Anda di halaman 1dari 8

Cerita Ambulans Malam, Danyang, Dan Misteri Gudang Tua

Karya : Wana Maulini Parazian

Malam kali ini tidak ada yang keluar dari rumah, semua warga menutup rapat-rapat
pintu, jendela, dan semua celah-celah yang memungkinkan adanya lubang-lubang kecil
sekalipun. Malam ini benar-benar seram, diiringi pula dengan suara gonggongan keras para
anjing yang menyalak. Lamat-lamat pula, terdengar keras suara ambulans yang memekakkan
telinga. Suara itu kian terdengar hingga banyak anak-anak di kampung itu meronta-ronta
karena kesurupan. Para orang tua bergegas mengambil daun bidara yang dipercayai dapat
mengusir makhluk halus.

Hanya dengan merendam daun bidara dalam air, mereka berharap anak mereka yang
kesurupan cepat tersadarkan. Pasalnya, sirene dari ambulans yang terdengar itu memang selalu
membuat keributan di kampung itu meskipun para anak sudah menutup telinga mereka dengan
kapas.

"Aaaa ...." Kembali terdengar suara teriakan dari satu rumah ke rumah lainnya berbunyi.

-0o0-

"Perkenalkan seorang gadis berambut panjang, dengan baju putih yang juga panjang
hingga menutupi kaki atau dia sendiri memang tidak memiliki kaki," suara Nenek tua yang
sedang memberikan maklumat kepada anak-anak.

"Namanya siapa?" tanya Dea dengan raut wajah penuh penasaran.

"Namanya Danyang, sering orang di kampung kita menyebutnya hantu Danyang. Ialah
penunggu ambulans malam yang berkeliling kampung beberapa tahun lalu, kemudian
menewaskan banyak anak-anak yang kesurupan hingga gila." Nenek tua itu tetap bercerita
dengan nada seramnya.

Dea, Zali, dan Eko melirik satu sama lain, masih saja Nenek tua itu menceritakan cerita
lama yang menjadi sejarah itu. Mereka hendak tertawa, tetapi mereka tahan karena tidak ingin
membuat Nek Sebun bersedih hati. Nek Sebun, merupakan salah satu wanita tertua yang
katanya menjadi saksi bisu dari teror ambulans malam itu. Entah, kepastian cerita itu masih
membingungkan, sebab tak ada bukti pasti yang dapat menguatkan jikalau ambulans itu ada.
Tak ada bangkai; maupun jejak mengenai ambulans itu.

"Terus di mana Danyang itu?" Zali bertanya dengan antusias.

"Tidak ada yang tahu, dia menghilang setelah banyak anak yang mati. Konon katanya,
dia pergi ke daerah lain untuk mencari mangsa lainnya. Mungkin juga akan kembali jikalau
anak-anak di kampung ini akan ramai seperti dulu," tutur Nek Sebun.

"Aduhhh ... Eko takut, Nek," ujar Eko dengan nada bercanda sambil menahan tawanya.

"Husss! Jangan main-main kamu, Eko. Siapa tahu Danyang itu akan kembali lagi." Dea
menepuk pundak Eko.

"Entah, apalah kamu ini," timpal Zali.

Eko hanya tersenyum geli dengan cengiran khas miliknya. Sementara Dea dan Zali hanya
memainkan bola matanya malas.

"Yasudah, Nek. Kami mau pulang dulu," kata Zali.

"Tunggu selesai azan magrib dahulu, pemali jika anak-anak jalan pada jam segini,"
nasihat Nek Sebun.

"Baiklah, Nek," ucap Dea diikuti anggukan kepala dari Zali dan Eko.

-0o0-

Malam bulan purnama, menjadi malam keyakinan bagi warga kampung bahwa
ambulans malam dan Danyang akan datang. Lampu-lampu yang menerangi seluruh jalanan
dipadamkan lebih awal dari biasanya, anak-anak yang baru pulang dari masjid disuruh cepat-
cepat masuk ke dalam rumah, serta tidak ada lagi orang tua yang bekerja lembur.

Layaknya orang tua kebanyakan, Dea, Zali, dan Eko diminta untuk pulang lebih awal
setelah bermain di lapangan dekat dengan gudang tua. Konon, gudang tua itu bisa meraung-
raung tanpa waktu yang pasti. Tapi, opini yang beredar di masyarakat juga mengatakan bahwa
bulan purnama merupakan saat gudang tua akan berbunyi. Itulah, yang menjadi asal muasal
terbitnya ide untuk menunggu sambil bermain di sekitaran gudang itu secara diam-diam.
Mereka bahkan sengaja memperlambat waktu dengan terus bermain tanpa mengindahkan
pesan dari orang tuanya.

Ni ... no ... ni ... no ... ninooo .... Sirene ambulans yang tiba-tiba terdengar di telinga Dea.

"Kalian dengar?" tanya Dea.

"Dengar apa?" tanya Zali balik.

"Iya, benar. Aku dengar! Aku mendengar suara perutku yang sudah lapar!" Teriak Eko
histeris.

"Dasar bocah! Bukan itu, suara sirene itu!" Dea menunjuk arah gudang tua.

"Jangan bohong, Dea. Kamu jangan menakut-nakuti kami. Sudah cukup dengan bualan
tentang kamu yang bermimpi bertemu Danyang di gudang tua itu," kata Eko dengan wajah
mulai khawatir.

Ah, rasanya semua menjadi tegang. Apalagi Eko, dia panik bukan kepalang menyuruh
Dea dan Zali bergegas untuk pulang. Namun, tekad Dea dan Zali untuk memecahkan misteri
tentang gudang tua dan Danyang itu sudah bulat. Tapi bisa digambarkan pula dalam situasi
seperti ini tak bisa dielak pula bahwa wajah dari Dea dan Zali pun nampak tegang.

"Kita masuk gudang tua itu!" perintah Zali dengan wajah tanpa rasa takut.

"Apakah tidak beresiko?" tanya Dea.

"Hei ... ayolah kita pulang saja," rengek Eko.

"Hei hellooo .... Kamu kemarin sok tidak takut di depan Nek Sebun. Sekarang apa, dasar
pecundang!" Dea meremehkan Eko dengan memberikan jempolnya yang dibalikkan ke bawah.
Merasa tak terima dengan apa yang Dea lakukan, Eko melangkah ke gerbang gudang tua
itu dengan cepat. Jari-jarinya telah memegang gagang pintu masuk gerbang gudang itu. Dea
dan Zali saling pandang, mereka tahu Eko adalah orang yang memiliki sifat tidak suka
direndahkan, ia mudah tersulut amarah.

"Sekarang, buka!" perintah Dea.

Namun sia-sia, pintu itu bergeming. Seperti ada hal yang menahannya dari dalam. Lagi,
Eko berusaha membuka pintu tersebut. Alhasil, usahanya tetap sia-sia.

"Kita harus masuk ke sana. Kita harus tahu apa yang terjadi. Sebab, aku melihat ada bau
bensin dan oli yang bercucuran di sekitar gudang ini. Nah, ini juga ada alat-alat perkakas mobil,"
seru Zali dengan pikirannya yang cemerlang.

"Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk masuk sekarang?" tanya Dea mendesak.

"Mungkin, kita bisa menggabungkan energi untuk mendorong pintu tua ini. Jikalau aku
sendiri, tidak akan ada gunanya. Apalah daya aku yang kurus kerempeng ini," sahut Eko yang
memelas.

Dea dan Zali tersenyum tipis melihat muka Eko yang seperti tidak berdaya lagi. Mereka
berdua hampir tertawa, tetapi mereka tahan takutnya Eko akan kembali marah. Mereka saling
menautkan tangan ke pintu tersebut.

"Satu ... dua ... tiga ...," ucap mereka serentak.

Krettt .... Suara pintu gerbang terbuka dengan mudahnya. Tapi apa ini yang mereka
lihat? Gudang tua itu tidak terlihat menyeramkan, lampu-lampu yang berkelap-kelip menghiasi
seluruh ruangan yang dipenuhi beberapa tempat tidur dan kursi. Ah, ada suara keras yang
berbunyi seperti sirene ambulans.

"Aku pernah melihat mesin seperti itu di tambang tempat Ayah bekerja, apabila
terdeteksi emas maka suara seperti sirene akan berbunyi," ujar Dea sembari memandang wajah
Zali dan Eko yang terpelongo.
"Apa mungkin ini hanya tipuan?" Zali bersuara meminta pendapat dari Dea dan Eko.

Tiba-tiba sesosok wanita tua muncul tak terduga dari balik mesin. "Hahaha .... Kalian
berhasil."

"Nek Sebun?" ucap Dea, Zali, dan Eko serentak.

"Apa maksud dari ini semua, Nek?" tanya Zali sedikit membentak.

"Hahaha .... Bisnis itu kejam, Nak. Harta di sini melimpah ruah, sengaja Nenek dan anak-
anak Nenek menakuti warga agar tidak ada yang pergi ke sini sehingga kami lebih leluasa untuk
mengambil harta. Kami selalu melakukannya setiap malam dan berpuluh-puluh tahun,
hebatnya semua harta di sini tak bisa habis."

"Lalu, bagaimana tentang fakta bahwa banyak anak-anak yang kesurupan hingga gila
dan meninggal itu? Eko memekik karena emosinya memuncak.

"Hah? Para warga itu bodoh. Mereka menanamkan sugesti pada anak-anak mereka
hingga mengalami depresi. Hahaha ...," ucap seseorang yang tiba-tiba muncul. Ya, itu adalah
anak dari Nek Sehun.

"Jadi, semua ini bukan karena ambulans malam, bukan juga karena Danyang yang Nek
Sebun ceritakan itu? Tetapi ini ulah dari kalian semua? Kenapa kalian tega?" Dea membentak
dengan lantangnya, ia tak menyangka bahwa Nenek yang selalu bercerita itu jahat adanya.

"Awalnya, kami hampir tertangkap basah karena para warga mendengar sirene dari
mesin itu ketika sedang melakukan ronda di tengah malam. Namun, Ibuku ini sangat pintar lalu
mengarang cerita-cerita yang akhirnya dapat mengelabui warga kampung. Hahaha ... dengan
seiring waktu opini yang kami buat semakin melebar luas dan berkembang sesuai versi masing-
masing. Akhirnya, cerita Danyang itu pun ikut terseret ke dalam cerita ambulans malam itu."

"Bah, dasar kau pengecut. Kami tidak takut!" Eko membentak keras diikuti anggukan
kepala dari Dea dan Zali.
"Sia-sia, kalian harus takut karena sekarang kalian telah terkepung dan tidak bisa keluar
dari sini. Kalian akan mati sebelum kalian kembali ke kampung. Hahaha .... Saudaraku, tangkap
mereka!" perintah dari anak Nek Sebun.

Seketika, suasana ruangan gudang itu bertambah tegang. Para anak-anak dari Nek
Sebun yang berjumlah sepuluh orang keluar dari persembunyiannya. Mereka tertawa terbahak-
bahak melihat tiga remaja itu.

Zasss .... Suara itu keluar dengan diikuti cahaya dari sudut ruangan. Tampak dari sudut
ruangan dari cahaya itu, keluar seorang perempuan persis yang diceritakan oleh Nek Sebun. Ya,
itu adalah Danyang.

"Sudah cukup kalian memakai namaku untuk menakut-nakuti warga kampung! Aku
bukanlah makhluk yang jahat. Biadab, bahkan anak kecil pun kalian hendak bunuh setelah apa
yang kalian lakukan padaku dahulu," teriak Danyang dengan suara lantang.

"Bagaimana kau bisa hidup? Kau sudah mati, Danyang!" Nek Sebun berteriak memekik
tak percaya melihat apa yang dilihatnya.

"Aku selalu mengawasi setiap gerak-gerik kalian. Kalian tidak dapat berkutik lagi!
Rasakan!"

Cahaya terang benderang tiba-tiba menyelimuti semua ruangan, hingga tak ada yang
mampu bertahan. Mereka di dalam gudang itu meronta-ronta karena mata yang terasa sakit.
Tapi tidak dengan Dea, Zali, dan Eko. Mereka malah heran mengapa Nek Sebun dan para
anaknya saling berlari dan bertabrakan.

"Terima kasih Dea, Zali, dan Eko," ujar Danyang kemudian pergi menghilang begitu saja.

-0o0-

Mentari menyapa wajah Dea, Zali, dan Eko. Lamat-lamat suara keriuhan dari warga
terdengar ramai. Mereka membangunkan Dea, Zali, dan Eko yang sedang tertidur pulas di kasur
gudang tua. Tidak ada yang mereka bertiga ingat kecuali satu, bahwa cerita Nek Sebun itu
palsu.

"Jadi, semua ini hanya rekayasa dari Nek Sebun dan anak-anaknya," Eko menjelaskan
dengan nada sombongnya.

"Lalu, bagaimana kalian bisa di sini?" tanya salah satu warga.

"Itu ... entahlah aku tidak ingat. Coba tanya sama Dea ataupun Zali," usul Eko.

"Jangan tanya kami. Kami sama sekali tidak ingat. Kami hanya ingat tentang pengakuan
Nek Sebun dan anak-anaknya itu. Seterusnya yang terjadi, kami tidak ingat," kata Zali masih
menguap karena mengantuk.

"Benar sekali, semua terjadi begitu cepat," timpal Dea.

Warga yang mendengar pernyataan itu hanya mengangguk saja. Percuma jika bertanya
terus menerus sedang mereka tidak ingat apa-apa. Toh, semua pelaku utama dalam
memanipulasi cerita ambulans malam dan cerita tentang Danyang itu telah tertangkap.

Ni ... no ... ni ... no ... ninooo .... Tiba-tiba, suara dari sirene mesin itu berbunyi. Terlintas
pula oleh Dea, Zali, dan Eko bahwa Danyang tersenyum tipis. Ketiganya hanya saling
memandang satu sama lain.

-Tamat-

Hai, perkenalkan namaku Wana Maulini Parazian, biasa dipanggil Wana ataupun Lini. Namaku
unik, karena di setiap unsurnya memiliki makna yang berbeda. Baiklah, akan kujabarkan. Wana
artinya alam rimba, Maulini artinya garis, sedangkan Parazian sendiri merupakan singkatan dari
Pacitan, Ranai, Tarmizi, anak Natuna. Aku lahir dari buah cinta dari sepasang suami istri
bernama Miswati dan Tarmizi di Natuna, tepatnya di desa Kelanga tepatnya pada tanggal 21
Agustus 2002. Ibuku berdarah Jawa dan Bapakku berdarah Melayu. Aku sering menyebut diri
sebagai gadis blasteran Jawa dan Melayu. Aku orang yang tidak banyak bicara secara langsung.
Aku suka menelisik buku-buku yang mengandung unsur ajaib. Aku merupakan orang gila yang
suka berimajinasi. Aku menyukai laut dan senja. Hampir setiap sore aku duduk diam di dermaga
dekat rumah hanya untuk menyaksikan laut dan senja. Aku punya akun instagram yang
terbengkalai yaitu @wana.parazian (modus promosi terselubung hahaha). Sekian sedikit
tentang diriku. Sampai jumpa kembali.

Anda mungkin juga menyukai