Anda di halaman 1dari 5

Mengenang Ayah

Cerpen Ismawati Ahmad


“Ibu menyayangimu, nak” Perempuan itu merancau lagi. Hampir dua bulan dia selalu
murung. Tapi hari ini ia merasa sangat bahagia. Sedari semalam ia selalu mengulangi kata-
kata yang sama dan cerita dengan alur yang sama. Hampir-hampir ia tak pernah pergi dari
tempat duduknya sepanjang hari. Yang ia kerjakan hanya bercerita. Rumahnya juga sudah
sangat bau. Campuran bau bawang, tai kucing dan darah menyatu menjadi bau yang tak bisa
ditahan. Tapi perempuan itu tahan. Ia tahan selama berhari-hari disana.
“Ayahmu adalah orang yang tinggi tegap, kulitnya putih dan berbulu. Kau pasti
sangat mirip dengannya. Ya, dapat ku pastikan kau sangat mirip, Nak.” Ia terus bercerita
dengan menghadap segala arah. Seolah-olah rumah kecil itu bisa berubah warna dan tempat.
“Dulu, ibu sering sekali di datangi ayahmu kemari. Kami terus saja membicarakanmu.
Kami berdebat kau akan mirip siapa. Ibu selalu mengalah karena ibu sangat mencintainya.
Ibu biarkan saja dia membayangkan kamu sangat mirip dengannya” tawanya lepas, terdengar
ringan dan renyah.
“ibu bertemu dengannya saat ibu di kampus dulu. Duh, saat itu ayahmu sangat
menawan. Ia datang dengan gaya laki-laki modern saat itu. Ibumu yang cantik ini tentulah
juga kepincut dengannya. Siapa yang tahan dengannya. Badan tegapnya membuat ibu merasa
berjalan dengan polisi. Aman dan terlindungi” ada hening yang masuk disela cerita, diam
yang tanpa arti. Tak ada yang bisa membaca pikiran dan arti garis wajah wanita itu.
“Dia datang dengan sangat pelan. Maksud ibu, dia datang bukan bermaksud
mendatangi ibu. Dia datang sebagai teman yang baik. Yang dengannya ibu dapat
menumpahkan segala perasaan ibu. Ayahmu juga demikian. Ia sering bercerita tentang
bagaimana ia mencintai gadis-gadisnya. Bayangkan, Nak. Ayahmu sangat penyanang. Siapa
kira dibalik tegap dan sigap badannya, ia mampu mencintai dengan sangat sempurna. Meski
waktu itu yang ia cintai bukan ibu, tapi dari cerita-ceritanya, ibu tahu ia sangat penyayang.
Oh, ayahmu, Nak” Ia tersenyum dan melihat sekeiling. Tembok yang terkelupas, pecahan
piring dan gelas karena kucing dan anjing bebas berlarian, serta kaca yang mengembun dan
menyublim sangat sering, hingga diatasnya tumbuh semacam jamur yang berbentuk noda tak
beraturan. Perempuan itu melihat semuanya. Satu persatu dan tersenyum.
“Kami berteman sangat lama. Sampai kami lupa bahwa kami tengah berteman.
Sebenarnya dulu ibu mempunyai pacar. Dia baik dan sangat tampan. Kau boleh menyebutnya
paman, Nak. Pamanmu sangat menyayngi ibu. Dia tak akan pernah membuat ibu menangis.
Ia tak tega melihat air mata ibu jatuh setitikpun. Dia juga sangat taat beragama. Dengannya
ibu selalu di ingatkan untuk sembahyang dan berdoa. Saat makan ia akan memimpin doa dan
ia akan memastikan makanan itu baik untuk ibu. Karenanya, ia selalu menyuap pertama kali.
Saat ia yakin makanan itu baik, Ia akan memerintahkan ibu untuk memakannya. Dulu ibu
pikir dialah yang akan menikahi ibu. Tapi kau ada disini sekarang, jadi ibu tidak menyesal
meninggakannya”
“Pamanmu orang baik. Ibu sering menangis sendiri saat ibu meninggalkannya sendiri
di ruangan itu. Saat itu, ibu telah tahu kau ada. Sebagai perempuan, ibu tidak akan tenang jika
menikahi orang terlalu baik seperti dia. Sebagai perempuan, kadang ibu juga butuh hidup
yang tidak tertebak. Dengannya hidup ibu terlalu teratur, Nak. Ibu tak suka. Dia terlalu
menganggapku lemah. Padahal ibu tidak merasa lemah dan sangat merasa kuat. Jadi ibu
memilih meninggalkannya.
Ia tak pernah membiarkan ibu melakukan pekerjaan ibu. Katanya laki-laki lebih kuat
dan bertanggung jawab memelihara kelembutan tangan perempuan. Ibu tak di izinkannya
bekerja untuk kesenangan ibu. Padahal ibu sangat senang berpikir dan bekerja. Jika pamanmu
jadi menikahi ibu, pastilah sekarang ibu sudah menjadi perempuan yang sangat cantik dan
lembut kulitnya. Ia tak akan membiarkan ibu terpapar sinar matahari walau sedetikpun. Ia
akan bekerja keras untuk melindungi ibu. Pamanmu baik, Nak. tapi ibu meninggalkannya.
Kau harus tetap menyebutnya paman. Bagaimanapun, ia juga turut andil dalam
kehidupanmu. Maksud ibu, dia sudah sangat lama menemani ibu. Selama tiga tahun ia setia
dan melabuhkan hatinya hanya untuk ibu. Tidak ada yang lain di hati dan pikirannya.
Semuanya untuk ibu. Karena dia baik, maka kau harus tetap memanggilnya paman. Mungkin
suatu hari ia akan kerumah kita. Dan tentu saja kau harus bersikap hormat padanya. Ibu akan
menhargai itu.”
Perempuan itu tiba-tiba diam. Ia terlihat mengamati sekelilingnya. Beberapa saat
kemudian suara gaduh terdengar di salah satu sisi rumah. Sang perempuan menjerit-jerit. Ia
tidak terlihat takut. Tapi mungkin ia hanya ingin menjerit, dan suara gaduh itu adalah
perantaranya untuk menjerit. “Siapa itu bangsat? Jangan dekati saya lagi. Bangsat kau..”
suara gaduh itu hilang. Perempuan yang tadi berteriak-teriak juga diam. Ia kembali merancau.
“tenang, jangan takut. Ibu disini. Siapapun tak berhak menyakitimu. Siapapun tak
akan bisa melukaimu. Siapa saja yang akan melukaimu akan kubunuh. Akan kubunuh mereka
semua”
Perempuan tadi berdiri. Setelah berjam-jam hanya duduk dan merancau. Ia bangun
juga. Ia menenangkan sesuatu yang ada di tangannya. Sambil sesekali menciuminya.
Genggamannya penuh darah entah dari mana. Ia mengoyang-goyangkan diri. Ia
meninabobokan apa yang tengah ia peluk. Pelan sekali. Perempuan itu sangat bahagia.
Sunggingan senyum dari bibir kotornya adalah bukti bahwa ia tengah menyayangi sesutatu.
Atau seseoraang.
“Ssssst, kau sudah aman dipelukanku. Tidak ada yang akan menyakitimu” setelah
merasa cukup, ia duduk kembali ke posisi semula. Menggeletakan apa yang ia baru saja
pegang. Kemudian tidur disampingnya dan menggerai-geraikan rambutnya keatas seolah-
olah rambutnya bisa terbang. “lihat, rambut ini sangat disenangi ayahmu. Ia sangat senang
mencium rambut ibu. Katanya rambutku selalu harum. Ia menyukainya.” Diciuminya
rambutnya sendiri seperti menciumi kenangan manis disuatu masa.
Hening itu datang lagi. Kepalanya tiba-tiba kosong tak berisi apapun. Yang ia ingat
hanya masa ketika laki-laki tegap dan putih itu menciuminya di segala tempat. Bahkan ia
pernah mencuri-curi waktu menciumi bibirnya di saat sedang kuliah dengan dosen yang
sangat pemarah. Betapa perempuan itu sangat menikmatinya. Rasanya, memiliki rambut yang
disenangi laki-lakinya adalah hal terindah yang ia bisa rasakan.
Ia menatap langit-langit rumah sederhana itu. Rasanya, baru kemarin ia tertawa-tawa
dengan kekasihnya di bawah langit-langit itu. Mereka bercumbu-cumbu sampai petang.
Setelah petang mereka tak bercumbu-cumbu lagi. Mereka menutup pintu kamar dan tak
keluar lagi sampai esok pagi. Apa yang dipikirkan perempuan itu tidak perah diketahui
orang-orang. Dia hanya tinggal dengan bayangannya sendiri.
“Tapi ayahmu tak senang kau ada disini” perempuan itu diam lagi. Tak lama setelah
itu, suara gaduh itu datang lagi. Perempuan yang sedari tadi terlhat tenang mulai terihat
gelisah. Suara gaduh itu makin riuh. Ia sangat ketakutan. Bukan takut dicelakai jiwanya,
namun takut apa yang ia paling sayangi disakiti.
Perempuan itu mundur dari tempat duduknya. Ia mencari-cari tembok di belakannya
sambil memeluk bungkusan putih. Ia terus berjalan sambil duduk. Tangan kirinya memeluk
erat bungkusan putih, sedang tangan kanannya mencari-cari tembok di belakanngnya.
Perempuan itu tak jua menemukan sandaran. Sementara suara Gaduh makin riuh saja
terdengar.
Ia panik. Ia ingin menangis. Tapi ibu tak boleh menangis. Ibunya juga tak pernah
menangis. Jadi ia rasa, seorang ibu tak boleh menangis. dadanya ingin meledak. Ia tak tahu
lagi ketakutan apa yang paling menakutkan dari suara gaduh itu. Kata ibunya dulu, kalau ia
takut pada sesuatu, ia harus menghadapinya. Manusia adalah makhluk paling kuat dan tak
terkalahkan.
Perempuan itu setuju jika ketakutan harus dihadapi. Tapi ia tak pernah setuju
mengatakan manusia adalah makluk paling kuat. Ia merasa manusia adalah makhluk paling
pasrah. Manusia menggantungkan diri pada takdir tanpa tahu esok ia akan menjadi apa.
Manusia hanya hidup sehari. Ia tak pernah tahu esok hari ia akan menjadi apa. Sedangkan
ayam sudah pasti jadi kentucky atau opor. Kangkung pun demikian, ia sudah terbiasa melihat
kawannya direbus dan menjadi sayur wajib di warteg. Sedang manusia. Terlalu banyak
kemungkinan yang akan terjadi padanya.
Ada yang mati disungai terseret arus. Ada yang sukses sampai bisa membeli apapun.
Ada yang miskin sampai harus memungut sisa makanan dari tong sampah. Ada yang suka
makan apel. Ada yang berselingkuh dengan pacar orang. Ada yang sukses dari jeri payah
orang tua. Ada juga yang berdiri di kaki sendiri walau harus berdarah-darah menanggung
beban hidup. Kehidupan manusia serba tidak pasti. Ketidakpastian adalah satu-satunya
ketakutan yang tak bisa dikalahkan. Sama ketika perempuan itu mendengar suara gaduh.
Suara gaduh itu adalah ketidakpastian yang kejam.
Ia tak tahu apa yang diinginkan suara gaduh darinya. Ia tak tahu apakah suara gaduh
di depan sana membawa petaka atau keberuntungan. Ketidakpasian memang adalah satu-
satunya kemelaratan yang diturunkan untuk manusia. “Pergi kau bangsat” perempuan itu
mulai berteriak. “jangan dekati rumah ini lagi. Bangsat kau. Pergi. Jangan kemari lagi. Jauhi
rumah ini. Dirumah ini tidak pernah ada apa-apa” Ia mengatakannya dengan menjerit-jerit
ketakutan. Air matanya meleleh di pipi kotor tempat darah kering menempel itu.
Suara itu makin dekat. Sementara perempuan yang tadi berteriak makin menjadi-jadi.
“tolong jangan mendekat. Jangan mendekat tolong” suara lantangnya perlahan-lahan
mengecil dan parau. Ia sudah sangat ketakutan dan putus asa. Manusia memang dilengkapi
dengan alat sensor yang canggih. Ketika kau ketakutan, sensor berbunyi di dalam dadamu.
Dadamu akan bergetar hebat yang kemudian tiba-tiba mencekik lehermu. Kemudian suara
akan tiba-tiba hilang dan sensor terakhir yang akan tersisa adalah otak. Jika kau percaya
bahwa ketakutan itu bisa kau lewati, maka otak tak akan berhenti. Jika tidak, kau akan
terkulai lemas. dan tak sadarkan diri.
“Jangan dekat-dekat. Pergi menjauh. Pergi!” wanita itu meronta lagi. Suara yang
sedari tadi menganggunya kini ada di depan mata.
“Jangan sakiti saya. jangan sakiti saya. jangan sakiti saya” kata-kata itu tetap
dirapalkan. Suara yang sedari tadi ditakutinya makin dekat. “Ambil apa saja yang kau mau.
Tapi jangan sakiti saya” Perempuan itu menyodorkan satu-satunya benda yang ada di
tangannya.
“Jangan sakiti saya. ambil saja. Ambil saja!” katanya semakin panik. Suara itu sangat
dekat dari tangan perempuan itu. Sampai ia tak tahu lagi harus berbuat apa. “Ya. Kau ambil
saja. Tapi jangan dekati saya lagi. Saya takut” suara itu kini di depan mata. Wanita itu dengan
cepat melemparkan sesuatu dari tangannya ke sembarang arah. Ia tahu bahwa suara itu tak
menginginkanya, suara itu hanya menginginkan apa yang sedari tadi di bawanya.
Suara itu menjauh. Perempuan tadi sedkit tenang. Ia tak lagi di dekati suara yang ia
takuti. Ia melihat asal suara-suara itu menjauh dan mendekati sesuatu yang dilemparnya tadi.
Ia lega. Ia tenang karena ketakutan tak lagi menyelimutinya.
Ada bau darah yang kemudian mengalir dari titik suara berasal. Ada wangi kematian
dan kesedihan yang di bawa oleh suara-suara yang kemudian menjauh. Perempuan itu
terdiam. Matanya kembali basah lalu kemudian pipi dan seluruh wajahnya juga basah. Ia
melihat suara itu kini berbentuk nyata. Ia menyeret gumpalan berbentuk darah di mulut yang
ditumbuhi gigi graham yang kuat. Pipi perempuan itu kembali dialiri air. Hanya basah. Tanpa
raungan, teriakan atau suara apapun. Ia hanya ingin menangis. basah dan diam.
“Anakku dimakan anjiiiing.. Anakku dimakaaan anjiiingg”
Lembar 2015

Biodata Penulis
Ismawati Ahmad. Lahir di Ampenan, 18 September 1993.. Belajar penulisan kreatif di
Departemen Sastra, Komunitas Akarpohon, Mataram.
No.HP : 085237042822. Fb : Ismawati Ahmad.

Anda mungkin juga menyukai