Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ESAI APRESIASI PUISI

Nama : Nabilla Habibah Al Cholis


NIM : 21020144019
Prodi : Sastra Indonesia
MK : Apresiasi Puisi

Renungan Pemikiran Goenawan Mohamad Pada


Tubuh Puisi “Yang Tak Menarik dari Mati”
Apa yang ada di pikiran anda ketika mendengar puisi? Kebanyakan orang
mendengar kata puisi, mengidentifikasikannya dengan suatu bacaan berat dan rumit
dipahami. Tidak bisa dipungkiri, puisi terlanjur dipahami sebagai karya sastra yang
membutuhkan tenaga ekstra untuk menguliknya. Juga merupakan bacaan yang sulit
menyentuh realita karena hanya berisi gagasan penyair.
Tentu saja idenitifikasi jenis tersebut tidak harus ditelan mentah-mentah begitu
saja. Bahkan perlu kita membalik paradigma tersebut. Jika berbicara tentang puisi, kita
juga perlu berbicara tentang bagaimana proses para filsus atau pemikir terdahulu
dalam menemukan gagasan dunia. Sama halnya seperti tulisan Anna Frank ataupun
Kartini yang mampu melakukan revolusi dan perubahan dengan tulisannya yang
menginspirasi.
Salah satu aspek penting dalam membaca puisi adalah memaknainya. Seperti
pada puisi-puisi karya Goenawan yang merupakan seorang penyair. Sejak awal
kepenyairan Goenawan terlihat bahwa beliau bukan seorang yang humanis karena
kebanyakan puisinya selalu menunjukkan hubungan manusia dengan Tuhannya,
namun tidak dipengaruhi oleh humanism secara universal. Bila kita tengok ke dalam
puisinya, Goenawan seperti membangun tembok akan batasan kesadaran diri dengan
manusiawi.
Beberapa sajak pada puisi Goenawan sangat religious dan mistis, setidaknya ada
25 sajak yang menyinggung soal Tuhan dan berhubungan dengan tafsiran atas puisi
yang tidak terikat oleh waktu. Salah satunya adalah puisi dengan judul “Yang Tak
Menarik dari Kematian”
Keistimewaan Puisi “Yang Tak Menarik dari Mati”
Puisi Goenawan memang selalu mencuri hati pembaca. Memang bacaan dari
Goenawan sangat berat dengan gagasan idealis. Penafsiran yang dilakukan pun perlu
tenaga dan pengetahuan yang besar. Salah satu puisi ciptaan Goenawan yang menarik
perhatiannya adalah puisi “Yang Tak Menarik dari Mati” dari judulnya saja sudah
kentara akan ketakutan GM akan kematian tapi dibungkus dengan harapan.
Dibandingkan dengan puisi berjudul”Nuh” yang tampak panjang dan sukar puisi ini
terlihat singkat dan ramping. Namun, bagaimana mungkin puisi yang sederhana dan
ketika dilihat seperti tampak membosankan tapi mampu menyalurkan rasa takut
kepada pembacanya. Maka, dari itu saya memilih puisi ini untuk dikaji secara garis
besar konstruksi atau pembangun dari puisi tersebut dari segi bentuk melalui analisis
pola tipografi dan analisis pemaknaan subjetif dan teoritis.
Selain itu puisi ini tampak dekat dengan ciri khas Goenawan yang sangat sering
menyelipkan Taoisme pada puisi-puisinya. Yakni, kebebasan individu yang menuju
pada kedamaian dunia. Menggunakan filosofi air seperti Wu-wei terlihat sekali
gagasan mengenai air yang merupakan hal yang paling lemah namun, tidak disangka
mampu menjebol yang paling keras.
Yang Tak Menarik dari Mati
Yang tak menarik dari mati
adalah kebisuan sungai
ketika aku
menemuinya.

Yang menghibur dari mati


adalah sejuk batu-batu,
patahan-patahan kayu
pada arus itu. 

2012
Goenawan Mohammad lahir di Batang, Jawa Tengah 29 Juli 1941. Beliau
merupakan pendiri majalah Tempo (1971-1978) sekaligus salah satu esais terbaik di
Indonesia. Kumpulan esainya yang telah diterbitkan yaitu, Sastra dan Kekuasaan;
empat jilid Catatan Pinggir;  Kata, Kekuasaan;  Seks, Sastra, Kita. Selain menggeluti
dunia jurnalistik, Goenawan juga aktif menulis puisi. Kumpulan puisinya yang pernah
diterbitkan antara lain, Parikisit (1972), Interlude (1973), Asmaradana (1995), dan
Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Puisi-puisi  Goenawan Mohammad yang diulas dalam
esai ini diambil dari buku berjudul Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Tahun 1972,
Goenawan mendapatkan anugerah seni dari pemerintah Republik Indonesia dan pada
tahun 1973 pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam.  Pengalaman
Goenawan dalam bidang sastra dan jurnalistik inilah yang membuatnya percaya diri
mendirikan Komunitas Utan Kayu. Seperti yang terlihat dari kumpulan puisi dan
tulisannya memang sukar dipahami tapi sangat indah bila direnungkan.
Kembali pada pembahasan puisi “Yang Tak Menarik Dengan Mati” untuk masuk
ke dalam renungan pada puisi ini mungkin saya tidak akan memulai pada standarisasi
pembicaraan tentang puisi yang bagus. Tapi kita akan membedah bagian konstruksi
pada badan puisi “Yang Tak Menarik Dari Mati” untuk masuk ke dalam ruangan
pemahaman dan renungan.
Untuk membongkar konstruksi pada tubuh puisi dan menemukan pemaknaan
disana setidaknya terdapat 3 permasalahan yang perlu diulas yakni :
1. Analisis makna secara subjektif
2. Analisis makna secara teoritis
3. Analisis bentuk pola tipografi tubuh puisi
Analisis Makna Subjektif-Teoritis
Secara visual, puisi ini memiliki pengulangan elemen gaya bahasa atau stilistika.
Dapat kita lihat GM membangun bait pertama dengan bait kedua menggunakan satu
kelompok kalimat yang hampir mirip namun, dengan makna yang berbeda. Dari bait
pertama dan kedua memang membentuk kesatuan (holistik) sehingga menciptakan
sprektum pada tiap bait puisi.
Pada bait pertama, secara gramatikal GM masih menggunakan idiom yang
membosankan sehingga ornament dalam baris pertama terkesan biasa saja. Namun,
satu hal yang menjadi perhatian mata pembaca pada saat menjelajah bait pertama pada
puisi dari konteks gramatikal adalah kata “Kebisuan sungai” kata tersebut menjadi
terlihat bernyawa ketika disandingkan dengan kalimat “Ketika aku menemuinya”
lantas terdapat relevansi terhadap kata “Kebisuan sungai” dan “Ketika aku
menemuinya” namun, seperti yang sudah diulas pada bait pertama, pembaca tidak
dibuat terkejut karena seperti sangat monoton dengan pemaknaan yang dapat ditebak.
Relevansi terhadap “Kebisuan sungai” dan “Ketika aku menemuinya” serta pada judul
puisi itu sendiri “Yang Tak Menarik dari Mati” jika ditarik dari segi gramatikal dan
makna leksikal dapat terlihat jelas pesna yang ingin disampaikan adalah kebosanan,
kematian, dan kesunyian pada sesuatu yang sudah mati. Tidak ada ornamen mewah
secara gramatikal karena jika dikaitkan dengan teori jarum jam, puisi ini tepat pada
sasaran. Tidak ada halaman luas yang disediakan pembaca untuk mengimajinasikan
pemaknaannya.
Secara semantik, masih pada bait pertama. GM menghadirkan “Kebisuan
sungai” dan “Ketika aku menemuinya” dapat diintrepetasikan sebagai seseorang yang
menemui kematiannyya. Kenapa GM mengambil kata “Kebisuan Sungai” karena dapat
kita ambil kesimpulan bahwa sungai adalah sumber kehidupan yang memiliki air
mengalir selalu memiliki suara gemercik untuk menandakan bahwa sungai hidup,
tetapi jika digabungkan dengan kata kebisuan maka, sungai tersebut sudah mati dan
tidak memiliki air karena sejatinya sungai yang hidup adalah bergemericik. Lalu
menjadi hidup ketika “Kebisuan sungai” bertemu dengan kalimat “Ketika aku
menemuinya” bahwa memang benar seseorang menemui kematiannya.
Secara komperhensif GM menyuguhkan emosional yang membosankan pada
bait pertama, juga terlalu singkat. Padahal judulnya sangat menarik. Pembaca diberikan
ekspetasi mengenai sesuatu yang baru. Yakni sesuatu yang tak menarik dari kematian.
Namun, dapat kita lihat ada ketakutan penulis terlihat tersirat pada bait pertama. GM
sebelum mengawinkan “Kebisuan sungai” dan kalimat “Ketika aku menemuinya”
terdapat awalan kalimat “Yang tak menarik dari mati adalah..” artinya memang GM
menyampaikan bahwa yang tak menarik dari mati adalah kebisuan sungai ketika aku
menemuinya. Makna yang dapat diambil adalah yang tidak menarik dari kematian
adalah tak lain dari menemui kematian itu sendiri. Tersirat rasa takut penulis
tergambarkan pada bait pertama, itu memberikan gertakan kepada pembaca akan
ketakutan yang serupa.
Pada bait kedua, GM memberikan ornamen yang mirip dengan gaya bait
pertama. Diawali dengan kata “Yang” inilah yang membuat puisinya dari bait pertama
dan bait kedua terlihat membosankan. Karena ornamen gramatikal yang diambil hanya
itu-itu saja.
Namun, secara semantik pada bait kedua tentu menghadirkan konteks yang
berbeda dan lebih memberikan kontribusi cukup memuaskan untuk pembaca.

“Yang menghibur dari mati


adalah sejuk batu-batu,
patahan-patahan kayu
pada arus itu.”
Keterikatan bait kedua dengan bait pertama sungguh terlihat. Rupanya GM
memang ingin memberikan nyawa pada bait pertama dan bait kedua. Jika, bait pertma
membahas tentang ketakutan. Pada bait kedua, GM menjelaskan secara tersirat
mengenai kemungkinan setelah kematian itu sendiri. “Sejuk batu”, “Patahan kayu”,
“Pada arus itu” kita akan bongkar satu-satu susunan dari frasa dan kalimat pada puisi
ini.
“Sejuk batu” kita dapat mengimajinasikan bahwa sejuk batu merupakan sesuatu
hal yang cantik disekitaran sungai, bahkan aromanya saja sudah tergambarkan. Maka,
sejuk batu dapat diartikan sebagai pahala manusia, bisa juga amal baik manusia, atau
memori indah manusia. Karena setelah mati, apalah yang berarti kecuali hal baik yang
pernah dilakukan manusia itu sendiri.
“Patahan kayu” kalau kita melihat patahan kayu yang berserak di sungai adalah
sesuatu yang mengganggu pemandangan. Mungkin juga pernah terdengar kabar
limbah patahan kayu dari pohon yang ditebang di pinggir sungai mengakibatkan air
sungai meluap dan banjir di pemukiman warga. Kita tidak dapat mengukur patahan
kayu pada puisi GM adalah patahan kayu remahan kecil atau patahan kayu yang besar
sehingga menyebabkan banjir. Tapi yang pasti patahan kayu dapat diintepretasikan
sebagai sesuatu pengganggu pada kaitannya dengan ekosistem sungai. Maka, dapat
ditarik intepretasi bahwa patahan kayu adalah dosa, bisa amal dosa, atau memori
buruk.
Terlepas dari sejuk batu ataupun patahan kayu, GM memang menghadirkan
secara natural mengenai ekosistem dari kehidupan sungai tersebut dan
menempatkannya dengan sangat realistis.
Terakhir mengenai “Pada arus itu” kalau kita bisa pahami arus merupakan
pusaran ke arah mana air sungai akan berjalan. Sehingga dapat dipastikan kehidupan
kematian terdapat arus yang mengantarkan kita kepada jalan yang akan ditempuh.
Setidaknya makna yang ingind disampaikan GM adalah perihal tersebut.

Kesimpulan dari bait pertama sampai kedua, kematian memang tidak menarik.
Tapia da yang menghibur seperti amalan baik atau buruk yang manusia punya akan
menjadi konsekuensi yang harus dijalani dan mengarahkan manusia pada arus atau
jalan yang akan mereka tempuh. Selebihnya, memang pada puisi ini GM menceritakan
tentang kehidupan kematian dari sudut pandang dan pendapatnya.
Analisis Pola Tipografi
Penulis Prancis Guillerme Apollinaire menulis puisi tentang hujan dengan
menyusun puisinya seperti rintik hujan. Penulis Inggris Robert Harrick menulis
puisinya tentang pilar dan membangun puisinya seperti pilar. Begitu pula dengan
B.Priyono yang berbicara tentang Tuhan dan menulis puisinya berbentuk tanda tanya.
Setiap penyair selalu memberikan pola pada puisi yang ditulisnya. Pada puisi
“Yang Tak Menarik dari Mati” adalah termasuk bentuk pola tipografi bebas. Dimana
tidak ada aturan. Namun, kembali pada hakikat dari pola tipografi itu sendiri yang
merupakan kebutuhan dari setiap penulis untuk menakar sesuai tema yang penulis
angkat.
Tapi dapat kita analisis pola pada puisi ini tentu tidak ditulis tanpa maksu atau
tujuan. Gm menyusun larik tersebut dengan model jarak dengan spasi jauh antara bait
pertama dan kedua. Hal tersebut menggambarkan kekosongandan kesenyapan yang
mengantarkan pada rasa sepi ketika pembaca menjelajah pada halaman puisi kali
pertama. Tentu saja, hal tersebut menambah estetika dan menunjukkan konsistensi GM
dengan tema yang diangkat, yakni tentang kematian. Lalu, kekosongan dan
kesenyapan dan perasaan sepi relevan dengan tema tersebut.
Kesimpulan
Sastra merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia
sebagai makhluk berbudaya. Sastra menjadi hal yang penting karena di dalamnya
banyak mengandung dimensi. Dimensi tersebut diantaranya dimensi keindahan,
dimensi moralitas, etis, dan sejumlah pengetahuan tentang kehidupan yang
menyebabkan sastra bersifat evokatif dan sugestif. Seniman dalam membuat karya seni
bukan semata-mata untuk kepentingan pribadinya.
Sama halnya dengan puisi karangan dari Goenawan berjudul “Yang Tak Menarik
dari Kematin” bahwa puisi tersebut memiliki bangunan yang dapat di analisis dari 3
aspek yaitu : analisis makna subjektif dan teoritis serta pola tipografi. Dari hasil analisis
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa puisi tersebut memiliki tema Kematian.

Anda mungkin juga menyukai