Anda di halaman 1dari 9

Meredup

Sebuah cerpen karya Rheyvanda Shevta Ersananda ( Punyanya Farhann)

Meredup
Rheyvanda s.e

Seperti tak ada celah yang membiarkan setitik cahaya itu masuk
menyinari bagai bintang di langit mendung . Bahkan tak pernah terbesit
terang yang dulu akan redup dan gelap menggerogoti duniaku. Senyap,
nampak seorang tergeletak di atas ranjang dengan tatapan kosong pertanda
ia sedang bergulat dengan memori mengerikan yang tak kunjung hilang.
♪♪♪
Pagi itu tepat saat pergantian hari di mulai , adalah awal baru yang ku
tunggu. Dering alarm yang sedari tadi mengacaukan dimensi dimana aku
bisa bebas menempatkan siapa saja dalam alur ceritaku sudah berhenti
berbunyi. Perlahan kubuka mataku, sayup-sayup terdengar suara sorakan
ramai di jalan. Suara petasan dan terompet yang saling beradu gaduh .
Berbagai macam bau asap mengepul mengudara. "Selamat tahun baru "
tulis mereka di setiap unggahan. Ya, ini adalah awal tahun yang dinantikan
banyak orang setelah melelahkannya tahun kemarin. Berbagai peristiwa
sudah mencapai puncaknya tinggal harapan 'semoga jauh lebih kuat'.
Suara ketukan pintu tanpa henti mengajakku bangun dan segera
menyetujui pernyataan apapun yang disampaikan.
"Kakk bangun! ayo makan bareng, mamah sama papa udah beli sosis
dan teman-temannya tu" ucap seorang gadis mungil berusia 8 tahun
dengan pakaian tidurnya. Dia adalah adikku Alisha namanya gadis mungil
yang selalu kuat menghadapi apapun yang ia alami, adik yang paling ku
sayangi. Akan ku buat siapa saja ikut menangis jika dia membuat adik
kecilku ini bersedih.
"Hoamm" aku menguap sembari berjalan gontai menuju pintu untuk
membukakannya.
Kulihat gadis mungil itu setia menunggu dengan mata berbinar tak sabar.
Langsung saja ku gendong ia di punggungku. Tampak dari kejauhan
seorang wanita sedang menyiapkan berbagai macam peralatan makan.
"Eh kakak uda bangun yuk kita rayain pergantian tahun ini " ucap nya
penuh semangat
"Iyaa mah , em papa mana mah ?" tanyaku sambil melirik ke segala arah.
"Papa lagi beli sesuatu tadi katanya ada yang ketinggal " jelas mama
padaku
Tak lama kudengar suara mesin berhenti di depan pintu masuk diikuti
langkah kaki. Tangan kanan kirinya menggenggam beberapa kantung
plastik besar yang tentu jika mengintip isinya pasti adikku sangat
kegirangan.
Benar saja tak butuh waktu lama beraneka macam jajanan kesukaan
Alisha sudah membanjiri meja makan.
Dengan mata berbinar Lisha mengeluarkan satu persatu jajanan yang
berdominan rasa coklat itu. Tak butuh waktu lama baginya untuk menata
semua dengan rapi.
"Yey makasiii papa" serunya
"Iyaa jangan lupa berbagi dengan kakakmu" pinta ayah sambil tersenyum
manis.
Waktu berlalu dengan cepat tak terasa kami sudah berkumpul memasuki
sepertiga malam. Suara gaduh kian memudar.Tak ada lagi sorakan
menghitung angka penanti pergantian hari.
♪♪♪
Terlihat di sudut ruangan, meja yang dipenuhi album foto sudah tak
karuan tata letaknya. Bau menyengat menguasai seisi ruangan. Obat
berserakan dimana-mana. Kasur yang sudah tak bersahabat dengan kain
pelapisnya dan alas kepala sudah terlepas dengan isinya.
Merenung dan terus mengamuk seolah semesta tak adil padanya. Semesta
yang selalu menjadi teman bercerita kala ia sedang terpuruk berdiskusi
dengan diri. Semesta kau jahat rupanya! apa kau sudah lelah mendengar
semua keluh kesahku hingga kau lakukan ini agar aku tak mengadu lagi?
Maafkan aku jika aku terlalu banyak mengadu. Sungguh tak ada yang bisa
menjadi pendengarku selain kau dan diriku.
♪♪♪
Seperti biasa aku sudah siap untuk pergi menimba ilmu di sekolah
terakhir sebelum memasuki dunia mahasiswa. Dengan ranselku aku
bergegas menuju meja makan sebentar untuk menikmati apapun yang
telah mama siapkan.
"Kak sini kak makan bareng Lisha" pintanya sambil memundurkan kursi
kosong di sebelahnya.
"Wah makasih banyak adikku yang jelek" ucapku sambil tertawa.
"Ish kakakk, Lisha cantik tau" rengeknya dengan mulut manyunnya.
Seketika tawa kami pecah menyaksikan tingkah laku Lisha. Dengan
cepat aku mengambil nasi beserta lauknya sebelum ditinggal pergi jauh
oleh waktu yang enggan menunggu.
^^^
Seusai melakukan hal rutin tersebut, aku segera pamit dan melanjutkan
tujuan ku pagi ini.
"Eh pagi Vero , bawa bekal ga? Laper nih" sapa seseorang sambil
menepuk pundakku, siapa lagi kalau bukan Rena. Dia adalah sahabatku
sejak kecil. Gadis periang yang selalu lapar dimana pun dia berada.
"Masi pagi Ren , ga sarapan emang?" Tanyaku heran.
"Tadi cuma makan roti sama sereal" Keluhnya sambil memegangi perut.
"Astaga, itu perut atau karung?"
"Ye masa pertumbuhan wajar dong"
Candaan di pagi itu membuatku percaya tak akan ada hal mengejutkan
hari ini, semua akan baik-baik saja. Setengah hari sudah berjalan dengan
lancar akhirnya bel kedua yang selalu ditunggu Rena berbunyi. Tentu ia
akan mengeluarkan kalimat wajibnya saat mendengar bel tersebut.
"Ver kantin yukk" ajak Rena sambil berusaha membangunkan ku dari
tempat duduk.
"Duluan deh mau ke perpus dulu ni balikin buku sekalian pinjem"
tolakku menunjukkan buku yang telah usai kulahap.
"Yee kutu buku dasar, baca buku ga bikin kenyang Vero ih yauda dehh
duluan kalau gitu"
Perlahan Rena menghilang dilahap kerumunan orang dari berbagai arah.
Di sela kerumunan itu terlihat seseorang yang sangat familiar. Seseorang
yang selalu muncul di setiap dimensi masalalu. Bagai disambar petir di
siang bolong aku melihatnya tak seorang diri. Memori kala itu meluap tak
karuan meninggalkan rasa sesak yang tak bisa ku kendalikan. Ku coba tak
memperdulikan lalu bergegas ke tempat tujuan awalku. Seusai dari sana
aku menuju tempat favoritku, dimana aku bisa bebas bercerita dengan
semesta.
"Semesta aku lelah sekali, sungguh mengapa mimpi buruk itu muncul di
hadapanku, susah payah aku melupakan kenangan indah yang ternyata
hanya semu" keluhku dengan tetesan air mata yang terus menderas. Entah
mengapa aku kembali merasakan sakit setelah sekian lama. Memori
menyakitkan membanjiri pikiranku.

Kututup rasa sesak itu setelah rasa lega muncul karena sudah berkata
benar terhadap apa yang ku rasakan. Tak ada lagi rasa kecewa dan semua
yang tidak mengenakkan semua sudah baik-baik saja.
^^^
Selepas hari itu rasaku kembali normal tak ada lagi siksaan memori
menyakitkan itu. Tahun berlalu begitu cepat dan aku masih tetap setia
bercerita dengan semesta tentang apa yang terjadi dalam hariku. Kini aku
sudah ada di semester ketiga sebelum siap bertempur dengan dunia kerja
setelah usai dari sini.
Di malam yang dingin hari itu terdengar suara pecahan kaca diikuti
tangis dan rasa amarah. Bukan suasana yang pernah terbesit di benakku.
Sama sekali tak pernah ku bayangkan hal semacam ini akan terjadi.
Terdengar sangat jelas suara yang meninggi dan tangis yang pecah tak
karuan. Berusaha kututupi telinga Lisha dengan tanganku agar ia tak
trauma dan mendengar suara suara mengerikan yang mungkin akan
terjadi. Pipiku dan Lisha basah, kami menangis tersedu-sedu.
"Tinggalkan kami jika kau memilih bersama orang yang sedari dulu kau
anggap sahabat" ucap wanita yang ternyata tak tahan menahan semua rasa
sakit itu sendirian sejak dua tahun lalu, setelah ia tau lelaki yang paling ia
sayangi ternyata bukan lelaki yang sedari dulu sikapnya ia semogakan
dalam doa.
"Maafkan aku, aku akan bawa Vero dan Lisha" bantah lelaki yang selalu
ku panggil dengan sebutan papa.
"Jangan egois! Kau sudah membuat pikiranku tak karuan sekarang kau
ingin aku sendiri?, Mereka adalah harta yang selalu menjadi alasanku
masih percaya padamu sejak dua tahun lalu" isakan tangis pecah
menyelimuti.
^^^
Setelah kejadian suram yang begitu pedih, kini sudah sangat jelas
keputusan yang mereka ambil. Papa pergi meninggalkan kami dan mama
tetap menjaga kami seorang diri. Satu tahun berlalu mama turut
meninggalkan kami karena sakit yang di deritanya. Tentu papalah yang
menyebabkan mama pergi jauh sekarang. Beban yang ia tanggung karena
kepergian suami tercintanya dan memikirkan anak bungsunya yang
menanggung rasa sakit karena penyakit sejak berusia 5 tahun. Kini hanya
tinggal aku dan Lisha. Kepergian mama dan papa membuat Lisha tak lagi
menjadi gadis periang.
"Tenanglah Lisha , kakak ga akan ninggalin kamu sendirian, kita pasti
selalu bersama akan kubawa kamu mencari kebahagiaan lain" tuturku
pada Lisha saat ia sedang merenung di taman belakang rumah tempat
favorit kami bermain.
"Kak Lisha takut, Lisha gamau kakak ikut pergi dan tinggalin Lisha,
mereka jahat kak kenapa mereka tinggalin kita kalau mereka sayang hiks
hiks" tangisnya tersedu-sedu. Aku memeluknya hangat, air matanya
membasahi punggungku , Masih terlalu dini anak seusia Lisha
menanggung hal ini. Benar akan ku buat ia bahagia selamanya.
Hari-hari kami jalani bersama walau hanya secuil kebahagiaan yang
bisa kuberi untuk adik kecilku yang kini sudah remaja. Benar aku tak bisa
memberi kehangatan sehangat yang mama dan papa berikan untuk kami,
tapi akan selalu ku usahakan apapun demi adikku.
Siang itu langit sedikit mendung tak bersahabat, ini adalah Hari
Minggu. Hari dimana seharusnya menjadi hari yang dinanti jika keluarga
kami masih utuh, sayang kini hanya hayalan belaka. Aku dan Lisha hanya
bercengkrama di dalam rumah. Mendengar ocehan Lisha yang mulai ceria
hatiku terasa hangat walau masih terasa rongga sesak mengingat hal-hal
buruk itu.
^^^
Bulan demi bulan sudah berganti tinggal menunggu waktu maka
semua urusanku menimba ilmu selesai sudah. Tinggal mempraktikkan
semua ilmu yang telah ku serap dalam otak. Kini yang ada di benakku
hanya memikirkan cara membahagiakan Lisha sampai ia lupa dengan
semua yang terjadi.
Siang itu aku pulang lebih awal karena mata kuliahku sudah berakhir.
Tak lupa aku membelikan kue coklat kesukaan Lisha baru-baru ini.
Dengan semangat aku bergegas tak sabar menuju rumah dan melihat
ekspresinya.
"Lisha kakak pulang, ni bawa kue banyak, bukain pintu dongg"
suaraku yang bersemangat meminta Lisha menuruti perintahku. Namun,
tak ada jawaban dari Lisha. Karena khawatir aku terus mengetuk pintu
mungkin saja ia sedang tertidur. Sudah setengah jam aku berada di luar
berusaha mencari jalan masuk untuk mengecek keadaan Lisha. Aku
kehabisan akal tak ada pilihan lain selain memecahkan jendela samping.
Bergegas aku masuk mencari keberadaan Lisha. Ku temukan gadis itu
tergeletak di lantai dengan wacah pucat.
"Lisha bangun sayangg!Lisha Lisha kita ke rumah sakit sekarang"
ucapku tergesa-gesa. Sesampainya di rumah sakit Lisha segera di tangani
oleh tenaga medis. Satu jam , dua jam aku menunggu di depan ruangan
yang membuat semua orang cemas saat berada di sana. Pintu terbuka
segera ku hampiri dokter dan menanyakan kondisi adikku.
"Dok bagaimana Lisha? Dia baik baik saja kan dok?" Tanyaku cemas
tak sabar.
"Apakah Lisha rutin mengkonsumsi obat?"
"Selaku saya pastikan dok tak pernah satu hari pun telat meminum
obatnya" jelasku ya benar Lisha masih mengkonsumsi obat selama ini.
"Maaf Vero Lisha tak bisa tertolong lagi karena penyakit yang ia derita
sudah menggerogoti tubuhnya , ia sudah tersiksa selama ini, sudah
saatnya ia tenang, kami sudah mengusahakannya namun nyawanya tak
tertolong karena keterlambatan" jelas dokter memberi tau apa yang sudah
terjadi
"Hiks ga mungkin hiks Lisha pasti bisa , Lisha hiks" seduku.
Hari berikutnya adalah hari pemakaman Lisha, aku masih tidak
menyangka akan semua ini. Lisha di makamkan di dekat makam mama.
Terlihat papan bertuliskan nama Lisha di atas gundukan tanah. Kini hari
hariku begitu sepi bahkan sangat sepi tak ada semangat apapun yang
muncul dari diriku hanya gelap dan suram yang ku alami.
"Maafkan kakak mah, Lisha" penyesalan ku setiap saat.

Selesai~

Anda mungkin juga menyukai