Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Empiris

Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian mengenai “Analisis Faktor

Organisasi yang Mempengaruhi Kinerja Perawat dalam Penanganan Airway,

Breathing, Circulation, Disability (ABCD) di IGD BLUD RSUD Ulin Banjarmasin”.

Namun, penelitian sejenis yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi banyak

dibahas sebelumnya, dintaranya akan dijabarkan di bawah ini.

Hafizurrachman (2010: 101) meneliti beberapa faktor yang mempengaruhi

kinerja perawat dalam menjalankan kebijakan keperawatan di Rumah Sakit Umum

Daerah Yogyakarta dengan alat analisis Structural Equation Model (SEM). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kinerja perawat dalam menjalankan kebijakan di

rumah sakit daerah dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain sejarah kesehatan

keluarga, perilaku gaya hidup, lingkungan kehidupan, dan kemampuan perawat.

Penelitian Sabriyanti (2012: 81) mengenai faktor-faktor yang berhubungan

dengan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus pada respon time I di IGD

Bedah dan Non bedah RSUP Dr. Wahyudin Sudirohusodo. Alat analisis

menggunakan chi square dan multiple logistic regression. Hasilnya menunjukkan

faktor yang berhubungan dengan waktu tanggap penanganan kasus di IGD Bedan

dan RSUP Dr. Wahyudin Sudirohusodo yaitu ketersediaan stretcher dan petugas

triase, sedangkan di IGD non bedah yaitu ketersediaan stretcher.

Penelitian yang dilakukan oleh Mardiah (2011: 85) tentang faktor-faktor

yang berhubungan dengan kinerja bidan dalam mendukung program Inisiasi

Menyusu Dini (IMD) di Kota Pekanbaru. Data dianalisis menggunakan uji Chi-

square dan regresi logistik. Hasil analisis bivariat didapat bahwa variabel umur,

8
9

lama kerja, status perkawinan, sikap, motivasi, kepemimpinan, imbalan tidak

terdapat hubungan bermakna dengan kinerja bidan. Pelatihan, pendidikan dan

tingkat pengetahuan memiliki hubungan yang bermakna dengan kinerja bidan.

Hasil analisis multivariat didapat bahwa pelatihan merupakan variabel yang paling

dominan mempengaruhi kinerja bidan dalam mendukung program IMD di Kota

Pekanbaru.

Penelitian Royani (2010: 179) mencoba mengetahui hubungan sistem

penghargaan dengan kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon. Hasil penelitian

dengan analisis regresi tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara sistem

penghargaan dengan kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Juliadi (2007: 79) dalam penelitiannya tentang pengaruh motivasi instrinsik

terhadap kinerja perawat pelaksana di Instalasi Rawat Inap RSU Dr. Pirangadi

Medan. Studi ini dianalisis menggunakan regresi linier sederhana, hasilnya

menunjukkan tidak ada pengaruh antara prestasi kerja terhadap kinerja perawat

pelaksana, terdapat pengaruh signifikan terhadap prestasi, pengakuan orang lain,

tanggung jawab, peluang maju, dan kepuasan kerja terhadap kinerja perawat.

Penelitian Ma’arif (2012: 241‒249) menganai faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja pegawai: studi Di Perusahaan Daerah Pasar Tohaga

Kabupaten Bogor. Variabel laten dalam penelitian ini adalah faktor individu,

psikologis, dan organisasi sebagai variabel eksogen, variabel kinerja dari

karyawan merupakan variabel endogen. Hasil dengan metode Partial Least

Square (PLS) menunjukkan bahwa kinerja karyawan ditunjukkan oleh kreativitas,

inovasi dipengaruhi oleh faktor individu dan psikologis. Faktor individu

mempengaruhi kinerja karyawan tercermin dari indikator kemampuan,

keterampilan. Faktor psikologis mempengaruhi secara langsung kinerja karyawan


10

yang diwakili oleh proses pembelajaran. Faktor organisasi yang tercermin dari

kepemimpinan, desain pekerjaan dan pengawasan tidak mempengaruhi kinerja

karyawan.

Penelitian kualitatif oleh Kazi (2011: 1067‒1073) tentang kontribusi variabel

organisasi dan pengaruhnya terhadap turnover dan kepuasan kerja karyawan (the

contribution of organizational variables and its impact on job turnover and job

satisfaction of employee’s). Variabel organisasi yaitu leadership (kepemimpinan),

human resources (sumber daya manusia), pay level (tingkat pembayaran), work

situation (situasi kerja), dan firm stability (stabilitas perusahaan) memiliki kontribusi

terhadap tingkat kepuasan kerja karyawan yang kemudian berdampak pada

turnover karyawan.

Indrawati (2005: 48‒58) menganalis faktor-faktor yang mempengaruhi

kinerja guru matematika dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi

(KBK) pada Sekolah Menengah Atas Kota Palembang. Data dianalisis dengan

linear regression analysis model. Hasil penelitian menunjukkan variabel individu

(kemampuan dan keterampilan, latar belakang keluarga, tingkat sosial,

pengalaman, umur, etnis, jenis kelamin) kemampuan dan keterampilan

mempunyai pengaruh terhadap kinerja guru. Variabel organisasi, mencakup

sumber daya, kepemimpinan, Imbalan, struktur, desain pekerjaan tidak

berpengaruh terhadap kinerja guru. Variabel psikologis (presepsi, sikap,

kepribadian, belajar, motivasi), hanya motivasi yang berpengaruh terhadap kinerja

guru.

Gambaran realita dan hasil kajian empiris dari berbagai bidang tersebut

mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja. Berikut ini akan

dijabarkan persamaan dan perbedaan penelitan di atas dengan yang akan

dilakukan peneliti untuk memperkuat orisinalitas penelitian.


11

Tabel. 2.1 Nama Peneliti, Judul, Persamaan dan Perbedaan Penelitan


Sebelumnya dengan yang akan Dilakukan

No Nama Peneliti Judul Penelitian Persamaan Perbedaan


1. Hafizurrachman Beberapa Faktor yang Variabel Variabel dependen
(2010) Memengaruhi Kinerja dependen. menekankan kinerja
Perawat dalam perawat dalam
Menjalankan Kebijakan penanganan ABCD di IGD,
Keperawatan di Rumah variabel independen, alat
Sakit Umum Daerah analisis, waktu, tempat
Yogyakarta. penelitian.
2. Wa Ode Nur Faktor-faktor yang Variabel Variabel dependen
Isnah Berhubungan dengan dependen. menekankan kinerja
Sabriyanti Ketepatan Waktu Tanggap perawat dalam
(2012) Penanganan Kasus pada penanganan ABCD di IGD
Respon Time I di IGD dan independen, alat
Bedah dan Non bedah analisis, waktu, tempat
RSUP Dr. Wahyudin penelitian.
Sudirohusodo.
3. Mardiah (2011) Faktor-faktor yang Variabel Variabel dependen mene-
berhubungan dengan dependen. kankan kinerja penangan-
Kinerja Bidan dalam an ABCD perawat IGD,
Mendukung Program variabel independen
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) berfokus pada faktor
di Kota Pekanbaru. organisasi, alat analisis,
waktu, tempat penelitian.
4. Royani (2010) Hubungan Sistem Variabel Variabel dependen mene-
Penghargaan dengan dependen kankan kinerja perawat
Kinerja Perawat dalam dan pelaksana IGD, meneliti
Melaksanakan Asuhan dependen, variabel independen lain
keperawatan di Instalasi alat analisis selain imbalan, waktu, dan
Rawat Inap Rumah Sakit tempat penelitian.
Umum Daerah Kota
Cilegon.
5. Juliadi (2007) Pengaruh Motivasi Variabel Variabel dependen mene-
Instrinsik terhadap Kinerja dependen kankan kinerja perawat pe-
Perawat Pelaksana di laksanaIGD, variabel
Instalasi Rawat Inap RSU independen, alat analisis,
Dr. Pirangadi Medan. waktu, dan tempat
penelitian.
6. Ma’arif (2012) Faktor-faktor yang Variabel Variabel dependen
Mempengaruhi Kinerja dependen menekankan kinerja
Pegawai: Studi di perawat pelaksana IGD,
Perusahaan Daerah Pasar variabel independen yang
Tohaga Kabupaten Bogor diteliti hanya faktor
organisasi, alat analisis,
waktu dan tempat
penelitian
7. Kazi (2011) The Contribution of Variabel Variabel dependen
Organizational Variables independen. menekankan kinerja
and its impact on Job perawat pelaksana IGD,
Turnover and Job alat analisis, waktu dan
satisfaction of Employee’s. tempat penelitian
8. Indrawati Faktor-faktor yang Variabel Variabel dependen
(2005) Mempengaruhi Kinerja dependen menekankan kinerja
Guru Matematika dalam dan perawat pelaksana IGD,
Pelaksanaan Kurikulum independen, variabel independen yang
Berbasis Kompetensi (KBK) alat analisis. diteliti hanya faktor
pada Sekolah Menengah organisasi, waktu dan
Atas Kota Palembang. tempat penelitian
12

2.2 Tinjauan Teori

2.2.1 Kinerja Perawat

Menurut Mohammad Mahsun (2006: 25) kinerja (performance) adalah

gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau

program dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi instansi yang tertuang

dalam strategic planning. Kinerja bisa diketahui apabila individu atau kelompok

individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan berupa tujuan atau target

tertentu yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target, kinerja seseorang

atau instansi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolak ukurnya.

Kemudian, Whitmore (2007: 117) mengartikan kinerja sebagai standar

tertinggi, ditentukan oleh orang itu sendiri, standar melampaui yang diminta atau

diharapkan orang lain, sedangkan Rivai (2012: 98) mendefinisikan kinerja sebagai

hasil atau tingkat keberhasilan orang selama periode tertentu dalam

melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar

hasil kerja, target, sasaran atau kriteria sebelumnya.

Menurut PPNI (2001) dikutip dari Nursalam (2013: 117) kinerja profesi

keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan yang dimiliki tetapi

juga berdasarkan hasil pelayanan yang diberikan kepada pasien. Pelayanan prima

seorang perawat gawat darurat tidak hanya membutuhkan keahlian keperawatan

dan medis gawat darurat tetapi juga stabilitas empati dan emosional.

Kemudian, Mariner (2010: 469) menerangkan kinerja perawat sebagai

kemampuan melaksanakan proses keperawatan yang mengandung arti pene-

rapan proses pemecahan masalah keperawatan dalam mengidentifikasi masalah,

merencanakan secara sistematis, dan melaksanakan serta mengevaluasi tindakan

keperawatan terhadap pasien. Lebih lanjut, Nursalam (2013: 82) mengemukakan

bahwa pada hakikatnya kinerja perawat merupakan pencapaian prestasi oleh


13

perawat dalam melaksanakan tugas, pekerjaan sesuai dengan standar dan kriteria

yang ditetapkan rumah sakit berdasarkan spesifikasi bidang keilmuan dalam

lingkup pelayanan terhadap pasien.

2.2.1.1 Penilaian Kinerja Perawat

Azwar (2010: 96) menyatakan bahwa penilaian adalah suatu proses

teratur dan sistematis dalam membandingkan pencapaian hasil melalui tolak ukur

atau kriteria yang telah ditetapkan, dilanjutkan denga pengambilan keputusan

serta penyusunan saran-saran, sehingga dapat dilakukan pada setiap tahap dari

pelaksanaan program.

Penilaian kinerja adalah suatu pedoman dalam bidang kepegawaian

yang diharapkan dapat menunjukkan prestasi kerja para pegawai secara rutin dan

teratur sehingga sangat bermanfaat bagi pengembangan karir pegawai yang

dinilai. Secara rinci Soeprihanto (2001: 107) mengemukakan bahwa tujuan dari

penilaian kinerja antara lain:

1. Mengetahui keadaan keterampilan dan kemampuan karyawan secara rutin.

2. Digunakan sebagai dasar perencanaan bagi bidang kepegawaian khususnya

penyempurnaan kondisi kerja, pengembangan dan pendayagunaan pegawai.

3. Mendorong terciptanya timbal balik yang sehat antara atasan dan bawahan.

4. Mengetahui konsidi instansi secara keseluruhan dari bidang kepegawaian,

khususnya prestasi pegawai terhadap kinerja.

5. Pegawai secara pribadi dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-

masing. Sebaliknya, atasan yang menilai akan lebih memperhatikan dan

mengenal bawahannya, sehingga dapat memotivasi dalam bekerja.

6. Hasil penilaian dapat bermanfaat bagi penelitian dan pengembangan di bidang

kepegawaian.
14

Penilaian kinerja perawat merupakan komponen utama dari evaluasi untuk

mengendalikan fungsi manajemen keperawatan. Apabila proses penilaian kinerja

perawat dilakukan dengan tepat dan seksama akan dapat mengatur perilaku

perawat dalam meberikan pelayanan yang berkualitas tinggi. Menurut Depkes R.I.

(2008: 48) kinerja perawat dapat dinilai melalui kesesuaian asuhan keperawatan

dengan standar asuhan keperawatan, evaluasi persepsi pasien terhadap mutu

asuhan keperawatan, atau evaluasi kesesuaian tindakan perawat dengan standar

operasional prosedur.

1. Kesesuaian antara asuhan keperawatan dengan standarnya.

Catatan asuhan keperawatan adalah bukti pencatatan, pelaporan

perawat dalam melakukan asuhan keperawatan. Penilaian dilakukan dengan

membandingkan asuhan keperawatan dalam dokumen rekam medik dengan

enam standar dalam standar asuhan keperawatan. Khusus untuk penilaian

catatan asuhan keperawatan untuk instalasi bedah dan IGD penilaian

dialakukan setelah pasien pindah ke ruang lain/pulang (Nursalam, 2013: 92).

2. Evaluasi persepsi pasien atau keluarga terhadap mutu asuhan keperawatan.

Pengisian kuesioner tentang persepsi pasien yang telah ditetapkan

pulang setelah dirawat inap minimal selama tiga hari. Selain itu, disediakan

lembar khusus untuk kesan dan saran dari pasien atau keluarga dalam bentuk

pertanyaan terbuka terhadap mutu pelayanan yang diberikan menurut

persfektif pelanggan (Depkes R.I., 2008: 48).

3. Evaluasi tindakan perawat berdasarkan standar.

Evaluasi kesesuaian tindakan keperawatan ini dinilai dari pelaksanaan

kegiatan keperawatan yang dilakukan berdasarkan standar pelayanan minimal

dan standar operasional prosedur (Mariner, 2010: 472).


15

2.2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perawat

Menurut Ilyas (2002) dikutip dari Adiwibowo (2010: 44) untuk mengetahui

faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja personel, dilakukan pengkajian

terhadap beberapa teori kinerja. Secara teoritis terdapat tiga kelompok variabel

yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu: faktor individu, organisasi

dan psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja,

akhirnya berpengaruh pada kinerja personel. Perilaku berhubungan dengan

kinerja berkaitan dengan pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai

sasaran suatu jabatan atau tugas.

Model teori kinerja oleh Gibson, et al. (2009: 355) dapat dijabarkan dalam

bagan berikut:
Variabel Individu Perilaku Individu Variabel Psikologis
1. Kemampuan dan (Apa yang 1. Persepsi
keterampilan Dikerjakan) 2. Sikap
(mental dan fisik). 3. Kepribadian
2. Latar belakang Kinerja 4. Belajar
a. Keluarga 5. Motivasi
b. Tingkat sosial
c. Pengalaman
3. Demografis
a. Keluarga
b. Tingkat sosial
Variabel Organisasi
c. Pengalaman
1. Sumber Daya
2. Kepemimpinan
3. Imbalan
4. Struktur
5. Desain Pekerjaan

Gambar 2.1 Model Teori Kinerja Oleh Gibson

Sumber: Dikutip dari Gibson, et al. (2009: 355)

Gibson (2009: 357) menyampaikan model teori kinerja, melakukan analisis

terhadap sejumlah variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu,

yaitu:

1. Variabel individu, dikelompokkan pada subvariabel kemampuan dan

keterampilan, latar belakang, demografis. Kemampuan, keterampilan

merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu,


16

sedangkan variabel demografi mempunyai efek tidak langsung trhadap

variabel dependennya.

2. Variabel psikologik terdiri dari subvariabel persepsi, sikap, kepribadian,

belajar, dan motivasi. Variabel ini sulit diukur, banyak dipengaruhi oleh

keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya, variabel demografis.

3. Variabel organisasi berefek tidak langsung terhadap sikap, perilaku, kinerja

individu. Subvariabel organisasi digolongkan dalam subvariabel SDM tenaga

perawat, kepemimpinan kepala ruangan, imbalan, struktur organisasi IGD, dan

desain pekerjaan (tata laksana).

Faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Kopelman (1998) dalam

Robbins (2008: 211) adalah karakteristik individu, karakteristik organisasi dan

karakteristik pekerjaan, lebih lanjut dijelaskan dipengaruhi oleh lingkungan. Berikut

seperti yang dijabarkan dibawah ini:

Organizational
Characteristics
1. Reward
System
2. Goal Setting
and MBO
3. Selection
4. Training and
Develompent
5. Leadership
6. Organization
Structure 1. Knowledge Work Job Organiza-
2. Skill Behaviours Performan- tional
3. Abilities ce
4. Motivations
5. Beliefs and Productivity Productivity Productivity
Values
6. Attitude
Work
Characteristics
1. Objective
performance
2. Objective
feedback
3. Judgemental
performance

Gambar 2.2. Conceptual framework of the Determinants of Productivity


in Organization a Behaviors Science Approach (Kopelman, 1998)

Sumber: Dikutip dari Kopelman (1998) dalam Robbins (2008: 211)


17

Kopelman (1998) dalam Robbins (2008: 213) menjabarkan karakteristik

individu terdiri dari:1) pengetahuan (knowlledge), 2) keterampilan (skills), 3)

kemampuan (abilities), 4) motivasi (motivation), 5) norma dan nilai (beliefs and

values), 6) sikap (attitude) dan loyalitas. Lebih lanjut, Kopelmen menggambarkan

karakteristik organisasi terdiri dari: 1) imbalan (reward system), 2) tujuan (goal

setting and Managemen of Objective/MBO), 3) seleksi (selection), 4). pelatihan,

pengembangan (training and development), 5) kepemimpinan (leadership), 6)

struktur organisasi (organization structure). Karakteristik pekerjaan diri dari: 1).

tujuan umpan balik kinerja (objectiveperformance feedback), 2) penilaian umpan

balik kinerja (judgemental performance feedback), 3) rancangan kinerja (job

design), 4) jadwal kerja (workschedule).

Selain itu, model partner‒lawyer oleh Ivancevich, et al. (1994) dalam Rivai,

(2005: 309) kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor: 1) harapan mengenai imbalan;

2) dorongan; 3) kemampuan; kebutuhan dan sifat; 4) persepsi terhadap tugas; 5)

imbalan internal dan eksternal; 6) persepsi terhadap tingkat imbalan dan

kepuasan kerja. Disimpulkan ada kinerja tiga hal yang paling berpengaruh, yaitu:

1) kemampuan, 2) keinginan dan 3) lingkungan.

2.2.2 Pengelolaan Tenaga Keperawatan

Tenaga kesehatan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No.36 Tahun

2009 adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang tersebut

untuk spesifikasi ilmu tertentu, memiliki kewenangan untuk melakukan upaya

kesehatan. Lebih lanjut dalam Kemenkes R.I., (2010: 13) pelayanan gawat darurat

meliputi aspek pelaksanaan pengobatan atau perawatan oleh tenaga medis,

tenaga keperawatan berdasarkan ilmu kedokteran, keperawatan, dan hanya dapat


18

dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan keahlian serta kewenangan dalam

pelaksanaan tindakan tersebut.

1. Dokter

Menurut Kemenkes R.I. (2010: 13) IGD rumah sakit kelas A minimal

memliki empat dokter spesialis dasar, lima spesialis penunjang medik, 12

subspesialis siaga di tempat (on site) atau siaga dipanggil (on call), serta

dokter umum siaga di tempat (on site) selama 24 jam. Kualifikasi medik yaitu

kemampuan General Emergency Life Support (GELS), Advanced Trauma Life

Support (ATLS), atau Advanced Cardiac Life Support (ACLS).

2. Perawat

Perawat IGD siaga di tempat 24 jam dengan kualifikasi pernah

mendapatkan pelatihan Pertolongan Pertama pada Gawat Darurat (PPGD),

Basic Life Support (BLS), Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS), atau

pelatihan sejenis sehingga mampu menghubungkan pengetahuan dan

keterampilan untuk menangani kasus pasien pada resusitasi, syok, trauma,

ketidakstabilan multi sistem, keracunan, atau kegawatdaruratan yang

mengancam jiwa serta mampu memberikan resusitasi dan stabilisasi kasus

dengan masalah ABCD untuk tindak lanjut terapi (Kemenkes R.I., 2010: 13).

Sedarmayanti (2007: 35) mengemukakan bahwa yang dimaksud sumber

daya manusia adalah tempat menyimpan daya, yaitu daya pikir atau daya cipta

manusia yang tersimpan dalam dirinya. Upaya menggali dan mendayakan sumber

daya manusia secara lebih terarah dan produktif, pemanfaatannya perlu dikelola,

diatur secara terprogram. Sumber daya manusia merupakan keseluruhan dari

semua unsur, seperti energi, bakat, keterampilan, kondisi fisik, dan mental untuk

berproduksi (Umam, 2012: 55).


19

Kata pengelolaan Arikunto (2007: 31) dapat disamakan dengan mana-

jemen, berarti pula pengaturan atau pengurusan. Banyak orang yang mengartikan

manajemen sebagai pengaturan, pengelolaan, dan pengadministrasian. Pengelo-

laan diartikan sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh

sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dalam mencapai tujuan

tertentu.

Lebih lanjut, Umam (2012: 72) menjelaskan bahwa empat unsur dalam

pengelolaan dari sumber daya manusia baik secara umum maupun tim kesehatan

yaitu:

1. Pemetaan kompetensi SDM keperawatan.

Pada tahap ini, instansi harus berpijak dari visi dan misi, kemudian

diterjemahkan ke dalam strategi fungsional. Visi dan misi dituangkan dalam

strategi pengelolaan SDM-nya, menentukan tuntutan kompetensi SDM yang

harus dipenuhi. Dimulai dari penerimaan karyawan baru dengan seperangkat

persyaratan untuk membantu tersedianya SDM dengan kualitas sesuai de-

ngan harapan. Selanjutnya, kompetensi inti dan pendukung yang harus dimiliki

SDM dirancang agar lebih mudah dalam pengelolaannya (Umam 2012: 72).

2. Pembagian kompetensi SDM keperawatan.

Setelah pemetaan kompetensi diketahui, instansi harus melakukan

pengelompokan atas kompetensi tersebut. Pengelompokan dilakukan melalui

penentuan bidang-bidang kompetensi inti yang merupakan tonggak instansi,

maupun bidang kompetensi pendukung (Umam 2012: 72).

3. Pengembangan kompetensi SDM keperawatan.

Upaya ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap kompetensi

yang saat ini telah dimiliki oleh SDM yang ada. Kemudian dibandingkan

dengan pemetaan kompetensi yang telah dibuat, sehingga akan dapat


20

diketahui gap antara kompetensi yang seharusnya dimiliki dengan yang

diharapkan. Berangkat dari kondisi ini, selanjutnya instansi melakukan

berbagai upaya pembangunan dan pengembangan kompetensi SDM

sehingga peta kompetensi tadi dapat terisi dengan baik (Umam 2012: 72).

4. Evaluasi terhadap kompetensi SDM keperawatan.

Evaluasi terhadap kompetensi yang sudah dibangun dan

dikembangkan sebelumnya untuk mengetahui sejauh mana upaya yang

dilakukan telah mencapai peta kompetensi yang disusun. Upaya evaluasi

harus senantiasa memperhatikan perkembangan situasi yang ada sehingga

apabila diperlukan, instansi harus juga melakukan berbagai penyesuaian baik

terhadap peta kompetensi maupun program pengembangan kompetensinya

(Umam 2012: 72).

2.2.3 Gaya Kepemimpinan Transformasional Kepala Ruangan

Luthans (2006: 638) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekelompok

proses, kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang,

pemcapai tujuan, interaksi, perbedaan peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari

dua atau lebih dari hal-hal tersebut. Khuntia dan Suar (2004: 20) menyatakan

bahwa semua teori mengenai kepemimpinan menekankan pada tiga gagasan

yang dibagun baik secara bersama-sama maupun terpisah yaitu:

1. Rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pemimpin;

2. Rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pengikut;

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas, iklim dan budaya.

Menurut Rivai dan Mulyadi (2012: 133), kepemimpinan pada dasarnya

melibatkan orang lain, tidak meratanya distribusi kekuasaan antara pemimpin dan

anggota kelompok, menggerakkan kemampuan dengan menggunakan berbagai


21

bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi tingkah laku bawahan, dan menyangkut

nilai. Empat sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan

kepemimpinan organisasi, yaitu: kecerdasan, kedewasaan, motivasi diri dan

dorongan berprestasi, serta sikap hubungan kemanusiaan.

Menurut Kementrian Kesehatan R.I., (2011: 148) kepemimpinan yang

efektif dapat membantu mengatasi hambatan yang dirasakan dan masalah

komunikasi antara unit kerja, pelayanan di rumah sakit, dan pengeluaran rumah

sakit menjadi lebih efisien dan efektif. Pelayanan menjadi semakin terpadu,

khususnya, integrasi dari semua kegiatan manajemem mutu dan peningkatan di

seluruh rumah sakit sehingga memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien.

James MacGregor Burns dalam Luthans (2006: 653) mengidentifikasikan

dua jenis kepemimpinan, yaitu transaksional dan transformasional. Kepemimpinan

transaksional tradisional mencakup hubungan pertukaran antara pemim-

pin‒pengikut yang ditujuka pada keadaan seimbang organisasi, sedangkan

kepemimpinan transformasional mendasar pada pergeseran nilai, membawa

keadaan menuju kinerja tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan

pembaruan dan perubahan.

Menurut Robbins dan Judge (2008: 91), kepemimpinan transformasional

lebih unggul dari pada kepemimpinan transaksional, karena dapat menghasilkan

tingkat upaya dan kinerja para pengikut melampaui apa yang bisa dicapai.

Pendekatan transformasional merupakan pendekatan atau perspektif paling

popular digunakan dalam mempelajari kepemimpinan saat ini.

Hughes et al. (2012: 542) mengemukakan bahwa pemimpin transforma-

sional memiliki visi, keahlian retorika, dan pengelolaan kesan positif, menggu-

nakannya untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan anggotanya

untuk mewujudkan visi dan misi organisasi. Pengunaan taktik legitimasi


22

melahirkan tingkat identifikasi dan internalisasi lebih tinggi, sehingga kinerja

semakin baik.

Asgari et al. (2008: 228) menyatakan pemimpin transformasional memoti-

vasi, mengajak para pengikutnya untuk menginternalisasi dan memprioritaskan

kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Lebih lanjut, Yukl (2010: 320)

mengemukakan bahwa gaya kepemimpin tersebut mampu membuat bawahannya

menjadi menyadari kepentingan, nilai dari pekerjaan, mengembangkan keteram-

pilan, mendorong antusiasme dalam menghadapi halangan. Secara tidak lang-

sung muncul rasa percaya, kagum, setia, dan penghormatan terhadap atasannya

untuk memotivasi melakukan kegiatan lebih dari yang diharapakan sebelumnya.

Menurut Robbins, Judge (2008: 91) dan Cavazotte (2012: 443‒445),

terdapat empat komponen transformasional, yaitu idealized influence (pengaruh

ideal), inspirational motivation (motivasi inspirasional), inspirational motivation

(motivasi inspirasional), dan individualized consideration (pertimbangan

individual). Komponen tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Idealized influence (pengaruh ideal)

Idealized influence adalah perilaku pemimpin yang memberikan visi dan

misi, memunculkan rasa bangga, serta mendapatkan respek dan kepercayaan

bawahan. Idealized influence disebut juga sebagai pemimpin yang

kharismatik, dimana pengikut memiliki keyakinan yang mendalam pada

pemimpinnya, mempercayai kapasitas pemimpinnya dalam mengatasi setiap

permasalahan (Avolio & Bass, 2002: 83).

2. Inspirational motivation (motivasi inspirasional)

Inspirational motivation adalah perilaku pemimpin yang mampu

mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menyampaikan visi bersama secara

menarik dengan menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan upaya


23

bawahan, dan menginspirasi supaya mencapai tujuan yang menghasilkan

kemajuan organisasi (Avolio & Bass, 2002: 83).

3. Intellectual stimulation (stimulasi intelektual)

Intellectual stimulation adalah kemampuan pemimpin meningkatkan

kecerdasan bawahan dalam membangun kreativitas, inovasi, rasionalitas,

serta pemecahan masalah secara cermat (Avolio & Bass, 2002: 83).

4. Individualized consideration (pertimbangan individual)

Individualized consideration adalah perilaku pemimpin yang

memberikan perhatian, pelatihan, saran, pendampingan, dan monitor bawahan

sebagai individu sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, serta aspirasi yang

berbeda secara pribadi (Avolio & Bass, 2002: 83).

Pemimpin membagun rasa Pemimpin memperluas Pemimpin mentransformasikan


percaya diri bawahan kebutuhan bawahan perhatian kebutuhan bawahan

Pemimpin mengangkat
Pemimpin mempertinggi nuansa kebutuhan bawahan
probabilitas keberhasilan ke tingkat yang lebih tinggi
yang subjektif pada hierarki

Pemimpin mempertinggi nilai kebenaran bawahan

Transformasional organisasi
Kondisi sekarang dari upaya Makin meningginya motivasi
yang diharapkan bawahan bawahan untuk mencapai hasil
dengan upaya tambahan

Bawahan menghasilkan
kinerja sebagaimana yang Bawahan mempersembahkan
diharapkan kinerja melebihi apa yang
diharapkan

Gambar 2.3 Transformasional Organisasi


Sumber: Model Kepemimpinan Transformasional Avolio & Bass (1994) dalam
Usman, Husaini (2011: 377)

2.2.4 Imbalan

Pengertian Imbalan menurut Arep dan Tanjung (2003: 74) adalah segala

sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa atas upaya-upaya kerja

terhadap instansi. Menurut Cascio F. Wayne dalam Mangkuprawira (2004: 166)


24

imbalan biasa juga disebut dengan kompensasi meliputi bentuk pembayaran tunai

langsung, pembayaran tidak langsung dalam bentuk manfaat karyawan dan

insentif untuk memotivasi karyawan agar bekerja keras untuk mencapai

produktivitas yang semakin tinggi.

Siagian (2002: 356) mengatakan bahwa sistem imbalan adalah pemberian

salah satu bentuk penghargaan kepada karyawan atas sumbanganya kepada

organisasi terutama tercermin dari prestasi karyanya, selanjutnya Simamora

(2004: 445) menyebutkan bahwa sistem imbalan baik berupa finansial maupun

non finansial yang dikendalikan oleh organisasi dapat digunakan sebagai alat

untuk memotivasi karyawannya, mampu menjamin kepuasan para anggota

organisasi sehingga pada gilirannya memungkinkan anggota organisasi bersikap

dan perilaku positif bekerja dengan produktif.

Menurut Mangkuprawira (2004: 166) imbalan merupakan sebuah

komponen penting dalam hubungannya dengan karyawan. Pemberian imbalan

sangat dipengaruhi faktor-faktor internal dan eksternal instansi. Terutama oleh

tekanan faktor-faktor pasar kerja, posisi rebut tawar kolektif, peraturan pemerintah,

filosofi manajemen puncak tentang pembayaran dan manfaat termasuk tentang

imbalan internasional

Imbalan menurut Davis dan Werther dalam Mangkuprawira (2004: 166)

merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai penukar dari kontribusi jasa

terhadap instansi. Jika dikelola dengan baik, imbalan membantu instansi

mencapai tujuan, memelihara, dan menjaga karyawan dengan baik. Tanpa

imbalan yang cukup, karyawan sangat mungkin untuk meninggalkan instansi,

akibat dari ketidakpuasan dalam pembayaran, mengurangi kinerja, meningkatkan

keluhan, penyebab mogok kerja, dan mengarah pada tingginya derajat

ketidakhadiran dan perputaran karyawan. Sebaliknya, jika terjadi kelebihan


25

pembayaran, juga akan menyebabkan instansi dan individual berkurang daya

kompetisinya, menyebabkan kegelisahan, perasaan bersalah, dan suasana tidak

nyaman dikalangan karyawan.

Imbalan merupakan cara instansi untuk meningkatkan kualitas

karyawannya untuk pertumbuhan instansi. Setiap instansi memiliki suatu sistem

imbalan yang berbeda-beda sesuai dengan visi, misi, dan tujuannya. Menurut

Simamora (2004: 445-447) imbalan terdiri dari:

1. Imbalan Finansial

a. Imbalan langsung, dalam Simamora (2004: 445) terdiri dari:

1) Bayaran pokok (base pay) yaitu gaji dan upah.

2) Bayaran prestasi (merit pay).

3) Bayaran insentif (insentive pay) yaitu bonus, komisi, pembagian laba,

pembagian keuntungan, dan pembagian saham.

4) Bayaran tertangguh (deferred pay) yaitu program tabungan, dan anuitas

pembelian saham.

b. Imbalan tidak langsung, dalam Simamora (2004: 446) terdiri dari:

1) Program perlindungan yaitu asuransi kesehatan, asuransi jiwa, pensiun,

dan asuransi tenaga kerja.

2) Bayaran di luar jam kerja yaitu liburan, hari besar, cuti tahunan, dan cuti

hamil.

3) Fasilitas yaitu kendaraan, ruang kantor, tempat parkir.

2. Imbalan nonfinansial, dalam Simamora (2004: 447) terdiri dari:

a. Pekerjaan yaitu tugas-tugas yang menarik, tantangan, tanggung jawab,

pengakuan, dan rasa pencapaian.

b. Lingkungan Kerja yaitu kebijakan yang sehat, supervisi yang kompeten,

kerabat kerja yang menyenangkan, dan lingkungan kerja yang nyaman.


26

Alat motivasi yang umum diberikan oleh organisasi untuk mendorong dan

merangsang pegawainya agar semangat bekerja untuk mendapatkan kepuasan

kerja pegawainya adalah insentif. Moorehead and Griffin (2000) memberikan

defenisi insentif sebagai sesuatu pemberian atau penghargaan yang diberikan

oleh organisasi pada seseorang/kelompok kerja baik di luar ketentuan

pengupahan umum.

Insentif lebih dikenal memiliki kaitan langsung dengan materi tetapi secara

umum pemberian yang bersifat non material disebut sebagai reward. Edi Sutrisno

(2009: 64) mengatakan insentif adalah kompensasi yang diberikan kepada

pegawai tertentu, karena keberhasilan prestasinya. Harianja (2009: 88)

menyatakan insentif sebagai bentuk pembayaran langsung yang didasarkan atau

dikaitkan langsung dengan kinerja dan gain sharing yang akibat peningkatan

produktivitas atau penghematan biaya.

Wibowo (2007: 111) mengemukakan bahwa insentif menghubungkan

penghargaan dan kinerja dengan memberikan imbalan kinerja tidak berdasarkan

senioritas atau jam kerja. Insentif dirancang untuk meningkatkan motivasi kerja

pekerja. Program insentif dapat berupa insentif perorangan, insentif untuk seluruh

perusahaan, dan program tunjangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa insentif

adalah sutau kompensasi atau pemberian penghargaan dari organisasi kepada

pegawai atas prestasi yang dilakukannya diluar dari sistem pengupahan pada

umumnya (gaji).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

insentif adalah suatu bentuk sistem pembayaran penghargaan oleh organisasi

atas kinerja yang lebih yang diberikan oleh perawat pada organisasi diluar gaji

pokok. Pembayaran penghargaan ini dilakukan guna memotivasi perawat yang

bekerja agar bekerja sesuai dengan yang diharapkan oleh organisasi.


27

Cara dan system insentif dapat berhasil dengan baik apabila perusahaan

mampu melaksanakan sifat dasar dari insentif, seperti yang dikatakan oleh

Heidjrachman yang dikutip oleh Mangkunegara (2002:90) yaitu:

1. Pembayaran hendaknya sederhana, sehingga dapat dimengerti dan dapat

dihitung oleh karyawan itu sendiri.

2. Penghasilan yang diterima karyawan hendaknya langsung menaikan output

dan efisiensi.

3. Pembayaran dilakukan secepat mungkin.

4. Standar kerja hendaknya ditentukan dengan hati-hati, karena standar kerja

yang terlalu tinggi atau terlalu rendah sama tidak baiknya.

5. Besarnya upah normal dengan standar kerja perjam hendaknya cukup

meragsang karyawan untuk bekerja lebih giat

Schuter & Jackson (2006: 554) dan Ayuningtyas (2006: 90) pemberian

insentif harus memenuhi prinsip kejelasan tujuan dan sasaran, keadilan,

penghargaan dan keterbukaan, dan skala waktu. Prinsip-prinsip tersebut lebih

lanjut dijabarkan di bawah ini:

1. Prinsip kejelasan tujuan dan sasaran

Tujuan yang hendak dicapai melalui pemberian insentif adalah

memperoleh personalia yang berkualitas, menghargai perilaku yang

diinginkan, mengendalikan biaya dan memenuhi peraturan legal (Simamora,

2004: 448).

2. Prinsip keadilan

Prinsip keadilan didasarkan pada asumsi bahwa faktor utama dalam

pemberian penghargaan yang diterima individu, mengalami kepuasan

terhadap upaya yang telah dilakukan, dan organisasi memperoleh hasil yang

sesuai dari produktivitas . Secara umum, insentif yang diterima berdasarkan


28

tanggung jawab pengetahuan, perbedaan tanggung jawab, kemampuan,

pengetahuan, dan produktivitas dalam menjalankan tugas (Nursalam, 2013:

114).

3. Prinsip penghargaan dan keterbukaan

Menurut schuler (1993) dikutip dalam Nola (2012: 45) pelaksanaan

sistem pemberian imbalan melibatkan perwakilan dari beberapa unit terkait

dalam organisasi dan diambil sebagai kesepakatan bersama, dirancang

sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh karyawan itu sendiri.

4. Prinsip skala waktu

Waktu dan lama pemberian insentif diperlukan untuk mengetahui sejauh mana

ketepatan dan kemampuan organisasi dalam upaya penyediaan pembiayaan.

Selain itu, ketapatan waktu pemberian insentif akan memicu karyawan untuk

lebih meningkatkan produktivitasnya dalam organisasi (Ayuningtyas, 2006:

92).

Menurut Sudibyo (2008: 73) pemberian insentif jasa perawat merupakan

bagian dari manajemen imbalan RS. Pemberian insentif harus dirancang

sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan dan situasi tertentu yang

spesifik. Sistem pemberian insentif tergantung pada kebijakan yang diambil oleh

RS tersebut. Dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1 BLUD RSUD Ulin Banjarmasin (2010) menyusun formula

pembagian insentif perawat berdasarkan bobot dan rating komponen berikut:

No Komponen Bobot Rating Skor


1 2 3 4 5
1. Tingkat Pendidikan
S2 Keperawatan 4
S1 Keperawatan 7 3 7‒28
D3 Keperawatan 2
SPK 1
29

Lanjutan Tabel 2.1


1 2 3 4 5
2. Tingkat Jabatan
Kepala Ruangan 4
Wakil Kepala Ruangan 6 3 6‒24
Instruktur Klinik 2
Perawat Pelaksana 1
3. Pengakuan Kompetensi
Memiliki Sertifikat 5 2 5‒10
Belum Memiliki Sertifikat 1
4. Risiko Tempat Kerja
Sangat Menular 3
4 4‒12
Menular 2
Tidak Menular 1
5. Masa Kerja
˃ 30 tahun 4
20‒30 tahun 3 3 3‒12
10‒20 tahun 2
0‒10 tahun 1
6. Status Kepegawaian
Pegawai Negeri Sipil 2 2 2‒4
Kontrak dan Tenaga Suka Rela 1
7. Golongan Kepegawaian
Golongan IV 4
Golongan III 1 3 1‒4
Golongan II 2
Non Golongan 1
Sumber: BLUD RSUD Ulin Banjarmasin

2.2.5 Struktur Organisasi IGD

Umam (2012: 60) mengemukakan bahwa struktur organisasi merupakan

cerminan miniatur organisasi. Struktur organisasi merupakan penetapan susunan

peran melalui penentuan kegiatan yang harus ditempuh untuk mencapai visi, misi,

dan tujuan organisasi serta bagian-bagiannya, pengelompokan aktivitas, pende-

legasian wewenang, serta pengkoordinasian hubungan-hubungan wewenang dan

informasi, baik horizontal maupun vertical di dalamnya.

Struktur organisasi menurut Ivancevich (2007: 21) merupakan pola formal

dari aktivitas dan hubungan antar subunit dari organisasi. Kemudian Robbins

(1989) menjelaskan bahwa struktur organisasi menunjukkan garis kewenangan

dan rentan kendali dari suatu organisasi yang akan menentukan kegiatan dan

hubungan serta ruang lingkup tanggung jawab dan peran masing-masing individu.
30

Menurut Robbins dan Coulter (2007: 284) struktur organisasi dapat

diartikan sebagai kerangka kerja formal organisasi, sehingga tugas, pekerjaan

dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan, sedangkan Handoko (2008: 169)

mendefinisikannya sebagai mekanismemekanisme tertentu dimana organisasi

dikelola. Kemudian, Hasibuan (2007: 128) mengemukanan bahwa struktur

organisasi menggambarkan tipe, pendepartemenan, kedudukan dan jenis

wewenang pejabat, bidang hubungan pekerjaan, garis perintah tanggung jawab,

rentang kendali dan sistem pimpinan organisasi.

Menurut Nurslam (2013: 129) saat ini struktur organisasi unit perawatan

dan instalasi keperawatan mengacu pada sistem metode asuhan keperawatan

profesional (MAKP). MAKP merupakan suatu kerangka kerja yang mendefini-

sikan empat unsur, yakni standar, proses, pendidikan, dan sistem MAKP. Hal

tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip nilai yang diyakini akan meningkatkan

kualitas produksi/jasa layanan keperawatan

•Nasional •Pengkajian
•Institusional •Perencanaan
•Intervensi
•Evaluasi
Standar Proses
Kebija- Kepera-
kan watan

Pendi-
dikan Sistem
Pasien MAKP

•Pencegahan Penyakit, •Fungsional


•Mempertahankan •Tim
Kesehatan •Primer
•Informed Concent •Modifikasi
•Rencana
Pulang/Komunitas

Gambar 2.4 Hubungan Keempat Unsur dalam Penerapan Sistem MAKP

Sumber: Dikutip dari Rowland (1997) dikutip dari Nursalam (2013: 129).
31

Metode Asuhan Keperawatan di IGD menggunakan model tim yaitu terdiri

atas anggota yang berbeda-beda dalam memberikan asuhan keperawatan

terhadap sekelompok pasien. Perawat ruangan dibagi menjadi 2-3 tim/grup dalam

setiap ship jaga, terdiri dari tenaga profesional, teknikal, dan pembantu dalam satu

kelompok kecil saling berhubungan. Anggotanya terdiri dari 5-7 perawat

profesional dan perawat pelaksana, disupervisi oleh ketua tim. Kelebihan metode

MAKP:

1. Memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh,

2. Mendukung pelaksanaan proses keperawatan,

3. Memungkinkan komunikasi antar tim, sehingga konflik mudah diatasi dan

memberikan kepuasan kepada anggota tim.

Kelemahan metode MAKP adalah komunikasi antar anggota tim terbentuk

terutama dalam bentuk konferensi tim, yang biasanya membutuhkan waktu,

sehingga sulit untuk dilaksanakan pada waktu-waktu sibuk.

Kepala Ruangan

Ketua Tim Ketua Tim Ketua Tim

Anggota Anggota Anggota

Pasien/klien Pasien/klien Pasien/klien

Gambar 2.5 Struktur Pemberian Asuhan Keperawatan Team Nursing

Sumber: Dikutip dari Marquis dan Huston (1998: 138).


32

Sementara itu, empat dimensi pembentuk struktur organisasi menurut

Ivancevich (2008: 222) meliputi:

1. Pembagian departemen, organisasi dibagi secara struktural berdasarkan

fungsinya (functional departementalization), wilayah geographic departe-

mentalization), produk (product departementalization), atau pelanggan

(customer departementalization)

2. Pembagian kerja, menyangkut kadar dari spesialisasi pekerjaan. Para manajer

membagi seluruh tugas organisasi menjadi pekerjaan khusus yang tersusun

dari aktivitas khusus.

3. Pendelegasian kewanangan (delegation of authority), proses pembagian

kewenangan dari atas ke bawah dalam organisasi, mengacu secara khusus

pada kewenangan pengambilan keputusan, bukan melakukan pekerjaan.

Pendelegasian wewenang memiliki efek positif pada pengembangan manajer

profesional dan membawa iklim persaingan dalam organisasi.

4. Tanggung jawab, hal ini dimaksudkan agar setiap bagian dapat menjalankan

semua kewenangan dan tanggung jawabnya agar tercipta mekanisme kerja

yang sehat.

2.2.6 Desain Pekerjaan (Tata Laksana Keperawatan)

Simamora (2004:116) mengatakan desain pekerjaan adalah proses

penentuan tugas, metode untuk melaksanakan tugas, dan bagaimana pekerjaan

tersebut berkaitan dengan pekerjaan lainnya di dalam organisasi. Desain

pekerjaan memadukan isi pekerjaan (tugas, wewenang, hubungan) balas jasa,

kualifikasi yang dipersyaratkan (keahlian, pengetahuan, kemampuan) untuk setiap

pekerjaan dengan cara memenuhi kebutuhan pegawai maupun perusahaan.


33

Tata laksana pekerjaan perawat di RS menurut Nursalam (2013: 38) dilihat

melalui standar pelayanan minimal (SPM), standar operasional prosedur (SOP),

dan asuhan keperawatan (Askep). Komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan

mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak

diperoleh setiap warga secara minimal. Standar Pelayanan Minimal (SPM)

juga merupakan spesifikasi teknis tentang tolok ukur pelayanan minimum dan

diberikan oleh Badan layanan Umum terhadap masyarakat (Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008).

Selanjutnya, didalamnya disebutkan bahwa standar pelayanan minimal

merupakan tolak ukur minimal yang pergunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban

dan janji penyelenggara kapada masyarakat dalam rangka pelayanan

berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur.

Menurut Direktorat Jendral Pelayanan Medik (2008: 2) SPM RSUD

merupakan acuan dalam penyusunan rencana program dan rencana kerja

rumah sakit dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada

masyarakat sebagi bagian dari penyelenggaraan urusan wajib yang

merupakan kewenangan pemerintah daerah.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008 menyebutkan fungsi SPM bidang kesehatan

meliputi pelayanan terhadap masyarakat sebagai:

a. Alat pemerintah daerah untuk menjamin ketersediaan akses dan

erselenggaranya mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata


34

dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib pemerintah daerah di bidang

kesehatan;

b. Acuan penyediaan sarana dan prasarana untuk menjamin tercapainya

kondisi rata-rata minimal yang harus dicapai pemerintah kabupaten atau

kota sebagai penyedia pelayanan kepada masyarakat;

c. Pedoman pengukuran kinerja penyelenggaraan bidang kesehatan yang

berkaitan dengan pelayanan masyarakat secara langsung;

d. Acuan penentuan dasar belanja publik dalam prioritas utama bidang

kesehatan terhadap pelayanan kepada masyarakat;

e. Acuan prioritas perencanaan daerah dan pembiayaan APBD bidang

kesehatan dalam melakukan pengevaluasian dan monitoring pelaksanaan

pelayanan kesehatan;

f. Pedoman pengidentifikasian kebutuhan daerah untuk peningkatan kinerja

dalam memberikan pelayanan minimal kepada masyarakat bidang

kesehatan yang meliputi pelayanan terhadap masyarakat;

g. Pedoman penyusunan program-program tahunan (1 s/d 5 tahun) di bidang

kesehatan;

h. Acuan penentuan standar pelayanan kinerja pada pelayanan di bidang

kesehatan.

SPM RSUD menurut Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Depkes R.I.

(2008: 2) berfungsi sebagai berikut:

a. Alat untuk menjamin tercapainya kondisi rata-rata minimal yang harus

dicapai RSUD sebagai penyedia kebutuhan pelayanan dasar bidang

kesehatan kepada masyarakat.

b. Tolak ukur keberhasilan kinerja penyelenggara urusan wajib berkaitan

dengan pelayanan dasar kesehatan kepada masyarakat.


35

c. Dasar penentu belanja publik dengan prioritas utama pelayanan dasar

kesehatan kepada masyarakat berbasis anggaran kinerja.

d. Sebagai acuan prioritas perncanaan dan pembiayaan pada RSUD;

e. Alat monitoring dan evaluasi bagi RSUD dalam pelaksanaan urusan wajib

bidang kesehatan.

Mekanisme dan koordinasi pelaksanaan SPM dalam Direktorat Jendral

Pelayanan Medik adalah sebagai berikut:

a. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai SPM dilaksanakan oleh

pegawai sesuai kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan.

b. RSUD melekukan sosialisasi standar pelayanan yang telah ditetap-

kan/dicapai serta mengembangkan standar-standar teknis pelayanan.

c. Direktur membentuk tim evaluasi SPM RSUD.

d. Tim Evaluasi SPM melakukan survei kepuasan masyarakat secara periodik

dan teratur terhadap hasil pelaksanaan SPM RSUD. Dapat dilihat pada

Tabel 2.2 sebagai berikut:

Tabel 2.2 Standar Pelayanan Minimal IGD RS

No Indikator Standar
1. Kemampuan mengenai life saving anak 100%
dan dewasa
2. Jam buka pelayanan gawat darurat 24 jam
3. Pemberi pelayanan kegawatdaruratan 100%
yang bersertifikat yang masih berlaku
(ATLS, BTCLS, ACLS, PPGD)
4. Kesediaan tim penanggulangan bencana Satu tim
5. Waktu tanggap pelyanan dokter di unit ≤ 5 menit terlayani setelah
gawat darurat pasien datang
6. Kepuasan pelanggan ≥ 70%
7. Tidak adanya pasien yang dihruskan 100%
membayar uang muka
8. Kematian pasien ≤ 24 jam ≤ dua per seribu (pindah
kepelayanan rawat inap
setelah 8 jam)
9. Tidak ada pasien yang diharuskan 100%
membayar uang muka
Sumber: Direktorat Jendral Pelayanan medik, Depkes R.I. (2008: 6)
36

Berdasarkan standar pelayanan minimal, unit kerja wajib menyusun

standar teknis yang menjadi acuan langkah-langkah mencapai standar

pelayanan minimal dalam bentuk prosedur kerja sesuai dengan kebutuhan.

2. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Menurut Black (2009: 311) standar operasional prosedur (SOP) adalah

pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan

fungsi, alat penilaian kinerja instasi berdasarkan indikator teknis, dan

prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit

kerja bersangkutan.

Suatu standar operasional prosedur dalam Potter dan Perry (2009:

117) adalah pedoman tertulis, dipergunakan untuk mendorong dan

menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi berupa tata

cara atau tahapan yang dibakukan serta harus dilalui untuk menyelesaikan

suatu proses kerja tertentu.

Secara umum, disimpulkan SOP merupakan gambaran langkah-

langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan

dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai tujuan organisasi. SOP

sebagai suatu dokumen/instrumen memuat tentang proses, prosedur suatu

kegiatan yang bersifat efektif dan efisisen berdasarkan standar baku.

Pengembangan instrumen dimaksudkan untuk memastikan proses pelayanan

di seluruh unit kerja dapat terkendali dan berjalan sesuai ketentuan berlaku.

Dilihat dari fungsinya, menurut Potter dan Perry (2009: 118) SOP

berfungsi membentuk sistem kerja serta aliran kerja yang teratur, sistematis,

dan dapat dipertanggungjawabkan. Menggambarkan bagaimana tujuan

pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan, peraturan berlaku.

Menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan kegiatan berlangsung, sebagai


37

sarana tata urutan dari pelaksanaan dan pengadministrasian pekerjaan harian

sebagaimana metode yang ditetapkan, menjamin konsistensi dan proses kerja

yang sistematik, dan menetapkan hubungan timbal balik antar satuan kerja.

Tujuan pembuatan SOP antara lain (RSUD Ulin, 2011: 2):

a. Petugas/pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja dalam organisasi

atau unit kerja.

b. Mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam

organisasi.

c. Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petu-

gas/pegawai terkait.

d. Melindungi organisasi/unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek atau

kesalahan administrasi lainnya.

e. Menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi.

3. Asuhan Keperawatan (Askep)

Potter dan Perry (2009: 101) mendefinisikan asuhan keperawatan

sebagai suatu tindakan kegiatan atau proses dalam praktik keperawatan yang

diberikan secara langsung kepada klien (pasien) untuk memenuhi kebutuhan

objektif pasien, sehingga dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.

Lebih lanjut, Meriner (2010: 99) menerangkan bahwa asuhan keperawatan

adalah proses sebuah ilmiah, sistematis, dinamis terus-menerus, serta

berkesinambungan dalam rangka pemecahan masalah kesehatan dimulai dari

pengkajian (pengumpulan, analisis, penentuan masalah), diagnosis keperawa-

tan, pelaksanaan, penilaian tindakan keperawatan (evaluasi).

Standar praktik asuhan keperawatan yang dikeluarkan oleh American

Nursing Association (PPNI, 2001) dalam Nursalam (2013: 94) sebagai berikut:
38

Tabel 2.3 Standar Praktik Keperawatan

No Standar Uraian
1 2 3
1. Standar I Mengumpulkan data tentang status kesehatan
pasien.
2. Standar II Menetapkan diagnosa.
3. Standar III Mengidentifikasi hasil yang diharapkan untuk
setiap pasien.
4. Standar IV Mengembangkan rencana asuhan kekerawatan
untuk mencapai hasil yang diharapkan.
5. Standar V Mengimplementasikan tindakan yang sudah
ditetapkan dalam rencana asuhan keperawatan.
6. Standar VI Mengevaluasi perkembangan pasien dalam
mencapai hasil akhir yang sudah ditetapkan.
Sumber: Dikutip dari Nursalam (2013: 94).

Standar pelayanan yang disebutkan di atas merupakan standar umum

yang dilakukan oleh seluruh perawat dalam melaksanakan tugas serta fungsinya.

Khusus dalam pelayanan keperawatan gawat darurat, setiap perawat juga

melakukan kegiatan pengelolaan perawatan untuk membatu tindakan gawat

darurat, berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, pasien dan keluarga pasien

dalam melakukan rujukan tindakan selanjutnya terhadap kondisi pasien melalui

pelaksanaan sistem ABCD.

2.2.6 Rumah Sakit

World Health Organization (WHO, 1957) dalam Azwar (2010: 82)

mengemukakan bahwa rumah sakit adalah bagian integral dari satu instansi sosial

dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan kesehatan paripurna,

kuratif, preventif kepada masyarakat serta pelayanan rawat jalan yang

diberikannya guna menjangkau keluarga di rumah. Rumah Sakit juga merupakan

pusat pendidikan, pelatihan tenaga kesehatan serta pusat penelitian biomedis

bagi perkembangan kedokteran.

Kemudian, American Hospital Association (1974) dalam Azwar (2010: 82)

rumah sakit adalah suatu instansi melalui tenaga medis profesional terorganisir
39

serta sarana permanen dengan penyelenggaraan pelayanan kedokteran, asuhan

keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit.

Rumah sakit dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 didefinisikan sebagai institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat meliputi kegiatan promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Berdasarkan pengertian yang dijabarkan sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa rumah sakit merupakan bagian teramat penting dalam pemberi pelayanan

kesehatan dari suatu sistem kesehatan. Sebagai jejaring kerja pelayanan

kesehatan, rumah sakit menjadi simpul utama, berfungsi sebagai pusat rujukan,

bersifat padat karya, padat modal, padat teknologi dan padat keterampilan.

2.2.7.1 Rumah Sakit Sebagai Organisasi

Secara sederhana menurut James D. Mooney dalam Umam (2012: 18)

mengatakan bahwa organisasi adalah setiap bentuk kerja sama untuk mencapai

tujuan bersama (organization is the form of every human association for the

attainment of common purpose). Kemudian, dikemukakan oleh Siagian (2008: 6)

organisasi merupakan persekutuan antara dua orang atau lebih, bekerja bersama,

secara formal terikat dalam pencapaian tujuan telah ditentukan dalam ikatan,

terdiri dari atasan dan seorang atau sekelompok orang disebut bawahan.

Selanjutnya, Dimock dalam Tangkilisan (2005:132) mendefinisikan

organisasi adalah suatu cara sistematis untuk memadukan bagian-bagian yang

saling tergantung menjadi suatu kesatuan utuh terhadap kewenangan, koordinasi,

dan pengawasan dilatih untuk mencapai tujuan. Dwight Waldo dalam Syafie

(2005: 96) menjelaskan organisasi sebagai suatu struktur, kewenangan, dan


40

kebiasaan dalam hubungan antar orang pada suatu sistem administrasi.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa organisasi

merupakan wadah atau tempat terselenggaranya kegiatan administrasi, di

dalamnya terjadi hubungan antar individu, kelompok, baik dalam maupun luar

organisasi. Terdapat pembagian tugas, berlangsungnya aktivitas berdasarkan

kinerja masing-masing anggotanya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.983/Men.Kes/SK/XI/1992 rumah sakit adalah salah satu organisasi sektor

publik yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa kesehatan yang mempunyai

tugas melaksanakan suatu upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil

guna dengan mengutamakan atau mementingkan upaya penyembuhan dan

pemulihan yang telah dilaksanakan secara serasi dan terpadu oleh pihak rumah

sakit dalam upaya peningkatan dan pencegahan penyakit serta upaya perbaikan.

Menurut Wirawan (2009: 9) organisasi rumah sakit mempunyai bentuk unik

berbeda dengan organisasi lain pada umumnya, mempunyai kekhususan

hubungan antara medical staff (kelompok dokter), administrator (manajemen)

serta governing body (badan otoritas tertinggi yang membina dan mengawasi

pengoprasian rumah sakit).

2.2.7.2 Klasifikasi rumah sakit

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 340 Tahun 2010, berdasarkan

tingkat kemapuan pelayanan kesehatan, ketenagaan, fisik, dan peralatan dan

berpengaruh terhadap beban kerja RS, maka diklasifikasikan menjadi RS kelas A,

B, C, dan D yang dijabarkan sebagai berikut:


41

1. Rumah sakit tipe A

Diterangkan Azwar (2010: 83) bahwa dalam Peraturan Menteri

Kesehatan No. 340 Tahun 2010, rumah sakit tipe A dapat menjadi RS

pendidikan apabila telah memenuhi persyaratan, standar, mempunyai fasilitas,

dan kemampuan pelayanan medis paling sedikit:

a. Empat pelayanan medis spesialis dasar (pelayanan medis spesialis

penyakit dalam, obsetetri genikologi, bedah dan kesehatan anak),

b. Lima pelayanan spesialis penunjang medis (pelayanan medis radiologi,

patologi klinik, patologi anatomi, anastesi‒reanimasi, rehabilitasi medis),

c. Dua belas pelayanan medis spesialis lain (pelayanan medis spesialis THT,

mata, kulit kelamin, kedokteran jiwa,syaraf, gigi dan mulut, jantung, paru,

bedah syaraf, dan ortopedi), dan

d. Tiga belas pelayanan medis subspesialis (pelayanan medis yang

berkembang dari setiap cabang medis spesialis dan subspesialis).

2. Rumah sakit tipe B

Kemudian, Azwar (2010: 84) melanjutkan dalam Peraturan Menteri

Kesehatan No. 340 Tahun 2010, rumah sakit tipe B dapat menjadi RS

pendidikkan apabila memenuhi persyaratan dan standar, mempunyai fasilitas

dan kemampuan pelayanan medis yang paling sedikit:

a. Empat pelayanan medis spesialis dasar,

b. Empat pelayanan spesialis penunjang medis,

c. Delapan pelayanan medis spesialis lain, dan

d. Dua pelayanan medis sub spesialis.


42

3. Rumah sakit tipe C

Selanjutnya, Azwar (2010: 84) menjelaskan Peraturan Menteri

Kesehatan No. 340 Tahun 2010 bahwa rumah sakit tipe C mempunyai fasilitas

dan kemampuan pelayanan medis paling sedikit:

a. Empat pelayanan medis spesialis dasar,

b. Empat pelayanan spesialis penunjang medis.

4. Rumah sakit tipe D

Rumah sakit tipe B dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 340 Tahun

2010 dikutip dari Azwar (2010: 85) harus mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan umum dan paling sedikit dua pelayanan medis spesialis dasar

(spesialis penyakit dalam dan bedah).

2.2.7.3 Instalasi Gawat Darurat

Setiap rumah sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki

kemampuan melakukan pemeriksaan awal kasus gawat darurat dan melakukan

resusitasi serta stabilisasi, selama 24 jam secara terus menerus, 7 hari dalam

seminggu (Kemenkes R.I., 2010: 13). Black (2009: 75) menjelaskan bahwa pasien

gawat darurat tersebut memerlukan pembedahan, perawatan, pemantauan

khusus atau pasien dengan penyakit yang telah diagnosis, dirujuk, dan dianggap

seperti tidak bisa dikelola secara mandiri dengan perawatan di rumah.

Sulaiman (2011: 368) menjelaskan bahwa pelayanan di IGD sebagai

tempat penanganan dengan upaya cepat dan tepat untuk segera mengatasi

puncak kegawatan yaitu henti jantung melalui resusitasi jantung‒paru‒otak

(cardio‒pulmonary‒cerebral resucitation) agar kerusakan organ yang terjadi dapat

dihindarkan atau ditekan sampai minimal dengan menggunakan bantuan hidup

dasar (basic life support) dan bantuan hidup lanjutan (advance life support).
43

Menurut Azwar (2010: 84) yang dimaksud dengan pelayanan gawat

darurat (emergency care) adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang

dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera (imediately) untuk menyelamatkan

kehidupannya (life saving). Unit kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

gawat darurat disebut dengan nama Unit Gawat Darurat (Emergency Unit) atau

IGD/Emergency Department yang menyelenggarakan pelayanan

kegawatdaruratan yang lebih kompleks.

Kemudian Black (2009: 2189) pelayanan IGD meliputi seluruh aspek

perawatan darurat. Sistem bertanggung jawab untuk membangun, mengatur,

mengkoordinasi, dan mantau komponen kedaruratan yang terlibat dalam

penyediaan perawatan darurat. Komponen tersebut berupa sistem akses telepon,

teknisi medis darurat dan paramedis di lingkup praktik kegawatdaruratan,

pelayanan ambulan, pengiriman komunikasi antara titik kejadian, penanggulangan

bencana, dan telekomunikasi antara tenaga paramedis gawat darurat khusus

yang berjaga.

2.2.7.4 Pelayanan IGD

Kegiatan yang menjadi tanggungan IGD oleh Flynn (1962) dalam Azwar

(2010: 85, 86) dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Menyelenggarakan pelayanan gawat darurat.

2. Menyelenggarakan pelayanan penyaringan untuk kasus yang memerlukan

pelayanan rawat inap intensif.

3. Menyelenggarakan pelayanan informasi medis darurat, menampung dan

menjawab pertanyaan masyarakat mengenai pelayanan medis darurat

(emergency medical questions).


44

Menurut Kemenkes R.I. (2010: 13) lingkup pelayanan IGD antara lain:

1. Program pelayanan IGD, true emergency (kegawatdaruratan): false

emergency (kegawatdaruratan tidak darurat), cito operation, cito/emergency

High care Unit (HCU), cito laboratorium, cito radiognostic, cito darah, dan cito

depo farmasi.

2. Pelayanan kegawatdaruratan IGD, pelayanan kegawatdaruratan

kardiovaskuler, pernapasan (respiratory), saraf sentral/otak, kegawatdaru-

ratan lain (saluran kemih, prostat, pencernaan, obstetri dan ginekologi, dll).

2.2.7.5 Ruang IGD

Ruang IGD menurut Kemenkes RI (2010: 19) meliputi ruang penerimaan,

ruang tindakan, ruang observasi, ruang khusus, dan ruang penunjang medis.

Pemaparan terhadap ruang dan fungsi ruangan tersebut dijabarkan sebagai

berikut:

1. Ruang penerimaan terdiri atas ruang administrasi dan pendaftaran, ruang

tunggu pengantar pasien, ruang rekam medis, ruang informasi dan

komunikasi (boleh ada/tidak), ruang triase, dan ruang persiapan bencana

masal.

2. Ruang tindakan meliputi ruang resusitasi bedah dan non bedah, ruang

tindakan bedah dan non bedah, ruang dekontaminasi, ruang khusus/isolasi,

dan ruang observasi.

3. Ruang khusus atau ruang plester, ruang untuk melakukan tindakan gips.

4. Ruang penunjang medis, ruang farmasi/obat, ruang linen steril, ruang alat

medis, ruang radiologi (jika diperlukan), laboratorium standar dan khusus (jika

diperlukan), ruang dokter konsulen, ruang diskusi, pos perawat (nurse

station), ruang perawat, ruang kepala IGD, ruang kotor, toilet


45

(petugas/pengunjung), ruang sterilisasi (jika diperlukan), ruang gas medis,

loker, dan pantry.

2.2.7.6 Alur Pelayanan IGD

Menurut Kemenkes R.I., (2010: 16) pasien yang masuk melalui IGD,

kemudian dilakukan penilaian “visual triage” melalui mekanisme ABCD untuk

menyeleksi pasien sesuai dengan tingkat kegawatan penyakitnya. Kasus

kegawatdaruratan, alur pasien harus diatur dengan baik terutama dalam ruangan

terbatas, memperioritaskan pasien untuk menekan jumlah morbiditas dan

mortalitas, serta pelabelan/pengkategorian berdasarkan tingkat kegawatan.

Berikut ini alur pelayanan IGD dalam Kemenkes R.I. (2010: 16):

Gambar 2.6 Alur Pelayanan IGD

Sumber: Kemenkes R.I. (2010: 16)


46

Menurut Oman (2008: 2) pengkategorian pasien berdasarkan sistem

triage sudah dikenal sejak tahun 1950an, merupakan metode penanganan

kegawatdaruratan untuk mendapatkan hasil maksimal dengan jumlah korban

besar melalui keterbatasan ketersediaan sarana. Pengelompokan pasien

didasarkan atas derajat cedera, jumlah anggota tubuh yang mengalami cedera,

sarana kemampuan, kemungkinan bertahan hidup.

Dikutip dari Black (2009: 2191) pengkatagorian yang sering digunakan

terutama untuk wilayah Asia adalah menggunakan sistem pewarnaan, yaitu

membagi pasien dalam kelompok sesuai dengan simbol warna menjadi merah,

kuning, dan hijau. Penjabaran mengenai pengelompokan pasien tersebut

dijelaskan sebagai berikut:

1. Emergency (Merah)

Penderita yang harus mendapatkan penanganan dengan segera dan

mengancam nyawa misalnya kasus trauma berat (cedera kepala berat,

multiple trauma), infark miokard akut, sumbatan jalan nafas, tension

pneumothorak, luka bakar disertai trauma inhalasi. Kondisi ini memerlukan

observasi ketat, pemeriksaan lebih kompleks sebelum dilakukan tindakan

selanjutnya, sehingga dirujuk ke bagian radiologi atau laboratorium (Oman,

2009: 3).

Selanjutnya dalam Kemenkes R.I., (2010: 16) pasien rujukan tindakan

bedah dijadwalkan tindakan pembedahan. Pasca bedah, apabila kondisi

belum stabil akan dikirim ke ruang perawatan intensif, sedangkan keadaan

stabil masuk ke ruang rawat inap. Pasien meninggal akan dikirim ke instalasi

pemulasaraan jenazah dan pasien sehat dapat dipulangkan, jika diperlukan

disarankan kunjungan ulang ke poliklinik.


47

2. Urgen (Kuning)

Kemudian, Black (2011: 1892) menerangkan label kuning diberikan

pada pasien tidak gawat tapi darurat atau tidak darurat tetapi gawat, misalnya

pada kasus cedera vertebra, fraktur terbuka, trauma kapitis tertutup,

appendiksitis akut.

3. Non Urgent (Hijau)

Penderita tidak mengancam nyawa dan tidak perlu mendapatkan

penanganan dengan segera misalnya luka lecet, luka memar, demam. Pasien

non urgent setelah diberikan pelayanan medis selanjutnya dapat langsung

pulang (Oman, 2008: 4).

2.2.7.7 Sistem ABCD

Sistem ABCD merupakan bagian dari penanganan pada sistem triase

untuk mengelompokkan pasien berdasarkan tingkat kegawatannya. Penilaian

yang dilakukan meliputi penilaian dan penatalaksanaan airway, breathing,

circullation, dan disability (Black, 2009: 1893), berikut ini penjabaran lebih lanjut:

1. Airway

Penderita sadar yang dalam kondisi dapat berbicara kalimat panjang

dapat ditarik kesimpulan airway baik. Penilaian airway penderita tidak sadar

bisa menjadi lebih sulit, terjadinya obstruksi (sumbatan) jalan nafas

merupakan pembunuh tercepat pada pasien gawat darurat (Black, 2009:

1893). Menurut Jevon dan Beverley (2007: 3) pengelolaan airway pasien tidak

sadar dapat dilakukan melalui:

a. Melakukan pengelolaan jalan nafas, tindakan penghisapan (suction) bila

ada cairan.

b. Menjaga jalan nafas secara manual, lidah pasien tidak sadar dihindarkan
48

jatuh ke belakang dengan melakukan tindakan berikut:

1) Mengangkat kepala-dagu, bila pasien tidak sadar (head tilt-chin

manouvre), tindakan ini dikontraindikasikan pada pasien dengan patah

tulang leher.

2) Mengangkat rahang, bila pasien tidak sadar (jaw thrust).

2. Breathing

Black (2009: 1893) menerangkan bahwa pasien dengan airway baik,

pola pernapasan pasien belum tentu baik, sehingga perlu selalu dilakukan

pemeriksaan keadekuatan pernapasan pasien. Penderita sadar, dapat

berbicara tetapi tidak dapat berbicara kalimat panjang: airway baik, namun

breathing terganggu, pasien terlihat sesak (dapat terlihat atau tidak).

Menurut Jevon dan Beverley (2007: 5) tindakan yang dilakukan adalah

dengan pemberian oksigen, yaitu dengan dua cara tergantung pada kondisi

pasien:

a. Melakukan pemberian oksigen bila pasien tidak sadar secara kanul hidung

(nasal canule).

b. Melakukan pemberian oksigen bila pasien tidak sadar secara masker

oksigen (face mask).

c. Memberikan pernafasan buatan (artificial ventilation) bila pasien tidak

sadar, melalui mouth to mouth ventilation ( mulut ke mulut ).

3. Circullation

Dikutip dari Black (2009: 1894) penilaian sirkulasi dilihat dari:

a. Melakukan perabaan denyut nadi pada lengan bawah atau di belakang ibu

jari, dengan frekuensi normal orang dewasa adalah 60-80/menit (nadi

radialis atau brakhialis).


49

b. Melakukan perabaan denyut nadi pada sisi samping dari jakun (nadi

karotis).

Pasien dengan gejala henti jantung dengan gejala syok berat akan

berusaha menarik nafas satu atau dua kali. Setelah itu akan berhenti nafas

namun nadi tidak teraba, hanya nadi karotis yang berdenyut.

4. Disabalility

Apabila pasien ditemukan dalam kondisi henti jantung, maka menurut

Jevon dan Beverley (2007: 6) harus dilakukan pijat jantung luar yang

merupakan bagian dari Resusitasi Jantung Paru (RJP). RJP menghasilkan 25-

30% dari curah jantung (cardiac output) sehingga oksigen tambahan mutlak

diperlukan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam Black (2009: 1094) antara

lain:

a. Menentukan tingkat kesadaran (respon pasien).

b. Panggil bantuan bila petugas sendiri, (tidak mulai RJP sebelum memanggil

bantuan).

c. Memposisikan pasien dalam keadaan telentang (bila dalam keadaan

telungkup penderita di balikkan).

d. Memeriksa pernapasan dengan dengan inspeksi, palpasi dan auskultasi.

Pemeriksan ini dilakukan paling lama 3-5 detik.

e. Melakukan Teknik Resusitasi Jantung Paru (RJP) bila tidak ada pulsasi.

1. Perawat berlutut seinggi bahu, disisi kanan penderita.

2. Tempat kompresi 2 inci diatas prosesus xifoideus pada tengah sternum.

Jari-jari kedua tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung

dada penderita.

3. Kompresi dilakukan dengan meluruskan siku, beban pada bahu, bukan

pada siku. Kompresi dilakukan sedalam 3-5 cm.

Anda mungkin juga menyukai