Anda di halaman 1dari 18

Champion Class 1

UP- CC: ARTHUR

Agustus, 20XX

B eberapa murid mendorong seorang cewek berambut kepang dua ke kolam


renang. Cewek itu kaget dan berteriak minta tolong. Namun, siswa-siswi
yang ada di sana hanya tertawa. Berbeda dengan yang lain, Liona hendak
melompat ke kolam renang, tapi dia kalah cepat oleh seorang cowok yang
dengan sigap menolong cewek itu.
Cewek kepang dua itu berhasil diselamatkan cowok tersebut. Dia terbatuk-
batuk dengan air keluar dari mulutnya. Napasnya juga tidak beraturan. Setelah
merasa tenang, dia berusaha duduk. Ditatapnya si penolong itu. "Thank you
so much."
"Are you okay?"
"Yeah, I'm okay."
Cowok itu mengambil blazer miliknya, kemudian menutupi tubuh si
cewek. "Lebih baik kau ganti seragam secepatnya."
Cewek itu mengangguk.
Cowok itu berdiri. Seragamnya yang basah memperlihatkan pack perutnya
yang bagus. Saat berlalu, dia hampir bertabrakan dengan Rain. Keduanya
berhenti dan bersitatap dengan sorot mata datar.
Rain merasa tidak pernah melihat cowok bermata hazel itu di kelasnya,
tetapi seperti pernah bertemu di tempat lain. Dia berpikir, apa cowok itu
yang selalu memperhatikannya di kantin? Namun, bukankah cowok di kantin
itu menggunakan kacamata? Dia mengedik karena merasa tidak ada gunanya
memikirkan hal itu.
Cowok itu mencengkeram pergelangan tangan,Rain.
"Let go of my hand!" seru Rain dengan dingin.
"Kamu dan teman-temanmu benar-benar tidak memiliki hati,” ucap
cowok itu dengan tenang, dalam Bahasa Indonesia, lalu dia pergi begitu saja.
Dia menggunakan bahasa Indonesia? batin Rain tak percaya.
Rain tidak ingin memikirkan ucapan cowok itu. Dia menoleh ke Liona
yang tidak jauh darinya dan mendapati kejanggalan. Tatapannya beralih pada
cewek yang tadi tercebur ke kolam renang. Cewek itu tampak kedinginan

2 Champion Class
meski sudah mengenakan blazer. Sekarang dia tahu apa yang sedang terjadi.
Dia jadi kesal pada Liona.
Liona mendekati Rain sambil tersenyum. “Sorry,” ucapnya.
Rain mendengkus. Dia berpikir, tidak ada gunanya menasihati Liona yang
sudah menutup mata dan hatinya. Tatapannya kemudian tertuju pada sebuah
kacamata di tangan temannya itu. “Punya siapa?”
“Cowok tadi,” jawab Liona.
"Lo kenal sama dia?"
"Sedikit. Dia keturunan Indonesia dan sikapnya aneh. Freak,” katanya
sambil mengernyit.
"Why?"
"Style-nya benar-benar cupu. Dia peringkat tiga terakhir saat UAS
kemarin."
"Kok lo bisa tahu?" tanya Rain menyelidik.
"Apa sih yang gue nggak tahu? Lo aja yang nggak update,” cibir Liona,
membuat Rain berdecak. "Dah ah, gue buang aja nih kacamata."
Rain langsung merebut kacamata tersebut. "Gue aja yang balikin."
Liona menatap Rain dengan heran. "Lo yakin?"
"Iya. Namanya siapa?"
"Arthur Jackson Brian."
Rain tersenyum tipis mendengarnya. "Arthur? Menarik."

Rain mengedarkan pandangannya ke setiap sudut taman belakang sekolah


untuk mencari Arthur Jackson Brian. Dia tersenyum ketika menemukan
Arthur sedang membaca di bawah rumah pohon yang jarang dikunjungi
orang karena dianggap angker. Dia berjalan mendekati cowok itu sambil
mengayun-ayunkan kacamata yang dipegangnya.
“Hai!” sapa Rain.
Arthur terkejut dengan wajah tegang, seolah sedang melihat hantu. “Ada
apa?” tanyanya ketus.
Saat melihat wajah Arthur dari jarak sedekat ini, Rain terpesona. Dia
mengakui bahwa cowok itu sangat tampan. “Punya kamu, tadi tertinggal,”
katanya sambil menyodorkan kacamata.
Arthur mengambil kacamata itu. “Terima kasih,” ucapnya dengan suara
lebih lembut.

Champion Class 3
Rain sebenarnya tidak menyangka Arthur akan berterima kasih padanya.
Hal itu membuatnya menyunggingkan senyum hangat. “Sama-sama.”
balasnya. Dia terdiam beberapa saat, menunggu cowok itu membuka
pembicaraan, tetapi ketika hal itu tidak terjadi, dia mendengkus. “Kamu
nggak mau menanyakan namaku, gitu?”
Arthur menggeleng. “Tidak.”
Rain berdecak kesal. “Kenapa?”
Arthur tersenyum kecil. “Aku sudah tahu kamu siapa, kamu adalah Rain
Denandra Razeta, school president Wistle International School. Mendapat
peringkat pertama selama empat semester. Siswi paling populer di Wistle. Aku
mengetahui sisi baik dan burukmu dari cerita banyak orang.”
“Buruknya apa, baiknya apa?” tanya Rain. Sungguh, dia semakin penasaran
pada cowok di depannya itu.
“Buruknya, kamu selalu membiarkan Liona dan beberapa siswa-siswi
Wistle yang lain melakukan perundungan kepada murid-murid yang lemah.
Kamu sombong, jarang tersenyum, dan bertemperamen buruk. Sisi baiknya,
kamu sangat pintar dan rajin menyumbangkan piala ke sekolah, aku juga
mendengar kamu anak orang dari kalangan atas,” jelas Arthur.
Rain tercengang. “Banyak buruknya, baiknya cuma—"
“Kamu juga cantik,” sela Arthur.
Rain mencoba menahan senyumnya. Disebut cantik oleh Arthur saja,
mampu membuat pipinya bersemu kemerahan. Padahal dia sering mendengar
itu banyak orang. “Kalau gitu, nama lo siapa?”
Arthur mengernyitkan dahinya. “Lo?”
Rain berdecak. “’Lo’ itu maksudnya kamu.”
Arthur mengangguk-angguk kecil. “Namaku Arthur Jackson Brian,
panggil saja ‘Arthur’. Aku lahir di Jakarta dan sempat tinggal di Indonesia
sampai umur empat tahun. Itu karena Mom asli orang Indonesia. Oh iya,
seharusnya kamu tidak berbicara denganku. Orang-orang akan melihat kita,
dan kamu akan malu. Aku siswa peringkat tiga terakhir di Wistle, dan berada
di kelas paling terakhir pula.”
Jadi Liona tidak bohong mengenai nama dan reputasi Arthur. Menurut
Rain, dari cara bicara dan sikapnya, Arthur lebih dewasa dari remaja-remaja
seusianya. Cowok itu terlihat baik dan sopan walaupun sedikit kaku dan
polos.
“Rain, aku hanya ingin mengatakan, sebagai school president WIS. Kamu
harus bisa bersikap tegas kepada siswa dan siswi yang melakukan pelanggaran,
kepada Liona sekalipun. Terima kasih untuk kacamatanya. Maaf karena telah
marah padamu tadi. Aku pergi dulu.” Arthur tersenyum singkat, kemudian
4 Champion Class
berlalu.
“Arthur!”
Arthur berhenti seraya membalikkan badan.
“Kamu mau menjadi temanku?” tanya Rain yang memang tidak segan
untuk mengutarakan isi pikirannya.
Arthur sangat terkejut mendengar pertanyaan itu. “Aku mau menjadi
temanmu. Tapi, apa kamu benar-benar tidak malu berteman denganku?”
Rain tersenyum, lalu mengulurkan tangangannya. “Aku tidak akan malu.
Mulai sekarang kita berteman?”
Dengan ragu-ragu Arthur membalas uluran tangan itu. “Berteman.”
Hari itu, di bawah pohon yang rindang, senyuman yang terukir dan
jabatan tangan yang terulur menjadi saksi pertemanan antara Rain dan Arthur.

Champion Class 5
UP- CC: TENTANG ARNESH

R ain tengah berada di salah satu toko buku ditemani Aluna. Dia hendak
mencari beberapa buku self-help. Dalam masa terapi, dia tidak boleh
hanya bergantung pada psikiater dan obat-obatan, oleh karena itu dia ingin
melakukan self-healing dengan membaca buku-buku itu.
“Gue ke sana dulu ya, Rain. Banyak novel baru,” ucap Aluna, yang dijawab
Rain dengan anggukan.
“How to be Confident.” Rain membaca judul sebuah buku di rak. Tangannya
terulur hendak mengambil buku itu. Namun, secara bersamaan tangannya tak
sengaja bersentuhan dengan tangan seseorang. Dia langsung menarik kembali
tangannya, lalu menoleh pada seorang cowok dengan mata tajam dan rahang
tegas yang tengah menatapnya. Dia mengira umur cowok itu beberapa tahun
di atas dirinya.
“Maaf,” ucap cowok itu.
Rain hanya memberikan satu kali anggukan.
“Kamu suka buku ini?” tanya cowok itu.
Rain berpikir sejenak. “Saya baru ingin membacanya,” jawabnya.
Cowok itu tersenyum kecil dan cukup manis. “Bacalah! Bukunya sangat
bagus.”
Rain tidak merespons lagi. Dia segera mengambil buku itu dan melangkah
pergi. “Permisi!” Namun, ketika jaraknya dengan cowok itu telah cukup jauh,
dia merasa ada yang janggal. “Gue ngerasa pernah lihat dia, tapi… di mana,
ya?” Dia lalu menggeleng. “Nggak penting.”
Sementara cowok itu diam-diam terus menatap punggung Rain. “Akhirnya
kita bertemu juga, Rain.”

Hari itu, hari di mana Rain bertemu kembali dengan Liona, sahabat lamanya
di Australia. Hari yang sama ketika dia membawa Alice ke rumah setelah
penerimaan laporan tengah semester. Rain bertemu Liona setelah dia
memastikan Alice telah tertidur pulas, kemudian dia menyelinap keluar.
Liona dan Rain berada dalam mobil yang tengah melaju di jalan ibu kota.
"Oh my ghost, gue nggak nyangka bisa ketemu sama lo lagi, Rain.” Liona
sangat girang.
6 Champion Class
Rain yang sedang memainkan ponselnya menghela napas berat. "Ini udah
kesebelas kalinya lo ngomong gitu, Na."
Liona nyengir. “Coba kita ketemu lebih cepet,” katanya karena Rain
mengganti jam pertemuan mereka tanpa memberinya alasan. "Kita mau ke
mana?"
"Terserah lo."
"Beneran terserah gue?"
"Hm." Rain menyimpan ponselnya. Dia memperhatikan Liona dari
samping. Rambut panjang cewek itu kini dicat warna silver. "So… apa alasan
lo pulang ke Indonesia?"
"Oma gue dirawat di rumah sakit, jadi gue dipaksa pulang. Mungkin dia
kira bakal mati dan mau minta maaf ke gue.”
Rain tersenyum tipis. Walaupun Liona terkesan santai mengatakan
itu, tapi dia tahu di dalam hatinya cewek itu menyimpan kesedihan yang
mendalam. "Makanya lo harus sukses supaya nama lo dari Liona Embun
Sivon jadi Liona Embun."
Liona tersenyum tipis. "Bertahun-tahun diasingkan itu nggak enak, Rain.
Dari kecil gue tinggal jauh dari keluarga dan nggak pernah dianggap. Belum
lagi gue juga dibeda-bedain dan direndahkan." Dia menghela napas berat.
Tatapan matanya berubah sendu.
Rain mengusap lembut lengan Liona. "I know you strong, Liona."
"Lo, sih, pake pindah ke Indonesia. Gue jadi sendirian."
"Kenapa? Enggak ada yang mau temenan sama lo di sana?" tanya Rain.
Liona berdecak. "Ada, tapi rata-rata pada banyak mukanya. Di belakang
gue gini, di depan gue gitu. Pada cari tenar doang."
"Merasa terkenal lo?"
Liona tersenyum kecut. "Lo dari dulu suka banget bikin gue mati kutu."
Rain tertawa kecil. Dia terlihat lebih dewasa di depan Liona. Dia melihat
sekilas suasana Jakarta yang tetap ramai walau malam hari.
"Lain kali ketemu sama keluarga gue, biar mereka sadar udah membuang
anak sebaik, secantik, dan sepintar gue,” ucap Liona dengan percaya dirinya.
Rain hanya mengangguk-angguk kecil. “Omong-omong, kita mau ke
mana, nih?”
“Ke sini!” Liona mengarahkan dagunya.
Mata Rain membulat ketika melihat lokasi tujuan Liona. "Kita ke klub
malam?"
"Nggak, ke masjid."

Champion Class 7
"Liona...!"
"Udah tahu klub, masih nanya."
"Bukan itu, Bitch. Kita belum cukup umur."
"Udah, tenang aja, ini punya abang gue. Lo ingat, kan, gue punya abang
kandung?"
Rain mengingat-ingat. "Yang umurnya di atas lo empat tahun, kan? Cucu
kesayangan Oma lo itu?"
"Benar. Dia yang paling pengertian sama gue. Jadi kita bisa masuk. Udah
yuk!" Liona ingin membuka pintu mobilnya.
"Eh, Lio." Rain memegang tangan Liona.
Liona menutup kembali pintu itu sambil menatap Rain dengan serius.
"Ada apa, Rain?"
Rain menghela napas pelan.
"Rain, jangan bikin gue penasaran, deh."
“Lo bisa nggak sih, nggak berpura-pura. Gue mau lo jujur!"
Liona mengernyitkan keningnya. "Apanya yang jujur, Rain?"
"Lo sebenarnya mau marah, kan, sama gue karena gue ngehindar dari lo?
Gue udah menjauh dan tiba-tiba menghilang nggak ada kabar. Gue bahkan
nggak mau kontekan lagi sama lo,” kata Rain dengan nada bersalah.
"Rain, gue–"
"Kalau lo mau marah, marah aja, Na. Itu jauh lebih baik daripada lo
sekarang bersikap seolah-olah nggak terjadi sesuatu. Gue jadi semakin merasa
bersalah kalau lo kayak gitu,” ucap Rain sungguh-sungguh.
Liona terdiam. Memang selama ini dia memendam rasa marah dan rindu
pada Rain. Namun, dia merasa jauh lebih baik setelah bertemu dengan cewek
itu. Walaupun tetap masih ada yang mengganjal.
"Oke, gue emang marah dan kecewa sama lo yang pergi gitu aja. Lo nggak
ngomong apa pun sama gue dan nggak pamit. Setelah kejadian itu lo menjauh
gitu aja." Dia terdiam sesaat, mencoba menetralkan emosinya. "Cuma lo yang
ada buat gue, Rain. Lo selalu ngertiin gue. Lo selalu ada di saat yang lain
pergi ninggalin gue. Hanya lo sahabat gue satu-satunya. Gue juga ikut hancur
ngelihat lo hancur saat itu. Tapi, lo nggak ngebiarin gue ada di dekat lo, dan
mendorong gue terlalu jauh." Dia mengembuskan napas berat, lalu tersenyum
tipis. "Ya, jujur saat itu gue kecewa dan benci banget sama lo,” katanya sambil
berkaca-kaca.
Air mata mengembang di pelupuk mata Rain. Dia menunduk sambil
meremas tangan Liona. Dia juga lelah berpura-pura terlihat baik-baik saja.
Luka di hatinya tidak pernah sembuh.
8 Champion Class
Rain mengangkat wajahnya, kemudian menatap mata Liona dengan
lekat. "Gue salah, Na. Gue benar-benar minta maaf, walau mungkin maaf gue
nggak akan cukup." Rain terisak. Sosok yang tak bisa dia lupakan itu kembali
muncul di ingatannya. "Gue merasa bersalah atas kepergian dia, Na. Andai
hari itu gue–" Rain menggantung ucapannya. Dia menggigit bibir bawahnya.
"—mungkin Arthur—" Dia tidak sanggup untuk melanjutkan perkataannya.
Liona memegang bahu Rain yang tampak sangat rapuh. “Lo nggak salah
apa-apa. Semua takdir, Rain. Lo harus berhenti nyalahin diri lo sendiri. Gue
benci lo yang lemah."
"Kenyataannya gitu, Na. Gue nggak kuat. Gue memang bukan cewek
yang kuat, Na. Gue butuh dia di hidup gue. Gue kangen banget sama dia,
Na. Gue sayang sama dia dan nggak bisa ngelupain dia. Dia yang ngenalin gue
arti kasih sayang yang sebenarnya. Dia my first love.”
Tanpa pikir panjang, Liona langsung memeluk Rain dengan hangat. Dia
mengusap punggung cewek itu. "Dia udah bahagia, Rain. Lo ikhlasin dia, ya.”
Rain memejamkan matanya, membiarkan air matanya terus mengalir
deras. Dia membalas pelukan Liona sampai merasa jauh lebih tenang. Dia
tahu, cewek itulah yang bisa mengerti dirinya. Cukup lama mereka saling
berpelukan. Dia akhirnya melepaskan pelukan itu.
“Lo… udah mau bahas tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Arthur
sama gue?” tanya Liona.
Rain tersenyum dan mengangguk. Dia mengeluarkan sebuah amplop kecil
berwarna hitam dari saku jaketnya, lalu memberikannya pada Liona. "Ini!"
Liona menerimanya. "Ini apa?"
Meski berat mengatakannya, Rain tetap menjawab, "Em… kalimat
terakhir gue buat dia. Tolong datang ke pemakaman dia buat gue."
Liona tersenyum kecil sambil mengangguk. Dia tidak ingin bertanya lagi.
Dia yakin Rain belum siap bercerita banyak saat ini. "Gue pasti sampaikan
pesan lo ke dia."
"Satu lagi," kata Rain lebih serius. Tatapannya seakan memperlihatkan
kemarahan. "Gue mau, lo ngebuat hidup dia hancur,” tukasnya, membuat
Liona mengerutkan kening. "Dia yang gue maksud adalah Joash," jelasnya.
Liona terkejut. "Joash? Wait, Joash teman sekelas kita yang selalu dapat
peringkat ketiga itu?"
Rain mengangguk. "Yeah."
"Dia memangnya kenapa? Anaknya kelihatannya baik."
Rain menatap sahabatnya lebih dalam. Lalu… sudut kanan bibirnya
terangkat, membuat Liona menelan ludah. "Joash itu saudara kembar Arthur."

Champion Class 9
Liona sangat terkejut, apalagi dia melihat Rain menahan emosi dengan
tangan terkepal. "Apa? Lo serius? Mereka kok nggak mirip."
"Mereka bukan kembar identik. Nama tengah mereka sama, Arthur
Jackson Brian dan Joash Jackson Barack. Joash lah alasan kenapa gue ngasih
kesaksian palsu,” jelas Rain.
Liona terdiam, dia masih terlalu kaget. Dia tak pernah melihat Rain
seemosi ini. Rain yang dikenalnya selalu tenang. Dia sampai melupakan
bahwa sahabatnya itu sangat pintar memainkan ekspresi.
"Liona, Joash menyembunyikan fakta bahwa dia dan Arthur itu saudara
kembar."
"Kenapa dia nyembunyiin itu?"
"Orang tua mereka selalu membedakan mereka. Arthur nggak pernah
dianggap anak sama orang tuanya. Menurut orang tuanya, Joash jauh lebih
istimewa. Gue nggak tahu apa istimewanya dia,” tukas Rain sinis.
Liona tidak menyangka hal itu. Dia pikir, hanya dirinyalah anak yang
paling sial karena tidak mendapatkan kasih sayang orang tuanya. Ternyata ada
yang bernasib lebih tragis. “Tapi kenapa lo mau ngasih kesaksian palsu, Rain?
Apa yang Joash lakuin ke lo?" tanyanya penasaran.
Rain mengembuskan napas berat. Tatapannya berubah menjadi sendu.
"Arthur punya gangguan mental, yaitu kleptomania."
"A–apa? Seriously?"
"Yeah. Joash manfaatin kondisi itu. Tapi, gue tetap salah, karena semua
berasal dari ambisi gila gue.” Rain menarik napas panjang. “Lo tahu
perlombaan IMO yang pernah gue ikuti itu, kan?”
Liona mengangguk. “Iya, lomba itu yang menjadi masalah utama kalian.
Nama dia ada di urutan pertama sebagai perwakilan lomba. Tapi beberapa hari
sebelum perlombaan, tiba-tiba nama lo yang dicantumkan sebagai perwakilan.
Beredar rumor, bahwa Arthur melakukan kecurangan saat seleksi. Ada yang
bilang lo ikut bersaksi tentang kecurangan itu. Cuma nggak ada yang tahu apa
yang lo dan pihak sekolah lakukan, hingga akhirnya nggak lama setelah itu,
kita mendengar kabar Arthur bunuh diri,” ujar Liona dengan sangat hati-hati,
dia berusaha menjaga perasaan Rain.
Rain tersenyum simpul. “Ya, kesaksian yang gue beri adalah palsu. Gue
pernah kasih tahu ke lo, tapi gue nggak pernah jelasin apa yang terjadi.”
“Kalau gue boleh tahu… sebenarnya ini semua kenapa? Jujur, gue selalu
bertanya-tanya tentang itu semua,” kata Liona dengan raut wajah bingung.
“Seperti yang kita tahu, Arthur dikenal sebagai anak yang introvert. Dia
bahkan mendapatkan perundungan. Gue sendiri nggak mau memperlihatkan
kedekatan kami di depan semua orang. Arthur juga dibilang sebagai anak yang
10 Champion Class
bodoh.” Rain menatap Liona lebih dalam. “Padahal nggak sama sekali, Liona.
Arthur anak yang sangat pintar. Setelah gue mengenal dia lebih jauh, dia anak
yang baik, penyabar, dan nggak pernah membalas perbuatan buruk orang lain
ke dia. Termasuk ketika gue selalu menjadikan dia tempat pelarian saat gue
lelah. Dia nggak pernah marah sekali pun sama gue, Liona.”
Rain berhenti sejenak, berusaha mengatur emosinya.
“Saat pengumuman lomba IMO, dia bilang ke gue akan mengikuti
perlombaan itu. Awalnya gue pikir, dia nggak akan bisa menang. Lo tahu
seberapa gilanya gue mengejar penghargaan-penghargaan itu. Tapi ternyata,
selama kami latihan, dia memperlihatkan perkembangan yang pesat. Bahkan
saat latihan dengan tutor yang diberi sekolah, tutor itu bilang Arthur punya
kemungkinan besar lolos menjadi perwakilan sekolah.”
Liona memperhatikan tangan Rain mengepal.
“Gue yang saat itu sangat ambisius, takut mendengar itu, Liona. Gue
nggak bisa terima dengan orang yang bisa lebih unggul dari gue. Saat gue
tahu kemampuan Arthur, gue berusaha menghindar dari dia. Gue menjauh
dan gue mau dia merasa kacau dengan itu semua, lalu berakhir kalah. Tapi,
yang gue lihat dia semakin gigih untuk menang.”
Liona mengangguk sebagai respons.
Rain menggeleng kecil, sebelum melanjutkan ucapannya. “Sampai suatu
hari, Joash mendatangi gue dan mengaku sebagai saudara kembar Arthur. Dia
memberikan beberapa bukti agar gue percaya sama dia. Joash bilang ke gue,
bahwa orang tua mereka nggak pernah suka sama Arthur. Bahkan Joash punya
beberapa video yang memperlihatkan ketidakadilan orang tua mereka. Gue
pikir, Joash peduli dengan Arthur. Ternyata nggak sama sekali. Joash malah
menawarkan kerja sama dengan gue.”
“Kerja sama… apa?” tanya Liona.
“Dia bilang, biarkan Arthur mengikuti lomba dan jangan jauhi Arthur.
Joash juga bilang, dia akan memastikan Arthur tidak akan pernah bisa
mengikuti perlombaan itu.”
“Tapi nyatanya?” Liona sangat ingin tahu akhir kejadian sebenarnya.
“Tapi nyatanya, nama Arthur yang terpilih, bukan gue. Saat itu gue marah
sama Joash. Tapi Joash dengan santainya bilang bahwa gue tinggal tunggu
kabar baiknya. Gue nggak tahu apa yang sebenarnya Joash lakukan. Joash
bilang gue harus bisa memutarbalikkan fakta. Sampai akhirnya, gue dan Arthur
dipanggil ke ruang disiplin. Di sana banyak banget orang, ada Arthur dengan
kedua orang tuanya. Kepala sekolah bilang, Arthur melakukan kecurangan
saat tes seleksi di sekolah. Arthur mencuri lembar soal dan jawaban.”
Liona terkejut mendengar itu, ternyata selama ini hal tersebut bukanlah

Champion Class 11
rumor. “Jadi, sebenarnya… Arthur beneran curang?” tanyanya.
Rain menggeleng. “Arthur nggak pernah curang, Liona. Itu benar-benar
hasil dia. Tapi, ada video yang membuktikan bahwa Arthur benar-benar
mencuri soal itu, dan di rekaman entah siapa pengirimnya, ada tanggal yang
tertera. Tanggal dan waktu itu adalah di mana gue dan Arthur sempat video call
dengan waktu yang cukup lama. Karena di video itu cuma memperlihatkan
punggung seseorang yang kelihatannya mirip banget sama Arthur. Jadi pihak
sekolah bertanya ke gue, apa gue malam itu beneran video call sama Arthur
dan dia itu ada di rumahnya. Lalu, gue jawab—“
“Jangan bilang lo jawab nggak,” potong Liona.
Rain menghela napas berat. “Dugaan lo benar, Liona. Gue berbohong saat
itu. Gue bilang, kalau gue nggak video call dan nggak tahu Arthur ada di
mana.”
Liona terkesiap.
Rain tersenyum getir. “Gue benar-benar jahat, Na. Saat itu, gue cuma
mikirin keuntungan pribadi gue. Arthur juga sangat kecewa sama gue. Tapi
dia tetap nggak marah dan bahkan mengelak. Bisa aja mereka memeriksa
riwayat panggilan. Tapi Joash sebelumnya sempat menghubungi gue,
meminta gue buat menghapus riwayat panggilan gue dan Arthur. Mungkin
Arthur nggak bisa membela diri, karena Joash bisa aja udah menghapus
riwayat panggilan Arthur terlebih dahulu secara diam-diam. Saat itu juga,
semua orang menghakimi Arthur, bahkan tutor yang mengajar kami nggak
mau membelanya.”
Liona tak tahu harus berkata apa, jadi dia diam saja.
Rain semakin tertunduk. “Bahkan orang tuanya pun nggak peduli, Na.
Arthur dikeluarkan dari perlombaan. Bahkan hari itu juga dia dikeluarkan
dari sekolah. Karena orang tua Arthur memercayai anaknya mencuri serta
mengungkapkan bahwa Arthur itu kleptomania.”
Liona refleks menggeleng. Dia merasakan kegetiran Arthur.
Rain kembali menatap Liona. “Gue kaget dan langsung takut, tapi gue
nggak berani jujur. Gue cuma bisa diam. Sampai suatu ketika, rasa bersalah
terus menjalar saat melihat raut kecewa Arthur yang dalam. Gue mau coba
buat ungkap semua, tapi Joash melarang gue. Joash bilang ke gue, kalau yang
kirim video itu adalah dia, dan yang ada di dalam video itu juga adalah dia.
Gue baru sadar, postur tubuhnya sama dengan Arthur. Joash memanipulasi
semuanya, dan bodohnya gue juga secara nggak langsung ikut andil. Joash
mengancam gue, dia akan nyebarin rekaman suara gue yang mengatakan
setuju untuk kerja sama dengannya untuk menjegal Arthur. Terus, dia akan
sebarin fakta bahwa Arthur itu kleptomania.”

12 Champion Class
Rain menggeleng pelan. “Gue nggak berani ambil risiko, Na. Gue takut
akan dihukum dan Bunda tahu perbuatan bejat gue. Gue juga nggak tahu
apa yang akan terjadi sama Arthur kalau semua orang tahu tentang gangguan
mentalnya, Liona. Hidup dia akan semakin hancur.”
“Tapi… lo yakin dia punya gangguan jiwa itu, Rain?”
Rain mengangguk. “Gue pernah nemuin jepitan rambut, pena, dan
barang-barang nggak berharga lainnya di tas Arthur. Dan setiap gue ajak dia
ke apartemen gue, selalu ada barang nggak penting yang hilang.”
Liona menelan ludahnya mendengar ini. “Terus, Arthur bunuh diri—"
“Arthur nggak pernah bunuh diri, tapi dia dibunuh.”
Liona berusaha tertawa, tetapi sangat susah. “Rain jangan becanda deh.”
Rain menggeleng, dia terlihat sangat serius. “Setelah perlombaan, gue
datang ke rumah Arthur. Tapi, saat gue masuk ke rumahnya. Gue nggak
sengaja lihat Arthur dan Joash bertengkar. Arthur bilang, dia punya bukti
bahwa rekaman itu palsu. Joash sangat marah, dia bahkan mengungkapkan
kenyataan bahwa gue bekerja sama dengannya untuk menghancurkan Arthur.
Gue masih ingat banget ekspresi Arthur yang benar-benar kecewa dan bahkan
menangis. Tapi Arthur tetap bersikeras untuk memberitahu kebenaran itu."
Liona tercekat, dia menelan ludah susah payah.
“Saat Arthur membalikan badan, Joash menembak kepala Arthur,” ujar
Rain dengan suara gemetar. Bayangan kejadian itu berputar di kepalanya.
“Gue teriak, Joash kaget ngelihat gue. Arthur sempat menatap gue di detik-
detik terakhir hidupnya, dia jatuh tepat di hadapan gue. Lo tahu apa yang gue
lakukan, Na? Gue cuma bisa kabur dan sembunyi di kamar. Besoknya, gue
denger berita Arthur bunuh diri, bukan dibunuh. Gue nggak tahu kenapa
Joash bisa terbebas dari hukuman dan nggak pernah disebutkan sebagai
pelaku.” Rain tertawa hambar. “Gue mau marah sama Joash, tapi yang gue
bisa lakukan hanya diam. Gue pengecut, Na, gue nggak berani jujur, bahkan
sampai sekarang.”
Liona memegang tangan Rain untuk menenangkan sahabatnya itu.
“Sifat ambisius gue, ngebuat seseorang mati, Liona. Gue nggak pernah
bisa memaafkan diri gue.” Rain menangis dengan tubuh gemetar.
Liona memeluk Rain dengan erat. Dia bahkan ikut menangis bersama
sahabatnya..
Aku baru sadar akan satu hal, sekuat apa pun aku untuk melupakan kamu.
Ternyata, aku tidak akan bisa melakukannya, batin Rain.

Champion Class 13
Rain dan Liona memilih ruang di lantai dua klub malam, sehingga tidak
terganggu oleh suara dentuman musik. Rain lah yang memilih ruangan itu,
karena dia tidak mau mendengar kebisingan.
"Nah, ini minuman khusus buat lo!" Liona datang memberikan minuman
kepada Rain.
"Ini halal, kan?"
"Ck! Halal, kok. Setelah nangis lo masih ngeselin, ya,” tukas Liona.
"Bukan itu. Lo, kan, tahu alkohol itu nggak baik buat kesehatan. Kalau
gue kecanduan gimana? Dampaknya bisa menurunkan kemampuan berpikir
gue dan adanya gangguan perilaku. Kesimpulannya, minuman keras itu lebih
banyak berdampak negatif dari pada positif,” kata Rain panjang lebar.
Liona memutar bola matanya dengan malas. Jika Rain sudah berbicara
dengan gaya menceramahi, lebih baik dia mendengar daripada mendebat.
"Iya-iya, lo benar."
Rain tersenyum melihat ekspresi kesal Liona. "Besok balik jam berapa?"
"Jam sepuluh pagi."
"Lo nggak kangen sama gue? Lamaan dikit, lah,” ucap Rain membujuk.
"Gue juga maunya gitu, Rain, tapi nggak bisa."
"Yaah...."
"Atau gini aja, liburan semester kita liburan bareng lagi. Gimana?" tanya
Liona dengan mata berbinar.
Rain mengangguk dengan semangat. "Oke! Ke mana?"'
"Swiss! Kan, negara itu udah lama pengin kita kunjungi, tapi batal
terus. Rencananya, kita bakal pergi setelah kelulusan. Tapi...." Liona tak
menyelesaikan ucapannya. Dia tidak enak karena merasa telah salah bicara.
Rain tersenyum simpul. "Gue janji kali ini nggak akan gagal lagi."
"Beneran, nih?"
"I–"
"Liona!"
Panggilan itu membuat Rain dan Liona sama-sama menoleh ke sumber
suara.
"Abang?" Liona langsung berdiri dan memeluk cowok itu.
Rain melihat cowok itu tersenyum manis.
"Gue kangen banget sama lo, Dek," ujar cowok itu.
Adik? Rain mengerti sekarang. Cowok itu ternyata kakaknya Liona.

14 Champion Class
Selama ini sahabatnya itu tidak pernah mengenalkan siapa pun pada saudara
atau keluarganya.
"Gue juga kangen sama lo," timpal Liona.
Rain dapat merasakan kehangatan dan kerinduan yang dipendam Liona
selama ini.
"Oh ya, Bang, kenalin ini teman gue yang sering gue ceritain ke elo,” kata
Liona. Lalu pandangannya beralih ke Rain. “Rain, ini Abang gue yang beda
empat tahun dari gue itu. Dia anak kesayangan dan cucu kebanggaan Oma,
padahal kuliah aja nggak."
Cowok itu langsung menjitak kepala Liona yang kemudian meringis. Dia
lalu menatap Rain.
"Tapi tenang, Rain, klubnya ada di mana-mana. Dia juga punya tempat
fitnes dan kafe. Pengusaha muda yang berjaya sih dia.” Liona terdengar seperti
sedang mempromosikan abangnya. Sampai-sampai wajah abangnya memerah
karena menahan malu.
Cowok itu mengulurkan tangan kepada Rain. "Gue Arnesh Rajendra
Sivon. Panggil aja ‘Arnesh’. Kita sebelumnya pernah ketemu—“
Rain menyambut tangan Arnesh. “Rain Denandra Razeta, panggil aja
‘Rain,” katanya menyela ucapan cowok itu. “Iya, kita pernah ketemu di toko
buku. Gue masih ingat. Lo cowok yang nawarin buku ‘How to Be Confident’
ke gue, kan?” Rain melepaskan jabatan tangan itu terlebih dahulu.
Arnesh tertawa. Ternyata, Rain mengingat pertemuan singkat mereka itu.
“Oh my God!” Liona histeris. “Jadi, sebelumnya kalian pernah ketemu?”
Dia menatap Arnesh dan Rain bergantian.
Arnesh tertawa kecil sambil mencubit pipi Liona. “Iya, kebetulan waktu
itu.”
“No, no! Nggak ada yang kebetulan di dunia ini. Itu namanya takdir.
Cie… kalian udah jodoh.” Liona terkekeh bahagia.
Rain dan Arnesh ikut tertawa.
"Jadi gimana, Bang, teman gue cantik, nggak?" goda Liona.
Arnesh menatap Rain. “Cantik banget dan sangat menarik.”
Rain tersenyum tipis. "Tapi lo nggak menarik menurut gue, Kak."
Arnesh mengangguk-angguk kecil. "Mungkin sekarang belum."
"Oh my God! Hello! Liona masih berada bersama kalian!"
Rain dan Arnesh sama-sama menatap Liona. Keduanya tersenyum sambil
menggelengkan kepala karena hampir saja melupakan Liona.

Champion Class 15
Hubungan Rain dan Arnesh semakin dekat. Bahkan Rain rela meminta izin
dari asrama sekolah demi memenuhi janjinya pada Arnesh untuk menemani
cowok itu ke RSJ—rumah sakit yang sama, tempat dia berkonsultasi
dengan psikiaternya. Kedekatan mereka membuat Arnesh tidak segan-segan
memperlihatkan sisi lain kehidupannya kepada Rain.
Rain memperhatikan Arnesh berbicara dengan seorang dokter dari
jarak jauh. Rain menghargai privasi cowok itu sehingga tidak menguping
pembicaraan mereka. Setelah itu, dia diajak Arnesh masuk ke sebuah ruangan
berpintu besi. Seorang cewek berkepang yang sedang duduk di kursi putih
menyita perhatian Rain.
"Dia... siapa, Kak?"
Arnesh menoleh ke arah Rain. "Calon tunangan gue."
Rain tidak terkejut karena Liona pernah menceritakan mengenai
perjodohan Arnesh dengan anak rekan bisnis orang tuanya. Namun, Arnesh
menolak perjodohan atas dasar utang budi itu karena psikologis calon
tunangannya terganggu.
"Namanya Chalista,” ujar Arnesh.
Rain tersenyum tipis. "Namanya cantik. Kalau gue… boleh tahu, keluarga
Kakak punya utang budi apa sama keluarga Chalista?”
“Papa Chalista seorang pengacara yang menolong keluarga gue saat di
ambang kebangkrutan. Seperti yang lo tahu, Liona pindah ke Australia karena
dia membuat masalah dengan anak klien bisnis terbesar orang tua kami. Klien
bisnis itu sangat marah dan menuntut keluarga kami. Kalau bukan karena
papanya Lista, gue nggak tahu gimana nasib keluarga gue sekarang,” terang
Arnesh.
Rain mengangguk mengerti. Dia mengetahui kronologi mengapa Liona
bisa pindah sekolah, tapi tidak pernah bertanya begitu rinci.
"Chalista," panggil Arnesh.
Rain memperhatikan Lista yang terkejut dengan kehadiran mereka. Dia
terpana ketika melihat wajah Lista dari dekat. Wajahnya kok kayak familier?
katanya dalam hati. Chalista mengingatkannya kepada Arthur.
Entah mengapa, melihat perempuan bernama Chalista di depannya
ini. Secara tiba-tiba bayangan tiga orang hadir dalam ingatan Rain. Membuat
Rain membuka matanya lebih lebar dan menelan ludahnya.
"Arthur...." lirihnya.
"Liona dan Sunny, nggak boleh sampai kayak gini."
16 Champion Class
Rain terlalu menyayangi mereka, hingga melupakan dirinya sendiri.
Saat berita tentang kakaknya Liberty tersebar, Rain langsung menyadari
bahwa Chalista atau Lista adalah kakak kandung Liberty.

"Lo, baik-baik aja?" tanya Arnesh pada Rain yang duduk di sampingnya.
Dia sangat mengkhawatirkan Rain yang baru saja pulang dari pemakaman
Bulan. Dia sebenarnya baru saja tiba di Indonesia setelah mengunjungi Liona
di Australia. Orang pertama yang dia temui adalah Rain.
"Hm, gue harus baik-baik aja," jawab Rain, walaupun dia sangat merasa
kehilangan. Dia menatap penjuru taman sebelum akhirnya menoleh pada
Arnesh. "Kak, lo beneran sekolahnya sampai SMA aja?" tanyanya.
Arnesh mengangguk. "Kenapa? Lo takut gue nggak pintar atau
nggak bisa jadi kaya karena cuma sampai SMA? Tenang aja, gue punya
banyak club dan cafe."
Rain memutar bola matanya dengan malas. "Bukan itu, gue kasih tahu aja
nih. Kalau lo emang suka sama gue, ada seseorang di hidup gue yang memiliki
prinsip Education is number one. Ya, sekaya apa pun lo, kalau lo tamatan SMA
aja, nanti lo nggak direstuin sama gue."
Kernyitan halus terlihat di dahi Arnesh. "Tunggu-tunggu, berarti lo udah
ada rasa sama gue?"
Rain mendengkus mendengar Arnesh yang terlalu percaya diri. "Belum."
Arnesh tertawa dan mengacak lembut rambut Rain. "Tenang aja, kita
kenalan dulu lebih jauh. Baru gue kasih tahu semuanya."
Rain hanya mengangguk dengan malas.
"Oh iya, gue ada titipan dari Liona buat lo!"
Rain menoleh. Mereka terus melangkah mengelilingi taman itu. "Apa? Uang? Gue mau."
Arnesh tertawa. "Dasar matre."
"Realistis kalau gue."
Arnesh tertawa lagi, tidak lama dia menyodorkan sebuah amplop cokelat
kecil ke arah Rain, membuat langkah mereka terhenti.
Rain cukup lama menatap amplop itu, lalu beralih kembali pada Arnesh,
menunggu penjelasan cowok itu.
"Gue tahu, ada seseorang yang menempati ruang tersendiri di hidup lo. Gue
tahu dari Liona. Dan sebenarnya, gue udah suka sama lo semenjak lo kenal Liona."
Alis Rain terangkat sebelah.
"Setiap gue ngehubungi Liona, dia selalu nyeritain lo, Rain. Gue udah kenal
Champion Class 17
lama lo. Walau dari cerita Liona. Gue tahu apa arti seorang Arthur di hidup lo."
Rain tersenyum simpul.
"Ini surat yang belum lama diberikan ibunya Arthur ke Liona. Dia minta
supaya Liona nyampein ini ke lo. Sorry, harus gue yang kasih. Katanya, Arthur
nulis surat ini beberapa hari sebelum kepergiannya."
Rain menatap nanar amplop itu. "Makasih, Kak."
Arnesh bergumam. Lalu, hening menyita mereka cukup lama. “Rain!
Rain, gue udah jatuh cinta sama lo."
Langkah Rain seketika berhenti, dia menoleh. "Kak—"
"Gue tahu lo berbeda. Gue tahu bahwa ada seseorang yang posisinya
nggak bisa gue gantiin. Tapi, perasaan gue selama enam tahun masih sama
sampai sekarang. Memang aneh, kenapa gue bisa suka sama lo tanpa pernah
bertemu. Tapi, mendengar tentang lo dari Liona ternyata cukup membuat gue
jatuh cinta sama lo,” ujar Arnesh sambil menatap kedua mata Rain.
Rain tersenyum simpul. "Kak, gue bisa ngertiin perasaan lo. Tapi, maaf
untuk sekarang, gue nggak bisa jawab apa-apa."
Arnesh tersenyum getir.
"Jangan pernah mencintai seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya.
Tapi kita tahu, kita nggak bisa menempatkan perasaan kepada siapa," ucap Rain
sambil menatap mata Arnesh yang teduh. "Lo bisa tunggu gue, Kak?" tanyanya.
Kernyitan halus tercetak di dahi Arnesh. "Mak—sud lo?"
"Satu tahun, gue akan pergi dan selesaikan semuanya. Setelah setahun,
kalau gue nggak ada di tempat ini lagi di waktu yang sama, tolong lupain gue,
begitupun sebaliknya. Tapi, jika kita bertemu lagi. Itu pertanda gue dan lo
yakin sama perasaan kita. Gimana?"
Arnesh tersenyum dan mengangguk. "Oke, gue akan tunggu lo kembali.
Gue pastiin, perasaan ini akan tetap sama."
Rain tersenyum, dia maju selangkah mendekati Arneh. Perlahan, tangan
Rain melingkari pinggang cowok itu. Ini adalah pelukan perpisahan sementara,
atau mungkin tidak. Mereka menunggu waktu menjawab segalanya.
Satu tahun penentuan.
Setelah ini, bukanlah akhir untuk mereka, masih banyak kisah yang akan
terus berlanjut dan harus berakhir dengan indah. Karena setelah badai, pasti
akan ada pelangi indah yang datang.

SELESAI

18 Champion Class

Anda mungkin juga menyukai