Perkembangan corak kritik sastra Indonesia sudah sangat luas dan juga
beragam. Kritikus sastra tidak hanya sebagai pembongkar sebuah karya sastra,
menganalisis, menimbang baik buruknya (H.B. Jassin), memperkirakan dan
menilai tetapi sekaligus menciptakan nafas lain yang bermakna, puisi adalah
sesuatu yang sakral, pembaca bebas menafsirkan serta memberi penilaian dan
menaruh nilai itu dalam keyakinan, dalam tak terjangkau sekalipun, terhadap
sebuah karya sastra, namun hal itu, harus sejalan dan kuat dalam sudut pandang,
sehingga mempunyai jalan, tempat berpijak, tempat mengubur diri, untuk arah
yang jelas, dan secara mendasar, kritik sekurangnya akan berangkat dari struktur
karya sastra itu sendiri, sebagai suatu tubuh, yang mendarah daging, yang
mungkin tak pudar dan terpisahkan.
Puisi Goenawan yang terbit tahun 2003 ini, dalam bukunya yang berjudul
“FRAGMEN” adalah kita sebagai rahasia yang membutuhkan semacam gambaran
atau jawaban, dalam keadaan dan kebisuan ini, puisi menjadi sesuatu kata yang
bernyawa, mungkin untuk merekam mereka yang tak bicara, mungkin saja untuk
sekedar menemaninya sekaligus menjadi kawan setia.
Seraya demikian, puisi memang tetap terasing. Tetapi keterasingannya
bukan karena ia berhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di
zaman ini, ketika kata berterbaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang
mudah untuk tak mengakui bahwa ada fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa
yang seakan-akan terdiam ( Goenawan, 2003 : 88).
Saya sangat senang ketika memasuki dunia Goenawan lewat puisi-
puisinya. Dalam fragmen, saya pun memaksakan diri untuk tidak berhenti
membaca, mengunjungi sebuah arca orang suci, dalam artian kita dari suci dalam
kotor, dan berusaha untuk kembali suci, kemudian melihat jauh ke dasar hati,
berbicara pada diri sendiri, kemudian berangkat dari Jembatan Karel, Frahara.
Kita menempuh itu sebagai analogi dan mencoba memahami makna dari sudut
pembaca (Fragmatik).
Kita sadari lebih jauh, bahwa setelah kehidupan ini, tentu ada tempat lain
yang abadi, sesuatu yang jauh mendasar dan tak tersentuh dan terus mengalir, jika
tersentuh adalah bahaya. Dan puisi berhasil membawa hakikat itu sebagai ruh,
seperti arca kita adalah orang suci, dan sejalan dengan suatu jembatan yang akan
kita tempuh nanti, penyair pandai menggambarkan perasaan itu yang tersimbol.
larik itu hidup dan kita sebagai manusia yang berarti banyak salah selalu berusaha
menjadi suci, menjadi baik, lalu kita benamkan masa lalu yang hitam, yang
masing-masing kita sebagai manusia pudar seperti senja yang melebar, semacam
dosa itu dan kita akan memperbaiki kesalahan-keslahan yang membuat manusia
begitu lupa. Betah hidup di dunia, sakral memang. Seperti bulan yang seakan
lambat. Berabad-abad apa dalam kepastian atau sebaliknya?
Puisi adalah makna, pesan yang mengikat dalam diri kita, setelah itu kita
akan terbenam dalam masing-masing seperti senja, kemudian jadi malam, namun
manusia seakan betah ingin hidup lebih lama lagi. Kemudian kita lihat dari bunyi,
irama dan tipografi puisi yang utuh dan sarat akan makna yang jauh, terdiri dari 4
bait, ketika membacanya pun seperti melihat sebuah lukisan, dan hati pembacalah
yang memasuki lukisan itu, memasuki ruang-ruang-ruang kecil, seperti tanda titik,
koma, itu dimainkan dalam tiap akhir larik dan dalam larik, itu berarti ada sesuatu
perlu diingat, dituangkan atau bahkan dikejar dan disadari. Dan juga konsisten
memainkan irama (a-i-a-i). Lihatlah bait di bawah ini! seperti kata : ( ini,
mengikuti, gitar, arus, angsa, dan tepi). Pembaca tidak hanya menjadi pelaku
dalam sajak yang diinterpretasikannya, tetapi bisa jadi kemungkinan yang terjadi
dalam puisi itu.
Inilah yang istimewa dari sajak Goenawan, tidak hanya mempesona sebagai
simbol, tapi inilah makna yang terkandung di dalamnya, dengan kata jembatan
yang berarti sebuah jalan untuk menyebrang dan dengan tujuan masing-masing
atau mungkin sama. Metafora boneka yang berarti manusia itu sendiri tapi kadang
membingungkan dan tidak semua pembaca memahami hal itu. Mengikuti irama
adalah gitar dalam sajak itu. Walsa bisa dibilang orang suci. Merapat atau kembali
untuk suci. Sementara angsa dan arus menetapkan tepi, tepi di sini waktu
sementara yang berhenti, sebuah umpama adalah kita “angsa” melewati arus dan
secara bersama-sama kita terhapus. Menarik hasrat pembaca. Nilai-nilai yang
didapat, tidak hanya secara rasa dan kedengaran puitika, tetapi lengkap dengan
maksud menyadarkan dan menyandarkan pada keyakinan kematian. Walaupun
pada awalnya puisi Goenawan sukar dipahami, pembaca mengerutkan dahi ketika
membacanya. Wajah modern yang membawa nuansa baru. Tidak jarang kita
dibawa ke sebuah masa lalu, dan kemudian berangkat ke masa depan.
mengandung pesan sosial yang memasuki rohani pembaca, jika direnungkan
secara mendalam.
1998
Jika saja kita harus bertamasya di halaman yang gelap, di tempat yang
belum pernah kita singgahi, lalu ditakdirkan membawa rasa sakit, sambil
mendendangkang sebuah keheningan, tanpa ada mimpi di situ, seperti sebuah
simile di langit tanpa bintang. Bintang yang membuat kita lupa, bahwa kematian
disaksikan semesta, dan kita adalah penunggu diri, begitu dengan dunia
Goenawan, sebut saja pada bait pertama Benir “kali dan serangga memainkan
orkestra” juga yang disimbolkan oleh Goenawan pada bait kedua “ketika arus
dan angsa menetapkan tepi” ada pertalian khusus dan sesuatu yang digerakkan
seperti “kali dan arus, tali melerai, kita bercerai” begitu yang bernyawa seperti
“serangga dan angsa”. Namun, keduanya tetap mempunyai lukisannya masing-
masing. Sesuatu yang kita artikan sebuah pertikaian, mengalir, mendarah daging,
sampai pada akhir.
Persoalan ini adalah benar dan terus membayangi kita seperti pagar yang
menunggu cucian pakaian, kita dalam sementara untuk abadi, dalam ketiadaannya
selalu hadir kejutan-kejutan serupa serangga yang memainkan orkestra, yang
berarti suara, keganjilan, kebohongan, begitu keras memang tapi selalu menemani,
kita dalam penantian, menjadi penunggu makam, sebelum semua dusta, pesta
dalam orkestra lenyap di pangkuan.
Puisi menjadi rahasia yang mungkin tidak akan pernah habis diungkap,
sampai ke jantung, ka batin, mencari petualangan dan pencarian yang merujuk
pada bahasa sebagai alat, bisa saja tujuan baik atau buruk, hanya terdiri satu
kesatuan yang utuh, bernyawa, sarat akan makna, pesan, entah atas nama
kemustahilan, hakikat yang telah digariskan tuhan, atau dunia fana, seperti politik,
masalah sosial, maka puisi selalu hadir dengan wajah malam yang garang, seperti
ninja, menghunus pedang, malam. Kita pun kehilangan mimpi dalam masing-
masing, dan selalu ada yang dikorbankan.
Menarik analisis puisi Benir, yang mengambil tema kematian, dan kita pun
memahaminya dengan nilai-nilai suci itu. Walau terkadang, ada yang kurang
setuju “ malam seperti para ninja, menghunus pedang, bisa saja pedang itu sebuah
tatapan sinis, tidak percaya diri, sesuatu yang tajam, sesuatu yang bisa
menciptakan rasa sakit, atau pun pedang di situ, sejenis penyesalan, yang dalam
diam merobek jalan hidupnya, mimpinya, saya tidak begitu peduli terhadap tema
yang diambil oleh penyair, atau pun pengalamannya, hanya saja kita sebagai yang
hidup, sebagai manusia yang tak luput dari fitnah dunia, yang dalam kungkungan
rahasia, perlu kita sadari, sementara ini kita hidup keliru, bahkan sesat, salah
alamat, tapi ambilah sepercik nilai ini wahai kita sang penunggu makam, pahat
dalam ingatan, renungkan kembali, baik itu semua peraturan, kehendak. Semua itu
adalah lukisan, gambaran yang tajam, yang meninggalkan mimpi, dan korban.
Puisi adalah lumbung kekayaan rohani umat manusia (A. Teeuw).
Selalu ada penafsiran, nilai-nilai yang meloncat-loncat di tengah-tengah
masyarakat, di antara malam yang diam, di dalam mulut-mulut serangga,
baik di zaman dulu maupun di zaman modern ini selalu ada cara-cara khas,
seperti kedua penyair ini, mereka punya laut, punya hutannya masing-
masing, dengan puisi yang ia tanam sejak dulu, hingga kini abadi, walau
pun Benir Budiman telah menjadi penunggu makam, telah pulang ke
pangkuanNya.