Anda di halaman 1dari 136

i

abnhgjkgiytuduytduyfruy
Seri Puisi Esai Indonesia
Provinsi Sumatra Barat

Di Gerbang
Stasiun Penghabisan
Penulis

Dellorie Ahada
Dodi Indra
Joel Pasbar
Muhammad Subhan
Pinto Janir
Sastri Bakry

Pengantar
Alwi Karmena

SERI PUISI ESAI INDONESIA


iv

HAK PENERBITAN
Denny J.A.
rights@cerahbudayaindonesia

TIM EDITOR
Nia Samsihono (Ketua)
Anwar Putra Bayu (Anggota)
Dhenok Kristianti (Anggota)
F.X. Purnomo (Anggota)
Gunoto Saparie (Anggota)
Handry T.M. (Anggota)
Isbedy Stiawan Z.S. (Anggota)

KOORDINATOR WILAYAH
Fatin Hamama (Wilayah Indonesia Barat)
Nia Samsihono (Wilayah Indonesia Tengah)
Sastri Sunarti (Wilayah Indonesia Timur)

FINALISASI DAN PUBLIKASI


Agus R. Sarjono
Jamal D. Rachman
Monica Anggi JR

DESAIN GRAFIS
Dani Fadryana

Cetakan Pertama Agustus 2018

ISBN
978-602-5896-09-5

PENERBIT
Cerah Budaya Indonesia

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


v

Daftar Isi

Pengantar
Alwi Karmena
PUISI ESAI DALAM SECANGKIR KOPI HANGAT ..... vi

Dellorie Ahada Nakatama


DI BALIK REDUP MATA IBU .............................................. 1

Dodi Indra
CATATAN SEORANG GURU HONORER ...................... 21

Joel Pasbar
PERANG PADRI: SEJARAH DAN AIR MATA ................ 33

Muhammad Subhan
PEREMPUAN KAPUR, GERBONG TUA MAK ITAM,
DAN KENANGAN YANG MENJADI NISAN DI BUKIT
ITU ............................................................................................... 49

Pinto Janir
DI GERBANG STASIUN PENGHABISAN ..................... 67

Sastri Bakry
BALADA SITI ZAINAB .......................................................... 97

Daftar Isi
vi

Pengantar
PUISI ESAI DALAM SECANGKIR KOPI HANGAT
Oleh Alwi Karmena

Dalam hati yang lapang dengan pikiran yang jernih, kita ucapkan
“Selamat Datang Puisi Esai” di Ranah Minang. Terlihat pakaianmu
bersih. Kami maklum, ketika hadir, agak tersibak rambutmu ditiup
angin lalu. Keretamu menderu dari jalan-jalan yang berbatu dan
berdebu. Niscayalah, “kata-kata” dalam puisi yang diusung, bukan
racun atau bisa yang mengundang perbenturan. Tapi, adalah
secangkir teh atau kopi hangat yang terhidang di beranda petang
hari, ketika orang dirindu menjamu kita bertamu.

Tanah Minangkabau adalah tanah yang subur dan hidup


dengan pikiran-pikiran, sehingga kata ditanam menjadi puisi. Kata
pujangga, Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan negeri
ini. Barangkali, keindahan alam Minangkabau inilah yang menjadi
inspirasi bagi penghuninya untuk mengolah  kata menjadi kalimat.
Lalu,  kalimat  menjelma dalam susunan lirik yang elok.            
   
Bermula pada  kata.  Demikianlah adanya, jika   kata  dan
keinginan  sebuah era penjelajahan, dunia estetika akan menjadi
padang terbuka yang berkabut. Ketika itu, imajinasi menjadi
kuda  pelajang bukit. Kuda itu pulalah yang menerjang batas
atau pagar-pagar berkabut. Sementara joki pemacu kuda itu
adalah sang kata dan sang makna.

Kata, memang kereta yang diseret kuda. Kalau tak bijak


menyikapinya, ia sering menjadi liar karena tak terkendalikan oleh

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


vii

timbang dan rasa. Kata yang terpapar bila disampaikan dengan


baik dan elok, ia bisa menjadi rangkaian bunga. Kata yang tak
terawat,  bisa-nya membunuh, geriginya tajam melukai. Bahkan,
bagi yang berkeyakinan berkebatinan, kata bisa jadi senjata dan
terkadang sekuat mantra.

Kini, bagaimana dengan puisi? Apakah ia kuda liar yang


menjelajah kemana-mana? Apakah ia pisau yang mencabik
atau melukai jiwa? Puisi adalah ekspresi yang tergolong dalam
suasana indah dan mulia yang entah mana setaranya dengan
cinta. Karenanya, puisi lebih dari sekedar bunga. Ia mungkin saja
tajam dan berhulu serta bermata, namun sekali lagi, ia bukanlah
pisau yang melukai. Pun, meski demikian, puisi tidak pula kata
yang bergaib-gaib seperti halnya mantra.

Puisi memang berjiwa dan bertenaga nan sering menggetar­


kan padang-padang tafsir anak manusia. Karena, berangkat dari
derap langkah kuda di jiwa yang merdeka, ia menawarkan kabar
atau lagu kehidupan. Lagu dari rantau yang jauh. Rantau yang
jauh itu membentang dalam pengalaman dan penghayatan sang
penyair.

Itulah soalnya, kita berhadapan dengan bentangan ekspresi


yang bertajuk puisi esai, saya tercolek oleh sapaannya. Pesan puisi
esai dalam buku berjudul “Gerbang Stasiun Penghabisan”, pada
hemat saya bukanlah mantra. Bukanlah pisau, bukanlah bunga.
Tapi, ia adalah sebuah bingkisan penawaran yang berharga. Di
tengah kegalauan pamahaman tentang “ini puisi, ini bukan puisi,
atau puisi ini begini, puisi itu begitu”, maka puisi esai menjadi
sebuah persembahan alternatif. Puisi esai, sebuah panorama lain
yang hadir tanpa masker. Ia mengangguk khidmat dan mengajak
kita beriya-iya, bukan bertidak-tidak yang kadangkala membuat
kita terperosok pada dunia ‘perdebatan’ yang menghabiskan
waktu dan tenaga yang pada membuat kita tak sempat ‘berpikir’.

Pengantar
viii

Pikiran yang lapang adalah lahan empuk bagi tumbuhnya karya


sastra. Coba toleh ke masa lalu, adakah sejarah peradaban manusia
tanpa dihiasi oleh karya sastra? Tidak. Bila begitu, pertanyaan klasik
kita adalah, mengapa karya sastra nyaris diciptakan sepanjang
riwayat kehidupan manusia yang tercatat di dinding waktu yang
menjadi risalah peradaban kita?

Karya sastra adalah pikiran yang senantiasa berkembang. Ia


tak akan terhambat. Bagi pikiran, tak ada pagar yang terlalu kuat,
tak ada ruang terlalu jauh dan tak ada kabut yang terlalu tebal.
Pikiran itu adalah kuda yang gagah di tengah padang kehidupan.
Kalau ada orang menyebut diri sebagai pengawal atau polisi karya
sastra, pada saat itu bisa disebut bahwa mungkin saja “ia” atau
“orang-orang itu” sedang bernostlagia atau mengurung diri sendiri
di ruang sempit pengap dan pada akhirnya ia lelah sendiri, untuk
kemudian sekarat dan berakhir pada napas penghabisan.

Manusia memerlukan karya sastra. Seorang pemikir Romawi,


Horatius, kita kenal dengan pikirannya yang melahirkan istilah
“dulce et utile”  yang terpapar dalam bukunya  Ars Poetica. Artinya,
sastra memiliki fungsi ganda, yaitu menghibur dan sekaligus
bermanfaat bagi pembacanya. Ia sajikan keindahan. Ia bentangkan
makna kehidupan dari uraian derita, sengsara, kasih sayang, rindu,
kematian, dan kegembiraan dari kumpulan ekspresi yang lepas ke
dunia imajinasi.

Karya sastra adalah wadah atau media menyampaikan


pesan tentang segala kebenaran, tentang ajaran yang baik dan
buruk. Pesan-pesan itu tersaji dengan sangat jelas dan sekalipun
disampaikan dengan bahasa halus atau kias, ia tetap tanpa harus
mengernyitkan kening orang yang menerima pesan tersebut.
Sebab, sebuah karya sastra bukanlah lukisan abstrak yang
kadangkala hanya dimengerti oleh pelukisnya sendiri.

Karya sastra adalah gambaran pikiran, perasaan, sikap sang


pengarang untuk mengekspresikan atau menyampaikan sebuah

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


ix

peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, ia adalah


potret atau sketsa kehidupan. Bicara tentang potret, kita bicara
tentang sudut pandang. Seorang pengarang yang satu dengan
seorang pengarang yang lain yang hidup bersama-sama dan
berada dalam satu peristiwa, tak akan selalu sama memandang
sebuah peristiwa yang terjadi, karena masing-masing berdiri dan
memotret dari sudut yang berbeda. Potret bukanlah cermin. Potret
adalah “sudut” sedangkan cermin adalah ‘bisa yang sama’.

Dari zaman ke zaman, fungsi sastra terus berkembang.


Terutama puisi. Puisi tak saja sekedar wadah pelepasan ekspresi
sedih, senang, suka, cita, bahagia, gembira, kecewa, kelat, pahit,
manis dan mengilukan. Lebih dari itu, puisi berkembang menjadi
sosok penting dalam perjalanan waktu yang mencatat tiap kejadian
dan peristiwa kemudian menggayutkannya ibarat lukisan masa di
dinding dan menjadi catatan atau risalah di ruang waktu.

Puisi esai Indonesia yang digerakkan dan dipelopori


seorang Denny J. A., tak dapat kita pungkiri, ia menjadi sebuah
pergerakan pikiran    yang menawarkan pilihan baru bagi dunia
sastra Indonesia. Ia menjadi pelengkap khasanah panggung sastra
nusantara di ruang “imajinasi” yang mengasah ketajaman berpikir,
ketajaman merasakan, ketajaman memandang dan ketajaman
menyampaikan dalam bahasa-bahasa yang sangat komunikatif
dan dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum.

Puisi esai adalah puisi “sejarah” dari kumpulan imajinasi


yang cerdas dalam menggunakan dan menghidupkan seluruh
indera manusia menjadi sesuatu yang “berbeda” dan bermanfaat.
Berbeda di sini, adalah berbeda dalam struktur, berbeda dalam
penyampaian (lebih mengutamakan unsur komunikatif tanpa
mengindahkan nilai-nilai estetik) dan dikuatkan dengan “catatan
kaki” yang membuat puisi esai mencengkeram lebih dalam dan
gagah di ruang pelaksanaan pikiran.

Pengantar
x

Puisi esai adalah penjelajahan “rasa” ketika dihadapkan


pada bentangan fakta. Ketika fakta terbentang, si penyair “diam-
diam” menyelusup ke ruang itu dengan membawa hati dan
sejumlah rasa, sejumlah pikiran, sejumlah penglihatan, sejumlah
pandangan  yang ia sendiri menyatu dalam fakta, yang sebenarnya
tak terlepas dari fiksi dari kumpulan “catatan-catatan”.
Buku kumpulan puisi esai dari Sumatra Barat Di Gerbang
Stasiun Penghabisan adalah “sejarah” baru dari kumpulan puisi
yang pernah ada di daerah ini yang kita harapkan dapat memicu
semangat bersastra-sastra di kalangan generasi muda kita dan kita
harap akan memperkaya khasanah sastra Minangkabau khususnya,
dan Indonesia umumnya.

Pada buku ini terdapat 6 Puisi Esai dari 6 penulis yang dua di
antara penulis itu saya kenal sebagai penyair yang tidak asing lagi
di Sumatra Barat, yakni Pinto Janir dan Sastri Bakry.

Saya membaca, saya menyimak, kesimpulan saya puisi esai


adalah puisi yang sangat komunikatif, renyah, indah dan mampu
merekam peristiwa sehingga menjadi prasasti sastra di kemudian
hari. Adalah tidak mudah menangkap sebuah fakta lalu masuk ke
dalam ruh fiksi, dan itu semua membutuhkan kecerdasan nalar dan
rasa. Puisi esai sangat membutuhkan kemampuan kecerdasan rasa,
kecerdasan emosional, kecerdasan estetika, kecerdasan aksara,
dan kecerdasan menyusun pikiran menjadi larik yang bertutur dan
bergumul dalam dua sisi, fakta dan fiksi. Dengan demikian, mari
kita simak enam puisi esai dari Sumatra Barat sebagai berikut.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan, ini adalah judul puisi esai


Pinto Janir. Membaca puisi ini saya seakan-akan terbawa dan masuk
kepada sebuah peristiwa menyedihkan yang menerpa sejumlah
masyarakat penyewa lahan PT KAI di Kota Bukittinggi yang merasa
diperlakukan jauh dari keadilan dan kasih sayang serta tenggang
rasa.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


xi

Saya membaca kengiluan demi kengiluan yang dihidangkan


Pinto di puisi ini, yang pada akhirnya saya berpikir, agaknya kita
perlu mengadakan sebuah Buku Peta yang merdeka. Sebuah map
imajiner dari penerbitan yang Mahaadil.

Dengan kata lain, puisi ini melahirkan pertanyaan batin saya,


tanah bumi ini milik siapa? Di mana batas adalah jarak antara
keinginan dan kekuasaan? Ketentuan itu jelas tidak simetris dengan
keinginan kadang ia sering berginjai. Banyak keinginan luhur
diruntuhkan oleh kekuasaan, dan itu menjadi ketentuan. Menjadi
terenyuh kita membaca rekaman peristiwa yang dipuisiesaikan ini.

Dalam puisi “Di Gerbang Stasiun Penghabisan” ini tergambar


orang-orang sederhana adalah orang yang dianggap ijuk tidak
bersagayang mudah dipatahkan oleh sedikit ketentuan. Tanah
tumpah darah namanya oleh kekuasaan bisa saja menadi tempat
air mata tertumpah. Atlas atau peta dengan berbagai skala
biasanya hanya rekaan orang orang yang duduk di belakang meja.
Orang yang berumah dan berteduh di atas tanah, meskipun punya
ranjin sejarah, belum tentu punya hak apa apa.

“Di Gerbang Stasiun Penghabisan” Pinto Janir adalah kiasan


berganda yang menohok ulu hati siapa saja yang punya hati dan
rasa. Kisahnya seperti suatu yang sudah biasa, padahal, ada pisau
bermata dua yang terhunus ke urat leher. Jujur saja, ini bukan
sajak yang biasa. Satu cuplikan dari lirik “Di Gerbang Stasiun
Penghabisan.”
kenangan terbayang-bayang
di kotaku sayang di aku yang malang
dihantar angin lalu
dingin makin keras menerjang
Lebih tajam dari sayatan sembilu
Bagai tulang dicincang-cincang garang
diremas di atas tungku sejarangan
amis aroma kenangan melukis alam takambang jadi abu

Pengantar
xii

Asapnya merangkak dalam kalbu


Dadaku sesak sekali, bila kubatukkan
Darah-darah kesedihan terserak
Tak perlu disapu
biarkan ia kering di tanah yang basah air mata

Semestinya, lantai nagariku


Tak mesti kumuh oleh pikiran susah
dari hati rusuh
biar rasa tak keruh
kita timbun saja duka berdarah
di bawah gedung-gedung megah
atau hotel-hotel mewah

kalau hanya demi menangguk pundi-pundi


atas nama peningkatan pariwisata
Ganti rugi mimpi kami buruk sekali
mengapa hati rakyat harus dilukai?

“ Ya Allah!”

Kupandang si sulung
kupandang si bungsu
Kupandang bini serindu
Mereka tersedu
nahan sesak mereguk abu mendebu

kupandang pandang malang


makin kutahu seberapa kuat delapan kerat tulang
tak akan mampu menghadang
karena aku bukan orang terpandang

“Ayah, ayo kita keluar sekarang


rumah tetangga kita sudah dirobohkan,” kata sulung galau
Ia bungkus baju dan bukunya, sungguhlah risau

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


xiii

Perih tajam tak terhalau-halau


Ngiang dendang dan rebab mengilau-ilau

“Kemana kita ayah?” bisik si bungsu memeluk bonekanya


Menjerit batinku, “kita ke rumah Allah!”

Tuan terpegang gagang pisau


Kami terpegang matanya
Tuan merenggut
Kami memekik
Tuan merenggut
Kami cabik-cabik

alangkah pilu hidup di negeri


katanya sudah merdeka ini
tiada kolonial tak pula ada penjajah
belanda hengkang jepang pun hilang

“tapi siapa kini yang menjajah kami?”

Sastri Bakry di buku ini menulis puisi esai dengan judul “Balada
Siti Zainab”. Membaca puisi Sastri, saya jadi berpikir, dan mungkin
saja Sastri tak bisa mengelak. Bagi saya “Balada Siti Zainab” adalah
salah satu upaya Sastri memotret diri dengan bingkai yang buram.

Sastri memang bijak merenda tabir. Dia menari di balik tabir


itu dengan cahaya ekstrem. Memang terlihat seperti siluet tak
berwajah dan tak bermata, tetapi lekuk anatomi sastra Sastri yang
sensual membayang dengan sempurna pada “Balada Siti Zainab”.
Membaca sajak Sastri, kita segera bisa menafsirkan pesan artistik
yang dibangunnya, penjelajahan imajinasinya yang matang
membuat orang luar bisa tercengang. “Balada Siti Zainab” mau
beriya-iya menceritakan diri dan pengalaman batinnya dengan
manis berirama. Itu kita terima, tidak sia-sia dan tanpa niscaya.

Pengantar
xiv

Saya kutipkan beberapa baris puisi esai Balada Siti Zainab

Siti Zainab perempuan kampung


Tubuhnya tinggi semampai
Wajahnya tidaklah tergolong cantik
Matanya tajam bak mata kucing
Rambutnya bak mayang terurai
Hidungnya bak dasun tunggal
Alisnya bak semut beriring
Bibirnya bak limau seulas
Dan pipinya bak pauh dilayang

Tapi dia yakin dengan dirinya


Meski orang sering membanding-bandingkan
dirinya dengan adiknya
yang berkulit putih susu
Halus bak pualam

Jika orang membandingkan dirinya dengan adiknya


Ia hanya tertawa tak sedikit jua kemarahan mucul di wajahnya
Siti bahkan mengambil pena menggambarkan perempuan yang
disebut-sebut
Dunsanak atau teman-temannya

“Nih, lihat bagai mana bentuknya perumpaan yang Etek sebut


dalam lukisan ini.”
Katanya sambil tertawa menyodorkan gambar wajah yang
penuh pualam, mayang, semut beriring, limau dan pauh
Memanglah mengerikan
“Panggil saja Inouk”
Katanya dengan logat Piaman yang kental jika bersalaman
dengan orang
Konon kabarnya Inouk berasal dari Pariaman
Tepatnya di pendakian Kurai Taji

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


xv

Kita simak pula puisi esai “Di Balik Redup Mata Ibu” yang ditulis
Dellorie Ahada. Entah mengapa Dellorie menampilkan “Mata
Ibu”. Mengapa tidak mata hati, tidak mata pikiran atau tidak mata
harapan. Mengapa mesti “mata ibu”. Mata secara biologis memang
cikal bakal dari keberadaan. Begitu proses kehidupan dimulai
dalam rahim, matalah yang pertama terbentuk. Tidak otak. Tidak
organ hati, kaki atau tangan.

Ibu adalah raga dan jiwa yang memelihara kasih dan harapan.
“Di balik Redup Mata Ibu” yang ditulis Dellorie sebagai tajuk
puisinya, adalah tanda kesadarannya pada nilai kasih sayang.
Begitu kata redup dikaitkan, maka rasa sendu langsung menikam
karena mata yang redup itu bukanlah mata siapa-siapa – tapi Mata
Ibu, mata mana dari hulu kasih sayang yang tak berbatas.

Sepertinya penulis puisi ini adalah seorang anak yang dekat


dengan masa lalu. Di masa kasih ibu mengelus batinnya. Kini,
barangkali dia sudah jauh. Rindunya yang sendu meleleh di bait-
bait sajaknya yang sederhana, seperti larik di bawah ini :

Pada huruf huruf yang hidup di ambang malam


Yang hampir jatuh tanpa daya
Gugur, jadilah luka-luka
Melayang layang menembus semesta
Di antara remang dan dada
Di dalamnya masih tersimpan kisah-kisah lama
Berdarah, berairmata!

Angin merenda aroma basah


Dapurnya kehilangan puisi
Petuah pun rindu menemani kisah tidur melenakan
Ranjang dan langit kamar kembali kosong
Cerita cerita masa kecil kembali terdengar

Pengantar
xvi

Sedangkan “Catatan Seorang Guru Honorer” puisi esai yang


ditulis Dodi Indra ini menggambarkan guru honorer adalah secarik
bendera petaka yang berkibar dalam badai. Ia ada, tapi hembusan
nasib membuat keberadaannya tak begitu tercatat. Dia sepantun
dengan ganjal batu. Sebuah batu penyangga mobil macet di
pendakian atau penurunan. Begitu jalan lancar, mesin mobil
menyala, ganjal batu tertinggal di aspal panas, atau dilemparkan
orang ke dalam parit.

Bagaimana menguraikan catatan “Seorang Guru Honorer”


dengan lugas nan tergaing-gaing di antara kepentingan dan
gegas kebutuhan? Dodi Indra bisa menelisik nasib guru honorer itu
dengan sajaknya yang terbuka. Tentu saja tidak seindah nyanyian
rindu malam. Guru honorer terbatuk batuk oleh debu kapur yang
diguratkan ke papan tulis. Pada saat murid-murid menyimak dan
mencatatkan apa yang ditulis sang guru, ada yang tak sempat
diuraikan. Hal itu adalah nasib. Dodi bisa mencatatnya dalam sajak.

Hari pertama di pundak tersandang amanat


Berdiri di antara wajah-wajah penuh semangat
Dari sinar mata mereka banyak diksi
Senyum mengulum imajinasi
Menjadi puisi dalam perenungan ilusi
Juga rima perlahan bisa aku eja
Menjadi suka, pun duka
Dalam skenario lipatan masa

Bulan ke tujuh tahun dua ribu delapan


Empat bulan setelah janji pengabdian ditandatangani
Panggil saja buk Ayu, ucapku
Begitu perkenalan singkat dengan mereka
Keluarga baru berseragam wibawa tampak di muka

Joel Pasbar menulis puisi esai berjudul “Perang Padri; Sejarah


dan Air Mata”. Dia melafaskan dan mengingat Perang Padri,

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


xvii

terkadang terlompat di mulut, Perang Padri siapakah yang punya?


Para pencatat sejarah seakan tak pernah lugas menjawabnya.
Pada hakikatnya, Perang Padri bukanlah perang kemerdekaan.
Tapi perang perlawanan. Benturan dua buah arus dari air yang
terbendung. Air itu adalah keyakinan, dan pertimbangan berbalut
kesabaran adalah bendungan itu.

Sulit menyatakan, siapa yang paling benar dalam perang itu,


yang penting ditegakkan adalah, bawa di negeri ini bisa ada api
menyala. Jangan dianggap api dalam sekam saja. Perang Padri
perang antara hidup dan mati, kaum adat, kaum paderi, penjajah
(Belanda) yang menebar tuba.

Kalau judul sajak ini “Perang Padri dan Air Mata”, itu bukanlah
cermin kecengengan. Bukan penyerahan atau jerit si lemah yang
terinjak. Air mata di perang paderi bagi Joel adalah linangan
kebanggaan. Siapa saja bisa menyatakan diri pahlawan, mungkin
Imam Bonjol tak pernah mengatakan hal seperti ini. Perang Padri
menegakkan hukum syariat keagamaan. Untuk menegakkan itu
orang beriman siap meneriakkan takbir “Allahuakbar”. Dan saat itu
tentu saja ada pedang, darah, dan air mata.

Ini kutipan sajak Joel Pasbar “Perang Padri: Sejarah dan Air
mata”.

“Sebuah janji tak mungkin tertunai,” ucapnya.


Ini kali bukan tersebab jarak jadi penghalang, tak pula
hati lupa sebuah ikrar. Namun, ajal meminta lebih dulu
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati”

Berikut mari kita kincah puisi esai Muhammad Subhan yang


berjudul “ Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam, dan Kenangan
yang Menjadi Nisan di Bukit Itu”. Memang agak panjang benar
judul sajak ini. Akan tetapi, kita tak perlu mengukur aksara yang
tersusun di antaranya. “Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,

Pengantar
xviii

dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit Itu”. Judul itu saja sudah
bercerita. Sudah sebuah fragmen yang jelas.

Tentu saja Muhammad Subhan biasa membaca atau


menulis cerita pendek. Ketika menulis pusi ini terasa benar
ketidakyakinannya pada kekuatan kata. Sepertinya ada rasa kalut
yang tak bisa diterjemahkannya dengan kalimat bersahaja. Kita
agak lelah membaca judul di atas. Tapi, bagaimanapun, itu sebuah
lanskap yang bagus. Peduli apa panjang atau pendeknya sebuah
judul, yang penting adalah sampai atau tergiangnya pesan.

Bukit Kapur--Bukit Tui sebuah jejak luka di kening Padang


Panjang. Bukit rapuh itu menjanjikan pencarian. Orang-orang
sederhana dengan alat-alat sederhana mengais kerapuhan itu
sepanjang hari. Subhan menyeret kereta tua Mak Itam yang
menderu memintas kabut dingin Kota Serambi Mekah.

Bacalah sajak ini berulang-ulang, lalu eja judulnya, maka


tidak ada yang percuma. Keduanya mendapat tempat di satu
momentum. Padahal, ceritanya lebih panjang dari bentangan rel
kereta.

Ini kutipan puisi esai Muhammad Subhan:

kukabarkan kepadamu, engku


tentang rubaiyat sunyi di kota ini
kota yang rindunya sesak dada
kabut-kabutnya
lembut memeluk jiwa
rinai yang renyai
membasahi sansai
kadang luka
merenda kata-kata

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


xix

o, sunyi itu lebih gigil


dari pusara-pusara
yang terhampar di Sungai Andok
dan hutan-hutan rimbun
yang rapat selimuti
bukit barisan
menjadi riak di sungai-sungai
terjun ke lembah anai

Sekali lagi, saya ucapkan selamat atas terbitnya buku kumpulan


puisi esai dari Sumatra Barat ini. Saya ‘lapang’ membacanya.
Sejumlah puisi esai dari Sumbar ini adalah potret Sumbar dalam
sastra tulisan.

Siteba Indah, Maret 2018

Pengantar
xx

Alwi Karmena adalah seorang


budayawan, kolumnis, pengarang,
wartawan, penyair, pelukis, dan aktor.
Alwi Karmena adalah seorang senior
wartawan di Sumatra Barat. Ia kini
bekerja di Harian Metro Andalas, Padang
sebagai salah seorang redaktur senior.
Alwi juga pernah bermain di beberapa
sinetron. Antara lain Siti Nurbaya dan
Sengsara Membawa Nikmat. Ia pernah
dinobatkan sebagai aktor terbaik di Sumbar.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


Dellorie Ahada Nakatama
DI BALIK REDUP MATA IBU
2

PRAWACANA

Perempuan tua itu harus mengalah pada keadaan, di usia senja masih
harus bertarung untuk sekadar pengisi perut yang lapar, mengemis.
Hanya itu yang dapat ia lakukan, di saat tubuh lemahnya tak kuat
lagi untuk menjadi buruh cuci.

Hartini, perempuan Minang yang meredup, dalam adat


Minangkabau yang sangat mengapresiasi keberadaan seorang
perempuan, Minangkabau yang terkenal dengan sistem matrilineal,
Bundo Kanduang yang disanjung, tapi tidak dengan Hartini.

Entah perubahan peradaban, entah himpitan keadaan yang


mengubah semuanya, di puisi nanti akan mempertanyakan
keberadaan seorang mamak di kaumnya? Kemana anak kemenakan
harus berlindung? Apakah Bundo Kanduang harus berakhir di
jalanan, atau masih adakah rumah gadang untuk ia kembali pulang?

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


3

Dellorie Ahada Nakatama


DI BALIK REDUP MATA IBU

/1/
Perempuan itu masih saja terus berjalan
Matanya nanar, langkahnya lelah
Bau musim sepenggalan tersandang di pundaknya
Letih berkawan dengan sejuta harapan
Inikah hari tua yang didamba

’’Buyung entah di mana, si upiak tak tau rimba


Buayan lapuk, kelambu berdebu
Tetes keringat menggaram mencari temu
Kepulangankah menjadi alasan untuk melepas rindu’’

Terik matahari siang


Burung-burung gereja berubah garang
Lapar tak dapat ditahan
Sepasang sandal jepit berbeda warna
Menjadi kawan di senja renta

Dari pintu ke pintu


Dari toko satu ke toko yang lain
Dengan mata sendu, tadahkan tangan
Berharap imbalan seribu dua ribu

Jilbab berbau matahari mengusam dan kusut


Serupa mukanya yang lindap, tak bercahaya
Tangan yang layu, goresan kehidupan tak lagi terkepal
Mengiba hati mengiba diri

Di Balik Redup Mata Ibu


4

Pada huruf-huruf yang hidup di ambang malam


Yang hampir jatuh tanpa daya
Gugur, jadilah luka-luka
Melayang-layang menembus semesta
Di antara remang dan dada
Di dalamnya masih tersimpan kisah-kisah lama
Berdarah, berair mata!

Dalam perih mengutip nama nama di antara keluh kesah


Gundah bermanik air mata
Berkawan lara, lengkaplah sudah
Mengurung sendiri, memasung sunyi
Terkulai ditelan kebisuan
Susuri jalanan lengang bersimbah angan tanpa tujuan

Saat ruang kosong menyekat di kepala


Bayang-bayang masa silam mematuk semua indra
Merama-rama lantas sirna

Kembali merindu
Selayak kemarau menanti pergantian hari
Sejenak menggoda bumi pada siang yang gerah
Lalu hilang saat malam tengadah
Dan kepulangan mungkin jalan satu-satunya

/2/
”amak, jangan sering sering mengunjungi ambo ke sini, tak enak
hati ambo dengan uda Rais. Ambo orang susah pula, mak. Ambo
tak sangguplah menanggung hidup amak berkepanjangan selama
di sini. Besok sore, ambo antarkan amak ke terminal. Amak pulang
saja ke kampung”

”amak cuma rindu, apa salah amak datang menemuimu dan cucu-
cucu mak ke sini. Bukannya mak baru sehari di sini, sampai hati
kau menyuruh mak pulang. Kau tidak pernah tau bagaimana mak

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


5

mengumpulkan uang untuk bisa sampai menemuimu. Tak perlu


kau mengantarkan mak, mak bisa pulang sendiri, kau urus saja
anak dan suamimu”

Dikemasnya mimpi juga perih


Dilerainya semua amarah yang merobek nadi
Air mata tak lagi ia peduli

Inikah anak yang ia gadangkan


Inikah Gadih yang selalu ia dendangkan
Inikah perempuan Minang yang menjunjung kasih sayang
Kemana si Upiak yang ia sayang
Kemana hilangnya cinta yang dulu digaungkan

Udara seakan beku, membekukan hati tua yang lelah


Napas seakan merenggut jantungnya
Merenggut seluruh dunia
Ditimpakan ke muka tua yang tak berdosa

Dipeluknya buntalan lusuh itu


Diusapnya air mata yang mengalir di pipi, kian lisut
Hidup seakan berhenti seketika
Marah tak sanggup ia katakan
Kecewa tak sanggup ia utarakan

Malam merambat pelan


Dibungkusnya air mata dan kecewa
Dilemparkan segala pengharapan ke dalam gelap yang tak pernah
bersahabat
“Tak ada ibu yang salah membesarkan anak,” gumamnya

Sementara kaki sudah terlalu letih


Matanya nanar
Di stasiun ia terlelap, dipagut ratap

Di Balik Redup Mata Ibu


6

Ngiang suara itu menusuk batinnya


”Tak ada perisakah amak tinggal serumah dengan bisan1

/3/
Jika aku mampu
Aku akan pergi sejauh inginku
Jalanan di luar begitu luas
Sehampar ikhlas yang kupunya
Tentang siang dan malam yang menulisi jantungku sendiri

Saban waktu
Mata ini mengulum mendung
Degup yang mengejar ke sudut sudut hati
Lalu menutup hari dengan jutaan angan

Beberapa senja bahkan malam pijakan itu masih kuingat


Lebih panjang dan suram dari yang pernah dilalui dulu
Mengingat sesuap nasi dari jarinya yang kekar
Tentang lembut dan wanginya napas ibu

Selepas senja yang mengantarku pada sebuah pangkuan


Menuang pengakuan pada segala sepi
Inginku bicara lantang
Tentang hidup yang berubah garang

Hartini, perempuan yang menelan senja dengan air mata


Sisa umur tinggal dalam harap yang tak sudah
Dia ingat dulu, saat pagi lahir dan malam rebah di pangkuan
Riuh suara kanak-kanak, derai tawa membelah duka
1 Di Minangkabau hubungan terjadi disebabkan karena dua hal, pertama,
kekerabatan yang disebabkan karena keturunan atau pertalian darah, kekerabatan
ini disebut juga hubungan dalam. Kedua, kekerabatan yang disebabkan karena
adanya perkawinan yang disebut juga hubungan luar. Bisan merupakan
hubungan antara ibu dari perempuan Minang dengan mertuanya ataupun
sebaliknya, sebenarnya di Minangkabau sendiri, perempuanlah bersama suami
yang tinggal di rumah ibunya. (Lihat https : www.google .com/search kabaranah.
com-All Right Reserved I Powered By Blogger).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


7

Setiap malam rembang sayup-sayup terdengar alif ba ta dieja


Cinta adalah kesederhanaan, itu ia tanamkan
Menghamba pada benang merah dalam ikatan suci pernikahan

Di kursi rotan sang suami duduk dengan gagah


Bau tembakau dan aroma kopi berkelindan mengisi langit langit
rumah
Bibir hitam serupa gelap kehidupan yang saban hari harus ditelan
Dipaksa tegar mereguk setiap rengekan
Pinta Hartini, pinta buah hati
Demi cinta, demi menutup susah yang tak berjeda
Ikhlas dalam jalinan kisah yang tak mudah
Namun kasih kian tumbuh subur saat benih-benih cinta tertanam
di rahim Hartini
Dipupuk jua sayang yang diundang
Tak hirau pagi atau petang demi beras segantang
Cinta adalah perjuangan

Kelak, di saat usia kian menyusut


Peluk dan dekaplah tubuh renta ini
O, anak yang kubesarkan berkalang lengan
Rengkuh dan lerailah segala gundah
Usap semua peluh dan air mata
Tak akan pernah habis rindu dan air susu
Meski badan berkalang tanah

O, anak yang didendangkan siang dan malam


Obat jerih pelerai demam
Kenanglah kenang

/4/
‘’Suara suara yang tak asing
Juga tak begitu jauh
Kian dekat kain merapat
Ingatlah aku kepadanya

Di Balik Redup Mata Ibu


8

Kepada yang mengantarkanku setiap goresan kemarau


Kemarau air mata

Di lembah lembah ia bersemayam


Berselendang kabut jingga
Menorehkan puisi puisi dada yang rawa
Kian rekah
Makin merah”

Adakah hal lain yang dirindukan Hartini


Selain berkumpul dengan anak-anaknya
Menghabiskan malam dengan cerita dari cucu-cucunya
Rindu itu benar-benar telah membatu
Hartini kian muram

Malam-malam seakan ikut diam


Matanya tak sanggup mengusir gundah
Tak pernah ia mengira hari tua akan menjadi begitu sia-sia
Anak tak ada suamipun tiada
Hidup sebatang kara sampai maut memisah raga

Lintau2, tanah yang melahirkan dan menggadangkannya


Di tanah ini ia tumbuh bak anak-anak Minang pada umumnya
Mengaji di surau, bermain di lapangan

Mengenyam pendidikan walau hanya sebatas sekolah rakyat3


Hartini kecil hidup berkecukupan
Ayah mandeh giat ke sawah dan ke ladang

2 Lintau, nama sebuah Nagari/Desa dalam Kabupaten Kabupaten Lima Puluh Kota,
Provinsi Sumatra Barat.
3 Sekolah rakyat dibangun dan didirikan atas swadaya dari rakyat, dan prakarsa
para pejuang kemerdekaan Indonesia, sekolah yang berdiri pada penjajahan
Jepang atau yang lebih dikenal dengan nama Jepangnya “Kokumin Gakko” ini
membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia, pada zaman dahulu yang dapat
menempuh pelajaran di sekolah rakyat adalah orang orang tertentu saja.
(lihat https ://id.m.wikipedia.org/wiki/sekolah_rakyat).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


9

Hari berlalu musim pun berganti


Hartini masih mengingat teman seperjuangan
Diinap renungkannnya setiap liku perjalanan
Ingin rasanya ia kembali mengulang
Mendulang setiap mimpi kecilnya yang riang

Suara malam tak jua membuat tenang


Sepasang mata kian redup
Membelah dimensi sampai ke puluhan tahun yang lalu
Betapa rindu rindu itu kian membelenggu
Tubuh tua itu tak jua kunjung terpejam

Persaan kalut jiwanya hanyut


Terbang melalang buana
Diayun-ayun rasa, dibuai-buai kenangan
“andai waktu bisa diputar kembali
Andai semua bisa terjadi
Tuhan, aku ingin kembali walaupun cuma sehari
Tuhan, sakit dan rindu ini tiada terperih”

Air matanya kian deras


Rindu suami, rindu anak cucu, rindu ayah dan mandeh kandung
Sementara hidup hanyalah kesunyian yang abadi

/5/
“kita bukan orang kaya, kau bisa bersekolah saja sudah syukur
Lalu sekarang saat ada yang mau mempersuntingmu apa mau
dikata
Bukankah kau juga belum bekerja, coba kau pikirkan itu, Hartini
Mak dan ayahmu sudah tua”
Begitulah kata yang diucapkan ayah Hartini puluhan tahun lalu,
saat memintanya menikah dengan Burhan,
lelaki yang menjadi ayah dari ke empat anak-anaknya

Di Balik Redup Mata Ibu


10

Lalu suara-suara itu berhenti mengalir


Memanggil nama-nama yang bersemayam di dada
Dada malam yang kehujanan
Semburat basah menyilau ke hari hari
Juga jalan setapak kian licin

Angin merenda aroma basah


Dapurnya kehilangan puisi
Petuah pun rindu menemani kisah tidur melenakan
Ranjang dan langit kamar kembali kosong
Cerita-cerita masa kecil kembali terdengar

Tuhan yang mana yang tak punya rencana


Pada sebilik hati yang rapuh
Semoga harapannya tak terlalu besar
Untuk sekadar menua dalam pelukan

Perhelatan pun dilangsungkan


Hartini bak purnama saat memakai suntiang4
Jari-jarinya merah semerah saga
Senyumnya sumringah
Tak ada luka

Tak ada kecewa


Tak ada air mata
Mencintai laki-laki tua pilihan orangtua
Bukan hal mudah baginya
Tapi cinta tak pandang usia
Cinta tak pandang sesiapa
Sebab cinta adalah anugerah

4 Suntiang (sunting) merupakan hiasan kepala pengantin perempuan Minang,


rangkai hiasan berwarna keemasan yang khas, pada umumnya di Minangkabau
atau Sumatra Barat pengantin perempuannya memakai sunting di hari
pernikahan.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


11

Hari dan bulanpun berganti


Tangis bayi dan tawa kanak-kanak mengisi hari hari Hartini

Hamparan masih begitu kelam


Tiba-tiba rindu itu kian sesak
Rindu ia dengan laki-laki itu
Lelaki yang mengajari tentang arti kehidupan

Di luaran kisah-kisah berebutan tempatnya


Mengitari hujan dan lampu jalan
Dengan segala kelembutan
Memesona sedalam keheningan

Kaki tak kuat lagi berlari


Badan terombang-ambing di percik hujan, dingin yang gigil
Menari, mencari secercah damai
Sebongkah hati yang mungkin telah mati

Duka yang tak terkata raga


Jiwa-jiwa yang terbang menjemput semesta
Wajah yang hadir pada satu waktu
Meruntuhkan langit nan rapuh
Menikam ke ulu rabu
Mendulang ke kedalaman sebait cerita tentang secangkir rindu

/6/
Datangnya seperti lagu sepi yang dimainkan angin lewat kisi
jendela kamar
Bergabuk memang
Menakar gigil ke setiap pori-pori
Lalu mengembun pada dini hari

Mungkin sekadar gerimis yang lewat


Waktu kian menyilir ke udara

Di Balik Redup Mata Ibu


12

Berkaca kaca teringkus kefanaan


Menyimak diam yang sejati

Dulu, saat Mak dan ayahnya sudah tiada, Hartinipun harus rela
Sawah dan ladang diambil alih mamak5-nya
Tanah ulayat 6 memang tak ada hak kuasa
Tentu Hartini harus mengalah
“Mak dan ayahmu sudah tak ada, Hartini
Mungkin sudah saatnya mamak mengambil alih
Kurasa kau sudah tak kuatlah mengolah ladang dan sawah”
kata mamaknya satu ketika

“Tak mungkin, anakku masih kecil-kecil


Dengan apa aku membesarkan dan menyekolahkannya
5 Mamak adalah sebutan ke saudara laki laki ibu di Minang, yang berdasarkan dan
kekerabatan matrilineal, kedudukan mamak memegang peranan yang penting,
sejatinya mamak berperan sebagai pelindung anggota keluarga, mamak juga
bertanggung jawab terhadap kemenakan.
Dalam kebudayaan Minangkabau seorang mamak selalu mejadi bahan
pembicaraan, apabila terjadi suatu terhadap seseorang, yang akan disalahkan dan
menjadi pertanyaan adalah mamak, maka dari itu mamak memiliki kedudukan
yang penting dalam masyarakat Minangkabau, adapun pembagian mamak
di Minangkabau yaitu: Mamak sebagai kepala kaum, mamak sebagai kepala
waris dan mamak sebagai pembimbing. (Lihat: www.kabaranah.com/2014/11/
kedudukan-mamak-laki-laki-di-Minangkabau.html?m=I)
6 Tanah ulayat, dalam pengertian khusus tanah ulayat nagari telah dipakai dan
menjadi hak rakyat asli menurut kaumnya masing masing, dan menjadi hak ulayat
kaum masing masing penghulunya, ada empat kategori dalam menentukan hak
hak ulayat dalam nagari, yakni: hak ulayat nagari, hak ulayat suku dalam nagari,
hak pusaka dalam nagari dan hak tempelan. (Tuanku Mudo H. Emral Djamal Dt
Rajo Mudo).
Pada dasarnya tanah ulayat tidak bisa diperjualbelikan, dan masyarakat hanya
ikut pada mamak sebagai kepala waris yang merupakan pimpinan yang diberi
amanat untuk menjaga tanah ulayat agar keberadaannya tetap berfungsi untuk
kesejahteraan masyarakat adatnya, akan tetapi sangat disayangkan amanah
yang telah diberikan kepada seorang mamak sering disalahgunakan hanya
dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi belaka. (Ridho Afrianedy, SHI, Lc).
(http://w w w.boy yendratamin.com/2015/11/tanah-ulayat- di-nagari-
Minangkabau.html?m=I).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


13

Bukankah ada hak ibuku di sana


Mamak jangan rakus, semua sudah mamak gadaikan
Tolong tenggang juga nasibku dan anak anakku” erang Hartini

”Mamak seharusnya menjagaku yang merupakan kemenakan


mamak,
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Bukankah itu yang biasa kalian gaungkan, ke mana hilangnya
Anak suka-suka anak, kemenakan pun begitu, itu yang mamak mau
Tiang sendiri yang membawa rubuh kalau seperti ini” ujarnya

“sudah lancang kau mengajari mamak, tak ada sopan santun, tak
beradat itu namanya
Ambo digadangkan dalam kaum, dibantaikan kerbau dialek
gadangkan, kamanakan sendiri yang menjatuhkan, ayah ibumu
kan sudah puas menikmati hasil dari sawah dan ladang itu,
kurang apa ambo selama ini, ambo mau gadaikan, ambo mau jual
sekarang, itu urusan ambo, kalau perlu kalian semua keluar dari
rumah gadang ini, tak guna kalian di sini, menambah beban saja
Pergi kau turut adik-adikmu yang merantau, kau minta tolonglah
ke mereka, adik beradik sama saja, indak laki-laki, indak
perempuan sama saja”

Hari-haripun berubah
Sudah jatuh tertimpa tangga pula

O, ayah kanduang, jenguklah badan ini, yah


Letih tiap saat menghampiri
Dan orang-orang itu, dan penjarah-penjarah itu
Dan yang mengatasnamakan adat itu
Badan terbuang, yah
Tak ada tempat bergantung lagi

O mandeh nan disayang


Jemput jualah badan buruk ini

Di Balik Redup Mata Ibu


14

Gunggunglah terbang
Dunia tak berbilik lagi
Semua pun seakan telah mati
Sawah ladang sudah diambil orang
Rumah gadang7 pun mungkin akan dilelang

Gelap, dan matanya menggenapinya


Di antara sela ranting-ranting meranggas
Menjadi riuh yang diam-diam menikamnya
Suara lamunan menguras semua kenangan

Mulutnya terkatup
Diam menorehkan gigil yang panjang
Tertimbun derik waktu mengakar

Diabadikannya seberkas bayangan untuk menyusun kata-kata


Menghitung lagi suara gaduh
Menerjang ruang-ruang berjeruji, pahit
Mereka berteriak dari balik pelupuk mata yang hitam

Menanak mimpi-mimpi yang pedih


Berkantung-kantung lelah
Dan diamnya bersandar pada jenuh yang jalang

7 Rumah Gadang, rumah gadang atau rumah godang adalah nama untuk rumah
adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak dijumpai di
Provinsi Sumatra Barat, rumah ini juga disebut Rumah Bagonjong ataupun Rumah
Baanjuang
(Lihat: //id.m.wikipedia.org >Rumah-Gadang.com).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


15

/7/
Tak banyak yang dapat dilakukan Burhan, semenjak Hartini
dan anak anaknya diusir dari rumah Gadang
Dia tahu sebagai sumando8, dia tak punya hak apa pun di atas
rumah tersebut
Hanya bagai abu di atas tunggul, tak berarti apa-apa, dibawalah
anak dan istri ke rumah orang tuanya
Pantang bagi Burhan untuk dicap sebagai sumando yang hanya
bersandar ke keluarga istri
Tak tahu siang ataupun malam ia bekerja, tubuh tuanya yang sakit-
sakitan tak ia hiraukan
Tak peduli hujan ataupun panas yang penting anak istri tak
kelaparan

Hingga pada akhirnya, ia harus menyerah pada keadaan, pada


sakit yang berkepanjangan
Burhan pun pergi menuju peristirahatan terakhirnya
Meninggalkan Hartini dengan segunung beban

Dimulailah peperangan yang sesungguhnya


Serupa Hindun9, Hartini harus tegar
8 Sumando adalah hubungan adat yang terjadi antara seseorang laki laki dalam
suatu suku dan kaum keluarga suku lainnya di Minangkabau, sebagai akibat
pernikahannya dengan seorang perempuan dalam suku tersebut, urang Sumando
harus menyadari bahwa kedudukan di rumah istrinya itu tak berurat tak berakar,
statusnya sebagai orang sumando di dalam adat disebutkan sebagai
Langau di ikua kabau (lalat di ekor kerbau)
Lacah di kaki (lumpur/becek di kaki)
Abu di atas tunggua (abu di atas tunggul)
(http//salingkaMinang.blogspot.co.id/2012/06/adat-sumando-manyumando.
html?m=1).
9 Hindun sejatinya sebelum cahaya Islam menyinari kalbunya diberi gelar akilatul
quraisy yang artinya pemakan hati, sebab saat Perang Uhud terjadi ia sempat
memperlakukan jenazah Hamzah di luar batas kemanusiaan, namun ditebusnya
saat menjadi Muslimah, ia menjadi teladan dan pembela agama, bersifat luhur,
fasih dalam berbicara, pemberani, kuat, dan berjiwa besar.
(m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/29/lyre9-hindun-binti-
utbah).

Di Balik Redup Mata Ibu


16

Harus kuat untuk sekadar bertahan hidup


bekerja apa saja yang penting dapat upah

Anak-anak sering libur sekolah karena sudah tidak ada biaya


ke mana akan mengadu
sementara semua keluarga seakan menjauh
inikah yang namanya hidup itu?

Detak itu tertinggal di sini


Dari ucap yang dulu ingin ditulis
Dari malam-malam yang gagu
Dari napas persimpangan yang laknat

Berbaur dengan gincu


Membunuh detik-detik waktu
Demi napas yang lega
Tak mungkin memilih diam ataupun memaki keadaan
Biarkan pejam merenggut jalan

Kata-kata tak pernah tidur


Begitu juga dengan setiap asa yang dipunya
bingkisan kalbu
cinta Sang Agung
menguji diri dalam tangis yang tak terbendung

Mata kian gelisah


malam sudah teramat dingin untuk dibantah
anak-anak Hartini tertidur dengan sebuah pinta
tawanya tadi pagi masih renyah
tak hirau keadaan sudah mencekik mereka
Ah, kanak-kanak tentu tak paham soal itu

Dibangunkan anak yang gadang


diguncang-guncang badan yang kecil
memang sudah terlalu malam
untuk disebut makan siang

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


17

”Cuma ini yang ada, makanlah, mungkin sudah dingin


Ibu tadi membantu tetangga kampung masak
Beliau ada pesta” ujar Hartini kepada anak-anaknya

“Sudah cukup kok, Ibu, ini sudah membuat kita tidur tanpa perut
lapar
Siapa yang punya pesta, apakah anak kepala desa? Yang suaminya
orang Jawa?
Aku nanti juga ingin seperti dia, hidup jauh dari desa, pasti akan
kuajak ibu serta”
jawab anak perempuan Hartini satu-satunya

Hartini senang
Hartini riang
Diaminkan pengharapan sederhana anak gadisnya
Kelak dia akan ikut ke kota
Pergi dan merantau bersama anaknya
Menua bersama cinta anak dan cucu-cucunya
Sederhana saja

/8/
Di antara deretan-deretan toko yang sudah tutup
Hartini terdiam, ditajamkan penglihatan dan pendengaran
Malam yang merambat pelan, dari jauh lirih suara bangsi10 merobek
nadi
“kok bana saluang yo nan bapitunang
Cubo radokan dandam rindu di dado
Jikok bana baparindu bapakasiah
Tolong sintakkan buhua tali jantuang hati”

10 Bangsi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah alat musik tiup sejenis
suling bambu dengan empat sampai tujuh lubang nada, di Minangkabau alat
musik ini sangat terkenal, karena sangat kaya dengan instrumen tradisional. Alat
musik bangsi ini sering terlihat di berbagai acara tradisional dan pertunjukan
adat, dan juga sering digunakan sebagai pengiring tarian tradisional seperti Tari
Pasambahan, bangsi juga sering dimainkan bersama saluang.
(www.pelangiholiday.com/2014/01/bansi-seruling-pendek-khas-Minangkabau.
html?m=I).

Di Balik Redup Mata Ibu


18

Sayup-sayup suara anak dendang11 melenakannya


Tak ada yang ia punyai selain hari-hari yang begitu basi
Tertidur di emperan dan bermimpi menjemput pagi

Malam kian dingin saat dendang-dendang itu kian mengiris hati


Bibir yang mulai terkatup, cuma angin malam yang masih bercerita
Tentang daun yang gugur, tentang angin dingin yang bermain di
antara reranting tua
Tentang hujan yang menyisakan harum tanah basah
Juga tentang banyak hal yang bila hening mampu menulisnya
dalam bahasa tanpa air mata

Sementara kota ini semakin malam semakin ramai saja


Gelak tawa dan gurauan dari sang penikmat malam pecah di udara
Berkelindan bersama kepulan asap dari penjual makanan kaki lima
Berbaur seirama dendang-dendang pengantar tidur mereka yang
papa
Mengejar bayang-bayang
Kaki-kaki menghunus tanya dan gundah, memenggal harapan
yang renta

Malam tak jua runtuh


Tubuh kembali jatuh pada satu kata rindu
Berbincang-bincang dengan angin, dengan gelap juga ratap
Menyurati batu-batu yang diam

Di sekitaran Hartini langit masih kelam


Jiwanya mengerami hujan
Mata yang mengarak gemendung
Lalu malamnya selalu berlabuh di dingin ubin pertokoan
Temani diri menghabiskan hari yang tak ada harapan

11 Anak Dendang, sebutan bagi perempuan yang menyanyi (berdendang) di acara


saluang atau basaluang.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


19

Imaji yang sering berpuasa


Badan tua yang lelah mencari bahasa pada wajah-wajah pucat
Pada dingin malam
Pada siang yang garang
Lalu menitipkannya pada debu-debu jalanan
Membasuh wajah dengan serpihan serpihan kaca

Cerita yang menunggu usai


Sebab kata-kata kian menua
Di sepanjang kerutan wajah dan hidup yang memang tak lagi
muda

Malam ini Hartini menepi


Meremas segala lapar
Berbaur di antara deretan gerobak jajanan
Matanya kian terawang
Melayang-layang seperti kunang-kunang

Dan saluang12 pun semakin jalang membelah malam

12 Saluang secara etimologis nama saluang diambil dari nama seruling panjang
yang kerap kali menjadi alat musik pengiring dalam pertunjukan musik saluang jo
dendang. Sama halnya dengan bangsi, saluang merupakan alat musik tiup khas
Minangkabau yang terbuat dari bambu. Kalau bangsi cenderung lebih pendek
dari saluang, permainan ini sering dinikmati di acara perkawinan dan acara adat
lainnya, akan tetapi di Payakumbuh setiap malam tertentu setiap minggunya di
emperan toko-toko yang sudah tutup, saluang dendang mudah ditemui, karena
sudah menjadi suatu mata pencarian bagi mereka yang bergelut di saluang
dendang tersebut. Mereka tak harus menunggu panggilan ke acara acara adat
untuk manggung dan menghasilkan uang, dendangan dari perempuan Minang
bisa menjadi daya tarik tersendiri selain kelihaian para pemainnya. Dendangan
saluang sendiri berisikan pesan, sindiran dan juga kritikan halus, dendangan
tersebut bisa mengembalikan ingatan si pendengar terhadap kampung halaman
ataupun kehidupan yang sudah, sedang, dan akan dijalani.
Lihat: // www.wacana.co/2013/11/saluang-minagkabau/

Di Balik Redup Mata Ibu


20

DELLORIE AHADA NAKATAMA ialah


pecinta seni yang lahir 25 Desember 1986
dan berdomisili di Payakumbuh, sebuah
kota kabupaten di Sumatra Barat. Bekerja di
sekretariat DPRD Kabupaten 50 Kota. Karyanya
dimuat dalam beberapa media massa dan
sejumlah antologi puisi. Sering mengikuti
even sastra dan aktif di Komunitas Tanah Rawa,
Payakumbuh.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


Dodi Indra
CATATAN SEORANG GURU
HONORER
22

PRAWACANA

“Guru adalah profesi mulia” barangkali kalimat itu sudah tidak asing
di telinga kita. Tapi bagaimana dengan mereka yang masih berstatus
sebagai guru honorer? Status sebagai guru honorer ibarat telur di
ujung tanduk, menjaga loyalitas kadang mengharuskan melawan
diri sendiri.

Bencana dahsyat gempa bumi melanda sebagian besar wilayah di


Sumatra Barat tahun 2009 lalu. Gempa dengan kekuatan 7,6 Skala
Richter di lepas pantai Sumatra Barat pada pukul 17:16:10 WIB,
tanggal 30 September, terjadi sekitar 50 km barat laut Kota Padang.
Gempa mengakibatkan kerusakan parah di beberapa wilayah di
Sumatra Barat. Seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang,
Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota
Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten
Pasaman Barat.

Bencana itu bukan hanya meruntuhkan sekolah dan rumah tempat


tinggal. Ia juga merobohkan dinding mentalitas. Trauma dengan
kejadian di depan mata bagai buah simalakama. Sebuah cita-cita,
loyalitas, dan jutaan rasa takut berkecamuk dalam diri bertahun-
tahun. Belum lagi berita di surat kabar dan televisi yang sering
menyiarkan tentang kekerasan terhadap guru.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


23

Dodi Indra
CATATAN SEORANG GURU HONORER

Pagi berselimut bening embun


Menjatuh pandang pada rimbun
Sejuk bermain di sela dedaun nyiur
Dendang camar menyambut riang
Siang terang dicumbu debu jalanan
Bahasa mentari jatuh sebagai peluh
Mengabarkan panas aspal tempat tegak
Laut ganas terbentang mendebur ombak
Mengulum pasir pasrah resah
Dan teduh petang yang memanja pandang
Sebuah gerbang pengantar juang
Membingkai jejak sepanjang jarak
Ajarkan diri membaca sinopsis hari
Bahwa malam tak melulu tentang kelam

Sejenak sebelum jingga kian magenta


Angin menyapa sebagai spasi tanda jeda
frasa dari sebuah realita
Begitu kata batinku mengawalinya
Sebatang pena kusebut suluh
Apinya ialah tinta hitam pekat
Sehitam langit kala bulan alpa datang
Dan bintang terlelap di antara tumpukan mendung

Sepoi angin menampar muka di balik kerudung

Catatan Seorang Guru Honorer


24

Seakan embusnya bercerita tentang pesta Tabuik1


Musim kemarin mekarkan kuntum
Pada lengkung senyum orang Pariaman2
Tua-muda bersorak riang: gembira
Leburkan arak-arakan ke tengah lautan
Bersabung ombak, buih, dan riak
Yang disaksikan sorak jutaan manusia

Hari pertama di pundak tersandang amanat


Berdiri di antara wajah-wajah penuh semangat
Dari sinar mata mereka banyak diksi
Senyum mengulum imajinasi
Menjadi puisi dalam perenungan ilusi
Juga rima perlahan bisa aku eja
Menjadi suka, pun duka
Dalam skenario lipatan masa

Bulan ke tujuh tahun dua ribu delapan


Empat bulan setelah janji pengabdian ditandatangani
Panggil saja buk Ayu, ucapku.
Begitu perkenalan singkat dengan mereka
Keluarga baru berseragam wibawa tampak di muka!

1 Tabuik (Indonesia:Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati


Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh
masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatra Barat, khususnya di Kota
Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala,
dan memainkan drum tassa dan dhol.Tabuik merupakan istilah untuk usungan
jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Melabuhkan tabuik ke
laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada10 Muharram sejak1831.Upacara
ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi’ah dari India, yang
ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di
Sumatra bagian barat. (Tabuik’ festival: From a religious event to tourism”.The
Jakarta Post.Diakses tanggal 2007-01-27.)
2 Kota Pariaman merupakan hamparan rendah yang landai, terletak di pantai barat
Sumatra. Ketinggian antara 2 sampai 35mdpl. Dengan luas daratan 73, 36 km².
Panjang pantai 12,7 km, serta luas perairan laut 282, 69 km². Dengan 6 buah
pulau-pula kecil, yaitu Pulau Bando, Pulau Gosong, Pulau Ujung, Pulau Tangah,
Pulau Angso, serta Pulau Kasiak. (Profil Kota Pariaman. Diakses pada 4 Juli
2010)9http://www.kotapariaman.go.id).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


25

Kepada mereka, sahabat putih abu-abu


Aku memulai sebuah catatan
Lembar pertama kanvas putih tertulis
Kertas yang kelak mungkin terbaca
Oleh mereka, mereka, dan mereka
Hari, minggu, hingga bulan
Abjad yang santun mengisi lembar diari
Seorang guru honorer bermimpi tinggi
Memetik bintang di antara riuh suara hujan3

Pada putih yang kadang harus hitam


Dilumat angkuh jelaga malam
Atau ketika tanpa sengaja tertumpah tinta
Ada getir yang diam-diam menjadi zikir
Loyalitas itu nomor satu, Ayu!
Berpeganglah pada rimbunnya
Begitu nyaring kata senior itu
Ketika terkadang realita tak sejalan paham
Berseberangan teriak dengan bisik nurani
Di ceruk dada yang tiada kenal dusta
Lalu, pena menulisnya
Kepatuhan menjadi tolak ukur
Pada seragam dan kedudukan yang
Mungkin bisa saja diganti kapan
Dan oleh siapa pun
Hanya dalam balutan mukena, aku
Melempar tanya pada hening sepertiga malam
Adakah rimbun yang lebih dari-Mu?
3 Bila ada pekerjaan penting namun dipandang tidak menarik, itulah guru honorer.
Penting karena kehadirannya diperlakukan seperti guru pada umumnya (guru
yang berstatus pegawai negeri sipil, atau guru tetap). Mereka hadir di kelas
sebagai guru sepenuhnya, dengan tuntutan, tugas, dan kewenangan yang sama.
Di sisi lain, guru honorer dianggap tidak menarik (bahkan memprihatinkan) bila
dilihat dari perhatian pemerintah atau pengelola sekolah terhadapnya. Masih
mending guru honorer yang sudah tersertifikasi,yang akan mendapat tunjangan
profesi guru tiap bulan, namun guru honorer yang belum tersertifikasi hanya akan
mendapat honor dari jumlah jam mengajar dikali honor per jam. (www.pikiran-
rakyat.com/kolom/2017).

Catatan Seorang Guru Honorer


26

Sekian kali kalimat ranum tercatat


pada rentang waktu, meski terkadang harus
meneguk pedih sebuah tatapan. Atau ucapan
dari lidah tiada bertulang
Sebuah keinginan tiada surut menapak langkah

Hingga suatu hari setelah lebih setahun perjalanan


Senja hampir selesai melipat petang
sayup senandung ayat-ayat suci terdengar bersahutan
Lalu bumi bergetar, gaduh, teriakan dan
tangis seiring kelam mencekik cemas4
“Lahaula Wala Quwatailla Billahil Aliyil Adzim”
“Lahaula Wala Quwatailla Billahil Aliyil Adzim”
“Lahaula Wala Quwatailla Billahil Aliyil Adzim”

Aku berzikir di antara suara riuh anak-anak


kehilangan ayah, istri kehilangan suami
dan entah berapa banyak lagi5
Putik terlepas dari tangkai
Mengutuk ranting tiada mungkin
Batang roboh siapa punya kuasa

Jerit meraung terhimpit


Tangis tak terbujuk dalam gulita waktu itu

4 Gempa Bumi Sumatra Barat 2009 terjadi dengan kekuatan 7,6 Skala Richter
di lepas pantai Sumatra Barat pada pukul 17:16:10 WIB, tanggal 30 September.
Gempa ini terjadi di lepas pantai Sumatra, sekitar 50 km barat laut Kota Padang.
Gempa menyebabkan kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatra Barat.
Seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan,
Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota
Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat.
(id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Sumbar).
5 Menurut data Satkorlak PB, sebanyak 1.117 orang tewas akibat gempa ini, yang
tersebar di 3 kotamadya dan 4 kabupaten di Sumatra Barat. Korban luka berat
mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688 orang, korban hilang 1 orang. Sedangkan
135.448 rumah rusak berat, 65.380 rumah rusak sedang, dan 78.604 rumah rusak
ringan. (id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Sumbar).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


27

Malam yang berbeda, pada setangkup cemas


fajar menyingsing sedikit cepat
Masihkah aku bermimpi? Bukankah semalam
sepicing pun mata tiada terlelap
Mana tempatku mengajar?6
Mana murid-muridku? Mana teman-temanku, ah!
Kertas-kertas mimpi berserakan, beterbangan
Jatuh pada bangunan yang runtuh
Tertimbun di bawah harap penuh simpuh

Puing-puing berserak sepanjang pandang


Seiring asa yang luluh lantak, mengais sisa
harapan di bawah timbunan luka
Aku terpaku, bisu!
Tiada siapa mengerti gejolak itu
Butuh waktu pun kesabaran
Membenahi huruf-huruf yang berserak
dalam kalimat cita, jatuh bangun mengemas tegak
Menepis risau meneguk sangsai
Satu tuju jelas arahku
“Bukan biduk jika takut riak gelombang”
Riak menampar, gelombang mengakar
Buih berseru dalam hening jangkar

Setelah bermusim takut cemas bermukim


Satu persatu pucuk mulai tumbuh
Mengelopak pada ranggas kemarin lalu
Hijau, mungkin bisa kembali rimbun
Tangkai kecil masih gigil dipeluk gamang
“Bukan hal mudah melawan trauma itu,” tulisku

6 Sebanyak 533 unit gedung sekolah, rusak akibat gempa tektonik 7,6 SR
yang mengguncang Sumatra Barat (30/9/2009). Data satkorlak PB Sumbar
menyebutkan, dari 533 gedung sekolah yang rusak, 251 di antaranya rusak berat
dan sulit untuk dipakai lagi. (www.solopos.com/2009/10/05).

Catatan Seorang Guru Honorer


28

Semusim setelah buku-buku kembali


melabuhkan pena di antara reruntuhan gempa7
Ilalang pada kemarau mencatat terik matahari
Cendawan melukis senyum pada rintik hujan
Yang hilang biar menjadi kenang
Sebagai pengingat sebuah taat
Kuasa kita bukan apa-apa

Waktu begitu cepat, angkuh mengayuh laju


Telah bertahun sebuah amanat terpikul
Di pundak yang ringkih menahan perih
Selama itu pula kepatuhan dan loyalitas
Membayangi setiap gerak pun gerik
Begitu juga rasa takut peristiwa silam
Tergambar nyata di pelupuk kenang. Sedang
sebuah harap menggantung ranum
Sebagai putih mimpi di palung hati
Yang kadang diselingi hitam ketakutan
dari lembar berita8

Akan ke mana kukayuh mimpi


bila bayangan demi bayangan terus mengintai
menatap dari setiap sudut ruangan?
Mengubur angan sama halnya menyerah!

Menyongsong badai tak ubahnya bunuh diri!


Kecamuk batin terus bermain, menjadi kata
7 Pascagempa dasyat yang mengguncang Padang dan sekitarnyapada 30
September 2009, masih menyisakan puing-puing reruntuhan bangunan serta
fasilitas publik, tidak terkecuali bangunan sekolah yang belum diperbaiki. Kepala
Dinas Pendidikan Kota Padang Habibul Fuadi menuturkan, terdapat 40% dari
3.544 ruang kelas SD, 54% dari 912 kelas SMPdan 53% dari 655 ruang kelas SMA
dalam kondisi rusak dan tidak dapat digunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
(kabar24.bisnis.com> Home> Kabar24> Pendidikan).
8 Guru kesenian di SMA Negeri 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Ahmad
Budi Cahyono, meninggal dunia setelah dianiaya HI, yang tak lain adalah siswanya
sendiri. Kamis (1/2/2018)Pengajar yang tinggal di Desa Jrengik, Kabupaten
Sampang ini sempat dirawat di RSUD dr. Soetomo. (daerah.sindonews.com/
topic/5528/).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


29

menjadi koma, menjadi elipsis, menjadi tanya


menjadi seru, menjadi perang dalam aku
Aku yang trauma, aku yang mimpi, aku
yang mungkin esok jadi korban emosi9

Dalam sengit tarung tanpa taring


Segalanya bermuara pada hati
Trauma dengan peristiwa yang pernah
menimbun lembaran harapan10
Loyalitas bergelayut di pundak
Merupa beban sepanjang waktu
Menunggu bersama timbunan kertas usang
juga bayangan menakutkan dari
kejadian demi kejadian di halaman depan
surat kabar11
Menjadi momok dan mimpi buruk
Dalam jaga, dalam tidur
Pada denyut, pada debar

9 Kekerasan terhadap guru kembali terjadi. Kali ini menimpa AT (57), guru sekaligus
Kepala Sekolah SMP 4 Lolak, Sulawesi Utara yang terluka cukup parah di beberapa
bagian tubuhnya akibat dihantam meja kaca oleh orang tua muridnya, DP (41).
Kabid Humas Polda Sulut, Kombes Pol Ibrahim Tompo membenarkan kejadian
tersebut. Ibrahim mengatakan pelaku melakukan penganiayaan itu emosi setelah
diundang pihak sekolah terkait kenakalan anaknya. (www.merdeka.com/tag/k/
kekerasan-guru/).
10 Hari ini delapan tahun yang lalu, gempa berkekuatan 7,6 SR mengguncang
Sumatra Barat dan sekitarnya. Peristiwa itu disebut-sebut sebagai salah satu
bencana alam dengan dampak yang cukup parah, dalam sejarah Indonesia
modern. (global.liputan6.com> Home> Global> Internasional).
11 Dalam beberapa bulan terakhir marak diberitakan di berbagai media masa
perselisihan antara guru dengan orang tua murid. Kebanyakan perselisihan
terjadi karena orang tua tidak terima terhadap tindakan guru dalam memberikan
peringatan dan teguran pada siswa. Pengamat Kebijakan Publik UGM, Dr.soc.pol.
Agus Heruanto Hadna, menilai fenomena ini terjadi akibat sistem pendidikan
di Indonesia mengabaikan pendidikan perilaku dan karakter. Menurutnya,
pendidikan di Indonesia lebih banyak menekankan pada aspek kognitif.
Sementara itu, aspek perilaku cenderung dilupakan. (ugm.ac.id/id/berita/12396-
kekerasan).

Catatan Seorang Guru Honorer


30

Tafakur, istighfar
Aku tertunduk dalam simpuh
Kertas putih yang membingkai cerita saban musim
Tiada ragu atas kuasa-Mu
Mentari di sanubari, tempat pulang segala
Lindungi hamba dalam tugas mulia ini

Sajadah yang pasrah menampung


air mata. Jadi peredam dalam kobaran
api ragu, bara dari merah luka
Menganga umpama jurang sepanjang pijak
Di atasnya titian iman merentang jalan
Berpagar keyakinan pada kuasa-Nya

Kubingkai catatan berjilid doa


Pada sampulnya sinopsis tergambar jelas
Sebagai klise untuk cambuk semangat
Dalam memangku tugas seorang guru12
Aku biduk yang pernah dikepung badai
Terdampar di ceruk karang suatu malam
Bahkan hujan badai sahabat paling karib
Membasuh tubuh lusuh
Kenalkan rintik berjubah gigil

Maka terus kutulis lembaran itu


Helai demi helai membungkus ragu
Membariskan tanya dan seru
Menjadi catatan yang akan tetap hidup
12 Dinas Pendidikan Sumbar terus mengupayakan tenaga honorer agar dapat diangkat
menjadi pegawai negeri sipil (PNS) namun masih terkendala oleh Peraturan Presiden
Nomor 48 Tahun 2005. “Dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 itu dinyatakan pemerintah
provinsi dilarang mengangkat tenaga honorer menjadi PNS,” kata Kepala Dinas
Pendidikan Sumbar, Burhasman Bur di Padang, Sabtu (25/11).Pemerintah provinsi
Sumbar akan melihat peluang pengangkatan itu pada 2018, yang kabarnya dibuka
oleh pusat. Untuk saat ini, setelah kewenangan tingkat SMA pindah dari kabupaten/
kota ke provinsi pada awal 2017 pihaknya tetap membayar gaji honorer tersebut.
“Tenaga guru honorer ini sangat dibutuhkan, apalagi saat ini jumlah guru SMA
sederajat banyak kekurangan,” ujarnya.(sumbar.antaranews.com/berita)

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


31

Sebagai motivasi, setidaknya bagi diri sendiri


Dari segenap tanya, luka, dan airmata
Tuhan adalah muara segalanya

Padang, 10 Februari 2018

Catatan Seorang Guru Honorer


32

DODI INDRA bernama lengkap


Dodi Indrayani lahir 3 Juni 1995 di
Pasaman Barat, Sumatra Barat. Masa
kecil hingga tamat SMA dijalani di
tanah kelahiran, Pasaman Barat.
Pada masa SMA ia mengisi majalah
dinding (mading) sekolah sebagai
salah satu cara menyalurkan hobi
dalam menulis, terutama puisi.
Namun kesibukan kuliah banyak
menyita waktu, hingga ia jarang menulis. Meskipun demikian,
tahun 2018 ini ia berencana menerbitkan buku kumpulan puisinya
pertama kali. Sebagai mahasiswa semester akhir di STKIP PGRI
Sumbar, kini ia sedikit sibuk dengan tugas penyusunan skripsi.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


Joel Pasbar
PERANG PADRI: SEJARAH
DAN AIR MATA
34

PRAWACANA

Abdul Gani adalah seorang mahasiswa pascasarjana semester


akhir, jurusan sejarah. Salah satu universitas ternama di Malaysia.
Kedatangannya ke Pasaman, Sumatra Barat, dalam rangka pe­
nyusunan tesis, sebuah nilai sejarah tersendiri baginya. Bagaimana
tidak, Perang Padri yang diceritakan Nyiak Datuak membuatnya tahu
akan keganasan perang itu, tentang kenapa orang Pasaman banyak
tinggal di Malaysia, dan lain-lain.

Sekembali dari Pasaman, Sumatra Barat. Tepat di hari wisuda


S-2-nya di tengah kegembiraan itu ada kabar yang datang, tentang
Nyiak Datuak yang telah tiada. Abdul pun kembali ke Pasaman,
selang beberapa waktu setelahnya.

Selain ziarah, ia juga menemui beberapa pemangku adat


setempat, dan berjanji akan membantu menerbitkan sebuah buku
yang mengupas tuntas sejarah silam itu.

Berkat bantuan beberapa pihak, niat Abdul akhirnya tercapai.


Setidaknya sejarah Perang Padri dan orang Rao, Pasaman, bisa
menjadi titik terang bagi ke simpang-siuran cerita yang beredar.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


35

Joel Pasbar
PERANG PADRI: SEJARAH DAN AIR MATA

/1/
Senyum melengkung pelangi bahagia
pada setiap raut wajah. Di ruangan penuh kuntum
renyah canda-tawa terpotret bersama bingkai juang
betapa sebuah jerih payah, kini telah membuahkan hasil
Master of Business Administration: gelar S-2 melekat
di belakang nama masing-masing

Abdul Gani, M.B.A. Satu dari sekian pemilik mimpi


yang mekar hari itu. Ia mengasing dari bising keramaian
sebuah dering ponsel berkabar
duka di seberang sana tertulis pada layar yang tergenggam
Air matanya jatuh; luruh meneguk nelangsa

“Sebuah janji tak mungkin tertunai,” ucapnya


Ini kali bukan tersebab jarak jadi penghalang, tak pula
hati lupa sebuah ikrar. Namun, ajal meminta lebih dulu
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati”1

Dihapusnya butiran bening dari pinggir telaga, biar


tiada berkesan basah pada rumput yang tengah
bertasbih atas sebuah pencapaian
Ingatan mengawang pada sosok yang tiba-tiba membayang
Beberapa bulan lalu begitu tegar
membaca sejarah bersama tawa yang renyah. Hangat
merangkul penuh persahabatan
1 Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari
kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa jauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia
itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Q.S Ali Imran: 185).

Perang Padri: Sejarah dan Air Mata


36

Dari sosok itu banyak ilmu mengalir, terukir dari


rangkaian kata-kata penuh suka-duka. Helai
demi helai tersusun bersama kalimat santun
lalu terbingkai dalam sepundak skripsi

/2/
Sebuah kisah kembali muncul di relung ingat
Januari 2007, ia menatap lalu-lalang kendaraan
dari beranda rumah tua tempat lahir ayahnya
Ini kali pertama Abdul menginjakkan kaki
di sini, tanah sejarah yang sering diceritakan sang ayah

Rao2 menyambut dengan aroma sejuk


keramahan penduduk, dan sejuta tugas
sedang menanti. Cerita yang entah tersimpan di
kepala siapa, kisah yang entah terendap pada
buku yang mana?

Abdul, mahasiswa pascasarjana semester akhir


Jurusan sejarah, di University Kebangsaan Malaysia (UKM)
Tanah kelahiran tempat darahnya tumpah dan perlahan tumbuh
Lalu kini mendapat tugas penelitian sejarah
pada tanah yang konon muasalnya. Tanah
yang sejatinya masih terasa asing, untuk ia
setampang benih sisa hempasan ombak peradaban

Masih terekam dalam benaknya seminggu lalu


ketika hendak mengayuh langkah, berangkat ke Indonesia
2 Rao sebuah daerah berbukitan yang membujur di lereng bukit barisan. Menurut
Dabbin bahwa kira-kira pada tahun 800 SM, orang-orang India mendirikan
pemukiman, baik di lembah maupun di atas sungai Kampar, yang pada akhirnya
daerah-daerah ini berkembang menjadi pangkalan hulu sungai yang khas bagi
perdagangan emas Rao. (Lihat: Christone Dabbin, Gejolak Ekonomi Kebangkitan
Islam dan Gerakan Padri, Minangkabau 1784--1847, 2008: Hal 281. Komunitas
Bambu, Jakarta).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


37

tepatnya Pasaman, Sumatra Barat


Pesan ayahnya menggema: hati-hati di rumah bako3

Pesona, sejarah, budaya hingga kuliner


sebuah legenda yang selama ini menari, membayang
dalam tiap tutur kata sang ayah. Kini tanah itu
telah merangkul kepulannya
Perbukitan berjejer sepanjang wilayah itu, seperti mata
selalu mengintai
Menatap gerik tanpa kedip pada yang tumbuh
dan hidup di sepanjang legamnya

/3/
Senandung suara azan lamat-lamat memanggil
lafaz yang merdu, layaknya nyanyian magenta
Lelaki muda itu tersentak!
Buyar lamunannya di remang senja, seiring suara
“Jangan melamun, ayo salat ke surau!”

Masjid, atau biasa disebut surau


Bangunan tua yang sepertinya kurang terawat
dalam ruang kecil berdinding papan itu
Abdul melihat seseorang sedang khusuk salat
“Mungkin kakek ini yang azan tadi,” bisiknya

Lelaki di ambang senja itu mengerutkan dahi


ketika dilihatnya Abdul, sesaat setelah selesai salat
Ia mengulurkan tangan sembari menabur senyum
yang penuh wibawa dan kharisma
“Tuan muda ini musafir?”
“Saya Abdul, anaknya Pak Somad
yang bersaudara dengan Pak Haji Kosim”
3 Sebutan/ungkapan kepada keluarga bagian ayah (saudara perempuan ayah)
Kekerabatan antara dua keluarga besar, memang sangat dijaga di Ranah Minang.

Perang Padri: Sejarah dan Air Mata


38

Begitu kata Abdul mengenalkan diri


“Somad, Somad yang di Malaysia?”
Kakek itu seolah menguji daya ingatnya

“Betul, kek. Sekarang saya tinggal


di rumah Amai Idar4
Kebetulan dapat tugas dari kampus
untuk mengaji sejarah Perang Padri”
Abdul menjelaskan penuh hormat

Sesaat suasana menjadi hangat


Tersulut seringai tawa dan penuh canda
Iyiak Datuak, tepatnya Datuak Bandaro5
Demikian nama kakek yang mungkin sudah
berumur hampir sembilan puluh tahun itu
Pada wajahnya tampak ada semangat, saat berkenalan
dan bersenda gurau dengan Abdul

Ingatan kakek itu menerawang pada masa tujuh puluh tahun silam
Engku Kanti, ayahnya Somad. Adalah teman karib
seperguruan nyiak datuak belajar silat, sejarah
pepatah adat, hingga ilmu kebatinan dan agama

4 Dalam dialektika Pasaman dan Pasaman Barat, Amai adalah panggilan kepada
saudara perempuan ayah. Atau biasa juga disebut “bako” tali keturunan dari
keluarga ayah (sistem kekerabatan matrilineal).
5 Datuak (dibaca: datuk) sebuah gelar adat di Minangkabau. Gelar itu sebuah
kehormatan dalam setiap suku, yang mana setiap himpunan satu negeri adat,
dipilih satu penghulu/pemuka yang diberi gelar Datuak/Datuk.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


39

/4/
Mentari menaburkan sinar pada pagi awal tahun 2007
Abdul tiba di kediaman Nyiak Datuak. Perbincangan di
Surau semalam jadi jembatan baginya
untuk bertanya tentang sejarah kepada nyiak Datuak

Sebuah rumah kecil yang lengkap


Pustaka mini, dan benda-benda sejarah
berjejer rapi dengan segudang cerita
“Ternyata kakek ini sejarawan juga,” bisik hati Abdul
Di meja tua dan rak-rak usang
yang sudah keropos dimakan rayap waktu
banyak buku-buku terbitan Belanda
Dan buku karya penulis-penulis mancanegara
Sepertinya saya bertemu orang yang tepat
Demikian hatinya bergumam sembari mengamati
koleksi-koleksi bersejarah itu

Dua gelas kopi dan sepiring ubi rebus


asapnya mengepul di ruangan yang jadi saksi
sebuah pertemuan beda generasi
Silakan minum dulu, nak Abdul
Katanya, setelah mereka sejenak duduk
mengeja bisu di ladang pikiran masing-masing

Sesaat suasana hening. Hanya gemerisik seolah


ikut merekam kebisuan dua insan itu. Dari jendela
kayu tua, angin bersiul syahdu
dan sinar mentari mengintip malu-malu

Perang Padri: Sejarah dan Air Mata


40

Seberapa dahsyatkah perang Padri


yang pernah terjadi di tanah ini?
Sebuah tanya terlontar di bibir Abdul
kata pembuka yang sedikit parau
dengan suara gemetar

Inyiak Datuak menghela napas panjang


sepanjang gudang sejarah yang begitu ranum
bermain dalam pikirannya
Betapa banyak orang Rao yang gugur dalam perang Padri
tidak sedikit pula yang migrasi
Ke Negeri Jiran6

Apakah nak Abdul percaya kalau inyiak sebutkan berpuluh tahun?


segala kekuatan, tenaga, pikiran
hingga harta benda dipertahankan, dipertaruhkan
Mata yang telah senja itu berlinang

6 1839 penduduk Rao tercatat sekitar 25.000 orang, sementara pada tahun 1952,
penduduk Rao hanya tersisa 12.744 orang.Imigrasi dan perang Padri mencatat
sekian ribu penduduk Raoyang hilang dalam rentang waktu 113 tahun itu.
Seharusnyapada tahun 1952 itu penduduk Rao bisa mencapai 50.000 orang.
(Lihat: Undri, S. S., M.Si.: Sejarah Orang Pasaman, hal 61).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


41

/5/
Abdul menyimak kata demi kata, merekam setiap
kalimat yang didengarnya. Seperti membaca
lembar demi lembar buku yang secara detail mengupas
segala sisi realita orang Rao, Pasaman
sepanjang kobaran api Perang Padri
Sesekali lelaki muda itu bertanya
tentang kebenaran salah satu tokoh Perang Padri
yang pernah menjadi kontroversi
Asal-usul dan kebenarannya7

Dalam kobaran api, bara dendam menyala


Panas menjilat pemukiman
Membakar!
Berdarah!
Menerjang dengan keris bertuah
adalah semangat tiada surut
dari Tuanku Imam Bonjol8

7 Pada Perang Padri, perlawanan orang Rao terhadap penjajah Belanda,


menyebutkan bahwa kaum Padri Rao dipimpin oleh seorang pemuda yang
bergelar Tuanku Rao. Keberadaannya sudah dijelaskanoleh Tuanku Imam Bonjol,
bahwa Tuanku Rao adalah gelar seorang pemuda yang bernama Fakih Muhammad,
seorang anak Koto Gadang, dari mandeh (ibu)-nya orang Rao.Sementara itu, Ir
M.O Parlindungan (Tuanku Rao: 1962) membantah apa yang diterangkan Tuanku
Imam Bonjol, dengan mengemukakan data baru, bahwa Tuangku Rao adalah
putra Batak, yang bernama panglima Na Ngol-ngolan Sinambela. Pendapat
M.O Parlindungan itu mendapat sanggahan dari Buya Hamka (1974). Dengan
menerbitkan tulisannya yang berjudul Antara Fakta dan Khayal. Hingga kini buku
M.O Parlindungan itu kini hilang dalam peredaran. (Lihat: Naskah Tuanku Imam
Bonjol. Beranotasi Sjahrir Aboe Naim Dt. Kando Marajo dkk, 2000. Hal 23 Lembaga
Kajian Gerakan Padri, Padang).
8 Muhammad Shahab lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat Tahun 1772. Seorang
pahlawan nasional yang dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Salah satu
pemimpin perang Padri yang gigih dan teguh pada prinsip dan akidahnya. (Lihat:
Sjahrir Aboe Naim, Dt. Kando Marajo. Lembaga Kajian Padri, Padang)

Perang Padri: Sejarah dan Air Mata


42

Berkuda lihai Tuanku Tambusai9


Sepilin juang Tuanku Rao

Mengaum dentum meriam


sorak pekik “Allahu Akbar!”
tiada setapak surut langkah
haram bumi dipijak jika menyerah!
Air mata jatuh jua di pipi renta itu
sedari tadi menggenang di pinggir matanya

Abdul juga tak kuasa menahan haru, betapa dulu


perjuangan para pahlawan begitu gigih pun gagah
mengusir penjajah dan penjarah
dari bumi tumpah darah

/6/
Hampir setiap hari Abdul ke rumah Nyiak Datuak
menulis huruf demi huruf. Menyimak selubung cerita
selumbung luka
dari seorang sepuh yang secara suka rela
membagi ilmu dengannya

Sebagai keturunan asli Rao, Pasaman


sejarah itu bukan sekadar skripsi. Tapi lebih ke filsafat
dalam menyelami jati diri
Betapa orang Pasaman begitu teguh
memegang prinsip dan akidahnya

9 Salah satu dari tiga serangkai pemimpin Perang Padri. Lahir di Dalu-dalu,
Tambusai, Rohul, Riau. Bernama lahir Muhammad Saleh. Pahlawan berkuda yang
pemberani ini, oleh Belanda diberi julukan “De Padrische Tijger Van Rokan.” (Lihat:
Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatra Barat (1803--1838). Balai Pustaka,
1964).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


43

Abdul teringat sebuah kisah dalam buku yang pernah


dibacanya. Di Malaysia pun, orang Rao
sering terlibat menentang kemungkaran10
Dua minggu serasa belumlah cukup untuk Abdul
menelusuri seluk-beluk kisah dan sejarah perang Padri
serta luka, air mata, dan nyawa
yang pernah tumpah karenanya
Calon S2 itu tak kuasa menahan air mata, kala
bersalaman dengan nyiak Datuak
Waktu mengharuskan ia balik ke Malaysia
Dipeluknya lelaki renta itu seeraya berkata
saya akan ke sini lagi setelah wisuda nanti
Insya Allah!

Di mata lelaki tua itu pun sama


Butiran bening menjadi bahasa tanpa kata
isyarat yang tiada terbaca
tiada mungkin terangkai dalam aksara
Hanya doa saling berpeluk amin
semoga waktu kembali pertemukan

10 Jiwa patriotisme orang Rao, Pasaman. Tidak pernah mundur apabila berhadapan
dengan penjajah dan kemungkaran, meskipun berada di negeri perantauan.
Namun orang Rao tetap komitmen dengan jati diri dan identitas. Dalam berbagai
peristiwa yang terjadi di Tanah Semenanjung, sering melibatkan orang Rao. Ketika
terjadi perang saudara dua orang anak Bendahara Pahang, yaitu Tun Ahmad
melawan Tun Muthahir (1857--1863) orang Rao membela Dua Dole haji Mustapa
Raja Kemala membawa diri ke Kalumpang. (Lihat: Orang Rao Dari Masa Klasik
Hingga Kontemporer, hal 9).

Perang Padri: Sejarah dan Air Mata


44

/7/
Semalam sebelum berangkat, masih terngiang kata
nyiak Datuak. Bahwa perang Padri
bukan hanya perang kekuasaan, tapi harga diri
Perempuan, anak-anak, orang tua
disuruh migrasi ke pulau seberang
mengulum rindu di relung dada, terpisah
dari orang-orang yang mereka cinta!

Lelaki remaja berlatih pegang senjata


pertahankan sejengkal tanah tak boleh lepas
biar nama terkubur di tanah leluhur, putih tulang
akan tetap dikenang sebagai bukti juang
Ombak gelombang permainan laut, buih menebar asa
tiada larangan. Begitu tekad melawan jajah
bukan sembunyi di bawah ketiak pengkhianatan
itu haram bagi orang Pasaman!
Terlihat geram di wajah nyiak Datuak

Kehilangan puluhan ribu sanak saudara


mengental sebagai luka baginya
Perseteruan dua kaum berbeda pandang
Mencabik moralitas; hasutan Belanda11
Sebabkan bilur sekujur tubuh generasi Rao
Keluarga besar Abdul adalah satu, dari ribuan
keluarga lain yang menetap di negeri orang
Meski merah putih telah mengangkasa

11 Di balik pecahnya perang Padri gelombang dua dan tiga terdapat campur tangan
dari pihak Belanda yang bermaksud memprovokasi kedua belah pihak (kaum
agama dan kaum adat) sehingga terjadi perang dahsyat yang menelan banyak
korban. Namun akhirnya dua kaum itu bersatu di bawah pimpinan Tuanku Imam
Bonjol. (Lihat: sejarah perang Padri).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


45

/8/
Nyiak Datuak berulang kali berpesan
carilah orang Rao yang sedang di Malaysia
meneliti puing-puing sejarah yang hanyut
berserak sebagai bukti perjuangan
dari Rao hingga Negeri Sembilan12
Pada orang itu banyak sejarah yang harus
diketahui dan dipahami oleh generasi muda Pasaman
Agar sungai kisah tak lagi dikeruh orang-orang tuna sejarah
Yang berladang di tanah kita sendiri

Pertemuan dengan orang yang dimaksud


nyiak Datuak waktu itu, menambah wawasan Abdul
untuk skripsi, juga filsafat diri
Dicatatnya segala cerita dari santun sebuah bahasa
agar supaya menjadi sebuah cerita baru
jawaban dari kisruh yang beredar, juga pengobat
luka tanah silam

Sebatang sajak di belantara kisah semoga


merimbun daun menjulai ranting catatan luka
tentang juang yang perlahan hilang
di relung ingat generasi muda

/9/
Sepuluh tahun sudah berlalu
waktu melipat pergantian musim. Detik
melaju lesat tanpa jeda, hujannya tumbuhkan cemara
tertunduk mengenang kecambah
Kemarau tepiskan lecah simpang siur kisah

12 Keberadaan orang Rao di Semenanjung Malaysia, salah satunya Negeri Sembilan


hingga kini jejaknya masih jelas dan terang. Selain bahasa, lagu banyak ciri khas
Rao yang melekat di situ. Salah satu pejuang perang Padri (Tuanku Tambusai) juga
wafatdi Negeri Sembilan, Malaysia. (http//adi-rawi.blogspot.in/2009/02).

Perang Padri: Sejarah dan Air Mata


46

Pada telaga kedalaman asa, harap menggantung tinggi


suatu hari semoga kisah itu jadi motivasi
Kaca mata tak lagi berkaca pada luka
pada kesumat yang selubungi nurani
untuk tanah Ibu Pertiwi; NKRI
di sudut ini ada kisah yang tak pernah mati

Sorban putih itu lambang kedamaian


melilit kepala, redam api angkara
menjulang sekukuh benteng Imam Bonjol
pagari negeri seedaran Gunung Pasaman dan Talamau

/10/
Abdul Gani. MBA, Dosen University of Malaysia Sabah
menatap lekat sebuah buku
yang tebalnya lebih dari lima ratus halaman
Sebulan yang lalu buku itu diterimanya, kiriman
dari petinggi Kabupaten Pasaman
di sampul depannya tertulis
“Orang Rao Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer”13
Nama penulis yang tertera di situ mengingatkan ia
pada sosok seorang pahlawan baginya
Orang yang banyak memberi cerita
kisah yang mungkin tidak semua orang tahu

Betapa dulu sebuah perseteruan pernah


menimbulkan sejuta tangis
13 Sebuah buku yang menguak kisah orang Rao, Pasaman, Perang Padri, dan
banyak lagi pelurusan sejarah yang selama ini selalu simpang siur. Buku karya
Amran Dt. Jorajo (seorang guru di salah satu sekolah di Pasaman, sejarawan, dan
budayawan) ini menjadi buku pilihan di beberapa universitas ternama di Malaysia.
Beliau salah satu peneliti sejarah yang begitu gigih menguak dan mencari bukti-
bukti peninggalan sejarah di Kabupaten Pasaman. Penelitian yang sampai ke
Malaysia dan Belanda itu, banyak memberinya pengalaman untuk menulis buku
Orang Rao dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. “Sudah 27 tahun saya melakukan
penelitian untuk menulis buku ini”, ucap Amran Datuak Jorajo. (Kutipan ini adalah
percakapan penulis dengan Amran Dt. Jorajo tanggal 3 Februari 2018, pada
sebuah acara literasi di Kabupaten Pasaman).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


47

dan banyak orang yang harus kehilangan


Keluarga, harta benda, hingga nyawa
Ingatan sepuluh tahun silam
kembali membayang di ingatan Abdul Gani MBA
Tiga bulan sekembalinya dari Pasaman kala itu
sebuah berita duka ia dapat melalui telepon
tepat di hari wisudanya
Nyiak Datuak telah berpulang!

Selang beberapa bulan setelahnya


Ia pulang ke Pasaman
di atas pusara itu ia taburkan doa
menadahkan jemari penuh sungguh
Jasa Nyiak Datuak jua yang mengantarkan saya
bisa menjadi seorang S-2, isaknya

Sebelum kembali ke Malaysia


Abdul, M.B.A. sempat bertemu dengan segenap pemangku
adat setempat. Orang yang dulu juga
banyak membantunya mengumpulkan serpihan sejarah
Pada pertemuan itu ia berjanji akan membantu
penerbitan buku sejarah asli orang Rao, Pasaman

Pasaman Barat, 14 Februari 2018

Perang Padri: Sejarah dan Air Mata


JOEL PASBAR adalah nama pena dari
Julham Efendi. Lahir 3 Desember 1985,
di sebuah desa kecil di lereng gunung
Talamau, Pasaman Barat, Sumatra Barat.
Pria yang juga pecinta alam ini menamai
diri sebagai lelaki sunyi penikmat kopi.
Aktif dan tergabung dalam beberapa
komunitas/forum pegiat literasi, di
antaranya FPL Pasaman, FPL Pasaman
Barat (Pasbar), SBM Pesisir Selatan, dan
lain-lain. Ia juga sering mengikuti acara-
acara literasi. Segelintir goresannya pernah dimuat di beberapa
media, seperti Haluan, Kabar Madura, Neo Kultur, dan sebagainya.
Sejumlah puisinya terhimpun dalam puluhan buku antologi
bersama para sahabat. Buku kumpulan puisinya berjudul Menapak
Mimpi (Ajrie Publisher, 2015) dan Filosofi Secangkir Kopi (Madza
Publishing, 2017).
49

Muhammad Subhan
PEREMPUAN KAPUR,
GERBONG TUA MAK ITAM, DAN
KENANGAN YANG MENJADI
NISAN DI BUKIT ITU

Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,


dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit itu
50

PRAWACANA

Di penghujung abad ke-19, Kota Padang Panjang, Sumatra Barat,


menjadi sentra batu kapur yang sumber kekayaannya dari perut
Bukit Tui, salah satu bukit bagian jajaran Bukit Barisan. Tambang
dibuka Pemerintah Kolonial Belanda dengan para pekerja budak-
budak pribumi. Emas putih itu diangkut ke Emmahaven (Pelabuhan
Telukbayur) berton-ton banyaknya sebelum diekspor ke negara-
negara mitra dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie),
perusahaan penjajah yang membuntingi Tanah Ibu Pertiwi. Untuk
memudahkan pengangkutan, Belanda membangun jalur kereta api
yang terhubung dari Padang, Padang Panjang, dan Sawahlunto.
Tiga kota strategis ini menjadi pusat keramaian pergerakan barang
dan orang. Seiring perubahan zaman, moda transportasi kereta api
akhirnya mati, demikian pula dengan industri kapur yang mulai redup.
Sumber pencahariaan masyarakat paling diandalkan itu mati suri
seiring matinya jalur kereta api. Longsor (galodo) besar yang terjadi di
tahun 1987 ikut menguatkan regulasi pelarangan masyarakat yang
bermukim di kaki Bukit Tui menambang kapur sebab dikhawatirkan
terjadi bencana susulan yang merenggut banyak korban. Walau
begitu, harapan terus dipupuk dan dapat dihitung jari penambang
yang masih setia memungut rupiah dari usaha yang suram masa
depannya itu.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


51

Muhammad Subhan
PEREMPUAN KAPUR, GERBONG TUA MAK
ITAM, DAN KENANGAN YANG MENJADI
NISAN DI BUKIT ITU

/1/

kukabarkan kepadamu, Engku1


tentang rubaiyat2 sunyi di kota ini
kota yang rindunya sesak dada
kabut-kabutnya
lembut memeluk jiwa
rinai yang renyai
membasahi sansai
kadang luka
merenda kata-kata

o, sunyi itu lebih gigil


dari pusara-pusara
yang terhampar di Sungai Andok3
dan hutan-hutan rimbun
yang rapat selimuti
Bukit Barisan
1 Engku, sapaan untuk lelaki Minang
2 Dipopulerkan Omar Khayyam, pujangga Iran, dalam novel fenomenal Rubaiyat
Omar Khayyam. Rubaiyat bermakna quatrians, kadang ditafsirkan sebagai
menyanyi atau bait puisi. (lihat http://artikata.com/arti-290931-rubaiyat.html).
3 Sungai Andok, sebuah perkampungan di Kelurahan Kampung Manggis, Kota
Padang Panjang, Provinsi Sumatra Barat, memiliki sungai berair jernih yang turun
dari perbukitan dan menjadi sumber mata air Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) setempat. Di lokasi ini juga terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah penduduk kota, di samping sejumlah pekuburan warga.

Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,


dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit itu
52

menjadi riak di sungai-sungai


terjun ke Lembah Anai

hujan luruh setiap waktu


setiap musim berganti
pun setiap hari
pagi, siang, sore, malam
walau musim telah kering
walau di Bancahlaweh
tak ada lagi kuda pacu
gelanggang lengang
orang-orang memilih menyepi
ke sudut-sudut lepau di Pasar Baru
minum kopi, bermain domino
atau maota tentang pilkada
yang di koran-koran
kolom iklan didesain besar-besar
yang tak jarang memperkosa
ruang-ruang budaya
—puisi sering tersuruk di kolom sunyi

kaulihat, Engku
rel tua usang
gerbong-gerbong4 lapuk kusam
dimakan musim
karatnya melukis kanvas
4 Sejak awal tahun 2000, disebab habisnya produksi batubara di tambang-tambang
Kota Sawahlunto, kereta api di Sumatra Barat tidak beroperasi lagi, termasuk di
Padang Panjang. Akibatnya stasiun di Padang Panjang menjadi museum mati dan
menyisakan rel-rel tua serta gerbong-gerbong lapuk dimakan usia. Sementara
di masa jayanya kereta api merupakan alat transportasi paling diandalkan serta
menjadi sumber ekonomi masyarakat. Pembangunan stasiun ini sejalan dengan
pembangunan jalur kereta api sepanjang Padang sampai Sawahlunto yang
dimulai pada tanggal 6 Juli 1889. Stasiun Padangpanjang mempunyai depo
lokomotif, yang digunakan menyimpan Lokomotif BB204. Stasiun ini dahulu
menjadi pemberhentian kereta api batubara dari pertambangan batubara
Ombilin di Sawahlunto yang hendak menuju Pelabuhan Teluk Bayur, Kota Padang.
(lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Stasiun_Padangpanjang).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


53

kerentaan
dan telah ada sejak lama
menjadi nisan

disiram cahaya bulan


jika malam tiba
menjadi saksi mati
kuburan lintas zaman
menunggu harap tak pasti
di stasiun yang peronnya
telah jadi tempat bermain
anak-anak sepulang sekolah
atau di penghujung pekan
menyulut kesunyian
paling kuburan

terik
rinai
dan badai
sepanjang tahun
memanggang-sirami stasiun itu
membingkai kenangan
yang membayang lekat
selekat-lekatnya di pelupuk mata
matamu
mataku
mata hati kita

Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,


dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit itu
54

/2/
kaulihat, Engku
kepundan Tandikat
Singgalang dan Marapi5
pasak bumi yang kukuh itu
menjadi saksi
berabad-abad lamanya
mencatat riwayat
tak pernah penat terucap
dari mulut zaman

di selingkar kaki
dan pinggang gunung-gunung itu
mimpi silih berganti dibingkai
lebur-terurai
terutang-tertunai

5 Kota Padang Panjang dilingkari tiga gunung yang merupakan bagian Pegunungan
Bukit Barisan, yaitu Gunung Tandikat (Tandikek) dengan ketinggian 2.438 m.
Tandikat termasuk gunung api aktif dan meletus terakhir pada tahun 1924.
Setubuh dengan Tandikat adalah Gunung Singgalang dengan ketinggian 2,877
meter. Dari bentuknya, gunung ini sangat mirip dengan Gunung Merbabu di Jawa
Tengah. Singgalang termasuk gunung api yang tidak aktif lagi dan terdapat Telaga
Dewi di puncaknya. Berhadapan dengan Gunung Tandikat dan Singgalang adalah
Gunung Marapi dengan ketinggian 2.891 meter. Gunung ini terakhir meletus pada
tahun 2004, namun hampir setiap hari meletus dengan semburan debu kapasitas
kecil.Masyarakat di sekitar kaki gunung ini mensyukuri letusan-letusan skala itu
sebab debu Marapi menyburkan ladang-ladang masyarakat.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


55

hingga lindu6 mahadahsyat


memutus matarantai
jejak lanyai anak-anak dagang7
—datang pergi
di segala penjuru negeri

aku dengar ratok8 pilu, Engku


dari mulut-mulut pendendang
di gesekan rebab9 atau saluang
yang deritnya menyayat
jantung dan raga tubuh kami
perih nian rasanya
seperih luka ditetesi cuka
nganganya dibiarkan terbuka

—o, sungguh
tak ada yang ingin mengulang
6 Kota Padang Panjang pernah dihoyak gempa (lindu) besar pada tanggal 28
Juni 1926 dengan kekuatan gempa 7,6 SR yang berpusat di patahan Padang
Panjang. Gempa di zaman kolonial ini mengakibatkan sejumlah kerusakan terjadi
di berbagai tempat. Tanah terbelah dan longsor besar terjadi seperti di Kubu
Karambia dan Simabua. Selain di Padang Panjang, gempa ini juga dirasakan di
sekitar Danau Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Solok, Sawahlunto dan
Alahan Panjang. Akibat gempa itu setidaknya 354 korban jiwa kehilangan nyawa.
Gempa susulan juga mengakibatkan kerusakan pada sebagian Danau Singkarak.
Di Kabupaten Agam, sebanyak 472 rumah roboh di 25 lokasi, 57 orang meninggal,
dan 16 orang luka berat. Di Padang Panjang sendiri 2.383 rumah roboh dan 247
orang meninggal. (lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Padang_
Panjang_1926).
7 Anak Dagang adalah sebuah ungkapan di Minangkabau yang artinya orang
perantauan atau anak rantau. Mereka bisa berperan sebagai pedagang yang
berniaga atau pelajar.
8 Ratok (Minang), ratapan yang didendangkan.
9 Rebab atau juga rebap, rabab, rebeb, rababah, atau al-rababa adalah jenis alat
musik senar dari abad ke-8 dan menyebar melalui jalur-jalur perdagangan Islam
yang lebih banyak dari Afrika Utara, Timur Tengah, bagian dari Eropa, dan Timur
Jauh. Beberapa varietas sering memiliki tangkai di bagian bawah agar rebab
dapat bertumpu di tanah, dan dengan demikian disebut rebab tangkai di daerah
tertentu, namun terdapat versi yang dipetik seperti kabuli rebab (kadang-kadang
disebut sebagai robab atau rubab). Di Minangkabau rebab salah satu salat musik
tradisional yang populer. (lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Rebab)

Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,


dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit itu
56

sakit derita itu lagi


pedih sekali

tapi sampailah juga kisah itu

“bergerbong-gerbong orang rantai10


pernah dibawa ke sini
sebelum jadi budak emas hitam11
di Sawahlunto12”
kota tambang yang dipanggang matahari

seorang mandor dari Padang Panjang


bergelar parewa13
berkuasa ajar di tangsi
mengawasi kerja budak-budak
yang tak lain saudaranya sendiri

begitu tukang rebabbakaba14


mengisahkan muasal kota
10 Orang rantai atau urang rantai dalam bahasa Minang atau Kettingganger dalam
bahasa Belanda adalah istilah yang sudah begitu mafhum bagi orang-orang tua
di Minangkabau. Mereka dirantai di leher, tangan dan kaki, mirip para tawanan
pekerja paksa Inggris yang dikapalkan ke benua Kanguru, Australia untuk
membangun jalan-jalan kereta api ataupun juga untuk membuka tambang-
tambang yang bertebaran di benua itu. Orang rantai di sini merupakan para
pekerja paksa yang dibawa dari Jawa untuk bekerja sebagai romusha di tambang-
tambang batubara di Sawahlunto. (Orang Rantai: Dari Penjara ke Penjara, Erwiza
Erman, dkk., Yogyakarta: Ombak, 2007)
11 Emas hitam sebutan lain untuk batubara.
12 Sawahlunto berasal dari kata Sawah dan Lunto. Artinya sawah yang dialiri oleh
Batang (Sungai) Lunto. Sawahlunto hanyalah sebuah kampung kecil di Sumatra
Barat, dikelilingi hutan belantara, bukit-bukit yang saling sambung menyambung
dengan dataran rendah yang sempit. Tata letak kota seperti wajan penggorengan.
Merupakan salah satu daerah penghasil emas hitam (batu bara) di Sumatra Barat.
(Orang Rantai: Dari Penjara ke Penjara, Erwiza Erman, dkk., Yogyakarta: Ombak,
2007)
13 Parewa (Minang): sebutan untuk lelaki mandiri, identik dengan preman, orang
bagak, tapi tidak selalu dimaknai sebagai penjahat atau perusuh.
14 Bakaba (Minang): berkisah

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


57

tekun kutafakuri gumamnya


aku lebur mengkaji alif, ba, ta
mencari keakuan dalam diri
telusuri jejak nenek moyang

o, deja vu!
aku masuk ke lorong waktu

/3/
aku lihat, Engku
di masa yang entah tahun ke berapa
gerbong-gerbong Mak Itam15 itu
terkikis kulit besinya
roda-roda memercikkan api
menjadi kembang di bumi

tapi di tahun yang lain


kereta itu diam
tak berjalan lagi
—lalu terpancarlah sunyi
sunyi itu
rasanya anggur
tapi pahit di lidah
o, sudah

/4/
aku masuki lorong yang lain, Engku
aku saksikan perempuan-perempuan perkasa
yang meminak peluh dan air mata
bergelut debu dan asap yang membubung

15 Mak Itam, lokomotif uap seri E10 nomor urut 60 (E10 60) populer dengan sebutan
Mak Itam, ikon kereta api dari Kota Sawahlunto. (lihat https://www.kaorinusantara.
or.id/newsline/57166/lokomotif-uap-legendaris-mak-itam-kembali-beroperasi).

Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,


dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit itu
58

di punggung Bukit Tui16


bukit yang telah robek rahimnya
isi yang dikandung bukit itu binasa
direnggut paksa orang-orang
berkulit putih bermata bara
merampas ulayat
merengkut martabat
anak-anak negeri
yang tanahnya berdaulat

berjalanlah Mak Itam


terus berjalan membelah kota

ke Emmahaven17, ke Emmahaven, Tuan


membelah rimba Kayutanam18, Pariaman19
Padang20 Kota, dan
di bibir Telukbayur
gerbong-gerbong itu tiba

bandar laut paling sibuk itu


menjadi saksi bisu
16 Bukit Tui adalah bukit kapur yang berjajar di selatan Padangpanjang, letaknya
berada antara Rao-Rao hingga Tanah Hitam. Banyak kisah yang terjadi di bukit ini.
Mulai dari penduduknya, mitos yang beredar hingga tragedi yang terjadi di bukit
ini. Sebagian besar mata pencaharian warga adalah penambang kapur. (lihat
http://akumassa.org/id/carito-dari-bukik-tui/)
17 Emmahaven sebutan lain untuk Pelabuhan Teluk Bayur yang dibangun sejak
zaman kolonial Belanda antara tahun 1888 sampai 1893. Pelabuhan ini berfungsi
sebagai pintu gerbang antar pulau serta pintu gerbang arus keluar masuk barang
ekspor-impor dari dan ke Sumatra Barat. Hingga era Perang Dunia II, Pelabuhan
Teluk Bayur merupakan salah satu dari lima pelabuhan terbesar dan tersibuk di
Indonesia. Seiring dengan berkembangnya Singapura sebagai pelabuhan transit,
Selat Malaka menjadi jalur pelayaran yang penting sehingga mengakibatkan
menurunnya aktivitas perdagangan di Teluk Bayur.
18 Kayu Tanam merupakan salah satu nagari yang terdapat dalam kecamatan 2 x 11
Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatra Barat.
19 Pariaman adalah sebuah kota dan kabupaten yang terletak di Provinsi Sumatra
Barat. Daerah ini berjarak sekitar 56 km dari Kota Padang atau 25 km dari Bandara
Internasional Minangkabau.
20 Kota Padang, pusat Pemerintahan Provinsi Sumatra Barat.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


59

perjalanan emas putih21


yang mengisi pundi-pundi
kekayaan toke-toke Belanda
dan inlander budak kompeni
mempercantik dapur dan bilik-bilik mereka
menyulapnya menjadi pasir
air, semen dan meninggikan menara kepongahan
juga kesombongan yang sangat

sementara perempuan-perempuan Bukit Tui


yang menjadi tulang punggung keluarga22
meminak tanak telaga air mata
memeras kuras peluh yang asin
memecah mimpi di serpihan kapur
tanpa harga sepadan

o, sansai badan
sungguh mahal itu kemerdekaan

tapi tahukah kau, Engku


tak ada pilihan lain buat mereka
selain terus bekerja
sembari menunggu para lelaki pulang dari rimba
yang bertahun-tahun bergerilya
memanggul senjata
tak kenal menyerah
21 Emas Putih sebutan lain untuk kapur, dan Padang Panjang salah satu sentra
tambang batu kapur di zamannya.
22 Sebagian besar perempuan-perempuan Bukit Tui bermata pencaharian sebagai
penambang kapur, sejak tambang itu pertama dibuka hingga sisa-sisanya masih
ada sekarang walau tinggal beberapa pondok tungku kapur. Selain sebagai ibu
rumah tangga mereka berkerja sebagai pemecah batu kapur, lalu mengemasnya
dalam karung. Sedangkan para lelaki bertugas membakar batu kapur. Mereka
memasukkan batu kapur ke tungku pembakar. Selain itu, sebagian besar kaum
lelakinya bekerja sebagai kuli angkut batu kapur yang memasukkan karung-
karung kapur ke dalam truk. Industri tambang itu mulai menurun sejak tidak lagi
beroperasi kereta api dan menurunnya kebutuhan pasar. (lihat http://akumassa.
org/id/carito-dari-bukik-tui/).

Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,


dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit itu
60

walau tak sekali dua


tubuh pulang dibawa keranda

kini mafhum engkau, Engku


perjuangan itu mahal sekali
tak terbeli
—berapa pun tuan hendak menawar
atau menjual diri

/5/
setelah kampung-kampung merdeka
dan kompeni pulang ke negeri asalnya
bumi pertiwi menaruh harap
pada masa depan yang tak lagi senyap
dan perempuan-perempuan perkasa itu
masih teguh menjaga kesetiaannya
merawat bukit berdinding batu
hingga berpinak anak dan cucu
berganti-gantian, lahir dan besar
disuburi kapur
meski dada menahan sesak
asma mendesak
hingga renggut kebahagiaan
yang tak pernah mereka kenal kata bahagia

—asap dan debu kapur


menjadi bala23

23 Tidak semata faktor kesehatan, pada November 2008, aparat setempat melakukan
razia berupa penggusuran tungku kapur dan menutup kawasan Bukit Tui Bagian
Utara. Konon kabarnya warga menambang tanpa izin dan penutupan dilakukan
tanpa ganti rugi.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


61

/6/
dan, Engku
mulut ibu telah mengisahkan legenda
yang menjadi batu di puncak bukit itu
sebelum galodo24 memorakporandakan
rumah-rumah
bersama bah mahadahsyat
yang membawa air
dan longsoran tanah
merenggut ratusan nyawa
meraungkan tangis luka
menjerit pilu
di senyap malam gulita25

anjing lolongkan rintih suara


sahut bersahut
merobek-robek malam
menyambut malaikat maut
datang menjemput

24 Galodo, istilah Minang untuk bencana alam longsor atau banjir besar.
25 Tanggal 4 Mei 1987, bertepatan bulan suci Ramadan terjadi galodo (longsor
besar) di Bukit Tui Padang Panjang. Sebanyak 131 orang meninggal dunia, 9 orang
hilang, 29 bangunan hancur, 9 rusak berat dan 9 rusak ringan. Merujuk ke bencana
alam itu warga dilarang menambah kapur sebab labilnya kondisi tanah di bukit
itu.
(http://www.fortunanetworks.com/2014/08/kisah-misteri-dibalik-tragedi-galodo.
html)

Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,


dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit itu
62

ayahku tak ingin


cerita itu digumamkan lagi
ia telah kehilangan
orang-orang tercinta—kakek dan nenekku
juga pamannya
galodo menjadi halimun
menjelma lanun-lanun
mengubur tubuh dan mencabut nyawa
—tragedi itu datang
sebelum pekik, raung, sesap-lenyap
dicengkeram kuku-kuku malam

“perih dadaku. Perih sekali


jangan kau ulang-ulang lagi cerita itu!” ratap lelaki
yang punggungnya tak kukuh lagi
ia kenang luka
nganganya lebur lama di jiwa26

orang-orang yang ia kasihi


orang-orang paling pahlawan
dalam hidupnya
penjaga bukit-bukit kapur
seperti perempuan yang tak kenal lelah itu
menjaga kehormatannya

ibu tahu, dan ia tak ingin ayah tahu


ketika cerita itu didongengkan kepadaku
pada detik-detik menjelang tidur
sebelum lampu damar dipudurkan
sebagai kembang mimpi
hingga azan subuh berkumandang

26 Bencana alam galodo Bukit Tui telah melahirkan trauma panjang bagi masyarakat
sekitar Bukit Tui yang kehilangan keluarga.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


63

tetapi ketika ayah tak di rumah


ibu diam-diam melompatkan kisah itu
dari mulutnya ke telingaku
kisah tentang sibigau27 penunggu rimba Bukit Tui
bermuka babi, panjang terurai rambutnya
berperut buncit
jari-jari kakinya tidak ke depan
tapi hadap ke belakang
—dan, di malam-malam yang panjang
sibigau membangun rumah
di kepalaku
menjadi hantu
yang menakutkan

di sela-sela itu
ibu bercerita yang lain
tentang kesatrianya anak-anak Bukit Tui
yang tak berpangku tangan pada ibu-bapaknya
anak-anak yang membunuh waktu
memungut serupiah dua
anak-anak yang mengubur malu
menjaja paragede28 di Simpang Lapan
atau di stasiun angkutan kota

27 Sebagian masyarakat Padang Panjang percaya bahwa sibigau adalah makhluk


jadi-jadian yang sengaja “diciptakan” oleh masyarakat untuk menakut-nakuti anak-
anak kecil. Khususnya bagi anak perempuan yang malas merapikan rambutnya.
Menurut masyarakat setempat, Sibigau bersemayam di wilayah perbukitan Bukit
Tui.
28 Paragede (Minang), yaitu perkedel yang terbuat dari bahan jagung dan merupakan
kuliner yang diminati masyarakat Padang Panjang.

Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,


dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit itu
64

“menggalaslah, nak. Menggalaslah


telah habis harap
di bukit ini
kapur tak lagi pengobat mimpi
jangan nasib sulit bikin kita mati.”
buai perempuan-perempuan yang menjadi ibu susu
anak-anak tangguh itu
di bilik rumah gadang
ketika malam merangkak
dan kelam kian tua

/7/
kusampaikan padamu, engku
mak itam yang telah menjadi makam
dan nisannya bersemayam di Sawahlunto
gerbongnya menahan gigil dingin angin
di sudut kota hujan29 ini

sepanjang musim
sepanjang waktu
sepanjang usiamu dan usiaku
sepanjang angan-angan

kesunyian itu telah menjadi kisah


yang hanya bisa diulang

—seperti aku kisahkan (lagi)


di usang bait puisi ini

29 Iklim Padang Panjang berhawa sejuk, dan kota ini juga dikenal sebagai Kota Hujan
sebab tingginya curah hujan.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


65

sampai jari-jariku kelu


sampai waktu terbunuh
perempuan-perempuan perkasa itu
masih terus menyulam mimpi
di punggung-punggung bukit tui
meski punggung-punggung mereka sendiri
rapuh dan patah
payah menanggung berat beban
bertahun-tahun lamanya

telah menjadi belulang


mimpi tak berumah itu, engku
memfosil di hati-jiwa kami
orang-orang di kaki Singgalang
—o , sudah. Siapa peduli?

Padang Panjang, 27 Februari 2018

Perempuan Kapur, Gerbong Tua Mak Itam,


dan Kenangan yang Menjadi Nisan di Bukit itu
66

MUHAMMAD SUBHAN penerima


Anugerah Literasi 2017 dari Pemerintah
Provinsi Sumatra Barat. Penulis Emerging
dari Indonesia yang diundang ke per­
helatan akbar penulis Asia Tenggara
Ubud Writers dan Readers Festival (UWRF)
2017 di Ubud, Bali. Ia mengasuh Ruang
Budaya dan Sastra Remaja Harian Rakyat
Sumbar (Grup JPNN). Menulis novel, puisi,
cerpen dan esai. Karya-karyanya: Rumah
di Tengah Sawah (Novel, 2015), Rinai
Kabut Singgalang (Novel, 2011), Bensin di Kepala Bapak (Kumpulan
Cerpen, 2016), Sajak-sajak Dibuang Sayang (Kumpulan Puisi, 2015),
Kota di Selembar Kuarto (Kumpulan Puisi, 2016). Ia mendirikan
Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang berpusat di Pare, Kediri,
Jawa Timur. Di Padang Panjang ia dipercaya sebagai Koordinator
Forum Pegiat Literasi (FPL) Padang Panjang dan bersama Dinas
Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang Panjang membawa
buku sedekat mungkin ke masyarakat melalui berbagai kegiatan
literasi di kota itu.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


Pinto Janir
DI GERBANG STASIUN
PENGHABISAN
68

PRAWACANA

Ini adalah kejadian paling mengilu dan pilu di tengah keindahan Kota
Bukittinggi yang berhawa sejuk. PT KAI (Kereta Api Indonesia) memiliki
lahan di pusat kota ini. Penduduk setempat menamakan kawasan ini
stasiun, karena pada masa perkeretaapian masih berjaya di Sumatra
Barat, tempat ini adalah stasiun kereta api paling ramai. Jaraknya,
tak jauh dari Jam Gadang. Ya, sekitar 1 kilometer kurang. Pemerintah
pusat melalui Kementerian Perhubungan dan pelaksana PT KAI,
melakukan sosialisasi untuk mengaktifkan kembali jalur kereta api di
lahan seluas 41.569 meter persegi. Sejak berpuluh tahun silam, lahan
itu oleh PT KAI disewakan kepada sekitar 157 pengontrak 204 KK, 80%
di antara penyewa adalah rakyat kecil alias miskin.

Keadaan terasa keruh ketika masyarakat mengetahui bahwa di


lahan itu akan dibangun hotel mewah. Pengalihfungsian itu tanpa
melibatkan masyarakat untuk berunding. Masyarakat pengontrak
merasa dibohongi. Mereka memprotes. Mereka mengadu ke mana-
mana, tapi eksekusi harus tetap dilaksanakan walaupun di tengah
derasnya linangan air mata dan ratap histeris.

Tokoh aku dalam puisi esai ini, tak hendak melawan. Ia tahu
diri. Lahan punya PT KAI, papan yang ia miliki sewaktu perjanjian
kontrak, ia teken; maka siap “angkat kaki” kapan saja kalau lahan
yang menjadi tempat tinggalnya dipergunakan PT KAI.

Ia memulai hidup dengan berdagang kaki lima, modalnya dari


tetangganya yang merupakan grosis pakaian di Pasar Auakuniang.
Namun malang nian, pada 17 November 2017 kompleks pasar
itu terbakar pula dan menghanguskan toko tetangga sebelah
rumahnya. Sejak itu ia runtuh dan jatuh. Ingin ia pulang ke kampung
asalnya di kaki Gunung Singgalang, namun rumah gadang (rumah
tua keluarga) itu juga sudah runtuh dihoyak gempa dahsyat yang
menimpa Sumatra Barat pada 30 September 2009.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


69

Pinto Janir
DI GERBANG STASIUN PENGHABISAN

Bukittinggi, indah kotanya


Jam gadang menjulang angkasa
Udara dingin dan sejuk terasa
Warganya ramah penuh pesona
Itu tersohor ke mana-mana

-1-
Siapa pun tentu tahu Bukittinggi
meski belum menginjakkan kaki
di ranah Minang ini, udaranya sejuk
sebab berada di ketinggian, yaitu
930 meter di permukaan laut1
dan luasnya 25,24 km persegi

Di kota ini setiap tamu


akan membuat kenangan
berlatarbelakang jam gadang
bagai menara menjulang angkasa

Di Bukittinggi ini pula


ada Ngarai Sianok berudara dingin2
juga Lubang Jepang, salah satu
destinasi wisata di Minangkabau

1 Lokasi Bukittinggi diperkirakan pada ketinggian 909-941 meter dpl, menjadikan


kota ini berhawa sejuk dengan suhu berkisar 16.1-24.9 C (Wikipedia)
2 Siang hari 23 C; malam hari di bawah 17 C namun terasa di tubuh 19 C pada
catatan 14 Februari 2018 pukul 22.02

Digerbang stasiun Penghabisan


70

ya, ya,
tapi di kota yang terasa tenteram
dengan suhu udara nan sejuk
ada geliat dari orang-orang kecil

air matanya jatuh


di puing rumah yang runtuh
mengalirkan perih dan duka

-2-
Bagaikan sepasang rel kereta
Tak pernah menyatu di mana
Begitulah hidup ini; nasib kami
Dalam gemuruh kota
Dan deru kehidupan

Aku, dan ah sebut saja kami


Orang-orang yang membangun rumah
Di atas rel kereta atau di bekas stasiun
Tak pernah tahu kapan kami migrasi
Bila rumah kami diratakan
Seperti kereta melempengkan rel
Yang dilaluinya

Begitulah yang hendak kuceritakan


Padamu, handai kerabat
Mungkin kisahku ini lalu dilupakan
oleh banyak masalah di negeri ini
namun, yakinlah, ini nyata

Ujung lidah tongkat langit-langit nekan rapat


Kuhela nafas kumakamkan di bilik-Mu
Biar ia tenang bersemayam di situ
Biar tak karam segala riwayat membatu
kutompangkan langit-langit atas nama-Mu

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


71

Pada lafaz penghabisan itu


Diamku sediam sunyi
hening jadi musik tak hilang-hilang
Aku tak mampu menyuruk walau di sehelai ilalang
Kalaupun aku menyuruk di telapak tangan ini
Nan kugamangkan di sela jari tampak jua
kuhantangkan badan dan jiwa
dari sergapan luka dan air mata di negeri sendiri

Di negeri yang seindah ini


semestinya bertaman bunga; bukan duri-duri
mengapa kini menjadi etalase bencana3
subur bersiram air mata

Ini hari

Matahari pagi menyiang


Sebentar lagi ada perjanjian eksekusi4
Yang kuteken bersulam masa lalu5
Saat bulan semanis madu

Seperti menanti mati disengat di atas kursi


Apa mungkin memicingkan mata kala hati terjaga?

3 Sumatra Barat memang kerap dijuluki “etalase bencana”, karena berbagai macam
bencana alam bisa terjadi di sini bahkan kerap terjadi. Sebut saja banjir, longsor,
galodo, gempa bahkan tsunami telah terjadi dan masih terus berpeluang terjadi di
Sumatra Barat. Di satu sisi Sumatra Barat memiliki alam yang subur dan panorama
alam yang indah memesona.
4 Sejumlah warga stasiun histeris menyaksikan rumahnya dieksekusi oleh PT KAI
dengan cara merobohkan menggunakan alat berat, Senin pagi 4 Desember 2017.
(Harian Singgalang, 5 Desember 2017)
5 Menurut Kepala PT KAI Divre II Sumbar Sulthan, semuanya sudah diikat dengan
perjanjian yang salah satu isinya bila mana sewaktu waktu negara dalam hal ini
Kementerian Perhubungan membutuhkan maka warga harus meninggalkan
lahan tersebut. “Namun meraka masih berkeras tidak mau mengosongkan lahan
itu, karena itulah pihaknya melakukan eksekusi tersebut, tegasnya.(Sumber
Harian Haluan,Harian Singgalang, dan Padang Ekspres, 5 Desember 2017)

Digerbang stasiun Penghabisan


72

Kulihat anak dan istri


Lelap sekali
Mungkin mereka sedang bermimpi
Karena bukankah ini hari
Adalah penghabisannya
Bermimpi di rumah usang ini

Aku buka tirai buram jendela tua


Langit belum bergaris fajar
Gelap masih pekat
Bulan belum mengalah
Mengapa kabut pagi buta
makin pekat menyergap hebat
seakan mengurung kota indahku
alam pikiranku sedih
kesedihan alam menyerpih
hingga kabut tebal
seakan kuat memagut puncak Singgalang

dan membalut Telaga Dewi6

6 Sumatra Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki


bentangan alam beragam, di sini kita bisa jumpai pantai yang indah, dataran
tinggi yang sejuk, bukit – bukit yang berbaris serta gunung – gunung yang
menjulang tinggi, salah satunya adalah Gunung Singgalang yang berada
di Kabupaten Agam. Gunung Singgalang memiliki ketinggian sekitar 2877
mdpl, merupakan jenis gunung Vulkanis namun sudah tidak aktif lagi. Gunung
Singgalang dihiasi dengan hutan gunung yang lembab dan banyak menyimpan
kandungan air sehingga persediaan air bagi para pendaki cukup melimpah. Salah
satu hal yang membuat Gunung Singgalang menjadi primadona untuk didaki
adalah keberadaan sebuah telaga yang merupakan bekas kawah mati, telaga
tersebut dikenal dengan sebutan Telaga Dewi. Telaga Dewi berada di ketinggian
2765 mdpl, airnya sangat tenang sehingga keberadaan pohon di tepi telaga serta
langit dapat terefleksi di permukaan airnya.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


73

sedang Marapi berkawah api7


api seperti terngiang langkah
nenek moyangku8 turun kemari

7 Secara geografis Gunung Marapi terletak antara Kabupaten Tanah Datar,


Kabupaten Agam dan Kota madya Padang Panjang. Di sebelahnya terdapat
Gunung Singgalang dengan telaga sebagai daya tariknya. Gunung Marapi dan
Singgalang dapat dilihat jelas dari kota Bukittinggi. Marapi dan Gunung Singgalang
bagaikan gerbang kota Bukittinggi. Kalau tak tersungkup kabut, aduhai indahnya
dua puncak gunung tinggi itu. Namun begitu secara administrasi, gunung ini
berada dalam kawasan Kabupaten Agam. Gunung Marapi memiliki ketinggian
2891,3 meter dari permukaan air laut. Untuk mencapai kaki Gunung Marapi
cukup mudah, mengingat letaknya yang tidak jauh dari Kota Bukittinggi dan
Kota Padang Panjang. Untuk menuju Gunung Marapi, jika Anda dari Kota Padang
atau Bandar Udara Ketaping membutuhkan waktu kurang lebih 1.5 jam. Gunung
marapi begitulah orang Sumatra Barat menyebut gunung api yang aktif ini.
Keberadaan Gunung Marapi dikenal sangat kental mempunyai nilai historis bagi
masyarakat Minangkabau. Konon menurut tambo (cerita dari mulut ke mulut) dan
sejarah, nenek moyang orang Minangkabau berasal dari lereng Gunung Marapi.
Hal ini ditandai dengan terdapatnya Nagari Pariangan di Kabupaten Tanahdatar.
Konon, daerah Sumbar pernah mengalami banjir yang sangat besar. Untuk
menyelamatkan diri, mereka menumpangi perahu besar dan akhirnya terdampar
di puncak Gunung Marapi. Pada saat banjir surut, nampaklah di bawah kaki
gunung adanya Luhak nan Tigo (3 cekungan daratan). Rombongan kapal yang
terdampar itu kemudian mulai menuruni tiga wilayah tersebut hingga beranak-
pinak dan menjadi penghuninya hingga kini. Luhak nan Tigo yang sekarang
diketahui seperti Luhak nan Tuo, yakni meliputi Wilayah Kabupaten Tanah Datar
(Kota Batusangkar dan Padangpanjang). Selanjutnya, Luhak nan Tengah yakni
Wilayah Kabupaten Agam (Kota Bukittinggi). Dan Luhak nan Bungsu yang berada
di Kabupaten Limapuluhkota (Kota Payakumbuh). Legenda inilah yang diyakini
penduduk setempat sebagai cikal bakal lahirnya masyarakat Minangkabau yang
memiliki adat istiadat budaya khas yang unik. Sejatinya Minangkabau adalah
masyarakat pegunungan dimana Gunung Marapi menjadi simbol budayanya.
Dahulu, para leluhur orang Minangkabau selalu berpesan bahwa Rumah Gadang,
rumah adat Minangkabau, harus didirikan menghadap ke Gunung Marapi.
8 Marapi identik dengan api, diberi nama marapi alasannya gunung ini ialah
gunung api aktif. Gunung api yang paling aktif di Sumatra ini sudah sering
meletus terakhir meletus pada tahun 2008 sudah mencatat rekor letusan 454
kali, 50an diantaranya dalam ukuran yang sangat besar atau level yang paling
membahayakan.5Orang-orang selain sering menyebut marapi, gunung ini juga
sering disebut merapi atau berapi.

Digerbang stasiun Penghabisan


74

membujuk tangis kami


aku kian galau
dingin terus menghantak risau
kuatnya bagai membekukan
Aliran sungai di nadi darahku
Memburu ngilu-ngilu

Ada yang buncah di sana9


Ketika timbang rasa tak patut
Timbang mata tak pantas
Bentang tali tak lurus rasa
Pahat tak memakan garis pula

“ Nan padiah iyolah runding


Dek tajam nampak nan luko
Dek kato hati taguntiang”10

Sementara
Mungkin saja dari kumpulan hidup paling kelat
Bila jatuh hujan menaban lebat hingga ke relung jiwa merambat
Mungkin saja hujan darah yang jatuh dari hati rakyat melarat-larat
yang kuharap bukan dari ayat
keparat berlagak malaikat
rakyat dibujuk-bujuk apa hendak disikat
9 Eksekusi bangunan dan rumah warga penyewa aset PT Kereta Api Indonesia (KAI)
di kawasan Stasiun Kota Bukittinggi, Sumatra Barat (Sumbar), berlangsung ricuh,
Senin siang 4 Desember 2017. Warga bahkan nekat menggendong anak balitanya
untuk menghalangi pembongkaran dengan alat berat.Warga mengancam akan
menginap di jalan raya, jika PT KAI tetap melanjutkan eksekusi rumah. Menurut
warga, PT KAI tidak ada memberikan uang kompensasi kepada mereka untuk
menyewa rumah setelah pembongkaran. Salah seorang korban penggusuran,
Amelia namanya , warga Stasiun Kelurahan Auatajungkang Tangahsawah, Kota
Bukittinggi, nekat mendekati alat berat yang tengah merubuhkan bangunan.
Sambil menggendong anaknya berusia dua tahun Ibu rumah tangga ini
menghadang alat berat agar berhenti membongkar rumah.
10 Nan padiah iyolah runding/Dek tajam nampak nan luko/Dek kato hati taguntiang
adalah pepatah yang artinya perkataan yang menyakiti hati lebih berbahaya dari
pisau yang tajam. Suatu keputusan tanpa rundingan cendrung membawa bala
dan silang sengketa dalam kehidupan sosial.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


75

bicara hebat angkat martabat


kami melarat kok tega mendamprat
hingga batang karam tubuh pingsan11
ah, sudah biarlah12
Ya, sebentar lagi kami sudah
Disudahi oleh kenangan berumah sendiri
Mungkin juga diludahi oleh nasib diri

detik dan menit bagai mencekik batang leherku


bagai menggoroh tali jantungku
bagai mencabik-cabik hatiku
sebentar lagi
dinding itu akan roboh
tonggak itu akan patah
atap itu akan runtuh
menimbun kenangan kita
di tiap ruang yang ada di sini

kenangan terbayang-bayang
di kotaku sayang di aku yang malang
dihantar angin lalu
dingin makin keras menerjang
Lebih tajam dari sayatan sembilu
Bagai tulang dicincang-cincang garang
diremas di atas tungku sejarangan
amis aroma kenangan melukis alam takambang jadi abu
Asapnya merangkak dalam kalbu
Dadaku sesak sekali, bila kubatukkan
Darah-darah kesedihan terserak
11 )Warga penyewa aset PT KAI lainnya pun histeris. Bahkan, ada yang jatuh pingsan
saat mencoba menghalangi pembongkaran rumah-rumah warga oleh alat
berat.*(Bukittinggi INews)
12 Meski dihalangi dan mendapat penolakan oleh warga, eksekusi aset PT KAI tetap
berjalan. Ratusan personel gabungan Polri-TNI dan Satpol PP siaga di lokasi untuk
melancarkan pembongkaran bangunan. (Bukittinggi Inews)

Digerbang stasiun Penghabisan


76

Tak perlu disapu


biarkan ia kering di tanah yang basah air mata

Semestinya, lantai nagariku


Tak mesti kumuh oleh pikiran susah
dari hati rusuh
biar rasa tak keruh
kita timbun saja duka berdarah
di bawah gedung-gedung megah

atau hotel-hotel mewah13

kalau hanya demi menangguk pundi-pundi


atas nama peningkatan pariwisata(12)
Ganti rugi mimpi kami buruk sekali
mengapa hati rakyat harus dilukai?

oi sangsai14marasai15di negeri seorang

Fajar kini mulai muncul


Kulihat asbak telah penuh dengan puntung
Aku merokok banyak sekali ini hari
Aku isap dalam-dalam sedalam-dalamnya
Nyeri di hati dapat ditahan
Nyeri di mata kemana hendak lari?
13 Manager Aset PT KAI Divisi Regional II Sumbar, Dedi kepada pers mengaku
tahapan yang dilakukan sudah melalui proses dan standar operasional prosedur
(SOP) yang berlaku. PT KAI telah beberapa kali menunda pembongkaran dan
telah memberikan uang kerohiman sesuai aturan. Pembongkaran pun dilakukan
setelah ada surat peringatan (SP) 1, 2, dan 3, hingga surat pemberitahuan
pembongkaran. Dia menambahkan, eksekusi lahan milik PT KAI yang disewakan
ke warga untuk mengoptimalkan penggunaan lahan seluas 41.569 meter persegi.
Pengosongan tersebut merupakan tindak lanjut dari kunjungan Menteri BUMN
Rini Soemarno ke Bukittinggi pada 26 Februari 2017 lalu, untuk mendukung
sektor unggulan di daerah ini, yaitu sektor pariwisata. (Sumber Bukittinggi iNews.
id)
14 sangsai= sengsara
15 marasai= menderita

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


77

Empat Desember tanggal kelabu16


Kato nan ampek17
kata sakti di ranahku
Di tahun dua ribu tujuh belas itu
Lengkaplah sudah riwayat deritaku

di halaman rumah kami


dulu itu tangga semanis nada lagu
kini tangga sudah rarak lagu telah rusak
ia dikeping kayu kekuasaan yang palak

ada bunyi deru di lengang pagi itu


rantai-rantai besi roda alat berat menyudu
merayap di hari yang paling sendu
16 Sejumlah warga stasiun histeris menyaksikan rumahnya dieksekusi oleh PT KAI
dengan cara merobohkan menggunakan alat berat, pada hari Senin 4 Desember
2017 (Harian Singgalang, 5 Desember 2017)
17 Orang Minangkabau mengenal istilah kato nan ampek atau kata yang empat. Kato
dari istilah di atas berarti aturan dalam berbicara tentang bagaimana seharusnya
kita berbicara dengan orang lain. Kapan kita harus berbicara lemah lembut, kapan
kita harus bicara tegas dan seterusnya itu diatur dalam kato nan ampek. Inilah
kato nan ampek itu yakni Kato Mandaki (adalah tata bicara seseorang kepada
orang yang lebih tua dari kita seperti berbicara kepada uda (kakak laki-laki), uni
(kakak perempuan), abak (ayah), amak (ibu) dan kepada semua orang yang lebih
tua dari kita), Kato Manurun (digunakan saat kita berbicara kepada orang yang
lebih muda daripada kita. Seperti saat kita berbicara kepada adik kita. Karena
mereka adalah orang yang lebih kecil dan belum sedewasa kita, maka bahasa
yang digunakan adalah bahasa lemah lembut, penuh sayang dan kita boleh
bicara yang tegas saat menasehatinya), Kato Mandata (adalah tata bicara kita
kepada teman sebaya atau kepada orang yang seumuran dengan kita. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa pergaulan yang baik. Dalam kato mandata, teman
yang baik adalah orang yang selalu ada saat duka cita maupun dalam suka cita,
jujur dalam segala hal yang berbentuk kebaikan) dan Kato malereang (adalah tata
bicara kita terhadap orang yang kita segani. Hampir sama dengan kato mandaki
yang juga ditujukan kepada orang yang lebih tua, namun perbedaannya adalah
kato malereang digunakan kepada orang yang kita segani seperti mertua dan
pembicaran antar tokoh adat, agama dan pemimpin. Dalam kato malereang,
bahasa yang digunakan adalah bahasa sesuai dengan situasinya. Di Minangkabau
jika kita berbicara dengan pemuka adat, biasanya mereka menggunakan kata-
kata kiasan dan kata-kata yang penuh makna. Oleh sebab itu, kata-kata yang
digunakan haruslah memikirkan dahulu apa yang dikatakan, jangan mengatakan
apa yang dipikirkan

Digerbang stasiun Penghabisan


78

melindas mimpi-mimpi semanis madu


dari keadilan yang jadi impian kita, kau dan aku
mungkin akan jadi makam
di liang lahat mengubur harapan
berkapan kain kapan-kapan
masih adakah keadilan
walau itu kapan-kapan?

Tiap kupandang tiap sudut tiap ruang


Tiap itu pula nitik air mataku
Sebentar lagi, semua ruang tinggal kenang
Kurogoh saku kuhitung uang
Mana cukup itu ganti rugi18
untuk dirikan rumah lagi
Kupandang potret anak dan istri
di dinding rumah yang sebentar lagi runtuh
aku makin luruh
aku kian jatuh
pada kekuasaan aku berkeluh
pada-Mu jua aku bersujud
bersimpuh

“Ya Allah ya Rabbi”


Doaku terputus

“ Ayah, gempa ayah!”

18 Tangis histeris warga mewarnai eksekusi lahan milik PT KAI yang terletak di
belakang Stasiun KA Kota Bukittinggi, Senin (4/12). Warga yang merasa telah
menghuni rumah mereka bertahun-tahun tidak terima dengan penertiban itu.
Namun, mereka tidak mampu mengadang ketika alat berat bergerak masuk.
Apalagi aktivitas itu dikawal ketat aparat kepolisian, TNI, dan Polsuska. Penertiban
itu sendiri sebenarnya sempat beberapa kali tertunda. Awalnya memang sempat
terjadi perlawanan dari para penghuni. Mereka bersitegang tidak mau digusur
dan menuntut penuntasan ganti rugi. Sejumlah ibu rumah tangga melontari kata-
kata sumpah serapah pada petugas gabungan.”Selesaikan dulu ganti rugi, baru
kalian boleh membongkar. Ini rumah kami, kami yang membangun dan kami
membayar sewa,” ucap salah satu warga sambil terus menangis. (Jawa Pos.com)

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


79

Anak sulungku SMA kelas satu tersentak


aku lihat ia bertanggang belajar malam tadi
matanya cekung bibirnya pasi
padahal ia hendak ujian di ini pagi

“akankah mampu ia terima


ujian hidup sekelat ini?” Aku membatin

Ondeh mande!

“ Ayah gempa, mari kita keluar ayah


bangunkan adik bangunkan ibu, ayah!” Katanya histeris

Kulihat tali lampu 20 watt


di ruang tamu tak bergoyang sedikit juga
tapi tali jantungku rasa mau putus
begitu keras membetot kalbu
hingga lututku menggigil melangkah keluar
rasa hendak lepas tulang tempurung jiwa

Bukan itu benar yang menyesakkan dada


namun serasa dipukul semena-mena
nan bikin aku remuk seremuk-remuknya
sangsai marasai di nagari permai
ninik mamak juga entah kemana
atau entah sedang di mana

Mungkin saja tengah asyik mengulik anak bininya


menikmati hasil jual harta pusaka
atau mungkin sibuk menjangkar

Digerbang stasiun Penghabisan


80

sawah ladang yang tersisa


untuk digadai-gadaikan ke mana saja19

-3-
Grrrrr, Grrrrrr, Grrrrr

Bunyi roda dan mesin alat berat


merayap pelan menerkam
Menghadang rumah kami

“Ya Tuhan, peluklah aku!”

Kami beranak-pinak saling dekap lalu keluar


Alat berat itu makin dekat mencengkeram
Dijaga ratusan aparat ditudung langit gelap
Si bungsu kelas satu SD menangis
menjerit kuat-kuat

“Lekas kemasi barang-barang kalian


Eksekusi ini hari kita mulai” suara itu
bagaikan harimau di belantara luas

Dari pelantang kudengar suara keras


Begitu keras di telinga menusuk di hati
Runtuh di raga
Sedikit mimpi saja tak tersisa
Aku lunglai nelangsa

19 Laki-laki Minangkabau punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam
perkauman, baik pengaturan pemakaian dan pembagian harta pusaka.
Perempuan sebagai pemilik harta pusaka dapat mempergunakan semua hasilnya
untuk keperluan keluarga besarnya, meliputi ; anak dan kemenakan, anak pisang,
dll sesuai dengan maksud dan tujuan pemanfaatan harta pusaka. Peranan laki-laki
di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan
seimbang dan sejalan. Laki-laki sebagai pengelola (manejer) dan perempuan
sebagai pemilik (owner) dari harta pusaka tinggi. Saudara laki-laki (disebut
mamak) memiliki wewenang menggadaikan harta pusaka bila sesuai alur dengan
patut dan hukum pantas.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


81

Diam. Diamlah
Kupulangkan segala rasa
Habis semua rasa, habislah
kutinggalkan rasa pada-Nya

Kupandang langit makin gelap saja


Mata penguasa mungkin gelap pula
Mata rakyat mata kami
Inilah mata penuh air mata

Ada apa ini?


Mengapa acap nian petaka
tiba timpa bertimpa
di ranah rancak penuh pesona ini
siapa yang zalim?
Aku rakyat atau pemimpin?
Ah, perih aku!

Ranah ini, adat bersendi syarak


Syarak bersendi kitabullah20
Muluik manih kucindam murah21
Nan baik budi nan elok baso22
Caci maki lemparkan dari bumi ini
Biar tak lenyap segala sendi
Hingga kita kembali saling peduli
Sesasikit sesenang sehina semalu
Begitulah adat orang Minang

20 Adat, syarak bersendi kitabullah atau lengkapnya “Adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai”. Hukum adat berdasarkan
hukum agama, hukum agama berdasarkan Alquran. Begitulah kesepakatan hidup
bersendi syarak orang Minang.
21 Mana tembaga mana nan besi, Mana basa mana basi. Mulut manis kucindan
murah adalah pepatah Minang. Artinya, seseorang yang berkata baik dan lembut
akan mudah mendapatkan simpati dan teman.
22 Peribahasa Minang ini berarti “yang baik itu budi, yang indah itu bahasa (sopan
santun atau tata krama). Kurang lebih peribahasa itu menekankan menjaga tata
krama).

Digerbang stasiun Penghabisan


82

Aku terdiam sendiri


Puncak Singgalang dan Marapi
Masih berkelimun kabut pagi
Seakan sedang senyum kecut sendiri

Sementara roda-roda kekuasaan


o, alat berat itu
terus merambat terus merayap
pekik histeris makin jadi menjadi-jadi
sebagian ternganga
sebagian ada yang pura-pura tuli

Mau apa lagi


“Ini amanah hukum,”
begitu kata pengacara

Tak terhentikan. Roda terus merangsek


Menghantam dan menikam
Debu beterbangan
Memerihkan hati
Menguras air mata

“Oi angin, bujuklah awan turunkan hujan!”

Makin keras makin turun


Tapi bukan hujan
Air mata makin lebat berjatuhan
Seiring jatuhnya puing-puing

Kupandang Gunung Singgalang dan Marapi


Walau disungkup kabut tebal sekali
seolah tetap gagah berdiri
jadi saksi luka kami
di atas tanah ini negeri

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


83

Kupandang Jam Gadang23


Dentang berlangkang sungkup kenang

Tik, tik, tik


Tiap detik menitik air mata
Tik, tik, tik
Bagai sembilu detik menyayat

Jarum jam berputar


Roda alat berputar
Jarum jam berdentang
Satu persatu dinding rumah terjengkang

Tik, tik, tik

Ingin kupanjat waktu, kukalangkan batang tubuh ini


Menahan putaran jarum raksasa
Biar ‘nak membatu waktu sekejap saja
Berhentilah segala derita

23 Jam Gadang adalah ikon kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat. Ia simbol
khas Sumatra Barat. Jam Gadang dibangun tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan
Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook
Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari
Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota). Simbol khas Bukittinggi dan
Sumatra Barat ini memiliki cerita dan keunikan dalam perjalanan sejarahnya. Hal
tersebut dapat ditelusuri dari ornamen pada Jam Gadang. Pada masa penjajahan
Belanda, ornamen jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam
jantan.Pada masa penjajahan Jepang , ornamen jam berubah menjadi klenteng.
Sedangkan pada masa setelah kemerdekaan, bentuknya ornamennya kembali
berubah dengan bentuk gonjong rumah adat Minangkabau .Angka-angka pada
jam tersebut juga memiliki keunikan. Angka empat pada angka Romawi biasanya
tertulis dengan IV, namun di Jam Gadang tertera dengan IIII.
Dari menara Jam Gadang, para wisatawan bisa melihat panorama kota Bukittinggi
yang terdiri dari bukit, lembah dan bangunan berjejer di tengah kota yang sejuk
ini.

Digerbang stasiun Penghabisan


84

-4-
“ Ya Allah!”

Kupandang si sulung
kupandang si bungsu
Kupandang bini serindu
Mereka tersedu
nahan sesak mereguk abu mendebu

kupandang-pandang malang
makin kutahu seberapa kuat delapan kerat tulang
tak akan mampu menghadang
karena aku bukan orang terpandang

“Ayah, ayo kita keluar sekarang


rumah tetangga kita sudah dirobohkan,” kata sulung galau
Ia bungkus baju dan bukunya, sungguhlah risau
Perih tajam tak terhalau-halau
Ngiang dendang dan rebab mengilau-ilau

Ia sandang bungkusan terkenang parau


bagai anak bujang minang hendak merantau
pandai bersilat pandai berdagang
bersilat di gelanggang eksekusi ini
mana mungkinlah tuan
belum bersilat, moncong senjata mungkin dikokang
mana berdagang?
Ah, bukankah tokoku baru saja terpanggang?

“Kemana kita ayah?” bisik si bungsu memeluk bonekanya


Menjerit batinku “Kita ke rumah Allah!”

Bayangku menjalar nikam waktu


Kenanganku tercatat di dinding dan pintu lusuh itu
sebentar lagi kan berderai-derai
seiring air mata kami dari kumpulan nasib yang merasai

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


85

akan jadi tumpukan puing-puing


lalu dilempar ke mulut Ngarai Sianok24
di ngarai paling sunyi
kenangan berkubur
puncak Merapi jadi batu mejannya

Aku hela anak bini keluar rumah


Alat berat itu mulai menghantam rumah kami
Dentumnya serasa mencabik dada

“Rumah kita ayah!” anakku mendesis

Tampak tudung atap berkarat memelas


tempat berlindung kami di kala hujan panas
di situ kasih sayang rindu dan tidur pernah pulas
tempat bermimpi di sana kini hilang alas
tempat di mana membumi
di mana dicari ruang hati ditempati
jangankan menyewa tempat
menyewa mimpi saja kami tak kuat

Kusembunyikan telaga air mata di dada sirah


di depan anak bini aku harus gagah
tak boleh tampak lemah
air mukaku tak boleh sabak
serendah-rendah aku, kepala harus tegak!

24 Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak di perbatasan
kota Bukittinggi, di kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ngarai
Sianok yang dalam jurangnya sekitar 100 m ini, membentang sepanjang 15 km
dengan lebar sekitar 200 m, dan merupakan bagian dari patahan yang memisahkan
pulau Sumatra menjadi dua bagian memanjang (patahan Semangko). Patahan ini
membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah
yang hijau—hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal)—yang dialiri Batang
Sianok (batang berarti sungai, dalam bahasa Minangkabau) yang airnya jernih.
Di zaman kolonial Belanda, jurang ini disebut juga sebagai karbouwengat atau
kerbau sanget, karena banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai ini.

Digerbang stasiun Penghabisan


86

Rumah itu rumah tua memang


Setua usiaku, kami kontrak bertahun panjang
Dari tuan pemilik tanah dekat rel membentang
157 pengontrak 204 KK meminjam sayang
80 % orang serba berkekurangan25

Mengekas hidup melawan kemiskinan menerjang


Ketika fakta dibentang direntang-rentang
Surat menyurat dipasang dipajang-pajang
Kami tetap saja orang yang malang
Begitulah bunyinya undang-undang
Ia bukan dendang-dendang sayang
Karena kami punya papan tuan punya lahan
Papan kami jadikan saja liang lahat kuburan tuan
Lahan tuan kami jadikan pengubur riwayat dan kenangan

Segala luka segala sedih


Segala perih segala tangih
Tahan sendiri

Datang kami baik-baik


Pergi mengapa tuan usir?

25 Kepala PT KAI Divre Sumbar, Sulthon, Senin (4/12/2017) mengatakan jumlah warga
yang menjadi penyewa pada lahan Stasiun Bukittinggi sebanyak 106 KK namun
banyak warga yang mempihakketigakannya penyewaan itu sehingga berjumlah
204 KK, namun pihaknya akan memberikan uang tersebut kepada data yang
terdaftar di PT KAI saja (sumber Covesia.com). Sementara itu, dari sumber Minang
Terkini.com, Kumar. Z. chan sebagai koordinator OPAKAI (Organisasi Penyewa
Aset Kereta Api Indonesia) mengungkapkan dari 157 pengontrak dengan PT.
KAI secara resmi dan memiliki akta perjanjian 80% warga yang tidak mampu.
Kumar mengatakan tawaran yang diberikan oleh PT. KAI secara sepihak berupa
dana kerohiman dengan dana Rp. 2,5 jt/KK untuk pembongkaran tapi belum ada
titik temu karena tawaran sepihak “Sewaktu difasilitasi oleh DPRD Kota Bukittinggi
kami mengharapkan win-win solusi sehingga masyarakat mendapatkan
perlakuan yang manusiawi, itu makanya warga menolak pembongkaran/eksekusi
karean belum ada titik temu nya tersebut”ujar Kumar. (Coversia.com).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


87

Kami tahu diri, kami yakin tuan punya hati


Seperti rintih lirik lagu pop di ini negeri
Mengapa harus begini?

Bukankah datang tampak muka


Pergi tampak punggung?

Dulu kami datang membawa senyum


Kini pergi membawa tangis dan luka

Berharap kami tenggang rasa


Tuan menjawab dengan tenggat waktu
Berharap kita beriya-iya
Tuan seakan menjawab bertidak-tidak

Berharap kita bermusyawarah


Mengapa tuan menjawab seakan-akan penuh amarah?

Ini buah kelat kenyataan kita


suka tak suka
harus ditelan saja
Bicara ganti rugi?
Ah, itu biasa; namanya saja ganti rugi
Berhulu ganti, muaranya rugi juga

Kemanusiaan?
Hahahahahaha
itu urusan hati nurani

Nurani?
Ah, bukankah ia sudah lama menjadi judul lagu
dangdut kita?

Goyang sana goyang sini


Tangan di atas, tangan di atas

Digerbang stasiun Penghabisan


88

Itu bukan tangan kami, mungkin tangan tuan


Tuan memberi kami menerima
Nasib malang kenyataan ini
Walau sepedih sayatan bunyi bansi
Kami anggap ilau buruk di ladang mimpi
Tak perlu harus mencubit diri
Daripada terjaga ia menjadi duri
Biarlah ini jadi mimpi-mimpi
Mimpi terburuk kami
Pernah hidup di ini negeri

-5-
Undang-undang di negeri ini
buatan penguasa holand
perkeretaapian memiliki lahan
yang bisa diambil kapan saja

Ya
PT KAI punya lahan
Kami punya papan
PT KAI punya lahan
Kami punya bangkai

Janji kami tekan


“bila pemilik perlu lahan
silakan keluar kawan!“

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


89

Itu perjanjian kita


Kami sadar adanya
Itu kesepakatan kita
Namun, usah semena-mena
Kami mengadu kemana-mana
Mengadu ke wakil rakyat26

Wakil berkutat hingga atas pusat


Sampai di bawah tak kuat
Risalah kami harap belum tamat!

Memohon tenggang rasa untuk rakyat melarat


Berjalan hukum kuat hukum taat
Tolak angsur mana mungkin dapat
Pilihan satu saja, kaki diangkat
Kami rakyat bagai didamprat
Soal kemana berangkat
26 Enam orang perwakilan dari 139 Kepala Keluarga (KK) penyewa lahan milik
PT.Kereta Api Indonesia (PT.KAI) di seputaran Stasiun Kereta Api Bukittinggi
mendatangi Kantor DPRD Bukittinggi. Kedatangan perwakilan warga itu diterima
langsug oleh Ketua DPRD Beny Yusrial, S.IP didampingi Wakil ketua H.Trismon, SH
dan Yontrimansyah, SE serta para anggota DPRD di ruang kerja ketua DPRD, Senin
(8/5). Kedatangan keenam perwakilan warga dari 139 KK yang akan digusur itu
terdiri dari H. Khairunnas, Mister, Aldefri, Panche Dede Saputra, Andi Akbar dan
Ivans Haykel adalah untuk minta perlindungan, karena menurut warga, lahan
stasiun Kereta Api dikosongkan bukan semata untuk mengaktifkan kembali jalur
kereta api, melainkan juga akan dibangun Hotel Berbintang dengan fasilitas
yang megah dan Balkondes, sehingga warga penyewa lahan PT.KAI itu merasa
dibohongi. H.Khairunnas, kepada Pimpinan dan anggota DPRD menjelasan,
kedatangannya ke DPRD untuk minta Perlindungan DPRD sebagai perwakilan
rakyat di lembaga legislatif terkait dengan adanya pemberitahuan pihak PT.KAI
secara mendadak ke pada warga penyewa tanah PT.KAI itu membuat warga panik
sebab warga secara tegas disuruh pindah secepatnya dan pada awal Agustus
areal lahan milik PT.KAI itu harus kosong, terutama yang berada di kawasan
stasiun Bukittinggi.
“Kami warga penyewa lahan PT.KAI sangat komit dengan perjanjian yang
dibuat, kapan dibutuhkan kami siap pindah tanpa meminta ganti rugi dan akan
membongkar bangunan kami sendiri, kalau lahan itu betul untuk kepentingan
pengatifan kembali jalur KA”katanya. (Sumber Bukittinggi.Info).

Digerbang stasiun Penghabisan


90

Itu bukan urusan aparat


Hukum harus tegak kuat

Tuan terpegang gagang pisau


Kami terpegang matanya
Tuan merenggut
Kami memekik
Tuan merenggut
Kami cabik-cabik

Tak bisa tidak


Ini pagi ruang harus kosong
Lipat segala barang lipat segala kenang
Tak peduli apa perut dan saku berisi atau kosong
Sekalipun pagi panas garang
Tegaklah rakyat berbaris di depan rumah menghadang
Hukum tak boleh goyang

Dinding rumah roboh


Tonggak runtuh
Atap seng jatuh
Sahut bersahutan dengan jerit tangis histeris
Dari jiwa-jiwa yang malang

Satu dua nyawa coba menghadang


memalang

Adang alat berat dikawal hebat


Tangis berhamburan tak mengikat
Dibawa angin lalu lepas lewat
Alat berat kian dekat
Ratap makin hebat
Hidup makin berat
Membangun mimpi kembali, akankah masih kuat?

Aaaaahhhhh

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


91

“Keluar, ya keluar segera!”


Terdengar teriakan
Sangat kencang

Muncung alat berat siap melahap


Melahap atap melahap dinding
Melahap hingga rata dengan tanah
Disiram air mata kenangan tak terhapus juga

Praakkkk!
Sedok alat berat menampar atap
“Ayaaaah, rumah kita, rumah kita!”
si bungsuku terpekik tajam
Aku surukkan mukanya ke pelukan
Atap seng melayang jatuh bertebaran
Tajamnya meretas tali jantung hati menikam

Braaak, dinding pun roboh

“Ayaaaah!” si sulung melihat tak kuat


ke arah rumah kami ia nunjuk luruh
yang sedang dibabat alat berat
Kamar di mana ia belajar runtuh

-----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------
(kotaku kota wisata. Konon, ini ruang hendak jadi rest area. Ironis,
bukankah ini sudah jadi rest area sejak lama bagi ribuan nyawa?
Walau kecil, kami juga bayar kontrak atau sewa. Nasib orang kecil,
selalu kalah di angka-angka dan di ruang mata !)
-----------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------

Kreeeeek, krek, krekkk, Brrrraaaak


Buuuuum!

Digerbang stasiun Penghabisan


92

Bergetar-getar
Tiang tua roboh
Seakan lebih kuat
Dari hoyak gempa 200927
Yang runtuhkan ribuan rumah
di Minangkabau

Biniku, biniku terpekik tajam


Kami berpeluk kuat sekuat-kuatnya
Rapat serapat-rapatnya
Hingga air mata kami mengumpul
dalam satu pelukan berduka luka
Tak kuat melihat rumah kami roboh

Berbilang bulan silam


30 Oktober 2017 kelam silam
di jam enam pagi yang muram
Kedai kami di Pasar Ateh terbakar28
Membakar kertas mimpi-mimpi
Memanggang harapan untuk anak bini
segala terpanggang
satu yang selamat
mimpi yang kusimpan di saku
kujahit dengan doa-doa
kupersembahkan untuk anak dan istriku

27 Gempa Bumi Sumatra Barat 2009 terjadi dengan kekuatan 7,6 Skala Richter di
lepas pantai Sumatra Barat pada pukul 17:16:10 WIB tanggal 30 September 2009.
Gempa ini terjadi di lepas pantai Sumatra, sekitar 50 km barat laut Kota Padang.
Gempa menyebabkan kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatra Barat
seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan,
Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota
Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Menurut data Satkorlak PB, sebanyak 1.117
orang tewas akibat gempa ini yang tersebar di 3 kota dan 4 kabupaten di Sumatra
Barat, korban luka berat mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688 orang, korban
hilang 1 orang. Sedangkan 135.448 rumah rusak berat, 65.380 rumah rusak
sedang, dan 78.604 rumah rusak ringan.
28 Kebakaran hebat melanda di Pasar Atas atau Pasa Ateh Bukittinggi, Sumatra
Barat, Senin 30 Oktober 2017, sekitar pukul 06.00 WIB. (Tribun Pekanbaru).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


93

-6-
Kini ke mana hendak pergi
Rumah kami di kampung roboh sudah
Dihoyak gempa 30 SR, 2009 nan parah
Rakyat susah
Susah benar jadi rakyat
Belum kering air mata
Derita tiba ganti berganti

Saat dada masih bengkak menahan duka


Masih tersisa tangis di ruang mata
Petaka hinggap lagi di kota kami
Pada 17 November 2017
Pasar Auakuning terpanggang pula29
Korbannya tetangga sebelah rumah kami

Ya
Pasar Aua Kuniang tempat mereka menggalas
Terpanggang menimbulkan kerugian dan hutang
Terpanggang di pagi yang panas garang
Api tak kunjung padam
Puntung tak kunjung hanyut

“Kami tampung air mata kami dengan telapak tangan


kami siramkan ke api,api makin nyala
tangis kami makin tak bertepi” ratapnya
Toko-toko mereka lenyap sudah
oleh api berbulan dulu
Kini rumah-rumah mereka akan lenyap segera
Disikat alat berat dari kekuasaan hukum katanya

Langit rasa taban


Bumi rasa karam
29 Pasar Grosir Aur Kuning Bukittinggi, Sumatra Barat, pada Jumat 17 November
2017 sekitar pukul 04.30 WIB terbakar. Sebelumnya, kebakaran menimpa Pasar
Atas Bukittinggi, Sumatra Barat, pada Senin, 30 Oktober 2017.

Digerbang stasiun Penghabisan


94

Air mata kian nganak sungai di dada


Aku dan anakku dan istriku
Berpeluk dalam air mata tidak henti berjatuhan

Tak ada suara. Tak ada sedu


Tangis jatuh meraguk
Membayang waktu di muka
Masihkah ada sesuap nasi untuk anak biniku

Aku usap rambut si sulung


“Nak, inilah ujian sebenarnya!” kataku
“Beratap apa kita tidur ini malam ayah?” ia baik tanya
“Beratap kalimah lailahaillallah!” jawabku tegas
“Dengan apa kita tahan dingin malam, ayah?” lanjut dia
“Dengan sabar dan kasih sayang!”

Kutongkatkan kembali ujung lidah ke langit-langit

“Lailahaillallah
Lailahaillallah
Lailahaillallah

Semua boleh roboh, boleh runtuh


nak roboh–nak runtuhlah
Tapi iman kami, “tidak!”

“Allahu akbar
Allahu akbar
Allahu akbar!”

Kuredam benci
Kucampakkan dendam
Kusiram dengan wudu
”Selagi nyawa di kandung badan
Bukankah rezeki tak pernah tenggelam!”

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


95

Tuhan pasti Maha Adil


Rumah kami telah serata tanah itu kini
Si sulung mengais puing-puing
“Apa yang kau cari, Nak?” kataku serak

“Buku ayah. Buku tugas sekolah


yang kubikin tadi malam
lupa aku mengemasinya!”

Ia terus mengais-ngais. Buku itu


terhimpit kusen jendela tua
Ia terus berupaya menarik
Tapi buku itu justru robek
Si sulung terdiam, air matanya berderai
Ia terduduk di atas puing beton berdebu

Tak sanggup aku memandangnya


Aku menghampiri dia
Mendekapnya
“Nak,” lirihku
Air mata menitik
Rinai jatuh membasuh pipiku
Nanti malam kami tidur di kaki Marapi
pondoknya hati sunyi
Menanti mimpi-mimpi

alangkah pilu hidup di negeri


katanya sudah merdeka ini
tiada kolonial tak pula ada penjajah
Belanda hengkang Jepang pun hilang
“tapi siapa kini yang menjajah kami?”

Bukittinggi, 12 Februari 2018

Digerbang stasiun Penghabisan


96

PINTO JANIR menulis puisi sejak


kelas satu SMP. Sambil berpuisi,
ia gemar menulis berita. Puisi
dan tulisannya bertebaran di
beberapa harian lokal. Seperti,
di Mingguan Canang, Harian
Semangat, Harian Rakyat Sumbar,
dan Harian Sumbar Mandiri, serta
di beberapa media daring di
tanah air.

Menurut Wikipedia, “Pinto Janir adalah seorang seniman


multitalenta Indonesia asal Padang, Sumatra Barat. Selain sebagai
penyair ia juga dikenal sebagai wartawan, penulis cerita pendek
(cerpen) dan cerita bersambung (cerbung), serta penulis lagu dan
sekaligus sebagai penyanyi. Pinto dianggap sebagai penyair yang
gila, karena pembacaan puisinya yang menyentak, liar, dan garang.
Ia juga dianggap pelopor dalam mengawinkan unsur puisi, musik,
dan teater dalam setiap penampilannya di atas panggung”.

Kata Sastrawan Makmur Hendrik, Pinto Janir adalah penulis


cerbung yang paling panjang. Karena cerbungnya “Topan” dimuat
Mingguan Canang selama 12 tahun tiap minggu dengan rutin.
Karya puisinya adalah Rakyat Susah-Susah Benar Jadi Rakyat
(2007) memuat 101 Sajak Pinto Janir dlm bentuk CD dan buku,
Tarian Senewen (2012) memuat 50 puisi, Keparat Berlagak Malaikat
memuat 50 puisi, dan Nagari Sarang Pelawak (2013).

Ia juga pernah tercatat memimpin beberapa surat kabar, antara


lain Pemimpin Redaksi Mingguan Canang, Mingguan Rancang,
Mingguan Sumbarnews,Tabloid Suaranagari. Ia juga tercatat sebagai
konsultan media massa.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


Sastri Bakry
BALADA SITI ZAINAB
98

PRAWACANA

Siti Zainab, seorang perempuan kampung, memulai kariernya dari


bawah. Ia berasal dari Nagari Kurai Taji, Kabupaten Padang Pariaman,
Sumatra Barat. Ia dibesarkan dalam keluarga yang sangat demokratis
tapi memegang teguh nilai kejujuran. Filosofi adat bersendi syarak,
syarak bersendi kitabullah telah menjadi pandangan hidup dari kecil
yang ditanamkan oleh orang tua dan bako-bako-nya. Namun dalam
perjalanan hidupnya kemudian, banyak hal yang terjadi tidak sesuai
dengan filosofi hidupnya. Tidak sesuai dengan nuraninya. Ia terkaget-
kaget melihat sikap dan tingkah laku orang-orang sekelilingnya.
Tidak senada kata dan perbuatannya.

Bicara di televisi dan sikap hidupnya sangat berbeda. Akan tetapi,


dunia memujinya. Mengambil hak negara sepertinya sudah menjadi
kebanggaan. Ketika ia berada di posisi puncak karirnya, Siti Zainab
berpikir akan mampu mengubah kondisi yang terjadi. Ternyata
hingga batas akhir, ia tidak mengubah apa-apa. Ia nyaris putus asa.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


99

Sastri Bakry
BALADA SITI ZAINAB

Siti Zainab perempuan kampung


Tubuhnya tinggi semampai
Wajahnya tidaklah tergolong cantik
Matanya tajam bak mata kucing
Rambutnya bak mayang terurai
Hidungnya bak dasun1 tunggal
Alisnya bak semut beriring
Bibirnya bak limau2 seulas
Dan pipinya bak pauh dilayang

Tapi dia yakin dengan dirinya


Meski orang sering membanding-bandingkan
dirinya dengan adiknya
yang berkulit putih susu
Halus bak pualam

Jika orang membandingkan dirinya dengan adiknya


Ia hanya tertawa tak sedikit jua kemarahan mucul di wajahnya
Siti bahkan mengambil pena menggambarkan perempuan yang
disebut-sebut
Dunsanak atau teman-temannya
“Nih, lihat bagaimana bentuknya perumpaan yang etek3 sebut
dalam lukisan ini”
1 Dasun= bawang putih, dasun tunggal melambangkan hidung seorang
perempuan yang putih mancung.
2 Limau = jeruk. Buah limau seulas dengan warnanya yang kuning memerah seperti
bibir perempuan yang seksi. Menurut Masoed Abidin, tokoh agama Sumatra
Barat, dulu di Minang, jika perempuan cantik tidaklah langsung dikatakan cantik
tapi disampaikan dengan kiasan, bahasa halus, dan penuh filosofi yang belajar
dari alam. Biasanya dimiliki dan dipahami oleh orang arif yang dekat pada Allah.
3 Etek adalah panggilan kepada perempuanyang sepantaran ibu kita.

Balada Sirti Zainab


100

Katanya sambil tertawa menyodorkan gambar wajah


yang penuh pualam, mayang, semut
beriring, limau, dan pauh.
Memanglah mengerikan
“Panggil saja Inouk”4
Katanya dengan logat Pariaman yang kental jika bersalaman
dengan orang
Konon kabarnya Inouk berasal dari Pariaman
Tepatnya di pendakian Kurai Taji

Nagari yang penuh kekeluargaan


Segalanya sering dilakukan bersama-sama
Bako5-nya memanjakan Inouk hingga hampir-hampir mandeh6-nya
marah
Karena selalu bako-nya memenuhi apa pun kehendak Inouk
Kecuali hal-hal yang prinsip, bako-nya tak hendak kompromi
Apalagi soal disiplin dalam waktu salat dan mengaji
Namun jika mengeluarkan pendapat di dalam keluarga
Semua bebas saja.

Jika pun berbeda pandangan


antara ia dan kakak, adik, bako bahkan orang tuanya
Tidak membuat salah satunya menjadi salah
Ayahnya akan membiarkan saja
Bahkan untuk memilih jodoh pun
Orang tuanya tidak pernah mendikte dan memaksa kehendak
Seperti kebiasaan orang-orang di kampungnya
Keputusan orang tua adalah mutlak
Anak-anak tinggal mengikuti dan mematuhinya
Beda dalam keluarganya, kebebasan sangat dihargai
Kecuali yang berhubungan dengan akidah
4 Di Kurai Taji nama-nama orang selalu dipanggil dengan dialek setempat. Misalnya
Ridwan menjadi Duan, Ratna menjadi Tana, Zainab menjadi Inouk.
5 Bako adalah saudara dari pihak Ayah. Mandeh adalah panggilan kepada ibu
kandung.
6 Sebutan untuk Ibu di Minangkabau.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


101

Pukul lima Subuh Inouk sudah harus bangun


Kulah7 di belakang rumah terasa dingin ketika airnya disentuh
Anduang-nya langsung menyiram mukanya agar matanya terbuka
lebar
Segera mendorong Inouk berangkat ke surau bersama etek-nya
Mengikuti salat berjamaah
Kemudian mengaji bersama
Konon dulu angku-nya sering menjadi imam salat subuh
Kini ia hanya mendengar cerita

Suatu hari Inouk mencoba peruntungan menjadi pegawai


pemerintah
Hasil ujian sebagai calon pegawai negeri keluar sebulan setelah ia
mengikuti tes
Inouk bersorak diiringi dengan tingkah gendang tasa helat
perkawinan tetangganya
Suara pupuik sarunai8 dan talempong pun mendayu-dayu
Bumi dan langit seakan menari merayakannya
Keluarganya ikut berdendang bahagia ketika tahu Inouk diterima
sebagai PNS
Dia akan membangkit batang terendam9
Akan menghidupkan kembali kebesaran nama keluarga
Ayahnya seorang pejuang yang meninggal dicencang Belanda.

Angku10 ayahnya dibuang ke Menado bersama Tuanku Imam Bonjol


Dan sekarang terbujur dalam pembaringan kubur di Koka11

7 Kulah= bak mandi besar yang biasa untuk menampung air hujan.
8 Pupuik sarunai= alat musik tiup terbuat dari batang padi yang sudah tua dan
berbuku merupakan bagian dari hiburan rakyat yang dipadu dengan talempong=
sebuah alat musik pukul tradisional khas Minang
9 Batang terendam= peribahasa, mengangkat kembali kemegahan nama keluarga
yang tersembunyi atau telah lama hilang.
10 Angku, adalah panggilan untuk kakek.
11 Koka, sebuah daerah di Sulawesi.

Balada Sirti Zainab


102

Kakak ayahnya jatuh dalam pesawat Dakota RI 00212


ketika membawa emas untuk perjuangan
Sekampungnya tahu bahwa ia adalah keturunan pejuang
Keturunan raja Sungai Rotan
Rajo Sipatokah

Ia tak mengerti bagaimana bisa disebut sebagai keturunan raja


Sungai Rotan dan Kurai Taji memang berhampiran
Tapi yang ia ingat ayah, anduang, bako dan saudara-saudaranya
adalah tipe pamburangsang13
Itu agaknya disebut sebagai Rajo Sipatokah.14

Siti Zainab mulai berhijrah ke Padang


Sebuah kota yang sudah maju dibandingkan dengan nagarinya
dan telah lama ingin dikunjunginya
Dengan tekad menjadi Padusi15 Minang yang tangguh
Ia melihat sekeliling palak karambia di belakang rumah anduangnya
Tempat ia bermain dan berlari dengan anak bako-nya
Tempat ia mendengar kaba16 Siti Baheram yang perkasa
Atau tentang dendang Cindua Mato dan Anggun Nan Tongga

Di bawah batang manggis yang sealiran dengan Batang Mangau17


Air matanya menitik

12 Dakota RI 002 adalah pesawat milik Bobby Earl Freeberg. Samaun Bakri, seorang
wartawan, wakil Residen Banten, dan pejuang kemerdekaan RI. Atas perintah
Soekarno berangkat membawa emas seberat 20 kg dari Cikotok Banten dengan
pesawat Dakota RI, untuk membeli pesawat ke India, namun sebelum sampai ke
India pesawatnya jatuh di Tanjung Karang sekitar bulan Oktober tahun 1948.
13 Pamburangsang= temperamental.
14 Rajo Sipatokah= orang yang pemberani dan ditakuti.
15 Padusi= perempuan Minang biasanya dipanggil Bundo Kanduang jika sudah
menikah menjadi tumpuan keluarga, menjadi ratu dalam keluarga dan menganut
garis keturunan Ibu(matrilineal).
16 Kaba= dongeng atau cerita.
17 Batang manggis itu artinya pohon manggis beda dengan pengertian Batang
(dengan huruf besar) Mangau yang berarti sungai namun sudah melekat erat
dengan namanya seperti Ci yang berarti sungai, tapi orang sering menyebut
Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung, dan seterusnya.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


103

Bahagiakah ia atau justru petaka yang akan dia peroleh


dengan meninggalkan kampung halamannya
pendakian Kurai Taji

Hari itu adalah hari yang bersejarah


Inouk mematut diri di depan kaca
Ia melihat dirinya yang tinggi badagok18
Terpancar keberanian dan kemandirian
Ia memiliki sangat citra sendiri
Tapi tetap peduli lingkungannya

Dengan karcis di tangan, Inouk melangkah naik kereta api dari


Stasiun Kuraitaji
Anak-anak penjual pisang, telur asin, salak, dan kacang rebus
berisik
menawarkan dagangannya
“Kacang, kacang abuih, talua asin” teriaknya
Sepanjang jalan kereta api yang mengguncang tubuhnya
Telah membawa angannya yang jauh
Terbang ke masa depan

Dan di setiap penghentian ia selalu melongokkan kepalanya


Pohon kelapa yang menghijau
Sawah yang menguning
Bunga-bunga liar yang tumbuh sepanjang tepian
Penduduknya yang ramah

Melihat dunia yang warna warni


Rasa akan ia ubah dunia untuk lebih baik
Seperti suasana kampungnya
yang lurus apa adanya
Tanpa polesan
Tapi ia tidak ingin seperti kacang direbus satu
yang hanya akan bergerak dan meloncat ke sana ke mari sendirian.

18 Badagok= kokoh, tokoh, takah.

Balada Sirti Zainab


104

Petang itu Siti Zainab berjalan sepanjang sungai Batang Arau


Ia memantau kantor barunya yang berseberangan dengan
kantor Bank Indonesia zaman dahulu
Ia berhenti di bawah jembatan Sitti Nurbaya
Dari pinggir jalan ia melihat ada masjid kokoh berdiri di seberang
sungai.

Dulu di atas tempat yang disebut Gunung Padang ada kuburan


Cina
Besar-besar dan indah kuburan yang ada di situ
Sebelum kemerdekaan justru bernama gunung monyet
Belanda menyebutnya Apenberg, monkey mountain19

Setelah kemerdekaan diubah namanya menjadi Taman Sitti


Nurbaya20
Sitti Nurbaya adalah pahlawan wanita yang diyakini terkubur di
situ
yang berani melawan tradisinya dengan melawan datuk Maringgih

Meski hanya legenda, cerita itu lekat di pikiran orang Minang


seperti legenda Malin Kundang
Di sungai itu dulu juga sering ada lomba selaju sampan
Ia bersama pacarnya yang orang Cina sering menikmati gemuruh
tepuk tangan orang memberi semangat kepada pendayung

19 Dalam pengantarnya Freek menuliskan bahwa Gunung Padang yang dipisahkan


dengan Sungai Batang Arau memendam banyak cerita dengan segala
perubahannya. Cara orang-orang hidup, menggunakan jasa, bekerja di toko
dan lain-lain. Semua itu memerlukan ruang. Perubahan-perubahan dalam
menggunakan ruang itulah yang menjadi pusat kajiannya. Pusat perhatiannya
bukanlah pada penggunaan ruang tapi lebih menarik dari itu pada proses di
mana penduduk membentuk kota melalui pemakaian lahan-lahan tertentu.
Perubahan yang dipengaruhi oleh banyak faktor yakni, budaya, ekonomi, politik
lokal, kebijakan nasional, kepentingan luar negeri, hak tanah dan rencana tata
kota. (Lihat: Freek Colombijn, Paco-paco Kota Padang, sejarah sebuah kota di
Indonesia abad ke 20 dan Penggunaan Ruang Kota,penerbit Ombak 2006).
20 Siti Nurbaya yang bercerita tentang percintaan sedih dengan Syamsul Bahri
namun terganggu dengan kehadiran Datuk Maringgih. (Marah Rusli, Siti Nurbaya:
Kasih Tak Sampai, pertama diterbitkan tahun 1922, Balai Pustaka).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


105

“Dayuang, dayuang, anak Palinggam Palinggam, anak Palinggam”21


Teriaknya sambil berdendang menyemangati pendayung dari
negeri Palinggam

Kantornya berada di depan Sungai Batang Arau


Tempatdulu orang berselaju sampan
Siti Zainab mulai masuk kantor sebagai CPNS22
Perempuan kampung berambut panjang dengan bahasa totok
Piaman
Sesekali kutu menjalar di karet rambutnya
Seolah air sungai Batang Mangau yang mengalir terbawa cirik23
rang kampuang
yang setiap pagi duduk termenung di sepanjang sungai
Semua orang memandang sinis padanya
Tapi Inouk tetap berendah hati dan menyapa orang-orang dengan
santun

Ia disuruh menating air dan mengantar koran walau ia baru saja


meraih gelar sarjana
Ia masih teringat orang sekampungnya ramai mengelu-elukan
dan mengantarnya wisuda
Bergelar sarjana saja bagi orang kampungnya sudah berdecak
kagum
Apalagi bekerja di kantor pemerintah

Inouk tersenyum dan tetap melayani dengan hati


Bukan dengan citra walau dapat piala

21 Dayuang= dayung, sebuah lagu lama Minang berjudul Dayuang Palinggam yang
diciptakan oleh Karim Nun dan dipopulerkan oleh Elly Kasim. Berkisah tentang
permainan sampan anak nagari Palinggam, sebuah nagari dikota Padang
22 CPNS= Calon Pegawai Negeri Sipil sebutan bagi calon pegawai pemerintah yang
baru diangkat 80 persen.
23 Cirik= adalah bahasa khas Piaman untuk menyebut sesuatu yang kotor yang
berasal dari dubur.

Balada Sirti Zainab


106

Suatu saat Inouk disuruh diklat prajabatan24 bagi CPNS


Ia harus membayar agar bisa lulus atau kalau tidak ia tidak akan
jadi PNS
Dan akan tetap menjadi calon untuk kemudian diberhentikan
sebagai PNS
Inouk memberontak walau dalam hati
Rajo Sipatokah-nya muncul, mau ditempelengnya seniornya itu

Ia tersenyum mengatakan
“Saya baru masuk kerja, belum punya uang”
Sebelum menjadi pegawai ia sudah mempelajari syarat menjadi
pegawai negeri
dan untuk mengikuti diklat prajabatan harus diusulkan oleh
atasannya
jika tidak diusulkan maka atasannya akan dapat sangsi
Ia bersiap-siap jika tidak jadi ikut diklat karena sogok yang tak
diberikan
Tapi atasannya tentu akan kena sangsi
Ternyata ia ikuti prosedur lurus-lurus tetap saja dipanggil diklat
Sogok tak laku

Setelah diklat prajabatan


Inouk mulai mendapat posisi sebagai pejabat eselon terendah
Lalu meningkat menjadi pejabat eselon berikutnya
Dan kemudian menjadi pejabat eselon berikutnya lagi
Angin terasa sejuk menyelinap dalam dadanya
Ia lurus pun tak kurus

Kepercayaan atasan selalu didapatnya


Petuah keluarganya pun tetap terawat
Batang terendam itu sudah bangkit
Kebanggaan keluarganya sudah terpenuhi

24 Diklat prajabatan adalah kependekan dari pendidikan dan pelatihan prajabatan


salah satu syarat menjadi pegawai negeri yang akan diangkat 100 persen sebagai
PNS.

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


107

Ia tinggal meniti hati-hati


Agar tidak terperosok ke lubang dalam

Sekarang ia menjadi pejabat eselon puncak


Kalau di daerah jabatan puncak adalah paling tinggi untuk sebuah
perangkat kerja organisasi
Ia berpikir bisa melakukan perubahan
Prinsip bako-nya ia terapkan
lurus, jujur, konsisten dan disipilin
walau ia tidak mendapatkan dukungan dari lingkungannya
terutama yang selevel dengannya, sama-sama pemimpin
yang awalnya akan dia ajak berkolaborasi untuk sebuah perubahan

Hari terasa sangat panas


Daun-daun di depan kantornya mulai menguning
Satu persatu lembar daun itu luruh ke bumi
Memenuhi pekarangan sekaligus lapangan parkir kantornya
Suasana semrawut. Mobil tak beraturan
Sepeda motor berselimpangan. Huh

“Mana cleaning service, mana satpam?“ ujar Inouk sedikit keras


“Di belakang, Ibu” jawab seseorang menunduk
“Laa, bukan mereka harus mengatur parkir?”
Peristiwa itu telah beberapa kali dilihatnya
Inouk melangkah cepat masuk ke ruangannya

Suasana pendingin tak membantu suasana hatinya


Ia duduk beberapa saat. Mengetuk-ngetuk meja dengan jari-jarinya
Mukanya memerah menandakan kekesalan hatinya
Ia menunggu sang pembersih itu datang
Tak lama lelaki itu masuk dan duduk tepat di depannya

Inouk bertanya kenapa parkir semrawut dan halaman kantor kotor


sekali

Balada Sirti Zainab


108

Lelaki itu diam sesaat, kemudian dengan suara tegas tanpa ragu ia
berkata
“Maaf Bu, gaji kami telah beberapa bulan tidak dibayar
dengan alasan SPP25 gaji kami belum Ibu tandatangani”
“Selama ini kami takut menyampaikannya karena takut dipecat”
“Beberapa bulan hidup kami penuh hutang”
Meski tangannya sedikit gemetaran
Lengan bajunya bergoyang menahan emosi
Matanya tajam menatap pimpinannya
Mata Inouk terbeliak. Kenapa ini harus terjadi? Apa yang salah?

Setelah mendengarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan


Inouk menghela napas panjang
Ia termenung dan memandang iba pada tenaga satpam
dan cleaning service yang diperlakukan tidak adil
Terbayang anaknya, keluarganya, dan kebutuhan hidupnya
Seringkali mereka, tenaga honor satpam bahkan administrasi
tidak mendapatkan gaji tepat waktu

Apalagi di awal tahun


Alasannya sederhana, hanya masalah administrasi yang tidak beres
Dan jika mereka dilibatkan pada sebuah kegiatan kantor honornya
pun dipotong

Mereka diam, daripada tidak mendapatkan sama sekali


Atau bisa jadi diberhentikan karena begitulah isi kontrak
Bisa diberhentikan jika tidak dibutuhkan lagi
Padahal kerja mereka maksimal sementara Aparatur Sipil Negara
yang mempunyai tugas tetap dengan tugas pokoknya yang jelas
tapi kinerjanya buruk hanya memanfaatkan tenaga honor
25 SPP= Surat Permintaan Pembayaran adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK
(Pejabat Pembuat Komitmen) yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada
Negara (lihat Permendagri No. 33 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2018).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


109

selaku pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja


Seolah mereka inferior

Ia memandang perempuan muda itu. Matanya sedikit mendelik


Inouk menghentikan kotbahnya. Seperti biasa perempuan itu
diam, tak bersuara
Inouk menyeringai tertawa. Suara kerasnya mengalahkan
segalanya
Tak sedikit pun anak buahnya bisa memengaruhi keputusannya
Ia mendesak untuk menyiapkan semua adiministrasi pembayaran
gaji honorer tepat waktu
“Tugasmu apa? Menyiapkan semua administrasi pembayaran,
bukan?
Kenapa harus ditunda
kenapa harus ditahan, apa untungnya bagimu?”

Kemarahannya ternyata sedemikian cepat beredar di antara stafnya


Keberanian tenaga honor untuk menggugat, mendapat responsnya
selaku pimpinan
Ia berusaha memisahkan antara kesalahan dan kebenaran
Ketika kebenaran berpihak pada para tenaga honor itu
tentu saja Inouk membelanya
Inouk bahkan memberikan penghargaan atas keberaniannya
mengungkap kelemahan kantornya

Karena ia berpikir, ia tak akan pernah bisa memperbaiki kantornya


jika hanya mendengar
cerita stafnya yang berbicara keberhasilan dengan berapi-api
Sementara ia tidak mengetahui permasalahan mendasarnya

Ia tidak perlu menutup kelemahan kantornya demi sebuah citra


Yang kebenarannya hanyalah kebersamaan
Sikapnya jelas
membuat pihak-pihak yang merasa dirugikan mulai menggugat
termasuk yang merasa kenyamananya terganggu

Balada Sirti Zainab


110

meski salah pun ada yang melakukan gerakan-gerakan


perlawanan di belakang-belakang

dan yang benar dari pihak ketiga pun berani mempertanyakan


pengadaan barang
dan jasa yang tidak dibayar
berbulan-bulan
Tanpa berpikir akan mendapat projek lanjutan atau tidak
Karena yakin akan dibela Inouk jika benar
Sungguh luar biasa!

Ada dua kubu


Di kantor yang dipimpinnya ternyata
masih banyak yang tidak tertib administrasi
bahkan melakukan penyimpangan dan penyelewengan keuangan
Dari mulut ke mulut selama ini sudah beredar betapa bobroknya
kantor yang dipimpinnya
Di antara staf yang kelihatan sedemikan santun dan hormat
padanya
Bahkan memberi saran agar ia tidak terjebak
dengan permainan staf lain yang mementingkan dirinya

Semua berbicara begitu anggun penuh tanggung jawab


Entah siapa yang kawan di kantor ini sungguh tidak terlihat
Lawan korupsi
Itu saja tekadnya
Semua melakukan pendekatan dengan berbagai aksi

Korupsi26 ternyata telah meraja lela sedemikian rupa menggerogoti


kantornya
Inouk patut berhati-berhati melangkah
Apa yang terlihat bukanlah sesungguhnya terlihat
26 Korupsi sudah merusak hampir di semua kehidupan masyarakat mulai dari
ekonomi, sosial, budaya, sampai-sampai membahayakan keberlangsungan
(sustainable development) Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Haryono Umar,
Corruption The Devil, penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2016).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


111

Ia seperti melihat edelweiss di puncak gunung


yang sedemikian dekat namun ada jarak yang dirasakan
dengan setiap peristiwa yang terjadi

Inouk tak mau terjebak dengan sikap


Salahkan orang lain
Hukum orang lain
Atau jika tak mempan
Ajak orang lain yang dihormati, berikan gratifikasi27

Allah yang memutuskan


Inouk terkapar dalam suap
Bau rokok. Bau muntah
Dari atas
Dari bawah
Dari kiri
Dari kanan
Bau semua yang tersembunyi
Sampai batas akhir

Siti Zainab bersenandung dalam puisi seorang sahabat


Orang-orang Mahrum28
“Orang-orang Mahrum
Yang tidak menerima dan memberikan kebaikan
Jika Allah berkehendak
Bak kembang tergumul aspal
Hitam legam
Sesak tak bergerak
Terperangkap dalam kelam
Usaha apa lagi yang akan kau lakukan
Ketika napas tinggal sehela lagi”
27 Gratifikasi= pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang tambahan
(fee). hadiah uang, barang, rabat(diskon) komisi pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan
fasilitas lainnya (Undang-undang 20 tahun 2001 Pasal 12 B)
28 “Orang-orang Mahrum” judul puisi Sastri Bakry dalam kumpulan puisi dua bahasa
Pemimpin Langit, 2018.

Balada Sirti Zainab


112

Siti Zainab menghela napas panjang


Sebentar lagi ia selesai
Tanpa membawa perubahan apa-apa
Membangun integritas29 tertinggal di kertas kosong

Hanya nasihat bos yang dipujanya yang bisa dia lakukan


”Jangan berharap mengubah orang lain, yang penting kau tidak
melakukannya”
“Ia sudah berkarat, tebalnya segini.”
Ujar bosnya sambil bersenandung dengan gitar di tangannya
Tekanan mental membuat ia bersenandung lebih kerap tentang
orang-orang Mahrum
Dan Siti Zainab bergumam penuh harap pada dirinya sendiri
Membayangkan pendakian Kurai Taji
Terpatrinya nilai yang mengakar
Dalam doanya agar tetap berjuang
Meski ujungnya tak pernah selesai

Jakarta, 20 Maret 2018

29 Integritas menyatukan perkataan, pikiran, dan perbuatan kita menjadi pribadi


yang utuh sehingga ketika salah satu dari ketiganya menyimpang, hal itu
tidak akan dibiarkan terjadi. Jadi Integritas merupakan suatu sikap konsistensi
yang utuh dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-
ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan selalu bersikap jujur dalam
menjalankan tanggung jawab. (lihat John C Maxwell, Developing the Leader Within
You, MIC Publishing, 2016).

Di Gerbang Stasiun Penghabisan


SASTRI BAKRY bernama lengkap
Sastri Yunizarti Bakry yang lahir pada
20 Juni 1958 di Pariaman, Sumatra
Barat. Ia menamatkan Sarjana Ekonomi,
Akuntan, dan Magister of Sience bidang
Pembangunan Wilayah Pedesaan di
Universitas Andalas. Selain bergelar
akademik ia juga memiliki gelar profesi
CA dan QIA. Ia juga alumni Maastricht
School Management (MSM) Belanda
tahun 2014 dan TOT Star BPKP di Tokyo tahun 2016. Karya sastranya
antara lain Perempuan dalam Perempuan, Antologi Cerpen Forum
Sastra Wanita Minang, 1995; Sajak Berdua dengan Free Hearty,
Forum Sastra Wanita Tamening, 1996; Sedikit di Atas Cinta, Penerbit
Republika, 2013; Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati, Fam Publishing,
2014; Kebenaran Tanpa Rasa Takut, Kumpulan Puisi Bilingual,
Pustaka Senja, 2015 cetak ulang 2016; dan puluhan antologi
puisi bersama penyair Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Kumpulan
kritik karya Sastra Sastri dikupas dalam buku Mengupas Sastra
Sastri, Kumpulan Kritik Puisi, Pustaka Senja, 2017. Karya-karyanya
telah diterjemahkan berbagai bahasa seperti Inggris (Narudin),
Rusia (Dr. Victor Pogadaeve), Arab (Prof. Omar Belkheir-dalam
proses), bahasa Tamil oleh Mahalakshmi Rameshbabu, seorang
penerjemah India yang tinggal di Texas dan telah diluncurkan
pada saat Pertemuan Penyair Asean dan India di Thiruchirapaly,
India. Sekarang menjabat sebagai Ketua HWK Sumbar, Ketua WPI
Sumbar, Wakil ketua PMI Sumbar dan di organisasi international,
dia pernah dipercaya sebagai Vice President wanita the Malay and
Islamic World (Dunia Melayu Dunia Islam) yang berpusat di Melaka.
Setelah menjabat sebagai Kepala Pusat Litbang Pembangunan
dan Keuangan Daerah, sekarang menjabat sebagai Direktur
Perencanaan Anggaran Keuangan Daerah, Kementerian Dalam
Negeri.
Seri Puisi Esai Indonesia

Ambon Manise Kisah Sang Penantang


Baduy Dan Tanah Luruh Benteng Lentera Pasundan
Bahana Bumi Antasari Luka Zamrud Khatulistiwa
Balada Ibu Kota Mantra Laut Mandar
Di Balik Lipatan Waktu Menggugat Alam, Mengejar Sunyi
Di Gerbang Stasiun Penghabisan  Merisik Jalan Ke Percut 
Gaung Moluku Kie Raha Nyayian Perimping
Gema Hati Mongondow Palu
Gemuruh Laut Timur Penyelam Dari Padang Hitam 
Genderang Bumi Rafflesia Raja Alam Barajo
Ironi Tanah Pungkat Di Lambung Renjana Khatulistiwa
Langit
Jejak Jerit Di Tambun Bungai Serambi Madinah
Jiwa-Jiwa Yang Resah Serat Sekar Tanjung
Kepak Cendrawasih Sergam
Kesaksian Bumi Anoa Sisa Amuk
Kidung Kelam Suara-Suara Yang Terbungkam 
Kidung Tambura Surat Cinta Untuk Negeri Seribu
Labirin

“Penyair generasi ini akan dikenang karena ikhtiar bersama
memotret batin dan kearifan lokal Indonesia di 34 provinsi, dalam
karya kolosal 34 buku. Ini sepenuhnya gerakan masyarakat, tanpa
dana sepersenpun dari pemerintah, atau bantuan luar negeri, atau
konglomerat. Gerakan ini melibatkan lebih dari 170 penyair lokal,
dengan cara penulisan baru puisi esai, puisi panjang bercatatan kaki,
mengawinkan fakta dan fiksi”

-Denny JA, inisiator Puisi Esai

Anda mungkin juga menyukai