renjana
Yang Sejati Tersimpan di dalam Rasa
anjar
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
Novel Mbak Anjar memiliki nilai-nilai untuk direnungkan, dikemas dengan
gaya yang indah dan puitis.
Saya termasuk yang menganggap luar biasa salah satu ajaran kebudayaan
Tionghoa yang terpatri dalam kata “Tian ren he yi”—alam dan manusia
harus menyatu secara damai. Karena, hanya dengan cara damailah, kita akan
dapat saling mengenal; dengan mengenal, baru akan muncul kasih sayang.
Di Renjana ini, saya belajar untuk menyayangi dengan damai: menyayangi
semua makhluk dengan damai; menyayangi semesta alam dengan damai;
menyayangi segala agama dengan damai.
Rapuhnya pilar manusiawi menjelma para lelaki. Romo Firdaus pun gontai
oleh rayu godaan. Dalam galau para lelaki, para srikandi membesutkan roh
pengorbanan, kasih, pengampunan, pengharapan, kesetiaan, kebijaksanaan,
kesabaran, belas kasih. Pada narasi Anjar, perempuan menjelma bukan
sebagai penggoda. Merekalah il sole, matahari, terang hidup.
Layaknya pelangi sehabis hujan, keberagaman warna yang tak perlu imajinasi
untuk memuja keindahannya.
Setiap manusia, dengan masing-masing warnanya, dengan masing-masing
panggilannya punya peran masing-masing untuk menghadirkan keindahan
DNA keagungan dalam dunia ini.
Tak bisa menahan diri membaca sampai titik terakhir, walau raga sudah
berteriak lelah.
Mbak Anjar... bagus Renjana-nya... Hebat deh Mbak bisa menceritakan daily
routine seorang pastor muda...
Membaca Renjana seperti sedang hidup di dua dunia sekaligus, yakni dunia
rasa dan dunia nyata. Keduanya menyatu dan menyata dalam Renjana. Tiba-
tiba saja diri terenyak ketika buku ditutup.
Tidak peduli siapa tokohnya, apa status dan agamanya, yang ada ha-
nyalah “perenial spirit” manusia, yakni dunia rasa yang terbalut kesucian
cinta dan keisengan naluri untuk mewujudkan cinta itu. Bahagia dan derita,
tempatnya hanya satu: hati. Di situlah bahagia dan derita berkeluarga, saling
mengharmoni sekaligus menggejolak. Renjana adalah representasinya.
Hati adalah rumah bagi rasa, dan cinta menjadi sukmanya. Kekuatan
tulisanmu kali ini terletak pada pergulatan hati ini; pergulatan karena cinta.
Ini khas manusia, karena cinta adalah warisan dari Allah, Bapa kita. Dari situ,
pembaca becermin, di mana dirinya berada.
Di atas semuanya: keren. Pergolakan cinta menjadi tema. Dan ini adalah
situasi serta bahasa abadi manusia.
Sebuah novel
Anjar
http://facebook.com/indonesiapustaka
GM 201 01 140001
www.gramediapustakautama.com
ISBN 978-602-03-0094-8
http://facebook.com/indonesiapustaka
ko, adik-adik gema’ers, “Om” Leo, Bunda Woro dan keluarga, Yani
nun di sana, Dek adek Cicil perawat, Steven, Bu Eva, Iin, Mira
sang keriting, Mbak Nana, (alm.), Mas Andika, Ami, Cak Novi
Basuki, Tika, Mbak Mira “Amir”, Theo, Kak Bonaventura, Daniel,
Rere dan semua yang memberi endorsement. Tak lupa Mbak Sandra
yang mau ikutan membuat indah buku ini dengan cover-nya.
Bagi Bapak dan Ibu (alm.), Mas Tio sekeluarga, keluarga Ci-
Selamat menikmati.
Semoga semua yang baik akan terus bertakhta di dalam renjana sanu-
bari.
Salam #Renjana
-anj-
http://facebook.com/indonesiapustaka
1
luas terbentang
RUANG sempit dengan satu kursi dan sekat kecil di tembok pem
batas ruang sebelahnya itu, Daus tutup pelan. Nyaris tanpa suara,
selain helaan napasnya sendiri.
Usai sudah tugas untuk meringankan beban umatnya sekaligus
melakukan satu dari lima perintah gereja. Daus merasa beruntung
sekali, umatnya di sini masih mau melihat perintah gereja itu se
bagai sesuatu yang tidak membebani, tetapi mereka secara sadar
melaksanakannya.
Malam yang larut melenakan banyak makhluk bumi agar se
gera meluruh dalam lelap dan dekapan kelam meski mungkin
masih tersisa sebentuk kerja. Firdaus pun menyatukan semuanya
kepada alam. Hatur nuhun2, Gusti.... Segala bentuk karuniaMu
di hari ini telah hamba selesaikan. Izinkan raga hamba boleh
berbaring nikmat pada selembar kasur, tanda sesaat kenikmatan
duniawi sejenak hamba, utara hati Daus kepada Sang Pencipta.
Dibungkukkan tubuhnya menghadap semesta. Di bawah langit
bercahaya sabit, ia rasakan sebentuk aliran angin malam nan me
nyegarkan. Daus kembali ke posisi tegak berdiri, tetapi matanya
memejam sejenak.
“Maaf, Romo.... Pak Tumi tanya, apakah kapel sudah bisa ditu
tup?” Suara Frater Jajang yang sangat familier di telinganya sedikit
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tibatiba saja, nyanyian masa kecil itu tergumam dari bibir tipis
Romo Firdaus. Lagu yang dikenalnya saat ia masih taman kanak
kanak dan diajarkan oleh Bu Tari, gurunya. Lagu itu rasanya pas
dinyanyikan kembali malam ini. Dalam khayalnya, bulan sabit
malam ini mirip sebuah kapal berlapis emas dan ia menjadi na
khodanya.
Aaaahhh....
Kenikmatan melihat bulan malam ini, menjadikan jiwa sang
Biarawan seperti disirami air segar. Ingin rasanya ia berlamala
ma di halaman biara. Mata Daus seperti tak habishabisnya me
http://facebook.com/indonesiapustaka
SEMBURAT malam membelah semesta dalam sebentuk keindah
annya.
Terkejut mata begitu menyadari bahwa di bentangan langit
terlukis keindahan dari Sang Maha melalui deretan bintang dan
kerlipan raja malam yang membawa sabit. Tidak biasanya malam
secantik dan segenit ini. Biasanya ia kelam gelap, lalu perlahan
terlelap. Dikitari semesta dalam sapuan pandangan kekagumannya.
Di kedalaman pandangan mata, ada bagian yang seperti teliti
mencari, adakah sebuah bintang yang sudah lama sekali tidak ia
dapati kini tengah menarinari? Bintang yang pernah begitu mera
ja di hati, mengungkapkan renjana4 sanubari.
Ah, beraja5.... Sekian waktu kuberlari menerjang waktu, meng
halau debu. Berharap ku ‘kan jumpa dirimu lagi, serunya menye
ruak dendam rindu.
Mendadak wajahnya melunglai dan raupan pandangan semesta
ia tinggalkan.
Kesedihan terlukis menyertai seruas awan kelabu yang tibatiba
datang.
Dalam meluruh sukacita yang sebelumnya memenuhi sukma,
terbambang6 di benaknya serangkai peristiwa tempo lalu di saat
beraja telah membuat segenap renjana membiru. Senyum tipis
terkias setiap kali visual itu bertandang dalam ingatan dan benak.
Rupanya rasa itu begitu kuat, bahkan hingga hitungan tahun yang
nyaris mencapai angka 10.
Kembali ia sepandurat7 menatap ke atas langit.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Anggrekbunga : saya ingin mengaku dosa, kakak...
Formosa : dengan senang hati, kapan pun kamu bisa, saya bersedia
menunggu kedatanganmu
Anggrekbunga : sekarang, kakak...
Formosa : sekarang?
Anggrekbunga : J... iya, kakak
Formosa : emang kamu sedang ada di mana?
Anggrekbunga : masih di belanda, kakak J
Formosa : lalu bagaimana cara kamu mengaku dosa?
Anggrekbunga : di sini saja, romo... kan sekalian kita lagi ngobrol
MATANYA menyipit untuk mencoba menghalau sinar mentari
pagi yang menyentuh hari. Sebenarnya menyenangkan membiar
kan sinar gagah pagi ini begitu leluasa menghangatkan raga. Tapi,
angin yang berembus sempat membuatnya merapatkan sweter
yang sejak tadi menemani raganya.
Tak peduli pada dinginnya angin berembus, ia keluar kamar.
Tra Laksmi sudah sejak tadi sibuk membereskan rumahnya. Gadis
muda itu memang langsung beberes sehabis melaksanakan kewa
jiban salat Subuh.
Semburat fajar kali ini tidak akan ia siasiakan. Di sana ia me
rasa ada sebentuk harap terbentang atas apa yang akan terjadi di
hari ini.
Senyum panjang terbambang di wajahnya.
Segala syukur terucap tulus dari dalam hati, seraya berjalan me
ngitari rumahnya. Pepohonan yang telah menemani kesehariannya
selama ini ingin ia sapa sebagai tanda sayang dan cinta.
“Selamat pagi pohon mangga, bunga mawar dan anggrek, po
http://facebook.com/indonesiapustaka
To : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>
From : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>
Apa kabar, pangeran hati? Sekian lama tak bersua, padahal langit sudah lama me-
nyampaikan kenangan lama, tentang sebentuk hati yang mungkin tak sempat bicara.
Apakah kau rasakan hal yang sama?
http://facebook.com/indonesiapustaka
Apa mungkin sang putri yang sekian lama sembunyi? Laksmi? Ah...
di mana dia berada kini? Apakah angin, bulan, bintang, matahari, de
bu, dan semesta menghantar rasa rinduku padanya?
Mata Wie lurus menatap surel yang tidak juga ia tutup. Kepa
lanya berpikir keras, siapa gerangan orang yang mengirimkan surel
sepagi ini. Bukankah ini adalah kebiasaan sang pujaan hatinya
dulu?
Jemari Wie hendak membalas email itu. Tapi sekali lagi ke
palanya berpikir. Rasa penasaran ini membuatnya majumundur
meneruskan niat hati.
Hingga akhirnya, dengan kesadaran penuh, ia memutuskan
untuk keluar dari kotak elektronik itu. Tak jadi membalas email
yang tak jelas siapa pengirimnya. Ada bagian dalam dirinya seolah
berteriak kencang: ia harus kembali meneruskan pekerjaannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ola malah pernah dikursusin komputer juga,” jelas Tra yang me
mang dipanggil Laksmi di kampung kelahirannya, sesuai nama
lengkapnya: Gentra Laksmi.
Kepala Bi Mumun anggukangguk.
“Atuh mah sayang, Neng... kalo si Neng teh cuma di sini ajah,”
ujar Bi Mumun bersungguhsungguh.
“Kumaha deui, Bi.... Laksmi kan kudu bantu Mamah dan Abah
di sini,” Tra menyudahi menampi berasnya sembari melihatlihat,
siapa tahu masih bersisa batu atau kotoran di hasil tampiannya.
Beras hasil sawah garapan bapaknya ini menghasilkan nasi nan
harum. Apalagi kalau diliwet lalu diulen alias dikipaskipas sembari
dibolakbalik dengan centong supaya cepat dingin. Harumnya bisa
semerbak mengisi ruangan. Sudah begini sih, lauk ikan asin dan
lalapan di antara sambal terasi, cukuplah.
“Kamu teh nggak tertarik kembali ke kota?” tanya Bibi sembari
memepetkan posisi duduknya. Mungkin maksudnya agar bisa bicara
lebih pelan. Padahal di hadapan mereka tidak ada keramaian yang
mengharuskan Bi Mumun harus duduk demikian dekat.
“Tergantung, Bi....”
“Tergantung naon?”
“Tergantung pekerjaannya. Tergantung izin Mamah dan
Abah....” Tra mengungsikan beras yang sudah bersih itu agar
“aman”.
“Kamu sendiri pengen nggak?” tanya Bi Mumun bersungguh
sungguh.
Tra membersihkan bajunya sebentar dari semua sisa kotoran
http://facebook.com/indonesiapustaka
tapi mereka teh bageur pisan14. Udah nganggep Bibi kayak ibu me
reka sendiri. Nggak pernah maksa apaapa. Malah kalo Lebaran
nih ya, Neng..., yang ngasih bingkisan ke Bibi dan pekerja lain
yang merayakan Lebaran bukan dari mereka aja tapi dari keluarga
mereka yang suka nengokin. Ih, meuni resep deh, Neng15....”
Bukan karena cerita dari Bi Mumun yang membuat telinga
dan hati Tra mendadak seperti terang benderang. Dalam ingatan
jauhnya, ia seperti terlempar pada suatu masa. Di mana pernah ada
sepasang mata dan tahi lalat di bawah pipi sebelah kanan.
Ah ya.... Apa kabar Pak Frater Romo Firdaus sekarang?
Adakah ia termasuk yang diceritakan bibinya barusan?
“Mereka makannya juga nggak ngerepotin. Cocok ajalah sama
masakan Bibi,” tambah Bi Mumun lagi. Kali ini dengan perasaan
bangga. Matanya bersinar lebih cerah dan dadanya seakan mem
busung ke depan. Kebanggaan terpancar sekali dari dirinya.
“Bibi bantu ngomong ke Mamah sama Abah atuh ya…,” pinta
Tra.
Kepala Bi Mumun menganggukangguk pasti.
Terik siang yang mengarah pada pusatnya itu membangkitkan
sebentuk renjana lama yang telah lama tersembunyi. Entah karena
mentari yang seolah tiada henti menari atau sebab bayu yang me
langkah pergi....
PEMILIK rambut hitam tergerai dan indah dipandang mata itu
tampak menatap tak berkedip pada apa yang tersaji di hadapannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
PENDARAN langit menyeruak sukma.
Lama sudah tak ada kalimat syukur atas keindahan ini.
Bukan karena alpa atau malas tanpa alasan, tetapi memang ha
ti yang seolah dipendamkan segala kesibukan raga.
Dan, bila kini mata seperti diajak kembali memandang langit,
itu pasti karena ada tujuan agar rasa syukur itu kian berkembang
di bibir ini.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Huruf “o”.
Sejenak akal budinya memikirkan sebuah nama.
Tiada diperintah apalagi terencana, mulut Daus mengeja satu
nama, “Ola”.
Konon nama itu berarti “kata hati”. Bisa diartikan pula perem
puan yang selalu terbuka kepada siapa pun, jujur dan tidak pernah
menyeleweng.
Tak terbendung lagi renjana Wie.
Sejak hari itu, tiada hari dihabiskan tanpa terus menyapa dan
merapatkan hati kepada sang pujaan jiwa. Sekian waktu, tanpa
sungkan Wie melakukan pendekatan dan pengenalan. Dibantu
Di Biara Fidaus
DALAM resah menderu, Daus menarik napas lebar.
Cerita panjang baru saja keluar dari mulut sahabat dekatnya,
Romo James, seorang romo asli dari daerah Timur. Karena sudah
lama tinggal di tanah Jawa maka sesekali terdengar logat Jawa dari
mulut romo satu ini. Cukup membuat Daus tersenyum geli. Agak
aneh terdengar di telinga. Logat dan wajah tidak nyambung.
Tapi Romo James tidak peduli. Dia bilang, logat Jawanya jus
tru susah hilang ketimbang logat daerah aslinya.
“Aku prihatin lho Dik Daus, sama adekadekku itu,” ujar Romo
James. “Begitu keluar dari daerah, lha kok malah seperti orang ke
luar dari hutan. Ndak lihat sanasini, sradaksruduk gitu aja...”
“Yah... tantangan zaman, Mas...,” Daus memang sudah biasa
memanggil Romo James dengan sebutan “Mas”. Selain karena
usianya lebih tua, secara angkatan Romo James juga lebih senior.
“Apa tidak ada pendampingan buat adikadik Mas itu?”
“Lho sudah, Dik.... Sudah.... Biar kami beda rumah, tapi semua
adik dan adikadik lain yang berasal dari daerahku sering sengaja
berkumpul untuk saling berbagi dan menguatkan. Termasuk,
mengingatkan yang muda supaya ndak terbawa arus hedonisme
masa kini.”
“Lalu, adakah alasan mengapa mereka sempat berdemo minta
agar diperbolehkan memegang HP?”
Romo James mengangkat bahu. “Itu dia yang saya ndak terlalu
paham. Mereka cuma bilang bahwa mereka butuh HP sebagai alat
http://facebook.com/indonesiapustaka
komunikasi.”
“Yah... mungkin kita memang harus mengikuti perkembangan.
Selama mereka bertanggung jawab, mengapa tidak?”
Romo James terdiam. Tak lama ujung matanya seperti menatap
Daus penuh makna. Yang ditatap malah sedang asyik membalas
sapa di smartphonenya. Mumpung ada sebentar waktu untuk bisa
membalas salam sapa dari rekannya.
da, sebagai kode ada pesan masuk dari beragam sosial media yang
disajikan benda canggih itu.
Tapi, tak ada niat hati menanggapi.
Ada rasa malu, menyelinap tanpa permisi.
Ah, sudah sejauh mana kulakukan banyak hal dengan fasilitas
ini? Daus bertanya sendiri.
16
golongan rohaniwan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Eaters.com Café
itu?”
“Haha.... Masih ingat saja kampung halamanku nan jauh di
mata itu,” Aisah tertawa ringan.
Ola memang pernah ia ajak berkunjung ke kampung halam
annya. Meski mereka memakai kendaraan sendiri dan sopir, tetap
18
Jenjang sebelum menjadi romo
kalau mereka harus ke luar kota, sudah ada sopir pribadi yang bisa
diandalkan.
“Kamu sungguh sudah punya hidup yang bahagia ya, Sah?”
Aisah tersenyum.
“Apalagi sebentar lagi aku bakal kedatangan seseorang lagi un
tuk menambahkan kebahagiaan kami.” Mata Aisah langsung ter
arah pada perutnya, tangannya segera mengeluselus perutnya itu.
pujian tak ragu ia sembur, “Baunya harum sekali, Bi.... Masak apa?”
“Eeehhh… Den Romo Daus.... Ini asin peda. Tadi Bibi beli di
pasar. Lagi pengen, Den.... Sekalian buat pekarya di sini juga,” je
las Bi Mumun sembari terus menggoreng.
“Kenapa nggak sekalian dengan penghuni rumah juga, Bi?” Daus
mendekati Bi Mumun yang tampaknya sudah selesai menggoreng
asin peda yang menggugah selera itu.
itu.
Sebentar ada rasa enggan.
Perasaannya terusik, intuisinya sebagai romo mengatakan agar
ia berhatihati kepada tamunya yang satu ini. Langkahnya hatiha
ti sekali saat membuka pintu dan masuk ke dalam ruang tamu. Ti
19
siapa tahu
“Kan Mbak dan dia sudah sah suamiistri. Masa harus dijodoh
kan juga?”
“Itulah masalahnya, Romo...,” kali ini suara Marry terdengar
menurun. Ada kesedihan seperti tersimpan di sana. “Rupanya
selama ini keluarganya sudah menjodohkan dia dengan seorang
perempuan dari rekan bisnis papanya.”
Sekarang Daus lebih menampakkan mimik seriusnya.
Matanya menatap perempuan yang sedang tertunduk itu.
“Saya mendengar dia mulai dekat dengan perempuan itu, Ro
mo.... Saya juga sempat membaca BBM mesranya kepada dia.”
“Sudah Mbak kroscek?”
Kepala perempuan itu anggukangguk. “Sudah, Romo. Tapi, dia
seperti menghindar. Saya nggak bisa maksa. Padahal saat ini anak
kedua saya belum sembuh benar dari sakitnya.”
“Oh, sakit apa?”
“Ada komplikasi di bagian perutnya. Bawaan dari kecil, saat
dia lahir.”
“Dan, suami Mbak tahu betul masalah itu?”
“Sangat tahu, Romo....”
Perempuan itu menarik napas menahan segala rasanya.
Terasakan betapa berat masalah yang dihadapinya. Dalam satu
waktu harus berusaha merentangkan hati.
Nuansa kesedihan itu kian terasa.
Apalagi kemudian makin lancarlah semua keluh kesahnya
tentang rentetan masalah lain yang menjadi buntut dari apa yang
ia ceritakan barusan. Daus hanya bisa berusaha menyediakan te
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tak hendak beranjak dan berharap panjang agar senja tak sege
ra meninggalkan. Tapi, apa mau dikata, rentang waktu sempit sen
ja nan genit harus diambil alih kelam yang akan menguasai alam
di rentang waktu yang panjang.
Dan, mendadaklah seribu perih menghampiri....
Tiada yang hendak mengetahui apalagi memastikan apa sebe
narnya maksud hati.
Dikaguminya pagi, meski pada senja ia pun tak ingin beralih....
http://facebook.com/indonesiapustaka
“Waktu itu kan saya masih manggil Bapak sebagai Pak Frater,
seperti anjuran Bu Ola....”
“Haha.... Iyaiya.... Padahal saya minta kamu manggil saya ‘Fra
ter Daus’ saja kan?”
Kesekian kali Tra mengangguk.
“Nah, sekarang kamu panggil saya Romo Daus saja ya.... Nggak
usah pake Pak....”
juru masak biara yang setia. Hanya sesekali saja saudara atau te
mannya datang menjenguk.
Pihak biara memang sengaja membiarkan paviliun itu untuk
kehidupan Bi Mumun agar lebih nyaman.
Daus menyudahi penyambutannya terhadap kedatangan Tra.
Ia hendak kembali masuk ke dalam.
Namun, sesaat ia teringat....
Tra adalah satu dari banyak hal di masa lalunya.
Kedatangan perempuan muda itu ke sini mau tidak mau mem
bawa bagian masa lalu Daus lainnya. Yang khusus. Yang tak
mungkin terlupa. Nama yang tadi sempat terucap oleh Tra dengan
sengaja.
Ola.
Aaahhh.... Apakah ia akan datang juga laksana hari ini yang
menghadirkan kenangan itu kembali?
WIE mengulet, membuang lelah bekerja seharian.
Ingin rasanya ia menyudahi tumpukan pekerjaan yang seolah
menambah segala suntuk. Apa mau dikata, sebagai karyawan se
buah konsultan sipil swasta, ia tak akan mampu berlari. Bahkan ji
ka ia berkehendak pindah dari kantor kini ke kantor baru, rasanya
pasti sama saja aroma kerja yang terbaui.
Ingat masa awalawal ia kerja dulu. Bisa dibilang santai dan tak
terburu waktu. Palingpaling bos saja yang hiruk pikuk mengingat
kan. Itu pun masih bisa ditutupi dengan beribu alasan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
To : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>
From : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>
KAMU
Namun,
Di kesadaranku ada realitas
Aku menangis namun juga tersenyum
Aku sedih namun bahagia
Di halaman kalbu terhampar karunia terbesar buatku
kamu telah dihadirkan tepat dengan cara-Nya
Mengisi ruang dan waktu semestaku,
yang amat berarti bagi penulisnya. Diberikan pada saat ia pun se
dang sekilas mengingat arti sebuah kehadiran seseorang.
Tapi, mengapa kini keraguan yang menggantikan rasa penasaran
itu?
Adakah ini hanya permainan seseorang yang mengetahui ten
tang masa lalu Wie yang penuh pesona itu?
Cepat Wie membalas.
To : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>
From : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>
Salam,
Wie
lama sekali tak kunjung tertemui. Bukan saja sempat berpisah ker
ja, tapi juga karena ia dengar perempuan muda energik, cantik,
dan menarik itu kembali menekuni studi di lain negeri.
Carolina Wibowo.
Apakah bisa kucari dalam kemeriahan jejaring sosial akhirak
hir ini?
TAK bisa disangkal, Ola sangat gembira mengetahui ada seseorang
yang sangat ia kenal baik mengaddnya di Facebook.
Wylie Semesta atau yang biasa menyebut dirinya sendiri “Wie”,
teman sekantor dan teman makan siang yang menyenangkan.
Sekian lama tiada kabar, jejaring sosial inilah yang justru mem
pertemukan mereka kembali. Apalagi kalau bukan sukacita yang
membahana, menyerta rasa?
Halo teman makan siang, apa kabarmu? Mengapa baru sekarang kita terhubung di
sini? Siapa atau apa yang membuatmu jadi begitu bisa menemukanku di belantara
maya ini?
Halo teman makan siang, apa kabarmu? Mengapa baru sekarang kita terhubung di
sini? Siapa atau apa yang membuatmu jadi begitu bisa menemukanku di belantara
maya ini?
15 menit yang lalu · Suka · Komentar · Bagikan
Wylie Semesta : Hei, perempuan karier favoritku, senang sekali kau masih
ingat aku. Yah, inilah kehebatannya dunia maya kita. Lama
tak bertemu, malah di sini kenangan kita terpadu. Kapan ada
waktu? Aku mau serentang rinduku ini tersampaikan lewat per-
temuan kita.
5 menit yang lalu · Suka
Carolina Wibowo : wuiihhh... ternyata kau masih menyimpan banyak kata puisi, pa-
dahal kukira sudah dibawa ke langit, entah ke mana. Oke, kapan
kamu bisa? Tinggalkan no HP-mu di inbox ya. Can’t wait to meet
u again, my old friend...
http://facebook.com/indonesiapustaka
buhnya bisa bertahan. Aliran dingin dari bayu yang berembus me
mang kadang seperti memaksa raga untuk cepat masuk ke ruang
yang lebih hangat.
22
tubuh
di hati.
Ingin rasanya Tra kembali menekuni rasa itu. Memilah satu per
satu, lalu menyejajarkannya di antara derasnya hidup dan keingin
an lain yang kadang datang silih berganti.
Hhh.... Langut ini tak dapat dibendung.
Tak ada yang tahu, bahkan sekadar meraba. Semua tersimpan
sendiri di kedalaman sanubari.
BLACKBERRY Romo Daus bergetar. Ada BBM yang masuk.
http://facebook.com/indonesiapustaka
“Langsung, Romo....”
“Lalu, jawaban Romo parokinya?”
Nada sedih langsung merambat di wajah Frater Jajang. “Itulah
yang membuat saya makin galau, Romo....”
“Kenapa?”
23
bagian dari perayaan ekaristi umat Katolik, di mana roti dan anggur yang telah
dikonsekrasi kemudian dibagikan kepada umat yang berbakti.
MATA Tra telah berhasil merayu tangannya untuk berhenti be
kerja sejenak.
Matanya itu menangkap deretan buku menarik di perpustakaan
biara ini. Beberapa buku memang berbahasa asing yang tidak ia
mengerti, tetapi deretan buku lain justru menjadikan matanya tak
mengerjap.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Cepat saja mata Tra meraup juduljudul di sana. Ada Nyai Da
simah, Azab dan Sengsara, Sengsara Membawa Nikmat, Salah Asuh
an, Ateis, Dian Tak Kunjung Padam, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Dari Ave Maria ke Jalan Lain Menuju Roma, Bukan Pasar Malam,
Cerita dari Blora, Pada Sebuah Kapal, Balada Orang Tercinta, Roboh
nya Surau Kami, Para Priyayi....
Waaahhh..., banyak sekali ternyata.
Dulu waktu SMA ia memang pernah mendengar juduljudul
itu. Tapi, kalau ternyata di sini bukubuku itu hadir dalam bentuk
isiknya, Tra hanya mampu bergelenggeleng, kagum.
Ia menggeser ke bagian “Sastra Baru Indonesia”.
Terpajang di sana karyakarya dari pengarang Y.B. Mangunwijaya
dengan BurungBurung Manyar, BurungBurung Rantau, dan bebe
rapa judul lain, sederet buku Sindhunata, Remy Silado, Seno
Gumira Ajidharma, Ayu Utami, Dewi Lestari, Andrea Hirata dan
duh..., bagian ini lebih banyak bagian yang pertama tadi. Bahkan,
rak buku bagian ini menghabiskan satu bagian tersendiri yang ter
diri dari beberapa kotak.
Sesekali Tra tertarik untuk mengeluarkannya. Sekadar untuk
membacabaca, lalu ia kembalikan lagi ke tempatnya.
Agak memutar sedikit, Tra menemukan bukubuku yang lebih
bersifat umum. Ada yang berbau politik, ada pula yang berbau so
sial dan agama. Penasaran juga, tapi ah… nanti sajalah, masih ada
waktu lain, pikirnya.
Di sebelah bagian itu, tertulis “Teologi dan Filsafat”.
Waaa... khusus di daerah sini, kepala Tra lebih bergelenggeleng
http://facebook.com/indonesiapustaka
lagi. Ada sekitar satu setengah isi rak disiapkan untuk memajang
bukubuku dengan kategori yang satu ini. Dari berbagai bahasa.
Padahal novel nonbahasa Indonesia saja memenuhi tiga pe
rempat rak.
Apakah bukubuku itu yang sering dibaca para penghuni biara
ini?
Kapan mereka membacanya?
NAPAS Daus ditarik panjang.
Ia memahami betul kegelisahan Jajang, frater muda, calon ro
mo yang semoga bisa mengikuti jejaknya nanti.
sama hati dan niatanmu. Nek Bapak dan Ibu saja percaya, kenapa
kamu ndak percaya sama dirimu sendiri bahwa kamu bisa melalui
semua dengan baik?” ujar ibunya lembut kala itu.
“Ndak apa kalau kamu jatuh cinta. Ndak apa kalau kamu me
muja. Ndak apa juga kalau kamu kangen,” ibunya meneruskan
nasihat bagi putra terkasihnya, “Yang ndak boleh itu rasa untuk
memiliki. Soalnya kamu sudah berjanji di hadapan Allah untuk
menjadi abdiNya dan menjaga janji suci panggilanmu, Le….”
Seperti ada sesuatu merembet, mengingatkan diri.
Daus seperti menemukan oase penguat yang ia perlukan agar
tegap bertahan.
“Nek kamu kangen dia, bawa dalam doa saja, Le…. Seperti
kalau kamu juga selalu mendoakan bapak, ibu, dan saudarasau
daramu….”
Nasihat terakhir ibu tercintanya itu sangat mujarab.
Doa adalah senjata tercanggih untuk mengatasi kegundahan
hatinya.
Ia pun berharap, Frater Jajang juga mendapatkan penguatan
dari doa yang akan mengusap semua gundah yang mungkin masih
tercecer dalam putaran hariharinya.
TRA tak hendak melepas buku yang sedari tadi asyik ia baca.
Indah sekali segala kalimat terkias di sana.
Angannya menjelma pada suatu keadaan damai dan romantis
ketika selesai membaca halaman demi halaman buku Kahlil Gi
http://facebook.com/indonesiapustaka
sana. “Ow, kamu suka Kahlil Gibran dan dongeng anak tho?”
“Hehe.... Iya, Romo....” Tra mulai membereskan bukubuku
yang tadi dibacanya.
“Kenapa?”
“Kalau dongeng, saya jadi bisa berimajinasi apa pun sesuai
yang ada di benak saya dan bisa mengambil sisi positif ceritanya,
Romo....”
lakang dulu.”
“Selamat bekerja ya....”
Tra hanya melempar senyum.
Semangatnya kian menggebu sesaat ia tahu akan ada sesuatu
yang bisa dijadikan tambahan pengetahuan baru dari bukubuku
yang barusan ditawarkan si Romo.
Selepas Tra tak terlihat mata, otak Daus merasa perlu memberi
aku tahu Kau yang di sana, tidak akan terdiam
meski hati ini sedang berisik
memanggut kesepian yang ditinggalkan seberkas malam
WAJAH berseri Ola kian menampakkan cahaya ceria sesaat pe
lukan kencangnya mendarat di tubuh sang Papa tercinta.
“Apa kabar, Pa? Sehat kan?” sapanya ramah dan penuh sukacita
sembari berjalan menuju rumah masa kecilnya ini.
“Baik dong, sayang, kamu sehat?” papa Ola balik bertanya.
“Puji Tuhan, Pa.... Ola selalu sehat,” Ola duduk di sebuah kursi
kayu yang dulu menjadi tempat favoritnya untuk berselonjor dan
membaca buku. Meski ada sofa empuk dan karpet terhampar di
ruang tamu atau ruang keluarga, ia tetap memilih kursi kayu jati
http://facebook.com/indonesiapustaka
“Mestinya sih dua hari lagi. Tapi belum ada kabar sampai hari
ini,” jawab papanya sembari mengambilkan air minum dari dalam
lemari es. Ia tahu benar, putri satusatunya ini suka sekali minum
air dingin. Meski tidak selamanya baik, kebiasaan dari kecil ini
belum bisa Ola tinggalkan.
Yah..., selama masih dalam kadar yang bisa ditoleransi, tak
mengapalah....
“Ko Michael pulang juga nggak, Pa?” Ola teringat kakak ter
tuanya.
“Belum tahu.... Kan istrinya mau melahirkan anak kedua.
Mungkin masih repot.”
“Aaahhh.... JakartaBandung kan deket,” bantah Ola sembari
meminum air dingin dari kulkas.
“Yah kita kan nggak tahu kesibukan mereka. Papa sih maklum,
pernah merasakan....” Papa Ola tersenyum lebar. Arah matanya
tertuju pada sebuah foto yang ukurannya cukupbesar,menunjukkan
sosok ketiga anaknya saat kecil. Bahkan, Rafael yang belum genap
setahun masih digendong mamanya.
Langkah kaki lakilaki tua berusia menjelang kepala tujuh itu
sedikit terseok. Ia hendak mengambil foto keluarga itu.
Ola tak ingin papanya bersusah payah mengambil foto itu.
Maka, segera ia mendahului orangtua tercintanya itu dan meng
ambilkannya.
Papa Ola pun duduk di kursi dekat situ, memangku foto. Ta
ngannya menyapu pelan kaca piguranya.
Gerakannya lambat, namun seolah hendak menyampaikan
renjananya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan hal yang sama. ‘Papa jangan menyesali lagi yang sudah terjadi
ya.’”
Meski dengan susah payah bercerita, selepas sang Papa menge
luarkan rasa, tangis itu kembali pecah. Tak tertahankan, betapa
beban rasa itu telah menyiksanya sekian lama.
Ola pun kian kencang mendekap tubuh papanya.
Dalam hati, sebaris doa mendadak terucap agar orangtua ter
cintanya ini bisa terus kuat menghadapi semua kenyataan yang ada.
Tak lama kemudian bapak dan anak itu pun terduduk. Ola de
ngan sabar menuntun sang Papa untuk duduk di kursi. Segelas air
putih yang Ola suguhkan diharapkan dapat menenangkan perih
hatinya.
Wajah tua dengan rambut memutih menutupi kepala itu me
nuruti kehendak sang putri. Ia sangat tahu putri tercintanya itu
adalah pelipur lara sejati. Beruntung ia masih bisa tinggal bersama
sang putri yang di masa lalu pernah ia labrak karena Ola sempat
mengingatkannya ketika ia ketahuan berselingkuh.
Sengaja Ola duduk berjongkok di samping papanya.
Ia ingin berada lebih dekat dengan papanya. Mengingatkannya
pada apa yang sering dilakukan sang Mama jika ia sedang ingin
bermanja.
“Untung ada kamu dan saudarasaudaramu yang selalu menye
mangati Papa.... Kalau tidak, Papa pasti sudah tidak kuat hidup
sendiri begini.”
“Papa, kami semua sayang Papa. Jadi, Papa juga harus sayang
sama diri sendiri ya.... Kita harus tetap kuat meneruskan hidup
http://facebook.com/indonesiapustaka
nyi dengan nada suara yang tidak dibuatbuat. Apa adanya. Tidak
peduli manusia bilang berisik, nyatanya serangga itu yang menya
takan bahwa selalu akan ada yang menyertai. Bagaimanapun letih
atau nyaringnya ratapan hati.
Lalu, mengapa masih dipertanyakan lagi, kenapa begitu, kenapa
begini? Mengapa aku begini, dia begitu? Adilkah jika ia menerima ini,
aku menerima itu?
gugup dan tak yakin dengan jawabannya sendiri. “Ya, tentu harus
dipotong sedikit buat operasional kami dong, Pak.... Seperti biasa.”
Wie menarik napas. Ini yang tak ingin ia dengar.
“Jadi, berapa kirakira yang akan kami terima, Pak?”
“Yahyah…,” Bapak itu memainkan tangannya. Seperti meng
hitung. “Yah, sekitar tiga kurang seperempatlah....”
“Well....”
Wylie mengempaskan tubuh ke sofa kerjanya.
Proyek seharga resmi Rp 4 miliar, akan ia terima sekitar Rp
2,75 miliar saja?
Adakah alasan yang kuat untuk menyatakan hal itu wajar?
“Jajajangan kuatirlah, Pak.... Bapak kan sudah biasa jadi re
kanan kami. Tahulah apa yang harus dikerjakan,” ujar bapak ber
seragam cokelat muda itu lagi. Seolah ia mengerti perubahanraut
muka Wie.
Sekali lagi, Wie tak langsung mengomentari.
Mengapa ia harus berhadapan dengan birokrasi yang tak me
nyenangkan ini? Jika tak ia ambil, kesempatan ini pasti akan hi
lang, dan rezekinya akan berpindah ke konsultan yang lain.
Tapi, jika diambil, ada bagian hati kecilnya yang protes.
Bukan cuma soal hitungan, lebih jauh dari itu, kesekian kali ia
terjebak dalam pusaran korupsi.
“Bagaimana, Pak Wylie... proyek besar lho ini...,” rayu bapak
itu lagi.
Lagilagi pandangan Wie mengarah ke luar.
Daundaun yang ia lihat tadi melunglai jatuh ke tanah sudah
http://facebook.com/indonesiapustaka
mulai berkurang.
Proyek ini mungkin akan kian mengurangi gerak tarinya itu
sebab induk pohonnya akan ditebas, tuntas untuk tuntutan pem
bangunannya. Itu berarti, bisa jadi, suatu saat nanti pemandangan
indah yang barusan ia lihat, takkan pernah ia dapat.
Pepohonan dikorbankan untuk beberapa bentuk bangunan
menjulang.
“Izinkan saya berpikir sehari saja, Pak.... Saya juga harus kon
sultasikan kepada bos yang lain,” akhirnya jawaban diplomatis itu
Wie temukan.
“Baik. Baik, Pak.... Besok, jam sepuluh, kami telepon Bapak la
gi,” bapak itu berdiri. Tangannya bersiap menyalami, lalu disambut
Wie.
“Terima kasih, Pak.... Terima kasih....”
Tak lama pasang kaki bapak itu berkehendak pergi.
Wie mengiringnya dengan senyuman saja.
Hati dan kepalanya sudah memaksa untuk segera memutuskan
kelanjutan tawaran proyek tadi.
Sebentar ia membuka kembali iPadnya, hendak mengirim pe
san kepada rekanan di kantornya.
Belum juga niatnya kesampaian, ada tanda email masuk di
inboxnya.
Dengan penasaran pengiring waktu yang meninggi, jemari Wie
membuka pesan elektronik yang baru datang.
To : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>
From : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>
Dia lagi.
Siapalah yang bersetia mengirimkan email puisinya lagi?
Meski ini lagu lama, tapi berhasil membuat pikiran Wie sedikit
menerawang.
Modus si beraja ini nyaris sama dengan yang dikerjakan Tra
Laksmi.
Tapi, rasanya aneh saja. Hati Wie tak lagi terhanyut lama. Tiap
kali puisi itu memenuhi inboxnya, suratsurat itu tidak lagi terasa
seperti awal ia mendapatkannya dari sang putri.
Biasa saja.
Tersisa penasaran saja yang harus dituntaskan. Tak hendak ia
menyuburkan lagu lama.
Segera Wie mengambil smartphonenya. Ia tahu harus
menghubungi siapa.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Lalu…
Mengapa kau tanyakan, harus bagaimana aku,
kalau memang jawabannya hanya
………………………………
cintai saja aku?
Tamu yang diundang juga tak terlalu banyak. Tetapi, resepsi itu
sepertinya sangat berkesan sebab Romo dengan didampingi para
misdinar28 yang membantu pemberkatan nikah kedua orangtuanya
berkesempatan hadir. Romo yang jago bernyanyi itu pun turut me
nyumbangkan suara merdunya.
28
Orang (biasanya anakanak atau remaja) yang membantu romo di altar, sering
disebut sebagai putra/putri altar
tempat yang paling indah selain bisa bersama dan berbagi bersama
keluarga.
Kesadaran ini telah demikian merasuk jiwa raga Ola hingga
tebersit sebuah niat. Namun, tak hendak ia utarakan kepada papa
nya lebih dahulu. Butuh persiapan sebelum semua terjadi.
Sekian menit mereka mencoba berbagi kesah di dalam gereja
kecil itu.
Serangkai doa syukur pun tak luput dipanjatkan. Rafael yang se
jak kecil memang telah pandai mengucap doa, menutup nostalgia
keluarganya itu dengan doa indahnya. Titik air mata menetes dari
mata mereka masingmasing, terutama jika mengenang Mama
tercinta. Kehadiran spirit Mama dan istri tercinta dirasa ada di
sekitar mereka. Bahkan ketika doa nyaris diakhiri, embusan angin
mendadak masuk ke dalam, menyejukkan kapel yang sejak awal
sudah terasa tenang dan adem.
Embusan itu seperti berpaling sampai menuju patung ketiga
Malaikat Agung. Ada rangkaian bunga mawar merah yang sempat
Ola letakkan di sana, tangkai dan daunnya berayun terkena em
busan sang bayu.
Mata Ola menangkap tanda alam itu.
Ia tersenyum sambil menyeka air mata.
“Mama hadir di sini.... Ia turut berdoa bersama kita,” ujar sang
Papa sembari menutup mata seolah lebih berusaha merasakan apa
yang barusan ia katakan.
“Mama akan selalu hadir dalam keluarga kita, Pa...,” balas Ra
fael.
Tak lama, keluarga kecil itu pun segera beranjak. Menyudahi
semua nostalgia dan doa di hari itu.
Sembari menyusuri jalan menuju parkiran, ujung mata kucing
Ola menangkap sekelebat sosok lakilaki sedang bermain dengan
sekelompok anak yang mengelilinginya. Ia tampak sedang meng
ajarkan sebuah gerak dan lagu.
Tingkah lakunya yang diikuti anakanak itu lucu sekali.
http://facebook.com/indonesiapustaka
SEBENARNYA setelah sekian waktu menjadi pekarya di biara ini,
Tra makin mengenal sifat Raka, sesama pekarya yang punya tang
gung jawab mengurusi halaman dan kebun biara. Raka anak yang
rajin dan penuh kreativitas agar tanaman yang ia urus tumbuh de
ngan baik serta menghasilkan.
Tapi, baru hari ini ada sebentuk rasa menggelitik diamdiam
di dasar sanubari. Apalagi tatkala ia lihat hari ini Raka begitu te
laten menerangkan dan mengajarkan tentang tanaman sayurma
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan bagi anakanak yang kurang mampu, tapi kegiatan satu ini
tetap ramai peminat.
Romo kepala biara bekerja sama dengan ketua RT dan RW se
tempat memang merancang acara ini agar mereka bisa lebih saling
mengenal.
Pertama Tra mendapati kegiatan ini, ia sempat bingung dan
kaget. Kesibukan lebih dari biasa pun harus ia hadapi. Tapi belajar
dari Bi Mumun, Pak Usep, Pak Tumi, dan Raka, kegiatan ini ma
lah membuatnya senang, bisa terlibat bersama mereka.
Dan, hari ini kesukaan hatinya bertambah dengan apa yang di
lihat dari pemuda berusia tiga tahun lebih tua darinya itu. Dengan
gaya khas yang penuh keramahan, beberapa anak kecil tampak
penasaran dengan apa yang sedang dikerjakannya. Mereka terlihat
ingin tahu, bahkan ingin mencobanya sendiri.
Raka tak hendak mencuekkan mereka.
Ia malah merangkul anakanak itu satusatu sambil menerang
kan hingga mereka benarbenar tahu.
Mendadak Tra ingat Mang Ujang.
Tukang sapu bersahaja yang juga sama perhatiannya kepada se
sama. Bukanlah orang pintar atau kaya, tetapi ia kaya hati, mem
buatnya begitu terinspirasi akan banyak hal.
Di mana dia sekarang ya....
Mata Tra kembali menatap di depan sana. Sambil mengelap pi
ring yang akan digunakan makan siang sebentar lagi, kekaguman
Tra tak dapat disembunyikan.
Raka juga bukan orang berpendidikan tinggi. Selepas SMP, ia
bahkan sudah harus bekerja di kota. Untunglah bertemu dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka
rindu?
apa itu? katamu,
tapi diamdiam kau telah menghisapnya dalamdalam,
http://facebook.com/indonesiapustaka
benar sudah sampai hati, kamu juga perlu tanya, untuk apa? Nek
ora penting, yo nengke wae30…,” nasihat Ibunya bergema lagi di
dada. Daus mengambil napas pendek.
Ya. Keindahan ini memang belum pasti sampai ke hati. Mung
kin hanya karena keindahan pandangan sesaat. Daus tak hendak
terjebak atas putaran kenangan yang dibawa olehnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
tapi pasti ia pun mulai melahap yang tersaji di depan matanya itu.
Sungguh. Baru kali ini ada sisi hati berbareng bernyanyi dan
menari. Siang panas berubah adem dan nyaman....
“AKU senang sekali bertemu kamu lagi, Ola.... Senang sekali,”
salaman tanda selamat datang itu mengiring kedatangan Ola ke
Sushi Tei sore ini. “Sudah lama aku menanti pertemuan kita ini…
setelah sekian lama….”
“Ya... aku juga senang sekali, Wie... Teramat sangat,” Ola tak
kalah gembira.
Keduanya pun mencari tempat yang paling enak agar bisa
mengobrol sembari menikmati sisa senja yang pasti sebentar lagi
beranjak pergi.
“Sori ya, aku nggak bisa datang lebih awal. Tadi mengantar
Papa ke kapel yang pernah menjadi tempat pernikahan Papa dan
almarhum Mama dulu,” Ola memulai cerita.
“Ohh... tak apa. Tak apa.... Eh, ya biar telat sekali, turut berdu
ka untuk kepergian mamamu tercinta ya,” ujar Wie tulus.
Ola tersenyum, “Tak apa, Wie.... Terima kasih. Waktu Mama
meninggal, kita kan juga sedang lost contact.”
Kepala Wie anggukangguk.
“Pada saat kejadian itu, apakah kamu sempat memberi tahu
Ben dan Firdaus?”
Ola melirik Wie serius. Ia cukup kaget mendengar pertanyaan
Wie. “Hei, mengapa kamu tibatiba bertanya begitu?”
“Hehe.... Entahlah. Tibatiba melintas saja di kepala,” Wie cuek
menjawab sambil membaca menu yang disuguhkan. Sementara,
Ola mengambil beberapa makanan yang lewat dari sushi bar di
sampingnya.
“Waktu itu aku sedang di Itali. Aku pun tak sempat menemani
Mama saat detik terakhirnya. Tak terpikirkan juga rasanya meng
hubungi mereka. Entah kalau mereka tahu dari orang lain,” jelas
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ola.
“Bahkan, Firdaus pun tidak kamu belabelain kabari?”
“Lho, kok pertanyaannya jadi tendensius gitu?”
“Haha... bukankah dia cinta matimu?”
“Ah, kamu…,” Ola mengibaskan tangannya. “Itu masa lalu.
Aku tak hendak membangkitkan kenangan lama. Setidaknya di
saat pertemuanku saat ini denganmu.”
GUNDAH gulana tak menghalangi hari.
Tak ada celah sukacita tampak menyeruak diamdiam.
Meski cuaca kali ini cepat berganti, tak lama, namun hal itu
tak memengaruhi kegalauan yang ada. Bahkan, bisa menambah
dan tak memperdayanya.
Tinggal ia sendiri menatap sisa langit biru yang di selanya ada
semburat jingga menari. Mungkin mengganggu mata, tapi semburat
itu memang seharusnya ada. Bagaimana ia harus memprotes atau
mengusirnya?
Padahal sudah sekian banyak dan lama tercurahkan ketidak
pastian ini. Berharap satu saja kepastian yang dapat meringankan.
Ia tak ingin hidup di tengahtengah.
Ia ingin kakinya pasti melangkah. Tidak perlu cemas, meragu,
atau takut terhadang di depan.
Ia butuh malaikat penjaga untuk sekadar menemani langkahnya.
Tetapi... masih adakah kepakan sayap malaikat ditujukan bagi
nya? Bukankah para malaikat itu sedang sibuk dengan para manu
http://facebook.com/indonesiapustaka
“AKU senang mendengar kamu kini berbahagia dengan keluarga
mu. Kapankapan aku dikenalkan dengan anak dan istrimu ya,”
harap Ola. Dari tadi ia terlihat begitu menikmati menu pilihannya.
“Pasti, Ola... pasti. Kamu pasti akan gemas dengan kedua anak
ku,” jawab Wie yakin.
Ola tersenyum lebar.
Tak terbayangkan, pasti ia akan senang bermain seharian de
ngan anakanak Wie yang tadi sempat diperlihatkan dari ponsel
BBnya.
“Lalu, kamu mau cerita apa padaku?”
“Sebenarnya banyak, La.... Tapi, ada satu hal yang sedang me
macu rasa lamaku.”
“Maksudmu?”
Wie mengelap mulutnya dengan tisu. “Beberapa hari lalu, saat
aku hubungi kamu, aku baru saja rapat dengan instansi pemerin
tah. Biasa... mau ada proyek bareng. Sebagai konsultan sipil swas
ta, sebenarnya kami menurut saja dengan anggaran yang tersedia,
tapi...”
“Tapi, kenapa?”
“Kamu tahulah, gimana pemerintah,” Wie melahap satu potong
sushi salmon, “Masa dari empat miliar yang dianggarkan, kami cu
http://facebook.com/indonesiapustaka
Wie…
Matahari terik memancar
bukan berarti hanguskan
Hujan deras mengguyur
http://facebook.com/indonesiapustaka
31
teh khas Jepang
KEJADIAN sesiang tadi mendaraskan sebuah rasa luar biasa di
http://facebook.com/indonesiapustaka
dada Tra.
Belum pernah ia bisa sedagdigdug ini, merasa begitu istimewa.
Setelah sekian lama, ia yang dahulu mencoba memberi banyak, ki
ni justru diberi perlakuan yang tak terpikirkan sebelumnya. Mimpi
pun tidak.
Sebagai perempuan kampung yang hampir tidak pernah mera
sakan bagaimana rasanya jatuh cinta yang sesungguhnya, apa yang
sepanjang waktu
Dalam letupan hati di luar dugaan begini, Tra serasa ingin pagi
segera menjemput malam. Tak sabar ia ingin menuai senyum Raka
yang pasti akan terjelang jelas sebelum matahari gagah berdiri di
hadapan Bumi. Dan, sapa ramahnya akan menjadi luapan rasa
tersendiri baginya apalagi ketika mereka bisa sarapan bersama,
SEBENTAR Ola memainkan mulutnya. Seperti membiarkan otak
nya berpikir dan mungkin nanti mulutnya yang akan menyampai
kan.
“Kamu masih belum bisa melupakan pekaryaku yang menurutmu
cerdas itu?” tanya Ola tak percaya.
Kepala Wie mengangguk mantap.
“Dia bukan saja cerdas, Ola.... Dia juga romantis....”
Ola menggelenggelengkan kepala. Putaran masa rupanya tak
mampu melepaskan bayangan seorang perempuan sederhana yang
sempat demikian terasa dekat, meski awalnya hanya lewat surat
surat elektronik nyasar yang tak perlu digubris. Begitu diketahui
siapa pengirimnya, penasaran bahkan rasa tak senang itu justru
berubah bibitbibit cinta.
Wie seperti ditarik dalam kubangan rasa. Ia dikenal sebagai
lakilaki yang tak peduli urusan hati, di otaknya hanya ada urusan
kerja dan kerja. Tiada peduli usia yang bergulir atau permintaan
keluarganya bahkan lirikan banyak perempuan yang mengagumi
http://facebook.com/indonesiapustaka
Romantis.
“Kamu tahu... selain terpancing urusan kerjaan itu, ada satu hal
lagi yang membuatku gundah tak karuan,” ujar Wie menyudahi
pemandangan barusan di sampingnya.
“Apa itu?” Ola ingin tahu.
“Akhirakhir ini aku mendapat kiriman email puisi lagi. Isinya
kurang lebih sama.”
“O ya? Dari Tra Laksmi juga?”
Kepalanya menggeleng. “Kali ini ia tak mencantumkan nama.
Hanya pada alamatnya ia menyebut dirinya berajamu dan menye
butku berajaku.”
“Wew... kenapa hidupmu penuh dengan pengagum rahasia be
gini, Wie?”
“Itulah....” Wie malah jadi serius dengan pertanyaan Ola ba
rusan.
“Awalnya aku geerlah.... Apalagi di saat kerinduan itu kadang
masih sangat memenuhi kalbuku...,” Wie jujur. “Tapi lamalama
antara curiga dan bingung aku. Untuk tujuan apa ia mengulangi
nya? Bukankah ia pun sudah mengetahui siapa aku dan aku me
ngetahui juga siapa Laksmi itu?”
“Kamu sendiri sudah pernah bertemu Tra lagi setelah kejadian
itu?”
“Waaahhh.... Dia seperti hilang ditelan bumi. Entah ke mana.
Aku sempat tanyakan alamat rumahnya padamu kan, kamu bilang
nggak tahu karena pekaryamu itu nggak meninggalkan alamat di
kampungnya,” cerita Wie lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Marry Dina : Hidupku sudah hancur, Romo... Sebagai sesama ciptaan Tuhan,
apakah Romo tidak hendak bersimpati padaku?
Rm. Daus : Jika saya tak simpati padamu saya tidak akan mendengarkan
keluh kesahmu.
Marry Dina : Tapi, hati saya merana apalagi jika melihat anak perempuan
saya, dia merindukan sosok seorang ayah.
Rm. Daus : Pertemukanlah ia dengan papanya.
Marry Dina : Bagaimana mungkin? Sekarang papanya ada di mana juga kami
tidak tahu. Dia hilang lenyap.
Marry Dina : Kenapa sih Romo nggak mau bales BBM ku kalau siang? Pada-
hal siang kan aku juga mau curhat.
Rm. Daus : Kalau siang saatnya saya bertugas. Kadang-kadang melihat isi
HP saja tidak sempat.
Marry Dina : Kalau begitu kenapa tidak membalas sekalian saja yang mesra.
Rm. Daus : Saya membalas apa yang perlu saya balas.
Marry Dina : Akh!! Ada ya manusia kayak kamu. Tega bener mempermainkan
perempuan.
Rm. Daus : Tak terbersit niat sedikit pun saya mempermainkan mahluk cip-
taan-Nya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
wangi berseri
Maka sang malam anjurkan daksaku
untuk usaikan hari ini
dalam balutan mimpi
supaya sungguh esok pagi
Kudapati bunga mewangi itu
Pagi yang dingin sekali
Brrrr....
Tiada sudi rasanya kaki berdiri
Brrr....
Padahal embun sudah turun membasahi bumi
menyentuh daun satusatu
lalu bersama burung berdendang, berlagu
MEMBASUH wajah, tangan, dan kaki dengan air wudu setiap pagi
adalah sebuah hal yang kini sangat dinikmati Tra. Dinginnya uda
ra tidak menghalangi niatnya untuk segera memuji Sang Pemberi
Nikmat.
Halangan kantuk dan rasa lelah sisa sehari lalu yang begitu
menyerang seluruh tubuhnya itu sekuat tenaga ia singkirkan lebih
dahulu. Niat di kalbu tak ingin ketinggalan waktu untuk tepat
menghadapNya, sesuai lima waktu yang dimintaNya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Bulir embun dan kesegaran yang dibawa pagi menjadi saksi lain
dua anak manusia menjalani ibadahnya. Meski kadang mendung
menerjang atau bahkan hujan sudah berbondongbondong sejak
sebelum subuh, bukan penghalang bagi mereka untuk melakukan
semuanya dengan senyuman dan kesadaran.
Bagi Tra, apa yang dijalaninya itu bukan sekadar kewajiban. Ia
sungguh merasakan kedekatan nyata dengan Sang Pencipta. Ke
dekatan yang hanya bisa ia rasakan sendiri tanpa orang lain harus
mengetahuinya.
Selepas salat biasanya Tra dan Bi Mumun akan bergegas ke da
pur untuk menyiapkan sarapan pagi bagi seluruh penghuni biara,
termasuk mereka sendiri.
Saat hendak menyiapkan hidangan, telinganya sering kali
mendengar semua pujian yang dihaturkan oleh para frater dan ro
mo yang tinggal di sana.
Indah terdengar.
Renjana yang ia bawa sejak subuh seperti makin dibuai oleh
lagulagu pujian nan merdu itu.
Diangankan Tra, di tempat takhtaNya berada mungkin Tuhan
juga sedang menikmati semua cara memuji anak manusia terkasih
Nya. Senyumnya yang berkembang lebar itu mungkin yang men
ciptakan pagi indah lalu diiringi siang gagah.
Dan, sekitar pukul setengah tujuh, keindahan hari Tra tersem
purnakan dengan kedatangan Raka. Raka yang tinggal dengan sau
daranya tidak jauh dari biara, selalu setia menaiki sepeda ontelnya.
Ucapan, “Semangat pagi, Bi Mumun.... Semangat pagi, Pak Tu
http://facebook.com/indonesiapustaka
bersama.
Walau diamdiam ada celah hati sedang bermain dengan ke
nangannya.
Celah yang seperti jendela kamar tak bisa terkunci rapat, ada
tempat di mana angin berembus masuk. Tak hendak ditolak, tetapi
juga tak bisa terusmenerus tak digubris. Bisabisa tubuh dan kese
hatan kena masalah.
DARI balik jendela apartemen Ola ini, Bandung di pagi hari dapat
terlihat.
Masih sedikit berkabut, namun tak sedingin dulu.
Kata papanya, ketika masih muda, tak jarang dinginnya bisa
berasap jika kita membuka mulut atau bernapas. Baju pun harus
berlapislapis.
Ola kecil yang sudah bisa berjalan sendiri pernah merasai sua
sana itu, bersama papa dan kakaknya.
Meski sering diajak ke luar negeri, entah mengapa ia tetap
mencintai kota ini. Kecintaannya sudah dibuktikan ketika ia ak
hirnya kembali lagi ke kota ini meski sudah jauh pergi.
Kota ini berkesan bukan saja berawal dari sebuah kelahiran.
Bukan juga berderet cerita menambah pengalaman hidup dan
tarikan napas.
Tidak pula sebab menemukan banyak saudara dan sahabat yang
mau saling mengerti dan berbagi.
Namun, karena ada beribu cinta telah mendekap hari dan
asanya seperti tak habis diembuskan. Baik dari angin, dedaunan,
mataharibulan, atau bahkan debu tak bertuan. Semua itu sangat
Ola nikmati.
http://facebook.com/indonesiapustaka
SELAMAT PAGI….
JIKA sinar matahari yang gagah berdiri ini bisa mendeteksi detak
jantung Ola, pasti akan terdengar degupnya yang lebih kencang.
Tidak biasanya.
Bukan karena keringat yang terus membasahi tubuh. Bukan
juga karena tak ada AC di ruangan ini atau karena dia harus me
nunggu sebelum bertemu. Tetapi, karena tempat ini demikian
http://facebook.com/indonesiapustaka
melekat erat.
Jauh di kedalaman sanubari, seperti ada yang langsung menari
begitu mengetahui bahwa Ola kembali ke tempat ini. Senyum tak
habis ia kembangkan di setiap sudut biara yang Ola yakini, jika
bisa bicara, akan berucap salam, “Selamat datang kembali di sini,
Ola....”
Rambut hitam sebahunya yang masih terlihat berwarna keco
Tak dapat kuhindari lagi bahwa cemburu ini mengekang segenap diri
Mungkin awalnya hanya diamdiam menghampiri
tapi begitu aku tersadar hari ini... aaahh....
Betulkan angin yangkini berembus di dekatku
mampu redakan penat
sesak teramat sangat
ketika sungguh tersadar diri
cemburu ini meratakan keceriaan
atas hari cerah ini?
Kejadian yang begitu cepat tampak tak akan bisa dilupa. Ola
percaya, ciuman kasih sayang nan tulus itu pasti sebuah momen
yang tak bisa begitu saja menghilang dari ingatan. Baik bagi diri
nya maupun dari orang yang diciumnya.
Tanpa sadar, tangan Ola mengelus pipinya sendiri. Senyum
panjang pun berkembang di bibirnya.
Indah terkenang kini.
Pemandangan di hadapan belum berubah. Perempuan itu ma
sih berusaha dengan kemanjaannya meski tangannya sudah bersa
laman seperti hendak sampaikan permisi pulang.
Hhh.... Mendadak Ola meresah di antara rasa langutnya. Ada
yang protes di balik peristiwa di depan mata.
Bukan sekadar cemburu. Rasa hatinya tidak terima, masih ada
orang yang berusaha mengganggu pilihan hidup segelintir orang
yang telah memantapkan hidupnya bagi sebuah pengabdian. Bu
kankah memilih hidup dengan pilihan ini, bukan saja misteri,
tetapi juga tidak mudah, butuh pengorbanan besar? Lalu, mengapa
masih ada orang yang seolah masih penasaran mengusiknya?
Ya. Ya. Ia pun pernah melakukannya di masa muda sekitar se
puluh tahun lalu. Namun, sesaat asanya bisa terlepas dan ikhlas,
ia pun mengerti dan memahami bahwa mereka harus saling meng
hormati. Hormat kepada sebuah pilihan hidup yang sejatinya me
mang telah diatur oleh Sang Pemberi Hidup itu sendiri.
Tidakkah hidup lebih damai jika kita bisa saling menghargai,
hormatmenghormati?
“Selamat siang, Ola.... Selamat datang kembali di biara ini.”
Suara itu...
http://facebook.com/indonesiapustaka
RAKA bertekun menggemburkan tanah sekitar tanaman selada
nya.
Sebenarnya dengan yang sudah ada seperti sekarang, sudah
cukup. Tapi, Raka ingin agar deretan tanaman sayurnya, baik vita
min plus keindahannya, tetap terjaga.
Entah mengapa, ia senang sekali jika melihat dari jauh deret
an tanaman sayurmayurnya begitu rapi. Tidak perlu orang lain
memuji. Cukuplah ia puas dengan hasil kerjanya, apalagi kalau
sayur yang ia tanami menghasilkan yang terbaik dan bisa dinik
mati bersama.
Maka setiap hari, Raka tak pernah ragu untuk menyapa semua
http://facebook.com/indonesiapustaka
Setiap kali kutemukan bahwa aku masih selalu mencintaimu, saat itulah baru kutahu
bahwa tak mungkin bersandar pada tiang yang kusendiri tak yakin pernah ada.
Namun, pesona dirimu adalah iringan lagu yang akan terus mengembangkan se-
nyumku, pesona dirimu adalah bunga hati yang tak akan layu apalagi mati,
http://facebook.com/indonesiapustaka
dan, pesona dirimu akan selalu menjadi susunan doa yang tiada pernah lupa terucap
tiap pagi, siang, petang dan malam….
….aku yang selalu mencintaimu:
Carolina Wibowo
Bukan cuma untuk rasa. Lebih dari itu, agar tetap dapat terjalin
ikatan antarmanusia yang tak lekang apa pun karena apa yang ada
di depan mata.
“Saat itu aku sedang bersukacita, La.... Tak hendak mengusik
kegembiraan dan kebahagiaan untuk sesuatu yang mungkin bisa
mengalihkannya dariku. Maafkan bila aku tak hendak menganggap
lebih kartu itu....”
Hmm....
Kecanggihan teknologi rupanya merambah juga di sekitar sini.
Ada aliran lain menderas dalam darah Ola.
Entah mengapa, ia merasa tak suka Firdausnya menjadi seperti
itu sekarang. Karismanya seolah sedikit tercoreng, ditutupi ke
canggihan alat yang ia pakai itu.
Bukannya tidak boleh. Ola hanya merasa, apakah seperlu itu
Daus memiliki barang tersebut? Sementara Ola sendiri, meski
menggunakan smartphone yang sama, tapi sengaja tidak ia umbar.
Ola masih ingin membedakan kepentingan dan fungsi.
Tidakkah Daus merasa terganggu jika tiap saat HPnya berbunyi?
Bunyi BBM, SMS, YM, dering telepon, dan lain sebagainya.
Uuuhhh.... Apakah tidak ribet ia mengatasi semua itu.
“Kamu kenapa, La? Heran melihat aku sekarang?” tebak Daus,
senyumsenyum.
“Yah...,” Ola mengambil napas sejenak. Satu kebiasaan Daus,
menebak pikiran orang, belum berubah ternyata, “kamu nggak
merasa terganggu dengan semua kegiatan dan alat canggihmu itu?”
Daus menautkan mata dan sedikit memonyongkan mulutnya.
“Dibilang terganggu, ya terganggu. Dibilang enggak, ya enggak
juga.... Alat ini aku anggap salah satu cara untuk dekat dengan
umat.”
“Umat yang mana? Yang punya alat sama denganmu bukan?”
Kali ini Daus yang menatap Ola dengan pandangan penuh ta
nya.
“Mengapa kamu bertanya seperti itu, La?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
Meski tak suka dipandangi seperti itu, tapi Ola seperti menerima
“tantangan” tatapan jernih kedua bola mata romo muda itu.
“Kamu ingat, waktu kita misdinar dulu ada seorang romo tua
yang jadi idola kita. Romo Paul namanya,” Ola memulai cerita.
Kening Daus sebentar bekernyit. Mencoba mengingat. Lalu, ia
menganggukangguk.
“Setiap beliau keluar dari kamar, pasti ada saja anakanak yang
melakukan apa, ikhlas dan rela tanpa kalimat sesal apalagi emosi
menyerang.
Sekali lagi, nun di sana, mata Ola menatap bagian belakang
halaman yang berubah fungsi menjadi semacam lahan pertanian
kecil. Beberapa penghuni biara tampak sedang bercocok tanam
bersama seseorang yang mungkin menjadi penanggung jawab di
sana.
Asyik sekali masih ada tempat untuk sekadar mempunyai lahan
yang berguna. Ola tahu nikmatnya bisa memetik sayurmayur dari
kebun sendiri.
“Sejak kapan halaman belakang jadi lahan menanam sayur,
Da?” tanya Ola sembari menunjuk dengan kepalanya.
Daus mengikuti arah yang dimaksud Ola. Dengan bangga, se
nyumnya berkembang sembari berkata, “Ya, lahan yang nyaris tak
terurus itu, sejak ada Raka, jadi sangat berguna. Ia rajin mena
naminya dengan tanaman berguna.”
“Raka?”
Kepala Daus anggukangguk. “Pekaryaku yang menggantikan
Pak Jaja karena pensiun beberapa tahun lalu.”
“Ooohhh…,” Ola mengerti. “Beruntung sekali kamu menda
patkan pekarya seperti dia. Pasti ia pekarya yang cerdas dan rajin
seperti pekaryaku di kantor dulu.”
Sekilas ada yang teringat di kepala Daus.
Segera ada ide muncul di sana.
“Kamu makan siang di sini ya. Aku mau menunjukkan sesuatu
padamu,” ujar Daus cepat sembari bangkit dari duduknya.
“Hah?! Mau ada apa?” Ola kaget dan tak sempat menolak.
http://facebook.com/indonesiapustaka
33
kekasih/pacar
dulu?”
Ola sebentar mengingat, “Ohhh... yang membuatmu jadi gemar
membaca itu?”
Kepala Tra mengangguk. “Iya, Bu.... Bi Mumun ini istrinya. Ja
di, masih saudara dekat dengan saya.”
“Oooo, gitu.... Lalu, Ua Jun masih di desa? Kamu masih bantu
urus perpustakaannya?”
ka pelan.
Daus terdiam sejenak. Di kepalanya berpikir lebih dahulu.
Meski bukan haknya juga memberi izin, setidaknya ia tidak ingin
pekaryanya ini kecewa. Ada kesempatan di depan mata.
“Akan saya bicarakan dengan Romo Kepala ya.... Rasanya sih
bolehboleh saja apalagi berhubungan dengan keterampilan yang
kamu butuhkan dalam pekerjaanmu.”
DAUS mengambil HPnya kemudian mengetik SMS kepada Ola.
Romo Firdaus : Ola, aku ingin mengulang hari lalu kembali bersamamu.
Carolina Wibowo : Tentu saja boleh, Romo. Tapi tidak dekat-dekat ini ya, aku harus
sering keluar kota. Urusan kerja.
Romo Firdaus : Aku boleh ikut? J Aku bisa usahakan ikut perjalananmu jika
diizinkan.
Carolina Wibowo : Hehe lain waktu ya.... Lagipula tugas pelayananmu lebih didahu-
lukan daripada untuk menemaniku pergi.
Romo Firdaus : Sekali-sekali tak mengapalah, La... Aku sedang bosan dan lelah
dengan rutinitas.
Carolina Wibowo : Ya, istirahatlah. Refreshing sejenak ke sebuah tempat yang me-
nyegarkan hati dan pikiranmu.
Romo Firdaus : Akan lebih berarti jika bisa bersamamu, Ola....
Carolina Wibowo : Kapan-kapan ya, Romo Daus.... Tapi, aku jamin tidak perlu
membuatmu harus merelakan waktu pelayananmu.
Romo Firdaus : Okelah.... Kalau begitu jangan lupa sertakan aku di setiap doa-
mu.
Carolina Wibowo : Oke. Selamat melayani dalam nama kasih dan Tuhan ya, Romo
Daus...
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ibu nan bersahaja ini memang tak pernah lepas dari doa.
Maka jika terlihat hidupnya seperti tak terlihat sedih atau du
ka, bukan cuma karena ikhlas serta sikap nrimonya yang tak ter
batas, namun juga sebab syukur dan doa tak putus di tiap tarikan
napasnya. Daus belajar banyak untuk hal ini.
(± 12.00 WIB)
(± 13.30 WIB)
(± 13.45)
35
Ganti, tukar
“Nyesel sih pasti ada, Sah.... Tapi, aku akan lebih menyesal ka
lau tidak bisa menjaga Papa semasa hidupnya. Sekaligus menuruti
permintaan Mama sebelum meninggal supaya mau menjaga Pa
pa....”
“Gitu ya....”
Sebentar ada keheningan tercipta.
Samar terdengar bunyi serangga malam di antara pelan alunan
lagu yang sengaja disetel Ola di MP3 playernya. Malam sunyi se
dikit terganti dengan keindahan yang menyertai.
“Aku mendukung apa pun yang akan kamu lakukan, La.... Se
bagai teman, aku percaya kamu akan melakukan yang terbaik buat
semua orang. Termasuk, orangtuamu,” ujar Aisah lagi.
“Terima kasih, Sah,” jawab Ola senang. “Aku tahu, keputusanku
ini pasti akan berisiko banyak hal di depan. Tapi, bukankah tujuan
hidup salah satunya adalah untuk memenuhi segala risiko dari ke
putusan?”
“Wah, tampak bijak kamu sekarang.” Aisah tersenyum panjang.
“Haha.... Alam yang mengajarkanku, Sah....”
Mereka berdua melanjutkan malam dengan obrolan yang lebih
seru.
Dua sahabat itu memang kian sering bertukar cerita tentang
kehidupan mereka. Tidak peduli apakah suka atau duka, bila teli
nga sudah tersedia, dengan leluasa mereka berbagi bersama.
Indahnya sebuah persahabatan....
http://facebook.com/indonesiapustaka
Wie.
Dalam genggaman tangan itu, Wie pun memberikan reaksi ba
lik yang membuat senyum Dalimah merekah. Kemanjaannya pada
sang suami makin merekat. Ia menggelayut di bahu Wie yang sese
kali mengelus kepalanya dengan tangan satunya.
Meski aliran kemesraan itu kian menggelora, sebagai pasangan
dewasa, hal itu tidak menjadikan nafsu menguasai diri mereka. Jus
tru hal ini mereka nikmati betul agar dapat menjadi bagian yang
berharga lebih dalam atas hubungan kasih mereka sekian lama.
Namun, tak salah pula jika Dalimah tak kuasa menahan gejolak
rasa.
Ia kian dekat dengan sang suami dalam kencangnya pelukandi
pinggangnya. Posisi keduanya yang duduk santai menjadikan lebih
mudah melakukannya.
Saat kemesraan ini kian mendera, mendadak ada bunyi dari
ponsel Wie.
Apa boleh buat, Wie memberi kode untuk meminta izin mem
bukanya dahulu. Dalimah mengerti. Ia biarkan suaminya beranjak
meraih smartphonenya yang tergeletak di atas meja.
Ada email masuk.
Wie segera membukanya. Khawatir ada email penting untuk
urusan pekerjaannya.
To : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>
From : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>
Maafkan kehadiranku di malam yang mungkin tak kau kehendaki, duhai beraja.... Tapi,
keresahan hati ini tak mampu benamkan lelahku dalam khusyuknya mimpi yang sudah
menunggu.
Lalu, apakah dikau, duhai berajaku, masih mau memberi sedikit kehangatan dan
kenyamanan bagi sanubariku ini yang letih tiada berkesudahan?
Ah.... Mungkin kamu tak pernah tahu, jauh di lubuk sukma terdalamku, namamu
terukir indah. Tak terhalangi hujan yang menderas, melaju melebihi jatah waktu atau
panas menyengat yang kadang membuat makhluk mengeluh sangat. Namamu tetap
http://facebook.com/indonesiapustaka
meraja bagiku.
Lalu, apakah butiran debu, sisa dari segenap rindu silamku sempat kau rasakan
meski mungkin hanya tertempel sendu di sepatumu?
Berikan sekadar embusan napasmu di langit, duhai berajaku...
Akan kutangkap supaya menjadi penghangat, di antara selimut dan bakal mimpiku
menurut.
-berajamu-
Carolina Wibowo : Mengapa kamu mengirimkan SMS nyaris tengah malam, Da?
Apa tidak baik di saat bumi masih terang saja kau ceritakan se-
mua?
Romo Firdaus : Aku cuma punya waktu luang di malam hari, Ola. Itu pun sering
terselip pelayanan jika diperlukan.
Carolina Wibowo : Tapi, kalau terus-menerus tidur malam hanya untuk meng-SMS-
ku, badanmu bisa keok. Sakit nanti.
Romo Firdaus : Jangan kuatir. Sebentar saja kuluangkan waktu. Demi seseorang
yang telah mengembalikan semangatku...
Carolina Wibowo : Halllaahhh... . Malam-malam kok ada Romo ngegombal. Nggak
baik ah...
Marry Dina : Aku merindu. Rinduku akan meluruh jika tak kau tanggapi. Ti-
dakkah itu menyakitkan, Firdaus?
Tak lama, ia pastikan tak hendak membalas BBM itu meski bu
nyi BBM berikutnya masuk tiada henti.
Daus ingin menghayati malam bersama sepi dan keagungannya.
PEKERJAAN utama telah selesai.
Hari ini semua penghuni biara sedang berkunjung ke sebuah
tempat di luar kota. Yang tertinggal hanya para pekarya. Sore hari,
biasanya baru kembali ramai.
Daripada bengong tak ada kerjaan, Tra Laksmi berpikir untuk
kembali ke ruangan yang penuh dengan benda kesukaannya.
Perpustakaan.
Di sana, ia percaya dirinya akan mendapatkan sesuatu yang le
bih berarti.
Setelah sekian banyak buku dan majalah telah ia lahap, Tra
ingin sekali sekadar tahu jenis buku lain. Di perpustakaan itu ada
beberapa genre buku yang selama ini tak pernah ia baca. Terpikir
pun tidak.
Sekiranya menarik, Tra ingin mencoba meneruskan membaca
bukubuku lain tersebut. Tadi ia juga sudah meminta izin untuk
kembali masuk ke ruangan itu.
Kakinya pelan menyentuh lantai ruangan yang berkesan bersih
rapi itu....
Tra pun menyusuri rak demi rak, mencari buku yang memikat
mata dan hati.
Kesunyian ruang menambah kegairahan tersendiri.
Ada semangat yang menyembul pasti. Tidak peduli, apakah
matahari sedang memancar terang atau meredup mendung. Yang
tertera di benak Tra, hanya ingin memuaskan hasrat menambah
pengetahuan hidup lewat bukubuku yang tersusun rapi di sana.
Biar hati berkeinginan hendak mencari jenis bacaan baru, ke
sukaan yang telah lama terpatri ternyata tidak bisa dibohongi. Ka
kinya lama berdiri di hadapan deretan buku sastra. Padahal tadi ia
sudah berniat mencari genre lain.
Hingga matanya mulai melirik sebuah judul, Dunia Sophie.
Tanpa menunggu persetujuan otak, tangan Tra langsung me
narik buku yang lumayan tebal itu. Pasang matanya menelusuri
kalimat demi kalimat. Sekilas dulu, nanti baru dibaca lebih teliti.
Tampak menarik.
Kepala Tra anggukangguk.
Di benaknya seperti berujar pelan, mari membaca, teruskan,
buku ini akan membawa hati dan pikiranmu senang.
Tiada meragu Tra kembali menyusuri kalimat demi kalimat.
Kesepian terdalamku tak akan pernah ditembus oleh berisiknya
dedaunan ditiup angin,
Kesepian terdalamku tak akan pernah dirasakan sunyi malam
bertakhta langit, tiada bintang,
http://facebook.com/indonesiapustaka
Romo Firdaus : Hari ini aku sedang mengunjungi sebuah paroki di luar kota.
Mungkin sore sudah kembali. Apakah ada waktu di saat malam
untuk sekadar kita bertukar cerita tentang kejadian sepanjang
hari ini?
Carolina Wibowo : Jika tubuh dan kakimu tidak berteriak kelelahan, dengan senang
http://facebook.com/indonesiapustaka
hati kuterima ajakan itu. Mungkin baik jika tidak terlalu malam
agar sisa waktu sebelum esok masih bisa kau gunakan untuk
beristirahat.
36
Ah, si Neng baca apa sih? Akang nggak ngerti buku seperti ini….
“Baca tentang apa, Kang?” tanya Tra ingin tahu juga. Sebentar
ia singkirkan buku yang mulai menyita perhatiannya.
“Ini tentang menggemburkan tanah dan mengolahnya bersama
pupuk alam yang sudah Akang buat.” Raka menjelaskan sembari
tetap membolakbalik apa yang tengah ia ceritakan.
“Selama ini pupuk tanaman Akang itu emang buat sendiri?”
Kepala Raka anggukangguk. “Selain dari biopori yang kamu
tahu itu, kebetulan kan di sekitar kita ada banyak bahan yang bisa
dimanfaatkan untuk dijadikan pupuk alami. Nih, baca aja. Bahan
bahannya mudah kok.” Raka menyodorkan majalah yang tengah
dibacanya.
Tra mulai membaca pelanpelan.
Air secukupnya
Ember/gentong/drum yang dapat ditutup rapat
Cara Pembuatan:
Kotoran hewan dan daundaun hijau dimasukkan ke
dalam ember.
Indah.
Kecuekannya bahkan ketika duduk bersebelahan begini men
jadi bagian penasaran hati yang tertantang untuk coba kian men
dekati.
Tra mendadak menjadi nyaman. Kenyamanan yang telah lama
tidak ia rasakan. Laksana dudukduduk di bangku Taman Balai
Kota tempo lalu. Menekuni heningnya alam di antara deru kenda
raan di sekeliling yang ribut sendiri.
Tidak peduli. Kenyamanan ini benarbenar milik Tra.
Hei.... Mendadak otak Tra langsung beralih ke sebuah tempat
yang penuh dengan pepohonan rindang dan bunyi serangga alam.
Sudah lama sekali ia tidak ke sana. Apakah kondisinya masih sa
ma atau malah sudah berubah?
Dan, di bangku tempat ia menyimpan sebentuk asa, apakah
juga masih bertahan? Mungkinkah asanya masih tertinggal, tak
lenyap dimakan putaran detik dan sengatan terik?
DAUS gundah. Bayangan Ola memenuhi pikirannya. Ia tak kuasa
menahan diri untuk membuka percakapan lewat SMS kepada pe
rempuan yang membekaskan kenangan indah itu.
Romo Firdaus : Sebentar saja, putri.... Biarkan beban ini terbagi bersamamu
Carolina Wibowo : Sabarlah, Romo... Jika semua keinginan dagingmu dituruti, se-
mentara ada napas lain yang juga membutuhkan waktu, apakah
kamu tega memaksanya juga?
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ola tak peduli bahwa rumah nan penuh cerita itu akan berpin
dah tangan kepada orang lain yang mungkin belum ia kenal.
Ia hanya percaya bahwa siapa pun yang nanti akan menjadi tuan
baru atas rumahnya tersebut adalah orang yang akan mengurusnya
dengan baik. Bukan sekadar menempatinya.
Saat tangannya mengambil beberapa barang dari balik lemari
baju di kamar, Ola menemukan satu kotak cokelat bercorak batik
yang menampung beberapa barang.
Senyum berkembang di bibirnya.
Ia membawa kotak itu ke atas tempat tidur.
Satusatu diambilnya barang yang ada di dalamnya.
Ada lembaranlembaran kertas dengan segala macam tulis
annya, gantungan kunci beragam bentuk, beberapa botol parfum
yang lucu, pensil atau pulpen suvenir dari beberapa hotel bintang
empat dan lima yang pernah diinapi dan... tiga lembar foto favorit
Ola.
Tangan lentiknya meraih foto tersebut.
Matanya serius menatapi wajahwajah yang tertera di sana.
Satu foto adalah foto ia dan keluarga ketika mamanya pertama
kembali pulang ke rumah setelah sempat dirawat di Singapura. Se
nyum orangorang yang ada dalam foto itu memancarkan harapan
dan kebahagiaan.
Foto kedua adalah fotonya bersama Darling, anjing golden
retriever jantan cokelat miliknya saat masih di Kanada dulu.
Anjing setia ini terpaksa ia serahkan kepada seorang kawan, se
saat kepulangannya ke Indonesia pertama dulu. Padahal bersama
http://facebook.com/indonesiapustaka
Di Kamar Daus
DAUS mengernyitkan kening membaca barisan kalimat dari
YMnya malam ini.
Formosa : kalau gitu carilah paroki terdekat, minta izinlah kepada romo di
sana untuk mendapat sakramen pengakuan dosa.
Anggrekbunga : justru itu kakak....
Anggrekbunga : aku sudah tidak percaya lagi pada institusi gereja dalam hal ini
kaum berjubah seperti kakak (kecuali kakak lho ya... J)
Formosa : maksudmu?
Anggrekbunga : aku sudah pernah ke banyak gereja di berbagai negara.
Anggrekbunga : aku juga sudah bertemu banyak romo dari beragam suku
Anggrekbunga : tapi, aku malah menarik kesimpulan, tidak ada dari mereka yang
bisa taat lagi, baik kepada pimpinannya terlebih kepada yang
memilih mereka untuk mengikutiNya...
Anggrekbunga : pasti kakak tahu, kenapa gereja di eropa sana semakin jarang
dikunjungi orang, terutama orang muda.
Formosa : kenapa emang?
Anggrekbunga : karena banyak orang nggak percaya pada agama, apalagi gere-
ja.
Anggrekbunga : parahnya lagi, para romo di sana juga nggak bergerak melakukan
suatu apa kek biar gerejanya ramai lagi.
Formosa : itu mungkin karena panen banyak, pekerja sedikit.
Anggrekbunga : bisa salah satunya, kak....
Anggrekbunga : tapi, tahu nggak, kak... aku pernah tukar pendapat dengan
seorang pemuda di sana kenapa dia tidak lagi mau ke gereja,
kakak tahu apa jawabnya?
Formosa : apa?
Anggrekbunga : dia bilang sebab orang yang mereka panuti selama ini tidak
ubahnya sebagaimana mereka sendiri, penuh dosa.
Anggrekbunga : ya bukan rahasia lagi deh, kak... oknum romo pedoil, punya
http://facebook.com/indonesiapustaka
Formosa : kamu sendiri melihat saya ini atau para imam bagaimana?
Anggrekbunga : ya-ya-ya..., ya melihat seperti yang aku lihat saja, kak.
Anggrekbunga : apalagi kakak... aku kan kenal kakak dari zaman aku masih
imut-imut banget...
Formosa : hehe....
Formosa : bahwa ada berita yang miring tentang kami, itu adalah hal yang
tidak bisa dipungkiri, saya pribadi membenarkan bahwa hal itu
memang ada, mungkin itu adalah sisi manusiawi kami sebagai-
mana manusia lainnya.
Formosa : tapi, seperti kamu percaya, panggilan kami adalah misteri Ilahi.
Susah dijelaskan dengan kalimat manusia. Namun demikian ka-
mi tetap membutuhkan doa dari para umat sekalian agar kami
dapat bersetia pada panggilan kami.
Formosa : jadi, menurut saya, akan kurang baik kalau hal-hal itu meng-
ganggu pikiranmu selama ini, coba bedakan kapan ia adalah
seorang imam, kapan ia seorang manusia biasa seperti kita.
Anggrekbunga : kalau ternyata ia berlindung di balik jubahnya dari semua kebu-
rukan yang dia perbuat, gimana kak?
http://facebook.com/indonesiapustaka
Formosa
Anggrekbunga : eh kak satu lagi... kenapa sih cowok ganteng mau jadi romo,
kayak kakak ini?
Anggrekbunga : menurut kakak gimana?
Formosa : J emang nggak boleh cowok ganteng jadi romo?
Anggrekbunga : ya bukan gitu, kak...
38
condong, tidak seimbang
Anggrekbunga : tapi, maksudku, kan biasanya cowok ganteng itu banyak penga-
gumnya tuh... apa mereka nggak takut?
Formosa : menurut saya sih..., selain karena panggilan itu misteri Ilahi tadi,
kan Tuhan sudah memberi yang terbaik bagi anak-anaknya nih...
Formosa : nah, masa sih anak-anaknya nggak mau juga memberikan yang
terbaik buat Dia?
Anggrekbunga : bener juga sih...
Formosa : kalau semua dinalarkan oleh kepala manusia, nggak akan sam-
pai dek... KuasaNya terlalu luar biasa...
Anggrekbunga : hmm... nampak mulai serius pembicaraan kita kali ini, kak...
Formosa : lha yang mulai sapa coba? J
Anggrekbunga : haha....
“Aku baikbaik saja kok, Ma.... Yah, kalau masalah sih seperti
biasa saja.” Wie mengulat sebentar. Enak sekali bisa meregangkan
ototototnya yang sempat kaku sedari siang. “Ada apa memangnya?”
Dalimah terdiam sejenak.
“Tidak apaapa, Pa.... Aku hanya merasa, akhirakhir ini Papa
beda. Seperti orang resah. Memikirkan sesuatu yang aku sendiri
tidak tahu. Aku nggak berani memaksa Papa cerita, tapi kok ka
yaknya meresahkan Papa sekali....”
Sontak Wie memandang istri terkasihnya itu.
Dalam bening bola mata perempuan berjilbab yang telah mem
berikannya dua anak, Wie melihat sekian penasaran dan perta
nyaan. Jika pada harihari lalu ia berani bertanya, kali ini tampak
nya ia tak hendak dianggap lancang.
Bisa jadi, hal itu karena Wie sendiri memang seolah menarik
diri.
Ia tak ingin orang lain membaca apa yang dirasakannya kini.
Biarlah apa yang ia rasakan saat ini menjadi kegundahan tersendiri.
Wie lupa bahwa kini ia telah memiliki pasangan jiwa yang tak
akan bisa ditipu atau dimanipulasi.
“Kenapa kamu berpikir seperti itu, Ma?”
“Entah, Pa... mungkin ini selintas pikiranku saja. Tapi, ternyata
menggangguku dan membuatku tak tenang. Bahkan, ketika kita
melaksanakan kewajiban kita berdua....” Dalimah menunduk.
Wie terkejut.
“Sampai sedemikiannyakah?”
Kepala Dalimah anggukangguk.
http://facebook.com/indonesiapustaka
khayalan.
Memang demikianlah yang terjadi.
Ingin ia utarakan renjana yang ada di antara belukar jiwanya.
Ingin ia nyatakan bahwa ada kenakalan yang sekonyongkonyong
muncul dari pikiran. Ingin ia jujur bahwa sebilah rasa lama ter
tinggal kini sedang menendangnendang nyaris sepanjang harinya.
Dan, ingin ia ungkapkan maaf tulus atas semua itu.
Tapi....
Apakah Dalimah akan menerima pengakuannya?
Apakah hatinya tak semakin terluka?
Apakah Dalimah akan memaafkannya?
Lalu, apakah Wie sendiri pun akan melewati semua dengan
ikhlas dan bahagia tanpa menyisakan sedikit pun rasa?
Tapi, inilah aku dengan segala rasa yang mengerubungi jiwa raga
mencoba bertahan pada logika dan benak
yang bergantian bicara
Adakah hari ini bisa kuredamkan ”peperangan” ini?
FIRDAUS mengirimkan pesan via YM, kebetulan ia melihat Ola
sedang online.
Formosa : andaikata dunia ini bisa saling menghormati, tidak rakus, mung-
kin kelelahanku ini tidak perlu.
CarolinaOla : jangan berharap banyak pada kondisi yang belum pasti lah, Da.
Mulai saja dari dirimu sendiri dulu.
Formosa : tapi kalau orang selalu melihat kepada diri pribadi, sementara
orang lain tidak melakukannya, di mana letak keseimbangan
hidup akan terjadi?
CarolinaOla : keseimbangan hidup itu kan bukan hanya soal hormat-menghor-
mati, hitam putih atau 50:50.
CarolinaOla : menurutku, keseimbangan hidup itu adalah cara kita memandang
orang lain dan membiarkan diri kita menjadi lebih baik karena
kedua belah pihak.
Formosa : ckckckckck mengapa kamu menjadi lebih bijak sekarang, La?
CarolinaOla : ya karena belajar pada keseimbangan hidup itu, Da.. belajar ke-
pada sesama, kepada alam, kepada pengalaman, kepadamu...
Formosa : aku?
Formosa : why me?
CarolinaOla : karena kamu adalah bagian dari orang lain yang menjadikan
hidupku menjadi lebih baik kini
Formosa : wow...
Formosa : andaikata kamu ada di sini, aku ingin sekali langsung membe-
rimu hadiah J
CarolinaOla : berikan aku hadiah kesetiaanmu saja, Da.. itu hadiah terindah
http://facebook.com/indonesiapustaka
bagiku.
Formosa : well... aku ingin katakan bahwa itu bisa terjadi, tapi dengan
semua kelelahan ini, aku tak terlalu yakin.
CarolinaOla : mengapa?
Formosa : sepuluh tahun aku menjalani hidup sebagai imam ternyata me-
lelahkan jiwa dan raga. Bukan karena aku sering berkeliling ke
banyak tempat, tapi lebih dari itu.... Aku menemukan banyak hal
yang bertolak belakang dengan apa yang selama ini ada di ke-
pala.
CarolinaOla : hmmm bukannya hidup manusia memang demikian adanya?
Mau hidup di dalam biara atau di luar sana seperti aku tan-
tangannya sama saja kupikir....
Formosa : tapi, setidaknya kalian tidak perlu menjaga martabat dan nama
baik jubah yang kalian kenakan, bisa bebas sekiranya sudah
tidak tahan menghadapi segala rintangan.
CarolinaOla : hei... martabat itu bukan jubahmu, tapi dirimu sendiri seutuhnya,
kalau kamu berpikir seperti itu sama saja kamu palsu pada
panggilanmu.
Formosa : ah Ola... kamu membuat hatiku kian bergemuruh dengan segala
kedewasaanmu kini.
CarolinaOla :J
CarolinaOla : baiklah, kalau begitu mari kita bicarakan yang lain, bukan niatku
untuk membuatmu bergejolak.
Obrolan via Yahoo Messenger yang semula serius itu Ola putar
balik dengan obrolan ringan penuh hiburan. Menjadikan sepan
jang waktu mereka bisa bersama di dunia maya itu kian tak terasa.
HUJAN menyusuri kota kembali.
Padahal semestinya basahnya sudah terhalang terik matahari
pada musimnya. Ini bukan karena air langit berlebih lalu bisa
seenaknya dibuang ke atas bumi, namun terkira keinginan Sang
Pemberi agar kesuburan bumi terjaga.
Tanah sehabis kering karena kemarau menebarkan aroma yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
Jika panas menyengat, sorot cokelat mata itu mencoba sedikit menutup
sekadar halaukan silau
lalu berupaya lagi menatapku
lama
Bahkan begitu senja yang selalu kukagumi berganti datang tiap hari
bergeming ia
tak peduli malam menurun kelam
jejaknya meninggalkan rasa, bukan ingatan semata
Sampai lima puluh meter dari tempat mereka duduk tadi, Raka
meminta Tra berjongkok sebentar, seperti yang ia lakukan.
“Coba deh, Neng, cium bau rumput yang baru Akang potong
ini....” Raka mencontohkan.
Ia tarik napas dalamdalam seolah menghirup udara yang ada di
sekitarnya termasuk bebauan nan menyegarkan. Bebauan itu ber
asal dari potongan rumput yang belum lama ini terpotong.
TEMPAT ini menyuarakan alam yang sebenarnya.
Masih terdengar derai nyanyi burung nyaring di telinga. Sese
kali, bayu yang berembus berseru juga di balik nyanyian burung
burung tadi.
Awan bersih yang berarak di langit membiru dengan semua ke
segaran alamnya benarbenar membuat Ola bertahan lama di kota
kecil ini. Padahal awalnya cuma untuk urusan bisnis organiknya.
Lamalama ada kerinduan untuk bisa kembali ke sini.
Apalagi belakangan, Ola bisa bertemu dengan seorang ibu yang
ternyata merindukan kehadiran anaknya. Berhubung sang anak
sibuk dan milik banyak orang, sang ibu merelakan kerinduannya
terbenam di antara lagu alam yang setiap hari pasti berganti.
“Kapan terakhir Firdaus pulang, Bu?” tanya Ola sembari me
nyeruput teh tubruk bikinan si tuan rumah.
“Sekitar dua tahun lalu kalau ndak salah. Pernah juga mampir
thok. Ndak bisa lamalama,” jawab sang Ibu di kursi rodanya.
“Wah, sudah lama sekali itu....”
“Yah.... Lha piye tho Nak Ola...,” sang Ibu ikut menyeruput teh
hangatnya.
“Romo Firdaus itu kan sempat pindah ke beberapa tempat. Ada
yang jauh, ada yang jauh sekali...,” senyum ibunda Firdaus berkem
bang lebih merekah.
“Jadi, belum pernah yang dekatdekat sini ya, Bu?” Ola ikut
tersenyum mendengar gurauan sang Ibu.
“Hehe... begitulah, Nak.... Romo Firdaus kok yo ndilalah40 dapat
http://facebook.com/indonesiapustaka
kat sekitar.
Terbukti, beberapa kali ibu Daus disapa ramah oleh tetangga
yang melintas. Dari anak kecil hingga orang tua.
Tentu saja dengan bahasa Jawa.
Ola hanya bisa membantu membalas sapa itu dengan senyuman,
daripada salah arti atau bahkan tak bisa mengucap balik dengan
bahasa yang sama santunnya.
“Hampir tujuh tahun ini kan saya nggak tinggal terus di Ban
dung, Bu.... Sempat tinggal di luar negeri. Baru sekitar tiga tahun
terakhir, setelah Mama meninggal, saya memutuskan untuk kem
bali menetap di Bandung. Menemani Papa.”
“Ooohhh..., gitu ya, Nak....” Sang Ibu anggutanggut. “Ibu
menyesal ini, sampe ndak tahu kalau mama Nak Ola meninggal.
Padahal dulu kan samasama aktif di gereja....”
“Nggak apaapa, Bu.... Saya juga nggak sempat mendengar
kabar Bapak sakit dan meninggal. Baru kemarin ketika bertemu
Romo Daus, saya mendengar ceritanya.” Ola duduk di pinggiran
teras, menghadap ke ibu kandung Firdaus.
“Ndak papa, Nak..,” Ibu Daus menepuk paha Ola pelan, “Kita
samasama mengirim doa kepada orang yang kita kasihi itu ya,
Nak....”
Kepala Ola anggukangguk.
Sungguh. Ia menemukan kedamaian dan kasih tulus selayaknya
sang Mama tercinta.
Ma..., aku tak menyesal bisa bertukar cakap dengan ibunda
Firdaus ini. Berbicara dengannya, seperti berbicara denganmu....
Apakah kau juga mendengar dan melihat kami asyik bincang be
gini? Ola membatin sendiri sembari terus meneruskan hari bersa
ma ibu Daus dan suasana yang menyejukkan jiwa raga.
aku memang bukan penguasa langit
aku juga tidak ingin terbang, merentang sayap
http://facebook.com/indonesiapustaka
Akan tetapi... siapa nyana jika justru hal itu akan menjadi tum
pukan rasa.
Wie yang terjebak dengan cinta masa lampau, Ola yang tak da
pat mengeluarkan persediaan kata atas hidup masa kininya, Daus
dalam hitam putih pilihan jiwanya, dan Tra terbentur antara imaji
dan realitas.
Semua bercampur jadi satu. Membentuk gumpalan awan yang
ketika malam tak dapat disembunyikan kelamnya.
Bahkan di saat empat pasang mata itu memandang langit yang
sama, tak mampu terdengar bisikan langit yang diujarkan angin
semilir. Padahal bisikan itu dapat melenakan mimpi agar sedikit
teratasi lelah hati dan beban jiwa yang hendak melemparkan se
muanya sejauh yang mungkin bisa.
Alhasil, tergugulah empat jiwa pada putaran waktu yang tak
mungkin menunggu satusatu agar mereka bisa terbebas, tiada ra
gu...
“JADI kamu baru dari menemui ibu Daus?” komentar Wylie sesaat
matanya saling pandang dan tangannya bertukar salam dengan
Ola di Kafe Ngopi Dulu ini.
“Bukan acara khusus sih. Kebetulan saja bisnisku ada di sana.
Jadi, sekalian mampir deh....”
“Wah, kok kamu jadi merambah ke dunia organik, La? Apa ada
sesuatu yang lebih menarik di sana?”
“Tidak juga,” Ola menyerahkan menu yang tadi sempat ia li
http://facebook.com/indonesiapustaka
-just Laksmi-
kafe ini.
Seperti ada yang menonjok bagian benaknya yang terdalam.
“Puisi itu hanya media, La.... Ada yang lebih dalam dari itu.”
“Apa?”
Wylie terdiam sejenak. Ia coba menerjemahkan serentetan ja
waban yang masih dianggap kusut hingga tak mampu diucapkan
oleh bibirnya. Bisabisa Ola nanti salah paham.
lebih lama. Kasihan istriku. Dia sudah melihat keganjilan atas rasa
hatiku yang masih terbawa hingga kini....”
“Hmmm....”
Ola mencoba menenangkan diri terlebih dahulu. Ingin rasanya
segera ia katakan bahwa dirinya telah menemukan Tra Laksmi
yang sejak tadi mereka ceritakan.
Ingin rasanya ia mengajak Wylie ke sebuah tempat di mana
sahabatnya itu bisa menuntaskan rasa penasarannya selama ini.
Tapi, Ola menahan keinginan itu.
Bagaimanapun, tak baik jika terburuburu atau menjadikannya
buruburu. Ia ingin kelak semua menjadi lebih baik dan indah
adanya....
“Emang kamu bisa menemukan putri hatiku itu, La?” pertanyaan
Wie itu selayaknya orang meragu, tapi penuh harap juga.
“Seperti yang kukatakan padamu tadi.... Tidak ada yang kebe
tulan terjadi. Kalau kamu percaya untuk sebuah kebaikan, semua
bisa terjadi....”
Serentak pandangan Wie ia buang ke langit.
Cerah birunya masih nyata di sana.
Lalu, tak ragu lagi ia sebutkan sebuah nama agar tersangkut di
salah satu iringan awan putih yang menyertai alunan birunya.
Semoga kelak mereka akan mempertemukan kembali berajanya.
DI HADAPAN Daus dan Romo Damian, duduk seorang lakilaki
paruh baya yang sedang bercerita panjang lebar. Awalnya memang
http://facebook.com/indonesiapustaka
hanya Daus yang menemani bapak itu bercerita, tapi sehabis Daus
masuk mengambil minuman, Romo Damian ikut menemani Daus
menemui bapak itu kembali.
“Keluarga saya itu ada tujuh, Romo.... Semuanya masih kecil
kecil. Yang paling besar saja usianya baru lima belas tahun,” cerita
bapak itu lagi.
“Lho, waktu kemarin Bapak ke sini katanya butuh dana untuk
anak Bapak yang mau masuk kuliah, yang mana itu?” terjang Ro
mo Damian dengan gaya khasnya.
“Ehoheh itu keponakan saya, Romo.... Iyaiya....” Bapak itu
berusaha meyakinkan.
“Hmm....” Romo Daus mengernyitkan keningnya. Ia berusaha
mencari kejujuran dari ucapan bapak di hadapannya itu.
“Anak saya yang paling kecil sakitsakitan dari masih bayi.
Mungkin karena dari lahir belum diimunisasi sama ibunya. Kami
nggak punya duit untuk melakukannya....”
“Berapa usianya, Pak?” kali ini Daus yang bertanya.
“Baru enam bulan.”
“Itu kan masih balita, Pak.... Katanya tadi sejak bayi, jadi mes
tinya sudah lebih besar dikit dong, Pak....” Daus mencermati apa
yang dikatakan bapak itu. Memang dari awal ada sedikit keganjal
an, tapi tidak ia gubris.
Bapak paruh baya itu terlihat gelisah resah. Duduknya sudah
mulai tak tenang lagi. Padahal sebelumnya ia terlihat lebih per
caya diri. Apalagi sesaat Daus yang membukakan pintu biara kare
na bunyi bel yang ditekan bapak itu. Si Bapak dengan lancarnya
bercerita bahwa ia mengenal almarhum Romo Kusumo sejak ia
masih bersekolah. Saat Romo Kusumo meninggal, ia pun mengan
tarkannya ke pemakaman.
Kalau dilihat dari usianya, sepertinya aneh kalau bapak ini me
ngenal Romo Kusumo sejak ia sekolah. Romo Kusumo ada di luar
negeri lama, di paroki lain juga lama. Di biara ini baru sepuluh
tahun sebelum akhirnya dipindah ke biara induk dan meninggal di
http://facebook.com/indonesiapustaka
“Harus begitu.... Meski kita selalu ingin berniat baik pada se
mua orang, tapi kita juga harus tahu batasannya. Kalau nggak,
janganjangan malah kita yang dikerjain terus....”
Benar juga ucapan Romo satu ini, pikir Daus. Apalagi boleh
dibilang Daus belum terlalu banyak tahu selukbeluk masyarakat
sekitar sini. Meski ia sudah lebih dari dua tahun bertugas di biara
ini, belum cukuplah ia mengetahui banyak hal.
Pijakan kakinya seolah kini hanya satu berdiri. Bila saatnya tiba,
ia bisa jatuh dan tak dapat berbuat apaapa.
“Romo Daus, anak Ibu yang Ibu dan Bapak sayangi… Baik
kamu memilih menjadi awam atau selibat, punya resiko masing
masing. Urip kuwi mung mampir ngombe42,” nasihat Ibunda tatkala
42
Ungkapan Jawa = Hidup manusia itu ibarat istirahat sejenak untuk meminum air
http://facebook.com/indonesiapustaka
“Nah, kebetulan banget ya, bo.... Ada teman dekatku lagi cari
sewa apartemen. Aku pengennya yang privat gitu. Biar nggak
mengganggu kami....”
Meski tersimpan tanda tanya atas apa yang diucapkan Daru ba
rusan, pertemuan pertama berbarengan dengan banyak cerita itu
terus berlanjut. Tak peduli mentari meninggi atau angin menyapu
Bumi, persahabatan sekian lama ini tetap terjaga, sejati.
ENTAH sudah berapa menit tatap mata Tra tertuju pada lelaki
yang tengah beristirahat di taman depan biara ini. Dari balik kaca
ruang tamu yang sedang ia bersihkan, terlihat jelas gerak polah
lakilaki muda yang akhirakhir ini berhasil menjebak rasanya pa
da pusaran yang tidak dapat ia ujarkan dalam kalimat.
Pagi ketika ia datang, sarapan selalu Tra bawakan. Demikian
juga saat siang. Sesaat sebelum Raka pulang, Tra pun masih sem
pat memberikan sekadar air putih penyegar tenggorokannya atau
sesekali kopi jika memang Raka berkehendak.
Semua Tra lakukan dengan hati.
Dengan hati itulah akhirnya terngiang semua yang dilakukan
hingga menjelang di gerbang mimpi. Setiap hari, selalu berulang.
Tra sungguh menikmatinya.
Kata Bi Mumun, mata Raka kian tak dapat menutupi apa yang
ada di benaknya tiap kali Tra meladeni sesama pekaryanya itu.
Meski Tra tak sempat menangkap yang dikatakan bibinya itu, be
berapa kali ia memergoki Raka sedang memandangnya lama.
Hal inilah yang makin membuaikan berjuta rasa Tra.
TAK ada hal lain yang dilakukan Ola selain mendengar semua
cerita dari Daru. Sejak tadi ia sedang menerangkan kondisinya
sekarang.
Di luar perkiraan Ola ternyata.
Tapi, Ola mau berusaha tetap menghormatinya.
“Aku nyaman dengan kehidupan sekarang, La.... Yah meski di
umpat keluarga, mau apa lagi?” cerita Daru lagi, kemayu.
“Bukannya waktu itu kamu sempat dekat dengan perempuan ya?
Mantan teman sekampusmu kalau nggak salah,” Ola mengingat
ingat.
“Yaya... Seroja maksudmu?”
Ola mengangguk.
“Justru dari dia, aku semakin memahami kondisiku, La....
Aku… aku nggak bisa merasakan yang gimana gitu kalau dengan
kaum kalian....”
Kali ini Ola sedikit tersenyum.
“Padahal dahulu, bapakku sudah mengajarkan banyak hal ma
cho padaku. Manjat pohon, ganti genteng, berenang di kali, sam
pai bajak sawah,” mata Daru menerawang jauh. “Tapi..., yah...
memang pada dasarnya ada bagian diriku yang feminin, halhal
macho itu tidak berefek banyak padaku.”
“Dan, kamu sekarang memilih untuk menjadi feminin ketim
bang macho?”
Daru anggukangguk. “Aku menyebutnya senja karena tidak di
siang, tidak di malam....”
“Ah, adaada saja kamu....” Ola tersenyum sambil melangkah
http://facebook.com/indonesiapustaka
“O ya?” Ola tak percaya. “Sok atuh kamu masak. Aku ingin
mencoba kehebatan memasakmu.”
“Beres, cantik.... Kamu pasti suka.”
Tak lama, tangannya yang sedikit lentik itu demikian ahli me
nyatukan semua bahan sembari sesekali memberikan komentar
atas apa yang hendak ia buat.
PERASAAN terdalam ini sudah sekian waktu Dalimah pendam.
Tak hendak ia keluarkan. Tapi, jika alam saja bisa berubah, dari
kemarau ke musim hujan, apakah rasa ini juga boleh berubah?
Dalimah menatap langit semburat jingga. Di sana seolah sedang
mencoba menggambarkan rasa hatinya. Ada beberapa yang sempat
tereja mata dan hatinya. Tapi, banyak lagi yang tidak bisa sama
sekali.
Napas panjang diempaskan Dalimah.
Napas ini adalah napas kelelahannya menahan gejolak.Sekilas
ada banyak wajah anakanak kandung terkasihnya. Ia tersenyum
sejenak. Karena kedua wajah tanpa dosa inilah, Dalimah memiliki
kehendak kuat untuk bertahan. Merekalah mutiara hidup yang tak
ingin dilepaskan begitu saja, apa pun masalah hidup yang mengi
tarinya.
Namun, kali ini sesak rasanya dada Dalimah. Tak mampu ia
keluarkan kesesakan ini begitu saja. Lalu... Apa yang harus ia la
kukan?
Telinganya mendengar sebentar pintu dibuka. Ia tahu, suaminya
http://facebook.com/indonesiapustaka
baru datang. Tadi Wie sempat meminta izin padanya untuk kembali
ke kantor karena dipanggil si bos. Dalimah mengizinkan sembari
mengingatkan untuk tidak berlamalama di kantor.
Wie menepati janji.
Jarum jam belum menunjukkan pukul 22.00, ia sudah pulang.
Tapi...
Sudah beberapa hari ini, sepulang Wie dari kantor pasti lang
bulan tak terlihat, tapi tampaknya malam ini akan menjadi spesial
adanya.
Langkah Tra terhenti di sebuah bangku kecil dari kayu, buatan
Raka. Sengaja dibuat di situ sebagai tempat perhentian sejenak. Be
berapa orang yang sudah sering duduk di situ memang merasakan
sensasi yang lain dengan membambangkan pandangan ke penjuru
biara nan asri ini. Niscaya ada spirit lain yang akan menyertai
DINNER dengan menu ala Daru baru saja selesai.
Kepuasan terlihat melalui binar mata Ola.
Harus diakui, masakan Daru memang nikmat. Tidak siasia Ola
memintanya meramu makanan untuk dinner kali ini.
“Kamu memang berbakat banget, Ru...,” puji Ola sembari
menghabiskan lasagna terakhirnya.
Yang dipuji sedikit tersipu. Meski begitu ia tampak berusaha me
http://facebook.com/indonesiapustaka
“Maksudmu?”
“Mmmm…,” keraguan mencuat di wajah Daru. “Aku masih
berusaha menyatakan rasa hatiku lewat surat elektronik, La.... Ha
nya itu yang kubisa.”
“Dengan mencantumkan nama?”
“Ya, nama kesayangan yang penuh kenangan baginya.”
“Siapa?”
“Beraja.”
“Well....” Ola menyandarkan punggungya ke sandaran kursi.
Mengapa tebakannya jadi benar ya?
“Kenapa kamu nggak sebut saja siapa namamu?”
“Ahhh.... Aku tak yakin ia bisa melihatku dengan jernih. Pa
dahal aku tak mau membuat hatiku tambah sedih. Jadi... yah, aku
mengambil langkahku itu saja dulu. Soal apakah dia menanggapi
atau tidak, urusan nanti....”
Ola mengambil napas.
“Lagi pula namaku dan beraja itu sama artinya kok. Samasama
berarti bintang beralih atau bintang jatuh. Cuma, namaku dari ba
hasa Jawa, kalau beraja dari bahasa Sanskerta....”
Ada keresahan Daru yang tak terungkapkan pada kalimat pen
jelasannya, menjalar juga dalam dirinya. Ola jadi mengerti kini
apa yang terjadi. Daru pasti tak berniat lain, selain melepaskan
rasanya.
Itu adalah haknya. Tidak ada larangan. Tinggal bagaimana Wie
yang dituju tidak salah mengerti lagi.
“Kamu masih percaya, cinta itu milik semua orang kan? Tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka
TAK pernah terpikirkan Ola akan terseret dalam pusaran situasi
masa lalu, penuh nostalgia.
Banyak orang dari masa lalunya seperti berkumpul kini.
Tidak pernah ia panggil. Tidak pernah ia minta datang. Semua
seolah datang bertubitubi menjadikan detik waktunya seolah te
rus menarik sampai pada masa segalanya terjadi.
Bukan mengumpat kalau kini ia bertanyatanya. Hanya rasatak
percaya mengapa ia yang harus menghadapi. Padahal ia merasa
bukan manusia serba bisa atau serba tahu. Tak layaklah bila semua
masalah di masa lalu itu terbebani di bahu.
Namun, ia tak dapat menghindar. Sebab seperti ujarannya sen
diri, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya pasti ada
yang merencanakan.
Semoga saja ia cukup kuat dan tetap menjaga apa yang harus
ia jaga.
Lebih dari itu, ia mendapat kebijakan untuk menyelesaikan ma
salah sekiranya semua yang berasal dari masa lalunya itu berwujud
sesuatu yang harus diselesaikan.
Ola hanya bisa menyerahkan semua dalam doa dan harapan
baik.
MALAM demi malam kini seperti kegelapan yang tak ingin pergi.
Situasi ini tak mampu Dalimah hindari. Sepi hati telah me
renggut harihari yang semula bergelimang sukacita.
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
dalam dan berarti adalah saat mata bertemu mata, hati bertemu
hati. Itu bakal lebih melegakan.
Bahkan, sempat terpikir untuk menyingkirkan segala alat cang
gih itu karena akhirakhir ini Daus merasa alatalat itu sudah
semakin memperbudaknya. PIN BBnya banyak diketahui orang.
Entah dari mana.
Bunyi tangtingtung kadang demikian mengganggu pergantian
detiknya. Jika ia diamkan, bunyi tersebut semakin kencang. Demi
kian juga SMS. Sekiranya penting, tak mengapa ia “belabelakan”
membalas. Tapi, jika hanya bertanya yang menurutnya basabasi,
lebih sering ia merasa susah untuk membalasnya, di antara menjaga
nama baik dan malas meladeni.
Aaahhh.... Mengapa ia panjang berkeluh kesah. Tidakkah hari
harinya telah sekian lama bisa dijalani dengan baik bersama semua
bentuk ketidaknyamanan di antara kesukacitaan hidupnya?
TRA tak bisa memejamkan matanya barang sejenak.
Di kepalanya ada banyak sekali bintang berlarian, menari tak
henti.
Padahal jarum jam sudah menunjukkan lebih dari pukul 23.00.
Sebentar lagi akan terjadi pergantian hari.
Berulang kali ia mengganti posisi tidur, sekadar mencari ke
nyamanan dan cara supaya tubuhnya bisa istirahat dan menerima
waktu agar leluasa menjemput mimpi.
Percuma. Semakin ia gelisah, semakin matanya tak mau menga
tup sebentar saja. Padahal di sebelahnya, Bi Mumun sudah sangat
http://facebook.com/indonesiapustaka
Paviliun Bi Mumun
Aneh
Malam ini
hanya dengan mengenangmu
menjadikan sekeliling
senyap dinginku, menguap
Padahal kasat ragaku
masih merasakan lelah sangat
Aneh.
tidak terganggu.
Beberapa menit telah lewat dari pergantian hari. Mengapa ma
ta dan tubuh ini tak mampu jua untuk ikut melewati waktu dalam
kantuk hingga embun pagi membangunkan kembali.
Bisa gawat kalau terusmenerus begini.
Bahkan, mengkhayal tingkat tinggi pun tetap tak mampu
mengantar niat Tra agar cepat tenggelam di dunia mimpi.
Masa itu sudah berlalu. Sama pula dengan masa di mana gun
dah gulana terhadap gejolak hidup yang bertubitubi menimpa
Ola.
Yang paling meluluhlantakkan dirinya adalah saat Ola memu
tuskan untuk membiarkan Firdaus meneruskan asanya. Membiar
kan cinta terdalamnya hanyut bersama putaran waktu yang saat
itu tak pernah Ola mengerti bahkan seolah membebani.
DI RUANG kerja rumahnya, Wie menopangkan kedua tangan di
belakang kepalanya. Jam dinding telah menunjukkan pukul 00.43.
Sudah sangat larut.
Pekerjaan dari proyek pemerintah tempo hari belum selesai ju
ga. Padahal masanya sudah lewat. Mestinya ada kompensasi untuk
kemunduran ini.
Tapi, seperti biasa, selalu ada alasan hingga akhirnya justru
perusahaan tempat Wie bekerja yang menanggung. Minimal tidak
semua ditanggungkan kepada instansi yang memberi.
Tinggallah Wie pusing memikirkan agar semuanya berjalan de
http://facebook.com/indonesiapustaka
ngan baik.
Kerja hingga larut begini telah ia lakoni sejak dua minggu ter
akhir. Untungnya pekerjaan tersebut lebih banyak dikerjakandi
rumah daripada di kantor. Jadi bila tubuh teramat lelah, Wie bisa
langsung merebah.
Bagaimanapun, tanggung jawab ini tidak bisa ia kerjakan sete
ngahsetengah. Tidak peduli apakah akhirnya menyusahkannya,
dia harus menjaga nama baik banyak pihak termasuk dirinya sen
diri.
Untungnya Dalimah dan keluarganya mengerti walau sang istri
sempat berulang kali bertanya apa saja yang sebenarnya sedang
ia kerjakan. Wie hanya menjawab soal pekerjaan, sisa lain tak
hendak ia jawab meskipun kadang kala ada hal lain menyita isi
pikirannya.
Biasanya Dalimah mengerti. Ia tak banyak bertanya lagi, seperti
hari ini. Meski mereka sudah lebih dahulu ada di alam mimpi, tapi
semangat dan pengertian mereka amatlah berarti.
Wie berharap, malam ini adalah malam terakhirnya begadang.
Tubuhnya bukan tubuh nan kuat menahan segala. Ia bahkan
sudah curiga, sehabis lembur, ia akan terkapar. Walau telah diusa
hakan, tetap saja ia merasa dirinya harus bersiap.
Saat asyik mengerjakan pekerjaannya, bunyi BB melirikkan
matanya untuk sekadar melihat apa isi dari bunyi itu.
Sebuah email.
“Tetapi, bahkan pagi pun dimiliki semesta dan debu di kala siang. Tiada mungkin bila
kau masih tetap ingin menguasai. Dia bukan milikmu.”
“Aku mencintainya... Biar angin telah meleraikan rasa itu sehingga ia bahkan tak
pernah tahu.” Langit merengut, gemintang sekitarnya menari.
“Mungkin baiknya begitu. Sebab langit dipasangkan dengan bumi, bukan dengan
langit lagi... Jikalau ada yang hendak memilihnya begitu, biar saja pericit yang kan me-
nemani. Jangan ganggu, pujaan hati... Kalian beda jalan.”
-berajamu-
(kamu lihat di kamus arti yang sama dengan “beraja” dalam bahasa Jawa)
Di Perpustakaan Biara
“SAYA boleh bertanya, Romo?” tanya Tra siang ini. Ia, Romo Daus,
dan beberapa frater sedang membaca buku di ruang perpustakaan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
“Padahal masku itu baru saja bisa menjalankan usaha cabang wa
rungku di Cepu, sudah besar kepala dia....” Raut wajah Aisah sudah
terlihat tidak ceria lagi. Sekian kecewa telah menggantikannya.
“Coba minta tolong ustad kalian, Sah.... Minta tolong untuk
memberi saran supaya mata hati kakakmu terbuka,” saran Ola lagi.
“Itu dia, La.... Kebetulan ustad yang sekarang itu beda dengan
zaman kami kecil dulu. Dia malah memberi dukungan pada kakak
http://facebook.com/indonesiapustaka
“Nah, gitu dong....” Ola tersenyum lebar tanpa Wie bisa meli
hatnya di seberang sana. “Aku akan mencoba membuat janji de
ngannya supaya kamu bisa ketemu ya....”
“Dia ada di Bandung?”
“Pokoknya dia sudah bahagia dengan pilihannya.”
“Sudah menikah?”
“Nanti kamu sendiri tahu.”
“Ah, Ola.... Kamu bikin penasaran aja.”
“Tidak semua pertanyaan bisa kujawab dengan kalimat, Wie....
Ada yang harusnya kamu rasa, terlebih bila itu kau landaskan de
ngan keadaanmu sendiri.”
“Aaahhh....” Wie membuang kesal karena rasa penasarannya.
“Tahanlah dulu segala penasaranmu, Wie.... Toh selangkah lagi
kamu akan mengentaskannya.”
Wie diam.
“Satu lagi,” Ola mengacungkan telunjuknya, “segera jemput
istri dan anakanakmu di kampung halamannya. Ia sudah terlalu
lama kamu buat tersiksa dengan pendaman rasamu yang tak jelas
itu.”
Kali ini Wie menarik napas panjang.
Ya, karena rasa penasaran ini ia tidak bisa menahan semua ge
jolak yang membuahkan kepergian sementara Dalimah ke rumah
orangtuanya. Dengan alasan masih ada pekerjaan, ia belum sempat
menjemput istri tercintanya itu.
Tapi, lebih dari itu, Wie belum siap melepaskan rasa hatinya
yang beberapa waktu itu memang sangat meletupletup. Ia tak ingin
http://facebook.com/indonesiapustaka
melukai istrinya lagi karena dampak letupan hati tadi. Kiranya se
lepas Ola bisa mempertemukannya dengan sang putri, Wie dapat
menyurutkan rasa itu. Jika perlu, luruhkan saja selamanya.
Karena mendadak sunyi senyap dengan pikiran masingmasing,
obrolan malam lewat telepon itu pun tidak terdengar lagi. Terlebih
Wie. Ia tidak berkonsentrasi lagi bercerita.
Ola memahami.
Lalu, ketika saat ini ada rasa yang nyaris sama, bolehkah ia
maklumatkan itu sebagai nostalgia yang mungkin saja bukan lagi
di angan semata?
Ooohhh... dewi cinta, betapa aku mendahaga pada sentuhanmu
yang sejak mula tak pernah kurasa. Yang lalu pun kini hanya tinggal
sisa. Tidak mungkin kuharap sama.
Namun, jika sekarang adalah benar saatnya, tunjukkan jalur hati
supaya menetap dan yakin senantiasa. Tak peduli siang atau malam,
aku mau rasa itu meraja, mengoyak sebentuk ragu atau rasa tidak per
caya. Bukankah cinta itu memang cukup untuk cinta, di atasnya tak
ada lagi lara?
Demikian sanubarinya beradu rasa.
Di atas sana kelam malam masih menemani.
Hhh...
Tubuh Tra menjadi saksi, keresahan rasa ini cukup menyiksa
diri.
Ola tak bisa menahan haru. Air mata yang tertahan itu pun ter
tumpah. Demi agar papanya tak bertambah luka, Ola mendekat
lalu duduk di lantai seperti berlutut di sisi papanya. Selembar sa
putangan ia haturkan kepada sang Papa.
“Papa... keluarga kita harus saling menjaga satu sama lain. Tidak
peduli lakilaki atau perempuan,” ujar Ola mencoba menenangkan.
“Iya.... Tapi, di antara dua saudaramu, kamu mestinya yang
dijaga. Biar bagaimanapun,” papa Ola masih setengah keukeuh de
ngan pendapatnya. “Seperti yang pernah Papa katakan, mamamu
ingin kamu dilindungi oleh kedua malaikat agung itu dalam
wujud kakak dan adikmu. Mamamu kayaknya sudah punya feeling
bahwa setelah kamu, anak kami lakilaki lagi,” jelas papa Ola
bernostalgia. “Dengan diapit Malaikat Agung, mamamu berharap
kamu akan selalu dilindungi. Sampai kapan pun....”
Ola menyimak dengan sungguhsungguh.
Begitu luar biasa maksud Mama tercintanya, seperti sudah
menyiapkan semua hal bahkan jauh sebelum segalanya ituterjadi.
Betapa bersyukurnya Ola memiliki mama yang demikian perhatian
dan menyiapkan semuanya sebelum ia berpulang. Tak pernah Ola
sangka, sang Mama sedemikan jauh memikirkan masa depannya.
“Jadi, sebenarnya Papa ingin kamu memiliki keluarga dan bisa
meneruskan segala yang baik dari mamamu itu, La...,” lirih sang
Papa. Tidak bernada mengiba, namun ada harapan besar terben
tang.
Ola memahaminya.
“Papa...,” panggil Ola pelan, “Ola akan tetap meneruskan segala
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang baik dari apa yang telah dilakukan Mama. Tapi, izinkan Ola
melakukannya dengan cara Ola sendiri. Izinkan Ola, Pa....”
Kepala sang Papa anggukangguk.
“Ya. Ya... Papa paham. Kamu memiliki jalur hidup sendiri. Tak
pantas kalau Papa merebutnya dari hadapanmu sendiri.”
Senja di depan seperti mengembangkan semburatnya.
Indah.
ALAM sekitar di Taman Balai Kota ini masih seperti sekian tahun
lalu.
Teduh. Asri. Menjauhi polusi. Bertengger banyak pericit dan
serangga menemani. Suasana yang ngangenin.
Kaki Tra tergetar saat baru memasuki gerbangnya. Ia sudah
lupa bagian mana yang pernah ia duduki. Ia turuti saja ke mana
sepasang kakinya itu membawanya pergi.
Hari libur begini biasanyaTra habiskan untuk membaca buku
atau menengok Mamah dan Abah di kampung.
Kali ini, kerinduan terdalamnya untuk bisa sekadar dudukdu
duk di taman tengah kota mengantarnya untuk datang ke sana.
Bunyi sreksrek sapu demi menyapu dedaunan yang berguguran,
mencuri perhatian Tra. Dia ingat Mang Ujang. Dulu, di tempat ini
http://facebook.com/indonesiapustaka
DALAM perjalanan pulang, dalam diam mereka hendak bicara.
Daus tentang kegelisahan atas keputusannya, Ola tentang kehen
dak kuat mencegah putus asa itu menjadi bencana.
Jalanan yang biasanya begitu indah untuk dinikmati terasa
hambar, tak berarti. Sayup suara musik, tak juga bisa mengusik
agar sedikit saja ada suara yang keluar dari mulut mereka.
Entah apa yang sedang berkecamuk di masingmasing sukma
hingga tak ada satu pun cerita, pengusir kebekuan. Sampai akhir
nya depan pintu gerbang biara adalah satusatunya alasan kedua
nya untuk mulai membuka katupan bibir mereka.
“Maafkan aku, Ola... maafkan aku. Aku mengecewakanmu
dengan keputusan ini justru di saat kamu sendiri telah memilih
pasti untukku dan dirimu sendiri,” ujar Daus pelan. “Aku janji, se
kiranya jubah ini terlepas dari raga kelak, aku tak akan mengusik
hidup dan pilihanmu. Biarlah cinta kita berjalan bersama angin
dan debu yang kan cepat berlalu.”
Ola tidak menanggapi. Otaknya masih terus mencari cara agar
pesan yang seperti tersampaikan di kepala bisa diteruskan kepada
lakilaki yang emosinya sedang meninggi ini.
“Terima kasih untuk segala kebaikanmu selama ini. Kita saling
doakan ya, semoga tetap diizinkan berbagi berkat kepada sesama
meski dengan jalan yang beda....” Daus hendak keluar mobil.
“Sebentar, Da....” Ola sibuk mencari pulpen dan selembar ker
tas bekas parkir tadi. Ia menuliskan sebuah nomor HP di kertas
itu. “Kamu boleh melempar lelahmu dengan melepaskan jubahmu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tapi, please.... Sebelum itu terjadi, kamu telepon nomor ini ya....”
Ola memberikannya.
“Nomor siapa ini?” Daus menerima dengan heran.
Ola tersenyum. Sengaja ia mengatupkan jemari Daus agar
menggenggam erat kertas itu sebelum Daus keluar dari mobilnya.
“Teleponlah, Daus.... Terima kasih untuk hari ini ya....”
Tak ada protes lagi yang keluar dari mulut Daus. Kakinya pun
melangkah dari mobil Ola untuk selanjutnya berpijak di halaman
depan gerbang.
Lambaian tangan keduanya menyudahi pertemuan mereka.
Kelegaan menyertai decit ban mobil Ola untuk berlalu.
Tinggal harapan baik yang ia sisakan di rumah biara, tempat
banyak kenangan menapak tak akan hilang di sana.
Aku kalah kesekian kali
ketika langit malam tak kudapati benderangnya bintang
berganti semu warnanya tak berarti
Aku kalah kesekian kali
ketika rangkaian kalimat tak mampu gugah
apa yang sebelumnya pernah dijanji, mungkin pula disumpah
menjadikannya berlalu, tak berarti
Aku kalah kesekian kali
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tak lama....
“Halo...,” suara perempuan mengalun lembut di sana.
“Selamat malam, ini dengan Romo Daus. Mohon maaf, nomor
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kontak
http://facebook.com/indonesiapustaka
Di tempat lain, cinta lama Wie dan Tra mendadak datang tanpa permisi.
Ikatan pernikahan dengan orang lain dan perpisahan dengan rentang
waktu sekian lama ternyata tak bisa memupus rasa hati mereka.
FIKSI/NOVEL DEWASA
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29–37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com