Anda di halaman 1dari 4

Jendral Ace

Cerpen Karya Ismawati Ahmad

Kamar nomor 312 itu terbuka. Aroma khas AC tercium diseluruh penjuru kamar.
Kamar ini cukup luas. Table set, kasur ukuran double, lemari gantung, dan sebuah meja kerja
tak membuat kamar ini sesak. Gorden warna abu dengan aksen garis putih juga membuat
kamar yang baru kumasuki ini terlihat lebih terang.
Henri keluar dari kamar mandi. Sebelum kemari, ia memang sudah memesanku untuk
langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Aku kira ia sedang istirahat. Tapi ternyata ia sedang
membersihkan diri. Rambutnya adalah bagian tubuh yang paling aku cintai. Dalam hal
apapun, rambut semi ikal itu selalu membuatku luluh. Pada rambut itu, ada wangi yang
datang dari sesuatu yang sangat purba.
Sudah enam tahun kami tak pernah bertemu. Aku pikir aku akan melupakan wangi
khas rambutnya setelah sekian lama kami tak pernah saling mengunjungi. Tapi ternyata aku
ingat, hafal telak. Rambutnya juga belum beruban sedikitpun, meski bagian tubuh lainnya
banyak berubah. Aku tetap jatuh cinta dengan rambutnya
Enam tahun yang lalu. Saat usia kami sedang bergairah untuk saling mencumbu. Usia
emas untuk manusia merayakan kemerdekaan tubuhnya. Aku saat itu 27. Henri 29. Saat
hubungan yang kami bangun sejak kuliah harus berakhir karena aku harus segera menikah.
Wanita memang harus menikah agar Tuhan tidak kecewa, karena wanita diciptakan untuk
diluruskan oleh laki-laki. Itu selalu yang dikatakan ibu.
“Kau membawanya?” Bau khas itu semakin mendekat
“Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu aku tak pernah bermain lagi”
“Sudah kuduga. Aku tadi mampir ke toko ATK. Aku membeli satu”
“Dengan gambar Spongebob?”
“Haha. Hanya ada ini. Aku tak mau mengambil Disney atau tokoh kartun cantik
lainnya”
Kami penggemar permainan kartu. Permainan jendral selalu menjadi pilihan pertama.
Permainan jendral cukup mudah. Aku senang berhitung dan membaca kartu lawan. Dengan
begitu aku tahu harus mengeluarakan atau memancing lawan dengan kartu apa. Aku senang
bermain kartu, selain mengasah kemampuan logikaku, bermain kartu juga bisa membawaku
ke masa saat kami dekat dulu.
“Kita akan mulai sekarang?” Aku meletakan tas di meja kerja mungil yang terletak di
depan ranjang berukuran double.
“Aku tak mengajakmu kemari untuk seharian bermain kartu.”
“Atau tidak juga untuk terus-menerus bermain permainan yang lain. Jam terbang kita
berbeda”
“Orang-orang terus saja meremehkan laki-laki yang tidak menikah” Henri melangkah
ke table set, menyalakan pemanas air elektrik dan segera kembali ke ujung ranjang. Aku
berada di ujung lainnya.
“Bagaimana kabar Lusi?”
“Baik. Apa kamu masih senang menanyakan hal yang tak kau pedulikan?”
“Aku menghadiahkannya kalung dua tahun lalu. Apa dia memakainya?”
“Ya. Tentu. Dia memakai pemberianmu. Sampai sekarang. dia terlihat cantik dengan
kalung yang kau pilihkan”
“Sukurlah. Kau harus memikirkan untuk segera mencari wanita sungguhan selain
anjing betina itu.” Tak ada jawaban apapun.
“Apa kau tak akan bertanya apapun? Setelah enam tahun kita tak bertemu?” Aku
melanjutkan percakapan.
“Bagaimana rasanya menaiki anak tangga sampai lantai paling atas lalu melewati
koridor panjang untuk sampai di kamar 312 yang kau tahu disana ada lelaki yang enam tahun
tak pernah kau temui?”
“Tidak segugup waktu aku membukakanmu pintu gerbang rumahku lalu menuntunmu
memsuki kamarku dini hari silam.”
Henri terkekeh. Giginya dihinggapi kerak asap rokok. Bibirnya juga tak semenarik
saat kami perama kali saling menggigit. Dulu ia lelaki dengan dada bidang dan perut rata.
Pantas banyak sekali perempuan yang menerorku dengan surat kaleng di depan kamar
indekos dulu. Sepuluh tahun lalu, motor bebek masih merupakan barang mewah. Tidak
semua mahasiswa dikampusku yang punya bebek. Tapi Henri, dengan ketampanan sempurna
selalu naik bebek dan aku duduk di belakang sambil melingkarkan tangan ke perut ratanya.
Waktu banyak mengubahnya. Perutnya sudah tidak rata lagi. Jeansnya bahkan terlihat
mengikat perutnya dengan kencang. Pun juga dadanya, ada banyak lemak yang menyebabkan
dadanya terlihat menggantung. Lemak itu bahkan terlihat ketika memakai baju sekalipun.
Aku sedih ia sudah tak setampan dulu, kecuali bau khas rambut yang selalu kucintai. Sekilas
aku berpikir, sepertinya memang aku kemari hanya untuk wangi khas yang membuatku ingin
kembali kemasa lalu lagi...
“Kau tak pernah berolah raga?”
“terakhir setahun yang lalu bersama Lusi”
“Bagian lenganmu sudah bergelambir. Sebaiknya kamu berolah raga dengan rutin”
“Kita bisa berolah raga di ranjang kalau kau mau”
“Mari bermain kartu...”
Aku segera mengambil kartu dengan gambar Spongebob itu. Lucu sekali jika kami
harus bermain dengan kartu bergambar Spongebob pada usia hampir kepala empat. Tapi ini
lebih baik dibanding mendengar dia harus tetap meminta permainan lainnya. Aku mulai
mengacak kartu dengan trik-trik khusus. Dia senang melihatku mengacak kartu tidak dengan
biasa.
“Kau masih memainkan trik itu...”
“Aku biasa memainkan trik yang berbeda pada orang yang juga berbeda. Kau tahu
itu”
“Wanita kejam”
Tanganku terus mengacak kartu sampai aku merasa itu cukup. Aku membagi kartu
menjadi empat bagian. Permainan ini memang hanya bisa dimainkan dengan empat pemain.
Tapi dengan Henri aku biasa memainkannya berdua. Kami mengacak kartu menjadi empat
bagian dan akan kami mainkan dalam dua sesi. Tidak mungkin kami membaginya menjadi
dua. Kartu akan mudah tertebak.
Aku membaginya secara random. Mengambil satu teratas dan satu terbawah untuk
satu kali bagi pada tiap sisi bagian. Teknik membagi kartu dengan random atas bawah
membuat kartu yang didapat sulit ditebak. Selalu banyak kejutan dengan pembagian random
atas bawah. Aku menyukainya. Meski Henri merasa ketika aku membagi dengan random atas
bawah ia selalu mendapatkan kartu mati.
“Jangan membagi dengan cara itu ah..”
“Kamu akan tahu kemampuanmu di saat-saat sulit seperti ini”
“Kamu akan selalu menang meskipun kartu itu kau acak random atau lain sebagainya
yang kau mau”
“Justru karena itu...”
Kartu sudah terbagi menjadi empat bagian. Masing-masing akan mendapat 13 kartu
yang belum diketahui. Sedangkan empat kartu joker tidak terpakai dalam permainan jendral.
Joker hanya terpakai di beberapa permainan kartu khusus. Kami tak memainkan jenis
permainan kartu apapun kecuali permainan jendral.
Aku mendapat kartu yang tak cukup bagus. Kartu tertinggiku adalah Jack keriting,
jack hati, dan jack wajik. Posisi ini berbahaya karena terdapat banyak anak buah dimasing-
masing jenis kartu. Aku memulai permainan lebih dulu karena aku punya tiga keriting.
“Sepertinya aku akan kalah. Sama seperti pertama kali kita bermain hampir sepuluh
tahun lalu. Aku kalah pada permainan pertama” Aku ingat, dulu ia sangat pintar bermain
kartu. Bukan hanya membaca. Bahkan ia bisa memprediksikan hampir seluruh kartu dengan
hanya melihatku mengacaknya.
Henri kemudian mengeluarkan empat keriting yang juga kulawan dengan enam
keriting. Ia tersenyum kemudian mengeluarkan king keriting. Aku menggeleng. Dan ia
kembali mengeluarkan kartu. Kali ini tris empat. Aku sebenarnya punya tris jack. Tapi terlalu
pagi untuk melawan. Aku ingin bertahan dulu. Aku kembali menggelang. Lalu ia
mengeluarkan banyak kartu. Saat kartu di tangannya tersisa empat buah, aku mulai melawan.
Tris jendral, tris enam pengikut tiga, empat sekop, delapan sekop dan aku mengakhiri
permainan dengan angka terbesar. Dua sekop.
Sesi pertama selesai. Kami kembali mengambil kartu untuk memainkan sesi kedua.
Aku punya hak untuk mengeluarkan kartu lebih dulu karena memenangkan permainan sesi
pertama. Sama seperti sesi sebelumnya. Henri melawan dengan menyerang, sedangkan aku
melawan dengan bertahan. Aku tetap memenangkan sesi kedua, ketiga, keempat sampai sesi
kedelapan. Setiap sesi baru dalam permainan, Henri semakin ingin mengalahkanku dengan
terus-menerus menyerang. Aku tetap memilih bertahan untuk menang.
“Katamu kau tak pernah bermain sejak enam tahun lebih” Henri melepaskan pakaian
yang menempel di badannya. Lemak-lemak di dadanya ternyata lebih banyak dari yang
kukira. Ia kemudian beranjak dari ranjang dan membuat secangkir kopi di table set.
“Ya. Betul sekali. aku pernah membeli kartu. Tapi suamiku tak bisa bermain. Ia lebih
suka tenis meja”
“Permainanmu tidak seperti permainan orang kaku”
“Ada dua kemungkinan...”
“Kau mengasah permainanmu dari fantasi kemudian menjadi pintar? Begitu?”
“Atau alkohol telah membuatmu bodoh”
Henri tak menjawab. Ia meneguk kopi dengan santai lalu meletakkannya lagi ke table
set. Aku juga tetap tenang karena aku tahu ia bukan laki-laki yang cepat tersinggung. Ia juga
pasti mengenalku dengan baik. Aku tak akan menyakiti orang lain dengan sengaja. Ia tak
bergeming. Matanya sibuk memperhatikan mataku, leherku, tanganku, rambutku, tas yang
ada di meja kerja mungil itu, sedangkan tangannya sibuk mengacak kartu untuk permainan
selanjutnya.
“Aku tak akan pernah menang” Henri terlihat payah.
“Aku tak akan menghalangi kemenanganmu, Hen”
“Kalau aku kalah pada sesi ini, aku tidak akan bermain lagi. Seumur hidupku”
Aku menanggapinya dengan tersenyum sembari melihat bagian kartu dari permainan
sesi pertama yang kudapat. Tujuh, delapan, sepuluh dan ace keriting. Delapan, sepuluh, dua
dan ace wajik. Sembilan, king dan ace hati. Serta queen dan ace skop. Kartu yang sangat
menguntungkanku. Bahkan dengan sekali jalan aku bisa menuntaskan permainan. Aku
memegang jendral aceAku mulai dengan kartu tujuh keriting yang dilawan dengan sembilan
pada kartu yang sama. aku segera mengeluarkan angka sepuluh masih pada kartu yang sama.
Henri menyeringai kemudian mengakhiri kartu keriting dengan angka terbesar. Dua. Kini
Henri memegang permainan pertama. Senyumnya mengembang. Bahkan ia sempat
memperbaiki posisi duduk yang berarti semangtnya bermain telah pulih.
Ia mengeluarkan tris lima. Aku diam. Aku tak punya kartu tris. Ia mengeluarkan kartu
lagi. Kali ini tiga hati. Aku mengeluarkan sembilan dengan kartu yang sama. lalu dilanjutkan
dengan Queen hati. Aku mempunyai kartu yang paling tinggi untuk menyelesaikan
permainan. Tapi aku masih ingin bermain. Aku tak mengeluarkan kartu apapun. Henri makin
bersemangat mengeluarkan kartunya. Kartunya tersisa tujuh. Kartuku sembilan. Ia
mengelurkan enam sekop. Aku diam. Lalu tujuh sekop. Aku masih menggeleng. Senyumnya
masih lebar lalu mengeluarkan jack dan king sekop secara bersamaan. Aku punya kartu
teratas. Jika aku mengeluarkannya, aku akan mengakhiri permainan dengan mendaratkan
jendral ace. Tapi aku diam.
Henri melanjutkan bermain dengan queen hati. Aku tak melawan. Lalu kemudian
king dan queen wajik ia keluarkan secara bersamaan. Itu adalah kartu terakhir Henri. Aku
tersenyum. Ia terkikik besar sekali. Besar sekali. Ia kemudian berdiri setengah meloncat dan
menggenggamkan tangan lalu mengepakannya ke udara seolah ingin memberitahu bahwa ia
akhirnya menang.
“Kau menang” Aku tersenyum sambil meletakkan kartuku yang tersisa.
“Ya. Sudah kukatakan. Aku masih seperti yang dulu. Lihat. Hanya butuh beberapa
kali pemanasan” dadanya yang bergelambir sesekali bergoyang saat ia bergerak.
Ia mencoba melihat kartuku yang tersisa. Tapi aku alihkan perhatiannya dengan
memainkan beberapa trik mengacak kartu. Ia tertawa gambira. Gembira sekali sampai kami
memutuskan untuk istirahat dan menghentikan permainan. Ia tertidur dengan dengkuran yang
sangat keras di ujung kasur. Aku juga mencoba memejamkan mata di ujung kasur lainnya.
***
Mars, 23 April 2016

Biodata
Ismawati Ahmad. Lahir di Ampenan, 18 September 1993. Belajar penulisan kreatif di
Departemen Sastra, Komunitas Akarpohon, Mataram.
No.HP : 085237042822

Anda mungkin juga menyukai