih baik.
“Kamu kelihatan tambah cantik,” tiba-tiba terdengar suara seseorang di belakangku. Aku terkejut,
sampai-sampai aku tersedak napasku sendiri. Berengsek! Aku batuk-batuk. Kudengar laki-laki itu terkekeh
geli. Susah payah, karena tertahan korset, kuputar badanku. Kulihat Ivan di sana sedang berdiri sambil
mengisap rokoknya. Wajahnya yang tampan terlihat geli. Jauh berbeda dengan yang tadi kulihat.
“Kamu tahu siapa aku?” aku bertanya hati-hati.
Ivan mengembuskan asap rokok dari mulutnya yang liat. “Tentu saja,” jawabnya santai. “Kamu Kiara
temannya Rani. Temannya Sofie juga, yang married dengan Ferdi temanku. Apa ada informasi yang perlu
ditambahkan?” Yang sekarang jomlo dan merana.
Ivan kembali terkekeh, lalu berjalan menghampiriku dan duduk di atas undakan di sampingku. Aroma
parfum pria tercium samar-samar, membangunkan sesuatu dalam diriku. Aku segera memalingkan wajah,
karena kurasakan wajahku menghangat. Oh, kamu benar-benar kayak anak ABG, Kiara, ujar suara dalam
kepalaku.
“Oya,” katanya kemudian sambil menahan senyum, “siapa yang bisa lupa kalau teman bicaramu
ketiduran saat baru pertama kali bertemu.” Uh, rasanya aku ingin berubah jadi tikus dan segera
menyelinap pergi.
“Sori,” ujarku. “Itu juga yang pertama kalinya terjadi.” Aku membela diri.
“Maksudmu ketiduran?” dia bertanya sambil mengerling menggoda. Jantungku jadi berdebar keras
karenanya. Dan aku nyaris lupa kapan terakhir kalinya jantungku berdebar seperti ini.
“Ya.”
“Berarti sekarang kamu nggak ngantuk, kan?” matanya berkilat-kilat nakal.
“Nggak, tapi sebenarnya aku capek sekali,” aku mengaku. Lalu sesaat kemudian, aku menguap. Segera
kututupi wajahku. “Oh,” aku mengeluh. “Jangan-jangan kamu ini mengandung obat tidur, ya?! Kenapa aku
selalu ngantuk kalau di dekatmu?!”
“Bukan obat tidur,” katanya keberatan. “Tapi obat bius,” katanya kemudian sambil mendekatkan
wajahnya ke arahku. Embusan napasnya mengenai wajahku. Pipiku kembali panas.
“Kalau begitu, aku harus menyingkir sebelum pingsan,” kataku cepat-cepat, bersikap seolah-olah tak
terjadi apa-apa. Aku cepat-cepat bangkit, tapi tubuhku malah terhuyung-huyung. Ivan melingkarkan
tangannya ke pinggangku, menahanku agar tak terjatuh dari undakan.
“Hati-hati,” serunya spontan. Dagunya menyentuh kepalaku. Kakiku mendadak lemas. “Kamu sakit?”
katanya cemas.
Aku menggeleng. “Aku cuma kecapekan. Kayaknya ....”
“Sudah makan?”
“Lupa.”
“Kalau begitu, ayo makan sekarang. Aku juga belum makan. Tunggu di sini. Bisa tahan berdiri
sebentar?”
Aku mengangguk lemah. Ivan mematikan rokoknya di tempat sampah, dan segera menghilang, lalu tak
lama kemudian kembali lagi sambil membawa dua buah kursi. Aku pun duduk di kursi.
“Sebentar,” katanya, lalu dia kembali menghilang. Kira-kira 10 menit kemudian dia muncul lagi
sambil membawa sepiring nasi beserta lauk-pauknya.
“Nggak keberatan, kan, kalau kita makan sepiring berdua. Biar nggak bolak-balik,” katanya.
“Sendoknya?” kataku.
“Oh, lupa. Gantian nggak apa-apa, kan?”
“Oke,” aku mengangguk, berusaha bersikap seolah itu bukan masalah besar. Padahal aku agak risi.
Kami makan menggunakan sendok yang sama secara bergantian. Kulihat Ivan sama sekali tak merasa
kikuk dengan hal itu, karena itu aku pun mulai merasa nyaman.
“Pacarmu tidak mencarimu?” tanyaku, setelah kurasakan dia sudah terlalu lama berada di luar
bersamaku.
“Pacarku?”
“Cewek bule yang tadi bersamamu.”
“Oh, Caroline. Dia bukan pacarku, tahu. Kami sama-sama teman Ferdi di Australia. Itu saja.”
“Tapi kalian kelihatan cocok sekali,” gumamku tanpa sadar.
“Oya?”
Aku mengangguk.
“Well, sebenarnya kami memang pernah pacaran. Tapi cuma sebentar. Kami sudah lama putus.”
Tiba-tiba aku diterpa perasaan cemburu yang tak masuk akal. Jadi mereka pernah pacaran. Apakah
mereka masih saling mencintai?
“Kenapa kalian putus?” tanyaku ingin tahu.
“Entahlah. Aku juga lupa. Kejadiannya sudah lama. Waktu kami baru masuk kuliah. Mungkin karena
kami tidak cocok satu sama lain.”
Ivan memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.
“Sekarang, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Ivan sambil menelan makanannya.
“Apa?”
“Siapa Raka itu?”
“Tahu dari mana?”
“Kamu sendiri yang bilang.”
“Kapan?”
“Waktu ketiduran tempo hari.”
Wajahku memerah lagi. Apa belum cukup aku melakukan hal yang memalukan?
“Pacarku ... dulu,” kataku gagap.
“Ow ...,” Ivan menaikkan sebelah alisnya. Tapi setelah itu dia tak bertanya lagi, dan kembali sibuk
dengan makanannya. Aku merasa lega karena tak perlu menggali ingatan dan perasaanku tentang Raka.
Kami makan tanpa suara.
“Mau kuambilkan minum?” tanya Ivan, setelah kami selesai makan. Aku mengangguk. Ivan bangkit
sambil membawa piring kotor dan menghilang masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudian dia muncul
kembali sambil membawa segelas air.
“Apa kamu mau masuk ke dalam?” Ivan bertanya kemudian. “Sepertinya mereka sudah mulai foto-
foto.”
“Ah ...,” gumamku tak jelas. Ide untuk berfoto menjadi tak menarik lagi.
“Ayo?” Ivan mengulurkan tangannya. Aku diam saja.
“Sebenarnya aku ingin di sini saja,” kataku.
“Nanti teman-temanmu marah.”
“Ah ...,” aku mendesah, lalu berusaha bangkit tanpa menghiraukan uluran tangannya. Tanpa diminta dia
langsung memegangi lenganku. “Aku nggak pingsan, kok,” kataku.
“Oh, oke,” Ivan segera melepaskan tangannya.
“Tapi badanmu sepertinya panas,” ujar Ivan tanpa menoleh ke arahku. Aku diam saja, dan berusaha
terus berjalan dengan langkah cepat ke dalam gedung, tapi kain yang membungkus kakiku dan sepatu hak
tinggi menghalangi usahaku. “Jangan buru-buru, nanti jatuh,” katanya memperingatkan. Lagi-lagi tanpa
memalingkan wajah ke arahku. Aku pun segera melambatkan langkahku. Jangan sampai aku jatuh di tempat
seperti ini. Memalukan.
Sesampainya di dalam, aku bergegas menghampiri Rani yang sudah bersiap-siap di dekat pelaminan.
“Hei,” sapanya. “Pas banget, nih, sudah mau foto.” Lalu dia melihat Ivan. “Eh, ada Ivan?”
Aku mengangguk. “Kalian ....?” dia tak meneruskan kalimatnya, karena keburu terpotong suara MC
yang menyuruh kami naik pelaminan dan berfoto. Rani langsung mengambil tempat di samping Sofie, lalu
di sampingnya Erwin langsung mengambil posisi. Aku bergeser, hingga serasa tersisih. Tahu-tahu Ferdi
menyuruh beberapa orang temannya yang datang dari Australia ikut naik ke atas pelaminan, termasuk Ivan
dan Caroline. Caroline berdiri di samping Ferdi, disusul beberapa teman lainnya. Sedangkan Ivan dengan
santai melangkah ke sampingku. Saat kami bersisian dia tersenyum. Fotografer lalu menyuruh kami agar
lebih merapat ke tengah. Terpaksa aku merapatkan diri kepada Erwin, dan Ivan merapatkan diri kepadaku,
sehingga tangannya menyentuh telapak tanganku sekilas. Serta-merta aku menepisnya. Dia kelihatan
terkejut, tapi pura-pura tidak tahu. Aku jadi malu. Kenapa reaksiku norak begitu, ya? Jantungku kembali
berdebar keras. Aku berharap sesi foto ini segera selesai.
“Kamu pulang sama siapa?” tanya Ivan di atas pelaminan sebelum aku sempat turun. Rani rupanya
sempat mendengar perkataan Ivan, tapi dia pura-pura tak tahu. Kulihat mata Sofie dan Ferdi sempat
melirik ke arahku. Ah! Aku mulai merasa gerah.
“Sendiri. Aku bawa mobil,” jawabku cepat-cepat.
“Pakai kebaya begini?” tanya Ivan sambil mengernyitkan alis, tubuhnya tetap menghalangi jalanku.
“Ya,” kataku cepat. Kepalaku kembali terasa berdenyut. Lalu cepat-cepat kubalikkan tubuhku ke arah
Sofie. “Aku langsung pulang, ya?” bisikku. Sofie mengangguk.
“Kamu kelihatan capek. Sampai rumah istirahat, ya? Sekali lagi terima kasih banyak. Nanti sepulang
aku bulan madu, kita ketemu lagi, ya?” ujar Sofie dengan wajah berbinar bahagia.
Aku mengangguk.
“Terima kasih banyak, Kiara,” ujar Ferdi sambil menyalamiku.
“Sama-sama,” kataku. “Jaga Sofie baik-baik, ya, Fer?” kataku. Tanpa kuduga tenggorokanku mulai
tercekat.
“Ya.”
Setelah itu aku buru-buru turun. Kulihat Ivan berbicara pada Ferdi. Rasanya aku ingin berlari. Aku
punya firasat Ivan seperti akan membuntutiku. Tapi kuenyahkan pikiran itu. Memang siapa dirimu, Kiara?
Mana mungkin laki-laki itu mengikutimu. Dasar ge-er!
Aku ingin mengendarai mobilku dengan kecepatan tinggi tapi ternyata jalanan tak sesepi yang kukira.
Malam Minggu, semua orang ingin berjalan-jalan keluar rumah. Aku ingin segera sampai di rumah dan
membaringkan tubuhku yang penat. Perlu waktu hampir 1 jam bagiku untuk sampai di rumah. Kulihat
rumah Rani masih gelap. Jadi dia pasti belum pulang. Sesampainya di dalam rumah, aku masih belum bisa
menghilangkan perasaan bahwa seseorang mengikutiku. Dengan terburu-buru aku mengganti bajuku,
menghapus riasan wajah, menyisir rambutku, dan segera mengunci pintu, serta mematikan lampu. Diam-
diam kubuka tirai ruang tamu, dan mengintip keluar. Tapi di luar tak ada siapa-siapa, hanya mobilku yang
terparkir di carport.
Aku mendengus. Lalu kepenatan mulai menyerangku. Maka aku pun membaringkan tubuhku ke tempat
tidur, dan tertidur. Aku bermimpi sedang berjalan-jalan di dalam hutan dengan pepohonan yang tinggi dan
besar. Tiba-tiba aku berlari dikejar sesosok bayangan. Bayangan itu tak bisa kuhindari, dan selalu
mencegatku ke mana pun aku pergi. Sampai akhirnya sebuah sinar menerpa bayangan tersebut, dan
bayangan itu pun menguap berubah menjadi uap, yang melayang ke udara, menghilang di sela-sela
pepohonan.
Aku terbangun karena ada suara ketukan di pintu dan jendela ruang tamuku secara berganti-ganti. Aku
mengerjap-ngerjapkan mataku. Sinar matahari yang menerangi kamarku membuat mataku silau. Dan tamu
tak diundang ini benar-benar mengesalkan. Aku menyesal rumah ini tak berpagar. Jadi mestinya si tamu
sudah melewati pos penjagaan. Aku menggeliat, sama sekali tak berniat untuk bangun. Mungkin Rani. Jika
tahu aku tak membuka pintu nanti, toh, dia akan capek sendiri. Benar saja, tak lama kemudian ketukan itu
berhenti. Aku mendengus. Kucari remote control dan kunyalakan televisi, tanpa berniat menonton. Aku
hanya ingin ada suara-suara di dalam kamarku, agar aku tak merasa kesepian. Kemudian aku kembali
memejamkan mataku. Di televisi rupanya sedang menyiarkan acara musik. Kudengar lagu “Hapus Aku”
milik Nidji mengalun.
Aku nyaris kembali tertidur, ketika suara ketukan itu terdengar lagi. Keterlaluan Rani. Apa dia tak tahu
aku sangat kelelahan setelah dua bulan bekerja keras? Aku bangkit dengan malas. Kepalaku masih terasa
berat karena kantuk. Kulihat tampangku sebentar di kaca .... Hah! Tampangku benar-benar suntuk,
ditambah lagi rambut acak-acakan karena masih ada sisa hairspray di sana. Dengan langkah gontai aku
berjalan menuju ruang tamu. Suara ketukan itu tidak berhenti juga.
“Sebentar!” bentakku kesal. Siapa pun yang ada di depan sana—terutama jika itu Rani—akan
kusemprot habis-habisan karena mengganggu istirahatku. Aku memutar anak kunci dan membuka selot
pintu depan. Rasanya keras sekali selot itu mengait, karena aku nyaris tak punya tenaga. Dengan tampang
cemberut aku membuka pintu.
Ivan berdiri di sana, menanti dengan senyuman. Semua amarahku menguap, berganti dengan kepanikan.
“Ivan ...,” aku kehilangan kata-kata. Rasanya pintu ingin kubanting sampai tertutup, tapi tangan Ivan
sudah keburu menahan daun pintu. Oh, ini lebih memalukan dari ketiduran waktu itu.
“Hai, selamat pagi,” katanya riang. Mataku terbelalak, dan jantungku mulai berdebar-debar.
“Ada perlu apa?” tanyaku, sambil kemudian memicingkan mata karena silau.
“Cuma ingin tahu keadaanmu,” sahutnya santai. Lalu tanpa dipersilakan segera duduk di kursi ruang
tamu. Kini aku benar-benar panik.
“Tahu dari mana rumahku?” tanyaku menyelidik.
“Dari Rani, dan ... jangan marah, ya, ... semalam aku juga mengikutimu,” jawabnya santai. Jadi
firasatku benar. Aku tidak tahu harus merasa takut atau marah.
“Oh ...,” cuma itu yang meluncur dari bibirku.
“Bukan apa-apa, aku cuma khawatir terjadi sesuatu padamu di jalan,” dia buru-buru menambahkan.
“Memangnya aku kenapa?” tanyaku ketus, sambil mengusap-usap rambutku agar tak terlalu berantakan.
Ivan terkekeh. “Kamu ini ...,” katanya dengan geli.
“Kenapa, sih?” aku mulai kesal.
“Semalam kamu, kan, kurang enak badan. Menyetir sendirian itu berbahaya dalam keadaan sakit.”
“Siapa yang sakit?”
Tahu-tahu Ivan mengulurkan tangannya dan menyentuh dahiku. Aku tak sempat mengelak. “Uh,
panasnya. Kamu punya termometer?” ujarnya khawatir.
Aku mendecakkan lidah. “Ah, kayak ibu-ibu, deh.” Aku menepiskan tangannya. Sentuhan tangannya
malah membuat badanku tambah panas.
“Bukan begitu, tapi kamu demam.”
“Oh, kamu dokter, ya?” sindirku.
“Kalau cuma demam saja, sih, semua orang juga tahu,” Ivan mendengus. Dia lalu memandangku
sambil mengusap rambutnya ke belakang. “Sayang aku tak sempat beli sarapan tadi. Kamu pasti belum
makan, kan?”
Entah kenapa aku merasa jengah dengan sikapnya.
“Nanti bisa delivery,” ujarku.
“Sebaiknya kamu tiduran saja lagi,” katanya dengan nada setengah memerintah. Lalu dia berdiri dan
menghampiriku. Disentuhnya pundakku, “Ayo,” katanya. Aku menurut di luar kemauanku. Ivan berusaha
memapahku.
“Ivan, aku bisa sendiri,” tukasku, berusaha menghindari tangannya.
“Oke,” Ivan mengangkat tangannya, lalu berjalan ke arah dapur. Ya, ya, ... anggap saja rumah sendiri.
“Kamu mau kumasakkan sesuatu?” dia bertanya sambil membuka kulkas.
Aku sudah tak punya energi untuk membantah. “Terserah.” Aku menarik selimut sampai menutupi
leherku.
“Kamu jarang masak, ya?” seru Ivan dari balik tembok.
Aku tak menyahut. Sayangnya kamarku tak berpintu berhubungan rumah ini hanya punya satu kamar
tidur, jadi aku tak bisa menyembunyikan diri dari pandangannya. Kudengar Ivan mengambil sesuatu dari
kulkas. Aku berusaha memejamkan mata, tapi sulit. Rasanya aneh ada pria lain yang berada dekat
denganku selain Raka. Hal ini membuat jantungku berdetak tak keruan. Ingatanku kembali melayang pada
Raka, tapi tak lama, karena kegelisahan ini membuat pikiranku kacau. Aku tak bisa memikirkan apa pun
sekarang, kecuali menanti apa yang akan terjadi.
Mataku sudah hampir tertutup lagi, ketika Ivan mengatakan bahwa sarapan untukku sudah siap.
“Terlalu banyak makanan awetan di lemarimu,” katanya saat aku duduk di ruang makan untuk
menikmati telur dadarnya—yang katanya omelet. “Itu tidak baik buat kesehatan.”
“Oh, jadi kamu ahli gizi, ya?” ujarku sinis.
“Kalau sudah umur 30 sudah waktunya menjaga kesehatan,” katanya tanpa memedulikan reaksiku.
“Tapi kalau merokok boleh?” sindirku.
“Aku cuma sesekali saja merokok,” ujarnya membela diri.
“Oh,” aku membulatkan bibirku.
Dia memandangku setengah tersenyum.
“Kamu ini lucu,” katanya kemudian.
“Lucu?!” kataku pada diriku sendiri sambil mendesis, tapi ternyata dia mendengar.
“Iya. Lucu. Lucu aneh, maksudnya.” Ya, terserah, deh.
Aku tak menghiraukan apa pendapatnya. Perutku ternyata lapar juga, dan di luar dugaan omelet
buatannya ternyata enak juga.
“Ternyata kamu doyan juga,” komentarnya sambil memandangku dengan takjub. Wah, jangan-jangan
aku makan seperti orang kalap.
“Kamu ini kurang kerjaan, ya?” tanyaku menyindir.
“Apa?”
“Sebenarnya untuk apa pagi-pagi kamu ke sini. Memangnya kamu nggak ada kerjaan lain?”
“Sekarang, kan, hari Minggu. Dan memang aku nggak ada kerjaan di sini.”
“Kupikir kamu sudah pulang ke Australia.”
“Belum. Mungkin tidak.”
“Kenapa?” tanyaku ingin tahu.
“Kamu kok kayaknya nggak suka aku di Indonesia.”
“Kenapa harus nggak suka? Bukan urusanku lagi.”
“Oh, bukan urusanmu, ya?” tanya Ivan. Wah, lagi-lagi aku salah bicara.
Aku menghentikan kegiatan makanku. Kulihat Ivan sedang bersandar di tembok sambil melipat kedua
tangannya dan memandangku. Lagi-lagi tatapannya.
“Begini, Ivan. Belakangan ini banyak hal yang kualami, jadi ... kuharap ...,” belum sempat aku selesai
bicara Ivan mengangkat tangannya. Lalu dia beranjak dari tempatnya bersandar.
“Kamu tak perlu menjelaskan apa-apa,” katanya. Kini dia bersandar ke meja makan.
“Aku cuma tak mau kamu salah paham. Bukannya aku tak tahu terima kasih atau apa. Tapi aku ... aku
cuma tak terbiasa dengan semua ini. Jangan menganggap aku orang yang ... yang apa, ya ...,” aku jadi
bingung dengan kata-kataku sendiri.
“Kiara, aku juga cuma ingin menolongmu. Kamu boleh tanya dengan Ferdi atau Rani, itu memang
sudah kebiasaanku. Yaa, anggap saja aku ini orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Rani bilang
aku ini cocoknya kerja di panti sosial. Apa Rani pernah cerita bagaimana kami bertemu?”
“Belum,” sahutku sambil menggeleng.
“Aku menolongnya sewaktu dia lupa membawa kunci apartemennya. Mm ... aku membobol pintunya.”
Sebuah pemikiran sempat terlintas di benakku. “Hubunganku dan Rani purely friendship, kalau kamu
penasaran.” Nah, benar, kan, dia bisa membaca pikiranku.
“Oke,” komentarku singkat, sambil kembali meneruskan menghabiskan omelet. Jadi memang tak ada
yang istimewa dengan semua ini, pikirku. Mungkin aku memang terlalu ge-er. Lalu kenapa aku merasa
sedikit kecewa, ya?
“Oke ...,” Ivan seperti mengulangi ucapanku.
Aku mendongak. Kulihat dia beranjak menjauhi meja makan.
“Karena kamu sudah makan, aku mau pulang dulu,” katanya. Jadi dia cuma ingin memastikan aku
makan?! Aku bangkit dari kursiku untuk menemaninya keluar. “Tidak usah,” katanya sopan. “Kamu makan
saja. Banyak istirahat, ya?”
Aku mengangguk. Kulihat dia berjalan ke pintu, lalu melambaikan tangannya ke arahku sebelum
menghilang di balik pintu. Setelah makananku habis, minum obat penurun panas, aku kembali ke tempat
tidur. Mataku kembali terasa berat dan tak lama kemudian aku pun tertidur.

17
Keesokan harinya, aku bangun dengan suasana hati yang lebih baik, biarpun tubuhku masih terasa agak
lemas. Tapi semangatku cukup tinggi sehingga sanggup menopang tubuhku. Setelah selesai mandi dan
berdandan seadanya, aku merogoh tasku untuk mengambil kunci mobilku. Tapi kemudian terdengar pintu
diketuk.
“Sebentar,” teriakku. Begitu kubuka pintu aku terkesiap. Ivan ada di sana. “Ivan?” kataku setengah tak
percaya.
“Kamu ini,” katanya sambil mendorongku untuk memberikan jalan masuk untuknya. “Kenapa, sih,
tampangmu selalu begitu kalau melihatku?”
“Aku cuma kaget saja,” ujarku.
“Aku ke sini membawakan sarapan untukmu. Tadinya kupikir kamu tidak masuk kerja. Belum
terlambat untuk pergi ke kantor, kan?”
“Wow ...,” aku kehabisan kata-kata.
“Kamu tipe yang sering melewatkan sarapan, karena itu aku membawakan ini untukmu.” Ivan
meletakkan sebuah kantong plastik ke atas meja.
Apa ini salah satu kebiasaannya juga? Aku ingin bertanya, tapi tak ingin merusak suasana pagi yang
ceria ini.
“Apa itu?” tanyaku.
“Bubur ayam. Kamu suka, kan?”
“Suka, asal enak.”
“Dijamin, pasti enak,” katanya sambil nyengir.
Aku cuma menatap kantong plastik berisi bubur yang tergeletak di atas meja. Perutku lapar
sebenarnya, tapi ....
“Apa perlu kutaruh di mangkok?” Ivan menawarkan diri.
“Tidak,” kataku cepat-cepat. Lalu Ivan menunggu reaksiku selanjutnya. Heran, kenapa dia tidak segera
pergi saja, sih? “Sebenarnya ...,” aku mulai mengarang-ngarang kebohongan, “Aku ditunggu rapat di
kantor. Bagaimana kalau bubur itu kubawa saja untuk sarapan di kantor?” Ivan memandangi wajahku,
sepertinya hendak mengorek isi kepalaku, lagi.
“Nanti dingin, tapi terserah kamu,” katanya kemudian.
“Good.” Aku mengulurkan tanganku, mengisyaratkan pada Ivan untuk memberikan kantong bubur
kepadaku. Ivan pun menyerahkan kantong plastik itu. “Terima kasih.”
“Mau kuantar?” Ivan kembali menawarkan diri.
“Aku bawa mobil,” ujarku sambil menunjukkan kunci mobilku padanya. Bukan bermaksud pamer, tapi
sekadar memberitahunya bahwa aku tidak selemah perkiraannya.
“Oke. Hati-hati di jalan,” katanya menyerah sambil memamerkan senyum andalannya. Lalu dia pun
berjalan keluar, dan menuju ke mobilnya sendiri. Sebelum menjalankan mobilnya keluar dari halaman, dia
melambaikan tangan. Aku pun membalasnya.
Di luar dugaan, semangatku ternyata bertambah berkali-kali lipat. Apa ini karena bubur ayam
pemberian Ivan, atau sebab lain? Aku tidak tahu. Yang jelas aku senang.
Malam harinya, sepulang dari kantor aku menyempatkan diri membeli makan malam. Siapa tahu Ivan
mengikutiku sehingga dia punya kesempatan lagi untuk membelikanku makan malam. Aku sedang tak ingin
bersama seseorang malam ini. Biarpun tak bisa dipungkiri bahwa dia membuatku senang hari ini, tapi
bukan berarti dia bisa berada di dekatku terus-menerus. Malam ini aku berniat mengobrol dengan Mark di
dunia maya.
Maka ketika pintuku kembali diketuk, antusiasmeku langsung runtuh. Padahal aku baru saja memulai
percakapan dengan Mark.
Begitu kubuka pintu dan pasang tampang kesal, aku terkejut sendiri. Tiba-tiba Alvin sudah berdiri di
depan pintu rumahku.
“Ada apa, Alvin?” tanyaku terkejut.
“Boleh aku menginap di sini?” Tanpa menunggu izin dariku, Alvin langsung nyelonong masuk, lalu
meletakkan tas selempangnya di atas meja makan. Wajahnya tampak berkeringat.
“Naik apa kamu?” tanyaku, masih belum pulih dari rasa terkejut.
“Taksi.”
“Mama tahu kamu di sini?”
“Tidak.” Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengempaskan diri ke kursi. Dengan kedua
tangan dia menutupi wajahnya dan sikunya bersandar ke atas meja.
“Kamu kenapa, sih?” aku duduk di hadapannya.
“Aku dikejar orang.”
“Siapa?”
Alvin tak langsung menjawab. Wajahnya terlihat kacau di sela-sela jari tangannya.
“Siapa, Alvin?” aku mengulangi.
“Saudara-saudaranya Eva,” jawabnya dengan suara gemetar.
“Eva?” aku mengernyit.
“Bekas pacarku.”
“Oh,” aku menarik napas. Ternyata adikku sudah pernah pacaran. Astaga, bahkan aku tak
mengetahuinya. Kurasa semua orang di rumah tak ada yang tahu. “Kenapa mereka mengejar-ngejarmu?”
“Aku ....”
Aku diam menunggu penjelasannya.
“Mereka ingin aku bertanggung jawab,” katanya kemudian.
“Bertanggung jawab? Memang kamu salah apa?”
“Entahlah ...,” sahutnya gusar.
“Entahlah? Jadi kamu nggak tahu salahmu apa?” tanyaku sangsi.
“Tolong jangan tanya-tanya lagi,” sergah Alvin. Enak saja dia bilang begitu. Sudah datang tanpa
diundang, membawa masalah, sekarang dia menyuruhku untuk tidak bertanya-tanya. Sebuah kecurigaan
muncul di benakku.
“Kamu menghamili pacarmu?” tudingku.
“Dia bukan pacarku. Aah!” Alvin memukul meja dengan tangan terkepal.
“Aku nggak peduli dia pacarmu atau bukan. Apa kamu menghamili cewek bernama Eva ini?” tanyaku
dengan suara meninggi.
Alvin menatapku dengan sengit, lalu sejurus kemudian memalingkan wajahnya.
“Entahlah,” katanya lirih.
“Entahlah? Jadi kamu lupa?” desisku.
“Ya, aku pernah tidur dengannya! Tapi itu sudah lama, sebelum kami putus. Tahu-tahu sekarang dia
mengaku sudah hamil hampir 5 bulan. Bisa saja itu anak orang lain, kan?”
“Memang kapan terakhir kali kamu tidur dengannya?”
“Yaaa, ... beberapa bulan yang lalu.”
“Kalau begitu kamu harus bertanggung jawab.”
“Enak saja,” sergah Alvin marah. “Dia itu sudah sering tidur sama cowok. Saat aku tidur dengannya
dia sudah tidak perawan lagi, tahu!”
“Kamu tahu dari mana?”
“Aah ... aku ini laki-laki, Kiara. Aku tahu mana perempuan yang perawan dan yang bukan.”
Aku mengernyitkan alis. Entah kenapa ucapannya menohokku. “Kamu sudah sering, ya?”
“Pokoknya sudah pernah! Untuk apa kamu ingin tahu?”
“Aku kakakmu!”
“Oh, jadi kalau sedang begini kamu mengaku-ngaku kakak?! Dulu-dulu ke mana saja?”
“Aku memang kakakmu. Untuk apa kamu ke sini kalau aku bukan kakakmu?!!”
Alvin bangkit dari kursinya. “Kalau begitu maaf merepotkan. Aku salah datang ke sini, lebih baik aku
cari hotel saja!” Dia segera menyambar tasnya.
“Alvin!”
“Apa lagi?”
“Tolong jangan pergi. Aku ... memang seharusnya tidak memarahimu. Maaf. Tinggalah di sini selama
kamu suka. Nanti kita bicarakan lagi. Oke?” sikapku melunak.
Alvin tampak ragu-ragu sesaat. Napasnya terengah-engah. “Baiklah. Tapi jangan beritahu siapa-siapa
kalau aku di sini.”
“Oke.” Aku berjalan ke ruang tamu.
“Kamu mau ke mana?” tanya Alvin.
“Ke sebelah. Tempat Rani,” sahutku. Alvin menunduk, lalu berpaling. Aku menutup pintu sambil
menghela napas. Kuperhatikan sekeliling kompleks. Tidak ada yang mencurigakan. Semoga saja orang-
orang itu tidak tahu Alvin ada di sini. Eva? Aku mengingat-ingat nama itu. Kejadian ini membuatku
terenyak. Aku tak mengenal kehidupan adikku sama sekali. Kakak macam apa aku ini? Keluarga macam
apa kami? Aku berani bertaruh Papa dan Mama pasti juga tidak pernah tahu bahwa Alvin punya pacar,
atau pernah punya pacar.

18
Keesokan harinya kuputuskan untuk tidak masuk kerja. Ada sesuatu yang harus kulakukan. Misi keluarga,
bisa dibilang begitu. Setelah kembali menginterogasi Alvin sepagian tadi, akhirnya aku bisa mengorek
informasi tentang mantan kekasihnya itu.
Aku menunggu di lobi sebuah kantor yang terletak di sebuah kompleks perkantoran. Kantor ini katanya
studio rekaman. Entah rekaman apa. Lobinya terlihat kotor dan sangat tidak representatif jika ini disebut
studio rekaman. Satu-satunya yang mencirikan bahwa tempat ini adalah studio rekaman dalam beberapa
foto yang dipajang di dinding lobi. Tapi aku sama sekali tak mengenali band-band yang ada di foto-foto
itu. Kata Alvin, Eva bekerja sebagai resepsionis di studio ini, tapi tadi meja resepsionis ini kosong. Aku
hanya bertemu satpam yang mondar-mandir di depan. Kurasa si satpam juga merangkap sebagai
resepsionis.
Aku mengernyitkan alis. Bagaimana Alvin bisa bertemu dengan Eva? Kupikir selama ini Alvin hanya
bergaul dengan teman-teman di sekolahnya. Aku berani bertaruh bahwa Eva pasti sudah tidak sekolah
lagi. Aku merasa tidak enak. Tak bisa kubayangkan Alvin harus menikahi gadis itu di usia yang sangat
muda. Tapi, bukankah itu salahnya sendiri.
Seorang gadis muncul ditemani satpam yang tadi. Wajahnya terlihat kuyu dan pucat, perutnya sedikit
membuncit. Sudah pasti itu Eva. Aku berusaha tersenyum ramah.
“Dari asuransi, Mbak?” tanyanya. Ya, aku memang mengaku pada satpam bahwa aku agen asuransi.
“Iya,” jawabku cepat. “Bisa bicara di tempat lain? Tadi saya lihat di luar ada restoran mi ayam ....”
“Saya nggak butuh asuransi, Mbak. Percuma ditawari juga,” katanya lemah. Kelihatannya dia
kekurangan tenaga.
Aku menunggu si satpam pergi. Tapi sepertinya satpam itu enggan pergi.
“Saya juga membawa pesan dari Alvin ...,” kataku. Wajah gadis itu terkesiap. Secercah harapan
langsung merona di wajahnya yang pucat.
“Baiklah kalau begitu kita keluar,” katanya spontan, lalu berpaling ke arah satpam. “Pak, bilang bos
saya sekalian keluar makan siang, ya?”
Si satpam mengangguk, lalu berlalu.
Kami pun bergegas keluar. Setelah sampai di dalam restoran, kami sama-sama memesan mi ayam dan
es jeruk.
“Alvin sekarang kerja di asuransi, Mbak?” tanya Eva tak sabar. “Eh, nama Mbak siapa?”
“Panggil saja Ara,” kataku, lalu menyedot es jeruk. “Lagi hamil, ya?” kataku sambil melirik perut Eva.
“Sudah kelihatan, ya, Mbak? Teman-teman di studio juga sudah mulai curiga,” katanya dengan murung.
“Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya, Mbak,” dia menambahkan.
Aku berpikir sejenak, menimbang-nimbang kalimat yang akan kuucapkan selanjutnya.
“Hm ... sekadar ingin tahu ... memangnya waktu itu nggak pakai kondom?” aku pura-pura santai. Mata
Eva terbelalak.
“Ini ...,” Eva tergagap, tapi kemudian kembali menguasai diri. “Apa hubungannya dengan asuransi,
Mbak? Lalu ada pesan apa dari Alvin?” Nada suara terdengar agak judes.
“Sebenarnya ... saya ini kakaknya Alvin.”
Wajah Eva kembali berubah pucat. Aku sampai takut dia akan pingsan.
“Aku cuma ingin tahu kenapa kakak-kakak kamu mengejar-ngejar dia? Dia jadi ketakutan sampai-
sampai kabur dari rumah.”
Eva menunduk. Kulihat air matanya mulai menetes. Entah sungguhan atau cuma akting.
“Saya cuma ingin dia bertanggung jawab ...,” katanya lirih.
“Alvin bilang itu bukan anaknya,” kataku datar.
Eva mendongak menatapku. Matanya berurai air mata. “Buat apa saya bohong, Mbak. Saya mau tidur
dengan Alvin juga karena saya pikir dia akan menikahi saya.”
“Kamu, kan, tahu dia masih SMA?”
Eva terisak. “Tadinya dia mengaku sudah kuliah. Waktu putus dia baru bilang kalau masih SMA.”
Tak kusangka adikku sudah jadi buaya darat. Aku menatap matanya dalam-dalam, berusaha mencari
kebohongan di matanya. Tapi yang kudapat cuma kesedihan. Rasanya dulu aku juga pernah berpikir
seperti itu.
“Terus kalau dia menghilang begini, jadinya bagaimana?” tanyaku pura-pura bingung.
“Mungkin kakak saya akan terus mencari. Eh ... kakak saya dulunya preman, dia masih punya kenalan
yang bisa membantu ...,” Jantungku rasanya mencelus ke perut. Preman? Gawat.
“Apa kakakmu berniat membunuhnya?” tanyaku hati-hati.
Eva menatapku dengan cemas. “Nggak akan, Mbak. Sebenarnya saya juga nggak ingin kakak saya ikut
campur, tapi mereka marah sekali sewaktu tahu saya hamil. Sebenarnya saya nggak suruh mereka mencari
Alvin. Sungguh, Mbak!”
“Maaf, ya, tapi namanya preman. Apalagi mereka sedang emosi. Semoga saja mereka tak sampai
memukuli atau membunuh Alvin. Sebab kalau itu sampai terjadi, maka lain lagi ceritanya,” kataku dengan
nada setengah mengancam.
“Kakak-kakak saya sudah bukan preman lagi. Mereka cuma ingin Alvin menikahi saya. Itu saja,” suara
Eva gemetar.
“Kalau begitu suruh mereka berhenti mencari,” ujarku. “Biar aku yang mencari Alvin.”
“Mbak janji?”
“Janji. Kalau dalam sebulan tidak ada kabar dariku, silakan kakak-kakakmu meneruskan pencarian.”
Eva menatapku lekat-lekat, sebelum akhirnya dia mengangguk.
“Oya, sekarang kamu belum punya pacar lagi, kan?” tanyaku.
Eva kembali terbelalak. “Saya baru pacaran dua kali, Mbak. Yang terakhir dengan Alvin.”
“Memang umur kamu berapa?”
“Sembilan belas.”
Jantungku kembali terasa mencelus ke perut. Alvin! Dasar biang kerok!
Di rumah, aku bercerita pada Alvin tentang pertemuanku dengan Eva. Dia marah besar. Sudah pasti.
Dia menganggapku mengkhianatinya. Aku hanya memandanginya melampiaskan kemarahannya. Baru
sekali ini aku melihat dia marah. Itu sudah bisa dimaklumi, bukan, mengingat hubungan kami?
“Sebenarnya apa, sih, maksudmu menghubungi dia?” tanya Alvin berapi-api, tangannya terkepal.
Kupikir dia ingin meninju sesuatu, atau seseorang.
“Aku cuma ingin tahu seperti apa dia?”
“Untuk apa kamu ingin tahu? Bilang saja kalau kamu ingin melihat aku digebuki orang-orang itu, kan?
Mereka pasti tahu aku di sini!” Alvin terlihat kalap sekaligus panik.
“Aku sudah bilang agar kakak-kakaknya jangan mengganggumu,” kataku berusaha menenangkannya.
“Bohong! Dari dulu kamu memang tidak suka padaku. Menyesal aku datang ke sini!” Alvin menatapku
garang. Emosiku mulai terpancing. Berani-beraninya dia bicara begitu. Mungkin ada bagusnya juga dia
digebuki sedikit ....
“Memangnya kamu mau ke mana lagi kalau bukan ke sini? Mau ke hotel? Mereka itu bekas preman,
Alvin, mereka bisa mencarimu sampai ke lubang tikus. Di sini adalah tempat yang paling aman buatmu
karena Eva sepertinya nggak tahu kalau kamu punya kakak.” Aku mendecakkan lidah. “Seharusnya aku
mengaku jadi temanmu saja tadi.”
Alvin kelihatannya mulai tenang, walaupun matanya masih berapi-api. Dia mulai menonjok-nonjok
bantal di tempat tidurku. Benar, kan? Dia memang perlu objek untuk dipukul. Lama-lama kuperhatikan
bantal dacron-ku mulai berubah bentuk.
“Apa kamu nggak bisa pukul yang lain?” tanyaku sinis sekaligus cemas melihat keadaan bantalku.
“Aku nggak keberatan kalau kamu memukul tembok.”
“Diaam!!” bentaknya. Aku melonjak kaget. Si berengsek ini ternyata berani membentakku. “Kamu
pikir semua peristiwa ini lucu, ya? Kamu senang melihat aku dalam keadaan terjepit begini?”
Aku menelan ludah. “Aku tak suka melihat siapa pun dalam keadaan terjepit. Tapi dalam masalah ini,
kurasa kamu harus bertanggung jawab, Alvin. Dia sedang mengandung anakmu. Jika kamu laki-laki yang
baik, kamu pasti bertanggung jawab.”
“Aku tidak yakin itu anakku,” tukas Alvin, kali ini dia meremas-remas bantalku.
“Kenapa kamu sampai berpikir begitu? Menurutku dia bukan tipe gadis semacam itu. Dia mengaku
yang terakhir kali tidur dengannya adalah kau.”
“Entahlah. Sepertinya dia cuma ingin menjebakku.”
“Seharusnya jika tahu begitu, dari awal tak usah kamu pacari dia. Tapi sudah telanjur, kan? Mau
sampai kapan menghindar terus? Atau kamu mau tes DNA?”
Alvin mendongak. “Tes DNA? Apa itu mungkin?”
“Yaa, ... sebenarnya aku cuma asal ngomong, sih,” kataku sambil garuk-garuk kepala. “Belakangan ini
sering terjadi kayaknya. Tapi setidaknya kawini dulu dia. Nanti setelah bayinya lahir kamu bisa
melakukan tes. Jika ternyata bayi itu bukan anakmu, kamu bisa menceraikannya, kan?” Hmm,
kedengarannya mudah.
“Bagaimana kalau dia anakku?” kata Alvin setengah berbisik.
“Apa itu juga harus kujawab. Kamu, kan, sudah tahu jawabannya.”
“Aku baru mau kuliah ...,” desis Alvin, kini dengan wajah murung. Aku jadi ikut kasihan melihatnya.
“Kamu masih bisa tetap kuliah.”
Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya. “Papa dan Mama pasti kecewa ...,” desahnya.
“Sudah terlambat memikirkan soal itu.”
“Kamu senang, kan, melihat mereka membenciku?” kata Alvin sengit. Memang! Biar mereka tahu
bahwa anak kesayangan mereka tak sempurna.
“Kalau mereka orangtua yang baik mereka nggak akan membencimu.”
“Kalau mereka ternyata membenciku?”
“Berarti mereka bukan orangtua yang baik! Soal semudah itu saja ditanyakan. Dasar otak udang!”
makiku. “Pokoknya besok kita temui mereka.”
“Jangan!” Alvin panik. “Beri aku waktu.”
“Mau sampai kapan? Sampai anak itu lahir?”
“Beri aku waktu seminggu lagi .... Ayolah Kiara ...,” wajahnya berusaha memelas, tapi hatiku tak
tergugah.
“Jika aku tak segera memberi kabar pada Eva, maka kakak-kakaknya akan beraksi lagi. Terserah kamu
saja.”
Alvin tercenung. Lalu kudengar suara pintu diketuk. Tubuh Alvin menegang. Wajahnya mulai ketakutan.
“Siapa?” tanyaku setengah berteriak.
“Aku. Iiiiivan ....”
Aku bernapas lega, begitu juga Alvin.
“Siapa itu?” tanyanya.
Aku tak menjawab, dan langsung bergegas ke pintu. Mungkin seharusnya aku senang mendengar suara
Ivan, tapi malam ini aku sedang tak ingin diganggu orang luar. Ini di luar dugaan, tapi kadang-kadang
keluarga terasa jauh lebih penting dari apa pun. Aku baru merasakannya.
“Hai, Ivan,” kataku saat membuka pintu.
“Hai,” sahutnya, lalu kepalanya dijulurkan untuk melihat ke dalam. Aku ikut menoleh ke belakang.
Alvin sudah menghilang dari pandangan. “Sepertinya aku tadi mendengar kamu sedang berbicara dengan
la ... seseorang.”
“Mungkin suara televisi,” jawabku sembarangan, dan sedetik kemudian aku baru ingat kalau televisi
tak kunyalakan.
“Oh. Boleh masuk?”
“Sebenarnya ada apa?” kataku sedikit terburu-buru. Ivan menatapku dengan curiga, tapi tetap
tersenyum. Malam ini senyumnya tak berefek bagiku.
“Aku ...,” Ivan kelihatan ragu-ragu. “Kamu sudah makan malam?”
“Belum.”
“Suka masakan Thailand?”
“Apa?”
“Aku ingin mengajakmu makan ....”
“Sekarang aku sedang ingin tiduran di rumah, Ivan. Nggak apa-apa, kan?”
Aku bisa melihat kekecewaan yang tersembunyi di wajahnya. “Baiklah,” katanya langsung menyerah.
“Apa kamu sakit?”
Aku menggeleng. “Aku cuma ingin sendirian.”
“Oke.” Ivan berusaha tersenyum, tapi sorot matanya kecewa. Sedikit rasa bersalah muncul. Mungkin
kalau aku sedang sendirian aku bisa langsung berubah pendapat.
“Sampai nanti,” ujarnya.
“Daah ....”
Kulihat dia berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Lalu cepat-cepat kuedarkan pandangan. Sepi.
Pintu pun segera kututup.
“Siapa tadi?” tanya Alvin sambil keluar dari kolong tempat tidur.
“Teman.”
“Maaf mengganggu acara pacaranmu,” ujarnya terdengar sedikit menyindir.
“Kamu kumaafkan karena dia bukan pacarku. Omong-omong ... sudah sejauh mana hubunganmu dengan
perempuan-perempuan?” tanyaku menyelidik.
“Maksudmu?”
Aku menghela napas. “Aku tak tahu kamu sudah bisa tidur dengan perempuan. Kupikir kamu hanya
anak remaja biasa yang suka main PlayStation. Apa saja yang telah kamu lakukan? Semoga saja kamu
tidak membuang spermamu sembarangan.”
Alvin tidak menjawab.
“Apa kamu pakai narkoba juga?” tanyaku.
“Sedikit ... tapi sudah tidak lagi.”
“Apa kamu pembunuh berdarah dingin? Sudah berapa orang yang kamu bunuh?”
“Apa? Dasar gila.”
“Lebih baik tahu sekarang, kan?!”
“Aku berhubungan seks pertama kali waktu umur 15 tahun. Puas?”
“Sama siapa?”
“Cewek .... Maksudku ... dia mahasiswi, tapi bisa ‘dipake’ ... tahu, kan, maksudku?”
“Hm,” aku mendengus.
“Tapi aku pakai kondom,” katanya cepat-cepat.
“Lalu cewek-cewek mana lagi yang sudah kamu tiduri?”
“Cuma dia dan ... Eva.”
“Yakin? Nggak ada yang lain? Jangan-jangan nanti ada perempuan lain lagi yang menuntut
pertanggungjawabanmu.”
“Memangnya aku bajingan?”
“Aku cuma tanya.”
“Aku nggak segampang itu.”
Aku mengedik. Lucu juga, sepertinya kami baru pertama kali berkenalan.
“Lalu apa yang membuatmu jatuh cinta pada Eva?” aku bertanya lagi.
“Ya, ampun, kenapa kamu ingin tahu, sih?” kata Alvin kesal.
“Apa kamu tahu aku pacaran sama Raka?” tanyaku.
“Apa urusanku?”
“Mau tahu kenapa aku jatuh cinta padanya?”
“Aku nggak mau tahu!”
“Itulah! Kamu selalu nggak mau tahu dengan apa yang terjadi di dalam keluarga kita. Kamu bahkan
nggak tahu aku sudah putus dengan laki-laki itu! Kamu juga nggak tahu bahwa aku pindah dari rumah
karena aku sudah nggak tahan lagi melihat sikap kalian! Sebenarnya bukan kamu saja. Kita semua bersikap
begitu. Lalu untuk apa kita menjadi keluarga? Lebih baik aku tak perlu melindungimu di sini.” Aku
memungut tasnya di lantai lalu melemparkan ke arahnya. “Sana! Sebaiknya kamu pergi. Aku nggak peduli
kalau preman-preman itu mengejarmu!”
Alvin ternganga. Dia juga tak menyangka aku jadi semarah ini.
“Kamu serius ....?” dia mulai tergagap.
“Kalau kamu nggak mau mengubah sikapmu sekarang, lebih baik kamu pergi saja.”
“Kamu cuma ingin tahu kenapa aku jatuh cinta sama Eva?” Alvin keheranan.
“Itu baru permulaan, Alvin. Aku berusaha memperbaiki hubungan kita, tapi sikapmu menyebalkan.
Dari dulu nggak pernah berubah.”
“Eh, kamu yang selalu memusuhiku,” Alvin protes. “Kamu dan Fai, kalian mengucilkan aku. Aku
selalu berusaha menarik perhatian kalian, tapi kalian bisanya cuma marah-marah. Jadi buat apa aku
peduli. Kalian membenciku karena Papa sayang padaku, iya, kan?!”
“Mungkin. Tapi aku nggak peduli lagi. Nggak ada gunanya diperhatikan Papa. Lihat saja kamu, apa
jadinya dengan semua perhatian itu? Apa kamu jadi juara olimpiade fisika? Prestasimu cuma bisa
menghamili anak orang. Berengsek! Kamu dan Papa juga nggak pernah memperhatikan Mama. Laki-laki
macam apa kalian. Aku menyesal punya hubungan darah dengan kalian. Berengsek! Berengsek!” Aku
begitu dikuasai amarah, sehingga aku tak menyadari rasa sakit saat tanganku menghantam meja makan.
Buku jariku memar.
Alvin menatapku dengan ngeri.
“Yang aku heran, kenapa Mama masih bertahan untuk kalian. Aku berharap dia bertemu pria lain yang
lebih baik. Untuk apa bertahan demi Papa. Aku ingin dia bercerai dari Papa.” Aku ngos-ngosan. Kalau
aku darah tinggi aku bisa kena stroke sekarang.
“Apa kamu sangat membenci Papa ... dan aku?” Alvin bertanya dengan hati-hati.
Aku diam sesaat. “Sudahlah. Bagaimanapun kita adalah keluarga,” kataku, lalu kuhampiri dia untuk
kembali mengambil tasnya, dan kemudian kuletakkan di samping tempat tidur.
“Jadi aku boleh tetap di sini?” Alvin kembali bertanya dengan hati-hati.
“Ya, aku tak mau dihantui perasaan bersalah atas kematianmu.”
Alvin memandangku dengan ngeri. Tapi dia tak sanggup berkata-kata. Aku terduduk lemas di kursi.
Kerongkonganku haus.
“Aku suka dia karena dia sangat memperhatikan aku,” kata Alvin tiba-tiba.
“Apa?”
“Tadi kamu tanya kenapa aku jatuh cinta pada Eva. Itu karena dia sangat memperhatikanku. Tapi
mungkin aku baru menyadari bahwa aku hanya menyayanginya seperti ... kakak ....”
Aku mendengus. Dengan kata lain dia ingin mengatakan bahwa karena selama ini aku tak
memberikannya kasih sayang sebagai seorang kakak maka dia mencarinya dari orang lain. Aku ikut andil
dalam menentukan kehidupannya. Huh!

19
“Halo, Ma,” kataku lewat telepon.
“Kiara, Mama baru mau meneleponmu,” sahut Mama antusias. “Apa kau sudah menghubungi Fai?”
“Untuk apa?”
“Dia, kan, ulang tahun. Mama mungkin nanti malam mau ke rumahnya, Mama sudah bikin kue ....”
“Ma,” sentakku tak sabar. “Ada yang lebih penting dari sekadar ulang tahun Fai.”
“Oh,” kudengar Mama terenyak.
“Alvin ....”
“Kenapa Alvin?” nada suara Mama terdengar panik.
“Dia ada di rumahku.”
“Hahhhh .... Mama kira ada apa-apa.”
“Memang ada apa-apa. Dia ... menghamili pacarnya.”
Hening. Sudah kuduga.
“Ma?” panggilku, waswas Mama pingsan.
“Dia sudah punya pacar?”
“Bahkan dia sudah tidak perjaka lagi,” tukasku.
“Kiara ....”
“Keluarga pacarnya ingin dia bertanggung jawab, Ma. Alvin harus menikahi pacarnya!”

V
Bisa dibayangkan reaksi Papa saat mendengar kabar itu. Saat berita bom itu dijatuhkan, kami semua
berkumpul di ruang tengah, minus Fai. Begitu tiba-tiba, tanpa pemberitahuan lebih dulu. Boleh dibilang
aku sangat menikmatinya. Aku bisa melihat campuran kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan yang
mendalam di matanya. Yang keluar dari mulutnya hanya geraman-geraman pelan. Tubuhnya tampak begitu
tegang dan kaku. Aku sempat mengira dia terkena stroke. Tapi ternyata dia cukup kuat mendengar kabar
buruk tersebut. Reaksi Mama ternyata jauh lebih tenang. Malah aku merasa kelihatannya dia senang
dengan kenyataan bahwa akan ada cucu lagi. Tidak peduli dengan kenyataan bahwa masa depan Alvin
menjadi sedikit berbayang.
“Lalu bagaimana dengan rencana kuliahmu?” Papa tiba-tiba bertanya di tengah pembicaraan tentang
rencana kami untuk mempersiapkan pernikahan “sederhana”.
Aku menatap Alvin, wajahnya yang pucat bertambah pucat. Mentalnya juga pasti sedang jatuh saat ini.
Tapi mata Papa begitu berapi-api sehingga sepertinya membakar seluruh ruangan.
“Belum tahu,” jawab Alvin gugup.
“Itu bisa dipikirkan nanti,” ujar Mama, yang tampaknya jelas lebih antusias membicarakan soal
pernikahan.
“Nanti bagaimana!!” bentakan Papa membahana ke seluruh dinding ruangan. Itu pertama kali aku
melihat dia membentak Mama. Mama sempat tersentak tapi kemudian diam, berusaha mengatur napas.
Emosiku langsung memuncak.
“Jangan memperkeruh suasana, Pa,” kataku dengan suara berat, agar emosiku tak meledak dan
membuat rumah ini runtuh.
Papa melirikku dengan sinis. “Jangan ikut campur!” bentaknya. “Kamu tak ada suara di rumah ini!”
Rasanya seperti mendengar ultimatum bahwa aku sudah dianggap mati.
Alvin melirikku takut-takut. Begitu juga Mama, mengantisipasi hal terburuk. Aku menelan ludah,
otakku berpikir keras untuk meramu kata-kata. Lirikan Papa kini berubah menjadi tatapan garang.
Seandainya mata itu mengeluarkan api, pasti api itu sedang menjilat-jilat wajahku.
“Aku melakukan apa yang seharusnya dilakukan keluarga,” kataku akhirnya. Entah kata-kata yang tepat
atau tidak.
Kini ganti Papa yang menelan ludah. Sepertinya dia juga memikirkan kata-kata yang berefek
mematikan. Tapi kudengar dia mendengus keras. Saking kerasnya sampai-sampai kupikir dengusannya
bisa mengeluarkan angin topan. Tapi sebelum dia bisa menemukan kata-kata balasan, aku buru-buru
menambahkan. “Alvin menemuiku karena dia tahu aku masih keluarganya, yang bisa MEMBANTUNYA!”
Aku menelan ludah, lagi. “Kalau Papa memang menganggap masih menjadi kepala keluarga di sini,
sebaiknya cari solusi yang bermanfaat bagi semua pihak.”
Mata Papa berkilat-kilat marah. Sekarang aku benar-benar takut kalau dia bakal kena serangan
jantung.
“Jangan sok pintar kamu!” Papa mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Aku memang pintar,” sergahku sambil meringis. “Karena itu aku mau ikut campur, karena keluarga ini
sudah lama lumpuh. Jadi sebaiknya Papa jangan berani-berani melarangku. Apalagi jika keberadaan Papa
di rumah ini hanya seminggu dalam sebulan. Jika Papa menganggap aku tak punya suara, berarti Papa tak
punya hak untuk berada di sini.”
Alvin dan Mama serentak menatapku gelisah.
“Jaga bicaramu, Kiara!” tegur Mama, antara marah dan cemas.
“Anak kurang ajar!” Papa menggeram.
“Tentu, anak kurang ajar adalah produk dari orangtua yang tak becus!” balasku. Mata Papa terbeliak
sampai-sampai aku takut akan meloncat keluar.
“Diam!” tiba-tiba Mama berteriak keras-keras. Aku, Papa, dan Alvin sama-sama kaget. “Jika kalian
masih mau bertengkar teruskan nanti setelah pembicaraan tentang pernikahan ini selesai!”
Aku menghela napas. Mungkin sedikit lega karena Mama akhirnya bisa meledak juga di depan Papa.
Setelah itu Mama tampak kelelahan, matanya menatap Papa dengan tatapan menyesal.
“Secepatnya pernikahanmu harus dilangsungkan,” kata Mama kemudian, sambil mengusap-usap
pahanya. “Apalagi sebentar lagi perutnya akan membesar. Aib perempuan itu harus dijaga. Dan satu hal
lagi. Setelah menikah kalian harus tinggal di sini.”
Papa melotot lagi. Tapi dia tak berbicara apa-apa.
“Mama harap keluarganya setuju. Karena kalau tidak, lebih baik pernikahan ini tak usah terjadi,” kata
Mama tegas sambil menatap Alvin dengan tajam. Aku terheran-heran. Apa Mama mengancam? Kenapa
dia ingin sekali mereka tinggal di situ?
Alvin tampak seperti sayuran yang layu. Dia kehilangan seluruh tenaganya. Belum pernah aku
melihatnya seperti ini. Aku jadi berkhayal bagaimana jika kejadian seperti ini menimpaku dulu. Saat aku
masih bersama Raka. Apakah Raka juga akan selayu ini jika terpaksa menikahiku? Kugelengkan kuat-kuat
kepalaku untuk mengusir khayalan sableng itu.
“Kenapa?” kudengar Mama bertanya kepadaku. Wah, sampai lupa aku kalau ada orang lain di situ.
“Tidak apa-apa,” sahutku. Wajahku memerah.

20
Dua minggu berselang, pernikahan Alvin dan Eva pun akhirnya dilangsungkan dengan amat sangat
sederhana. Hanya pengucapan ijab kabul di KUA dekat rumah Eva. KUA-nya sendiri tak terlalu terawat
bangunannya. Memprihatinkan, begitu menurutku. Kurasa seluruh keluarga berpikiran sama. Tapi apa mau
dikata.
Kami sekeluarga hadir, termasuk Fai dan suaminya. Tapi kami belum sempat berbincang-bincang,
hanya menyapa seadanya. Aku sebenarnya agak malas bertemu Fai, mengingat pertemuan terakhir kami
yang berlangsung kurang baik. Fai juga kelihatannya begitu. Dia pasti masih tersinggung dengan kata-
kataku. Kami memang jarang bertengkar, tapi sekali bertengkar bisa saling mendiamkan hingga berhari-
hari. Tapi ini yang terparah. Karena sudah tidak tinggal serumah, maka kami praktis sudah berbulan-bulan
tak bicara. Bahkan menelepon pun tidak. Dan kurasa pertengkaran kami bukan sekadar pertengkaran biasa,
tapi sudah menyentuh prinsip kami masing-masing.
Namun, hari ini kami menjaga sikap. Di depan keluarga Eva kami berusaha tampil sebagai keluarga
yang sempurna. Yah, bukankah sudah lama kami bersikap seperti itu? Jadi sudah tak sulit untuk memasang
topeng sebagai keluarga bahagia.
Satu hal yang menggelikan adalah kedua kakak Eva tampak terintimidasi dengan kedatangan kami
sekeluarga. Mereka berdua bertubuh biasa saja, tak seperti versi “preman” pada umumnya. Namun, dari
wajah mereka aku tahu mereka telah melalui kehidupan yang keras. Kehadiran Papa rupanya membuat
mereka sungkan. Sejak pertama kali kami menginjakkan kaki ke rumah Eva yang kecil dan sederhana, aku
tahu mereka sangat lega kami mau datang melamar. Sang Ibu bahkan sampai mencium tangan Papa dan
Mama yang sebenarnya tidak perlu. Saat melihat keadaan rumah mereka, kulihat ekspresi Papa semakin
dingin. Aku tahu Mama juga kecewa, tapi dia sangat bisa menyembunyikan perasaannya. Bagi Mama, yang
terpenting adalah calon cucunya yang ada di perut Eva.
Saat Mama mengajukan syarat bahwa Eva “sebaiknya” tinggal bersama kami sebenarnya sang Ibu
keberatan karena Eva anak perempuan satu-satunya. Namun, setelah mendapat jaminan bahwa Eva dan
jabang bayi di perutnya akan lebih baik jika berada di rumah kami, sang Ibu pun setuju. Kedua kakak Eva
tampaknya tak keberatan sedikit pun. Tak bisa kubayangkan jika mereka benar-benar mengancam akan
membunuh Alvin.
Namun, keluarga itu juga membuatku sedikit iri. Aku melihat hubungan mereka berempat sangat akrab.
Sang Ayah memang sudah lama tiada, sehingga kedua kakak laki-laki Eva merasa bertanggung jawab
untuk menafkahi keluarga, biarpun terpaksa putus sekolah dan pernah berkeliaran sebagai preman.
“Tapi anak-anak saya sudah insaf, Alhamdulillah,” ujar sang Ibu. “Sekarang mereka bekerja jadi
buruh di pabrik elektronik dekat-dekat sini,” katanya lagi tanpa ditanya. Kelihatan sekali dia minder
dengan keadaan keluarganya.
“Nanti kalau Ibu mau bertemu Eva, silakan saja. Kapan saja boleh. Kalau Mas-Mas ini mau main juga
silakan. Pintu rumah kami selalu terbuka. Apalagi setelah ini kita akan jadi keluarga, kan?” begitu kata
Mama ketika berusaha meyakinkan ibunda Eva.
Aku mendesah pelan. Rasanya kata-kata itu terlalu manis untuk jadi kenyataan. Aku ingin tahu sampai
kapan Alvin bisa bertahan dalam kehidupan berumah tangga.
Ketika semua acara telah selesai, sesuai rencana Eva langsung diboyong ke rumah kami. Mau tak mau
aku ikut menitikkan air mata melihat mereka sekeluarga menangis melepas anak bungsu mereka menempuh
hidup baru.
“Titip anak saya, ya, Bu,” begitu kata ibunda Eva kepada Mama. Mama tersenyum ramah. “Terima
kasih mau menerima Eva sebagai menantu,” katanya kemudian sambil melirik ke arah Papa yang memang
tak pernah tersenyum. Papa hanya berdehem. Aku cuma mendesah. Bahkan untuk basa-basi saja dia tak
bisa.
“Mungkin Ibu mau ikut sekarang?” kataku tiba-tiba. Mereka semua menatapku, tercengang.
“Ehh ...,” sang Ibu tampaknya tak siap dengan tawaran itu. “Mungkin nanti kalau bayinya sudah lahir,”
jawabnya kemudian.
Aku bisa melihat Mama, Papa, dan Alvin menyembunyikan napas lega. Beradaptasi dengan orang baru
memang bukan keahlian kami, dengan yang lama saja susah.
Dari sudut mataku aku bisa melihat Fai memperhatikanku terus-menerus sejak tadi. Mungkin dia heran
melihat sikapku yang dominan. Itu, kan, bukan watakku. Tapi dia tak mengatakan apa-apa. Yah, kurasa aku
tahu dari mana gengsi kami berasal.
Eva kelihatan bingung saat kami sudah sampai di rumah. Alvin pun tak peduli padanya. Itu sudah bisa
ditebak. Sejak kedatangan rombongan kami ke rumahnya hingga pernikahan di KUA, mereka sama sekali
tak pernah saling bicara. Tentu keadaan ini sangat tak menyenangkan bagi mereka berdua. Tapi tak ada
jalan lain. Sesungguhnya aku kasihan pada Eva. Dia pasti tak menyangka harus berada dalam posisi
terpojok begini, berada di tengah keluarga dan lingkungan yang sama sekali asing baginya. Apalagi
bersama suami yang sebenarnya sudah tak mencintainya.
“Rumahnya besar sekali,” komentar Eva pelan saat kami masuk ke dalam rumah. Kepalanya tak henti-
henti mendongak memandangi dekorasi ruangan kami. Wajah Alvin kelihatan jengkel.
“Takut kesasar, ya?” tanyaku berusaha mencairkan suasana. Eva tersipu. Sepertinya dia sadar bahwa
komentarnya menggelikan.
“Memang belum pernah ke sini?” tiba-tiba Fai nimbrung, berusaha sok akrab, entah kepadaku atau
Eva.
Eva menggeleng. Alvin tampak mengatupkan rahangnya.
“Alvin nggak pernah ngajak, ya?” tanyaku. Alvin langsung melotot mendengar pertanyaanku.
“Nah, Eva ...,” kata Mama saat kami sudah di ruang tengah, “mulai sekarang kamu bagian dari
keluarga ini. Jadi jangan sungkan-sungkan, anggap rumah sendiri. Sekarang saya juga ibumu. Ayo, silakan
duduk, atau mau langsung ke kamar?”
Eva tampak bingung dan canggung.
“Ajak saja Eva ke kamar, Alvin,” kataku pada Alvin. Dia menatapku dengan sebal tapi menurut juga.
“Ayo, Eva,” ajaknya dengan nada ragu. Eva pun menurut. Lalu tinggal kami duduk di sofa ruang
tengah. Papa pun segera menyusul masuk ke kamarnya. Sedangkan suami Fai langsung pergi ke halaman
belakang, entah untuk apa. Maka tinggal kami bertiga, aku, Mama, dan Fai. Duduk di sofa membentuk
segitiga.
Kudengar Mama mengembuskan napas dengan keras.
“Nah ...,” ujarnya sambil menatap aku dan Fai bergantian. “Kalian bagaimana?” tanya Mama.
Aku bisa tahu Fai ikut menatapku. Sebenarnya aku menunggu dia menjawab lebih dulu, tapi sepertinya
dia malah menunggu jawabanku. Otakku berpikir keras, memikirkan jawaban yang diplomatis tapi cukup
menohok.
“Kami baik-baik saja, Mama,” tanpa diduga-duga Fai menjawab. Wajahnya tampak tenang.
“Oh,” ujar Mama. “Kamu tahu Kiara sudah tidak tinggal di sini lagi?”
“Oh,” giliran Fai yang terkejut. Dia menatapku meminta penjelasan. “Kok, Mama nggak pernah kasih
tahu setiap kali aku telepon. Sejak kapan?” dia bertanya.
“Baru beberapa bulan,” jawabku singkat.
“Kenapa?” Fai tak tahan menahan rasa ingin tahunya.
“Apa harus ada alasan?” aku balas bertanya.
“Mama sendirian, dong?” ujar Fai pada Mama. Mama cuma menghela napas. Tiba-tiba aku merasa
bom di dalam tubuhku akan meledak. Aku bangkit dari sofa, dan hendak beranjak pergi.
“Mau ke mana?” tanya Mama.
“Pulang, Ma. Kita semua capek. Besok aku ke sini lagi, ya,” ujarku sambil menghampiri Mama dan
mencium pipinya.
“Kamu tidak tidur di sini lagi?” tanya Mama.
“Kemarin-kemarin, kan, sudah, Ma. Janji besok aku ke sini. Oya, jangan terlalu banyak aturan sama
Eva,” kataku kemudian.
“Aturan?” Mama tampak terkejut.
“Yaa, itu kan penyakit mertua. Jadilah mertua yang baik.”
Mama menatapku tercengang. “Sok tahu, ah,” ujarnya.
“Sudah banyak contohnya,” kataku sambil lalu, melewati Fai begitu saja. Lalu aku mendengar ada
suara langkah kaki menyusulku.
Sesampainya di pintu bahuku ditepuk. Aku membalikkan badan. Fai ada di belakangku.
“Sampai kapan kamu menghindariku, Kiara?” dia bertanya.
“Menghindari?” gumamku sambil menatap langit-langit.
“Ya.”
Lalu kami berhadapan seperti patung, sama sekali tak ingin mengatakan apa-apa.
“Aku ngantuk, mau pulang,” kataku.
“Oke,” sahut Fai, sambil kemudian mengatupkan bibirnya.
Lalu aku mendengar suara pintu ditutup.

V
Setelah 2 minggu jarang berada di rumah, aku merasakan kerinduan yang aneh terhadap rumahku. Rumah
yang kukontrak maksudnya. Aku menikmati suasana yang sunyi dan kesendirianku. Setelah acara
pernikahan Alvin, aku memutuskan untuk bersantai-santai di rumahku sendiri. Chatting dengan Mark.
Atau hanya menonton acara televisi kabel. Hmm ... membayangkan hal itu saja sudah membuatku senang.
Tapi belum sampai 5 menit aku berada di dalam rumah, pintu sudah diketuk.
“Hai,” sapa Rani saat aku membuka pintu. “Kelihatannya kaget.” Tanpa permisi Rani langsung
nyelonong masuk. “Kamu sedang tidak menyelundupkan laki-laki, kan?” tanya Rani sambil melongok ke
arah dapur.
“Oaaaaahemmmm,” aku sengaja menguap lebar-lebar.
“Dari mana saja, sih, kamu?” akhirnya Rani bertanya sambil mendudukkan dirinya di kursi makan.
“Adikku menikah.”
“Oya? Kok, nggak ada beritanya?”
“Mendadak. Ceweknya sudah keburu hamil.”
“Oh.”
Rani mengetukkan jari-jarinya ke meja makan.
“I miss you,” ujarnya. Aku tersenyum geli.
“Kenapa? Apa kamu putus?”
“Sejak Sofie menikah, kita sudah jarang ketemu, ya?” katanya tanpa memedulikan pertanyaanku.
“Kamu, kan, sibuk dengan pacarmu ....”
“Jangan mulai,” sentaknya.
“Mulai apa?”
“Mulai mencari-cari kesalahan siapa yang jarang menghubungi siapa. Kita harus keluar malam ini. Ini
malam Minggu. Aku akan telepon Sofie.” Rani mengeluarkan telepon genggam dari saku celana jinnya.
Lalu menekan tombol-tombolnya.
“Nggak diangkat,” keluhnya. “Oya, tahu nggak, selama kamu nggak ada, Ivan datang ke sini hampir
setiap hari.”
“Oh.”
“Memangnya kamu tidak memberi tahu dia kalau adikmu menikah?”
“Kamu saja lupa kuberitahu, apalagi dia.”
“Memang dia nggak telepon kamu?”
“Hmm ...,” aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, lalu menghampiri komputerku, dan
menyalakannya. “Kayaknya kami belum bertukar nomor telepon, deh. Dia, kan, selalu nongol di sini.
Muncul tiba-tiba tanpa diduga.”
“Ya, ampun. Ternyata kalian belum bertukar nomor telepon,” ujar Rani.
“Tapi ...,” aku menatap layar monitor, “dia nggak balik lagi ke Australia, ya?” tanyaku.
“Nggak tahu. Tanya aja sama orangnya.”
Mataku tetap menatap layar komputer.
“Aku cuma ingin tahu saja kenapa dia lontang-lantung di sini. Dulu, kan, dia bilang ke sini cuma
liburan.”
Rani tak menanggapi. Ada pesan offline di Yahoo Messenger-ku. Dari Mark. Aku membalasnya
sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Kiara,” tiba-tiba suara Rani terdengar serius.
“Yup?” mataku tetap tak beralih.
“Sebenarnya antara kamu dan Ivan itu sudah seperti apa, sih?”
Aku berpaling menatap Rani.
“Antara aku dan Ivan?” aku membeo.
“Ya.”
“Tidak ada apa-apa,” jawabku sambil kembali menengok ke arah layar.
“Yang kulihat dari sikap Ivan tidak begitu.”
“Oya?”
“Yah, sebenarnya ini bukan urusanku. Cuma penasaran.”
“Aku sedang tak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini, Rani.”
“Kenapa?”
“Entahlah. Mungkin belum siap.”
“Jangan bilang kamu masih memikirkan Raka.”
“Sepertinya tidak. Tapi entahlah ....”
“Aku hanya ingin kamu tidak putus asa, Kiara.” Wajah Rani tampak prihatin sehingga aku tertawa
melihatnya.
“Kamu ini .... Aku tidak putus asa, kok. Tenang saja.”
Telepon genggam Rani berbunyi.
“Hai, Sof. Ya, tadi aku meneleponmu. Nanti malam kita jalan, yuk!”
Aku meneruskan membalas pesan Mark. Sayang dia sedang offline. Aku ingin sekali bercakap-cakap
dengannya. Kalau perlu pakai webcam yang baru kupasang beberapa hari yang lalu.
“Beres!” Kudengar Rani berseru. “Nanti pukul 7 kita ketemuan, Kiara.”
“Oh,” aku tak tahu harus berkata apa.
“Nanti aku ke sini, ya.”
“Oh, oke.”
Aku menatap layar. Mark, ayo online .... Tapi statusnya tetap redup.

V
Kami duduk menikmati suasana restoran yang dipilih Rani. Lumayan. Restoran baru. Baru bagiku tentu
saja, karena aku belum pernah ke sini sebelumnya. Tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi dari
belakang kami. Aku memutar mata. Great!
“Lain kali jangan pilih restoran keluarga, dong, kalau mau ngobrol. Berisik, nih!” aku protes. Kulihat
ibu si bayi tergopoh-gopoh menggendong sang bayi keluar.
“Mana aku tahu ini restoran keluarga. Yang kubaca di brosur cuma fine dining, nggak tertulis family
restaurant,” Rani membela diri.
“Hei, kok jadi ribut, sih,” sela Sofie. “Lagi pula, apa kamu segitu sebelnya sama anak-anak? Nanti
kalau sama anakku gimana?” kata Sofie sambil menatapku penuh arti.
“Yaa, lihat dulu anaknya ntar kayak gimana ...,” ujarku. “Memangnya kamu sudah hamil?”
Sofie tersenyum simpul.
“Aaah ....!” Rani menjerit tertahan. Sofie mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Oh,” aku tercengang. “Sudah berapa bulan?”
“Kata dokter sekitar 10 minggu. Doain, ya, guys ....”
Rani serta-merta memeluk Sofie. Aku ikut memeluknya dengan canggung. Rasanya ada yang aneh di
hatiku.
“Nah, malam ini ... aku yang traktir,” ujar Sofie dengan mata berbinar-binar.
“Wah, kalau begitu sering-sering hamil, ya,” Rani menimpali. Dia kelihatan bersemangat. Heran. Kok,
sampai segitunya, sih?!
“Terus, udah ketahuan jenis kelaminnya?” Kudengar Rani bertanya antusias. Tiba-tiba aku merasa
diselimuti kabut. Sepertinya pembicaraan ini bukan untukku. Aku seolah tersekat oleh udara di sekitarku.

V
Aku dibangunkan oleh suara ketukan pintu rumahku. Kulihat jam dinding sudah pukul 7 pagi lewat sedikit.
Namun, ini hari Minggu, aku berhak bangun siang. Saking kesalnya aku sampai membuka pintu tanpa
melihat melalui jendela untuk mengetahui siapa tamuku.
“Pagi.”
Kulihat Ivan berdiri di depan pintu dengan semringah sambil menenteng kantong plastik.
“Kamu?” kataku terkejut.
“Akhirnya ketemu juga,” ujar Ivan sambil nyelonong masuk begitu saja. Kebiasaan buruk yang tidak
kusukai.
Dia langsung menuju ruang makan dan membongkar isi kantong plastiknya.
“Aku bawakan sarapan untukmu. Burger Mac Donald.”
“Oh,” aku terperangah.
Dengan cekatan Ivan menyiapkan sarapan untukku dan untuknya.
“Aku curiga, jangan-jangan kamu juga kerja sampingan jadi tukang antar,” ujarku.
“Memang, tapi hanya untukmu.”
Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Menurutku tingkah lakunya sudah menjurus. Aku risi, tapi
juga menikmatinya.
“Memangnya kamu nggak punya kerjaan lain, ya?” tanyaku hati-hati. Pertanyaan ini sudah lama
menggangguku, dan aku sudah tak tahan memendamnya lagi.
Mungkin itu pertanyaan yang kurang ajar, aku bisa merasakan dari perubahan wajah Ivan. Tapi dia
berusaha cool. Seolah-olah pertanyaanku tak berpengaruh.
“Kamu nggak suka?” tanyanya, sambil memberi isyarat kepadaku agar mendekat ke meja makan karena
sarapan sudah siap.
Aku menggigit bibir. Burger Mac Donald itu memang menggugah selera.
“Suka,” kataku, “kelihatannya enak.”
“Ehem ... maksudku ... kamu nggak suka aku ...,” sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya aku
segera memotong.
“Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.”
“Apa?” Ivan mengerutkan alisnya, bingung.
“Aku bertanya tapi kamu malah balas bertanya, itu artinya tak perlu lagi dibahas. Lagi pula aku lapar.
Ayo makan.”
Sebelum suasana berubah menjadi kikuk aku segera melahap burger di hadapanku. Ivan
memperhatikanku.
“Omong-omong kamu ke mana saja dua minggu ini? Aku selalu ke sini tapi kamu tidak ada.”
Daging burger itu nyaris saja tersangkut di tenggorokanku.
“Adikku menikah,” jawabku singkat.
“Tapi Rani tidak tahu.”
“Memang dia tidak tahu. Nggak ada yang tahu, kok.”
“Kenapa?”
Rasa burger itu jadinya tak seenak tadi.
“Memang penting, ya?” nada suaraku agak sinis.
“Biasanya, kan, pernikahan itu dirayakan,” ujar Ivan tetap tenang.
“Tolong ganti topik,” kataku.
“Baiklah,” Ivan mengalah. Dia mulai memakan burger-nya sendiri.
Kami menghabiskan sarapan dengan diam. Keadaan sudah telanjur aneh.
“Hari ini kamu punya rencana?” tanya Ivan kemudian.
“Aku mau tidur seharian,” sahutku asal. Kulihat Ivan mengangkat alisnya.
“Baiklah, aku pulang dulu. Tapi ... nanti kalau kamu perlu teman untuk jalan-jalan, telepon saja aku. Ini
nomornya.” Dia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan meletakkannya di atas meja. Isinya nomor
telepon. Aku hampir tertawa. Pria ini benar-benar mengantisipasi setiap keadaan. “Kamu juga bisa tanya
sama Rani, seandainya kertas ini hilang.”
Aku diam saja. Tak tahu harus berkata apa. Kulihat dia berjalan ke arah pintu.
“Ivan!” panggilku tiba-tiba. Dia membalikkan badan. “Terima kasih untuk sarapannya. Kamu ... tukang
antar favoritku.”
Ivan tersenyum. “Dan kamu pelanggan favoritku,” balasnya.
“Pelanggan?” kataku.
“Eh, yaaa ... maksudku ...,” Ivan salah tingkah. Tahu-tahu aku merasakan sebuah rasa aneh yang
melonjak-lonjak di dalam perutku.
“Aku tahu maksudmu,” kataku cepat.
“Ya, ... eh, ... see, ya.”
Dia menghilang di balik pintu, dan aku merasakan wajahku memerah tanpa sebab.

V
Siang hari pintu rumahku kembali diketuk. Aaah ... aku mengumpat dalam hati. Apa ini Ivan? Kulihat jam
dinding menunjukkan pukul 1 kurang beberapa menit. Apa dia sengaja datang membawakan makan siang?
Dengan langkah gontai aku ke ruang depan dan membuka pintu, sambil memutar otak untuk memilih kata-
kata yang tepat jika Ivan ada di depan pintu. Ternyata salah. Fai yang ada di depan pintuku.
“Fai?” aku terkejut. Fai juga tampaknya terkejut.
“Hai,” katanya.
“Tahu rumahku dari mana?”
“Dari Mama. Sudahlah, nggak usah sok kaget begitu.”
“Aku memang kaget.”
“Masih tidur jam segini?”
“Aku berencana tidur seharian,” kataku, sambil menunjukkan rasa kesal yang berlebihan.
“Oh, aku ...,” Fai tampak ragu-ragu.
Sejujurnya aku ingin dia segera pergi dari sini, tapi aku juga ingin tahu apa yang akan dikatakannya.
“Masuklah,” kataku kemudian.
Fai masuk ke dalam. Matanya meneliti setiap sudut rumahku.
“Rumahmu lumayan juga,” ujarnya.
“Ini rumah kontrakan.”
“Tapi lumayan.”
“Mau minum apa?” Kami berada di ruang makan. “Cuma ada teh, kopi, dan air putih,” kataku.
“Kamu sudah makan?” Fai malah bertanya.
“Belum.”
“Bagaimana kalau kita makan di luar?”
“Aku belum mandi, dan sebenarnya aku malas ke luar rumah. Kita pesan saja.” Aku mencari daftar
nomor telepon pesan antar. “Mi goreng?”
Fai mengangguk. Aku segera menelepon restoran yang bersangkutan. Memesan dua bungkus mi goreng
spesial. Setelah itu kami duduk berhadap-hadapan di meja makan. Canggung.
“Kita dulu nggak begini,” ujar Fai tiba-tiba. Matanya menerawang ke arah meja. Dia tak berani
menatapku.
“Sebelum kamu menikah dengan Tio tepatnya,” balasku dengan nada santai, tapi kedengarannya cukup
ketus.
Fai mendongak, kini dia menatapku.
“Jangan bawa-bawa suamiku dalam soal ini,” katanya.
“Memang semua gara-gara dia, kan?” aku mulai emosi.
“Kamu nggak tahu apa-apa. Justru dia itu penolongku.”
“Penolong, hah?” aku mencebik.
“Mungkin aku yang salah. Seharusnya aku tidak menjelek-jelekkan keluargaku sendiri di depan
suamiku,” ujarnya kemudian.
“Maksudmu?”
“Waktu kami menikah, aku sengaja menjauh dari kalian, terutama dari Papa dan Alvin. Aku tidak ingin
kalian terlibat dalam keluarga kami. Kebetulan keluarga Tio di luar kota, jadi itu bukan masalah
untuknya.”
“Termasuk aku?”
“Apa?”
“Katamu kamu sengaja menjauh dari kami, termasuk aku?”
“Eh ... sebenarnya aku tidak bermaksud begitu, tapi ... rupanya efeknya sampai ke situ.”
“Bagaimana dengan Mama? Kamu tidak kasihan melihat Mama yang begitu ingin dekat dengan
cucunya? Kamu tahu kenapa dia sangat menginginkan Eva tinggal di sana? Karena dia menginginkan
seorang cucu. Biarpun dia sudah punya cucu, tapi dia tak pernah merasakan menjadi seorang nenek.
Sekarang kamu lihat sikapnya terhadap Eva sangat berlebihan.”
“Berlebihan? Kupikir dia memang sayang sama Eva,” kata Fai heran.
“Sayang itu perlu proses, Fai. Dia bersikap begitu karena tak ingin Eva dan calon cucunya jauh
darinya. Dia sudah merasakan hal itu denganmu, dia tak mau hal itu terulang lagi.”
Fai diam. Tercenung.
“Mama itu kesepian, Fai. Papa dan Alvin hampir tak pernah menggubrisnya. Setelah kamu menikah,
hanya aku yang menemaninya.”
“Oya? Kupikir kamu sibuk dengan urusanmu sendiri,” sindir Fai.
“Tapi masih lebih mending daripada kamu yang sama sekali tak pernah menunjukkan batang hidungmu!
Bahkan mengakrabkan anak-anakmu saja tidak.”
“Jangan menghakimiku!”
“Tapi itu benar, kan?”
“Aku ... aku benci dengan keluarga kita ...,” ujar Fai lirih.
“Menurutmu aku tidak? Tapi kita keluarga, Fai.”
“Lantas, kenapa kamu pindah ke sini?”
“Karena aku ingin menikmati hidupku, dan aku memang sudah tidak tahan lagi di sana. Tapi aku masih
menunjukkan wajahku ke sana, Fai. Bukan lari begitu saja. Malah hubunganku dan Mama bertambah dekat
setelah aku pindah.”
Fai diam saja.
“Kalau kamu begitu membenci keluarga ini, kenapa kamu tak berusaha memperbaikinya. Setidaknya
kamu bisa mengajak suamimu untuk terlibat membuat keluarga ini lebih harmonis, bukannya malah
berkomplot mengucilkan kami!”
Fai menatapku. Matanya berapi-api. Aku tahu dia tak suka disudutkan sedemikian rupa.
“Aku rindu punya kakak yang bisa berbagi perasaan. Tapi kalau menurutmu itu tak ada artinya, kamu
boleh menganggapku mati.” Aku tahu aku berlebihan. Fai pun melotot mendengar kata-kataku, tapi sudah
telanjur.
“Aku ... aku juga rindu, Ara. Sejak terakhir kali kamu datang ke rumahku, aku kangen sekali. Waktu
kamu sakit ... aku ingin sekali menungguimu, tapi aku punya anak-anak .... Mereka masih membutuhkan
perhatianku ....”
“Suamimu juga tak memberi izin, kan?” tanyaku sinis.
“Tentu saja dia pasti memberi izin, tapi aku saja yang tidak memintanya. Kupikir kamu nggak akan
suka aku tunggui, karena terakhir kali ... hubungan kita kurang baik.”
“Tentu aku akan suka. Aku menunggumu berbuat lebih banyak daripada sekadar menitipkan tahu
goreng.”
Fai tersenyum geli. “Sebenarnya waktu itu Tio baru pulang dari Bandung, dan dia membeli banyak
sekali tahu, jadi sebagian kuberikan padamu. Apa kamu habiskan? Rasanya enak, lho.”
“Ya, ... ya, ....” kataku berbohong. Seandainya dia tahu bahwa tahu itu terbuang percuma di bawah
ranjang rumah sakit.
Kami lalu saling berpandangan. “Apa hubungan kita masih bisa diperbaiki?” tanya Fai ragu-ragu.
“Menurutmu?” aku balik bertanya.
“Jangan begitu.”
“Kalau aku, sih bersedia memperbaikinya. Buktinya dengan Alvin aku bisa. Jadi kenapa denganmu
tidak?!”
“Sungguh?” suara Fai lirih dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Kamu nggak akan nangis, kan?” tanyaku waswas. Aku sedang tak ingin bertangis-tangisan.
“Ah,” Fai buru-buru mengusap matanya agar air mata tak jadi jatuh. “Kapan-kapan kita pergi berdua,
ya?”
“Oh,” aku terperangah dengan ajakan tiba-tiba ini. Biarpun kami dulu akrab tapi sebenarnya kami tak
pernah menghabiskan waktu berduaan. “Ke mana?”
“Ke mana saja. Ke Bali mungkin. Atau ke tempat kita bisa ngobrol banyak.”
“Ke Bali? Yakin Tio bakal kasih izin?” tanyaku sangsi sekaligus sinis.
“Yaa, ... pasti, dong, tapi mungkin itu nggak bisa terwujud dalam waktu dekat. Gimana kalau ke
Bandung?”
“Kalau di Jakarta saja gimana? Kita, kan, bisa nongkrong di kafe. Bisa berkali-kali lagi. Biaya jauh
lebih murah,” ujarku.
“Oh,” kini ganti Fai yang terperangah, sepertinya dia merasa idenya begitu konyol.
“Kamu nggak berencana untuk bersamaku sekali saja, kan?” tanyaku.
“Oh, tentu tidak. Kalau bisa sesering mungkin.”
“Bagus. Bagaimana kalau hari ini yang pertama.”
Suara pintu diketuk.
“Nah, itu pasti mi gorengnya.”

21
Aku sedang terkantuk-kantuk saat Mila menghampiri mejaku sambil membanting setumpuk foto dengan
sengaja.
Aku melonjak di kursiku. “Bikin kaget saja kamu, Mil!”
“Hari gini masih ngantuk. Senin, Bu, waktunya kerja,” katanya sok tahu.
“Apa itu?” tanyaku sambil menunjuk foto-foto di atas mejaku.
“Tolong pilihkan foto buat di majalah, Say. Nanti sore kutunggu, ya.”
Aku mengambil sebuah foto. Jantungku langsung melompat. Mila mengamati ekspresiku.
“Foto apa ini?” tanyaku dengan nada tinggi. Di situ tampak Raka dan Joana sedang berpegangan tangan
dengan latar belakang Candi Borobudur.
“Iklan cetak Intech Air yang baru, berikut beberapa iklan lainnya. Lihat dulu, dong, sampai habis,
jangan keburu emosi.”
“Kenapa harus aku, sih?” Aku mulai melihat-lihat foto-foto yang lain. Memang bukan cuma Intech Air,
ada produk pelangsing badan, alat elektronik, dan iklan pariwisata.
“Karena aku perlu pendapatmu. Menurutku fotografernya payah. Aku mengusulkan ada pemotretan
ulang, tapi bule-bule itu nggak setuju, pemborosan kata mereka. Karena itu aku mau tanya pendapatmu.
Jadi, nanti sekitar jam 3-an aku perlu masukan darimu. Oke?”
“Hei ...,” aku protes. Dia pikir aku tak punya pekerjaan lain. “Ini sebenarnya di luar job desc!”
“Siapa bilang? Butuh persetujuan kita berdua kalau ingin mengganti iklan!” Mila langsung pergi. Oya?
Aku baru tahu. Masa, sih?
Aku kembali melihat-lihat foto itu, terutama iklan Intech Air. Raka dan Joana. Kuamati sosok mereka
berdua. Oh, kenapa kecemburuan itu masih ada? Kulihat wajah Raka yang semringah. Yaa, ... jelas, lah,
namanya juga iklan, masa cemberut?! Tubuh Joana yang sedikit gemuk. Hah! Apa itu tandanya
kebahagiaan setelah perkawinan. Aku membanting foto itu. Berusaha menelaah sisi lain. Katanya si
fotografer jelek. Apa benar? Aku beralih ke foto iklan produk yang lain. Aku memang suka fotografi, tapi
bukan berarti aku ini seorang pakar. Di mataku semua hasil foto itu baik-baik saja. Kenapa Mila harus
bertanya kepadaku, sih? Apa ada unsur kesengajaan? Supaya aku melihat kemesraan antara Raka dan
Joana?
“Ridwan!” panggilku, saat sang art director lewat. Mestinya dia tahu soal-soal beginian.
“Ya, Mbak,” ujarnya sambil mendekat.
“Menurutmu foto-foto ini bagaimana?” aku membeberkan beberapa buah foto. Dia meneliti sejenak.
“Bagus. Buat iklan baru, ya?” katanya kemudian.
“Ada kekurangan?”
“Ehmmm ... menurutku tidak. Memangnya kenapa?”
“Ada yang bilang ini foto jelek.”
“Ah, ... ini bagus, Mbak Kiara. Menurut saya, lho.”
“Menurutmu laik naik cetak?”
“Ya.”
“Oke, trims Ridwan.”
Aku segera menekan nomor ekstension Mila.
“Ya?” kudengar suara Mila.
“Nggak ada masalah dengan fotonya,” kataku setengah geram.
“Oh, kamu sudah selesai? Cepat sekali, belum setengah jam.”
“Coba jawab sejujurnya ada apa?”
“Apa?”
“Maksudmu menunjukkan foto-foto itu!”
“Jangan marah dulu, dong. Aku cuma ingin mengujimu.”
“Apa?”
“Aku ingin tahu reaksimu saat melihat foto itu. Foto-foto yang lain hanya tambahan. Karena Intech
ingin mengadakan pesta peluncuran iklan barunya ini.”
“Pesta lagi?”
“Ya, dan kamu nggak bisa menghindar terus, kan? Dulu sudah menghindar, sekarang mau tidak mau
kamu harus arrange semuanya. Sebenarnya Linda yang ingin tahu, dia minta tolong padaku untuk mencari
tahu.”
“Dulu aku sakit,” ralatku jengkel. “Memangnya nggak bisa tanya?”
“Kalau ditanya pasti kamu nggak ngaku. Sudahlah, menurutku kamu lulus ujian.”
“Oh.”
“Iya, kan? Pesta ini 2 minggu lagi.”
“Oh.”
“Kiara ....”
“Ya?”
“Jangan bilang kamu masih belum siap. Kamu, kan, harus profesional. Kali ini tidak ada dispensasi.”
“Aku tahu. Kalian sudah banyak membantuku.”
“Baiklah. Tinggal follow up kalau begitu.” Mila menutup teleponnya.
Berengsek! Berengsek! Aku memaki. Apa lagi ini? Kenapa, sih, pakai bikin iklan baru segala? Dan
semenit kemudian ada email dari Mila yang mengirim semua berkas. Lalu semenit kemudian ada lagi
email dari ... Abdul?
Segera kubuka suratnya dan kubaca.
Hi, Kiara!
Jangan kaget, ya, aku di Jakarta sekarang. Nanti pulang kantor pukul berapa? Aku mau jemput. I
wanna buy you dinner. Mau, kan? Please respond ASAP!
Abdul.
Aku tersenyum geli. Pakai ASAP segala. Aku pun langsung menyetujui ajakannya.
Akhirnya pria itu muncul juga setelah sekian lama. Aku menjadi bersemangat, sehingga langsung saja
aku mulai mengatur pesta peluncuran iklan Intech Air yang baru. Benar-benar mukjizat!

V
Beberapa bulan tidak bertemu Abdul, baik secara fisik maupun virtual membuatku begitu senang
melihatnya kembali. Dia hanya menanggapi keseruanku seadanya, sehingga aku baru ingat bahwa dulu-
dulu kami memang tak pernah akrab.
“Tempat ini mewah sekali, Abdul,” kataku, saat kami berada di sebuah restoran Italia yang mewah,
tempat Abdul membawaku. Belum pernah aku makan malam di tempat seperti ini, karena aku tahu
harganya bisa 3 kali lipat harga restoran biasa.
“Karena ini momen istimewa,” katanya. Istimewa?
“Memangnya kamu mau melamarku, ya?” ujarku bercanda. Ekspresi wajah Abdul langsung berubah.
Aku tahu telah salah bicara. “Bercanda, Dul. Sensitif amat.”
“Yaa, ... sudah lama nggak denger becandaan orang Indonesia.”
“Sombong!”
“Memang.”
Kami mengobrol panjang lebar, atau tepatnya aku bicara panjang lebar, karena Abdul lebih banyak
mendengarkan dengan saksama. Dia memang cerewet di surat, tapi di depan mata ternyata dia kalem.
Terutama sekarang.
“Hmm ... aku baru sekali ini mencoba ... apa namanya tadi ... Cioppino. Rasanya enak banget. Pinter
aja, sih, milih makanan?!”
“Di Singapura udah biasa,” sahutnya kalem.
“Ih, sombong banget, sih. Di sana pasti makan enak-enak terus, ya? Kelihatan, tuh, perut tambah
buncit,” kataku.
“Masa?” Abdul melihat perutnya.
“Selama istri nggak keberatan nggak masalah, kan?”
Abdul mengangguk ragu-ragu. Aku melihat gelagat aneh di wajahnya.
“Omong-omong, kabar istri dan anakmu gimana?”
Abdul berdehem. Lalu meletakkan cangkang kerang yang sedang diisapnya.
“Itu yang mau kubicarakan denganmu.”
“Oh.”
“Kamu pasti bertanya-tanya kenapa beberapa bulan ini aku tidak menulis email kepadamu.”
“Eh ...,” sungguh aku lupa menanyakannya.
“Hubungan kami ternyata tidak membaik,” ujarnya.
“Emm ... maksudmu?”
“Kupikir dengan kepindahanku ke sana, aku ... kami bisa memperbaiki hubungan kami yang renggang.
Tapi ternyata jarak yang ada terlalu jauh untuk dijembatani. Istriku telah menemukan dunianya sendiri, dan
di sana aku merasa seperti orang asing. Kami tak bisa mendekatkan diri seperti dulu lagi. Kenyataan
bahwa kami memang manusia yang berbeda tak bisa dihindari.”
“Tapi kalian, kan, saling mencintai?” tanyaku.
“Tadinya kami pikir begitu. Tapi cinta itu tak sekuat dulu. Yang membuatku terhibur hanya anakku.
Tapi dia pun sepertinya canggung berdekatan denganku. Kami bertengkar hebat gara-gara masalah itu. Aku
menuduh istriku sengaja menjauhkan anakku dariku. Dia tidak terima. Itu pertengkaran terakhir kami
sebelum aku pergi ke sini.”
Aku tertegun.
“Lalu, alasanmu berhenti menulis kepadaku?” aku bertanya dengan hati-hati.
“Surat-suratmu adalah satu-satunya penghiburan buatku. Aku senang kamu percaya padaku. Aku
senang kamu mau bicara padaku sementara istriku semakin menjauh dariku biarpun kami sudah tinggal
seatap. Dan tanpa kusadari, aku mulai jatuh cinta padamu ....”
“Apa?” aku nyaris terpekik.
“Tenang, Kiara ...,” Abdul menepuk punggung tanganku, dan aku langsung menarik tanganku.
“Aku tahu kamu pasti menganggapku aneh, gila, freak, whatever ... tapi itu benar. Semakin lama aku
semakin merasa tertarik oleh suratmu, dan aku mulai tidak peduli dengan sikap istriku. Lalu kupikir, aku
harus mengambil keputusan. Kuputuskan untuk berhenti menulis surat kepadamu, agar aku tahu perasaanku
yang sebenarnya.”
Aku menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya.
“Dan ... beberapa waktu yang lalu aku sampai pada kesimpulan bahwa ... aku memang benar-benar
jatuh cinta padamu.”
Kerang di tenggorokanku rasanya tak mau turun. Aku tersedak dan batuk-batuk.
“Aku tahu kamu pasti kaget,” katanya di sela-sela batukku. Bukan kaget lagi, aku bisa kena serangan
jantung!
Saking terkejutnya aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa menatap Abdul dengan tatapan tak
percaya.
“Jangan begitu, dong,” ujar Abdul tak enak hati. “Aku, kan, manusia, jadi wajar jika bisa jatuh cinta.”
Setelah kerang di mulutnya itu tertelan dengan susah payah, aku baru bisa bicara.
“Kenapa bisa aku?”
Abdul angkat bahu. “Mana aku tahu? Kalau bisa memilih, aku maunya juga bukan sama kamu. Cewek-
cewek Singapura banyak yang cantik-cantik, tahu,” ujarnya mencoba berseloroh. Aku tersenyum tipis.
“Aku tidak tahu harus bilang apa.”
“Tidak perlu dijawab sekarang,” kata Abdul. “Pikirkan saja dulu. Renungkan. Aku tidak mau
mendesak ....”
“Benar!” seruku cepat-cepat. “Lebih baik konsentrasi dengan makanan di sini. Setuju?” Aku kembali
menyantap kerang di hadapanku. Kini ganti Abdul yang menatapku dengan tak percaya.
Abdul memaksa untuk mengantarkanku sampai ke rumah kontrakan, padahal aku sudah berusaha
menolak. Tanggung, katanya.
“Wah, kamu tinggal di townhouse?” tanya Abdul sambil terkagum-kagum menatap rumahku.
“Ngontrak,” kataku meralat.
“Kenapa nggak kamu beli aja? Ini bagus, tahu?”
“Kalau yang punya nggak mau jual, gimana? Masa aku paksa, sih! Lagi pula harganya pasti mahal. Di
Jakarta gitu, lho.”
“Ah, paling-paling 300-500 jutaan. KPR aja. Daripada sekarang kamu bayar kontrakan, kan, lebih
baik duitnya buat nyicil. Atau ... mau yang gratis?”
“Gratis?” aku mengernyit.
“Setelah kita menikah. Eh, itu juga kalau kamu mau.”
Aku menelan ludah. Untung tak ada kerang di mulutku. Kalau tidak, bisa ada kejadian tersedak babak
kedua. Lalu aku tertawa, jengah, dan buru-buru turun dari mobil.
“Eh, besok mau kujemput, nggak? Mobil kamu, kan, ditinggal di kantor?” tanya Abdul.
“Nggak usah, aku naik taksi.”
“Yakin?”
“Yakin.”
“Oke. Sampai besok, ya.” Abdul melambaikan tangannya. Besok? Mendadak aku diserang panik.
Kulihat Abdul mulai memundurkan mobilnya.
“Tunggu!” aku berseru, sambil kembali menghampirinya. Wajah Abdul langsung semringah. “Soal
yang tadi ....”
“Soal apa?” tanya Abdul dengan mata berbinar.
“Yang di restoran tadi. Aku mau kasih jawaban sekarang.”
“Nggak usah buru-buru.”
“Aku nggak buru-buru. Ini, kan, soal perasaan, soal hati, jadi aku tahu persis. Ehm ... maafkan aku,
Abdul, aku nggak bisa menerima cintamu.” Aku tertegun sendiri mendengar kata-kataku, kok rasanya
seperti dalam telenovela, ya?
“Oh ...,” Ekspresi Abdul langsung berubah. “Kalau nanti kamu berubah pikiran, bagaimana?” tanya
Abdul setengah ngotot.
“Kalau memang itu terjadi, mungkin nanti aku akan memberitahumu.”
“Bagaimana jika saat itu terjadi ternyata sudah terlambat?” Abdul terus mendesak.
“Berarti bukan rejekiku,” jawabku asal.
Abdul menatapku dalam-dalam. Lalu sejurus kemudian dia menghela napas.
“Oke.” Cuma itu yang keluar dari mulutnya. Setelah itu dia menutup kaca jendela, sehingga aku tak
bisa melihat perubahan wajahnya. Sebentar kemudian mobilnya meluncur meninggalkan pelataran parkir
di depan rumahku.

22
“Eh, udah denger berita paling gres belum?” tanya Mila yang tiba-tiba sudah muncul di depan mejaku,
saat aku sedang browsing mencari lokasi untuk pesta Intech Air.
“Kenapa? Lo hamil tiga bulan?” sahutku asal tanpa memalingkan wajah dari layar komputer.
“Bukan!” umpat Mila. “O’Malley mau cabut.”
“Cabut? Cabut apa? Cabut singkong atau talas?”
“Ih, ni anak nggak serius banget, sih.”
“Iya, ya, ... sori bo’ lagi cari venue, nih. Ntar dibilang nggak kompeten lagi.” Aku lalu mendongak
menatap Mila. “Ada apa dengan O’Malley?”
“Dia mau keluar. Terus, besok penggantinya yang baru bakal masuk.”
“Oh,” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Ah, reaksi loe payah banget. Nggak seru!” Mila mengomel.
“Abis harus gimana, dong? Marah-marah?”
“Yaa, heran dikit, kek! Pake efek kaget, kek! Apa, kek! Jangan plain gitu, dong, nggak menghargai si
pembawa pesan. Huu!” Mila manyun lalu ngeloyor pergi karena beritanya kurang seru.
Yah, sejujurnya apa peduliku. Hubunganku dengan O’Malley kan hanya atasan dan bawahan. Dia juga
jarang berbicara denganku. Tak ada hubungan emosional. Bahkan waktu Abdul keluar dulu, aku pun tak
terpengaruh. Ah, jadi teringat Abdul. Aku jadi ingin tahu kabarnya hari ini. Mungkinkah dia marah? Buru-
buru kuenyahkan pikiran-pikiran yang mengganggu. Lalu kembali menatap layar komputer.

V
Rasa penasaran Mila dan yang lainnya terjawab keesokan harinya. Aku yang semula tak peduli, ternyata
yang paling mendapat kejutan.
Aku benar-benar terperangah melihat Abdul, yang berdiri di antara jajaran direksi, di ruang rapat.
Kami dipanggil semua untuk menyaksikan peristiwa serah terima jabatan dari O’Malley ke CEO yang
baru. Aku bertanya-tanya dalam hati, sedang apa Abdul di sini? Aku melambaikan tangan ke arahnya saat
tanpa sengaja matanya melihat ke arahku. Tapi Abdul sepertinya pura-pura tidak melihat. Apa dia masih
marah? Aku mengernyit.
“Kenapa?” tanya Mila tiba-tiba yang berada di sebelahku. “Kaget melihat Abdul?” Aku mengangguk
cepat. “Aku juga. Kita semua kaget. Ujug-ujug gitu, nggak ada angin nggak ada hujan.”
Aku diam, sambil terus berpikir. Abdul sama sekali tidak menyinggung soal ini saat makan malam.
George Allen, selaku komisaris, memberikan sambutan dengan bahasa Indonesia terpatah-patah. Tapi aku
tak menyimak. Lalu disusul Stephen O’Malley, dengan bahasa Indonesia yang lebih lancar, yang intinya
dia senang bekerja di sini, tapi dia akan mencari pengalaman di tempat baru, bla ... bla ... bla .... Standar.
Aku baru menyimak saat akhirnya Abdul berbicara.
“Rekan-rekan ParaDigma Communication, sebagian besar pasti sudah mengenal saya, karena saya
dulu adalah manajer promosi dan pemasaran di sini.” Matanya menyapu ke seluruh ruangan, tak terkecuali
ke arahku. “Saya sangat berharap kita dapat terus bekerja sama dengan baik, karena dulu saya pun
menikmati suasana bekerja di sini yang sangat akrab dan kekeluargaan, yang tak bisa ditemukan di kantor-
kantor lain. Biarpun sekarang saya bukan di posisi yang sama ... ehem ... agak lebih tinggi ....” Orang-
orang tertawa, termasuk aku, “tapi saya tetap seperti yang dulu. Jadi jangan sungkan-sungkan untuk
mengobrol atau berbicara kepada saya. Don’t treat me like an alien, please ...,” ujarnya dengan tampang
memelas yang dibuat-buat. Semua orang kembali tertawa geli. Lalu Abdul melanjutkan. “Semoga dengan
kembali bergabungnya saya dalam tim ParaDigma, kita semua bisa menjadi lebih baik, dan saya bisa
menyumbangkan hal-hal positif untuk perusahaan ini.” Semua orang bertepuk tangan. “Walaupun, di hari
pertama saya bekerja ini, perasaan saya sedang tidak keruan,” dia menambahkan, tanpa menyelesaikan
kalimatnya. Semua orang menunggu. “Yah, ... tapi seperti kata Bob Marley ... No Woman No Cry. And I’m
trying not to cry.” Orang-orang kembali tertawa sambil bertepuk tangan mereka. Tanpa sadar aku ikut-
ikutan.
“Apa maksudnya, tuh?” celetuk Mila.
“Baru cere, kali,” sahut seseorang di belakangku.
“Emang dia dah merit?” tanya yang lain. Dan mereka pun berkasak-kusuk.
“Pinter juga dia. Sekalian promosi, memberi tahu semua orang bahwa dia single,” bisik Mila di
telingaku. Aku cuma mengangguk. “Waktumu untuk maju,” bisik Mila lagi.
“Apa?” tanyaku terkejut.
“Sekarang kamu punya kesempatan untuk mendekatinya. Dari dulu dia, kan, kelihatan kalau ada hati
sama kamu.”
“Masa? Kayaknya biasa aja. Kamu aja.”
“Malesss. Dia, kan, dah duda, sudah beranak pula. Full of bagage. Lewat aja, deh.”
“Oh, jadi itu sebabnya kautawarkan dia kepadaku? Dasar culas!” aku pura-pura marah.
“Nggak. Tapi kamu, kan, suka yang berat-berat.”
“Berat-berat?!”
“Yaa, full of bagage itu tadi. Kamu kayaknya cocok sama yang berbau drama.” Mila terkikik
kesenangan. Sialan! Apa aku separah itu?
“But he’s a good catch. Masa depan cerah. CEO, bow!”
Aku mau protes, tapi O’Malley sudah keburu menyuruh kami semua pindah ke ruang sebelah untuk
makan-makan. Suka yang berat-berat? Aku masih berpikir.
“Lihat,” seru Mila dengan mata berbinar, “lidah sapinya menggiurkan banget.” Mila nyaris meneteskan
air liur. Gara-gara ucapan Mila tadi, selera makanku lenyap. Aku malah menunggu kesempatan untuk
berbicara dengan Abdul. Tapi dia selalu dikerumuni orang. Terpaksa kuurungkan niatku, dan kusantap
makanan apa saja untuk menunggu saat yang tepat.
Setelah beberapa lama, akhirnya kulihat Abdul sedang sendirian meminum es buah di sudut ruangan.
Buru-buru kuhampiri dia.
“Hai,” sapaku. Abdul terkejut melihatku, tapi segera menguasai diri.
“Hai,” balasnya.
“Selamat, ya.” Aku mengulurkan tangan. Dia menyambutnya dengan sedikit ragu. “Kok, waktu itu
nggak bilang, sih, soal ini?” tanyaku pura-pura kesal.
“Hah? Oh, ... lupa,” sahutnya singkat.
“Lupa? Hal penting begini kok bisa lupa?!”
“Karena waktu itu, kan, ada yang lebih penting.”
“Oya? Apa?” tanyaku spontan.
Abdul menatapku dengan penuh arti, seolah-olah mengatakan “Kamu, kan, sudah tahu.”
“Oh ...,” aku segera tersadar. Maka situasi pun menjadi canggung di antara kami.
“Aku ke sana dulu, ya?” Abdul berusaha menghindari suasana tidak enak ini.
“Abdul,” panggilku, sehingga dia menahan langkahnya.
“Apa?” sahutnya tanpa mendekat.
“Eh ... di antara kita ... nggak ada masalah, kan?” aku bertanya dengan hati-hati.
“Masalah pekerjaan, tidak,” jawabnya tegas.
“Maksudmu?”
“Hubungan profesional kita baik-baik saja, tapi ... hubungan pribadi kita sudah berubah.”
Aku langsung mengerti maksudnya, walaupun hatiku rasanya tertohok.
“Kita tetap teman, kan?” tanyaku lirih.
“Aku bukan orang seperti itu. Jangan semakin menyiksa perasaanku.”
Abdul meninggalkanku begitu saja, dengan perasaan tak menentu. Tiba-tiba aku disergap rasa
kehilangan yang menyedihkan. Sepertinya salah satu temanku telah hilang dan takkan kembali.

23
Abdul memanggil kami untuk rapat mengenai persiapan peluncuran iklan baru Intech Air. Ini juga rapat
pertama yang dipimpinnya. Untuk saat ini Intech Air adalah klien besar kami, tak heran jika mereka
mendapat perlakuan istimewa.
Setelah mendengarkan taklimat singkat dari Linda, Abdul ingin tahu sejauh mana persiapan kami.
“Di mana venue-nya?” tanya Abdul.
“Pihak Intech belum memutuskan ...,” jawabku.
“Kamu pimpro-nya?” tanya Abdul.
“Ya.”
“Lalu undangan peliputan media, undangan customer?” Abdul bertanya lagi sambil membaca berkas
di depannya, dia tak mau memandangku.
“Masih draf ... besok atau lusa baru di-approve Intech,” sahutku. Satu alis Abdul terangkat,
kelihatannya dia tidak puas.
“Saya baca di sini sejak awal Linda yang menangani proyek ini?” Abdul memandang Linda. “You
handled this project before?”
“Yes,” sahut Linda dengan ekspresi bertanya-tanya.
“I think you should handle this launching by yourself,” kata Abdul pada Linda. Linda menatapku,
aku hanya mengedik. “Kamu urus saja segala sesuatu yang berhubungan dengan media,” Abdul menatapku
sekilas. Aku bengong.
Itulah rapat tersingkat dan tersakit yang pernah kuhadiri. Aku memaki-maki dalam hati. Apakah dia
sedendam itu kepadaku sehingga mencopotku begitu saja dari posisi pimpro?
“Apa, tuh, tadi maksudnya?” Mila mengikutiku setelah rapat bubar hingga ke meja.
“Apanya?” tanyaku pura-pura bego.
“Si Abdul! Baru jadi CEO sehari aja langsung pamer kekuasaan. Resek! Kalau sudah begini, I miss
Stephen,” keluh Mila. Melihat aku diam saja, Mila semakin geregetan. “Kamu kok diam aja, sih,
digituin?! Kalau aku jadi kamu, dia pasti kubantah tadi.”
Aku hanya tersenyum. Sambil terus berpikir tentu saja.
“Kiara?”
“Hm? Yaa, aku sedang berpikir. Apa aku seburuk itu? Kelihatannya dia kurang puas dengan kerja
awalku.”
“Yang penting kan ending-nya. Menurutku, sih, biasa saja. Kita biasa, kan, bikin proyek mepet. Ah ...
pokoknya dia, tuh, sok kuasa banget. Kalau begini terus, bisa berabe kita!” Mila uring-uringan sendiri.

V
“Masuk.” Terdengar suara Abdul dari dalam ruangan.
“Abdul, boleh aku bicara?” kataku setelah membuka pintu.
“Ada apa?” tanya Abdul kurang ramah. Sepertinya dia tahu apa yang akan kubicarakan.
“Katamu hubungan profesional kita baik-baik saja,” kataku tanpa tedeng aling-aling.
“Iya,” Abdul langsung pasang muka tak bersalah.
“Lalu kenapa aku mendapat kesan yang sebaliknya?”
“Oh, maksudmu soal launching iklan Intech?”
“Ya.”
“Aku malah membantumu, kan?”
“Maksudmu?”
“Aku tahu peristiwa launching yang dulu. Kamu batal menanganinya karena ... patah hati, kan?”
“Apa?”
“Aku tahu bagaimana perasaanmu kepada si Raka ini. Aku tidak mau perasaanmu kembali hancur
lebur sehingga pekerjaan ini menjadi kacau-balau.”
Darahku mulai mendidih.
“Itu urusan pribadiku, Abdul.” Aku lalu teringat kembali dengan email-emailku yang panjang lebar
penuh jeritan hati. Berengsek! Seribu kali berengsek! “Kamu meremehkan kemampuanku?”
“Aku cukup tahu bagaimana perasaanmu. Dari email-email yang pernah kamu kirim, semua
menunjukkan betapa lemahnya dirimu terhadap lelaki ini,” ujar Abdul dengan suara penuh penekanan.
“Dan aku tidak mau membahayakan proyek ini karena kamu tak sanggup berhadapan dengan pria ini.
Apalagi saat ini Intech adalah aset terbesar kita.”
Aku terperangah sesaat. Tega sekali dia menggunakan curhat-curhat-ku untuk mendiskreditkan
kemampuan kerjaku. Susah payah aku berusaha menenangkan diri. Sementara Abdul memandangku dengan
seringai puas. Dia masih menunggu ucapanku selanjutnya.
Tapi lidahku benar-benar kelu. Perasaanku tak keruan, dan tenggorokanku mulai tercekat. Wajah Abdul
yang semula puas kini berubah cemas.
“Kiara,” panggilnya, dia bangkit dari kursinya dan beranjak ke arahku. Aku mundur selangkah.
“Aku menyesal pernah menganggapmu teman,” desisku sambil menahan air mata, lalu cepat-cepat
keluar dari ruangannya. Dan sekilas dari jendela di ruangannya aku bisa melihat dia tercenung setelah aku
pergi.

V
Aku merogoh-rogoh tasku, mencari sobekan kertas yang berisi nomor telepon Ivan. Ketemu! Segera
kutekan tombol nomor telepon, dan terdengar nada tunggu sesaat. Jantungku tiba-tiba berdebar di luar
dugaan.
“Halo?” terdengar suara Ivan, yang ternyata amat hangat di telepon.
“Halo, Ivan!” kataku buru-buru.
“Ya?”
“Eh ... ini Kiara ....”
“Hai! What a pleasant surprise ...,” ujarnya, kegembiraan tak bisa disembunyikan dari nada
suaranya.
“Eh ...,” aku mereka-reka kalimat yang tepat. “Nanti malam kamu sibuk?”
“Nggak, kenapa?” kali ini nada heran terdengar dari suaranya.
“Kamu mau menemani aku makan malam?”
“Oh ... oke ...,” sahutnya. “Di mana?”
Aku menyebutkan sebuah tempat, lalu kuminta dia untuk menungguku di sana. Tapi tampaknya dia
berpikiran lain.
“Bagaimana kalau aku ke kantormu?” ujarnya mengusulkan.
“Aku bawa mobil,” sahutku cepat-cepat.
“Ya, aku tahu.”
“Eh, maksudku ....”
“Aku tahu maksudmu. Aku ke sana mau naik taksi, intinya aku mau nebeng. Boleh?”
“Oh, .... Ya, ya.”
“Pukul setengah tujuh aku di sana. Di mana alamat kantormu.”
Aku menyebutkan alamat kantorku.
“Oke, sampai nanti?”
“Ya,” sahutku. Lalu wajahku tiba-tiba terasa hangat.

V
Pukul setengah tujuh lebih sedikit, aku masuk ke lift. Ketika pintu lift hendak tertutup seseorang berteriak.
“Tunggu!”
Segera kutekan tombol pembuka pintu. Ternyata Abdul. Ah, tahu begitu kubiarkan saja tadi. Dengan
terengah-engah dia masuk ke dalam lift. Tampaknya dia kaget melihatku, tapi apa boleh buat. Maka
berdualah kami di dalam lift. Suasana di antara kami benar-benar kaku, dan lift rasanya bergerak turun
lama sekali. Kudengar Abdul berdehem. Tapi rasanya kami berdua sama-sama enggan untuk memulai
percakapan terlebih dulu.
Aku merasa lega bukan main saat pintu lift terbuka di lobi. Kulihat Ivan sedang berdiri tak jauh dari
situ. Spontan aku langsung memanggilnya, dan Abdul menoleh ke arahku.
Ivan berjalan menghampiriku sambil tersenyum. Lalu entah dorongan dari mana, aku buru-buru
merangkul lengannya. Wajah Ivan kelihatan heran, tapi dia diam saja. Dari ekor mataku, bisa kulihat
Abdul juga menatapku dengan keheranan. Hahahaha!
“Ayo ke tempat parkir,” ajakku sambil buru-buru menarik Ivan pergi keluar lobi. Begitu sampai di
luar, Ivan memandangku.
“Rasanya aku baru saja dimanfaatkan,” ujarnya sambil tersenyum.
Aku buru-buru melepaskan pegangan tanganku.
“Maaf.”
“Pasti laki-laki di dalam lift itu, ya?”
“Bukan.”
“Hah!”
Ivan memutar bola matanya. “Kayak Mamaku saja,” gumamnya.
“Memang Mamamu kenapa?” tanyaku.
“Yah, begitulah,” wajahnya langsung berubah, tapi sejurus kemudian dia kembali tersenyum. “Kalian
perempuan sama saja,” ujarnya. Eh, itu berkonotasi baik atau buruk, ya?

V
Kami tiba di sebuah restoran yang terletak di sebuah bangunan bertingkat tak jauh dari gedung kantorku.
Setelah kami menemukan meja, kami pun duduk berhadapan.
“Nah, ... jadi sebenarnya ada apa?” tanya Ivan kemudian, setelah makanan yang kami pesan datang.
Aku sudah tahu dia pasti akan bertanya.
“Apanya?”
“Kamu mengajakku makan malam, ini kejutan luar biasa. Apa masih ada hubungannya dengan lelaki di
lift tadi?”
“Sekali-sekali aku mentraktir delivery man, boleh, kan?” tanyaku bercanda.
“Ah, ... jadi kamu yang traktir, nih? Trus?”
Ya, ampun, dia benar-benar penasaran rupanya.
Lalu mengalirlah cerita tentang Abdul dan bagaimana hubungan kami berawal serta berakhir. Ivan
mendengarkan ceritaku dengan saksama, tanpa menyela sedikit pun, sambil sesekali manggut-manggut dan
bergumam.
Setelah aku selesai, dia masih tak bersuara. Aku menatap wajahnya, berusaha mencari tahu apa kira-
kira yang dipikirkannya.
“Apa menurutmu aku salah?” tanyaku.
“Salah? Dalam hal apa?” dia balik bertanya.
“Eh ... tentang sikapku terhadap Abdul?”
Ivan hanya menatapku sekilas, tanpa berkomentar. Tapi kemudian dia berkata, “Bukan tempatku untuk
memberikan komentar.”
“Kamu ini kayak menteri aja. Ayolah .... ”
“Aku, kan, nggak kenal dengan yang namanya Abdul. Baru juga lihat tadi. Dan jujur saja, aku agak
menikmatinya ....”
“Menikmati si Abdul?” aku heran.
“Bukan. Menikmati sikapmu.” Ivan menatapku penuh arti sambil memendam senyum.
“Oh ...,” wajahku memerah. Tiba-tiba aku salah tingkah. Lalu kudengar Ivan tertawa geli.
“Kamu ini ....”
Ooh ... seribu kali sial! Mungkin seharusnya aku tidak mengajak Ivan makan malam, karena aku benar-
benar tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tak mau bersikap seolah-olah memanfaatkan dia,
walaupun tampaknya kesan itu sudah jelas terlihat.
Malam itu aku mengantarkan Ivan pulang. Rumahnya terletak di sebuah jalan buntu. Kecil namun asri.
Sekilas bentuk bangunannya mengingatkanku akan rumah Raka.
“Mau masuk?” Ivan mengundang.
“Thanks, tapi aku harus buru-buru pulang. Besok banyak kerjaan.”
“Oke.” Aku merasakan ada nada kecewa dalam suaranya. Tapi dia tetap tersenyum manis. “Kapan kita
ketemu lagi?”
Aku berpikir cepat. “Kalau aku butuh makanan?”
Ivan tertawa mendengar leluconku. “Sip lah. Drive safely.”

24
Setelah makan malam kami, Ivan kerap kali mengirimkan SMS atau menelepon. Awalnya sekadar
menanyakan kabar. Namun, lama-kelamaan obrolan panjang tak terhindarkan. Dia tahu kapan saat-saat
jenuhku di kantor, SMS di pagi hari saat aku bangun tidur, SMS di siang hari saat aku sedang berjuang
melawan kantuk, atau telepon di sore hari saat aku sedang jenuh-jenuhnya. Dan setiap akhir pekan dia
tetap mengantarkan sarapan pagi untukku. Sesekali dia juga datang ke kantor. Kami memang bicara tentang
apa saja, tapi kami tak pernah membicarakan soal hati. Sepertinya itu adalah topik yang sama-sama kami
hindari. Atau mungkin dia tahu aku menghindari topik itu, sehingga tak pernah mengungkitnya.
Sementara itu, menjelang hari-H peluncuran iklan baru Intech Air, aku semakin deg-degan. Mau tak
mau aku merasa takut membayangkan reaksiku sendiri jika berhadapan dengan Raka dan Joana saat acara
itu berlangsung. Bagaimana seandainya aku tak bisa mengendalikan diri?
Namun, ketakutanku ternyata tak terwujud. Menjelang acara dimulai, Mila memberi tahu bahwa Raka
membatalkan kedatangannya, tanpa alasan yang jelas. Jujur saja aku tak peduli. Aku senang dia tak perlu
menampakkan batang hidungnya di depanku. Dan aku pun terbebas dari kekhawatiran sepanjang acara
peluncuran iklan berlangsung. Thank God.
Suatu sore Mama meneleponku di kantor, katanya Eva sudah masuk rumah sakit karena air ketubannya
sudah pecah. Mama memintaku menengoknya sepulang kantor, sampai Alvin datang. Maka meluncurlah
aku ke rumah sakit sepulang kerja. Di sana kulihat Eva tengah mengerang-erang kesakitan, sedangkan
Mama menunggui di sampingnya, sambil memberikan semangat.
“Nggak tahan ... Ma ...,” Eva merintih. Kulihat sesuatu di dalam perutnya bergerak. Aih ... bulu
kudukku berdiri.
“Itu bayinya yang bergerak, ya?” tanyaku dengan pilon. Tak ada yang menjawab.
“Kamu temani Eva dulu, ya. Mama mau pulang sebentar. Tunggu sampai Alvin datang.”
Aku manggut-manggut, lalu duduk di samping tempat tidur menggantikan Mama.
“Tapi Mama nanti balik lagi, kan?” tanya Eva, tampaknya dia kurang yakin dengan diriku.
“Tentu. Mama juga sudah menelepon ibumu.”
Eva tampak bernapas lega. Aku juga.
Aku hanya duduk termangu menyaksikan Eva merintih dan menjerit. Sesekali memegangi tangannya,
tapi tampaknya tidak membantu.
“Sakiiiiiiit, Mbaaaaak ... huh ... huh ... huh ...,” Eva setengah menahan teriakan. Aku mengelus-elus
tangannya.
“Tahan, Eva ... tahan ...,” aku berusaha menenangkan.
“Nggak tahaaaan ... aaaaaaaaaaarrhhhhhhhhhh!”
Aku memalingkan wajahku. Duh ... duh ... Alvin, cepatlah datang.
Alvin datang sekitar pukul 8 malam. Setelah itu disusul Mama. Aku merasa seolah-olah beban berat
terangkat dari pundakku. Setelah itu aku memutuskan pergi ke kantin. Rumah sakit ini ternyata memiliki
kantin, yang menurutku lebih mirip seperti restoran, yang buka 24 jam.
Di depan restoran aku berdiri sejenak untuk mencari tempat duduk yang enak, ketika seseorang di
belakangku berkata.
“Permisi.” Suara itu sangat tak asing. Aku segera menoleh.
“Raka?” Aku nyaris tidak percaya dengan penglihatanku sendiri. Entah sudah berapa lama kami tidak
bertemu, tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun. Dia tampak agak pucat, dengan bayangan hitam di
bawah matanya, sedikit kurus, tapi tetap tampan.
“Kiara?” Dia pun sama tak percayanya denganku. “Sedang apa kamu di sini?”
“Adik iparku mau melahirkan. Kamu?”
“Istriku sakit,” jawabnya singkat.
“Oh, sakit apa?”
“Dia sedang hamil 4 bulan, tapi pendarahan terus. Kata dokter harus bed-rest, supaya tidak keguguran,
karena kalau keguguran ada risiko rahimnya diangkat, dan tidak bisa punya anak.” Aku bersedia
melahirkan anak darimu, biarpun harus menjerit-jerit seperti Eva tadi, kataku dalam hati.
Tanpa ada yang mengomando, kami berjalan ke meja yang sama di sudut restoran. Karena tidak begitu
lapar aku hanya memesan kopi susu dan pisang goreng, sedangkan Raka ayam bakar dan teh manis.
“Kamu belum makan?” tanyaku.
Dia menggelengkan kepalanya. “Aku baru tadi merasa lapar.”
“Jadi kamu tidak datang ke acara launching iklan Intech karena istrimu sakit?”
“Ya,” sahutnya lirih.
“Sudah berapa lama?”
“Kalau dirawat di sini hampir 3 minggu.”
Secara refleks aku meraih tangannya, dan dia tampak tidak keberatan. “Kenapa tidak bilang?” tanyaku.
Raka menaikkan alisnya. “Apa kamu masih peduli?”
“Tentu saja.” Aku kembali menarik tanganku. Kehangatan itu masih ada. “Aku masih peduli padamu,
Raka.”
“Kupikir ... kita menjalani hidup masing-masing ....”
“Memang. Tapi bukan berarti tidak peduli, kan? Apa kamu menungguinya setiap malam?”
“Ya. Sepulang kantor aku langsung ke sini. Berangkat ke kantor juga dari sini. Dia selalu mencariku,
minta ditemani. Aku baru bisa keluar kamar kalau dia sudah tidur, seperti sekarang ini.”
Aku membayangkan seperti apa rasanya. Tapi rasa empati itu tidak muncul.
“Kalau kamu mau, aku bersedia menemanimu,” aku menawarkan diri. Tapi sedetik kemudian aku
menyesalinya.
“Sungguh?” Matanya yang kelam menatapku. Rasanya seperti sedang menghipnotis. Aku mengangguk
seperti robot. “Aku tidak mau merepotkan,” ujarnya kemudian.
“Aku tidak keberatan. Lagi pula, pulang kantor mau ngapain lagi, sih?”
Raka mengedik, sambil tersenyum tipis.
“Aku tahu rasanya menunggu di rumah sakit. Depressing. Jika ada teman pasti akan lebih
menyenangkan.”
Raka menatapku lama. “Kamu baik sekali,” ujarnya kemudian. Aku hanya mengusap punggung
tangannya. Getaran itu masih kurasakan.

V
Malam itu juga Eva melahirkan. Bayi laki-laki berat 2,9 kilo, panjang 50 sentimeter. Tanpa sadar aku
menitikkan air mata saat melihat bayi mungil itu berada di pelukan ibunya. Tanpa disangka, Alvin pun
terisak-isak. Dia menyaksikan sendiri proses persalinan Eva, dan dia mengaku kakinya masih terasa
lemas. Keluarga Eva datang keesokan paginya, Fai beserta suami dan anak-anaknya juga hadir. Hmm ...
Papaku juga, biarpun dia lebih banyak berada di halaman rumah sakit. Tapi untuk pertama kalinya kami
berkumpul persis seperti keluarga besar. Ini pertama kalinya aku merasa bersyukur memiliki keluarga.
Yah, konon bayi memang membawa keajaiban, bukan?
Keajaiban yang lainnya tentu saja karena aku bisa bertemu Raka kembali. Kini setiap hari selalu ada
yang dinanti. Sepulang kantor aku pergi ke rumah sakit, biarpun tak ada lagi kepentinganku di sana karena
Eva sudah pulang ke rumah. Lalu aku menunggu di restoran sampai dia muncul. Kami bercakap-cakap
tentang banyak hal. Terkadang kami duduk-duduk di bangku taman, dalam keremangan. Itu hal yang luar
biasa bagiku. Sepertinya waktu benar-benar berpihak kepadaku.
Aku mulai tak mengacuhkan SMS atau telepon dari Ivan, karena setiap kali bertemu dengan Raka,
telepon genggam selalu kusetel mode diam. Dan begitu sampai di rumah aku selalu lupa membalas SMS
atau pun missed call darinya. Hal itu berlangsung kira-kira hampir dua minggu. Lalu pada hari Sabtu pagi
tiba-tiba Ivan muncul di depan pintu.
“Morning,” ujarnya riang bercampur waswas.
Aku mengucek-ucek mataku. “Mor ... ning.”
“Pasti belum mandi dan gosok gigi, apalagi membereskan tempat tidur.”
“Sebenarnya aku mau kembali tidur.”
“No way! Cepat mandi, lalu sarapan. Aku bawa ini.” Ivan mengulurkan kantong plastik ke arahku.
Dari aromanya aku langsung tahu.
“Ketoprak?”
“Hari ini aku sengaja bawa mobil. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
Aku langsung waspada. “Mau ke mana?”
“Suatu tempat yang enak untuk berbicara. Pantai.”
“Ancol, atau Anyer?”
“Aku ingin mengajakmu sedikit menyeberangi lautan. Bagaimana kalau ke Pulau Untung Jawa?”
Aku mengernyitkan alis. “Jauh?”
“Tentu saja, but it’s worth it.”
“Aku sedang malas pergi jauh-jauh,” kataku cepat.
“Kalau begitu yang deket, deh, mal.”
“Bosen!”
Dia menarik napas panjang, sepertinya berusaha menenangkan diri. “Kalau gitu, maunya di mana,
dong?”
“Kenapa nggak di sini aja, sih?”
Dia diam sejenak. “Aku cuma ingin kita bisa bercakap-cakap di tempat yang istimewa, tanpa
gangguan.” Kulihat matanya sekilas melirik ke arah tempat tidurku. Apa maksudnya? Apa tempat tidurku
begitu berantakan sehingga dia terganggu?
Sebelum aku sempat berkata lebih lanjut, Ivan sudah berbicara lagi. “Kayaknya kamu sedang tidak
dalam suasana hati yang baik hari ini. Kurasa ... sebaiknya aku pulang saja.” Kudengar nada suaranya
sedikit kesal.
“Sori,” ujarku menyesal. Tapi hari ini aku benar-benar tak ingin pergi dengannya. Aku sudah bisa
menebak apa yang ingin dibicarakannya. Aku tak mau kembali terjebak seperti saat Abdul menyatakan
cintanya.
“Nggak apa-apa. Tujuan lain aku ke sini adalah memastikan kamu baik-baik saja, karena setiap SMS
dan teleponku tak pernah dibalas.”
Aku terenyak. “Sori, aku lupa. Pulang dari rumah sakit maunya langsung tidur.”
“Lupa?” dia sepertinya sulit menerima alasan itu, tapi dia melanjutkan. “Siapa yang sakit?”
“Temanku,” kataku berbohong. Dia menatapku lama, tapi tidak bertanya lebih lanjut.
“Baiklah, sampai nanti.”
“Terima kasih ketopraknya.”
Dia hanya tersenyum.

V
Malam Minggu itu kuhabiskan bersama Raka. Kulihat dia lebih banyak termenung, dan kami hanya duduk
dalam keheningan di bangku taman.
“Ada masalah?” aku bertanya.
“Kata dokter Joana harus bed-rest sampai melahirkan, itu pun nanti harus lewat operasi.” Raka
berpaling ke arahku. “Aku takut, Kiara.”
“Takut apa?”
“Takut kehilangan dia. Jujur saja saat ini aku tak begitu peduli dengan bayi itu.”
“Raka ....”
“Dia terpaksa mengorbankan segalanya demi anak itu. Apa itu adil?”
“Kehamilan ini keputusan kalian bersama, kan?” aku bertanya hati-hati.
“Sebenarnya Joana yang ingin cepat-cepat punya anak. Kalau aku, sih, santai. Aku masih ingin
menikmati masa-masa kami berdua saja.” Ha! Tentu saja Joana ingin cepat-cepat punya anak, itu satu-
satunya cara agar Raka tidak meninggalkannya. Aku mencaci maki perempuan itu dalam hati.
“Memangnya apa saja yang sudah dikorbankan istrimu?” Tak tahan juga aku untuk tidak bertanya.
“Kuliahnya, dia terpaksa cuti. Bahkan dia sudah bilang akan berhenti kuliah jika perlu untuk mengurus
anak kami. Dia nggak mau pakai baby-sitter. Artinya dia juga takkan bekerja. Dia bilang rela melakukan
semua ini demi aku dan anak kami. Kamu pasti tahu begitu menjadi seorang ibu kehidupan seorang wanita
akan berubah. Aku tidak keberatan itu terjadi pada Joana, tapi saat ini kurasa dia belum siap. Sepertinya
dia terlalu memaksakan diri. Apa menurutmu pikiranku yang salah?”
Aku tertegun. Tak kusangka, perempuan itu ternyata lebih tangguh dari perkiraanku. Model gadis party
girl yang rela melepas semuanya demi menjadi seorang ibu?! Rasanya kok mustahil.
“Cinta memang bisa mengubah segalanya. Mungkin dia terlalu mencintai dirimu dan bayi dalam
kandungannya.” Kata-kata itu keluar dari bibirku dengan begitu meyakinkan. “Aku bisa mengerti. Karena
jika aku berada di posisinya, aku juga akan melakukan hal yang sama.”
Raka menatapku dengan ekspresi tak percaya. “Sungguh?”
Aku mengangguk kuat-kuat, mencerminkan perasaanku yang terdalam.
Raka terus menatapku, sehingga aku mulai tersipu. “Kamu benar-benar berubah, ya?” ujarnya.
“Sekarang kamu jadi lebih tenang dan ... bijaksana ....”
“Memangnya dulu tidak?”
“Dulu ... kamu seperti petasan. Hahaha!” Mau tak mau aku ikut tertawa. Petasan? Bah, ada-ada saja.
“Petasan itu tetap dirindukan orang,” celetukku asal-asalan.
“Memang. Sampai kapan pun kamu tetap kurindukan. Kamu pernah menjadi bagian dari hidupku,
Kiara. Tak mungkin kuhapus, biarpun di depan Joana aku harus berbohong. Biarpun merindukanmu, tapi
tak boleh, kan, berada di dekat petasan setiap saat, takut meledak.” Raka tersenyum geli mendengar
kalimatnya sendiri.
“Katamu aku sudah lebih tenang. Berarti bukan petasan lagi, dong.”
“Iya juga, ya,” Raka manggut-manggut.
“Kalau begitu menurutmu sekarang aku seperti apa?”
“Mmm ...,” Raka memutar bola matanya ke atas, menatap langit yang berbintang. “Seperti ... bekas
pabrik petasan ....”
Aku melotot. “Apa?”
Raka tertawa tergelak-gelak. “Iya, seperti berada di dalam bekas pabrik petasan ... sepi, tapi kita tetap
hati-hati karena siapa tahu ada sisa petasan yang siap meletus sewaktu-waktu.”
Aku mencebik. “Aku separah itu, ya?” kataku kemudian.
“Sori ...,” Raka kelihatannya menyesal dengan kata-katanya barusan.
Kami terdiam. “Nggak apa-apa, aku cuma berpikir ... seandainya aku tidak seperti petasan, apa
mungkin kita masih bersama?”
Raka diam sejenak. “Entahlah.”
“Sori, seharusnya aku tidak bertanya seperti itu.”
Raka memandangku. “Tidak apa-apa. Aku sendiri sebenarnya juga ingin tahu. Tapi, kita takkan pernah
tahu jawabannya, bukan?”
Kami berpandangan. Tanpa terasa kepala kami semakin dekat, dan bibir kami pun bersentuhan sesaat.
Tapi Raka segera menarik diri.
Aku menelan ludah.
“Mungkin minggu depan istriku sudah dirawat di rumah,” ujar Raka tiba-tiba.
Aku mengerti maksudnya. Biarpun hatiku ternyata masih terasa perih, tapi aku bisa mengendalikannya.
“Aku juga mungkin tidak datang lagi.”
Raka menganggukkan kepalanya dengan lemah. Aku bisa melihat matanya agak berkaca-kaca. Mataku
juga.
“Mungkin sebaiknya aku kembali ke kamar,” katanya lirih. Dia berdiri, lalu tertegun sejenak. “Kamu
....”
“Aku mau duduk sebentar di sini,” kataku tanpa berpaling ke arahnya.
“Oke. Terima kasih sudah menemaniku selama ini, Kiara. Sampai ketemu lagi.”
Aku memandang sekilas ke arahnya sambil tersenyum. “Ya.” Lalu kulihat dia berjalan
meninggalkanku. Entah untuk yang keberapa kali. Tiba-tiba tanpa diduga tangisku pecah. Aku pun
menangis sesenggukkan di bangku taman rumah sakit.
Hampir sejam aku berada sendirian di bangku taman. Hati kecilku berharap Raka akan kembali
menemuiku. Tapi itu tidak terjadi. Setelah air mataku kering, aku pun memutuskan untuk pulang. Lorong-
lorong rumah sakit sudah sepi, hanya beberapa orang perawat dan penunggu berseliweran. Aku
menundukkan kepala, berharap agar bekas-bekas tangisku tak terlihat. Aku berjalan menuju satu-satunya
pintu keluar yang dibuka dekat ruang gawat darurat.
“Jadi kamu menolak ajakanku gara-gara dia?” sebuah suara terdengar. Jantungku melonjak kaget. Ivan
tampak sedang bersandar pada pilar di depan pintu keluar gawat darurat. Wajahnya keruh dan ekspresinya
tidak keruan. Semula aku terkejut melihat keberadaannya, tapi sesaat kemudian aku merasa marah. Apakah
dia sudah menguntitku?
“Sedang apa kamu di sini?”
“Mengikutimu.”
“Ih, psycho!”
“Lalu menurutmu kamu sendiri?”
“Apa?”
Ivan mulai membuka mulutnya, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Lalu dia mulai menegakkan
tubuhnya. “Aku cuma ingin mencari jawaban. Sekarang aku sudah tahu. Pria itu yang namanya Raka, kan?”
Aku tercekat. “Bukan urusanmu!”
“Memang bukan. Aku hanya heran kenapa kamu harus berbohong. Apa dia juga penyebab kamu
berhenti membalas SMS dan teleponku?”
“Aku mau balas atau tidak, terserah aku, kan?” tanyaku ketus. “Memangnya ada kesepakatan di antara
kita bahwa aku harus membalas SMS dan teleponmu? Kamu pikir kamu ini siapa?”
Ivan terenyak. Ekspresi wajahnya mengeras. “Cuma tukang antar,” desisnya. Lalu dia berbalik dan
berjalan memunggungiku. Aku sempat menatapnya sesaat. Timbul sebersit penyesalan, tapi aku terlalu
marah untuk mengejarnya.

25
Sejak peristiwa malam itu, tak ada lagi SMS maupun telepon dari Ivan, apalagi kunjungan untuk
mengantarkan makanan. Dia seperti lenyap ditelan bumi. Sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya.
Aku sungkan untuk bertanya kepada Rani. Apalagi setiap hari dia semakin sering melewatkan waktu
bersama Erwin. Kuperhatikan Rani selalu pulang malam, dan pagi-pagi sudah pergi lagi. Aku tahu dia
sibuk dengan usaha butiknya, tapi tetap saja aku merasa tersisih.
Saat Sofie melahirkan anak perempuannya, barulah kami berkumpul kembali. Aku dan Rani
mengunjunginya di rumah sakit. Kamar Sofie dipenuhi rangkaian bunga, balon, dan kado warna-warni,
dengan dominasi warna pink. Wajahnya pun cerah sekali. Bahkan sama sekali tak terlihat seperti habis
melahirkan. Dia tampak cantik dan bahagia. Sekejap aku teringat Joana. Apakah dia juga akan seperti ini
setelah melahirkan nanti? Aku mendengus keras, berusaha mengusir pikiran itu dari kepalaku.
“Kenapa, Ara?” tanya Sofie. Rupanya dia mendengar dengusanku.
“Tidak ada apa-apa, sesuatu menyumbat hidungku,” jawabku berbohong.
“Ha!” Rani tertawa. “Sisa upil kapan, tuh?”
“Tahun lalu.”
Mereka terpingkal-pingkal. Mau tak mau aku juga ikut tertawa.
“Aduuuh,” Sofie mengerang sambil tertawa, “bekas operasiku sakit banget ... jangan bikin aku tertawa,
dong.”
“Lihat, dong,” pinta Rani tiba-tiba.
Sofie menyingkapkan baju rumah sakitnya, sehingga menampakkan luka di bagian bawah perutnya yang
ditutup plester sepanjang 20 senti. Aku bergidik, jeri.
“Normal dan operasi kayaknya sama saja,” ujarku.
“Jelas ...,” kata Sofie sambil memutar bola matanya. “Sebelum dioperasi aku sudah bukaan 8, tahu,
tapi si jabang bayi nggak mau keluar juga, sampai denyut jantungnya melemah.”
“Uuh!” aku bergidik, sambil membayangkan Eva yang berteriak-teriak kesakitan.
“Yaah, gitu, deh rasanya, sakit-sakit nikmat,” Sofie terkekeh sendiri, tapi kemudian menyesalinya
karena segera mengerang kesakitan. “Tinggal giliran kalian ...,” ujarnya.
“Aku, sih, masih lama,” kataku cepat.
“Kamu, Ran?”
Rani mengulum senyum. “Aku memang mau menikah.”
“Kapan?” pekik Sofie sambil mengelus-elus perutnya.
“Mungkin beberapa bulan lagi. Kami hanya mau yang sederhana, tapi unik.”
“Oh,” Sofie menitikkan air mata.
“Kamu, Ar?” tanya Rani, dengan tatapan menggoda.
“Aku, kan, jomlo.”
“Lho, kupikir hubunganmu dengan Ivan lancar-lancar saja.”
“Apa dia datang ke sini?” tanyaku setengah berharap.
“Iya, tapi kemarin. Sekalian pamitan. Memangnya kamu tidak tahu?” kata Sofie.
“Tahu apa?”
“Kalau dia pamitan.”
“Memangnya dia mau ke mana?” tanyaku ingin tahu.
Sofie dan Rani berpandangan. “Ivan besok mau berangkat ke Padang, Ar. Dia, kan, memang kerja di
LSM yang khusus mengurusi bencana alam,” Rani menjelaskan.
“Memang berapa lama dia di Padang?”
“Tugasnya bukan hanya di Padang, Ar. Setelah dari Padang sepertinya dia akan terus bertugas ke
daerah-daerah bencana ... di seluruh dunia. Bisa jadi dia tidak kembali ke Jakarta selama berbulan-
bulan.”
Aku mengernyitkan dahi. “Kenapa tidak pernah bilang padaku, Ran?” nada suaraku terdengar
menyalahkan.
“Kupikir kamu sudah tahu. Memangnya kalian tidak pernah membicarakan hal itu?”
“Hubungan kami belum sedekat itu,” kataku dengan nada ketus.
“Oh,” ujar Rani dan Sofie serentak. Aku berusaha meredam rasa gelisahku yang tiba-tiba datang.
“Memang sejak kapan dia kerja di LSM?” tanyaku.
“Eh ... kamu benar-benar belum tahu?” tanya Rani hati-hati.
“Kalau tahu untuk apa aku bertanya?” sahutku setengah membentak. Rani sempat terenyak, tapi
tampaknya dia segera memahami sikapku.
“Dia memilih kerja di situ agar bisa di Jakarta ... agar dekat denganmu ....”
“Apa?”
“Tapi dia baru mulai bertugas di lapangan sekarang. Sebelumnya dia hanya mengurusi administrasi
dan logistik dari Jakarta. Aku juga tidak tahu kenapa dia mendadak berubah begitu.”
Aku diam saja. Aku tahu.

V
Rani menginjak pedal gas dalam-dalam, melintasi jalanan di Jakarta menuju bandara Halim
Perdanakusuma.
“Apa kamu yakin pesawat mereka berangkat pukul 8?” tanyaku gelisah.
Rani tidak menjawab, matanya tetap menatap ke jalan.
“Sebaiknya kamu berdoa agar aku tidak menabrak sesuatu, atau ada polisi yang menghentikan kita.”
Rani sudah melanggar sebuah lampu merah.
“Kenapa tidak menyetir hati-hati saja, sih?” protesku.
Dia tak menyahut, tapi malah semakin mempercepat laju mobil.
“Berengsek! Nanti, kita bisa kecelakaan, Ran!” kali ini aku berteriak. Barulah Rani memperlambat
sedikit.
Setelah memasuki kompleks Halim Perdanakusuma, barulah aku bernapas lega.
“Mau ke lapangan udara, Pak,” kata Rani saat seorang petugas berseragam menghentikan mobil kami.
“Tolong tanda pengenal,” kata si petugas.
Rani mengeluarkan KTP.
“Tolong ikut sebentar.”
Kami terpaksa menurut. Hampir lima menit kami berada di pos untuk meladeni pertanyaan petugas
sambil mengisi buku tamu dan mengambil kartu pengenal.
“KTP-nya dititipkan di sini dulu, ya,” ujar si petugas sambil tersenyum manis.
Kami buru-buru kembali ke mobil, dan Rani langsung menginjak pedal gasnya sampai si petugas
melongo.
“Di sini nggak usah ngebut, kali,” aku mengingatkan. “Nanti dikejar pasukan bersenjata bisa gawat!”
Mobil kami berhenti di pelataran parkir menimbulkan suara berdencit yang amat keras, sehingga
orang-orang yang ada di sana menoleh. Seorang pria berseragam militer biru mendekati kami.
“Lapangan udara komersial di sebelah sana, Bu,” tegurnya dengan ramah.
“Eh ... saya mau ke tempat ...,” aku jadi gugup.
“Kami mau bertemu teman relawan yang akan berangkat ke Padang, Pak,” Rani cepat-cepat
menimpali.
“Oh, rombongan LSM yang mau ke Padang,” Bapak tersebut mengulangi. “Silakan di sana. Tapi
sebentar lagi pesawatnya mau take off.”
Aku bergegas masuk ke dalam lobi ruang tunggu. Di sana masih banyak orang berkumpul. Tapi
sebagian sudah berada di luar gedung, dan berjalan menuju bus yang akan membawa mereka mendekati
pesawat. Sosok Ivan tak kutemukan. Duh, kemana, sih, dia?
“Mbak, kenal Ivan?” tanyaku pada seorang perempuan yang mengenakan kaus bertuliskan “Aksi
Kepedulian Gempa Sumbar”. Perempuan itu mengernyit.
“Kayaknya sudah keluar, deh.”
Aku bergegas keluar. “Aku tunggu di sini, Ar,” seru Rani. Aku memperhatikan satu per satu orang-
orang yang beranjak menaiki bus. Mataku dengan panik mengamati setiap orang yang ada di pelataran.
Lalu mataku tertumbuk pada sesosok pria yang baru keluar dari sebuah ruangan di samping lobi. Ivan! Dia
tampak bercakap-cakap dengan seorang perwira Angkatan Udara, lalu bersalaman dan segera keluar dari
lobi sambil memanggul ranselnya. Aku menunggunya sampai dia berjalan menuju pelataran.
“Ivan!” Dia menoleh. Wajahnya tampak sangat terkejut melihatku.
“Kiara?” dia setengah tak percaya menatapku. “Sedang apa kamu di sini?”
“Bisa kita bicara sebentar saja ...,” nada suaraku terdengar seperti merengek. Ih, memalukan.
“Busnya ...,” dia melirik sekilas ke arah bus, dan kemudian kembali menatapku. “Ada apa?”
“I’m so ... so ... sorry,” kataku cepat.
Ivan menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, Kiara. Tidak perlu minta maaf. Aku mengerti. Aku juga
keterlaluan ....”
“Ivan,” potongku, “tolong jangan pergi.”
“Tapi ....”
“Maksudku, tolong jangan pergi dari kehidupanku sekarang. Please ....”
Ivan terperangah, tapi dengan cepat dia segera menguasai diri. “Kamu sedang bingung, Kiara. Aku
tidak mau terjebak dalam keadaan seperti itu.”
“Aku tahu!” sergahku. “Aku hanya ingin kamu bersabar menghadapi aku. Bersabar sampai hatiku
benar-benar utuh. Bersabar sampai aku melupakannya ....”
“Apa?” Ivan terbelalak. Aku menunduk. Huh, permintaan kok aneh begini, sih?! Tiba-tiba Ivan
tertawa terbahak-bahak. “Dasar egois! Memangnya kamu pikir aku ini cowok apaan?”
“Maaf. Tapi kenapa berangkat mendadak begini?”
“Mendadak? Kamu ingat saat aku mengajakmu pergi? Waktu kamu menolak dan diam-diam menemui
dia?”
Aku mengangguk lemah. Uh, kenapa, sih dia harus mengungkit-ungkit soal itu?
“Saat itu aku mau membicarakan soal ini. Aku ingin menceritakan segala yang belum kuceritakan
tentang diriku. Itu saja.”
“Oh.” Jelas sekali aku sudah ke-ge-er-an setengah mati.
“Ah, sudahlah. Busku sudah menunggu. Aku harus berangkat, Kiara.”
“Tunggu!” Serta-merta aku meraih tangannya, dan menggenggamnya erat-erat. Ivan terkejut, aku
terkejut, dan orang-orang yang kebetulan lewat di dekat kami juga terkejut. “Tolong bersabarlah denganku
.... Aku tahu permintaan ini tidak wajar, tapi aku ingin kamu mau ... memahami aku, dan tidak menyerah
begitu saja ....” Wajahku langsung terasa panas. Tapi sudah kepalang tanggung, dan sudah kepalang malu.
“Memangnya apa artiku bagimu?” tanya Ivan. Aku menggeram dalam hati. Kok, pakai tanya segala,
sih?
“Hei, Van, sebentar lagi bus mau berangkat!” seru perempuan yang tadi kutanyai di lobi. Dia sedang
berjalan menuju bus dan memandangku dengan tatapan geli bercampur heran. Ah, masa bodohlah!
“Kamu ...,” Otakku berpikir keras, tapi tak ada kata-kata yang cocok. Tak mungkin aku mengatakan dia
adalah cinta sejatiku, karena dia pasti tahu itu kebohongan belaka saat ini. “Kamu ... tukang antar
makananku?”
Mata Ivan terbelalak.
“Tapi aku tidak mau kehilangan kamu,” aku menambahkan dengan lirih sambil malu-malu menatap
matanya.
Kulihat Ivan menelan ludah. “Kita bicarakan soal itu nanti saja, Kiara,” katanya pelan.
“Kapan?”
“Saat aku kembali ke Jakarta?”
“Iya, kapan?”
“Belum tahu.”
“Tapi kamu tidak marah lagi, kan?”
“Kamu sudah kumaafkan, biarpun permintaan maafmu agak aneh,” Ivan terkekeh. “Sebaiknya kita
manfaatkan saat ini untuk berpikir, mencari tahu apa yang kita inginkan.”
“Berapa lama?”
“Selama yang diperlukan.”
“Oh.” Aku kecewa, tapi tak ada yang bisa kulakukan. “Kalau kamu bertemu orang lain, tolong kabari
aku.”
Ivan tergelak-gelak. “Jelas aku bertemu orang lain. Akan banyak orang baru yang kutemui nanti.”
“Maksudku ....”
“Ya, ya, aku tahu. Pasti! Kamu adalah orang pertama yang akan tahu jika aku menemukan tambatan
hatiku. Kamu juga, ya?”
Aku tersenyum, tapi jantungku mencelus mendengarnya mengucapkan kalimat itu.
“Sekarang kamu mau melepaskan aku, kan?”
“Iya, ya,” aku mengangguk cepat.
“Maksudku ... tanganku.”
“Oh!” Aku buru-buru melepaskan pegangan tanganku. Entah berapa lama tadi aku menggenggamnya.
Bikin malu saja.
“Sampai ketemu lagi, Kiara!” Dia mengedipkan matanya, dan segera membalikkan badannya untuk
berjalan menuju bus yang sudah menanti. Setelah berada di dalam bus dia melambaikan tangannya. Aku
membalasnya, dan terus melambaikan tanganku hingga bus itu menjauh mendekati pesawat Hercules yang
sudah menanti. Tanpa sadar aku terus berdiri mematung sampai pesawat itu pun lepas landas
meninggalkan langit Halim Perdanakusuma. Mataku basah.

V
Ada sesuatu yang kosong dalam hatiku. Saat aku bangun di pagi hari, terutama saat akhir pekan, tanpa
sadar aku mengharapkan pintu rumahku diketuk, dan seseorang datang membawa makanan. Tapi ketukan
itu tak terdengar. Aku kembali datang pagi-pagi ke kantor, dan pulang setelah semua orang pulang. Dua
kali aku nekat mengirimkan SMS kepada Ivan, tapi semua tidak dibalas. Kata Rani mungkin karena tidak
ada sinyal, dan seketika aku menyesal telah mengirimkan SMS itu. Biarpun isinya biasa-biasa saja, tapi
aku berharap bisa ditarik kembali. “Namanya juga relawan, pasti sibuk, lah,” Rani berusaha
menyenangkan hatiku.
“Balas SMS, kan, ga sampai lima menit, Ran.”
Rani cuma angkat bahu.
Setiap hari aku memperhatikan berita di televisi, berharap sosok Ivan tertangkap kamera wartawan.
Tapi nihil. Dan aku mulai merasa sengsara. Astaga, apakah aku mulai mencintainya? Aku bergidik.
Kenapa cinta harus datang seperti ini? Kenapa tidak baik-baik saja sehingga semuanya pun berjalan
dengan baik? Tak ada yang bisa menjawabnya.
Aku bahkan bersikap agresif di kantor. Setiap pekerjaan yang datang kuterima, atau lebih tepatnya
kulahap seperti makanan tanpa sisa.
Mila sempat bertanya kepadaku, “Kamu tidak apa-apa?”
“Maksudnya?”
“Kamu mulai begini lagi. Seperti waktu ... dulu.”
“Oh.”
“Apa ini masih ada hubungannya dengan Raka?”
“Kenapa mengira begitu?”
“Karena hanya dia yang bisa membuatmu begini. Seperti waktu itu.”
“Ini bukan karena siapa-siapa. Aku hanya sedang ingin bekerja,” aku menegaskan.
Mila menatapku dengan penuh arti, seolah-olah ingin mengorek kebenaran dari mataku.
“Mila, tak perlu menghawatirkan aku. Aku bekerja karena memang ingin bekerja.”
“Begitu, ya? Baiklah ...,” Mila beranjak meninggalkanku, tapi kemudian memutar tubuhnya. “Kamu
sudah dengar kabar terbaru tentang Raka?”
Jantungku berdebar. “Belum. Kenapa?”
“Dia tidak memperpanjang kontraknya dengan Intech Air, katanya istrinya sakit atau apalah .... Dan
dengar-dengar dia bekerja di perusahaan mertuanya sekarang. Jadi manajer kalau nggak salah.”
“Oh,” hanya itu yang keluar dari mulutku. “Thanks for the updates,” ujarku. Mila mengibaskan
tangannya, seakan itu bukan hal besar. Memang. Tapi mau tak mau kabar itu menohokku. Hidup berubah
begitu cepat. Raka yang kukenal dulu adalah pribadi yang sederhana dan hampir tanpa ambisi. Mungkin
keadaannya sekarang pun sama sekali tak melibatkan ambisinya. Itu membuatku sedih, karena dia akan
semakin terikat dengan Joana. Dia takkan mungkin meninggalkan gadis itu. Benar-benar tak ada
kesempatan bagiku, sama sekali. Seandainya pun ada, apakah dia berani bertindak? Pertanyaan itu
mengganggu pikiranku selama beberapa hari.
Entah apa yang terlihat dari diriku, sehingga sepertinya semua orang memperhatikanku. Termasuk
Abdul. Dia yang biasanya (pura-pura) tak ambil pusing dengan keberadaanku, tiba-tiba datang
menghampiri mejaku pada suatu malam, di saat semua pegawai sudah pulang.
“What are you doing?” katanya tanpa basa-basi.
“Eh ... menyusun acara seminar tentang ....”
“Apa harus sampai selarut ini?” potongnya.
“Nggak juga.”
“So? Pulanglah. Kamu kelihatan capek.”
Aku terperangah. “Apa kamu sedang mencari celah untuk mendiskreditkan aku?” tanyaku curiga.
Abdul mendesah. “Kok negative thinking, sih? Aku benar-benar khawatir. Sudah kuperhatikan
beberapa hari terakhir ini kamu selalu datang pagi dan pulang malam. Apa ini masalah dengan laki-laki
itu lagi? Raka?”
Giliranku yang mendesah. “Apa cuma itu yang ada di pikiranmu dan orang-orang di sini. Emangnya
hidupku segitu tergantungnya sama laki-laki itu?! Tenang saja, ini bukan soal dia.”
“Tapi aku tidak mau kamu sakit. Besok-besok masih banyak kerjaan yang lebih berat. Sebaiknya kamu
pulang sekarang. Ini perintah.”
Aku menatapnya tak percaya. Sikap angkuhnya yang dulu kukenal muncul lagi.
“Aku tidak terima perintah dari siapa pun!” sergahku.
Abdul mendesah. “Sebagai teman, aku memintamu untuk pulang,” ralatnya.
“Oh, jadi kita teman?”
“Oke,” Abdul tampaknya berusaha menenangkan diri mendengar kata-kataku yang bernada ketus. “Aku
minta maaf. Aku ingin hubungan kita tak perlu tegang lagi. Tahu tidak, kamu benar-benar membuatku
cemas. Ini sungguh-sungguh, Kiara. Aku ...,” Abdul mendongakkan kepalanya menatap langit-langit, lalu
sesaat kemudian kembali memandangku. “Aku memang masih mencintaimu, tapi aku belajar mengatasinya.
Laki-laki yang dulu kulihat di lift? Siapa dia?”
“Bukan urusanmu.”
“Apa dia pacar barumu atau kamu masih berurusan dengan Raka?”
“Bukan urusanmu.”
“Ayolah, Kiara. Maaf sudah pernah meragukan kinerjamu, tapi kali ini aku sungguh-sungguh.”
Aku mengembuskan napas panjang. “Aku baik-baik saja, Abdul. Percayalah.”
Abdul menatapku lekat-lekat. Akhirnya dia menyerah. “Baiklah. Jangan terlalu malam, Kiara. Kamu
tahu kita juga sedang melakukan penghematan listrik.”
“Ya, ... ya ...,” aku memutar bola mataku, dan tanpa kusangka dia tertawa melihatnya.
“I miss you, you know,” ujarnya sebelum meninggalkan mejaku. Aku hanya tersenyum.

26
Aku mematut diri di depan cermin. Entah siapa yang kulihat di cermin? Gadis berkebaya putih dengan
rambut disanggul berhias bunga lili yang beberapa waktu lalu mengejar-ngejar cinta? Mau tak mau aku
mengagumi diriku sendiri. Tim penata rias telah melakukan pekerjaan yang sangat bagus.
“Cantik, Mbak,” seseorang dari mereka berkomentar. “Semua orang pasti pangling.”
“Terima kasih.”
Dari balik tirai yang memisahkan ruang rias dan tempat resepsi, aku mengintip keadaan di luar. Tamu-
tamu sudah memenuhi tempat resepsi, yang sengaja diadakan di halaman sebuah rumah bergaya kolonial.
Aku bisa melihat pelaminan yang ditata indah, berlatar pilar-pilar putih yang dihiasi bunga-bungaan,
dengan dominasi bunga mawar merah; kursi pelaminan berlapis beledu kuning gading dan berbingkai kayu
berukir bercat keemasan; kolam dari batu gamping di depan pelaminan, dengan patung cupid yang
mengeluarkan air mancur. Di sebelah kanan pelaminan terdapat panggung kecil tempat band yang akan
menghibur para tamu. Sementara itu, selasar yang menuju ke pelaminan dihiasi karpet merah yang digelar
di atas rumput hijau, dan sepanjang jalan dipasang gapura-gapura kecil yang dihiasi bunga-bunga.
Aku melihat ke dalam rumah, yang ruangan belakangnya dipakai sebagai tempat akad nikah. Sebuah
meja bertaplak merah muda dengan nuansa keemasan dikelilingi kursi-kursi berhiaskan pita dan bunga-
bunga juga sudah menanti. Sekali lagi aku melemparkan pandangan ke seluruh tempat itu sambil
tersenyum. Sempurna.
Tiba-tiba seorang wanita masuk tergopoh-gopoh. Tangan kanannya memegang HT. Dia menatapku.
“Mbak Kiara, rombongan pengantin pria sudah datang. Siap-siap, ya.”
Aku mengangguk, lalu buru-buru ke dalam, kembali ke kamar rias pengantin. Inilah saatnya. Untuk
terakhir kalinya aku melirik ke arah cermin. Wah, cantiknya.
Aku masuk ke kamar rias pengantin. Di sana beberapa wanita sedang berkerumun.
“Sofie?” panggilku.
Sofie muncul dari balik ruang ganti. Dia memakai kebaya yang sewarna denganku. Dia mengerti kode
yang kuberikan. Lalu segera kembali ke balik ruang ganti. Beberapa detik kemudian, dia kembali keluar
ruang ganti sambil menggandeng Rani. Seorang wanita paruh baya datang menghampiri Rani, lalu
mencium keningnya. Dia ibu Rani. Kulihat dia membisikkan sesuatu di telinga Rani, dan tampak Rani
mengangguk-angguk dengan mata berkaca-kaca.
“Dua menit lagi!” kudengar wanita ber-HT itu berseru dari luar.
“Ayo, Tante dan Rani di depan,” ujarku sambil mengatur barisan. “It’s time,” kataku pada Rani. Dia
tampak seperti bidadari dengan kebaya panjang merah muda keemasan yang sangat elegan, batik perada
bernuansa kuning dan merah muda, dan sanggulnya dihiasi bunga mawar merah muda. Dia lalu meremas
tanganku. Gugup.
“Sebentar lagi,” bisiknya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Lalu kami pun beriring-iringan menuju ke ruang akad nikah. Beberapa orang sudah menunggu di sana,
termasuk ayah Rani dan Erwin. Lalu setelah mengantar Rani sampai ke tempat duduknya, aku pun duduk
di deretan depan.
Acara berjalan lancar. Beberapa kali aku dan tamu-tamu yang lain meneteskan air mata, saat melihat
adegan yang mengharukan. Aku begitu terbawa suasana sehingga wanita ber-HT itu harus mengingatkanku
bahwa sudah waktunya pengantin dan orangtua menempati pelaminan. Kami kembali membentuk barisan
dan berjalan pelan-pelan mengiringi mereka ke pelaminan. Suara harpa pun mulai mengalun. Ini kejutan
untuk Rani. Dia menoleh ke arahku di belakang sambil mengangkat alisnya, dan tersenyum. Lalu terdengar
puisi Sapardi Djoko Damono Aku Ingin yang dinyanyikan, mengiringi langkah kedua mempelai menuju
pelaminan.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan kata yang tak dapat diucapkan.
Seperti Angin kepada awan.
Yang menjadikannya hujan.
Tak terasa air mataku kembali menetes. Puisi ini adalah puisi kesukaanku, yang musikalisasinya dulu
ingin kujadikan lagu pengiring pengantin jika aku menikah dengan Raka. Pernikahan impianku. Aku bahkan
telah merancangnya hingga detail terkecilnya, pakaiannya, dekornya, bahkan menu makanannya. Dan kini
pernikahan impian itu kuhadiahkan untuk sahabatku. Tanpa terasa mataku semakin basah. Astaga! Sofie
yang berjalan di sampingku melirikku dengan cemas, sebab yang lain sudah mengganti tangis haru mereka
dengan senyuman bahagia. Sekuat tenaga aku menahan tangisku agar tidak pecah.
“Tarik napas pelan-pelan!” bisik Sofie. Aku menurut. Walaupun dengan susah payah, air mataku
berhasil kutelan kembali. Setelah prosesi selesai, aku segera menghindar dari keramaian. Tapi sulit
mencari tempat sepi saat itu. Satu-satunya bisa menjadi tempatku bersembunyi adalah kembali ke ruang
ganti. Dengan alasan memperbaiki tata rias, aku duduk menyendiri di ruang ganti.
“Mau di-touch-up lagi, Mbak?” seorang juru rias menawarkan diri. Aku menggeleng.
“Cuma mau duduk di sini saja, Mbak, di sana pusing.” Dia pun mengangguk dan membiarkan aku
sendiri.
Aku masih bersusah payah mengatur napasku, berusaha agar air mata tak lagi keluar. Lalu setelah
beberapa menit, aku merasa kembali bisa menguasai diriku, dan meminta si juru rias memperbaiki riasan
mataku. Setelah itu aku keluar, tapi tak berani jauh-jauh. Jadi aku mematung saja di depan tirai pemisah,
sambil memperhatikan orang-orang dan Rani yang tampak ceria di atas pelaminan saat menerima selamat
dari para tamu.
“Mengagumi hasil kerja keras sendiri?” sebuah suara tiba-tiba muncul di sampingku, dan segera
mengetuk ruang-ruang kosong di dalam kepalaku. Aku segera menoleh.
“Ivan!” aku memekik pelan. Tubuhku sudah bergerak untuk memeluknya, tapi kemudian kutahan. Dia
pun sudah menggerakkan tangannya seperti akan menerima pelukanku tapi batal. Kami berdua tertawa
kikuk.
Ivan berdehem. Aku mengalihkan pandanganku ke tempat lain, tapi bibirku tak tahan untuk terus
tersenyum. Kami sama-sama tidak berkata apa-apa.
“Kamu cantik,” katanya tak lama kemudian. Aku menoleh, dan ternyata dia sedang memandangiku
dengan sorot mata penuh kekaguman. Wajahku terasa panas.
“Make up.” Aku berusaha mengatasi kegugupanku.
“Ah, masa, sih?” Ivan masih terus memandangiku. Aku mulai merasa risi.
“Kamu baru datang dari Padang?” Aku melirik ranselnya yang masih tersampir di bahu.
“Ya, langsung dari airport.”
“Kupikir kamu nggak akan datang,” kataku pelan. Dan kupikir kita takkan bertemu.
“Pasti aku datang. Ini hari spesial buat Rani.”
Aku menelan ludah. Tentu saja. Memang jawaban apa yang akan kuharapkan?
“Makan, yuk?” Ivan mengelus-elus perutnya. Dia tampak lebih kurus dan kulitnya bertambah gelap.
Ada sesuatu yang berubah di wajahnya. Tampak lingkaran hitam di sekitar matanya, dan matanya tampak
lelah, namun sorotnya tampak berbinar-binar ceria. “Mau kuambilkan?” dia menyenggol siku tanganku
dengan pelan.
Aku mengangguk. “Aku cari tempat duduk, ya.” Dia pun menghilang ke tengah-tengah orang-orang
yang berkerumun mengambil makanan. Aku menemukan sebuah kursi besi di pinggir taman, yang agak
menjauh dari keramaian. Sebelum ada yang menempatinya, aku buru-buru duduk di sana.
Tak lama kemudian, Ivan muncul membawa dua buah piring yang sudah penuh terisi nasi dan lauk-
pauknya. Aku pura-pura terbelalak kaget.
“Well,” ujarnya saat melihat ekspresiku. “Kurasa bukan cuma perutku yang lapar tapi juga mataku.
Nah, piring pertama,” dia duduk di sampingku, “nasi goreng, daging sapi lada hitam, gurame asam manis,
brokoli saus tiram. Piring kedua, nasi ... rempah kayaknya, ayam kungpao, udang balado.”
Aku mengerutkan hidung. “Aku kepengin salad aja kayaknya.”
“Mau kuambilkan?”
“Nanti saja,” kataku cepat-cepat. “Nah, kamu mau piring yang mana?”
“Kamu dulu.”
“Kamu dulu.”
“Ah ... bisa nggak selesai. Oke, aku piring pertama.”
Kami tertawa konyol. Lalu duduk menikmati makanan. Di sela-sela makan, aku mendengarkan Ivan
bercerita tentang sebagian kecil pengalamannya di Padang. Ada yang seru, ada yang lucu, tapi sebagian
besar membuatku tertohok. Selama ini aku merasa begitu merana, padahal semua itu tak berarti
dibandingkan mereka yang kehilangan sanak keluarga dan tempat tinggal dalam bencana tersebut. Aku
menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Kenapa?” tanya Ivan, memperhatikan gerakan kepalaku.
“Tidak apa-apa.”
“Sori, seharusnya aku tidak cerita hal-hal semacam itu saat sedang makan. Pasti hilang selera, ya?”
“Tidak. Aku cuma memikirkan soal lain. Bukan soal ceritamu.”
Ivan menyendok isi piringnya. “Jujur saja, ini makanan enak pertama yang kumakan setelah berbulan-
bulan.”
Aku memandangnya sekilas. Tapi segera kualihkan mataku ke tempat lain. Saat ini aku tak sanggup
menatapnya berlama-lama. Ada sesuatu yang berkecamuk di dalam hatiku.
“Kamu kok kayaknya sendu banget, sih,” ujar Ivan tiba-tiba. Aku bisa merasakan matanya menelusuri
wajahku. “Ini, kan, hari pernikahan, seharusnya ceria, dong! Apa karena aku datang, ya?”
“Ya, nggaklah.”
“Terus kenapa? Dari tadi kuperhatikan wajahmu murung terus. Apa masih gara-gara dia?” Ivan
mengucapkan kalimat terakhir dengan lirih dan hati-hati.
“Dia siapa?” Aku pura-pura bodoh.
“Ah, pakai tanya lagi. Dia yang berduaan denganmu di taman rumah sakit.”
Wajahku memerah. Ah! Jadi dia masih mengingatnya?!
“Udah ke laut, kali. Jangan sebut-sebut dia, ah!”
Ivan seperti akan mengucapkan sesuatu, tapi membatalkannya. Lalu dia menelan ludah. “Sebenarnya
aku belum sepenuhnya jujur padamu,” katanya sesaat kemudian. Aku tak bereaksi, menunggu dia
melanjutkan. “Niatku menjadi relawan tidak sepenuhnya tulus.” Dia kembali menelan ludah. “Ingat malam
itu? Saat aku memergokimu di rumah sakit ....”
“Ya,” jawabku singkat. Lagi-lagi itu.
“Sebenarnya aku ingin meminta pendapatmu lebih dulu. Aku memang tertarik saat temanku
menawariku untuk terjun langsung ke lapangan sebagai relawan, karena selama ini aku lebih sering
mengurusi administrasi dan logistik. Tapi aku masih ragu-ragu. Aku merasa tidak memiliki cukup nyali,
sehingga aku ingin tahu pendapatmu. Tapi setelah melihat adegan di rumah sakit itu, aku sangat marah.
Aku bahkan ingin menghajar laki-laki itu. Maka saat itu juga aku langsung membuat keputusan.” Dia diam
sejenak. Aku tertegun. Lalu dia menghabiskan makanannya.
Jadi dia marah. Kenapa?
“Saat kamu menemuiku sebelum berangkat di bandara, pikiranku sempat goyah. Tapi kemarahanku
lebih besar daripada keinginanku untuk tinggal.” Ivan menghela napas panjang. “Itulah alasanku yang
sesungguhnya. Tapi sekarang aku tahu pekerjaan inilah yang memang kuinginkan. Banyak orang di dunia
ini yang membutuhkan bantuan orang lain. Aku hanya bisa memberi sedikit. Jadi selama itu masih bisa
kulakukan, kurasa aku takkan berhenti. Biarpun cuma membantu urusan administrasi dan logistik.” Ivan
tersenyum kecut.
“Apa kamu masih marah?”
Ivan memandangku lekat-lekat. Dan bisa kurasakan darahku berdesir.
“Aku tak mungkin duduk bersamamu sekarang jika masih marah.” Kurasakan pipiku menghangat.
“Marah itu bukan berarti benci, kan? Aku memang marah tapi aku selalu memikirkanmu. Kedatanganmu
waktu itu benar-benar membuatku mempertanyakan kembali keputusanku. I think it meant something,
right?”
Aku diam. Namun, darahku tak berhenti berdesir-desir, dan jantungku terus berdetak tak keruan.
Rasanya aku ingin lari dari tempat itu, tapi kakiku lemas.
“Kamu masih ingin aku menunggumu?”
Kali ini kerongkonganku tercekat. Aku tak siap menjawab pertanyaan itu saat ini. Melihatku tak
langsung menjawab, Ivan menghela napas.
“Aku tak menyalahkanmu jika belum bisa melupakannya. Kurasa aku juga sama jika bersama
seseorang dalam waktu yang begitu lama.” Sorot matanya berubah sendu.
“Dia tak mungkin kulupakan, Ivan. Tiga belas tahun dia mengisi hatiku. Bohong kalau aku bilang bisa
melupakannya. Sampai mati aku pasti teringat dengannya. Suka atau tidak, dia turut berperan dalam
membentuk diriku sekarang ini. Seandainya ...,” aku berhenti sebentar, menimbang-nimbang kalimat yang
tepat. “Aku tak mau kamu menungguku lagi. Aku ... berharap kamu mau menerima keadaan hatiku yang
memang belum sembuh benar.” Duh, lagi-lagi permintaan yang egois. “Tapi aku ingin kamu membantuku
mengobati hatiku ... seiring waktu tentunya.” Aku menelan ludah. Rasanya kata-kataku sama sekali tidak
tepat. Terbukti dari raut wajah Ivan yang sedikit merengut. Dia mengangkat sebelah alisnya. Kelihatan dia
kurang senang dengan pernyataanku.
“Kamu tahu luka hati itu perlu waktu lama untuk sembuh?” dia bertanya. Aku mengangguk. “Pada
beberapa orang bahkan hingga seumur hidup. Kalau untuk bersaing dengan bayang-bayang Raka seumur
hidup, jelas aku tak sanggup. Aku memang mencintaimu, Kiara. Mungkin kamu bisa merasakannya, tapi
cinta, kan, juga tak bisa dipaksakan. Kalau kamu tak merasakan perasaan yang sama, maka sebuah
hubungan tak bisa berjalan dengan baik. Aku mau kita berdua sama-sama bahagia. Bukan terpaksa
mencinta karena tak mendapatkan cinta yang kita inginkan. Kamu mengerti, kan?”
Aku kembali mengangguk. Rasanya ada yang mencelus di dalam diriku.
“Tapi aku tak mau kehilangan kamu,” ujarku lirih.
“Kamu hanya butuh seseorang untuk mengalihkan pikiran dan perhatianmu.”
Aku kecewa. Apa benar begitu? Sedalam itukah pengaruh Raka terhadap diriku, sehingga aku bahkan
tak sanggup sendirian?
“Jadi aku harus sendirian?” aku bertanya dengan suara nelangsa yang tak bisa kukendalikan.
“Ah, Kiara ...,” Ivan mendesah, lalu menatapku dengan rasa bersalah. “Tentu aku ingin sekali
bersamamu, kalau perlu menikahimu saat ini juga, membawamu ke mana-mana kalau bisa. Tapi kita tahu
tak semudah itu, kan?”
“Kita tak pernah tahu masa depan. Saat ini aku juga ingin bersamamu. Aku sedih waktu kamu pergi.
Aku sudah membuang-buang waktu untuk hal yang tidak penting. Tapi sekarang aku tahu aku ingin
mencoba kembali bersamamu.”
“Mencoba?” Ivan tersenyum kecut.
“Kita tak pernah tahu masa depan, kan?”
“Menyerahkan semuanya kepada semesta?”
“Ya, kalau menurutmu begitu. Second chance, buatku.”
Ivan menatapku lekat-lekat. “Kamu benar-benar mau?”
Lagi-lagi kerongkonganku tercekat.
“Aku ....”
“Apakah kamu bersedia untuk menjalani hubungan yang penuh ketidakpastian ini, Kiara?”
Aku memandang ujung-ujung selopku. Lidahku mendadak kelu. Bukankah tadi pertanyaan ini yang
kutunggu-tunggu? Lalu kenapa otakku mendadak seperti membeku.
“Kamu masih ragu?” Ivan kembali bertanya. Wajahnya tampak sedikit kecewa.
“Bukan ragu ... tapi apa kamu benar-benar mau memberikan kesempatan itu untukku?” aku kembali
bertanya, sambil menenangkan perasaan.
Ivan mengangguk dengan tegas. “Aku serius.”
“Aku mau ...,” kataku terbata-bata. “Aku mau menjalani hubungan yang penuh ketidakpastian ini
bersamamu.” Fiuh, akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku.
Wajah Ivan berubah cerah. Serta-merta dia menggenggam tanganku. Tangannya begitu hangat dan
menjanjikan. Aku jadi terharu.
“Nah!” tiba-tiba Sofie muncul entah dari mana. Aku dan Ivan sama-sama kaget. “Dari tadi dicari-cari
ternyata di sini. Kapan datang Ivan?” Mata Sofie langsung tertumbuk pada tangan kami.
“Barusan,” ujar Ivan salah tingkah, tapi dia tak melepaskan genggaman tangannya.
“Kita foto dulu, yuk!” ajak Sofie. Lalu dia mengamati Ivan sejenak. “Eh, kamu kurusan. Capek, ya?”
Setelah itu dia menatapku penuh tanda tanya, sambil menaikkan sebelah alisnya. Aku membalasnya dengan
tersenyum. Dia pun mengerti. “Ayo!” katanya sambil tersenyum, dan segera membalikkan tubuhnya.
Kami pun bangkit mengikuti Sofie menuju pelaminan.
“So?” bisik Ivan, saat kami berjalan.
“Apa?” aku balik bertanya.
“Apa kita akan seperti mereka?” Ivan menatap ke arah pelaminan tempat Rani dan Erwin berada.
Aku tertawa. “Siapa yang tahu? Bisa seperti mereka, bisa juga malah menjadi dua orang yang
kemudian menempuh jalannya masing-masing. Kita tak pernah tahu, kan?”
“Ah, benar juga. Pilihan terakhir kurang enak, tapi apa pun memang bisa terjadi. Tapi detik ini ...,”
Ivan menatapku lekat-lekat, sehingga darahku kembali berdesir, “aku sangat mencintaimu.”
Aku tersenyum. Tiba-tiba aku merasakan diriku sedang menjalani pernikahan impianku, berjalan
menuju pelaminan yang selama ini kuidam-idamkan. Apa pun yang ada di depan sana, saat ini aku yakin
itu akan indah.

Ucapan Terima Kasih
Saya ingin berterima kasih kepada:
- Tim Bentang Pustaka yang telah memberi kesempatan terbitnya novel kedua ini. Khususnya Dhewi,
thanks sudah sabar banget menunggu.
- Suami dan anak saya, my dearest A & A, yang penuh pengertian dan memberi saya ruang dan waktu
untuk bereksperimen (apa pun bentuknya).
- Keluarga saya, my mom and sis, atas dukungan penuh selama ini. You’re my rocks!
- Semua sahabat, yang sering kongkow-kongkow memberikan keceriaan dan pencerahan tentang hidup.
Pasti tahu sendiri, dong!

Tentang Penulis

Sujajatrini Liza lahir di Gombong dan dibesarkan di Bogor. Pada 1997 dia menamatkan kuliahnya di
Fakultas Sastra Jurusan Sastra Prancis, Universitas Indonesia. Sujatrini sempat bekerja di perusahaan
swasta, tetapi bekerja kantoran bukanlah pilihan yang mengasyikkan. Ibu rumah tangga sekaligus
penerjemah ini juga gemar fotografi dan senang menghabiskan waktu luangnya dengan-selain menulis
(pastinya)—menonton televisi, bereksperimen di dapur (bermimpi menyaingi Jamie Oliver),
bercengkerama dengan sahabat-sahabatnya di warung kopi, wisata kuliner, dan nonton film. Novel
pertamanya berjudul Anak-Anak Rembulan (2005). Saat ini dia tinggal di Tangerang bersama keluarga,
dan sedang mengerjakan novel berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai