Gadis yang memiliki nama panjang Renita dyahayu itu mengusap kasar
wajahnya geram, Andai saja ia lebih cepat saat berjalan mungkin ia tidak akan
terlambat. Nekat, Renita merangkak manaiki pagar besi pintu gerbang.
"Nggak cuma itu, mungkin harus berhadepan sama Bu Beta dulu, yang
nggak pernah bisa mentolelir siswa telat." Sambungnya.
"Sudah gila? " Tukas Renita. Tidak, dirinya mungkin yang lebih gila
karena tidak melakukan penolakan apapun ketika seorang cowok yang bahkan
belum ia kenal mengajaknya bolos sekolah terlebih dirinya malah naik ke atas
boncengan cowok itu.
Tawa kotak cowok itu mengudara mendengar tukasan dari Renita. "Kalo
gitu ayo gila bersama." jawab cowok itu lalu, selanjutnya hanya terdengar deru
mesin motor yang mengudara membelah jalanan ibu kota yang tak pernah larut
dalam sepi.
"Gak bisa lah." Jawab cowok itu. "Kamu yang pegangan biar gak
jatuh."Sambungnya, lalu menarik tangan Renita untuk melingkar di pinggangnya,
seperti ingin menyalurkan rasa aman pada gadis yang kini tengah diboncengnya
***
“Sudah tahu.”
“Sejak kapan?” Tanyanya heran, seingatnya ia belum menyebutkan
namanya tadi.
“Sejak saat pertama bertemu. Kalo nama kamu sudah pasti cantik selaras
dengan wajahmu.”
“Lucu sekali.”
“Apa?”
“Itu, ada disitu.” Tunjuknya pada pantulan wajah Renita diatas permukaan
air yang jernih dihadapannya.
“Kemana?”
***
"Caranya? "
"Siapa? "
Kedua insan remaja itu berlarian saling mengejar beralaskan pasir putih
yang lembut dan ditemani oleh deburan ombak. Dengan mudah, Lintang
merengkuh pinggang gadis itu dan menariknya dalam dekapan hangat.
“Belum, kenapa?”
“Bukan begitu, kau hanya belum paham perihal cinta hanyalah usaha
untuk merelakan orang yang dicintai pergi.”
Seulas senyum terbit di wajah Gilang. “Itu benar, dan aku rela merasakan
patah hati terhebat untuk sekian kali asal biarkan aku jatuh cinta.”
“Bukannya sudah?”
***
“Filmnya jelek, lebih baik tidur saja disini sambil memeluk kamu.”
Renita tekekeh pelan, lalu ikut menaruh kepalanya diatas kepala Lintang
sambil memejamkan mata merasakan rasa nyaman disana.
Lintang masih menacari rasa nyaman yang tak pernah ia temui dari gadis
lain selain gadis yang masih bertempat pada lamunannya kini. Ada sebuah rasa
yang tak kunjung mati masih tertimbun pada palung terdalam di relung hatinya.
Lambat laun ia sadari bahwa perihal melupakan rasa tidak semudah
menghempaskan napas begitu saja. Mungkin ia pikir hidupnya baik-baik saja,
semua berjalan seperti sedia kala bersama hati baru yang mencoba tumbuh.
Namun salah, ternyata semestanya masih sama, masih berporos tentang dia yang
kini telah pulang lalu menghilang.
Kedua insan dengan hoodie couplenya keluar dari area bioskop masih
dengan pagutan tangan yang tak pernah terlepas. Namun, langkah mereka terhenti
pada sebuah toko kue. Lintang mengambil pesanan kue dan beberapa bunga yang
masih segar.
***
Bukan sepetak jalan ataupun pasir putih yang menjadi alas bumi mereka
kini namun, sebuah pekarangan luas yang dilapisi rumput pendek dengan
beberapa batu nisan terjejer rapi.
“Cuma mau mengingatkan, kita pernah begitu lucu dulu saat sedang jatuh
cinta. Selamat 720 days sayang.” Ujarnya terlebih pada dirinya sendiri seperti
senang pada dirinya yang tak mampu menerima kenyataan bahwa ceritanya telah
lama usai.
Renita hanya dapat menatap segala apa yang ia saksikan dalam diam.
“Lintang..” Panggilnya akhirnya bersuara.
“Kenalkan, dia adalah patah hati terhebatku.” Tukas Lintang. “Dulu cerita
kita begitu indah. Sampai pada hamparan teh yang selalu jadi tempat favoritnya.
Diatas sepeda trill aku lupa diri terlalu larut dalam eurofia ku sendiri sampai
akhirnya kami menerjang pagar pengaman dann..” Jedanya. “Dia terlempar
hampir seratus meter lalu, sejak itu dia selalu sering tidur sampai sekarang.”
Sambung Lintang dengan suara parau.
“Sudah, sampai sini kita akhiri saja.” Ucapnya dengan enteng seperti
melupakan segala kata demi kata beberapa jam lalu yang berhasil membuat Renita
melambung bebas ke udara.
“Tak apa.” Ucap Renita dengan suara parau menahan buliran bening jatuh
dari pelupuknya. “Setidaknya hari ini ada yang memberi tahu dirimu bahwa saat
kau dicampakkan akan ada pemungt hati yang lebih tulus untuk mengajakmu
kembali berdiri.” Sambungnya dengan seulas senyum, dengan sekuat tenaga
menatap balik iris mata lelaki dihadapannya.
Perlahan, ia melangkah pergi, meninggalkan lelaki yang beberapa jam
yang lalu mengenalkannya pada indahnya cinta sekaligus rasa kecewa dan
kehilangan.
Ia baru menyadari kini bahwa ia telah merasakan jatuh cinta sekaligus patah hati
terhebatnya pada satu orang dihari yang sama.
Tak lebih, ia hanya seorang pemungut hati rapuh yang sedang terpuruk. Ia
hanya seorang penghibur semata dari rasa pilu yang membiru. Dan saat luka-luka
dari hati rapuh itu telah reda, seseorang itu akan pergi meninggalkannya tanpa
sadar bahwa ada rasa yang tumbuh dalam hatinya juga.
***