Anda di halaman 1dari 9

Sepak Bola dan Senja 

Itu

Setiap hari, suara cempreng anak umur 10 s/d 12 terdengar memanggil nama temannya,
berdiri persis di depan pagarnya disusul dengan kalimat, “main yuuuuk!”

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak menyaut. Mereka tak kehilangan akal. Dipencetnya bel
rumah teman yang dipanggil agar terdengar, atau berbarengan dengan teman yang
lainnya, memanggil nama yang bersangkutan agar terdengar lebih kencang. . . .

Satu per-satu anak muncul di taman sebesar 2x lapangan futsal, disusul suara bola yang
dihentakkan ke aspal jalanan di sekitar taman. Semakin siang dimulainya, semakin
baik, pikir kami. Setelah berkumpul, kami dibagi menjadi 2 tim. Salah satu dari kami
pasti selalu mengusahakan agar yang jago tidak dengan yang jago agar permainan
dapat lebih seru.

“Mana sandal lu? Sandal gue udah dipake di gawang sana.” Suaranya yang agak nge-
bass membuat ia tidak seperti anak-anak seumurannya.“Nih,” jawab Ilham sambil
mencopot sandal jepit swallow biru-nya.

“Oke, sekarang kita ke sana, gambreng, ya!”

Dikumpulkannya anak-anak yang bermain di taman itu untuk kemudian


diajak gambreng. Ia menghitung anak yang ada di situ, tetapi…. Ah, kelebihan satu,
pikirnya.

“Kelebihan satu, nih, orangnya. Kalo begitu, gue sama Dhika, Gema, hmm.. sama Adit.
Sisanya di gawang sana.” Sambil menunjuk pohon yang dijadikan salah satu tiang
gawang dengan sandal menjadi penanda tiang transparan satunya. Meskipun ada akar-
akar yang cukup besar di sekitar permukaan pohonnya, kami tidak terlalu
menghiraukan. Dimulainya pertandingan ditandai siulan priwitan dari Adna. Sampai
pada tengah permainan..

PRANGGGG!

“Waduh! Kabur enggak, nih?” Tanya Ado sambil membenarkan celana Quiksilver
pendeknya yang kedodoran karena kebesaran.

“Enggak usah, palingan nenek gue cuman marah-marah bentar terus kita bisa main lagi,
tenang aja,” kata Adit. Mimiknya terlihat seperti memikirkan bagaimana reaksi
neneknya yang keluar dari rumahnya setelah bola yang dipakai untuk bermain
mengenai potbunga rawatannya.
Tak lama kemudian, engsel pintu rumah Adit terlihat bergerak ke bawah disusul
langkah gegap gempita dari dalam. Tanpa kami disadari, neneknya sudah berada di
belakang pagar hitam rumah Adit, menghadap ke arah kami. Nenek Adit menggunakan
daster bunga-bunga, rambutnya dikuncir. Hiasan kalung dan gelang emas terlihat
dipakainya.

“HEH, TONG! Siape yang nendang tadi?!”

Hening.

“Ngaku, enggak?! Kalo enggak ngaku bolanya gua ambil, nih!” semakin teriak Nenek
Adit kepada kami.

Kemudian Dhika memecah keheningan di antara kami yang hanya melongo melihat
nenek Adit mengoceh tiada henti. Dengan ekspresi muka yang panik, ia bilang “Eh,
ngaku buruan, ngaku! Ntar bola gue diambil besok kita enggak bisa main, nih.” Walau
Dhika tahu siapa yang menendang, tetapi ia sungkan untuk menyuruh penendang
mengaku.

Setelah Dhika berbicara, berlari kecil dari belakang, Tian dengan gagah langsung
mendekati pagar rumah Adit yang persis di seberangnya, bola tergeletak. Tanpa basa-
basi dan melihat nenek Adit yang berjarak kurang dari satu meter, ia langsung
mengambil bola, berbalik badan, berlari kecil menuju arah kami, meloncati selokan, dan
kembali area bermain. Sementara nenek Adit masih mengocehi kami yang bukan
seperti memarahi tetapi terlihat seperti memantrai.

Sepak bola senja itu kami lanjutkan kembali. Setiap dari kami bermain tak beralaskan
kaki. Ada rasa nyaman dan puas ketika menendang bola tanpa alas kaki. Walaupun
sesekali tersandung batu, tertancap duri tanaman, atau beradu tulang kering yang
menyebabkan memar, tidak mengurungkan niat kami untuk tidak beralaskan kaki.

Sering, anak lain seumuran kami tanpa diundang. Datang dan bermain di sekitaran area
bermain bola yang terdapat ayunan dan besi untuk bergelantungan, dan berharap
diajak bermain. Tak jarang juga, kami bermain tanpa menghiraukan anak yang baru
muncul itu.

“Ada yang kenal, nggak?” Tanya Galuh sambil menengok ke anak yang baru datang.

Semua menggelengkan kepala. Kemudian permainan dilanjutkan kembali.

Biasanya, setelah kami bermain selama seminggu berbarengan, salah satu dari kami
akan mengusulkan untuk ngadu (sparing) dengan blok lain. Di komplek ini, setiap blok
mempunyai taman yang memang digunakan untuk bermain sepak bola dengan
permukaan area bermain bola yang berbeda-beda. Kebetulan, blok D, tempat kami
bermain, bermain bola di rumput.

“Gimana kalo kita ngadu ke bloknya Ega di blok B?” tanya Dikha.

“Boleh aja, sih. Cuman pada mau kaga? Kan di sana aspal, bukan rumput. Tapi enak,
sih, ada gawang aslinya,” jawab Ilham disusul langkahnya sambil memakai sandalnya
yang telah selesai dipakai untuk gawang-gawangan.

Kami melihat satu dengan yang lainnya sambil mengangguk, menandakan setuju saja
dengan apa yang dikatakan Ilham.

Matahari pun mulai mengumpatkan dirinya. Sering kali salah satu dari kami dipanggil
paksa oleh bibi asuh (pembantu) untuk pulang. “Sebentar lagi kan, Maghrib! Ntar kalo
maghrib-maghrib masih main diculik kolongwewe, lho!” teriak bibi asuh Jason kepada
kami yang masih duduk santai di tengah area bermain bola untuk sekedar
mengistirahatkan kaki setelah ia menyuruh Jason pulang yang daritadi hanya bermain
di ayunan. Rasa penasaran kami akan diculik dan rasa takut
pada kolongwewe bercampur jadi satu yang berujung pada selesainya permainan sore
itu dibarengi selesainya adzan maghrib.

Satu per satu dari kami kembali pulang ke rumah. Kesepian ke-tiga jalan menuju taman
itu diramaikan oleh suara kami yang membicarakan apa yang telah terjadi pada
permainan bola tadi, atau sekedar menanyakan kaset PlayStation apa yang ingin
dimainkan nanti malam. 

“Besok main lagi nggak, Yan?

“Main. Lu panggil gue aja, ya,” jawab Tian.

Saya mengangguk.

Tian berjalan belok kanan ke rumahnya, saya berjalan belok ke kiri, menuju rumah dan
sesekali menatap langit. Langit, rasa, dan jalan sembilan tahun lalu dengan hari ini,
sama sekali tak berubah.

Sesampainya di depan pagar rumah, Ibu saya bertanya sambil membukakan pintu,
“Lho, Dek, tumben, nggak naik mobil bareng papa?” Tanpa menjawab, saya semakin
tersadar, bahwa saya baru pulang sehabis shalat maghrib di masjid, bukan setelah
bermain bola, senja itu.
1.STRUKTUR :
1.Pengenalan Situasi Cerita:
Setiap hari, suara cempreng anak umur 10 s/d 12 terdengar memanggil nama
temannya, berdiri persis di depan pagarnya disusul dengan kalimat, “main yuuuuk!”

Sekali, Dua kali,Tiga kali,Tidak menyaut. Mereka tak kehilangan akal. Dipencetnya bel
rumah teman yang dipanggil agar terdengar, atau berbarengan dengan teman yang
lainnya, memanggil nama yang bersangkutan agar terdengar lebih kencang. . . .

Satu per-satu anak muncul di taman sebesar 2x lapangan futsal, disusul suara bola yang
dihentakkan ke aspal jalanan di sekitar taman. Semakin siang dimulainya, semakin
baik, pikir kami. Setelah berkumpul, kami dibagi menjadi 2 tim. Salah satu dari kami
pasti selalu mengusahakan agar yang jago tidak dengan yang jago agar permainan
dapat lebih seru.

2.Pengungkapan Peristiwa:
“Mana sandal lu? Sandal gue udah dipake di gawang sana.” Suaranya yang agak nge-
bass membuat ia tidak seperti anak-anak seumurannya.“Nih,” jawab Ilham sambil
mencopot sandal jepit swallow biru-nya.

“Oke, sekarang kita ke sana, gambreng, ya!”

Dikumpulkannya anak-anak yang bermain di taman itu untuk kemudian


diajak gambreng. Ia menghitung anak yang ada di situ, tetapi…. Ah, kelebihan satu,
pikirnya.

“Kelebihan satu, nih, orangnya. Kalo begitu, gue sama Dhika, Gema, hmm.. sama Adit.
Sisanya di gawang sana.” Sambil menunjuk pohon yang dijadikan salah satu tiang
gawang dengan sandal menjadi penanda tiang transparan satunya. Meskipun ada akar-
akar yang cukup besar di sekitar permukaan pohonnya, kami tidak terlalu
menghiraukan. Dimulainya pertandingan ditandai siulan priwitan dari Adna. Sampai
pada tengah permainan..

PRANGGGG!
3.Menuju adanya Konflik:
“Waduh! Kabur enggak, nih?” Tanya Ado sambil membenarkan celana Quiksilver
pendeknya yang kedodoran karena kebesaran.

“Enggak usah, palingan nenek gue cuman marah-marah bentar terus kita bisa main lagi,
tenang aja,” kata Adit. Mimiknya terlihat seperti memikirkan bagaimana reaksi
neneknya yang keluar dari rumahnya setelah bola yang dipakai untuk bermain
mengenai potbunga rawatannya.

Tak lama kemudian, engsel pintu rumah Adit terlihat bergerak ke bawah disusul
langkah gegap gempita dari dalam. Tanpa kami disadari, neneknya sudah berada di
belakang pagar hitam rumah Adit, menghadap ke arah kami. Nenek Adit menggunakan
daster bunga-bunga, rambutnya dikuncir. Hiasan kalung dan gelang emas terlihat
dipakainya.

4.Puncak Konflik:
“HEH, TONG! Siape yang nendang tadi?!”

Hening.

“Ngaku, enggak?! Kalo enggak ngaku bolanya gua ambil, nih!” semakin teriak Nenek
Adit kepada kami.

Kemudian Dhika memecah keheningan di antara kami yang hanya melongo melihat
nenek Adit mengoceh tiada henti. Dengan ekspresi muka yang panik, ia bilang “Eh,
ngaku buruan, ngaku! Ntar bola gue diambil besok kita enggak bisa main, nih.” Walau
Dhika tahu siapa yang menendang, tetapi ia sungkan untuk menyuruh penendang
mengaku.

Setelah Dhika berbicara, berlari kecil dari belakang, Tian dengan gagah langsung
mendekati pagar rumah Adit yang persis di seberangnya, bola tergeletak. Tanpa basa-
basi dan melihat nenek Adit yang berjarak kurang dari satu meter, ia langsung
mengambil bola, berbalik badan, berlari kecil menuju arah kami, meloncati selokan, dan
kembali area bermain. Sementara nenek Adit masih mengocehi kami yang bukan
seperti memarahi tetapi terlihat seperti memantrai.

Sepak bola senja itu kami lanjutkan kembali. Setiap dari kami bermain tak beralaskan
kaki. Ada rasa nyaman dan puas ketika menendang bola tanpa alas kaki. Walaupun
sesekali tersandung batu, tertancap duri tanaman, atau beradu tulang kering yang
menyebabkan memar, tidak mengurungkan niat kami untuk tidak beralaskan kaki.

Sering, anak lain seumuran kami tanpa diundang. Datang dan bermain di sekitaran area
bermain bola yang terdapat ayunan dan besi untuk bergelantungan, dan berharap
diajak bermain. Tak jarang juga, kami bermain tanpa menghiraukan anak yang baru
muncul itu.

“Ada yang kenal, nggak?” Tanya Galuh sambil menengok ke anak yang baru datang.

Semua menggelengkan kepala. Kemudian permainan dilanjutkan kembali.

Biasanya, setelah kami bermain selama seminggu berbarengan, salah satu dari kami
akan mengusulkan untuk ngadu (sparing) dengan blok lain. Di komplek ini, setiap blok
mempunyai taman yang memang digunakan untuk bermain sepak bola dengan
permukaan area bermain bola yang berbeda-beda. Kebetulan, blok D, tempat kami
bermain, bermain bola di rumput.

“Gimana kalo kita ngadu ke bloknya Ega di blok B?” tanya Dikha.

“Boleh aja, sih. Cuman pada mau kaga? Kan di sana aspal, bukan rumput. Tapi enak,
sih, ada gawang aslinya,” jawab Ilham disusul langkahnya sambil memakai sandalnya
yang telah selesai dipakai untuk gawang-gawangan.

5.Penyelesaian:
ami melihat satu dengan yang lainnya sambil mengangguk, menandakan setuju saja
dengan apa yang dikatakan Ilham.

Matahari pun mulai mengumpatkan dirinya. Sering kali salah satu dari kami dipanggil
paksa oleh bibi asuh (pembantu) untuk pulang. “Sebentar lagi kan, Maghrib! Ntar kalo
maghrib-maghrib masih main diculik kolongwewe, lho!” teriak bibi asuh Jason kepada
kami yang masih duduk santai di tengah area bermain bola untuk sekedar
mengistirahatkan kaki setelah ia menyuruh Jason pulang yang daritadi hanya bermain
di ayunan. Rasa penasaran kami akan diculik dan rasa takut
pada kolongwewe bercampur jadi satu yang berujung pada selesainya permainan sore
itu dibarengi selesainya adzan maghrib.
Satu per satu dari kami kembali pulang ke rumah. Kesepian ke-tiga jalan menuju taman
itu diramaikan oleh suara kami yang membicarakan apa yang telah terjadi pada
permainan bola tadi, atau sekedar menanyakan kaset PlayStation apa yang ingin
dimainkan nanti malam. 

“Besok main lagi nggak, Yan?

“Main. Lu panggil gue aja, ya,” jawab Tian.

Saya mengangguk.

Tian berjalan belok kanan ke rumahnya, saya berjalan belok ke kiri, menuju rumah dan
sesekali menatap langit. Langit, rasa, dan jalan sembilan tahun lalu dengan hari ini,
sama sekali tak berubah.

Sesampainya di depan pagar rumah, Ibu saya bertanya sambil membukakan pintu,
“Lho, Dek, tumben, nggak naik mobil bareng papa?” Tanpa menjawab, saya semakin
tersadar, bahwa saya baru pulang sehabis shalat maghrib di masjid, bukan setelah
bermain bola, senja itu.

2.Unsur Kebahasaan:
1.Kalimat Bermakna Lampau:
1.Langit, rasa, dan jalan sembilan tahun lalu dengan hari ini, sama sekali tak
berubah.

2.Urutan Waktu:
1. Dikumpulkannya anak-anak yang bermain di taman itu untuk kemudian
diajak gambreng.

2. . Mimiknya terlihat seperti memikirkan bagaimana reaksi neneknya yang keluar dari
rumahnya setelah bola yang dipakai untuk bermain mengenai potbunga rawatannya.
3.Tak lama kemudian, engsel pintu rumah Adit terlihat bergerak ke bawah disusul
langkah gegap gempita dari dalam.

3.Kata Kerja Yang menggambarkan Peristiwa Yang Terjadi:


1. memanggil nama temannya, berdiri persis di depan pagarnya disusul dengan
kalimat, “main yuuuuk!

2.Kesepian ke-tiga jalan menuju taman itu diramaikan oleh suara kami yang
membicarakan apa yang telah terjadi pada permainan bola tadi

3. atau sekedar menanyakan kaset PlayStation apa yang ingin dimainkan nanti


malam. 

4.Kata Kerja Kalimat Tak Langsung: -


5.Kata Kerja Yang menyatakan sesuatu Yang Dirasakan:
1. Sementara nenek Adit masih mengocehi kami yang bukan seperti memarahi tetapi
terlihat seperti memantrai

6.Dialog(Kalimat Langsung):
1. “HEH, TONG! Siape yang nendang tadi?!”,Hening.

2. “Main. Lu panggil gue aja, ya,” jawab Tian.

3. “Lho, Dek, tumben, nggak naik mobil bareng papa?”


4. “Gimana kalo kita ngadu ke bloknya Ega di blok B?”, tanya Dikha.

5.“Boleh aja, sih. Cuman pada mau kaga?, Kan di sana aspal,


7.Kata sifat untuk menggambarkan tokoh,tempat,atau
suasana:
1. Dhika memecah keheningan di antara kami yang hanya melongo melihat nenek Adit
mengoceh tiada henti.

2.Dengan ekspresi muka yang panik, ia bilang “Eh, ngaku buruan, ngaku!
3. Satu per-satu anak muncul di taman sebesar 2x lapangan futsal.

Anda mungkin juga menyukai