Anda di halaman 1dari 258

anjar

renjana
Yang Sejati Tersimpan di dalam Rasa

anjar

http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
Novel Mbak Anjar memiliki nilai-nilai untuk direnungkan, dikemas dengan
gaya yang indah dan puitis.

Annisa Hertami Kusumastuti, pemeran Mariyem di ilm Soegija,


pembaca Beraja – Yogyakarta

Saya termasuk yang menganggap luar biasa salah satu ajaran kebudayaan
Tionghoa yang terpatri dalam kata “Tian ren he yi”—alam dan manusia
harus menyatu secara damai. Karena, hanya dengan cara damailah, kita akan
dapat saling mengenal; dengan mengenal, baru akan muncul kasih sayang.
Di Renjana ini, saya belajar untuk menyayangi dengan damai: menyayangi
semua makhluk dengan damai; menyayangi semesta alam dengan damai;
menyayangi segala agama dengan damai.

Novi Basuki – China

Rapuhnya pilar manusiawi menjelma para lelaki.  Romo Firdaus pun gontai
oleh rayu godaan. Dalam  galau para lelaki, para srikandi membesutkan roh
pengorbanan, kasih, pengampunan, pengharapan, kesetiaan, kebijaksanaan,
kesabaran, belas kasih.  Pada narasi  Anjar, perempuan menjelma bukan
sebagai penggoda. Merekalah il sole, matahari, terang hidup.

Ign. Elis Handoko, SCJ – Palembang

Selalu takjub dan terkagum-kagum dengan kata-kata atau puisi-puisi indah di


buku Beraja dan kemudian disusul dengan Renjana ini.
Di sini ceritanya lebih kompleks dan berkembang… perpaduan antara
dua kebudayaan dan dua agama berbeda saling berdampingan… damai banget
saat membacanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Semakin seru teka-teki jalan ceritanya… ternyata akhir ceritanya sulit


ditebak. Kalau sudah baca selalu ingin cepat-cepat lanjut ke halaman
berikutnya… penasaran… Sama seperti saat melahap cokelat, lagi… lagi…
dan lagi… Keren banget!

Abenx, pembaca Beraja: Biarkan Ku Mencinta – Bandung

Renjana (2).indd 1 11/29/2013 10:26:01 AM


Membaca Renjana seperti menikmati rangkaian kepingan puzzle. Setiap
keping menceritakan beberapa tokoh unik yang kemudian saling terhubung,
saling silang secara tidak terduga. Renjana adalah hasil karya kreatif yang
indah dan manis. Ditunggu karya-karya berikutnya, Mbak Anjar.

Cely Martini, pembaca Beraja: Biarkan Ku Mencinta – Jakarta

Layaknya pelangi sehabis hujan, keberagaman warna yang tak perlu imajinasi
untuk memuja keindahannya.
Setiap manusia, dengan masing-masing warnanya, dengan masing-masing
panggilannya punya peran masing-masing untuk menghadirkan keindahan
DNA keagungan dalam dunia ini.
Tak bisa menahan diri membaca sampai titik terakhir, walau raga sudah
berteriak lelah.

Teresa Subaryani D.H. Soedirdjo – Torino, Italia

Bahasanya indah sekali ya Anjar... itu yang kusuka dari buku-bukumu...


sederhana, mudah dimengerti, dan lembut.

Marguerita Rancuret – Swiss

Setelah saya membaca novel tersebut, saya mempunyai kesan tersendiri, di


mana novel tersebut tidak kalah banding dengan novel lainnya yang per-
nah saya baca. Gaya bahasanya tidak monoton dan alur ceritanya berke-
sinambungan, mudah dimengerti, serta ceritanya tidak membosankan bagi
pembaca karena setiap paragraf tidak terlalu panjang.

Fr. Wilhelmus Hia, OSC – Bandung


http://facebook.com/indonesiapustaka

Mbak Anjar... bagus Renjana-nya... Hebat deh Mbak bisa menceritakan daily
routine seorang pastor muda...

Alie Soemadji – Belanda

Renjana (2).indd 2 11/29/2013 10:26:01 AM


Ketika membaca Renjana, saya merasa dibuai angin sepoi-sepoi. Tapi…
merinding pas baca ending-nya.

Sandra S. Hariadi – Bandung

Membaca Renjana seperti sedang hidup di dua dunia sekaligus, yakni dunia
rasa dan dunia nyata. Keduanya menyatu dan menyata dalam Renjana. Tiba-
tiba saja diri terenyak ketika buku ditutup.
Tidak peduli siapa tokohnya, apa status dan agamanya, yang ada ha-
nyalah “perenial spirit” manusia, yakni dunia rasa yang terbalut kesucian
cinta dan keisengan naluri untuk mewujudkan cinta itu. Bahagia dan derita,
tempatnya hanya satu: hati. Di situlah bahagia dan derita berkeluarga, saling
mengharmoni sekaligus menggejolak. Renjana adalah representasinya.
Hati adalah rumah bagi rasa, dan cinta menjadi sukmanya. Kekuatan
tulisanmu kali ini terletak pada pergulatan hati ini; pergulatan karena cinta.
Ini khas manusia, karena cinta adalah warisan dari Allah, Bapa kita. Dari situ,
pembaca becermin, di mana dirinya berada. 
Di atas semuanya: keren. Pergolakan cinta menjadi tema. Dan ini adalah
situasi serta bahasa abadi manusia.

Didi Tarmedi, OSC – Bandung


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 3 11/29/2013 10:26:01 AM


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 4 11/29/2013 10:26:01 AM


renjana
http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 5 11/29/2013 10:26:01 AM


Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan


perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal
49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
http://facebook.com/indonesiapustaka

Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7


(tujuh) dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima mi-
liar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar-
kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pe-
langgaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Renjana (2).indd 6 11/29/2013 10:26:01 AM


renjana
Yang Sejati Tersimpan di dalam Rasa

Sebuah novel

Anjar
http://facebook.com/indonesiapustaka

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Renjana (2).indd 7 11/29/2013 10:26:01 AM


Renjana
Anjar

GM 201 01 140001

Copyright ©2013 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Kompas Gramedia Building Blok I lt. 5
Jl. Palmerah Barat 29–37
Jakarta 10270

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia


oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Anggota IKAPI, Jakarta 2013

Cetakan pertama Desember 2013

Editor: Dwi Ayu Ningrum


Desain cover: Sandra S. Hariadi
Layout: Rahayu Lestari

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit

www.gramediapustakautama.com

ISBN 978-602-03-0094-8
http://facebook.com/indonesiapustaka

Novel ini adalah cerita iktif belaka. Kesamaan nama,


tokoh, peristiwa, dan cerita adalah ketidaksengajaan.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia


Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Renjana (2).indd 8 11/29/2013 10:26:01 AM


Sejak dulu Anjar punya talenta luar biasa untuk menulis, terutama
cerpen dan novel. Terus berkarya, ya!!
(Rm. Heribertus Kartono, OSC – Roma, 2006)

Persembahan kecil yang tertunda untuk yang terkasih (alm.) Om


Romo Heribertus Kartono, OSC (1956–2013) yang terus memupuk
kecintaan saya pada dunia tulis-menulis serta mengajarkan langsung
arti sebuah ketulusan. Pasti engkau telah berbahagia bersama-Nya,
seperti Bapak dan Ibu di surga sana…
http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 9 11/29/2013 10:26:01 AM


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 10 11/29/2013 10:26:01 AM


Pengantar Penulis

NIAT meneruskan Beraja: Biarkan Ku Mencinta cuma sekadar ide


di kepala. Tak sempat diteruskan hingga kelar berbentuk. Padahal
sejak keluarnya di bulan November 2002 lalu, novel pertama saya
itu memberi saya banyak keajaiban.
Kenapa ajaib?
Selain buku itu diterima baik oleh banyak pembaca, saya juga
menemukan banyak sahabat baru dari berbagai kota bahkan nega-
ra. Entahlah, bagaimana bisa mereka mendapatkan buku itu dan
menemukan kontak saya karena saat itu saya tidak terlalu banyak
menyebarkan kontak pribadi saya.
Selain itu, dari banyak komentar mereka banyak yang bernada
positif, ada pula yang mengaku bahwa novel tersebut menjadi ins-
pirasi hidup mereka, bahkan ada yang menjadikannya sebagai ba-
han skripsi, seminar kampus, ide cerita untuk teater, tugas resensi
sekolah, dll. Malah ada yang menjadikan Beraja menjadi bagian
dari identitas mereka, seperti nama e-mail dan nama anak (nuhun
buat Abenx dan Olski).
Saya sungguh merasa tersanjung....
Waktu terus bergulir, ada banyak ide di kepala tentang Beraja.
Para “Berajas” juga tak sedikit yang bertanya, apakah akan ada
kelanjutan novel itu. Bukan hanya di tahun-tahun awal pener-
http://facebook.com/indonesiapustaka

bitan, bahkan setelah lima tahun berselang dan seterusnya. Saya


sungguh terharu.
Maka saya bulatkan tekad meneruskan cerita itu.
Dan, tanpa sengaja, di tahun 2012 adalah tahun ke-10 sejak
Beraja: Biarkan Ku Mencinta terbit.

Renjana (2).indd 11 11/29/2013 10:26:01 AM


xii | anjar

Banyak ide di kepala itu saya tuangkan dalam Renjana (renjana


= rasa hati yang paling dalam, bisa juga rasa rindu, kangen; bahasa
Sanskerta).
Intinya masih sama, tentang cinta. Cinta yang abadi, cinta
yang takkan sakit jika harus terpisah sebab dibalur ketulusan serta
doa panjang untuk sebuah kebahagiaan. Ditambah juga tentang
bagaimana mestinya kita bisa saling menghormati pilihan hidup
masing-masing orang.
Banyak orang yang harus saya ucapi terima kasih sampai bisa
selesainya draft hingga terbitnya buku ini.
Buat editor pertama saya, Mas Ariobimo Nusantara. Saya nggak
akan lupa pertama kali nawarin naskah seperti sidang skripsi... J
Buat Mbak Mirna, editor GPU yang pertama membuka tangan
lebar-lebar bagi draft ini masuk. Khusus bagi editor Renjana ini,
Jeng Putri Ayu. Terima kasih mau membaca dengan tekun kalimat-
kalimat yang ada dalam draft ini. Dunia memang benar tak selebar
daun kelor ya…
Buat Gramedia Pustaka Utama (GPU) untuk kesempatan me-
nerbitkan novel ini. Jalan panjang ini akhirnya bisa saya selesaikan
dengan napas lega.
Bagi banyak teman dan sahabat di komunitas Sultan Agung
(Atas dan Bawah), Jambudipa, Citepus, Buah Batu, Nako, Cisarua,
ex Surya Sumantri.
Bagi Endah-Koskow, Fyanti-Wahyu, Asih-Alex, Cely-Koko,
Steph-Ossy, Bu Riris-Abangnya, Lisa-Ali, Indra-Pipid, Endah-Ko-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ko, adik-adik gema’ers, “Om” Leo, Bunda Woro dan keluarga, Yani
nun di sana, Dek adek Cicil perawat, Steven, Bu Eva, Iin, Mira
sang keriting, Mbak Nana, (alm.), Mas Andika, Ami, Cak Novi
Basuki, Tika, Mbak Mira “Amir”, Theo, Kak Bonaventura, Daniel,
Rere dan semua yang memberi endorsement. Tak lupa Mbak Sandra
yang mau ikutan membuat indah buku ini dengan cover-nya.
Bagi Bapak dan Ibu (alm.), Mas Tio sekeluarga, keluarga Ci-

Renjana (2).indd 12 11/29/2013 10:26:01 AM


renjana | xiii

rebon dan Sangkuriang, keluarga Lampung, Keluarga 22 Bandung


dan semua yang demikian semangat mendukung saya selama ini.
Tak lupa bagi “renjana pagi”, terima kasih untuk segala kehadiran-
mu di diri dan hati…
Plus semua sahabat yang sedang meniti nadar, janji, dan ko-
mitmen mereka. Terima kasih untuk persahabatan yang indah dan
warna-warni. Terima kasih pula saya boleh mendapat inspirasi hi-
dup dari kalian.
Bertekun dalam cinta dan ketulusan adalah modal untuk selalu
mendapat yang terbaik. Doaku untuk semua...
Akhirnya buat semua pembaca setia saya, terima kasih, terima
kasih, terima kasih... Tanpa kalian, karya-karya saya tak ada arti-
nya. Terima kasih.

Selamat menikmati.

Semoga semua yang baik akan terus bertakhta di dalam renjana sanu-
bari.

Salam #Renjana
-anj-
http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 13 11/29/2013 10:26:01 AM


Memiliki malam bersama detik waktu yang tersisa.
Tidak ada yang istimewa, selain selarik rasa mendekapku kencang.
Merapuhkan resah yang, bahkan bulan sabit di atas, tak bisa
menghapus jejaknya.
Aku tahu....
Bahwa, langit yang terbambang1 terang biaskan keangkuhan cerita
rasa.
Lalu, kerlingan bintang yang akan meneruskan genderang cita....

Aku mau haturkan raga ini padamu, Semesta....


http://facebook.com/indonesiapustaka

1
luas terbentang

Renjana (2).indd 14 11/29/2013 10:26:01 AM


1.

RUANG sempit dengan satu kursi dan sekat kecil di tembok pem­
batas ruang sebelahnya itu, Daus tutup pelan. Nyaris tanpa suara,
selain helaan napasnya sendiri.
Usai sudah tugas untuk meringankan beban umatnya sekaligus
melakukan satu dari lima perintah gereja. Daus merasa beruntung
sekali, umatnya di sini masih mau melihat perintah gereja itu se­
bagai sesuatu yang tidak membebani, tetapi mereka secara sadar
melaksanakannya.
Malam yang larut melenakan banyak makhluk bumi agar se­
gera meluruh dalam lelap dan dekapan kelam meski mungkin
masih tersisa sebentuk kerja. Firdaus pun menyatukan semuanya
kepada alam. Hatur nuhun2, Gusti.... Segala bentuk karunia­Mu
di hari ini telah hamba selesaikan. Izinkan raga hamba boleh
berbaring nikmat pada selembar kasur, tanda sesaat kenikmatan
duniawi sejenak hamba, utara hati Daus kepada Sang Pencipta.
Dibungkukkan tubuhnya menghadap semesta. Di bawah langit
bercahaya sabit, ia rasakan sebentuk aliran angin malam nan me­
nyegarkan. Daus kembali ke posisi tegak berdiri, tetapi matanya
memejam sejenak.
“Maaf, Romo.... Pak Tumi tanya, apakah kapel sudah bisa ditu­
tup?” Suara Frater Jajang yang sangat familier di telinganya sedikit
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengusik konsentrasi. Kepalanya sedikit menoleh.


“Kalau umat yang terakhir mengaku dosa sudah selesai berdoa,
silakan ditutup,” suara penuh karisma itu menjawab pelan. Sang
Frater mengangguk­angguk, lalu permisi pergi.
Sekali lagi Romo3 Daus menarik napas panjang.
2
bahasa Sunda: terima kasih
3
panggilan kepada seorang biarawan Katolik, di beberapa tempat dipanggil juga de­
ngan panggilan “Rama”, “Pastor”, “Pater”, “Padre”, atau “Father”

Renjana (2).indd 1 11/29/2013 10:26:37 AM


2 | anjar

Entah kenapa kali ini sabit di atas seperti hendak mengajaknya


lebih lama menatapnya. Bukan sekejap.
Aneh.... Meski hanya seperempat cahaya, sinar bulan sabit di
atas sana bisa begitu memancar ke sekitar halaman biara ini. Bah­
kan ketika lampu luar kapel yang tidak jauh darinya dimatikan
oleh Pak Tumi, sekelilingnya tak terlihat gelap. Cahaya sabit itu
sungguh telah membuatnya tak perlu meraba­raba sekitarnya.
Hmmm.... Apakah kau memang ingin sedang dipuji malam ini
karena cahaya terangmu, duhai Dewi Candra Sabit? batin romo
muda itu sembari mengembangkan segaris tipis senyumnya.

Bulan sabit di awan, laksana perahu emas


Berlampu bintang, berlaut langit
Jauh di angkasa luas
Betapa senang hatiku rasanya, menjadi nahkoda di sana...

Tiba­tiba saja, nyanyian masa kecil itu tergumam dari bibir tipis
Romo Firdaus. Lagu yang dikenalnya saat ia masih taman kanak­
kanak dan diajarkan oleh Bu Tari, gurunya. Lagu itu rasanya pas
dinyanyikan kembali malam ini. Dalam khayalnya, bulan sabit
malam ini mirip sebuah kapal berlapis emas dan ia menjadi na­
khodanya.
Aaaahhh....
Kenikmatan melihat bulan malam ini, menjadikan jiwa sang
Biarawan seperti disirami air segar. Ingin rasanya ia berlama­la­
ma di halaman biara. Mata Daus seperti tak habis­habisnya me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngagumi sampai akhirnya suara malam mengingatkan bahwa dewi


rembulan sudah demikian menutupi bumi. Segenap makhluk se­
mesta telah nyaris merunduk menyambut lelah.
Baiklah, malam.... Kuturuti kehendakmu untuk menyudahi keka­
gumanku padamu.
Langkah kaki romo muda itu beranjak, kembali menapaki jalan
setapak menuju ruang paling pribadi di dalam sana.

Renjana (2).indd 2 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 3


SEMBURAT malam membelah semesta dalam sebentuk keindah­
annya.
Terkejut mata begitu menyadari bahwa di bentangan langit
terlukis keindahan dari Sang Maha melalui deretan bintang dan
kerlipan raja malam yang membawa sabit. Tidak biasanya malam
secantik dan segenit ini. Biasanya ia kelam gelap, lalu perlahan
terlelap. Dikitari semesta dalam sapuan pandangan kekagumannya.
Di kedalaman pandangan mata, ada bagian yang seperti teliti
mencari, adakah sebuah bintang yang sudah lama sekali tidak ia
dapati kini tengah menari­nari? Bintang yang pernah begitu mera­
ja di hati, mengungkapkan renjana4 sanubari.
Ah, beraja5.... Sekian waktu kuberlari menerjang waktu, meng­
halau debu. Berharap ku ‘kan jumpa dirimu lagi, serunya menye­
ruak dendam rindu.
Mendadak wajahnya melunglai dan raupan pandangan semesta
ia tinggalkan.
Kesedihan terlukis menyertai seruas awan kelabu yang tiba­tiba
datang.
Dalam meluruh sukacita yang sebelumnya memenuhi sukma,
terbambang6 di benaknya serangkai peristiwa tempo lalu di saat
beraja telah membuat segenap renjana membiru. Senyum tipis
terkias setiap kali visual itu bertandang dalam ingatan dan benak.
Rupanya rasa itu begitu kuat, bahkan hingga hitungan tahun yang
nyaris mencapai angka 10.
Kembali ia sepandurat7 menatap ke atas langit.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Apakah pesan beraja itu kini diwakili oleh cahaya sabit?


Meski indah, pendar cahayanya beda. Kurang menjalar selayak­
nya ekor panjang yang selalu mengikuti kedatangannya.
4
rasa hati yang dalam
5
bintang beralih, bintang jatuh (lihat Beraja, Biarkan Ku Mencinta)
6
luas terbentang
7
sekejap mata

Renjana (2).indd 3 11/29/2013 10:26:37 AM


4 | anjar

Matanya menutup, hendak sekadar hilangkan resah ini.


Aku merindumu, beraja.... Hadirlah kembali mengisi relung hati.
Bahkan, bukan sekadar serangkai puisi yang pernah begitu menghunjam
dada dan segenap sukma.... Ditariknya napas panjang, langkahnya
segera menuju pintu rumah, ditutupnya, seraya membuang seben­
tuk rindu yang sempat hadir agar tidak mengganggu mimpi.
Selamat malam, beraja.... Istirahatlah di sana, biarkan saja mimpi
kita tak bisa sama.


Anggrekbunga : saya ingin mengaku dosa, kakak...
Formosa : dengan senang hati, kapan pun kamu bisa, saya bersedia
menunggu kedatanganmu
Anggrekbunga : sekarang, kakak...
Formosa : sekarang?
Anggrekbunga : J... iya, kakak
Formosa : emang kamu sedang ada di mana?
Anggrekbunga : masih di belanda, kakak J
Formosa : lalu bagaimana cara kamu mengaku dosa?
Anggrekbunga : di sini saja, romo... kan sekalian kita lagi ngobrol

Firdaus terdiam sejenak. Matanya menerawang melihat layar


iPad miliknya.
Bagaimana aku harus menjawab keinginannya?
Jemari tangan Daus mengetuk­ngetuk pinggiran papan ketik
iPadnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Formosa : apa nggak sebaiknya kamu ke romo terdekat saja?


Anggrekbunga : ah, romo ini kayak nggak tahu aja... Di Belanda sini gereja udah
bakal jadi museum. Umatnya nggak ada, Romonya wis tuwe-
tuwe...
Formosa : haha...

Renjana (2).indd 4 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 5

Firdaus tertawa membaca pesan dari adik sahabatnya itu yang


kini sedang melanjutkan studi di Belanda. Ia tengah mengambil
spesialis hukum internasional pada jenjang S­3. Karena sang Ka­
kak bersahabat dengan Firdaus, Bidari sang adik akhirnya ikut
dekat juga. Apalagi keluarga Bidari memang dekat juga dengan
Firdaus. Jadi meski kini terbatas jarak, Bidari tetap bertukar ka­
bar dengannya, baik lewat e­mail, telepon, atau chatting seperti
sekarang. Sifatnya yang manja terkadang membuat Firdaus geli
sendiri. Entah kenapa Bidari lebih senang bercerita dengannya
daripada dengan kakak kandungnya sendiri.

Formosa : Bidari... yang namanya pengakuan dosa itu harus langsung


ber temu dengan Romonya, nggak lewat media seperti yang kita
lakukan ini
Anggrekbunga : wah, kaka ini... gadget boleh canggih, FB, twitter punya, up date
deh... tapi masa yang beginian masih konvensional banget sih?
Kan ini sarana biar bisa mempermudah kehidupan
Formosa : betul, adik..., tapi tidak semua hal bisa dikonversikan ke dalam
alat-alat kecanggihan seperti ini, apalagi urusannya untuk ber te-
mu Tuhan
Anggrekbunga : lho kata kakak tempo hari, Tuhan ada di mana-mana, berarti di
dunia maya juga ada dong...
Formosa : haha... adikku ini makin pinter saja berdebat
Anggrekbunga : bener bukan?
Formosa : yayaya... tapi ia tetap Tuhan yang mempunyai tempat khusus
untuk bisa dekat dan akrab dengan-Nya, bahkan aku hanyalah
media-Nya saja. Nah kalo kamu mau mengaku dosa lewat dunia
http://facebook.com/indonesiapustaka

maya yang adalah media juga berarti dobel media or perantara


dong...
Anggrekbunga : waaaa... ngomong sama romo mah bisa lebih panjang ceritanya
yaaa...
Formosa : haha... sapa suruh malam-malam pengen chat dan ngobrolin
begini
Anggrekbunga :J

Renjana (2).indd 5 11/29/2013 10:26:37 AM


6 | anjar

Selang beberapa menit kemudian, mereka sudah membahas


cerita yang berbeda. Dalam degup denting malam, Firdaus men­
jadikan dirinya tempat yang sangat nyaman bagi Bidari untuk
segala ceritanya. Tidak peduli cerita suka atau duka, Bidari merasa
Firdaus bisa menjadi romo sekaligus kakak baginya.
Dan, malam sabit itu telah menjadi nuansa hati bagi banyak
rasa.


MATANYA menyipit untuk mencoba menghalau sinar mentari
pagi yang menyentuh hari. Sebenarnya menyenangkan membiar­
kan sinar gagah pagi ini begitu leluasa menghangatkan raga. Tapi,
angin yang berembus sempat membuatnya merapatkan sweter
yang sejak tadi menemani raganya.
Tak peduli pada dinginnya angin berembus, ia keluar kamar.
Tra Laksmi sudah sejak tadi sibuk membereskan rumahnya. Gadis
muda itu memang langsung beberes sehabis melaksanakan kewa­
jiban salat Subuh.
Semburat fajar kali ini tidak akan ia sia­siakan. Di sana ia me­
rasa ada sebentuk harap terbentang atas apa yang akan terjadi di
hari ini.
Senyum panjang terbambang di wajahnya.
Segala syukur terucap tulus dari dalam hati, seraya berjalan me­
ngitari rumahnya. Pepohonan yang telah menemani kesehariannya
selama ini ingin ia sapa sebagai tanda sayang dan cinta.
“Selamat pagi pohon mangga, bunga mawar dan anggrek, po­
http://facebook.com/indonesiapustaka

hon belimbing, rerumputan dan… hei... bunga liliku sedang ber­


semi. Selamat pagi, cantik....” Ia sengaja berjongkok lalu mencium
bunga lili yang sedang hendak bersemarak tumbuh.
Sungguh indah pagi ini....

Renjana (2).indd 6 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 7

“SELAMAT pagi, Den Romo.... Tidur nyenyak hari ini?” suara


keibuan itu terdengar dari depan pintu antara ruang makan dan
pastores8 ini. Romo Daus menoleh ke arah asal suara. Bi Mumun
masuk dengan sopan membawa beberapa gelas minuman hangat
seperti teh dan kopi sesuai kesukaan masing­masing romo di bi­
ara ini.
“Puji Tuhan, nyenyak, Bi.... Bibi gimana?” jawab Romo Bernard.
“Alhamdulillah, Den Romo.... Bibi juga bisa tidur nyenyak.
Biarpun semalam nyamuk teh banyak pisan,” jawab Bi Mumun
sembari sedikit menarik diri hendak melanjutkan aktivitas.
“Haha iya.... Sedang tidak ada hujan, mulai masuk kemarau
tampaknya, Bi.... Jadi, nyamuk banyak beterbangan ke mana­mana
sekarang...,” kali ini Romo Daus yang menjawab. Ia meneguk seje­
nak kopi yang tadi dibawakan Bi Mumun. Nikmat sekali.
Entah mengapa kopi hitam hasil seduhan Bibi yang sudah
berpuluh­puluh tahun bekerja di biara ini, begitu nikmatnya.
Apalagi kalau dinikmati di pagi segar seperti sekarang.... Tak ada
tandingannya.
“Bibi permisi dulu, Den Romo....” Langkah kaki penanggung
jawab dapur biara ini mundur hendak keluar ruangan.
“Eh, Bi...,” suara Romo Daus menangguhkan langkah sang Bibi.
“Iya, Den Romo Daus....”
“Bibi ambil saja alat pengusir nyamuk di kamar saya buat di ka­
mar Bibi. Biar tidur Bibi nggak diganggu nyamuk lagi.”
Raut muka Bi Mumun sedikit terkejut, “Lah nanti tidur Den
http://facebook.com/indonesiapustaka

Romo yang gantian diganggu banyak nyamuk....”


“Ah, nggak pa­pa dia mah, Bi.... Kulitnya Romo Daus kulit ba­
dak kok. Haha...,” goda Romo Bernard yang juga sedang menikmati
kopi seduhan Bi Mumun.
Yang disebut namanya cengar­cengir. Matanya sebentar me­
8
Ruang istirahat sekaligus tempat berkumpul para romo di biara

Renjana (2).indd 7 11/29/2013 10:26:37 AM


8 | anjar

lihat berita di televisi. Ada berita kebakaran subuh tadi di sebuah


perumahan kumuh. Mendadak hati Romo Daus sedikit terusik.
Apalagi selintas gambar seorang pemuda terlihat sedang menggen­
dong balita yang menjadi salah satu korban musibah tersebut.
Sanubarinya ikut terenyuh.
“Bibi permisi, Den Romo Daus... Den Romo Bernard...,” kali
ini langkah kaki Si Bibi benar­benar keluar dari pintu ruang pas­
tores.
“Jangan lupa alat pengusir nyamuknya diambil ya, Bi...,” suara
Daus sedikit berteriak mengingatkan.
Dari balik pintu, terdengar suara mengiyakan.
“Bi Mumun itu masih saja memanggil kita dengan sebutan Den
Romo ya,” ujar Romo Bernard sambil membuka­buka koran yang
bertumpuk tak teratur di meja.
“Betul. Peninggalan almarhum Romo Kusumo yang masih ke­
turunan ningrat itu,” jawab Romo Daus.
“Tuh kan, di sini aja ada panggilan Rama, Romo, Pastor, dan
kadang­kadang Padre....” Romo Bernard senyum­senyum.
“Haha.... Apalah arti panggilan­panggilan itu. Itu kan tergan­
tung kebiasaan dan lidah orang saja,” sangkal Romo Daus. “Artine
yo podo wae9....”
“Ah, kau ini.... Keluar lagi Jawa kau ni....”
“Haha.... Kau juga keluar Batak­nya....”
Tawa dua orang biarawan itu lantas berderai. Menyemarakkan
pagi. Dari ruang pastores ini bisa terlihat jelas pemandangan luar
dari sisi kanan. Ada jendela cukup besar yang tirainya selalu di­
buka lebar­lebar setiap pagi oleh Pak Tumi, pekarya lain di biara
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu. Selain agar sinar matahari masuk, pemandangan asri di luar


sana jadi dapat dinikmati. Pemandangan kegiatan perkampungan,
termasuk kesibukan sekolah dasar negeri yang letaknya tidak jauh
dari biara itu.
Pagi begini memang banyak pasang manusia sedang menyiapkan
9
bahasa Jawa: Artinya juga sama saja

Renjana (2).indd 8 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 9

segala sesuatu untuk mengisi hari. Terkadang kegiatan mereka


menjadi cerminan atau releksi diri yang tidak bisa didapat dari
tempat atau suasana lain, bahkan dalam setiap doa bersama, seper­
ti yang dilakukannya pada pagi dan malam hari. Dan, Daus paling
senang berlama­lama memandangnya. Senyum lepasnya bisa me­
rekah, dengan sendirinya terkembang.
Setiap pagi, kalimat inilah yang selalu terucap dari mulut Daus:
“Terima kasih atas hari baru ini....”

SEMARAK matahari pagi telah mengantar sepasang kaki mera­
patkan diri di sebuah bangunan megah. Dasi berwarna cokelat
muda dalam balutan kemeja biru lengan panjang menempatkan
semangat untuk berdiri paling depan menghadapi hari ini. Jika se­
dikit saja lengah, sudah pasti hal itu menjadi bumerang. Tak akan
dibiarkannya hal tersebut terjadi.
“Pak Wylie, maaf, diminta Pak Drajat untuk menyelesaikan la­
poran yang kemarin,” suara Mitha menggeser sekilas lamunannya.
“Baik, Mit…. Tolong bilang sama Pak Drajat sebelum pulang,
laporan sudah ada di mejanya,” janji Wylie.
Mitha sang sekretaris mengangguk mengerti, lalu segera undur
diri.
Dalam baluran semangat yang menyeruak, Wie mulai membuka
komputer kantornya. Sebenarnya ia punya laptop pribadi yang
canggih. Keluaran terbaru dari perusahaan laptop terkenal yang na­
ma mereknya mengingatkan kita pada buah apel. Tapi, Wie lebih
senang jika pekerjaan utamanya di kantor ini tidak bercampur
http://facebook.com/indonesiapustaka

aduk dengan urusan pribadi. Sebisa mungkin ia membedakan hal


yang sifatnya pribadi—termasuk barang­barang pribadi—dan yang
berkaitan dengan pekerjaan.
“Nggak efektif amat sih kamu,” ujar Ferdo, partner kerjanya.
“Lho, harus dong.... Dengan begitu kehidupan kita kan bisa
lebih dinikmati,” jawab Wie percaya diri. “Hidup itu cuma sekali,
Kawan.... Kita harus pintar­pintar menjadikannya lebih hidup.”

Renjana (2).indd 9 11/29/2013 10:26:37 AM


10 | anjar

“Kalau dikejar deadline gimana?”


“Ah, itu urusan mudah. Jangan membuat sulit apa yang sudah
menjadi mudahlah....”
Tak ada yang bisa membantah Wie, lelaki muda penuh energi,
semangat, dan selalu berusaha untuk menikmati hidupnya.
Di antara kesibukan, menjelang raja siang bertengger tepat di
atas kepala, ingatan Wie beralih pada sebuah kewajiban pagi yang
belum sempat ia laksanakan. Segera ia membuka jaringan internet
dan memasukkan segala kode yang dibutuhkan.
Hanya dalam hitungan detik, berderet free e­mail yang belum ia
buka. Ah... sedemikian sibukkah ia hingga tiada sempat menyen­
tuh kotak surel10 ini?
Tiba­tiba bola mata yang kini terbingkai dalam sebentuk ka­
camata minus itu sejenak terdiam. Apa yang ada di kepalanya
sekonyong­konyong mengembara pada sebuah peristiwa. Peristiwa
sekian lama dalam titian tanda tanya dan harap semu yang akhir­
nya menjadikan semuanya menjadi kelabu.
Apakah aku akan menjalani hari­hari semu itu kembali?

To : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>
From : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>

Apa kabar, pangeran hati? Sekian lama tak bersua, padahal langit sudah lama me-
nyampaikan kenangan lama, tentang sebentuk hati yang mungkin tak sempat bicara.
Apakah kau rasakan hal yang sama?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Wie mengetuk­ngetukkan pulpennya di permukaan meja.


Kali ini senyumnya tertahan di bibir, meski ada rasa senang
luar biasa di dada. Logikanya lebih kencang berjalan ketimbang
rasa hati yang sedemikian menggelora.
10
surat elektronik

Renjana (2).indd 10 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 11

Apa mungkin sang putri yang sekian lama sembunyi? Laksmi? Ah...
di mana dia berada kini? Apakah angin, bulan, bintang, matahari, de­
bu, dan semesta menghantar rasa rinduku padanya?
Mata Wie lurus menatap surel yang tidak juga ia tutup. Kepa­
lanya berpikir keras, siapa gerangan orang yang mengirimkan surel
sepagi ini. Bukankah ini adalah kebiasaan sang pujaan hatinya
dulu?
Jemari Wie hendak membalas e­mail itu. Tapi sekali lagi ke­
palanya berpikir. Rasa penasaran ini membuatnya maju­mundur
meneruskan niat hati.
Hingga akhirnya, dengan kesadaran penuh, ia memutuskan
untuk keluar dari kotak elektronik itu. Tak jadi membalas e­mail
yang tak jelas siapa pengirimnya. Ada bagian dalam dirinya seolah
berteriak kencang: ia harus kembali meneruskan pekerjaannya.


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 11 11/29/2013 10:26:37 AM


Aku menemukan hatimu di antara deras hujan memudarkan
warnanya.
Semula memang tak terlihat.
Sebab rintik hujan lebih memendarkan gelap mendung.
Sampai ketika rinainya berkurang lalu menguraikan nama yang
kemudian kutahu.
Itu namamu….

Padahal tiap saat kupandang senja, berharap warna jingga


menghantarkan sebuah nama
yang telah disediakan sekian lama, dinanti menempuh mimpi.

Mungkin ia pernah menari­nari di awan putih.


Siratan biru yang menyertai, ternyata tak mampu buat mataku
menangkap
bahkan membiarkannya tak terlihat.

Dan, ketika hujan menghaturkannya di antara batas senja


terpekurlah aku tak berkata.
Ternyata ia tak pernah lekang menyimpan namaku
lekat di hatinya, walau sesiang pernah menyertakan debu
yang kumau
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa kutepiskan, tiada ragu.

(from 1993 to 2009)

Renjana (2).indd 12 11/29/2013 10:26:37 AM


2.

SINAR mata Tra memancarkan kebahagiaan saat melihat keda­


tangan Bi Mumun, mendekatinya.
“Ari si Neng teh, garelis ayeuna11,” ujar sang Bibi sembari men­
cium pipi keponakan tercintanya itu. Wajahnya tampak berseri­
seri.
“Ah, Bibi mah aya­aya wae12....” Sekejap ada rasa senang me­
nelusuri raga Tra. Sudah lama telinganya tak mendengar kata­kata
pujian layaknya barusan dari sang Bibi.
Siang yang bertengger di antara rindangnya pepohonan di desa
Tra ternyata kini mengembuskan kesegaran lain. Bukan saja sebab
bayu menyentuhkan ujung­ujung dedaunan, tetapi juga rasa hati
yang Tra rasa memenuhi keriaan sanubari yang tak bisa tidak ia
indahkan.
Damai sekali meluangkan banyak waktu di sini.
“Jadi, kamu teh ingin kerja di mana? Di sini aja?”
“Kamana deui13, Bi? Sekalian jaga Mamah dan Abah....” Tra
memunguti kotoran dalam beras yang sedang ia tampi.
Beras yang menjadi makanan mereka ini adalah hasil dari sa­
wah yang dituai sang Bapak.
Meski bapaknya bukan petani yang memiliki sawah sendiri,
keluarganya pasti diberi sebagian hasil sawah saat panen sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

salah satu upahnya menggarap beberapa sawah. Beras­beras itulah


yang kini bakal mendiami perut Tra sekeluarga.
“Ari si Neng teh pernah kursus naon kitu ya?” Bi Mumun men­
coba mengingat­ingat.
“Iya, Bi.... Laksmi pernah kursus sekretaris. Pas kerja sama Bu
11
Eh, si Neng, sekarang cantiknya
12
Ah, Bibi bisa saja
13
Ke mana lagi?

Renjana (2).indd 13 11/29/2013 10:26:37 AM


14 | anjar

Ola malah pernah dikursusin komputer juga,” jelas Tra yang me­
mang dipanggil Laksmi di kampung kelahirannya, sesuai nama
lengkapnya: Gentra Laksmi.
Kepala Bi Mumun angguk­angguk.
“Atuh mah sayang, Neng... kalo si Neng teh cuma di sini ajah,”
ujar Bi Mumun bersungguh­sungguh.
“Kumaha deui, Bi.... Laksmi kan kudu bantu Mamah dan Abah
di sini,” Tra menyudahi menampi berasnya sembari melihat­lihat,
siapa tahu masih bersisa batu atau kotoran di hasil tampiannya.
Beras hasil sawah garapan bapaknya ini menghasilkan nasi nan
harum. Apalagi kalau diliwet lalu diulen alias dikipas­kipas sembari
dibolak­balik dengan centong supaya cepat dingin. Harumnya bisa
semerbak mengisi ruangan. Sudah begini sih, lauk ikan asin dan
lalapan di antara sambal terasi, cukuplah.
“Kamu teh nggak tertarik kembali ke kota?” tanya Bibi sembari
memepetkan posisi duduknya. Mungkin maksudnya agar bisa bicara
lebih pelan. Padahal di hadapan mereka tidak ada keramaian yang
mengharuskan Bi Mumun harus duduk demikian dekat.
“Tergantung, Bi....”
“Tergantung naon?”
“Tergantung pekerjaannya. Tergantung izin Mamah dan
Abah....” Tra mengungsikan beras yang sudah bersih itu agar
“aman”.
“Kamu sendiri pengen nggak?” tanya Bi Mumun bersungguh­
sungguh.
Tra membersihkan bajunya sebentar dari semua sisa kotoran
http://facebook.com/indonesiapustaka

akibat kegiatannya barusan. “Sebenarnya sih Laksmi ingin, Bi...


Laksmi ingin cari duit banyak biar bisa beli buku banyak. Perpus­
takaan Laksmi kan butuh tambahan buku, Bi....”
“Lho, masih ada perpustakaan itu, Neng?” Bi Mumun kaget.
Perpustakaan yang dimaksud merupakan peninggalan suaminya,
Ua Jun, yang dulu pernah memperkenalkan banyak jenis buku
pada keponakannya itu. Ua Jun memang sangat senang membaca.

Renjana (2).indd 14 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 15

Di rumahnya penuh dengan segala macam buku, terutama buku


anak­anak dan kumpulan puisi. Penulis favoritnya Kahlil Gibran.
Setiap Tra berkunjung ke rumah Ua, ia tentu langsung menuju
ruang belakang di mana semua buku diletakkan. Di lemari, kardus,
atau tergeletak begitu saja. Semua buku itu di mata Tra kecil dan
remaja bak makanan yang mengenyangkan jiwa.
Sudah begini, Ua Jun biasanya hanya diam memperhatikan.
Ia seolah tahu, keponakannya itu sedang menggulirkan waktu
dengan membaca buku.
Tak anehlah, sesaat sebelum raga terpisah jiwa, Ua Jun memer­
cayakan segenap koleksi bukunya kepada keponakan tercinta. Ha­
rapannya, semua buku tak terhitung jari itu bisa bermanfaat bagi
lebih banyak orang.
Tra tentu dengan sukacita mewujudkannya.
Bagian belakang rumah, bekas tempat menyimpan segala per­
kakas Abah, ia rapikan. Bersama Juju, adiknya, mereka memberes­
kan tempat tersebut dan membuat rak sederhana untuk “tempat
tidur” buku­buku yang beraneka itu. Lemari bekas peninggalan Ua
Jun yang dulu jadi tempat menyimpan buku­buku itu juga masih
digunakannya.
Tiap hari, Perpustakaan Beraja dibuka untuk siapa saja.
Tidak ada pungutan biaya.
Tapi, jika melebihi hari peminjaman, lima ratus rupiah di­
kalikan jumlah hari terlambat terhitung dari hari pengembalian
menjadi dendanya.
“Trus, kumaha, Neng? Mau kerja lagi nggak di kota?” pertanyaan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bi Mumun menyadarkan keduanya. Angin semilir di depan sempat


melayangkan angan ke sebuah kondisi di masa lalu.
“Laksmi tanya dulu ya, Bi,” jawab Tra sembari berhadap­hadap­
an dengan sang Bibi. “Memangnya Bibi mau nawarin kerja apa?”
“Bibi teh kerja di sebuah tempat calon romo itu lho....” Menda­
dak Bi Mumun bersemangat. “Biar di sana teh banyak calon romo,

Renjana (2).indd 15 11/29/2013 10:26:37 AM


16 | anjar

tapi mereka teh bageur pisan14. Udah nganggep Bibi kayak ibu me­
reka sendiri. Nggak pernah maksa apa­apa. Malah kalo Lebaran
nih ya, Neng..., yang ngasih bingkisan ke Bibi dan pekerja lain
yang merayakan Lebaran bukan dari mereka aja tapi dari keluarga
mereka yang suka nengokin. Ih, meuni resep deh, Neng15....”
Bukan karena cerita dari Bi Mumun yang membuat telinga
dan hati Tra mendadak seperti terang benderang. Dalam ingatan
jauhnya, ia seperti terlempar pada suatu masa. Di mana pernah ada
sepasang mata dan tahi lalat di bawah pipi sebelah kanan.
Ah ya.... Apa kabar Pak Frater Romo Firdaus sekarang?
Adakah ia termasuk yang diceritakan bibinya barusan?
“Mereka makannya juga nggak ngerepotin. Cocok ajalah sama
masakan Bibi,” tambah Bi Mumun lagi. Kali ini dengan perasaan
bangga. Matanya bersinar lebih cerah dan dadanya seakan mem­
busung ke depan. Kebanggaan terpancar sekali dari dirinya.
“Bibi bantu ngomong ke Mamah sama Abah atuh ya…,” pinta
Tra.
Kepala Bi Mumun mengangguk­angguk pasti.
Terik siang yang mengarah pada pusatnya itu membangkitkan
sebentuk renjana lama yang telah lama tersembunyi. Entah karena
mentari yang seolah tiada henti menari atau sebab bayu yang me­
langkah pergi....


PEMILIK rambut hitam tergerai dan indah dipandang mata itu
tampak menatap tak berkedip pada apa yang tersaji di hadapannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Langit bersih menyapu warna birunya, menyegarkan mata.


Perempuan lebih dari 35 tahun itu tersenyum melihat suasana
di hadapannya. Semburat langit hari ini mampu uraikan rasa.
Dulu, saat kecil, ia senang sekali memandang langit bertatahkan
warna biru begini. Dalam angan, banyak rupa yang bisa terlukis
14
Baik sekali
15
Senang sekali deh Neng

Renjana (2).indd 16 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 17

pada iringan awan putih berarak. Di atas sana seolah bermunculan


awan berbentuk beruang, nenek sedang menjahit, jerapah, kepala
anjing, kelinci, dan banyak lagi. Sangatlah riang di hati ketika sua­
tu hari ia berhasil memunculkan selarik lukisan malaikat sedang
bersiap terbang. Aaahhh...
Pemilik mata dengan binar bening itu baru ingat, betapa ia
sejak kecil mencintai cerita malaikat. Mamanya selalu mengajak
ia dan seorang kakak serta adik bungsunya untuk mendaraskan
doa kepada tiga malaikat pelindung: Mikael (Inggris: Michael),
Gabriel, dan Rafael. Bahkan kedua saudaranya itu mempunyai
nama baptis Michael dan Rafael. Dalam agama Katolik, nama
baptis adalah semacam nama tambahan berasal dari orang­orang
kudus (santo atau santa). Selain itu ada pula yang berasal dari
nama tokoh lain yang dikenal dan dianggap suci seperti nama ke­
tiga malaikat tersebut. Hal ini dilakukan supaya orang atau anak
tersebut mengikuti teladan santa atau santo yang menjadi nama
baptisnya.
Konon, semula ia akan diberi nama Gabriella. Tapi Oma tidak
setuju dan ingin memberi nama lain. Entah bagaimana ceritanya,
alhasil ia pun lebih dikenal dengan nama Carolina plus nama ke­
luarga: Wibowo.
Cerita yang selalu disebutkan oleh mamanya seputar nama
baptisnya itu begitu membekas hingga kini. Tak peduli rentang
waktu atau usia, malaikat adalah salah satu hal yang melekat di
hati.
Ola percaya, hidupnya kini selalu disertai oleh malaikat pe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lindung yang menuntunnya ke mana pun ia melangkah. Bahkan


ketika suatu saat ia rasa kakinya salah melangkah, malaikat itu
seperti membisikkan agar ia jangan meneruskan jalannya. Meski
kadang bengal dan tak berusaha mendengarkan, pada akhirnya
Ola menyadari dan mau mengikuti saran sang malaikat.

Renjana (2).indd 17 11/29/2013 10:26:37 AM


18 | anjar

kuminta malaikat pinjamkan sayap


hendak kuberikan padanya, agar bisa mendekapku
cepat

Ola tersenyum sendiri membayangkan malaikat itu sungguh


bisa terlihat sayapnya. Lalu, dilihatnya lagi malaikat itu mengem­
bangkan sayapnya dengan indah. Betapa menyenangkan jika bisa
berada di antara sayap itu.
Terbang. Mengitari awan. Menari. Diiringi lagu bayu dan men­
tari atau dewi malam.
Lalu, ketika sampai pada sebuah hati, sejenak rehat.
Hmmm... terpikir hendak mendekapnya erat, sekadar berbagi
betapa hangat bersama di antara sayap malaikat.
Tapi, apa mungkin boleh terwujud nyata, sementara hingga da­
sawarsa ini tak tertemui bahkan sekilas raganya?
Sekawanan awan putih mengulas nuansa biru langit. Lukisan
alam yang kembali indah. Tapi ah..., senyap hati menatap yang
dilihat mata di atas sana.
Ada sesuatu menusuk tak terperi.
Lukisan indah alam kali ini seperti melemparkan angan Ola
pada sebentuk kenangan lama. Mengusik sanubari, lalu jiwanya
turut menari­nari.

tak lekang rinduku di hadapan senja dengan hamparan semburatnya


mungkin ia tahu, sebab jingganya tak menyurut
senjakulah yang akan meneruskan rasa hati ini
http://facebook.com/indonesiapustaka

sehingga malam dijelang pagi, rinduku ‘kan terus terasa

Seraut senja memang sudah beriring menuju ke hadapan. Sem­


burat jingganya mengintip, memberi tanda bahwa tak mungkin ia
teruskan angan jika yang dititipkan pesan entah menatap langit
yang sama atau tidak.

Renjana (2).indd 18 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 19

Senyum yang sempat terkembang, menyemarakkan awan yang


masih setia beriringan di sana, berangsur mulai menurun sedih.
Kegalauan renjana makin terasa.
Duhai, awan dan langit di atas sana, tiadakah bisa kueja rasa hatinya
padaku saat ini? Kesemuan sekian lama ini jauhkanlah dariku, jangan
kembali. Aku hanya ingin kehadiran dirinya di sisi, tak membiarkannya
pergi.
Ola menarik napas panjang.
Bahkan, embusannya itu bisa menghantarkan senja menutupi
biru langit yang digeser jingga. Di sanalah akhirnya ia titipkan se­
gala resah.
Bukan agar yang dititipi ikutan meresah, namun agar ia dan
yang di sana kiranya bisa selalu merasa bahagia, meski mungkin
langit biru akan secepatnya diganti jingga senja atau malah kelam
malam.
Aku tahu, suatu saat kita akan menikmati semua ini bersama,
kalbu terdalamnya berujar pelan.


PENDARAN langit menyeruak sukma.
Lama sudah tak ada kalimat syukur atas keindahan ini.
Bukan karena alpa atau malas tanpa alasan, tetapi memang ha­
ti yang seolah dipendamkan segala kesibukan raga.
Dan, bila kini mata seperti diajak kembali memandang langit,
itu pasti karena ada tujuan agar rasa syukur itu kian berkembang
di bibir ini.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Aku mengagumi langit sebagaimana jiwaku memuji keagungan­Mu.


Dan, tanpa diminta, beribu kalimat puji dan syukur itu seolah
lancar memenuhi lidah dan hati. Sepertinya, ia hendak menyata­
kan keagungan lewat pandangan mata pada awan berarak di siang
ini. Dari baris awan memanjang putih laksana tarikan kuas pelukis
semesta pada bentangan biru nan megah.

Renjana (2).indd 19 11/29/2013 10:26:37 AM


20 | anjar

aku manusia biasa


Di antara semesta alam
tak dapat lagi berdebat
siapa yang paling pantas
dinyatakan hebat
ketika air jernih mengalir
membasuh wajah kota
yang sering kali angkuh
menantang kenyataan alam
Lalu…
Masih bolehkah tanganku terlentang
mataku menatap terang
tentang kuasa luar biasa
yang bisa jadi
tak kunjung berani
untuk sekadar bungkukkan hati
sebagai tanda hormat
kepada alam dan Penciptanya

Lalu, apakah pasang mata ini hanya mengagumi sendiri?


Tiadakah pasang mata lain di batas bumi sana yang menatap
pijaran indah langit kali ini?
Hmmm....
Mengapa tiba­tiba hati Daus mendadak lebih gegap gempita
ketika satu sudut dilihatnya awan putih membentuk sebuah huruf.
Seperti menjawab tanyanya barusan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Huruf “o”.
Sejenak akal budinya memikirkan sebuah nama.
Tiada diperintah apalagi terencana, mulut Daus mengeja satu
nama, “Ola”.

Renjana (2).indd 20 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 21

KEANGGUNAN perempuan dengan jilbab putih itu telah men­


jadikan hati Wie tiada mampu mengelak lagi. Di sudut terdalam
dari renjana yang ia punya, ketulusan cinta perempuan itu takkan
perlu tersingkirkan.
Tiada pula alasan lain menjadikannya berlalu dari hadapan.
Keindahan karunia hidup dipancarkan dari semua yang ada
dalam diri perempuan yang telah menemaninya sekian lama itu.
Padahal, tak ada niat sengaja hendak mempertemukan mata
dengan matanya. Sebab di suatu hari, seorang teman lama meng­
undang makan bersama di hari Minggu. Seperti biasanya, bersama
banyak teman lama, setiap sebulan sekali. Makan bersama, tukar
cerita, dan berbagi tawa. Dalam kedekatan sekian lama ini, ke­
hangatan dan perhatian banyak teman adalah obat mujarab dari
kejenuhan dan masalah sehari­hari.
Di bulan itu, Fandi, teman main sekaligus teman sebangku
SMA mengajak sepupunya untuk ikut bersama mereka. Anak dari
tantenya itu baru datang dari Solo, hendak mencoba keberuntung­
an di Kota Paris van Java ini.
Keluguan dan keayuan khas perempuan Solo, menyita mata
Wie untuk tak berkedip menatapnya. Ejekan teman­teman bahkan
Fandi sendiri, tak ia pedulikan.
Hari itu, hati Wie berguncang lebih kuat dari biasa.
Perempuan berkulit kuning langsat, dengan jilbab nan anggun
telah melelehkan hati Wie yang sekian lama entah tersembunyi di
mana dan karena apa.
Dalimah namanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Konon nama itu berarti “kata hati”. Bisa diartikan pula perem­
puan yang selalu terbuka kepada siapa pun, jujur dan tidak pernah
menyeleweng.
Tak terbendung lagi renjana Wie.
Sejak hari itu, tiada hari dihabiskan tanpa terus menyapa dan
merapatkan hati kepada sang pujaan jiwa. Sekian waktu, tanpa
sungkan Wie melakukan pendekatan dan pengenalan. Dibantu

Renjana (2).indd 21 11/29/2013 10:26:37 AM


22 | anjar

Fandi yang mendukungnya, hingga satu tahun lebih kemudian,


Wie dan Dalimah menyatu dalam sebuah ikatan cinta lahir batin.
Pernikahan cukup megah itu terlaksana lancar.
Tiada kebahagiaan lebih selain sesaat semua bisa terjadi sesuai
rencana. Bahagia Wie saat itu semacam puncak dari apa yang di­
nanti yang kadang nyaris menjemukan.
Dalimah adalah jawaban renjana Wie.
Hidupnya seperti sempurna atas kehadiran seorang perempuan
bersahaja. Menjadi lebih sempurna lagi ketika dua tahun setelah
renjananya terobati, lahirlah Danica. Bayi mungil laki­laki itu
menjadi bintang pagi yang sangat menggairahkan hari.
Betapa Wie tak bersyukur senantiasa, hidupnya teberkati sudah.
Tak ada lagi umpatan atau helaan sesal tiap kali ia kembali
pada keluarga kecilnya itu. Kebahagiaan berlapis­lapis ia rasakan
kini. Tiada peduli pada masa lalu yang sempat merekatkan hatinya
untuk tak ingin sekadar berlari, mencari pengganti.
Tapi....

aku tak bisa meraba pagi


sesaat terang, menuai ceria
kemudian mendung, mengurung hati

Laksana pagi yang semula begitu ceria, dengan matahari ber­


sanding di awan putih berarak, mendadak ada mendung tak diun­
dang menghantui.
Demikian yang terjadi pada sanubari Wie.
Sejak tertemukan puisi tak bernama di surelnya, angannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

kembali berjalan pada masa sekian lalu.


Bahagia titian hari selama ini, tampak tak dipedulikan beberapa
saat. Atau, setidaknya Wie mencoba membagi dua perhatiannya.
Angan lama ini benar telah menjadikannya terimpit di antara
masa lalu dan masa kini. Hendak berontak, tapi hal itu pasti akan
semakin menyiksanya.
Lalu, bagaimana ia menjalani semua, satu hati dalam dua jiwa?

Renjana (2).indd 22 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 23

Di Biara Fidaus
DALAM resah menderu, Daus menarik napas lebar.
Cerita panjang baru saja keluar dari mulut sahabat dekatnya,
Romo James, seorang romo asli dari daerah Timur. Karena sudah
lama tinggal di tanah Jawa maka sesekali terdengar logat Jawa dari
mulut romo satu ini. Cukup membuat Daus tersenyum geli. Agak
aneh terdengar di telinga. Logat dan wajah tidak nyambung.
Tapi Romo James tidak peduli. Dia bilang, logat Jawa­nya jus­
tru susah hilang ketimbang logat daerah aslinya.
“Aku prihatin lho Dik Daus, sama adek­adekku itu,” ujar Romo
James. “Begitu keluar dari daerah, lha kok malah seperti orang ke­
luar dari hutan. Ndak lihat sana­sini, sradak­sruduk gitu aja...”
“Yah... tantangan zaman, Mas...,” Daus memang sudah biasa
memanggil Romo James dengan sebutan “Mas”. Selain karena
usianya lebih tua, secara angkatan Romo James juga lebih senior.
“Apa tidak ada pendampingan buat adik­adik Mas itu?”
“Lho sudah, Dik.... Sudah.... Biar kami beda rumah, tapi semua
adik dan adik­adik lain yang berasal dari daerahku sering sengaja
berkumpul untuk saling berbagi dan menguatkan. Termasuk,
mengingatkan yang muda supaya ndak terbawa arus hedonisme
masa kini.”
“Lalu, adakah alasan mengapa mereka sempat berdemo minta
agar diperbolehkan memegang HP?”
Romo James mengangkat bahu. “Itu dia yang saya ndak terlalu
paham. Mereka cuma bilang bahwa mereka butuh HP sebagai alat
http://facebook.com/indonesiapustaka

komunikasi.”
“Yah... mungkin kita memang harus mengikuti perkembangan.
Selama mereka bertanggung jawab, mengapa tidak?”
Romo James terdiam. Tak lama ujung matanya seperti menatap
Daus penuh makna. Yang ditatap malah sedang asyik membalas
sapa di smartphone­nya. Mumpung ada sebentar waktu untuk bisa
membalas salam sapa dari rekannya.

Renjana (2).indd 23 11/29/2013 10:26:37 AM


24 | anjar

“Lalu, apakah kaul kemiskinan kita masih berarti?”


Daus menyudahi kegiatannya. “Tentu masih, Mas.... Kita me­
miliki banyak alat canggih ini pasti dalam batas yang tidak akan
melanggar kaul kita itu.”
“Tapi, manusia masih punya nafsu, Dik.... Termasuk kita, kaum
berjubah ini....” Ada nada menurun terdengar di telinga Daus. Na­
da sedih itu menyelinap diam­diam di dasar hati terdalam.
“Saya tidak antiperkembangan, tidak hendak ingin membatasi
gerak komunikasi kita yang makin canggih dan merasuki dunia
klerus16. Tapi, seberapa penting dan butuhnya, itulah yang perlu
dicari. Ingat lho, Dik... Yesus saja, biar sudah mengutus murid­
Nya, tetap mengajari untuk turun langsung. Pergi berdua­dua, ma­
suk­keluar kota. Seperti lagu itu....”
Firdaus diam. Mencoba mencerna.
Dilema soal ini sering dihadapi. Antara kebutuhan dan kepen­
tingan kadang berbenturan.
Saat ia terdiam, mencoba membiarkan hati dan telinganya
mengolah untuk menjadikan langkah ke depannya lebih baik,
suara ringtone yang biasa saja, bukan lagu panjang sebagaimana
biasanya, terdengar jelas di telinga. Agak jadul dibanding dengan
ringtone masa kini yang bisa beraneka lagu atau musiknya.
Tangan Romo James, orang penting di keuskupannya, merogoh
saku. Dengan pasti, ia mengangkat Nokia 3310 lalu memberi kode
kepada Daus untuk membiarkannya sejenak menerima telepon.
Daus mempersilakan. Sementara sang sahabat menelepon, smart­
phone Daus berbunyi kembali. Berulang kali, dengan bunyi berbe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

da, sebagai kode ada pesan masuk dari beragam sosial media yang
disajikan benda canggih itu.
Tapi, tak ada niat hati menanggapi.
Ada rasa malu, menyelinap tanpa permisi.
Ah, sudah sejauh mana kulakukan banyak hal dengan fasilitas
ini? Daus bertanya sendiri.
16
golongan rohaniwan

Renjana (2).indd 24 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 25

Sebuah Tempat Tersembunyi

BERGABUNG alunan alam di batas hari.


Meski mungkin mengalun sendiri, tampaknya batas alam itu
telah membaca situasi. Maka, ia tak peduli.
Semburat jingga adalah satu­satunya warna yang bisa mene­
mani semaraknya. Sekian pasang mata mengagumi deretan warna
indahnya itu tiap senja, hanya pengalihan atas hari yang akan
berganti. Jika jingga itu menipis dan akhirnya pergi, niscaya nada
kagum itu pun ikut berganti.
Di antara rasa inilah, ada hati yang tetap selalu berusaha me­
nikmati.
Ia paham, sangat paham, bahwa di batas siang menjelang
malam masih ada senja. Dan, di titik akhir yang nyaris disebut
malam, justru ada pujian bagi Pencipta atas anugerah hari itu.
Pujian yang selalu memanggil umat­Nya agar kembali bersyukur,
melengkapi lima waktu kewajibannya.
Di sanalah ia hidup. Di sanalah ia bernapas. Meski jika ditanya,
hendak pilih mana siang atau malam, ia takkan sanggup menja­
wabnya. Selama napas masih terurai panjang, ia mau menikmati
dan mensyukurinya. Tidak peduli kakinya tak jelas menjejak ke
mana.
Inilah hidupnya.


http://facebook.com/indonesiapustaka

Eaters.com Café

MATA Ola berbinar senang. Di hadapannya kini sudah hadir se­


orang kawan lama yang akhirnya bisa bertemu kembali.
“So glad to meet you, Aisah....” Ola memeluk kencang perempuan
cantik berkulit putih bersih yang sudah sejak masuk kuliah memu­

Renjana (2).indd 25 11/29/2013 10:26:37 AM


26 | anjar

tuskan untuk mengenakan jilbab. Selain demi mengikuti ajaran


agama, pilihan berjilbab itu dilakukan sebagai pemenuhan nazar17­
nya karena bisa menembus perguruan tinggi negeri, sesuai cita­
citanya.
“Aku juga, Ola.... Duh, kamu kok tambah cantik gini sih?”
Aisah sengaja menuntun Ola untuk berputar di hadapannya. Ola
pun menuruti. “You are very pretty, Ola....”
“Hehe.... Thank you, Aisah....”
Keduanya duduk di sofa empuk di kafe tempat mereka berken­
can.
“Kapan kamu kembali lagi ke Indonesia?” tanya Aisah sembari
menyeruput minuman dingin yang lebih dulu ia pesan sembari
menunggu.
Ola memesan sup iga bakar, menu makanan favorit serta tak
ketinggalan menu minuman favorit dari kafe tersebut, kepada pe­
layan yang telah menunggunya.
“Sebenarnya sudah lama, Sah.... Sejak Mama sakit keras, aku
bolak­balik Kanada­Bandung. Tapi, setelah Mama meninggal, baru
kuputuskan tetap di Bandung saja. Kasihan Papa....”
“Lho, kakak dan adikmu di mana?”
“Ko Michael ada di Jakarta dengan keluarganya. Si Rafael
kerja di Kanada. Baru bisa pulang paling setahun sekali. Jadi, ya
memang aku yang diharapkan. Lagian, aku sudah keseringan ka­
bur nih.... Mungkin saatnya untuk menetap,” cerita Ola lancar.
Senyum terkembang di bibir merahnya.
Aisah turut tersenyum.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sebentar ia biarkan pelayan kafe menaruh pesanan Ola di me­


ja. Aroma makanan yang dipesan Ola merangsang perut Aisah
untuk ikut mencoba.
Sebagaimana kebiasaan lama mereka yang ternyata tak pernah
luntur, Ola menyorongkan piringnya agar sahabat lamanya itu bisa
mencicipi. Tanpa disuruh, Aisah pun mencicipi dan menikmati
17
janji

Renjana (2).indd 26 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 27

makanan itu. Ada taste tradisionalnya. Kepala Aisah angguk­ang­


guk mengakui rasanya.
“Lalu, kamu masih tetap tidak menikah, La?” tanya Aisah sem­
bari mengelap mulut dengan tisu yang tersedia.
“Ya... aku kan memang sudah berniat begitu,” Ola gantian me­
nikmati makanannya.
“Bukan karena nggak jadi sama Ben, kan?”
Ola melambaikan satu tangannya, pengganti kata “tunggu du­
lu” sembari ia menikmati makanan itu.
“Ben sudah masa laluku, Sah.... Di mana dia dan sedang apa,
aku sudah tidak tahu,” jawab Ola datar.
“Lost contact gitu aja?”
Kepala Ola angguk­angguk.
Aisah tidak percaya. Tapi ia hanya menyimpannya dalam hati.
Meski sejak selesai kuliah mereka tidak pernah bertemu, Ola
masih sekali­sekali menelepon dan berbagi cerita tentang banyak
hal. Antara lain tentang kisah cintanya dengan Ben.
Dalam angan Aisah, meski jalan Ola dan Ben sempat salah,
tapi jika berjodoh, siapa yang tahu?
“Mmm.... Lalu, yang teman kecilmu yang jadi fra... fra apa
tuh?” Aisah mencoba mengeja sebuah nama.
“Frater Firdaus?”
Perempuan berkulit putih bersih, seputih kulit Ola itu menjen­
tikkan jarinya. “Iya, Frater Firdaus.... Di mana dia sekarang?”
“Ada. Di Bandung juga. Sempat keluar daerah sih, tugas. Tapi,
balik lagi ke kota ini.”
“Apa tugasnya emang?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Dia sudah jadi romo sekarang. Bertugas ke beberapa daerah.


Sempat ke luar negeri juga malah.”
“Ooohhh...,” Aisah mengerti. Ia mengangguk­angguk. “Masih
sering bertemu, kalian?”
Kepala Ola menggeleng. “Aku tahunya nggak sengaja aja.
Kan selama ini aku bolak­balik Bandung­Kanada. Paling baru dua
tahunan ini menetap.”

Renjana (2).indd 27 11/29/2013 10:26:37 AM


28 | anjar

“Selama itu belum pernah ketemu?” Aisah tidak percaya.


Ola menyeringai.
Memang aneh, satu kota kok tidak pernah bertemu. “Demikian
kenyatannya kok, Sah.... Yah, mungkin suatu saat.”
Aisah tidak menanggapi lagi.
Ia berusaha menghabiskan makanan yang ia pesan hingga suap­
an terakhir. Sayang jika tidak dihabiskan.
Sementara, kafe ini semakin menggeliat.
Beberapa tamu mulai berdatangan. Kafe ini cukup cozy. Nya­
man untuk sekadar nongkrong atau mengobrol. Lokasinya juga
masih di area kota, di Jalan Bengawan, sehingga strategis dari arah
mana saja.
Konon, kafe ini dimiliki oleh seorang mantan frater18. Tidak
dapat meneruskan cita­citanya bukan berarti mati segala. Buktinya
ia bisa meneruskan hidup dengan membuka usaha kafe ini bahkan
mengajak beberapa rekannya yang mungkin bernasib sama de­
ngannya untuk bekerja di sana. Ia ingin agar tempat usahanya bisa
menjadi batu loncatan untuk kehidupan mereka selanjutnya.
“Kamu sendiri gimana dengan kehidupanmu sekarang?” Ola
ingin tahu juga tentang kehidupan sahabat lamanya itu.
“Aku?” Aisah menunjuk dirinya sendiri. “Aku jelas happy
dong.... Hidupku jauh lebih bahagia dan penuh arti sekarang.”
“O ya?”
“Ya.... Aku benar­benar merasa, inilah kebahagiaan hidupku
yang lama kucari.”
“Meski kamu harus kembali ke kampungmu di ujung dunia
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu?”
“Haha.... Masih ingat saja kampung halamanku nan jauh di
mata itu,” Aisah tertawa ringan.
Ola memang pernah ia ajak berkunjung ke kampung halam­
annya. Meski mereka memakai kendaraan sendiri dan sopir, tetap
18
Jenjang sebelum menjadi romo

Renjana (2).indd 28 11/29/2013 10:26:37 AM


renjana | 29

saja perjalanan mereka terasa panjang dan lama. Butuh waktu


sekitar 12 jam untuk mencapai desanya, termasuk untuk beristira­
hat beberapa kali.
Kampung halaman Aisah sendiri sebenarnya sebuah desa yang
menyenangkan. Penduduknya ramah, dikelilingi banyak hutan ja­
ti dan sawah menghijau. Sebagian besar memang daerah kering,
tetapi beberapa tanaman tetap tumbuh subur bahkan menjadi ko­
moditas perdagangan.
Mungkin karena tempatnya yang terpencil dan masih meman­
carkan aura pedesaan meski modernisasi juga tidak jauh dari desa
ini. Alat­alat komunikasi dan informasi sudah sedemikian banyak
dimiliki masyarakatnya. Bahkan, alat transportasi paling baru pun
sudah ada, melindas jalan bebatuan yang masih meratakan jalan
utama desa.
Perjalanan melelahkan satu waktu itu ternyata terbayarkan
dengan suasana desa yang menyenangkan plus keindahan peman­
dangan saat matahari terbenam. Sengaja Aisah mengajak Ola
berlari ke sebuah tempat yang lebih tinggi di desa tetangga dan
menikmati senja yang menurun di sana.
Tentu saja, selain mata mengagumi, kamera Ola berhasil meng­
abadikannya. Hasil gambar dari kemuliaan senja yang hendak
mengundurkan diri dari takhtanya itu adalah salah satu gambar
terbaik dan favorit Ola hingga kini.
Sengaja ia besarkan foto itu dan ia pajang di ruang kantornya.
“Sah, apa rasanya menikah dengan duda dua anak?” tanya Ola
tiba­tiba.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Aisah tersenyum. Tidak ada rasa marah atau sebal di wajahnya.


Dia tahu, pertanyaan itu sekadar pertanyaan ingin tahu saja.
“Awalnya memang aneh, La... apalagi kamu tahu, aku dianggap
tidak lazim menikahi seorang duda dengan dua anak. Tetap masih
pengangguran pula. Tapi, lama­lama aku menikmati. Suamiku juga
sedikit demi sedikit berubah. Yah maklumlah dia kan orang asli
sana. Kamu lihat sendiri kan laki­laki di sana rata­rata gimana….”

Renjana (2).indd 29 11/29/2013 10:26:37 AM


30 | anjar

Ola tersenyum kecil.


Ia ingat betul, banyak laki­laki di desa itu yang ternyata me­
milih menganggur daripada bekerja.
Sebuah pilihan hidup yang aneh.
Lalu, bagaimana mereka bisa hidup?
Dari istri atau ibunya. Para perempuan itulah yang terlihat sa­
ngat giat bekerja. Merekalah yang memenuhi kebutuhan rumah
tangga. Sementara, para laki­laki entah nongkrong, merokok, me­
nonton TV, sesekali membereskan rumah, atau malah tidur.
Ola sempat risi dengan pemandangan ini.
Tapi menurut Aisah, demikianlah yang terjadi, seperti lingkaran
setan yang tidak menemui ujungnya.
Oleh karena itu juga, Aisah memberanikan diri keluar dari de­
sanya untuk melanjutkan kuliah di Bandung, sesuai cita­citanya.
Selepas kuliah ia pun bekerja pada sebuah perusahaan interna­
sional. Sebagian dari hasil jerih payahnya ia berikan pada keluar­
ganya. Termasuk kakak dan adik laki­lakinya. Keduanya tidak
bekerja meski sang Kakak sudah berkeluarga. Sementara, adik
laki­lakinya masih luntang­lantung ke mana­mana. Aisah masih
punya satu orang adik perempuan. Pada adik perempuannya ini
ia amat berharap bahwa lepas SMA nanti, adiknya itu mau keluar
juga dari desanya.
“Lalu, apa yang membuatmu mengatakan iya ketika dilamar
suamimu dulu?” rasa penasaran Ola bergelayut.
Entah mengapa Aisah selalu membalas pertanyaannya dengan
senyum manisnya terlebih dahulu. Sahabat dekat yang tahu persis
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagaimana Ola sempat drop setelah kejadian Firdaus tetap memilih


untuk menjadi romo itu memang dikenal ramah dan hampir tak
pernah marah.
“Aku melihat masa depan anak­anaknya. Ibunya sudah me­
ninggal, mereka masih kecil­kecil. Dan, aku ingin sekali pola pikir
mereka bisa berubah.”
“Well... kamu berani sekali, Sah...”

Renjana (2).indd 30 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 31

“Bukan cuma karena keberanian, La.... Ini soal tanggung jawab


hidup. Aku mau menjadi bagian dari itu....”
“Ow…,” Ola menarik badannya hingga menyentuh punggung
kursi. Ada nada kagum atas pilihan hidup sobatnya itu.
“Kamu tahu? Dua anak tiriku itu sekarang malah punya cita­
cita mau sekolah di Jogja dan Bandung.”
“O ya?”
Aisah mengangguk mantap. “Dan itu menyenangkan hatiku.
Aku bertekad mewujudkan cita­cita anakku.”
Ola jadi tersenyum senang. Benar­benar membanggakan apa
yang dilakukan Aisah ini. “Lalu, usahamu selama ini gimana? Kan
sudah buka cabang di mana­mana tuh....”
“Alhamdulillah, La.... Adik cowokku sudah megang yang di
Blora. Yah..., nggak jauh, tapi sudah bagus. Sedang membujuk
kakakku nih supaya mau megang yang di Cepu. Kalau yang di
Semarang dan Solo sih masih dipegang olehku walaupun dibantu
beberapa saudara yang tinggal di sana.”
Setelah memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya,
Aisah membuka warung sate. Warung sate itu ternyata berkembang
cukup baik. Apalagi ia juga menjual suasana yang nyaman dengan
tetap mempertahankan aura tradisional. Maka, tak heran dalam
waktu kurang dari sepuluh tahun, ia sudah punya cabang di mana­
mana.
Warung makannya laris. Melihat usaha istrinya berkembang
pesat, sang suami pun tertantang untuk membantu. Meski hanya
sesekali datang atau membantu sekadarnya, tapi bagi Aisah itu
adalah berkat. Apalagi suaminya kini sudah bisa menyetir. Jadi,
http://facebook.com/indonesiapustaka

kalau mereka harus ke luar kota, sudah ada sopir pribadi yang bisa
diandalkan.
“Kamu sungguh sudah punya hidup yang bahagia ya, Sah?”
Aisah tersenyum.
“Apalagi sebentar lagi aku bakal kedatangan seseorang lagi un­
tuk menambahkan kebahagiaan kami.” Mata Aisah langsung ter­
arah pada perutnya, tangannya segera mengelus­elus perutnya itu.

Renjana (2).indd 31 11/29/2013 10:26:38 AM


32 | anjar

“Kamu sedang hamil?” Ola terbelalak melihat pemandangan


barusan.
Kepala Aisah mengangguk mantap.
Tak pelak lagi Ola terbelalak senang. Tanpa ragu ia berdiri, me­
nuju tempat duduk Aisah yang berhadap­hadapan dengannya lalu
memeluk sahabatnya itu kencang.
“Selamat, Dear.... Duh, senangnya sahabatku ini akan punya
bayi.”
“Thanks, La.... Ini hadiah terindah bagi kami, terutama aku
sendiri. Tahu sendiri usiaku sudah tidak muda lagi.”
“Haha.... Kamu nggak kelihatan nyaris kepala empat kok...,”
Ola memainkan sebelah matanya.
Siang menjelang sore itu pun melebur dalam sebuah kebaha­
giaan tak terkata. Bahkan saat minuman masing­masing perempu­
an yang memiliki seribu cerita itu habis, tanpa ragu mereka me­
mesannya lagi dengan semangat demi berbagi banyak lagi cerita.
Betapa hari ini menjadi berkah tersendiri.
Sengat gagahnya sinar matahari bukanlah penghalang agar sisa
waktu berdua kini tidak bergulir sendiri.

PENCIUMAN Daus demikian terusik.
Di telinganya seperti ada yang berbisik, segera ke dapur dan
mencari apa yang mengusik.
Langkah kakinya bersegera menuju sumber bau harum yang
memecah kesunyian siang ini.
Begitu satu kakinya menginjakkan lantai dapur, senyum dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pujian tak ragu ia sembur, “Baunya harum sekali, Bi.... Masak apa?”
“Eeehhh… Den Romo Daus.... Ini asin peda. Tadi Bibi beli di
pasar. Lagi pengen, Den.... Sekalian buat pekarya di sini juga,” je­
las Bi Mumun sembari terus menggoreng.
“Kenapa nggak sekalian dengan penghuni rumah juga, Bi?” Daus
mendekati Bi Mumun yang tampaknya sudah selesai menggoreng
asin peda yang menggugah selera itu.

Renjana (2).indd 32 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 33

“Bisi19 pada nggak suka, Den....” Tangan terampilnya mulai me­


racik bahan­bahan untuk membuat sambal terasi.
Duh, air liur Daus makin tak tertahankan.
Tiada yang lebih sedap dan menyenangkan jika ia diperkenankan
untuk sekadar mencicipi bahkan menyantap hidangan spesial ini.
“Kalau Den Romo mau, Bibi sisakan deh...,” ujar Bi Mumun se­
telah menyadari bahwa Daus terlihat sangat ingin bisa menyantap
masakannya itu.
“Sama sambal terasinya juga ya, Bi....”
“Boleh, Den….”
Belum sempat kegirangan menyertai senyum Daus, mendadak
Pak Tumi masuk ke dapur lalu mendekati Daus.
“Punten, Romo... ada yang mencari Romo Daus...,” katanya so­
pan sambil menunjuk ke arah ruang tamu biara.
“Tamu? Siapa?” Daus balik bertanya. Ia mencoba mengingat­
ingat.
“Saya nggak tanya namanya, Romo. Tapi, ibu­ibu muda gitu.
Katanya sudah janjian dengan Romo lewat BBM kemarin siang.”
Daus mengernyitkan keningnya.
Lewat BBM, kemarin siang?
Siapa gerangan?
Sembari berpikir, langkahnya kembali berayun menuju ruang
tamu. Meski dalam hati ia sedikit mengumpat, siapakah yang hen­
dak menemuinya siang­siang begini?
Nomor PIN BB­nya sudah telanjur beredar ke mana­mana, ia
tak bisa mengelak. Termasuk, kepada umat yang mau menemuinya
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu.
Sebentar ada rasa enggan.
Perasaannya terusik, intuisinya sebagai romo mengatakan agar
ia berhati­hati kepada tamunya yang satu ini. Langkahnya hati­ha­
ti sekali saat membuka pintu dan masuk ke dalam ruang tamu. Ti­
19
siapa tahu

Renjana (2).indd 33 11/29/2013 10:26:38 AM


34 | anjar

dak bisa ditangguhkan lagi. Raganya sudah dipastikan akan masuk


ke dalam.
“Selamat siang, Romo....” Perempuan muda, yang usianya pasti
tidak terpaut jauh darinya itu berdiri.
Kemeja tipis yang ia kenakan bagian dalamnya menerawang
jelas. Gincu merah muda menyertai bibir kecil yang, hmmm....
Rambutnya yang setengah diwarnai pirang, ia ikat ke atas.
“Saya Marry, yang kemarin sempat BBM­an dengan Romo dan
janjian ketemu...,” ujarnya ramah sembari mengulurkan tangannya.
“Ooh.... Ya, memang ada yang janjian sama saya siang ini. Tapi,
kok avatarnya anak ABG ya?” Daus cuek saja bertanya sembari du­
duk di hadapan perempuan itu.
“Oh, itu anak saya. Anak tertua saya. Della namanya,” ujarnya
masih ramah.
Kepala Firdaus angguk­angguk. “Maaf, usia Ibu berapa?”
“Empat puluh tiga, Romo...,” jawabnya lancar. “Mmm… kalau
Romo berkenan, bolehkah Romo memanggil saya dengan nama
saja?”
Daus agak terperanjat.
“Wah, bukannya saya tidak berkenan, Bu.... Tapi, secara etika,
usia Anda di atas saya. Yah..., meski tidak terlalu jauh juga.”
“Kalau begitu panggil saya Mbak Marry saja, Romo.... Saya
risi kalau dipanggil Ibu,” kali ini suara itu terdengar manja. Raut
wajahnya pun menampakkan ekspresi selayaknya anak kecil ter­
sipu.
Mata Daus berusaha melengos. Tidak terlalu menggubris pe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

mandangan menarik ini.


“Jadi, apa yang bisa saya bantu, Mbak?”
“Begini, Romo...,” Marry memajukan posisi duduknya. Berha­
dap­hadapan, dengan kaki rapat yang menjadi tumpuan tubuhnya.
Dengan posisi duduk seperti itu, sebagai seorang laki­laki lajang,
Daus mendapat tantangan yang teramat sulit.
Akh.

Renjana (2).indd 34 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 35

Matahari sedang panas­panasnya bertengger di luar.


Bagi orang lain, mungkin pemandangan ini bisa menjadi pe­
nyegar suasana, namun tidak dengan Daus yang mulai risau.
Rasa manusianya mendadak tumbuh.
Ini bukan hal pertama yang harus ia hadapi. Tapi, selalu saja
ada rasa tak nyaman yang mau tak mau harus ia hadapi.
“Saya sudah berkeluarga selama sekitar empat belas tahun ini.
Usia suami saya lebih muda lima tahun. Kami bertemu saat sama­
sama bekerja di sebuah bank,” cerita Marry lancar.
Daus mendengarkan dengan tenang dan saksama.
“Ketika kami menikah, dia berjanji akan mendahulukan ke­
pentingan keluarga barunya dan melepaskan kepentingan keluarga
intinya dulu.”
“Maksudnya gimana, Mbak?”
“Dia sebenarnya anak seorang pengusaha kaya, Romo.... Jadi,
waktu kami sama­sama kerja di bank itu sebenarnya cuma cara dia
untuk menunjukkan eksistensinya saja.”
“Ooo gitu.... Lalu?”
“Lalu...,” Marry menyilangkan kakinya. Wajahnya kian serius.
Tapi oh, mengapa posisi duduknya jadi lebih maju ke depan.
Duh, Gusti… perutku memang sedang lapar kini. Tapi, tak
ingin kukenyangkan dengan pemandangan ini, batin Daus. Jauh­
kan aku dari segala pikiran tak perlu, ya Allahku, berlanjut doa di
sanubari. Dalam simpatinya atas cerita Marry barusan, Daus tetap
berusaha untuk tidak menampakkan rasa gundahnya barusan.
“Suami saya itu sekarang berubah, Romo.... Dia mulai sering
http://facebook.com/indonesiapustaka

pulang ke keluarganya dengan alasan sedang ada proyek dengan


papa dan kakaknya.”
“Lho, bagus kan? Apa yang salah?”
“Masalahnya... alasan dia dulu tidak ingin meneruskan perusa­
haan keluarga adalah sebab ia merasa dikekang, harus menuruti
apa mau keluarganya itu. Termasuk, soal jodoh....”

Renjana (2).indd 35 11/29/2013 10:26:38 AM


36 | anjar

“Kan Mbak dan dia sudah sah suami­istri. Masa harus dijodoh­
kan juga?”
“Itulah masalahnya, Romo...,” kali ini suara Marry terdengar
menurun. Ada kesedihan seperti tersimpan di sana. “Rupanya
selama ini keluarganya sudah menjodohkan dia dengan seorang
perempuan dari rekan bisnis papanya.”
Sekarang Daus lebih menampakkan mimik seriusnya.
Matanya menatap perempuan yang sedang tertunduk itu.
“Saya mendengar dia mulai dekat dengan perempuan itu, Ro­
mo.... Saya juga sempat membaca BBM mesranya kepada dia.”
“Sudah Mbak kroscek?”
Kepala perempuan itu angguk­angguk. “Sudah, Romo. Tapi, dia
seperti menghindar. Saya nggak bisa maksa. Padahal saat ini anak
kedua saya belum sembuh benar dari sakitnya.”
“Oh, sakit apa?”
“Ada komplikasi di bagian perutnya. Bawaan dari kecil, saat
dia lahir.”
“Dan, suami Mbak tahu betul masalah itu?”
“Sangat tahu, Romo....”
Perempuan itu menarik napas menahan segala rasanya.
Terasakan betapa berat masalah yang dihadapinya. Dalam satu
waktu harus berusaha merentangkan hati.
Nuansa kesedihan itu kian terasa.
Apalagi kemudian makin lancarlah semua keluh kesahnya
tentang rentetan masalah lain yang menjadi buntut dari apa yang
ia ceritakan barusan. Daus hanya bisa berusaha menyediakan te­
http://facebook.com/indonesiapustaka

linga dan hatinya senantiasa. Sesekali komentar bermaksud me­


nguatkan, ia keluarkan. Tiada niat hendak membendung kesedih­
annya dengan banyak kalimat lain yang mungkin tidak tepat di
waktu ini.
Sedikit banyak simpati itu menjadikan Daus bisa memahami
situasi yang terjadi.

Renjana (2).indd 36 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 37

Dari Sebuah Tempat yang Tersembunyi


tak lekang rinduku di hadapan senja dengan hamparan semburatnya
mungkin ia tahu, sebab jingganya tak menyurut
senjakulah yang akan meneruskan rasa hati ini
sehingga malam dijelang pagi, rinduku ‘kan terus terasa

SEJUJURNYA ia telah lelah melakoni dua rasa yang tak pernah


bisa melangkah bersama­sama ini.
Ingin ia putuskan memilih satu saja di antaranya. Tapi, saat
berbulat tekad hendak memutuskan, nyatanya dua rasa itu kian
menerjang, berbondong­bondong menebar aroma yang membuat­
nya kian terpuruk. Tak dapat melakukan lebih selain, lagi­lagi
menikmati.
Ia menyebutnya pagi dan senja.
Ketika pagi, ia akan menjadi sesuatu yang menyegarkan. Pem­
buka awal kehidupan. Semua orang bersukacita dan menyatakan
bahwa pagi adalah pembuka hari yang baik. Tidak ada yang me­
nentang sebab memang demikianlah semestinya terjadi.
Namun, di saat pagi terus beranjak memanggil siang, mendadak
mulai ada senja yang menjadi perantara sebelum memanggil ke­
lam. Semburat jingganya demikian menawan, tak ada yang bisa
menyaingi bahkan beningnya embun pagi.
Dan, itu menarik hatinya.
Sedikit tersingkirkan kesegaran dan kemurnian pagi dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

segala kemakluman alam semesta. Hati tak bisa dibohongi bahwa


senja ini memikat bagian rasa lainnya.
Maka, berlama­lamalah ia mengagumi senja. Tak peduli se­
bentar saja. Tak peduli sering kali hujan menghalang mata menga­
gumi semburat jingganya. Yang penting ia telah dapat menikmati
dan merasa bahagia karenanya.
Hati dan rasanya bergeming di bawah haribaan senja.

Renjana (2).indd 37 11/29/2013 10:26:38 AM


38 | anjar

Tak hendak beranjak dan berharap panjang agar senja tak sege­
ra meninggalkan. Tapi, apa mau dikata, rentang waktu sempit sen­
ja nan genit harus diambil alih kelam yang akan menguasai alam
di rentang waktu yang panjang.
Dan, mendadaklah seribu perih menghampiri....
Tiada yang hendak mengetahui apalagi memastikan apa sebe­
narnya maksud hati.
Dikaguminya pagi, meski pada senja ia pun tak ingin beralih....


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 38 11/29/2013 10:26:38 AM


3.

MATA jernih Firdaus terbelalak begitu mendapati sosok yang te­


ngah berdiri di hadapannya kini.
Kepalanya pun mengingat keras, siapa sosok yang tampak tak
asing bagi mata dan hatinya.
“Kita pernah bertemu?” tanyanya pelan, seraya mulai sedikit
tergambar siapa yang ia maksud.
Kepala perempuan yang usianya sekitar tiga belas tahun di
bawahnya itu mengangguk pelan. Ia tersenyum pelan, lalu meng­
ulurkan tangannya.
“Saya Tra, Pak Frater eh... Pak Romo...,” Tra meralat apa yang
terlontar begitu saja dari mulutnya. “Saya dulu pekarya di kantor
Bu Ola....”
“Ooo iya­iya.... Yang pernah mengantarkan saya beberapa kali
ke ruang kantor Bu Ola ya?” ingatan Firdaus langsung pulih.
Sekali lagi kepala Tra mengangguk, membenarkan.
“Wah... sudah lama sekali itu ya....” Firdaus tersenyum senang
sembari menerima uluran tangan Tra tadi. Genggaman erat ia beri­
kan pada perempuan muda yang sebenarnya telah lama ia kenal
itu.
“Mungkin sudah hampir sepuluh tahun, Pak....”
“Sepuluh tahun nyaris?” Firdaus mengulang. “Wow.... Nggak
kerasa ya....”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Waktu itu kan saya masih manggil Bapak sebagai Pak Frater,
seperti anjuran Bu Ola....”
“Haha.... Iya­iya.... Padahal saya minta kamu manggil saya ‘Fra­
ter Daus’ saja kan?”
Kesekian kali Tra mengangguk.
“Nah, sekarang kamu panggil saya Romo Daus saja ya.... Nggak
usah pake Pak....”

Renjana (2).indd 39 11/29/2013 10:26:38 AM


40 | anjar

“Baik, Pak Romo. Eeehhh..., Romo Daus.”


Senyum memanjang di bibir Daus. Ia menepuk­nepuk bahu
Tra.
“Jadi, kamu yang mau ikut kerja di sini dengan Bi Mumun?”
“Bener, Den Romo.... Kebetulan Tra ini teh keponakan saya.
Sudah lama tinggal di kampung. Saya ajak ke kota lagi. Siapa tahu
bisa mengubah sedikit nasibnya,” kali ini Bi Mumun yang ada di
dekat mereka menerangkan.
“Wah, padahal lebih enak tinggal di desa bukan, Tra?”
Tra menyeringai.
“Katanya mah pengen ikut kursus lagi, Den.... Biar tambah pin­
ter dan bisa jadi modal buka usaha....”
“Oh, bagus itu. Bagus.... Saya mendukung. Belajar itu untuk
semua orang dan semua usia. Nanti saya bantu cari tempat kursus
yang bagus.”
“Terima kasih, Romo....” Senyum sumringah tersungging lagi di
bibir Tra. Ia senang sekali niatnya didukung penuh.
“So... nanti kamu yang membersihkan bagian dalam, terutama
ruangan­ruangan yang ada ya. Biar Bi Mumun tetap bertanggung
jawab di dapur saja dan Raka dibantu Pak Tumi yang ngurus ha­
laman dan bangunan ini ya....”
“Baik, Romo....”
“Eh... sebentar...,” Daus teringat sesuatu, “kamu pernah kursus
sekretaris dan komputer kan?”
Kepala Tra mengangguk mantap.
“Kalau begitu di akhir minggu, kamu bantu saya mengurus ad­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ministrasi ya. Kamu juga bertanggung jawab untuk portir. Kalau


ada telepon masuk, kamu yang jawab.”
Berbinar mata Tra. Entah mengapa ia senang sekali mendapat
tugas itu. Tugas yang membuatnya bisa memanfaatkan ilmu sekali­
gus mengembangkannya.
Maka tanpa ragu, ia kembali mengangguk­angguk. “Baik, Ro­
mo... saya akan menjalankan tugas itu dengan sebaik­baiknya.”

Renjana (2).indd 40 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 41

Daus tersenyum senang melihat Tra begitu antusias. “Jadi, pe­


kerjaanmu di sini sebenarnya administrasi rumah tangga. Gajimu
akan disesuaikan dengan pekerjaanmu.”
“Iya, Romo... terima kasih....” Tra menunduk, tanda semangat
dan senang.
“Kamu boleh tidur sama bibimu di kamarnya. Silakan belajar
tentang situasi biara ini dengan bibimu saja ya....”
“Baik, Romo....”
Firdaus senang melihat Tra yang tampak cepat mengerti dan
menurut dengan apa yang dikatakannya. Ia yakin, gadis desa satu
ini akan bisa mendapatkan banyak hal baik selama mencoba ke­
beruntungan di kota kembali.
“O ya, satu lagi...,” Daus teringat sesuatu, “jangan ikut­ikutan
manggil saya dan romo di sini dengan tambahan ‘Den’ ya.... Bi­
bimu itu sudah terbiasa manggil kami begitu karena telanjur di­
ajarkan oleh Romo Kusumo almarhum. Saya dan teman­teman
sebenarnya sudah meminta bibimu untuk tidak memanggil kami
begitu, tapi karena sudah terbiasa, ya apa boleh buat....” Daus
mengangkat bahu.
Bi Mumun yang namanya disebut majikannya itu hanya terke­
keh kecil sambil anggut­anggut.
“Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu. Bi Mumun, tolong
antarkan keponakan Bibi ini ya....”
“Baik, Den Romo.... Hayuk, Neng….”
Tra pun menuruti langkah Bi Mumun di hadapannya.
“Mangga20, Romo....”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Mangga, Tra.... Mangga.”


Mata jernih Daus mengikuti langkah keduanya menuju ruang
belakang, tempat di mana telah disediakan semacam paviliun kecil
untuk Bi Mumun. Dulu, paviliun itu sering dikunjungi keluarga
sang Bibi. Tapi, sejak suaminya meninggal dan anak Bi Mumun
sudah berkeluarga, paviliun itu hanya dihuni sendirian oleh sang
20
mari (permisi)

Renjana (2).indd 41 11/29/2013 10:26:38 AM


42 | anjar

juru masak biara yang setia. Hanya sesekali saja saudara atau te­
mannya datang menjenguk.
Pihak biara memang sengaja membiarkan paviliun itu untuk
kehidupan Bi Mumun agar lebih nyaman.
Daus menyudahi penyambutannya terhadap kedatangan Tra.
Ia hendak kembali masuk ke dalam.
Namun, sesaat ia teringat....
Tra adalah satu dari banyak hal di masa lalunya.
Kedatangan perempuan muda itu ke sini mau tidak mau mem­
bawa bagian masa lalu Daus lainnya. Yang khusus. Yang tak
mungkin terlupa. Nama yang tadi sempat terucap oleh Tra dengan
sengaja.
Ola.
Aaahhh.... Apakah ia akan datang juga laksana hari ini yang
menghadirkan kenangan itu kembali?

WIE mengulet, membuang lelah bekerja seharian.
Ingin rasanya ia menyudahi tumpukan pekerjaan yang seolah
menambah segala suntuk. Apa mau dikata, sebagai karyawan se­
buah konsultan sipil swasta, ia tak akan mampu berlari. Bahkan ji­
ka ia berkehendak pindah dari kantor kini ke kantor baru, rasanya
pasti sama saja aroma kerja yang terbaui.
Ingat masa awal­awal ia kerja dulu. Bisa dibilang santai dan tak
terburu waktu. Paling­paling bos saja yang hiruk pikuk mengingat­
kan. Itu pun masih bisa ditutupi dengan beribu alasan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kalau ada tugas luar, itulah yang sering ia kejar.


Bukan saja sebab akan mendapat pesangon, namun juga agar
bisa sedikit mendapat pemandangan segar, jauh dari rutinitas biasa.
Bila teman yang berhalangan memintanya untuk menggantikan, ia
dengan sukacita akan mengiyakan. Darah mudanya menyala­nyala
setiap kali ada tantangan. Ingin ia buktikan kepada dunia: siapa,
mengapa, dan bagaimana dia.

Renjana (2).indd 42 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 43

Namun, guliran waktu telah membuat semua itu menjadi ke­


nangan.
Apalagi sejak istri dan dua orang anak melengkapi kehidupan­
nya. Darah muda seolah berganti menjadi semacam tantangan lain
berjudul tanggung jawab kepada keluarga. Tiada lain tiada bukan
kini hari­harinya harus dihadapi dengan kerja di kantor yang telah
lima tahun ini menjadi tempat terakhirnya setelah sempat ber­
ganti­ganti tempat.
Sebentar ia raih foto yang terpajang di meja kerjanya.
Senyum bahagia sepasang anaknya di antara sang Bunda—istri
tercintanya—selalu menyemangati bila kepenatan itu tiba.
Tujuh tahun pernikahan mereka nyatanya mendatangkan ke­
bahagiaan tak terkira. Wie tak menyesali langkah hidupnya.
Sekelebat Wie menangkap tanda e­mail masuk di iPad­nya.
Tanpa ada praduga lain selain rasa lelah bercampur senang
memandangi foto pelipur lara itu, tangan Wie terampil menyeret
layar agar membukakan halaman surelnya.

To : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>
From : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>

KAMU

Ketika di otakku ada kamu!


Kuakui memang aku impulsif
Kuakui memang aku bergejolak
Kuakui memang aku menari liar
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ketika di hatiku ada kamu!


Kuakui memang mimpiku setinggi bimasakti
Kuakui memang imajiku seluas angkasa
Kuakui memang diriku serasa burung elang lepas,
tak ada yang mampu menghentikanku

Renjana (2).indd 43 11/29/2013 10:26:38 AM


44 | anjar

Namun,
Di kesadaranku ada realitas
Aku menangis namun juga tersenyum
Aku sedih namun bahagia
Di halaman kalbu terhampar karunia terbesar buatku
kamu telah dihadirkan tepat dengan cara-Nya
Mengisi ruang dan waktu semestaku,

Walau sejatinya dirimu jauh disana


aku bersyukur untuk ini.21

Wie mengernyitkan keningnya.


Akibat beberapa kali berpindah tempat kerja, ia tak sempat
menyelamatkan alamat surat elektronik sepuluh tahun lalu nan
penuh kenangan. Apalagi saat itu ia menggunakan domain kan­
tornya, bukan domain bebas sebagaimana kebanyakan orang lain.
Alhasil, segala e­mail yang pernah masuk tidak sempat ia arsipkan.
Kecuali, isi dari e­mail itu yang kebanyakan adalah puisi.
Lalu, apakah puisi yang telah berulang kali ia terima ini berasal
dari orang yang sama?
Akh. Kenapa pula si pengirim mengulang situasi yang sama?
Terkilas di kepala hendak mengecek, membenarkan praduganya.
Ia lantas membuka akun Facebook dan Twitter­nya. Disalinnya
alamat e­mail tadi, semoga mendapat jawaban atas dugaan yang
sukses membangunkan rasa penasarannya.
Harapan Wie tak sebagaimana kenyataan.
Mesin pencari tidak menemukan atau menunjukkan tanda
http://facebook.com/indonesiapustaka

bahwa alamat itu digunakan oleh salah seseorang untuk dijadikan


alamat e­mail jejaring sosial.
Gemuruh penasaran kian terasa dalam benak Wie.
Puisi ini seolah puisi tentang kehadiran seseorang. Kehadiran
21
dari seorang pembaca Beraja, Biarkan Ku Mencinta

Renjana (2).indd 44 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 45

yang amat berarti bagi penulisnya. Diberikan pada saat ia pun se­
dang sekilas mengingat arti sebuah kehadiran seseorang.
Tapi, mengapa kini keraguan yang menggantikan rasa penasaran
itu?
Adakah ini hanya permainan seseorang yang mengetahui ten­
tang masa lalu Wie yang penuh pesona itu?
Cepat Wie membalas.

To : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>
From : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>

Terima kasih untuk puisinya.


Aku sangat menikmatinya. Tak menyangka jika puisi itu kaukirimkan padaku, duhai
beraja.
Tetapi, bila berkenan siapakah dikau, beraja?
Jangan katakan hanya langit dan putaran waktu yang akan menjawab agar aku
menanti. Sekiranya langit dan putaran waktu tak hendak kompromi, kepada siapa aku
bisa mencari jawabannya?
Maka, jawablah, siapakah dikau yang memutarkan kembali sebentuk kenangan
yang sejujurnya sedang hendak kulupakan?

Salam,
Wie

Segera Wie kirimkan surel itu, berharap segera mendapat ja­


wabannya. Sembari mendoa harap di benak, ingatan Wie kembali
bermain dalam halaman kenangan. Satu nama yang ia tahu, sudah
http://facebook.com/indonesiapustaka

lama sekali tak kunjung tertemui. Bukan saja sempat berpisah ker­
ja, tapi juga karena ia dengar perempuan muda energik, cantik,
dan menarik itu kembali menekuni studi di lain negeri.
Carolina Wibowo.
Apakah bisa kucari dalam kemeriahan jejaring sosial akhir­ak­
hir ini?

Renjana (2).indd 45 11/29/2013 10:26:38 AM


46 | anjar


TAK bisa disangkal, Ola sangat gembira mengetahui ada seseorang
yang sangat ia kenal baik meng­add­nya di Facebook.
Wylie Semesta atau yang biasa menyebut dirinya sendiri “Wie”,
teman sekantor dan teman makan siang yang menyenangkan.
Sekian lama tiada kabar, jejaring sosial inilah yang justru mem­
pertemukan mereka kembali. Apalagi kalau bukan sukacita yang
membahana, menyerta rasa?

Carolina Wibowo > Wylie Semesta

Halo teman makan siang, apa kabarmu? Mengapa baru sekarang kita terhubung di
sini? Siapa atau apa yang membuatmu jadi begitu bisa menemukanku di belantara
maya ini?

Terbayang lagi senyum manis laki­laki seumurannya yang pasti


kini tengah berbahagia. Dengar­dengar kabar, ia telah memper­
sunting seorang perempuan muda, saudara dari seorang teman de­
katnya. Hidup mereka telah dikaruniai dua orang anak yang lucu.
Kalau kabar yang terakhir ini, bisa terlihat di Facebook miliknya
barusan.
Teringat pula pada kisah lama Wie dengan mantan pekaryanya.
Dunia memang tak ada yang bisa mengeja, seorang Wie yang
semula tak peduli dengan rasa, nyatanya langsung tak berdaya be­
gitu mendapatkan ketulusan seorang putri yang waktu itu masih
beralias nama. Sesaat semua terbuka, putri itu ternyata memilih
untuk berlalu. Pergi. Hingga kini, entah di mana. Wie pun mera­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sakan kehilangan yang sangat.


Putri beralias nama itu adalah mantan pekaryanya nan cerdas.
Ola sebenarnya sangat menghormati pekaryanya itu dan berha­
rap bisa memberi lebih untuk mengembangkan hidupnya.
Tapi, ia memilih lain untuk kelangsungan hidupnya.
Ia kembali pulang ke kampung saat justru ada tawaran yang
menggiurkan bagi kariernya.

Renjana (2).indd 46 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 47

Ola tak dapat memaksa.


Dari situlah ia baru mengetahui cerita sebenarnya. Tentang
ketulusan cinta bak langit dan bumi, mungkin tak bisa bersatu na­
mun nyatanya tetap terkenang, tak lekang waktu.
Sembari membiarkan angannya berlarian ke mana­mana, mata
Ola tak lepas menatap layar iPad­nya, siapa tahu ada kabar berita
baru. Feeling­nya tak jauh beda dari apa yang terjadi kemudian.
Ada notiikasi baru di Facebook­nya.

Carolina Wibowo > Wylie Semesta

Halo teman makan siang, apa kabarmu? Mengapa baru sekarang kita terhubung di
sini? Siapa atau apa yang membuatmu jadi begitu bisa menemukanku di belantara
maya ini?
15 menit yang lalu · Suka · Komentar · Bagikan

Wylie Semesta : Hei, perempuan karier favoritku, senang sekali kau masih
ingat aku. Yah, inilah kehebatannya dunia maya kita. Lama
tak bertemu, malah di sini kenangan kita terpadu. Kapan ada
waktu? Aku mau serentang rinduku ini tersampaikan lewat per-
temuan kita.
5 menit yang lalu · Suka

Carolina Wibowo : wuiihhh... ternyata kau masih menyimpan banyak kata puisi, pa-
dahal kukira sudah dibawa ke langit, entah ke mana. Oke, kapan
kamu bisa? Tinggalkan no HP-mu di inbox ya. Can’t wait to meet
u again, my old friend...
http://facebook.com/indonesiapustaka

Rasanya Ola harus berterima kasih kepada hari ini.


Kebahagiaan bisa bertegur sapa teman lama ternyata sungguh
menciptakan suasana.
Indah. Berharap pertemuannya kelak akan menambahkan
nuansa itu kian menggairahkan titian hidup yang ia tahu harus te­
tap semangat dihadapi. Tidak peduli apakah masa lalu menari­nari

Renjana (2).indd 47 11/29/2013 10:26:38 AM


48 | anjar

di depan mata dan sering kali menariknya kembali untuk masuk ke


pusarannya yang mungkin tidak berujung.

HUJAN di luar baru saja usai.


Kota yang sebenarnya bukan kota baru bagi perempuan yang
punya semangat hidup dan belajar selalu berkembang setiap kali
napasnya ia embus di awal hari, tetap saja menimbulkan aura ber­
beda yang seolah baru saja ia rasa.
Bandung berbeda dengan tanah kelahirannya di sana.
Seterjang hujan deras dari petang hingga jam dinding sedikit
beralih dari angka 22.00 ini, mengguyurkan udara dingin. Bulu
kuduk niscaya ikut berdiri jika raga hanya dibalut selapis kain saja.
Tak ayal lagi, demi menghangatkan daksa22 yang sudah mulai
merinding dingin, ia mengambil sweter yang telah ia bawa sejak
kepindahannya. Tapi, rasa hatinya masih ingin menikmati malam
di luar paviliun tempat ia dan sang Bibi tinggal.
Menurut pandangan mata dan kalbu terdalamnya, malam seha­
bis hujan ini punya keindahan tersendiri. Apalagi ada tanda bahwa
bulan seperempat cahaya akan muncul pelan­pelan. Sementara,
bintang masih meragu datang.
Aneh, mungkin. Tapi, inilah fenomena alam.
Sehabis hujan tiada ragu datang, bulan menampakkan cahaya­
nya menemani malam yang basah kuyup.
Kian kuatlah keinginan Tra untuk menikmatinya selama tu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

buhnya bisa bertahan. Aliran dingin dari bayu yang berembus me­
mang kadang seperti memaksa raga untuk cepat masuk ke ruang
yang lebih hangat.
22
tubuh

Renjana (2).indd 48 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 49

sesaat ketika rasa hatiku mengatakan bahwa ada kesenduan tak


kalah mendung di wajahmu
tak tergapaiku untuk sekadar menanyakan, mengapa selubung lara
itu kian tak berdaya
adakah hujan yang meluruhkan buah percaya
tentang adaku di antara segenap detak waktumu?

Renjana lama, dengus benak Tra.


Mendadak saja ia merasa dikelilingi oleh sekian banyak rasa
lama. Bukan saja karena di saat seperti ini mustahil ia menemukan
beraja, tetapi atas apa yang terjadi kini ia merasa ada sesuatu yang
ingin disampaikan kepadanya. Entah melalui alam atau orang se­
kitar.
Siapa yang menyangka jika kehadirannya kembali di kota ini
malah membangkitkan memori?
Tak pernah terpikirkan oleh Tra, ia akan bertemu Romo Daus
yang pernah ia kagumi. Bukan saja karena tahi lalat di pinggir pipi
kanan itu, tetapi juga karena karisma yang terpancar dari laki­laki
yang menurut Ola memilih untuk hidup selibat alias tidak meni­
kah seumur hidup itu.
Entah mengapa, sejak pertama bertemu dengan Romo Daus,
yang dulu ia panggil dengan Frater Daus, Tra merasa kedamaian
dan kenyamanan terpancar jelas dalam raut wajah dan semua ting­
kah laku romo muda itu.
Sekian lama tak bertemu, tak banyak yang berubah dalam di­
rinya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia tetap pribadi sederhana. Nyaris tak bercela.


Kadang masih terkilas di kepala Tra, bagaimana rasanya orang
yang tidak menikah seumur hidup dan bahkan tidak boleh menjalin
hubungan dekat sama sekali dengan lawan jenis. Dengan apakah
hatinya dibuat sehingga mampu menahan gejolak kerinduan ber­
sanding dengan pasangan, bisa tak dipedulikan?
Tra hanya manusia biasa.

Renjana (2).indd 49 11/29/2013 10:26:38 AM


50 | anjar

Isi kepalanya tak mampu memahami segalanya.


Maka ketika ia mendapati ada orang yang yang mengambil pi­
lihan seperti itu, hanya embusan kepada langitlah ia buang semua
prasangka tak jelas. Di kepalanya kemudian menyatakan: biarkan
saja... itu sudah menjadi pilihan hidupnya. Kata Mamah, nggak baik
kita mengganggu apa yang telah dipilih seseorang. Kan kita sendiri juga
punya pilihan.

terdiamku dalam keheningan


tenggelam malam kepada kelamnya

Mata Tra menatap langit biru malam, temaram.


Sesekali sisa tetes hujan menyapanya di pangkuan.
Lalu, segera saja ia rapatkan pakaian agar tetesan itu tidak kian
membasahi badan.
Dingin menjalar tidaklah menghentikan aliran nuansa hati
segar.
Tra tak hendak ingin bubar.
Aaahhh…, jalan hidupnya sekian lama ingin ia syukuri. Tidak
peduli berapa terjalnya harus dihadapi, Tra merasa semuanya ada­
lah anugerah.
Teringat saat ia masih bersama Ola. Ia boleh belajar banyak di
sana. Mengenal Mang Ujang yang satu kos di tempat yang sangat
sederhana itu dan juga pada akhirnya bisa mengujarkan rasa pada
banyak puisi yang kemudian menenggelamkannya pada sebuah ra­
sa kepada seorang pangeran yang hingga kini masih tertanam rapi
http://facebook.com/indonesiapustaka

di hati.
Ingin rasanya Tra kembali menekuni rasa itu. Memilah satu per
satu, lalu menyejajarkannya di antara derasnya hidup dan keingin­
an lain yang kadang datang silih berganti.
Hhh.... Langut ini tak dapat dibendung.
Tak ada yang tahu, bahkan sekadar meraba. Semua tersimpan
sendiri di kedalaman sanubari.

Renjana (2).indd 50 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 51

Di mana dikau, Pangeran? Apakah malam di antara hujan berarti


sama rasamu denganku di sini?
Sebentar mata Tra menangkap nyala bintang, satu hendak
benderang. Sayangnya ia masih dikelilingi mendung pekat, hingga
mungkin ia tak akan lagi sempat berpendar.
Tra hanya mengatupkan mata.
Tampaknya malam sehabis hujan ini harus diakhiri.
Bayu yang kian kencang mendesir memaksa kaki untuk segera
pergi ke ruang yang dapat menghangatkan.
Sebelum beranjak, terselip doa Tra agar esok ada cerita lebih
indah.


BLACKBERRY Romo Daus bergetar. Ada BBM yang masuk.

Marry Dina : Saya harus katakan lama-lama saya merindukan Romo....


Rm. Daus : Terima kasih, rasa rindu memang manusiawi.
Marry Dina : Tapi, rindu ini beda, Romo... Bahkan, telah membuat saya tidak
bisa tidur akhir-akhir ini.
Rm. Daus : Berdoalah dulu sebelum tidur. Ingatlah Tuhan telah baik menja-
gamu hari ini.
Marry Dina : Dalam doa saya, ingin bisa lebih lama bersama Romo. Dahaga
cinta saya seperti tersampaikan dengan hanya melihat wajah
tulusmu....

Daus terdiam sejenak.


BBM kesekian kali ini semakin menjebaknya untuk membiarkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

atau menyudahi lawan bicaranya meneruskan segala puji­puja ten­


tang dirinya. Daus mulai merasa terganggu.
Perempuan muda yang semula sering datang untuk berkonsultasi,
ternyata telah menganggap responsnya lebih dari biasa.

Renjana (2).indd 51 11/29/2013 10:26:38 AM


52 | anjar

Marry Dina : Mengapa terdiam, Romo? Apakah sedang membayangkan wa-


jah saya? Besok saya akan datang dan meredakan rindu Romo
Rm. Daus : Istirahatlah. Sudah malam. Saya juga harus cepat ke peraduan.
Besok pagi sekali harus ke stasi
Marry Dina : Baiklah. Tidurlah dalam damai sambil memimpikan saya ya, Ro-
mo Daus....
Rm. Daus : Selamat malam. Tuhan berkati....
Marry Dina : Selamat malam juga Rm. Daus sayang... :D

Saling kirim pesan itu pun selesai sudah.


Daus bernapas lega.
Tak ingin ia lebih mempersalahkan keadaan meski kondisi ini
benar­benar membuatnya tak nyaman.
Di antara tanggung jawabnya melayani sesama, jika terjadi hal
begini, ada keinginan untuk segera berlari. Membiarkan sesama
dan masalahnya berkubang sendiri.
Daus tak ingin mempertaruhkan rasa dan pilihan hidup yang
diperjuangkannya sekian lama jatuh berkeping­keping.
Setelah semua alat elektronik telah yakin ia matikan, sejenak
doa dipanjatkan. Kiranya malam yang sempat diguyur hujan tidak
menjadikan mimpi terhalang karena beku di tengah jalan. Dingin
malam ini memang berbeda dari biasa.
Dalam hangat selimut, Daus menyudahi hari yang melelahkan,
penuh penat.
Semoga esok adalah hari yang lebih menyenangkan.


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 52 11/29/2013 10:26:38 AM


Diam mengenangmu kadang menghidupkan duniaku yang lama
mati
Diam mengenangmu membikin suara di radio
lebih semarak dari penyiarnya
Diam mengenangmu melebihi arsip sms, e­mail bahkan nomor
telepon
Diam mengenangmu bertubi­tubi akan hadir bersama rasa laparku
belum makan hari ini
Dan, diam mengenangmu wujud harapan
yang cuma bisa kulempar ke langit
atau terbenam pada kedalaman sanubari....
http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 53 11/29/2013 10:26:38 AM


4.

DI HADAPAN Daus, duduk dengan tenang seorang adik angkatan


yang hendak bertukar cerita.
Jajang Rahaja atau Frater Jajang memang sudah sejak seminggu
lalu meminta waktu. Bukan saja sekadar hendak melaporkan apa
yang telah dikerjakannya, tetapi juga ada renjana lain yang sedang
ingin ia utarakan.
“So... apa yang kamu ingin ceritakan pada saya, Jang?” tanya
Daus mencoba mengarahkan pembicaraan setelah tadi sempat ber­
cerita tentang hal­hal yang lain. Bukan ke pokok persoalan.
Frater Jajang diam sejenak.
Mungkin ia tengah mengatur kalimat dan degupnya jantungnya
nan kencang. Sementara di luar, udara terang bertengger. Tidak
peduli bayu yang sesekali menarikan lagunya sendiri.
“Saya... saya... saya merasa akhir­akhir ini galau saya makin
menjadi, Romo...,” ujar Frater Jajang pelan.
“Galau yang bagaimana itu?” Daus menyimak serius.
“Tentang masalah keponakan saya yang pernah saya ceritakan
dahulu kepada Romo.”
“Keponakanmu yang pernah main kemari itu saat kamu masih
tahun­tahun awal?”
Frater Jajang mengangguk. “Kemarin saya bertemu lagi dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

keponakan saya. Lama tidak bertemu, dia sudah SMA sekarang.


Yang bikin saya kaget, ternyata abah dan ibunya sudah lama pisah
rumah. Mereka masih rajin ke gereja dan sesekali bersama. Tapi
bapaknya sekarang malah kos. Membiarkan rumahnya ditinggali
istri dan ketiga anaknya.”
“Hmmm... sudah berapa lama itu?”
“Kata keponakan saya sudah sekitar setahun lebih ini. Keluarga

Renjana (2).indd 54 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 55

kami benar­benar tidak mengetahuinya. Kalau kasak­kusuknya sih


pernah dengar. Tapi, sampai akhirnya diceritakan begini, saya baru
dengar kemarin itu....”
Daus menyimak.
Tak ada niat mengerjakan yang lain, selain mendengarkan adik
angkatannya ini menumpahkan segala rasanya.
“Lalu, apakah ada peristiwa lain yang menggundahkan hatimu?”
pancing Daus lagi.
“Beberapa hari lalu, ketika tugas kunjungan ke stasi, seorang
umat yang jadi sesepuh di sana mendekati saya. Dia cerita kalau di
lingkungannya jarang sekali didatangi romo. Banyak alasan yang
didengar. Salah satunya karena lingkungan itu termasuk terpencil.
Romonya malas berkunjung ke sana.”
“O ya?”
Kepala Frater Jajang mengangguk mantap. “Pas hari itu kan
saya minta izin satu hari lagi tinggal. Itu karena saya sekalian me­
ngunjungi lingkungannya, Romo....”
“Ooo... yang hari itu....” Daus ingat pada satu hari ketika Frater
Jajang meminta izin tinggal sehari lagi. “Lalu, apa yang kamu da­
pat?”
“Di lingkungannya itu banyak orang tua, Romo.... Banyak yang
sakit pula. Jadi, butuh dikunjungi terutama untuk hantaran komu­
ni23. Kebetulan di lingkungan itu juga masyarakatnya sebagian be­
sar adalah kelas bawah, jadi secara ekonomi pun perlu perhatian.
Hati saya ngenes sekali melihatnya....”
“Sudah kamu laporkan ke Romo parokinya?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Langsung, Romo....”
“Lalu, jawaban Romo parokinya?”
Nada sedih langsung merambat di wajah Frater Jajang. “Itulah
yang membuat saya makin galau, Romo....”
“Kenapa?”
23
bagian dari perayaan ekaristi umat Katolik, di mana roti dan anggur yang telah
dikonsekrasi kemudian dibagikan kepada umat yang berbakti.

Renjana (2).indd 55 11/29/2013 10:26:38 AM


56 | anjar

“Jawaban Romo parokinya itu, Romo... beliau bilang, paroki itu


kekurangan imam jadi susah kalau harus ke tempat terpencil. Ma­
sih banyak umat lain yang butuh disapa dengan lokasi yang lebih
baik. Beliau juga bilang, orang­orang tua yang ada di sana tinggal
tunggu waktu saja. Jadi sekali ditengok, cukuplah. Toh akan selalu
didoakan oleh para imam dan umat di sana.”
“Oh, Tuhan....” Daus tercekat. “Seorang romo bilang begitu?”
Kepala Frater Jajang mengangguk lagi. “Satu lagi yang bikin sa­
ya sedih... Romo itu bilang, dia di sana digaji juga oleh umat­umat
yang sudah jelas. Jadi, ngapain juga memenuhi pelayanan kepada
umat yang tidak jelas menyumbang untuk gajinya.”
Mata Daus terpejam.
Sekonyong­konyong ada luapan emosi menyeruak dari dalam
kalbunya.
Seorang Romo menganggap apa yang dikerjakan itu sebagai se­
buah profesi yang bisa dibayarkan dengan sejumlah gaji? Lupakah
ia pada kaul ketaatan dan kemiskinan?
Sejenak keduanya mencoba menurunkan rasa.


MATA Tra telah berhasil merayu tangannya untuk berhenti be­
kerja sejenak.
Matanya itu menangkap deretan buku menarik di perpustakaan
biara ini. Beberapa buku memang berbahasa asing yang tidak ia
mengerti, tetapi deretan buku lain justru menjadikan matanya tak
mengerjap.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia singkirkan sebentar sapu dan alat pelnya.


Ia usap tangannya yang sedikit kotor itu ke pakaiannya. Lalu,
pelan ia dekati deretan buku yang bagian punggungnya berdiri.
Di pojokan lemari, ada label yang menjadi semacam pembatas
atau penanda buku­buku apa saja yang ada di bagian itu. Yang
kemudian menjadi keinginan kuat bagi mata Tra untuk melihat
adalah bagian yang tertulis, “Sastra Lama Indonesia”.

Renjana (2).indd 56 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 57

Cepat saja mata Tra meraup judul­judul di sana. Ada Nyai Da­
simah, Azab dan Sengsara, Sengsara Membawa Nikmat, Salah Asuh­
an, Ateis, Dian Tak Kunjung Padam, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Dari Ave Maria ke Jalan Lain Menuju Roma, Bukan Pasar Malam,
Cerita dari Blora, Pada Sebuah Kapal, Balada Orang Tercinta, Roboh­
nya Surau Kami, Para Priyayi....
Waaahhh..., banyak sekali ternyata.
Dulu waktu SMA ia memang pernah mendengar judul­judul
itu. Tapi, kalau ternyata di sini buku­buku itu hadir dalam bentuk
isiknya, Tra hanya mampu bergeleng­geleng, kagum.
Ia menggeser ke bagian “Sastra Baru Indonesia”.
Terpajang di sana karya­karya dari pengarang Y.B. Mangunwijaya
dengan Burung­Burung Manyar, Burung­Burung Rantau, dan bebe­
rapa judul lain, sederet buku Sindhunata, Remy Silado, Seno
Gumira Ajidharma, Ayu Utami, Dewi Lestari, Andrea Hirata dan
duh..., bagian ini lebih banyak bagian yang pertama tadi. Bahkan,
rak buku bagian ini menghabiskan satu bagian tersendiri yang ter­
diri dari beberapa kotak.
Sesekali Tra tertarik untuk mengeluarkannya. Sekadar untuk
membaca­baca, lalu ia kembalikan lagi ke tempatnya.
Agak memutar sedikit, Tra menemukan buku­buku yang lebih
bersifat umum. Ada yang berbau politik, ada pula yang berbau so­
sial dan agama. Penasaran juga, tapi ah… nanti sajalah, masih ada
waktu lain, pikirnya.
Di sebelah bagian itu, tertulis “Teologi dan Filsafat”.
Waaa... khusus di daerah sini, kepala Tra lebih bergeleng­geleng
http://facebook.com/indonesiapustaka

lagi. Ada sekitar satu setengah isi rak disiapkan untuk memajang
buku­buku dengan kategori yang satu ini. Dari berbagai bahasa.
Padahal novel non­bahasa Indonesia saja memenuhi tiga pe­
rempat rak.
Apakah buku­buku itu yang sering dibaca para penghuni biara
ini?
Kapan mereka membacanya?

Renjana (2).indd 57 11/29/2013 10:26:38 AM


58 | anjar

Sementara sekarang ini saja, Tra melihat banyak yang memilih


di kamarnya atau bermain komputer di ruang komputer, bersebe­
lahan dengan ruang perpustakaan ini.
Hmm.... Pasti mereka sedang online internet.
Sementara di luar, Raka sedang rajin bekerja. Sekian lama
mereka bekerja di tempat ini, Tra jadi tahu bahwa laki­laki yang
usianya sedikit lebih tua darinya itu juga suka membaca. Bedanya,
Raka lebih senang membaca buku atau artikel berhubungan de­
ngan tanaman atau sayur­mayur. Mungkin karena tanggung jawab
pekerjaannya yang harus mengurusi tanaman dan kebun sayur di
biara ini. Jadi, kalau ingin tahu segala hal yang berbau tanaman
atau sayuran, di biara ini Raka tentu ahlinya.
Tapi, apakah dia juga pernah masuk ke perpustakaan ini?
Di salah satu sudut sana, sempat terlihat tumpukan majalah
tentang tanaman. Meski mungkin bukan majalah baru, mereka
pasti akan memberi pengetahuan buat Raka.
Lucu juga rasanya jika kedua pekarya itu tenggelam membaca
di perpustakaan ini dengan hobi membaca bukunya, sesuai genre
yang diminati masing­masing.
Tra jadi senyum­senyum sendiri membayangkannya.
Saat sedang mencoba lagi menyusuri rak demi rak di ruang
perpustakaan ini, matanya menangkap deretan buku yang rasanya
tak akan mungkin membuat silap mata meski letaknya sedikit ter­
pencil, ke dalam.
Buku­buku karya Kahlil Gibran dan dongeng anak.
Waaahhh....
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tra jadi tahan bekerja berlama­lama sambil melihat sekian bu­


ku di perpustakaan ini.


NAPAS Daus ditarik panjang.
Ia memahami betul kegelisahan Jajang, frater muda, calon ro­
mo yang semoga bisa mengikuti jejaknya nanti.

Renjana (2).indd 58 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 59

Di saat segala idealisme yang bergelayut dan membara di da­


da, ia mendapati banyak realitas yang tak sesuai harapan. Soal
keutuhan rumah tangga dan arti sebuah pernikahan, tentang arti
pelayanan yang harus dijalankan seorang imam dan mungkin ada
hal lain.
Daus pernah melewati masa­masa itu. Masa di mana banyak
tanda tanya membekas hingga menggugat keinginan kuat yang se­
mula menjadi modal besar menuju pilihan hidupnya.
Tak aneh bila ia sungguh merasakan kegalauan yang dirasakan
Frater Jajang. Tinggal bagaimana adik angkatannya itu mengo­
lahnya agar bisa menjadi energi positif dan tentu saja perlu du­
kungan sekitarnya yang siap membantu.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Frater...?”
Frater Jajang menundukkan kepala sejenak, hendak membuang
jengah. Sementara di luar, ada sahutan lagu pericit24 seperti hendak
menghibur.
“Sejujurnya itulah sumber galau saya, Romo.... Di antara per­
siapan saya untuk kaul kekal, saya sedang mempertanyakan kepada
diri saya sendiri, apakah saya siap? Apalagi di angkatan saya, hanya
saya yang sejauh ini masih mencoba bertahan.”
Memang, di satu angkatan tahun, sampai saat ini hanya Frater
Jajang Raharja yang bertahan. Itu berarti jika ada apa­apa, ia harus
berusaha mandiri. Meski akan ada teman lain di biara ini, tetap
saja seperti ada yang pincang menjejak cita. Ia tak bisa bertukar pi­
kiran atau sekadar berbicara seperti kebanyakan teman yang lain.
Bukan karena cengeng atau cari perhatian, tetapi posisi seperti ini
http://facebook.com/indonesiapustaka

memang tidak menyenangkan. Butuh dukungan teman.


Dulu, Daus juga hanya bertiga saat hendak ditahbiskan menja­
di seorang imam25. Hingga tahun kedua, salah satu teman seang­
katannya meninggal karena kecelakaan ketika bertugas. Tinggal
24
kicau burung kecil
25
romo

Renjana (2).indd 59 11/29/2013 10:26:38 AM


60 | anjar

Daus dan Ming yang berusaha mempertahankan panggilan dengan


semua kendala dan tantangannya.
Tepat sepulang dari luar negeri, menjalankan tugas belajar, di
tahun ketujuh imamat mereka, Ming, sahabat Daus yang pernah
saling menyemangati dan mendukung, mengundurkan diri. Ia
melepas jubah imamatnya, otomatis ia tidak lagi menjadi seorang
romo. Memang ada proses cukup lama agar pengunduran dirinya
itu disahkan oleh Vatikan selaku hierarki tertinggi gereja. Na­
mun, belum sampai setahun sejak pengunduran dirinya itu, Daus
menerima undangan pernikahan Ming dengan seorang perempu­
an—teman kuliahnya selama di luar negeri.
Sesak, penuh sesal memenuhi kalbu Daus.
Ingin sekali ia mengumpat sahabat seperjalanannya.
Ingin sekali ia mengingatkan tentang kalimat “berdamai de­
ngan hatimu” di saat galau Daus pernah menggebu.
Ingin sekali ia menarik kembali tangan Ming sebelum beranjak
keluar dan bersama­sama memamerkan jubah mereka yang telah
sekian lama diperjuangkan.
Ingin sekali....
Aaahhh... Daus terlambat.
Ming kini sudah memiliki anak yang lucu. Siapalah tega mem­
biarkan anak selucu itu tenggelam dalam masa lalu ayahnya yang
hendak diingatkan Daus tadi. Ia pun membiarkan waktu saja yang
terus bergulir menemani Ming dan keluarganya.
Daus berusaha tidak menjauh, tapi juga tak ingin terlalu dekat.
“Saya berharap apa yang terjadi padamu tidak menyurutkan se­
http://facebook.com/indonesiapustaka

mangatmu, Frater...,” ujar Daus mengakhiri lamunannya.


“Dari hati paling dalam, saya berkeinginan seperti itu, Romo...
walau sekarang saya benar­benar galau. Entah apa namanya pera­
saan ini,” kembali Frater Jajang tertunduk.
Daus menepuk­nepuk bahu juniornya itu. Mencoba menguat­
kannya kembali.
“Saya paham, Frater... saya paham.... Kita sama­sama berjuang

Renjana (2).indd 60 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 61

sendiri untuk mempertahankan panggilan ini,” ujar Daus kalem.


“Kita sama­sama saling mendukung ya... meski kamu junior saya,
tapi jika ada apa­apa, jangan sungkan untuk bercerita. Tempat ini
terbuka untukmu kapan saja agar kita bisa saling bicara. Jangan
kau pendam sendiri galau rasamu....”
“Terima kasih, Romo... terima kasih,” garis mendung itu se­
dikit menghilang di wajah pemuda asli tanah Pasundan ini. Ada
secercah harap untuk lebih menyemangati lagi hidupnya terkias di
sana. “Dengan pertolongan Roh Kudus dan Bunda Maria beserta
para malaikat dan orang kudus, saya mau meneruskan perjuangan
ini. Bantu saya dengan doa, Romo....”
Kepala Daus angguk­angguk.
Kelegaan juga menyelimuti dirinya.
Masa­masa galau seperti ini tak luput jauh dari dirinya. Bagai­
mana ia mencoba berdiri tegak adalah proses tersulit. Meski ada
rekan serta seniornya di biara, tetap saja yang tersimpan di dada
takkan mungkin bisa ia luapkan selepasnya. Seperti masih ada
yang tersisa, menetap di sanubari terdalamnya.
Apalagi saat­saat Daus berusaha melupakan bayang putri peng­
hias mimpi, renjana hati dan beraja penyemarak rasa. Meski kata
orang itu cuma sekadar cinta yang lewat, bagi Daus justru itulah
cerminan ketulusan cinta yang pernah ia rasakan terlebih untuk
seorang perempuan.
Rasa kuat yang selalu menyepak­nyepak hatinya sekian lama,
pernah begitu menyiksa hari demi hari. Di antara kuat panggilan
terpatri, rasa itu sungguh tak bisa Daus ingkari. Apalagi saat­saat
http://facebook.com/indonesiapustaka

awal janji imamat itu harus dia jalani.


Hingga akhirnya, ia beranikan diri bercerita pada sang Bunda.
Perempuan bersahaja itu Daus percaya akan memegang rahasia
terdalam sekaligus menjadi penguat jejakan kaki.
“Le26…, Bapak dan Ibu itu selalu percaya sama kamu. Percaya
26
(bahasa Jawa) Panggilan kesayangan untuk anak laki­laki

Renjana (2).indd 61 11/29/2013 10:26:38 AM


62 | anjar

sama hati dan niatanmu. Nek Bapak dan Ibu saja percaya, kenapa
kamu ndak percaya sama dirimu sendiri bahwa kamu bisa melalui
semua dengan baik?” ujar ibunya lembut kala itu.
“Ndak apa kalau kamu jatuh cinta. Ndak apa kalau kamu me­
muja. Ndak apa juga kalau kamu kangen,” ibunya meneruskan
nasihat bagi putra terkasihnya, “Yang ndak boleh itu rasa untuk
memiliki. Soalnya kamu sudah berjanji di hadapan Allah untuk
menjadi abdi­Nya dan menjaga janji suci panggilanmu, Le….”
Seperti ada sesuatu merembet, mengingatkan diri.
Daus seperti menemukan oase penguat yang ia perlukan agar
tegap bertahan.
“Nek kamu kangen dia, bawa dalam doa saja, Le…. Seperti
kalau kamu juga selalu mendoakan bapak, ibu, dan saudara­sau­
daramu….”
Nasihat terakhir ibu tercintanya itu sangat mujarab.
Doa adalah senjata tercanggih untuk mengatasi kegundahan
hatinya.
Ia pun berharap, Frater Jajang juga mendapatkan penguatan
dari doa yang akan mengusap semua gundah yang mungkin masih
tercecer dalam putaran hari­harinya.


TRA tak hendak melepas buku yang sedari tadi asyik ia baca.
Indah sekali segala kalimat terkias di sana.
Angannya menjelma pada suatu keadaan damai dan romantis
ketika selesai membaca halaman demi halaman buku Kahlil Gi­
http://facebook.com/indonesiapustaka

bran. Tiada bosan ia membuka lembar demi lembarnya.


Sebagian buku dongeng anak yang tadi sempat ia bolak­balik
sebentar, masih tergeletak di dekatnya. Sengaja tidak ia kembali­
kan dulu ke tempatnya sebab masih ingin bersama dalam segala
nuansa yang tercipta.
Toh perpustakaan ini tetap saja lengang. Tiada yang berkunjung
barang sebentar.

Renjana (2).indd 62 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 63

Pekerjaan pun sebenarnya sudah selesai. Paling­paling membe­


reskan perlengkapannya agar tidak tergeletak begitu saja.
“Ehm... asyik sekali membacanya, Tra....” Sebuah suara terde­
ngar dari arah dalam biara.
Kepala Tra segera menoleh.
Senyum pun tersungging cepat di wajahnya. Ia sedikit grogi ke­
tahuan sedang membaca begini.
“Eh­eh­eh, Romo Daus.... Eh­eh­eh anu....”
Ganti Daus yang tersenyum.
Pasti pekaryanya ini kaget, tidak mengira bahwa ia masuk dari
dalam setelah hampir tiga jam mendengarkan curahan hati se­
orang frater, adik dampingnya di biara ini.
“Kamu hobi membaca ya?” tanya Daus lagi.
“Hehe…,” Tra menyeringai. “Iya, Romo.... Saya senang mem­
baca. Itu karena almarhum Ua Jun, suami Bi Mumun, suka ngasih
buku­buku ke saya semasa hidupnya.”
“Oohh... ternyata suami Bi Mumun yang dulu suka datang ke
sini membawa hasil kebun mereka itu suka baca juga tho?”
“Iya, Romo.... Romo kenal Ua Jun?”
“Tidak terlalu sih.... Saya kan dulu hanya sebentar di sini se­
belum ditahbiskan. Lalu, setelah ditahbiskan saya ditugaskan ke
beberapa tempat. Biara ini hanya sebagai tempat persinggahan
saja. Sampai akhirnya saya ditempatkan di sini, lalu ketemu kamu
kembali....”
Senyum malu­malu berkembang di bibir Tra.
“Memangnya kamu suka baca apa, Tra?” Daus jadi tertarik me­
lihat buku yang dibaca Tra. Beberapa buku masih bergeletakan di
http://facebook.com/indonesiapustaka

sana. “Ow, kamu suka Kahlil Gibran dan dongeng anak tho?”
“Hehe.... Iya, Romo....” Tra mulai membereskan buku­buku
yang tadi dibacanya.
“Kenapa?”
“Kalau dongeng, saya jadi bisa berimajinasi apa pun sesuai
yang ada di benak saya dan bisa mengambil sisi positif ceritanya,
Romo....”

Renjana (2).indd 63 11/29/2013 10:26:38 AM


64 | anjar

“Hmmm... kalau Kahlil Gibran?”


“Bahasanya puitis, Romo... saya suka.”
“Ow, kamu suka puisi juga?”
Kepala Tra mengangguk. “Tapi, saya juga pernah baca buku
Romo Mangun yang Burung­Burung Manyar. Ua Jun juga pernah
membelikan buku itu untuk perpustakaannya.”
“Wah, Ua Jun punya perpustakaan juga?”
“Iya, Romo.... Sepeninggal beliau, perpustakaannya pindah
ke rumah saya. Lumayan, ada ruang bekas naruh barang­barang
Abah. Ruang itu boleh digunakan, jadilah perpustakaan kecil yang
terbuka buat umum.”
“Ooo... lha kalau kamu kerja di sini, perpustakaan itu bagaima­
na?”
“Ada adik yang menjaga, Romo. Kami semua memang senang
membaca.”
“Hebat Ua­mu ya... bisa memberikan pengetahuan lewat buku­
buku yang ia beli kepada masyarakat kampungnya,” puji Daus
tulus.
“Betul, Romo.... Makanya saya teh bingung, kenapa perpusta­
kaan yang banyak buku bagusnya ini sepi peminat. Di sini kan
bisa menambah pengetahuan apa pun. Lengkap pula. Tapi, malah
pada milih di ruang komputer,” Tra menunjuk dengan ibu jarinya
ke arah ruang komputer yang dibatasi setengah tembok dari ruang
perpustakaan ini.
Daus melongok sejenak dari tempatnya berdiri.
Tampak di sana jejeran para frater yang tengah asyik mem­
http://facebook.com/indonesiapustaka

perhatikan komputer. Bisa jadi mereka sedang mengerjakan tugas


atau mencari bahan­bahan tugas kuliahnya.
Tapi, hmmm... siapa yang tahu kalau di antara mereka malah
asyik berselancar di dunia maya untuk keperluan yang tidak terlalu
penting, misalnya meng­update status Facebook atau membaca
portal berita yang tidak penting.
Namun jika nanti tidak diperbolehkan, bisa jadi mereka juga

Renjana (2).indd 64 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 65

akan merugi sebab zaman telah berganti. Banyak informasi yang


sering wara­wiri di tempat seperti itu. Mereka butuh kondisi yang
bisa menunjang panggilan mereka kelak dengan mengetahui ba­
gaimana kondisi dunia dan masyarakat supaya jika nanti terjun
langsung tidak tergagap atau frustrasi mendadak.
“Kamu lebih mengerti fungsi perpustakaan ternyata ya…,”
Daus angguk­angguk.
“Hehe... karena Ua Jun almarhum, Romo....”
Daus tersenyum. Ia menuju sebuah rak dan mengambil beberapa
buah buku dari dalam sana.
“Selain buku favoritmu itu, coba baca buku karya Paulo Coelho
ini. Ada Sang Alkemis, Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Mena­
ngis, dan yang lain. Dua ini saja dulu.”
Tra membolak­balik buku yang ditunjukkan kepadanya.
Tampak menarik.
Ia segera membaca ringkasan cerita di belakang cover.
Senyum panjang pun kembali berkembang.
“Saya boleh pinjam, Romo?”
“Silakan.... Tapi, selain nanti kalau sudah selesai dikembalikan
lagi, mmm... jangan lupa juga dengan tugas utamamu ya....”
“Pasti, Romo.... Pasti....” Tra bergegas mengambil segala per­
lengkapannya untuk dibawa dan dikembalikan ke tempatnya.
“Saya letakkan buku ini di sini ya,” Daus meletakkan buku di
salah satu bagian rak yang sedikit lowong. “Selesai kamu kerja, si­
lakan diambil dan dibaca.”
Kepala Tra mengangguk. “Terima kasih, Romo.... Saya ke be­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lakang dulu.”
“Selamat bekerja ya....”
Tra hanya melempar senyum.
Semangatnya kian menggebu sesaat ia tahu akan ada sesuatu
yang bisa dijadikan tambahan pengetahuan baru dari buku­buku
yang barusan ditawarkan si Romo.
Selepas Tra tak terlihat mata, otak Daus merasa perlu memberi

Renjana (2).indd 65 11/29/2013 10:26:38 AM


66 | anjar

pujian. Mungkin tak sempat terucap, tapi sungguh... perempuan


desa itu memberi sebuah makna.
Terlihat karunia Sang Kuasa begitu menyeruak dari pemilik
wajah kuning langsat yang memancarkan kepolosan tersendiri.
Sejak waktu lalu pertama berjumpa, Daus tahu ada sebuah karunia
bermakna yang dititipkan pada sosok sederhana itu.
Aahhh....
Beruntung Daus boleh meluangkan berdetik­detik waktu bersa­
ma banyak anugerah yang diyakini akan dilewatkan oleh perem­
puan muda satu itu....


aku tahu Kau yang di sana, tidak akan terdiam
meski hati ini sedang berisik
memanggut kesepian yang ditinggalkan seberkas malam


WAJAH berseri Ola kian menampakkan cahaya ceria sesaat pe­
lukan kencangnya mendarat di tubuh sang Papa tercinta.
“Apa kabar, Pa? Sehat kan?” sapanya ramah dan penuh sukacita
sembari berjalan menuju rumah masa kecilnya ini.
“Baik dong, sayang, kamu sehat?” papa Ola balik bertanya.
“Puji Tuhan, Pa.... Ola selalu sehat,” Ola duduk di sebuah kursi
kayu yang dulu menjadi tempat favoritnya untuk berselonjor dan
membaca buku. Meski ada sofa empuk dan karpet terhampar di
ruang tamu atau ruang keluarga, ia tetap memilih kursi kayu jati
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu. Dari masa ia masih kanak­kanak, Bi Karsi yang mengasuhnya


memang biasa membawa Ola ke sana. Ingatan itu tertanam hingga
kini ia dewasa.
“Kapan Rafael pulang ke Bandung, Pa?” tanya Ola, menanyakan
adiknya yang tinggal di Kanada yang katanya ingin berlibur di
Indonesia, sekalian ada peringatan tiga tahun meninggalnya sang
Mama.

Renjana (2).indd 66 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 67

“Mestinya sih dua hari lagi. Tapi belum ada kabar sampai hari
ini,” jawab papanya sembari mengambilkan air minum dari dalam
lemari es. Ia tahu benar, putri satu­satunya ini suka sekali minum
air dingin. Meski tidak selamanya baik, kebiasaan dari kecil ini
belum bisa Ola tinggalkan.
Yah..., selama masih dalam kadar yang bisa ditoleransi, tak
mengapalah....
“Ko Michael pulang juga nggak, Pa?” Ola teringat kakak ter­
tuanya.
“Belum tahu.... Kan istrinya mau melahirkan anak kedua.
Mungkin masih repot.”
“Aaahhh.... Jakarta­Bandung kan deket,” bantah Ola sembari
meminum air dingin dari kulkas.
“Yah kita kan nggak tahu kesibukan mereka. Papa sih maklum,
pernah merasakan....” Papa Ola tersenyum lebar. Arah matanya
tertuju pada sebuah foto yang ukurannya cukupbesar,menunjukkan
sosok ketiga anaknya saat kecil. Bahkan, Rafael yang belum genap
setahun masih digendong mamanya.
Langkah kaki laki­laki tua berusia menjelang kepala tujuh itu
sedikit terseok. Ia hendak mengambil foto keluarga itu.
Ola tak ingin papanya bersusah payah mengambil foto itu.
Maka, segera ia mendahului orangtua tercintanya itu dan meng­
ambilkannya.
Papa Ola pun duduk di kursi dekat situ, memangku foto. Ta­
ngannya menyapu pelan kaca piguranya.
Gerakannya lambat, namun seolah hendak menyampaikan
renjananya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Mamamu ini perempuan istimewa, La...,” ujarnya pelan seraya


sedikit lebih lama menyeka kaca di bagian foto almarhum istrinya.
Mata tuanya memancarkan sebuah kerinduan yang tak terkatakan.
Begitu berarti dan berasal dari dalam hati.
“Pasti, Pa.... Seumur hidupnya, Mama selalu memberikan yang
paling istimewa buat kita, orang­orang yang sangat dicintainya,”
sambung Ola bangga.

Renjana (2).indd 67 11/29/2013 10:26:38 AM


68 | anjar

Tak tebersit sedikit pun dalam dirinya untuk menjadikan sua­


sana itu justru berubah menjadi suasana mendung bak cuaca di
luar sana. Pasang mata papa tercintanya itu sekonyong­konyong
berubah berkaca­kaca.
Kesedihan kini merajai segenap sukma.
Tak ayal lagi, foto itu ia dekap erat.
“Tapi Papa sudah membuatnya bersedih, Ola.... Papa telah
membuat mamamu bersedih sepanjang hidupnya. Papa tidak per­
nah mau menghormati keistimewaan mamamu itu....”
Ola memeluk papanya dengan penuh cinta.
Ia bisa memahami kesedihan yang kini menjalar di segenap
aliran darah papanya. Masa lalu penuh kelam itu harus diakhiri de­
ngan kematian mamanya, walau peristiwa itu bukan satu­satunya
penyebab mamanya berpulang.
“Mama kan sudah memaafkan masa lalu, Pa.... Mama meninggal
bukan karena kesalahan Papa tempo lalu kok,” hibur Ola.
“Iya. Tapi, kalau Papa tidak selingkuh mungkin Mama tidak
stres dan penyakitnya tidak kian parah....”
Mama Ola memang sudah lama terdeteksi mengidap kanker
paru­paru. Tetapi mulai kian parah ketika kabar perselingkuhan
suaminya dengan sang sekretaris kembali terdengar. Sekitar 3 ta­
hun, papa Ola menjalani hubungan tak terpuji tersebut. Mungkin
karena memendam kekecewaan sendiri, penyakit itu pun menjadi
akumulasi atas kesedihan dan kekecewaannya.
Hingga ketika tahun keempat, mama Ola tak sanggup lagi me­
nahan semua derita dan kesedihannya. Tubuhnya melunglai dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyerah digerogoti sel kanker yang tak tersembuhkan.


Di suatu senja yang menyiratkan sebuah perjalanan perih, tu­
buh renta yang digerogoti penyakit itu berpulang. Dengan senyum
cantik seolah tak sedang menahan sakit, mama Ola pergi diiringi
tangis segenap keluarganya termasuk sang suami yang menjadikan
saat itu sebagai titik balik baginya menyadari sesuatu. Akhir yang
sedih sekaligus bahagia.

Renjana (2).indd 68 11/29/2013 10:26:38 AM


renjana | 69

Selepas pemakaman, papa Ola menyudahi segala petualangan


tak terpujinya. Bahkan demi menyatakan penyesalan terdalamnya,
ia mengucap nadar27 untuk tidak menikah hingga jiwa raganya bisa
bertemu lagi dengan sang istri di alam sana.
Perempuan yang pernah ia selingkuhi sekian waktu, pernah
satu­dua kali datang menggoda. Dengan dalih satu anak yang di­
hasilkan dari hubungan mereka, Papa memilih memberikan per­
usahaan yang pernah mempertemukannya dengan perempuan itu.
Itu sebagai tanda pula bahwa ia tidak hendak melepas tanggung
jawab sebagai bapak kandung dari si anak.
Papanya sempat mengalami kegalauan yang sangat.
Bukan saja sebab kematian istrinya dan jumlah perusahaan
yang berkurang, tetapi juga karena ia didera penyelasan terdalam
atas apa yang ia perbuat. Untung saja ada Romo Jose, seorang ro­
mo pertapa. Bersama beliau, papa Ola diajak ke tempat di mana
Romo Jose melakukan aktivitasnya sehari­hari. Papa Ola mencoba
membenahi apa yang mengganjal dan menjadi luka di hati.
Sekitar tiga bulan papa Ola tinggal di biara Romo Jose.
Sepulang dari sana, papa Ola sudah menjadi lebih baik. Ia
menjadi manusia baru, meski sesekali tetap ada aliran haru.
Ola memakluminya, seperti hari ini.
“Pa... Mama sudah bahagia di sana. Papa juga sudah menjalani
hidup ini dengan segala keindahannya kembali. Papa jangan me­
nyesali lagi yang sudah terjadi ya…,” saran Ola.
Sekonyong­konyong Papa Ola berdiri, lalu memeluk putri
tunggalnya itu kencang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Kamu mirip sekali dengan mamamu, Ola.... Mirip.” Sebentar


terdengar tangis terdengar dari balik punggung Ola. Tanpa ragu
Ola menepuk punggung papa tercintanya dan membiarkan tangis
papanya terlimpah di bahunya.
“Mamamu... mamamu... sebelum meninggal pernah mengucap­
27
nazar

Renjana (2).indd 69 11/29/2013 10:26:38 AM


70 | anjar

kan hal yang sama. ‘Papa jangan menyesali lagi yang sudah terjadi
ya.’”
Meski dengan susah payah bercerita, selepas sang Papa menge­
luarkan rasa, tangis itu kembali pecah. Tak tertahankan, betapa
beban rasa itu telah menyiksanya sekian lama.
Ola pun kian kencang mendekap tubuh papanya.
Dalam hati, sebaris doa mendadak terucap agar orangtua ter­
cintanya ini bisa terus kuat menghadapi semua kenyataan yang ada.
Tak lama kemudian bapak dan anak itu pun terduduk. Ola de­
ngan sabar menuntun sang Papa untuk duduk di kursi. Segelas air
putih yang Ola suguhkan diharapkan dapat menenangkan perih
hatinya.
Wajah tua dengan rambut memutih menutupi kepala itu me­
nuruti kehendak sang putri. Ia sangat tahu putri tercintanya itu
adalah pelipur lara sejati. Beruntung ia masih bisa tinggal bersama
sang putri yang di masa lalu pernah ia labrak karena Ola sempat
mengingatkannya ketika ia ketahuan berselingkuh.
Sengaja Ola duduk berjongkok di samping papanya.
Ia ingin berada lebih dekat dengan papanya. Mengingatkannya
pada apa yang sering dilakukan sang Mama jika ia sedang ingin
bermanja.
“Untung ada kamu dan saudara­saudaramu yang selalu menye­
mangati Papa.... Kalau tidak, Papa pasti sudah tidak kuat hidup
sendiri begini.”
“Papa, kami semua sayang Papa. Jadi, Papa juga harus sayang
sama diri sendiri ya.... Kita harus tetap kuat meneruskan hidup
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang diberikan,” ujar Ola pelan tanpa bermaksud menggurui.


Dielusnya rambut hitam sebahu putrinya itu. Rambut yang sa­
ma persis dengan yang dimiliki almarhum istrinya.
Ola membiarkan papanya mengelus rambutnya. Ia sungguh
menikmati, menjadikan angannya sedikit melayang jauh. Ke masa
lalu. Saat dirinya masih bocah, bersama sang Bunda. Di tempat
yang sama.

Renjana (2).indd 70 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 71

“Papa ingin ke gereja tempat Papa dan Mama menikah, La...,”


ujar papanya pelan.
Ola sebentar menengadahkan kepalanya. “Boleh, Pa.... Ola te­
menin Papa, ya”
“Nanti, begitu dapat kabar dari Rafael, kita ke sana ya....”
“Oke, Pa....” Senyum panjang berkembang di bibir merah Ola.
Ia kembali meletakkan kepalanya di pangkuan sang Papa. Mem­
biarkan semua kenangan itu seolah berbondong­bondong kembali
datang.
Tak ada alasan untuk kembali menyesali yang terjadi.
Dalam ketulusan hati, ia sangat percaya, Sang Penguasa Hidup
telah menyiapkan hal yang paling indah di hari depan. Meski ka­
dang terhadang ragu, tetapi apa yang telah Ia siapkan pasti akan
selalu indah.
Ola memercayainya...

HARI diawali pagi, mentari pun terus melangkah hingga meninggi.
Di saat itu, kadang anak manusia yang ada di bawahnya bisa
saja mengeluh atau menikmati. Embusan bayu kadang tak mampu
menghela semua gejolak kalbu yang seolah membaur jadi satu.
Padahal di saat itu, justru tapakan dua kaki sudah pasti melang­
kah. Menyusuri deretan trotoar hidup yang kadang naik­turun.
Atau, kadang harus menyingkir untuk memberi jalan pengendara
motor atau sepeda yang menyerobot tak sopan.
Lalu, selain menikmati, apa lagi yang harus dikerjakan?
Ada. Coba dengarkan suara serangga. Kadang mereka bernya­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyi dengan nada suara yang tidak dibuat­buat. Apa adanya. Tidak
peduli manusia bilang berisik, nyatanya serangga itu yang menya­
takan bahwa selalu akan ada yang menyertai. Bagaimanapun letih
atau nyaringnya ratapan hati.
Lalu, mengapa masih dipertanyakan lagi, kenapa begitu, kenapa
begini? Mengapa aku begini, dia begitu? Adilkah jika ia menerima ini,
aku menerima itu?

Renjana (2).indd 71 11/29/2013 10:26:39 AM


72 | anjar

Sebentuk hati tak berkehendak mengeluh. Nyatanya putaran


detik dan waktu yang datang dan pergi, hampir selalu berlalu.
Tanpa arti.
Padahal, ia ingin sama dengan yang lain.
Mengerti apa yang harus dikerjakan.
Memahami apa yang harus dijalani.
Akhirnya helaan napas itulah teman sejati. Sekadar membuang
jengah. Jauuuhhh...

Sebentuk daun melunglai ke tanah
gerakannya lembut, tak ada yang menghalang
Takkan ada bunyi terdengar
Takkan ada suara menggelegar
ia cuma ingin jatuh ke bawah,
lalu bersatu dengan bumi
selanjutnya membiarkan tanah
menjadikannya sedikit berarti bagi
tetumbuhan lain
yang menyerap humusnya

PEMANDANGAN di depan mata Wie seperti kamulase atas


gundah sukma di hadapan dua orang yang sebenarnya sangat ia
hormati.
“Jadi, Pusat punya dana sekitar 4 M, Pak.... Yah dipotong sana­
sini, mungkin sekitar tigalah masuk ke kita. Apakah Pak Wylie
bisa kembali menjadi partner proyek ini?” tanya seorang bapak
http://facebook.com/indonesiapustaka

sedikit tambun dengan kacamata berbingkai hitam.


Wie tak langsung menjawab. Ia hendak memutar otak.
Apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu?
“Jumlah itu sudah pasti untuk perusahaan saya menggarap pro­
yek ini, Pak?” tanya Wie hendak memastikan.
“Ooo… ya tentu.... Tentu...,” si Bapak yang tampaknya orang
penting dari sebuah instansi ini mengubah posisi duduknya. Sedikit

Renjana (2).indd 72 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 73

gugup dan tak yakin dengan jawabannya sendiri. “Ya, tentu harus
dipotong sedikit buat operasional kami dong, Pak.... Seperti biasa.”
Wie menarik napas. Ini yang tak ingin ia dengar.
“Jadi, berapa kira­kira yang akan kami terima, Pak?”
“Yah­yah…,” Bapak itu memainkan tangannya. Seperti meng­
hitung. “Yah, sekitar tiga kurang seperempatlah....”
“Well....”
Wylie mengempaskan tubuh ke sofa kerjanya.
Proyek seharga resmi Rp 4 miliar, akan ia terima sekitar Rp
2,75 miliar saja?
Adakah alasan yang kuat untuk menyatakan hal itu wajar?
“Ja­ja­jangan kuatirlah, Pak.... Bapak kan sudah biasa jadi re­
kanan kami. Tahulah apa yang harus dikerjakan,” ujar bapak ber­
seragam cokelat muda itu lagi. Seolah ia mengerti perubahanraut
muka Wie.
Sekali lagi, Wie tak langsung mengomentari.
Mengapa ia harus berhadapan dengan birokrasi yang tak me­
nyenangkan ini? Jika tak ia ambil, kesempatan ini pasti akan hi­
lang, dan rezekinya akan berpindah ke konsultan yang lain.
Tapi, jika diambil, ada bagian hati kecilnya yang protes.
Bukan cuma soal hitungan, lebih jauh dari itu, kesekian kali ia
terjebak dalam pusaran korupsi.
“Bagaimana, Pak Wylie... proyek besar lho ini...,” rayu bapak
itu lagi.
Lagi­lagi pandangan Wie mengarah ke luar.
Daun­daun yang ia lihat tadi melunglai jatuh ke tanah sudah
http://facebook.com/indonesiapustaka

mulai berkurang.
Proyek ini mungkin akan kian mengurangi gerak tarinya itu
sebab induk pohonnya akan ditebas, tuntas untuk tuntutan pem­
bangunannya. Itu berarti, bisa jadi, suatu saat nanti pemandangan
indah yang barusan ia lihat, takkan pernah ia dapat.
Pepohonan dikorbankan untuk beberapa bentuk bangunan
menjulang.

Renjana (2).indd 73 11/29/2013 10:26:39 AM


74 | anjar

“Izinkan saya berpikir sehari saja, Pak.... Saya juga harus kon­
sultasikan kepada bos yang lain,” akhirnya jawaban diplomatis itu
Wie temukan.
“Baik. Baik, Pak.... Besok, jam sepuluh, kami telepon Bapak la­
gi,” bapak itu berdiri. Tangannya bersiap menyalami, lalu disambut
Wie.
“Terima kasih, Pak.... Terima kasih....”
Tak lama pasang kaki bapak itu berkehendak pergi.
Wie mengiringnya dengan senyuman saja.
Hati dan kepalanya sudah memaksa untuk segera memutuskan
kelanjutan tawaran proyek tadi.
Sebentar ia membuka kembali iPad­nya, hendak mengirim pe­
san kepada rekanan di kantornya.
Belum juga niatnya kesampaian, ada tanda e­mail masuk di
inbox­nya.
Dengan penasaran pengiring waktu yang meninggi, jemari Wie
membuka pesan elektronik yang baru datang.

To : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>
From : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>

Izinkan malam ini aku mengenangmu


pada sebuah senja bertaut mata kita pertama beradu
Tak banyak suara, hanya senyum tak bersudah mengiring jalan
Lalu sesaat sekat-sekat itu menyatukan hati
pada kedalaman yang lama menanti
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kutahu, asa itu masih susah bersatu


Kutahu, bisa jadi ini hanya bualan semu
Tapi, ku juga tahu
engkau mampu renggut detik waktu
yang sekian lama sempat terdiam
membisu

Boleh, senja itu kembali padaku?

Renjana (2).indd 74 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 75

Dia lagi.
Siapalah yang bersetia mengirimkan e­mail puisinya lagi?
Meski ini lagu lama, tapi berhasil membuat pikiran Wie sedikit
menerawang.
Modus si beraja ini nyaris sama dengan yang dikerjakan Tra
Laksmi.
Tapi, rasanya aneh saja. Hati Wie tak lagi terhanyut lama. Tiap
kali puisi itu memenuhi inbox­nya, surat­surat itu tidak lagi terasa
seperti awal ia mendapatkannya dari sang putri.
Biasa saja.
Tersisa penasaran saja yang harus dituntaskan. Tak hendak ia
menyuburkan lagu lama.
Segera Wie mengambil smartphone­nya. Ia tahu harus
menghubungi siapa.


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 75 11/29/2013 10:26:39 AM


Cintai saja aku maka hujan yang kau pikir hanya berhenti sebentar,
ternyata telah mampu menyegarkan setelah kemarau sekian
lama.
Cintai saja aku, sehubung hatimu pergi ke langit, kau dapati satu
bintang akan menutupi lara yang mungkin pernah terbuka. Jika
kau perkenankan, bintang itu bukan saja berpendar, tapi juga
laksana ramuan alam, akan menghangatkan.
Cintai saja aku, rapatkan kelam yang sekian lama kau anggap
biasa. Tak ada yang istimewa atau harus diceritakan. Sebab,
ketika kau cintai aku, percaya saja kelam itu tak lagi suram.
Cintai saja aku.
Cintai saja aku.
Cintai saja aku.

Lalu…
Mengapa kau tanyakan, harus bagaimana aku,
kalau memang jawabannya hanya
………………………………
cintai saja aku?

(sore mendung, 5 Oktober 2009)


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 76 11/29/2013 10:26:39 AM


5.

NYARIS tak percaya kaki Ola sampai di tempat ini. Sungguh.


Dari awal papanya minta ditemani bersama Rafael yang sudah
datang, tak tebersit sedikit pun bahwa yang papanya maksud itu
adalah gereja kecil ini atau biasa disebut kapel. Sebelumnya ia tak
pernah bertanya lebih lanjut apa nama kapel yang dimaksud.
Ternyata....
Di sini bukan saja sebuah kenangan tertanam bagi papa dan
mamanya guna menyatukan cinta dan daksa di hadapan Tuhan.
Namun, di tempat ini juga, Ola tahu ada sebentuk rasa tak sengaja
ia tinggalkan.
Aaaahhh.... Berduyun­duyun kenangan itu tak hendak berlalu
dari hadapan.
Seperti ilm lama yang diputar ulang. Ola menjadi pelakon
sekaligus sutradaranya. Maka, begitu ilm selesai, dan diputar kem­
bali hari ini, debar batin itu nyatanya lebih kencang terasa.
Sekian puluh tahun lalu, rupanya Papa­Mama tercintanya me­
ngikat tali cinta di kapel ini. Sayang, romo yang memberkati kini
sudah tiada.
Sehabis pemberkatan, mama­papa Ola langsung diboyong ke
rumah orangtua mama Ola untuk melaksanakan semacam resepsi
kecil­kecilan. Zaman itu, resepsi tak semewah seperti zaman kini.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tamu yang diundang juga tak terlalu banyak. Tetapi, resepsi itu
sepertinya sangat berkesan sebab Romo dengan didampingi para
misdinar28 yang membantu pemberkatan nikah kedua orangtuanya
berkesempatan hadir. Romo yang jago bernyanyi itu pun turut me­
nyumbangkan suara merdunya.

28
Orang (biasanya anak­anak atau remaja) yang membantu romo di altar, sering
disebut sebagai putra/putri altar

Renjana (2).indd 77 11/29/2013 10:26:39 AM


78 | anjar

“Kalau tidak salah, Om Romo Jose menyimpan rekaman suara


Romo itu. Waktu itu merekamnya masih pakai tape recorder...,”
papa Ola tersenyum panjang. Mengenang masa lalu memang me­
nyenangkan.
“Kalian lihat di pojokan dekat patung Keluarga Kudus itu,”
Ola dan Rafael segera mengarahkan pandangannya ke arah yang
ditunjuk papa mereka, “itu adalah patung ketiga Malaikat Agung.
Waktu Papa dan Mama menikah, mamamu bilang akan mem­
berikan nama anak­anak kami sebagaimana nama para Malaikat
Agung itu. Biar anak­anak kami selalu dilindungi. Berhubung Oma
pingin memberi nama bila anak yang lahir seorang perempuan,
maka biarkanlah kakak dan adiknya yang menjadi penjaga putri
kami. Sebagaimana mereka telah dijaga oleh Malaikat Mikael dan
Rafael....”
“Papa...,” Ola tak sanggup menahan emosi. Dipeluknya sang
Papa dari samping. Keharuan ini memuncak khusyuk seiring suara
rombongan anak yang tampaknya sedang melewati samping kapel
itu.
“Kami bertiga juga akan menjaga Papa...,” tambah Rafael yang
berjongkok di antara papa dan kakaknya.
Kini, gantian sang Papa tak kuasa menarik anak bungsunya ke
dalam pelukannya. Mereka bertiga melepas emosi. Keindahan hari
ini terasa demikian dekat.
Telah lama kehangatan dan kedekatan ini tak dirasakan.
Meski tak ada Michael, kakak tertua mereka, hal itu tidak
menghapus semua keinginan untuk tetap saling menjaga. Tak ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

tempat yang paling indah selain bisa bersama dan berbagi bersama
keluarga.
Kesadaran ini telah demikian merasuk jiwa raga Ola hingga
tebersit sebuah niat. Namun, tak hendak ia utarakan kepada papa­
nya lebih dahulu. Butuh persiapan sebelum semua terjadi.
Sekian menit mereka mencoba berbagi kesah di dalam gereja
kecil itu.

Renjana (2).indd 78 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 79

Serangkai doa syukur pun tak luput dipanjatkan. Rafael yang se­
jak kecil memang telah pandai mengucap doa, menutup nostalgia
keluarganya itu dengan doa indahnya. Titik air mata menetes dari
mata mereka masing­masing, terutama jika mengenang Mama
tercinta. Kehadiran spirit Mama dan istri tercinta dirasa ada di
sekitar mereka. Bahkan ketika doa nyaris diakhiri, embusan angin
mendadak masuk ke dalam, menyejukkan kapel yang sejak awal
sudah terasa tenang dan adem.
Embusan itu seperti berpaling sampai menuju patung ketiga
Malaikat Agung. Ada rangkaian bunga mawar merah yang sempat
Ola letakkan di sana, tangkai dan daunnya berayun terkena em­
busan sang bayu.
Mata Ola menangkap tanda alam itu.
Ia tersenyum sambil menyeka air mata.
“Mama hadir di sini.... Ia turut berdoa bersama kita,” ujar sang
Papa sembari menutup mata seolah lebih berusaha merasakan apa
yang barusan ia katakan.
“Mama akan selalu hadir dalam keluarga kita, Pa...,” balas Ra­
fael.
Tak lama, keluarga kecil itu pun segera beranjak. Menyudahi
semua nostalgia dan doa di hari itu.
Sembari menyusuri jalan menuju parkiran, ujung mata kucing
Ola menangkap sekelebat sosok laki­laki sedang bermain dengan
sekelompok anak yang mengelilinginya. Ia tampak sedang meng­
ajarkan sebuah gerak dan lagu.
Tingkah lakunya yang diikuti anak­anak itu lucu sekali.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Senyum panjang menghiasi bibir Ola, bahkan sempat membuat


langkahnya terhenti sejenak. Diniatkan untuk menikmati peman­
dangan di depannya itu dengan lebih jelas.
Ah, Tuhan.... Meski ia sedang tak mengenakan jubah, karisma­
nya terasa kencang hingga ke relung renjana. Tak mungkin ma­
tanya ini menipu tentang siapa sosok yang berdiri dan menyanyi
riang di sana.

Renjana (2).indd 79 11/29/2013 10:26:39 AM


80 | anjar

Walau ia terlihat sedikit gemuk, selain karisma, rambut sedikit


keriting dan hei... tahi lalat di pipi bawah sebelah kanan itu kian
meyakinkan otak Ola tentang siapa sosok tersebut.
Sebentar tergerus niat besar untuk meminta izin kepada papa
dan adiknya agar ia ditinggalkan saja. Ola ingin ikut bergembira
bersama anak­anak di sana sekaligus meluruhkan rasa yang men­
dadak bercurah­curah memenuhi sukma.
Renjana nyaris sepuluh tahun itu benar­benar berlimpah ruah
hanya dalam beberapa menit melihatnya.
Namun Rafael memberi kode agar sang Kakak cepat menyusul
ia dan papanya.
Papanya tampak sedikit kelelahan, harus segera pulang.
Ola merasa tak rela. Tapi ia juga tak tega meninggalkan ke­
luarganya.
Akhirnya ia mengalah, membiarkan keinginannya berlalu ber­
sama awan putih dalam birunya langit terbambang....


SEBENARNYA setelah sekian waktu menjadi pekarya di biara ini,
Tra makin mengenal sifat Raka, sesama pekarya yang punya tang­
gung jawab mengurusi halaman dan kebun biara. Raka anak yang
rajin dan penuh kreativitas agar tanaman yang ia urus tumbuh de­
ngan baik serta menghasilkan.
Tapi, baru hari ini ada sebentuk rasa menggelitik diam­diam
di dasar sanubari. Apalagi tatkala ia lihat hari ini Raka begitu te­
laten menerangkan dan mengajarkan tentang tanaman sayur­ma­
http://facebook.com/indonesiapustaka

yur yang ia tanam kepada anak­anak yang datang ke biara.


Seperti biasa, tiga bulan sekali, di tempat ini ada semacam open
house bagi warga sekitar terutama anak­anak. Mereka diundang
untuk bermain, belajar, sekaligus makan­makan bersama seluruh
penghuni biara. Meski tiap minggu ada bimbel29 yang diperuntuk­
29
bimbingan belajar

Renjana (2).indd 80 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 81

kan bagi anak­anak yang kurang mampu, tapi kegiatan satu ini
tetap ramai peminat.
Romo kepala biara bekerja sama dengan ketua RT dan RW se­
tempat memang merancang acara ini agar mereka bisa lebih saling
mengenal.
Pertama Tra mendapati kegiatan ini, ia sempat bingung dan
kaget. Kesibukan lebih dari biasa pun harus ia hadapi. Tapi belajar
dari Bi Mumun, Pak Usep, Pak Tumi, dan Raka, kegiatan ini ma­
lah membuatnya senang, bisa terlibat bersama mereka.
Dan, hari ini kesukaan hatinya bertambah dengan apa yang di­
lihat dari pemuda berusia tiga tahun lebih tua darinya itu. Dengan
gaya khas yang penuh keramahan, beberapa anak kecil tampak
penasaran dengan apa yang sedang dikerjakannya. Mereka terlihat
ingin tahu, bahkan ingin mencobanya sendiri.
Raka tak hendak mencuekkan mereka.
Ia malah merangkul anak­anak itu satu­satu sambil menerang­
kan hingga mereka benar­benar tahu.
Mendadak Tra ingat Mang Ujang.
Tukang sapu bersahaja yang juga sama perhatiannya kepada se­
sama. Bukanlah orang pintar atau kaya, tetapi ia kaya hati, mem­
buatnya begitu terinspirasi akan banyak hal.
Di mana dia sekarang ya....
Mata Tra kembali menatap di depan sana. Sambil mengelap pi­
ring yang akan digunakan makan siang sebentar lagi, kekaguman
Tra tak dapat disembunyikan.
Raka juga bukan orang berpendidikan tinggi. Selepas SMP, ia
bahkan sudah harus bekerja di kota. Untunglah bertemu dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

salah satu frater yang merupakan tetangga di kampungnya. Berkat


frater itu, ia mendapat tawaran kerja menjadi tukang kebun di sini.
Karena hasil kerjanya juga baik, ia tetap bekerja hingga kini.
Dengar­dengar ia malah sempat disekolahkan di sebuah lembaga
pendidikan setingkat SMA. Ijazah kelulusannya pun diakui. Raka
menjadi kebanggaan pemimpin biara dan keluarganya karena ber­
hasil menempuh pendidikan di antara kesibukan kerjanya.

Renjana (2).indd 81 11/29/2013 10:26:39 AM


82 | anjar

Dari Raka, Tra belajar banyak hal soal tanaman.


Raka hafal betul bagaimana memperlakukan masing­masing
tanaman di kebun halaman biara ini. Selain pengalaman sekian
lama, Raka juga senang membaca apa saja yang berhubungan de­
ngan tanaman.
“Hayyyooo.... Ari si Neng teh meni nggak berkedip kitu lihat Ra­
ka...,” goda Pak Tumi seperti mengerti apa yang sedang dilamunkan
Tra.
“Ah si Bapak mah.., bisa aja,” Tra tersipu.
“Sok atuh, Neng.... Sisakan makanan buat Raka habis anak­
anak itu pergi, biar dia makan dulu. Kasihan dari tadi dikerjain
anak­anak itu….”
“Eh iya, Pak. Iya.... Saya bilang ke Bi Mumun dulu,” pamit Tra
menyetujui saran Pak Tumi barusan. “Eh, tapi Bapak sendiri mau
Tra sisakan juga?”
Pak Tumi tersenyum panjang.
“Bapak mah gampang.... Ntar kan dapat jatah juga.... Biar buat
Neng Tra dan Jang Raka aja....”
Bergegas Tra menuju dapur.
Bi Mumun telah menyelesaikan tugasnya memasak. Tadi ia pun
sempat membantu.


rindu?
apa itu? katamu,
tapi diam­diam kau telah menghisapnya dalam­dalam,
http://facebook.com/indonesiapustaka

rasakan saja di sekujur tubuhmu

LANGIT masih biru menderu.


Sebagian kesibukan hari ini pun sudah nyaris berlalu.
Senangnya bisa berbagi dengan banyak orang, terutama anak­
anak yang lucu­lucu.
Di antara rutinitas kegiatan biara, Firdaus amat menikmati ke­

Renjana (2).indd 82 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 83

giatan barusan. Bukan saja mengakrabkan ia dan seluruh isi biara


dengan masyarakat sekitar, tapi juga mendatangkan sebuah energi
segar.
Tak dipungkiri lagi, di antara senyum­senyum kecil para bocah
yang berlarian, bernyanyi, dan menari, di sanalah ia titipkan se­
buah hati. Hati yang penuh pujian bagi sebentuk ciptaan nan
agung dan luhur.
Betapa tak habis ia syukuri bahwa semua ini boleh ia rasa.
Meski takkan mungkin ia memiliki sendiri kelucuan dan suara
anak­anak, dengan melihat mereka seperti sepagi hingga siang ta­
di, cukuplah....
Di sela kegembiraan hati, sebenarnya ia sempat melihat sekele­
bat bayangan dari seraut tubuh dan wajah.
Bayangan itu sedang bersama seorang bapak tua dan anak mu­
da, mungkin saudaranya, keluar dari kapel.
Hendak ia berteriak atau sekadar berlari untuk bertegur sapa,
tapi segera diurungkannya. Biar bagaimanapun tamu­tamu kecil­
nya ini harus selalu istimewa. Setidaknya untuk hari ini.
Tapi, heran....
Mengapa berbondong­bondong tanpa permisi, sebuah rindu itu
menyeruak memenuhi sukma? Padahal tak ada niat untuk menge­
nang, apalagi menyusuri riak­riak waktu masa lalu.
Lagi pula, apa benar yang tadi terlihat mata?
Tidakkah ada seribu satu tamu hilir­mudik yang datang dan
pergi setiap hari di biara ini? Tak mungkin rasanya jika yang ia li­
hat tadi adalah sosok yang ada di pikirannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Aaahhh.... Mengapa aku mendadak kelu begitu namamu me­


luap­luap di kalbu?
Sekonyong­konyong Daus gelisah sendiri, tak menentu.
“Mata yang bisa memandang banyak hal itu mempermainkan
rasa lho, Le… Kalau kamu lihat biru lalu kamu merasa indah, coba
kamu renungkan baik­baik, indahnya itu sebatas mata atau benar
sampai hatimu. Kalau cuma sampai mata, ya biarkan saja. Kalau

Renjana (2).indd 83 11/29/2013 10:26:39 AM


84 | anjar

benar sudah sampai hati, kamu juga perlu tanya, untuk apa? Nek
ora penting, yo nengke wae30…,” nasihat Ibunya bergema lagi di
dada. Daus mengambil napas pendek.
Ya. Keindahan ini memang belum pasti sampai ke hati. Mung­
kin hanya karena keindahan pandangan sesaat. Daus tak hendak
terjebak atas putaran kenangan yang dibawa olehnya.

Sesaat siang terikku menghantarkan gundah yang sebenarnya sejak


kemarin berdiam
Di antara banyak teriakan tak jelas makna
karena panas mengundang peluh,
gundah itu kini berganti sebentuk rasa
bahwa di sisi hati yang bergunjing bersama waktu
ada sebentuk kalimat yang tak pernah berganti
meski siang ini sebentar lagi
akan berganti senja menjingga
di batas cakrawala
Kalimat itu yang kini bergejolak,
menendang­nendang,
berguling­guling,
menggelepar­gelepar
memenuhi sudut relung jiwa
Sedahsyat itukah?


http://facebook.com/indonesiapustaka

DENGAN lahap, Raka memakan sepiring nasi, ikan asin, sambal


terasi, lalapan, tempe, dan tahu. Sepotong ayam tidak ia sentuh
sama sekali.
“Nuhun ya, Neng, sudah menyisakan dan membawakannya ke
sini. Akang teh emang laper pisan dari tadi,” ujar Raka jujur.
30
Kalau tidak penting, diamkan saja.

Renjana (2).indd 84 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 85

“Sami­sami, Kang…. Tadi Tra juga diingatkan Pak Tumi. Kalau


nggak, mungkin Akang nggak kebagian ikan asinnya hehe,” jawab
Tra santai.
“Ari si Neng, nggak ikut makan?”
“Nanti saja, Kang... sama Bi Mumun, sehabis beberes nanti,”
tolak Tra halus.
“Eh, jangan gitu atuh…,” Raka memajukan duduknya, lalu ia
mengambil sepotong tempe dan bermaksud menyuapkannya ke­
pada Tra. “Yuk, makan sama Akang. Tempenya deh kalau Neng
sungkan....”
Tra kagok. Bingung harus bagaimana.
Tapi, ia tak kuasa juga ketika tangan Raka terus maju hingga ke
mulutnya. Dengan sedikit kode dari kepala Raka agar Tra membu­
ka mulut, tempe goreng itu terlahap juga.
“Nah, gitu atuh... kan Akang jadi ada yang nemenin makan.”
Tiba­tiba Raka kembali mengambil setangkup nasi, sepotong
ikan asin, tempe, sambal, dan lalapannya. Semua ia letakkan di
atas piringnya, membuatnya terlihat penuh.
“Sok atuh bareng sama Akang makan di piring ini ya.... Sepiring
berdua gitu....” Raka menawarkan, tanpa ada kesan ragu apalagi
malu. Ia dekatkan lagi duduknya. “Kalau Neng Tra mau ayam go­
rengnya, mangga. Akang mah cukup yang ini aja.”
Kian gugup Tra dibuat Raka, tingkah lakunya ini di luar duga­
annya.
“Hayuk atuh... Meuni bengong kitu....”
“Eeehhh..., iya, Kang... iya....” Tak kuasa Tra menolak. Pelan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tapi pasti ia pun mulai melahap yang tersaji di depan matanya itu.
Sungguh. Baru kali ini ada sisi hati berbareng bernyanyi dan
menari. Siang panas berubah adem dan nyaman....


“AKU senang sekali bertemu kamu lagi, Ola.... Senang sekali,”
salaman tanda selamat datang itu mengiring kedatangan Ola ke

Renjana (2).indd 85 11/29/2013 10:26:39 AM


86 | anjar

Sushi Tei sore ini. “Sudah lama aku menanti pertemuan kita ini…
setelah sekian lama….”
“Ya... aku juga senang sekali, Wie... Teramat sangat,” Ola tak
kalah gembira.
Keduanya pun mencari tempat yang paling enak agar bisa
mengobrol sembari menikmati sisa senja yang pasti sebentar lagi
beranjak pergi.
“Sori ya, aku nggak bisa datang lebih awal. Tadi mengantar
Papa ke kapel yang pernah menjadi tempat pernikahan Papa dan
almarhum Mama dulu,” Ola memulai cerita.
“Ohh... tak apa. Tak apa.... Eh, ya biar telat sekali, turut berdu­
ka untuk kepergian mamamu tercinta ya,” ujar Wie tulus.
Ola tersenyum, “Tak apa, Wie.... Terima kasih. Waktu Mama
meninggal, kita kan juga sedang lost contact.”
Kepala Wie angguk­angguk.
“Pada saat kejadian itu, apakah kamu sempat memberi tahu
Ben dan Firdaus?”
Ola melirik Wie serius. Ia cukup kaget mendengar pertanyaan
Wie. “Hei, mengapa kamu tiba­tiba bertanya begitu?”
“Hehe.... Entahlah. Tiba­tiba melintas saja di kepala,” Wie cuek
menjawab sambil membaca menu yang disuguhkan. Sementara,
Ola mengambil beberapa makanan yang lewat dari sushi bar di
sampingnya.
“Waktu itu aku sedang di Itali. Aku pun tak sempat menemani
Mama saat detik terakhirnya. Tak terpikirkan juga rasanya meng­
hubungi mereka. Entah kalau mereka tahu dari orang lain,” jelas
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ola.
“Bahkan, Firdaus pun tidak kamu bela­belain kabari?”
“Lho, kok pertanyaannya jadi tendensius gitu?”
“Haha... bukankah dia cinta matimu?”
“Ah, kamu…,” Ola mengibaskan tangannya. “Itu masa lalu.
Aku tak hendak membangkitkan kenangan lama. Setidaknya di
saat pertemuanku saat ini denganmu.”

Renjana (2).indd 86 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 87

“Hehe....” Wie menyeringai. “Kamu masih seperti yang dulu,


Ola....”
“Bukan berarti pergantian waktu memaksaku untuk berubah
rupa, bukan?”
“Yup.... Dan, tak salah kalau aku memaksamu untuk segera
bertemu.”
Gantian Ola yang menyeringai.


GUNDAH gulana tak menghalangi hari.
Tak ada celah sukacita tampak menyeruak diam­diam.
Meski cuaca kali ini cepat berganti, tak lama, namun hal itu
tak memengaruhi kegalauan yang ada. Bahkan, bisa menambah
dan tak memperdayanya.
Tinggal ia sendiri menatap sisa langit biru yang di selanya ada
semburat jingga menari. Mungkin mengganggu mata, tapi semburat
itu memang seharusnya ada. Bagaimana ia harus memprotes atau
mengusirnya?
Padahal sudah sekian banyak dan lama tercurahkan ketidak­
pastian ini. Berharap satu saja kepastian yang dapat meringankan.
Ia tak ingin hidup di tengah­tengah.
Ia ingin kakinya pasti melangkah. Tidak perlu cemas, meragu,
atau takut terhadang di depan.
Ia butuh malaikat penjaga untuk sekadar menemani langkahnya.
Tetapi... masih adakah kepakan sayap malaikat ditujukan bagi­
nya? Bukankah para malaikat itu sedang sibuk dengan para manu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sia yang pasti, tak sedang berada di tengah­tengah begini?


Kadang ia berpikir, malaikat itu salah menghinggap, menemani
langkah manusia­manusia itu. Meski katanya mereka telah hidup
pasti, toh ada bagian yang bahkan ketika tak sengaja keluar, um­
patan dari sekitar melebihi apa yang tengah ia alami.
Lalu, mengapa para malaikat itu masih tetap mendampingi?
Tak adil rasanya....

Renjana (2).indd 87 11/29/2013 10:26:39 AM


88 | anjar

Seperti langit kali ini yang birunya kian tertutup jingga.


Punahlah harapan agar mata dimanja, lebih lama memandang
biru langit bersahaja.


“AKU senang mendengar kamu kini berbahagia dengan keluarga­
mu. Kapan­kapan aku dikenalkan dengan anak dan istrimu ya,”
harap Ola. Dari tadi ia terlihat begitu menikmati menu pilihannya.
“Pasti, Ola... pasti. Kamu pasti akan gemas dengan kedua anak­
ku,” jawab Wie yakin.
Ola tersenyum lebar.
Tak terbayangkan, pasti ia akan senang bermain seharian de­
ngan anak­anak Wie yang tadi sempat diperlihatkan dari ponsel
BB­nya.
“Lalu, kamu mau cerita apa padaku?”
“Sebenarnya banyak, La.... Tapi, ada satu hal yang sedang me­
macu rasa lamaku.”
“Maksudmu?”
Wie mengelap mulutnya dengan tisu. “Beberapa hari lalu, saat
aku hubungi kamu, aku baru saja rapat dengan instansi pemerin­
tah. Biasa... mau ada proyek bareng. Sebagai konsultan sipil swas­
ta, sebenarnya kami menurut saja dengan anggaran yang tersedia,
tapi...”
“Tapi, kenapa?”
“Kamu tahulah, gimana pemerintah,” Wie melahap satu potong
sushi salmon, “Masa dari empat miliar yang dianggarkan, kami cu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ma dapat tiga miliar kurang?”


“Well... gile banget....” Ola geleng­geleng, ia turut melahap su­
shi salmon yang ada.
“Makanya…. Dana sunatnya nggak kira­kira. Pantes aja pem­
bangunan di negara kita ini lambat bener....”

Renjana (2).indd 88 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 89

Sebentar ada seorang pelayan menambahkan ocha31 ke dalam


cangkir minuman mereka yang nyaris kosong.
“Kamu nggak bertanya mengapa itu bisa terjadi? Terima kasih
ya, Mbak...,” tanya Ola sembari mengucapkan terima kasih kepada
pelayan yang melayani di sela tanyanya kepada Wie.
“Sama­sama, Bu...,” jawab sang pelayan.
“Bertanya lebih banyak, sunatannya juga bakal lebih banyak....”
“Aneh....”
“Makanya.... Sebenernya aku nggak ingin ambil proyek itu.
Tapi, bos­bosku yang lain bilang ambil saja. Entah deh gimana
tambal sulamnya....” Raut wajah Wie seolah menurun, tak dapat
menyembunyikan kerisauannya.
“Hmmm...,” Ola jadi hendak ikut berpikir, “lalu, masa kamu
sendiri nggak punya spirit untuk menyelesaikan semua ini dengan
baik tanpa terbawa arus?”
“Itu dia yang kemudian memunculkan kenangan lamaku.”
“Maksudmu?”
Sebentar Wie mengutak­atik lagi BB­nya. Ia hendak menun­
jukkan sesuatu kepada sahabat lamanya.
“Kamu baca puisi ini baik­baik.” Wie menyodorkan ponselnya
ke hadapan Ola.

Wie…
Matahari terik memancar
bukan berarti hanguskan
Hujan deras mengguyur
http://facebook.com/indonesiapustaka

bukan berarti bekukan


Lalu….
mengapa kau simpulkan
sesuatu yang masih dalam proses
perjalanan?

31
teh khas Jepang

Renjana (2).indd 89 11/29/2013 10:26:39 AM


90 | anjar

“Well.... Puisi yang indah,” komentar Ola sesaat matanya selesai


membaca bait puisi yang tertera.
“Kamu tahu itu puisi dari siapa?”
Sebentar Ola berpikir, sampai akhirnya kepalanya bergeleng
pelan.
“Itu puisi dari Laksmi....”
“Ow... Tra Laksmi maksudmu?”
Wie mengangguk pelan.
“Kamu masih menyimpannya dengan baik rupanya.”
“Puisinya aku simpan dengan baik hingga kini, tapi aku melu­
pakan alamatnya e­mail­nya.”
“Nah lho.... Maksudnya apa lagi ini?” Ola dibuat bingung.
Lagi­lagi Wie tersenyum. “Waktu itu ia mengirimkan semua
puisi indahnya itu lewat e­mail kantor. Pas aku pindah, ya nggak
terdeteksi deh semua e­mail yang pernah ada di sana. Lagi pula
saat itu aku merasa tak ada yang istimewa....”
“Lalu, sekarang kamu merasa semua itu istimewa?”
“Yes.... Bahkan, teramat istimewa. Belum terganti....”
Arah mata Wie menuju pada sushi bar yang selalu berputar dan
berganti­ganti makanan. Mata Wie dibuat tak berkedip karenanya,
seolah di sana ada seseorang yang ia cari.
Apakah senja ini sedang berbaik hati menyampaikan rasa hati­
nya yang terdalam?


KEJADIAN sesiang tadi mendaraskan sebuah rasa luar biasa di
http://facebook.com/indonesiapustaka

dada Tra.
Belum pernah ia bisa se­dag­dig­dug ini, merasa begitu istimewa.
Setelah sekian lama, ia yang dahulu mencoba memberi banyak, ki­
ni justru diberi perlakuan yang tak terpikirkan sebelumnya. Mimpi
pun tidak.
Sebagai perempuan kampung yang hampir tidak pernah mera­
sakan bagaimana rasanya jatuh cinta yang sesungguhnya, apa yang

Renjana (2).indd 90 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 91

dilakukan Raka padanya hari ini menjadikannya berbunga­bunga.


Apakah benar ini yang namanya jatuh cinta, bukan sekadar me­
ngagumi seperti saat lalu?
Jatuh cinta itu milik semua orang, Neng..., terngiang ucapan
Mang Ujang tempo hari. Namun, saat itu Tra baru merasakan cin­
ta sekadar mengagumi, bukan keluar dari dasar hati.
Padahal apa yang diperlakukan Raka sesiang tadi, mungkin tak
begitu istimewa. Bahkan, tak mencantumkan sedikit puisi. Tetapi,
dalam kesahajaan itu justru kalbunya seperti berguncang hebat.
Sekadar menatap mata Raka pun sudah tak sempat. Mata itu men­
dadak seperti mengalirkan air danau nan tenang. Ingin sekali Tra
bisa berenang di kedalaman matanya itu.
Tra benar­benar sedang mabuk kepayang.

Aku dipenuhi cinta hari ini


ketika tergambar ulasan wajahmu menyentuh kelembutan rinduku
yang sejak tadi menggugu
Aku dipenuhi cinta hari ini
walau mungkin kau tak pernah sadar betapa hadirmu membasuh
kehausan sesiang panas tanpa peluh ini
Kiranya cinta yang memenuhi hari ini
terharap akan abadi bagiku hingga masa di mana angin tak
mungkin akan melarikannya untuk pergi jauh
Aku mau…
selalu dipenuhi cinta
olehmu
http://facebook.com/indonesiapustaka

sepanjang waktu

Dalam letupan hati di luar dugaan begini, Tra serasa ingin pagi
segera menjemput malam. Tak sabar ia ingin menuai senyum Raka
yang pasti akan terjelang jelas sebelum matahari gagah berdiri di
hadapan Bumi. Dan, sapa ramahnya akan menjadi luapan rasa
tersendiri baginya apalagi ketika mereka bisa sarapan bersama,

Renjana (2).indd 91 11/29/2013 10:26:39 AM


92 | anjar

dengan Bi Mumun dan Pak Tumi juga. Sesekali satpam di depan


juga turut.
Itulah awal waktu yang terindah.
Aku ingin malam sekejap mimpi, hingga pagi menciumku bangun
menggiatkan hari....
Harap panjang Tra sesaat matanya sudah menunjukkan kele­
lahan sangat berbarengan tubuh letih penat....


SEBENTAR Ola memainkan mulutnya. Seperti membiarkan otak­
nya berpikir dan mungkin nanti mulutnya yang akan menyampai­
kan.
“Kamu masih belum bisa melupakan pekaryaku yang menurutmu
cerdas itu?” tanya Ola tak percaya.
Kepala Wie mengangguk mantap.
“Dia bukan saja cerdas, Ola.... Dia juga romantis....”
Ola menggeleng­gelengkan kepala. Putaran masa rupanya tak
mampu melepaskan bayangan seorang perempuan sederhana yang
sempat demikian terasa dekat, meski awalnya hanya lewat surat­
surat elektronik nyasar yang tak perlu digubris. Begitu diketahui
siapa pengirimnya, penasaran bahkan rasa tak senang itu justru
berubah bibit­bibit cinta.
Wie seperti ditarik dalam kubangan rasa. Ia dikenal sebagai
laki­laki yang tak peduli urusan hati, di otaknya hanya ada urusan
kerja dan kerja. Tiada peduli usia yang bergulir atau permintaan
keluarganya bahkan lirikan banyak perempuan yang mengagumi­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya, Wie tetap selalu mengisi waktunya dengan bekerja.


Tak aneh... begitu ia merasa diperhatikan dan hatinya demikian
berbunga­bunga, terjatuhlah ia. Tiada peduli bahwa terjalnya jalan
agar bertemu sang putri bukan saja dihadang urusan duniawi, na­
mun juga seluk­beluk dunia maya.
Wie jatuh cinta pada dunia nan semu.
Sukma yang diacak­acak karena rangkai demi rangkai puisi pe­

Renjana (2).indd 92 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 93

nyentuh hati pada akhirnya mampu membangunkan Wie untuk


sekadar mau melihat diri sendiri, tidak melulu pada kejaran cita
yang tak kenal lajunya waktu.
Ia bahkan tak peduli ketika mengetahui bahwa orang yang
mengirimkan puisi nan indah itu hanyalah pekarya biasa yang se­
benarnya sudah ia kenal. Bahkan, sempat berpandang mata dan
bertukar sapa cerita.
Degup itu pun kian kencang. Nyaris tak bisa dibendung.
Kalau dulu Wie oleng karena hidupnya hanya untuk duniawi,
kini ia oleng sebab di saat ia telah menetapkan rasanya sendiri,
justru Tra Laksmi, sang putri memilih pergi....
Mungkin tak ada hubungannya dengan keduanya, urusan pri­
badi. Namun, kalau dilihat dari semua reaksi, kini Wie tampak
masih menyimpan seribu satu asa itu di hati.
“Sekarang kan kamu sudah punya Dalimah dan dua anak yang
lucu­lucu, apakah rasamu masih tersimpan buat Tra?”
Wie menarik napas sejenak.
Malam sudah memenuhi semesta. Kali ini ia harus merelakan
senja berlalu tanpa mata bisa bebas menikmati seperti biasa.
Tak apa.
Esok masih ada waktu.
“Dalimah adalah hidupku kini. Begitu juga kedua anakku....
Tapi, aku masih punya masa lalu. Masa lalu yang membuatku ma­
sih merasa menggantung di angan­angan tak tentu....”
“Hei…,” Ola menyentuh tangan Wie, “masa lalu boleh kamu
ajukan saat kembali menggundah. Tapi, jangan jadikan alasan un­
tuk memudarkan semangat dan kekuatan masa kinimu....”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kepala Wie menatap ke samping.


Ada sepasang kekasih sedang membaca sesuatu di smartphone­
nya. Tak lama, sang perempuan seperti merajuk manja. Lalu tanpa
ragu, ia daratkan cium kejutan di pipi sang laki­laki.
Pastinya, si laki­laki terkejut.
Namun, tak lama senyum merekah di bibir laki­laki itu. Segera
ia benamkan pasangannya itu ke dalam pelukannya.

Renjana (2).indd 93 11/29/2013 10:26:39 AM


94 | anjar

Romantis.
“Kamu tahu... selain terpancing urusan kerjaan itu, ada satu hal
lagi yang membuatku gundah tak karuan,” ujar Wie menyudahi
pemandangan barusan di sampingnya.
“Apa itu?” Ola ingin tahu.
“Akhir­akhir ini aku mendapat kiriman e­mail puisi lagi. Isinya
kurang lebih sama.”
“O ya? Dari Tra Laksmi juga?”
Kepalanya menggeleng. “Kali ini ia tak mencantumkan nama.
Hanya pada alamatnya ia menyebut dirinya berajamu dan menye­
butku berajaku.”
“Wew... kenapa hidupmu penuh dengan pengagum rahasia be­
gini, Wie?”
“Itulah....” Wie malah jadi serius dengan pertanyaan Ola ba­
rusan.
“Awalnya aku geer­lah.... Apalagi di saat kerinduan itu kadang
masih sangat memenuhi kalbuku...,” Wie jujur. “Tapi lama­lama
antara curiga dan bingung aku. Untuk tujuan apa ia mengulangi­
nya? Bukankah ia pun sudah mengetahui siapa aku dan aku me­
ngetahui juga siapa Laksmi itu?”
“Kamu sendiri sudah pernah bertemu Tra lagi setelah kejadian
itu?”
“Waaahhh.... Dia seperti hilang ditelan bumi. Entah ke mana.
Aku sempat tanyakan alamat rumahnya padamu kan, kamu bilang
nggak tahu karena pekaryamu itu nggak meninggalkan alamat di
kampungnya,” cerita Wie lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Yayaya...,” Ola anggut­anggut. “Lalu..., bagaimana rencanamu


selanjutnya? Masih mempertahankan rasa lama? Menduga­duga
siapa pemuja rahasiamu itu?”
“Soal rasa..., aku berharap waktu secepatnya akan membasuhnya
supaya tidak lenyap, tapi tidak mengusikku lagi. Soal si pemuja ra­
hasia, aku justru ingin bertanya padamu, enaknya bagaimana?”
“Hmmmm...,” Ola mengambil napas sejenak. Ia sedikit berpikir.

Renjana (2).indd 94 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 95

“Sejujurnya nih, Wie...,” perempuan yang pernah dikatakan


Wie sebagai perempuan nyaris sempurna karena kondisi isik
dan kecerdasannya itu memajukan sedikit tubuhnya, “aku merasa
orang yang mengirimimu e­mail itu orang lama, tapi bukan Tra
Laksmi.”
“Heh?”
Ola menautkan alis matanya seperti hendak memastikan apa
yang ia utarakan barusan. “Coba kamu bayangkan, Tra Laksmi
itu meski cerdas, sejak ia keluar dari kantorku pasti sudah jarang
sekali berhubungan dengan dunia maya. Bukan saja masalah kita
tidak tahu bagaimana kondisi kampungnya, tapi justru karena
kecerdasannya itu maka ia pasti tidak akan mengulangi hal yang
sama.”
Wie memegangi dagunya. “Benar juga ya....”
“So, keep move on, guys.... Do not  want to be stuck  with the
past.... You  have  today  a more  deinite.” Ola memberikan senyum
lebarnya.
Wie menatap teman lamanya itu penuh arti.
Sekian lama tak jumpa rupanya telah mengubah Ola menjadi
seorang perempuan bijak.
Tidakkah hari ini menjadi hari yang penuh anugerah?
“Thanks, La.... You’re  still  my best friend  from the  irst.  Do
not give up so that I’ll once again asked us to brainstorm.”
“Do not hesitate,  Wie....  Just  contact  me....” Ola memberikan
dua ibu jarinya, tanda setuju dan mendukung.
Malam tampak pula menyetujui.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Remang bulan sabit di atas yang mulai mengintip laksana me­


nyatakan tentang persahabatan, tentang sesuatu yang tak lekang
zaman. Bahkan, ketika kelam ini kembali dibasahi embun dan
selanjutnya pergi mempersilakan sang mentari bertakhta, gagah
berdiri.

Renjana (2).indd 95 11/29/2013 10:26:39 AM


96 | anjar

HP Daus bergetar. Ada BBM masuk.

Marry Dina : Hidupku sudah hancur, Romo... Sebagai sesama ciptaan Tuhan,
apakah Romo tidak hendak bersimpati padaku?
Rm. Daus : Jika saya tak simpati padamu saya tidak akan mendengarkan
keluh kesahmu.
Marry Dina : Tapi, hati saya merana apalagi jika melihat anak perempuan
saya, dia merindukan sosok seorang ayah.
Rm. Daus : Pertemukanlah ia dengan papanya.
Marry Dina : Bagaimana mungkin? Sekarang papanya ada di mana juga kami
tidak tahu. Dia hilang lenyap.

Daus menghela napas.


Kali ini dalam helaan napasnya ada sebaris doa agar dia bisa
lebih sabar dan menemukan kalimat yang baik untuk membalas
semua BBM dari umatnya ini.

Marry Dina : Kenapa sih Romo nggak mau bales BBM ku kalau siang? Pada-
hal siang kan aku juga mau curhat.
Rm. Daus : Kalau siang saatnya saya bertugas. Kadang-kadang melihat isi
HP saja tidak sempat.
Marry Dina : Kalau begitu kenapa tidak membalas sekalian saja yang mesra.
Rm. Daus : Saya membalas apa yang perlu saya balas.
Marry Dina : Akh!! Ada ya manusia kayak kamu. Tega bener mempermainkan
perempuan.
Rm. Daus : Tak terbersit niat sedikit pun saya mempermainkan mahluk cip-
taan-Nya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Daus mengembuskan napasnya. Dibiarkannya BB itu terus


bergetar. Beberapa BBM dari orang lain, ia diamkan. Kalau terus
diladeni, ia takut ada hal yang tak perlu terjadi.
Lima sampai sepuluh menit berlalu.
BBM yang semula berentetan dari Marry tak dijawab lagi. Daus
bahkan sesaat melupa diiringi aktivitasnya membalas BBM lain.

Renjana (2).indd 96 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 97

Tebersit rasa bersalah, membuat salah satu umatnya mungkin


menjadi terluka di saat memang semua kondisi sedang tidak di
pihaknya. Tapi..., di sisi lain Daus merasa umatnya itu juga harus
belajar untuk tidak selalu mengejar­ngejar. Ia memang ada, namun
bukan hanya untuknya.
Kamu memang bertugas untuk memperhatikan sesamamu, Le…
Tapi, jangan lupa kamu juga harus memperhatikan dirimu sendiri dulu.
Belajar mengimbangi hidup yo, Le….
Sekali lagi Daus mengembuskan napasnya. Bukan saja untuk
membuang segala resahnya, tetapi ia juga ingin menyudahi malam
ini tanpa umpatan. Mestinyalah segala puji dan puja yang terucap
sebab sudah diberkati dan didampingi.
Seperti biasa, Daus pun mematikan peralatan elektroniknya,
begitu juga lampu kamar. Sehabis doa malam terpanjat, ia bersiap
larut dalam buai mimpi serta harapan baik untuk esok hari.

Kudengar bisik malam kali ini


mengalun menyatakan
betapa banyak hari terlewati
penuh cinta, syukur, dan harapan
Embus angin pengganti hujan seharian
kemarin sampaikan
sisa pesan pula
bahwa esok, lusa, dan nanti
akan ada bunga lain
yang ‘kan bermekaran,
http://facebook.com/indonesiapustaka

wangi berseri
Maka sang malam anjurkan daksaku
untuk usaikan hari ini
dalam balutan mimpi
supaya sungguh esok pagi
Kudapati bunga mewangi itu

Renjana (2).indd 97 11/29/2013 10:26:39 AM


98 | anjar


Pagi yang dingin sekali
Brrrr....
Tiada sudi rasanya kaki berdiri
Brrr....
Padahal embun sudah turun membasahi bumi
menyentuh daun satu­satu
lalu bersama burung berdendang, berlagu

Pagi yang dingin sekali


Brrr....
Toa perintah bangun, tak kupeduli
kubiarkan, anggap mimpi
Dan lebih enak merungkel
kembali nyenyak
di balik kantung selimut
Anget.

(pagi paling dingin, 28 Juni 2009)

PAGI sehabis diiringi doa seperti mempunyai karisma tersendiri.


Bunyi pericit yang menyemarakkan tetesan embun menjadikan
pagi bukanlah alasan untuk terus bersantai dan tidak meneruskan
hari dengan semangat. Keindahan ini diberikan agar semua anak
http://facebook.com/indonesiapustaka

manusia dapat merasakan spirit langsung dari Sang Pemberi.


Begitu juga semua karya dan kerja di dalam biara. Selepas su­
buh terjelang, bunyi air, jendela, dan pintu dibuka, beberapa lam­
pu dimatikan, dan api kompor dinyalakan. Sementara para peng­
huni biara bersiap berdoa memuji, pekaryanya bersiap memberi.
Memberi yang dibutuhkan oleh semua.
Tak aneh, saat jam menunjukkan tepat pukul 07.00, sarapan

Renjana (2).indd 98 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 99

beserta minumannya telah siap terhidang. Makanan rohani dan


duniawi pun melengkapi bakal langkah sepanjang hari.
Lalu, apa lagi yang harus dikeluhkan setelah didukung penuh
begini?
“Dari tadi kita doa, kenapa wajahmu muram terus, Kawan?”
tanya Daus kepada Romo Bernard.
“Aku pusing dengan hitung­hitungan perbaikan paroki,” jawab
Romo Bernard sembari membuang tubuhnya di sofa yang empuk.
Ruang santai di pastores ini adalah salah satu tempat favorit para
romo untuk bersantai sembari mendengarkan lagu atau menonton
TV atau DVD.
“Paroki baru itu?”
Kepala Bernard mengangguk mantap. “Sudah izinnya sulit ba­
nget, sekarang ternyata malah anggarannya membengkak. Aku
yang bantu megang keuangannya ikut pusing deh...,” jawab Romo
Bernard sambil memegangi kepalanya.
“Sumbangan yang sudah ada masih kurang?” tanya Daus lagi.
“Iya.... Masih sekitar setengahnya lagilah. Tapi, kalau dapat se­
perempatnya lagi aja, kita sudah bisa jalan dengan tenang....”
“Lho kok hitungannya ada dua gitu?”
“Iya..., maksudnya biar ada cadangan gitu, kalau seandainya
ada kondisi­kondisi di luar dugaan.”
“Waaa, ya jangan begitulah. Akan baik kalau kita sesuaikan
saja semua sesuai kebutuhan,” saran Daus.
“Seandainya masih kurang, masa kita harus mencari lagi?” ban­
tah Bernard.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Makanya, harus ada yang bisa mengawasi dengan ketat semua


anggaran dan pemakaian bahan. Jangan ada yang berlebih. Ini kan
pembangunan tempat ibadat. Masa mau disunat juga?”
“Aaaahh.... Sudah biasa itu,” Bernard mengibaskan tangannya.
“Urusan begini ini berarti kita berhubungan dengan urusan dunia­
wi. Susah kalau dikaitkan dengan hal rohani.”
“Justru keberadaan kita adalah mengingatkan hal itu bukan,

Renjana (2).indd 99 11/29/2013 10:26:39 AM


100 | anjar

Kawan?” Daus menepuk bahu Bernard yang setengah membungkuk


menahan kepusingannya.
“Akh, sudahlah.... Aku sudah pusing nih urusan duit ini.
Kau malah tambah menguliahi tingkat satu.... Tambah pusing
aku.” Bernard sengaja menyalakan televisi dan membesarkan vo­
lumenya, membuat Daus tak bisa lagi berkomentar banyak. Da­
ripada beradu suara dengan suara TV, lebih baik ia menikmati
lanjutan hari dengan membaca koran hari ini.
“Uang itu urusan duniawi, Le… Kalau ada yang mencintai uang
tanpa mengerti bagaimana cara menggunakannya dengan baik dan
berguna bagi dirinya dan sesama, yo kuwi keliru. Tapi, Le, kamu
mesti inget juga uang itu bisa menjadi bentuk dari energi yang bisa
dipakai sebagai alat kebaikan. Jadi, Ibu pesan padamu..., sing bijak
yo, Le menggunakan uangmu.” Salah satu pesan dari sang Ibunda
yang sangat Daus pegang meski tak semudah membuka dan menu­
tup tangan.


MEMBASUH wajah, tangan, dan kaki dengan air wudu setiap pagi
adalah sebuah hal yang kini sangat dinikmati Tra. Dinginnya uda­
ra tidak menghalangi niatnya untuk segera memuji Sang Pemberi
Nikmat.
Halangan kantuk dan rasa lelah sisa sehari lalu yang begitu
menyerang seluruh tubuhnya itu sekuat tenaga ia singkirkan lebih
dahulu. Niat di kalbu tak ingin ketinggalan waktu untuk tepat
menghadap­Nya, sesuai lima waktu yang diminta­Nya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bersama Bi Mumun, sajadah pemberian Abah serta mukena


buatan Mamah selalu menjadi teman setia Tra menghadap­Nya.
Minimal saat subuh dan isya, ia berusaha untuk salat berjamaah
bersama Bi Mumun. Bukan hanya sekadar supaya ada teman, te­
tapi juga di dekat Bi Mumun begini seperti ada Mamah yang selalu
mengingatkannya. Ibadah dirasa lebih khusyuk dan ia lebih berse­
mangat menjalaninya.

Renjana (2).indd 100 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 101

Bulir embun dan kesegaran yang dibawa pagi menjadi saksi lain
dua anak manusia menjalani ibadahnya. Meski kadang mendung
menerjang atau bahkan hujan sudah berbondong­bondong sejak
sebelum subuh, bukan penghalang bagi mereka untuk melakukan
semuanya dengan senyuman dan kesadaran.
Bagi Tra, apa yang dijalaninya itu bukan sekadar kewajiban. Ia
sungguh merasakan kedekatan nyata dengan Sang Pencipta. Ke­
dekatan yang hanya bisa ia rasakan sendiri tanpa orang lain harus
mengetahuinya.
Selepas salat biasanya Tra dan Bi Mumun akan bergegas ke da­
pur untuk menyiapkan sarapan pagi bagi seluruh penghuni biara,
termasuk mereka sendiri.
Saat hendak menyiapkan hidangan, telinganya sering kali
mendengar semua pujian yang dihaturkan oleh para frater dan ro­
mo yang tinggal di sana.
Indah terdengar.
Renjana yang ia bawa sejak subuh seperti makin dibuai oleh
lagu­lagu pujian nan merdu itu.
Diangankan Tra, di tempat takhta­Nya berada mungkin Tuhan
juga sedang menikmati semua cara memuji anak manusia terkasih­
Nya. Senyumnya yang berkembang lebar itu mungkin yang men­
ciptakan pagi indah lalu diiringi siang gagah.
Dan, sekitar pukul setengah tujuh, keindahan hari Tra tersem­
purnakan dengan kedatangan Raka. Raka yang tinggal dengan sau­
daranya tidak jauh dari biara, selalu setia menaiki sepeda ontelnya.
Ucapan, “Semangat pagi, Bi Mumun.... Semangat pagi, Pak Tu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

mi.... Semangat pagi, Tra Laksmi...,” adalah kekhasan Raka yang


memiliki gairah tersendiri.
Biasanya Tra akan membalas sapaan itu dengan senyuman dan
lambaian tangan.
Sudah begini, apa ada alasan lagi untuk bisa bermalas­malasan?

Renjana (2).indd 101 11/29/2013 10:26:39 AM


102 | anjar

MENCIUM istri dan kedua anaknya adalah rutinitas lain sepagi


ini bagi Wie.
Jika rutinitas itu tidak ia jalani, niscaya akan terasa ada yang
hilang dalam putaran hidupnya. Meski mungkin kedua anaknya
masih terlelap, tapi ciuman kasih sayang seorang ayah pastilah
akan sangat dikenang. Bahkan, jika mereka dewasa kelak.
Sehabis itu, ia akan membantu istri tercinta membersihkan
rumah. Sejak menikah, mereka sepakat tidak memakai pembantu
rumah tangga untuk urusan membereskan rumah mungil mereka.
Hanya soal cuci­setrika saja yang sudah setahun ini mereka per­
cayakan pada Bu Darsi, salah satu tetangga kampung untuk mem­
bantu membereskannya. Itu pun dua hari sekali saja.
Kalau bukan karena kesibukan istrinya mengasuh dua anak me­
reka dan juga sebab sempat drop karena darah rendahnya mendadak
kambuh, Bu Darsi tidak akan ada di rumah ini. Istri tercintanya itu
masih keukeuh ingin menyelesaikan semua pekerjaan rumah de­
ngan tangannya.
Dalimah rupanya sudah siap lahir batin menjadi ibu rumah
tangga.
Ia tinggalkan karier mapan dan kesukaan pribadinya demi
menapaki hidup berdua bersama Wie, menyusuri hidup dengan
segenap suka­duka sepanjang hari. Dalimah ingin menjadi istri se­
kaligus perempuan salihah nan berbakti.
Karena niat inilah, ia membulatkan rasa hati untuk sehidup se­
mati bersama sang istri. Nanti jika kelak anak­anak sudah dewasa,
ia ingin berdua saja menikmati sisa usia bersama Dalimah. Sudah
tak terbendung keinginan kuat agar ia dan Dalimah selamanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

bersama.
Walau diam­diam ada celah hati sedang bermain dengan ke­
nangannya.
Celah yang seperti jendela kamar tak bisa terkunci rapat, ada
tempat di mana angin berembus masuk. Tak hendak ditolak, tetapi
juga tak bisa terus­menerus tak digubris. Bisa­bisa tubuh dan kese­
hatan kena masalah.

Renjana (2).indd 102 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 103

Maka dalam senandung pagi yang selalu menyemangati, sanu­


bari Wie tak letih mengingatkan agar tak terlalu dibawa rasa hati.
Apalagi oleh kenangan yang mestinya lama terbuang dan dikubur
dalam.


DARI balik jendela apartemen Ola ini, Bandung di pagi hari dapat
terlihat.
Masih sedikit berkabut, namun tak sedingin dulu.
Kata papanya, ketika masih muda, tak jarang dinginnya bisa
berasap jika kita membuka mulut atau bernapas. Baju pun harus
berlapis­lapis.
Ola kecil yang sudah bisa berjalan sendiri pernah merasai sua­
sana itu, bersama papa dan kakaknya.
Meski sering diajak ke luar negeri, entah mengapa ia tetap
mencintai kota ini. Kecintaannya sudah dibuktikan ketika ia ak­
hirnya kembali lagi ke kota ini meski sudah jauh pergi.
Kota ini berkesan bukan saja berawal dari sebuah kelahiran.
Bukan juga berderet cerita menambah pengalaman hidup dan
tarikan napas.
Tidak pula sebab menemukan banyak saudara dan sahabat yang
mau saling mengerti dan berbagi.
Namun, karena ada beribu cinta telah mendekap hari dan
asanya seperti tak habis diembuskan. Baik dari angin, dedaunan,
matahari­bulan, atau bahkan debu tak bertuan. Semua itu sangat
Ola nikmati.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kawasan favorit Ola untuk berjalan kaki adalah di sekitar Jalan


Cipaganti. Kanan­kiri jalanan ini berdiri pepohonan tinggi nan
asri. Kata opanya dulu, keasrian jalanan ini baru terasa setelah
zaman perjuangan karena pepohonan yang tumbuh tidak setinggi
dan selebat zaman kini.
Konon rumah­rumah yang berjejer di sepanjang jalan ini dimiliki
orang Belanda. Setelah proklamasi dan terjadi nasionalisasi, aset­

Renjana (2).indd 103 11/29/2013 10:26:39 AM


104 | anjar

aset milik Belanda pun berubah termasuk kepemilikan rumah di


Jalan Cipaganti, Menurut Sang Opa lagi, setelah Belanda pergi
dari Bandung, para pejabat pemerintah dan militerlah yang men­
diami rumah­rumah di kawasan Cipaganti.32
Kini di jalanan itu sudah kian banyak kendaraan yang melewati.
Makin banyak pula bangunan non­tempat tinggal memenuhi la­
hannya. Walau masih banyak juga rumah tua yang tampak di­
pertahankan. Jika akhir pekan tiba, tak terelakkan lagi, jalan
bersejarah ini turut pula kena getah macetnya kendaraan menuju
kawasan Jalan Setiabudi dan sekitarnya atau yang hendak kembali
ke sekitar Dago dari arah utara.
Bangunan tua yang dikenal hingga kini di kawasan itu ada­
lah Masjid Cipaganti. Masjid itu adalah salah satu warisan dari
arsitektur andal berkebangsaan Belanda, Mr. C.P. Wolff Schoe­
maker.
Masjid Raya Cipaganti atau dahulu dikenal dengan nama
Masjid Kaum Cipaganti merupakan masjid pertama yang berdiri
di kawasan permukiman Eropa di Bandung Utara. Dahulu, peme­
rintah kolonial membagi Bandung menjadi dua zona: sisi utara
diperuntukkan bagi orang Barat dan sedikit bangsawan pribumi,
sedangkan bagian selatan Bandung adalah kawasan bagi kaum
pribumi dengan pusat pemerintahan di alun­alun Bandung. Ka­
wasan Utara atau dikenal juga sebagai “Een Westerns Enclave”
(kawasan permukiman orang Barat)mempunyai tata ruang kota
yang sangat teratur dan diadaptasi dari permukiman yang ada di
Eropa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sejarah memang tak akan habis dimakan zaman.


Jadi, tak perlulah kita berlari dari sejarah hidup. Tapi, jangan
sampai terlena. Sebab, jika terlena akan masa lalu, Ola berpikir, ia
tak akan lagi merasakan keindahan pagi yang selalu berganti.
Tidak sama. Meski nama dan auranya tetap sama.
Senyum Ola pun menyudahi pengelanaan hati dan pikirannya
32
dari banyak sumber

Renjana (2).indd 104 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 105

di pagi ini, lalu masuk kembali ke dalam untuk bersiap meneruskan


hari.

Kusatukan embun pagi ini


Kutampung di dalam sanubari
Lalu ingin kutebarkan dalam senyum termanis
yang kumiliki
Kunyatakan pada bumi
bahwa jiwa ini ingin terbebas
dari hempasan kecewa
sekian lama terpendam
tanpa dirasa
Kumpulan embun pagi ini
Sungguh menjadikan gairahku kembali
Berdendang
Menari

SELAMAT PAGI….


JIKA sinar matahari yang gagah berdiri ini bisa mendeteksi detak
jantung Ola, pasti akan terdengar degupnya yang lebih kencang.
Tidak biasanya.
Bukan karena keringat yang terus membasahi tubuh. Bukan
juga karena tak ada AC di ruangan ini atau karena dia harus me­
nunggu sebelum bertemu. Tetapi, karena tempat ini demikian
http://facebook.com/indonesiapustaka

melekat erat.
Jauh di kedalaman sanubari, seperti ada yang langsung menari
begitu mengetahui bahwa Ola kembali ke tempat ini. Senyum tak
habis ia kembangkan di setiap sudut biara yang Ola yakini, jika
bisa bicara, akan berucap salam, “Selamat datang kembali di sini,
Ola....”
Rambut hitam sebahunya yang masih terlihat berwarna keco­

Renjana (2).indd 105 11/29/2013 10:26:39 AM


106 | anjar

kelatan karena beberapa bulan lalu sengaja ia cat, melambai­lam­


bai diterpa angin dari jendela ruangan. Sengaja ia biarkan saja
sementara matanya seperti sedang mengulas semua sudut ruangan.
Laksana anak kecil yang sedang mengeja satu­satu. Demikianlah
Ola melepaskan asanya di tempat ini.
Selintas ia melihat seseorang yang sangat ia kenal dan sedang
ia tunggu kini sedang bersama seorang tamu perempuan. Tampak
mereka sedang berbicara sesuatu.
Kalau dari gerak tubuhnya sih perempuan itu sepeti hendak
pamit.
Mata kucing Ola tetap menatap perempuan cantik yang ia du­
ga tidak jauh dari usianya.

Tak dapat kuhindari lagi bahwa cemburu ini mengekang segenap diri
Mungkin awalnya hanya diam­diam menghampiri
tapi begitu aku tersadar hari ini... aaahh....
Betulkan angin yangkini berembus di dekatku
mampu redakan penat
sesak teramat sangat
ketika sungguh tersadar diri
cemburu ini meratakan keceriaan
atas hari cerah ini?

Hhh.... Ia tampak manja dan seolah... hei..., kenapa ia bersisian


seperti hendak mencuri kesempatan untuk mencium laki­laki di
sebelahnya?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Oh, tidak... Untung laki­laki itu bisa menghindar lebih dahulu.


Meski disambut wajah cemberut.
Ah.... Pemandangan barusan di depannya mengingatkan diri­
nya akan kejadian sekian tahun lalu di saat ia pun melakukan hal
yang sama. Bedanya, saat itu seluruh gelora yang ada bukan karena
nafsu semata, tetapi sungguh ketulusan yang kemudian menjelma
pada sebuah kecupan di pipi.

Renjana (2).indd 106 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 107

Kejadian yang begitu cepat tampak tak akan bisa dilupa. Ola
percaya, ciuman kasih sayang nan tulus itu pasti sebuah momen
yang tak bisa begitu saja menghilang dari ingatan. Baik bagi diri­
nya maupun dari orang yang diciumnya.
Tanpa sadar, tangan Ola mengelus pipinya sendiri. Senyum
panjang pun berkembang di bibirnya.
Indah terkenang kini.
Pemandangan di hadapan belum berubah. Perempuan itu ma­
sih berusaha dengan kemanjaannya meski tangannya sudah bersa­
laman seperti hendak sampaikan permisi pulang.
Hhh.... Mendadak Ola meresah di antara rasa langutnya. Ada
yang protes di balik peristiwa di depan mata.
Bukan sekadar cemburu. Rasa hatinya tidak terima, masih ada
orang yang berusaha mengganggu pilihan hidup segelintir orang
yang telah memantapkan hidupnya bagi sebuah pengabdian. Bu­
kankah memilih hidup dengan pilihan ini, bukan saja misteri,
tetapi juga tidak mudah, butuh pengorbanan besar? Lalu, mengapa
masih ada orang yang seolah masih penasaran mengusiknya?
Ya. Ya. Ia pun pernah melakukannya di masa muda sekitar se­
puluh tahun lalu. Namun, sesaat asanya bisa terlepas dan ikhlas,
ia pun mengerti dan memahami bahwa mereka harus saling meng­
hormati. Hormat kepada sebuah pilihan hidup yang sejatinya me­
mang telah diatur oleh Sang Pemberi Hidup itu sendiri.
Tidakkah hidup lebih damai jika kita bisa saling menghargai,
hormat­menghormati?
“Selamat siang, Ola.... Selamat datang kembali di biara ini.”
Suara itu...
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Ehhh.... Hei, Romo Firdaus...,” Ola berdiri lalu menyalami.


“Selamat siang, Romo.... Selamat siang. Senang bertemu Romo
lagi....” Senyum manis ia kembangkan bagi seseorang yang tetap
tak akan terganti ini.
“Walah... kok jadi resmi gini tho, La?” protes Daus sembari me­
nerima uluran tangan Ola. Keduanya pun duduk di tempat duduk
masing­masing.

Renjana (2).indd 107 11/29/2013 10:26:39 AM


108 | anjar

“Ah, aku kan cuma menghargai tata krama bertamu. Apalagi di


tempat yang resmi seperti ini.”
Mendadak Daus seperti deja vu pada suatu masa. Seperti ada
slide show masa lalu terpampang di angannya. Slide show tentang
masa­masa pencarian diri yang tak lama memang menjadi pasti.
Bersama ketulusan Ola, ia yakini jalan pilihannya kini.
Rasanya ucapan Ola barusan pernah pula ia katakan saat perta­
ma berjumpa dengan Ola di kantornya setelah sekian lama.
Akh, pertemuan­pertemuan yang tampak mengesankan bagi
masing­masing jiwa.
“Okelah.... Tapi, mari kita kesampingkan yang resmi itu....”
Tak lepas senyum manis Ola kembali ia kembangkan.
Ia mau, hari ini menjadi hari spesial. Penuh makna.


RAKA bertekun menggemburkan tanah sekitar tanaman selada­
nya.
Sebenarnya dengan yang sudah ada seperti sekarang, sudah
cukup. Tapi, Raka ingin agar deretan tanaman sayurnya, baik vita­
min plus keindahannya, tetap terjaga.
Entah mengapa, ia senang sekali jika melihat dari jauh deret­
an tanaman sayur­mayurnya begitu rapi. Tidak perlu orang lain
memuji. Cukuplah ia puas dengan hasil kerjanya, apalagi kalau
sayur yang ia tanami menghasilkan yang terbaik dan bisa dinik­
mati bersama.
Maka setiap hari, Raka tak pernah ragu untuk menyapa semua
http://facebook.com/indonesiapustaka

tanaman lalu memanjakannya dengan merawat sungguh­sungguh.


Sejak ia dipercaya merawat semua tanaman di biara ini, Raka me­
mang tak pernah ragu mengucap salam kepada salah satu ciptaan
Tuhan itu.
Baginya, kehadiran mereka yang telah menyemarakkan bumi
adalah anugerah. Tak ingin ia mengusik dengan semua hal yang
tak perlu, apalagi sampai menyakiti mereka.

Renjana (2).indd 108 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 109

Tidak aneh bila dalam merawat tetanamannya itu Raka tak


menggunakan bahan­bahan kimia sebagai vitamin alias pupuknya.
Ia sengaja membuat pupuk tanaman sendiri dari yang ada, termasuk
dari humus tanah.
Sesekali pula ia mempraktikkan saran dari orangtuanya di
kampung tentang kegunaan beberapa macam sisa bahan di dapur.
Misalnya, air bekas cucian ikan atau daging. Sengaja ia meminta
Bi Mumun atau Tra agar tidak membuangnya, tapi ditaruh saja di
sebuah tempat, lalu ia akan menyiramkannya ke tanaman peliha­
raannya.
Hasilnya? Sudah beberapa kali buah jambu air, jambu monyet,
pepaya, belimbing, dan mangga yang berbuah lebat itu menghasil­
kan buah yang manis. Banyak peminat.
Percaya, tidak percaya. Sudah panen berulang kali tanaman
buah­buahan itu masih saja tetap manis.
Di beberapa sudut halaman, Raka juga membuat biopori. Lu­
bang dengan diameter 10­30 cm dengan kedalaman 30­100 cm
yang ditutupi sampah organik. Fungsinya untuk menjebak air yang
mengalir di sekitarnya sehingga dapat menjadi sumber cadangan
air bagi air bawah tanah dan tumbuhan di sekitarnya. Lubang itu
juga dapat membantu pelapukan sampah organik menjadi kompos
yang bisa dipakai untuk pupuk tetumbuhan.
Semua itu diketahui Raka dari membaca artikel dan buku yang
tersedia di biara, yang ia praktikkan langsung di halaman.
O ya... Raka ini sebenarnya hanya lulusan SMP. Saat pertama
bekerja di biara ini, ia adalah pemuda lugu. Pengetahuannya terba­
tas. Ia hanya sesekali mencuri waktu untuk membaca.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mungkin karena hobi itu, ia mendapatkan pengetahuan tam­


bahan. Kebetulan sekali tingkahnya itu beberapa kali diamati oleh
kepala biara. Beliau berkenan menyekolahkan Raka setara SMA
hingga selesai. Karena Raka sebenarnya cerdas, hasil studinya sela­
ma di sekolah pun memuaskan.
Dan, informasi itu semua diketahui Tra dengan saksama saat
pertama kali ia menginjakkan kaki di tempat ini.

Renjana (2).indd 109 11/29/2013 10:26:39 AM


110 | anjar

Dari balik jendela dapur, sebagian kegiatan Raka di luar sana


bisa ia perhatikan. Kadang kala tingkah lakunya yang jauh dari se­
dih lara membuat lelah Tra seperti terhapus tanpa diminta.
Tra senang sekali bisa menjadi pemerhati laki­laki muda penuh
semangat itu....

“JADI kemarin itu dalam rangka nostalgia papamu mengingat
tempatnya menikah dulu???” tanya Daus girang.
Kepala Ola mengangguk mantap. “Betul.... Bahkan Papa seper­
ti larut dalam kenangannya. Belakangan aku tahu, itu karena saat
menjelang pernikahan Papa, bapak dari Mama sebenernya baru
sembuh dari sakit. Jadi dana pernikahan dipakai buat menyembuh­
kan Opa dulu. Untungnya banyak saudara yang membantu, jadi
pernikahan sederhana itu terjadi juga.”
“Waahhh... pernikahan yang sangat berkesan. Pantesan aja
papamu mengenang tempat ini,” Daus berkomentar. “Lalu, kamu
sendiri kapan menikah?”
Pertanyaan polos itu meluncur lancar dari mulut Daus. Daus
tidak punya tendensi apa­apa. Tapi, Ola memandangnya serius.
Walau ia tahu Daus tak hendak membuatnya sedih, tapi tetap
saja ia tak suka pertanyaan itu, apalagi Daus yang menanyakannya.
Apakah masih belum jelas apa yang telah terjadi selama ini?
“Kamu masih menyimpan kartu ucapan selamatku saat kamu
ditahbiskan, Da?” tanya Ola ingin tahu.
Kepala Daus angguk­angguk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Masih ingat kalimat di dalamnya?” kali ini Ola menantang


ingatan Daus akan sebuah bagian dari peristiwa berharganya.
“Mmm…,” Daus mencoba mengingat­ingat. Sudah lama sekali.
Apakah ingatannya masih bisa berkompromi. Sejenak Daus berdi­
ri. “Sebentar,” ujarnya sembari melangkah.
Ola membiarkan Daus meninggalkannya menuju ruangan lain.
Di sela sebuah jalan penghubung yang di dalamnya ada sebuah

Renjana (2).indd 110 11/29/2013 10:26:39 AM


renjana | 111

piano besar, Daus berbelok ke sebuah lorong kecil dan masuk ke


dalam sebuah kamar. Di kamar pribadinya itu ia mencoba mencari
sesuatu, di sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Ada
beberapa barang berharga tersimpan di sana. Salah satunya, sebuah
kartu beramplop putih. Masih bagus dan terawat.
Tanpa ragu, segera ia membawa kartu beramplop putih bertulis­
kan: Dear Romo Gabrielle Firdaus Abhipraya.
“Inikah yang kamu maksud?” Firdaus menunjukkan kartu itu.
Ola terbelalak.
Dua kali Firdaus menunjukkan barang yang pernah Ola berikan
untuknya. Yang pertama ketika Daus menunjukkan sebuah buku
diary kecil, tempat semua isi hatinya tercurah. Yang kedua adalah
kartu ucapan selamat untuk penahbisannya, kurang lebih sepuluh
tahun lalu.
Kedua barang itu disimpan dengan baik dan rapi sehingga ke­
tika Ola melihatnya buku dan kartu itu seperti masih baru. Tiada
cacat.
“Kamu orang yang apik....” Segera tangannya membuka amplop
itu. Dalam benak, pelan­pelan ia baca apa yang tertulis di sana.

Dear Romo Firdaus,

Setiap kali kutemukan bahwa aku masih selalu mencintaimu, saat itulah baru kutahu
bahwa tak mungkin bersandar pada tiang yang kusendiri tak yakin pernah ada.
Namun, pesona dirimu adalah iringan lagu yang akan terus mengembangkan se-
nyumku, pesona dirimu adalah bunga hati yang tak akan layu apalagi mati,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan, pesona dirimu akan selalu menjadi susunan doa yang tiada pernah lupa terucap
tiap pagi, siang, petang dan malam….
….aku yang selalu mencintaimu:

Carolina Wibowo

Sebentar Ola terdiam. Meresapi apa yang terjadi ketika ia me­


nyerahkan kartu itu kepada Daus. Meski hanya bisa dititipkan,

Renjana (2).indd 111 11/29/2013 10:26:40 AM


112 | anjar

namun rangkaian peristiwa sebelumnya sempat membuatnya tak


tenang.
Ya. Ola pernah tak menginginkan Firdaus meneruskan panggil­
an hidupnya menjadi seorang imam.
Jiwanya tak rela jika rasa cintanya ternyata tak terjawab sama.
Dalam kegundahan yang cuma dia sendiri yang tahu, Ola tak
jadi memantapkan langkah untuk ikut menjadi saksi nazar kekal
sehidup semati Firdaus menjadi pelayan Tuhan. Ia memilih ter­
diam saja di depan gedung acara.
Lalu, kartu dengan mengiaskan ulasan hatinya itu ia sampaikan
pada seseorang, berharap bisa sampai ke tangan Daus dengan se­
lamat.
“Apakah kamu tidak bisa menangkap pesan yang tersampaikan
di kartu itu?” tanya Ola.
Firdaus diam.
Seruduk hati atas pertanyaan Ola tadi, menjadikan kalimat
yang biasanya bijak terdengar dan keluar dari mulutnya nyatanya
tidak dapat Daus temukan.
Kalau mau jujur... Daus sangat mengerti apa yang tersirat di
dalam kartu itu. Saat tangannya menerima kartu itu, seperti ada
penerjemah di hati tentang apa yang terjadi pada seorang perem­
puan yang amat ia ketahui sangat mencintainya.
Tapi... Firdaus juga tak mau kembali menumbuhkan rasa itu
kembali.
Waktu demi waktu telah ia lalui sekian lama. Tidak ia ketahui
pasti, apa yang dirasakan Ola sekarang. Maka, tak ada salahnya ia
berjaga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bukan cuma untuk rasa. Lebih dari itu, agar tetap dapat terjalin
ikatan antarmanusia yang tak lekang apa pun karena apa yang ada
di depan mata.
“Saat itu aku sedang bersukacita, La.... Tak hendak mengusik
kegembiraan dan kebahagiaan untuk sesuatu yang mungkin bisa
mengalihkannya dariku. Maafkan bila aku tak hendak menganggap
lebih kartu itu....”

Renjana (2).indd 112 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 113

Jawaban yang sontak menjadikan pandangan Ola tertuju dalam


pada mata Daus.
Tiada ia sangka, Daus mengungkapkan kalimat itu. Padahal di
kepalanya ingin sekali ada sedikit saja semacam kalimat merayu.
Tak perlu mendayu­dayu, tapi cukuplah jika itu bisa ungkapkan
apa yang sebenarnya di kalbu.
Ternyata....
Firdaus sendiri sempat risi. Dipandangi perempuan secantik
Ola, tetap tak akan bisa melarikan satu sisi hatinya yang selalu
mengagumi.
“Hhh... kamu masih tetap seperti dulu, Da...,” Ola menyudahi
memandangi Firdaus dengan tatapan tajamnya. “Kadang terlihat
polos, kadang terlihat bersahaja. Tapi..., jaim juga....”
Daus tersenyum.
“Bukankah untuk demikian aku hidup? Hanya orang­orang
tertentu saja yang mengerti siapa aku....” Daus sengaja tersenyum
sambil melirik Ola.
Bukan Ola tidak tahu, tapi ia sengaja pura­pura tidak tahu.
Maka, ia segera membuang pandangan ke luar. Ada peman­
dangan sunyi di sana. Laksana hati yang terhampar rasa tak berasa.
Semula, renjana Ola penuh sekali seiring kaki menyentuh tem­
pat ini. Beribu bahagia terhirup di antara rindangnya pepohonan
sekitar. Sejuta ceria merambat bersama nyanyian serangga dan se­
sekali burung yang riang berkeliaran di sekitar halaman. Pokoknya
keindahan sangat terasa di sekujur raga Ola. Namun, semua itu
seolah tiada bersisa saat mendengarkan kalimat yang terlontar dari
mulut Daus barusan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Entahlah. Ola malah merasakan kegenitan yang tidak biasa


dari laki­laki yang nama dan semua yang ada dalam dirinya itu
demikian melekat, lahir batin di setiap langkah Ola.
Ola memperhatikan Daus sempat membalas, entah BBM atau
SMS yang masuk ke ponselnya. Semula, Ola berpikir akan mene­
mukan Firdaus yang polos dan bersahaja seperti dulu. Tapi, tam­
paknya semua itu sudah bergeser.

Renjana (2).indd 113 11/29/2013 10:26:40 AM


114 | anjar

Hmm....
Kecanggihan teknologi rupanya merambah juga di sekitar sini.
Ada aliran lain menderas dalam darah Ola.
Entah mengapa, ia merasa tak suka Firdaus­nya menjadi seperti
itu sekarang. Karismanya seolah sedikit tercoreng, ditutupi ke­
canggihan alat yang ia pakai itu.
Bukannya tidak boleh. Ola hanya merasa, apakah seperlu itu
Daus memiliki barang tersebut? Sementara Ola sendiri, meski
menggunakan smartphone yang sama, tapi sengaja tidak ia umbar.
Ola masih ingin membedakan kepentingan dan fungsi.
Tidakkah Daus merasa terganggu jika tiap saat HP­nya berbunyi?
Bunyi BBM, SMS, YM, dering telepon, dan lain sebagainya.
Uuuhhh.... Apakah tidak ribet ia mengatasi semua itu.
“Kamu kenapa, La? Heran melihat aku sekarang?” tebak Daus,
senyum­senyum.
“Yah...,” Ola mengambil napas sejenak. Satu kebiasaan Daus,
menebak pikiran orang, belum berubah ternyata, “kamu nggak
merasa terganggu dengan semua kegiatan dan alat canggihmu itu?”
Daus menautkan mata dan sedikit memonyongkan mulutnya.
“Dibilang terganggu, ya terganggu. Dibilang enggak, ya enggak
juga.... Alat ini aku anggap salah satu cara untuk dekat dengan
umat.”
“Umat yang mana? Yang punya alat sama denganmu bukan?”
Kali ini Daus yang menatap Ola dengan pandangan penuh ta­
nya.
“Mengapa kamu bertanya seperti itu, La?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Meski tak suka dipandangi seperti itu, tapi Ola seperti menerima
“tantangan” tatapan jernih kedua bola mata romo muda itu.
“Kamu ingat, waktu kita misdinar dulu ada seorang romo tua
yang jadi idola kita. Romo Paul namanya,” Ola memulai cerita.
Kening Daus sebentar bekernyit. Mencoba mengingat. Lalu, ia
mengangguk­angguk.
“Setiap beliau keluar dari kamar, pasti ada saja anak­anak yang

Renjana (2).indd 114 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 115

lengket padanya. Ibu­ibu juga senang di dekatnya, tapi tetap sopan.


Sementara bapak­bapak, betah ngobrol lama dengannya sambil
main catur atau mendengarkan ia bernyanyi dengan okulelenya.”
“Ya­ya­ya....” Kepalanya mengangguk­angguk. “Romo Paul al­
marhum yang bersahaja.... Karena dia, aku jadi berbulat tekad
ingin menjadi sepertinya...,” timpal Daus. Kenangan itu begitu
merekah dalam ingatannya. Ia merasa senang sekali.
“Satu hal yang tidak pernah terlupa adalah caranya dekat de­
ngan para umat,” lanjut Ola. “Dulu kota ini memang belum sema­
cet sekarang, Romo Paul sering pergi ke mana­mana naik sepeda
atau sesekali dengan Vespa­nya. Tapi, kalau dalam perjalanan ia
bertemu dengan umat, tanpa ragu beliau akan turun dari sepeda
atau motornya, menjumpai umat atau bertamu sejenak ke rumah­
nya. Beliau melakukan hal itu setiap hari....”
Daus sengaja tak berkomentar. Ia ingin tahu ke mana arah
pembicaraan yang Ola ajukan.
“Nah... kedekatan umat seperti itu apa akan kamu gantikan
dengan alat canggihmu itu?”
Deg.
Ada yang menohok di dasar sanubari Daus. Ia tak menyangka
Ola langsung menyatakan kalimat seperti itu.
“Yah... seperti yang kamu bilang juga barusan. Dulu kan nggak
macet, sekarang macet di mana­mana. Harus eisiensi semua hal,”
jawab Daus berusaha sebijak mungkin.
Tapi, jawaban itu ternyata malah membuat Ola geleng­geleng
kepala.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Bukan itu poinnya, Romo Daus....” Ola sedikit menahan emo­


sinya. “Maksudnya adalah Romo Paul itu masih memegang kaul
kemiskinannya bukan dalam arti kalimat saja, tapi yang sesung­
guhnya, termasuk pengabdian tulus kepada para umat.”
“Lha terus... aku tidak boleh mempunyai perangkat yang justru
memudahkan agar hal itu tercapai?” Daus sedikit menyangkal.
“Kenapa nggak boleh? Hanya… sejauh mana fungsi dan manfaat

Renjana (2).indd 115 11/29/2013 10:26:40 AM


116 | anjar

perangkat itu....” Mata Ola menatap keluar lagi. “Entahlah, Daus...


aku masih tergetar kalau melihat seorang Romo yang memiliki
perangkat tak perlu canggih, tapi digunakan sungguh semaksimal
mungkin untuk umat dan dirinya....”
“Maksudmu?” Daus menunjukkan wajah tak mengerti.
Ola membentangkan tangannya. Bersamaan dengan itu ada ge­
taran dari HP­nya. Ia melongok sebentar, lalu sengaja memencet
tombol “no”.
“Aku orang biasa. Meski pekerjaanku memang mengharuskanku
berhubungan dengan orang banyak, tapi aku masih ingin punya
batas antara diriku dan orang luar.” Ola mengambil HP­nya. “Ka­
mu tahu kenapa dari tadi aku tidak membalas SMS, BBM atau
bahkan menolak telepon yang masuk?”
Kepala Daus bergeleng.
“Itu karena aku bukan saja sedang bertamu di rumahmu dan
mengobrol begini, tetapi juga karena aku menghormati diriku
sendiri. Menghormati yang aku pilih. Aku tak mau pilihanku
diintervensi orang lain atau sebuah barang, atau bahkan sampai
sibuk karena hal itu.”
Daus menunduk.
Kali ini ia sungguh tertohok. Apa yang dikatakan Ola memang
tak salah.
Sering kali Daus merasa banyak bagian waktunya terambil
tidak efektif diperuntukkan bagi orang lain atau bahkan untuk
dirinya sendiri. Melalui benda­benda yang bertitel canggih yang
ada di sekitarnya, Daus seperti berada di bawah mereka. Bukan
bertindak sebagai tuan yang memiliki, tetapi merekalah yang me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

milikinya dan menjadi tuan atas dirinya.


Daus mengambil napas. Pergulatan di antara kepentingan dan
fungsi barang milik adalah bagian lain yang menjadi kegalauannya
selama ini.
Tidak ingin ia menjadi abdi dari alat­alat yang katanya me­
mudahkan ini. Namun, alat­alat itu memudahkannya untuk
mengetahui banyak hal di luar sana. Termasuk saat sebelum

Renjana (2).indd 116 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 117

perempuan yang menuangkan kembali asa terpendamnya, me­


nyembul, menari­nari, bahkan berisik sendiri di sanubarinya yang
terdalam.
Mendadak ia juga teringat perempuan tua di kampung. Ibunya
itu tidak pernah mau tersentuh barang komunikasi secanggih ini
sehingga jika ingin menelepon sang Ibu, Daus atau siapa pun harus
menelepon anaknya yang lain yang tinggal dekat dengannya. Dari
HP adik Daus itulah baru bisa terjalin komunikasi antara dirinya
dan orang yang bersangkutan.
Tapi, karena hal ini pula Daus jadi malah jarang berkomunikasi
dengan ibunya. Daus pun tidak dapat memaksa ibundanya agar
mau memiliki perangkat komunikasi itu meski yang sederhana se­
kalipun.
Hhh.... Daus merasa ada dua kegalauan yang menggelayuti.
Galau tentang kehadiran Ola yang mengutak­atik rasa dan sebab
kehadirannya ternyata mengusik sebuah hal yang sebenarnya alam
prinsip, namun sedang sedikit ia ingkari dengan semua alasannya.
Perempuan ciptaan Allah ini kian memesona. Izinkan kali ini
aku hanya memujanya saja tanpa ada sembulan rasa lain, dengan
seluruh jiwa raga, ya Sang Pencipta, doa Daus penuh harap.
“Yah... aku memang tidak tahu hidupmu dua puluh empat jam
sih.... Semoga saja kamu masih membiarkan waktumu tersisa un­
tuk dirimu sendiri dan panggilan hidupmu itu....”
Sekali lagi, ada yang sedang menerjang­nerjang di kalbu.
Ah, ini bukan sekadar untuk mengenang cerita lama, rupanya.
Entah apa yang diinginkan Tuhan, hingga seolah sengaja mem­
http://facebook.com/indonesiapustaka

biarkan bidadari ini mendadak hadir dan menyadarkannya.


“Thanks, La, sudah mengingatkan.... Pastinya aku masih mem­
berikan ruang untuk itu...,” jawab Daus pasti.
Di luar sedikit meredup. Ada sebagian warna biru langit tertu­
tup kelabu.
Pasti banyak yang berharap agar kenyamanan seperti ini tidak
segera pergi. Sejuk, menyenangkan. Sekaligus, menenangkan. Mau

Renjana (2).indd 117 11/29/2013 10:26:40 AM


118 | anjar

melakukan apa, ikhlas dan rela tanpa kalimat sesal apalagi emosi
menyerang.
Sekali lagi, nun di sana, mata Ola menatap bagian belakang
halaman yang berubah fungsi menjadi semacam lahan pertanian
kecil. Beberapa penghuni biara tampak sedang bercocok tanam
bersama seseorang yang mungkin menjadi penanggung jawab di
sana.
Asyik sekali masih ada tempat untuk sekadar mempunyai lahan
yang berguna. Ola tahu nikmatnya bisa memetik sayur­mayur dari
kebun sendiri.
“Sejak kapan halaman belakang jadi lahan menanam sayur,
Da?” tanya Ola sembari menunjuk dengan kepalanya.
Daus mengikuti arah yang dimaksud Ola. Dengan bangga, se­
nyumnya berkembang sembari berkata, “Ya, lahan yang nyaris tak
terurus itu, sejak ada Raka, jadi sangat berguna. Ia rajin mena­
naminya dengan tanaman berguna.”
“Raka?”
Kepala Daus angguk­angguk. “Pekaryaku yang menggantikan
Pak Jaja karena pensiun beberapa tahun lalu.”
“Ooohhh…,” Ola mengerti. “Beruntung sekali kamu menda­
patkan pekarya seperti dia. Pasti ia pekarya yang cerdas dan rajin
seperti pekaryaku di kantor dulu.”
Sekilas ada yang teringat di kepala Daus.
Segera ada ide muncul di sana.
“Kamu makan siang di sini ya. Aku mau menunjukkan sesuatu
padamu,” ujar Daus cepat sembari bangkit dari duduknya.
“Hah?! Mau ada apa?” Ola kaget dan tak sempat menolak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Pokoknya tenang saja. Tunggu dulu di sini. Aku mau bilang ke


dapur agar disiapkan juga piring untukmu....” Tanpa butuh perse­
tujuan Ola, Daus segera menuju area dapur.
Ola hanya bisa duduk diam, menanti apa yang hendak Daus
tunjukkan.

Renjana (2).indd 118 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 119

SEPERTI kebiasaan Bi Mumun yang sudah­sudah, ia sengaja me­


nyisakan secukupnya terlebih dahulu makanan untuk para pekarya
di biara yang berjumlah enam orang. Hal ini memang sudah di­
ajarkan oleh Romo Kusumo saat masih hidup dulu.
Menurut romo sepuh yang sangat dihormati itu, meski pekarya,
mereka juga bekerja bagi kemuliaan­Nya dengan cara meladeni pa­
ra penghuni biara. Maka mereka juga layak dan pantas untuk men­
dapatkan makanan yang sama. Bukan sisa setelah dihidangkan.
Jangan pernah melanggarnya. Karena jika melanggarnya, Ro­
mo Kusumo bisa marah besar. Biar begitu, hal baik ini tetap diper­
tahankan Bi Mumun. Sampai sekarang, malah selalu diingatkan.
Demikian pula dengan Tra Laksmi. Ia menuruti “aturan” itu.
Tra memahami, bahwa hal itu adalah baik. Tidak perlu dibantah.
Apalagi kemudian, di hari­hari belakangan ada sedikit maksud
yang berhubungan.
“Jangan lupa sambalnya banyakin ya. Raka kan senang sekali
dengan sambal terasi buatanmu,” ujar Bi Mumun mengingatkan.
“Ah, Bibi...,” Tra tersipu. Ia senang digoda begitu, namun rasa
malu tetap menyelinap.
“Eleeehhh... sama Bibi mah nggak usah malu gitu atuh, Neng....
Bibi mah seneng kok keponakan Bibi ini dapet kabogoh33,” goda si
Bibi lagi.
“Aiiihhh Bibi... kok kitu....” Tra tidak tahan terus digoda, walau
di dalam hatinya serasa ada yang menggelitiki. Geli.
“Bener ini mah, Neng....” Bi Mumun mengangkat panci sayur
dari atas kompor untuk segera dicuci di tempat cucian. “Raka teh
http://facebook.com/indonesiapustaka

anak baik. Penurut. Rajin salat. Sok…, apa lagi?”


“Ih, si Bibi teh yaaa...,” Tra Laksmi ikut membantu mengangkat
panci sayur yang cukup besar itu, “Laksmi mah baru temenan aja
sama Kang Raka. Kan belum kenal­kenal amat….”

33
kekasih/pacar

Renjana (2).indd 119 11/29/2013 10:26:40 AM


120 | anjar

“Ah, kamu teh dibilangin ya... gancang34,” Bi Mumun mengi­


baskan tangannya. Ia lantas dengan lincah segera menyiapkan apa
saja yang belum selesai disiapkan untuk makan siang kali ini. Di­
bantu pula oleh Pak Tumi dan beberapa penghuni biara lainnya.
Persiapan makan siang bagi para penghuni biara ini tak butuh
waktu lama.
Hingga semua berkumpul, menyatu di meja makan panjang
yang memuat banyak orang. Dalam perjamuan makan itu tercium
aroma kedekatan dan kebersamaan.
Sejenak kepala tertunduk sembari membuat simbol awal doa.
Seorang dari mereka diminta memimpin doa. Rangkaian ucapan
terima kasih untuk kesempatan boleh kembali menikmati ma­
kanan yang terhidang di depan adalah awal mereka memberi hak
kepada daksa yang mungkin telah lelah seharian bekerja.
Selepas doa, dengan sabar bergantian, nasi dan lauk­pauk ber­
keliling diberikan kepada semua yang ada. Termasuk, kepada se­
orang tamu perempuan yang demikian sumringah.
Ola, tamu perempuan beruntung itu bahagia mendapatkan ke­
sempatan ini. Telah lama ia tak merasakan kebersamaan seperti
ini.
Meski dengan lauk sederhana dan beberapa di antaranya adalah
hasil dari kebun sendiri, Ola lahap memakan hidangan yang disu­
guhkan. Ia pernah mendengar, tukang masak biara ini memang
jago menjadikan banyak bahan makanan biasa menjadi luar biasa.
Terbukti.
Pantas, tak ada wajah sedih atau murka terlihat di hadapannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lauk beserta nasinya pun nyaris habis sebab masing­masing orang


tak hendak membiarkan ada yang tersisa.
“Coba kamu lihat yang membawakan pisang itu kemari. Pasti
kamu kenal,” Daus berbicara pelan kepada Ola yang duduk di ha­
dapannya.
34
cepatlah (lakukan)

Renjana (2).indd 120 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 121

Kepala Ola menoleh kepada yang ditunjuk Romo Daus barusan.


Ia terbelalak kaget. Nyaris tak percaya siapa yang ada di ha­
dapannya.
Pasang mata kucingnya mengikuti langkah perempuan muda
yang sedang memberikan pisang kepada masing­masing meja.
“Tra Laksmi?”
Daus tersenyum lebar, lalu menganggukkan kepala.
Dengan tangannya ia meminta Tra segera mendekat.
Begitu tubuh dua perempuan beda usia dan latar belakang, tapi
sama­sama cerdas bersahaja itu berhadapan, ganti Tra terbelalak
tak percaya.
“Bu Ola?” hampir ia menjerit kaget.
Tanpa sungkan dan ragu, Ola langsung menemui mantan pe­
karyanya itu dan memberikan pelukan dan ciuman pipi kanan dan
kiri. Walau kagok diperlakukan demikian, tapi Tra menerimanya.
Selepas itu ia tersipu malu, tak menyangka kembali bertemu kepa­
la kantornya dulu, yang terpisah setelah sekian waktu.
“Kamu di sini sekarang?” tanya Ola senang. Rona bahagia terli­
hat di wajah putihnya sebab bisa bertemu mantan pekaryanya. Tak
dipedulikan pasang mata lain yang memandang mereka. Bukan sa­
ja karena santap makan hampir selesai, tetapi pasti Romo Daus su­
dah menjelaskan kepada beberapa yang mungkin bertanya­tanya.
Pertemuan ini sungguh menjadikan hari Ola semakin sempurna.
“I­i­iya, Bu.... Sama bibi saya. Bi Mumun,” jawab Tra tak kalah
memancarkan rona bahagianya.
“Bi Mumun?”
“Iya, Bu.... Ibu masih ingat Ua Jun yang pernah saya ceritakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dulu?”
Ola sebentar mengingat, “Ohhh... yang membuatmu jadi gemar
membaca itu?”
Kepala Tra mengangguk. “Iya, Bu.... Bi Mumun ini istrinya. Ja­
di, masih saudara dekat dengan saya.”
“Oooo, gitu.... Lalu, Ua Jun masih di desa? Kamu masih bantu
urus perpustakaannya?”

Renjana (2).indd 121 11/29/2013 10:26:40 AM


122 | anjar

“Enggak, Bu.... Ua sudah meninggal sekitar tujuh tahun lalu.


Perpustakaan sekarang dipegang Adik dulu.”
Sebentar keduanya diberi kode bahwa akan ada doa penutup
terlebih dulu.
Dua perempuan itu mengerti. Mereka segera berhenti mem­
biarkan petugas doa melaksanakan tugasnya. Tak lama suasana
kembali riuh dengan kegiatan membereskan meja dan mencuci
piring bersama.
Tra juga meminta izin untuk melaksanakan tugasnya.
Ia dan pekarya lain pun harus segera mengisi perut agar bisa
melanjutkan kerja dengan baik.
Dalam kehangatan dan kebersamaan para penghuni biara ini,
Ola menikmati beberapa waktu melenggang bersama mereka.
Canda tawa tak lepas dari para orang muda, calon imam.
Memang kadang terlihat galau menyelinap diam­diam di antara
suara keras atau tawa yang tak ada habisnya. Tapi, sering kali galau
sang penyelinap itu langsung tertutup oleh keberadaan rekan­re­
kan mereka. Kesedihan itu sesaat menghilang, setidaknya tidak
mengganggu keceriaan yang tengah berlangsung.
Dinamika hidup sangat terasa di sini.
Harus pintar­pintar menjaga dan mengatasi.
Tak peduli siapa ia, jika memang telah bersiap menuju cita, se­
baiknya memang siap pula pada hadangan risiko di muka.
Sebelum Ola bersiap pulang, ia kembali berkesempatan mene­
mui Tra Laksmi, mantan pekaryanya yang telah selesai beres­beres
dan mengisi perutnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Jadi kamu sudah betah di sini, Tra?” tanya Ola.


“Alhamdulillah, Bu... saya betah. Di sini saya banyak belajar.
Romo Daus dan penghuni lain baik­baik sama saya.”
“Hmmm...,” Ola mengingat sesuatu, “kalau tidak salah, di sini
ada perpustakaan juga deh.... Kamu sudah pernah ke sana dan
membaca buku­bukunya?”
“Wah, dia sudah ngabisin berapa buku di sana, La,” jawab Daus

Renjana (2).indd 122 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 123

cepat. Dengan bangga ia seolah menjadi juru bicara, “Sekarang


dia sedang baca beberapa sastra dunia, termasuk buku­buku Paulo
Coelho....”
“Well.... Hebat­hebat,” Ola jadi bangga sendiri.
Di sela pembicaraan mereka, muncul Raka yang sebenarnya
hendak kembali bekerja. Ia diberhentikan oleh Daus untuk diper­
kernalkan kepada Ola.
“Dia ini yang tadi saya ceritakan, yang bertanggung jawab atas
semua tanaman dan halaman biara. Selain, tanaman sayur organik
di kebun yang tadi kamu lihat,” Daus menerangkan. Raka sedikit
tersipu.
“Salut. Jarang ada orang muda yang masih mau berkebun di te­
ngah kota gini,” puji Ola. “Belajar dari mana menanam tanaman
organik itu?”
“Mmm..., belajar sendiri dan membaca buku, Bu,” jawab Raka.
“Wow, suka baca juga?”
Raka mengangguk.
“Pernah ikut semacam kursus mengenai tanaman organik?”
Kali ini Raka menggeleng.
“Kebetulan minggu depan akan ada seminar yang dilanjutkan
dengan kursus tentang tanaman organik. Kalau kamu mau, bisa
saya daftarkan,” usul Ola semangat.
Mata Raka berbinar senang. Ada sukacita terpancar dari sinar
matanya. Tapi, ia segera merunduk. Tersadar ada yang harus mem­
beri izin kepadanya sebelum ia mengiyakan.
“Kalau diperbolehkan Romo, saya sih bersedia, Bu,” jawab Ra­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ka pelan.
Daus terdiam sejenak. Di kepalanya berpikir lebih dahulu.
Meski bukan haknya juga memberi izin, setidaknya ia tidak ingin
pekaryanya ini kecewa. Ada kesempatan di depan mata.
“Akan saya bicarakan dengan Romo Kepala ya.... Rasanya sih
boleh­boleh saja apalagi berhubungan dengan keterampilan yang
kamu butuhkan dalam pekerjaanmu.”

Renjana (2).indd 123 11/29/2013 10:26:40 AM


124 | anjar

Senyum lega terpancar di setiap wajah yang ada.


“Eh satu lagi... beberapa waktu lalu, aku bertemu Mas Wiwid
yang punya C­59 itu lho...” Ola teringat sesuatu.
“Ya, saya mengenal beliau. Saya kan penggemar kaos, termasuk
kaos hasil produksinya,” komentar Daus. “Kenapa dengan Mas
Wiwid?”
“Mas Wiwid bilang kalau ia membuka kesempatan bila ada
yang mau kursus sablon kaos. Kebetulan saya dan teman­teman
mau membuat pelatihan itu untuk sebuah komunitas orang muda.
Kalau Raka atau siapa saja di sini mau silakan sekalian ikut. Ten­
tunya, setelah dapat izin dari Romo juga...” Ola tersenyum sambil
melirik Romo di sebelahnya.
Daus terdiam sejenak. “Kapan itu, La?”
“Masih cukup lama sih. Kukabari sekarang mumpung sedang
ngumpul gini.”
“Hmmm... ide menarik.... Kebetulan orang muda sekitar sini
juga suka jika diberi pelatihan semacam itu.” Yang dikatakan Ola
barusan memberi ide di kepala Firdaus. “Okelah... saya tampung
usulmu ya.... Kalau sudah dekat waktunya, ingatkan saya lagi.”
“Baik, Romo....”
Setelah berbicara sejenak, Raka dan Tra pun melanjutkan pe­
kerjaannya. Tak enak pula rasanya banyak berbincang di antara
teman­teman yang sudah menjalankan karyanya kembali setelah
istirahat tadi.
“Terima kasih tawaranmu kepada Raka tadi, La,” ujar Daus se­
usai mereka kembali mengerjakan pekerjaan masing­masing.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Sama­sama, Da…,” Ola tersenyum senang, “Aku senang kalau


orang­orang berpotensi seperti Raka itu bisa mengasah kemampu­
annya melalui pengalaman dan pengetahuan tambahan.”
Daus memandangi perempuan nyaris sempurna itu. Pandang­
annya begitu dalam. Ada bagian yang malah merekah, menggai­
rahkan, dan membuat Daus seperti tak hendak melepas pandangan
itu.

Renjana (2).indd 124 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 125

Sementara, Ola menikmati pemandangan di hadapan.


Kesejukan biara ini pun tak pernah berubah. Sejak ia masih
kanak­kanak. Tak heran, pasti siapa pun menyukainya, merebah­
kan sejenak sanubari dan jiwa laksana melayang di antara semesta
terbentang.
“Kamu tak pernah berubah, La...,” puji Daus pelan.
“Tak ada yang harus berubah, Da,” jawab Ola, pelan juga. “Hal­
hal baik adalah bekal napas agar selalu lega menemani langkah.
Kamu sendiri yang mengajarkan padaku, bukan?”
Daus menahan senyum.
Menahan gejolak di dada berdekatan dengan perempuan ini
kini terasa sulit. Bukan takut salah tingkah, namun inilah kali
pertama setelah masa silam, Daus demikian terkesima. Bukan cu­
ma soal isik atau apa pun yang terlihat mata, tetapi juga sebab
pancaran hati itu berhasil menembus dinding pertahanan sukma
yang lama ia jaga.
Segala keindahan yang mungkin pernah lewat seolah tak ada
artinya dibandingkan kesempatan bisa bersama Ola begini. Men­
dadak saja, doa dan terima kasih meluncur dalam benak. Dan, ha­
rapan agar bisa terus bersama jadi memenuhi isi kepala.
Oh Tuhan.
“Memangnya sekarang kamu kerja di mana? Kok bisa sampai
tahu soal seminar tanaman organik itu?” tanya Daus mengalihkan
semua rasanya.
Ola tersenyum. Ia kembali berhadapan muka dengan sang Ro­
mo muda. “Sudah cukup lama aku berbisnis tanaman organik. Ter­
utama sejak kembali ke Indonesia. Kebunku ada di beberapa tem­
http://facebook.com/indonesiapustaka

pat, di antaranya di Lembang, Ponorogo, dan Purworejo.... Hei,


bukankah orangtuamu sekarang tinggal di Purworejo?” mendadak
Ola teringat sesuatu.
Kepala Daus mengangguk­angguk. “Ya, sejak pensiun, Bapak
dan Ibu kembali ke Purworejo. Tapi, Bapak sudah meninggal se­
kitar delapan tahun lalu ketika aku masih di Kalimantan. Tugas
di sana.”

Renjana (2).indd 125 11/29/2013 10:26:40 AM


126 | anjar

“Owh...,” jawab Ola lirih, sembari mengulurkan tangannya


untuk menjabat tangan sang Romo. “Aku turut berdukacita Da....
Aku baru tahu.”
“Tidak apa, La.... Terima kasih.”
Ola menarik kembali tangannya. “Lalu, ibumu sehat? Tinggal
sama siapa?”
“Sehat, La.... Ada adik yang tinggal di sana meski nggak satu
rumah. Saudaraku kan juga banyak di sana.”
“Syukurlah....”
Matahari mulai meredup. Bukan saja sedikit ditutup awan ke­
labu, namun seperti menandakan pula bahwa waktu terus melaju.
Ola disadarkan.
Segera ia hendak berpamitan.
“Sudah siang.... Aku harus kembali. Kamu juga harus segera
menyelesaikan banyak hal tho?”
Daus tersenyum. Ada banyak maksud di balik senyum itu. An­
tara menyetujui dan tidak merelakan. Ya, keinginan daging Daus,
ia masih ingin terus di dekat teman lamanya ini.
Tak perlulah alasan waktu menghapus sejenak gembira di kal­
bu.
Tapi, kehendak ini tak bisa diteruskan. Daus amat memahami
hal itu. Maka, meski enggan hati, tangannya terulur, bermaksud
hendak menyalami perempuan muda itu. “Terima kasih untuk
kunjunganmu, La....”
“Sama­sama, Romo Daus.... Aku senang sekali bisa bertemu
banyak orang luar biasa hari ini,” Ola menyambut uluran tangan
http://facebook.com/indonesiapustaka

seseorang yang selalu ada di hatinya itu.


“Sering berkunjunglah ke sini, La....”
“Baik, Romo.... Jika banyak hati membukakan pintunya untuk
kedatanganku kemari lagi.”
“Pasti, Ola.... Pasti....”
Tak hendak Ola menatap laki­laki muda yang rambutnya mulai
ditumbuhi uban, seiring usia.

Renjana (2).indd 126 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 127

Namun, ucapannya barusan mengisyaratkan kehendak terda­


lamnya. Segera saja mata kucing itu menatapnya tajam, tetapi
senyum terkulum di bibirnya menawan. Dada Daus pun bergedup
kembali kencang.
Hhhh... Tuhan... keindahan ini sungguh tak bisa kuhindarkan,
keluh Daus sendiri.
“Jangan lupa jaga kesehatan ya, Romo.... Kalau ada kegiatan
yang bisa kubantu, jangan ragu juga menghubungiku.” Keramahan
Ola menyudahi kunjungannya.
Setelah berpamitan kepada orang­orang yang memberi kesan
tersendiri itu, langkah kaki Ola mantap meninggalkan biara. Ber­
harap tak lama lagi ia akan dapat kembali.

mengingat satu kalimatmu saja, luruh sudah terik hari ini
melenyapkan sebentar saja namamu di kalbu, hujan pun menderu
maka jangan jauh­jauh...

MELERAI senyap di antara semburat senja.


Kepedihan hati tak bisa dipungkiri.
Meski tubuh gagah berdiri, tak akan bisa membuat apa yang
terluka sembuh seketika. Kadang malah tersembul luka baru.
Mungkin luka baru itu tak perlu dipedulikan sebab tak seberapa.
Namun, tetap saja akan menambahkan rasa sakit atau bunyi men­
decit.
Berulang napas dibuang saat kelelahan atau kesusahan itu me­
nerpa, tak jua meringankan asa. Selepas senyum dibuang ke langit,
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu pun tak akan mampu menjadi kelegaan tersendiri.


Ia hendak menyerah kalah.
Tak diacuhkan banyak suara memintanya bertahan.
Percuma rasanya. Kaki sudah ingin berlari jauh. Jauh sekali.
Di langit, beriring kelam satu­satu menutupi jingga. Langkah
mereka pasti, tak digoyang kelabu. Jangkrik yang terlelap sejak
pagi, menggeliat dan bernyanyi lagi.

Renjana (2).indd 127 11/29/2013 10:26:40 AM


128 | anjar

Di perbatasan khatulistiwa, ada gambaran dewi bulan yang


hendak menyatakan keberadaannya. Tiada bingung dan ragu.
Sudah begini, mau bagaimana lagi selain menerima semua kon­
disi?
Bisa jadi, menikmati malam yang memanggil mimpi adalah sa­
lah satu cara terbaik agar tak kian terbawa aroma tak sedap sukma.


DAUS mengambil HP­nya kemudian mengetik SMS kepada Ola.

Romo Firdaus : Ola, aku ingin mengulang hari lalu kembali bersamamu.
Carolina Wibowo : Tentu saja boleh, Romo. Tapi tidak dekat-dekat ini ya, aku harus
sering keluar kota. Urusan kerja.
Romo Firdaus : Aku boleh ikut? J Aku bisa usahakan ikut perjalananmu jika
diizinkan.
Carolina Wibowo : Hehe lain waktu ya.... Lagipula tugas pelayananmu lebih didahu-
lukan daripada untuk menemaniku pergi.
Romo Firdaus : Sekali-sekali tak mengapalah, La... Aku sedang bosan dan lelah
dengan rutinitas.
Carolina Wibowo : Ya, istirahatlah. Refreshing sejenak ke sebuah tempat yang me-
nyegarkan hati dan pikiranmu.
Romo Firdaus : Akan lebih berarti jika bisa bersamamu, Ola....
Carolina Wibowo : Kapan-kapan ya, Romo Daus.... Tapi, aku jamin tidak perlu
membuatmu harus merelakan waktu pelayananmu.
Romo Firdaus : Okelah.... Kalau begitu jangan lupa sertakan aku di setiap doa-
mu.
Carolina Wibowo : Oke. Selamat melayani dalam nama kasih dan Tuhan ya, Romo
Daus...
http://facebook.com/indonesiapustaka

Romo Firdaus : Nuhun, Carolina Wibowo

Daus memandangi ponsel pintarnya.


Dalam khayalannya tergambar jelas perempuan cantik yang ia
temukan lagi setelah sekian masa melenggang pergi. Daus tahu,
kehadiran Ola akan mengisi hari­harinya kembali.

Renjana (2).indd 128 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 129

KEPADA perempuan yang melahirkan dirinya itu, Daus pernah


tak kuasa untuk tak bercerita tentang apa yang dirasakannya. Ter­
masuk mengenai hari­hari yang dilaluinya yang mendadak rasanya
tak biasa. Ada nuansa biru dan merah jambu menari­nari di se­
kitarnya. Daus yang belum pernah merasakannya, hanya berani
bercerita pada Bunda.
Perempuan nyaris sepuh itulah yang Daus rasa satu­satunya
mampu mengerti dan bisa meredakan gejolak tanpa permisi yang
mendadak datang tanpa diundang. Kala itu, Daus tak ragu atau
takut mendapat sambutan tak mengenakkan tatkala mulutnya
lancar bercerita.
“Wanita itu makhluk ciptaan Gusti Allah, Le… Diciptakan
untuk menyempurnakan kehidupan. Kamu harus banyak bersyukur
ada di antara wanita­wanita yang menyayangimu,” ujar Ibu Daus
saat mendengar anaknya mengakukan rasa.
“Ibu ndak menyalahkan kalau kamu punya rasa lebih kepada te­
man kecilmu itu. Rasa yang wajar sebagai seorang laki­laki,” lanjut
sang Bunda. “Jangan kamu tolak atau hindari, Le… Terima saja.
Tapi, yo kamu mesti inget… kamu itu orang pilihan Tuhan. Diberi
kelimpahan cinta dan kasih dari­Nya. Mangkane mestine kamu juga
membagikan lagi kepada sesamamu manusia, siapa pun dia. Ndak
pilih kasih…”
“Nek rasa itu demikian menyiksamu, kamu ngerti opo sing mesti
kamu lakukan, Le… Diam sebentar, membiarkan alam dan hatimu
bicara lalu giliranmu berbicara kepada Gusti Allah. Pemilik segala
rasa itu berasal…”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ibu nan bersahaja ini memang tak pernah lepas dari doa.
Maka jika terlihat hidupnya seperti tak terlihat sedih atau du­
ka, bukan cuma karena ikhlas serta sikap nrimo­nya yang tak ter­
batas, namun juga sebab syukur dan doa tak putus di tiap tarikan
napasnya. Daus belajar banyak untuk hal ini.

Renjana (2).indd 129 11/29/2013 10:26:40 AM


I. Rimbun daun pohon bernyanyi
melagukan syair merdu
meriuh bersama serangga
liriknya tentang
A
K
U

(± 12.00 WIB)

II. Nun berjejer pohon pinus berlenggok menari


tiap rantingnya pun punya satu kata berarti
K
A
M
U

(± 13.30 WIB)

III. Dan, saat dahannya mengokoh kuat


menyeruak nama hebat
K
I
T
http://facebook.com/indonesiapustaka

(± 13.45)

Renjana (2).indd 130 11/29/2013 10:26:40 AM


6.

“KAMU yakin dengan keputusanmu itu, La?” tanya Aisah di se­


berang telepon.
“Yakin, Sah.... Aku makin kuatir dengan kondisi Papa. Anak­
anaknya kan jarang menengok,” jawab Ola sembari memeluk ban­
tal di kamar pribadinya.
“Kan ada Ceu Mirah yang masih bantu di rumah papamu tho?”
“Ada sih.... Tapi, Ceu Mirah kan juga nggak bisa lebih mem­
perhatikan Papa. Selain memang bukan tugasnya, ya mungkin
sungkan juga minta tolong sama dia....”
“Kenapa papamu nggak menikah saja lagi?”
“Ya itu, Sah...,” Ola sedikit membangkitkan tubuhnya dari po­
sisi nyaris merebah, “seperti yang sudah kukatakan, Papa memang
tidak ingin menikah lagi. Selain faktor usia, juga karena itu sebagai
tanda silih35­nya kepada Mama atas kesalahannya di masa lalu.”
“Tapi, dengan kondisi papamu yang menua dan suka sakit, ka­
sihan juga ya....”
“Makanya aku berniat mau menemaninya, Sah....”
Di seberang sana, Aisah mengangguk mengerti. Ia memahami
kegundahan hati sahabat kecilnya itu. Bagaimanapun, Ola tetap
seorang perempuan yang sangat mencintai keluarganya. Tidak
terbayangkan bila kegundahannya ini menyiksa hari­harinya yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

sangat dinamis itu. Pasti akan sangat menyiksa.


“Lalu, bagaimana rumah dan apartemenmu?”
“Kalau rumah mungkin akan aku jual, Sah.... Apartemen akan
aku kontrakkan saja,” jawab Ola.
“Nggak menyesal melepas hasil keringatmu sendiri?” Aisah
mencoba mencari keyakinan Ola sebelum semua terjadi.

35
Ganti, tukar

Renjana (2).indd 131 11/29/2013 10:26:40 AM


132 | anjar

“Nyesel sih pasti ada, Sah.... Tapi, aku akan lebih menyesal ka­
lau tidak bisa menjaga Papa semasa hidupnya. Sekaligus menuruti
permintaan Mama sebelum meninggal supaya mau menjaga Pa­
pa....”
“Gitu ya....”
Sebentar ada keheningan tercipta.
Samar terdengar bunyi serangga malam di antara pelan alunan
lagu yang sengaja disetel Ola di MP3 player­nya. Malam sunyi se­
dikit terganti dengan keindahan yang menyertai.
“Aku mendukung apa pun yang akan kamu lakukan, La.... Se­
bagai teman, aku percaya kamu akan melakukan yang terbaik buat
semua orang. Termasuk, orangtuamu,” ujar Aisah lagi.
“Terima kasih, Sah,” jawab Ola senang. “Aku tahu, keputusanku
ini pasti akan berisiko banyak hal di depan. Tapi, bukankah tujuan
hidup salah satunya adalah untuk memenuhi segala risiko dari ke­
putusan?”
“Wah, tampak bijak kamu sekarang.” Aisah tersenyum panjang.
“Haha.... Alam yang mengajarkanku, Sah....”
Mereka berdua melanjutkan malam dengan obrolan yang lebih
seru.
Dua sahabat itu memang kian sering bertukar cerita tentang
kehidupan mereka. Tidak peduli apakah suka atau duka, bila teli­
nga sudah tersedia, dengan leluasa mereka berbagi bersama.
Indahnya sebuah persahabatan....


http://facebook.com/indonesiapustaka

DALIMAH membukakan pintu rumah sesaat suaminya pulang


dari kantor.
“Waalaikumsalam, Pa.... Baru pulang?” jawabnya atas salam
yang tadi terdengar dari sang suami.
“Iya, Ma.... Ada kunjungan bapak­bapak pejabat itu lagi,” ujar
Wie sembari menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk di ruang tamu.
Ia lepaskan penatnya sejenak.

Renjana (2).indd 132 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 133

“Mereka nggak menuntut yang bikin Papa bingung lagi kan?”


tanya Dalimah lembut sembari menyodorkan gelas minuman khu­
sus milik suami tercintanya itu.
“Enggak, Ma.... Cuman inspeksi biasa. Tapi, yah... biasalah....
Minta diservis terus. Padahal kami kan nggak punya dana terus­
menerus untuk itu.” Wie meminum air putih yang disandingkan
istrinya barusan.
Istri tercintanya itu selalu punya kebiasaan mengisi penuh air
minum di gelas khusus miliknya selepas ia pergi. Tentu saja dalam
keadaan tertutup rapat agar tidak terkena debu atau kotoran lain.
Ketika Wie kembali ke rumah, air putih yang sudah ada di gelas­
nya itu terasa lebih segar.
Katanya, itu adalah ajaran orangtuanya.
Papanya yang sering pergi ke luar kota, selalu mendapati ge­
lasnya terisi air putih jernih di gelas khusus miliknya jika pulang.
Kata sang Mama, agar keluarganya selalu mengingat keberadaan
papanya itu di mana pun ia berada kini dan supaya sang Papa tidak
kehausan selama bertugas.
Alasan yang pertama sih… wallahualam. Wie tidak terlalu me­
mercayainya benar.
Tapi, apa yang dilakukan istrinya itu adalah salah satu bentuk
perhatian dan cinta tulus yang ditujukan kepadanya.
“Anak­anak sudah tidur, Ma?” tanya Wie sembari menengok
ke belakang, arah kamar tidur anak­anaknya.
“Sudah dari tadi, Pa.... Si Kaka habis outing tadi siang di se­
kolahnya. Si Ade sempet dipinjem Tante Maryam, main ke ru­
http://facebook.com/indonesiapustaka

mahnya seharian. Kecapaian deh dua­duanya,” jelas Dalimah.


“Wah, Tante Maryam tetangga kita itu memang benar­benar
sayang banget sama si Adek ya...,” Wie tersenyum senang.
“Iya. Maklumlah, Pa.... Tante Maryam kan anaknya sudah be­
sar­besar semua. Kangen mungkin sama suara anak kecil....”
Kepala Wie angguk­angguk.
Sisa waktu, Wie lanjutkan dengan membersihkan badan, ma­

Renjana (2).indd 133 11/29/2013 10:26:40 AM


134 | anjar

kan malam, lalu kembali merebahkan diri di sofa empuk. Di ha­


dapannya terpampang TV 32 inci yang siap mengantarkan bagian
otaknya sejenak berkelana dalam banyak acara yang ditawarkan.
Awalnya, ia sempat ketawa­ketiwi bersama acara humor ala
tradisional di sebuah TV swasta. Lama­lama, ketika menemukan
sebuah ilm drama mancanegara, ia mencoba menyimak.
Bersamaan dengan itu, Dalimah turut duduk di sebelahnya.
Tanpa banyak cakap, ia mengikuti suaminya menonton.
Pada detik berikutnya, Dalimah bermanja di pundak suaminya
sembari memeluk erat pinggang orang yang dikasihinya itu. Tanpa
diminta, Wie pun menyambut hangat.
Adegan dalam ilm drama berkisah tentang pasangan yang se­
dang memadu rindu. Pas sekali dengan situasi mereka kini.
Berdua, pasangan suami­istri mencoba menghabiskan sedikit
waktu.
Hari­hari lalu mereka telah jarang dipertemukan dalam situasi
berduaan seperti ini. Bukan hanya karena pekerjaan, melainkan
juga tanggung jawab mereka sebagai orangtua yang harus menge­
depankan kepentingan anak­anaknya. Apalagi si Kecil sempat
masuk rumah sakit sebulan lalu karena ada gangguan pencernaan.
Untunglah semua sudah berlalu. Si Kecil sudah ceria kembali. Me­
reka tak perlu dirundung cemas lagi.
Adegan ilm drama yang dipancarkan dari TV kabel itu kian
menampilkan romantika pasangan dewasa. Begitu memperlihatkan
adegan ciuman, aliran gairah itu seketika merangkul pasangan sua­
mi­istri tersebut.
Dalimah meraih tangan suaminya. Ia genggam mesra tangan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Wie.
Dalam genggaman tangan itu, Wie pun memberikan reaksi ba­
lik yang membuat senyum Dalimah merekah. Kemanjaannya pada
sang suami makin merekat. Ia menggelayut di bahu Wie yang sese­
kali mengelus kepalanya dengan tangan satunya.
Meski aliran kemesraan itu kian menggelora, sebagai pasangan
dewasa, hal itu tidak menjadikan nafsu menguasai diri mereka. Jus­

Renjana (2).indd 134 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 135

tru hal ini mereka nikmati betul agar dapat menjadi bagian yang
berharga lebih dalam atas hubungan kasih mereka sekian lama.
Namun, tak salah pula jika Dalimah tak kuasa menahan gejolak
rasa.
Ia kian dekat dengan sang suami dalam kencangnya pelukandi
pinggangnya. Posisi keduanya yang duduk santai menjadikan lebih
mudah melakukannya.
Saat kemesraan ini kian mendera, mendadak ada bunyi dari
ponsel Wie.
Apa boleh buat, Wie memberi kode untuk meminta izin mem­
bukanya dahulu. Dalimah mengerti. Ia biarkan suaminya beranjak
meraih smartphone­nya yang tergeletak di atas meja.
Ada e­mail masuk.
Wie segera membukanya. Khawatir ada e­mail penting untuk
urusan pekerjaannya.

To : “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>
From : “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>

Maafkan kehadiranku di malam yang mungkin tak kau kehendaki, duhai beraja.... Tapi,
keresahan hati ini tak mampu benamkan lelahku dalam khusyuknya mimpi yang sudah
menunggu.
Lalu, apakah dikau, duhai berajaku, masih mau memberi sedikit kehangatan dan
kenyamanan bagi sanubariku ini yang letih tiada berkesudahan?
Ah.... Mungkin kamu tak pernah tahu, jauh di lubuk sukma terdalamku, namamu
terukir indah. Tak terhalangi hujan yang menderas, melaju melebihi jatah waktu atau
panas menyengat yang kadang membuat makhluk mengeluh sangat. Namamu tetap
http://facebook.com/indonesiapustaka

meraja bagiku.
Lalu, apakah butiran debu, sisa dari segenap rindu silamku sempat kau rasakan
meski mungkin hanya tertempel sendu di sepatumu?
Berikan sekadar embusan napasmu di langit, duhai berajaku...
Akan kutangkap supaya menjadi penghangat, di antara selimut dan bakal mimpiku
menurut.

-berajamu-

Renjana (2).indd 135 11/29/2013 10:26:40 AM


136 | anjar

Sekejap mata Wie tak beranjak menatap e­mail yang ia baca


dari ponsel­nya itu.
Berbarengan itu pula, kembali ingatannya satu tertuju.
Mungkinkah dia?
“Kenapa, Pa? Kok tertegun gitu?” tanya istrinya begitu menya­
dari ada yang lain dari sang suami.
“Enggak, Ma.... Enggak. Ini e­mail nanya di mana berkas
yang kemarin dibawa bapak pejabat itu. Perasaan sudah dibawa
sekretarisku,” jawab Wie sedikit berbohong. Ada hatinya yang
mengumpat saat ia melakukan itu.
Apa boleh buat.
“Kok malam­malam gini sih kirim e­mail?” Dalimah sedikit
curiga.
“Itulah, Ma…,” Wie mendekati istrinya lagi, “karena kecang­
gihan teknologi, risikonya seperti ini deh.... Bisa kapan saja dihu­
bungi biar sudah waktunya istirahat.”
Wie berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan kecu­
rigaan baru. Biar bagaimanapun ia tetap menghormati sang istri.
“Aku matikan saja deh semua HP, Ma....” Tangan Wie langsung
mematikan semua alat komunikasi yang ia punya. “Kita istirahat
aja, yuk.... Besok Papa harus sedikit lebih pagi berangkatnya.”
Dalimah menurut.
Ia pun bangkit untuk menuju kamar pribadinya.
Dalam langkah menuju kamar, ada sisi benak Wie seperti kem­
bali menerbangkan angannya pada sebuah rona wajah lama.
Wajah seorang perempuan muda yang sekian waktu ia kenal
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan baik. Bahkan, sempat memenuhi jiwa dan raganya.


Hingga kini.
Sembari menutup pintu kamarnya, Wie berdoa dalam hati agar
kegalauannya malam ini tak akan berlanjut hingga pagi dipanggil
ufuk yang menari­nari di samping beningnya embun.

Renjana (2).indd 136 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 137

JEMARI Ola menari­nari di atas papan ketik HP­nya. Sebuah


SMS ia layangkan kepada Romo Daus.

Carolina Wibowo : Mengapa kamu mengirimkan SMS nyaris tengah malam, Da?
Apa tidak baik di saat bumi masih terang saja kau ceritakan se-
mua?
Romo Firdaus : Aku cuma punya waktu luang di malam hari, Ola. Itu pun sering
terselip pelayanan jika diperlukan.
Carolina Wibowo : Tapi, kalau terus-menerus tidur malam hanya untuk meng-SMS-
ku, badanmu bisa keok. Sakit nanti.
Romo Firdaus : Jangan kuatir. Sebentar saja kuluangkan waktu. Demi seseorang
yang telah mengembalikan semangatku...
Carolina Wibowo : Halllaahhh... . Malam-malam kok ada Romo ngegombal. Nggak
baik ah...

Sebentar, dari ponsel Daus ada sebuah BBM masuk. Di sela­sela


ia saling berkirim SMS kepada Ola, Daus mengecek BBM yang
masuk. Takut ada berita penting yang harus ia tanggapi.

Marry Dina : Aku merindu. Rinduku akan meluruh jika tak kau tanggapi. Ti-
dakkah itu menyakitkan, Firdaus?

Daus mengernyitkan keningnya.


Duh, orang ini lagi.
Ternyata ibu muda yang sedang bermasalah dengan keluarganya
ini tiada jemu mengungkapkan kata hati. Kali ini, ia tidak ragu
langsung menyebut nama orang yang semula dijunjung dan diang­
http://facebook.com/indonesiapustaka

gap mampu meringankan bebannya.


Sebentar ia teringat pada apa yang diucapkan Ola saat bertemu
dengannya tempo hari, “Aku orang biasa. Meski pekerjaanku me­
mang mengharuskanku berhubungan dengan orang banyak, tapi aku
masih ingin punya batas antara diriku dan orang luar.”
Daus terdiam sejenak.

Renjana (2).indd 137 11/29/2013 10:26:40 AM


138 | anjar

Tak lama, ia pastikan tak hendak membalas BBM itu meski bu­
nyi BBM berikutnya masuk tiada henti.
Daus ingin menghayati malam bersama sepi dan keagungannya.


PEKERJAAN utama telah selesai.
Hari ini semua penghuni biara sedang berkunjung ke sebuah
tempat di luar kota. Yang tertinggal hanya para pekarya. Sore hari,
biasanya baru kembali ramai.
Daripada bengong tak ada kerjaan, Tra Laksmi berpikir untuk
kembali ke ruangan yang penuh dengan benda kesukaannya.
Perpustakaan.
Di sana, ia percaya dirinya akan mendapatkan sesuatu yang le­
bih berarti.
Setelah sekian banyak buku dan majalah telah ia lahap, Tra
ingin sekali sekadar tahu jenis buku lain. Di perpustakaan itu ada
beberapa genre buku yang selama ini tak pernah ia baca. Terpikir
pun tidak.
Sekiranya menarik, Tra ingin mencoba meneruskan membaca
buku­buku lain tersebut. Tadi ia juga sudah meminta izin untuk
kembali masuk ke ruangan itu.
Kakinya pelan menyentuh lantai ruangan yang berkesan bersih­
rapi itu....

Tak habis mata memuja,


Tak henti mulut memuji
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bukan karena banyaknya tumpukan kalimat yang terangkum


Tetapi karena di deretan benda bernama buku,
Ada bagian renjanaku yang tak sungkan menyerbu
Meski kaki baru melangkah
Dan hidung baru mencium aromanya
Aaahhh.... Tak sabar tangan meniti lembar demi lembar
Hingga asa menjadi lebih segar….

Renjana (2).indd 138 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 139

Tra pun menyusuri rak demi rak, mencari buku yang memikat
mata dan hati.
Kesunyian ruang menambah kegairahan tersendiri.
Ada semangat yang menyembul pasti. Tidak peduli, apakah
matahari sedang memancar terang atau meredup mendung. Yang
tertera di benak Tra, hanya ingin memuaskan hasrat menambah
pengetahuan hidup lewat buku­buku yang tersusun rapi di sana.
Biar hati berkeinginan hendak mencari jenis bacaan baru, ke­
sukaan yang telah lama terpatri ternyata tidak bisa dibohongi. Ka­
kinya lama berdiri di hadapan deretan buku sastra. Padahal tadi ia
sudah berniat mencari genre lain.
Hingga matanya mulai melirik sebuah judul, Dunia Sophie.
Tanpa menunggu persetujuan otak, tangan Tra langsung me­
narik buku yang lumayan tebal itu. Pasang matanya menelusuri
kalimat demi kalimat. Sekilas dulu, nanti baru dibaca lebih teliti.
Tampak menarik.
Kepala Tra angguk­angguk.
Di benaknya seperti berujar pelan, mari membaca, teruskan,
buku ini akan membawa hati dan pikiranmu senang.
Tiada meragu Tra kembali menyusuri kalimat demi kalimat.


Kesepian terdalamku tak akan pernah ditembus oleh berisiknya
dedaunan ditiup angin,
Kesepian terdalamku tak akan pernah dirasakan sunyi malam
bertakhta langit, tiada bintang,
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebab ketika kalimat ingin sekadar jabarkan maksud,


akan berhenti pada tanda baca yang kusut.
Sebab bukan keramaian yang mampu pecahkan
atau putaran lagu penghiburan,
hanya usapan rambut
ketika nyatanya letih jiwa tak kunjung juga terurai bersama hari

Renjana (2).indd 139 11/29/2013 10:26:40 AM


140 | anjar

JEMARI Ola lancar mengetik di iPad nya.


Jemari itu adalah perpanjangan dari apa yang ada di kepala
dan hati terdalamnya. Ia memang tidak bisa menulis banyak, tapi
rasanya tulisannya itu sudah menunjukkan renjana sesungguhnya.
Ola melempar tubuhnya sebentar ke kursi kerjanya nan empuk.
Di luar sana, pemandangan menyenangkan mata diselingi se­
milir angin nan sejuk.
Menyenangkan sekali hari ini. Mungkin lebih menyenangkan
lagi jika langkah kaki bisa menyusuri jalan­jalan kota, mengharumi
aroma pepohonan atau dedaunan serta memanjakan telinga de­
ngan lagu serangga atau pericit berkicauan. Itu semua akan bisa
menguraikan benang masalah yang kusut.
Senyum terkulum di bibir Ola.
Ingin ia laksanakan keinginannya itu. Tapi, ada yang mena­
hannya. Mungkin akan baik jika menghabiskan keindahan ini di
dalam rumahnya saja dulu sebelum rumah ini pindah tangan ke­
pada si pemilik baru.
Sedang melamun sendiri dengan segala pikiran, bunyi HP­nya
terdengar nyaring. Kiriman sebuah SMS telah terhafal meski hari
ini tidaklah terdengar sering.

Romo Firdaus : Hari ini aku sedang mengunjungi sebuah paroki di luar kota.
Mungkin sore sudah kembali. Apakah ada waktu di saat malam
untuk sekadar kita bertukar cerita tentang kejadian sepanjang
hari ini?

Ola mengecapkan bibirnya.


http://facebook.com/indonesiapustaka

Sejak pertemuan dengan orang dari masa lalunya itu, telah


kesekian kali SMS ajakan bertemu ia terima. Kebetulan sekali,
kesibukan kerja membuatnya tak dapat menanggapinya dengan
sukacita.
Sudah begitu biasanya Firdaus akan menggantikan keinginannya
itu dengan bercakap­cakap via SMS atau chatting lewat Skype atau
YM.

Renjana (2).indd 140 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 141

Tak dapat dipungkiri, gejolak hati masih meledak­ledak sekira­


nya kalimat ajakan itu kembali menerpa. Tak dapat dibohongi, ada
bagian di sanubari serasa mendapat runtuhan kegembiraan sangat,
orang yang tetap ia puja memberi kesempatan lebar dan terbuka.
Ola tak hendak melawan semua rasa itu.
Namun....
Bukankah ia telah berjanji tak hendak menanamkan benih ha­
rapan itu lagi?
Jika pertemuan terlalu sering terjadi, Ola tak yakin ia bisa men­
jaga gejolak rasa ini. Itu berarti ia sudah mengingkari janji.
Tapi....
Kehendak baik dan menjaga semua pun ingin dijaga Ola.
Ia percaya, bukan tiada maksud jika setelah nyaris sepuluh
tahun tak bertemu, dalam sebuah situasi nyatanya mereka boleh
beradu pandang kembali.
Tak mungkin rasanya alam demikian indah mempertemukan
pasang mata mereka untuk saling mengagumi walau dalam situasi
yang kini berbeda. Ola meyakini, ada sebentuk pesan yang hendak
dinyatakan lewat pertemuan mereka bersama lekuk awan dan la­
ngit yang menjadi saksi.
Jadi, harusnya Ola kesampingkan terlebih dahulu segala tebak­
an kemungkinan yang belum tentu sebagaimana kehendak aslinya.
Dengan pasti, jemari Ola berganti mengetik jawaban di smart­
phone miliknya. Membalas sapa dan ajakan SMS barusan.

Carolina Wibowo : Jika tubuh dan kakimu tidak berteriak kelelahan, dengan senang
http://facebook.com/indonesiapustaka

hati kuterima ajakan itu. Mungkin baik jika tidak terlalu malam
agar sisa waktu sebelum esok masih bisa kau gunakan untuk
beristirahat.

Renjana (2).indd 141 11/29/2013 10:26:40 AM


142 | anjar

ASYIK sekali membaca buku Dunia Sophie ini.


Sampai suara langkah kaki tak sempat lagi terdengar di telinga.
“Wah, asyik sekali bacanya, Neng?” suara itu akhirnya menya­
darkan Tra, ada seseorang lain di perpustakaan ini.
“Eeeehhh... Kang Raka... sudah lama?” tanya Tra sekalian me­
nenangkan keterkejutannya.
Raka mengembangkan senyumnya.
“Baru saja kakiku sampai di sini lalu mataku melihatmu tepekur
serius membaca buku,” jawab Raka.
“Kang Raka teh puitis juga ya....”
“Haha..., tidak juga. Kebetulan saja. Sedang baca apa, Neng?”
Raka menjejeri Tra duduk.
Serrr....
Sedikit ada aliran melintas begitu duduk bersebelahan seperti
ini.
Mata Tra melirik sejenak.
Laki­laki berkulit sawo matang dengan rambut agak ikal ini
membawa sengatan listrik yang mampu membangkitkan bulu­bulu
halus di sanubari. Tra jadi serba salah hendak berlaku bagaimana.
Untung saja, Raka laksana tidak peduli.
Ia malah ikut­ikutan membaca buku yang dibaca Tra.
“Ah, si Neng teh baca naon sih? Akang nteu ngerti buku kieu
mah36...,” celoteh Raka, menyerah.
Ganti Tra yang terkekeh. “Hehe... Tra juga baru belajar suka
baca buku ini, Kang....”
“Daripada baca ini, Kang Raka baca majalah pertanian aja­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lah....” Tubuh Raka segera berpaling memutar untuk menuju ke


rak bagian majalah langganan biara ini.
Dengan pasti tangannya menarik sebuah majalah pertanian.
Ia membawa majalah itu mendekat, di samping buku yang te­
tap tekun dibaca Tra Laksmi.

36
Ah, si Neng baca apa sih? Akang nggak ngerti buku seperti ini….

Renjana (2).indd 142 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 143

“Baca tentang apa, Kang?” tanya Tra ingin tahu juga. Sebentar
ia singkirkan buku yang mulai menyita perhatiannya.
“Ini tentang menggemburkan tanah dan mengolahnya bersama
pupuk alam yang sudah Akang buat.” Raka menjelaskan sembari
tetap membolak­balik apa yang tengah ia ceritakan.
“Selama ini pupuk tanaman Akang itu emang buat sendiri?”
Kepala Raka angguk­angguk. “Selain dari biopori yang kamu
tahu itu, kebetulan kan di sekitar kita ada banyak bahan yang bisa
dimanfaatkan untuk dijadikan pupuk alami. Nih, baca aja. Bahan­
bahannya mudah kok.” Raka menyodorkan majalah yang tengah
dibacanya.
Tra mulai membaca pelan­pelan.

Membuat Pupuk Cair Organik

Bahan dan Alat:


1 liter bakteri
5 kg hijau­hijauan/daun­daun segar (bukan sisa dan
jangan menggunakan daun dari pohon dengan
getah yang berbahaya, seperti karet, pinus, damar,
nimba, dan yang sulit lapuk seperti jato, bambu,
dan lain­lainnya)
0,5 kg terasi dicairkan dengan air secukupnya
1 kg gula pasir/merah/tetes tebu (pilih salah satu) dan
dicairkan dengan air
30 kg kotoran hewan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Air secukupnya
Ember/gentong/drum yang dapat ditutup rapat

Cara Pembuatan:
 Kotoran hewan dan daun­daun hijau dimasukkan ke
dalam ember.

Renjana (2).indd 143 11/29/2013 10:26:40 AM


144 | anjar

 Cairan gula dan terasi dimasukkan ke dalam ember.


 Larutkan bakteri ke dalam air dan masukkan ke dalam
drum, kemudian ditutup rapat.
 Setelah 8­10 hari, pembiakan bakteri sudah selesai dan
drum sudah dapat dibuka.
 Saring dan masukkan ke dalam wadah yang bersih
(botol) untuk disimpan/digunakan.
 Ampas sisa saringan masih mengandung bakteri,
sisakan 1­2 liter, tambahkan air, terasi, dan gula dengan
perbandingan yang sama. Setelah 8­10 hari, bakteri
sudah berkembang biak lagi dan siap digunakan.
Demikian seterusnya.37

Mata Tra sedikit mendelik. Kaget. “Hah?! Pakai terasi, Kang?”


Raka angguk­angguk. “Mudah kan? Ada di sekitar kita....”
“Kotoran hewannya dari mana?”
“Lho... biar sedikit kan kita punya ayam dan dua ekor kambing
di belakang.”
“O iya ya....” Tra tersadar.
“Makanya, Neng.... Alam teh sebenernya menyediakan banyak
hal bagi kehidupan kita. Sayangnya, kita masih setengah hati un­
tuk berteman dengannya....”
Tra tertegun.
Angin sepoi yang mengalir hingga di pojok ruangan menjadikan
renungan Tra berhenti hingga di hadapan wajah Raka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Laki­laki muda yang nyaris tak pernah banyak basa­basi ini


ternyata menyimpan banyak pesona. Bahkan dengan duduk berje­
jeran begini, pesona itu seperti mengalir deras dari bawah hingga
ke atas kepala Tra.
37
Diambil dari http://www.lestarimandiri.org/id/pupuk­organik/pembuatan­pupuk­
organik.html

Renjana (2).indd 144 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 145

Indah.
Kecuekannya bahkan ketika duduk bersebelahan begini men­
jadi bagian penasaran hati yang tertantang untuk coba kian men­
dekati.
Tra mendadak menjadi nyaman. Kenyamanan yang telah lama
tidak ia rasakan. Laksana duduk­duduk di bangku Taman Balai
Kota tempo lalu. Menekuni heningnya alam di antara deru kenda­
raan di sekeliling yang ribut sendiri.
Tidak peduli. Kenyamanan ini benar­benar milik Tra.
Hei.... Mendadak otak Tra langsung beralih ke sebuah tempat
yang penuh dengan pepohonan rindang dan bunyi serangga alam.
Sudah lama sekali ia tidak ke sana. Apakah kondisinya masih sa­
ma atau malah sudah berubah?
Dan, di bangku tempat ia menyimpan sebentuk asa, apakah
juga masih bertahan? Mungkinkah asanya masih tertinggal, tak
lenyap dimakan putaran detik dan sengatan terik?


DAUS gundah. Bayangan Ola memenuhi pikirannya. Ia tak kuasa
menahan diri untuk membuka percakapan lewat SMS kepada pe­
rempuan yang membekaskan kenangan indah itu.

Romo Firdaus : Sebentar saja, putri.... Biarkan beban ini terbagi bersamamu
Carolina Wibowo : Sabarlah, Romo... Jika semua keinginan dagingmu dituruti, se-
mentara ada napas lain yang juga membutuhkan waktu, apakah
kamu tega memaksanya juga?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Romo Firdaus : Okelah... Tapi, saya akan selalu menunggu kabarmu

Sebenarnya hari ini diniatkan Ola untuk beberes.


Rumah yang telah sekian lama ditempati ini sebentar lagi akan
ia relakan untuk dijual. Tekadnya sudah bulat hendak pindah ke
rumah sang Papa. Ia ingin menemani orangtuanya itu mengisi sisa
hidupnya.

Renjana (2).indd 145 11/29/2013 10:26:40 AM


146 | anjar

Ola tak peduli bahwa rumah nan penuh cerita itu akan berpin­
dah tangan kepada orang lain yang mungkin belum ia kenal.
Ia hanya percaya bahwa siapa pun yang nanti akan menjadi tuan
baru atas rumahnya tersebut adalah orang yang akan mengurusnya
dengan baik. Bukan sekadar menempatinya.
Saat tangannya mengambil beberapa barang dari balik lemari
baju di kamar, Ola menemukan satu kotak cokelat bercorak batik
yang menampung beberapa barang.
Senyum berkembang di bibirnya.
Ia membawa kotak itu ke atas tempat tidur.
Satu­satu diambilnya barang yang ada di dalamnya.
Ada lembaran­lembaran kertas dengan segala macam tulis­
annya, gantungan kunci beragam bentuk, beberapa botol parfum
yang lucu, pensil atau pulpen suvenir dari beberapa hotel bintang
empat dan lima yang pernah diinapi dan... tiga lembar foto favorit
Ola.
Tangan lentiknya meraih foto tersebut.
Matanya serius menatapi wajah­wajah yang tertera di sana.
Satu foto adalah foto ia dan keluarga ketika mamanya pertama
kembali pulang ke rumah setelah sempat dirawat di Singapura. Se­
nyum orang­orang yang ada dalam foto itu memancarkan harapan
dan kebahagiaan.
Foto kedua adalah fotonya bersama Darling, anjing golden
retriever jantan cokelat miliknya saat masih di Kanada dulu.
Anjing setia ini terpaksa ia serahkan kepada seorang kawan, se­
saat kepulangannya ke Indonesia pertama dulu. Padahal bersama
http://facebook.com/indonesiapustaka

Darling, ia telah melewati banyak kesedihan dan kegembiraan. Ia


menjadi saksi rasa hati Ola paling dalam.
Terakhir Ola dengar Darling sudah punya anak dari beberapa
betina yang dikawinkan dengannya. Beberapa foto sempat diki­
rimkan via e­mail oleh si induk semang saat ini. Ola senang sebab
Darling dan keturunannya diurus dengan sangat baik di sana.
Dan, foto terakhir adalah fotonya saat dicium Ben....

Renjana (2).indd 146 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 147

Seseorang dari masa lalu yang pernah sungguh menemani re­


lung kehidupan dan sukmanya. Meski jalan mereka sebenarnya
salah, tak bisa diingkari olehnya, Ben adalah bagian dari hidupnya
yang tak bisa hilang dari kenangan.
“Kamu masih percaya para romo itu selibat seratus persen?”
Pertanyaan Ben itu mendadak teringat lagi. Ben melontarkan
kalimat itu sesaat setelah Ola dan kekasih masa lalunya itu sempat
bertemu dengan Firdaus di gereja.
“Iya dong.... Kan mereka sudah berjanji di hadapan pejabat ge­
reja dan Allah sendiri,” jawab Ola yakin.
“Akh. Aku nggak terlalu yakin sekarang,” Ben pesimistis, “Ro­
mo paroki adikku, yang menikahkan adikku dan sepupuku, diberi­
takan memiliki anak di luar nikah dengan umatnya.”
Wajah Ola berganti serius. “Yakin dengan berita itu?”
“Seluruh umat membicarakannya. Pastornya pun entah ada di
mana sekarang. Entah bagaimana kebenaran berita itu.”
Ola diam saja.
“Belum lagi yang korupsi.... Yah..., kamu tahu sendirilah. Dana
gerejamu pernah bermasalah kan? Siapa biangnya?”
Kembali Ola tak banyak berkomentar.
“Makanya... di antara dukunganku dengan Firdaus atas panggil­
an hidupnya, miris juga kalau ingat semua hal yang aku ceritakan
barusan.”
Hhh.... Ola kembali ke saat ini.
Meski dulu Ben pernah marah sedemikian besar ketika menge­
tahuibahwa hati Ola tak bisa bersembunyi dari kekaguman pada
sosok Firdaus, toh sebenarnya hal itu juga karena perhatiannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

kepada para kaum berjubah.


Jemari Ola mengusap wajah Ben dalam foto itu. Lembut.
Riak­riak rindu serentak membentang di hatinya. Menembus
perisai yang sudah ia buat ketat agar tak ada lagi harap di antara
janji semu mereka yang semestinya tak perlu.
Ahhh.... Di mana laki­laki berperawakan wajah Bono U2 itu
berada?

Renjana (2).indd 147 11/29/2013 10:26:40 AM


148 | anjar

Sekian lama terpisah raga, Ola memang tidak berusaha mencari


tahu. Bahkan, sekadar mengingat pun ia usahakan sambil lalu.
Nyatanya ketika wajah itu terbentuk lagi dari kenangan mela­
lui foto tersebut, asa lama bisa lagi bersemi. Ola tak hendak meng­
hilangkannya barang sejenak.
Apakah ia telah bahagia dengan kehidupannya sekarang yang
Ola sendiri tak tahu bagaimana?
Aaarrrggghhh....
Ben....
Aku merindumu....

Di Kamar Daus
DAUS mengernyitkan kening membaca barisan kalimat dari
YM­nya malam ini.

Anggrekbunga : aku serius, kak, aku mau mengaku dosa di sini.


Formosa : Rada aneh terdengarnya, Dik....Gimana kalau kita sebut saja
dengan curhat?
Anggrekbunga : aku merasa aku bersalah, harus mengaku dosa. Aku nggak
mau dikejar-kejar rasa bersalah ini.
Formosa : tapi tidak ada pengecualian untuk pengakuan dosa lewat
chatting ini, dik... Kamu ke tempatku saja deh, kusediakan wak-
tu padamu.
Anggrekbunga : nggak bisa, kak... Biar aku sudah ada di Indonesia, sekarang
aku sedang ada di luar kota
http://facebook.com/indonesiapustaka

Formosa : kalau gitu carilah paroki terdekat, minta izinlah kepada romo di
sana untuk mendapat sakramen pengakuan dosa.
Anggrekbunga : justru itu kakak....
Anggrekbunga : aku sudah tidak percaya lagi pada institusi gereja dalam hal ini
kaum berjubah seperti kakak (kecuali kakak lho ya... J)
Formosa : maksudmu?
Anggrekbunga : aku sudah pernah ke banyak gereja di berbagai negara.
Anggrekbunga : aku juga sudah bertemu banyak romo dari beragam suku

Renjana (2).indd 148 11/29/2013 10:26:40 AM


renjana | 149

Anggrekbunga : tapi, aku malah menarik kesimpulan, tidak ada dari mereka yang
bisa taat lagi, baik kepada pimpinannya terlebih kepada yang
memilih mereka untuk mengikutiNya...

Firdaus tidak hendak mengomentari kata­kata Bidari dengan


tulisan. Tampaknya Bidari benar­benar sedang menuangkan segala
resah dan kegalauannya selama ini.
Biarlah ia terbebas lewat perantara chatting kali ini.
Meski niatnya mengaku dosa, Daus tetap tidak ingin menu­
rutinya.

Anggrekbunga : pasti kakak tahu, kenapa gereja di eropa sana semakin jarang
dikunjungi orang, terutama orang muda.
Formosa : kenapa emang?
Anggrekbunga : karena banyak orang nggak percaya pada agama, apalagi gere-
ja.
Anggrekbunga : parahnya lagi, para romo di sana juga nggak bergerak melakukan
suatu apa kek biar gerejanya ramai lagi.
Formosa : itu mungkin karena panen banyak, pekerja sedikit.
Anggrekbunga : bisa salah satunya, kak....
Anggrekbunga : tapi, tahu nggak, kak... aku pernah tukar pendapat dengan
seorang pemuda di sana kenapa dia tidak lagi mau ke gereja,
kakak tahu apa jawabnya?
Formosa : apa?
Anggrekbunga : dia bilang sebab orang yang mereka panuti selama ini tidak
ubahnya sebagaimana mereka sendiri, penuh dosa.
Anggrekbunga : ya bukan rahasia lagi deh, kak... oknum romo pedoil, punya
http://facebook.com/indonesiapustaka

anak, korupsi, atau bahkan ikut aktif dalam pergerakan masya-


rakat, itu kan jauh beda dari idealisme seorang gembala.
Formosa : memangnya menurutmu gimana seorang imam yang ideal itu?
Anggrekbunga : ya yang selayaknya orang tidak biasa lah...
Anggrekbunga : aku dan sekian banyak umat kakak itu kan yang manusia biasa,
Anggrekbunga : nah, mestinya kaum berjubah itu paling nggak setingkat lebih
baik dari kami dooonnnggg... kan orang-orang pilihan
Anggrekbunga : yang memilih juga Tuhan sendiri lho...

Renjana (2).indd 149 11/29/2013 10:26:40 AM


150 | anjar

Formosa : jadi imam itu bukan manusia?


Anggrekbunga : ya nggak gitu juga kali, kak....

Firdaus membayangkan Bidari di sana pasti sedang berpikir


sendiri. Di antara semangatnya untuk curhat, ada bagian yang ter­
celetuk begitu saja. Padahal justru bagian itu yang krusial.
Agak lama Firdaus tidak melihat tanda­tanda Bidari mengetik
kembali semua yang ingin ia curahkan.
Bingung atau malah marahkah dia?

Formosa : kamu sendiri melihat saya ini atau para imam bagaimana?
Anggrekbunga : ya-ya-ya..., ya melihat seperti yang aku lihat saja, kak.
Anggrekbunga : apalagi kakak... aku kan kenal kakak dari zaman aku masih
imut-imut banget...
Formosa : hehe....
Formosa : bahwa ada berita yang miring tentang kami, itu adalah hal yang
tidak bisa dipungkiri, saya pribadi membenarkan bahwa hal itu
memang ada, mungkin itu adalah sisi manusiawi kami sebagai-
mana manusia lainnya.
Formosa : tapi, seperti kamu percaya, panggilan kami adalah misteri Ilahi.
Susah dijelaskan dengan kalimat manusia. Namun demikian ka-
mi tetap membutuhkan doa dari para umat sekalian agar kami
dapat bersetia pada panggilan kami.
Formosa : jadi, menurut saya, akan kurang baik kalau hal-hal itu meng-
ganggu pikiranmu selama ini, coba bedakan kapan ia adalah
seorang imam, kapan ia seorang manusia biasa seperti kita.
Anggrekbunga : kalau ternyata ia berlindung di balik jubahnya dari semua kebu-
rukan yang dia perbuat, gimana kak?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kali ini Firdaus yang terdiam.


Bagian dari kepalanya sedang berpikir hendak bicara apa.
Bukan masalah sok jaga image, tetapi bagaimanapun Bidari ada­
lah salah satu umatnya. Dan, tugas utamanya sebagai seorang gem­
bala adalah menjaga iman dan kepercayaan sekalian umat. Baik

Renjana (2).indd 150 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 151

kepada para gembalanya, terlebih kepada Sang Maha yang telah


memilih para gembala.

Formosa : lihatlah semua dengan imanmu, dik...


Formosa : saya masih percaya, sangat percaya, iman adalah satu-satunya
bagian yang tidak bisa diutak-atik meski dalam kondisi apa pun
sang pemilik.
Formosa : jika perlu, minta petunjuk dari-Nya untuk membedakan siapakah
di hadapanmu itu.
Formosa : bila ternyata adalah serigala berbulu domba, tak salah jika kamu
mengingatkannya.
Formosa : tapi bukan untuk lari dari-Nya ya....
Formosa : sebab Ia lebih kuasa dari sekadar kerapuhan kami sebagai ma-
nusia.
Anggrekbunga :J
Anggrekbunga : nggak sia-sia deh punya kakak seperti Romo Daus satu ini, bisa
menguatkan saat imanku menyenget38
Formosa : J kamu juga sudah mengingatkanku, dik.
Formosa : mestinya kita bisa saling mengingatkan dan menguatkan, se-
bagai umat dan gembala yang tetap manusia juga
Anggrekbunga : betul, kak....
Anggrekbunga : aku setuju sekali itu, biar tetap ada bagian yang menjadi misteri
Anggrekbunga : trus pengakuan dosanya gimana? J
Formosa : haha... kamu tetap harus bertemu muka dengan romo yang
hendak kamu mintakan sakramen itu, dik....
Anggrekbunga : nggak ada pengecualian nih?
Formosa : kalau pengecualian nanti ada cerita baru lagi tentang kami...
Anggrekbunga : haha... kakakku ini bisa ajaaa...
:J
http://facebook.com/indonesiapustaka

Formosa
Anggrekbunga : eh kak satu lagi... kenapa sih cowok ganteng mau jadi romo,
kayak kakak ini?
Anggrekbunga : menurut kakak gimana?
Formosa : J emang nggak boleh cowok ganteng jadi romo?
Anggrekbunga : ya bukan gitu, kak...

38
condong, tidak seimbang

Renjana (2).indd 151 11/29/2013 10:26:41 AM


152 | anjar

Anggrekbunga : tapi, maksudku, kan biasanya cowok ganteng itu banyak penga-
gumnya tuh... apa mereka nggak takut?
Formosa : menurut saya sih..., selain karena panggilan itu misteri Ilahi tadi,
kan Tuhan sudah memberi yang terbaik bagi anak-anaknya nih...
Formosa : nah, masa sih anak-anaknya nggak mau juga memberikan yang
terbaik buat Dia?
Anggrekbunga : bener juga sih...
Formosa : kalau semua dinalarkan oleh kepala manusia, nggak akan sam-
pai dek... KuasaNya terlalu luar biasa...
Anggrekbunga : hmm... nampak mulai serius pembicaraan kita kali ini, kak...
Formosa : lha yang mulai sapa coba? J
Anggrekbunga : haha....

Berdua mereka saling berbagi tawa. Meski hanya lewat dunia


maya, cukuplah itu menjadikan waktu bergulir tak terasa.
Obrolan kali ini menjadi sebuah aliran segar dalam diri Daus.
Meski tetap prihatin, ia membutuhkan tukar sapa tentang sega­
la berita yang berhubungan dengan panggilannya.
Bukan untuk mencela, tetapi justru agar ia dapat meresapkan
dalam segenap jiwa raganya dan pada akhirnya menjadi pegangan
langkah.
Daus mau, panggilan ini bisa bersetia dalam deraan napasnya.
Hingga napas itu di ujung usia.

PELAN Dalimah mendekati suaminya yang sedang mengerjakan
sesuatu di meja kerja.
“Pa..., Mama boleh tanya?” tanya Dalimah mencoba tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

membuat kaget sang suami.


“Ada apa, Ma?” jawab Wie sembari tetap mengerjakan sesuatu
di laptopnya.
“Mmm... apakah Papa baik­baik saja? Tidak ada masalahkah?”
Wie menghentikan pekerjaannya.
Pertanyaan istrinya itu terdengar serius. Ia tidak bisa menja­
wabnya sambil lalu.

Renjana (2).indd 152 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 153

“Aku baik­baik saja kok, Ma.... Yah, kalau masalah sih seperti
biasa saja.” Wie mengulat sebentar. Enak sekali bisa meregangkan
otot­ototnya yang sempat kaku sedari siang. “Ada apa memangnya?”
Dalimah terdiam sejenak.
“Tidak apa­apa, Pa.... Aku hanya merasa, akhir­akhir ini Papa
beda. Seperti orang resah. Memikirkan sesuatu yang aku sendiri
tidak tahu. Aku nggak berani memaksa Papa cerita, tapi kok ka­
yaknya meresahkan Papa sekali....”
Sontak Wie memandang istri terkasihnya itu.
Dalam bening bola mata perempuan berjilbab yang telah mem­
berikannya dua anak, Wie melihat sekian penasaran dan perta­
nyaan. Jika pada hari­hari lalu ia berani bertanya, kali ini tampak­
nya ia tak hendak dianggap lancang.
Bisa jadi, hal itu karena Wie sendiri memang seolah menarik
diri.
Ia tak ingin orang lain membaca apa yang dirasakannya kini.
Biarlah apa yang ia rasakan saat ini menjadi kegundahan tersendiri.
Wie lupa bahwa kini ia telah memiliki pasangan jiwa yang tak
akan bisa ditipu atau dimanipulasi.
“Kenapa kamu berpikir seperti itu, Ma?”
“Entah, Pa... mungkin ini selintas pikiranku saja. Tapi, ternyata
menggangguku dan membuatku tak tenang. Bahkan, ketika kita
melaksanakan kewajiban kita berdua....” Dalimah menunduk.
Wie terkejut.
“Sampai sedemikiannyakah?”
Kepala Dalimah angguk­angguk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Segera Wie menggenggam tangan istrinya yang tengah berdiri


di hadapannya kini. Tak ingin ia teruskan membahas apa yang te­
ngah bergejolak di sanubari orang terkasihnya itu.
“Maafkan aku, Ma... maafkan. Aku tak pernah berniat menyu­
sahkan hatimu, bahkan pada situasi intim kita berdua,” Wie men­
cium jemari Dalimah.

Renjana (2).indd 153 11/29/2013 10:26:41 AM


154 | anjar

Ia menyesal telah melukai hati istrinya.


Dalimah membalasnya dengan membelai rambut suami terka­
sihnya. Sedikit ia tundukkan kepalanya, lalu dikecupnya mesra
kepala dengan rambut yang masih belum tumbuh dari cukurannya
bulan lalu.
“Aku selalu ingin bisa meringankan bebanmu, Pa, sebagaimana
kamu melakukannya juga untukku.”
Wie memeluk istri tercintanya kencang, dengan tetap dalam
posisi duduk sementara Dalimah berdiri. Dalimah mendekapkan
pelukan suaminya pada sebagian tubuhnya. Semua sensasi rasa
yang hadir di antara mereka dibiarkan secara alami. Sudah lama ia
tak merasakan sensasi rasa itu. Tepatnya sejak apa yang pernah ia
katakan kepada suaminya tadi.
“Sejak kapan kamu merasakan hal itu, Ma?” Wie menarik tu­
buhnya sejenak. Ia tengadahkan kepala memandang Dalimah.
“Mmm... aku tidak tahu pasti. Tapi, sejak Papa dapat proyek
itu. Kukira karena masalah proyek yang sedang Papa pegang. La­
ma­lama kayaknya bukan itu masalahnya deh.... Risaumu bukan
karena pekerjaan,” Dalimah menerangkan perasaannya panjang
lebar.
“Matamu bicara hal lain, Pa.... Tidak memancarkan cinta seba­
gaimana biasa....”
Kini Wie berdiri.
Tubuh yang lebih tinggi dari sang istri itu tiada ragu ia benam­
kan dalam pelukan hangat, kali ini lebih hangat. Ia sama sekali tak
ingin melukai hati Dalimah.
Apa yang dirasakan istrinya itu bukanlah sebuah tebakan atau
http://facebook.com/indonesiapustaka

khayalan.
Memang demikianlah yang terjadi.
Ingin ia utarakan renjana yang ada di antara belukar jiwanya.
Ingin ia nyatakan bahwa ada kenakalan yang sekonyong­konyong
muncul dari pikiran. Ingin ia jujur bahwa sebilah rasa lama ter­
tinggal kini sedang menendang­nendang nyaris sepanjang harinya.
Dan, ingin ia ungkapkan maaf tulus atas semua itu.

Renjana (2).indd 154 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 155

Tapi....
Apakah Dalimah akan menerima pengakuannya?
Apakah hatinya tak semakin terluka?
Apakah Dalimah akan memaafkannya?
Lalu, apakah Wie sendiri pun akan melewati semua dengan
ikhlas dan bahagia tanpa menyisakan sedikit pun rasa?

Bergulir kegelisahan ini tak mau henti


Dari pagi hingga kembali pagi
Tak ada sisa sekadar napas berembus agar gelisah ini sebentar
menghilang
beradu sengit segala resah dan pengertian
sesaat otak menyatakan semua akan baik­baik saja
Tetapi benak bergejolak, beragam cemas bergolak

Bukannya aku tak bisa menerima


Bukannya aku berlebih khawatir tak biasa
tetapi, ini masalah janji yang lebih dari mulut mengucapkannya,
lebih dari kalimat menguraikannya
Kau pun tahu, ada yang lebih dalam berentang dalam renjana

Bisa saja aku salah


mengapa tak mampu redakan resah
Bisa saja aku tak beralasan
mengapa tak membiarkan
hari kembali pada hari
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebab esok akan niscaya lebih baik lagi

Tapi, inilah aku dengan segala rasa yang mengerubungi jiwa raga
mencoba bertahan pada logika dan benak
yang bergantian bicara
Adakah hari ini bisa kuredamkan ”peperangan” ini?

Renjana (2).indd 155 11/29/2013 10:26:41 AM


156 | anjar


FIRDAUS mengirimkan pesan via YM, kebetulan ia melihat Ola
sedang online.

Formosa : andaikata dunia ini bisa saling menghormati, tidak rakus, mung-
kin kelelahanku ini tidak perlu.
CarolinaOla : jangan berharap banyak pada kondisi yang belum pasti lah, Da.
Mulai saja dari dirimu sendiri dulu.
Formosa : tapi kalau orang selalu melihat kepada diri pribadi, sementara
orang lain tidak melakukannya, di mana letak keseimbangan
hidup akan terjadi?
CarolinaOla : keseimbangan hidup itu kan bukan hanya soal hormat-menghor-
mati, hitam putih atau 50:50.
CarolinaOla : menurutku, keseimbangan hidup itu adalah cara kita memandang
orang lain dan membiarkan diri kita menjadi lebih baik karena
kedua belah pihak.
Formosa : ckckckckck mengapa kamu menjadi lebih bijak sekarang, La?
CarolinaOla : ya karena belajar pada keseimbangan hidup itu, Da.. belajar ke-
pada sesama, kepada alam, kepada pengalaman, kepadamu...
Formosa : aku?
Formosa : why me?
CarolinaOla : karena kamu adalah bagian dari orang lain yang menjadikan
hidupku menjadi lebih baik kini
Formosa : wow...
Formosa : andaikata kamu ada di sini, aku ingin sekali langsung membe-
rimu hadiah J
CarolinaOla : berikan aku hadiah kesetiaanmu saja, Da.. itu hadiah terindah
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagiku.
Formosa : well... aku ingin katakan bahwa itu bisa terjadi, tapi dengan
semua kelelahan ini, aku tak terlalu yakin.
CarolinaOla : mengapa?
Formosa : sepuluh tahun aku menjalani hidup sebagai imam ternyata me-
lelahkan jiwa dan raga. Bukan karena aku sering berkeliling ke
banyak tempat, tapi lebih dari itu.... Aku menemukan banyak hal

Renjana (2).indd 156 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 157

yang bertolak belakang dengan apa yang selama ini ada di ke-
pala.
CarolinaOla : hmmm bukannya hidup manusia memang demikian adanya?
Mau hidup di dalam biara atau di luar sana seperti aku tan-
tangannya sama saja kupikir....
Formosa : tapi, setidaknya kalian tidak perlu menjaga martabat dan nama
baik jubah yang kalian kenakan, bisa bebas sekiranya sudah
tidak tahan menghadapi segala rintangan.
CarolinaOla : hei... martabat itu bukan jubahmu, tapi dirimu sendiri seutuhnya,
kalau kamu berpikir seperti itu sama saja kamu palsu pada
panggilanmu.
Formosa : ah Ola... kamu membuat hatiku kian bergemuruh dengan segala
kedewasaanmu kini.
CarolinaOla :J
CarolinaOla : baiklah, kalau begitu mari kita bicarakan yang lain, bukan niatku
untuk membuatmu bergejolak.

Obrolan via Yahoo Messenger yang semula serius itu Ola putar
balik dengan obrolan ringan penuh hiburan. Menjadikan sepan­
jang waktu mereka bisa bersama di dunia maya itu kian tak terasa.

HUJAN menyusuri kota kembali.
Padahal semestinya basahnya sudah terhalang terik matahari
pada musimnya. Ini bukan karena air langit berlebih lalu bisa
seenaknya dibuang ke atas bumi, namun terkira keinginan Sang
Pemberi agar kesuburan bumi terjaga.
Tanah sehabis kering karena kemarau menebarkan aroma yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

khas, hanya ketika sesaat setelah hujan mengguyur. Langkah kaki


yang mungkin sempat inginterdiam saja di dalam rumah, rugi bila
dituruti.
Hhh.... Bahkan napas pun seperti menebar aroma kesegarannya.
Tanah kering dan gerah yang sempat menguasai serasa merungut
bersama air hujan yang meresap ke tanah menuju muara akhirnya.
Kadang tanpa bekas, kadang meninggalkan genangan.

Renjana (2).indd 157 11/29/2013 10:26:41 AM


158 | anjar

Yang merepotkan jika bergenang.


Tidak melulu kendaraan yang harus waspada pada genangan air
yang bisa jadi ada di lokasi­lokasi tak terduga, tetapi juga langkah
manusia yang telah repot dengan perlindungan kepala dari air
yang jatuh dari langit. Salah menepi, sekujur badan akan terkotori.
Demikianlah pada sebuah pilihan anak manusia.
Saat semangat demikian deras mengalir bak air dari cakrawala,
menyuburkan segenap jiwa dan raga, akan menghasilkan sesuatu
yang bisa membuat banyak mata terpana. Namun, jika kemarau
memenuhi penjuru, kekeringan itu serasa menuntaskan waktu.
Tak ada lagi ruang bagi semangat itu kembali. Gerah dan umpat
pada keringat yang mendera daksa memupuskan semua ide yang
demkian menggebu tempo lalu.
Tapi, memang demikianlah harus terjadi.
Ada saatnya segar diguyur hujan, ada saatnya terik disengat
mentari.
Selain langit dan bumi yang setia mengerti, lihat saja pepo­
honan yang perkasa berdiri. Mereka tak pernah berkeluh kesah
sebab gerah atau menggigil. Pijakannya tetap terlihat kuat meski
terkadang dahannya gemulai menari mengikuti musik angin yang
beberapa mengiringi alam bernyanyi.
Namun, bila waktunya dedaunan yang menyelimuti dahan po­
hon­pohon yang terlihat tak lekang oleh kondisi itu berguguran,
maka terjadilah hal itu tanpa ada yang bisa menahannya. Kuasa
alam adalah perputaran yang tiada bisa ditahan oleh siapa pun.
Sekokoh apa pun sebuah pohon, kalau memang saatnya tiba
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk menggugurkan daunnya, maka pohon itu akan melakukan­


nya. Bahkan jika memang harus merelakan ranting­ranting tuanya
patah tertiup angin atau malah sengaja ditebang manusia, pohon
itu pun harus menerimanya. Bukan karena dia tak mampu berbuat
apa­apa, tetapi karena memang demikianlah kehidupan harus ber­
putar demi sebuah keseimbangan dan hukum alam.
Dan, ketika pucuk­pucuk daun mulai muncul kemudian angin

Renjana (2).indd 158 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 159

menyemaikan pucuk­pucuk menghijau itu menjadi daun­daun


baru yang bergerombol sehingga kembali merimbunkan pohon ko­
koh tersebut, niscaya akan memberi pemandangan lain yang tak
kalah indah. Lebih segar mata karenanya. Kegairahan baru dimulai
kembali. Bentuk gugurnya daun atau patahnya ranting bukan
menjadi hal yang dilupa, tetapi menjadi kesatuan utuh, saling me­
lengkapi agar pohon itu tetap berdiri bahkan ketika musim gugur
kembali terulang.
Lalu, tebersit pertanyaan menyeruak, bagaimana bisa pohon
itu bertahan dalam segala kondisi sementara banyak kondisi yang
tidak berkompromi terhadap pohon itu?
Jawabnya, karena pohon itu mempunyai akar yang kuat. Akar
yang menopang dahan pohon dalam kondisi apa pun. Akar yang
menyimpan banyak air ketika musim kering tiba sehingga keta­
hanan hidup pohon pun lama. Akar pulalah yang tetap membuat
pohon itu ada meski sebagian besar batang pohon ditebang. Ke­
cuali jika akar ikut ditebang.
Semua manusia pun sepertinya demikian adanya. Seperti po­
hon itu, punya masa di mana manusia merasa “subur”, penuh
kebahagiaan, kesuksesan, dan kegembiraan, juga punya masa di
mana seseorang merasa “gugur” ketika ada kekecewaan, kesedihan,
dan kegagalan.
Sementara akar kuat penyangga pohon, dalam diri manusia
berwujud apa yang disebut dengan iman. Dengan iman inilah se­
mua pergantian waktu yang terkadang tak pernah terpikirkan se­
belumnya, kita masih tetap bertahan berdiri. Di atas kaki sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 159 11/29/2013 10:26:41 AM


Aku pernah merasakan tatap mata itu
meski cuma sekelejap
Begitu merasuk sukma, bahkan jejak waktu yang ditinggalkan tiada
mampu menyeberangkannya hanya sebagai ingatan belaka

Sesaat hujan turun, tatap itu masih menerawang bulirnya mengalir


satu­satu
tanpa perlu bicara
Mengiring waktu, terus biarkan berdendang pergi, tiada mungkin
kembali

Jika panas menyengat, sorot cokelat mata itu mencoba sedikit menutup
sekadar halaukan silau
lalu berupaya lagi menatapku
lama

Bahkan begitu senja yang selalu kukagumi berganti datang tiap hari
bergeming ia
tak peduli malam menurun kelam
jejaknya meninggalkan rasa, bukan ingatan semata

Dan, kini di antara syair hujan tiada bisa dihalau


Aku mau
Sorot mata itu selalu bersama
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tidak peduli hujan, panas, senja, malam


Atau bahkan ketika ia dan aku harus mengatup
Selamanya….

Renjana (2).indd 160 11/29/2013 10:26:41 AM


7.

MATA Bi Mumun mengerjap­ngerjap seperti sedang bermain ma­


ta.
“Perasaan Bibi teh nggak pernah bohong, Neng.... Biar Neng
bilang nggak mungkin, tapi Bibi bisa lihat dengan mata hati,” ujar­
nya mencoba meyakinkan.
Di luar sana Raka sedang tekun memotong rerumputan dengan
mesin pemotong rumput. Halaman mulai rapi dan tidak berkesan
kumuh lagi.
“Raka itu biar diam, hatinya bicara banyak, Neng...,” lanjut Bi
Mumun.
“Bagaimana Bibi tahu?” Tra penasaran juga.
“Lihat mata cokelatnya.... Bibi mah menangkap kayak ada ca­
haya­cahaya cinta gitu buat Neng....”
Tra menahan tawa.
Entah benar atau tidak apa yang diucapkan Bi Mumun barusan.
Tapi, sejujurnya ada bagian benaknya yang seperti tergelitik senang.
Sekiranya yang diucapkan sang Bibi benar adanya, mengapa ia se­
perti susah mengeja?
“Nggak usah dipikirin, Neng.... Mungkin Neng belum bisa me­
rasakan saja,” ujar Bi Mumun seperti bisa membaca jalan pikiran
Tra. “Bisa jadi karena Raka teh terlalu lempeung39 ya? Kayak nggak
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngasih tanda yang lebih jelas....”


Tra diam saja.
Dulu, dia pernah punya mimpi ingin punya kekasih yang ro­
mantis. Memberikannya banyak puisi selayaknya sang pangeran
beraja tempo lalu.
Apakah tak ada lagi orang semirip pangerannya itu?
39
lurus

Renjana (2).indd 161 11/29/2013 10:26:41 AM


162 | anjar

“Sudah, daripada melamun, antarkan pisang goreng dan kopi


ini buat akangmu.... Dari tadi semangat sekali kerjanya tuh....”
Tra menurut.
Ia membawakan beberapa buah gorengan pisang yang tadi di­
goreng Bi Mumun serta segelas kopi panas. Baunya saja sudah me­
mikat, pasti kalau masuk ke mulut akan menjadi nikmat.
“Kang, minum kopi dan makan gorengan dulu...,” Tra mena­
warkan apa yang dibawanya kepada Raka di hadapannya. Untung
suara mesinnya sedang pelan, kalau tidak pasti tawarannya tadi
tidak akan digubris.
Raka membuka penutup mulutnya. Ia tersenyum, lalu menga­
cungkan ibu jari. Sebentar ia matikan mesinnya lalu mencuci ta­
ngan di kucuran keran dekat situ.
“Nuhun, Neng,” ujarnya mendekat. Tra tersipu. Segera diseru­
putnya kopi panas mengepul seraya melahap pisang goreng yang
juga masih hangat. Kenikmatan ini menyeruak di siang menjelang
petang.
“Halaman jadi rapi ya, Kang.... Seneng lihatnya,” ujar Tra me­
mulai pembicaraan. Sedari tadi mulut mereka saling mengunci.
“Pasti atuh, Neng.... Kerasa segar juga ya?”
Tra angguk­angguk.
Mendadak Raka meletakkan sepotong pisang goreng yang tadi
sedang ia nikmati. Dikebas­kibaskan tangannya lalu segera ditarik­
nya tangan Tra, hendak mengajaknya ke suatu tempat. “Sini deh,
Neng.... Akang mau nunjukin sesuatu....”
Tra tak kuasa menolak. Dituruti saja apa yang akan dilakukan
Raka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sampai lima puluh meter dari tempat mereka duduk tadi, Raka
meminta Tra berjongkok sebentar, seperti yang ia lakukan.
“Coba deh, Neng, cium bau rumput yang baru Akang potong
ini....” Raka mencontohkan.
Ia tarik napas dalam­dalam seolah menghirup udara yang ada di
sekitarnya termasuk bebauan nan menyegarkan. Bebauan itu ber­
asal dari potongan rumput yang belum lama ini terpotong.

Renjana (2).indd 162 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 163

Tra pun mencoba mengikuti apa yang dilakukan Raka.


Hmmm.... Segar sekali. Aroma yang belum pernah Tra rasa.
Meski memotong rumput atau duduk berlama­lama di ham­
paran rumput menghijau bukanlah hal yang aneh, tapi bau segar
seperti ini baru sekarang Tra rasa. Ada sensasi beda yang sungguh
membangkitkan gelora sukma.
Uuuhhh....
Tra berulang kali menghirup aroma nan menyegarkan ini sem­
bari menutup mata. Mencoba lebih menikmati dengan segala su­
kacitanya.
Menenangkan jiwa.
Raka yang berjongkok di sebelah Tra membiarkan.
Matanya saja yang tak berkedip memandangi perempuan me­
narik nan bersahaja ini. Selintas aliran kekaguman itu selayaknya
kesegaran yang ia rasa, mengalun mulai mengencang di lahan luas
sanubarinya.
Lahan luas itu sudah terlalu lama tak tersentuh.
Kosong tak berisi.
Serentak berbondong­bondong pula luapan harapan mencoba
menempati lahan luas nan kosong itu. Seiring mata Tra terbuka
dan bola mata mereka saling bercengkerama di antara ulasan se­
nyuman yang menyampaikan kekaguman dari masing­masing hati.
“Eng, eh­eh... gimana?” Raka mendahului untuk menyudahi
apa yang terjadi. Malu dan rasa lain memaksanya untuk tidak me­
neruskan.
Lain kali, ia masih mau mengagumi. Lebih lama lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Segar, Kang.... Tra suka...,” jawabnya polos.


Sekali lagi mata bening Raka menatap Tra dalam. Entah be­
rapa detik mereka saling berpandangan seolah saling melempar
sinyal tak terucap dari tatapan mata.
Alam di luar tampak mengerti.
Cerah dan mendung, biru tiada kelabu.
“Bau seperti ini banyak di desa, Neng.... Di kota mah jarang,”

Renjana (2).indd 163 11/29/2013 10:26:41 AM


164 | anjar

ujar Raka, sekali lagi mengalihkan apa yang melintas di hatinya


atas keindahan ini.
“Iya, Kang.... Tra juga suka membaui yang kayak gini kalau
pagi­pagi jalan ke bukit dekat rumah....”
“Bener, Tra.... Di rumah Akang yang di kampung juga begitu.
Akang suka rindu bisa menikmati hal itu kembali,” Raka jadi cur­
hat.
Tra mendengarkan saja.
“Cita­citaku, ingin kembali ke desa, hidup bersama istri dan
anak­anakku kelak....”
“Amin, insya Allah Kang....”
Bunyi bel sebentar terdengar di antara mereka. Ada orang
asing lewat atau hendak masuk. Pak Tumi atau Bi Mumun pasti
telah siap membuka pintu dan menyambut sang tamu masuk ke
dalam.
“Jadi, kamu lebih milih mana? Tinggal di kota atau di desa?”
“Mmmm...mmmm....” Tra berpikir dulu, “Kalau mau jujur sih
sebenernya lebih senang tinggal di desa.... Lebih tenang di sana,
Kang....”
Senyum merekah di bibir Raka.
“Mau tinggal di desa bersama suami dan anak­anakmu kelak?”
Kepala Tra mengangguk mantap.
Senyum Raka kian merekah. Semerekah matahari yang sudah
mulai menepi.
Dari bagian sinar mentari yang menepi itu, ada seruas dari ruang
sepi hati Raka seperti tersentuh oleh sinarnya. Melaju bersama
http://facebook.com/indonesiapustaka

semburat jingga ditemani wewangian alam menyemarakkan warna


merah jambu hatinya kini. Baginya jawaban Tra barusan adalah ja­
waban indah yang dapat memastikan bagaimana langkahnya bagi
seterusnya kisah mereka.
Ah.
Adakah alam kini tengah menunjukkan sesuatu baginya?

Renjana (2).indd 164 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 165


TEMPAT ini menyuarakan alam yang sebenarnya.
Masih terdengar derai nyanyi burung nyaring di telinga. Sese­
kali, bayu yang berembus berseru juga di balik nyanyian burung­
burung tadi.
Awan bersih yang berarak di langit membiru dengan semua ke­
segaran alamnya benar­benar membuat Ola bertahan lama di kota
kecil ini. Padahal awalnya cuma untuk urusan bisnis organiknya.
Lama­lama ada kerinduan untuk bisa kembali ke sini.
Apalagi belakangan, Ola bisa bertemu dengan seorang ibu yang
ternyata merindukan kehadiran anaknya. Berhubung sang anak
sibuk dan milik banyak orang, sang ibu merelakan kerinduannya
terbenam di antara lagu alam yang setiap hari pasti berganti.
“Kapan terakhir Firdaus pulang, Bu?” tanya Ola sembari me­
nyeruput teh tubruk bikinan si tuan rumah.
“Sekitar dua tahun lalu kalau ndak salah. Pernah juga mampir
thok. Ndak bisa lama­lama,” jawab sang Ibu di kursi rodanya.
“Wah, sudah lama sekali itu....”
“Yah.... Lha piye tho Nak Ola...,” sang Ibu ikut menyeruput teh
hangatnya.
“Romo Firdaus itu kan sempat pindah ke beberapa tempat. Ada
yang jauh, ada yang jauh sekali...,” senyum ibunda Firdaus berkem­
bang lebih merekah.
“Jadi, belum pernah yang dekat­dekat sini ya, Bu?” Ola ikut
tersenyum mendengar gurauan sang Ibu.
“Hehe... begitulah, Nak.... Romo Firdaus kok yo ndilalah40 dapat
http://facebook.com/indonesiapustaka

tugasnya di tempat yang jauh­jauh terus dari ibunya ini....”


“Tapi, dia masih sering kontak Ibu kan?”
“Masih kok Nak.... Yah, meski nggak selalu, tapi minimal Ibu
tahu kondisinya gimana.”
“Menelepon Ibu maksudnya?”
40
kebetulan

Renjana (2).indd 165 11/29/2013 10:26:41 AM


166 | anjar

Kepala sang Ibunda mengangguk. Ia nyalakan TV dan mencari


channel yang cocok. Sementara Ola mencari­cari alat komunikasi
yang bisa menghubungkan kerinduan ibu­anak ini.
“Lha, telepon Ibu di mana? Dari tadi saya tidak melihat?”
“Oalah, Nak...,” Ibu Firdaus mengibaskan tangannya. Ia men­
dorong kursi rodanya sebentar sembari menyalakan lampu depan,
“Ibu ini cuma orang kampung. Ndak suka dengan barang­barang
mewah kayak gitu. Kalau Romo Firdaus mau menelepon Ibu, bisa
nelepon adiknya atau pakliknya. Rumah mereka kan di sekitar si­
ni... ndak jauh....”
Tidak ada nada kemarahan dalam benak Ola saat sang Ibu me­
nerangkan hal tersebut. Malah ceria dan tanpa beban. Ibu Daus
sepertinya memang lebih senang bila ia bebas dari segala benda
yang menurutnya tidak terlalu memusingkan itu.
Kehidupannya pun ayem tentrem41.
Jauh dari gangguan kesibukan bak orang kota kebanyakan.
Tak aneh, di rumah ini Ola sangat merasakan aura kedamaian
itu. Kedamaian dan ketulusan dari seorang ibu tua yang kini hidup
sendiri dengan kondisi harus menggunakan kursi roda. Meski ada
Mbak Yayuk, istri dari adik Daus yang tiap saat bisa datang ke ru­
mah ini, ibu kandung Romo Firdaus ini tidak terlihat terbebani
harus melakukan semuanya sendiri.
Aaahhh.... Ola jadi ingat mamanya.
Kekuatan cintalah yang membawa dua ibu luar biasa ini bisa
bertahan. Meski mama Ola akhirnya harus kembali kepada Yang
Memberi Hidup, toh tetap saja sekian waktu ia telah berjuang
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk bertahan pada semua kondisi yang tak menyenangkan.


“Ibu nggak pengen nengokin Romo Daus di Bandung?” tanya
Ola melanjutkan obrolan.
“Romo Daus itu, dari zaman frater, Ibu tahu sangat sibuk. Un­
tung waktu bapaknya meninggal dia sempet nungguin karena dia
41
damai dan tenteram

Renjana (2).indd 166 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 167

memang sengaja cuti untuk menunggui bapaknya yang waktu itu


lagi sakit parah....”
“Ya dimaklumi deh, Nak. Firdaus itu kan termasuk romo muda,
tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan di mana­mana. Mum­
pung masih bisa. Anaknya sendiri juga mau kok. Jadi, ya sebagai
orangtua, Ibu mendukung dan mendoakan saja dari jauh,” lan­
jutnya sambil menawarkan sebuah makanan kecil dalam stoples
yang ada di dekat meja TV. Ola menerima dan menikmati pengan­
an itu sebentar.
Sekali lagi Ola tersenyum. Bahagianya punya seorang ibu yang
demikian mengasihi dengan tulus tanpa pamrih, bahkan selalu
mendukung apa pun yang terjadi meski itu berarti membuat me­
reka harus terpisah sekian waktu. Dalam doa dan kerinduan yang
dihubungkan oleh semesta, ikatan batin antara ibu dan anak ini
tak akan pupus hingga kapan jua.
“Nak Ola sendiri, sering bertemu Romo Firdaus?” tanya Ibu
Daus.
“Waaa, Bu.... Meski sama­sama di Bandung, nyaris setelah
hampir sepuluh tahun, saya baru bisa bertemu lagi dengan Romo
sekitar beberapa bulan lalu....”
“Lha kok...?” Ibu Firdaus takjub.
Ola membantu mendorong kursi roda sang Ibu yang tampaknya
hendak menuju ke teras rumahnya, memandangi halaman yang
cukup lebar dengan segala macam tanaman. Rumah yang berbatas­
an dengan jalanan desa itu bukanlah rumah yang asing bagi para
penduduk di sini. Pemiliknya sudah dikenal oleh seluruh masyara­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kat sekitar.
Terbukti, beberapa kali ibu Daus disapa ramah oleh tetangga
yang melintas. Dari anak kecil hingga orang tua.
Tentu saja dengan bahasa Jawa.
Ola hanya bisa membantu membalas sapa itu dengan senyuman,
daripada salah arti atau bahkan tak bisa mengucap balik dengan
bahasa yang sama santunnya.

Renjana (2).indd 167 11/29/2013 10:26:41 AM


168 | anjar

“Hampir tujuh tahun ini kan saya nggak tinggal terus di Ban­
dung, Bu.... Sempat tinggal di luar negeri. Baru sekitar tiga tahun
terakhir, setelah Mama meninggal, saya memutuskan untuk kem­
bali menetap di Bandung. Menemani Papa.”
“Ooohhh..., gitu ya, Nak....” Sang Ibu anggut­anggut. “Ibu
menyesal ini, sampe ndak tahu kalau mama Nak Ola meninggal.
Padahal dulu kan sama­sama aktif di gereja....”
“Nggak apa­apa, Bu.... Saya juga nggak sempat mendengar
kabar Bapak sakit dan meninggal. Baru kemarin ketika bertemu
Romo Daus, saya mendengar ceritanya.” Ola duduk di pinggiran
teras, menghadap ke ibu kandung Firdaus.
“Ndak pa­pa, Nak..,” Ibu Daus menepuk paha Ola pelan, “Kita
sama­sama mengirim doa kepada orang yang kita kasihi itu ya,
Nak....”
Kepala Ola angguk­angguk.
Sungguh. Ia menemukan kedamaian dan kasih tulus selayaknya
sang Mama tercinta.
Ma..., aku tak menyesal bisa bertukar cakap dengan ibunda
Firdaus ini. Berbicara dengannya, seperti berbicara denganmu....
Apakah kau juga mendengar dan melihat kami asyik bincang be­
gini? Ola membatin sendiri sembari terus meneruskan hari bersa­
ma ibu Daus dan suasana yang menyejukkan jiwa raga.


aku memang bukan penguasa langit
aku juga tidak ingin terbang, merentang sayap
http://facebook.com/indonesiapustaka

tapi, aku sudah tahu di mana benda langit itu berkuasa,


meletakkan takhta atau bahkan bermesra
mungkin itu karena aku sudah lebih dahulu terjaga
saat tuan mentari belum sepenuhnya tersenyum di ufuk
atau sang senja hendak berpamit kepada siang
lalu...

Renjana (2).indd 168 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 169

jika kau ingin melintas dengan separuh sayap


atau bertandang ke langit dengan tangga
hati­hati...
angin yang belum kau kuasai arahnya
bisa membuatmu jatuh, terluka dan hilang...

maka... biarkanlah menunggu alam menuntunmu


dan, izinkan aku sekadar membisikkan puisi
agar asamu tak musnah meregang....

BERSUARA kelam di antara malam yang melintaskan berita bu­
lan seperempat di langit.
Tiada bintang atau cahaya lain selain intipan seperempat can­
dra.
Di bawahnya, makhluk Bumi masih banyak yang tengah men­
derapkan kaki, entah untuk menyelesaikan tugasnya sendiri, men­
cari pengenyang perut atau haus dahaga, menyempatkan kesem­
patan dalam detik nan sempit, atau bahkan tiada alasan mengapa
mereka masih terjaga.
Adalah tugas seperempat candra agar mereka semua tak merasa
sendiri.
Apalagi kemudian mengatasnamakan hal itu untuk membe­
narkan sebentuk keadaan. Mestinya tidak boleh, tak baik adanya.
Namun, demikianlah yang terasa dan dibaca semesta pada sa­
nubari empat manusia yang memiliki pilihan sadarnya sendiri.
Daksa Wie, Ola, Daus, dan Tra memang terlihat selalu ber­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sukacita, riang gembira, bahkan mungkin seolah jauh dari lara.


Namun, di sudut benak terdalam, sempilan sepi itu seperti meng­
gerogoti.
Awalnya tidak terasa.
Apalagi dentingan alam dunia dengan hiruk pikuknya terka­
dang bisa menjadikan sunyi tertutup meski hanya sementara. Otak
pun diajak untuk tidak terlalu menggubris yang ada.

Renjana (2).indd 169 11/29/2013 10:26:41 AM


170 | anjar

Akan tetapi... siapa nyana jika justru hal itu akan menjadi tum­
pukan rasa.
Wie yang terjebak dengan cinta masa lampau, Ola yang tak da­
pat mengeluarkan persediaan kata atas hidup masa kininya, Daus
dalam hitam putih pilihan jiwanya, dan Tra terbentur antara imaji
dan realitas.
Semua bercampur jadi satu. Membentuk gumpalan awan yang
ketika malam tak dapat disembunyikan kelamnya.
Bahkan di saat empat pasang mata itu memandang langit yang
sama, tak mampu terdengar bisikan langit yang diujarkan angin
semilir. Padahal bisikan itu dapat melenakan mimpi agar sedikit
teratasi lelah hati dan beban jiwa yang hendak melemparkan se­
muanya sejauh yang mungkin bisa.
Alhasil, tergugulah empat jiwa pada putaran waktu yang tak
mungkin menunggu satu­satu agar mereka bisa terbebas, tiada ra­
gu...


“JADI kamu baru dari menemui ibu Daus?” komentar Wylie sesaat
matanya saling pandang dan tangannya bertukar salam dengan
Ola di Kafe Ngopi Dulu ini.
“Bukan acara khusus sih. Kebetulan saja bisnisku ada di sana.
Jadi, sekalian mampir deh....”
“Wah, kok kamu jadi merambah ke dunia organik, La? Apa ada
sesuatu yang lebih menarik di sana?”
“Tidak juga,” Ola menyerahkan menu yang tadi sempat ia li­
http://facebook.com/indonesiapustaka

hat­lihat, “Kebetulan dari prospek bisnis menjanjikan. Tapi, lebih


jauh dari itu, aku ingin membiarkan diriku kembali kepada alam
yang kupercayai telah membuatku menjadi lebih baik.”
“Well... bijak sekali kamu kali ini. Apa alam juga yang mem­
buatmu demikian?”
Ola tak menyembunyikan senyumnya. Ia melepas senyumnya
itu dengan perasaan bahagia.

Renjana (2).indd 170 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 171

“Begitulah kira­kira.... Di tempat bisnis organikku berada, aku


menemukan banyak kebijaksanaan berada.”
“Eh, tapi bukannya makan sayuran organik itu justru lebih ma­
hal? Bertolak belakang dong dengan propagandanya agar hidup
sehat. Sehat di badan, nggak sehat di pikiran karena harus banyak
duit keluar supaya kebeli. Haha....” Wie yang berubah serius malah
menjadikan kalimatnya menjadi guyonan.
“Makanya itu, aku sedang berusaha supaya ada keseimbangan
di sana...,” Ola tak perlu merasa marah atas kalimat yang dilon­
tarkan sahabatnya itu, “Bagaimana cara hidup sehat itu bisa lebih
merakyat dengan harga yang pas di kantong dan para petani pun
tertolong.”
Wylie menggeleng­gelengkan kepalanya. “Ckckck... nggak tahu
aku apa yang membuatmu menjadi lebih humanis begini, La....”
Tangan Ola menunjuk ke atas, hendak menunjuk ke penjuru
alam semesta. “Mereka yang menyadarkanku lewat orang­orang di
sekitarku. Termasuk, kamu....”
“Aku?” Wylie menunjuk dirinya sendiri.
“Ya, kamu. Teman lamaku,” Ola menopangkan tangan ke
dagunya. “Kamu pikir kita bertemu lagi setelah sekian lama tanpa
maksud?”
Wylie memainkan dua bola matanya, seolah berpikir.
Tak lama ia menaikkan kedua bahunya.
“Percaya deh, tidak ada yang kebetulan semata. Pasti ada mak­
sud di balik pertemuan kita ini....”
“Termasuk, pertemuanmu dengan Firdaus?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Kenapa tidak?” Sinar mata Ola berbinar begitu nama Firdaus


disebut. Sebentar ia membiarkan pelayan meletakkan makanan
dan minuman yang tadi mereka pesan.
Dalam kenyamanan kafe yang sudah tidak asing lagi bagi pe­
nikmat kopi dan kongko bersama teman­teman ini, keduanya
mencoba turut pula larut ke dalam situasi yang ada. Samar musik
yang terdengar menambah syahdu.

Renjana (2).indd 171 11/29/2013 10:26:41 AM


172 | anjar

Di luar sana, buaian alam juga tak mau kalah.


Angin yang mengembuskan suara dan tariannya mengajak de­
daunan pohon berdansa, turut menari.
Memang indah bila tertangkap mata. Apalagi kemudian mera­
suki sukma hingga pada kedalamannya.
Aha. Sekonyong­konyong sukma Wie menghantarkan ingatan­
nya pada sebuah tempat dan kejadian. Di tempat itu, ada demikian
banyak pepohonan dan bunyi pericit bersahutan.
Di antara banyak tempat buat sekadar meringankan resah dan
rasa, ada satu bangku yang Wie ingat betul menjadi saksi atas
kegundahannya saat itu. Bangku dari besi lebar, antarbesinya se­
dikit menyempit. Di situ tanpa sengaja tangannya menemukan
selembar kertas kecil bertuliskan selarik puisi.
Wie merogoh BB­nya.
Dalam salah satu ile, ia sempat sengaja mengarsip kalimat in­
dah yang ia temukan di sana.

Menelusuri segala cerita


adalah kegirangan
Mengenang tatap mata pertama
adalah luar biasa
Membiarkan hati dengan hujan cinta
adalah indah
Lalu...
membiarkan rindu
hanyut dalam khayal pelukan
adalah kedamaian
Membalut duka
http://facebook.com/indonesiapustaka

dalam doa dan semangat


adalah ketenangan
Dan, jika boleh
kembali bersama
dengan laki-laki gagah itu
di sini,
adalah bahagia tak terkata

Renjana (2).indd 172 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 173

... Karena kau adalah hadiah


Karena kau adalah anugerah...

(aku akan kembali mendudukimu...)

-just Laksmi-

“Pasti sedang membaca sesuatu yang membawa anganmu pergi


ya?” tebak Ola tatkala memperhatikan lawan bicaranya dari tadi
yang kini sedang senyum­senyum sendiri.
“Baca ini deh...,” Wylie menunjukkan apa yang barusan ia ba­
ca.
Mata kucing Ola segera melirik deretan kalimat yang ditunjuk­
kan Wie.
Dari raut wajahnya, Ola tak bisa memungkiri bahwa larik kali­
mat itu adalah larik yang indah.
Layak saja jika Wie masih menyimpannya hingga kini.
“Hmm.... Dari Laksmi lagi,” gumamnya berkomentar.
“Yes.” Wie membenarkan. “Tidak ada yang kebetulan di dunia
ini. Semua ada maksudnya. Maka, mengenang Laksmi adalah ba­
gian dari itu. Entah mengapa, ada keyakinan dalam batinku bahwa
kelak aku akan berjumpa lagi dengan bidadariku itu.”
“Hmmm....” Ola memandangi konco lawasnya itu, seolah men­
cari kepastian dari bola matanya.
“Apakah hanya karena Laksmi pandai berpuisi, kamu jadi se­
perti tak bisa melepas bayang masa lalumu, Wie?”
Wie tak jadi meneruskan menyeruput kopi hitam khas dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

kafe ini.
Seperti ada yang menonjok bagian benaknya yang terdalam.
“Puisi itu hanya media, La.... Ada yang lebih dalam dari itu.”
“Apa?”
Wylie terdiam sejenak. Ia coba menerjemahkan serentetan ja­
waban yang masih dianggap kusut hingga tak mampu diucapkan
oleh bibirnya. Bisa­bisa Ola nanti salah paham.

Renjana (2).indd 173 11/29/2013 10:26:41 AM


174 | anjar

“Dari semua puisi yang diberikan Laksmi padaku, kesemuanya


seperti menghangatkan kebekuan hatiku selama ini. Kamu ta­
hulah... betapa saat itu hidupku hanya kerja dan kerja. Seruan
diri untuk sekadar melengkapi bagian yang masih tersembunyi,
tak kupedulikan. Yah..., kalau dulu aku mengagumimu, itu hanya
sebatas kekaguman seorang laki­laki kepada perempuan sempurna,
sepertimu. Tidak lebih. Tidak kumasukkan ke dalam hati.”
Ola mengaduk teh hangatnya.
Telinganya tetap ia gantung baik­baik agar tetap mendengar
apa yang diucapkan oleh teman lamanya ini.
“Hati dan pikiranku seperti dibawa oleh tulisannya itu untuk
lebih melek dan mengerti situasi yang terjadi. Nggak cuma mem­
pedulikan diri sendiri,” lanjut Wie. “Yah... memang sih awalnya
aku sebel banget. E­mail tanpa kuketahui siapa pengirimnya itu
kan bisa dibilang surat kaleng. Tak dapat kueja sedikit pun siapa
dia. Kalau tidak karena tanpa sengaja aku tanya ke resepsionismu
dulu, mungkin aku tak pernah tahu siapa Laksmi sebenarnya.”
“Meski sekarang sudah ada Dalimah dan dua anakmu?”
“Karena Laksmi­lah aku mau membuka hati untuk Dalimah,
La....”
“Hmmm....”
Enak sekali menyeruput teh hangat di hari ini.
Kehangatannya terasa mengalir dari tenggorokan, terus melaju
sampai ke perut. Menghangatkan sekujur tubuh.
“Seandainya aku bisa menemukan Tra Laksmi­mu, apa yang
akan kamu lakukan padanya?” tanya Ola tiba­tiba.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Pastinya aku akan meminta maaf....”


“Minta maaf? Untuk apa?”
“Karena membiarkan ketulusannnya dibawa debu dan angin
sehingga tak dapat kusambut dengan selayaknya....”
“Setelah itu?”
Wie mengangkat bahunya. “Aku nggak berani bilang apa­apa
dulu, La..., yang jelas aku nggak bisa membohongi diriku sendiri

Renjana (2).indd 174 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 175

lebih lama. Kasihan istriku. Dia sudah melihat keganjilan atas rasa
hatiku yang masih terbawa hingga kini....”
“Hmmm....”
Ola mencoba menenangkan diri terlebih dahulu. Ingin rasanya
segera ia katakan bahwa dirinya telah menemukan Tra Laksmi
yang sejak tadi mereka ceritakan.
Ingin rasanya ia mengajak Wylie ke sebuah tempat di mana
sahabatnya itu bisa menuntaskan rasa penasarannya selama ini.
Tapi, Ola menahan keinginan itu.
Bagaimanapun, tak baik jika terburu­buru atau menjadikannya
buru­buru. Ia ingin kelak semua menjadi lebih baik dan indah
adanya....
“Emang kamu bisa menemukan putri hatiku itu, La?” pertanyaan
Wie itu selayaknya orang meragu, tapi penuh harap juga.
“Seperti yang kukatakan padamu tadi.... Tidak ada yang kebe­
tulan terjadi. Kalau kamu percaya untuk sebuah kebaikan, semua
bisa terjadi....”
Serentak pandangan Wie ia buang ke langit.
Cerah birunya masih nyata di sana.
Lalu, tak ragu lagi ia sebutkan sebuah nama agar tersangkut di
salah satu iringan awan putih yang menyertai alunan birunya.
Semoga kelak mereka akan mempertemukan kembali berajanya.


DI HADAPAN Daus dan Romo Damian, duduk seorang laki­laki
paruh baya yang sedang bercerita panjang lebar. Awalnya memang
http://facebook.com/indonesiapustaka

hanya Daus yang menemani bapak itu bercerita, tapi sehabis Daus
masuk mengambil minuman, Romo Damian ikut menemani Daus
menemui bapak itu kembali.
“Keluarga saya itu ada tujuh, Romo.... Semuanya masih kecil­
kecil. Yang paling besar saja usianya baru lima belas tahun,” cerita
bapak itu lagi.
“Lho, waktu kemarin Bapak ke sini katanya butuh dana untuk

Renjana (2).indd 175 11/29/2013 10:26:41 AM


176 | anjar

anak Bapak yang mau masuk kuliah, yang mana itu?” terjang Ro­
mo Damian dengan gaya khasnya.
“Eh­oh­eh itu keponakan saya, Romo.... Iya­iya....” Bapak itu
berusaha meyakinkan.
“Hmm....” Romo Daus mengernyitkan keningnya. Ia berusaha
mencari kejujuran dari ucapan bapak di hadapannya itu.
“Anak saya yang paling kecil sakit­sakitan dari masih bayi.
Mungkin karena dari lahir belum diimunisasi sama ibunya. Kami
nggak punya duit untuk melakukannya....”
“Berapa usianya, Pak?” kali ini Daus yang bertanya.
“Baru enam bulan.”
“Itu kan masih balita, Pak.... Katanya tadi sejak bayi, jadi mes­
tinya sudah lebih besar dikit dong, Pak....” Daus mencermati apa
yang dikatakan bapak itu. Memang dari awal ada sedikit keganjal­
an, tapi tidak ia gubris.
Bapak paruh baya itu terlihat gelisah resah. Duduknya sudah
mulai tak tenang lagi. Padahal sebelumnya ia terlihat lebih per­
caya diri. Apalagi sesaat Daus yang membukakan pintu biara kare­
na bunyi bel yang ditekan bapak itu. Si Bapak dengan lancarnya
bercerita bahwa ia mengenal almarhum Romo Kusumo sejak ia
masih bersekolah. Saat Romo Kusumo meninggal, ia pun mengan­
tarkannya ke pemakaman.
Kalau dilihat dari usianya, sepertinya aneh kalau bapak ini me­
ngenal Romo Kusumo sejak ia sekolah. Romo Kusumo ada di luar
negeri lama, di paroki lain juga lama. Di biara ini baru sepuluh
tahun sebelum akhirnya dipindah ke biara induk dan meninggal di
http://facebook.com/indonesiapustaka

sana, pikir Romo Daus, curiga.


Semula ia hendak memberikan sejumlah uang yang katanya
dibutuhkan untuk anaknya itu. Tapi, Daus berpikir ulang. Uang
yang ia siapkan, urung diberikan.
“Bapak tinggalnya di mana tadi?” tanya Daus lagi.
“Di Sukajadi, deket Arcamanik.”
Tanpa sengaja Daus memandang Romo Damian yang rupanya

Renjana (2).indd 176 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 177

juga menangkap hal yang sama. Tampak ada keyakinan di mata


mereka masing­masing akan apa yang harus diperbuat.
Bukankah yang disebutkan bapak itu adalah dua daerah yang
berbeda?
Tak lama, Romo Damian mengeluarkan dompetnya.
“Begini saja, Pak.... Kami ini para romo sehingga tidak punya
banyak duit,” Romo Damian mengeluarkan selembar uang dari
dompetnya sembari menunjukkan kepada si Bapak, “Di dompet
ini tinggal dua puluh lima ribu rupiah. Nih, silakan Bapak lihat
saja....”
Bapak itu tampak angguk­angguk melihat isi dompet Romo
Damian.
“Duit ini buat Bapak saja. Untuk ongkos pulang dan makan
siang. Maaf, kami tidak bisa membantu banyak. Kalau Bapak mau,
silakan ke bagian sosial paroki Bapak. Pasti dibantu....” Romo Da­
mian menyodorkan sejumlah uang. Bapak itu tampak ragu­ragu.
Tapi, Romo Damian tampak sedikit memaksa.
Akhirnya, bapak itu menerimanya.
Ia sedikit tersipu meski terlintas sedikit kecewa di wajahnya
sebab tidak menerima seperti apa yang ia mau.
“Sekarang silakan Bapak kembali ke keluarga. Kami sedang ada
tugas di dalam,” ujar Romo Damian lagi. Ia membukakan pintu
yang langsung menghadap ke luar. Bapak itu mengerti. Ia segera
bangkit dan pamit pulang.
“Beranian euy kamu teh,” puji Daus, begitu si Bapak sudah ke­
luar halaman.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Harus begitu.... Meski kita selalu ingin berniat baik pada se­
mua orang, tapi kita juga harus tahu batasannya. Kalau nggak,
jangan­jangan malah kita yang dikerjain terus....”
Benar juga ucapan Romo satu ini, pikir Daus. Apalagi boleh
dibilang Daus belum terlalu banyak tahu seluk­beluk masyarakat
sekitar sini. Meski ia sudah lebih dari dua tahun bertugas di biara
ini, belum cukuplah ia mengetahui banyak hal.

Renjana (2).indd 177 11/29/2013 10:26:41 AM


178 | anjar

Di kepalanya hanya ingin membantu semampu ia bisa. Na­


mun, saat tertentu kemanusiaannya pun mengingatkan siapa ia
sebenarnya.
Bukan Sinterklas. Bukan pula Superman.
Daus sama dengan yang lain. Manusia biasa. Tak luput dari se­
gala buruk dan baiknya. Tak lebih pula dari yang lain.
Jika ia terlihat berbeda, itu karena jubah yang ia kenakan ada­
lah jaminan pada panggilan hidupnya yang tak biasa. Sisanya,
sama saja....
Menjalani hidup sekian waktu itulah, dengan gejolak yang ter­
kadang mulus seperti jalan tol kadang memang membosankan. Tak
aneh jika sering kali manusia membutuhkan tantangan baru agar
yang membosankan itu bisa kembali berubah menjadi semangat
untuk melakukannya.
Namun, bagaimana bila bahkan ketika musim berganti pun
hidup dirasa penuh gejolak tiada berkesudahan, bahkan ketika
hendak dihentikan?
Bagai melihat bumi yang terus dihujani rinai air dari langit tiada
henti, kapankah manusia boleh sejenak bebas leluasa melakukan
tugasnya tanpa takut kebasahan atau kedinginan?
Atau ketika kemarau menyertakan sumpah serapah pada keri­
ngat jika kulit tersengat, inginnya terik yang memancar janganlah
terlalu lama memamerkan kegagahannya.
Banyak manusia ingin bergerak tanpa ketakutan kepanasan
atau kedinginan.
Demikianlah yang dirasa Firdaus.
Hitungan tahun bukan cuma nominal satuan, tetapi akan ma­
http://facebook.com/indonesiapustaka

suk puluhan, ia jalani sebagai imam. Gejolak yang semula telah ia


yakini sebagai risiko, nyatanya lebih dari perkiraannya.
Awal mengenakan jubah sebagai seorang imam, ia telah diper­
caya ke luar daerah untuk berkarya di sana. Pedalaman yang jauh
dari apa pun dan siapa pun menantang darah muda romo yang
baru ditahbiskan ini. Dua tahun adalah tantangan yang berhasil
ia taklukkan.

Renjana (2).indd 178 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 179

Sehabis itu, meski bukan di pedalaman, ia tetap mendapat


tugas tidak di tengah hiruk pikuk kota besar. Kepiawaiannya di­
percaya untuk mengemban tugas mulia di daerah kecil yang me­
mudahkan. Daus bersyukur untuk itu.
Baru di tahun kedelapan ia menguatkan janjinya kepada Tuhan,
jiwa raga yang selalu menjadi penyerta segala pelayanannya, ia
persembahkan di sebuah rumah biara kota. Di sinilah ia baru rasa,
gejolak yang selama ini terpendam untuk menaklukkan tantang­
an, membuncah. Sebentar lagi akan keluar, rasanya susah untuk
ditahan lagi.
Sisa idealismenya sebagai gembala Tuhan yang ingin membawa
banyak domba dalam kesejahteraan jiwa dan raga, berbenturan de­
ngan semua kenyataan hidup. Kian banyak kenyataan yang mem­
buat senyumnya semakin lebar, banyak juga yang justru meng­
urungkan senyumnya itu. Menjadi serba salah.
Kenyataan­kenyataan yang silih berganti itu bukan saja berasal
di luar lingkungannya, namun di dalam lingkungan sendiri. Pi­
kiran selama ini tinggal bersama orang­orang semisi­visi bukan
berarti menjadikan hidup tenang dan damai karena di dalamnya
ternyata ada intrik­intrik lain. Persaingan hidup sering kali tak
dapat ditutupi. Di kala hanya keinginan daging yang didahulukan
maka persaingan itu akan merugikan bahkan menyakitkan meski
mungkin tidak terendus hingga keluar.
Semua ini menumpuk membebani jiwa.
Walau raga Daus masih terlihat gagah, tak ada yang mengerti
bahwa jauh di benaknya kian meringis, tiada kuat menghadapi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pijakan kakinya seolah kini hanya satu berdiri. Bila saatnya tiba,
ia bisa jatuh dan tak dapat berbuat apa­apa.
“Romo Daus, anak Ibu yang Ibu dan Bapak sayangi… Baik
kamu memilih menjadi awam atau selibat, punya resiko masing­
masing. Urip kuwi mung mampir ngombe42,” nasihat Ibunda tatkala
42
Ungkapan Jawa = Hidup manusia itu ibarat istirahat sejenak untuk meminum air

Renjana (2).indd 179 11/29/2013 10:26:41 AM


180 | anjar

Daus sempat bercerita tentang kehidupannya selama ini, sembari


menjaga bapaknya yang waktu itu sedang sakit keras.
“Bapak pernah bilang sama Ibu, kebanggaannya terbesar itu
waktu lihat kamu ditahbiskan jadi romo. Tapi, beliau juga pernah
bilang kebanggaannya akan lebih berharga lagi kalau kamu mampu
menahan emosi diri selama menekuni panggilanmu…,” lanjut
sang Bunda, “Lihat bapakmu… biar sebenarnya raganya sudah
lelah, dokter juga nyaris menyerah, tapi jiwanya masih penuh se­
mangat berjuang melawan segala penyakitnya. Ibu kok percaya,
kalaupun pada akhirnya Bapak harus pergi, itu bukan karena kita
atau Bapak yang menyerah atau malah minta. Tapi, karena Gusti
Allah saja yang berkehendak.”
Kalimat terakhir itu seperti menyepak hati Daus sesaat.
Di kepalanya tergambar jelas perjuangan Bapak ketika dulu
melawan penyakitnya, juga bagaimana Ibu dengan setia mendam­
pingi. Daus sungguh merasa bangga sekaligus terharu saat melihat
kedua orangtuanya mampu bertahan hingga terkatung­katung. Ti­
dak ada penyesalan ia memiliki orangtua seperti orangtuanya. Se­
muanya dijalani dan diyakini bahwa ada tangan Tuhan menyertai.
Begitu pula ketika Daus melihat sendiri saat Romo Bertus sa­
kit keras hingga ajal menjemput. Tak tampak kemurungan atau
terucap sepatah kata pun untuk menyerah menghadapi semua.
Bahkan beliau selalu mengucapkan, “Terima kasih, tidak usah
repot­repot,” setiap kali ada yang hendak menawarkan bantuan
bagi penyembuhannya. Kepasrahannya kepada Sang Maha justru
menguatkan beliau dalam menghadapi penyakitnya. Hingga ketika
kembali, ia sertakan kesetiaan panggilannya itu bersama raga dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

jiwa kepada Sang Pemberi.


Lalu mengapa sukma Daus terkadang terbelit dengan keinginan
raga yang kadang sudah ingin menyerah? Ketenangan serta kesu­
cian perjalanan hidup yang sempat ia harap dapat didapat pada
pilihan hidupnya ini nyatanya tak semulus yang dibayangkan
terjangnya jalan serta semak belukar yang sudah terlalu dalam ia
ketahui, membiarkan spiritnya untuk terus berjalan di jalan ini.

Renjana (2).indd 180 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 181

Mata Daus menatap detik jam dinding kamarnya.


Adakah detik berikutnya akan ia lalui dalam semangat hidup
tanpa arti?

YM Firdaus kepada Ola


Formosa : apakah kamu masih mencintaiku, Ola?
CarolinaOla : cintaku padamu tak akan lekang oleh waktu, Daus
CarolinaOla : meski kini berbentuk lain.
Formosa : berbentuk apa itu?
CarolinaOla : berbentuk semangat dan persahabatan tulus untuk kaul kemur-
nianmu...
Formosa : oh Ola.... Tidakkah kau tahu, apa yang kau katakan itu kian me-
resahkan hatiku?
Formosa : tidakkah kau tahu sejak kau nyatakan rasa sayangmu padaku
waktu lalu, hingga kini pipi kananku pun masih terasa hangat
ciumanmu itu?
CarolinaOla : J terimakasih, Romo Firdaus, anggaplah itu sebagai ungkapan
cinta tulusku padamu, aku pastikan akan selalu kujaga apa yang
kuberi itu padamu.
Formosa : tapi kini aku merana, Ola... merana dengan kebosanan dan keti-
dakyakinan akan jalan panggilan hidupku ini
Formosa : aku merasa membutuhkanmu dalam hidupku, hidupku seutuh-
nya sebagai manusia, tidak terhalang apa pun termasuk pang-
gilanku ini.

Ola tidak langsung membalas.


http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia tengah berpikir, apa maksud dari tulisan Daus barusan.


Tersirat keputusasaan yang sangat. Tapi, pembicaraan tersebut
mestinya tidak perlu menjurus ke arah urusan pribadi begini. Ola
merasa ada yang sudah melenceng dari kepala Daus.
Tak ingin ia menjadikan itu sebagai alasan Daus untuk menyu­
burkan kelelahannya menghadapi semua sebagai alasan keputus­
asaannya.

Renjana (2).indd 181 11/29/2013 10:26:41 AM


182 | anjar

CarolinaOla : tariklah napas dulu, Da... biarkan kesegaran udara sekitarmu


memberi penguatan baru buatmu.
Formosa kepalaku sudah penuh dengan tumpukan tanya tak berjawab,
La... sementara dalam pelayananku aku harus berusaha men-
jawab pertanyaan yang mungkin menjadi pertanyaan umatku...
dan itu melelahkan.
CarolinaOla : haruskah?
Formosa : sejauh ini begitu L
CarolinaOla : Daus... aku bukan guru yang mampu memberimu ilmu untuk
menjawab kegundahanmu.
CarolinaOla : aku juga bukan orang bijak yang bisa menuliskan kalimat pe-
nguat dan penyegar jiwamu.
CarolinaOla : aku juga bukan alim ulama yang bisa mengutip ayat Alkitab yang
pas dengan semua rasamu, sekadar menguatkannya.
CarolinaOla : yang kupunya hanya kata SEMANGAT dan membiarkan resah-
mu tertumpah, ruah...

Ganti Daus yang terdiam sejenak. Gejolak di dada mendadak


diam berganti sebentuk senyum panjang.
Ia tenang meski ada satu tempat di hatinya seperti sedang ber­
diri dan menyuarakan pelan, aku jatuh cinta padamu, Ola....


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 182 11/29/2013 10:26:41 AM


Apa kabar, kekasih?
Bulan penuh semalam merembeskan namamu di antara panjang
malam mengiring
Tak terbayangkan sebelumnya, purnama itu memberi senyum tak
berkesudahan
seperti ingin sampaikan,
masih tersimpan hatiku untuk satu hari
memandang penuh purnama kembali
dalam satu untaian kasih tak terpisahkan
Bahkan meski bulan berganti sabit
Atau matahari melepas malam

(07.59, 16 Oktober 2004)


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 183 11/29/2013 10:26:41 AM


8.

MATA Ola berbinar senang begitu pintu ia buka.


“Oh, God... Daru?”
Yang ditebak tersenyum lebar.
Tanpa disuruh, keduanya pun saling berpelukan. Ada banyak
rindu tertumpah di sana.
Laki­laki yang kini berpenampilan sedikit feminin itu melihat
Ola dengan mata berbinar, “Ih, kamu nggak berubah juga bo....
Masih ayu, cantik, dan... selalu fresh....”
Ola tersenyum. “Thanks, Ru.... Mmm... kayaknya kamu yang
sedikit berubah,” Ola menuntun teman lamanya itu untuk masuk
ke dalam.
“Iya nih.... Setelah nggak kerja lagi di tempat kita dulu, aku
malah makin menemukan siapa diriku. Ya begini ini....” Daru
memperagakan dirinya selayaknya seorang model, bikin senyum
Ola tak habis melihat tingkah lakunya kawannya itu.
“Eh betewe43... kamu tahu alamatku dari mana?” Ola baru me­
nyadari.
“Ah gampang itu,” Daru mengibaskan tangannya. Luwes. “Ma­
sih inget Elika, sekretarismu dulu kan?”
Kepala Ola mengangguk.
“Dia sekarang kerja di sebuah EO di Jakarta. Sering ketemu
http://facebook.com/indonesiapustaka

eike... Trus kita cerita­cerita, trus tanya deh alamatmu di mana.


Untung dia nyatet. Tapi... dengan catatan, kalau kamu belum pin­
dah....”
Ola angguk­angguk lagi.
Sekretaris yang sangat ia andalkan itu ternyata ada di Jakarta.
Dulu, ketika Ola memutuskan pergi, Elika­lah yang menangis
43
Istilah untuk menggantikan kalimat “by the way” atau “omong­omong”

Renjana (2).indd 184 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 185

tersedu­sedu paling kencang. Ia merasa akan sangat kehilangan


bos yang amat ia banggakan dan hormati. Kedekatan mereka bu­
kan sebatas atasan dan bawahan saja, tapi tak jarang mereka pun
terlihat ngopi atau belanja bareng.
Tak heran jika beberapa bulan setelah Ola pergi, ia pun me­
mutuskan untuk resign. Selain karena calon suaminya bekerja di
Jakarta, ia tidak kerasan dengan suasana kantor setelah kepergian
Ola.
Ola sangat tersentuh saat mengetahuinya.
“Sudah menikah ya si Elika dengan pacarnya itu?” Ola ingin
tahu.
“Rasanya sudah. Soale EO tempat dia kerja itu bareng suaminya
itu. Ngakunya sih bukan milik mereka. Tapi, siapa yang tahu....”
Keduanya tersenyum.
Ola mengambil sebotol air dingin dari kulkas untuk si tamu.
“Untung kamu datang sekarang, kalau dua hari lagi, pasti aku su­
dah tidak di sini lagi....”
“Lho mau ke mana, Non?” Daru hampir saja tersedak.
“Rumah ini mau kujual. Aku mau tinggal di rumah Papa. Be­
liau kan sekarang tinggal sendiri.”
“O iya, berita itu aku sempat dengar. Turut berdukacita atas
meninggalnya mamamu, sweety....” Daru menyentuh tangan Ola
tanda dukacita mendalamnya.
“Thanks, Ru....”
“Lalu, apartemenmu gimana?”
“Mungkin mau aku sewakan saja. Sekalian buat investasi....”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Nah, kebetulan banget ya, bo.... Ada teman dekatku lagi cari
sewa apartemen. Aku pengennya yang privat gitu. Biar nggak
mengganggu kami....”
Meski tersimpan tanda tanya atas apa yang diucapkan Daru ba­
rusan, pertemuan pertama berbarengan dengan banyak cerita itu
terus berlanjut. Tak peduli mentari meninggi atau angin menyapu
Bumi, persahabatan sekian lama ini tetap terjaga, sejati.

Renjana (2).indd 185 11/29/2013 10:26:41 AM


186 | anjar


ENTAH sudah berapa menit tatap mata Tra tertuju pada lelaki
yang tengah beristirahat di taman depan biara ini. Dari balik kaca
ruang tamu yang sedang ia bersihkan, terlihat jelas gerak polah
laki­laki muda yang akhir­akhir ini berhasil menjebak rasanya pa­
da pusaran yang tidak dapat ia ujarkan dalam kalimat.
Pagi ketika ia datang, sarapan selalu Tra bawakan. Demikian
juga saat siang. Sesaat sebelum Raka pulang, Tra pun masih sem­
pat memberikan sekadar air putih penyegar tenggorokannya atau
sesekali kopi jika memang Raka berkehendak.
Semua Tra lakukan dengan hati.
Dengan hati itulah akhirnya terngiang semua yang dilakukan
hingga menjelang di gerbang mimpi. Setiap hari, selalu berulang.
Tra sungguh menikmatinya.
Kata Bi Mumun, mata Raka kian tak dapat menutupi apa yang
ada di benaknya tiap kali Tra meladeni sesama pekaryanya itu.
Meski Tra tak sempat menangkap yang dikatakan bibinya itu, be­
berapa kali ia memergoki Raka sedang memandangnya lama.
Hal inilah yang makin membuaikan berjuta rasa Tra.

Aku takut jatuh cinta padamu


tak akan kuasa lagi ku
jika akhirnya cuma kecewa
yang akan kembali menganga
Aku takut jatuh cinta padamu
http://facebook.com/indonesiapustaka

tak akan siap ku


jika akhirnya cuma mimpi­mimpi
bertumpuk tak pasti
Aku takut jatuh cinta padamu
tak akan sigap ku
jika akhirnya cuma harapan
menguasai delik­delik hidup

Renjana (2).indd 186 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 187

menyalakan lilin hati nan redup


Tapi, kunikmati semua
kuakui hanya dirimu
yang mampu panjangkan semangatku
hadirkan dunia lain
yang sungguh luar biasa....

Demikianlah Tra sempatkan menulis renjananya dalam sebuah


larik kertas yang sengaja ia bawa. Banyak kumpulan kertas itu
menjadi pengisah apa yang terjadi sesungguhnya.
Tra tak hendak dulu menyatakan isi hati.
Bukan trauma. Bukan pula tak percaya.
Tapi, pengalaman masa lalu banyak mengajarkannya agar mau
merampungkan langkah yang telah diatur oleh­Nya tanpa terburu­
buru. Tra percaya, segala sesuatu indah pada waktunya meski pikir­
an manusia kadang ingin segera mendahului masa indah itu.
Sekian lama Tra merasakan keindahan hati ini. Sekian waktu
ia mencoba menguburkan segala harap yang ia anggap semu.
Lalu, tanpa diminta, tanpa diharap, mendadak saja keindahan
itu kembali bersama di sini. Di tempat nan asing. Tak terpetik da­
lam gurun ingatan.
Pun ia tak hendak diperdaya masa lalu.
Kekagumannya pada sang pangeran beraja, sudah sampai saat
itu saja. Jika sesekali ingatannya melayangkan dirinya pada sebuah
tempat sekian waktu lalu, itu dianggapnya sebagai nostalgia se­
mata. Tidak lebih.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka, begitu Tra menemukan puzzle hati di tempat ini, pada


sosok sederhana bernama Raka, ia pun tak hendak berlari.
Walau masih takut lebih jauh melangkah, tapi kali ini Tra ber­
tekad mengikuti alurnya. Menetapkan langkah seurut waktu yang
akan menuntunnya.

Renjana (2).indd 187 11/29/2013 10:26:41 AM


188 | anjar

TAK ada hal lain yang dilakukan Ola selain mendengar semua
cerita dari Daru. Sejak tadi ia sedang menerangkan kondisinya
sekarang.
Di luar perkiraan Ola ternyata.
Tapi, Ola mau berusaha tetap menghormatinya.
“Aku nyaman dengan kehidupan sekarang, La.... Yah meski di­
umpat keluarga, mau apa lagi?” cerita Daru lagi, kemayu.
“Bukannya waktu itu kamu sempat dekat dengan perempuan ya?
Mantan teman sekampusmu kalau nggak salah,” Ola mengingat­
ingat.
“Ya­ya... Seroja maksudmu?”
Ola mengangguk.
“Justru dari dia, aku semakin memahami kondisiku, La....
Aku… aku nggak bisa merasakan yang gimana gitu kalau dengan
kaum kalian....”
Kali ini Ola sedikit tersenyum.
“Padahal dahulu, bapakku sudah mengajarkan banyak hal ma­
cho padaku. Manjat pohon, ganti genteng, berenang di kali, sam­
pai bajak sawah,” mata Daru menerawang jauh. “Tapi..., yah...
memang pada dasarnya ada bagian diriku yang feminin, hal­hal
macho itu tidak berefek banyak padaku.”
“Dan, kamu sekarang memilih untuk menjadi feminin ketim­
bang macho?”
Daru angguk­angguk. “Aku menyebutnya senja karena tidak di
siang, tidak di malam....”
“Ah, ada­ada saja kamu....” Ola tersenyum sambil melangkah
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke arah dapur. Ia membuka lemari es dan lemari penyimpan ma­


kanan keringnya. Masih ada beberapa bahan yang bisa diolah
untuk mengusir rasa lapar yang membuat perutnya tadi sempat
berbunyi.
“Hei, gimana kalau kita masak?” usul Ola.
“Ooowww... pasti cucok, bo.... Aku kan jago masak,” Daru ber­
semangat. Ia bangkit dari duduknya.

Renjana (2).indd 188 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 189

“O ya?” Ola tak percaya. “Sok atuh kamu masak. Aku ingin
mencoba kehebatan memasakmu.”
“Beres, cantik.... Kamu pasti suka.”
Tak lama, tangannya yang sedikit lentik itu demikian ahli me­
nyatukan semua bahan sembari sesekali memberikan komentar
atas apa yang hendak ia buat.


PERASAAN terdalam ini sudah sekian waktu Dalimah pendam.
Tak hendak ia keluarkan. Tapi, jika alam saja bisa berubah, dari
kemarau ke musim hujan, apakah rasa ini juga boleh berubah?
Dalimah menatap langit semburat jingga. Di sana seolah sedang
mencoba menggambarkan rasa hatinya. Ada beberapa yang sempat
tereja mata dan hatinya. Tapi, banyak lagi yang tidak bisa sama
sekali.
Napas panjang diempaskan Dalimah.
Napas ini adalah napas kelelahannya menahan gejolak.Sekilas
ada banyak wajah anak­anak kandung terkasihnya. Ia tersenyum
sejenak. Karena kedua wajah tanpa dosa inilah, Dalimah memiliki
kehendak kuat untuk bertahan. Merekalah mutiara hidup yang tak
ingin dilepaskan begitu saja, apa pun masalah hidup yang mengi­
tarinya.
Namun, kali ini sesak rasanya dada Dalimah. Tak mampu ia
keluarkan kesesakan ini begitu saja. Lalu... Apa yang harus ia la­
kukan?
Telinganya mendengar sebentar pintu dibuka. Ia tahu, suaminya
http://facebook.com/indonesiapustaka

baru datang. Tadi Wie sempat meminta izin padanya untuk kembali
ke kantor karena dipanggil si bos. Dalimah mengizinkan sembari
mengingatkan untuk tidak berlama­lama di kantor.
Wie menepati janji.
Jarum jam belum menunjukkan pukul 22.00, ia sudah pulang.
Tapi...
Sudah beberapa hari ini, sepulang Wie dari kantor pasti lang­

Renjana (2).indd 189 11/29/2013 10:26:41 AM


190 | anjar

sung menuju meja kerjanya di rumahnya dan bertekun di sana.


Hanya makan saja yang ia usahakan tidak terlewat. Selepas itu,
kembali bekerja.
Waktu bermain bersama anak­anak sangat berkurang. Apalagi
berdua­duaan dengan istri tercinta.
Bukan Dalimah cemburu atau iri, tapi Wie tidak biasanya be­
gini.
Setiap ditanya, Wie menjawab tidak ada apa­apa. Wajahnya tan­
pa ekspresi lalu ia kembali menekuni pekerjaannya. Sekian waktu
ini nyaris tak ada cerita panjang dari mulut suami terkasihnya.
Berulang kali, tanpa lelah, Dalimah menanyakan ada apa, Wie
lagi­lagi tersenyum, lalu bilang, “Tidak ada apa­apa, Ma....”
Yang lebih membangkitkan rasa tak nyaman Dalimah adalah
saat di tempat tidur, meski sudah “dipancing” bahkan dinyatakan,
Wie tetap bergeming. Matanya mengatup, tubuhnya diam dan yang
sempat serasa menggores kalbu, dalam tidurnya Wie mengigau me­
nyebutkan sebuah nama. Memang tidak jelas terdengar, tapi telinga
Dalimah menangkap nama perempuan dalam igauan suaminya itu.
Sesaat pagi membangunkan mereka, Dalimah bertanya, lagi­
lagi jawaban Wie datar tanpa ekspresi, “Aku kebanyakan nonton
dan baca novel kayaknya, Ma... itu tokoh yang ada di ilm dan
buku itu.”
Relung hati Dalimah tidak bisa langsung menerima begitu saja.
Tapi, apa daya... Dalimah tak mampu banyak bertanya. Sua­
minya mulai berubah. Beda dari biasa. Tak ada hal lain selain me­
nyimpan gundah gulana ini sendiri saja. Dalimah tak ingin keluar
http://facebook.com/indonesiapustaka

dalam keseharian terutama saat bersama kedua anaknya. Kasihan


mereka.
Dalimah mengambil napas panjang... pandangannya ke luar
berharap ada yang sedikit menenangkan hati terdalam....

Renjana (2).indd 190 11/29/2013 10:26:41 AM


renjana | 191

TRA menutup kembali pintu gerbang biara.


Ia baru saja mengantar Raka sampai di gerbang biara, pulang
kembali ke rumah kontrakannya, tidak jauh dari biara ini. Sebelum
gerbang ditutup, Raka berjanji akan kembali esok hari. Tepat wak­
tu.
Untuk hari ini, Raka pulang selepas magrib. Bukan saja untuk
salat bersama Tra, tetapi juga karena ada lampu di bagian gudang
yang harus dibetulkan. Bersama Pak Tumi, ia membetulkan lampu
itu agar tidak membahayakan ruangan lain atau seisi biara ini.
Dan, salat bersama Raka adalah bagian yang sangat dinikmati
Tra.
Ruangan tersebut sebenarnya hanya muat untuk dua orang sa­
ja, sedikit dipaksa agar muat bertiga dengan Bi Mumun.
Doa­doa yang terpanjat begitu khusyuk.
Raka sebagai imam pun melakukan semua gerakan salat dengan
fasih dan menuntun.
Ketenangan sehabis salat sungguh dirasakan Tra. Demikian
pula ketika ia menyalami Raka. Batinnya sepertii disegarkan dan
dinyamankan.
Duh, Gusti…. Adakah pangeran nyataku adalah orang yang
kini tak jauh dariku? Tra berkata dalam hati, sesaat ia melangkah,
kembali masuk ke biara menuju tempatnya beristirahat bersama Bi
Mumun.
Langkahnya pelan, hendak menikmati malam.
Matanya terarah ke atas, melihat birunya malam dengan ca­
haya bintang yang kali ini lebih banyak dari biasa. Walau dewi
http://facebook.com/indonesiapustaka

bulan tak terlihat, tapi tampaknya malam ini akan menjadi spesial
adanya.
Langkah Tra terhenti di sebuah bangku kecil dari kayu, buatan
Raka. Sengaja dibuat di situ sebagai tempat perhentian sejenak. Be­
berapa orang yang sudah sering duduk di situ memang merasakan
sensasi yang lain dengan membambangkan pandangan ke penjuru
biara nan asri ini. Niscaya ada spirit lain yang akan menyertai

Renjana (2).indd 191 11/29/2013 10:26:42 AM


192 | anjar

langkah mereka selanjutnya. Tak jarang pula, tempat duduk itu


diduduki lama sebab ingin lebih bertekun menikmati semua yang
ada di depan mata dan terus menjalar di sanubari.
Begitu juga dengan Tra.
Ia ayunkan kakinya seperti anak kecil sedang bermain.
Kepalanya tetap menengadah ke atas, hendak menghitung ba­
nyak bintang.
Mungkinkah di antara banyak bintang itu ada yang menuliskan
pesan dan nama seseorang?
Tak hendak ia membangkitkan kenangan lama. Toh, baru saja
ia mendapatkan kenyataan yang lebih indah.
Hanya saat mata berbenturan dengan langit dan bintang, ada
yang menggelora diam­diam tanpa disuruh dan tak bisa ia hindari.
Bahkan ketika segala bentuk keindahan yang dilontarkan Raka,
tetap saja sudut hatinya tersisa cerita. Tentang beraja.
Tiba­tiba, Tra ingin, ingin sekali melihat beraja malam ini.
Apakah niatnya tersampaikan pasti?


DINNER dengan menu ala Daru baru saja selesai.
Kepuasan terlihat melalui binar mata Ola.
Harus diakui, masakan Daru memang nikmat. Tidak sia­sia Ola
memintanya meramu makanan untuk dinner kali ini.
“Kamu memang berbakat banget, Ru...,” puji Ola sembari
menghabiskan lasagna terakhirnya.
Yang dipuji sedikit tersipu. Meski begitu ia tampak berusaha me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyembunyikan keriangannya sembari memotong steak buatannya.


“Sudah lama aku tertarik di dunia masak­memasak ini, La...
Makanya, aku memilih jalan hidup seperti sekarang.”
“Ooo..., gitu....”
“Kalau di apartemenmu itu, dapurnya oke kan? Bisa untuk
masak­masak gitu, terutama kalo eike masak berdua sama my
hubby?”

Renjana (2).indd 192 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 193

Mata kucing Ola memandang Daru serius.


Teman lamanya itu sudah tak malu lagi menyatakan bagaimana
keadaannya. Bisa jadi sebab ia sudah menaruh kepercayaan kepada
Ola, bisa jadi juga karena Daru sudah begini adanya sejak lama
mereka tak bersua.
“Siapa kekasihmu itu, Ru?” tanya Ola penasaran.
Sekali lagi, Daru tersipu malu.
Akh, kemanjaan begini belum pernah ditemui Ola sebelumnya
pada diri Daru. Waktu memang telah mengubah Daru menjadi so­
sok yang baru.
“Namanya Hasan, pengusaha muda keturunan Afrika. Hitam
seksi gitu bo...,” perlahan Daru menyebut nama seseorang. “Orang­
nya tinggi besar dan berjenggot seperti Ben dulu....”
Ola tersenyum simpul.
Ya. Daru dulu begitu memuja Ben. Siapa yang mengira, ternyata
dia sempat terobsesi padanya sampai mendapatkan sosok yang ka­
tanya mirip orang yang pernah mengisi hari­hari Ola itu.
“Berapa lama kamu berhubungan dengannya?”
Daru berpikir sejenak. “Mmm... sudah cukup lama, La.... Mung­
kin sekitar tiga tahunlah....”
“Wow.... Lama itu.... Setia ya kalian?” puji Ola.
“Hehe.... Soalnya kami punya kesukaan yang sama sih. Kayak
masak­masak ini. Makanya, Hasan lagi mau nyoba buka resto di
Bandung....”
“Ooohh... gitu....” Ola anggut­anggut.
“Mmm... La, aku boleh tanya?”
“Tanya apa?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Kamu masih suka ketemu Wie?”


“Wie?”
“Yes, teman kerjaku dulu. Wylie Semesta.”
“Ooo dia....” Ola mengerti. “Baru tahun ini aku ketemu lagi sa­
ma dia. Setelah sekian lama itu. Kenapa emangnya?”
Wajah Daru memerah rekah.
Dia sangat tersipu sembari bermanja, tak malu.

Renjana (2).indd 193 11/29/2013 10:26:42 AM


194 | anjar

“Sebelum akhirnya aku jatuh cinta pada Hasan, sebenarnya


aku jatuh cinta pada Wie....”
“Heh?!” kekagetan Ola tak dapat ia sembunyikan.
Bagaimana mungkin Daru yang adalah teman kerja Wie selama
mereka sekantor dulu ternyata adalah sekaligus pengagum rahasia
Wie? Bukankah selama itu justru ia yang menyemangati Wie agar
mencari sang putri?
“Hehe....” Daru hanya bisa menyeringai. Ia paham betul bahwa
Ola terkejut.
“Kamu tahu kalau dia sudah menikah?”
“Ya. Punya anak dua dan istrinya berjilbab kan? Bukan Laksmi?”
“Yes. Mereka berbahagia sekarang.”
“Aku juga berharap demikian, La....” Ada setengah nada sedih
dalam kalimat Daru barusan.
Ola sengaja tidak mengomentari kalimat yang akan dilontarkan
Daru selanjutnya.
“Tapi... salahkah aku jika aku masih sering merindukannya?
Bagiku, Wie adalah sosok lelaki yang sempurna. Dia romantis dan
paham betul apa yang harus dikerjakan meski saat tertantang urus­
an hati, ia seperti bunga putri malu. Meluruh saat disentuh, meng­
umpat ketika sadar telat.”
Kesekian kali Ola tersenyum.
Daru memang penggemar kalimat berpuisi. Bacaannya pun
buku­buku puisi. Waktu lalu Ola pernah dipinjami sebuah buku
kumpulan puisi yang menurutnya menyentuh kalbu.
“Kamu masih pandai berpuisi, Ru....”
“Pasti dong.... Dengan puisi, aku bisa mengungkapkan semua
http://facebook.com/indonesiapustaka

isi hati tanpa harus jelas diketahui....”


“Hmmm.... sebentar,” otak Ola mengingat sesuatu. “Kamu ma­
sih mencoba mengontak Wie?”
Mata Daru agak terbelalak mendengar tebakan Ola barusan. Ia
mendadak serba salah.
“Aku tak ingin mengacaukan kebahagiaannya, La.... Maka aku
cuma bisa sembunyi menyatakan kekagumanku selalu padanya.”

Renjana (2).indd 194 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 195

“Maksudmu?”
“Mmmm…,” keraguan mencuat di wajah Daru. “Aku masih
berusaha menyatakan rasa hatiku lewat surat elektronik, La.... Ha­
nya itu yang kubisa.”
“Dengan mencantumkan nama?”
“Ya, nama kesayangan yang penuh kenangan baginya.”
“Siapa?”
“Beraja.”
“Well....” Ola menyandarkan punggungya ke sandaran kursi.
Mengapa tebakannya jadi benar ya?
“Kenapa kamu nggak sebut saja siapa namamu?”
“Ahhh.... Aku tak yakin ia bisa melihatku dengan jernih. Pa­
dahal aku tak mau membuat hatiku tambah sedih. Jadi... yah, aku
mengambil langkahku itu saja dulu. Soal apakah dia menanggapi
atau tidak, urusan nanti....”
Ola mengambil napas.
“Lagi pula namaku dan beraja itu sama artinya kok. Sama­sama
berarti bintang beralih atau bintang jatuh. Cuma, namaku dari ba­
hasa Jawa, kalau beraja dari bahasa Sanskerta....”
Ada keresahan Daru yang tak terungkapkan pada kalimat pen­
jelasannya, menjalar juga dalam dirinya. Ola jadi mengerti kini
apa yang terjadi. Daru pasti tak berniat lain, selain melepaskan
rasanya.
Itu adalah haknya. Tidak ada larangan. Tinggal bagaimana Wie
yang dituju tidak salah mengerti lagi.
“Kamu masih percaya, cinta itu milik semua orang kan? Tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

peduli siapakah dia atau bagaimana keadaannya?”


Kepala Ola mengangguk kembali.
“Aku sudah bahagia bersama Hasan. Tak ingin aku mengganggu
kehidupan Wie. Kita sudah memilih jalan masing­masing.”
Malam yang kian turun mendengar ucapan Daru barusan. Se­
iring ucapannya, terlintas bintang bertebaran. Walau bukan beraja
di antaranya.

Renjana (2).indd 195 11/29/2013 10:26:42 AM


196 | anjar


TAK pernah terpikirkan Ola akan terseret dalam pusaran situasi
masa lalu, penuh nostalgia.
Banyak orang dari masa lalunya seperti berkumpul kini.
Tidak pernah ia panggil. Tidak pernah ia minta datang. Semua
seolah datang bertubi­tubi menjadikan detik waktunya seolah te­
rus menarik sampai pada masa segalanya terjadi.
Bukan mengumpat kalau kini ia bertanya­tanya. Hanya rasatak
percaya mengapa ia yang harus menghadapi. Padahal ia merasa
bukan manusia serba bisa atau serba tahu. Tak layaklah bila semua
masalah di masa lalu itu terbebani di bahu.
Namun, ia tak dapat menghindar. Sebab seperti ujarannya sen­
diri, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya pasti ada
yang merencanakan.
Semoga saja ia cukup kuat dan tetap menjaga apa yang harus
ia jaga.
Lebih dari itu, ia mendapat kebijakan untuk menyelesaikan ma­
salah sekiranya semua yang berasal dari masa lalunya itu berwujud
sesuatu yang harus diselesaikan.
Ola hanya bisa menyerahkan semua dalam doa dan harapan
baik.

MALAM demi malam kini seperti kegelapan yang tak ingin pergi.
Situasi ini tak mampu Dalimah hindari. Sepi hati telah me­
renggut hari­hari yang semula bergelimang sukacita.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Siapalah yang menyangka kehidupannya yang tenang terusik


karena sebongkah rasa tak menyenangkan ini mendesak­desak ke­
damaian hati. Tak mau dipedulikan, tetapi apalah daya selayaknya
manusia biasa.
Dalimah menyerah.
Apalagi suaminya kini makin aneh berperilaku. Berangkat pagi

Renjana (2).indd 196 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 197

sebelum anak­anak bangun, pulang malam sesaat anak­anak terle­


lap. Tak ada lagi kecupan sayang seperti biasa.
Jika ditegur, Wie hanya berkomentar agar Dalimah memahami
posisinya yang sedang dikejar deadline pekerjaan. Wie sedang tak
bisa membagi konsentrasinya selain hanya mengerjakan tugasnya
itu.
Bukannya Dalimah tak mengerti. Efek dari pekerjaan yang ka­
tanya sedang dibebankan kepada pasangan jiwanya itu menyeret
ke mana­mana. Bahkan menyerang dan menggerogoti kehidupan
pribadi dan keluarganya pelan­pelan.
Dalimah bukan tipe perempuan cerewet atau banyak bertanya.
Ketika jawaban didapat, meski tidak menjawab yang ditanya­
kan, ia hanya bisa diam dan diam saja. Hati yang kian bergejolak,
tidak ia indahkan. Maka ketika ia merasa lelah pada kondisi ini,
Dalimah hanya bisa merenung sendiri.
Sampai akhirnya sebentuk keputusan nekat ia rencanakan.
Mungkin baik kembali sejenak ke kampung halaman, menemui
orangtua dan saudara­saudara. Entah berapa lama di sana. Yang
jelas hati bisa kembali tenang dan kehidupan normal semoga kem­
bali bisa dijalankan.


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 197 11/29/2013 10:26:42 AM


Tuntas juga malam mengubah satu hari
mengatur jarak membuatku mengerti kekalnya rindu
menata janji hati membuatku mengerti riuhnya harapan
Dalam telapak aku menindas embun nan pasrah
semilir dingin melayaniku bejalan menuju fajar
apakah salah aku mendambamu
apakah sedih aku menyesalimu
Di pinggir tambak cinta ini tertampak
ketelanjangan yang berpakaian
kematian yang hidup
kealpaan yang menolong
ketiadaan yang berkeyakinan
dilemaku adalah jalan, ambiguku adalah sebab
Dan kau yang kucinta
ke mana arah yang kau pinta, ku tak mampu berpaling ke haribaan
maupun menoleh ke penghiburan
Kuingin kau tanpa madah
Kuingin kau tanpa gagah
Kuingin kau tanpa megah
karna kau adalah pagi yang dijemur di kepuasaan kering dalam terik
karna kau adalah pelita yang terselip kaku dalam hati
karna kau adalah matari yang silaukan segala kebimbangan
Kupilih kau tanpa meragu
Kupilih kau walau tak ada ujung asa
Kupilih kau
Hanya Kau
Oh.... Mulia
http://facebook.com/indonesiapustaka

Daun palma sudah mulai mengering, tersemat layu di sisi salib


Sepi tetapi berarti
Diam tetapi bermakna
Terima kasih....
Di binarmu bisu tak mampu bungkam luapan hati
(RSJ)

Renjana (2).indd 198 11/29/2013 10:26:42 AM


9.

PENGGALAN demi penggalan cerita dari masa lalu dan masa


kini seolah menumpuk dalam kehidupan Firdaus. Ada sebagian
yang terempas debu atau angin berlalu. Tapi, banyak pula yang
masih tergugu, seolah menunggu apa yang akan dilakukan Daus
selanjutnya.
Sebagai manusia biasa, Daus juga sering mengalami kegalauan
yang sama. Keresahan jika mata tak sama memandang yang men­
jadi harapan kadang demikian menyiksa.
Di balik senyuman dan kalimat bijak yang sering kali terlontar,
tak sedikit menjadi semacam kamulase atas apa yang harus di­
lakukan. Bukan karena pura­pura, tapi agar yang ia gembalakan
tidak turut merasakan resah atas kemanusiaan yang kadang lebih
terlihat mata.
Dari awal ia memilih jalur hidup seperti sekarang, ia sendiri te­
lah yakin bahwa ada sesuatu yang akan selalu menopang dirinya di
kala ia merasa tak berdaya. Dalam banyak doa yang terucap setiap
saat, kekuatan itu akan muncul tanpa diminta.
Tapi....
Sekali lagi, ia manusia biasa.
Sepanjang jubah yang ia kenakan menjadi penanda siapa dia,
seringnya tak sanggup menopang keresahan jiwa raganya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lelah tak terkendali. Sedih meraung menimpali.


Bila ia hendak melontarkan semua itu, tak bisalah ia semba­
rangan sebagaimana ABG yang dengan leluasa dapat menyatakan
galaunya lewat sosial media. Itu bukan tempatnya.
Pun pada alat canggih komunikasi yang dipunya. Tak semba­
rangan ia bisa menggunakannya.
Sudah janjinya dalam hati, alat­alat itu hanya perantara. Lebih

Renjana (2).indd 199 11/29/2013 10:26:42 AM


200 | anjar

dalam dan berarti adalah saat mata bertemu mata, hati bertemu
hati. Itu bakal lebih melegakan.
Bahkan, sempat terpikir untuk menyingkirkan segala alat cang­
gih itu karena akhir­akhir ini Daus merasa alat­alat itu sudah
semakin memperbudaknya. PIN BB­nya banyak diketahui orang.
Entah dari mana.
Bunyi tang­ting­tung kadang demikian mengganggu pergantian
detiknya. Jika ia diamkan, bunyi tersebut semakin kencang. Demi­
kian juga SMS. Sekiranya penting, tak mengapa ia “bela­belakan”
membalas. Tapi, jika hanya bertanya yang menurutnya basa­basi,
lebih sering ia merasa susah untuk membalasnya, di antara menjaga
nama baik dan malas meladeni.
Aaahhh.... Mengapa ia panjang berkeluh kesah. Tidakkah hari­
harinya telah sekian lama bisa dijalani dengan baik bersama semua
bentuk ketidaknyamanan di antara kesukacitaan hidupnya?

TRA tak bisa memejamkan matanya barang sejenak.
Di kepalanya ada banyak sekali bintang berlarian, menari tak
henti.
Padahal jarum jam sudah menunjukkan lebih dari pukul 23.00.
Sebentar lagi akan terjadi pergantian hari.
Berulang kali ia mengganti posisi tidur, sekadar mencari ke­
nyamanan dan cara supaya tubuhnya bisa istirahat dan menerima
waktu agar leluasa menjemput mimpi.
Percuma. Semakin ia gelisah, semakin matanya tak mau menga­
tup sebentar saja. Padahal di sebelahnya, Bi Mumun sudah sangat
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyenyak berkelana di alam mimpi. Ia tampak tidak terganggu,


keponakan di sebelahnya masih demikian resah menyambut keda­
tangan mimpi.
Segala kejadian beberapa hari terakhir menjadi awal mengapa
Tra menjadi begini. Gejolak rasa yang dulu ia pikir tak akan hadir
lagi ternyata muncul, mengetil44 yang terkubur dalam­dalam.
44
terpotong sedikit demi sedikit

Renjana (2).indd 200 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 201

Tra tiada berkeinginan untuk menghindari.


Tapi, pasti akan menyusahkan kondisinya lagi.
Tapi, Tra juga tidak mengerti harus berbuat apa di antara ba­
nyak gejolak ini.
Sempat ia berpikir, Yang Kuasa mau mengatakan apa pada jalur
hidupnya kini? Dari rangkaian kejadian hingga ia ada di sini, se­
perti ada tanda­tanda yang harus ia pecahkan.
Keterbatasan akal yang dimiliki membuatnya meresah, tak me­
ngerti harus bagaimana.
Di kota sebesar ini, ia tak punya teman yang bisa menjadi tem­
pat membuang semua resah. Selain Bi Mumun dan beberapa ma­
syarakat yang tinggal di sekitar biara, Tra tak punya teman dekat
lain.
Bahkan kepada Raka, ia belum berani bertukar cerita.
Tra masih menjaga jarak.
Lalu, jika sampai tak bisa sekadar menutup mata untuk beberapa
jam saja, apa yang harus dilakukannya?
Sering ia menghabiskan malam dengan memandang banyak
bintang. Mencoba berandai­andai ada seseorang di sana yang men­
dengarkannya. Tak peduli berapa jumlah bintang, Tra ingin sekali
di balik awan itu, seseorang yang menebarkan bintang bertaburan
itu bersedia mendengar apa yang kini bergemuruh di dadanya.
Tapi... khayalan tetaplah khayalan.
Meski di usia sekarang, Tra merasa ia tak bisa melepas khayalan
bak anak kecil dalam dongeng. Menciptakan khayalan itu tetap
menyenangkan meski pada akhirnya ia tersadar bahwa ada dunia
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyata yang harus ia tapaki.


Suka tidak suka.
Tra bukanlah Cinderella atau Putri Salju yang bisa mengubah
hidupnya dalam sekejap.
Ia hanya manusia biasa yang sepandurat hidupnya tak bisa se­
kehendak hati. Ada yang lebih berhak atas kehidupannya, meski
tetap ada pilihan di dalamnya.

Renjana (2).indd 201 11/29/2013 10:26:42 AM


202 | anjar

23.17 di Rumah Papa Ola


Romo Firdaus : Temani aku dulu, Ola. Aku masih hendak ingin berjaga sejenak
Carolina Wibowo : Ada apa, Romo? Sudah larut malam. Tidurlah.
Romo Firdaus : Aku tak bisa, Ola.... Hatiku sedang bergejolak penuh. Susah
kukendalikan. Aku dalam batas kekuatan manusiawiku
Carolina Wibowo : Mengapa tak kau larikan dalam doa-doa dan pujian? Bukankah
itu akan menyejukkan?
Romo Firdaus : Aku lelah, Ola.... Bosan dengan segala rutinitas yang kadang
memaksaku mengenakan topeng berlama-lama.
Carolina Wibowo : Kalau begitu lepaskanlah topengmu. Tunjukkan siapa kamu se-
benarnya.
Romo Firdaus : Aku tak bisa, Ola. Tak bisa.... Jubahku adalah perisai, kebang-
gaan, dan nyawaku. Aku tidak mungkin melepaskan siapa aku
di belakang jubah itu.
Carolina Wibowo : Jadi, selama ini kamu berlindung di belakang jubah itu?
Romo Firdaus : Tidak juga. Tapi, aku juga harus menghormati sekian orang
yang mengenakan baju yang sama. Jubah adalah martabat ka-
mi.
Carolina Wibowo : Kalau kamu merasa lelah begini, apakah harus menjaga imej itu
hingga kamu pun tersungkur bahkan kalah?
Romo Firdaus : Itulah, Ola.... Aku ingin lantang berseru, tapi tak ada yang mau
tahu.
Carolina Wibowo : Bukan tidak mau tahu, tapi waktunya belum tepat. Istirahatlah,
Romo. Biarkan ragamu sejenak tak diajak bekerja mengikuti ge-
loramu. Semoga esok bisa memberimu spirit baru.
Romo Firdaus : Apakah waktumu masih untukku, Ola?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Carolina Wibowo : Pasti masih, Romo....


Romo Firdaus : Panggil aku Daus seperti biasa kau panggil aku.
Carolina Wibowo : Aku sedang menghormati martabatmu, Romo.... Seperti yang
kau minta.
Romo Firdaus : Baiklah. Tapi jangan salahkan aku jika karena martabat itu, ke-
rapuhanku semakin terasa.

Renjana (2).indd 202 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 203

Carolina Wibowo Istirahatlah, Romo.... Istirahatlah. Malam yang akan menjagamu


dari segala bentuk kerapuhan yang kau takuti.
Romo Firdaus : Aku jatuh cinta padamu, Ola....
Carolina Wibowo : Bersyukurlah untuk cinta yang kau rasa. Kini saatnya biarkan
cinta itu menyelimuti malam dan resahmu agar esok pagi kese-
garan itu kembali. Selamat malam, Romo Firdaus...
Romo Firdaus : Selamat malam, Ola... Terima kasih selalu menguatkanku
Carolina Wibowo : Selamat malam, Romo Firdaus... Tuhan berkati.

Rentang malam menyelesaikan SMS pengantar segala resah


seorang anak manusia yang berharap bebannya teringankan dan
mata segera mengatup menyelesaikannya.

Paviliun Bi Mumun

Aneh
Malam ini
hanya dengan mengenangmu
menjadikan sekeliling
senyap dinginku, menguap
Padahal kasat ragaku
masih merasakan lelah sangat
Aneh.

KESEKIAN kali, Tra membalikkan badannya ke samping kiri.


Bertolak belakang dengan posisi Bi Mumun yang tetap terlelap,
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak terganggu.
Beberapa menit telah lewat dari pergantian hari. Mengapa ma­
ta dan tubuh ini tak mampu jua untuk ikut melewati waktu dalam
kantuk hingga embun pagi membangunkan kembali.
Bisa gawat kalau terus­menerus begini.
Bahkan, mengkhayal tingkat tinggi pun tetap tak mampu
mengantar niat Tra agar cepat tenggelam di dunia mimpi.

Renjana (2).indd 203 11/29/2013 10:26:42 AM


204 | anjar

Samar terdengar lagu pelan dari arah kamar Romo Daus.

Bless the Lord,


my soul,
and bless God’s holy name.
Bless the Lord,
my soul,
who leads me into life

Lagu lembut yang menyentuh hingga relung kalbu serasa me­


ngajak dirinya untuk melangkah di suatu tempat nan tenang.
Dengan kaki tanpa alas, membaui setiap sudut tempat laksana ia
membaui bekas potongan rumput tempo hari.
Alam bawah sadar Tra mulai merasai kelembutan lagu tersebut.
Tapi, belum juga berhasil mengajaknya bertekun dalam kantuk
dan meneruskannya hingga pagi.
Mendadak ia mengingat salawat nabi yang pernah diajarkan
mamah dan abahnya.

Bismillahirrahmaanirrahim. Allahumma shalli ‘alaa sayyidina


muhammadin wa’alaa aali sayyidina muhammadin shalaaatan daa­
imatan mustamirratan taduumu bidawaamika watabqa­ka watakh­ludu
bi­khuludika walaa­ghaa yata lahaa duuna mardhaa­tika walaa jazaa­a
liqaaa­ilihaawamushallii­haa ghaira jannatika wannazhri ilaa waj­hikal
karimi.45
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tra melafalkan salawat itu berulang kali sembari memejamkan


mata.
45
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya
Allah, limpahkanlah rahmat pada junjungan kami, Muhammad, dan kepada keluarga
junjungan kami, Muhammad, rahmat yang kekal dan terus­menerus, ia kekal karena
kekekalan­Mu, ia tetap karena ketetapan­Mu, ia langgeng karena kelanggengan­Mu.
Tidak ada ujung baginya tanpa keridaan­Mu. Tidak ada balasan bagi pembacanya
dan memintakan rahmat selain surga­Mu dan melihat wajah­Mu yang Mahamulia.
(sumber: http://shalawatku.wordpress.com/)

Renjana (2).indd 204 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 205

Ketenangan itu pun kian menjalar dari ujung kaki hingga


ujung kepala.
Benar kata Mamah dan Abah, jika sedang gelisah dan resah,
ucapkan salawat, niscaya akan membawa ketenangan. Sebagaimana
fungsinya, salawat nabi itu akan membuat hati tenteram dan pikir­
an menjadi tenang, jernih.
Dalam hitungan beberapa kali ia ucapkan puja­puji itu, segala
ketegangan diri seperti meluruh dan menjadikan gerbang mimpi
semakin dekat.
Maka, malam dengan kegirangannya pun mengiring Tra dalam
dekapan doa dan pujian yang masih tersisa di mulutnya.

OLA menyudahi doa malamnya. Semua alat komunikasi sengaja
ia aktifkan ke silent mode.
Sudah malam begini saatnya sang raga yang menemani seharian
diistirahatkan.
Dulu waktu kecil, selepas siaran berita malam di TVRI, ma­
manya pasti sangat cerewet menyuruh anak­anaknya tidur karena
jam lima pagi mereka sudah harus bangun untuk belajar dan mem­
bantu memberesi rumah kemudian bersiap menuju sekolah.
Masa itu, Ola termasuk bandel. Bersama Michael kakaknya,
mereka sering curi­curi menonton televisi yang letaknya di ruang
bawah. Saat itu mama mereka pasti sudah tidur, jadi jarang keta­
huan. Paling Mang Eman yang akan menyuruh segera tidur atau
mengadukannya kepada sang Mama.
Ola tersenyum sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Masa itu sudah berlalu. Sama pula dengan masa di mana gun­
dah gulana terhadap gejolak hidup yang bertubi­tubi menimpa
Ola.
Yang paling meluluhlantakkan dirinya adalah saat Ola memu­
tuskan untuk membiarkan Firdaus meneruskan asanya. Membiar­
kan cinta terdalamnya hanyut bersama putaran waktu yang saat
itu tak pernah Ola mengerti bahkan seolah membebani.

Renjana (2).indd 205 11/29/2013 10:26:42 AM


206 | anjar

Semula Ola tak terima. Ia marah besar bahkan meninggalkan


hal­hal yang sebenarnya tidak berhubungan.
Seiring waktu, proses itu seolah menutupi amarah dan luka
hatinya. Keikhlasan yang sengaja ia gali dari hati adalah obat atas
keterpurukannya sekian lama itu. Ola merasa, proses menghadapi
kondisi hidup ini adalah masalah yang menghadirkan anugerah.
Maka ketika sedari malam setengah meninggi tadi ia menerima
ungkapan isi hati serta gejolak rasa Firdaus, Ola sungguh berharap
kelak Daus pun akan merasakan proses yang sama. Tidak menyerah
di tengah jalan begitu saja.
Ola percaya, perjalanan tak mulus adalah untuk menguji kita
supaya bisa “naik kelas.”
Di keremangan malam, sebaris doa tulus terucap dalam sanubari
terdalam Ola...


DI RUANG kerja rumahnya, Wie menopangkan kedua tangan di
belakang kepalanya. Jam dinding telah menunjukkan pukul 00.43.
Sudah sangat larut.
Pekerjaan dari proyek pemerintah tempo hari belum selesai ju­
ga. Padahal masanya sudah lewat. Mestinya ada kompensasi untuk
kemunduran ini.
Tapi, seperti biasa, selalu ada alasan hingga akhirnya justru
perusahaan tempat Wie bekerja yang menanggung. Minimal tidak
semua ditanggungkan kepada instansi yang memberi.
Tinggallah Wie pusing memikirkan agar semuanya berjalan de­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngan baik.
Kerja hingga larut begini telah ia lakoni sejak dua minggu ter­
akhir. Untungnya pekerjaan tersebut lebih banyak dikerjakandi
rumah daripada di kantor. Jadi bila tubuh teramat lelah, Wie bisa
langsung merebah.
Bagaimanapun, tanggung jawab ini tidak bisa ia kerjakan sete­
ngah­setengah. Tidak peduli apakah akhirnya menyusahkannya,

Renjana (2).indd 206 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 207

dia harus menjaga nama baik banyak pihak termasuk dirinya sen­
diri.
Untungnya Dalimah dan keluarganya mengerti walau sang istri
sempat berulang kali bertanya apa saja yang sebenarnya sedang
ia kerjakan. Wie hanya menjawab soal pekerjaan, sisa lain tak
hendak ia jawab meskipun kadang kala ada hal lain menyita isi
pikirannya.
Biasanya Dalimah mengerti. Ia tak banyak bertanya lagi, seperti
hari ini. Meski mereka sudah lebih dahulu ada di alam mimpi, tapi
semangat dan pengertian mereka amatlah berarti.
Wie berharap, malam ini adalah malam terakhirnya begadang.
Tubuhnya bukan tubuh nan kuat menahan segala. Ia bahkan
sudah curiga, sehabis lembur, ia akan terkapar. Walau telah diusa­
hakan, tetap saja ia merasa dirinya harus bersiap.
Saat asyik mengerjakan pekerjaannya, bunyi BB melirikkan
matanya untuk sekadar melihat apa isi dari bunyi itu.
Sebuah e­mail.

To: “berajaku” <wylie.semesta@yahoo.com>


From: “berajamu” <bintangberalih@yahoo.co.id>

Berkata malam kepada langit,


“Apa yang hendak kau lakukan jika esok pagi kau kan bertemu pujaan hati?”
Langit menyeringai, menunjukkan kerlip gemintang yang menemani. Jawabnya,
“Aku mau memeluknya kencang. Jikalau bisa, takkan kulepas lagi. Aku amat merin-
dukannya.”
Malam meluruh. Ia mengernyitkan keningnya, serasa lebih gelap melingkupi bumi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Tetapi, bahkan pagi pun dimiliki semesta dan debu di kala siang. Tiada mungkin bila
kau masih tetap ingin menguasai. Dia bukan milikmu.”
“Aku mencintainya... Biar angin telah meleraikan rasa itu sehingga ia bahkan tak
pernah tahu.” Langit merengut, gemintang sekitarnya menari.
“Mungkin baiknya begitu. Sebab langit dipasangkan dengan bumi, bukan dengan
langit lagi... Jikalau ada yang hendak memilihnya begitu, biar saja pericit yang kan me-
nemani. Jangan ganggu, pujaan hati... Kalian beda jalan.”

Renjana (2).indd 207 11/29/2013 10:26:42 AM


208 | anjar

Dan, aku di sini tergugu.


Sekian lama kutunggu kau pujaan hati, akhirnya harus kurelakan terbang bersama
debu, berlalu bersama butiran hujan yang kadang datang di musim kering nan panas.

Tidak. Tidak perlu lagi kau bertanya siapa aku.


Aku janji takkan mengganggumu lagi.
Berbahagialah dengan Dalimah dan dua anakmu.
Dan, biarkan ku bahagia dengan seseorang yang mau menerimaku apa adanya.

-berajamu-
(kamu lihat di kamus arti yang sama dengan “beraja” dalam bahasa Jawa)

Wie mengernyitkan keningnya. Berpikir serius.


Beraja itu bintang beralih atau bintang jatuh. Dalam bahasa Jawa,
apa ya bahasanya?
Tanpa banyak berpikir lagi, Wie meng­googling. Tangannya
tangkas menuliskan segala kemungkinan agar diketahui arti bin­
tang jatuh dalam bahasa Jawa.
Deg.
Dia terpana sesaat begitu mendapatkan apa yang dia cari.
Daru.

Di Perpustakaan Biara

“SAYA boleh bertanya, Romo?” tanya Tra siang ini. Ia, Romo Daus,
dan beberapa frater sedang membaca buku di ruang perpustakaan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Romo Daus yang mengajak Tra untuk sama­sama berekreasi di


ruang baca ini.
“Boleh, ada apa?”
“Mmm... setelah jadi romo, apakah Romo pernah jatuh cinta?”
tanya Tra sedikit meragu.
Sebenarnya Firdaus sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, dari
orang yang notabene selama ini jarang berbicara dengannya pula.

Renjana (2).indd 208 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 209

Tapi, ia berusaha menyembunyikan keterkejutan dalam senyum­


annya.
“Setiap hari saya tetap jatuh cinta. Terutama ketika bangun
pagi, menghirup udara pagi, dan masih boleh bernapas hingga hari
ini.”
“Kalau sama lawan jenis?”
Sejenak Daus meletakkan buku yang tengah dibacanya. “Bu­
kankah cinta itu diberikan Sang Pencipta untuk dinikmati dan
dikagumi? Termasuk, pada diri seorang perempuan.”
Tra hanya mengangguk, membiarkan sedikit penasaran atas
jawaban barusan yang tidak perlu dituruti. Ia gadis yang tidak mu­
dah puas, kemudian ia bertanya kembali.
“Trus, kalau Romo ketemu dengan orang yang Romo suka itu,
apa yang akan Romo lakukan?”
Daus sebentar berpikir. Ini pasti bukan karena pertanyaan in­
vestigasi, tapi memang karena rasa ingin tahu.
“Ya, berusaha biasa saja. Bukan jaga image, tetapi lebih menjaga
kenyamanan masing­masing saja.”
“Memangnya, Romo senang dengan perempuan seperti siapa?”
“Waaahhh... kok malah berlanjut nanyanya?” Firdaus menye­
ringai tanpa bermaksud membuat tak enak pekarya yang ia akui
memang berbeda ini.
“Hehe...,” Tra tersipu, “sudah lama saya mau nanya, Romo....
Apalagi sejak baca buku Paulo Coelho itu.”
“Yang mana?”
“Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Ooo itu.... Ya buku yang menarik. Kebetulan banyak berkisah


tentang kaum kami,” komentar Daus menetralkan rasa grogi yang
mendadak hadir. “Bagian mana yang menurutmu menarik?”
“Waktu Pilar bertemu kekasih lamanya setelah sekian tahun
berpisah....”
Deg.
Seperti ada yang mengenai jantungnya pelak.

Renjana (2).indd 209 11/29/2013 10:26:42 AM


210 | anjar

“Saya senang sekali dengan kalimat Pilar, cinta adalah perang­


kap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi
gelapnya.”
Arrggghhh.... Mengapa hari rekreasi dengan membaca buku
dan berbagi pengetahuan ini mendadak menyiksa Daus? Mengapa
kalimat­kalimat itu keluar dari gadis sepolos Tra?
Tidak adil rasanya bila tiba­tiba angkara hadir di antara obrol­
an ini, sementara Tra diyakininya tidak bermaksud hendak me­
nyindirnya. Apalagi mengutak­atik gejolak rasa Daus.
“Emmm... kamu sendiri pernah merasakan jatuh cinta?” Daus
sengaja membalikkan pertanyaan kepada Tra.
Disambut dengan wajah malu­malu, cenderung ingin berkilah,
Tra tidak mengira ditanya begitu.
“Saya... saya... saya... pernah jatuh cinta juga kok, Romo....”
“Kapan?”
“Mmmm...,” Tra mengingat sembari menimbang apa yang harus
ia jawab, “udah lama. Zaman saya masih ikut Bu Ola....”
“Sehabis itu?”
Sekali lagi Tra tersipu dan menggeleng kepala.
Untung orang lain sekitar Tra sedang sibuk dengan urusan ma­
sing­masing. Jadi pembicaraan di salah satu meja perpustakaan ini
tidak terlalu mereka gubris.
“Belum, Romo.... Saya belum yakin merasakan jatuh cinta itu
kembali....”
Jawaban jujur dari Tra itu membuat Daus malah berpikir sen­
diri. Sudah lama sebenarnya ia melihat Tra dan Raka berduaan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bukan sekali Daus melihat ada atmosfer cinta mengitari mere­


ka. Terutama, Raka yang memang terlihat sedang berusaha men­
dekati Tra.
Entahlah. Apakah sinyal­sinyal yang diberikan Raka itu bisa
ditangkap Tra atau tidak. Cukup kencang sebab bisa dirasakan pu­
la oleh Daus dan Bi Mumun.
“Saya tidak ingin turut campur, tapi saran saya kalau ada orang

Renjana (2).indd 210 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 211

baik yang hendak bermaksud baik menawarkan cinta tulusnya


padamu, jangan ragu. Saya percaya, orang itu adalah orang yang
sungguh dipilih Tuhan buatmu....”
Tampaknya persediaan kalimat tertahan di mulut Tra. Ia tidak
bisa berkomentar. Bahkan, duduk pun makin serba salah.
Walau tidak menyebut nama, Tra tahu, Romo Daus sedang me­
nyindir dirinya dan Raka. Tampaknya sinyal­sinyal cinta dari Raka
yang pernah dirasakan Bi Mumun juga ditangkap sang Romo.
Berbarengan dengan itu, di depan pintu masuk, dengan sedikit
menunduk, Raka menyapa para penghuni ruang perpustakaan.
“Maaf, Romo Daus.... Saya ada perlu dengan Tra. Mau tanya
tempat menyimpan kaos tangan saya. Kemarin sempat dicuci sama
dia,” ujar Raka setengah berbisik. Ibu jarinya menunjuk tempat
Tra duduk.
“O iya, silakan. Silakan... Tra, kamu berikan yang diperlukan
Raka.”
“Baik, Romo.... Saya permisi dulu.” Tra meletakkan buku dan
majalah di tangannya ke tempat semula, bersiap melangkah.
“Kamu jadi mau nanam bunga mawar di halaman depan, Ka?”
tanya Daus. Kali ini ia sudah ada di sebelah Raka berdiri.
Meski sedikit risi disebelahi begini, Raka tetap berusaha te­
nang dan hendak menjawab apa yang ditanyakan padanya. ”Iya,
Romo.... Makanya saya butuh sarung tangan itu buat jaga­jaga
kalau ada duri dari pohonnya. Sekalian mau beresin tanaman lain
di sekitar situ.”
“Ooo...,” Daus angguk­angguk. “Ya sudah, kamu temani Raka
http://facebook.com/indonesiapustaka

menanam bunga mawar di halaman depan, Tra.... Siapa tahu bu­


nganya akan lebih indah berkembang.”
Entah sudah berapa kali Tra dibuat tersipu dengan apa yang
diutarakan majikannya itu. Ia hanya tersenyum, sedikit merunduk
untuk lewat di depan Daus. Selanjutnya berdua dengan Raka, me­
reka menuju ruang simpan pakaian sehabis disetrika.

Renjana (2).indd 211 11/29/2013 10:26:42 AM


212 | anjar

Sudah terbayang di kepala Tra, mereka berdua bakal berkebun


dan menanam bunga.
Indahnya....

Di Rumah Papa Ola

KALAU ia mengundang Aisah ke rumah orangtuanya ini, bukan


sekadar mengajaknya untuk bersilaturahmi saja, tetapi juga karena
sudah lama mereka tidak saling bertukar cerita. Ola sudah bertekad
sejak pertama mereka bertemu lagi beberapa waktu lalu, ia akan
selalu menjaga tali silaturahmi dengan sahabat sejak kuliahnya
di Bandung ini. Jarak, waktu, atau kesibukan tentu tidak boleh
menghalangi.
Maka, setelah sekian lama saling bertukar sapa dengan semua
alat komunikasi yang ada dan berbagi suka­duka, hari ini diniat­
kannya kembali untuk lebih lama saling bicara. Rumah papa Ola
dipilih, selain karena Ola sudah tinggal di sana, juga karena seka­
lian Aisah ingin menjenguk orangtua sahabatnya itu.
Sudah lama sekali Aisah tidak sowan46 ke rumah orang yang dulu
bersama almarhum istrinya selalu terbuka tangan menerimanya ji­
ka ia terpaksa menginap di rumah mereka, terutama jika hendak
mengerjakan tugas kuliah.
Bagi Aisah, keluarga Ola sudah seperti keluarga sendiri.
Tak heran, kedatangannya langsung disambut baik oleh papa
Ola. Tak sungkan ayah kandung Ola itu memeluk Aisah dan me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nerimanya dengan hangat di rumah yang cukup besar itu.


“Papamu hebat ya.... Konsekuen dengan apa yang diucapkannya
dan setia pada cinta istrinya meski sudah mendahului,” komentar
Aisah sesampainya di teras belakang, berdua dengan Ola saja.
“Pengalaman masa lalu membuatnya menjadi lebih bijak dan
46
berkunjung

Renjana (2).indd 212 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 213

mengerti hidup, Sah....” Ola menyeruput teh hangat yang baru


saja disajikan.
“Memang harusnya begitu ya, La... bukan kebalikannya....”
Nada sendu terdengar dari mulut Aisah. Walaupun ia sama­sama
menyeruput teh hangat nan nikmat, matanya seperti menerawang,
entah ke mana.
“Maafkan kalau kalimatku menyakiti hatimu, Sah....” Ola jadi
merasa bersalah sendiri. “Tidak bisakah kakakmu diajak bicara dulu
agar niatnya itu benar­benar dipikirkan masak­masak. Dipastikan
dulu semua kesiapannya?”
Kepala Aisah bergeleng. “Tampaknya kakakku itu sudah tidak
berpikir dengan logika lagi, La.... Di kepalanya hanya ingin meni­
kahi perempuan itu saja.”
“Lha kalau nggak disetujui istri pertamanya gimana?”
Aisah mengangkat bahu. “Nggak tahu, La.... Mungkin penga­
dilan agama yang akan menyelesaikannya.”
“Bercerai maksudmu?”
Kepala Aisah mengangguk.
“Hhh....” Ola mengempaskan napasnya.
Sejak hari lalu Aisah berbagi cerita tentang kegundahannya
akan berita sang Kakak yang hendak menikahi seseorang dari desa
yang sama. Padahal saat ini sang Kakak masih memiliki seorang
istri dengan empat orang anak.
Sang Kakak tidak peduli pandangan orang lain termasuk ke­
luarga kandungnya. Ia masih merasa dirinya sanggup bertindak
adil pada dua istrinya kelak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Padahal masku itu baru saja bisa menjalankan usaha cabang wa­
rungku di Cepu, sudah besar kepala dia....” Raut wajah Aisah sudah
terlihat tidak ceria lagi. Sekian kecewa telah menggantikannya.
“Coba minta tolong ustad kalian, Sah.... Minta tolong untuk
memberi saran supaya mata hati kakakmu terbuka,” saran Ola lagi.
“Itu dia, La.... Kebetulan ustad yang sekarang itu beda dengan
zaman kami kecil dulu. Dia malah memberi dukungan pada kakak­

Renjana (2).indd 213 11/29/2013 10:26:42 AM


214 | anjar

ku.” Aisah kembali menyeruput teh hangatnya. “Padahal menu­


rutku, biar Alquran memperbolehkan laki­laki menikah lebih dari
satu orang istri, empat malah, tapi digarisbawahi juga bahwa ia
harus adil kepada semua istrinya. Kalau nggak bisa adil, ya jangan
menikah dengan banyak perempuan.”
“Gitu ya….” Ola menyimak.
“Alasan masku mau menikahi perempuan itu juga aneh deh....”
“Kenapa?”
“Karena perempuan itu cinta pertamanya.”
Ola melirik ke arah sahabat baiknya itu. “Cuma itu?”
Kepala Aisah angguk­angguk. “Mereka pernah dekat waktu
SMP. Begitu SMA, perempuan itu ikut saudaranya di Semarang.
Baru sekitar dua tahun ini kembali ke kampungnya. Tapi, karena
beda dusun, jarang ketemu, begitu ketemu, ya gitu deh....”
“Hmmm....” Ola turut berpikir.
Jauh­jauh dari kampung halaman, Aisah cuma ingin menum­
pahkan perasaannya saja. Selain karena ingin bertemu dengan
seorang ustad yang pernah menjadi pendamping rohaninya selama
kuliah dulu.
Aisah berharap, lewat ustad itu ia bisa mendapatkan peneguhan
atau penjelasan yang bisa menguatkan dan bisa ia bawa ke kampung
halamannya. Hingga ketika nanti bertemu dengan kakaknya itu, ia
bisa meneruskan apa yang ia dapat dari ustad kepercayaannya itu.
“Bagiku, menikah itu seperti menjadi manusia itu sendiri. Cu­
kup sekali saja. Nggak perlu ada copy atau kloning segala. Kalau
selama hidup sudah baik, mengapa harus dua kali. Belum tentu
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang kedua juga lebih baik,” ujar Aisah pelan.


“Menikah itu total pilihan hidup. Harus dijaga sampai hidup
kita berakhir.” Kalimat yang terlontar mantap sekali terdengar.
Ola tersenyum.
“Jadi, tidak menikah itu juga pilihan hidup?”
“Yes.” Tak kalah mantap Aisah menjawab. “Seperti papamu itu.
Lepas karena beliau punya masa lalu yang bagaimana, tapi dengan

Renjana (2).indd 214 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 215

hidup sendiri setelah istrinya meninggal, itu pilihan hidup. Pilihan


itu harus dihormati, bukan malah diusik atau diomongin nggak
bener.”
Ola memandang Aisah kagum. “Kamu makin matang, Sah....”
“Banyak hal menjadikanku demikian, La.... Sama denganmu
juga...,” Aisah membalas pandangan Ola tadi dengan senyuman.
“Aku menghormati pilihanmu tidak menikah demi cinta tulusmu
pada Firdaus.”
“Terima kasih, Sah.... Terima kasih.... Aku harus bisa menghor­
mati pilihan hidup Firdaus. Aku percaya dia bukan orang biasa.
Pilihan Tuhan yang harus dijaga....”
Perkataan yang keluar dari mulut Ola itu seakan menjadi pe­
neguhan bagi dirinya sendiri.
Ola makin percaya, Sang Penguasa Jagat memang sedang me­
nyusun rencana bagi kehidupannya yang lebih baik.
Akan jauh lebih baik dari masa lalunya.


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 215 11/29/2013 10:26:42 AM


Ibu,

sedang apa hari ini?


menatap awan tengah beriring, menari?
Pasti gerakannya lebih gemulai ketimbang tanganku yang sempat
kau impikan bisa menarikan banyak gerakan
atau
Ibu sedang bernyanyi bersama seribu peri?
Oh, mereka pasti akan begitu mengagumi
Suaramu yang lama tak terdengar karena dimakan waktu, kini
boleh kembali menggema,
menyemarakkan surga
Kalau sempat,
coba Ibu baca harian dan majalah hari ini
Berita tak kunjung habis, memenuhi alam yang sekian puluh tahun
pernah kau lalui bersama debu, angin, hujan, panas, dan
peluhmu
Tak terbayangkan kalau hari­hari ini,
segala berita yang sering membikinmu kembali bertanya­tanya
tak perlu diabaikan lagi
karena kau pasti sudah lebih dulu mengerti
Aku kangen, Bu…
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kangen pada waktu dan keindahanmu.

Renjana (2).indd 216 11/29/2013 10:26:42 AM


10.

DALAM lakon hidup, ada yang berperan menjadi penerima, ada


pula pemberi.
Di antara kedua lakon itu ada lakon lain, lakon yang tak ubah­
nya menjadi penjembatan dari kehendak Yang Kuasa.
Ia tidak dibayar atas jasa­jasanya. Tidak mendapat komisi atas
jerih payah yang dikerjakannya. Tidak ada pula konsekuensi se­
kiranya tugasnya tidak terjadi dengan mulus. Justru ia diharapkan
memiliki segala kreasi supaya yang hendak disampaikan Sang
Pemberi bisa seperti yang seharusnya terjadi.
Alam sekitar adalah teman terdekatnya.
Bersama mereka, ia mendapat dukungan penuh, tidak perlu me­
ragu melangkah sendiri. Dalam iringan awan, desiran angin, usap­
an debu atau gemericik air, untaian lagu burung, tarian daun, dan
langit malam bersama gegap gemintang yang dikawal rembulan,
tugas mulia ini akan terus terjalani hingga semua tanggung jawab
dapat terlaksana.
Lalu.... Apakah hadiah akan ia terima, sekiranya apa yang di­
rencanakan berwujud nyata?
Selain kelegaan dan rasa bahagia, adakah yang lebih indah da­
ripada itu?
Kelegaan bahwa satu jalur hidup bisa berjalan sesuai alurnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan kebahagiaan bisa menjadikan yang muram menjadi tersenyum


senang. Sukacita terbesar akan terbayarkan dengan membuat se­
mua umat bisa turut bersama melantunkannya.
Karena pada akhirnya, rasa syukur yang tak akan habis adalah
penutup atas apa saja yang telah diberi.

Renjana (2).indd 217 11/29/2013 10:26:42 AM


218 | anjar

SENANG sekali bisa sebentar menikmati kesegaran suasana yang


jauh dari hiruk pikuk kota. Ditemani pepohonan hijau, sawah
yang sebentar lagi panen, dan aliran sungai nan jernih mengalir.
Bila tempat ini dekat, ingin Ola merapat tiap saat.
Bukan hanya karena udara yang terembus dan masuk ke paru­
paru, melainkan ketulusan senyuman semua warga desa ini. Ketika
saling bertemu atau sekadar lewat di depan rumah orang lain,
sapaan khas berbahasa Jawa itu benar terdengar menyenangkan
telinga.
Keberadaan setiap manusia dianggap sama.
Namun.... Lebih dari itu, di tempat itu ia menemukan keha­
ngatan seorang ibu. Ola merasa menemukan sosok mamanya. Dalam
keterbatasannya saat ini karena digerogoti penyakit osteoporosis.
Untuk kegiatan sehari­hari, Ibu yang sudah menginjak usia enam
puluh lebih itu harus dibantu dengan kursi roda.
Walau begitu, rasa sakit itu tidak lantas mengurangi semangat­
nya untuk meneruskan hidup dan mengisi hari­harinya.
Dialah ibunda Firdaus.
Kerinduan akan kehadiran seorang ibu seperti tersirami dengan
kehadiran Sang Ibu. Setelah pertemuan beberapa kali, kini tiap
kali ia pergi ke Jawa Tengah, Ola selalu menyempatkan diri mam­
pir ke sebuah desa kecil di Purworejo itu. Bukan saja untuk me­
nilik kebun organiknya, tetapi juga untuk menjenguk ibunya.
Tanpa sungkan lagi ia bisa bermanja dan bercerita banyak ten­
tang rasa hatinya. Termasuk, tentang Firdaus. Ola sama sekali tak
merasa risi tentang hal itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dan, karena ikatan batin sudah terjalin kuat di antara mereka,


Ola berhasil merayu untuk sesuatu yang tak pernah dikehendaki
sang Ibu.
Kelak sesuatu itu diharapkannya akan memberi penguatan juga
bagi Daus....

Renjana (2).indd 218 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 219

ORANG bisa menarik napas resah dan membuangnya ke langit


serta berharap tak kembali lagi, tetapi Daus berbeda.
Telah berulang kali ia melakukan hal itu, nyatanya keresahan
masih menetap bahkan tak hendak pergi. Meski sudah diusir de­
ngan berbagai cara, tapi tak mempan jua.
Maka, sudah sekian bulan ini keresahan yang tak bisa ia le­
paskan itu menjadi semacam kelelahan sangat. Pemeriksaan dok­
ter atau ungkapan rasa hati kepada beberapa teman dan kepala
biara masih belum mampu mengatasinya.
Ada bagian yang tetap menyiksanya.
Seribu lagu, sederet syair, atau beragam hiburan, seakan hanya
menjadi pelarian sesaat, yang ujung­ujungnya mengembalikan pe­
kat. Daus sadar, kondisi yang berlarut­larut begini sungguhtak
sehat.
Segala ajaran dan pembekalan sebelum kaul kekal itu diucap­
kan, awalnya memang mempan. Sangat membantu di saat­saat
yang sulit dan kusut. Namun, hari­hari belakangan ini, semua itu
seolah hanya menjadi semacam perulangan yang pudar makna.
Kebosanan dan kejenuhan mulai menduduki segenap hari.
Sebagaimana manusia lain, ia tetap punya hak untuk sejenak
berhenti, mencoba melihat suasana lain agar bisa kembali berenergi.
Tapi... dalam posisinya kini, Daus amat mengerti, tak mungkin ia
terlalu jauh melarikan diri. Bukan hanya untuk komunitas atau
jubah yang ia jaga sungguh, pun untuk komitmen diri yang pernah
ia yakini telah memilihnya untuk menjadi pelayan­Nya.
Selain urusan itu, Daus tak bisa tak peduli apalagi berlalu.
Maka, di batas kemanusiaannya, sering kali ia terjebak. Ke­
http://facebook.com/indonesiapustaka

inginan dagingnya ingin segera berlari dan mengoyak. Ia masih


muda dan bisa mewujudkan apa yang banyak bercokol di kepala.
Jalan terbentang di depan telah sebagian ia lalui. Sedikit ba­
nyak penyelesaiannya sudah bisa diraba dan dipahami jika ada
yang berkelok atau ada penghalang yang menghampar di depan.
Yakinkah ia bahwa ia harus melaluinya sendiri tanpa ada jubah
membebani?

Renjana (2).indd 219 11/29/2013 10:26:42 AM


220 | anjar

Berani memastikankah ia bahwa putaran waktu di antara detak


jam bisa membuatnya bebas dari segala beban, bukan justru mem­
buatnya tak tentu arah jalan?
Segala gejolak itu berkecamuk. Berat.
Lengkingan doa—yang hanya dia yang tahu—sudah tak mampu
menyuarakan segenap rintihan. Jika ada saran untuk sekadar me­
narik diri lalu bertekun pada keheningan pengantar puja­puji, ha­
rus ia akui tak akan tercapai—bahkan sekadar improvisasi.
Tuhan.... Bagaimana aku bisa meneruskan panggilan­Mu ini bila
tetap ada lelah diri tak terkendali?

Lelahku ketika mata menatap banyak hati tak sama


Lelahku ketika otak berontak
tapi, tak mampu meledak
Lelahku ketika mulut bercerita, terselip satu kata
mengubah semua, bahkan menjadikannya tiada
Lelahku ketika kaki berniat beranjak
tertunda gerak, karena siapku belum serempak
Lalu… bagaimana kuteduhkan lelah
kalau sekadar telurkan rasa saja
belum juga pecah, telah timbulkan berjuta resah,
munculkan gerah?

“KALAU kamu janji, setelah pertemuanmu dengan sang putri ha­
timu akan kembali pulih dan tidak memikirkannya lagi, aku bisa
mempertemukanmu dengannya,” suara Ola tegas terdengar lewat
http://facebook.com/indonesiapustaka

telepon. Ola yang menelepon Wie.


“Insya Allah, La…,” jawab Wie.
“Aku mau kamu jawab itu dari dirimu sendiri. Jangan meng­
atasnamakan apa pun karena nanti kamu bisa berdalih.”
“Hhh!!” Wie seperti kesal. Tapi, benar juga, kalau ia sendiri ti­
dak yakin berarti apa yang dikatakan Ola barusan sia­sia. Akhirnya,
“Iya, La... aku janji.”

Renjana (2).indd 220 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 221

“Nah, gitu dong....” Ola tersenyum lebar tanpa Wie bisa meli­
hatnya di seberang sana. “Aku akan mencoba membuat janji de­
ngannya supaya kamu bisa ketemu ya....”
“Dia ada di Bandung?”
“Pokoknya dia sudah bahagia dengan pilihannya.”
“Sudah menikah?”
“Nanti kamu sendiri tahu.”
“Ah, Ola.... Kamu bikin penasaran aja.”
“Tidak semua pertanyaan bisa kujawab dengan kalimat, Wie....
Ada yang harusnya kamu rasa, terlebih bila itu kau landaskan de­
ngan keadaanmu sendiri.”
“Aaahhh....” Wie membuang kesal karena rasa penasarannya.
“Tahanlah dulu segala penasaranmu, Wie.... Toh selangkah lagi
kamu akan mengentaskannya.”
Wie diam.
“Satu lagi,” Ola mengacungkan telunjuknya, “segera jemput
istri dan anak­anakmu di kampung halamannya. Ia sudah terlalu
lama kamu buat tersiksa dengan pendaman rasamu yang tak jelas
itu.”
Kali ini Wie menarik napas panjang.
Ya, karena rasa penasaran ini ia tidak bisa menahan semua ge­
jolak yang membuahkan kepergian sementara Dalimah ke rumah
orangtuanya. Dengan alasan masih ada pekerjaan, ia belum sempat
menjemput istri tercintanya itu.
Tapi, lebih dari itu, Wie belum siap melepaskan rasa hatinya
yang beberapa waktu itu memang sangat meletup­letup. Ia tak ingin
http://facebook.com/indonesiapustaka

melukai istrinya lagi karena dampak letupan hati tadi. Kiranya se­
lepas Ola bisa mempertemukannya dengan sang putri, Wie dapat
menyurutkan rasa itu. Jika perlu, luruhkan saja selamanya.
Karena mendadak sunyi senyap dengan pikiran masing­masing,
obrolan malam lewat telepon itu pun tidak terdengar lagi. Terlebih
Wie. Ia tidak berkonsentrasi lagi bercerita.
Ola memahami.

Renjana (2).indd 221 11/29/2013 10:26:42 AM


222 | anjar

Segera ia alihkan pembicaraan pada sebuah cerita yang lebih


manusiawi.
Tidak mengganggu hati.

TIADA niat Tra menghindar dari adu pandang mata tiap kali me­
reka berserobok, baik sengaja atau tidak.
Pada kedalaman pasang mata polosnya, Tra merasakan tarikan
yang luar biasa menggelegar melebihi bunyi petir atau kilat yang
menyambar sesaat mendung memberi tanda. Tarikan itulah yang
membuat tidurnya sudah sekian hari tiada juga nyenyak atau lelap.
Berbeda saat ia pernah menggantungkan harapan padasetiap
kiriman e­mail ditujukan bagi pangeran berajanya dulu. Letupan
gejolak sanubari ini tidak sekuat sekarang. Cenderung biasa.
Paling dalam setiap rangkaian kalimat yang ia gunakan, ia
bubuhkan renjana yang ia pun baru sadar bisa sedalam itu. Tak
dinyana, kekuatan rasa ini bisa terbaca dalam rangkaian kata yang
tersusun lewat perantara papan ketik komputer warnet yang waktu
itu sering ia kunjungi.

Malam sebelum rebahkan badan


anganku beralih padamu sebentar
Sedang apa kau sekarang?
bermain malam
atau usaikan hari
dan lebih dulu terlelap?
Tunggu sebentar, sayang...
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mataku memang sudah ingatkan,


tapi badan masih punya beban
Izinkan sebentar aku selesaikan
Lalu, bersama bintang
akan kubelai mimpi
bersamamu
(seolah) ada di sisi

Renjana (2).indd 222 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 223

Lalu, ketika saat ini ada rasa yang nyaris sama, bolehkah ia
maklumatkan itu sebagai nostalgia yang mungkin saja bukan lagi
di angan semata?
Ooohhh... dewi cinta, betapa aku mendahaga pada sentuhanmu
yang sejak mula tak pernah kurasa. Yang lalu pun kini hanya tinggal
sisa. Tidak mungkin kuharap sama.
Namun, jika sekarang adalah benar saatnya, tunjukkan jalur hati
supaya menetap dan yakin senantiasa. Tak peduli siang atau malam,
aku mau rasa itu meraja, mengoyak sebentuk ragu atau rasa tidak per­
caya. Bukankah cinta itu memang cukup untuk cinta, di atasnya tak
ada lagi lara?
Demikian sanubarinya beradu rasa.
Di atas sana kelam malam masih menemani.

Kuembuskan napas cintaku


berbaur bersama embun pagi, sengat mentari, atau gemintang
menemani bulan
Hirup dalam­dalam yang kuembuskan sepanjang udara
menari­nari
Takkan teraba tanganmu, takkan terlihat matamu, takkan
terdengar telingamu
Tapi, ia ‘kan menyentuh sukma terdalam, merasuki segenap jiwa
hingga kau akan terbalut hangat
pada dekapan alam, rapat
Mengalir deras bak air, meluncur lancar tak kendur
Percaya saja, tidak akan ada yang protes atau yang tak beres
http://facebook.com/indonesiapustaka

semua dilafalkan dalam kaitan terdalam hati


Lalu, setelah kau rasa semua, coba embuskan kembali napasmu ke
udara
ujarkan padanya apa yang kau rasa
Tidakkah cinta ini sungguh milik kita berdua?

Renjana (2).indd 223 11/29/2013 10:26:42 AM


224 | anjar

Hhh...
Tubuh Tra menjadi saksi, keresahan rasa ini cukup menyiksa
diri.

berkata senja kepada rasa, meluas membentuk deretan huruf


awalnya tak kentara
tetapi ketika ada yang memuncak di jiwa
lalu diembuskan bersama angin bersua
di sana terbaca
segala keindahan semburat yang terbawa,
adalah namamu yang jelas mengembara
tak dapat kupungkiri
bahkan ketika sesaat rasa itu sempat disertai debu

MENATAP senja mungkin menjadi favorit banyak mata.


Namun jika menatapnya lama dari balik jendela rumah milik
orangtua kandungnya begini, bolehlah dipamerkan pada semesta.
Sebab, keindahannya ternyata berbeda.
Begitulah yang dirasakan Ola.
Kalau dulu ia hanya sendiri menyaksikannya, kini ia bisa ber­
cengkerama ditemani segelas kopi. Bercerita panjang lebar tentang
kondisi masing­masing dan sesaat ada waktunya membiarkan ma­
tahari tenggelam yang bisa terlihat jelas di halaman belakang ru­
mah.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Papa senang sekali kita jadi sering menikmati sore di sini,


Ola…,” ujar papa Ola. Matanya bersinar dan kalimatnya lebar se­
olah hendak menggambarkan rasa terdalamnya.
“Iya, Pa.... Ola juga seneng banget,” jawab Ola tak kalah ber­
binar.
“Papa jadi merasa mamamu hadir juga di sini. Tidak kasatmata,

Renjana (2).indd 224 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 225

tapi terasa. Apalagi jika Papa memandangimu. Matamu itu persis


sama....” Spontan kepala sang Papa menoleh ke arah putrinya, lalu
menatapnya dalam.
Pada pasang mata anak putri satu­satunya ini, ia temukan se­
ribu arti dan nostalgia bersama istrinya. Ia merasakan kehadiran
Almarhumah dalam sorotan dan senyuman putri terkasihnya itu.
Itulah mengapa hampir setiap senja, ia ingin bisa selalu menik­
mati semuanya bersama sang putri tercinta.
Ada energi dan spirit baru sejak putrinya itu tinggal di rumah
ini.
“Ola... Papa ingin bertanya sesuatu.”
“Iya, Pa... ada apa?” Ola mengarahkan duduknya berhadapan
dengan papanya.
“Apakah keputusanmu untuk tidak menikah itu sudah kamu
pikirkan baik­baik?”
Pertanyaan sederhana yang cukup menohok.
Walau sebelumnya telah ia terangkan panjang lebar mengapa
ia membuat pilihan tersebut, tapi tampaknya Ola harus mene­
rangkannya kembali dengan sabar. Bisa jadi, sebagai orangtua, ada
bagian yang terlupa.
“Papa... Ola memilih tidak menikah bukan karena putus asa
atau patah hati. Tidak. Ola dengan sadar membuat pilihan itu
kok,” Ola mulai menerangkannya kembali pelan­pelan.
“Lebih dari itu, Ola ingin merawat Papa... Koko Michael dan
Rafael kan jauh. Kalau ada apa­apa sama Papa, siapa yang bisa
urus?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bola mata sang Papa sekonyong­konyong membendung air ma­


ta tertahan.
Hatinya terenyuh dan terharu. Sedemikian besar cinta anak
bungsunya ini kepada dirinya.
“Ola... Papa tidak menyangka kamu begitu perhatian pada Pa­
pa. Padahal harusnya kamu yang Papa perhatikan lebih. Apalagi
sekarang kamu perempuan satu­satunya dalam keluarga kita.” Papa

Renjana (2).indd 225 11/29/2013 10:26:42 AM


226 | anjar

Ola tak bisa menahan haru. Air mata yang tertahan itu pun ter­
tumpah. Demi agar papanya tak bertambah luka, Ola mendekat
lalu duduk di lantai seperti berlutut di sisi papanya. Selembar sa­
putangan ia haturkan kepada sang Papa.
“Papa... keluarga kita harus saling menjaga satu sama lain. Tidak
peduli laki­laki atau perempuan,” ujar Ola mencoba menenangkan.
“Iya.... Tapi, di antara dua saudaramu, kamu mestinya yang
dijaga. Biar bagaimanapun,” papa Ola masih setengah keukeuh de­
ngan pendapatnya. “Seperti yang pernah Papa katakan, mamamu
ingin kamu dilindungi oleh kedua malaikat agung itu dalam
wujud kakak dan adikmu. Mamamu kayaknya sudah punya feeling
bahwa setelah kamu, anak kami laki­laki lagi,” jelas papa Ola
bernostalgia. “Dengan diapit Malaikat Agung, mamamu berharap
kamu akan selalu dilindungi. Sampai kapan pun....”
Ola menyimak dengan sungguh­sungguh.
Begitu luar biasa maksud Mama tercintanya, seperti sudah
menyiapkan semua hal bahkan jauh sebelum segalanya ituterjadi.
Betapa bersyukurnya Ola memiliki mama yang demikian perhatian
dan menyiapkan semuanya sebelum ia berpulang. Tak pernah Ola
sangka, sang Mama sedemikan jauh memikirkan masa depannya.
“Jadi, sebenarnya Papa ingin kamu memiliki keluarga dan bisa
meneruskan segala yang baik dari mamamu itu, La...,” lirih sang
Papa. Tidak bernada mengiba, namun ada harapan besar terben­
tang.
Ola memahaminya.
“Papa...,” panggil Ola pelan, “Ola akan tetap meneruskan segala
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang baik dari apa yang telah dilakukan Mama. Tapi, izinkan Ola
melakukannya dengan cara Ola sendiri. Izinkan Ola, Pa....”
Kepala sang Papa angguk­angguk.
“Ya. Ya... Papa paham. Kamu memiliki jalur hidup sendiri. Tak
pantas kalau Papa merebutnya dari hadapanmu sendiri.”
Senja di depan seperti mengembangkan semburatnya.
Indah.

Renjana (2).indd 226 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 227

Mungkin tergugah melihat ayah dan anak ini saling berbagi


apa yang terpendam pada sanubari mereka yang paling ujung. Ka­
sih yang terjuntai mesra merambat kepada senja yang tak terguyur
hujan.
“Terima kasih, Papa.... Ola tidak akan menyia­nyiakan apa
yang telah Papa percayakan pada Ola....” Tanpa ragu Ola memeluk
papanya itu dengan hangat yang bahkan tak ingin dilepas. Pelukan
itu seperti menguatkannya.
“Jadilah seseorang yang bisa mengantarkan kebahagiaan buat
orang lain, Ola.... Hidupmu selama ini sudah penuh berkah,” ujar
papa Ola ketika ia dan sang putri masih saling berdekapan.
Ola jadi benar­benar tak ingin melepas pelukan papanya ter­
cinta.
Kenangan masa kecil berbondong­bondong datang dalam pe­
lukan hangat papanya.
Beruntungnya ia bisa dilahirkan di keluarga nan penuh kasih
sayang ini. Kenyataan bahwa masa lalu papanya yang tidak menye­
nangkan, yang sempat membuat dirinya luluh lantak, kini seperti
telah dihilangkan derai bahagia ini. Hilang lenyap.
Langkah Ola pun terasa ringan.
Tiada ragu ia melangkah pada pilihannya sendiri. Tanggung
jawab serta kehendak baik untuk tetap berbagi bahagia kepada se­
sama menjadi jalur paling utama di setiap langkahnya.
Pergantian cuaca atau apa pun yang ada di dalam benaknya
bukanlah penghalang. Justru hal itu penyemangat yang tak perlu
dicari. Penyemangat supaya melawannya untuk tetap menghadir­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan yang terbaik.


Ola percaya, di balik langit nan luas, di sebuah tempat yang
mungkin tak dapat tertangkap akal kepala, ada seseorang atau le­
bih yang akan selalu menyertai dan menemani setiap langkahnya.
Termasuk, sang Mama.
Mama yang luar biasa itu memang telah menyiapkan dua ma­
laikat dalam wujud dua saudara kandung yang kini amat ia percaya

Renjana (2).indd 227 11/29/2013 10:26:42 AM


228 | anjar

sebagai guardian angels. Ola sungguh­sungguh bersyukur atas hal


ini.
Sejauh mata menerawang, laksana ada kepak sayap malaikat
sedang berkembang, hendak selalu menemaninya. Walau kurang
satu di sana, kedua malaikat agung itu tetap tersenyum panjang
untuknya.
Kurang satu?
Mendadak ingatan Ola berlari kilat ke suatu tempat.
Sesosok.
Gabrielle Firdaus Abhipraya.

Di Taman Balai Kota

ALAM sekitar di Taman Balai Kota ini masih seperti sekian tahun
lalu.
Teduh. Asri. Menjauhi polusi. Bertengger banyak pericit dan
serangga menemani. Suasana yang ngangenin.
Kaki Tra tergetar saat baru memasuki gerbangnya. Ia sudah
lupa bagian mana yang pernah ia duduki. Ia turuti saja ke mana
sepasang kakinya itu membawanya pergi.
Hari libur begini biasanyaTra habiskan untuk membaca buku
atau menengok Mamah dan Abah di kampung.
Kali ini, kerinduan terdalamnya untuk bisa sekadar duduk­du­
duk di taman tengah kota mengantarnya untuk datang ke sana.
Bunyi srek­srek sapu demi menyapu dedaunan yang berguguran,
mencuri perhatian Tra. Dia ingat Mang Ujang. Dulu, di tempat ini
http://facebook.com/indonesiapustaka

ia sering sekali bertemu bapak sederhana nan bijak itu.


Sebentar Tra membuang pandangan ke seluruh penjuru.
Ada yang mengalir dari dalam dada. Tidak bergemuruh, namun
cukup menjadikan posisi berdirinya sedikit menyenget sebab campur
aduk yang ada di benak.
Diambilnya napas sejenak. Bukan cuma menghirup udara me­

Renjana (2).indd 228 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 229

nyegarkan saja, namun untuk mempersiapkan sekiranya kenangan


itu tak hendak beranjak pergi. Dimulai dari sini kembali.
Di pojokan dekat sebuah sawung modern, Tra memilih duduk.
Tak terlalu yakin bila bangku yang pernah ia duduki dulu ada­
lah yang ia duduki kini.
Tak mengapalah. Toh, tujuannya kemari untuk bernostalgia sa­
ja. Mengisi hari liburnya. Kegembiraan hati bisa meniti ke tempat
ini lagi, cukuplah baginya.
Kalau ada pepohonan di sini yang bisa berbicara, bisa jadi ia
akan berceloteh banyak tentang suatu hari saat Tra kemari dengan
perasaan remuk redam memikirkan pangeran beraja yang tiada ju­
ga mengerti rasa hatinya. Hingga kini, ia tak pernah tahu alasan
apa yang menjadikan sang pangeran tak pernah mau jujur atas
segala bentuk getaran.
Akh. Mungkin ia memang tak perlu tahu.
Lagi pula sampai detik Tra memutuskan pergi, sekadar ucapan
selamat tinggal pun tak tertemui.
Mengapa ia ngelangut tentang tempo lalu?

Ola dan Daus di Sebuah Parkiran
“AKU menyerah, Ola.... Menyerah. Aku teramat lelah,” kepala
Daus merunduk. Wajahnya tak bersemu senang bisa bertemu kem­
bali pujaan hati di sebuah parkiran.
“Lalu, apa yang hendak kau lakukan?” kalimat sabar sengaja
Ola lontarkan tenang. Tidak terbawa emosi yang diam­diam me­
nyeruak hadir.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Daus tidak segera menjawab pertanyaan Ola barusan.


Diambilnya napas panjang. Menyiapkan semua hal yang mung­
kin bisa saja terjadi.
“Aku ingin menanggalkan jubah.... Membiarkan hari­hari
menjadi seorang Daus yang biasa.” Nada berat berkias di telinga
yang mendengar. Tapi, kalimat itu sudah telanjur keluar lancar
dari mulut Daus.

Renjana (2).indd 229 11/29/2013 10:26:42 AM


230 | anjar

Demi menjaga semua rasa, Ola mengalihkan pandangan ke


hamparan di depan. Tidak ada pemandangan, memang, selain
jajaran mobil dan beberapa petugas parkir yang melaksanakan tu­
gasnya.
“Sudah berulang kali aku jatuh. Bangkit lagi. Jatuh, bangkit
lagi... Kali ini, aku tak sanggup berdiri. Tak sanggup....” Nada yang
semula berat menjadi lirih, memelas.
“Meski kini ada aku di dekatmu?”
Kepala Daus berpaling ke arah kanannya.
Perempuan ciptaan Allah yang selalu ia anggap sempurna ini
seketika membangkitkan kembali gelombang rasa yang bergemuruh
dalam dadanya.
“Ola.... Salah satu alasanku bertahan adalah kamu....” Daus
memberanikan diri menyentuh tangan Ola, menggenggamnya.
Meski sempat kaget, Ola berusaha tenang. Sementara Daus,
merasakan kembali nostalgia nuansa suatu masa ketika Ola berani
mencium pipi kanannya, di tempat parkiran seperti ini juga.
Keindahan itu muncul lagi meski hanya berpegangan tangan
begini.
Keinginan nafsu daging ini telah merajai akal budi bahkan me­
nutup suara hati yang sedang berteriak, tidak setuju. Terlambat.
Nafsu berahi menguasai sejenak waktu. Beradu. Daus pun akhirnya
tetap memilih untuk sejenak melupakan kata­kata tak setuju.
Tangannya tetap menggenggam erat tangan Ola.
“Maka bertahanlah lebih kuat lagi, Romo Daus....” Ola mele­
paskan genggaman tangan Daus dari tangannya. Sengaja ia letak­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan kedua tangannya di setir mobil. Jendela mobil sedikit ia buka.


Wajah Daus menunjukkan penyesalan, tak bisa merasakan mo­
men nan menggairahkan sukma itu berlama­lama.
“Aku manusia biasa, Ola.... Ada batas di mana tak tertahan
pada apa yang ada di hadapan. Meski engkau adalah satu alasanku
bertahan, tapi kali ini aku tak mampu mengubah niat.”
Ola tak banyak berkomentar lagi.

Renjana (2).indd 230 11/29/2013 10:26:42 AM


renjana | 231

Ia tahu, emosi Daus tidak mungkin bisa diadukan dengan seri­


bu kalimat bijak. Hal satu itu, Daus punya persediaan banyak.
Sembari berpikir mengenai cara terbaik, petugas parkir di de­
pan memberi tanda supaya mereka segera mengambil keputusan.
Kendaraan lain sedang menanti, parkir mereka harus berganti.

KEPALA Tra celingukan kanan dan kiri. Seperti sedang mencari­
cari.
Selain karena libur, salah satu alasan dia menyambangi Taman
Balai Kota ini adalah karena pesan dari Ola. Katanya ada yang
hendak bertemu. Di sini, tempat penuh kenangan ini.
Semula Tra tak hendak menanggapi. Ia merasa tak perlu.
Tapi, di luar sangka, Raka menyemangatinya.
“Jangan biarkan orang lain bersedih karena ketidakhadiranmu,
Neng....”
Dukungan ini meneguhkan hati Tra. Langkahnya mantap me­
nuju tempat penuh kenangan itu.
Sedikit jauh di depan sana, ada serombongan anak SMA se­
dang berlatih marching band. Sisanya mungkin sedang belajar
bersama atau sekadar nongkrong.
Sepertinya tidak mungkin bila mereka yang akan menemuiku
selayaknya yang dikatakan Bu Ola, pikirnya.
Mungkin belum datang saja.
“Punten, Neng.... Apa Neng yang namanya Tra Laksmi?” suara
tukang sapu taman mengagetkan Tra. Lebih kaget lagi karena si
http://facebook.com/indonesiapustaka

tukang sapu mengenal namanya. Lengkap.


“Iya, Mang....”
Tukang sapu itu merogoh sakunya. “Ini ada titipan surat buat
Neng....”
“Surat? Dari siapa, Mang?” tanda tanya besar memenuhi sukma
Tra begitu tukang sapu itu menyerahkan sebuah amplop putih ke­
padanya.

Renjana (2).indd 231 11/29/2013 10:26:42 AM


232 | anjar

“Saya kurang kenal, Neng.... Cuma disuruh memberikan pada


Neng saja. Mangga, Neng.... Mang kerja lagi....” Tanpa bisa dice­
gah, si tukang sapu berlalu.
Penuh rasa saat tangan Tra membuka amplop putih panjang
itu.
Duga berkecamuk di dada tak bisa sedikit memberi kisi­kisi sia­
pa penulis surat yang kini ada di tangannya.
Hingga ketika pancaran matanya memandang rangkaian kali­
mat yang terangkum rapi dalam surat amplop putih itu....

Putri hatiku, Laksmi....


Sekian waktu bergulir dalam tanda tanya dan penantian, akhirnya aku tahu, kau
akan menduduki kursi itu lagi. Akhirnya aku tahu, kau memenuhi janji akan mengge-
napi anugerah dan hadiahmu berada di atas bumi.
Sungguh, putri.... Aku ingin menyaksikan sendiri matamu berbinar saat janji itu
ter tepati.
Tapi... langit yang pernah kita tatap sama itu, kini sedikit berbeda warna. Aku tak
ingin melangkahi Sang Pelukis Semesta. Apalagi memberi warna lain dengan kehen-
dakku sendiri.
Maka, putri, lewat surat ini tak banyak kalimat hendak kuujarkan, berharap tak lagi
ada penyesalan bahwa langit memang tidak pernah mengizinkan kita menatap sama,
serupa, berdua.
Ingat saja, putri.... Hadirmu telah cukup merapikan hari-hari kusutku hingga me-
rapi.
Terima kasih, putri.... Teruslah menyairkan puisi hati, bagi semesta dan berajamu
kelak nanti.

Aku tahu bahwa aku terlalu mencintaimu


http://facebook.com/indonesiapustaka

Aku tahu bahwa aku terlalu terbuai dalam anganku


Aku tahu bahwa angin tak mungkin beralih padaku
Aku tahu bahwa bintang di langit tak akan menari untukku
Aku tahu, hanya ini yang kutahu

Always your beraja,


Wylie Semesta

Renjana (2).indd 232 11/29/2013 10:26:43 AM


renjana | 233


DALAM perjalanan pulang, dalam diam mereka hendak bicara.
Daus tentang kegelisahan atas keputusannya, Ola tentang kehen­
dak kuat mencegah putus asa itu menjadi bencana.
Jalanan yang biasanya begitu indah untuk dinikmati terasa
hambar, tak berarti. Sayup suara musik, tak juga bisa mengusik
agar sedikit saja ada suara yang keluar dari mulut mereka.
Entah apa yang sedang berkecamuk di masing­masing sukma
hingga tak ada satu pun cerita, pengusir kebekuan. Sampai akhir­
nya depan pintu gerbang biara adalah satu­satunya alasan kedua­
nya untuk mulai membuka katupan bibir mereka.
“Maafkan aku, Ola... maafkan aku. Aku mengecewakanmu
dengan keputusan ini justru di saat kamu sendiri telah memilih
pasti untukku dan dirimu sendiri,” ujar Daus pelan. “Aku janji, se­
kiranya jubah ini terlepas dari raga kelak, aku tak akan mengusik
hidup dan pilihanmu. Biarlah cinta kita berjalan bersama angin
dan debu yang kan cepat berlalu.”
Ola tidak menanggapi. Otaknya masih terus mencari cara agar
pesan yang seperti tersampaikan di kepala bisa diteruskan kepada
laki­laki yang emosinya sedang meninggi ini.
“Terima kasih untuk segala kebaikanmu selama ini. Kita saling
doakan ya, semoga tetap diizinkan berbagi berkat kepada sesama
meski dengan jalan yang beda....” Daus hendak keluar mobil.
“Sebentar, Da....” Ola sibuk mencari pulpen dan selembar ker­
tas bekas parkir tadi. Ia menuliskan sebuah nomor HP di kertas
itu. “Kamu boleh melempar lelahmu dengan melepaskan jubahmu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi, please.... Sebelum itu terjadi, kamu telepon nomor ini ya....”
Ola memberikannya.
“Nomor siapa ini?” Daus menerima dengan heran.
Ola tersenyum. Sengaja ia mengatupkan jemari Daus agar
menggenggam erat kertas itu sebelum Daus keluar dari mobilnya.
“Teleponlah, Daus.... Terima kasih untuk hari ini ya....”

Renjana (2).indd 233 11/29/2013 10:26:43 AM


234 | anjar

Tak ada protes lagi yang keluar dari mulut Daus. Kakinya pun
melangkah dari mobil Ola untuk selanjutnya berpijak di halaman
depan gerbang.
Lambaian tangan keduanya menyudahi pertemuan mereka.
Kelegaan menyertai decit ban mobil Ola untuk berlalu.
Tinggal harapan baik yang ia sisakan di rumah biara, tempat
banyak kenangan menapak tak akan hilang di sana.

Taman Balai Kota

TRA Laksmi sudah mencoba menyusuri sudut demi sudut taman.


Tak tertemukan apa yang dicari dan harapkan.
Di mana dikau, Tuan? Mengapa hanya surat sepucuk ini kau sam­
paikan? Tidakkah ingin pandang mata kita beraduan?
Wajah Tra sudah memelas putus asa.
Segala sudut ini rasanya percuma.
Hanya lembar amplop putih saja yang ia pegang erat.
Tidak jauh di seberang dekat halte, di antara ganasnya debu
dan suara kendaraan melaju, mata Wie mengawasi dengan pasti.
Bukan maksud ia mencontek apa yang pernah Tra Laksmi la­
kukan sepuluh tahun lalu di sana. Menyelipkan rasa hati di salah
satu bangku dan pernah membuat Wie berteriak kepada langit
agar menyerahkan “putri”­nya kembali.
Bukan.
Tapi, sebab ia tahu, dirinya tak boleh egois menuruti kehendak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sepuluh tahun bukan waktu sejenak. Ia adalah perputaran waktu


yang mestinya menjadikan manusia memutuskan hidupnya tanpa
meragu.
Lalu, alasan apa lagi yang harus ia pakai untuk mengatasi
langut hati bahkan penasaran seolah tak berujung jika ia sendiri
pun telah menjalani hari­hari, menikmati langit bahkan beraja se­
sekali bersama ketiga orang di rumah yang ia kasihi?

Renjana (2).indd 234 11/29/2013 10:26:43 AM


renjana | 235

Tidak adil rasanya kalau ia terus menyerukan gundah gulananya


kepada langit dan semesta demi sebuah keinginan sementara yang
tak yakin ada gunanya.
Apalagi kemudian di depan mata, Wie lihat seorang lelaki mu­
da datang seperti hendak menjemput putrinya. Kebingungan yang
sempat ia tangkap di wajah sang Putri bisa dibalur dengan sederet
kalimat entah apa.
Lalu, disaksikan pepohonan dan dedaunan yang meliuk mesra,
laki­laki yang Wie yakini sangat mengenal sang Putri merengkuh­
nya. Sedikit tersipu, bukanlah halangan laki­laki itu untuk mem­
bawa putri pergi.
Doa tulus Wie, bahagia berderet­deret kelak bagi sang putri
dan berajanya kini, dalam cinta nan tulus, selama­lamanya....
Saatnya pula ia menjemput istri dan anak tercinta untuk kem­
bali ke rumah nan penuh cinta selamanya. Tak ada lagi yang mam­
pu mengusik.


Aku kalah kesekian kali
ketika langit malam tak kudapati benderangnya bintang
berganti semu warnanya tak berarti
Aku kalah kesekian kali
ketika rangkaian kalimat tak mampu gugah
apa yang sebelumnya pernah dijanji, mungkin pula disumpah
menjadikannya berlalu, tak berarti
Aku kalah kesekian kali
http://facebook.com/indonesiapustaka

ketika mencoba menata hati dalam keremangan


yang aku sendiri sesungguhnya tak berani menantang
menutup keceriaan, tak berarti
Ampuni aku
jika cahaya malam
atau pancaran mentari
terlalu banyak kugenggam

Renjana (2).indd 235 11/29/2013 10:26:43 AM


236 | anjar

Menggantikan bayu yang semula tenang menyejukkan


menjadi hawa gerah yang takkan bisa
meleraikan lelah

DAUS merasa tak bisa menenangkan rasanya meski segala cara


telah dikerjakan agar dentuman benaknya setidaknya berkurang.
Besok, ia memutuskan untuk menghadap Pastor Kepala. Ingin
ia utarakan niat terdalam seperti yang telah ia ungkapkan kepada
Ola.
Biar telah bulat, tetap saja ada sebagian yang masih berusaha
menahannya seperti penahan pintu yang tak bisa menjadikan pin­
tu terbuka lebar.
Dan, makin gelisah Daus ditemani malam berlagu jangkrik.
Sepi, malam ini.
Apa lagi yang harus kulakukan sekarang? Kali ini semua keputusan
ada padaku. Tak bisa mengandalkan orang lain lagi.
Jubah yang sedang menggantung di sebuah gantungan itu, pu­
tih. Masih berkilat, seakan tak lekang oleh semua hal yang terjadi.
Sedih­suka. Gembira­lara. Jubah ini memancarkan ketulusan dan
cintanya sendiri.
Lalu, mengapa aku, yang dipercaya menjaganya, tak bisa bersetia
seperti warna putihnya yang tiada memudar? Haruskah jubah ini esok
kulipat lalu dimasukkan dalam lemari terkunci rapat.
Di luar sana, masih terdengar suara beberapa temannya yang
sedang menikmati waktu senggang sehabis makan malam. Tapi
ia memilih menyingkir, menikmati kebersamaannya dengan sang
renjana.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Aku bakal merindukan mereka, pasti.


Tak pernah terpikirkan akan begini, tapi mau bagaimana lagi.
Jiwa dan daksanya sudah tak seiring sejalan lagi. Tinggal daksa
yang menjadi pelarian.
Sekonyong­konyong mata Daus menangkap selembar kertas
tergeletak di atas meja kerjanya. Kertas itu ditimpa sebuah rosario
kesayangannya.

Renjana (2).indd 236 11/29/2013 10:26:43 AM


renjana | 237

Mendadak Daus teringat sesuatu.


Segera ia beranjak dari tempat tidurnya lalu mengambil selem­
bar kertas itu. Ia langsung teringat, di sana ada nomor HP entah
siapa yang diberikan Ola tadi. Pesan perempuan terkasihnya itu,
sebelum memutuskan semua, ia diminta untuk menelepon deretan
nomor tersebut.
Daus meragu.
Nomor itu milik siapa, ia tak tahu.
Namun kata hatinya seperti berteriak kepada saraf­saraf moto­
riknya agar segera memencet deretan angka yang tertulis di atas
kertas.
Segera ia raih BB yang selama ini setia menemani.
Ditekannya kedua belas angka yang tertera di kertas itu. Nada
RBT yang mengalun ceria begitu familier, lagu sekolah minggu za­
man kanak­kanak dulu.

Dengar Dia panggil nama saya, dengar Dia panggil namamu


Dengar Dia panggil nama saya, juga Dia panggil namamu
O giranglah, o giranglah. Yesus amat cinta pada saya, o giranglah
Kujawab ya­ya­ya, kujawab ya­ya­ya
Kujawab ya Tuhan, kujawab ya Tuhan
Kujawab ya­ya­ya

Tak lama....
“Halo...,” suara perempuan mengalun lembut di sana.
“Selamat malam, ini dengan Romo Daus. Mohon maaf, nomor
http://facebook.com/indonesiapustaka

ini saya dapat dari teman saya....”


“Tole, Le... Tole Daus....”
Suara di seberang memutus keinginan Daus untuk berbasa­basi.
Ia sedikit bingung.
“Ini... ini....”
“Iya, Nak.... Ini Ibu.... Ini ibumu, Romo Gabrielle Firdaus
Abhipraya.... Apa kabarmu, Nak?”

Renjana (2).indd 237 11/29/2013 10:26:43 AM


238 | anjar

Plas. Seperti api yang tengah menyala­nyala ramai, mendadak


tersiram air dan memadamkan nyalanya. Suara Ibunda nun di
sana meluluhlantakkan ego dan gundah gulana yang demikian
menyiksa.
Emosi yang semula kencang berlari tak terkendali seperti men­
dadak diam, mati. Tak bergerak sama sekali.
Bahkan tanpa diminta, air mata itu lancar menggenangi pipi
lelaki yang baru beberapa menit lalu begitu keras melaksanakan
keinginan hatinya. Seiring kalimat demi kalimat keluar dari media
penghubung ibu dan anak yang lama tak saling sapa, tiada kuasa
Firdaus menahan bening air mata yang terus menyusur jatuh ke
lantai dan bersatu bumi.
Suara Bunda yang lama sekali tidak ia sapa dan kunjungi men­
jadi pelipur yang mengubah malam menjadi sebuah tangisan keha­
ruan. Apalagi dengan sabar sang Ibu yang demikian tulus mendu­
kung pilihan Daus dari awal hingga hari ini, menenangkan anak
terkasihnya itu walau tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Kelembutan suara seorang bunda menyentil luka yang per­
nah menganga, sakit. Menyirami banyak letupan yang sempat
menyiksanya, menggantinya dengan sebentuk kesadaran betapa
rapuh diri manusia ini.
Kerapuhan itu bisa bangkit lagi berdiri bersama orang yang se­
lama ini hampir dilupa walau mestinya tak selayaknya.
Penyesalan lama tak bersimpuh di hadapan Bunda menggelayut
dalam diri Daus kini.
Dan... di antara bentang malam bertakhta bulan sabit didam­
http://facebook.com/indonesiapustaka

pingi sedikit bintang, dibiarkannya seorang anak manusia merajuk


pada sebuah cinta abadi nan tulus, penguat dari segala penat. Ber­
harap cinta itu pula yang akan selalu menguatkan, bagaimanapun,
apa pun keadaannya nanti.
Selepas telepon yang memaparkan kembali apa yang menjadi
semangat awal Daus bisa bertahan kuat bahkan hingga sekarang,
diraihnya kembali jubah yang masih tergantung dan semua barang

Renjana (2).indd 238 11/29/2013 10:26:43 AM


renjana | 239

yang hendak ia kemas masuk ke lemari. Dibawanya jubah itu ke


luar halaman sembari dipeluk. Daus merasakan lagi kehangatan
selayak pelukan ibundanya yang selalu menyapa Daus kecil di kala
dirinya cemas dan resah.
Sebentar ia kenakan jubah yang selalu putih bersih, meman­
carkan auranya. Menjadi saksi kehidupan membiara sekian lama.
Hingga kini, di tahun kesepuluh.
Disaksikan luasnya cakrawala malam, Daus pun tersungkur,
terpuruk di antara alam. Merendah di batas bumi nan luas dengan
langit tak terbatas.
Daksanya nan rapuh mencium tanah bumi lalu berseru lantang,
“Aku teramat mencintai­Mu....”

(Sabtu subuh 01:40, ditemani “You are That I Need”)


http://facebook.com/indonesiapustaka

Renjana (2).indd 239 11/29/2013 10:26:43 AM


Biograi Singkat

Sepuluh tahun lalu, 2002, novel


Beraja: Biarkan Ku Mencinta adalah
novel dan buku pertamanya. Tanpa
ia kira, berkat novel itu nama Anjar
atau lengkapnya Anastasia Ganjar
Ayu Setiansih dikenal oleh banyak
masyarakat baca.
*Foto oleh Vincentius Agustinus Gultom
Perempuan kelahiran Tanjungka­
rang, Lampung yang kini menetap di Bandung merasa mendapat
banyak berkah dan anugerah dari Beraja­nya itu. Sebab setelahnya
berderet hasil karyanya telah dihasilkan, baik novel, buku referensi,
novel motivasi, novel inspirasi, novel religius, biograi, kumcer,
dan skenario ilm animasi selain tetap menulis cerpen, berita, dan
kontributor sebuah website pariwisata.
Semua ia jalani dengan penuh cinta. Dengan segenap jiwa.
Berharap tak pernah bosan pembacanya menanti dan membiar­
kannya berkembang bersama banyak kisah hidup di dalamnya.
Karena menulis adalah berbagi hidup....

Kontak
http://facebook.com/indonesiapustaka

FB : Anjar Anastasia, Anjar AnastasiaDua


Twitter : @berajasenja
E­mail : novelanjar@gmail.com
Website : www.berajasenja.com

Renjana (2).indd 240 11/29/2013 10:26:44 AM


http://facebook.com/indonesiapustaka
Ola tak pernah mengira bahwa ia akan menyelam ke pusaran waktu,
merasakan kembali gemuruh rasa yang dahulu menyapa hatinya
tatkala di sebuah kapel kecil itu ia tak sengaja melihat sosok yang
pernah mengisi sukmanya. Sosok yang telah menjadi berajanya. Daus.
Romo Daus. Renjana (rasa hati yang kuat) nyaris sepuluh tahun itu
benar-benar berlimpah ruah hanya dalam beberapa menit melihatnya.

Dunia ini seolah menyempit. Pertemuan dua insan yang sama-sama


pernah mencinta itu pun hadir. Getaran-getaran cinta menyeruak. Oh
Tuhan, mengapa di antara kejenuhan menjalani rutinitas sebagai
romo, ia justru hadir memberikan kesejukan? Pembawaan Ola yang
tenang dan dewasa justru membuat gelombang rasa itu semakin
bergejolak. Panggilan hati sang Romo untuk selamanya menyerahkan
hidupnya pada Tuhan, kembali ditantang.

Di tempat lain, cinta lama Wie dan Tra mendadak datang tanpa permisi.
Ikatan pernikahan dengan orang lain dan perpisahan dengan rentang
waktu sekian lama ternyata tak bisa memupus rasa hati mereka.

Daus dan Wie sama-sama berada di persimpangan jalan yang


membingungkan. Apa yang harus mereka lakukan dalam posisi tak
menyenangkan kini, tapi telah menjadi pilihan mereka?

Ketika membacanya, Anda tak akan pernah


menyangka pilihan yang mereka ambil.
http://facebook.com/indonesiapustaka

FIKSI/NOVEL DEWASA
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29–37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com

Anda mungkin juga menyukai