an
In a drear-nighted December,
Too happy, happy brook,
Thy bubblings ne'er remember
Apollo's summer look;
But with a sweet forgetting
They stay their crystal fretting,
Never, never petting
About the frozen time.
(Happy Insensibility, John Keats)
/1/
Pada era puisi romantik, John Keats menampilkan sajak-sajak liris imajis.
John Keats menangkap semua yang ia lihat dan ia rasakan kemudian ia
tuangkan ke dalam kata-kata. Pengaruh puisi-puisi John Keats merasuk ke
dalam sajak-sajak penyair Indonesia terutama Sapardi Djoko Damono dan
Goenawan Muhamad. Keduanya mempunyai gaya bahasa yang hampir
mirip.
(Senja Pun Jadi Kecil Kota Pun Jadi Putih, Goenawan Muhamad)
Keduanya memiliki gaya retoris liris. Membaca kedua sajak ini, kita seakan-
akan tersihir meresapi kelirisan kata yang terbentuk dan menyelami
kedalaman pemaknaannya.
/2/
Sejak awal kepenyairnnya, Sapardi Djoko Damono tetap setia pada gaya
bahasa yang liris imajis. Membaca karya Sapardi Djoko Damono seperti
membaca potongan-potongan fragmen kecil. Kekuatan sajak-sajak Sapardi
terletak pada diksi kata yang sederhana, namun mempunyai kedalaman
makna. Dalam antologi puisi Ayat-ayat Api (2000), Sapardi Djoko Damono
kembali menampilkan kesederhanaan diksi kata. Ayat-ayat Api terbagi
menjadi tiga bagian yakni Ayat Nol, Ayat Arloji, dan, Ayat Api. Ketiga bagian
tersebut menandakan proses menuju ke(tidak)-ada-an yang bermula pada
ke(tidak)-ada-an. Sapardi seolah-olah bermain dengan ke(tidak)-ada-an.
Dalam antologi tersebut setidaknya ada tiga sajak yang menampilkan
permainan ke(tidak)-ada-an. Sajak tersebut adalah Ruang Ini, Catatan Masa
Kecil 4, dan Yang Paling Menakjubkan.
/3/
RUANG INI
Dalam sajak Ruang Ini, aku ‘liris’ tidak disebutkan dalam sajak. Aku ‘liris’
terlesap dalam sajak. Pembacaan secara heuristik sajak ini adalah Aku ‘liris’
1 Konvensi-konvensi yang dimaksud adalah konvensi sastra dan tentu saja konvensi bahasa,
karena bahasa merupakan media dalam karya sastra. Karya sastra tidak bisa lepas begitu
saja dari konvensi bahasa yang berlaku pada waktu karya tersebut dibuat. Periksa A. Teeuw
dalam Sastra dan Ilmu Sastra halaman 95.
membicarakan ‘kau’ yang seolah mengerti bahwa tidak ada lubang angin
dalam ruangan yang terkunci ini. Di dalam ruangan yang terkunci terdapat
seberkas bunga plastik yang berada di atas meja. Di atas meja tersebut juga
terdapat asbak yang penuh dan buku yang terbuka pada halaman pertama.
‘Kau’ masih mencari catatan kaki itu padahal tidak ada dan kesiasiaan yang
didapat.
/4/
Pada pembacaan awal, kita akan menemukan bentuk sajak ‘Catatan Masa
Kecil 4’ serupa dengan prosa. Sajak ini merupakan bagian dari ketegangan
konvensi dan inovasi dalam karya sastra. Sapardi Djoko Damono melakukan
inovasi terhadap bentuk sajak yang ia ciptakan. Sajak tersebut tidak lagi
berbentuk bait-bait yang sering ditulis oleh penyair-penyair pada periode
pujangga baru maupun angkatan’45. Inovasi inilah yang menempatkan
Sapardi Djoko Damono menjadi salah satu penyair modern selain inovasi
dalam hal gaya bahasa.
Secara heuristik, sajak ini bercerita tentang aku ‘liris’ yang mencerikatan ‘ia’
kepada lawan bicaranya. ‘ia’ digambarkan oleh aku ‘liris’ sebagai anak kecil.
Anak kecil tersebut tidak pernah bertanya tentang ketepatan angka-angka
dalam ilmu matematika. Setiap ‘ia’ menghitung angka ‘ia’ hanya teringat
kepada ‘ibunya’ yang sakit keras. Saatnya ‘ibunya’ sakit keras, ‘ayahnya’
juga tidak ada di rumah. Saat itu pula ‘ia’ mendengar suara bakiak
‘neneknya’ yang sudah meninggal, dan saat itu pula ‘ia’ takut ke kamar
mandi, lalu ‘ia’ kencing di kasur. Sejak awal ‘ia’ hanya percaya ‘angka nol’.
‘Ia’ dalam sajak ini menjadi objek utama. ‘Ia’ berkaitan dengan anak kecil
karena merujuk pada judul sajak—Catatan Masa Kecil 4. Anak kecil mengacu
pada keadaan awal mula, awal mula dari sebuah kehidupan. Anak kecil
merupakan simbol kepolosan. Pada pengetahuan anak kecil selalu pada
tingkat yang kosong belum terisi dengan segala pengetahuan. Awal mula
adalah ke(tidak)-ada-an.
Frasa ‘tak pernah sempat bertanya’ merupakan fungsi predikat dari ‘ia’.
Frasa tersebut dapat diinterpretasikan pada keadaan yang diam dan sunyi.
‘Kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu
kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari
tiga tambah tiga.’ Klausa tersebut menandai suatu kepastian. Kepastian
yang terjadi setelah awal mula—ketidakadaan—menuju proses keadaan.
Dalam proses menuju keadaan, sesuatu yang ada sudah pasti dan tidak
dapat diganggu gugat.
Ada ketakutan pada masa lalu. Ketakutan masa lalu tersebut ditandai
dengan frasa ‘setiap kali’ dan ‘selalu teringat’. ‘Dua tambah tiga kali empat
kurang dua’ dikaitkan dengan ‘waktu terjaga malam-malam ketika ibunya
sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar
langkah-langkah bakiak almarhum neneknhya’. Frasa pertama tadi
menandai kepastian dari ada dan frasa kedua menandai keadaan yang
sunyi. ‘Ia’ sangat takut dengan ke-ada-an yang sunyi dan sendirian.
Ketakutan pada kepastian dan ketakutan pada kepastian kenangan. Frasa
‘angka nol’ menandai bentuk permulaan dan kekosongan. Dalam
kekosongan—ke(tidak)-ada-an—selalu ada ketidakpastian yang mengisinya.
/5/
Pada bait pertama sajak Yang Paling Menakjubkan kita akan menemukan
beberapa kata yang mengaburkan pemaknaan sajak tersebut. Kata-kata itu
adalah ‘kita’ sebagai subjek, ‘yang paling menakjubkan’, ‘di dunia yang fana
ini’, ‘membanyangkan’, ‘muara’, ‘segala yang luar biasa’. Di tinjau dari judul
sajak—Yang Paling Menakjubkan—menandakan sesuatu hal yang tertinggi.
Frasa ‘Yang Paling’ menunjukkan posisi tertinggi, teratas. Kata
‘menakjubkan’ merujuk kata sifat. ‘Menakjubkan’ menandai sifat hebat,
luarbiasa. Judul sajak tersebut menandai sesuati hal yang paling luarbiasa.
‘Yang paling menakjubkan’ tersebut kemudian disebutkan pada bait
pertama. ‘Di dunia yang fana ini’merujuk pada tempat manusia berdiam.
Dunia bersifat fana, tidak abadi, dan sementara. ‘Tidak ada’ menandai hal
yang kosong keberadaannya, tidak bias terlihat, dan abstrak.
‘Membayangkan’ adalah melakukan kegiatan pengandaian. ‘Muara’ adalah
ujung dari sungai, muara dapat menandai awal dari segala sesuatu. ‘Luar
biasa’ menunjuk perihal yang tidak sesuai pada umumnya.
Pada bait kelima, terjadi penegasan kembali merujuk pada kata ‘sungguh’.
Penegasan terhadap ke(tidak)-ada-an yang dapat bersifat awal mula atau
bersifat terbatas. Ke(tidak)-ada-an menjadi sesuatu yang bebas.
/6/
Dalam puisi permainan makna sering dilakukan oleh penyair. Puisi berbicara
tentang suatu hal yang merujuk hal yang lain. Pada antologi Ayat-ayat Api,
Sapardi Djoko Damono mempermainkan ke(tidak)-ada-an. Ke(tidak)-ada-an
yang umumnya bersifat nisbi dimainkan menjadi sesuatu yang lain.
Pada sajak Ruang Ini,permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘di
ruang terkunci ini’ yang bermakna hal yang sia-sia untuk ditafsirkan.
Secerdas apapun manusia akan sia-sia menafsirkan semesta. Pada sajak
Catatan Masa Kecil 4, permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘angka
nol’. ‘Angka nol’ yang biasanya bermakna kosong dalam sajak tersebut
mempunyai makna awal mula dari kepastian. ‘Angka nol’ menjadi awal dari
angka satu,dua, dst. yang mempunyai kepastian nilai. ‘Angka nol’ adalah
ketidakpastian yang menjadi awal kepastian. Pada sajak Yang Paling
Menakjubkan, permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘segala
sesuatu yang tidak ada’. Frasa tersebut mempunyai makna alam pemikiran
manusia. Alam pemikiran manusia bersifat abstrak dan dapat meng-ada-kan
sesuatu yang tidak ada. Permaian ke(tidak)-ada-an yang dilakukan Sapardi
menunjukkan bahwa puisi selalu berbicara suatu hal dan bermaksud hal
yang lain. Ke(tidak)-ada-an dalam sajak Sapardi mempunyai makna yang
berbeda dari sajak-sajak yang lain.
Sumber Acuan