Anda di halaman 1dari 6

A KU DAN LUKA (MINIMALIST )

BY ARZK_XYN X ANONYM

Awal mula

Di dalam ruangan sunyi yang tentram, hanya disinari rembulan yang menembus masuk dari
celah tirai jendela, terlihatlah seorang gadis di sudut kamar, yang tengah menahan isak
tangisnya, dengan tubuhnya yang bergetar dan nafas yang tersenggal, air matanya terus
mengalir di kedua pipinya, ia mencoba memukul dada nya berulang kali, dan berharap rasa
sesak itu hilang barangkali. Entah apa yang ia alami sehingga membuat nya sesedih itu, dengan
jemari yang gemetar, ia mengetik sesuatu di layar ponselnya.

“Angkat, Er ...” lirihnya pelan saat telfon itu tak juga terhubung.

“Halo! Apaan, sih? Gua lagi ngumpul bareng anak-anak, gak usah ganggu, bisa gak?” Suara laki-
laki yang sangat di cintainya terdengar sangat marah, membuat isak tangisnya itu semakin
menjadi, ia memeluk dirinya sendiri membenamkan wajahnya di antara lipatan kedua
tangannya.

“Er ... hiks, sakit ...” lirihnya tersenggal-senggal, isak tangisnya memenuhi ruangan yang gelap
dan dingin mencekam, sampai ia pun terlelap di sela-sela isak tangisannya itu.

***

Gadis itu bernama Eriska Argantara, sering disapa Riska. Ia tengah sibuk mengemas buku- buku
sekolahnya ke dalam tas, mata yang sembab akibat tangisan itu menjadi bukti ia telah melewati
malam yang panjang dengan tidak mudah.

Ia menangis hebat semalaman karena sang ibu yang terus memukulinya. Hal itu dipicu karena ia
lupa mematikan kompor saat merebus air, ia bukannya sengaja lupa, tapi karna sibuk
membersihkan sepatu yang terkena hujan kemarin.

Beberapa luka memar terlihat di lengannya, memar bekas sabetan yang melintang dari siku
hingga pergelangan tangan, terlihat mengerikan dan sangat menyakitkan, namun itu hal biasa
bagi Riska terasa hanya pukulan kecil.

“Pagi, Ma,” sapanya kepada sang ibu yang tengah menikmati sarapan paginya.

Viona, ibunya itu melirik Riska sekilas ia berdehem menaruh sendok yang berbunyi nyaring dan
membuat Riska tersentak.

“Duh! Kenapa anak pembunuh kayak kamu harus selalu ada di depan saya!?” Ucapan yang
biasa dikatakan itu selalu membuat hatinya tertusuk, hingga Riska tak mampu mengeluarkan
satu kata pun dari mulutnya.

“Harusnya kamu yang mati, kenapa gak kamu aja!?”

Ibunya itu melanjutkan omelannya, “Kamu tau!? Betapa menderitanya punya anak kaya kamu!,
Gara gara kamu, Friska mati!! Kenapa justru kamu yang masih hidup!?” teriaknya keras sambil
melempar piring dan seketika pecahlah piring itu.

Dengan susah payah Riska menelan sarapan yang terasa pahit mencekik di tenggorokannya,
memang ucapan Bu Viona selalu menusuk ke dalam hatinya, menancap dengan sangat kuat
sehingga menimbulkan lubang yang mengerikan di hatinya.
“Ma! Bukan aku yang bunuh Friska! Kenapa mama gak pernah percaya sih!?” bantah Riska
bergetar karena menahan tangis.

“Ada apa sih, pagi-pagi udah ribut aja?” Seorang gadis berambut gelombang datang dengan tas
di tangannya, duduk di sisi Bu Viona yang menyambutnya dengan hangat.

“Kamu sarapan dulu, gak usah peduliin dia,” ucap Bu Viona kepada Adelia Argantara, kakak
dari Eriska Argantara. Riska mengalihkan pandangannya yang menyakitkan itu ketika Bu Viona
malah bersikap hangat kepada kakaknya itu.

“Mah. Siang nanti aku mau ke mall sama teman-teman, Mah. Pulang malem, kayaknya,” tutur
Adelia kepada ibunya.

“Ya sudah, hati-hati, yah?” balas Bu Viona lembut sambil mengusap kepala gadis itu dengan
penuh kasih sayang. Disamping itu, Riska mencengkam erat sendok di tangannya yang bergetar,
rasa pahit dan sakit menusuk kerongkongan hingga ke dalam hatinya.

Bu Viona menatap Riska dengan tajam, “Cepetan habisin makanannya! Saya gak mau lama-lama
liat kamu! Salah apa saya sampe tuhan ngasih saya anak kek kamu!?” Riska menundukkan
kepalanya dalam, dan tak terasa air matanya perlahan berjatuhan.

Begitu tega dan kejam ibunya berkata seperti itu. Semenjak kematian Friska, kembaran Riska,
meninggal akibat jatuh dari balkon, Bu Viona tak pernah menganggap Riska lagi sebagai anak
kandungnya. Karena menurutnya Riska lah penyebab kematian Friska.

“Ma. Aku berangkat,” ucap hati kecil Riska sambil mengusap air matanya dengan kasar.

Bu Viona berharap dengan dendam, “Semoga gak balik lagi.”

Bisikan itu, juga tawa kecil jahat kakaknya, membuat Riska hanya bisa terdiam. Ia mencoba
menutup matanya yang sembab dan melangkah keluar dari rumah.

Air matanya tak bisa ia bendung, bahkan sepanjang jalan ke halte bus pun ia menangis. Dan itu
membuat orang menatapnya penuh tanda tanya dan rasa iba, tubuhnya yang bergetar saat
memasuki bus, dengan perlahan ia duduk di bangku paling belakang, bersandar di kaca sambil
menggunakan earphone kecil miliknya. Suara musik yang mengalun membuat nya merasa
tenang bersamaan dengan hembusan angin pagi yang menyapa tubuhnya melalui kaca yang
terbuka, Riska menutup matanya dengan masih bersandar sehingga ia merasakan laju bus yang
mulai melambat, membuatnya mulai membuka mata.

Riska berdiri dan berjalan ke arah pintu bus, karena ia tahu sedikit lagi ia akan sampai ke halte
bus sekolah nya, dari dalam bus matanya memperhatikan anak-anak berseragam putih dengan
rok hitam di atas lutut, dipadukan blazer hitam dengan logo sekolah mereka. Hingga pada
saatnya bus benar-benar memberhentikan lajunya, Riska pun bergegas turun dari bus, lalu
tersenyum manis sambil menghirup udara pagi yang segar untuk mengisi paru-parunya yang
terasa kosong.

“Ris!” ucap seorang gadis cantik bertubuh lebih pendek dan berisi, dengan rambut panjang
bergelombang yang berlari ke arahnya. “Mata lo kenapa, Ris?” tanya nya heran saat melihat
mata Riska yang bengkak.

“Biasa kurang tidur, gua keasikan begadang baca novel,” Riska berbohong padanya, karena
selama ini tak ada yang tahu masalah keluarganya.
“Jangan dibiasain ih! Entar mata lo rusak!” omel gadis itu.

Namanya Mutia Grethania, atau biasa di sapa Muti, salah satu sahabat karib Riska sejak kecil
sampai sekarang. Namun meskipun begitu, Muti tak pernah tahu tentang keluarga Riska.

Suara derum motor yang mudah dikenali membuat Riska menoleh. Hatinya seketika sakit saat
melihat Erlangga, pacar yang paling dicintainya itu datang bersama dengan seorang cewek yang
tak lain adalah sahabatnya sendiri, Amanda Maheswari atau sering disapa Manda.

Manda tampak turun dari motor Erlangga, lalu menghampiri Riska dan Muti dengan senyuman
manisnya. Namun, itu justru semakin membuat hati Riska retak.

“Ciee. Berangkat bareng pacar temen sendiri,” sindir Muti sambil melirik tajam ke arah Manda.

“Sorry ya, Ris. Habisnya ban motor gua kempes. Jadi, barengan sama Erlangga,” ucap Manda
kepada Riska. Manda tak mengubris sindiran Muti, serta memegang tangan Riska dengan
tatapan memelas.

Riska hanya mengangguk sambil memperhatikan Erlangga yang menghampiri teman-temannya


dan bukan dia, yang sedari tadi tersenyum manis berharap Erlangga menghampirinya.

Cinta memanglah buta dan tuli. Namun,jika sudah terluka, maka tak ada yang dapat mengobati
itu selain dari diri sendiri (Anonym. 2022).

“Eh Ris! Ee ... hari ini pelajaran fisika, ya?” tanya Muti pada Riska. Riska mengangguk perlahan.
“Mampus gua, belum ngerjain tugas,” balas Muti panik sambil mengusap kasar rambutnya dan
mengambil kaca untuk melihat kembali penampilannya. “Cantik banget gua!” kagum Muti pada
dirinya.

“Mut! Mendingan lo salin tugas gua deh! Daripada kena hukum Bu Sabrina?” ucap Riska sambil
menyodorkan buku yang disambut dengan penuh semangat oleh Muti.

“Makasih sahabatku yang paling cantik!” sahut Muti dengan wajah yang berseri-seri.

“Riska!” Merasa namanya terpanggil, membuat Riska menoleh ke arah suara itu. Ia tersenyum
bahagia saat melihat Erlangga di depan kelasnya, baginya laki-laki itu tampak tampan
menggunakan hoodie hitam ditambah dengan rambut yang acak-acakan.

“Iya, kenapa?” tanyanya girang menghampiri Erlangga.

“Nih ... aku beliin susu pisang kesukaan kamu.” Erlangga menyodorkan susu pisang kesukaan
Riska, yang membuat Riska merasa sangat senang.

“Makasih.”

“Yasudah. Aku ke kelas dulu, kamu yang semangat belajarnya,” ucap Erlangga sambil mengusap
lembut kepala Riska, lalu kembali ke kelasnya.

***

Murid-murid IPA 1 berhamburan masuk ke dalam kelas dengan seorang guru wanita yang
berjalan di belakang mereka. Perlakuan Erlangga menurut Riska manis membuat gadis itu
kembali merasa kuat. Terkadang ia merasa sangat lelah bahkan ingin putus namun saat
Erlangga memperlakukannya dengan manis, hatinya kembali luluh.

“Assalamualaikum. Selamat pagi anak-anak!” ucap Bu Sabrina Yovanca selaku guru fisika.
“Waalaikumussalam. Pagi, Bu,” sahut mereka serentak.

Mata tajam guru wanita yang terkenal galak itu menyapa ke dalam kelas memperhatikan satu
per satu murid di dalamnya. Mereka yang di tatap pun langsung menunduk dan pura-pura
sibuk.

“Baiklah. Mari kita mulai pelajarannya. Buka halaman 87 bab 5, di situ tertulis tentang vektor
dalam fisika” ucap Bu Sabrina kepada murid nya.

“Apa itu vektor dalam fisika?” tanyanya kepada para murid yang terdiam.

Karena tak ada yang menjawab, maka Bu Sabrina menjelaskannya. “Vektor adalah salah satu
jenis besaran pada fisika yang memiliki nilai dan arah. Fenomena fisika yang termasuk ke dalam
besaran vektor yaitu, kecepatan, percepatan, gaya, momentum dan lainnya,” tuturnya sambil
menulis sesuatu di papan tulis yang terlihat seperti angka-angka dan garis-garis.

Seisi kelas terdiam menyimak sambil mencatat materi pelajaran yang tengah dijelaskan.
Termasuk Riska, ia tampak serius mencatat sambil mengangguk. Memang, pelajaran ini terasa
agak sulit baginya. Tapi, ia tetap berusaha untuk menguasai fisika dan berharap ibunya bisa
sedikit bangga dengannya.

Tak terasa waktu sangat cepat berlalu. Namun Bu Sabrina tampak masih semangat mengajar
hingga ia selesai menjelaskan, lalu ia duduk.

“Bagaimana, apa kalian mengerti?” tanya Bu Sabrina kepada murid-muridnya.

“Mengerti, Bu,” sahut pelan muridnya yang terlihat mengantuk dan beberapa juga yang sibuk
mencoret coret buku.

“Apa ada pertanyaan?” tanya Bu Sabrina sekali lagi kepada muridnya, mereka menggeleng
saling menatap seolah memberi sinyal untuk tetap tutup mulut.

Tiba-tiba muncul pertanyaan. “Bu, PR dari ibu bagaimana?” ucap Aurelia Ketlovly yang biasa di
sapa Aurel, salah satu murid IPA 1. Serontak semua pasang mata tertuju kepadanya.

“Huuu!! Caper!!” seru satu kelas menyorakinya.

“Diam!!” teriak Bu Sabrina sambil memukul meja dengan keras dan berdiri, membuat seisi kelas
terdiam membisu, mata tajamnya memperhatikan satu per satu, tatapan tajam itu seperti
menguliti mereka hidup-hidup.

“Siapa yang tidak senang dengan tugas dari saya!?” tanyanya lantang, namun tidak ada
sahutan.

“Kenapa kalian diam!? Bukankah tadi kalian menyoraki Aurel dengan keras !?” lanjut Bu
Sabrina.

“Yaelah bu! Yaudah sih, tinggal kumpulin aja tugasnya, jangan dibikin ribet!” sela Wira Keanu
Winata, atau di kenal dengan sapaan Wira, seorang murid yang berani menyahut Bu sabrina
serta membuatnya geram.

“Wiraaa!! Kamu jangan kurang ajar, ya!?” bentak Bu Sabrina kesal, Wira yang duduk paling
belakang hanya menggeleng dan menghela nafas kasar mendengar bentakan itu.
“Sekarang juga, Ibu minta kamu keluar dari kelas ini!!” teriaknya menggelar membuat seisi
kelas terperanjat.

Dengan santainya Wira bangun dan berjalan ke arah luar, tak ada raut ketakutan di wajahnya,
dan tak lama kemudian ....

Ting! Tong!!

Baru saja selangkah ia keluar, sakelar bel sudah berbunyi membuatnya berbalik masuk ke kelas
dengan cengiran di wajahnya.

“Silahkan ... ibu yang keluar,” ucapnya berani, membuat Bu Sabrina menatapnya tajam.

“Kumpulin tugasnya sama Riska, dan bawa tugasnya ke kantor saya” ucap Bu Sabrina kesal.

“Baik Bu” sahut semua murid secara kompak.

Dengan wajah muram, Bu Sabrina keluar dari kelas membuat tatapan semua murid
mengekorinya sehingga tak lagi terlihat.

“Gila lo ya, Wir! Hampir aja kita dapat masalah,” ucap Muti kepada Wira sambil merapihkan
rambutnya.

“Halah! Cuman Bu Sabrina doang?” ucap Wira dengan santai.

“Kalau bukan gara-gara si Aurel, gak bakal Bu Sabrina inget itu PR!” kesal Aditya Mahendra
mengebrak meja Aurel yang langsung berseru mencacinya.

“Ris! Kantin, yuk?” ajak Muti.

“Lo duluan aja ke kantin, nanti gua nyusul,“ ucap Riska sambil mengangkat tumpukan buku
yang membuatnya meringkis merasakan tangannya yang berdenyut sakit.

“Bisa gak, Ris?” tanya Yudi Adijaya berdiri sesaat di samping Riska.

“Bisa kok, Yud!” sahut Riska sambil bergegas keluar kelas.

***

Riska melangkahkan kakinya menuruni tangga perlahan karena ruangan guru adanya di lantai
dasar, dan tumpukan buku yang di bawanya membuat ia kesulitan berjalan.

“Ih! Gak tau diri lo, Nikung. Temen sendiri ...” samar-samar ia mendengar suara gaduh di lorong
olahraga membuatnya menghampiri kesana.

Terlihat Manda dan beberapa anak yang sebagian Riska kenal. Di depan Manda ada Nurul dan
Cindy, anak dari kelas IPA 2 mereka terlihat sedang memaki Manda.

Awalnya Riska ingin menghampiri Manda. Tapi ia segera mengurungkan niatnya saat melihat
Erlangga sudah berada disana dan menarik Manda ke belakangnya, seolah melindungi gadis itu
membuat hati Riska terasa sakit. Tak mau ambil pusing Riska pun bergegas ke tujuan utamanya,
ruang guru.

***

Bagian,2 sakit?

(To Be Continue)

Anda mungkin juga menyukai