Anda di halaman 1dari 8

Pemungut Hati

Terburu-buru gadis bersurai hitam legam itu menyisir langkah menuju


pintu gerbang membuat setiap helaian surainya terbawa oleh hembusan angin.
Namun, langkahnya terhenti ketika pintu gerbang itu ternyata telah tertutup
dengan sempurna. Gadis itu mengaitkan jari-jarinya diantara sela jeruji gerbang.

Gadis yang memiliki nama panjang Renita dyahayu itu mengusap kasar
wajahnya geram, Andai saja ia lebih cepat saat berjalan mungkin ia tidak akan
terlambat. Nekat, Renita merangkak manaiki pagar besi pintu gerbang.

"Yakin mau manjat gerbang?" Sebuah suara berat seketika memekakkan


rungu namun, tidak menghentikan aksi Renita. "Ya, daripada telat." Jawabnya
enteng, tak mau repot - repot menatap asal suara itu.

"Gak liat kalo ada cctv? " Tanyanya lagi.

Seketika gerakan Renita yang meringsak naik terhenti dan mendongakkan


kepalanya ke atas. Pantas saja ada sebuah kamera dengan lampu merah berkedip
– kedip sedang menyorot ke arahnya.

"Nggak cuma itu, mungkin harus berhadepan sama Bu Beta dulu, yang
nggak pernah bisa mentolelir siswa telat." Sambungnya.

Sontak Renita langsung turun dan merotasikan tubuhnya menghadap asal


suara itu. Iris mata Renita menilik penamilan cowok dihadapannya tanpa
memakai dasi dengan ujung seragam yang tidak dimasukkan dan rambut yang
acak – acakkan namun,sialnya membuat cowok itu terlihat semakin mempesona.

Cowok dihadapannya menampilkan seulas senyum sambil menyenderkan


punggungnya di dinding tanpa mengalihkan tatapannya dari bola mata berwarna
hazel milik Renita. Mereka menatap satu sama lain seakan sedang berinteraksi
dari tatapan itu. Dan pada detik selanjutnya cowok itu menyahut pergelangan
tangan Renita "Ayo kita bolos." ajaknya sambil mengambil langkah gontai ke
arah sepada trill berwarna hijau tak jauh dari hadapannya. Masih enggan melepas
genggaman tangan itu, cowok itu memakaikan helm dengan asal pada kepala
Renita.

"Sudah gila? " Tukas Renita. Tidak, dirinya mungkin yang lebih gila
karena tidak melakukan penolakan apapun ketika seorang cowok yang bahkan
belum ia kenal mengajaknya bolos sekolah terlebih dirinya malah naik ke atas
boncengan cowok itu.
Tawa kotak cowok itu mengudara mendengar tukasan dari Renita. "Kalo
gitu ayo gila bersama." jawab cowok itu lalu, selanjutnya hanya terdengar deru
mesin motor yang mengudara membelah jalanan ibu kota yang tak pernah larut
dalam sepi.

Dengan mudah kendaraan dihadapannya dilewati begitu saja, menandakan


cowok itu bukan pengendara yang baik. "Gak pake ngebut bisa gak? Kalo jatuh
gimana urusannya? " Tanya Renita sedikit berteriak melawan suara deru motor
yang nyaring.

"Gak bisa lah." Jawab cowok itu. "Kamu yang pegangan biar gak
jatuh."Sambungnya, lalu menarik tangan Renita untuk melingkar di pinggangnya,
seperti ingin menyalurkan rasa aman pada gadis yang kini tengah diboncengnya

Renita hanya menyembunyikan senyuman di balik punggung jangkung


cowok itu, merasakan aroma maskulin yang menyeruak di indra penciumannya
karena jarak diantara mereka semakin terkikis.

***

Sepetak danau yang luas terlihat tenang di permukaannya seketika beriak


saat dengan sengaja sebuah kerikil dilemparkan ke delamnya. Sepi menulikan
suasana diantaranya sejak sepeda motor trill hijau itu memutuskan berhenti di
sebuah tepian danau.

Sekali lagi Renita melemparkan kerikil ke arah genangan air jernih


dihadapannya, hal itu diikuti oleh cowok disampingnya. “Lintang Samudra, kalo
kamu mau nanya.” Ujarnya memperkenalkan diri.

“Renita ayudya.” Balasnya menyebutkan nama panggilannya sendiri.

“Sudah tahu.”
“Sejak kapan?” Tanyanya heran, seingatnya ia belum menyebutkan
namanya tadi.

“Sejak saat pertama bertemu. Kalo nama kamu sudah pasti cantik selaras
dengan wajahmu.”

“Lucu sekali.”

“Benarkah lucu? Kenapa tidak tertawa? Tapi malah jatuh cinta.”

“Tidak! aku tidak pernah jatuh cinta.”


“Masa? Tidak mungkin.”
“Kenapa?” Tanya Renita.
“Jatuh cinta hal yang begitu indah, sayang kalau kamu belum pernah
merasakannya.”

“Tahu dari mana? Sudah pernah merasakan?”


“Tahu, kini sedang kurasakan.”

Renita mendengus pelan, ia mengalihkan pandangannya ke arah genangan


air jernih dihadapannya. Ketenangan pada air yang berwarna hijau lumut
serta taburan bunga teratai disekitarnya semakin membuat sepetak danau
dihadapnnya terlihat indah.

“Indah.” Gumam Renita lirih.

“Mau tahu apa yang lebih indah?” Tanya Lintang.

“Apa?”

“Itu, ada disitu.” Tunjuknya pada pantulan wajah Renita diatas permukaan
air yang jernih dihadapannya.

“Kalau yang ini tidak lucu.”

“Memang tidak lucu, karena aku sedang serius.”

Renita meringsut cemberut

Lintang terkekeh. “Jangan cemberut.”


“Kenapa?”

“Nanti makin cantik, membuatku sulit tidur.” Ucapnya lalu mengacak


puncak kepala Renita dan membuat gadis itu semakin mengerucutkan
bibirnya.

“Iyaiya, aku bercanda. Tapi serius.” Tuturnya sembari merapikan anak


rambut yang sempat diacak – acaknya tadi. “Yasudah, kubuawa ke tempat
yang lebih indah, biar kamu nggak cemberut lagi.” Terakhir, Lintang
menyelipkan beberapa helaian rambut Renita yang menjuntai di wajah ke
belakang daun telinga. Seperti tak rela berang hal sekecil apapun
menghalanginya menatap paras cantik gadis dihadapannya itu.

“Kemana?”

“Nanti kamu tahu, tenang, keindahannya masih belum mampu


menyaingimu.”
Sudah, bungkam lah mulutnya. Ia tak mampu lagi berkata – kata karena
tanpa disangka ada organ yang berdentam begitu cepat di balik rusuknya.

***

“Pantai?” Tanya Renita, ketika sepasang kakinya mengijak pasir berwana


putih dan bertekstur halus dan lembut menjamah permukaan kulitnya.

Lintang mengangguk sebagai jawaban, masih menggenggam tangan


Renita, mengaitkan jemarinya pada sela jari lentik Renita membawanya semakin
dekat ke deburan ombak yang menghantam lemah dan kuat tak beraturan.

Hembusan angin sepoi-sepoi berhasil membawa terbang setiap helaian


rambut Renita, membuat gadis itu semakin cantik jika dilihat.

“Ingin rasanya terbang sampai ke awan." Ujar Renita, pandangannya


menadah ke atas.

"Aku bisa membuatmu terbang kesana. "

"Caranya? "

"Jatuh cinta kepadaku. "

"Jatuh cinta? "

"Iya, rasanya indah sampai mampu membuatmu mengudara sampai ke


atas sana."

"Tidak mau, kalo nanti aku jatuh? "

"Pasti kutangkap." Terdengar tawa renyah dari ranum Renita setelah


mendengar perkataan Lintang.

"Jangan tertawa, nanti ada yang cemburu. "

"Siapa? "

"Lautan dihadapanmu, iri karena ada yang menyaingi keindahannya."

Renita sedikit membungkuk menadah air di telapak tangannya dan


menyiratkan pada wajah Lintang. Lalu terkekeh.

Sontak Lintang memejamkan mata ketika air laut menjamah permukaan


kulit wajahnya. "Kalau ku balas jangan marah ya. " Ucapnya sambil menyeringai
dan melangkah mendekat ke arah Renita.
Seketika Renita berjalan mundur "Tidak, tidak. Aku bercanda." Dengan
cepat sepasang kakinya berlari yang dikejar oleh Lintang dibelakang.

Kedua insan remaja itu berlarian saling mengejar beralaskan pasir putih
yang lembut dan ditemani oleh deburan ombak. Dengan mudah, Lintang
merengkuh pinggang gadis itu dan menariknya dalam dekapan hangat.

"Sudah aku lelah mengejar. Inginnya terus disampingmu saja. "Ujarnya,


lalu tangannya menangkup sisi wajah Renita, menatap bola mata berwarna hazel
itu. Masih dengan dada yang sesekali naik turun keduanya, karena habis berlarian
namun, mereka telah larut dalam tatapan mata. Saling mengungkapkan kata yang
seperti tak mampu untuk diucapkan.

“Pernah merasakan patah hati terhebat?”

“Belum, kenapa?”

“Tidak apa-apa, aku hanya tidak ingin kamu meraskanannya.”


“Memang bagaimana rasanya? Sudah pernah merasakan?”
“Sudah, rasanya ketika sepatah kata tak mampu mewakili rasa dan kau
hanya bisa menghirup nafas dalam-dalam.”

“Bukan begitu, kau hanya belum paham perihal cinta hanyalah usaha
untuk merelakan orang yang dicintai pergi.”
Seulas senyum terbit di wajah Gilang. “Itu benar, dan aku rela merasakan
patah hati terhebat untuk sekian kali asal biarkan aku jatuh cinta.”

“Bukannya sudah?”

“Sudah jadi milikku?”

“Bukan, tapi mendoakanmu, agar selalu jadi milikku.”

“Kalau begitu ayo kita pergi.”


“Kemana?”
“Pergi kencan seperti pasangan lainnya, karena ingin segera kupamerkan
pada keramaian bahwa hari ini kamu jadi milikku.”

***

Saat mereka telah berada di titik keramaian kota;yaitu sebuah pusat


perbelanjaan, tempat yang tak kunjung sepi. Lintang memakaikan hoodie
berwarna putih bertuliskan mine di bagian depannya melewati kepala Renita
sampai lolos menutupi seragam atasannya.
“Harus pakai ini?” Tanya Renita.

“Harus, biar mereka tahu kalau kamu milikku.” Ucap Lintang, ia


memautkan jemarinya pada jemari Renita, seperti tak ingin melepaskannya berang
sedetik pun lalu memasukkan pagutan jemarinya pada saku hoodienya.Renita pun
menaruh kepalanya pada pundak Lintang sembari melangkah menyusuri ke area
bisokop.

Setelah mereka duduk di atas kursi di barisan paling belakang dan


menyaksikan film yang tengah diputar, Lintang malah memejamkan mata dan
menaruh kepalanya di pundak Renita sambil menggesek-gesekkan ujung
hidungnya disana seperti mencari rasa nyaman.

“Katanya nonton, tapi tidur.” Tanya Renita.

“Filmnya jelek, lebih baik tidur saja disini sambil memeluk kamu.”

Renita tekekeh pelan, lalu ikut menaruh kepalanya diatas kepala Lintang
sambil memejamkan mata merasakan rasa nyaman disana.

Lintang masih menacari rasa nyaman yang tak pernah ia temui dari gadis
lain selain gadis yang masih bertempat pada lamunannya kini. Ada sebuah rasa
yang tak kunjung mati masih tertimbun pada palung terdalam di relung hatinya.
Lambat laun ia sadari bahwa perihal melupakan rasa tidak semudah
menghempaskan napas begitu saja. Mungkin ia pikir hidupnya baik-baik saja,
semua berjalan seperti sedia kala bersama hati baru yang mencoba tumbuh.
Namun salah, ternyata semestanya masih sama, masih berporos tentang dia yang
kini telah pulang lalu menghilang.

Kedua insan dengan hoodie couplenya keluar dari area bioskop masih
dengan pagutan tangan yang tak pernah terlepas. Namun, langkah mereka terhenti
pada sebuah toko kue. Lintang mengambil pesanan kue dan beberapa bunga yang
masih segar.

“Untuk apa itu?” Tanya Renita.

“Untuk sesuatu hal.”

“Lalu? pergi lagi? kemana?”

“Ke sebuah tempat, ingin kukenalkan kamu dulu pada seseorang.”

***
Bukan sepetak jalan ataupun pasir putih yang menjadi alas bumi mereka
kini namun, sebuah pekarangan luas yang dilapisi rumput pendek dengan
beberapa batu nisan terjejer rapi.

“Happy annivarsary sayang.”Ucap Lintang mengecup dengan penuh rasa


sayang pada dahi nisan yang tertulis nama ‘Arini’ disana. Lalu membuka kardus
kue yang bertuliskan ‘720 days’ dihiasi lilin kecil. Ia menaruh beberapa batang
mawar putih yang masih segar di atas gundukan tanah itu.

“Cuma mau mengingatkan, kita pernah begitu lucu dulu saat sedang jatuh
cinta. Selamat 720 days sayang.” Ujarnya terlebih pada dirinya sendiri seperti
senang pada dirinya yang tak mampu menerima kenyataan bahwa ceritanya telah
lama usai.

Renita hanya dapat menatap segala apa yang ia saksikan dalam diam.
“Lintang..” Panggilnya akhirnya bersuara.

“Kenalkan, dia adalah patah hati terhebatku.” Tukas Lintang. “Dulu cerita
kita begitu indah. Sampai pada hamparan teh yang selalu jadi tempat favoritnya.
Diatas sepeda trill aku lupa diri terlalu larut dalam eurofia ku sendiri sampai
akhirnya kami menerjang pagar pengaman dann..” Jedanya. “Dia terlempar
hampir seratus meter lalu, sejak itu dia selalu sering tidur sampai sekarang.”
Sambung Lintang dengan suara parau.

Ia pun beranjak berdiri mensejajarkan tingginya pada gadis dihadapannya.


Ditatapnya bola mata berwarna hazel itu lamat -lamat. Telapak tangannya
menangkup sisi wajah gadis itu.

“Sudah, sampai sini kita akhiri saja.” Ucapnya dengan enteng seperti
melupakan segala kata demi kata beberapa jam lalu yang berhasil membuat Renita
melambung bebas ke udara.

“Terimakasih sudah mau menggantikan dia –Arini untuk hari ini.”

“Terimakasih sudah mau menjadi pemungut hatiku.”

“Maaf, aku tidak benar-benar melakukannya.”

“Tak apa.” Ucap Renita dengan suara parau menahan buliran bening jatuh
dari pelupuknya. “Setidaknya hari ini ada yang memberi tahu dirimu bahwa saat
kau dicampakkan akan ada pemungt hati yang lebih tulus untuk mengajakmu
kembali berdiri.” Sambungnya dengan seulas senyum, dengan sekuat tenaga
menatap balik iris mata lelaki dihadapannya.
Perlahan, ia melangkah pergi, meninggalkan lelaki yang beberapa jam
yang lalu mengenalkannya pada indahnya cinta sekaligus rasa kecewa dan
kehilangan.

Ingin ia berbalik dan memeluk lelaki di belakangnya namun, seperti ada


jeratan tali tak kasat mata mengikatnya. Ingin ia menarik kembali jemari yang tadi
menggenggamnya erat-rat namun, seperti ada yang memborgol kedua tangannya.
Ingin ia mengatakan bahwa ia telah benar-benar merasakan cinta dan membuatnya
mengapung di udara namun lidahnya terasa kelu meski hanya untuk memanggil
kembali nama panggilan lelaki itu ‘Lintang’.

Ia hanya mampu menghirup oksigen disekitarnya yang semakin membuat


perih di ulu hatinya.

Ia baru menyadari kini bahwa ia telah merasakan jatuh cinta sekaligus patah hati
terhebatnya pada satu orang dihari yang sama.

Tak lebih, ia hanya seorang pemungut hati rapuh yang sedang terpuruk. Ia
hanya seorang penghibur semata dari rasa pilu yang membiru. Dan saat luka-luka
dari hati rapuh itu telah reda, seseorang itu akan pergi meninggalkannya tanpa
sadar bahwa ada rasa yang tumbuh dalam hatinya juga.

Tak apa, setidaknya ada yang membuktikan ucapannya. Bahwa mencintai


adalah tak lebih usaha untuk merelakan orang yang dicintai pergi.

***

Anda mungkin juga menyukai