Anda di halaman 1dari 11

Ayat-ayat Api : Permainan Ke(tidak)-ada-

an

Agung Dwi Ertato

In a drear-nighted December,
Too happy, happy brook,
Thy bubblings ne'er remember
Apollo's summer look;
But with a sweet forgetting
They stay their crystal fretting,
Never, never petting
About the frozen time.
(Happy Insensibility, John Keats)

/1/

Pada era puisi romantik, John Keats menampilkan sajak-sajak liris imajis.
John Keats menangkap semua yang ia lihat dan ia rasakan kemudian ia
tuangkan ke dalam kata-kata. Pengaruh puisi-puisi John Keats merasuk ke
dalam sajak-sajak penyair Indonesia terutama Sapardi Djoko Damono dan
Goenawan Muhamad. Keduanya mempunyai gaya bahasa yang hampir
mirip.

saat tiada pun tiada


aku berjalan (tiada
gerakan serasa
isarat) Kita pun bertemu

(potongan “Dalam Doa: II”, Sapardi Djoko Damono)

Senja pun jadi kecil


Kota pun jadi putih
Di subway
aku tak tahu saat pun sampai

Ketika berayun musim


dari sayap langit yang beku
ketika burung-burung, di rumput-rumput dingin
terhenti mempermainkan waktu

Ketika kita berdiri sunyi


pada dinding biru ini
menghitung ketidak-pastian dan bahagia
menunggu seluruh usia
1966

(Senja Pun Jadi Kecil Kota Pun Jadi Putih, Goenawan Muhamad)

Keduanya memiliki gaya retoris liris. Membaca kedua sajak ini, kita seakan-
akan tersihir meresapi kelirisan kata yang terbentuk dan menyelami
kedalaman pemaknaannya.

/2/

Sejak awal kepenyairnnya, Sapardi Djoko Damono tetap setia pada gaya
bahasa yang liris imajis. Membaca karya Sapardi Djoko Damono seperti
membaca potongan-potongan fragmen kecil. Kekuatan sajak-sajak Sapardi
terletak pada diksi kata yang sederhana, namun mempunyai kedalaman
makna. Dalam antologi puisi Ayat-ayat Api (2000), Sapardi Djoko Damono
kembali menampilkan kesederhanaan diksi kata. Ayat-ayat Api terbagi
menjadi tiga bagian yakni Ayat Nol, Ayat Arloji, dan, Ayat Api. Ketiga bagian
tersebut menandakan proses menuju ke(tidak)-ada-an yang bermula pada
ke(tidak)-ada-an. Sapardi seolah-olah bermain dengan ke(tidak)-ada-an.
Dalam antologi tersebut setidaknya ada tiga sajak yang menampilkan
permainan ke(tidak)-ada-an. Sajak tersebut adalah Ruang Ini, Catatan Masa
Kecil 4, dan Yang Paling Menakjubkan.

Untuk memahami ketiga sajak tersebut tidak bisa dilakukan dengan


pembacaan biasa. Micheal Riffaterre mengungkapkan bahwa pemaknaan
puisi bersifat tidak langsung—puisi berbicara suatu hal dengan maksud yang
lain (1978:1)—dan kesatuan makna dalam puisi bersifat terbatas atau
terselubung dalam teks puisi (1978: ix). Setidaknya ada dua tahap
pembacaan yang harus dilalui. Yang pertama adalah pembacaan heuristik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan secara linear, sekadar memeriksa
konvensi bahasa dalam puisi. Dalam pembacaan tahap ini pemaknaan puisi
cenderung heterogen, terpecah-pecah, dan belum menyatu. Oleh sebab itu
dibutuhkan pembacaan kedua. Pembacaan kedua adalah pembacaan
hermeneutik. Pembaca akan dituntut untuk melakukan penafsiran terhadap
puisi, dengan kata lain pemberian makna. Pembacaan hermeneutik ini
bersifat semiotik. Dalam pembacaan hermeneutik akan ditemukan kesatuan
makna.

Seperti yang telah diutarakan, pembacaan puisi adalah proses memahami


makna puisi. Secara semiotik puisi merupakan struktur tanda-tanda yang
bersistem dan bermakna ditentukan oleh konvensi.1Pendekatan semiotik
sastra adalah upaya menelaah karya sastra menggunakan sistem tenda-
tanda untuk menentukan makna suatu karya sastra. Pendekatan semiotik
Micheal Riffaterre akan digunakan dalam pembahasaan keempat puisi yang
mempunyai indikasi membicarakan ke(tidak)-ada-an.

/3/

RUANG INI

kau seolah mengerti: tak ada lubang angin


di ruang terkunci ini

seberkas bunga plastik di atas meja,


asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka
pada halaman pertama

kau cari catatan kaki itu, sia-sia

Dalam sajak Ruang Ini, aku ‘liris’ tidak disebutkan dalam sajak. Aku ‘liris’
terlesap dalam sajak. Pembacaan secara heuristik sajak ini adalah Aku ‘liris’

1 Konvensi-konvensi yang dimaksud adalah konvensi sastra dan tentu saja konvensi bahasa,
karena bahasa merupakan media dalam karya sastra. Karya sastra tidak bisa lepas begitu
saja dari konvensi bahasa yang berlaku pada waktu karya tersebut dibuat. Periksa A. Teeuw
dalam Sastra dan Ilmu Sastra halaman 95.
membicarakan ‘kau’ yang seolah mengerti bahwa tidak ada lubang angin
dalam ruangan yang terkunci ini. Di dalam ruangan yang terkunci terdapat
seberkas bunga plastik yang berada di atas meja. Di atas meja tersebut juga
terdapat asbak yang penuh dan buku yang terbuka pada halaman pertama.
‘Kau’ masih mencari catatan kaki itu padahal tidak ada dan kesiasiaan yang
didapat.

Seperti yang diutarakan, pembacaan heuristik hanya akan mendapatkan


makna yang sangat heterogen. Pemaknaan secara semiotik sajak ini, ‘kau’
sebagai objek atau lawan bicara dari aku ’liris’. ‘Seolah mengerti’ frasa
tersebut menandai seakan-akan mempunyai pengetahuan. ‘Seolah’
mengacu pada keadaan yang ‘seakan-akan’ dan ‘mengerti’ mengacu pada
kepintaran. Jika merujuk pada larik pertama ‘Kau seolah mengerti: tak ada
lubang angin’ merupakan gambaran tentang sesuatu yang tidak bisa
tertembus oleh akal pikiran manusia.

‘Di ruang terkunci ini’ menguatkan frasa sebelumnya. ‘Ruang’ mempunyai


padanan dengan semesta. Semesta yang luas bahkan tidak tahu seberapa
menggambarkan luasnya semesta. ‘Terkunci’ adalah simbol dari
ketertutupan. Dalam hal ini ‘terkunci’ mempunyai makna kerahasian. Frasa
ini berkaitan dengan semesta yang penuh dengan kerahasiaan.

Pada bait kedua lebih menggambarkan tentang isi dari semesta.

seberkas bunga plastik di atas meja,


asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka
pada halaman pertama

Kata ‘seberkas’ biasanya menandai keterangan file-file. ‘Seberkas’


menunjukkan bentuk tunggal yang menerangkan frasa ‘bunga plastik’.
‘bunga’ adalah makhluk hidup yang bisa tumbuh sedangkan ‘plastik’ adalah
benda mati yang tidak bisa berkembang. Frasa ‘bunga plastik’ dapat
menandai makhluk hidup yang telah mati jiwanya. ‘Meja’ adalah isi dari
‘ruangan ini’. ‘Meja’ menandai sebuah bagian dari alam semesta—bumi.
‘Meja’ mengacu pada tempat tinggal makhluk hidup, kota maupun desa.

’Asbak’ menandai tempat pembuangan racun-racun kehidupan. ‘Buku’ lebih


mengindikasikan catatan kegiatan atau rekaman hal-hal yang telah
dikerjakan. ‘Pada halaman pertama’ merupakan tanda awal dari rekaman
yang telah dikerjakan manusia sebagai objek dalam sajak ini.

Membicarakan buku berarti membicarakan pencipta atau pengarangnya.


Dalam setiap buku yang bersifat ilmiah selalu ada catatan kaki untuk
pertanggung jawaban atas pengutipan. Dalam sajak Ruang Ini ‘catatan kaki’
menandai esensi dari penciptaan semesta. Pengutipan tentang penciptaan
buku—pencipta semesta. ‘kau’—lawan bicara aku ‘liris’—seakan mencari
siapa dibalik penciptaan semesta dan dia hanya menemukan jalan yang tak
mungkin.

Jika kita melihat ruangan terkunci kita akan mempertanyakan ke-ada-an


atau ketidak-ada-an perihal isi dalam ruangan tersebut. Lalu kita menebak-
nebak antara ada dan tiada. Lain halnya kalau kita menemukan ruangan
terkunci dan kita sudah tahu isi di dalamnya, kita akan melewatinya tanpa
proses mempertanyakan ihwal isi di dalamnya lalu kita akan membiarkan
saja atau melewatinya.

Pemaknaan sajak Ruang Ini adalah tentang manusia yang seakan-akan


secerdas apapun akan sia-sia dalam memahami catatan kehidupan. Manusia
yang cerdas itu pun akan terjebak pada ketidak-ada-an. Mereka akan
mempertanyakan ihwal pencipta yang mereka sungguh mengerti bahwa
mereka tak bisa menembus ada atau tidak ada pencipta.

/4/

Ihwal ke(tidak)-ada-an juga terdapat pada puisi Catatan Masa Kecil 4.


Ke(tidak)-ada-an ditandai dengan metafor ‘angka nol’.
Catatan Masa Kecil 4

Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua


hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu
lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar
dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang dengan angka nol.
Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat
kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika
ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di
halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya
dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat
sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.
Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.

Pada pembacaan awal, kita akan menemukan bentuk sajak ‘Catatan Masa
Kecil 4’ serupa dengan prosa. Sajak ini merupakan bagian dari ketegangan
konvensi dan inovasi dalam karya sastra. Sapardi Djoko Damono melakukan
inovasi terhadap bentuk sajak yang ia ciptakan. Sajak tersebut tidak lagi
berbentuk bait-bait yang sering ditulis oleh penyair-penyair pada periode
pujangga baru maupun angkatan’45. Inovasi inilah yang menempatkan
Sapardi Djoko Damono menjadi salah satu penyair modern selain inovasi
dalam hal gaya bahasa.

Secara heuristik, sajak ini bercerita tentang aku ‘liris’ yang mencerikatan ‘ia’
kepada lawan bicaranya. ‘ia’ digambarkan oleh aku ‘liris’ sebagai anak kecil.
Anak kecil tersebut tidak pernah bertanya tentang ketepatan angka-angka
dalam ilmu matematika. Setiap ‘ia’ menghitung angka ‘ia’ hanya teringat
kepada ‘ibunya’ yang sakit keras. Saatnya ‘ibunya’ sakit keras, ‘ayahnya’
juga tidak ada di rumah. Saat itu pula ‘ia’ mendengar suara bakiak
‘neneknya’ yang sudah meninggal, dan saat itu pula ‘ia’ takut ke kamar
mandi, lalu ‘ia’ kencing di kasur. Sejak awal ‘ia’ hanya percaya ‘angka nol’.

Pemaknaan masih bersifat heterogen. Tidak ada kesatuan makna dalam


pembacaan heuristik. Dalam pembacaan heuristik kita akan menemukan
subjek aku ‘liris’ yang bertindak sebagai penutur, orang ketiga—‘ia’—,
‘angka-angka’, relasi ‘penjumlahan dan perkalian’, ‘ibunya’, ‘ayahnya’,
‘almarhum neneknya’, ‘bakiak’, ‘kencing’, ‘sumur’, ‘kamar kecil’, ‘kasur’,
‘mempercayai’, dan ‘angka nol’. Metafor-metafor tersebut masih kabur
maknanya.

‘Ia’ dalam sajak ini menjadi objek utama. ‘Ia’ berkaitan dengan anak kecil
karena merujuk pada judul sajak—Catatan Masa Kecil 4. Anak kecil mengacu
pada keadaan awal mula, awal mula dari sebuah kehidupan. Anak kecil
merupakan simbol kepolosan. Pada pengetahuan anak kecil selalu pada
tingkat yang kosong belum terisi dengan segala pengetahuan. Awal mula
adalah ke(tidak)-ada-an.

Frasa ‘tak pernah sempat bertanya’ merupakan fungsi predikat dari ‘ia’.
Frasa tersebut dapat diinterpretasikan pada keadaan yang diam dan sunyi.
‘Kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu
kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari
tiga tambah tiga.’ Klausa tersebut menandai suatu kepastian. Kepastian
yang terjadi setelah awal mula—ketidakadaan—menuju proses keadaan.
Dalam proses menuju keadaan, sesuatu yang ada sudah pasti dan tidak
dapat diganggu gugat.

Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat


kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika
ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di
halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya
dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat
sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.

Ada ketakutan pada masa lalu. Ketakutan masa lalu tersebut ditandai
dengan frasa ‘setiap kali’ dan ‘selalu teringat’. ‘Dua tambah tiga kali empat
kurang dua’ dikaitkan dengan ‘waktu terjaga malam-malam ketika ibunya
sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar
langkah-langkah bakiak almarhum neneknhya’. Frasa pertama tadi
menandai kepastian dari ada dan frasa kedua menandai keadaan yang
sunyi. ‘Ia’ sangat takut dengan ke-ada-an yang sunyi dan sendirian.
Ketakutan pada kepastian dan ketakutan pada kepastian kenangan. Frasa
‘angka nol’ menandai bentuk permulaan dan kekosongan. Dalam
kekosongan—ke(tidak)-ada-an—selalu ada ketidakpastian yang mengisinya.

Dalam sajak Catatan Masa Kecil 4, permainan ke(tidak)-ada-an berada pada


ketidakpastian ‘angka nol’. Hubungan antara deretan angka dengan
kehidupan, angka nol—kekosongan—menjadi angka yang mutlak merupakan
metafor dari rangkaian kehidupan dari anak-anak menuju tua—nenek.‘Angka
nol’ menjadi awal dari kekosongan yang tidak pasti batas kekosongannya.
Kosong menjadi penanda bagi ke(tidak)-ada-an. Ke(tidak)-ada-an menjadi
ketidakpastian.

/5/

‘Angka nol’yang dianggap sebagai ke(tidak)-ada-an muncul kembali pada


sajak Yang Paling Menakjubkan. Ke(tidak)-ada-an lebih mengacu pada
metafor ‘dunia yang fana’ dan ‘segala sesuatu yang tidak ada’.

Yang Paling Menakjubkan

Yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini


adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita bisa membayangkan apa saja tentangnya,
menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa.

Kita bisa membayangkannya sebagai jantung


yang letih, yang dindingnya berlemak,
yang memompa sel-sel darah agar bisa menerobos
urat-urat yang sempit, yang tak lagi lentuk.

Kita bisa membayangkannya sebagai bola mata


yang tiba-tiba tak mampu membaca aksara
di dinding kamar periksa seorang dokter
ketika ditanya, “Apa yang Tuan lihat di sana?”

Kita bisa membayangkannya sebagai lidah


yang tiba-tiba dipaksa menjulur agar bisa diperiksa
apakah kemarin, atau tahun lalu, entah kapan
pernah mengucapkan suatu dosa, entah apa.

Sungguh, yang paling menakjubkan di dunia kita ini


adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya
sementara orang berhak juga menganggap kita gila.

Ke(tidak)-ada-an dipermainkan melalui pengimajinasian subjek ‘kita’. Subjek


‘kita’ berimajinasi tentang yang paling menakjubkan di dunia yang fana
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Kata ‘membayangkan’ diulang empat
kali. Pengulangan empat kali menunjukkan penegasan terhadap ‘segala
sesuatu yang tidak ada’ dan ‘yang paling menakjubkan di dunia yang fana
ini’. Pengimajinasian digambarkab pada bait satu sampaie empat. Pada bait
kelima kata ‘sungguh’ menjadi penegasan kembali tentang ‘yang paling
menakjubkan’.

Pada bait pertama sajak Yang Paling Menakjubkan kita akan menemukan
beberapa kata yang mengaburkan pemaknaan sajak tersebut. Kata-kata itu
adalah ‘kita’ sebagai subjek, ‘yang paling menakjubkan’, ‘di dunia yang fana
ini’, ‘membanyangkan’, ‘muara’, ‘segala yang luar biasa’. Di tinjau dari judul
sajak—Yang Paling Menakjubkan—menandakan sesuatu hal yang tertinggi.
Frasa ‘Yang Paling’ menunjukkan posisi tertinggi, teratas. Kata
‘menakjubkan’ merujuk kata sifat. ‘Menakjubkan’ menandai sifat hebat,
luarbiasa. Judul sajak tersebut menandai sesuati hal yang paling luarbiasa.
‘Yang paling menakjubkan’ tersebut kemudian disebutkan pada bait
pertama. ‘Di dunia yang fana ini’merujuk pada tempat manusia berdiam.
Dunia bersifat fana, tidak abadi, dan sementara. ‘Tidak ada’ menandai hal
yang kosong keberadaannya, tidak bias terlihat, dan abstrak.
‘Membayangkan’ adalah melakukan kegiatan pengandaian. ‘Muara’ adalah
ujung dari sungai, muara dapat menandai awal dari segala sesuatu. ‘Luar
biasa’ menunjuk perihal yang tidak sesuai pada umumnya.

Pemaknaan tersebut ditarik menjadi kebulatan makna pada bait pertama.


Pada bait pertama pemaknaan sajak adalah permainan ke(tidak)-ada-an
adalah adalah Sang Pencipta. Sang Pencipta tidak bisa dilihat. Sang Pencipta
adalah yang menciptakan dunia yang fana. Sang Pencipta merupakan awal
mula—muara—bagi tempat manusia yang tak abadi.’ Yang Paling
Menakjubkan’ adalah ke(tidak)-ada-an, yang paling menakjubkan adalah
Sang Pencipta. Ini tentu saja belum tentu jika dibulatkan dengan bait-bait
berikutnta.

Pada bait kedua sampai bait keempat, pengimajinasian kontradiktif dengan


bait pertama. Pada bait pertama adalah awal yang luar biasa, sedangkan
pada bait kedua sampai keempat adalah segala sesuatu yang terbatas—
jantung, bolamata, dan lidah. Ketidak-ada-an menjadi sesuatu yang
mempunyai batasan. Batasan mengenai kemampuan.

Pada bait kelima, terjadi penegasan kembali merujuk pada kata ‘sungguh’.
Penegasan terhadap ke(tidak)-ada-an yang dapat bersifat awal mula atau
bersifat terbatas. Ke(tidak)-ada-an menjadi sesuatu yang bebas.

Setelah pemaknaan perbait ternyata terjadi ketidakgramatikalan pada ihwal


ke(tidak)-ada-an. Bait pertama menjelaskan awal mula, bait kedua
menjelaskan keterbatasan, dan bait terakhir menjelaskan penegasan
tentang kebebasan. Kebulatan pemaknaan Yang Paling Menakjubkan adalah
alam pemikiran manusia. Alam pemikiran manusia bisa menjadi awal mula,
bisa menjadi terbatas, dan bisa menjadi bebas sampai dianggap orang
menjadi gila. Alam pemikiran manusia bisa menjadikan manusia sebagai
sang pencipta, manusia dengan keterbatasan, ataupun manusia gila. Apa
yang terjadi dalam alam pemikiran manusia adalah segala sesuatu yang
bebas diterjemahkan.

/6/

Dalam puisi permainan makna sering dilakukan oleh penyair. Puisi berbicara
tentang suatu hal yang merujuk hal yang lain. Pada antologi Ayat-ayat Api,
Sapardi Djoko Damono mempermainkan ke(tidak)-ada-an. Ke(tidak)-ada-an
yang umumnya bersifat nisbi dimainkan menjadi sesuatu yang lain.
Pada sajak Ruang Ini,permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘di
ruang terkunci ini’ yang bermakna hal yang sia-sia untuk ditafsirkan.
Secerdas apapun manusia akan sia-sia menafsirkan semesta. Pada sajak
Catatan Masa Kecil 4, permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘angka
nol’. ‘Angka nol’ yang biasanya bermakna kosong dalam sajak tersebut
mempunyai makna awal mula dari kepastian. ‘Angka nol’ menjadi awal dari
angka satu,dua, dst. yang mempunyai kepastian nilai. ‘Angka nol’ adalah
ketidakpastian yang menjadi awal kepastian. Pada sajak Yang Paling
Menakjubkan, permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘segala
sesuatu yang tidak ada’. Frasa tersebut mempunyai makna alam pemikiran
manusia. Alam pemikiran manusia bersifat abstrak dan dapat meng-ada-kan
sesuatu yang tidak ada. Permaian ke(tidak)-ada-an yang dilakukan Sapardi
menunjukkan bahwa puisi selalu berbicara suatu hal dan bermaksud hal
yang lain. Ke(tidak)-ada-an dalam sajak Sapardi mempunyai makna yang
berbeda dari sajak-sajak yang lain.

Sumber Acuan

Culler, Jonathan. 2001. The Pursuit of Signs. London: Roudledge Classic

Damono, Sapardi Djoko. 2000. Ayat-ayat Api.Jakarta: Pustaka Firdaus

Muhamad, Goenawan.1992. Asmaradana. Jakarta: Grasindo

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington : Indiana


University Press

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Anda mungkin juga menyukai